caping+cari angin+kolom tempo 7.9.2014-13.9.2014

Upload: ekho109

Post on 02-Jun-2018

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    1/41

    Daulat

    Senin, 08 September 2014

    Ada sepatah kata yang berubah bersama sejarah: daulat.

    Di masa lampau orang akan menyatakan siap menjalankan titah sultan dengan

    berkata, "Daulat, Tuanku."Dalam ucapan itu tersirat hubungan dengan Yang-Di-Atas. Tapi

    kini daulatjustru diucapkan sebagai idiom yang mengacu ke arah sebaliknya: orang

    ramai: "Ketua rombongan pun didaulat para hadirin agar menyanyi di panggung."

    Dalam bahasa Malaysia, ucapan "Daulat, Tuanku"masih berlaku dalam acara resmi. Tak

    berarti tak ada arti lain bagi daulat. Kamus Dewan Bahasa dari Kuala Lumpur memaknainya

    juga sebagai kuasa yang datang dari luar "Tuanku".Daulat, menurut kamus resmi itu, juga

    berarti "merampas (kekuasaan) dengan tidak sah".

    Namun tak berarti ada tafsir yang sama dalam kedua cabang bahasa Melayu itu. Tafsir

    Kamus Dewan Bahasa mengisyaratkan sebuah tindakan yang tanpa legitimasi: "merampas

    dengan tidak sah". Sebaliknya dalam bahasa Melayu-Indonesia, daulat, sebagai aksi orang

    ramai, tidak hanya sah, tapi juga bagian pergaulan sehari-hari.

    Sejarah politik Indonesia telah membuat perbedaan itu. Revolusi 1945 menyisihkan para

    sultan dan privilese mereka. Terkadang dengan darah dan besi, seperti di Sumatera Timur.

    Gerakan pembebasan nasional sejak awal abad ke-20 telah membuat daulat kehilangan

    auranya. Kini kita menyebutnya kedaulatan.

    Saya tak tahu kapan persisnya "ke"dan "an"itu menempel. Mungkin nasionalisme Indonesia

    memang ekspresi protes yang meluas di seantero penduduk Hindia Belanda,

    hingga daulattak bisa lagi dianggap melekat "di atas" atau di mana pun.

    Kini kedaulatan:sesuatu yang impersonal. Kata itu jadi sebuah konsep, sesuatu yanguniversal. Ia jadi terjemahan kata Belandasoevereiniteitatau kata Inggrissovereignty. Ia

    lebih sering disebut bersama kata nasionaldan rakyat.

    Dan kita menumbuhkannya. Maka kata daulat, jika kita dengar sekarang, tak ada

    hubungannya dengan "merampaskekuasaan".

    Tapi sejarah politik modern Indonesia terkadang lupa bahwa daulat (atau kedaulatan) sering

    datang dengan perampasan. Di abad ke-13 Kerajaan Singasari dibangun Ken Arok; ia

    memulai kekuasaannya dengan membunuh akuwuTumapel, Tunggul Ametung. Hubungan

    antara kedaulatan dan kekerasan tak berhenti di situ. Di Aceh, 400 tahun setelah itu, Sultan

    Iskandar Muda, yang membangun sebuah kerajaan yang mengagumkan, naik takhta setelah

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    2/41

    memberontak pamannya, Sultan Ali Ri'ayat Syah III, dan membunuh pamannya yang lain,

    Hussain.

    Riwayat seperti itulah yang agaknya membuat orang Indonesia tak mudah menerima

    kedaulatan sebagai sesuatu yang terlepas dari gerak dan gejolak politik, dan juga tak mudah

    memandang kuasa raja-raja sebagai perpanjangan kuasa Tuhan.

    Saya kira ini berbeda dengan pengalaman Eropa sejak kemaharajaan Karolinger di abad ke-9.

    Dimulai dengan takhta Pippin Kecil, -ia pangeran bangsa Frank yang diasuh para biarawan-

    kedaulatan diberi tudung keagamaan. Tudung itu makin lama makin menyatu dengan

    kedaulatan itu sendiri.

    Di tahun 751 Pippin dinobatkan jadi raja dengan dukungan Paus Zakharias. Wilayah sekitar

    yang direbutnya dipersembahkannya kepada Takhta Suci. Anaknya, Karl Agung,

    mengukuhkan simbiosis Takhta-Raja-Takhta-Suci dengan mengembangkan "Dunia Kristen";

    ia serang kerajaan Islam di Spanyol dan ia kristenkan bangsa Saxon. Klimaksnya, di hariNatal tahun 800, di Basilika Santo Petrus, Paus Leo III memasang mahkota kekaisaran di

    kepala Karl Agung.

    Sejak itu kedaulatan pun jadi sakral. Raja, pemonopoli kedaulatan, membangun analoginya

    dengan Tuhan. Tuhan mendatangkan mukjizat, dan mukjizat adalah sebuah perkecualian dari

    hukum alam, dan perkecualian itu tanda kedaulatan-Nya yang mutlak. Analog dengan itu,

    raja-raja dengan kuasa yang absolut juga berada di luar hukum antarmanusia: seperti

    ditunjukkan Carl Schmitt, pemikir Nazi itu, terutama di tangan raja-raja kedaulatan adalah

    cerita "perkecualian",Ausnahme.

    Kemudian Revolusi Prancis menghabisi kaitan Tuhan dan kuasa para Yang Dipertuan. Juga

    ketika pada awal Desember 1804, Napoleon, perwira yang dibesarkan Revolusi, mengangkat

    diri jadi maharaja. Upacara penobatannya ia buat mirip dengan Karl Agung. Tapi betapa

    beda.

    Dari Roma, Paus Pius VII datang ke Paris, ke Katedral Notre Dame, untuk meletakkan

    mahkota ke atas kepala sang maharaja baru. Tapi Napoleon membatalkannya: sebelum Paus

    sempat bergerak, Bonaparte meletakkan dengan tangannya sendiri mahkota itu di kepalanya.

    Jika Paus dianggap wakil Tuhan, hari itu Tuhan disingkirkan di depan altar Notre Dame.

    Tapi tanpa Tuhan sekalipun kedaulatan tak hilang tuahnya. Ia punya tuah baru yang lebihcocok di bumi, di mana senjata dan dukungan orang ramai, demos, kekuatan di luar agama,

    lebih mengukuhkannya. Namun, berbeda dengan tuah lama, kini ada yang tak bisa ditutup-

    tutupi: kedaulatan adalah bagian proses politik, dengan nafsu, gejolak, dan benturannya.

    Jauh sebelum Napoleon di Prancis, Raja Mataram pertama menegaskan kenyataan itu ketika

    melalui pelbagai penaklukan ia menamai dirisayidin panatagama: dialah -bukan ulama yang

    dipilih Allah- yang "menata agama".

    Tentu ia, seperti yang lain, juga membangun mithos tentang kekalnya kedaulatan; bayang-

    bayang agama tak bisa sepenuhnya sirna dari ide tentang kedaulatan, bahkan hingga hari ini.

    Tapi zaman tak bisa mengembalikan hikayat tua, ketika agama dan raja menganggap manusia

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    3/41

    satu komunitas yang siap berkata, "Daulat, Tuanku." Etienne Balibar menyebut kedaulatan

    ditandai "impotence of the omnipotent": di satu sisi tampak yang mahakuasa, pada saat yang

    sama tampak pula impotensinya.

    Maka sudah sepantasnya daulatberubah makna.

    Goenawan Mohamad

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    4/41

    Yogya

    Sabtu, 06 September 2014

    Putu Setia

    Yogya istimewa. Irama rap yang mendominasi pentas From Republik Jogja with Loveini

    cukup jeli menggambarkan keistimewaan Yogyakarta. Dibawakan dengan riang dan jenaka,

    para penyanyi rap melantunkan berulang-ulang: Yogya, Yogya. Yogya istimewa. Istimewa

    makanannya, istimewa orangnya....

    Pentas itu sudah lama, 29-30 Maret 2011 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Saat itu terjadi

    polemik apakah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih atau ditetapkan olehpemerintah pusat dengan mengangkat Sultan sebagai gubernur dan Paku Alam sebagai wakil

    gubernur. Pentas ini mengkritik tajam tentang digugatnya keistimewaan Yogya.

    Yogya memang istimewa. Bukan cuma makanan dan orangnya. Sampai sekarang pun orang

    Yogya tak pernah bisa menulis dengan seragam nama wilayahnya. Pemerintah Provinsi sudah

    menetapkan nama yang baku: Daerah Istimewa Yogyakarta. Kata itu diambil dari nama

    Keraton Hayogyakarta Hadiningrat. Tapi orang banyak menulis kata Jogja atau Jogya,

    bahkan Djogja. Padahal di Kepatihan, pusat pemerintahan tempat Sultan dan Paku Alam

    berkantor, nama provinsi ini jelas disingkat DIY, bukan DIJ, apalagi DID.

    Orang Yogya terkenal halus bertutur kata, meski kadang terlontar kata seperti "asu". Kata ini,

    yang artinya anjing, dilontarkan bukan dalam bentuk umpatan, melainkan nuansa kekerabatan

    yang kental disertai tawa. Di media sosial pun, kata asuacap nongoldalam percandaan akrab,

    selain kata ndasmu.

    Kini Yogya semakin istimewa ketika sumpah serapah Florence Sihombing muncul di media

    Path, sebuah laman pertemanan yang lebih bersifat pribadi. Florence, mahasiswi S-2 Fakultas

    Hukum UGM, tak mau antre saat hendak mengisi Pertamax di sebuah SPBU. Alasannya, ia

    membeli Pertamax kenapa harus antre bersama pembeli Premium? Flo benar. Tapi ia salah

    ketika ngamukdi masyarakat yang berbudaya halus dan mengumpat di Path dengan kata:

    tolol.

    Flo, yang berasal dari Medan, tak menduga kata tolol itu menusuk hati orang Yogya. Ada 15

    LSM mengadukan Flo ke polisi, dan polisi pun sangat tanggap. Flo diperiksa dan ditahan.

    Tapi warga Yogya juga kesal atas penahanan Flo. Tak seharusnya kata tololmembawa

    mahasiswi ini ke tahanan. Polisi dikecam. Sultan HB X dan permaisuri Ratu Hemas turun

    tangan. Flo meminta maaf, dan Sultan pun meminta masyarakat Yogya memaafkan,

    sementara Ratu Hemas meminta LSM itu menarik pengaduannya. Pemimpin LSM tidak mau.

    Perkara jalan terus meski Flo hanya wajib lapor.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    5/41

    Apakah tolollebih kasar dari asuatau ndasmu? Kehalusan (dan kekasaran) kata tergantung

    budaya dan kepada siapa kata ditujukan. Fahri Hamzah menggunakan katasintingdan bodoh

    untuk Jokowi, tapi tak ada yang menuntut politikus ini. Apakah beda bodoh dengan tolol?

    Sikap LSM Yogya menarik, bahwa muncul kelompok fundamentalis di berbagai budaya yang

    justru berdalih mempertahankan budaya lokal. Di Bali, ada LSM anak-anak muda yangmemprotes pemakaian peci dan kerudung karena dianggap "propaganda agama". Ketika

    protes ini menyebar dan seolah mewakili Bali, betapa repotnya tokoh-tokoh Bali menjelaskan

    ke publik. Anak-anak muda itu tak tahu bahwa peci adalah lambang nasionalisme yang

    bahkan dipakai pejabat di Bali pada hari tertentu. Kerudung itu budaya leluhur pertanda

    wanita terhormat, lihat tokoh-tokoh wanita dalam sinetronMahabharata, semuanya

    berkerudung.

    Munculnya kelompok fundamentalis di berbagai daerah seperti mewabah. Dalih

    mempertahankan budaya lokal justru menjadi bumerang untuk keluhuran budaya itu sendiri.

    Dalam kaitan ini, Yogya tak lagi istimewa, karena sama saja dengan daerah lainnya.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    6/41

    Cela di Pengujung Jabatan

    Minggu, 07 September 2014

    Reza Syawawi, Researcher for Law and Policies Transparency International Indonesia

    Pembebasan bersyarat terhadap terpidana korupsi Siti Hartati Murdaya oleh pemerintah

    (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) di bawah kendali Presiden Susilo Bambang

    Yudhoyono setidaknya menjadi salah satu penanda bahwa rezim ini tak berujung happy end.

    Tidak lama berselang, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan status tersangka korupsi

    atas Jero Wacik, Menteri ESDM (3 September).

    Rangkaian peristiwa ini tentu saja menambah noda dalam catatan pemberantasan korupsi

    yang dilakukan SBY selama menduduki jabatan presiden dalam 10 tahun terakhir. Tidak

    hanya dalam posisinya sebagai presiden, SBY dalam kapasitasnya sebagai petinggi Partai

    Demokrat juga mengalami pembusukan di internal partainya. Sebut saja kasus korupsi yang

    kini membelit bekas Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Anas Urbaningrum.

    Dalam konteks pembebasan bersyarat, SBY seperti mengalami kegamangan. Di satu sisi ia

    ingin mengakhiri pemerintahannya dengan meninggalkan kebijakan yang baik, namun

    faktanya ia justru memberikanprivilegekepada koruptor. Tak pelak, ini menjadi sangat

    bertentangan dengan kebijakan yang berupaya memperketat pemberian keringanan terhadap

    pelaku korupsi, termasuk dalam hal pembebasan bersyarat.

    Pemberian pembebasan bersyarat kepada Siti Hartati Murdaya (SHM) dapat dilihat dalam

    dua hal, dari sisi hukum dan relasi politik. Dari sisi hukum, pembebasan bersyarat yang diatur

    melalui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 memang memberikan hak tersebut

    kepada narapidana. Pemberian keringanan tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat yang

    diwajibkan di dalam peraturan pemerintah.

    Dalam kasus SHM, pemerintah telah melanggar syarat yang diwajibkan dalam peraturanpemerintah tersebut. Pemberian pembebasan bersyarat tidak memenuhi syarat "bersedia

    bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang

    dilakukannya" (Pasal 43A ayat 1 huruf a).

    Penetapan seorang narapidana sebagai pelaku yang bekerja sama ataujustice collaborator

    harus ditetapkan dan dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum (Pasal 43A ayat

    3). Faktanya, KPK sebagai lembaga yang menangani perkara tersebut tidak pernah

    menetapkan dan menyatakan SHM sebagaijustice collaborator.

    Hal ini diperkuat dengan surat KPK tertanggal 12 Agustus 2014 yang ditujukan kepada

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    7/41

    Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham yang intinya menyebutkan bahwa tim jaksa penuntut

    umum KPK yang menangani perkara tidak pernah mengajukan SHM cs sebagaijustice

    collaborator. Namun pemerintah (Menkumham) justru menafsirkan bahwa syarat pemberian

    pembebasan bersyarat bersifat alternatif, sehingga syarat sebagaijustice collaboratortidak

    wajib dipenuhi.

    Pernyataan ini jelas memperlihatkan ketidaktahuan pemerintah terhadap aturan yang ia buat

    sendiri. Jika peraturan pemerintah tersebut dibaca secara jeli, syarat ini bersifat kumulatif dan

    bukan alternatif. Dari sisi legal drafting, frasa yang digunakan dalam Pasal 43A ayat (1)

    huruf (a), (b), (c), (d) dihubungkan dengan kata "dan", bukan kata "atau". Artinya, seluruh

    syarat yang diatur dalam pasal tersebut wajib dipenuhi. Maka, berdasarkan ketentuan

    tersebut, pemberian pembebasan bersyarat terhadap SHM jelas melanggar peraturan

    pemerintah.

    Perangkat hukum yang dilanggar ini sebetulnya semakin memperkuat dugaan relasi politik

    terkait dengan pembebasan bersyarat terhadap SHM. Jika ditelisik ke belakang, SHM adalah

    (bekas) kolega SBY di PD. Kecurigaan dan bacaan bahwa pemberian keringanan ini sebagai

    bentuk kompensasi di akhir masa jabatan SBY tidak dapat dihindarkan.

    Maka, satu-satunya cara untuk menyatakan bahwa pemberian keringanan bukanlah

    disebabkan oleh sebuah relasi politik, melainkan murni sebagai pelaksanaan ketentuan

    hukum, adalah dengan mencabut pembebasan bersyarat yang telah diberikan kepada SHM.

    Pada sisi lain, relasi politik SBY dengan kasus korupsi yang menerpa Jero Wacik juga sangatmudah dibaca. Selain sebagai kolega di PD, yang bersangkutan juga menduduki jabatan

    sebagai menteri. Alhasil, SBY mengalami dua bencana sekaligus, yaitu terkait di lingkup

    internal partainya sendiri dan di dalam pemerintahannya. Pakta Integritas yang digagas dan

    ditandatangani baik di lingkup internal PD maupun yang juga dilakukan oleh Kabinet

    Indonesia Bersatu jilid II ternyata tidak mampu menahan arus korupsi.

    Pakta Integritas seolah menjadi dokumen kosong dan hanya menjadi seremoni untuk

    mencitrakan semangat anti-korupsi. Pakta atau kesepakatan yang digagas ternyata minus niat

    baik untuk menjaga dan menegakkan integritas.

    Dengan semua kasus ini, SBY seperti sedang menciptakan cela di pengujung masa

    jabatannya. Pilihan untuk diingat sebagai presiden yang anti-korupsi atau presiden yang

    "ramah" terhadap korupsi sepenuhnya ada di tangan SBY. Publik tentu akan sangat

    menunggu pilihan mana yang akan diambil oleh SBY, menciptakan akhir yang baik atau

    justru akhir yang buruk.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    8/41

    Pertahankan Pilkada Langsung

    Minggu, 07 September 2014

    Joko Riyanto,Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

    Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak Juni 2005 ada

    kemungkinan akan berganti ke mekanisme perwakilan melalui DPRD. Mayoritas anggota

    DPR, yang awalnya setuju pilkada langsung, kini berubah sikap. Fraksi Golkar, PPP, PAN,

    Gerindra, dan Demokrat (65 persen suara di DPR) mendukung pilkada melalui DPRD atau

    pilkada tidak langsung yang dituangkan dalam RUU Pilkada dan segera disahkan pada 11

    September 2014.

    Mereka beralasan bahwa pilkada langsung berbiaya politik mahal, membudayakan politik

    uang, menimbulkan konflik horizontal dan memakan korban, serta tidak menciptakan

    pemerintahan yang bersih, bahkan banyak kepada daerah terjerat kasus korupsi. Namun,

    haruskah argumentasi itu lantas menjadi dasar kuat untuk menyerahkan pilkada lewat DPRD?

    Menurut saya, pilkada melalui DPRD mengingkari semangat dan jiwa demokratisasi di

    Indonesia. Sebuah langkah mundur jika DPR menarik kembali hak rakyat memilih pemimpin

    daerah. Secara hukum, mekanisme pilkada lewat DPRD bertentangan dengan Pasal 18 ayat

    (2) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di

    mana gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah

    provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Aturan tersebut memberikan hak

    memilih secara langsung kepada rakyat sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip demokrasi di

    Indonesia.

    Makna frasa "dipilih secara demokratis" haruslah dimaknai dipilih langsung dari rakyat, oleh

    rakyat, dan untuk rakyat yang merupakan implementasi menempatkan kedaulatan di tangan

    rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD. Bagaimanapun, mekanisme pilkada melalui

    DPRD akan menyingkirkan kedaulatan rakyat dalam menentukan dan memilih pemimpindaerah. Bisa dipastikan bahwa pemilihan dengan sistem perwakilan sering kali mengingkari

    pemikiran, kedaulatan rakyat, dan proses demokrasi. Upaya menjadikan pilkada melalui

    DPRD potensial merusak sistem demokrasi dan perjuangan reformasi hanya dengan

    pertimbangan pragmatis dalam penyusunan UU Pilkada.

    Argumentasi pilkada langsung berbiaya mahal dan rawan politik uang kurang tepat. Justru

    kalau pilkada dikembalikan ke DPRD, peluang transaksi politik uangnya semakin besar.

    Mahar politik kepada parpol untuk menjadi kandidat juga makin mahal. Begitu pula DPRD

    yang diberi wewenang memilih bupati dan wali kota, tentu akan mematok harga.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    9/41

    Dikhawatirkan, bukan pemimpin daerah berkualitas yang terpilih, melainkan "raja-raja" kecil

    yang mengeruk kekayaan daerah untuk kepentingan pribadi dan golongan. Pilkada oleh

    DPRD akan menutup ruang partisipasi warga dalam proses demokrasi dan menentukan

    kepemimpinan politik di daerah.

    Bagaimanapun, pilkada langsung masih lebih baik dan layak dipertahankan! Pilkada

    langsung memberikan pendidikan politik. Esensi demokrasi yang terkait dengan partisipasi,

    kebebasan, keadilan, dan kesetaraan lebih terjamin. Serta proses ketatanegaraan dan suksesi

    kepemimpinan lokal berjalan dalam kaidah yang benar. Pilkada langsung dapat menghasilkan

    pemimpin yang berlegitimasi, berkualitas, berintegritas, partisipatif, dan memungkinkan

    fungsi checks and balancesberlangsung. Maka, DPR, berpihaklah kepada suara rakyat!

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    10/41

    BBM, Inflasi, dan Kompensasi

    Minggu, 07 September 2014

    Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik

    Setelah gagal "membujuk" Presiden SBY untuk menaikkan harga bahan bakar minyak dalam

    pertemuan di Nusa Dua tempo hari, Jokowi harus siap untuk tidak populer pada masa awal

    periode pemerintahannya dengan menaikkan harga BBM.

    Seperti diketahui, dampak yang tak bisa dielakkan dari kebijakan menaikkan harga BBM

    adalah lonjakan inflasi, yang biasanya bakal berujung peningkatan jumlah penduduk miskin.Karena itu, penentuan besaran kenaikan harga BBM harus memperhatikan dampaknya

    terhadap inflasi, begitu pula kompensasi yang bakal diterima masyarakat yang terkena

    dampak.

    Ihwal harga BBM, pemerintah Jokowi-JK sebetulnya punya momentum untuk

    menaikkannya-dengan dampak inflasi yang tidak signifikan-pada tahun ini. Dengan catatan,

    kenaikan tersebut tidak lebih dari 10 persen. Hasil penghitungan memperlihatkan, jika harga

    BBM naik sebesar Rp 1.000 per liter, dampak inflasi yang terjadi hanya 0,38 persen. Jadi,

    kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.000-3.000 per liter hanya akan menyumbang tambahan

    inflasi sebesar 0,76-1,14 persen pada 2014. Dengan demikian, inflasi tahunan masih di bawah

    6 persen.

    Namun patut diperhatikan, angka-angka tersebut hanya menggambarkan dampak langsung

    kenaikan harga BBM terhadap inflasi. Faktanya, dampak kenaikan harga BBM terhadap

    inflasi juga bekerja secara tidak langsung melalui kenaikan tarif angkutan umum dan

    kenaikan harga-harga komoditas bahan makanan dan makanan jadi. Jika dampak tak

    langsung ini tidak direspons dengan baik, tambahan inflasi yang terjadi bisa lebih besar.

    Bila harga BBM naik 10 persen pada November tahun ini, akan ada penghematan sekitar Rp10 triliun pada APBN-P 2014. Kenaikan ini juga bakal memberi ruang fiskal bagi pemerintah

    Jokowi-JK pada 2015. Dengan demikian, sejumlah program unggulan yang telah dijanjikan

    saat kampanye bisa langsung direalisasi pada tahun depan. Diketahui, kuota BBM pada 2015

    direncanakan sebesar 48 juta kiloliter. Itu artinya, jika harga BBM dinaikkan sebesar Rp

    2.000-3.000 per liter, bakal ada penghematan sebesar Rp 96-138 triliun pada APBN 2015.

    Soal kompensasi kenaikan harga BBM, pemerintah Jokowi-JK juga tak perlu risau. Pasalnya,

    selain ada penghematan sebesar Rp10 triliun, dana cadangan risiko sosial yang sebesar Rp 5

    triliun dalam APBN-P 2014 juga dapat digunakan sebagai dana kompensasi.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    11/41

    Sekadar perbandingan, tahun lalu pemerintah mengucurkan kompensasi berupa Bantuan

    Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp 9,3 triliun kepada 15,5 juta rumah

    tangga yang terkena dampak kenaikan harga BBM. Setiap rumah tangga menerima dana

    kompensasi sebesar Rp 150 ribu per bulan, yang diberikan selama empat bulan.

    Sayangnya, BLSM ternyata kurang optimal dalam menekan peningkatan angka kemiskinan

    setelah naiknya harga BBM pada Juni 2013. Hal ini tecermin dari lonjakan jumlah penduduk

    miskin sepanjang Maret-September 2013 yang mencapai 0,48 juta orang. Tampaknya,

    besaran BLSM yang hanya Rp 600 ribu tidak cukup untuk menjaga daya beli penduduk

    hampir miskin dari gempuran inflasi. Selain itu, kebocoran (leakages) dalam penyaluran

    BLSM ditengarai juga memberi andil. Karena itu, bila harga BBM dinaikkan pada tahun ini,

    besaran kompensasi juga harus dinaikkan dan penyalurannya harus lebih tepat sasaran.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    12/41

    Kepala Daerah Pilihan Politikus

    SELASA, 09 SEPTEMBER 2014

    Zainal Arifin Mochtar, Pengajar Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta

    Perjalanan sepuluh tahun pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara langsung sudah

    meninggalkan jejak berbentuk begitu banyak persoalan. Inilah alasan-alasan yang selalu

    dikaitkan dengan upaya mengembalikan pilkada ke rezim pemilihan oleh DPRD.

    Pertama, beberapa hal yang paling sering disebutkan adalah soal gangguan keamanan yang

    mengikuti setiap proses pilkada. Sering kali, kekalahan tidak dapat diterima dengan

    mengagregasi ketidakpuasan menjadi kekerasan dan aksi massa. Data Direktorat Jenderal

    Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri perihal rekapitulasi kerugian pascakonflik

    pilkada di provinsi maupun kabupaten dan kota melansir begitu banyak korban jiwa dan harta

    benda akibat kekerasan tersebut.

    Kedua, pemilu langsung memicu korupsi di daerah. Pilkada membuat ongkos politik yang

    sama sekali tidak sedikit. Ada "uang politik" (yang bertendensi negatif) untuk membeli suara

    dan mempengaruhi pemilih secara langsung. Ada juga "ongkos politik" untuk membeli

    "perahu" partai, kampanye, maupun ketika bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Tingginyabiaya ini membuat kandidat kepala daerah harus mencari sumber dana yang besar, yang

    biasanya didapat melalui pemodal secara tidak gratis. Akhirnya, jika menang, penyandang

    dana harus dibayar dengan bayaran yang direkayasa dari anggaran daerah. Belum lagi uang

    negara yang dikeluarkan karena penyelenggaraan pilkada.

    Ketiga, merusak institusi pengawal pemilihan umum. Berapa banyak anggota Komisi

    Pemilihan Umum Daerah, Bawaslu Daerah, dan Panwaslu Daerah yang sudah terindikasi ikut

    dalam permainan uang. Bahkan yang terheboh tentu saja adalah perilaku Ketua MK Akil

    Mochtar, yang menjual kewenangannya dalam sengketa perselisihan hasil pilkada.

    Keempat, meskipun proses panjang telah dilalui hingga sengketa di MK, hal itu tetap tak

    menjamin pelaksanaan selesai. Masih ada tindakan menguji SK Pengangkatan Kepala Daerah

    ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal yang kemudian memberi kebingungan

    tersendiri perihal putusan MK yang tidak lagi dianggap final dan mengikat, tapi bahkan bisa

    diuji dan diberi pendapat hukum oleh hakim PTUN.

    Kelima, rusaknya birokrasi di daerah. Perkubuan birokrasi sangat mungkin terjadi pada

    pilkada. Apalagi jika kandidatnya punya kuasa kuat sebagai petahana yang kembali

    bertarung. Daya menakutkan mereka kepada pada birokrat di daerah akan sangat kuat dalam

    mempengaruhi netralitas pegawai daerah.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    13/41

    Tentu saja semua hal tersebut harus dicari jalan keluarnya. Tapi, apakah dengan

    mengembalikan pilkada ke DPRD adalah solusinya? Sebenarnya, tidak. Bahkan boleh jadi

    hal itu hanya mengalihkan masalah sementara. Misalnya, tentang kekerasan. Ancaman

    kekerasan dengan mudah beralih dari kantor-kantor pelaksana pemilu ke kantor DPRD atau

    kantor partai.

    Perihal gugat-menggugat hasil keterpilihan di DPRD akan jauh lebih mudah digugat di

    PTUN, karena tidak lagi menjadi obyek keputusan yang dikecualikan dalam UU Nomor 5

    Tahun 1986 tentang PTUN. Praktek PTUN selama ini, yang menerima permohonan

    pengujian SK pengangkatan kepala daerah hasil pilkada, sesungguhnya merupakan praktek

    yang keliru dari hakim PTUN, karena melanggar Pasal 2 huruf e dan g UU Nomor 5 Tahun

    1986 tersebut. Makin muluslah perihal gugat-menggugat tersebut.

    Begitu pun dengan konsep pemilu berbiaya mahal. Kontestan tetap harus mengeluarkan uang

    untuk membeli "perahu" ke partai dan membayar anggota-anggota DPRD dalam pemilihan.Hal yang persis sama terjadi pada masa lalu. Calon-calon tertentu yang sudah menabur uang

    di DPRD hanya akan dipertandingkan seadanya, seakan-akan penuh warna, akan tetapi sudah

    ditentukan pemenangnya oleh uang yang sudah dibagi sebelum proses pemilihan. Jika

    menyangkut soal menghemat uang negara, ide pemilu yang serentak sesungguhnya jauh lebih

    menarik dalam menyederhanakan pengeluaran negara.

    Harus diingat, dengan mengembalikan proses pilkada ke DPRD, banyak potensi terbunuhnya

    kehidupan demokrasi. Pertama, dengan mengembalikan ke DPRD, akan sulit ada lagi

    kandidat independen yang tidak terikat ke partai mana pun. Di tengah buruknya kualitas

    hidup kepartaian di Indonesia, kandidat independen sesungguhnya adalah teguran, sekaligus

    motivasi bagi partai untuk berbenah.

    Juga, dapat dibayangkan bila anggota Dewan pilihan rakyat tak akan ada lagi, dan diganti

    dengan pilihan politikus. Memang, DPRD adalah perwakilan rakyat, tapi secara realitas,

    fungsi representasi adalah salah satu yang paling sulit dijalankan oleh partai. Terkhusus jika

    sudah berhubungan dengan posisi jabatan publik kepala daerah. Keterputusan relasi rakyat

    dan perwakilan yang selama ini terjadi akan semakin terlanggengkan dengan pemilihan

    kepala daerah melalui DPRD.

    Dengan pemilihan DPRD begini, bisa dibayangkan kualitas demokrasi yang akan terjadi,

    meskipun hal itu belum tentu melanggar kata demokratis yang dimaksudkan dalam UUD

    1945.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    14/41

    Haji

    Selasa, 09 September 2014

    Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta

    Haji merupakan potret ketika manusia senantiasa merindukan Sang Khalik. Haji

    mengingatkan dan menyadarkan kita semua bahwa terminal terakhir hidup ini bukanlah

    rumah yang kita tempati setiap hari, bukan pula saat kita berhasil mendekati Ka'bah di

    Mekah. Terminal terakhir itu adalah "rumah Allah".

    Pemaknaan ini melukiskan kisah, betapa proses perjalanan (ziarah) bernama haji padadasarnya mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Manusia diperintahkan

    untuk senantiasa berbuat kebajikan. Karena balasan kebajikan adalah kebajikan pula.

    Sebaliknya, balasan dari perbuatan buruk adalah keburukan juga.

    Memaknai ritual haji dalam konteks kekinian yang belum mampu membawa perubahan

    mendasar bagi bangsa Indonesia, seakan menimbulkan sebuah kesan betapa pesan haji belum

    sampai pada pemahaman jemaah. Mereka seakan-akan masih terkungkung pada hasil dari

    ibadah haji, yaitu mendapatkan gelar H (haji) dan Hj (hajah) di depan namanya.

    Penghormatan dan prestise saat mendapatkan gelar itu seakan menjangkiti bangsa Indonesia.

    Masyarakat Indonesia masih "menuhankan" gelar tersebut. Masyarakat tidak akan lagi

    memanggil seseorang yang telah pergi berhaji dengan sebutan bapak/ibu. Masyarakat akan

    memanggilnya dengan sebutan baru "pak haji" atau "bu haji".

    Inilah yang kemudian disebut oleh William R. Roof sebagai aggregate(kebersamaan). Saat

    jemaah haji kembali ke tempat asal mereka, biasanya tampak perbedaan penampilan lahiriah

    pada mereka. Mereka pun sering kali berganti nama (sebagai budaya) dengan nama-nama

    Arab dan menyandangkan gelar "haji" di depan namanya.

    Menurut Turner, di sini seorang haji mendapat posisi dan keadaan baru. Posisi baru dalam

    strata sosial inilah yang sering kali melalaikan peran dan makna haji. Banyak jemaah haji

    yang terlena oleh gelar, sehingga aksi-aksi sosial setelah pelaksanaan ibadah haji sering kali

    tertinggal di Tanah Suci. Ketika mereka kembali ke Tanah Air, kebiasaan-kebiasaan buruk

    kembali menjadi laku harian.

    Penghormatan masyarakat ini tidaklah dapat disalahkan. Namun demikian, sebagai seorang

    yang memiliki posisi dan keadaan baru di masyarakat, "haji" selayaknya mampu

    menunjukkan dan mendarmabaktikan ilmu dan tenaganya untuk masyarakat. Pasalnya,

    kemabruran seorang haji adalah proses di mana ia kembali ke masyarakat dan menjadi

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    15/41

    pemimpin bagi masyarakatnya. Mereka tidak hanya bangga dengan sebutan haji yang

    disematkan oleh masyarakat, namun juga mampu mewarnai kehidupan masyarakat.

    Kehidupan penuh harmoni antara ibadah mahdah(ibadah pribadi) dengan ibadah sosial.

    Ketika pekerjaan sosial ini belum menjadi agenda jemaah haji Indonesia, niatan suci kembalike kampung halaman yang fitri akan sulit terwujud. Bahkan pelaksanaan ibadah haji yang

    seperti itu hanya semakin menambah kegetiran kaum miskin (mustadhafin). Kaum miskin

    melihat secara jelas bahwa orang-orang kaya berebut gelar haji. Mereka masih dihadapkan

    dengan persoalan berebut bahan kebutuhan pokok dan bantuan dari pemerintah.

    Pada akhirnya, pergi berhaji merupakan sarana membangun kesadaran bahwasanya

    kehidupan merupakan sawah ladang akhirat. Berbuat baik kepada sesama dan menjadikan

    diri sebagai pelita di tengah kegelapan akan menjadi bagian dari darma baik yang dapat

    dipanen saat hari akhir kelak.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    16/41

    Olahraga Andalan

    Selasa, 09 September 2014

    Iwel Sastra, komedian, @iwel_mc

    Ahli olahraga mengingatkan pentingnya melakukan pemanasan sebelum berolahraga.

    Tujuannya adalah memperlancar sirkulasi darah, mengurangi ketegangan otot,

    membangkitkan adrenalin, serta memberi manfaat positif lainnya. Saya termasuk yang malas

    melakukan pemanasan, maka sekarang saya lebih memilih olahraga catur. Saat saya masih

    bermain sepak bola, pemanasannya sangat melelahkan, lari keliling lapangan sepak bola.

    Sewaktu saya beralih ke futsal, pemanasannya masih melelahkan, lari keliling lapanganfutsal. Kalau catur, pemanasannya ringan, cukup lari keliling papan catur.

    Saya membagi olahraga menjadi tiga jenis. Pertama, olahraga yang saya suka lakukan dan

    enak ditonton, seperti sepak bola. Kedua, olahraga yang saya suka lakukan tapi tak enak

    ditonton, misalnya catur. Saya pernah menonton catur, rasanya sangat sepi. Ketika kuda

    melakukan serangan dan mengancam raja lawan, tak ada sorak-sorai dari penonton seperti

    halnya pemain sepak bola yang mengancam gawang lawan. Ketiga, olahraga yang saya tidak

    suka lakukan, tapi enak ditonton, seperti renang indah.

    Sebagian besar orang berolahraga untuk kesehatan. Belakangan ini, banyak orang mengikuti

    lomba lari maraton bukan untuk prestasi, melainkan untuk kesehatan. Saya sendiri kurang

    berminat mengikuti lomba lari maraton karena jarak larinya kejauhan. Saya lebih memilih

    lari jarak pendek 100 meter. Selain untuk kesehatan, ada orang yang berolahraga untuk

    meraih prestasi dengan berprofesi sebagai atlet. Ada teman saya memutuskan menjadi atlet

    berkuda. Gagal meraih prestasi sebagai atlet berkuda, dia banting stir menjadi pemain kuda

    lumping. Wah...

    Selain untuk kesehatan, kita berharap banyak generasi muda yang menekuni olahraga untuk

    prestasi. Pencapaian prestasi dalam olahraga tidak sekadar untuk mengangkat nama atlet, tapijuga mengangkat nama negara. Negara seperti Kamerun dan Pantai Gading dikenal dunia

    karena sepak bolanya. Tentu saja popularitas yang diraih oleh negara-negara ini bisa

    dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan negara yang lain, seperti pemasukan dari sektor

    pariwisata maupun investasi.

    Sebenarnya, Indonesia juga pernah dikenal dunia lewat olahraga pada masa keemasan bulu

    tangkis. Prestasi-prestasi pemain bulu tangkis Indonesia di tingkat dunia saat itu sangat

    membanggakan. Sejarah mencatat nama Rudi Hartono sebagai juara All England delapan

    kali. Susi Susanti meraih medali emas bulu tangkis tunggal putri Olimpiade Barcelona,

    Spanyol, pada 1992. Di tunggal putra, Alan Budikusuma meraih medali emas dengan

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    17/41

    mengalahkan pemain bulu tangkis yang juga asal Indonesia, yaitu Ardy B. Wiranata. Pada

    masa keemasan ini pula bulu tangkis beregu Indonesia disegani dalam perebutan Piala Uber

    dan Piala Thomas. Sekarang Indonesia perlu bekerja keras untuk menguberPiala Thomas.

    Untuk bisa kembali mendunia di bidang olah raga, sebaiknya Indonesia berfokus pada halyang menjadi kekuatannya. Boleh saja bermimpi sepak bola Indonesia tampil dalam Piala

    Dunia, tapi jangan lupakan olahraga yang pernah menjadi kekuatan. Indonesia harus

    memiliki satu olahraga andalan yang bisa disegani prestasinya di kancah dunia. Sudah

    saatnya kekuatan bulu tangkis Indonesia di mata dunia dikembalikan. Kepada teman yang

    buka usaha ayam bakar, saya pernah bilang, "Dengan semakin tumbuhnya bisnis kuliner

    ayam bakar, seharusnya bulu tangkis Indonesia semakin maju, karena kita tak akan pernah

    kehabisan bulu ayam untuk membuatshuttlecock."

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    18/41

    Tiga Aspek Jero Wacik

    Rabu, 10 September 2014

    Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI

    Setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, beberapa waktu

    kemudian Jero Wacik mengundurkan diri sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

    Hal serupa sudah dicontohkan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng yang

    kebetulan juga sama-sama dari Partai Demokrat.

    Selain pengunduran diri dari jabatan di kabinet, Jero Wacik seyogianya melepas BintangMahaputra Adipradana yang pernah dianugerahkan kepadanya pada 2013. Bintang

    kehormatan itu diberikan atas jasa besarnya dan dengan tambahan beberapa kriteria lain, di

    antaranya berkelakuan baik serta memiliki integritas moral dan keteladanan. Padahal, mereka

    yang ditetapkan tersangka oleh KPK tak akan dinyatakan bebas murni, dan dijatuhi hukuman

    pidana. Para tersangka korupsi tidak layak memegang bintang kehormatan tersebut.

    Berbeda dengan gelar pahlawan nasional yang tidak bisa dicabut, bintang kehormatan dapat

    dicopot. Mereka yang memperoleh bintang mahaputra mempunyai hak dimakamkan di

    Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sangat ironis bila pada TMP Kalibata terdapat kuburan

    koruptor yang bersanding dengan parafounding fathersdan tokoh berjasa lainnya.

    Pengalaman selama ini sudah pernah ada pencabutan bintang mahaputra seperti yang

    dilakukan MPRS terhadap Ketua PKI D.N. Aidit pada 1966. Jadi, seyogianya sekarang

    Presiden SBY mencabut bintang mahaputra yang dimiliki Jero Wacik (juga Suryadharma

    Ali) tanpa menunggu hal itu dilakukan presiden berikutnya.

    Jero menjadi tersangka korupsi yang dilakukan dalam rangka meningkatkan uang operasional

    menteri. Jumlahnya mencapai Rp 9,9 miliar. Jero baru menjabat Menteri ESDM. Sebelumnya

    ia pernah menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Pertanyaannya, apakah kecurangan

    ini juga sudah pernah dilakukan pada kementerian terdahulu? Tentu KPK harus mencaribukti-bukti tambahan karena selentingan negatif tersebut pernah beredar di kalangan pejabat

    kementerian tersebut.

    Jero Wacik lahir di Singaraja pada 24 April 1949. Dikenal sebagai anak istimewa di sekolah,

    ia menjadi mahasiswa teknik mesin ITB pada 1970. Setelah 23 tahun bekerja di perusahaan

    konglomerasi, seperti United Tractor dan perusahaan besar lainnya, ia membuka usaha

    sendiri pada bidang pariwisata. Pada era reformasi, ia terjun ke dunia politik melalui Partai

    Demokrat. Tidak berhasil dalam pemilihan legislatif di Bali, ia justru diangkat sebagai

    menteri oleh Presiden SBY. Pada saat hampir bersamaan, ia juga memimpin Persatuan Golf

    Indonesia yang secara berkala mengadakan turnamen golf dengan hadiah tertentu bagi

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    19/41

    pemenangnya.

    Ekonom Dr Sjahrir (almarhum) pernah melakukan studi tentang keekonomian lapangan golf:

    apakah maraknya pembangunan lapangan golf itu menguntungkan ekonomi nasional atau

    berdampak negatif terhadap lingkungan. Terlepas dari kontroversi itu, lapangan golfmerupakan tempat rawan bagi pejabat pemerintah. Kalau sesama pengusaha bermain golf

    tidak masalah; mereka bisa menuai kerja sama bisnis. Yang menjadi persoalan adalah ketika

    terjadi kongkalilong pejabat dengan pengusaha. Belum lagi, kedi yang bisa menjadi godaan,

    seperti pada kasus Ketua KPK Antasari Azhar. Jadi, berhati-hatilah para pejabat negara bila

    berada di lapangan golf.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    20/41

    Pulung Gantung

    Rabu, 10 September 2014

    Nur Haryanto, Wartawan Tempo

    Sahrul Arif Wiguna. Namanya bagus dan gagah. Semasa bocah, dia dikenal pandai karena

    selalu juara kelas. Masuk SMP gratis karena kepintarannya. Juara debat bahasa Inggris ketika

    di bangku XI di SMA. Namun remaja berusia 18 tahun itu membuat keputusan tragis.

    Menurut saya teramat tragis.

    Sabtu sore pekan lalu, dia memilih mengakhiri hidupnya dengan lilitan tali yang digantung ditiang pasak rumahnya, di Mojokerto, Jawa Timur. Semua keluarga kaget. Ibunya pun tak

    habis mengerti terhadap pilihan anaknya, yang rajin beribadah itu. Tak jelas memang

    alasannya mengakhiri hidup. Penyebabnya masih diduga-duga, dari masalah keluarga sampai

    teman sekolah.

    Sahrul meninggalkan wasiat secarik kertas bertuliskan tangan yang ditujukan kepada

    keluarga dan teman-teman sekolahnya. Dia pamit dan minta maaf, seraya ingin tabungannya

    disumbangkan ke sekolah. Kisah semacam Sahrul muncul di beberapa daerah lain dalam dua

    pekan terakhir.

    Badan dunia World Health Organization (WHO) baru saja melansir survei soal bunuh diri,

    pekan lalu. Menurut catatan WHO, bunuh diri terjadi di berbagai belahan dunia setiap 40

    detik sekali. Dalam riset, selama 10 tahun terakhir terdapat 800 ribu orang bunuh diri setiap

    tahun.

    Angka yang lebih miris lagi, dalam usia produktif 15-29 tahun, bunuh diri menjadi penyebab

    kematian terbesar kedua pada anak muda. Sedangkan usia 70 tahun ke atas adalah rata-rata

    usia yang paling banyak memiliki kecenderungan bunuh diri.

    Angka-angka ini sungguh membuat masygul. Seperti halnya fenomena bunuh diri yang

    pernah menggemparkan Korea Selatan dalam satu dekade terakhir. Satu per satu selebritas

    Negeri Ginseng itu mengakhiri hidupnya. Muda, rupawan, kaya, terkenal, hampir semua

    kehidupan di dunia seolah telah mereka miliki. Keputusan yang membuat orang bertanya-

    tanya.

    Setidaknya ada 14 selebritas Korea Selatan bunuh diri dan menjadi headlinedi berbagai

    media, termasuk di Indonesia. Salah satunya Daul Kim, model ternama yang sudah

    mendunia, sudah tampil di panggung mode New York, Milan, dan Paris. Satu hari pada

    pertengahan November 2009, dia ditemukan tergantung di apartemennya di Paris. Ada

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    21/41

    selarik pesan di blog-nya, "Semakin besar, aku semakin kesepian."

    Mudahnya orang melakukan bunuh diri menyeret ingatan saya kembali ke era 80-an ketika

    ada cerita "Pulung Gantung". Istilah ini dikenal di Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di

    Kabupaten Gunung Kidul, yang saat itu munculpageblukatau "wabah" orang bunuh diri.Berdasarkan catatan polisi--yang pernah diterbitkan majalah Tempo Februari 1984--dalam

    rentang Agustus-Desember 1983, tercatat 30 orang meninggal dalam cara yang sama:

    gantung diri.

    Kisahnya rata-rata mirip. Malam sebelum terjadi bunuh diri selalu ada orang terdekat--

    saudara atau tetangga--yang melihat cahaya terbang dan jatuh ke calon rumah duka.

    Cahayanya dikatakan berwarna hijau kemerah-merahan, dan berbentuk seperti gayung. Itulah

    Pulung Gantung.

    Ada banyak sebab yang sering dijumpai dalam kasus bunuh diri, antara lain depresi, utang,

    sakit yang menahun, atau sekadar putus hubungan dengan pacar. Yang jelas, ketika seseorang

    lalu mengucapkan selamat tinggal kepada dunia tempatnya berpijak, ada sebagian dari diri

    kita ikut masuk ke dalam kubur. Ya, cahaya yang terbang itu jatuh lagi. Pulung Gantung!

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    22/41

    Motif RUU Pemilihan Umum KepalaDaerah

    Rabu, 10 September 2014

    Agung Baskoro,Analis Politik Poltracking

    Kontestasi pemilihan umum presiden seusai putusan Mahkamah Konstitusi, yang

    memenangkan pasangan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, ternyata

    masih berlanjut. Bila sebelumnya domain persaingan berada di ranah eksekutif, kini arena

    beralih ke ranah legislatif (parlemen).

    Melalui serangkaian manuver politik, Koalisi Merah Putih berhasil untuk sementara merevisi

    MD3, kemudian mengusulkan pembentukan Pansus Pilpres, hingga yang paling aktual terkait

    dengan pembahasan RUU Pilkada. Menurut rencana, pilkada, dari tingkatan gubernur, wali

    kota, hingga bupati, akan dikembalikan melalui DPRD, sebagaimana lazim terjadi pada masa

    Orde Baru. Pengembalian wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah menjadi langkah

    mundur bagi kemajuan dan perkembangan demokrasi di Tanah Air.

    Aturan itu jelas menabrak konstitusi yang meniscayakan kedaulatan berada di tangan rakyat

    dengan mekanisme teknisnya melalui pemilihan umum secara langsung, sekaligusmenegaskan komitmen dan konsistensi publik untuk menguatkan sistem presidensial di

    tingkat nasional (DPR, DPD, presiden-wakil presiden) dan lokal (DPRD, gubernur, wali kota,

    dan bupati). Di sisi lain, rakyat kembali menjadi korban. Bila dulu menjadi korban

    kecurangan dari oknum kepala daerah melalui politik uang (money politics), kini hak politik

    publik turut teramputasi. Apalagi konteks ini menguat di tengah menurunnya tingkat

    kepercayaan publik terhadap partai dan menguatnya pengaruh figur.

    Pada saat yang bersamaan, bila argumen aturan pilkada langsung dianggap kurang efisien, hal

    ini menjadi tidak relevan, karena pilkada akan dilakukan serentak secara periodik mulai 2015,2018, dan diproyeksikan secara keseluruhan pada 2020. Justru, sebaliknya, inefisiensi hadir

    ketika para calon kepala daerah yang akan maju dalam pilkada harus memastikan tiket

    kemenangan dahulu melalui berbagai cara (baca: money politics) dan berikutnya menjadi sapi

    perahan para oknum anggota-anggota DPRD ketika sudah terpilih.

    Semangat lahirnya UU Pilkada ini untuk meminimalkan dinasti politik dan memastikan

    hadirnya merit system. Figur seperti Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta), Basuki Purnama

    Tjahaja (Wakil Gubernur DKI Jakarta), dan sederet nama lainnya membuktikan bahwa

    kemajuan sebuah wilayah, selain ditentukan soal dominasi (winner takes all), harus pula

    memenuhi aspek kompetensi dan integritas pribadi (track record), aspirasi publik, serta

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    23/41

    representasi politik.

    Terakhir, kerawanan sosial yang selama ini dikhawatirkan menjadi efek pilkada langsung

    menjadi perdebatan karena, dalam prosesnya, penyelenggaraan semakin membaik dan ini tak

    sebanding dengan efek yang bisa ditimbulkan dari terpilihnya seorang kepala daerah yang taksesuai dengan track record, aspirasi publik, dan representasi politik. Jangan sampai, demi

    ongkos politik, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat menjadi taruhannya.

    Sulit untuk tidak mengaitkan realitas politik dalam pembahasan RUU Pilkada dengan

    kontestasi pada pilpres kemarin. Apalagi beberapa partai, seperti Gerindra, Golkar, dan PAN,

    sejak awal mengusung ide pilkada langsung. Dan, yang menarik, pemerintah sebagai pihak

    yang mengusulkan telah pula mengakomodasi mayoritas dukungan fraksi-fraksi (PDIP,

    Golkar, Hanura, PAN, Gerindra, dan PKS) yang menginginkan pilkada langsung. Pada titik

    inilah, kekhawatiran sejumlah pihak bahwa RUU ini dijadikan alat untuk meningkatkan

    bargaining positionpolitik partai-partai tertentu menjadi kontekstual.

    Dalam kondisi seperti ini, akhirnya tak tertutup peluang Jalan Tengah sebagaimana berhasil

    dilakukan Golkar, saat mengajukan opsi formula Pasal 7 ayat 6a, terkait dengan diskresi pada

    pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi jika harga rata-rata minyak mentah

    mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen dalam kurun enam bulan pada

    2012. Walaupun, sebaiknya pengesahan undang-undang ini ditunda, dengan tetap

    dimasukkan dalam prioritas Prolegnas 2014-2019. Hal ini diperlukan agar seluruh skenario

    yang disampaikan oleh Koalisi Merah Putih plus Demokrat memiliki basis argumentasi yang

    kuat (baca: naskah akademik) saat menghendaki pilkada tidak langsung.

    Bila ini tetap dipaksakan untuk disahkan, menjadi rawan untuk kembali dibawa ke sidang

    MK, sebagaimana revisi UU MD3 yang prosesnya sedang bergulir. Artinya, keoposisian

    yang saat ini sedang dipraktekkan oleh Koalisi Merah Putih perlu ditempatkan di atas

    kepentingan bangsa yang lebih luas, sehingga energi publik tak habis oleh ingar-bingar

    politik tanpa batas. Sampai pada fase ini, sebenarnya kondisi tersebut merupakan pertanda

    baik bahwa demokrasi kita semakin terkonsolidasi, di mana ketika ia menjadi satu-satunya

    aturan main (the only game in town), dan ketika tak seorang pun membayangkan bertindak di

    luar sistem demokrasi, ketika kelompok yang kalah menggunakan aturan yang sama

    (demokrasi) untuk membalas kekalahannya (Prezeworski, 1991:26).

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    24/41

    Yamin dan Ilmu Sejarah

    Kamis, 11 September 2014

    Heri Priyatmoko,Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB, UGM

    Nama Muhammad Yamin menempati posisi istimewa dalam jagad pengetahuan sejarah

    Indonesia. Satu dekade setelah Indonesia merdeka, bersama kaum cerdik-pandai lainnya, ia

    menggulung lengan mewujudkan impian "pribumisasi" historiografi Indonesia. Sebelumnya,

    dunia sejarah Indonesia didominasi oleh karya asing yang sarat akan kepentingan politik

    kolonial. Nah, mereka ingin melepaskan diri dari perangkap budaya Nerlandocentris, warisan

    penjajah yang dianggap sebagai "racun" yang ditebarkan lewat jalur pendidikan Barat danbuku bacaan.

    Terkisah, pada 1957 di Yogyakarta, digelar Seminar Sejarah Nasional Indonesia yang

    pertama. Tahun tersebut dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru bahwa bangsa

    yang belum lama menikmati angin segar kemerdekaan ini harus punya sejarah versinya

    sendiri. Digodoklah filsafat sejarah nasional, periodesasi sejarah Indonesia, dan pendidikan

    sejarah.

    DalamLaporan Seminar Sedjarah, saya menemukan curahan pikiran pokok Yamin mengenai

    konsepsi filsafat sejarah nasional. Dia melontarkan istilah tafsiran sintesis, yaitu interpretasi

    masyarakat Indonesia pada masa lalu dengan memakai pisau analisis hukum, ekonomi,

    teologis, tata negara, geografis, dan rohani. Berbagai analisis tersebut dapat dioperasikan

    secara serentak atau individual guna mengurai berbagai realitas dalam masyarakat untuk

    memperoleh gambaran sejarah Indonesia yang bulat sempurna tanpa retak atau terpecah-

    belah.

    Kemudian, subyek filsafat sejarah Indonesia adalah bangsa dengan semangat nasionalisme

    Indonesia. Dalam forum agung penentu bulat-lonjongnya sejarah Indonesia itu, Yamin

    berkomentar di mimbar bahwa sejarah Indonesia yang baru seharusnya bercorak nasional,yang berdasarkan hasil penafsiran dari aneka kejadian pada masa silam. Nasionalisme

    Indonesia merupakan rasa patriotisme terhadap persatuan bangsa, persatuan Tanah Air, dan

    kebulatan-kebulatan pada saat memperkuat atau membina pembentukan bangsa (nation

    building) Indonesia. Nasionalisme Indonesia dalam konsepsi filsafat sejarah Indonesia

    menimbulkan berbagai syarat etis dan kesusilaan Indonesia untuk penulis dan juga karangan

    sejarah Indonesia itu sendiri.

    Inilah alasan mengapa Yamin berkeras menyuburkan semangat nasionalisme dari sebuah

    bangsa yang baru saja merdeka lewat tulisan tentang pahlawan dan simbol negara. Sebagai

    contoh, Yamin, dalam buku 6000 Tahun Sang Merah Putih, meyakinkan bahwa bendera

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    25/41

    nasional Indonesia, Merah Putih, sudah dikenal sejak zaman purba dan direkam dalam

    ingatan kolektif melalui ritual tradisional bubur merah dan putih.

    Meski secara teori dan metodologi sejarah karya Yamin dianggap menciptakan mitos belaka,

    spirit pada masa itu memang mendorong Yamin untuk berbuat demikian. Bagi Yamin,perjuangan politik bangsa Indonesia kala itu memerlukan legitimasi untuk membangun

    nasionalisme sebagai ideologi. Anakronisme sejarah bukanlah persoalan utama yang perlu

    diperdebatkan. Yang penting, semua "menjadi Indonesia" dan cinta Indonesia seutuhnya.

    Bagaimanapun, Muhammad Yamin semasa hidup telah ikut mengerahkan kedigdayaan untuk

    menentukan visi ilmu sejarah. Kendati dicela lantaran menyebarkan kisah historis yang sulit

    diterima akal sehat, dia telah membaktikan hidupnya dan mengamalkan ilmunya untuk

    bangsa Indonesia.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    26/41

    Mengerdilkan Daerah

    Kamis, 11 September 2014

    Taufik Ikram Jamil, Sastrawan

    Wacana pemilihan kepala daerah untuk menentukan gubernur dan bupati/wali kota melalui

    DPRD, mengerdilkan daerah, dan menjadikannya sebagai ladang perburuan. Selain itu,

    pemilihan pemimpin formal di daerah dipisahkan dari sistem pemilihan pemimpin formal

    nasional yang memperlihatkan daerah hanyalah sebagai obyek. Belum lagi hal yang berkaitan

    dengan gonjang-ganjing pengesahan RUU Pilkada, yang hanya memperlihatkan kekuasaan

    tanpa rasa malu, sehingga berdampak pemudaran rasa kebangsaan.

    Melalui pesan pendek, kawan saya Abdul Wahab menulis, "Kenyataan ini ironis karena

    pertama-tama, yang dikatakan nasional adalah gabungan antardaerah sekaligus tempat

    bermukimnya masyarakat, sehingga seharusnya apa yang terjadi di daerah merupakan

    cerminan nasional. Jika pemimpin nasional, yakni presiden, dipilih langsung, tentu hal serupa

    dilakukan untuk pemimpin di daerah. Demikian pula sebaliknya. Jika sistem pemilihan ini

    tidak sejalan, daerah terkesan bukan bagian dari nasional, sehingga pada gilirannya dapat

    mempertebal keinginan disintegrasi."

    Di sisi lain, patut diakui bahwa pilkada melalui DPRD menyebabkan pemimpin di daerah

    hanya menjadi milik partai. Padahal kehidupan politik sesungguhnya bukan hanya terletak

    pada partai. Dengan adanya pemilihan langsung, elemen lainnya akan ikut berpartisipasi. Hal

    ini tidak saja penting bagi kehidupan berdemokrasi, tapi juga lebih luas bagi kreativitas

    manusia. Menguasai partai tidak berarti menguasai hak pilih seseorang terhadap pemimpin.

    Sebab, baik pemilih maupun yang dipilih memiliki elemen lain sesuai dengan harkat manusia

    sebagai makhluk multidimensional.

    Saya mencoba mengimbangi pandangan Wahab itu dengan menulis bahwa pengalaman

    dalam pilpres yang baru lalu kembali mengajarkan kita bahwa partai bukan segala-galanyadalam menentukan seorang pemimpin. Kubu Prabowo-Hatta menguasai lebih dari 60 persen

    partai di parlemen, tapi harus mengaku kalah oleh kubu lainnya. "Bukankah kalau pilpres

    melalui DPR, dapat dipastikan Jokowi-JK kalah telak dan Prabowo-Hatta melenggang

    kangkung tampil sebagai pejabat nomor satu dan dua di republik ini. Namun nyatanya,

    kekuatan non-partai lebih besar dibanding partai kan?" demikian saya menulis.

    Pilkada melalui DPRD, tutur Wahab, hanya memperkuat satu kubu tertentu, sehingga

    dinamisasi politik di daerah dipangkas habis. Apalagi, patut dicurigai wacana tersebut

    merupakan jilid baru pertentangan antara kubu Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta. Kubu

    terakhir dengan nama koalisi Merah Putih (KMP) menginginkan pilkada melalui DPRD,sedangkan kubu Jokowi-JK sebaliknya. Dengan keyakinan menguasai DPRD, KMP yakin

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    27/41

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    28/41

    Selamat Datang Era Maritim

    Kamis, 11 September 2014

    Soleman B. Ponto, Purnawirawan TNI Angkatan Laut; Kepala Badan Intelijen Strategis (KA-

    BAIS) TNI Periode 2011-2013

    Jika diamati, dalam pemilihan presiden lalu, satu di antara ikon yang dijual dan diperebutkan

    adalah sosok Sukarno. Sejak kampanye hingga kini, ketika mempersiapkan pemerintahan

    baru, Joko Widodo mengatakan akan menjalankan pesan dan gagasan besar Bung Karno

    berupa Trisakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam

    sosial kebudayaan. Satu di antara implementasi terhadap ajaran Bung Karno adalah diangkatdan (akan) diberdayakannya laut serta kekuatan maritim oleh pemerintah mendatang.

    Bahkan, seketika setelah ditetapkan sebagai pemenang pemilihan presiden 2014, pasangan

    Jokowi-JK langsung menuju Pelabuhan Sunda Kelapa dan menyampaikan pidato

    kemenangan mereka di atas kapal pinisi Hati Buana Setia.

    Berkaca pada apa yang dilakukan Bung Karno 50 tahun silam terhadap Kabinet Dwikora

    pada 1964, ia membentuk Kompartemen Maritim yang dipimpin Menteri Koordinator yang

    membawahkan Menteri Perhubungan Laut, Menteri Perikanan dan Pengelolaan Laut, serta

    Menteri Perindustrian Maritim. Saat itu (1964-1966), Menteri Koordinator Maritim dijabat

    oleh Mayor Jenderal KKO Ali Sadikin. Sebelumnya, Ali Sadikin menjadi Menteri

    Perhubungan Laut Kabinet Kerja IV (1963-1964). Pembentukan Kompartemen Maritim

    tersebut bertujuan membangun bangsa Indonesia dengan kekuatan maritim yang besar dan

    kuat.

    Fakta tersebut menunjukkan perhatian besar Bung Karno kepada bidang ini. Bahkan, pada

    suatu kesempatan, beliau berpidato di hadapan National Maritime Convention (NMC) pada

    1963 dan mengatakan bahwa Indonesia bisa menjadi negara kuat jika kita dapat menguasai

    lautan. Satu hal penting yang disampaikan oleh Bung Karno dalam pesan tersebut adalah

    pengusaaan terhadap armada.

    Pada masa kampanye Jokowi-JK, kekuatan maritim sering didengungkan. Misi ketiga

    pemerintah Jokowi-JK adalah mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat

    jati diri Indonesia sebagai negara maritim. Adapun misi keenam adalah mewujudkan

    Indonesia sebagai negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan

    nasional. Dalam kesempatan lainnya, Joko Widodo mengaku akan membangun tol laut untuk

    memperlancar lalu lintas, kapal-kapal pengangkut barang, dan pengangkutan penumpang.

    MenurutKamus Besar Bahasa Indonesia, kata maritimmemiliki arti berkenaan dengan laut;berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Dengan kata lain, maritim

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    29/41

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    30/41

    Anda Masih Mendengarkan Radio?

    Jum'at, 12 September 2014

    Antyo Rentjoko, bekas blogger

    Saya kagum sama Anda, suka ngeliatAnda di TV," kata pria itu via telepon kepada seorang

    aktris sinetron yang sedang berbincang pagi di studio radio classic rockM97FM, Jakarta,

    sekitar sepuluh tahun silam.

    "Ah, masa sih, Pak? Sinetron saya kan mainnya pagi, yang nontonibu-ibu sama pembantu.

    Kalopagi bapak-bapak kan di kantor," si aktris menyahut.

    Saya tak tahu berapa banyak pendengar yang tersenyum. Sejauh saya tebak, stasiun itu tak

    memantau pendengar secara real time-kalaupun ada alatnya, pasti merepotkan, berbeda dari

    streamingyangserver-nya rajin mencatat.

    Saya juga tak tahu di mana saja para pendengar pagi itu menyimak radio. Saya

    berpengandaian bahwa mayoritas seperti saya mendengarkannya dalam mobil.

    Dalam kehidupan domestik sekarang rasanya semakin jarang radio ngocehdan berdendang

    mengisi pagi. Fungsi auditifnya sebagai benda sudah lama dioper oleh televisi. Bukankah

    televisi juga sering kita perlakukan sebagai radio, didengarkan sambil lalu saja?

    Untuk itu, koreksi si aktris tadi sebenarnya menanyakan hal lain: mengapa pagi itu bisa ada

    yang mendengarkan radio dan menelepon ke studio? Tanpa interaksi, pengelola radio dan

    pengiklan hanya bertumpu pada asumsi yang dimuat dalam rate card: jam sekian

    pendengarnya segini, jenis kelaminnya kebanyakan pria, dan mendengarkannya dalam mobil.

    Saya tak tahu Anda kini seberapa akrab dengan radio. Saya? Karena kini jarang menyetir,

    saya jarang mendengarkan radio. Sementara itu, dalam angkot belum tentu sopir menyetelradio, bahkan USB flash disktelah menjadi gudang lagu. Para penumpang pun tak butuh lagu

    dari sopir karena mereka menjadikan musik lebih individual: ponsel adalah pustaka lagu

    berkatalog.

    Hanya kadang saja Internet pada desktopsaya pakai untuk mendengarkan (bukan menyimak)

    streamingsecara acak, dari RadioRGS di Sumenep sampaiAuralmoonuntuk progrock.

    Maka saya ingin tahu apakah sampel Badan Pusat Statistik itu mewakili Anda. Ada Indikator

    Sosial-Budaya 2003, 2006, 2009, dan 2012 dalam situs BPS. Salah satunya adalah

    "Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Mendengar Radio". Angka selama

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    31/41

    20032012, dengan interval tiga tahun, makin menurun: 50,29 persen, 40,26 persen, 23,50

    persen, dan 18,57 persen. Apakah pada 2015 nanti turun lagi?

    Sejauh ini, radio tidak mati. Freddie Mercury pernah melolongkannya bersama Queen dalam

    Radio Gaga, "Radio, someone still loves you."

    Tentang bagaimana radio bertahan, biarlah para pelaku bisnis dan ahlinya yang berbicara.

    Lebih baik kembali ke paragraf awal tentang radio classic rock M97FM yang tampaknya

    menyasar pria 3055 (usia pensiun) itu. Mulanya radio itu bernamaMonalisa. Akhir 1990-an,

    Masima (Prambors) mengelolanya menjadiM97FM (Male 97 FM).

    Radio itu tak laku di pasar iklan, padahal saudara-saudaranya, misalnyaDelta(dulu radio

    dakwah) danFemale, bisa hidup. Lalu radio itu mati dengan berpamitan. Di sela hari-hari

    akhir penyiarnya keceplosan meledek adlibstentang pakan anjing.

    Agustus 2005,M97FMmati. Kabar yang menyambutnya: ada sebuah hard diskyang berisi

    12.800 lagu claro(classic rock) sedang menganggur. Radio yang pernah memutar lagu

    keriting dari band tak tenar National Health (albumMissing Pieces) itu kemudian menjadi

    Radio Dangdut TPI, lantas menjadi jejaring bernamaRadio Dangdut Indonesia.

    Terbukti radio belum mati dan bisa bertahan.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    32/41

    Gugatan Setelah 40 Tahun

    Jum'at, 12 September 2014

    Putu Setia, Pendeta Hindu, @mpujayaprema

    Usia undang-undang perkawinan sudah 40 tahun, belum pernah diganti. Padahal, beberapa

    kali diprotes. Di masa Orde Baru pernah ada protes soal sulitnya seorang lelaki untuk kawin

    lagi, harus meminta izin istri dan seterusnya. Kini protes itu menghilang. Mungkin para

    suami sudah sadar punya satu istri saja tak ada habisnya. Mohon jangan berpikir negatif,

    misalnya, sang suami sudah berselingkuh. Kita bangsa yang menjunjung tinggi agama.

    Karena itu, sekarang masalah agama yang dijadikan dasar untuk menggugat undang-undang

    ini. Sekelompok mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan

    uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

    1974 ini. Pasal itu berbunyi: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

    masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

    Pasal ini menjegal perkawinan beda agama. Padahal, undang-undang tak melarang

    perkawinan beda agama. Pasal 8, yang mengatur pelarangan perkawinan berisi 6 ayat, tak

    menyebut soal agama. Ayat-ayat itu merinci hubungan kekeluargaan yang tak boleh menikah.

    Di mana terjegal? Tak lain adalah (hukum) agama itu sendiri. Semua agama melarang

    perkawinan beda agama, dengan sedikit pengecualian. Jadi, kalau agama telah melarangnya,

    berarti perkawinan itu tak sah. Perkawinan yang tak sah tak bisa didaftarkan sesuai dengan

    undang-undang ini. Akibat runtutannya panjang, karena perkawinan tak sah, lalu tak

    terdaftar, status anak pun tak jelas, seperti tak bisa mendapat akta kelahiran dan seterusnya.

    Para pemohon uji materi meminta undang-undang ini mengesampingkan urusan agama.

    Perkawinan adalah hak asasi yang tak bisa disekat oleh masalah agama dan pemerintah wajib

    mendaftarkannya. Dalam bahasa liberal, Ulil Abshar Abdalla mengatakan dalam acara debatsebuah televisi, maaf kalau tak persis: "Negara wajib mendaftarkan perkawinan yang

    dilakukan warganya. Pisahkan itu dari ajaran agama, urusan halal-haram biarlah urusan

    mereka."

    Saya pengagum pikiran Mas Ulil dan banyak sepakat. Tapi kali ini, dengan segala hormat,

    saya tak sepakat. Perkawinan itu sakral, dalam agama mana pun. Kalau pengantin itu

    menyebut telah menikah padahal tanpa kesakralan, karena ritual tak bisa dicampur untuk

    agama yang berbeda, apakah itu tetap bernama perkawinan? Meskipun itu didasari cinta

    setinggi rembulan dan saksisejibunorang, bukankah secara agama tetap berstatus perzinaan?

    Jadi, undang-undang ini sudah benar. Karena perkawinan itu ada dalam hukum agama,

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    33/41

    selesaikan dulu urusan di sana, baru didaftarkan.

    Jika negara menerima pendaftaran perkawinan tanpa ritual itu, sama artinya mengajarkan hal-

    hal yang buruk kepada masyarakat, hal yang bertentangan dengan agama. Ini bukan saja tak

    sesuai dengan Pasal 1 UU Perkawinan (membentuk keluarga yang bahagia dan kekalberdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa) juga tak sesuai dengan konstitusi.

    Bagaimana negara bisa menuntun warganya untuk hal-hal positif kalau melindungi

    kesakralan agama saja abai? Misalnya: "Narkoba barang haram, jangan coba-coba". Orang

    bisa berkomentar: biar saja dia makan, halal-haram itu urusan dia kok."Merokok

    Membunuhmu". Walah, tahu sendiri risikonya, mau mati kek, mau sehat kek.

    Lagi pula, kalau pasal yang diuji coba itu dikabulkan hilang oleh MK, yang diuntungkan

    tidak begitu banyak. Yang melakukan perkawinan beda agama umumnya orang-orang kota

    atau orang desa yang setelah kawin beda agama tinggal di kota. Ini bisa menjelaskan bahwa

    perkawinan beda agama sulit diterima di komunitas adat di berbagai wilayah Nusantara.

    Apalagi di Bali, yang adat dan budaya Hindu begitu kuat. Rohaniwan Hindu hanya bisa

    menikahkan pasangan yang satu agama. Kalau salah satu belum Hindu, harus dibuatkan ritual

    memeluk Hindu.

    Orang Bali yang "diduga kawin" beda agama biasanya mengucilkan diri secara sukarela

    karena tak akan diterima di komunitas adat. Ada contoh yang kini sangat populer dan karena

    sudah diumbar media massa tak apa disebut. Yakni Jero Wacik. Di kampung kelahirannya,

    beliau dianggap masih lajang secara adat, karena itu dia masih jadi "pemangku" khusus untukpura keluarganya. Tapi istri dan anaknya tak pernah ke sana. Pura dan rumah keluarga pun

    sangat sederhana. Keringat Jero tak mampir di sana, apalagi hasil "memerasnya", kalau

    terbukti.

    Lalu kenapa ada gugatan kalau sudah banyak yang kawin beda agama? Sejatinya, UU

    Perkawinan memberi jalan lewat Pasal 56, yakni: kawin di luar negeri. Ayat 1 menyebutkan

    perkawinan sah jika mengikuti aturan di negeri tersebut. Dalam ayat 2, setelah suami-istri itu

    kembali, surat bukti perkawinan bisa didaftarkan.

    Ada juga "perkawinan abal-abal", yakni dengan pura-pura pindah agama. Misal, pasangan

    Hindu dan Islam. Menjelang upacara di Bali, yang Islam masuk Hindu di hadapan pendeta

    (ritual Sudhiwadani), setelah itu di luar Bali kawin di depan penghulu, yang Hindu masuk

    Islam. Saya tak menganjurkan cara ini, risikonya besar. Lebih baik menabung untuk kawin di

    Singapura atau Timor Leste. Keluar biaya tapi tenang.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    34/41

    Menteri, Korupsi, Literasi

    Jum'at, 12 September 2014

    Bandung Mawardi, Esais

    Hari-hari menjelang akhir masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu II, Susilo Bambang

    Yudhoyono mesti bersedih dan menanggung malu akibat ulah para menteri yang terlibat

    korupsi. Para menteri pasti belum membaca nasihat SBY dalam puisi berjudul Membasuh

    Hati(1 Agustus 2010), dimuat di bukuMembasuh Hati di Taman Kehidupan(2014):

    "Menjaga hati yang bersih adalah akidah/mengapa kita menjauh/dan tak pandai mencari

    berkah.

    Kita tentu maklum bahwa para menteri adalah kaum sibuk, tak sempat membacaatau merenungi puisi, meski merupakan gubahan sang atasan: SBY.

    Di Indonesia, korupsi adalah urusan hukum dan politik. Kita jarang mengurusi korupsi

    dengan puisi. Kita masih ingat publikasi iklan melawan korupsi buatan Partai Demokrat. Para

    menteri dan legislator asal Partai Demokrat malah menjadi "teladan" untuk berkorupsi.

    Mereka cuma bermodal iklan, berisi slogan, dan disajikan secara manipulaif.

    Dulu, mereka tak memilih gerakan melawan korupsi dengan berpuisi. Barangkali puisi lebih

    bertuah ketimbang iklan-dalam membuka kesadaran dan keinsafan menjadi insan mulia. Para

    menteri tentu tak mengoleksi bukuPuisi Menolak Korupsi(Forum Sastra Surakarta, 2013),

    yang berisi ratusan sajak gubahan ratusan pujangga di Indonesia. Buku berketebalan 450

    halaman itu bisa menjadi bacaan reflektif dan kritis. Beni Setia mengajukan sajak berjudul

    Genetika Korupsi 3, berisi sinisme: "Kata-kata birokrat kata-kata politisi satu maknanya:

    sudahkah korupsi?"Kita mengandaikan para menteri, legislator, dan elite partai politik melek

    puisi ketimbang berlagak menjadi bintang iklan untuk menolak atau melawan korupsi.

    SBY mungkin tak memberlakukan kriteria literasi saat membentuk Kabinet Indonesia

    Bersatu II. Kita menduga para menteri bakal bebal dan bandel jika tak memiliki kebiasaan

    membaca buku mengenai korupsi. Di Indonesia, selama puluhan tahun telah terbit ratusanteks sastra bertema korupsi. Kita tak bisa memastikan buku-buku sastra bertema korupsi

    adalah bacaan para menteri dan legislator. Ah, mereka tentu meremehkan faedah puisi, novel,

    cerpen, serta drama dalam ambisi keprofesian dan peningkatan kehormatan. Mereka belum

    meneladani SBY. Kita berharap SBY terus menulis sajak bertema korupsi agar menjadi

    bahan bacaan untuk para menteri dan legislator periode 20142019.

    Kita tak harus bergantung pada sastra untuk menjaga atau mengembalikan kewarasan para

    menteri dan legislator. Syafii Maarif (2014) malah mengajukan usul berbeda tapi berpijak

    pada literasi. Maarif menganjurkan agar para calon menteri membaca dua teks terkenal dari

    Mohammad Hatta dan Sukarno:Indonesia Merdeka(1928) danIndonesia Menggugat

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    35/41

    (1930).

    Pemikiran para penggerak bangsa dianggap memberi referensi bagi para menteri agar

    mengerti sejarah Indonesia, mentalitas perjuangan, dan kesanggupan memuliakan Indonesia.

    Literasi diharapkan menjadi kriteria dalam memilih dan menetapkan menteri. Maarif inginkesadaran atas sejarah dan biografi para penggerak bangsa menjadi referensi perlawanan

    korupsi. Kita juga ingin memastikan para menteri dalam kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla

    memang kaum pembenci korupsi dan melek literasi agar Indonesia mulia. Amin.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    36/41

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    37/41

    ramai menjadi inovator mumpuni nanti. Janganlah bertaruh Indonesia akan bisa berdiri

    sejajar, paten demi paten, dengan satu pun dari ASEAN-4 atau Cina atau Korea pada 2045.

    Jelaslah sistem inovasi berayun dalam jangka panjang bak maraton. Mengapa kemampuan

    ilmu/matematika remaja kita lemah? Teori tadi akan mengantar kita ke modal insani lain,yaitu kesehatan, khususnya kesehatan anak. Kalau kita kaji prestasi Indonesia dalam bidang

    kesehatan anak sejak 1990-an, kelihatan gambaran fraktal: corak karut-marut kecil mengikuti

    pola kasat-kusut besar. Dari setengah juta anak dalam Survei Sosial-Ekonomi Nasional 1992

    2013, kami temukan: tak sekali pun Indonesia mencapai sasaran imunisasi global. Sekarang,

    semua ASEAN-4 sudah melebihi sasaran, namun Indonesia mentok.

    Apa kaitannya imunisasi dengan nilai matematika dan inovasi puluhan tahun lagi? Kesehatan

    dini, khususnya imunisasi dan tercukupkannya gizi, berkaitan dengan kemampuan di masa

    selanjutnya. Di masa ini, dua kemampuan sangat penting: kemampuan abstraksi dan daya

    tahan belaka ketika melakukan kerja mental yang ketat (macam menelusuri kaitan dari

    imunisasi, lewat pendidikan ke inovasi, misalnya). Kedua, kegagalan ini adalah tanda

    kegagalan kita bersama sebagai bangsa karena masa depan Indonesia ada di tangan anak-anak

    kita.

    Para dokter biasanya akan bilang: lebih gampang mengobati pasien kalau diagnosisnya jelas

    dan pasiennya tidak ngotot. Perbaikan kinerja inovasi Indonesia menuntut diagnosis yang

    jelas. Misalnya, data seperempat abad inovasi, belasan tahun prestasi sekolah, dan beberapa

    dasawarsa imunisasi. Data ini bersama persamaan diferensial yang menguraikan teori

    Schumpeter diunggah di situsgoogle.com/site/tehtareknow/inovasi-asia.

    Tulisan ini dibuat atas beberapa pertimbangan. Pertama, angket inovasi di Indonesia,

    hambatan dan pencapaiannya, praktis nihil. Karena didorong oleh nalar di atas, kami merintis

    kajian ini, namun dukungan pemerintah mengumpulkan diagnostik inovasi mutlak. Kedua,

    Indonesia mesti menggagas badan internasional, Asia Science Fund, yang memberi dana

    bersaing bagi peneliti/pencipta di Asia. Tantangan inovasi tidak pandang bulu dan tidak

    peduli batas, seperti pandemik kawasan dan bahaya lingkungan. Selain itu, badan semacam

    ini akan memberi sinyal tepat waktu kepada pembuat kebijakan tentang kinerja kita

    dibanding jiran.

    Terakhir dan sekaligus di awal, program imunisasi di Indonesia perlu rancangan ulang untuk

    membantu kabupaten yang mengalami kesulitan dan menghargai kabupaten yang berhasil.

    Hanya dengan menyiapkan anak yang sehat, remaja yang cakap, dan pekerja yang berinovasi,

    bangsa kita bisa sejahtera pada masa seabad Indonesia merdeka.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    38/41

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    39/41

    ikut andil terhadap adanya kekerasan anak. Konten-konten kekerasan yang hadir lewat

    perangkat digital, entah komputer, tablet, ataupun telepon seluler, bisa mendorong terjadinya

    berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

    Tapi bukan berarti kita harus selalu memasang sikap curiga kepada orang lain. Juga tidakperlu memproteksi terlalu berlebihan anak-anak kita. Yang terpenting adalah sikap waspada

    dan menguatkan kembali kerekatan dan relasi sosial di lingkungan kita. Dengan kebersamaan

    itu, kita selalu punya rasa tanggung jawab untuk saling menjaga. Kita boleh saja memberi

    perangkat digital kepada anak atau membiarkan mereka bermain dan berekspresi, tapi yang

    terpenting kita bisa mengontrolnya.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    40/41

    SBY dan Buku

    Sabtu, 13 September 2014

    Muhidin M. Dahlan, kerani @warungarsip

    Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, buku itu penting. Termasuk rumah buku, yakni

    perpustakaan. Untuk itu, Ibu Negara via Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (Sikib)

    ditugaskan membuat Rumah Pintar di pelbagai penjuru Nusantara. Jumlahnya sudah lebih

    dari setengah juta unit. Terkadang, dari segi bangunan, Rumah Pintar jauh lebih kinclong

    ketimbang gedung perpustakaan daerah yang tampak kusam dan kelelahan berhadapan

    dengan zaman.

    Bagi Presiden SBY, buku itu mahkota seorang pemimpin. Karena itu, ketika pulang dari

    muhibah ke luar negeri mewakili negara dan bangsa, ia kerap singgah di toko untuk membeli

    beberapa buku penting tentang politik, manajamen kepemimpinan, dan biografi.

    Bagi Presiden SBY, buku itu memperkaya gagasan dan menambah perbendaharaan istilah

    dan lema. Karena itu, dalam berpidato, SBY betul-betul mengecek draf pidato yang dibuat

    staf khusus untuk melihat gagasan, alur, dan bahkan diksi. Untuk itu, jangan heran, dalam

    pidato SBY, terlalu banyak paragraf atau kalimat yang layak kutip, atau meminjam istilah

    generasi terbaru media sosial, "layak twit".

    Bagi Presiden SBY, buku itu sahabat inspirasi. Dengan buku, SBY menjadi pencipta dan

    penulis lirik-lirik lagu. Menulis bait-bait lagu, bagi SBY, seperti kerja seorang penyair. Ia

    membutuhkan waktu tapa dan hening. Karena itu, jangan kaget kalau beberapa kali

    menemukan foto Presiden SBY duduk sendiri berhadapan dengan kertas kosong dengan latar

    alam kehijauan dan sunyi. Di dalam situasi yang hening itu, ia menulis syair lagu sebagai

    resultan puncak dari refleksi kesehariannya sebagai pemimpin negeri. Mungkin juga ia

    sedang menulis dan mengedit pidatonya.

    Bagi Presiden SBY, buku itu warisan pemikiran. Karena itu, dalam beberapa kali kesempatan

    pada tahun-tahun pamungkas kekuasaannya selama 10 tahun ini, ia dengan lirih berkata

    bahwa ia membuat suatu lembaga dengan perpustakaan kaya koleksi/terpilih yang menjadi

    tempat para pemimpin muda masa depan Republik untuk mengasah gagasan. Ia juga

    merancang Museum Presiden jauh-jauh hari, di mana koleksi kepustakaan dan bibliografi

    tentang kepresidenan dan politik di dalamnya bisa ditemui. Perpustakaan dari Museum

    Presiden itu kelak menjadi sandaran warisan untuk tahu bagaimana lini masa pemikiran

    presiden-presiden Republik dalam waktu kebangsaan dan ruang kenegaraan kita.

    Bagi Presiden SBY, buku itu mengabadikan. Maka ia menulis apa saja tentang dirinya.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.9.2014-13.9.2014

    41/41

    Menjelang masa menjabat Presiden RI lewat pemilihan langsung oleh rakyat pada 2004, buku

    biografinya, SBY Sang Demokrat, terbit. Separuh dari biografi tebal itu adalah foto-fotonya

    yang sekaligus menjadi epik, karena inilah buku biografi presiden dengan kuantitas foto

    terbanyak, yang mengalahkan dengan telak biografi Sukarno.

    Dan pada akhir masa kekuasaannya, biografi harian SBY terbit dengan judul Selalu Ada

    Pilihan. Ia merefleksikan isu-isu terpilih selama 10 tahun, termasuk gosip panas tentang

    dirinya. Dan seperti seorang resi, tentu saja buku itu berisi banyak nasihat bijak untuk

    presiden berikutnya.

    Akhirul kalam, bagi Presiden SBY, buku itu adalah cerminan sikap politik. Dalam buku,

    dialog yang intim adalah keharusan. Tak ada opsi pamer senjata dalam kamus kebijakan

    SBY. Karena itulah pemerintah SBY selamat meniti demokrasi yang konstitusional dalam

    kurun 10 tahun-sebuah transisi kepemimpinan politik paling sukses dalam sejarah RI.