baso islam paskacolonial 1

Upload: jennifer-williams-nourse

Post on 15-Oct-2015

37 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Introduction to Islam Paskacolonial : Persilingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalism.

TRANSCRIPT

PENERBIT MIZAN: KHAZANAH ILMU-ILMU ISLAM adalah salah satu lini produk (product line) Penerbit Mizan yang menyajikan informasi mutakhir dan puncak-puncak pemikiran dari pelbagai aliran pemikiran Islam.

Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme3l2noAhmad BasoPengantar Azyumardi AzramizanKHAZANAH ILMU-ILMU ISLAMISLAM PASCAKOLONIAL: PERSELINGKUHAN AGAMA, KOLONIALISME, DAN LIBERALISME Ahmad Baso 2005 Penyunting: Sibawaihi dan Ahmad Baiquni Hak cipta dilindungi undang-undang Ali rights reserved Cetalcan I, Rabi Al-Awwal 1426 H/Mei 2005 Diterbitkan oleh Penerbit Mizan PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI Jin. Yodkali No. 16, Bandung 40124 Telp. (022) 7200931 - Faks. (022) 7207038 e-mail: [email protected] http://www.mizan.com Desain sampul: Andreas Kusumahadi ISBN 979-433-388-3Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU)Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp. (022) 7815500 - Faks. (022) 7802288 e-mail: [email protected] ini saya hadiahkan untuk ulang tahun ke-7 anak saya tercinta, Anna (25 Januari 2005), dan ulang tahun ke-3 Annis tersayang (21 Maret 2005).Buku ini saya persembahkan kepada generasi muda komunitas adat di Sulawesi Selatan yang melawan dominasi modernitas dengan menutup pintu sekolah bagi masa depan mereka setinggi langit.Buku ini saya tulis untuk mengenang Edward W. Said yang wafat pada 25 September 2003.Allah yarhain.

Tentang PenulisSAhmad Baso lahir di Makassar, 14 November 1971. Pernah nyantri di Pesantren An-Nahdlah Makassar di bawah asuhan K.H. Sanusi Baco Lc. dan K.H.M. Haritsah J Jl- ';A.S., lalu melanjutkan ke LIPIA Jakarta dan STFDriyarkara Jakarta, tetapi tidak selesai. Pernah aktif j di sejumlah lembaga: sebagai wartawan dalam Majalah Ummat (alm.), peneliti lepas di LP3ES, ikut mendirikan Madrasah Emansipatoris (ME)-Institute for Cultural (Policy) Studies, dan pada aliansi Jamaah Persaudaraan Sejati (JPS) sebagai koordinator. Juga, aktif membantu di ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) dan di PSQ. (Pusat Studi al-Q.uran) Jakarta, Belakangan, bersama dengan sejumlah aktivis muda NU, mendirikan Institute for NU Studies berbasis di Kantor PB NU lantai 5 dengan fokus perhatian pada kajian- kajian dan penelitian tentang NU lokal dan wacana NU sebagai narasi tandingan atas rezim pengetahuan Islamic studies dan historiografi resmi nasionalisme Indonesia. Kontributor pada jurnal-jurnal subaltern: Tashwirul Afkar (Lakpesdam-NU), Gerbang (eLSAD), dan jurnal Postra (ISIS). Di antara karya-karyanya, Civil Society versus Masyarakat Madani (1999), Post-Tradisionalisme Islam (ed. dan terj. 2000), dan Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam (2002).[]

Isi BukuTentang Penulis 7 Ucapan Terima Kasih 13 Pengantar Azyumardi Azra 171 Pendahuluan: Menulis(-Ulang) Islam Pasca-11 September 23 Colonial Encounter ... dari Ciputat hingga Leiden 23 Mimpi Fasis, Master-Leader, dan Islam Pasca-11September 30Sejarah yang (Di)Diam(kan); Tujuan dan Ruang Lingkup Studi Buku ini 342 Kebudayaan, Agama, dan Kolonialisme:tentang Studi Poskolonial 46Berawal dari Gugatan atas Sejarah (Di)Resmi(kan) 46 Menimba dan Menyimpang ... dari Cultural Studies 56Genealogi Studi Poskolonial: Lacan, Fanon, dan Edward W. Said 59 Mimikri, Ambivalensi Penemuan: Subversi Homi Bhabha 673 Turbulensi Islam Versus Barat: Orientalisme, MenemukanIslam sebagai (Pen)Disiplin(an) 74 Islam, Objek Kajian: Orientalis sebagai Etnolog 75 Islam, Objek Pengawasan: Problematika Siyasah Al-Afghani dan Tarbiyah Abduh 894 Penemuan Kuasa Jawa dan Islam: (Masa Lalu) Kolonialismesebagai (Masa Depan) Liberalisme 105Momen Pascakolonial, Liberalisme dari Politik ke Teori: Kolonialisme Mencari Akar 106 Momen Kolonial, Liberalisme dari Teori ke Politik: Etnografi- Kolonial sebagai Bahasa Komando dan Kontrol 122Kolonialisme sebagai Syaukah":Menjinakkan Fiqih Siyasah 136 Govemmentality sebagai Kebudayaan Kolonial: Karso, Dharma, hingga Titah Dewate 151 Penemuan Desa, Wahyu Pemberi Makan: Dislokasi Hukum Liberal Menuju Dualisme Kebudayaan Kolonial 172;5 Penemuan Polisi Kolonial: Pengawasan dalam Agama,Agama sebagai Pengawas(an) 183 Tarekat dan Azimat (Dibuat) Sebagai Ketakutan: Konstruk Kultural tentang Mata dan Telinga Negara 183Sayid Usman, Ide Pemurnian, dan Ambivalensi Universalisme Islam 219Ordonansi Guru 1905 dan 1925: Merayakan Pengawasan dan Kontrol ... Setiap Hari! 229Warisan Etnolog-Polisional Snouck Hurgronje: Penemuan PAKEM dan UU No. l/PNPS/1965 hingga (draf) RUU Kerukunan Umat Beragama 2386 Penemuan Hukum Islam dan In(Ter)Vensi terhadap Perempuan 257Kolonialisme, Hasrat Seksual dan ... Kecemasan: Kebudayaan sebagai Segregasi, Hukum sebagai Stelsel 257Penemuan Poligami dan Perceraian: Penemuan (Hukum) Adat sebagai Pengawasan Perkawinan 273 Problematika Relasi Agama, Negara, dan Bangsa: Teori Etnologi- Terbalik tentang Berlakunya Hukum Islam 295Kasus UU Perkawinan 1974: Kenyataan Pascakolonial,Mimpi Kolonial 3257 Penutup: Dari "Dipandang ke Memandang: (O)Posisi Subalterndan NU Pascakolonial 333Islam Liberal sebagai Gagal-Tafsir-Elitis: Etnografi Muktamar NU 334Tatapan Menohok, Tolol!: Benturan Dua Etnografi,Dua Psikologi 343Etnisitas dan (Post)Tradisionalisme, Strategi (O)Posisi Subaltern 350

# Islam Pascakolonial

Isi Buku %#Catatan-Catatan 359 Kepustakaan 391 Indeks 413

Ucapan Terima KasihMenulis buku ini terasa sekali sebagai sebuah struggling. Hidup di pinggiran Jakarta, unemployed, serta menghadapi kerasnya tuntutan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Maka, pertama sekali saya ingin mengucapkan terima kasih kepada orang terdekat saya, istri tercinta, Siti Nurlailah, yang berkat perhatiannya, bahkan demikian berlebihannya perhatian itu, buku ini bisa rampung dan terbit ke hadirat pembaca.Selanjutnya, ada sejumlah kawan yang membantu penyelesaian buku ini. Tentu saya tidak akan menyebut satu per satu. Tetapi, ada beberapa nama yang kontribusinya sangat terasa dan sangat berharga. Pertama-tama, terima kasih banyak saya tujukan kepada Dua Farid (.Faridain), Farid F. Saenong dan Farid Wajdi, masing-masing dengan keramahan dan kedermawanannya yang tak ternilai harganya bagi saya. Yang pertama banyak membantu selama saya berada di Mesir dan negeri Belanda, serta memfasilitasi sejumlah buku dan bacaan bermututentu bukan bacaan resmi di kampus terhormat sana yang dampaknya terasa sekali selama proses penulisan buku ini. Sedangkan yang kedua membantu saya selama keberadaan saya diLeiden dan Amsterdam, membantu sejumlah buku dan bacaan berkualitas serta memperkenalkan sejumlah kawan negeri sendiri yang termarjinalkan karena perbedaan paham dan keyakinan dengan pihak penguasa di Indonesia. Saya belajar banyak hal dari mereka tentang kondisi pengetahuan dan wacana imperial tentang Islam dan Indonesia.Pernyataan terima kasih saya tujukan pula kepada teman-teman di Majalah Syir'ali, sebuah majalah perjuangan yang membantu banyak hal, terutama dalam masa-masa krisis. Juga kepada Martin Sinaga, dosen STT Jakarta, yang membantu suplai bahan-bahan tentang poskolonialisme. Terima kasih juga saya tujukan kepada Eva F. Nisa, alumni Universitas Leiden dan istri Farid Saenong, yang menyediakan buku-buku C. Snouck Hurgronje, termasuk boksnya sendiri.Secara khusus saya mengucapkan terima kasih pula kepada Ibu Dr. Musdah Mulia dan Bapak Prof. Thib Raya, yang ikhlas membantu menyediakan nafkah pekerjaan selama proses penyusunan buku ini.Terima kasih juga saya haturkan kepada kawan-kawan yang mendukung dan mendampingi penulis dengan setia selama masa Program Madrasah Emansipatoris (ME-Institute for Cultural [Policy] Studies) periode 2002-2004: Anies, Dewi Kanti, Huda, Evri, Atik, Reza, dan Mahdi. Juga kepada kawan-kawan dalam komunitas Pakuan (Paguyuban Anti-Diskriminasi Agama dan Adat untuk Komunitas Pesantren dan Komunitas Adat) di Jawa Barat dan forum Maiki Map- pisandre di Sulawesi Selatan. Sukses apa pun yang diperoleh buku ini tidak terlepas dari hasil jerih payah mereka, dan sesederhana apa pun, dalam membantu saya meracik imajinasi dan ga:gasan-gagasan brilian, serta motivasi untuk melawan segenap rezim diskriminasi agama dan kepercayaan.Tak lupa pula saya persembahkan salam hangat dan juga terima kasih sebesar-besarnya kepada kawan-kawan yang tergabung dalam aliansi Jamaah Persaudaraan Sejati (JPS), terutama Mbak Jacqueline, kini ber- candradimuka di Inggris, yang dukungannya membuat saya bisa bertahan dalam rimba belantara Kota Jakarta.Terakhir, terima kasih saya sampaikan kepada Mas Haidar Bagir dan teman-teman Penerbit Mizan yang bersedia menerbitkan karya sederhana ini. Tanpa uluran tangan mereka, buku ini tidak akan hadir di tangan pembaca.Selanjutnya, terserah Anda, pembaca, untuk merespons dan menilai karya ini.Ciputat, Desember 2004

#%IslamPascakolonial

Ucapan Terima Kasih #Ahmad Baso

Pengantar Azyumardi Azra[footnoteRef:2] [2: Azyumardi Azra adalah Rektor dan Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.]

Buku Islam Pascakolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme yang ditulis Ahmad Baso ini, hemat saya, merupakan karya sejarah sosial yang menarik untuk disimak. Ada alasan tertentu, mengapa karya anak muda Nahdlatul Ulama (NU) ini patut mendapat perhatian. Pertama, buku ini memaparkan persoalan- persoalan tertentu, khususnya tentang agama-agama dan hukum Islam di Indonesia, pascakolonial. Kajian buku ini dengan jelas membahas secara kritis sebagian dinamika kehidupan keagamaan bangsa Indonesia (umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas), yang pernah mengalami penjajahan negara-negara Eropa.Kedua, buku ini membahas masalah-masalah kekinian (keindonesiaan) dengan tidak mengabaikan masalah-masalah masa lalu (ke- kolonialan) yang berkaitan dengan persoalan agama. Dengan mengungkap masalah-masalah kekinian dan berpijak dan merujuk pada masalah-masalah masa lalu sebagai bagian sejarah yang tak terpisahkan, kajian ini sebenarnya ingin mengungkap realitas-realitas kehidupan yang mengandung kebenaran. Dengan model penulisan semacam ini, sang penulis berusaha membongkar kebenaran masalah yang tak terbantahkan dengan perspektif sejarah.Seperti diakui dalam bukunya ini, Ahmad Baso mengatakan, bahwa buku ini adalah rintisan awal menulis (ulang) sejarah masa kini, sejarah yang terbentuk bukan hanya karena konfigurasi kekuatan-kekuatan masa kini, melainkan juga oleh konfigurasi kekuatan-kekuatan yang ada pada masa lalu. Menulis sejarah masa kini adalah menulis faktor-faktor sejarah yang membentuk masa kini. Hal ini termasuk masalah ketidakjelasan identitas negara pascakolonial, seperti Indonesia ini. Namun, saya menulis sejarah kolonialisme tidak secara kronologis. Hal ini sudah banyak ditulis orang. Tampak dalam buku ini penelusuran sejarah yang bolak- balik, maju mundur. Model penulisan sejarah seperti ini, pernah dilakukan oleh Dennys Lombard dalam bukunya, Nusa Jawa. Bisa dikatakan, studi ini adalah studi genealogi atau sejarah kebenaran.Dalam perspektif kajian-kajian sejarah, sejarah kebenaran kadang dikaitkan dengan sejarah sosial yang biasanya ditemukan di dalam penulisan sejarah dari pinggir. Sejarah sosial memang merupakan bidang relatif baru, yang belum begitu banyak dikenal di Indonesia. Pada tingkat internasional atau global, sejarah sosial baru muncul pada dasawarsa menjelang Perang Dunia Kedua, dan menjadi bidang akademis sejarah pada 1950-an. Sejarah sosial menemukah momentum dengan penerbitan jurnal Annales yang didukung sejarah- wan terkemuka Prancis, semacam Lucien Febvre dan March Bloch. Pada akhir 1950-an jurnal-jurnal yang mengkhususkan diri pada sejarah sosial mulai terbit; yang paling terkemuka adalah Comparative Studies in Society andHistory (1958). Dan dalam tiga dekade terakhir, sejarah sosial mencakup bidang-bidang: 1. Demografi dan Kinship (Kekerabatan); 2. Kajian masyarakat urban; 3. Kelompok-kelompok dan kelas- kelas sosial; 4. Sejarah mentalitas atau kesadaran kolektif; 5. Transformasi masyarakat (misalnya akibat industrialisasi dan modernisasi); 6. Gerakan sosial atau fenomena protes sosial; 7. Sejarah pendidikan, tradisi keilmuan, ilmu dan kekuatan (knowledge dan power), dan diskursus intelektual.Sejarah sosial yang merupakan sejarah baru telah mengalami perkembangan pesat di dunia historiografi Indonesia, sejak beberapa dasawarsa terakhir ini. Selain sebagai alteinatif, sejarah baru yang cenderung sebagai sejarah sosial sering dihadap-hadapkan dengan sejarah lama yang cenderung merupakan sejarah politik.Sejarah sosial, seperti dirumuskan para akademisi sejarah, merupakan hasil dari penggunaan ilmu-ilmu bantu dalam penulisan sejarah. Berbeda dengan sejarah lama yang umumnya bersifat naratif dan deskriptif atau sejarah ensiklopedis, sejarah baru lebih menekankan pada kajian atau analisis terhadap faktor-faktor, bahkan ranah- ranah sosial yang memengaruhi terjadinya peristiwa-peristiwa sejarah itu sendiri, seperti terlihat dalam penulisan buku Ahmad Baso ini. Di sini tersirat pandangan dunia yang mendasari penulisan sejarah sosial; bahwa sejarah tercipta dan berkembang bukan semata-mata karena faktor politik, melainkan lebih-lebih lagi disebabkan oleh faktor sosial. Dengan kata lain, politik tidak lagi dipandang sebagai faktor tunggal atau satu-satunya faktor dan terpenting yang memunculkan peristiwa sejarah.Tetapi, pertanyaan yang tetap belum terjawab secara pasti hingga sekarang adalah: apa sebenarnya sejarah sosial, yang pada dasarnya dipandang sebagai esensi dari'sejarah baru itu?Harus diakui, istilah sejarah sosial tidak begitu mudah didefinisikan. Para akademisi sejarah sudah berupaya mengajukan beberapa pengertian. Pengertian pertama, sejarah sosial lebih mengacu pada sejarah orang-orang miskin atau kelas bawah, atau lebih tegas lagi sejarah gerakan kaum miskin, Sejarah sosial adalah sejarah mengenai gerakan-gerakan sosial" (social movements) yang muncul dan berkembang dalam sejarah. Bahkan, sejarah tentang gerakan- gerakan sosial ini secara lebih sempit dan khusus lagi adalah sejarah tentang gerakah-gerakan sosial, yang cenderung marginal, dan menyempal dari arus utama masyarakat atau tatanan sosial politik yang mapan.; Contoh paling terkemuka untuk sejarah Indonesia adalah karya Sartono Kartodirdjo, The Peasants Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel: A Case of Social Movements in Indonesia (1966). Meski Sartono membahas petani, potret yang menonjol dalam gerakan sosial-nya justru adalah gerakan Islam pada tingkat bawah, yang dalam hal ini banyak diwakili kaum sufi atau tarekat. Apa yang dilakukan Sartono merupakan towering figure dalam memperkenalkan dan mengembangkan sejarah baru di Indonesia.Kajian-kajian sejarah yang dilakukan Sartono jelas termasuk ke dalam pengertian lama mengenai sejarah sosial. Seperti dikemuka- kan Hobsbawn (1972), sejarah sosial dalam pengertian lama mengacu pada sejarah tentang orang-orang miskin atau masyarakat kelas bawah, atau lebih spesifik lagi, pada gerakan-gerakan orang miskin. Dalam konteks ini, seperti terlihat dalam studi Sartono tentang Banten dan gerakan-gerakan sosial lainnya di Jawa adalah masyarakat petani, yang mengalami deprivasi sosial politik pada saat kolonialisme Belanda berada pada puncak kejayaannya,

# Islam Pascakolonial

#S.IslamPascakolonial

Pengantar Azyumardi Azra #Pengertian kedua, sejarah sosial mengacu pada studi-studi historis atau sejumlah aktivitas manusia yang sulit diklasifikasikan secara tegas, karena begitu luasnya, tetapi pada umumnya menyangkut tata cara (manners), adat istiadat (customs) dan kehidupan sehari- hari (everyday ///e), yang dalam istilah Jerman biasanya disebut kultur atau sittengeschichte. Jenis sejarah sosial ini tidak secara khusus berorientasi kepada kelas atas dan tidak harus selalu diorientasikan kepada masyarakat kelas bawah. Yang jelas, sejarah sosial dalam kategori ini cenderung tidak mengikutsertakan politik, sebagaimana sering terjadi pada sejarah sosial dalam pengertian pertama tadi. Dalam historiografi Indonesia kontemporer, contoh terbaik adalah karya sejarahwan dari The Australian National University, Anthony Reid (1988 dan 1993), dan sejarahwan Prancis, Denys Lombard (1996) yang dalam banyak bagian buku masing-masing menampilkan sejarah sosial dalam pengertian ini.Pengertian ketiga, sejarah sosial dikombinasikan dengan sejarah ekonomi. Kombinasi ini terjadi didasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan menjelaskan banyak tentang struktur- struktur dan perubahan-perubahan dalam masyarakat, khususnya tentang kelas-kelas dan kelompok-kelompok sosial. Dimensi sosial dalam sejarah ekonomi memang tidak bisa disembunyikan. Karena itulah, terdapat sejarahwan yang berargumen bahwa sejarah ekonomi paling fundamental dari berbagai jenis sejarah karena ekonomi itu sendiri adalah dasar masyarakat.Namun, dalam konteks historiografi Indonesia, sejarah sosial dengan penekanan khusus pada sejarah ekonomi ini masih langka. Sebaliknya, terdapat kecenderungan kuat bahwa kajian-kajian sejarah ekonomi Indonesia yang ada selama ini lebih murni sejarah ekonomi, yang kurang memberikan perhatian pada dimensi-dimensi sosialnya, Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa kajian-kajian yang dapat digolongkan sebagai sejarah ekonomi itu dilakukan oleh sarjana-sarjana ekonomi, bukan oleh sejarahwan.Pengertian keempat, sejarah sosial yang dipadukan dengan sejarah agama dan hukum Islam, seperti dilakukan Ahmad Baso dalam buku ini. Pada umumnya, sejarah sosial semacam ini mengacu pada berbagai problematika kehidupan keberagamaan di kalangan umat, khususnya kalangan Islam, yang sering dihadapkan dengan elite kekuasaan. Karena itu, perkawinan sejarah sosial dengan sejarah agama dan hukum Islam ini, khususnya pascakolonial di Indonesia, sesuai dengan pengakuan Baso, dimaksudkan untuk mengungkap kebangkitan elite dan hancurnya gerakan rakyat dalam sejarah Indonesia.Dalam dunia historiografi Indonesia, apa yang ditulis Ahmad Baso di dalam bukunya ini menjadi rintisan awal dalam penulisan sejarah sosial dengan penekanan khusus pada sejarah agama dan hukum Islam. Karena itu, penerbitan buku Ahmad Baso ini patut kita sambut dengan baik, demi perkembangan dan kemajuan tradisi penulisan sejarah sosial semacam ini. Wallahu alam bi al-shawab.

Pengantar Azyumardi Azra %