bab iv hasil dan pembahasan 4.1 verifikasi...

67
26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu pula dengan model gabungan MASNUM, visual SPL diambil dari lapisan permukaan (Z=1). Nilai SPL di lokasi penelitian, baik dari model maupun data observasi memperlihatkan variasi setiap bulannnya. Pada bulan-bulan yang mewakili Musim Barat, yaitu Desember, Januari, dan Februari, kisaran nilai SPL model SODA versi 2.1.6 berada pada 27,531 ºC. Kisaran nilai SPL yang ditampilkan oleh hasil model gabungan MASNUM yaitu 27,5 30,5 ºC, sedangkan yang terekam oleh satelit NOAA/AVHRR menunjukkan kisaran 28,531 ºC (Gambar 10). Berdasarkan ketiga sumber visualisasi tersebut, terdapat perbedaan nilai kisaran SPL. Perbedaan nilai antara model SODA versi 2.1.6 dengan NOAA/AVHRR terdapat pada nilai minimumnya dimana nilai minimum SPL model SODA versi 2.1.6 lebih rendah sebesar 1 ºC dari SPL NOAA/AVHRR. Hal ini disebabkan pada bulan Januari terlihat adanya perbedaan SPL dominan yang cukup besar di sekitar Laut Flores (Lampiran 2). Model gabungan MASNUM juga memiliki selisih SPL dengan hasil satelit, baik pada nilai minimum maupun nilai maksimumnya. SPL minimum model gabungan MASNUM juga lebih rendah sebesar 1 ºC daripada SPL satelit sedangkan SPL maksimum model gabungan MASNUM lebih rendah 0,5 ºC dibandingkan dengan hasil satelit. Apabila kedua model tersebut dibandingkan maka terlihat adanya selisih pada nilai SPL maksimum dimana nilai SPL pada model SODA lebih tinggi daripada model gabungan MASNUM, namun secara umum, baik kedua model ataupun rekaman satelit menunjukkan SPL yang relatif tinggi pada Musim Barat.

Upload: others

Post on 20-Jun-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

26

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Verifikasi Model

Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi

2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter

(Lampiran 1). Begitu pula dengan model gabungan MASNUM, visual SPL

diambil dari lapisan permukaan (Z=1). Nilai SPL di lokasi penelitian, baik dari

model maupun data observasi memperlihatkan variasi setiap bulannnya. Pada

bulan-bulan yang mewakili Musim Barat, yaitu Desember, Januari, dan Februari,

kisaran nilai SPL model SODA versi 2.1.6 berada pada 27,531 ºC. Kisaran nilai

SPL yang ditampilkan oleh hasil model gabungan MASNUM yaitu 27,5–30,5 ºC,

sedangkan yang terekam oleh satelit NOAA/AVHRR menunjukkan kisaran

28,531 ºC (Gambar 10).

Berdasarkan ketiga sumber visualisasi tersebut, terdapat perbedaan nilai

kisaran SPL. Perbedaan nilai antara model SODA versi 2.1.6 dengan

NOAA/AVHRR terdapat pada nilai minimumnya dimana nilai minimum SPL

model SODA versi 2.1.6 lebih rendah sebesar 1 ºC dari SPL NOAA/AVHRR. Hal

ini disebabkan pada bulan Januari terlihat adanya perbedaan SPL dominan yang

cukup besar di sekitar Laut Flores (Lampiran 2). Model gabungan MASNUM

juga memiliki selisih SPL dengan hasil satelit, baik pada nilai minimum maupun

nilai maksimumnya. SPL minimum model gabungan MASNUM juga lebih

rendah sebesar 1 ºC daripada SPL satelit sedangkan SPL maksimum model

gabungan MASNUM lebih rendah 0,5 ºC dibandingkan dengan hasil satelit.

Apabila kedua model tersebut dibandingkan maka terlihat adanya selisih pada

nilai SPL maksimum dimana nilai SPL pada model SODA lebih tinggi daripada

model gabungan MASNUM, namun secara umum, baik kedua model ataupun

rekaman satelit menunjukkan SPL yang relatif tinggi pada Musim Barat.

Page 2: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

27

Februari

Gambar 1. Klimatologi SPL Musim Barat (Februari) pada rentang 1958-2008

(a) Hasil model SODA versi 2.1.6; (b) Hasil model gabungan

MASNUM dan POM; (c) Hasil observasi citra satelit

NOAA/AVHRR Pathfinder V5

Pada Musim Peralihan I, SPL di lokasi penelitian yang ditampilkan model

SODA versi 2.1.6 berkisar antara 2831 ºC dan model gabungan MASNUM

menunjukkan kisaran nilai 27,2531 ºC, sedangkan hasil rekaman satelit

menunjukkan kisaran 28,2531 ºC. Variasi nilai kisaran tersebut menunjukkan

adanya selisih nilai antara kedua model dengan data satelit. Perbedaan SPL

minimum pada model SODA versi 2.1.6 dan hasil rekaman satelit, yaitu sebesar

0,25 ºC. Perbedaan yang cukup mencolok terlihat di sekitar Laut Flores, namun

terdapat kesamaan pola distribusi antara keduanya, yaitu di Selat Makassar bagian

(c)

(a) (b)

Page 3: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

28

selatan dan Perairan Sulawesi bagian selatan memiliki SPL yang lebih rendah

dibandingkan dengan daerah sekitarnya (Gambar 11).

Mei

Gambar 2. Klimatologi SPL Musim Peralihan I (Mei) pada rentang 1958-2008

(a) Hasil model SODA versi 2.1.6; (b) Hasil model gabungan

MASNUM dan POM; (c) Hasil observasi citra satelit

NOAA/AVHRR Pathfinder V5

Selisih nilai SPL minimum juga ditemukan pada perbandingan model

gabungan MASNUM dengan hasil satelit dimana nilai SPL minimum model lebih

rendah 1 ºC daripada SPL minimum hasil rekaman satelit. Apabila dilakukan

perbandingan antara kedua model dapat dilihat adanya selisih pada nilai kisaran

minimum, yakni model SODA versi 2.1.6 memiliki SPL minimum lebih tinggi

0,75 ºC dibandingkan dengan model gabungan MASNUM. Secara umum, pada

(a) (b)

(c)

Page 4: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

29

musim ini terjadi sedikit penurunan SPL dari musim sebelumnnya, tetapi perairan

masih cukup hangat terutama di bagian barat.

SPL Musim Timur, baik dari visual model maupun rekaman satelit

mengalami penurunan nilai yang cukup besar dari Musim Peralihan I. SPL yang

hangat terdesak ke perairan bagian barat dan digantikan dengan massa air dengan

SPL yang dingin yang berasal dari perairan bagian timur (Laut Banda). Pola

distribusi menunjukkan adanya SPL yang lebih rendah dari daerah sekitarnya,

yaitu di Selat Makassar bagian selatan, mulut Teluk Bone, dan Laut Banda.

Nilai SPL paling rendah terlihat pada bulan Agustus yang menjadi puncak

Musim Timur. Kisaran nilai SPL model SODA versi 2.1.6 adalah 26,530 ºC

sedangkan SPL yang ditampilkan hasil model gabungan MASNUM berkisar

antara 26,2529,75 ºC. Adapun nilai yang terekam oleh satelit berkisar antara

2630 ºC (Gambar 12). Selisih nilai SPL minimum model SODA versi 2.1.6

dengan hasil satelit sebesar 0,5 ºC, dimana SPL minimum pada model justru lebih

rendah daripada SPL dari satelit, tidak seperti yang terjadi pada musim-musim

sebelumnya. Perbandingan nilai kisaran model gabungan MASNUM dengan hasil

satelit diperoleh selisih baik untuk nilai SPL minimum maupun maksimum.

Selisih nilai SPL minimum sebesar 0,25 ºC dimana nilai SPL model gabungan

MASNUM lebih tinggi daripada hasil satelit, sedangkan SPL maksimum model

gabungan MASNUM lebih rendah 0,25 ºC dibandingkan hasil rekaman satelit.

Perbandingan antara kedua model memperlihatkan selisih SPL minimum

sebesar 0,25 ºC dimana nilai model SODA versi 2.1.6 lebih tinggi daripada model

gabungan MASNUM. Begitu pula dengan nilai SPL maksimum yang

menunjukkan selisih 0,25 ºC dimana nilai model SODA versi 2.1.6 juga lebih

tinggi dari model gabungan MASNUM. Dari hasil visualisasi pada Musim Timur

ini terlihat bahwa hasil rekaman satelit menunjukkan sebaran SPL yang paling

dingin di lokasi penelitian. Adapun nilai SPL maksimum ditemukan terpusat di

selatan Selat Makassar dekat pesisir Sulawesi.

Page 5: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

30

Agustus

Gambar 3. Klimatologi SPL Musim Timur (Agustus) pada rentang 1958-2008

(a) Hasil model SODA versi 2.1.6; (b) Hasil model gabungan

MASNUM dan POM; (c) Hasil observasi citra satelit

NOAA/AVHRR Pathfinder V5

Dinginnya SPL yang terjadi pada Musim Timur masih terlihat pada awal

Musim Peralihan II, yaitu pada bulan September. SPL kembali meningkat pada

bulan Oktober dan November. Kondisi SPL paling hangat terjadi pada bulan

November. Hal ini ditemukan pada hasil visual model SODA versi 2.1.6 dan hasil

rekaman satelit (Gambar 13), namun untuk hasil visualisasi model gabungan

MASNUM memperlihatkan puncak SPL tertinggi ditemukan pada bulan Oktober

(Lampiran 2). Kisaran nilai SPL model SODA versi 2.1.6 adalah 26,7530,5 ºC,

model gabungan MASNUM yaitu 2831 ºC, dan hasil rekaman satelit

menunjukkan kisaran nilai 26,531 ºC. Perbandingan model SODA versi 2.1.6

(a) (b)

(c)

Page 6: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

31

dengan hasil rekaman satelit memperlihatkan bahwa nilai SPL minimum model

lebih tinggi 0,25 ºC sedangkan SPL maksimum model lebih rendah 0,25 ºC

daripada data satelit.

Selisih SPL minimum model gabungan MASNUM dengan hasil rekaman

satelit sebesar 1,5 ºC dimana nilai model lebih tinggi dibandingkan rekaman

satelit, sedangkan untuk nilai SPL maksimum antara model gabungan MASNUM

dan rekaman satelit menunjukkan nilai yang sama. Adapun perbandingan hasil

visualisasi kedua model menunjukkan bahwa SPL minimum model SODA versi

2.1.6 lebih rendah 1,25 ºC daripada model gabungan MASNUM dan SPL

maksimumnya lebih rendah 0,5 ºC.

November

Gambar 4. Klimatologi SPL Musim Peralihan II (November) pada rentang

1958-2008 (a) Hasil model SODA versi 2.1.6; (b) Hasil model

gabungan MASNUM dan POM; (c) Hasil observasi citra satelit

NOAA/AVHRR Pathfinder V5

(a) (b)

(c)

Page 7: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

32

Secara umum, pola distribusi SPL pada kedua model mengikuti pola yang

tergambar oleh hasil rekaman satelit NOAA/AVHRR. Selisih nilai SPL pada

model relatif kecil, dimana kisaran nilai SPL tersebut masih di dalam batas

kepercayaan. Hal ini diperkuat oleh Nontji (1993) yang menyatakan bahwa SPL

di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 28-31 ºC. Menurut Soegiarto dan

Birowo (1975), untuk suhu lapisan permukaan di perairan Indonesia berkisar

antara 26-30 ºC.

Berdasarkan Gambar 14, dapat kita lihat bahwa pola naik turun pada

grafik menunjukkan adanya kesamaan antara data hasil model dengan rekaman

satelit. Untuk mengetahui tingkat kevalidan data kedua model tersebut dilakukan

perhitungan Root Mean Square Error (RMSE). Nilai RMSE antara model SODA

versi 2.1.6 dan rekaman satelit (RMSEns) yaitu sebesar 0,25, sedangkan nilai

RMSE antara model gabungan MASNUM dan rekaman satelit (RMSEnm) yaitu

sebesar 0,5. Hasil tersebut menunjukkan bahwa model SODA versi 2.1.6 memiliki

tingkat kepercayaan yang lebih tinggi daripada model gabungan MASNUM

karena nilai RMSE yang lebih mendekati nol.

Gambar 5. Grafik perbandingan hasil klimatologi SPL model SODA versi 2.1.6

dan gabungan MASNUM (rentang tahun 1958- 2008) dengan

observasi rekaman satelit (rentang tahun 1982-2010)

Page 8: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

33

4.2 Variabilitas Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Arus Permukaan

Dalam mengetahui variabilitas Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Arus

Permukaan digunakan model SODA versi 2.1.6 yang diambil pada lapisan

kedalaman pertama (Z=1) yaitu 0,5 meter sebagai media analisis. Hasil yang

diperoleh menunjukkan bahwa terjadi variasi nilai SPL dan kecepatan arus

permukaan setiap bulannya pada musim yang sama. Agar analisis, lokasi

penelitian dibagi ke dalam beberapa wilayah perairan, yaitu Timur Laut Jawa (3º

– 7º LS dan 110º – 116º BT), selatan Selat Makassar (2º – 6,5º LS dan 116º – 120º

BT), Teluk Bone (2,75º – 6,5º LS dan 120º – 123º BT), Laut Flores (6,5º – 8,5º LS

dan 118º – 125º BT), dan barat Laut Banda (2º – 8,5º LS dan 125º – 126º BT).

4.2.1 Suhu Permukaan Laut (SPL)

Nilai klimatologi SPL di Timur Laut Jawa menunjukkan keragaman setiap

bulannya. Nilai SPL minimum terendah ditemukan pada bulan Agustus dan

September dengan nilai 27,75 ºC, sedangkan SPL minimum tertinggi ditemukan

pada bulan April yaitu sebesar 29,25 ºC. Nilai SPL maksimum terendah

ditemukan pada bulan Agustus dengan nilai 29,5 ºC dan SPL maksimum tertinggi

ditemukan pada bulan April dan Mei yaitu sebesar 30,75 (Gambar 15). Hasil

tersebut memperlihatkan bahwa SPL di perairan ini relatif tinggi sepanjang

tahunnya, yaitu berkisar antara 27,75 – 30,75 ºC.

Gambar 6. Klimatologi SPL Bulanan di Perairan Timur Laut Jawa pada rentang

Januari 1958 – Desember 2008

(ºC)

Page 9: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

34

Memasuki Laut Flores, SPL minimum terendah ditemukan pada bulan

Agustus yaitu berada pada nilai 27,25 ºC dan SPL minimum tertinggi diperoleh

pada bulan November yaitu sebesar 29,5 ºC, sedangkan SPL maksimum terendah

ditemukan di bulan Agustus dan September dengan nilai 28,25 ºC dan nilai SPL

maksimum tertinggi ditemukan di bulan November yaitu sebesar 30,25 (Gambar

16). Variasi tersebut menggambarkan bahwa nilai SPL tahunan di perairan ini

berkisar antara 27,25 – 30,25 ºC.

Gambar 7. Klimatologi SPL Bulanan di Perairan Laut Flores pada rentang

Januari 1958 – Desember 2008

Semakin ke arah timur menuju Laut Banda nilai SPL cenderung

mengalami penurunan. Di perairan barat Laut Banda yang berbatasan langsung

dengan Laut Flores, memiliki nilai SPL minimum terendah yaitu 26,75 ºC yang

ditemukan pada bulan Agustus, sedangkan nilai SPL minimum tertinggi sebesar

28,75 ºC ditemukan di bulan November dan Desember. Nilai SPL maksimum

terendah terekam pada bulan Agustus yaitu sebesar 28,25 ºC dan nilai SPL

maksimum tertinggi diperoleh pada bulan November sebesar 30,25 ºC (Gambar

17), sehingga diperoleh kisaran SPL sepanjang tahunnya sebesar 26,75 – 30,25

ºC.

(ºC)

Page 10: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

35

Gambar 8. Klimatologi SPL Bulanan di Perairan Laut Banda pada rentang

Januari 1958 – Desember 2008

SPL perairan selatan Selat Makassar juga mengalami variasi setiap

bulannya. Nilai SPL minimum terendah ditemukan pada bulan Agustus yaitu

sebesar 26,75 ºC dan SPL minimum tertinggi ditemukan di bulan Januari sebesar

29 ºC, sedangkan SPL maksimum terendah terekam di bulan Agustus dan

September dengan nilai 28,75 ºC, sementara itu, SPL maksimum tertinggi

ditemukan pada bulan Maret dan April sebesar 30,5 ºC. Berdasarkan hal tersebut

maka diperoleh kisaran SPL 26,75 – 30,5 ºC (Gambar 18).

Gambar 9. Klimatologi SPL Bulanan di Perairan selatan Selat Makassar pada

rentang Januari 1958 – Desember 2008

(ºC)

(ºC)

Page 11: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

36

Teluk Bone menjadi salah satu wilayah perairan yang masuk ke dalam

lokasi penelitian, memiliki SPL minimum terendah sebesar 26,75 ºC yang

ditemukan pada bulan Agustus dan SPL minimum tertinggi sebesar 29 ºC

ditemukan pada bulan Januari, sedangkan nilai SPL maksimum terendah

diperoleh di bulan Oktober yaitu sebesar 29,5 ºC dan SPL maksimum tertinggi

diperoleh pada bulan Maret dan April yaitu sebesar 31 ºC (Gambar 19).

Berdasarkan data hasil klimatologi diperoleh kisaran nilai SPL di perairan ini

sepanjang rentang Januari 1958 – Desember 2008 yaitu 26,75 – 31 ºC.

Gambar 10. Klimatologi SPL Bulanan di Perairan Teluk Bone pada rentang

Januari 1958 – Desember 2008

Dari beberapa wilayah perairan yang telah dibahas, Laut Jawa memiliki

kisaran SPL yang paling hangat diantara perairan lainnya, karena letaknya yang

berada paling barat, sedangkan SPL paling dingin ditemukan di Laut Banda.

Menurut Rosyadi (2011), apabila dilihat dari keadaan masing-masing samudera,

pada umumnya akan diperoleh bahwa SPL di bumi bagian barat akan lebih tinggi

daripada bagian timurnya. Hal ini disebabkan adanya pengaruh arus-arus laut

yang membawa bahang dari daerah khatulistiwa menuju ke arah kutub bumi

(Ilahude 1999). Mengacu pada penelitian Sadhotomo (2006) dan laporan Wyrtki

(1961) yang berhubungan dengan variasi SPL di Laut Jawa, diketahui bahwa

perubahan suhu permukaan laut atau dekat laut secara relatif sangatlah kecil.

Perbedaan antara suhu minimum dan maksimum di Laut Jawa kurang dari 2 ºC

(ºC)

Page 12: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

37

dengan nilai suhu rata-rata berkisar antara 27 – 29 ºC, namun dalam penelitian ini

justru dibuktikan bahwa perbedaan antara suhu minimum dan maksimum dapat

mencapai 3 ºC.

Distribusi SPL secara horisontal pada umumnya sangat dipengaruhi gejala

musiman, seperti yang dikemukakan oleh Sadhotomo (2006). Pada musim Timur,

angin berhembus dari tenggara menuju barat laut sedangkan pada Musim Barat

angin mengalami pembelokan arah yaitu dari barat menuju tenggara. Angin

tersebut akan bergesekan dengan permukaan perairan sehingga terjadi arus laut.

Tetapi akibat adanya pengaruh gaya gesekan dan gaya Coriolis, kecepatan arus

yang disebabkan oleh angin tersebut berkurang secara eksponensial terhadap

kedalaman. Arah arus tersebut menyimpang 45° ke kiri pada Bumi Bagian Selatan

(BBS) dari arah angin serta sudut penyimpangan bertambah dengan bertambahnya

kedalaman (Silalahi 2013). Perubahan arah dan pergerakan angin ini berhubungan

erat dengan terjadinya perbedaan tekanan udara tinggi dan tekanan udara rendah

di atas benua Asia dan Australia. Antara bulan Desember sampai Februari bertiup

angin Muson Barat dan pada bulan Juni sampai Agustus bertiup angin Muson

Timur (Wyrtki 1961).

Variasi nilai rata-rata dari data klimatologi SPL juga terjadi setiap bulan

pada musim yang sama dalam rentang tahun 1958 hingga 2008 di beberapa

wilayah perairan yang termasuk ke dalam lokasi penelitian. Pada Musim Barat,

SPL rata-rata di Laut Jawa yakni 29,42 °C dengan kisaran 29,13 °C – 29,63 °C.

SPL terendah terjadi pada Desember dan tertinggi terjadi pada Februari.

Selanjutnya pada musim ini SPL rata-rata di Laut Flores mengalami penurunan

menjadi 28,67 °C dengan kisaran 28,38 – 29,125 °C dimana SPL terendah

ditemukan pada bulan Januari dan SPL tertinggi terjadi pada bulan Desember.

Memasuki Laut Banda, nilai rata-rata SPL sedikit meningkat yaitu 28,96 °C

dengan kisaran 28,75 – 29,25 °C. Nilai SPL terendah terjadi pada bulan Februari

dan tertinggi terjadi di bulan Desember. Selatan Selat Makassar memiliki nilai

rata-rata SPL yakni 29,38 °C dengan kisaran 29,125 – 29,63 °C, sedangkan di

Teluk Bone nilai SPL rata-rata mencapai nilai 29,71 °C dengan kisaran 29,38 – 30

Page 13: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

38

°C. Di kedua perairan ini ditemukan SPL terendah pada bulan Desember dan SPL

tertinggi pada bulan Januari (Gambar 20).

Gambar 11. Rata-rata klimatologi SPL bulanan selama Musim Barat pada

rentang 1958 – 2008

Tingginya SPL pada Musim Barat tidak terlepas dari adanya aliran massa

air dengan suhu tinggi dan salinitas rendah yang berasal dari Laut Cina Selatan.

Massa air ini masuk ke Laut Jawa melalui Selat Karimata dan Laut Natuna

kemudian terus mengalir mengisi perairan Indonesia menuju Laut Flores dan Laut

Banda sehingga massa air yang bersuhu rendah dari Laut Banda terdesak semakin

ke timur dan digantikan oleh massa air bersuhu tinggi ini.

Intensitas penyinaran matahari yang relatif besar di Bumi Bagian Selatan

(BBS) memicu terbentuknya pusat tekanan udara tinggi di atas benua Asia dan

pusat tekanan udara rendah di atas benua Australia ini menyebabkan pergerakan

angin dari Asia ke Australia yang melewati wilayah lautan yang cukup luas,

sehingga membawa uap air besar pula, dan setelah mencapai kepulauan Indonesia

maka terjadilah hujan. Curah hujan yang cukup tinggi pada Musim Barat ini

menyebabkan salinitas perairan Indonesia lebih rendah akibat adanya pengenceran

air laut oleh air hujan, sedangkan SPL akan lebih hangat karena tingginya

penguapan.

(ºC)

Page 14: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

39

Musim Timur memiliki variasi SPL yang lebih rendah dibandingkan

musim barat. Variasi nilai rata-rata dari data klimatologi SPL Musim Timur

menunjukkan perbedaan SPL rata-rata di berbagai perairan. Di Laut Jawa SPL

rata-ratanya yaitu 29,04 °C dengan kisaran 28,63 °C – 29,38 °C. Di Laut Flores

SPL rata-rata bernilai 28,04 °C dengan kisaran 27,75 – 28,25 °C. Memasuki Laut

Banda, nilai rata-rata SPL sedikit meningkat yaitu 28,08 °C dengan kisaran 27,50

– 28,63 °C. Selatan Selat Makassar memiliki nilai rata-rata SPL yakni 28,29 °C

dengan kisaran 27,75 – 28,63 °C, sedangkan di Teluk Bone nilai SPL rata-rata

sedikit lebih tinggi yaitu 28,54 °C dengan kisaran 28,25 – 28,75 °C. Di semua

perairan SPL terendah terjadi pada Agustus dan tertinggi terjadi pada Juni

(Gambar 21).

Gambar 12. Rata-rata klimatologi SPL bulanan selama Musim Barat pada

rentang 1958 – 2008

Pada musim Timur, posisi matahari berada pada Bumi Bagian Utara

(BBU), sehingga intensitas penyinaran matahari yang diterima oleh lokasi

penelitian cenderung lebih sedikit dibandingkan pada musim Barat. Nilai SPL

yang rendah tersebut juga disebabkan adanya pembalikan arah arus yang

membawa massa air dari Laut Banda dengan suhu rendah dan salinitas tinggi

menuju Laut Jawa. Hal tersebut menyebabkan massa air yang bersuhu lebih

hangat terdesak ke barat dan digantikan oleh massa air yang lebih dingin dari Laut

(ºC)

Page 15: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

40

Banda. Di perairan dekat pantai terlihat adanya SPL yang lebih tinggi (Lampiran

4), hal ini diindikasikan sebagai hasil pencampuran dengan air tawar (run-off),

oleh karena itu massa air pencampuran tersebut akan lebih hangat daripada air laut

yang posisinya di lepas pantai (Karif 2011).

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, adanya variasi musiman SPL di

perairan lokasi penelitian disebabkan oleh posisi dan radiasi matahari. Masuknya

massa air hangat dari perairan Laut Cina Selatan ke Laut Jawa menuju Laut Flores

dan Laut Banda juga disebabkan oleh kenaikan massa air laut. Musim peralihan I

memiliki nilai SPL yang paling tinggi daripada musim lainnya (Lampiran 3). Hal

ini disebabkan oleh radiasi matahari dan proses penyebaran massa air bersuhu

hangat tidak terjadi dalam waktu singkat. Radiasi matahari diterima perairan

secara terus-menerus selama musim Barat hingga peralihan I serta puncak

pergerakan massa air hangat yang dibawa oleh arus Muson Barat ditemukan pada

bulan Maret yang sudah memasuki musim Peralihan I.

4.2.2 Arus Permukaan

Wilayah perairan dalam Indonesia merupakan lintasan sistem angin muson

yang dalam setahun terjadi pembalikan arah. Arus permukaan di perairan dalam

Indonesia sangat dipengaruhi oleh angin ini, sehingga pola arus yang terbentuk

sangat ditentukan oleh musim yang sedang berlangsung. Selain angin muson, arus

perairan dalam Indonesia juga dipengaruhi oleh Arus Lintas Indonesia (Arlindo).

Selat Makassar merupakan salah satu jalur lintasan arus laut global dari Samudera

Pasifik ke Samudera Hindia yang melalui perairan kawasan timur Indonesia.

Variasi pola arus permukaan pada Musim Barat yang diwakili oleh bulan

Februari menunjukkan arus dominan mengalir dari barat (Laut Jawa) ke timur

(Laut Banda). Selama musim ini massa air dari Laut Jawa bertemu dengan massa

air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir bersama ke arah Laut Flores

hingga Laut Banda. Pada daerah pertemuan antara kedua massa air ini kecepatan

arus menjadi lebih besar karena adanya akumulasi kekuatan dari kedua sumber

arus yang memiliki arah sama (Gambar 22). Laut Flores yang menjadi daerah

pertemuan dua massa air (massa air Selat Makassar dan Laut Jawa) memiliki

kecepatan arus rata-rata mencapai > 0,5 ms-1

.

Page 16: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

41

Nilai kecepatan arus yang sama juga ditemukan di perairan selatan Selat

Makassar dan Laut Banda. Besarnya arus di selatan Selat Makassar terjadi akibat

topografi yang menyempit sehingga aliran arus menjadi kencang dengan arah arus

dominan berasal dari utara (Samudera Pasifik) menuju selatan (memasuki Selat

Makassar), sementara itu besarnya arus di Laut Banda terbentuk karena adanya

pembelokan arus dari Laut Flores. Arus ini sebagian menuju ke arah utara karena

membentur daratan Sulawesi Tenggara, kemudian bertemu dengan arus yang

berasal dari Samudera Pasifik yang masuk melalui Laut Maluku sehingga terjadi

turbulensi di sekitar barat Laut Banda. Di Timur Laut Jawa yang merupakan

wilayah lautan lepas dan tidak banyak terhalang topografi pulau memiliki

kecepatan arus permukaan rata-rata relatif kecil, yakni < 0,5 ms-1

.

Gambar 13. Overlay Klimatologi bulanan Suhu Permukaan Laut (SPL) (gradasi

warna = ºC) dengan Arus Permukaan (vektor = ms-1

) Model SODA

versi 2.1.6 (Z=1) pada Musim Barat (Februari)

Memasuki Musim Pancaroba/Peralihan, angin bertiup tidak menentu

sehingga menimbulkan arus turbulen di beberapa wilayah perairan namun

kecepatannya tidak besar. Pada Musim Peralihan I yang diwakili oleh bulan Mei

terlihat adanya pusaran arus di Laut Flores, dan barat Laut Banda (Gambar 23).

Adapun rata-rata kecepatan arus tersebut tidak lebih besar dari 0,5 ms-1

.

Page 17: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

42

Kecepatan arus rata-rata > 0,5 ms-1

ditemukan di selatan Selat Makassar. Secara

umum pada musim ini arus mulai mengalami pembalikan arah dari musim

sebelumnya meskipun belum menentu. Akan tetapi pada bulan Maret yang

menjadi awal periode musim ini arah arus masih dominan dari barat menuju timur

(Lampiran 4). Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh Musim Barat yang masih

terlihat kuat, seperti yang dikemukakan Nontji (1993) bahwa pada setiap awal

periode Musim Peralihan pengaruh musim sebelumnya masih kuat. Di Timur Laut

Jawa kecepatan arus rata-rata memiliki nilai yang lebih konstan, yakni < 0,5 ms-1

.

Gambar 14. Overlay Klimatologi bulanan Suhu Permukaan Laut (SPL) ((gradasi

warna = ºC) dengan Arus Permukaan (vektor = ms-1

) Model SODA

versi 2.1.6 (Z=1) pada Musim Peralihan I (Mei)

Pola arus permukaan pada Musim Timur yang diwakili oleh bulan Agustus

memperlihatkan arah arus dominan dari timur (Laut Banda) menuju barat (Laut

Jawa) (Gambar 24). Dari Selat Makassar mengalir arus yang cukup kuat dengan

kecepatan mencapai > 1 ms-1

. Arus ini bertemu dengan arus dari Laut Flores

menuju ke Laut Jawa dan sebagian lagi mengalir ke Samudera Hindia melalui

Selat Lombok dan Selat Bali. Kecepatan arus rata-rata di Laut Flores hingga

daerah pertemuan arus Selat Makassar dan arus Laut Flores yakni mencapai > 0,5

ms-1

, kecepatan arus di Laut Jawa masih relatif konstan yaitu < 0,5 ms-1

,

Page 18: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

43

sedangkan di Laut Banda kecepatan arus lebih bervariasi, seperti yang

ditunjukkan oleh panjang pendeknya vektor. Kecepatan rata-rata arus yang

terekam mencapai 0,5 ms-1

.

Gambar 15. Overlay Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) (gradasi warna =

ºC) dengan Arus Permukaan (vektor = ms-1

) Model SODA versi

2.1.6 (Z=1) pada Musim Timur (Agustus)

Pola arus pada Musim Peralihan II yang diwakili oleh bulan November

memperlihatkan pembalikan arah dari musim sebelumnya yaitu Musim Timur

(Gambar 25). Pada akhir periode musim ini arah arus dominan mengalir dari barat

ke timur. Meskipun arah arus belum stabil akibat tiupan angin yang tidak menentu

namun tidak terdeteksi adanya pusaran arus. Secara umum kecepatan arus rata-

rata yang terekam relatif kecil di seluruh lokasi penelitian yaitu 0,5 ms-1

.

Kecepatan arus di daerah pertemuan arus dari Selat Makassar dan Laut Flores

yang biasanya membentuk arus yang cukup kuat, tetapi pada musim ini dapat

dikatakan paling lemah.

Page 19: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

44

Gambar 16. Overlay Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) (gradasi warna =

ºC) dengan Arus Permukaan (vektor = ms-1

) Model SODA versi

2.1.6 (Z=1) pada Musim Peralihan II (November)

Berdasarkan visualisasi arus permukaan yang ditampilkan untuk seluruh

musim diperoleh hasil bahwa kecepatan arus rata-rata terendah selalu ditemukan

di Timur Laut Jawa, sedangkan kecepatan arus rata-rata tertinggi ditemukan di

Selat Makassar dan daerah-daerah pertemuan massa air. Pada musim-musim

peralihan periode awal, kondisi arus akan mengikuti pola musim sebelumnya,

sedangkan pada periode akhir akan memperlihatkan pola arus yang hampir sama

dengan musim setelahnya.

4.3 Variabilitas Gradien Suhu Permukaan Laut dan Energi Kinetik Eddy

(EKE)

Gradien suhu dan Energi Kinetik Eddy (EKE) merupakan parameter-

parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwelling

dan kekuatan arus yang mungkin mempengaruhi distribusi ikan. Gradien suhu

memiliki nilai positif dan negatif. Di laut, gradien suhu adalah perubahan suhu

terhadap kedalaman, sebuah gradien positif adalah kenaikan suhu dengan

peningkatan secara mendalam dan gradien negatif adalah penurunan suhu dengan

peningkatan secara mendalam. Dengan kata lain, nilai positif menunjukkan

Page 20: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

45

kondisi normal dimana suhu perairan di lapisan atas (permukaan) lebih hangat

daripada suhu di lapisan bawahnya, hal ini karena adanya penyerapan panas

matahari yang lebih besar di lapisan permukaan akibat intensitas penyinaran yang

besar. Nilai negatif menunjukkan kondisi anomali, yaitu suhu perairan di lapisan

atas (permukaan) justru lebih dingin dibandingkan di lapisan bawahnya. Hal

tersebut disebabkan adanya penaikan massa air dari lapisan yang lebih dalam ke

permukaan atau upwelling.

Parameter arus Eddy juga dapat mengindikasikan sinyal upwelling. Proses

ketidakstabilan baroklinik dianggap sebagai sumber utama bagi energi arus Eddy

di lautan. Energi Kinetik Eddy (EKE) berhubungan dengan indeks untuk melihat

daerah subur karena salah satu penyebab upwelling adalah adanya arus turbulen

yang menyebabkan terangkatnya massa air dari lapisan lebih dalam ke

permukaan. Ada beberapa konsentrasi yang berbeda pada EKE di sepanjang rata-

rata zona frontal di lautan. Dalam kondisi tertentu, bentuk ketidakstabilan yang

melepaskan energi potensial ini dapat diubah menjadi energi potensial Eddy dan

energi kinetik. Di laut, aliran rata-rata memiliki pergeseran horizontal maupun

vertikal, sehingga berpotensi adanya ketidakstabilan baroklinik dan barotropik

(campuran). Dengan adanya mekanisme ketidakstabilan ini, maka aktivitas arus

Eddy dapat terjadi maksimum di daerah arus laut utama.

Kedua parameter ini merupakan parameter turunan yang masing-masing

memiliki peran penting dalam penentuan daerah penangkapan potensial. Dalam

penelitian ini data visual klimatologi gradien suhu dikalkulasi dari hasil model

suhu SODA versi 2.1.6 dalam rentang Januari 1958 hingga Desember 2008 dan

data klimatologi visual EKE dikalkulasi dari data arus geostropik dalam rentang

Januari 1993 hingga Desember 2008 yang diturunkan dari satelit AVISO

Geosthropic Velocities dan diunduh melalui website resmi Ocean Watch NOAA.

Berdasarkan hasil visualisasi tersebut terlihat adanya nilai-nilai yang mencolok di

beberapa titik di lokasi penelitian dan kondisi tersebut berubah-ubah sesuai musim

maupun setiap bulan pada musim yang sama.

Page 21: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

46

4.3.1 Musim Barat

Gradien suhu dan kekuatan EKE selama Musim Barat (Desember, Januari,

dan Februari) mengalami keragaman nilai kisaran setiap bulannya. Di beberapa

lokasi yang menunjukkan perbedaan gradien suhu yang cukup mencolok ternyata

juga memperlihatkan nilai EKE yang relatif besar, namun di sebagian lokasi

lainnya menunjukkan kisaran nilai yang relatif besar hanya untuk salah satu

parameter saja. Kisaran nilai gradien suhu negatif paling mencolok yaitu -1,65 – -

0,3 ºC/m dengan nilai rata-rata -0,975 ºC/m, terekam di perairan Laut Flores pada

bulan Januari. Kekuatan EKE terbesar pada musim ini terekam di Teluk Bone

pada bulan Desember yaitu berada pada kisaran 0,15 – 1,65 m2s

-2 dengan nilai

rata-rata sebesar 0,90 m2s

-2 (Tabel 2).

Tabel 1. Kisaran nilai klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE selama

Musim Barat

No. Perairan Cakupan

Wilayah Bulan

Kisaran

Grad. Suhu

(ºC/m)

Kisaran EKE

(m2S

-2)

1. Timur laut

Jawa

3 - 7 º LS

110 - 116 º BT

Desember -0,05 – 0,50 0,05 – 0,25

Januari -0,10 – 0,15 0,05 – 0,30

Februari -0.30 – 0,15 0,05 – 0,65

2. Selatan Selat

Makassar

2 - 6,5º LS

116 - 120º BT

Desember -0,10 – 0,10 0,15 – 0,90

Januari -0,40 – 0,10 0,15 – 2

Februari -0,30 – 0,10 0,15 – 1,10

3. Teluk Bone 2,75 - 6,5º LS

120 - 123º BT

Desember -0,05 – 0 0,15 – 1,65

Januari -0,30 – 0 0,15 – 1,05

Februari -0,20 – 0 0,15 – 1,05

4. Laut Flores 6,5 - 8,5º LS

118 - 125º BT

Desember -0,15 – 0 0,05 – 0,65

Januari -1,65 -0,30 0,05 – 0,65

Februari -1,15 -0,30 0,05 – 0,35

5. Laut Banda 2 - 8,5º LS

125 - 126º BT

Desember -0,10 0,10 0,05 – 0,20

Januari -1,50 – 0,10 0,15 – 0,45

Februari -0,90 0 0,05 – 0,45

Variasi gradien suhu di Timur Laut Jawa pada bulan Desember merupakan

nilai gradien suhu dengan kisaran tertinggi seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya, dimana kisaran nilai yang lebih dominan menunjukkan gradien suhu

bernilai positif. Nilai maksimum terlihat di sekitar pesisir Pulau Jawa Timur dan

Page 22: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

47

Madura dan nilai minimum mendominasi di dekat pesisir Kalimantan (Gambar

26a). Pada bulan Januari, nilai gradiennya berubah pada kisaran -0,1 – 0,15 ºC/m.

pada bulan ini tidak terlihat perbedaan gradien suhu yang signifikan karena

gradien suhu yang lebih tinggi semakin terdesak ke arah tenggara menuju Laut

Bali dan Selat Lombok sehingga Timur Laut Jawa memiliki gradien suhu yang

lebih homogen. Memasuki bulan Februari, nilai gradien suhu berkisar antara -0,3

– 0,15 ºC/m. Gradien suhu yang terlihat lebih mencolok di bulan ini bernilai

negatif yang menunjukkan bahwa suhu perairan di lapisan permukaan lebih dingin

dibandingkan lapisan bawahnya.

Hasil visualisasi overlay arus geostropik dan EKE di Timur Laut Jawa

selama Musim Barat memperlihatkan potensi kekuatan EKE yang sangat lemah.

Pada bulan Desember tercatat kekuatan EKE hanya 0,05 – 0,25 m2s

-2. Memasuki

bulan Januari sedikit meningkat menjadi 0,05 – 0,3 m2s

-2, dan terus meningkat

menjadi 0,05 – 0,65 m2s

-2 pada bulan Februari. Nilai-nilai EKE maksimum

terekam di dekat pesisir Kalimantan. Kekuatan EKE ini sebanding dengan

kecepatan arus geostropik yang menimbulkannya. Berdasarkan Gambar 26b, arus

geostropik di Timur Laut Jawa pada bulan Desember dan Januari memiliki arah

dominan yang tidak terlalu terlihat karena arus datang dari berbagai arah dan

saling bertemu sehingga terjadi pembelokan-pembelokan yang tidak menentu.

Pada bulan Februari arah arus dominan mulai terlihat menuju ke timur walaupun

sebagian berbelok ke utara membentur topografi pantai Kalimantan dan

menimbulkan arus yang cukup besar, yaitu mencapai 0,7 ms-1

.

Di perairan Laut Flores, nilai gradien suhu pada bulan Desember berkisar

antara -0,15 – 0 ºC/m. Selanjutnya di bulan Januari gradien suhu sangat mencolok

dari daerah sekitarnya yaitu mencapai kisaran -1,65 – -0,3 ºC/m dan pada bulan

Februari berkisar antara -1,15 – -0,3 ºC/m. Gradien suhu yang sangat mencolok

pada bulan ini bernilai negatif, dimana suhu di lapisan permukaan lebih dingin.

Nilai gradien suhu yang sangat mencolok ini terlihat berpusat di posisi 7º LS dan

124º BT.

Page 23: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

48

Gambar 17. Klimatologi Gradien suhu dan Energi Kinetik Eddy (EKE) selama

Musim Barat. (a) Gradien suhu (atas ke bawah: Desember, Januari,

Februari); (b) Overlay Arus Geostropik dan EKE (atas ke bawah:

Desember, Januari, Februari)

Untuk kisaran nilai EKE di Laut Flores pada bulan Desember tercatat 0,5

– 0,65 m2s

-2, Januari 0,05 – 0,65 m

2s

-2, dan Februari 0,05 – 0,35 m

2s

-2. Potensi

kekuatan EKE yang terlihat di lokasi ini tidak terlepas dari besarnya arus

Page 24: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

49

geostropik yang mengalir dominan menuju ke timur (Laut Banda) dengan

kecepatan mencapai 0,7 ms-1

. Besarnya kecepatan arus tersebut terjadi akibat

adanya pertemuan antara arus yang berasal dari perairan Sulawesi Tenggara yang

sebagian berbelok di Laut Flores dekat Nusa Tenggara Tengah dengan arus dari

Laut Jawa (Gambar 26b).

Nilai gradien suhu di sekitar perairan Laut Banda bagian barat pada bulan

Desember berkisar antara -0,1 – 0,1 ºC/m. Di bulan Januari kisaran gradien suhu

semakin mencolok yaitu -1,5 – 0,1 ºC/m. Nilai tersebut terekam di lokasi yang

berbatasan langsung dengan Laut Flores. Pada bulan Februari kisaran nilai

gradien suhu berada pada -0,9 – 0 ºC/m. nilai nol menunjukkan terdapat wilayah

perairan yang tidak memiliki perbedaan suhu.

Kekuatan EKE di Laut Banda relatif kecil, yaitu hampir sama dengan

perairan Laut Jawa. Hal tersebut dikarenakan pada kedua lokasi perairan ini

merupakan laut lepas yang tidak terhalang oleh pulau-pulau kecil sehingga arus

yang masuk dapat bebas mengalir tanpa banyak hambatan yang akan berpotensi

menyebabkan turbulensi dan memperbesar aliran arus. Pada bulan Desember

tercatat EKE pada kisaran 0,05 – 0,2 m2s

-2, kemudian pada Januari terjadi

peningkatan kekuatan EKE yaitu berkisar 0,15 – 0,45 m2s

-2, dan pada bulan

Februari sedikit menurun di nilai minimum menjadi 0,05 – 0,45 m2s

-2.

Selatan Selat Makassar menunjukkan nilai gradien suhu yang bervariasi

setiap bulannya selama Musim Barat. Pada bulan Desember nilai gradien suhu

berkisar antara -0,1 0,1 ºC/m. memasuki bulan Januari gradien suhu semakin

mencolok, yaitu berpusat di posisi 2,5º LS dan 118º BT. Nilai gradien suhu pada

bulan Januari berkisar -0,4 0,1 ºC/m. Selanjutnya pada bulan Februari

kisarannya menjadi -0,3 0,1 ºC/m.

Kekuatan EKE di selatan Selat Makassar relatif tinggi. Pada bulan

Desember nilai EKE berkisar anatara 0,15 – 0,9 m2s

-2, kemudian pada Januari

EKE maksimum meningkat sehingga berkisar antara 0,15 – 2 m2s

-2 dan terus

meningkat mencapai nilai maksimum yang relatif tinggi yaitu 0,15 – 1,1 m2s

-2.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, besarnya nilai EKE berbanding lurus

dengan kecepatan arus geostropik. Dalam hal ini, Selat Makassar memiliki

Page 25: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

50

kecepatan arus geostropik yang besar akibat topografi yang menyempit dengan

arah arus geostropik dominan menuju utara (Samudera Pasifik), selain itu,

keberadaan sill Dewakang di dasar perairan juga berperan terhadap pembentukan

dan kecepatan arus. Hal inilah yang menyebabkan lokasi ini sebagai salah satu

wilayah dengan kekuatan EKE yang cukup besar.

Hasil visualisasi sebaran gradien temperatur menunjukkan bahwa di

wilayah perairan Teluk Bone pada bulan Desember terlihat adanya gradien suhu

yang berkisar antara -0,05 0 ºC/m. Di bulan Januari nilai gradien suhu berkisar -

0,3 0 ºC/m dan di bulan Februari berkisar antara -0,2 – 0 ºC/m. Dari nilai-nilai

yang diperoleh menunjukka bahwa di lokasi ini suhu perairannya lebih seragam

terlihat dari gradien suhu maksimum di semua bulan selama Musim Barat,

meskipun terdapat perbedaan gradien suhu namun nilainya tidak terlalu

signifikan.

Hasil overlay kecepatan arus geostropik dan EKE di sekitar perairan mulut

Teluk Bone menunjukan nilai yang paling tinggi diantara lokasi perairan lainnya

yang telah dibahas, meskipun di lokasi ini tidak terekam nilai gradien suhu yang

terlalu mencolok. Kisaran nilai EKE pada bulan Desember yaitu 0,15 – 1,65 m2

s-

2. Memasuki bulan Januari terjadi sedikit penurunan EKE yaitu berada pada

kisaran 0,15-1,05 m2

s-2

. Pada bulan Februari nilai EKE berada di kisaran yang

sama dengan bulan sebelumnya, namun kecepatan arus geostropiknya lebih

rendah. Selama Musim Barat, di sekitar mulut Teluk Bone tercatat kecepatan arus

geostropik hingga mencapai lebih dari 0,7 ms-1. Ada beberapa kemungkinan yang

menyebabkan kekuatan arus di lokasi ini relatif besar, diantaranya karena adanya

pulau-pulau kecil di sekitar area tersebut sehingga arus memasuki daerah yang

menyempit dan mengalami pembelokan-pembelokan mengikuti topografi pantai

dan dasar laut sehingga terbentuk arus yang lebih kencang.

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, terdapat hubungan antara besar

kecilnya gradien suhu dengan kuat lemahnya EKE. Hubungan keduanya yakni

berbanding terbalik, apabila nilai gradien suhu menunjukkan nilai yang relatif

kecil (cenderung negatif) maka keberadaan EKE akan relatif kuat dan sebaliknya

apabila nilai gradien suhu relatif tinggi (cenderung positif) maka kekuatan EKE

Page 26: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

51

akan relatif lemah (Gambar 27), namun terdapat faktor lain yang membuat EKE

lebih besar, yaitu kondisi topografi yang menyempit seperti di selat dan

keberadaan pulau-pulau kecil yang mempersempit daerah laju arus.

Gambar 18. Hubungan nilai rata-rata klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE

selama Musim Barat di beberapa perairan dalam lokasi penelitian

4.3.2 Musim Peralihan I

Nilai gradien suhu dan kekuatan EKE selama Musim Peralihan I (Maret,

April, Mei) menunjukkan variasi seperti yang terlihat pada musim sebelumnya.

Nilai gradien suhu yang cukup mencolok ditemukan di perairan selatan Selat

Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Banda. Demikian juga kekuatan

EKE yang dominan terlihat di lokasi yang sama dengan ditemukannya perbedaan

gradien suhu tersebut. Pada musim ini tercatat rentang gradien terendah yakni

berkisar -1,3 -0.05 ºC/m ditemukan di Laut Flores pada bulan Maret, sedangkan

rentang nilai gradien suhu tertinggi masih ditemukan di Timur Laut Jawa pada

bulan April yakni dengan kisaran -0,2 0,05 ºC/m. Kekuatan EKE terlemah

ditemukan di perairan Timur Laut Jawa pada bulan April dengan nilai kisaran

0,05 – 0,2 m2s

-2 dan kekuatan EKE terbesar ditemukan di Teluk Bone pada bulan

Mei dengan kisaran 0,15 – 1,95 m2s

-2 (Tabel 3).

Tabel 2. Kisaran nilai klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE selama

Musim Peralihan I

No. Perairan Cakupan Bulan Kisaran Kisaran

Page 27: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

52

Wilayah Grad. Suhu

(ºC/m)

EKE (m2S

-2)

1. Timur laut

Jawa

3 - 7 º LS

110 - 116 º BT

Maret -0,30 – 0,10 0,05 – 0,25

April -0,20 – 0,15 0,05 – 0,20

Mei -0.20 – 0,10 0,05 – 0,25

2. Selatan Selat

Makassar

2 - 6,5º LS

116 - 120º BT

Maret -0,65 – 0,10 0,15 – 0,90

April -0,85 – 0,10 0,15 – 0,90

Mei -0,90 – 0 0,15 – 1,75

3. Teluk Bone 2,75 - 6,5º LS

120 - 123º BT

Maret -0,35 – 0,05 0,10 – 1,65

April -0,55 – 0 0,10 – 1,60

Mei -0,85 – 0 0,15 – 1,95

4. Laut Flores 6,5 - 8,5º LS

118 - 125º BT

Maret -1,30 – -0,05 0,05 – 0,50

April -0,65 -0,10 0,05 – 0,50

Mei -0,20 0,05 0,05 – 0,50

5. Laut Banda 2 - 8,5º LS

125 - 126º BT

Maret -1,30 0,10 0,05 – 0,75

April -0,65 – 0,05 0,05 – 0,75

Mei -0,30 0,05 0,05 – 0,90

Variasi gradien suhu dan EKE tidak hanya terlihat secara temporal tetapi

juga terlihat secara spasial. Di perairan Timur Laut Jawa diperoleh nilai gradien

suhu rata-rata paling mencolok sebesar -0,1 ºC/m dengan kisaran -0,3 0,1 ºC/m

yang ditemukan pada bulan Maret. Adapun nilai EKE rata-rata tertinggi sebesar

0,15 m2 s

-2 ditemukan pada bulan Maret dan Mei dengan kisaran 0,05 – 0,25 m

2 s

-

2. Lokasi ditemukannya nilai EKE tertinggi memperlihatkan bahwa kecepatan

arus geostropik yang terekam relatif tinggi dibandingkan daerah disekitarnya.

Kecepatan geostropik rata-rata yang terlihat dari hasil visualisasi overlay EKE dan

arus geostropik menunjukkan nilai rata-rata hampir 0,7 m s-1

dimana arah

dominan menuju tenggara kemudian berbelok ke garis ekuator yang berada di

utara perairan. Pembelokan ini menyebabkan terbentuknya pusaran arus di bawah

pesisir Kalimantan yakni sekitar posisi 3,5º 6º LS dan 115º 117º BT (Gambar

28b).

Page 28: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

53

Gambar 19. Klimatologi Gradien suhu dan Energi Kinetik Eddy (EKE) selama

Musim Peralihan I. (a) Gradien suhu (atas ke bawah: Maret, April,

Mei); (b) Overlay Arus Geostropik dan EKE (atas ke bawah: Maret,

April, Mei)

Di perairan lainnya seperti selatan Selat Makassar, nilai EKE rata-rata

cenderung lebih besar karena perairan ini memiliki topografi yang menyempit

sehingga laju arus menjadi kencang. Nilai rata-rata EKE tertinggi ditemukan pada

Page 29: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

54

bulan Mei yakni sebesar 0,95 m2

s-2

dengan kisaran 0,15 – 1,75 m2

s-2

, diikuti

dengan nilai gradien suhu rata-rata sebesar -0,45 ºC/m dengan kisaran -0,90 – 0

ºC/m yang juga ditemukan pada bulan Mei. Kecepatan rata-rata arus geostropik

mencapai nilai > 0,7 m2 s

-2 dengan arah dominan menuju utara.

Hasil visualisasi juga memperlihatkan bahwa Teluk Bone memiliki EKE

yang relatif besar dan gradien suhu yang cukup mencolok, terutama di lokasi

mulut teluk (Gambar 28b). Nilai gradien suhu rata-rata yang paling mencolok

ditemukan pada bulan Mei yaitu sebesar -0,425 ºC/m dengan kisaran -0,85 – 0

ºC/m. Demikian juga dengan nilai EKE terbesar ditemukan di bulan yang sama

dengan nilai rata-rata sebesar 1,05 m2

s-2

dengan kisaran yakni 0,15 – 1,95 m2

s-2

.

Kecepatan rata-rata arus geostropik di Teluk Bone juga mencapai > 0,7 m s-1

dimana kecepatan maksimum juga terekam di lokasi mulut teluk, yaitu pada

koordinat 5º – 6,5º LS dan 120º 122º BT.

Di Laut Flores nilai EKE pada Musim Peralihan I menunjukkan kisaran

nilai yang konstan setiap bulannya, yaitu berkisar antara 0,05 – 0,50 m2

s-2

dimana

nilai rata-ratanya sebesar 0,275 m2

s-2

. Adapun nilai maksimum selalu terlihat di

sekitar pesisir daratan Pulau Flores, dimana pada lokasi tersebut juga merekam

kecepatan rata-rata arus geostropik paling tinggi di perairan ini. Nilai maksimum

kecepatan rata-rata arus geostropik dapat mencapai 0,7 m s-1

dengan arah arus

dominan menuju timur yang kemudian diteruskan ke utara setelah mencapai barat

Laut Banda. Di perairan Laut Flores memperlihatkan adanya perbedaan nilai

gradien suhu yang paling mencolok dibandingkan perairan lainnya selama Musim

Peralihan I (Gambar 28a), terutama pada bulan Maret dimana nilai gradien suhu

rata-rata sebesar -0,675 ºC/m dengan nilai kisaran yakni -1,30 – -0,05 ºC/m.

Nilai gradien suhu di perairan barat Laut Banda memperlihatkan nilai

paling mencolok pada bulan Maret dengan nilai rata-rata sebesar -0,6 ºC/m dari

kisaran nilai -1,30 0,10 ºC/m. Pada bulan-bulan berikutnya di Musim Peralihan I

nilai gradien suhu semakin mengalami kenaikan namun tetap bernilai negatif.

Berbeda halnya dengan EKE yang menunjukkan nilai tertinggi pada bulan Mei

yakni dengan nilai rata-rata sebesar 0,475 m2

s-2

dan kisaran 0,05 – 0,90 m2

s-2

.

Adapun arus geostropik di barat Laut Banda merupakan arus yang berasal dari

Page 30: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

55

Laut Flores, arah arus dominan menuju utara (ekuator) dengan kecepatan

mencapai maksimum pada bulan Mei yaitu > 0,7 m s-1

.

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, nilai gradien suhu rata-rata yang

mencolok pada musim ini merupakan gradien negatif yang menunjukkan adanya

penurunan suhu dengan peningkatan secara mendalam. Hasil yang diperoleh

memperlihatkan bahwa adanya gradien suhu yang mencolok di perairan biasanya

diikuti dengan kekuatan EKE yang relatif besar (Gambar 29).

Gambar 20. Hubungan nilai rata-rata klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE

selama Musim Peralihan I di beberapa perairan dalam lokasi

penelitian

4.3.3 Musim Timur

Nilai gradien suhu dan EKE pada Musim Timur (Juni, Juli, Agustus)

menunjukkan variasi setiap bulannya dengan kisaran nilai yang berbeda-beda di

setiap lokasi perairan. Berdasarkan Tabel 3, dapat terlihat bahwa nilai gradien

suhu paling mencolok ditemukan di Teluk Bone pada bulan Agustus dengan

kisaran nilai -1,45 – -0,15 ºC/m dan nilai rata-rata sebesar -0,8 ºC/m, sedangkan

kekuatan EKE terbesar ditemukan di selatan Selat Makassar pada bulan Juli

dengan kisaran 0,15 – 1,7 m2 s

-2 dan nilai rata-rata 0,925 m

2 s

-2.

Page 31: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

56

Tabel 3. Kisaran nilai klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE selama

Musim Timur

No. Perairan Cakupan

Wilayah Bulan

Kisaran

Grad. Suhu

(ºC/m)

Kisaran

EKE (m2S

-2)

1. Timur laut

Jawa

3 - 7 º LS

110 - 116 º BT

Juni -0,15 – 0 0,05 – 0,30

Juli -0,20 – 0 0,05 – 0,15

Agustus -0.25 – 0 0,05 – 1,05

2. Selatan Selat

Makassar

2 - 6,5º LS

116 - 120º BT

Juni -0,90 – -0,05 0,15 – 0,75

Juli -0,70 – -0,10 0,15 – 1,7

Agustus -0,55 – -0,10 0,3 – 0,8

3. Teluk Bone 2,75 - 6,5º LS

120 - 123º BT

Juni -0,10 – -0,05 0,15 – 1,5

Juli -1 – -0,10 0,1 – 0,9

Agustus -1,45 – -0,15 0,15 – 1,65

4. Laut Flores 6,5 - 8,5º LS

118 - 125º BT

Juni -0,20 – -0,10 0,05 – 0,45

Juli -0,15 -0,10 0,05 – 0,40

Agustus -0,15 -0,10 0,05 – 0,40

5. Laut Banda 2 - 8,5º LS

125 - 126º BT

Juni -0,55 -0,05 0,05 – 0,45

Juli -0,15 – 0,05 0,05 – 0,45

Agustus -0,15 0,05 0,05 – 0,90

Selama musim ini, terlihat adanya gradien suhu yang lebih homogen di

sekitar Perairan Laut Flores dan Timur Laut Jawa dilihat dari kisaran nilai yang

terekam setiap bulannya. Meskipun kisarannya cenderung homogen, namun dari

ketiga bulan dalam musim ini terdapat nilai yang paling mencolok diantara yang

lainnya. Nilai gradien suhu di Timur Laut Jawa menunjukkan nilai yang paling

mencolok pada bulan Agustus dengan kisaran antara -0,25 0 ºC/m dan nilai rata-

rata sebesar -0,125 ºC/m. Nilai gradien suhu negatif ini berkembang akibat

masuknya massa air dari Laut Flores dan Selat Makassar yang memiliki suhu

lebih rendah dibandingkan dengan suhu di perairan Laut Jawa itu sendiri. Pada

Gambar 30a terlihat gradien suhu negatif berkembang di sekitar pesisir

Kalimantan yang berbatasan langsung dengan selatan Selat Makassar, semakin

memasuki pertengahan dan akhir periode musim timur semakin luas pula daerah

cakupannya.

Page 32: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

57

Nilai EKE di Timur Laut Jawa menunjukkan nilai tertinggi sebesar 0,55

m2

s-2

yang juga terekam pada bulan Agustus dengan kisaran nilai antara 0,05 –

1,05 m2

s-2

. Besarnya kekuatan EKE pada Agustus ini disebabkan nilai kecepatan

arus geostropik yang besar pula, seperti yang terlihat pada Gambar 30b. Kekuatan

EKE maksimum di perairan ini terlihat di lokasi sekitar pesisir Kalimantan

dimana kecepatan maksimumnya mencapai > 0,7 m s-1

dengan arah yang tidak

beraturan akibat adanya pembelokan-pembelokan arus saat membentur daratan

dan arus lainnya.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Laut Flores memiliki

kisaran gradien suhu yang relatif homogen (Tabel 4), namun terdapat nilai yang

sedikit lebih mencolok diantara ketiga bulan yang termasuk ke dalam musim ini,

yakni pada bulan Juni dimana kisaran nilai gradien suhu antara -0,20 – -0,10 ºC/m

dan nilai rata-ratanya sebesar -0,5 ºC/m. Gradien suhu pada bulan Juli dan

Agustus menunjukkan nilai yang sama. Sama halnya dengan gradien suhu yang

relatif homogen, kekuatan EKE pada musim ini juga relatif sama setiap bulannya,

hanya saja terdapat nilai yang sedikit lebih besar pada bulan Juni, yaitu berkisar

antara 0,05 – 0,45 m2

s-2

dengan nilai rata-rata sebesar 0,25 m2

s-2

. Nilai EKE

maksimum terekam di sekitar pesisir Pulau Flores, dimana lokasi tersebut juga

menunjukkan kecepatan arus geostropik yang relatif besar dari sekitarnya.

Berdasarkan visualisasi selama Musim Timur diperoleh bahwa arah dominan arus

geostropik di laut Flores menuju Tenggara dengan kecepatan > 0,7 m s-1

.

Di selatan Selat Makassar terdapat gradien suhu negatif yang cukup

mencolok di lintang 2º 3,5º LS, namun semakin menuju pertengahan dan akhir

periode Musim Timur kenegatifan-nya semakin berkurang. Hal tersebut

dikarenakan adanya distribusi bahang dari selatan Selat Makassar ke Timur Laut

Jawa akibat aliran arus. Gradien suhu negatif paling mencolok ditemukan pada

bulan Juni yaitu berkisar antara -0,90 – -0,05 ºC/m dengan nilai rata-rata sebesar -

0,475 ºC/m. EKE terbesar diperoleh pada bulan Juli dengan kisaran 0,15 – 1,7 m2

s-2

dan nilai rata-rata sebesar 0,925 m2

s-2

. Vektor kecepatan arus geostropik

menunjukkan bahwa kecepatan yang terekam dapat mencapai > 0,7 m s-1

,

Page 33: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

58

terutama pada bulan Juli. Arah arus geostropik dominan menuju utara yaitu selalu

mengarah ke ekuator (Gambar 30b).

Gambar 21. Klimatologi Gradien suhu dan Energi Kinetik Eddy (EKE) selama

Musim Timur. (a) Gradien suhu (atas ke bawah: Juni, Juli, Agustus);

(b) Overlay Arus Geostropik dan EKE (atas ke bawah: Juni, Juli,

Agustus)

Page 34: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

59

Di perairan tertutup seperti Teluk Bone, diperoleh gradien suhu negatif

paling mencolok dibandingkan perairan lainnya selama Musim Timur. Nilai

kisaran yang menunjukkan gradien suhu paling negatif ditemukan pada bulan

Agustus yakni -1,45 – -0,15 ºC/m dengan nilai rata-rata sebesar -0,80 ºC/m.

Adapun nilai paling mencolok ditemukan di pedalaman teluk, semakin mendekati

mulut teluk nilai gradien suhu semakin berkurang kenegatifan-nya. Demikian

halnya dengan nilai EKE terbesar yang juga ditemukan pada bulan Agustus

dengan kisaran nilai 0,15 – 1,65 m2

s-2

dan nilai rata-rata sebesar 0,90 m2

s-2

. Nilai

EKE maksimum terlihat di lokasi mulut teluk dimana pada lokasi tersebut juga

terekam kecepatan arus geostropik yang relatif besar yakni > 1 m s-1

dengan arah

dominan menuju barat daya dan berbelok ke utara memasuki Selat Makassar.

Gradien suhu negatif juga terlihat cukup mencolok di perairan Laut Banda,

yaitu pada bulan Juni dimana kisaran nilai yang diperoleh sebesar -0,55 -0,05

ºC/m dengan nilai rata-rata sebesar -0,30 ºC/m. Nilai mencolok tersebut terlihat di

sekitar lintang 2º – 3º LS, akan tetapi saat memasuki bulan Juli dan Agustus nilai

gradien suhu relatif lebih homogen dan memiliki nilai kisaran yang sama. Hal

tersebut kemungkinan disebabkan adanya pengadukan massa air dari lapisan

dalam hingga ke permukaan oleh proses upwelling sehingga suhu di lapisan

pertama (Z = 1) relatif sama dengan suhu di lapisan bawahnya (Z = 2) yang

mengakibatkan nilai gradien suhu menjadi sangat kecil.

Kekuatan EKE terbesar di Laut Banda ditemukan pada akhir periode

Musim Timur, yaitu pada bulan Agustus dengan nilai berkisar antara 0,05 – 0,90

m2

s-2

dan nilai rata-ratanya sebesar 0,475 m2

s-2

. Lokasi ditemukannya nilai EKE

maksimum adalah di sekitar lintang 2º 5,5º LS. Di lokasi tersebut juga di

peroleh kecepatan arus geostropik yang relatif besar yakni mencapai 0,7 m s-1

.

Adapun arah arus geostropik terlihat tidak menentu.

Lokasi dimana ditemukannya nilai gradien suhu yang mencolok, baik itu

bernilai negatif ataupun positif biasanya juga terdapat nilai EKE yang relatif kuat.

Hal ini dikarenakan turbulensi di dekat permukaan laut biasanya digerakkan oleh

angin dan berfungsi untuk mentransmisikan bahang ke dalam dan ke luar laut

(Neumann dan Pierson 1966). Pola tersebut terlihat secara kualitatif dari grafik

Page 35: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

60

hubungan fluktuasi keduanya (Gambar 31). Faktor lain yang juga mempengaruhi

besarnya EKE adalah interaksi arus dengan batimetri yang dapat membangkitkan

EKE. EKE tertinggi sebenarnya juga sering ditemukan pada daerah yang

berdekatan dengan hambatan utama topografi, seperti yang terjadi di Selat

Makassar dan Mulut Teluk Bone. Hal tersebut menunjukkan pentingnya topografi

dalam stabilitas aliran rata-rata.

Gambar 22. Hubungan nilai rata-rata klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE

selama Musim Timur di beberapa perairan dalam lokasi penelitian

4.3.4 Musim Peralihan II

Variasi kisaran nilai gradien suhu dan EKE terjadi secara spasial maupun

temporal selama Musim Peralihan II (September, Oktober, dan November).

Gradien suhu paling mencolok di musim ini bernilai negatif yang menjelaskan

bahwa suhu di lapisan permukaan lebih dingin dari lapisan bawahnya. Nilai

kisaran gradien suhu negatif paling mencolok yaitu -1,65 – -0,15 ºC/m dengan

nilai rata-rata sebesar -0,90 ºC/m yang ditemukan pada bulan September di Teluk

Bone, sedangkan nilai EKE paling besar ditemukan di perairan selatan Selat

Makassar pada bulan November dengan kisaran nilai 0,20 – 1,75 m2

s-2

dan nilai

rata-rata sebesar 0,975 m2 s

-2 (Tabel 5).

Kisaran gradien suhu di Timur Laut Jawa menunjukkan nilai paling

mencolok pada bulan September yakni -0,30 – 0,05 ºC/m dengan nilai rata-rata

sebesar -0,125 ºC/m. Di bulan yang sama terekam juga nilai EKE terbesar di

Page 36: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

61

perairan ini yaitu berkisar antara 0,05 – 0,30 m2

s-2

dengan nilai rata-rata sebesar

0,175 m2

s-2

. EKE maksimum terekam di sekitar pesisir Kalimantan yakni pada

lokasi 110º – 112º BT. Lokasi tersebut juga memiliki kecepatan arus geostropik

yang relatif tinggi yakni dapat mencapai nilai maksimum sebesar 0,7 m s-1

.

Tabel 4. Kisaran nilai klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE selama

Musim Peralihan II

No. Perairan Cakupan

Wilayah Bulan

Kisaran

Grad. Suhu

(ºC/m)

Kisaran EKE

(m2S

-2)

1. Timur laut

Jawa

3 - 7 º LS

110 - 116 º BT

September -0,30 – 0,05 0,05 – 0,30

Oktober -0,20 – 0,05 0,05 – 0,25

November -0,15 – 0,15 0,05 – 0,20

2. Selatan Selat

Makassar

2 - 6,5º LS

116 - 120º BT

September -0,65 – -0,10 0,25 – 1,55

Oktober -0,65 – 0,05 0,10 – 1,05

November -0,45 – 0 0,20 – 1,75

3. Teluk Bone 2,75 - 6,5º LS

120 - 123º BT

September -1,65 – -0,15 0,05 – 0,95

Oktober -1,40 – -0,25 0,10 – 1,20

November -0,65 – 0 0,10 – 1,60

4. Laut Flores 6,5 - 8,5º LS

118 - 125º BT

September -0,10 – -0,20 0,05 – 0,40

Oktober -0,40 -0,05 0,05 – 0,65

November -0,35 -0,10 0,05 – 0,40

5. Laut Banda 2 - 8,5º LS

125 - 126º BT

September -0,10 -0,05 0,05 – 0,80

Oktober -0,55 – 0 0,15 – 0,65

November -0,35 -0,05 0,05 – 0,45

Di selatan Selat Makassar, nilai gradien suhu yang paling mencolok

ditemukan pada bulan September dengan kisaran -0,65 – -0,10 ºC/m dan nilai

rata-rata -0,375 ºC/m. namun semakin memasuki akhir periode musim ini

kenegatifan-nya semakin berkurang, hal ini disebabkan adanya distribusi bahang

ke wilayah yang lebih luas sehingga gradien suhu relatif lebih mhomogen dari

bulan-bulan sebelumnya (Gambar 32a). Kekuatan EKE terbesar di perairan ini

diperoleh pada bulan November dengan kisaran 0,20 – 1,75 m2

s-2

dan nilai rata-

rata sebesar 0,975 m2

s-2

. EKE di lokasi ini merupakan EKE terbesar selama

musim Peralihan II jika dibandingkan dengan lokasi perairan lainnya, seperti yang

telah dibahas di awal. Kecepatan rata-rata arus geostropik yang membangkitkan

Page 37: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

62

EKE tersebut relatif besar, yakni > 0,1 m s-1

dengan arah dominan selalu menuju

utara (ekuator) (Gambar 32b).

Nilai gradien suhu di perairan Teluk Bone juga menunjukkan variasi setiap

bulannya. Pada bulan September terekam kisaran nilai gradien suhu yang paling

mencolok dibandingkan bulan-bulan lainnya, yakni -1,65 – -0,15 ºC/m dengan

nilai rata-rata sebesar -0,90 ºC/m. Nilai tersebut diketahui sebagai gradien suhu

paling mencolok jika dibandingkan dengan yang terekam di perairan lainnya.

Adapun nilai EKE terbesar ditemukan pada bulan November dengan kisaran nilai

0,10 – 1,60 m2

s-2

dan nilai rata-rata sebesar 0,85 m2

s-2

. Di mulut teluk terlihat

adanya kecepatan arus maksimum yakni > 1 m s-1

dimana arah dominan menuju

barat daya lalu berbelok ke utara memasuki Selat Makassar.

Berdasarkan hasil visualisasi gradien suhu selama Musim Peralihan II

(Gambar 32a), terjadi aliran massa air yang memicu perpindahan gradien suhu

permukaan yang lebih dingin dari pedalaman Teluk Bone (pada bulan September)

menuju ke mulut teluk (pada bulan Oktober) dan akhirnya sampai ke perairan

Laut Flores (pada bulan November). Hal tersebut menyebabkan Laut Flores yang

pada awal periode musim ini masih memiliki gradien suhu yang relatif homogen

dan lebih panas menjadi lebih dingin saat memasuki pertengahan dan akhir

periode musim. pada bulan Oktober dan November, nilai gradien suhu mengalami

penurunan secara mendalam terhadap kedalaman dengan kisaran berturut-turut

yaitu -0,40 -0,05 ºC/m dan -0,35 -0,10 ºC/m. Nilai gradien suhu rata-rata pada

kedua bulan tersebut sebesar -0,225 ºC/m. Adapun EKE yang terekam di Laut

Flores mencapai nilai maksimum pada bulan September dan November yakni

sebesar 0,225 m2 s

-2 dengan kisaran antara 0,05 – 0,40 m

2 s

-2.

Di barat Laut Banda gradien suhu paling mencolok berkisar antara -0,55 –

0 ºC/m dengan nilai rata-rata sebesar -0,275 ºC/m dimana nilai tersebut terekam

pada bulan Oktober. Gradien suhu negatif paling mencolok ini terlihat pada

lintang 2º - 3,5º LS, sementara itu, EKE paling besar ditemukan pada bulan

September dengan nilai rata-rata 0,425 m2

s-2

dari kisaran 0,05 – 0,80 m2

s-2

,

kemudian kekuatannya perlahan berkurang hingga akhir periode musim ini.

Kecepatan arus geostropik maksimum yang tercatat di perairan ini dapat mencapai

Page 38: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

63

> 0,7 m s-1

dengan arah yang tidak menentu, namun secara umum arus geostropik

selalu mengarah ke utara di bagian bumi selatan (mengarah ekuator).

Gambar 23. Klimatologi Gradien suhu dan Energi Kinetik Eddy (EKE) selama

Musim Peralihan II. (a) Gradien suhu (atas ke bawah: September,

Oktober, November); (b) Overlay Arus Geostropik dan EKE (atas ke

bawah: September, Oktober, November)

Page 39: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

64

Berbeda dengan pola grafik hubungan gradien suhu dan EKE pada musim-

musim sebelumnya, pada musim ini terjadi hubungan positif antara keduanya

dimana meningkatnya nilai gradien suhu diikuti pula dengan meningkatnya nilai

EKE, kecuali di perairan Timur Laut Jawa dan Laut Flores yang masih

menunjukkan hubungan negatif dimana penurunan suhu menyebabkan EKE yang

relatif tinggi (Gambar 33).

Gambar 24. Hubungan nilai rata-rata klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE

selama Musim Peralihan II di beberapa perairan dalam lokasi

penelitian

4.4 Variabilitas Klorofil-a

Hasil klimatologi bulanan kandungan klorofil-a hasil rekaman citra

SeaWIFS dalam rentang Januari 1998 sampai Desember 2010 mengalami variasi

nilai sebaran rata-rata baik secara spasial maupun temporal. Berdasarkan variasi

bulanan, kandungan klorofil-a dengan daerah penyebaran paling luas ditemukan

pada bulan Agustus sedangkan kandungan klorofil-a dengan daerah penyebaran

paling sempit ditemukan pada bulan Desember (Lampiran 5). Pada variasi

bulanan, terlihat bahwa secara spasial klorofil-a mulai meningkat sejak bulan

Januari dan mulai berkurang pada bulan Oktober.

Sebaran klorofil-a pada Musim Barat mencapai puncaknya di bulan

Februari. Kandungan klorofil-a relatif tinggi ditemukan di perairan Timur Laut

Jawa dan selatan Selat Makassar seperti yang terlihat pada Gambar 34. Di Timur

Page 40: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

65

Laut Jawa, kandungan klorofil-a didominasi oleh nilai 0,1 – 1,25 mg/m3 dimana

nilai kisaran minimum ditemukan di lepas pantai Laut Jawa dan nilai maksimum

ditemukan di dekat pesisir Kalimantan. Di sekitar pesisir Kalimantan ini nilai

dapat mencapai > 7,1 mg/m3, sehingga perlu dilakukan cek lapangan karena

kemungkinan nilai tersebut bukanlah kandungan klorofil-a, tetapi merupakan

pengaruh sedimentasi yang cukup tinggi seperti di pesisir timur Sumatera, pesisir

Kalimantan, dan pesisir Papua (Arsjad et al. 2004).

Nilai kandungan klorofil-a yang mendominasi perairan selatan Selat

Makassar yakni berkisar antara 0,3 – 1,1 mg/m3. Relatif tingginya nilai kandungan

klorofil-a disebabkan banyaknya sungai-sungai di pesisir Kalimantan Timur dan

Sulawesi yang bermuara ke Selat Makassar, sementara itu, kandungan klorofil-a

di Laut Flores dan barat Laut Banda relatif kecil, yaitu didominasi oleh nilai 0,1 –

0,3 mg/m3, hanya di beberapa titik lokasi saja yang nilainya mencapai 1,1 mg/m

3

(Gambar 34).

Gambar 25. Klimatologi bulanan Klorofil-a (mg/m

3) pada Musim Barat

(Februari) selama rentang tahun 1998 – 2010

Pada bulan Mei yang mewakili Musim Peralihan I, terlihat adanya

peningkatan kandungan klorofil-a di Timur Laut Jawa yakni 0,3 – 1,5 mg/m3.

Adapun sebaliknya terjadi penurunan kisaran nilai kandungan klorofil-a di selatan

Page 41: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

66

Selat Makassar yang pada musim ini di dominasi oleh nilai 0,3 – 0,7 mg/m3. Hal

tersebut kemungkinan disebabkan pada akhir periode musim ini (Mei) arus telah

mengalami pembalikan arah dari timur menuju barat sehingga klorofil-a dari Selat

Makassar terbawa arus menuju Laut Jawa. Di Laut Flores dan Laut Banda,

kandungan klorofil-a tidak jauh berbeda dengan musim sebelumnya yakni

dominan berkisar antara 0,1 – 0,3 mg/m3 (Gambar 35).

Variasi kandungan klorofil-a di lokasi penelitian juga ditemukan pada

musim Timur. Puncak nilai dan penyebaran klorofil-a ditemukan pada bulan

Agustus. Kandungan dan sebaran klorofil-a pada Musim Timur lebih tinggi

daripada Musim Barat. Seperti halnya pada musim Barat, adanya variasi ini

kemungkinan disebabkan oleh pengaruh musim dan pergerakan massa air, selain

itu ditambah dengan fenomena upwelling yang cukup kuat. Berdasarkan Gambar

35, tingkat penyebaran klorofil-a relatif meluas ke seluruh perairan dibandingkan

dengan musim-musim lainnya. Di Timur Laut Jawa hampir seluruh kawasan

perairannya tersebar klorofil-a dengan nilai > 0,3 mg/m3. Hal tersebut disebabkan

oleh pengaruh upwelling di Laut Banda yang terbawa oleh pergerakan massa air

sampai ke Laut Jawa. Adapun nilai kandungan klorofil-a yang dominan diperoleh

di perairan ini yaitu 0,3 – 2,3 mg/m3, namun semakin mendekati pesisir

Kalimantan kandungan klorofil-a semakin meningkat drastis, sebagaimana yang

terlihat pada bulan-bulan di musim-musim lainnya.

Page 42: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

67

Gambar 26. Klimatologi bulanan Klorofil-a (mg/m

3) pada Musim Peralihan I

(Mei) selama rentang tahun 1998 – 2010

Musim Timur juga berperan dalam penyuburan perairan. Indikasi adanya

upwelling di Laut Banda dan Selatan Selat Makassar membuat perairan

disekitarnya menjadi kaya nutrien sehingga memacu pertumbuhan dari

fitoplankton. Hal ini terbukti dengan sebaran kandungan klorofil-a yang semakin

meluas di perairan barat Laut Banda dengan nilai dominan berkisar antara 0,3 –

1,5 mg/m3. Penyuburan juga terjadi di mulut Teluk Bone dan di sekitar pesisir

Sulawesi Selatan dengan kisaran nilai dominan yang sama.

Di selatan Selat Makassar nilai dominan yang terekam yaitu 0,2 – 0,9

mg/m3 dimana nilai kisaran maksimum terlihat di sekitar pesisir Kalimantan

Timur hingga tengah selat. Menurut Ilahude (1978) dalam Prasetyo dan Suwarso

(2010) kandungan klorofil-a di Selat Makassar bagian selatan (daerah pusat

upwelling) pada saat terjadi upwelling (Agustus 1974) berkisar antara 0,4 – 0,7

mg/m3, sedang sebelum terjadinya upwelling (Mei 1975) kandungan klorofil-a

berkisar antara 0,2 – 0,4 mg/m3. Di perairan Laut Flores nilai dominan yang

terlihat yakni 0,1 – 1,5 mg/m3 dimana nilai maksimum terpusat di satu titik lokasi,

yaitu di lintang 6,5º – 7,5º LS (Gambar 36).

Page 43: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

68

Gambar 27. Klimatologi bulanan Klorofil-a (mg/m

3) pada Musim Timur

(Agustus) selama rentang tahun 1998 – 2010

Di awal periode Musim Peralihan II mulai terlihat adanya penurunan

kandungan klorofil-a, namun puncak terjadinya penurunan klorofil-a ditemukan

pada bulan November (akhir periode Musim Peralihan II). Di lepas pantai

perairan Timur Laut Jawa terlihat penurunan kandungan klorofil-a dari musim

sebelumnya dengan kisaran nilai dominan 0,1 – 0,7 mg/m3, namun di sekitar

pesisir Kalimantan tetap menunjukkan nilai > 7,1 mg/m3. Demikian juga yang

terjadi di Laut Banda, nilai kisaran menurun menjadi 0,1 – 0,3 mg/m3. Di selatan

Selat Makassar, nilai kisarannya juga sedikit menurun pada rentang 0,1 – 1,3

mg/m3 dengan daerah sebaran yang lebih sempit karena klorofil-a semakin

terpusat di dekat pesisir Kalimantan Timur (Gambar 37).

Page 44: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

69

Gambar 28. Klimatologi bulanan Klorofil-a (mg/m

3) pada Musim Peralihan II

(November) selama rentang tahun 1998 – 2010

Umumnya perairan yang bernilai klorofil-a rendah ini adalah perairan laut

lepas yang jauh dari pengaruh daratan, sedangkan di daerah pesisir yang banyak

muara sungai-sungai besar seperti di pesisir Selat Makassar (Arief 2004) dan

Pesisir Kalimantan nilai klorofil-a akan lebih tinggi karena banyak menerima

nutrien dari run-off sungai tersebut. Tingginya kandungan klorofil-a di perairan

dangkal juga disebabkan adanya proses pengadukan massa air sampai ke

permukaan oleh faktor angin (Arief 2004) seperti yang terjadi di Timur Laut

Jawa.

4.5 Indikasi Potensi Upwelling

Sumberdaya perikanan pelagis kecil merupakan sumberdaya yang paling

melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini adalah sumberdaya neritik,

karena penyebarannya berada di dekat pantai. Di daerah-daerah dimana sering

terjadi kenaikan air (upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang

sangat besar (Widodo dan Suadi, 2006).

Menurut Nybakken (1988) lebih kurang 90% hasil perikanan dunia

dipanen dari sekitar 2-3 % luasan lautan, dan sebagian besar dari luasan ini adalah

Page 45: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

70

daerah upwelling. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa daerah upwelling yang

telah diketahui dan dibuktikan dengan pasti, juga beberapa daerah lainnya yang

masih merupakan dugaan sehingga perlu dikaji lebih lanjut. Seperti yang

dikemukakan sebelumnya oleh Nontji (2005), bahwa ada empat daerah yang

sudah diketahui secara pasti sering terjadi upwelling yaitu Laut Cina Selatan,

perairan Selatan Jawa hingga Sumbawa, selatan Selat Makassar, dan Laut Banda

hingga Arafuru.

Wilayah kajian dalam penelitian ini mencakup beberapa daerah lokasi

upwelling yang disebutkan di atas, yaitu selatan Selat Makassar dan Laut Banda

bagian barat. Termasuk juga Laut Sulawesi bagian selatan yang diprediksi sebagai

daerah upwelling. Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan

dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya

lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat hara yang kaya dengan fosfat dan nitrat naik

ke permukaan (Nontji 1993).

Dalam penelitian ini, upwelling dikaji dan diprediksi melalui beberapa

parameter oseanografi, diantaranya SPL, gradien suhu, EKE, dan konsentrasi

klorofil-a. Apabila hasil yang diperoleh positif, selanjutnya dibuktikan dengan

profil suhu vertikal dan fluktuasi lapisan termoklin. Adanya nilai-nilai yang

mencolok dari semua parameter pada lokasi yang sama dapat diindikasikan

sebagai daerah dengan aktivitas upwelling tinggi. Semakin berkurang parameter

yang mendukung maka indikasi potensi upwelling semakin lemah.

4.5.1 Fluktuasi Upwelling

Prediksi daerah potensial upwelling dilakukan berdasarkan beberapa

kriteria, diantaranya ditemukan SPL yang lebih rendah dari daerah sekitarnya,

memiliki gradien suhu negatif yang mencolok dari daerah sekitarnya, adanya EKE

yang cukup kuat, dan relatif tingginya konsentrasi klorofil-a. Hasil analisis secara

kualitatif visual dan kuantitatif data parameter indikator upwelling menunjukkan

adanya nilai yang cukup mencolok untuk keempat parameter tersebut, dimana

pada bulan Juni dan Juli terdapat tiga titik lokasi prediksi sedangkan untuk bulan

Agustus sampai Oktober ditemukan empat titik lokasi prediksi. Lokasi-lokasi

Page 46: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

71

tersebut dua diantaranya terdapat di selatan Selat Makassar dan sisanya ditemukan

di Mulut Teluk Bone (Sulawesi Tenggara) dan Timur Laut Jawa.

Tabel 5. Fluktuasi kejadian upwelling di lokasi prediksi

Perairan Bulan Posisi SPL

(ºC)

Grad.

Suhu

(ºC/m

)

EKE

(m²s-

²)

Klorofil-a

(mg/m³)

Lokasi A:

Selatan

Selat

Makassar

(bag. Atas)

Jun 2º – 3º LS;

116º – 119,5º BT 28,89 – 30,02 -0,305 0,303 0,104 – 6,113

Jul 2º 3,25º LS;

116º 119,5º BT 28,51 – 29,55 -0,295 0,320 0,171 – 3,007

Agu 2º 4º LS;

116,5º 119,5º BT 28,07 – 29,03 -0,229 0,323 0,180 – 3,260

Sep

2º 3,5º LS;

116,25º 119,5º BT

28,12 – 29,23 -0,241 0,256 0,099 – 1,464

Okt

2 – 3,5 LS;

116,25º – 119,5º

BT

28,24 – 29,36 -0,208 0,438 0,150 – 3,506

Lokasi B:

Selatan

Selat

Makassar

(bag.

Bawah)

Jun 119º – 120º BT;

5º 6,5º LS 27,77 – 28,38 -0,150 0,114 0,156 – 1,876

Jul 5º 6,5º LS;

119º 120,5º BT 27,59 -28,07 -0,143 0,133 0,129 – 1,468

Agu 5º 7º LS;

118º 120,5º BT 27,48 – 28,66 -0,467 0,145 0,179 – 2,227

Sep 5 7 LS;

117º 120,5º BT 27,57 – 28,59 -0,485 0,131 0,138 – 1,602

Okt 4,75º – 6,5º LS;

117º – 120º BT 28,33 – 29,10 -0,311 0,091 0,126 – 1,351

Lokasi C:

Mulut

Teluk Bone

(Sulawesi

Tenggara)

Jun 4,75º 6,25º LS;

121º 123º BT 27,63 – 29,08 -0,207 0,880 0,154 – 2,335

Jul 4,75º 6,25º LS;

121º 123º BT 27,43 – 28,63 -0,117 0,265 0,168 – 2,093

Agu 4,25º 7º LS;

120,5º 124º BT 26,26 – 29,08 -0,510 0,316 0,171 – 3,276

Sep 4,75º – 6,25º LS;

121º – 123º BT 26,34 – 28,71 -0,586 0,302 0,071 – 8,482

Okt 4,75º – 6,25º LS;

121º – 123º BT 28,26 – 29,26 -0,646 0,373 0,054 – 0,650

Lokasi D:

Perbatasan

Timur Laut

Jun - - - - -

Jul - - - - -

Agu 4,25º 7º LS; 28,18 – 29,02 -0,086 0,004 0,27 – 17,25

Page 47: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

72

Jawa

dengan

selatan

Selat

Makassar

115º 117º BT

Sep 4,25º – 7º LS;

115º – 117º BT 28,18 – 29,02 -0,159 0,010 0,248 – 1,696

Okt 4,25º -7º LS;

115º – 117º BT 28,59 – 29,56 -0,122 0,006 0,090 – 20,45

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa kejadian upwelling mengalami

fluktuasi baik secara spasial maupun temporal. Secara spasial dapat dilihat dari

luasan wilayah yang terkena dampak dan secara temporal dapat dilihat dari

fluktuasi parameter-parameter yang menunjukkan intensitas dari kejadian

upwelling itu sendiri. Variabilitas dan pola penyebaran SPL menunjukkan bahwa

penurunan SPL di lokasi penelitian dimulai pada awal periode Musim Timur,

yaitu bulan Juni yang menjadi awal dari kejadian upwelling. Menurunnya SPL ini

diikuti dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a yang tersebar di seluruh lokasi

penelitian. Kondisi tersebut memuncak pada bulan Agustus dimana ditemukan

SPL paling rendah dan konsentrasi klorofil-a paling tinggi. Selanjutnya kembali

terjadi peningkatan SPL secara bertahap yang diikuti dengan penurunan

konsentrasi klorofil-a. Akhir dari kejadian upwelling diperkirakan terjadi pada

pertengahan Musim Peralihan II yaitu bulan Oktober.

Pada periode awal kejadian upwelling (bulan Juni) ditemukan tiga lokasi

yang diprediksi sebagai daerah upwelling (Gambar 38). Lokasi-lokasi tersebut

terletak pada koordinat2º – 3º LS 116º – 119,5º BT yang selanjutnya kita sebut

lokasi A; 5º 6,5º LS 119º – 120º BT disebut lokasi B, dan lokasi terakhir di

koordinat 4,75º 6,25º LS 121º 123º BT disebut lokasi C.

Spesifikasi perairan di lokasi A pada bulan Juni memiliki SPL yang

berkisar antara 28,89 – 30,02 ºC dengan nilai rata-rata sebesar 29,24 ºC diikuti

oleh sebaran konsentrasi klorofil-a yang berkisar antara 0,104 – 6,113 mg/m³

dengan kandungan rata-rata sebanyak 0,433 mg/m³. Konsentrasi klorofil-a

maksimum tersebut berpusat di lokasi dengan koordinat 2,543 LS dan 116,36º BT

yang berdekatan dengan pesisir Kalimantan. Prediksi upwelling di lokasi A pada

bulan Juni ini juga diperkuat oleh adanya nilai gradien suhu negatif yang

menjelaskan bahwa terjadi penurunan suhu dengan peningkatan secara mendalam,

yakni suhu di lapisan atas lebih dingin dari lapisan bawahnya. Nilai gradien suhu

yang tercatat yaitu -0,305 ºC/m. Apabila dilihat dari kekuatan Energi Kinetik

Page 48: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

73

Eddy (EKE) sebagai indeks untuk melihat daerah subur dimana salah satu

penyebab upwelling adalah adanya arus turbulen yang menyebabkan terangkatnya

massa air dari lapisan lebih dalam ke permukaan, ternyata di lokasi ini juga

tercatat nilai EKE yang lebih besar dari daerah sekitarnya yakni 0,303 m²s-².

Di lokasi B ditemukan kisaran SPL 27,77 – 28,38 ºC dengan nilai rata-rata

sebesar 28,18 ºC, diikuti konsentrasi klorofil-a dengan kisaran nilai 0,156 – 1,876

mg/m³ dan memiliki nilai rata-rata 0,356 mg/m³. Konsentrasi klorofil-a

maksimum berpusat di titik 5,628 LS dan 120,03 BT. Di sekitar lokasi tersebut

juga ditemukan nilai gradien suhu negatif sebesar -0,150 ºC/m dan kekuatan EKE

0,114 m²s-². Di lokasi C SPL berkisar antara 27,63 – 29,08 ºC dengan nilai rata-

rata sebesar 28,25 ºC, diikuti oleh kandungan klorofil-a yang memiliki nilai

kisaran 0,154 – 2,335 mg/m³ dengan kandungan rata-rata 0,301 mg/m³. Indikasi

upwelling di lokasi ini diperkuat dengan nilai gradien suhu yang menunjukkan -

0,207 ºC/m dan EKE relatif tinggi sebesar 0,880 m²s-².

Lokasi A Lokasi B Lokasi C

Page 49: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

74

Gambar 29. Lokasi Prediksi upwelling berdasarkan parameter indikatornya pada

bulan Juni (atas kiri ke kanan: SPL, gradien suhu; bawah kiri ke

kanan: EKE, klorofil-a)

Pada saat upwelling memuncak, yaitu di bulan Agustus, ditemukan lokasi

baru yang juga diprediksi sebagai daerah upwelling meskipun sangat lemah.

Lokasi tersebut berposisi di Timur Laut Jawa yang disebut lokasi D. Pada bulan

ini lokasi A mencakup batas koordinat 2º 4º LS 116,5º 119,5º BT, lokasi B

mencakup koordinat 5º 7º LS 118º 120,5º BT, lokasi C mencakup koordinat

4,25º 7º LS 120,5º 124º BT, dan lokasi D mencakup koordinat 4,25º 7º LS

115º 117º BT (Gambar 39). Jika dibandingkan dengan awal periode di bulan

Juni, terjadi peluasan daerah prediksi upwelling pada bulan Agustus ini.

Selama bulan Agustus, di lokasi A ditemukan kisaran nilai SPL yaitu

28,07 – 29,03 ºC dengan nilai rata-rata sebesar 28,54 ºC, diikuti dengan

konsentrasi klorofil-a yang memiliki kisaran nilai relatif tinggi yaitu 0,180 – 3,260

mg/m³ dengan kandungan rata-rata 0,441 mg/m³. Nilai klorofil-a maksimum

diperoleh pada titik lokasi 116,36º BT 3,71º S yang berdekatan dengan pesisir

Kalimantan. Di lokasi ini ditemukan adanya gradien suhu negatif dengan nilai

yang mencolok yaitu -0,229 ºC/m yang diikuti kekuatan EKE sebesar 0,323 m²s-².

Pada lokasi B ditemukan kisaran SPL yang lebih dingin yaitu 27,48 – 28,66 ºC

dengan nilai rata-rata sebesar 27,86 ºC. Akan tetapi rendahnya SPL ini justru

diikuti oleh penurunan kisaran nilai konsentrasi klorofil-a yaitu 0,179 – 2,227

mg/m³ dengan nilai konsentrasi rata-rata 0,404 mg/m³, lokasi ditemukannya

konsentrasi maksimum klorofil-a diketahui berpusat di koordinat 5,628 LS 119,86

BT. Di lokasi B ini ditemukan gradien suhu negatif yang cukup dominan yakni -

0,467 ºC/m yang diikuti oleh kekuatan EKE sebesar 0,145 m²s-².

Masih pada puncak kejadian upwelling yakni bulan Agustus, di Lokasi C

terekam SPL dengan kisaran nilai 26,26 – 29,08 ºC dimana nilai rata-ratanya

sebesar 27,96 ºC. Kondisi ini diikuti oleh sebaran konsentrasi klorofil-a 0,171 –

3,276 mg/m³ dengan kandungan rata-rata 0,342 mg/m³ di lokasi tersebut. Nilai

gradien suhu merekam nilai yang paling mencolok, yaitu -0,510 ºC/m yang

didukung oleh nilai EKE 0,316 m²s-² meskipun kekuatannya tidak terlalu besar.

Lokasi prediksi terakhir adalah lokasi D yang sinyalnya baru ditemukan pada

Page 50: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

75

puncak kejadian upwelling di tiga lokasi sebelumnya. SPL di lokasi D

menunjukkan kisaran 28,18 – 29,02 ºC dengan nilai rata-rata sebesar 28,46 ºC,

diikuti dengan konsentrasi klorofil-a yang berkisar antara 0,27 – 17,25 mg/m³

dengan nilai kandungan rata-rata relatif tinggi yaitu 0,829 mg/m³. Konsentrasi

maksimum klorofil-a ditemukan di titik lokasi 3,377 LS 114,03 BT yaitu dekat

pesisir Kalimantan. Nilai gradien suhu yang terekam tidak terlalu mencolok yaitu

-0,086 ºC/m karena kekuatan EKE yang terekam juga relatif sangat kecil 0,004

m²s-².

Lokasi A Lokasi B Lokasi C Lokasi D

Gambar 30. Lokasi Prediksi upwelling berdasarkan parameter indikatornya pada

bulan Agustus (atas kiri ke kanan: SPL, gradien suhu; bawah kiri ke

kanan: EKE, klorofil-a)

Pola penyebaran upwelling terlihat jelas mengarah ke selatan untuk lokasi

A dan mengarah ke barat daya untuk lokasi B, C,dan D. Hal tersebut disebabkan

karena sirkulasi massa air pada Musim Timur (Agustus) mengalir dari timur

menuju ke barat, akibat adanya hembusan angin arah arus tersebut sedikit

Page 51: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

76

berbelok ke arah barat daya. Rosyadi (2011) dalam Inaku (2011) menyatakan

bahwa di lokasi B penyebaran upwelling mengarah ke barat daya Pulau Sulawesi

sekitar 330 km. Inaku (2011) juga mengemukakan bahwa memuncaknya

fenomena upwelling untuk tahun 2009 terjadi di bulan Agustus dimulai pada

minggu kedua yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya SPL pada minggu

kedua diikuti dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada minggu ketiga.

Penyebaran dan perkembangan area upwelling yang terjadi di bulan

Agustus menunjukkan bahwa penurunan SPL diperkuat dengan ditemukannya

gradien suhu negatif dan kekuatan EKE yang relatif besar yang juga diikuti

peningkatan konsentrasi klorofil-a. Berdasarkan hasil yang diperoleh lokasi

dengan konsentrasi klorofil-a tinggi selalu ditemukan di dekat pesisir Kalimantan.

Hal ini diduga adanya suplai nutrien dari sungai-sungai yang banyak bermuara di

lokasi tersebut, namun nilai konsentrasi yang terlalu tinggi justru dapat

diindikasikan bahwa nilai yang terekam satelit bukanlah konsentrasi klorofil-a

melainkan sedimentasi yang tinggi sehingga perlu dilakukan cek langsung ke

lapangan.

Pada bulan Oktober, daerah prediksi masih ditemukan di empat lokasi

yang sama dengan bulan Agustus namun dengan luasan daerah yang lebih

menyempit, kecuali di lokasi D (Gambar 40). Dampak dari kejadian upwelling di

bulan ini diketahui sangat lemah karena merupakan periode akhir upwelling

(Tabel 6). Menurut Inaku (2011) dalam penelitiannya mengenai fluktuasi

upwelling di selatan Selat Makassar (sekitar lokasi B) pada tahun 2009-2010,

bahwa meningkatnya total luasan daerah yang diindikasikan sebagai area

upwelling untuk tahun 2009 tidak jauh berbeda dengan tahun 2010 dengan pola

penyebaran mengarah ke barat daya dengan estimasi luasan mencapai ± 46000

km².

Page 52: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

77

Lokasi A Lokasi B Lokasi C Lokasi D

Gambar 31. Lokasi Prediksi upwelling berdasarkan parameter indikatornya pada

bulan Oktober (atas kiri ke kanan: SPL, gradien suhu; bawah kiri ke

kanan: EKE, klorofil-a)

Berdasarkan peta penyebaran lokasi upwelling (Nontji 2005) terdapat dua

lokasi prediksi dalam penelitian ini yang berada pada lokasi yang sama, yaitu di

lokasi B dan lokasi C. Dalam peta tersebut dijelaskan bahwa lokasi B adalah

lokasi yang telah diketahui terjadi upwelling sedangkan lokasi C masih

merupakan lokasi prediksi. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian lain yang

menyatakan bahwa daerah upwelling di selatan Selat Makassar memiliki kisaran

suhu 26,40 – 27,80 ºC (Diposaptono 2010) dan gradien SPL yang cukup

mencolok atau sekitar >2 °C dengan perairan sekitarnya diikuti penyuburan

kawasan permukaan perairan yang menyebabkan tingginya kandungan klorofil-a

(Silalahi 2013), maka sinyal upwelling yang ditemukan di seluruh lokasi sangatlah

lemah dengan intensitas yang sangat kecil.

Page 53: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

78

Tipe upwelling di selatan Selat Makassar merupakan tipe periodik, dimana

upwelling terjadi hanya selama satu musim saja (Illahude 1971) yaitu pada waktu

Musim Tenggara atau Musim Timur (Juni – September) (Diposaptono 2010). Hal

tersebut diduga angin yang berhembus pada musim ini membangkitkan proses

Ekman transpor di sekitar pesisir Sulawessi yang mengakibatkan kekosongan

massa air di permukaan sehingga massa air dari bawah dengan suhu rendah akan

naik ke permukaan. Pada puncak kejadian upwelling (Agustus) terlihat adanya

kenaikan massa air di sekitar lokasi A dan B meskipun terdapat selisih jarak

(Gambar 41). Kecepatan naiknya massa air ini dapat mencapai 0,00014 ms-¹,

dengan daerah cakupan yang cukup terbatas hingga volume air yang naik hanya

sekitar 0,2 juta m³s-¹ (Rosyadi 2011).

Gambar 32. Klimatologi Ekman upwelling (m/s) bulan Agustus (warna semakin

merah (nilai positif) menunjukkan kenaikan massa air)

4.5.2 Lapisan Termoklin

Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya, diketahui bahwa kejadian

upwelling dimulai pada bulan Juni dan berakhir pada bulan Oktober, sedangkan

puncaknya terjadi pada bulan Agustus. Kecuali di lokasi D yang sinyalnya baru

terlihat pada bulan Agustus, memuncak pada bulan September, dan berakhir pada

Page 54: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

79

bulan Oktober. Untuk mendukung prediksi tersebut maka dilakukan plot profil

suhu secara vertikal beserta fluktuasi lapisan termoklinnya.

Data klimatologi profil suhu vertikal di lokasi A menunjukkan bahwa pada

Musim Barat hingga Peralihan I suhu di lapisan permukaan lebih hangat yakni

berkisar antara 29 – 30 ºC. Kemudian setelah memasuki periode awal Musim

Timur (Juni) mulai terlihat adanya kenaikan massa air dari lapisan kedalaman 5

(35 meter) ke permukaan dengan suhu berkisar 28 29 ºC sehingga terjadi

penurunan SPL. Kondisi tersebut masih terlihat hingga pertengahan Musim

Peralihan II (Gambar 42). Pola yang sama juga dominan ditemukan pada suhu

vertikal bulanan selama periode tahun 1958-2008 yang disajikan pada Lampiran

6.

Gambar 33. Klimatologi profil suhu vertikal di lokasi A (perata-rataan koordinat

2º4º LS dan 116.5º119,5º BT) periode tahun 1958-2008

Klimatologi profil suhu vertikal di lokasi B menunjukkan pada Musim

Barat nilai SPL relatif hangat, yaiyu berkisar antara 29 – 30 ºC. Kemudian pada

akhir periode Musim Peralihan I (Mei) mulai terlihat adanya kenaikan massa air

dari lapisan kedalaman 5 (35 meter) dengan suhu 28 – 29 ºC. Puncak penurunan

SPL di bulan Agustus dan September karena massa air dari lapisan kedalaman 6

(46 meter) mencapai permukaan, massa air ini memiliki kisaran suhu 27 – 28 ºC,

sementara itu pada bulan Oktober kembali terjadi peningkatan SPL (Gambar 43).

Pola fluktuasi suhu vertikal bulanan di lokasi B dapat dilihat pada Lampiran 6.

Page 55: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

80

Gambar 34. Klimatologi profil suhu vertikal di lokasi B (perata-rataan koordinat

5º7º LS dan 117º120,5º BT) periode tahun 1958-2008

Pola fluktuasi klimatologi suhu vertikal di lokasi C hampir sama dengan

lokasi B. di lokasi C juga ditemukan SPL yang lebih hangat pada Musim Barat

hingga pertengahan Musim Peralihan I. Pada akhir periode Musim Peralihan I

(Mei) mulai terdeteksi adanya kenaikan massa air dari lapisan kedalaman 4 (25

meter) ke permukaan dengan suhu berkisar 28 – 29 ºC. Kemudian pada bulan

Agustus ditemukan kenaikan massa air dari lapisan yang lebih dalam, yakni dari

lapisan kedalaman 5 (35 meter) dengan kisaran suhu lebih rendah yaitu 27 – 28

ºC. Di bulan Oktober SPL kembali mulai menghangat (Gambar 44). Fluktuasi

bulanan suhu vertikal dari tahun 1958 hingga 2008 dapat dilihat di Lampiran 6.

Gambar 35. Klimatologi profil suhu vertikal di lokasi C (perata-rataan koordinat

4,25º7º LS dan 120,5º124º BT) periode tahun 1958-2008

Page 56: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

81

Di lokasi D ditemukan massa air dengan suhu yang hangat (29 – 30 ºC)

hingga ke lapisan yang cukup dalam pada Musim Barat. Hal tersebut diduga

karena lokasi D ini berada dominan di Timur Laut Jawa yang memiliki lapisan

homogen (mixed layer) yang sangat tebal sesuai dengan karakteristik Laut Jawa

yang merupakan perairan dangkal sehingga proses pengadukan dapat terlihat

hingga ke dasar perairan. Penurunan SPL terjadi mulai bulan Juni (awal Musim

Timur) hingga Oktober (pertengahan Musim Peralihan II) dengan kisaran suhu

menjadi 28 – 29 ºC. Hal ini disebabkan adanya kenaikan massa air dari lapisan 7

(57 meter) ke permukaan (Gambar 45).

Gambar 36. Klimatologi profil suhu vertikal di lokasi D (perata-rataan koordinat

4,25º7º LS dan 115º117º BT) periode tahun 1958-2008

Terjadinya kenaikan massa air ini juga dibuktikan dengan kenaikan

lapisan termoklin. Lapisan termoklin adalah lapisan dimana gradien suhu per

meter lebih dari 0,1 ºC (Ross 1970). Menurut Nontji (1993), pada saat terjadi

penaikan massa air (upwelling), lapisan termoklin ini bergerak ke atas dan

gradiennya menjadi tidak terlalu tajam sehingga massa air yang kaya zat hara dari

lapisan dalam naik ke lapisan atas. Penentuan fluktuasi lapisan termoklin

diperoleh dari hasil pendeteksian lapisan massa air dengan isotherm 20 ºC. Nilai

tersebut mengacu pada hasil penelitian Ffield et al. (2000) dalam Umasangaji

(2006) yang menggunakan isotherm 20 ºC untuk mendeteksi lapisan termoklin

pada kondisi normal dan pada kejadian El-Nino 1987.

Page 57: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

82

Fluktuasi bulanan lapisan termoklin di lokasi A dari tahun 1958 hingga

2008 secara dominan menunjukkan bahwa pada Musim Barat ditemukan isotherm

20 ºC di kedalaman yang jauh lebih dalam dibandingkan pada Musim Timur. Hal

tersebut diduga merupakan dampak dari kejadian upwelling pada Musim Timur

yang menaikkan lapisan termoklin ke kedalaman yang lebih dangkal. Isotherm 20

ºC paling dalam ditemukan pada Musim Barat hingga Peralihan I (Desember–

Maret) yakni di kedalaman 129 meter (Z = 12), sementara itu, isotherm 20 ºC

paling dangkal ditemukan pada Musim Timur dan awal Musim Peralihan I

(JuniSeptember) di kedalaman 70 meter (Z = 8) (Lampiran 8).

Demikian juga dengan informasi yang diperoleh di lokasi B, C, dan D,

isotherm 20 ºC paling dalam juga dominan ditemukan di Musim Barat hingga

Peralihan I, sedangkan pendangkalan lapisan isotherm 20 ºC terjadi pada Musim

Timur Hingga pertengahan Peralihan II. Di lokasi B, isotherm 20 ºC paling dalam

ditemukan di kedalaman 138,5 meter (Z = 12,5) dan isotherm 20 ºC paling

dangkal ditemukan di kedalaman 89 meter (Z = 9,5). Fluktuasi termoklin di lokasi

C ditunjukkan dengan isotherm 20 ºC paling dalam yang ditemukan di kedalaman

148 meter (Z = 13), sedangkan isotherm 20 ºC paling dangkal ditemukan pada

kedalaman 96 meter (Z = 10). Di lokasi D isotherm 20 ºC paling dalam ditemukan

pada kedalaman 129 meter (Z = 12), sedangkan isotherm 20 ºC paling dangkal di

temukan pada kedalaman 76 meter (Z = 8,5) (Lampiran 8).

Hasil tersebut hampir sama dengan penelitian Inaku (2011), terutama

untuk lokasi yang berposisi di perairan selatan Selat Makassar (lokasi A dan B),

dimana dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa lapisan termoklin pada

Musim Barat dimulai pada kedalaman 42 meter dengan penurunan suhu mulai

dari 28 ºC, sedangkan untuk Musim Timur data profil suhu pada lokasi upwelling

menunjukkan bahwa lapisan termoklin di bagian selatan Selat Makassar dimulai

pada kedalaman 17 meter dengan penurunan suhu mulai dari 27 ºC dan titik non

upwelling dimulai pada kedalaman 33 meter dengan penurunan suhu mulai 28 ºC.

Dalam penelitian lainnya, Gordon dan Illahude (1996) menemukan bahwa di

lokasi yang sama, lapisan termoklin berada pada kedalaman 60 – 300 meter.

Page 58: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

83

4.6 Hubungan Faktor Lingkungan dengan Hasil Tangkapan Ikan Layang

4.6.1 Hubungan SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Layang

Ikan layang merupakan ikan pelagis kecil yang hidupnya di lapisan

permukaan perairan sehingga fluktuasi SPL sangat mempengaruhi pertumbuhan,

aktifitas dan mobilitas gerakan, ruaya, penyebaran dan kelimpahan,

penggerombolan, maturasi, fekunditas dan pemijahan, masa inkubasi dan

penetasan telur, serta kelangsungan hidup larva ikan. Perubahan suhu perairan

menjadi di bawah suhu normal/suhu optimal menyebabkan penurunan aktivitas

gerakan dan aktivitas makan serta menghambat berlangsungnya proses pemijahan.

Menurut Laevastu dan Hela (1970) dalam Andrius (2007), ikan layang

biasanyanya memijah pada perairan yang mempunyai suhu minimum yaitu

sebesar 17 ºC. Suhu selang distribusi ikan layang berkisar antara 12 – 25 ºC,

sedangkan suhu optimum ikan layang yang menjadi tujuan penangkapan berkisar

antara 20 -30 ºC.

Dalam penelitian ini, tahap korelasi antara SPL dengan hasil tangkapan

ikan layang tidak dapat dilakukan untuk semua perairan yang termasuk ke dalam

wilayah kajian karena adanya keterbatasan data hasil tangkapan. Data hasil

tangkapan yang tersedia hanya untuk perairan selatan Selat Makassar (wilayah

penangkapan Lumu-lumu, Larilarian, dan Samber Gelap) dan Laut Jawa (wilayah

penangkapan Masalembo, Matasiri, dan Bawean). Data perikanan yang diperoleh

di selatan Selat Makassar merupakan data hasil tangkapan perbulan selama tahun

2006-2007, sedangkan data perikanan di Laut Jawa adalah data hasil tangkapan

bulanan tahun 1996-1997 selama Musim Timur (Juni, Juli, Agustus) dan Musim

Peralihan II (September, Oktober, November).

Hasil overlay SPL dengan tangkapan ikan layang di selatan Selat

Makassar tahun 2006-2007 memperlihatkan adanya korelasi positif dimana

kenaikan SPL akan diikuti peningkatan hasil tangkapan ikan, begitupun

sebaliknya (Gambar 46). Hubungan keduanya ditunjukkan oleh nilai r=0,182.

Menurut interpretasi kekuatan hubungan hasil korelasi Pearson (Kuncoro dan

Riduwan 2007), nilai r yang diperoleh menunjukkan korelasi linear positif sangat

rendah. Dari grafik terlihat bahwa puncak hasil tangkapan ikan layang terjadi pada

bulan November-Januari, hal ini sejalan dengan pernyataan Prasetyo dan Suwarso

Page 59: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

84

(2010) yang juga mengatakan musim puncak penangkapan terjadi pada periode

November – Januari, sedangkan musim paceklik penangkapan ikan layang

diketahui pada bulan Maret – Mei. Hal tersebut diduga disebabkan perubahan

kondisi SPL yang semakin hangat.

Gambar 37. Grafik fluktuasi SPL bulanan dengan hasil tangkapan ikan Layang di

selatan Selat Makassar pada tahun 2006-2007 (Sumber: PPN

Pekalongan dalam Prasetyo dan Suwarso 2010)

Berdasarkan Gambar 46, Hasil tangkapan ikan layang tertinggi di selatan

Selat Makassar diperoleh pada bulan Desember, baik pada tahun 2006 maupun

2007. Tingginya hasil tangkapan didukung oleh kondisi SPL yang relatif hangat,

hal ini sesuai dengan pernyataan Astuti (1999) bahwa ikan layang tidak menyukai

perairan dengan suhu dan salinitas yang rendah. Pada bulan Desember 2006 nilai

SPL rata-rata yang terekam yakni 29,29 ºC, diikuti hasil tangkapan yang tinggi

yaitu sebanyak 10.941,08 Kg/bulan. Pada Desember 2007 terjadi peningkatan

hasil tangkapan yang cukup besar yaitu sebanyak 20.983,13 Kg/bulan dengan

nilai SPL rata-rata sebesar 29,21 ºC.

Hasil tangkapan terendah di tahun 2006 ditemukan pada bulan September

yaitu 169,88 Kg/bulan dengan nilai SPL rata-rata sebesar 28,27 ºC, sedangkan

pada tahun 2007 hasil tangkapan terendah diperoleh di bulan Juni yaitu sebanyak

1.400,34 Kg/bulan dengan SPL rata-rata sebesar 29,04 ºC. Apabila dibandingkan

dengan tahun sebelumnya, hasil tangkapan terendah pada tahun 2007 jauh lebih

Page 60: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

85

tinggi daripada tahun 2006. Selain karena faktor SPL, faktor lain yang juga

mempengaruhi jumlah tangkapan adalah faktor antropogenik seperti kemampuan

penangkapan dan kapasitas penangkapan.

Terkait dengan musim penangkapan ikan di Laut Jawa, musim puncak

ikan layang di Selat Makassar lebih lambat sekitar dua bulan dibanding musim

puncak kelimpahan di Laut Jawa (perairan sekitar Kepulauan Masalembo dan

Matasiri) yang berlangsung pada Musim Peralihan II (September – November)

dimana penangkapan banyak dilakukan di perairan sekitar Masalembo dan

Matasiri (Potier dan Sadhotomo 2003 dalam Prasetyo dan Suwarso 2010).

Berbeda dengan hasil korelasi Pearson di selatan Selat Makassar, hasil

korelasi antara SPL dengan hasil tangkapan di Laut Jawa selama Musim Timur

dan Peralihan II menunjukkan hubungan negatif, yaitu apabila nilai SPL menurun

akan diikuti dengan peningkatan hasil tangkapan ikan layang, begitupun

sebaliknya. Dari hasil korelasi diperoleh nilai r=-0,440 yang menyatakan bahwa

terdapat korelasi linear negatif agak rendah antara keduanya (Kuncoro dan

Riduwan 2007)

Gambar 38. Grafik fluktuasi SPL bulanan dengan hasil tangkapan ikan Layang di

Laut Jawa selama Musim Timur dan Musim Peralihan II tahun 1996-

1997 (Sumber: PPN Pekalongan dalam Astuti 1999)

Page 61: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

86

Berdasarkan Gambar 47, puncak musim ikan layang pada tahun 1996

diperoleh pada bulan Oktober dengan jumlah tangkapan sebanyak 4664635

Kg/bulan. Kondisi SPL pada bulan tersebut relatif hangat yakni 29,26 ºC.

Demikian pula hasil tangkapan tertinggi yang diperoleh pada bulan November

tahun 1997 dengan jumlah tangkapan sebanyak 7.233.507 Kg/bulan juga diikuti

kondisi SPL yang relatif hangat yakni 29,27 ºC. Dalam penelitiannya, Prasetyo

dan Suwarso (2010) sedikit mengulas tentang puncak kelimpahan ikan layang di

Laut Jawa yang ditemukan pada Musim Peralihan II (September – November).

Hal ini sesuai dengan data hasil tangkapan yang juga mencapai nilai tertinggi pada

bulan Oktober dan November. Andrius (2007) juga meyatakan bahwa puncak

produksi ikan Layang di Laut Jawa terjadi dua kali dalam setahun yaitu sekitar

bulan Januari – Maret dan Juli – September, kondisi ini dapat berubah maju atau

mundur sesuai dengan perubahan musim di Indonesia.

Hasil tangkapan terendah di Laut Jawa pada tahun 1996 dan 1997

ditemukan di bulan Juni. Jumlah tangkapan ikan layang pada bulan Juni 1996

sebanyak 1.869.998 Kg/bulan dengan kondisi SPL rata-rata yaitu 29,03 ºC,

sedangkan pada bulan Juni tahun 1997 jumlah tangkapan mengalami penurunan

menjadi 1.141.565 Kg/bulan dimana kondisi SPL rata-rata sebesar 29,06 ºC

(Gambar 47). Rendahnya hasil tangkapan pada bulan Juni ini diduga karena

populasi ikan layang yang berasal dari Laut Flores dan Selat Makassar belum

beruaya sepenuhnya ke perairan Laut Jawa, hal ini disebabkan bulan Juni

merupakan awal periode Musim Timur sehingga seiring dengan perkembangan

pola arus, populasi ikan layang tersebut diduga baru beruaya ke perairan terdekat

dulu, walaupun variasi sebaran SPL sesuai (Astuti 2010). Melihat dari kondisi

SPL rata-rata yang diikuti dengan tingginya hasil tangkapan ikan, maka dapat

disimpulkan bahwa suhu yang optimum untuk daerah penangkapan ikan layang

yaitu sekitar 29 ºC.

4.6.2 Hubungan Klorofil-a dengan Hasil Tangkapan Ikan Layang

Salah satu indikator tingkat kesuburan suatu perairan adalah konsentrasi

klorofil-a. Klorofil-a merupakan pigmen yang mampu melakukan fotosintesis dan

terdapat di seluruh organisme fitoplankton (Nybakken 1992 dalam Astuti 2008).

Page 62: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

87

Menurut Asikin 1971 dalam Andrius (2007), migrasi ikan layang dipengaruhi

secara langsung oleh migrasi massal fitoplankton yang kemudian diikuti oleh

zooplankton. Biasanya pada daerah yang kaya fitoplankton dan zooplankton

keberadaan ikan sangat melimpah.

Dalam sub bab ini, korelasi antara konsentrasi klorofil-a dengan hasil

tangkapan ikan layang hanya dilakukan untuk lokasi perairan selatan Selat

Makassar. Hal ini dikarenakan keterbatasan data perikanan dan klorofil-a. Data

klorofil-a hasil rekaman citra SeaWIFS tahun 1996-1997 yang sesuai dengan data

perikanan di Laut Jawa belum tersedia.

Hasil korelasi antara konsentrasi klorofil-a bulanan dengan jumlah

tangkapan ikan layang di selatan Selat Makassar selama 2006-2007 menunjukkan

adanya hubungan negatif. Hal ini dibuktikan dengan nilai korelasi Pearson yaitu

r=-0,229 yang menjelaskan bahwa terdapat korelasi linier negatif rendah antara

keduanya. Hasil korelasi justru menunjukkan apabila terjadi peningkatan

konsentrasi klorofil-a maka akan diikuti oleh penurunan hasil tangkapan ikan.

Berdasarkan Gambar 48, konsentrasi klorofil-a tertinggi terjadi pada periode

Februari – April setiap tahunnya, dimana puncaknya terjadi pada bulan Maret.

Puncak konsentrasi klorofil-a pada bulan Maret tahun 2006 dan 2007 berturut-

turut sebesar 0,756 mg/m³ dan 0,688 mg/m³. Hal tersebut tidak sesuai dengan

periode terjadinya puncak kelimpahan ikan yang ditemukan pada November –

Januari. Jumlah hasil tangkapan ikan pada Maret 2006 sebanyak 1.206,7

Kg/bulan, sedangkan pada Maret 2007 sebanyak 4.418,6 Kg/bulan. Konsentrasi

klorofil-a terendah pada tahun 2006 ditemukan di bulan Desember dengan nilai

sebesar 0,258 mg/m³, sedangkan tahun 2007 klorofil-a terendah ditemukan pada

bulan November dengan konsentrasi sebesar 0,278 mg/m³.

Page 63: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

88

Gambar 39. Grafik Hubungan Kandungan Klorofil-a bulanan dengan hasil

tangkapan ikan Layang di selatan Selat Makassar pada tahun 2006-

2007 (Sumber: PPN Pekalongan dalam Prasetyo dan Suwarso 2010)

Kondisi yang berkebalikan dengan teori yang dikemukakan sebelumnya

mengenai tingginya konsentrasi klorofil-a yang selalu diikuti dengan kelimpahan

ikan ini diduga berkaitan dengan suhu optimal bagi ikan layang yang cenderung

hangat, yaitu sekitar 29 ºC. Konsentrasi klorofil-a biasanya lebih banyak

ditemukan di perairan yang suhunya lebih rendah, seperti di daerah upwelling.

Faktor lain yang juga diduga sebagai penyebab korelasi bernilai negatif adalah

adanya selang waktu (time lag) antara kelimpahan konsentrasi klorofil-a dengan

kelimpahan populasi ikan yang dibutuhkan ikan untuk melakukan migrasi

mencapai lokasi yang subur dan proses makan.

4.7 Prediksi Daerah Penangkapan Potensial Ikan Layang

Penyebaran ikan Layang hampir di seluruh perairan Indonesia, namun

potensi yang dimiliki sangat berbeda menurut wilayah penyebarannya. Jenis ikan

ini tergolong stenohaline, hidup di perairan dengan salinitas relatif tinggi (32 – 34

‰) dengan kisaran yang sempit, dan menyukai perairan yang jernih (Amri 2002).

Suhu optimum ikan Layang berkisar antara 20 – 30 ºC (Laevastu dan Hela 1997;

Amri 2002 dalam Hamka 2012). Menurut Nontji (1993) dalam Andrius (2007),

Page 64: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

89

kelimpahan ikan Layang di Laut Jawa selama Musim Timur dapat saja dipicu oleh

proses upwelling di bagian selatan Selat Makassar yang membawa kelimpahan

plankton yang tinggi, proses upwelling ini disebabkan adanya pertemuan arus dari

Selat Makassar dan Laut Flores yang bergabung kuat dan menjadi satu menuju

Laut Jawa. Pola arus juga berperan secara tidak langsung dalam migrasi ikan

Layang, karena sebenarnya arus membawa massa air laut dengan suhu dan kadar

salinitas tertentu yang cocok dengan ikan Layang.

Sesuai teori yang menyatakan bahwa kelimpahan ikan Layang disebabkan

oleh proses upwelling dan pola migrasinya, maka prediksi daerah potensial

penangkapan ikan yang dilakukan dalam penelitian ini didasari oleh kedua

parameter tersebut. Dalam hasil pembahasan sebelumnya ditemukan empat daerah

prediksi upwelling pada Musim Timur hingga pertengahan Peralihan II. Daerah-

daerah tersebut diduga sebagai lokasi yang sangat sesuai untuk melakukan

penangkapan karena memiliki tingkat kesuburan yang relatif tinggi dan suhu yang

berada dalam kisaran suhu optimum ikan Layang. Pada lokasi prediksi upwelling

juga ditemukan EKE cukup kuat yang menunjukkan besarnya potensi arus

turbulen yang menyebabkan terangkatnya massa air dari lapisan lebih dalam ke

permukaan dengan salinitas tinggi yang disukai ikan Layang.

Berikut disajikan dalam Tabel 7 posisi dan estimasi luasan wilayah yang

diindikasi sebagai lokasi upwelling dan diprediksi sebagai daerah penangkapan

ikan yang potensial.

Tabel 6. Posisi dan estimasi luasan daerah upwelling sebagai daerah

penangkapan ikan potensial

Perairan Bulan Posisi Estimasi

Luasan (Km²)

Lokasi A:

Selatan Selat

Makassar (bag. Atas)

Jun 2º – 3º LS;

116º – 119,5º BT 43123,5

Jul 2º 3,25º LS;

116º 119,5º BT 53904,375

Agu 2º 4º LS;

116,5º 119,5º BT 73926

Sep 2º 3,5º LS;

116,25º 119,5º BT 60064,875

Okt 2 – 3,5 LS; 60064,875

Page 65: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

90

116,25º – 119,5º BT

Lokasi B:

Selatan Selat

Makassar (bag.

Bawah)

Jun 5º 6,5º LS;

119º – 120º BT 18481,5

Jul 5º 6,5º LS;

119º 120,5º BT 27722,25

Agu 5º 7º LS;

118º 120,5º BT 61605

Sep 5 7 LS;

117º 120,5º BT 86247

Okt 4,75º – 6,5º LS;

117º – 120º BT 64685,25

Lokasi C:

Mulut Teluk Bone

(Sulawesi Tenggara)

Jun 4,75º 6,25º LS;

121º 123º BT 36963

Jul 4,75º 6,25º LS;

121º 123º BT 36963

Agu 4,25º 7º LS;

120,5º 124º BT 118589,6

Sep 4,75º – 6,25º LS;

121º – 123º BT 36963

Okt 4,75º – 6,25º LS;

121º – 123º BT 36963

Lokasi D:

Perbatasan Timur

Laut Jawa dengan

selatan Selat

Makassar

Jun - -

Jul - -

Agu 4,25º 7º LS;

115º 117º BT 67765,5

Sep 4,25º – 7º LS;

115º – 117º BT 67765,5

Okt 4,25º -7º LS;

115º – 117º BT 67765,5

Berdasarkan Tabel 6, di lokasi A diketahui cakupan wilayah upwelling

terluas diperoleh pada bulan Agustus dengan estimasi luasan ± 73926 Km²,

sedangkan cakupan wilayah paling kecil diperoleh pada bulan Juni dengan

estimasi luasan ± 43123,5 Km². Di lokasi B estimasi luasan wilayah terluas

diperoleh pada bulan September dengan area ± 86247 Km² dan estimasi luasan

paling kecil ditemukan pada bulan Juni ± 18481,5 Km². Di lokasi C estimasi

luasan terluas ditemukan pada bulan Agustus yakni ± 118589,6 Km², sedangkan

estimasi luasan yang kecil ditemukan pada bulan lainnya ditemukan luasan yang

lebih kecil dengan nilai yang sama yakni ± 36963 Km². Di lokasi D ditemukan

luasan wilayah yang sama pada setiap bulannya selama Agustus – Oktober

Page 66: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

91

dengan estimasi ± 67765,5 Km². Dari keseluruhan lokasi yang diprediksi sebagai

daerah upwelling, lokasi yang memiliki estimasi luasan paling besar yaitu lokasi C

pada bulan Agustus, sedangkan lokasi dengan estimasi luasan paling sempit

ditemukan di lokasi B pada bulan Juni.

Keberadaan daerah upwelling ini tentunya mempengaruhi pergerakan ikan

layang di perairan, hal ini terkait dengan habitat hidup, lokasi mencari makan, dan

migrasi (Hamka 2012). Ruaya (migrasi) adalah kegiatan pergerakan ikan dengan

alasan tertentu, dengan jarak yang dekat maupun jauh dari daerah habitat asal

menuju suatu daerah perairan yang cocok oseanografinya dengan kondisi biologis

ikan tersebut. Selama Musim Peralihan I hingga Musim Timur anakan ikan

Layang (immature) yang berasal dari habitatnya di Laut Flores dan Selat

Makassar bergerak ke barat menuju ke Laut Jawa. Di sekitar pulau Bawean ikan

Layang telah menjadi dewasa dan meneruskan migrasi ke barat melalui selat

Gaspar dan Selat Sunda untuk kembali ke habitat asal (Asikin 1971; Burhanudin

dan Djamali 1978 dalam Andrius 2007).

Indikasi ruaya ikan layang diketahui berdasarkan analisis eksploratori

terhadap serial data komposisi ukuran selama 1991-1993, Potier & Sadhotomo

(2003) dalam Prasetyo dan Suwarso (2010) menunjukkan pergeseran ukuran ikan

layang, dimana semakin ke arah timur (Selat Makassar) ukurannya semakin besar.

Sejak tahun 1984 diketahui bahwa daerah penangkapan perikanan pelagis

berkembang ke bagian selatan dari Laut Cina Selatan, Lumu-lumu dan Kepulauan

Lari-larian di Selat Makassar (Atmaja & Sadhotomo 1985; Boely et al. 1987;

Potier et al. 1988; Atmaja et al. 2003 dalam Prasetyo dan Suwarso 2010). Dugaan

pergerakan ikan layang dengan tujuan pemijahan dari Laut Jawa menuju perairan

Selat Makassar didukung oleh penelitian Delsman (1926) dalam Prasetyo dan

Suwarso (2010) yang menemukan telur dan larva dari Decapterus russelli di

perairan Bawean pada bulan April-Mei, dan di perairan Madura pada bulan

Oktober-November.

Burhanuddin et al. (1983) memprediksikan secara khusus alur ruaya

(migrasi) ikan Layang ke dalam suatu peta migrasi ikan Layang. Alur migrasi

yang terjadi pada Musim Timur dapat dilihat pada Gambar 49. Jalur dan pola

Page 67: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090057_4_6224.pdf26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi

92

migrasi ikan Layang pada Musim Timur ini sesuai dengan arah pergerakan arus

permukaan yang dominan mengalir dari timur ke barat perairan Indonesia.

Gambar 40. Migrasi ikan Layang pada Musim Timur bulan Juli – September

(Sumber: Burhanuddin et al. 1983)