bab ii tinjauan umum tentang tindakan pemerintah .... bab 2... · usaha negara dan peraturan...

22
27 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN PEMERINTAH, KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN), PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 2.1 Tindakan Pemerintah 2.1.1 Pengertian Tindakan Pemerintah Pemerintah melakukan berbagai tindakan untuk dapat menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan yang disebut dengan tindakan pemerintah (bestuurshandeling, jamak = bestuurshandelingen). Tindakan pemerintah adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorgan) dalam menjalankan fungsi pemerintahan (bestuursfunctie). 1 Dalam negara hukum modern (welfarestate), pemerintah memiliki tugas yang lebih luas daripada hanya menjalankan undang-undang sebab lapangan pekerjaan pemerintah meliputi tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurszorg). Terdapat dua pengertian mengenai pemerintahan, yaitu pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Menurut Teori Trias Politica (teori pemisahan kekuasaan) dari Montesquieu, pemerintahan dalam arti luas terdiri atas tiga kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. 2 1. Sadjijono, op. cit, h. 84. 2. E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Cet. IV, Ichtiar, Jakarta, h 16.

Upload: lamquynh

Post on 09-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

27

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN PEMERINTAH,

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN), PERADILAN TATA

USAHA NEGARA DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

2.1 Tindakan Pemerintah

2.1.1 Pengertian Tindakan Pemerintah

Pemerintah melakukan berbagai tindakan untuk dapat menjalankan tugas

dan fungsi pemerintahan yang disebut dengan tindakan pemerintah

(bestuurshandeling, jamak = bestuurshandelingen). Tindakan pemerintah

adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan

pemerintahan (bestuursorgan) dalam menjalankan fungsi pemerintahan

(bestuursfunctie).1 Dalam negara hukum modern (welfarestate), pemerintah

memiliki tugas yang lebih luas daripada hanya menjalankan undang-undang

sebab lapangan pekerjaan pemerintah meliputi tugas penyelenggaraan

kesejahteraan umum (bestuurszorg).

Terdapat dua pengertian mengenai pemerintahan, yaitu pemerintahan

dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Menurut Teori Trias

Politica (teori pemisahan kekuasaan) dari Montesquieu, pemerintahan dalam

arti luas terdiri atas tiga kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan

eksekutif dan kekuasaan yudikatif.2

1. Sadjijono, op. cit, h. 84.

2. E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Cet. IV, Ichtiar,

Jakarta, h 16.

28

Pengertian pemerintahan dalam arti luas juga dikemukakan oleh

beberapa ahli, diantaranya :

a) Menurut C. van Vollenhoven, pemerintahan dalam arti luas dibagi

dalam empat fungsi atau kekuasaan (catur praja) yaitu pemerintahan

dalam arti sempit (berstuur), polisi (politie), peradilan (rechtspraak)

dan membuat peraturan (regeling, wetgeving).

b) Menurut Lemaire, pemerintahan dalam arti luas dibagi dalam lima

fungsi atau kekuasaan (panca praja) yaitu penyelenggaraan

kesejahteraan umum (bestuurszorg), pemerintahan dalam arti sempit,

polisi, peradilan dan membuat peraturan.

c) Menurut A.M. Donner, pemerintahan dalam arti luas dibagi dalam dua

tingkatan atau kekuasaan (dwi praja), yaitu alat-alat pemerintahan

yang menentukan haluan (politik) negara (taaksteling) dan alat-alat

pemerintahan yang menjalankan politik negara yag telah ditentukan

(verwekenlijking van de taak).3

Sedangkan pengertian pemerintahan dalam arti sempit yaitu hanya

meliputi kekuasaan melaksanaan undang-undang (eksekutif, bestuur,

bestuurszorg) atau tidak termasuk kekuasaan membuat undang-undang

(legislatif) dan menegakkan undang-undang (yudikatif) serta fungsi kepolisian.

Pengertian pemerintahan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah pengertian

pemerintahan dalam arti sempit.

2.1.2 Bentuk-Bentuk Tindakan Pemerintah

Terdapat dua bentuk tindakan pemerintah (bestuurshandeling) yang

dilakukan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan, yakni tindakan

berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindakan berdasarkan fakta/bukan

berdasarkan hukum (feitelijkehandeling).4 E. Utrecht mengartikan

“bestuurshandeling” dengan “perbuatan pemerintah” serta menyebutkan dua

3.

Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, 1983, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara

Jilid 1, Penerbit Alumni, Bandung, h. 40-41.

4. Sadjijono, op. cit, h. 84.

29

bentuk tindakan pemerintah ini (rechtshandeling dan feitelijkehandeling)

sebagai dua golongan besar perbuatan pemerintah.5

1) Tindakan berdasarkan hukum (rechtshandeling)

Menurut R.J.H.M. Huisman (sebagaimana dikutip oleh Ridwan H.R),

tindakan hukum adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya

menimbulkan akibat hukum tertentu. 6 Tindakan berdasarkan hukum dari

pemerintah berarti tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang

menimbulkan akibat hukum tertentu berupa hak dan kewajiban, seperti tercipta

atau hapusnya hak dan kewajiban tertentu. Menurut H.D. van Wijk/Williem

Konijnenbelt (sebagaimana dikutip oleh Sadjijono), akibat hukum tindakan

pemerintah tersebut dapat berupa :

a. menimbulkan beberapa perubahan hak, kewajiban atau

kewenangan yang ada;

b. menimbulkan perubahan kedudukan hukum bagi seseorang atau

obyek yang ada;

c. terdapat hak-hak, kewajiban, kewenangan ataupun status

tertentu yang ditetapkan. 7

Ada dua bentuk tindakan hukum pemerintah, yaitu tindakan hukum

pemerintah berdasarkan hukum publik (publiekrechttelijke handeling) dan

tindakan hukum pemerintah berdasarkan hukum privat (privatrechttelijke

handeling). Dua bentuk tindakan hukum pemerintah ini berkaitan dengan

kedudukan pemerintah sebagai institusi pemegang jabatan pemerintahan

(ambtsdrager) dan sebagai badan hukum. Perbedaan antara tindakan hukum

5. E. Utrecht, op.cit, h. 62-63.

6. Ridwan H.R., op. cit, h. 109-110.

7. Sadjijono, op. cit, h. 85.

30

publik dan tindakan hukum privat akan melahirkan akibat hukum yang berbeda

pula.

Tindakan hukum publik (publiekrechtshandeling) berarti bahwa tindakan

hukum yang dilakukan oleh pemerintah didasarkan pada hukum publik dalam

kedudukannya sebagai pemegang jabatan pemerintahan yang dilakukan

berdasarkan kewenangan pemerintah yang bersifat hukum publik yang hanya

dapat lahir dari kewenangan yang bersifat hukum publik pula. 8 Tindakan

hukum publik dibagi menjadi dua bentuk, yakni tindakan hukum publik

bersifat sepihak (eenzijdig publiekrechttelijke handeling) dan tindakan hukum

publik yang bersifat berbagai pihak, yakni dua atau lebih (meerzijdik

publiekrechttelijke handeling) atau menurut E. Utrecht disebut dengan tindakan

hukum publik bersegi satu (eenzijdige publiekrechttelijke handeling) dan

tindakan hukum publik bersegi dua (tweenzijdige publiekrechttelijke

handeling).9

Dikatakan sebagai tindakan hukum publik bersegi satu (bersifat sepihak)

karena alat-alat perlengkapan pemerintah memiliki kekuasaan istimewa dalam

melakukan atau tidak melakukan tindakan tergantung kehendak sepihak dari

badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang memiliki wewenang pemerintahan

untuk berbuat demikian. Olek karena merupakan suatu pernyataan kehendak

secara sepihak dari organ pemerintahan, maka tindakan hukum pemerintah

yang bersegi satu ini tidak boleh mengandung unsur kecacatan seperti

8. Sadjijono, op. cit, h. 86.

9. E. Utrecht, op. cit, h. 65.

31

kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog), dan paksaan (dwang) serta hal-hal

lain yang menimbulkan akibat hukum tidak sah.10

Tindakan hukum publik

yang bersifat sepihak (bersegi satu) ini disebut dengan ”beschikking” atau

dalam Bahasa Indonesia disebut dengan istilah “keputusan” atau “ketetapan”.11

Selain itu, dikatakan sebagai tindakan hukum publik bersegi dua

(berbagai pihak) karena terdapat persesuaian kehendak (wilsovereenkomst)

antara dua pihak atau lebih (pemerintah dan pihak lain) yang diatur dalam

suatu ketentuan hukum publik.12

Contoh tindakan hukum publik bersegi dua

adalah “kortverband contract” (perjanjian kerja yang berlaku selama jangka

pendek) antara swasta dengan pemerintah. 13

Sedangkan tindakan hukum privat adalah tindakan hukum yang

dilakukan oleh pemerintah yang didasarkan pada hukum privat dalam

kedudukannya sebagai badan hukum dan bukan tugas untuk kepentingan

umum sehingga tindakannya didasarkan pada ketentuan hukum privat.14

Tindakan pemerintah dalam hukum privat misalnya jual beli tanah dan jual beli

barang yang dilakukan pemerintah dalam hubungan hukum perdata.

2) Tindakan berdasarkan fakta (feitelijkehandeling)

Tindakan berdasarkan fakta adalah tindakan-tindakan yang tidak ada

relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat

10.

Ridwan H.R, op. cit, h. 111.

11. Sadjijono, op. cit, h 87.

12. Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, op. cit, h. 45-46.

13. Sadjijono, loc. cit.

14. Sadjijono, op. cit, h. 90.

32

hukum.15

Menurut Kuntjoro Probopranoto, tindakan berdasarkan fakta

(feitelijkehandeling) ini tidak relevan, karena tidak mempunyai hubungan

langsung dengan kewenangannya.16

Tindakan berdasarkan fakta yang

dilakukan oleh pemerintah misalnya tindakan meresmikan gedung-gedung,

monumen dan menyelenggarakan upacara-upacara serta kegiatan lainnya yang

tidak menimbulkan akibat hukum.

2.1.3 Unsur-Unsur Tindakan Hukum Pemerintah

Menurut E. Utrecht tindakan hukum pemerintah merupakan tindakan

pemerintah yang terpenting dalam hal pelaksanaan tugas pemerintahan.17

Adapun unsur-unsur tindakan hukum pemerintah yakni :

a. tindakan tersebut dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam

kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan

pemerintahaan (bestuursorgan);

b. tindakan dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi

pemerintahan (bestuursfunctie);

c. tindakan dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat

hukum (rechtsgevolgen) di bidang hukum administrasi;

d. tindakan yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan

umum;

e. tindakan dilakukan berdasarkan norma wewenang pemerintah; f. tindakan tersebut berorientasi pada tujuan tertentu berdasarkan

hukum.18

Sedangkan menurut Ridwan H. R. (sebagaimana mengutip pendapat

Muchsan) menyebutkan unsur-unsur tindakan hukum pemerintah adalah

sebagai berikut:

15.

Ridwan H.R., op. cit, h. 109.

16. Sadjijono, op. cit, h. 84.

17. E. Utrecht, op. cit, h. 63.

18. Sadjijono, op. cit, h. 86.

33

a. perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya

sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan

(bestuursorgan) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;

b. perbuatan tersebut dilaksnakan dalam rangka menjalankan fungsi

pemerintahan;

c. perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan

akibat hukum di bidang Hukum Administrasi Negara;

d. perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan

kepentingan negara dan rakyat;

e. perbuatan hukum administrasi harus didasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku (mengedepankan asas legalitas

atau wetmatigheid van bestuur). 19

Perlunya asas legalitas dalam setiap tindakan hukum pemerintah

mengingat bahwa wewenang sebagai dasar pemerintah dalam melakukan

berbagai tindakan bersumber pada peraturan perundang-undangan.

2.1.4 Alat Ukur Keabsahan Tindakan Pemerintah

Asas legalitas menjadi unsur utama dalam setiap tindakan pemerintah.

Asas legalitas bermakna bahwa setiap tindakan pemerintah harus didasarkan

pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apabila tindakan

pemerintah dilakukan tidak didasarkan pada peraturan perundang-undangan

maka tindakan tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang (wilekeur) atau

penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) yang berakibat cacat

yuridis pada tindakan hukum yang dilakukan.20

Untuk mengukur keabsahan

tindakan pemerintah dapat menggunakan dua alat ukur, yaitu peraturan

perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik

(AAUPB).21

Peraturan perundang-undangan berkaitan dengan dasar hukum

19.

Ridwan H.R., op. cit, h. 112-113.

20. Sadjijono, op. cit, h. 107.

21. Sadjijono, op. cit, h. 109-113.

34

yang memberi wewenang bagi pemerintah untuk bertindak (legitimasi

pemerintah), sedangkan asas-asas umum pemerintahan yang baik berkaitan

dengan dasar-dasar dan pedoman bertindak bagi pemerintah diluar aturan yang

bersifat normatif. Asas-asas umum pemeritahan yang baik dijadikan sebagai

penilaian terhadap moralitas setiap tindakan pemerintah.

2.2 Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)

2.2.1 Pengertian KTUN

Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) merupakan

tindakan hukum publik pemerintah yang bersegi satu atau bersifat sepihak

(eenzijdige publiekrechtelijke handeling). Istilah Keputusan Tata Usaha Negara

pertama kali diperkenalkan oleh Otto Meyer dengan istilah “verwaltungsakt”

(Jerman). Istilah ini diperkenalkan di Belanda oleh C.W. van der Pot dan C.

van Vollenhoven dengan istilah “beschikking” dan di Perancis dikenal dengan

istilah ”acte administratif”. Istilah “beschikking” diperkenalkan di Indonesia

oleh WF. Prins dan diterjemahkan dengan istilah “ketetapan” (E. Utrecht,

Bagir Manan), “penetapan” (Prajudi Amtosudirjo), dan “keputusan” (WF.

Prins, Philipus M. Hadjon).22

Menurut van der Pot (sebagaimana dikutip oleh Djenal Hoesen

Koesoemahatmaja), beschikking merupakan tindakan hukum yang dilakukan

alat-alat pemerintahan, pernyataan kehendak mereka dalam menyelenggarakan

hal khusus, dengan maksud mangadakan perubahan dalam lapangan hubungan

22.

Ridwan H.R., op. cit, h. 139-140.

35

hukum.23

Oleh E. Utrecht, beschikking diartikan sebagai perbuatan hukum

publik (yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan

berdasarkan suatu kekuasaan istimewa).24

Bedasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun

2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa:

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang

dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi

tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,

dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan

hukum perdata.

Sedangkan, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menyatakan

bahwa:

Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata

Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya

disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan

pemerintahan.

Dari pemaparan beberapa pengertian mengenai KTUN di atas, dapat

disimpulkan bahwa KTUN merupakan tindakan hukum publik bersegi satu

(sepihak) yang dilakukan oleh pemerintah, melalui alat-alat perlengkapan

pemerintahan (badan atau pejabat Tata Usaha Negara), yang berisi tindakan

hukum Tata Usaha Negara (sebagai bentuk pernyataan kehendak), berdasarkan

pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual

23.

Djenal Hoesen Koesoemahatmaja, op. cit, h. 47.

24. E. Utrecht, op. cit, h. 67.

36

dan final, serta menimbulkan akibat hukum tertentu (dalam bidang

administrasi) bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dari rumusan kedua undang-undang tersebut di atas terlihat bahwa

pengertian KTUN pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 tentang Administrasi Pemerintahan sedikit berbeda dan cenderung lebih

luas dibandingkan dengan rumusan pengertian KTUN yang ada pada Pasal 1

angka 9 UU PTUN. Dalam skripsi ini tidak akan dijelaskan lebih mendalam

mengenai perbedaan rumusan pengertian KTUN antara kedua undang-undang

tersebut karena yang akan dibahas dalam skripsi ini berkaitan dengan

penetapan suatu KTUN yang diatur dalam kedua undang-undang tersebut.

2.2.2 Unsur-Unsur KTUN

Berdasarkan pada definisi yang dikemukakan para sarjana, maka dapat

dirumuskan unsur-unsur dari KTUN (beschikking), yakni :

a. pernyataan kehendak yang bersifat sepihak (bersegi satu);

b. dikeluarkan oleh organ pemerintahan;

c. berdasarkan pada norma wewenang yang diatur dalam hukum publik

(peraturan perundang-undangan);

d. ditujukan untuk hal-hal yang bersifat khusus atau peristiwa konkret

dan individual;

e. dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang

administrasi.25

Sedangkan, berdasarkan pada definisi yang tertuang dalam ketentuan

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara meliputi:

a. penetapan tertulis;

25.

Sadjijono, op. cit, h. 94-95.

37

b. dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara;

c. berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. bersifat konkret, individual dan final;

e. menimbulkan akibat hukum; dan

f. ditujukan bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Unsur-unsur KTUN berdasarkan ketentuan Pasal 1 angkat 7 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yaitu:

a. ketetapan tertulis;

b. dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan; dan

c. yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan.

2.2.3 Syarat Sah KTUN

Suatu KTUN yang sah akan dengan sendirinya memiliki kekuatan

hukum, baik kekuatan hukum formal maupun kekuatan hukum materiil. Hal ini

kemudian melahirkan prinsip praduga rechtmatig (presumption iustitae causa)

yaitu setiap Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh pemerintah

dianggap sah menurut hukum sampai terbukti sebaliknya melalui suatu

pembatalan dari pengadilan.26

Menurut van der Pot, terdapat empat syarat yang harus dipenuhi agar

suatu Keputusan Tata Usaha Negara berlaku sebagai ketetapan (keputusan)

yang sah, yaitu :

a. ketetapan harus dibuat oleh alat pemerintahan (organ) yang

berwenang (bevoegd);

26.

Ridwan H.R., op. cit, h. 165-167.

38

b. pembentukan kehendak alat pemerintahan yang membuat ketetapan

tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in

de wilsvorming);

c. ketetapan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan

yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan

cara (procedure) membuat ketetapan itu, bilamana cara itu ditetapkan

dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut;

d. isi dan tujuan ketetapan itu, harus sesuai dengan isi dan tujuan

peraturan dasar.27

Sedangkan menurut Kuntjoro Purbopranoto (sebagaimana dikutip oleh

Sadjijono), ada dua syarat yang harus dipenuhi agar Keputusan Tata Usaha

Negara yang dibuat oleh pemerintah menjadi keputusan yang sah. Kedua syarat

tersebut yakni :

a. syarat materiil, meliputi :

1) alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang

(berhak);

2) dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak

boleh ada kekurangan yuridis (geen yuridiche gebreken in de

welsvorming);

3) keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam

peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga

memperhatikan prosedur membuat keputusan bilamana prosedur

itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan itu (rechtmatig);

4) isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan yang

hendak dicapai (doelmatig).

b. syarat formil, meliputi :

1) syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan

dibuatnya keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya

keputusan harus dipenuhi;

2) harus diberi bentuk yang telah ditentukan;

3) syarat-syarat berhubungan dengan pelaksanaan keputusan itu

dipenuhi;

4) jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hak-hak yang

menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan

tidak boleh dilupakan;

5) ditandatangani oleh pejabat pemerintahan yang berwenang

membuat keputusan.28

27.

Djenal Hoesen Koesoemahatmaja, op. cit, h.

28. Sadjijono, op. cit, h. 100-101.

39

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan juga diatur mengenai syarat sahnya suatu Keputusan Tata Usaha

Negara, yakni diatur dalam ketentuan Pasal 52 ayat (1) yang menyatakan

bahwa :

(1) Syarat sahnya Keputusan meliputi:

a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;

b. dibuat sesuai dengan prosedur; dan

c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (2) dari Undang-Undang tersebut

menyatakan bahwa sahnya KTUN juga didasarkan pada peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Terhadap

Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak memenuhi syarat tersebut di atas,

maka akan menimbulkan kekurangan dan dapat mengakibatkan keputusan itu

dianggap batal sama sekali atau pemberlakuannya dapat digugat.

2.2.4 Macam-Macam KTUN

Secara teoritis dikenal beberapa jenis atau macam-macam KTUN, yaitu

sebagai berikut: 29

1) Keputusan Deklaratoir dan Keputusan Konstitutif

Keputusan deklaratoir adalah keputusan yang tidak mengubah hak dan

kewajiban yang telah ada, tetapi sekadar menyatakan kembali hak dan

kewajiban tersebut atau suatu hubungan hukum. Sedangkan keputusan

konstitutif adalah keputusan yang melahirkan atau menghapuskan suatu

29.

Ridwan H.R., op. cit, h. 157-161.

40

hubungan hukum atau menimbulkan hak tertentu yang sebelumnya tidak

dipunyai oleh seseorang yang namanya tercantum dalam keputusan tersebut.

2) Keputusan yang Menguntungkan dan Keputusan yang Memberi Beban

Keputusan yang menguntungkan adalah keputusan yang memberi hak-

hak yang bersifat menguntungkan bagi sesorang yang namanya tercantum

dalam keputusan tersebut. Sedangkan keputusan yang memberi beban adalah

keputusan yang menimbulkan kewajiban yang sebelumnya tidak ada.

3) Keputusan Kilat (eenmalig) dan Keputusan Permanen

Keputusan kilat (eenmalig) adalah keputusan yang hanya berlaku sekali

atau keputusan sepintas lalu. Sedangkan keputusan permanen adalah keputusan

yang memiliki masa berlaku relatif lama atau menyangkut suatu keadaan yang

berjalan lama.

4) Keputusan Bebas dan Keputusan Terikat

Keputusan bebas adalah keputusan yang didasarkan pada kewenangan

bebas atau kebebasan bertindak yang dimiliki alat perlengkapan pemerintahan,

baik dalam bentuk kebebasan kebijaksanaan maupun kebebasan interpretasi.

Keputusan terikat adalah keputusan yang didasarkan pada kewenangan

pemerintahan yang bersifat terikat, yakni didasarkan pada ketentuan yang

sudah ada.

5) Keputusan Perorangan dan Keputusan Kebendaan

Keputusan perorangan adalah keputusan yang diterbitkan berkaitan

dengan kualitas pribadi sesorang. Sedangkan keputusan kebendaan adalah

keputusan yang diterbitkan berkaitan dengan kualitas suatu benda.

41

6) Keputusan Positif dan Keputusan Negatif.

Keputusan positif adalah keputusan yang menimbulkan hak dan

kewajiban bagi yang dikenai keputusan tersebut yakni berupa pernyataan

menerima atau mengabulkan permohonan. Sedangkan keputusan negatif adalah

keputusan yang tidak menimbulkan perubahan hak dan kewajiban yang telah

ada, yakni berupa pernyataan tidak berkuasa, tidak menerima atau menolak

permohonan.

Setiap pembuatan KTUN (apapun jenisnya) harus memperhatikan

ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku. Keputusan yang

dikeluarkan oleh badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) akan

berpengaruh bagi masyarakat selaku pemohon dan menimbulkan akibat-akibat

hukum tertentu. Oleh karena itu, setiap KTUN yang dikeluarkan oleh badan

atau pejabat pemerintahann (Tata Usaha Negara) harus sesuai dengan

ketentuan dan syarat yang berlaku agar keputusan yang dibuat merupakan

KTUN yang sah.

2.3 Peradilan Tata Usaha Negara

2.3.1 Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan (rechtspraak, judiciary), adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan tugas negara dalam penegakan hukum dan keadilan

melalui proses memeriksa dan memasukkan peristiwa konkret itu ke dalam

suatu norma hukum yang abstrak dan menuangkannya ke dalam putusan

42

(vonis).30

Sedangkan pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang

melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus

perkara.31

Pengadilan merupakan suatu instansi netral yang bertugas

memeriksa, mengadili dan memutus suatu peristiwa konkrit yang berkaitan

dengan tugasnya dalam usaha menegakan hukum dan keadilan (sebagai

lembaga yudikatif).

Merujuk pada ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tata Usaha Negara

merupakan pengadilan yang berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaiakan sengketa Tata Usaha Negara. Ketentuan Pasal 1 angka 10

Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa,

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang

tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan

badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah,

sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk

sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah

segala sesuatu atau proses yang berkaitan dengan kegiatan memeriksa,

memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Tujuan dari

peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya adalah untuk melindungi

kepentingan hukum dari masyarakat dari tindakan sewenang-wenang atau

30.

SF Marbun, 1998, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 21.

31. Pengadilan Negeri Yogyakarta, 2008, “Pengertian Pengadilan dan Peradilan”, URL :

http://pn-yogyakota.go.id/pnyk/info-peradilan/pengertian-peradilan.html diakses tanggal 15

September 2014.

43

penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pemerintah, mengingat amat

luasnya lapangan pekerjaan pemerintah.

2.3.2 Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara

Kompetensi suatu lembaga peradilan berkaitan dengan kewenangan

untuk memeriksa, memutus, dan mengadili atau menyelesaikan suatu perkara.

Kompetensi suatu lembaga peradilan dibedakan menjadi dua macam, yakni

kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

Kompetensi absolut peradilan berhubungan dengan kewenangan suatu

lembaga peradilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi

atau pokok perkaranya. Kompetensi absolut berkaitan dengan lingkungan

peradilan apa yang berwenang mengadili suatu perkara, yakni lingkungan

Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer

atau lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan kompetensi relatif

peradilan berhubungan dengan kewenangan suatu lembaga peradilan untuk

mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah atau daerah hukumnya

(yurisdiksi pengadilan). Kompetensi relatif berkaitan dengan pengadilan mana

yang berwenang mengadili suatu perkara dalam satu lingkungan peradilan.32

Kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagaimana

tertuang dalam ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa, “Pengadilan

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa

Tata Usaha Negara.” Jadi kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara

32.

SF Marbun, op. cit, h. 59.

44

adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.

Sedangkan kompetensi relatif dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah

berkaitan dengan kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan

sengketa Tata Usaha Negara menurut kedudukan dari Pengadilan Tata Usaha

Negara yang dibedakan berdasarkan daerah-daerah hukum, yakni meliputi

wilayah tertentu sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 6 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang

menyatakan bahwa:

(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di kotamadya atau

ibukota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah

kotamadya atau kabupaten.

(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota

provinsi, dan wilayah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

Sebagaimana halnya pada lingkungan peradilan lainnya di Indonesia,

pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara juga memiliki kompetensi

berdasarkan tingkatan peradilan yang dilaksanakan oleh suatu kekuasaan

kehakiman. Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha

Negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga

peradilan tingkat pertama dan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

sebagai lembaga peradilan tingkat banding serta oleh Mahkamah Agung

sebagai lembaga peradilan tingkat kasasi.

2.4 Peraturan Perundang-undangan

2.4.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Peraturan Perundang-undangan

Peraturan perundang-undangan menjadi landasan dalam setiap

penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

45

Pembentukan setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia mengacu

pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU PPP) yang menggantikan

keberadaan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU PPP menyatakan bahwa,

“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat

norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh

lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang

ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.” Menurut Van Der Tak,

peraturan perundang-undangan adalah kaidah tertulis yang dibuat oleh pejabat

yang berwenang, berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan

mengikat umum. 33

Menurut D.W.P Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental (civil

law system) yang dimaksud peraturan perundang-undangan (wet in materiele

zin) mengandung tiga unsur, yaitu:

1. norma hukum (rechtsnorm)

Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat

berupa perintah (gebod), larangan (verbod), pengizinan (toestemming)

dan pembebasan (vrijstelling).

2. berlaku ke luar (naar buiten werken)

Ru iter berpedapat bahwa, di dalam peraturan perundang-undangan

terdapat tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi

yang tidak termasuk dalam organisasi pemerintahan. Norma hanya

ditujukan kepada rakyat, baik dalam hubungan antar sesamanya,

maupun antara rakyat dengan pemerintah. Norma yang mengatur

bagian-bagian organisasi pemerintahan dianggap bukan norma yang

33.Aziz Syamsuddin, 2013, Proses Dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Edisi

Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 19.

46

sebenarnya, dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh karena itu,

norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut

“berlaku ke luar”.

3. bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin)

Dalam hal ini terdapat pembedaan antara norma yang umum

(algemeen) dan yang individual (individueel), hal ini dilihat dari

adresat (alamat) yang dituju, yaitu ditujukan kepada “Setiap orang”

atau kepada “orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak

(abstract) dan yang konkret (concreet) jika dilihat dari hal yang

diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang tidak tertentu

atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu. 34

Dalam konsep peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang

dimaksud sebagai peraturan perundang-undangan adalah segala peraturan

tertulis yang mempunyai norma bersifat umum (algemeen) dan abstrak

(abstract) yang dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat

yang berwenang.

2.4.2 Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Norma hukum dalam suatu negara adalah berjenjang dan berlapis-lapis

dalam suatu hierarki (tata susunan), sebagaiamana yang dikemukakan oleh

Hans Kelsen dalam teori penjenjangan norma hukum (stufentheorie) dan oleh

muridnya Hans Nawiasky dalam bukunya “Allgemeine Rechtslehre”.35

Demikian pula halnya pada norma hukum dalam peraturan perundang-

undangan di Indonesia. Norma hukum dalam peraturan perundang-undangan

juga tersusun dalam suatu hierarki menurut jenis sesuai dengan kekuatan

hukum mengikatnya.

34.

Maria I., op. cit., h. 35-36.

35. Maria I., op. cit., h. 41-44.

47

Jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia dibedakan menjadi

dua, yaitu jenis peraturan perundang-undangan menurut hierarki dan jenis

peraturan perundang-undangan di luar hierarki. Berdasarkan ketentuan Pasal 7

ayat (1) UU PPP, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kekuatan hukum dari peraturan perundang-undangan adalah sesuai

dengan hierarki atau tata urutan sebagaimana dimaksud diatas, sebagaimana

dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU PPP.

Selain itu, ada pula jenis peraturan perundang-undangan yang ada di luar

hierarki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPP tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PPP, jenis peraturan perundang-

undangan yang ada di luar hierarki tersebut mencakup peraturan yang

ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan

Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,

lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang

atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat

48

Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Jenis

peraturan perundang-undangan yang ada di luar hierarki ini tetap diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau

dibentuk berdasarkan kewenangan.