bab ii tinjauan pustaka - · pdf filegejala yang paling sering timbul berupa kelainan pada...

Download BAB II TINJAUAN PUSTAKA -   · PDF fileGejala yang paling sering timbul berupa kelainan pada leher, telinga, hidung dan saraf kranial (Brennan, 2005; Dol Cetti et

If you can't read please download the document

Upload: truongkhue

Post on 06-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Anatomi Nasofaring

    Nasofaring adalah bangunan rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak

    dibelakang rongga hidung, diatas tepi bebas palatum molle dengan diameter

    anterior-posterior 2-4 cm, lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung

    dan telinga tengah melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk

    oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah

    (Witte, 2008).

    Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring (dikutip dari Netter, 2012 )

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    6

    B. Karsinoma Nasofaring

    1. Definisi

    Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel

    epitel nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa

    Rosenmuller) dan dapat menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju

    dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan

    orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher. KNF pertama kali dilaporkan

    secara terpisah oleh Regaud dan Schminke pada tahun 1921 (Brennan, 2005).

    2. Epidemiologi

    KNF dapat terjadi pada setiap usia dan pada umumnya terjadi di usia

    antara 45 54 tahun, namun 2 dekade terakhir dilaporkan peningkatan kasus

    kejadian pada usia yang lebih muda. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher

    merupakan KNF (Brennan, 2005). Kasus kejadian KNF pada laki-laki lebih

    banyak dari wanita dengan perbandingan 3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum

    dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika

    Serikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000 (Brennan, 2005).

    Disebagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu

    15-30 per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong

    dan Guangzhou, dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun.

    Insiden tetap tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di

    negara-negara lain. Hal ini menunjukkan sebuah kecenderungan untuk penyakit

    ini apabila dikombinasikan dengan lingkungan pemicu. Secara mikroskopis

    gambaran terbanyak adalah tipe Undifferentiated cell carcinoma 86%, sedangkan

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    7

    di Amerika Utara 63%, Cina Selatan 96% (Wei, 2006). KNF menempati urutan

    ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh di Indonesia, dan

    menempati urutan ke-1 di bidang Telinga, Hidung dan Tenggorok (THT-KL). Di

    Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta angka prevalensi KNF selama tahun 2008-

    2009 Undifferentiated cell carcinoma nasofaring sebesar 89,1% (Sari, 2010).

    Tumor ini memiliki insidensi sebesar 95% pada keganasan nasofaring

    dewasa dan 20-35% pada pasien anak. Faktor yang diduga sebagai

    presdisposisinya adalah genetic, dan EBV (Epstein Barr Virus) (Allen, 2005;

    Hartati, 2005; Anderson, 2007). Secara makroskopis dapat dijumpai beberapa

    penonjolan mukosa yang sifatnya invasif dan metastase (Maa et al., 2007).

    3. Etiologi

    Karsinogenesis nasofaring merupakan proses yang terjadi akibat dari

    multifaktorial, dan belum seluruhnya dapat diterangkan. Bukti saat ini penyebab

    KNF dihubungkan dengan lingkungan, makanan, genetika dan infeksi EBV multi

    tahap, antara lain : ( Wei dan Sam, 2006; Hariwiyanto, 2009; Sudiana, 2008).

    1. Kerentanan Genetik.

    KNF tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap KNF pada

    kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi

    familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan

    gen pengkode enzim sitokrom kerentanan terhadap KNF (Brennan, 2005).

    2. Infeksi Virus Eipstein-Barr.

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    8

    Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1964

    dalam biakan sel limfoblas dari penderita limfoma Burkitt. EBV dapat bereplikasi

    pada sel epitel orofaring dan kelenjar parotis, kemudian menyebar lewat ludah dan

    menular melalui berciuman. Melalui tempat replikasinya di orofaring, EBV dapat

    menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada sel ini, menetap

    pada penderita yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit yang berarti.

    Ada dua jenis infeksi EBV yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA dan

    protein virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel. Jenis

    infeksi kedua adalah infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan di

    dalam sel terinfeksi sebagai episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut

    menjadi keganasan. (Notopuro, Kentjono dan Harijono, 2005).

    EBV adalah virus yang termasuk dalam famili herpes virus yang

    menginfeksi lebih dari 90 % populasi manusia di seluruh dunia dan merupakan

    penyebab infeksi mononukleosis KNF merupakan neoplasma epitel nasofaring

    yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. EBV jika menginfeksi penderita,

    akan selalu ada sepanjang hidup penderita dalam bentuk infeksi asimtomatik.

    EBV merupakan virus DNA yang onkogenik dan berhubungan dengan beberapa

    penyakit antara lain KNF, limfoma Burkit, penyakit Hodgkin dan Mononukleosis

    infeksiosa (Thompson dan Kurzrok, 2004).

    Hubungan antara EBV dengan KNF telah berhasil diteliti, pertama kali

    hubungan tersebut terungkap yaitu dengan adanya deteksi kadar antibodi anti-

    EBV yang tinggi dalam serum pasien dengan KNF. Perbedaan polimorfisme

    nukleotida tunggal ikut berkontribusi dalam KNF. (Wang et al., 2009). Bentuk-

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    9

    bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan KNF tidak berdifrensiasi

    (undifferentiated) dan KNF non-keratinisasi (non-keratinizing) yang aktif

    (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan tumor sel

    skuamosa atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Brennan, 2005).

    4. Gejala klinis

    Gejala yang paling sering timbul berupa kelainan pada leher, telinga,

    hidung dan saraf kranial (Brennan, 2005; Dol Cetti et al., 2002; Lin, 2003;

    Roezin dan Adham, 2007). Metastase tumor ke kelenjar getah bening leher

    (regional) sering terjadi, yaitu sekitar 60-97,5 % (Kentjono, 2003). Gejala tumor

    leher yang besar,dan lebih sering didapatkan pada KNF WHO tipe 3( Karsinoma

    tidak berdiferensiasi) dibandingkan dengan KNF WHO tipe 1(Karsinoma sel

    skuamosa keratinisasi). Benjolan di leher sering kali merupakan gejala pertama

    yang membawa penderita datang berobat ke dokter. Gejala lanjut KNF dapat

    berupa gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menurut Kentjono et

    al., (2000) antara lain :

    1. Tumor dapat meluas ke arah superior menuju ke intrakranial dan menjalar

    sepanjang fossa kranii media, disebut penjalaran petrosfenoid. Sel tumor

    biasanya masuk rongga tengkorak melalui foramen laserum dan

    menyebabkan kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak dari yang

    paling sering terjadi, yaitu gangguan N.VI (keluhan diplopia)

    mengakibatkan kelumpuhan m rektus bulbi lateral sehingga timbul

    keluhan penglihatan dobel dan mata tampak juling (strabismus

    konvergen), yang disusul N.V (keluhan neuralgi trigeminal dan parestesi

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    10

    wajah), kemudian gangguan pada N. III berupa ptosis, gangguan gerakan

    bola mata (oftalmoplegia), dan gangguan N.IV mengakibatkan

    kelumpuhan musculus obliqus inferior bola mata.

    2. Perluasan tumor kearah anterior menuju rongga hidung, sinus paranasal,

    fossa pterigopalatina dan dapat mencapai apeks orbita. Tumor yang besar

    dapat mendesak palatum molle, menimbulkan gejala obstruksi jalan napas

    atas dan jalan makanan.

    3. Perluasan tumor kearah postero lateral menuju ke ruang parafaring dan

    fossa pterigopalatina yang kemudian masuk ke foramen jugulare. Disini

    yang terkena adalah grup posterior saraf otak yaitu N. IX sampai dengan

    N. XII, serta pleksus simpatikus servikalis yang berjalan menuju fasia

    orbitalis. Bila terjadi kelumpuhan N. IX, X, XI dan XII disebut sindroma

    retroparotidean. Metastasis tumor ke kelenjar getah bening leher

    (regional) sering terjadi, yaitu sekitar 65,73%

    5. Histopatologi

    Menurut WHO KNF diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu:

    Tipe 1. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi

    Tampilannya mirip dengan karsinoma sel skuamosa pada traktus

    aerodigestif. Ditandai dengan adanya bentuk kromatin, atau sebagian sel

    mengalami keratinisasi (diskeratosis), adanya stratifikasi dari sel terutama pada

    sel yang terletak di permukaan atau suatu rongga kistik, dan adanya jembatan

    intersel (intercellular bridges). Sebanyak 25% KNF merupakan karsinoma tipe I

    di Amerika Serikat, namun hanya 1-2% di populasi endemik ( Lin, 2003).

  • perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

    commit to user

    11

    Tipe 2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi

    Menunjukkan sekuensi maturasi yang karakteristik untuk epitel skuamosa,

    namun secara mikroskopis tidak terdapat pembentukan keratin. Ditandai dengan

    masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun

    teratur/ berjajar, dan sering terlihat bentuk pleksiform yang mungkin t