bab ii tinjauan pustaka -...

12
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Secara umum usaha perikanan tangkap dapat dibedakan berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan, antara lain gill net, payang, dogol, pancing tonda, dll, dimana masing-masing alat tersebut mempunyai perbedaan dalam cara pengoperasiannya dalam menangkap ikan. Salah satu jenis usaha perikanan tangkap yang lumayan banyak dilakukan di Palabuhanratu Sukabumi adalah usaha perikanan tangkap pancing tonda. Pancing tonda merupakan alat tangkap ikan tradisional yang bertujuan untuk menangkap ikan-ikan jenis pelagis. Pancing tonda dikelompokan ke dalam alat tangkap pancing ( Hook and Line) (Subani dan Barus 1989). Jumlah nelayan yang diperlukan untuk pengoperasian alat tangkap ini tergantung dari besar kecilnya kapal atau perahu yang digunakan. Untuk perahu berukuran kecil biasanya digunakan tenaga nelayan sebanyak 4-6 orang dengan satu orang sebagai nahkoda yang merangkap menjadi fishing master, satu orang menjadi juru mesin, 2-4 orang ABK (Anak Buah Kapal) yang masing- masing mengoperasikan satu atau lebih pancing tonda sekaligus (Gunarso 1989). Alat bantu pada alat tangkap ini adalah rumpon dan lampu yang berfungsi untuk mengumpulkan (memikat) ikan agar mendatangi rumpon pada saat malam hari (Gunarso 1989). Menurut Hermanto (1986) usaha penangkapan ikan sangat tergantung dari hasil penangkapan ikan di laut. Adapun hasil penangkapan ikan di laut oleh suatu unit usaha penangkapan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Hasil tangkapan sangat dipengaruhi antara lain oleh (1) tersedianya populasi ikan di suatu daerah penangkapan (fishing area), (2) keadaan cuaca, (3) posisi bulan terhadap bumi, dan (4) efektifitas alat tangkap yang digunakan. Menurut Taryoto dkk (1993) usaha penangkapan di Indonesia memiliki ciri armada penangkapan yang sederhana, kesederhanaan ini dapat dilihat dari ukuran perahu atau kapal, ukuran motor maupun alat tangkap yang digunakan. Kondisi demikian mengakibatkan sangat sulit untuk memperoleh hasil tangkapan

Upload: tranthuan

Post on 13-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perikanan Tangkap

Secara umum usaha perikanan tangkap dapat dibedakan berdasarkan jenis

alat tangkap yang digunakan, antara lain gill net, payang, dogol, pancing tonda,

dll, dimana masing-masing alat tersebut mempunyai perbedaan dalam cara

pengoperasiannya dalam menangkap ikan. Salah satu jenis usaha perikanan

tangkap yang lumayan banyak dilakukan di Palabuhanratu Sukabumi adalah

usaha perikanan tangkap pancing tonda. Pancing tonda merupakan alat tangkap

ikan tradisional yang bertujuan untuk menangkap ikan-ikan jenis pelagis. Pancing

tonda dikelompokan ke dalam alat tangkap pancing (Hook and Line) (Subani dan

Barus 1989). Jumlah nelayan yang diperlukan untuk pengoperasian alat tangkap

ini tergantung dari besar kecilnya kapal atau perahu yang digunakan. Untuk

perahu berukuran kecil biasanya digunakan tenaga nelayan sebanyak 4-6 orang

dengan satu orang sebagai nahkoda yang merangkap menjadi fishing master, satu

orang menjadi juru mesin, 2-4 orang ABK (Anak Buah Kapal) yang masing-

masing mengoperasikan satu atau lebih pancing tonda sekaligus (Gunarso 1989).

Alat bantu pada alat tangkap ini adalah rumpon dan lampu yang berfungsi untuk

mengumpulkan (memikat) ikan agar mendatangi rumpon pada saat malam hari

(Gunarso 1989).

Menurut Hermanto (1986) usaha penangkapan ikan sangat tergantung dari

hasil penangkapan ikan di laut. Adapun hasil penangkapan ikan di laut oleh suatu

unit usaha penangkapan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Hasil tangkapan sangat

dipengaruhi antara lain oleh (1) tersedianya populasi ikan di suatu daerah

penangkapan (fishing area), (2) keadaan cuaca, (3) posisi bulan terhadap bumi,

dan (4) efektifitas alat tangkap yang digunakan.

Menurut Taryoto dkk (1993) usaha penangkapan di Indonesia memiliki

ciri armada penangkapan yang sederhana, kesederhanaan ini dapat dilihat dari

ukuran perahu atau kapal, ukuran motor maupun alat tangkap yang digunakan.

Kondisi demikian mengakibatkan sangat sulit untuk memperoleh hasil tangkapan

7

yang memadai untuk menopang kehidupan sehari-hari bagi nelayan. Nelayan

sendiri merupakan kelompok yang memiliki pendapatan paling rendah

dibandingkan dengan kelompok lain belum dapat dihapuskan dari pikiran

sebagian masyarakat.

2.1.1 Pola Usaha Perikanan Tangkap

Berbeda dengan pola usaha yang lain, pendapatan dari usaha yang

dilakukan oleh nelayan cenderung tidak teratur. Nelayan dalam menjalankan

usahanya tidak pernah mempunyai gambaran tentang besarnya pendapatan yang

akan diperoleh (Nadjib 2000). Usaha penangkapan ikan bagi nelayan merupakan

seni berburu yang sulit diperkirakan hasilnya. Pada suatu saat, nelayan

mempunyai pendapatan besar tetapi pada saat yang lain nelayan tidak

berpenghasilan sama sekali.

Usaha penangkapan ikan mempunyai tingkat ketidakpastian yang tinggi.

Nelayan dapat mengalami kerugian dari penggunaan biaya operasi, resiko

kehilangan perahu atau jaring pada waktu penangkapan ikan adalah sangat

mungkin. Nelayan perlu melakukan berbagai macam inovasi dan diversifikasi

usaha perikanan tangkap (Kusnadi 2000).

Usaha penangkapan ikan yang dilakukan nelayan sangat terkait dengan

penggunaan biaya operasi penangkapan yang meliputi bahan bakar, perbekalan

nelayan serta es apabila dibutuhkan. Biaya operasi merupakan biaya tetap yang

dikeluarkan oleh nelayan, walaupun nelayan tidak dapat memastikan perolehan

hasil tangkapan yang akan diterima pada saat itu sebagai pengembalian modal

usaha penangkapan ikan untuk hari esok.

Penggunaan biaya operasi sebagai biaya tetap dalam kegiatan

penangkapan ikan oleh nelayan Palabuhanratu serta hasil tangkapan yang tidak

menentu menyebabkan nelayan berorientasi untuk melakukan kegiatan usaha

penangkapan ikan agar hasil tangkapan optimal. Biaya atau ongkos produksi

adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produksi. Ongkos

produksi dalam usaha nelayan terdiri dari dua kategori, yaitu ongkos berupa

pengeluaran nyata (actual cost) dan ongkos yang tidak merupakan pengeluaran

8

nyata (inputed cost). Pengeluaran-pengeluaran nyata yang dikeluarkan ada yang

kontan dan ada yang tidak kontan. Pengeluaran-pengeluaran kontan adalah bahan

bakar, oli, es, pengeluaran untuk makan, untuk reparasi kapal, dan untuk biaya

lain. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak kontan adalah upah/gaji awak nelayan

pekerjaan yang umumnya bersifat bagi hasil dan dibayar sesudah hasil dijual.

Pengeluaran-pengeluaran yang tidak nyata ialah penyusutan dari perahu, mesin

dan alat penangkap. Salah satu strategi dalam menganalisis ketidakpastian usaha

dengan pola bagi hasil antara nelayan buruh dan pemilik berikut ini adalah

analisis bagi hasil tersebut.

2.1.2 Sistem Bagi Hasil

Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 1964 tentang sistem Bagi Hasil

Perikanan, yang dimaksud dengan hasil bersih bagi perikanan laut adalah hasil

ikan yang diperoleh dari penangkapan yang setelah diambil dari sebagian untuk

para nelayan penggarap, menurut kebiasan nelayan setempat, dikurangi dengan

beban yang menjadi tanggungan bersama dari nelayan pemilik dan nelayan

penggarap.

Usaha penangkapan ikan, sebagian besar nelayan tidak memiliki alat

penangkapan ikan sendiri karena keterbatasan modal. Usaha untuk mengatasi

keterbatasan modal adalah dengan mengadakan kerjasama dengan pemilik

peralatan melalui cara ikatan tertentu yang tercermin dalam sistem bagi hasil.

Sistem bagi hasil akan terjadi saling ketergantungan antara golongan nelayan

pandega dengan juragan sebagai pemilik alat tangkap (Manadiyanto dkk 1988).

Menurut Manadiyanto dkk (1988) adanya Undang-Undang Sistem Bagi

Hasil merupakan bukti bahwa perhatian pemerintah terhadap masalah pemerataan

pendapatan adalah cukup besar. Namun perjalanan panjang Undang-Undang

tersebut mungkin kurang sesuai lagi dengan keadaan di lapangan, yang telah

menjalani perubahan yang cukup pesat selama kurun waktu 1964-1999.

9

2.2 Nelayan

Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 1,

Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.

Menurut Satria (2002), berdasarkan penguasaan kapital nelayan dibedakan

menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang

memiliki sarana penangkapan ikan, seperti kapal atau perahu, jaring dan alat

tangkap lainnya. Nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja

sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut atau sekarang lebih

dikenal dengan Anak Buah Kapal (ABK).

Menurut Undang-Undang No.9 Tahun 1985 tentang perikanan, nelayan

dibedakan atas nelayan pemilik dan nelayan pekerja (buruh). Nelayan pemilik

adalah orang atau badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas

kapal/perahu yang diperlukan dalam usaha penangkapan ikan dilaut. Nelayan

pekerja (buruh) yaitu semua orang yang sebagai satu kesatuan menyediakan

tenaga kerjanya turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut baik sebagai

nahkoda/pandega maupun sebagai pengoprasian alat tangkap (Mubagio 1994

diacu dalam Firman 1996).

Secara umum berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha penangkapan

ikan maka nelayan dapat dibagi atas lima kelompok yaitu:

1) Juragan darat, yaitu orang yang mempunyai perahu dan alat penangkap ikan

tetapi tidak ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat hanya

menerima bagi hasil penangkapan yang diusahakan orang lain. Pada umumnya

juragan darat menanggung seluruh biaya operasi penangkapan.

2) Juragan laut, yaitu orang yang tidak punya perahu dan alat tangkap tetapi

bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan di laut.

3) Juragan darat laut, yaitu orang yang memiliki perahu dan alat tagkap ikan dan

dia ikut dalam operasi penangkapan. Juragan darat laut menerima bagi hasil

sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai unit penangkapan.

4) Buruh/pandega, yaitu orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan hanya

berfungsi sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi hasil dari hasil

tangkapan dan jarang diberi upah harian.

10

5) Anggota kelompok, yaitu orang yang berusaha pada suatu unit penangkapan

secara berkelompok. Perahu yang diusahakan adalah perahu yang diberi

modal yang dikumpulkan oleh tiap anggota kelompok (Hermanto 1986).

Kehidupan masyarakat pesisir sangat tergantung pada kondisi lingkungan

dan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya pencemaran karena

limbah industri maupun tumpahan minyak, dapat mempengaruhi usaha baik di

bidang perikanan tangkap mau pun budidaya yang berpengaruh terhadap

kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir (Dahuri 2000).

2.2.1 Rumah Tangga Nelayan

Menurut BPS (1997), rumah tangga adalah orang atau sekelompok orang

yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya makan

bersama dari satu dapur. Pengertian makan dari satu dapur adalah mengurus

kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu. Rumah tangga nelayan yaitu

sekelompok orang yang tinggal bersama, pada umumnya disatukan oleh ikatan

perkawinan dan hubungan darah yang salah satu dari anggota rumah tangganya

bekerja sebagai nelayan.

Tingkat sosial-ekonomi dan pendidikan yang rendah merupakan ciri

umum kehidupan nelayan. Tingkat kehidupan nelayan sedikit di atas pekerja

migran atau setarap dengan petani kecil. Bahkan jika dibandingkan secara

seksama dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian, nelayan

khususnya nelayan buruh kecil atau nelayan tradisional dapat digolongkan sebagai

lapisan sosial yang paling miskin (Kusnadi 2000).

2.2.2 Pendapatan Rumah Tangga Nelayan

Menurut Nugroho (1996), nilai pendapatan yang diterima oleh nelayan

bergantung pada hasil tangkapan (produksi) dan harga dari komoditas tersebut.

Jumlah hasil nelayan tergantung pada teknologi yang digunakan, dalam hal ini

adalah perlengkapan sesuai dengan penangkapannya, baik motor, perahu maupun

alat tangkap.

11

Menurut Biro Pusat Statistik (1993b), pendapatan dan penerimaan

keluarga adalah seluruh pendapatan dan penerimaan yang diterima oleh seluruh

anggota rumah tangga ekonomi. Pendapatan itu sendiri terdiri dari:

1) Pendapatan dari upah/gaji yang mencakup upah/gaji yang diterima oleh

seluruh anggota rumah tangga ekonomi yang bekerja sebagai buruh sebagai

imbalan bagi pekerjaan yang dilakukan untuk suatu perusahaan, majikan,

instansi tersebut baik uang maupun barang dan jasa.

2) Pendapatan dari hasil seluruh anggota rumah tangga yang berupa pendapatan

kotor yaitu selisih nilai jual barang dan jasa yang diproduksinya dengan biaya

produksinya.

3) Pendapatan lainnya yaitu pendapatan diluar upah/gaji yang menyangkut usaha

lain dari; (a) perkiraan sewa rumah milik sendiri, (b) bunga, deviden, royalti,

paten, sewa/kontrak, lahan, rumah, gedung, bangunan, peralatan, dsb, (c) buah

hasil usaha (hasil usaha sampingan yang dijual), (d) pensiunan dan klaim

asuransi jiwa, (e) kiriman famili/pihak lain secara rutin, ikatan dinas,

beasiswa, dsb.

2.2.3 Pengeluaran Rumah Tangga Nelayan

Pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, jumlah

aggota keluarga, komposisi umur, jenis kelamin, aktifitas sehari-hari, dan harga

barang-barang (Sumardi dan Evers 1995). Masyarakat yang tergolong

berpenghasilan rendah pada umumnya proporsi pengeluaran terbesarnya

digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Sebaliknya pada golongan yang

berpenghasilan tinggi lebih banyak untuk digunakan makan, berbelanja dan

rekreasi.

Menurut Hanafiah (1987), pos-pos atau bagian mata anggaran rumah

tangga perikanan (RTP) dan rumah tangga buruh perikanan (RTBP) dibagi dalam

empat kelompok masing-masing adalah sebagai berikut:

1) Kebutuhan Pokok; pangan, sandang, pendidikan,kesehatan, penerangan

rumah, dan perbaikan rumah.

12

2) Sumbangan Sosial dan Keagamaan; upacara keagamaan, sumbagan sosial,

sumbangan keamanan, pajak/IPEDA/lain-lain.

3) Pengeluaran yang dipandang mengandung unsur pemborosan; pengeluaran

untuk rokok, minuman keras, selamatan/pesta dan hiburan.

4) Tabungan dan Bayar Hutang; sisa pendapatan yang merupakan potensi untuk

“saving” dan bayar hutang.

Pengeluaran rata-rata per kapita sebulan adalah rata-rata biaya yang

dikeluarkan rumah tangga sebulan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga

dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga. Pengeluaran atau konsumsi

rumah tangga dibedakan menjadi dua, yaitu konsumsi makanan dan bukan

makanan tanpa memperhatikan asal barang dan terbatas pada pengeluaran untuk

kebutuhan rumah tangga saja, tidak termasuk konsumsi/pengeluaran untuk

keperluan usaha rumah tangga atau yang diberikan kepada pihak lain (Biro Pusat

Statistik 2000).

Menurut Biro Pusat Statistik (1993), pengeluaran konsumsi dikelompokan

menjadi pengeluaran untuk bahan makanan dan pengeluaran untuk bahan non-

makanan, yaitu:

1) Konsumsi makanan, minuman dan tembakau, terdiri dari kelompok padi-

padian, ikan, daging, elur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan. Buah-

buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi

lainnya serta makanan dan minuman jadi.

2) Konsumsi untuk barang-barang bukan makanan terdiri dari perumahan,

bahan bakar, penerangan dan air, barang dan jasa, pakaian, alas kaki, serta

brang-barang tahan lama.

Nelayan dapat dikategorikan sejahtera apabila proporsi pengeluaran untuk

kebutuhan pokok sebanding atau lebih rendah dari proporsi pengeluaran untuk

kebutuhan pokok seperti pendidikan, pakaian, kesehatan, rekreasi, dan kebutuhan

sosial kemasyarakatan lainnya. Sementara itu, rumah tangga dengan proporsi

pengeluaran untuk kebutuhan bukan pokok, rumah tangga tersebut dapat

13

dikategorikan sebagai rumah tangga dengan status kesejahteraan yang masih

rendah (Bappenas 2000).

2.3 Tingkat Kesejahteraan

2.3.1 Penjelasan dan Ukuran Kesejahteraan

Kesejahteraan adalah suatu ukuran tingkat kehidupan masyarakat yang

layak di mana tingkat kesejahteraan tersebut menurut Badan Pusat Statistik (BPS)

dapat diukur berdasarkan variabel pendapatan, keadaan tempat tinggal, kesehatan

dan pendidikan. Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks

sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat, jika dilihat dari

aspek tertentu.

Menurut Sukirno (1985) kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat

subjektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan, dan cara hidup yang

berbeda-beda sehingga memberikan nilai yang berbeda terhadap faktor-faktor

yang menentukan tingkat kesejahteraan.

Badan Pusat Statistik (2000) juga menyatakan bahwa suatu rumah tangga

dapat dikatakan sejahtera apalbila :

1) Seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari rumah tangga tersebut dapat

dipenuhi sesuai dengan tingkat kehidupan masing-masing rumah tangga itu

sendiri.

2) Mampu menyediakan sarana untuk mengembangkan hidup sejahtera

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dapat dilihat dengan jelas

melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumah tangga yang

bersangkutan. Pengeluaran rata-rata biaya yang dikeluarkan rumah tangga selama

sebulan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan untuk

konsumsi semua anggota rumah tangga dibagi dengan banyaknya jumlah anggota

rumah tangga. Determinan utama dari tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk

adalah daya beli. Apabila daya beli menurun maka kemampuan untuk memenuhi

berbagai kebutuhan hidup menurun sehingga tingkat kesejahteraan menurun (BPS

2000).

14

Undang-Undang No. 16 tahun 1994 tentang Ketentuan Pokok

Kesejahteraan Sosial dinyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tata

kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual, yang diliputi oleh

rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan

setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan

jasmani, rohani dan sosial sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat

dengan menjunjung tinggi hak hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan

Pancasila dan UUD 1945 (Dasmita 1998).

Tinjauan atas tingkat kesejahteraan rakyat dapat pula dilihat melalui

kondisi mau pun fasilitas yang dimiliki suatu tempat tinggal. Perumahan (papan)

adalah salahsatu kebutuhan dasar yang sangat penting selain makanan (pangan)

dan pakaian (sandang) dalam pencapaian kehidupan yang layak. Rumah pada saat

ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat berteduh, tetapi sudah mencerminkan

kehidupan rumah tangga/masyarakat. Oleh karena itu, harus ditangani secara

serius baik oleh instansi swasta yang berkepentingan maupun oleh pemerintah.

Masih banyak masyarakat ekonomi lemah yang belum memiliki rumah yang

memadai. Program yang dilaksanakan tertuang dalam program penyehatan

lingkungan yang bertujuan menjaga, menciptakan serta melestarikan keadaan

lingkungan yang sehat, bersih dan nyaman (Biro Pusat Statistik 1993).

Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional diacu dalam

Mubagio (1994), yang disebut keluarga sejahtera adalah keluarga yang:

1) Dapat memenuhi kebutuhan anggotanya, baik kebutuhan sandang, pangan,

perumahan, sosial maupun agama.

2) Mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dengan jumlah

anggota keluarga.

3) Dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggotanya, berkehidupan bersama

dengan masyarkat sekitar, beribdah khusyuk, disamping terpenuhi

kebutuhan pokoknya.

15

Indikator Kesejahteraan Rumah Tangga yang disesuaikan dengan

indikator kesejahteraan rumah tangga yang dipergunakan oleh Biro Pusat Statistik

(BPS) dalam SUSENAS 1991. Indikator tersebut adalah:

1) Pendapatan rumah tangga

2) Konsumsi rumah tangga

3) Keadaan tempat tinggal

4) Fasilitas tempat tinggal

5) Kesehatan anggota rumah tangga

6) Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dari tenaga medis/paramedik

(termasuk didalamnya kemudahan mengikuti Keluarga Berencana (KB) dan

memperoleh obat-obatan)

7) Kemudahan memasukan anak ke jenjang pendidikan

8) Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi (pengangkutan)

9) Kehidupan beragama

10) Rasa aman dari gangguan kesehatan

11) Kemudahan dalam melakukan olah raga

Tingkat kesejahteraan keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga

Berencana Nasional (BKKBN) (1996) adalah sebagai berikut:

1) Keluarga Pra Sejahtera (PS), yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi

kebutuhan pokoknya secara minimal serta kebutuhan pangan, sandang,

papan, dan kesehatan.

2) Keluarga Sejahtera Tahap I (S-1), adalah keluarga yang telah dapat

memenuhi kebutuhan dasarnya, akan tetapi belum dapat memenuhi

keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya seperti pendidikan, keluarga

berencana (KB), interaksi dalam keluarga, lingkungan, tempat tingga serta

kebutuhan transportasi.

3) Keluarga Sejahtera Tahap II (S-2), yaitu keluarga yang disamping telah

dapat memenuhi kebutuhan dasarnya juga telah memenuhi kebutuhan sosial

psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan

pengembagannya seperti menabung dan memperoleh informasi.

16

4) Keluarga Sejahtera Tahap III (S-3), adalah keluarga yag telah dapat

memenuhi kebutuhan dasar, psikologis dan pengembangannya, akan tetapi

belum dapat member kontribus maksimal terhadap masyarakat seperti secara

teratur memberikan sumbangan untuk masyarakat, berperan secara aktif di

masyarakat dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan

sosial, keagamaan, kesenian, olahraga, pendidikan, dan sebagainya.

5) Keluarga Sejahtera Tahap III plus (S-3+), yaitu keluarga yang telah dapat

memenuhi seluruh kebutuhannya baik yang bersifat dasar, sosial psikologis,

maupun yang bersifat pengembangan serta telah pula memberikan

sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat (Permanasari,

1997).

Berdasarkan konsep dan definisi kesejahteraan yang dikemukakan diatas,

maka dapat diketahui bahwa kesejahteraan sangat luas dan tidak semuanya dapat

diukur secara kuantitatif. Ukuran lainnya yang biasa dipakai dalam menentukan

tingkat kesejahteraan khusus untuk nelayan adalah Nilai Tukar Nelayan (NTN),

berikut ini uraian mengenai NTN.

2.3.2 Nilai Tukar Nelayan

Selama ini, upaya untuk mengukur tingkat kesejahteraan nelayan masih

menggunakan indikator perubahan pendapatan nelayan. Indikator demikian

menurut Basuki dkk (2001) kurang tepat dan menyesatkan untuk menggambarkan

secara tepat perbaikan kesejahteraan nelayan karena belum membandingkan

dengan pengeluaran nelayan untuk kebutuhan konsumsi keluarganya. Oleh

karenanya, indikator yang lebih tepat adalah nilai tukar nelayan (NTN) yang

mempertimbangkan seluruh penerimaan (revenue) dan seluruh pengeluaran

(expenditure) keluarga nelayan.

Nilai tukar menurut Soeharjo dkk (1980) dapat digunakan untuk keperluan

dua macam analisis. Penggunaan yang pertama adalah sebagai alat deskripsi

(descriptive tool). Sebagai alat deskripsi konsep ini digunakan untuk menerangkan

dan menjelaskan secara statistik atau indeks mengenai kecenderungan jangka

pendek dan jangka panjang tentang sejarah kelakuan harga barang-barang yang

17

diperdagangkan. Penggunaan yang kedua yang sangat erat hubungannya dengan

yang pertama, adalah sebagai alat untuk keperluan penetapan kebijakan (tool for

policy).

Menurut Basuki dkk (2001), NTN adalah rasio total pendapatan terhadap

total pengeluaran rumah tangga nelayan selama periode waktu tertentu.

Pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan kotor atau dapat disebut sebagai

penerimaan rumah tangga nelayan. Nilai Tukar Nelayan yang dihitung adalah

merupakan gabungan dari usaha kegiatan perikanan tangkap.