bab iv hasil dan pembahasan 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28...

19
23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Embrio Ikan Nilem Hasil pengamatan embriogenesis ikan nilem, setelah pencampuran sel sperma dan telur kemudian telur mengalami perkembangan serta terjadi fase pembelah sel (cleavage), morula, blastula, gastrula dan organogenesis (Gambar 3 dan Lampiran 1). a b c d e f Keterangan: a: Cleavage (Pembelahan sel); b: Morula; c: Blastula; d: Gastrula; e: Gastrula Akhir; f: Organogenesis Gambar 3. Fase Embriogenesis Telur Ikan Nilem Pada gambar di atas (Gambar 3.a) fase cleavage dicirikan dengan pembentukan blastodisk pada kutub anima. Pembentukan blastodisk sempurna terjadi 60 menit setelah pembuahan. Blastodisk inilah yang nantinya akan membelah menjadi banyak sel. Hasil penelitian Olivia (2011) menunjukkan pembelahan satu sel berlangsung pada jam ke- 1 lewat 10 menit setelah pembuahan. Kemudian blastodisk ini akan membelah dengan membentuk 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel dan 32 sel (Gambar 4).

Upload: lythuan

Post on 03-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

23

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan Embrio Ikan Nilem

Hasil pengamatan embriogenesis ikan nilem, setelah pencampuran sel sperma

dan telur kemudian telur mengalami perkembangan serta terjadi fase pembelah sel

(cleavage), morula, blastula, gastrula dan organogenesis (Gambar 3 dan Lampiran

1).

a

b

c

d

e

f

Keterangan:

a: Cleavage (Pembelahan sel); b: Morula; c: Blastula;

d: Gastrula; e: Gastrula Akhir; f: Organogenesis

Gambar 3. Fase Embriogenesis Telur Ikan Nilem

Pada gambar di atas (Gambar 3.a) fase cleavage dicirikan dengan

pembentukan blastodisk pada kutub anima. Pembentukan blastodisk sempurna

terjadi 60 menit setelah pembuahan. Blastodisk inilah yang nantinya akan

membelah menjadi banyak sel. Hasil penelitian Olivia (2011) menunjukkan

pembelahan satu sel berlangsung pada jam ke- 1 lewat 10 menit setelah

pembuahan. Kemudian blastodisk ini akan membelah dengan membentuk 2 sel, 4

sel, 8 sel, 16 sel dan 32 sel (Gambar 4).

Page 2: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

24

a

b

c

d e

Keterangan:

a: 2 sel; b: 4 sel; c: 8 sel; d: 16 sel; e: 32 sel

Gambar 4. Fase Pembelahan Telur Ikan Nilem

Pada Gambar 4 terlihat bahwa kuning telur tidak ikut membelah, yang membelah

hanya sel-sel blastodisk yang semakin mengecil seiring dengan pertambahan

waktu. Menurut Effendie (1995) pada telur telolechital kuning telur tidak ikut

membelah, yang mengalami pembelahan hanyalah keping protoplasmanya saja

yang terdapat di kutub anima. Berdasarkan uraian tersebut telur ikan nilem

termasuk telolechital sehingga pembelahannya dinamakan meroblastik.

Pembelahan sel pertamanya (Gambar 4.a) secara meridian, diikuti oleh

pembelahan kedua tegak lurus pada bidang pembelahan pertama (Gambar 4.b).

Pembelahan ketiga (Gambar 4.c) memotong bidang pembelahan kedua sebelah

kiri dan kanan bidang pembelahan pertama dengan pembelahan kedua-duanya

yang sejajar dengan bidang pembelahan pertama. Pembelahan berikutnya

(Gambar 4.d) terdiri dari dua pembelahan yang berjalan bersama-sama, sejajar

dan terletak di kiri dan kanan bidang pembelahan kedua. Pembelahan kelima

empat buah sel yang terletak di tengah-tengah membelah sejajar pada permukaan.

Pembelahan kelima (Gambar 4.e) merupakan fase awal morula.

Page 3: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

25

ruang perivitelin kutub anima

32 blastomer

yolk

Gambar 5. Fase Morula Telur Ikan Nilem

Fase morula (Gambar 5) menurut Effendie (1995) fase morula dimulai ketika

telah mencapai 32 sel. Hasil pengamatan fase morula awal terjadi 3 jam setelah

pembuahan, sedangkan menurut Olivia (2011) pembelahan kelima (32 sel) terjadi

3 jam 50 menit setelah pembuahan pada suhu 29°C. Dari gambar 5 terlihat ukuran

sel blastodisk sudah mulai beragam. Sel membelah secara melintang dan mulai

terbentuk formasi lapisan kedua secara samar pada kutub anima. Fase morula

berakhir apabila pembelahan sel sudah menghasilkan blastomer yang ukuran sama

tetapi lebih kecil. Sel tersebut memadat untuk menjadi blastodisk kecil

membentuk dua lapis sel.

yolk blastoderma

periblast

Gambar 6. Fase Blastula Telur Ikan Nilem

Fase blastula (Gambar 6) terjadi 4 jam setelah pembuahan. Hasil penelitian

Olivia (2011) menyebutkan fase blastula telur ikan nilem terjadi 4 jam 50 menit

setelah pembuahan pada suhu 29°C. Pada akhir fase blastula, sel-sel blastoderma

akan terdiri dari neural, epidermal, notochordal, mesodermal serta endodermal

yang merupakan bakal pembentuk organ-organ.

Page 4: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

26

perisai embrio

yolk

korion blastopor

Gambar 7. Fase Gastrula Telur Ikan Nilem

Setelah fase blastula kemudian dilanjutkan fase gastrula (Gambar 7), dimana

pada awal fase ini blastoderma menutupi hampir seluruh kuning telur. Bagian

yang tidak menutupi kuning telur dinamakan blastopor. Jaringan luar embrio terus

berkembang mengelilingi kuning telur. Setelah jaringan menutupi seluruh kuning

telur terbentuklah perisai embrio pada kutub anima. Perisai embrio yang berada

pada kutub anima akan berkembang menjadi tulang belakang. Fase gastrula

terjadi 5 jam setelah pembuahan. Akhir dari proses gastrulasi apabila kuning telur

sudah tertutup lapisan sel (perisai embrio). Bersamaan dengan selesainya proses

gastrulasi sebenarnya sudah dimulai awal pembentukan organ-organ.

notochord

korion

yolk

kepala

ekor

bakal mata

Gambar 8. Fase Organogenesis Telur Ikan Nilem

Fase organogenesis (Gambar 8) merupakan tahap pembentukan organ pada

embrio. Dalam fase organogenesis terbentuk berturut-turut bakal organ yaitu

syaraf, notochord, mata, somit, rongga kuffer, kantong alfaktori, rongga ginjal,

usus, tulang subnotochord, linealateralis, jantung, aorta, insang, infundibullum,

Page 5: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

27

dan lipatan-lipatan sirip. Pembentukan semua organ tubuh hampir sempurna

ketika telur akan menetas (Tang dan Ridwan 2004). Setelah fase organogenesis 4

jam kemudian larva akan menetas yang di sebabkan korion melunak akibat

aktifitas pergerakan larva dan juga oleh kinerja enzim chorionase.

Penetasan larva ikan nilem terjadi setelah 24 jam dari pembuahan dengan

larva yang dihasilkan normal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Olivia (2011)

yang menyatakan penetasan ikan nilem pada kisaran suhu 27°C-29°C

menghasilkan larva ikan yang normal serta derajat penetasan yang tinggi.

4.2 Laju Penyerapan Kuning Telur Larva Ikan Nilem

Larva ikan pada fase endogenous feeding (Gambar 9 dan Lampiran 2)

merupakan bentuk kehidupan peralihan yang berkembang dari telur kemudian

melalui berbagai tahap embrio, dengan kuning telur sampai akhirnya menetas

menjadi larva yang mampu menangkap dan mencerna organisme mangsa.

Gambar 9. Larva Ikan Nilem Fase Endogenous Feeding

Kuning telur pada fase ini digunakan sebagai nutrisi dan energi yang digunakan

untuk tumbuh serta aktivitas metabolisme sampai larva menetas (Kamler 1992).

Pengamatan fase endogenous feeding pada tiap suhu media pemeliharaan

menunjukkan perbedaan dalam waktu penyerapan kuning telur (Tabel 2).

Tabel 2. Waktu Fase Endogenous Feeding Larva Ikan Nilem

Perlakuan Waktu (jam)

A (25°C) 42

B (27°C) 36

C (29°C) 33

D (31°C) 30

Page 6: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

28

Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25°C) memiliki waktu fase endogenous

feeding lebih lama yaitu 42 jam dari pada suhu media pemeliharaan lainnya yang

lebih tinggi. Waktu fase endogenous feeding paling cepat adalah pada suhu media

pemeliharaan perlakuan D (31°C) yaitu 30 jam. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Olivia (2011) yang menyebutkan bahwa waktu menetas telur ikan nilem

dipengaruhi oleh suhu, karena pada suhu rendah (25°C) waktu menetas telur ikan

nilem lebih lama yaitu 24 jam 40 menit, sedangkan suhu yang lebih tinggi (31°C)

yaitu 22 jam.

Waktu fase endogenous feeding yang lama pada suhu rendah dan cepat pada

suhu yang tinggi disebabkan oleh aktivitas metabolisme. Kuning telur dalam fase

ini digunakan sebagai nutrisi untuk memenuhi kebutuhan energi pada larva.

Energi tersebut digunakan dalam proses metabolisme. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Fujaya (2004) bahwa aktivitas metabolisme sangat dipengaruhi oleh

suhu dan oksigen, sedangkan Kamler (1992) menyatakan bahwa laju

perkembangan sangat dekat hubungannya dengan suhu; jika perkembangannya

lambat berarti suhu yang digunakan rendah dan peningkatan akan meningkat

seiring dengan penambahan suhu. Pengaruh suhu dalam perkembangan dapat

dinyatakan oleh perubahan waktu dari pembuahan sampai perkembangan fase

selanjutnya.

Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan proses metabolisme dalam

tubuh larva. Hal ini dicirikan dari penyusutan volume kuning telur (Gambar 10).

Gambar 10. Kurva Penyusutan Volume Kuning Telur Larva Ikan Nilem Perwaktu

Pengamatan

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

0.80

0.90

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45

Vo

lum

e K

un

ing

Tel

ur (

mm

3)

Waktu Pengamatan (jam)

A (25°C)

B (27°C)

C (29°C)

D (31°C)

Page 7: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

29

Volume kuning telur larva ikan nilem pada Gambar 6 lebih cepat menurun pada

suhu yang lebih tinggi daripada suhu yang rendah. Penelitian Pramono dan Sri

(2009) volume kuning telur larva ikan senggaringan semakin menurun seiring

dengan pertambahan waktu. Penyusutan volume kuning telur tersebut dikarenakan

kuning telur digunakan sebagai nutrisi pada fase endogenous feeding dan juga

terdapat faktor lain yang mempengaruhinya seperti faktor lingkungan yaitu

kualitas air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kamler (1992) bahwa pengurangan

jumlah volume kuning telur tersebut disebabkan oleh beberapa faktor salah

satunya adalah suhu. Woynarovich dan Horvarth (1980) menyatakan bahwa suhu

air yang rendah dapat menghalangi perkembangan dan produksi enzim, Sehingga

menyebabkan lamanya proses metabolisme. Walaupun larva dapat mentolerir air

dingin akan tetapi larva tidak dapat menetas karena produksi enzim terhambat.

Hasil pengamatan laju penyerapan kuning telur berdasarkan volume kuning

telur serta waktu kuning telur habis terserap menunjukkan terdapat perbedaan laju

penyerapan kuning telur antara waktu pengamatan (Gambar 11).

Gambar 11. Kurva Laju Penyerapan Kuning Telur Larva Ikan Nilem Perwaktu

Pengamatan

Laju penyerapan kuning telur larva ikan nilem pada Gambar 11 saat fase awal

menetas lambat, kemudian cepat dan lambat lagi hingga kuning telur habis

terserap. Sesuai dengan pernyataan Hemming dan Buddington (1988) bahwa laju

penyerapan kuning telur berlangsung secara eksponensial. Penyerapan lambat

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45

La

ju P

eny

era

pa

n K

un

ing

Tel

ur

(%)

Waktu Pengamatan (jam)

A (25°C)

B (27°C)

C (29°C)

D (31°C)

Page 8: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

30

menjelang kuning telur habis terserap diduga disebabkan oleh berkurangnya luas

permukaan sejalan dengan penyusutan kantung kuning telur dan perubahan

komposisi telur.

Laju penyerapan kuning telur ikan nilem pada Gambar 12 terlihat bahwa

seiring peningkatan suhu media pemeliharaan laju penyerapan kuning telur juga

semakin meningkat, tapi kemudian menurun pada suhu media pemeliharaan

paling tinggi. Pada ikan Oncorhynchus tshawytschat laju penyerapan kuning telur

juga mengalami peningkatan mulai dari suhu 6°C sampai suhu 10°C dan

kemudian mengalami penurunan pada suhu 12°C (Kamler 1992). Penurunan laju

penyerapan kuning telur pada suhu tinggi di karenakan telah melewati batas

optimum serta aktivitas metabolisme yang berjalan lambat. Sesuai dengan

pernyataan Heming dan Buddington (1990) dalam Shafrudin (1997) mengatakan

bahwa kecepatan laju penyerapan kuning telur meningkat dengan meningkatnya

suhu dan akan menurun pada saat mendekati batas atas toleransi.

Gambar 12. Laju Penyerapan Kuning Telur Larva Ikan Nilem Tiap Perlakuan

Hasil dari analisis sidik ragam (Lampiran 8) menyatakan suhu media

pemeliharaan tidak berpengaruh nyata terhadap laju penyerapan kuning telur larva

ikan nilem. Tidak berbeda nyata perlakuan yang diberikan, bukan berarti tidak ada

suhu yang terbaik untuk laju penyerapan kuning telur. Suhu yang terbaik untuk

laju penyerapan kuning telur dapat di lihat dari nilai tertinggi yang diberikan. Laju

5.701a 5.885a 5.919a

4.897a

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

25 27 29 31

La

ju P

eny

era

pa

n K

un

ing

Tel

ur

(%)

Suhu Media Pemeliharaan (°C)

Page 9: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

31

penyerapan kuning telur tertinggi terdapat pada perlakuan C (29°C) sebesar

5,919%. Perlakuan C (29°C) merupakan suhu media pemeliharaan terbaik untuk

laju peyerapan kuning telur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Woynarovich dan

Horvarth (1980) bahwa laju penyerapan kuning telur yang lebih tinggi

memungkinkan tersedianya energi yang tinggi.

Perlakuan A dengan menggunakan suhu 25°C memberikan hasil terendah

sebesar 5,858% untuk laju penyerapan kuning telur. Penelitian Budiardi et al.

(2005) pada ikan maanfish yang menyatakan bahwa laju penyerapan kuning telur

ikan maanfish pada suhu rendah (25°C) memberikan hasil yang terendah sebesar

2,41%. Laju penyerapan kuning telur yang rendah dikarenakan penggunaan suhu

rendah yang menyebabkan aktivitas metabolisme lambat atau terganggu. Ini

sesuai dengan pernyataan Shafrudin (1997) bahwa terjadinya penurunan

penyerapan kuning telur disebabkan oleh suatu kegagalan proses metabolisme

normal. Kegagalan dalam proses metabolisme ini dicirikan dengan perkembangan

larva yang abnormal dan kematian.

4.3 Laju Pertumbuhan Panjang Larva Ikan Nilem

Hasil laju pertumbuhan panjang larva ikan nilem pada awal pengamatan jam

0 berjalan lambat kemudian meningkat pada pengamatan 3 jam kemudian turun,

meningkat dan kembali turun sampai kuning telur habis terserap (Gambar 13).

Kurva laju pertumbuhan panjang yang naik turun disebabkan adanya perbedaan

penyerapan energi dari kuning telur untuk pertumbuhan.

Gambar 13. Kurva Pertumbuhan Panjang Larva Ikan Nilem Perwaktu Pengamatan

0.000

0.005

0.010

0.015

0.020

0.025

0.030

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45

La

ju P

ertu

mb

uh

an

Pa

nja

ng

(%)

Waktu Pengamatan (jam)

A (25°C)

B (27°C)

C (29°C)

D (31°C)

Page 10: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

32

Menurut Effendie (1995) hubungan pertambahan ukuran dengan waktu bila

digambarkan dalam suatu sistem koordinat menghasilkan suatu diagram yang

disebut kurva pertumbuhan. Pertumbuhan ikan yang diplotkan selama masa

hidupnya akan mendapatkan kurva sigmoid. Bentuk kurva demikian disebabkan

pertumbuhan autokatalitik dari ikan secara alamiah dimana pertumbuhan pada

fase awal dari hidupnya mula-mula lambat kemudian cepat dan lambat lagi pada

umur tua.

Hasil analisis sidik ragam laju pertumbuhan panjang larva ikan nilem

menunjukkan bahwa perlakuan suhu memberikan perbedaan nyata (Lampiran 9).

Berdasarkan hasil uji Duncan laju pertumbuhan larva pada perlakuan A (25°C)

berbeda nyata dengan perlakuan B (27°C) dan D (29°C). Perlakuan B (27°C)

berbeda nyata dengan perlakuan C (29°C). Perlakuan D (31°C) tidak berbeda

nyata dengan perlakuan A (25°C). Karena suhu media pemeliharaan 29°C

(perlakuan C) tidak diikuti dengan huruf yang sama, maka suhu media

pemeliharaan 29°C merupakan suhu media pemeliharaan terbaik bagi laju

pertumbuhan larva ikan nilem.

Laju pertumbuhan ikan nilem pada Gambar 14 menunjukkan dengan

meningkatnya suhu media pemeliharaan dari 25°C (perlakuan A) sampai suhu

media pemeliharaan 29°C (perlakuan B), nilai laju pertumbuhan larva ikan nilem

terus meningkat dan kemudian menurun pada suhu 31°C (perlakuan D).

Peningkatan nilai laju pertumbuhan dikarenakan aktivitas penyerapan kuning telur

yang digunakan untuk proses pertumbuhan dipengaruhi oleh suhu, sehingga

semakin meningkat suhu yang digunakan maka laju pertumbuhan juga semakin

meningkat. Ini sesuai dengan pernyataan Handajani dan Wahyu (2010) yang

menyatakan bahwa suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kehidupan

ikan. Secara umum laju pertumbuham meningkat sejalan dengan kenaikan suhu

sampai batas tertentu yang dapat menekan kehidupan ikan dan bahkan

menyebabkan kematian.

Page 11: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

33

Gambar 14. Laju Pertumbuhan Panjang Larva Ikan Nilem

Perbedaan nilai laju pertumbuhan panjang larva ikan nilem disebabkan

aktivitas metabolisme yang dipengaruhi oleh suhu. Ini sesuai dengan pernyataan

Wiegand et al. (1988) dalam Efendi (2006) bahwa suhu mempengaruhi laju

metabolisme hewan yang bersifat poikilotermal karena kecepatan biokimia dalam

jaringan tubuh ikan berubah sesuai dengan lingkungan. Pertumbuhan bagi

organisme dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu genetik, hormon serta

lingkungan. Meskipun secara umum faktor lingkungan memegang peranan sangat

penting seperti zat hara dan suhu (Fujaya, 2008).

Laju pertumbuhan larva ikan nilem terendah terdapat pada perlakuan A

(25°C) sebesar 0,6169%, ini dikarenakan proses penyerapan kuning telur berjalan

lambat pada suhu rendah. Penyerapan kuning telur yang lambat sebagai sumber

energi mengakibatkan proses metabolisme serta pertumbuhan larva ikan nilem

berjalan lambat. Perlakuan C (29°C) memiliki nilai laju pertumbuhan yang tinggi

dari suhu media pemeliharaan lainnya. Ini dikarenakan pada perlakuan C (29°C)

laju penyerapan kuning telur lebih tinggi yaitu 5,919%. Apabila laju penyerapan

kuning telur tinggi maka menghasilkan energi yang tinggi pula. Energi tersebut

dapat digunakan untuk proses metabolisme, pemeliharaan dan pertumbuhan.

Pada suhu 31°C (Perlakuan D) terjadi penurunan laju pertumbuhan panjang.

Penurunan terjadi karena pada suhu tersebut penyerapan kuning telur berjalan

cepat sehingga energi yang digunakan untuk proses metabolisme berjalan cepat,

0.6169a 0.6755b

0.8001c

0.6169a

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

0.80

0.90

25 27 29 31

La

ju P

ertu

mb

uh

an

Pa

nja

ng

(%

)

Suhu Media Pemeliharaan (°C)

Page 12: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

34

tapi proses metabolisme yang terlalu cepat menyebabkan tidak sempurna

penyerapan nutrisi bagi larva. Akibat dari suhu terlalu tinggi tersebut

menghasilkan penurunan pertumbuhan larva ikan nilem. Walaupun menurut

hokum Van’t Hoff dalam Kelabora (2010) yang menyatakan bahwa untuk setiap

perubahan kimiawi, kecepatan reaksinya naik 2-3 kali lipat setiap kenaikan suhu

sebesar 10°C. Namun untuk pertumbuhan larva kenaikan suhu tersebut malah

menurunkan pertumbuhan, dikarenakan larva ikan mempunyai batas toleransi

suhu.

4.4 Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur

Efisiensi dari kuning telur merupakan kunig telur yang ditransformasikan

untuk jaringan tubuh dan terdapat pengaruh lingkungan yang mempengaruhinya

(Shukla 2009). Hasil pengamatan efisiensi pemanfaatan kuning telur larva ikan

nilem terdapat perbedaan pada waktu pengamatan (Gambar 15).

Gambar 15. Kurva Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur Larva Ikan Nilem

Perwaktu Pengamatan

Gambar 15 menunjukkan nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur mengalami

penurunan sampai kuning telur habis terserap. Penurunan nilai efisiensi

pemanfaatan kuning telur terhadap perubahan waktu karena nilai laju

pertumbuhan lebih rendah dari pada laju penyerapan kuning telur serta volume

kuning telur yang digunakan sebagai energi dalam proses pertumbuhan,

perkembangan dan metabolisme semakin berkurang seiring pertambahan umur

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45

Efi

sien

si P

ema

nfa

ata

n K

un

ing

Tel

ur

(%)

Waktu Pengamatan (jam)

A (25°C)

B (27°C)

C (29°C)

D (31°C)

Page 13: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

35

larva ikan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Shukla (2009) bahwa nilai

efisiensi tinggi dihasilkan dari aktvitas yang rendah, proporsi yang tinggi dari

kuning telur yang digunakan untuk pertumbuhan. Efisiensi kumulatif harus jelas

menurun sebagai hasil peningkatan pertumbuhan dan persyaratan pemeliharaan.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10) untuk efisiensi pemanfaatan kuning

telur pada larva ikan nilem bahwa suhu berbeda nyata dengan nilai efisiensi

pemanfaatan kuning telur. Berdasarkan hasil uji Duncan suhu media pemeliharaan

25°C (perlakuan A) tidak berbeda nyata dengan suhu 27°C (perlakuan B) dan

31°C (Perlakuan D). Suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) tidak berbeda

nyata dengan suhu 31°C (perlakuan D). Walaupun efisiensi pemanfaatan tidak

berbeda nyata dengan suhu media pemeliharaan, tapi dari hasil yang ditunjukkan

suhu 29°C (perlakuan C) merupakan suhu terbaik dalam efisiensi pemanfaatan

kuning telur larva ikan nilem karena memiliki nilai yang tertinggi sebesar 13,5%.

Gambar 16. Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur Larva Ikan Nilem

Efisiensi pemanfaatan kuning telur pada Gambar 16 meningkat dengan

penambahan suhu media pemeliharaan dan menurun pada suhu yang paling

tinggi. Peningkatan efisiensi pemanfaatan larva ikan nilem dipengaruhi oleh laju

penyerapan kuning telur dan laju pertumbuhan yang meningkat.

Efisiensi pemanfaatan kuning telur terendah terdapat pada suhu media

pemeliharaan 25°C (perlakuan A) sebesar 10,981%. Nilai efisiensi yang rendah

10.981a 11.510a

13.500b 12.736ab

0

2

4

6

8

10

12

14

16

25 27 29 31

Efi

sien

si P

em

an

faa

tan

Ku

nin

g T

elu

r

(%)

Suhu Media Pemeliharaan (°C)

Page 14: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

36

ini dapat diartikan bahwa penggunaan kuning telur untuk pertumbuhan larva

rendah. Ini sesuai dengan nilai laju penyerapan kuning telur dan laju pertumbuhan

yang dihasilkan bahwa pada suhu media pemeliharaan 25°C (perlakuan A)

rendah juga (Lampiran 7).

Suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) merupakan suhu dengan nilai

efisiensi pemanfaatan kuning telur larva ikan nilem paling tinggi dari suhu media

pemeliharaan lainnya sebesar 13,627%. Nilai efisiensi yang tinggi dapat diartikan

bahwa penggunaan kuning telur sebagai energi dalam proses pertumbuhan tinggi.

Ini sesuai dengan nilai laju penyerapan kuning telur dan laju pertumbuhan yang

dihasilkan pada suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) yang tinggi

daripada suhu media pemeliharaan lainnya (Lampira 7).

Suhu 31°C (perlakuan D) merupakan perlakuan dengan suhu yang paling

tinggi dalam penelitian ini, tapi pada Gambar 12 efisiensi pemanfaatan kuning

telur lebih kecil dibandingkan dengan suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan

C). Penurunan tersebut disebabkan karena larva ikan nilem telah melewati batas

maksimum untuk suhu yang digunakan sehingga menghasilkan nilai efisiensi

pemanfaatan kuning telur yang rendah. Hal tersebut juga sejalan dengan nilai laju

penyerapan kuning telur dan laju pertumbuhan larva yang menurun pada suhu

media pemeliharaan 31°C (perlakuan D) (Lampiran 7).

Hasil analisis regresi (Lampiran 11) diketahui bahwa terdapat pengaruh

antara suhu dengan efisiensi pemanfaatan kuning telur larva ikan nilem

menunjukkan model regresi linear (Gambar 17) dengan persamaan Y= 2,02361 +

0,3628X (R2= 0.2726). Secara matematis suhu optimum untuk efisiensi

pemanfaatan kuning telur larva ikan nilem terjadi pada suhu 30,241°C dengan

efisiensi pemanfaatan kuning telur optimum sebesar 12,9837%.

Page 15: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

37

Gambar 17. Efisiensi Regresi Linear Suhu Terhadap Efisiensi Pemanfaatan

Kuning Telur Larva Ikan Nilem

4.5 Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem

4.5.1 Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Pada Fase Endogenous

Feeding

Hasil pengamatan kelangsungan hidup larva ikan nilem fase endogenous

feeding pada suhu 25°C (perlakuan A) memberikan hasil yang paling rendah

(Gambar 18). Pada suhu 25°C (perlakuan A) pengamatan ke 42 jam larva ikan

nilem mengalami kematian masal sebelum kuning telur habis terserap (Lampiran

3). Kematian larva pada suhu 25°C (perlakuan A) karena laju penyerapan kuning

telur yang lambat sehingga nutrisi yang dibutuhkan untuk larva tidak tercukupi

dengan baik terlihat dari nilai efisiensi pemafaatan kuning telur bahwa pada suhu

25°C (perlakuan A) juga paling rendah serta ketidakmampuan larva beradaptasi

dengan baik pada suhu air yang berfluktuatif. Ini sesuai dengan pernyataan

Effendie (1995) bahwa kelangsungan hidup larva ikan sangat dipengaruhi oleh

faktor lingkungan, karena larva sangat sensitif pada perubahan lingkungan yang

cepat terjadi dan juga pada fase larva belum memiliki organ tubuh yang lengkap

seperti ikan dewasa. Air dengan suhu berfluktuatif dapat mengakibatkan ikan

stress dan kematian. Sehingga dapat diasumsikan suhu 25°C (perlakuan A)

merupakan suhu letal bagi larva ikan nilem.

y = 0.3628x + 2.0236 R² = 0.2726

0

2

4

6

8

10

12

14

16

25 27 29 31 33

Efis

ien

si P

em

anfa

atan

Ku

nin

g Te

lur

(%)

Suhu Media Pemeliharaan (°C)

Page 16: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

38

Gambar 18. Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Fase Endogenous Feeding

Suhu media pemeliharaan 27°C (perlakuan B), 29°C (perlakuan C), 31°C

(perlakuan D) persentase kelangsungan hidupnya hampir sama karena menurut

Woynarovich dan Hovarth (1980) suhu 27°C-29°C merupakan suhu terbaik dalam

penetasan telur ikan. Sedangkan menurut penelitian Kelabora dan Dominggas

(2012) kelangsungan hidup larva ikan mas yang berumur 7 hari tidak berbeda

nyata pada suhu perlakuan 28-30°C.

Hasil analisis sidik ragam kelangsungan ikan nilem fase endogenous feeding

(Lampiran 13) menunjukkan tidak ada perbedaan kelangsungan hidup antara suhu

media pemeliharaan 27°C (perlakuan B), 29°C (perlakuan C), 31°C (perlakuan

D). Tidak ada perbedaan kelangsungan hidup dikarenakan perlakuan tersebut

masih bisa ditoleransi dengan larva ikan nilem. Ini sesuai dengan pernyataan Hoar

(1962) dalam Kelabora dan Dominggas (2010) bahwa secara ilmiah setiap

organisme mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-

perubahan yang terjadi di lingkungannnya dalam batas-batas tertentu atau disebut

juga tingkat toleransi.

0

99a 98a 98a

0

20

40

60

80

100

120

25 27 29 31

Kel

an

gsu

ng

an

Hid

up

(%

)

Suhu Media Pemeliharaan (°C)

Page 17: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

39

4.5.1 Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Pada Fase Exogenous Feeding

Fase exogenous feeding (Gambar 19) merupakan fase dimana nutrisi yang

diperoleh dari larva ikan tidak lagi berasal dari kuning telur tetapi telah

memanfaatkan pakan dari luar atau lingkungannya (Effendie, 1995).

Gambar 19. Larva Ikan Nilem Fase Exogenous Feeding

Kelangsungan hidup larva ikan nilem fase exogenous feeding berbeda dengan

fase endogenous feeding (Lampiran 8). Jika pada fase endogenous feeding suhu

media pemeliharaan 27°C (perlakuan B), 29°C (perlakuan C), 31°C (perlakuan D)

masih dapat ditoleransi untuk kelangsungan hidup, tapi untuk kelangsungan hidup

larva ikan nilem fase exogenous feeding tidak demikian. Di lihat dari Gambar 15

kelangsungan hidup ikan nilem meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu

media pemeliharaan, tapi menurun pada suhu media pemeliharaan yang tinggi

yaitu 31°C (Perlakuan D).

Suhu media pemeliharaan 31°C (perlakuan D) memiliki tingkat

kelangsungan hidup paling rendah sebesar 47,321% (Gambar 20). Karena pada

fase exogenous feeding suhu 31°C (perlakuan D) proses penyerapan kuning telur

sebagai sumber energi untuk aktivitas metabolisme terganggu. Aktivitas

metabolisme yang terganggu mengakibatkann pembentukan organ-organ larva

menjadi lambat sehingga kelangsungan hidup larva menjadi rendah. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Effendi (1997) bahwa penyempurnaan organ pada fase larva

merupakan upaya untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva.

Page 18: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

40

Gambar 20. Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Fase Exogenous Feeding

Hasil analisis sidik ragam terdapat perbedaan yang nyata tiap perlakuan suhu

media pemeliharaan yang digunakan terhadap kelangsungan hidup larva ikan

nilem fase exogenous feeding (Lampiran 14). Berdasarkan hasil uji Duncan

kelangsungan hidup pada suhu media pemeliharaan 31°C (perlakuan B) berbeda

nyata dengan suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) dan 27°C (perlakuan

B). Suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) tidak berbeda nyata dengan

suhu 27°C (perlakuan B). Walaupun tidak berbeda nyata antara suhu 27°C

(perlakuan B) dan 29°C (perlakuan C), tapi nilai kelangsungan hidup 29°C

(perlakuan C) lebih tinggi dari pada suhu 27°C (perlakuan B) yaitu sebesar

83,036%. Dapat disimpulkan bahwa suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan

C) merupakan suhu terbaik untuk kelangsungan hidup larva ikan nilem fase

exogenous feeding. Hasil analisis sidik ragam pada kelangsungan hidup fase

exogenous feeding tidak mencantumkan suhu media pemeliharaan 25°C

(perlakuan A) dikarenakan tidak ada yang hidup sampai post larva.

Kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada suhu media pemeliharaan 29°C

(perlakuan C). Ini dikarenakan nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur yang

tinggi pada suhu tersebut, sehingga mengakibatkan konversi penyerapan kuning

telur untuk pembentukan organ lebih baik dari pada suhu lainnya. Pernyataan

tersebut sesuai dengan pendapat Shukla (2009) bahwa efisiensi pemanfaatan yang

0

78bc 83.036c

47.321a

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

25 27 29 31

Kel

an

gsu

ng

an

Hid

up

(%

)

Suhu Media Pemeliharaan (°C)

Page 19: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090013_4_2533.pdf28 Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25 C) memiliki waktu fase endogenous feeding

41

tinggi akan menghasilkan larva yang lebih besar, kuat dan rentan terhadap

kerusakan yang dapat mengakibatkan kematian.

Kelangsungan hidup yang rendah pada suhu media pemeliharaan 31°C

(perlakuan D) disebabkan oleh penyerapan kuning telur yang terlalu cepat

(Lampiran 6) dari pada perlakuan lainnya yang menyebabkan nutrisi dari kuning

telur belum digunakan secara sempurna untuk perkembangan larva ikan nilem.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Sembiring (2011) mengatakan bahwa proses

penyerapan kuning telur yang kurang optimal menyebabkan keterlambatan

perkembangan bukaan mulut larva sehingga pada saat kuning telur habis dan larva

memerlukan pakan dari luar, larva tersebut tidak memanfaatkan pakan tersebut

dengan baik. Effendie (1995) mengatakan pada fase masa kritis larva terletak pada

saat sebelum dan sesudah penghisapan kuning telur dan masa transisi mulai

mengambil makanan dari luar.