bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang...

45
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kriminologi A. 1. Pengertian Kriminologi Sejak awal kelahirannya, tidak ada satupun disiplin ilmu yang tidak memiliki arti dan tujuan, bahkan juga kegunaannya; disamping ilmu pengetahuan lainnya. Hal yang sama berlaku bagi kriminologi; meskipun pernah dilontarkan kritik sebagai “a king without country” (Sellin, dikutip dari manheim, 1970) hanya karena dalam perkembangannya kriminologi (mau tidak mau, pen.) harus bergantung pada penemuan-penemuan disiplin ilmu lainnya, seperti antropologi, kedokteran, psikologi, sosiologi, hukum, ekonomi, dan statistik. 5 Untuk memahami arti dan tujuan mempelajari kriminologi, perlu ditelusuri kembali awal studi tentang kejahatan sebagai lapangan penyelidikan baru para ilmuwan pada sekitar pertengahan abad ke-19. Penyelidikan awal dilakukan oleh Adolphe Quetelet (1796-1874) yang menghasilkan suatu statistik kesusilaan atau “moral statistic” (1842). Penyelidikan berikutnya dilakukan oleh Lambroso (1835-1909) yang kemudian disusun dalam sebuah buku dengan judul L’Uomodelinquente (1876). Bertitik tolak dari dua karya agung dilapangan kriminologi 5 Romli Atmasasmita, 2007, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Refika Aditama, Bandung. Hal. 15

Upload: vancong

Post on 16-Apr-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Kriminologi

A. 1. Pengertian Kriminologi

Sejak awal kelahirannya, tidak ada satupun disiplin ilmu yang tidak

memiliki arti dan tujuan, bahkan juga kegunaannya; disamping ilmu

pengetahuan lainnya. Hal yang sama berlaku bagi kriminologi; meskipun

pernah dilontarkan kritik sebagai “a king without country” (Sellin, dikutip

dari manheim, 1970) hanya karena dalam perkembangannya kriminologi

(mau tidak mau, pen.) harus bergantung pada penemuan-penemuan

disiplin ilmu lainnya, seperti antropologi, kedokteran, psikologi, sosiologi,

hukum, ekonomi, dan statistik.5

Untuk memahami arti dan tujuan mempelajari kriminologi, perlu

ditelusuri kembali awal studi tentang kejahatan sebagai lapangan

penyelidikan baru para ilmuwan pada sekitar pertengahan abad ke-19.

Penyelidikan awal dilakukan oleh Adolphe Quetelet (1796-1874) yang

menghasilkan suatu statistik kesusilaan atau “moral statistic” (1842).

Penyelidikan berikutnya dilakukan oleh Lambroso (1835-1909) yang

kemudian disusun dalam sebuah buku dengan judul L’Uomodelinquente

(1876). Bertitik tolak dari dua karya agung dilapangan kriminologi

5Romli Atmasasmita, 2007, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Refika Aditama, Bandung. Hal. 15

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

13

tersebut, Romli Atmasasmita mengemukakan suatu analisis sementara

sebagai berikut6:

1. Bahwa awal kelahiran kriminologi yang merupakan studi ilmiah tentang kejahatan merupakan sesuatu yang tidak terduga atau sesuatu yang tidak disengaja. Sebagai contoh, Quetelet mengemukakan “statistik moral” ketika ia menerapkan keahliannya dalam bidang matematika terhadap bidang sosiologi. Ia percaya bahwa hokum-hukum dalam ilmu pengetahuan hanya dapat diselidiki berdasarkan pelbagai kemungkinan tertentu sebagai hasil dari dan tercermin dalam sejumlah besar observasinya dibandingkan melalui kejadian-kejadian yang bersifat individual. Di bidang sosiologi termasuk dalam studi kejahatan, Quetelet menerapkan “hokum” ilmu pengetahuan dan dapat dibuktikan adanya “regularities” dalam perkembangan kejahatan. Dari “regularities” ang ia temukan dari statistik moral dimaksud, Quetelet percaya telah menemukan “hukum krminologi” (sebagai suatu ilmu pengetahuan) yaitu bahwa kejahatan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan setiap kejahatan tertentu selalu berulang sama, yaitu memiliki modus operasi dan mempergunakan alat-alat yang sama. Bagi perkembangan kriminologi, penemuan Quetelet tersebut mengandung makna yang sangat mendalam, yaitu bahwa penyebab timbulnya kejahatan tidak lagi karena faktor pewarisan, tetapi juga karena faktor lingkungan (social dan fisik).

2. Bahwa penyelidikan – penyelidikan yang bersifat kriminologis semula hanya ditujukan untuk perkembangan ilmu pengetahuan khususnya studi entang kejahatan.

3. Bahwa pelbagai paradigma studi kejahatan pada tahun 1970-an dalam kaitannya dengan perspektif hukum dan organisasi social mengandung arti kriminologi telah terkait dan tidak dapat dipisahkan dari perkembangan struktur masyarakat. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kejahatan yang menjadi fokus setiap pembahasan teori kriminologi tidak lagi bersifat bebas nilai, dalam arti bahwa kejahatan akan selalu merupakan hasil dari pengaruh dan interaksi dari pelbagai faktor seperti sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Bahkan dalam kurun waktu abad ke-20 ini, kejahatan dapat dikatakan hasil dari suatu proses rekaya masyarakat baik dibidang sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Sebagai konsekuensi dari proses dimaksud, tujuan kriminologi tidak lagi bersifat science for science tetapi science for the welfare of society atau bahkan dapat dikatakan sebagai science for the interest of the power elite.

6Ibid

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

14

Menurut Romli Atmasasmita, kriminologi abad ke-20 sejalan dengan pendapat Marc Ancel (la defense sociale) harus merupakan suatu kontrol sosial terhadap kebijakan dalam pelaksanaan hukum pidana. Dengan kata lain, kriminologi harus memiliki peran yang antisipatif dan reaktif terhadap semua kebijakan dilapangan hukum pidana sehingga dengan demikian dapat dicegah kemungkinan timbulnya akibat-akibat yang merugikan, baik bagi sipelaku, Koran, maupun masyarakat secara keseluruhan.

Kriminologi merupakan keseluruhan pengetahuan yang membahas

tentang kejahatan sebagai suatu gejala sosial. Kriminologi pertama kali

dikemukakan oleh P. Topinard (1830-1911), seorang ahli antropologi asal

prancis. Istilah kriminologi berasal dari bahasa inggris yaitu criminology

yang berakar dari bahasa latin yaitu dari kata crimen yang berarti

kejahatan atau penjahat dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi

dapat disimpulkan bahwa kriminologi adalah ilmu yang mempelajari

tentang kejahatan atau penjahat. Ada beberapa sarjana terkemuka

memberikan pengertian tentang kriminologi sebagai berikut :

Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan

yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui

defenisi ini, Bonger lalu membagi kriminologi ini menjadi kriminologi

murni yang mencakup7:

1. Antropologi Kriminil yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda seperti apa? Apakah ada hubungan dengan suku bangsa dan seterusnya.

2. Sosiologi Kriminil adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala sosial masyarakat. Persoalan yang dijawab

7Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.Hal. 9

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

15

dibidang ini adalah sampai dimana letaksebab-sebab kejahatan dalam masyarakat

3. Psikologi kriminil, adalah ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya.

4. Psikopatologi adalah ilmu pengetahuan tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat saraf.

5. Penology adalah ilmu pengetahuan tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman. Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu

pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial

(the body of knowledge regarding crime as a social phenomenom).

Menurut Sutherland kriminologi mencakup proses-proses pembuatan

hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi atas pelanggaran hukum.

Kriminologi olehnya dibagi menjadi tiga cabang ilmu yaitu8:

1. Sosiologi hukum, kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hukum dlarang dan diancam dengan suatu sanksi. Jadi yamg menentukan suatu perbuatan itu adalah kejahatan adalah hukum. Disini menyelidiki sebab-sebab kejahatan harus pula menyelidiki faktor-faktor apa yang menyebaban perkembangan hukum (khusunya hukum pidana).

2. Etiologi kejahatan, merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab musabab dari kejahatan. Dalam kriminologi, etiologi kejahatan merupakan kajian yang paling utama.

3. Penology, pada dasarnya merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik represif maupun preventif.

Michael dan Adler berpendapat bahwa kriminologi adalah

keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat,

lingkungan mereka dan cara mereka secara resmi diperlakukan oleh

lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggota masyarakat.9

8Ibid Hal. 11 9Ibid Hal. 12

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

16

Dari uraian singkat tentang defenisi dari kriminologi tersebut maka

ditarik kesimpulan bahwa kriminnologi adalah salah satu cabang ilmu

yang diajarkan dalam bidang ilmu hukum. walaupun kriminologi juga

merupakan bagian dari ilmu sosial lainnya akan tetapi kriminologi tidak

bisa dipisahkan dengan bidang ilmu hukum, khususnya hukum pidana.

A. 2. Teori Kriminologi

A.2.1. Teori Differential Association

Teori ini pertama kali di perkenalkan oleh Edwin H. Shuterland

dengan istilah “Teori Asosiasi Differensial”. Dalam teorinya

tersebut Sutherland berpendapat bahwa perilaku criminal merupakan

perilaku yang dipelajari didalam lingkungan sosial, artinya semua

tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Oleh karena itu,

perbedaan tingkah laku yang conform dengan criminal adalah apa

dan bagaimana sesuatu itu dipelajari didalam lingkungan tersebut.10

Dalam teorinya tersebut Sutherland menekankan bahwa semua

tingkah laku itu dapat dipelajari dan ia mengganti pengertian

mengenai social disorganization dengan differential social

organization. Dengan demikian, maka teori ini menentang bahwa

tidak ada tingkah laku (perilaku jahat) yang diturunkan atau

diwariskan oleh kedua orang tua. Dengan kata lain, pola perilaku

jahat tidak diwariskan oleh kedua orang tua akan tetapi perilaku jahat

tersebut dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. Kemudian

10Yesmil Anwar Adang, 2013,Op. Cit.Hal. 74

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

17

untuk lebih jelasnya mengenai Teori Asosiasi Differensial yang

dikemukakan oleh Sutherland adalah sebagai berikut11:

1. Perilaku kejahatan dipelajari. 2. Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain

dari komunikasi. 3. Dasar pembelajaran perilaku jahat terjadi dalam kelompok

pribadi yang intim. 4. Ketika perilaku jahat dpelajari, pembelajaran itu termasuk pula:

a) Teknik melakukan kejahatan, yang kadang-kadang sangat sulit, kadang-kadang sangat sederhana.

b) Arah khusus dari motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap-sikap.

5. Arah khusus dari motif dan dorongan dipelajari dari defenisi aturan hukum yang menguntungkan atau tidak menguntungkan.

6. Seseorang menjadi delinkuen disebabkan pemahaman terhadap definisi-definisi yang menguntunkan dari pelanggalaran terhadap hukum melebihi defenisi-defenisi yang tidak menguntungkan untuk melangar hukum.

7. Asosiasi yang berbeda-beda mungkin beraneka ragam dala frekuensi, lamanya, prioritas, dan intensitas.

8. Proses pembelajaran perilaku jahat melalui persekutuan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan meliputi seluruh mekanisme yang rumit dalam setiap pembelajarannya.

9. Walaupun perilaku jahat merupakan penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tetapi hal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut. Karena perilaku non kriminal dapat tercermin dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum yang sama.

Menurut teori asosiasi diferensial tingkah laku jahat tersebut

dapat kita pelajari melalui melalui interaksi dan komunikasi, yang

dipelajari dalam kelompok tersebut adalah teknik untuk melakukan

kejahatan dan alasan (nilai-nilai, motif, rasionalisasi serta tingkah

laku) yang mendukung perbuatan jahat.

Dengan diajukannya teori ini, Sutherland ingin menjadikan

pandangannya sebagai teori yang dapat menjelaskan sebab-sebab

11Ibid. Hal. 76

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

18

terjadinya kejahatan. Dalam rangka usaha tersebut, Sutherland

kemudian melakukan studi tentang kejahatan White-Collar agar

teorinya dapat menjelaskan sebab-sebab kejahatan baik itu kejahatan

konvensial maupun kejahatan White-Collar.12

A.2.2. Teori Anomie

Istilah Anomie pertama kali diperkenalkan oleh Emile

Durkheim yang diartikan sebagai suatu keadaan tanpa norma.

Kemudian Emile Durkheim mempergunakan istilah Anomie dalam

bukunya The Division of Labor Society (1983) untuk

mendeskripsikan keadaan Deregulation didalam masyarakat yang

diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat pada

masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang diharapkan dari

orang lain dan keadaan ini yang menyebabkan deviasi. Menurut

Emile Durkheim, teori Anomie terdiri dari tiga perspektif yaitu13:

a. manusia adalah mahluk sosial;

b. keberadaan manusia sebagai mahluk sosial;

c. manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan

keberadaannya bergantung pada masyarkat tersebut sebagai

koloni.

Emile Durkheim Mengemukakan asumsi bahwa bunuh diri

dalam masyarakat merupakan akhir puncak dari anomie karena dua

keadaan sosial berupa social integration dan social regulation. Lebih 12Ibid Hal. 77 13Lilik Mulyadi, 2008, Op. Cit. Hal. 324

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

19

lanjut Emile Durkheim menyatakan bahwa bunuh diri atau suicide

berasal dari tiga kondisi sosial yang menekan (stress), yaitu 14:

a. deregulasi kebutuhan atau anomi;

b. regulasi yang keterlaluan atau fatalism;

c. kurangnya integrasi structural atau egoism.

Robert K. Merton mengadopsi konsep Anomie Emile Durkheim

untuk menjelaskan deviasi di amerika. Menurut Robert K. Merton

konsep Anomie didefenisikan sebagai ketidaksesuaian atau

timbulnya diskrepansi/perbedaan antara cultural goals dan

institutional means sebagai akibat cara masyarakat diatur (struktur

masyarakat) karena adanya pembagian kelas. Teori Anomie Robert

K. Merton ini pada mulanya mendeskripsikan korelasi antara

perilaku delinkuen dengan tahapan tertentu pada struktur sosial akan

menimbulkan, melahirkan dan menumbuhkan suatu kondisi terhadap

pelanggaran norma masyarakat yang merupakan reaksi normal. Oleh

karena itu ada dua unsur bentuk perilaku delinkuen yaitu unsur dari

struktur sosial dan unsur dari kultural. Kokretnya unsure struktur

sosial melahirkan goals dan unsure kultural melahirkan means.

Secara sederhana goals diartikan sebagai tujuan-tujuan dan

kepentingan membudaya meliputi kerangka aspirasi dasar manusia.

14Ibid

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

20

Sedangkan means diartikan sebagai aturan dan cara kontrol yang

melembaga dan diterima sebagai sarana mencapai tujuan.15

A.2.3. Teori Kontrol Sosial

Travis Hlrchi (1969), sebagai pelopor dari teori kontrol sosial

menyatakan bahwa perilaku criminal merupakan kegagalan

kelompok-kelompok sosial konvensional seperti keluarga, sekolah,

kawan sebaya untuk megikatkan atau terikat dengan individu.

Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu dilihat

tidak sebagai orang yang secara intrinsik patuh pada hukum, namun

menganut segi pandangan antithesis dimana orang harus belajar

untuk tidak melakukan tindak pidana. Jadi argumentasi ini

menyatakan bahwa pada dasarnya kita semua dilahirkan dengan

kecenderungan alami untuk melanggar aturan hukum.16

Teori kontrol sosial berusaha untuk menjelaskan kenakalan

dikalangan para remaja. Kenakalan diantara para remaja dikatakan

sebagai “deviasi primer” maksudnya bahwa setiap individu yang

melakukan17:

a. Deviasi secara periodic/jarang-jarang;

b. Dilakukan tanpa organisir / tidak dilakukan dengan cara yang

lihai;

c. Sipelaku tidak menganggap dirinya sebagai sipelanggar;

15Ibid. Hal. 325 16Yesmil Anwar Adang, 2013. Op. Cit. Hal. 102 17Ibid

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

21

d. Pada dasarnya hal yang dilakukan itu, wajib dipandang sebagai

deviasi oleh yang berwajib

Dalam teori kontrol sosial manusia dipandang sebagai mahluk

yang memiliki moral murni, oleh sebab itu manusia memiliki

kebebasan untuk melakukan sesuatu. Jadi pada dasarnya, teori

kontrol sosial berusaha untuk mencari jawaban mengapa orang

melakukan kejahatan. berbeda dengan teori lain, tetapi dalam teori

kontrol sosial lebih berorientasi pada pertanyaan mengapa tidak

semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat pada

hukum.

Menurut Albert J. Reiss Jr, terdapat tiga komponen kontrol

sosial dalam menjelaskan kenakalan remaja, yaitu18:

a. Kurangnya kontrol internal yang memadai selama masa anak-

anak.

b. Hilangnya kontrol internal.

c. Tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antara norma-

norma dimaksud dalam keluarga, lingkungan dekat, sekolah.

Selanjutnya Albert J. Reiss Jr membedakan dua macam

kontrol, yaitu Personal Control dan Social Control. Personal

Control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak

mencapai tujuannya dengan cara melanggar norma-norma yang

berlaku dalam masyarakat. Sedang Social Control adalah 18Ibid Hal. 103

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

22

kemampuan dari kelompok sosial atau lembaga-lembaga dalam

masyarakat melaksanakan norma-norma atau peraturan-peraturan

untuk menjadi efektif.19

Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena

keluarga merupakan tempat terjadinya pembentukan kepribadian,

internalisasi, orang belajar baik dan buruk dari keluarga. Apabila

internal dan eksternal kontrol lemah, alternative untuk mencapai

tujuan terbatas, sehingga terjadilah delinkuen, hal ini merupakan

sesuatu yang jarang terjadi. Menurut F. Ivan Nye manusia diberi

kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses

sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya

delinkuensi. Sebab, disinilah dilakukan proses pendidikan terhadap

seseorang yang diajari untuk melakukan pengekangan keinginan

(impulse). Asumsi teori kontrol yang di kemukakan oleh F. Ivan Nye

terdiri dari:20

a. Harus ada kontrol internal maupun eksternal. b. Mnusia diberikan kaidah-kaidah supaya tidak melakukan

pelanggaran. c. Pentingnya proses soialisasi bahwa ada sosialisasi yang

adequate (memadai), akan mengurangi terjadinya delinkuen, karena disitulah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang.

d. Diharapkan remaja mentaati hukum.

Konsep kontrol eksternal menjadi lebih dominan setelah David

Matza dan Gresham Sykes melakukan kritik terhadap teori subkultur

dari Albert cohen. Kritik tersebut mengaskan bahwa kenakalan 19Ibid 20Lilk Mulyadi, 2008, Op. Cit. Hal. 342

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

23

remaja, sekalipun dilakukan oleh mereka yang berasal dari strata

sosial yang rendah, terikat pada sistem-sistem nilai dominan didalam

masyarakat.

A.2.4. Teori Labeling

Teori Labeling muncul pada tahun 1960-an dan banyak

dipengaruhi aliran Chicago. Dibandingkan dengan teori lainnya, teori

labeling mempunyai beberapa spesifikasi, yaitu teroi labeling

merupakan cabang dari teori terdahulu. Namun, teori menggunakan

perspektif yang baru dalam kajian terhadap kejahatan dan penjahat;

teori Labeling menggunakan metode yang baru untuk mengetahui

adanya kejahatan, dengan menggunakan self report study yaitu

interview terhadap pelak kejahatan yang tidak tertangkap/tidak

diketahui oleh polisi.

Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori label

menekankan kepada dua aspek, yaitu : yang pertama menjelaskan

tentang mengapa dan bagaimana orang tersebut diberi cap atau label.

Dan yang kedua pengaruh atau efek dari label sebagai suatu

konsekuensi penyimpangan tingkah laku. Menurut Howard S.

Becker, harus dibedakan antara pelanggar hukum dengan pelaku

kejahatan. Pelanggar hukum merupakan perilaku sedangkan

kejahatan adalah reaksi kepada orang lain terhadap perilaku iu.

Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada saat/waktu ketika

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

24

melakukan aksi, siapa yang melakukan dan siapa korbannya serta

persepsi masyarakat terhadap konsekuensi aksinya.21

Scharg (1971), sebagai seorang penganut aliran Labeling

mengatakan bahwa, asumsi yang terdapat dalam teori labeling

adalah:22

1. Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal.

2. Rumusan atau batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan.

3. Seseorang menjadi penjahat bukan karena dia melanggar undang-undang, melainkan ia ditetapkan demikian oleh penguasa.

4. Sehubungan dengan kenyataan bahwa setiap orang dapat berbuat baik dan tidak baik, tidak baik berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menajdi dua bagian yaitu kelompok kriminal dan kelompok non-krimial.

5. Tindakan pengkapan merupakan awal dari proses Labeling. 6. Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam sistem

peradilan pidana adalah fungsi dari pelaku/penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarnya.

7. Usia, tingkatan sosial ekonomi, dan ras merupakan karakteristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengambilan keputusan dalam system peradilan pidana.

8. Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenalka penilaian dan penolakan terhadap merekayang dipandang sebagai penjahat.

9. Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai deviant dan sub-sub kultur serta rejection of the rejector.

Menurut aliran ini, kejahatan terbentuk karena aturan-aturan

lingkungan, sifat individualistik, serta reaksi masyarakat terhadap

suatu perilaku, maka dapat menimbulkan suatu perilaku yang jahat.

21 Yesmil Anwar Adang, 2013, Op. Cit. Hal. 108 22 Ibid. Hal. 109

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

25

A.2.5. Teori Subculture

Pada dasarnya, teori Subculture membahas dan menjelaskan

bentuk kenakalan remaja serta perkembangan tipe gang. Sebagai

social heritage, teori ini dimulai tahun 1950-an dengan bangkitnya

perilaku konsumtif kelas menengah Amerika. Kenakalan adalah

masalah kelas bawah serta geng adalah bentuk paling nyata dari

pelanggaran tersebut. Teori Subculture sebenarnya dipengaruhi oleh

kondisi intelektual (intelctual Haritage) aliran Chicago, konsep

Anomie Robert K. Merton dan Solomon Kobrin yang melakuka

pengujian terhadap hubungan antara geng jalanan dengan laki-laki

yang berasal dari komunitas kelas bawah (Lower Class). Hasil

pengujiannya menunjukkan bahwa ada ikatan antara hierarki politis

dan kejahatan terorganisir. Karena ikatan tersebut begitu kuat

sehingga Kobrin mengacu kepada kelompok pengontrol tunggal (

single controlling group) yang melahirkan konsep komunitas

integritas.23

Dalam kepustakaan kriminologi dikenal ada dua teori

Subculture yaitu: yang pertama; Teori Delinquent Sub-Culture. Teori

ini dikemukakan oleh Albert k. Cohen yang berusaha memecahkan

masalah bagaimana kenakalan Sub-Culture dimulai denga

menggabungkan teori Disorganisasi Sosial dari Shaw dan McKay,

Teori Differntial Asociation dari Edwin H Sutherland an Teori

23 Ibid. Hal 122

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

26

Anomie. Cohen berusha menjelaskan terjadinya peningkatan perilaku

delinquent didaerah kumuh (Slum). Oleh karena itu konklusi

dasarnya menyebutkan bahwa perilaku delinquent dikalangan

remaja, usia muda, masyarakat kelas bawah, merupakan cermin

ketidakpuasan terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah

yang mendominasi kultur Amerika.24

A.2.5. Teori Konflik

Teori konflik pada umumnya memusatkan perhatiannya

terhadap pengenalan dan penganalisisan kehadiran konflik dalam

kehidupan sosial, penyebab dan bentuknya serta akibatnya dalam

menimbulkan perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa teori konflik

merupakan teori yang terpenting pada saat kini, oleh karena

penekanannya pada kenyataan tingkat struktur sosial dibandingkan

dengan tingkat individual, antar pribadi atau budaya. Diantara para

perintis teori konflik, Karl Marx dipandang sebagai tokoh utama dan

yang paling kontroversial yang menjelaskan sumber-sumber konflik

serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan sosial secara

revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik

terutama terjadi dalam bidang perekonomian, dan ia pun

memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam

bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan politik. 25

24 Ibid 25 Ibid. Hal. 125

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

27

Karl Marx mengakui pentingnya ideology dan hubungan antara

komitmen ideologi dan posisi dalam struktur kelas ekonomi, beliau

juga menjelaskan secara mendalam mengenai bentuk-bentuk

kesadaran dengan dan dalam hubungannya dengan struktur ekonomi

dan posisi kelas. Bagi Marx validitas kepercayaan seseorang serta

nilainya ditentukan atas suatu dasar filsufis, hal ini tercermin dalam

pembedaan Marx antara “kesadaran palsu dan kesadaran

sesungguhnya”. Selanjutnya, Karl Marx berpendapat bahwa orang-

orang yang berada pada posisi marjinal seperti buruh, tidak akan

dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya melalui pekerjaannya atau

mereka tidak mampu untuk mengutarakan suatu bentuk jenis

pekerjaan apapun yang bersifat manusiawi.26

Terlepas dari setuju atau tidak setuju dengan teori dari Karl

Marx, terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang ia tekankan yang

mana tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah

pengakuan dan penekanannya akan adanya struktur kelas dalam

masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara

orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi

kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran

dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan

perubahan dalam struktur sosial.27

26Ibid Hal. 126 27Ibid Hal. 127

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

28

Karena adanya perbedaan di antara masing-masing individu

yang mana dapat berpotensi menyebabkan terjadinya konflik, baik

perbedaan pendidikan, pemikiran, persepsi, dan kepentinga. Setiap

detik dalam hidup kita, banyak sekali konflik yang dapat timbul,

mulai dari bangun tidur sampai menutup mata berangkat tidur

konflik-konflik akan terjadi. Dalam pandangan terhadap konflik ini

dapat dibagi menjadi tiga kelompok konflik yaitu28:

a. Penghindar konflik;

b. Menghadapi konflik;

c. Pembuat konflik.

B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

B.1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah istilah yang paling umum untuk

strafbaar feit dalam bahasa belanda walaupun secara resmi tidak ada

terjemahan resmi dari strafbaar feit. Terjemahan istilah strafbaar feit

diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan berbagai istilah misalnya

tindak pidana, delik, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum,

perbuatan pidana, strafbaar feit dan lain sebagainya.Andi Zainal Abidin

adalah salah seorang ahli hukum pidana Indonesia yang tidak sepakat

dengan penerjemahan strafbaar feit menjadi tindak pidana, alasannya

tindak tidak mungkin dipidana, tetapi orang yang melakukanlah yang

dapat dijatuhi pidana, selanjutnya hal ini bila ditinjau dari segi bahasa

28 Ibid. Hal. 129

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

29

Indonesia, tindak adalah kata benda dan pidana juga kata benda. Yang

lazim ialah kata benda selalu diikuti dengan kata sifat, misalnya kejahatan

berat, perempuan cantik, dan lain-lain.29

Sementara itu di dalam berbagai perundang-undangan sendiri

terdapat berbagai istilah yang digunakan untuk menunjuk pada kata

strafbaarfeit. Beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang

tersebut antara lain30:

1. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam undang-undang dasar sementara tahun 1950 khususnya dalam pasal 14.

2. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.

3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam undang-undang darurat Nomor 2 Tentang Perubahan Ordonantie Byzondere Strafbepalingen.

4. Hal yang di ancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam undang-undang darurat Nomor 16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian perselisihan Perburuhan.

5. Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang, misalnya:

a. Undang-undang darurat Nomor 7 Tahun 1953 Tentang pemilihan Umum.

b. Undang-undang darurat Nomor 7 Tahun 1953 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.

c. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 Tentang Kewajiban Kerja Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatnya Bagi Terpidana.

Dari beberapa istilah yang digunakan dalam berbagai perundang-

undangan tersebut diatas pada dasarnya tidak menjadi masalah, selama

istilah-istilah tersebut dipergunakan sesuai dengan konteks dan dalam

29Erdianto Efendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, Hal. 97 30 Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan. UMM Press, Malang, Hal. 101

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

30

penggunaannya dapat dipahami makna dari istilah tersebut, oleh sebab itu

penggunaan istilah ini sering digunakan secara bergantian dalam berbagai

perundang-undangan, dalam kesempatan lain juga digunakan istilah

kejahatan yang menunjuka maksud yang sama dengan istilah-istilah yang

lain.

Menurut Molejanto, tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang

dan diancam dengan pidana, terhadap barang siapa yang melanggar

larangan tersebut, perbuatan itu harus pula dirasakan oleh masyarakat

sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh

masyarakat.31Artinya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut sudah

dilarang oleh undang-undang dan perbuatan dikenakan ancaman berupa

pidana bagi sipelaku yang melanggar atau melakukan perbuatan yang

dilarang tersebut, perbuatan itu juga yang oleh masyarakat dinilai

merupakan suatu gangguan didalam pergaulan yang dicita-citakan oleh

masyarakat.

Secara doctrinal dalam hukum pidana dikenal adanya dua pandangan

tentang perbuatan pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan

dualistis. Untuk mengetahui bagaimana dua pandangan tersebut

memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud perbuatan/tindak

pidana, adabeberapa uraian tentang batasan/pengertian tindak pidana yang

diberikan oleh dua pandangan tersebut yaitu32:

a. Pandangan Monistis

31Erdianto Efendi, 2011, Op. Cit. Hal. 98 32Tongat, 2009, Op. Cit. Hal. 105

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

31

Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa didalam pengertian perbuatan/tindak pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (responsibility).

b. Pandangan Dualistik Berbeda dengan pandangan monistis yang melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Apabila menurut pandangan monistis dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup didalamnya baik criminal act maupun criminal responsibility, menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act, dan criminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana. Menurut pandangan dualistis untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan/pertanggungjawaban pidana.

Menurut hukum adat, tindak pidana atau delik adat adalah setiap

gangguan segi satu terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari

segi satu pada barang-barang kehidupan materiil dan immateriil orang-

orang, atau dari pada orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan

(segerombolan); tindakan yang sedemikian itu menimbulkan suatu reaksi

yang sifat dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat ialah reaksi adat

karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali.33

Bashar Muhammad, merumuskan bahwa delik adat adalah suatu

perbuatan sepihak dari seorang atau kumpulan perorangan, mengancam

atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan

persekutuan, bersifat materiil atau immateriil, terhadap orang atau

terhadap masyarakat berupa kesatuan, tindakan atau perbuatan yang

33 Ibid Hal. 110

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

32

demikian mengakibatkan suatu reaksi adat yang dipercayainya dapat

memulihkan keseimbangan yang telah terganggu, antara lain dengan

berbagai alat dan cara, dengan pembayaran adat berupa barang, uang,

mengadakan selamatan memotong hewan besar/kecil dan lain-lain.

Berdasarkan batasan-batasan diatas, maka tersimpul, bahwa delik adat

memuat unsur-unsur sebagai berikut34:

1. Perbuatan sepihak dari seorang atau kumpulan perorangan.

2. Perbuatan tersebut mengganggu kesimbangan dalam masyarakat.

3. Perbuatan tersebut bersifat materiil dan immateriil.

4. Perbuatan tersebut ditujukan terhadap orang atau masyarakat.

5. Mengakibatkan reaksi adat.

Dalam konteks hukum (pidana) Islam istilah tindak pidana sering

juga disebut dengan istilah jarimah. Menurut hukum (pidana) Islam tindak

pidana (jarimah) adalah perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut

syara’ yang pelakunya diancam dengan pidana hudud atau ta’ziir.

Menurut para ahli filsafat hukum Islam, setidaknya ada 5 (lima)

kepentingan pokok yang menjadi titik tolak setiap pengaturan hukum.

Artinya, hukum Islam mengenai apapun yang telah ditetapkan dalam nash

Al Qur’an, Al Hadist, Al Qonun (perundang-undangan) maupun yang

masih akan ditetapkan sebagai respon yuridis terhadap problem-problem

34 Ibid Hal. 111

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

33

baru yang muncul, harus bersifat mendukung terhadap terwujudnya lima

kepentingan tersebut. Kelima kepentingan pokok tersebut adalah35:

1. Terpeliharanya eksistensi agama.

2. Terjaminnya hak hidup (jiwa) manusia.

3. Terjaganya masalah hak milik (harta).

4. Terjaganya kesucian akal.

5. Terjaganya kesucian keturunan dan harga diri (martabat) manusia.

Dengan demikian berdasarkan pengertian tentang tindak pidana yang

dikemukan diatas penulis berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu

perbuatan yang oleh hukum dilarang dan perbuatan itu diancam dengan

ancaman pidana kepada barang siapa yang melanggar larangan tersebut,

dan perbuatan tersebut yang oleh masyarakat dinilai sebagai suatu

gangguan sosial yang di akibat dari perbuatan sipelaku tindak pidana.

B. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Berbicara mengenai unsur–unsur tindak pidana, maka kita dapat

memandang unsur-unsur tindak pidana dari dua sudut pandang yang

berbeda yaitu dari sudut pandang teoritis dan dari sudut pandang dalam

hukum positif. Dari sudut pandang teoritis maksudnya berdasarkan

pendapat para ahli hukum yang tercermin dalam setiap rumusannya,

sedangkan maksud dari sudut pandang hukum positif ialah bagaimana

kenyataan bahwa suatu tindak pidana itu dirumuskan dalam setiap pasal-

pasal yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang ada.

35 Ibid Hal. 112

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

34

Dari sudut pandang teoritis, untuk mengetahui unsur-unsur apa yang ada

dalam tindak pidana maka kita harus melihat bagaimana bunyi dari

rumusan yang dibuat oleh para ahli hukum. Menurut moeljanto unsur-

unsur tindak pidana adalah36 :

a. Perbuatan;

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Melihat dari unsur-unsur tersebut, perbuatan manusia saja yang

boleh dilarang, dan yang melarang perbuatan tersebut adalah aturan

hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka dari itu pokok

pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya.

Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti

perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Apakah orang

yang melakkan perbuatan pidana itu dijatuhi pidana ataukah tidak, adalah

hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana.37

Sementara itu, menurut EY. Kanter dan Sianturi yang menyatakan

bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah38 :

a. Subjek; b. Kesalahan; c. Bersifat melawan hukum (dan tindakan); d. Suatu tindakan yang dilarangatau diharuskan oleh undang-

undang/perundangandan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana;

e. Waktu, tempat dan keadaan (unsur subjektif lainnya).

36Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 1, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Hal. 79 37Ibid 38Erdianto Efendi, 2011, Op. Cit. Hal. 99

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

35

Dengan demikian, Kanter dan Sianturi menyatakan bahwa tindak

pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu,

yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidan oleh undang-

undang, perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, serta dengan

kesalahan perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang yang mampu untuk

bertanggung jawab. Oleh karena itu adanya unsur-unsur tersebut diatas,

penentuan suatu perbuatan itu sebagai tindak pidana atau tidak sepenuhnya

tergantung pada perumusan dalam peraturan perundang-undangan, sebagai

konsekuensi dari asas legalitas yang dianut oleh hukum pidana Indonesia,

yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan yang dapat dihukum

kecuali perbuatan itu sudah ditentukan didalm undang-undang.

Sedangkan perumusan mengenai unsur-unsur tindak pidana didalam

Buku ke II KUHP sebagian besar merumuskan unsur-unsur tindak pidana

sebagai berikut yaitu subjek hukum, Perbuatan Tindak Pidana, Hubungan

Sebab Akibat (Causal Verband), Sifat Melanggar Hukum

(Onrechtmatigheid), Kesengajaan (Opzet), dan Culpa (Kesalahan), dan

penjelasan mengenai unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

a. Subjek Tindak Pidana

Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek dari tindak pidana

adalah seorang manusia sebagai oknum. Hal ini terlihat pada perumusan-

perumusan dari tindak pidana yang terdapat dalam KUHP, yang

menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

36

tersebut, hal ini juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat

dalam KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda.39

b. Perbuatan Tindak Pidana

Wujud dari perumusan ini pertama-tama kita harus melihat pada

perumusan mengenai tindak pidana yang terdapat dalam pasal-pasal

tertentu dari peraturan pidana ini. Perumusan ini dalam bahasa belanda

dinamakan delicts-omschrijving. Contohnya dalam hal tindak pidana

mencuri, perbuatannya dirumuskan sebagai “mengambil barang”.

Contoh ni merupakan perumusan secara formal, yaitu benar-benar

disebut sebagai wujud suatu gerakan tertentu dari badan seorang

manusia. Sebaliknya, perumusan secara material memuat penyebutan

suatu akibat yang disebabkan ole perbuatannya, seperti contohnya tindak

pidana membunuh, yang terdapat dalam pasal 338 KUHP dirumuskan

sebagai “mengakibatkan matinya orang lain”.40

Dengan adanya perbedaan perumusan secara formal dan material

tersebut bukan berarti didalam perumusan formal tidak terdapat suatu

akibat dari unsure suatu tindak pidana. Hal ini juga dalam tindak pidana

dengan perumusan formal ini selalu ada akibat yang akan mana akan

menjadi suatu alasan untuk dincankannya hukuman pidana. Akibat

tersebut adalah selalu suatu kerugian pada kepentingan orang lain atau

kepentingan Negara.

c. Hubungan Sebab Akibat (Causal Verband) 39Wirjono Projodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, Hal. 59 40Ibid. Hal. 60

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

37

Bahwa untuk tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu akibat

tertentu dari perbuata sipelaku berupa kerugian atas kepentingan orang

lain, menandakan keharusan ada hubungan sebab akibat (causal

verband) antara perbuatan sipelaku dan kerugian kepentingan terentu.

Von Bury dengan teori syrat mutlak (condition sine qua non)

menyatakan bahwa suatu hal adalah sebab dari suatu akibat apabila

akibat itu tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada.kemudian hal ini di

teruskan oleh Van Kriese dengan teorinya yang disebut adequate

veroorzaking (penyebaban yang bersifat dapat dikira-kirakan), dan

kemudian mengajarkan bahwa suatu hal baru dapat dinamakan sebab

dari suatu akibat apabila menurut pengalaman manusia dapat dikira-

kirakan bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat itu.41

d. Sifat Melanggar Hukum (Onrechtmatigheid)

Onrechtmatigheidini juga dinamakan wederrechtelijkheid yang ebrarti

sama, tetapi dengan nama wederrechtelijkheid ini adakalanya unsure ini

secara tegas disebutkan dalam perumusan ketentuan hukum pidana

(srafbepaling). Contohnya, dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian,

artinya sipelaku harus tidak mempunyai hak atas barang tersebut sebab

jika pelaku ini ada mempunyai hak terhadap barang itu maka tidak ada

sifat melanggar hukum, misalnya apabila ada perjanjian bahwa barang

itu akan diserahkan kepada sipelaku.42

e. Kesengajaan (Opzet)

41Ibid. Hal. 61 42Ibid. Hal. 64

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

38

Sebagian besar tndak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet,

bukan unsure culpa.Dalam pergaulan hidup kemasyarakata sehari-hari,

seseorang biasanya denagan suatu perbuatan serin mengakibatkan

sekadar kerusakan, kalau ia akan menghindarka diri dari suatu celaan,

hamper selalu berkata “saya tidak sengaja”. Biasanya apabila kerusakan

itu tidak begitu berarti maka perbuatan yang dilakukan tidak dengan

sengaja itu akan dimaafkan oleh pihak yang menderita kerugianitu.

Dalam artian si pelaku tidak dikenai hukuman apaun atas perbutannya

tersebut. Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsure dari tindak

pidana tadi yaitu: perbuatan yang dilarang; akibat yang menjadi pokok

alasan diadakan larangan itu; dan bahwa perbuatan tersebut melanggar

hukum.43

f. Culpa (Kesalahan)

Arti kata “Culpa” adalah “kesalahan pada umumnya”,dalam ilmu

pengetahuan mempunya arti yang teknis yaitu suatu macam kesalahan

sipelaku tindak pidana akan tetapi tidak seberat seperti kesengajaan,

yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak sengaja ini terjadi.

Sedangkan menurut penulis belanda, yang dimaksudkan dengan cilpa

dalam pasal-pasal KUHP adalah kesalahan yang agak berat, istilah ang

mereka pergunakan adalah grove schuld (kesalahan kasar). Meskipu

ukuran grove schuld belum tegas seperti kesengajaan, namun dengan

istilah grove schuld ini sudah ada sekadar ancar-ancar bahwa tidak

43 Ibid. Hal. 66

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

39

masuk culpa apabila seorang pelaku tersebut sangat berhati-hati untuk

bebas dari hukuman.44

Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah disebutkan didalam

rumusan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa apa yang

dimaksud dengan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan

oleh manusia yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan

atau dibolehkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang

diberi sanksi berupa sanksi pidana. Dan yang paling penting untuk dapat

mengetahui suatu perbuatan itu sebagai tindak pidana atau bukan adalah

apakah perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau tidak.

B. 3. Tindak Pidana Kekerasan

B.3.1. Ketentuan Tindak Pidana Kekerasan Dalam KUHP

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “kekerasan” digunakan

sebagai padanan “violence”, yaitu “perbuatan seseorang atau sekelompok

orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebakan

kerusakan fisik atau barang lain” (arti kedua). Ini hampir sama dengan

pengertian violence yang diberikan dalam webster’s New World College

Dictionary, yaitu “physical force used so as to injure, damage, or destroy;

extreme rougness of action” (arti pertama). Dalam kedua kamus terakhir

ini kekerasan adalah tindakan fisik yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang untuk melukai, merusak, atau mengahancurkan orang

lain atau harta benda dan segala fasilitas kehidupan yang merupakan

44Ibid. Hal. 73

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

40

bagian dari orang lain tersebut. Contoh-contoh perbuatan yang

dimasukkan kedalam kategori kekerasan adalah membunuh, menyiksa,

melukai, memerkosa, merampok, dan lain-lain.45

Kekerasan pada dasarnya adalah adalah merupakan tindakan agresif,

yang dapat dilakukan oleh setiap orang, misalnya tindakan memukul,

menusuk, menendang, menampar, meninju, menggigit, semua itu adalah

bentuk-bentuk kekerasan. Selain itu juga, kadang-kadang kekerasan

merupakan suatu tindakan yang normal, namun tindakan yang sama pada

situasi yang berbeda akan disebut sebagai penyimpangan. Jadi adakalanya

suatu tindakan kekerasan dapat dikategorikan sebagai tindakan agresif,

dan tindakan kekerasan dapat dikatakan sebagai tindakan normal atau

situasional.46

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan sebuah perilaku,

baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat

menyerang (offensive), atau yang bersifat bertahan (deffense), yang disertai

penggunaan kekuatan kepada orang lain. Kekerasan (violence), menurut

sebagian ahli disebut sedemikian rupa sebagai tindakan yang

mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik ataupun psikis adalah

kekerasan yang bertentangan dengan hukum, maka oleh karena itu

kekerasan adalah sebagai bentuk kejahatan. Dalam pandangan klasik suatu

tindak kekerasan (violence), menunjukan kepada tingkah laku yang

pertama-tama harus bertentangan dengan undang-undang, baik berupa 45 Abdul Munir Mulkan Dan Kawan-Kawan, 2002, Membongkar Kultur Kekerasan Menggagas Kultur Nir-Kekerasan, PSIF UMM, Sinergi Press, Yogyakarta, Hal. 20 46 Yesmil Anwar Adang, Kriminologi, PT Refika Aditama, Bandung, Hal. 410

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

41

ancaman saja maupun sudah merupakan tindakan nyata dan memiliki

akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau dapat

mengakibatkan kematian pada seseorang.47

Kemudian Clinard dan Quenney membedakan jenis-jenis golongan

Criminal Violence (kekerasan) antara lain yang pertama kejahatan

kekerasan individual atau perseorangan, yaitu perbuatan pembunuhan,

pemerkosaan, penganiayaan berat, perampokan bersenjata, dan

penculikan. Jenis golongan kejahatan kekerasan yang kedua adalah

kejahatan kolektif, yaitu perkelahian massa, perkelahian antar geng remaja

yang menimbulkan akibat kerusakan harta benda atau juga mengakibatkan

korban luka berat ata kematian.48

Kekerasan individual merupakan kekerasan yang dilakukan dalam

rangka untuk melakukan kejahatan, kekerasan yang dipengaruhi oleh

faktor budaya yang menganggap bahwa suatu tingkah laku kekerasan

adalah tingkah laku yang diharapkan untuk dilakukan dalam situasi

tertentu, dan kekerasan adalah cara hidup bagi suatu kebudayaan tersebut.

Kemudian kekerasan kolektif biasanya dilakukan oleh segerombolan

orang atau kelompok tertentu ataupun kumpulan orang banyak atau dalam

pengertian sempitnya dilakukan oleh geng. Biasanya kekerasan kolektif

muncul dari situasi konkret yang sebelumnya didahului oleh pemaparan

gagasan nilai, tujuan dan masalah bersama dalam periode waktu yang

lama, masalah bersamamerupakan faktor yang sangat penting karena bisa

47Ibid. Hal 411 48Ibid. Hal 412

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

42

menimbulkan perasaan akan bahaya dendam dan amarah bagi suatu

kelompok tertentu.49

Pengertian mengenai tindak pidana kekerasan didalam KUHP tidak

memberikan penjelasan yang otentik tentang apa yang dimaksudkan

dengan kekerasan, melainkan didalam pasal 89 KUHP hanya menyamakan

dengan melakukan kekerasan yaitu suatu perbuatan yang membuat

seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

Tindak pidana melakukan kekerasan secara terbuka oleh beberapa

orang yang ditujukan terhadap orang-orang atau barang-barang itu oleh

pembentuk undang-undang diatur dalam ketentuan pasal 170 ayat (1)

sampai dengan ayat (3) KUHP, yang terjemahan rumusannya adalah

sebagai berikut50:

1. Barang siapa dengan terang-terangandan dengan tenaga menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

2. Yang bersalah diancam dengan: a. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahu, jika ia dengan

sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang ia gunakanmenyebabkan luka-luka;

b. Dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat.

c. Dengan pidana paling lama dua belas tahun jika kekerasan mengakibatkan maut atau matinya orang.

3. Pasal 89 tidak diterpkan.

Noyon dan Langemijer telah mengartikan geweld atau kekerasan itu

sebagai krachtdadig optreden atau sebagi bertindak dengan menggunakan

kekuatan atau tenaga, jadi bukan bertindak secara biasa, akan teteapi

49Ibid 50 Lihat Pasal 170KUHP

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

43

penggunaan kekuatan atau tenaga yang tidak begitu kuat pun dapat

dimasukkan kedalam pengertiannya. Noyon dan Langemijer juga

memberikan penjelasannya mengenai bentuk kekerasan yang bagaimana

kekerasan tersebut dapat dilakukan oleh orang yaitu kekerasan itu dapat

berupa perusakan terhadap barang-barang atau penganiayaan, jika hal

tersebut terjadi maka terdapat suatu gabungan dari kejahatan-kejahatan itu,

akan tetapi cukup kiranya jika dalam hal ini terdapat kemungkinan yang

dapat menjurus kearah itu, jadi kekerasan itu belum mempunyai arti

sebagai penganiayaan atau pengrusakan, dan di anggap sudah ada yaitu

misalnya jika orang telah melemparkan batu-batu ke sebuah rumah,

dengan demikian perbuatan merampok sebuah took roti telah dilemparkan

ke jalanan tanpa secara khusus merusak roti-roti tersebut, dapat

dimasukkan kedalam pengertian melakukan kekerasan.51

Lebih lanjut Noyon dan Langemijer menjelaskan bahwa tindak

pidana kekerasan yang dilarang dalam pasal 170 KUHP itu adalah

melakukan kekerasan. Jadi berbeda dengan perbuatan-perbuatan

melakukan kekerasan seperti yang dimaksud dalam pasal 146, pasal 211,

pasal, 212 KUHP, dalam tindak pidana-tindak pidana mana perbuatan-

perbuatan melakukan kekerasan itu hanya merupakan cara untuk mencapai

tujuan-tujuan yang lain, maka dalam pasal 170 ayat (1) KUHP ini,

perbuatan melakukan kekerasan itu merupakan tujuan atau doel dari tindak

pidana seperti dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang dalam 51P.A.F. Lamintang, Theo lamintang, 2010, Delik-Delik Terhadap Nyawa, Tubuh, & Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta.Hal. 353

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

44

ketentuan pidana seperti yang telah diaturnya dalam pasal 170 ayat (1)

KUHP tersebut.52

Dari penjelasan singkat mengenai tindak pidana kekerasan diatas

penulis berpendapat bahwa tindak pidana kekerasan adalah suatu

perbuatan yang dilakukan oleh seseorang ataupun sekelompok orang untuk

menghancurkan suatu barang, harta benda, orang dengan fasilitas yang ada

pada dirinya yang bertentangan dengan hukum yang mengakibatkan

kerusakan fisik, psikis, luka-luka, maupun yang mengakibatkan kematian

pada seseorang.

B.3.2 Unsur-Unsur tindak Pidana Kekerasan

Untuk mengetahui unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh seorang

pelaku agar pelaku tersebut dapat dinyatakan terbukti secara sah telah

memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan tindak pidan seperti

yang diatur dalam pasal 170 ayat (1) KUHP, mau tidak mau orang harus

menjabarkan tindak pidana yang di atur dalam pasal 170 ayat (1) KUHP

tersebut kedalam unsur-unsurnya. Unsur-unsur dari tindak pidana yang

diatur dalam pasal 170 ayat (1) KUHP itu tidak terlalu banyak dan hanya

terdiri dari beberapa unsur objektif, masing-masing di antaranya sebagai

berikut53:

a. Mereka,

b. Yang secara terbuka,

52Ibid. 53 P.A.F. Lamintang, Theo lamintang, 2010, Op.Cit. Hal. 347

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

45

c. Dengan tenaga-tenaga yang dipersatukan atau secara bersama-

sama,

d. Melakukan kekerasan,

e. Terhadap orang-orang atau barang-barang.

Dari rumusan yang diatur dalam pasal 170 ayat (1) KUHP diatas,

kiranya dapat diketahui, bahwa yang dilarang oleh undang-undang itu

adalah perbuatan melakukan kekerasan terhadap orang-orang dan barang-

barang yang dilakukan secara bersama-sama.

Unsur objektif pertama dari tindak pidana yang diatur dalam pasal

170 ayat (1) KUHP tersebut diatas ialah “mereka”. Hal ini berarti bahwa

yang dapat dijatuhi pidana sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur

dalam pasal 170 ayat (1) KUHP itu adalah orang banyak, artinya orang-

orang yang turut ambil bagian dalam tindak kekerasan terhadap orang-

orang atau barang-barang yang dilakukan secara terbuka dan secara

bersama-sama. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa senua orang yang

ikut serta dalam kerusuhan seperti itu menjadi dapat dipidana. Yang dapat

dipidana hanyalah mereka yang secara nyata telah turut melakukan sendiri

perbuatan itu.54

Menurut Simons, karena pasal 170 ayat (1) KUHP itu telah tidak

memberikan sesuatu pembatasan tentang arti dari kata openlijk geweld

atau kekerasan yang dilakukan secara terbuka itu sendiri, maka setiap

kekerasan yang dilakukan secara terbuka dan dilakukan secara bersama-

54 Ibid. Hal 349

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

46

sama dengan orang banyak, dapat dimasukkan kedalam pengertiannya.

Beliau juga berpendapat bahwa yang dapat dimasukkan kedalam

pengertian openlijk geweld menurut pasal 170 ayat (1) KUHP itu hanyalah

kekerasan-kekerasan yang menggangu ketertiban umum, dengan alasan

bahwa persyaratan tersebut dapat diketahui dari adanya kata openlijk atau

secara terbuka didalam rumusan pasal 170 ayat (1) KUHP. Sementara itu

dilain pihak Van Hamel telah bermaksud untuk membatasi pengertian dari

kata kekerasan tersebut berdasarkan kenyataan bahwa perbuatan itu harus

di lakukan secara openlijk geweld atau kekerasan secara terbuka itu

hanyalah dapat dilihat oleh setiap orang.55

Unsur lainnya yang terdapat dalam rumusan pasal 170 ayat (1) yaitu

mengenai kata secara bersama-sama ataupun lebih tepatnya disebut secara

beramai-ramai. Van Hamel mengatakan bahwa pada tindakan yang

dilakukan secara bersama-sama pun orang dapat mensyaratkan hal yang

sama, akan tetapi disamping hal tersebut orang juga perlu mensyaratkan

adanya suatu bewuste samunewerking atau suatu kesadaran pada diri para

pelaku bahwa mereka itu melakukan suatu kerjama sama.56

Unsur objektif terakhir dari tindak pidana yang diatur dalam rumusan

pasal 170 ayat (1) yaitu tegen personen of goederen atau terhadap orang-

orang atau barang-barang, artinya kekerasan yang dilakukan oleh beberapa

orang secara terbuka dan secara bersama-sama itu harus ditujukan

terhadap orang-orang atau barang-barang.

55Ibid. Hal. 355 56Ibid. Hal. 360

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

47

Kemudian tindak pidana yang diatur dalam rumusan pasal 170 ayat

(2) KUHP yang menentukan bahwa orang yang bersalah dipidana penjara

selama-lamanya tujuh tahun jika:

a. Ia dengan sengaja menghancurkan barang-barang atau

b. Kekerasan yang ia lakukan itu menyebabkan suatu luka pada

tubuh.

Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 170 ayat (2) angka 1

KUHP tersebut, hanya ingin mengatakan bahwa jika seseorang yang telah

turut serta dalam tindak kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama

dengan orang lain secara terbuka terhadap orang-orang atau terhadap

barang-barang seperti dimaksudkan dalam pasal 170 ayat (1) KUHP

ternyata dengan sengaja telah menghancurkan barang-barang milik orang

lain, atau jika kekerasan yang ia lakkan itu ternyata telah menyebabkan

orang lain mendapat luka pada tubuhnya maka ia dapat dipidana penjara

dengan pidana selama-lamanya tujuh tahun.57

Kemudian pada pasal 170 ayat (2) angka 2 KUHP menentukan

bahwa orang yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-

lamanya Sembilan tahun jika kekerasan yang ia lakukan itu menyebabkan

luka berat pada tubuh orang lain. Kata-kata menyebabkan luka berat pada

tubuh orang lain dalam pasal 170 ayat (2) angka 2 KUHP tersebut juga

merupakan suatu keadaan yang memberatkan pidana, hingga sesuai

dengan ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 158 KUHP, keadaan

57Ibid. Hal. 364

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

48

tersebut hanya berlaku bagi pelakunya sendiri atau bagi orang yang telah

membantu dalam melakukan tindak pidananya.58

Kemudian yang selanjutnya mengenai ketentuan yang diatur dalam

pasal 170 ayat (2) angka 3 KUHP menentukan bahwa orang yang bersalah

dipidana dengan pidana penjara selam-lamanya dua belas tahun, jika

kekerasan yang ia lakukan itu menyebabkan kematian. Ketentuan pasal

170 ayat (2) angka 3 tersebut hanya ingin mengatakan bahwa jika

seseorang yang turut serta dalam tindak kekerasan yang dilakkan secara

terbuka bersama-sama dengan orang-orang lain terhadap orang-orang atau

barang sesuai dengan ketentuan dalam pasal 170 ayat (1) KUHP itu

ternyata telah menyebabkan kematian, maka ia dapat dijatuhi pidana

dengan pidana penjara selama-lamnya dua belas tahun.59

Setelah memperhatikan hal diatas maka penulis berpendapat bahwa

tindakan kekerasan antara mahasiswa tersebut dapat ditarik kedalam

rumusan hukum pidana karena memenuhi unsur-unsur untuk dinyatakan

sebagai suatu tindak pidana sehingga harus dilakukan penanggulangan

agar kasus tersebut dapat diminimalisir demi terciptanya ketertiban umum

dalam dunia mahasiswa maupun masyarakat umum.

C. Tinjauan Umum Tentang Penanggulangan Tindak Pidana

C.1. Pengertian Tentang Penanggulangan Tindak Pidana

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (sosial

58Ibid. Hal. 366 59Ibid. Hal. 367

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

49

defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare).

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari

politik kriminal ialah perlndungan masyarakat untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat.60

Pengertian kebijakan menurut Sudarto adalah usaha untuk

mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan

situasi pada saat itu. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang

berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang

diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung

dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.61

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan

(goal), kesajahteraan masyarakat (Social Welfare) dan perlindungan

masyarakat (social defence), aspek yang sangat penting dalam hal ini

adalah aspek kesejahteraan dan perlindungan masyarakat yang besrsifat

immaterial, terutama nilai kepercayaan (trust) dan nilai keadilan (justice).

Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus juga dilakukan

dengan pendekatan “integral”, ada keseimbangan antara yang “penal”

dengan “non penal”. Dilihat dari politik kriminal maka kebijakan yang

paling strategis adalah melalui sarana “non penal” karena lebih bersifat

preventif dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan atau

kelemahan yang bersifat tidak struktural fungsional, individualistic dan

lebih bersifat represif atau tidak preventif, harus didukung oleh 60 Barda Nawawi Arief, Op. Cit. Hal. 4 61 Ibid.Hal. 26

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

50

infrastruktur dengan biaya tinggi. Kemudian pencegahan dan

penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal

policy atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalis atau

operasionalisasinya harus melalui beberapa tahap yaitu:62

a. Tahap formulasi (kebijakan legislative)

b. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif / yudisial)

c. Tahap eksekusi (eksekutif / administrative)

C.2. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana

Usaha penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua

yaitu: lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal”

(bukan/diluar hukum pidana).

C.2.1. Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Jalur Penal

Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana

(penal) pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha

penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Usaha

penenggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang

(hukum) pidana juga merupakan bagian integral dari usaha

perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu sering

pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana

merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law

enforcement policy), juga merupakan bagian integral dari kebijakan

atau politik social (social policy). Kebijakan sosial (social

62Mohammad hatta, 2010, Kebijakan Politik Kriminal Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan, Pustaka Pelaja.Yogyakarta.Hal. 39

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

51

policy)dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup

perlindungan masyarakat.63

Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang

rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus

mencakup perlindungan masyarakat dan sekaligus mencakup

perlindungan masyarakat. Jadi didalam pengertian Social policy

sekaligus tercakup didalamnya social welfare policy dan social

defense policy.64

Ditinjau dari sudut terjadinya kejahatan dan dari sudut hakikat

berfungsinya/bekerjanya hukum (sanksi) pidana itu sendiri. Menurut

Barda Nawawi Arief, sarana penal mempunyai keterbatasan dan

mengandung beberapa kelemahan (sisi-sisi negatif), antara lain:65

a. Secara dogmatis/idealis sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam/keras (karena itu, juga sering disebut sebagai ultimum remedium);

b. Secara fungsionalis/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi (antara lain; berbagai undang-undang organik, lembaga/aparat pelaksana lebih menuntut biaya tinggi);

c. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur/atau efek samping yang negatif;

d. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan kurieren am symptom (menanggulangi/menyembuhkan gejala). Jadi, hukum/sanksi pidana hanya merupakan pengbatan simptomatik dan bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks diluar jangkauan hukum pidana.

63Barda Nawawi Arief, Op. Cit.Hal. 28 64Lilik mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, teoritis, dan Praktik, PT. Alumni. Bandung. Hal. 393 65Ibid. Hal. 394

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

52

e. Hukum/sanksi hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio politik, sosio ekonomi, sosio kultural dan sebagainya).

f. System pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural dan fungsional.

g. Keefektifan pidana masih bergantung kepada banyak faktor, karena itu masih sering dipermasalahkan. Mengingat adanya berbagai keterbatasan dan kelemahan dalam

penggunaan sarana penal yang sebagaimana dikemukakan oleh

Barda Nawawi Arief di atas, dilihat dari sudut kebijakan maka

penggunaan atau intervensi sarana penal seyogyanya dilakukan

dengan hati-hati, hemat, cermat, selektif, dan limitatif. Dengan kata

lain saran penal tidak selalu harus dipanggil atau digunakan dalam

setiap produk legislatif.

C.2.2. Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Jalur Non Penal

Upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur “non penal”

lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan atau

sebelum kejahatan itu terjadi, maka sasaran utamanya adalah

menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.

Secara kasar dapatlah dibedakan bahwa upaya penanggulangan

kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat

”represive” (penindasan/perampasan/penumpasan) sesudah

kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitikbertakan

pada sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/pengendalian)

sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

53

karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai

tindakan preventive dalam arti luas. Mengingat upaya

penanggulangan kejahatan jalur “non penal” lebih bersifat tindakan

pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya

adalah mengenai menangani faktor-faktor kondusif penyebab

terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat

pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara

langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau

menumbuhsuburkan kejahatan.66

Dengan demikian apabila kita melihat dari sudut pandang

politik kriminal secara keseluruhan maka upaya-upaya

penanggulangan kejahatan dengan menggunakan preventif yang non

penal ini sebenarnya mendapatkan atau menduduki posisi yang

sangat strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal, memegang

kunci dari keseluruhan dalam hal menanggulangi sebab-sebab dan

kondisi-kondisi tertentu yang akan menimbulkan terjadinya

kejahatan.

Menurut Baharuddin Lopa bahwa upaya dalam menanggulangi

kejahatan dapat diambil beberapa langkah-langkah terpadu, meliputi

langkah penindakan (represif) disamping langkah pencegahan

66 Ibid hal. 46

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

54

(preventif). Langkah-langkah preventif menurut Baharuddin Lopa itu

meliputi67:

a. Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan.

b. Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan.

c. Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk lebih meningkatkan tindakan represif maupun preventif.

d. Meningkatkan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para pelaksana penegak hukum.

Jadi penulis menyimpulkan bahwa, penanggulangan kejahatan dalam

hal ini adalah serangkaian upaya-upaya yang dilakukan oleh penegak

hukum (Kepolisian) dalam menanggulangi kasus-kasus kekerasan dalam

dunia pendidikan (kemahasiswaan) yang sering terjadi antara mahasiswa

asal daerah yang satu dengan daerah yang lain yang dinilai memenuhi

unsur tindak pidana(kekerasan).

D. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian

Didalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia Dalam Pasal 1 ayat (1) di jelaskan bahwa

Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan

lembaga polisi sesesuai dengan peraturan perundang-undangan. Istilah

Kepolisian dalam undang-undang ini mengandung dua pengertian, yakni

fungsi polisi dan lembaga polisi. Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Undonesia, fungsi kepolisian

67 Dedot Kurniawan, upaya penanggulangan kejahatanhttp://dedotjcb.blogspot.com (diakses tanggal 17 November 2014)

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

55

sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung,

pengayom dan pelayanan masyarakat.68

Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ pemerintah yang

ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberikan kewenangan menjalankan

fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya pasal 5

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik

Indonesia menyebutkan bahwa:

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yangberperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayomandan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanyakeamanan dalam negeri.

2. Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasionalyang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peransebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Kepolisian Republik Indonesia berdasarkan pasal 13 undang-undang no 2

tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki tugas

pokok sebagai berikut69 :

a. Memberikan keamanan dan ketertiban masyarakat.

b. Menegakkan hukum.

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat.

Dari tugas-tugas polisi tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa

pada dasarnya tugas polisi ada dua yaitu tugas untuk memelihara

68 Yoyok Ucuk Suyono, 2013, Hukum Kepolisian, Lksbang Grafika. Yogyakarta. Hal. 172 69 Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ...eprints.umm.ac.id/36214/3/jiptummpp-gdl-iksankabir-47634-3-babii.pdf · Argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa individu

56

kemanan, ketertiban, menjamin dan memelihara keselamatan negara,

Orang, Benda dan masyarakat serta mengusahakan ketaatan warga negara

dan masyarakat terhadap peraturan negara. Tugas ini dikategorikan sebgai

tugas preventif dan tugas kedua yaitu represif. Tugas-tugas ini berfungsi

untuk menindak segala hal yang dapat mengacaukan keamanan

masyarakat, bangsa dan negara.

Berdasarkan uraian tentang Kepolisian diatas, maka apabila ditarik

kedalam permasalahan yang akan diteliti oleh penulis tentang tindak

kekerasan antara mahasiswa maka dapat disimpulkan bahwa tugas dari

Kepolisian salah satunya adalah menanggulangi tindak pidana yang sering

terjadi baik itu didalam kalangan mahasiswa maupun masyarakat.