bab ii tinjauan pustaka 2.1. tinjauan tentang tomat 2.1.1...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Tentang Tomat
2.1.1. Sistematika Tanaman Tomat
Sistematika dari klasifikasi tanaman tomat menurut Pracaya (1998) adalah
sebagai berikut
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermathopyta
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Lycopersicon
Spesies : Lycopersicon esculentum Mill. sinonim Solanum lycopersicum L.
Tanaman tomat yang banyak beredar di masnyarakat terdiri dari dua
subgenus yang berbeda. Sub genus tersebut adalah Eulycpersicon yang
mempunyai buah berwarna merah dan enak untuk dimakan dan Eripersicon
mempunyai buah yang berwarna hijau (Pracaya, 1998). Berdasarkan dua
karakteristik tadi buah tomat memiliki perbedaan dalam pemanfatannya di
masyarakat. Buah tomat dari marga Eulycpersicon dimanfaatkan untuk olahan jus
atau manisan karena rasanya yang lebih enak. Sebaliknya, Marga dari
Eriopersicon lebih sering dimanfaatkan untuk sayur.
2.1.2 Morfologi Tanaman Tomat
Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) merupakan sayuran buah yang
tergolong tanaman semusim berbentuk perdu dan termasuk dalam family
12
Solanaceae (Wasonowaty, 2011). Pengelompokan ini dapat didasarkan pada ciri
khusus tanaman tomat. Ciri tersebut dapat berupa morfologi. Menurut
Tjitrosoepomo (2009) morfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk dan
susunan tumbuhan.
Tomat merupakan tanaman Spermatophyta sebagaiman telah disebutkan
dalam system klasifikasinya. Spermatophyta merupakan salah satu dari tingkatan
tumbuhan yang lebih kompleks. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam
Tjitrosopeomo (2009) bahwa kormus merupakan tubuh tumbuh-tumbuhan yang
dengan nyata memperlihatkan diferensiasi dalam tiga bagaian pokok yaitu akar
(radix), batang (caulis), daun (folium). Selain itu tanaman Tomat juga memiliki
bunga dengan ciri berbentuk mirip terompet yang juga merupakan ciri khusu
tanaman dalam family solanacea Tjitrosoepomo (1990). Adapun rincian
morfologi tanaman tomat yaitu meliputi batang, daun, bunga, buah dan biji dalam
Pracaya (1998) dapat dilihat pada ulasan di bawah ini :
a. Batang
Batang dan daun berbulu kasar, mempunyai kelenjar yang dapat
mengeluarkan bau kuat yang khas. Percabangan batang bagian bawah bertipe
monopodial atau batang pokok masih kelohatan jelas dan lebih besar daripada
cabangnya. Adapun batang bagian tas percabangannya bertipe simpodial, atau
batang pokok sukar ditentukan. Kurang jelas, karena perkembangan cabang lebih
baik daripada batang.
Batang pokok tanaman tomat dapat tumbuh terus, tetapi ada juga yang
pertumbuhannya terhenti setelah rangakaian bunga tumbuh. Selanjutnya tumbuh
tunas di ketiak daun yang akan menjadi cabang dan pada perkembangan lebih
13
lanjut menjadi seperti batang pokok. Setelah beberapa ruas, pertumbuhan terhenti
dan dilanjutkan tunas dari ketiak daun lain. Percabangan demikian disebut
simpodial.
b. Daun
Daun terletak dalam spiral teratur dengan rumus daun 2/5, dan
merupakan daun mejemuk yang menyirip gasal (imparipinatus). Pada
tanaman tomat varietas grandifolium, panjang daun antara 15-30cm dan lebar
daun anatar 10-25 cm, dengan tangkai daun sepanjang 3-6 cm. Jumlah sirip
daun besar antara 7-9 yang letaknya berhadapan atau bergantian, sedikit
menggulung, dengan panjang antara 5-0 cm, serta bergerigi tidak teratur. Di
antara sirip besar ada sirip kecil. Selain itu, sirip besar ada yang berisrip lagi
atau bersirip ganda (bipinatus).
c. Bunga
Rangkaian bunga (bunga majemuk) terdiri antara 4 sampai 14 bunga.
Rangkaian bunga terletak di anatar buku, pada ruas atau di ujung batang atau
cabang. Bunga tomat merupakan bunga banci (hermaprodite) dengan garis
tengah ± 2 cm. Mahkota bunga berjumlah enam, bagian pangkalnya
membentuk tabung pendek sepanjang ± 1 cm, berwarna kuning. Benang sari
berjumlah enam, bertangkai pendek dengan kepala sepanjang ±5 mm, dan
berwarna kuning cerah. Benang sari mengelilingi putik bunga. Kelopak bunga
berjumlah enam dengan ujung kelopak runcing, dan panjang ±1 cm. letak
bunga menggantung.
14
d. Buah
Pada waktu masih muda buah berwarna hijau dan berbulu.
Selanjutnya bila sudah masak kulit buah menjadi mengkilap dan berwarna
merah atau kuning. Bentuk buah anatar lain bulat, bulat serta datar pada
pangkal atau ujungnya, bulat panjang, bulat halus, bulat beralur dan tidak
beralur.
Tomat besar varietas big boy dapat mencapai diameter 15 cm,
sedangkan varietas cherry yang kecil dapat mencapai 2 cm. Buah tomat
varietas pyrifome, misalnya tomat roma, bila dibelah melintang kelihatan
beruang dua. Buah tomat varietas lain biasanya beruang lebih dari dua.
e. Biji
Biji tomat berukuran kecil, dengan lebar 2 mm-4 mm dan panjang 3
mm – 5 mm. Biji berbentuk seperti ginjal, ringan, berbulu, dan berwarna
cokelat muda. Setiap gram berisi antara 200-500 biji tergantung pada
varietasnya. Embrio bengkok terletak di dalam endosperm. Biji yang telah
kering dan disimpan di dalam kaleng atau tempat yang kedap udara dan dingin,
daya kecambahnya dapat berthan selama 3-4 tahun. Biji berkecambah setelah
ditanam 5-10 hari, keeping terangkat ke atas (tipe epigeal), langsing
memanjang, dan berwarna hijau .
2.1.3 Macam-macam Varietas Tomat
Tomat merupakan tanaman yang memiliki varietas cukup banyak.
Berdasarkan pengelompokkan tomat menurut sub genusnya telah dijelaskan
sebelumnya yiatu jenis Eulycopersicon dan Eriopersicon. Tanaman tomat dengan
submarga Eulypersicon lebih banyak diperdagangkan dan dengan varietas yang
15
cukup banyak pula. Berikut ini merupakan beberapa varietas tomat dalam Pracaya
(1998):
1. Varietas vulgare Bailey
Pohon tumbuh tinggi (interminate), berdaun hijau, besar dan datar; buah
berukuran besar dan mempunyai beberapa ruang.
2. Varietas cerasifrome
Tomat cherry, berbuah kecil, bulat, beruang dau, garis tengah ± 2 cm berwarna
merah atau kuning. Mahkota bunga terbelah lima dengan bunga majemuk
panjang. Varietas ini banyak ditanam di daerah tropic maupun subtropics, bahkan
di Peru dan EKuador banyak tumbuh liar. Pertumbuhan pohon varietas ini
cenreung tinggi (interminate).
3. Varietas pyriforme
Varietas ini dikenal sebagai tomat peer, karena bentuk buahnya seperti buah peer
yang memanjang, dan beruang dua. Mahkota bunganya terbelah lima dan
tergolong bunga majemuk.
4. Varietas validum
Tanaman ini tumbuh tegak, pendek, daunnya menggulung (Keriting).
Pertumbuhan tanaman tergolong determinate, bentuknya menyerupai tanaman
kentang.
5. Varietas grandifolium
Daun tanaman berukuran lebar dan datar, dengan anak daun lebar seperti daun
kentang. Adapun daun semai mudanya masih utuh belum bersirip.
16
2.1.4 Kandungan Gizi Tomat
Tomat merupakan buah yang kaya akan zat gizi. Buah tomat mengandung
vitamin dan mineral yang berguna untuk kesehatan tubuh. Vitamin yang
terkandung dalam tomat yaitu vitamin A, vitamin B dan vitamin C
(Rismunaandar, 1984). Selain vitamin dan mineral tomat juga mengadung
senyawa antiokasidan yang dapat mengurangi radikal bebas yang adala di dalam
tubuh. Sebagaimana disebutkan dalam Chen dkk (2010) bahwa buah tomat
penting sebagai komponen makanan karena mengandung Lycopene yang
berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan penyakit kanker dan penyakit
degenerasi syaraf. Berdasarkan penelitian telah diketahui kandungan setiap 100
gram buah tomat yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.1..4 Kandungan Gizi Tomat
Kandungan Gizi Jumlah
Air 0,3 g
Protein 1 g
Lemak 0,1 g
Karbohidrat 4 g
Serat 0,6 g
Abu 1 g
Kalori 21 kal
Kapur 15 mg
Fosfor 30 mg
Besi 0,4 mg
Vitamin A 1.000 IU
Vitamin B1 (Thiamin 50 µg
Vitamin B2 (Riboflavin) 40 µg
Vitamin PP (Niacin) 0,7 mg
Vitamin C (Ascorbic acid) 25 mg
Sumber: Nicholls dan Purseglove (1951) dalam Pracaya (1998)
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tanaman tomat memiliki
kandungan gizi yang cukup kompleks. Kandungan vitamin A, B, dan C juga
cukup lengkap. Hal inilah yang menjadikan tomat merupakan buah yang memiliki
17
banyak potensi dari segi kesehatan untuk dijadikan menjadi berbagai macam
olahan.
2.1.5 Akibat kerusakan
Buah tomat merupakan komoditi buah-buahan yang mudah rusak.
Menurut Buntaran (2009) Buah tomat segar mempunyai daya tahan 3-4 hari.
Umur tomat yang hanya 3-4 hari tergolong pendek. Sehingga jika penanganan
pasca panen kurang sesuai maka tingkat kerusakan yang dihasilkan akan cukup
tinggi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Supriati dan Siregar (2015) dalam
Wisudawaty (2016) jumlah kehilangan dan kerusakan tomat cherry mencapai 20-
50% dari hasil panen. Kerusakan tersebut terutama disebabkan oleh mikroba yaitu
Cladoporium, Thichoderma, dan Alternaria tenuis. Penyebab kerusakan tomat
cherry adalah tingginya kadar air dan terdapatnya kerusakan fisik. Selain
disebabkan oleh mikroba kerusakan tomat juga dapat diakibatkan oleh organisme
lain yaitu serangga misalnya ulat buah, tomat, ngengat, dan kutu daun ataupun
karena nutrisi yang kurang atau berlebih (Pracaya, 1998).
Permasalah mengenai rusaknya tanaman tomat selama masa tanaman
hingga panen dapat dilakukan dengan mendiagnosis penyebabnya dan memilih
penangangan yang sesuai. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pada
penanganan pasca panen. Sebagaiaman dijelaskan dalam Buntaran (2009) bahwa
masalah lain yang sering timbul pada tomat yaitu tumbuhnya jamur diatas
permukaan tomat, untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan adanya
pengolahan tomat sehingga menjadi lebih awet.
18
2.2 Tinjauan Tentang Pengawetan Bahan Pangan
2.2.1 Definisi Pengawetan Bahan Pangan
Dalam kehidupan sehari-hari bahan pangan merupakan kebutuhan primer
disamping tempat tinggal (papan) dan pakaian (sandang). Karakteristik bahan
pangan sangat bervariasi. Ada bahan pangan yang dapat awet dalam jangka waktu
tertentu tetapi juga ada bahan pangan yang cepat rusak. Menurut Lubis (2009) Di
Indonesia, bahan pangan dari hasil pertanian (termasuk di dalamnya hasil
peternakan dan perikanan) banyak mengalami kerusakan sebelum dikonsumsi.
Data menunjukkan sekitar 35-40% sayuran dan buah-buahan mengalami
kerusakan sehingga tidak dapat digunakan. Ada berbagai faktor yang dapat
menyebabkan kerusakan pada bahan pangan. Faktor tersebut antara lain adalah:
1. Pertumbuhan mikroba yang menggunakan pangan sebagai substrat untuk
memproduksi toksin didalam pangan;
2. Katabolisme dan pelayuan (senescence) yaitu proses pemecahan dan pematangan
yang dikatalisis enzim indigenus
3. Reaksi kimia antar komponen pangan dan/atau bahan-bahan lainnya dalam
lingkungan penyimpanan;
4. Kerusakan fisik oleh faktor lingkungan (kondisi proses maupun penyimpanan)
dan
5. Kontaminasi serangga, parasit dan tikus (Rahmawati, 2012).
Faktor-faktor kerusakan bahan pangan tersebut dapat dikendalikan salah
satunya dengan cara pengawetan bahan pangan. Pengawetan bahan pangan
merupakan usaha untuk menghambat kecepatan kerusakan bahan pangan agar
daya simpannya menjadi lebih panjang(Lubis,2009). Pengawetan pangan
19
komersial memperbaiki persediaan bahan pangan dengan cara lain yang lebih
baik. Ini mendorong dan/ atau mengawali untuk memproduksi bahan pangan
dengan intensif bersamaan dengan mengurangi kehilangan sebab kerusakan dan
pembusukkan pada bahan pangan yang dipanen. Secara simultan hal ini akan
meningkatkan penyediaan bahan pangan dan akhirnya harga persatuan bahan
pangan menjadi lebih rendah (Desrosier,1988).
Ada berbagai macam bahan tambahan pangan yang dapat ditambahkan.
Ada dua macam bahan tambahan pangan berdasarkan asalnya yaitu bahan
tambahan pangan sintetis dan alami. Bahan pangan sintetis contohnya adalah
Natrium Benzoat. Menurut Rahayu dkk (2014) penambahan natrium benzoate
dapat mempepanjang daya simpan manisan tomat, dapat menekan jumlah mikroba
manisan tomat serta dapat mempertahankan kadar vitamin C dalam manisan
tomat. Penggunaan pengawet sintetis memang memiliki banyak keunggulan tetapi
jika dikonsumsi terus menerus dalam waktu yang lama dapat menimbulkan
dampak yang negative bagi tubuh. Bahan pengawet alami yang dapat digunakan
sebagai alternative adalah dengan penggunaan edible coating dan dikombinasikan
dengan antimikroba.
2.2.2 Macam-macam Teknik Pengawetan Bahan Pangan
Teknik pengawetan bahan pangan ada berbagai macam. Berikut adalah
beberapa cara untuk melakukan pengawetan bahan pangan Menurut Rahmawati
(2012):
1. Pendinginan
Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan bahan
yaitu -2° sampai +10°C. Cara pengawetan dengan suhu rendah lainya yaitu
20
pembekuan. Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku
yaitu pada suhu -2 sampai -24°C. Pembekuan cepat (quick freezing) di lakukan
pada suhu -24 sampai - 40 0 C. Pendinginan biasanya dapat mengawetkan bahan
pangan selama beberapa hari atau minggu tergantung pada macam bahan
panganya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk
beberapa bulan atau kadang beberapa tahun.
2. Pengeringan
pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian
air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung
melalui penggunaan energi panas. Biasanya, kandungan air bahan tersebut di
kurangi sampai batas sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di
dalamya. Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume
bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang
pengangkutan dan pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang sehingga
memudahkan transpor, dengan demikian di harapkan biaya produksi menjadi
lebih murah. Kecuali itu, banyak bahan-bahan yang hanya dapat di pakai apabila
telah di keringkan, misalnya tembakau, kopi, teh, dan biji-bijian. Di samping
keuntungan keuntunganya, pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu
karena sifat asal bahan yang di keringkan dapat berubah, misalnya bentuknya,
misalnya bentuknya, sifat-sifat fisik dan kimianya, penurunan mutu dan
sebagainya. Kerugian yang lainya juga disebabkan beberapa bahan kering perlu
pekerjaan tambahan sebelum di pakai, misalnya harus di basahkan kembali
(rehidratasi) sebelum di gunakan. Agar pengeringan dapat berlangsung, harus di
berikan energy panas pada bahan yang di keringkan, dan di perlukan aliran udara
21
untuk mengalirkan uap air yang terbentuk keluar dari daerah pengeringan.
Penyedotan uap air ini dapat juga di lakukan secara vakum. Pengeringan dapat
berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan
tersebut, dan uap air yang di ambil berasal dari semua permukaan bahan tersebut.
Factor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan
benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap di udara, dan waktu
pengeringan.
3. Pengemasan
Pengemasan merupakan bagian dari suatu pengolahan makanan yang berfungsi
untuk pengawetan makanan, mencegah kerusakan mekanis, perubahan kadar air.
Teknologi pengemasan perkembangan sangat pesat khususnya pengemas plstik
yang dengan drastic mendesak peranan kayu, karton, gelas dan metal sebagai
bahan pembungkus primer.
4. Pengalengan
Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang
dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing
lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian disterilkan secara komersial untuk
membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan pembusuk.
Pengalengan secara hermetis memungkinkan makanan dapat terhindar dan
kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita
rasa.
5. Penggunaan bahan kimia
Bahan pengawet dari bahan kimia berfungsi membantu mempertahankan bahan
makanan dari serangan makroba pembusuk dan memberikan tambahan rasa sedap,
22
manis, dan pewarna. Contoh beberapa jenis zat kimia : cuka, asam asetat,
fungisida, antioksidan, in-package desiccant, ethylene absorbent, wax emulsion
dan growth regulatory untuk melindungi buah dan sayuran dari ancaman
kerusakan pasca panen untuk memperpanjang kesegaran masa pemasaran.
6. Pemanasan
Pemansan umumnya digunakan untuk membuhun mikroba. Semakin tinggi suhu
maka mikroba yang ada akan cepat mati. Pada proses pengalengan, pemanasan di
tujukan untuk membunuh seluruh mikroba yang mungkin dapat menyebabkan
pembusukan makanan dalam kaleng tersebut, selama penanganan dan
penyimpanan. Pada proses pasteurisasi, pemanasan di tujukan untuk
memusnahkan sebagian besar mikroba pembusuk, sedangkan sebagian besar
mikroba yang tertinggal dan masih hidup terus di hambat pertumbuhanya dengan
penyimpanan pada suhu rendah atau dengan cara lain misalnya dengan bahan
pengawet. Proses pengawetan dapat di kelompokan menjadi 3 yaitu: pasteurisasi,
pemanasan pada 100° C dan pemanasan di atas 100° C.
7. Teknik fermentasi
fermentasi bukan hanya berfungsi sebagai pengawet sumber makanan, tetapi juga
berkhasiat bagi kesehatan. Salah satumya fermentasi dengan menggunakan bakteri
laktat pada bahan pangan akan menyebabkan nilai pH pangan turun di bawah 5.0
sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri fekal yaitu sejenis bakteri yang
jika dikonsumsi akan menyebabkanakan muntah-muntah, diare, atau muntaber.
Bakteri laktat (lactobacillus) merupakan kelompok mikroba dengan habitat dan
lingkungan hidup sangat luas, baik di perairan (air tawar ataupun laut), tanah,
23
lumpur, maupun batuan. tercatat delapan jenis bakteri laktat, antara lain
Lacobacillus acidophilus, L fermentum, L brevis,dll
8. Teknik Iradiasi
Iradiasi adalah proses aplikasi radiasi energi pada suatu sasaran, seperti pangan.
Menurut Maha (1985) dalam (Rahmawati, 2012) , iradiasi adalah suatu teknik
yang digunakan untuk pemakaian energi radiasi secara sengaja dan terarah.
Sedangkan menurut Winarno et al. (1980) dalam (Rahmawati, 2012), iradiasi
adalah teknik penggunaan energi untuk penyinaran bahan dengan menggunakan
sumber iradiasi buatan.
2.2.3 Teknik Pengawetan Pengolahan Menjadi Manisan
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa komoditi buah-buhan
dan sayur-sayuran merupakan komoditi yang mudah rusak sehingga perlu
penanganan yang sesuai supaya tidak terbuang sia-sia. Salah satu penanganan
yang dapat dilakukan adalah dengan mengolah bahan mentah buah dan sayur
setelah panen menjadi produk yang memiliki daya simpan yang lebih baik.
Produk tersebut dapat berupa manisan. Manisan merupakan salah satu jenis
makanan ringan yang biasanya menggunakan gula pasir sebagai bahan pemanis
untuk memperoleh tingkat kekerasan yang cukup stabil. Manisan menjadi salah
satu bentuk makanan olahan yang banyak disukai oleh masyarakat. Rasanya yang
manis bercampur dengan rasa khas buah sangat cocok untuk dinikmati diberbagai
kesempatan. Manisan buah yang umum di pasaran ada bermacam-macam bentuk
dan rasa, ada yang berbentuk basah maupun kering (Rahayu,2014).
Pemanfaatan tomat menjadi manisan memiliki keuntungan tersendiri bagi
produsen tomat. Sebagaimana disebutkan dalam Buntaran (2009) Pemanfaatan
24
tomat dibuat manisan di samping tomat lebih awet juga dapat memberikan nilai
tambah bagi produsen manisan itu sendiri, bagi konsumen tentu saja
mengkonsumsi manisan kering tomat akan lebih menarik karena lebih praktis
tinggal makan yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi kesehatan konsumen itu
sendiri.
Prinsip dari pengolahan tomat menjadi manisan adalah dengan menekan
faktor air yang dapat menjadi sumber tumbuh kembang mikroba sebagaimana
disebutkan dalam Jayaraman dan Gupta (2006) dalam Wisudawaty (2016) Salah
satu cara untuk mencegah kerusakan adalah pengolahan tomat cherry menjadi
produk dengan kadar air rendah seperti manisan, sehingga pertumbuhan
mikroorganisme dapat dicegah. Selain dengan pengurangan kadar air, pembuatan
manisan juga dilakukan untuk mengurangi kandungan oksigen dalam makanan
tersebut sehngga dapat menekan jumlah bakteri. Hal dapat ditemui pada Buntaran
(2009) larutan gula dapat mengurangi proses oksidasi sehingga akan mencegah
hubungan antara buah dengan oksigen luar dimana oksigen sangat dibutuhkan
untuk kebutuhan hidup mikroba yang merugikan, cara lain gula dapat
menghambat pertumbuhan plasmolisis dari sel-sel mikroba dengan cara
menurunkan kandungan air seminimal mungkin sehingga ketersediaan air untuk
aktivitas hidup mikroba tidak ada.
Olahan manisan yang dapat memperpanjang daya simpan tomat ternyata
masih dapat mengalami kerusakan. Sebagaimana yang disebutkan dalam Rahayu
(2014) bahwa manisan yang dihasilkan memiliki umur simpan relatif singkat dan
fluktuatif sekitar 2 minggu sampai 3 bulan. Kerusakan tersebut dapat diakibatkan
karena mikroba yang tetap dapat tumbuh dalam kondisi kadar air yang rendah
25
tetapi kadar gula yang cukup tinggi. Sebagaimana disebutkan dalam Daek (2008)
dalam Wisudawaty (2016) Walaupun sudah dibuat manisan, namun ada mikroba
yang mampu tumbuh pada aw yang rendah seperti khamir Zygosaccharomyces
rouxii yang tumbuh pada aw 0,62. Zygosaccharomyces adalah khamir yang
merugikan dalam bidang pangan dan sering tumbuh dan menyebabkan kerusakan
pada madu, sirup, molase, serta sering mengkontaminasi dalam proses fermentasi
pembuatan kecap dan anggur (Budiyanto, 2002). Berdasarkan permasalah ini
maka diperlukan teknik pengawetan untuk mempertahankan kualitas manisan
tomat, salah satunya adalah dengan pengaplkasian edible coating.
2.3 Tinjauan Tentang Edible coating
2.3.1 Deskripsi Umum tentang Edible coating
Edible packaging, yaitu suatu pengemas dapat dimakan yang dapat
mencegah difusi gas oksigen, karbondioksida, uap air dan komponen flavor,
sehingga mampu menciptakan kondisi atmosfir internal yang sesuai dengan
kebutuhan produk yang dikemas (Ridawaty, tanpa tahun). Edible coating adalah
suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk
melapisi makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film)
yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa serta untuk
meningkatkan penanganan suatu makanan (Harris, 2001). Golongan polisakarida
yang banyak digunakan sebagai bahan pembuatan edible coating adalah pati dan
turunannya, selulosa dan turunannya (metil selulosa, karboksil metil selulosa,
hidroksi propil metil selulosa), pektin ekstrak ganggang laut (alginat, karagenan,
agar), gum arab dan kitosan (Sitorus, 2014). Berdasarkan dua pernyataan di atas
dapat disimpulkan bahwa edible coating adalah suatu bahan pelapis dari
26
polisakarida kompleks untuk meningkatkan daya simpan bahan pangan dengan
jalan sebagai barrier bagi lingkungan sekitar yang dapat membusukkan makanan.
Bahan baku utama dalam pembuatan edible coating adalah pati. Pati
merupakan salah satu jenis polisakarida yang tersedia melimpah di alam, bersifat
mudah terurai (biodegradable), mudah diperoleh, dan murah. Sifat-sifat pati juga
sesuai untuk bahan edible coating/film karena dapat membentuk film yang cukup
kuat (Winarti, 2012). Edible coating dapat terbuat dari beberapa jenis bahan,
salah satunya adalah berbasis pati seperti tapioca (Wisudawaty, 2016). Namun,
edible film berbasis pati mempunyai kelemahan, yaitu resistensinya terhadap air
rendah dan sifat penghalang terhadap uap air juga rendah karena sifat hidrofilik
pati dapat memengaruhi stabilitas dan sifat mekanisnya (Garcia et al. 2011). Maka
dari itu dalam pembuatan edible coating perlu adanya zat tambahan yang dapat
memperpanjang daya simpan produk.
Salah satu bahan tambahan tersebut adalah adalah dengan adanya
Antimikroba. Kemasan antimikroba merupakan suatu kemasan yang dapat
menghentikan, menghambat, mengurangi atau memperlambat pertumbuhan
mikroorganisme patogen pada makanan dan bahan kemasan. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa edible coating/film dapat berfungsi sebagai pembawa
(carrier) aditif makanan, seperti bersifat sebagai agens antipencoklatan,
antimikroba, pewarna, pemberi flavor, nutrisi, dan bumbu
(Winarti, 2012). Kesadaram masyarakat akan pentingnya bahan tambahan pangan
alami termasuk pemgawet membuat penggunaan antimikroba berbahan alami
semakin diminati (Kechichian, 2016).
27
2.3.2 Komponen Penyusun Edible coating
Komponen utama penyusun edible coating adalah polisakarida yang salah
satunya didapat dari tapioca. Tapioka banyak digunakan sebagai bahan edibe
coating karena memiliki kandungan pati yang tinggi jika dibanding dengan bahan
lainnya. Berikut adalah perbandingan kandungan pati yang dimiliki oleh beberapa
bahan pangan:
Tabel 2..3.2 Tabel Perbandingan Pati Dari Berbagai Bahan Pangan
Bahan pangan Pati (%)
Biji gandum
Beras
Jagung
Biji sorghum
Kentang
Ubi jalar
Singkong
67
89
57
72
75
90
90
Sumber: Liu (2005) dalam Wahyu 2009
Pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang tersedia melimpah di
alam, bersifat mudah terurai (biodegradable), mudah diperoleh, dan murah. Sifat-
sifat pati juga sesuai untuk bahan edible coating/film karena dapat membentuk
film yang cukup kuat (Winarti,2012). Diharapkan dengan kadar pati yang tinggi
daripada bahan pangan yang lain, tapoioka dapat menghasilkan edible dengan
kualitas yang baik.
Komponen yang diperlukan untuk pembuatan edible coating tidak hanya
menggunakan pati saja melainkan ada beberapa bahan tambahannya yang berguna
untuk meningkatkan kemampuan edible coating dalam memperpanjang daya
simpan bahan pangan. Komponen tersebut sebagaimana disebutkan dalam Winati
dkk (2012) yaitu dalam pembuatan edible ada dua macam bahan yaitu bahan
utama dan bahan tambahan. Bahan utama yang digunakan adalah pati dengan
28
ditambahkan zat plasticizer dan emulsifier. Bahan plasticizer adalah bahan yang
digunakan untuk memperbaiki kualitas edible itu sendiri yaitu lemak dan
golongannya supaya mudah dicetak, meningkatkan ketahanan film,dan
meningkatkan ketahanan bagi air. Minyak juga ditambahkan dalam edible untuk
mempebaiki hidrofobisitas film agar film tidak terlalu lengket. Penambahan bahan
antimikroba ke dalam edible coating/ film akan meningkatkan masa simpan dan
stabilitas bahan pangan karena sifat penghalang dari lapisan film diperkuat oleh
komponen aktif antimikroba.
2.3.3 Teknik aplikasi Edible coating
Dalam pengaplikasian edible coating dapat menggunakan tiga car. Tiga
cara tersebut sebagaimana disebutkan Krochta et. al (1994) ) dalam Miskiyah
(2011), yaitu :
a. Pencelupan (Dipping) Biasanya teknik ini digunakan pada produk yang memiliki
permukaan kurang rata. Setelah pencelupan, kelebihan bahan coating dibiarkan
terbuang. Produk kemudian dibiarkan dingin hingga edible coating menempel.
Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran.
b. Penyemprotan (Spraying) Teknik ini menghasilkan produk dengan lapisan yang
lebih tipis atau seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan untuk
produk yang mempunyai dua sisi permukaan.
c. Pembungkusan (Casting) Teknik ini digunakan untuk membuat film yang berdiri
sendiri, terpisah dari produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan
untuk nonedibel coating.
d. Pengolesan (Brushing) Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles edible coating
pada produk. Pengolesan dilakukan dengan bantuan kuas.
29
2.3.4 Kelebihan dan Kekurangan Edible coating
Edible coating merupakan bahan pengawet makanan yang memiliki
berbagai macam keunggulan baik itu dari segi keamanan pangan maupun dari segi
lingkungan. Dari segi keamanan pangan edible coating dapat memperpanjang
daya simpan makanan dengan menjadi barrier atau pelindung bahan pangan
dengan lingkungannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Alsuhendra dkk
(2010) yaitu Edible coating didefinisikan sebagai lapisan tipis yang digunakan
untuk melapisi produk atau diletakkan di antara produk. Lapisan ini berfungsi
untuk melindungi produk dari kerusakan mekanis dengan mengurangi transmisi
uap air, aroma, dan lemak dari bahan pangan yang dikemas. Keunggulan lain
edible coating adalah lapisan yang dapat dimakan karena terdiri dari bahan-bahan
organik sebagaimana telah disebutkan di atas tadi yaitu dari pati, protein dan lipid.
Berdasarkan segi lingkungan edible coating juga merupakan alternatif untuk
mengurangi penggunaan kemasan yang nonbiodegradable (susah terurai)
sehingga lebih ramah lingkungan. Sebagaimana disebutkan dalam Kechichian dkk
(2010) bahwa kemungkinan penambahan bahan baku pada kemasan yang mudah
terurai berbasis bahan mentah seperti kanji singkong dapat mengurangi
pembuangan bahan kemasan yang berbasis polimer yang dapat mengakibatkan
kerusakan lingkungan.
Kelebihan yang dimiliki oleh kemasan edible ini pasti tidak lepas dari
kekurangan yang dimiliki. Kekurangan tersebut adalah film dari pati, misalnya,
mudah rusak/sobek karena resistensinya yang rendah terhadap air dan mempunyai
sifat penghalang yang rendah terhadap uap air karena sifat hidrofilik dari pati
(Garcia dkk, 2011). Sifat mekanik lapisan film dari pati juga kurang baik karena
30
mempunyai elastisitas yang rendah. Untuk meningkatkan karakteristiknya,
biasanya pati dicampur dengan biopolimer yang bersifat hidrofobik atau bahan
tahan air seperti kitosan (Winarti dkk, 2012).
2.4 Tinjauan Tentang Kayu Manis Sebagai Antimikroba
2.4.1 Senyawa Antimikroba
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kerusakan bahan pangan
dapat diakibatkan oleh aktivitas mikroorganisme seperti khamir. Keberadaan
mikroba ini dapat ditekan dengan penggunaan suatu senyawa yang disebut dengan
senyawa Antimikroba. Antimikroba atau anti bakteri adalah zat yang mengganggu
pertumbuhan dan metabolism melalui penghambatan pertumbuhan bakteri
(Pelczar, 2005). Zat antimikroba ini dapat dikatakan dapat menghambat
pertumbuhan mikroba jika menghasilkan zona hambat. Sebagaimana yang
terdapat dalam Waluyo (2010) bahwa bila desinfektan menghambat pertumbuhan
mikroba, maka akan terlihat zona (daerah) jerniih di sekeliling cakram kertas; atau
dinamakan juga zona hambat. Luas daerah terang ini menjadi ukuran kekuatan
desinfektan. Mekanisme zat antibakteri dalam membunuh atau menghambat
pertumbuhan bakteri bervariasi dan kompleks, umumnya dapat menyebabkan
perubahan pada komponen makromolekul bakteri. Perubahan yang terjadi yaitu
rusaknya membrane sel, membrane inaktif protein secara irreversible dan
menyebabkan kerusakan asam nukleat (Apriyani, 2015).
Terdapa beberapa factor yang dapat mempengaruhi keefektivan
antimikroba dalam mengahambat suatu pertumbuhan mikroorganisme. Salah
satunya adalah konsentrasi. Menurut Waluyo (2010) bahan antimicrobial dapat
31
bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah, namun dapat bersifat bakteriosidal
pada konsentrasi tinggi. Selain itu factor lain yang dapat mempengaruhi kerja
antimikroba sebagaimana disebutkan dalam Apriyani (2015) adalah pH, suhu
stabilitas senyawa tersebut, jumlah bakteri yang ada, lamanya inkubasi dan
aktivitas metabolism bakteri.
Terdapat dua metode untuk mengetahui daya antibakteri dari suatu zat.
Dua metode tersebut adal dengan cara dilusi dan difusi. Berikut adalah penjelasan
dari metode tersebut:
1. Metode Dilusi
Metode ini menggunakan antimikroba dengan konsetrasi yang berbeda-beda
dimasukkan pada media cair. Media tersebut langsung diinokulasikan dengan
bakteri dan diinkubasi. Tujuan percobaan ini adalah menentukan konsentrasi
terkecil suatu zat antibakteri dapat mengambat pertumbuhan atau membunuh
bakteri.
2. Metode Difusi
Metode yang paig sering digunanakan adalah metode difusi agar dengan
menggunakan cakram kertas, cakram kaca, pencetak lubang. Prinsip metode ini
adalah mengukur zona hambatan pertumbuhan bakteri yang terjadi akibat difusi
zat yang berisfat sebagai antibakteri dalam media padat melalui pencadangan.
Daerah hambatan pertumbuhan bakteri adalah daerah jernih dis ektasr cakram.
Luas daerah hambatan berbading lurus dengan aktivitas antibakterinya, semkain
kuat daya aktivitas antibakterinya maka semakin luas daerah hambatannya
(Apriyani, 2015).
32
Terdapat beberapa kategori dalam penetuan kekuatan zona hambat Berikut
adalah tabel kategori zona hambat bakteri menurut nilai standart NCCLS :
Tabel 2.4.1 Kategori Zona Hambat Bakteri Menurut NCCLS
Kategori Ukuran Zona Hambat
Sensitif ≥ 19 mm
Intermediet 15 – 18 mm
Resisten ≤ 14 mm
(Jorgensen dkk., 2000 dalam Murray, 2003).
2.4.2 Tinjauan Kayu Manis
Tanaman kayu manis termasuk keluarga Lauraceae, marga (genus)
Cinnamomum yang terdiri atas ratusan spesies tersebar di Asia dan Australia. Dua
spesies di antaranya, yaitu Cinnamomum zeylanicum dan Cinnamomum burmanii,
banyak dibudidayakan di Indonesia (Maria dkk, 2011). Berikut adalah klasifikasi
dari tanaman kayu manis
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Laurales
Suku : Lauraceae
Marga : Cinnamomum
Jenis : Cinnamomum burmani (Ness & T. Nees) Blume
(Badan POM RI,2008)
Kayu manis dikenal sebagai salah satu jenis rempah-rempah yang tertua di dunia.
Kulit batang, cabang dan dahan tanaman kayu manis dapat digunakan sebagai rempah-
rempah (Maria dkk, 2011). Tanaman kayu manis dapat tumbuh di Indonesia dengan
cukup baik. Menurut badan POM RI (2008) tanaman kayu manis memiliki Habitus
berupa pohon tahunan dengan tinggi 10-15 m. Batang berkayu, tegak, bercabang,
33
berwarna hijau kecoklatan. Daun tunggal, lanset, ujung dan pangkal runcing, tepi
rata, panjang 4-14 cm, lebar 1-6 cm, pertulangan melengkung, masih muda merah
pucat setelah tua hijau. Bunga majemuk, bentuk malai, tumbuh di ketiak daun,
berambut halus, tangkai panjang 4-12 mm, benang sari dengan kelenjar di tengah
tangkai sari, mahkota panjang 4-5 mm, kuning. Buah buni, panjang ±1 cm, ketika
masih muda hijau setelah tua hitam. Biji kecil-kecil, bulat telur, masih muda hijau
setelah tua hitam. Akar tunggang warna coklat.
Kayu manis memiliki berbagai macam manfaat. Manfaat tersebut
sebagaimana disebutka dalam Apriyani (2015) yiatu Kayu manis (Cinnamomum
burmani Ness & T. Nees) dapat digunakan diantarasnya sebagai peluruh kentut,
peluruh keringat, antirematik, penambah nafsu makan, penghilang rasa sakit, dan
memiliki aktivitas antioksidan.
2.4.3 Kandungan Aktif dalam Kayu Manis
Sebagai tanaman rempah-rempah yang digunakan di Indonesia, kayu
manis memiliki banyak senyawa aktif. Kandungan kimia kayu manis antara lain
minyak atsiri, safrole, sinamaldehida, tannin, dammar, kalsium oksalat, flavonoid,
triterpenoid, dan saponin (Utami, 2013) dalam Nisa (2014). Seluruh bagian dari
tanaman kayu manis memiliki kandungan minyak atsiri yang berbeda.
Sebagaimana dijelaskan dalam Maria,dkk (2011) bahwa Dari aspek fitokimia
kayu manis memiliki sifat yang unik, yaitu seluruh bagian tanaman mengandung
minyak atsiri dengan komposisi yang berbeda. Komponen utama minyak atsiri
dari kulit kayu Cinnamomum zeylanicum adalah sinamaldehida, sedang
komponen utama minyak atsiri dari daun dan dari kulit akar masing-masing
adalah eugenol dan kamfor.
34
Kayu manis diketahu sebagai salah satu tanaman yang mengandung
senyawa aktif sinamaldehid dan eugenol yang berkhasiat sebagai antibakteri (Inna
dkk,2010).Kandungan antibakteri dalam kayu manis ini dapat dimanfaatkan untuk
produk untuk menghambat mikroba dalam makanan. Semakin tingginya
kesadaran masyarakat akan bahaya bahan kimia buatan dalam mengawetkan
makanan membuat bahan antimikroba alami seperti kayu manis ini diminati.
Salah satu pemanfaatan kayu manis untuk memperpanjang daya simpan produk
olahan pangan adalah dengan menjadikkannya dengan bahan campuran edible.
Penambahan antimikroba pada edible coating bertujuan untuk menghambat
pertumbuhan dan aktivitas mikroba, sehingga dapat meningkatkan umur simpan
produk ( Wisudawaty dkk, 2016). Dalam penelitian ini metode yang digunakan
adalah dengan metode infundasi yaitu cara ekstraksi sederhana dengan pelarut air.
Rasio berat bahan dan air adalah 1:10. Berdasarkan penelitian yang dilakukan nisa
(2014) Aktivitas antibakteri ekstrak kulit kayu manis dengan cara ekstraksi
infundsi lebih mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus
dibandingkan dengan cara dekokasi.
2.5 Tinjauan Mikroba Perusak Pada Manisan
Makanan termasuk manisan tidak luput dari kerusakan. Ada berbagai
macam kerusakan yang dapat terjadi pada makanan. Salah satunya adalah karena
Mikroba. Menurut Crawford (2014) Makanan merupakan habitat bagi
mikroorganisme. Jamur dapat tumbuh pada pH 5 atau kurang yang mana tidak
memungkinkan bakteri untuk tumbuh. Selain itu jamur juga dapat tumbuh pada
kadar gula dan asam organik. Keberadaan jamur ini dapat merusak sifat sensoris
makanan yaitu dapat merubah rasa, aroma, warna, dan tekstur. Khamir yang dapat
35
tumbuh dalam kondisi tersebut adalah pada jenis Zygosaccahromyces rouxii.
Zygosaccahromyces rouxii memiliki kemampuan yang unik yaitu dapat resisten
terhadap asam lemah dan keberadaan garam dan gula dalam konsentrasi yang
tinggi. Isolate Zygosaccahromyces rouxii dapat tumbuh pada kadar gula 90% dan
dapat tumbuh di konsentrasi NaCl yang sangat tinggi (Leandro dkk, 2011).
2.6 Tinjauan Tentang Organoleptik
Pengujian organoleptik disebut penilaian indera atau penilaian
sensorikmerupakan suatu cara penilaian deengan memanfaatkan panca indera
manusia untuk mengamati tekstur, warna, bentuk, aroma, rasa suatu
produk makanan, minuman ataupun obat. Panelis merupakan anggota panel
atau orang yang terlibat dalam penilaian organoleptik dari berbagai kesan
subjektif produk yang disajikan. Panelis merupakan instumen atau alat untuk
menilai mutu dan analisa sifat–sifat sensorik suatu produk
(Ayustaningwarno, 2014).
Terdapat beberapa jenis panelis yang dapat melakukan uji
organoleptik. Panelis yang pertama adalah Panel Perseorangan. Penel
perseorangan adalah orang yang sangat ahli dengan kepekaan spesifik yang
sangat tinggi yang diperoleh karena bakat atau latihan-latihan yang sangat
intensif. Selanjutnya adalah Panel terbatas terdiri dari 3-5 orang yang
mempunyai kepekaan tinggi sehingga bias lebih di hindari. Panelis ini
mengenal dengan baik faktor-faktor dalam penilaian organoleptik dan
mengetahui cara pengolahan dan pengaruh bahan baku terhadap hasil akhir.
Dan paenlis yang selanjutnya adalah Panel Tidak Terlatih Panel tidak terlatih
36
terdiri dari 25 orang awam yang dapat dipilih berdasarkan jenis suku-suku
bangsa, tingkat sosial dan pendidikan. Panel tidak terlatih hanya
diperbolehkan menilai alat organoleptik yang sederhana seperti sifat kesukaan
(Anonymous, 2013).
2.7 Tinjauan Sumber Belajar
2.7.1 Pengembangan Sumber belajar
Sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan FKIP UMM tahun 2015 bahwa
agar proses dan hasil penelitian ini segera dimanfaatkan sebagai sumber belajar
maka perlu dipertimbangkan makna penelitian sebagai sumber belajar penelitian.
Sebagai sumber belajar dapat dipandang dari dua segi ialah proses dan produk.
Hasil Penelitian biologi murni dapat dijadikan materi untuk mengembangkan
produk teretntu. Oleh karena itu tentukan terlebih dahulu model yang akan
digunakna dalam pengembangan. Dengan demikian, pada dasarnya tahapan ini
menggunakan kaidah dan prinsip penelitian pengembangan, namun dapat dibatasi
hanya kepada tahapan menghasilkan produk awal/ hipotetik tanpa uji coba produk
secara luas (Tim Penyusun Panduan Penulisan Skripsi FKIP UMM, 2017).
Menurut Rosdiana (2007) Sumber belajar adalah segala sesuatu baik yang
ada diluar diri peserta didik berupa perangkat materi yang sengaja diciptakan
dengan maksud untuk memberikan kesempatan dan kemudahan kepada peserta
didik dalam memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman dan
keterampilan dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian maka
sumber belajar adalah seperangkat instrument yang membantu siswa dalam proses
belajar mengajar.
37
Sumber belajar dapat didapatkan dimana saja. Menurut Wardani (2010).
Sumber belajar itu dapat berupa media atau alat bantu belajar serta bahan baku
penunjang. Seperti contoh guru, buku pelajaran, majalah, koran, televisi, dan
internet. Terdapat berbagai macam jenis sumber belajar yang digunakan di
sekolah. Sumber belajar menurut Kurniawati (2013) dibagi menjadi dua yaitu
sumber belajar cetak dan non cetak. bahan belajar tersebut dalam bentuk tercetak
seperti buku teks, modul, Lembaran Kerja Siswa (LKS), bahan penyerta, dan
sebagainya. Dalam bentuk tidak tertulis berarti non cetak, bisa berupa kaset, atau
dalam bentuk program lainnya.
2.7.2 Sumber Belajar Handout
Terdapat syarat suatu penelitian digunakan sebagai sumber belajar. Syarat
tersebut adalah Selain itu perlu dipertimbangakan syarat pemanfaatannya sumber
belajar yang meliputi kejelasan potensinya, kejelasan sasarannya, kesesuaian
dengan tujuan belajara, kejelsan informasi yang diungkapkan, kejelasan pedoman
eksplorasi dan kejelasan perolehan yang diharapkan (Tim Penyusun Panduan
Penulisan Skripsi FKIP UMM, 2017). Salah satu alternatife sumber belajara yang
memenuhi syarat tersebut adalah Handout. Menurut Hermawan dkk (2012)
Handout diartikan sebagai buku pegangan siswa yang berisi tentang suatu materi
pembelajaran secara lengkap. Handout menyajikan keseluruhan materi yang harus
dipelajari. Materi yang disajikan dalam handout memunculkan komponen yang
diperlukan dalam pembelajaran yang meliputi; tujuan pembelajaran/ kompetensi,
prasyarat yaitu materi-materi pembelajaran yang mendukung atau perlu dipelajari
terlebih dahulu sebelumnya, prosedur pembelajaran, materi pembelajaran yang
tersusun sistematis, latihan/ tugas-tugas dan soal-soal evaluasi.
38
Handout merupakan salah satu bahan ajar yang cukup representative untuk
dikembangkan. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pengembangan handout sebagai bahan ajar. Berikut adalah Cara pengemabngan
Handout menurut Kurniawati (2013): dapat mencapai tujuan , sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan peserta maupun lembaga, memberikan kemudahan
kepada peserta dalam memahami isi/uraian materi, kebenaran isi/konsep, bahan
belajar yang dikembangkan harus sesuai dengan konsep materi,
ketuntasan/keutuhan dalam belajar, bahan belajar yang dikembangkan haruslah
utuh untuk mencapai kompetensi yang dipersyaratkan, kesederhanaan dalam
penyajian. sajian materi dalam bahan belajar hendaknya dikemas dengan bahasan
yang sederhana dan tidak komplek sehingga materi mudah dipahami.,
keseimbangan dalam halaman. cakupan kompetensi yang banyak hendaknya
dibahas dalam banyak halaman, ketegasan dalam penyajian pesan. pesan yang
disampaikan harus jelas dan tidak menimbulkan penafsiran ganda, keindahan
tampilan. agar pembaca tidak bosan membaca, tampilan bahan belajar dikemas
semenarik mungkin, komunikatif dalam penyampaian pesan. bahasa yang
digunakan dalam mengulas.
2.8 Penelitian terdahulu yang relevan
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang mendasari penelitian yang
dilakukan. Penelitian tersebut antara lain adalah penelitian yang dilakukan
Buntaran dkk (2010) mengenai pengaruh konsentrasi manisan gula terhadap
kualitas buah tomat. Penelitian ini menghasilkan formulasi pembuatan manisan
tomat dengan tingkat kesukaan yang paling baik. Penelitian lain yang relevan
adalah yang dilakukan Rahayu dkk (2014) mengenai umur simpan manisan tomat
39
dengan penambahan bahan pengawet natrium benzoat. Dalam penelitian ini
dikemukakan bahwa tomat memiliki umur simpan yang fluktuatif sehingga perlu
adanya penambahan bahan pengawet dalam manisan yaitu natrium benzoat. Hasil
penelitian ini didapat bahwa natrium benzoate dapat memperpanjang daya sipman
manisan tomat dan dapat meningkatkan kandungan vitamin C yang terkandung
dalam manisan tomat. Dewasa ini kesadaran masyarakat untuk mengurangi
tambahan bahan kimia dalam makanan semakin meningkat. Maka dari itu perlu
adanya bahan yang alami untuk dapat mengawetkan makanan sehingga daya
simpannya menjadi lebih lama. Penelitian yang dilakukan oleh Wisudawaty
(2016) menegani pengaruh pemberian edible coating dengan tambahan bahan
komposit minyak kayu manis pada manisan tomat. Dari hasil penelitian yang
dilakukan didapat bahwa pemberian edible coating dengan tambahan minyak
kayu manis dapat menekan pertumbuhan mikroba pada manisan tomat.
Penelitian mengenai aktivitas antibakteri kayu manis sudah sangat banyak.
Penelitian tersebut antara lain adalah yang dilakukan oleh Inggrid (2011) mengani
kandungan aktif sinamaldehid yang dimiliki oleh tanaman kayu manis yang
berfungsi sebagai antibakteri. Penelitian oleh Nisa (2014) bahwa ekstraksi
infundsi kayu manis lebih mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan
S. aureus. Penelitian menganai kayu manis sebagai antimikroba dalam kemasan
bahan pangan juga sudah dilakukan oleh Kechichian (2010) bahwa dengan
penambahan air rebusan kayu manis dapat membuat kualitas edible film yang
baik. Penelitian ini memiliki kekurangan antara lain adalah belum diujikannya
antimikroba air rebusan kayu manis yang ditambahkan pada edible yang
dihasilkan.
40
2.9 Kerangka Konseptual
Penelitian secara garis besar dapat dilihat pada kerangka konseptual di bawah ini
Ganbar 2.9 Kerangka Konseptual
Kayu manis
Manisan
Tomat
Komoditi yang mudah rusak, daya simpan 3-4
hari, tingkat kerusakan pasca panen 20-50%
karena kandungan air tinggi sehingga mudah
terserang mikroba
Pengolahan
Iradiasi
Fermentasi
Pendinginan Bahan kimia
Pengalengan
Pengemasan
Pengeringa
n Pemanasa
nn
Alami Buatan
Gula
Edible
coating Daya simpan
fluktuatif
Komposit Bahan utama
Emusifier Polisakarida
Plasticize
r
Antimikrob
a
Konsentrasi
0%;5%;10%;15%;20
% Kualitas
edible
coating
Zona
hambat Uji organoleptik
Hasil
penelitian
Sumber Belajar
Biologi
41
2.10 Hipotesis
Hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
1. Terdapat perbedaan potensi edible coating pati tapioka antimikroba air
rebusan kayu manis (Cinnamomum sp.) dengan berbagai konsentrasi
terhadap zona hambat mikroba dan organoleptik manisan tomat (Solanum
lycopersicum).
2. Pada pemberian berbagai konsentrasi air rebusan kayu manis
(Cinnamomum sp.), konsentrasi air rebusan yang paling tinggi yaitu 20%
yang memiliki pengaruh terbaik dalam zona hambat pertumbuhan
mikroba.
3. Ada pengaruh pemberian edible coating pati tapioka antimikroba air
rebusan kayu manis (Cinnamomum sp.) terhadap tingkat organoleptik
manisan tomat (Solanum lycopersicum).
4. Hasil penelitian mengenai potensi air rebusan kayu manis (Cinnamomum
sp.) dan edible coating pati tapioka terhadap zona hambat mikroba dan
organoleptik manisan tomat sebagai sumber belajar biologi dapat
dimanfaatkan sebagai sumber belajar biologi.