bab ii tinjauan pustaka 2.1. tinjauan tentang tomat 2.1.1...

31
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Tomat 2.1.1. Sistematika Tanaman Tomat Sistematika dari klasifikasi tanaman tomat menurut Pracaya (1998) adalah sebagai berikut Kingdom : Plantae Divisi : Spermathopyta Kelas : Dicotyledonae Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Lycopersicon Spesies : Lycopersicon esculentum Mill. sinonim Solanum lycopersicum L. Tanaman tomat yang banyak beredar di masnyarakat terdiri dari dua subgenus yang berbeda. Sub genus tersebut adalah Eulycpersicon yang mempunyai buah berwarna merah dan enak untuk dimakan dan Eripersicon mempunyai buah yang berwarna hijau (Pracaya, 1998). Berdasarkan dua karakteristik tadi buah tomat memiliki perbedaan dalam pemanfatannya di masyarakat. Buah tomat dari marga Eulycpersicon dimanfaatkan untuk olahan jus atau manisan karena rasanya yang lebih enak. Sebaliknya, Marga dari Eriopersicon lebih sering dimanfaatkan untuk sayur. 2.1.2 Morfologi Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) merupakan sayuran buah yang tergolong tanaman semusim berbentuk perdu dan termasuk dalam family

Upload: nguyenduong

Post on 02-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Tentang Tomat

2.1.1. Sistematika Tanaman Tomat

Sistematika dari klasifikasi tanaman tomat menurut Pracaya (1998) adalah

sebagai berikut

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermathopyta

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Lycopersicon

Spesies : Lycopersicon esculentum Mill. sinonim Solanum lycopersicum L.

Tanaman tomat yang banyak beredar di masnyarakat terdiri dari dua

subgenus yang berbeda. Sub genus tersebut adalah Eulycpersicon yang

mempunyai buah berwarna merah dan enak untuk dimakan dan Eripersicon

mempunyai buah yang berwarna hijau (Pracaya, 1998). Berdasarkan dua

karakteristik tadi buah tomat memiliki perbedaan dalam pemanfatannya di

masyarakat. Buah tomat dari marga Eulycpersicon dimanfaatkan untuk olahan jus

atau manisan karena rasanya yang lebih enak. Sebaliknya, Marga dari

Eriopersicon lebih sering dimanfaatkan untuk sayur.

2.1.2 Morfologi Tanaman Tomat

Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) merupakan sayuran buah yang

tergolong tanaman semusim berbentuk perdu dan termasuk dalam family

12

Solanaceae (Wasonowaty, 2011). Pengelompokan ini dapat didasarkan pada ciri

khusus tanaman tomat. Ciri tersebut dapat berupa morfologi. Menurut

Tjitrosoepomo (2009) morfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk dan

susunan tumbuhan.

Tomat merupakan tanaman Spermatophyta sebagaiman telah disebutkan

dalam system klasifikasinya. Spermatophyta merupakan salah satu dari tingkatan

tumbuhan yang lebih kompleks. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam

Tjitrosopeomo (2009) bahwa kormus merupakan tubuh tumbuh-tumbuhan yang

dengan nyata memperlihatkan diferensiasi dalam tiga bagaian pokok yaitu akar

(radix), batang (caulis), daun (folium). Selain itu tanaman Tomat juga memiliki

bunga dengan ciri berbentuk mirip terompet yang juga merupakan ciri khusu

tanaman dalam family solanacea Tjitrosoepomo (1990). Adapun rincian

morfologi tanaman tomat yaitu meliputi batang, daun, bunga, buah dan biji dalam

Pracaya (1998) dapat dilihat pada ulasan di bawah ini :

a. Batang

Batang dan daun berbulu kasar, mempunyai kelenjar yang dapat

mengeluarkan bau kuat yang khas. Percabangan batang bagian bawah bertipe

monopodial atau batang pokok masih kelohatan jelas dan lebih besar daripada

cabangnya. Adapun batang bagian tas percabangannya bertipe simpodial, atau

batang pokok sukar ditentukan. Kurang jelas, karena perkembangan cabang lebih

baik daripada batang.

Batang pokok tanaman tomat dapat tumbuh terus, tetapi ada juga yang

pertumbuhannya terhenti setelah rangakaian bunga tumbuh. Selanjutnya tumbuh

tunas di ketiak daun yang akan menjadi cabang dan pada perkembangan lebih

13

lanjut menjadi seperti batang pokok. Setelah beberapa ruas, pertumbuhan terhenti

dan dilanjutkan tunas dari ketiak daun lain. Percabangan demikian disebut

simpodial.

b. Daun

Daun terletak dalam spiral teratur dengan rumus daun 2/5, dan

merupakan daun mejemuk yang menyirip gasal (imparipinatus). Pada

tanaman tomat varietas grandifolium, panjang daun antara 15-30cm dan lebar

daun anatar 10-25 cm, dengan tangkai daun sepanjang 3-6 cm. Jumlah sirip

daun besar antara 7-9 yang letaknya berhadapan atau bergantian, sedikit

menggulung, dengan panjang antara 5-0 cm, serta bergerigi tidak teratur. Di

antara sirip besar ada sirip kecil. Selain itu, sirip besar ada yang berisrip lagi

atau bersirip ganda (bipinatus).

c. Bunga

Rangkaian bunga (bunga majemuk) terdiri antara 4 sampai 14 bunga.

Rangkaian bunga terletak di anatar buku, pada ruas atau di ujung batang atau

cabang. Bunga tomat merupakan bunga banci (hermaprodite) dengan garis

tengah ± 2 cm. Mahkota bunga berjumlah enam, bagian pangkalnya

membentuk tabung pendek sepanjang ± 1 cm, berwarna kuning. Benang sari

berjumlah enam, bertangkai pendek dengan kepala sepanjang ±5 mm, dan

berwarna kuning cerah. Benang sari mengelilingi putik bunga. Kelopak bunga

berjumlah enam dengan ujung kelopak runcing, dan panjang ±1 cm. letak

bunga menggantung.

14

d. Buah

Pada waktu masih muda buah berwarna hijau dan berbulu.

Selanjutnya bila sudah masak kulit buah menjadi mengkilap dan berwarna

merah atau kuning. Bentuk buah anatar lain bulat, bulat serta datar pada

pangkal atau ujungnya, bulat panjang, bulat halus, bulat beralur dan tidak

beralur.

Tomat besar varietas big boy dapat mencapai diameter 15 cm,

sedangkan varietas cherry yang kecil dapat mencapai 2 cm. Buah tomat

varietas pyrifome, misalnya tomat roma, bila dibelah melintang kelihatan

beruang dua. Buah tomat varietas lain biasanya beruang lebih dari dua.

e. Biji

Biji tomat berukuran kecil, dengan lebar 2 mm-4 mm dan panjang 3

mm – 5 mm. Biji berbentuk seperti ginjal, ringan, berbulu, dan berwarna

cokelat muda. Setiap gram berisi antara 200-500 biji tergantung pada

varietasnya. Embrio bengkok terletak di dalam endosperm. Biji yang telah

kering dan disimpan di dalam kaleng atau tempat yang kedap udara dan dingin,

daya kecambahnya dapat berthan selama 3-4 tahun. Biji berkecambah setelah

ditanam 5-10 hari, keeping terangkat ke atas (tipe epigeal), langsing

memanjang, dan berwarna hijau .

2.1.3 Macam-macam Varietas Tomat

Tomat merupakan tanaman yang memiliki varietas cukup banyak.

Berdasarkan pengelompokkan tomat menurut sub genusnya telah dijelaskan

sebelumnya yiatu jenis Eulycopersicon dan Eriopersicon. Tanaman tomat dengan

submarga Eulypersicon lebih banyak diperdagangkan dan dengan varietas yang

15

cukup banyak pula. Berikut ini merupakan beberapa varietas tomat dalam Pracaya

(1998):

1. Varietas vulgare Bailey

Pohon tumbuh tinggi (interminate), berdaun hijau, besar dan datar; buah

berukuran besar dan mempunyai beberapa ruang.

2. Varietas cerasifrome

Tomat cherry, berbuah kecil, bulat, beruang dau, garis tengah ± 2 cm berwarna

merah atau kuning. Mahkota bunga terbelah lima dengan bunga majemuk

panjang. Varietas ini banyak ditanam di daerah tropic maupun subtropics, bahkan

di Peru dan EKuador banyak tumbuh liar. Pertumbuhan pohon varietas ini

cenreung tinggi (interminate).

3. Varietas pyriforme

Varietas ini dikenal sebagai tomat peer, karena bentuk buahnya seperti buah peer

yang memanjang, dan beruang dua. Mahkota bunganya terbelah lima dan

tergolong bunga majemuk.

4. Varietas validum

Tanaman ini tumbuh tegak, pendek, daunnya menggulung (Keriting).

Pertumbuhan tanaman tergolong determinate, bentuknya menyerupai tanaman

kentang.

5. Varietas grandifolium

Daun tanaman berukuran lebar dan datar, dengan anak daun lebar seperti daun

kentang. Adapun daun semai mudanya masih utuh belum bersirip.

16

2.1.4 Kandungan Gizi Tomat

Tomat merupakan buah yang kaya akan zat gizi. Buah tomat mengandung

vitamin dan mineral yang berguna untuk kesehatan tubuh. Vitamin yang

terkandung dalam tomat yaitu vitamin A, vitamin B dan vitamin C

(Rismunaandar, 1984). Selain vitamin dan mineral tomat juga mengadung

senyawa antiokasidan yang dapat mengurangi radikal bebas yang adala di dalam

tubuh. Sebagaimana disebutkan dalam Chen dkk (2010) bahwa buah tomat

penting sebagai komponen makanan karena mengandung Lycopene yang

berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan penyakit kanker dan penyakit

degenerasi syaraf. Berdasarkan penelitian telah diketahui kandungan setiap 100

gram buah tomat yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.1..4 Kandungan Gizi Tomat

Kandungan Gizi Jumlah

Air 0,3 g

Protein 1 g

Lemak 0,1 g

Karbohidrat 4 g

Serat 0,6 g

Abu 1 g

Kalori 21 kal

Kapur 15 mg

Fosfor 30 mg

Besi 0,4 mg

Vitamin A 1.000 IU

Vitamin B1 (Thiamin 50 µg

Vitamin B2 (Riboflavin) 40 µg

Vitamin PP (Niacin) 0,7 mg

Vitamin C (Ascorbic acid) 25 mg

Sumber: Nicholls dan Purseglove (1951) dalam Pracaya (1998)

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tanaman tomat memiliki

kandungan gizi yang cukup kompleks. Kandungan vitamin A, B, dan C juga

cukup lengkap. Hal inilah yang menjadikan tomat merupakan buah yang memiliki

17

banyak potensi dari segi kesehatan untuk dijadikan menjadi berbagai macam

olahan.

2.1.5 Akibat kerusakan

Buah tomat merupakan komoditi buah-buahan yang mudah rusak.

Menurut Buntaran (2009) Buah tomat segar mempunyai daya tahan 3-4 hari.

Umur tomat yang hanya 3-4 hari tergolong pendek. Sehingga jika penanganan

pasca panen kurang sesuai maka tingkat kerusakan yang dihasilkan akan cukup

tinggi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Supriati dan Siregar (2015) dalam

Wisudawaty (2016) jumlah kehilangan dan kerusakan tomat cherry mencapai 20-

50% dari hasil panen. Kerusakan tersebut terutama disebabkan oleh mikroba yaitu

Cladoporium, Thichoderma, dan Alternaria tenuis. Penyebab kerusakan tomat

cherry adalah tingginya kadar air dan terdapatnya kerusakan fisik. Selain

disebabkan oleh mikroba kerusakan tomat juga dapat diakibatkan oleh organisme

lain yaitu serangga misalnya ulat buah, tomat, ngengat, dan kutu daun ataupun

karena nutrisi yang kurang atau berlebih (Pracaya, 1998).

Permasalah mengenai rusaknya tanaman tomat selama masa tanaman

hingga panen dapat dilakukan dengan mendiagnosis penyebabnya dan memilih

penangangan yang sesuai. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pada

penanganan pasca panen. Sebagaiaman dijelaskan dalam Buntaran (2009) bahwa

masalah lain yang sering timbul pada tomat yaitu tumbuhnya jamur diatas

permukaan tomat, untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan adanya

pengolahan tomat sehingga menjadi lebih awet.

18

2.2 Tinjauan Tentang Pengawetan Bahan Pangan

2.2.1 Definisi Pengawetan Bahan Pangan

Dalam kehidupan sehari-hari bahan pangan merupakan kebutuhan primer

disamping tempat tinggal (papan) dan pakaian (sandang). Karakteristik bahan

pangan sangat bervariasi. Ada bahan pangan yang dapat awet dalam jangka waktu

tertentu tetapi juga ada bahan pangan yang cepat rusak. Menurut Lubis (2009) Di

Indonesia, bahan pangan dari hasil pertanian (termasuk di dalamnya hasil

peternakan dan perikanan) banyak mengalami kerusakan sebelum dikonsumsi.

Data menunjukkan sekitar 35-40% sayuran dan buah-buahan mengalami

kerusakan sehingga tidak dapat digunakan. Ada berbagai faktor yang dapat

menyebabkan kerusakan pada bahan pangan. Faktor tersebut antara lain adalah:

1. Pertumbuhan mikroba yang menggunakan pangan sebagai substrat untuk

memproduksi toksin didalam pangan;

2. Katabolisme dan pelayuan (senescence) yaitu proses pemecahan dan pematangan

yang dikatalisis enzim indigenus

3. Reaksi kimia antar komponen pangan dan/atau bahan-bahan lainnya dalam

lingkungan penyimpanan;

4. Kerusakan fisik oleh faktor lingkungan (kondisi proses maupun penyimpanan)

dan

5. Kontaminasi serangga, parasit dan tikus (Rahmawati, 2012).

Faktor-faktor kerusakan bahan pangan tersebut dapat dikendalikan salah

satunya dengan cara pengawetan bahan pangan. Pengawetan bahan pangan

merupakan usaha untuk menghambat kecepatan kerusakan bahan pangan agar

daya simpannya menjadi lebih panjang(Lubis,2009). Pengawetan pangan

19

komersial memperbaiki persediaan bahan pangan dengan cara lain yang lebih

baik. Ini mendorong dan/ atau mengawali untuk memproduksi bahan pangan

dengan intensif bersamaan dengan mengurangi kehilangan sebab kerusakan dan

pembusukkan pada bahan pangan yang dipanen. Secara simultan hal ini akan

meningkatkan penyediaan bahan pangan dan akhirnya harga persatuan bahan

pangan menjadi lebih rendah (Desrosier,1988).

Ada berbagai macam bahan tambahan pangan yang dapat ditambahkan.

Ada dua macam bahan tambahan pangan berdasarkan asalnya yaitu bahan

tambahan pangan sintetis dan alami. Bahan pangan sintetis contohnya adalah

Natrium Benzoat. Menurut Rahayu dkk (2014) penambahan natrium benzoate

dapat mempepanjang daya simpan manisan tomat, dapat menekan jumlah mikroba

manisan tomat serta dapat mempertahankan kadar vitamin C dalam manisan

tomat. Penggunaan pengawet sintetis memang memiliki banyak keunggulan tetapi

jika dikonsumsi terus menerus dalam waktu yang lama dapat menimbulkan

dampak yang negative bagi tubuh. Bahan pengawet alami yang dapat digunakan

sebagai alternative adalah dengan penggunaan edible coating dan dikombinasikan

dengan antimikroba.

2.2.2 Macam-macam Teknik Pengawetan Bahan Pangan

Teknik pengawetan bahan pangan ada berbagai macam. Berikut adalah

beberapa cara untuk melakukan pengawetan bahan pangan Menurut Rahmawati

(2012):

1. Pendinginan

Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan bahan

yaitu -2° sampai +10°C. Cara pengawetan dengan suhu rendah lainya yaitu

20

pembekuan. Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku

yaitu pada suhu -2 sampai -24°C. Pembekuan cepat (quick freezing) di lakukan

pada suhu -24 sampai - 40 0 C. Pendinginan biasanya dapat mengawetkan bahan

pangan selama beberapa hari atau minggu tergantung pada macam bahan

panganya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk

beberapa bulan atau kadang beberapa tahun.

2. Pengeringan

pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian

air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung

melalui penggunaan energi panas. Biasanya, kandungan air bahan tersebut di

kurangi sampai batas sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di

dalamya. Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume

bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang

pengangkutan dan pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang sehingga

memudahkan transpor, dengan demikian di harapkan biaya produksi menjadi

lebih murah. Kecuali itu, banyak bahan-bahan yang hanya dapat di pakai apabila

telah di keringkan, misalnya tembakau, kopi, teh, dan biji-bijian. Di samping

keuntungan keuntunganya, pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu

karena sifat asal bahan yang di keringkan dapat berubah, misalnya bentuknya,

misalnya bentuknya, sifat-sifat fisik dan kimianya, penurunan mutu dan

sebagainya. Kerugian yang lainya juga disebabkan beberapa bahan kering perlu

pekerjaan tambahan sebelum di pakai, misalnya harus di basahkan kembali

(rehidratasi) sebelum di gunakan. Agar pengeringan dapat berlangsung, harus di

berikan energy panas pada bahan yang di keringkan, dan di perlukan aliran udara

21

untuk mengalirkan uap air yang terbentuk keluar dari daerah pengeringan.

Penyedotan uap air ini dapat juga di lakukan secara vakum. Pengeringan dapat

berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan

tersebut, dan uap air yang di ambil berasal dari semua permukaan bahan tersebut.

Factor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan

benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap di udara, dan waktu

pengeringan.

3. Pengemasan

Pengemasan merupakan bagian dari suatu pengolahan makanan yang berfungsi

untuk pengawetan makanan, mencegah kerusakan mekanis, perubahan kadar air.

Teknologi pengemasan perkembangan sangat pesat khususnya pengemas plstik

yang dengan drastic mendesak peranan kayu, karton, gelas dan metal sebagai

bahan pembungkus primer.

4. Pengalengan

Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang

dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing

lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian disterilkan secara komersial untuk

membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan pembusuk.

Pengalengan secara hermetis memungkinkan makanan dapat terhindar dan

kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita

rasa.

5. Penggunaan bahan kimia

Bahan pengawet dari bahan kimia berfungsi membantu mempertahankan bahan

makanan dari serangan makroba pembusuk dan memberikan tambahan rasa sedap,

22

manis, dan pewarna. Contoh beberapa jenis zat kimia : cuka, asam asetat,

fungisida, antioksidan, in-package desiccant, ethylene absorbent, wax emulsion

dan growth regulatory untuk melindungi buah dan sayuran dari ancaman

kerusakan pasca panen untuk memperpanjang kesegaran masa pemasaran.

6. Pemanasan

Pemansan umumnya digunakan untuk membuhun mikroba. Semakin tinggi suhu

maka mikroba yang ada akan cepat mati. Pada proses pengalengan, pemanasan di

tujukan untuk membunuh seluruh mikroba yang mungkin dapat menyebabkan

pembusukan makanan dalam kaleng tersebut, selama penanganan dan

penyimpanan. Pada proses pasteurisasi, pemanasan di tujukan untuk

memusnahkan sebagian besar mikroba pembusuk, sedangkan sebagian besar

mikroba yang tertinggal dan masih hidup terus di hambat pertumbuhanya dengan

penyimpanan pada suhu rendah atau dengan cara lain misalnya dengan bahan

pengawet. Proses pengawetan dapat di kelompokan menjadi 3 yaitu: pasteurisasi,

pemanasan pada 100° C dan pemanasan di atas 100° C.

7. Teknik fermentasi

fermentasi bukan hanya berfungsi sebagai pengawet sumber makanan, tetapi juga

berkhasiat bagi kesehatan. Salah satumya fermentasi dengan menggunakan bakteri

laktat pada bahan pangan akan menyebabkan nilai pH pangan turun di bawah 5.0

sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri fekal yaitu sejenis bakteri yang

jika dikonsumsi akan menyebabkanakan muntah-muntah, diare, atau muntaber.

Bakteri laktat (lactobacillus) merupakan kelompok mikroba dengan habitat dan

lingkungan hidup sangat luas, baik di perairan (air tawar ataupun laut), tanah,

23

lumpur, maupun batuan. tercatat delapan jenis bakteri laktat, antara lain

Lacobacillus acidophilus, L fermentum, L brevis,dll

8. Teknik Iradiasi

Iradiasi adalah proses aplikasi radiasi energi pada suatu sasaran, seperti pangan.

Menurut Maha (1985) dalam (Rahmawati, 2012) , iradiasi adalah suatu teknik

yang digunakan untuk pemakaian energi radiasi secara sengaja dan terarah.

Sedangkan menurut Winarno et al. (1980) dalam (Rahmawati, 2012), iradiasi

adalah teknik penggunaan energi untuk penyinaran bahan dengan menggunakan

sumber iradiasi buatan.

2.2.3 Teknik Pengawetan Pengolahan Menjadi Manisan

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa komoditi buah-buhan

dan sayur-sayuran merupakan komoditi yang mudah rusak sehingga perlu

penanganan yang sesuai supaya tidak terbuang sia-sia. Salah satu penanganan

yang dapat dilakukan adalah dengan mengolah bahan mentah buah dan sayur

setelah panen menjadi produk yang memiliki daya simpan yang lebih baik.

Produk tersebut dapat berupa manisan. Manisan merupakan salah satu jenis

makanan ringan yang biasanya menggunakan gula pasir sebagai bahan pemanis

untuk memperoleh tingkat kekerasan yang cukup stabil. Manisan menjadi salah

satu bentuk makanan olahan yang banyak disukai oleh masyarakat. Rasanya yang

manis bercampur dengan rasa khas buah sangat cocok untuk dinikmati diberbagai

kesempatan. Manisan buah yang umum di pasaran ada bermacam-macam bentuk

dan rasa, ada yang berbentuk basah maupun kering (Rahayu,2014).

Pemanfaatan tomat menjadi manisan memiliki keuntungan tersendiri bagi

produsen tomat. Sebagaimana disebutkan dalam Buntaran (2009) Pemanfaatan

24

tomat dibuat manisan di samping tomat lebih awet juga dapat memberikan nilai

tambah bagi produsen manisan itu sendiri, bagi konsumen tentu saja

mengkonsumsi manisan kering tomat akan lebih menarik karena lebih praktis

tinggal makan yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi kesehatan konsumen itu

sendiri.

Prinsip dari pengolahan tomat menjadi manisan adalah dengan menekan

faktor air yang dapat menjadi sumber tumbuh kembang mikroba sebagaimana

disebutkan dalam Jayaraman dan Gupta (2006) dalam Wisudawaty (2016) Salah

satu cara untuk mencegah kerusakan adalah pengolahan tomat cherry menjadi

produk dengan kadar air rendah seperti manisan, sehingga pertumbuhan

mikroorganisme dapat dicegah. Selain dengan pengurangan kadar air, pembuatan

manisan juga dilakukan untuk mengurangi kandungan oksigen dalam makanan

tersebut sehngga dapat menekan jumlah bakteri. Hal dapat ditemui pada Buntaran

(2009) larutan gula dapat mengurangi proses oksidasi sehingga akan mencegah

hubungan antara buah dengan oksigen luar dimana oksigen sangat dibutuhkan

untuk kebutuhan hidup mikroba yang merugikan, cara lain gula dapat

menghambat pertumbuhan plasmolisis dari sel-sel mikroba dengan cara

menurunkan kandungan air seminimal mungkin sehingga ketersediaan air untuk

aktivitas hidup mikroba tidak ada.

Olahan manisan yang dapat memperpanjang daya simpan tomat ternyata

masih dapat mengalami kerusakan. Sebagaimana yang disebutkan dalam Rahayu

(2014) bahwa manisan yang dihasilkan memiliki umur simpan relatif singkat dan

fluktuatif sekitar 2 minggu sampai 3 bulan. Kerusakan tersebut dapat diakibatkan

karena mikroba yang tetap dapat tumbuh dalam kondisi kadar air yang rendah

25

tetapi kadar gula yang cukup tinggi. Sebagaimana disebutkan dalam Daek (2008)

dalam Wisudawaty (2016) Walaupun sudah dibuat manisan, namun ada mikroba

yang mampu tumbuh pada aw yang rendah seperti khamir Zygosaccharomyces

rouxii yang tumbuh pada aw 0,62. Zygosaccharomyces adalah khamir yang

merugikan dalam bidang pangan dan sering tumbuh dan menyebabkan kerusakan

pada madu, sirup, molase, serta sering mengkontaminasi dalam proses fermentasi

pembuatan kecap dan anggur (Budiyanto, 2002). Berdasarkan permasalah ini

maka diperlukan teknik pengawetan untuk mempertahankan kualitas manisan

tomat, salah satunya adalah dengan pengaplkasian edible coating.

2.3 Tinjauan Tentang Edible coating

2.3.1 Deskripsi Umum tentang Edible coating

Edible packaging, yaitu suatu pengemas dapat dimakan yang dapat

mencegah difusi gas oksigen, karbondioksida, uap air dan komponen flavor,

sehingga mampu menciptakan kondisi atmosfir internal yang sesuai dengan

kebutuhan produk yang dikemas (Ridawaty, tanpa tahun). Edible coating adalah

suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk

melapisi makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film)

yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa serta untuk

meningkatkan penanganan suatu makanan (Harris, 2001). Golongan polisakarida

yang banyak digunakan sebagai bahan pembuatan edible coating adalah pati dan

turunannya, selulosa dan turunannya (metil selulosa, karboksil metil selulosa,

hidroksi propil metil selulosa), pektin ekstrak ganggang laut (alginat, karagenan,

agar), gum arab dan kitosan (Sitorus, 2014). Berdasarkan dua pernyataan di atas

dapat disimpulkan bahwa edible coating adalah suatu bahan pelapis dari

26

polisakarida kompleks untuk meningkatkan daya simpan bahan pangan dengan

jalan sebagai barrier bagi lingkungan sekitar yang dapat membusukkan makanan.

Bahan baku utama dalam pembuatan edible coating adalah pati. Pati

merupakan salah satu jenis polisakarida yang tersedia melimpah di alam, bersifat

mudah terurai (biodegradable), mudah diperoleh, dan murah. Sifat-sifat pati juga

sesuai untuk bahan edible coating/film karena dapat membentuk film yang cukup

kuat (Winarti, 2012). Edible coating dapat terbuat dari beberapa jenis bahan,

salah satunya adalah berbasis pati seperti tapioca (Wisudawaty, 2016). Namun,

edible film berbasis pati mempunyai kelemahan, yaitu resistensinya terhadap air

rendah dan sifat penghalang terhadap uap air juga rendah karena sifat hidrofilik

pati dapat memengaruhi stabilitas dan sifat mekanisnya (Garcia et al. 2011). Maka

dari itu dalam pembuatan edible coating perlu adanya zat tambahan yang dapat

memperpanjang daya simpan produk.

Salah satu bahan tambahan tersebut adalah adalah dengan adanya

Antimikroba. Kemasan antimikroba merupakan suatu kemasan yang dapat

menghentikan, menghambat, mengurangi atau memperlambat pertumbuhan

mikroorganisme patogen pada makanan dan bahan kemasan. Berbagai penelitian

menunjukkan bahwa edible coating/film dapat berfungsi sebagai pembawa

(carrier) aditif makanan, seperti bersifat sebagai agens antipencoklatan,

antimikroba, pewarna, pemberi flavor, nutrisi, dan bumbu

(Winarti, 2012). Kesadaram masyarakat akan pentingnya bahan tambahan pangan

alami termasuk pemgawet membuat penggunaan antimikroba berbahan alami

semakin diminati (Kechichian, 2016).

27

2.3.2 Komponen Penyusun Edible coating

Komponen utama penyusun edible coating adalah polisakarida yang salah

satunya didapat dari tapioca. Tapioka banyak digunakan sebagai bahan edibe

coating karena memiliki kandungan pati yang tinggi jika dibanding dengan bahan

lainnya. Berikut adalah perbandingan kandungan pati yang dimiliki oleh beberapa

bahan pangan:

Tabel 2..3.2 Tabel Perbandingan Pati Dari Berbagai Bahan Pangan

Bahan pangan Pati (%)

Biji gandum

Beras

Jagung

Biji sorghum

Kentang

Ubi jalar

Singkong

67

89

57

72

75

90

90

Sumber: Liu (2005) dalam Wahyu 2009

Pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang tersedia melimpah di

alam, bersifat mudah terurai (biodegradable), mudah diperoleh, dan murah. Sifat-

sifat pati juga sesuai untuk bahan edible coating/film karena dapat membentuk

film yang cukup kuat (Winarti,2012). Diharapkan dengan kadar pati yang tinggi

daripada bahan pangan yang lain, tapoioka dapat menghasilkan edible dengan

kualitas yang baik.

Komponen yang diperlukan untuk pembuatan edible coating tidak hanya

menggunakan pati saja melainkan ada beberapa bahan tambahannya yang berguna

untuk meningkatkan kemampuan edible coating dalam memperpanjang daya

simpan bahan pangan. Komponen tersebut sebagaimana disebutkan dalam Winati

dkk (2012) yaitu dalam pembuatan edible ada dua macam bahan yaitu bahan

utama dan bahan tambahan. Bahan utama yang digunakan adalah pati dengan

28

ditambahkan zat plasticizer dan emulsifier. Bahan plasticizer adalah bahan yang

digunakan untuk memperbaiki kualitas edible itu sendiri yaitu lemak dan

golongannya supaya mudah dicetak, meningkatkan ketahanan film,dan

meningkatkan ketahanan bagi air. Minyak juga ditambahkan dalam edible untuk

mempebaiki hidrofobisitas film agar film tidak terlalu lengket. Penambahan bahan

antimikroba ke dalam edible coating/ film akan meningkatkan masa simpan dan

stabilitas bahan pangan karena sifat penghalang dari lapisan film diperkuat oleh

komponen aktif antimikroba.

2.3.3 Teknik aplikasi Edible coating

Dalam pengaplikasian edible coating dapat menggunakan tiga car. Tiga

cara tersebut sebagaimana disebutkan Krochta et. al (1994) ) dalam Miskiyah

(2011), yaitu :

a. Pencelupan (Dipping) Biasanya teknik ini digunakan pada produk yang memiliki

permukaan kurang rata. Setelah pencelupan, kelebihan bahan coating dibiarkan

terbuang. Produk kemudian dibiarkan dingin hingga edible coating menempel.

Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran.

b. Penyemprotan (Spraying) Teknik ini menghasilkan produk dengan lapisan yang

lebih tipis atau seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan untuk

produk yang mempunyai dua sisi permukaan.

c. Pembungkusan (Casting) Teknik ini digunakan untuk membuat film yang berdiri

sendiri, terpisah dari produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan

untuk nonedibel coating.

d. Pengolesan (Brushing) Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles edible coating

pada produk. Pengolesan dilakukan dengan bantuan kuas.

29

2.3.4 Kelebihan dan Kekurangan Edible coating

Edible coating merupakan bahan pengawet makanan yang memiliki

berbagai macam keunggulan baik itu dari segi keamanan pangan maupun dari segi

lingkungan. Dari segi keamanan pangan edible coating dapat memperpanjang

daya simpan makanan dengan menjadi barrier atau pelindung bahan pangan

dengan lingkungannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Alsuhendra dkk

(2010) yaitu Edible coating didefinisikan sebagai lapisan tipis yang digunakan

untuk melapisi produk atau diletakkan di antara produk. Lapisan ini berfungsi

untuk melindungi produk dari kerusakan mekanis dengan mengurangi transmisi

uap air, aroma, dan lemak dari bahan pangan yang dikemas. Keunggulan lain

edible coating adalah lapisan yang dapat dimakan karena terdiri dari bahan-bahan

organik sebagaimana telah disebutkan di atas tadi yaitu dari pati, protein dan lipid.

Berdasarkan segi lingkungan edible coating juga merupakan alternatif untuk

mengurangi penggunaan kemasan yang nonbiodegradable (susah terurai)

sehingga lebih ramah lingkungan. Sebagaimana disebutkan dalam Kechichian dkk

(2010) bahwa kemungkinan penambahan bahan baku pada kemasan yang mudah

terurai berbasis bahan mentah seperti kanji singkong dapat mengurangi

pembuangan bahan kemasan yang berbasis polimer yang dapat mengakibatkan

kerusakan lingkungan.

Kelebihan yang dimiliki oleh kemasan edible ini pasti tidak lepas dari

kekurangan yang dimiliki. Kekurangan tersebut adalah film dari pati, misalnya,

mudah rusak/sobek karena resistensinya yang rendah terhadap air dan mempunyai

sifat penghalang yang rendah terhadap uap air karena sifat hidrofilik dari pati

(Garcia dkk, 2011). Sifat mekanik lapisan film dari pati juga kurang baik karena

30

mempunyai elastisitas yang rendah. Untuk meningkatkan karakteristiknya,

biasanya pati dicampur dengan biopolimer yang bersifat hidrofobik atau bahan

tahan air seperti kitosan (Winarti dkk, 2012).

2.4 Tinjauan Tentang Kayu Manis Sebagai Antimikroba

2.4.1 Senyawa Antimikroba

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kerusakan bahan pangan

dapat diakibatkan oleh aktivitas mikroorganisme seperti khamir. Keberadaan

mikroba ini dapat ditekan dengan penggunaan suatu senyawa yang disebut dengan

senyawa Antimikroba. Antimikroba atau anti bakteri adalah zat yang mengganggu

pertumbuhan dan metabolism melalui penghambatan pertumbuhan bakteri

(Pelczar, 2005). Zat antimikroba ini dapat dikatakan dapat menghambat

pertumbuhan mikroba jika menghasilkan zona hambat. Sebagaimana yang

terdapat dalam Waluyo (2010) bahwa bila desinfektan menghambat pertumbuhan

mikroba, maka akan terlihat zona (daerah) jerniih di sekeliling cakram kertas; atau

dinamakan juga zona hambat. Luas daerah terang ini menjadi ukuran kekuatan

desinfektan. Mekanisme zat antibakteri dalam membunuh atau menghambat

pertumbuhan bakteri bervariasi dan kompleks, umumnya dapat menyebabkan

perubahan pada komponen makromolekul bakteri. Perubahan yang terjadi yaitu

rusaknya membrane sel, membrane inaktif protein secara irreversible dan

menyebabkan kerusakan asam nukleat (Apriyani, 2015).

Terdapa beberapa factor yang dapat mempengaruhi keefektivan

antimikroba dalam mengahambat suatu pertumbuhan mikroorganisme. Salah

satunya adalah konsentrasi. Menurut Waluyo (2010) bahan antimicrobial dapat

31

bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah, namun dapat bersifat bakteriosidal

pada konsentrasi tinggi. Selain itu factor lain yang dapat mempengaruhi kerja

antimikroba sebagaimana disebutkan dalam Apriyani (2015) adalah pH, suhu

stabilitas senyawa tersebut, jumlah bakteri yang ada, lamanya inkubasi dan

aktivitas metabolism bakteri.

Terdapat dua metode untuk mengetahui daya antibakteri dari suatu zat.

Dua metode tersebut adal dengan cara dilusi dan difusi. Berikut adalah penjelasan

dari metode tersebut:

1. Metode Dilusi

Metode ini menggunakan antimikroba dengan konsetrasi yang berbeda-beda

dimasukkan pada media cair. Media tersebut langsung diinokulasikan dengan

bakteri dan diinkubasi. Tujuan percobaan ini adalah menentukan konsentrasi

terkecil suatu zat antibakteri dapat mengambat pertumbuhan atau membunuh

bakteri.

2. Metode Difusi

Metode yang paig sering digunanakan adalah metode difusi agar dengan

menggunakan cakram kertas, cakram kaca, pencetak lubang. Prinsip metode ini

adalah mengukur zona hambatan pertumbuhan bakteri yang terjadi akibat difusi

zat yang berisfat sebagai antibakteri dalam media padat melalui pencadangan.

Daerah hambatan pertumbuhan bakteri adalah daerah jernih dis ektasr cakram.

Luas daerah hambatan berbading lurus dengan aktivitas antibakterinya, semkain

kuat daya aktivitas antibakterinya maka semakin luas daerah hambatannya

(Apriyani, 2015).

32

Terdapat beberapa kategori dalam penetuan kekuatan zona hambat Berikut

adalah tabel kategori zona hambat bakteri menurut nilai standart NCCLS :

Tabel 2.4.1 Kategori Zona Hambat Bakteri Menurut NCCLS

Kategori Ukuran Zona Hambat

Sensitif ≥ 19 mm

Intermediet 15 – 18 mm

Resisten ≤ 14 mm

(Jorgensen dkk., 2000 dalam Murray, 2003).

2.4.2 Tinjauan Kayu Manis

Tanaman kayu manis termasuk keluarga Lauraceae, marga (genus)

Cinnamomum yang terdiri atas ratusan spesies tersebar di Asia dan Australia. Dua

spesies di antaranya, yaitu Cinnamomum zeylanicum dan Cinnamomum burmanii,

banyak dibudidayakan di Indonesia (Maria dkk, 2011). Berikut adalah klasifikasi

dari tanaman kayu manis

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Laurales

Suku : Lauraceae

Marga : Cinnamomum

Jenis : Cinnamomum burmani (Ness & T. Nees) Blume

(Badan POM RI,2008)

Kayu manis dikenal sebagai salah satu jenis rempah-rempah yang tertua di dunia.

Kulit batang, cabang dan dahan tanaman kayu manis dapat digunakan sebagai rempah-

rempah (Maria dkk, 2011). Tanaman kayu manis dapat tumbuh di Indonesia dengan

cukup baik. Menurut badan POM RI (2008) tanaman kayu manis memiliki Habitus

berupa pohon tahunan dengan tinggi 10-15 m. Batang berkayu, tegak, bercabang,

33

berwarna hijau kecoklatan. Daun tunggal, lanset, ujung dan pangkal runcing, tepi

rata, panjang 4-14 cm, lebar 1-6 cm, pertulangan melengkung, masih muda merah

pucat setelah tua hijau. Bunga majemuk, bentuk malai, tumbuh di ketiak daun,

berambut halus, tangkai panjang 4-12 mm, benang sari dengan kelenjar di tengah

tangkai sari, mahkota panjang 4-5 mm, kuning. Buah buni, panjang ±1 cm, ketika

masih muda hijau setelah tua hitam. Biji kecil-kecil, bulat telur, masih muda hijau

setelah tua hitam. Akar tunggang warna coklat.

Kayu manis memiliki berbagai macam manfaat. Manfaat tersebut

sebagaimana disebutka dalam Apriyani (2015) yiatu Kayu manis (Cinnamomum

burmani Ness & T. Nees) dapat digunakan diantarasnya sebagai peluruh kentut,

peluruh keringat, antirematik, penambah nafsu makan, penghilang rasa sakit, dan

memiliki aktivitas antioksidan.

2.4.3 Kandungan Aktif dalam Kayu Manis

Sebagai tanaman rempah-rempah yang digunakan di Indonesia, kayu

manis memiliki banyak senyawa aktif. Kandungan kimia kayu manis antara lain

minyak atsiri, safrole, sinamaldehida, tannin, dammar, kalsium oksalat, flavonoid,

triterpenoid, dan saponin (Utami, 2013) dalam Nisa (2014). Seluruh bagian dari

tanaman kayu manis memiliki kandungan minyak atsiri yang berbeda.

Sebagaimana dijelaskan dalam Maria,dkk (2011) bahwa Dari aspek fitokimia

kayu manis memiliki sifat yang unik, yaitu seluruh bagian tanaman mengandung

minyak atsiri dengan komposisi yang berbeda. Komponen utama minyak atsiri

dari kulit kayu Cinnamomum zeylanicum adalah sinamaldehida, sedang

komponen utama minyak atsiri dari daun dan dari kulit akar masing-masing

adalah eugenol dan kamfor.

34

Kayu manis diketahu sebagai salah satu tanaman yang mengandung

senyawa aktif sinamaldehid dan eugenol yang berkhasiat sebagai antibakteri (Inna

dkk,2010).Kandungan antibakteri dalam kayu manis ini dapat dimanfaatkan untuk

produk untuk menghambat mikroba dalam makanan. Semakin tingginya

kesadaran masyarakat akan bahaya bahan kimia buatan dalam mengawetkan

makanan membuat bahan antimikroba alami seperti kayu manis ini diminati.

Salah satu pemanfaatan kayu manis untuk memperpanjang daya simpan produk

olahan pangan adalah dengan menjadikkannya dengan bahan campuran edible.

Penambahan antimikroba pada edible coating bertujuan untuk menghambat

pertumbuhan dan aktivitas mikroba, sehingga dapat meningkatkan umur simpan

produk ( Wisudawaty dkk, 2016). Dalam penelitian ini metode yang digunakan

adalah dengan metode infundasi yaitu cara ekstraksi sederhana dengan pelarut air.

Rasio berat bahan dan air adalah 1:10. Berdasarkan penelitian yang dilakukan nisa

(2014) Aktivitas antibakteri ekstrak kulit kayu manis dengan cara ekstraksi

infundsi lebih mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus

dibandingkan dengan cara dekokasi.

2.5 Tinjauan Mikroba Perusak Pada Manisan

Makanan termasuk manisan tidak luput dari kerusakan. Ada berbagai

macam kerusakan yang dapat terjadi pada makanan. Salah satunya adalah karena

Mikroba. Menurut Crawford (2014) Makanan merupakan habitat bagi

mikroorganisme. Jamur dapat tumbuh pada pH 5 atau kurang yang mana tidak

memungkinkan bakteri untuk tumbuh. Selain itu jamur juga dapat tumbuh pada

kadar gula dan asam organik. Keberadaan jamur ini dapat merusak sifat sensoris

makanan yaitu dapat merubah rasa, aroma, warna, dan tekstur. Khamir yang dapat

35

tumbuh dalam kondisi tersebut adalah pada jenis Zygosaccahromyces rouxii.

Zygosaccahromyces rouxii memiliki kemampuan yang unik yaitu dapat resisten

terhadap asam lemah dan keberadaan garam dan gula dalam konsentrasi yang

tinggi. Isolate Zygosaccahromyces rouxii dapat tumbuh pada kadar gula 90% dan

dapat tumbuh di konsentrasi NaCl yang sangat tinggi (Leandro dkk, 2011).

2.6 Tinjauan Tentang Organoleptik

Pengujian organoleptik disebut penilaian indera atau penilaian

sensorikmerupakan suatu cara penilaian deengan memanfaatkan panca indera

manusia untuk mengamati tekstur, warna, bentuk, aroma, rasa suatu

produk makanan, minuman ataupun obat. Panelis merupakan anggota panel

atau orang yang terlibat dalam penilaian organoleptik dari berbagai kesan

subjektif produk yang disajikan. Panelis merupakan instumen atau alat untuk

menilai mutu dan analisa sifat–sifat sensorik suatu produk

(Ayustaningwarno, 2014).

Terdapat beberapa jenis panelis yang dapat melakukan uji

organoleptik. Panelis yang pertama adalah Panel Perseorangan. Penel

perseorangan adalah orang yang sangat ahli dengan kepekaan spesifik yang

sangat tinggi yang diperoleh karena bakat atau latihan-latihan yang sangat

intensif. Selanjutnya adalah Panel terbatas terdiri dari 3-5 orang yang

mempunyai kepekaan tinggi sehingga bias lebih di hindari. Panelis ini

mengenal dengan baik faktor-faktor dalam penilaian organoleptik dan

mengetahui cara pengolahan dan pengaruh bahan baku terhadap hasil akhir.

Dan paenlis yang selanjutnya adalah Panel Tidak Terlatih Panel tidak terlatih

36

terdiri dari 25 orang awam yang dapat dipilih berdasarkan jenis suku-suku

bangsa, tingkat sosial dan pendidikan. Panel tidak terlatih hanya

diperbolehkan menilai alat organoleptik yang sederhana seperti sifat kesukaan

(Anonymous, 2013).

2.7 Tinjauan Sumber Belajar

2.7.1 Pengembangan Sumber belajar

Sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan FKIP UMM tahun 2015 bahwa

agar proses dan hasil penelitian ini segera dimanfaatkan sebagai sumber belajar

maka perlu dipertimbangkan makna penelitian sebagai sumber belajar penelitian.

Sebagai sumber belajar dapat dipandang dari dua segi ialah proses dan produk.

Hasil Penelitian biologi murni dapat dijadikan materi untuk mengembangkan

produk teretntu. Oleh karena itu tentukan terlebih dahulu model yang akan

digunakna dalam pengembangan. Dengan demikian, pada dasarnya tahapan ini

menggunakan kaidah dan prinsip penelitian pengembangan, namun dapat dibatasi

hanya kepada tahapan menghasilkan produk awal/ hipotetik tanpa uji coba produk

secara luas (Tim Penyusun Panduan Penulisan Skripsi FKIP UMM, 2017).

Menurut Rosdiana (2007) Sumber belajar adalah segala sesuatu baik yang

ada diluar diri peserta didik berupa perangkat materi yang sengaja diciptakan

dengan maksud untuk memberikan kesempatan dan kemudahan kepada peserta

didik dalam memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman dan

keterampilan dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian maka

sumber belajar adalah seperangkat instrument yang membantu siswa dalam proses

belajar mengajar.

37

Sumber belajar dapat didapatkan dimana saja. Menurut Wardani (2010).

Sumber belajar itu dapat berupa media atau alat bantu belajar serta bahan baku

penunjang. Seperti contoh guru, buku pelajaran, majalah, koran, televisi, dan

internet. Terdapat berbagai macam jenis sumber belajar yang digunakan di

sekolah. Sumber belajar menurut Kurniawati (2013) dibagi menjadi dua yaitu

sumber belajar cetak dan non cetak. bahan belajar tersebut dalam bentuk tercetak

seperti buku teks, modul, Lembaran Kerja Siswa (LKS), bahan penyerta, dan

sebagainya. Dalam bentuk tidak tertulis berarti non cetak, bisa berupa kaset, atau

dalam bentuk program lainnya.

2.7.2 Sumber Belajar Handout

Terdapat syarat suatu penelitian digunakan sebagai sumber belajar. Syarat

tersebut adalah Selain itu perlu dipertimbangakan syarat pemanfaatannya sumber

belajar yang meliputi kejelasan potensinya, kejelasan sasarannya, kesesuaian

dengan tujuan belajara, kejelsan informasi yang diungkapkan, kejelasan pedoman

eksplorasi dan kejelasan perolehan yang diharapkan (Tim Penyusun Panduan

Penulisan Skripsi FKIP UMM, 2017). Salah satu alternatife sumber belajara yang

memenuhi syarat tersebut adalah Handout. Menurut Hermawan dkk (2012)

Handout diartikan sebagai buku pegangan siswa yang berisi tentang suatu materi

pembelajaran secara lengkap. Handout menyajikan keseluruhan materi yang harus

dipelajari. Materi yang disajikan dalam handout memunculkan komponen yang

diperlukan dalam pembelajaran yang meliputi; tujuan pembelajaran/ kompetensi,

prasyarat yaitu materi-materi pembelajaran yang mendukung atau perlu dipelajari

terlebih dahulu sebelumnya, prosedur pembelajaran, materi pembelajaran yang

tersusun sistematis, latihan/ tugas-tugas dan soal-soal evaluasi.

38

Handout merupakan salah satu bahan ajar yang cukup representative untuk

dikembangkan. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam

pengembangan handout sebagai bahan ajar. Berikut adalah Cara pengemabngan

Handout menurut Kurniawati (2013): dapat mencapai tujuan , sesuai dengan

karakteristik dan kebutuhan peserta maupun lembaga, memberikan kemudahan

kepada peserta dalam memahami isi/uraian materi, kebenaran isi/konsep, bahan

belajar yang dikembangkan harus sesuai dengan konsep materi,

ketuntasan/keutuhan dalam belajar, bahan belajar yang dikembangkan haruslah

utuh untuk mencapai kompetensi yang dipersyaratkan, kesederhanaan dalam

penyajian. sajian materi dalam bahan belajar hendaknya dikemas dengan bahasan

yang sederhana dan tidak komplek sehingga materi mudah dipahami.,

keseimbangan dalam halaman. cakupan kompetensi yang banyak hendaknya

dibahas dalam banyak halaman, ketegasan dalam penyajian pesan. pesan yang

disampaikan harus jelas dan tidak menimbulkan penafsiran ganda, keindahan

tampilan. agar pembaca tidak bosan membaca, tampilan bahan belajar dikemas

semenarik mungkin, komunikatif dalam penyampaian pesan. bahasa yang

digunakan dalam mengulas.

2.8 Penelitian terdahulu yang relevan

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang mendasari penelitian yang

dilakukan. Penelitian tersebut antara lain adalah penelitian yang dilakukan

Buntaran dkk (2010) mengenai pengaruh konsentrasi manisan gula terhadap

kualitas buah tomat. Penelitian ini menghasilkan formulasi pembuatan manisan

tomat dengan tingkat kesukaan yang paling baik. Penelitian lain yang relevan

adalah yang dilakukan Rahayu dkk (2014) mengenai umur simpan manisan tomat

39

dengan penambahan bahan pengawet natrium benzoat. Dalam penelitian ini

dikemukakan bahwa tomat memiliki umur simpan yang fluktuatif sehingga perlu

adanya penambahan bahan pengawet dalam manisan yaitu natrium benzoat. Hasil

penelitian ini didapat bahwa natrium benzoate dapat memperpanjang daya sipman

manisan tomat dan dapat meningkatkan kandungan vitamin C yang terkandung

dalam manisan tomat. Dewasa ini kesadaran masyarakat untuk mengurangi

tambahan bahan kimia dalam makanan semakin meningkat. Maka dari itu perlu

adanya bahan yang alami untuk dapat mengawetkan makanan sehingga daya

simpannya menjadi lebih lama. Penelitian yang dilakukan oleh Wisudawaty

(2016) menegani pengaruh pemberian edible coating dengan tambahan bahan

komposit minyak kayu manis pada manisan tomat. Dari hasil penelitian yang

dilakukan didapat bahwa pemberian edible coating dengan tambahan minyak

kayu manis dapat menekan pertumbuhan mikroba pada manisan tomat.

Penelitian mengenai aktivitas antibakteri kayu manis sudah sangat banyak.

Penelitian tersebut antara lain adalah yang dilakukan oleh Inggrid (2011) mengani

kandungan aktif sinamaldehid yang dimiliki oleh tanaman kayu manis yang

berfungsi sebagai antibakteri. Penelitian oleh Nisa (2014) bahwa ekstraksi

infundsi kayu manis lebih mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan

S. aureus. Penelitian menganai kayu manis sebagai antimikroba dalam kemasan

bahan pangan juga sudah dilakukan oleh Kechichian (2010) bahwa dengan

penambahan air rebusan kayu manis dapat membuat kualitas edible film yang

baik. Penelitian ini memiliki kekurangan antara lain adalah belum diujikannya

antimikroba air rebusan kayu manis yang ditambahkan pada edible yang

dihasilkan.

40

2.9 Kerangka Konseptual

Penelitian secara garis besar dapat dilihat pada kerangka konseptual di bawah ini

Ganbar 2.9 Kerangka Konseptual

Kayu manis

Manisan

Tomat

Komoditi yang mudah rusak, daya simpan 3-4

hari, tingkat kerusakan pasca panen 20-50%

karena kandungan air tinggi sehingga mudah

terserang mikroba

Pengolahan

Iradiasi

Fermentasi

Pendinginan Bahan kimia

Pengalengan

Pengemasan

Pengeringa

n Pemanasa

nn

Alami Buatan

Gula

Edible

coating Daya simpan

fluktuatif

Komposit Bahan utama

Emusifier Polisakarida

Plasticize

r

Antimikrob

a

Konsentrasi

0%;5%;10%;15%;20

% Kualitas

edible

coating

Zona

hambat Uji organoleptik

Hasil

penelitian

Sumber Belajar

Biologi

41

2.10 Hipotesis

Hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat perbedaan potensi edible coating pati tapioka antimikroba air

rebusan kayu manis (Cinnamomum sp.) dengan berbagai konsentrasi

terhadap zona hambat mikroba dan organoleptik manisan tomat (Solanum

lycopersicum).

2. Pada pemberian berbagai konsentrasi air rebusan kayu manis

(Cinnamomum sp.), konsentrasi air rebusan yang paling tinggi yaitu 20%

yang memiliki pengaruh terbaik dalam zona hambat pertumbuhan

mikroba.

3. Ada pengaruh pemberian edible coating pati tapioka antimikroba air

rebusan kayu manis (Cinnamomum sp.) terhadap tingkat organoleptik

manisan tomat (Solanum lycopersicum).

4. Hasil penelitian mengenai potensi air rebusan kayu manis (Cinnamomum

sp.) dan edible coating pati tapioka terhadap zona hambat mikroba dan

organoleptik manisan tomat sebagai sumber belajar biologi dapat

dimanfaatkan sebagai sumber belajar biologi.