bab ii tinjauan pustaka a. 1. -...
TRANSCRIPT
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Sosiologi Agama
Sosiologi Agama ialah studi ilmu yang mempelajari suatu ilmu budaya
empiris, profan dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih
dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok
keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan (Hendropuspito, 1990)
2. Pengertian Agama
Menurut Berger, Agama adalah sebagai realitas sosial bahwa keberadaan
langit dan isinya (termasuk Tuhan atau apapun sebutannya di dalamnya) adalah
proyeksi manusiawi maka hal ini akan sangat merepotkan bagi suatu pemikiran dan
penghayatan teologis dari para teolog bahkan kaum awam dalam memahami dan
memberi makna bagi kehidupannya. Agama merupakan suatu konstruksi sosial
timbul permasalahan mengenai kebenaran religius. Agama secara historis
merupakan instrumentalitas legitimasi paling tersebar dan efektif. Semua legitimasi
mempertahankan realitas yang didefinisikan secara sosial. Agama melegitimasikan
sedemikian efektifnya karena agama menghubungkan konstruksi-konstruksi rawan
dari masyarakat-masyarakat empiris dengan realitas purna (Berger, 1991 : 40)
Agama pada umumnya memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sulit
dijawab dan di analisis menggunakan pengetahuan ilmiah. Pertanyaan tersebut
antara lain : mengapa manusia hidup di dunia, apa saja tujuan hidup manusia,
mengapa manusia hidup dan mati,dll. Agama terdiri atas seperangkat kepercayaan,
simbol, dan doktrin.
19
Durkheim mengatakan, konsentrasi utama agama terletak pada dua
kategori:
1. Kategori yang sakral : memiliki pengaruh luas, menentukan
kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Seperti
cadar akan menjadi sakral ketika dalam suatu komunitas dimaknai
sebagai identitas muslimah.
2. Kategori profan : tidak memiliki pengaruh yang begitu besar dan hanya
merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. Cadar sebagai
penutup saja seperti perintah suami, atau cadar digunakan sebagai media
seperti masker.
Durkheim mengingatkan bahwa dikotomi tentang ”yang sakral” dan ”yang
profan” hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah konsep pembagian moral, bahwa
yang sakral sebagai ”kebaikan” dan yang profan sebagai ”keburukan”. Menurut
Durkheim, kebaikan dan keburukan samasama ada dalam ”yang sakral” ataupun
”yang profan”. Hanya saja yang sakral tidak dapat berubah menjadi profan dan
begitupula sebaliknya yang profan tidak dapat menjadi yang sakral. Dari definisi
ini, konsentrasi utama agama terletak pada hal-hal yang sakral (Muzir, 2003).
Beberapa ilmuwan seperti Light, Killer, dan Calhoun (1989),
memusatkan perhatian pada unsur-unsur dasar suatu agama, yaitu sebagai berikut:
a. Kepercayaan
Setiap agama pasti memiliki kepecayaan seperti percaya kepada Tuhan,
nabi-nabi, dan kitab. Seperti halnya wanita bercadar memakai cadar karena adanya
kepercayaan bahwa cadar adalah perintah agama, baik itu diperkuat dengan adanya
20
hadits yang memperkuat hukum memakai cadar selain itu pemakaian cadar sudah
ada sejak jaman rasulullah.
b. Simbol
Setiap agama mengenal berbagai lambang atau simbol, baik itu berupa
pakaian, ucapan, tulisan maupun tindakan. Cadar disini adalah simbol keagamaan,
dimana pemakaian cadar digunakan sebagai identitas wanita muslimah.
c. Doktrin
Kata doktrin berasal dari bahasa Inggris doctrine yang berarti ajaran.
Ajaran yang dimaksud adalah sebuah teroritis yang bersifat tidak praktis. Karena ia
dalam teori yang dimaksudkan tidak berdasarkan ilmu keilmiahan
(Rudyanto,2016).
Wanita bercadar memperoleh ajaran berdasarkan syariat islam dari dari
orang tua berupa memakai pakai yang syar’i dan menutup aurat yang dilengkapi
dengan penggunaan cadar. Dimana, aturan agama Islam dari orangtua harus
diterima secara “mentah-mentah”oleh si anak, dan anak harus melakukannya.
sehingga penerapan aturan yang dilakukan oleh orangtua si anak lebih kepada
doktrin.
3. Konstruksi Sosial
Istilah konstruksi sosial atas realitas (sosial construction of reality)
didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu
menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama
secara subyektif (Berger, 1990 :1)
Konstruksi sosial merupakan suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh
setiap individu terhadap lingkungan dan aspek diluar dirinya yang terdiri dari proses
21
eksternalisasi, internalisasi dan obyektivasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri
dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia, obyektivasi adalah interaksi
sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses
institusionalisasi, dan internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri ditengah
lembaga-lembaga sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya.
Pemikiran yang seperti ini juga nampak dalam bukunya bersama Thomas
Luckmann “The Social Construction of Reality: a Treatise in the Sociology of
Knowledge”, dengan mengatakan bahwa sesungguhnya “man constructs his own
nature, or more simply, that man produces himself”.( Berger, 1990 :49) Mengapa
manusia perlu melakukan proyeksi semacam ini? Ini bersumber dari kesadaran
manusia akan eksistensinya yang berhingga atau terbatas (the finitude of individual
existence) dan karenanya sebisa mungkin memaknai kehidupan bahkan
kematiannya. Maka agama dalam konteks ini berperan sebagai universum simbolik,
yaitu berfungsi “menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang benar,” dan
menolong setiap orang untuk “kembali pada realitas” hidup sehari-hari.
Hal ini dilakukan untuk menciptakan interpretasi kehidupan dan pikiran
manusia yang bermakna ke dalam kehidupan yang bisa dipahami oleh orang lain.
Konstruksi identitas disini mengacu pada Berger dan Luckmann, bahwa identitas
dengan sendirinya, merupakan satu unsur kunci dari kenyataan subjektif dan
sebagaimana sebuah kenyataan subjektif, berhubungan secara dialektis dengan
masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh
wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-
hubungan sosial. Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan
mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya, identitas-
22
identitas yang dihasilkan oleh interaksi antara organisme, kesadaran individu, dan
struktur sosial bereaksi terhadap struktur sosial yang sudah diberikan,
memeliharanya, memodifikasinya, atau malahan membentuknya kembali.
4. Asal-Usul Cadar Wanita
Jika menelusuri asal-usul wanita memakai cadar, tentunya agak kesulitan
mendapatkan beberapa referensi valid yang mengungkap masa atau masyarakat
pertama kali yang memakai cadar. Namun penulis berusaha untuk memberi
pandangan dan mengarahkan kebeberapa tempat dan masa munculnya cadar di
kalangan wanita.
Cadar adalah pakaian yang digunakan untuk menutupi wajah, minimal
untuk menutupi hidung dan mulut. Umat Islam di luar daerah Arab mengenal cadar
(niqab) dari salah satu penafsiran ayat al-Qur’an di surat An-Nur dan surat Al-
Ahzab yang diuraikan oleh sebagian sahabat Nabi, sehingga pembahasan cadar
wanita dalam Islam masuk dalam salah satu pembahasan disiplin ilmu Islam,
termasuk fikih dan sosial.
Akhir-akhir ini fenomena cadar semakin sering dibicarakan di berbagai
pertemuan, media dan masyarakat, khususnya di daerah Arab. Asal-usul cadar
semakin ditujukan ke bangsa Arab sebagai budaya mereka sehingga Umat Islam
menganggap cadar berasal dari budaya masyarakat Arab.
Orang-orang Arab meniru orang Persia yang mengikuti agama Zardasyt dan
yang menilai wanita sebagai makhluk tidak suci, karena itu mereka diharuskan
menutup mulut dan hidungnya dengan sesuatu agar nafas mereka tidak mengotori
api suci yang merupakan sesembahan agama Persia lama. Orang-orang Arab
meniru juga masyarakat Byzantium (Romawi) yang memingit wanita di dalam
23
rumah, ini bersumber dari masyarakat Yunani kuno yang ketika itu membagi
rumah-rumah mereka menjadi dua bagian, masing-masing berdiri sendiri, satu
untuk pria dan satu lainnya untuk wanita. Di dalam masyarakat Arab, tradisi ini
menjadi sangat kukuh pada saat pemerintahan Dinasti Umawiyah, tepatnya pada
masa pemerintahan al-Walid II (125 H/747 M), di mana penguasa ini menetapkan
adanya bagian khusus buat wanita di rumah-rumah (Hasan, 2000).
Sementara pada masa Jahiliyah dan awal masa Islam, banyak laki-laki yang
bernafsu tinggi dengan wanita. sehingga untuk menjaga diri dari pandangan laki-
laki hidung belang, banyak perempuan menggunakan penutup wajah dan hanya
matanya saja yang terlihat, memakai kerudung besar dan memakai pakaian
cenderung berwarna gelap yang besar dan lebar.
5. Sisi Positif Dan Negatif Wanita Bercadar
Tubuh wanita adalah aurat jadi wanita yang menyatakan dirinya sebagai
seorang muslimah mau tidak mau harus bertakwa dan menjalankan ajaran
agamanya dengan baik dan benar yang salah satunya adalah dengan memakai
kerudung apabila hendak pergi keluar rumah sehingga mereka mudah dikenali dan
dianggap wanita baik-baik sehingga dapat mencegah godaan dari para pria hidung
belang. Adapun sisi positif dan negatif dari penggunaan cadar antara lain :
Kewajiban atas dasar bercadar mereka peroleh dari dalil-dalil atau nash-
nash. Dimana Mereka mengutip pendapat para mufassirin terhadap ayat ini bahwa
Allah mewajibkan para wanita untuk menjulurkan jilbabnya keseluruh tubuh
mereka termasuk kepala, muka dan semuanya, kecuali satu mata untuk melihat.
Menurut mereka yang dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah
24
wajah, karena wajah adalah pusat dari kecantikan. Adapun yang dimaksud dengan
yang biasa nampak darinya adalah bukan wajah akan tetapi baju. (Adawiyati, 2015)
Sisi positif Penggunaan Cadar Bagi Muslimah Bercadar diantaranya:
1. Menaati Perintah Agama
2. Terhindari dari godaan untuk centil dan tidak sopan
3. Laki laki akan merasa segan mengganggu/mengoda
4. Menutupi Aurat
5. Terhindar dari fitnah
Cadar tidak hanya menjaga kehormatan wanita tapi juga sekaligus
merendahkan martabat mereka. Kebanyakan wanita muslimah yang mengenakan
cadar khususnya di arab saudi adalah dalam keadaan terpaksa. Karena mereka
disana mengira memakai cadar adalah kewajiban dari syari'at islam dan telah secara
terang-terangan menyatakan berdosa/haram bagi mereka muslimah yang hanya
berkerudung dengan menampakkan wajah pada saat bepergian.
Apabila mereka yang mewajibkan cadar berkeyakinan tubuh wanita
keseluruhannya adalah aurat yang menghasilkan syahwat bagi lelaki yang
memandangnya, itu artinya sama saja dengan mereka berkeyakinan bahwasannya
wanita diciptakan hanyalah sebagai alat pemuas nafsu belaka. Lalu apa bedanya
mereka dengan perilaku orang-orang pada jaman jahiliyah dahulu kala yang sangat
merendahkan wanita. (Akbar. 2010)
Pemakaian cadar terhadap muslimah pun mempunyai sisi negatif yang
diantaranya sebagai berikut:
25
a. Pemakaian dengan cadar yaitu menutupi seluruh tubuh muslimah tanpa
terkecuali dapat mengakibatkan susah dikenali. Sebagai contoh, apabila
para muslimah ke sekolah diwajibkan memakai seragam dan bercadar,
pastinya mereka akan sangat kesulitan untuk mengenali teman sesama
muslimahnya.
b. Pemakaian dengan cadar yaitu menutupi seluruh tubuh muslimah hanya
terlihat matanya saja dapat membuat seseorang susah dalam berkomunikasi
dengan masyarakat selain itu, mengakibatkan susahnya mendapatkan jodoh.
Terkadang jarang ada yang mau dengan wanita muslimah yang mana
wajahnya saja tidak diketahui apakah itu cantik atau tidaknya, selera/cocok
atau tidaknya. Sekalipun muslimah yang memakai burqo mendapatkan
jodoh, bisa jadi mereka dijodohkan oleh kedua orang tuanya.
c. Menutup wajah dengan kain cadar yang mana dapat menghalangi hidung
untuk menghirup oksigen yang cukup dapat mengakibatkan kinerja kerja
otak tidak berjalan secara efektif dan maksimal. Sehingga merekapun yang
memakainya akan menjadi telat dalam berfikiran kritis, kurang maksimal
dalam menangkap pelajaran, dsb.
d. Apalagi tata cara bercadar yang benar adalah hanya dengan memperlihatkah
satu bola mata yang sebelah kirinya saja. Hal tersebut dapat mempengaruhi
kesehatan pada mata. Karena mengenakan cadar dengan hanya
memperlihatkan salah satu bola matanya dan menyembunyikan bola mata
lainnya, hal ini akan mengakibatkan penyakit pada mata yang
disembunyikan terlalu lama yang akan menyebabkan mata menjadi sakit
dan minus.
26
e. Menutup wajah dengan kain cadar, apabila mempunyai suatu penyakit
misalnya saja influenza/batuk, akan sukar sekali sembuhnya. Karena kain
yang dipakai untuk menutupi wajah pada muslimah menjadikannya sebagai
wabah penyakit, karena mengandung baksil yang akan dihirupnya berulang
kali.
6. Macam-Macam Model Cadar
Para ulama tidak ada yang mengatakan haram akan cadar. Namun ada
tingkatan tingkatannya yang mengatakan itu sunnah dan ada juga yang mengatakan
termasuk wajib dikarenakan wajah termasuk salah satu fitnah bagi kaum lelaki.
Untukmu wahai muslimah yang sudah istiqamah menggunakan cadar, yakinlah
akan pahala yang Allah berikan bagi orang-orang yang bertakwa, menundukkan
pandangannya, dan menjaga dirinya dari pintu fitnah, dan membentengi dirinya dari
godaan syetan akan hawa nafsu. Cadar adalah salah satu kain yang berfungsi
menutup wajah dan yg terlihat hanyalah mata. Cadar juga kainnya agak panjang
sampai dada, berbagai jenis model cadar pun kini hadir dan bisa di lihat di koleksi
produk jubah akhwat. Berikut beberapa contoh Cadar atau biasa juga di sebut jenis-
jenis niqab:
1. Model Cadar Mesir
Gambar 2.1 cadar saudi
27
Salah satu bentuk cadar mesir yaitu menggunakan purdah dan salah satu
niqab yang kainnya halus. Purdahnya terdiri dari dua lapis yang berada di bagian
belakang kepala. Panjang purdahnya sekitar 75cm atau sepinggang. Adapun
panjang cadarnya itu sekitar 50cm. Untuk di bagian wajah ,cadar ini terlihat rapi
saat di pakai, karena bentuk di bagian mata tidak terganggu atau terhalangi dengan
kain cadarnya. Cadar mesir ini sangat simpel di pakai , memiliki tali bagian dalam
cadar. Tali ini yang akan di ikat ke jilbab agar cadarnya bisa terpakai.
2. Model Cadar Poni
Cadar ini terbilang unik. Karena bentuknya memiliki kain berbentuk poni
untuk menutup jidad . Sehingga terlihat rapi,dan mata nyaman ketika memandang.
Cadar poni ini juga memiliki purdah dua lapis.
Gambar 2.2 cadar poni
3. Model Cadar Bandana
Cadar bandana merupakan salah satu jenis cadar yang sangat diminati oleh
kaum muslimah terutama akhwat yang masih muda. Cadar bandaan banayak
28
diminati karena model nya yang cantik dan gampang digunakan, dan tidak menekan
hidung saat di ikat kuat. Selain karena gampang digunakan cadar bandana juga
tahan terhadap tiupan angin yang kencang dan tidak bisa terbuka karena juga
memiliki tali pengikat yang lebar. Cadar bandana cocoknya di padukan dengan
jilbab non pet.
Gambar 2.3 cadar bandana
4. Model Cadar Ritz
Jilbab ini menyatu dengan cadar. Hanya mengunakan bukaan resleting pada
bagian samping cadar menjadikan jilbab cadar rit ini mudah dan praktis digunakan.
Jilbabnya juga panjang dan lebar sampai selutut, sehingga aman dipakai keluar
rumah.
29
Gambar 2.4 cadar model ritz
5. Model Cadar Safar
Jilbab ini dilengkapi dengan purdah pada bagian belakang terdiri dari dua
lapis dengan panjang purdah 75cm berbahan sifon silky. Jilbab cadar safar hampir
sama dengan jilbab cadar rit hanya yang membedakan pada bagian purdah saja.
30
Gambar 2.5 cadar model safar
6. Cadar Tali
Cadar yang bagian belakangnya di ikat dengan tali. Biasanya
dikombinasikan menggunakan kerudung yang ada petnya atau kerudung segiempat.
Banyak muslimah bercadar yang memilih cadar model ini karena cenderung simpel
pemakaiannya. Selain itu banyak juga yang menjual cadar dengan model tali karena
bisa dikombinasikan dengan hijab model apapun.
Gambar 2.6 cadar model tali
7. Model Cadar Temboro
31
Cadar ini berbeda pemakaiannya dengan cadar pada umunya, cadar ini
modelnya seperti masker dimana pengguna memasukkan cadar di dalam jilbab.
Gambar 2.7 cadar model temboro
8. Model Cadar Butterfly
Model cadar ini dinamakan butterfly karena modelnya yang rumbai seperti
model kupu-kupu. Banyak para jilbabers yang memakai model cadar ini.
Gambar 2.8 cadar butterfly
32
7. Pandangan Organisasi Masyarakat
Banyak Organisasi Masyarakat yang mengampanyekan pemakaian cadar
untuk pengikutnya, ada yang berpendapat bahwa betapa Islam menjaga wanita
dengan menutupi seluruh tubuh mereka. Sebagian ulama mengatakan cadar
tidaklah wajib, karena itu hanyalah hasil konstruksi dari budaya arab
(Mahmada,2017) Dari kontroversi tersebut saya mencoba mengumpulkan beberapa
fatwa yang diberikan ulama mengenai hukum cadar, antara lain :
1. M. Quraish Shihab berpendapat Dalam bukunnya yang berjudul jilbab, ia
memandang bahwa perintah jilbab itu boleh dan bukan suatu keharusan, serta lebih
merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama.
2. Menurut ulama Syekh Nasruddin al-Banni, “ siapa yang tidak memakai cadar
adalah tidak berdosa. Bahkan, beliau pun tak berani mengatakan bahwa cadar
adalah wajib. "Cadar tidaklah wajib bagi wanita, walaupun wanita itu memiliki
wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah disukai (sunnah)” ujar al-Banni dalam
kumpulan fatwanya.
3. Menurut Ibnu Qaasim Al Abadi dalam kitabnya Fathul Qaarib salah satu ulama
nahdlatul ulama yang menganut madzhab syafi’i berpendapat bahwa “Wajib bagi
wanita menutup seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan, walaupun
penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena
keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung
menimbulkan fitnah.” (dalam Mukhtamar NU yang ke VIII pada 12 Muharram
1352 H / 7 Mei 1933).
4. Ibnu Juwaiz Mandad dalam Tafsir Al Qurthubi berkata: “Jika seorang wanita itu
cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah,
33
hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh
baginya menampakkan wajahnya”(yulian, 2017).
Cadar sudah menjadi kontroversi terutama mengenai hukumnya, ada
sebagian golongan yang mengatakan bahwa pemakaian cadar adalah wajib, ada
yang mengatakan sunnah atau bahkan ada juga golongan yang mengatakan tidak
wajib. Adapun golongan tersebut adalah golongan fundamentalis, garis tengah dan
golongan feminisme/radikal. Berikut dijelaskan pandangan organisasi masyarakat
secara detail dalam tabel, yakni :
No Golongan Golongan pertama
(fundamentalis)
Golongan ketiga
(garis tengah)
Golongan kedua
(feminisme/liberal)
1 Hukum Memaksa (wajib) Fleksibel (sunah) Tidak wajib
2 Ulama Muhammad bin Qaasim
al-Ghazzi, Ibnu Qaasim
Al Abadi
Syech nasruddin
albanni, zakir naik
Quraish shihab
3 Sumber Al-qur’an dan hadits Al-qur’an, hadits,
ijma’,qiyas
Al-qur’an dan hadits
4 Regulasi Nilai fundamental islam Nilai NKRI (Islam
Nusantara)
Hak Asasi Manusia
(HAM)
34
5 Pandangan
ulama
Cadar secara substansial
berfungsi untuk
menutupi organ tubuh
yang dipandang tidak
boleh untuk
diperlihatkan kepada
orang lain yang bukan
mahramnya.
cadar merupakan
bentuk perintah
Allah dalam
prakteknya ketika
cadar masuk di
indonesia
penggunaan cadar
masih perlu
beradaptasi dan
toleransi serta lues
dalam
pemakaiannya.
Cadar hanyalah
budaya lokal Arab
Tabel 1 : pandangan organisasi masyarakat
B. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu berkaitan dengan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
No Judul penelitian Hasil Relevansi
1. Muhammad
Junaedi (2013),
Konstruksi
Sosial
Masyarakat
Terhadap
Dalam penelitian ini,
tersingkap bahwa
konstruksi sosial
masyarakat terhadap
realitas perbedaan
faham keagamaan
Hasil penelitian ini
memiliki relevansi
dengan penelitin yang
akan dilakukan oleh
peneliti. Muhammad
junaedi dalam thesisnya
35
Realitas
Perbedaan
Faham
Keagamaan
antara komunitas
sunni dan syiah
memiliki sudut
pandang pemahaman
yang berbeda, tatkala
syiah menjadi
ancaman eksistensi
ajaran mainstream
islam NU (Nahdatul
Ulama) yang
kebenarannya di akui
bersama sebagai
common values
mayoritas masyarakat
madura, tradisi dan
ritual keagamaan
yang yang terpolakan.
Adanya pergeseran
otoritas keagamaan
dari elit agama islam
NU dan adanya
stereotip pemahaman
ajaran syiah yang
mengangkat tentang
konstruksi sosial
masyarakat terhadap
realitas perbedaan
faham keagamaan yang
mana sama-sama
menggunakan teori
konstruksi sosial oleh
Peter L. Berger dan
Thomas Luckman.
36
fatwanya adalah
sesat.
2 Suci Lestari
(2009),
komunikasi
antarbudaya
dikalangan
perempuan
bercadar studi
pada mahasiswi
bercadar di
universitas
muhammadiyah
malang
Perempuan bercadar
menggunakan pesan-
pesan non-verbal
dalam proses
komunikasinya. Hal
ini paling tampak
terdapat pada model
dan warna busana
muslimah yang
mereka kenakan,
pakaian yang
berwarna gelap,
menutup seluruh
anggota tubuh dan
serba lebar dianggap
sebagai upaya
melindungi diri atau
tameng sebagai obyek
pandangannya.
Perempuan bercadar
melakukan segala
aktivitas diajarkan
Penelitian tentang cadar
ini relevan dengan
obyek yang akan di
teliti oleh peneliti,
bedanya kalau
penelitian terdahulu ini
fokus pada komunikasi
dan interaksi yang di
lakukan oleh informan
bercadar sedangkan
yang akan diteliti oleh
peneliti adalah
konstruksi yang
dilakukan oleh
informan bercadar
37
sesuai dengan prinsip
salaf. Cadar tidak
diwajibkan dalam
islam, cadar adalah
budaya yang di adopsi
dari timur tengah.
3 Aryvia Winda
Charulina
Arianto (2012),
Pengambilan
Keputusan
Mahasiswi
Menggunakan
Cadar
Hasil analisis data
menemukan bahwa
mahasiswi bercadar
memutuskan untuk
menggunakan cadar
adalah karena
ceramah dari ustad
(guru agama),
membaca al-qur’an,
pengaruh lingkungan,
dukungan
suami(keluarga),
mahasiswi yang
menggunakan cadar
menunjukkan bahwa
dirinya sebagai
muslimah yang lebih
mulia, mampu
Hasil penelitian ini
memiliki relevansi
dengan penelitin yang
akan dilakukan oleh
peneliti. Aryvia Winda
Charulina Arianto
dalam skripsinya
memiliki kesamaan
menggunakan metode
penelitian kualitatif.
38
menjaga diri dan
merepresentasikan
dirinya sebagai
pencari ridho Allah.
Mereka
menggunakan cadar
karena berkeinginan
mengikuti kebiasaan
para istri dan anak
nabi serta istri sahabat
nabi.
4 Riska lindasari
(2011),
konstruksi
anggota
parlemen atas
partisipasi
perempuan
dalam partai
politik
Konstruksi sosial
memiliki arti yang
luas dalam ilmu
sosial, hal ini
biasanya
dihubungkan dengan
pengaruh sosial
dalam pengalaman
hidup individu.
Asumsi dasarnya
pada realitas adalah
konstruksi sosial dari
berger dan luckman.
Hasil penelitian ini
memiliki relevansi
dengan penelitin yang
akan dilakukan oleh
peneliti. Riska lindasari
(2011) dalam thesisnya
menggunakan teori
konstruksi sosial untuk
mengkaji fenomena
berdasarkan kenyataan
yang ada.
39
Dalam penelitian ini,
tersingkap bahwa
realitas sosial yang
menggambarkan
kecenderungan
minimnya
keterwakilan
perempuan dalam
legislatif yang
dipengaruhi beberapa
faktor salah satu
faktor yang disinyalir
amat kuat
pengaruhnya adalah
budaya politik.
Tabel 2 : Penelitian terdahulu
C. Landasan Teori
1. Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger
Teori Konstruksi Sosial (Social Construction) Berger dan Lukmann
merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan.
Pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan
memiliki karakteristik yang spesifik. Oleh karena konstruksi sosial merupakan
sosiologi pengetahuan maka implikasinya harus menekuni pengetahuan yang ada
dalam masyarakat dan sekaligus proses-proses yang membuat setiap perangkat
40
pengetahuan yang ditetapkan sebagai kenyataan. Sosiologi pengetahuan, yang
dikembangkan Berger dan Luckmann, mendasarkan pengetahuannya dalam dunia
kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai kenyataan. Berger dan Luckmann
menyatakan dunia kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagai kenyataan yang
ditafsirkan oleh manusia. Maka itu, apa yang menurut manusia nyata ditemukan
dalam dunia kehidupan sehari-hari merupakan suatu kenyataan seperti yang
dialaminya.
Teori konstruksi sosial sebagaimana yang digagas oleh Berger dan
Luckman menegaskan, bahwa agama sebagai bagian dari kebudayaan merupakan
konstruksi manusia. Ini artinya, bahwa terdapat proses dialektika antara masyarakat
dengan agama. Agama yang merupakan entitas objektif (karena berada di luar diri
manusia) akan mengalami proses objektivasi sebagaimana juga ketika agama
berada dalam teks dan norma. Teks atau norma tersebut kemudian mengalami
proses internalisasi ke dalam diri individu karena telah diinterpretasi oleh manusia
untuk menjadi guidance atau way of life. Agama juga mengalami proses
eksternalisasi karena agama menjadi sesuatu yang shared di masyarakat (Berger,
1990:32-35).
Sosiologi pengetahuan dalam pemikiran Berger dan Luckman, memahami
dunia kehidupan (life world) selalu dalam proses dialektik antara the self (individu)
dan dunia sosio kultural. Melalui teori Berger ini akan diperoleh deskripsi,
pemahaman dan pandangan elit agama tentang cadar. Di antara persoalan yang
digali dan dipaparkan dalam penelitian ini adalah mengenai: cara wanita bercadar
dalam menkonstruk dirinya di masyarakat, mengetahui makna cadar, tanggapan
41
ulama tentang hukum cadar, persebaran organisasi masyarakat dalam penyebaran
agama dan bagaimana cadar bisa masuk dalam lingkungan sosio-kultural.
Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial tidak berdiri sendiri
melainkan dengan kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas
tersebut. Realitas sosial tersebut memiliki makna ketika realitas sosial tersebut
dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga
memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial
dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan
subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya. Melalui sentuhan Hegel yakni
tesis-antitesissintesis, Berger menemukan konsep untuk menghubungkan antara
yang subjektif dan objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal dengan
eksternalisasi-objektivasi-internalisasi (Poloma, 2007 : 23). Proses dialektik itu
mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan
dunia sosio kultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi dengan dunia
intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan
internalisasi (individu mengidentifikasi dengan lembaga-lembaga sosial atau
organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).
Selanjutnya akan lebih detail dijelaskan pada peta konsep konstruksi sosial
berikut ini :
42
PIRAMIDA KONSTRUKSI SOSIAL
Gambar 2.1 piramida konstruksi sosial
Teori Peter L. Berger yang menjelaskan mengenai makna realitas dan
pengetahuan secara umum dapat diringkas dalam tahapan sebagai berikut:
1. Internalisasi, yaitu individu mengidentifikasikan diri dengan dunia sosio-
kulturalnya “man is a social product”.
2. Eksternalisasi, yaitu penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk
dunia manusia – “society is a human product”.
3. Objektivasi, yaitu interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan
atau mengalami proses institusionalisasi – “society is an objective reality”.
Titik awal dari tiga proses dialektika simultan adalah internalisasi, yaitu
pemahaman atau penafsiran langsung dari suatu peristiwa obyektif sebagai
pengungkapan suatu makna; sebagai manifestasi dari proses-proses subyektif.
Internalisasi merupakan dasar bagi individu untuk memahami orang lain dan
memahami makna atas kenyataan sosial. Internalisasi berlangsung melalui proses
identifikasi untuk memperoleh identitas secara subyektif. Sementara itu, identitas
Eksternalisasi
-adaptasi-
Objektifasi
Interaksi sosial
Internalisasi
-identifikasi diri-
43
obyektif didefinisikan sebagai lokasi (tempat keberadaan) dan diperoleh melalui
sosialisasi.
Proses selanjutnya adalah eksternalisasi, yaitu pencurahan kedirian manusia
terhadap suatu kenyataan yang dibentuk. Asal mula struktur objektif harus dilihat
berdasarkan eksternalisasi manusia atau interaksi manusia di dalam struktur yang
ada. Proses eksternalisasi memperluas institusionalisasi aturan sosial, sehingga
struktur objetif merupakan proses yang berkelanjutan. Secara sederhana,
eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan pengetahuan) yang
dimiliki tiap individu. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumulasi dari common
sense knowledge (pengetahuan akal sehat). Pengertian lebih lanjut mengenai
common sense knowledge adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama
individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal dan sudah jelas dengan
sendirinya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Berger, manusia adalah pencipta
kenyataan sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana
kenyataan objektif mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi –
yang mencerminkan kenyataan subjektif.
Realitas sosial adalah hasil dari tiga proses dialektika simultan manusia
mengenai pengetahuan dalam kehidupan sehari-sehari. Realitas obyektif yang
ditampilkan di dalam kehidupan sehari-hari sifatnya memaksa dan memiliki
makna-makna subyektif yang ditafsirkan oleh individu. Kehidupan sehari-hari
merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakantindakan
individu, dan dipelihara sebagai “yang nyata” oleh pikiran dan tindakan itu. Dasar-
dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui obyektivasi dari proses-proses – dan
makna-makna – subyektif yang membentuk dunia akal sehat intersubyektif.