bab ii kajian pustaka dan hipotesiseprints.umm.ac.id/53147/3/bab ii.pdfditemukan, bersifat basa dan...
TRANSCRIPT
-
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum L.)
Tanaman tembakau merupakan tanaman yang hampir terdapat di seluruh
wilayah Indonesia. Tanaman tembakau merupakan tanaman tropis yang dapat
hidup pada rentang iklim yang luas dan merupakan tamanan semusim yang
tergolong dalam tanaman perkebunan. Tanaman tembakau dapat tumbuh dari 60o
LU- 40o LS. Batas suhu minimum yaitu 15oC dan suhu maksimum 42oC sedangkan
untuk suhu yang ideal adalah 27oC. Tanaman tembakau sangat cocok ditaman pada
tanah lempung berpasir atau pasir berlempung. Tanah tanah tersebut mempunyai
porsi udara dan air tanah yang optimum bagi pertumbuhan akar tanaman tembakau
dengan kisaran pH 6,0 – 7,5 (Suwarto, Octavianty, & Hermawati, 2014).
1.1.1.1 Klasifikasi Tanaman Tembakau
Klasifikasi tumbuhan tembakau menurut Suwarto et al (2014):
Kingdom : Plante
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Solonales
Famili : Solonaceae
Genus : Nicotiana
Spesies : Nicotiana tabacum L.
-
8
Gambar 2.1 Tanaman Tembakau.
(Sumber : www.pelitabanten.com, 2019)
1.1.1.2 Morfologi Tanaman Tembakau
Tanaman tembakau mempunyai sistem perakaran tunggang dengan panjang
antara 50-70 cm yang tumbuh tegak kepusat bumi. Akar tanaman tembakau
merupakan tempat sintesis nikotin sebelum diangkut melalui pembuluh kayu ke
daun. Faktor – faktor yang dapat mendorong pertumbuhan akar salah satunya
adalah pemangkasan pucuk pada daun (Suwarto et al., 2014). Adapun batang yang
dimiliki tanaman tembakau yakni tegak memiliki sedikit cabang dan bahkan tidak
bercabang sama sekali, berwarna hijau dan ditumbuhi oleh bulu-bulu halus yang
berwarna putih (Herawati, 2013).
Tanaman tembakau memiliki daun yang bersifat tunggal, berbentuk bulat
panjang (lonjong), ujungnya meruncing, tepi daunnya licin, bertulang menyirip dan
tersusun secara spiral (Herawati, 2013). Bunga dari tembakau yakni majemuk yang
berbentuk malai dengan karang bunga berbentuk piramida dan terletak di ujung
tanaman. Berdasarkan cara penyerbukannya, tembakau termasuk tanaman yang
dapat menyerbuk dirinya sendiri, tetapi sekitar 4-10% menyerbuk silang (Suwarto
-
9
et al., 2014). Penyerbukan yang terjadi pada bakal buah akan membentuk buah.
Buah tembakau berbentuk lonjong dan berukuran kecil, walaupun bukan bagian
terpenting, namun buah tembakau melalui bijinya mempunyai fungsi generative
untuk perkembangbiakan tanaman (Herawati, 2013).
1.1.1.3 Kandungan Kimia Tanaman Tembakau
1. Senyawa Alkaloida (Nikotin)
Senyawa antifungi pada umumnya memiliki berbagai mekanisme
penghambatan terhadap sel fungi (jamur), salah satu senyawa tersebut adalah
alkaloid. Alkaloid merupakan suatu golongan senyawa organik yang paling banyak
ditemukan, bersifat basa dan umumnya berasal dari tumbuhan (U. Hasanah,
Riwayati, & Idramsa, 2015). Semua alkaloida mengandung paling sedikit satu atom
nitrogen dan dalam sebagian besar atom tersebut merupakan bagian dari cincin
heterosiklik. Semua alkaloida yang terdapat dialam mempunyai sifat biologis
tertentu ada yang beracun (Lenny, 2006) dan pula yang berfungsi sebagai obat
(Yanti, Samingan, & Mudatsir, 2016). Senyawa alkaloida sendiri tidak mempunyai
tatanan nama yang sistematik, sehingga nama dinyatakan dengan nama trivial
misalnya kodein, morfin, heroin, kinin, kofein, maupun nikotin. Alkaloida dapat
ditemukan pada berbagai bagian dari tanaman, misalnya bunga, biji, daun, ranting,
akar dan kulit batang (Ningrum, Purwanti, & Sukarsono, 2016).
Menurut Gholib (2009) alkaloid merupakan senyawa yang memiliki aktivitas
antimikroba, yaitu senyawa yang dapat menghambat esterase dan juga DNA/RNA
polimerase, juga menghambat respirasi sel dan berperan dalam interkalasi DNA,
-
10
serta menurut Mustikasari & Ariyani (2010) menyatakan bahwa senyawa alkaloid
memiliki aktivitas sebagai antimikroba dengan cara merusak dinding sel mikroba.
2. Senyawa Flavonoida
Senyawa flavonoida merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder dan
suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang dapat ditemukan dialam yang
terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Flavonoida mempunyai kerangka dasar karbon
yang terdiri dari 15 atom karbon (Lenny, 2006). Senyawa ini berpotensi sebagai
antioksidan, untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C,
anti-inflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotic (Waji & Sugrani,
2009) dan ada juga yang menyebutkan bahwa senyawa flavonoida tersebut
mempunyai fungsi sebagai antialergi, antivirus, antijamur dan antiradang (Gholib,
2009).
Menururt Yanti et al. (2016) Flavonoid bekerja dengan cara denaturasi protein
sehingga meningkatkan permeabilitas membran sel dan juga flavonoid dapat
menghambat pertumbuhan jamur dengan mengganggu proses difusi makanan ke
dalam sel sehingga pertumbuhan jamur terhenti atau sampai jamur tersebut mati
(Imani, 2014).
3. Minyak Atsiri
Minyak atsiri atau yang dikenal juga dengan minyak eterik, minyak esensial
merupakan kelompok besar minyak nabati yang bersifat seperti eter, berwujud
cairan kental pada suhu ruang, mudah menguap sehingga memberikan aroma yang
khas. Menurut Lely, Pratiwi, & Imanda (2017) Minyak atsiri merupakan salah satu
senyawa kimia yang terbukti berpotensi sebagai antijamur. Pada konsentrasi tinggi,
-
11
minyak atsiri dapat digunakan sebagai anastetik lokal, misalnya minyak cengkeh
yang digunakan untuk mengatasi sakit gigi, tetapi dapat merusak selaput lender
(Yuda Pratama, Gede Bawa, & Gunawan, 2016). Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa minyak atsiri sereh wangi (Cymbopogon nardus L. Rendle) mempunyai
aktivitas terhadap jamur patogen Tricophyton rubrum, Microsporum canis, dan
Epidermophyton floccosum yang dapat menyebabkan penyakit dermatofitosis.
Molekul hidrofobik penyusun minyak atsiri akan menyerang ergosterol pada
membran sel jamur sehingga menyebabkan perubahan permeabilitas pada membran
dan kerusakan pada membran yang akhirnya molekul molekul sel jamur tersebut
akan keluar sehingga menyebabkan kematian sel (Hidayatullah, 2012). Molekul
minyak atsiri juga dapat mengganggu kerja enzim-enzim yang terikat pada
membran sel khamir, sehingga mengganggu pembentukan membaran sel. Dengan
kata lain minyak atsiri dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan jamur
(Ridawati, Jenie, Djuwita, & Sjamsuridzal, 2011).
2.1.2 Pityriasis versicolor
2.1.2.1 Definisi
P. versicolor atau yang biasa disebut dengan penyakit panu merupakan
infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur M. furfur yang merupakan
organisme saprofit pada kulit normal. P. versicolor memiliki beberapa nama lain
diantaranya tinea versikolor, tinea flava, liver spot, kromofitosis, panu. P.
versicolor merupakan penyakit universal yang banyak dijumpai di daerah tropis
yang disebabkan oleh tingginya temperatur dan kelembaban. Penyakit ini dapat
ditemukan terutama pada bagian atau daerah yang banyak menghasilkan keringat
-
12
serta pada bagian atau daerah yang lembab pada tubuh (Andareto, 2015). P.
versicolor terlihat seperti bercak-bercak yang bersisik disertai dengan rasa gatal jika
berkeringat dan ada kalanya berwarna-warni ataupun tidak berwarna (tidak
berpigmen) dan memiliki bentuk yang tidak teratur. Penyakit P. versicolor ini dapat
menginfeksi semua kalangan mulai dari anak-anak, remaja maupun orang dewasa
(Nathalia, Niode, & Pandaleke, 2015).
2.1.2.2 Epidemiologi
P. versikolor merupakan infeksi jamur superfisial yang paling sering
ditemukan diseluruh dunia. Prevelensi penyakit kulit P. versicolor paling tinggi
terjadi pada daerah tropis yang bersuhu panas dan kelembaban relatif yakni sekitar
50%, pada daerah sub tropis yakni sekitar 15% sedangkan pada daerah dingin yakni
kurang dari 1% (Hayati & Handayani, 2014). Di alam, jamur M. furfur bukan
sebagai jamur saprofit dan juga jamur ini belum pernah ditemukan pada hewan.
Penularan infeksi pada manusia dapat melalui kontak langsung maupun tidak
lagsung dengan bahan-bahan yang mengandung jamur M. furfur dari seorang ke
orang lain (Kumala, 2009).
2.1.2.3 Faktor Penyebab P. versicolor
Penyebab penyakit P. versicolor sangat beragam dan bisa juga ditularkan
dari penggunaan sabun, pakaian atau alat kecantikan dengan penderita yang lain.
Peyakit P. versicolor adalah salah satu penyakit kulit yang dipicu karena jamur.
Gejala penyakit P. versicolor adalah munculnya bercak – bercak berwarna putih,
coklat atau merah, sesuai warna kulit penderita, dan terasa gatal terutama saat
-
13
berkeringat. P. versicolor bisa menyerang semua bagian kulit, bahkan di kulit
wajah. Adapun faktor – faktor yang lain adalah :
a. Kondisi lembab dan panas lingkungan, penggunaan pakaian ketat atau pakaian
yang tidak menyerap keringat,
b. Munculnya keringat berlebihan karena beraktifitas fisik atau sekedar
kegemukan,
c. Terganggunya keseimbangan flora tubuh. Hal ini disebabkan karena pemakaian
antibiotic, atau obat hormone dalam waktu yang lama (Andareto, 2015).
2.1.3 Malassezia furfur
2.1.3.1 Klasifikasi Malassezia furfur
Berikut merupakan klasifikasi jamur M. furfur menurut Kumala (2009):
Kingdom : Fungi
Divisi : Basidiomycota
Kelas : Hymenomycetes
Ordo : Tremellales
Famili : Filobasidiaceae
Genus : Malassezia
Spesies : Malassezia furfur
2.1.3.2 Definisi
Jamur M. furfur merupakan suatu jenis jamur lipofilik dan merupakan flora
normal yang sering ditemukan pada permukaan kulit atau tubuh manusia. P.
versicolor, Tinea capitis, P. folliculitis merupakan beberapa varian penyakit kulit
yang disebabkan oleh aktifitas jamur M. furfur (Rukayadi, Diantini, & Lestari,
-
14
2012) dan dalam beberapa tahun terakhir, genus Malassezia telah mendapatkan
perhatian yang cukup dari dermatologists dan dokter (Lee & Lee, 2010).
2.1.3.3 Morfologi dan Identifikasi
Koloni jamur M. furfur akan tumbuh dengan biak pada media SDA yang
diinkubasi 36-48 jam pada suhu 30o C (Kumala, 2009).
a. Dinding sel
M. furfur termasuk dalam salah satu organisme eukariotik lipofilik yang
komponen dinding sel nya terdiri dari mannan, glucan dan khitin. Mannan
merupakan polimer monose yang berkaitan dengan protein dan membentuk
mannoprotein. Mannoprotein ini terletak pada lapisan paling luar dari dinding sel
jamur. Glucan merupakan polimer glukosil yang berfungsi menguatkan dinding sel.
Khitin adalah polimer dari N-asetil-D-glucosamin (GlcNac) yang tidak mudah larut
dan membuat dinding sel jamur menjadi kaku. Khitin memeiliki fungsi seperti
khitin pada kerang atau selulosa pada tanaman (Kumala, 2009).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Shibata, Saitoh, Tadokoro, & Okawa,
2009) bahwa sel dinding dari M. furfur terdiri dari rangkaian peptide yang disebut
dengan mannan. Peptide ini terkait dengan protein dinding sebagai penyusun terluar
dari dinding sel jamur. Mannan melapisi struktur hidrofobik yang tebal
dibawahnya, sehingga fungsi dari mannan sangat penting sebagai pertahanan dan
mekanisme transport dalam mengambil zat makanan (nutrisi) dan mengeluarkan
sisa hasil metabolism (Shibata et al., 2009).
-
15
b. Membran sel
Membran sel M. furfur seperti sel eukariotik lainnya terdiri dari lapisan
fosfolipid ganda. Membran protein ini memiliki aktifitas enzim seperti mannan
sintase, khitin sintase, ATPase dan protein yang mentransport fosfat. Terdapatnya
membrane sterol pada dinding sel memegang peranan penting sebagai target
antimikrotik dan kemungkinan merupakan tempat bekerjanya enzim-enzim yang
berperan dalam sintesis dinding sel (Amalia Ulfatum Hasanah, 2016).
c. Mitokondria
Mitrokondria merupakan pembungkus daya sel. Dengan menggunakan energi
yang diperoleh dari penggabungan oksigen dengan molekul-molekul makanan,
organel ini memproduksi ATP (Tjampakasari, 2006).
d. Vakuola
Vakuola berperan dalam sistem pencernaan sel, sebagai tempat penyimpanan
lipid dan granula polifosfat. Mikrotubul dan Mikrofilamen berada dalam
sitoplasma. Mikrofilamen berperan penting dalam terbentuknya hifa (Amalia
Ulfatum Hasanah, 2016).
e. Nukleus
Seperti halnya pada eukariot lain, nucleus M. furfur merupakan organel paling
penting yang menonjol dalam sel. Organ ini dipisahkan dari sitoplasma dari
sitoplasma oleh membrane yang terdiri dari dua lapisan. Semua DNA kromosom
disimpan dalam nucleus, terkemas dalam serat-serat kromatin. Isi nucleus
berhubungan dengan sitosol melalui pori-pori nucleus (Amalia Ulfatum Hasanah,
2016).
-
16
2.1.4 Antifungi
2.1.4.1 Pengertian Antifungi
Antifungi merupakan suatu agen yang dapat digunakan sebagai media untuk
membunuh jamur, menekan reproduksi atau menghambat pertumbuhannya.
Antifungi ini termasuk dalam zat antimikroba. Beberapa obat antifungi memiliki
beberapa mekanisme kerja terhadap sel jamur yakni mencegah terbentuknya
dinding sel jamur yakni dengan cara menghambat sintesa glucan sehingga sel jamur
mudah mengalami lisis, menurunkan fungsi membrane sel, menghambat sintesa
gosterol yang terdapat pada membrane sel (ikatan tersebut mampu menyebabkan
sel bocor sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan intra sel). Selain itu memiliki
fungsi menghambat sintesa asam nukleat dan protein fungi (Hasanah, 2013).
2.1.4.2 Metode Pengujian Kepekaan terhadap Antifungi
Pengujian Antifungi digunakan untuk memperoleh suatu sistem pengobatan
yang efektif dan efisien. Terdapat bermacam-macam metode yang dapat digunakan
untuk menguji, antara lain yaitu metode difusi dan medote dilusi (Pratiwi, 2008).
1. Metode Difusi
a. Metode disc diffusion (tes Kirby & Bauer)
Metode ini digunakan untuk menentukan aktifitas agen antimikroba. Piringan
yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media Agar yang telah ditanami
mikroorganisme yang akan berdifusi pada media Agar tersebut. Area jernih
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorgannisme oleh agen
antimikroba pada permukaan media Agar.
-
17
Tabel 2.1 Kategori Respon Hambat Pertumbuhan Mikroba Berdasarkan Zona Hambat
Diameter Zona Hambat Respon Hambatan
< 5 mm Lemah
5-10 mm1 Sedang
10-20 mm Kuat
>20 mm Sangat Kuat
(Sumber: Mahmudah & Atun, 2017)
b. Metode E-test
Metode jenis ini digunkaan untuk mengestimasi MIC (Minimum Inhibitory
Concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum), yaitu konsentrasi minimal
suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Pada metode ini menggunakan strip plastic yang mengandung agen antimikroba
dari kadar terendah hingga tertinggi yang diletakkan pada permukaan media Agar
yang telah ditanami mikroorganisme.
c. Metode Ditch-plate technique
Metode jenis ini sempel uji berupa agen antimikroba yang diletakkan pasa parit
yang dibuat dengan cara memotong media Agar dalam cawan petri dan digoreskan
kea rah parit yang berisi agen antimikroba.
d. Cup-plate technique
Metode ini mirip dengan metode disc diffusion yang mana dibuat sumur pada
media Agar yang telah ditanami dengan mikroorgaisme dan pada sumur yang telah
dibuat tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji.
e. Gradient-plate technique
Metode jenis ini menggunkana konsentrasi agen antimikroba pada media Agar
secara bervariasi mulai dari 0 hingga maksimal dan media Agar dicairkan dan
-
18
ditambahkan dengan larutan uji. Mikroba uji digoreskan pada arah mulai dari
konsentrasi tinggi ke rendah.
2. Metode Dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan dilusi
padat (solid dilution).
a. Metode dilusi cair (broth dilution)
Metode jenis ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau
KHM (Kadar Hambat Minimum) dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration)
atau KBM (Kabar Bunuh Minimum). Dengan cara membuat seri pengenceran agen
antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji
agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya
pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan
sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa
menggunkanan tambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba dan diinkubasi
selama 18-24 jam. Media yang tetap terlihat jernih setelah proses inkubasi
ditetapkan sebagai KBM.
b. Metode dilusi padat (solid dilution)
Metode ini secara garis besar serupa dengan metode dilusi cair namun
perbedaannya terletak penggunaan media, pada metode ini menggunakan media
padat (solid). Metode jenis ini memiliki keuntungan yakni satu konsentrasi agen
antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji
(Pratiwi, 2008).
-
19
2.1.5 Metode Ekstraksi
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam proses ekstraksi,
yakni sebagai berikut:
1. Ekstraksi cara dingin
Metode jenis ini merupakan metode ekstraksi yang tidak melalui proses
pemanasan selama proses ekstraksi tersebut berlangsug, dengan tujuan untuk
menghindari adanya kerusakan senyawa karena adanya pemanasan. Ada
beberapa jenis ekstraksi dingin, antara lain:
a. Metode Maserasi
Maserasi adalah metode ekstrasi paling sederhana dengan proses
pengesktrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali
pengadukan. Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman
dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah yang tertutup rapat pada suhu
kamar (Pratiwi, 2008). Keuntungan menggunakan metede ini yakni mudah
tidak melalui pemanasan sehingga kecil kemungkinan terjadinya kerusakan
pada senyawa yang ada pada bahan. Pemilihan pelarut yang sesuai dapat
memudahkan pemisahan bahan dalam sempel dan pengerjaan metode yang
lama dan dalam keadaan diam selama proses ekstrasi memungkinkan
banyak yang akan terekstrasi (Susanty, 2016).
b. Metode Perkolasi
Metode perkolasi yaitu sebuah metode dengan cara penyaringan yang
dilakukan dengan mengalirkan cairan pelarut melalui serbuk bahan atau
simplisia yang telah dibahasi terlebih dahulu (Ibtisam, 2008). Dalam proses
-
20
perkolasi menggunakan pelarut lebih banyak dan umumnya dilakukan pada
suhu ruang (Departemen Kesehatan, 2000).
2. Ekstraksi cara panas
Metode jenis ini merupakan metode yang melibatkan panas dalam proses
ekstraksi. Dengan adanya proses pemanasan secara otomatis mempercepat
proses penyaringan dibandingkan dengan cara dingin. Ada beberapa jenis
ekstraksi panas, antara lain:
a. Metode Refluks
Metode refluks merupakan metode ekstraksi panas dengan menggunkaan
teknik penyulingan (destilasi). Prinsip dari metode tersebut adalah pelarut
yang digunakan akan menguap pada suhu yang tinggi. Umumnya dalam
proses ekstraksi dilakukan pengulangan sampai 3-5 kali sehingga dapat
dikatakan dalam proses ekstraksi sempurna (Departemen Kesehatan, 2000).
b. Metode Soklet
Soklet atau sokletasi adalah metode yang digunakan untuk memisahkan
suatu komponen yang terdapat dalam suatu zat padat dengan cara
penyaringan berulang dengan menggunakan pelarut.metode jenis ini hampir
sama dengan refluk hanya saja pada metode ini bahan dan pelarut yang akan
digunakan dipisahkan (Hulupi, 2014).
2.1.6 Sumber Belajar
1. Pengertian Sumber Belajar
Association of Educational Communication Technology (AECT) mengartikan
bahwa sumber belajar merupakan semua sumber yang berupa data, orang atau
-
21
benda yang dapat dijadikan sebagai fasilitas (kemudahan) dalam proses belajar
bagi siswa. Selain itu warsita (2008) mendefinisikan sumber belajar merupakan
seluruh komponen system intruksional baik yang dirancang secara khusus
ataupun yang menurut sifatnya dapat digunakanan atau dimanfaatkan dalam
kegiatan belajar mengajar. Sedangkan menurut sudjana dan rivai (2009)
mengartikan bawasannya sumber belajar merupakan suatu daya yang dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan proses pembelajaran baik secara langsung
ataupun tidak langsung, sebagian ataupun keseluruhan.
Dengan demikian sumber belajar dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang
dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk memperoleh informasi dan
dapat digunakan ataupun dimanfaatkan oleh seseorang untuk memfasilitasi,
mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar.
Secara umum sumber belajar dapat dikategorikan kedalam 6 (enam) jenis, yaitu:
a. Message (pesan), yaitu informasi/ajaran yang diteruskan oleh komponen
lain dalam bentuk gagasan, fakta, arti dan data.
b. People (orang), yakni manusia yang bertindak sebagai penyimpan,
pengolah, dan penyaji pesan. Termasuk kelompok ini misalnya dosen, guru,
tutor, dll.
c. Materials (bahan), yaitu perangkat lunak yang mengandung pesan untuk
disajikan melalui penggunaan alat/perangkat keras, ataupun oleh dirinya
sendiri.
d. Device (alat), yakni sesuatu (perangkat keras) yang digunakan yang
digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimpan dalam bahan.
-
22
e. Technique (teknik), yaitu prosedur atau acuan yang dipersiapkan untuk
penggunaan bahan, peralatan, orang, lingkungan untuk menyampaikan
pesan.
f. Setting (lingkungan), yaitu situasi atau suasana sekitar dimana pesan
disampaikan. Baik lingkungan fisik ataupun non fisik.
2. Klasifikasi Sumber Belajar
Menurut Warsita (2008) ditinjau dari tipe atau asal-usulnya, sumber belajar
dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design), yaitu
sumber belajar yang secara khusus dirancang atau dikembangkan untuk
mencapai tujuan pembelajaran tertentu.
b. Sumber belajar yang dimanfaatkan (learning resources by utilization), yaitu
sumber belajar yang tidak secara khusus dirancang atau dikembangkan
untuk keperluan pembelajaran akan tetapi sumber belajar ini dapat dipilih
atau dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.
3. Fungsi Sumber Belajar
Melihat potensi yang dimiliki sumber belajar yang demikian besar, Sudjana dan
Rivai (2009) menyatakn bahwa ada beberapa fungsi sumber belajar, yakni:
a. Menimbulkan kegairahan belajar,
b. Memungkinkan adanya interaksi langsung antara pesert didik dengan
lingkungan,
c. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat mencari
pengalaman langsung,
-
23
d. Memungkinkan peserta didik untuk belajar mandiri ,
e. Menghilangkan kekacauan penafsiran yang berbeda akibat sumber yang
digunakan tidak dapat menggambarkan atau menjelaskan hakekat atau
pengertian dari suatu yang diajarkan.
4. Pemanfaatan Hasil Penelitian Sebagai Sumber Belajar.
Menurut Djohar dalam (Situmorang, 2016) pemanfaatan hasil penelitian
sebagai sumber belajar yang ideal harus memenuhi beberapa kriteria sebagai
berikut :
a. Kejelasan potensi, ketersedian objek pembelajaran dan permasalahan yang
dapat diungkap untuk menghasilkan fakta dan konsep dari hasil penelitian
yang dilaksanakan.
b. Kesesuaian dengan tujuan belajar, memiliki kesesuaian dengan kompetensi
dasar (KD) pembelajaran.
c. Kejelasan sasaran, terdiri dari objek dan subjek penelitian.
d. Kejelasan informasi, terdapat dua aspek yaitu proses maupun produk
penelitian yang telah disesuaian dengan kurikulum.
e. Kejelasan pedoman eksplorasi, perlu adanya prosedur kerja dalam
melakukan penelitian.
f. Kerjelasan perolehan yang diharapkan, berupa proses dan produk penelitian
yang berdasarkan aspek dalam tujuan belajar biologi.
-
24
2.2 Kerangka Konseptual
Gambar 2.2 Gambar Kerangka Konsep Penelitian
Daun Tembakau
(Nicotiana tabacum L)
Pityriasis versicolor
Malassezia furfur
Menghambat pertumbuhan jamur dan Menyebabkan
kematian sel jamur
Hasil penelitian dikaji sebagai sumber belajar biologi
Flavonoid
Minyak atsiri
Nikotin
Dinding Sel
Nukleus
Membran Sel
Mitokondria
RE
Komponen pada permukaan sel
(protein, asam nukleat, nukleotida)
Permeabilitas membrane sel Sintesa protein
Penipisan dinding sel
Hancurnya organel dalam sel
Transport nutrisi
berkurang
Kebocoran
membrane sel
-
25
2.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teoritik yang ada, maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah:
1. Terdapat pengaruh pemberian berbagai konsentrasi ekstrak daun
tembakau terhadap zona hambat pertumbuhan jamur Malassezia furfur.
2. Aplikasi pemanfaatan hasil penelitian pengaruh pemberian ekstrak daun
tembakau terhadap zona hambat pertumbuhan jamur Malassezia furfur
sebagai sumber belajar biologi.