bab ii kajian pustaka dan hipotesiseprints.umm.ac.id/53147/3/bab ii.pdfditemukan, bersifat basa dan...

19
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum L.) Tanaman tembakau merupakan tanaman yang hampir terdapat di seluruh wilayah Indonesia. Tanaman tembakau merupakan tanaman tropis yang dapat hidup pada rentang iklim yang luas dan merupakan tamanan semusim yang tergolong dalam tanaman perkebunan. Tanaman tembakau dapat tumbuh dari 60 o LU- 40 o LS. Batas suhu minimum yaitu 15 o C dan suhu maksimum 42 o C sedangkan untuk suhu yang ideal adalah 27 o C. Tanaman tembakau sangat cocok ditaman pada tanah lempung berpasir atau pasir berlempung. Tanah tanah tersebut mempunyai porsi udara dan air tanah yang optimum bagi pertumbuhan akar tanaman tembakau dengan kisaran pH 6,0 7,5 (Suwarto, Octavianty, & Hermawati, 2014). 1.1.1.1 Klasifikasi Tanaman Tembakau Klasifikasi tumbuhan tembakau menurut Suwarto et al (2014): Kingdom : Plante Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledonae Ordo : Solonales Famili : Solonaceae Genus : Nicotiana Spesies : Nicotiana tabacum L.

Upload: others

Post on 24-Oct-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

    2.1 Kajian Teori

    2.1.1 Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum L.)

    Tanaman tembakau merupakan tanaman yang hampir terdapat di seluruh

    wilayah Indonesia. Tanaman tembakau merupakan tanaman tropis yang dapat

    hidup pada rentang iklim yang luas dan merupakan tamanan semusim yang

    tergolong dalam tanaman perkebunan. Tanaman tembakau dapat tumbuh dari 60o

    LU- 40o LS. Batas suhu minimum yaitu 15oC dan suhu maksimum 42oC sedangkan

    untuk suhu yang ideal adalah 27oC. Tanaman tembakau sangat cocok ditaman pada

    tanah lempung berpasir atau pasir berlempung. Tanah tanah tersebut mempunyai

    porsi udara dan air tanah yang optimum bagi pertumbuhan akar tanaman tembakau

    dengan kisaran pH 6,0 – 7,5 (Suwarto, Octavianty, & Hermawati, 2014).

    1.1.1.1 Klasifikasi Tanaman Tembakau

    Klasifikasi tumbuhan tembakau menurut Suwarto et al (2014):

    Kingdom : Plante

    Divisi : Spermatophyta

    Kelas : Dicotyledonae

    Ordo : Solonales

    Famili : Solonaceae

    Genus : Nicotiana

    Spesies : Nicotiana tabacum L.

  • 8

    Gambar 2.1 Tanaman Tembakau.

    (Sumber : www.pelitabanten.com, 2019)

    1.1.1.2 Morfologi Tanaman Tembakau

    Tanaman tembakau mempunyai sistem perakaran tunggang dengan panjang

    antara 50-70 cm yang tumbuh tegak kepusat bumi. Akar tanaman tembakau

    merupakan tempat sintesis nikotin sebelum diangkut melalui pembuluh kayu ke

    daun. Faktor – faktor yang dapat mendorong pertumbuhan akar salah satunya

    adalah pemangkasan pucuk pada daun (Suwarto et al., 2014). Adapun batang yang

    dimiliki tanaman tembakau yakni tegak memiliki sedikit cabang dan bahkan tidak

    bercabang sama sekali, berwarna hijau dan ditumbuhi oleh bulu-bulu halus yang

    berwarna putih (Herawati, 2013).

    Tanaman tembakau memiliki daun yang bersifat tunggal, berbentuk bulat

    panjang (lonjong), ujungnya meruncing, tepi daunnya licin, bertulang menyirip dan

    tersusun secara spiral (Herawati, 2013). Bunga dari tembakau yakni majemuk yang

    berbentuk malai dengan karang bunga berbentuk piramida dan terletak di ujung

    tanaman. Berdasarkan cara penyerbukannya, tembakau termasuk tanaman yang

    dapat menyerbuk dirinya sendiri, tetapi sekitar 4-10% menyerbuk silang (Suwarto

  • 9

    et al., 2014). Penyerbukan yang terjadi pada bakal buah akan membentuk buah.

    Buah tembakau berbentuk lonjong dan berukuran kecil, walaupun bukan bagian

    terpenting, namun buah tembakau melalui bijinya mempunyai fungsi generative

    untuk perkembangbiakan tanaman (Herawati, 2013).

    1.1.1.3 Kandungan Kimia Tanaman Tembakau

    1. Senyawa Alkaloida (Nikotin)

    Senyawa antifungi pada umumnya memiliki berbagai mekanisme

    penghambatan terhadap sel fungi (jamur), salah satu senyawa tersebut adalah

    alkaloid. Alkaloid merupakan suatu golongan senyawa organik yang paling banyak

    ditemukan, bersifat basa dan umumnya berasal dari tumbuhan (U. Hasanah,

    Riwayati, & Idramsa, 2015). Semua alkaloida mengandung paling sedikit satu atom

    nitrogen dan dalam sebagian besar atom tersebut merupakan bagian dari cincin

    heterosiklik. Semua alkaloida yang terdapat dialam mempunyai sifat biologis

    tertentu ada yang beracun (Lenny, 2006) dan pula yang berfungsi sebagai obat

    (Yanti, Samingan, & Mudatsir, 2016). Senyawa alkaloida sendiri tidak mempunyai

    tatanan nama yang sistematik, sehingga nama dinyatakan dengan nama trivial

    misalnya kodein, morfin, heroin, kinin, kofein, maupun nikotin. Alkaloida dapat

    ditemukan pada berbagai bagian dari tanaman, misalnya bunga, biji, daun, ranting,

    akar dan kulit batang (Ningrum, Purwanti, & Sukarsono, 2016).

    Menurut Gholib (2009) alkaloid merupakan senyawa yang memiliki aktivitas

    antimikroba, yaitu senyawa yang dapat menghambat esterase dan juga DNA/RNA

    polimerase, juga menghambat respirasi sel dan berperan dalam interkalasi DNA,

  • 10

    serta menurut Mustikasari & Ariyani (2010) menyatakan bahwa senyawa alkaloid

    memiliki aktivitas sebagai antimikroba dengan cara merusak dinding sel mikroba.

    2. Senyawa Flavonoida

    Senyawa flavonoida merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder dan

    suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang dapat ditemukan dialam yang

    terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Flavonoida mempunyai kerangka dasar karbon

    yang terdiri dari 15 atom karbon (Lenny, 2006). Senyawa ini berpotensi sebagai

    antioksidan, untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C,

    anti-inflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotic (Waji & Sugrani,

    2009) dan ada juga yang menyebutkan bahwa senyawa flavonoida tersebut

    mempunyai fungsi sebagai antialergi, antivirus, antijamur dan antiradang (Gholib,

    2009).

    Menururt Yanti et al. (2016) Flavonoid bekerja dengan cara denaturasi protein

    sehingga meningkatkan permeabilitas membran sel dan juga flavonoid dapat

    menghambat pertumbuhan jamur dengan mengganggu proses difusi makanan ke

    dalam sel sehingga pertumbuhan jamur terhenti atau sampai jamur tersebut mati

    (Imani, 2014).

    3. Minyak Atsiri

    Minyak atsiri atau yang dikenal juga dengan minyak eterik, minyak esensial

    merupakan kelompok besar minyak nabati yang bersifat seperti eter, berwujud

    cairan kental pada suhu ruang, mudah menguap sehingga memberikan aroma yang

    khas. Menurut Lely, Pratiwi, & Imanda (2017) Minyak atsiri merupakan salah satu

    senyawa kimia yang terbukti berpotensi sebagai antijamur. Pada konsentrasi tinggi,

  • 11

    minyak atsiri dapat digunakan sebagai anastetik lokal, misalnya minyak cengkeh

    yang digunakan untuk mengatasi sakit gigi, tetapi dapat merusak selaput lender

    (Yuda Pratama, Gede Bawa, & Gunawan, 2016). Beberapa penelitian menunjukkan

    bahwa minyak atsiri sereh wangi (Cymbopogon nardus L. Rendle) mempunyai

    aktivitas terhadap jamur patogen Tricophyton rubrum, Microsporum canis, dan

    Epidermophyton floccosum yang dapat menyebabkan penyakit dermatofitosis.

    Molekul hidrofobik penyusun minyak atsiri akan menyerang ergosterol pada

    membran sel jamur sehingga menyebabkan perubahan permeabilitas pada membran

    dan kerusakan pada membran yang akhirnya molekul molekul sel jamur tersebut

    akan keluar sehingga menyebabkan kematian sel (Hidayatullah, 2012). Molekul

    minyak atsiri juga dapat mengganggu kerja enzim-enzim yang terikat pada

    membran sel khamir, sehingga mengganggu pembentukan membaran sel. Dengan

    kata lain minyak atsiri dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan jamur

    (Ridawati, Jenie, Djuwita, & Sjamsuridzal, 2011).

    2.1.2 Pityriasis versicolor

    2.1.2.1 Definisi

    P. versicolor atau yang biasa disebut dengan penyakit panu merupakan

    infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur M. furfur yang merupakan

    organisme saprofit pada kulit normal. P. versicolor memiliki beberapa nama lain

    diantaranya tinea versikolor, tinea flava, liver spot, kromofitosis, panu. P.

    versicolor merupakan penyakit universal yang banyak dijumpai di daerah tropis

    yang disebabkan oleh tingginya temperatur dan kelembaban. Penyakit ini dapat

    ditemukan terutama pada bagian atau daerah yang banyak menghasilkan keringat

  • 12

    serta pada bagian atau daerah yang lembab pada tubuh (Andareto, 2015). P.

    versicolor terlihat seperti bercak-bercak yang bersisik disertai dengan rasa gatal jika

    berkeringat dan ada kalanya berwarna-warni ataupun tidak berwarna (tidak

    berpigmen) dan memiliki bentuk yang tidak teratur. Penyakit P. versicolor ini dapat

    menginfeksi semua kalangan mulai dari anak-anak, remaja maupun orang dewasa

    (Nathalia, Niode, & Pandaleke, 2015).

    2.1.2.2 Epidemiologi

    P. versikolor merupakan infeksi jamur superfisial yang paling sering

    ditemukan diseluruh dunia. Prevelensi penyakit kulit P. versicolor paling tinggi

    terjadi pada daerah tropis yang bersuhu panas dan kelembaban relatif yakni sekitar

    50%, pada daerah sub tropis yakni sekitar 15% sedangkan pada daerah dingin yakni

    kurang dari 1% (Hayati & Handayani, 2014). Di alam, jamur M. furfur bukan

    sebagai jamur saprofit dan juga jamur ini belum pernah ditemukan pada hewan.

    Penularan infeksi pada manusia dapat melalui kontak langsung maupun tidak

    lagsung dengan bahan-bahan yang mengandung jamur M. furfur dari seorang ke

    orang lain (Kumala, 2009).

    2.1.2.3 Faktor Penyebab P. versicolor

    Penyebab penyakit P. versicolor sangat beragam dan bisa juga ditularkan

    dari penggunaan sabun, pakaian atau alat kecantikan dengan penderita yang lain.

    Peyakit P. versicolor adalah salah satu penyakit kulit yang dipicu karena jamur.

    Gejala penyakit P. versicolor adalah munculnya bercak – bercak berwarna putih,

    coklat atau merah, sesuai warna kulit penderita, dan terasa gatal terutama saat

  • 13

    berkeringat. P. versicolor bisa menyerang semua bagian kulit, bahkan di kulit

    wajah. Adapun faktor – faktor yang lain adalah :

    a. Kondisi lembab dan panas lingkungan, penggunaan pakaian ketat atau pakaian

    yang tidak menyerap keringat,

    b. Munculnya keringat berlebihan karena beraktifitas fisik atau sekedar

    kegemukan,

    c. Terganggunya keseimbangan flora tubuh. Hal ini disebabkan karena pemakaian

    antibiotic, atau obat hormone dalam waktu yang lama (Andareto, 2015).

    2.1.3 Malassezia furfur

    2.1.3.1 Klasifikasi Malassezia furfur

    Berikut merupakan klasifikasi jamur M. furfur menurut Kumala (2009):

    Kingdom : Fungi

    Divisi : Basidiomycota

    Kelas : Hymenomycetes

    Ordo : Tremellales

    Famili : Filobasidiaceae

    Genus : Malassezia

    Spesies : Malassezia furfur

    2.1.3.2 Definisi

    Jamur M. furfur merupakan suatu jenis jamur lipofilik dan merupakan flora

    normal yang sering ditemukan pada permukaan kulit atau tubuh manusia. P.

    versicolor, Tinea capitis, P. folliculitis merupakan beberapa varian penyakit kulit

    yang disebabkan oleh aktifitas jamur M. furfur (Rukayadi, Diantini, & Lestari,

  • 14

    2012) dan dalam beberapa tahun terakhir, genus Malassezia telah mendapatkan

    perhatian yang cukup dari dermatologists dan dokter (Lee & Lee, 2010).

    2.1.3.3 Morfologi dan Identifikasi

    Koloni jamur M. furfur akan tumbuh dengan biak pada media SDA yang

    diinkubasi 36-48 jam pada suhu 30o C (Kumala, 2009).

    a. Dinding sel

    M. furfur termasuk dalam salah satu organisme eukariotik lipofilik yang

    komponen dinding sel nya terdiri dari mannan, glucan dan khitin. Mannan

    merupakan polimer monose yang berkaitan dengan protein dan membentuk

    mannoprotein. Mannoprotein ini terletak pada lapisan paling luar dari dinding sel

    jamur. Glucan merupakan polimer glukosil yang berfungsi menguatkan dinding sel.

    Khitin adalah polimer dari N-asetil-D-glucosamin (GlcNac) yang tidak mudah larut

    dan membuat dinding sel jamur menjadi kaku. Khitin memeiliki fungsi seperti

    khitin pada kerang atau selulosa pada tanaman (Kumala, 2009).

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Shibata, Saitoh, Tadokoro, & Okawa,

    2009) bahwa sel dinding dari M. furfur terdiri dari rangkaian peptide yang disebut

    dengan mannan. Peptide ini terkait dengan protein dinding sebagai penyusun terluar

    dari dinding sel jamur. Mannan melapisi struktur hidrofobik yang tebal

    dibawahnya, sehingga fungsi dari mannan sangat penting sebagai pertahanan dan

    mekanisme transport dalam mengambil zat makanan (nutrisi) dan mengeluarkan

    sisa hasil metabolism (Shibata et al., 2009).

  • 15

    b. Membran sel

    Membran sel M. furfur seperti sel eukariotik lainnya terdiri dari lapisan

    fosfolipid ganda. Membran protein ini memiliki aktifitas enzim seperti mannan

    sintase, khitin sintase, ATPase dan protein yang mentransport fosfat. Terdapatnya

    membrane sterol pada dinding sel memegang peranan penting sebagai target

    antimikrotik dan kemungkinan merupakan tempat bekerjanya enzim-enzim yang

    berperan dalam sintesis dinding sel (Amalia Ulfatum Hasanah, 2016).

    c. Mitokondria

    Mitrokondria merupakan pembungkus daya sel. Dengan menggunakan energi

    yang diperoleh dari penggabungan oksigen dengan molekul-molekul makanan,

    organel ini memproduksi ATP (Tjampakasari, 2006).

    d. Vakuola

    Vakuola berperan dalam sistem pencernaan sel, sebagai tempat penyimpanan

    lipid dan granula polifosfat. Mikrotubul dan Mikrofilamen berada dalam

    sitoplasma. Mikrofilamen berperan penting dalam terbentuknya hifa (Amalia

    Ulfatum Hasanah, 2016).

    e. Nukleus

    Seperti halnya pada eukariot lain, nucleus M. furfur merupakan organel paling

    penting yang menonjol dalam sel. Organ ini dipisahkan dari sitoplasma dari

    sitoplasma oleh membrane yang terdiri dari dua lapisan. Semua DNA kromosom

    disimpan dalam nucleus, terkemas dalam serat-serat kromatin. Isi nucleus

    berhubungan dengan sitosol melalui pori-pori nucleus (Amalia Ulfatum Hasanah,

    2016).

  • 16

    2.1.4 Antifungi

    2.1.4.1 Pengertian Antifungi

    Antifungi merupakan suatu agen yang dapat digunakan sebagai media untuk

    membunuh jamur, menekan reproduksi atau menghambat pertumbuhannya.

    Antifungi ini termasuk dalam zat antimikroba. Beberapa obat antifungi memiliki

    beberapa mekanisme kerja terhadap sel jamur yakni mencegah terbentuknya

    dinding sel jamur yakni dengan cara menghambat sintesa glucan sehingga sel jamur

    mudah mengalami lisis, menurunkan fungsi membrane sel, menghambat sintesa

    gosterol yang terdapat pada membrane sel (ikatan tersebut mampu menyebabkan

    sel bocor sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan intra sel). Selain itu memiliki

    fungsi menghambat sintesa asam nukleat dan protein fungi (Hasanah, 2013).

    2.1.4.2 Metode Pengujian Kepekaan terhadap Antifungi

    Pengujian Antifungi digunakan untuk memperoleh suatu sistem pengobatan

    yang efektif dan efisien. Terdapat bermacam-macam metode yang dapat digunakan

    untuk menguji, antara lain yaitu metode difusi dan medote dilusi (Pratiwi, 2008).

    1. Metode Difusi

    a. Metode disc diffusion (tes Kirby & Bauer)

    Metode ini digunakan untuk menentukan aktifitas agen antimikroba. Piringan

    yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media Agar yang telah ditanami

    mikroorganisme yang akan berdifusi pada media Agar tersebut. Area jernih

    mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorgannisme oleh agen

    antimikroba pada permukaan media Agar.

  • 17

    Tabel 2.1 Kategori Respon Hambat Pertumbuhan Mikroba Berdasarkan Zona Hambat

    Diameter Zona Hambat Respon Hambatan

    < 5 mm Lemah

    5-10 mm1 Sedang

    10-20 mm Kuat

    >20 mm Sangat Kuat

    (Sumber: Mahmudah & Atun, 2017)

    b. Metode E-test

    Metode jenis ini digunkaan untuk mengestimasi MIC (Minimum Inhibitory

    Concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum), yaitu konsentrasi minimal

    suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

    Pada metode ini menggunakan strip plastic yang mengandung agen antimikroba

    dari kadar terendah hingga tertinggi yang diletakkan pada permukaan media Agar

    yang telah ditanami mikroorganisme.

    c. Metode Ditch-plate technique

    Metode jenis ini sempel uji berupa agen antimikroba yang diletakkan pasa parit

    yang dibuat dengan cara memotong media Agar dalam cawan petri dan digoreskan

    kea rah parit yang berisi agen antimikroba.

    d. Cup-plate technique

    Metode ini mirip dengan metode disc diffusion yang mana dibuat sumur pada

    media Agar yang telah ditanami dengan mikroorgaisme dan pada sumur yang telah

    dibuat tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji.

    e. Gradient-plate technique

    Metode jenis ini menggunkana konsentrasi agen antimikroba pada media Agar

    secara bervariasi mulai dari 0 hingga maksimal dan media Agar dicairkan dan

  • 18

    ditambahkan dengan larutan uji. Mikroba uji digoreskan pada arah mulai dari

    konsentrasi tinggi ke rendah.

    2. Metode Dilusi

    Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan dilusi

    padat (solid dilution).

    a. Metode dilusi cair (broth dilution)

    Metode jenis ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau

    KHM (Kadar Hambat Minimum) dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration)

    atau KBM (Kabar Bunuh Minimum). Dengan cara membuat seri pengenceran agen

    antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji

    agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya

    pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan

    sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa

    menggunkanan tambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba dan diinkubasi

    selama 18-24 jam. Media yang tetap terlihat jernih setelah proses inkubasi

    ditetapkan sebagai KBM.

    b. Metode dilusi padat (solid dilution)

    Metode ini secara garis besar serupa dengan metode dilusi cair namun

    perbedaannya terletak penggunaan media, pada metode ini menggunakan media

    padat (solid). Metode jenis ini memiliki keuntungan yakni satu konsentrasi agen

    antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji

    (Pratiwi, 2008).

  • 19

    2.1.5 Metode Ekstraksi

    Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam proses ekstraksi,

    yakni sebagai berikut:

    1. Ekstraksi cara dingin

    Metode jenis ini merupakan metode ekstraksi yang tidak melalui proses

    pemanasan selama proses ekstraksi tersebut berlangsug, dengan tujuan untuk

    menghindari adanya kerusakan senyawa karena adanya pemanasan. Ada

    beberapa jenis ekstraksi dingin, antara lain:

    a. Metode Maserasi

    Maserasi adalah metode ekstrasi paling sederhana dengan proses

    pengesktrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali

    pengadukan. Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman

    dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah yang tertutup rapat pada suhu

    kamar (Pratiwi, 2008). Keuntungan menggunakan metede ini yakni mudah

    tidak melalui pemanasan sehingga kecil kemungkinan terjadinya kerusakan

    pada senyawa yang ada pada bahan. Pemilihan pelarut yang sesuai dapat

    memudahkan pemisahan bahan dalam sempel dan pengerjaan metode yang

    lama dan dalam keadaan diam selama proses ekstrasi memungkinkan

    banyak yang akan terekstrasi (Susanty, 2016).

    b. Metode Perkolasi

    Metode perkolasi yaitu sebuah metode dengan cara penyaringan yang

    dilakukan dengan mengalirkan cairan pelarut melalui serbuk bahan atau

    simplisia yang telah dibahasi terlebih dahulu (Ibtisam, 2008). Dalam proses

  • 20

    perkolasi menggunakan pelarut lebih banyak dan umumnya dilakukan pada

    suhu ruang (Departemen Kesehatan, 2000).

    2. Ekstraksi cara panas

    Metode jenis ini merupakan metode yang melibatkan panas dalam proses

    ekstraksi. Dengan adanya proses pemanasan secara otomatis mempercepat

    proses penyaringan dibandingkan dengan cara dingin. Ada beberapa jenis

    ekstraksi panas, antara lain:

    a. Metode Refluks

    Metode refluks merupakan metode ekstraksi panas dengan menggunkaan

    teknik penyulingan (destilasi). Prinsip dari metode tersebut adalah pelarut

    yang digunakan akan menguap pada suhu yang tinggi. Umumnya dalam

    proses ekstraksi dilakukan pengulangan sampai 3-5 kali sehingga dapat

    dikatakan dalam proses ekstraksi sempurna (Departemen Kesehatan, 2000).

    b. Metode Soklet

    Soklet atau sokletasi adalah metode yang digunakan untuk memisahkan

    suatu komponen yang terdapat dalam suatu zat padat dengan cara

    penyaringan berulang dengan menggunakan pelarut.metode jenis ini hampir

    sama dengan refluk hanya saja pada metode ini bahan dan pelarut yang akan

    digunakan dipisahkan (Hulupi, 2014).

    2.1.6 Sumber Belajar

    1. Pengertian Sumber Belajar

    Association of Educational Communication Technology (AECT) mengartikan

    bahwa sumber belajar merupakan semua sumber yang berupa data, orang atau

  • 21

    benda yang dapat dijadikan sebagai fasilitas (kemudahan) dalam proses belajar

    bagi siswa. Selain itu warsita (2008) mendefinisikan sumber belajar merupakan

    seluruh komponen system intruksional baik yang dirancang secara khusus

    ataupun yang menurut sifatnya dapat digunakanan atau dimanfaatkan dalam

    kegiatan belajar mengajar. Sedangkan menurut sudjana dan rivai (2009)

    mengartikan bawasannya sumber belajar merupakan suatu daya yang dapat

    dimanfaatkan untuk kepentingan proses pembelajaran baik secara langsung

    ataupun tidak langsung, sebagian ataupun keseluruhan.

    Dengan demikian sumber belajar dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang

    dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk memperoleh informasi dan

    dapat digunakan ataupun dimanfaatkan oleh seseorang untuk memfasilitasi,

    mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar.

    Secara umum sumber belajar dapat dikategorikan kedalam 6 (enam) jenis, yaitu:

    a. Message (pesan), yaitu informasi/ajaran yang diteruskan oleh komponen

    lain dalam bentuk gagasan, fakta, arti dan data.

    b. People (orang), yakni manusia yang bertindak sebagai penyimpan,

    pengolah, dan penyaji pesan. Termasuk kelompok ini misalnya dosen, guru,

    tutor, dll.

    c. Materials (bahan), yaitu perangkat lunak yang mengandung pesan untuk

    disajikan melalui penggunaan alat/perangkat keras, ataupun oleh dirinya

    sendiri.

    d. Device (alat), yakni sesuatu (perangkat keras) yang digunakan yang

    digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimpan dalam bahan.

  • 22

    e. Technique (teknik), yaitu prosedur atau acuan yang dipersiapkan untuk

    penggunaan bahan, peralatan, orang, lingkungan untuk menyampaikan

    pesan.

    f. Setting (lingkungan), yaitu situasi atau suasana sekitar dimana pesan

    disampaikan. Baik lingkungan fisik ataupun non fisik.

    2. Klasifikasi Sumber Belajar

    Menurut Warsita (2008) ditinjau dari tipe atau asal-usulnya, sumber belajar

    dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

    a. Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design), yaitu

    sumber belajar yang secara khusus dirancang atau dikembangkan untuk

    mencapai tujuan pembelajaran tertentu.

    b. Sumber belajar yang dimanfaatkan (learning resources by utilization), yaitu

    sumber belajar yang tidak secara khusus dirancang atau dikembangkan

    untuk keperluan pembelajaran akan tetapi sumber belajar ini dapat dipilih

    atau dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.

    3. Fungsi Sumber Belajar

    Melihat potensi yang dimiliki sumber belajar yang demikian besar, Sudjana dan

    Rivai (2009) menyatakn bahwa ada beberapa fungsi sumber belajar, yakni:

    a. Menimbulkan kegairahan belajar,

    b. Memungkinkan adanya interaksi langsung antara pesert didik dengan

    lingkungan,

    c. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat mencari

    pengalaman langsung,

  • 23

    d. Memungkinkan peserta didik untuk belajar mandiri ,

    e. Menghilangkan kekacauan penafsiran yang berbeda akibat sumber yang

    digunakan tidak dapat menggambarkan atau menjelaskan hakekat atau

    pengertian dari suatu yang diajarkan.

    4. Pemanfaatan Hasil Penelitian Sebagai Sumber Belajar.

    Menurut Djohar dalam (Situmorang, 2016) pemanfaatan hasil penelitian

    sebagai sumber belajar yang ideal harus memenuhi beberapa kriteria sebagai

    berikut :

    a. Kejelasan potensi, ketersedian objek pembelajaran dan permasalahan yang

    dapat diungkap untuk menghasilkan fakta dan konsep dari hasil penelitian

    yang dilaksanakan.

    b. Kesesuaian dengan tujuan belajar, memiliki kesesuaian dengan kompetensi

    dasar (KD) pembelajaran.

    c. Kejelasan sasaran, terdiri dari objek dan subjek penelitian.

    d. Kejelasan informasi, terdapat dua aspek yaitu proses maupun produk

    penelitian yang telah disesuaian dengan kurikulum.

    e. Kejelasan pedoman eksplorasi, perlu adanya prosedur kerja dalam

    melakukan penelitian.

    f. Kerjelasan perolehan yang diharapkan, berupa proses dan produk penelitian

    yang berdasarkan aspek dalam tujuan belajar biologi.

  • 24

    2.2 Kerangka Konseptual

    Gambar 2.2 Gambar Kerangka Konsep Penelitian

    Daun Tembakau

    (Nicotiana tabacum L)

    Pityriasis versicolor

    Malassezia furfur

    Menghambat pertumbuhan jamur dan Menyebabkan

    kematian sel jamur

    Hasil penelitian dikaji sebagai sumber belajar biologi

    Flavonoid

    Minyak atsiri

    Nikotin

    Dinding Sel

    Nukleus

    Membran Sel

    Mitokondria

    RE

    Komponen pada permukaan sel

    (protein, asam nukleat, nukleotida)

    Permeabilitas membrane sel Sintesa protein

    Penipisan dinding sel

    Hancurnya organel dalam sel

    Transport nutrisi

    berkurang

    Kebocoran

    membrane sel

  • 25

    2.3 Hipotesis Penelitian

    Berdasarkan kajian teoritik yang ada, maka hipotesis dalam penelitian ini

    adalah:

    1. Terdapat pengaruh pemberian berbagai konsentrasi ekstrak daun

    tembakau terhadap zona hambat pertumbuhan jamur Malassezia furfur.

    2. Aplikasi pemanfaatan hasil penelitian pengaruh pemberian ekstrak daun

    tembakau terhadap zona hambat pertumbuhan jamur Malassezia furfur

    sebagai sumber belajar biologi.