bab ii kajian pustaka 2.1 kajianteori pengertian...
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 KajianTeori
Kajian teori belajar mencangkup hal Pengertian Belajar, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Belajar, Hasil Belajar, dan Prinsip-prinsip Belajar. Hal-hal
tersebut terjabar dalam penjelasan berikut:
2.1.1 Pengertian Belajar
Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi belajar. Menurut Jamal
Ma‟mur (2010: 63) belajar adalah proses membangun makna atau pemahaman
oleh pembelajar terhadap pengalaman dan informasi yang disaring dengan
pandangan, pikiran pengetahuan yang dimiliki dan perasaan. Selaras dengan
pendapat di atas. Menurut Syaiful Bahri dan Aswan (2010: 10) belajar adalah
proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Menurut Slameto
(2010: 2) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai
hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Dari pendapat yang disampaikan oleh ketiga tokoh pendidikan tersebut
dapat dikumpulkan penulis bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku , baik
yang menyangkut pandangan, pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan
meliputi segenap organisme atau pribadi. Maka dari itu siswa harus aktif mencari
pengalaman, informasi dan keterampilan sebagai hasil pengalamanya sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya.
Menurut Thorndike (dalam Hamzah, 2007: 191) inti belajar adalah
membentuk asosiasi-asosiasi antara perangsang (stimulus) yang mengenai
organisme melalui sistem susunan saraf dan reaksi (respon) yang diberikan oleh
organisme itu terhadap perangsang. Menurut Baharudin (2007: 11) belajar
merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi,
keterampilan, dan sikap. Menurut Skinner yang( dalam Dimyati dan Mudjiono,
2009: 9) bahwa belajar merupakan hubungan antara stimulus dan respons yang
tercipta melalui proses tingkah laku.
8
Dari rumusan tersebut dapat dilihat bahwa proses belajar tidak sama
dengan perbuatan (Performance) juga tidaklah sama dengan kematangan yaitu
dimana suatu fungsi berada dalam keadaan siap pakai. Tetapi langkah dalam
proses belajar memang membutuhkan kematangan dan usaha. Untuk
meningkatkan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman,
keterampilan, daya pikir dan lain-lain.
Setelah mengupas mengenai pengertian belajar dari para ahli dapat
diperoleh kesimpulan bahwa belajar adalah perubahan pada diri seseorang yang
melakukan perbuatan belajar itu. Perubahan itu dapat dinyatakan sebagai suatu
kecakapan, suatu kebiasaan, suatu sikap, suatu pengertian sebagai pengetahuan
atau apresiasi (penerimaan atau penghargaan) dan lain-lain. Tujuan dari belajar
adalah untuk memperoleh hasil belajar yang baik maka setelah mengupas
mengenai belajar akan dilanjutkan pada pembahasan hasil belajar.
2.1.2 Pengertian Hasil Belajar
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2004: 65), hasil belajar merupakan hal
yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi
siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila
dibandingkan pada saat sebelum belajar. Menurut Agus Suprijono (2009: 5) hasil
belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap,
apresiasi dan ketrampilan. Menurut Hamzah B. Uno (2008: 213) menyatakan
bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap dalam diri
seseorang sebagai akibat dari interaksi seseorang dengan lingkungannya.
Setelah mengkaji pengertian hasil belajar dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah perubahan tingkah laku yang lebih baik bila dibanding saat belum
belajar. Perubahan ini tentunya segala perubahan yang bersifat progresif yang
diharapkan kearah yang lebih baik. Bagi seorang siswa hasil belajar ini dapat
dilihat melalui perubahan yang terjadi pada seorang siswa mulai dari belum
pandai setelah belajar maka menjadi pandai, belum bisa menjadi bisa, belum
mampu manjadi mampu. Tentunya setelah anak tersebut berinteraksi dengan
9
lingkungan seperti interaksi dengan teman sejawatnya, interaksi didalam
kelompok belajar yang ada didalam kelas.
Nana Sudjana (2009) menyatakan bahwa proses penilaian terhadap hasil
belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan siswa dalam
upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya melalui kegiatan belajar. Selanjutnya
dari informasi tersebut guru dapat menyusun dan membina kegiatan-kegiatan
siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas maupun individu. Setiap
keberhasilan belajar diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang diperoleh siswa.
Keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pengajaran diwujudkan dengan nilai.
Nana Sudjana (2004: 23) Hasil belajar yang diperoleh siswa adalah
sebagai akibat dari proses belajar yang dilakukan oleh siswa, harus semakin tinggi
hasil belajar yang diperoleh siswa. Proses belajar merupakan penunjang hasil
belajar yang dicapai siswa.
Hasil belajar siswa meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif,
dan aspek psikomotorik. (1) Aspek kognitif, kemampuan kognitif yang meliputi:
pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. (2) Aspek
afektif, kemampuan afektif meliputi penerimaan, partisipasi, penilaian, dan
penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup. (3) Aspek
psikomotorik, kemampuan psikomotorik meliputi: persepsi, kesiapan, gerakan
tebimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, gerakan penyesuaian dan
kreativitas. (Hamalik, 2008: 161).
Jadi hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah
mengalami proses belajar, yang wujudnya berupa perubahan tingkah laku berupa
kemampuan kognitif, afektif, maupun psikomotornya. Hasil belajar aspek kognitif
yang digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai
suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami
belajar dengan diiringi oleh perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi.
2.1.2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan
belajar yang kondusif. Hal ini akan berkaitan dengan faktor dari luar siswa.
10
Adapun faktor yang mempengaruhi adalah mendapatkan pengetahuan, penanaman
konsep dan keterampilan, dan pembentukan sikap. Menurut Slameto (2010: 54)
faktor yang mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi dua yaitu: faktor
intern meliputi: faktor jasmaniah, psikologis, dan kelelahan, dan ekstern meliputi:
faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat.
1) Faktor-faktor intern
Faktor intern adalah faktor yang berasal dari diri siswa. Faktor intern ini
terbagi menjadi tiga faktor yaitu: faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor
kelelahan.
a. Faktor jasmaniah
Pertama adalah faktor kesehatan. Sehat berarti dalam keadaan baik
segenap badan beseta bagian-bagiannya atau bebas dari penyakit. Kesehatan
seseorang sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Proses belajar
akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu, selain itu ia akan cepat
lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, mengantuk jika badannya lemah,
kurang darah ataupun ada gangguan fungsi alat indera serta tubuhnya.
b. Faktor psikologis
Sekurangnya ada tujuh faktor yang tergolong ke dalam faktor
psikologis yang mempengaruhi belajar. Faktor-faktor itu adalah: pertama
inteligensi yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam
situasi yang baru dengan cepat dan efektif, menggunakan konsep-konsep
yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan
cepat. Kedua perhatian yaitu keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itupun
semata-mata tertuju kepada suatu objek atau sekumpulan objek. Ketiga minat
adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang
beberapa kegiatan. keempat bakat yaitu kemampuan untuk belajar.
Kemampuan ini akan baru terealisasi menjadi kecakapan nyata sesudah
belajar atau berlatih. Kelima motif harus diperhatikan agar dapat belajar
dengan baik harus memiliki motif atau dorongan untuk berfikir dan
memusatkan perhatian saat belajar. Keenam kematangan adalah suatu tingkat
pertumbuhan seseorang. Ketujuh kesiapan adalah kesediaan untuk memberi
11
renspon atau bereaksi. Dari faktor-faktor tersebut sangat jelas mempengaruhi
belajar, dan apabila belajar terganggu maka hasil belajar tidak akan baik.
c. Faktor kelelahan
Kelelahan seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu: kelelahan jasmani dan kelelahan rohani
(bersifat praktis).
Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul
untuk membaringkan tubuh. Kelelahan jasmani terjadi karena kekacauan
substansi sisa pembakaran di dalam tubuh. Sehingga darah tidak lancar pada
bagian-bagian tertentu.
Kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan
kebosanan, sehingga minat untuk menghasilkan sesuatu hilang.kelelahan ini
sangat terasa pada bagian kepala sehingga sulit untuk berkonsentrasi, seolah-
olah otak kehabisan daya untuk bekerja. Kelelahan rohani dapat terjadi terus-
menerus karena memikirkan masalah yang dianggap berat tanpa istirahat,
menghadapi suatu hal yang selalu sama atau tanpa ada variasi dalam
mengerjakan sesuatu karena terpaksa dan tidak sesuai dengan bakat, minat
dan perhatiannya.
2) Faktor-faktor ekstern
Faktor eksten adalah faktor yang berasal dari luar siswa. Faktor ini
meliputi: faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat yaitu dengan
penjelasan sebagai berikut:
a. Faktor sekolah
Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode
mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa,
disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan
gedung, metode belajar, dan tugas rumah.
Sekolah adalah lingkungan kedua yang berperan besar memberi
pengaruh pada hasil belajar siswa. Sekolah harus menciptakan suasana yang
kondusif bagi pembelajaran, hubungan dan komunikasi perorang di sekolah
berjalan baik, kurikulum yang sesuai, kedisiplinan sekolah, gedung yang
12
nyaman, metode pembelajaran aktif-interaktif, pemberian tugas rumah, dan
sarana penunjang cukup memadai seperti perpustakaan sekolah dan sarana
yang lainnya.
b. Faktor masyarakat
Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh terhadap
hasil belajar siswa. Pengaruh ini karena keberadaan siswa dalam masyarakat.
Faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa ini meliputi: pertama kegiatan
siswa dalam mayarakat yaitu misalnya siswa ikut dalam organisasi
masyarakat, kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan lain-lain, belajar akan
terganggu, lebih-lebih jika tidak bijaksana dalam mengatur waktunya. Kedua
multi media misalnya: TV, radio, bioskop, surat kabar, buku-buku, komik dan
lain-lain. Semua itu ada dan beredar di masyarakat. Ketiga teman bergaul,
teman bergaul siswa lebih cepat masuk dalam jiwanya daripada yang kita
duga. Teman bergaul yang baik akan memberi pengaruh yang baik terhadap
diri siswa begitu sebaliknya. Contoh teman bergaul yang tidak baik misalnya
suka begadang, pecandu rokok, keluyuran minum-minum, lebih-lebih
pemabuk, penjinah, dan lain-lain. Keempat bentuk kehidupan masyarakat.
Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh pada hasil belajar
siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar,
penjudi, suka mencuri, dan mempunyai kebiasaan yang tidak baik akan
berpengaruh jelek kepada siswa yang tinggal di situ.
Dari penjelasan di atas ada dua faktor yang mempengaruhi hasil
belajar. Faktor tersebut yaitu: faktor intern meliputi: faktor jasmaniah,
psikologis, dan kelelahan, dan faktor ekstern meliputi: faktor keluarga,
sekolah, dan masyarakat.
Dari beberapa faktor di atas dapat disimpulkan bahwa untuk
memperoleh hasil belajar yang baik dan memuaskan, maka siswa harus
memperhatikan faktor-faktor di atas. Dimana faktor-faktor tersebut
digolongkan menjadi dua yaitu bisa faktor dari dalam siswa dan dari luar
siswa. Dan untuk meningkatkan hasil belajar maka siswa dituntut untuk
memiliki kebiasaan belajar yang baik.
13
2.1.3 Ilmu Pengetahuan Alam
2.1.3.1 Pengertian IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan
atau Sains yang semula berasal dari bahasa Inggris „science‟. Kata „sciense‟
sendiri berasal dari kata dalam Bahasa Latin „scientia‟ yang berarti saya tahu.
„Science‟ terdiri dari social sciences (ilmu pengetahuan sosial) dan natural
sciences (ilmu pengetahuan alam).
Ilmu Pengetahuan Alam (selanjutnya disebut IPA) merupakan suatu ilmu
yang menawarkan cara-cara kepada kita untuk dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan itu, IPA pun menawarkan cara kepada kita untuk dapat
memahami kejadian, fenomena, dan keragaman yang terdapat d alam
semesta, dan yang paling penting adalah IPA juga memberikan pemahaman
kepada kita bagaimana caranya agar kita dapat hidup dengan cara
menyesuaikan diri terhadap hal-hal tersebut (Baharudin, 2011).
Menurut Trianto (2007: 136), IPA adalah suatu kumpulan teori yang
sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam, lahir dan
berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta
menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan sebagainya.
Menurut Wasih Djojosoediro (2011) bahwa IPA merupakan cabang pengetahuan
yang dibangun berdasarkan pengamatan dan klasifikasi data, dan biasanya disusun
dan diverifikasi dalam hukum-hukum yang bersifat kuantitatif, yang melibatkan
aplikasi penalaran matematis dan analisis data terhadap gejala-gejala alam.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan IPA adalah ilmu pengetahuan
yang mempelajari alam, sikap dan keadaan sekitar.
Secara sistematis, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara
mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya
penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau
prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan
IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri
sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam
menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan IPA dapat
dimasukkan dalam klasifikasi ilmu pendidikan karena dimensi pendidikan IPA
sangat luas dan sekurang-kurangnya meliputi unsur-unsur (nilai-nilai) social
14
budaya, etika, moral dan agama. Oleh sebab itu, belajar IPA bukan hanya sekedar
memahami konsep ilmiah dan aplikasi dalam masyarakat, melainkan juga untuk
mengembangkan berbagai nilai yang terkandung dalam dimensi Pendidikan IPA.
Dan dari penjelasan diatas dapat disimpulkan pengertian IPA merupakan
ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang terdapat di alam, baik itu zat
yang terkandung atau gejala yang terdapat di alam. IPA merupakan pengetahuan
mempunyai kebenaran melalui metode ilmiah baik secara induktif ataupun
deduktif, dengan ciri: objektif, metodik, sistimatis, universal, dan tentatif.
2.1.3.2 Pembelajaran IPA
Pembelajaran IPA di sekolah diharapkan memberi berbagai pengalaman
pada anak yang mengijinkan mereka melakukan berbagai penelusuran ilmiah yang
relevan, KTSP (2006).
Menurut Trianto (2007: 141) menyatakan bahwa cangkupan yang terdapat
dalam IPA meliputi alam semesta keseluruhan, benda-benda yang ada di
permukaan bumi, di dalam perut bumi dan di luar angkasa, baik yang dapat
diamati indera maupun yang tidak dapat diamati dengan indera. Menurut
Abruscato (1999: 58) mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar
menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang
membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi, Ide pokoknya
adalah siswa secara aktif membangun pengetahuan mereka sendiri, otak siswa
sebagai mediator, yaitu memproses masukan dari dunia luar dan menentukan apa
yang mereka pelajari.
Menurut teori perkembangan kognitif Piaget (dalam Trianto, 2010: 70)
bahwa anak membangun sendiri skemanya serta membangun konsep-konsep
melalui pengalaman-pengalamannya. Piaget membedakan perkembangan kognitif
seorang anak menjadi empat taraf, yaitu 1) taraf sensorimotor (0-2 th), (2) taraf
pra-operasional (2-7 th), (3) taraf operasional konkrit (7-11 th), dan (4) taraf
operasional formal (11-15 th). Walaupun ada perbedaan individual dalam hal
kemajuan perkembangan, tetapi teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa
tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu
15
berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Perkembangan kognitif sebagian besar
bergantung seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan
lingkungan. Piaget (2008) menyatakan peran guru sebagai fasilitator, bukan
sebagai pemberi informasi. Guru perlu menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif bagi siswa-siswanya dan membantu siswa menghubungkan antara apa
yang sudah diketahui siswa dengan apa yang sedang dan akan dipelajari.
Dari uraian di atas, satu prinsip paling penting dalam pendidikan adalah
bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa
agar secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat
memberikan kepada siswa atau peserta didik pemahaman yang lebih tinggi,
dengan catatan siswa sendirilah yang harus membangun pengetahuan mereka
sendiri. Tugas guru bukan lagi sebagai pentransfer pengetahuan dari otaknya
kepada otak siswa. Tugas guru berubah menjadi lebih sebagai fasilitator yang
membantu agar siswa sendiri belajar dan menekuni bahan yaitu dengan
menggunakan ketrampilan proses.
2.1.4 Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil
penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang
berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implementasinya pada
tingkat operasional di kelas Agus Suprijono (2009: 46).
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang
digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas
atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-
perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer,
kurikulum, dan lain-lain. Selanjutnya setiap model pembelajaran
mengarahkan kita ke dalam mendesain pembelajaran untuk membantu
peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai
menurut Trianto (2007: 51)
Hal ini juga didukung oleh pendapat Aunurrahman (2009: 146) yang
menyatakan bahwa model pembelajaran diartikan sebagai kerangka konseptual/
perangkat rencana yang digunakan untuk merancang bahan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pembelajaran di kelas atau di tempat lain yang melaksanakan
16
pembelajaran yang berfungsi sebagai pedoman bagi guru dan perancang
pembelajaran dalam aktifitas pembelajaran.
Menurut Trianto (2007: 8) mengatakan bahwa untuk melihat tingkat
kelayakan suatu model pembelajaran untuk aspek validitas dibutuhkan ahli dan
praktisi untuk memvalidasi model pembelajaran yang dikembangkan. Sedangkan
untuk aspek kepraktisan dan efektivitas diperlukan suatu perangkat pembelajaran
untuk melaksanakan model pembelajaran yang dikembangkan. Sehingga untuk
melihat ke dua aspek ini perlu dikembangkan suatu perangkat pembelajaran untuk
suatu topik tertentu yang sesuai dengan model pembelajaran yang dikembangkan.
Selain itu dikembangkan pula instrumen penelitian yang sesuai dengan tujuan
yang diinginkan.
Dari beberapa pengertian model pembelajaran yang telah disampaikan
oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah pola atau
kerangka konseptual yang digunakan oleh perancang pengajaran dan para guru
sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran atau merancang aktivitas
belajar mengajar secara sistematis di kelas. Model pembelajaran sangat berkaitan
dengan gaya belajar peserta didik dan guru mengajar.
2.1.5 Hakekat Pembelajaran Kontekstual
2.1.5.1 Pengertian Pembelajaran
Menurut Hamzah B. Uno (2006: 2) Pembelajaran atau pengajaran adalah
upaya untuk membelajarkan siswa. Dalam pengertian secara implisit dalam
pengajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode
untuk mencapai hasil pengajaran yang diinginkan.
Menurut Trianto (2010: 51), pembelajaran adalah suatu perencanaan atau
suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran
di kelas atau pembelajaran dalam tutorial.
17
2.1.5.2 Pengertian Kontekstual (CTL)
Model pembelajaran kontekstual (CTL) pada hakekatnya meliputi
pengertian, karakteristik, dan kelebihan. Adapun penjabarannya adalah sebagai
berikut:
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sebuah system yang
menyeluruh. Contextual Teaching and Learning (CTL) terdiri dari bagian-bagian
yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan
dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secara
terpisah. Dengan demikian bagian-bagian CTL yang terpisah melibatkan proses-
proses yang berbeda, yang ketika digunakan secara bersama-sama, memampukan
para siswa membuat hubungan yang menghasilkan makna. Setiap bagian CTL
yang berbeda-beda ini memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami
tugas sekolah.
Menurut Johnson (2006: 65) Contextual Teaching and Learning (CTL)
merupakan proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna
di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan
subjek-subjek akademik dalam konteks kehidupan keseharian mereka, yaitu
dengan konteks keadaan pribadi,social dan budaya mereka.
Untuk mencapai tujuan ini, system tersebut meliputi tujuh komponen:
membuat keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti,
melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerjasama, membantu
individu untuk menumbuh dan kembangkan, berpikir kritis dan kreatif untuk
mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penelitian autentik.
Menurut Johnson (2002: 35) Contextual Teaching and Learning adalah
pembelajaran dan pengajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam aktivitas
penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks
kehidupan nyata yang mereka hadapai. Menurut Nanang dan cucu (2009: 67)
Contextual Teaching and Learning merupakan suatu proses pembelajaran holistik
(menyeluruh) yang bertujuan untuk membelajarkan peserta didik dalam
memahami dalam memahami bahan ajar secara bermakna (meaningfull) yang
18
dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata, beik berkaitan dengan lingkungan
pribadi, agama, sosial, ekonomi, maupun kultural.
Dari pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa pembelajaran kontekstual
adalah konsep belajar pada saat guru menghadirkan dunia nyata kedalam kelas
dan mendorong peserta didik membuat hubungan atau pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Sanjaya (dalam Udin Syaefudin, 2008: 162) pembelajaran
kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh
untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannyadengan
situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan mereka.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kontekstual adalah konsep belajar pada saat guru menghadirkan dunia nyata ke
dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara
siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas,
sedikit demi sedikit, dan dari proses mengonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk
memecahkan masalah dalam kehidupannya sehari-hari.
2.1.5.3 Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Dalam bagian berikut akan di jelaskan beberapa karakteristik pembelajaran
kontekstual yang dikemukakan Johnson (dalam Kokom, 2002: 24). Ada delapan
komponen utama dalam system pembelajaran kontekstual , seperti dalam rincian
berikut:
a) Melakukan hubungan yang bermakna (Making meaningfull connections).
Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif
dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang dapat bekerja sendri
atau bekerja dalam kelompok dan orang dapat belajar sambil berbuat (Learning
By Doing).
b) Melakukan kegiatan yang signifikan (Doing Significan Work).
19
Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks
yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota
masyarakat.
c) Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning)
Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks
yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota
masyarakat.
d) Bekerja sama (collaborating)
Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam
kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling
mempengaruhi dan saling bekomunikasi.
e) Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking)
Siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan
kreatif yaitu dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah,
membuat keputusan, dan menggunkan logika dan bukti-bukti.
f) Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual)
Siswa memelihara pribadinya yaitu mengetahui, memberi perhatian, memiliki
harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa
menghormati temannya dan orang dewasa. Namun siswa tidak akan berhasil tanpa
dukungan orang dewasa.
g) Mencapai standar yang tinggi (reaching high standard)
Siswa mengenal dan mencapai setandar yang tinggi yaitu mengidentifikasi
tujuan dan memotifasi siswa untuk mencapainya.
h) Menggunakan penilaian yang autentik (using authentic assesment)
Proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran atau
informasi tentang perkembangan pengalaman belajar siswa. Gambaran
perkembangan pengalaman siswa perlu diketahui guru setiap saat agar bisa
memastikan benar tidaknya proses belajar siswa. Dengan demikian, penilaian
authentic diarahkan pada proses mengamati, menganalisa, dan menafsirkan data
yang telah terkumpul ketika atau dalam proses pembelajaran siswa berlangsung,
bukan hanya pada hasil pembelajaran. Penilaian autentik memberikan kesempatan
20
luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses
belajar-mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh
guru adalah portfolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.
2.1.5.4 Prinsip Pembelajaran Kontekstual
Berkaitan dengan faktor kebutuhan individu siswa, untuk menerapkan
pembelajaran kontekstual guru perlu memegang prinsip pembelajaran berikut ini:
1) Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran pengambangan mental
(Developmentally appropriate) siswa.
2) Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung (Independent Learning
Group).
3) Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran yang mandiri (Self
Regulated Learning).
4) Lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri memiliki tiga
karakteristik umum yaitu kesadaran berfikir, penggunaan strategi penelitian
siswa usia 5-16 tahun secara bertahap mengalami perkembangan kesadaran
terhadap:
a. Keadaan pengetahuan yang dimilikinya.
b. Karakteristik tugas – tugas yang mempengaruhi pembelajaran secara
individual
c. Strategi belajarnya
d. Mempertimbangkan keragaman siswa (Disversity Of Students)
e. Di dalam kelas guru harus mengajar siswa dengan berbagai keragamanya,
misalnya latar belakang suku bangsa, status sosial ekonomi, bahasa utama
yang di pakai di rumah dan berbagai kekurangan yang mungkin mereka
miliki. Dengan demikian diharapkan guru dapat membantu siswa untuk
mencapai tujuan pembelajaranya.
f. Memperhatikan multi intelegensi (Multiple Intelligences Siswa).
21
2.1.5.5 Penerapan Pembelajaran Kontekstual di Kelas
Ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan
pembelajaran kontekstual di kelas. Ketujuh komponen utama itu adalah
kontruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry),
Masyarakat belajar (Learning Comminity), pemodelan (Modeling), refleksi
(Reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment). Sebuah kelas
di katakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh
komponen tersebut dalam pembelajaranya. CTL dapat diterapkan dalam
kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun
keadaanya.
Menurut Depdiknas (2004: 17) dalam pembelajaran kontekstual, program
pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelasa yang dirancang guru, yang
berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang dilakukan bersama siswanya
sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin
tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran,
langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessmentnya. Dalam konteks ini,
proses pembelajaran yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa
yang akan dikerjakan bersama siswanya.
Secara umum tidak ada perbedaan mendasarkan format antara program
pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Program
pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan
dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran
kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya.
Berkaitan dengan pembahasan diatas, saran pokok dalam penyusunan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai
berikut. Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan
kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi,
Kompetensi dasar, Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar, nyatakan tujuan
umum pembelajarannya, rincilah media untuk mendukung kegiatan itu, buatlah
skenario tahap demi tahap kegiatan siswa, nyatakan authentic assessmentnya,
yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran.
22
Menurut Trianto (2007: 106) Secara garis besar langkah-langkah
penerapan CTL dalam kelas sebagai berikut:
1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan
cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri
pengetahuan dan ketrampilan barunya.
2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
4) Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok)
5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
6) Lakukan refleksi di akhir pertemuaan.
7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Dari teori di atas bahwa langkah-langkah penerapan model pembelajaran
kontekstual disimpulkan siswa belajar dengan cara bekerja sendiri, menemukan
sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya. Selain
itu, guru harus menciptakan proses pembelajaran dengan mengembangkan sifat
rasa ingin tahu siswa dengan bertanya, belajar kelompok. Pendidik melakukan
refleksi diakhir pertemuan dan melakukan penilaian yang sebenarnya dengan
berbagai cara, penilaian menekankan pada proses pembelajaran, data yang
dikumpulkan dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan
pembelajaran.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan merupakan hasil penelitian orang lain yang relevan
dijadikan titik tolak penelitian dalam mencoba melakukan pengulangan, merevisi,
memodifikasi dan sebagainya. Hasil penelitian yang relevan atau yang hampir
sama dengan penelitian ini adalah
a) “Peningkatan Kemampuan Mengarang Deskriftif Siswa Kelas V SD Negeri 5
Tambirejo Dengan Metode Contextual Teaching And learning Semester II
Tahun Pelajaran 2008/2009”,dengan menggunakan pembelajaran
kontekstual dalam mata pelajaran Sains/ IPA, dengan tujuan untuk
mengembangkan kemampuan spiritual siswa. Dan di dalam penelitian ini
peneliti mengharapkan pembelajaran dengan pemanfaataan Pembelajaran
kontekstual dapat mewujudkan pemahaman secara langsung yang di alami
oleh siswa tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Sains
bermanfaat bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar.
23
Pendidikan Sains menekankan pada pemberian pengalaman langsung
dan kegiatan praktis untuk mengembangkan kompetensi agar siswa
memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan Sains diarahkan untuk
mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Melalui pembelajaran
Sains di sekolah siswa dilatih berpikir, membuat konsep ataupun dalil melalui
pengamatan, dan percobaan. Namun hal tersebut berbeda dengan realita di
lapangan masih terkendala untuk mewujudkan idealita tersebut. Kajian ini
bertujuan menggali bagaimana lingkungan pembelajaran lebih menarik
dengan memunculkan penggunaan pembelajaran Kontekstual sebagai sarana
mewujudkan pembelajaran yang aktif kreaktif dan menyenangkan.
b) Peningkatan Hasil Belajar IPA Tentang Energi Panas Melalui Model
Pembelajaran CTL dan Benda Nyata Bagi Siswa Kelas IV SD Negeri 1
Purwasari [Tati hendrawati, 2011]. Hasil penelitiannya sebagai berikut :
Nilai hasil belajar siswa sebelum dilakukan tindakan penelitian adalah dari
jumlah siswa 33 yang mampu mencapai KKM sebanyak 21 siswa, sedangkan
yang masih dibawah KKM sebanyak 12 siswa. Setelah dilakukan tindakan
penelitian, siklus I diperolah 31 siswa yang tuntas dan 2 siswa yang belum
tuntas. Secara presentase ketuntasan akhir tindakan adalah 91%, dengan
demikian PTK ini dianggap tuntas.
c) Upaya Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mata Pelajaran IPS Mengenal
pentingyya Koperasi Melalui Pembelajaran Kontekstual Siswa Kelas IV SD
Negeri 2 Kanding Kecamatan Somagede Kabupaten
Banyumas.(WarsitiWidiasih). Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui
pembelajaran kontesktual dapat meningkatkan hasil belajar siswa kompetensi
dasar mengenal pentingnya koperasi pada mata pelajaran Ilmu pengetahuan
Sosial. Peneliti menyarankan agar semua guru dapat mencari solusi pada
setiap permasalahan atau kesulitan yang dihadapi dalam melaksanakan
pembelajaran.
24
2.3 Kerangka Pikir
Berkembangnya model pembelajaran pada saat kegiatan belajar mengajar
memiliki implikasi yang luas baik bagi siswa maupun bagi guru. Karena model
pembelajaran inovatif adalah penerapan model pembelajaran yang dipilih dan
diterapkan secara fleksibel untuk disesuaikan dengan perkembangan kemampuan
siswa dan pengalamannya. Bagi guru, pemahaman tentang penggunaan metode
inovatif akan mampu mengubah pola pembelajaran pada siswa di sekolah.
Sedangkan bagi siswa penerapan model pembelajaran di kelas akan memupuk
hasil belajar dan semangat siswa untuk menerima konsep materi dari guru.
Keberhasilan atas hasil belajar siswa dipengaruhi oleh banyak hal, baik yang
berasal dari dalam dan dari luar diri siswa. Salah satu faktor yang diangkat dalam
penelitian ini adalah model pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai
secara efektif dan efisien. Untuk mengimplementasikan model dan rencana
pembelajaran digunakanlah model pembelajaran kontekstual. Kerangka pikirnya
dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir
Pembelajaran
Kontekstual (CTL)
Proses pembelajaran melibatkan
siswa dalam kehidupan sehari-
hari dan dunia nyata .
membangkitkan perhatian,
ketertarikan dan rasa senang
dalam belajar.
Proses pembelajaran
dengan menerapkan model
pembelajaran kontekstual
siswa aktif berpartisipasi
atau melibatkan diri secara
langsung.
Hasil
25
Mulanya tingkat pemahaman siswa masih rendah dalam pelajaran IPA
khususnya tentang “Energi Panas”. Hal yang dialami oleh peserta didik di SD
Negeri 4 Pelem Kecamatan Gabus Kabupaten Grobogan. Kesulitan yang dialami
peserta didik sebagian besar disebabkan oleh struktur mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam bersifat abstrak atau tidak nyata.
Salah satu upaya dalam mengatasi kesulitan tersebut adalah dengan
menggunakan model pembelajaran kontekstual yang berbantuan dengan melihat
dan meneliti sesuai dengan kenyataan atau dunia nyata. Melalui model
pembelajaran kontekstual pada pembelajaran IPA tentang pokok bahasan Energi
Panas, sehingga peserta didik mudah memahaminya, yang pada akhirnya akan
meningkatkan hasil belajar. Siswa dapat menemukan konsep-konsep dan faktanya
sendiri secara langsung.
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pikir yang telah diungkapkan di
kajian teori, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut “Model pembelajaran kontekstual diduga dapat meningkatkan
hasil belajar IPA dengan materi Energi panas pada Siswa Kelas IV SD Negeri 4
Pelem Kecamatan Gabus Kabupaten Grobogan Tahun Pelajaran 2011/ 2012”.