bab ii kajian pustaka 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. hakikat...

20
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil Belajar 1.1.1.1. Hakikat Belajar Slameto (2010: 2) menyatakan bahwa belajar ialah suatu proses yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Selanjutnya diungkapkan bahwa ciri-ciri perubahan tingkah laku tersebut diantaranya: 1) perubahan terjadi secara sadar; 2) perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional; 3) perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif; 4) perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara; 5) perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah; 6) perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku. Djamarah (2010: 10) mendefinisikan belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat pengalaman dan latihan, artinya tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku baik yang berupa pengetahuan, ketrampilan maupun sikap. Sedangkan menurut Baharuddin (2007: 11) menyebutkan bahwa belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketrampilan, dan sikap. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan dalam diri seseorang melalui pengalaman atau pengamatan secara langsung terhadap sesuatu yang memandu perilaku selanjutnya untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketrampilan, dan sikap.

Upload: hoangnguyet

Post on 16-May-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1.1. Landasan Teori

1.1.1. Hasil Belajar

1.1.1.1. Hakikat Belajar

Slameto (2010: 2) menyatakan bahwa belajar ialah suatu

proses yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan

tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil

pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Selanjutnya diungkapkan bahwa ciri-ciri perubahan tingkah laku

tersebut diantaranya: 1) perubahan terjadi secara sadar; 2) perubahan

dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional; 3) perubahan dalam

belajar bersifat positif dan aktif; 4) perubahan dalam belajar bukan

bersifat sementara; 5) perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah; 6)

perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.

Djamarah (2010: 10) mendefinisikan belajar adalah proses

perubahan tingkah laku berkat pengalaman dan latihan, artinya tujuan

kegiatan adalah perubahan tingkah laku baik yang berupa pengetahuan,

ketrampilan maupun sikap. Sedangkan menurut Baharuddin (2007: 11)

menyebutkan bahwa belajar merupakan proses manusia untuk mencapai

berbagai macam kompetensi, ketrampilan, dan sikap.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah

suatu proses perubahan dalam diri seseorang melalui pengalaman atau

pengamatan secara langsung terhadap sesuatu yang memandu perilaku

selanjutnya untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketrampilan,

dan sikap.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

7

1.1.1.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi belajar

seseorang. Faktor tersebut bisa berasal dari dalam diri individu sendiri

maupun berasal dari luar individu.

Slameto (2010: 54) menggolongkan faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi belajar ke dalam dua jenis, yaitu:

a. Faktor Intern yaitu faktor yang ada dalam diri individu yang sedang

belajar.

Faktor intern, terbagi ke dalam tiga faktor:

1) Faktor Jasmaniah, terdiri atas: faktor kesehatan dan faktor

cacat tubuh.

2) Faktor Psikologis, meliputi: intelligensi, perhatian, minat,

bakat, motif, kematangan, kesiapan.

3) Faktor Kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan kelelahan

rohani.

b. Faktor Ekstern yaitu faktor yang ada diluar individu.

Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap prestasi belajar dapat

dikelompokkan menjadi 3 faktor yaitu:

1) Faktor keluarga, seperti: cara orang tua mendidik, relasi antar

anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga,

pengertian orang tua, latar belakang kebudayaan.

2) Faktor sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, relasi

guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah,

alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran,

keadaan gedung, metode belajar, tugas rumah.

3) Faktor masyarakat, diantaranya: kegiatan siswa dalam

masyarakat, media masa, teman bergaul, bentuk kehidupan

masyarakat.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

8

Hampir sama dengan pendapat yang diungkapkan oleh

Slameto mengenai faktor yang mempengaruhi belajar. Dimyati (2010:

238) juga menggolongkan dua jenis faktor yang mempengaruhi belajar

yaitu :

a. Faktor intern yang dialami dan dihayati oleh siswa yang

berpengaruh pada proses belajar sebagai berikut : sikap terhadap

belajar, motivasi belajar, konsentrasi belajar, mengolah bahan

belajar, menyimpan perolehan hasil belajar, rasa percaya diri siswa,

intelegensi dan keberhasilan belajar, kebiasaan belajar dan cita-cita

siswa.

b. Faktor ekstern yang berpengaruh pada aktivitas belajar yaitu : guru

sebagai pembina siswa belajar, prasarana dan sarana pembelajaran,

kebijakan penilaian, lingkungan sosial siswa di sekolah dan

kurikulum sekolah.

Dari uraian diatas mengenai beberapa faktor yang

mempengaruhi belajar. Bermacam-macam keadaan siswa tersebut

menggambarkan bahwa pengetahuan tentang masalah-masalah belajar

merupakan hal yang penting bagi guru dan calon guru baik itu faktor

intern maupun faktor ekstern.

1.1.1.3. Pengertian Hasil Belajar

Kegiatan belajar mengajar dikatakan efisien jika hasil belajar

yang diinginkan dapat dicapai dengan usaha yang sekecil mungkin.

Perwujudan perilaku belajar biasanya dapat dilihat dari adanya

perubahan-perubahan kebiasaan, keterampilan, dan pengetahuan, sikap

dan kemampuan yang biasanya disebut sebagai hasil belajar.

Agus Suprijono (2011: 7) berpendapat bahwa hasil belajar

adalah suatu perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah

satu aspek potensi kemanusiaan saja. Ada korelasi antara proses

pengajaran dengan hasil yang dicapai Nana Sudjana (2010: 37). Makin

besar usaha untuk menciptakan kondisi proses pengajaran, makin tinggi

pula hasil atau produk dari pengajaran itu.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

9

Untuk melihat hasil belajar dilakukan suatu penilaian terhadap

siswa yang bertujuan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai

suatu materi atau belum. Penilaian merupakan upaya sistematis yang

dikembangkan oleh suatu institusi pendidikan yang ditujukan untuk

menjamin tercapainya kualitas proses pendidikan serta kualitas

kemampuan peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Horward Kingsle (Sudjana, 2010: 22) membagi tiga macam

hasil belajar yaitu : (a). Keterampilan dan kebiasaan; (b). Pengetahuan

dan pengertian; (c). Sikap dan cita-cita, yang masing-masing golongan

dapat diisi dengan bahan yang ada pada kurikulum sekolah. Sedangkan

Gagne (Agus Suprijono, 2011: 5) membagi lima kategori hasil belajar,

yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi

kognitif , (d) ketrampilan motorik, dan (e) sikap.

Benyamin Bloom (Sudjana, 2010: 23) secara garis besar

membagi hasil belajar menjadi tiga ranah yaitu :

1. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri

dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman,

aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut

kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk

kognitif tingkat tinggi.

2. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek,

yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan

internalisasi.

3. Ranah psikomotor berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan

kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotor, yakni

gerakan reflek, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual,

keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan komplek, dan

gerakan ekspresif dan interpretative.

Dari beberapa uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa hasil belajar merupakan suatu alat untuk mengukur keberhasilan

siswa sebagai sarana untuk membantu petumbuhan dan perkembangan

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

10

siswa. Hasil belajar dapat dilihat dari hasil nilai ulangan harian

(formatif), nilai ulangan tengah semester (Sub sumatif), dan nilai

ulangan semester (sumatif).

1.1.1.4. Pengukuran Hasil Belajar

Pengukuran dapat dilakukan dengan berbagai alat ukur. Alat

ukur pencapaian hasil belajar siswa juga berbeda-beda sesuai dengan

jenis kemampuan, jumlah siswa yang akan diukur kemampuannya, dan

jumlah waktu yang tersedia.

Menurut Cece Rakhmat (1999: 14) pengukuran pencapaian

belajar siswa, aspek kognitif lazim diukur dengan tes, kurang lazim jika

diukur dengan pengamatan. Begitu pun dengan sikap. Aspek ini lebih

lazim diukur dengan angket atau skala sikap daripada oleh tes. Aspek

psikomotor pun memiliki alat ukur yang lebih sesuai dibanding dengan

kedua alat ukur diatas, yakni pengamatan yang dapat kepustakaan lain

disebut sebagai tes perbuatan. Dengan demikian, tes seperti juga

angket, skala sikap, dan pengamatan, merupakan alat atau instrumen

pengukuran.

1.1.1.5. Prinsip-prinsip Dasar Tes Hasil Belajar

Purwanto (2004: 23) menyebutkan ada beberapa prinsip dasar

yang perlu diperhatikan di dalam menyusun tes hasil belajar agar tes

tersebut benar-benar dapat mengukur tujuan pelajaran yang telah

diajarkan, atau mengukur kemampuan dan atau ketrampilan siswa yang

diharapkan setelah siswa menyelesaikan suatu unit pengajaran tertentu.

1. Tes tersebut hendaknya dapat mengukur secara jelas hasil belajar

(learning outcomes) yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan

instruksional. Oleh karena itu, untuk dapat menyusun tes yang baik,

setiap guru harus dapat merumuskan tujuan dengan jelas, terutama

tujuan instruksional khusus (TIK) sehingga memudahkan baginya

untuk menyusun soal-soal tes yang relevan untuk mengukur

pencapaian tujuan yang telah dirumuskannya.

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

11

2. Mengukur sampel yang representatif dari hasil belajar dan bahan

pelajaran yang telah diajarkan. Oleh karena itu, dalam rangka

mengevaluasi hasil belajar siswa, kita hanya dapat mengambil

beberapa sampel hasil belajar yang dianggap penting dan dapat

“mewakili” seluruh performance yang telah diperoleh selama siswa

mengikuti suatu unit pengajaran.

3. Mencakup bermacam-macam bentuk soal yang benar-benar cocok

untuk mengukur hasil belajar yang diinginkan sesuai dengan

tujuan. Oleh karena itu, penyusunan suatu tes harus disesuaikan

dengan jenis kemampuan hasil belajar yang hendak diukur dengan

tes tersebut.

4. Didesain sesuai kegunaannya untuk memperoleh hasil yang

diinginkan. Khususnya di dalam evaluasi pendidikan yang

menyangkut evaluasi hasil belajar, sedikitnya kita mengenal empat

macam kegunaan tes yaitu placement test, tes formatif, tes sumatif,

dan tes dianostik. Oleh karena itu, penyusunan dan

penyelenggaraan tes harus disesuaikan dengan tujuan dan

fungsinya sebagai alat evaluasi yang diinginkan.

5. Dibuat seandal (reliable) mungkin sehingga mudah

diinterpretasikan dengan baik. Suatu alat evaluasi dikatakan andal

(reliable) jika alat tersebut dapat menghasilkan suatu gambaran

(hasil pengukuran) yang benar-benar dapat dipercaya. Suatu tes

dapat dikatakan andal (memiliki keandalan yang tinggi) jika tes itu

dilakukan berulang-ulang terhadap objek yang sama, hasilnya akan

tetap sama atau relatif sama. Perlu dikemukakan di sini bahwa

suatu tes yang andal belum tentu valid; akan tetapi, jika tes itu

valid, sudah tentu juga andal.

6. Digunakan untuk memperbaiki cara belajar siswa dan cara

mengajar guru. Dengan demikian, penyusunan dan

penyelenggaraan tes hasil belajar yang dilakukan guru, di samping

untuk mengukur sampai di mana keberhasilan siswa dalam belajar

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

12

(evaluasi sumatif), sebaiknya dipergunakan pula untuk mencari

informasi yang berguna untuk memperbaiki cara belajar siswa dan

cara mengajar guru itu sendiri (evaluasi formatif).

1.1.1.6. Tes Formatif

Purwanto (2004: 25) tes formatif yaitu tes yang berfungsi

untuk mencari umpan balik atau feedback yang berguna dalam usaha

memperbaiki cara mengajar yang dilakukan oleh guru dan cara belajar

siswa. Sedangkan menurut Adi Suryanto (2009: 1.34) tes formatif

merupakan salah satu jenis tes yang diberikan kepada siswa setelah

siswa menyelesaikan satu unit pembelajaran.

Hasil tes formatif tidak dimaksudkan untuk memberi nilai

kepada siswa tetapi hasil tes formatif dimanfaatkan untuk memonitor

apakah proses pembelajaran yang baru saja dilaksanakan telah dapat

mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dalam rencana

pembeljaran atau belum.

Jika dari hasil tes formatif ternyata terdapat sejumlah

kompetensi yang belum dikuasai siswa, maka guru harus mencari

penyebabnya. Penyebab tidak dikuasainya kompetensi dapat berasal

dari diri siswa maupun dari pelaksanaan proses pembelajaran, seperti

penggunaan metode dan media pembelajaran yang tidak tepat.

Setelah diketahui penyebabnya, maka dapat ditentukan

tindakan perbaikan pembelajaran yang sesuai, misalnya dengan

mengulang proses pembelajaran secara individu maupun klasikal,

mengulang pembelajaran yang berkaitan dengan sebagian kompetensi

saja, atau mengulang pembelajaran dengan perbaikan metode yang

digunakan. Selanjutnya dilakukan kembali tes formatif untuk

mengetahui apakah siswa telah benar-benar menguasai kompetensi

yang telah ditetapkan.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

13

Djam’an Satori (2010: 3.69) menyebutkan ada beberapa

penggunaan hasil penilaian formatif yaitu :

a. Menetapkan apakah proses mengajar tersebut diulangi atau bisa

dilanjutkan dengan satuan pelajaran lainnya.

b. Merumuskan aspek apa yang perlu dijelaskan kembali kepada

murid.

c. Digunakan sebagai bahan pertimbangan di dalam membantu

menentukan nilai murid pada penilaian sumatif.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tes

formatif adalah tes hasil belajar untuk mengetahui keberhasilan proses

belajar mengajar yang dilakukan oleh guru, guna memperoleh umpan

balik dari upaya pengajaran yang dilakukan oleh guru kepada siswa

setelah siswa menyelesaikan satu unit pembelajaran. Tujuan tes ini

yaitu sebagai dasar untuk memperbaiki produktifitas belajar mengajar.

Contohnya : tes yang dilakukan setelah pembahasan tiap bab atau KD

(kompetensi dasar).

1.1.2. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam

Corey (Umi Zulfa, 2010: 6) mendefinisikan pembelajaran

pada hakekatnya adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang

secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam

tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus untuk menghasilkan

respon terhadap situasi tertentu, sehingga pembelajaran merupakan

subset khusus dari pendidikan. Menurut aliran behavioristik

pembelajaran adalah usaha guru membentuk tingkah laku yang

diinginkan dengan menyediakan lingkungan atau stimulus Hamdani

(2010: 23).

Sedangkan IPA merupakan salah satu pelajaran wajib di

sekolah dasar. Dengan belajar IPA siswa akan dapat mempelajari diri

sendiri dan alam sekitar. Pendidikan IPA menekankan pada pemberian

pemahaman langsung dan kegiatan praktis untuk mengembangkan

kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

14

secara ilmiah. Dalam hal ini IPA dapat melatih anak berpikir kritis dan

objektif Samatowa (2010: 4).

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Ilmu

Pengetahuan atau Sains yang semula berasal dari bahasa Inggris

“science”. Kata “science” sendiri berasal dari kata dalam bahasa latin

“scientia” yang berarti saya tau, “science” terdiri dari social science

(ilmu pengetahuan sosial) dan natural science (ilmu pengetahuan alam).

Menurut Trianto (2010: 136) IPA adalah suatu kumpulan

teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala-

gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti

observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin

tahu, terbuka, jujur dan sebagainya. Sedangkan menurut Abdullah Aly

(2010: 18) IPA adalah suatu pengetahuan teoritis yang diperoleh atau

disusun dengan cara yang khas/khusus, yaitu melakukan observasi

eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, eksperimentasi,

observasi dan demikian seterusnya kait mengkait antara cara yang satu

dengan cara yang lain.

Dalam hal ini mata pelajaran IPA merupakan hasil kegiatan

manusia berupa pengetahuan, gagasan, dan konsep yang terorganisasi

tentang alam sekitar, yang diperoleh dari pengalaman melalui

serangkaian kegiatan ilmiah tentang alam sekitar, yang diperoleh dari

pengalaman melalui serangkaian kegiatan ilmiah antara lain

penyelidikan, penyusunan, dan pengujian gagasan-gagasan demikian

seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain.

1.1.3. Pembelajaran Kooperatif

1.1.3.1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran Kooperatif beranjak dari dasar

pemikiran "getting better together", yang menekankan pada pemberian

kesempatan belajar yang lebih luas dan suasana yang kondusif kepada

siswa untuk memperoleh, dan mengembangkan pengetahuan, sikap,

nilai, serta keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat bagi

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

15

kehidupannya di masyarakat. Melalui model pembelajaran kooperatif,

siswa bukan hanya belajar dan menerima apa yang disajikan oleh guru

dalam KBM, melainkan bisa juga belajar dari siswa lainnya, dan

sekaligus mempunyai kesempatan untuk membelajarkan siswa yang

lain.

Menurut Umi Zulfa (2010: 88) Pembelajaran kooperatif ini

mengandung pengertian suatu rangkaian kegiatan belajar yang

dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk

mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Sedangkan

menurut Kunandar (2009: 359) Pembelajaran kooperatif adalah

pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi

yang saling asuh antar siswa untuk menghindari ketersinggungan dan

kesalah pahaman yang dapat menimbulkan permusuhan. Roger dan

David Johnson (Anita Lie, 2002: 30) juga mengemukakan ada beberapa

unsur dalam pembelajaran kooperatif yaitu :

a. Saling ketergantungan positif

b. Tanggung jawab perseorangan

c. Tatap muka

d. Komunikasi antar anggota

e. Evaluasi proses kelompok

Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan

bahwa pembelajaran kooperatif yaitu kegiatan belajar yang dilakukan

oleh siswa dan dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru yang

berfokus pada penggunaan kelompok kecil untuk melatih kerjasama

antar siswa.

1.1.3.2. Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif

Menurut Wina Sanjaya (2006: 247) beberapa keunggulan

dan kelemahan dalam pembelajaran kooperatif :

1. Keunggulan dalam pembelajaran kooperatif

a. Melalui pembelajaran kooperatif siswa tidak terlalu

menggantungkan pada guru, akan tetapi dapat menambah

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

16

kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan

informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain.

b. Pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan

mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara

verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain.

c. Pembelajaran kooperatif dapat membantu anak untuk respek

pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya

serta menerima segala perbedaan.

d. Pembelajaran kooperatif dapat membantu memberdayakan

setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar.

e. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi akademik

sekaligus kemampuan sosial.

f. Pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan

siswa untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri, menerima

umpan balik.

g. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan siswa

menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak

menjadi nyata (riil).

h. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan motivasi dan

memberikan rangsangan untuk berpikir.

2. Kelemahan dalam Pembelajaran kooperatif

a. Untuk memahami dan mengerti filosofis Pembelajaran

kooperatif memang butuh waktu. Untuk siswa yang dianggap

memiliki kelebihan cotohnya, mereka akan merasa terhambat

oleh siswa yang dianggap kuran memiliki kemampuan.

b. Saling membelajarkan. Oleh karena itu, jika tanpa peer teaching

yang efektif, maka dibandingkan dengan pengajaran langsung

dari guru.

c. Penilaian yang diberikan dalam Pembelajaran kooperatif

didasarkan kepada hasil kerja kelompok.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

17

d. Pembelajaran kooperatif memerlukan periode waktu yang cukup

panjang.

Pembelajaran kooperatif merupakan konsep yang lebih luas

meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang

lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru Agus Suprijono

(2011: 54). Pada saat siswa belajar dalam kelompok akan berkembang

suasana belajar yang terbuka dalam dimensi kesejawatan, karena pada

saat itu akan terjadi proses belajar kolaboratif dalam hubungan pribadi

yang saling membutuhkan. Pada saat itu juga siswa yang belajar dalam

kelompok kecil akan tumbuh dan berkembang pola belajar tutor sebaya

(peer group) dan belajar secara bekerjasama (kooperatif).

1.1.4. Group Investigation (GI)

Model ini merupakan perencanaan pengaturan kelas yang

umum di mana para siswa bekerja dalam kelompok kecil menggunakan

pertanyaan kooperatif, diskusi kelompok, serta perencanaan dan proyek

kooperatif. Pada metode ini para guru yang menggunakan metode GI

umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang

beranggotakan 5 hingga 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen

Kunandar (2009: 366).

Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas

kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik

tertentu. Para siswa memilih yang ingin dipelajari, mengikuti

investigasi mendalam terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih,

kemudian menyiapkan dan menyajikan laporan didepan kelas secara

keseluruhan.

Menurut Sholomo Sharan (2012: 167) proses Investigasi

menekankan inisiatif siswa, dibuktikan dengan pertanyaan-pertanyaan

yang mereka ajukan, dengan sumber-sumber yang mereka temukan,

dan dengan jawaban yang mereka rumuskan.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa model

pembelajaran kooperatif tipe group investigation merupakan model

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

18

pembelajaran kooperatif di mana siswa dalam kelompok-kelompok

kecil melakukan suatu investigasi atau penyelidikan ilmiah untuk

memperoleh suatu pengetahuan.

1.1.4.1. Tahap-tahap Pembelajaran Group Investigation

Robert E. Slavin (2005: 218) mengemukakan enam tahap

kegiatan dalam GI yaitu:

1. Mengidentifikasi Topik dan Mengatur Murid ke dalam kelompok

Tahap ini secara khusus ditujukan untuk masalah

pengaturan. Guru mempresentasikan serangkaian permasalahan atau

isu (misalnya, memahami sejarah atau biologi hutan hujan) dan para

siswa mengidentifikasi dan memilih berbagai macam subtopik untuk

dipelajari, berdasarkan pada ketertarikan dan latar belakang mereka.

Langkah berikutnya adalah membuat agar semua usulan

tersebut bisa dimiliki oleh seluruh kelas. Guru atau siswa dapat

melakukan ini dengan menuliskan seluruh usulan tersebut pada

papan tulis atau dicetak pada kertas yang digantung di dinding, atau

bisa juga dengan membuat kopiannya dan membagikannya kepada

setiap siswa.

Pada langkah akhir dari tahap ini subtopik tersebut

dipresentasikan kepada seluruh kelas, biasanya dipapan tulis.

Kelompok-kelompok dibentuk berdasarkan pada ketertarikan siswa,

tiap siswa bergabung dalam kelompok untuk mempelajari subtopik

dari pilihan mereka sendiri. Guru boleh saja membatasi jumlah

anggota dalam satu kelompok. Apabila satu subtopik tertentu sangat

populer, dua kelompok bisa saja dibentuk untuk menginvestigasinya.

Karena perbedaan kebutuhan dan ketertarikan anggota kelompok,

tiap dua kelompok akan menghasilkan sebuah karya yang unik,

meskipun subtopiknya sama.

2. Merencanakan Investigasi di dalam Kelompok

Setelah mengikuti kelompok-kelompok penelitian mereka

masing-masing, para siswa mengalihkan perhatian mereka kepada

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

19

subtopik yang mereka pilih. Pada tahap ini anggota kelompok

menentukan aspek dari subtopik yang masing-masing (satu demi

satu atau berpasangan) akan mereka investigasi.

Guru dapat memasang selembar fotokopi dari tiap lembar

kerja kelompok dengan tujuan untuk menampilakan bukti grafis

bahwa kelas tersebut adalah sebuah “kelompok yang terdiri dari

kelompok-kelompok”. Tiap siswa berkontribusi terhadap Group

Investigation kelompok kecil, dan tiap kelompok berkontribusi

terhadap pembelajaran seluruh kelas atas unit yang lebih besar.

3. Melaksanakan Investigasi

Dalam tahap ini tiap kelompok melaksanakan rencana yang

telah diformulasikan sebelumnya. Biasanya ini adalah tahap yang

paling banyak memakan waktu. Walaupun para siswa mungkin

memang diberikan batas waktu pengerjaan, pasti jumlah pasti dari

sesi yang mereka perlukan untuk menyelesaikan investigasi mereka

tidak selalu dapat dipastikan jumlahnya. Guru harus mengupayakan

berbagai cara untuk memungkinkan sebuah proyek kelompok

berjalan tanpa terganggu sampai investigasinya selesai, atau paling

tidak sampai sebagian besar dari pekerjaan tersebut selesai.

4. Menyiapkan Laporan Akhir

Tahap ini merupakan transisi dari tahap pengumpulan data

dan klarifikasi ke tahap dimana kelompok-kelompok yang ada

melaporkan hasil investigasi mereka kepada seluruh kelas. Ini

terutama merupakan sebuah tahap pengaturan, tetapi seperti pada

tahap 1 juga memerlukan semacam kegiatan-kegiatan intelektual

yang mengabstraksikan gagasan utama dari proyek kelompok,

mengintregasi semua bagiannya menjadi satu keseluruhan, dan

merencanakan sebuah presentasi yang bersifat instruktif sekaligus

menarik.

Bagaimana kelas merencanakan presentasi akhirnya? Pada

tahap kesimpulan dari investigasi guru meminta tiap kelompok untuk

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

20

menunjuk satu wakil sebagai anggota panitia acara. Panitia ini akan

mendengarkan masing-masing rencana kelompok untuk laporan

mereka. Panitia akan mencatat semua permintaan penyediaan materi,

mengkoordinasi jadwal waktu, dan memastikan bahwa gagasan-

gagasan presentasi yang akan dilakukan cukup realistis dan menarik.

Guru melanjutkan dengan mengambil peran sebagai

penasehat, membantu panitia apabila diperlukan dan memastikan

bahwa tiap rencana kelompok memungkinkan tiap anggota untuk

terlibat. Sebagian kelompok menentukan sifat dari laporan akhir

mereka ketika mereka mulai melakukan tugasnya. Dalam kelompok

lainnya rencana untuk laporan akhir baru muncul pada tahap 4, atau

baru dikembangkan pada saat kelompok tersebut terlibat dalam

investigasi. Bahkan bila kelompok memang telah mulai

membicarakan gagasan-gagasan mengenai laporan akhir mereka

selama fase investigasi, mereka masih akan meminta waktu untuk

melakukan diskusi sistematik dari rencana mereka. Selama sesi

perencanaan transisi ini para murid mulai mengemban sebuah peran

baru (peran guru). Para siswa tentunya selama ini sudah mengatakan

kepada teman satu kelompoknya mengenai apa yang mereka lakukan

dan pelajari, tetapi sekarang mereka mulai merencanakan bagaimana

mengajari teman sekelasnya dengan cara yang lebih teratur

mengenai inti dari apa yang telah mereka pelajari.

5. Mempresentasikan Laporan Akhir

Masing-masing kelompok mempersiapkan diri untuk

mempresentasikan laporan akhir mereka kepada kelas. Pada tahap

ini, mereka berkumpul dan kembali kepada posisi kelas sebagai satu

keseluruhan.

Para siswa yang akan melakukan presentasi harus mengisi

peran yang sebagian besar dari peran tersebut merupakan hal yang

baru bagi mereka. Mereka harus mampu mengatasi bukan hanya

tuntutan dari tugas tersebut, gagasan dan prosedur tetapi juga harus

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

21

mampu mengatasi masalah-masalah organisasional yang berkaitan

dengan koordinasi seluruh pekerjaan dan perencanaan, serta

membawakan presentasi.

Laporan akhir ini menghasilakan sebuah pengalaman

dimana upaya mengejar kemampuan intelektual dibarengi dengan

sebuah pengalaman emosional mendalam. Semua anggota kelas

dapat berpartisipasi lebih dari satu banyak presentasi, dengan

menampilkan tugas mereka atau menjawab pertanyaan. presentasi

tersebut bukan hanya sekedar masalah latihan peran untuk tampil

dan membacakan tulisan.

6. Evaluasi Pencapaian

Group Investigasi menantang peran guru untuk

menggunakan pendekatan inovatif dalam menilai apa yang telah

dipelajari murid-murid. Dalam pengajaran dikelas tradisional, semua

siswa diharapkan untuk mempelajari materi yang sama dan

menguasai serangkaian konsep yang seragam.

Dalam Group Investigasi para guru harus mengevaluasi

pemikiran paling tinggi siswa mengenai subyek yang dipelajari,

bagaimana mereka menginvestigasi aspek-aspek tertentu dari subjek,

bagaimana mereka mengaplikasikan pengetahuan mereka terhadap

solusi dari masalah-masalah baru, bagimana mereka menggunakan

kesimpulan dari apa yang mereka pelajari dalam mendiskusikan

pertanyaan yang membutuhkan analisis dan penilaian, dan

bagaimana mereka sampai pada kesimpulan dari serangkaian data.

Evaluasi semacam ini paling baik dilakukan melalui sebuah

pandangan kumulatif dari hasil kerja individual selama seluruh

proyek investigasi.

Metode Group Investigation ini guru hanya berperan

sebagai mediator, fasilitator, dan pemberi kritik yang bersahabat. Guru

tersebut berkeliling diantara kelompok-kelompok yang ada dan untuk

melihat bahwa mereka bisa mengelola tugasnya, dan membantu tiap

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

22

kesulitan yang mereka hadapi dalam interaksi kelompok, termasuk

masalah dalam kinerja terhadap tugas-tugas khusus yang berkaitan

dengan proyek pembelajaran.

1.1.4.2. Kelebihan dan Kelemahan GI

Model Group Investigation memiliki kelebihan

dibandingakan dengan model lainnya yaitu:

1. Siswa menjadi lebih mandiri dalam mencari informasi tentang

materi yang akan dipelajari.

2. Siswa mempunyai jiwa kooperatif yang tinggi

3. Siswa memiliki kemahiran dalam berkomunikasi dengan

intelektual pembelajaran dalam menganalisis

4. Meningkatkan kemampuan siswa dalam berdiskusi.

Beberapa kelemahan dari Group Investigation yaitu:

1. Jika ada seorang siswa yang tidak aktif dalam kelompoknya maka

akan menghambat dari pada tujuan pembelajaran.

2. Siswa yang tidak cocok dengan anggota kelompoknya kurang bisa

bekerjasama dalam memahami materi maupun dalam

menyelesaikan tugas.

3. Ada siswa yang kurang memanfaatkan waktu sebaik-baiknya

dalam belajar kelompok.

1.2. Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian oleh Ratih Endarini Sudarmono (2011) dengan judul

“Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar siswa Kelas V melalui Penerapan

Metode Group Investigation pada Pembelajaran IPA di SD Sidorejo Lor 02

Salatiga Semester I Tahun Ajaran 2009/2010?”. Hasil penelitian menunjukan

bahwa penerapan model pembelajaran group investigation dapat

meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa terhadap pelajaran IPA pada

siswa kelas V SD Sidorejo Lor 02. Hal ini ditunjukkan dari hasil analisa data

dari aktivitas siswa pada kondisi awal hanya 51%, siklus I mencapai 77% dan

siklus II dengan presentase 89%. Peningkatan aktivitas siswa memeberi

dampak pada peningkatan hasil belajar siswa yaitu pada ulangan harian siswa

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

23

pada kondisi awal hanya mencapai nilai rata-rata 66, siklus I dengan rata-rata

78 dan siklus II dapat mencapai nilai rata-rata 88.

Penelitian yang dilakukan oleh Novita Iryani (2008) membahas

Penerapan Belajar Kelompok Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa

Kelas IV Pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pokok bahasan energi

di SD Negeri 1 Mutisari Kecamatan Watumalang Kabupaten Wonosobo

Semester II Tahun Ajaran 2009/2010. Metode yang digunakan untuk

mengumpulkan data penelitian ini adalah pengamatan dan tes hasil belajar.

Indikator keberhasilan apabila siswa telah mencapai nilai rata-rata kelas

minimal 60. Hasil penelitian mengalami peningkatan yaitu siklus I nilai rata-

rata 61,57, dan pada siklus II meningkat menjadi 83,15. Hal ini dikatakan

tuntas karena hasil pada siklus II mencapai rata-rata 83,15. Ketuntasan

klasikal juga meningkat secara berurutan dari sebelum PTK, siklus I, dan II

berturut-turut adalah: 50,26%, dan 100%. Dari hasil penelitian ini

disimpulkan bahwa pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan

menggunakan metode belajar kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar

siswa pada pokok bahasan “energi” di kelas IV SD Negeri 1 Mutisari

Kecamatan Watumalang Kabupaten Wonosobo Tahun Pelajaran 2009/2010.

1.3. Kerangka Berpikir

Pada penelitian di SD Negeri Madyogondo 03 kecamatan Ngablak

kabupaten Magelang, guru dalam mengajarkan materi Energi masih

menggunakan metode yang konvensional, sehingga siswa kurang tertarik

dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam khususnya pada materi tentang

Energi. Hal ini dapat dilihat dari hasil tes pada kondisi awal hanya ada 13

siswa yang tuntas dan 23 lainnya belum tuntas. Serta nilai rata-ratanya hanya

56,80 dan belum memenuhi KKM yaitu = 60.

Penelitian yang akan dilakukan dengan cara kolaborasi antara guru

kelas IV dan peneliti. Guru dan peneliti secara bersama menggali dan

mengkaji permasalahan nyata yang dihadapi guru dan siswa di sekolah.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif

tipe group investigation pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pokok

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

24

bahasan Energi. Perbaikan model pembelajaran ini melibatkan keaktifan

siswa secara menyeluruh dalam KBM. Keterlibatan siswa secara aktif dan

menyeluruh diharapkan dapat membantu siswa untuk meningkatkan hasil

belajar Ilmu Pengetahuan Alam.

Kondisi Awal

Kondisi Akhir

Tindakan

80% kemampuan siswa dalam memahami materi pokok bahasan energi meningkat. 80% dari hasil belajar IPA pada siswa SD kelas IV meningkat melalui hasil tes formatif. 80% dari jumlah siswa memperoleh nilai ≥60 sesuai dengan KKM.

Hasil belajar siswa kelas IV SDN Madyogondo 03 pada mata pelajaran IPA materi pokok energi masih rendah. Hasil tes dari 36 siswa hanya terdapat 13 siswa mendapat niai diatas KKM sedangkan 23 siswa lainnya dibawah KKM yaitu = 60.

Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation

Siklus II

Siklus I

Guru masih menggunakan metode konvensional

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 1.1.1. 1.1.1.1. Hakikat Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/856/3/T1_292008104_BAB II.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Landasan Teori 1.1.1. Hasil

25

1.4. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan uraian landasan teori dan kerangka berfikir maka

hipótesis penelitian ini adalah sebagai berikut “Melalui penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe group investigation (GI), dapat meningkatkan

hasil belajar IPA pokok bahasan energi pada siswa kelas IV SD Negeri

Madyogondo 03 Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang”.