bab i pendahuluan 1.1. latar belakang...

15
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengertian bank menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang lebih lanjut disingkat dengan UU Perbankan adalah; “Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak” Sedangkan nasabah menurut Pasal 1 ayat (16) UU Perbankan adalah Pihak yang menggunakan jasa Bank. Dalam UU Perbankan nasabah terbagi menjadi 2 (dua), antara lain : 1. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan; 2. Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkn prinsip syariah atau yang di persamakan dengan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. 1 Munir Fuady mengatakan hubungan hukum antara bank dan nasabah terdiri dari dua bentuk, yaitu: 1. Hubungan kontraktual; dan 2. Hubungan non kontraktual. 2 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. 2 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Tahun 1998, Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h.102.

Upload: hoangtu

Post on 26-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pengertian bank menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 Tentang Perbankan yang lebih lanjut disingkat dengan UU

Perbankan adalah;

“Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”

Sedangkan nasabah menurut Pasal 1 ayat (16) UU Perbankan adalah

Pihak yang menggunakan jasa Bank. Dalam UU Perbankan nasabah terbagi

menjadi 2 (dua), antara lain :

1. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di

bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan

nasabah yang bersangkutan;

2. Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau

pembiayaan berdasarkn prinsip syariah atau yang di persamakan dengan

berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.1

Munir Fuady mengatakan hubungan hukum antara bank dan nasabah

terdiri dari dua bentuk, yaitu:

1. Hubungan kontraktual; dan

2. Hubungan non kontraktual.2

1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. 2 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Tahun 1998, Buku

Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h.102.

2

Hubungan-hubungan hukum yang timbul antara bank dan nasabah

tersebut yang membuat penulis ingin memaparkan lebih jauh mengenai

pertanggung jawaban pihak bank, nasabah maupun pihak ketiga dalam

kaitannya dengan kerugian yang disebabkan oleh penggunaan produk

electronic banking. Electronic banking merupakan suatu adopsi dari sistem

tradisional yang berupa warkat yang kemudia dikembangan dengan

mengikuti perkembangan teknologi yang ada dan disesuaikan dengan

kebutuhan nasabah. Electronic banking dapat di gunakan sebagai salah satu

alternative bagi nasabah yang ingin melakukan transaksi pembayaran

tagihan, informasi rekening, pemindah bukuan rekening, informasi terbaru

mengenai suk bunga dan nilai tukar valuta asing, administrasi mengenai

perubahan personal identification number (PIN), alamat rekening atau kartu

data pribadi, dan lain-lain. Maka dapat dikatakan bahwa dengan adanya

electronic banking nasabah sangatlah diuntungkan karena transaksi yang

dulunya berjalan lama dan mengharuskan nasabah untuk antri selama

berjam-jam kini dapat dilakukan dimanapun, kapanpun dan tanpa mengenal

batas waktu dan jarak.3

Dengan kemudahan transaksi yang didapat oleh nasabah dari produk

electronic banking ini, memungkinkan terjadi suatu kerugian yang dialami

oleh nasabah dikarenakan banyaknya ancaman kejahatan yang menyerang

nasabah pada saat nasabah akan melakukan transaksi melalui electronic

banking. Dalam skripsi ini penulis memaparkan ada 2 (dua) kejahatan yang

dapat menyerang sistem electronic banking, antara lain;

3 Ibid h. 103.

3

1. Man in the middle attack cara beroperasinya, penyerang membuat

sebuah website dan membuat nasabah pengguna layanan electronic

bangkin atau user masuk ke website tersebut. Agar berhasil mengelabuhi

user, maka website tersebut harus dibuat semirip mungkin dengan

website yang sebenarnya. Pada saat user memasukan password-nya

maka penyerang akan menggunakan informasi tersebut untuk masuk ke

website bank yang sebenarnya. Untuk mengecoh token penyerang dapat

mengirimkan challenge-response kepada user sebelum melakukan

transaksi illegal.

2. Trojan horses yaitu program palsu dengan tujuan jahat yang disusupkan

ke dalam sebuah program umum yang sering dipakai. Di sini para

penyerang menginstal-trojan kedalam komputer user. Ketika user mulai

login ke website banknya, penyerang menumpangi sesi tersebut melalui

trojan untuk melakukan transaksi yang diinginkan. Trojan horses

berbeda dengan virus yang merusak lainnya. Karena trojan horses tidak

dapat diketahui keberadaannya.4

Maka dari itu tidaklah mengherankan apabila pihak bank berlomba-

lomba untuk memberikan pelayanan yang baik dan tepat bagi nasabahnya,

mengingat resiko yang sangat mungkin mucul. Hal ini merupakan suatu

upaya yang dilakukan pihak bank guna meningkatkan kepercayaan dari

nasabah. Resiko yang demikian tinggi menyebabkan perlu dibuat suatu

perlindungan hukum yang tepat guna melindungi nasabah pengguna

electronic banking dari kemungkinan kerugian yang mungkin dialami .

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan

kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat

preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang

tertulis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum

sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki

konsep bahwa hukum memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian,

kemanfaatan dan kedamaian. Konsep perlindungan hukum tersebut

4 Sutan Remy Sjahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, PT. Pustaka Utama Grafiti,

Jakarta, 2009, h. 157.

4

didukung dengan beberapa pendapat ahli yang mendefinisikan mengenai

perlindungan hukum, antara lain :

1. Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan perlindungan hukum adalah

memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan

orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar

mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum;

2. Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa perlindungan hukum

adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap

hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan

ketentuan hukum dari kesewenangan;

3. Menurut CST Kansil perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum

yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa

aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai

ancaman dari pihak manapun.5

Perlindungan hukum dapat dikategorikan menjadi perlindungan

tidak langsung dan perlindungan secara langsung. Perlindungan tidak

langsung adalah suatu perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah

penyimpan dana terhadap segala resiko kerugian yang timbul dari suatu

kebijaksanaan atau timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.

Hal ini adalah suatu upaya dan tindakan pencegahan yang bersifat self

regulation oleh bank yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan

perlindungan secara langsung adalah suatu perlindungan yang diberikan

kepada nasabah penyimpan dana secara langsung terhadap kemungkinan

timbulnya resiko kerugian dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.

Dalam hal menegakkan perlindungan hukum bagi nasabah pengguna

electronic banking pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan yang

dapat digunakan untuk melindungi setiap nasabah yang mengalami

kerugian. Peraturan tersebut dituangkan dalam peraturan perundang-

5 http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ di ambil tanggal 26

Agustus 2016.

5

undangan yang ada dengan kata lain dapat dikatakan bahwa peraturan

tersebut merupakan government regulation, yang terdiri dari UU Perbankan,

Undang-Undang Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia, Peraturan

Bank Indonesia, Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi

Electronic, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam UU Perbankan pemerintah telah mengamanatkan

dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan mewajibkan setiap

bank untuk menjamin dana masyarakat yang disimpan dalam bank yang

bersangkutan. Amanat UU Perbankan tersebut telah direalisasikan dengan

diundangkannya UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin

Simpanan. Adapun yang menjadi fungsi dari lembaga ini adalah menjamin

simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabiltas

sistem perbankan sesuai.

Perlindungan hukum bagi nasabah yang terdapat dalam UU

Perbankan termuat dalam Pasal 29 ayat (4) yang menyatakan bahwa;

“Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi

mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan

dengan transaksi nasabah yang di lakukan melalui bank.”

Pasal 29 ayat (4) di atas menjelaskan bahwa bank telah melakukan

langkah prefentiv guna melindungi nasabah dari resiko kerugian yang

mungkin akan di alami nasabah sehubungan dengan transaksi yang

dilakukan, dalam hal ini adalah trasaksi melalui electronic banking. Selain

6

itu bank dalam menjalankan kegiatan usahanya harus dengan prinsip kehati-

hatian hal tersebut dilakukan dalam rangka pembinaan dan pengawasan

bank oleh Bank Indonesia yang mewajibkan bank memiliki pengawasan

internal yang cukup untuk kompleksitas kegiatan usahanya. Sehingga di

bentuklah suatu ketentuan oleh Bank Indonesia yaitu Satuan Kerja Audit

Intern (SKAI) Bank Umum PBI No.1/6/PBI/1999 tanggal 17 Desember

1999 tentang penugasan direktur kepatuhan dan penerapan standar

pelaksanaan fungsi audit intern bank umum. Sedangkan mengenai

penerapan manajemen risiko di atur dalam:

1. PBI No. 3/23/PBI/2001 dan Surat Edaran Bank Indonesia 6/37/DPNP

tanggal 10 september 2004 tentang penilaian dan pengenaan sanksi

atas penerapan prinsip mengenal nasabah dan kewajiban lain terkait

dengan undang-undang tentang tindak pidana pencucian uang;

2. PBI No.5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang manajemen risiko

bagi bank umum dan Surat Edaran Bank Indonesia No.6/18/DPNP

tanggal 20 April 2004 perihal Penerapan Manjemen Risiko pada

Aktivitas Jasa Pelayanan Melalui Internet;

3. PBI No.7/7/2005 tentang penyelesaian pengaduan nasabah;

4. PBI No. 8/5/PDI/2006 tentang mediasi perbankan;

5. PBI No. 5/8/PBI/2003 sebagaimana telah di ubah dengan Peraturan

Bank Indonesia No. 11/25/PBI/2009 tentang penerapan manajemen

resiko bagi bank umum;

6. Surat Keputusan Direksi No. 27/164/KEP/DIR & SEBI No.

27/9/UPPB tentang Tegnologi Sistem Informasi Perbakan;

7. PBI No 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Resiko Dalam

Penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank Umum, Pedoman

Penyelesaian Pengaduan Nasabah.

Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa

Keuangan yang selanjutnya disingkat UU OJK. Terdapat 3 (tiga) alasan

pendirian OJK di Indonesia, yaitu:

7

1. Perkembangan sistem keuangan karena adanya konglomerasi bisnis,

produk kombinasi (hybrid product), dan regulatory arbitrase;

2. Permasalahan di sektor keuangan karena maraknya tindakan kejahatan

penipuan dalam melakukan kegiatan usaha (moral hazard),

perlindungan konsumen dan koordinasi lintas sektoral;

3. Pasal 34 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank

Indonesia yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan

sektor jasa keuangan.

OJK mulai efektif bekerja sejak Januari 2014 sehingga dalam hal ini

Bank Indonesia akan lebih banyak melaksanakan pengawasan yang bersifat

macro prudential. Pengawasan ini meliputi pemantauan resiko yang terkait

dengan struktur keuangan, aset dan kewajiban satu lembaga keuangan

dengan lembaga keuangan lain di pasar keuangan untuk mencegah krisis

secara mendalam. Sedangkan OJK akan melakukan pengawasan mencakup

perlindungan konsumen, pemantauan transaksi antar lembaga, insider

trading, dan praktik pencucian uang (money laundring).6 Berdasarkan

amanah UU Bank Indonesia yang mengalihkan pengawasan sektor jasa

keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maka, OJK juga

mengeluarkan peraturan terkait pelrindungan konsumen sektor jasa

keuangan yang meliputi.

a. Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen

Sektor Jasa Keuangan (“POJK No.1/2013”);

b. Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif

Penyelesaian Sengketa (“POJK No. 1/2014”); dan

c. Surat Edaran OJK No. 2/SEOJK.07/2014 tanggal 14 Februari 2014

tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku

Usaha Jasa Keuangan (“SE OJK No. 2/2014”)

Ketentuan lainnya juga terdapat dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat KUHP yang dapat dijadikan

6 Trio Hendro dan Conny Candra Rahardja, Bank dan Institusi Keuangan Non Bank Di Indonesia,

Yogyakarta, UPP STIM YKPN, 2014, h. 493.

8

sandaran dalam rangka perlindungan nasabah, diantaranya Pasal 362 tentang

pencurian, Pasal 378 tentang perbuatan curang, Pasal 406 tentang

menghancurkan atau merusak barang dan pasal-pasal lainnya, serta

ketentuan pidana yang tersebar dalam perundang-undangan khusus

perbankan maupun yang berkaitan dengan materi perbankan. 7

Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang selanjutnya disingkat

KUH Perdata juga mengatur mengenai perlindungan hukum bagi nasabah,

hal tersebut terdapat dalam Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata yang

menyatakan bahwa

“Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain

untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung

jawab tentang kerugian yang di terbitkan oleh pelayan-pelayan atau

bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk

mana orang-orang ini di pakainya.”

Jika dihubungkan dalam masalah perbankan maka yang dimaksud dengan

“majikan-majikan” ini adalah pihak bank dan yang dimaksud dengan

“pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan” adalah karyawan bank yang di

angkat oleh pihak bank. Hal ini juga di dukung dengan adanya pasal Pasal

1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian

kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”

7 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

9

Apabila dikaitkan dengan kegiatan dalam hal penggunaan produk bank

khususnya electronic banking yang menyebabkan kerugian bagi nasabah.

Maka bank akan bertanggung jawab jika bank telah memenuhi unsur-unsur

yang tertuang dalam pasal tersebut. 8

Perlindungan hukum juga didapat dari UU No.11 tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disingkat UU ITE, UU

ini bertujuan untuk mengharmonisasikan antara instrument peraturan hukum

nasional dan instrument peraturan hukum internasional yang mengatur

mengenai teknologi informasi. Dalam UU ITE ini terdapat sanksi pidana

yang mengatur mengenai kejahatan dalam dunia maya yang dapat

digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah nasabah yang

berkaitan dengan transaksi melalui electronic banking yang terdapat dalam

Pasal 30 sampai Pasal 33 dan Pasal 35.

UU ITE dapat digunakan untuk menanggulangi jenis kejahatan di

dunia maya. UU ini menekankan pada pengaturan keamanan penggunaan

sistem informasi elektronik atau dokumen elektronik yang mengarah pada

penyalahgunaan informasi elektronik untuk tujuan perbuatan-perbuatan

kejahatan di dunia maya.9

8 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

10

Perlindungan hukum yang terahkir dapat di dapatkan dari UU No. 8

tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya di singkat

dengan UU Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 19 ayat (1) menyatakan

bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi :

1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;

2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran;dan

3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen. 10

Pasal tersebut menyatakan bahwa tanggung jawab pelaku usaha

meliputi segala kerugian yang di alami oleh konsumen. Tetapi hal ini dirasa

tidak adil jika kesalahan dibebankan hanya pada pelaku usaha saja padahal

jika dilihat kesalahan bisa muncul dari konsumen atau nasabah itu sendiri

sehingga dalam Pasal 27 butir d UU Perkos diatur mengenai batasan ganti

rugi pelaku usaha. Yang menyatakan bahwa apabila konsumen atau nasabah

lalai dan mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri, kerugian di tanggung

oleh nasabah sendiri, dalam hal menanggulangi adanya ketidak sepahaman

antara pihak bank dengan nasabah maka pasal 18 UU Perlindungan

Konsumen menganjurkan dibuatnya suau klausula baku antara pihak bank

dengan nasabah.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah pengguna elektronik

banking terhapat resiko kerugian yang diderita oleh nasabah ?

2. Bagaimanakah gambaran atau peta sharing responsibility dalam hal

perlindungan nasabah pengguna elekronik banking

10

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

11

1.3. Tujuan Penelitian

Dari permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin di capai dalam

penulisan skripsi ini antara lain :

1. Menganalisis perlindungan hukum bagi nasabah pengguna elektronik

banking terhadap resiko kerugian yang diderita oleh nasabah

2. Menganalisis gambaran atau peta sharing responsibility dalam hal

perlindungan nasabah pengguna elekronik banking

1.4. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis yang akan memperkaya ilmu pengetahuan hukum

perbankan guna mengembangkan wawasan bagi peneliti dalam ilmu

pengetahuan, khususnya dalam penerapan kebijakan pemerintah dan

Bank Indonesia dalam melakukan perlindungan hukum bagi nasabah

pengguna elektronik bangking.

b. Secara praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan dasar

kepada para praktisi hukum untuk dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi pengambil kebijakan baik dalam pengambilan kebijakan

ekeskutif, legislatif, dan yudikatif dalam penegakan hukum yang

berkalitan dengan perlindungan hukum bagi nasabah pengguna

elektronik banking.

12

1.5. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah metode yang digunakan untuk dapat

mengelola data sesuai dengan tujuan penelitian.

1. Jenis penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum

normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut

disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam

hubungnnya dengan masalah yang diteliti.

2. Pendekatan penelitian

Berdasarkan jenis penelitian yang digunakan ialah pendekatan

undang-udang. Pendekatan undang-undang adalah pendekatan dengan

melakukan penelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan

dengan isu hukum yang sedang ditangani sesuai dengan topik skripsi yang

penulis tulis.

3. Bahan Hukum

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan

hukum primer serta bahan hukum sekunder yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, merupakan norma-norma dasar atau peraturan

tertulis yang terkait dengan pembahasan skripsi ini, antara lain: Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan

13

terhadap Undang-Undang 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan.

b. Bahan hukum sekunder, merupakan penjelasan atas bahan hukum

primer, antara lain; buku-buku, makalah hasil penelitian yang

berhubungan dengan perlindungan hukum bagi nasabah pengguna

elektronik banking dalam perspektif hukum perbankan

c. Bahan hukum tersier berisikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder anta lain berupa Kamus Besar

Bahasa Indonesia.

1.5.1 Unit Amatan dan Unit Analisis

a. Unit Amatan

Unit Amatan adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk

memperoleh data dalam rangka menggambarkan atau menjelaskan tentang

suatu analisis. Yang menjadi unit amatan dalam penulisan skripsi ini adalah

perundang-undangan terkait topik ”perlindungan hukum bagi nasabah

pengguna electronic banking balam perspektif hukum perbankan”

b. Unit Analisis

Unit Analisis merupakan unit yang akan dianalisis dan yang menjadi

unit analisis dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana perlindungan

hukum bagi nasabah pengguna elektronik banking dan bagaimanakah

14

gambaran atau peta sharing responsibility dalam hal perlindungan nasabah

pengguna elekronik banking.

1.6. Sistimatika Penulisan

Agar dapat memberikan gambaran yang sistematika dari penulisan

skripsi ini, maka skripsi ini di bagi kedalam Tiga Bab yang meliputi:

Bab I yaitu merupakan Bab Pendahuluan yang menguraikan tentang, sub

bagian pertama latar belakang masalah, sub bagian kedua perumusan

masalah, sub bagian ketiga tujuan penelitian, sub bagian keempat manfaat

penelitian, sub bagian kelima metode penelitian, sub bagian keenam

sistematika penulisan serta sub bagian ketujuh daftar bacaan.

Bab II berisi tentang kajian pustaka dan pembahasan yaitu membahas

mengenai perlindungan hukum bagi nasabah pengguna electronik banking

dan bagaimanakah gambaran/peta sharing responsibility dalam hal

perlindungan nasabah pengguna elekronik banking

Bab III yaitu merupakan Bab penutup, yang berisi kesimpulan yang dan

rekomendasi dari hasil penelitian ini.

15