bab 2 tinjauan pustaka 2.1. sistem saraf pusat 2.1.1...

29
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Saraf Pusat 2.1.1. Embriologi Menurut Sadler (2010), sistem saraf pusat (SSP) terbentuk pada awal minggu ketiga sebagai lempeng neuralis (neural plate) pada daerah middorsal di depan nodus primitif. Tepi-tepi lateralnya bergerak naik untuk membentuk lipatan-lipatan neuralis (neural folds). Seiring perkembangannya, lipatan-lipatan neuralis ini terus menaik, saling mendekati satu sama lain di garis tengah, dan akhirnya menyatu membentuk tuba neuralis. Fusi dimulai di daerah servikal dan begitu dimulai, ujung-ujung tuba neuralis yang terbuka membentuk neuroporus kranialis dan kaudalis yang berhubungan dengan rongga amniotik. Penutupan akhir neuroporus kranial terjadi pada tahap 18-20 somit (hari ke-25), sedangkan penutupan akhir neuroporus kaudal terjadi kira-kira dua hari kemudian. Ujung sefalik dari tuba neuralis menunjukkan tiga pelebaran, yaitu vesikel-vesikel otak primer: (a) prosensefalon, atau otak depan; (b) mesensefalon, atau otak tengah; dan (c) rhombensefalon, atau otak belakang. Secara bersamaan akan terbentuk dua fleksura: (a) fleksura servikalis pada pertemuan otak belakang dan medula spinalis, dan (b) fleksura sefalik di daerah otak tengah. Ketika embrio berumur lima minggu, prosensefalon terdiri dari dua bagian: (a) telensefalon dan (b) diensefalon (Sadler, 2010). Rhombensefalon dipisahkan dari mesensefalon oleh isthmus rhomboensefalikus. Rhombensefalon juga terdiri dari dua bagian: (a) metensefalon, yang nantinya membentuk pons dan serebelum, dan (b) mielensefalon. Kedua bagian ini dibatasi oleh fleksura pontin. Lumen medula spinalis, yaitu kanalis sentralis, berkesinambungan dengan vesikel-vesikel otak. Rongga pada rhombensefalon merupakan ventrikel keempat, rongga pada diensefalon merupakan ventrikel ketiga, dan rongga pada hemisfer serebri merupakan ventrikel-ventrikel lateral. Lumen mesensefalon menghubungkan ventrikel ketiga dan keempat. Lumen ini menjadi sangat sempit dan kemudian Universitas Sumatera Utara

Upload: vomien

Post on 24-Aug-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Saraf Pusat

2.1.1. Embriologi

Menurut Sadler (2010), sistem saraf pusat (SSP) terbentuk pada awal

minggu ketiga sebagai lempeng neuralis (neural plate) pada daerah middorsal di

depan nodus primitif. Tepi-tepi lateralnya bergerak naik untuk membentuk

lipatan-lipatan neuralis (neural folds). Seiring perkembangannya, lipatan-lipatan

neuralis ini terus menaik, saling mendekati satu sama lain di garis tengah, dan

akhirnya menyatu membentuk tuba neuralis. Fusi dimulai di daerah servikal dan

begitu dimulai, ujung-ujung tuba neuralis yang terbuka membentuk neuroporus

kranialis dan kaudalis yang berhubungan dengan rongga amniotik. Penutupan

akhir neuroporus kranial terjadi pada tahap 18-20 somit (hari ke-25), sedangkan

penutupan akhir neuroporus kaudal terjadi kira-kira dua hari kemudian.

Ujung sefalik dari tuba neuralis menunjukkan tiga pelebaran, yaitu

vesikel-vesikel otak primer: (a) prosensefalon, atau otak depan; (b) mesensefalon,

atau otak tengah; dan (c) rhombensefalon, atau otak belakang. Secara bersamaan

akan terbentuk dua fleksura: (a) fleksura servikalis pada pertemuan otak belakang

dan medula spinalis, dan (b) fleksura sefalik di daerah otak tengah. Ketika embrio

berumur lima minggu, prosensefalon terdiri dari dua bagian: (a) telensefalon dan

(b) diensefalon (Sadler, 2010).

Rhombensefalon dipisahkan dari mesensefalon oleh isthmus

rhomboensefalikus. Rhombensefalon juga terdiri dari dua bagian: (a)

metensefalon, yang nantinya membentuk pons dan serebelum, dan (b)

mielensefalon. Kedua bagian ini dibatasi oleh fleksura pontin. Lumen medula

spinalis, yaitu kanalis sentralis, berkesinambungan dengan vesikel-vesikel otak.

Rongga pada rhombensefalon merupakan ventrikel keempat, rongga pada

diensefalon merupakan ventrikel ketiga, dan rongga pada hemisfer serebri

merupakan ventrikel-ventrikel lateral. Lumen mesensefalon menghubungkan

ventrikel ketiga dan keempat. Lumen ini menjadi sangat sempit dan kemudian

Universitas Sumatera Utara

5

disebut aqueduct of Sylvius. Ventrikel-ventrikel lateral berhubungan dengan

ventrikel ketiga melalui interventricular foramina of Monro (Sadler, 2010).

Pada mulanya sel-sel neuroektoderm yang membatasi tuba neuralis

berdiferensiasi menjadi neuroblas dan spongioblas. Neuroblas merupakan cikal

bakal neuron, sedangkan spongioblas berdiferensiasi menjadi spongioblas yang

sebagian menetap dan membentuk jaringan epitel yang membatasi langsung tuba

neuralis sebagai spongioblas ependim. Sebagian lagi menjadi spongioblas yang

bebas meninggalkan jajaran epitel dan berkembang menjadi berbagai bentuk sel

glia seperti astrosit protoplasmatik, astrosit fibrosa, dan oligodendrosit (Subowo,

1989).

2.1.2. Anatomi

Gambar 2.1. Potongan otak secara sagital (Sumber: Netter, F.H., 2011. Atlas of Human Anatomy. 5th ed. United States of America: Saunders Elsevier, 105)

Menurut Hansen (2010), otak dan medula spinalis dikelilingi oleh tiga

lapisan jaringan ikat membranosa yang disebut meninges, yang meliputi:

Universitas Sumatera Utara

6

1. Dura mater, yaitu lapisan terluar yang kaya akan serabut saraf sensoris. Dura

mater terutama disarafi oleh cabang-cabang sensoris meningeal dari nervus

trigeminus, nervus vagus, dan saraf-saraf servikal atas. Dura mater juga

membentuk lipatan atau lapisan jaringan ikat tebal yang memisahkan

berbagai regio otak seperti falks serebri, falks serebeli, tentorium serebeli, dan

diafragma sella.

2. Araknoid mater, yaitu lapisan di bawah dura mater yang avaskular. Ruang di

antara araknoid mater dan pia mater disebut spatium subarachnoideum dan

mengandung cairan serebrospinalis.

3. Pia mater, yaitu lapisan jaringan ikat yang langsung membungkus otak dan

medula spinalis. Araknoid mater dan pia mater tidak memiliki serabut saraf

sensoris.

Bagian yang paling menonjol dari otak manusia adalah hemisfer serebri.

Beberapa regio korteks serebri yang berhubungan dengan fungsi-fungsi spesifik

dibagi atas lobus-lobus. Lobus-lobus tersebut dan fungsinya masing-masing

antara lain:

1. Lobus frontal memengaruhi kontrol motorik, kemampuan berbicara ekspresif,

kepribadian, dan hawa nafsu

2. Lobus parietal memengaruhi input sensoris, representasi dan integrasi, serta

kemampuan berbicara reseptif

3. Lobus oksipital memengaruhi input dan pemrosesan penglihatan

4. Lobus temporal memengaruhi input pendengaran dan integrasi ingatan

5. Lobus insula memengaruhi emosi dan fungsi limbik

6. Lobus limbik memengaruhi emosi dan fungsi otonom (Hansen, 2010)

Komponen-komponen otak lainnya antara lain:

1. Talamus merupakan pusat relai di antara area kortikal dan subkortikal.

2. Serebelum mengkoordinasikan aktivitas motorik halus dan memproses posisi

otot.

3. Batang otak (otak tengah, pons, dan medula oblongata) menyampaikan

informasi sensoris dan motorik dari somatik dan otonom serta informasi

motorik dari pusat yang lebih tinggi ke target-target perifer (Hansen, 2010).

Universitas Sumatera Utara

7

Otak mengandung empat ventrikel, yaitu dua ventrikel lateral serta

ventrikel ketiga dan keempat yang terletak di sentral. Cairan serebrospinalis

dihasilkan oleh pleksus koroideus, beredar melalui ventrikel-ventrikel, dan

kemudian memasuki ruang subaraknoid melalui foramen Luschka atau foramen

Magendie di ventrikel keempat. Otak terutama diperdarahi oleh arteri vertebral

yang berasal dari arteri subklavia, naik melalui foramen transversum dari vertebra

C1-C6, dan memasuki foramen magnum tengkorak; dan arteri karotid internal

yang berasal dari arteri karotis komunis di leher, naik di leher, dan memasuki

kanalis karotis dan melintasi foramen laserum sehingga berakhir sebagai arteri

serebral anterior dan medial yang beranastomosis dengan sirkulus Willisi

(Hansen, 2010).

2.1.3. Histologi

Menurut Eroschenko (2008), otak dan medula spinalis dilindungi oleh

tulang, jaringan ikat, dan cairan serebrospinalis. Di dalam kranium dan foramen

vertebrale terdapat meninges, yaitu suatu jaringan ikat yang terdiri dari tiga

lapisan, yaitu dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Di antara araknoid mater

dan pia mater terdapat spatium subarachnoideum, tempat beredarnya cairan

serebrospinalis yang membasahi dan melindungi otak dan medula spinalis.

Sel struktural dan fungsional jaringan saraf adalah neuron. Setiap neuron

terdiri dari soma atau badan sel, banyak dendrit, dan satu akson. Badan sel atau

soma mengandung nukleus, nukleolus, berbagai organel, dan sitoplasma atau

perikarion. Dari badan sel muncul tonjolan-tonjolan sitoplasma yang disebut

dendrit yang membentuk percabangan dendritik. Neuron dikelilingi oleh sel yang

lebih kecil dan lebih banyak yaitu neuroglia, yaitu sel penunjang nonneural yang

memiliki banyak percabangan di SSP dan mengelilingi neuron, akson, dan

dendrit. Sel ini tidak terangsang atau menghantarkan impuls karena secara

morfologis dan fungsional berbeda dari neuron. Sel neuroglia dapat dibedakan

dari ukurannya yang jauh lebih kecil dan nukleus yang berwarna gelap dan

jumlahnya sekitar sepuluh kali lipat lebih banyak daripada neuron (Eroschenko,

2008).

Universitas Sumatera Utara

8

Gambar 2.2. Bagian-bagian neuron (X100, H&E) (Sumber: Mescher, A.L., 2009. Junqueira’s Basic Histology Text & Atlas. 12th ed. United States of America: The McGraw-Hill Professional)

Empat jenis sel neuroglia adalah astrosit, oligodendrosit, mikroglia, dan

sel ependimal. Astrosit adalah sel neuroglia terbesar dan paling banyak ditemukan

di substansia grisea. Astrosit terdiri dari dua jenis, yaitu astrosit fibrosa dan

astrosit protoplasmik. Oligodendrosit membentuk selubung mielin akson di SSP.

Mikroglia berasal dari sumsum tulang dan fungsi utamanya mirip dengan

makrofag jaringan ikat. Sel ependimal adalah sel epitel kolumnar pendek atau

selapis kuboid yang melapisi ventrikel otak dan kanalis sentralis medula spinalis

(Eroschenko, 2008).

Otak dan medula spinalis mengandung substansia grisea dan substansia

alba. Substansia grisea terdiri dari neuron-neuron, dendrit-dendritnya, dan

neuroglia, sedangkan substansia alba tidak mengandung badan sel neuron dan

terutama terdiri dari akson bermielin, sebagian akson tidak bermielin, dan

oligodendrosit penunjang (Eroschenko, 2008).

Universitas Sumatera Utara

9

Gambar 2.3. Astrosit fibrosa dan kapiler di otak. Pewarnaan: metode Cajal. Pembesaran sedang. (Sumber: Eroschenko, V.P., 2008. diFiore’s Atlas of Histology with Functional Correlations. 11th ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins. Terjemahan Brahm U. Pendit. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional. 2008. Edisi Ke-11. Jakarta: EGC, 159)

Gambar 2.4. Oligodendrosit otak. Pewarnaan: metode Cajal. Pembesaran sedang. (Sumber: Eroschenko, V.P., 2008. diFiore’s Atlas of Histology with Functional Correlations. 11th ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins. Terjemahan Brahm U. Pendit. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional. 2008. Edisi Ke-11. Jakarta: EGC, 159)

Universitas Sumatera Utara

10

Gambar 2.5. Mikroglia otak. Pewarnaan: metode Hortega. Pembesaran sedang. (Sumber: Eroschenko, V.P., 2008. diFiore’s Atlas of Histology with Functional Correlations. 11th ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins. Terjemahan Brahm U. Pendit. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional. 2008. Edisi Ke-11. Jakarta: EGC, 159)

Gambar 2.6. Sel ependimal pada kanalis sentralis medula spinalis (X200, H&E) (Sumber: Mescher, A.L., 2009. Junqueira’s Basic Histology Text & Atlas. 12th ed. United States of America: The McGraw-Hill Professional)

2.1.4. Fisiologi

Menurut Sherwood (2011), sistem saraf pusat (SSP) terdiri dari otak dan

medula spinalis. Tidak ada bagian otak yang bekerja sendiri dan terpisah dari

bagian-bagian otak lain karena anyaman neuron-neuron terhubung secara

anatomis oleh sinaps, dan neuron-neuron di seluruh otak berkomunikasi secara

Universitas Sumatera Utara

11

ekstensif satu sama lain dengan cara listrik atau kimiawi. Akan tetapi, neuron-

neuron yang bekerja sama untuk melaksanakan fungsi tertentu cenderung tersusun

dalam lokasi yang terpisah. Karena itu, meskipun merupakan suatu keseluruhan

yang fungsional, otak tersusun menjadi bagian-bagian yang berbeda. Bagian-

bagian otak dapat dikelompokkan dalam berbagai cara bergantung pada perbedaan

anatomik, spesialisasi fungsi, dan perkembangan evolusi.

Medula spinalis memiliki lokasi strategis antara otak dan serat aferen dan

eferen susunan saraf tepi. Lokasi ini memungkinkan medula spinalis memenuhi

dua fungsi primernya, yaitu sebagai penghubung untuk transmisi informasi antara

otak dan bagian tubuh lainnya dan mengintegrasikan aktivitas refleks antara

masukan aferen dan keluaran eferen tanpa melibatkan otak. Jenis aktivitas refleks

ini disebut refleks spinal (Sherwood, 2011).

Tabel 2.1. Fungsi komponen utama otak KOMPONEN OTAK FUNGSI UTAMA

Korteks serebri 1. Persepsi sensorik 2. Kontrol gerakan sadar 3. Bahasa 4. Sifat kepribadian 5. Proses mental canggih (fungsi luhur), misalnya

berpikir, mengingat, mengambil keputusan, kreativitas, dan kesadaran diri

Nukleus basalis 1. Inhibisi tonus otot 2. Koordinasi gerakan lambat, menetap 3. Menekan pola gerakan yang tidak bermanfaat

Talamus 1. Stasiun pemancar untuk semua masukan sinaps 2. Kesadaran kasar akan sensasi 3. Berperan dalam kesadaran 4. Berperan dalam kontrol motorik

Hipotalamus 1. Regulasi banyak fungsi homeostatik, misalnya kontrol suhu, haus, pengeluaran urin, dan asupan makanan

2. Penghubung penting antara sistem saraf dan endokrin

3. Banyak terlibat dalam emosi dan pola perilaku dasar Serebelum 1. Mempertahankan keseimbangan

2. Meningkatkan tonus otot 3. Mengkoordinasikan dan merencanakan aktivitas

otot sadar terampil

Universitas Sumatera Utara

12

Batang otak (otak tengah, pons, dan medula)

1. Asal dari sebagian besar saraf kranialis perifer 2. Pusat kontrol kardiovaskular, respirasi, dan

pencernaan 3. Regulasi refleks otot yang berperan dalam

keseimbangan dan postur 4. Penerimaan dan integrasi semua input sinaps dari

medula spinalis; pengaktifan korteks serebri dan keadaan terjaga

5. Peran dalam siklus tidur-bangun (Sumber: Sherwood, L. 2007. Human Physiology: From Cells to Systems. 6th ed. Singapore: Cengange Learning Asia Pte Ltd. Terjemahan Brahm U. Pendit. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2011. Edisi Ke-6. Jakarta: EGC, 155)

2.2. Tumor Otak

2.2.1. Definisi

Menurut Hakim (2005), tumor otak adalah lesi ekspansif jinak atau ganas

yang membentuk massa di intrakranial atau medula spinalis. Tumor otak

dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu tumor otak primer dan tumor

metastasis. Tumor otak primer merupakan tumor yang muncul sebagai akibat dari

pertumbuhan abnormal jaringan otak itu sendiri. Tumor metastasis berasal dari

organ-organ lain seperti paru-paru, payudara, prostat, dan ginjal (Sagar dan Israel,

2010).

Menurut Kumar (2013), tumor otak memiliki karakteristik unik yang

membedakannya dengan tumor-tumor lain, di antaranya adalah:

1. Tumor otak tidak memiliki tahap premaligna atau in situ yang dapat dideteksi

seperti pada karsinoma.

2. Tumor low-grade sekalipun dapat menginfiltrasi regio otak sehingga

menyebabkan defisit klinis yang serius, tidak dapat direseksi, dan prognosis

yang buruk.

3. Lokasi anatomis tumor dapat memengaruhi perjalanan penyakit tanpa

memandang tipe histopatologis karena efek lokal yang ditimbulkan atau

tumor tidak dapat direseksi.

4. Tumor otak jarang bermetastasis ke luar SSP.

Universitas Sumatera Utara

13

2.2.2. Etiologi dan Faktor Risiko

Menurut Cancer Research UK (2013), tumor otak tidak memiliki etiologi

yang pasti, namun melibatkan faktor-faktor risiko seperti:

1. Umur

Umur memegang peran penting karena sebagian besar tumor otak terjadi pada

anak-anak dan orang dewasa tua meskipun setiap kelompok usia memiliki

peluang yang sama untuk mengidap tumor otak (American Society of Clinical

Oncology, 2013; Cancer Research UK, 2013).

2. Jenis kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih mungkin menderita tumor otak daripada

perempuan, namun beberapa jenis tumor otak yang spesifik seperti meningioma

lebih umum terjadi pada perempuan (American Society of Clinical Oncology,

2013).

3. Industri dan pekerjaan

Zat-zat karsinogenik dan neurotoksik seperti pelarut organik, minyak pelumas,

akrilonitril, formaldehida, hidrokarbon aromatik polisiklik, dan fenol dapat

menginduksi tumor otak pada hewan coba. Pekerjaan-pekerjaan yang

berhubungan dengan operasi mesin kendaraan bermotor, pengolahan karet, dan

penggunaan pestisida berkaitan dengan insidensi tumor otak (El-Zein, 2013).

4. Radiasi ionisasi

Radiasi ionisasi dosis tinggi diketahui dapat meningkatkan risiko meningioma,

glioma, dan nerve sheath tumor (Deangelis dan Rosenfeld, 2009; El-Zein, 2013).

5. Makanan dan diet

Konsumsi senyawa N-nitrosourea diduga berperan sebagai neurokarsinogen

dengan mekanisme-mekanisme yang melibatkan kerusakan pada DNA

(deoxyribonucleic acid) (El-Zein, 2013).

6. Pemakaian telepon selular

Telepon selular memiliki sebuah transmiter kecil yang memancarkan radiasi

frekuensi radio berenergi rendah tepat di samping kepala sehingga memunculkan

kekhawatiran bahwa individu yang terpapar radiasi memiliki risiko untuk

mengidap tumor otak. Namun, penelitian-penelitian yang sudah ada belum

Universitas Sumatera Utara

14

menunjukkan adanya hubungan antara pemakaian telepon dengan tumor otak atau

tumor lainnya (El-Zein, 2013).

7. Supresi imun

Supresi sistem imun yang didapat seperti pada infeksi HIV (human

immunodeficiency virus) atau terapi imunosupresif kronis setelah transplantasi

organ meningkatkan risiko limfoma SSP primer. Risiko glioma juga meningkat

pada individu yang terinfeksi HIV (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

8. Obat-obatan dan bahan kimia lainnya

Beberapa penelitian telah menemukan adanya hubungan antara tumor otak pada

anak-anak dengan paparan prenatal terhadap obat fertilitas, kontrasepsi oral, obat

tidur, obat antinyeri, antihistamin, dan diuretik. Pada orang dewasa, obat sakit

kepala, antinyeri, dan obat tidur memiliki efek protektif yang tidak signifikan

terhadap tumor otak (El-Zein, 2013).

9. Sindrom genetik

Menurut Deangelis dan Rosenfeld (2009), sejumlah sindrom herediter

berhubungan dengan peningkatan risiko tumor otak. Misalnya, neurofibromatosis

tipe 1 meningkatkan risiko glioma, neurofibromatosis tipe 2 meningkatkan risiko

schwannoma vestibular dan meningioma, dan sindrom Li-Fraumeni yang

berkaitan dengan mutasi pada gen supresor tumor p53 menyebabkan glioma dan

meduloblastoma.

2.2.3. Epidemiologi

Menurut Deangelis dan Rosenfeld (2009), tumor intrakranial dapat terjadi

pada usia manapun, tetapi histopatologi dan insidensi tumor bervariasi menurut

usia. Kasus tumor otak lebih banyak terdapat pada pria daripada wanita, kecuali

meningioma yang sangat didominasi oleh wanita. Pada anak-anak,

meduloblastoma dan astrositoma low-grade lebih mendominasi, sedangkan pada

orang dewasa, astrositoma maligna dan meningioma adalah tumor otak yang

paling umum terjadi. Tabel 2.2. menunjukkan epidemiologi tumor otak di Medan,

Indonesia, pada tahun 2003-2004.

Universitas Sumatera Utara

15

Tabel 2.2. Distribusi tumor otak berdasarkan usia dan jenis kelamin di RSUP H. Adam Malik dan RS Haji Medan tahun 2003-2004

No Umur (tahun)

Jenis kelamin Jumlah

(N) Persentas

e (%) Laki-laki Perempuan n % n %

1 0-10 1 2,08 1 2,08 2 4,17 2 11-20 2 4,17 1 2,08 3 6,25 3 21-30 4 8,33 2 4,17 6 12,50 4 31-40 3 6,25 1 2,08 4 8,33 5 41-50 7 14,58 3 6,25 10 20,83 6 51-60 7 14,58 2 4,17 9 18,75 7 >60 11 22,92 3 6,25 14 29,17

Jumlah total 35 72,92 13 27,08 48 100,00 (Sumber: Hakim, A.A., 2005. Kasus-Kasus Tumor Otak di Rumah Sakit H. Adam Malik dan Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2003-2004. Medan: Universitas Sumatera Utara. Tersedia di: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/15584)

2.2.4. Patogenesis

Menurut Ropper dan Samuels (2009), tumor dapat berasal dari sel-sel

embrionik yang tertinggal di otak selama proses perkembangan. Tumor juga dapat

muncul dari transformasi neoplastik sel-sel dewasa yang matang seperti astrosit,

oligodendrosit, mikroglia, atau sel ependimal. Selama sel-sel ini memperbanyak

diri, sel-sel anakan menjadi anaplastik dan derajat keganasan semakin bertambah.

Terbentuknya tumor didasarkan atas anggapan bahwa lapisan sel tuba

neuralis bermigrasi dan berdiferensiasi menjadi meduloblas yang kemudian

berdiferensiasi menjadi dua bagian, yaitu golongan neuron menjadi neuroblas dan

neuron, dan golongan glia melalui spongioblas menjadi astrosit dan

oligodendrosit. Lapisan sel tuba neuralis juga dapat menjadi sel ependimal. Setiap

tipe sel ini dapat berubah menjadi neoplastik sehingga meduloblas menjadi

meduloblastoma, neuroblas menjadi neuroblastoma dan ganglioneuroma, astrosit

menjadi astrositoma, oligodendrosit menjadi oligodendroglioma, dan sel

ependimal menjadi ependimoma. Tumor yang berasal dari sel-sel glia ini

dinamakan glioma (Sobirin, 2001).

Identifikasi penyimpangan kromosom tertentu yang timbul pada sel-sel

tumor sistem saraf memberi kesan bahwa biogenesis dan perkembangan tumor

Universitas Sumatera Utara

16

otak disebabkan oleh gangguan kendali siklus sel. Sebagian defek molekuler

memengaruhi terbentuknya tumor, sedangkan sebagian yang lain mendasari

perkembangan berikutnya, mempercepat transformasi menjadi ganas, dan

menimbulkan sensitivitas atau resistansi terhadap kemoterapi. Mutasi pada gen-

gen yang normalnya menekan proliferasi sel, yaitu gen supresor tumor, dapat

memicu perkembangan tumor, contohnya mutasi berupa delesi gen supresor

tumor p53 pada kromosom 17p yang ditemukan pada 50% kasus astrositoma

(Ropper dan Samuels, 2009).

Perubahan lainnya adalah ekspresi berlebihan faktor-faktor pertumbuhan

atau reseptornya. Perkembangan menjadi keganasan dapat dipicu oleh defek pada

jalur signaling gen p16-retinoblastoma, hilangnya kromosom 10, atau ekspresi

berlebihan gen faktor pertumbuhan epidermal (epidermal growth factor).

Contohnya antara lain ekspresi berlebihan (overexpression) atau bentuk mutan

dari EGFR (epidermal growth factor receptor) dan PDGFR (platelet-derived

transforming growth factor receptor) pada sekitar 50% kasus glioma. Konsentrasi

yang tinggi dari VEGF (vascular endothelial growth factor) ditemukan pada

meningioma yang secara alamiah kaya akan pembuluh darah. Namun, belum jelas

apakah penemuan ini menunjukkan suatu hubungan sebab-akibat atau hanya suatu

penyimpangan proses genetik yang menyertai pertumbuhan dan perkembangan

tumor (Ropper dan Samuels, 2009).

Saat ini, teori yang umum dianut adalah kanker berkembang melalui

akumulasi dari perubahan genetik yang memungkinkan sel-sel untuk tumbuh di

luar kendali mekanisme regulasi yang normal dan lolos dari proses penghancuran

oleh sistem imun. Perubahan-perubahan genetik tersebut mencakup agregasi

familial, sindrom-sindrom herediter, faktor-faktor metabolik, sensitivitas mutagen,

serta instabilitas kromosom (El-Zein, 2013).

2.2.5. Patofisiologi

Menurut Ropper dan Samuels (2009), kavum kranii memiliki volume yang

terbatas dan memiliki tiga unsur yang relatif tidak dapat terkompresi, yaitu otak

(sekitar 1.200-1.400 mL), cairan serebrospinalis (70-140 mL), dan darah (150

Universitas Sumatera Utara

17

mL). Hukum Monro-Kellie menyatakan volume total ketiga unsur ini selalu

konstan dan penambahan volume salah satu unsur mengurangi volume unsur

lainnya. Tumor yang tumbuh di salah satu bagian otak akan menekan jaringan

otak di sekitarnya dan mengurangi volume cairan serebrospinalis dan darah.

Begitu batas akomodasi ini telah dicapai, tekanan intrakranial (TIK) akan

meningkat.

Seiring pertumbuhan tumor, venula-venula di jaringan otak yang

berdekatan dengan tumor akan tertekan sehingga tekanan kapiler meningkat,

terutama pada jaringan substansia alba di mana edema lebih mencolok.

Pertumbuhan tumor yang lambat memungkinkan otak untuk menyesuaikan diri

dengan perubahan aliran darah otak dan peningkatan TIK. Pada stadium

pertumbuhan tumor yang lebih lanjut, mekanisme kompensasi gagal serta tekanan

cairan serebrospinalis dan TIK meningkat. Pada awalnya, tumor mulai menggeser

jaringan di sekitarnya dan kemudian menggeser jaringan pada jarak tertentu dari

tumor, menimbulkan tanda-tanda lokalisasi yang palsu (Ropper dan Samuels,

2009).

2.2.6. Gejala Klinis

Menurut Hansen (2010), gejala klinis tumor otak bergantung pada lokasi

dan derajat peningkatan TIK. Tumor-tumor yang tumbuh dengan lambat di

daerah-daerah yang relatif tenang seperti lobus frontalis mungkin saja tidak

terdeteksi dan dapat menjadi cukup besar sebelum memunculkan gejala. Tumor-

tumor kecil di daerah-daerah penting dapat menimbulkan kejang, hemiparesis,

atau afasia.

Tumor otak biasanya muncul dengan salah satu dari tiga sindrom: (1)

progresi subakut dari suatu defisit neurologis fokal, (2) kejang, atau (3) kelainan

neurologis nonfokal. Adanya gejala sistemik seperti malaise, penurunan berat

badan, anoreksia, atau demam cenderung menunjukkan suatu metastasis

dibandingkan suatu tumor otak yang primer. Defisit neurologis fokal yang

progresif muncul dari kompresi neuron dan jaras-jaras pada substansia alba oleh

karena perkembangan tumor dan edema di sekitarnya. Tumor otak jarang muncul

Universitas Sumatera Utara

18

dengan defisit neurologis fokal yang bersifat tiba-tiba seperti pada stroke. Kejang

dapat disebabkan oleh gangguan pada sirkuit kortikal. Kelainan neurologis

nonfokal biasanya menunjukkan peningkatan TIK, hidrosefalus, atau penyebaran

tumor yang difus. Peningkatan TIK dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih

luas dengan mengkompresi struktur otak yang kritis. Gejala-gejala yang umum

dijumpai adalah penurunan kesadaran, malaise, sakit kepala, mual/muntah, dan

papiledema. Sakit kepala pada tumor otak, selain disebabkan oleh peningkatan

TIK, dapat juga diakibatkan oleh iritasi fokal atau pergeseran dari struktur-

struktur yang sensitif terhadap nyeri (Sagar dan Israel, 2010).

Menurut Ropper dan Samuels (2009), tumor otak seringkali muncul tanpa

adanya gejala yang berarti seperti gangguan kapasitas aktivitas mental, sedangkan

tanda-tanda fokal lainnya tidak muncul. Pada kelompok pasien yang lain, terdapat

indikasi awal adanya tumor otak berupa hemiparesis yang progresif, kejang yang

muncul pada orang yang sebelumnya sehat, dan gejala-gejala lainnya. Kelompok

pasien yang lainnya memiliki gejala berupa peningkatan TIK dengan atau tanpa

tanda-tanda lokalisasi tumor. Beberapa pasien juga memiliki gejala-gejala yang

sangat khas yang jarang muncul oleh karena penyakit yang lainnya sehingga dapat

ditegakkan diagnosis bukan hanya eksistensi tumor otaknya saja, namun juga tipe

dan lokasi tumor tersebut.

Menurut Deangelis dan Rosenfeld (2009), gejala klinis tumor otak

bervariasi menurut lokasinya, seperti:

1. Tumor lobus oksipitalis menyebabkan hemianopia dan gangguan penglihatan.

2. Tumor lobus frontalis sering menyebabkan perubahan kepribadian, demensia,

kelainan cara berjalan, seizure, hemiparesis, dan afasia ekspresif dari

hemisfer serebri yang dominan.

3. Tumor lobus temporalis menyebabkan perubahan kepribadian, termasuk

gangguan berbahasa dari hemisfer serebri yang dominan, kejang parsial

kompleks, dan defisit lapangan pandang.

4. Tumor pada korpus kalosum dapat menyebabkan demensia apabila kalosum

anterior terlibat, perubahan kepribadian dan kehilangan ingatan yang berat

Universitas Sumatera Utara

19

dengan sindrom amnestik apabila splenium terlibat, atau tanpa gejala sama

sekali.

5. Tumor pada sudut serebelopontin dapat menyebabkan ketulian ipsilateral,

mati rasa pada wajah, kelemahan, dan ataksia.

6. Tumor basis kranii umumnya memengaruhi saraf kranialis.

7. Tumor pineal menyebabkan hidrosefalus dan sindrom Parinaud dengan

upgaze yang terganggu dan kelainan pada pupil.

8. Tumor serebelum menyebabkan sakit kepala, ataksia, nistagmus, dan nyeri

leher.

9. Tumor hipofisis menyebabkan hemianopia bitemporal dari kompresi kiasma

optikum.

2.2.7. Diagnosis

Menurut Sobirin (2001), tidak selalu mudah untuk menduga dan membuat

suatu diagnosis tumor otak karena gejala klinis yang dihasilkan dapat bervariasi

tergantung pada histopatologi dan lokasinya. Misalnya, glioma tahap dini, yaitu

astrositoma grade I dan II, dapat mendekam di otak tanpa menimbulkan

manifestasi klinis apapun. Selain itu, gejala klinisnya sukar dibedakan dengan

penyakit-penyakit lainnya, sehingga dugaan yang mengarah ke tumor otak sering

terlewatkan. Padahal, tumor otak merupakan penyakit yang serius dan kesuksesan

pengobatannya bergantung pada diagnosis yang lebih dini. Diagnosis tumor otak

ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan penunjang, di antaranya

pemeriksaan EEG, CT scan, arteriografi, dan patologi anatomi.

Menurut Deangelis dan Rosenfeld (2009), pemeriksaan pencitraan yang

dapat dilakukan untuk mengidentifikasi adanya massa intrakranial antara lain:

1. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI merupakan pilihan utama dalam mengevaluasi tumor intrakranial. MRI lebih

sensitif daripada CT scan untuk menggambarkan detail anatomis dan tumor-tumor

di fossa posterior. Functional MRI (fMRI) dapat menunjukkan hubungan tumor

dengan struktur intrakranial yang lain seperti pusat motorik atau berbicara

Universitas Sumatera Utara

20

sehingga dokter bedah dapat memastikan keamanan reseksi komplit sebelum

pasien dibawa ke ruang operasi (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

2. Computed tomography scan (CT scan)

CT scan berguna dalam mendeteksi erosi tulang pada tumor metastasis atau

hiperostosis pada meningioma, namun kurang sensitif untuk tumor yang terletak

di fossa posterior. Administrasi kontras pada CT scan dan MRI dapat mendeteksi

defek pada sawar darah-otak dan tumor ekstraaksial. Baik CT scan maupun MRI

dapat menvisualisasikan perdarahan (hemorrhage) pada suatu tumor (Deangelis

dan Rosenfeld, 2009).

3. Positron-emission tomography (PET)

PET dengan 18F-fluoro-deoxyglucose (FDG) digunakan untuk mengukur

metabolisme tumor dan membedakan tumor dari nekrosis radiasi (Deangelis dan

Rosenfeld, 2009).

4. Single-photon emission computed tomography (SPECT)

SPECT melibatkan administrasi zat radioaktif dan digunakan untuk fungsi yang

sama dengan FDG-PET (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

5. Elektroensefalografi (EEG)

EEG hampir tidak berguna untuk mendiagnosis tumor otak, namun dapat

bermanfaat apabila pasien tidak responsif dan dicurigai menderita status

epileptikus nonkonvulsif (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

6. Angiografi

Angiografi digunakan untuk menetapkan anatomi pembuluh darah sebelum

pembedahan seperti menggambarkan patensi sinus venosus, dan untuk embolisasi

preoperatif untuk mengurangi vaskularitas tumor sebelum reseksi, seperti pada

tumor glomus jugularis (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

7. Analisis cairan serebrospinalis

Analisis cairan serebrospinalis umumnya tidak diperlukan untuk kebanyakan

neoplasma intrakranial. Tes ini bermanfaat hanya untuk staging neurologis yang

dibutuhkan dalam diagnosis limfoma SSP primer, tumor germ cell intrakranial,

meduloblastoma, atau pineoblastoma (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

Universitas Sumatera Utara

21

2.2.8. Klasifikasi

Menurut Ropper dan Samuels (2009), tumor otak diklasifikasikan

berdasarkan sel asal tumor dan tingkat keganasan untuk menilai laju pertumbuhan

dan perilaku klinis tumor. Perbedaan antara tumor otak varian klasik dan

anaplastik penting untuk penatalaksanaan pascapembedahan di lokasi-lokasi otak

tertentu dan prognosis tumor. Menurut American Brain Tumor Association

(2014), karakteristik beberapa tumor otak secara umum menurut gambaran

histopatologi adalah sebagai berikut:

1. Glioma

Glioma merupakan tumor yang berasal dari sel glia. Ada tiga jenis sel glia yang

dapat menghasilkan tumor, yaitu astrosit yang menghasilkan astrositoma,

oligodendrosit yang menghasilkan oligodendroglioma, dan sel ependimal yang

menghasilkan ependimoma. Tumor yang menampilkan campuran dari berbagai

jenis sel ini disebut mixed glioma (American Brain Tumor Association, 2012).

2. Astrositoma

Astrositoma berasal dari astrosit, yaitu sel-sel berbentuk bintang yang membentuk

jaringan penyokong otak. Berdasarkan normal atau tidaknya penampakan sel-

selnya, dikenal adanya astrositoma low-grade yang umum pada anak-anak dan

high-grade yang umum pada orang dewasa. Astrositoma paling sering dijumpai

pada usia 45 tahun ke atas, meskipun jenis astrositoma tertentu seperti astrositoma

pilositik lebih sering muncul pada anak-anak dan dewasa muda. Tumor ini lebih

sering muncul pada laki-laki dibandingkan pada perempuan (American Brain

Tumor Association, 2012). Contoh gambaran histopatologi astrositoma antara lain

astrositoma pilositik, astrositoma well-differentiated, dan astrositoma anaplastik.

Astrositoma pilositik seringkali bersifat kistik, dan jika padat, biasanya berbatas

tegas. Tumor ini terdiri dari sel-sel bipolar dengan prosesus-prosesus yang

panjang dan tipis. Rosenthal fibers, badan-badan granul eosinofilik, mikrokista

sering dijumpai, sedangkan nekrosis dan mitosis jarang dijumpai. Astrositoma

well-differentiated dicirikan oleh peningkatan jumlah nukleus sel glia yang ringan

sampai sedang, pleomorfisme nukleus yang bervariasi, dan prosesus-prosesus sel

astrosit yang memberikan penampilan seperti fibril. Astrositoma anaplastik

Universitas Sumatera Utara

22

menunjukkan kelompok sel-sel yang lebih padat, pleomorfisme nukleus yang

lebih berat, dan dijumpai mitosis (Kumar, 2013).

3. Glioblastoma multiforme (GBM)

Glioblastoma multiforme merupakan tumor dari astrosit yang sangat ganas karena

sel-selnya bereproduksi dengan cepat dan disokong oleh jaringan pembuluh darah

yang luas. Tumor ini biasanya mengandung campuran dari berbagai jenis sel,

mineral kistik, deposit kalsium, dan pembuluh-pembuluh darah (American Brain

Tumor Association, 2012). Glioblastoma multiforme memiliki tampilan

histopatologis yang sama dengan astrositoma anaplastik, disertai nekrosis dengan

nukleus yang pseudopalisading atau proliferasi pembuluh darah (Kumar, 2013).

4. Ependimoma

Ependimoma berasal dari sel-sel ependimal yang melapisi ventrikel-ventrikel otak

dan kanalis sentralis medula spinalis. Ependimoma adalah tumor yang lembek dan

berwarna keabu-abuan atau merah yang mungkin mengandung kista atau

kalsifikasi mineral (American Brain Tumor Association, 2012). Sel-sel

ependimoma terdiri dari sel-sel dengan nukleus yang bulat hingga oval, reguler,

dan penebalan kromatin granular. Di antara nukleus-nukleus terdapat latar

belakang fibrilaris yang padat. Sel-sel tumor dapat membentuk struktur seperti

rosette yang menyerupai kanalis ependimalis yang terdapat pada embrio dengan

prosesus-prosesus yang menjorok ke dalam lumen. Ependimoma anaplastik

menunjukkan peningkatan kepadatan sel, laju mitosis yang tinggi, nekrosis, dan

diferensiasi sel-sel ependimal yang kurang jelas (Kumar, 2013).

5. Oligodendroglioma

Oligodendroglioma berasal dari oligodendrosit. Oligodendroglioma umumnya

tampak sebagai tumor yang lembek, berwarna merah muda keabu-abuan, dan

sering mengandung deposit kalsifikasi mineral, area perdarahan, dan/atau kista.

Oligodendroglioma kadang-kadang bercampur dengan tipe-tipe sel lainnya,

seperti oligoastrositoma, yaitu tumor yang mengandung sel astrositoma dan

oligodendroglioma (American Brain Tumor Association, 2012). Pada pemeriksaan

mikroskopis, terdapat sel-sel tumor yang tersusun reguler dengan nukleus

berbentuk sferis yang berisi kromatin-kromatin granular, dikelilingi oleh

Universitas Sumatera Utara

23

sitoplasma jernih berbentuk halo. Tumor ini biasanya memiliki jaringan

anastomosis kapiler yang halus. Kalsifikasi yang dijumpai pada tumor beragam

ukurannya mulai dari fokus-fokus mikroskopis hingga deposisi yang masif, dan

aktivitas mitosis biasanya sulit dideteksi. Oligodendroglioma anaplastik adalah

subtipe tumor yang lebih agresif dengan kepadatan sel, anaplasia nukleus, dan

aktivitas mitosis yang lebih tinggi (Kumar, 2013).

Gambar 2.7. Gambaran histopatologi dari astrositoma pilositik (WHO grade I) Sumber: Brain Tumor Research, 2008. Tumors We Work On: Pediatric Low-Grade Gliomas. Maryland: John Hopkins University. Tersedia di: http://pathology.jhu.edu/pma/what.php)

Gambar 2.8. Gambaran histopatologi dari glioblastoma multiforme (Sumber: Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C., 2013. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 9th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 843)

Universitas Sumatera Utara

24

Gambar 2.9. Gambaran histopatologi dari ependimoma (Sumber: Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C., 2013. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 9th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 844)

Gambar 2.10. Gambaran histopatologi dari oligodendroglioma (Sumber: Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C., 2013. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 9th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 844)

6. Meningioma

Meskipun diklasifikasikan sebagai tumor otak, meningioma tidak berasal dari

jaringan otak, namun berasal dari meninges (American Brain Tumor Association,

2012). Menurut Kumar (2013), meningioma dapat mengkompresi jaringan otak

namun tidak menginvasinya. Meningioma dapat juga meluas hingga ke tulang di

dekatnya. Menurut Riemenscheider (2006), meningioma diklasifikasikan menjadi

tiga tipe, yaitu benigna (WHO grade I), atipikal (WHO grade II), dan anaplastik

(WHO grade III). Menurut American Brain Tumor Association (2012) dan

Universitas Sumatera Utara

25

American Society of Clinical Oncology (2013), meningioma lebih umum terjadi

pada perempuan dengan tingkat insidensi dua kali lipat lebih sering dibandingkan

pada pria. Hubungan antara jenis kelamin dengan insidensi meningioma diduga

disebabkan oleh pengaruh hormon, meskipun belum terdapat bukti yang konsisten

(Riemenschneider, 2006; Wiemels, 2010). Menurut Kumar (2013), pola-pola

histopatologi meningioma yang sering dijumpai adalah:

a. Meningioma sinsitial (meningotelial), berupa kluster sel-sel yang

whorling tanpa terlihat adanya membran sel yang tersusun rapat.

b. Meningioma fibroblastik, dengan sel-sel yang elongasi dan deposisi

kolagen yang melimpah di antara sel-sel tersebut.

c. Meningioma transitional, yang memiliki tampilan berupa campuran dari

meningioma sinsitial dan fibroblastik.

d. Meningioma psammomatosa, berupa sel-sel dengan psammoma bodies

yang jumlahnya banyak.

e. Meningioma sekretori, dengan sekresi eosinofilik seperti kelenjar yang

disebut pseudopsammoma bodies.

f. Meningioma atipikal dicirikan dengan nukleolus yang mencolok,

selularitas yang meningkat, pertumbuhan yang tak berpola, dan laju

mitosis yang lebih tinggi. Tumor ini lebih agresif dan tingkat

rekurensinya lebih tinggi.

g. Meningioma anaplastik adalah tumor yang sangat agresif yang

menyerupai sarkoma atau karsinoma high-grade, meskipun dapat terlihat

adanya asal sel meningotelial secara histopatologis.

7. Meduloblastoma

Meduloblastoma adalah tumor yang berasal dari sel-sel embrional pada saat tahap

awal perkembangan. Tumor ini terlihat seperti massa berwarna abu-abu keunguan

atau merah muda. Gambaran klasik histopatologisnya berupa sel-sel bulat kecil

padat dengan nukleus yang besar. Sel-sel tumor memiliki sitoplasma yang sedikit,

nukleus yang hiperkromatik, dan laju mitosis yang meningkat. Namun, sel-sel

tumor juga dapat memiliki pola-pola lain, seperti meduloblastoma anaplastik yang

Universitas Sumatera Utara

26

mengandung sel-sel tumor yang besar (American Brain Tumor Association, 2012;

Kumar, 2013).

8. Metastasis

Lesi-lesi metastatik, sebagian besar berupa karsinoma, mencakup kira-kira

seperempat hingga setengah dari jumlah tumor intrakranial. Lesi-lesi tersebut

membentuk massa yang berbatas jelas antara sel-sel tumor dengan parenkim otak

disertai dengan gliosis reaktif di sekelililing lesi (Kumar, 2013). Tumor otak yang

berupa metastasis berasal dari sel-sel tumor dari bagian tubuh yang lain, di

antaranya kanker paru-paru, kanker payudara, melanoma, kanker kolon, dan

kanker ginjal (American Brain Tumor Association, 2012).

Gambar 2.11. Gambaran histopatologi berbagai varian meningioma WHO grade I: meningioma meningotelial (A), fibroblastik (B), transisional (C), psammomatosa (D), angiomatosa (E), mikrokistik (F), sekretori (G), limfoplasmasit (H), dan metaplastik (I). Pewarnaan: A-D, F, H, I: hematoksilin-eosin, E: immunostaining dengan antibodi anti-CD34; G: periodic acid Schiff stain. (Sumber: Riemenschneider M. J., Perry A., and Reifenberger G., 2006. Histological classification and molecular genetics of meningiomas. Lancet Neurology. 5: 1045-54. Tersedia di: http://www.unilim.fr/campus-neurochirurgie/IMG/pdf/LancetNe.pdf)

Universitas Sumatera Utara

27

Gambar 2.12. Gambaran histopatologi berbagai varian meningioma WHO grade II: meningioma atipikal (A), clear-cell (B), dan chordoid (C). Pewarnaan: hematoksilin-eosin. (Sumber: Riemenschneider M. J., Perry A., and Reifenberger G., 2006. Histological classification and molecular genetics of meningiomas. Lancet Neurology. 5: 1045-54. Tersedia di: http://www.unilim.fr/campus-neurochirurgie/IMG/pdf/LancetNe.pdf)

Gambar 2.13. Gambaran histopatologi berbagai varian meningioma WHO grade III: meningioma anaplastik (A), rhabdoid (B), dan papillary (C). Pewarnaan: A-C: hematoksilin-eosin; B: toluidine biru. (Sumber: Riemenschneider M. J., Perry A., and Reifenberger G., 2006. Histological classification and molecular genetics of meningiomas. Lancet Neurology. 5: 1045-54. Tersedia di: http://www.unilim.fr/campus-neurochirurgie/IMG/pdf/LancetNe.pdf)

Gambar 2.14. Gambaran histopatologi dari meduloblastoma (Sumber: Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C., 2013. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 9th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 845)

Universitas Sumatera Utara

28

Tabel 2.3. Klasifikasi tumor otak menurut WHO 2007

Universitas Sumatera Utara

29

(Sumber: Louis, D.N. et al., 2007. The 2007 WHO Classification of Tumours of Central Nervous System. Acta Neuropathologica. 114(2): 97–109)

Universitas Sumatera Utara

30

2.2.9. Staging

Menurut National Cancer Institute (2014), tumor otak juga dapat

dikelompokkan berdasarkan tingkat keganasannya. Tumor otak tidak

dikelompokkan berdasarkan staging TNM oleh karena ukuran tumor (T) kurang

relevan dibandingkan dengan histopatologi dan lokasi tumor, otak dan medula

spinalis tidak memiliki jaringan limfatik (N), dan tumor otak jarang bermetastasis

(M) dan pasien tumor otak kebanyakan tidak hidup cukup lama untuk mengalami

metastasis.

Tabel 2.4. Staging tumor otak menurut WHO 2007 Staging Deskripsi Contoh Grade I Tampilan tumor hampir mirip dengan

jaringan otak yang normal, tumbuh dengan lambat, dan efektif disembuhkan dengan pembedahan. Biasanya tumor grade ini dihubungkan dengan kelangsungan hidup yang cukup panjang.

Astrositoma pilositik, kraniofaringioma

Grade II Tumor tumbuh dengan lambat dan terlihat sedikit abnormal di bawah mikroskop dibandingkan dengan tumor grade I.

Oligodendroglioma, ependimoma

Grade III Tumor bersifat ganas dan memiliki tampilan nuklear yang atipik dan aktivitas mitotik yang meningkat. Tumor memiliki gambaran histopatologis yang anaplastik.

Astrositoma anaplastik

Grade IV Tumor bersifat paling ganas. Sel-selnya bereproduksi dengan cepat dan memiliki tampilan yang aneh di bawah mikroskop. Tumor ini membentuk pembuluh darah yang baru untuk mempertahankan pertumbuhannya yang cepat dan terdapat juga area nekrosis.

Glioblastoma multiforme

(Sumber: American Brain Tumor Association, 2012. Tumor Grading and Staging. Chicago: American Brain Tumor Association; National Cancer Institute, 2014. Classification of Adult Brain Tumors. United States of America: National Cancer Institute; Ropper, A.H. and Samuels, M.A., 2009. Adams & Victor’s Principles of Neurology. 9th ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies)

2.2.10. Penatalaksanaan

Menurut National Cancer Institute (2014), penatalaksanaan tumor otak

bervariasi menurut histopatologi dan lokasi anatomis. Bahkan untuk tumor-tumor

Universitas Sumatera Utara

31

seperti meningioma low-grade yang asimtomatis, observasi saja sudah cukup dan

terapi dilakukan apabila telah terdeteksi pertumbuhan tumor atau munculnya

gejala. Adapun pilihan penatalaksanaan tumor otak secara umum mencakup:

1. Pembedahan

Untuk sebagian besar tumor otak, usaha pembedahan komplit atau hampir komplit

umumnya direkomendasikan, apabila mungkin, dengan pemeliharaan fungsi

neurologis dan kesehatan pasien. Tujuan pembedahan adalah untuk menegakkan

diagnosis histopatologi dan mengurangi TIK (National Cancer Institute, 2014).

2. Terapi radiasi

Pasien yang menjalani terapi radiasi pascaoperasi baik tumor low-grade maupun

high-grade dinilai dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan dengan yang

tidak menjalani terapi radiasi. Terapi radiasi yang berulang harus diberikan

dengan hati-hati karena adanya risiko defisit neurokognitif dan nekrosis yang

timbul akibat radiasi (National Cancer Institute, 2014).

3. Kemoterapi

Selama beberapa tahun, kemoterapi sistemik yang digunakan adalah nitrosourea

carmustine (BCNU) yang merupakan kemoterapi standar sekaligus dengan

pembedahan dan radiasi untuk glioma maligna. Namun saat ini, temozolomide

sudah menggantikan carmustine sebagai kemoterapi standar. Kemoterapi bukan

terapi utama bagi kebanyakan pasien, namun dapat bermanfaat bagi pasien dengan

metastasis tumor yang kemosensitif (National Cancer Institute, 2014).

4. Kortikosteroid

Kortikosteroid dapat meredakan gejala tumor otak dengan cepat dengan cara

mengurangi edema di sekitar tumor dan mengurangi TIK. Obat standar yang

digunakan adalah deksametason. Deksametason dapat memperbaiki sawar darah

otak yang terganggu pada tumor otak yang ganas. Kortikosteroid diindikasikan

pada seluruh pasien tumor otak yang simtomatis, khususnya pasien dengan edema

peritumoral yang terlihat pada pencitraan, kecuali pada pasien dengan limfoma

SSP primer di mana kortikosteroid dapat meregresi tumor sehingga menyulitkan

penegakan diagnosis apabila diberikan sebelum tumor dibiopsi. Meskipun

bermanfaat, pemberian kortikosteroid jangka panjang dapat mengakibatkan

Universitas Sumatera Utara

32

toksisitas klinis, sehingga apabila gejala yang dialami pasien sudah terkontrol dan

terapi yang spesifik untuk tumor telah dilakukan, dosis kortikosteroid harus

dikurangi (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

5. Antikonvulsan

Antikonvulsan diberikan pada seluruh pasien tumor otak yang mengalami kejang.

Namun, kebanyakan pasien tumor otak tidak mengalami kejang sebagai gejala

awal. Pemberian antikonvulsan profilaksis tidak dianjurkan bagi pasien tumor

otak yang belum mengalami kejang karena diteliti tidak bermanfaat. Yang lebih

penting, banyak antikonvulsan berinteraksi dengan obat-obatan yang lain,

misalnya dapat meningkatkan metabolisme agen kemoterapi sehingga kadarnya

menurun ke level subterapetik (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).

Universitas Sumatera Utara