asuhan keperawatan pada klien dengan stroke hemoragik

33
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STROKE HEMORAGIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gaya hidup manusia dewasa ini semakin mengarah kepada gaya hidup yang pragmatis. Semuanya memenuhi kebutuhan hidup secara instan dan praktis, dan mengabaikan segala hal yang ada di balik pragmatisme dalam hidup tersebut. Hal ini tentu akan membawa berbagai konsekuensi, dan konsekuensi yang paling rentan adalah masalah kesehatan. Pola hidup yang instan seperti makan makanan junk food, merokok dan minum kopi yang berlebihan untuk mengusir rasa kantuk akibat lelah kerja, tidak pernah melakukan olah raga karena harus mengejar karier serta gaya hidup yang selalu identik dengan narkoba, rokok dan alkohol maka segala penyakit akan datang menyerang. Bermula dari kelebihan kolesterol, kelelahan karena kurang istirahat, tingkat stres yang tinggi dan hipertensi maka timbullah berbagai penyakit seperti jantung dan stroke. Menurut Batticaca(2008) stroke masih merupakan masalah medis yang menjadi penyebab kesakitan dan kematian nomor 2 di Eropa serta nomor 3 di Amerika Serikat. Sebanyak 10% penderita stroke mengalami kelemahan yang memerlukan perawatan. Penyakit ini juga menimbulkan kecacatan terbanyak pada kelompok usia dewasa yang masih produktif. Tingginya kasus stroke ini salah

Upload: jeffry17

Post on 28-Dec-2015

64 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STROKE HEMORAGIK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gaya hidup manusia dewasa ini semakin mengarah kepada gaya hidup yang pragmatis.

Semuanya memenuhi kebutuhan hidup secara instan dan praktis, dan mengabaikan segala hal

yang ada di balik pragmatisme dalam hidup tersebut. Hal ini tentu akan membawa berbagai

konsekuensi, dan konsekuensi yang paling rentan adalah masalah kesehatan. Pola hidup yang

instan seperti makan makanan junk food, merokok dan minum kopi yang berlebihan untuk

mengusir rasa kantuk akibat lelah kerja, tidak pernah melakukan olah raga karena harus

mengejar karier serta gaya hidup yang selalu identik dengan narkoba, rokok dan alkohol maka

segala penyakit akan datang menyerang. Bermula dari kelebihan kolesterol, kelelahan karena

kurang istirahat, tingkat stres yang tinggi dan hipertensi maka timbullah berbagai penyakit

seperti jantung dan stroke.

Menurut Batticaca(2008) stroke masih merupakan masalah medis yang menjadi

penyebab kesakitan dan kematian nomor 2 di Eropa serta nomor 3 di Amerika Serikat. Sebanyak

10% penderita stroke mengalami kelemahan yang memerlukan perawatan. Penyakit ini juga

menimbulkan kecacatan terbanyak pada kelompok usia dewasa yang masih produktif. Tingginya

kasus stroke ini salah satunya dipicu oleh rendahnya kepedulian masyarakat dalam mengatasi

berbagai faktor resiko yang dapat menimbulakan stroke. Penyebab stroke adalah pecahnya

(ruptur) pembuluh darah di otak dan atau terjadinya trombosis dan emboli. Gumpalan darah akan

masuk ke aliran darah sebagai akibat dari penyakit lain atau karena adanya bagian otak yang

cedera dan menutup atau menyumbat arteri otak. Secara sederhana stroke didefinisikan sebagai

penyakit otak akibat terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan atau perdarahan dengan

gejala lemas, lumpuh sesaat, atau gejala berat sampai hilangnya kesadaran, dan kematian.

Menurut ctella93 (2008), di Indonesia stroke merupakan penyakit nomor tiga yang

mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan, menurut survei tahun 2004, stroke merupakan

pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada 500.000

penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut, sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga

lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami

gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di kasur.

Data pencatatan dari rekam medik di Ruang Bougenville Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung diketahui bahwa sejak bulan Januari – Juni

2011 terdapat sebanyak 663 orang yang terdiri dari berbagai penyakit diantaranya: cidera kepala

260 orang (39%), stroke non hemoragik 172 orang (26%), stroke hemoragik 95 orang (14%), dan

lain-lain seperti: cephalgia, meningitis, dan sol 140 orang (21%).

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk menjadikan penyakit stroke sebagai

makalah ilmiah, agar penulis lebih memahami bagaimana proses keperawatan yang dilakukan

pada klien dengan penyakit stroke. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan penulis

mengambil judul makalah: Asuhan Keperawatan Pada Tn. U dengan gangguan system

persyarafan: Stroke Non Hemoragik di ruang Bougenvile RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Penulis mampu menggambarkan asuhan keperawatan secara komprehensif yang

meliputi aspek biopsikososiospritual pada klien dengan stroke non hemoragik dengan

menggunakan pendekatan proses keperawatan.

2. Tujuan Khusus

Penulis mampu menggambarkan:

a. Konsep teori penyakit stroke non hemoragik.

b. Pengkajian status kesehatan pada Tn. U dengan masalah stroke non hemoragik

secara komprehensif melalui pendekatan proses keperawatan.

c. Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. U dengan masalah stroke non

hemoragik.

d. Rencana asuhan keperawatan sesuai dengan diagnosa yang muncul pada Tn. U

dengan stroke non hemoragik.

e. Pelaksanaan implementasi keperawatan terhadap Tn. U dengan stroke non

hemoragik.

f. Evaluasi asuhan keperawatan pada Tn. U dengan stroke non hemoragik.

g. Pendokumentasian asuhan keperawatan yang benar pada Tn. U dengan stroke non

hemoragik.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup laporan study kasus ini mengacu pada masalah keperawatan pada system

persyarafan: Stroke Non Hemoragik pada Tn. U diruang Buogenvile RSUD Dr. Hi. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung yang dilaksanakan pada tanggal 09 s/d 11 Juni 2011 dengan

menggunakan proses keperawatan.

D. Metode Penulisan

Metode penulisan laporan ini menggunakan metode deskriptif yang berbentuk study

kasus. Tekhnik pengambilan data pada kasus dengan pengamatan atau observasi langsung ke

klien, wawancara, pemeriksaan fisik, dokumentasi atau catatan perawatan, partisipasi aktif dan

studi kepustakaan.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang diuraikan dalam laporan kasus ini dibagi menjadi 5 Bab,

yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan, ruang lingkup, metode

penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN TEORI

Landasan teori meliputi konsep dasar penyakit, berisi definisi, etiologi,

manifestasi klinis, komplikasi, diagnostik, penatalaksanaan medik dan keperawatan, konsep

dasar asuhan keperawatan, berisikan pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan,

implementasi dan evaluasi.

BAB III : TINJAUAN KASUS

Meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan

keperawatan, pelaksanaan keperawatan, evaluasi dan catatan perkembangan.

BAB IV : PEMBAHASAN

BAB V : PENUTUP

Meliputi kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar

1. Definisi

Menurut Batticaca (2008), stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi

gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak

sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian.

Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan terhentinya suplai darah

kebagian otak (Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Ginsberg (2008), stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/gejala

hilangnya fungsi system syaraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik

atau menit).

Sedangkan menurut Muttaqin (2008), stroke sebagai sindrom klinis dengan gejala

gangguan fungsi otak secara fokal yang berlangsung 24 jam atau lebih tanpa penyebab lain

kecuali gangguan pembuluh darah otak.

2. Klasifikasi Stroke

a. Menurut Muttaqin (2008), klasifikasi stroke berdasarkan keadaan patologis dari

serangan stroke meliputi:

1) Stroke hemoragik

Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subaraknoid. Disebabkan oleh

pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan

aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran klien umumnya

menurun. Perdarahan otak dibagi dua, yaitu:

a) Perdarahan Intraserebri (PIS)

Pecahnya pembuluh darah terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke

dalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema

otak.

b) Perdarahan Subarakhnoid (PSA)

Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry, aneurisma yang berasal dari

pembuluh darah sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya. Dapat menimbulkan nyeri kepala hebat,

sering juga dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsang selaput otak lainnya, dapat pula

terjadi penurunan kesadaran.

c) Sub Dural Hemoragic (SDH)

Biasanya terjadi robeknya jembatan vena sehingga periode pembentukan hematoma

lebih lama dan menyebabkan tekanan pada otak.

d) Epidural Hemoragic (EDH)

Adalah kedaruratan bedah neuro yang memerlukan perawatan segera. Ini biasanya

mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah atau arteri meninges lain. Pasien harus

diatasi dalam beberapa jam untuk mempertahankan hidup.

2) Stroke Non Hemoragik

Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebri, umumnya terjadi saat setelah

lama beristirahat, baru bangun tidur pada dipagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi

iskemia yang menimbulkan hipoksia, kesadaran umumnya baik.

b. Menurut Batticaca (2008), klasifikasi stroke dibagi menjadi:

1) Stroke iskemik (infark atau kematian jaringan). Serangan sering terjadi pada usia

50 tahun atau lebih dan terjadi pada malam hingga pagi hari.

a) Trombosis pada pembuluh darah otak (trombosis of cerebral vessels).

b) Emboli pada pembuluh darah (embolism of cerebral vessels)

2) Stroke hemoragik (perdarahan). Serangan sering terjadi pada usia 20-60 tahundan

biasanya timbul setelah beraktivitas fisik atau karena psikologis (mental).

a) Perdarahan intraserebral (parenchymatous hemorrhage)

Gejalanya:

(1) Tidak jelas, kecuali nyeri kepala hebat karena hipertensi.

(2) Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktivitas, dan emosi atau marah.

(3) Mual atau muntah pada permulaan serangan.

(4) Hemiparasis atau hemiplegia terjadi sejak awal serangan.

(5) Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65% terjadi kurang dari ½

jam-2 jam; < 2% terjadi setelah 2 jam- 19 hari).

b) Perdarahan subarachnoid (subarachnoid hemorrhage)

Gejalanya:

(1) Nyeri kepala hebat dan mendadak.

(2) Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi.

(3) Ada gejala atau tanda meningeal.

(4) Papiledema terjadi bila ada perdarahan subarachnoid karena pecahnya aneurisma

pada arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna.

3. Etiologi

Menurut Smeltzer & Bare(2002), keadaaan yang dapat menyebabkan stroke:

a. Trombosis Serebri

Trombosis (penyakit trombo-okulsif) merupakan penyebab stroke yang paling sering

dikaitkan dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah. Beberapa keadaan dibawah ini dapat

menyebabkan trombosis otak:

1) Aterosklerosis

Ateroskleroris adalah pengerasan pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan dan

elastisitas pembuluh darah.

2) Hiperkoagulasi pada polisitemia

Darah bertambah kental, penambahan viskositas atau hematokrit meningkat dapat

melambatkan aliran darah serebri.

3) Arteritis

Radang pada arteri.

b. Embolisme Serebral

Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah,

lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari trombus di jantung yang terlepas yang

merupakan perwujutan penyakit jantung.

c. Hemoragik

1) Hemoragi ekstradural atau epidural

Hemoragi ekstradural merupakan kedaruratan bedah neuro yang memerlukan perawatan

segera dan biasanya mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah atau arteri

meningen lain. Pasien harus diatasi dalam beberapa jam cidera untuk mempertahankan hidup.

2) Hemoragi subdural

Hemoragi subdural pada dasarnya sama dengan hemoragi epidural, kecuali bahwa

hematom lebih lama dan menyebabkan tekanan pada otak.

3) Hemoragi subarakhnoid

Hemoragi subarakhnoid dapat terjadi akibat trauma atau hipertensi, tetapi penyebab

paling sering adalah kebocoran aneurisme pada sirkulus willisi dan malformasi arteri vena

kongenital pada otak.

4) Hemoragi intra serebral

Perdarahan di subtansi dalam otak paling umum pada pasien dengan hipertensi

aterosklerosis serebral, karena perubahan degeneratif yang ruptur pembuluh darah.

d. Hipoksia umum

Pada keadaan hipertensi yang parah jantung dapat mengalami pembengkakan dan

gangguan dalam irama, sehingga dapat menurunkan curah jantung, selain itu pula keelastisitasan

pembuluh darah berkurang dan pembuluh darah dapat mengalami arterosklerosis. Pada keadaan

tersebut suplai darah ke jaringan tubuh dapat terganggu, apabila gangguan tersebut mengenai

jaringan otak maka suplai oksigendan nutrisi bagi otak akan berkurang, bila keadaan itu terus

berlanjut maka dapat mengalami iskemi dan hipoksia dan berakibat kematian jaringan otak.

e. Hipoksia lokal

Spasme arteri serebri ataupun vasokontriksi arteri otak dapat menghambat aliran darah

ke otak sehingga otak mengalami iskemi.

4. Faktor Resiko Stroke

Menurut Smeltzer & Bare (2002), faktor resiko terjadinya stroke sebagai berikut:

a. Hipertensi

Pengendalian hipertensi adalah kunci untuk mencegah stroke.

b. Penyakit kardiovaskuler

c. Kolesterol tinggi

d. Obesitas

e. Diabetes

f. Merokok

5. Patofisiologi

Skema 2.1. Patofisiologi

Patofisiologi Stroke menurut Muttaqin (2008).

Penyebab (Trombosis, emboli dan perdarahan)

Oklusi

Penurunan perfusi jaringan serebral

Iskemia

Metabolisme anaerob Aktivitas elektrolit terhenti

Penimbunan asam laktat Pompa Na dan K gagal

Edema serebral

Perfusi otak menurun

Nekrosis jaringan otak

Keterangan Skema:

Trombosis, emboli dan perdarahan serebral merupakan faktor penyebab yang dapat

mengakibatkan terjadinya oklusi pada pembuluh darah otak, sehingga akan terjadi penurunan

perfusi jaringan serebral, karena suplai oksigen dalam jaringan berkurang sehingga akan terjadi

iskemia kemudian terjadi metabolisme anaerob dan menimbulkan penimbunan asam laktat, dari

iskemia juga dapat menghentikan aktivitas elektrolit sehingga pompa Na dan K gagal,

mengakibatkan edema serebral sehingga perfusi jaringan otak menurun dan terjadi nekrosis

jaringan serebral atau stroke.

6. Manifestasi Klinis

Menurut Smeltzer & Bare (2002), stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis

bergantung pada lokasi lesi, ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah

kolateral (sekunder atau aksesori).

a. Kehilangan motorik

Stroke adalah penyakit motor neuron dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter

terhadap gerak motorik. Karena neuron motor atas melintas, gangguan kontrol volunter pada

salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang

berlawanan dari otak. Disfungsi motor yang paling umum adalah

1) Hemiplegia, yaitu paralisis pada salah satu sisi.

2) Hemiparesis, yaitu kelemahan pada salah satu sisi tubuh.

b. Kehilangan komunikasi

Fungsi otak yang dipengaruhi stroke adalah bahasa dan komunikasi.

1) Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit dimengerti

yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.

2) Disfasia atau Afasia (kehilangan bicara), yang terutama ekspresif atau reseptif.

3) Apraksia (ketidak mampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari

sebelumnya), seperti terlihat ketika pasien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir

rambutnya.

c. Gangguan persepsi

Persepsi adalah ketidakmampuan menginterprestasikan sensasi.

1) Disfungsi persepsi visual

Kehilangan setengah lapang pandang (hemianopsia), sisi visual yang terkena berkaitan

dengan sisi tubuh yang paralisis.

2) Kehilangan sensori

Stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan

kehilangan kemampuan untuk merasakan posisi dan gerak bagian tubuh serta kesulitan dalam

menginterpretasikan strimulasi visual, taktil dan auditorius.

d. Gangguan fungsi koknitif dan efek psikologis

Bila kerusakan terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori atau fungsi

kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini ditunjukan dalam lapang perhatian

terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi.

e. Disfungsi kandung kemih

Setelah stroke, pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara karena

konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan menggunakan

urinal karena kerusakan kontrol motorik postural.

Berdasarkan bagian hemisfer yang terkena tanda dan gejala dapat berupa:

a. Stroke hemisfer kanan

Hemiparesis atau hemiplegia pada sisi kiri tubuh, defek lapang penglihatan kiri, defisit

persepsi, prilaku implusif dan penilaian buruk, kurang kesadaran terhadap defisit.

b. Stroke hemisfer kiri

Hemiparesis atau hemiplegia kanan, defek lapang pandang kanan, afasia (ekspresif,

reseptif atau global), prilaku lambat dan kewaspadaan.

7. Komplikasi

Menurut Smeltzer & Bare (2002), setelah mengalami stroke klien mungkin akan

mengalami komplikasi yang dapat dikelompokan berdasarkan:

a. Hipoksia serebral

b. Hipertensi atau hipotansi

c. Embolisme serebral

8. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Menurut Muttaqin (2008), pemeriksaan laboratorium pada stroke sebagai berikut:

1) Darah rutin.

2) Pemeriksaan kimia darah: Gula darah.

3) Cairan serebrospinal.

4) Pemeriksaan darah lengkap.

b. Pemeriksaan diagnostik

Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), pemeriksaan diagnostik pada stroke

sebagai berikut:

1. CT Scan Memperlihatkan adanya edema , hiperdens (perdarahan), iskemia dan

adanya infark.

2. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti

perdarahan atau obstruksi arteri.

3. Pungsi Lumbal

a) Menunjukan adanya tekanan normal.

b) Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya

perdarahan.

4. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena.

5. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal

9. Penatalaksanaan umum

a. Medik

Penatalaksaan Medik menurut Muttaqin (2008), adalah:

1) Menurunkan kerusakan iskemik serebral dengan mempertahankan saluran napas

yaitu : oksigenisasi, penghisapan lendir, bila perlu lakukan trakeostomi serta dengan vasodilator

untuk meningkatkan aliran darah serebral seperti asam nikotinat tolazin dan jenis lainnya

2) Pemberian trombolisis dengan rt-PA (recombinant tissue plasminogen)

3) Pemberian obat-obatan seperti digoksin pada aritmia jantung atau alfa beta,

kaptropil, antagonis kalsium pada pasien dengan hipertensi.

4) Pemberian Steroid guna menurunkan permeabilitas kapiler.

5) Pemberian Osmotis Diuretika seperti manitol, lasix atau furosemide untuk

menurunkan edema serebral.

6) Pemberian Anti koagulan untuk mencegah memberatnya trombosis dan

embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardivaskuler (Smeltzer & Bare, 2000).

b. Keperawatan

Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), tindakan yang dilakukan pada pasien

stroke:

1) Meningkatkan perfusi dan oksigenasi serebral yang adekuat.

2) Mencegah atau meminimalkan komplikasi dan ketidakmampuan yang bersifat

permanen.

3) Membantu pasien untuk menemukan kemandiriannya dalam melakukan aktivitas

sehari-hari.

4) Memberikan dukungan terhadap proses koping dan mengintegrasikan perubahan

dalam konsep diri pasien.

5) Memberikan informasi tentang proses penyakit atau prognosisnya dan kebutuhan

tindakan atau rehabilitasi.

B Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), secara teoritis data yang perlu dikaji

dari pasien stroke adalah sebagai berikut:

a. Aktivitas / Istirahat

Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan

sensasi atau paralisis (hemiplegia).

Tanda: gangguan tonus otot, paralitik dan kelemahan umum, gangguan penglihatan, dan

gangguan tingkat kesadaran.

b. Sirkulasi

Gejala: adanya penykit jantung ( penyakit jantung vaskular, endokarditis), polisitemia,

dan riwayat hipotensi postural.

Tanda: hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme atau malformasi

vaskular. Frekuensi nadi dapat bervariasi karena ketidaksetabilan fungsi jantung, obat-obatan dan

efek stroke pada pusat vasomotor.

c. Integritas ego

Gejala: perasaan tidak berdaya, dan putus asa.

Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, gembira, dan kesulitan

untuk mengekspresikan diri.

d. Eliminasi

Gejala: perubahan pola berkemih seperti inkontinensia, anuria, distensi abdomen, dan

bising usus negatif.

e. Makanan/cairan

Gejala: nafsu makan hilang, mual dan muntah selama fase akut (peningkatan TIK).

Kehilangan sensasi rasa kecap pada lidah, pipi dan tenggorokan, disfagia. Adanya riwayat

diabetes, peningkatan lemak dalam darah.

Tanda: kesulitan menelan (gangguan pada reflek palatum dan faringeal), dan obesitas

(faktor resiko).

f. Neurosensori

Gejala: sinkop atau pusing, sakit kepala, akan sangat berat dengan adanya PIS atau

PSA, kelemahan, kesemutan, atau kebas. Penglihatan menurun, kehilangan daya lihat sebagian,

penglihatan ganda. Sentuhan, hilangnya rangsang sensorik kolateral pada ekstermitas dan

kadang-kadang ipsilateral pada wajah. Gangguan rasa pengecapan dan penciuman.

Tanda: status mental atau tingkat kesadaran menurun, gangguan tingkah laku (letargi,

apatis, menyerang), gangguan fungsi kognitif atau penurunan memori, kelemahan atau paralisis

pada ekstermitas, reflek tendon melemah. Afasia, kehilanagan kemempuan menggunakan

motorik (afraksia), ukuran atau reaksi pupil tidak sama, dan kejang.

g. Nyeri/ Kenyamanan

Gejala: sakit kepala dengan intesitas yang berbeda-beda.

Tanda: tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, dan ketegangan pada otot (fasia).

h. Pernafasan

Gejala: merokok

Tanda: ketidak mampuan menelan, batuk, hambatan jalan nafas. Timbulnya pernafasan

sulit, tidak teratur, dan suara nafas terdengar ronchi.

i. Interaksi sosial

Tanda: masalah bicara, dan ketidakmampuan untuk berkomunikasi.

j. Penyuluhan/pembelajaran

Gejala: adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke, pemakaian kontrasepsi oral,

dan kecanduan alkohol.

2. Diagnosa Keperawatan (DX. Kep)

Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), diagnosa keperawatan yang muncul

pada klien dengan stroke antara lain:

a. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan interupsi

aliran darah, oklusif, hemoragi, edema serebral, vasospasme.

b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular:

hemiparese atau hemiplegia.

c. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuskular:

kerusakan pada area bicara (afasia), kehilangan kontrol tonus otot facial.

d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi saraf

sensori.

e. Kurang perawatan diri: aktivitas daili (ADL) berhubungan dengan kerusakan

neuromuskular, penurunan kekuatan atau tahanan, kehilangan kontrol atau koordinasi otot.

Sedangkan menurut Batticaca (2008), diagnosa keperawatan yang muncul pada klien

dengan stroke antara lain:

a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi

ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan

tekanan intracranial.

c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular.

d. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan sirkulasi serebral.

e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan paralisi, hemiparase, quadriplegi.

f. Resiko ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.

3. Rencana Tindakan Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah upaya yang dilakukan perawat untuk mencapai hasil

yang diharapkan yaitu kesembuhan pasien dan kemampuan pasien melakukan atau memenuhi

kebutuhan hidupnya kembali dan tujuan pemulangan pasien. Menurut Doenges, Moorhouse &

Geissler (2000), rencana tindakan pada pasien dengan stroke adalah sebagai berikut:

a. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan interupsi

aliran darah, oklusif, hemoragi, edema serebral, vasospasme.

Tujuan: perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal dengan kriteria hasil yang

ingin dicapai yaitu: klien tidak gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, atau kejang. GCS:

15 (E:4 M:6 V:5), tanda-tanda vital dalam batas normal, tingkat kesadaran membaik, dan tidak

ada penurunan fungsi neurologis.

Intervensi:

1) Kaji faktor penyebab dan beri penjelasan kepada keluarga tentang sebab-sabab

peningkatan TIK dan akibatnya.

Rasional: mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau kemunduran tanda dan

gejala neurologis atau kegagalan mempebaikinya setelah fase awal memerlukan tindakan

pembedahan dan atau pasien harus dipindahkan keruang perawatan kritis (ICU) untuk

melakukan pemantauan TIK.

2) Pantau atau catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan

keadaan normalnya.

Rasional: dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.

3) Monitor tanda-tanda vital seperti: (tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi

pernafasan).

Rasional: pada keadaan normal, otoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah

sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan otoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskuler

serebri yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan

tekanan diastolik, sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi.

4) Tinggikan posisi kepala 30-450 dan dalam posisi anatomis (netral).

Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan

sirkulasi atau perfusi serebral.

5) Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang,

dan batasi pengunjung.

Rasional: aktivitas atau stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK.

6) Anjurkan klien untuk tidak menekuk lutut, batuk, bersin atau mengejan

berlebihan.

Rasional: batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

7) Kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi.

Rasional: menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan

tekanan meningkat atau terbentuknya edema.

8) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi: antikoagulan heparin, antifibrolitik

asam aminocaproid, antihipertensi, steroid, diuretik,

Rasional: dapat digunakan untuk memperbaiki aliran darah serebral, untuk mencegah

lisis bekuan yang terbentuk dan perdarahan berulang.

b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular,

hemiparese atau hemiplegi.

Tujuan: klien mampu melaksanakan aktifitas fisik sesuai dengan kemampuannya

dengan kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu: klien mempertahankan posisi tubuh secara optimal

seperti tidak adanya kontraktur atau footdrop, mempertahankan atau meningkatkan fungsi tubuh

yang terkena, klien dapat ikut serta dalam program latihan, mendemonstrasikan tekhnik

melakukan aktivitas, mempertahankan integritas kulit, kebutuhan ADL terpenuhi, dan tonus otot

meningkat.

Intervensi:

1) Kaji kemampuan secara fungsional atau luasnya kerusakan awal dan dengan cara

yang teratur, klasifikasikan melalui skala 0-4.

Rasional: mengidentifikasi kekuatan atau kelemahan dan dapat memberikan informasi

mengenai pemulihan.

2) Ubah posisi minimal setiap 2 jam.

Rasional: menurunkan resiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang

jelek pada daerah yang tertekan.

3) Ajarkan klien latihan rentang gerak aktif dan pasif, libatkan keluarga dalam

melakukan tindakan.

Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah

kontraktur.

4) Tempatkan bantal dibawah aksila untuk melakukan abduksi pada tangan.

Rasional: mencegah adduksi bahu dan fleksi siku.

5) Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi.

Rasional: mempertahankan posisi fungsional.

6) Pertahankan kaki dalam posisi netral dengan gulungan bantal.

Rasional: mencegah rotasi eksternal pada pinggul.

7) Inspeksi kulit terutama pada daerah yang tertekan dan menonjol secara teratur,

lakukan massage pada daerah tertekan, sanggah tangan dan pergelangan pada kelurusan alamiah.

Rasional: titik-titik tekanan pada daerah yang menonjol paling berisiko untuk terjadinya

penurunan perfusi atau iskemia.

8) Kolaborasi dengan ahli fisiotrapiuntuk latihan fisik klien.

Rasional: peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan

dengan latihan fisik dari tim fisiotherapis.

c. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuskular:

kerusakan pada area bicara (afasia), kehilangan kontrol tonus otot facial atau oral, dan

kelemahan secara umum.

Tujuan: klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu

mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat dengan kriteria hasil yang

ingin dicapai yaitu: terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien terpenuhi, klien

mampu berespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat, membuat metode

komunikasi, mampu mengekspresikan diri dan memahami orang lain.

Intervensi:

1) Kaji tipe atau derajat disfungsi misalnya klien tidak mengerti tentang kata-kata

atau masalah berbicara atau tidak mengerti bahasa sendiri.

Rasional: membantu menentukan kerusakan area pada otak dan menentukan kesulitan

klien sebagian atau seluruh proses komunikasi, klien mungkin mempunyai masalah dalam

mengartikan kata-kata.

2) Katakan untuk mengikuti perintah secara sederhana seperti ”tutup matamu” dan

”lihat kepintu”.

Rasional: untuk menguji afasia reseptif.

3) Berikan metode komunikasi alternatif misalnya menulis pada papan tulis,

menggambar, gunakan kata-kata sederhana secara bertahap dan dengan bahasa tubuh.

Rasional: memberikan komunikasi dasar sesuai dengan situasi individu.

4) Antisipasi dan penuhi kebutuhan klien.

Rasional: membantu menurunkan frustasi oleh karena ketergantungan atau

ketidakmampuan berkomunikasi.

5) Mintalah pasien mengucapkan suara sederhana seperti ”Sh” atau

”Pus”.

Rasional: mengidentifikasi disatria komponen bicara (lidah, gerakan bibir).

6) Anjurkan klien untuk menulis nama atau kalimat pendek, bila tidak mampu

anjurkan klien untuk membaca kalimat pendek.

Rasional: menguji ketidakmampuan menulis (agrafia) dan defisit membaca.

7) Berbicara dengan nada normal dan hindari ucapan yang terlalu cepat, berikan

waktu klien untuk berespon.

Rasional: klien tidak dipaksa untuk mendengar, tidak menyebabkan klien marah dan

tidak menyebabkan rasa frustasi.

d. Resiko ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.

Tujuan: kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dengan kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu:

asupan dapat masuk sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan menelan, tidak terjadi penurunan

berat badan, tidak terpasang sonde.

Intervensi:

1) Lakukan oral higiene.

Rasional: kebersihan mulut merangsang nafsu makan.

2) Observasi intake dan output nutrisi.

Rasional: mengetahui keseimbangan nutrisi klien.

3) Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk.

Rasional: untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien.

4) Letakan posisi kepala lebih tingggi pada waktu, selama dan sesudah makan.

Rasional: untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi.

5) Stimulasi bibir untuk membuka dan menutup mulut secara manual dengan

menekan ringan diatas bibir atau dibawah dagu jika diperlukan.

Rasional: membantu dalam melatih kembali sensorik dan meningkatkan kembali

kontrolmuskular.

6) Berikan makan perlahan dengan lingkungan yang tenang.

Rasional: klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi

atau gangguan dari luar.

7) Mulailah untuk memberi makan per oral setengah cair, makanan lunak ketika klien

dapat menelan air.

Rasional: makan lunak/cairan kental mudah untuk mengendalikannya di dalam

mulut, dan menurunkan terjadinya aspirasi.

8) Anjurkan klien menggunakan sedotan minuman cairan.

Rasional: menguatkan otot fasial dan otot menelan dan menurunkan resiko

terjadinya tersedak.

9) Kolaborasi dalam pemberian nutrisi melalui parenteral dan makanan melalui

selang.

Rasional: mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga

makanan jika klien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut.

DAFTAR PUSTAKA

Long C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah, Jilid 2, Bandung, Yayasan Ikatan Alumni

Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996

Tuti Pahria, dkk, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem

Persyarafan, Jakarta, EGC, 1993

Pusat pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, Asuhan Keperawatan

Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan , Jakarta, Depkes, 1996

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,

Jakarta, EGC ,2002

Marilynn E, Doengoes, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, EGC,

2000

Harsono, Buku Ajar : Neurologi Klinis,Yogyakarta, Gajah Mada university press, 1996