artikel permasalahan demokrasi dan kebangsaan

5
ARTIKEL MASALAH DEMOKRASI DAN KEBANGSAAN DI INDONESIA Munculnya era reformasi sebagai momentum bangkitnya gerakan demokrasi yang sebelumnya dihambat pada era Orde Baru, bukanlah hal yang mudah dilakukan dan dikelola dengan baik, banyak kendala yang menghadang dalam konteks keberagaman bangsa Indonesia. Hal itu merupakan benang merah dari buku karya Syamsuddin Haris, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia berjudul "Masalah-masalah Demokrasi dan Kebangsaan di Era Reformasi". Buku tersebut merupakan kumpulan artikel Syamsuddin Haris yang dibagi dalam sembilan bab yang membahas berbagai isu politik dan kebangsaan di Indonesia pascareformasi. Buku setebal 234 halaman itu menarik untuk dibaca karena sang penulis membagi dua permasalah pada era refomasi dalam dua bagian, yaitu permasalahan demokrasi yang cenderung terperangkap sekadar elektoral-prosedural dan di sisi lain mengulas masalah rapuhnya nilai-nilai kebangsaan serta keindonesiaan. Dalam permasalahan demokrasi, Syamsuddin mulai membahasnya di Bab I mengenai sistem pemilihan di Indonesia pascareformasi, yang mencoba mengetengahkan analisis kritisnya mengenai pelaksanaan elektoral di Indonesia. Perbaikan sistem pemilihan pada era reformasi sudah berlangsung secara "fair", bebas, dan demokratis. Namun, dia mengkritisi cita-cita reformasi untuk menghadirkan pemerintahan yang bersih dan berpihak pada kepentingan masyarakat, seolah-olah menguap sebagai mimpi rakyat. Dia mempertanyakan makin luasnya praktik politik transaksional dalam sistem politik di Indonesia, yang ditandai dengan banyaknya pimpinan partai politik tersangkut kasus korupsi dan juga melibatkan jaksa, hakim, aparat keamanan, bahkan hakim konstitusi.

Upload: agieb-bagraf

Post on 19-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel Permasalahan Demokrasi Dan Kebangsaan

ARTIKEL MASALAH DEMOKRASI DAN KEBANGSAAN DI INDONESIA

Munculnya era reformasi sebagai momentum bangkitnya gerakan demokrasi yang sebelumnya dihambat pada era Orde Baru, bukanlah hal yang mudah dilakukan dan dikelola dengan baik, banyak kendala yang menghadang dalam konteks keberagaman bangsa Indonesia.

Hal itu merupakan benang merah dari buku karya Syamsuddin Haris, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia berjudul "Masalah-masalah Demokrasi dan Kebangsaan di Era Reformasi". Buku tersebut merupakan kumpulan artikel Syamsuddin Haris yang dibagi dalam sembilan bab yang membahas berbagai isu politik dan kebangsaan di Indonesia pascareformasi.

Buku setebal 234 halaman itu menarik untuk dibaca karena sang penulis membagi dua permasalah pada era refomasi dalam dua bagian, yaitu permasalahan demokrasi yang cenderung terperangkap sekadar elektoral-prosedural dan di sisi lain mengulas masalah rapuhnya nilai-nilai kebangsaan serta keindonesiaan.

Dalam permasalahan demokrasi, Syamsuddin mulai membahasnya di Bab I mengenai sistem pemilihan di Indonesia pascareformasi, yang mencoba mengetengahkan analisis kritisnya mengenai pelaksanaan elektoral di Indonesia. Perbaikan sistem pemilihan pada era reformasi sudah berlangsung secara "fair", bebas, dan demokratis. Namun, dia mengkritisi cita-cita reformasi untuk menghadirkan pemerintahan yang bersih dan berpihak pada kepentingan masyarakat, seolah-olah menguap sebagai mimpi rakyat.

Dia mempertanyakan makin luasnya praktik politik transaksional dalam sistem politik di Indonesia, yang ditandai dengan banyaknya pimpinan partai politik tersangkut kasus korupsi dan juga melibatkan jaksa, hakim, aparat keamanan, bahkan hakim konstitusi.

Syamsuddin ingin menggambarkan bahwa politik transaksional tersebut berlangsung secara sistematis yang melibatkan berbagai pihak dari masing-masing institusi.

"Momentum reformasi pada tahun 1998 semestinya kesempatan emas bagi bangsa Indonesia menata kembali kehidupan politik, sosial-budaya, ekonomi, dan hukum ke arah lebih baik. Namun, ternyata tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh elemen bangsa," tulis Syamsuddin Haris di bukunya tersebut.

Terkait dengan masalah politik transaksional, pembaca seharusnya juga membaca buku karya Kuskridho Ambardi (2009) berjudul "Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Era Reformasi" yang membahas bagaimana sistem politik kartel berlangsung dalam partai politik di Indonesia.

Selain itu, buku Djayadi Hanan berjudul "Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia, Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks

Page 2: Artikel Permasalahan Demokrasi Dan Kebangsaan

Indonesia", juga bisa menjadi rujukan bacaan karena salah satu bab dalam buku tersebut membahas mengenai berjalannya politik gentong babi atau "pork barrel politics".

Di samping itu, dalam masalah politik, Syamsuddin memberikan analisis kritisnya mengenai pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia, tepatnya pascaamendemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam hal ini, Syamsuddin menilai konstitusi hasil amendemen itu melembagakan pemisahan kekuasaan antara presiden dan parlemen, pemberian kekuasaan presiden, pemilihan langsung presiden oleh rakyat, dan likuidasi supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Namun, Syamsuddin juga memberikan penjelasan mengenai berbagai kelebihan dan kelemahan penerapan sistem presidensial di Indonesia.

Secara khusus Syamsuddin dalam bukunya membahas mengenai penerapan sistem presidensial yang bercampur dengan format multipartai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dinilainya tidak membuat jalannya pemerintahan Presiden Yudhoyono dalam 10 tahun berjalan efektif dengan menggandeng partai politik di dalam pemerintahan.

Dia mengkritisi berjalannya sistem presidensial dengan multipartai yang dijalankan Presiden Yudhoyono selama 10 tahun, yaitu sejak 2004 hingga 2014.

Sebagai perbandingan analisis penerapan sistem presidensial dengan format multipartai pada era Presiden Yudhoyono, pembaca dapat membaca buku karya Djayadi Hanan berjudul "Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia, Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia". Dalam buku itu Djayadi menjabarkan secara perinci era pemerintahan SBY-JK dan SBY-Boediono.

Pembahasan mengenai sistem presidensial yang dibahas Syamsuddin Haris bisa menjadi bahan analisis mengenai kondisi politik kekinian terkait dengan polarisasi kekuatan politik, yaitu Koalisi Indonesia Hebat yang memenangi pemilu presiden, dan Koalisi Merah Putih yang berhasil menguasai legislatif.

Salah satu bahasannya Syamsuddin mengetengahkan bagaimana Presiden Abdurahman Wahid dilengserkan oleh legislatif karena posisinya ketika itu dilantik oleh MPR, dan saat itu konstitusi belum diubah menjadi presiden dipilih rakyat.

Sementara itu, dalam masalah kebangsaan, Syamsuddin menyoroti paham pluralisme dan keindonesiaan di dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Dia mencontohkan masih adanya konflik horizontal di dalam masyarakat, seperti di Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, dan Sulawesi Tengah.

Page 3: Artikel Permasalahan Demokrasi Dan Kebangsaan

Dalam kaitan itu Syamsuddin mencoba menuliskan dan menjabarkan pencarian identitas kebangsaan Indonesia sejak awal abad ke-20 dipandang sebagai upaya mentransformasikan bentuk nasionalisme dari nasionalisme kultural menjadi nasionalisme politik. Syamsuddin ingin menekankan bahwa format nasionalisme yang mendasari negara-bangsa Indonesia sebagian besar diinspirasikan kebutuhan modernitas dan liberalisasi lebih luas bagi subbangsa di Indonesia.

Penjelasan tersebut menarik untuk disimak pembaca karena Syamsuddin menjelaskannya dengan manarik dari sisi historis terbentuknya nasionalisme dalam keberagaman hingga analisisnya dengan menggunakan pisau analisis dari beberapa pakar.

Terkait dengan masalah kebangsaan, Syamsuddin juga membahas secara khusus mengenai masalah Islam dan keindonesiaan yang terjadi pasca-Soeharto dengan pernyataan menarik bahwa demokratisasi juga membuka peluang bangkitnya primordialisme dan ikatan-ikatan lokal serta cenderung inklusif atas dasar nama agama, etnik, daerah, maupun hubungan darah. Namun, tentu saja demokratisasi di sisi lain juga membuka peluang bagi kemunculan dan menguatnya nilai-nilai universal, seperti pluralisme, toleransi, dan inklusivitas.

Dalam kaitan dengan Islam dan keindonesiaan tersebut, Syamsuddin mengetengahkan eksistensi keberadaan partai berbasis massa dan ideologi Islam di Indonesia yang tumbuh subur sejak era reformasi. Selain itu, dari sisi sejarah pun dibahas dalam buku tersebut sehingga bisa menjadi acuan bagaimana Islam sebagai ideologi gerakan, berperan serta dalam sistem politik dan negara Indonesia.

Hal menarik dalam kaitan Islam dan keindonesiaan, Syamsuddin juga mengkritisi munculnya gerakan dan kelompok Islam yang cenderung antidemokrasi, yang muncul pada era demokrasi saat ini.

Buku terbitan Yayasan Obor Indonesia itu tentu saja tidak cukup untuk mengurai secara perinci permasalahan demokrasi dan kebangsaan Indonesia karena masih ada yang belum dibahas, misalnya mengenai eksistensi peran perempuan dalam perpolitikan nasional, bagaimana kuota 30 persen perempuan di parlemen tidak sekadar secara kuantitas, tetapi kualitas. Dalam konteks kebangsaan, peran perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata, misalnya gerakan buruh sebagai elemen munculnya demokratisasi ada yang dimobilisasi kaum perempuan.

Selain itu, hal yang perlu dicermati adalah upaya memundurkan format demokrasi melalui pembuatan undang-undang yang jauh dari prinsip kedaulatan rakyat, yaitu disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) yang isinya pemilihan kepala daerah dilakukan oleh

Page 4: Artikel Permasalahan Demokrasi Dan Kebangsaan

DPRD. Secara prinsip format pemilihan kepala daerah ingin dikembalikan seperti era orde baru, dan hal ini menjadi salah satu masalah dalam sistem demokrasi di Indonesia.

Buku karya Syamsuddin Haris itu bisa menjadi catatan bahwa demokrasi yang sudah menjadi pilihan bangsa Indonesia tidak boleh mundur dalam pelaksanaannya, kemudian permasalahan yang ada di dalamnya harus terus diperbaiki, bukan justru menggugat, bahkan menganulir penerapan sistem demokrasi itu sendiri.

Intinya, demokrasi yang sudah berjalan saat ini jangan sampai berbalik dan membawa bangsa Indonesia dalam skema oligarki politik yang saat ini cederung tumbuh subur, terutama dalam partai politik yang merupakan salah satu pilar dari demokrasi itu sendiri.