anatomi

33
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernapasan II.1.1 Anatomi Saluran Pernapasan Gambar 2.1 Saluran pernapasan Sumber : Van de graaff Human Anatomy Anatomi saluran pernapasan terdiri dari : II.1.1.1 Hidung Gambar 2.2 Hidung Sumber : Essentials of Anatomy and Physiology Edisi 5 Hidung berbentuk piramid yang tersusun dari tulang, kartilago hialin dan jaringan fibroaerolar. Hidung dibagi 5

Upload: asrina-rery-kahowi

Post on 22-Nov-2015

37 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

mmm

TRANSCRIPT

  • 5BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    II.1 Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernapasan

    II.1.1 Anatomi Saluran Pernapasan

    Gambar 2.1 Saluran pernapasan

    Sumber : Van de graaff Human Anatomy

    Anatomi saluran pernapasan terdiri dari :

    II.1.1.1 Hidung

    Gambar 2.2 Hidung

    Sumber : Essentials of Anatomy and Physiology Edisi 5

    Hidung berbentuk piramid yang tersusun dari tulang,

    kartilago hialin dan jaringan fibroaerolar. Hidung dibagi

    5

  • 6menjadi dua ruang oleh septum nasal. Struktur hidung pada

    bagian eksternal terdapat folikel rambut, kelenjar keringat,

    kelenjar sebasea yang merentang sampai vestibula yang

    terletak di dalam nostril. Kulit pada bagian ini mengandung

    vibrissae yang berfungsi menyaring partikel dari udara

    terhisap. Sedangkan pada rongga nasal yang lebih dalam terdiri

    dari epitel bersilia dan sel goblet. Udara yang masuk ke dalam

    hidung akan mengalami penyaringan partikel dan

    penghangatan dan pelembaban udara terlebih dahulu sebelum

    memasuki saluran napas yang lebih dalam (Ethel Sloane,

    2003).

    II.1.1.2 Faring

    Gambar 2.3 Faring

    Sumber : Van de graaff Human Anatomy

    Faring adalah tabung muskular berukuran 12,5cm.

    Terdiri dari nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Pada

    nasofaring terdapat tuba eustachius yang menghubungkannya

    dengan telinga tengah (Ethel Sloane, 2003). Faring merupakan

    saluran bersama untuk udara dan makanan.

    II.1.1.3 Laring

    Laring adalah tabung pendek berbentuk seperti kotak

    triangular dan ditopang oleh sembilan kartilago, tiga

    berpasangan dan tiga lainnya tidak berpasangan. Tiga kartilago

    yang tidak berpasangan adalah kartilago tiroid yang terlrtak di

    bagian proksimal kelenjar tiroid, kartilago krikoid yang

  • 7merupakan cincin anterior yang lebih dalam dan lebih tebal,

    epiglotis yang merupakan katup kartilago yang melekat pada

    tepi anterior kartilago tiroid. Epiglotis menutup pada saat

    menelan untuk mencegah masuknya makanan dan cairan ke

    saluran pernapasan bawah (Ethel Sloane, 2003). Epiglotis juga

    merupakan batas antara saluran napas atas dan bawah.

    II.1.1.4 Trakea

    Gambar 2.4 Trakea

    Sumber : Sobotta Edisi 21

    Trakea adalah tuba dengan panjang 10-12 cm yang

    terletak di anterior esofagus. Trakea tersusun dari 16 20

    cincin kartilago berbentuk C yang diikat bersama jaringan

    fibrosa yang melengkapi lingkaran di belakang trakea (Ethel

    Sloane, 2003). Trakea berjalan dari bagian bawah tulang rawan

    krikoid laring dan berakhir setinggi vertebra thorakal 4 atau 5.

    Trakea kemudian bercabang menjadi bronkus principallis

    dextra dan sinistra di tempat yang disebut carina. Carina

    terdiri dari 6 10 cincin tulang rawan.

  • 8II.1.1.5 Bronkus

    Gambar 2.5 Bronkus

    Sumber : Van de graaff Human Anatomy

    Bronkus merupakan struktur dalam mediastinum, yang

    merupakan percabangan dari trakea. Bronkus kanan lebih

    pendek, lebar dan lebih dekat dengan trakea. Setiap bronkus

    primer bercabang membentuk bronkus sekunder dan tersier

    dengan diameter yang semakin mengecil dan menyempit,

    batang atau lempeng kartilago mengganti cincin kartilago

    (Ethel Sloane, 2003). Bronkus kanan kemudian akan

    bercabang menjadi lobus superior, lobus medius dan lobus

    inferior. Bronkus kiri terdiri dari lobus superior dan inferior.

    II.1.1.6 Bronkhiolus

    Bronkiolus merupakan jalan napas intralobular dengan

    diameter 5 mm, tidak memiliki tulang rawan maupun kelenjar

    di dalam mukosanya (Luiz Carlos Junqueira, 2007).

    Bronkhiolus berakhir pada saccus alveolaris. Awal proses

    pertukaran gas terjadi di bronkhiolus respiratorius.

    II.1.1.7 Alveolus

    Gambar 2.6 Alveolus

    Sumber : Van de graaff Human Anatomy

  • 9Alveolus adalah kantung udara berukuran sangat kecil

    dan merupakan akhir dari bronkiolus respiratorius sehingga

    memungkinkan pertukaran oksigen dan karbondioksida.

    Alveolus terdiri dari membran alveolar dan ruang intesrstisial

    (Hood Alsagaaff,2006).

    II.1.1.8 Paru

    Gambar 2.7 Paru

    Sumber : Sobotta Edisi 21

    Paru adalah organ berbentuk piramid seperti spons dan

    berisi udara yang terletak di rongga toraks. Paru merupakan

    jalinan atau susunan bronkus, bronkiolus, bronkiolus

    respiratori, alveoli, sirkulasi paru, saraf dan sistem limfatik.

    Paru adalah alat pernapasan utama yang merupakan organ

    berbentuk kerucut dengan apex di atas dan sedikit lebih tinggi

    dari klavikula di dalam dasar leher.

    Paru dibagi menjadi beberapa lobus oleh fisura. Paru

    kanan terbagi menjadi 3 lobus oleh 2 fisura, sedangkan paru

    kiri terbagi menjadi 2 lobus oleh 1 fisura (Ethel Sloane, 2003).

    Paru memiliki hilus paru yang dibentuk oleh a. pulmonalis, v.

  • 10

    pulmonalis, bronkus, a. Bronkialis, v. Bronkialis, pembuluh

    limfe, persarafan, dan kelenjar limfe.

    Paru dilapisi oleh pleura. Pleura terdiri dari pleura

    viseral yang melekat pada paru dan tidak dapat dipisahkan dan

    pleura parietal yang melapisi strenum, diafragma dan

    mediastinum. Diantara kedua pleura tersebut terdapat rongga

    pleura yang berisi cairan pleura sehingga memungkinkan paru

    untuk berkembang dan berkontraksi tampa gesekan (Ethel

    Sloane, 2003).

    II.1.2 Fisiologi Pernapasan

    Fungsi utama paru adalah menyelenggarakan

    pengambilan oksigen oleh darah dan pembuangan

    karbondioksida. Terdapat 4 tahap respirasi, yaitu (Lauralee

    Sherwood, 2001) :

    a. Ventilasi

    Ventilasi adalah sirkulasi keluar masuknya udara atmosfer

    dan alveoli. Proses ini berlangsung di sistem pernapasan.

    b. Respirasi eksternal

    Respirasi eksternal mengacu pada keseluruhan rangkaian

    kejadian yang terlibat dalam pertukaran oksigen dan

    karbondioksida antara lingkungan eksternal dan sel tubuh.

    Proses ini terjadi di sistem pernapasan.

    c. Transpor gas

    Transpor gas adalah pengangkutan oksigen dan

    karbondioksida dalam darah dan jaringan tubuh. Proses ini

    terjadi di sistem sirkulasi

    d. Respirasi internal

    Respirasi internal adalah pertukaran gas pada metabolisme

    energi yang terjadi dalam sel. Proses ini berlangsung di

    jaringan tubuh.

  • 11

    Sistem respirasi dibagi menjadi 2 bagian yaitu (Hood

    Alsagaaff, 2006) :

    a. Bagian konduksi yang terdiri dari hidung, faring, laring,

    trakea, bronkus, bronkiolus dan bronkiolus terminalis.

    Bagian ini relatif kaku dan terbuka, merupakan penghubung

    antara lingkungan luar dengan paru. Fungsi dari bagian

    konduksi adalah mengalirkan udara dan sebagai penyaring,

    penghangat, dan melembabkan udara sebelum sampai

    bagian respirasi.

    b. Bagian respirasi terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus

    alveolaris, sakus alveolaris dan alveolus. Bagian respirasi

    merupakan tempat terjadinya pertukaran udara dari

    lingkungan luar dan dalam tubuh.

    Udara cenderung bergerak dari daerah bertekanan tinggi

    ke daerah bertekanan rendah yaitu menuruni gradien tekanan.

    Udara mengalir masuk dan keluar paru selama proses

    pernapasan dengan mengikuti penurunan tekanan gradien yang

    berubah berselang-seling antara alveolus dan atmosfer akibat

    aktivitas dari otot-otot pernapasan.

    Terdapat 3 tekanan yang penting pada proses pertukaran

    udara yaitu (Lauralee Sherwood,2001) :

    a. Tekanan atmosfer (tekanan barometrik)

    Tekanan atmosfer berkurang seiring dengan penambahan

    ketinggian di atas permukaan laut karena kolom udara di

    atas permukaan bumi menurun.

    b. Tekanan intra alveolus

    Tekanan inilah yang mengatur aliran udara karena

    tekanannya dapat berubah sesuai dengan pergerakan

    pernapasan.

    c. Tekanan intra pleura

    Merupakan tekanan di dalam kantung pleura atau disebut

    juga tekanan intratoraks, yaitu tekanan yang terjadi di luar

  • 12

    paru dan di dalam rongga thoraks. Tekanan intra pleura ini

    lebih rendah daripada tekanan atmosfer.

    Pada saat inhalasi, terjadi kontraksi dari otot-otot

    pernapasan sehingga volume rongga thoraks meningkat. Hal

    ini menyebabkan tekanan pada rongga thoraks menurun dan

    mengakibatkan adanya perbedaan tekanan udara di dalam dan

    di luar tubuh dengan tekanan udara di dalam tubuh lebih

    rendah sehingga udara masuk ke dalam paru dan paru

    mengembang.

    Pada saat ekhalasi, otot-otot respirasi berelaksasi

    sehingga volume rongga thoraks menurun dan menyebabkan

    tekanan rongga thoraks meningkat. Pada kondisi ini volume

    rongga dada akan berkurang dan terjadi peningkatan tekanan di

    dalam paru sehingga mendorong udara keluar dari dalam paru

    ke atmosfer.

    II.2 Volume dan Kapasitas Fungsi Paru

    Volume paru dan kapasitas fungsi paru merupakan gambaran fungsi

    ventilasi sistem pernapasan. Dengan mengetahui besarnya volume dan

    kapasitas fungsi paru dapat diketahui besarnya kapasitas ventilasi maupun

    ada atau tidaknya kelainan fungsi ventilasi paru.

    Gambar 2.8 Volume dan Kapasitas Paru

    Sumber : Essential of Anatomy and Physiology Edisi 5

  • 13

    II.2.1 Volume Paru

    Selama berlangsungnya proses pernapasan terdapat volume

    dari paru yang berubah-ubah. Terdapat beberapa parameter yang

    menggambarkan volume paru, yaitu (Hall Guyton, 2008):

    a. Volume tidal (VT)

    Volume tidal adalah volume udara yang masuk atau keluar paru

    selama satu kali bernapas. Nilai rata-rata volume tidal pada saat

    istirahat adalah 500 ml.

    b. Volume cadangan inspirasi (VCI)

    Volume cadangan inspirasi adalah volume tambahan yang dapat

    secara maksimal dihirup melebihi volume tidal saat istirahat.

    Volume cadangan inspirasi dihasilkan oleh kontraksi maksimum

    diafragma, musculus intercostae externus dan otot inspirasi

    tambahan. Nilai rata-ratanya adalah 3.000 ml.

    c. Volume cadangan ekspirasi (VCE)

    Volume cadangan ekspirasi adalah volume tambahan udara yang

    dapat secara aktif dikeluarkan oleh kontraksi maksimum

    melebihi udara yang dikeluarkan secara pasif pada akhir volume

    tidal biasa. Nilai rata-rata volume cadangan ekspirasi adalah

    1.000 ml

    d. Volume residual (VR)

    Volume residual adalah volume minimum udara yang tersisa di

    paru bahkan setelah ekspirasi maksimum. Nilai rata-rata volume

    residual adalah 1.200 ml.

    e. Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1)

    Volume ekspirasi paksa dalam satu detik adalah volume udara

    yang dapat diekspirasikan selama satu detik pertama ekspirasi

    pada penentuan kapasitas vital. Nilai volume ekspirasi paksa

    dalam satu detik biasanya adalah sekitar 80% yang berarti dalam

    keadaan normal 80% udara yang dapat dikeluarkan dalam satu

    detik pertama.

  • 14

    II.2.2 Kapasitas Fungsi Paru

    Kapasitas fungsi paru merupakan penjumlahan dari dua

    volume paru atau lebih. Yang termasuk pemeriksaan kapasitas fungsi

    paru adalah (Hall Guyton, 2008):

    a. Kapasitas inspirasi (KI)

    Kapasitas inspirasi adalah volume maksimum udara yang dapat

    dihirup pada akhir ekspirasi normal tenang (KI=VCI+TV). Nilai

    rata-rata kapasitas inspirasi adalah 3.500 ml.

    b. Kapasitas residual fungsional (KRF)

    Kapasitas residual fungsional adalah volume udara di paru pada

    akhir ekspirasi pasif normal (KFR=VCE+VR). Nilai rata-rata

    kapasitas residual fungsional adalah 2.200 ml.

    c. Kapasitas Vital (KV)

    Kapasitas vital adalah volume maksimum udara yang dapat

    dikeluarkan selama satu kali bernapas setelah inspirasi

    maksimum. Subyek mula-mula melakukan inspirasi maksimum

    kemudian melakukan ekspirasi maksimum

    (KV=VCI+VT+VCE). Nilai rata-rata kapasitas vital adalah

    4.500 ml.

    d. Kapasitas paru total (KPT)

    Kapasitas paru total adalah volume udara maksimal yang dapat

    ditampung oleh seluruh paru (KPT=KV+VR). Nilai rata-rata

    kapasitas paru total adalah 5.700 ml.

    II.2.3 Pengukuran Fisiologis Paru

    Pengukuran fisiologis paru sangat dianjurkan bagi pekerja,

    pengukuran dilakukan dengan menggunakan spirometer. Spirometer

    dipilih dengan alasan mudah digunakan, biaya murah, ringan,

    praktis, dapat dibawa kemana-mana, tidak memerlukan tempat

    khusus, cukup sensitif, akurasi tinggi, dan tidak invasif (Faisal

    Yunus, 1993).

  • 15

    Dengan pemeriksaan spirometri dapat diketahui hampir semua

    volume dan kapasitas paru. Dengan demikian dapat dinilai gangguan

    fungsional ventilasi paru yang dapat digolongkan menjadi (Faisal

    Yunus, 1993) :

    a. Gangguan obstruktif, yaitu gangguan berupa hambatan pada

    aliran udara yang ditandai dengan penurunan FEV1 dan KV.

    b. Gangguan restriktif, yaitu gangguan berupa kegagalan

    pengembangan paru yang ditandai dengan penurunan KV, VR

    dan KPT.

    II.2.4 Nilai Normal Fisiologi Paru

    Untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan yang telah

    dilakukan perlu dilakukan pembandingan dengan nilai standarnya.

    Berdasarkan hasil pemeriksaan, fungsi paru digolongkan menjadi

    (Faisal Yunus, 1993) :

    a. Normal, bila hasil KV >80% dan FEV1 >75%

    b. Gangguan restriksi, bila KV

  • 16

    Pneumokoniasis sering disebabkan oleh debu asbes, silika, batu bara,

    berilium, bauksit, besi, baja, dan lain-lain.

    1. Asbestosis

    Penyakit ini timbul sebagai akibat inhalasi debu asbestos.

    Umumnya asbestosis berupa fibrosis interstitial paru. paparan

    debu asbestos sering terjadi pada pekerja pabrik yang

    mengunakan bahan baku yang mengandung asbestos. Nilai

    ambang batas debu asbestos adalah 2serabut/ / berat badan/

    8 jam (Pasiyan Rahmatullah, 2009).

    Sesudah debu asbestos terhirup, maka akan terdeposisi di

    dinding bronkus. Makrofag akan memfagositosisnya, tetapi bila

    pembersihannya tidak sempurna, timbul reaksi berupa

    pembentukan fibrosis di dinding bronkus.

    Manifestasi klinik asbetosis adalah sesak napas saat

    aktifitas dan batuk nonproduktif timbul sebagai gejala awal. Bila

    berlanjut akan timbul kelainan fisik berupa ronki basah di basal

    kedua paru. Gambaran radiologis pada awal penyakit berupa

    adanya gambaran garis-garis opasitas kecil di basis paru. Pada

    keadaan lanjut tampak gambaran bervariasi berupa distorsi

    arsitektur paru, pleural plaques (Pasiyan Rahmatullah, 2009).

    Penyakit ini tidak dapat diobati dan pengbatan yang

    diberikan merupakan pengobatan simptomatis. Pencegahannya

    dilakukan dengan cara mencegah paparan debu asbestos,

    menghindari rokok dan tidak mendekati pabrik

    2. Silikosis

    Silikosis merupakan suatu penyakit paru berupa fibrosis

    paru difus akibat inhalasi, retensi dan reaksi parenkim paru

    terhadap debu atau kristal silika. Dikenal ada tiga macam

    silikosis yaitu silikosis kronis (terpapar debu silika selama >15

    tahun sebelum timbul gejala), silikosis cepat (perubahan terjadi

    dalam waktu 5-15 tahun), silikosis akut (perubahan terjadi

    dalam waktu

  • 17

    Gambaran klinis silikosis kronik berupa nodul yang terdiri

    dari jaringan hialin tersusun konsentris, dikelilingi kapsul

    selular, isi nodul adalah silika, lokasi nodul di jaringan

    interstitial sekitar bronkhiolus terminalis. Pada silikosis cepat

    gambaran klinisnya serupa dengan silikosis kronik namun

    berlangsung lebih cepat. Sedangkan pada silikosis akut gejala

    predominannya pada paru bagian bawah. Gejala silikosis adalah

    batuk, sesak napas, disertai kelainan fisiologi paru tipe restriktif

    (Pasiyan Rahmatullah, 2009).

    Pengobatan definitif terhadap silikosis tidak ada. Bila

    terdapat infeksi sekunder maka diberikan terapi yang sesuai.

    Usaha pencegahan dengan menghindari paparan debu silika.

    3. Coal Workers Pneumoconiosis, Black Lung

    Penyakit terjadi akibat penumpukan debu batubara di paru

    dan menimbulkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut.

    Penyakit ini terjadi bila paparan cukup lama, biasanya setelah

    pekerja terpapar lebih daii 10 tahun. Berdasarkan gambaran foto

    toraks dibedakan atas bentuk simple dan complicated (Faisal

    Yunus, 1997).

    Simple Coal Workers Pneumoconiosis (Simple CWP)

    terjadi karena inhalasi debu batubara saja. Gejalanya hampir

    tidak ada, bila paparan tidak berlanjut maka penyakit ini tidak

    akan memburuk. Kelainan foto toraks pada simple CWP berupa

    perselubungan halus bentuk lingkar, perselubungan dapat terjadi

    di bagian mana saja pada lapangan paru,yang paling sering di

    lobus atas. Sering ditemukan perselubungan bentuk p dan q.

    Pemeriksaan faal paru biasanya tidak menunjukkan kelainan.

    ilai FEV1 dapat sedikit menurun sedangkan kapasitas difusi

    biasanya normal.

    Complicated Coal Workers Pneumoconiosis atau Fibrosis

    Masif Progresif (PMF) ditandai oleh terjadinya daerah fibrosis

  • 18

    yang luas hampir selalu terdapat di lobus atas. Fibrosis biasanya

    terjadi karena satu atau lebih faktor berikut:

    1 . Terdapat silika bebas dalam debu batubara.

    2. Konsentrasi debu yang sangat tinggi.

    3. Infeksi Mycobacterium tubeivulosis atau atipik.

    4. Imunologi penderita buruk.

    Pada daerah fibrosis dapat timbul kavitas dan ini bisa

    menyebabkan pneumotoraks. Foto toraks pada PMF sering

    mirip tuberkulosis, tetapi sering ditemukan bentuk campuran

    karena terjadi emfisema. Gelaja awal biasanya tidak khas.

    Batuk dan sputum menjadi lebih sering, dahak berwarna hitam

    (melanoptisis). Kerusakan yang luas menimbuikan sesak napas

    yang makin bertambah, pada stadium lanjut terjadi kor

    hipertensi pulmonal, gagal ventrikel kanan dan gagal napas

    (Faisal Yunus, 1997)

    4. Beryliosis

    Merupakan suatu kelainan paru akibat paparan debu

    berilium. Debu berilium merupakan debu yang paling halus dari

    sejenis metal. Efek debu berilium pada paru ada dua macam,

    efek akut dan efek kronis. Efek akut berupa bercak infiltrat paru,

    bronkopneumoni. Efek kronis bisa timbul beberapa kerusakan

    paru berupa granulom pada septum alveoli dan timbul nodul

    halus, fibrosis, kerusakan jaringan elastis dan emfisema (Pasiyan

    Rahmatullah, 2009).

    Gambaran klinis berilosis akut berupa suatu keadaan

    toksis,doserelated berylliosis injury syndrome, umumnya

    menyerang saluran napas bagian atas, dan bila paparan hebat

    dapat timbul bronkitis dan pneumonitis kemikal. Sedangkan

    pada beriliosos kronis, timbul 6-18 bulan sesudah paparan.

    Gejala awal biasanya asimptomatik, kemudian timbul gejala

    berupa sesak napas saat aktifitas, batuk-batuk dan bila penyakit

    memburuk timbul gejala penyakit paru interstitial yang meliputi

  • 19

    batuk nonproduktif, nyeri dada dan sesak nafas saat aktifitas.

    Pada pemeriksaan fisik ditemukan ronki kering pada bagian

    basal paru (Pasiyan Rahmatullah, 2009).

    Pada bentuk akut pengobatan yang diberikan adalah

    menyingkirkan pasien dari paparan berilium, istirahat, terapi

    oksigen, dan bila diperlukan bantuan ventilasi mekanik.

    Sedangkan untuk bentuk kronik belum ada pengobatan yang

    spesifik.

    II.3.2 Polusi Udara Lingkungan

    II.3.2.1 Definisi

    Polusi udara lingkungan adalah masuknya atau

    dimasukannya zat-zat, energi dan atau komponen-

    komponen lain ke dalam udara lingkungan hidup oleh

    kegiatan manusia (kebakaran hutan, emisi kendaraan,

    kegiatan industri, merokok aktif) dan aktifitas alam (letusan

    gunung berapi, gas alam) sehingga kualitas udara

    lingkungan manusia (udara ambien) menurun sampai ke

    tingkat tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi

    kesehatan manusia (Pasiyan Rahmatullah, 2009)

    II.3.2.2 Sumber polusi udara lingkungan

    Polusi udara lingkungan dapat berasal dari berbagai

    sumber dengan aktivitasnya masing-masing atau bisa

    bersama menghasilkan komponen polutan. Beberapa

    sumber polusi udara lingkungan antara lain (Pasiyan

    Rahmatullah, 2009) :

    1. Kebakaran hutan

    Hutan terdiri atas tumbuhan dari berbagai jenis

    kayu apabila terbakar akan terjadi asap bahkan kabut

    asap. Asap tersebut memiliki komponen

    karbondioksida, karbonmonoksida, metan, nitrogen

    oksida, amonia, ozon, bahan partikel, aldehid, dan lain-

    lain.

  • 20

    2. Emisi kendaraan

    Asap knalpot mengandung CO, NO, ,

    hidrokarbon, timah hitam (Pb) dan lain-lain. Seiring

    dengan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor

    maka kandungan bahan tersebut di atas semakin banyak

    di dalam udara ambien.

    3. Kegiatan industri

    Kegiatan industri seperti proses pertambangan

    (batu kapur, batu bara, gas alam), industri keramik,

    industri logam (baja, seng, aluminium, dan lain-lain),

    industri patrokimin, industri obat-obatan dan lain-lain

    dapat mencemari udara lingkungan.

    Benda buang dari pabrik yang komponennya

    bermacam-macam dapat mencemari udara lingkungan.

    Benda buang tadi dapat dikategorikan sebagai bahan

    toksis (noxious agents), bahan yang dapat merusak

    struktur anatomi sel/organ dan fungsi paru. Benda

    buang dalam lingkungan kerja dapat berbentuk debu

    organik (industri pertanian/hewan), debu anorganik

    atau mineral, bahan hirup lain yang berbentuk uap, asap

    dan aerosol.

    4. Asap rokok lingkungan

    Merokok berarti sengaja mencemari udara

    pernapasan dengan menghirup 4000 ribu macam bahan

    kimia dan 400 macam yang berbahaya bagi kesehatan.

    Merokok tidak hanya berbahaya bagi si perokok aktif

    tetapi juga bagi individu disekitarnya (perokok pasif).

    Asap rokok lingkungan terdiri atas kompones gas

    dan padat (tar dan nikotin). Tar merupakan bahan

    karsinogenik yang sangat kompleks yang mempunyai

    potensi sebagai : tumor initiators, cocarcinogen, tumor

  • 21

    promoters, tumor accelerator, dan possible organ

    specific carcinogen.

    5. Letusan gunung berapi dan semburan gas alam

    Letusan gunung berapi dan semburan gas alam

    potensial menimbulkan polusi udara disekitarnya.

    Belum ada data analisis komponen dari bahan-bahan

    yang keluar dari letusan gunung berapi dan semburan

    gas alam. Paling tidak pasti terdapat unsur gas

    belerang, hidrokarbon, CO dan lain-lain.

    II.3.2.3 Patogenesis timbulnya kelainan paru

    Berbagai mekanisme timbulnya kelainan yang terjadi

    akibat pencemaran udara lingkungan (Pasiyan Rahmatullah,

    2009) :

    1. Bahan-bahan yang berbentuk gas toksis sesudah masuk

    menembus atau ditahan (retensi) mukosa saluran napas.

    Dapat menembus atau diretensi mukosa tergantung

    pada sifat fisis gas (kelarutannya), konsentrasi gas

    dalam udara inspirasi, kecepatan dan dalamnya

    ventilasi dan reaktivasi gas.

    2. Bahan partikel yang tersuspensi sebagai aerosol

    sesudah dihirup udara napas akan terdesposisi di

    saluran napas. Hal ini dipengaruhi oleh sifat

    aerodinamika partikel (besar partikel), anatomi saluran

    napas, dan pola napas

    3. Mekanisme kerusakan paru oleh gas atau partikel yang

    terinhalasi melalui proses inflamasi

    II.3.2.4 Efek biologis polusi udara lingkungan

    Polutan akan memberikan efek yang kurang baik bagi

    kesehatan manusia apabila polutan tersebut konsentrasinya

    di udara ambien telah melebihi konsentrasi standar yang

    dibolehkan. Nilai standar kualitas udara ambien dapat

    dilihat pada tabel 2.1

  • 22

    Tabel 2.1 Nilai standar kualitas udara ambien

    Nama

    Polutan

    Nilai Standar Primer Rerata Dalam

    CO

    Lead (Pb)

    0,14 ppm (365 g/m)0,03 ppm (80 gh/ m)

    150 g/m50 g/m

    0,053 ppm (100 g/m)35 ppm (40 g/m)9 ppm (10 g/m)

    0,12 ppm (235 g/m)1,5 mg/m

    24 jam

    1 tahun

    24 jam

    1 tahun

    1 tahun

    1 jam

    8 jam

    1 jam (maks)

    8 jam (maks)

    Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 5

    Menurut WHO risiko kesehatan akibat polusi udara

    lingkungan adalah timbulnya penyakit infeksi pernapasan

    akut, penyakit paru obstruktif kerja, asma bronkial, kanker

    paru, tuberkulosis, penyakit jantung iskemik, penyakit

    serebrovaskular dan penyakit perinatal (Pasiyan

    Rahmatullah, 2009)

    II.3.3 Paparan debu Organik

    Debu organik berasal dari bahan-bahan organik umumnya dari

    tanaman atau hewan. Pengolahan bahan tersebut secara mekanis

    dapat menimbulkan debu yang bila terhirup dapat mengakibatkan

    penyakit paru lingkungan. Debu organik yang terinhalasi berlaku

    sebagai antigen atau hapten dalam tubuh sehingga dapat

    menimbulkan reaksi inflamasi pada parenkim paru. Beberapa

    contoh penyakit akibat paparan debu organik (Pasiyan Rahmatullah,

    2009) :

    1. Pneumonitis hipersensitif

    Adalah penyakit paru lingkungan yg timbul sebagai

    respon imunnologis paru terhadap inhalasi bahan atau antigen

    biologis dan khemical. Penyakit ini merupakan sindron respirasi

  • 23

    akut pada pekerja yang terpapar debu gandum. Antigen lain

    yang menyebabkan pneumonitis hipersensitif yaitu spora

    thermofilik aktinomycetes, fungi, protein insekta dan bahan

    kimia seperti isosianad dan anhidrit. Antyigen yang terinhalasi

    yang berukuran 1-5 mm menimbulkan jejas pada saluran nafas

    tepi dan alveolus.

    Penyakit pneumonitis hypersensitif yang banyak di

    tremukan di indonesia misalnya farmers lung pada petani padi

    dan gandum, pigeon breeders lung pada peternak burung atau

    unggas, bagassosis pada pekerja penggiling tebu, byssinosis

    pada pekerja pabrik tekstil.

    Bagian paru yang mengalami perubahan patologis adalah

    parenkim paru. gambaran patologinya berupa alveolitis dan

    bronkiolitis. Mekanisme yang mendasari pneumonitis

    hipersensitif amat kompleks dan tidak diketahui dengan jelas.

    Respon imunoligis yang terjadi adalah respon imunologi tipe III

    atau IV.

    Terdapat dua gambaran klinis pneumonitis hipersensitif

    yaitu bentuk akut dan kronis atau subakut. Bentuk akut terjadi

    pada penderita setelah terpapar selama 2-9 jam dan timbul

    serangan mendadak berupa flulike syndrome yaitu sesak napas,

    batuk nonproduktif,demam, menggigil, myalgia, banyak

    keringat sakit kepala dan malaise. Pada pemeriksaan fisik

    ditemukan demam, takipnea, takikardi, ada ronki basah halus

    pada bagian basal paru.

    Pada bentuk kronik atau subakut terjadi karena adanya

    paparan bahan secara kronis dengan intensitas paparan yang

    lebih rendah. Gejala sangat ringan atau tidak timbul dan

    progresivitas penyakit berjalan perlahan. Gejala umumnya

    berlangsung beberapa bulan atau tahun dengan gambaran klinis

    sesak napas, batuk, anoreksia dan penurunan berat badan.

  • 24

    Pada bentuk akut, penggunaan kortikosteroid dapat

    mempercepat penyembuhan dan pengurangan gejala. Dosis yang

    diberikan 40-60 mg/hari selama dua minggu dilanjutkan dengan

    tappering off.

    2. Byssinosis

    Adalah penyakit paru berupa bronchitis kronis akibat

    terpapar debu kapas, rami, sisal, nenas. Kelainan peru pada

    pasien bysinosis berupa bronchitis kronis disertai whezing

    diduga erat hubungannya dengan adanya endotoksin yng

    dikeluarkan oleh bakteri yang menhgkontaminasi partikel debu

    kapas.

    Gambaran klinis penyakit ini adalah sesak nafas setiap

    kembali ke tempat kerja sesudah beberapa hari tidak bekerja

    disertai dengan demam. Tidak ada pengobatan spesifik untuk

    bysinosis, bila ada tanda obstruksi bronchus dapat diberikan

    bronchodilator.

    3. Farmers lung disease dan Bagassosis

    Farmer lung disease adalah penyakit paru pada petani,

    padi dan gandum akibat paparan debu jerami karena adanya

    thermofilik actynomicetes vulgaris yang terdapat pada jerami

    yang sedang membusuk.

    Bagasossis adalah penyakit paru pada petani atau pekerja

    pabrik tebu atau pabrik kertas yang memdapatkan paparan sisa

    atau debu batang tebu. Yang berperan pada penyakit ini adalah

    thermofilik actynomicetes sacchari yang hidup subur pada alas

    batang tebu.

    Gambaran klinis yang khas adalah gejala muncul 4-8 jam

    sesudah terpapar berupa batuk, sesak nafas tanpa mengi,

    demam, mengigil, diaforesis, malaise, mual dan sakit kepala.

    Peada pemeriksaan fisis ditemukan takikardi, takipnea, sianosis,

    ronki basah pada basal paru. gejala umumnya menetap selama

    12-18 jam dan menghilang secara spontan bila paparan berhenti.

  • 25

    Pengobatan umumnya bersifat suportif dengan pemberian

    kortikosteroid untuk meringankan gejala.

    II.4 Debu Kayu

    II.4.1 Pengertian

    Debu kayu adalah partikel-partikel zat padat (kayu) yang

    dihasilkan oleh kekuatan alami atau mekanik seperti pada

    pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat,

    peledakan dal lain-lain dari bahan organik maupun non organik

    seperti kayu, biji logam dan batu arang (Faisal Yunus,1997).

    Debu industri terbagi menjadi dua yaitu (Tan Malaka, 1996) :

    a. Deposit particulate matter

    Partikel debu hanya berada sementara di udara dan akan segera

    mengendap karena gaya gravitasi bumi.

    b. Suspended particulate matter

    Partikel debu tetap berada di udara dan tidak mudah untuk

    mengendap.

    II.4.2 Efek Debu Terhadap Kesehatan

    Debu dapat terinhalasi dalam bentuk partikel debu solid atau

    berupa campuran dan asap. Partikel-partikel yang memiliki ukuran

    5m dapat mencapai alveoli dan partikel dengan ukuran 1m dapat terdeposit dalam alveoli. Walaupun ukuran partikel yang mungkin

    dapat memasuki alveoli adalah 5m, namun dalam kadar yang lebih tinggi dapat terjadi inhalasi pada partikel dengan ukuran 5-10m dan memiliki kemungkinan untuk terdeposit dalam alveoli (Faisal

    Yunus, 1997).

    Adanya partikel debu dalam alveoli dapat memicu suatu reaksi

    inflamasi pada paru baik akut maupun kronis. Sistem pertahanan

    paru dapat mengeluarkan partikel debu tersebut dengan terikat

    bersama makrofag dan dikeluarkan bersama sputum. Kelainan paru

    tetap dapat terjadi karena adanya deposit debu pada jaringan paru,

    hal ini dikenal dengan pneumokoniasis (Khumaidah, 2009).

  • 26

    Pneumokoniasis adalah akumulasi debu dalam jaringan paru

    yang mengakibatkan reaksi pada jaringan paru (International Labor

    Organization). Dengan adanya reaksi inflamasi pada jaringan paru

    dapat menyebabkan pengerasan pada jaringan alveoli, dimana bila

    pengerasan alveoli telah mencapai 10% maka akan menyebabkan

    penurunan elastisitas paru sehingga kapasitas vital paru akan

    menurun. Efek selanjutnya dari penurunan kapasitas vital paru ini

    adalah ketidakmampuan paru untuk memenuhi kebutuhan oksigen

    jaringan sehingga dapat menyebabkan hipoksia jaringan (Siti

    Yulaekah, 2007).

    II.5 Penurunan Fungsi Paru akibat Kualitas Udara

    II.5.1 Mekanisme Penurunan Fungsi Paru Akibat Paparan Debu

    Paru sebagai organ pernapasan utama merupakan tempat

    bertukarnya udara dari lingkungan dalam tubuh dan lingkungan luar

    tubuh. Udara lingkungan luar tubuh yang berpolusi dapat terhirup

    masuk ke dalam paru. Akibat dari adanya partikel-partikel dalam

    alveolus adalah memicu reaksi pertahanan tubuh berupa reaksi

    clearance alveolus. Bila jumlah partikel asing dalam alveolus cukup

    banyak maka sistem clearance ini tidak dapat membersihkan semua

    partikel dan akan ada partikel yang mengendap di alveolus. Dengan

    adanya pengendapan partikel asing ini reaksi pertahanan tubuh akan

    memicu reaksi inflamasi dengan efek samping rusaknya jaringan

    alveolus (Dorce Mengkidi, 2006). Sebagai akibatnya paru tidak

    dapat berfungsi secara maksimal.

    II.5.2 Mekanisme Penimbunan Debu di Paru

    Faktor yang berpengaruh pada inhalasi bahan pencemar ke

    dalam paru adalah faktor komponen fisik, kimiawi dan faktor

    penderita. Aspek komponen fisik yang pertama adalah keadaan dari

    bahan yang diinhalasi (gas, debu, uap). Ukuran, bentuk, kelarutan

    dan nilai higroskopi akan berpengaruh dalam proses penimbunan di

    paru. Kompanen kimia yang berpengaruh adalah kecenderungan

  • 27

    berekasi dengan jaringan sekitar, keasaman dan tingkat alkalinitas

    yang dapat merusak silia dan sistem enzim (Khumaidah, 2009).

    Faktor manusia yang perlu diperhatikan terutama berkaitan

    dengan sistem pertahanan paru, baik secara anatomis maupun

    fisiologis, lamanya paparan dan kerentanan individu.

    Mekanisme penimbunan debu dalam paru disebabkan karena

    adanya inhalasi debu, pada debu dengan ukuran 3-10 akan tertahan oleh saluran napas, sedangkan debu yang berukuran 1-3 disebut respirabel, karena dapat memasuki saluran pernapasan bagian bawah

    dan dapat tertimbun pada bronkiolus terminalis sampai alveoli.

    Partikel debu yang masuk ke dalam paru-paru akan membentuk

    fokus dan berkumpul di saluran limfe paru. Debu akan difagositosis

    oleh makrofag. Akibat dari pembentukan dan destruksi makrofag

    yang terus-menerus dapat menyebabkan pembentukan jaringan ikat

    kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis

    paru akan menyebabkan penurunan elastisitas jaringan paru dan

    menimbulkan gangguan pengembangan paru (Faisal Yunus, 1997).

    II.5.3 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Pengendapan Partikel

    Debu

    Tidak semua partikel yang terinhalasi mengendap di paru.

    Faktor pengendapan debu di paru dipengaruhi oleh :

    a. Jenis debu.

    Jenis debu terkait daya larut sifat kimianya hal ini berkaitan

    dengan kemampuan pengendapan dan tingkat kerusakan yang

    ditimbulkannya. Debu dikelompokkan menjadi dua yaitu debu

    organik dan anorganik. (lihat tabel 2.2)

    b. Ukuran Partikel

    Partikel yang berukuran besar umumnya tersaring di hidung.

    Partikel dengan diameter 3-5 bila terhisap akan tertahan dan tertimbun pada bronkus yang kemudian dikeluarkan dengan

    gerakan silia saluran napas. Debu yang berukuran 1-3 disebut

  • 28

    debu respirabel dapat mengendap di alveoli dan menyebabkan

    terjadinya pnemokoniosis (Faisal Yunus, 1997).

    c. Konsentrasi pertikel debu dan lama paparan

    Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan

    semakin lama paparan berlangsung, jumlah partikel yang

    mengendap di paru juga akan semakin banyak. Pneumokoniosis

    akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak

    lama dengan debu. Pneumokoniosis jarang ditemui kelainan bila

    paparan kurang dari 10 tahun. Dengan demikian lama paparan

    mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian gangguan fungsi

    paru (Khumaidah,2009).

    d. Pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu yang

    terinhalasi

    Adanya perbedaan kemampuan sistem pertahanan tubuh

    terhadap paparan partikel debu terinhalasi memberikan

    gambaran yang berbeda pada setiap orang walaupun paparan

    debu yang diterima sama.

    1. Secara mekanik pertahanan dilakukan dengan menyaring

    partikel yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk

    saluran pernafasan. Di hidung penyaringan dilakukan oleh

    rambut-rambut yang terdapat dilubang hidung, sedangkan di

    bronkus dilakukan reseptor yang terdapat pada otot polos

    dapat berkonstraksi apabila ada iritasi. Apabila rangsangan

    yang terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan reaksi

    berupa bersin atau batuk yang dapat mengeluarkan benda

    asing termasuk partikel debu dari saluran nafas bagian atas

    maupun bronkus (Juzar Ali, 2009).

    2. Secara kimia denga mukus dan silia dalam saluran nafas yang

    secara fisik memindahkan partikel yang melekat di saluran

    nafas, dengan gerakan silia yang mucociliary escalator ke

    laring (Lauralee Sherwood, 2001).

  • 29

    3. Secara imunitas, melalui proses biokimiawi yaitu humoral

    dan seluler. Ketiga sistem tersebut saling berkait dan

    berkoordinasi dengan baik sehingga partikel yang terinhalasi

    disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi

    mekanisme reaksi peradangan atau perpindahan partikel

    (Khumaidah, 2009).

  • 30

    Tabel 2.2 Jenis debu yang dapat menimbulkan penyakit paru pada manusia

    No. Jenis Debu Contoh

    1.

    2.

    Organik

    b. Alamiah

    1. Fosil

    2. Bakteri

    3. Jamur

    4. Virus

    5. Sayuran

    6. Binatang

    c. Sintesis

    1. Plastik

    2. Reagen

    Anorganik

    a. Silika bebas

    1. Cristaline

    2. Amorphus

    b. Silika

    1. Fibrosis

    2. Lain-lain

    c. Metal

    1. Inert

    2. Lain-lain

    3. Bersifat

    keganasan

    Batu bara, karbon hitam, arang, granit

    TBC, antraks, enzim bacillus substilis

    Koksidimikosis,histoplasmosis,kriptokokus

    thermophilic actinomycosis

    Psikatosis, cacar air, Q fever

    Kompos jamur, ampas tebu, tepung padi,

    gabus, atap alang-alang, katun, rami

    Kotoran burung merpati, kesturi, ayam

    Politetra fluoretilen diesosianat

    Minyak isopropyl, pelarut organik

    Quarrz, trymite cristobalite

    Diatomaceous earth, silica gel

    Asbetosis, silinamite, talk

    Mika, kaolin, debu semen

    Besi, barium, titanium, tin, alumunium,

    seng

    Berilium

    Arsen, kobal, nikel hematite, uranium, asbes

    Sumber : Sumamur, 1998

  • 31

    II.5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Saluran Pernapasan dan

    Paru

    Banyak faktor yang mempengaruhi saluran pernapasan seperti

    aspek tenaga kerja berupa kebiasaan merokok, status gizi,

    penggunaan alat pelindung diri, usia tenaga kerja, lama kerja dan

    kebiasaan olahraga (Gerald L. Baum et all, 2003).

    a. Kebiasaan merokok

    Tembakau sebagai bahan baku rokok mengandung

    bahan toksik dan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan

    karena lebih dari 2000 zat kimia dan diantaranya sebanyak

    1200 sebagai bahan beracun bagi kesehatan manusia. Dampak

    merokok terhadap kesehatan paru menyebabkan perubahan

    struktur dan fungsi saluran nafas. Pada saluran nafas besar, sel

    mukosa akan mengalami hipertropi dan kelenjar mukus

    mengalami hyperplasia. Pada saluran nafas kecil terjadi radang

    ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan

    penumpukan mukus (Dorce Mengkidi, 2006). Pada jaringan

    paru-paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan

    alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran nafas pada perokok

    akan timbul perubahan pada fungsi paru-paru dengan segala

    macam gejala klinisnya.

    Partikel asap rokok seperti onpyrene, dibenzapyrene dan

    urethan dikenal sebagai bahan karsinogen (Khumaidah, 2009).

    Bahan tar berhubungan dengan risiko terjadinya kanker paru.

    Kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan ventilasi

    paru karena menyebabkan iritasi dan sekresi mucus yang

    berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini mengurangi

    efektifitas mukosilier dalam membawa partikel-partikel debu

    sehingga merupakan media yang baik tumbuhnya bakteri.

  • 32

    Kebiasaan merokok terbagi menjadi 3 kategori perokok

    yaitu sebagai berikut (JAMA,1994):

    1. Perokok ringan, jumlah rokok yang dihisap 1-6 batang/hari

    2. Perokok sedang, jumlah rokok yang dihisap 7-12

    batang/hari

    3. Perokok berat, jumlah rokok yang dihisap lebih dari

    12 batang/hari

    b. Status gizi

    Status gizi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi

    makanan dan zat-zat gizi. Indeks standar yang dipakai untuk

    menilai perkembangan gizi adalah Berat Badan (BB) terhadap

    Tinggi Badan (TB). Dalam hal ini status gizi dapat dibedakan

    menjadi status gizi kurang, status gizi baik/normal dan status

    gizi lebih. Indeks Massa Tubuh (IMT) dihitung dengan cara

    IMT=BB (kg) / TB (m).

    Tabel 2.3 Nilai IMT orang Indonesia

    Keadaan Kategori IMT

    Kurang

    Normal

    Lebih

    Kekurangan berat badan tingkat berat

    Kekurangan berat badan tingkat ringan

    Keadaan normal

    Kelebihan berat badan tingkat ringan

    Kelebihan berat badan tingkat berat

    < 17,0

    17,0 18,4

    18,5 25,0

    25,1 27,0

    >27,0

    Sumber : Pedoman Usaha Kesehatan Sekolah DepKes RI

    (2002)

    Status gizi buruk akan menyebabkan daya tahan tubuh

    seseorang menurun, sehinga lebih mudah terinfeksi oleh

    mikroba. Sebagai akibatnya seseorang akan mudah terserang

    infeksi seperti batuk, pilek, serta penyakit saluran pernapasan

    lain. Status gizi buruk juga menyebabkan berkurangnya

    kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap

    benda asing seperti debu kayu yang masuk ke dalam tubuh

    (Khumaidah,2009).

  • 33

    c. Penggunaan alat pelindung diri

    Alat pelindung diri untuk pekerja adalah alat pelindung

    untuk pekerja agar aman dari bahaya atau kecelakaan akibat

    melakukan suatu pekerjaannya. Alat pelindung diri (APD)

    yang baik adalah yang memenuhi standar keamanan dan

    kenyamanan bagi pekerja (Safety and acceptation). APD yang

    tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan kerja

    dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi dapat berupa

    masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang

    lebih kasar yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker

    terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu. Pemakaian

    masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak

    mengandung debu, merupakan upaya mengurangi masuknya

    partikel debu kedalam saluran pernapasan. Walaupun

    demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan

    masker, seorang pekerja di industri akan terhindar dari

    kemungkinan terjadinya gangguan pernapasan.

    Dalam pemilihan APD harus dilakukan secara hati-hati dan

    memenuhi beberapa kriteria yang diperlukan antara lain :

    a. APD harus memberikan perlindungan yang baik terhadap

    bahaya yang dihadapi tenaga kerja

    b. APD harus memenuhi standar yang telah ditetapkan

    c. APD tidak menimbulkan bahaya tambahan yang lain bagi

    pemakainannya yang dikarenakan bentuk atau bahannya

    yang tidak tepat atau salah penggunaan

    d. APD harus tahan untuk jangka pemakaian yang cukup

    lama dan bersifat fleksibel.

    d. Usia tenaga kerja

    Fungsi paru pada tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh

    usia tenaga kerja itu sendiri. Meningkatnya umur seseorang

    maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya

    gangguan saluran pernafasan pada tenaga kerja. Selain itu

  • 34

    seiring bertambahnya usia maka akan terjadi penurunan

    kekuatan otot-otot tubuh, termasuk otot-otot yang digunakan

    untuk bernapas seperti m.intercostalis externus, m.

    sternokleidomastoideus, m. serratus anterior, m. Skalenus (Hall

    Guyton, 2008). Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah

    udara yang dapat dihirup oleh paru.

    e. Lama kerja

    Pada pekerja yang berada dilingkungan dengan kadar debu

    tinggi dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena

    gangguan pada fungsi parunya. Waktu yang dibutuhkan

    seseorang yang terpapar debu untuk terjadinya gangguan fungsi

    paru kurang lebih 10 tahun. Penelitian Heri Sumanto tahun 1999

    menunjukan hasil bahwa penambahan lama kerja satu tahun

    akan terjadi penurunan kapasitas paru sebesar 35,3907 ml

    (Irwan Budiono,2007).

    f. Kebiasaan olahraga

    Dengan rutin berolahraga dapat meningkatkan fungsi paru.

    Olah raga yang baik untuk pernapasan adalah renang dan senam.

    Olah raga yang rutin akan meningkatkan kemampuan

    pernapasan sedemikian rupa sehingga kerja paru lebih efisien

    dan paru dapat bekerja maksimal. Olah raga dapat meningkatkan

    fungsi paru dengan cara meningkatkan kekuatan otot-otot

    pernapasan, sehingga akan terjadi peningkatan volume udara

    yang dapat masuk ke dalam paru (Hall Guyton, 2008).

  • 35

    II.6 Kerangka Teori

    Keterangan:

    = Variabel yang diteliti

    = Variabel yang tidak diteliti

    Umur

    Lama Kerja

    Kebiasaan olah raga

    Penggunaan APD

    Jumlah rokok yang dikonsumsi

    Kebiasaan merokok

    FUNGSI PARU

    Penurunan kekuatan otot-otot pernapasan

    Peningkatan lama paparan

    Peningkatan jumlah debu terhirup

    Jenis rokok

    IMT

    Reaksi inflamasi jaringan paru

    Tipe masker

    Lama penggunaan

    Memproteksi sistem pernapasan dari paparan debu

    Jenis olah raga

    Intensitas olah raga

    Lama olah raga

    Meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan

    Status gizi

    Reaksi imun/pertahanan tubuh terhadap penyakit

    Lama merokok

  • 36

    II.7 Kerangka Konsep

    Keterangan :

    Variable independen Variable dependen

    II.8 Hipotesis

    H0: tidak ada hubungan antara usia dengan fungsi paru pekerja mebelH1: ada hubungan antara usia dengan fungsi paru pekerja mebel

    H0: tidak ada hubungan antara status gizi dengan fungsi paru pekerja mebel

    H1: ada hubungan antara status gizi dengan fungsi paru pekerja mebel

    H0: tidak ada hubungan antara lama kerja dengan fungsi paru pekerja mebel

    H1: ada hubungan antara lama kerja dengan fungsi paru pekerja mebel

    H0: tidak ada hubungan antara kebiasaan olah raga dengan fungsi paru pekerja mebel

    H1: ada hubungan antara kebiasaan olah raga dengan fungsi paru

    pekerja mebel

    H0: tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan fungsi paru pekerja mebel

    Paparan debu kayu yang terhirup

    Umur Masa kerja Status gizi Kebiasaan merokok Jumlah rokok yang dikonsumsi perhari Penggunaan APD Kebiasaan olahraga

    Fungsi paru1. Normal2. Terganggu

  • 37

    H1: ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan fungsi paru

    pekerja mebel

    H0: tidak ada hubungan antara jumlah rokok yang dikonsumsi perhari dengan fungsi paru pekerja mebel

    H1: ada hubungan antara jumlah rokok yang dikonsumsi perhari

    dengan fungsi paru pekerja mebel

    H0: tidak ada hubungan antara kebiasaan penggunaan APD pekerja dengan fungsi paru pekerja mebel

    H1: ada hubungan antara kebiasaan penggunaan APD pekerja dengan

    fungsi paru pekerja mebel

    62

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I.1 Latar Belakang

    Energi merupakan hal yang sangat penting bagi tubuh manusia. Energi diperlukan untuk melaksanakan berbagai aktifitas sel yang penting bagi kelangsungan hidup manusia. Dalam menyediakan energi untuk memenuhi kebutuhan tubuh, sel-sel tubuh membutuhkan pasokan oksigen secara terus-menerus dan berkelanjutan untuk menunjang metabolisme sel untuk menghasilkan energi. Selain energi, produk sampingan yang dihasilkan oleh metabolisme adalah karbondioksida yang harus dieliminasi dari dalam tubuh dengan kecepatan yang sama dengan pembentukannya agar tidak terjadi gangguan pada keseimbangan asam basa tubuh ( Lauralee Sherwood,2001).

    Tubuh memiliki organ paru yang berfungsi sebagai tempat terjadinya pertukaran gas antara lingkungan atmosfer dengan lingkungan dalam tubuh. Dalam keadaan fisiologis, kecepatan pertukaran karbondioksida dari dalam tubuh menuju keluar dan oksigen dari luar tubuh harus berlangsung seimbang. Hal ini menjadi penting karena bila terjadi penumpukan karbondioksida dapat menyebabkan penurunan pH tubuh sehingga dapat terjadi asidosis baik respiratorik maupun metabolik. Selain itu bila kadar oksigen dalam tubuh rendah dapat menyebabkan gangguan perfusi oksigen ke jaringan dan menyebabkan hipoksia jaringan. Gejala yang ditimbulkan keadaan hipoksia ini bergantung pada organ mana yang terkena, bila mengenai sistem saraf pusat dapat menyebabkan penurunan kesadaran hingga kematian.

    Banyak hal yang mempengaruhi fungsi paru. Diantaranya adalah usia, jenis kelamin, berat dan tinggi badan, riwayat penyakit yang pernah diderita, paparan lingkungan, termasuk asap rokok, polusi udara dan paparan saat bekerja (Gerald L. Baum et all, 2003). Terganggunya fungsi paru dapat menyebabkan gangguan pertukaran udara atmosfer dan udara dalam paru. Gambaran klinis dari terganggunya fungsi paru antara lain rasa sesak (dyspneu), batuk, batuk darah (hemoptisis), dan nyeri dada ( Zulkifli Amin, 2009).

    Gangguan fungsi paru dapat berupa gangguan yang bersifat restriktif dan gangguan yang bersifat obstruktif. Pada gangguan paru yang bersifat restriktif, terjadi pengurangan ekspansi parenkim paru yang disertai dengan berkurangnya kapasitas paru total. Sedangkan gangguan paru yang bersifat obstruksi, terjadi karena adanya hambatan pada jalan nafas sehingga menyebabkan udara atmosfer sulit untuk masuk ke dalam paru begitu juga karbondioksida dari dalam tubuh sulit keluar dari paru-paru (Anirban Matra et all, 2007) Kedua gangguan ini memiliki efek yang sama yaitu menurunkan kemungkinan perpindahan oksigen atmosfer ke dalam tubuh dan mengeluarkan karbondioksida ke lingkungan luar tubuh.

    Kondisi lingkungan kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fungsi paru manusia. Banyaknya penyakit akibat kerja yang mengganggu fungsi paru terutama disebabkan oleh kondisi udara yang dihirup yang mengandung partikel debu.

    Di USA penyakit paru akibat kerja merupakan penyakit akibat kerja nomor satu dikaitkan dengan frekuensi, tingkat keparahan dan kemampuan pencegahannya. Biasanya disebabkan oleh paparan iritasi atau bahan toksik yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan akut maupun kronis. Kebiasaan merokok akan memperparah penyakit tersebut. Pada tahun 2002, tercatat tercatat 294.500 kasus baru. Secara keseluruhan 2,5 per 10.000 tenaga kerja berkembang menjadi fatal penyakit akibat kerja.

    Pada pekerja yang terpapar debu organik dapat terkena penyakit hypersensitivity pneumonitis. Debu organik yang terhirup menyebabkan peradangan pada alveoli dan dapat menimbulkan jaringan parut. Kematian akibat penyakit ini meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1979 terdapat 20 kematian dan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 1999 yaitu menjadi 57 kematian.

    Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis melakukan penelitian dengan mengangkat judul :

    Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Fungsi Paru Pada Pekerja Mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur Februari 2012

    I.2 Perumusan Masalah

    Penelitian ini mengangkat pokok permasalahan sebagai berikut :

    Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Fungsi Paru Pada Pekerja Mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur

    I.3 Tujuan Penelitian

    I.3.1 Tujuan umum

    Mengetahui fungsi paru dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada pekerja mebel di Gg. Gotong Royong.

    I.3.2 Tujuan khusus

    Mengidentifikasi karakteristik pekerja mebel (usia, status gizi, lama kerja, kebiasaan berolahraga, kebiasaan merokok, jumlah rokok yang dikonsumsi perhari, dan kebiasaan penggunaan alat pelindung diri)

    a. Mengetahui fungsi paru pekerja mebel.

    b. Menganalisis faktor usia dengan fungsi paru.

    c. Menganalisis faktor status gizi dengan fungsi paru.

    d. Menganalisis faktor lama lama kerja dengan fungsi paru.

    e. Menganalisis faktor kebiasaan berolahraga dengan fungsi paru.

    f. Menganalisis faktor kebiasaan merokok dengan fungsi paru.

    g. Menganalisis faktor jumlah rokok yang dikonsumsi perhari dengan fungsi paru.

    h. Menganalisis faktor kebiasaan menggunakan alat pelindung diri dengan fungsi paru.

    I.4 Manfaat

    I.4.1 Manfaat bagi pekerja mebel : menambah pengetahuan pekerja tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru dan dalam upaya meningkatkan kesadaran diri untuk lebih menjaga kesehatan parunya.

    I.4.2 Manfaat bagi pemilik bengkel mebel : menambah pengetahuan pemilik bengkel mebel tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru pekerja mebel dan dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja para pekerja melalui pencegahan penyakit akibat kerja.

    I.4.3 Manfaat bagi masyarakat : menambah pengetahuan masyarakat tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru.

    I.4.4 Manfaat bagi instansi pendidikan : sebagai bahan untuk pertimbangan perlunya penyuluhan kesehatan pada pekerja mebel mengenai keselamatan kerja.

    I.4.5 Manfaat bagi peneliti : sebagai sarana untuk menambah wawasan pengetahuan dan pengalaman serta sebagai syarat untuk memenuhi ketentuan untuk meraih gelar sarjana kedokteran.

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    II.1 Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernapasan

    II.1.1 Anatomi Saluran Pernapasan

    Gambar 2.1 Saluran pernapasan

    Sumber : Van de graaff Human Anatomy

    Anatomi saluran pernapasan terdiri dari :

    II.1.1.1 Hidung

    Gambar 2.2 Hidung

    Sumber : Essentials of Anatomy and Physiology Edisi 5

    Hidung berbentuk piramid yang tersusun dari tulang, kartilago hialin dan jaringan fibroaerolar. Hidung dibagi menjadi dua ruang oleh septum nasal. Struktur hidung pada bagian eksternal terdapat folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea yang merentang sampai vestibula yang terletak di dalam nostril. Kulit pada bagian ini mengandung vibrissae yang berfungsi menyaring partikel dari udara terhisap. Sedangkan pada rongga nasal yang lebih dalam terdiri dari epitel bersilia dan sel goblet. Udara yang masuk ke dalam hidung akan mengalami penyaringan partikel dan penghangatan dan pelembaban udara terlebih dahulu sebelum memasuki saluran napas yang lebih dalam (Ethel Sloane, 2003).

    II.1.1.2 Faring

    Gambar 2.3 Faring

    Sumber : Van de graaff Human Anatomy

    Faring adalah tabung muskular berukuran 12,5cm. Terdiri dari nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Pada nasofaring terdapat tuba eustachius yang menghubungkannya dengan telinga tengah (Ethel Sloane, 2003). Faring merupakan saluran bersama untuk udara dan makanan.

    II.1.1.3 Laring

    Laring adalah tabung pendek berbentuk seperti kotak triangular dan ditopang oleh sembilan kartilago, tiga berpasangan dan tiga lainnya tidak berpasangan. Tiga kartilago yang tidak berpasangan adalah kartilago tiroid yang terlrtak di bagian proksimal kelenjar tiroid, kartilago krikoid yang merupakan cincin anterior yang lebih dalam dan lebih tebal, epiglotis yang merupakan katup kartilago yang melekat pada tepi anterior kartilago tiroid. Epiglotis menutup pada saat menelan untuk mencegah masuknya makanan dan cairan ke saluran pernapasan bawah (Ethel Sloane, 2003). Epiglotis juga merupakan batas antara saluran napas atas dan bawah.

    II.1.1.4 Trakea

    Gambar 2.4 Trakea

    Sumber : Sobotta Edisi 21

    Trakea adalah tuba dengan panjang 10-12 cm yang terletak di anterior esofagus. Trakea tersusun dari 16 20 cincin kartilago berbentuk C yang diikat bersama jaringan fibrosa yang melengkapi lingkaran di belakang trakea (Ethel Sloane, 2003). Trakea berjalan dari bagian bawah tulang rawan krikoid laring dan berakhir setinggi vertebra thorakal 4 atau 5. Trakea kemudian bercabang menjadi bronkus principallis dextra dan sinistra di tempat yang disebut carina. Carina terdiri dari 6 10 cincin tulang rawan.

    II.1.1.5 Bronkus

    Gambar 2.5 Bronkus

    Sumber : Van de graaff Human Anatomy

    Bronkus merupakan struktur dalam mediastinum, yang merupakan percabangan dari trakea. Bronkus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trakea. Setiap bronkus primer bercabang membentuk bronkus sekunder dan tersier dengan diameter yang semakin mengecil dan menyempit, batang atau lempeng kartilago mengganti cincin kartilago (Ethel Sloane, 2003). Bronkus kanan kemudian akan bercabang menjadi lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Bronkus kiri terdiri dari lobus superior dan inferior.

    II.1.1.6 Bronkhiolus

    Bronkiolus merupakan jalan napas intralobular dengan diameter 5 mm, tidak memiliki tulang rawan maupun kelenjar di dalam mukosanya (Luiz Carlos Junqueira, 2007). Bronkhiolus berakhir pada saccus alveolaris. Awal proses pertukaran gas terjadi di bronkhiolus respiratorius.

    II.1.1.7 Alveolus

    Gambar 2.6 Alveolus

    Sumber : Van de graaff Human Anatomy

    Alveolus adalah kantung udara berukuran sangat kecil dan merupakan akhir dari bronkiolus respiratorius sehingga memungkinkan pertukaran oksigen dan karbondioksida. Alveolus terdiri dari membran alveolar dan ruang intesrstisial (Hood Alsagaaff,2006).

    II.1.1.8 Paru

    Gambar 2.7 Paru

    Sumber : Sobotta Edisi 21

    Paru adalah organ berbentuk piramid seperti spons dan berisi udara yang terletak di rongga toraks. Paru merupakan jalinan atau susunan bronkus, bronkiolus, bronkiolus respiratori, alveoli, sirkulasi paru, saraf dan sistem limfatik. Paru adalah alat pernapasan utama yang merupakan organ berbentuk kerucut dengan apex di atas dan sedikit lebih tinggi dari klavikula di dalam dasar leher.

    Paru dibagi menjadi beberapa lobus oleh fisura. Paru kanan terbagi menjadi 3 lobus oleh 2 fisura, sedangkan paru kiri terbagi menjadi 2 lobus oleh 1 fisura (Ethel Sloane, 2003). Paru memiliki hilus paru yang dibentuk oleh a. pulmonalis, v. pulmonalis, bronkus, a. Bronkialis, v. Bronkialis, pembuluh limfe, persarafan, dan kelenjar limfe.

    Paru dilapisi oleh pleura. Pleura terdiri dari pleura viseral yang melekat pada paru dan tidak dapat dipisahkan dan pleura parietal yang melapisi strenum, diafragma dan mediastinum. Diantara kedua pleura tersebut terdapat rongga pleura yang berisi cairan pleura sehingga memungkinkan paru untuk berkembang dan berkontraksi tampa gesekan (Ethel Sloane, 2003).

    II.1.2 Fisiologi Pernapasan

    Fungsi utama paru adalah menyelenggarakan pengambilan oksigen oleh darah dan pembuangan karbondioksida. Terdapat 4 tahap respirasi, yaitu (Lauralee Sherwood, 2001) :

    a. Ventilasi

    Ventilasi adalah sirkulasi keluar masuknya udara atmosfer dan alveoli. Proses ini berlangsung di sistem pernapasan.

    b. Respirasi eksternal

    Respirasi eksternal mengacu pada keseluruhan rangkaian kejadian yang terlibat dalam pertukaran oksigen dan karbondioksida antara lingkungan eksternal dan sel tubuh. Proses ini terjadi di sistem pernapasan.

    c. Transpor gas

    Transpor gas adalah pengangkutan oksigen dan karbondioksida dalam darah dan jaringan tubuh. Proses ini terjadi di sistem sirkulasi

    d. Respirasi internal

    Respirasi internal adalah pertukaran gas pada metabolisme energi yang terjadi dalam sel. Proses ini berlangsung di jaringan tubuh.

    Sistem respirasi dibagi menjadi 2 bagian yaitu (Hood Alsagaaff, 2006) :

    a. Bagian konduksi yang terdiri dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan bronkiolus terminalis. Bagian ini relatif kaku dan terbuka, merupakan penghubung antara lingkungan luar dengan paru. Fungsi dari bagian konduksi adalah mengalirkan udara dan sebagai penyaring, penghangat, dan melembabkan udara sebelum sampai bagian respirasi.

    b. Bagian respirasi terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris dan alveolus. Bagian respirasi merupakan tempat terjadinya pertukaran udara dari lingkungan luar dan dalam tubuh.

    Udara cenderung bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah yaitu menuruni gradien tekanan. Udara mengalir masuk dan keluar paru selama proses pernapasan dengan mengikuti penurunan tekanan gradien yang berubah berselang-seling antara alveolus dan atmosfer akibat aktivitas dari otot-otot pernapasan.

    Terdapat 3 tekanan yang penting pada proses pertukaran udara yaitu (Lauralee Sherwood,2001) :

    a. Tekanan atmosfer (tekanan barometrik)

    Tekanan atmosfer berkurang seiring dengan penambahan ketinggian di atas permukaan laut karena kolom udara di atas permukaan bumi menurun.

    b. Tekanan intra alveolus

    Tekanan inilah yang mengatur aliran udara karena tekanannya dapat berubah sesuai dengan pergerakan pernapasan.

    c. Tekanan intra pleura

    Merupakan tekanan di dalam kantung pleura atau disebut juga tekanan intratoraks, yaitu tekanan yang terjadi di luar paru dan di dalam rongga thoraks. Tekanan intra pleura ini lebih rendah daripada tekanan atmosfer.

    Pada saat inhalasi, terjadi kontraksi dari otot-otot pernapasan sehingga volume rongga thoraks meningkat. Hal ini menyebabkan tekanan pada rongga thoraks menurun dan mengakibatkan adanya perbedaan tekanan udara di dalam dan di luar tubuh dengan tekanan udara di dalam tubuh lebih rendah sehingga udara masuk ke dalam paru dan paru mengembang.

    Pada saat ekhalasi, otot-otot respirasi berelaksasi sehingga volume rongga thoraks menurun dan menyebabkan tekanan rongga thoraks meningkat. Pada kondisi ini volume rongga dada akan berkurang dan terjadi peningkatan tekanan di dalam paru sehingga mendorong udara keluar dari dalam paru ke atmosfer.

    II.2 Volume dan Kapasitas Fungsi Paru

    Volume paru dan kapasitas fungsi paru merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem pernapasan. Dengan mengetahui besarnya volume dan kapasitas fungsi paru dapat diketahui besarnya kapasitas ventilasi maupun ada atau tidaknya kelainan fungsi ventilasi paru.

    Gambar 2.8 Volume dan Kapasitas Paru

    Sumber : Essential of Anatomy and Physiology Edisi 5

    II.2.1 Volume Paru

    Selama berlangsungnya proses pernapasan terdapat volume dari paru yang berubah-ubah. Terdapat beberapa parameter yang menggambarkan volume paru, yaitu (Hall Guyton, 2008):

    a. Volume tidal (VT)

    Volume tidal adalah volume udara yang masuk atau keluar paru selama satu kali bernapas. Nilai rata-rata volume tidal pada saat istirahat adalah 500 ml.

    b. Volume cadangan inspirasi (VCI)

    Volume cadangan inspirasi adalah volume tambahan yang dapat secara maksimal dihirup melebihi volume tidal saat istirahat. Volume cadangan inspirasi dihasilkan oleh kontraksi maksimum diafragma, musculus intercostae externus dan otot inspirasi tambahan. Nilai rata-ratanya adalah 3.000 ml.

    c. Volume cadangan ekspirasi (VCE)

    Volume cadangan ekspirasi adalah volume tambahan udara yang dapat secara aktif dikeluarkan oleh kontraksi maksimum melebihi udara yang dikeluarkan secara pasif pada akhir volume tidal biasa. Nilai rata-rata volume cadangan ekspirasi adalah 1.000 ml

    d. Volume residual (VR)

    Volume residual adalah volume minimum udara yang tersisa di paru bahkan setelah ekspirasi maksimum. Nilai rata-rata volume residual adalah 1.200 ml.

    e. Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1)

    Volume ekspirasi paksa dalam satu detik adalah volume udara yang dapat diekspirasikan selama satu detik pertama ekspirasi pada penentuan kapasitas vital. Nilai volume ekspirasi paksa dalam satu detik biasanya adalah sekitar 80% yang berarti dalam keadaan normal 80% udara yang dapat dikeluarkan dalam satu detik pertama.

    II.2.2 Kapasitas Fungsi Paru

    Kapasitas fungsi paru merupakan penjumlahan dari dua volume paru atau lebih. Yang termasuk pemeriksaan kapasitas fungsi paru adalah (Hall Guyton, 2008):

    a. Kapasitas inspirasi (KI)

    Kapasitas inspirasi adalah volume maksimum udara yang dapat dihirup pada akhir ekspirasi normal tenang (KI=VCI+TV). Nilai rata-rata kapasitas inspirasi adalah 3.500 ml.

    b. Kapasitas residual fungsional (KRF)

    Kapasitas residual fungsional adalah volume udara di paru pada akhir ekspirasi pasif normal (KFR=VCE+VR). Nilai rata-rata kapasitas residual fungsional adalah 2.200 ml.

    c. Kapasitas Vital (KV)

    Kapasitas vital adalah volume maksimum udara yang dapat dikeluarkan selama satu kali bernapas setelah inspirasi maksimum. Subyek mula-mula melakukan inspirasi maksimum kemudian melakukan ekspirasi maksimum (KV=VCI+VT+VCE). Nilai rata-rata kapasitas vital adalah 4.500 ml.

    d. Kapasitas paru total (KPT)

    Kapasitas paru total adalah volume udara maksimal yang dapat ditampung oleh seluruh paru (KPT=KV+VR). Nilai rata-rata kapasitas paru total adalah 5.700 ml.

    II.2.3 Pengukuran Fisiologis Paru

    Pengukuran fisiologis paru sangat dianjurkan bagi pekerja, pengukuran dilakukan dengan menggunakan spirometer. Spirometer dipilih dengan alasan mudah digunakan, biaya murah, ringan, praktis, dapat dibawa kemana-mana, tidak memerlukan tempat khusus, cukup sensitif, akurasi tinggi, dan tidak invasif (Faisal Yunus, 1993).

    Dengan pemeriksaan spirometri dapat diketahui hampir semua volume dan kapasitas paru. Dengan demikian dapat dinilai gangguan fungsional ventilasi paru yang dapat digolongkan menjadi (Faisal Yunus, 1993) :

    a. Gangguan obstruktif, yaitu gangguan berupa hambatan pada aliran udara yang ditandai dengan penurunan FEV1 dan KV.

    b. Gangguan restriktif, yaitu gangguan berupa kegagalan pengembangan paru yang ditandai dengan penurunan KV, VR dan KPT.

    II.2.4 Nilai Normal Fisiologi Paru

    Untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan perlu dilakukan pembandingan dengan nilai standarnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan, fungsi paru digolongkan menjadi (Faisal Yunus, 1993) :

    a. Normal, bila hasil KV >80% dan FEV1 >75%

    b. Gangguan restriksi, bila KV 6 batang/hari)

    8

    Kebiasaan penggunaan alat pelindung diri (APD)

    Kebiasaan pekerja menggunakan APD berupa masker selama bekerja

    Nominal

    1 = menggunakan APD

    2 = tidak menggunakan APD

    III.7 Instrumen Penelitian

    Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner yang akan dibagikan kepada para pekerja mebel, timbangan badan, meteran pengukur tinggi badan, spirometri dan mouth piece

    III.8 Protokol Penelitian (Cara Kerja Penelitian)

    III.9 Analisis Data

    Adalah tahapan untuk mengolah data menjadi bentuk yang dapat memberikan informasi yang mudah dimengerti dengan menggunakan metode statistik , (Notoatmodjo, 2010).

    Pengolahan data mencakup proses editing, coding, dan entry data menggunakan sistem komputerisasi dengan program statistik yang berguna untuk mengolah dan menganalisis data penelitian . Analisis data suatu penelitian, biasanya melalui prosedur bertahap antara lain :

    1. Analisis Univariat (Analisis Deskriptif)

    Analisis ini dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel. Data hasil penelitian dideskripsikan dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi untuk mengevaluasi besarnya proporsi masing-masing faktor yang ditemukan pada sampel untuk masing-masing variabel yang diteliti. Analisis univariat bermanfaat untuk melihat gambaran data yang dikumpulkan dan apakah data optimal untuk di analisis lebih lanjut.

    2. Analisis Bivariat

    Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Dalam analisis bivariat ini dilakukan beberapa tahap, antara lain :

    a. Analisis proporsi atau presentase, dengan membandingkan distribusi silang antara dua variabel yang bersangkutan.

    b. Analisis dari uji hasil statistik dengan melihat dari hasil uji statistik ini akan dapat disimpulkan adanya hubungan 2 variabel tersebut bermakna atau tidak bermakna.

    Teknik analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antara masing masing variabel bebas dengan variabel terikat disertai uji kemaknaan statistik dengan uji Chi Square (Kai Kuadrat) dengan tingkat kepercayaan 95%.

    Rumus Chi Square (X2) :

    X2 =

    Keputusan Uji Chi Square :

    a. Ho ditolak apabila p < (0,05), artinya ada hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen

    b. Ho gagal ditolak / diterima apabila p > (0,05), artinya tidak ada hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    IV.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

    Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2012 dengan mengambil sampel para pekerja mebel di bengkel mebel yang berada di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada bulan Februari 2012. Terdapat 48 orang anggota populasi dan yang memenuhi kriteria sampel adalah sebanyak 39 responden. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi paru terdiri dari usia, status gizi, lama kerja, kebiasaan olah raga, kebiasaan merokok, jumlah rokok yang dikonsumsi perhari, dan kebiasaan menggunakan alat pelindung diri berupa masker dapat dilihat pada tabel di bawah.

    IV.2 Hasil penelitian

    IV.2.1 Hasil Analisis Univariat

    Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian (Notoadmojo, 2010). Analisis ini dilakukan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi variabel independent dan variabel dependent yang diteliti, yaitu meliputi kelompok umur, lama kerja, kebiasaan merokok, jumlah rokok yang dihisap/hari, status gizi, kebiasaan berolahraga, kebiasaan penggunaan APD, dan fungsi paru pekerja.

    Berdasarkan data yang terkumpul, didapatkan distribusi frekuensi pekerja pembuatan mebel berdasarkan karakteristik pekerja di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada bulan Februari 2012 sebagai berikut.

    IV.2.1.1 Kelompok Umur

    Tabel 4.1 Distribusi subjek penelitian berdasarkan umur pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada Februari 2012

    Usia Pekerja

    Jumlah

    Frekuensi (%)

    < 30 tahun

    > 30 tahun

    14 orang

    25 orang

    35,9

    64,1

    Pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada bulan Februari 2012 sebagian besar berusia > 30 tahun sebanyak 25 pekerja (64,1%).

    IV.2.1.2 Status Gizi

    Tabel 4.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan status gizi pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada Februari 2012

    Status Gizi Pekerja

    Jumlah

    Frekuensi (%)

    Malnutrisi

    Normal

    13 orang

    26 orang

    33,3

    66,7

    Pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada bulan Februari 2012 sebagian besar memiliki status gizi normal (18,5 25,0 ) sebanyak 26 pekerja (66,7%).

    IV.2.1.3 Lama Kerja

    Tabel 4.3 Distribusi subjek penelitian berdasarkan lama kerja pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada Februari 2012

    Lama Kerja

    Jumlah

    Frekuensi (%)

    0-5 tahun

    > 5 tahun

    22 orang

    17 orang

    56,4

    43,6

    Pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada bulan Februari 2012 sebagian besar memiliki lama kerja selama 0 5 tahun sebanyak 22 pekerja (56,4%).

    IV.2.1.4 Kebiasaan Berolahraga

    Tabel 4.4 Distribusi subjek penelitian berdasarkan kebiasaan berolahraga pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada Februari 2012

    Kebiasaan Berolahraga

    Jumlah

    Frekuensi (%)

    Tidak

    Ya

    28 orang

    11 orang

    71,8

    28,2

    Pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada bulan Februari 2012 ternyata sebagian besar tidak memiliki kebiasaan berolahraga sebanyak 28 pekerja (71,8%).

    IV.2.1.5 Kebiasaan Merokok

    Tabel 4.5 Distribusi subjek penelitian berdasarkan kebiasaan merokok pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada Februari 2012

    Kebiasaan Merokok Pekerja

    Jumlah

    Frekuensi (%)

    Tidak

    Ya

    11 orang

    28 orang

    28,2

    71,8

    Pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada bulan Februari 2012 yang memiliki kebiasaan merokok yaitu sebanyak 28 pekerja (71,8%).

    IV.2.1.6 Jumlah Rokok yang Dikonsumsi Perhari

    Tabel 4.6 Distribusi subjek penelitian berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi perhari pada pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada Februari 2012

    Jumlah Rokok/Hari

    Jumlah

    Frekuensi (%)

    0-6 batang/hari

    > 6 batang/hari

    20 orang

    19 orang

    51,3

    48,7

    Pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada bulan Februari 2012 yang memiliki kebiasaan merokok > 6 batang/hari sebanyak 19 pekerja (48,7%).

    IV.2.1.7 Kebiasaan Memakai Alat Pelindung Diri

    Tabel 4.7 Distribusi subjek penelitian berdasarkan kebiasaan memakai alat pelindung diri pada pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada Februari 2012

    Kebiasaan Memakai APD

    Jumlah

    Frekuensi (%)

    Tidak

    Ya

    25 orang

    14 orang

    64,1

    35,9

    Pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada bulan Februari 2012 yang tidak memiliki kebiasaan menggunakan APD sebanyak 25 pekerja (64,1%).

    IV.2.1.8 Fungsi Paru

    Tabel 4.8 Distribusi subjek penelitian berdasarkan fungsi paru pada pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada Februari 2012

    Fungsi Paru

    Jumlah

    Frekuensi (%)

    Normal

    Terganggu

    13 orang

    26 orang

    33,3

    66,7

    Pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada bulan Februari 2012 ternyata yang memiliki gangguan fungsi paru sebanyak 26 pekerja (66,7%).

    IV.2.2 Hasil Analisis Bivariat Hubungan antara Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Fungsi Paru dengan Fungsi Paru

    Untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan fungsi paru pada pekerja, maka dilakukan analisis bivariat dengan uji statistik chi square dengan tingkat kemaknaan 5% (=0,05). Berikut ini adalah hasil analisis bivariat antara varibel fungsi paru dengan variabel-variabel bebas yang berhubungan dengan fungsi paru tersebut.

    IV.2.2.1 Hubungan Umur Pekerja dengan Fungsi Paru

    Tabel 4.9 Hubungan umur pekerja dengan fungsi paru

    Kelompok Umur

    Fungsi Paru

    P

    Normal

    Terganggu

    n

    %

    n

    %

    < 30 tahun

    >30 tahun

    7

    6

    17,9

    15,4

    7

    19

    17,9

    48,8

    0,157

    Total

    13

    33,3

    26

    66,7

    Data di atas menunjukan bahwa gangguan fungsi paru pada pekerja yang berumur >30 tahun mempunyai proporsi sebanyak 48,9% sedangkan pada pekerja berumur < 30 tahun proporsinya sebanyak 17,9%, hal tersebut menunjukan bahwa proporsi pekerja yang berumur >30 tahun lebih banyak yang mengalami gangguan fungsi paru. Setelah diuji dengan statistik chi square ternyata didapatkan nilai p = 0,157 (nilai p > 0,05) sehingga bisa dikatakan gagal tolak Ho atau artinya tidak terdapat hubungan bermakna antara umur pekerja dengan gangguan fungsi paru.

    IV.2.2.2 Hubungan Lama Kerja dengan Fungsi Paru

    Tabel 4.10 Hubungan Lama Kerja dengan Fungsi Paru

    Kelompok Lama Kerja

    Fungsi Paru

    p

    Normal

    Terganggu

    n

    %

    n

    %

    0 5 tahun

    >5 tahun

    11

    2

    28,2

    5,1

    11

    15

    28,2

    38,5

    0,017

    Total

    13

    33,3

    26

    66,7

    Data di atas menunjukan bahwa gangguan fungsi paru pada pekerja yang memiliki lama kerja > 5 tahun mempunyai proporsi sebanyak 38,5% sedangkan pada pekerja dengan lama kerja < 5 tahun proporsinya sebanyak 28,2%, hal tersebut menunjukan bahwa proporsi pekerja dengan lama kerja > 5 tahun lebih banyak yang mengalami gangguan fungsi paru. Setelah diuji dengan statistik chi square ternyata didapatkan nilai p = 0,017 (nilai p < 0,05) sehingga bisa dikatakan tolak Ho atau artinya terdapat hubungan bermakna antara lama kerja dengan gangguan fungsi paru.

    IV.2.2.3 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Fungsi Paru

    Tabel 4.11 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Fungsi Paru

    Kebiasaan Merokok

    Fungsi Paru

    p

    Normal

    Terganggu

    n

    %

    n

    %

    Ya

    Tidak

    8

    5

    20,5

    12,8

    20

    6

    51,3

    15,4

    0,453

    Total

    13

    33,3

    26

    66,7

    Data di atas menunjukan bahwa gangguan fungsi paru pada pekerja yang memiliki kebiasaan merokok mempunyai proporsi sebanyak 51,2 % sedangkan pada tanpa kebiasaan merokok proporsinya sebanyak 15,5 %, hal tersebut menunjukan bahwa proporsi pekerja dengan kebiasaan merokok lebih banyak yang mengalami gangguan fungsi paru. Setelah diuji dengan statistik chi square ternyata didapatkan nilai p = 0,453 (nilai p > 0,05) sehingga bisa dikatakan gagal tolak Ho atau artinya tidak terdapat hubungan bermakna antara lama kerja dengan gangguan fungsi paru.

    IV.2.2.4 Hubungan Jumlah Rokok yang Dikonsumsi per Hari dengan Fungsi Paru

    Tabel 4.12 Hubungan Jumlah Rokok yang Dikonsumsi per Hari dengan Fungsi Paru

    Jumlah Rokok/hari

    Fungsi Paru

    P

    Normal

    Terganggu

    N

    %

    n

    %

    0 6 batang

    >6 batang

    6

    7

    15,4

    17,9

    14

    12

    35,9

    30,8

    0,741

    Total

    13

    33,3

    26

    66,7

    Data di atas menunjukan bahwa gangguan fungsi paru pada pekerja yang memiliki kebiasaan merokok > 6 batang/hari mempunyai proporsi sebanyak 38,5% sedangkan pada pekerja dengan kebiasaan merokok 0-6 batang/hari proporsinya sebanyak 28,2%, hal tersebut menunjukan bahwa proporsi pekerja dengan kebiasaan merokok > 6 batang/hari lebih banyak yang mengalami gangguan fungsi paru. Setelah diuji dengan statistik chi square ternyata didapatkan nilai p = 0,741 (nilai p > 0,05) sehingga bisa dikatakan tolak Ho atau artinya tidak terdapat hubungan bermakna antara jumlah rokok yang dikonsumsi perhari dengan gangguan fungsi paru.

    IV.2.2.5 Hubungan Status Gizi dengan Fungsi Paru

    Tabel 4.13 Hubungan Status Gizi dengan Fungsi Paru

    Status Gizi

    Fungsi Paru

    p

    Normal

    Terganggu

    N

    %

    n

    %

    Malnutrisi

    Gizi Baik

    2

    11

    5,1

    28,2

    11

    15

    28,2

    38,5

    0,151

    Total

    13

    33,3

    26

    66,7

    Data di atas menunjukan bahwa gangguan fungsi paru pada pekerja yang memiliki status gizi baik mempunyai proporsi sebanyak 38,5 % sedangkan pada pekerja dengan status gizi malnutrisi (kurang atau lebih) proporsinya sebanyak 28,2 %, hal tersebut menunjukan bahwa proporsi pekerja dengan status gizi baik lebih banyak yang mengalami gangguan fungsi paru. Setelah diuji dengan statistik chi square ternyata didapatkan nilai p = 0,151 (nilai p > 0,05) sehingga bisa dikatakan gagal tolak Ho atau artinya tidak terdapat hubungan bermakna antara status gizi dengan gangguan fungsi paru.

    IV.2.2.6 Hubungan Kebiasaan Berolahraga dengan Fungsi Paru

    Tabel 4.14 Hubungan Kebiasaan Berolahraga dengan Fungsi Paru

    Kebiasaan Berolahraga

    Fungsi Paru

    p

    Normal

    Terganggu

    n

    %

    n

    %

    Ya

    Tidak

    7

    6

    17,9

    15,4

    4

    22

    10,3

    56,4

    0,022

    Total

    13

    33,3

    26

    66,7

    Data di atas menunjukan bahwa gangguan fungsi paru pada pekerja yang tidak memiliki kebiasaan berolahraga mempunyai proporsi sebanyak 56,4 % sedangkan pada pekerja dengan kebiasaan berolahraga proporsinya sebanyak 10,3 %, hal tersebut menunjukan bahwa proporsi pekerja tanpa kebiasaan berolahraga lebih banyak yang mengalami gangguan fungsi paru. Setelah diuji dengan statistik chi square ternyata didapatkan nilai p = 0,022 (nilai p < 0,05) sehingga bisa dikatakan tolak Ho atau artinya terdapat hubungan bermakna antara kebiasaan berolahraga dengan gangguan fungsi paru.

    IV.2.2.7 Hubungan Kebiasaan Penggunaan Alat Pelindung Diri dengan Fungsi Paru

    Tabel 4.15 Hubungan Kebiasaan Penggunaan Alat Pelindung Diri dengan Fungsi Paru

    Kebiasaan Penggunaan APD

    Fungsi Paru

    P

    Normal

    Terganggu

    n

    %

    n

    %

    Ya

    Tidak

    8

    5

    20,5

    12,8

    6

    20

    15,4

    51,3

    0,033

    Total

    13

    33,3

    26

    66,7

    Data di atas menunjukan bahwa gangguan fungsi paru pada pekerja yang tidak memiliki kebiasaan menggunakan APD mempunyai proporsi sebanyak 51,3 % sedangkan pada pekerja dengan kebiasaan menggunakan APD proporsinya sebanyak 15,4 %, hal tersebut menunjukan bahwa proporsi pekerja tanpa kebiasaan menggunakan APD lebih banyak yang mengalami gangguan fungsi paru. Setelah diuji dengan statistik chi square ternyata didapatkan nilai p = 0,033 (nilai p < 0,05) sehingga bisa dikatakan tolak Ho atau artinya terdapat hubungan bermakna antara kebiasaan menggunakan APD dengan gangguan fungsi paru.

    IV.2.3 Rekapitulasi Hasil Uji Chi Square dari Hubungan Variabel-Variabel Bebas dengan Fungsi Paru

    Tabel 4.16 Rekapitulasi Hasil Uji Chi Square dari Hubungan Variabel-Variabel Bebas dengan Fungsi Paru

    No.

    Variabel Bebas

    P-value

    Keterangan

    1.

    Umur Pekerja

    0,05

    0,157

    Tidak Bermakna

    2.

    Lama Kerja

    0,05

    0,017

    Bermakna

    3.

    Kebiasaan Merokok

    0,05

    0,453

    Tidak bermakna

    4.

    Jumlah Rokok yang dikonsumsi/hari

    0,05

    0,751

    Tidak bermakna

    5.

    Status Gizi

    0,05

    0,151

    Tidak bermakna

    6.

    Kebiasaan Berolahraga

    0,05

    0,022

    Bermakna

    7.

    Kebiasaan Menggunakan Alat Pelindung Diri

    0,05

    0,033

    Bermakna

    IV.3 Pembahasan

    Pada bagian ini akan dibahas hasil-hasil dari penelitian hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi paru dengan fungsi paru pada pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur pada bulan Februari 2012. Pembahasan akan meliputi besarnya gangguan fungsi paru dan uraian-uraian dari masing-masing faktor yang mempengaruhi gangguan fungsi paru pada pekerja mebel.

    IV.3.1 Besarnya Gangguan Fungsi Paru dan Distribusi Karakteristiknya pada Pekerja Mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur

    Secara umum adanya gangguan fungsi paru pada pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur merupakan hal yang perlu diperhatikan. Tingginya angka kejadian gangguan fungsi paru ini mencapai 66,7% (26 orang) dari jumlah pekerja. Untuk distribusi karakteristik pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru secara garis besar adalah untuk umur pekerja paling banyak terdapat pada umur >30 tahun, lama kerja paling banyak terdapat pada kelompok pekerja dengan lama kerja >5 tahun, memiliki riwayat merokok dengan jumlah rokok 0-6 batang/hari, tidak menggunakan masker dan tidak memiliki kebiasaan berolahraga.

    IV.3.2 Pembahasan Hasil Analisis Bivariat Data Karakteristik Pekerja

    a. Umur Pekerja

    Berdasarkan hasil analisis data menunjukan bahwa proporsi pekerja yang berumur >30 tahun lebih banyak yang mengalami gangguan fungsi paru dibandingkan dengan pekerja yang berumur 5 tahun lebih banyak yang mengalami gangguan fungsi paru dibandingkan dengan pekerja yang memiliki lama kerja 30 tahun, memiliki lama kerja >5, memiliki kebiasaan merokok, merokok dengan jumlah 6-12 batang, memiliki status gizi baik, tidak memiliki kebiasaan berolahraga dan tidak memiliki kebiasaan penggunaan alat pelindung diri berupa masker.

    3. Terdapat hubungan yang signifikan antara fungsi paru dengan lama kerja (p=0,017), kebiasaan berolahraga (p=0,022) dan kebiasaan penggunaan alat pelindung diri (p=0,033).

    V.2 Saran

    1. Bagi Pekerja mebel

    a. Agar lebih sadar akan pentingnya penggunaan alat pelindung diri berupa masker

    b. Agar lebih sadar akan perlunya memiliki kebiasaan berolahraga.

    2. Bagi Pemilik Bengkel Mebel

    a. Agar memberlakukan sistem keamanan kerja kepada pekerjanya dengan cara penggunaan alat pelindung diri bagi pekerjanya.

    b. Agar menyiapkan alat pelindung diri bagi pekerja

    3. Bagi Petugas Kesehatan

    a. Untuk mengadakan penyuluhan tentang kesehatan kerja pada pekerja mebel.

    4. Bagi Peneliti Lain

    a. Agar dapat menjadi bahan referensi sebagai informasi yang bermanfaat untuk perkembangan pengetahuan tentang gangguan fungsi paru pada pekerja mebel dan dapat juga dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja mebel.

    1

    5

    Umur

    Penurunan kekuatan otot-otot pernapasan

    Peningkatan lama paparan

    Lama Kerja

    Peningkatan jumlah debu terhirup

    Jumlah rokok yang dikonsumsi perhari

    Reaksi inflamasi jaringan paru

    Lama merokok

    Jenis rokok

    Kebiasaan merokok

    Meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan

    Lama olah raga

    Intensitas olah raga

    Kebiasaan olah raga

    Jenis olah raga

    Reaksi imun/pertahanan tubuh terhadap penyakit

    FUNGSI PARU

    Status gizi

    IMT

    Penggunaan APD

    Tipe masker

    Lama penggunaan

    Memproteksi sistem pernapasan dari paparan debu

    Paparan debu kayu yang terhirup

    Umur

    Masa kerja

    Status gizi

    Kebiasaan merokok

    Jumlah rokok yang dikonsumsi perhari

    Penggunaan APD

    Kebiasaan olahraga

    Fungsi paru

    Normal

    Terganggu

    38

    Alokasi subyek :

    Subyek yang akan diteliti adalah para pekerja mebel di Gg. Gotong Royong, Jakarta Timur yang bekerja pada bulan Februari 2012

    Desain Penelitian :

    Cross Sectional dimana sampel diobservasi hanya sekali dan pengukuran variabel dilakukan saat itu juga.

    Teknik Pengambilan Sampel

    Teknik sampel jenuh, yaitu merupakan metode non probability sampling dengan menjadikan semuaanggota populasi menjadi sampel.

    Pengumpulan Data :

    Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer berupa kuesioner yang dibagikan kepada para pekerja mebel, hasil pengukuran indeks massa tubuh, dan hasil kapasitas vital paru dan volume ekspirasi paksa dengan menggunakan alat spirometri.

    Pengolahan dan analisis data :

    Data hasil kuesioner dan data tersebut kemudian diolah dengan bantuan perangkat lunak komputer.

    ( fo fh ) 2

    E

    Keterangan :X2: Chi Square (Kai Kuadrat)

    fo: Nilai Observasi

    fh: Nilai Harapan

    k = Jumlah Kolom ; b = Jumlah Baris

    Df = (k - 1)(b -1)

    1)

    45

    62