potret intervensi di bilik redaksi
Post on 03-Mar-2016
276 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI:
Daftar isi ................................................... ii
Kata Pengantar ............................................ v
Pendahuluan ............................................... ix
Testimoni Jurnalis dan Redaktur
Cerita Tsunami Selepas Magrib ................... 1
Langkahku Terganjal Iklan ........................ 9
Tekanan itu Selalu Ada ............................ 17
Menulis di Bawah Tekanan ........................ 23
Berharap Besar dari Sukses Ganjar .............. 29
Demi Oplah, Kritik Diolah ......................... 35
Media: Butuh Jeneng, Juga Jenang .............. 43
Sudah Digebuki Tertimpa Koran Lagi ............ 57
Ketika Sensor Datang dari Segala Penjuru ...... 63
Riset Kuantitatif ........................................... 71
Riset Kualitatif ............................................. 111
Daftar Pustaka ............................................. 147
Profil AJI Semarang ....................................... 149
Potret Intervensi di Bilik Redaksi
© AJI Semarang
Tim Penyusun : Pratono, Triyono Lukmantoro, Sohirin, Heri C
Santoso, Edi Faisol, Amin Fauzi, Em Syukron,
Rafiudina, Tandiyo Pradekso, Adi Nugroho
Editor Bahasa : Tubagus P Svarajati
Staf Riset : Nur Ana Mustafidah
Cover/Ilustrasi : Abdullah Ibnu Thalhah
Foto : Arif “Slam” Nugroho
Layout : Yuswinardi
Diterbitkan oleh:
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang
Februari 2014
ISBN
14x20 cm, Tebal: 164 halaman
Alamat:
Jalan Gergaji I/15 Mugassari, Semarang - Telp: 024-8450980
Email: ajisemarang@yahoo.com
Twitter: @AJIkotaSMG
Didukung oleh Yayasan Tifa
DAFTAR ISI:
Daftar isi ................................................... ii
Kata Pengantar ............................................ v
Pendahuluan ............................................... ix
Testimoni Jurnalis dan Redaktur
Cerita Tsunami Selepas Magrib ................... 1
Langkahku Terganjal Iklan ........................ 9
Tekanan itu Selalu Ada ............................ 17
Menulis di Bawah Tekanan ........................ 23
Berharap Besar dari Sukses Ganjar .............. 29
Demi Oplah, Kritik Diolah ......................... 35
Media: Butuh Jeneng, Juga Jenang .............. 43
Sudah Digebuki Tertimpa Koran Lagi ............ 57
Ketika Sensor Datang dari Segala Penjuru ...... 63
Riset Kuantitatif ........................................... 71
Riset Kualitatif ............................................. 111
Daftar Pustaka ............................................. 147
Profil AJI Semarang ....................................... 149
Potret Intervensi di Bilik Redaksi
© AJI Semarang
Tim Penyusun : Pratono, Triyono Lukmantoro, Sohirin, Heri C
Santoso, Edi Faisol, Amin Fauzi, Em Syukron,
Rafiudina, Tandiyo Pradekso, Adi Nugroho
Editor Bahasa : Tubagus P Svarajati
Staf Riset : Nur Ana Mustafidah
Cover/Ilustrasi : Abdullah Ibnu Thalhah
Foto : Arif “Slam” Nugroho
Layout : Yuswinardi
Diterbitkan oleh:
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang
Februari 2014
ISBN
14x20 cm, Tebal: 164 halaman
Alamat:
Jalan Gergaji I/15 Mugassari, Semarang - Telp: 024-8450980
Email: ajisemarang@yahoo.com
Twitter: @AJIkotaSMG
Didukung oleh Yayasan Tifa
KATA PENGANTAR
Ihwal (Swa)Sensor di Semarang
iset ini bermula dari kegelisahan sejumlah jurnalis
yang meliput kasus suap pengesahan Anggaran RPendapatan Belanja Daerah Kota Semarang 2012. Saat
itu, publik riuh oleh berita tangkap tangan KPK terhadap Sekda
Akhmat Zaenuri dan dua anggota DPRD Kota, Agung Purno
Sarjono dan Sumartono. Kejadiannya, akhir November 2011,
tepat di halaman Balai Kota. Kasus itu rupanya merambat pada
dugaan keterlibatan Wali Kota Semarang saat itu, Soemarmo
Hadi Saputro, yang baru 18 bulan menjabat. Demo muncul.
Yang mendukung sama kuat dengan yang meminta Soemarmo
diadili. Anehnya, meski disebut di persidangan, tidak satu pun
media di Semarang yang menyinggung nama Soemarmo dalam
berita suap tadi. Sejumlah jurnalis pun gerah.
Pada Februari 2012 sejumlah pewarta yang bergabung
dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang merespons
dengan menggelar diskusi tertutup di kawasan sekitar Kampus
Universitas Diponegoro. Beberapa aktivis antikorupsi datang.
Dugaan mengalir kencang pada upaya pembungkaman pers.
Uniknya, saat media lokal mengabaikan keterlibatan Wali Kota,
fakta tersebut justru menjadi sorotan hampir semua media di
Jakarta. Salah satu usulan dalam diskusi itu adalah mengadukan
media yang melakukan (swa)sensor pada Dewan Pers. AJI juga
merilis pernyataan sikap.
v
KATA PENGANTAR
Ihwal (Swa)Sensor di Semarang
iset ini bermula dari kegelisahan sejumlah jurnalis
yang meliput kasus suap pengesahan Anggaran RPendapatan Belanja Daerah Kota Semarang 2012. Saat
itu, publik riuh oleh berita tangkap tangan KPK terhadap Sekda
Akhmat Zaenuri dan dua anggota DPRD Kota, Agung Purno
Sarjono dan Sumartono. Kejadiannya, akhir November 2011,
tepat di halaman Balai Kota. Kasus itu rupanya merambat pada
dugaan keterlibatan Wali Kota Semarang saat itu, Soemarmo
Hadi Saputro, yang baru 18 bulan menjabat. Demo muncul.
Yang mendukung sama kuat dengan yang meminta Soemarmo
diadili. Anehnya, meski disebut di persidangan, tidak satu pun
media di Semarang yang menyinggung nama Soemarmo dalam
berita suap tadi. Sejumlah jurnalis pun gerah.
Pada Februari 2012 sejumlah pewarta yang bergabung
dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang merespons
dengan menggelar diskusi tertutup di kawasan sekitar Kampus
Universitas Diponegoro. Beberapa aktivis antikorupsi datang.
Dugaan mengalir kencang pada upaya pembungkaman pers.
Uniknya, saat media lokal mengabaikan keterlibatan Wali Kota,
fakta tersebut justru menjadi sorotan hampir semua media di
Jakarta. Salah satu usulan dalam diskusi itu adalah mengadukan
media yang melakukan (swa)sensor pada Dewan Pers. AJI juga
merilis pernyataan sikap.
v
Bagaimana membuktikan bahwa redaksi melakukan atau
mendapatkan tekanan?
Kasus swasensor sebenarnya bukan barang baru di negeri
ini. Banyak media yang beririsan kepentingan dengan bisnis dan
politik. Lebih-lebih sekarang ini, ramai pemilik media berfusi
dengan partai politik tertentu. Yang kentara adalah heboh siaran
langsung TV One di media sosial saat penangkapan Gubernur
Banten Ratu Atut, Oktober 2013. Tanpa disadari kru, muncul
suara yang meminta agar reporter tidak menyebut nama Partai
Golkar. Pemilik TV swasta itu adalah Aburizal Bakrie, taipan
yang juga ketua umum Partai Golkar.
Itu hanya segelintir persoalan di sejumlah media. Dalam
riset AJI Semarang, sensor terhadap pemberitaan acap kali
terjadi lantaran bersinggungan dengan pemilik dan koleganya
atau faktor lain, yakni amplop dan kepentingan iklan. Dulu, di
masa Orde Baru, sensor dilakukan oleh penguasa. Sekarang,
ancaman terhadap hak publik untuk memperoleh informasi yang
jujur bisa datang dari siapa pun, termasuk pengelola ruang
redaksi dan pihak eksternal, seperti aparat, narasumber,
pengacara, birokrat, bahkan organisasi profesi wartawan.
Fenomena tersebut tak jauh beda dengan yang dialami
pers di banyak negara. Albania, misalnya. Selepas dari kontrol
pemerintah komunis, pers berkembang sebatas kuantitas.
Ratusan surat kabar, TV, radio dan media daring (online) hanya
dimiliki penguasa, partai politik atau orang-orang kaya yang
merangkap politisi. Tidak ada pagar api (firewall) antara bisnis,
iklan, politik dan integritas redaksi sehingga swasensor
merajalela.
Sejarah penyensoran di Jawa Tengah sendiri barangkali
diawali oleh surat kabar Doenia Bergerak dan Sinar Hindia oleh
penguasa kolonial. Doenia Bergerak didirikan pada tahun 1914
di Surakarta oleh Mas Marco, eks wartawan Medan Prijaji,
koran berbahasa Melayu pertama. Surat kabar ini sangat dibenci
penguasa Hindia Belanda karena tulisan-tulisannya yang amat
kritis. Lantaran khawatir memicu pemberontakan, setahun
kemudian, Mas Marco dikenai delik pers dan dibui di Semarang.
Salah satu kritiknya yang populer adalah diskriminasi Jawatan
Kereta Api yang membedakan penumpang berdasar etnik dan
status sosial sehingga muncul istilah “kelas kambing” bagi
pribumi jelata. Marco juga dikenal sebagai pendiri Inlandsce
Journalisten Bond (IJB), serikat jurnalis Jawa yang dikenal
cukup radikal. IJB dikenal dekat dengan Sarekat Islam.
Sedangkan Sinar Hindia milik Serikat Islam – didirikan
pada tahun 1923, diwaspadai lantaran berita utama (headline)
keras mereka yang menyerukan pemogokan massal di Jawa
Tengah dan Jawa Timur pada Mei tahun yang sama. Akibatnya,
jajaran redaksi diasingkan atau dipenjara. Koran itu awalnya
dikenal sebagai Sinar Djawa. Di masa Orde Baru, hampir semua
surat kabar di Jawa Tengah menjadi lebih manis pada penguasa.
Sayangnya, penyensoran di masa kolonial dan Orde Baru
sangat berbeda dengan penyensoran di masa reformasi. Pers
kini jauh lebih bebas, namun ancaman terhadap pemberitaan
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
vi vii
Bagaimana membuktikan bahwa redaksi melakukan atau
mendapatkan tekanan?
Kasus swasensor sebenarnya bukan barang baru di negeri
ini. Banyak media yang beririsan kepentingan dengan bisnis dan
politik. Lebih-lebih sekarang ini, ramai pemilik media berfusi
dengan partai politik tertentu. Yang kentara adalah heboh siaran
langsung TV One di media sosial saat penangkapan Gubernur
Banten Ratu Atut, Oktober 2013. Tanpa disadari kru, muncul
suara yang meminta agar reporter tidak menyebut nama Partai
Golkar. Pemilik TV swasta itu adalah Aburizal Bakrie, taipan
yang juga ketua umum Partai Golkar.
Itu hanya segelintir persoalan di sejumlah media. Dalam
riset AJI Semarang, sensor terhadap pemberitaan acap kali
terjadi lantaran bersinggungan dengan pemilik dan koleganya
atau faktor lain, yakni amplop dan kepentingan iklan. Dulu, di
masa Orde Baru, sensor dilakukan oleh penguasa. Sekarang,
ancaman terhadap hak publik untuk memperoleh informasi yang
jujur bisa datang dari siapa pun, termasuk pengelola ruang
redaksi dan pihak eksternal, seperti aparat, narasumber,
pengacara, birokrat, bahkan organisasi profesi wartawan.
Fenomena tersebut tak jauh beda dengan yang dialami
pers di banyak negara. Albania, misalnya. Selepas dari kontrol
pemerintah komunis, pers berkembang sebatas kuantitas.
Ratusan surat kabar, TV, radio dan media daring (online) hanya
dimiliki penguasa, partai politik atau orang-orang kaya yang
merangkap politisi. Tidak ada pagar api (firewall) antara bisnis,
iklan, politik dan integritas redaksi sehingga swasensor
merajalela.
Sejarah penyensoran di Jawa Tengah sendiri barangkali
diawali oleh surat kabar Doenia Bergerak dan Sinar Hindia oleh
penguasa kolonial. Doenia Bergerak didirikan pada tahun 1914
di Surakarta oleh Mas Marco, eks wartawan Medan Prijaji,
koran berbahasa Melayu pertama. Surat kabar ini sangat dibenci
penguasa Hindia Belanda karena tulisan-tulisannya yang amat
kritis. Lantaran khawatir memicu pemberontakan, setahun
kemudian, Mas Marco dikenai delik pers dan dibui di Semarang.
Salah satu kritiknya yang populer adalah diskriminasi Jawatan
Kereta Api yang membedakan penumpang berdasar etnik dan
status sosial sehingga muncul istilah “kelas kambing” bagi
pribumi jelata. Marco juga dikenal sebagai pendiri Inlandsce
Journalisten Bond (IJB), serikat jurnalis Jawa yang dikenal
cukup radikal. IJB dikenal dekat dengan Sarekat Islam.
Sedangkan Sinar Hindia milik Serikat Islam – didirikan
pada tahun 1923, diwaspadai lantaran berita utama (headline)
keras mereka yang menyerukan pemogokan massal di Jawa
Tengah dan Jawa Timur pada Mei tahun yang sama. Akibatnya,
jajaran redaksi diasingkan atau dipenjara. Koran itu awalnya
dikenal sebagai Sinar Djawa. Di masa Orde Baru, hampir semua
surat kabar di Jawa Tengah menjadi lebih manis pada penguasa.
Sayangnya, penyensoran di masa kolonial dan Orde Baru
sangat berbeda dengan penyensoran di masa reformasi. Pers
kini jauh lebih bebas, namun ancaman terhadap pemberitaan
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
vi vii
ra reformasi di Indonesia yang tumbuh sejak 1998
membawa angin segar bagi kebebasan pers. Media Emassa dan pekerja media tumbuh begitu pesat. Posisi
strategis media massa, karena bisa mempengaruhi opini publik,
membuat banyak pengusaha maupun kelompok masyarakat
mendirikan perusahaan media. Dengan perkembangan
teknologi dan informasi yang pesat, banyak pula orang yang bisa
dengan mudah menjadi jurnalis.
Namun, kebebasan pers itu tak menjamin media akan
selalu menyajikan pemberitaan yang sesuai dengan kepentingan
publik. Justru ada kecenderungan media hanya dikuasai oleh
mereka yang memiliki akses modal dan politik. Salah satu
dampaknya adalah terjadinya praktik penyensoran di media.
Meski sudah banyak media dan jurnalis memiliki kebebasan
menulis, tapi praktik penyensoran juga masih terjadi.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, sebagai
organisasi profesi jurnalis, memandang penyensoran di
pemberitaan media merupakan persoalan serius. Sebab, ini
terkait dengan hak publik dalam menerima informasi. Atas
dasar itulah, AJI Semarang melakukan program penelitian
tentang independensi ruang pemberitaan di media lokal.
Dalam program ini ada beberapa kegiatan: penelitian
analisis isi media lima media di Semarang, penelitian
PENDAHULUANjustru datang dari mana-mana. Tim AJI Semarang mengulasnya
dalam buku ini.
Buku yang Anda pegang ini terdiri dari beberapa bagian,
yakni bagian pertama berisi kesaksian para jurnalis dan redaktur
dalam mendapatkan berbagai tekanan dan membuat berita.
Bagian kedua adalah laporan riset kuantitatif analisis isi lima
media di Semarang. Bagian ketiga adalah rangkuman riset
kualitatif dengan metode deskriptif fenomenologi yang
diperkaya dengan dua kali diskusi.
Ada banyak pihak yang membantu penerbitan buku
tersebut. AJI Semarang menyampaikan penghargaan dan
terima kasih sebesarnya kepada Yayasan Tifa yang berkenan
mendukung program ini. Tak terlupakan, tim pengurus AJI
Semarang yang telah sudi direnggut waktu, tenaga, dan
pikirannya agar program ini bisa terlaksana. AJI Semarang juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada Triyono
Lukmantoro, Adi Nugroho dan Tandiyo Pradekso yang bersedia
membantu pelaksanaan riset.
Semarang, Januari 2014
Renjani Puspo Sari
Ketua AJI Semarang
AJI Semarang
viii ix
ra reformasi di Indonesia yang tumbuh sejak 1998
membawa angin segar bagi kebebasan pers. Media Emassa dan pekerja media tumbuh begitu pesat. Posisi
strategis media massa, karena bisa mempengaruhi opini publik,
membuat banyak pengusaha maupun kelompok masyarakat
mendirikan perusahaan media. Dengan perkembangan
teknologi dan informasi yang pesat, banyak pula orang yang bisa
dengan mudah menjadi jurnalis.
Namun, kebebasan pers itu tak menjamin media akan
selalu menyajikan pemberitaan yang sesuai dengan kepentingan
publik. Justru ada kecenderungan media hanya dikuasai oleh
mereka yang memiliki akses modal dan politik. Salah satu
dampaknya adalah terjadinya praktik penyensoran di media.
Meski sudah banyak media dan jurnalis memiliki kebebasan
menulis, tapi praktik penyensoran juga masih terjadi.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, sebagai
organisasi profesi jurnalis, memandang penyensoran di
pemberitaan media merupakan persoalan serius. Sebab, ini
terkait dengan hak publik dalam menerima informasi. Atas
dasar itulah, AJI Semarang melakukan program penelitian
tentang independensi ruang pemberitaan di media lokal.
Dalam program ini ada beberapa kegiatan: penelitian
analisis isi media lima media di Semarang, penelitian
PENDAHULUANjustru datang dari mana-mana. Tim AJI Semarang mengulasnya
dalam buku ini.
Buku yang Anda pegang ini terdiri dari beberapa bagian,
yakni bagian pertama berisi kesaksian para jurnalis dan redaktur
dalam mendapatkan berbagai tekanan dan membuat berita.
Bagian kedua adalah laporan riset kuantitatif analisis isi lima
media di Semarang. Bagian ketiga adalah rangkuman riset
kualitatif dengan metode deskriptif fenomenologi yang
diperkaya dengan dua kali diskusi.
Ada banyak pihak yang membantu penerbitan buku
tersebut. AJI Semarang menyampaikan penghargaan dan
terima kasih sebesarnya kepada Yayasan Tifa yang berkenan
mendukung program ini. Tak terlupakan, tim pengurus AJI
Semarang yang telah sudi direnggut waktu, tenaga, dan
pikirannya agar program ini bisa terlaksana. AJI Semarang juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada Triyono
Lukmantoro, Adi Nugroho dan Tandiyo Pradekso yang bersedia
membantu pelaksanaan riset.
Semarang, Januari 2014
Renjani Puspo Sari
Ketua AJI Semarang
AJI Semarang
viii ix
fenomenologi kasus-kasus intervensi yang dialami jurnalis,
penelitian anggaran publik untuk organisasi-organisasi
wartawan, focus group discussion (FGD) bersama jurnalis dan
kelompok masyarakat, seminar publik, hingga penerbitan buku.
Dalam riset AJI menemukan beberapa kriteria praktik
sensor, yakni fakta atau peristiwa yang sebenarnya memiliki
nilai berita tapi sengaja tak disajikan oleh media, peristiwa itu
diberitakan tapi faktanya telah terdistorsi, atau sensor itu
dijalankan dengan cara hanya memberitakan peristiwa
berdasarkan pada kepentingan pemilik media maupun
kepentingan lainnya.
Harus diakui kasus penyensoran memang masih bisa
diberdebatkan, terutama menyangkut sudut pandang
pemberitaan yang diambil oleh masing-masing media. Tapi,
ketika media sudah tidak independen dan pemberitaannya
disetir oleh pihak lain maka di situlah potensi terjadinya distorsi
pemberitaan semakin besar. Media juga harus menjalankan
fungsi kontrol sehingga s ikap independen harus
dinomorsatukan. Ada kecenderungan praktik sensor media
justru terjadi di media-media lokal. Sebab, pemilik atau petinggi
media memiliki kedekatan dengan aktor-aktor di tingkat lokal.
Ada beberapa hal di Semarang yang menjadi pemicu
terjadinya praktik penyensoran di media massa. Misalnya,
karena akar industrialisasi media yang membutuhkan iklan.
Persoalannya, media-media di Semarang belum memiliki garis
api yang memisahkan ruang redaksi dari ruang iklan.
Pada level jurnalis, praktik pemberian amplop kepada
para jurnalis juga memicu terjadinya penyensoran. Namun,
kesejahteraan jurnalis hingga kini juga masih minim. Persoalan
lain adalah praktik penyensoran juga bisa muncul akibat adanya
konflik kepentingan pemilik media dengan pihak lain. Sebab,
rata-rata para pemilik maupun para petinggi media lokal juga
aktif di berbagai aktivitas politik dan bisnis.
Di sisi lain, komplain publik yang merasa dirugikan atas
pemberitaan media juga belum dikelola secara baik. Sebab,
hingga kini tidak ada lembaga yang bisa mengakomodasi
keberatan masyarakat terhadap media di tingkat lokal.
Akhirnya, beberapa agenda pun menjadi pekerjaan
rumah demi mendorong independensi dan profesionalisme
jurnalis, yakni perlunya garis api (firewall) atau pemisah antara
ruang iklan dari ruang pemberitaan. Untuk itu manajemen harus
menyusun standar prosedur operasi yang mengatur pola relasi
redaksi dengan bagian usaha/iklan. Agenda lain adalah
masyarakat membutuhkan saluran jika sewaktu-waktu merasa
dirugikan atas pemberitaan media. Saluran itu baik yang
diinisiasi kelompok masyarakat ataupun melalui lembaga
ombudsman yang perlu dirikan masing-masing media. Setiap
media perlu membentuk ombudsman media. Lembaga ini
sebagai salah satu cara untuk mengontrol jika sewaktu-waktu
ada dugaan pelanggaran yang dilakukan awak medianya.
Kesejahteraan jurnalis juga menjadi pekerjaan rumah
yang harus dicarikan solusi. Selama ini, minimnya kesejahteraan
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
x xi
fenomenologi kasus-kasus intervensi yang dialami jurnalis,
penelitian anggaran publik untuk organisasi-organisasi
wartawan, focus group discussion (FGD) bersama jurnalis dan
kelompok masyarakat, seminar publik, hingga penerbitan buku.
Dalam riset AJI menemukan beberapa kriteria praktik
sensor, yakni fakta atau peristiwa yang sebenarnya memiliki
nilai berita tapi sengaja tak disajikan oleh media, peristiwa itu
diberitakan tapi faktanya telah terdistorsi, atau sensor itu
dijalankan dengan cara hanya memberitakan peristiwa
berdasarkan pada kepentingan pemilik media maupun
kepentingan lainnya.
Harus diakui kasus penyensoran memang masih bisa
diberdebatkan, terutama menyangkut sudut pandang
pemberitaan yang diambil oleh masing-masing media. Tapi,
ketika media sudah tidak independen dan pemberitaannya
disetir oleh pihak lain maka di situlah potensi terjadinya distorsi
pemberitaan semakin besar. Media juga harus menjalankan
fungsi kontrol sehingga s ikap independen harus
dinomorsatukan. Ada kecenderungan praktik sensor media
justru terjadi di media-media lokal. Sebab, pemilik atau petinggi
media memiliki kedekatan dengan aktor-aktor di tingkat lokal.
Ada beberapa hal di Semarang yang menjadi pemicu
terjadinya praktik penyensoran di media massa. Misalnya,
karena akar industrialisasi media yang membutuhkan iklan.
Persoalannya, media-media di Semarang belum memiliki garis
api yang memisahkan ruang redaksi dari ruang iklan.
Pada level jurnalis, praktik pemberian amplop kepada
para jurnalis juga memicu terjadinya penyensoran. Namun,
kesejahteraan jurnalis hingga kini juga masih minim. Persoalan
lain adalah praktik penyensoran juga bisa muncul akibat adanya
konflik kepentingan pemilik media dengan pihak lain. Sebab,
rata-rata para pemilik maupun para petinggi media lokal juga
aktif di berbagai aktivitas politik dan bisnis.
Di sisi lain, komplain publik yang merasa dirugikan atas
pemberitaan media juga belum dikelola secara baik. Sebab,
hingga kini tidak ada lembaga yang bisa mengakomodasi
keberatan masyarakat terhadap media di tingkat lokal.
Akhirnya, beberapa agenda pun menjadi pekerjaan
rumah demi mendorong independensi dan profesionalisme
jurnalis, yakni perlunya garis api (firewall) atau pemisah antara
ruang iklan dari ruang pemberitaan. Untuk itu manajemen harus
menyusun standar prosedur operasi yang mengatur pola relasi
redaksi dengan bagian usaha/iklan. Agenda lain adalah
masyarakat membutuhkan saluran jika sewaktu-waktu merasa
dirugikan atas pemberitaan media. Saluran itu baik yang
diinisiasi kelompok masyarakat ataupun melalui lembaga
ombudsman yang perlu dirikan masing-masing media. Setiap
media perlu membentuk ombudsman media. Lembaga ini
sebagai salah satu cara untuk mengontrol jika sewaktu-waktu
ada dugaan pelanggaran yang dilakukan awak medianya.
Kesejahteraan jurnalis juga menjadi pekerjaan rumah
yang harus dicarikan solusi. Selama ini, minimnya kesejahteraan
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
x xi
EBUAH pesan pendek masuk ke telepon genggam Yuha,
bukan nama sebenarnya. Sang pemberi pesan Smengabarkan esok hari, Kamis, 8 Desember 2011,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa Wali
Kota Semarang, Soemarmo Hadi Saputro. Pemeriksaan akan
berlangsung di kompleks Akademi Kepolisian. Soemarmo
diperiksa sebagai saksi atas praktik penyuapan yang dilakukan
Akhmat Zaenuri (Sekretaris Daerah Kota Semarang). Zaenuri
tertangkap tangan KPK dalam kasus suap kepada sejumlah
anggota legislatif untuk meloloskan APBD Kota Semarang 2012.
Yuha adalah jurnalis bidang liputan hukum di sebuah
harian lokal di Semarang. Dalam pikirannya, esok hari, ia akan
melakukan peliputan yang melelahkan. Meliput pemeriksaan
yang dilakukan KPK biasanya perlu waktu lama. Tak jarang
hingga malam hari. Diperlukan strategi dan kecermatan ekstra.
Maklum, seringkali terperiksa melakukan upaya pengelabuan
agar lolos dari kejaran jurnalis, luput dari sorotan kamera.
Kamis, 8 Desember 2011 pukul delapan pagi, ia sudah
sampai di Gedung Serba Guna Akpol, tempat pemeriksaan.
Sejurus kemudian, belasan jurnalis lain juga hadir. Tak banyak
yang bisa dilakukan kecuali pengamatan lapangan sebagai
bahan reportase, serta nyanggong hingga pemeriksaan selesai,
l a l u r a m a i - r a m a i m e n g h a d a n g S o e m a r m o u n t u k
Cerita Tsunami Selepas Magribmenjadi salah satu pemicu jurnalis tidak bisa menjalankan
tugasnya secara profesional. Berbagai persoalan tersebut
diungkap bukan bermaksud untuk menyajikan pesimisme wajah
pers di Jawa Tengah. Juga bukan untuk membuka aib/borok
media massa. Tapi ini semua dilakukan demi mendorong media
massa di Jawa Tengah bisa lebih profesional dan independen.
AJI Semarang
xii 1
EBUAH pesan pendek masuk ke telepon genggam Yuha,
bukan nama sebenarnya. Sang pemberi pesan Smengabarkan esok hari, Kamis, 8 Desember 2011,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa Wali
Kota Semarang, Soemarmo Hadi Saputro. Pemeriksaan akan
berlangsung di kompleks Akademi Kepolisian. Soemarmo
diperiksa sebagai saksi atas praktik penyuapan yang dilakukan
Akhmat Zaenuri (Sekretaris Daerah Kota Semarang). Zaenuri
tertangkap tangan KPK dalam kasus suap kepada sejumlah
anggota legislatif untuk meloloskan APBD Kota Semarang 2012.
Yuha adalah jurnalis bidang liputan hukum di sebuah
harian lokal di Semarang. Dalam pikirannya, esok hari, ia akan
melakukan peliputan yang melelahkan. Meliput pemeriksaan
yang dilakukan KPK biasanya perlu waktu lama. Tak jarang
hingga malam hari. Diperlukan strategi dan kecermatan ekstra.
Maklum, seringkali terperiksa melakukan upaya pengelabuan
agar lolos dari kejaran jurnalis, luput dari sorotan kamera.
Kamis, 8 Desember 2011 pukul delapan pagi, ia sudah
sampai di Gedung Serba Guna Akpol, tempat pemeriksaan.
Sejurus kemudian, belasan jurnalis lain juga hadir. Tak banyak
yang bisa dilakukan kecuali pengamatan lapangan sebagai
bahan reportase, serta nyanggong hingga pemeriksaan selesai,
l a l u r a m a i - r a m a i m e n g h a d a n g S o e m a r m o u n t u k
Cerita Tsunami Selepas Magribmenjadi salah satu pemicu jurnalis tidak bisa menjalankan
tugasnya secara profesional. Berbagai persoalan tersebut
diungkap bukan bermaksud untuk menyajikan pesimisme wajah
pers di Jawa Tengah. Juga bukan untuk membuka aib/borok
media massa. Tapi ini semua dilakukan demi mendorong media
massa di Jawa Tengah bisa lebih profesional dan independen.
AJI Semarang
xii 1
mewawancarai. Sejumlah agenda liputan lain terpaksa ditinggal.
Apalagi ada perintah dari redaktur untuk meliput berita
pemeriksaan ini hingga tuntas.
Pemeriksaan kelar sekitar pukul 18.00. Setelah berhasil
mewawancarai Soemarmo, Yuha bergegas ke kantor untuk
menuliskan bahan liputan selama sehari penuh. Hatinya
sumringah. Naluri junalisnya berbisik: berita besar akan segera
muncul. “Meski hanya sebagai saksi, Wali Kota diperiksa KPK,
tentu menarik perhatian publik,” gumamnya dalam hati. Nilai
berita kian melambung mengingat tulisan ini akan terbit
bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi tingkat nasional
yang dipusatkan di Semarang pada 9 Desember. Acara
peringatan yang dihelat di Ruang Pertemuan Masjid Agung Jawa
Tengah akan dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan hampir seluruh kepala daerah se-Indonesia. Tentu saja
Soemarmo berkepentingan kesuksesan acara tak tercoreng
berita pemeriksaan dirinya.
Jangan ditulis
Sepanjang mengendarai sepeda motor ke kantor, Yuha
sudah membayangkan judul ciamik, sudut pandang yang kuat,
bahkan info grafis sebagai penguat berita. Fotografer juga sudah
mempersiapkan foto. Selepas magrib, di komputer kerjanya,
data mulai disalin. Fakta mulai dirangkai, kalimat pun mulai
dirajut. Namun, tak lama kemudian, datanglah redaktur
atasannya menghampiri. Sang redaktur menyampaikan jika
dirinya baru saja menerima telepon dari kantor redaksi pusat
yang meminta agar berita pemeriksaan Soemarmo jangan
ditulis.
Alasannya, “ada perintah khusus” dari pemilik media
agar tidak menurunkan berita tersebut. Wali Kota memang
dikenal dekat dengan sang pemilik media tempat ia bekerja.
Pelarangan itu bagai tsunami yang menghempaskan seluruh
semangatnya. Kerja keras sehari penuh sirna sekejap. ”Ini
keterlaluan,” ujarnya kecewa. Yuha dan redaktur boleh saja
marah, juga boleh mengumpat. Tapi di tempatnya bekerja, kata
sang Bos adalah sabda yang tak mungkin dibantah. Kamis 8
Desember 2011 menjadi hari terburuk dalam sejarah jurnalistik
Yuha yang sudah dititinya selama lima tahun.
Malam itu tersiar kabar di kalangan jurnalis Semarang,
Soemarmo telah “mengondisikan” seluruh koran lokal di
Semarang tidak menurunkan berita pemeriksaan dirinya. Dan
benar. Semua media lokal tak satu pun memberitakan
pemeriksaan itu, kecuali beberapa media nasional. Menurut
Yuha, upaya sensor yang dilakukan Soemarmo tak lebih dari
ketakutan berlebihan. Alasannya, sejauh mana pemberitaan bisa
memengaruhi proses hukum yang dijalankan KPK. “Statusnya
juga baru saksi,” tandasnya.
Ibarat serial sinetron, upaya sensor terhadap
pemberitaan korupsi yang menyangkut Soemarmo tak berhenti
di situ. Pada pemberitaan persidangan Akhmat Zaenuri, redaksi
juga menghilangkan seluruh alur berita yang mengarah pada
keterlibatan Soemarmo. Jangankan penyebutan nama secara
langsung, inisial pun juga diharamkan. “Ini sebuah pembodohan
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
2 3
mewawancarai. Sejumlah agenda liputan lain terpaksa ditinggal.
Apalagi ada perintah dari redaktur untuk meliput berita
pemeriksaan ini hingga tuntas.
Pemeriksaan kelar sekitar pukul 18.00. Setelah berhasil
mewawancarai Soemarmo, Yuha bergegas ke kantor untuk
menuliskan bahan liputan selama sehari penuh. Hatinya
sumringah. Naluri junalisnya berbisik: berita besar akan segera
muncul. “Meski hanya sebagai saksi, Wali Kota diperiksa KPK,
tentu menarik perhatian publik,” gumamnya dalam hati. Nilai
berita kian melambung mengingat tulisan ini akan terbit
bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi tingkat nasional
yang dipusatkan di Semarang pada 9 Desember. Acara
peringatan yang dihelat di Ruang Pertemuan Masjid Agung Jawa
Tengah akan dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan hampir seluruh kepala daerah se-Indonesia. Tentu saja
Soemarmo berkepentingan kesuksesan acara tak tercoreng
berita pemeriksaan dirinya.
Jangan ditulis
Sepanjang mengendarai sepeda motor ke kantor, Yuha
sudah membayangkan judul ciamik, sudut pandang yang kuat,
bahkan info grafis sebagai penguat berita. Fotografer juga sudah
mempersiapkan foto. Selepas magrib, di komputer kerjanya,
data mulai disalin. Fakta mulai dirangkai, kalimat pun mulai
dirajut. Namun, tak lama kemudian, datanglah redaktur
atasannya menghampiri. Sang redaktur menyampaikan jika
dirinya baru saja menerima telepon dari kantor redaksi pusat
yang meminta agar berita pemeriksaan Soemarmo jangan
ditulis.
Alasannya, “ada perintah khusus” dari pemilik media
agar tidak menurunkan berita tersebut. Wali Kota memang
dikenal dekat dengan sang pemilik media tempat ia bekerja.
Pelarangan itu bagai tsunami yang menghempaskan seluruh
semangatnya. Kerja keras sehari penuh sirna sekejap. ”Ini
keterlaluan,” ujarnya kecewa. Yuha dan redaktur boleh saja
marah, juga boleh mengumpat. Tapi di tempatnya bekerja, kata
sang Bos adalah sabda yang tak mungkin dibantah. Kamis 8
Desember 2011 menjadi hari terburuk dalam sejarah jurnalistik
Yuha yang sudah dititinya selama lima tahun.
Malam itu tersiar kabar di kalangan jurnalis Semarang,
Soemarmo telah “mengondisikan” seluruh koran lokal di
Semarang tidak menurunkan berita pemeriksaan dirinya. Dan
benar. Semua media lokal tak satu pun memberitakan
pemeriksaan itu, kecuali beberapa media nasional. Menurut
Yuha, upaya sensor yang dilakukan Soemarmo tak lebih dari
ketakutan berlebihan. Alasannya, sejauh mana pemberitaan bisa
memengaruhi proses hukum yang dijalankan KPK. “Statusnya
juga baru saksi,” tandasnya.
Ibarat serial sinetron, upaya sensor terhadap
pemberitaan korupsi yang menyangkut Soemarmo tak berhenti
di situ. Pada pemberitaan persidangan Akhmat Zaenuri, redaksi
juga menghilangkan seluruh alur berita yang mengarah pada
keterlibatan Soemarmo. Jangankan penyebutan nama secara
langsung, inisial pun juga diharamkan. “Ini sebuah pembodohan
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
2 3
publik,” ujar Yuha. “Taruhlah Wali Kota tak memerintahkan
tindakan suap, tapi publik bisa membaca, masak, penggunaan
uang ratusan juta (untuk suap) oleh Sekda tanpa sepengetahuan
Wali Kota”.
Praktik sensor semacam ini memang tak merugikan
Yuha secara finansial. Tapi, ini melecehkan profesionalisme
sebagai jurnalis. Seolah dirinya ikut bermain dan diuntungkan
dalam skenario besar penyelamatan Soemarmo. Suatu ketika
Yuha merasa malu dengan pertanyaan dari pengacara Akhmat
Zaenuri perihal hilangnya nama Soemarmo. Beruntung, sang
pengacara bisa memahami posisinya yang hanya sebagai buruh
di media tempat bekerja.
Proses hukum suap APBD Kota Semarang terus
berlanjut. Akhirnya, KPK menetapkan Soemarmo sebagai
tersangka dalam kasus tersebut pada 17 Maret 2012, lalu
menahannya di LP Cipinang Jakarta pada 31 Maret 2012. Arah
angin langsung berubah. Kebijakan redaksi tempat Yuha bekerja
juga berbelok. Berita Soemarmo dalam pusaran korupsi suap
APBD sering menjadi berita utama, lengkap dengan penyebutan
nama, juga foto. Mungkin akan terasa lucu jika tak
memberitakan, sementara media lain juga memberitakan.
“Mungkin juga secara hukum dan politik Soemarmo sudah tak
bisa diselamatkan,” kata Yuha.
Saat pemberitaan korupsi Soemarmo mulai muncul,
Yuha mendapat ucapan selamat dari pengacara Zaenuri.
“Selamat ya, akhirnya nama Soemarmo muncul utuh,” kata
Yuha menirukan ucapan tersebut. Meski ucapan itu bermuatan
kelakar, bagi Yuha, hal ini sejatinya menunjukkan jika publik
tahu atas praktik sensor yang terjadi di medianya tempat ia
bekerja.
Bukan pengalaman satu-satunya
Praktik sensor di atas bukanlah pengalaman satu-
satunya bagi Yuha. Desk peliputan hukum adalah salah satu
kompartemen yang sering menjadi sasaran sensor. Banyak
orang salah merasa takut jika keculasannya terpublikasi. Konon,
pada kompartemen lain, praktik serupa juga acap terjadi. Atau
ada kompromi berita dengan pemasang iklan. Tapi dia tak tahu
persis. Kebetulan media tempatnya bekerja melarang
jurnalisnya mencari iklan. Saat ia menulis berita penyelewengan
dana bantuan sosial di Jawa Tengah, yang nilainya hingga
miliaran, ada perintah dari salah seorang redaktur untuk tidak
melanjutkannya. Alhasil, berita hanya muncul sekali.
Umumnya, pemberitaan korupsi selalu berkelanjutan. Baik
karena pertimbangan kedekatan maupun karena besarnya
kerugian negara yang timbul.
Kasus serupa juga terjadi pada awal-awal pemberitaan
dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Karanganyar, Rina
Iriani, sebelum menjadi tersangka. Berita soal Rina tidak boleh
menyudutkannya atau cukup dengan pemberitaan yang kecil
agar tak menjadi perhatian. Di internal wartawan media ini,
beredar kabar jika Bupati Rina adalah teman akrab salah satu elit
redaktur.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
4 5
publik,” ujar Yuha. “Taruhlah Wali Kota tak memerintahkan
tindakan suap, tapi publik bisa membaca, masak, penggunaan
uang ratusan juta (untuk suap) oleh Sekda tanpa sepengetahuan
Wali Kota”.
Praktik sensor semacam ini memang tak merugikan
Yuha secara finansial. Tapi, ini melecehkan profesionalisme
sebagai jurnalis. Seolah dirinya ikut bermain dan diuntungkan
dalam skenario besar penyelamatan Soemarmo. Suatu ketika
Yuha merasa malu dengan pertanyaan dari pengacara Akhmat
Zaenuri perihal hilangnya nama Soemarmo. Beruntung, sang
pengacara bisa memahami posisinya yang hanya sebagai buruh
di media tempat bekerja.
Proses hukum suap APBD Kota Semarang terus
berlanjut. Akhirnya, KPK menetapkan Soemarmo sebagai
tersangka dalam kasus tersebut pada 17 Maret 2012, lalu
menahannya di LP Cipinang Jakarta pada 31 Maret 2012. Arah
angin langsung berubah. Kebijakan redaksi tempat Yuha bekerja
juga berbelok. Berita Soemarmo dalam pusaran korupsi suap
APBD sering menjadi berita utama, lengkap dengan penyebutan
nama, juga foto. Mungkin akan terasa lucu jika tak
memberitakan, sementara media lain juga memberitakan.
“Mungkin juga secara hukum dan politik Soemarmo sudah tak
bisa diselamatkan,” kata Yuha.
Saat pemberitaan korupsi Soemarmo mulai muncul,
Yuha mendapat ucapan selamat dari pengacara Zaenuri.
“Selamat ya, akhirnya nama Soemarmo muncul utuh,” kata
Yuha menirukan ucapan tersebut. Meski ucapan itu bermuatan
kelakar, bagi Yuha, hal ini sejatinya menunjukkan jika publik
tahu atas praktik sensor yang terjadi di medianya tempat ia
bekerja.
Bukan pengalaman satu-satunya
Praktik sensor di atas bukanlah pengalaman satu-
satunya bagi Yuha. Desk peliputan hukum adalah salah satu
kompartemen yang sering menjadi sasaran sensor. Banyak
orang salah merasa takut jika keculasannya terpublikasi. Konon,
pada kompartemen lain, praktik serupa juga acap terjadi. Atau
ada kompromi berita dengan pemasang iklan. Tapi dia tak tahu
persis. Kebetulan media tempatnya bekerja melarang
jurnalisnya mencari iklan. Saat ia menulis berita penyelewengan
dana bantuan sosial di Jawa Tengah, yang nilainya hingga
miliaran, ada perintah dari salah seorang redaktur untuk tidak
melanjutkannya. Alhasil, berita hanya muncul sekali.
Umumnya, pemberitaan korupsi selalu berkelanjutan. Baik
karena pertimbangan kedekatan maupun karena besarnya
kerugian negara yang timbul.
Kasus serupa juga terjadi pada awal-awal pemberitaan
dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Karanganyar, Rina
Iriani, sebelum menjadi tersangka. Berita soal Rina tidak boleh
menyudutkannya atau cukup dengan pemberitaan yang kecil
agar tak menjadi perhatian. Di internal wartawan media ini,
beredar kabar jika Bupati Rina adalah teman akrab salah satu elit
redaktur.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
4 5
“Berita ini landai saja”, “Ada perintah khusus. Jangan
diteruskan”, atau “Jangan diteruskan, ini temannya Bos”.
Petikan-petikan pesan pendek tersebut sudah menjadi kalimat
perintah dari kepala kompartemen atau sekadar redaktur
“biasa” untuk menghentikan sebuah pemberitaan. Bisa jadi
perintah tersebut memang datang dari sang pemilik media¸ atau
sekadar redaktur yang memiliki kepentingan menghentikan
berita dengan mencatut nama pemilik. Karena sudah menjadi
semacam “peraturan baku”, Yuha tak mencoba mencari tahu
apakah perintah itu benar-benar “titah” pemilik atau tidak. Ada
juga redaktur yang berterus terang meminta Yuha tak menulis
sebuah kasus hukum hanya karena berita terkait dengan
saudara, tetangga atau kolega sang redaktur. Misalnya saat ia
menulis penyimpangan pengadaan sarana dan prasarana di
sebuah daerah. Salah seorang redaktur (bukan kepala
kompartemen) meminta tak ditulis dengan alasan kasus itu
melibatkan saudaranya.
Karena sudah menjadi peraturan baku, perintah itu
menjadi simalakama: jika ditulis sudah pasti tak akan dimuat,
jika memaksakan diri menulis, akan muncul pertanyaan
tuduhan jika wartawan di lapangan “ada main” dengan
narasumber. “Lha wong sudah dilarang, kok tetap menulis,”
demikian pertanyaan yang akan muncul. “Sungguh
menyakitkan,” kata Yuha. Di satu sisi, jurnalis harus menyajikan
fakta, membela kepentingan publik. Pada sisi lain, jika menulis
justru muncul tuduhan ada kepentingan pribadi.
Dalam industri media, jurnalis memang buruh. Namun
menurutnya bukan buruh dengan kaca mata kuda yang harus
tunduk pada perintah atasan secara kaku, tanpa dihormati
intelektualitasnya. Kesal dengan kondisi demikian, dalam
beberapa kasus, Yuha mengaku mengabaikan larangan tersebut
dengan tetap memasukkan beritanya ke keranjang berita. “Yang
penting sudah kutulis. Gugur kewajibanku. Dimuat atau tidak,
itu urusan lain”. Kadang, berita yang tak dimuat, dia lempar di
media sosial.
Bagi Yuha, selain sensor yang terjadi di ruang redaksi,
independensi jurnalis juga dipengaruhi oleh praktik pemberian
amplop yang kerap terjadi di lapangan, dengan berbagai bentuk
dan modusnya. Pada bidang liputan hukum, pemberian amplop
sering dilakukan oleh narasumber. Tujuannya agar berita
dihentikan atau sajiannya diperlunak. Kadang pemberian
amplop dilakukan oleh jurnalis yang menjadi perantara. Tak
jarang pula ada jurnalis yang sengaja memosisikan sebagai
perantara untuk pembagian amplop.
Perusahaan tempatnya bekerja memang tak secara tegas
melarang jurnalisnya menerima pemberian dari narasumber.
Yuha juga mengaku bukan malaikat atau jurnalis sok suci yang
secara ekstrem menolak pemberian dari narasumber. Kalau
sekadar makan-makan dan menjaga komunikasi dengan
narasumber, bisa dimaklumi. Tapi kalau amplop yang bersifat
“keras”, nyata-nyata untuk menghentikan pemberitaan, itu yang
tak bisa ditoleransi. “Sebisa mungkin saya tolak,” tukasnya.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
6 7
“Berita ini landai saja”, “Ada perintah khusus. Jangan
diteruskan”, atau “Jangan diteruskan, ini temannya Bos”.
Petikan-petikan pesan pendek tersebut sudah menjadi kalimat
perintah dari kepala kompartemen atau sekadar redaktur
“biasa” untuk menghentikan sebuah pemberitaan. Bisa jadi
perintah tersebut memang datang dari sang pemilik media¸ atau
sekadar redaktur yang memiliki kepentingan menghentikan
berita dengan mencatut nama pemilik. Karena sudah menjadi
semacam “peraturan baku”, Yuha tak mencoba mencari tahu
apakah perintah itu benar-benar “titah” pemilik atau tidak. Ada
juga redaktur yang berterus terang meminta Yuha tak menulis
sebuah kasus hukum hanya karena berita terkait dengan
saudara, tetangga atau kolega sang redaktur. Misalnya saat ia
menulis penyimpangan pengadaan sarana dan prasarana di
sebuah daerah. Salah seorang redaktur (bukan kepala
kompartemen) meminta tak ditulis dengan alasan kasus itu
melibatkan saudaranya.
Karena sudah menjadi peraturan baku, perintah itu
menjadi simalakama: jika ditulis sudah pasti tak akan dimuat,
jika memaksakan diri menulis, akan muncul pertanyaan
tuduhan jika wartawan di lapangan “ada main” dengan
narasumber. “Lha wong sudah dilarang, kok tetap menulis,”
demikian pertanyaan yang akan muncul. “Sungguh
menyakitkan,” kata Yuha. Di satu sisi, jurnalis harus menyajikan
fakta, membela kepentingan publik. Pada sisi lain, jika menulis
justru muncul tuduhan ada kepentingan pribadi.
Dalam industri media, jurnalis memang buruh. Namun
menurutnya bukan buruh dengan kaca mata kuda yang harus
tunduk pada perintah atasan secara kaku, tanpa dihormati
intelektualitasnya. Kesal dengan kondisi demikian, dalam
beberapa kasus, Yuha mengaku mengabaikan larangan tersebut
dengan tetap memasukkan beritanya ke keranjang berita. “Yang
penting sudah kutulis. Gugur kewajibanku. Dimuat atau tidak,
itu urusan lain”. Kadang, berita yang tak dimuat, dia lempar di
media sosial.
Bagi Yuha, selain sensor yang terjadi di ruang redaksi,
independensi jurnalis juga dipengaruhi oleh praktik pemberian
amplop yang kerap terjadi di lapangan, dengan berbagai bentuk
dan modusnya. Pada bidang liputan hukum, pemberian amplop
sering dilakukan oleh narasumber. Tujuannya agar berita
dihentikan atau sajiannya diperlunak. Kadang pemberian
amplop dilakukan oleh jurnalis yang menjadi perantara. Tak
jarang pula ada jurnalis yang sengaja memosisikan sebagai
perantara untuk pembagian amplop.
Perusahaan tempatnya bekerja memang tak secara tegas
melarang jurnalisnya menerima pemberian dari narasumber.
Yuha juga mengaku bukan malaikat atau jurnalis sok suci yang
secara ekstrem menolak pemberian dari narasumber. Kalau
sekadar makan-makan dan menjaga komunikasi dengan
narasumber, bisa dimaklumi. Tapi kalau amplop yang bersifat
“keras”, nyata-nyata untuk menghentikan pemberitaan, itu yang
tak bisa ditoleransi. “Sebisa mungkin saya tolak,” tukasnya.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
6 7
ebut saja ia sebagai David. Menjadi jurnalis adalah cita-
citanya sejak saat kuliah di perguruan tinggi negeri di SSemarang pada awal 2007. Meskipun ia tidak kuliah di
jurusan ilmu komunikasi, namun daya pikat menjadi jurnalis
tetap menggebu. Pada 2008 ia mendaftar di sebuah organisasi
pers kampus di perguruan tingginya agar ketrampilan
menulisnya terasah.
Di lembaga pers mahasiswa itu apa saja yang berkaitan
dengan seluk beluk penulisan ia pelajari, menulis berita,
wawancara, reportase, artikel, esai sastra, sejarah pers, hingga
idealisme pers mahasiswa. Semua yang ideal dipelajari di kawah
candradimuka. Baginya, pers ada untuk menjunjung tinggi
kebenaran. “Saya ingin menjadi jurnalis karena bisa
menyampaikan kebenaran, dan membantu mengungkap
sesuatu yang tersembunyi atau disembunyikan,” katanya.
Keteguhan niat dan usaha David dijawab oleh Tuhan.
Seperti ditulis novelis Brazil Paulo Coelho dalam The Alchemist
(2005):“Ketika kamu sungguh-sungguh menginginkan sesuatu
maka alam raya akan berkonspirasi membantumu meraihnya.”
Ya, di penghujung 2010 David mendapatkan tawaran
magang sebagai wartawan di media lokal di Semarang bersama
teman-temannya. Namun dari sekian teman-temannya yang
Tak gampang untuk menolak godaan amplop. Apalagi,
perusahannya tak memberi gaji secara ideal untuk ukuran
seseorang yang sudah berkeluarga dan beranak. Untuk
menutupi kebutuhan, Yuha membuka toko suvenir sebagai
usaha sampingan. Tentang fenomena jurnalis lain yang
menerima amplop, bahkan berburu amplop, menurutnya itu
suatu pilihan atau sikap personal.
* * *
Langkahku Terganjal Iklan
AJI Semarang
8 9
ebut saja ia sebagai David. Menjadi jurnalis adalah cita-
citanya sejak saat kuliah di perguruan tinggi negeri di SSemarang pada awal 2007. Meskipun ia tidak kuliah di
jurusan ilmu komunikasi, namun daya pikat menjadi jurnalis
tetap menggebu. Pada 2008 ia mendaftar di sebuah organisasi
pers kampus di perguruan tingginya agar ketrampilan
menulisnya terasah.
Di lembaga pers mahasiswa itu apa saja yang berkaitan
dengan seluk beluk penulisan ia pelajari, menulis berita,
wawancara, reportase, artikel, esai sastra, sejarah pers, hingga
idealisme pers mahasiswa. Semua yang ideal dipelajari di kawah
candradimuka. Baginya, pers ada untuk menjunjung tinggi
kebenaran. “Saya ingin menjadi jurnalis karena bisa
menyampaikan kebenaran, dan membantu mengungkap
sesuatu yang tersembunyi atau disembunyikan,” katanya.
Keteguhan niat dan usaha David dijawab oleh Tuhan.
Seperti ditulis novelis Brazil Paulo Coelho dalam The Alchemist
(2005):“Ketika kamu sungguh-sungguh menginginkan sesuatu
maka alam raya akan berkonspirasi membantumu meraihnya.”
Ya, di penghujung 2010 David mendapatkan tawaran
magang sebagai wartawan di media lokal di Semarang bersama
teman-temannya. Namun dari sekian teman-temannya yang
Tak gampang untuk menolak godaan amplop. Apalagi,
perusahannya tak memberi gaji secara ideal untuk ukuran
seseorang yang sudah berkeluarga dan beranak. Untuk
menutupi kebutuhan, Yuha membuka toko suvenir sebagai
usaha sampingan. Tentang fenomena jurnalis lain yang
menerima amplop, bahkan berburu amplop, menurutnya itu
suatu pilihan atau sikap personal.
* * *
Langkahku Terganjal Iklan
AJI Semarang
8 9
ikut magang, hanya David yang tetap bertahan melanjutkan
sampai magang selesai. Dari daya juang dan ketahanannya itu,
ia direkrut oleh media tersebut menjadi reporter.
Awal menjadi reporter David bergairah melakukan
peliputan. Panji-panji idealisme masih dipegang. Roh idealisme
yang ditiupkan sejak di pers mahasiswa masih diemban.
Namun, tahun 2012 merupakan titik balik baginya. Mulai saat
itu David dipindahkan oleh pemimpin redaksinya meliput berita
hukum, dari yang sebelumnya di bagian umum dan pendidikan.
Selama meliput di bagian hukum inilah ia harus terpaksa
dan “dipaksa” menggantungkan idealisme sebagai seorang
jurnalis. Pada saat ia ditempatkan di bagian hukum, ada kasus
besar soal korupsi yang menyeret seorang pejabat penting di
pemerintahan kota ini.
David semangat meliput pejabat Pemerintah Kota
Semarang yang tersandung kasus suap ini. Kasus itu menyeret
dua anggota legislatif, Sekretaris Daerah (Sekda), dan Wali Kota.
Persidangannya tidak dijadikan satu. Untuk dua anggota
legislatif persidangannya dijadikan satu, sedangkan Sekda dan
Wali Kota dilakukan secara terpisah.
Pada saat Sekda sebagai terdakwa, Wali Kota masih
sebagai saksi saat persidangan dan digelar di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang. Dalam perkembangannya,
kasus Wali Kota ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sering dimuat tidak utuh
Awal-awal persidangan dengan terdakwa Sekda, David
masih biasa saja menulis liputannya. Berita juga dimuat
sebagaimana yang ia tulis. Namun saat Wali Kota dihadirkan
sebagai saksi dalam persidangan itu, mulai ada masalah. Berita
sering tidak dimuat secara utuh oleh redaksi, bahkan ada yang
tidak dimuat ketika dia menulis berita yang isinya melibatkan
Wali Kota.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
10 11
ikut magang, hanya David yang tetap bertahan melanjutkan
sampai magang selesai. Dari daya juang dan ketahanannya itu,
ia direkrut oleh media tersebut menjadi reporter.
Awal menjadi reporter David bergairah melakukan
peliputan. Panji-panji idealisme masih dipegang. Roh idealisme
yang ditiupkan sejak di pers mahasiswa masih diemban.
Namun, tahun 2012 merupakan titik balik baginya. Mulai saat
itu David dipindahkan oleh pemimpin redaksinya meliput berita
hukum, dari yang sebelumnya di bagian umum dan pendidikan.
Selama meliput di bagian hukum inilah ia harus terpaksa
dan “dipaksa” menggantungkan idealisme sebagai seorang
jurnalis. Pada saat ia ditempatkan di bagian hukum, ada kasus
besar soal korupsi yang menyeret seorang pejabat penting di
pemerintahan kota ini.
David semangat meliput pejabat Pemerintah Kota
Semarang yang tersandung kasus suap ini. Kasus itu menyeret
dua anggota legislatif, Sekretaris Daerah (Sekda), dan Wali Kota.
Persidangannya tidak dijadikan satu. Untuk dua anggota
legislatif persidangannya dijadikan satu, sedangkan Sekda dan
Wali Kota dilakukan secara terpisah.
Pada saat Sekda sebagai terdakwa, Wali Kota masih
sebagai saksi saat persidangan dan digelar di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang. Dalam perkembangannya,
kasus Wali Kota ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sering dimuat tidak utuh
Awal-awal persidangan dengan terdakwa Sekda, David
masih biasa saja menulis liputannya. Berita juga dimuat
sebagaimana yang ia tulis. Namun saat Wali Kota dihadirkan
sebagai saksi dalam persidangan itu, mulai ada masalah. Berita
sering tidak dimuat secara utuh oleh redaksi, bahkan ada yang
tidak dimuat ketika dia menulis berita yang isinya melibatkan
Wali Kota.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
10 11
Pada suatu kesempatan, David diundang ke ruang kepala
redaksi media tempat ia bekerja. “Saya diomongi oleh Pemred
(pemimpin redaksi). Dia bilang kalau nulis berita soal kasus
korupsi Wali Kota yang halus-halus saja, karena dia juga pernah
membantu membesarkan koran kita, dia sering pasang iklan di
koran kita,” ujar David.
Keluar dari ruangan itu, emosi David mulai membuncah.
Hati nuraninya menghadapi dilema. Ia tidak tahu harus marah
kepada siapa. Satu sisi ingin keluar dari media itu, di sisi lain ia
harus menghidupi istri dan anaknya.
Setelah berpikir panjang, akhirnya David mengambil
pilihan tetap bekerja di media tersebut. Ia juga masih tetap
menulis berita kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat
pemerintah Kota Semarang. Walaupun yang ditayangkan agak
berbeda dari yang ia tulis, terutama berita yang menyangkut
pejabat pemerintah tersebut. “Saat ada persidangan kasus
korupsi Wali Kota, berita saya banyak yang tidak dimuat,” ujar
dia.
Dalam menuliskan berita persidangan kasus korupsi
pejabat itu, ia selalu mencoba menuliskannya secara berimbang
dengan fakta-fakta persidangan. Namun yang dimuat ternyata
tidak utuh. Terutama fakta-fakta persidangan yang
memberatkan pejabat itu. “Saya share dengan wartawan lain
yang meliput di hukum di media lokal Semarang, ternyata
mereka juga mengalami hal serupa,” ujar David.
Intervensi yang diterima dalam kasus itu tidak hanya
dari dalam kantor sendiri, tapi juga berasal dari orang-orang
dekat pejabat pemerintah. Seringkali David ditelepon bahkan
didatangi orang dekat pejabat agar mau menghaluskan dan
mengamankan pemberitaannya. “Saya jawab saja, itu urusan
kantor, tugasku hanya nulis, silakan ke kantor saja,” katanya.
David merasa diintervensi dalam kasus itu dari awal
hingga akhir, bahkan sampai pejabat tersebut disidangkan di
Jakarta. Ia mengaku kecewa dengan banyaknya campur tangan.
Meskipun demikian, ia tidak bisa melakukan protes terhadap
pemimpin redaksi, karena ia juga masih membutuhkan kerja
untuk menghidupi keluarga.
Selain kasus tersebut, ketika ia meliput di pengadilan
juga kadang mendapatkan intervensi dari para narasumber yang
dekat dengan terdakwa. Intervensi itu terkadang dari pejabat
kadang juga pengusaha. Intervensi biasanya muncul pada kasus-
kasus korupsi karena menyangkut nama baik. Orang-orang itu
biasanya menemui langsung para wartawan. “Mereka minta
beritanya dibaik-baikkan, minta beritanya dari perspektif
terdakwa saja,” ujar David.
Intervensi itu, lanjut dia, kadang hanya berupa
permintaan secara lisan, terkadang juga berupa uang. Bahkan
pernah dalam kasus korupsi yang melibatkan sebuah
perusahaan di Jakarta, yang menggarap proyek di pemerintahan
Kota Semarang ia dan wartawan lainnya diminta menyebutkan
angka rupiah yang dikehendaki agar tidak memuat berita pada
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
12 13
Pada suatu kesempatan, David diundang ke ruang kepala
redaksi media tempat ia bekerja. “Saya diomongi oleh Pemred
(pemimpin redaksi). Dia bilang kalau nulis berita soal kasus
korupsi Wali Kota yang halus-halus saja, karena dia juga pernah
membantu membesarkan koran kita, dia sering pasang iklan di
koran kita,” ujar David.
Keluar dari ruangan itu, emosi David mulai membuncah.
Hati nuraninya menghadapi dilema. Ia tidak tahu harus marah
kepada siapa. Satu sisi ingin keluar dari media itu, di sisi lain ia
harus menghidupi istri dan anaknya.
Setelah berpikir panjang, akhirnya David mengambil
pilihan tetap bekerja di media tersebut. Ia juga masih tetap
menulis berita kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat
pemerintah Kota Semarang. Walaupun yang ditayangkan agak
berbeda dari yang ia tulis, terutama berita yang menyangkut
pejabat pemerintah tersebut. “Saat ada persidangan kasus
korupsi Wali Kota, berita saya banyak yang tidak dimuat,” ujar
dia.
Dalam menuliskan berita persidangan kasus korupsi
pejabat itu, ia selalu mencoba menuliskannya secara berimbang
dengan fakta-fakta persidangan. Namun yang dimuat ternyata
tidak utuh. Terutama fakta-fakta persidangan yang
memberatkan pejabat itu. “Saya share dengan wartawan lain
yang meliput di hukum di media lokal Semarang, ternyata
mereka juga mengalami hal serupa,” ujar David.
Intervensi yang diterima dalam kasus itu tidak hanya
dari dalam kantor sendiri, tapi juga berasal dari orang-orang
dekat pejabat pemerintah. Seringkali David ditelepon bahkan
didatangi orang dekat pejabat agar mau menghaluskan dan
mengamankan pemberitaannya. “Saya jawab saja, itu urusan
kantor, tugasku hanya nulis, silakan ke kantor saja,” katanya.
David merasa diintervensi dalam kasus itu dari awal
hingga akhir, bahkan sampai pejabat tersebut disidangkan di
Jakarta. Ia mengaku kecewa dengan banyaknya campur tangan.
Meskipun demikian, ia tidak bisa melakukan protes terhadap
pemimpin redaksi, karena ia juga masih membutuhkan kerja
untuk menghidupi keluarga.
Selain kasus tersebut, ketika ia meliput di pengadilan
juga kadang mendapatkan intervensi dari para narasumber yang
dekat dengan terdakwa. Intervensi itu terkadang dari pejabat
kadang juga pengusaha. Intervensi biasanya muncul pada kasus-
kasus korupsi karena menyangkut nama baik. Orang-orang itu
biasanya menemui langsung para wartawan. “Mereka minta
beritanya dibaik-baikkan, minta beritanya dari perspektif
terdakwa saja,” ujar David.
Intervensi itu, lanjut dia, kadang hanya berupa
permintaan secara lisan, terkadang juga berupa uang. Bahkan
pernah dalam kasus korupsi yang melibatkan sebuah
perusahaan di Jakarta, yang menggarap proyek di pemerintahan
Kota Semarang ia dan wartawan lainnya diminta menyebutkan
angka rupiah yang dikehendaki agar tidak memuat berita pada
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
12 13
setiap persidangan. Perusahaan tersebut menginginkan agar
nama baiknya terjaga.
“Saya bilang, kalau soal itu saya tidak berani, karena saya
hanya orang lapangan, saya minta bilang aja ke redaksi. Dia
bilangnya cuma ya-ya saja, tapi perkembangannya tidak tahu,
kasusnya tetap saya tulis. Kasus ini melibatkan pejabat
pemerintah,” beber David.
Kata David, permintaan-permintaan itu tidak
berpengaruh dalam sisi penulisannya. Fakta di persidangan
tetap ia tulis. Ia juga memberikan porsi pemberitaan kepada
terdakwa demi keseimbangan. “Walaupun tidak dapat uang juga
tetap saya tulis,” kata wartawan muda ini.
Menurut David, peliputan di bidang hukum yang rawan
diintervensi adalah pengadilan pejabat yang terkena korupsi
karena kasusnya biasanya berkaitan dengan pihak-pihak lain.
Sebelum peliputan di bidang hukum, David pernah
ditempatkan sebagai wartawan floating.* Di bidang ini ia sering
menulis berita-berita lapangan yang berhubungan dengan
kebijakan pemerintah daerah setempat. Pernah ia beberapa kali
mendapatkan intervensi dari pihak pemerintah kota. Misalnya
saat ia menulis kondisi kekumuhan kota dan banjir, ia tidak
boleh meliput soal berita itu dulu karena masih ada penilaian
untuk pemberian penghargaan Adipura. Lagi-lagi ia juga tidak
bisa berbuat banyak karena memang medianya sering
mendapatkan iklan dari pemerintah daerah.
Iklan pemerintah daerah
Diakui David, medianya memang banyak mendapatkan
iklan dari pemerintah daerah untuk menjalankan roda
operasional perusahaan, meskipun sebelumnya manajemen
pusat di kelompok media tersebut mengingatkan agar tidak
banyak menerima iklan dari pemerintah daerah. Dikhawatirkan,
kalau pemerintah ada masalah, medianya tidak bisa berbuat
banyak. “Nyatanya anjuran itu tidak dilaksanakan,” ujar dia.
Sudah berulangkali David merasa diintervensi oleh
internal medianya. Belum lama ini ia menulis berita dari siaran
pers Panwaslu yang berisi partai politik belum boleh memasang
iklan di media dalam jangka waktu tertentu sesuai jadwal
tahapan Pemilu. Malam harinya ia ditelepon oleh pemimpin
redaksinya. “Pemred saya bilang, kalau tidak boleh iklan di
media, kamu mau makan apa, kan gajimu sumbernya juga dari
iklan,” ujarnya menirukan ucapan bosnya.
Usai mendapatkan telepon itu, ia kesal. Sebab, ia merasa
tidak ada yang salah dari isi tulisan beritanya. Larangan beriklan
di media itu tidak bersifat tetap, tapi sesuai dengan waktunya.
Pada pagi harinya, berita tetap tidak dimuat. Ia tidak berani
protes, ia hanya mengeluh dalam diam.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
14 15
*Floating adalah wartawan yang wilayah liputannya umum, tidak spesifik di bidang tertentu
setiap persidangan. Perusahaan tersebut menginginkan agar
nama baiknya terjaga.
“Saya bilang, kalau soal itu saya tidak berani, karena saya
hanya orang lapangan, saya minta bilang aja ke redaksi. Dia
bilangnya cuma ya-ya saja, tapi perkembangannya tidak tahu,
kasusnya tetap saya tulis. Kasus ini melibatkan pejabat
pemerintah,” beber David.
Kata David, permintaan-permintaan itu tidak
berpengaruh dalam sisi penulisannya. Fakta di persidangan
tetap ia tulis. Ia juga memberikan porsi pemberitaan kepada
terdakwa demi keseimbangan. “Walaupun tidak dapat uang juga
tetap saya tulis,” kata wartawan muda ini.
Menurut David, peliputan di bidang hukum yang rawan
diintervensi adalah pengadilan pejabat yang terkena korupsi
karena kasusnya biasanya berkaitan dengan pihak-pihak lain.
Sebelum peliputan di bidang hukum, David pernah
ditempatkan sebagai wartawan floating.* Di bidang ini ia sering
menulis berita-berita lapangan yang berhubungan dengan
kebijakan pemerintah daerah setempat. Pernah ia beberapa kali
mendapatkan intervensi dari pihak pemerintah kota. Misalnya
saat ia menulis kondisi kekumuhan kota dan banjir, ia tidak
boleh meliput soal berita itu dulu karena masih ada penilaian
untuk pemberian penghargaan Adipura. Lagi-lagi ia juga tidak
bisa berbuat banyak karena memang medianya sering
mendapatkan iklan dari pemerintah daerah.
Iklan pemerintah daerah
Diakui David, medianya memang banyak mendapatkan
iklan dari pemerintah daerah untuk menjalankan roda
operasional perusahaan, meskipun sebelumnya manajemen
pusat di kelompok media tersebut mengingatkan agar tidak
banyak menerima iklan dari pemerintah daerah. Dikhawatirkan,
kalau pemerintah ada masalah, medianya tidak bisa berbuat
banyak. “Nyatanya anjuran itu tidak dilaksanakan,” ujar dia.
Sudah berulangkali David merasa diintervensi oleh
internal medianya. Belum lama ini ia menulis berita dari siaran
pers Panwaslu yang berisi partai politik belum boleh memasang
iklan di media dalam jangka waktu tertentu sesuai jadwal
tahapan Pemilu. Malam harinya ia ditelepon oleh pemimpin
redaksinya. “Pemred saya bilang, kalau tidak boleh iklan di
media, kamu mau makan apa, kan gajimu sumbernya juga dari
iklan,” ujarnya menirukan ucapan bosnya.
Usai mendapatkan telepon itu, ia kesal. Sebab, ia merasa
tidak ada yang salah dari isi tulisan beritanya. Larangan beriklan
di media itu tidak bersifat tetap, tapi sesuai dengan waktunya.
Pada pagi harinya, berita tetap tidak dimuat. Ia tidak berani
protes, ia hanya mengeluh dalam diam.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
14 15
*Floating adalah wartawan yang wilayah liputannya umum, tidak spesifik di bidang tertentu
ENJADI pemimpin redaksi bagi lelaki berwajah
tegas itu, sebut saja Awok (nama samaran), adalah Mamanah sekaligus beban. Karena, selain harus
mampu membawa arah dan tujuan media yang diterbitkan, ia
juga bertanggungjawab terhadap isi berita setiap harinya kepada
publik. Tanggungjawab kepada perusahaan pun juga ada di
pundaknya agar media terus berkembang dan hidup.
Pengalaman menjadi jurnalis telah dilakoninya sejak
belasan tahun lalu. Tulisan tentang features* pun sering muncul
kala itu. “Ya saya senang menulis features, terutama masalah
yang unik di masyarakat,” katanya mengawali obrolan pada
suatu malam di ruang kerjanya.
Baginya, idealisme adalah prinsip yang harus dipegang
kapan saja dan dimana saja. Hal itu pun ia terapkan ketika masih
sebagai pemburu berita hingga menduduki jabatan tertinggi di
bidang jurnalistik.
“Tekanan, di mana pun tetap ada. Apalagi, anda tahu
sendiri, media ini seperti apa. Keberpihakan kepada pemerintah
yang sedang berkuasa tentu harus dilakukan. Belum lagi soal
relasi sang pemilik, ini yang menurut saya harus mendapat
porsi,” katanya.
Tekanan itu Selalu Ada
AJI Semarang
*Features adalah berita dengan gaya penulisan berkisah tentang fakta tertentu yang menarik imajinasi pembaca untuk masuk ke tema yang dibahas. Bentuk tulisan features tidak terpaku pada bentuk piramida terbalik. Justru mengharapkan pembaca mengikuti dengan seksama dari awal hingga akhir.
Sudah hampir empat tahun ia bekerja di media tersebut.
Selama itu pula ia harus sering berkompromi terhadap keadaan.
“Orientasi saya dulu jadi wartawan karena saya menganggap
media itu bisa menjadi penyambung rasa warga, media bisa
menjadi penengah antara warga dengan penguasa. Ternyata
praktik di lapangan berbeda. Ternyata di lapangan ambyar*
semua,” ujarnya.
David sadar, media ternyata bukan tempat bersemayam
idealisme, tapi juga kepentingan bisnis. Dalam sehari ia menulis
berita minimal tiga dan tidak jarang ia menulis empat sampai
lima berita. Total gaji yang ia terima dalam sebulan rata-rata
Rp1,7 juta. “Kalau ditanya cukup atau tidak, ya tidak cukup, kami
sekeluarga mencukup-cukupkan,” katanya. Apakah dengan gaji
senilai itu sudah bisa membuat anda profesional? “Saya kira
belum,” pungkasnya.
* * *
16 17
*Hancur lebur.
ENJADI pemimpin redaksi bagi lelaki berwajah
tegas itu, sebut saja Awok (nama samaran), adalah Mamanah sekaligus beban. Karena, selain harus
mampu membawa arah dan tujuan media yang diterbitkan, ia
juga bertanggungjawab terhadap isi berita setiap harinya kepada
publik. Tanggungjawab kepada perusahaan pun juga ada di
pundaknya agar media terus berkembang dan hidup.
Pengalaman menjadi jurnalis telah dilakoninya sejak
belasan tahun lalu. Tulisan tentang features* pun sering muncul
kala itu. “Ya saya senang menulis features, terutama masalah
yang unik di masyarakat,” katanya mengawali obrolan pada
suatu malam di ruang kerjanya.
Baginya, idealisme adalah prinsip yang harus dipegang
kapan saja dan dimana saja. Hal itu pun ia terapkan ketika masih
sebagai pemburu berita hingga menduduki jabatan tertinggi di
bidang jurnalistik.
“Tekanan, di mana pun tetap ada. Apalagi, anda tahu
sendiri, media ini seperti apa. Keberpihakan kepada pemerintah
yang sedang berkuasa tentu harus dilakukan. Belum lagi soal
relasi sang pemilik, ini yang menurut saya harus mendapat
porsi,” katanya.
Tekanan itu Selalu Ada
AJI Semarang
*Features adalah berita dengan gaya penulisan berkisah tentang fakta tertentu yang menarik imajinasi pembaca untuk masuk ke tema yang dibahas. Bentuk tulisan features tidak terpaku pada bentuk piramida terbalik. Justru mengharapkan pembaca mengikuti dengan seksama dari awal hingga akhir.
Sudah hampir empat tahun ia bekerja di media tersebut.
Selama itu pula ia harus sering berkompromi terhadap keadaan.
“Orientasi saya dulu jadi wartawan karena saya menganggap
media itu bisa menjadi penyambung rasa warga, media bisa
menjadi penengah antara warga dengan penguasa. Ternyata
praktik di lapangan berbeda. Ternyata di lapangan ambyar*
semua,” ujarnya.
David sadar, media ternyata bukan tempat bersemayam
idealisme, tapi juga kepentingan bisnis. Dalam sehari ia menulis
berita minimal tiga dan tidak jarang ia menulis empat sampai
lima berita. Total gaji yang ia terima dalam sebulan rata-rata
Rp1,7 juta. “Kalau ditanya cukup atau tidak, ya tidak cukup, kami
sekeluarga mencukup-cukupkan,” katanya. Apakah dengan gaji
senilai itu sudah bisa membuat anda profesional? “Saya kira
belum,” pungkasnya.
* * *
16 17
*Hancur lebur.
Awok pun mengisahkan awal menjabat sebagai
pemimpin redaksi sebuah media yang sebagian sahamnya milik
salah satu media besar dan sebagian lainnya milik seorang
politisi. Baru beberapa hari mengemban amanah, ia harus
“diuji” ketika sang pemilik saham berurusan dengan hukum.
“Mau tak mau, kami harus memberitakan.Itu kewajiban
jurnalis. Tapi, porsinya memang lebih kecil. Kalau di media lain,
menjadi berita besar. Dan saya kira, ini wajar dan berlaku di
semua media manapun dan di mana pun. Sekelas media yang
paling kritis sekalipun, ketika relasi sang pemilik media, atau
bahkan pemilik saham media itu sedang bermasalah, pasti juga
akan diupayakan untuk tidak keluar atau kalau keluar, hanya di
halaman pojok,” paparnya.
Ia juga mengaku, pada kasus-kasus tertentu pihaknya
diberikan keleluasaan. Misalnya dalam mengkritik kebijakan
gubernur. Pemberitaan tetap proporsional, dan sama sekali
tidak ada intervensi.
Tuntutan upah buruh misalnya, medianya juga tetap
mengkritisi kebijakan dari pemerintah. Pembelaan itu jelas
dilakukan oleh media kepada masyarakat. Ketika itu
menyangkut Iriani, atau Ketua DPRD Grobogan, kita juga tetap
membuatnya. Dan tidak semua berita mendapat intervensi.
Memperdalam masalah dari sudut manapun juga tidak masalah.
Kasus kepala daerah yang terlibat korupsi jadi berita utama.
Rembang, Karanganyar, Sragen.
Ia juga menjelaskan, tekanan selain sering dari pemilik
media juga sering datang dari narasumber. Narasumber
menilai, media yang ia pimpin memiliki kepentingan dibalik
pertanyaan yang disampaikan oleh sang wartawan. “Ketika
wartawan konfirmasi, dituduh macam-macam. Padahal, misi
media adalah menyuarakan kepentingan masyarakat yang luas.
kritik kepada pemangku kebijakan pun dalam rangka
memberikan dorongan agar dapat bekerja lebih baik. Kami pun
memberikan semangat dan pesan kepada wartawan di lapangan,
agar tetap bekerja sesuai kode dan kaidah etik jurnalistik,”
katanya.
Kepentingan Perusahaan
Awok melanjutkan kisahnya sembari tangan kanannya
memegang ponsel dan di jari tangan kirinya terselip sebatang
rokok. “Mau tidak mau, kebijakan memasang berita kasus yang
melibatkan pemilik atau relasi, selalu saya diskusikan dengan
kawan-kawan di lapangan dan mereka yang di meja editor. Saya
share semuanya. Kalau ada kawan lapangan yang membuat
berita itu terlalu panjang, kami pun mendiskusikan bagaimana
kalau menuliskannya kembali secara ringkas dan tidak terlalu
menohok. Di sisi lain, kepentingan perusahaan kan harus kita
hormati dan jalankan,” jelasnya.
Tak jarang, kata dia, ketika berita “kasus” itu muncul
meskipun hanya kecil, selalu menjadi bahan evaluasi ketika
rapat pada pagi harinya. Baik rapat redaksi ataupun dengan
jurnalis di lapangan.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
18 19
Awok pun mengisahkan awal menjabat sebagai
pemimpin redaksi sebuah media yang sebagian sahamnya milik
salah satu media besar dan sebagian lainnya milik seorang
politisi. Baru beberapa hari mengemban amanah, ia harus
“diuji” ketika sang pemilik saham berurusan dengan hukum.
“Mau tak mau, kami harus memberitakan.Itu kewajiban
jurnalis. Tapi, porsinya memang lebih kecil. Kalau di media lain,
menjadi berita besar. Dan saya kira, ini wajar dan berlaku di
semua media manapun dan di mana pun. Sekelas media yang
paling kritis sekalipun, ketika relasi sang pemilik media, atau
bahkan pemilik saham media itu sedang bermasalah, pasti juga
akan diupayakan untuk tidak keluar atau kalau keluar, hanya di
halaman pojok,” paparnya.
Ia juga mengaku, pada kasus-kasus tertentu pihaknya
diberikan keleluasaan. Misalnya dalam mengkritik kebijakan
gubernur. Pemberitaan tetap proporsional, dan sama sekali
tidak ada intervensi.
Tuntutan upah buruh misalnya, medianya juga tetap
mengkritisi kebijakan dari pemerintah. Pembelaan itu jelas
dilakukan oleh media kepada masyarakat. Ketika itu
menyangkut Iriani, atau Ketua DPRD Grobogan, kita juga tetap
membuatnya. Dan tidak semua berita mendapat intervensi.
Memperdalam masalah dari sudut manapun juga tidak masalah.
Kasus kepala daerah yang terlibat korupsi jadi berita utama.
Rembang, Karanganyar, Sragen.
Ia juga menjelaskan, tekanan selain sering dari pemilik
media juga sering datang dari narasumber. Narasumber
menilai, media yang ia pimpin memiliki kepentingan dibalik
pertanyaan yang disampaikan oleh sang wartawan. “Ketika
wartawan konfirmasi, dituduh macam-macam. Padahal, misi
media adalah menyuarakan kepentingan masyarakat yang luas.
kritik kepada pemangku kebijakan pun dalam rangka
memberikan dorongan agar dapat bekerja lebih baik. Kami pun
memberikan semangat dan pesan kepada wartawan di lapangan,
agar tetap bekerja sesuai kode dan kaidah etik jurnalistik,”
katanya.
Kepentingan Perusahaan
Awok melanjutkan kisahnya sembari tangan kanannya
memegang ponsel dan di jari tangan kirinya terselip sebatang
rokok. “Mau tidak mau, kebijakan memasang berita kasus yang
melibatkan pemilik atau relasi, selalu saya diskusikan dengan
kawan-kawan di lapangan dan mereka yang di meja editor. Saya
share semuanya. Kalau ada kawan lapangan yang membuat
berita itu terlalu panjang, kami pun mendiskusikan bagaimana
kalau menuliskannya kembali secara ringkas dan tidak terlalu
menohok. Di sisi lain, kepentingan perusahaan kan harus kita
hormati dan jalankan,” jelasnya.
Tak jarang, kata dia, ketika berita “kasus” itu muncul
meskipun hanya kecil, selalu menjadi bahan evaluasi ketika
rapat pada pagi harinya. Baik rapat redaksi ataupun dengan
jurnalis di lapangan.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
18 19
Pengalaman mendapatkan tekanan dari atasan langsung
atau bahkan sang pemilik media juga menjadi pengalaman yang
dirasakan pahit oleh Yoyok, jurnalis yang biasa ngepos di Kantor
Gubernur Jawa Tengah.
Menurutnya, idealisme jurnalis saat ini telah
tergadaikan oleh materi. Tekanan perusahaan media kepada
“buruh” medianya, semakin memperparah kondisi ini.
Idealisme telah menjadi barang langka yang lambat laun tertelan
gelombang kehidupan.
Posisi jurnalis bukan hanya ternoda dengan “amplop-
amplop” yang berserakan di sekeliling mereka, tapi juga ternista
oleh perilaku perusahaan-perusahaan media yang hanya
memikirkan keuntungan. Hak rakyat mendapatkan informasi
terkebiri. Demi iklan, perusahaan menekan jurnalis untuk
menulis berita santun khusus pada pejabat/instansi tertentu.
“Konsep ideal sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ) hanya
bisa diterapkan jika ada dukungan dari perusahaan media.
Tanpanya akan sulit karena posisi tawar wartawan yang lemah.
Banyak perusahaan media tidak menghargai wartawan sebagai
profesi yang memiliki kode etik. Perusahaan hanya menganggap
wartawannya adalah karyawan semata yang harus mengikuti
instruksi pimpinannya, meskipun menabrak KEJ,” paparnya.
Menghentikan Berita
Yoyok pun kemudian berbagi pengalaman atas tekanan
dari atasannya. Pengalaman intervensi paling sering ia alami
adalah menghentikan berita yang tidak sesuai dengan
kepentingan pemilik media atau oknum di redaksi.
“Kasus dana bansos APBD 2011, misalnya, atau geger
dana aspirasi APBD 2014 yang rekamannya bocor kemarin.
Bentuk lain misalnya, ketika sedang menulis tiba-tiba mendapat
instruksi untuk mengarahkan tulisan ke sudut pandang tertentu
dan menghilangkan nama atau subjek tertentu,” paparnya.
Ada lagi, menurut Yoyok, yang juga merupakan
intervensi adalah tugas-tugas menumpuk dari redaksi yang ia
curigai sebagai upaya pengalihan perhatian. Jurnalis diberi
banyak tugas setiap hari agar tidak sempat mencari berita yang
mengganggu “konco-konco” pemilik media. Intervensi itu pun
menurutnya tidak hanya merugikan publik, tapi juga
melemahkan semangat jurnalis.
“Jika tak ingin mental melemah, jiwa terganggu, dan
menjadi pesimis, satu-satunya cara ya tinggal pintar-pintarnya
memainkan tempo. Jika ada berita yang berpotensi melibatkan
pihak yang dekat dengan pemilik media atau oknum redaksi,
harus dipilah waktu yang tepat untuk menulisnya. Cari data yang
lengkap dan pada waktu yang tepat langsung geber dalam
beberapa hari kemudian diakhiri dengan konfirmasi kejaksaan
atau kepolisian,” jelasnya.
Saat ini, kata dia, penegak hukum banyak mencari kasus
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
20 21
Pengalaman mendapatkan tekanan dari atasan langsung
atau bahkan sang pemilik media juga menjadi pengalaman yang
dirasakan pahit oleh Yoyok, jurnalis yang biasa ngepos di Kantor
Gubernur Jawa Tengah.
Menurutnya, idealisme jurnalis saat ini telah
tergadaikan oleh materi. Tekanan perusahaan media kepada
“buruh” medianya, semakin memperparah kondisi ini.
Idealisme telah menjadi barang langka yang lambat laun tertelan
gelombang kehidupan.
Posisi jurnalis bukan hanya ternoda dengan “amplop-
amplop” yang berserakan di sekeliling mereka, tapi juga ternista
oleh perilaku perusahaan-perusahaan media yang hanya
memikirkan keuntungan. Hak rakyat mendapatkan informasi
terkebiri. Demi iklan, perusahaan menekan jurnalis untuk
menulis berita santun khusus pada pejabat/instansi tertentu.
“Konsep ideal sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ) hanya
bisa diterapkan jika ada dukungan dari perusahaan media.
Tanpanya akan sulit karena posisi tawar wartawan yang lemah.
Banyak perusahaan media tidak menghargai wartawan sebagai
profesi yang memiliki kode etik. Perusahaan hanya menganggap
wartawannya adalah karyawan semata yang harus mengikuti
instruksi pimpinannya, meskipun menabrak KEJ,” paparnya.
Menghentikan Berita
Yoyok pun kemudian berbagi pengalaman atas tekanan
dari atasannya. Pengalaman intervensi paling sering ia alami
adalah menghentikan berita yang tidak sesuai dengan
kepentingan pemilik media atau oknum di redaksi.
“Kasus dana bansos APBD 2011, misalnya, atau geger
dana aspirasi APBD 2014 yang rekamannya bocor kemarin.
Bentuk lain misalnya, ketika sedang menulis tiba-tiba mendapat
instruksi untuk mengarahkan tulisan ke sudut pandang tertentu
dan menghilangkan nama atau subjek tertentu,” paparnya.
Ada lagi, menurut Yoyok, yang juga merupakan
intervensi adalah tugas-tugas menumpuk dari redaksi yang ia
curigai sebagai upaya pengalihan perhatian. Jurnalis diberi
banyak tugas setiap hari agar tidak sempat mencari berita yang
mengganggu “konco-konco” pemilik media. Intervensi itu pun
menurutnya tidak hanya merugikan publik, tapi juga
melemahkan semangat jurnalis.
“Jika tak ingin mental melemah, jiwa terganggu, dan
menjadi pesimis, satu-satunya cara ya tinggal pintar-pintarnya
memainkan tempo. Jika ada berita yang berpotensi melibatkan
pihak yang dekat dengan pemilik media atau oknum redaksi,
harus dipilah waktu yang tepat untuk menulisnya. Cari data yang
lengkap dan pada waktu yang tepat langsung geber dalam
beberapa hari kemudian diakhiri dengan konfirmasi kejaksaan
atau kepolisian,” jelasnya.
Saat ini, kata dia, penegak hukum banyak mencari kasus
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
20 21
khir Januari 2012 merupakan hari-hari pahit bagi
Herman. Panggil dia begitu saja. Jurnalis salah satu Amedia lokal yang berjejaring bisnis nasional itu terkejut
oleh panggilan telepon genggamnya dari seorang petinggi militer
di Kota Semarang. Suaranya halus tapi kental dengan tekanan.
“Kenapa harus menulis itu?” kata Herman menirukan kejadian
yang ia alami kala itu.
Pengalaman Herman tadi, saat ditemui pertengahan
Oktober 2013, merupakan salah satu kisah intervensi yang ia
alami. Anehnya intervensi dalam kerja-kerja jurnalistik itu
melibatkan pejabat aparatur tentara nasional yang tak terkait
dengan persoalan teritorial di Kota Semarang.
“Ia seorang komandan daerah militer. Sengaja ia
menghubungi dan menanyakan alokasi dana BOS yang salah
sasaran. Padahal itu wilayah dinas pendidikan,” kata Herman
bercerita.
Saat itu Herman menulis kasus dugaan penyelewengan
dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pembelian
Lembar Kerja Sekolah (LKS). Kasus itu menarik diberitakan
karena menyangkut kepentingan publik khususnya dunia
pendidikan. Di sisi lain penggunaan anggaran dinilai melanggar
regulasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 76
Tahun 2012 yang melarang dana BOS untuk keperluan membeli
Menulis di Bawah Tekanan
AJI Semarang
22 23
dari media. Jurnalis pun bisa bersiasat. “Jadi meskipun berita
dihentikan, jangan patah arang karena yakinlah kasus itu telah
menjadi perhatian penegak hukum. Suatu saat bisa bikin berita
itu lagi setelah kasusnya masuk tahap penyelidikan atau bahkan
penetapan tersangka,” tegasnya.
* * *
khir Januari 2012 merupakan hari-hari pahit bagi
Herman. Panggil dia begitu saja. Jurnalis salah satu Amedia lokal yang berjejaring bisnis nasional itu terkejut
oleh panggilan telepon genggamnya dari seorang petinggi militer
di Kota Semarang. Suaranya halus tapi kental dengan tekanan.
“Kenapa harus menulis itu?” kata Herman menirukan kejadian
yang ia alami kala itu.
Pengalaman Herman tadi, saat ditemui pertengahan
Oktober 2013, merupakan salah satu kisah intervensi yang ia
alami. Anehnya intervensi dalam kerja-kerja jurnalistik itu
melibatkan pejabat aparatur tentara nasional yang tak terkait
dengan persoalan teritorial di Kota Semarang.
“Ia seorang komandan daerah militer. Sengaja ia
menghubungi dan menanyakan alokasi dana BOS yang salah
sasaran. Padahal itu wilayah dinas pendidikan,” kata Herman
bercerita.
Saat itu Herman menulis kasus dugaan penyelewengan
dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pembelian
Lembar Kerja Sekolah (LKS). Kasus itu menarik diberitakan
karena menyangkut kepentingan publik khususnya dunia
pendidikan. Di sisi lain penggunaan anggaran dinilai melanggar
regulasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 76
Tahun 2012 yang melarang dana BOS untuk keperluan membeli
Menulis di Bawah Tekanan
AJI Semarang
22 23
dari media. Jurnalis pun bisa bersiasat. “Jadi meskipun berita
dihentikan, jangan patah arang karena yakinlah kasus itu telah
menjadi perhatian penegak hukum. Suatu saat bisa bikin berita
itu lagi setelah kasusnya masuk tahap penyelidikan atau bahkan
penetapan tersangka,” tegasnya.
* * *
LKS.
Tulisan pun dibuat dan diterbitkan oleh media tempat ia
bekerja, diantaranya komentar wakil ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dalam berita “Penyidik Dituntut Temukan Titik
Terang”. Tulisan itu berisi dorongan agar kepolisian segera
menuntaskan dugaan penyimpangan penggunaan dana BOS.
Tulisan terus dibikin sebagai tulisan lanjutan pun dibuat
agar publik kian paham. Herman pun menulis berita“Dewan
Pendidikan: Pengadaan Buku Latihan UN Bukan
Penyelewengan” yang menjelaskan klarifikasi kebijakan
pembelian. Dewan Pendidikan Kota Semarang menganggap
pengadaan buku yang berisi kisi-kisi Ujian Nasional (UN) untuk
SD/MI itu tak menyalahi prosedur.
Secara umum tulisan yang dimaksud berisi dorongan
tanggung jawab publik, pengusutan hingga mengurai akar
persoalan mengenai pro-kontra penggunaan dana BOS.
Termasuk dengan Ketua Dewan Pendidikan Kota Semarang,
Rasdi Ekosiswoyo, yang diduga kuat menyetujui dan ikut
bermain dalam proses pengadaan buku.
Tekanan dari Tentara
Namun dari situ persoalan intervensi terus muncul.
Herman pun mulai tak nyaman dengan beragam tekanan,
termasuk dari aparatur Komando Distrik Militer setempat
seperti yang ia ceritakan pada awal wawancara.
Lebih dari itu, ternyata salah satu sumber yang merasa
keberatan ditulis mengadukan Herman ke wakil ketua DPRD
Kota Semarang. Sumber ini meminta agar kasus itu tak terus
diulas dalam pemberitaan.
Tak realistis memang, namun itu sebuah fakta ketika
wartawan harus menghadapi intervensi dari sejumlah aparatur,
baik dari lembaga Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
legislatif. Ketika ditelusuri, intervensi sejumlah pejabat itu
ternyata didasari ikatan emosional karena sama-sama sebagai
penyelenggara dan aparatur pemerintahan.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
24 25
LKS.
Tulisan pun dibuat dan diterbitkan oleh media tempat ia
bekerja, diantaranya komentar wakil ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dalam berita “Penyidik Dituntut Temukan Titik
Terang”. Tulisan itu berisi dorongan agar kepolisian segera
menuntaskan dugaan penyimpangan penggunaan dana BOS.
Tulisan terus dibikin sebagai tulisan lanjutan pun dibuat
agar publik kian paham. Herman pun menulis berita“Dewan
Pendidikan: Pengadaan Buku Latihan UN Bukan
Penyelewengan” yang menjelaskan klarifikasi kebijakan
pembelian. Dewan Pendidikan Kota Semarang menganggap
pengadaan buku yang berisi kisi-kisi Ujian Nasional (UN) untuk
SD/MI itu tak menyalahi prosedur.
Secara umum tulisan yang dimaksud berisi dorongan
tanggung jawab publik, pengusutan hingga mengurai akar
persoalan mengenai pro-kontra penggunaan dana BOS.
Termasuk dengan Ketua Dewan Pendidikan Kota Semarang,
Rasdi Ekosiswoyo, yang diduga kuat menyetujui dan ikut
bermain dalam proses pengadaan buku.
Tekanan dari Tentara
Namun dari situ persoalan intervensi terus muncul.
Herman pun mulai tak nyaman dengan beragam tekanan,
termasuk dari aparatur Komando Distrik Militer setempat
seperti yang ia ceritakan pada awal wawancara.
Lebih dari itu, ternyata salah satu sumber yang merasa
keberatan ditulis mengadukan Herman ke wakil ketua DPRD
Kota Semarang. Sumber ini meminta agar kasus itu tak terus
diulas dalam pemberitaan.
Tak realistis memang, namun itu sebuah fakta ketika
wartawan harus menghadapi intervensi dari sejumlah aparatur,
baik dari lembaga Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
legislatif. Ketika ditelusuri, intervensi sejumlah pejabat itu
ternyata didasari ikatan emosional karena sama-sama sebagai
penyelenggara dan aparatur pemerintahan.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
24 25
Tekanan yang dialami Herman bukan kali itu saja. Sejak
tahun 2007, terdapat belasan kasus ancaman yang muaranya
intervensi terhadap karyanya. Khususnya tulisan berisi kasus
penyelewengan yang terjadi dalam pemerintah Kota Semarang.
Bentuknya tak hanya ancaman, tapi lebih pada larangan
menulis. “Biasanya sumber-sumber terkait berita yang
melibatkan pihak terkait dan menjadi sumber utama,” kata
Herman bercerita.
Kasus yang tak jauh berbeda juga terulang saat ia
menulis maraknya peredaran film biru Luna Maya-Ariel
Peterpan, yang saat itu diakui beredar di kalangan siswa suatu
sekolah. Pengakuan adanya peredaran film sebenarnya
dilontarkan oleh wakil kepala sekolah yang juga membidangi
bagian hubungan masyarakat (humas). Namun ketika komentar
itu ditulis berdampak pada lengsernya si sumber dari jabatan
yang telah membocorkan informasi itu.
Lagi-lagi Herman diteror, sumber mengajak bertemu
dan nada mengajak berkelahi, kantor pun membela meski
sempat ditegur. “Tapi saya kan punya bukti rekaman dia,”
katanya.
Ancaman dengan segala cara yang telah dialami oleh
Herman itu jelas berdampak pada independensi berita yang
diterbitkan di medianya. Ia mengakui meski nalurinya ingin
menjalankan profesi secara benar, namun ia sempat tertekan
dan punya rasa tak tega karena bisa menyebabkan orang lengser
dari jabatannya.
Tak jarang Herman, jurnalis muda yang pernah
dipindahtugaskan di daerah terpencil ini, merasa bersalah juga
takut dengan ancaman yang pernah ia rasakan. Karena
persoalan tuntutan produktivitas berita itu, tekanan tidak hanya
lewat ancaman, namun juga cara halus lewat pemberian tip.
“Jaran” istilah yang tak asing di kalangan jurnalis Kota
Semarang. Menerima dengan pertimbangan uang merupakan
yang dicari dalam kapasitas jurnalis sebagai profesi. “Jaran”
bukan barang baru. Itu bagian dari kebiasaan dan budaya buruk
bagi sebagian besar jurnalis Semarang.
Sebagai jurnalis Herman merasa tidak nyaman dan
nuraninya terusik setiap menerima amplop berisi uang. Ia mulai
menganggap hal itu suatu kewajaran ketika menyaksikan
sejumlah rekannya juga menganggap biasa kejadian itu. Apalagi,
gajinya sebagai jurnalis, profesi yang telah ia lakoni selama
hampir lima tahun, kurang mencukupi keluarganya. Tiap bulan,
gaji ditambah tunjangan-tunjangan yang ia terima di bawah Rp 2
juta. Meski enggan menyebut nilainya, upah yang diterimanya
tidak sepadan dengan tuntutan kerjanya yang mengharuskan dia
menulis berita minimal empat tulisan per hari.
Kondisi internal keredaksian
Bercerita lebih lanjut mengenai kasus intervensi
terhadap media, Herman menyatakan tekanan tak hanya dari
sumber dan pihak luar yang merasa dipojokkan. Herman juga
merasakan kondisi internal keredaksian tak obyektif dalam
menerbitkan sebuah informasi. Ini sangat ia rasakan ketika
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
26 27
Tekanan yang dialami Herman bukan kali itu saja. Sejak
tahun 2007, terdapat belasan kasus ancaman yang muaranya
intervensi terhadap karyanya. Khususnya tulisan berisi kasus
penyelewengan yang terjadi dalam pemerintah Kota Semarang.
Bentuknya tak hanya ancaman, tapi lebih pada larangan
menulis. “Biasanya sumber-sumber terkait berita yang
melibatkan pihak terkait dan menjadi sumber utama,” kata
Herman bercerita.
Kasus yang tak jauh berbeda juga terulang saat ia
menulis maraknya peredaran film biru Luna Maya-Ariel
Peterpan, yang saat itu diakui beredar di kalangan siswa suatu
sekolah. Pengakuan adanya peredaran film sebenarnya
dilontarkan oleh wakil kepala sekolah yang juga membidangi
bagian hubungan masyarakat (humas). Namun ketika komentar
itu ditulis berdampak pada lengsernya si sumber dari jabatan
yang telah membocorkan informasi itu.
Lagi-lagi Herman diteror, sumber mengajak bertemu
dan nada mengajak berkelahi, kantor pun membela meski
sempat ditegur. “Tapi saya kan punya bukti rekaman dia,”
katanya.
Ancaman dengan segala cara yang telah dialami oleh
Herman itu jelas berdampak pada independensi berita yang
diterbitkan di medianya. Ia mengakui meski nalurinya ingin
menjalankan profesi secara benar, namun ia sempat tertekan
dan punya rasa tak tega karena bisa menyebabkan orang lengser
dari jabatannya.
Tak jarang Herman, jurnalis muda yang pernah
dipindahtugaskan di daerah terpencil ini, merasa bersalah juga
takut dengan ancaman yang pernah ia rasakan. Karena
persoalan tuntutan produktivitas berita itu, tekanan tidak hanya
lewat ancaman, namun juga cara halus lewat pemberian tip.
“Jaran” istilah yang tak asing di kalangan jurnalis Kota
Semarang. Menerima dengan pertimbangan uang merupakan
yang dicari dalam kapasitas jurnalis sebagai profesi. “Jaran”
bukan barang baru. Itu bagian dari kebiasaan dan budaya buruk
bagi sebagian besar jurnalis Semarang.
Sebagai jurnalis Herman merasa tidak nyaman dan
nuraninya terusik setiap menerima amplop berisi uang. Ia mulai
menganggap hal itu suatu kewajaran ketika menyaksikan
sejumlah rekannya juga menganggap biasa kejadian itu. Apalagi,
gajinya sebagai jurnalis, profesi yang telah ia lakoni selama
hampir lima tahun, kurang mencukupi keluarganya. Tiap bulan,
gaji ditambah tunjangan-tunjangan yang ia terima di bawah Rp 2
juta. Meski enggan menyebut nilainya, upah yang diterimanya
tidak sepadan dengan tuntutan kerjanya yang mengharuskan dia
menulis berita minimal empat tulisan per hari.
Kondisi internal keredaksian
Bercerita lebih lanjut mengenai kasus intervensi
terhadap media, Herman menyatakan tekanan tak hanya dari
sumber dan pihak luar yang merasa dipojokkan. Herman juga
merasakan kondisi internal keredaksian tak obyektif dalam
menerbitkan sebuah informasi. Ini sangat ia rasakan ketika
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
26 27
ebuah pesan singkat di Blackberry Messenger (BBM)
menyebar ke sejumlah redaktur di sebuah media lokal di SSemarang. Isinya meminta agar redaktur mengubah
sebuah kalimat langsung dalam satu berita yang telah
ditayangkan secara daring (online) ke bahasa lebih lunak pada
berita koran yang akan diterbitkan.
“Maklum sebagai pemimpin baru Ganjar kadang
keceplosan komentar,” kata seorang redaktur media itu. Saat itu
Ganjar Pranowo mengomentari Wali Kota Semarang Hendrar
Prihadi mengenai penataan baliho Kota Semarang, khususnya
di kawasan Simpang Lima. Dalam pernyataannya yang telah
dimuat dalam berita daring ada kalimat yang berbunyi “Kalau
dia punya otak”. Gubernur baru itu langsung cepat-cepat
klarifikasi agar pernyataan yang telah diterbitkan tak
dimunculkan pada penerbitan koran pada esok harinya.
BBM dari Ganjar tak hanya ditujukan ke wartawan
langsung, namun menyebar ke wakil pemimpin redaksi yang
isinya meminta agar berita dengan kalimat kasar tersebut itu
dihapus. “Keputusannya karena tak mengubah esensi berita
akhirnya dihapus dalam tayangan berita koran,” kata redaktur
itu menambahkan.
Dalam perspektif jurnalistik, sikap Gubernur Ganjar
yang meminta pengubahan kalimat yang sebelumnya
menulis laporan kasus korupsi Wali Kota Semarang, Soemarmo
Hadi Saputro saat menjalani sidang sebagai terdakwa kasus
suap anggota dewan tahun 2011. Saat menulis kasus Sumarmo,
Herman dipaksa menyampaikan fakta persidangan yang harus
diperlunak. Penulisan seperti itu tentunya menyulitkan
pembaca yang harus mengambil kesimpulan dari kasus suap
yang nyata-nyata dilakukan oleh kepala daerah. Yang terjadi
kemudian beritanya tak mengarah pada subtansi persoalan, tapi
cenderung mengambang dan tak kredibel.
Misalnya fakta persidangan yang menunjukkan
Soemarmo ikut terlibat, namun oleh redaktur justru ia diminta
agar ia menulis sudut pandang lain sehingga substansinya
kabur. Keberpihakan redaksi itu disebabkan oleh kepentingan
iklan meski dari seorang politikus dan penguasa yang wajib
hukumnya dikontrol media.
Belum lama ini ada campur tangan redaksi terkait berita
sekretaris suatu partai di tingkat Jawa Tengah. Pengurus itu
menolak pergantian antarwaktu Ketua DPRD. Redaksi
memerintahkan agar pemberitaan lebih memihak sang
sekretaris partai. “Ini urusan iklan, Bung,” kata Herman
menirukan alasan sang redaktur. Faktanya, segala cara
dipraktikkan untuk mendapatkan iklan sebagai salah satu
penopang hidup media. Meski hal itu mengintervensi ruang
pemberitaan, hal itu kini tidak dianggap tabu lagi oleh jajaran
redaksi.
* * *
Berharap Besar dari Sukses Ganjar
AJI Semarang
28 29
ebuah pesan singkat di Blackberry Messenger (BBM)
menyebar ke sejumlah redaktur di sebuah media lokal di SSemarang. Isinya meminta agar redaktur mengubah
sebuah kalimat langsung dalam satu berita yang telah
ditayangkan secara daring (online) ke bahasa lebih lunak pada
berita koran yang akan diterbitkan.
“Maklum sebagai pemimpin baru Ganjar kadang
keceplosan komentar,” kata seorang redaktur media itu. Saat itu
Ganjar Pranowo mengomentari Wali Kota Semarang Hendrar
Prihadi mengenai penataan baliho Kota Semarang, khususnya
di kawasan Simpang Lima. Dalam pernyataannya yang telah
dimuat dalam berita daring ada kalimat yang berbunyi “Kalau
dia punya otak”. Gubernur baru itu langsung cepat-cepat
klarifikasi agar pernyataan yang telah diterbitkan tak
dimunculkan pada penerbitan koran pada esok harinya.
BBM dari Ganjar tak hanya ditujukan ke wartawan
langsung, namun menyebar ke wakil pemimpin redaksi yang
isinya meminta agar berita dengan kalimat kasar tersebut itu
dihapus. “Keputusannya karena tak mengubah esensi berita
akhirnya dihapus dalam tayangan berita koran,” kata redaktur
itu menambahkan.
Dalam perspektif jurnalistik, sikap Gubernur Ganjar
yang meminta pengubahan kalimat yang sebelumnya
menulis laporan kasus korupsi Wali Kota Semarang, Soemarmo
Hadi Saputro saat menjalani sidang sebagai terdakwa kasus
suap anggota dewan tahun 2011. Saat menulis kasus Sumarmo,
Herman dipaksa menyampaikan fakta persidangan yang harus
diperlunak. Penulisan seperti itu tentunya menyulitkan
pembaca yang harus mengambil kesimpulan dari kasus suap
yang nyata-nyata dilakukan oleh kepala daerah. Yang terjadi
kemudian beritanya tak mengarah pada subtansi persoalan, tapi
cenderung mengambang dan tak kredibel.
Misalnya fakta persidangan yang menunjukkan
Soemarmo ikut terlibat, namun oleh redaktur justru ia diminta
agar ia menulis sudut pandang lain sehingga substansinya
kabur. Keberpihakan redaksi itu disebabkan oleh kepentingan
iklan meski dari seorang politikus dan penguasa yang wajib
hukumnya dikontrol media.
Belum lama ini ada campur tangan redaksi terkait berita
sekretaris suatu partai di tingkat Jawa Tengah. Pengurus itu
menolak pergantian antarwaktu Ketua DPRD. Redaksi
memerintahkan agar pemberitaan lebih memihak sang
sekretaris partai. “Ini urusan iklan, Bung,” kata Herman
menirukan alasan sang redaktur. Faktanya, segala cara
dipraktikkan untuk mendapatkan iklan sebagai salah satu
penopang hidup media. Meski hal itu mengintervensi ruang
pemberitaan, hal itu kini tidak dianggap tabu lagi oleh jajaran
redaksi.
* * *
Berharap Besar dari Sukses Ganjar
AJI Semarang
28 29
disampaikan itu wajar saja. Itu bagian dari klarifikasi dan
penjelasan sebagai hak jawab dia yang diberitakan dalam media
daring. Namun, menjadi berlebihan ketika kejadian itu dianggap
menekan semua pengolah berita di ruang pemberitaan.
Bagi kalangan redaktur hal ini bisa dimaklumi, bahkan
media yang baru berdiri kurang dari dua tahun itu sangat
tergantung pada perilaku Ganjar sebagai bahan utama
pemberitaan. Redaktur beralasan berita yang banyak berisi
pendapat Ganjar dimaksudkan sebagai arahan internal untuk
menaikkan kualitas berita. Kalau pun ada kepentingan, itu
semata-mata kepentingan publik dan terkait hajat hidup orang
banyak. “Bukan berita wacana, berita wacana bukan prioritas.
Tapi yang diperlukan komentar pejabat yang langsung
menyentuh masyarakat,” katanya menjelaskan.
Ia membantah isi berita yang banyak menyampaikan
pendapat sang gubernur itu sebagai intervensi, namun lebih
pada upaya pencitraan produk. Pemahaman yang dimaksud
adalah publik perlu informasi yang eksklusif. Alasan lain peramu
dapur redaksi mencoba mengolah sebuah produk yang berbeda
dengan media lain, meski substansi berita yang disajikan sama.
Mengonsep Tindakan Ganjar
Tak jarang redaktur terlibat mengatur agar sikap dan
perilaku Ganjar punya nilai berita. Bagi redaksi, mengkonsep
tindakan Ganjar agar punya nilai berita lebih menjadi kewajiban.
Hal ini dibuktikan saat ulang tahun Gubernur Ganjar bertepatan
dengan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2013.
Saat itu anak perusahaan sebuah koran nasional yang
ada sejak tahun 1966 itu menyiapkan kejutan khusus untuk sang
gubernur. Skenario pun digarap. Kejutan dihadirkan saat
diskusi kelompok terfokus yang kebetulan digelar oleh media
tersebut. Ganjar yang hadir sebagai pembicara utama pun
mendapat kejutan. Sang istri gubernur sengaja dihadirkan
secara sembunyi tanpa sepengetahuan Ganjar.
Memang berlebihan kelihatannya, namun langkah ini
dinilai sebagai pola arahan untuk mendapatkan berita menarik.
Peramu dapur redaksi menyatakan sengaja menghilangkan
suasana kepentingan politik. Isi berita yang disajikan pun
berbeda dengan media lain, namun upaya menyajikan berita
dengan cara-cara skenario itu justru memposisikan media
terkooptasi oleh euforia sang gubernur.
Keterlibatan dapur redaksi mengarahkan pemberitaan
yang cenderung lunak terhadap Gubernur Ganjar dengan
pertimbangan tak ada berita yang netral. Namun redaksi
memastikan berita itu tak terkait kepentingan politik. “Kami
tetap kritis terhadap Ganjar, namun berusaha menjalin
kedekatan dengan Ganjar,” katanya.
Ia mencontohkan sikap kritis itu dengan berita laporan
khusus mengenai instalasi jaringan gas di Jawa Tengah yang tak
kunjung terealisir. Langkah itu dilakukan dengan
menyelenggarakan diskusi memanggil Ganjar. Materinya
mengupas pentingnya suplai gas sekaligus memanfaatkan
kedekatan untuk kepentingan rakyat banyak. Redaktur
beralasan tema gas di Jawa Tengah sangat seksi karena
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
30 31
disampaikan itu wajar saja. Itu bagian dari klarifikasi dan
penjelasan sebagai hak jawab dia yang diberitakan dalam media
daring. Namun, menjadi berlebihan ketika kejadian itu dianggap
menekan semua pengolah berita di ruang pemberitaan.
Bagi kalangan redaktur hal ini bisa dimaklumi, bahkan
media yang baru berdiri kurang dari dua tahun itu sangat
tergantung pada perilaku Ganjar sebagai bahan utama
pemberitaan. Redaktur beralasan berita yang banyak berisi
pendapat Ganjar dimaksudkan sebagai arahan internal untuk
menaikkan kualitas berita. Kalau pun ada kepentingan, itu
semata-mata kepentingan publik dan terkait hajat hidup orang
banyak. “Bukan berita wacana, berita wacana bukan prioritas.
Tapi yang diperlukan komentar pejabat yang langsung
menyentuh masyarakat,” katanya menjelaskan.
Ia membantah isi berita yang banyak menyampaikan
pendapat sang gubernur itu sebagai intervensi, namun lebih
pada upaya pencitraan produk. Pemahaman yang dimaksud
adalah publik perlu informasi yang eksklusif. Alasan lain peramu
dapur redaksi mencoba mengolah sebuah produk yang berbeda
dengan media lain, meski substansi berita yang disajikan sama.
Mengonsep Tindakan Ganjar
Tak jarang redaktur terlibat mengatur agar sikap dan
perilaku Ganjar punya nilai berita. Bagi redaksi, mengkonsep
tindakan Ganjar agar punya nilai berita lebih menjadi kewajiban.
Hal ini dibuktikan saat ulang tahun Gubernur Ganjar bertepatan
dengan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2013.
Saat itu anak perusahaan sebuah koran nasional yang
ada sejak tahun 1966 itu menyiapkan kejutan khusus untuk sang
gubernur. Skenario pun digarap. Kejutan dihadirkan saat
diskusi kelompok terfokus yang kebetulan digelar oleh media
tersebut. Ganjar yang hadir sebagai pembicara utama pun
mendapat kejutan. Sang istri gubernur sengaja dihadirkan
secara sembunyi tanpa sepengetahuan Ganjar.
Memang berlebihan kelihatannya, namun langkah ini
dinilai sebagai pola arahan untuk mendapatkan berita menarik.
Peramu dapur redaksi menyatakan sengaja menghilangkan
suasana kepentingan politik. Isi berita yang disajikan pun
berbeda dengan media lain, namun upaya menyajikan berita
dengan cara-cara skenario itu justru memposisikan media
terkooptasi oleh euforia sang gubernur.
Keterlibatan dapur redaksi mengarahkan pemberitaan
yang cenderung lunak terhadap Gubernur Ganjar dengan
pertimbangan tak ada berita yang netral. Namun redaksi
memastikan berita itu tak terkait kepentingan politik. “Kami
tetap kritis terhadap Ganjar, namun berusaha menjalin
kedekatan dengan Ganjar,” katanya.
Ia mencontohkan sikap kritis itu dengan berita laporan
khusus mengenai instalasi jaringan gas di Jawa Tengah yang tak
kunjung terealisir. Langkah itu dilakukan dengan
menyelenggarakan diskusi memanggil Ganjar. Materinya
mengupas pentingnya suplai gas sekaligus memanfaatkan
kedekatan untuk kepentingan rakyat banyak. Redaktur
beralasan tema gas di Jawa Tengah sangat seksi karena
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
30 31
menyangkut krisis dan menjadi hajat hidup orang banyak serta
tidak digarap oleh media lain.
Pemberitaan semacam ini tentunya menimbulkan kesan
Ganjar mendapat tempat di media yang baru berganti nama itu.
Hal ini diakui dengan pertimbangan Ganjar merupakan
pemimpin baru yang kebijakan-kebijakan serta gebrakannya
bisa ditangkap sebagai sumber pemberitaan terdepan. Dengan
kata lain media itu mendapatkan hal banyak dari Ganjar.
Membuat Rubrik Interaktif Lapor Gan
Pemahaman untuk dekat dengan kekuasaan dalam
mendapatkan berita eksklusif dari pemimpin baru itu
dibuktikan dengan membuat rubrik interaktif Lapor Gan.
Rubrik itu diterbitkan setiap Selasa yang berasal dari pesan
singkat masyarakat mengenai harapan dan keinginan serta
keluhan mereka.
Pengelola media memfasilitasi itu sebagai alat
komunikasi gubernur dengan rakyat. Langkahnya memberikan
kesempatan publik mengirimkan pertanyaan lewat kanal Lapor
Gan di laman media tersebut. Dari sekian pertanyaan ada empat
hingga lima pertanyaan yang dijawab yang kemudian
diterbitkan pada edisi cetak hari Selasa.
Redaksi beralasan kanal itu bagian dari visi media yang
berperan dalam membangun pelayanan publik. Kanal Lapor
Gan dengan menampilkan pertanyaan kritis, diakui tidak
dibayar. Hasilnya komunikasi publik dengan pemerintah pun
terjalin, sejumlah pertanyaan kritis publik mengenai kebijakan
gubernur ditulis apa adanya tanpa diedit.
Tampilnya rubrik itu sebagai fasilitas komunikasi antara
gubernur dan publik itu diakui untuk menaikkan citra media
sehingga media diperhitungkan oleh masyarakat. Rubrik tadi
melengkapi halamannya sendiri, yaitu hot public service, yang
menempatkan kepentingan masyarakat sebagai prioritas.
Kebijakan itu sengaja diambil sebagai upaya memoles
Ganjar agar bisa dikaitkan dengan kepentingan produksi berita.
Pertimbangan lain adalah hubungan saling menguntungkan
karena Ganjar dinilai masih kurang populer. Hal ini berbeda
dengan Gubernur DKI Joko Widodo. Media itu melihat Ganjar
masih bertindak sporadis dan terlalu banyak menggulirkan
wacana belaka. Dengan alasan itu, media yang mengejar basis
pembaca semua kalangan itu justru hanyut masuk pusaran sikap
politik dalam berita-berita yang diterbitkan.
Pemahaman itu bukan tanpa alasan untuk menghindari
pemberitaan sporadis, tapi juga membangun isu dengan
kepentingan utama publik. “Media diperhitungkan dengan
jualan isu. Ganjar butuh media, dan kami butuh momentum,”
kata redaktur saat hendak mengakhiri wawancara.
Prinsip penerbitan yang mengarah pada pusaran
kepemimpinan Ganjar itu dijamin tak ada yang mengatur,
namun hanya mengandalkan kedekatan. Ia menegaskan
pemberitaan yang diangkat dan lebih menonjolkan figur
gubernur itu sebagai simbiosis mutualisme ketika Ganjar butuh
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
32 33
menyangkut krisis dan menjadi hajat hidup orang banyak serta
tidak digarap oleh media lain.
Pemberitaan semacam ini tentunya menimbulkan kesan
Ganjar mendapat tempat di media yang baru berganti nama itu.
Hal ini diakui dengan pertimbangan Ganjar merupakan
pemimpin baru yang kebijakan-kebijakan serta gebrakannya
bisa ditangkap sebagai sumber pemberitaan terdepan. Dengan
kata lain media itu mendapatkan hal banyak dari Ganjar.
Membuat Rubrik Interaktif Lapor Gan
Pemahaman untuk dekat dengan kekuasaan dalam
mendapatkan berita eksklusif dari pemimpin baru itu
dibuktikan dengan membuat rubrik interaktif Lapor Gan.
Rubrik itu diterbitkan setiap Selasa yang berasal dari pesan
singkat masyarakat mengenai harapan dan keinginan serta
keluhan mereka.
Pengelola media memfasilitasi itu sebagai alat
komunikasi gubernur dengan rakyat. Langkahnya memberikan
kesempatan publik mengirimkan pertanyaan lewat kanal Lapor
Gan di laman media tersebut. Dari sekian pertanyaan ada empat
hingga lima pertanyaan yang dijawab yang kemudian
diterbitkan pada edisi cetak hari Selasa.
Redaksi beralasan kanal itu bagian dari visi media yang
berperan dalam membangun pelayanan publik. Kanal Lapor
Gan dengan menampilkan pertanyaan kritis, diakui tidak
dibayar. Hasilnya komunikasi publik dengan pemerintah pun
terjalin, sejumlah pertanyaan kritis publik mengenai kebijakan
gubernur ditulis apa adanya tanpa diedit.
Tampilnya rubrik itu sebagai fasilitas komunikasi antara
gubernur dan publik itu diakui untuk menaikkan citra media
sehingga media diperhitungkan oleh masyarakat. Rubrik tadi
melengkapi halamannya sendiri, yaitu hot public service, yang
menempatkan kepentingan masyarakat sebagai prioritas.
Kebijakan itu sengaja diambil sebagai upaya memoles
Ganjar agar bisa dikaitkan dengan kepentingan produksi berita.
Pertimbangan lain adalah hubungan saling menguntungkan
karena Ganjar dinilai masih kurang populer. Hal ini berbeda
dengan Gubernur DKI Joko Widodo. Media itu melihat Ganjar
masih bertindak sporadis dan terlalu banyak menggulirkan
wacana belaka. Dengan alasan itu, media yang mengejar basis
pembaca semua kalangan itu justru hanyut masuk pusaran sikap
politik dalam berita-berita yang diterbitkan.
Pemahaman itu bukan tanpa alasan untuk menghindari
pemberitaan sporadis, tapi juga membangun isu dengan
kepentingan utama publik. “Media diperhitungkan dengan
jualan isu. Ganjar butuh media, dan kami butuh momentum,”
kata redaktur saat hendak mengakhiri wawancara.
Prinsip penerbitan yang mengarah pada pusaran
kepemimpinan Ganjar itu dijamin tak ada yang mengatur,
namun hanya mengandalkan kedekatan. Ia menegaskan
pemberitaan yang diangkat dan lebih menonjolkan figur
gubernur itu sebagai simbiosis mutualisme ketika Ganjar butuh
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
32 33
media, sedangkan medianya butuh pencitraan sebagai pemain
baru.
Sikap menonjolkan Ganjar itu dibuktikan ketika Ganjar
unggul dalam hitung cepat (quick count) hasil Pemilihan Kepala
Daerah Jawa Tengah, Mei 2013. Ketika sinyal kuat menunjukkan
Ganjar menang, redaktur segera mengirim jurnalisnya
mengikuti ke mana sang pemenang pergi bahkan hal ini
dilakukan hingga hendak pelantikan.“Di situlah ada hasilnya,
berita eksklusif, foto Ganjar sungkem tanpa rekayasa, tamu
datang mendoakan tanpa rekayasa,” katanya.
* * *
AJI Semarang
34
amanya Bumi (bukan identitas sebenarnya), laki-laki
jurnalis di sebuah media cetak lokal Akumbara (nama Nsamaran) di Kota Semarang. Media lokal ini milik
sebuah perusahaan korporasi media cetak terkemuka di
Indonesia. Sekoci bisnis jejaring media ini merambah seantero
daerah, baik di Pulau Jawa hingga luar Jawa. Ia bekerja sejak
tahun 2011.
Awalnya, ia bekerja di koran lokal Bambara (nama
samaran), sebuah media dalam korporasi yang sama. Namun,
seiring waktu, koran Bambara diakuisisi oleh perusahaan koran
Akumbara--perusahaan yang sama-sama berkantor di Jakarta.
Akuisisi berdampak pada perubahan manajemen dan
keredaksian. Koran Bambara resmi dihentikan per 28 April
2013. Tercatat, edisi 27 April merupakan edisi pungkas koran
yang terbit perdana pada 17 Januari 2011 ini.
Dampak akuisisi itu, ada orang-orang yang
dipertahankan dan sebagian lagi undur diri. Selain itu, tentu
saja, ada aturan yang dipertahankan dengan kukuh, dan ada
yang melunak. "Soal amplop, di koran saya dulu (koran
Bambara-red) itu ketat. Tetapi, di koran Akumbara sekarang
tidak terlalu ketat," seloroh Bumi saat ditanya perihal perbedaan
media Bambara dengan medianya sekarang. Bumi sendiri
mengaku, sampai saat ini masih terus beradaptasi dengan sistem
medianya yang ia nilai ada beberapa perbedaan.
Demi Oplah, Kritik Diolah
35
media, sedangkan medianya butuh pencitraan sebagai pemain
baru.
Sikap menonjolkan Ganjar itu dibuktikan ketika Ganjar
unggul dalam hitung cepat (quick count) hasil Pemilihan Kepala
Daerah Jawa Tengah, Mei 2013. Ketika sinyal kuat menunjukkan
Ganjar menang, redaktur segera mengirim jurnalisnya
mengikuti ke mana sang pemenang pergi bahkan hal ini
dilakukan hingga hendak pelantikan.“Di situlah ada hasilnya,
berita eksklusif, foto Ganjar sungkem tanpa rekayasa, tamu
datang mendoakan tanpa rekayasa,” katanya.
* * *
AJI Semarang
34
amanya Bumi (bukan identitas sebenarnya), laki-laki
jurnalis di sebuah media cetak lokal Akumbara (nama Nsamaran) di Kota Semarang. Media lokal ini milik
sebuah perusahaan korporasi media cetak terkemuka di
Indonesia. Sekoci bisnis jejaring media ini merambah seantero
daerah, baik di Pulau Jawa hingga luar Jawa. Ia bekerja sejak
tahun 2011.
Awalnya, ia bekerja di koran lokal Bambara (nama
samaran), sebuah media dalam korporasi yang sama. Namun,
seiring waktu, koran Bambara diakuisisi oleh perusahaan koran
Akumbara--perusahaan yang sama-sama berkantor di Jakarta.
Akuisisi berdampak pada perubahan manajemen dan
keredaksian. Koran Bambara resmi dihentikan per 28 April
2013. Tercatat, edisi 27 April merupakan edisi pungkas koran
yang terbit perdana pada 17 Januari 2011 ini.
Dampak akuisisi itu, ada orang-orang yang
dipertahankan dan sebagian lagi undur diri. Selain itu, tentu
saja, ada aturan yang dipertahankan dengan kukuh, dan ada
yang melunak. "Soal amplop, di koran saya dulu (koran
Bambara-red) itu ketat. Tetapi, di koran Akumbara sekarang
tidak terlalu ketat," seloroh Bumi saat ditanya perihal perbedaan
media Bambara dengan medianya sekarang. Bumi sendiri
mengaku, sampai saat ini masih terus beradaptasi dengan sistem
medianya yang ia nilai ada beberapa perbedaan.
Demi Oplah, Kritik Diolah
35
Lebih lanjut, dia mencontohkan, di koran Akumbara
boleh menerima uang asalkan itu tidak menyangkut berita.
"Jadi, kalau diajak pergi, terus dikasih uang transpor itu tidak
apa-apa," aku lelaki yang lebih sering memakai kaos oblong ini
saat liputan.
Kalau dahulu, lanjut Bumi, di koran Bambara hal terkait
pemberian uang dan barang itu sangat ketat. Bagaimanapun,
uang yang diberi itu haram, begitu pesan yang terus
didengungkan pimpinan sesuai budaya perusahaan (corporate
culture). "Terus dulu, kalau dapat bingkisan di atas Rp1 juta kan
harus laporan. Kalau di koran Akumbara, itu sudah menjadi
haknya," papar Bumi yang biasa melakukan peliputan di wilayah
DPRD dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah ini.
Perbedaan lain yang dirasakan Bumi, yakni
persinggungannya dengan dapur redaksi. Ada upaya
"intervensi" terkait pemberitaan menyangkut sosok kepala
daerah di Provinsi Jawa Tengah. Bumi mengakui bentuk
intervensi dari redaksi ada. Redaksi berpesan untuk selalu
mengolah dan memperhalus kritik terkait dengan sosok
pemimpin tersebut.
Keberlangsungan Sekoci Bisnis
Alasan redaksi, hal itu memiliki motif menjaga
keberlangsungan sekoci bisnisnya, dalam politik dagang, untuk
meningkatkan oplah koran di pasaran. Nama sosok kepala
daerah yang diusung itu menjadi citra untuk bisa mengangkat
oplah medianya. Salah satu bentuk pengangkatan citra,
korannya menampilkan rubrik khusus, ruang saling sapa antara
sosok tersebut dan masyarakat pembaca Akumbara. Manajemen
seolah berpesan kepada pembaca: “Apabila ingin tahu aktivitas
si sosok pemimpin ini secara lebih eksklusif, belilah koran ini.”
Pada awalnya, melihat realitas itu, Bumi gelisah. Namun
lama-kelamaan dia bisa memahami ihwal perubahan itu. Lantas,
selama beberapa minggu, ia dan kawan-kawan jurnalis lainnya
digembleng pelatihan pola penulisan berita baru.
Apa yang disampaikan oleh pimpinan di kantornya itu
pada intinya bertujuan untuk "masa depan" bisnis media
tempatnya bekerja saat ini. Setelah mengetahui alasan campur
tangan pimpinannya tersebut, Bumi mafhum dan bisa
menerimanya.
"Seandainya tak tahu alasannya, pasti saya bakal
menentang. Justru, intervensi itu penting, buat masa depan
koran saya," kata Bumi yang kemudian secara sadar merasa
bahwa dirinya menjadi ujung tombak yang ikut bertanggung
jawab untuk menjaga masa depan itu.
Berbagi soal intervensi, misalnya memperhalus kritik,
Bumi menyebut, pernah terjadi ketika si sosok kepala daerah itu
terkena cipratan kasus korupsi dari Jakarta. Kasus yang
digulirkan oleh seorang politisi di Jakarta dari balik jeruji
penjara itu menyangkut keterlibatan si pemimpin pada sebuah
proyek. Saat itu, dia diminta mewawancarai sosok pemimpin itu.
Pekerjaan yang sudah menjadi kewajibannya itu dia lakukan
sebagaimana mestinya. Prinsip kerja jurnalistik, seperti
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
36 37
Lebih lanjut, dia mencontohkan, di koran Akumbara
boleh menerima uang asalkan itu tidak menyangkut berita.
"Jadi, kalau diajak pergi, terus dikasih uang transpor itu tidak
apa-apa," aku lelaki yang lebih sering memakai kaos oblong ini
saat liputan.
Kalau dahulu, lanjut Bumi, di koran Bambara hal terkait
pemberian uang dan barang itu sangat ketat. Bagaimanapun,
uang yang diberi itu haram, begitu pesan yang terus
didengungkan pimpinan sesuai budaya perusahaan (corporate
culture). "Terus dulu, kalau dapat bingkisan di atas Rp1 juta kan
harus laporan. Kalau di koran Akumbara, itu sudah menjadi
haknya," papar Bumi yang biasa melakukan peliputan di wilayah
DPRD dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah ini.
Perbedaan lain yang dirasakan Bumi, yakni
persinggungannya dengan dapur redaksi. Ada upaya
"intervensi" terkait pemberitaan menyangkut sosok kepala
daerah di Provinsi Jawa Tengah. Bumi mengakui bentuk
intervensi dari redaksi ada. Redaksi berpesan untuk selalu
mengolah dan memperhalus kritik terkait dengan sosok
pemimpin tersebut.
Keberlangsungan Sekoci Bisnis
Alasan redaksi, hal itu memiliki motif menjaga
keberlangsungan sekoci bisnisnya, dalam politik dagang, untuk
meningkatkan oplah koran di pasaran. Nama sosok kepala
daerah yang diusung itu menjadi citra untuk bisa mengangkat
oplah medianya. Salah satu bentuk pengangkatan citra,
korannya menampilkan rubrik khusus, ruang saling sapa antara
sosok tersebut dan masyarakat pembaca Akumbara. Manajemen
seolah berpesan kepada pembaca: “Apabila ingin tahu aktivitas
si sosok pemimpin ini secara lebih eksklusif, belilah koran ini.”
Pada awalnya, melihat realitas itu, Bumi gelisah. Namun
lama-kelamaan dia bisa memahami ihwal perubahan itu. Lantas,
selama beberapa minggu, ia dan kawan-kawan jurnalis lainnya
digembleng pelatihan pola penulisan berita baru.
Apa yang disampaikan oleh pimpinan di kantornya itu
pada intinya bertujuan untuk "masa depan" bisnis media
tempatnya bekerja saat ini. Setelah mengetahui alasan campur
tangan pimpinannya tersebut, Bumi mafhum dan bisa
menerimanya.
"Seandainya tak tahu alasannya, pasti saya bakal
menentang. Justru, intervensi itu penting, buat masa depan
koran saya," kata Bumi yang kemudian secara sadar merasa
bahwa dirinya menjadi ujung tombak yang ikut bertanggung
jawab untuk menjaga masa depan itu.
Berbagi soal intervensi, misalnya memperhalus kritik,
Bumi menyebut, pernah terjadi ketika si sosok kepala daerah itu
terkena cipratan kasus korupsi dari Jakarta. Kasus yang
digulirkan oleh seorang politisi di Jakarta dari balik jeruji
penjara itu menyangkut keterlibatan si pemimpin pada sebuah
proyek. Saat itu, dia diminta mewawancarai sosok pemimpin itu.
Pekerjaan yang sudah menjadi kewajibannya itu dia lakukan
sebagaimana mestinya. Prinsip kerja jurnalistik, seperti
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
36 37
independen dan aspek keberimbangan sudah ditempuhnya.
Ditulis. Diedit. Kemudian, setelah pressklaar,* dikirim ke
redakturnya.
Keesokan hari saat koran terbit, Bumi kaget. Ternyata,
apa yang ditulis dan susunan berita yang diterbitkan mengalami
perbedaan. Kritik dan konfirmasi yang terkandung di dalamnya
telah diracik sebegitu rapinya sehingga terkesan lebih halus.
Menurut redaksi, dalam kasus e-KTP itu, si sosok pemimpin
berada dalam posisi diserang oleh lawan politik yang
memanfaatkan Nazaruddin. Selain itu, karena pertimbangan
praduga tak bersalah dan belum tentu benar.
Contoh lain yang disampaikan oleh Bumi adalah masalah
yang terkait dengan pembangunan infrastruktur di wilayah kerja
sang pemimpin daerah. Pernah suatu ketika, Bumi mencoba
mengkritik sosok pemimpin ini dari kacamata rencana
pembangunan infrastruktur. Asumsinya, konsep si pemimpin
dalam pembangunan infrastruktur tidak jelas. Maka, dia pun
mewawancarai narasumber pakar yang memiliki kapasitas
perihal pembangunan dan infrastruktur. Inti tulisan itu secara
garis besar berisi konsep si sosok pemimpin dibandingkan
dengan pemimpin di daerah lain yang dinilai masih kurang jelas
dan terukur. Namun, seperti berita yang terkait dengan kasus e-
KTP, tulisan analisisnya itu pun tak seperti yang dibuatnya.
"Di koran yang muncul narasumbernya dibalik. Ulasan
pemimpin yang melalui bawahannya ditaruh di bagian atas
sedangkan tulisan kritisnya malah di belakang," ujar Bumi yang
sempat heran saat berita ini dibacanya. Terkait upaya
memperhalus kritik ini, memang masih membuat Bumi
digelayuti tanda tanya. Pasalnya, koran Akumbara saat ini
berbeda dengan koran sebelumnya, Bambara. Koran Bambara
dahulu dikenal independen dan tidak menolerir terkait berita di
luar. "Saat ini berubah. Kepentingan bisnis menjadi utama,"
beber dia dengan nada serius.
Tidak Boleh Pedas
Redaktur tidak pernah menyuruh mengkritik pedas
terhadap narasumber, bahkan sebaliknya, tidak boleh pedas.
Hanya saja, hal itu terlihat dalam berita-berita pedas ke
narasumber yang "dilindungi" itu tak tayang atau muncul,
namun diperhalus. Ia berkeyakinan, redaksi tak bisa dan tak
punya hak untuk meminta jurnalisnya sendiri menulis "jangan
pedas”. "Karena itu kan hak saya sebagai pribadi yang berprofesi
sebagai jurnalis. Mereka hanya bisa membuat kebijakan untuk
mengeluarkan produk yang halus," paparnya.
Bumi juga mengetahui dari redakturnya bahwa apa yang
dilakukan perusahaannya sebagai strategi bisnis untuk melawan
korporasi media lain di tingkat lokal. Terutama, terhadap salah
satu media lokal terbesar dan tertua di Jawa Tengah. Perusahaan
tempat Bumi bernaung menyadari bahwa media kompetitor
sudah menjadi raksasa media yang berjejaring di wilayah Jawa
Tengah. Pesaingnya itu telah mengakar dan menguasai semua
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
*Pressklaar merupakan istilah yang sering dipakai dalam editing produk jurnalistik. Maknanya kurang lebih naskah yang sudah sangat bagus, siap cetak, atau layak siar. Belum pressklaar artinya masih ada salah ketik, salah eja, salah data, atau masih kurang lengkap. Belum sempurna. Belum layak cetak.
38 39
independen dan aspek keberimbangan sudah ditempuhnya.
Ditulis. Diedit. Kemudian, setelah pressklaar,* dikirim ke
redakturnya.
Keesokan hari saat koran terbit, Bumi kaget. Ternyata,
apa yang ditulis dan susunan berita yang diterbitkan mengalami
perbedaan. Kritik dan konfirmasi yang terkandung di dalamnya
telah diracik sebegitu rapinya sehingga terkesan lebih halus.
Menurut redaksi, dalam kasus e-KTP itu, si sosok pemimpin
berada dalam posisi diserang oleh lawan politik yang
memanfaatkan Nazaruddin. Selain itu, karena pertimbangan
praduga tak bersalah dan belum tentu benar.
Contoh lain yang disampaikan oleh Bumi adalah masalah
yang terkait dengan pembangunan infrastruktur di wilayah kerja
sang pemimpin daerah. Pernah suatu ketika, Bumi mencoba
mengkritik sosok pemimpin ini dari kacamata rencana
pembangunan infrastruktur. Asumsinya, konsep si pemimpin
dalam pembangunan infrastruktur tidak jelas. Maka, dia pun
mewawancarai narasumber pakar yang memiliki kapasitas
perihal pembangunan dan infrastruktur. Inti tulisan itu secara
garis besar berisi konsep si sosok pemimpin dibandingkan
dengan pemimpin di daerah lain yang dinilai masih kurang jelas
dan terukur. Namun, seperti berita yang terkait dengan kasus e-
KTP, tulisan analisisnya itu pun tak seperti yang dibuatnya.
"Di koran yang muncul narasumbernya dibalik. Ulasan
pemimpin yang melalui bawahannya ditaruh di bagian atas
sedangkan tulisan kritisnya malah di belakang," ujar Bumi yang
sempat heran saat berita ini dibacanya. Terkait upaya
memperhalus kritik ini, memang masih membuat Bumi
digelayuti tanda tanya. Pasalnya, koran Akumbara saat ini
berbeda dengan koran sebelumnya, Bambara. Koran Bambara
dahulu dikenal independen dan tidak menolerir terkait berita di
luar. "Saat ini berubah. Kepentingan bisnis menjadi utama,"
beber dia dengan nada serius.
Tidak Boleh Pedas
Redaktur tidak pernah menyuruh mengkritik pedas
terhadap narasumber, bahkan sebaliknya, tidak boleh pedas.
Hanya saja, hal itu terlihat dalam berita-berita pedas ke
narasumber yang "dilindungi" itu tak tayang atau muncul,
namun diperhalus. Ia berkeyakinan, redaksi tak bisa dan tak
punya hak untuk meminta jurnalisnya sendiri menulis "jangan
pedas”. "Karena itu kan hak saya sebagai pribadi yang berprofesi
sebagai jurnalis. Mereka hanya bisa membuat kebijakan untuk
mengeluarkan produk yang halus," paparnya.
Bumi juga mengetahui dari redakturnya bahwa apa yang
dilakukan perusahaannya sebagai strategi bisnis untuk melawan
korporasi media lain di tingkat lokal. Terutama, terhadap salah
satu media lokal terbesar dan tertua di Jawa Tengah. Perusahaan
tempat Bumi bernaung menyadari bahwa media kompetitor
sudah menjadi raksasa media yang berjejaring di wilayah Jawa
Tengah. Pesaingnya itu telah mengakar dan menguasai semua
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
*Pressklaar merupakan istilah yang sering dipakai dalam editing produk jurnalistik. Maknanya kurang lebih naskah yang sudah sangat bagus, siap cetak, atau layak siar. Belum pressklaar artinya masih ada salah ketik, salah eja, salah data, atau masih kurang lengkap. Belum sempurna. Belum layak cetak.
38 39
sektor penunjang bisnisnya. Mulai dari sistem di pemerintah
dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, pihak swasta, serta
masyarakat di tingkat kelurahan dan RT.
Saat ditanya, apakah juga ada intervensi atau tekanan
dari pihak lain selain dari redaksi, Bumi menuturkan, intervensi
selama di wilayah kerjanya sampai saat ini belum ada.
Sebelumnya, Bumi ditempatkan di wilayah peliputan Kabupaten
Semarang. "Saat ditempatkan di Ungaran banyak intervensi dari
luar. Mereka minta beritanya nggak tayang, dan itu lebih dari
sekali," ujarnya.
Berbagi pengalaman seputar liputan di lingkungan
tempatnya bekerja, dia rasakan dari sesama teman jurnalis yang
meliput. Hal itu, terutama, pada jurnalis senior yang
bergerombol. “Mereka hanya mau berbagi info dengan sesama
gerombolan mereka,” gerutunya. Meskipun begitu, Bumi tetap
bisa mengakses info-info lain dari para jurnalis yang lebih
terbuka.
Tercatat, di wilayah kerjanya terdapat kurang lebih lima
kelompok wartawan. Lima kelompok jurnalis itu rata-rata
terdiri dari lima hingga belasan jurnalis. Mulai dari jurnalis
muda hingga yang sudah tua. Ada yang berasal dari media
terkemuka dan dari media yang “abu-abu” alias tak jelas kantor
dan tempo terbitnya. Menariknya lagi, ada satu jurnalis senior
yang juga menjadi anggota dari beberapa kelompok jurnalis
tersebut.
Melihat fenomena itu semua, Bumi tak ambil pusing.
Baginya, yang penting selalu menjalankan kerja jurnalistik
secara profesional. “Aku tak ingin terkotak-kotak masuk salah
satu. Semua adalah teman. Penting kerja tetap lancar,” katanya.
Bumi mencintai dunia jurnalistik pada pers kampus
sejak menjadi mahasiswa pada 2006 di salah satu perguruan
tinggi swasta terkemuka di Kota Semarang. Menjadi jurnalis
bukan pilihan di tengah jalan. “Sudah merasa ini adalah
duniaku,” papar Bumi yang secara profesional mulai bekerja
menjadi jurnalis pada 2011 di Koran Bambara.
Saat ini, Bumi ditarget bisa menulis minimal tiga berita
untuk media cetak. Pada saat ramai isu, bisa menulis lima berita
dalam sehari. Meski sudah ada edisi daring, dia tak ditarget
untuk mengirim di laman daring. “Rata-rata bikin empat berita
per harinya,” tuturnya.
Bumi saat ini digaji Rp2,8 juta per bulan. Soal
kesejahteraan, menurutnya, lebih baik di media sebelumnya
atau Koran Bambara ketimbang di Koran Akumbara. Ia
mencontohkan, jurnalis baru yang masuk pada April 2013
mendapat gaji Rp2 juta. Sedangkan, jurnalis yang baru masuk
Oktober 2013 mendapat gaji lebih rendah, yakni Rp1,8 juta.
"Kalau aku karena sudah 2 tahun, sekarang gajiku Rp2,8 juta,"
ujarnya.
Mengenai tunjangan, apabila dibandingkan, lebih
lumayan Koran Akumbara ketimbang Koran Bambara. Mungkin
ini alasan mengapa Koran Akumbara memberi gaji lebih sedikit,
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
40 41
sektor penunjang bisnisnya. Mulai dari sistem di pemerintah
dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, pihak swasta, serta
masyarakat di tingkat kelurahan dan RT.
Saat ditanya, apakah juga ada intervensi atau tekanan
dari pihak lain selain dari redaksi, Bumi menuturkan, intervensi
selama di wilayah kerjanya sampai saat ini belum ada.
Sebelumnya, Bumi ditempatkan di wilayah peliputan Kabupaten
Semarang. "Saat ditempatkan di Ungaran banyak intervensi dari
luar. Mereka minta beritanya nggak tayang, dan itu lebih dari
sekali," ujarnya.
Berbagi pengalaman seputar liputan di lingkungan
tempatnya bekerja, dia rasakan dari sesama teman jurnalis yang
meliput. Hal itu, terutama, pada jurnalis senior yang
bergerombol. “Mereka hanya mau berbagi info dengan sesama
gerombolan mereka,” gerutunya. Meskipun begitu, Bumi tetap
bisa mengakses info-info lain dari para jurnalis yang lebih
terbuka.
Tercatat, di wilayah kerjanya terdapat kurang lebih lima
kelompok wartawan. Lima kelompok jurnalis itu rata-rata
terdiri dari lima hingga belasan jurnalis. Mulai dari jurnalis
muda hingga yang sudah tua. Ada yang berasal dari media
terkemuka dan dari media yang “abu-abu” alias tak jelas kantor
dan tempo terbitnya. Menariknya lagi, ada satu jurnalis senior
yang juga menjadi anggota dari beberapa kelompok jurnalis
tersebut.
Melihat fenomena itu semua, Bumi tak ambil pusing.
Baginya, yang penting selalu menjalankan kerja jurnalistik
secara profesional. “Aku tak ingin terkotak-kotak masuk salah
satu. Semua adalah teman. Penting kerja tetap lancar,” katanya.
Bumi mencintai dunia jurnalistik pada pers kampus
sejak menjadi mahasiswa pada 2006 di salah satu perguruan
tinggi swasta terkemuka di Kota Semarang. Menjadi jurnalis
bukan pilihan di tengah jalan. “Sudah merasa ini adalah
duniaku,” papar Bumi yang secara profesional mulai bekerja
menjadi jurnalis pada 2011 di Koran Bambara.
Saat ini, Bumi ditarget bisa menulis minimal tiga berita
untuk media cetak. Pada saat ramai isu, bisa menulis lima berita
dalam sehari. Meski sudah ada edisi daring, dia tak ditarget
untuk mengirim di laman daring. “Rata-rata bikin empat berita
per harinya,” tuturnya.
Bumi saat ini digaji Rp2,8 juta per bulan. Soal
kesejahteraan, menurutnya, lebih baik di media sebelumnya
atau Koran Bambara ketimbang di Koran Akumbara. Ia
mencontohkan, jurnalis baru yang masuk pada April 2013
mendapat gaji Rp2 juta. Sedangkan, jurnalis yang baru masuk
Oktober 2013 mendapat gaji lebih rendah, yakni Rp1,8 juta.
"Kalau aku karena sudah 2 tahun, sekarang gajiku Rp2,8 juta,"
ujarnya.
Mengenai tunjangan, apabila dibandingkan, lebih
lumayan Koran Akumbara ketimbang Koran Bambara. Mungkin
ini alasan mengapa Koran Akumbara memberi gaji lebih sedikit,
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
40 41
aya menjadi wartawan sejak 2005. Saya pernah bekerja
di media lokal dan juga media nasional. Saya pernah Sditempatkan di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Kini,
saya ditugasi meliput di Semarang.
Saya merasa bekerja di daerah dengan di Ibu Kota
Provinsi Jawa Tengah ada persamaan dan juga perbedaan.
Terutama terkait dengan independensi sebagai jurnalis. Yang
saya rasakan, baik di daerah maupun di Semarang, sama-sama
banyak narasumber yang mencoba mengarahkan pemberitaan
saya. Sebagai jurnalis, saya akui ada berita yang sesuai kehendak
saya tapi ada juga berita yang terkendala intervensi dari pihak
lain.
Salah satu kendala idealisme menjadi wartawan di
daerah adalah adanya kebersamaan antarwartawan satu dengan
yang lain. Kerja wartawan di daerah dituntut guyub (rukun)
bersama dengan teman-teman. Jika saya mau sendiri rasanya
agak sulit. Maka, berita-berita di daerah lebih terasa seragam.
Kalau saya lepas dari “konspirasi jahat” bersama-sama itu maka
bisa jadi saya akan dimusuhi. Korps kebersamaan wartawan di
daerah lebih kuat.
Misalnya, ada sebuah kasus. Biasanya akan ada salah
satu wartawan “senior” yang bermain dengan narasumber.
Wartawan ini mengatasnamakan para wartawan lain, lalu
tetapi tunjangannya lebih baik. "Selain itu, aku juga dapat ponsel
pintar dan kamera," katanya. Saat ini, di kebijakan manajemen,
apabila ada yang mau kredit motor bisa barter iklan. “Bahkan,
sekarang lagi proses mau kerjasama kredit rumah lewat kantor,”
tandas Bumi yang kelak ingin menjadi pengusaha setelah tak lagi
menggeluti dunia jurnalistik.
* * *
Media: Butuh Jeneng, Juga Jenang
AJI Semarang
42 43
aya menjadi wartawan sejak 2005. Saya pernah bekerja
di media lokal dan juga media nasional. Saya pernah Sditempatkan di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Kini,
saya ditugasi meliput di Semarang.
Saya merasa bekerja di daerah dengan di Ibu Kota
Provinsi Jawa Tengah ada persamaan dan juga perbedaan.
Terutama terkait dengan independensi sebagai jurnalis. Yang
saya rasakan, baik di daerah maupun di Semarang, sama-sama
banyak narasumber yang mencoba mengarahkan pemberitaan
saya. Sebagai jurnalis, saya akui ada berita yang sesuai kehendak
saya tapi ada juga berita yang terkendala intervensi dari pihak
lain.
Salah satu kendala idealisme menjadi wartawan di
daerah adalah adanya kebersamaan antarwartawan satu dengan
yang lain. Kerja wartawan di daerah dituntut guyub (rukun)
bersama dengan teman-teman. Jika saya mau sendiri rasanya
agak sulit. Maka, berita-berita di daerah lebih terasa seragam.
Kalau saya lepas dari “konspirasi jahat” bersama-sama itu maka
bisa jadi saya akan dimusuhi. Korps kebersamaan wartawan di
daerah lebih kuat.
Misalnya, ada sebuah kasus. Biasanya akan ada salah
satu wartawan “senior” yang bermain dengan narasumber.
Wartawan ini mengatasnamakan para wartawan lain, lalu
tetapi tunjangannya lebih baik. "Selain itu, aku juga dapat ponsel
pintar dan kamera," katanya. Saat ini, di kebijakan manajemen,
apabila ada yang mau kredit motor bisa barter iklan. “Bahkan,
sekarang lagi proses mau kerjasama kredit rumah lewat kantor,”
tandas Bumi yang kelak ingin menjadi pengusaha setelah tak lagi
menggeluti dunia jurnalistik.
* * *
Media: Butuh Jeneng, Juga Jenang
AJI Semarang
42 43
berkonspirasi dengan narasumber untuk tidak menurunkan
berita. Hal seperti itu bisa dilakukan. Sebuah berita yang ditulis
semua wartawan di daerah itu di-drop atau tidak jadi ditulis, itu
bisa dilakukan.
Berbeda dengan bekerja sebagai wartawan di Semarang.
Lebih bisa merdeka karena intervensi kebersamaan bisa
dikurangi. Memang ada senioritas tapi hanya dari segi umur,
bukan dalam berita. Meski dalam kasus-kasus tertentu
intervensi atas nama kebersamaan itu juga masih terjadi.
Kasus intervensi pihak lain kepada wartawan saya
rasakan pada saat peliputan kasus Pujiono (dikenal dengan
nama Syekh Puji). Pujiono terjerat kasus hukum gara-gara
menikahi anak di bawah umur. Di Semarang, karena Pujiono
yang merupakan orang kaya sering melakukan tindakan aneh,
maka kasus ini sangat ramai dan menjadi perhatian publik.
Setahu saya, saat itu wartawan terpecah: ada yang pro Pujiono
tapi ada juga yang pro kepada kepolisian, dalam hal ini adalah
Polisi Resor Kota Besar Semarang, yang menangani kasus
Pujiono.
Saat itu, berita saya mengkritik kinerja polisi yang saya
anggap tidak profesional dalam melakukan penyidikan terhadap
Pujiono. Misalnya, berkas acara pemeriksaan Pujiono sangat
lama untuk mencapai P-21 (lengkap). Bahkan, Kejaksaan sudah
tiga kali mengembalikan berita acara pemeriksaan ke polisi.
Saya mencium polisi tidak profesional. Atau bisa jadi kejaksaan
juga ikut bermain.
Tapi saat berita mau saya bikin, saya ditemui seorang
wartawan yang sudah lama meliput di kepolisian. Saya diminta
untuk tidak membuat berita itu. “Nggak usah dimuat,” kata
wartawan tersebut. Saya pun diberi sejumlah uang. Saat itu,
tidak hanya saya yang diberi uang. Tapi banyak wartawan lain
juga diberi uang oleh “wartawan senior” tadi.
Pada satu sisi saya tidak enak kalau saya tetap membuat
berita. Sebab, saya juga mempertimbangkan hubungan baik
dengan komunitas wartawan. Kebersamaan dengan teman
wartawan-wartawan menjadi pertimbangan tersendiri. Tapi,
kalau saya tidak buat beritanya juga eman-eman (sayang)
karena termasuk berita yang bagus. Bahkan, bisa diibaratkan
materi beritanya sudah tinggal gong-nya. Sebab, sebelumnya
berita-berita tentang Pujiono juga sudah saya bikin terus, mulai
dari pemeriksaan, penahanan hingga penyerahan berkas yang
tidak lekas lengkap itu. Konfirmasi dan verifikasi juga sudah
komplit.
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba telepon genggam
saya berdering. “Wartawan senior” lain menelepon saya.
Wartawan ini mengaku telah ditelepon oleh salah satu pejabat di
Polrestabes Semarang. Sang polisi menanyakan apakah media
saya membuat berita tentang Pujiono. Pejabat ini meminta agar
berita Pujiono tidak usah dibuat. Di ujung telepon, wartawan ini
mengaku berucap kepada polisi: “Saya tidak berani, Ndan.”
Ndan itu merujuk kepada komandan di kepolisian tadi. Meski
memikirkan soal kebersamaan dengan wartawan-wartawan,
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
44 45
berkonspirasi dengan narasumber untuk tidak menurunkan
berita. Hal seperti itu bisa dilakukan. Sebuah berita yang ditulis
semua wartawan di daerah itu di-drop atau tidak jadi ditulis, itu
bisa dilakukan.
Berbeda dengan bekerja sebagai wartawan di Semarang.
Lebih bisa merdeka karena intervensi kebersamaan bisa
dikurangi. Memang ada senioritas tapi hanya dari segi umur,
bukan dalam berita. Meski dalam kasus-kasus tertentu
intervensi atas nama kebersamaan itu juga masih terjadi.
Kasus intervensi pihak lain kepada wartawan saya
rasakan pada saat peliputan kasus Pujiono (dikenal dengan
nama Syekh Puji). Pujiono terjerat kasus hukum gara-gara
menikahi anak di bawah umur. Di Semarang, karena Pujiono
yang merupakan orang kaya sering melakukan tindakan aneh,
maka kasus ini sangat ramai dan menjadi perhatian publik.
Setahu saya, saat itu wartawan terpecah: ada yang pro Pujiono
tapi ada juga yang pro kepada kepolisian, dalam hal ini adalah
Polisi Resor Kota Besar Semarang, yang menangani kasus
Pujiono.
Saat itu, berita saya mengkritik kinerja polisi yang saya
anggap tidak profesional dalam melakukan penyidikan terhadap
Pujiono. Misalnya, berkas acara pemeriksaan Pujiono sangat
lama untuk mencapai P-21 (lengkap). Bahkan, Kejaksaan sudah
tiga kali mengembalikan berita acara pemeriksaan ke polisi.
Saya mencium polisi tidak profesional. Atau bisa jadi kejaksaan
juga ikut bermain.
Tapi saat berita mau saya bikin, saya ditemui seorang
wartawan yang sudah lama meliput di kepolisian. Saya diminta
untuk tidak membuat berita itu. “Nggak usah dimuat,” kata
wartawan tersebut. Saya pun diberi sejumlah uang. Saat itu,
tidak hanya saya yang diberi uang. Tapi banyak wartawan lain
juga diberi uang oleh “wartawan senior” tadi.
Pada satu sisi saya tidak enak kalau saya tetap membuat
berita. Sebab, saya juga mempertimbangkan hubungan baik
dengan komunitas wartawan. Kebersamaan dengan teman
wartawan-wartawan menjadi pertimbangan tersendiri. Tapi,
kalau saya tidak buat beritanya juga eman-eman (sayang)
karena termasuk berita yang bagus. Bahkan, bisa diibaratkan
materi beritanya sudah tinggal gong-nya. Sebab, sebelumnya
berita-berita tentang Pujiono juga sudah saya bikin terus, mulai
dari pemeriksaan, penahanan hingga penyerahan berkas yang
tidak lekas lengkap itu. Konfirmasi dan verifikasi juga sudah
komplit.
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba telepon genggam
saya berdering. “Wartawan senior” lain menelepon saya.
Wartawan ini mengaku telah ditelepon oleh salah satu pejabat di
Polrestabes Semarang. Sang polisi menanyakan apakah media
saya membuat berita tentang Pujiono. Pejabat ini meminta agar
berita Pujiono tidak usah dibuat. Di ujung telepon, wartawan ini
mengaku berucap kepada polisi: “Saya tidak berani, Ndan.”
Ndan itu merujuk kepada komandan di kepolisian tadi. Meski
memikirkan soal kebersamaan dengan wartawan-wartawan,
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
44 45
akhirnya saya putuskan saya tetap menulis berita tentang
Pujiono. Sebab, saya menilai berita ini bagus. Urutan peristiwa
juga sangat bagus, mulai dari pemeriksaan, penahanan hingga
puncaknya pelimpahan berkas yang tidak beres-beres.
Tapi, saya hanya bisa menghela nafas. Sebab, berita yang
saya buat itu tidak dimuat redaktur. “Apa gak mangkelke
(menjengkelkan),” gumam saya. Saya tidak tahu kenapa berita
Pujiono itu tak dimuat redaktur. Saat itu, saya juga tidak berani
untuk menanyakan ke redaktur, kenapa berita tentang Pujiono
tidak dimuat. Padahal, sebelumnya berita tentang Pujiono juga
dimuat terus. Mungkin petinggi kepolisian berkomunikasi
dengan redaktur saya. Saya masih ingat betul: saat itu, yang
memuat berita tentang Pujiono hanya satu media. Yang lainnya
tidak ada berita soal molornya pelimpahan berkas.
Tidak Bebas Menulis
Saya mengakui juga memiliki kedekatan dengan pejabat
Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) yang mengurusi
perkara Pujiono itu. Jika dia ada rezeki, saya juga pernah diajak
makan bersama-sama wartawan lain. Bagi saya, kalau sudah
menyangkut narasumber, namanya pertemanan ya pertemanan.
Tapi, kalau sudah menyangkut kerja jurnalistik maka saya akan
berusaha profesional. Kalau memang pejabat yang saya sudah
kenal perlu dikritik ya harus saya kritik melalui berita.
Jiwa kebersamaan komunitas wartawan yang membuat
saya tidak bebas menulis berita juga pernah saya rasakan pada
saat liputan tentang kasus narkoba. Saat itu, polisi menetapkan
lima orang tersangka kasus narkoba. Tiba-tiba, sebelum saya
menulis berita itu ada seorang saudara tersangka yang menemui
para wartawan, termasuk saya. Untuk bertemu dengan
komunitas wartawan, dia ditemani seorang “wartawan senior”
yang sudah cukup lama meliput di kepolisian.
Saat itu, orang tersebut meminta agar dua nama
tersangka narkoba yang merupakan saudaranya hanya ditulis
inisial. Padahal, waktu itu, kami sudah mendapatkan nama
lengkap para tersangka secara valid. “Wartawan senior” tadi juga
memberikan amplop kepada para wartawan. Atas nama jiwa
kebersamaan itu tadi, saya termasuk wartawan yang hanya
menyebut nama inisial dua tersangka.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
46 47
akhirnya saya putuskan saya tetap menulis berita tentang
Pujiono. Sebab, saya menilai berita ini bagus. Urutan peristiwa
juga sangat bagus, mulai dari pemeriksaan, penahanan hingga
puncaknya pelimpahan berkas yang tidak beres-beres.
Tapi, saya hanya bisa menghela nafas. Sebab, berita yang
saya buat itu tidak dimuat redaktur. “Apa gak mangkelke
(menjengkelkan),” gumam saya. Saya tidak tahu kenapa berita
Pujiono itu tak dimuat redaktur. Saat itu, saya juga tidak berani
untuk menanyakan ke redaktur, kenapa berita tentang Pujiono
tidak dimuat. Padahal, sebelumnya berita tentang Pujiono juga
dimuat terus. Mungkin petinggi kepolisian berkomunikasi
dengan redaktur saya. Saya masih ingat betul: saat itu, yang
memuat berita tentang Pujiono hanya satu media. Yang lainnya
tidak ada berita soal molornya pelimpahan berkas.
Tidak Bebas Menulis
Saya mengakui juga memiliki kedekatan dengan pejabat
Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) yang mengurusi
perkara Pujiono itu. Jika dia ada rezeki, saya juga pernah diajak
makan bersama-sama wartawan lain. Bagi saya, kalau sudah
menyangkut narasumber, namanya pertemanan ya pertemanan.
Tapi, kalau sudah menyangkut kerja jurnalistik maka saya akan
berusaha profesional. Kalau memang pejabat yang saya sudah
kenal perlu dikritik ya harus saya kritik melalui berita.
Jiwa kebersamaan komunitas wartawan yang membuat
saya tidak bebas menulis berita juga pernah saya rasakan pada
saat liputan tentang kasus narkoba. Saat itu, polisi menetapkan
lima orang tersangka kasus narkoba. Tiba-tiba, sebelum saya
menulis berita itu ada seorang saudara tersangka yang menemui
para wartawan, termasuk saya. Untuk bertemu dengan
komunitas wartawan, dia ditemani seorang “wartawan senior”
yang sudah cukup lama meliput di kepolisian.
Saat itu, orang tersebut meminta agar dua nama
tersangka narkoba yang merupakan saudaranya hanya ditulis
inisial. Padahal, waktu itu, kami sudah mendapatkan nama
lengkap para tersangka secara valid. “Wartawan senior” tadi juga
memberikan amplop kepada para wartawan. Atas nama jiwa
kebersamaan itu tadi, saya termasuk wartawan yang hanya
menyebut nama inisial dua tersangka.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
46 47
Ketidakindependenan jurnalis juga sering saya rasakan
jika berhadapan dengan atasan saya, redaktur. Saya merasa
sudah membuat berita bagus tapi di-drop (tidak ditayangkan)
oleh redaktur. Tidak dimuatnya berita saya itu pernah saya alami
pada saat saya meliput kasus dugaan korupsi Bukit Cinta
Bandungan, Kabupaten Semarang. Kasus ini berawal dari
adanya perbaikan tempat wisata. Tapi saat itu dana cairnya
sudah mepet akhir tahun.
Akibatnya, pengerjaan proyek tidak maksimal. Wujud
pengerjaan proyeknya mangkrak. Padahal, anggaran proyek
sudah dicairkan. Kejaksaan juga sudah menetapkan tersangka.
Saat ini, para tersangka yang di bawah juga sudah diadili. Saya
menilai berita yang menyangkut kasus korupsi itu sangat bagus.
Apalagi kalau ada pejabat yang terseret dalam kasus tersebut.
Saya kemudian membuat beritanya. Narasumber sudah dapat.
Data juga sudah valid. Ibaratnya, kalau ada yang protes berita
saya, tidak bisa. Karena data sudah valid. Saya juga sudah
konfirmasi ke Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa
Tengah, selaku pihak yang punya proyek tersebut.
Sesampai di kantor, saya malah ditelepon pejabat Dinas
Pariwisata. Pejabat ini mengajak bertemu. Tapi saya sudah tahu
apa maunya si pejabat. Dia ingin agar saya tidak menulis berita
dugaan korupsi proyek Bukit Cinta. Karena gelagatnya tidak
baik, saya pun tidak mau menemui permintaan pertemuan. Saya
beralasan sudah sore dan waktu tenggat (deadline), karena saya
tidak mau menemui, pejabat ini pun berujar ke saya, “Tolong
nulisnya (berita) jangan keras-keras ya, yang biasa saja”. Saya
hanya bilang: “Iya...iya....” Tapi, dalam hati, saya sebenarnya
tidak mengindahkan permintaan itu. Berita saya tulis apa
adanya: ada dugaan penyelewengan pada proyek Bukit Cinta.
Kejaksaan juga sudah menaikkan ke tahap penyelidikan.
Tapi, saya harus mengerutkan dahi. Berita yang saya buat
itu tidak dimuat redaktur. Penjelasan dari kantor sangat klasik.
Perusahaan media itu tidak hanya butuh jeneng (nama) tapi juga
butuh jenang.* Saya merasakan matinya wartawan itu kalau
berita sudah di-drop redaksi. Saya tidak tahu apa saja konspirasi
antara pejabat dinas pariwisata dengan redaksi. Yang jelas saya
melihat koran saya juga sangat jarang mendapatkan iklan dari
Dinas Pariwisata tersebut.
Masalah lain adalah pengubahan sudut pemberitaan
oleh redaktur mengenai berita yang saya buat. Beberapa kali
redaktur saya memang mengubah berita saya. Tapi saya
memahami karena mungkin saya kurang jeli membuat sudut
pemberitaan.
Pengalaman soal intervensi berita juga saya rasakan
pada saat saya meliput kepala daerah. Saat itu, ada kepala daerah
yang hendak pelesiran ke Amerika Serikat. Awalnya saya intens
mengikuti rencana pelesiran tersebut. Titik berat berita saya
adalah kritik. Sebab, saya menilai kunjungan itu tidak tepat
karena dilakukan menjelang pengesahan rancangan anggaran
pendapatan dan belanja daerah. Berita saya “menggebuki”
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
*Jenang adalah sejenis makanan. Dalam pernyataan ini, jenang bermakna konotatif yang berarti kekayaan atau pun kesejahteraan
48 49
Ketidakindependenan jurnalis juga sering saya rasakan
jika berhadapan dengan atasan saya, redaktur. Saya merasa
sudah membuat berita bagus tapi di-drop (tidak ditayangkan)
oleh redaktur. Tidak dimuatnya berita saya itu pernah saya alami
pada saat saya meliput kasus dugaan korupsi Bukit Cinta
Bandungan, Kabupaten Semarang. Kasus ini berawal dari
adanya perbaikan tempat wisata. Tapi saat itu dana cairnya
sudah mepet akhir tahun.
Akibatnya, pengerjaan proyek tidak maksimal. Wujud
pengerjaan proyeknya mangkrak. Padahal, anggaran proyek
sudah dicairkan. Kejaksaan juga sudah menetapkan tersangka.
Saat ini, para tersangka yang di bawah juga sudah diadili. Saya
menilai berita yang menyangkut kasus korupsi itu sangat bagus.
Apalagi kalau ada pejabat yang terseret dalam kasus tersebut.
Saya kemudian membuat beritanya. Narasumber sudah dapat.
Data juga sudah valid. Ibaratnya, kalau ada yang protes berita
saya, tidak bisa. Karena data sudah valid. Saya juga sudah
konfirmasi ke Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa
Tengah, selaku pihak yang punya proyek tersebut.
Sesampai di kantor, saya malah ditelepon pejabat Dinas
Pariwisata. Pejabat ini mengajak bertemu. Tapi saya sudah tahu
apa maunya si pejabat. Dia ingin agar saya tidak menulis berita
dugaan korupsi proyek Bukit Cinta. Karena gelagatnya tidak
baik, saya pun tidak mau menemui permintaan pertemuan. Saya
beralasan sudah sore dan waktu tenggat (deadline), karena saya
tidak mau menemui, pejabat ini pun berujar ke saya, “Tolong
nulisnya (berita) jangan keras-keras ya, yang biasa saja”. Saya
hanya bilang: “Iya...iya....” Tapi, dalam hati, saya sebenarnya
tidak mengindahkan permintaan itu. Berita saya tulis apa
adanya: ada dugaan penyelewengan pada proyek Bukit Cinta.
Kejaksaan juga sudah menaikkan ke tahap penyelidikan.
Tapi, saya harus mengerutkan dahi. Berita yang saya buat
itu tidak dimuat redaktur. Penjelasan dari kantor sangat klasik.
Perusahaan media itu tidak hanya butuh jeneng (nama) tapi juga
butuh jenang.* Saya merasakan matinya wartawan itu kalau
berita sudah di-drop redaksi. Saya tidak tahu apa saja konspirasi
antara pejabat dinas pariwisata dengan redaksi. Yang jelas saya
melihat koran saya juga sangat jarang mendapatkan iklan dari
Dinas Pariwisata tersebut.
Masalah lain adalah pengubahan sudut pemberitaan
oleh redaktur mengenai berita yang saya buat. Beberapa kali
redaktur saya memang mengubah berita saya. Tapi saya
memahami karena mungkin saya kurang jeli membuat sudut
pemberitaan.
Pengalaman soal intervensi berita juga saya rasakan
pada saat saya meliput kepala daerah. Saat itu, ada kepala daerah
yang hendak pelesiran ke Amerika Serikat. Awalnya saya intens
mengikuti rencana pelesiran tersebut. Titik berat berita saya
adalah kritik. Sebab, saya menilai kunjungan itu tidak tepat
karena dilakukan menjelang pengesahan rancangan anggaran
pendapatan dan belanja daerah. Berita saya “menggebuki”
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
*Jenang adalah sejenis makanan. Dalam pernyataan ini, jenang bermakna konotatif yang berarti kekayaan atau pun kesejahteraan
48 49
kepala daerah tersebut agar batal melakukan pelesiran. Saya
menulis berita soal ini tidak ada duitnya sama sekali. Setelah
ramai, kepala daerah tersebut membatalkan pelesiran. Setelah
itu kepala daerah tersebut mendekat ke wartawan. Bahkan, dia
melakukan semacam anjangsana ke media-media.
Dampaknya baru terasa di kemudian hari. Ketika kepala
daerah tersebut ingin diinterpelasi oleh DPRD, berita-beritanya
tidak dimuat. Saya sudah sering membuat beritanya tapi tidak
pernah dimuat. Belakangan, ketika ada satu media membuat
berita interpelasi itu, media saya baru meminta untuk membikin
beritanya. Tapi berita yang termuat adalah berita hak jawab dari
si kepala daerah. Jadi agak aneh. Awal-awal kita tidak
memberitakan kasusnya tapi belakangan hak jawab atau
bantahan dari pihak kepala daerah terus-menerus dimuat. Nah,
setelah itu ada permufakatan pemerintah daerah dengan bagian
iklan.
Bertemu Preman
Saya juga pernah membatalkan sebuah berita karena
pertimbangan keselamatan tetangga saya. Saat itu saya dikabari
oleh tetangga saya bahwa pengurukan proyek tol Semarang-Solo
mengganggu warga. Debu pengurukan terbang kemana-mana
sehingga warga merasa terganggu. Bahkan, sekelompok warga
berunjuk rasa karena terganggu dengan proyek jalan tol. Saya
pun ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Setelah mencari lokasi,
saya bertemu dengan seseorang. Saya bertanya soal keluhan
warga itu.
Tapi, celaka. Orang yang saya temui itu adalah preman
penjaga lokasi proyek tol. Saat itu, preman tersebut sedang
berjaga di depan sebuah base camp. Sesekali preman ini wira-
wiri naik sepeda motor trail untuk mengecek lokasi tol. Ketika
saya tanya tentang keluhan warga, preman itu pun menjawab
dengan ketus. Bahkan, preman ini membantah adanya warga
yang protes. Belakangan, sesaat saya hendak pulang, saya malah
dicegat. Saya diinterogasi, siapa yang memberitahukan adanya
protes warga. Dengan polos saya menjawab yang
memberitahukan adalah tetangga saya. Saya pun menyebut
nama tetangga saya itu.
Setelah itu saya pulang. Saya pun berencana akan
membuat berita tersebut. Berita protes warga itu menjadi salah
satu berita yang saya listing ke redaktur. Listing adalah laporan
dari wartawan ke redaktur mengenai rencana berita yang hendak
dikirim. Sampai di rumah, saya pun langsung membuat berita
tentang tol tersebut. Sesaat hendak saya kirim, seorang tetangga
yang memberitahukan adanya protes warga datang ke rumah
saya. Dengan tergopoh-gopoh, tetangga saya bercerita bahwa ia
baru saja diancam oleh preman keamanan proyek jalan tol.
Ia pun memohon kepada saya agar berita jangan sampai
ditulis. “Padha-padha apike (sama-sama baiknya)” kata
tetangga saya. Idealisme saya pun luntur dengan pertimbangan
kemanusiaan. Saya pun khawatir kalau berita ini saya teruskan
maka yang kena dampak adalah tetangga saya. Tetangga saya
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
50 51
kepala daerah tersebut agar batal melakukan pelesiran. Saya
menulis berita soal ini tidak ada duitnya sama sekali. Setelah
ramai, kepala daerah tersebut membatalkan pelesiran. Setelah
itu kepala daerah tersebut mendekat ke wartawan. Bahkan, dia
melakukan semacam anjangsana ke media-media.
Dampaknya baru terasa di kemudian hari. Ketika kepala
daerah tersebut ingin diinterpelasi oleh DPRD, berita-beritanya
tidak dimuat. Saya sudah sering membuat beritanya tapi tidak
pernah dimuat. Belakangan, ketika ada satu media membuat
berita interpelasi itu, media saya baru meminta untuk membikin
beritanya. Tapi berita yang termuat adalah berita hak jawab dari
si kepala daerah. Jadi agak aneh. Awal-awal kita tidak
memberitakan kasusnya tapi belakangan hak jawab atau
bantahan dari pihak kepala daerah terus-menerus dimuat. Nah,
setelah itu ada permufakatan pemerintah daerah dengan bagian
iklan.
Bertemu Preman
Saya juga pernah membatalkan sebuah berita karena
pertimbangan keselamatan tetangga saya. Saat itu saya dikabari
oleh tetangga saya bahwa pengurukan proyek tol Semarang-Solo
mengganggu warga. Debu pengurukan terbang kemana-mana
sehingga warga merasa terganggu. Bahkan, sekelompok warga
berunjuk rasa karena terganggu dengan proyek jalan tol. Saya
pun ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Setelah mencari lokasi,
saya bertemu dengan seseorang. Saya bertanya soal keluhan
warga itu.
Tapi, celaka. Orang yang saya temui itu adalah preman
penjaga lokasi proyek tol. Saat itu, preman tersebut sedang
berjaga di depan sebuah base camp. Sesekali preman ini wira-
wiri naik sepeda motor trail untuk mengecek lokasi tol. Ketika
saya tanya tentang keluhan warga, preman itu pun menjawab
dengan ketus. Bahkan, preman ini membantah adanya warga
yang protes. Belakangan, sesaat saya hendak pulang, saya malah
dicegat. Saya diinterogasi, siapa yang memberitahukan adanya
protes warga. Dengan polos saya menjawab yang
memberitahukan adalah tetangga saya. Saya pun menyebut
nama tetangga saya itu.
Setelah itu saya pulang. Saya pun berencana akan
membuat berita tersebut. Berita protes warga itu menjadi salah
satu berita yang saya listing ke redaktur. Listing adalah laporan
dari wartawan ke redaktur mengenai rencana berita yang hendak
dikirim. Sampai di rumah, saya pun langsung membuat berita
tentang tol tersebut. Sesaat hendak saya kirim, seorang tetangga
yang memberitahukan adanya protes warga datang ke rumah
saya. Dengan tergopoh-gopoh, tetangga saya bercerita bahwa ia
baru saja diancam oleh preman keamanan proyek jalan tol.
Ia pun memohon kepada saya agar berita jangan sampai
ditulis. “Padha-padha apike (sama-sama baiknya)” kata
tetangga saya. Idealisme saya pun luntur dengan pertimbangan
kemanusiaan. Saya pun khawatir kalau berita ini saya teruskan
maka yang kena dampak adalah tetangga saya. Tetangga saya
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
50 51
juga punya anak dan istri. Padahal, saat itu berita sudah saya
listing, berita sudah jadi dan tinggal mengirim. Setelah berpikir
sejenak, saya pun menelepon redaktur. “Berita saya soal proyek
jalan tol saya drop ya,” kata saya. Redaktur pun mengiyakan
setelah saya memberi penjelasan tentang situasi di lapangan.
Intervensi pemberitaan melalui kekerasan fisik memang tidak
pernah saya alami. Kekerasan fisik terhadap jurnalis di Jawa
memang minim, bahkan jarang sekali. Mungkin berbeda dengan
kondisi di luar jawa.
Selama bekerja sebagai jurnalis, tawaran amplop
memang sering saya alami. Banyak narasumber maupun dinas-
dinas yang memberikan amplop kepada para wartawan. Saya
akui saya termasuk wartawan yang doyan uang amplop. Tapi,
tidak sembarang amplop saya terima. Prinsip saya: bekerja
dengan independen dan profesional. Saya bukan tipe jurnalis
yang hobinya kesana kemari mencari amplop. Saya bekerja
mencari berita yang bagus untuk perusahaan. Tujuannya agar
perusahaan bisa berkembang dan bisa menjadi acuan
masyarakat. Tiap mau berangkat bekerja, saat keluar dari rumah
niat saya adalah mencari berita. Tidak sedikit pun terlintas di
benak saya pergi ke lapangan untuk mencari uang dengan
mendatangi kantor-kantor dinas pemerintahan.
Saya mengakui, saya tergolong wartawan yang mau
menerima uang atau amplop dari narasumber. Tapi saya punya
prinsip dalam menerima amplop tersebut, yakni narasumber
merasa tidak saya peras. Kenapa saya mau menerima? Sejauh
narasumber dalam memberikan amplopnya bisa sambil
tersenyum dan senang. Dalam memberikan amplop itu
narasumber tidak atas dasar keterpaksaan. Sebab, banyak sekali
narasumber yang sebenarnya sangat terpaksa dalam
memberikan amplop ke wartawan. Bahkan, ada narasumber
yang merasa mengalami pemerasan dari para wartawan.
Saya bukan tipe pemeras. Ibaratnya, kalau ada amplop ya
saya terima, kalau tidak ya tidak. Susahnya adalah banyak
narasumber yang mau kita wawancara, mereka mengira kita
mencari amplop. Bahkan, ada narasumber yang setelah kita
selesai mewawancarainya seperti gelisah karena tidak punya
duit untuk memberikan amplop. Kalau situasinya seperti itu,
kita justru malah yang paling tidak enak.
Bicara soal tolak amplop, saya teringat dengan peristiwa
yang pernah saya alami. Pernah saya meliput seorang anak
meninggal dunia karena terjatuh di selokan pembangunan
proyek tol Semarang-Solo. Setelah melakukan reportase dan
verifikasi lapangan, saya pun meminta konfirmasi ke pihak
kontraktor yang menggarap proyek jalan tersebut. Saat itu saya
sendirian. Bahkan untuk mendapatkan konfirmasi saya
menunggu sampai waktu salat Magrib.
Setelah selesai wawancara, tiba-tiba pihak kontraktor
memberikan uang amplop ke saya. Jelas, hati saya berontak dan
menolak pemberian amplop tersebut. “Mboten usah, Pak (Tidak
usah, Pak),” begitu kata saya kepada kontraktor. Sebab, kalau
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
52 53
juga punya anak dan istri. Padahal, saat itu berita sudah saya
listing, berita sudah jadi dan tinggal mengirim. Setelah berpikir
sejenak, saya pun menelepon redaktur. “Berita saya soal proyek
jalan tol saya drop ya,” kata saya. Redaktur pun mengiyakan
setelah saya memberi penjelasan tentang situasi di lapangan.
Intervensi pemberitaan melalui kekerasan fisik memang tidak
pernah saya alami. Kekerasan fisik terhadap jurnalis di Jawa
memang minim, bahkan jarang sekali. Mungkin berbeda dengan
kondisi di luar jawa.
Selama bekerja sebagai jurnalis, tawaran amplop
memang sering saya alami. Banyak narasumber maupun dinas-
dinas yang memberikan amplop kepada para wartawan. Saya
akui saya termasuk wartawan yang doyan uang amplop. Tapi,
tidak sembarang amplop saya terima. Prinsip saya: bekerja
dengan independen dan profesional. Saya bukan tipe jurnalis
yang hobinya kesana kemari mencari amplop. Saya bekerja
mencari berita yang bagus untuk perusahaan. Tujuannya agar
perusahaan bisa berkembang dan bisa menjadi acuan
masyarakat. Tiap mau berangkat bekerja, saat keluar dari rumah
niat saya adalah mencari berita. Tidak sedikit pun terlintas di
benak saya pergi ke lapangan untuk mencari uang dengan
mendatangi kantor-kantor dinas pemerintahan.
Saya mengakui, saya tergolong wartawan yang mau
menerima uang atau amplop dari narasumber. Tapi saya punya
prinsip dalam menerima amplop tersebut, yakni narasumber
merasa tidak saya peras. Kenapa saya mau menerima? Sejauh
narasumber dalam memberikan amplopnya bisa sambil
tersenyum dan senang. Dalam memberikan amplop itu
narasumber tidak atas dasar keterpaksaan. Sebab, banyak sekali
narasumber yang sebenarnya sangat terpaksa dalam
memberikan amplop ke wartawan. Bahkan, ada narasumber
yang merasa mengalami pemerasan dari para wartawan.
Saya bukan tipe pemeras. Ibaratnya, kalau ada amplop ya
saya terima, kalau tidak ya tidak. Susahnya adalah banyak
narasumber yang mau kita wawancara, mereka mengira kita
mencari amplop. Bahkan, ada narasumber yang setelah kita
selesai mewawancarainya seperti gelisah karena tidak punya
duit untuk memberikan amplop. Kalau situasinya seperti itu,
kita justru malah yang paling tidak enak.
Bicara soal tolak amplop, saya teringat dengan peristiwa
yang pernah saya alami. Pernah saya meliput seorang anak
meninggal dunia karena terjatuh di selokan pembangunan
proyek tol Semarang-Solo. Setelah melakukan reportase dan
verifikasi lapangan, saya pun meminta konfirmasi ke pihak
kontraktor yang menggarap proyek jalan tersebut. Saat itu saya
sendirian. Bahkan untuk mendapatkan konfirmasi saya
menunggu sampai waktu salat Magrib.
Setelah selesai wawancara, tiba-tiba pihak kontraktor
memberikan uang amplop ke saya. Jelas, hati saya berontak dan
menolak pemberian amplop tersebut. “Mboten usah, Pak (Tidak
usah, Pak),” begitu kata saya kepada kontraktor. Sebab, kalau
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
52 53
saya mau menerima uang amplop tersebut maka sama saja saya
memanfaatkan musibah orang lain untuk keuntungan pribadi
saya. Ada orang kesusahan karena anaknya meninggal dunia
tapi saya malah mendapatkan amplop dari narasumber. Ada
keluarganya kesusahan, tapi seolah-olah kita malah tepuk
tangan untuk mencari uang amplop.
Hal-hal seperti itulah yang harus kita pertimbangkan
dalam menerima atau tidak pemberian amplop dari orang lain.
Menerima amplop itu juga harus punya prinsip dan
pertimbangan. Keluarganya kesusahan, tapi kita seolah-olah
tepuk tangan untuk mencari duit. Pertimbangan lain kenapa
saya mau menerima amplop karena saya merasa masih tetap
bisa independen meski menerima amplop. Tapi, jika ada
narasumber yang memaksa beritanya harus begini atau begitu
maka saya koordinasi dengan pihak kantor terlebih dulu. Sebab,
narasumber itu kadang mintanya macam-macam.
Kalau ada berita tapi isinya seperti iklan, saya harus
koordinasi dulu dengan redaktur. Kadang redaktur
memperbolehkan berita sesuai dengan pesanan narasumber
atau klien. Biasanya klien itu akan memberikan sejumlah uang
ke saya. Karena beritanya berbau promosi, uang itu saya
serahkan ke kantor. Uangnya terbilang kecil, antara Rp 500 ribu
hingga Rp 1 juta. Karena bukan iklan.
Di kantor sudah ada bagian pengumpul uangnya.
Biasanya saya diberi sekitar 10 persen dari uang yang saya
dapatkan. Nah, uang yang sudah terkumpul di kantor biasanya
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
digunakan untuk beberapa keperluan darurat karyawan.
Misalnya ada karyawan maupun jurnalis yang terkena musibah,
keluarganya sakit atau dirinya sendiri sakit, maka akan
mendapatkan sumbangan dari uang tersebut. Kantor saya
sebenarnya sudah memberikan asuransi, tapi kadang prosesnya
cukup lama.
Sebagai jurnalis, saya kadang juga diperbolehkan
mencari iklan. Tapi biasanya hanya menjadi penyambung saja.
Misalnya di salah satu dinas sedang ada rencana pemasangan
iklan, saya berkomunikasi dengan pejabatnya. Lalu soal harga
saya sambungkan dengan bagian pemasaran. Tidak ada
permufakatan pemberitaan apa pun dengan saya.
Dengan memberikan “jasa” menyambungkan pengiklan
dengan bagian pemasaran itu saya bisa mendapatkan bagian,
antara lima hingga sepuluh persen. Memang saya akui, banyak
perusahaan media belum memberikan upah secara layak kepada
jurnalis. Akibatnya, bagaimana jurnalis bisa profesional jika
kesejahteraannya saja masih minim. Makanya, melihat
persoalan jurnalis juga harus menimbang bagaimana
perusahaan memperlakukan jurnalis.
* * *
54 55
saya mau menerima uang amplop tersebut maka sama saja saya
memanfaatkan musibah orang lain untuk keuntungan pribadi
saya. Ada orang kesusahan karena anaknya meninggal dunia
tapi saya malah mendapatkan amplop dari narasumber. Ada
keluarganya kesusahan, tapi seolah-olah kita malah tepuk
tangan untuk mencari uang amplop.
Hal-hal seperti itulah yang harus kita pertimbangkan
dalam menerima atau tidak pemberian amplop dari orang lain.
Menerima amplop itu juga harus punya prinsip dan
pertimbangan. Keluarganya kesusahan, tapi kita seolah-olah
tepuk tangan untuk mencari duit. Pertimbangan lain kenapa
saya mau menerima amplop karena saya merasa masih tetap
bisa independen meski menerima amplop. Tapi, jika ada
narasumber yang memaksa beritanya harus begini atau begitu
maka saya koordinasi dengan pihak kantor terlebih dulu. Sebab,
narasumber itu kadang mintanya macam-macam.
Kalau ada berita tapi isinya seperti iklan, saya harus
koordinasi dulu dengan redaktur. Kadang redaktur
memperbolehkan berita sesuai dengan pesanan narasumber
atau klien. Biasanya klien itu akan memberikan sejumlah uang
ke saya. Karena beritanya berbau promosi, uang itu saya
serahkan ke kantor. Uangnya terbilang kecil, antara Rp 500 ribu
hingga Rp 1 juta. Karena bukan iklan.
Di kantor sudah ada bagian pengumpul uangnya.
Biasanya saya diberi sekitar 10 persen dari uang yang saya
dapatkan. Nah, uang yang sudah terkumpul di kantor biasanya
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
digunakan untuk beberapa keperluan darurat karyawan.
Misalnya ada karyawan maupun jurnalis yang terkena musibah,
keluarganya sakit atau dirinya sendiri sakit, maka akan
mendapatkan sumbangan dari uang tersebut. Kantor saya
sebenarnya sudah memberikan asuransi, tapi kadang prosesnya
cukup lama.
Sebagai jurnalis, saya kadang juga diperbolehkan
mencari iklan. Tapi biasanya hanya menjadi penyambung saja.
Misalnya di salah satu dinas sedang ada rencana pemasangan
iklan, saya berkomunikasi dengan pejabatnya. Lalu soal harga
saya sambungkan dengan bagian pemasaran. Tidak ada
permufakatan pemberitaan apa pun dengan saya.
Dengan memberikan “jasa” menyambungkan pengiklan
dengan bagian pemasaran itu saya bisa mendapatkan bagian,
antara lima hingga sepuluh persen. Memang saya akui, banyak
perusahaan media belum memberikan upah secara layak kepada
jurnalis. Akibatnya, bagaimana jurnalis bisa profesional jika
kesejahteraannya saja masih minim. Makanya, melihat
persoalan jurnalis juga harus menimbang bagaimana
perusahaan memperlakukan jurnalis.
* * *
54 55
anggil dia Alex. Suatu hari jurnalis di sebuah surat kabar
harian Jawa Tengah ini kaget tak kepalang. Pasalnya, Pserombongan pegawai sebuah Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) datang ke kantornya. Perwakilan BUMN itu
memprotes sebuah berita yang menurut mereka mencoreng
citra perusahaan. “Rupanya ada 'borok' perusahaan itu yang
terbongkar oleh berita kami,” tutur Alex.
Mereka marah-marah dan meminta agar media tempat
Alex bekerja mencabut berita yang diprotes itu. Tentu saja
redaksi keberatan. Tak mungkin mencabut sebuah berita yang
sudah dikeluarkan. Apalagi redaksi yakin tak ada yang salah dari
informasi tersebut.
Cukup lama kedua belah pihak berunding terkait
permintaan pencabutan berita. Akhirnya muncul kesepakatan.
Redaksi tetap menolak mencabut berita, namun memberikan
hak jawab sesuai dengan prosedur dalam kode etik jurnalistik.
Permintaan pencabutan berita tadi salah satu contoh
percobaan intervensi pihak luar kepada redaksi tempat Alex
bekerja. Tak hanya percobaan intervensi yang datang ke redaksi,
Alex juga pernah mengalami hal yang sama.
Saat itu Alex sedang meliput sebuah kasus hukum yang
melibatkan seorang pejabat di Pengadilan Negeri Semarang. Dia
sedang serius mengumpulkan data. Tiba-tiba saja pengacara
AJI Semarang
Sudah Digebuki Tertimpa Koran Lagi
56 57
anggil dia Alex. Suatu hari jurnalis di sebuah surat kabar
harian Jawa Tengah ini kaget tak kepalang. Pasalnya, Pserombongan pegawai sebuah Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) datang ke kantornya. Perwakilan BUMN itu
memprotes sebuah berita yang menurut mereka mencoreng
citra perusahaan. “Rupanya ada 'borok' perusahaan itu yang
terbongkar oleh berita kami,” tutur Alex.
Mereka marah-marah dan meminta agar media tempat
Alex bekerja mencabut berita yang diprotes itu. Tentu saja
redaksi keberatan. Tak mungkin mencabut sebuah berita yang
sudah dikeluarkan. Apalagi redaksi yakin tak ada yang salah dari
informasi tersebut.
Cukup lama kedua belah pihak berunding terkait
permintaan pencabutan berita. Akhirnya muncul kesepakatan.
Redaksi tetap menolak mencabut berita, namun memberikan
hak jawab sesuai dengan prosedur dalam kode etik jurnalistik.
Permintaan pencabutan berita tadi salah satu contoh
percobaan intervensi pihak luar kepada redaksi tempat Alex
bekerja. Tak hanya percobaan intervensi yang datang ke redaksi,
Alex juga pernah mengalami hal yang sama.
Saat itu Alex sedang meliput sebuah kasus hukum yang
melibatkan seorang pejabat di Pengadilan Negeri Semarang. Dia
sedang serius mengumpulkan data. Tiba-tiba saja pengacara
AJI Semarang
Sudah Digebuki Tertimpa Koran Lagi
56 57
terdakwa menghampirinya. Ia meminta agar Alex tidak menulis
berita tentang pejabat itu.
Tegas saja, permintaan pengacara tadi ia tolak.
“Beritanya tetap saya tulis dan dimuat oleh redaktur,” katanya.
Iklan kalahkan berita
Selain percobaan intervensi dari luar redaksi, apakah
Alex juga pernah diintervensi oleh redaksinya sendiri? Ia
mengaku tidak pernah ada intervensi dari redaksi dalam
membuat berita. Alex diberi keleluasaan mencari dan mengolah
sumber pemberitaan sesuai keinginannya. "Hanya kalau untuk
berita penugasan, memang sudah ada pengarahan tentang garis
besar liputan. Tapi tak pernah ada intervensi apa yang tidak
boleh ditulis," tuturnya.
Begitu juga dengan iklan, menurutnya, tidak
berpengaruh terhadap isi berita. Pemasang iklan tidak bisa
melarang berita naik cetak jika berita itu berdampak buruk bagi
citra pemasang iklan. Setidaknya hingga saat ini, Alex tidak
pernah mengalami beritanya di-drop gara-gara pemasang iklan
keberatan.
Namun, Alex tidak memungkiri bahwa berita bisa saja
tidak dimuat jika banyak iklan yang harus dipasang. Ruang
halaman koran mungkin saja dipenuhi oleh iklan sehingga
berita-berita tersingkir. "Kalau penuh iklan terus berita kalah
dan tidak bisa dimuat karena tidak ada ruang, aku kira itu masih
wajar," jelasnya.
Bagi Alex, aturan tegas perusahaan yang melarang
jurnalis menerima amplop dari narasumber merupakan bekal
penting untuk menepis intervensi pihak luar. Dengan tidak
menerima amplop, maka jurnalis bisa menulis berita sesuai
fakta yang ia kumpulkan.
Dari amplop hingga tumo
Kondisi ini berbeda waktu ia masih bekerja di media lain
yang terkenal sebagai koran kuning, koran yang banyak
menampilkan berita kriminal, seksualitas dan klenik. Saat itu,
menerima amplop hal yang lumrah saja.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
58 59
terdakwa menghampirinya. Ia meminta agar Alex tidak menulis
berita tentang pejabat itu.
Tegas saja, permintaan pengacara tadi ia tolak.
“Beritanya tetap saya tulis dan dimuat oleh redaktur,” katanya.
Iklan kalahkan berita
Selain percobaan intervensi dari luar redaksi, apakah
Alex juga pernah diintervensi oleh redaksinya sendiri? Ia
mengaku tidak pernah ada intervensi dari redaksi dalam
membuat berita. Alex diberi keleluasaan mencari dan mengolah
sumber pemberitaan sesuai keinginannya. "Hanya kalau untuk
berita penugasan, memang sudah ada pengarahan tentang garis
besar liputan. Tapi tak pernah ada intervensi apa yang tidak
boleh ditulis," tuturnya.
Begitu juga dengan iklan, menurutnya, tidak
berpengaruh terhadap isi berita. Pemasang iklan tidak bisa
melarang berita naik cetak jika berita itu berdampak buruk bagi
citra pemasang iklan. Setidaknya hingga saat ini, Alex tidak
pernah mengalami beritanya di-drop gara-gara pemasang iklan
keberatan.
Namun, Alex tidak memungkiri bahwa berita bisa saja
tidak dimuat jika banyak iklan yang harus dipasang. Ruang
halaman koran mungkin saja dipenuhi oleh iklan sehingga
berita-berita tersingkir. "Kalau penuh iklan terus berita kalah
dan tidak bisa dimuat karena tidak ada ruang, aku kira itu masih
wajar," jelasnya.
Bagi Alex, aturan tegas perusahaan yang melarang
jurnalis menerima amplop dari narasumber merupakan bekal
penting untuk menepis intervensi pihak luar. Dengan tidak
menerima amplop, maka jurnalis bisa menulis berita sesuai
fakta yang ia kumpulkan.
Dari amplop hingga tumo
Kondisi ini berbeda waktu ia masih bekerja di media lain
yang terkenal sebagai koran kuning, koran yang banyak
menampilkan berita kriminal, seksualitas dan klenik. Saat itu,
menerima amplop hal yang lumrah saja.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
58 59
Alex yang ditugaskan di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta menjelaskan, praktik pemberian amplop juga sering
ditemui saat ia bekerja. “Tapi praktik amplop di Jogja tak
sevulgar di Semarang. Saya kaget saat pertama kali melihat di
Semarang kok sekasar itu,” jelasnya.
Alex mencontohkan hal yang dianggapnya vulgar. Ia
melihat ada jurnalis yang terang-terangan minta imbalan
kepada narasumber jika kegiatannya hendak diberitakan.
Bahkan ada jurnalis yang datang terlambat di sebuah acara dan
mengetahui rekan-rekannya telah mendapatkan amplop, maka
ia akan mencari panitia acara untuk minta jatah yang sama.
Fakta tadi berbeda dengan di Yogya. Meski praktik
pemberian amplop juga ada, tapi jurnalis tidak agresif menagih
ke narasumber. “Kalau diberi ya diterima, kalau tak ada juga tak
apa-apa. Bahkan kalau tidak kebagian juga tidak minta ke
panitia,” jelasnya.
Rata-rata nilai nominal amplop di Yogya lebih kecil
dibandingkan di Semarang. Berdasarkan cerita rekan-rekannya
yang sering mengambil jatah amplop, nilainya berkisar antara
Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Sesekali memang ada yang
nilainya lebih dari Rp100 ribu, meski sangat jarang. Sementara
di Semarang, biasanya minimal Rp100 ribu.
Pemerintah provinsi Yogya juga menyediakan jatah
amplop bagi jurnalis yang diberikan setiap tiga bulan sekali,
jumlahnya sekitar Rp400 ribu. “Nilainya tentu lebih kecil
dibandingkan dengan di Semarang dan saya tak pernah ambil,”
kata Alex.
Sebagai perbandingan, Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah biasa memberikan jatah amplop Rp150 ribu dipotong
pajak untuk setiap kegiatan. Seandainya dalam sehari ada dua
kegiatan, maka akan ada dua jatah amplop pula. Sementara di
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, biasa
dikenal istilah “tumo” untuk amplop yang dibagikan seusai acara
rapat paripurna. “Tumo” akronim dari “pitu limo” atau tujuh
puluh lima, mengacu pada besaran uang amplop yang diberikan
oleh Setwan DPRD Jawa Tengah, yakni Rp75 ribu.
Di medianya yang lama, menurut Alex, jurnalis juga
diminta berkontribusi pada pendapatan perusahaan. Caranya
dengan menawarkan iklan atau pembelian koran pada
narasumber yang diliput.
Penawaran iklan disertai pembelian koran sering juga
diajukan kepada narasumber yang sedang “digebuki” dengan
berita-berita negatif. Biasanya narasumber yang punya masalah,
merasa keberatan jika masalah tersebut diketahui publik lewat
pemberitaan media. Apalagi jika pemberitaan tersebut muncul
berseri selama beberapa hari berturut-turut. Jika begini,
istilahnya, narasumber itu sedang “digebuki.”
Narasumber yang sedang “digebuki” biasanya mendekati
jurnalis dan meminta agar pemberitaan negatif dihentikan.
Bahkan tak jarang ada yang langsung datang ke kantor untuk
berunding dengan petinggi media. “Biasanya ada tawar
menawar untuk pasang iklan dan sebagian dikompensasikan
dalam bentuk pembelian koran,” jelas Alex.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
60 61
Alex yang ditugaskan di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta menjelaskan, praktik pemberian amplop juga sering
ditemui saat ia bekerja. “Tapi praktik amplop di Jogja tak
sevulgar di Semarang. Saya kaget saat pertama kali melihat di
Semarang kok sekasar itu,” jelasnya.
Alex mencontohkan hal yang dianggapnya vulgar. Ia
melihat ada jurnalis yang terang-terangan minta imbalan
kepada narasumber jika kegiatannya hendak diberitakan.
Bahkan ada jurnalis yang datang terlambat di sebuah acara dan
mengetahui rekan-rekannya telah mendapatkan amplop, maka
ia akan mencari panitia acara untuk minta jatah yang sama.
Fakta tadi berbeda dengan di Yogya. Meski praktik
pemberian amplop juga ada, tapi jurnalis tidak agresif menagih
ke narasumber. “Kalau diberi ya diterima, kalau tak ada juga tak
apa-apa. Bahkan kalau tidak kebagian juga tidak minta ke
panitia,” jelasnya.
Rata-rata nilai nominal amplop di Yogya lebih kecil
dibandingkan di Semarang. Berdasarkan cerita rekan-rekannya
yang sering mengambil jatah amplop, nilainya berkisar antara
Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Sesekali memang ada yang
nilainya lebih dari Rp100 ribu, meski sangat jarang. Sementara
di Semarang, biasanya minimal Rp100 ribu.
Pemerintah provinsi Yogya juga menyediakan jatah
amplop bagi jurnalis yang diberikan setiap tiga bulan sekali,
jumlahnya sekitar Rp400 ribu. “Nilainya tentu lebih kecil
dibandingkan dengan di Semarang dan saya tak pernah ambil,”
kata Alex.
Sebagai perbandingan, Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah biasa memberikan jatah amplop Rp150 ribu dipotong
pajak untuk setiap kegiatan. Seandainya dalam sehari ada dua
kegiatan, maka akan ada dua jatah amplop pula. Sementara di
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, biasa
dikenal istilah “tumo” untuk amplop yang dibagikan seusai acara
rapat paripurna. “Tumo” akronim dari “pitu limo” atau tujuh
puluh lima, mengacu pada besaran uang amplop yang diberikan
oleh Setwan DPRD Jawa Tengah, yakni Rp75 ribu.
Di medianya yang lama, menurut Alex, jurnalis juga
diminta berkontribusi pada pendapatan perusahaan. Caranya
dengan menawarkan iklan atau pembelian koran pada
narasumber yang diliput.
Penawaran iklan disertai pembelian koran sering juga
diajukan kepada narasumber yang sedang “digebuki” dengan
berita-berita negatif. Biasanya narasumber yang punya masalah,
merasa keberatan jika masalah tersebut diketahui publik lewat
pemberitaan media. Apalagi jika pemberitaan tersebut muncul
berseri selama beberapa hari berturut-turut. Jika begini,
istilahnya, narasumber itu sedang “digebuki.”
Narasumber yang sedang “digebuki” biasanya mendekati
jurnalis dan meminta agar pemberitaan negatif dihentikan.
Bahkan tak jarang ada yang langsung datang ke kantor untuk
berunding dengan petinggi media. “Biasanya ada tawar
menawar untuk pasang iklan dan sebagian dikompensasikan
dalam bentuk pembelian koran,” jelas Alex.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
60 61
BARAT meniti buih. Demikianlah Amir Machmud NS
mengandaikan tantangan pekerjaannya sebagai pemimpin Iredaksi harian Suara Merdeka. Tentu bukan perkara yang
mudah. Ia sadar betul, ada nilai-nilai ideal jurnalisme yang harus
dijaga kesuciannya. Namun, ketika memasuki ranah industri
media, jurnalisme menemukan ruang persinggungan dengan
nilai kapitalisme yang tak jarang bertolak belakang.
Sebagai pemimpin redaksi, dia harus menemukan
formula yang bisa mengkompromikan dua kepentingan. “Saya
harus menggabungkan idealisme jurnalistik dan ideologi pasar,”
ujarnya dalam sebuah perbincangan di sebuah restoran di
kawasan Jalan Pemuda, Semarang, 12 November 2013. “Tentu
bukan perkara mudah. Semua industri media juga
melakukannya”. Meski diakuinya, dalam kompromi tersebut,
terkadang nilai jurnalisme harus sedikit dikalahkan.
Prinsip mengawinkan dua kepentingan tersebut juga dia
sampaikan kepada wartawan Suara Merdeka. Ia menekankan,
dalam industri media, media bukan ruang yang steril,
independen, dan netral dari berbagai kepentingan. Ruang
pemberitaan (newsroom) bukan ruang hampa yang bersih dari
kepentingan. Setiap realitas (berita) yang dilansir media,
merupakan realitas yang sudah dibentuk dan hasil konstruksi
dari berbagai asupan. Asupan bisa datang dari berbagai macam
Ketika Sensor Datang dari Segala Penjuru
AJI Semarang
Pembelian koran ini dimaksudkan untuk mendongkrak
oplah media. Jumlah koran bisa 50 eksemplar, 100 eksemplar
atau sesuai kesepakatan bersama. Banyak atau sedikitnya
jumlah koran yang dibeli akan berpengaruh pada panjang
pendeknya artikel serta halaman pemuatannya. Berita yang
muncul juga sudah diperhalus.
Bagi media, cara ini tentu membantu keuangan
perusahaan. Sebaliknya, bagi narasumber kondisinya ibarat
sudah digebuki tertimpa koran lagi.
***
62 63
BARAT meniti buih. Demikianlah Amir Machmud NS
mengandaikan tantangan pekerjaannya sebagai pemimpin Iredaksi harian Suara Merdeka. Tentu bukan perkara yang
mudah. Ia sadar betul, ada nilai-nilai ideal jurnalisme yang harus
dijaga kesuciannya. Namun, ketika memasuki ranah industri
media, jurnalisme menemukan ruang persinggungan dengan
nilai kapitalisme yang tak jarang bertolak belakang.
Sebagai pemimpin redaksi, dia harus menemukan
formula yang bisa mengkompromikan dua kepentingan. “Saya
harus menggabungkan idealisme jurnalistik dan ideologi pasar,”
ujarnya dalam sebuah perbincangan di sebuah restoran di
kawasan Jalan Pemuda, Semarang, 12 November 2013. “Tentu
bukan perkara mudah. Semua industri media juga
melakukannya”. Meski diakuinya, dalam kompromi tersebut,
terkadang nilai jurnalisme harus sedikit dikalahkan.
Prinsip mengawinkan dua kepentingan tersebut juga dia
sampaikan kepada wartawan Suara Merdeka. Ia menekankan,
dalam industri media, media bukan ruang yang steril,
independen, dan netral dari berbagai kepentingan. Ruang
pemberitaan (newsroom) bukan ruang hampa yang bersih dari
kepentingan. Setiap realitas (berita) yang dilansir media,
merupakan realitas yang sudah dibentuk dan hasil konstruksi
dari berbagai asupan. Asupan bisa datang dari berbagai macam
Ketika Sensor Datang dari Segala Penjuru
AJI Semarang
Pembelian koran ini dimaksudkan untuk mendongkrak
oplah media. Jumlah koran bisa 50 eksemplar, 100 eksemplar
atau sesuai kesepakatan bersama. Banyak atau sedikitnya
jumlah koran yang dibeli akan berpengaruh pada panjang
pendeknya artikel serta halaman pemuatannya. Berita yang
muncul juga sudah diperhalus.
Bagi media, cara ini tentu membantu keuangan
perusahaan. Sebaliknya, bagi narasumber kondisinya ibarat
sudah digebuki tertimpa koran lagi.
***
62 63
peran. Wartawan yang
di lapangan, berpotensi memainkan peran. Misalnya, ketika
memilih narasumber, menentukan sudut pemberitaan,
merangkai kalimat, dan sebagainya.
Pada proses produksi berita selanjutnya, sangat
dimungkinkan, redaktur juga mempunyai kepentingan yang
tidak diketahui oleh jajaran redaksi di atasnya. Misalnya, ketika
redaktur tidak suka dengan narasumber, sudut pemberitaan
bisa diganti. Atau, secara ekstrem, redaktur bisa melakukan
penulisan ulang. Berita dari wartawan juga bisa dibongkar total.
Pada level di atasnya, redaktur pelaksana bisa jadi juga
mempunyai kepentingan dengan cara memainkan judul,
penempatan berita, besar kecilnya porsi berita, pemberian
infografis, sampai pemilihan foto.
Pemimpin redaksi sebagai penanggung jawab, suatu
ketika juga bisa mempunyai kepentingan. Begitu juga pemilik
modal. “Jadi, berita yang muncul bisa menjadi realitas yang
kesekian,” tegas Amir. “Sejak awal saya sampaikan kepada
wartawan, hal ini bukan tidak mungkin terjadi”.
Namun, Amir menambahkan, sejak menjadi pemimpin
redaksi pada Mei 2012, dia memastikan, munculnya
kepentingan yang mencampuri independensi pemberitaan
sangat sedikit. “Sangat kasuistik,” katanya. Bahkan, dalam
kasus-kasus besar, sama sekali tak ada muatan apa pun.
Misalnya dalam pemberitaan dugaan korupsi proyek simulator
ujian surat izin mengemudi pada Korps Lalu Lintas Kepolisian
menjadi ujung tombak penggalian berita Republik Indonesia dengan tersangka Inspektur Jenderal Djoko
Susilo. Saat berita ini muncul, Djoko Susilo adalah Gubernur
Akademi Kepolisian (Akpol). Dalam pemberitaan kasus ini,
sama sekali tak ada intervensi kepentingan dari mana pun,
meskipun medianya tentu mempunyai kedekatan dengan Akpol
sebagai bagian dari strategi membangun relasi. Bahkan, Amir
mengaku, Suara Merdeka sempat mendapatkan pujian dari
wartawan media nasional saat membuat headline “Irjen Djoko
'Raja' Properti”.
Masalah yang Rumit
Pada kasus pemberitaan suap APBD Kota Semarang
2012 yang melibatkan Wali Kota Semarang Soemarmo Hadi
Saputro, beberapa kalangan menuduh Suara Merdeka “ada
main” dengan pemberitaan. Tuduhan itu tak lepas dari
kedekatan Soemarmo dengan kalangan media tersebut. Bahkan
secara personal, Amir juga kenal dengan Soemarmo dalam
persinggungannya di klub sepak bola PSIS Semarang. Namun,
saat sang wali kota ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, berita itu dijadikan berita utama.
Terkait tak satu pun media lokal di Semarang, termasuk
Suara Merdeka yang memberitakan pemeriksaan KPK terhadap
Soemarmo saat menjadi saksi, Amir berkilah, tidak ada
intervensi apa pun. Pada 8 Desember 2011, KPK memeriksa
Soemarmo sebagai saksi kasus suap APBD 2012 dengan
tersangka Sekretaris Daerah Kota Semarang Akhmat Zaenuri
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
64 65
peran. Wartawan yang
di lapangan, berpotensi memainkan peran. Misalnya, ketika
memilih narasumber, menentukan sudut pemberitaan,
merangkai kalimat, dan sebagainya.
Pada proses produksi berita selanjutnya, sangat
dimungkinkan, redaktur juga mempunyai kepentingan yang
tidak diketahui oleh jajaran redaksi di atasnya. Misalnya, ketika
redaktur tidak suka dengan narasumber, sudut pemberitaan
bisa diganti. Atau, secara ekstrem, redaktur bisa melakukan
penulisan ulang. Berita dari wartawan juga bisa dibongkar total.
Pada level di atasnya, redaktur pelaksana bisa jadi juga
mempunyai kepentingan dengan cara memainkan judul,
penempatan berita, besar kecilnya porsi berita, pemberian
infografis, sampai pemilihan foto.
Pemimpin redaksi sebagai penanggung jawab, suatu
ketika juga bisa mempunyai kepentingan. Begitu juga pemilik
modal. “Jadi, berita yang muncul bisa menjadi realitas yang
kesekian,” tegas Amir. “Sejak awal saya sampaikan kepada
wartawan, hal ini bukan tidak mungkin terjadi”.
Namun, Amir menambahkan, sejak menjadi pemimpin
redaksi pada Mei 2012, dia memastikan, munculnya
kepentingan yang mencampuri independensi pemberitaan
sangat sedikit. “Sangat kasuistik,” katanya. Bahkan, dalam
kasus-kasus besar, sama sekali tak ada muatan apa pun.
Misalnya dalam pemberitaan dugaan korupsi proyek simulator
ujian surat izin mengemudi pada Korps Lalu Lintas Kepolisian
menjadi ujung tombak penggalian berita Republik Indonesia dengan tersangka Inspektur Jenderal Djoko
Susilo. Saat berita ini muncul, Djoko Susilo adalah Gubernur
Akademi Kepolisian (Akpol). Dalam pemberitaan kasus ini,
sama sekali tak ada intervensi kepentingan dari mana pun,
meskipun medianya tentu mempunyai kedekatan dengan Akpol
sebagai bagian dari strategi membangun relasi. Bahkan, Amir
mengaku, Suara Merdeka sempat mendapatkan pujian dari
wartawan media nasional saat membuat headline “Irjen Djoko
'Raja' Properti”.
Masalah yang Rumit
Pada kasus pemberitaan suap APBD Kota Semarang
2012 yang melibatkan Wali Kota Semarang Soemarmo Hadi
Saputro, beberapa kalangan menuduh Suara Merdeka “ada
main” dengan pemberitaan. Tuduhan itu tak lepas dari
kedekatan Soemarmo dengan kalangan media tersebut. Bahkan
secara personal, Amir juga kenal dengan Soemarmo dalam
persinggungannya di klub sepak bola PSIS Semarang. Namun,
saat sang wali kota ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, berita itu dijadikan berita utama.
Terkait tak satu pun media lokal di Semarang, termasuk
Suara Merdeka yang memberitakan pemeriksaan KPK terhadap
Soemarmo saat menjadi saksi, Amir berkilah, tidak ada
intervensi apa pun. Pada 8 Desember 2011, KPK memeriksa
Soemarmo sebagai saksi kasus suap APBD 2012 dengan
tersangka Sekretaris Daerah Kota Semarang Akhmat Zaenuri
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
64 65
yang tertangkap tangan menyuap sejumlah anggota legislatif.
Soemarmo disebut-sebut melakukan operasi penghilangan
berita, karena bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi
tingkat nasional yang dipusatkan di Semarang. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan hampir seluruh kepala daerah hadir
dalam acara tersebut.
Amir mengaku, saat awal pemberitaan suap yang
melibatkan Soemarmo, Suara Merdeka dihadapkan pada
masalah yang complicated (rumit). Namun setelah penetapan
sebagai tersangka sampai vonis di persidangan, proses
pemberitaan berjalan lancar. Secara umum, potensi sensor
datang dari empat faktor, yakni pemilik media, narasumber,
pemasang iklan, dan internal redaksi.
Terhadap berbagai upaya sensor, Amir mengaku selalu
mempertimbangkan untung ruginya jika menghentikan sebuah
pemberitaan. Misalnya, Suara Merdeka akan dianggap aneh
jika tidak memberitakan sebuah isu besar yang media lain,
terutama media kompetitor, juga memberitakannya.
Relasi pertemanan harus dihargai, namun berita harus
muncul secara proporsional dengan memberikan ruang
konfirmasi yang berimbang. Kasus korupsi yang melibatkan
pejabat dan kepala daerah, atau kebijakan kepala daerah yang
menuai pro-kontra, adalah isu pemberitaan yang sering
mendapatkan intervensi. Ada juga kepala daerah yang
mengancam akan berhenti berlangganan koran.
Harus Ada Kompromi
Pemasang iklan juga menjadi pihak yang berpotensi
mengintervensi independensi redaksi. Misalnya, ketika sebuah
agen tunggal pemegang merek mobil murah memasang iklan,
Suara Merdeka tentu berusaha untuk tidak menyajikan berita
yang menyudutkan kebijakan tentang mobil murah. Permintaan
pemasang iklan seperti itu, menurut Amir, merupakan sesuatu
yang lumrah. Pemasang iklan yang sudah membayar iklan
puluhan hingga ratusan juta rupiah, tentu saja tak ingin
dirugikan. Namun, sebisa mungkin redaksi tak terpengaruh.
Jika suatu saat ada benturan kepentingan antara redaksi dengan
pemasang iklan, harus ada kompromi yang tidak merugikan
pemasang iklan, tapi juga tidak menghilangkan berita. “Harus
bisa mengawinkan idealisme jurnalistik dan idealisme pasar,”
tukasnya.
Untuk meminimalisasi persinggungan kepentingan
antara redaksi dan iklan, perusahaan memberlakukan dua
kebijakan, yakni tidak diperbolehkan mendapatkan iklan
dengan imbal balik pemberitaan. Misalnya dengan menggenjot
pemberitaan tertentu dengan harapan pihak yang dirugikan
dalam pemberitaan memasang iklan sebagai kompromi. Selain
itu, wartawan juga dilarang mencari iklan, meski jika
berhubungan dengan institusi, wartawan lebih “dianggap”
daripada orang bagian iklan. Namun tak dilarang jika wartawan
menjadi penghubung antara bagian pencari iklan dengan calon
pemasang iklan. Hal ini diklaimnya sebagai kebijakan yang lebih
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
66 67
yang tertangkap tangan menyuap sejumlah anggota legislatif.
Soemarmo disebut-sebut melakukan operasi penghilangan
berita, karena bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi
tingkat nasional yang dipusatkan di Semarang. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan hampir seluruh kepala daerah hadir
dalam acara tersebut.
Amir mengaku, saat awal pemberitaan suap yang
melibatkan Soemarmo, Suara Merdeka dihadapkan pada
masalah yang complicated (rumit). Namun setelah penetapan
sebagai tersangka sampai vonis di persidangan, proses
pemberitaan berjalan lancar. Secara umum, potensi sensor
datang dari empat faktor, yakni pemilik media, narasumber,
pemasang iklan, dan internal redaksi.
Terhadap berbagai upaya sensor, Amir mengaku selalu
mempertimbangkan untung ruginya jika menghentikan sebuah
pemberitaan. Misalnya, Suara Merdeka akan dianggap aneh
jika tidak memberitakan sebuah isu besar yang media lain,
terutama media kompetitor, juga memberitakannya.
Relasi pertemanan harus dihargai, namun berita harus
muncul secara proporsional dengan memberikan ruang
konfirmasi yang berimbang. Kasus korupsi yang melibatkan
pejabat dan kepala daerah, atau kebijakan kepala daerah yang
menuai pro-kontra, adalah isu pemberitaan yang sering
mendapatkan intervensi. Ada juga kepala daerah yang
mengancam akan berhenti berlangganan koran.
Harus Ada Kompromi
Pemasang iklan juga menjadi pihak yang berpotensi
mengintervensi independensi redaksi. Misalnya, ketika sebuah
agen tunggal pemegang merek mobil murah memasang iklan,
Suara Merdeka tentu berusaha untuk tidak menyajikan berita
yang menyudutkan kebijakan tentang mobil murah. Permintaan
pemasang iklan seperti itu, menurut Amir, merupakan sesuatu
yang lumrah. Pemasang iklan yang sudah membayar iklan
puluhan hingga ratusan juta rupiah, tentu saja tak ingin
dirugikan. Namun, sebisa mungkin redaksi tak terpengaruh.
Jika suatu saat ada benturan kepentingan antara redaksi dengan
pemasang iklan, harus ada kompromi yang tidak merugikan
pemasang iklan, tapi juga tidak menghilangkan berita. “Harus
bisa mengawinkan idealisme jurnalistik dan idealisme pasar,”
tukasnya.
Untuk meminimalisasi persinggungan kepentingan
antara redaksi dan iklan, perusahaan memberlakukan dua
kebijakan, yakni tidak diperbolehkan mendapatkan iklan
dengan imbal balik pemberitaan. Misalnya dengan menggenjot
pemberitaan tertentu dengan harapan pihak yang dirugikan
dalam pemberitaan memasang iklan sebagai kompromi. Selain
itu, wartawan juga dilarang mencari iklan, meski jika
berhubungan dengan institusi, wartawan lebih “dianggap”
daripada orang bagian iklan. Namun tak dilarang jika wartawan
menjadi penghubung antara bagian pencari iklan dengan calon
pemasang iklan. Hal ini diklaimnya sebagai kebijakan yang lebih
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
66 67
maju dibandingkan dengan beberapa perusahaan media lain di
Semarang yang menyarankan wartawan nyambi mencari iklan.
Untuk meminimalisasi sensor yang dilakukan oleh
redaktur, jajaran redaksi menggelar rapat perencanaan dan
evaluasi tiap jam sembilan pagi. Rapat ini dimaksudkan untuk
menentukan rencana pemberitaan. Menentukan isu-isu yang
akan diangkat, diteruskan, dan diperdalam. Sore dan malam
hari, rapat serupa akan kembali digelar meskipun dengan forum
yang lebih terbatas untuk menentukan pembiayaan peliputan,
penempatan, penentuan foto, koreksi berita, sampai penentuan
judul.
Para wartawan di lapangan juga dianjurkan untuk
belanja berita secara lengkap, dari berbagai aspek. Bahwa
nantinya redaksi yang akan menentukan berita mana yang akan
dimuat, itu soal lain. Anjuran ini dimaksudkan untuk
menjauhkan interest (kepentingan) pribadi wartawan saat
melakukan peliputan.
Lantas, berita apa sajakah yang oleh Suara Merdeka
haram diintervensi dari pihak mana pun? Amir menyebutkan
ada tiga kriteria, yakni berita yang juga diberitakan media lain,
berita yang menjadi perhatian publik, serta berita dengan tiras
atau jumlah pembaca tinggi. Dengan demikian, kasus korupsi
kuota impor daging sapi, korupsi Hambalang, dan korupsi
simulator SIM adalah pemberitaan yang tak mungkin
diintervensi, meski banyak tekanan dari sana-sini. Sama halnya
saat pemberitaan kasus pembantaian di Lembaga
Pemasyarakatan Cebongan, DI Yogyakarta, yang dilakukan
personel Kopassus.
Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah atau
pejabat daerah juga menjadi harga mati. Misalnya, kasus
penyelewengan dana bantuan sosial. Amir berkomitmen untuk
memberitakannya. Bahkan dia mengaku awal menjadi
pemimpin redaksi, kasus bantuan sosial menjadi pertaruhan
untuk menepis stigma yang menyebut Suara Merdeka lemah
dalam pemberitaan korupsi di daerah. “Meski saya juga sering
menerima teror, kasus korupsi akan kami kawal secara
profesional dan proporsional,” ujarnya. Menurutnya, dalam
pemberitaan korupsi di daerah, tekanan yang diterima media
lokal jauh lebih besar dibanding dengan media nasional.
Amir menutup perbincangan yang berlangsung santai
saat itu dengan mengatakan, ibarat seorang perenang, wartawan
saat ini dituntut bisa berenang di tengah derasnya gelombang
hingga selamat sampai tujuan. Memang berat!
* * *
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
68 69
maju dibandingkan dengan beberapa perusahaan media lain di
Semarang yang menyarankan wartawan nyambi mencari iklan.
Untuk meminimalisasi sensor yang dilakukan oleh
redaktur, jajaran redaksi menggelar rapat perencanaan dan
evaluasi tiap jam sembilan pagi. Rapat ini dimaksudkan untuk
menentukan rencana pemberitaan. Menentukan isu-isu yang
akan diangkat, diteruskan, dan diperdalam. Sore dan malam
hari, rapat serupa akan kembali digelar meskipun dengan forum
yang lebih terbatas untuk menentukan pembiayaan peliputan,
penempatan, penentuan foto, koreksi berita, sampai penentuan
judul.
Para wartawan di lapangan juga dianjurkan untuk
belanja berita secara lengkap, dari berbagai aspek. Bahwa
nantinya redaksi yang akan menentukan berita mana yang akan
dimuat, itu soal lain. Anjuran ini dimaksudkan untuk
menjauhkan interest (kepentingan) pribadi wartawan saat
melakukan peliputan.
Lantas, berita apa sajakah yang oleh Suara Merdeka
haram diintervensi dari pihak mana pun? Amir menyebutkan
ada tiga kriteria, yakni berita yang juga diberitakan media lain,
berita yang menjadi perhatian publik, serta berita dengan tiras
atau jumlah pembaca tinggi. Dengan demikian, kasus korupsi
kuota impor daging sapi, korupsi Hambalang, dan korupsi
simulator SIM adalah pemberitaan yang tak mungkin
diintervensi, meski banyak tekanan dari sana-sini. Sama halnya
saat pemberitaan kasus pembantaian di Lembaga
Pemasyarakatan Cebongan, DI Yogyakarta, yang dilakukan
personel Kopassus.
Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah atau
pejabat daerah juga menjadi harga mati. Misalnya, kasus
penyelewengan dana bantuan sosial. Amir berkomitmen untuk
memberitakannya. Bahkan dia mengaku awal menjadi
pemimpin redaksi, kasus bantuan sosial menjadi pertaruhan
untuk menepis stigma yang menyebut Suara Merdeka lemah
dalam pemberitaan korupsi di daerah. “Meski saya juga sering
menerima teror, kasus korupsi akan kami kawal secara
profesional dan proporsional,” ujarnya. Menurutnya, dalam
pemberitaan korupsi di daerah, tekanan yang diterima media
lokal jauh lebih besar dibanding dengan media nasional.
Amir menutup perbincangan yang berlangsung santai
saat itu dengan mengatakan, ibarat seorang perenang, wartawan
saat ini dituntut bisa berenang di tengah derasnya gelombang
hingga selamat sampai tujuan. Memang berat!
* * *
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
68 69
Latar belakang
Himbauan moral yang menyatakan secara tegas bahwa
pers yang terbit di Semarang supaya bersikap independen selalu
dikemukakan. Hal ini menunjukkan bahwa selama ini pers di
daerah ini memang belum mampu menunjukkan sikap
independensinya. Kerugian yang didapatkan akibat pers yang
tidak independen adalah pembaca tidak mampu mendapatkan
informasi yang lengkap. Bahkan, lebih dari itu, informasi yang
memiliki nilai kepentingan yang tinggi bagi kehidupan publik
justru tidak dapat diakses. Akibat yang paling buruk dalam
situasi demikian adalah publik mengalami pengelabuan
informasi karena pers telah mendistorsikan realitas.
Banyak kemungkinan yang menjadikan pers tidak
independen. Apabila dilihat dari pendekatan lembaga media
(media institution), sebagaimana dikemukakan oleh Curran,
Gurevitch, dan Woollacott (dalam Gurevitch, et. al. [eds.], 1982:
11-16), setidaknya ada empat pokok persoalan yang menjadikan
pers tidak independen. Hal pertama adalah struktur
kelembagaan dan hubungan-hubungan peran. Persoalan yang
kedua adalah kepentingan ekonomi politik lembaga media.
Problem yang ketiga ialah ideologi-ideologi profesional dan
Riset Kuantitatif
Melihat Independensi Media Lokal dari Sisi Obyektivitas Pemberitaan
Politik dan Hukum
AJI Semarang
70 71
Latar belakang
Himbauan moral yang menyatakan secara tegas bahwa
pers yang terbit di Semarang supaya bersikap independen selalu
dikemukakan. Hal ini menunjukkan bahwa selama ini pers di
daerah ini memang belum mampu menunjukkan sikap
independensinya. Kerugian yang didapatkan akibat pers yang
tidak independen adalah pembaca tidak mampu mendapatkan
informasi yang lengkap. Bahkan, lebih dari itu, informasi yang
memiliki nilai kepentingan yang tinggi bagi kehidupan publik
justru tidak dapat diakses. Akibat yang paling buruk dalam
situasi demikian adalah publik mengalami pengelabuan
informasi karena pers telah mendistorsikan realitas.
Banyak kemungkinan yang menjadikan pers tidak
independen. Apabila dilihat dari pendekatan lembaga media
(media institution), sebagaimana dikemukakan oleh Curran,
Gurevitch, dan Woollacott (dalam Gurevitch, et. al. [eds.], 1982:
11-16), setidaknya ada empat pokok persoalan yang menjadikan
pers tidak independen. Hal pertama adalah struktur
kelembagaan dan hubungan-hubungan peran. Persoalan yang
kedua adalah kepentingan ekonomi politik lembaga media.
Problem yang ketiga ialah ideologi-ideologi profesional dan
Riset Kuantitatif
Melihat Independensi Media Lokal dari Sisi Obyektivitas Pemberitaan
Politik dan Hukum
AJI Semarang
70 71
praktik-praktik kerja. Dan, permasalahan terakhir yakni
interaksi lembaga media dengan lingkungan sosial-politiknya.
Apabila keempat hal itu diuraikan lebih mendalam lagi,
maka apa yang disebut sebagai independensi ruang pemberitaan
(newsroom) dapat dideskripsikan seperti ini. Pertama, secara
internal pada organisasi ruang pemberitaan terjadi pembagian
kerja dan distribusi kewenangan. Kalangan reporter yang berada
di lapangan untuk menjalankan liputan boleh jadi telah bersikap
independen terhadap suatu kasus. Tapi, editor atau redaktur
yang jabatannya berada lebih atas ternyata tidak bersikap
independen. Relasi peran yang bersifat tidak setara (asimetris)
ini jelas menjadikan ruang pemberitaan tidak memiliki
independensi yang memadai.
Kedua, kepentingan ekonomi politik institusi media
merujuk pada bagaimana pemilik media mempunyai agenda
tertentu dalam pemberitaan. Pemilik media, misalnya saja,
memiliki bisnis non-media yang bermasalah dengan
lingkungan, atau secara sengaja tidak memenuhi kewajiban
untuk membayar pajak, atau punya ambisi supaya
perusahaannya terkenal. Salah satu dari agenda terselubung
yang dikendalikan oleh pemilik media semacam itu jelas
mengakibatkan ruang pemberitaan tidak memenuhi syarat-
syarat independensi.
Terlebih lagi ketika pemilik media tersebut menjadi
pengurus salah satu partai politik atau setidaknya simpatisan
dari organisasi kemasyarakatan tertentu. Pada akhirnya, dia
memposisikan media yang dimilikinya sebagai sebuah
instrumen untuk menyuarakan kepentingan politik tertentu
pula.
Ketiga, ideologi-ideologi profesional dan praktik-praktik
kerja yang terdapat dalam diri setiap wartawan tidaklah
seragam. Para wartawan, tentu saja, sudah sangat paham apa
pengertian berita. Mereka juga sangat fasih untuk membedakan
peristiwa yang memiliki nilai berita tinggi atau tidak.
Mereka tidak perlu diragukan lagi kemampuannya untuk
meliput berbagai peristiwa. Hanya saja semua pengetahuan dan
kecakapan teknis itu tidak diimbangi dengan pemahaman dan
komitmen secara moral. Padahal, apa yang disebut dengan
independensi berada dalam domain moralitas media yang tidak
mudah disosialisasikan apalagi dipraktikkan dalam kerja sehari-
hari.
Terakhir, atau keempat, interaksi media dengan
lingkungan sosial-politiknya. Lembaga media tidak pernah
hidup dan bertumbuh dalam kevakuman sosial. Justru media
mampu menunjukkan kesuksesannya ketika berhasil
menjalankan adaptasi dan menyiasati lingkungan sosial-politik
yang melingkupinya. Apalagi jika dilihat secara lebih cermat
akan menunjukkan bahwa media tidak berbeda dengan bisnis
lainnya, yakni menjual komoditas dalam bentuk informasi.
Independensi media bisa demikian terpengaruh karena
media sangat ditentukan eksistensinya oleh pihak-pihak
eksternal, seperti masyarakat secara umum, pelanggan,
pemerintah, pemasang iklan, berbagai organisasi
kemasyarakatan, dan bahkan dengan para pesaingnya sendiri.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
72 73
praktik-praktik kerja. Dan, permasalahan terakhir yakni
interaksi lembaga media dengan lingkungan sosial-politiknya.
Apabila keempat hal itu diuraikan lebih mendalam lagi,
maka apa yang disebut sebagai independensi ruang pemberitaan
(newsroom) dapat dideskripsikan seperti ini. Pertama, secara
internal pada organisasi ruang pemberitaan terjadi pembagian
kerja dan distribusi kewenangan. Kalangan reporter yang berada
di lapangan untuk menjalankan liputan boleh jadi telah bersikap
independen terhadap suatu kasus. Tapi, editor atau redaktur
yang jabatannya berada lebih atas ternyata tidak bersikap
independen. Relasi peran yang bersifat tidak setara (asimetris)
ini jelas menjadikan ruang pemberitaan tidak memiliki
independensi yang memadai.
Kedua, kepentingan ekonomi politik institusi media
merujuk pada bagaimana pemilik media mempunyai agenda
tertentu dalam pemberitaan. Pemilik media, misalnya saja,
memiliki bisnis non-media yang bermasalah dengan
lingkungan, atau secara sengaja tidak memenuhi kewajiban
untuk membayar pajak, atau punya ambisi supaya
perusahaannya terkenal. Salah satu dari agenda terselubung
yang dikendalikan oleh pemilik media semacam itu jelas
mengakibatkan ruang pemberitaan tidak memenuhi syarat-
syarat independensi.
Terlebih lagi ketika pemilik media tersebut menjadi
pengurus salah satu partai politik atau setidaknya simpatisan
dari organisasi kemasyarakatan tertentu. Pada akhirnya, dia
memposisikan media yang dimilikinya sebagai sebuah
instrumen untuk menyuarakan kepentingan politik tertentu
pula.
Ketiga, ideologi-ideologi profesional dan praktik-praktik
kerja yang terdapat dalam diri setiap wartawan tidaklah
seragam. Para wartawan, tentu saja, sudah sangat paham apa
pengertian berita. Mereka juga sangat fasih untuk membedakan
peristiwa yang memiliki nilai berita tinggi atau tidak.
Mereka tidak perlu diragukan lagi kemampuannya untuk
meliput berbagai peristiwa. Hanya saja semua pengetahuan dan
kecakapan teknis itu tidak diimbangi dengan pemahaman dan
komitmen secara moral. Padahal, apa yang disebut dengan
independensi berada dalam domain moralitas media yang tidak
mudah disosialisasikan apalagi dipraktikkan dalam kerja sehari-
hari.
Terakhir, atau keempat, interaksi media dengan
lingkungan sosial-politiknya. Lembaga media tidak pernah
hidup dan bertumbuh dalam kevakuman sosial. Justru media
mampu menunjukkan kesuksesannya ketika berhasil
menjalankan adaptasi dan menyiasati lingkungan sosial-politik
yang melingkupinya. Apalagi jika dilihat secara lebih cermat
akan menunjukkan bahwa media tidak berbeda dengan bisnis
lainnya, yakni menjual komoditas dalam bentuk informasi.
Independensi media bisa demikian terpengaruh karena
media sangat ditentukan eksistensinya oleh pihak-pihak
eksternal, seperti masyarakat secara umum, pelanggan,
pemerintah, pemasang iklan, berbagai organisasi
kemasyarakatan, dan bahkan dengan para pesaingnya sendiri.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
72 73
Independensi ruang pemberitaan media menjadi sebuah
persoalan yang punya kompleksitas yang tinggi. Sebabnya
adalah independensi itu tidak sekadar berkaitan dengan
komitmen ataupun, sebaliknya, pelanggaran moral yang
dilakukan wartawan secara individual. Independensi yang
terjadi dalam ruang pemberitaan melibatkan banyak aspek, dari
persoalan bisnis sampai politis, yang bertali-temali dengan
aktor-aktor yang tidak mudah dilacak jejak-jejaknya dalam
mempengaruhi kebijakan ruang redaksional. Secara tegas dapat
dikemukakan bahwa semua pemangku kepentingan media, baik
dalam lingkup internal maupun domain eksternal, memiliki
peluang-peluang untuk mempengaruhi independensi ruang
pemberitaan.
Perumusan masalah
Independensi, sebagaimana ditulis Oxford Advanced thLearner's Dictionary: 7 Edition (2005: 789), memiliki
pengertian “kebebasan dari kontrol politik oleh negara-negara
lain”. Kalau hal ini diterapkan dalam kasus pemberitaan pers,
independensi bisa dimaknai sebagai “kebebasan pers, dalam hal
ini ruang pemberitaan, dari kontrol pihak-pihak lain”. Siapa
yang disebut sebagai pihak-pihak lain itu adalah kekuatan
eksternal yang dianggap bisa memengaruhi kebebasan
wartawan dalam menentukan agenda pemberitaan. Ruang
pemberitaan yang independen dimengerti sebagai tidak adanya
satu pihak pun yang menjalankan intervensi terhadap proses
kerja wartawan, baik itu yang bersifat bisnis, sosial, maupun
yang bercorak politis.
Hanya saja konsep tentang independensi tersebut tidak
dikenal dalam literatur kajian media ataupun jurnalistik.
Independensi, agaknya, lebih mencuat sebagai suatu keinginan,
sebuah harapan, yang dikehendaki oleh kalangan wartawan
untuk tidak mendapatkan campur tangan dari rezim politik yang
sedang berkuasa. Di samping itu, independensi bisa juga
merujuk pada aspirasi para wartawan untuk tidak diintervensi
secara bertubi-tubi oleh kepentingan bisnis, sosial, dan politis
pemilik media.
Konsep yang sudah dikenal untuk menggantikan
pengertian independensi adalah obyektivitas. Dalam
pemahaman itu bisa juga dibedakan bahwa independensi
merujuk pada tidak adanya intervensi terhadap wartawan dalam
proses pemberitaan. Sementara itu, apa yang disebut sebagai
obyektivitas merujuk pada hasil kerja wartawan, dalam hal ini
berita, yang tidak menunjukkan indikasi keberpihakan terhadap
kepentingan tertentu.
D a l a m k o n t e k s d e m i k i a n , p e n e l i t i a n i n i
mendeskripsikan tentang obyektivitas yang ditunjukkan oleh
sejumlah lembaga pers yang terdapat di Semarang, yaitu Suara
Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar Semarang, Koran Sindo
edisi Jateng, dan Tribun Jateng dalam pemberitaan-
pemberitaannya. Karena obyektivitas pers secara hipotetis
sangat rentan untuk diintervensi terutama dalam tema politik
dan hukum, maka fokus pemberitaan yang dikaji dalam
penelitian ini adalah kedua topik tersebut.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
74 75
Independensi ruang pemberitaan media menjadi sebuah
persoalan yang punya kompleksitas yang tinggi. Sebabnya
adalah independensi itu tidak sekadar berkaitan dengan
komitmen ataupun, sebaliknya, pelanggaran moral yang
dilakukan wartawan secara individual. Independensi yang
terjadi dalam ruang pemberitaan melibatkan banyak aspek, dari
persoalan bisnis sampai politis, yang bertali-temali dengan
aktor-aktor yang tidak mudah dilacak jejak-jejaknya dalam
mempengaruhi kebijakan ruang redaksional. Secara tegas dapat
dikemukakan bahwa semua pemangku kepentingan media, baik
dalam lingkup internal maupun domain eksternal, memiliki
peluang-peluang untuk mempengaruhi independensi ruang
pemberitaan.
Perumusan masalah
Independensi, sebagaimana ditulis Oxford Advanced thLearner's Dictionary: 7 Edition (2005: 789), memiliki
pengertian “kebebasan dari kontrol politik oleh negara-negara
lain”. Kalau hal ini diterapkan dalam kasus pemberitaan pers,
independensi bisa dimaknai sebagai “kebebasan pers, dalam hal
ini ruang pemberitaan, dari kontrol pihak-pihak lain”. Siapa
yang disebut sebagai pihak-pihak lain itu adalah kekuatan
eksternal yang dianggap bisa memengaruhi kebebasan
wartawan dalam menentukan agenda pemberitaan. Ruang
pemberitaan yang independen dimengerti sebagai tidak adanya
satu pihak pun yang menjalankan intervensi terhadap proses
kerja wartawan, baik itu yang bersifat bisnis, sosial, maupun
yang bercorak politis.
Hanya saja konsep tentang independensi tersebut tidak
dikenal dalam literatur kajian media ataupun jurnalistik.
Independensi, agaknya, lebih mencuat sebagai suatu keinginan,
sebuah harapan, yang dikehendaki oleh kalangan wartawan
untuk tidak mendapatkan campur tangan dari rezim politik yang
sedang berkuasa. Di samping itu, independensi bisa juga
merujuk pada aspirasi para wartawan untuk tidak diintervensi
secara bertubi-tubi oleh kepentingan bisnis, sosial, dan politis
pemilik media.
Konsep yang sudah dikenal untuk menggantikan
pengertian independensi adalah obyektivitas. Dalam
pemahaman itu bisa juga dibedakan bahwa independensi
merujuk pada tidak adanya intervensi terhadap wartawan dalam
proses pemberitaan. Sementara itu, apa yang disebut sebagai
obyektivitas merujuk pada hasil kerja wartawan, dalam hal ini
berita, yang tidak menunjukkan indikasi keberpihakan terhadap
kepentingan tertentu.
D a l a m k o n t e k s d e m i k i a n , p e n e l i t i a n i n i
mendeskripsikan tentang obyektivitas yang ditunjukkan oleh
sejumlah lembaga pers yang terdapat di Semarang, yaitu Suara
Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar Semarang, Koran Sindo
edisi Jateng, dan Tribun Jateng dalam pemberitaan-
pemberitaannya. Karena obyektivitas pers secara hipotetis
sangat rentan untuk diintervensi terutama dalam tema politik
dan hukum, maka fokus pemberitaan yang dikaji dalam
penelitian ini adalah kedua topik tersebut.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
74 75
Tujuan penelitian
Mendeskripsikan obyektivitas pemberitaan yang
ditampilkan Suara Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar
Semarang, Koran Sindo edisi Jateng, dan Tribun Jateng dalam
kasus-kasus politik dan hukum.
Kerangka pemikiran
Obyektivitas, sebagai pengertian yang merujuk pada
hasil pemberitaan yang berasal dari proses pembuatan berita
yang dijalankan wartawan secara independen, sebenarnya
menjadi perdebatan tersendiri dalam dunia jurnalistik.
Pertanyaan yang menggugat keberadaan obyektivitas muncul
ketika terdapat pandangan bahwa apa yang disebut sebagai
obyektivitas itu merupakan hal yang tidak mungkin dijangkau
dalam berita-berita yang diproduksi kalangan wartawan.
Persoalan lainnya mencakup pandangan terhadap
konsekuensi apabila obyektivitas benar-benar diterapkan dalam
berita. Pertanyaan yang bergulir berikutnya adalah kira-kira
siapakah yang mendapat keuntungan dengan penyajian berita-
berita yang memiliki obyektivitas itu. Terlebih lagi jika
pemberitaan pers menyoroti kasus-kasus konfliktual yang
menghadapkan secara diametral antara kelompok mayoritas
versus kelompok minoritas, apa pun yang dimaksudkan dengan
konsep itu, seperti agama, seks, jender, etnis, ras, dan kelas.
Maka, berita yang dikatakan obyektif justru seharusnya
memihak kaum mayoritas.
Potter (2005: 9) pernah menjelaskan bahwa pada tahun
1996, U.S. Society of Professional Journalists melenyapkan kata
obyektivitas dari kode etiknya. Alasan yang dikemukakan adalah
jurnalis pada dasarnya merupakan manusia biasa. Kalangan
jurnalis itu memiliki kepedulian terhadap pekerjaan mereka dan
sudah pasti mereka memiliki pendapat juga. Dengan
menyatakan bahwa kalangan jurnalis harus bersikap obyektif
sama dengan memandang mereka sebagai pihak-pihak yang
tidak memiliki nilai-nilai. Jadi, hal yang harus tetap
diperhatikan adalah jurnalis memang memiliki nilai atau
pandangan tertentu. Hanya saja nilai atau pandangan tersebut
harus tetap dikontrol dengan baik sehingga tidak menghasilkan
pemberitaan yang bias.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa
hasil pemberitaan para jurnalis harus obyektif masih tetap
dianggap sebagai kewajiban moral yang mutlak dilakukan
sekalipun perdebatan mengenai konsep itu masih saja terjadi.
Artinya, berita-berita yang obyektif dianggap sebagai penanda
bahwa wartawan mempunyai kinerja yang baik.
Selain para wartawan wajib menguasai kompetensi
teknis, seperti paham bahwa berita harus memuat unsur-unsur
5W dan 1H (Who, What, Where, When, Why, dan How) serta
nilai-nilai berita (news values), misalnya saja aktualitas,
proksimitas, popularitas, kontroversi, dampak, masih
dibicarakan, dan keunikan, mereka pun harus mematuhi aturan-
aturan etis. Salah satu etika yang tidak bisa diabaikan adalah
konsep yang disebut dengan obyektivitas.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
76 77
Tujuan penelitian
Mendeskripsikan obyektivitas pemberitaan yang
ditampilkan Suara Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar
Semarang, Koran Sindo edisi Jateng, dan Tribun Jateng dalam
kasus-kasus politik dan hukum.
Kerangka pemikiran
Obyektivitas, sebagai pengertian yang merujuk pada
hasil pemberitaan yang berasal dari proses pembuatan berita
yang dijalankan wartawan secara independen, sebenarnya
menjadi perdebatan tersendiri dalam dunia jurnalistik.
Pertanyaan yang menggugat keberadaan obyektivitas muncul
ketika terdapat pandangan bahwa apa yang disebut sebagai
obyektivitas itu merupakan hal yang tidak mungkin dijangkau
dalam berita-berita yang diproduksi kalangan wartawan.
Persoalan lainnya mencakup pandangan terhadap
konsekuensi apabila obyektivitas benar-benar diterapkan dalam
berita. Pertanyaan yang bergulir berikutnya adalah kira-kira
siapakah yang mendapat keuntungan dengan penyajian berita-
berita yang memiliki obyektivitas itu. Terlebih lagi jika
pemberitaan pers menyoroti kasus-kasus konfliktual yang
menghadapkan secara diametral antara kelompok mayoritas
versus kelompok minoritas, apa pun yang dimaksudkan dengan
konsep itu, seperti agama, seks, jender, etnis, ras, dan kelas.
Maka, berita yang dikatakan obyektif justru seharusnya
memihak kaum mayoritas.
Potter (2005: 9) pernah menjelaskan bahwa pada tahun
1996, U.S. Society of Professional Journalists melenyapkan kata
obyektivitas dari kode etiknya. Alasan yang dikemukakan adalah
jurnalis pada dasarnya merupakan manusia biasa. Kalangan
jurnalis itu memiliki kepedulian terhadap pekerjaan mereka dan
sudah pasti mereka memiliki pendapat juga. Dengan
menyatakan bahwa kalangan jurnalis harus bersikap obyektif
sama dengan memandang mereka sebagai pihak-pihak yang
tidak memiliki nilai-nilai. Jadi, hal yang harus tetap
diperhatikan adalah jurnalis memang memiliki nilai atau
pandangan tertentu. Hanya saja nilai atau pandangan tersebut
harus tetap dikontrol dengan baik sehingga tidak menghasilkan
pemberitaan yang bias.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa
hasil pemberitaan para jurnalis harus obyektif masih tetap
dianggap sebagai kewajiban moral yang mutlak dilakukan
sekalipun perdebatan mengenai konsep itu masih saja terjadi.
Artinya, berita-berita yang obyektif dianggap sebagai penanda
bahwa wartawan mempunyai kinerja yang baik.
Selain para wartawan wajib menguasai kompetensi
teknis, seperti paham bahwa berita harus memuat unsur-unsur
5W dan 1H (Who, What, Where, When, Why, dan How) serta
nilai-nilai berita (news values), misalnya saja aktualitas,
proksimitas, popularitas, kontroversi, dampak, masih
dibicarakan, dan keunikan, mereka pun harus mematuhi aturan-
aturan etis. Salah satu etika yang tidak bisa diabaikan adalah
konsep yang disebut dengan obyektivitas.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
76 77
Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa
obyektivitas secara konseptual lebih ketat dibandingkan dengan
konsep ketidakberpihakan ( impartiality) . Apabila
ketidakberpihakan mencakup pengertian tentang kejujuran,
bahkan benar-benar jujur ketika berkepentingan dengan orang
lain, dan akurasi, maka obyektivitas melampaui hal tersebut.
Obyektivitas mengandaikan ada sesuatu yang secara eksternal
dapat diobservasi di luar pemikiran kita dan ada fakta-fakta yang
dapat diverifikasi terpisah dari nilai-nilai subyektif yang dimiliki
oleh wartawan.
Dari pengandaian tersebut, maka jurnalisme yang
obyektif mempunyai tiga karakteristik, yaitu memisahkan fakta
dari opini, menyajikan keseimbangan ketika media
memberitakan sebuah perdebatan, dan melakukan validasi
pernyataan-pernyataan jurnalistik dengan merujuk kepada
pihak-pihak lain yang mempunyai otoritas (Franklin, et. al.,
2005: 177). Namun, dalam pengertian itu pun sebenarnya masih
terdapat bias subyektivitas. Hal ini dikarenakan sumber-sumber
yang dianggap memiliki otoritas sekalipun pasti akan
menunjukkan sifat subyektifnya ketika memberikan
pernyataan-pernyataan.
Pendapat hampir serupa tentang obyektivitas
dikemukakan pula oleh Boyer (sebagaimana dikutip McQuail,
1993: 184-185), yang mengemukakan enam elemen utama,
yakni: (1) berimbang dan benar-benar jujur dalam
menghadirkan sisi-sisi yang berbeda dari sebuah isu; (2) akurasi
dan menganut prinsip realisme dalam reportase; (3) menyajikan
seluruh hal penting yang relevan; (4) memisahkan fakta dari
opini; (5) meminimalkan pengaruh dari sikap, pendapat
ataupun keterlibatan penulis; dan (6) menghindarkan tujuan
yang bersifat mengarahkan, menimbulkan kebencian, dan
melakukan penipuan.
Tentu saja, berbagai konsep dan upaya untuk
menampilkan detail operasional tentang obyektivitas dapat
dituliskan secara lebih panjang. Hanya saja persoalan yang tidak
kalah penting dan jauh lebih substansial adalah bagaimana hal
itu dijalankan ketika wartawan menuliskan berita. Bahkan,
untuk membedakan peristiwa yang dianggap layak dijadikan
berita atau tidak pun telah melahirkan perdebatan tersendiri.
Misalnya saja berita yang seringkali melibatkan elite masyarakat
dan elite bangsa (pendapat Galtung dan Ruge ini dikutip oleh
Fleming, et. al., 2006: 5-6). Inilah yang dalam nilai berita disebut
sebagai elemen prominence (keterkenalan), sehingga
memunculkan hukum besi dalam jurnalisme, yaitu name makes
news (nama membuat berita). Lain halnya dengan orang-orang
kecil yang baru bisa diberitakan kalau melakukan suatu
perbuatan yang dianggap luar biasa (extraordinary) atau di luar
kelaziman (unusual).
Terlepas dari berbagai perdebatan tentang konsep
obyektivitas, persoalan yang relevan dikemukakan adalah
obyektivitas merujuk pada bagaimana berita harus dikaji secara
teliti, diorganisasikan, serta dihadirkan. Dalam sudut pandang
demikian, obyektivitas dapat diartikan sebagai penghadiran
secara jujur, berimbang, dan tidak memihak peristiwa-peristiwa
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
78 79
Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa
obyektivitas secara konseptual lebih ketat dibandingkan dengan
konsep ketidakberpihakan ( impartiality) . Apabila
ketidakberpihakan mencakup pengertian tentang kejujuran,
bahkan benar-benar jujur ketika berkepentingan dengan orang
lain, dan akurasi, maka obyektivitas melampaui hal tersebut.
Obyektivitas mengandaikan ada sesuatu yang secara eksternal
dapat diobservasi di luar pemikiran kita dan ada fakta-fakta yang
dapat diverifikasi terpisah dari nilai-nilai subyektif yang dimiliki
oleh wartawan.
Dari pengandaian tersebut, maka jurnalisme yang
obyektif mempunyai tiga karakteristik, yaitu memisahkan fakta
dari opini, menyajikan keseimbangan ketika media
memberitakan sebuah perdebatan, dan melakukan validasi
pernyataan-pernyataan jurnalistik dengan merujuk kepada
pihak-pihak lain yang mempunyai otoritas (Franklin, et. al.,
2005: 177). Namun, dalam pengertian itu pun sebenarnya masih
terdapat bias subyektivitas. Hal ini dikarenakan sumber-sumber
yang dianggap memiliki otoritas sekalipun pasti akan
menunjukkan sifat subyektifnya ketika memberikan
pernyataan-pernyataan.
Pendapat hampir serupa tentang obyektivitas
dikemukakan pula oleh Boyer (sebagaimana dikutip McQuail,
1993: 184-185), yang mengemukakan enam elemen utama,
yakni: (1) berimbang dan benar-benar jujur dalam
menghadirkan sisi-sisi yang berbeda dari sebuah isu; (2) akurasi
dan menganut prinsip realisme dalam reportase; (3) menyajikan
seluruh hal penting yang relevan; (4) memisahkan fakta dari
opini; (5) meminimalkan pengaruh dari sikap, pendapat
ataupun keterlibatan penulis; dan (6) menghindarkan tujuan
yang bersifat mengarahkan, menimbulkan kebencian, dan
melakukan penipuan.
Tentu saja, berbagai konsep dan upaya untuk
menampilkan detail operasional tentang obyektivitas dapat
dituliskan secara lebih panjang. Hanya saja persoalan yang tidak
kalah penting dan jauh lebih substansial adalah bagaimana hal
itu dijalankan ketika wartawan menuliskan berita. Bahkan,
untuk membedakan peristiwa yang dianggap layak dijadikan
berita atau tidak pun telah melahirkan perdebatan tersendiri.
Misalnya saja berita yang seringkali melibatkan elite masyarakat
dan elite bangsa (pendapat Galtung dan Ruge ini dikutip oleh
Fleming, et. al., 2006: 5-6). Inilah yang dalam nilai berita disebut
sebagai elemen prominence (keterkenalan), sehingga
memunculkan hukum besi dalam jurnalisme, yaitu name makes
news (nama membuat berita). Lain halnya dengan orang-orang
kecil yang baru bisa diberitakan kalau melakukan suatu
perbuatan yang dianggap luar biasa (extraordinary) atau di luar
kelaziman (unusual).
Terlepas dari berbagai perdebatan tentang konsep
obyektivitas, persoalan yang relevan dikemukakan adalah
obyektivitas merujuk pada bagaimana berita harus dikaji secara
teliti, diorganisasikan, serta dihadirkan. Dalam sudut pandang
demikian, obyektivitas dapat diartikan sebagai penghadiran
secara jujur, berimbang, dan tidak memihak peristiwa-peristiwa
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
78 79
dalam pemberitaan yang semata-mata didasarkan pada fakta
dan tanpa penafsiran apa pun terhadapnya.
Dalam teknik penulisan berita, obyektivitas semacam itu
dapat dicapai dengan empat langkah pokok, yakni: (1) berita
ditulis dalam format piramida terbalik yang berarti bagian-
bagian paling penting dari berita mendapatkan prioritas utama;
(2) sudut pandang yang digunakan dalam penulisan berita
adalah orang ketiga; (3) setidaknya terdapat dua pihak yang
dituliskan ketika berita menyoroti persoalan tertentu yang
secara potensial atau riil mengandung konflik; dan (4) berita
memuat kutipan pernyataan dari ahli yang dianggap memiliki
kompetensi di bidang yang sedang disoroti media. Kriteria ini
dapat diberlakukan dalam jenis medium apa pun (Turow, 2009:
55).
Format penulisan piramida terbalik yang dianggap
memiliki obyektivitas itu bukan merupakan hal yang baru dalam
jurnalistik. Piramida terbalik merupakan teknik penulisan dasar
yang mengharuskan wartawan menuliskan terlebih dahulu
elemen-elemen dari kejadian yang dianggap paling penting
sampai kurang penting bagi khalayak.
Format penulisan dengan gaya piramida terbalik lazim
digunakan dalam berita-berita yang memuat nilai berita
aktualitas. Penggunaan sudut pandang orang ketiga (third
person) dalam penulisan berita diyakini mampu menjaga jarak
keterlibatan antara wartawan dengan pihak (obyek) lain yang
sedang diliputnya. Alasannya, sudut pandang penceritaan orang
ketiga diandaikan mampu memosisikan jurnalis di luar arena
persoalan yang sedang disorotinya.
Berita yang dianggap bagus dan mempunyai nilai berita
yang tinggi biasanya jika memuat unsur kontroversi,
perdebatan, konflik, pro-kontra, atau apa pun istilah yang
mampu digunakan untuk menghadirkan pertikaian dua pihak
atau lebih. Bahkan, dalam dunia jurnalisme sendiri, terutama
jurnalisme tabloid yang mengandalkan sensasionalisme, dikenal
slogan yang sangat terkenal “if it bleeds, it leads”, semakin
berdarah-darah semakin bagus.
Dalam dunia jurnalistik yang hendak menunjukkan
kualitas pemberitaan yang obyektif, maka slogan tersebut
ditinggalkan. Obyektivitas menjadi salah satu tujuan dalam
pemberitaan dengan cara memuat pernyataan semua pihak yang
terlibat dalam pertengkaran. Pada akhirnya, kutipan pernyataan
dari seseorang yang dianggap berkompeten dalam bidang yang
diperdebatkan pun menjadi tolok ukur apakah suatu berita
dapat dinilai obyektif atau sebaliknya. Tentu saja, pihak
berkompeten yang dikutip pernyatannya itu tidak boleh terlibat
atau menjadi bagian dalam perdebatan yang sedang diliput oleh
media.
Secara historis, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus
jurnalisme di Amerika Serikat, konsep tentang obyektivitas
berkaitan erat dengan keberadaan media untuk tidak
memberikan dukungan (nonpartisanship) kepada pihak mana
pun. Bahkan, bisa dikemukakan bahwa nonpartisanship adalah
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
80 81
dalam pemberitaan yang semata-mata didasarkan pada fakta
dan tanpa penafsiran apa pun terhadapnya.
Dalam teknik penulisan berita, obyektivitas semacam itu
dapat dicapai dengan empat langkah pokok, yakni: (1) berita
ditulis dalam format piramida terbalik yang berarti bagian-
bagian paling penting dari berita mendapatkan prioritas utama;
(2) sudut pandang yang digunakan dalam penulisan berita
adalah orang ketiga; (3) setidaknya terdapat dua pihak yang
dituliskan ketika berita menyoroti persoalan tertentu yang
secara potensial atau riil mengandung konflik; dan (4) berita
memuat kutipan pernyataan dari ahli yang dianggap memiliki
kompetensi di bidang yang sedang disoroti media. Kriteria ini
dapat diberlakukan dalam jenis medium apa pun (Turow, 2009:
55).
Format penulisan piramida terbalik yang dianggap
memiliki obyektivitas itu bukan merupakan hal yang baru dalam
jurnalistik. Piramida terbalik merupakan teknik penulisan dasar
yang mengharuskan wartawan menuliskan terlebih dahulu
elemen-elemen dari kejadian yang dianggap paling penting
sampai kurang penting bagi khalayak.
Format penulisan dengan gaya piramida terbalik lazim
digunakan dalam berita-berita yang memuat nilai berita
aktualitas. Penggunaan sudut pandang orang ketiga (third
person) dalam penulisan berita diyakini mampu menjaga jarak
keterlibatan antara wartawan dengan pihak (obyek) lain yang
sedang diliputnya. Alasannya, sudut pandang penceritaan orang
ketiga diandaikan mampu memosisikan jurnalis di luar arena
persoalan yang sedang disorotinya.
Berita yang dianggap bagus dan mempunyai nilai berita
yang tinggi biasanya jika memuat unsur kontroversi,
perdebatan, konflik, pro-kontra, atau apa pun istilah yang
mampu digunakan untuk menghadirkan pertikaian dua pihak
atau lebih. Bahkan, dalam dunia jurnalisme sendiri, terutama
jurnalisme tabloid yang mengandalkan sensasionalisme, dikenal
slogan yang sangat terkenal “if it bleeds, it leads”, semakin
berdarah-darah semakin bagus.
Dalam dunia jurnalistik yang hendak menunjukkan
kualitas pemberitaan yang obyektif, maka slogan tersebut
ditinggalkan. Obyektivitas menjadi salah satu tujuan dalam
pemberitaan dengan cara memuat pernyataan semua pihak yang
terlibat dalam pertengkaran. Pada akhirnya, kutipan pernyataan
dari seseorang yang dianggap berkompeten dalam bidang yang
diperdebatkan pun menjadi tolok ukur apakah suatu berita
dapat dinilai obyektif atau sebaliknya. Tentu saja, pihak
berkompeten yang dikutip pernyatannya itu tidak boleh terlibat
atau menjadi bagian dalam perdebatan yang sedang diliput oleh
media.
Secara historis, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus
jurnalisme di Amerika Serikat, konsep tentang obyektivitas
berkaitan erat dengan keberadaan media untuk tidak
memberikan dukungan (nonpartisanship) kepada pihak mana
pun. Bahkan, bisa dikemukakan bahwa nonpartisanship adalah
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
80 81
elemen pertama yang harus dipenuhi pers untuk menakar
obyektivitas (Powers dalam Sterling [ed.], 2009: 1028). Apa
yang bisa ditegaskan adalah perumusan tentang obyektivitas
media dapat dituliskan sesuai selera masing-masing pihak. Tapi,
persyaratan pertama yang bersifat absolut bagi pers untuk bisa
bersikap obyektif adalah tidak mendukung siapa pun yang
terlibat dalam konflik atau setidaknya perdebatan. Ketika pers,
baik secara terselubung maupun eksplisit, sudah menunjukkan
pemberian dukungan terhadap salah satu pihak yang bertikai,
maka apa yang disebut secara berbusa-busa sebagai obyektivitas
tidak perlu ditelusuri lagi keberadaannya.
Definisi konseptual dan operasional
Obyektivitas secara konseptual dapat dijabarkan sebagai
penghadiran secara jujur, berimbang, dan tidak memihak
peristiwa-peristiwa dalam pemberitaan yang semata-mata
didasarkan pada fakta dan tanpa penafsiran apa pun
terhadapnya.
Beberapa hal yang akan dikaji dalam penelitian ini,
adalah:
1. Topik berita:a. Politik. Berita-berita yang menyoroti berbagai
persoalan konflik kepentingan dari para pihak pemegang
kekuasaan, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan
lembaga-lembaga lain (organisasi kemasyarakatan dan
organisasi non-pemerintah) yang memiliki relevansi di
dalamnya; dan b. Hukum. Berita-berita yang menghadirkan
peristiwa pengadilan, pengusutan kasus hukum oleh pihak
yang berwajib (kepolisian dan kejaksaan), dan pihak-pihak
lainnya yang memiliki keterkaitan erat dengan persoalan ini.
2. Jenis-jenis berita: a. Hard news. Berita yang mengandalkan
aspek kebaruan; b. Soft news. Berita yang menonjolkan
aspek human interest yang lazim disebut dengan feature; c.
Reportase investigatif. Berita yang ditulis secara mendalam
untuk mengungkap suatu kasus; dan d. Editorial. Tulisan
yang dimuat pada kolom tajuk rencana dan sejenisnya yang
menunjukkan sikap media terhadap suatu kasus tertentu
yang sedang hangat dibicarakan dalam masyarakat.
3. Cara wartawan mendapatkan berita: a. Wawancara.
Wartawan mewawancarai narasumber secara bertatap
muka, melalui telepon, ataupun surat; b. Observasi.
Wartawan melakukan pengamatan terhadap kejadian atau
keadaan yang diberitakan secara langsung; c. Riset.
Wartawan melakukan kajian pustaka untuk menampilkan
data-data sekunder dalam pemberitaan; dan d. Gabungan.
Wartawan melakukan gabungan antara dua atau tiga teknik
pengumpulan berita itu
4. Asal-usul berita: a. Peristiwa-peristiwa yang bersifat
alamiah, seperti kecelakaan atau bencana alam; b. Kegiatan-
kegiatan yang telah direncanakan secara baik, misalnya
konferensi pers atau pertemuan; dan c. Usaha-uasaha yang
dilakukan oleh wartawan sendiri, misalnya berinisiatif untuk
menghubungi narasumber.
a
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
82 83
elemen pertama yang harus dipenuhi pers untuk menakar
obyektivitas (Powers dalam Sterling [ed.], 2009: 1028). Apa
yang bisa ditegaskan adalah perumusan tentang obyektivitas
media dapat dituliskan sesuai selera masing-masing pihak. Tapi,
persyaratan pertama yang bersifat absolut bagi pers untuk bisa
bersikap obyektif adalah tidak mendukung siapa pun yang
terlibat dalam konflik atau setidaknya perdebatan. Ketika pers,
baik secara terselubung maupun eksplisit, sudah menunjukkan
pemberian dukungan terhadap salah satu pihak yang bertikai,
maka apa yang disebut secara berbusa-busa sebagai obyektivitas
tidak perlu ditelusuri lagi keberadaannya.
Definisi konseptual dan operasional
Obyektivitas secara konseptual dapat dijabarkan sebagai
penghadiran secara jujur, berimbang, dan tidak memihak
peristiwa-peristiwa dalam pemberitaan yang semata-mata
didasarkan pada fakta dan tanpa penafsiran apa pun
terhadapnya.
Beberapa hal yang akan dikaji dalam penelitian ini,
adalah:
1. Topik berita:a. Politik. Berita-berita yang menyoroti berbagai
persoalan konflik kepentingan dari para pihak pemegang
kekuasaan, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan
lembaga-lembaga lain (organisasi kemasyarakatan dan
organisasi non-pemerintah) yang memiliki relevansi di
dalamnya; dan b. Hukum. Berita-berita yang menghadirkan
peristiwa pengadilan, pengusutan kasus hukum oleh pihak
yang berwajib (kepolisian dan kejaksaan), dan pihak-pihak
lainnya yang memiliki keterkaitan erat dengan persoalan ini.
2. Jenis-jenis berita: a. Hard news. Berita yang mengandalkan
aspek kebaruan; b. Soft news. Berita yang menonjolkan
aspek human interest yang lazim disebut dengan feature; c.
Reportase investigatif. Berita yang ditulis secara mendalam
untuk mengungkap suatu kasus; dan d. Editorial. Tulisan
yang dimuat pada kolom tajuk rencana dan sejenisnya yang
menunjukkan sikap media terhadap suatu kasus tertentu
yang sedang hangat dibicarakan dalam masyarakat.
3. Cara wartawan mendapatkan berita: a. Wawancara.
Wartawan mewawancarai narasumber secara bertatap
muka, melalui telepon, ataupun surat; b. Observasi.
Wartawan melakukan pengamatan terhadap kejadian atau
keadaan yang diberitakan secara langsung; c. Riset.
Wartawan melakukan kajian pustaka untuk menampilkan
data-data sekunder dalam pemberitaan; dan d. Gabungan.
Wartawan melakukan gabungan antara dua atau tiga teknik
pengumpulan berita itu
4. Asal-usul berita: a. Peristiwa-peristiwa yang bersifat
alamiah, seperti kecelakaan atau bencana alam; b. Kegiatan-
kegiatan yang telah direncanakan secara baik, misalnya
konferensi pers atau pertemuan; dan c. Usaha-uasaha yang
dilakukan oleh wartawan sendiri, misalnya berinisiatif untuk
menghubungi narasumber.
a
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
82 83
5. Nilai-nilai berita (news values) yang ditonjolkan: a.
Aktualitas. Nilai berita yang menonjolkan aspek kebaruan
suatu peristiwa; b. Proksimitas. Nilai berita yang
menonjolkan aspek kedekatan secara geografis dengan
khalayak; c. Kontroversi. Nilai berita yang menonjolkan
konflik atau pertikaian dua pihak atau lebih; d.
Keterkenalan. Nilai berita yang menonjolkan nama-nama
orang atau tempat yang sudah dikenal secara luas oleh
publik; e. Dampak. Nilai berita yang menonjolkan suatu
peristiwa memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan
masyarakat; f. Currency. Nilai berita yang menonjolkan
suatu peristiwa masih tetap dibicarakan dalam kehidupan
masyarakat; dan g. Keluarbiasaan. Nilai berita yang
menonjolkan aspek keunikan, keanehan, atau keluarbiasaan
yang dialami atau terdapat pada orang, binatang, dan
lingkungan pada umumnya.
6. Teknik penulisan berita: a.Berita ditulis dalam format
piramida terbalik yang berarti bagian-bagian paling penting
dari berita mendapatkan prioritas utama; b.Sudut pandang
penceritaan yang digunakan dalam pemberitaan adalah
orang ketiga (third person); c. Setidaknya ada dua pihak
yang dituliskan ketika berita menyoroti persoalan tertentu
yang secara potensial atau riil mengandung konflik; dan d.
Berita memuat kutipan pernyataan dari pihak ahli yang
dianggap memiliki kompetensi di bidang yang sedang
disoroti media.
Metode penelitian
Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan
analisis isi. Analisis isi adalah teknik penelitian untuk membuat
inferensi dari teks secara obyektif dan terukur dalam kaitannya
dengan penggunaan teks tersebut (Krippendorff, 2004: 18).
Untuk memastikan hasil yang obyektif dan terukur tersebut,
dilakukan proses replikasi pencatatan teks yang sama oleh
orang-orang yang berbeda dan selanjutnya dilakukan uji
reliabilitas yang diukur dengan uji korelasi di antara mereka.
Kategorisasi konseptual digunakan sebagai pedoman oleh para
pencatat teks (coder) untuk melakukan pencatatan dan
mengelompokkannya kedalam tabel yang sudah dipersiapkan.
Obyek yang dikaji dalam penelitian ini adalah berita-
berita bertopik politik dan hukum dalam wilayah liputan
(coverage area) Semarang pada edisi Juli, Agustus, dan
September 2013 yang ditampilkan oleh lima media cetak, yaitu
Suara Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar Semarang, Koran
Sindo edisi Jateng, dan Tribun Jateng. Data dikumpulkan
dengan mendokumentasikan berita-berita yang telah dipilih
dengan merujuk pada kriteria yang ditetapkan dalam penelitian
ini. Analisis data dilakukan dalam bentuk penyajian gambar
(grafik) yang menunjukkan distribusi frekuensi dan tabulasi
silang.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
84 85
5. Nilai-nilai berita (news values) yang ditonjolkan: a.
Aktualitas. Nilai berita yang menonjolkan aspek kebaruan
suatu peristiwa; b. Proksimitas. Nilai berita yang
menonjolkan aspek kedekatan secara geografis dengan
khalayak; c. Kontroversi. Nilai berita yang menonjolkan
konflik atau pertikaian dua pihak atau lebih; d.
Keterkenalan. Nilai berita yang menonjolkan nama-nama
orang atau tempat yang sudah dikenal secara luas oleh
publik; e. Dampak. Nilai berita yang menonjolkan suatu
peristiwa memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan
masyarakat; f. Currency. Nilai berita yang menonjolkan
suatu peristiwa masih tetap dibicarakan dalam kehidupan
masyarakat; dan g. Keluarbiasaan. Nilai berita yang
menonjolkan aspek keunikan, keanehan, atau keluarbiasaan
yang dialami atau terdapat pada orang, binatang, dan
lingkungan pada umumnya.
6. Teknik penulisan berita: a.Berita ditulis dalam format
piramida terbalik yang berarti bagian-bagian paling penting
dari berita mendapatkan prioritas utama; b.Sudut pandang
penceritaan yang digunakan dalam pemberitaan adalah
orang ketiga (third person); c. Setidaknya ada dua pihak
yang dituliskan ketika berita menyoroti persoalan tertentu
yang secara potensial atau riil mengandung konflik; dan d.
Berita memuat kutipan pernyataan dari pihak ahli yang
dianggap memiliki kompetensi di bidang yang sedang
disoroti media.
Metode penelitian
Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan
analisis isi. Analisis isi adalah teknik penelitian untuk membuat
inferensi dari teks secara obyektif dan terukur dalam kaitannya
dengan penggunaan teks tersebut (Krippendorff, 2004: 18).
Untuk memastikan hasil yang obyektif dan terukur tersebut,
dilakukan proses replikasi pencatatan teks yang sama oleh
orang-orang yang berbeda dan selanjutnya dilakukan uji
reliabilitas yang diukur dengan uji korelasi di antara mereka.
Kategorisasi konseptual digunakan sebagai pedoman oleh para
pencatat teks (coder) untuk melakukan pencatatan dan
mengelompokkannya kedalam tabel yang sudah dipersiapkan.
Obyek yang dikaji dalam penelitian ini adalah berita-
berita bertopik politik dan hukum dalam wilayah liputan
(coverage area) Semarang pada edisi Juli, Agustus, dan
September 2013 yang ditampilkan oleh lima media cetak, yaitu
Suara Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar Semarang, Koran
Sindo edisi Jateng, dan Tribun Jateng. Data dikumpulkan
dengan mendokumentasikan berita-berita yang telah dipilih
dengan merujuk pada kriteria yang ditetapkan dalam penelitian
ini. Analisis data dilakukan dalam bentuk penyajian gambar
(grafik) yang menunjukkan distribusi frekuensi dan tabulasi
silang.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
84 85
Temuan-temuan
Berikut ini disajikan temuan-temuan penelitian yang
ditampilkan dalam bentuk gambar atau grafik. Temuan-temuan
penelitian ini diolah dari sebanyak 728 berita politik dan hukum
dalam wilayah liputan Semarang yang dihadirkan oleh Suara
Merdeka, Wawasan, Radar Semarang, Koran Sindo edisi
Jateng, dan Tribun Jateng. Beberapa hal substansial lain yang
dideskripsikan adalah proporsi topik berita, jenis berita, cara
mendapatkan berita, asal berita, news values (nilai-nilai berita),
teknik penulisan berita, dan perbandingan masing-masing surat
kabar dalam sejumlah indikator yang menunjukkan
obyektivitas.
Gambar 2TOPIK BERITA
HUKUM29%
POLITIK71%
Gambar 1 menunjukkan proporsi (jumlah) berita yang
terdapat dalam masing-masing surat kabar. Proporsi terbesar
terdapat pada Wawasan, Suara Merdeka, dan Koran Sindo edisi
Jateng.Sementara proporsi paling kecil terdapat pada Tribun
Jateng dan Radar Semarang. Hal yang menarik dilihat adalah
Koran Sindo edisi Jateng sebagai surat kabar yang terbit di
Jakarta dan hanya memberikan halaman tambahan (suplemen)
untuk wilayah liputan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta ternyata banyak memberikan perhatian pada
peristiwa-peristiwa politik dan hukum yang terjadi di Semarang.
Tema atau topik berita yang secara dominan disajikan
oleh kelima surat kabar itu adalah politik. Sementara itu
proporsi topik berita hukum kurang dari sepertiga, sebagaimana
ditunjukkan dalam Gambar 2. Hal ini menunjukkan bahwa lima
media yang terbit di Semarang lebih mempunyai ketertarikan
menyoroti peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan
kekuasaan pada level lokal daripada kejadian-kejadian hukum.
Gambar 1SURAT KABAR
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
86 87
Temuan-temuan
Berikut ini disajikan temuan-temuan penelitian yang
ditampilkan dalam bentuk gambar atau grafik. Temuan-temuan
penelitian ini diolah dari sebanyak 728 berita politik dan hukum
dalam wilayah liputan Semarang yang dihadirkan oleh Suara
Merdeka, Wawasan, Radar Semarang, Koran Sindo edisi
Jateng, dan Tribun Jateng. Beberapa hal substansial lain yang
dideskripsikan adalah proporsi topik berita, jenis berita, cara
mendapatkan berita, asal berita, news values (nilai-nilai berita),
teknik penulisan berita, dan perbandingan masing-masing surat
kabar dalam sejumlah indikator yang menunjukkan
obyektivitas.
Gambar 2TOPIK BERITA
HUKUM29%
POLITIK71%
Gambar 1 menunjukkan proporsi (jumlah) berita yang
terdapat dalam masing-masing surat kabar. Proporsi terbesar
terdapat pada Wawasan, Suara Merdeka, dan Koran Sindo edisi
Jateng.Sementara proporsi paling kecil terdapat pada Tribun
Jateng dan Radar Semarang. Hal yang menarik dilihat adalah
Koran Sindo edisi Jateng sebagai surat kabar yang terbit di
Jakarta dan hanya memberikan halaman tambahan (suplemen)
untuk wilayah liputan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta ternyata banyak memberikan perhatian pada
peristiwa-peristiwa politik dan hukum yang terjadi di Semarang.
Tema atau topik berita yang secara dominan disajikan
oleh kelima surat kabar itu adalah politik. Sementara itu
proporsi topik berita hukum kurang dari sepertiga, sebagaimana
ditunjukkan dalam Gambar 2. Hal ini menunjukkan bahwa lima
media yang terbit di Semarang lebih mempunyai ketertarikan
menyoroti peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan
kekuasaan pada level lokal daripada kejadian-kejadian hukum.
Gambar 1SURAT KABAR
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
86 87
Secara sangat dominan jenis berita yang ditampilkan
oleh semua surat kabar adalah hard news sebagaimana dapat
disimak pada Gambar 3. Hal ini menunjukkan bahwa kelima
media tersebut memberikan penekanan pada berita-berita
politik dan hukum yang mempunyai muatan aktualitas
(kebaruan) dan proksimitas (kedekatan). Jenis pemberitaan lain
yang menunjukkan aspek daya tarik manusia (human interest)
berformat feature (soft news) menunjukkan proporsi yang
sangat kecil.
Teknik dominan yang digunakan oleh kalangan
wartawan di Semarang dalam mengumpulkan berita bertema
politik dan hukum adalah wawancara seperti dapat dilihat pada
Gambar 4. Pengamatan (observasi) sebagai cara mendapatkan
berita sangat sedikit diterapkan. Sementara itu gabungan antara
wawancara dan pengamatan menunjukkan proporsi yang juga
sangat rendah. Bahkan, teknik penting lain, yakni riset dalam
wujud penelusuran literatur atau kajian terhadap data-data
sekunder, tidak pernah dikerahkan untuk mendukung
pemberitaan-pemberitaan politik dan hukum. Dengan
demikian, berita-berita yang ditampilkan pun sedemikian
dominan bercorak talking news, yakni jenis berita yang sekadar
memuat berbagai hasil wawancara atau pernyataan-pernyataan
dari para narasumber.
Gambar 3JENIS BERITA
Gambar 4CARA MENDAPATKAN BERITA (%)
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
88 89
Secara sangat dominan jenis berita yang ditampilkan
oleh semua surat kabar adalah hard news sebagaimana dapat
disimak pada Gambar 3. Hal ini menunjukkan bahwa kelima
media tersebut memberikan penekanan pada berita-berita
politik dan hukum yang mempunyai muatan aktualitas
(kebaruan) dan proksimitas (kedekatan). Jenis pemberitaan lain
yang menunjukkan aspek daya tarik manusia (human interest)
berformat feature (soft news) menunjukkan proporsi yang
sangat kecil.
Teknik dominan yang digunakan oleh kalangan
wartawan di Semarang dalam mengumpulkan berita bertema
politik dan hukum adalah wawancara seperti dapat dilihat pada
Gambar 4. Pengamatan (observasi) sebagai cara mendapatkan
berita sangat sedikit diterapkan. Sementara itu gabungan antara
wawancara dan pengamatan menunjukkan proporsi yang juga
sangat rendah. Bahkan, teknik penting lain, yakni riset dalam
wujud penelusuran literatur atau kajian terhadap data-data
sekunder, tidak pernah dikerahkan untuk mendukung
pemberitaan-pemberitaan politik dan hukum. Dengan
demikian, berita-berita yang ditampilkan pun sedemikian
dominan bercorak talking news, yakni jenis berita yang sekadar
memuat berbagai hasil wawancara atau pernyataan-pernyataan
dari para narasumber.
Gambar 3JENIS BERITA
Gambar 4CARA MENDAPATKAN BERITA (%)
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
88 89
Upaya yang dilakukan oleh para reporter merupakan hal
yang sangat dominan pada bagaimana berita diproduksi atau
dari mana berita berasal sebagaimana dapat dilihat pada
Gambar 5. Usaha yang dijalankan oleh kalangan reporter ini,
misalnya, menghubungi para narasumber untuk diwawancarai.
Sementara itu, berbagai kegiatan yang direncanakan, seperti
konferensi pers atau seminar, memperlihatkan proporsi yang
rendah. Peristiwa-peristiwa yang bersifat alamiah, misalnya
kecelakaan ataupun bencana alam, menunjukkan proporsi yang
sangat kecil. Secara keseluruhan hal itu mendeskripsikan bahwa
pemberitaan politik dan hukum yang terjadi di Semarang
memang secara sangat dominan diproduksi dari hasil prakarsa
para wartawan.
Nilai-nilai berita (news values) adalah kriteria yang
digunakan para jurnalis untuk menakar apakah suatu peristiwa
layak diberitakan karena mengandung unsur-unsur, seperti
kebaruan, kedekatan, keterkenalan, konflik, dampak, masih
dibicarakan, dan keluarbiasaan. Gambar 6 menunjukkan bahwa
hampir semua berita politik dan hukum yang disajikan oleh
kelima surat kabar itu memuat unsur aktualitas dan proksimitas.
Artinya, kelima media tersebut sangat memperhatikan
faktor kebaruan dan kedekatan peristiwa yang sesuai dengan
kebutuhan para pembaca. Hal lain yang menarik dikemukakan
adalah berita-berita politik dan hukum yang disajikan ternyata
hanya sedikit memuat nilai signifikan (dampak) bagi
masyarakat. Lebih menarik lagi, berita-berita politik dan hukum
yang diandaikan memuat nilai konflik (kontroversi) yang tinggi
ternyata sangat sedikit ditampilkan pada lima media itu.
Gambar 5ASAL BERITA (%)
Gambar 6NEWS VALUE (%)
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
90 91
Upaya yang dilakukan oleh para reporter merupakan hal
yang sangat dominan pada bagaimana berita diproduksi atau
dari mana berita berasal sebagaimana dapat dilihat pada
Gambar 5. Usaha yang dijalankan oleh kalangan reporter ini,
misalnya, menghubungi para narasumber untuk diwawancarai.
Sementara itu, berbagai kegiatan yang direncanakan, seperti
konferensi pers atau seminar, memperlihatkan proporsi yang
rendah. Peristiwa-peristiwa yang bersifat alamiah, misalnya
kecelakaan ataupun bencana alam, menunjukkan proporsi yang
sangat kecil. Secara keseluruhan hal itu mendeskripsikan bahwa
pemberitaan politik dan hukum yang terjadi di Semarang
memang secara sangat dominan diproduksi dari hasil prakarsa
para wartawan.
Nilai-nilai berita (news values) adalah kriteria yang
digunakan para jurnalis untuk menakar apakah suatu peristiwa
layak diberitakan karena mengandung unsur-unsur, seperti
kebaruan, kedekatan, keterkenalan, konflik, dampak, masih
dibicarakan, dan keluarbiasaan. Gambar 6 menunjukkan bahwa
hampir semua berita politik dan hukum yang disajikan oleh
kelima surat kabar itu memuat unsur aktualitas dan proksimitas.
Artinya, kelima media tersebut sangat memperhatikan
faktor kebaruan dan kedekatan peristiwa yang sesuai dengan
kebutuhan para pembaca. Hal lain yang menarik dikemukakan
adalah berita-berita politik dan hukum yang disajikan ternyata
hanya sedikit memuat nilai signifikan (dampak) bagi
masyarakat. Lebih menarik lagi, berita-berita politik dan hukum
yang diandaikan memuat nilai konflik (kontroversi) yang tinggi
ternyata sangat sedikit ditampilkan pada lima media itu.
Gambar 5ASAL BERITA (%)
Gambar 6NEWS VALUE (%)
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
90 91
Kebanyakan berita-berita bertema politik dan hukum
dari lima surat kabar ini memuat dua unsur nilai berita
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7. Sementara itu
hampir sepertiga berita-berita lainnya memuat tiga unsur nilai
berita. Berita-berita yang memuat empat atau lima unsur nilai
berita, jika keduanya digabungkan, berjumlah kurang dari
seperempat berita. Gejala ini menunjukkan bahwa apabila
kalangan jurnalis menemukan peristiwa-peristiwa politik dan
hukum yang sudah memenuhi sedikitnya dua atau tiga kriteria
nilai berita, maka kejadian-kejadian itu sudah dianggap layak
untuk dijadikan berita.
Gambar 7TOTAL NEWS VALUES
Ada empat persyaratan yang harus dipenuhi jurnalis
dalam menulis berita agar pemberitaannya dapat dikategorikan
memenuhi obyektivitas. Pertama, fakta-fakta yang dikumpulkan
disajikan dalam format piramida terbalik. Kedua, sudut pandang
yang digunakan dalam penulisan adalah orang ketiga. Ketiga,
dua belah pihak atau lebih yang terlibat dalam persoalan harus
diliput semuanya. Keempat, seorang ahli yang dianggap
memiliki kepakaran dalam bidang tertentu harus dimintai
komentar. Gambar 8 menunjukkan bahwa persyaratan pertama
dan kedua hampir secara keseluruhan telah dipenuhi.
Persyaratan ketiga telah terpenuhi oleh lebih dari tiga perempat
berita yang ada.
Sementara itu, persyaratan keempat sangat sedikit yang
terpenuhi. Hal itu menunjukkan bahwa pihak yang disebut
Gambar 8TEKNIK PENULISAN BERITA (%)
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
92 93
Kebanyakan berita-berita bertema politik dan hukum
dari lima surat kabar ini memuat dua unsur nilai berita
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7. Sementara itu
hampir sepertiga berita-berita lainnya memuat tiga unsur nilai
berita. Berita-berita yang memuat empat atau lima unsur nilai
berita, jika keduanya digabungkan, berjumlah kurang dari
seperempat berita. Gejala ini menunjukkan bahwa apabila
kalangan jurnalis menemukan peristiwa-peristiwa politik dan
hukum yang sudah memenuhi sedikitnya dua atau tiga kriteria
nilai berita, maka kejadian-kejadian itu sudah dianggap layak
untuk dijadikan berita.
Gambar 7TOTAL NEWS VALUES
Ada empat persyaratan yang harus dipenuhi jurnalis
dalam menulis berita agar pemberitaannya dapat dikategorikan
memenuhi obyektivitas. Pertama, fakta-fakta yang dikumpulkan
disajikan dalam format piramida terbalik. Kedua, sudut pandang
yang digunakan dalam penulisan adalah orang ketiga. Ketiga,
dua belah pihak atau lebih yang terlibat dalam persoalan harus
diliput semuanya. Keempat, seorang ahli yang dianggap
memiliki kepakaran dalam bidang tertentu harus dimintai
komentar. Gambar 8 menunjukkan bahwa persyaratan pertama
dan kedua hampir secara keseluruhan telah dipenuhi.
Persyaratan ketiga telah terpenuhi oleh lebih dari tiga perempat
berita yang ada.
Sementara itu, persyaratan keempat sangat sedikit yang
terpenuhi. Hal itu menunjukkan bahwa pihak yang disebut
Gambar 8TEKNIK PENULISAN BERITA (%)
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
92 93
pakar selama ini belum dilibatkan secara maksimal dalam
pemberitaan. Terdapat dua kemungkinan mengapa jurnalis
cenderung tidak memenuhi persyaratan keempat. Pertama,
jurnalis dikejar oleh rutinitas tenggat waktu (deadline) yang
tidak bisa dikompromikan. Kedua, jurnalis tidak atau belum
paham mengenai keharusan untuk mewawancarai ahli untuk
memenuhi syarat obyektivitas.
Hampir tiga perempat berita bertema politik dan hukum
telah memenuhi tiga syarat penulisan yang obyektif
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9. Tiga persyaratan
tersebut adalah penulisan dalam format piramida terbalik, sudut
pandang yang digunakan dalam penulisan adalah orang ketiga,
Gambar 9KELENGKAPAN TEKNIK
PENULISAN BERITA
dan melakukan liputan terhadap dua atau lebih pihak yang
terlibat. Berita-berita yang telah memenuhi semua syarat
penulisan berjumlah sangat kecil, yakni hanya sebesar 5 persen.
Sementara itu berita-berita yang hanya memenuhi dua syarat
berjumlah hampir seperlima.
Gambar 10 mendeskripsikan tentang proporsi berita-
berita politik dan hukum yang terdapat pada masing-masing
surat kabar. Secara keseluruhan bisa dikemukakan bahwa
kelima media itu lebih dominan menampilkan berita-berita
bertemakan politik dibandingkan dengan berita-berita bertopik
hukum. Perbedaannya adalah Tribun Jateng dan Suara
Merdeka sedikit lebih tinggi proporsinya dalam memuat berita-
berita politik dibanding tiga surat kabar lainnya. Sementara itu,
Wawasan dan Radar Semarang sedikit lebih banyak
proporsinya dalam menampilkan berita-berita bertopik hukum
Gambar 10TOPIK BERITA MENURUT SURAT KABAR
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
94 95
pakar selama ini belum dilibatkan secara maksimal dalam
pemberitaan. Terdapat dua kemungkinan mengapa jurnalis
cenderung tidak memenuhi persyaratan keempat. Pertama,
jurnalis dikejar oleh rutinitas tenggat waktu (deadline) yang
tidak bisa dikompromikan. Kedua, jurnalis tidak atau belum
paham mengenai keharusan untuk mewawancarai ahli untuk
memenuhi syarat obyektivitas.
Hampir tiga perempat berita bertema politik dan hukum
telah memenuhi tiga syarat penulisan yang obyektif
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9. Tiga persyaratan
tersebut adalah penulisan dalam format piramida terbalik, sudut
pandang yang digunakan dalam penulisan adalah orang ketiga,
Gambar 9KELENGKAPAN TEKNIK
PENULISAN BERITA
dan melakukan liputan terhadap dua atau lebih pihak yang
terlibat. Berita-berita yang telah memenuhi semua syarat
penulisan berjumlah sangat kecil, yakni hanya sebesar 5 persen.
Sementara itu berita-berita yang hanya memenuhi dua syarat
berjumlah hampir seperlima.
Gambar 10 mendeskripsikan tentang proporsi berita-
berita politik dan hukum yang terdapat pada masing-masing
surat kabar. Secara keseluruhan bisa dikemukakan bahwa
kelima media itu lebih dominan menampilkan berita-berita
bertemakan politik dibandingkan dengan berita-berita bertopik
hukum. Perbedaannya adalah Tribun Jateng dan Suara
Merdeka sedikit lebih tinggi proporsinya dalam memuat berita-
berita politik dibanding tiga surat kabar lainnya. Sementara itu,
Wawasan dan Radar Semarang sedikit lebih banyak
proporsinya dalam menampilkan berita-berita bertopik hukum
Gambar 10TOPIK BERITA MENURUT SURAT KABAR
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
94 95
dibandingkan ketiga media lainnya.
Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa semua
surat kabar menyajikan berita-berita yang secara sangat
dominan berasal dari usaha-usaha yang dijalankan pihak
reporter sendiri seperti dapat disimak pada Gambar 11.
Sebaliknya, berita-berita yang berasal dari kegiatan yang
direncanakan, misalnya saja seminar atau konferensi pers,
berjumlah sangat sedikit. Proporsi tertinggi berita-berita yang
berasal dari usaha yang dijalankan reporter terdapat pada Koran
Sindo edisi Jateng yang hingga mencapai angka lebih dari 90
persen.
Sebaliknya, Koran Sindo edisi Jateng juga menjadi
media yang proporsi berita-beritanya yang berasal dari kegiatan
yang direncanakan berjumlah sangat rendah, yakni hanya
sebesar hampir 5 persen. Setidaknya, secara umum, ada dua
Gambar 11ASAL BERITA MENURUT SURAT KABAR
penjelasan yang menjadikan gejala itu terjadi. Pertama, tugas
rutin reporter adalah mencari berita sehingga inisiatif untuk
menghubungi para narasumber telah menjadi bagian tidak
terpisahkan dalam pekerjaan yang harus diselesaikan. Kedua,
tidak setiap hari suatu lembaga tertentu menyelenggarakan
acara seminar, menggelar konferensi pers, atau menyebarkan
press release.
Gambar 12 menunjukkan perbandingan dari masing-
masing surat kabar dalam menghadirkan jumlah nilai berita
Gambar 12JUMLAH UNIT NEWS VALUES
MENURUT SURAT KABAR
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
96 97
dibandingkan ketiga media lainnya.
Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa semua
surat kabar menyajikan berita-berita yang secara sangat
dominan berasal dari usaha-usaha yang dijalankan pihak
reporter sendiri seperti dapat disimak pada Gambar 11.
Sebaliknya, berita-berita yang berasal dari kegiatan yang
direncanakan, misalnya saja seminar atau konferensi pers,
berjumlah sangat sedikit. Proporsi tertinggi berita-berita yang
berasal dari usaha yang dijalankan reporter terdapat pada Koran
Sindo edisi Jateng yang hingga mencapai angka lebih dari 90
persen.
Sebaliknya, Koran Sindo edisi Jateng juga menjadi
media yang proporsi berita-beritanya yang berasal dari kegiatan
yang direncanakan berjumlah sangat rendah, yakni hanya
sebesar hampir 5 persen. Setidaknya, secara umum, ada dua
Gambar 11ASAL BERITA MENURUT SURAT KABAR
penjelasan yang menjadikan gejala itu terjadi. Pertama, tugas
rutin reporter adalah mencari berita sehingga inisiatif untuk
menghubungi para narasumber telah menjadi bagian tidak
terpisahkan dalam pekerjaan yang harus diselesaikan. Kedua,
tidak setiap hari suatu lembaga tertentu menyelenggarakan
acara seminar, menggelar konferensi pers, atau menyebarkan
press release.
Gambar 12 menunjukkan perbandingan dari masing-
masing surat kabar dalam menghadirkan jumlah nilai berita
Gambar 12JUMLAH UNIT NEWS VALUES
MENURUT SURAT KABAR
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
96 97
pada berita-berita politik dan hukum. Proporsi yang paling
menonjol adalah Koran Sindo edisi Jateng dan Suara Merdeka
yang menghadirkan dua unit news values yang mencapai lebih
dari 50 persen. Tiga jenis news values yang paling menonjol,
dengan proporsi lebih dari sepertiga berita-berita yang
ditampilkan, terdapat pada Tribun Jateng, Koran Sindo edisi
Jateng, dan Suara Merdeka. Sementara itu, surat kabar yang
menampilkan empat jenis news value dalam berita-beritanya
yang mencapai angka lebih dari sepertiga adalah Wawasan.
Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa semua surat
kabar menyajikan sekitar dua sampai lima unit news values.
Data yang disajikan pada Gambar 13 dapat dipahami
sebagai uraian lebih detail dari data yang terdapat pada Gambar
8. Seluruh surat kabar secara sangat menonjol memenuhi tiga
kriteria penulisan berita yang obyektif, dalam kisaran angka di
atas 60 persen (Tribun Jateng dan Wawasan), di atas 70 persen
(Radar Semarang dan Suara Merdeka), dan di atas 80 persen
(Koran Sindo edisi Jateng). Empat syarat penulisan berita
obyektif dalam proporsi yang demikian kecil, yakni hampir 10
persen, terdapat pada Wawasan. Secara umum dapat dikatakan
bahwa semua surat kabar telah secara rutin menjalankan syarat-
syarat penulisan berita obyektif meskipun kurang lengkap, yakni
pada persyaratan meminta pendapat pihak yang dianggap
memiliki kompetensi dalam bidang tertentu.
Gambar 13KELENGKAPAN TEKNIK PENULISAN BERITA
MENURUT SURAT KABAR
Gambar 14CARA MENDAPATKAN BERITA POLITIK DAN HUKUM MENURUT SURAT KABAR
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
98 99
pada berita-berita politik dan hukum. Proporsi yang paling
menonjol adalah Koran Sindo edisi Jateng dan Suara Merdeka
yang menghadirkan dua unit news values yang mencapai lebih
dari 50 persen. Tiga jenis news values yang paling menonjol,
dengan proporsi lebih dari sepertiga berita-berita yang
ditampilkan, terdapat pada Tribun Jateng, Koran Sindo edisi
Jateng, dan Suara Merdeka. Sementara itu, surat kabar yang
menampilkan empat jenis news value dalam berita-beritanya
yang mencapai angka lebih dari sepertiga adalah Wawasan.
Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa semua surat
kabar menyajikan sekitar dua sampai lima unit news values.
Data yang disajikan pada Gambar 13 dapat dipahami
sebagai uraian lebih detail dari data yang terdapat pada Gambar
8. Seluruh surat kabar secara sangat menonjol memenuhi tiga
kriteria penulisan berita yang obyektif, dalam kisaran angka di
atas 60 persen (Tribun Jateng dan Wawasan), di atas 70 persen
(Radar Semarang dan Suara Merdeka), dan di atas 80 persen
(Koran Sindo edisi Jateng). Empat syarat penulisan berita
obyektif dalam proporsi yang demikian kecil, yakni hampir 10
persen, terdapat pada Wawasan. Secara umum dapat dikatakan
bahwa semua surat kabar telah secara rutin menjalankan syarat-
syarat penulisan berita obyektif meskipun kurang lengkap, yakni
pada persyaratan meminta pendapat pihak yang dianggap
memiliki kompetensi dalam bidang tertentu.
Gambar 13KELENGKAPAN TEKNIK PENULISAN BERITA
MENURUT SURAT KABAR
Gambar 14CARA MENDAPATKAN BERITA POLITIK DAN HUKUM MENURUT SURAT KABAR
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
98 99
Teknik yang digunakan oleh kalangan jurnalis dalam
mengumpulkan berita-berita bertema politik dan hukum secara
dominan adalah mewawancarai narasumber sebagaimana dapat
disimak pada Gambar 14. Tidak ada satu pun berita yang data-
datanya dikumpulkan melalui riset (kajian pustaka). Sementara
itu, teknik observasi hanya sedikit jumlahnya atau terlalu kecil
proporsinya. Koran Sindo edisi Jateng merupakan media yang
paling menonjol dalam menyajikan berita politik yang
didapatkan melalui wawancara (proporsinya hampir 90 persen).
Empat surat kabar lain untuk jenis berita politik yang
didapatkan melalui wawancara menunjukkan proporsi yang
hampir berimbang (dalam kisaran 80 persen), kecuali Suara
Merdeka yang proporsinya 78 persen. Pada berita-berita hukum
yang didapatkan melalui wawancara, semua surat kabar
menunjukkan kecenderungan yang hampir sama. Proporsi
berita hukum dari hasil wawancara pada Tribun Jateng dan
Koran Sindo edisi Jateng di atas 90 persen. Proporsi berita
hukum yang diperoleh dari hasil interviu pada Wawasan dan
Suara Merdeka di atas 80 persen. Pengecualian terjadi pada
Radar Semarang yang proporsinya hanya dalam kisaran 10
persen.
Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa asal
berita politik dan hukum pada lima media tersebut merupakan
usaha yang dijalankan reporter sebagaimana dapat
dideskripsikan pada Gambar 15. Peristiwa alamiah terlalu kecil
proporsinya. Proporsi berita-berita politik yang berasal dari
usaha reporter untuk masing-masing surat kabar menunjukkan
proporsi yang bervariasi. Proporsi Koran Sindo edisi Jateng
pada berita politik berada di atas 90 persen.
Gambar 15ASAL BERITA POLITIK DAN HUKUM
MENURUT SURAT KABAR
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
100 101
Teknik yang digunakan oleh kalangan jurnalis dalam
mengumpulkan berita-berita bertema politik dan hukum secara
dominan adalah mewawancarai narasumber sebagaimana dapat
disimak pada Gambar 14. Tidak ada satu pun berita yang data-
datanya dikumpulkan melalui riset (kajian pustaka). Sementara
itu, teknik observasi hanya sedikit jumlahnya atau terlalu kecil
proporsinya. Koran Sindo edisi Jateng merupakan media yang
paling menonjol dalam menyajikan berita politik yang
didapatkan melalui wawancara (proporsinya hampir 90 persen).
Empat surat kabar lain untuk jenis berita politik yang
didapatkan melalui wawancara menunjukkan proporsi yang
hampir berimbang (dalam kisaran 80 persen), kecuali Suara
Merdeka yang proporsinya 78 persen. Pada berita-berita hukum
yang didapatkan melalui wawancara, semua surat kabar
menunjukkan kecenderungan yang hampir sama. Proporsi
berita hukum dari hasil wawancara pada Tribun Jateng dan
Koran Sindo edisi Jateng di atas 90 persen. Proporsi berita
hukum yang diperoleh dari hasil interviu pada Wawasan dan
Suara Merdeka di atas 80 persen. Pengecualian terjadi pada
Radar Semarang yang proporsinya hanya dalam kisaran 10
persen.
Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa asal
berita politik dan hukum pada lima media tersebut merupakan
usaha yang dijalankan reporter sebagaimana dapat
dideskripsikan pada Gambar 15. Peristiwa alamiah terlalu kecil
proporsinya. Proporsi berita-berita politik yang berasal dari
usaha reporter untuk masing-masing surat kabar menunjukkan
proporsi yang bervariasi. Proporsi Koran Sindo edisi Jateng
pada berita politik berada di atas 90 persen.
Gambar 15ASAL BERITA POLITIK DAN HUKUM
MENURUT SURAT KABAR
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
100 101
Proporsi Tribun Jateng dan Radar Semarang di atas tiga
perempat (75 persen). Sedangkan proporsi Wawasan dan Suara
Merdeka masing-masing di atas angka 69 persen dan 67 persen.
Sementara itu, proporsi berita-berita bertema hukum yang
berasal dari usaha reporter pada masing-masing media juga
memperlihatkan variasi. Proporsi Tribun Jateng, Koran Sindo
edisi Jateng, dan Wawasan pada kisaran 90 persen. Sedangkan
proporsi Radar Semarang dan Suara Merdeka pada kisaran 80
persen.
Gambar 16NEWS VALUES DALAM BERITA POLITIK DAN
HUKUM MENURUT SURAT KABAR
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
102 103
Proporsi Tribun Jateng dan Radar Semarang di atas tiga
perempat (75 persen). Sedangkan proporsi Wawasan dan Suara
Merdeka masing-masing di atas angka 69 persen dan 67 persen.
Sementara itu, proporsi berita-berita bertema hukum yang
berasal dari usaha reporter pada masing-masing media juga
memperlihatkan variasi. Proporsi Tribun Jateng, Koran Sindo
edisi Jateng, dan Wawasan pada kisaran 90 persen. Sedangkan
proporsi Radar Semarang dan Suara Merdeka pada kisaran 80
persen.
Gambar 16NEWS VALUES DALAM BERITA POLITIK DAN
HUKUM MENURUT SURAT KABAR
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
102 103
Gambar 16 menunjukkan bahwa nilai-nilai berita (news
values) yang paling menonjol pada berita-berita politik dan
hukum pada lima media adalah aktualitas dan proksimitas. Hal
ini dapat dimengerti karena kelima surat kabar itu terbit harian
yang menekankan sisi kebaruan suatu peristiwa serta
menonjolkan aspek lokalitas untuk memenuhi kebutuhan para
pembacanya.
Nilai-nilai berita lain, seperti currency, dampak, dan
keterkenalan memang ada, tapi proporsinya terhitung kecil
dibandingkan aktualitas dan proksimitas. Bahkan, nilai berita
keluarbiasaan dan kontroversi juga ada, namun tidak
diperhitungkan karena jumlahnya terlalu sedikit. Semua surat
kabar menampilkan nilai kedekatan dengan khalayak dalam
berita-berita politik yang proporsinya mencapai angka di atas 90
persen, bahkan 100 persen. Pengecualian terdapat pada
Wawasan yang proporsinya sebesar lebih dari 80 persen.
Seluruh media juga menekankan aktualitas dalam berita-berita
politik yang proporsinya hingga mencapai 100 persen, kecuali
Tribun Jateng yang proporsinya sebesar 97,1 persen.
Berita-berita bertopik hukum yang menekankan aspek
proksimitas secara dominan juga ditampilkan oleh semua
media. Bahkan, pada Koran Sindo edisi Jateng dan Suara
Merdeka proporsinya mencapai 100 persen. Sementara itu
proporsi jenis berita ini pada Tribun Jateng, Radar Semarang,
dan Wawasan mencapai lebih dari 90 persen. Sedangkan berita-
berita hukum yang menonjolkan aspek aktualitas, dengan
proporsi mencapai 100 persen, ditunjukkan oleh semua media,
kecuali Tribun Jateng yang proporsinya sebesar 93,3 persen.
Gambar 17TEKNIK PENULISAN BERITA POLITIK DAN
HUKUM MENURUT SURAT KABAR
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
104 105
Gambar 16 menunjukkan bahwa nilai-nilai berita (news
values) yang paling menonjol pada berita-berita politik dan
hukum pada lima media adalah aktualitas dan proksimitas. Hal
ini dapat dimengerti karena kelima surat kabar itu terbit harian
yang menekankan sisi kebaruan suatu peristiwa serta
menonjolkan aspek lokalitas untuk memenuhi kebutuhan para
pembacanya.
Nilai-nilai berita lain, seperti currency, dampak, dan
keterkenalan memang ada, tapi proporsinya terhitung kecil
dibandingkan aktualitas dan proksimitas. Bahkan, nilai berita
keluarbiasaan dan kontroversi juga ada, namun tidak
diperhitungkan karena jumlahnya terlalu sedikit. Semua surat
kabar menampilkan nilai kedekatan dengan khalayak dalam
berita-berita politik yang proporsinya mencapai angka di atas 90
persen, bahkan 100 persen. Pengecualian terdapat pada
Wawasan yang proporsinya sebesar lebih dari 80 persen.
Seluruh media juga menekankan aktualitas dalam berita-berita
politik yang proporsinya hingga mencapai 100 persen, kecuali
Tribun Jateng yang proporsinya sebesar 97,1 persen.
Berita-berita bertopik hukum yang menekankan aspek
proksimitas secara dominan juga ditampilkan oleh semua
media. Bahkan, pada Koran Sindo edisi Jateng dan Suara
Merdeka proporsinya mencapai 100 persen. Sementara itu
proporsi jenis berita ini pada Tribun Jateng, Radar Semarang,
dan Wawasan mencapai lebih dari 90 persen. Sedangkan berita-
berita hukum yang menonjolkan aspek aktualitas, dengan
proporsi mencapai 100 persen, ditunjukkan oleh semua media,
kecuali Tribun Jateng yang proporsinya sebesar 93,3 persen.
Gambar 17TEKNIK PENULISAN BERITA POLITIK DAN
HUKUM MENURUT SURAT KABAR
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
104 105
Prosedur penulisan berita-berita politik dan hukum yang
obyektif sudah dijalankan oleh semua media.Setidaknya, tiga
syarat sudah dijalankan, yakni meliput dua atau lebih pihak yang
terlibat, menggunakan sudut pandang penulisan orang ketiga,
serta penulisan dengan format piramida terbalik. Hal itu dapat
dibaca pada Gambar 17.
Pada berita-berita politik dapat dilihat bahwa proporsi
syarat penulisan dengan menggunakan sudut pandang orang
ketiga dan piramida terbalik sudah dilakukan sepenuhnya
(100%) oleh Radar Semarang, Wawasan, dan Suara Merdeka.
Sementara itu proporsi Koran Sindo edisi Jateng untuk dua
syarat penulisan itu mencapai 99 persen. Tribun Jateng pada
kasus yang sama menunjukkan pola yang bervariasi. Sementara
itu, semua media menunjukkan proporsi yang bervariasi antara
di atas 70 persen dan 90 persen untuk syarat meliput dua atau
lebih pihak yang terlibat. Proporsi prosedur kutipan dari ahli
pada berita-berita politik untuk semua media terhitung masih
sedikit.
Kecenderungan yang sama terdapat pada berita-berita
bertopik hukum. Semua media sudah menjalankan persyaratan
menulis dengan sudut pandang orang ketiga dan memakai
format penulisan piramida terbalik (100%), kecuali pada Tribun
Jateng yang proporsinya di atas 90 persen.
Persyaratan penulisan yang mencakup dua belah pihak
atau lebih yang terlibat memperlihatkan proporsi yang beragam,
dalam kisaran angka di atas 50 persen dan 80 persen. Proporsi
penulisan berita yang melibatkan kutipan dari pihak yang
dianggap ahli di bidangnya menunjukkan proporsi yang sangat
rendah. Bahkan, berita-berita Tribun Jateng dan Suara
Merdeka sama sekali tidak memuat pernyataan dari kalangan
pihak yang berkompeten di bidang hukum.
Penutup
1. Obyektivitas pemberitaan merupakan sisi lain dari
independensi media. Artinya adalah independensi
merupakan proses para wartawan dalam melakukan liputan
terhadap suatu peristiwa sampai dihadirkan sebagai berita di
hadapan pembaca. Sementara itu, obyektivitas pemberitaan
merupakan hasil kerja yang dilakukan kalangan wartawan
yang tidak mendapatkan intervensi dari pihak mana pun.
Terdapat pengandaian bahwa semakin obyektif pemberitaan
yang diproduksi oleh wartawan, maka semakin independen
pula para jurnalis dalam proses pembuatan berita.
Obyektivitas pemberitaan pada kondisi semacam itu adalah
bukti media mampu menunjukkan tindakan tidak berpihak
( impartial) dan tidak pula memberi dukungan
(nonpartisanship) terhadap pihak-pihak tertentu yang
diliput media.
2. Apabila dilihat dari empat syarat penulisan berita obyektif,
yakni:(1) penyajian fakta-fakta mengikuti kaidah piramida
terbalik; (2) sudut pandang atau perspektif penulisan adalah
orang ketiga (third person); (3) dua atau lebih pihak yang
terlibat dalam pemberitaan diliput semua; dan (4)
mewawancarai pihak yang dianggap berkompetensi dalam
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
106 107
Prosedur penulisan berita-berita politik dan hukum yang
obyektif sudah dijalankan oleh semua media.Setidaknya, tiga
syarat sudah dijalankan, yakni meliput dua atau lebih pihak yang
terlibat, menggunakan sudut pandang penulisan orang ketiga,
serta penulisan dengan format piramida terbalik. Hal itu dapat
dibaca pada Gambar 17.
Pada berita-berita politik dapat dilihat bahwa proporsi
syarat penulisan dengan menggunakan sudut pandang orang
ketiga dan piramida terbalik sudah dilakukan sepenuhnya
(100%) oleh Radar Semarang, Wawasan, dan Suara Merdeka.
Sementara itu proporsi Koran Sindo edisi Jateng untuk dua
syarat penulisan itu mencapai 99 persen. Tribun Jateng pada
kasus yang sama menunjukkan pola yang bervariasi. Sementara
itu, semua media menunjukkan proporsi yang bervariasi antara
di atas 70 persen dan 90 persen untuk syarat meliput dua atau
lebih pihak yang terlibat. Proporsi prosedur kutipan dari ahli
pada berita-berita politik untuk semua media terhitung masih
sedikit.
Kecenderungan yang sama terdapat pada berita-berita
bertopik hukum. Semua media sudah menjalankan persyaratan
menulis dengan sudut pandang orang ketiga dan memakai
format penulisan piramida terbalik (100%), kecuali pada Tribun
Jateng yang proporsinya di atas 90 persen.
Persyaratan penulisan yang mencakup dua belah pihak
atau lebih yang terlibat memperlihatkan proporsi yang beragam,
dalam kisaran angka di atas 50 persen dan 80 persen. Proporsi
penulisan berita yang melibatkan kutipan dari pihak yang
dianggap ahli di bidangnya menunjukkan proporsi yang sangat
rendah. Bahkan, berita-berita Tribun Jateng dan Suara
Merdeka sama sekali tidak memuat pernyataan dari kalangan
pihak yang berkompeten di bidang hukum.
Penutup
1. Obyektivitas pemberitaan merupakan sisi lain dari
independensi media. Artinya adalah independensi
merupakan proses para wartawan dalam melakukan liputan
terhadap suatu peristiwa sampai dihadirkan sebagai berita di
hadapan pembaca. Sementara itu, obyektivitas pemberitaan
merupakan hasil kerja yang dilakukan kalangan wartawan
yang tidak mendapatkan intervensi dari pihak mana pun.
Terdapat pengandaian bahwa semakin obyektif pemberitaan
yang diproduksi oleh wartawan, maka semakin independen
pula para jurnalis dalam proses pembuatan berita.
Obyektivitas pemberitaan pada kondisi semacam itu adalah
bukti media mampu menunjukkan tindakan tidak berpihak
( impartial) dan tidak pula memberi dukungan
(nonpartisanship) terhadap pihak-pihak tertentu yang
diliput media.
2. Apabila dilihat dari empat syarat penulisan berita obyektif,
yakni:(1) penyajian fakta-fakta mengikuti kaidah piramida
terbalik; (2) sudut pandang atau perspektif penulisan adalah
orang ketiga (third person); (3) dua atau lebih pihak yang
terlibat dalam pemberitaan diliput semua; dan (4)
mewawancarai pihak yang dianggap berkompetensi dalam
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
106 107
bidang kajian yang sedang dijadikan materi liputan, maka
lima media yang terbit di Semarang setidaknya telah
memenuhi tiga persyaratan pertama. Narasumber yang
dikategorikan sebagai pakar atau pengamat, ternyata, belum
menjadi pihak yang dianggap penting oleh media dalam
pemberitaan. Dengan demikian, dari sisi teknis-prosedural
penulisan berita obyektif dapat dikemukakan bahwa media
memang sudah menjalankannya. Tapi, aspek teknis-
prosedural penulisan yang sebagian besar telah terpenuhi
tidak berbanding lurus dan belum tentu mencerminkan
aspek obyektivitas yang bersifat substansial. Misalnya,
dalam aspek tone (nada) pemberitaan apakah media
menunjukkan keberpihakan dan wartawan sudah mampu
memisahkan secara tegas fakta dengan opini, belum bisa
terjawab secara terukur.
3. Apabila politik dan hukum merupakan dua hal yang
berkepentingan dengan hajat hidup orang banyak, maka
dalam penelitian ini ditemukan suatu paradoks. Apa yang
disebut sebagai berita-berita bertema politik dan hukum
ternyata memuat nilai berita dampak (impact) yang rendah
bagi masyarakat. Memang benar bahwa berita-berita politik
dan hukum telah memenuhi nilai aktualitas dan proksimitas
yang menjadi kebutuhan masyarakat. Hanya saja kalau
muatan keberartian atau kepentingan itu bernilai rendah
bagi masyarakat, maka berita-berita itu sekadar menjadi
rutinitas bacaan yang sedikit pula bersinggungan dengan
kebutuhan konkret masyarakat. Obyektivitas pemberitaan
yang sekadar menyentuh aspek kedekatan (ruang) dan
kebaruan (waktu) bagi pembaca, tapi kurang menghadirkan
nilai kepentingan yang pantas bagi khalayak, maka pada
akhirnya menjadi ritual media yang tidak mampu
menciptakan dorongan bagi publik untuk berpartisipasi
dalam persoalan-persoalan nyata mereka.
4. Setidaknya ada tiga metode yang diterapkan oleh wartawan
dalam mengumpulkan berita, yaitu wawancara, observasi
(pengamatan), dan riset. Wartawan juga bisa memadukan
dua atau tiga metode itu sekaligus. Penelitian ini
menunjukkan bahwa berita-berita secara dominan
merupakan hasil wawancara. Observasi hanya sedikit
dijalankan. Bahkan, riset (misalnya, studi kepustakaan atau
kajian terhadap data-data sekunder) sama sekali tidak
pernah dikerahkan. Tidak janggal apabila berita-berita pun
sekadar berisi rangkuman wawancara yang dilakukan
wartawan dengan narasumber. Apa yang disebut sebagai
obyektivitas sekadar tindakan konfirmasi tanpa didukung
oleh bukti-bukti riset atau data yang memadai. Obyektivitas
hanya menjadi problem persepsi karena terlalu miskin data
dan bahkan nihil pembuktian.
5. Analisis isi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
kelebihan dan, serentak dengan itu, juga kelemahan.
Kelebihannya adalah metode ini mampu memberikan
berbagai data kuantitatif, dari topik berita sampai nilai-nilai
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
108 109
bidang kajian yang sedang dijadikan materi liputan, maka
lima media yang terbit di Semarang setidaknya telah
memenuhi tiga persyaratan pertama. Narasumber yang
dikategorikan sebagai pakar atau pengamat, ternyata, belum
menjadi pihak yang dianggap penting oleh media dalam
pemberitaan. Dengan demikian, dari sisi teknis-prosedural
penulisan berita obyektif dapat dikemukakan bahwa media
memang sudah menjalankannya. Tapi, aspek teknis-
prosedural penulisan yang sebagian besar telah terpenuhi
tidak berbanding lurus dan belum tentu mencerminkan
aspek obyektivitas yang bersifat substansial. Misalnya,
dalam aspek tone (nada) pemberitaan apakah media
menunjukkan keberpihakan dan wartawan sudah mampu
memisahkan secara tegas fakta dengan opini, belum bisa
terjawab secara terukur.
3. Apabila politik dan hukum merupakan dua hal yang
berkepentingan dengan hajat hidup orang banyak, maka
dalam penelitian ini ditemukan suatu paradoks. Apa yang
disebut sebagai berita-berita bertema politik dan hukum
ternyata memuat nilai berita dampak (impact) yang rendah
bagi masyarakat. Memang benar bahwa berita-berita politik
dan hukum telah memenuhi nilai aktualitas dan proksimitas
yang menjadi kebutuhan masyarakat. Hanya saja kalau
muatan keberartian atau kepentingan itu bernilai rendah
bagi masyarakat, maka berita-berita itu sekadar menjadi
rutinitas bacaan yang sedikit pula bersinggungan dengan
kebutuhan konkret masyarakat. Obyektivitas pemberitaan
yang sekadar menyentuh aspek kedekatan (ruang) dan
kebaruan (waktu) bagi pembaca, tapi kurang menghadirkan
nilai kepentingan yang pantas bagi khalayak, maka pada
akhirnya menjadi ritual media yang tidak mampu
menciptakan dorongan bagi publik untuk berpartisipasi
dalam persoalan-persoalan nyata mereka.
4. Setidaknya ada tiga metode yang diterapkan oleh wartawan
dalam mengumpulkan berita, yaitu wawancara, observasi
(pengamatan), dan riset. Wartawan juga bisa memadukan
dua atau tiga metode itu sekaligus. Penelitian ini
menunjukkan bahwa berita-berita secara dominan
merupakan hasil wawancara. Observasi hanya sedikit
dijalankan. Bahkan, riset (misalnya, studi kepustakaan atau
kajian terhadap data-data sekunder) sama sekali tidak
pernah dikerahkan. Tidak janggal apabila berita-berita pun
sekadar berisi rangkuman wawancara yang dilakukan
wartawan dengan narasumber. Apa yang disebut sebagai
obyektivitas sekadar tindakan konfirmasi tanpa didukung
oleh bukti-bukti riset atau data yang memadai. Obyektivitas
hanya menjadi problem persepsi karena terlalu miskin data
dan bahkan nihil pembuktian.
5. Analisis isi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
kelebihan dan, serentak dengan itu, juga kelemahan.
Kelebihannya adalah metode ini mampu memberikan
berbagai data kuantitatif, dari topik berita sampai nilai-nilai
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
108 109
berita (news values) yang dihadirkan oleh masing-masing
media. Analisis isi juga bisa menunjukkan pola-pola
pemberitaan yang telah menjadi rutinitas harian kalangan
wartawan. Sehingga, generalisasi terhadap berbagai
kebiasaan penulisan berita obyektif yang dijalankan
wartawan mampu didapatkan. Kekurangannya adalah
analisis isi hanya mampu mendeskripsikan sisi permukaan
(manifest), namun tidak bisa menyingkap sisi tersembunyi
(latent), yang terdapat dalam pemberitaan. Padahal,
obyektivitas tidak hanya berkaitan dengan problematika
permukaan kebahasaan berita, namun melainkan juga sisi-
sisi makna yang diselubungkan dalam aneka tanda. Dalam
sudut pandang demikian, maka memadukan analisis isi
dengan analisis bingkai (frame analysis) atau metode
semiotika untuk melihat sisi permukaan dan wilayah
kedalaman bahasa menjadi langkah yang layak
diperhitungkan.
* * *
Pengantar
Dalam laporan akhir tahun 2012, Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) menetapkan salah satu musuh utama
kebebasan pers adalah internal perusahaan media sendiri.
Seiring dengan semakin banyaknya pemilik media massa yang
merangkap sebagai politikus maupun pelaku usaha maka
pemberitaan yang dibuat oleh jurnalis tidak bisa independen.
Jurnalis dipaksa, secara halus maupun kasar, mengikuti agenda
politik atau ekonomi pihak yang menguasai media. Padahal,
idealnya jurnalis adalah profesi yang bebas dan independen.
Hal ini secara eksplisit dapat disimak pada Surat
Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 tentang
Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 yang menyatakan: Wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang
akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pada Kode Etik
Jurnalistik itu pula dapat dibaca penafsiran terhadap kata
independen, yakni “memberitakan peristiwa atau fakta sesuai
dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan
intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers”.
Salah satu dari sembilan elemen jurnalisme yang
dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) juga
Riset Kualitatif
Padamnya Garis Api di Ruang Pemberitaan
AJI Semarang
110 111
berita (news values) yang dihadirkan oleh masing-masing
media. Analisis isi juga bisa menunjukkan pola-pola
pemberitaan yang telah menjadi rutinitas harian kalangan
wartawan. Sehingga, generalisasi terhadap berbagai
kebiasaan penulisan berita obyektif yang dijalankan
wartawan mampu didapatkan. Kekurangannya adalah
analisis isi hanya mampu mendeskripsikan sisi permukaan
(manifest), namun tidak bisa menyingkap sisi tersembunyi
(latent), yang terdapat dalam pemberitaan. Padahal,
obyektivitas tidak hanya berkaitan dengan problematika
permukaan kebahasaan berita, namun melainkan juga sisi-
sisi makna yang diselubungkan dalam aneka tanda. Dalam
sudut pandang demikian, maka memadukan analisis isi
dengan analisis bingkai (frame analysis) atau metode
semiotika untuk melihat sisi permukaan dan wilayah
kedalaman bahasa menjadi langkah yang layak
diperhitungkan.
* * *
Pengantar
Dalam laporan akhir tahun 2012, Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) menetapkan salah satu musuh utama
kebebasan pers adalah internal perusahaan media sendiri.
Seiring dengan semakin banyaknya pemilik media massa yang
merangkap sebagai politikus maupun pelaku usaha maka
pemberitaan yang dibuat oleh jurnalis tidak bisa independen.
Jurnalis dipaksa, secara halus maupun kasar, mengikuti agenda
politik atau ekonomi pihak yang menguasai media. Padahal,
idealnya jurnalis adalah profesi yang bebas dan independen.
Hal ini secara eksplisit dapat disimak pada Surat
Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 tentang
Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 yang menyatakan: Wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang
akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pada Kode Etik
Jurnalistik itu pula dapat dibaca penafsiran terhadap kata
independen, yakni “memberitakan peristiwa atau fakta sesuai
dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan
intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers”.
Salah satu dari sembilan elemen jurnalisme yang
dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) juga
Riset Kualitatif
Padamnya Garis Api di Ruang Pemberitaan
AJI Semarang
110 111
menyatakan jurnalis harus tetap independen dari pihak yang
mereka liput.
Pertanyaannya, apakah konsep ideal independensi
jurnalis itu bisa diterapkan, terutama jika dihadapkan pada
perusahaan media. Para jurnalis sangat mungkin bisa
independen tapi jika itu terkait dengan pihak lain. Rasa-rasanya,
tidak ada pihak yang luput dari kritikan media. Tapi, sekali lagi,
jurnalis agak kesulitan jika harus mengkritik perusahaan
medianya. Ini terjadi akibat jurnalis bekerja di payung
perusahaan media mainstream yang memiliki hubungan
ketenagakerjaan. Bagaimanapun jurnalis adalah pekerja
(buruh) perusahaan media.
Persoalan pelik akibat situasi itu adalah terancamnya
independensi jurnalis. Jurnalis bisa saja tidak independen
karena dia selalu berada di bawah “ketiak” perusahaan media.
Tidak hanya pemilik, sistem kerja jurnalis juga di bawah para
redaktur. Maka jika jurnalisnya baik tapi redakturnya buruk
maka berita versi redakturlah yang akan muncul di media.
Sebab, berita-berita yang disajikan media merupakan hasil
penyuntingan para redaktur. Maka sangat beralasan jika AJI
menetapkan salah satu musuh kebebasan jurnalis saat ini adalah
perusahaan media sendiri.
Tapi intervensi di ruang pemberitaan itu juga berasal
dari para pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Karena
posisi jurnalis sangat strategis, yakni bisa menentukan opini
publik, maka kini berbagai pihak (baca: narasumber) selalu
ingin dekat dengan awak media.
Pendekatan yang dilakukan para narasumber itu bisa
berbagai macam, mulai pemberian amplop, pemberian barang,
kesepakatan sebuah proyek, ancaman, hingga pemberian iklan.
Ringkasnya, banyak pihak yang ingin mendekati jurnalis agar
bisa mengintervensi sudut pandang pemberitaan sehingga bisa
menguntungkan yang bersangkutan. Dalam posisi seperti itulah
maka independensi jurnalis menjadi masalah serius karena akan
berkorelasi dengan isi pemberitaannya.
Ada beberapa kriteria praktik sensor yang bisa
dimainkan, yakni: fakta atau peristiwa yang sebenarnya
memiliki nilai berita tapi sengaja tak disajikan oleh media,
peristiwa itu diberitakan tapi faktanya telah terdistorsi, sensor
dengan cara hanya memberitakan peristiwa berdasarkan pada
kepentingan pemilik media maupun rezim atau tidak
memberitakan sama sekali peristiwa tersebut. Dengan kata lain,
ketika menghadapi sebuah isu yang kontroversial atau sensitif
pada kepentingannya, kita juga sering menemukan media yang
memilih:
- Tidak memberitakan sama sekali.
- Memberitakan dengan angle (sudut pandang) yang tidak
berpihak pada publik.
- Memberitakan dengan nada pemberitaan yang berpihak.
- Memberitakan dengan narasumber yang tidak seimbang
Kita memang tak bisa melihat praktik media secara
umum. Memang ada media yang dalam isu tertentu sangat
independen tapi dalam isu yang lain mudah dipengaruhi. Begitu
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
112 113
menyatakan jurnalis harus tetap independen dari pihak yang
mereka liput.
Pertanyaannya, apakah konsep ideal independensi
jurnalis itu bisa diterapkan, terutama jika dihadapkan pada
perusahaan media. Para jurnalis sangat mungkin bisa
independen tapi jika itu terkait dengan pihak lain. Rasa-rasanya,
tidak ada pihak yang luput dari kritikan media. Tapi, sekali lagi,
jurnalis agak kesulitan jika harus mengkritik perusahaan
medianya. Ini terjadi akibat jurnalis bekerja di payung
perusahaan media mainstream yang memiliki hubungan
ketenagakerjaan. Bagaimanapun jurnalis adalah pekerja
(buruh) perusahaan media.
Persoalan pelik akibat situasi itu adalah terancamnya
independensi jurnalis. Jurnalis bisa saja tidak independen
karena dia selalu berada di bawah “ketiak” perusahaan media.
Tidak hanya pemilik, sistem kerja jurnalis juga di bawah para
redaktur. Maka jika jurnalisnya baik tapi redakturnya buruk
maka berita versi redakturlah yang akan muncul di media.
Sebab, berita-berita yang disajikan media merupakan hasil
penyuntingan para redaktur. Maka sangat beralasan jika AJI
menetapkan salah satu musuh kebebasan jurnalis saat ini adalah
perusahaan media sendiri.
Tapi intervensi di ruang pemberitaan itu juga berasal
dari para pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Karena
posisi jurnalis sangat strategis, yakni bisa menentukan opini
publik, maka kini berbagai pihak (baca: narasumber) selalu
ingin dekat dengan awak media.
Pendekatan yang dilakukan para narasumber itu bisa
berbagai macam, mulai pemberian amplop, pemberian barang,
kesepakatan sebuah proyek, ancaman, hingga pemberian iklan.
Ringkasnya, banyak pihak yang ingin mendekati jurnalis agar
bisa mengintervensi sudut pandang pemberitaan sehingga bisa
menguntungkan yang bersangkutan. Dalam posisi seperti itulah
maka independensi jurnalis menjadi masalah serius karena akan
berkorelasi dengan isi pemberitaannya.
Ada beberapa kriteria praktik sensor yang bisa
dimainkan, yakni: fakta atau peristiwa yang sebenarnya
memiliki nilai berita tapi sengaja tak disajikan oleh media,
peristiwa itu diberitakan tapi faktanya telah terdistorsi, sensor
dengan cara hanya memberitakan peristiwa berdasarkan pada
kepentingan pemilik media maupun rezim atau tidak
memberitakan sama sekali peristiwa tersebut. Dengan kata lain,
ketika menghadapi sebuah isu yang kontroversial atau sensitif
pada kepentingannya, kita juga sering menemukan media yang
memilih:
- Tidak memberitakan sama sekali.
- Memberitakan dengan angle (sudut pandang) yang tidak
berpihak pada publik.
- Memberitakan dengan nada pemberitaan yang berpihak.
- Memberitakan dengan narasumber yang tidak seimbang
Kita memang tak bisa melihat praktik media secara
umum. Memang ada media yang dalam isu tertentu sangat
independen tapi dalam isu yang lain mudah dipengaruhi. Begitu
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
112 113
juga sebaliknya. Yang pasti, usaha mendorong media selalu
independen harus tetap dilakukan. Independensi media
dibutuhkan agar berita diproduksi berdasarkan kepentingan
publik dan standar nilai berita semata. Media yang tidak
memiliki ruang redaksi yang steril dari kepentingan non-redaksi
tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai penyampai informasi
yang layak dipercaya. Berita yang disiarkan merupakan pesanan
dan tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya terjadi di
lapangan.
Riset independensi awak media
Sebagai salah satu ikhtiar mengikis praktik penyensoran,
AJI Semarang yang didukung Yayasan Tifa melakukan
penelitian studi deskriptif dengan pendekatan fenomenologi
untuk mengungkap independensi media. Fenomenologi
merupakan kajian terhadap fenomena manusia dalam konteks
sosial sehari-hari. Fenomena yang dimaksud terjadi dari
perspektif mereka yang mengalaminya. Fenomena tersebut
terdiri dari apa pun yang manusia hidupi atau pun alami.
Fenomena itu dapat diteliti secara langsung dengan
mengeksplorasi apa yang diketahui manusia dengan cara
mengakses kesadaran mereka. Fenomena itu juga dapat dikaji
secara tidak langsung dengan menginvestigasi keberadaan
manusia dengan cara mengakses makna-makna dan praktik-
praktik yang melatarbelakanginya (Titchen dan Hobson dalam
Somekh dan Lewin [eds.], 2005). Dalam bahasa jurnalistik,
metode penelitian ini seperti wawancara dan reportase.
Penelitian fenomenologi sendiri termasuk pada
paradigma interpretif, yakni menganalisis aktivitas sosial
melalui pengamatan langsung yang mendetail atas individu di
dalam situasi dan kondisi yang alami.
Tujuan utama dari paradigma interpretif adalah
memahami dunia subyektif pengalaman manusia. Untuk dapat
memperoleh gambaran yang utuh dari fenomena yang diteliti,
peneliti berupaya untuk masuk ke dalam cara berpikir orang
yang diteliti dan memahaminya dari dalam.
Sangat dihindari penggunaan kerangka dan struktur
analisis yang merefleksikan pandangan peneliti, karena akan
mengaburkan cara pandang aktor yang diamati. Tidak ada
rekayasa dengan tujuan untuk mencapai pemahaman dan
penafsiran bagaimana individu menciptakan dan memelihara
dunia sosial mereka. Oleh karena itu asumsi utama dari
paradigma interpretif adalah individu secara aktif
menginterpretasikan pengalaman mereka dengan memberikan
makna pada apa yang mereka lihat atau rasakan.
Subyek Riset
Penelitian ini dilakukan di Kota Semarang dengan
subyek utama penelitian adalah 10 jurnalis media lokal di
Semarang, terdiri dari 7 reporter, 1 redaktur, dan 2 pemimpin
redaksi.
Jurnalis adalah subyek yang idealnya memiliki hak
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
114 115
juga sebaliknya. Yang pasti, usaha mendorong media selalu
independen harus tetap dilakukan. Independensi media
dibutuhkan agar berita diproduksi berdasarkan kepentingan
publik dan standar nilai berita semata. Media yang tidak
memiliki ruang redaksi yang steril dari kepentingan non-redaksi
tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai penyampai informasi
yang layak dipercaya. Berita yang disiarkan merupakan pesanan
dan tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya terjadi di
lapangan.
Riset independensi awak media
Sebagai salah satu ikhtiar mengikis praktik penyensoran,
AJI Semarang yang didukung Yayasan Tifa melakukan
penelitian studi deskriptif dengan pendekatan fenomenologi
untuk mengungkap independensi media. Fenomenologi
merupakan kajian terhadap fenomena manusia dalam konteks
sosial sehari-hari. Fenomena yang dimaksud terjadi dari
perspektif mereka yang mengalaminya. Fenomena tersebut
terdiri dari apa pun yang manusia hidupi atau pun alami.
Fenomena itu dapat diteliti secara langsung dengan
mengeksplorasi apa yang diketahui manusia dengan cara
mengakses kesadaran mereka. Fenomena itu juga dapat dikaji
secara tidak langsung dengan menginvestigasi keberadaan
manusia dengan cara mengakses makna-makna dan praktik-
praktik yang melatarbelakanginya (Titchen dan Hobson dalam
Somekh dan Lewin [eds.], 2005). Dalam bahasa jurnalistik,
metode penelitian ini seperti wawancara dan reportase.
Penelitian fenomenologi sendiri termasuk pada
paradigma interpretif, yakni menganalisis aktivitas sosial
melalui pengamatan langsung yang mendetail atas individu di
dalam situasi dan kondisi yang alami.
Tujuan utama dari paradigma interpretif adalah
memahami dunia subyektif pengalaman manusia. Untuk dapat
memperoleh gambaran yang utuh dari fenomena yang diteliti,
peneliti berupaya untuk masuk ke dalam cara berpikir orang
yang diteliti dan memahaminya dari dalam.
Sangat dihindari penggunaan kerangka dan struktur
analisis yang merefleksikan pandangan peneliti, karena akan
mengaburkan cara pandang aktor yang diamati. Tidak ada
rekayasa dengan tujuan untuk mencapai pemahaman dan
penafsiran bagaimana individu menciptakan dan memelihara
dunia sosial mereka. Oleh karena itu asumsi utama dari
paradigma interpretif adalah individu secara aktif
menginterpretasikan pengalaman mereka dengan memberikan
makna pada apa yang mereka lihat atau rasakan.
Subyek Riset
Penelitian ini dilakukan di Kota Semarang dengan
subyek utama penelitian adalah 10 jurnalis media lokal di
Semarang, terdiri dari 7 reporter, 1 redaktur, dan 2 pemimpin
redaksi.
Jurnalis adalah subyek yang idealnya memiliki hak
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
114 115
independen tapi fenomena menunjukkan bahwa mereka banyak
sekali mengalami intervensi dari pihak lain, terutama dari
perusahaan medianya. Agar data yang disampaikan jurnalis bisa
lengkap dan menghindari kekeliruan maka peneliti juga
meminta konfirmasi kepada redaktur dan pemilik media
masing-masing.
Wartawan dalam riset ini didefinisikan sebagai orang
yang bekerja sebagai pewarta, yang bertugas mencari berita,
membuat berita, dan menerbitkan karya jurnalistik. Adapun
wartawan yang diwawancarai secara mendalam dalam
penelitian ini adalah wartawan media lokal di Kota Semarang
yang meliput di beberapa bidang. Untuk menjaga hubungan baik
maka jurnalis yang diwawancara dan medianya tidak disebutkan
namanya atau menggunakan nama samaran. Tujuannya agar
responden mau berkata jujur atas apa yang sudah dialami.
Rawan diintervensi
Setelah melakukan riset di lapangan, AJI Semarang
menemukan berbagai kasus intervensi yang sering dialami awak
media. Intervensi inilah yang mengakibatkan munculnya
penyensoran informasi untuk publik. Jika dipilah, praktik
penyensoran muncul dari dua wilayah, yakni internal dan
eksternal perusahaan.
Pihak-pihak yang bisa dikelompokkan dalam wilayah
internal adalah:
- Pemilik perusahaan
- Pemimpin perusahaan
- Pemimpin redaksi
- Redaktur
- Jurnalis sekantor
- Bagian iklan dan sirkulasi
Sedangkan dari pihak ekternal media hampir semua
orang berpotensi bisa melakukan intervensi terhadap awak
media, di antaranya:
- Para narasumber
- Birokrat pemerintahan
- Aparat keamanan
- Pemasang iklan
- Pengacara
- Organisasi jurnalis
- Jurnalis media lain
Intervensi internal perusahaan
Faktor pendorong terjadinya intervensi dari internal
media rata-rata berasal dari kepentingan ekonomi perusahaan
dan kepentingan individu. Bentuk dan pelaku penyensoran yang
terjadi, antara lain :
Pemilik media atau pemimpin perusahaan meminta agar
berita negatif dari kenalannya tidak ditulis. Pemimpin redaksi
dan redaktur meminta agar berita-berita yang menyerang
kenalan, pemasang iklan, diperhalus atau tidak usah ditulis.
Selain itu pemimpin redaksi dan redaktur juga bisa
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
116 117
independen tapi fenomena menunjukkan bahwa mereka banyak
sekali mengalami intervensi dari pihak lain, terutama dari
perusahaan medianya. Agar data yang disampaikan jurnalis bisa
lengkap dan menghindari kekeliruan maka peneliti juga
meminta konfirmasi kepada redaktur dan pemilik media
masing-masing.
Wartawan dalam riset ini didefinisikan sebagai orang
yang bekerja sebagai pewarta, yang bertugas mencari berita,
membuat berita, dan menerbitkan karya jurnalistik. Adapun
wartawan yang diwawancarai secara mendalam dalam
penelitian ini adalah wartawan media lokal di Kota Semarang
yang meliput di beberapa bidang. Untuk menjaga hubungan baik
maka jurnalis yang diwawancara dan medianya tidak disebutkan
namanya atau menggunakan nama samaran. Tujuannya agar
responden mau berkata jujur atas apa yang sudah dialami.
Rawan diintervensi
Setelah melakukan riset di lapangan, AJI Semarang
menemukan berbagai kasus intervensi yang sering dialami awak
media. Intervensi inilah yang mengakibatkan munculnya
penyensoran informasi untuk publik. Jika dipilah, praktik
penyensoran muncul dari dua wilayah, yakni internal dan
eksternal perusahaan.
Pihak-pihak yang bisa dikelompokkan dalam wilayah
internal adalah:
- Pemilik perusahaan
- Pemimpin perusahaan
- Pemimpin redaksi
- Redaktur
- Jurnalis sekantor
- Bagian iklan dan sirkulasi
Sedangkan dari pihak ekternal media hampir semua
orang berpotensi bisa melakukan intervensi terhadap awak
media, di antaranya:
- Para narasumber
- Birokrat pemerintahan
- Aparat keamanan
- Pemasang iklan
- Pengacara
- Organisasi jurnalis
- Jurnalis media lain
Intervensi internal perusahaan
Faktor pendorong terjadinya intervensi dari internal
media rata-rata berasal dari kepentingan ekonomi perusahaan
dan kepentingan individu. Bentuk dan pelaku penyensoran yang
terjadi, antara lain :
Pemilik media atau pemimpin perusahaan meminta agar
berita negatif dari kenalannya tidak ditulis. Pemimpin redaksi
dan redaktur meminta agar berita-berita yang menyerang
kenalan, pemasang iklan, diperhalus atau tidak usah ditulis.
Selain itu pemimpin redaksi dan redaktur juga bisa
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
116 117
menghilangkan beberapa fakta dalam berita ketika mengedit.
Intervensi juga bisa datang dari rekan sekantor yang meminta
agar berita-berita yang menyerang kenalan mereka diperhalus
atau tidak usah ditulis.
Seorang jurnalis mengakui pernah akan menulis dugaan
kasus korupsi sebuah proyek di Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Dia sudah mengumpulkan
bahan berita secara lengkap disertai dengan konfirmasi. Apa
lacur, berita itu tak dimuat karena ada intervensi dari Kepala
Dinas. “Perusahaan media itu tidak hanya butuh jeneng (nama)
tapi juga butuh jenang,” kata jurnalis ini. Seorang jurnalis juga
mengaku dalam isu-isu tertentu ia sudah diberi pesan redaktur
untuk membuat berita dengan sudut pandang tertentu.
Biasanya, redaktur tersebut memiliki kepentingan, entah karena
perkawanan atau motif lain.
Defisini apa itu intervensi ke redaksi memang harus
dipertegas. Misalnya, jika ada seorang pemilik media meminta
kepada redaksi untuk memberitakan sesuatu maka itu tak bisa
langsung bisa disebut sebagai intervensi. Sejauh permintaan itu
dilakukan secara terbuka melalui rapat redaksi dan apa yang
diusulkan oleh pemilik media tersebut memiliki nilai berita yang
baik dan redaksi merasa tetap independen maka itu sah-sah saja.
Tapi, jika seorang pemilik media meminta kepada redaksi
memberitakan sesuatu yang tak ada nilai beritanya dan tak ada
kepentingan publik maka itulah yang namanya intervensi.
Seorang redaktur sebuah media lokal di Semarang mengakui
dalam industri, media bukan ruang yang steril, independen, dan
netral dari berbagai kepentingan. Ruang pemberitaan
(newsroom) bukan ruang hampa yang bersih dari kepentingan.
Setiap realitas (berita) yang dilansir media, merupakan realitas
yang sudah dibentuk dan konstruksi dari berbagai asupan.
Asupan bisa datang dari berbagai macam peran. Wartawan yang
menjadi ujung tombak penggalian berita di lapangan berpotensi
memainkan peran. Misalnya, dengan memilih narasumber,
penentuan sudut pandang (angle), kalimat, dan sebagainya.
Pada proses produksi berita selanjutnya, sangat
dimungkinkan, redaktur juga mempunyai kepentingan yang
tidak diketahui oleh jajaran redaksi di atasnya. Misalnya, ketika
redaktur tidak suka dengan narasumber, maka angle bisa
diganti. Atau, secara ekstrem, redaktur bisa melakukan
rewriting (penulisan ulang). Berita dari wartawan juga bisa
dibongkar total. Pada level di atasnya, redaktur pelaksana bisa
jadi juga mempunyai kepentingan dengan cara memainkan
judul, penempatan berita, besar kecilnya porsi berita, pemberian
infografis sampai pemilihan foto. Pemimpin redaksi sebagai
penanggung jawab tertinggi suatu ketika juga mempunyai
kepentingan. Belum lagi kalau pemilik modal juga nimbrung
dengan kepentingannya. “Jadi, berita yang muncul menjadi
realitas yang ke sekian,” kata seorang pemimpin redaksi.
Intervensi Eksternal Perusahaan
Intervensi dari pihak eksternal perusahaan biasanya
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
118 119
menghilangkan beberapa fakta dalam berita ketika mengedit.
Intervensi juga bisa datang dari rekan sekantor yang meminta
agar berita-berita yang menyerang kenalan mereka diperhalus
atau tidak usah ditulis.
Seorang jurnalis mengakui pernah akan menulis dugaan
kasus korupsi sebuah proyek di Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Dia sudah mengumpulkan
bahan berita secara lengkap disertai dengan konfirmasi. Apa
lacur, berita itu tak dimuat karena ada intervensi dari Kepala
Dinas. “Perusahaan media itu tidak hanya butuh jeneng (nama)
tapi juga butuh jenang,” kata jurnalis ini. Seorang jurnalis juga
mengaku dalam isu-isu tertentu ia sudah diberi pesan redaktur
untuk membuat berita dengan sudut pandang tertentu.
Biasanya, redaktur tersebut memiliki kepentingan, entah karena
perkawanan atau motif lain.
Defisini apa itu intervensi ke redaksi memang harus
dipertegas. Misalnya, jika ada seorang pemilik media meminta
kepada redaksi untuk memberitakan sesuatu maka itu tak bisa
langsung bisa disebut sebagai intervensi. Sejauh permintaan itu
dilakukan secara terbuka melalui rapat redaksi dan apa yang
diusulkan oleh pemilik media tersebut memiliki nilai berita yang
baik dan redaksi merasa tetap independen maka itu sah-sah saja.
Tapi, jika seorang pemilik media meminta kepada redaksi
memberitakan sesuatu yang tak ada nilai beritanya dan tak ada
kepentingan publik maka itulah yang namanya intervensi.
Seorang redaktur sebuah media lokal di Semarang mengakui
dalam industri, media bukan ruang yang steril, independen, dan
netral dari berbagai kepentingan. Ruang pemberitaan
(newsroom) bukan ruang hampa yang bersih dari kepentingan.
Setiap realitas (berita) yang dilansir media, merupakan realitas
yang sudah dibentuk dan konstruksi dari berbagai asupan.
Asupan bisa datang dari berbagai macam peran. Wartawan yang
menjadi ujung tombak penggalian berita di lapangan berpotensi
memainkan peran. Misalnya, dengan memilih narasumber,
penentuan sudut pandang (angle), kalimat, dan sebagainya.
Pada proses produksi berita selanjutnya, sangat
dimungkinkan, redaktur juga mempunyai kepentingan yang
tidak diketahui oleh jajaran redaksi di atasnya. Misalnya, ketika
redaktur tidak suka dengan narasumber, maka angle bisa
diganti. Atau, secara ekstrem, redaktur bisa melakukan
rewriting (penulisan ulang). Berita dari wartawan juga bisa
dibongkar total. Pada level di atasnya, redaktur pelaksana bisa
jadi juga mempunyai kepentingan dengan cara memainkan
judul, penempatan berita, besar kecilnya porsi berita, pemberian
infografis sampai pemilihan foto. Pemimpin redaksi sebagai
penanggung jawab tertinggi suatu ketika juga mempunyai
kepentingan. Belum lagi kalau pemilik modal juga nimbrung
dengan kepentingannya. “Jadi, berita yang muncul menjadi
realitas yang ke sekian,” kata seorang pemimpin redaksi.
Intervensi Eksternal Perusahaan
Intervensi dari pihak eksternal perusahaan biasanya
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
118 119
datang dari obyek berita yang tidak ingin berita negatif tentang
mereka ditulis di media. Berdasarkan keterangan para jurnalis,
intervensi sebagian besar berupa permintaan lisan agar tidak
menulis fakta yang tidak diinginkan objek berita. Terkadang
praktik penyensoran ini juga diikuti dengan iming-iming
sejumlah uang atau “amplop.”
Bentuk dan pelaku intervensi tersebut, misalnya birokrat
meminta agar berita-berita buruk terkait pemerintahan
diperhalus atau tidak usah ditulis. Jajaran pemerintah daerah ini
juga meminta agar berita-berita korupsi yang menjerat pejabat
tidak ditulis. Sebagai kompensasi agar media tidak menulis hal-
hal yang negatif, mereka memasang iklan di media.
Aparat keamanan diketahui pernah mengintervensi
jurnalis agar melakukan penyensoran. Seorang pejabat
kepolisian lewat perantara jurnalis senior meminta agar jurnalis
yang diwawancarai tidak menulis berita mengritik kinerja
kepolisian. Ada pula anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)
yang pernah menanyakan mengapa jurnalis harus menulis
berita dugaan penyelewengan dana bantuan operasional sekolah
(BOS) yang tak termasuk dalam ranah keamanan. Diduga
oknum TNI ini merupakan keluarga pejabat di dinas pendidikan.
Di bidang hukum, pengacara juga ada yang pernah meminta agar
kasus kliennya tidak ditulis.
Ada juga seorang oknum wakil kepala sekolah yang
mengajak berkelahi jurnalis gara-gara imbas dari berita yang
ditulis. Pasalnya, wakil kepala sekolah tersebut dicopot dari
jabatannya. Namun, kejadian ini tak sampai menimbulkan
perkelahian fisik.
Pemasang iklan juga sangat sering menjadi pihak yang
meminta agar dilakukan penyensoran berita. Biasanya mereka
tak berhubungan langsung dengan jurnalis di lapangan.
Pemasang iklan lebih sering meminta melalui pemilik
perusahaan, pemimpin redaksi atau redaktur agar berita negatif
terkait aktivitas mereka tak ditulis.
Kolega sesama jurnalis dan kelompok jurnalis bisa juga
menjadi pelaku intervensi. Dengan dalih perkawanan, rekan
seprofesi terkadang meminta agar jurnalis tidak perlu menulis
berita tertentu. Kelompok jurnalis tertentu—dengan
mengatasnamakan kesepakatan bersama—sering kali
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
120 121
Unjuk rasa menentang kekerasan terhadap jurnalis, 23 Agustus 2010.
datang dari obyek berita yang tidak ingin berita negatif tentang
mereka ditulis di media. Berdasarkan keterangan para jurnalis,
intervensi sebagian besar berupa permintaan lisan agar tidak
menulis fakta yang tidak diinginkan objek berita. Terkadang
praktik penyensoran ini juga diikuti dengan iming-iming
sejumlah uang atau “amplop.”
Bentuk dan pelaku intervensi tersebut, misalnya birokrat
meminta agar berita-berita buruk terkait pemerintahan
diperhalus atau tidak usah ditulis. Jajaran pemerintah daerah ini
juga meminta agar berita-berita korupsi yang menjerat pejabat
tidak ditulis. Sebagai kompensasi agar media tidak menulis hal-
hal yang negatif, mereka memasang iklan di media.
Aparat keamanan diketahui pernah mengintervensi
jurnalis agar melakukan penyensoran. Seorang pejabat
kepolisian lewat perantara jurnalis senior meminta agar jurnalis
yang diwawancarai tidak menulis berita mengritik kinerja
kepolisian. Ada pula anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)
yang pernah menanyakan mengapa jurnalis harus menulis
berita dugaan penyelewengan dana bantuan operasional sekolah
(BOS) yang tak termasuk dalam ranah keamanan. Diduga
oknum TNI ini merupakan keluarga pejabat di dinas pendidikan.
Di bidang hukum, pengacara juga ada yang pernah meminta agar
kasus kliennya tidak ditulis.
Ada juga seorang oknum wakil kepala sekolah yang
mengajak berkelahi jurnalis gara-gara imbas dari berita yang
ditulis. Pasalnya, wakil kepala sekolah tersebut dicopot dari
jabatannya. Namun, kejadian ini tak sampai menimbulkan
perkelahian fisik.
Pemasang iklan juga sangat sering menjadi pihak yang
meminta agar dilakukan penyensoran berita. Biasanya mereka
tak berhubungan langsung dengan jurnalis di lapangan.
Pemasang iklan lebih sering meminta melalui pemilik
perusahaan, pemimpin redaksi atau redaktur agar berita negatif
terkait aktivitas mereka tak ditulis.
Kolega sesama jurnalis dan kelompok jurnalis bisa juga
menjadi pelaku intervensi. Dengan dalih perkawanan, rekan
seprofesi terkadang meminta agar jurnalis tidak perlu menulis
berita tertentu. Kelompok jurnalis tertentu—dengan
mengatasnamakan kesepakatan bersama—sering kali
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
120 121
Unjuk rasa menentang kekerasan terhadap jurnalis, 23 Agustus 2010.
menentukan berita mana yang akan ditulis atau tidak ditulis.
Ada juga intervensi yang tidak langsung diterima
jurnalis, tapi membuat jurnalis tersebut terpaksa mencabut
berita yang sudah dikirim ke redaktur. Pencabutan berita ini
dilakukan dengan pertimbangan narasumber yang diintervensi
preman setelah diwawancara jurnalis.
Khawatir tak mendapatkan kue iklan
Dalam riset ini, rata-rata jurnalis atau redaktur tak
berkutik jika menerima intervensi dari pihak lain, apalagi kalau
yang melakukan intervensi adalah pemilik perusahaan media.
Memang, ada beberapa jurnalis yang tetap menulis berita sesuai
dengan independensi. Tapi, saat berita itu di tangan redaktur
maka berita tak bakal dimuat. Ibaratnya, jika jurnalisnya tak bisa
diintervensi maka “lobi” redaktur maupun pemilik perusahaan
menjadi salah satu cara agar berita tak dimuat.
Apalagi, jika sudah ada iming-iming amplop dan iklan.
Media lebih mempertimbangkan perolehan amplop dan iklan
dibandingkan tetap meneruskan berita yang hendak disiarkan
ke publik. Pertimbangan keuangan perusahaan selalu menjadi
alasan klasik. Jika media lokal menjadi anjing penjaga atau
mengutamakan fungsi kontrol dengan melakukan investigasi,
mereka masih khawatir tak mendapatkan kue iklan.
Apalagi, media-media lokal di Semarang belum memiliki
garis api yang tegas untuk membedakan ruang berita dan ruang
iklan. Padahal, iklan yang menjadi pemasukan keuangan media
sangat rawan mengaburkan sebuah pemberitaan. Ini terkait
dengan banyak narasumber “bermasalah” yang ketika kasusnya
diungkap, maka mereka melakukan pendekatan dengan media
agar kasusnya tidak diekspos. Salah satu yang dilakukan adalah
dengan memberikan iklan. Atau, j ika ada sebuah
institusi/perorangan yang ingin populer melalui peliputan maka
salah satu iming-imingnya adalah memasang iklan.
Bahkan, ada beberapa jurnalis yang diperbolehkan atau
bahkan justru dianjurkan mencari iklan. Padahal, idealnya
ruang iklan tak boleh mengintervensi ruang pemberitaan.
Media lokal di Semarang juga tak memberlakukan aturan
wartawan menerima pemberian dari narasumber secara tegas
yang berpotensi mempengaruhi independensi wartawan. Di
sinilah, relevan untuk membahas soal kesejahteraan jurnalis.
Memang, tingkat kesejahteraan jurnalis tidak berhubungan
langsung dengan budaya amplop. Belum tentu jurnalis yang
sudah sejahtera tak menerima amplop. Begitu juga jurnalis yang
belum sejahtera selalu menerima amplop. Faktanya, ada jurnalis
yang sejahtera tetap menerima amplop.
Tapi ada juga jurnalis dengan gaji pas-pasan yang tak
mau menerima amplop. Minimnya tingkat kesejahteraan
jurnalis hanyalah pemicu atau pendorong para jurnalis mau
menerima amplop. Yang jelas, jika ingin mendorong jurnalis
profesional dan independen maka kesejahteraan jurnalis juga
harus diutamakan.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
122 123
menentukan berita mana yang akan ditulis atau tidak ditulis.
Ada juga intervensi yang tidak langsung diterima
jurnalis, tapi membuat jurnalis tersebut terpaksa mencabut
berita yang sudah dikirim ke redaktur. Pencabutan berita ini
dilakukan dengan pertimbangan narasumber yang diintervensi
preman setelah diwawancara jurnalis.
Khawatir tak mendapatkan kue iklan
Dalam riset ini, rata-rata jurnalis atau redaktur tak
berkutik jika menerima intervensi dari pihak lain, apalagi kalau
yang melakukan intervensi adalah pemilik perusahaan media.
Memang, ada beberapa jurnalis yang tetap menulis berita sesuai
dengan independensi. Tapi, saat berita itu di tangan redaktur
maka berita tak bakal dimuat. Ibaratnya, jika jurnalisnya tak bisa
diintervensi maka “lobi” redaktur maupun pemilik perusahaan
menjadi salah satu cara agar berita tak dimuat.
Apalagi, jika sudah ada iming-iming amplop dan iklan.
Media lebih mempertimbangkan perolehan amplop dan iklan
dibandingkan tetap meneruskan berita yang hendak disiarkan
ke publik. Pertimbangan keuangan perusahaan selalu menjadi
alasan klasik. Jika media lokal menjadi anjing penjaga atau
mengutamakan fungsi kontrol dengan melakukan investigasi,
mereka masih khawatir tak mendapatkan kue iklan.
Apalagi, media-media lokal di Semarang belum memiliki
garis api yang tegas untuk membedakan ruang berita dan ruang
iklan. Padahal, iklan yang menjadi pemasukan keuangan media
sangat rawan mengaburkan sebuah pemberitaan. Ini terkait
dengan banyak narasumber “bermasalah” yang ketika kasusnya
diungkap, maka mereka melakukan pendekatan dengan media
agar kasusnya tidak diekspos. Salah satu yang dilakukan adalah
dengan memberikan iklan. Atau, j ika ada sebuah
institusi/perorangan yang ingin populer melalui peliputan maka
salah satu iming-imingnya adalah memasang iklan.
Bahkan, ada beberapa jurnalis yang diperbolehkan atau
bahkan justru dianjurkan mencari iklan. Padahal, idealnya
ruang iklan tak boleh mengintervensi ruang pemberitaan.
Media lokal di Semarang juga tak memberlakukan aturan
wartawan menerima pemberian dari narasumber secara tegas
yang berpotensi mempengaruhi independensi wartawan. Di
sinilah, relevan untuk membahas soal kesejahteraan jurnalis.
Memang, tingkat kesejahteraan jurnalis tidak berhubungan
langsung dengan budaya amplop. Belum tentu jurnalis yang
sudah sejahtera tak menerima amplop. Begitu juga jurnalis yang
belum sejahtera selalu menerima amplop. Faktanya, ada jurnalis
yang sejahtera tetap menerima amplop.
Tapi ada juga jurnalis dengan gaji pas-pasan yang tak
mau menerima amplop. Minimnya tingkat kesejahteraan
jurnalis hanyalah pemicu atau pendorong para jurnalis mau
menerima amplop. Yang jelas, jika ingin mendorong jurnalis
profesional dan independen maka kesejahteraan jurnalis juga
harus diutamakan.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
122 123
2. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang
Surakarta Rp100 juta. Digunakan untuk kegiatan
peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tingkat
nasional, HPN tingkat Surakarta, rapat-rapat
koordinasi dan kegiatan rutin PWI Surakarta.
3. Forum Wartawan Provinsi dan DPRD Provinsi Jawa
Tengah (FWPJT) Rp350 juta. hibah untuk
pelatihan/sarasehan empat kali kegiatan.
4. Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Rp350 juta.
Hibah untuk seminar/sarasehan, diskusi dan
pelatihan 10 kali.
5. Komunitas Wartawan Provinsi Jawa Tengah (KWP)
Rp200.000.000, hibah untuk seminar/sarasehan
dua kali kegiatan dan pelatihan dua kali.
6. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Jawa
Tengah Rp150.000.000. dana sebesar itu digunakan
untuk kegiatan seminar dua kali kegiatan.
7. Jurnalis untuk Transformasi, Edukasi, dan
Demokrasi (J-Trend) Rp100.000.000. dana untuk
kegiatan bintek, sarasehan dan kajian/penelitian
partisipasi masyarakat desa dalam meningkatkan
kualitas pemilukada 2013.
8. Jurnalis Televisi Swasta (JTS) Rp50.000.000. dana
digunakan untuk kegiatan diskusi I kali.
9. Media Violence Watch (MVW) Rp 40.000.000. dana
digunakan untuk kegiatan seminar dua kali kegiatan.
Dalam dokumen laporan penggunaan yang ada, rata-rata
P
J
H i b a h A P B D J a w a T e n g a h k e
Organisasi Wartawan
Salah satu fenomena yang ada dalam dunia pers di
Indonesia adalah adanya organisasi wartawan yang mau
menerima dana hibah dari Anggaran Pendapatan Belanja
N e g a r a / D a e r a h . I t u m e r u p a k a n h a k s e t i a p
kelompok/organisasi. Toh, uang APBN/APBD adalah hasil dari
perolehan pemasukan yang salah satunya juga bersumber dari
pajak masyarakat. Sejauh itu dipergunakan dengan
kemanfaatan, tak ada penyelewengan dan tidak melanggar
aturan maka sah-sah saja. Tapi, bagaimana jika dihubungkan
dengan wartawan mengingat salah satu fungsi profesi ini adalah
kontrol terhadap pemerintahan.
Di Jawa Tengah banyak sekali organisasi wartawan yang
pernah ikut menerima hibah APBD Jawa Tengah. Dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011,
misalnya, ada anggaran hibah untuk organisasi wartawan
sebanyak Rp2 miliar. Sedangkan APBD 2012, anggaran hibah
untuk organisasi wartawan naik menjadi Rp2.140.000.000.
Hibah ini untuk 9 organisasi kewartawanan di Jawa Tengah,
yakni:
1. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jawa
Tengah Rp800 juta. Penggunaannya untuk
p e r i n g a t a n H a r i P e r s N a s i o n a l ( H P N ) ,
seminar/sarasehan dan pelatihan.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
124 125
2. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang
Surakarta Rp100 juta. Digunakan untuk kegiatan
peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tingkat
nasional, HPN tingkat Surakarta, rapat-rapat
koordinasi dan kegiatan rutin PWI Surakarta.
3. Forum Wartawan Provinsi dan DPRD Provinsi Jawa
Tengah (FWPJT) Rp350 juta. hibah untuk
pelatihan/sarasehan empat kali kegiatan.
4. Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Rp350 juta.
Hibah untuk seminar/sarasehan, diskusi dan
pelatihan 10 kali.
5. Komunitas Wartawan Provinsi Jawa Tengah (KWP)
Rp200.000.000, hibah untuk seminar/sarasehan
dua kali kegiatan dan pelatihan dua kali.
6. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Jawa
Tengah Rp150.000.000. dana sebesar itu digunakan
untuk kegiatan seminar dua kali kegiatan.
7. Jurnalis untuk Transformasi, Edukasi, dan
Demokrasi (J-Trend) Rp100.000.000. dana untuk
kegiatan bintek, sarasehan dan kajian/penelitian
partisipasi masyarakat desa dalam meningkatkan
kualitas pemilukada 2013.
8. Jurnalis Televisi Swasta (JTS) Rp50.000.000. dana
digunakan untuk kegiatan diskusi I kali.
9. Media Violence Watch (MVW) Rp 40.000.000. dana
digunakan untuk kegiatan seminar dua kali kegiatan.
Dalam dokumen laporan penggunaan yang ada, rata-rata
P
J
H i b a h A P B D J a w a T e n g a h k e
Organisasi Wartawan
Salah satu fenomena yang ada dalam dunia pers di
Indonesia adalah adanya organisasi wartawan yang mau
menerima dana hibah dari Anggaran Pendapatan Belanja
N e g a r a / D a e r a h . I t u m e r u p a k a n h a k s e t i a p
kelompok/organisasi. Toh, uang APBN/APBD adalah hasil dari
perolehan pemasukan yang salah satunya juga bersumber dari
pajak masyarakat. Sejauh itu dipergunakan dengan
kemanfaatan, tak ada penyelewengan dan tidak melanggar
aturan maka sah-sah saja. Tapi, bagaimana jika dihubungkan
dengan wartawan mengingat salah satu fungsi profesi ini adalah
kontrol terhadap pemerintahan.
Di Jawa Tengah banyak sekali organisasi wartawan yang
pernah ikut menerima hibah APBD Jawa Tengah. Dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011,
misalnya, ada anggaran hibah untuk organisasi wartawan
sebanyak Rp2 miliar. Sedangkan APBD 2012, anggaran hibah
untuk organisasi wartawan naik menjadi Rp2.140.000.000.
Hibah ini untuk 9 organisasi kewartawanan di Jawa Tengah,
yakni:
1. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jawa
Tengah Rp800 juta. Penggunaannya untuk
p e r i n g a t a n H a r i P e r s N a s i o n a l ( H P N ) ,
seminar/sarasehan dan pelatihan.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
124 125
dana hibah itu untuk kegiatan seminar, pelatihan dan diskusi.
Untuk tahun 2013, APBD Provinsi Jawa Tengah juga
mengalokasikan anggaran hibah untuk organisasi wartawan
sebesar Rp 2.140.000.000 atau sama dengan hibah APBD 2012.
Rencananya, dana Rp2,1 miliar itu digelontorkan untuk
sembilan organisasi kewartawanan sebagaimana tertuang
dalam Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2012
tanggal 10 Desember 2012 tentang Penjabaran APBD Provinsi
Jawa Tengah tahun anggaran 2013. Nama organisasi wartawan
yang menerima beserta jumlah hibahnya sama persis dengan
pemberian hibah tahun 2012.
Tapi, hibah wartawan dalam APBD 2013 tidak dicairkan
karena tidak ada rekomendasi dari instansi pengampu (Biro
Humas). Sebab, anggaran tidak sesuai dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang pedoman
pemberian hibah dan bantuan sosial bersumber dari APBD pada
Bab III Hibah bagian kesatu umum pasal 4 ayat 1-4,
- Pemerintah daerah dapat memberikan hibah sesuai
kemampuan keuangan daerah.
- Pemberian hibah dilakukan setelah prioritas pemenuhan
belanja urusan wajib.
- Hibah ditujukan untuk menunjang pencapaian sasaran
program dan kegiatan pemerintah daerah dengan
memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas
dan manfaat untuk masyarakat.
- Pemberian hibah memenuhi kriteria paling sedikit:
peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan, tidak
wajib, tidak mengikat dan tidak terus menerus setiap
tahun anggaran, kecuali ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan dan memenuhi persyaratan
penerima hibah.
Perketat Penyaluran Dana Hibah
AJI Semarang tidak melarang pemberian dana hibah ke
organiasi wartawan. Toh, uang APBD itu juga uang rakyat. Tapi,
AJI meminta kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo-
Wakil Gubernur Jawa Tengah Heru Sudjatmoko lebih
memperketat pemberian dana hibah. Hal ini sesuai dengan janji
keduanya pada masa kampanye pemilihan gubernur Jawa
Tengah 2013. Harus ada politik anggaran menuju good
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
Anggota Dewan Pers, Nezar Patria bersama Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menjadi pembicara dalam diskusi Problem Amplop dan Jurnalis.
126 127
dana hibah itu untuk kegiatan seminar, pelatihan dan diskusi.
Untuk tahun 2013, APBD Provinsi Jawa Tengah juga
mengalokasikan anggaran hibah untuk organisasi wartawan
sebesar Rp 2.140.000.000 atau sama dengan hibah APBD 2012.
Rencananya, dana Rp2,1 miliar itu digelontorkan untuk
sembilan organisasi kewartawanan sebagaimana tertuang
dalam Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2012
tanggal 10 Desember 2012 tentang Penjabaran APBD Provinsi
Jawa Tengah tahun anggaran 2013. Nama organisasi wartawan
yang menerima beserta jumlah hibahnya sama persis dengan
pemberian hibah tahun 2012.
Tapi, hibah wartawan dalam APBD 2013 tidak dicairkan
karena tidak ada rekomendasi dari instansi pengampu (Biro
Humas). Sebab, anggaran tidak sesuai dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang pedoman
pemberian hibah dan bantuan sosial bersumber dari APBD pada
Bab III Hibah bagian kesatu umum pasal 4 ayat 1-4,
- Pemerintah daerah dapat memberikan hibah sesuai
kemampuan keuangan daerah.
- Pemberian hibah dilakukan setelah prioritas pemenuhan
belanja urusan wajib.
- Hibah ditujukan untuk menunjang pencapaian sasaran
program dan kegiatan pemerintah daerah dengan
memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas
dan manfaat untuk masyarakat.
- Pemberian hibah memenuhi kriteria paling sedikit:
peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan, tidak
wajib, tidak mengikat dan tidak terus menerus setiap
tahun anggaran, kecuali ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan dan memenuhi persyaratan
penerima hibah.
Perketat Penyaluran Dana Hibah
AJI Semarang tidak melarang pemberian dana hibah ke
organiasi wartawan. Toh, uang APBD itu juga uang rakyat. Tapi,
AJI meminta kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo-
Wakil Gubernur Jawa Tengah Heru Sudjatmoko lebih
memperketat pemberian dana hibah. Hal ini sesuai dengan janji
keduanya pada masa kampanye pemilihan gubernur Jawa
Tengah 2013. Harus ada politik anggaran menuju good
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
Anggota Dewan Pers, Nezar Patria bersama Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menjadi pembicara dalam diskusi Problem Amplop dan Jurnalis.
126 127
governance. Dana hibah baru bisa dianggarkan jika urusan-
urusan penting/wajib di Jawa Tengah sudah terselesaikan.
Lebih baik Ganjar-Heru mengalokasikan anggaran untuk
fokus penyelesaian problem-problem utama di Jawa Tengah.
Toh, masalah wartawan ini bukan urusan wajib pemerintah.
Tapi organisasi profesi dan perusahaan media yang
berkewajiban meningkatkan kapasitas para jurnalis. Harus
didorong agar jurnalis bisa independen. Salah satu caranya
adalah tak menerima hibah dari APBD. Kalaupun ada hibah ke
organisasi wartawan maka harus diperketat: alokasi dana hibah
harus transparan (bisa dilihat/terbuka) dan akuntabel (bisa
diukur hasilnya dan bisa dipertanggungjawabkan). Selain itu
harus ada tim independen penilai/penyeleksi program, auditor
dan pengawas hibah. Ini semua untuk menghindari potensi
penyelewengan.
AJI sendiri hingga 2014 belum mau menerima dana hibah
APBD/APBN. Hal ini sesuai dengan aturan anggaran
dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) AJI. Bukan merasa
sok suci, tapi AJI memandang menerima dana hibah dari
pemerintah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
AJI Semarang juga mendorong agar Gubernur Jawa Tengah
Ganjar Pranowo menghentikan anggaran amplop untuk jurnalis.
AJI beraudiensi dengan Ganjar pada November 2013 untuk
memberikan berbagai masukan ihwal mendorong
profesionalisme jurnalis. Salah satu kebijakan yang kemudian
dikeluarkan Ganjar adalah menghapus anggaran amplop untuk
wartawan yang biasanya dianggarkan di Biro Humas
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Kebijakan ini sangat bagus karena menjadi salah satu ikhtiar
mendorong kalangan jurnalis menjadi lebih kritis dan
independen. Untuk itu, dalam konteks kebijakan menghapus
anggaran amplop wartawan, AJI sangat mendukung. Tapi,
dalam konteks kebijakan yang buruk maka AJI akan selalu
berusaha untuk mengkritisi Ganjar Pranowo.
AJI memberikan bentuk dukungan kebijakan penghapusan
amplop melalui diskusi publik dengan tema “Problem Amplop
dan Kesejahteraan Jurnalis” pada Kamis, 19 Desember 2013
dengan dihadiri pembicara: Anggota Dewan Pers Nezar Patria,
Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto, Gubernur
Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Pemimpin Redaksi Tribun
Jateng Musyafi' dan Sekretaris AJI Semarang Rofiuddin.
Diskusi ini dilaksanakan atas kerjasama bersama sekitar 25
berbagai organisasi di Semarang.
Pengayaan riset melalui Focus Group Discussion
(FGD)
Hasil riset kualitatif yang sudah dilakukan AJI Semarang
kemudian diuji publik melalui dua kali Focus Group Discussion
(FGD), yakni bersama dengan awak media (jurnalis dan
redaktur) serta bersama dengan perwakilan kelompok
masyarakat, terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
128 129
governance. Dana hibah baru bisa dianggarkan jika urusan-
urusan penting/wajib di Jawa Tengah sudah terselesaikan.
Lebih baik Ganjar-Heru mengalokasikan anggaran untuk
fokus penyelesaian problem-problem utama di Jawa Tengah.
Toh, masalah wartawan ini bukan urusan wajib pemerintah.
Tapi organisasi profesi dan perusahaan media yang
berkewajiban meningkatkan kapasitas para jurnalis. Harus
didorong agar jurnalis bisa independen. Salah satu caranya
adalah tak menerima hibah dari APBD. Kalaupun ada hibah ke
organisasi wartawan maka harus diperketat: alokasi dana hibah
harus transparan (bisa dilihat/terbuka) dan akuntabel (bisa
diukur hasilnya dan bisa dipertanggungjawabkan). Selain itu
harus ada tim independen penilai/penyeleksi program, auditor
dan pengawas hibah. Ini semua untuk menghindari potensi
penyelewengan.
AJI sendiri hingga 2014 belum mau menerima dana hibah
APBD/APBN. Hal ini sesuai dengan aturan anggaran
dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) AJI. Bukan merasa
sok suci, tapi AJI memandang menerima dana hibah dari
pemerintah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
AJI Semarang juga mendorong agar Gubernur Jawa Tengah
Ganjar Pranowo menghentikan anggaran amplop untuk jurnalis.
AJI beraudiensi dengan Ganjar pada November 2013 untuk
memberikan berbagai masukan ihwal mendorong
profesionalisme jurnalis. Salah satu kebijakan yang kemudian
dikeluarkan Ganjar adalah menghapus anggaran amplop untuk
wartawan yang biasanya dianggarkan di Biro Humas
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Kebijakan ini sangat bagus karena menjadi salah satu ikhtiar
mendorong kalangan jurnalis menjadi lebih kritis dan
independen. Untuk itu, dalam konteks kebijakan menghapus
anggaran amplop wartawan, AJI sangat mendukung. Tapi,
dalam konteks kebijakan yang buruk maka AJI akan selalu
berusaha untuk mengkritisi Ganjar Pranowo.
AJI memberikan bentuk dukungan kebijakan penghapusan
amplop melalui diskusi publik dengan tema “Problem Amplop
dan Kesejahteraan Jurnalis” pada Kamis, 19 Desember 2013
dengan dihadiri pembicara: Anggota Dewan Pers Nezar Patria,
Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto, Gubernur
Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Pemimpin Redaksi Tribun
Jateng Musyafi' dan Sekretaris AJI Semarang Rofiuddin.
Diskusi ini dilaksanakan atas kerjasama bersama sekitar 25
berbagai organisasi di Semarang.
Pengayaan riset melalui Focus Group Discussion
(FGD)
Hasil riset kualitatif yang sudah dilakukan AJI Semarang
kemudian diuji publik melalui dua kali Focus Group Discussion
(FGD), yakni bersama dengan awak media (jurnalis dan
redaktur) serta bersama dengan perwakilan kelompok
masyarakat, terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
128 129
FGD bersama jurnalis
Dalam FGD yang dilaksanakan pada 21 Desember 2013
dihadiri 20 peserta, terdiri dari para jurnalis dan redaktur
beberapa media di Kota Semarang. Dalam proses FGD, para
jurnalis lebih banyak yang hanya mengkonfirmasi atas
banyaknya praktik intervensi baik yang dilakukan pihak internal
media maupun ekternal. Posisi jurnalis dan redaktur yang
menjadi buruh perusahaan media membuat mereka sering tak
berkutik jika sudah diintervensi pemilik media. Maka, dalam
proses FGD, para jurnalis dan redaktur seperti menyampaikan
curahan hati (curhat) atas apa yang dialaminya. Sebab, mereka
merasa tak mampu menghadapi gempuran intervensi, terutama
yang dilakukan pemilik perusahaan media.
Dalam FGD dengan jurnalis memunculkan beberapa
rekomendasi:
- Kesejahteraan jurnalis menjadi salah satu masalah yang
dari ke hari semakin kronis. Praktik konglomerasi
perusahaan media mengakibatkan buruh jurnalis
semakin diperas keringatnya tapi kesejahteraannya
minim. Misalnya, seorang jurnalis mengirimkan satu
berita tapi bahan berita itu bisa muncul di beberapa
media yang satu grup usaha. Sementara, jurnalisnya
hanya mendapatkan satu kali upah. Ada pula jurnalis
yang menerima upah selalu telat. Untuk itu,
menyuarakan kesejahteraan jurnalis tak bisa ditawar-
tawar lagi.
- Jurnalis juga berharap agar di medianya bisa membuat
lembaga ombudsman untuk mencegah praktik
penyensoran. Jika ada ombudsman maka publik yang tak
puas atas pemberitaan media, maka mereka bisa
menyalurkan protes.
- Para jurnalis menghimbau jika ada berita yang terkena
sensor akibat kepentingan redaktur maupun pemilik
perusahaan media, maka berita tersebut bisa disebarkan
melalui media sosial. Di sinilah adanya media daring
alternatif perlu dipikirkan. Media daring yang tak
dimiliki pengusaha tapi dimiliki beberapa jurnalis. Ini
sebagai pertanggungjawaban profesi jurnalis dan
memenuhi hak publik mendapatkan informasi yang
benar.
FGD kelompok masyarakat
Dalam diskusi dengan kelompok masyarakat, AJI
Semarang mengundang 30 orang yang mewakili berbagai
lembaga. Diskusi lebih terasa “panas” karena mereka
mengungkapkan ketidakpuasan atas kinerja media. Muncul
berbagai keluhan dan kritik terhadap kerja jurnalistik awak
media. Misalnya, berita yang muncul di media tidak seperti yang
diharapkan narasumber. Sebab, berita tidak berperspektif
publik tapi mengarah pada keuntungan kelompok elite maupun
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
130 131
FGD bersama jurnalis
Dalam FGD yang dilaksanakan pada 21 Desember 2013
dihadiri 20 peserta, terdiri dari para jurnalis dan redaktur
beberapa media di Kota Semarang. Dalam proses FGD, para
jurnalis lebih banyak yang hanya mengkonfirmasi atas
banyaknya praktik intervensi baik yang dilakukan pihak internal
media maupun ekternal. Posisi jurnalis dan redaktur yang
menjadi buruh perusahaan media membuat mereka sering tak
berkutik jika sudah diintervensi pemilik media. Maka, dalam
proses FGD, para jurnalis dan redaktur seperti menyampaikan
curahan hati (curhat) atas apa yang dialaminya. Sebab, mereka
merasa tak mampu menghadapi gempuran intervensi, terutama
yang dilakukan pemilik perusahaan media.
Dalam FGD dengan jurnalis memunculkan beberapa
rekomendasi:
- Kesejahteraan jurnalis menjadi salah satu masalah yang
dari ke hari semakin kronis. Praktik konglomerasi
perusahaan media mengakibatkan buruh jurnalis
semakin diperas keringatnya tapi kesejahteraannya
minim. Misalnya, seorang jurnalis mengirimkan satu
berita tapi bahan berita itu bisa muncul di beberapa
media yang satu grup usaha. Sementara, jurnalisnya
hanya mendapatkan satu kali upah. Ada pula jurnalis
yang menerima upah selalu telat. Untuk itu,
menyuarakan kesejahteraan jurnalis tak bisa ditawar-
tawar lagi.
- Jurnalis juga berharap agar di medianya bisa membuat
lembaga ombudsman untuk mencegah praktik
penyensoran. Jika ada ombudsman maka publik yang tak
puas atas pemberitaan media, maka mereka bisa
menyalurkan protes.
- Para jurnalis menghimbau jika ada berita yang terkena
sensor akibat kepentingan redaktur maupun pemilik
perusahaan media, maka berita tersebut bisa disebarkan
melalui media sosial. Di sinilah adanya media daring
alternatif perlu dipikirkan. Media daring yang tak
dimiliki pengusaha tapi dimiliki beberapa jurnalis. Ini
sebagai pertanggungjawaban profesi jurnalis dan
memenuhi hak publik mendapatkan informasi yang
benar.
FGD kelompok masyarakat
Dalam diskusi dengan kelompok masyarakat, AJI
Semarang mengundang 30 orang yang mewakili berbagai
lembaga. Diskusi lebih terasa “panas” karena mereka
mengungkapkan ketidakpuasan atas kinerja media. Muncul
berbagai keluhan dan kritik terhadap kerja jurnalistik awak
media. Misalnya, berita yang muncul di media tidak seperti yang
diharapkan narasumber. Sebab, berita tidak berperspektif
publik tapi mengarah pada keuntungan kelompok elite maupun
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
130 131
pemodal. Bahkan, ada yang mengeluh karena pernyataannya
diplintir media sehingga sangat merugikan.
Perwakilan buruh juga mengungkapkan kekecewaannya
terhadap berita-berita di media terkait penentuan upah
minimum kabupaten/kota. Buruh menilai berita-berita yang
muncul di media terkesan tidak mendukung perjuangan mereka.
Media dinilai lebih sering menulis dari sisi pengusaha dan
pemerintah, sementara pendapat buruh hanya mendapat porsi
yang kecil.
Contoh lain, perwakilan sebuah LSM menceritakan
pengalamannya saat mendampingi seorang sukarelawan asing
yang berkampanye tentang antikekerasan selama berada di
Semarang. Sukarelawan tersebut memaparkan kampanyenya di
hadapan jurnalis. Namun ia kecewa setelah tahu berita yang
muncul di media sama sekali tidak membahas kampanye
antikekerasan yang sedang digalangnya, malah berita yang
muncul tentang aktivitas pribadinya saat di Semarang. Ketika
keluhan dilayangkan pada jurnalis yang menulis berita tersebut,
tak ada koreksi pada penerbitan selanjutnya.
Keluhan publik terhadap media yang melakukan praktik
sensor belum menjadi tradisi. Bisa jadi hal ini disebabkan
dengan belum munculnya kesadaran publik bahwa mereka
berhak melayangkan keberatan terhadap pemberitaan di media.
Namun bisa juga disebabkan tidak adanya lembaga yang bisa
mengakomodasi keberatan masyarakat terhadap media di
tingkat lokal.
Media lokal di Semarang diketahui belum ada yang
memiliki lembaga ombudsman. Padahal ombudsman berfungsi
untuk menampung dan memeriksa dugaan pelanggaran kode
etik di internal media berdasarkan laporan dari masyarakat.
Kejengahan masyarakat atas praktik buruk media
sebenarnya sudah muncul (selengkapnya baca Tabel 1). Hal ini
tergambar dari pengaduan masyarakat ke Dewan Pers. Anggota
Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo menjelaskan, selama 2012 ada
476 pengaduan yang masuk ke Dewan Pers. Urutan teratas
berupa pengajuan hak jawab sebanyak 215 kasus (45,17%),
disusul pengaduan tentang berita secara umum ada 111 kasus
(23,32%), dan permintaan pendapat sesuai UU Pers/Kode Etik
Jurnalistik ada 20 kasus (4,20%). Terkait aduan penyensoran
berita, sepanjang 2012 hanya ada 1 kasus (0,21%).
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
132 133
Sumber : Dewan Pers, 2013.
Tidak Berimbang
Tidak Menguji Informasi/Konfirmasi
Mencampurkan Fakta dan Opini yang Menghakimi
Akurat
Tidak Profesional dalam mencari Berita
Melanggar Asas Praduga Tidak Bersalah
Tidak Menyembunyikan Identitas Korban Kejahatan Susila
Tidak Jelas Narasumbernya
Tidak Berimbang Secara Proposional
Tidak Menyembunyikan identitas Pelaku Kejahatan di Bawah Umur
Lain-lain
Total
44
40
38
20
5
4
4
4
2
1
5
167
26,35
23,95
22,75
11,98
2,99
2,40
2,40
2,40
1,20
0,60
2,99
100,00
Jenis Pelanggaran KEJ f %
Tabel 1
Jenis Pengaduan ke Dewan Pers 2012
pemodal. Bahkan, ada yang mengeluh karena pernyataannya
diplintir media sehingga sangat merugikan.
Perwakilan buruh juga mengungkapkan kekecewaannya
terhadap berita-berita di media terkait penentuan upah
minimum kabupaten/kota. Buruh menilai berita-berita yang
muncul di media terkesan tidak mendukung perjuangan mereka.
Media dinilai lebih sering menulis dari sisi pengusaha dan
pemerintah, sementara pendapat buruh hanya mendapat porsi
yang kecil.
Contoh lain, perwakilan sebuah LSM menceritakan
pengalamannya saat mendampingi seorang sukarelawan asing
yang berkampanye tentang antikekerasan selama berada di
Semarang. Sukarelawan tersebut memaparkan kampanyenya di
hadapan jurnalis. Namun ia kecewa setelah tahu berita yang
muncul di media sama sekali tidak membahas kampanye
antikekerasan yang sedang digalangnya, malah berita yang
muncul tentang aktivitas pribadinya saat di Semarang. Ketika
keluhan dilayangkan pada jurnalis yang menulis berita tersebut,
tak ada koreksi pada penerbitan selanjutnya.
Keluhan publik terhadap media yang melakukan praktik
sensor belum menjadi tradisi. Bisa jadi hal ini disebabkan
dengan belum munculnya kesadaran publik bahwa mereka
berhak melayangkan keberatan terhadap pemberitaan di media.
Namun bisa juga disebabkan tidak adanya lembaga yang bisa
mengakomodasi keberatan masyarakat terhadap media di
tingkat lokal.
Media lokal di Semarang diketahui belum ada yang
memiliki lembaga ombudsman. Padahal ombudsman berfungsi
untuk menampung dan memeriksa dugaan pelanggaran kode
etik di internal media berdasarkan laporan dari masyarakat.
Kejengahan masyarakat atas praktik buruk media
sebenarnya sudah muncul (selengkapnya baca Tabel 1). Hal ini
tergambar dari pengaduan masyarakat ke Dewan Pers. Anggota
Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo menjelaskan, selama 2012 ada
476 pengaduan yang masuk ke Dewan Pers. Urutan teratas
berupa pengajuan hak jawab sebanyak 215 kasus (45,17%),
disusul pengaduan tentang berita secara umum ada 111 kasus
(23,32%), dan permintaan pendapat sesuai UU Pers/Kode Etik
Jurnalistik ada 20 kasus (4,20%). Terkait aduan penyensoran
berita, sepanjang 2012 hanya ada 1 kasus (0,21%).
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
132 133
Sumber : Dewan Pers, 2013.
Tidak Berimbang
Tidak Menguji Informasi/Konfirmasi
Mencampurkan Fakta dan Opini yang Menghakimi
Akurat
Tidak Profesional dalam mencari Berita
Melanggar Asas Praduga Tidak Bersalah
Tidak Menyembunyikan Identitas Korban Kejahatan Susila
Tidak Jelas Narasumbernya
Tidak Berimbang Secara Proposional
Tidak Menyembunyikan identitas Pelaku Kejahatan di Bawah Umur
Lain-lain
Total
44
40
38
20
5
4
4
4
2
1
5
167
26,35
23,95
22,75
11,98
2,99
2,40
2,40
2,40
1,20
0,60
2,99
100,00
Jenis Pelanggaran KEJ f %
Tabel 1
Jenis Pengaduan ke Dewan Pers 2012
Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
menjelaskan bahwa penyensoran termasuk hal yang dilarang.
Pasal 4 ayat (2) menjelaskan, terhadap pers nasional tidak
dikenakan penyensoran, pembredelan atau larangan penyiaran.
Kemudian pada pasal 4 ayat (3) diatur, untuk menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari,
memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pelanggaran terhadap kedua aturan di atas akan memperoleh
sanksi. Seperti yang tertulis dalam pasal 18 ayat (1) yang
menyatakan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan
sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau
menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau
denda paling banyak Rp 500 juta.
Menariknya adalah Dewan Pers menyatakan belum
pernah menerima pengaduan dari jurnalis yang merasa
dirugikan dengan penyensoran berita. Padahal, sesuai dengan
Undang-undang pers menyatakan bahwa subyek yang bisa
diadili jika menghambat atau menghalang-halangi tugas jurnalis
adalah “setiap orang”.
Dari pengaduan yang masuk, Dewan Pers mendapati ada
167 pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (selengkapnya baca
Tabel 2). Urutan teratas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik
adalah tidak berimbang dengan 44 kasus (26,35%). Disusul oleh
tidak menguji informasi/konfirmasi dengan 40 kasus (23,95%)
dan mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi dengan
38 kasus (22,75%).
Praktik sensor di media tentu menimbulkan dampak
negatif, terutama kepada publik atau khalayak. Sebab, khalayak
yang seharusnya berhak mengetahui fakta atau informasi yang
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
134 135
Sumber : Dewan Pers, 2013.
Tabel 2
Jenis Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik 2012
Pengajuan Hak Jawab
Pengaduan tentang Berita Secara Umum
Permintaan Pendapat Sesuai UU Pers/Kode Etik Jurnalistik
Pengaduan tentang Kekerasan terhadap Wartawan
Pengajuan Hak Koreksi
Pengaduan tentang Perilaku Tindakan Wartawan
Mengadukan Iklan
Mengadukan Isi Siaran Televisi
Wartawan/Media Digugat ke Polisi/Pengadilan karena Berita
Sengketa Hak Cipta Nama Media
Pengaduan tentang Foto/Ilustrasi/Kartun
Pengaduan tentang Artikel/Opini/Surat Pembaca
Pengaduan tentang Badan Hukum Perusahaan Pers
Pengaduan Wartawan karena Mengalami Pemecatan/PHK
mengadukan Penyensoran
Lain-lain
Total
215
111
20
19
17
14
11
10
7
5
4
2
2
2
1
36
476
45,17
23,32
4,20
3,99
3,57
2,94
2,31
2,10
1,47
1,05
0,84
0,42
0,42
0,42
0,21
7,56
100,00
Jenis Pengaduan f %
Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
menjelaskan bahwa penyensoran termasuk hal yang dilarang.
Pasal 4 ayat (2) menjelaskan, terhadap pers nasional tidak
dikenakan penyensoran, pembredelan atau larangan penyiaran.
Kemudian pada pasal 4 ayat (3) diatur, untuk menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari,
memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pelanggaran terhadap kedua aturan di atas akan memperoleh
sanksi. Seperti yang tertulis dalam pasal 18 ayat (1) yang
menyatakan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan
sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau
menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau
denda paling banyak Rp 500 juta.
Menariknya adalah Dewan Pers menyatakan belum
pernah menerima pengaduan dari jurnalis yang merasa
dirugikan dengan penyensoran berita. Padahal, sesuai dengan
Undang-undang pers menyatakan bahwa subyek yang bisa
diadili jika menghambat atau menghalang-halangi tugas jurnalis
adalah “setiap orang”.
Dari pengaduan yang masuk, Dewan Pers mendapati ada
167 pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (selengkapnya baca
Tabel 2). Urutan teratas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik
adalah tidak berimbang dengan 44 kasus (26,35%). Disusul oleh
tidak menguji informasi/konfirmasi dengan 40 kasus (23,95%)
dan mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi dengan
38 kasus (22,75%).
Praktik sensor di media tentu menimbulkan dampak
negatif, terutama kepada publik atau khalayak. Sebab, khalayak
yang seharusnya berhak mengetahui fakta atau informasi yang
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
134 135
Sumber : Dewan Pers, 2013.
Tabel 2
Jenis Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik 2012
Pengajuan Hak Jawab
Pengaduan tentang Berita Secara Umum
Permintaan Pendapat Sesuai UU Pers/Kode Etik Jurnalistik
Pengaduan tentang Kekerasan terhadap Wartawan
Pengajuan Hak Koreksi
Pengaduan tentang Perilaku Tindakan Wartawan
Mengadukan Iklan
Mengadukan Isi Siaran Televisi
Wartawan/Media Digugat ke Polisi/Pengadilan karena Berita
Sengketa Hak Cipta Nama Media
Pengaduan tentang Foto/Ilustrasi/Kartun
Pengaduan tentang Artikel/Opini/Surat Pembaca
Pengaduan tentang Badan Hukum Perusahaan Pers
Pengaduan Wartawan karena Mengalami Pemecatan/PHK
mengadukan Penyensoran
Lain-lain
Total
215
111
20
19
17
14
11
10
7
5
4
2
2
2
1
36
476
45,17
23,32
4,20
3,99
3,57
2,94
2,31
2,10
1,47
1,05
0,84
0,42
0,42
0,42
0,21
7,56
100,00
Jenis Pengaduan f %
sebenarnya tapi malah tak mendapatkan hak itu. Bahkan, jika
praktik sensor terjadi maka publik akan menerima fakta yang
sudah terdistorsi atau tidak sesuai dengan kenyataan yang
sebenarnya. Selain itu, tak jarang praktik sensor dilakukan demi
untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu.
Di sisi lain, sekali lagi, keluhan atau protes publik
terhadap media yang melakukan praktik sensor belum menjadi
tradisi. Bisa jadi hal ini disebabkan dengan belum munculnya
kesadaran publik bahwa mereka berhak melayangkan keberatan
terhadap pemberitaan di media. Namun bisa juga disebabkan
tidak adanya lembaga yang bisa mewadahi keberatan
masyarakat terhadap media di tingkat lokal.
Selain keberadaan Dewan Pers, yang mengemban
pelaksanaan Pasal 15 UU No. 40/1999 tentang Pers, bisa jadi
dibutuhkan solusi alternatif yang bersifat lokal. Kemunculan
lembaga ombudsman dari media maupun lembaga independen
pemantau media bisa menjadi pemecahan persoalan yang
membuka kesempatan bagi publik untuk mengemukakan
keberatannya terhadap produk jurnalistik. Yang jelas demi
keberlangsungan media yang lebih sehat, dibutuhkan kesadaran
baik dari internal media maupun masyarakat mengenai
pentingnya kebebasan ruang berita, baik dari intervensi pihak-
pihak eksternal atau internal. Kebebasan ruang berita inilah
yang akan meniadakan, setidaknya meminimalkan, praktik
sensor-diri (self-censorship) terhadap pemberitaan.
Rekomendasi FGD kelompok masyarakat
- Masyarakat membutuhkan saluran/medium untuk
menyuarakan protes jika sewaktu-waktu dirugikan oleh
pemberitaan media. Saluran itu bisa melalui
pembentukan media watch (lembaga pengawas media)
maupun melalui ombudsman yang didirikan masing-
masing media. Cara lain adalah media massa harus
menyediakan halaman rubrik kritik media. Jika ada
pemberitaan yang keliru maka masyarakat bisa
meluruskan yang dimuat di rubrik kritik media itu. Hal
ini seperti praktik hak jawab. Meski tradisi hak jawab
juga belum tumbuh di media-media di Jawa Tengah.
Padahal, pasal 5 ayat 2 Undang-undang Pers
menyatakan: pers wajib melayani hak jawab. Pers yang
melanggar ketentuan ini bisa dikenai pidana denda
paling banyak Rp 500 juta.
- Kelompok masyarakat juga membutuhkan peningkatan
kapasitas dalam kreativitas aksi agar kegiatannya bisa
dianggap layak untuk dijadikan berita. Selain itu,
masyarakat juga harus diberi pengetahuan ihwal alur
kerja wartawan, kode etik jurnalistik, undang-undang
pers, dan lain-lain. Pengetahuan ini sangat penting agar
kelompok masyarakat juga bisa bertindak jika sewaktu-
waktu mengetahui ketidakberesan kinerja media.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
136 137
sebenarnya tapi malah tak mendapatkan hak itu. Bahkan, jika
praktik sensor terjadi maka publik akan menerima fakta yang
sudah terdistorsi atau tidak sesuai dengan kenyataan yang
sebenarnya. Selain itu, tak jarang praktik sensor dilakukan demi
untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu.
Di sisi lain, sekali lagi, keluhan atau protes publik
terhadap media yang melakukan praktik sensor belum menjadi
tradisi. Bisa jadi hal ini disebabkan dengan belum munculnya
kesadaran publik bahwa mereka berhak melayangkan keberatan
terhadap pemberitaan di media. Namun bisa juga disebabkan
tidak adanya lembaga yang bisa mewadahi keberatan
masyarakat terhadap media di tingkat lokal.
Selain keberadaan Dewan Pers, yang mengemban
pelaksanaan Pasal 15 UU No. 40/1999 tentang Pers, bisa jadi
dibutuhkan solusi alternatif yang bersifat lokal. Kemunculan
lembaga ombudsman dari media maupun lembaga independen
pemantau media bisa menjadi pemecahan persoalan yang
membuka kesempatan bagi publik untuk mengemukakan
keberatannya terhadap produk jurnalistik. Yang jelas demi
keberlangsungan media yang lebih sehat, dibutuhkan kesadaran
baik dari internal media maupun masyarakat mengenai
pentingnya kebebasan ruang berita, baik dari intervensi pihak-
pihak eksternal atau internal. Kebebasan ruang berita inilah
yang akan meniadakan, setidaknya meminimalkan, praktik
sensor-diri (self-censorship) terhadap pemberitaan.
Rekomendasi FGD kelompok masyarakat
- Masyarakat membutuhkan saluran/medium untuk
menyuarakan protes jika sewaktu-waktu dirugikan oleh
pemberitaan media. Saluran itu bisa melalui
pembentukan media watch (lembaga pengawas media)
maupun melalui ombudsman yang didirikan masing-
masing media. Cara lain adalah media massa harus
menyediakan halaman rubrik kritik media. Jika ada
pemberitaan yang keliru maka masyarakat bisa
meluruskan yang dimuat di rubrik kritik media itu. Hal
ini seperti praktik hak jawab. Meski tradisi hak jawab
juga belum tumbuh di media-media di Jawa Tengah.
Padahal, pasal 5 ayat 2 Undang-undang Pers
menyatakan: pers wajib melayani hak jawab. Pers yang
melanggar ketentuan ini bisa dikenai pidana denda
paling banyak Rp 500 juta.
- Kelompok masyarakat juga membutuhkan peningkatan
kapasitas dalam kreativitas aksi agar kegiatannya bisa
dianggap layak untuk dijadikan berita. Selain itu,
masyarakat juga harus diberi pengetahuan ihwal alur
kerja wartawan, kode etik jurnalistik, undang-undang
pers, dan lain-lain. Pengetahuan ini sangat penting agar
kelompok masyarakat juga bisa bertindak jika sewaktu-
waktu mengetahui ketidakberesan kinerja media.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
136 137
Mendorong idealisme dapur redaksi
Mengapa independensi dalam ruang redaksi penting?
Redaktur Pelaksana Majalah Tempo Wahyu Dhyatmika dalam
diskusi yang digelar AJI Semarang pada 4 Januari 2014
mengatakan, independensi ruang redaksi dibutuhkan agar
berita diproduksi berdasarkan kepentingan publik dan standar
nilai berita semata. Media yang tidak memiliki ruang redaksi
yang steril dari kepentingan non-redaksi tidak bisa menjalankan
tugasnya sebagai penyampai informasi yang layak dipercaya.
Berita yang disiarkan merupakan pesanan dan tidak
menggambarkan realitas yang sesungguhnya terjadi di
lapangan.
Jurnalistik pada dasarnya adalah proses pencarian,
pengolahan, dan penyebarluasan informasi. Informasi apa yang
dicari, diolah, dan disebarkan itu? Jelas informasi yang dinilai
penting oleh khalayak. Karena itu, proses jurnalistik sudah
seharusnya sejalan dengan kepentingan orang banyak (publik).
Media yang tidak membela kepentingan publik
seharusnya tidak bertahan hidup karena tidak punya alasan
untuk terbit. Masalahnya, definisi “publik” berbeda untuk setiap
media. Segmentasi khalayak (audience) biasanya menjadi
pertimbangan utama. Jurnalis memperoleh mandatnya untuk
bekerja dari publik (rakyat). Adalah publik yang memiliki hak
untuk menuntut akuntabilitas dari pejabat publik. Hak itulah
yang diwakilkan pada jurnalis. Dilihat dari sejarah media massa,
pada awalnya media adalah kepanjangan tangan dari proses
percakapan khalayak ramai. Jadi pada esensinya, media adalah
sebuah lembaga publik, meskipun juga merupakan sebuah
institusi bisnis (komersial). Tarik-menarik antara kepentingan
publik dan kepentingan komersial media ini yang biasanya
disalahkan ketika media berpihak. Padahal, ketegangan itu
seharusnya tidak terjadi.
Ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi isi media
yang tidak berpihak kepada publik. Di antaranya adalah tawaran
iklan, intervensi pemilik media atau jurnalis yang disuap.
Tawaran iklan merupakan faktor yang paling lazim terjadi.
Banyak pihak merasa menekan media lewat iklan adalah salah
satu cara yang efektif untuk meredam suatu berita.
Intervensi pengiklan
Jika intervensi berasal dari bagian iklan, maka
pencegahannya dengan memastikan firewall (garis api) antara
bagian bisnis dan redaksi ditegakkan. Seharusnya, sama sekali
tidak ada komunikasi antara bagian iklan dan redaksi dalam
bentuk apa pun. Bagian iklan murni mencari pemasukan
berdasarkan luas jangkauan, oplah, dan kredibilitas media
tersebut.
Untuk memastikan adanya garis api, manajemen harus
menyusun standar prosedur operasi yang mengatur pola relasi
redaksi dengan bagian usaha (iklan).
Perusahaan atau lembaga pemerintah yang hendak
diliput sering berusaha mempengaruhi naik atau tidaknya suatu
berita dengan mengancam membatalkan order iklan. Biasanya
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
138 139
Mendorong idealisme dapur redaksi
Mengapa independensi dalam ruang redaksi penting?
Redaktur Pelaksana Majalah Tempo Wahyu Dhyatmika dalam
diskusi yang digelar AJI Semarang pada 4 Januari 2014
mengatakan, independensi ruang redaksi dibutuhkan agar
berita diproduksi berdasarkan kepentingan publik dan standar
nilai berita semata. Media yang tidak memiliki ruang redaksi
yang steril dari kepentingan non-redaksi tidak bisa menjalankan
tugasnya sebagai penyampai informasi yang layak dipercaya.
Berita yang disiarkan merupakan pesanan dan tidak
menggambarkan realitas yang sesungguhnya terjadi di
lapangan.
Jurnalistik pada dasarnya adalah proses pencarian,
pengolahan, dan penyebarluasan informasi. Informasi apa yang
dicari, diolah, dan disebarkan itu? Jelas informasi yang dinilai
penting oleh khalayak. Karena itu, proses jurnalistik sudah
seharusnya sejalan dengan kepentingan orang banyak (publik).
Media yang tidak membela kepentingan publik
seharusnya tidak bertahan hidup karena tidak punya alasan
untuk terbit. Masalahnya, definisi “publik” berbeda untuk setiap
media. Segmentasi khalayak (audience) biasanya menjadi
pertimbangan utama. Jurnalis memperoleh mandatnya untuk
bekerja dari publik (rakyat). Adalah publik yang memiliki hak
untuk menuntut akuntabilitas dari pejabat publik. Hak itulah
yang diwakilkan pada jurnalis. Dilihat dari sejarah media massa,
pada awalnya media adalah kepanjangan tangan dari proses
percakapan khalayak ramai. Jadi pada esensinya, media adalah
sebuah lembaga publik, meskipun juga merupakan sebuah
institusi bisnis (komersial). Tarik-menarik antara kepentingan
publik dan kepentingan komersial media ini yang biasanya
disalahkan ketika media berpihak. Padahal, ketegangan itu
seharusnya tidak terjadi.
Ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi isi media
yang tidak berpihak kepada publik. Di antaranya adalah tawaran
iklan, intervensi pemilik media atau jurnalis yang disuap.
Tawaran iklan merupakan faktor yang paling lazim terjadi.
Banyak pihak merasa menekan media lewat iklan adalah salah
satu cara yang efektif untuk meredam suatu berita.
Intervensi pengiklan
Jika intervensi berasal dari bagian iklan, maka
pencegahannya dengan memastikan firewall (garis api) antara
bagian bisnis dan redaksi ditegakkan. Seharusnya, sama sekali
tidak ada komunikasi antara bagian iklan dan redaksi dalam
bentuk apa pun. Bagian iklan murni mencari pemasukan
berdasarkan luas jangkauan, oplah, dan kredibilitas media
tersebut.
Untuk memastikan adanya garis api, manajemen harus
menyusun standar prosedur operasi yang mengatur pola relasi
redaksi dengan bagian usaha (iklan).
Perusahaan atau lembaga pemerintah yang hendak
diliput sering berusaha mempengaruhi naik atau tidaknya suatu
berita dengan mengancam membatalkan order iklan. Biasanya
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
138 139
bagian iklan—yang menerima ancaman tersebut—akan
meneruskan permohonan kliennya ke redaksi. Bagi redaksi,
adanya permintaan semacam itu meneguhkan keyakinan bahwa
perusahaan/pejabat tersebut bermasalah.
Tapi sejak awal, kasus semacam ini bisa diantisipasi
dengan menegaskan aturan garis api dan membuat standar
operasional prosedur (SOP) komunikasi antara bagian iklan
dengan redaksi. Harus ada aturan tegas bahwa iklan tidak bisa
mengatur berita. Sepanjang tidak ada komunikasi antara iklan
dan redaksi, maka jurnalis tidak akan tahu dan tidak akan peduli
perusahaan mana yang memasang iklan di medianya. Untuk itu,
interaksi antara redaksi dan iklan harus diminimalisir.
Ada juga pola intervensi pasca-pemuatan. Iklan yang
sudah dipesan dibatalkan karena narasumber tidak puas dengan
pemberitaan tertentu. Ketika kasus semacam ini terjadi, pihak
redaksi biasanya tidak tahu, tidak diberitahu, dan memang tidak
perlu tahu/peduli.
Intervensi dari pemilik media
Jika intervensi datang dari pemilik, maka cara terbaik
menangkalnya adalah dengan memperkuat serikat pekerja.
Karyawan harus memiliki forum bersama yang dilindungi
undang-undang untuk membela kepentingannya, tidak hanya
soal kesejahteraan tapi juga soal profesinya.
Persoalannya, kesadaran jurnalis berserikat juga sangat
rendah. Kesadaran berserikat tidak muncul akibat pekerjaan
jurnalis membutuhkan waktu dan tenaga ekstra sehingga
mereka belum sempat berpikir untuk memperjuangkan
nasibnya sendiri. Jika serikat pekerja sudah berdiri maka serikat
harus secepatnya membuka perundingan dengan manajemen
untuk merumuskan Perjanjian Kerja Bersama. Dalam perjanjian
itu, serikat bisa mengusulkan pasal yang mengatur soal
independensi ruang redaksi dan sanksi bagi pemilik yang
melakukan intervensi.
Idealnya juga ada klausul yang mengatur independensi
ruang redaksi merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar.
Independensi newsroom bisa dibangun dengan membatasi
pertemuan antara komisaris/pemilik perusahaan dengan
redaksi.
Ihwal intervensi pemilik ke ruang redaksi pernah diteliti
Anett Keller (2009), seorang wartawati dari Jerman Barat
(editor untuk The Asia Pacific Times di Berlin). Riset lapangan
tentang otonomi redaksi di empat surat kabar di Jakarta pasca-
reformasi 1998. Penelitian terhadap Kompas, Republika, Media
Indonesia dan Koran Tempo itu menunjukkan bahwa media
yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak mayoritas maka
secara relatif sulit untuk diintervensi. Sebaliknya jika media
tersebut dimiliki secara mayoritas oleh seseorang, atau sebuah
kelompok bisnis, maka bagian redaksi secara relatif menjadi
sangat mudah mendapatkan intervensi atau kurang independen.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
140 141
bagian iklan—yang menerima ancaman tersebut—akan
meneruskan permohonan kliennya ke redaksi. Bagi redaksi,
adanya permintaan semacam itu meneguhkan keyakinan bahwa
perusahaan/pejabat tersebut bermasalah.
Tapi sejak awal, kasus semacam ini bisa diantisipasi
dengan menegaskan aturan garis api dan membuat standar
operasional prosedur (SOP) komunikasi antara bagian iklan
dengan redaksi. Harus ada aturan tegas bahwa iklan tidak bisa
mengatur berita. Sepanjang tidak ada komunikasi antara iklan
dan redaksi, maka jurnalis tidak akan tahu dan tidak akan peduli
perusahaan mana yang memasang iklan di medianya. Untuk itu,
interaksi antara redaksi dan iklan harus diminimalisir.
Ada juga pola intervensi pasca-pemuatan. Iklan yang
sudah dipesan dibatalkan karena narasumber tidak puas dengan
pemberitaan tertentu. Ketika kasus semacam ini terjadi, pihak
redaksi biasanya tidak tahu, tidak diberitahu, dan memang tidak
perlu tahu/peduli.
Intervensi dari pemilik media
Jika intervensi datang dari pemilik, maka cara terbaik
menangkalnya adalah dengan memperkuat serikat pekerja.
Karyawan harus memiliki forum bersama yang dilindungi
undang-undang untuk membela kepentingannya, tidak hanya
soal kesejahteraan tapi juga soal profesinya.
Persoalannya, kesadaran jurnalis berserikat juga sangat
rendah. Kesadaran berserikat tidak muncul akibat pekerjaan
jurnalis membutuhkan waktu dan tenaga ekstra sehingga
mereka belum sempat berpikir untuk memperjuangkan
nasibnya sendiri. Jika serikat pekerja sudah berdiri maka serikat
harus secepatnya membuka perundingan dengan manajemen
untuk merumuskan Perjanjian Kerja Bersama. Dalam perjanjian
itu, serikat bisa mengusulkan pasal yang mengatur soal
independensi ruang redaksi dan sanksi bagi pemilik yang
melakukan intervensi.
Idealnya juga ada klausul yang mengatur independensi
ruang redaksi merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar.
Independensi newsroom bisa dibangun dengan membatasi
pertemuan antara komisaris/pemilik perusahaan dengan
redaksi.
Ihwal intervensi pemilik ke ruang redaksi pernah diteliti
Anett Keller (2009), seorang wartawati dari Jerman Barat
(editor untuk The Asia Pacific Times di Berlin). Riset lapangan
tentang otonomi redaksi di empat surat kabar di Jakarta pasca-
reformasi 1998. Penelitian terhadap Kompas, Republika, Media
Indonesia dan Koran Tempo itu menunjukkan bahwa media
yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak mayoritas maka
secara relatif sulit untuk diintervensi. Sebaliknya jika media
tersebut dimiliki secara mayoritas oleh seseorang, atau sebuah
kelompok bisnis, maka bagian redaksi secara relatif menjadi
sangat mudah mendapatkan intervensi atau kurang independen.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
140 141
Jurnalis disuap?
Sementara jika intervensi datang dari jurnalis yang
disogok, maka cara mencegahnya harus meliputi pembangunan
sistem antikorupsi di internal redaksi. Seperti perumusan kode
perilaku (turunan dari kode etik jurnalistik) yang mengatur
secara teknis tindak tanduk jurnalis, dan mekanisme
whistleblower (peniup peluit) agar orang berani melaporkan
kejanggalan di internal redaksi. Selain itu, seharusnya ada
sistem pengawasan eksternal redaksi yang kuat (ombudsman,
misalnya) yang bisa menerima keluhan dari pembaca dan
memeriksa apakah suatu keluhan soal tidak dimuatnya suatu
berita valid atau tidak.
Guna meminimalkan intervensi dari jurnalis yang
disogok, proses pengambilan keputusan soal berita di redaksi
juga harus terbuka dan melibatkan semua kompartemen,
sehingga tidak ada satu redaktur pelaksana yang terlalu
berkuasa menentukan naik/tidaknya suatu berita di wilayahnya.
Selain itu, seharusnya semua jurnalis, dari reporter sampai
redaktur, berhak mengusulkan ide liputan dan harus mendapat
penjelasan mengapa suatu berita dimuat/tidak.
Kasus jurnalis menerima amplop biasanya ditangani
dengan tegas dengan sanksi berupa pemecatan. Untuk
menjamin tidak ada jurnalis menerima amplop, tentu saja,
kesejahteraan jurnalis harus diperhatikan. Setiap tahun harus
ada eva luas i a tas jumlah ga j i karyawan dengan
membandingkannya dengan perusahaan sejenis.
Selain itu, Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik Perilaku
harus dipahami redaksi dengan utuh. Mekanisme lainnya adalah
melibatkan karyawan menyusun kode etik/kode perilaku.
Terakhir, ada mekanisme pengembalian amplop oleh kantor,
misalnya untuk memastikan tidak ada jurnalis yang terpaksa
menerima sogok karena sungkan.
Urgensi ombudsman
Keberadaan ombudsman sangat diperlukan untuk
menjaga kredibilitas media di mata masyarakat. Ombudsman ini
terdiri dari beberapa unsur, terutama dengan melibatkan orang
luar untuk meningkatkan obyektivitasnya.
Ombudsman bisa menerima keluhan, kritik, atau protes
dari pembaca mengenai kualitas berita media. Selain itu,
ombudsman juga menerima pengaduan dari internal redaksi
mengenai perilaku/pemberitaan. Ombudsman secara berkala
juga menilai berita di media apakah sudah sesuai standar
jurnalistik atau tidak.
Dengan demikian, pembaca yang mendapat kabar
miring soal perilaku wartawannya di lapangan bisa mengadu
pada ombudsman. Ombudsman akan menyelidiki pengaduan
tersebut. Pembaca yang protes pada akurasi, kualitas,
obyektivitas atau keberpihakan berita-berita juga bisa
mengadu/menyampaikan kekecewaan pada ombudsman.
Berdasarkan pengaduan itu, ombudsman menyelidiki. Hasil
penyelidikan ombudsman disampaikan pada pemimpin redaksi
untuk ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
142 143
Jurnalis disuap?
Sementara jika intervensi datang dari jurnalis yang
disogok, maka cara mencegahnya harus meliputi pembangunan
sistem antikorupsi di internal redaksi. Seperti perumusan kode
perilaku (turunan dari kode etik jurnalistik) yang mengatur
secara teknis tindak tanduk jurnalis, dan mekanisme
whistleblower (peniup peluit) agar orang berani melaporkan
kejanggalan di internal redaksi. Selain itu, seharusnya ada
sistem pengawasan eksternal redaksi yang kuat (ombudsman,
misalnya) yang bisa menerima keluhan dari pembaca dan
memeriksa apakah suatu keluhan soal tidak dimuatnya suatu
berita valid atau tidak.
Guna meminimalkan intervensi dari jurnalis yang
disogok, proses pengambilan keputusan soal berita di redaksi
juga harus terbuka dan melibatkan semua kompartemen,
sehingga tidak ada satu redaktur pelaksana yang terlalu
berkuasa menentukan naik/tidaknya suatu berita di wilayahnya.
Selain itu, seharusnya semua jurnalis, dari reporter sampai
redaktur, berhak mengusulkan ide liputan dan harus mendapat
penjelasan mengapa suatu berita dimuat/tidak.
Kasus jurnalis menerima amplop biasanya ditangani
dengan tegas dengan sanksi berupa pemecatan. Untuk
menjamin tidak ada jurnalis menerima amplop, tentu saja,
kesejahteraan jurnalis harus diperhatikan. Setiap tahun harus
ada eva luas i a tas jumlah ga j i karyawan dengan
membandingkannya dengan perusahaan sejenis.
Selain itu, Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik Perilaku
harus dipahami redaksi dengan utuh. Mekanisme lainnya adalah
melibatkan karyawan menyusun kode etik/kode perilaku.
Terakhir, ada mekanisme pengembalian amplop oleh kantor,
misalnya untuk memastikan tidak ada jurnalis yang terpaksa
menerima sogok karena sungkan.
Urgensi ombudsman
Keberadaan ombudsman sangat diperlukan untuk
menjaga kredibilitas media di mata masyarakat. Ombudsman ini
terdiri dari beberapa unsur, terutama dengan melibatkan orang
luar untuk meningkatkan obyektivitasnya.
Ombudsman bisa menerima keluhan, kritik, atau protes
dari pembaca mengenai kualitas berita media. Selain itu,
ombudsman juga menerima pengaduan dari internal redaksi
mengenai perilaku/pemberitaan. Ombudsman secara berkala
juga menilai berita di media apakah sudah sesuai standar
jurnalistik atau tidak.
Dengan demikian, pembaca yang mendapat kabar
miring soal perilaku wartawannya di lapangan bisa mengadu
pada ombudsman. Ombudsman akan menyelidiki pengaduan
tersebut. Pembaca yang protes pada akurasi, kualitas,
obyektivitas atau keberpihakan berita-berita juga bisa
mengadu/menyampaikan kekecewaan pada ombudsman.
Berdasarkan pengaduan itu, ombudsman menyelidiki. Hasil
penyelidikan ombudsman disampaikan pada pemimpin redaksi
untuk ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi.
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
142 143
Rekomendasi
1. Selama ini, banyak sekali media lokal di Semarang yang
belum memisahkan ruang redaksi dengan ruang iklan.
Padahal, mencampurkan iklan dengan redaksi menjadi
salah satu problem yang mengakibatkan media tidak
independen. Banyak berita yang dikonsumsi publik
berdasarkan pada pesanan pengiklan. Akibatnya, publik
akan menerima informasi yang bias. Untuk itulah
memisahkan ruang redaksi dan ruang iklan tak bisa ditawar
lagi. Memang, media membutuhkan modal dan perusahaan
memerlukan uang untuk bisa beroperasi. Tapi, cara untuk
mendapatkan uang/iklan bukanlah dengan “menjual”
pemberitaan. Jika intervensi berasal dari bagian iklan,
maka pencegahannya adalah dengan memastikan firewall
(garis api) antara bagian bisnis dan redaksi ditegakkan.
Seharusnya sama sekali tidak ada komunikasi antara bagian
iklan dan redaksi dalam bentuk apa pun. Bagian iklan murni
mencari pemasukan berdasarkan luas jangkauan, oplah,
dan kredibilitas suatu media. Untuk memastikan adanya
garis api, manajemen harus menyusun standarprosedur
operasionalyang mengatur pola relasi redaksi dengan
bagian usaha/iklan.
2. Masyarakat membutuhkan saluran jika sewaktu-waktu
merasa dirugikan atas pemberitaan media. Saluran itu baik
yang diinisiasi kelompok masyarakat maupun melalui
lembaga ombudsman yang perlu didirikan oleh masing-
masing media. Tradisi masyarakat memprotes pemberitaan
di Semarang memang belum muncul. Ada beberapa sebab,
di antaranya adalah masyarakat belum memahami
bagaimana cara memprotes. Apalagi, keberadaan Dewan
Pers juga hanya ada di Jakarta. Untuk itulah, masyarakat di
Semarang memerlukan satu tempat agar mereka bisa
menyalurkan ketidakpuasannya atas kinerja media.
Masyarakat perlu secara aktif membuat pengaduan ke
Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia/Daerah
(KPI/D).
3. Setiap media perlu membentuk ombudsman media.
Lembaga ini sebagai salah satu cara untuk mengontrol jika
sewaktu-waktu ada dugaan pelanggaran yang dilakukan
awak medianya. Selain itu, melalui ombudsman di masing-
masing media ini, memungkinkan masyarakat bisa
menyalurkan protesnya jika merasa dirugikan oleh suatu
pemberitaan. Masyarakat juga berharap agar media massa
menyediakan rubrik kritik media. Tujuannya, jika
masyarakat merasa ada yang salah atas pemberitaan yang
disajikan media maka masyarakat bisa berpartisipasi untuk
meluruskan atau mengoreksi.
4. Persoalan kesejahteraan jurnalis juga menjadi pekerjaan
rumah yang harus dicarikan solusi. Selama ini, minimnya
kesejahteraan menjadi salah satu pemicu jurnalis tidak bisa
menjalankan tugasnya secara profesional dan independen.
Se
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
144 145
Rekomendasi
1. Selama ini, banyak sekali media lokal di Semarang yang
belum memisahkan ruang redaksi dengan ruang iklan.
Padahal, mencampurkan iklan dengan redaksi menjadi
salah satu problem yang mengakibatkan media tidak
independen. Banyak berita yang dikonsumsi publik
berdasarkan pada pesanan pengiklan. Akibatnya, publik
akan menerima informasi yang bias. Untuk itulah
memisahkan ruang redaksi dan ruang iklan tak bisa ditawar
lagi. Memang, media membutuhkan modal dan perusahaan
memerlukan uang untuk bisa beroperasi. Tapi, cara untuk
mendapatkan uang/iklan bukanlah dengan “menjual”
pemberitaan. Jika intervensi berasal dari bagian iklan,
maka pencegahannya adalah dengan memastikan firewall
(garis api) antara bagian bisnis dan redaksi ditegakkan.
Seharusnya sama sekali tidak ada komunikasi antara bagian
iklan dan redaksi dalam bentuk apa pun. Bagian iklan murni
mencari pemasukan berdasarkan luas jangkauan, oplah,
dan kredibilitas suatu media. Untuk memastikan adanya
garis api, manajemen harus menyusun standarprosedur
operasionalyang mengatur pola relasi redaksi dengan
bagian usaha/iklan.
2. Masyarakat membutuhkan saluran jika sewaktu-waktu
merasa dirugikan atas pemberitaan media. Saluran itu baik
yang diinisiasi kelompok masyarakat maupun melalui
lembaga ombudsman yang perlu didirikan oleh masing-
masing media. Tradisi masyarakat memprotes pemberitaan
di Semarang memang belum muncul. Ada beberapa sebab,
di antaranya adalah masyarakat belum memahami
bagaimana cara memprotes. Apalagi, keberadaan Dewan
Pers juga hanya ada di Jakarta. Untuk itulah, masyarakat di
Semarang memerlukan satu tempat agar mereka bisa
menyalurkan ketidakpuasannya atas kinerja media.
Masyarakat perlu secara aktif membuat pengaduan ke
Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia/Daerah
(KPI/D).
3. Setiap media perlu membentuk ombudsman media.
Lembaga ini sebagai salah satu cara untuk mengontrol jika
sewaktu-waktu ada dugaan pelanggaran yang dilakukan
awak medianya. Selain itu, melalui ombudsman di masing-
masing media ini, memungkinkan masyarakat bisa
menyalurkan protesnya jika merasa dirugikan oleh suatu
pemberitaan. Masyarakat juga berharap agar media massa
menyediakan rubrik kritik media. Tujuannya, jika
masyarakat merasa ada yang salah atas pemberitaan yang
disajikan media maka masyarakat bisa berpartisipasi untuk
meluruskan atau mengoreksi.
4. Persoalan kesejahteraan jurnalis juga menjadi pekerjaan
rumah yang harus dicarikan solusi. Selama ini, minimnya
kesejahteraan menjadi salah satu pemicu jurnalis tidak bisa
menjalankan tugasnya secara profesional dan independen.
Se
Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang
144 145
AJI Semarang
Banyak sekali jurnalis yang masih menerima upah di bawah
kelayakan. Meski jurnalis belum sejahtera tapi kesadaran
mereka menuntut upah layak juga jarang terdengar.
Kesadaran berserikat para jurnalis juga rendah. Mungkin
akibat profesi jurnalis membutuhkan tenaga ekstra
sehingga mereka tak sempat memikirkan perjuangan
menuntut hak.Mendesak kepada Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah agar menetapkan upah minimum sektor jurnalis.
Ini untuk meningkatkan harkat dan martabat bagi para
jurnalis.
* * *
Daftar Pustaka
Curran, James, Michael Gurevitch, dan Janet Woollacott (2005). “The Study of the Media: Theoretical Approaches” dalam Michael Gurevich, et. al. (eds). Culture,Society and the Media. London dan New York: Routledge.
Fleming, Carole, et. al. (2006). An Introduction to Journalism. New Delhi: Sage Publications.
Franklin, Bob, et. al. (2005).Key Concepts in Journalism Studies. New Delhi: Sage Publications.
Keller, Anett (2009). Tantangan dari Dalam: Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung (FES).
Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel (2001). The Elements of Journalism. New York: Crown Publishers.
Krippendorff, Klaus (2004). Content Analysis: An Introduction to Its ndMethodology 2 Ed. New Delhi: Sage Publications.
McQuail, Denis (1993). Media Performance: Mass Communication and the Public Interest.New Delhi: Sage Publications.
Potter, Deborah (2006). Handbook of Independent Journalism. Bureau of International Information Programs U.S. Department of State.
Powers, Matthew J. “Objectivity” dalam Christopher H. Sterling, ed. (2009). Encyclopedia of Journalism. Thousand Oaks: Sage Publications.
Titchen, Angie dan Dawn Hobson. “Phenomenology” dalam Bridget Somekh dan Cathy Lewin, eds. (2005). Research Methods in the Social Sciences. New Delhi: Sage Publications.
146 147
AJI Semarang
Banyak sekali jurnalis yang masih menerima upah di bawah
kelayakan. Meski jurnalis belum sejahtera tapi kesadaran
mereka menuntut upah layak juga jarang terdengar.
Kesadaran berserikat para jurnalis juga rendah. Mungkin
akibat profesi jurnalis membutuhkan tenaga ekstra
sehingga mereka tak sempat memikirkan perjuangan
menuntut hak.Mendesak kepada Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah agar menetapkan upah minimum sektor jurnalis.
Ini untuk meningkatkan harkat dan martabat bagi para
jurnalis.
* * *
Daftar Pustaka
Curran, James, Michael Gurevitch, dan Janet Woollacott (2005). “The Study of the Media: Theoretical Approaches” dalam Michael Gurevich, et. al. (eds). Culture,Society and the Media. London dan New York: Routledge.
Fleming, Carole, et. al. (2006). An Introduction to Journalism. New Delhi: Sage Publications.
Franklin, Bob, et. al. (2005).Key Concepts in Journalism Studies. New Delhi: Sage Publications.
Keller, Anett (2009). Tantangan dari Dalam: Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung (FES).
Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel (2001). The Elements of Journalism. New York: Crown Publishers.
Krippendorff, Klaus (2004). Content Analysis: An Introduction to Its ndMethodology 2 Ed. New Delhi: Sage Publications.
McQuail, Denis (1993). Media Performance: Mass Communication and the Public Interest.New Delhi: Sage Publications.
Potter, Deborah (2006). Handbook of Independent Journalism. Bureau of International Information Programs U.S. Department of State.
Powers, Matthew J. “Objectivity” dalam Christopher H. Sterling, ed. (2009). Encyclopedia of Journalism. Thousand Oaks: Sage Publications.
Titchen, Angie dan Dawn Hobson. “Phenomenology” dalam Bridget Somekh dan Cathy Lewin, eds. (2005). Research Methods in the Social Sciences. New Delhi: Sage Publications.
146 147
Profil AJI Semarang
liansi Jurnalis Independen (AJI) lahir sebagai perlawanan
komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan Arezim Orde Baru di bawah Presiden (almarhum) Soeharto.
Mulanya adalah pembredelan Detik, Editor, dan Tempo, pada 21 Juni
1994. Ketiganya dibredel karena pemberitaannya yang tergolong kritis
kepada penguasa. Tindakan represif inilah yang memicu aksi
solidaritas sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara merata
di sejumlah kota.
Setelah itu, gerakan perlawanan terus mengkristal. Akhirnya,
sekitar 100 orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis berkumpul di
Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994. Pada hari itulah mereka
menandatangani Deklarasi Sirnagalih. Inti deklarasi ini adalah
menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang
pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta
mengumumkan berdirinya AJI.
AJI Semarang dideklarasikan pada 14 April 1998 oleh sekitar
30 jurnalis Semarang. Sejarah AJI Semarang tak lepas dari perjuangan
jurnalis Indonesia dalam memperjuangkan independensi jurnalis,
kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berserikat serta
memperjuangkan masyarakat atas akses informasi. Menentang
pemerintahan otoriter Orde Baru
Turow, Joseph (2009). Media Today: An Introduction to Mass rd Communication: 3 Edition. New York dan London:
Routledge.
Wehmeier, Sally, ed. (2005). Oxford Advanced Learner's Dictionary: 7 Edition. Oxford: Oxford University Press.
148 149
Profil AJI Semarang
liansi Jurnalis Independen (AJI) lahir sebagai perlawanan
komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan Arezim Orde Baru di bawah Presiden (almarhum) Soeharto.
Mulanya adalah pembredelan Detik, Editor, dan Tempo, pada 21 Juni
1994. Ketiganya dibredel karena pemberitaannya yang tergolong kritis
kepada penguasa. Tindakan represif inilah yang memicu aksi
solidaritas sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara merata
di sejumlah kota.
Setelah itu, gerakan perlawanan terus mengkristal. Akhirnya,
sekitar 100 orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis berkumpul di
Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994. Pada hari itulah mereka
menandatangani Deklarasi Sirnagalih. Inti deklarasi ini adalah
menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang
pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta
mengumumkan berdirinya AJI.
AJI Semarang dideklarasikan pada 14 April 1998 oleh sekitar
30 jurnalis Semarang. Sejarah AJI Semarang tak lepas dari perjuangan
jurnalis Indonesia dalam memperjuangkan independensi jurnalis,
kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berserikat serta
memperjuangkan masyarakat atas akses informasi. Menentang
pemerintahan otoriter Orde Baru
Turow, Joseph (2009). Media Today: An Introduction to Mass rd Communication: 3 Edition. New York dan London:
Routledge.
Wehmeier, Sally, ed. (2005). Oxford Advanced Learner's Dictionary: 7 Edition. Oxford: Oxford University Press.
148 149
yang hanya mengakui organisasi tunggal profesi wartawan. Secara
kelembagaan, AJI Semarang di bawah koordinasi AJI Indonesia dengan
otonomi penuh untuk mengatur roda organisasi di tingkat lokal.
Beberapa program yang telah dan tengah dilakukan AJI
Semarang, di antaranya:
?Memberikan pelatihan jurnalistik berkala kepada Pers
Mahasiswa (2000-sekarang).
?Worksop Kode Etik dan Kekerasan Terhadap Jurnalis (AJI-SEAPA
Jakarta 2001).
?Kongres IV AJI Indonesia di Kota Semarang 2001.
?Kursus-kursus jurnalistik untuk buruh (2001-sekarang).
?Workshop "Kampanye Anti Sogok di Kalangan Jurnalis” (AJI-
Partnership for Governance Reform in Indonesia; 2002)
?Koordinator region jaringan jurnalis untuk Pemilu yang jujur
dan adil (AJI-Partnership for governance reform dan USAID
(2003-2004).
?Program Pemilu Damai di Jepara (AJI-Common Ground
Indonesia (CGI) dan UNDP; 2004-2005)
?Assesment potensi media untuk pemerintahan yang baik di
Semarang (AJI-LGSP-Research Triangle Institute; 2006).
?Penguatan kapasitas jurnalis dalam liputan program Harm
Reduction penanggulangan HIV (AJI-Family Health
International, 2008).
?Diseminasi hasil Business Climate Survey Jateng (AJI-
Swisscontact dan GTZ, 2008)
?Pengembangan sistem informasi pemerintah kabupaten/kota
berperspektif terhadap persoalan ibu dan anak: (AJI-UNICEF;
?2007-2009).
?Training New Media: (AJI-FORD Foundation: 2012-2013).
?Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) (AJI; 2012).
?Advokasi Korban PHK 13 jurnalis Harian Semarang.
?Penyusunan Silabi jurnalisme online untuk perguruan tinggi
(AJI, Ford Foundation, Jurusan KomunikasiUndip; 2013).
?Penyusunan Modul jurnalisme online untuk perguruan tinggi
(AJI, Ford Foundation, Jurusan Komunikasi Undip; 2014).
?Kampanye Independensi Newsroom Media Lokal (AJI-Tifa;
2013).
?Dan lain-lain.
Alamat Kantor AJI Semarang: Jalan Gergaji I/15 Mugassari Kota
Semarang. Telp: 024-8450980. Email: ajisemarang@yahoo.com
150 151
yang hanya mengakui organisasi tunggal profesi wartawan. Secara
kelembagaan, AJI Semarang di bawah koordinasi AJI Indonesia dengan
otonomi penuh untuk mengatur roda organisasi di tingkat lokal.
Beberapa program yang telah dan tengah dilakukan AJI
Semarang, di antaranya:
?Memberikan pelatihan jurnalistik berkala kepada Pers
Mahasiswa (2000-sekarang).
?Worksop Kode Etik dan Kekerasan Terhadap Jurnalis (AJI-SEAPA
Jakarta 2001).
?Kongres IV AJI Indonesia di Kota Semarang 2001.
?Kursus-kursus jurnalistik untuk buruh (2001-sekarang).
?Workshop "Kampanye Anti Sogok di Kalangan Jurnalis” (AJI-
Partnership for Governance Reform in Indonesia; 2002)
?Koordinator region jaringan jurnalis untuk Pemilu yang jujur
dan adil (AJI-Partnership for governance reform dan USAID
(2003-2004).
?Program Pemilu Damai di Jepara (AJI-Common Ground
Indonesia (CGI) dan UNDP; 2004-2005)
?Assesment potensi media untuk pemerintahan yang baik di
Semarang (AJI-LGSP-Research Triangle Institute; 2006).
?Penguatan kapasitas jurnalis dalam liputan program Harm
Reduction penanggulangan HIV (AJI-Family Health
International, 2008).
?Diseminasi hasil Business Climate Survey Jateng (AJI-
Swisscontact dan GTZ, 2008)
?Pengembangan sistem informasi pemerintah kabupaten/kota
berperspektif terhadap persoalan ibu dan anak: (AJI-UNICEF;
?2007-2009).
?Training New Media: (AJI-FORD Foundation: 2012-2013).
?Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) (AJI; 2012).
?Advokasi Korban PHK 13 jurnalis Harian Semarang.
?Penyusunan Silabi jurnalisme online untuk perguruan tinggi
(AJI, Ford Foundation, Jurusan KomunikasiUndip; 2013).
?Penyusunan Modul jurnalisme online untuk perguruan tinggi
(AJI, Ford Foundation, Jurusan Komunikasi Undip; 2014).
?Kampanye Independensi Newsroom Media Lokal (AJI-Tifa;
2013).
?Dan lain-lain.
Alamat Kantor AJI Semarang: Jalan Gergaji I/15 Mugassari Kota
Semarang. Telp: 024-8450980. Email: ajisemarang@yahoo.com
150 151
top related