al-ahwÂl al-shakhshiyyah perspektif al-sa’dÎ (studi

13
177 Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah Perspektif | AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI TERHADAP KITAB MANHAJ AL-SÂLIKÎN WA TAUDHÎH AL-FIQH FÎ AL-DÎN) Rahendra Maya Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Hidayah Bogor Dosen Tetap Prodi Pendidikan Agama Islam [email protected] Abstraksi Makalah ini .berusaha untuk mengetahui dan memahami perspektif Al-Sa‟dî tentang objektifitas atau ruang lingkup dan tema-tema utama dalam hukum keluarga Islam (al-ahwâl al-syakhshiyyah), terutama tentang hukum-hukum pernikahan (kitâb al-nikâh, atau kitâb al-ankihah) dalam karya fikihnya yang paling representatif mengungkap pemikiran corak pemikiran fikihnya, yaitu kitab Manhaj Al-Sâlikîn wa Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn dengan didukung oleh dua karya fikih lainnya dan karya-karya pemikir lain yang terkait. Menurut Al-Sa‟dî, hukum-hukum tentang pernikahan sangat banyak dan bervarian, karena semenjak belum terjadi pernikahan, dilanjutkan dengan kemantapan untuk melangkah ke jenjang berikutnya, dan meneguhkan langkah dalam melanggengkannya, dan bahkan hingga harus berakhir (dengan perceraian atau kematian) sekalipun, pernikahan memiliki hukumnya tersendiri dan memiliki variannya masing- masing. Oleh karena itu, menjadi sangat urgen mengetahui dan memahami hukum-hukum pernikahan tersebut yang termasuk dalam kajian hukum keluarga Islam (al-ahwâl al-syakhshiyyah), antara lain berdasarkan perspektif seorang ulama dalam kitab fikih yang menjadi karyanya yang merepresentasikan corak pemikiran fikihnya. Keyword: al-ahwâl, al-syakhshiyyah, objektifitas al-ahwâl al-syakhshiyyah. A. PENDAHULUAN Syaikh Al-Sa‟dî atau Ibn Al-Sa‟dî memiliki nama lengkap ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir ibn ‟Abd Allah ibn Nâshir ibn Hamd Âlu Sa‟dî Al-Nâshirî Al-Tamîmî Al- Hanbalî (1234-1371 H.). Ayahnya, Nâshir Âlu Sa‟dî yang lahir pada tahun 1234 H. adalah seorang ahli ibadah (’âbid) dan penghapal Al-Qur„an (hâfizh li al-Qur‘ân) yang mencintai ilmu dan para ulama. Walaupun tidak termasuk dalam strata ulama, namun ia dikenal sebagai imam masjid yang aktif memberikan nasehat (wad) kepada jama‟ah, khususnya selepas shalat Ashar dan Isya. Sedangkan genealoginya (nasab) dari jalur ibu, ibunya adalah puteri dari keturunan Âlu ‟Utsaimîn yang masih satu qabîlah dengan Banî Tamîm. 1 Selain populer sebagai ahli tafsir (mufassir) melalui karya magnum opusnya, kitab Taisîr Al-Karîm Al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm Al-Mannân dan tafsir ringkasnya, kitab Taisîr Al-Lathîf Al-Mannân Khulâshah Tafsîr Al-Qur‘ân, Al-Sa‟dî juga 1 Lihat ‟Abd Allah ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Thayyâr. (1992). Shafahât min Hayâh ’Allâmah Al-Qashîm Al-Syaikh ’Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa’dî. Damam: Dâr Ibn Al-Jauzî. h. 11.

Upload: others

Post on 08-Nov-2021

9 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI

177Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah Perspektif … |

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI TERHADAP KITAB MANHAJ AL-SÂLIKÎN

WA TAUDHÎH AL-FIQH FÎ AL-DÎN)

Rahendra Maya

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Hidayah Bogor

Dosen Tetap Prodi Pendidikan Agama Islam

[email protected]

Abstraksi

Makalah ini .berusaha untuk mengetahui dan memahami perspektif Al-Sa‟dî

tentang objektifitas atau ruang lingkup dan tema-tema utama dalam hukum

keluarga Islam (al-ahwâl al-syakhshiyyah), terutama tentang hukum-hukum

pernikahan (kitâb al-nikâh, atau kitâb al-ankihah) dalam karya fikihnya yang

paling representatif mengungkap pemikiran corak pemikiran fikihnya, yaitu kitab

Manhaj Al-Sâlikîn wa Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn dengan didukung oleh dua karya

fikih lainnya dan karya-karya pemikir lain yang terkait. Menurut Al-Sa‟dî,

hukum-hukum tentang pernikahan sangat banyak dan bervarian, karena semenjak

belum terjadi pernikahan, dilanjutkan dengan kemantapan untuk melangkah ke

jenjang berikutnya, dan meneguhkan langkah dalam melanggengkannya, dan

bahkan hingga harus berakhir (dengan perceraian atau kematian) sekalipun,

pernikahan memiliki hukumnya tersendiri dan memiliki variannya masing-

masing. Oleh karena itu, menjadi sangat urgen mengetahui dan memahami

hukum-hukum pernikahan tersebut yang termasuk dalam kajian hukum keluarga

Islam (al-ahwâl al-syakhshiyyah), antara lain berdasarkan perspektif seorang

ulama dalam kitab fikih yang menjadi karyanya yang merepresentasikan corak

pemikiran fikihnya.

Keyword: al-ahwâl, al-syakhshiyyah, objektifitas al-ahwâl al-syakhshiyyah.

A. PENDAHULUAN

Syaikh Al-Sa‟dî atau Ibn Al-Sa‟dî

memiliki nama lengkap ‟Abd Al-Rahmân

ibn Nâshir ibn ‟Abd Allah ibn Nâshir ibn

Hamd Âlu Sa‟dî Al-Nâshirî Al-Tamîmî Al-

Hanbalî (1234-1371 H.). Ayahnya, Nâshir

Âlu Sa‟dî yang lahir pada tahun 1234 H.

adalah seorang ahli ibadah (’âbid) dan

penghapal Al-Qur„an (hâfizh li al-Qur‘ân)

yang mencintai ilmu dan para ulama.

Walaupun tidak termasuk dalam strata

ulama, namun ia dikenal sebagai imam

masjid yang aktif memberikan nasehat

(wa’d) kepada jama‟ah, khususnya selepas

shalat Ashar dan Isya. Sedangkan

genealoginya (nasab) dari jalur ibu, ibunya

adalah puteri dari keturunan Âlu ‟Utsaimîn

yang masih satu qabîlah dengan Banî

Tamîm.1

Selain populer sebagai ahli tafsir

(mufassir) melalui karya magnum opusnya,

kitab Taisîr Al-Karîm Al-Rahmân fî Tafsîr

Kalâm Al-Mannân dan tafsir ringkasnya,

kitab Taisîr Al-Lathîf Al-Mannân fî

Khulâshah Tafsîr Al-Qur‘ân, Al-Sa‟dî juga

1 Lihat ‟Abd Allah ibn Muhammad ibn Ahmad

Al-Thayyâr. (1992). Shafahât min Hayâh ’Allâmah

Al-Qashîm Al-Syaikh ’Abd Al-Rahmân ibn Nâshir

Al-Sa’dî. Damam: Dâr Ibn Al-Jauzî. h. 11.

Page 2: AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI

| Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah Perspektif … 177

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

dikenal sebagai ahli fikih (faqîh) kontemporer

yang bermadzhab Hanbali yang berasal dari

wilayah Qashim di Saudi Arabia.

Al-Sa‟dî termasuk ulama yang memiliki

produktifitas tinggi dalam menulis (tashnîf)

dan menyusun karya ilmiah (ta‘lîf).

Karenanya, tidak mengherankan bila ia

mampu memproduksi banyak sekali karya

ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu agama,

sekitar empat puluhan karyanya telah dicetak.

Di antara karyanya yang paling populer dan

dapat diklaim sebagai karya magnum

opusnya adalah kitab Taisîr Al-Karîm Al-

Rahmân fî Tafsîr Kalâm Al-Mannân.2

Dalam kajian fikih Islam, Al-Sa‟dî

memiliki karya yang cukup banyak, baik

dalam ushul fikih maupun cabang fikih (ushûl

al-fiqh wa furû’uhu). Menurut historiografi

‟Abd Allah ibn Muhammad ibn Ahmad Al-

Thayyâr,3 setidaknya terdapat 15 karya Al-

Sa‟dî tentang fikih Islam, dengan rincian 11

karya tentang cabang fikih dan 4 karya

tentang ushul fikihnya.

Di antara karya Al-Sa‟dî tentang cabang

fikih yang paling penting adalah kitab Nûr

Al-Bashâ’ir wa Al-Albâb fî Ahkâm Al-

’Ibâdât wa Al-Mu’âmalât wa Al-Huqûq wa

Al-Âdâb, Al-Irsyâd ilâ Ma’rifah Al-Ahkâm4,

2 Rahendra Maya. (2017). “Pemikiran Al-Sa‟dî

Tentang Konsep Al-Taskhîr”. Al-Tadabbur: Jurnal

Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir. Program Studi Ilmu Al-

Qur‟an dan Tafsir Jurusan Ushuludin Sekolah

Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor. Vol. 03 No.

02 Edisi Juli-Desember 2017. h. 12-13. 3 Lihat ‟Abd Allah ibn Muhammad ibn Ahmad

Al-Thayyâr. (1992). Atsar ’Allâmah Al-Qashîm Al-

Syaikh ’Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa’dî ’alâ Al-

Harakah Al-’Ilmiyyah Al-Mu’âshirah. Damam: Dâr

Ibn Al-Jauzî. h. 19-25. 4 Menurut ‟Abd Al-Razzâq ibn ‟Abd Al-Muhsin

Al-‟Abbâd, kitab ini pernah dicetak dengan judul

yang berbeda, yaitu Irsyâd Ûlî Al-Bashâ‘ir wa Al-

Albâb bi Aqrab Al-Thuruq wa Aisar Al-Asbâb bi

Tharîq Murattab ’alâ Al-Su‘âl wa Al-Jawâb. Lihat

‟Abd Al-Razzâq ibn ‟Abd Al-Muhsin Al-‟Abbâd.

(1990). Al-Syaikh ’Abd Al-Rahmân ibn Sa’dî wa

Juhûduhu fî Taudhîh Al-’Aqîdah. Riyadh: Maktabah

Al-Rusyd. h. 44.

dan Manhaj Al-Sâlikîn wa Taudhîh Al-Fiqh

fî Al-Dîn.

Walaupun ketiga karyanya tersebut

memiliki kemiripan dalam tema kajian dan

sistematika pembahasan, namun yang dapat

dianggap lebih jelas merepresentasikan

corak fikih dari pemikiran Al-Sa‟dî adalah

kitab Manhaj Al-Sâlikîn wa Taudhîh Al-

Fiqh fî Al-Dîn yang lebih banyak ditopang

oleh dalil dan lebih luas pembahasannya5

serta telah mendapatkan apresiasi berupa

anotasi (syarh) terhadapnya6.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam makalah ini

difokuskan untuk mengetahui dan

memahami corak pemikiran fikih Al-Sa‟dî

berdasarkan perspektif dan pemikirannya

yang tertuang dalam karya fikihnya, kitab

Manhaj Al-Sâlikîn wa Taudhîh Al-Fiqh fî

Al-Dîn tentang objektifitas atau ruang

lingkup dan tema-tema utama dalam hukum

keluarga Islam (al-ahwâl al-syakhshiyyah),

terutama tentang hukum-hukum seputar

pernikahan (kitâb al-nikâh, kitâb al-

ankihah).

C. HASIL PEMBAHASAN DAN

DISKUSI

1. Al-Ahwâl Al-Syakhshiyyah Dalam

Sorotan

Sudah cukup lama term al-ahwâl al-

syakhshiyyah (hukum keluarga Islam)

5 Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Al-Sa‟dî.

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî. (2001).

“Manhaj Al-Sâlikîn wa Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn”.

Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn ‟Abd

Allah Al-Jibrîn. Ibhâj Al-Mu‘minîn bi Syarh Manhaj

Al-Sâlikîn wa Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn. ed. Abû

Anas ‟Ali ibn Husain Abû Lûz. Riyadh: Dâr Al-

Wathan. h. 40-41. 6 Dicetak dalam 2 jilid atau volume yang cukup

tebal. Lihat ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn ‟Abd

Allah Al-Jibrîn. (2001). Ibhâj Al-Mu‘minîn bi Syarh

Manhaj Al-Sâlikîn wa Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn. ed.

‟Alî ibn Husain Abû Lûz. Riyadh: Dâr Al-Wathan.

Page 3: AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI

177Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah Perspektif … |

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

populer dipergunakan, khususnya dalam

lingkungan akademik di lingkup perguruan

tinggi sebagai hukum keluarga (family law)

dalam perspektif ajaran Islam.

Al-Ahwâl artinya keadaan; al-

syakhshiyyah artinya pribadi atau

perseorangan. Al-Ahwâl al-syakhshiyyah

adalah hukum yang menyangkut masalah

keluarga, seperti hukum perkawinan,

perceraian, warisan, dan wasiat. Kajian

tersendiri terhadap masalah al-ahwâl al-

syakhshiyyah baru dimulai sekitar paruh

kedua abad ke-19. Sebelumnya, hukum

perseorangan dan kekeluargaan ini tersebar

dalam berbagai bab fikih. Orang pertama

yang memisahkannya dalam satu kajian

tersendiri adalah Muhammad Qudrî Pâsyâ,

ahli hukum Islam di Mesir. Dialah orang

pertama yang mengkodifikasikan al-ahwâl

al-syakhshiyyah dalam suatu buku yang

berjudul Al-Ahwâl Asy-Syar’iyyah fî Al-

Ahwâl Al-Syakhshiyyah (Hukum

Syariat/Agama dalam Hal Keluarga).

Kodifikasi hukum keluarga tersebut

meliputi pembahasan tentang hukum

perkawinan, perceraian, wasiat, ahliyyah

(cakap tidaknya seseorang melakukan

tindakan hukum), harta warisan, dan hibah.

Meskipun belum dinyatakan resmi berlaku

oleh pemerintah, kodifikasi tersebut telah

dijadikan sebagai bahan rujukan oleh para

hakim dalam memutuskan berbagai

masalah pribadi dan keluarga di pengadilan.

Dalam perkembangan selanjutnya,

kodifikasi itu dijadikan pedoman dan

diterapkan di Mahkamah Syar‟iyyah

Mesir7.8

7 http://www.republika.co.id/berita/dunia-

islam/khazanah/12/02/21/lzqe79-ensiklopedi-

hukum-islam-alahwal-asysyakhsiyyah, diakses

Sabtu 2 Desember 2017 pukul 13.00 WIB. 8 Upaya Qudrî Pâsyâ ini merupakan reaksi atas

penolakan Al-Khudaiwî Ismâ‟îl terhadap perundang-

undangan yang ditetapkan dalam Majallah Al-

Ahkâm Al-’Adliyyah yang dijadikan kebijakan resmi

oleh Dinasti Utsmani. Qudrî Pâsyâ menyusun

kompilasi hukum tersebut berdasarkan madzhab

Hanafî Majallah Al-Ahkâm Al-’Adliyyah tersebut. Ia

Musthafâ Ahmad Al-Zarqâ menyatakan

bahwa al-ahwâl al-syakhshiyyah adalah:9

Hukum-hukum yang berkaitan dengan

keluarga10

, antara lain tentang

pernikahan, perceraian, genealogi

keturunan, nafkah, wasiat, warisan, dan

hal lainnya, yang dalam bahasa

kontemporer diungkapkan dengan term

al-ahwâl al-syakhshiyyah.

Demikian pula dengan pendapat senada

yang dikemukakan Wahbah Al-Zuhailî

sebagai berikut:

menyusun kompilasi hukum Islam tersebut ke dalam

tiga kitab, yaitu:

Buku pertama tentang mu‟amalat, diberi judul

“Mursyid Al-Hairân fî Ma’rifah Ahwal Al-Insân”.

Buku kedua tentang hukum keluarga (ahkâm al-

usrah), diberi judul “Al-Ahwâl Asy-Syar’iyyah fî Al-

Ahwâl Al-Syakhshiyyah”, mengkaji tentang waris,

wasiat, hibah, dan tindakan mengisolir (hajr).

Buku ketiga tentang hukum wakaf (ahkâm al-

waqf), diberi judul “Al-’Adl wa Al-Inshâf fî Ahkâm

Al-Auqâf”.

Lihat Ahmad ibn Muhammad Al-Syarqawi.

(1427 H.). Al-Wasîth fî Târîkh Al-Tasyrî’ wa Al-Fiqh

Al-Islâmî. Riyadh: Dâr Al-Shamai‟î. h. 274-276. 9 Musthafâ Ahmad Al-Zarqâ. (2004). Al-

Madkhal Al-Fiqhî Al-’Âmm: Ikhrâj Jadîd bi Tathwîr

fi Al-Tartîb wa Al-Tabwîb wa Ziyâdât. Damaskus:

Dâr Al-Qalam. h. 66. 10

Yaitu ahkâm al-usrah (hukum-hukum

keluarga). Lihat dalam dan bandingkan dengan

Muhammad Sallâm Madkûr. (1996). Al-Madkhal li

Al-Fiqh Al-Islâmî Al-’Âmm: Târîkhhu wa

Mashâdiruhu wa Nazhariyâtuhu Al-’Âmmah. Kairo:

Dâr Al-Kitâb Al-Hadîts. h. 49-50.

Page 4: AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI

| Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah Perspektif … 177

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

Hukum-hukum yang pada masa kini

dinyatakan sebagai hukum keluarga

Islam (al-ahwâl al-syakhshiyyah), maka

tiada lain merupakan hukum-hukum

keluarga (ahkâm al-usrah) mulai dari

awal pembentukannya hingga berakhir

eksistensinya, antara lain tentang

pernikahan, perceraian, genealogi

keturunan, nafkah, dan warisan. Yaitu

hukum-hukum yang mengatur relasi

antara pasutri (suami-istri) dengan

karib-kerabatnya.11

Dalam kesempatan lain Wahbah Al-

Zuhailî berkesimpulan:12

Al-Ahwâl al-syakhshiyyah merupakan

term perundang-undangan yang

diadopsi dari bahasa asing, serupa

dengan term hukum atau mu‟amalah

sosial kemasyarakatan dan hukum

tentang pidana. Term ini terkenal di

lingkup akademik di perguruan tinggi

hingga menjadi term resmi dalam

pelbagai karya yang mengkaji tentang

hukum-hukum keluarga. Hakekat

substansial dari al-ahwâl al-

syakhshiyyah adalah hukum-hukum

11

Wahbah Al-Zuhailî. (1985). Al-Fiqh Al-Islâmî

wa Adillatuhu. Damaskus: Dâr Al-Fikr. Vol. 1. h.

19. 12

Wahbah Al-Zuhailî. (1985). Vol. 7. h. 6.

tentang relasi seseorang dengan

keluarganya yang diawali oleh

pernikahan dan berakhir dengan

pembagian harta pusaka atau waris.

Atau seperti yang dinyatakan oleh ‟Abd

Al-Wahhâb Khallâf dengan lebih ringkas

sebagai berikut:13

Hukum-hukum al-ahwâl al-

syakhshiyyah adalah hukum-hukum

yang berkaitan dengan keluarga

semenjak awal pembentukannya, yaitu

hukum-hukum yang mengatur relasi

organik antara suami-istri dengan

anggota keluarganya.

Sedangkan Bakr ibn ‟Abd Allah Abû

Zaid, ia menyatakan bahwa al-ahwâl al-

syakhshiyyah adalah term perundang-

undangan yang dipergunakan untuk

mengidentifikasi hukum-hukum tentang

pernikahan dan yang terkait dengan

pelbagai permasalahannya (ishthilâh qânûnî

yuthlaqu ’alâ ahkâm al-nikâh wa

tawâbi’ihi),14

atau berkaitan dengan hukum

tentang pernikahan dan perceraian serta hal-

hal yang berhubungan dengannya (ahkâm

al-nikâh wa al-firaq wa tawâbi’ihi),15

dan

menurutnya term tersebut tidak benar untuk

digunakan dan tidak layak untuk

dipopulerkan.

Term atau istilah lain yang digunakan

bagi hukum keluarga Islam selain term, al-

13

‟Abd Al-Wahhâb Khallâf. (1979). ’Ilm Ushûl

Al-Fiqh. t.t.p.: Dâr Al-Qalam. h. 32. 14

Bakr ibn ‟Abd Allah Abû Zaid. (1996).

Mu’jam Al-Manâhî Al-Lafzhiyyah. Riyadh: Dâr Al-

‟Âshimah. h. 83. 15

Bakr ibn ‟Abd Allah Abû Zaid. (1996). Fiqh

Al-Nawâzil: Qadhâyâ Fiqhiyyah Mu’âshirah.

Beirut: Mu„assasah Al-Risâlah. Vol. 1. h. 187.

Page 5: AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI

177Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah Perspektif … |

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

ahwâl al-syakhshiyyah, ahkâm16

al-usrah

atau nizhâm al-usrah atau qânûn al-usrah17

(peraturan atau tatanan keluarga),18

hakekatnya adalah al-munâkahât (hukum-

hukum terkait pernikahan dan pelbagai

konsekuensinya), yaitu hukum syar‟i-

duniawi yang berkaitan dengan eksistensi

dan keberlangsungan jenis manusia (baqâ‘

al-nau’),19

serta beberapa istilah lainnya.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

al-ahwâl al-syakhshiyyah adalah hukum

16

Hukum-hukum (ahkâm) adalah bentuk jamak

(plural) dari bentuk tunggal (singular) kata hukm.

Hukum dalam kajian ushul fikih umumnya

didefinisikan sebagai ketentuan yang didasarkan

kepada dalil syariat (terutama dari Al-Qur‟an dan

Al-Sunnah) yang berkaitan dengan perkataan dan

perbuatan hamba yang telah menerima ketentuan

tersebut, baik berupa tuntutan, pilihan maupun

pertimbangan (mâ dalla ’alaihi khithâb al-syar’ al-

muta’allaq bi a’mâl al-mukallafîn min thalab au

takhyîr au wadh’). Lihat ‟Abd Allah ibn Shâlih Al-

Fauzân. (1993). Syarh Al-Waraqât fî Ushûl Al-Fiqh.

Riyadh: Dâr Al-Muslim. h. 20-21; dan Mushthafâ

ibn Muhammad ibn Salâmah. (1992). Al-Ta‘sîs fî

Ushûl Al-Fiqh ’alâ Dhau‘ Al-Kitâb wa Al-Sunnah.

Bimit‟uqbah: Maktabah Khâlid ibn Al-Walîd. Vol.

1. h. 23-24. 17

Al-Usrah atau keluarga sendiri secara literal-

etimologis dapat didefinisikan sebagai keluarga inti

dan keluarga besar seorang suami atau kepala

keluarga (ahl al-rajul wa ’asyîratuhu). Sedangkan

secara terminologis, al-usrah adalah sekelompok

orang yang memiliki ikatan karena jalinan

pernikahan syar‟i antar pasutri yang kemudian

memberikan konsekuensi logis berupa hak dan

kewajiban di antara kedua belah pihak serta di antara

anak keturunannya dan dengan anggota keluarga

lainnya yang menjadi karib-kerabatnya. Lihat‟Alî

ibn Ismâ‟îl Al-Qâdhî. (2003). Al-Usrah fî Al-Islâm:

Wa Mâ Yukhâlifu Ahkâmahâ wa Âdâbahâ. Al-

Haram: Maktabah Aulâd Al-Syaikh li Al-Turâts. h.

11-12. 18

Lihat ‟Abd Al-Karîm Zaidân. (2005). Al-

Madkhal li Dirâsah Al-Syarî’ah Al-Islâmiyyah.

Beirut: Mu„assasah Al-Risâlah Nâsyirûn. h. 27. 19

Lihat ‟Umar Sulaimân Al-Asyqar. (2005). Al-

Madkhal ilâ Al-Syarî’ah wa Al-Fiqh Al-Islâmî:

Ma’a As‘ilah wa Tamârîn li Al-Munâqasyah. Oman:

Dâr Al-Nafâ„is. h. 40; dan ‟Umar Sulaimân Al-

Asyqar. (1991). Târîkh Al-Fiqh Al-Islâmî. Oman:

Dâr Al-Nafâ„is. h. 21.

atau syariat Islam yang berkaitan dengan

hubungan keluarga yang disyariatkan bagi

eksistensi dan keberlangsungan regenerasi

umat manusia, utamanya berkaitan dengan

pernikahan dan perceraian serta hal-hal

lainnya yang menjadi konsekuensi dari

pernikahan tersebut, antara lain meliputi

syarat dan rukun pernikahan, mahar, hak

dan kewajiban suami-istri, nafkah,

genealogi keturunan, perceraian, dan lain

sebagainya.

2. Objektifitas Al-Ahwâl Al-

Syakhshiyyah

Walaupun ada sedikit perbedaan

persepsi tentang ruang lingkup atau

objektifitas al-ahwâl al-syakhshiyyah

secara garis besar pada umumnya meliputi

pembahasan sebagai berikut:20

a. Hukum-hukum tentang kelayakan,

perwalian, dan wasiat atas anak

yang belum dewasa (ahkâm al-

ahliyyah wa al-walâyah wa al-

washâyah ’alâ al-shaghîr).

b. Hukum-hukum tentang keluarga

(ahkâm al-usrah), meliputi

meminang, pernikahan, hak suami-

istri berupa mahar dan nafkah, hak

anak dalam kejelasan nasab,

penyusuan, dan pemenuhan nafkah,

cerai, dan banyak pembahasan

lainnya.

c. Hukum-hukum tentang harta

kekayaan keluarga (ahkâm amwâl

al-usrah) yang mencakup warisan,

wasiat, wakaf, dan yang tentang

harta yang semisalnya yang

berkaitan dengan kematian

seseorang.

Kemudian dari objektifitas al-ahwâl al-

syakhshiyyah yang bersifat global tersebut

melahirkan banyak kajian dan pembahasan

fikih yang variatif, bahkan ada ulama yang

mengulasnya hingga panjang-lebar dan

20

Wahbah Al-Zuhailî. (1985). Vol. 7. h. 6.

Page 6: AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI

| Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah Perspektif … 177

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

dalam karya yang berjilid-jilid. Wahbah Al-

Zuhailî misalnya, dalam karya

monumentalnya, Al-Fiqh Al-Islâmî wa

Adillatuhu, ia mengupanya dalam dua jilid

(volume) yang cukup tebal, tepatnya dalam

volume 7-8 dari karyanya tersebut.

Volume 7 diberi tambahan judul Al-

Ahwâl Al-Syakhshiyyah yang berisi

pembahasan tentang (a) pernikahan dan

pelbagai konsekuensinya (al-zawâj wa

âtsâruhu); (b) akhir pernikahan dan

berbagai konsekuensinya (inhilâl al-zawâj

wa âtsâruhu); dan (c) hak-hak anak (huqûq

al-aulâd).21

Sedangkan volume 8 adalah

Tatimmah Al-Ahwâl Al-Syakhshiyyah yang

merupakan kajian pelengkap tentang al-

ahwâl al-syakhshiyyah berisi pembahasan

tentang (a) wasiat (washâyâ); (b) wakaf

(waqf); dan (c) waris (mîrâts).22

3. Perspektif Al-Sa’dî tentang Al-Ahwâl

Al-Syakhshiyyah dalam Manhaj Al-

Sâlikîn wa Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn

Berkaitan dengan perspektif Al-Sa‟dî

tentang al-ahwâl al-syakhshiyyah atau

hukum keluarga Islam dalam karyanya,

Manhaj Al-Sâlikîn wa Taudhîh Al-Fiqh fî

Al-Dîn, ada beberapa poin penting yang

dapat dibahas dan didiskusikan sebagai

berikut:

Mengenal Kitab Manhaj Al-Sâlikîn wa

Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn

Dari 3 karya Al-Sa‟dî tentang fikih

Islam (furû’ al-fiqh) seperti yang telah

dikemukakan sebelumnya, yaitu kitab Nûr

Al-Bashâ’ir wa Al-Albâb fî Ahkâm Al-

’Ibâdât wa Al-Mu’âmalât wa Al-Huqûq wa

Al-Âdâb, Al-Irsyâd ilâ Ma’rifah Al-Ahkâm

(atau kitab Irsyâd Ûlî Al-Bashâ‘ir wa Al-

Albâb bi Aqrab Al-Thuruq wa Aisar Al-

Asbâb bi Tharîq Murattab ’alâ Al-Su‘âl wa

21

Lebih lengkap dan detail lihat Wahbah Al-

Zuhailî. (1985). Vol. 7. 22

Lebih lengkap dan detail lihat Wahbah Al-

Zuhailî. (1985). Vol. 8.

Al-Jawâb), dan Manhaj Al-Sâlikîn wa

Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn, yang lebih luas

pembahasannya adalah yang disebutkan

terakhir, yaitu kitab Manhaj Al-Sâlikîn wa

Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn. Selain dapat

ditelusuri berdasarkan tema

pembahasannya, hal ini pun secara tegas

diakui sendiri oleh Al-Sa‟dî sebagai

berikut:

Kitab ini merupakan karya fikih yang

ringkas. Saya menghimpunnya

berdasarkan tema pembahasan dan

dengan didukung oleh dalil-dalil.

Sengaja saya meringkasnya hanya

dengan menghimpun tema yang paling

urgen dan yang paling banyak

manfaatnya, karena tema ini memang

sangat urgen sekali.23

Sedangkan 2 kitab fikih lainnya, Al-

Sa‟dî menyatakannya sebagai karya ringkas

yang dikhusukan untuk membahas pelbagai

permasalahan yang paling dibutuhkan

(khâshsh fî al-masâ‘il allatî yahtâju ilaihâ

kullu ahad)24

dan dengan menggunakan

pertanyaan ringkas yang komprehensif serta

jawaban rinci yang bermanfaat (bi shûrah

al-su‘âl al-muharrar al-jâmi’ wa al-jawâb

al-mufashshal al-nâfi’).25

23

‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî. (2001).

Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn ‟Abd

Allah Al-Jibrîn. Vol. 1. h. 40. 24

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(1420 H.). h. 47. 25

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(1420 H.). Nûr Al-Bashâ’ir wa Al-Albâb fî Ahkâm

Al-’Ibâdât wa Al-Mu’âmalât wa Al-Huqûq wa Al-

Âdâb. ed. Khâlid ibn ‟Utsmân Al-Sabt. Damam: Dâr

Ibn Al-Jauzî. h. 5.

Page 7: AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI

171Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah Perspektif … |

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

Metode Istinbâth Al-Sa’dî dalam Manhaj

Al-Sâlikîn wa Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn

Dalam melakukan konklusi hukum fikih

(istinbâth)26

, Al-Sa‟dî seperti ulama lain

pada umumnya, ia melakukan langkah-

langkah operasional sebagai berikut:

a. Adanya dalil-dalil syar‟i, yaitu dalil

dari Al-Qur‟an, Al-Sunnah,

konsensus ulama (al-ijmâ’), dan

kiyas analogi yang benar (al-qiyâs

al-shahîh).

b. Diambil kesimpulan hukum

cabangnya yaitu tema atau

permasalahn fikih, baik berkaitan

dengan ibadah maupun muamalah.27

c. Jika dalam satu masalah fikih

tertentu terjadi perbedaan pendapat

(khilâfiyyah), maka diambil

pendapat yang dianggap lebih benar

(râjih) berdasarkan pengkajian

terhadap berbagai pendapat yang

ada dan yang lebih dekat kepada

kebenaran dalam memahami dalil.28

Menurut ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-

Rahmân ibn ‟Abd Allah Al-Jibrîn dalam

anotasinya (syarh) terhadap kitab Manhaj

Al-Sâlikîn wa Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn,

26

Yang dimaksud dengan istinbâth adalah

upaya mengambil faedah atau kesimpulan hukum

syar‟i berdasarkan dalil-dalil syar‟inya (kaifiyyah

istifâdah al-ahkâm al-syar’iyyah min al-adillah al-

syar’iyyah). Lihat Muhammad ibn Husain ibn Hasan

Al-Jîzânî. (1429 H.). Ma’âlim Ushûl Al-Fiqh ’inda

Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamâ’ah. Damam: Dâr Ibn Al-

Jauzî. h. 21. 27

Hal ini dikarenakan menurut Al-Sa‟dî

sebagaimana pendapat mayoritas ulama pada

umumnya, bahwa yang dimaksud dengan fikih

adalah ilmu atau pengetahuan tentang hukum-hukum

cabang dari syariat bedasarkan dalil-dalilnya, baik

dari Al-Qur‟an, Al-Sunnah, konsensus ulama (al-

ijmâ’), maupun dari kiyas analogi yang benar (al-

qiyâs al-shahîh). Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir

Al-Sa‟dî. (2001). Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-

Rahmân ibn ‟Abd Allah Al-Jibrîn. Vol. 1. h. 41. 28

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(2001). Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn

‟Abd Allah Al-Jibrîn. Vol. 1. h. 41-42.

walaupun ia sendiri bermadzhab Hanbalî,

pendapat yang paling banyak dipilih oleh

Al-Sa‟dî adalah pendapat Syaikhul Islam

Ibn Taimiyyah.29

Hal yang sama pernah pula

dikemukakan oleh Muhammad ibn Sa‟d Al-

Syuwai‟ir, bahwa Al-Sa‟dî merupakan

ulama yang memiliki independensi

pendapat dari madzhab Hanbalî yang

menjadi madzhab resmi dari mayoritas

penduduk negerinya. Walaupun tetap

menghormati, selalu mempelajari, dan

menjadikannya sebagai sandaran dalam

fikih, al-Sa‟dî memperkaya khazanah

ilmiahnya dengan banyak menelaah

berbagai kitab tafsir dan Hadits serta karya-

karya Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim.

Mozaik intelektualitas dan pengembaraan

ilmiah tersebut di kemudian hari terbukti

memberikan kontribusi besar dalam

membuka cakrawala intelektualitasnya

untuk terbebas dari belenggu taqlîd dan

menuntunnya untuk meniti kemandirian

ijtihad dengan tetap bersandar kepada

madzhab yang dianutnya (ijtihâd

muqayyad), yang mengantarkannya untuk

memilih pendapat yang lebih tepat (râjih)

berdasarkan dalil dan konklusi logisnya

(ta’lîl), tanpa harus terkungkung kepada

pendapat madzhabnya sendiri. 30

Objektifitas Al-Ahwâl Al-Syakhshiyyah

dalam Kitab Manhaj Al-Sâlikîn wa

Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn

Dalam karya-karya fikihnya, termasuk

dalam Manhaj Al-Sâlikîn wa Taudhîh Al-

Fiqh fî Al-Dîn, Al-Sa‟dî tidak membahas

secara khusus tentang hukum keluarga

Islam sebagai al-ahwâl al-syakhshiyyah.

29

‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn ‟Abd

Allah Al-Jibrîn. (2001). h. 42. 30

Muhammad ibn Sa‟d Al-Syuwai‟ir. (2000).

Min Masyâhîr ’Ulamâ‘inâ. Thaif: Nâdî Thâ„if Al-

Adabî. h. 209. Lihat pula Rahendra Maya. (2017).

Pemikiran Al-Sa’dî Tentang Konsep Al-Ittibâ’

Sebagai Core Pendidikan Islam. Bogor: Marwah

Indo Media dan STAI Al Hidayah Bogor. h. 19.

Page 8: AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI

| Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah Perspektif … 177

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

Namun beliau membahasnya dalam

kerangka kajian perbab (kitâb) tersendiri

yang terkait dengan objektifitas al-ahwâl

al-syakhshiyyah, tidak dijadikan sebagai

satu pembahasan khusus tentangnya. Kajian

tersebut antara lain berkaitan dengan:

a. Warisan (kitâb al-mawârîts),

b. Nikah (kitâb al-nikâh).

c. Mahar (kitâb al-shidâq),

d. Perceraian atau talak (kitâb al-

thalâq), dan

e. Masa menunggu, baik bagi orang

merdeka maupun budak sahaya

(kitâb al-’idad wa al-istibrâ‘).31

Dari 5 objektifitas al-ahwâl al-

syakhshiyyah dalam kitabnya tersebut, yang

paling menarik adalah pembahasan tentang

pernikahan (kitâb al-nikâh)32

yang

diungkapkan dalam bentuk tunggal

(singular) atau tentang pernak-pernik dan

ragam pernikahan (kitâb al-ankihah)33

yang

diungkapkan dalam bentuk jamak (plural).

Al-Sa‟dî berpandangan bahwa hukum-

hukum tentang pernikahan sangat banyak

dan bervarian (katsîrah jiddan),34

karena

semenjak pernikahan belum terjadi,

memantapkan diri untuk lanjut ke jenjang

berikutnya, dan meneguhkan langkah untuk

melanggengkannya, dan bahkan hingga

harus berakhir (dengan perceraian atau

kematian) sekalipun, pernikahan memiliki

hukumnya tersendiri dan memiliki

31

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(2001). Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn

‟Abd Allah Al-Jibrîn. Vol. 2. 32

‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî. (2001).

Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn ‟Abd

Allah Al-Jibrîn. Vol. 2. h. 198. 33

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(1999). Al-Irsyâd ilâ Ma’rifah Al-Ahkâm. ed. ‟Abd

Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân Âlu Bassâm. Damam:

Dâr Al-Dzakhâ„ir. h. 128; dan ‟Abd Al-Rahmân ibn

Nâshir Al-Sa‟dî. (1420 H.). h. 47. 34

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(1420 H.). h. 47.

variannya masing-masing (anna lahu

ahkâman fî awwalihi, wa ahkâman fî

istimrârihi, wa ahkâman ’inda intihâ‘ihi,

wa kullan minhâ yatafarra’u ilâ ahkâm

katsîrah).35

Menurut Al-Sa‟dî, pernikahan

merupakan nikmat agung yang Allah

S.W.T. syariatkan bagi hamba-hamba-Nya

sebagai sarana dan upaya untuk

mendapatkan mashlahat dan manfaat yang

tiada batas (mashâlih wa manâfi’ lâ

tuhsharu). Hal ini dengan sendirinya

menyebabkan dalam pernikahan terdapat

hukum-hukum syariat dan hak-hak internal

maupun eksternal yang sangat beragam.

Pada akhirnya, pernikahan merupakan

sunnah para rasul dan jalan hidup orang-

orang shalih;36

dimana Allah S.W.T.

sampai memberikan jaminan untuk

membantu orang yang memiliki keinginan

kuat untuk menikah dengan tujuan untuk

menjaga kehormatan dirinya (’afâf).37

Di samping itu, dalam pandangan Al-

Sa‟dî, akad (ikatan dan relasi) pernikahan

sangat berbeda dan begitu istimewa

dibandingkan dengan jenis-jenis akad

lainnya dalam mu‟amalah, dimana

setidaknya ada sekitar lebih dari 20-an

aspek38

yang dapat disorot sebagai bahan

kajian dan dijadikan bahan kontemplasi

perenungan39

terkait dengannya.

35

‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî. (1420

H.). h. 47. 36

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(1999). h. 128. 37

Lihat penjelasannya dalam ‟Abd Al-Rahmân

ibn Nâshir Al-Sa‟dî. (1424 H.). Bahjah Qulûb Al-

Abrâr wa Qurrah ’Uyûn Al-Akhyâr fî Syarh Jawâmi’

Al-Akhbâr. Jeddah: Dâr Al-Hudâh. 142-144. 38

‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî. (1421

H.). Al-Qawâ’id wa Al-Ushûl Al-Jâmi’ah wa Al-

Furûq wa Al-Taqâsîm Al-Badî’ah Al-Nâfi’ah.

Damam: Dar Ibn Al-Jauzi. h. 146. 39

Lihat penjelasan detailnya yang sangat

menarik dalam ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-

Sa‟dî. (1999). h. 128-139.

Page 9: AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI

177Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah Perspektif … |

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

Dalam Manhaj Al-Sâlikîn wa Taudhîh

Al-Fiqh fî Al-Dîn, sub pembahasan (bâb)

tentang hukum-hukum pernikahan yang

dijelaskan oleh Al-Sa‟dî adalah tentang hal-

hal berikut:

a. Pendahuluan atau pengantar tentang

pernikahan meliputi nikah sebagai

sunnah para rasul (al-nikâh min

sunan al-mursalîn), hadits tentang

anjuran menikah bagi para pemuda,

hadits tentang 4 standar perempuan

dinikahi, melihat wajah dan bagian

lain yang diperbolehkan dari wanita

yang hendak dipinang (al-nazhar ilâ

al-makhthûbah), khuthbah nikah

(al-khuthbah ’inda kitâbah al-’aqd),

dan ijab-kabul (al-îjâb wa al-qabûl).

b. Bab tentang syarat nikah (syurûth

al-nikâh), meliputi keridhaan, wali,

saksi, dan tidak adanya penghalang.

c. Bab tentang wanita-wanita yang

haram dinikahi (al-muharramât fî

al-nikâh), baik haram selamanya

(ilâ al-abad), maupun yang bersifat

temporer (ila âmad), serta karena

suatu kondisi tertentu.

d. Bab tentang syarat yang diajukan

dalam pernikahan (al-syurûth fî al-

nikâh), meliputi syarat yang valid

lagi benar (syurûth shahîhah) dan

syarat-syarat yang batil lagi tidak

valid (syurûth fâsidah) seperti dalam

kawin kontrak (nikâh al-mut’ah),

nikah skenario untuk penghalalan

(nikâh al-tahlîl), dan nikah

kompensasi atau pertukaran (nikâh

al-syighâr).

e. Bab tentang pelbagai aib atau cacat

dalam pernikahan (al-’uyûb fî al-

nikâh).

Hukum Pernikahan dalam Manhaj Al-

Sâlikîn wa Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn40

40

Disertai penjelasan dan komentar (syarh) dari

‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn ‟Abd Allah Al-

Jibrîn.

Al-Sa‟dî dalam pendahuluan atau

pengantarnya, ia menegaskan bahwa

pernikahan merupakan salah sunnah dari

sunnah-sunnah para rasul (min sunan al-

mursalîn),41

sebagai hal yang diperbolehkan

bagi mereka sebagaimana dalam Q.S. Al-

Ra‟d [13]: 38. Juga berdasarkan anjuran

Rasulullah S.A.W. dalam sabdanya

berikut:42

Wahai para pemuda, barangsiapa di

antara kalian yang sanggup

menikah, maka menikahlah.

Sesungguhnya menikah itu itu dapat

lebih menjaga pandangan mata dan

memelihara kemaluan. Barangsiapa

yang belum mampu menikah, maka

berpuasalah, karena puasa dapat

menjadi proteksi (untuk

mengendalikan nafsu). (H.R. Al-

Bukhârî dan Muslim)

Seorang lelaki sudah pasti harus

menikah dengan pasangannya sesama jenis

manusia, namun harus berbeda jenis

kelamin, yaitu menikahi seorang wanita.

Terkait dengan wanita yang akan dinikahi

tersebut, Al-Sa‟dî mengemukakan bahwa

wanita tersebut harus dipilih secara cermat

(takhyîr) berdasarkan kriteria beberapa teks

dan riwayat Hadits adalah (a) wanita

shalihah yang baik agamanya (dzât al-dîn);

(b) berasal dari keluarga yang mulia (al-

hasab), penuh kasih sayang (al-wadûd), dan

banyak anak (subur) lagi lemah lembut (al-

41

‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî. (2001).

Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn ‟Abd

Allah Al-Jibrîn. Vol. 2. h. 197. 42

‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî. (2001).

Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn ‟Abd

Allah Al-Jibrîn. Vol. 2. h. 199.

Page 10: AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI

| Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah Perspektif … 177

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

walûd al-hasîbah). Terutama adalah dengan

memilih berdasarkan kriteria ketaatannya

dalam beragama, sebagaimana sabda

Rasulullah S.A.W. berikut:43

Seorang wanita biasa dinikahi

karena 4 hal, yaitu karena harta,

keturunan, kecantikan, dan karena

agamanya. Maka pilihlah wanita

yang taat beragama, niscaya

hidupmu bahagia. (H.R. Al-

Bukhârî dan Muslim)

Dalam Hadits di atas Nabi Muhammad

S.A.W. mendorong untuk menikahi wanita

berdasarkan pertimbangan agama (murâ’âh

al-dîn) sebelum standar lainnya. Hal ini

dikarenakan agamalah yang mampu

memperbaiki kerusakan dan sanggup

meluruskan penyimpangan serta menuntun

suaminya untuk menjaga diri, harta benda,

anak keturunan, dan pelbagai ha lainnya.

Pertimbangan lainnya hanyalah sebagai

standar pelengkap sesuai kebutuhan.

Sedangkan standar agama yang secara

spesifik termanifestasikan dalam ketaatan

beragama, maka itu merupakan standar

komprehensif yang sangat bermanfaat, baik

bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi

(shifah jâmi’ah nâfi’ah hâlan wa ma‘âlan).44

Kemudian Al-Sa‟dî menjelaskan bahwa

bila seorang lelaki telah memiliki keinginan

kuat untuk meminang seorang wanita

(khithbah), maka dianjurkan baginya untuk

melihatnya (yaitu wajah, telapak tangan, dan

lainnya sesuai tuntunan syariat dengan tidak

berduaan atau khalwat) sehingga dapat lebih

43

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(2001). Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn

‟Abd Allah Al-Jibrîn. Vol. 2. h. 201-202. 44

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(1999). h. 128-129.

mendorongnya untuk menikahinya. Namun ia

tidak boleh meminang wanita yang telah

dipinang saudaranya tanpa izin atau yang

tidak melanjutkan pinangannya serta tidak

boleh meminang seorang janda yang belum

habis masa tunggunya.45

Hal lain yang sepatutnya diperhatikan

dalam pernikahan adalah adanya khuthbah

nikah (al-khuthbah ’inda kitâbah al-’aqd)

dan ijab-kabul (al-îjâb wa al-qabûl), yaitu

ijab dari wali mempelai wanita dan kabul

dari mempelai lelaki.46

Tentang syarat nikah (syurûth al-nikâh),

yang dijadikan kajian oleh Al-Sa‟dî antara

lain pertama, tentang keridhaan kedua

mempelai (ridhâ al-zaujain), kecuali anak

kecil atau di bawah umur dan budak

sahaya. Kedua, adanya wali, yaitu bapak

dari mempelai wanita ke atas, yaitu kakek

dan seterusnya kemudian anak lelakinya

(bagi janda beranak) ke bawah. Ketiga,

saksi yaitu dua orang muslim yang adil

sebagai bagian dari pemberitahuan

pernikahan, selain melalui undangan dan

resepsinya, serta mengadaikan hiburan yang

diperbolehkan dan lainnya. Keempat, tidak

adanya penghalang bagi pernikahan, yaitu

wanita-wanita yang haram dinikahi (al-

muharramât fî al-nikâh).47

Secara garis besar, seperti para ulama

lainnya yang membahas tentang fikih

Islam, Al-Sa‟dî membaginya menjadi dua,

yaitu wanita-wanita yang selama-lamanya

haram dinikahi dan wanita-wanita yang

haram dinikahi secara temporer.

a. Wanita yang selamanya haram

dinikahi (al-muharramat ilâ al-abad),

45

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(2001). Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn

‟Abd Allah Al-Jibrîn. Vol. 2. h. 203-205. 46

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(2001). Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn

‟Abd Allah Al-Jibrîn. Vol. 2. h. 206-209. 47

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(2001). Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn

‟Abd Allah Al-Jibrîn. Vol. 2. h. 210-221.

Page 11: AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI

177Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah Perspektif … |

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

adalah 7 golongan karena genealogi

keturunan (nasab), yaitu ibu kandung

dan seterusnya ke atas, anak

perempuan dan seterusnya ke bawah,

saudari perempuan, anak perempuan

saudari perempuan (keponakan), anak

perempuan saudara lelaki

(keponakan), bibi dari pihak ayah

(’ammât), dan bibi dari pihak ibu

(khâlât). Kemudian 7 golongan

karena sepersusuan (radhâ’), yaitu

seperti yang telah disebutkan

sebelumnya. Lalu ada 4 golongan

karena status perbesanan (shihr),

yaitu ibu mertua dan ke atas

seterusnya, anak perempuan istri

(anak tiri) dan seterusnya ke bawah

dengan syarat telah berhubungan

badan dengan ibunya yang menjadi

istri, istri bapak (ibu tiri), istri anak

kandung (menantu) dan seterusnya ke

bawah, baik karena genealogi nasab

maupun karena status sepersusuan.

b. Wanita yang haram dinikahi secara

temporer (al-muharramat ilâ al-

amad), antara lain menikahi wanita

dan bibinya sekaligus, menikahi dua

wanita bersaudara sekaligus,

menikahi lebih dari 4 wanita bagi

lelaki merdeka, atau lebih dari 2

wanita bagi budak sahaya, menikahi

wanita yang sedang ihram hingga

tahallul, menikahi wanita yang belum

habis masa tunggunya, menikahi

wanita pezina hingga bertobat,

menikahi kembali istri yang telah

ditalak tiga kali kecuali bila telah

menikah dengan orang lain dan telah

dicerai setelah terjadi hubungan

suami istri yang sah.48

Selain membahas tentang syarat nikah

(syurûth al-nikâh), Al-Sa‟dî juga mengkaji

tentang syarat yang diajukan dalam

48

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(2001). Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn

‟Abd Allah Al-Jibrîn. Vol. 2. h. 222-241.

pernikahan (al-syurûth fî al-nikâh). Dalam hal

ini ia membaginya menjadi dua bagian utama.

Pertama, syarat yang valid lagi benar

(syurûth shahîhah), misal seorang wanita

memberikan syarat untuk tidak dipoligami,

agar suami tinggal di wilayahnya, meminta

tambahan mahar atau biaya nafkah hidup,

dan lainnya. Syarat ini sah lagi valid dan

harus dipenuhi.

Kedua, syarat-syarat yang batil lagi tidak

valid (syurûth fâsidah) seperti dalam kawin

kontrak (nikâh al-mut’ah), nikah skenario

untuk penghalalan (nikâh al-tahlîl), dan nikah

kompensasi atau pertukaran (nikâh al-

syighâr). Syarat ini batil lagi tidak valid

karena kontradiktif dengan hukum-hukum

syariat dan tujuan pernikahan.49

Pembahasan yang dapat dinyatakan

sebagai pembahasan terakhir oleh Al-Sa‟dî

tentang hukum-hukum pernikahan adalah

tentang aib atau cacat dalam pernikahan

(al-’uyûb fî al-nikâh). Maksudnya adalah

aib atau cacat yang baru diketahui setelah

akad pernikahan terjadi, misalnya gila atau

hilang ingatan dan karena beberapa

penyakit tertentu, maka status pernikahan

bisa dibatalkan, baik bersifat segera karena

emergensi atau dengan menunggu sedikit

waktu, satu tahun misalnya.50

Demikianlah di antara pemikiran dan

perspektif Al-Sa‟dî tentang hukum keluarga

Islam (al-ahwâl al-syakhshiyyah), terutama

tentang hukum-hukum pernikahan.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan kajian

dalam makalah yang berjudul “Al-Ahwâl Al-

Syakhshiyyah Perspektif Al-Sa‟dî: Studi

Terhadap Kitab Manhaj Al-Sâlikîn wa

49

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(2001). Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn

‟Abd Allah Al-Jibrîn. Vol. 2. h. 242-238. 50

Lihat ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-Sa‟dî.

(2001). Dalam ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn

‟Abd Allah Al-Jibrîn. Vol. 2. h. 249-252.

Page 12: AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI

| Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah Perspektif … 177

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn” dapat ditarik

kesimpulan bahwa Al-Sa‟dî dalam karyanya

tersebut memang tidak menggunakan dan

tidak mendefinisikan term alahwâl al-

syakhshiyyah (hukum keluarga Islam). Ia

menggunakannya dengan term hukum-

hukum pernikahan (kitâb al-nikâh) atau

hukum-hukum seputar pernak-pernik

pernikahan (kitâb al-ankihah).

Di dalam hukum-hukum pernikahan

(kitâb al-nikâh) atau hukum-hukum seputar

pernak-pernik pernikahan (kitâb al-

ankihah) tersebut, Al-Sa‟dî membahas hal-

hal urgen yang patut diketahui oleh setiap

Muslim dan Muslimah berupa pendahuluan

atau pengantar tentang pernikahan, syarat

nikah (syurûth al-nikâh), wanita-wanita

yang haram dinikahi (al-muharramât fî al-

nikâh), syarat yang diajukan dalam

pernikahan (al-syurûth fî al-nikâh), dan

tentang pelbagai aib atau cacat dalam

pernikahan (al-’uyûb fî al-nikâh).

DAFTAR PUSTAKA

‟Abbâd. ‟Abd Al-Razzâq ibn ‟Abd Al-

Muhsin Al-. (1990). Al-Syaikh ’Abd Al-

Rahmân ibn Sa’dî wa Juhûduhu fî

Taudhîh Al-’Aqîdah. Riyadh: Maktabah

Al-Rusyd.

Abû Zaid. Bakr ibn ‟Abd Allah. (1996).

Fiqh Al-Nawâzil: Qadhâyâ Fiqhiyyah

Mu’âshirah. Beirut: Mu„assasah Al-

Risâlah.

___. (1996). Mu’jam Al-Manâhî Al-

Lafzhiyyah. Riyadh: Dâr Al-‟Âshimah.

Asyqar. ‟Umar Sulaimân Al-. (1991).

Târîkh Al-Fiqh Al-Islâmî. Oman: Dâr

Al-Nafâ„is.

___. (2005). Al-Madkhal ilâ Al-Syarî’ah wa

Al-Fiqh Al-Islâmî: Ma’a As‘ilah wa

Tamârîn li Al-Munâqasyah. Oman: Dâr

Al-Nafâ„is.

Fauzân. ‟Abd Allah ibn Shâlih Al-. (1993).

Syarh Al-Waraqât fî Ushûl Al-Fiqh.

Riyadh: Dâr Al-Muslim.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-

islam/khazanah/12/02/21/lzqe79-

ensiklopedi-hukum-islam-alahwal-

asysyakhsiyyah.

Ibn Salâmah. Mushthafâ ibn Muhammad.

(1992). Al-Ta‘sîs fî Ushûl Al-Fiqh ’alâ

Dhau‘ Al-Kitâb wa Al-Sunnah.

Bimit‟uqbah: Maktabah Khâlid ibn Al-

Walîd.

Jibrîn. ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn

‟Abd Allah Al-. (2001). Ibhâj Al-

Mu‘minîn bi Syarh Manhaj Al-Sâlikîn

wa Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn. ed.‟Alî

ibn Husain Abû Lûz. Riyadh: Dâr Al-

Wathan.

Jîzânî. Muhammad ibn Husain ibn Hasan

Al-. (1429 H.). Ma’âlim Ushûl Al-Fiqh

’inda Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamâ’ah.

Damam: Dâr Ibn Al-Jauzî.

Khallâf. ‟Abd Al-Wahhâb. (1979). ’Ilm

Ushûl Al-Fiqh. t.t.p.: Dâr Al-Qalam.

Madkûr. Muhammad Sallâm. (1996). Al-

Madkhal li Al-Fiqh Al-Islâmî Al-’Âmm:

Târîkhhu wa Mashâdiruhu wa

Nazhariyâtuhu Al-’Âmmah. Kairo: Dâr

Al-Kitâb Al-Hadîts.

Maya. Rahendra. (2017). “Pemikiran Al-

Sa‟dî Tentang Konsep Al-Taskhîr”. Al-

Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur‟an dan

Tafsir. Program Studi Ilmu Al-Qur‟an

dan Tafsir Jurusan Ushuludin Sekolah

Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor.

Vol. 03 No. 02 Edisi Juli-Desember

2017.

___. (2017). Pemikiran Al-Sa’dî Tentang

Konsep Al-Ittibâ’ Sebagai Core

Pendidikan Islam. Bogor: Marwah Indo

Media dan STAI Al Hidayah Bogor.

Qâdhî. ‟Alî ibn Ismâ‟îl Al-. (2003). Al-

Usrah fî Al-Islâm: Wa Mâ Yukhâlifu

Ahkâmahâ wa Âdâbahâ. Al-Haram:

Page 13: AL-AHWÂL AL-SHAKHSHIYYAH PERSPEKTIF AL-SA’DÎ (STUDI

177Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah Perspektif … |

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

Maktabah Aulâd Al-Syaikh li Al-

Turâts.

Sa‟dî. ‟Abd Al-Rahmân ibn Nâshir Al-.

(1420 H.). Nûr Al-Bashâ’ir wa Al-Albâb

fî Ahkâm Al-’Ibâdât wa Al-Mu’âmalât

wa Al-Huqûq wa Al-Âdâb. ed. Khâlid

ibn ‟Utsmân Al-Sabt. Damam: Dâr Ibn

Al-Jauzî.

___. (1421 H.). Al-Qawâ’id wa Al-Ushûl

Al-Jâmi’ah wa Al-Furûq wa Al-Taqâsîm

Al-Badî’ah Al-Nâfi’ah. Damam: Dar

Ibn Al-Jauzi.

___. (1999). Al-Irsyâd ilâ Ma’rifah Al-

Ahkâm. ed. ‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-

Rahmân Âlu Bassâm. Damam: Dâr Al-

Dzakhâ„ir.

___. (2001). “Manhaj Al-Sâlikîn wa

Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn”. Dalam

‟Abd Allah ibn ‟Abd Al-Rahmân ibn

‟Abd Allah Al-Jibrîn. Ibhâj Al-

Mu‘minîn bi Syarh Manhaj Al-Sâlikîn

wa Taudhîh Al-Fiqh fî Al-Dîn. ed. Abû

Anas ‟Alî ibn Husain Abû Lûz. Riyadh:

Dâr Al-Wathan.

___. (1424 H.). Bahjah Qulûb Al-Abrâr wa

Qurrah ’Uyûn Al-Akhyâr fî Syarh

Jawâmi’ Al-Akhbâr. Jeddah: Dâr Al-

Hudâh.

Syarqawi. Ahmad ibn Muhammad Al-.

(1427 H.). Al-Wasîth fî Târîkh Al-

Tasyrî’ wa Al-Fiqh Al-Islâmî. Riyadh:

Dâr Al-Shamai‟î.

Syuwai‟ir. Muhammad ibn Sa‟d Al-.

(2000). Min Masyâhîr ’Ulamâ‘inâ.

Thaif: Nâdî Thâ„if Al-Adabî.

Thayyâr. ‟Abd Allah ibn Muhammad ibn

Ahmad Al-. (1992). Atsar ’Allâmah Al-

Qashîm Al-Syaikh ’Abd Al-Rahmân ibn

Nâshir Al-Sa’dî ’alâ Al-Harakah Al-

’Ilmiyyah Al-Mu’âshirah. Damam: Dâr

Ibn Al-Jauzî.

___. (1992). Shafahât min Hayâh ’Allâmah

Al-Qashîm Al-Syaikh ’Abd Al-Rahmân

ibn Nâshir Al-Sa’dî. Damam: Dâr Ibn

Al-Jauzî.

Zaidân. ‟Abd Al-Karîm. (2005). Al-

Madkhal li Dirâsah Al-Syarî’ah Al-

Islâmiyyah. Beirut: Mu„assasah Al-

Risâlah Nâsyirûn.

Zarqâ. Musthafâ Ahmad Al-. (2004). Al-

Madkhal Al-Fiqhî Al-’Âmm: Ikhrâj

Jadîd bi Tathwîr fi Al-Tartîb wa Al-

Tabwîb wa Ziyâdât. Damaskus: Dâr Al-

Qalam.

Zuhailî. Wahbah Al-. (1985). Al-Fiqh Al-

Islâmî wa Adillatuhu. Damaskus: Dâr

Al-Fikr.