al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

180
AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA DALAM PERSPEKTIF TOSHIHIKO IZUTSU TESIS Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Agama dalam Bidang Pendidikan Bahasa Arab Oleh: FATHURRAHMAN NIM. 07.2.00.1.13.08.0040 Pembimbing: Dr. Yusuf Rahman, M.A. SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010

Upload: hoangxuyen

Post on 25-Jan-2017

242 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA DALAM PERSPEKTIF

TOSHIHIKO IZUTSU

TESIS

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Agama dalam

Bidang Pendidikan Bahasa Arab

Oleh:

FATHURRAHMAN

NIM. 07.2.00.1.13.08.0040

Pembimbing:

Dr. Yusuf Rahman, M.A.

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010

Page 2: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

nama : Fathurrahman

NIM : 07.2.00.1.13.08.0040

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis dengan judul: “Al-Qur‟an dan

Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu‖ adalah benar merupakan hasil karya

saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila dikemudian hari

terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan

dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar.

Jakarta, 25 Pebruari 2010

Penulis,

Fathurrahman

ii

Page 3: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul ―Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko

Izutsu‖ yang ditulis oleh:

nama : Fathurrahman

NIM : 07.2.00.1.13.08.0040

telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk dibawa ke sidang ujian/penilaian

tesis.

Jakarta, 25 Pebruari 2010

Pembimbing,

Dr. Yusuf Rahman, M.A.

iii

Page 4: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

PENGESAHAN TIM PENGUJI

Tesis dengan judul ―Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko

Izutsu‖ yang ditulis oleh Fathurrahman, NIM. 07.2.00.1.13.08.0040, telah diujikan

dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Senin, tanggal 8 Maret 2010, dan telah

diperbaiki sesuai saran dan rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

TIM PENGUJI

Ketua Sidang/Penguji,

Dr. Udjang Tholib, M.A.

Tanggal: _______ 2010

Pembimbing/Penguji,

Dr. Yusuf Rahman, M.A.

Tanggal: _______ 2010

Penguji I,

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A.

Tanggal: _______ 2010

Penguji II,

Prof. Dr. Suwito, M.A.

Tanggal: _______ 2010

iv

Page 5: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

ABSTRAK

Tesis ini membuktikan bahwa menjadi Muslim bukanlah merupakan syarat

utama bagi seseorang untuk dapat mengkaji al-Qur‘an.

Kesimpulan tesis ini pada dasarnya menolak pendapat yang menyatakan

bahwa non-Muslim tidak boleh mengkaji al-Qur‘an. Pendapat ini dikemukakan oleh

Muẖammad Nabîl Ghanâim, Dirâsât fî al-Tafsîr, (1987), Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-

ʻAk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduhu, (1986), dan ‗Abd al-Hay al-Farmâwî, al-

Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî: Dirâsah Manhajîyah Maudhuʻîyah, (1977).

Sebaliknya, tesis ini mendukung gagasan tentang kemungkinan bagi setiap orang

dapat mengkaji al-Qur‘an tanpa dibatasi oleh agamanya, apakah ia Muslim atau

bukan. Pendapat ini dikemukakan oleh Muẖammad Amîn al-Khûli, Manâhij al-

Tajdîd fî al-Naẖwi wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adâb, (1961) dan Nashr

Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (1993).

Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah karya-

karya Toshihiko Izutsu tentang kajian al-Qur‘an, yaitu: God and Man in the Koran:

Semantics of the Koranic Weltanschauung, (2002), dan Ethico-Religious Concepts in

the Qur‟an, (2002). Sedangkan sumber sekunder di antaranya adalah: Ahmad

Sahidah, Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟ān menurut Pemikiran

Toshihiko Izutsu, (http://www.ahmadsahidah.blogspot.com), dan karya-karya yang

berkenaan dengan kajian al-Qur‘an. Dalam pengumpulan data, penulis menempuh

teknik studi literatur dan pencarian di internet. Sifat penelitian ini adalah deskriptif-

analitis, yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk memberikan gambaran sekaligus

mengeksplorasi secara mendalam pandangan dan pendekatan Toshihiko Izutsu dalam

mengkaji al-Qur‘an. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tekstual, yakni

menyelami pemikiran seorang tokoh melalui karya-karyanya guna menangkap nuansa

makna dan pengertian yang dimaksud secara khas sehingga tercapai suatu

pemahaman yang benar. Penulis juga menempuh langkah komparatif, dengan

membandingkan pandangan dan pendekatan Toshihiko Izutsu dengan sarjana-sarjana

lain baik Muslim maupun non-Muslim seputar objek pembahasan guna menangkap

sisi persamaan dan perbedaannya.

v

Page 6: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

ABSTRACT

This thesis proves that to be a Muslim is not the main criteria to study al-

Qur‘ân. Basically, the conclusion of this thesis refuses the statement of Muẖammad

Nabîl Ghanâim, Dirâsât fî al-Tafsîr, (1987), Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk, Ushûl al-

Tafsîr wa Qawâʻiduhu, (1986), and ‗Abd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-

Maudhûʻî: Dirâsah Manhajîyah Maudhuʻîyah, (1977), who state that non-Muslim

does not have authority to study the Holy Book. On the other side, this thesis

strengthens the statement of Muẖammad Amin al-Khûlî on Manâhij al-Tajdîd fî al-

Naẖwi wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adâb, (1961) and Nashr Hâmid Abû Zaid

on Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (1993), who suggest that

everyone who are interested in studying al-Qur‘ân can study the Holy Book without

seeing to his or her religion.

The principal sources in this research are Toshihiko Izutsu‘s books on the

Quranic studies, i.e.: ―God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic

Weltanschauung”, and ―Ethico-Religious Concepts in the al-Qur‟an”, whereas the

secondary sources of the research are Ahmad Sahidah‗s article, Hubungan Tuhan,

Manusia dan Alam dalam al-Qur‟ān menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu,

(http://www.ahmadsahidah.blogspot.com), and other books that have a correlation

with this study. In collecting some data, the writer uses literary research and access to

the internet. This research is a descriptive analysis that describes and explore deeply

the view and approach of Toshihiko Izutsu‘s study in al-Qur‘ân. The writer uses the

textual approach in understanding Toshihiko Izutsu‘s ideas that are written in his

books in order to get the meaning that he intended. The writer also uses comparative

approach, that compares view and approach between Toshihiko Izutsu and some

scholars (Muslim or non-Muslim) to find their similarities and differences.

vi

Page 7: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

(1987)

(1977)

―ToshihikoIzutsu

God and Man in the Koran : Semantics

of of the Koranic Weltanschanung (2002),

Ethico-Reliius Concepts in the

Qur‟an (2002)

Hubungan Allah, Manusia, Alam dalam al-Qur‟an Menurut Pemikiran

)http://www.ahmadsahidah.blogspot.com(Toshihiko Izutsu

Analisis Deskriptif

Toshihiko

Izutsu

Toshihiko Izutsu

vii

Page 8: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

UNGKAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur terpanjatkan kehadirat Allah SWT., Rabb al-„Âlamîn,

karena tatkala penulis berada dalam kondisi sulit selalu saja ada kemudahan yang Dia

berikan melalui orang-orang terpilih-Nya. Demikian juga, shalawat dan salam penulis

sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tesis ini banyak

mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dukungan, dana, bimbingan,

arahan, dan masukan. Oleh karena itu, penulis merasa wajib berterima kasih kepada

jajaran Departemen Agama selaku pihak pemberi beasiswa, Kepala MAN Mandah,

Bapak Said Sulaiman Daud, S.Pd.I. yang telah memberikan izin kepada penulis untuk

mengikuti program beasiswa ini, dan rekan-rekan guru dan pegawai di MAN Mandah

yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.

Kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin

Hidayat, M.A.; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof.

Dr. Azyumardi Azra, M.A.; dan para Deputi Direktur, yaitu: Prof. Dr. Suwito, M.A.;

Dr. Fu‘ad Jabali, M.A.; dan Dr. Udjang Tholib, M.A., serta seluruh staf pengajarnya,

penulis ucapkan terima kasih atas perkenannya untuk studi di lembaga ini dan atas

kuliah-kuliah yang inspiratif dan mencerahkan.

Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada Pembimbing, yaitu Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A. yang dengan penuh

kesabaran memberikan arahan kepada penulis di tengah-tengah kesibukannya sebagai

Dosen tetap Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan

Penanggung jawab Program Khusus serta Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Sujud ta„zhîm untuk Ayahanda M. Asrori (al-Marẖûm) dan Ibunda Rusmini,

yang dengan penuh kesabaran mendidik penulis dari kecil hingga dewasa, mengajari

untuk mencintai ilmu pengetahuan, dan senantiasa mendo‘akan penulis supaya

menjadi pribadi yang baik dan berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Juga kepada

viii

Page 9: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

Ayahanda Suroto, S.Ag., M.A. dan Ibunda Siti Asiyah, A.Ma., yang dengan ikhlas

memberikan semangat, perhatian, dan dorongan baik moril maupun materil kepada

penulis. Kepada adik-adik penulis, Ahmad Rifa‘i beserta istri, Ahmad Tarmuji, dan

Lilik Jauharotul Wastiyah, terima kasih telah memberikan perhatian dan semangat

dalam menyelesaikan studi ini.

Di samping itu juga, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan

dan karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pusat Studi al-Qur‘an (PSQ) Jakarta, dan

Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta atas

pelayanannya, baik dalam bentuk peminjaman maupun fotokopi data-data yang

penulis butuhkan, semoga bantuannya mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Kepada sahabat-sahabatku peserta program beasiswa Departemen Agama

angkatan 2007 dari PBA dan PAI di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

yang selalu memberikan semangat dan waktu berdiskusi untuk segera menyelesaikan

Program Magister terutama dalam penulisan tesis ini dan semua pihak yang telah

membantu penyelesaian tugas ini tanpa bisa disebutkan satu persatu.

Wa bi al khusûs, penghargaan yang paling istimewa penulis sampaikan kepada

isteri tercinta, Leni Rohani Afifah, S.Pd.I, dan putri kami, Ghaida Aurellia Nabila,

atas pengertian, kesabaran, dukungan, dan pengorbanannya demi studi suami dan

bapaknya, sehingga rela ditinggalkan bahkan ketika proses persalinan sekalipun.

Kepada mereka karya ilmiah ini penulis dedikasikan.

Akhirnya, jazâ‟akum Allah aẖsana al-jazâ‟.

Jakarta, 20 Pebruari 2010

Fathurrahman

ix

Page 10: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

PEDOMAN TRANSLITERASI

ARAB - LATIN

A. Konsonan

Huruf

Arab Nama Huruf Latin Keterangan

Alîf Tidak dilambangkan

Bâ‟ B, b Be

Ta‟ T, t Te

Tsâ‟ Ts, ts Te dan Es

Jîm J, j Je

Hâ‟ H, ẖ Ha (dengan garis di

bawah)

Kha‟ Kh, kh Ka dan Ha

Dâl D, d De

Dzâl Dz, dz De dan Zet

Râ‟ R, r Er

Zây Z, z Zet

Sîn S, s Es

Syîn Sy, sy Es dan Ye

Shâd Sh, sh Es dan Ha

Dhâd Dh, dh De dan Ha

Thâ‟ Th, th Te dan Ha

Zhâ‟ Zh, zh Zet dan Ha

„Ain ‗ koma terbalik di atas

Ghain Gh, gh Ge dan Ha

Fâ‟ F, f Ef

Qâf Q, q Ki

Kâf K, k Ka

Lâm L, l El

Mîm M, m Em

Nûn N, n En

x

Page 11: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

Wâw W, w We

Hâ‟ H, h Ha

Lâm alîf Lâ, lâ El dan A

Hamzah ‘ Apostrof

Yâ‟ Y, y Ye

B. Vokal

1. Vokal Pendek

Tanda Nama Huruf Latin Keterangan

Fathah a A

Kasrah i I

Dhammah u U

2. Vokal Panjang

Tanda Nama Huruf Latin Keterangan

Fathah dan Alîf Â, â a dan topi di atas

Kasrah dan Yâ‟ Î, î i dan topi di atas

Dhammah dan Wâw Û, û u dan topi di atas

3. Vokal Rangkap

Tanda Nama Huruf Latin Keterangan

Fathah dan Yâ‟ ai a dan i

Fathah dan Wâw au a dan u

C. Lain-lain

Tâ‟ al-Marbûthah dilambangkan dengan /h/, sedangkan tâ‟ yang menunjukkan

jama‟ mu‟annats sâlim dilambangkan dengan /t/.

Syaddah atau tasydîd dilakukan dengan menggandakan huruf yang sama.

xi

Page 12: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

Kata sandang ― ‖ ditransliterasikan dengan ―al‖ diikuti dengan tanda

penghubung, baik ketika bertemu dengan huruf qamariyah maupun dengan

huruf syamsiyah.

Nama-nama atau kata yang telah ada versi populernya dalam tulisan latin, pada

umumnya, akan ditulis berdasarkan versi populer tersebut.

xii

Page 13: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

DAFTAR ISI

Halaman Judul .............................................................................................................. i

Lembar Pernyataan ...................................................................................................... ii

Lembar Persetujuan Pembimbing ............................................................................... iii

Lembar Pengesahan Tim Penguji .............................................................................. iv

Abstrak ........................................................................................................................ v

Ungkapan Terima Kasih .......................................................................................... viii

Pedoman Transliterasi ................................................................................................. x

Daftar Isi ................................................................................................................... xiii

BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1

B. Permasalahan ..................................................................................... 15

1. Identifikasi masalah ...................................................................... 15

2. Pembatasan masalah ..................................................................... 15

3. Rumusan masalah ......................................................................... 15

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................... 16

D. Tujuan Penelitian ............................................................................... 19

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ........................................................ 20

F. Metode Penelitian .............................................................................. 20

1. Jenis dan pendekatan penelitian .................................................... 20

2. Sumber data .................................................................................. 21

3. Teknik pengumpulan dan analisis data ......................................... 22

4. Teknik penulisan dan penyajian hasil penelitian .......................... 23

G. Sistematika Pembahasan ................................................................... 24

BAB II : NON-MUSLIM DAN KAJIAN AL-QUR‘AN ...................................... 26

A. Kajian al-Qur‘an oleh Non Muslim dalam Lintasan Sejarah ............ 26

B. Kategori dan Pendekatan Kesarjanaan Barat dalam Kajian

al-Qur‘an ............................................................................................ 35

1. Pendekatan sejarah ........................................................................ 39

2. Pendekatan fenomenologis ........................................................... 41

3. Pendekatan strukturalisme linguistik ............................................ 43

xiii

Page 14: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

C. Respon Sarjana Muslim .................................................................... 46

BAB III : AL-QUR‘AN DALAM PANDANGAN TOSHIHIKO IZUTSU .......... 51

A. Sketsa Biografis Toshihiko Izutsu ..................................................... 51

B. Status al-Qur‘an menurut Toshihiko Izutsu ...................................... 55

1. Al-Qur‘an: wahyu yang berasal dari Allah ................................... 60

2. Bahasa al-Qur‘an .......................................................................... 71

3. Tekstualitas al-Qur‘an .................................................................. 77

C. Kecenderungan dan Pendekatan Toshihiko Izutsu dalam Penafsiran

al-Qur‘an ............................................................................................ 82

D. Kritik terhadap Toshihiko Izutsu ....................................................... 90

BAB IV : METODE TOSHIHIKO IZUTSU DALAM PENAFSIRAN AL-QUR‘AN

DAN MEKANISME PENERAPANNYA ............................................. 96

A. Konsep-konsep Metodologis Penafsiran ........................................... 97

1. Semantik sebagai Kajian terhadap Pandangan Dunia ................. 97

2. Istilah-istilah Kunci dan Weltanschauung ................................ 105

3. Makna Dasar dan Makna Relasional ........................................ 111

B. Mekanisme Penerapan Metode Semantik terhadap al-Qur‘an ........ 114

1. Konsep Allah ............................................................................. 114

2. Relasi Allah dan Manusia ......................................................... 123

a. Relasi ontologis .................................................................. 123

b. Relasi komunikatif .............................................................. 126

c. Relasi tuan-hamba .............................................................. 130

d. Relasi etik ........................................................................... 136

C. Perbandingan Metode Semantik Toshihiko Izutsu dengan

Metode-metode lain dalam Penafsiran al-Qur‘an ............................ 140

BAB V : PENUTUP ............................................................................................ 151

A. Simpulan .......................................................................................... 151

B. Saran-saran ...................................................................................... 152

Daftar Pustaka

Daftar Riwayat Hidup

xiv

Page 15: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kajian mengenai al-Qur‘an tidak hanya dilakukan oleh umat Muslim, tapi

juga oleh kalangan non-Muslim. Akan tetapi kelompok yang disebutkan terakhir

tidak memandang al-Qur‘an sebagaimana kelompok pertama. Mayoritas kaum

Muslim meyakini bahwa al-Qur‘an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada

Muhammad melalui perantaraan Jibril, kemudian diwariskan dari satu generasi ke

generasi berikutnya secara mutawâtir, yang tertulis dalam mushaf dan membacanya

dianggap ibadah.1 Keyakinan demikian pada gilirannya menimbulkan ketertarikan

dalam diri kaum Muslim tersebut untuk memahami kandungan al-Qur‘an, sehingga

melahirkan karya melimpah yang terhimpun dalam kitab-kitab tafsir.2 Sementara

non-Muslim pada umumnya memandang al-Qur‘an bukanlah firman Tuhan, tapi

sebagai ucapan Muhammad.3 Pandangan yang secara diametral sangat bertentangan

1 Lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill,

1974), h. 1-2; Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London: George Allen and Unwin

Ltd., 1984), h. 42. 2 Salah satu indikatornya adalah penelitian yang dilakukan oleh Fuat Sezgin, Geschichte des

Arabischen Schriftums, yang menunjukan banyaknya karya tafsir, baik yang telah dianotasi dan

diterbitkan, maupun yang masih berupa manuskrip, dalam khazanah intelektual Islam klasik. Lihat Nur

Kholis Setiawan, ―Al-Qur‘an dalam Kesarjanaan Klasik dan Kontemporer; Keniscayaan

Geisteswissenschaften,‖ dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 1, Januari 2006, h. 79. Lihat juga,

Muẖammad Husain Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I-III, (Kairo: Maktabah Wahbah,

2000). Berkenaan dengan hal ini, Stefan Wild mengatakan bahwa sejarah kajian al-Qur‘an yang selalu

menduduki peringkat utama, adalah sejarah penafsiran umat Islam terhadap al-Qur‘an. Lihat, Stefan

Wild, ―Kata Pengantar‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar,

(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), h. xxiii. 3 Charles J. Adams mengatakan: ―Virtually all western scholarship, almost without stopping

to consider, considers Muhammad and his teaching to be the result of historical and personality

factors rather than of divine activity.‖ Charles J. Adams, ―Islam‖ dalam A Reader‟s Guide to the Great

Religious, (New York: The Free Press, 1975), h. 414. Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud,

Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997), h.

28. Pandangan demikian timbul karena didasarkan atas pra-anggapan Kristen bahwa wahyu (kitab

suci) Kristen didasarkan atas kesaksian-kesaksian manusia yang bermacam-macam dan tidak langsung.

1

Page 16: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

2

dengan keyakinan umat Muslim ini mendasari penelitian-penelitian terhadap al-

Qur‘an yang mereka lakukan.

Ketertarikan umat Muslim untuk mengkaji al-Qur‘an tentu saja tidak

menimbulkan keheranan, karena al-Qur‘an adalah kitab suci dan pedoman hidup

mereka, sehingga merupakan suatu kewajaran jika mereka mencurahkan segenap

perhatian untuk memahami ajaran-ajarannya untuk membimbing diri mereka dalam

menempuh kehidupan yang sesuai dengan tuntunan kitab suci tersebut. Sebaliknya,

ketertarikan non-Muslim terhadap al-Qur‘an sering mengundang tanda tanya. Apa

motivasi yang mendorong mereka mendedikasikan hidupnya untuk menggeluti al-

Qur‘an, sementara dalam hati mereka tidak ada keyakinan terhadap al-Qur‘an dan

ajaran-ajarannya sebagai berasal dari Tuhan.

Kajian non Muslim terhadap al-Qur‘an telah muncul sejak awal, yakni sejak

kitab suci tersebut diwahyukan kepada Muhammad. Hal tersebut, menurut Andrew

Rippin, secara diakui oleh al-Qur‘an sendiri, yakni ketika al-Qur‘an mengklasifikasi

manusia kepada dua kelompok: orang-orang yang menerima ajaran-ajaran kitab suci

tersebut dan orang-orang yang menolaknya. Pilihan terhadap sikap itu tentu

didasarkan atas pengetahuan mengenai kitab suci tersebut.4

Kajian al-Qur‘an oleh non-Muslim terus berlanjut, dan sejak abad

pertengahan aktivitas ini tidak bisa dipisahkan dari orientalisme.5 Orientalisme ini

memiliki akar historis sejak adanya polemik keagamaan antara kaum Yahudi dan

Lihat Maurice Bucaille, Bibel, al-Qur‟an, dan Sains Modern, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1979), h. 18. 4 Andrew Rippin, ―Western Scholarship and the Qur‘an‖, dalam Jane Dammen McAuliffe

(ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟an, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h.

236-237. 5 Joesoef Sou‘yb memberikan definisi orientalisme sebagai suatu paham atau aliran yang

berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta

lingkungannya. Lebih jauh ia juga mendefinisikan orientalisme dalam arti sempit sebagai kegiatan

penyelidikan ahli-ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama

Islam. Lihat Joesoef Sou‘yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. III, h. 1-2.

Sementara Edward W. Said memahami orientalisme sebagai suatu cara untuk memahami dunia Timur

berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pangalaman manusia Barat Eropa. Lihat Edward W. Said,

Orientalisme, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 2001), Cet. IV, h. 2.

Page 17: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

3

Kristen dengan kaum Muslim pada masa awal. Polemik ini berlangsung bersamaan

dengan makin meluasnya kekuasaan kekhalifahan Islam ke Suriah, Yerusalem, dan

Mesir di belahan Timur, dan sampai ke Afrika Utara, Spanyol, dan Sicilia di belahan

Barat. Pada masa tersebut perdebatan teologis antara masing-masing pemuka agama

sering berlangsung. Perdebatan tersebut meniscayakan para pemuka agama Yahudi

dan Kristen memiliki pengatahuan tertentu mengenai doktrin Islam, meskipun dengan

tujuan untuk menolaknya. Pandangan bahwa Islam adalah ―bentuk lain‖ atau

penyimpangan dari Kristen tumbuh dari adanya polemik keagamaan tersebut. Hal ini,

misalnya, dapat ditemukan dalam gagasan Yohanes dari Damaskus (650-754),6 yang

bekerja sebagai pegawai dalam pemerintahan Bani Umayah. Ia adalah teolog Kristen

pertama yang menaruh perhatian besar dalam mengkaji Islam. Dalam satu

kesempatan ia menyatakan bahwa Islam memang meyakini adanya Tuhan, tetapi

secara bersamaan Islam juga menolak kebenaran tertentu dalam agama Kristen, dan

karena penolakan tersebut, maka seluruh doktrin agama Islam menjadi tidak

bermakna.7 Dengan demikian, pada fase yang masih tergolong awal telah ada usaha

untuk mengkaji Islam oleh sarjana-sarjana non-Muslim, meskipun dalam bentuk yang

masih sangat kabur.

Orientalisme mulai menemukan fokusnya yang lebih jelas pada abad ke-11,

tepatnya seiring dengan pecahnya perang Salib (1096-1291). Akibat perang Salib,

kelompok intelektual di Barat mulai menaruh perhatian terhadap Islam.8 Aktivitas

6 Seorang sarjana dari gereja Yunani. Ayahnya menjadi kepala keuangan pada dinasti

Umayah dan ia sendiri pernah menjadi Perdana Menteri di dinasti tersebut. Setelah itu ia mulai

menarik diri dan menulis berbagai karya yang bersifat polemik antara Islam dan Kristen. Lihat Karel

A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II, (Yogyakarta: Fakultas Pasca

Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1988), h. 6. 7 Ichsan Ali Fauzi, ―Pandangan Barat,‖ dalam Taufik Abdullah, dkk. (eds.), Ensiklopedi

Tematis Dunia Islam, Vol. 7, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 236. 8 Menurut Joesoef Sou‘yb, perang Salib merupakan salah satu faktor yang mendorong

pertumbuhan dan perkembangan orientalisme. Faktor-faktor lainnya adalah persentuhan antara Barat

dengan perguruan tinggi di dunia Islam, penyalinan manuskrip-manuskrip atau naskah-naskah Arab ke

dalam bahasa Latin sejak abad ke-13 M. sampai dengan masa renaissance di Eropa pada abad ke-14

M., dan perkembangan kekuasaan maritim pihak Barat terutama pengaruh perlawatan Marco Polo

(1254-1324) ke Tiongkok yang pada akhirnya mewariskan sebuah karya berjudul The Travels of

Page 18: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

4

ilmiah yang menandai awal munculnya kajian orientalis terhadap Islam adalah

penerjemahan al-Qur‘an ke dalam bahasa Latin oleh Robert dari Ketton (Robertus

Retenensis), yang selesai pada tahun 1143.9 Terjemahan ini, yang diberi nama Liber

Legis Saracenorum quem Alcoran Vocant (Kitab Hukum Islam yang disebut al-

Qur‘an), merupakan terjemahan al-Qur‘an yang pertama dan dijadikan sumber utama

oleh para pendeta, pastor, dan misionaris selama 600 tahun ketika merujuk kepada al-

Qur‘an.10

Dari terjemahan bahasa Latin inilah kemudian al-Qur‘an diterjemahkan ke

dalam berbagai bahasa Eropa.11

Di sisi lain perang Salib juga menimbulkan kesalahpahaman Barat terhadap

Islam. Hal ini dapat dipahami karena dalam suasana konflik perang, dengan

sendirinya akan sulit melahirkan pandangan yang positif satu sama lain.

Kesalahpahaman Barat, yang menimbulkan pandangan negatif terhadap Islam,

dicirikan oleh tiga hal, yaitu: Pertama, memandang Timur sebagai bangsa dan agama

inferior. Islam, menurut mereka, adalah agama teror, agama permusuhan, dan kaum

Muslim sebagai gerombolan orang Barbar yang patut dibenci. Karena itu, Islam bagi

Barat merupakan trauma.12

Mereka menggambarkan Muhammad dalam persepsi

yang sangat negatif. Richard C. Martin mencatat bahwa pada saat itu banyak beredar

cerita yang melukiskan Muhammad sebagai tuhan bagi orang Islam, pendusta,

Marco Polo. Faktor-faktor ini masing-masing tidaklah berdiri sendiri, melainkan saling mendukung

dan saling berkaitan satu sama lain. Lihat Joesoef Sou‘yb, Orientalisme dan Islam, h. 36-37. 9 Kegiatan ini diprakarsai oleh Peter yang Agung (Petrus Venerabilis, 1094-1156) – kepala

biara induk di Cluny (Perancis) – ketika mengunjungi Toledo (Spanyol) sekitar tahun 1141-1142. Di

sana dia menghimpun, membiayai, dan menugaskan sejumlah orang untuk menghasilkan karya-karya

yang berkenaan dengan Islam. Lihat W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an,

(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970), h. 173. 10

Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema

Insani Press, 2005), h. 20. 11

Terjemahan ke dalam bahasa Jerman dilakukan oleh Schweigger di Nurenburg (Bavaria)

pada tahun 1616, terjemahan ke dalam bahasa Perancis dilakukan oleh Du Ryer yang diterbitkan di

Paris pada tahun 1647, dan terjemahan ke dalam bahasa Rusia diterbitkan di St. Petersburg pada tahun

1776. Pembahasan selengkapnya, lihat W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h.

173-186. 12

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

18.

Page 19: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

5

penggemar wanita, orang Kristen yang murtad, tukang sihir, dan lain sebagainya.13

Sementara W. Montgomery Watt mengemukakan persepsi sarjana-sarjana Barat abad

ke-19 yang negatif terhadap Muhammad, antara lain: Gustav Weil (1808-1889)

menganggap Muhammad menderita penyakit epilepsi (penyakit ayan), Alloys

Sprenger (1813-1893) mengatakan Muhammad mengidap penyakit histeria, Willian

Muir (1819-1905) mengatakan bahwa ketika di Mekah Muhammad adalah seorang

rasul yang sebenarnya dan memiliki jiwa yang tinggi tetapi setelah di Madinah dia

mulai tergoda rayuan setan untuk memperoleh keberhasilan duniawi.14

Kedua, sikap apologis. Sikap ini terkait erat dengan pandangan mereka

terhadap Timur, terutama Islam, sebagai inferior. Sikap apologis bertujuan untuk

menyerang keyakinan dasar Islam dan untuk memperkuat kedudukan agama Kristen.

Orang Barat menyebut Islam dengan ―Muhammadanisme‖ bertolak dari pandangan

Kristen tentang Kristus sebagai basis dogma Kristen.15

Pemberian nama

―Muhammadanism‖ tersebut untuk menumbuhkan kesan bahwa Islam adalah ciptaan

Muhammad, bukan agama yang diturunkan oleh Allah. Karel A. Steenbrink

menjelaskan bahwa penulis-penulis Barat pada abad pertengahan sampai dengan abad

ke-18 menulis tentang Islam bukan untuk memberikan informasi yang sebenarnya

mengenai Islam, akan tetapi untuk menanamkan misinformasi dengan maksud untuk

memperkuat keyakinan agama Kristen yang mereka anut.16

Ketiga, memandang Islam sebagai salah satu sekte Yahudi atau Kristen yang

sesat.17

Pandangan tersebut bermula dari persepsi Yohanes dari Damaskus.

Sebagaimana telah dikemukakan di muka, dia memandang Islam tidak lain adalah

13

Richard C. Martin, ―Islamic Studies,‖ dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford

Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 2, (New York, Oxford: Oxford University Press,

1995), h. 325-331. 14

W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, (Edinbrugh: University Press,

1970), h. 17. 15

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

18. 16

Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II, h. 16. 17

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

19.

Page 20: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

6

bid‘ah (heresy) Kristen. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Peter yang Agung

(abad ke-12 M.), John Wycliffe (abad ke-14 M.), dan beberapa sarjana Barat yang

lain di abad pertengahan. Mereka melihat bahwa dalam Islam banyak terdapat

kebenaran yang juga terdapat dalam Kristen, tetapi karena keyakinan Islam menolak

ajaran Tritunggal, maka hal ini menjadi sebab penolakan mereka untuk mengakui

Islam sebagai kebenaran; mereka memandang Islam sebagai bid‘ah Kristen saja.18

Kesalahpahaman pandangan Barat terhadap Islam ini dalam perkembangan

selanjutnya, menurut C. Cahen, menimbulkan usaha misionaris.19

Karena memandang Islam secara negatif, maka dengan sendirinya sarjana-

sarjana Barat juga memandang negatif terhadap al-Qur‘an. Peter yang Agung dan

Martin Luther (1483-1546) menyatakan bahwa al-Qur‘an tidak lain adalah buatan

setan.20

Ricoldo da Monte Croce (+1243-1320), seorang biarawan Dominikus, di

samping memandang al-Qur‘an adalah karya setan juga mengklaim bahwa banyak

terjadi penyimpangan terjadi dalam sejarah al-Qur‘an, susunan al-Qur‘an tidak

sistematis karena tidak ada kronologi waktu, tidak ada periodisasi raja-raja, susunan

kisahnya tidak teratur, subyek pembahasannya tidak memiliki relevansi antara yang

satu dengan yang lainnya, dan logikanya tidak bersusun. Ricoldo da Monte Croce

menyimpulkan pandangannya bahwa, pertama, al-Qur‘an hanyalah kumpulan bid‘ah-

bid‘ah lama yang telah dibantah sebelumnya oleh otoritas Gereja; kedua, karena

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak memprediksi sebelumnya, maka al-Qur‘an

tidak boleh diterima sebagai ―hukum Tuhan‖; ketiga, gaya bahasa al-Qur‘an tidak

sesuai untuk disebut sebagai ―Kitab suci‖; keempat, klaim al-Qur‘an yang berasal dari

Tuhan tidak memiliki basis di dalam tradisi Bibel; kelima, al-Qur‘an penuh dengan

berbagai kontradisi internal; keenam, kebenaran al-Qur‘an tidak dibuktikan dengan

18

Norman Daniel, Islam and the West: The Making of An Image, (Edinburgh: University

Press, 1966), h. 184, 19

Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah Studi Evaluatif), h. 17. 20

Lihat Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, h. 25-33.

Page 21: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

7

mukjizat; ketujuh, al-Qur‘an bertentangan dengan akal; kedelapan, al-Qur‘an

mengajarkan kekerasan; kesembilan, sejarah al-Qur‘an tidak menentu; dan terakhir,

peristiwa mi„râj adalah fiksi murni dan dibuat-buat.21

Pandangan sarjana-sarjana non-Muslim terhadap Islam tidak selamanya

negatif. Di penghujung abad ke-16 sampai dengan abad ke-18, yang sering disebut

sebagai abad pencerahan (enlightment ages), mulai terjadi pergeseran dalam cara

pandang mereka. Kesan negatif yang tadinya mendominasi karya-karya mereka,

mulai berkurang. Contoh konkrit dari fenomena ini adalah munculnya tokoh

semacam Count de Boulainvilliers yang mengatakan bahwa Islam bukan agama yang

salah; Islam bukan agama yang palsu. Ia juga menulis sebuah biografi Muhammad, di

mana ia memuji kepribadian Muhammad dan Islam.22

Akan tetapi hingga abad ke-20,

bahkan sampai abad ke-21 ini, masih terdapat corak prasangka dalam kajian-kajian

Islam yang dilakukan oleh orientalis. Karel A. Steenbrink menjelaskan bahwa

bagaimana pun juga, konfrontasi politik antara Barat dan Islam membawa pengaruh

besar terhadap ilmuwan Barat dalam mempelajari dunia Timur, khususnya mengenai

agama dan umat Islam. Ilmuwan Barat tersebut tidak bisa dipisahkan dari latar

belakang sosial-politiknya. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai pengawal

kolonial atau masuk ke dalam dinas gereja Kristen dalam usaha penyebara agama

Kristen. Tetapi ada juga ilmuwan yang hanya tinggal di universitasnya, tidak terlihat

dalam kegiatan politik praktis, akan tetapi tulisan-tulisan mereka sering sukar

diterima oleh pembaca Muslim karena adanya prasangka tadi. Prasangka yang

mencampuri tulisan-tulisan mereka dapat diklasifikasi kepada tiga macam, yaitu: (1)

prasangka historisme, (2) prasangka Kristen, dan (3) prasangka superioritas ras.23

21

Hartmut Bobzin, ―A Treasury of Heresies: Christian Polemics against the Koran‖ dalam

Stefan Wild (ed.), The Qur‟ān as Text, (Leiden: E.J. Brill, 1996), h. 166. 22

W. Montgomery Watt, ―Studi Islam oleh para Orientalis,‖ diterjemahkan dari ―The Study of

Islam by Orientalist,” oleh Alef Theria Wasim, dalam al-Jami‟ah, No. 53, 1997, h. 37. 23

Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II, h. 16-20.

Page 22: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

8

Kajian-kajian mereka terhadap Islam yang dicampuri dengan prasangka-

prasangka tersebut pada gilirannya mendapat reaksi ―perlawanan‖ dan penolakan dari

sarjana-sarjana Muslim, di antaranya yang dilakukan oleh Aẖmad al-Sanhaji (w.

1235) dengan al-Ajwibah al-Fakhirah „an As‟ilah al-Fajirah dan ibn Taimiyah, al-

Jawâb al-Saẖîẖ li Man Baddala Dîn al-Masîẖ, sebagai jawaban terhadap sarjana

Kristen Ortodoks Yunani, Paulus al-Rahib dari Antioch yang menulis Risâlah ilâ

Aẖad al-Muslimûn. Di abad modern, sikap serupa ditunjukkan oleh Muẖammad

‗Abduh dengan bukunya al-Islâm wa al-Nashrâniyah ma„a al-„Ilm wa al-Madâniyah,

Jamâl al-Dîn al-Afghâni, al-Radd „alâ al-Dahriyîn, Ameer Ali, The Spirit of Islam,

dan lain sebagainya.24

Penulis juga mencatat bahwa Parvez Manzoor menyatakan

bahwa studi al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat, apapun manfaat dan gunanya,

merupakan proyek yang lahir dari kedengkian yang dipelihara dalam kefrustasian dan

disusui dalam kedendaman, yaitu kedengkian penguasa terhadap kaum yang lemah,

frustasi ―rational‖ terhadap ―superstitious‖, dan dendam “orthodoxy‖ terhadap ―non-

conformist‖.25

Sinyalemen bahwa kajian Islam oleh sarjana-sarjana Barat tidak bisa

dipisahkan dari latar belakang sosial-politiknya dapat dikatakan mendekati

kebenaran, ketika Fazlur Rahman, dalam pendahuluan bukunya – Major Themes of

the Qur‟an, menyebutkan tipologi kajian orientalis tentang al-Qur‘an. Menurutnya,

ada tiga tipe, yaitu: pertama, kajian yang berusaha untuk membuktikan adanya

pengaruh tradisi Yahudi dan Kristen terhadap al-Qur‘an; kedua, kajian yang

menekankan pada pembahasan sejarah dan kronologi turunnya al-Qur‘an; dan

terakhir, kajian tentang tema-tema tertentu dari al-Qur‘an.26

24

Lihat A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970), h. 17-

19. 25

Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dalam Studi al-Qur‘an‖ (terj.),

dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006, h. 45. 26

Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit

Pustaka, 1996), Cet. II, h. x-xi.

Page 23: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

9

Sampai di sini terlihat bahwa umat Muslim pada umumnya merasa keberatan

bila non-Muslim, melakukan kajian terhadap al-Qur‘an. Keberatan ini tidaklah secara

serta merta karena gerakan orientalisme. Secara historis, menurut Hartmut Bobzin,

berdasarkan apa yang disebut dengan perjanjian ‗Umar ibn Khattâb, non-Muslim dulu

dilarang untuk mengajarkan al-Qur‘an kepada anak-anak mereka.27

Keberatan umat

Muslim semakin diperparah oleh pendekatan dan metode yang mereka pergunakan.

Pendekatan dan metode tersebut dinilai ―sekuler‖ dan dianggap dapat menggoyang

kemapanan „Ulûm al-Qur‟ân yang sekian abad lamanya eksis di dunia Islam sebagai

sebentuk metodologi penafsiran kitab suci. Dalam konteks Asia Tenggara (khususnya

Indonesia dan Malaysia), sarjana-sarjana seperti Adian Husaini, Adnin Armas, Hamid

Fahmi Zarkasyi, Nasruddin Baidan, Syamsuddin Arif, dan Wan Mohd. Nor Wan

Daud,28

dapat dikategorikan dalam kelompok ini.29

Pandangan demikian menemukan relevansinya dengan pandangan yang telah

dimapankan oleh kelompok ulama konservatif sejak periode pertengahan.30 Bagi

27

Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen

McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, Vol. 4, h. 235-253. Lihat juga Andrew Rippin, ―Western

Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe, The Cambridge Companion to the

Qur‟ān, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 237. 28

Tulisan-tulisan mereka dapat dilihat misalnya: 1) Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat:

Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 288-333, dan

―Problem Teks Bible dan Hermeneutika,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA,

Tahun I, No. 1, Maret 2004, h. 7-15; 2) Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur‟an;

Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 35-80, dan ―Tafsir al-Qur‘an atau Hermeneutika al-

Qur‘an,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, h. 38-45; 3) Hamid Fahmi

Zarkasyi, ―Menguak Nilai di Balik Hermeneutika,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam

ISLAMIA, h. 16-29; 4) Nashruddin Baidan, ―Tinjauan Kritis terhadap Konsep Hermeneutika,‖ dalam

Esensia, Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 2, No. 2, Juli 2001, h. 165-180; 5) Syamsuddin Arif,

Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), Cet. I, h. 176-184; dan 6) Wan

Mohd. Nor Wan Daud, ―Tafsir sebagai Metode Ilmiah,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban

Islam ISLAMIA, h. 55. 29

Andrew Rippin, sebagaimana dikutip oleh Yusuf Rahman, melihat pandangan kebanyakan

umat Islam yang berpendapat bahwa setiap penggunaan metode kritis terhadap al-Qur‘an (juga tradisi-

tradisi Islam lainya) sebagai serangan dari pihak luar. Lihat Yusuf Rahman, ―Al-Tafsîr al-Adabî fî al-

Qur‘ân: A Study of Amîn al-Khûlî‘s and Muhammad Khalaf Allâh‘s Approach to the Qur‘âan‖, dalam

jurnal Mimbar Agama & Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002. 30

Anwar Mujahidin, ―Antropologi al-Qur‘an (Dekonstruksi Nalar Bayani menuju Fiqh al-

Qur‟ân) dalam Amin Abdullah, dkk., Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi

(Sebuah Antologi), (Yogyakarta: Penerbit SUKA Press, 2007), h. 129.

Page 24: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

10

sarjana-sarjana Muslim ini, mendekati al-Qur‘an dengan menghadirkan ilmu-ilmu

bahasa, hukum, sastra, termasuk filsafat sebagai ilmu bantu dalam menyingkap

makna al-Qur‘an adalah karya yang dilarang (ẖarâm) yang berarti mengikutinya juga

ẖarâm. Hal tersebut dikarenakan ketepatan dan kebenaran suatu pendapat tidak

meyakinkan dan hanya bersifat dugaan dan perkiraan semata. Orang yang

mengatakan sesuatu tentang agama Allah menurut dugaan semata berarti ia telah

mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak ia ketahui.31

Aẖmad Taqî al-Dîn ibn

Taimiyah juga secara tegas mengklaim bahwa sebab-sebab kesesatan dalam

penafsiran al-Qur‘an adalah adanya interaksi dengan para filosof.32

Lebih lanjut pendekatan dan metode yang dianggap ―sekuler‖ tersebut

meniscayakan posisi al-Qur‘an sebagai teks (nashsh).33

Sebagai sebuah teks, menurut

Andrew Rippin, al-Qur‘an harus dipandang sejajar dengan karya-karya lain.34

Penolakan ini sebagaimana direpresentasikan oleh Mohammed Abu Musa dengan

pernyataannya bahwa dalam sejarah Islam terma teks tidak pernah digunakan untuk

merujuk kepada al-Qur‘an, dan tidak ada ulama yang menganggap al-Qur‘an sebagai

sebuah teks. Istilah teks, menurutnya, hanya dipakai oleh para orientalis dalam

berhubungan dengan al-Qur‘an.35

Memang bagi sarjana-sarjana Muslim tersebut, al-

31

Lihat, Mannâ‘ al-Qaththân, Mabâẖits fi ʻUlûm al-Qur‟ân, (Riyad: Mansyûrâh al-ʻAshr al-

Hadîts, 1973), h. 352. 32

ʻAbd al-Raẖmân ibn Muẖammad ibn Qâsim al-ʻÂshim al-Najdi, Majmuʻ al-Fatawâ Syaikh

al-Islâm Aẖmad ibn Taimiyah, (T.t.: T.Pn., 1398 H.), Juz XIII, Kitab Muqaddimah al-Tafsîr, h. 206. 33

Nashsh dimaksud di sini berbeda dengan pemahaman al-Syâfiʻî ataupun al-Zamakhsyarî,

yaitu statemen Ilahiah yang tidak memerlukan interpretasi (ijtihâd). Baca Muẖammad ibn Idrîs al-

Syâfiʻî, al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad

Syâkir (ed.), (Kairo; Maktabah Dâr al-Turâts, 1979), h. 14, 21. 34

Andrew Rippin, ―The Qur‘an as Literature; Perils, Pitfalls and Prospects‖, British Society

for Middle Eastern Studies Bulletin 10, 1 (1983); 40, sebagaimana dikutip oleh Yusuf Rahman, ―Al-

Tafsîr al-Adabî fî al-Qur‘ân: A Study of Amîn al-Khûlî‘s and Muhammad Khalaf Allâh‘s Approach to

the Qur‘ân‖, dalam jurnal Mimbar Agama & Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 130. 35

Mohammed Abu Musa mengatakan: ―Dari keseluruhan sejarah Islam tidak ada seorangpun

yang menggunakannya ketika merujuk kata-kata al-Qur‘an selain apa yang Tuhan sendiri gunakan

dalam al-Qur‘an. Tidak satupun ulama yang pernah menghubungkan al-Qur‘an dengan teks, semoga

Tuhan memafkan akan hal ini, karena demikianlah cara orang orientalis Eropa (bukan Islam atau Arab)

berhubungan dengan al-Qur‘an.‖ Mohammed Abu Musa, al-Tashwîr al-Bayânî: Dirâsah Tahlîliyyah li

al-Masâil al-Bayân [Figures of Speech: an Analytical Study of Aspects of Retoric], Edisi kedua,

(Kairo: t.p., 1980), sebagaimana dikutip oleh Nashr Hâmid Abû Zaid, Al-Qur‟an, Hermeneutika, dan

Page 25: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

11

Qur‘an adalah al-Qur‘an adalah firman Tuhan (verbum Dei),36

bukan kreasi Jibril

atau Nabi Muhammad, apalagi para Sahabat, yang disampaikan kepada Nabi

Muhammad melalui perantaraan seorang utusan, yaitu malaikat Jibril, kemudian

diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara mutawâtir, maka al-

Qur‘an sebagaimana yang tertulis dalam mushẖaf adalah sama seperti yang diterima

oleh Nabi, sehingga tidak dapat disejajarkan dengan teks-teks lain.

Padahal apabila diperhatikan dengan sikap terbuka, tanpa kecurigaan akan

motif-motif yang tersembunyi, kajian non-Muslim dapat membuka horizon baru

dalam kajian al-Qur‘an.37

Untuk tujuan demikian, maka dalam tesis ini akan

dilakukan penelurusan terhadap pendekatan dan karya-karya Toshihiko Izutsu (1914-

1993), seorang sarjana Jepang penganut Zen Budhism, tentang al-Qur‘an, yaitu:

Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an dan God and Man in the Qur‟an: Semantics

of the Qur‟anic Weltanschauung. Dalam Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an,38

Toshihiko Izutsu membahas konsep pemikiran tentang etika dalam al-Qur‘an.

Menurutnya, konsep pemikiran tentang etika dalam al-Qur‘an dapat diklasifikasi

menjadi tiga kelompok: Pertama, pembahasan yang menunjukkan dan menguraikan

sifat-sifat Tuhan. Kelompok konsep ini kemudian dikembangkan oleh ahli-ahli

teologi menjadi teori tentang sifat-sifat Tuhan; Kedua, pembahasan yang menjelaskan

berbagai aspek sikap fundamental manusia terhadap Tuhan. Kelompok konsep ini

menyangkut hubungan etik dasar antara manusia dan Tuhan; dan Ketiga, pembahasan

yang menunjukkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan tingkah laku yang menjadi milik

Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutika Al-Qur‟an, (terj.), (Bandung: RQiS, 2003),

h. 86. 36

Definisi-definisi Al-Qur‘an secara umum menggambarkan hal ini. Di antaranya adalah

definisi yang diberikan oleh Muẖammad ʻAlî al-Shâbunî, al-Tibyân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Beirut: ʻÂlam

al-Kutûb, 1985), Cet. I, h. 8, dan al-Zarqânî, Manâhil al-ʻIrfân fi ʻUlûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 16. 37

Machasin, ―Kata Pengantar‖, dalam Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia;

Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, terj. Agus Fahri Husein, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana,

1997), Cet. I, h. xiii. 38

Buku ini diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of

the Ethical Terms in the Koran. Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal:

McGill-Queen‘s University Press, 2002), h. iv.

Page 26: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

12

dan hidup dalam masyarakat Islam. Konsep ini berhubungan dengan sikap etik antara

seorang manusia dengan sesamanya yang hidup dalam masyarakat yang sama.39

Dari tiga konsep al-Qur‘an tentang etika tersebut, Toshihiko Izutsu

memfokuskan diri pada pembahasan mengenai konsep kedua saja. Ini bukan berarti

bahwa ia meninggalkan sama sekali dua konsep yang lain, karena – menurutnya –

ketiga kelompok konsep tersebut tidak berdiri secara terpisah, namun memiliki

hubungan yang sangat erat. Hal itu disebabkan karena pandangan dunia al-Qur‘an

pada dasarnya bersifat teosentris.

Kelompok kedua konsep al-Qur‘an mengenai etika pada akhirnya dapat dibagi

lagi menjadi dua konsep dasar yang antara keduanya memiliki perbedaan yang sangat

nyata, yaitu: pertama, keyakinan mutlak terhadap Tuhan; dan kedua, ketakutan yang

sungguh-sungguh kepadanya. Dua konsep ini, yang disebut Toshihiko Izutsu sebagai

saling berlawanan, merupakan refleksi dari keyakinan manusia terhadap sifat-sifat

Tuhan, yang menurutnya terbagi dalam dua kelompok yang juga saling berlawanan,

yaitu: kebaikannya yang tak terbatas, Maha Pengasih, Maha Memelihara, dan pada

sisi lain: kemurkaan-Nya, sifat membalas Nya, dan menyiksa mereka yang tidak

patuh terhadap-Nya.40

Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur‘an adalah: God and

Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung.41

Dalam buku ini,

Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‘an tentang

relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al-Qur‘an,

menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan-hamba, dan

etik. Secara umum relasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama,

bahwa Tuhan adalah sumber wujud. Ia adalah pencipta segala yang ada, termasuk

manusia. Dengan demikian, secara ontologis, relasi antara Tuhan dengan manusia

39

Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 17. 40

Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 18. God and Man in

the Qur‟an, h. 78. 41

Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1964 di Tokyo, Jepang, oleh Universitas Keio.

Page 27: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

13

adalah relasi antara pencipta dan makhluk. Kedua, antara Tuhan (pencipta) dan

manusia (makhluk) senantiasa terdapat jalinan komunikasi. Jalinan ini memiliki dua

bentuk, yaitu: bersifat verbal atau linguistik, dan non linguistik. Komunikasi

linguistik dilakukan melalui penggunaan bahasa yang dipahami oleh kedua belah

pihak. Sementara komunikasi non linguistik mengambil bentuk penggunaan tanda-

tanda alam oleh Tuhan, dan isyarat atau gerakan tubuh oleh manusia. Baik dalam

komunikasi linguistik maupun non linguistik, inisiatif pada umumnya diambil oleh

Tuhan, sedangkan manusia pada dasarnya hanya melakukan respon atau tanggapan

terhadap inisiatif yang dilakukan oleh Tuhan. Ketiga, karena Tuhan adalah pencipta

dan pemelihara manusia, maka manusia harus tunduk dan mengabdi kepada-Nya

dengan sepenuh hati, sebagaimana seorang hamba mengabdi kepada tuannya. Dengan

demikian relasi ini dapat digambarkan sebagai relasi tuan-hamba. Dan keempat,

menurut konsep al-Qur‘an, Tuhan bersifat etik dan tindakannya terhadap manusia

dilakukan dengan cara yang etik. Sifat dan tindakan Tuhan tersebut membawa kepada

pengertian yang sangat penting bahwa manusia diharapkan untuk memiliki sifat etik

dan merespon tindakan Tuhan dengan cara yang etik pula.42

Relasi etik ini juga

dibahas secara panjang lebar dalam buku pertama yang disebutkan di atas.

Adapun pemilihan terhadap Toshihiko Izutsu, karena: Pertama, Tokoh

merupakan sosok intelektual yang dikenal memiliki pengetahuan yang baik tentang

Islam. Bahkan menurut Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang

sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh yang

mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat.43

Selain itu, Toshihiko Izutsu adalah

tokoh utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius

tidak hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya

melakukan perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan serius

pertama antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara pemikiran Islam

42

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 127-268. 43

http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

Page 28: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

14

dan Timur Jauh di dalam konteks kesarjanaan modern.44

Sebagai pelengkap

kecemerlangannya, ia menguasai lebih dari tiga puluh bahasa dunia termasuk Yahudi,

Persia, Cina, Turki, Sansekerta, dan Arab, serta beberapa bahasa Eropa modern.45

Kedua, ia merupakan sarjana non Muslim yang dengan metode dan

pendekatan yang dipakainya – kalau dipandang dengan sikap tebuka, tanpa

kecurigaan akan tujuan-tujuan negatif yang tersembuyi – dapat membuka cakrawala

baru atau mengingatkan lagi pada khazanah yang selama ini terlupakan. Di antara

sebabnya, menurut Machasin, karena kalangan non Muslim (outsiders) relatif dapat

bersikap lebih netral terhadap data-data historis yang tersimpan dalam karya-karya

kaum Muslim sendiri.46

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, penulis memandang bahwa penelitian

terhadap pandangan dan pemikiran Toshihiko Izutsu dalam kaitannya dengan al-

Qur‘an adalah menarik dan laik untuk dilakukan.47

Supaya penelitian ini memiliki

arah dan obyek yang jelas dan sistematis, maka penulis memberi judul: ―AL-

QUR‘AN DAN TAFSIRNYA DALAM PERSPEKTIF TOSHIHIKO IZUTSU‖.

44

http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 45

http://www.worldwisdom.com/public/authors/Toshihiko-Izutsu.aspx. Diakses 3 Mei 2009. 46

Machasin, ―Kata Pengantar‖ untuk edisi terjemahan bahasa Indonesia dalam Toshihiko

Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung, diterjemahkan oleh

Agus Fahri Husein, dkk., Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an,

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. xiii. 47

Penelitian (Arab = al-bahts, al-dirâsah; Inggris = research, study) merupakan instrumen

atau media untuk memperoleh dan menemukan kebenaran ilmiah. Posisi penelitian dalam dunia

keilmuan sangat penting karena ilmu dapat berkembang jika diteliti secara ilmiah, terus-menerus,

terprogram, dan komprehensif. Menurut David Nunan, penelitian adalah aktivitas akademik yang

melibatkan proses dan produk inquiry (penemuan), investigation (investigasi), dan evalusi (termasuk

pengujian) suatu asumsi atau hipotesis untuk memperoleh kebenaran dan solusi terhadap suatu

persoalan. David Nunan, Research Methods in Language Learning, (New York: the Press Syndicate of

the University of Cambridge, 1992), h. 2.

Page 29: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

15

B. Permasalahan

1. Identifikasi masalah

Permasalahan yang mungkin diteliti dari judul penulis tetapkan dalam tulisan

ini adalah: Bagaimana al-Qur‘an dalam pandangan Toshihiko Izutsu?; Apa motif

yang melatarbelakangi ketertarikan Toshihiko Izutsu terhadap studi al-Qur‘an?;

Pendekatan apa yang digunakan Toshihiko Izutsu dalam mengkaji al-Qur‘an?; Apa

sajakah perspektif baru yang diusulkan Toshihko Izutsu dalam metode

penafsirannya?; Sampai sejauhmana orisinilitas metode analisis semantik Toshihiko

Izutsu dibandingkan para ahli semantik sebelumnya?; Apa yang mendasari

terbentuknya metode analisis semantik Toshihiko Izutsu dan faktor-faktor apa yang

mempengaruhinya?; Apakah metode analisis semantik Toshihiko Izutsu representatif

untuk menjelaskan pandangan dunia al-Qur‘an? dan, Adakah pengaruh metode

analisis semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu terhadap kajian-kajian

al-Qur‘an di Indonesia?

2. Pembatasan masalah

Mengingat luasnya ruang lingkup obyek kajian, maka dalam tesis ini penulis

membatasi permasalahan pada dua bagian: 1) Al-Qur‘an dalam pandangan Toshihiko

Izutsu; dan 2) Metode analisis semantik Toshihiko Izutsu dan penerapannya dalam

penafsiran al-Qur‘an.

3. Rumusan masalah

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka pokok masalah dalam

penelitian ini adalah: ―Bagaimanakah pemikiran Toshihiko Izutsu tentang al-Qur‘an

dan metode penafsirannya?‖ Pertanyaan pokok ini secara lebih terinci, terurai dalam

pertanyaan-pertanyaan kunci berikut: bagaimanakah al-Qur‘an dalam pandangan

Toshihiko Izutsu?; dan apakah metode yang digunakannya memadai dalam

mengungkap kandungan al-Qur‘an?

Page 30: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

16

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Ada beberapa tulisan yang membahas tentang kajian al-Qur‘an oleh non-

Muslim, di antaranya adalah:

Pertama, Muẖammad Husain ‗Alî al-Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-

Qur‟âniyah, (Beirut: Dâr al-Muarrikh al-‗Arabi, 1999). Buku ini menguraikan

aktivitas orientalis dalam kajian yang bermacam-macam mengenai al-Qur‘an dan

mendiskusikan kajian tematis yang mereka lakukan. Menurutnya, kajian al-Qur‘an

oleh orientalis dilakukan di samping karena motivasi-motivasi negatif terhadap Islam,

seperti upaya agar orang-orang Muslim meninggalkan agamanya dan imperialisme,

juga karena murni motivasi ilmiah.

Kedua, Muẖammad Muẖammad Abû Lailah, al-Qur‟ân al-Karîm min al-

Manzhûr al-Istisyrâqî: Dirâsah Naqdiyah Taẖlîliyah, (Kairo: Dâr al-Nasyr li al-

Jâmi‗ât, 2002). Dalam tulisannya, Muẖammad Muẖammad Abû Lailah menunjukkan

bahwa kajian terhadap al-Qur‘an oleh para orientalis dilakukan dengan tujuan untuk

mendistorsi dan mereduksi pemahaman terhadap al-Qur‘an.

Ketiga, Fazlur Rahman, dalam pendahuluan bukunya Tema Pokok al-Qur‟an,

terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), Cet. II, h. x-xi,

menyebutkan tipologi kajian orientalis tentang al-Qur‘an, yaitu: pertama, kajian yang

berusaha untuk membuktikan adanya pengaruh tradisi Yahudi dan Kristen terhadap

al-Qur‘an; kedua, kajian yang menekankan pada pembahasan sejarah dan kronologi

turunnya al-Qur‘an; dan ketiga, kajian tentang tema-tema tertentu dari al-Qur‘an.

Keempat, Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian

Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005). Dalam tulisannya, Adnin Armas

memaparkan hujatan tokoh-tokoh Kristen terkemuka – dan juga Yahudi –kepada al-

Qur‘an. Hujatan yang dilontarkan sejak abad ke-8 Masehi tersebut didasari oleh

keinginan untuk mempertahankan keyakinan mereka terhadap Bibel sebagai God‟s

word. Menurut mereka, jika al-Qur‘an mengkritik Bibel, maka al-Qur‘an adalah

karya setan; jika ada hal-hal dalam al-Qur‘an yang bertentangan dengan Bibel, maka

Page 31: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

17

al-Qur‘an yang salah. Dengan demikian mereka menjadikan Bibel sebagai tolok ukur

untuk menilai al-Qur‘an.

Adnin Armas juga berusaha menolak penerapan metode-metode non „Ulum

al-Qur‟ân yang disebutnya sebagai metodologi Bibel terhadap al-Qur‘an serta

mengkritik sarjana-sarjana Muslim yang berusaha mengaplikasikannya seperti

Mohammed Arkoun dan Nashr Hâmid Abû Zaid. Selain itu, Adnin Armas juga

berusaha menanggapi kritikan para orientalis modern dan kontemporer yang

menggunakan metodologi Bibel untuk mengkaji al-Qur‘an. Berdasarkan metodologi

Bibel, mereka berkesimpulan bahwa al-Qur‘an Mushẖaf ‗Utsmânî telah mengalami

berbagai taẖrîf (penyimpangan). Oleh sebab itu, menurut mereka, al-Qur‘an edisi

kritis diperlukan. Terakhir, Adnin Armas juga memaparkan kajian-kajian sarjana-

sarjana Yahudi dan Kristen mengenai adanya kosakata asing dalam al-Qur‘an yang

dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa ajaran-ajaran al-Qur‘an

merupakan jiplakan dari ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen yang disusun oleh

Muhammad.

Kelima, Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997). Tulisannya mencoba untuk

mengemukakan pandangan Barat tentang al-Qur‘an dengan menganalisis tiga metode

pendekatan yang digunakan, yaitu: (1) pendekatan historisisme, (2) pendekatan

fenomenologi, dan (3) pendekatan historisisme-fenomenologi. Ketiga metode

pendekatan tersebut dianalisis dan dievaluasi dalam tiga segi, yaitu: (1) evaluasi

historis, (2) evaluasi konsep-substansial, dan (3) evaluasi metodologis. Tujuan yang

ingin dicapai dengan penulisan tersebut adalah untuk memahami perspektif Barat

tentang al-Qur‘an yang menggunakan ketiga metode pendekatan tersebut di atas,

kemudian melihat sisi perbedaan pandangan Islam dan Barat melalui studi evaluatif.

Keenam, Andrew Rippin, ―Western Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane

Dammen McAuliffe, The Cambridge Companion to the Qur‟ān, (Cambridge:

Cambridge University Press, 2007). Dalam tulisannya, Andrew Rippin

Page 32: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

18

mendiskusikan term kesarjanaan Barat dalam kajian al-Qur‘an dengan

mengemukakan kajian sarjana-sarjana Barat mulai dari abad pertengahan sampai

dengan abad kontemporer. Menurutnya, pendekatan terhadap al-Qur‘an yang dapat

diidentifikasi memiliki nilai kesarjanaan baru menemukan karakternya pada abad

kesembilan belas.

Ketujuh, Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi

Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2006). Dalam buku ini, Dadan Rusmana

memaparkan metodologi kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat. Tujuan yang

hendak dicapai adalah menarik peneliti untuk mengembangkan kajian lebih lanjut

mengenai studi al-Qur‘an di Barat, baik dari segi substansi maupun metodologi.

Kedelapan, Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dan

Studi al-Qur‘an‖ terj. Eva F. Amrullah dan Faried F. Saenong, dalam Jurnal Studi al-

Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 45-74. Dalam artikel tersebut, S. Parvez Manzoor

mengkritik habis-habisan kajian al-Qur‘an yang dilakukan oleh para orientalis. Ia

menyatakan bahwa kajian mereka, terlepas dari manfaat yang dihasilkannya,

merupakan proyek yang dilatarbelakangi oleh rasa kedengkian, superioritas, dan

dendam terhadap umat Muslim. Tujuan yang ingin dicapai dari proyek tersebut

adalah melemahkan keyakinan umat Muslim terhadap kitab sucinya (al-Qur‘an).

Kesembilan, M. Quraish Shihab, ―Orientalisme‖ dalam Jurnal Studi al-

Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 21-44. Dalam artikel ini, M. Quraish Shihab

mengungkapkan bahwa orientalis, berdasarkan pandangan dan hasil penelitian

mereka, terbagi kepada dua kelompok, yaitu: (1) para orientalis yang melakukan

penelitian secara obyektif ilmiah. Mereka ini terbagi lagi menjadi dua: yang berhasil

menemukan kebenaran bahkan menganut ajaran Islam dan yang gagal karena

keterbatasan pengetahuan atau penggunaan kacamata yang keliru; (2) para orientalis

yang melakukan penelitian secara subyektif, sehingga hasil yang mereka dapatkan

tidak benar. Kelompok ini juga dapat dibagi menjadi dua: yang pertama seluruh hasil

karyanya keliru dan yang kedua hasil karyanya sebagian keliru dan sebagian yang

Page 33: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

19

lain benar. Keadaan ini memang mereka sadari, bahkan mereka pergunakan untuk

memperdaya pembacanya dengan cara menonjolkan kebenaran yang mereka

dapatkan, sehingga seolah-olah hasil penelitian mereka secara keseluruhan bersifat

obyektif dan benar.

Jika kekeliruan orientalis yang termasuk kelompok pertama adalah perbedaan

kacamata yang digunakan dan kelemahan ilmu bantu, maka kekeliruan orientalis

kelompok kedua adalah adanya pra-konsepsi. Orientalis kelompok kedua ini menarik

simpulan dengan cara: pertama, menukil pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan

sarjana Muslim, tetapi memilih apa yang dapat mereka jadikan bukti keinginan

mereka; kedua, menukil dalam bentuk yang secara selintas terlihat sempurna, tetapi

pada hakikatnya mengabaikan satu atau dua huruf yang amat berpengaruh dalam

makna; ketiga, mengemukakan kritik-kritik yang terlihat sebagai kritik mereka,

padahal sesungguhnya apa yang mereka kemukakan tersebut telah dikemukakan oleh

para sarjana Muslim dan telah pula diberi jawabannya yang tepat.

Berdasarkan pengamatan penulis, karya-karya di atas secara garis besar

merefleksikan dua arus utama respon sarjana Muslim terhadap kajian al-Qur‘an oleh

non-Muslim, yaitu: pertama, pendapat yang tidak memperbolehkan non-Muslim

mengkaji al-Qur‘an; dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa al-Qur‘an terbuka

bagi siapa saja yang mau mengkajinya. Adapun tesis ini pada dasarnya dimaksudkan

untuk mendukung pendapat kedua, dengan meneliti pandangan dan metode Toshihiko

Izutsu dalam mengkaji al-Qur‘an.

D. Tujuan Penelitian

Merujuk kepada rumusan masalah yang penulis sajikan di atas, maka

penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: pertama, mengidentifikasi dan

menganalisis pandangan Toshihiko Izutsu tentang al-Qur‘an; kedua, mengidentifikasi

dan menganalisis metode analisis semantik yang dikembangkan Toshihiko Izutsu

dalam penafsiran al-Qur‘an.

Page 34: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

20

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik secara akademik, sosial,

maupun praktis:

Secara akademik, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya khazanah studi

al-Qur‘an yang tidak hanya berorientasi pada metodologi klasik, tapi juga studi yang

membuka diri terhadap pemanfaatan teori hasil penelitian ilmiah modern, dalam hal

ini semantik.

Secara sosial, penelitian ini bermanfaat untuk membuka dialog yang lebih

inklusif antara Islam dan non-Islam, sehingga diharapkan pula muncul solusi

alternatif dalam pemecahan problem-problem kemanusiaan dewasa ini.

Secara praktis, penelitian ini untuk memberi wawasan dan pedoman kepada

para penafsir dalam menafsirkan al-Qur‘an dengan menggunakan teori semantik.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan pendekatan penelitian

Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian teks (dirâsat nushûsh),

karena obyek penelitian ini adalah teks yang merupakan karya-karya Toshihko Izutsu.

Peneliti dalam hal ini berupaya mengidentifikasi dan menganalisis pandangan

Toshihiko Izutsu tentang al-Qur‘an dan model pendekatannya dalam mengkaji al-

Qur‘an melalui karya-karyanya tersebut. Karena itu, pendekatan yang digunakan

dalam pengumpulan dan pemaknaan data adalah pendekatan kualitatif atau

interpretatif.

Paradigma yang mendasari penelitian ini adalah interpretivisme dan

naturalisme. Realitas teks dipahami sebagai sebuah konstruksi pemikiran yang sarat

makna, tafsir atau interpretasi.48

Teks-teks yang ditulis oleh Toshihiko Izutsu

diperlakukan sebagai sebuah realitas pemikiran yang satu sama lain merupakan satu

kesatuan yang utuh. Dalam hal ini, peneliti memosisikan diri sebagai ―instrumen‖

48

A. Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), Cet. I, h. 44-45.

Page 35: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

21

yang bergumul dan berinteraksi langsung dengan teks yang diteliti dan berusaha

memberi makna (kognisi, afeksi, intensi, nosi, interpretasi, dan sebagainya) terhadap

realitas teks yang ada dan mempertautkan satu makna dengan lainnya dalam konteks

―pandangan dan pendekatan dalam kajian al-Qur‘an‖. Oleh karena itu, teks yang

diteliti diperlakukan sebagai sebuah sistem aktual (actual system) yang berkaitan

dengan persepsi dan metode pendekatan terhadap al-Qur‘an.

Dari segi pemahaman teks sebagai realitas pemikiran, penelitian ini

sesungguhnya berada dalam area textual linguistics („ilm al-lughah al-nashshî). Ilmu

ini mengemban dua misi atau fungsi utama, yaitu: (1) textual description (al-washf

al-nashshî), menggambarkan dan menarasikan fenomena-fenomena yang ditampilkan

teks; meneropong dan memetakan pemikiran yang tersurat maupun tersirat dalam

teks; dan (2) textual analysis (al-tahlîl al-nashshî), menganalisis dan menjelaskan

realitas teks; memaknai isi dan substansi teks melalui pembacaan lintas-teks

(intertextuality, al-tanâshsh).49

Dengan demikian, penelitian ini berbasis pendekatan

tekstual.

2. Sumber data

Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data itu dapat

diperoleh. Sumber data dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu

data primer dan data sekunder.

Sumber primer dalam penelitian ini adalah karya-karya Toshihiko Izutsu,

yaitu: God and Man in the Koran: Semantics of the Koran Weltanschauung, (Kuala

Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), dan Ethico-Religious Concepts in the Al-Qur‟an,

(Canada: McGill Queen‘s University Press, 2002). Sedangkan sumber sekunder di

antaranya: Ahmad Sahidah, Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟ān

menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu, (http://www. ahmadsahidah.blogspot.com), dan

karya-karya yang berkenaan dengan kajian al-Qur‘an.

49

Subhî Ibrâhîm al-Faqî, „Ilm al-Lughah al-Nashshî Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq:

Dirâsah Tathbîqiyyah „ala al-Suwar al-Makkiyah, (Kairo: Dâr Qubâ‘, 2000), h. 55.

Page 36: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

22

3. Teknik pengumpulan dan analisis data

Data penelitian ini dikumpulkan melalui studi teks (literatur) terhadap karya-

karya Toshihiko Izutsu yang dapat ditemukan. Untuk melengkapi dan memperkaya

wacana dan pemikirannya, penulis juga melakukan studi terhadap karya-karya yang

ditulis oleh sarjana-sarjana lain berkenaan dengan pemikiran Toshihiko Izutsu.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi teks. Analisis

isi teks ini menganut asas intertekstualitas (al-tanâshsh) karena, sebagaimana

dijelaskan oleh Tammâm Hassân, teks itu saling menjelaskan dan menafsirkan satu

sama lain.50

Teknik analisis ini mirip dengan metode tafsir tematik. Karena itu,

membaca dan memahami pemikiran Toshihiko Izutsu perlu diletakkan pada satu

kesatuan wacana dari keseluruhan karyanya yang dapat ditemukan dan dibaca ulang

melalui penelitian ini. Jadi, intertektualitas merupakan model analisis yang berupaya

menggabungkan atau membandingkan keseluruhan teks yang memiliki topik

pembicaraan yang sama. Analisis intertekstual menunjukkan bagaimana teks secara

selektif mempergunakan keteraturan wacana (orders of discourse), kekhususan

konfigurasi teks (genre, wacana, narasi, dan sebagainya), dan prosedur, interpretasi,

dan lingkungan sosial yang turut membentuk substansi teks. Analisis intertekstual

juga memberikan perhatian terhadap dependensi teks atas masyarakat dan sejarah

dalam bentuk sumber-sumber yang membuat keteraturan wacana:51

bagaimana secara

50

Dalam linguistik teks (‗ilm Lughat al-Nashsh), pemikiran yang ternarasikan dalam teks dapat

dipahami dan diinterpretasikan dengan baik jika diposisikan sebagai satu kesatuan yang utuh (wahdah

mutakâmilah atau al-nashsh ka kullin). Memperlakukan teks sebagai sebuah keseluruhan perlu

melibatkan berbagai perspektif dan relasi teks dengan konteks sosial, psikologis, kultural, dan

sebagainya sehingga dapat ditemukan pola-pola keteraturan dan kesimpulan alur pemikiran.

Bandingkan dengan Sa‘îd Hasan Buhairî, ‗Ilm Lughat al-Nashsh, (Kairo: Muassasah al-Mukhtâr,

2003), Cet. I, h. 93. 51

Wacana adalah pembicaraan, diskursus, mengenai suatu topik bahasan. Komponen wacana

dapat dibagi menjadi empat, yaitu: wacana referensi (khitâb al-ihâlah), wacana persuasif (khithâb

iqnâî), wacana susastra (khithâb adabî), dan wacana ekspresif (khithâb ta‟bîrî). Wacana referensi

meliputi wacana ilmiah, wacana informatif, dan wacana eksploratif. Cirinya adalah terdapat masalah,

hipotesis, dan usaha memecahkannya berdasarkan data empiris yang dapat diuji melakui penelitian

ilmiah. Kriteria wacana ini adalah logika ilmiah, penalaran deduktif dan induktif, aspek semantik,

pemilihan kata, ketatabahasaan dan efektivitas kalimat berikut pengorganisasiannya. Lihat JOS. Daniel

Parera, Linguistik Edukasional, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 119-120.

Page 37: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

23

dinamis dan dialektif teks dapat merubah sumber-sumber sosial dan historis; dan

bagaimana genre (wacana, narasi, catatan, dan sebagainya) dapat menyatu dalam

teks?52

Adapun prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut: a)

mengidentifikasi pembahasan-pembahasan yang mengandung pandangan dan

pendekatan Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an dalam berbagai tulisannya yang

dapat ditemukan; b) mengelompokkan pembahasan-pembahasan sesuai karangka

pembahasan yang peneliti buat, yaitu: (1) konsep wahyu, sumber al-Qur‘an, dan

penafsiran al-Qur‘an, (2) konsep-konsep metodologis penafsiran dan aplikasinya

dalam penafsiran al-Qur‘an; d) menghubungkan materi dengan pendapat Toshihiko

Izutsu pada karyanya yang lain, yang menyinggung pembahasan yang sama; e)

menghubungkan dan membandingkan pendapat Toshihiko Izutsu dengan pendapat

sarjana-sarjana yang lain, baik Muslim maupun non-Muslim; dan f) menyimpulkan

hasil penelitian.

4. Teknik penulisan dan penyajian hasil penelitian

Teknik penulisan tesis ini didasarkan pada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah

(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah

(2007) dengan sedikit pengecualian pada penulisan catatan kaki (footnote) dan

transliterasi. Dalam penulisan catatan kaki, penulis tidak memakai istilah ibid, lok cit,

dan op cit, tetapi menggantinya dengan penulisan nama penulis berikut judul atau

judul besar buku tersebut. Sedangkan transliterasi yang digunakan mengacu pada

transliterasi yang ditetapkan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

(2007) dengan beberapa modifikasi sebagai tercantum dalam Pedoman Transliterasi

di bagian awal tesis ini.

Hasil penelitian ini disajikan dalam semua pembahasan (bab) dalam tesis ini,

dan tidak dikhususkan pada bab tertentu, karena tesis ini merupakan satu kesatuan

52

Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language, (London:

Longman, Group Limited, 1995), h. 188-189.

Page 38: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

24

yang utuh mengenai hasil pembacaan, penelusuran data, sistematisasi, validasi, dan

konklusi terhadap pandangan dan pendekatan Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an

yang terdapat dalam karya-karyanya.

Penyajian hasil penelitian ini juga diperkuat dan divalidasi dengan berbagai

literatur atau referensi terkait yang diletakkan pada catatan kaki (footnote). Beberapa

hal (istilah, konsep, dan ungkapan) yang dinilai perlu diberi penjelasan lebih lanjut

juga diberikan penjelasan dalam dua tanda kurung dan/atau dalam catatan kaki.

G. Sistematika Pembahasan

Hasil penelitian ini akan ditulis dalam lima bab dengan sistematika

pembahasan sebagai berikut:

Bab I berisi pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah,

permasalahan, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian,

manfaat/signifikansi penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II menguraikan non-Muslim dan kajian al-Qur‘an yang terdiri dari:

pandangan non-Muslim terhadap al-Qur‘an dan pendekatan-pendekatan yang mereka

gunakan dalam mengkaji al-Qur‘an, serta respon sarjana Muslim terhadap kajian al-

Qur‘an oleh sarjana-sarjana non-Muslim. Uraian-uraian dalam bab ini dimaksudkan

untuk menganalisis perbedaan pandangan di antara sarjana-sarjana non-Muslim

mengenai al-Qur‘an, dan untuk memetakan pendekatan-pendekatan yang

dipergunakan al-Qur‘an sehingga menghasilkan simpulan yang berbeda, serta

menganalisis respon sarjana Muslim terhadap kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana

non-Muslim.

Bab III berisi uraian pandangan Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an. Bab ini

dimaksudkan untuk selain untuk mengungkap bagaimana pandangan Toshihiko

Izutsu terhadap al-Qur‘an, juga untuk menganalisis apakah pendekatan yang

dipergunakan dalam mengkaji al-Qur‘an.

Page 39: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

25

Bab IV berisi analisis terhadap metode penafsiran Toshihiko Izutsu yang

terdiri dari: konsep-konsep metodologis, analisis perbandingan dengan metode lain,

terutama metode semantik, dan kritik terhadap metode semantik Toshihiko Izutsu.

Bab ini dimaksudkan untuk mengungkap dan menganalisis metode semantik yang

dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu dan mekanisme penerapannya, serta keunggulan

dan kelemahannya dalam penafsiran al-Qur‘an.

Bab V merupakan bab penutup yang meliputi: simpulan dan saran-saran.

Simpulan yang akan penulis sajikan dalam tesis, merupakan respon konkret atas

rumusan masalah yang dimajukan dalam penelitian. Sehingga semua problem yang

muncul dalam penelitian ini dapat terjawab dengan jelas, dengan harapan bisa

bermanfaat baik secara akademik, sosial, dan praktis.

Page 40: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

26

BAB II

NON MUSLIM DAN KAJIAN AL-QUR‘AN

Kajian mengenai al-Qur‘an oleh non-Muslim memberikan implikasi yang

sampai sekarang masih menjadi perdebatan di kalangan umat Muslim. Dalam

pandangan penulis, perdebatan tersebut menyangkut pendekatan non-Muslim dalam

kajian al-Qur‘an, dan otoritas non-Muslim dalam penafsiran al-Qur‘an. Dalam

kaitannya dengan tokoh yang pemikirannya menjadi fokus penelitian ini, kedua isu

tersebut menjadi penting untuk diuraikan dalam bab II ini. Namun sebelumnya perlu

juga diketengahkan sejarah aktivitas kajian al-Qur‘an oleh non-Muslim agar dapat

diketahui pencapaian-pencapaian mereka selama ini.

D. Kajian al-Qur‘an oleh Non-Muslim dalam Lintasan Sejarah

Sebagai sebuah Kitab Suci, al-Qur‘an ternyata sangat menarik perhatian tidak

saja umat Islam, namun juga non-Muslim. Ketertarikan non-Muslim terhadap al-

Qur‘an, menurut Hartmut Bobzin, diawali oleh satu kenyataan bahwa dalam al-

Qur‘an banyak ayat yang berkaitan dengan ajaran-ajaran kitab suci umat terdahulu.53

Di samping hal itu, dalam al-Qur‘an juga terdapat beberapa bagian yang oleh

kalangan non-Muslim, terutama umat Kristiani, dianggap mengkritik keyakinan

agama mereka.54

Untuk membela ajaran mereka, sarjana-sarjana non-Muslim banyak

melakukan kajian kitab suci umat Muslim dari pelbagai aspeknya. Debat polemik

mendapat perhatian yang besar. Hal ini membentuk tahapan awal bagi penelitian al-

Qur‘an yang lebih obyektif-saintifik, sebuah upaya-upaya yang dimulai pada abad

modern. Karya-karya polemik yang menyerang Islam yang ditulis oleh orang-orang

Yahudi dan Kristen, dalam pandangan Hartmut Bobzin, tidak menjadikan karakter al-

53

Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen

McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, Vol. 4, (Leiden: E.J. Brill, 2004), h. 235. 54

Lihat Q.S. al-Nisâ‘ (4): 157; Q.S. al-Mâ‘idah (5): 72 dan 73; Q.S. al-Taubah (9): 30 dan 31.

40

Page 41: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

27

Qur‘an sebagai wahyu Allah sebagai tema terpenting di dalamnya. Tema-tema seperti

monoteisme, otentisitas kitab-kitab suci terdahulu, dan bukti-bukti kenabian

Muhammad merupakan pokok bahasan dalam perdebatan mereka. Jika mereka

menulis tentang al-Qur‘an, maka mereka lebih berhati-hati karena dapat menyentuh

sensitivitas kaum Muslim. Maka tidaklah mengejutkan, jika karya-karya orang

Yahudi dan Kristen tentang al-Qur‘an pada ketika itu relatif masih sangat sedikit.55

Kajian al-Qur‘an oleh non-Muslim sejak abad ke-12 sampai sekarang

tampaknya direpresentasikan oleh sarjana-sarjana Barat. Kajian ini dimulai dengan

penerjemahan al-Qur‘an ke dalam berbagai bahasa Eropa. Usaha penerjemahan ini,

menurut W. Montgomery Watt, dimulai pada pertengahan abad kedua belas. Ketika

itu, Peter the Venerable (1094-1156) – kepala biara induk di Cluny (Perancis) –

dengan tujuan mempersiapkan orang-orang Eropa berhubungan dengan orang-orang

Islam, menghimpun, membiayai, dan menugaskan sejumlah orang untuk

menghasilkan karya-karya yang berkenaan dengan Islam. Salah satu hasilnya adalah

penerjemahan al-Qur‘an ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton, yang selesai

pada tahun 1143.56

Terjemahan ini, yang diberi nama Liber Legis Saracenorum quem

Alcoran Vocant (Kitab Hukum Islam yang disebut al-Qur‘an), merupakan terjemahan

al-Qur‘an yang pertama dalam bahasa Latin. Terjemahan al-Qur‘an ini memiliki arti

yang luar biasa bagi kaum intelektual dan agamawan di Barat. R.W. Southern, dalam

bukunya yang berjudul Western Views of Islam in the Middle Ages, menyatakan

bahwa dengan terjemahan tersebut Barat untuk pertama kalinya memiliki instrumen

55

Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen

McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, h. 235-253. 56

W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, (Edinburgh: Edinburgh University

Press, 1970), h. 173. Usaha yang dirintis oleh Peter the Venerable telah memunculkan tradisi pecia,

yaitu tradisi penyalinan manuskrip ke dalam beberapa bagian. Tradisi, yang kemudian melembaga, ini

muncul karena kurangnya jumlah orang yang mampu menyalin manuskrip, bukan karena hasrat untuk

mencapai keakuratan dalam penyalinan. Franz Rosenthal, Etika Kesarjanaan Muslim, terj. Ahsin

Mohammad, (Bandung: Mizan, 1996), h. 101.

Page 42: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

28

untuk mempelajari Islam secara serius.57

Terjemahan Latin tersebut pada gilirannya

memiliki pengaruh besar di kalangan sarjana selama beberapa abad.58

Sebagai sumber

utama studi al-Qur‘an, terjemahan Latin itu juga dimanfaatkan oleh sejumlah apolog

Kristen seperti Nicholas of Cusa, Dionysius Carthusianus, Juan of Torquemada, Juan

Luis Vives, Marthin Luther, Hugo Grotius, dan lainnya.59

Terjemahan al-Qur‘an Robert of Ketton dalam bahasa Latin tersebut, menurut

Regis Blachere, mengandung banyak sekali penyimpangan di dalamnya.60

Hal ini

juga disadari oleh Juan dari Segovia (1400-1458).61

Untuk itu itu, ia pada tahun 1454

berusaha untuk menggarap penerjemahan al-Qur‘an dengan harapan dapat

memperbaiki sejumlah kekeliruan dari naskah terjemahan al-Qur‘an Robert of Ketton

dengan mencari padanan yang tepat dalam bahasa Latin untuk dapat memindahkan

konsep-konsep al-Qur‘an. Langkah Juan ini didukung oleh Nicholas dari Cusa, yang

dalam Cibratio Alcoran (1460) berupaya menyajikan studi filologis dan historis yang

memadai atas al-Qur‘an. Meskipun demikian, menurut Samuel Zwemer, terjemahan

Robert of Ketton ini menjadi fondasi penerjemahan al-Qur‘an ke dalam bahasa Italia,

Jerman, dan Belanda.62

Pada abad ke-17 muncul berbagai usaha perjemahan al-Qur‘an ke dalam

bahasa-bahasa Eropa. Schweigger berusaha membuat terjemahan al-Qur‘an dalam

bahasa Jerman yang dilakukan di Nurenburg (Bavaria) dan selesai pada tahun 1616.

57

―With this translation, the West had for the first time an instrument for the serious study of

Islam.‖ Sebagaimana dikutip oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian

Kritis, h. 20. 58

Para pendeta, pastor, dan misionaris selama 600 tahun menjadikan terjemahan Robert of

Ketton sebagai sumber utama ketika merujuk kepada al-Qur‘an. Adnin Armas, Metodologi Bibel

dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 20. 59

Hartmut Bobzin, ―A Treasury of Heresies: Christian Polemics against the Koran,‖ dalam

Stefan Wild (ed.), The Qur‟an as Text, (Leiden: E.J. Brill, 1996), h. 159. 60

Sebagaimana dikutip oleh Muẖammad Husain ‗Alî al-Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât

al-Qur‟âniyah, (Beirut: Dâr al-Muarrikh al-‗Arabi, 1999), h. 64. 61

Lihat Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, (Bandung:

Pustaka Setia, 2006), h. 86. 62

Sebagaimana dikutip oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian

Kritis, h. 20.

Page 43: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

29

Du Ryer membuat terjemahan dalam bahasa Perancis yang diterbitkan di Paris pada

tahun 1647. Terjemahan al-Qur‘an pertama ke dalam bahasa Inggris dilakukan oleh

Alexander Ross (Skotlandia) pada tahun 1649. Terjemahan ini tidak dilakukan dari

teks bahasa Arab, namun bersumber dari terjemahan al-Qur‘an dalam bahasa Perancis

yang dilakukan oleh Du Ryer. Ludovicci Maracci (1612-1700), seorang pendeta Italia

yang konon mengkaji al-Qur‘an selama 40 tahun, menghasilkan teks al-Qur‘an dari

berbagai naskah dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin pada tahun 1698 di

Padua. Ia tidak hanya menerjemahkan teks al-Qur‘an, tetapi juga menyelipkan

penolakan-penolakan terhadap klaim-klaim al-Qur‘an ke dalam bagian-bagian dari

terjemahan tersebut.63

Hal ini dilakukan untuk membuktikan kelemahan-kelemahan

al-Qur‘an. Terjemahan al-Qur‘an oleh Ludovicci Maracci ini dianggap terjemahan

yang terbaik di kalangan masyarakat Eropa ketika itu, karena mendukung upaya

penciptaan citra negatif terhadap Islam.

Pada abad ke-18, George Sale (1697-1736) menerjemahkan al-Qur‘an ke

dalam bahasa Inggris dengan judul The Alcoran of Mohammad: Translated from the

Original Arabic yang terdiri dari dua jilid dan dianggap sebanding dengan terjemahan

Ludovicci Maracci. Terjemahan yang muncul di London pada tahun 1734 ini

dilengkapi dengan catatan penjelasan dan komentar yang berharga yang didasarkan

atas karya tafsir penafsir Muslim terkemuka, al-Baidhâwî (w. 1268). Selain itu,

George Sale juga sering merujuk Injil St. Barnabas.64

Terjemahan ini juga disertai

preliminary discourse yang memberikan penjelasan singkat mengenai Islam,

kenabian Muhammad, dan al-Qur‘an, meskipun masih menunjukan subyektifitas dan

dan rivalitas ideologis Barat-Kristennya. Usaha penerjemahan George Sale ini

tampaknya diarahkan untuk memperbaiki terjemahan al-Qur‘an Robert of Ketton.

63

Andrew Rippn, ―Western Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe

(ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟ān, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h.

239. 64

George Sale, The Koran Interpreted, h. ix-x, sebagaimana dikutip oleh Faried A. Saenong,

―Kesarjanaan al-Qur‘an di Barat,‖ dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 151.

Page 44: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

30

Karya terjemahan ini dimasukkan ke dalam seri ―Chandos Classic‖ serta mendapat

pujian dan restu dari Sir E. Denison Ross. Menurut W. Montgomery Watt,

terjemahan George Sale ini kemudian dicetak ulang dengan tambahan komentar dari

E.M. Wherry. Karya revisi ini berjudul A Comprehensive Commentary on the

Qur‟an: Comprising Sale‟s Translation and Preliminary Discourse with Notes and

Emendations, yang dicetak di London dan Boston pada tahun 1882-1886. Edisi ini

merupakan edisi yang paling memuaskan secara tipografis dibanding edisi-edisi

lainnya. Meskipun demikian, catatan-catatan tambahan yang dibuat oleh E.M.

Wherry berkualitas rendah dan mengurangi nilai karya George Sale.65

Karya George Sale ini kemudian diikuti oleh sarjana-sarjana Jerman dan

Perancis. Terjemah al-Qur‘an ke dalam bahasa Jerman dilakukan oleh Boysen pada

tahun 1773, Wahl pada tahun 1828, dan Ullman pada tahun 1840. Terjemah al-

Qur‘an ke dalam bahasa Perancis dilakukan oleh Savary (1750-1788) dengan judul Le

Coran, traduit de l‟arabe, accompagné de notes, et précédé d‟un abrégé de la vie de

Mahomet, dan diterbitkan pada tahun 1783. Terjemahan ini muncul setelah disiapkan

di Mesir di mana ia tinggal dalam kurun waktu 1776-1779. Savary mengaku bahwa ia

beruntung dapat menerjemahkan al-Qur‘an ketika ia berada di tengah-tengah

masyarakat Muslim. Menurut Norman Daniel, terjemahan Savary ini cukup

bersahabat.66

Kemudian disusul oleh Kasimiriski pada tahun 1840 yang terbit untuk

pada tahun 1841 dan 1857.67

Salah satu faktor yang menyebabkan Perancis menaruh

perhatian kepada penerjemahan al-Qur‘an adalah karena Perancis pada saat itu

menduduki Aljazair dan Afrika Utara. Sementara itu, terjemahan dalam bahasa Rusia

diterbitkan di St. Petersburg pada tahun 1776.

Pada abad ke-19, kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat mengalami

banyak kemajuan. Perhatian terhadap al-Qur‘an tidak hanya terbatas pada penerbitan

65

W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 201. 66

Norman Daniel, Islam and the West, h. 313-320. 67

Najib al-‗Aqîqî, al-Musytasyriqûn, sebagaimana dikutip oleh Muẖammad Husain ‗Alî al-

Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-Qur‟âniyah, h. 66.

Page 45: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

31

teks al-Qur‘an dan terjemahannya. Kemajuan utama dalam kajian al-Qur‘an pada

abad ini ditandai dengan usaha-usaha untuk melacak sumber-sumber al-Qur‘an.

Abraham Geiger (1810-1874) dengan karyanya Was hat Muhammad aus dem

Judenthume Aufgenommen (Apa yang telah diambil Muhammad dari Yahudi). Jejak

Abraham Geiger ini baru diikuti setelah hampir setengah abad kemudian oleh

Hartwig Hirschfeld (1854-1934) dengan publikasinya pada tahun 1878, Judische

Elemente im Koran (Anasir Yahudi dalam al-Qur‘an), dan Manneval, La Christologie

du Koran (Kristologi al-Qur‘an, 1887).

Kemajuan lain juga ditunjukkan oleh sarjana-sarjana yang tertarik dengan

kehidupan Muhammad. Gustave Weil (1808-1889) – yang terkenal dengan

pendekatan historis-kritis terhadap sejarah Muhammad dalam karyanya, “Mohammed

der Prophet: sein Leben und seine Lehre,‖ – menulis Historische-critische Einleitung

in den Koran (Mukaddimah al-Qur‘an: kritis-historis, 1844), kemudian dilanjutkan

oleh Alloys Sprenger (1813-1893) dan William Muir (1819-1905). Alloys Sprenger

dan William Muir melakukan risetnya di India, dan menemukan sejumlah sumber

orisinil tentang biografi Muhammad.

Penerbitan dan penerjemahan al-Qur‘an pada abad ini masih tetap dilakukan.

Gustave Flügel (1802-1870) mempublikasikan al-Qur‘an yang diberi judul Corani

Textus Arabicus untuk pertama kali pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman).68

Ia juga

membuat sebuah konkordansi al-Qur‘an pada tahun 1842 dengan judul Concordantie

Corani Arabicae.69

Usaha ini disusul oleh J.M. Rodwell (1808-1900) menerjemahkan

al-Qur‘an ke dalam bahasa Inggris berdasarkan teks bahasa Arab yang diedit oleh

Gustave Flügel dan menyusunnya bukan menurut susunan tradisional, tetapi menurut

kronologinya mulai dari Q.S. al-‗Alaq (96) hingga Q.S. al-Maidah (5) berdasarkan

sejumlah hadits dengan merujuk kepada susunan William Muir dan juga berdasarkan

68

J.J.G Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974),

h. 3. 69

Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, h. 90.

Page 46: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

32

pertimbangan hati-hati terhadap tema setiap surat dan hubungannya dengan sejarah,

peristiwa, dan kehidupan Muhammad. Karyanya ini terbit pertama kali pada tahun

1861.70

Arthur J. Arberry, dalam The Koran Interpreted (1955), menilai bahwa karya

ini jauh sekali dari konteks permusuhan abad XVII. J.M. Rodwell memang tidak ragu

untuk mengatakan bahwa al-Qur‘an adalah karya Muhamamad, akan tetapi

estimasinya terhadap karakter Muhammad tidak mengurangi kemurahhatian dan

kekagumannya.71

Penerjemahan al-Qur‘an ke dalam bahasa Inggris pada abad ini juga

dilakukan oleh E.H. Palmer (1840-1882), yang diterbitkan pada tahun 1880,72

dengan

judul The Qur‟an. Berbeda dengan J.M. Rodwell, ia melakukannya berdasarkan

susunan tradisional surat-surat al-Qur‘an. Menurut catatan A.R. Nykl, ―Notes on E.H.

Palmer‘s The Qur‘an,‖ dalam The Journal of American Oriental Society, 56 (1936),

h. 77-84, terjemahan E.H. Palmer ini banyak mengandung kesalahan.73

Kajian al-Qur‘an di Barat pada abad ini tidak hanya terbatas pada penelitian-

penelitian yang dilakukan oleh kaum intelektualnya secara individu. Pada 1857,

Parisian Académie des Inscriptions et Bellers-Letters mengadakan kompetisi

penelitian yang bertema ―A Critical History of the Text of the Qur‘ān‖.74

Tema ini

menarik perhatian tiga sarjana terkemuka, yaitu: Alloys Sprenger, Michele Amari

(1806-1889), dan Theodore Nöldeke (1836-1930). Sarjana yang terakhir disebutkan

70

W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 178. 71

Sebagaimana dikutip oleh Faried A. Saenong, ―Kesarjanaan al-Qur‘an di Barat,‖ dalam

Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 153. 72

W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 178. 73

Sebagaimana dikutip oleh Faried A. Saenong, ―Kesarjanaan al-Qur‘an di Barat,‖ dalam

Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 154. 74

Ditetapkan bahwa penelitian tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

pertama, mengkaji bagian-bagian tahapan awal (primitif) dari komposisi al-Qur‘an dan menjelaskan

karakteristik bagian-bagaian tersebut; kedua, mengkaji sedalam mungkin bagian-bagian al-Qur‘an itu

untuk mencari tahapan-tahapan kehidupan Muhammad yang diceritakan di dalamnya, dengan bantuan

karya-karya sejarawan Arab dan para penafsir Muslim yang telah meneliti bidang yang sama; ketiga,

mengemukakan berbagai perubahan yang terdapat dalam al-Qur‘an sejak pembawaannya oleh

Muhammad sampai resensi definitive yang memberikan bentuk al-Qur‘an seperti yang ada sekarang;

keempat, mengkaji naskah-naskah paling tua untuk mengemukakan karakteristik variasi-variasi yang

muncul dari resensi-resensinya. W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 175.

Page 47: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

33

inilah yang memenangkan kompetisi tersebut dengan karyanya Geschichte des Koran

(Sejarah al-Qur‘an).75

Kecenderungan kajian abad ke-20 belum beranjak dari model kajian-kajian

sebelumnya di abad kesembilan belas, meski dengan tekanan dan model yang sedikit

berbeda. Hal ini dapat dilihat pada usaha Joseph Horovitz (1874-1931), Jewish

Proper Names and Derrivatives in the Koran (Nama Diri Yahudi dan Derivasinya

dalam al-Qur‘an), terbit pada tahun 1925 dan dicetak ulang pada tahun 1964; Charles

Cutley Torrey (1863-1956), The Jewish Foundation of Islam (Fondasi Yahudi Agama

Islam), terbit pada tahun 1933 dan dicetak ulang pada tahun 1967; dan Abraham I.

Katsch, Judaism and the Koran (Agama Yahudi dan al-Qur‘an), terbit pada tahun

1962. Kajian-kajian kesarjanaan Yahudi ini mencapai titik kulminasinya yang tragis

dengan terbitnya karya John Wansbrough (1928-2002), Quranic Studies: Source and

Methods of Scriptural Interpretation (Kajian-kajian al-Qur‘an: Sumber dan Metode

Tafsir Kitab Suci), terbit pada tahun 1977.

Tor Andrae (1885-1947), Der Usprung des Islams und das Christentum (Asal-

usul Islam dan Kristen, 1926). Tetapi salah satu karya kesarjanaan Kristen yang

paling menonjol dan berpengaruh dalam kategori ini adalah yang ditulis oleh Richard

Bell (1876-1953), The Origin of Islam in its Christian Environment (Asal-usul Islam

dalam Lingkungan Kristennya, 1926).

Wilhelm Rudolf (w. 1978) yang menulis Die Abhängigkeit des Koran von

Judenthume und Christentum (Ketergantungan al-Qur‘an dari Yahudi dan Kristen,

1922); Joseph Henninger, Spüren Chrislicher Glaubensahrheiten im Koran (Jejak-

jejak Kebenaran Keimanan Kristiani dalam Islam, Leipzig, 1943);76

dan D. Masson,

75

W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 175. 76

Joseph Henninger menyatan bahwa Islam tanpa pengaruh dari Perjanjian Lama dan Baru

sulit terwujud. Joseph Henninger, Spüren Chrislicher Glaubensahrheiten im Koran, (Leipzig, 1943), h.

1, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa

Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan

Hadits, h. 3.

Page 48: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

34

Le Coran et la Revelation Judeo-Chretienne (Al-Qur‘an dan Wahyu Yahudi-Kristen,

dua jilid, 1958).

Christoph Luxemberg (pseud.) yang telah mempublikasikan karyanya yang

berjudul Die Syrio-Aramäische Lesart des Koran: eine Entschüsselung der

Koransprache (Qira‘ah Syriak terhadap al-Qur‘an: Memecahkan Teka-teki Bahasa

al-Qur‘an). Buku ini, dengan perbedaan-perbedaan seperti yang dituturkan oleh

pengarangnya, merupakan babak lanjutan dari model kajian yang telah ditawarkan

oleh Abraham Geiger dan sarjana-sarjana lainnya yang berusaha untuk membuktikan

keterkaitan bahwa al-Qur‘an bersumber dari ajaran-ajaran kitab-kitab suci

sebelumnya. Christoph Luxemberg menganggap bahwa mushhaf al-Qur‘an sekarang

merupakan bentuk kesalahan salinan bahasa Arab fushẖâ dari bahasa Syria-Aramaik

(bahasa Aramaik dengan dialek Syria). Oleh karena itu, banyak penerjemahan dan

penafsiran kosakata al-Qur‘an yang tidak tepat. Ia juga menyatakan bahwa banyak

kata dalam al-Qur‘an yang disalah-artikan oleh kalangan penafsir. Anggapan ini

diperoleh dari investigasinya terhadap kosakata al-Qur‘an yang dibandingkan dengan

bahasa Syria-Aramaik sebagai lingua franca masyarakat Arab ketika al-Qur‘an

―diturunkan‖. Menurutnya, bahasa Arab fushẖâ merupakan bahasa yang datang

kemudian, setelah mantapnya bahasa Syria-Aramaik.77

Dalam perkembangan terakhir, menurut H.M. Nur Kholis Setiawan, terdapat

aspek lain yang turut mewarnai kajian al-Qur‘an dalam kesarjanaan di Barat, yaitu

mencari kesepahaman dalam perbedaan tradisi penafsiran kitab suci. Oleh karenanya,

tren mencari kelemahan suatu kitab suci dan mencari pengaruh suatu kitab suci

terhadap kitab suci lainnya telah ketinggalan jaman. Proyek-proyek prestisius yang

sedang dikembangkan adalah bagaimana tradisi penafsiran kitab suci memiliki fungsi

77

M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖

dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, (t.tp.:

Nawasea Press, 2007), h. 11. Lihat juga Syamsuddin Arif, ―Al-Qur‘an, Orientalisme, dan Luxemberg,‖

dalam Jurnal Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005, h. 19.

Page 49: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

35

dalam percaturan intelektial para pengimannya.78

Namun hal tersebut tidak berarti

bahwa proyek riset mengenai sejarah teks dan ortografi al-Qur‘an telah selesai. Sejak

tahun 2006, telah muncul proyek penelitian baru yang disponsori oleh Berlin

Brandenburgische Akademie der Wissenschaft, sebuah lembaga riset milik

pemerintah Negara bagian Berlin-Brandenburg, menganai edisi kritis teks al-

Qur‘an.79

Uraian di atas menunjukan bahwa kajian al-Qur‘an dalam kesarjanaan non-

Muslim cukup dinamis dan berkesinambungan. Temuan-temuan pendahulu mereka

terus-menerus dielaborasi oleh sarjana-sarjana berikutnya dengan menggunakan

berbagai pendekatan dan metode yang berkembang dalam lapangan ilmu-ilmu sosial

dan humaniora. Pendekatan dan metode demikian meniscayakan al-Qur‘an

diposisikan sebagai teks. Sebagai teks al-Qur‘an dipandang sejajar dengan teks-teks

bahasa yang lain.

E. Kategori dan Pendekatan Non-Muslim dalam Kajian Al-Qur‘an

Fazlur Rahman, dalam pendahuluan bukunya – Major Themes of the Qur‟an,

mencoba memetakan karya-karya sarjana Barat modern dalam studi al-Qur‘an sejak

munculnya karya Gustave Flügel ini hingga paruh abad kedua puluh ke dalam tiga

kategori: Pertama, kajian yang berusaha untuk membuktikan adanya pengaruh tradisi

Yahudi dan Kristen terhadap al-Qur‘an; Kedua, kajian yang menekankan pada

78

Salah satunya adalah proyek ―Hermeneutika Yahudi, Kristen, dan Islam sebagai kritik

Budaya‖ selama tiga tahun (dari 2002-2004) di Berlin. Tema yang ditawarkan adalah ―Midrash (tradisi

tafsir Yahudi), Exegesis (tradisi tafsir Kriten), dan Tafsîr (Islam). Sedang pada tanggal 3-13 Agustus

2003, dalam rangka proyek yang sama digelar ―International Summer Academy‖ dengan tema yang

sama, melibatkan 24 doktor muda dari 14 negara untuk mencari kesepahaman tradisi penafsiran dalam

agama. M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖ dalam

M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, h. 38. 79

M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖

dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, h. 38-

39.

Page 50: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

36

pembahasan sejarah dan kronologi turunnya al-Qur‘an; dan Ketiga, kajian tentang

tema-tema tertentu dari al-Qur‘an.80

Karya kesarjanaan Barat yang memiliki kecenderungan tipe pertama diawali

oleh Abraham Geiger (1810-1874), dengan karyanya Was hat Muhammad aus dem

Judenthume Aufgenommen (Apa yang telah diambil Muhammad dari Yahudi).

Sebuah karya yang ditulisnya dalam rangka mengikuti kompetisi masuk ke

Universitas Bonn pada tahun 1832.81

Sebagaimana tercermin dari judulnya, karya ini

memusatkan pada anasir Yahudi di dalam al-Qur‘an. Karya ini terdiri dari tiga

bagian: Bagian awal dari buku ini mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai

apakah Muhammad berniat untuk mengambil dari Yahudi, bisakah Muhammad

melakukan niatnya, jika bisa, bagaimana Muhammad melakukannya, dan apa yang

sebanding dengan rencana Muhammad untuk mengambil dari Yahudi. Kemudian

pada bagian kedua menghadirkan bukti-bukti historis untuk menopang argumen dan

jawaban beberapa pertanyaan tersebut. Bagian terakhir merupakan appendix

kelengkapan data bagi bagian kedua, sekaligus analisis mendalam untuk memperkuat

asumsi yang dibangun sebagai tesis sekaligus jawaban-jawaban bagian pertama.82

Temuan yang dihasilkan Abraham Geiger dalam penelitiannya adalah bahwa seluruh

ajaran Muhammad yang tertuang dalam al-Qur‘an sejak awal telah menunjukkan

sendiri asal-usul Yahudinya secara transparan: mulai dari sebagian besar kisah para

Nabi, sampai kepada ajaran-ajaran dan aturan-aturan al-Qur‘an.83

Jejak Abraham

Geiger ini baru diikuti setelah hampir setengah abad kemudian oleh Hartwig

Hirschfeld (1854-1934) dengan publikasinya pada tahun 1878, Judische Elemente im

80

Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit

Pustaka, 1996), Cet. II, h. x-xi. 81

Lihat Andrew Rippin (ed.), Introduction to the Qur‟an: Style and Contents, (Hampshire:

Ashgate Publishing Limited, 2001), h. xi. 82

M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖

dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, h. 5. 83

Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h.

67.

Page 51: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

37

Koran (Anasir Yahudi dalam al-Qur‘an), yang mengkonfirmasi lebih jauh temuan-

temuan pendahulunya tersebut.

Setelah kemunculan dua karya tersebut, sejumlah besar sarjana Barat mulai

menaruh perhatian serius terhadap pelacakan asal-usul genetik al-Qur‘an. Terjadi

semacam peperangan akademik antara sarjana-sarjana yang memandang al-Qur‘an

tidak lebih dari tiruan rentan tradisi Yahudi dan sarjana-sarjana yang menganggap

agama Kristen sebagai sumber utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi berupaya keras

membuktikan bahwa asal-usul genetik al-Qur‘an secara penuh berasal dari tradisi

Yahudi dan bahwa Muhammad merupakan murid seorang Yahudi tertentu. Karya-

karya kesarjanaan semacam ini antara lain ditulis oleh Joseph Horovitz (1874-1931),

Jewish Proper Names and Derrivatives in the Koran (Nama Diri Yahudi dan

Derivasinya dalam al-Qur‘an), terbit pada tahun 1925 dan dicetak ulang pada tahun

1964; Charles Cutley Torrey (1863-1956), The Jewish Foundation of Islam (Fondasi

Yahudi Agama Islam), terbit pada tahun 1933 dan dicetak ulang pada tahun 1967;

dan Abraham I. Katsch, Judaism and the Koran (Agama Yahudi dan al-Qur‘an),

terbit pada tahun 1962. Kajian-kajian kesarjanaan Yahudi ini mencapai titik

kulminasinya yang tragis dengan terbitnya karya John Wansbrough (1928-2002),

Quranic Studies: Source and Methods of Scriptural Interpretation (Kajian-kajian al-

Qur‘an: Sumber dan Metode Tafsir Kitab Suci), terbit pada tahun 1977. Dalam buku

ini John Wansbrough melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa al-Qur‘an

merupakan hasil konspirasi antara Muhammad dan pengikut-pengikutnya pada dua

abad pertama Islam yang secara sepenuhnya berada di bawah pengaruh Yahudi.84

Sementara para sarjana Kristen juga melakukan upaya senada dan berusaha

membuktikan bahwa al-Qur‘an tidak lain merupakan imitasi dari tradisi Kristen dan

Muhammad hanyalah seorang pengikut Kristen yang mengajarkan suatu bentuk aneh

agama Kristen. Karya kesarjanaan Kristen modern yang awal tentang sumber-sumber

84

John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation,

(New York: Prometheus Books, 2004), h. 61.

Page 52: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

38

Kristiani al-Qur‘an ditulis oleh Karl Friedrich Gerock, Versuch einer Darstellung der

Chronologie des Korans (Upaya Pengungkapan Kronologi al-Qur‘an), terbit pertama

kali pada tahun 1839.

Setelah tenggang waktu yang cukup lama, muncul karya-karya kesarjanaan

Kristen lainnya tentang topik ini, seperti Manneval, La Christologie du Koran

(Kristologi al-Qur‘an, 1887); dan Tor Andrae (1885-1947), Der Usprung des Islams

und das Christentum (Asal-usul Islam dan Kristen, 1926). Tetapi salah satu karya

kesarjanaan Kristen yang paling menonjol dan berpengaruh dalam kategori ini adalah

yang ditulis oleh Richard Bell (1876-1953), The Origin of Islam in its Christian

Environment (Asal-usul Islam dalam Lingkungan Kristennya, 1926).

Di samping karya-karya yang menitikberatkan asal-usul al-Qur‘an dalam

salah satu tradisi keagamaan Semit, yakni Yahudi dan Kristen, terdapat pula karya-

karya kesarjanaan Barat lainnya yang menekankan pengaruh kedua tradisi keagamaan

tersebut secara serempak terhadap kitab suci kaum Muslim. Karya-karya kategori

terakhir ini antara lain ditulis oleh Wilhelm Rudolf (w. 1978) yang menulis Die

Abhängigkeit des Koran von Judenthume und Christentum (Ketergantungan al-

Qur‘an dari Yahudi dan Kristen, 1922); Joseph Henninger, Spüren Chrislicher

Glaubensahrheiten im Koran (Jejak-jejak Kebenaran Keimanan Kristiani dalam

Islam, Leipzig, 1943);85

dan D. Masson, Le Coran et la Revelation Judeo-Chretienne

(Al-Qur‘an dan Wahyu Yahudi-Kristen, dua jilid, 1958). Sementara sejumlah sarjana

barat lain, seperti W. Montgomery Watt dan H.A.R Gibb, memperluas gagasan

terakhir ini dengan menegaskan bahwa latar belakang kelahiran Islam atau al-Qur‘an

adalah mileu Arab, walaupun banyak unsur-unsur Yudeo-Kristiani yang diserap

dalam formasi dan perkembangannya.

85

Joseph Henninger menyatan bahwa Islam tanpa pengaruh dari Perjanjian Lama dan Baru

sulit terwujud. Joseph Henninger, Spüren Chrislicher Glaubensahrheiten im Koran, (Leipzig, 1943), h.

1, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa

Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan

Hadits, h. 3.

Page 53: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

39

Karya kesarjanaan Barat yang dapat dikategorikan tipe kedua adalah

Historische-critische Einleitung in den Koran (Mukaddimah al-Qur‘an: kritis-

historis) karya Gustav Weil yang diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1844,

kemudian Geschichte des Koran (Sejarah al-Qur‘an) oleh Theodore Nöldeke (1836-

1930) yang diterbitkan pada tahun 1860. Buku Geschichte des Koran ini terdiri dari

tiga jilid. Jilid pertama disusun oleh Theodore Nöldeke sendiri dan membahas

kronologi turunnya surat-surat al-Qur‘an. Jilid kedua ditulis oleh muridnya, Friedrich

Schwally (w. 1919), membahas sejarah pengoleksian al-Qur‘an. Jilid ketiga ditulis

oleh Gotthelf Bergsträsser (1886-1933) dan Otto Pretzl membahas sejarah variasi

qiraat.86

Pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh sarjana-sarjana non Muslim

dalam mengkaji Islam, termasuk di dalamnya al-Qur‘an, di antaranya adalah

pendekatan sejarah, pendekatan fenomenologi dan pendekatan strukturalisme

linguistik.

1. Pendekatan sejarah

Pendekatan sejarah yang sangat berperan dalam kajian al-Qur‘an adalah

metode kritik sejarah. Metode kritik sejarah merupakan pendekatan kesejarahan yang

pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta obyektif secara utuh dan mencari

nilai-nilai (values) tertentu yang terkandung di dalamnya.87

Fakta dan nilai tersebut

ditelusuri dalam sejumlah data sejarah, bukan peristiwa sejarah itu sendiri. Jika data

sejarah disajikan secara kronologis, maka ini disebut pendekatan kesejarahan.

Kritik sejarah merupakan metode yang luas. Dalam metode ini tercakup

beberapa jenis kritik yang saling terkait, di antaranya kritik teks (textual criticism),

kajian filologis (philological study), kritik sastra (literary criticism), kritik bentuk

86

M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, ―Kata Pengantar‖ dalam Orientalisme

al-Qur‟an dan Hadits, h. x. 87

W. Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity, (London & New York:

Routledge, 1988), h. 68.

Page 54: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

40

(form criticism), dan kritik redaksi (redaction criticism).88

Sebagai sebuah metode

dalam penelitian sejarah Islam, kritik sejarah pertama kali dirintis oleh David S.

Margoliuth (1858-1940), Ignaz Goldziher, Henry Lammens, Joseph Schacht, H.A.R.

Gibb, H.J. Coulson, dan lain-lain. Penerapan metode ini terhadap aspek tertentu

dalam sejarah Islam menghasilkan beberapa tesa yang menghebohkan masyarakat

Muslim yang tradisional minded. Hal inilah yang menyebabkan metode kritik sejarah

sama sekali tidak berkembang di kalangan pemikir Muslim sampai dengan

pertengahan abad ke-20 M.

Dalam studi al-Qur‘an, sarjana non Muslim yang termasuk pioner dalam

menggunakan metode kritik sejarah adalah Abraham Geiger (1870-1874), seorang

Rabbi sekaligus pendiri Yahudi Liberal di Jerman. Karyanya adalah Was hat

Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen?, yang ditulis pada tahun 1833;

Gustav Weil (1808-1889), dengan karyanya adalah Historische-Kritische Einletung in

der Koran, yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1844; dan Theodor Nöldeke

(1836-1930), dengan karyanya Geschichte des Qorans yang diterbitkan pada tahun

1860.89

Penerapan metode kritik sejarah dalam kajian al-Qur‘an mengantarkan para

orientalis sampai pada kesimpulan bahwa al-Qur‘an adalah ciptaan Muhammad.

Ajaran-ajaran al-Qur‘an merupakan jiplakan dari ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen.

Metode ini banyak digunakan oleh non Muslim pada abad ke-19 dan paruh pertama

abad ke-20. Selanjutnya mulai paruh kedua abad ke-20, mereka mulai menerapkan

pendekatan baru yang disebut dengan pendekatan fenomenologi.

88

Edgar Krentz, The Historical-Critical Method, (Philadelphia: Fortress Press, 1975), h. 48-

54. 89

Andrew Rippin, ―Western Scholarship and the Qur‘an‖, dalam Jane Dammen McAuliffe

(ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟an, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h.

239-241.

Page 55: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

41

2. Pendekatan fenomenologi

Pendekatan fenomenologi dalam studi agama merupakan pendekatan yang

menjadikan agama sebagai obyek studi menurut apa adanya. Dengan kata lain,

fenomenologi agama berusaha menjelaskan fenomena keagamaan sebagaimana

ditunjukkan oleh agama itu sendiri. Dalam hal ini, kaum fenomenolog agama

mencegah sikap memandang fenomena keagamaan itu menurut visi mereka sendiri.90

Fenomenologi agama, menurut Ursula King, bertujuan untuk meneliti pola dan

struktur agama atau meneliti esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau

memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami

peranan agama dalam sejarah dan kebudayaan manusia.91

Fenomenologi agama merupakan reaksi terhadap pendekatan sejarah.

Menurut W. Brede Kristensen, pendekatan sejarah tidak dapat memahami

karakteristik yang absolut terhadap data-data keagamaan, karena dalam pendekatan

sejarah terdapat jarak antara peneliti dan obyek yang diteliti sehingga penelitian

tersebut tidak dapat mengidentifikasi data keagamaan sebagaimana yang dihayati

oleh orang-orang yang mengimaninya.92

Sementara dalam pendekatan fenomenologi,

peneliti menyatu dengan obyek yang diteliti. Dalam ungkapan Poespoprodjo, dalam

fenomenologi manusia menyatu dengan dunia.93

Berbeda dengan pendekatan sejarah, pendekatan fenomenologi mengakui

adanya fenomena supranatural atau transhistoris. Dalam fenomenologi terdapat

beberapa karakteristik wahyu, yaitu: a) dari segi asalnya, wahyu dipandang berasal

dari Tuhan, nenek-moyang, atau kekuatan mana‘; b) instrumen atau sarananya adalah

tanda-tanda yang suci di alam, binatang, tempat suci, mimpi, ekstasi, visi, dan lain-

90

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif),

(Semarang: Dina Utama, 1997), h. 74. 91

Ursula King, ―Historical and Phenomenological Approaches‖, dalam Frank Whaling (ed.),

Contemporary Approaches to the Study of Religion, (Berlin, New York, Amsterdam: Mouton

Publishers, 1984), h. 88. 92

Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah Studi Evaluatif), h. 75. 93

Poespoprodjo, Interpretasi, (Bandung: Remadja Karya, 1987), h. 69.

Page 56: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

42

lain; c) isi dan tujuannya adalah pendidkan, bantuan, hukum, perintah Tuhan, dan

lain-lain; d) penerimanya adalah dukun, tukang sihir, shaman, tukang tenung, nabi,

dan lain-lain; e) efek dan akibatnya menjadi pelajaran dan misi Tuhan.94

Salah seorang sarjana non-Muslim yang menggunakan pendekatan

fenomenologi dalam kajian al-Qur‘an adalah Charles J. Adams. Al-Qur‘an,

menurutnya, adalah wahyu yang diterima Muhammad dari Tuhan.95

William A.

Graham juga mengkaji al-Qur‘an dengan pendekatan fenonenologi. Ia menganalisis

keunikan karakter kitab suci umat Islam dari segi sifat oral al-Qur‘an dan fungsinya

sebagai firman Tuhan yang ―diturunkan‖, bukan dalam arti firman Tuhan yang

―tertulis‖ atau ―dibukukan‖. Sebagai firman Tuhan yang ―diturunkan‖, al-Qur‘an

memiliki beberapa karakteristik yang khas, yaitu: pertama, al-Qur‘an merupakan

umm al-Kitâb, ia mengakui adanya kitab suci sebelumnya dan menyatakan diri

sebagai wahyu Tuhan yang final dan lengkap; kedua, dalam agama-agama Ibrahim

(Abrahamic faith), yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, kitab suci menjadi pusat atau

sumber peribadatan, kesalehan, dan ketaatan. Namun dalam Islam, al-Qur‘an lebih

jelas lagi menjadi pusat transenden keimanan Muslim. Kalau dalam Yahudi,

kehadiran Tuhan termanifestaikan dalam hukum Taurat, Kristen dalam pribadi Yesus,

maka dalam Islam al-Qur‘an merupakan sarana langsung dalam perjumpaan dengan

Tuhan; ketiga, konsep mengenai kitab suci yang dikoleksi dalam satu kitab

merupakan ciri khas kitab suci Yahudi dan Kristen, sedang dalam Islam al-Qur‘an

merupakan Divine Word; oleh karena itu bentuk primer dan paling otoritatif dari teks

al-Qur‘an adalah bersifat oral, bukan tertulis.96

94

Johannes Deninger, ―Revelation‖, dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of

Religion, Vol. 11-12, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), h. 356. 95

Charles J. Adams, ―Qur‘an,‖ dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol.

12, (1987), h. 158. 96

William A. Graham, ―Qur‘an as Spoken Word: An Islamic Contribution to the

Understanding of Scripture,‖ dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies,

(Tucson: University of Arizona Press, 1985), h. 23-30.

Page 57: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

43

Sarjana lain dari kalangan non-Muslim yang juga menggunakan pendekatan

fenomenologi dalam kajian al-Qur‘an adalah Marcel A. Boisard. Menurutnya, al-

Qur‘an tidak lain adalah peringatan bagi seluruh umat manusia. Al-Qur‘an

merupakan ekspresi terakhir kehendak Tuhan, ia menjamin otentisitas dan kebenaran

wahyu sebelumnya, tetapi tidak menjamin keberlakuannya, karena masa berlakunya

telah habis dengan kedatangan Islam.97

Penggunaan pendekatan fenomenologi dalam studi al-Qur‘an relatif dapat

menghasilkan konklusi yang positif, karena fenomenologi memahami al-Qur‘an

berdasarkan data dokumen keagamaan dan data dari penganut agama Islam sendiri.

3. Pendekatan Strukturalisme Linguistik

Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai

sebuah struktur berikut unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun

struktur tersebut dipandang lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis daripada

sekadar susunan benda-benda. Oleh karena itu, masing-masing unsur hanya akan

bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur yang lain di dalam

struktur.98

Dengan demikian, pelbagai unsur pembangun struktur itu memiliki

koherensi atau pertautan yang erat. Mereka tidak otonom satu dengan yang lain,

melainkan menjadi bagian dari situasi yang rumit, dan hanya dengan interaksi itulah

ia mendapatkan arti.99

Strukturalisme linguistik memiliki akar-akarnya dalam

semiologi Saussure, Mazhab Linguistik Praha dan Formalisme Rusia. Pengaruh de

Saussure terhadap strukturalisme terletak pada pergeseran orientasi studi

linguistiknya dari pendekatan diakronik ke sinkronik. Dengan pendekatan sinkronik,

97

Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang,

1980), h. 186-187. 98

Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e-Library, 2004), h. 6-7. 99

Pemahaman strukturalisme demikian serupa dengan konsep nazhm yang dikembangkan

‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî yang menyoal hubungan sintagmatis kata di dalam kalimat dan struktur teks

yang lebih luas. Kata-kata individual, menurut al-Jurjânî, tidak memiliki nilai distingtif kecuali berada

dalam struktur yang lebih luas. Lihat Aẖmad Sayyid Muẖammad ‗Ammâr, Nazhariyyat al-I„Jâz al-

Qur‟ânî wa Atsaruhâ fî al-Naqd al-„Arabi al-Qadîm, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‗âshir, 1998), h. 152.

Page 58: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

44

studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya melainkan pada

hubungan antarunsurnya. Dalam pendekatan struktural, masalah unsur dan hubungan

antarunsur merupakan hal yang krusial.

Sebuah karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari berbagai

unsur yang saling berhubungan secara sistemik dan saling menentukan satu sama lain

sehingga membentuk sebuah totalitas pada dirinya. Pengertian struktur, menurut Jean

Piaget dalam bukunya Le Structuralisme (1968),100

adalah ditemukannya kesatuan

yang meliputi tiga ide dasar: ide kesatuan (the idea of wholeness), ide transformasi

(the idea of transformation), dan ide pengaturan diri sendiri (the idea of self-

regulation). Ide kesatuan mengandaikan bahwa struktur adalah keseluruhan yang

bulat, dan bahwa unsur-unsur pembentuknya tidak mungkin berdiri sendiri di luar

struktur. Ide transformasi menyaran pada pemahaman bahwa struktur dimaksud

bukanlah sesuatu yang statis melainkan mampu melakukan prosedur-prosedur

transformasional. Ide regulasi-diri menunjuk pada kemampuan struktur untuk

melakukan proses transformasi tanpa bantuan dari luar, melainkan cukup dengan

dirinya sendiri.101

Ketiga gagasan dasar dalam sebuah karya sastra demikian

mengasumsikan bahwa sebuah teks dapat dipahami cukup melalui berbagai unsur

yang membangunnya, berupa bahasa, ungkapan, dan sistem tanda lain yang tersurat,

tanpa memerlukan bantuan lain dari luar dirinya, hal-hal non-bahasa.

Dengan demikian, sebuah karya sastra, menurut kaum strukturalis, adalah

sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya,

yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan timbal balik dan saling

menentukan. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, unsur-unsur tersebut tidak

penting bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting

100

Sebagaimana dikutip oleh Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor &

Francis e-Library, 2004), h. 5. 101

Rahmad Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

cet. VII, 2000), h. 119.

Page 59: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

45

setelah berada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana

sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.

Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi,

mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik karya

bersangkutan. Setelah menjelaskan fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang

makna keseluruhannya, selanjutnya dijelaskan pula bagaimana hubungan antarusur

tersebut secara bersama membentuk sebuah totalitas-kemaknaan yang padu. Dengan

demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin

fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama

menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.

Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi antarunsur

dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan juga relasi intertekstual.102

Analisis

mikroteks itu misalnya berupa analisis kata-kata dalam kalimat, atau kalimat-kalimat

dalam paragraf atau konteks wacana yang lebih besar. Analisis relasi intertekstual

berupa kajian hubungan antarteks, baik dalam satu periode maupun dalam periode-

periode yang berbeda.

Pendekatan struktural menawarkan kelebihan bahwa analisis karya sastra

tidak lagi membutuhkan berbagai pengetahuan lain sebagai referensi, misalnya

referensi sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain—walau harus diakui bahwa hal-

hal tersebut dapat memperkaya wawasan dan pemahaman—melainkan ―cukup‖

berbekal kemampuan bahasa, kepekaan sastra dan minat yang intensif.103

Sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim, yang melakukan studi al-Qur‘an

dengan pendekatan struktural belum banyak. Di antara yang sedikit tersebut adalah

Toshihiko Izutsu (1914-1933) dan Richards C. Martin. Toshihiko Izutsu menerapkan

pendekatan struktural terhadap al-Qur‘an untuk dapat menangkap pandangan dunia

102

Dick Hartoko dan Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1986),

h.136. 103

A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984),

h. 139.

Page 60: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

46

Kitab Suci tersebut. Kajiannya tertuang dalam Ethico-Religious Concepts in the

Qur‟an (terbit pertama kali pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the

Ethical Terms in the Koran) dan God and Man in the Qur‟an: Semantics of the

Qur‟anic Weltanschauung (terbit pertama kali pada tahun 1964). Sementara Richards

C. Martin menerapkan pendekatan strukturalisme linguistik ini ketika menganalisis

Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26). Tulisannya berjudul ―Structural Analysis and the Qur‟an:

Newer Approaches to the Study of Islamic Text‖, dimuat dalam Jurnal of the

American Academic of the Religion, Vol. XLVII (1979), No. 4.104

Pemahaman terhadap pendekatan yang digunakan oleh sarjana-sarjana non

Muslim dalam kajian al-Qur‘an dirasa perlu bagi umat Muslim, karena hal ini dapat

membantu untuk memahami penyebab lahirnya pandangan sarjana-sarjana non

Muslim tersebut terhadap al-Qur‘an. Bila umat Muslim hanya memahami konklusi

dan konsep-konsep mereka saja, maka kemungkinan ―ketersinggungan iman‖ dapat

terjadi yang pada gilirannya dapat menimbulkan bibit-bibit konflik dan perasaan

antipati. Pemahaman terhadap pendekatan sebagaimana yang telah disebutkan di atas,

dapat menyelamatkan umat Muslim dari sikap emosional dan menuntutnya untuk

berdialog secara sehat.

F. Respon Sarjana Muslim

Jika ketertarikan umat Islam terhadap al-Qur‘an dipandang sebagai hal wajar

bahkan suatu keharusan, karena al-Qur‘an memang Kitab Suci mereka dan sumber

utama ajaran Islam, maka berbeda halnya jika non-Muslim melakukan hal yang sama

terhadap Kitab Suci umat Muslim ini. Meskipun aktivitas ini sudah lama dilakukan,

namun di kalangan umat Islam sampai saat sekarang masih timbul kecurigaan

terhadap kajian-kajian mereka. Tidaklah mengherankan apabila pertanyaan-

pertanyaan mengenai keabsahan kajian mereka sering dikemukakan: apakah mereka

104

Ahmad Zaki Mubarak, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur‟an

Kontemporer “a la” M. Syahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), h. 11.

Page 61: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

47

pantas atau memiliki otoritas untuk mengkaji al-Qur‘an? Apa motif-motif yang

mendorong mereka untuk melakukan kajian terhadap al-Qur‘an?

Secara historis, menurut Hartmut Bobzin, berdasarkan apa yang disebut

dengan perjanjian ‗Umar ibn Khattâb, non-Muslim dulu dilarang untuk mengajarkan

al-Qur‘an kepada anak-anak mereka. Dari sisi ini dapat diambil kesimpulan, bahwa

umat Islam pada umumnya tidak tertarik untuk memperbolehkan non-Muslim untuk

mengkaji al-Qur‘an.105

Kondisi ini kelihatannya terwariskan dalam sebagian kalangan

sarjana Muslim hingga sekarang.

Penolakan terhadap aktivitas non-Muslim dalam kajian al-Qur‘an disebabkan

oleh kekhawatiran akan dampak motivasi dan tujuan yang tidak baik dari orientalisme

kepada Islam. Beberapa studi terhadap kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat

memang menunjukkan dominannya motivasi dan tujuan dimaksud. Beberapa hasil

penelitian terhadap kajian-kajian orientalis seperti yang telah disampaikan oleh Fazlur

Rahman dalam Major Themes of The Qur‟an di atas, kemudian oleh Muẖammad

Musthafâ al-Aʻzhamî, dalam The History of The Qur‟anic Text: from Revelation to

Compilation, a Comparative Study with the Old and New Testaments, yang hampir

memastikan bahwa semua orientalis, meskipun dengan kadar yang berbeda, memiliki

motivasi dan tendensi yang berseberangan dengan tradisi Islam,106

demikian juga

dengan Muẖammad Husain ʻAlî al-Shaghîr, dalam al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-

Qur‟âniyyah, yang menyebutkan bahwa kajian orientalis terhadap al-Qur‘an, secara

khusus, dan kajian terhadap Islam, pada umumnya, didorong oleh motivasi

105

Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen

McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, Vol. 4, h. 235-253. Lihat juga Andrew Rippin, ―Western

Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe, The Cambridge Companion to the

Qur‟ān, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 237. 106

Muẖammad Musthafâ al-Aʻzhamî, The History of The Qur‟anic Text: from Revelation to

Compilation, a Comparative Study with the Old and New Testaments, (terj.), (Jakarta: Gema Insani,

2005). h. 335-379.

Page 62: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

48

penyebaran agama, imperialisme dan kolonialisme, di samping motivasi ilmiah,107

semakin memperkuat kekhawatiran tersebut.

Di samping itu, karena kebanyakan sarjana non-Muslim tidak mengakui al-

Qur‘an sebagai firman Allah. Adalah hal yang tidak mengherankan apabila dalam

karya sarjana-sarjana non-Muslim ditemukan pernyataan seperti, ―Al-Qur‘an adalah

perkataan atau ucapan Muhammad‖,108

dan ungkapan-ungkapan lain yang senada.

Dan karena tidak mengakui al-Qur‘an sebagai firman Allah, mereka juga tidak

memperlakukan al-Qur‘an sebagai kitab suci, melainkan sebagai dokumen literer.109

Yang demikian itu tentu saja melukai perasaan umat Islam karena secara fundamental

bertentangan dengan keyakinan umat Islam itu sendiri.

Secara metodologis, kajian Islam oleh non-Muslim memang akan selalu

menghadapi resistensi, tantangan dan gugatan. Hal ini karena, seperti yang

diungkapkan oleh Abdul Rauf, berdasarkan data sejarah, agak susah – bahkan tidak

mungkin – bagi seseorang untuk mempelajari agama orang lain.110

Fazlur Rahman

mengakui kritik Abdul Rauf tersebut, namun ia menyatakan bahwa hal tersebut hanya

berlaku bagi kalangan orientalis dan non-Muslim yang mendekati dan mengapresiasi

Islam tanpa didukung oleh pengetahuan yang memadai, namun hanya berdasarkan

atas praduga-praduga.111

Namun demikian, di tengah arus penolakan tersebut,

beberapa sarjana Muslim seperti Muẖammad Amîn al-Khûlî (1895-1966) yang

menggemakan bahwa al-Qur‘an merupakan ―kitab berbahasa Arab yang terhebat dan

karya sastra yang terpenting‖ (kitâb al-„arabiyya al-akbar wa atsaruhâ al-a„al-adabî

107

Lihat Muẖammad Husain ʻAlî al-Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-Qur‟âniyyah,

(Beirut: Dâr al-Muarrikh al-ʻArabi, 1999), Cet. I, h. 13-18. 108

Lihat H.A.R. Gibb, Mohammadanism: A Historical Survey, (London: Oxford Press, 1950),

h. 35. 109

Lihat Helmut Gätje, The Qur‟an and Its Exegesis: Selexted Texts with Classical and

Modern Muslim Tradition, terj. Alford T. Welch, (London: Routledge & Kegal Paul, 1976), h. 42-43. 110

Muhammad Abdul Rauf, ―Outsider‘s Interpretation of Islam: A Muslim Point of View‖,

dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: The University of

Arizona, 1985), h. 185. 111

Fazlur Rahman, ―Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay‖, dalam

Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, h. 197.

Page 63: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

49

al-a„zham),112

dan Nashr Hâmid Abû Zaid (l. 1943) dengan pernyataannya bahwa al-

Qur‘an adalah ―teks bahasa‖ (nashsh lughawî) sebagaimana teks-teks yang lain yang

disusun oleh manusia,113

secara terang ingin membuka ruang bagi setiap orang untuk

mengkaji al-Qur‘an tanpa melihat latar keagamaannya, apakah ia Muslim atau bukan.

Memang bila dicermati, dalam al-Qur‘an sendiri terdapat perintah yang

ditujukan kepada kaum Muslim untuk memberi kesempatan kepada non-Muslim

untuk mendengarkan al-Qur‘an, dengan harapan mereka dapat menangkap makna dan

pesan-pesannya.114

Ini berarti terbuka kemungkinan bagi pemahaman yang benar dari

mereka. Dan kenyataan membuktikan adanya orang-orang non-Muslim yang masuk

Islam setelah mendengar atau mengkaji al-Qur‘an.115

Setiap Muslim harus dapat menerima pendapat yang baik dan benar dari siapa

pun, karena Islam sangat terbuka dan mengingatkan bahwa kebenaran harus menjadi

milik Muslim dari mana pun sumbernya. Kaum Muslim juga harus dapat menerima

kritik yang dilontarkan oleh siapa pun dengan lapang dada, dan mendiskusikannya,

lalu menerimanya selama tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip serta rincian ajaran

112

Lihat Muẖammad Amîn al-Khûli, Manâhij al-Tajdîd fî al-Naẖwi wa al-Balâghah wa al-

Tafsîr wa al-Adâb, (Beirut: Dâr al-Maʻrifah, 1961), h. 303, dan Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-

Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Kairo: al-Haiʻah al-Mishriyah al-ʻÂmmah li al-Kitâb, 1993), h.

12-13. 113

Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh, h. 27-28. Pernyataan Nashr Hâmid Abû Zaid

yang kontradiktif dengan keyakinan mayoritas umat Isam ini tentu saja mendapat protes dari kalangan

Ulama, di antaranya adalah seorang guru besar Universitas al-Azhar, Mohammed Abu Musa, yang

mengecam pendapatnya dengan mengatakan bahwa dalam sejarah Islam, tidak ada seorang pun yang

menggunakan istilah ―teks‖ ketika merujuk kepada al-Qur‘an selain sebagaimana yang digunakan

Tuhan sendiri, seperti âyat dan sûrah. Hanya orientalis yang mengatakan al-Qur‘an adalah teks. Hal ini

sebagaimana diakui oleh Nashr Hâmid Abû Zaid dalam, al-Nashsh, al-Shulthah, al-Haqîqah, terj.

Dede Iswadi, dkk., (Bandung: RQiS, 2003), h. 86. 114

Baca Q.S. al-Taubah (9): 6. 115

Sebagai contoh adalah ʻUmar ibn al-Khattâb (w. 24/644) yang memeluk Islam setelah

membaca Q.S. Thâhâ (20): 1-2. Labid ibn Rabiʻa, seorang maestro penyair Arab, yang

menggantungkan syair-syair gubahannya di depan pintu Ka‘bah sebagai ajang unjuk kemampuan

menggubah syair di kalangan masyarakat Arab, juga masuk Islam setelah membaca beberapa ayat

yang digantung di atas pintu Ka‘bah oleh pengikut Nabi Muhammad. Navid Kermani, Gott ist Schön,

Das Aesthetische Erleben des Koran, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an

Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), h. 74, 80-81.

Page 64: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

50

agama yang bersifat pasti, karena sebagaimana telah dikemukakan di atas, non-

Muslim dapat meraih kebenaran dari bacaannya terhadap ayat-ayat al-Qur‘an.

Page 65: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

51

BAB III

AL-QUR‘AN DALAM PANDANGAN TOSHIHIKO IZUTSU

Sebuah pandangan tidak muncul dalam ruang yang hampa tetapi sangat

dipengaruhi oleh subyektifitas dan historitas yang melingkupinya, maka pandangan

tersebut harus dipahami melalui usaha pembaca atau penafsir untuk merekonstruksi

atau membangun kembali pengalaman mental penulisnya atau mengulang proses

kreatif penulis secara utuh.116

Demikian juga halnya dengan pandangan Toshihiko

Izutsu terhadap al-Qur‘an, sebelum membahasnya lebih detail harus dipahami

terlebih dahulu pribadi tokoh dimaksud. Oleh karena itu, dalam bab ini akan dibahas

secara singkat riwayat hidup Toshihiko Izutsu dari sisi pengalamannya sejak kecil,

pendidikannya, kecenderungannya, dan karya-karyanya tentang al-Qur‘an.

A. Sketsa Biografis Toshihiko Izutsu

Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo pada tanggal 4 Mei 1914 dan meninggal di

Kamakura pada tanggal 7 Januari 1993.117

Pendidikan dasar sampai perguruan tinggi

diperolehnya di negaranya sendiri, Jepang. Setamat SMA, Toshihiko Izutsu

melanjutkan ke fakultas ekonomi Universitas Keio, Tokyo, tetapi kemudian pindah

ke jurusan sastra Inggris karena ingin dibimbing oleh Prof. Junzaburo Nishiwaki.118

Setelah selesai, ia mengabdikan dirinya menjadi dosen di lembaga ini, dan

mengembangkan karir sebagai seorang intelektual yang diakui dunia. Ia mengajar di

sini dari tahun 1954 sampai dengan 1968 dan mendapatkan gelar profesor pada tahun

1950. Antara tahun 1962-1968 ia menjadi profesor tamu di Universitas McGill

116

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta:

Paramadina, 1996), h. 135; E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:

Kanisius, 1999), h. 31. 117

http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 118

http://www.iiu.edu.my/irkhs/izutsu/?Who_is_Toshihiko_Izutsu%3F. Diakses 3 Mei 2009.

65

Page 66: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

52

Montreal Kanada atas permintaan Wilfred Cantwell Smith selaku direktur program

kajian Islam di perguruan tinggi tersebut, dan selanjutnya menjadi profesor penuh

antara tahun 1969-1975. Setelah lepas dari mengajar di McGill, ia hijrah ke Iran

memenuhi undangan Seyyed Hossein Nasr untuk menjadi pengajar di Imperial

Iranian Academy of Philosophy antara tahun 1975 sampai dengan 1979. Setelah itu,

ia kembali ke tanah airnya dan menjadi profesor emiritus di Universitas Keio hingga

akhir hayatnya.119

Toshihiko Izutsu berasal dari keluarga yang taat kepada ajaran Zen

Buddhisme, bahkan ayahnya adalah seorang guru Zen. Oleh karena itu ia pun telah

dibiasakan untuk mengamalkan ajaran tersebut sejak kecil. Sebagai seorang guru Zen,

ayahnya mengajarkan Zen dengan menuliskan kata ―kokoro‖ yang berarti ―pikiran‖

pada sebuah kertas. Tulisan tersebut diberikan kepadanya untuk ditatap pada waktu

tertentu setiap hari. Lalu pada suatu ketika, ayahnya memerintahkan untuk

menghapus tulisan itu dan memintanya untuk melihat kembali tulisan tersebut di

dalam pikiran – bukan kata yang tertera pada kertas – dengan cara memfokuskan

perhatian kepada tulisan secara terus menerus. Berikutnya, ayahnya memerintahkan

untuk menghapuskan kata yang ada di dalam pikirannya, dan menatap pikiran yang

hidup di balik kata yang tertulis. Pengalaman kontemplasi dalam mengamalkan Zen

yang telah dilakukan sejak muda tersebut tampaknya turut mempengaruhi cara

berfikir dan pencariannya akan kedalaman pemikiran filsafat dan mistisisme.120

Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana yang jenius. Ia menguasai banyak

bahasa dunia.121

Kemampuan ini memungkinkannya untuk melakukan penyelidikan

terhadap kebudayaan-kebudayaan dunia dan menjelaskan secara spesifik substansi

berbagai sistem keagamaan dan filsafat melalui bahasa aslinya. Bidang kegiatan

penyelidikannya sangat luas, mencakup filsafat Yunani kuno, filsafat Barat abad

119

http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 120

http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 121

http://www.worldwisdom.com/public/authors/Toshihiko-Izutsu.aspx. Diakses 3 Mei 2009.

Page 67: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

53

pertengahan, mistisisme Islam (Arab dan Persia), filsafat Yahudi, filsafat India,

pemikiran Konfusianisme, Taoisme China, dan filsafat Zen. Keluasaan

pengetahuannya memungkinkan untuk melihat persoalan dari berbagai perpektif,

sehingga dapat melahirkan pandangan yang menyeluruh tentang satu masalah.122

Sejauh berkenaan dengan kajian Islam, kepentingan karya Toshihiko Izutsu

terletak pada sebuah pemikiran yang dibentuk oleh Zen Buddhisme, Neo-

Konfusianisme, dan Shintoisme (yang merupakan unsur-unsur pembentuk

kebudayaan klasik Jepang), yang dipertemukan dengan dunia wahyu al-Qur‘an dan

pemikiran Islam. Inilah yang membedakannya dengan sarjana-sarjana orientalis yang

menghasilkan begitu banyak karya tentang pemikiran Islam yang merupakan hasil

dari tradisi yang dibentuk oleh warisan Yahudi dan Kristen. Bagi Seyyed Hossein

Nasr, karya Toshihiko Izutsu dalam bidang kajian Islam sesungguhnya menunjukkan

betapa pentingnya sebuah pandangan dunia yang dijadikan pijakan oleh seorang

sarjana dalam mengkaji dunia intelektual lain dan bagaimana dangkalnya tuduhan-

tuduhan yang disampaikan oleh begitu banyak sarjana Barat menurut pengertian

mereka, baik disadari atau tidak, merupakan ―alasan‘ yang anti-metafisis, bersifat

sekuler, dan rasionalisme Abad Pencerahan.123

Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang

sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh yang

mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat. Seyyed Hossein Nasr, sebagaimana

dikutip oleh Ahmad Syahidah, ketika menuliskan pengantar dalam Jalâl al-Dîn

Ashtiyani (et. al), Consciousness and Reality; Studies in Memory of Toshihiko Izutsu,

(Boston: Brill, 2000), menyatakan kekagumannya seraya mengatakan bahwa dengan

menggabungkan kepekaan Buddhis, disiplin Jepang tradisional, dan bakat yang luar

biasa dalam mempelajari bahasa dan kepintaran filsafat yang meliputi kemampuan

analitik dan sintetik, dapat melintasi batas-batas kultural dan intelektual, Toshihiko

122

http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 123

http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

Page 68: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

54

Izutsu dapat dengan mudah memasuki semesta makna yang berbeda dengan

wawasan yang hebat. Dia adalah seorang tidak saja ahli dalam bahasa utama tiga

peradaban: Timur Jauh, Barat dan Islam, tetapi juga warisan intelektualnya. Ia

menulis dengan sangat kompeten tidak hanya tentang Lao-Tse tetapi juga Ibn ‗Arabi

dan Mulla Sadra selain juga para ahli filsafat Barat.124

.Selain itu, tambah Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah tokoh

utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak

hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya melakukan

perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan serius pertama

antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara pemikiran Islam dan Timur

Jauh di dalam konteks kesarjanaan modern.125

Berkaitan dengan bagaimana Toshihiko Izutsu memahami kajian teks-teks

Islam, William C. Chittick memberikan testimoni bahwa hal ini tidak dapat

dilepaskan dari kehidupan masa kecilnya, yang dipaksa ayahnya untuk

mempraktikkan zazen.126

Toshihiko merasa sangat tidak nyaman dengan pengalaman

ini. Akibatnya, ia memutuskan untuk memasuki sebuah bidang yang sejauh mungkin

dari pendekatan Zen dalam memahami realitas, dan oleh karena itu ia memilih

linguistik. Sejak itulah, Toshihiko Izutsu mulai mempelajari beberapa bahasa

asing.127

Sebagai seorang sarjana yang prolifik dan diakui dunia, Toshihiko Izutsu telah

menghasilkan tidak kurang dari 120 karya tulis, baik yang berbentuk buku maupun

124

http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 125

http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 126

Toshihiko Izutsu dalam Toward A Philosophy of Zen Buddhism, (Tehran: Imperian Iranian

Academy of Philosophy, 1977), h. 5, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syahidah, menjelaskan bahwa

zazen (坐禅) adalah meditasi yang dilakukan dengan duduk yang dilakukan untuk menenangkan tubuh

dan pikiran untuk mencapai pengetahuan tentang hakikat eksistensi dan dengan demikian mendapatkan

pencerahan (satori). http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 127

http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

Page 69: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

55

artikel.128

Dari sekian banyak tulisan Toshihiko Izutsu, ada dua karya yang patut

mendapat perhatian khusus berkenaan dengan kajian al-Qur‘an. Yang pertama yaitu,

Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an.129

Menurut Toshihiko Izutsu, konsep

pemikiran tentang etika dalam al-Qur‘an dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok:

Pertama, pembahasan yang menunjukkan dan menguraikan sifat-sifat Tuhan; Kedua,

pembahasan yang menjelaskan berbagai aspek sikap fundamental manusia terhadap

Tuhan; dan Ketiga, pembahasan yang menunjukkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan

tingkah laku yang menjadi milik dan hidup dalam masyarakat Islam.130

Dari tiga konsep al-Qur‘an tentang etika tersebut, Toshihiko Izutsu

memfokuskan diri pada pembahasan mengenai konsep kedua saja. Ini bukan berarti

bahwa ia meninggalkan sama sekali dua konsep yang lain, karena – menurutnya –

ketiga kelompok konsep tersebut tidak berdiri secara terpisah, namun memiliki

hubungan yang sangat erat. Hal itu disebabkan karena pandangan dunia al-Qur‘an

pada dasarnya bersifat teosentris.

Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur‘an adalah: God and

Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung.131

Dari judul buku

ini, jelas Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‘an

tentang relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al-

Qur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan-

hamba, dan etik.132

B. Status al-Qur‘an Menurut Toshihiko Izutsu

128

Untuk lebih rincinya, lihat http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli

2009. 129

Buku ini diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1959 dengan judul: The Structure

of the Ethical Terms in the Koran. Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an,

(Montreal: McGill-Queen‘s University Press, 2002), h. iv. 130

Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 17. 131

Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1964 di Tokyo, Jepang, oleh Universitas

Keio. 132

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002),

h. 127-268.

Page 70: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

56

Pada bab I telah dikemukakan bahwa mayoritas non-Muslim mengingkari al-

Qur‘an bersumber dari Allah. Hal ini tercermin dari pandangan pemuka agama

Kristen abad pertengahan seperti Peter the Venerable (1094-1156), Martin Luther

(1483-1546), dan Ricoldo da Monte Croce (+1243-1320) yang menyatakan bahwa al-

Qur‘an tidak lain adalah buatan setan. Pandangan demikian juga menjadi hal yang

umum dalam karya sarjana-sarjana al-Qur‘an non-Muslim sampai abad ke-19 dan 20.

Willian Muir (1819-1905), Richard Bell (1876-1953), dan John Wansbrough (1928-

2002), sebagai contoh, menunjukkan kecenderungan tersebut. Menurut Willian Muir,

kepercayaan akan al-Qur‘an sebagai firman Tuhan hanya dipropagandakan oleh

generasi sesudah Muhammad. Abû Bakr, salah seorang sahabat Muhammad yang

utama dan menjadi khalifah pertama setelah Muhammad wafat, yang mula-mula

memperkenalkan al-Qur‘an sebagai firman Tuhan. Ketertarikan Abû Bakr terhadap

Muhammad sebagai pribadi yang sederhana dan konsisten yang menyebabkannya

mengangkat derajat ucapan Muhammad sebagai firman Tuhan dan menghimpunnya

untuk memelihara dari kehilangan. Sikap dan usaha yang sama diteruskan oleh ‗Umar

ibn Khattâb untuk melakukan kompilasi dan mendeklarasikan sebagai firman

Tuhan.133

Hal ini tentu bertentangan secara diametral dengan pandangan umat

Muslim. Meskipun di kalangan teolog Muslimnya terdapat perdebatan mengenai

status al-Qur‘an; apakah al-Qur‘an makhluk atau bukan, namun mereka sepakat

bahwa al-Qur‘an adalah firman Allah yang disampaikan kepada nabi dan rasul-Nya

yang terakhir, yaitu Muhammad. Richard Bell berpendapat bahwa al-Qur‘an dibuat

Muhammad berdasarkan ajaran-ajaran yang telah mapan saat itu, termasuk ajaran

Yahudi dan Kristen.134

Sementara menurut John Wansbrough al-Qur‘an merupakan

133

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif),

(Semarang: Dina Utama, 1997), h. 97. 134

Contoh pengaruh ajaran Kristen adalah kisah tentang penolakan penyaliban Yesus. Dalam

hal ini Muhamamd mengambil dari salah satu sekte Kristen Syria. Lihat Richard Bell, The Origin of

Islam in Its Christian Environment, h. 67-68.

Page 71: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

57

imitasi dari Taurat.135

Salah satu buktinya adalah pengambilan term setan.136

Umat

Muslimlah, dalam pandangan John Wansbrough, yang menaikkan status dan

kumpulan ucapan (logia) al-Qur‘an kepada derajat kitab suci yang bernilai mutlak.137

Yang lebih fatal lagi, dengan merujuk kepada Q.S. al-A‗râf (7): 71 dan al-Shaffât

(31): 156, John Wansbrough memberi arti kata al-Kitâb/Kitâb Allâh yang ada dalam

al-Qur‘an dengan ketetapan (decree), otoritas (authority), bukan dengan kitab suci.138

Keengganannya untuk menyebut al-Qur‘an dengan kitab suci tersebut tampaknya

bertujuan untuk melepaskan al-Qur‘an dari jalinan yang transendental, yaitu wahyu

Allah. Oleh karena itu dimunculkanlah anggapan akan adanya kata-kata yang

disinyalir sebagai tambahan dari Muhammad. John Wansbrough menganggap bahwa

kata qul dalam Q.S. al-An‗âm (6): 15, al-Ra‗d (13): 36, dan al-Ankabût (29): 52, yang

menunjukkan bahwa Muhammad menerima perintah untuk menyampaikan suatu ayat

kepada umatnya, sengaja disisipkan untuk menunjukkan bahwa al-Qur‘an adalah

benar wahyu Allah. Keberadaannya justru menghilangkan struktur logis al-Qur‘an,

karena tidak sejalan dengan homogenitas gaya bahasanya yang dipandang

berlebihan.139

Dengan demikian, John Wansbrough melihat atau memperlakukan al-

Qur‘an sebagai karya sastra berupa syair atau puisi yang harus konsisten dengan gaya

bahasanya. Dalam keyakinan kaum Muslim, al-Qur‘an memang mengandung nilai

135

John Wansbrough mengatakan: ―That logia once collected and canonized might be

granted enhanced status as the inimitable and uncreated world of God would not appear to have been

either logical or necessary. Both qualities how ever may be seen as reflexes af Rabbinic attitudes

toward the Mosaic revelation, possibly adobted and modified in the course of the Judeo-Muslim

polemic.‖ John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation,

(New York: Prometheus Books, 2004), h. 78. 136

John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, h.

61. 137

John Wansbrough mengatakan: ―Whatever body of prophetical wisdom might from time to

time have been regarded as supplementary to the contents of scripture, it was with an organized

corpus of recognizable logia that the mainstream of Islamic theology was concerned, and not with a

source of concealed wisdom for the elect.‖ John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods

of Scriptural Interpretation, h. 61. 138

John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, h.

75-76. 139

John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, h.

67-68.

Page 72: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

58

sastra yang tinggi, yang diakui sendiri oleh bangsa Arab, namun al-Qur‘an bukan

sebuah karya sastra yang harus tunduk kepada aturan sastra.

Richard Bell, dalam The Origins of Islam in Its Christian Environment,

berusaha keras membuktikan bahwa sumber utama al-Qur‘an adalah doktrin Kristen,

meskipun ia juga mengakui kontribusi Yahudi dalam pembentukan doktrin Islam.140

Pengaruh Kristen memang belum terjadi pada fase awal kenabian, tetapi pada akhir

periode Mekah sampai dengan awal periode Madinah.141

Ia menunjukan salah satu

indikasinya, yaitu Q.S. al-Ikhlâsh (112) yang menurutnya bukan merupakan hasil

polemik antara Muhammad dengan orang-orang Kristen, tetapi hasil polemik antara

Muhammad dengan orang-orang musyrik yang mempunyai kepercayaan bahwa Allah

mempunyai tiga anak perempuan (al-Lât, al-Uzza, dan Manât). Q.S. al-‗Alaq (96): 1-

5 yang menjelaskan penciptaan manusia dari segumpal darah juga bukan konsep yang

diambil dari Bibel, karena dalam Bibel dinyatakan bahwa manusia berasal dari tanah.

Konsep yang diambil dari Bibel baru pada ayat-ayat yang muncul kemudian yang

menyatakan bahwa manusia berasal dari tanah. Pengaruh Kristen juga dapat dilihat

melalui adanya persamaan antara kisah-kisah dalam al-Qur‘an dan Bibel seperti kisah

penolakan penyaliban Yesus yang diambil dari salah satu sekte Kristen di Syria.142

Sementara itu Philip K. Hitti memandang bahwa sumber-sumber al-Qur‘an

berasal dari campuran antara Kristen, Yahudi, dan Arab. Argumentasi yang

diajukannya adalah bahwa di Hijaz ketika itu telah terdapat sejumlah budak dan

pedagang Kristen, dan ada beberapa wilayah yang didiami oleh kaum Yahudi. Di

antara isteri-isteri Muhammad ada yang beragama Kristen, yaitu Mariyah al-Qibtiyah,

dan ada yang beragama Yahudi, yaitu Shâfiyah. Keadaan ini memungkinkan

Muhammad menyerap gagasan-gagasan Yahudi dan Kristen. Selanjutnya karena

Muhammad mendapatkan bahan dengan cara tidak langsung, yakni dari cerita-cerita

140

Richard Bell, The Origins of Islam in Its Christian Environment, h. 13-14. 141

W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Quran, (Edinburgh: The University Press,

1991), h. 140. 142

Richard Bell, The Origins of Islam in Its Christian Environment, h. 67-68.

Page 73: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

59

orang, maka dalam al-Qur‘an tercampur-aduk antara wahyu dan kepalsuan.

Kepalsuan ini tercermin, misalnya, dalam kisah Yusuf. Istri Potephar, Zulaikhâ,

mengundang para wanita Mesir yang mempergunjingkan kisah cintanya dengan

Yusuf ke suatu pesta. Ketika Yusuf dipanggil oleh Zulaikhâ untuk tampil di hadapan

para wanita tersebut, maka mereka yang ketika itu sedang mengupas buah yang

disajikan, tanpa menyadari mengiris tangannya sendiri karena terpana melihat

ketampanan Yusuf.143

Adapun Toshihiko Izutsu, sarjana yang menjadi fokus kajian ini, berpendapat

bahwa al-Qur‘an adalah wahyu yang berasal dari Tuhan.144

Pandangannya ini sejalan

dengan mayoritas umat Muslim. Bagi umat Muslim al-Qur‘an adalah wahyu Allah

dan Kitab di mana pesan-pesan-Nya kepada manusia terkandung. Ia adalah kalâm

Allah yang diwahyukan kepada Nabi melalui Malaikat Jibril.145

Meskipun ia juga

sempat mengatakan bahwa al-Qur‘an secara linguistik adalah sebuah karya asli

Arab,146

namun hal ini tidak berarti Toshihiko Izutsu berpendapat bahwa al-Qur‘an

adalah karya manusia. Pernyataannya lebih tepat dipahami sebagai pengakuannya

bahwa bahasa al-Qur‘an adalah murni bahasa Arab, bukan bahasa langit sebagaimana

yang dikemukakan oleh Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî dalam

Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm,147

atau bahasa Aramaik dengan dialek Syria (Syrio-

Aramaic) sebagaimana yang disimpulkan oleh Christoph Luxenberg (pseud.) dalam

Die Syrio-Aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschüsselung der

Qur‟ansprache.148

Oleh karena menggunakan bahasa Arab, maka menurut Toshihiko

Izutsu, al-Qur‘an dapat didekati dengan melibatkan berbagai teori dalam lapangan

143

Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: Macmillan Co., 1958), h. 107. 144

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 164. 145

Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London: George Allen and Unwin

Ltd., 1984), h. 42. 146

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 38. 147

Lihat Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî, Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm,

(Riyad: t.p., 1409 H.), Cet. III, h. 13. 148

Dikutip dari Syamsuddin Arif, ―Al-Qur‘an, Orientalisme, dan Luxenberg,‖ dalam Jurnal

Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005, h. 19.

Page 74: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

60

ilmu sosial dan humaniora.149

Pendapatnya ini mengindikasikan bahwa Toshihiko

Izutsu memperlakukan al-Qur‘an sebagai sebuah teks (nashsh). Berikut akan

dielaborasi gagasan-gagasan Toshihiko Izutsu mengenai wahyu, bahasa, dan

tekstualitas al-Qur‘an.

1. Al-Qur‘an: Wahyu yang berasal dari Allah

Para orientalis menyatakan bahwa wahyu bukan merupakan suatu peristiwa

supernatural, tetapi merupakan peristiwa natural. Dengan kata lain, wahyu bukan

berasal dari Tuhan, tetapi merupakan ide-ide dalam jiwa yang kemudian disabdakan.

William Muir menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai wahyu tidak lain

sesungguhnya adalah kata-kata Muhammad sendiri. Kata-kata tersebut dihimpun dari

pengalaman-pengalaman Muhammad.150

Richard Bell juga menyatakan bahwa

wahyu sebagaimana yang digunakan dalam al-Qur‘an adalah sejenis komunikasi dari

suatu ide dengan bisikan (suggestion) atau dorongan (promting) yang cepat melalui

kilasan inspirasi. Wahyu demikian diperoleh dengan cara mempraktekkan kehidupan

seperti kahin atau tukang tenung (soothsayer), hidup menyepi dan merenung.

Argumen yang dikemukakannya adalah Q.S. al-Muzammil (73): 1-8, terutama ayat 6.

Ayat ini dipahami Richard Bell sebagai gambaran usaha Muhammad untuk bangun di

malam hari dalam rangka mendapatkan wahyu. Dalam suasana tengah malam lebih

hening dan khusyu‟, wahyu lebih mudah didapat.151

Pernyataan William Muir dan

Richard Bell tersebut mengindikasikan bahwa mereka menuduh Muhammad hanya

mengaku mendapat wahyu dari Tuhan. Konsep wahyu itu sendiri, menurut Arthur

Jeffery, telah dikenal oleh Muhammad melalui lingkungannya di masa kanak-kanak

dan masa muda. Pengetahuan tentang wahyu, ilham, malaikat, kenabian, rasul, dan

kitab suci sudah populer dalam masyarakat Arab sebelum atau menjelang kerasulan

149

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 1. 150

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

95. 151

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

95-96.

Page 75: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

61

Muhammad. Ide mengenai wahyu lebih lanjut dipelajari oleh Muhammad melalui

kontak dengan ahl al-kitâb. Sementara ajaran mengenai Malaikat Jibril sebagai

pembawa wahyu diambil dari kitab Daniel dan Injil Lukas.152

Mengapa Muhammad mengaku mendapatkan wahyu dari Tuhan? Karena,

menurut Arthur Jeffery, Muhammad mengumumkan dirinya sebagai nabi. Mengaku

sebagai nabi harus mengetahui tentang Tuhan, mempunyai kitab suci, dan perlu

bimbingan dari Tuhan, yang semuanya diperoleh melalui wahyu. Dalam hal ini

Muhammad ingin menyerupai nabi-nabi dalam Perjanjian lama.153

Keinginan Muhammad untuk menjadi nabi, menurut Maxime Rodinson,

karena ada kontradiksi-kontradiksi intern dalam jiwa dan faktor-faktor sosial yang

kontradiktif dengan keadaan Muhammad yang mengakibatkan krisis nervous dalam

dirinya.154

Muhammad di satu sisi memiliki pikiran sehat dan tenang. Dalam

hidupnya selalu berpikir sebelum mengambil keputusan, melaksanakan kegiatan

bisnisnya dengan efisien, mengetahui kapan harus mengulur waktu dan kapan harus

memperketat serta kapan harus melakukan tindakan untuk keberhasilan rencananya.

Muhammad mampu berdiplomasi dan mampu berpikir yang jelas dan logis. Tetapi di

bawah dari apa yang nampak itu terdapat temperamen yang gugup, penuh gairah

nafsu agresif, gelisah, tidak sabar, serta mengangankan sesuatu yang tidak mungkin.

Keadaan jiwa yang demikian kontradiktif tersebut membawa kepada krisis nervous

yang merupakan kasus patologis.155

152

Arthur Jeffery, ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195,

197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al-Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah studi evaluatif), h. 93. Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat,

(Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 176. 153

Arthur Jeffery, ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195,

197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al-Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah studi evaluatif), h. 93. 154

Maxime Rodinson menyatakan menggunakan Psikoanalisa Sigmund Freud dalam melihat

kejiwaan Muhammad. Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di

Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 91. 155

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

91.

Page 76: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

62

Menurut Maxime Rodinson, beberapa sifat Muhammad yang bisa

memberikan kebahagiaan walaupun sedikit, misalnya, sikap pasrah terhadap keadaan

yang ada. Akan tetapi sifat ini tidak bertahan lama, karena bertentangan dengan

sifatnya yang lain, yaitu menginginkan sesuatu di luar dari hal biasa. Hal lain adalah

karena ia tidak mempunyai anak laki-laki (anak laki-lakinya, Ibrahim wafat selagi

masih kecil). Sebagaimana lazimnya pada masa itu, anak laki-laki menjadi

kebanggaan, sementara anak perempuan merupakan bencana. Keadaan ini

menyebabkan Muhammad merasa malu, yang oleh Maxime Rodinson diidentikkan

dengan kata ―abtar‖ dalam Q.S. al-Kautsar (108): 3. Menurut pemahamannya, ayat

tersebut diucapkan oleh Muhammad sebagai kompensasi dari rasa kecewa karena

tidak mempunyai anak laki-laki. Di sisi lain, ketidakpuasan Muhammad juga

disebabkan oleh tradisi masyarakat Arab yang menganggap pria beristri satu tidak

pantas. Sementara itu, Muhammad tidak mungkin memadu Khadijah, istrinya yang

berjasa itu, dengan wanita lain. Keadaan ini juga bisa membawa frustasi.156

Keadaan lain yang mengakibatkan ketidakpuasan Muhammad adalah karena

famili-famili dan sahabat-sahabat karibnya adalah orang-orang kaya yang lebih

cenderung pada politik yang ditunjang oleh kekayaan mereka. Sementara anggota

masyarakat lainnya mempunyai kecenderungan pada masalah moral dan intelektual.

Muhammad sendiri tidak seperti famili-familinya yang praktisian. Ia adalah seorang

idealis yang tidak ofensif. Sementara itu, ia sejak kecil memiliki bakat seperti shaman

atau ahli magis yang bisa membuat ramalan-ramalan. Dengan kemampuan tersebut,

ia berusaha menarik simpati dari orang banyak dengan membuat ramalan-ramalan

untuk perbaikan masyarakatnya. Keadaan ini membuat Muhammad melakukan

pertapaan, kemudian berfatwa, dan lambat-laun menyatakan diri sebagai Nabi.157

Adapun menurut Arthur Jeffery, yang memotivasi Muhammad untuk mengaku

156

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

91. 157

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

92.

Page 77: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

63

seorang nabi adalah karena masyarakat Arab tidak pernah mempunyai nabi atau rasul

dari bangsanya sendiri, sementara konsep kenabian sudah mereka ketahui melalui

tradisi Yahudi dan Kristen.158

Sementara menurut Toshihiko Izutsu, wahyu yang diperoleh oleh Muhammad

dan nabi-nabi sebelumnya berasal Tuhan. Baginya, fenomena wahyu merupakan

fenomena yang sudah dikenal oleh masyarakat Arab pra-Islam sebagaimana terekam

dalam syair-syair Jahiliyah.159

Dari beberapa contoh penggunaannya dalam syair

Jahiliyah, kata ini secara semantik dapat dikelompokkan menjadi tiga persoalan.

Pertama, ia merupakan proses komunikasi. Artinya, proses ini harus melibatkan dua

orang, atau harus ada dua orang di arena agar peristiwa yang disebut wahyu benar-

benar terwujud. Di sini tidak harus terjadi hubungan timbal balik, hubungan tersebut

sepenuhnya merupakan komunikasi unilateral. Orang pertama berperan aktif dengan

melakukan tindakan pengiriman kehendak dan pikirannya melalui isyarat kepada

orang kedua, sementara orang kedua berperan sebagai penerima informasi dari orang

pertama tanpa melakukan tindakan sebaliknya; Kedua, komunikasi tersebut tidak

harus verbal. Artinya, media yang digunakan dalam penyampaian informasi tersebut

tidak selalu berbentuk bahasa. Meskipun kadang kala menggunakan kata-kata, namun

seringkali bersifat non-linguistik; dan Ketiga, komunikasi tersebut dilakukan dengan

cara yang misterius, rahasia, dan mengandung hal-hal yang bersifat pribadi. Dalam

arti orang pertama menyampaikan informasi dengan sangat jelas kepada orang kedua,

sehingga dengan demikian komunikasi tesebut terjadi dengan sempurna, namun

karena dilakukan dengan cara yang rahasia, maka komunikasi tersebut tidak dapat

158

Arthur Jeffery, ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195,

197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al-Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah studi evaluatif), h. 93. 159

Johannes Deninger mendeskripsikan wahyu sebagai ajaran yang berasal dari Tuhan yang

biasanya disampaikan melalui perantaraan malaikat Jibril. Wahyu tersebut menyangkut firman Tuhan,

kehendak-Nya yang misterius, pernyataan mengenai hari kemudian, serta perintah-perintah dan

hukum-hukum-Nya. Wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad dalam bentuk definitif pada tahun

570-632 M. Lihat Johannes Deninger, ―Revelation‖, dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of

Religion, Vol. 11-12, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), h. 361.

Page 78: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

64

dipahami oleh orang-orang luar.160

Dengan demikian, makna sentral dari wahyu

adalah pemberian informasi. Syarat pemberian informasi ini harus berjalan secara

samar dan tersembunyi. Dengan kata lain, wahyu adalah sebuah hubungan

komunikasi antara dua pihak yang mengandung pemberian informasi (pesan) secara

samar dan rahasia.

Selain itu, konsep wahyu dalam masyarakat Arab pra-Islam terkait dengan

puisi dan ramalan yang dianggap datang dari dunia jin yang disampaikan kepada

penyair dan peramal melalui proses pewahyuan (waẖy, tanzîl). Syair dan ramalan

pada saat itu merupakan sumber kebenaran, karena keduanya digubah oleh para

penyair dan peramal berdasarkan informasi yang didapat dari jin yang mampu

mendengar atau mencuri informasi dari langit. Hal ini, menurut Nashr Hâmid Abû

Zaid (l. 10 Juli 1943), merupakan basis kultural fenomena wahyu keagamaan. Karena

keyakinan ini, pemikiran Arab juga akrab dengan konsep malaikat (malâ‟ikah) yang

berkomunikasi dengan seorang Nabi.161

Namun, dalam tahap selanjutnya al-Qur‘an

mendekonstruksi konsep kultural wahyu pra-Islam itu dengan mengatakan bahwa

para jin itu kini tidak bisa lagi mencapai langit, karena sebelum mencapainya mereka

telah dilempari bintang berapi oleh para malaikat.162

Jadi, logika budayanya berarti

bahwa syair dan ramalan bukan lagi merupakan sumber kebenaran, karena jin tidak

lagi dapat mencuri informasi dari langit. Dengan demikian, teks al-Qur‘an

menyatakan dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran, karena diwahyukan

sendiri oleh Allah (bukan dengan cara dicuri) kepada Muhammad melalui Malaikat

Jibril.

Berkenaan dengan al-Qur‘an, wahyu, menurut Toshihiko Izutsu, adalah

parole (kalâm/perkataan) Tuhan, yang termanifestasi dalam bahasa (lisân) Arab.163

160

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 169-178. 161

Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (t.tp.: al-Hai‘ah

al-Mishriyyah al-ʻÂmmâh li al-Kitâb, 1993), h. 38. 162

Q.S. al-Jinn (72): 8-9. 163

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 164.

Page 79: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

65

Pendapatnya tersebut didasarkan kepada Q.S. al-Taubah (9): 6 dan Q.S. al-Baqarah

(2): 75, yang secara kontekstual mengandung pengertian bahwa firman Tuhan

mengacu kepada kata-kata yang telah diucapkan atau diwahyukan kepada Nabi.

Pendapat Toshihiko Izutsu secara linguistik memang cukup kokoh. Dalam kedua ayat

tersebut, yaitu: Q.S. al-Baqarah (2): 75; dan Q.S. al-Taubah (9): 6, kata ―kalâm‖,164

yang berasal dari akar kata k-l-m, dirangkaikan dengan kata ―Allah‖.165

Al-

Zamakhsyarî (w. 538 H./1143 M.)166

dan Abû Hayyân al-Andalusî (w. 745 H./1353

M.)167

juga menginterpretasikannya sebagai wahyu Tuhan.

Sekarang problem sesungguhnya dari persoalan pewahyuan adalah ketika

menyingkap tabir Tuhan yang berkomunikasi dengan Muhammad. Jelasnya,

Bagaimana menjelaskan eksternalitas wahyu sebagai sesuatu yang datang dari

Tuhan? Apakah Tuhan berkomunikasi (menyampaikan wahyu) kepada Muhammad

secara langsung atau melalui perantara (Ruh, Malaikat atau Jibrîl)? Harus disadari

memang, situasi komunikasi dalam konteks wahyu al-Qur‘an memang berbeda

dengan situasi komunikasi lainnya. Dua sisi komunikasi yang mendasar dalam

konteks ini adalah Allah di satu pihak dan Muhammad yang manusiawi di pihak lain.

164

Menurut penelitian C.H.M. Versteegh, semenjak paruh awal abad kedua hijriah, para

ilmuwan bahasa Arab mempergunakan kata ―kalâm‖, ―qaul‖, ―kalimah‖, dan yang senada sebagai

istilah-istilah teknis dalam disiplin bahasa dan sastra Arab. Menurut pengertian teori bahasa Arab

tersebut, kata ―kalâm‖ diartikan sebagai ungkapan yang memiliki fungsi, atau dengan kata lain, frase

yang memiliki fungsi tertentu. Lihat, C.H.M. Versteegh, Arabic Grammar and Qur‟anic Exgesis in

Early Islam, (Leiden: 1993), h. 99-104. 165

Selain dalam kedua ayat tersebut, kasus serupa juga terdapat dalam dan Q.S. al-Fatẖ (48):

15. Lihat Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-Karîm, h.

620. 166

Al-Zamakhsyarî mengartikan frase ―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Taubah (9): 6 dengan al-

Qur‘an. Lihat Abû al-Qâsim Maẖmûd ibn ʻUmar ibn Aẖmad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ʻan Haqâ‟iq

Ghawâmidh al-Tanzîl wa ʻUyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl, Jilid III, (Riyad: Maktabah al-ʻAbîkân,

1998), h. 14-15. 167

Muẖammad ibn Yûsuf al-Syahîd bi Abî Hayyân al-Andalusî dalam menafsirkan frase

―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Baqarah (2): 75, terlebih dahulu ia memberikan definisi ―kalâm‖.

Menurutnya, ―kalâm‖ adalah ungkapan yang memberikan petunjuk akan adanya relasi terhadap

sesuatu yang dimaui atau dimaksud oleh si pengujar (al-kalâm huwa al-qaul al-dâll ʻalâ nisbah

isnâdîyah maqshûdah li dzâtihâ). Kemudian ia menegaskan bahwa kata ini berarti wahyu Tuhan yang

diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Lihat Abû Hayyân al-

Andalusî, Tafsîr al-Baẖr al-Muhîth, Juz I, (Beirut: dâr al-Kutub al-ʻIlmîyah, 2001), h. 435-439.

Page 80: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

66

Dalam pandangan Toshihiko Izutsu, komunikasi antara Tuhan dan manusia ini

memang mengalami masalah, karena keduanya berada dalam taraf ―eksistensi‘ yang

berbeda. Tuhan berada dalam taraf ―eksistensi‖ supra-natural, sementara manusia

berada dalam taraf ―eksistensi‖ natural, sehingga tidak ada keseimbangan ontologis

antara keduanya. 168

Problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem

bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai Dzat yang ghaib atau

supra-natural tentunya menggunakan sistem bahasa non-alamiah atau non-natural,

sebaliknya manusia sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa alamiah

atau sistem bahasa natural.

Dalam pandangan Toshihiko Izutsu, problem tersebut dapat diatasi dengan

adanya perantara yang menjembatani kesenjangan komunikasi antara Tuhan dan

manusia tersebut. Ia menegaskan bahwa wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik

supranatural merupakan konsep yang berhubungan dengan tiga individu. Kondisi ini

juga berlaku dalam pewahyuan al-Qur‘an. Dengan kata lain, dalam kesadaran

kenabian yang dimiliki Muhammad, selalu ada seseorang, suatu makhluk misterius

antara Tuhan dan dirinya yang membawa kata-kata Tuhan ke dalam hatinya.

Makhluk ghaib tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, tidak lain adalah

Malaikat Jibril, yang pada periode Mekah disebut sebagai rûh al-quds (roh suci) dan

rûh al-amîn (roh yang dapat dipercaya).169

Hal inilah yang secara membuat wahyu

secara struktural berbeda, bukan saja dengan perkataan manusia pada umumnya, tapi

juga dengan tipe inspirasi verbal lainnya yang bersumber dari jinn.170

Toshihiko Izutsu memperkuat penjelasannya dengan mengutip ayat al-Qur‘an

yang menjelaskan tentang cara pengiriman wahyu.171

Berdasarkan ayat tersebut,

diketahui ada tiga cara Tuhan berkomunikasi secara verbal kepada manusia, yaitu:

pertama, komunikasi misterius; kedua, berbicara dari balik tabir; dan ketiga, melalui

168

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 180. 169

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 191-192. 170

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 189. 171

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 189.

Page 81: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

67

pengiriman seorang utusan.172

Tipe pertama, menurut Toshihiko Izutsu masih gelap,

karena tidak dijelaskan oleh ayat tersebut. Ia menduga kata wahy adalah semacam

komunikasi langsung yang merupakan komunikasi khusus dari Allah yang diberikan

kepada Musa sebagai pengecualian dari Nabi-nabi yang lain.173

Dalam bagian yang

lain ia mengatakan, dari semua Nabi yang disebutkan dalam al-Qur‘an, Musa

menempati posisi yang istimewa. Keistimewaannya ditandai oleh Tuhan ―berbicara‖

secara langsung dengannya.174

Tipe kedua, yang menggunakan ungkapan ―dari balik

tabir‖, menegaskan bahwa komunikasi verbal benar-benar telah terjadi dalam

keadaan pendengar tidak melihat sama sekali si pembicara. Dalam kasus ini,

meskipun tidak melihat siapa-siapa, Muhammad memiliki kesadaran yang jelas

bahwa di suatu tempat di dekatnya ada makhluk ghaib yang berbicara kepadanya

dengan cara yang tidak biasa.175

Untuk menguatkan argumennya, Toshihiko Izutsu

mengutip sebuah hadis yang berasal dari ‗Âisyah yang menceritakan bahwa pada

suatu kesempatan al-Hârits ibn Hisyâm bertanya kepada Muhammad tentang cara

wahy datang. Lalu Muhammad menjelaskan bahwa wahy kadang kala datang seperti

suara gemerincing lonceng (mitsla shalshalah al-jaras).176

Tipe yang ketiga adalah

komunikasi verbal melalui utusan khusus. Dalam kasus ini Muhammad, seperti

ditegaskan oleh separuh lanjutan hadis ‗Âisyah,177

tidak hanya mendengar kata-kata

yang diucapkan, tetapi juga melihat pembicara.

Fakta yang sangat penting yang tidak boleh diabaikan, menurut Toshihiko

Izutsu, adalah penggunaan kata kerja ―wa„a”. Dalam bagian pertama muncul dalam

bentuk perfektif (wa„aitu ―aku telah mengetahui‖). Ungkapan ini mengandung makna

172

Q.S. al-Syûrâ (42): 51-52. 173

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190. 174

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 174-175. 175

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190. 176

Lebih lanjut dalam hadis tersebut Muhammad menjelaskan bahwa cara ini merupakan cara

yang paling berat. Lihat Abî ‗Abd Allah Muẖammad ibn Ismâ‗îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah ibn

Bardizabah al-Bukhârî al-Ja‗fî, Saẖîẖ al-Bukhârî, Juz I, (Semarang: Penerbit Toha Putra, t.th.), h. 2-3. 177

Lihat Abî ‗Abd Allah Muẖammad ibn Ismâ‗îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah ibn Bardizabah

al-Bukhârî al-Ja‗fî, Saẖîẖ al-Bukhârî, Juz I, h. 3.

Page 82: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

68

bahwa pada saat makhluk ghaib tersebut berbicara, Muhammad tidak memiliki

kesadaran untuk mengerti apa yang dibicarakan. Semua yang beliau dengar

merupakan suatu misteri. Namun ketika momen tersebut berakhir dan beliau telah

kembali kepada kesadaran manusia normal, beliau menyadari bahwa suara tersebut

berubah menjadi kata-kata yang jelas maknanya. Sementara pada bagian kedua, kata

tersebut muncul dalam bentuk imperfektif (a„i). Hal ini menunjukan dengan jelas

bahwa dalam kasus kedua tersebut Muhammad mendengar kata-kata yang benar-

benar diucapkan.178

Berdasarkan hal tersebut, Toshihiko Izutsu menyimpulkan bahwa

Muhammad bukan saja seorang Nabi yang bertipe auditory tetapi juga bertipe

visual.179

Hal ini berbeda dengan Tor Andrae. Setelah menganalisis wahyu yang

diterima para Nabi yang menurutnya memiliki dua tipe, yaitu: Pertama, wahyu yang

diterima melalui pendengaran (auditory). Dalam bentuk ini, wahyu seperti suara yang

berbicara ke telinga ataupun hati seorang nabi. Kedua, wahyu yang diterima melalui

penglihatan (visual). Menurut penjelasan ini, wahyu diterima dengan pandangan dan

gambaran yang jelas sekali, tetapi biasanya samar-samar. Selanjutnya, Tor Andrae

berpendapat, bahwa bentuk wahyu yang diterima oleh Muhammad adalah tipe yang

pertama, di mana Jibril secara langsung mendiktekan kepada Muhammad wahyu-

wahyu Tuhan yang menyatakan bahwa wahyu yang diterima Muhammad, didiktekan

oleh suatu suara yang diatributkan kepada Malaikat Jibril. Dalam keadaan demikian,

Muhammad tidak melihat sosok yang menditekan wahyu tersebut. Kesimpulannya,

Tor Andrae memandang Muhammad sebagai Nabi yang hanya bertipe auditory.180

Teori wahyu sebagai komunikasi verbal dan adanya ―perantara‖ dalam

pewahyuan al-Qur‘an sebagaimana yang dikemukakan Toshihiko Izutsu disanggah

oleh Fazlur Rahman. Tegasnya, Fazlur Rahman menolak bahwa wahyu datang

178

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190-191. 179

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 191. 180

Sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI

Press, 1986), Cet. II, h. 22. Juga Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat,

(Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 179.

Page 83: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

69

melalui telinga Nabi Muhammad dan melalui proses eksternal. Proses pewahyuan,

menurutnya, bukan merupakan komunikasi verbal, tetapi merupakan pemberian

inspirasi ke dalam hati Nabi Muhammad.181

Ia juga menolak malaikat Jibril sebagai

perantara dalam proses pewahyuan. Penggambaran seperti ini biasanya disimbolkan

sebagai proses mekanis perekaman suara. Tentang kehadiran figur malaikat Jibril

sebagai agen eksternal, Fazlur Rahman secara tegas dan sejak dini menolaknya.

―Sekalipun ada kisah yang menceritakan kehadirannya,‖ ia menyebutnya, ―Sebagai

kisah-kisah yang diadakan di kemudian hari‖ (must be regarded as later fictions).182

Penolakan Fazlur Rahman ini didasarkan atas al-Qur‘ân yang tidak

menyebutkan malaikat apapun yang diutus untuk menyampaikan wahyu, kecuali kata

yang sering disebut adalah rûh dan rûh al-amîn.183

Kesangsian Fazlur Rahman

terhadap malaikat Jibrîl ini, bisa jadi disebabkan karena adanya pertentangan dengan

ayat-ayat lainnya yang justru lebih banyak menyebutkan bahwa wahyu disampaikan

langsung oleh Tuhan kepada para nabi melalui ruh-Nya.

Memang banyak penafsir al-Qur‘an yang menganalogkan ruh tersebut sebagai

Malaikat (Jibril). Malaikat sering didefinisikan sebagai makhluk spiritual yang

181

Sebagaimana Toshihiko Izutsu, Fazlur Rahman dalam menjelaskan pendapatnya juga

bersandarkan kepada Q.S. al-Syûrâ (42): 51-52. Namun ia memahaminya sebagai ―God speak to no

human (i.e. through “sound words”) exept through wahy (i.e. through “idea-words” inspiration), or

from behind the veil, or He may send a messenger (an angel) who speak through wahy … even thus

have We inspired you with a spirit of Our command.‖ Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: Chicago

University Press, 1979), h. 30-31. 182

Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‘an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit

Pustaka, 1996), Cet. II, h. 141. Dalam konteks ini tidak ada penjelasan dari Fazlur Rahman mengenai

kedudukan hadits-hadits, termasuk di dalamnya hadits qudsi, yang menjelaskan kehadiran Jibril,

apakah benar-benar ia menolaknya atau tidak. Pandangan Rahman di atas didasarkan keterangan yang

menyebutkan bahwa orang-orang Mekkah berulang kali mendesak agar diturunkan kepada

Muhammad. Al-Qur‘ân berulang kali pula menyangkal desakan-desakan tersebut. Keterangan tersebut

antara lain disebutkan dalam al-Qur‘ân, antara lain Q.S. al-Syu‗arâ (26): 193, al-Baqarah (2): 97, al-

Syûrâ (42): 24, al-Hijr (15): 81, dan lain sebagainya. Keterangan dari ayat-ayat tersebutlah yang

menjadi dasar argumen Rahman tentang penolakan Jibril sebagai figur penyampai wahyu. 183

Bahkan dalam cerita-cerita Nabi-nabi yang lain, Mûsa, Nûh dan Ibrâhîm, Tuhan seperti

berbicara langsung kepada mereka. Atau dalam istilah yang cukup populer disebutkan al-Qur‘ân, ―Dia

mengirimkan Ruh dari perintah-Nya kepada yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya (Q.S.

al-Mu‘min (40): 15). Beberapa Nabi memang mendapat manfaat dari kehadiran Ruh Tuhan ini, yang

kepadanya mereka disampaikan wahyu. Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‘an, h. 139.

Page 84: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

70

mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Sekalipun kemudian berkembang

doktrin teologis tentang pembagian tugas malaikat, itu terjadi di kemudian hari.

Fazlur Rahman tidak menolak kalau Ruh Suci yang biasa menjumpai para Nabi

ketika menyampaikan wahyu adalah Malaikat. Bisa jadi Ruh Suci itu adalah malaikat

yang paling mulia dan paling dekat dengan Tuhan (It is probably that the Spirit is the

highest form of the angelic nature and the closest to God).184

Namun penolakan

Fazlur Rahman terhadap simbol-simbol atau figur-figur tersebut, harus dianggap

sebagai kekhawatirannya yang justru akan mengaburkan Tuhan sebagai Sang

Penyampai wahyu kepada para nabi-Nya. Selain itu, ia juga menolak reiifikasi

material (personal) terhadap simbol-simbol spiritual sekedar untuk memberikan

wadah bagi rûh yang menyampaikan wahyu.185

Patut dicatat, bahwa munculnya figur-figur eksternal penyampai wahyu (di

luar Tuhan dan Muhammad) terjadi di belakang hari. Hal ini merupakan upaya untuk

menjembatani kedudukan manusia yang menyejarah dengan Tuhan yang transenden.

Karenanya dibutuhkan figur tertentu untuk menjembatani rentang ruang tersebut.

Figur tersebut muncul, khususnya Jibrîl, diangkat dari sebuah hadis Nabi yang

berjumpa dan berdialog dengannya. Pada satu sisi otentisitas hadits tersebut patut

dipertanyakan. Namun di sisi lainnya merupakan keniscayaan historis, di mana umat

Islam tengah berupaya membersihkan pengaruh tradisi Judea-Kristiani terhadap

eksistensi wahyu. Dalam tradisi Kristen, wahyu (logos) identik dengan tubuh

Kristus.186

Wahyu (firman Tuhan) identik dengan dirinya, karena wahyu telah me-

Logos dalam dirinya, hingga tidak ada pemisahan antara perkataannya dengan Kalam

Tuhan itu sendiri. Islam menolak keidentikkan antara Muhammad dengan wahyu

Tuhan. Seluruh perkataan atau tindakan aktual yang dilahirkan olehnya dianggap oleh

umat Islam sebagai sunnah (tradisi). Sekalipun seluruh prilaku tersebut mendapat

184

Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‘an, h. 140. 185

Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The Chicago University Press, 1979), h. 1 186

Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 88.

Page 85: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

71

sinaran dari wahyu Tuhan, bagaimanapun keduanya tetap tidak identik. Dan tidak

dapat dikatakan bahwa Muhammad adalah Logos Tuhan yang menyejarah,

sebagaimana yang dipahami dalam doktrin Kristen.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat Toshihiko

Izutsu terhadap proses pewahyuan sejalan dengan mayoritas umat Muslim yang

menyatakan bahwa wahyu diturunkan Tuhan melalui perantara Malaikat Jibril. Hal

ini memang didukung oleh adanya keterangan (hadîts) yang menyatakan bahwa

Muhammad berjumpa dengan Jibrîl dan bercakap-cakap. Bahkan ia pernah

memperlihatkan wujud aslinya kepada Muhammad.

2. Bahasa al-Qur‘an

Wahyu Tuhan termanifestasi dalam langue (lisân/bahasa), dan bahasa yang

dipilih oleh Allah adalah bahasa Arab.187

Pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa al-

Qur‘an bukan karena superioritas bahasa ini dibanding bahasa-bahasa lain

sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Jalâl al-Dîn al-Suyuthî,188

tetapi lebih

merupakan teknis penyampaian pesan. Penggunaan bahasa Arab untuk al-Qur‘an

adalah wujud khusus dari ketentuan umum bahwa Allah tidak mengutus seorang rasul

pun kecuali dalam bahasa kaumnya,189

yaitu masyarakat Arab yang menjadi audience

langsung seruan rasul itu dalam menjalankan misi sucinya. Dalam hal ini Muhammad

merupakan seorang rasul yang diutus kepada masyarakat Arab sebagai audience

187

Karena al-Qur‘an menggunakan bahasa Arab, dalam kalangan masyarakat Muslim timbul

pandangan tentang adanya semacam ―kesejajaran‖ antara Islam dan Arab. Pandangan seperti ini dapat

dilihat, misalnya, pada Abû Manshûr al-Tsa‗labî dalam mukaddimah bukunya ―Fiqh al-Lughah al-

„Arabiyah,‖ mengatakan bahwa: ―Barang siapa mencintai Allah, dia harus mencintai rasul-Nya,

Muhammad. Dan barang siapa mencintai rasul-Nya yang dari Arab itu, dia harus mencintai bangsa

Arab. Barang siapa mencintai bangsa Arab, dia harus mencintai bahasa Arab. … Berupaya

memahaminya adalah termasuk kewajiban agama, sebab bahasa Arab adalah merupakan alat dari ilmu

pengetahuan dan kunci mendalami agama ….‖ Sebagaimana dikutip oleh Utsman Amîn, Falsafah al-

Lughah, (Mesir: Dâr al-Mishriyah li al-Ta‗lîf wa al-Tarjamah, 1965), h. 22. 188

Jalâl al-Dîn ‗Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî, al-Muzhhir fî „Ulûm al-Lughah wa

Anwâ„ihâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 322. Salah satu keistimewaan bahasa Arab, menurutnya,

adalah bahasa sorga. Pandangannya ini didasarkan pada hadis yang menyatakan bahwa bahasa yang

dipakai oleh Adam untuk berkomunikasi ketika di sorga. Lihat Jalâl al-Dîn ‗Abd al-Rahmân ibn Abî

Bakr al-Suyûthî, al-Muzhhir fî „Ulûm al-Lughah wa Anwâ„ihâ, h. 30-31. 189

Lihat Q.S. Ibrâhîm (14): 4.

Page 86: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

72

langsung, maka al-Qur‘an ―turun‖ menggunakan bahasa Arab. Ia mendasarkan

pandangannya atas Q.S. Ibrâhîm (14): 4, Q.S. Yûsuf (22): 2, Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26):

193-194, Q.S. Fushilat (41): 44, dan Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26): 198-199.190

Di sini timbul pertanyaan, siapa yang membahasaarabkan al-Qur‘an. Di

kalangan sebagian sarjana Muslim klasik setidaknya terdapat tiga pandangan yang

berkembang, yaitu: pertama, al-Qur‘an disampaikan dengan lafadz dan makna.

Mekanismenya adalah Jibril menghafalkan al-Qur‘an dari lauẖ al-maẖfûdz dan

membawanya ke bumi; kedua, Jibril hanya menyampaikan maknanya secara khusus,

lalu Nabi mempelajari dan mengartikulasikannya dengan bahasa Arab. Pendapat ini

merujuk kepada literal Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26): 193-194; ―nazala bi hi al-rûẖ al-amîn

„alâ qalbika‖; ketiga, bahwa Jibril menyampaikan makna kepada Nabi dan

mengartikulasikannya ke dalam bahasa Arab. Jibril menyampaikannya dengan bahasa

Arab sebagaimana makhluk yang ada di langit membacanya.191

Pendapat pertama

dapat diartikan bahwa Tuhan mengirimkan pesan kepada Nabi Muhammad dengan

bahasa Arab. Sedang menurut pendapat kedua dan ketiga komunikasi Tuhan tidak

menggunakan sarana bahasa manusia, tetapi dengan bahasa langit yang tidak dapat

diidentifikasi oleh manusia. Adapun Toshihiko Izutsu, dengan mengaitkan

pendapatnya tentang proses pewahyuan di atas, dapat dipahami bahwa Tuhan

sendirilah yang membahasaarabkan al-Qur‘an. Pandangannya yang menyatakan

bahwa al-Qur‘an diturunkan dalam bahasa Arab lagi-lagi menegaskan bahwa ia sama

sekali tidak mempersoalkan otenstisitas kitab suci ini, sementara bagi sarjana lain hal

ini menjadi isu yang menarik, baik untuk menunjukkan transendensi al-Qur‘an

maupun untuk menunjukkan hal sebaliknya bahwa ia hanya jiplakan dari kitab suci

sebelumnya.

190

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 199-201. 191

Lihat Badr al-Dîn Muẖammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî,, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân,

taẖqîq: Muẖammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm, Juz I, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts, t.th.), (Kairo:

Maktabah Dâr al-Turâts, t.th.), h. 229; Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân

fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I, (Kairo: Mathba‗ah Hijazî, t.th.), h. 44-45.

Page 87: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

73

Sarjana yang menyatakan bahwa bahasa al-Qur‘an bukan bahasa Arab dengan

tujuan untuk menunjukkan transendensi al-Qur‘an adalah Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân

ibn Sulaimân al-Rûmî. Untuk menguatkan pendapatnya tersebut, ia mengemukakan

beberapa contoh mukjizat yang diturunkan kepada utusan-utusan Tuhan sebelum

Nabi Muhammad. Nabi Isa, misalnya, yang diberi mukjizat dapat menyembuhkan

orang yang sedang sekarat bahkan menghidupkan kembali orang yang sudah mati.

Mukjizat ini meskipun ada kemiripan dengan ilmu kedokteran, namun tidak bisa

dikategorikan sebagai ilmu kedokteran. Dalam konteks al-Qur‘an, gaya bahasa

(uslûb)-nya yang tidak dapat ditandingi oleh sastra gubahan penyair-penyair Arab,

walau pun dapat dipahami oleh orang-orang Arab, menunjukkan bahwa bahasa al-

Qur‘an berbeda dengan bahasa Arab.192

Sarjana-sarjana yang menyatakan bahasa al-Qur‘an sebagian bukan asli Arab

untuk menunjukkan bahwa al-Qur‘an tidak lain adalah jiplakan dari kitab-kitab

sebelumnya, di antaranya, adalah Abraham Geiger (1810-1874), Arthur Jeffery

(1893-1959), dan Christoph Luxenberg (nama samaran). Bukti-bukti bahwa bahasa

al-Qur‘an tidak otentik bahasa Arab, menurut Abraham Geiger adalah adanya empat

belas kosakata al-Qur‘an yang berasal dari bahasa Ibrani atau tradisi Yahudi. Kempat

belas kosakata tersebut adalah tâbût, taurâh, jannât „adn, jahannam, aẖbâr, darasa,

rabbânî, sabt, sakînah, thâghût, furqân, mâ„ûn, matsânî, dan malakût.193

Sementara

Arthur Jeffery menghimpun 317 kosakata yang diyakininya bukan asli bahasa

Arab.194

Menurutnya, keberadaan kosakata serapan tersebut meniscayakan bahwa

Muhammad selaku pengemban risalah al-Qur‘an banyak mempelajari fenomena

budaya dari bahasa asal kosakata tersebut.195

Untuk mengukuhkan pandangannya

tersebut, ia juga mengandalkan riwayat tentang ketidaktahuan ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs

192

Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî, Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm, h. 13. 193

Lihat Abraham Geiger, ―What did Muhamamd Borrow from Judaism?‖ dalam Ibn Warraq

(ed.), The Origin of the Koran, (New York: Prometheus Books, 1998), h. 166-172. 194

Lihat Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, (Leiden-Boston: Brill, 2007),

h. 43-296. 195

Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 2.

Page 88: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

74

– sahabat Nabi yang paling alim yang digelari tarjumân al-Qur‟ân – mengenai makna

kosakata tertentu dalam beberapa ayat al-Qur‘an, seperti makna kata fâthir ( )

yang terulang sebanyak enam kali dalam al-Qur‘an. ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs baru

memahami makna kata tersebut setelah secara tidak sengaja mendengar perkataan

salah seorang dari dua orang Arab yang sedang memperebutkan sebidang tanah.

Kalimat yang diucapkan oleh salah seorang tersebut adalah ana fathartuhâ (

).196

Ketidaktahuan seperti ini, menurut Arthur Jeffery, menjadi bukti bahwa kosakata

tersebut sebenarnya bukan asli dari bahasa Arab. Selain itu, Arthur Jeffery juga

menyatakan bahwa kosakata yang terkait dengan aksesori, seperti istabraq ( ),

sundus (

),

zanjabîl ( ), misk (

), surâdiq (

), dan abâriq (

), tidak mungkin dikenal oleh masyarakat Arab yang pada ketika itu

kehidupannya masih diselimuti kejahiliahan.197

Dengan mengutip Jalâl al-Dîn al-

Suyûthî,198

ia mengklasifikasi sebelas bahasa asal kosakata serapan al-Qur‘an, yaitu:

Ethiopia, Persia, Romawi, India, Syria, Ibrani, Nabathean, Koptik, Turki, Negro, dan

Barbar.199

Dari bahasa-bahasa inilah bahasa Arab mengambil banyak kosakata yang

terkait dengan keagamaan ataupun kebudayaan. Kemudian ia menguraikan kesebelas

bahasa tersebut satu persatu untuk membuktikan kedekatan hubungannya dengan

bahasa Arab disertai sejumlah contoh kosakata. Arthur Jeffery menyimpulkan bahwa

adanya kosakata serapan tersebut dalam al-Qur‘an menunjukkan adanya pengaruh

luar, terutama dari ajaran Yahudi dan Nasrani terhadap al-Qur‘an.200

Christoph

Luxemberg, orientalis berkebangsaan Jerman asal Lebanon yang bernama asli

Ephraem Malki, melalui bukunya Die Syrio-Aramäische Lesart des Koran: eine

Entschüsselung der Koransprache, menyimpulkan bahwa bahasa al-Qur‘an

sebenarnya bukan bahasa Arab, tetapi bahasa Aramaik dengan dialek Syria (Syrio-

196

Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 7. 197

Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 11. 198

Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al-Itqân fî „Ulûm al-

Qur‟ân, Juz I, h.138-141. 199

Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 12. 200

Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 43.

Page 89: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

75

Aramaic). Oleh karena itu, banyak kosakata dan ungkapan yang semula sering dibaca

keliru atau sulit dipahami dapat diatasi dengan merujuk kepada bahasa Syrio-Aramaic

yang diyakininya menjadi lingua franca pada saat itu. Ia juga berkesimpulan bahwa

ajaran al-Qur‘an banyak mengambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen

Syria.201

Di kalangan sarjana Muslim sendiri masalah kemurnian bahasa Arab al-

Qur‘an ini juga sempat menjadi polemik; apakah ia berbahasa Arab secara murni atau

ada unsur-unsur bahasa lain di dalamnya. Polemik seputar masalah ini melahirkan

dua kelompok mainstream. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa semua

kosakata yang ada dalam al-Qur‘an adalah bahasa Arab. Kedua, kelompok yang

berpendapat bahwa sebagian kosakata al-Qur‘an merupakan kosakata bahasa asing.

Sarjana-sarjana Muslim yang dapat dikategorikan termasuk dalam kelompok

pertama adalah Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‗î (w. 204/820), Abû ‗Ubaidah (w.

209/825), Muẖammad ibn Jarîr al-Thabarî (w. 310/923), Abû al-Husain ibn Fâris al-

Lughawî (w. 395/1004), dan Abû Bakr ibn al-Thayyib al-Bâqillânî (w. 403/1012).202

Mereka mendasarkan argumentasinya pada ayat-ayat al-Qur‘an yang menyebutkan

bahwa al-Qur‘an diturunkan dengan bahasa Arab.203

Mereka menuduh orang-orang

yang berpendapat bahwa di dalam al-Qur‘an terdapat kosakata tertentu bukan bahasa

Arab sebagai tindakan tergesa-gesa, karena ketidaktahuan terhadap kosakata tersebut

lalu mengatakan sebagai bukan bahasa Arab, padahal sesungguhnya ia bahasa Arab.

Adalah sebuah kewajaran jika kosakata tertentu dituturkan oleh beberapa orang dari

penutur bahasa yang berbeda.204

Sementara itu, mereka yang berargumen bahwa di

201

Dikutip dari Syamsuddin Arif, ―Al-Qur‘an, Orientalisme, dan Luxemberg,‖ dalam Jurnal

Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005, h. 19. 202

Badr al-Dîn Muẖammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I,

h. 287; Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân,

Juz I, h. 136. 203

Lihat Q.S. Yûsuf (12): 2; al-Ra‗d (13): 37; al-Naẖl (16): 103; Thâhâ (20): 113; al-Syu‗arâ

(26): 195; al-Zumar (39): 28; Fushshilat (41): 3 dan 44; al-Syûrâ (42): 3; al-Zukhruf (43): 3; dan al-

Aẖqâf (46): 12. 204

Aẖmad Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfiʻî, al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi Muẖammad

ibn Idrîs al-Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad Syâkir (ed.), (Kairo; Maktabah Dâr al-Turâts, 1979), h. 42.

Page 90: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

76

dalam al-Qur‘an terdapat kosakata asing yang menjadikan al-Qur‘an tidak murni

berbahasa Arab adalah ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs (w. 68 H.), ‗Ikrimah (w. 105 H.), dan

lain-lain.205

‗Abd Allah ibn ‗Abbâs, ketika ditanya tentang Q.S. al-Muddatstsir (74):

51 (

), menjelaskan bahwa kata qaswarah adalah bahasa Ethiopia,

yang padanannya dalam bahasa Arab adalah al-asad, dalam bahasa Persia disebut

syîr, dan dalam bahasa Nabathean disebut awiyâ.206

Di sisi lain, dalam tradisi kesarjanaan Muslim, kosakata asing dalam al-

Qur‘an diistilahkan dengan al-gharîb atau gharîb al-Qur‟ân. Istilah ini mejadi bidang

kajian tersendiri dalam disiplin ilmu tafsir yang menafsirkan kosakata yang samar

dalam al-Qur‘an. Pembahasan tentang gharîb al-Qur‟ân didasarkan atas ẖadîst Nabi

saw, disamping fakta bahwa kaum Muslim generasi awal juga tidak mengetahui

makna beberapa kata dalam al-Qur‘an.207

Polemik sekitar kearaban al-Qur‘an ini di kalangan sarjana Muslim hanya

membawa implikasi terhadap boleh tidaknya salat menggunakan bahasa selain Arab.

Dengan kata lain, tidak sampai pada pendapat bahwa al-Qur‘an berasal dari kitab-

kitab lain. Imam al-Syâfi‗î tidak membolehkan salat dengan menggunakan bahasa

selain Arab, sementara Imam Abû Hanîfah memperbolehkannya dengan beberapa

alasan, di antaranya adalah riwayat ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd yang pernah membimbing

bacaan al-Qur‘an seorang non Arab („ajam). Ketika sampai pada bacaan

pada [Q.S. al-Dukhân (44): 43-44] orang tersebut

membacanya dengan , lalu oleh ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd diarahkan untuk

membacanya dengan . Kemudian ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd mengatakan

bahwa bukan merupakan suatu kesalahan jika seseorang mengganti kata dengan

205

Lihat Badr al-Dîn Muẖammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân,

Juz I, h. 288. 206

‗Imâd al-Dîn Abî al-Fidâ‘ Ismâ‗îl ibn Katsîr al-Damsyîqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm, Jilid

XIV, Taẖqîq: Mushthafâ al-Sayid Muẖammad, et. al., (Kairo: Muassasah al-Qurthubah, 2000), h, 190. 207

Lihat Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al-Itqân fî ʻUlûm al-

Qur‟ân, Juz I, (Kairo: Mathba‗ah Hijazî, t.th.), h. 115-133.

Page 91: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

77

, namun yang dimaksud dengan kesalahan adalah jika ayat yang bermakna azab

diganti maknanya dengan kasih sayang.208

Pandangan Toshihiko Izutsu di atas sejalan dengan pandangan sarjana-sarjana

Muslim secara umum, sebagaimana direkam oleh Jalâl al-Dîn al-Suyûthi dalam al-

Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân.209

Pandangan tersebut mendapat legitimasi dari ayat-ayat

al-Qur‘an. Dalam banyak tempat, al-Qur'an sendiri secara tegas mengatakan bahwa

dirinya sebagai ʻarabîy. Hal ini terekam dalam setidaknya ada dalam enam ayat, salah

satunya adalah Q.S. Thâhâ (20): 30, ―Kami menurunkan al-Qur‟an dalam bahasa

Arab agar kamu memahaminya.‖210

Adalah hal yang aneh jika al-Qur‘an tidak

memakai bahasa Arab, karena Nabi Muhammad adalah orang yang lahir, hidup, dan

besar dalam kultur dan budaya sosial masyarakat Arab yang bahasa Arab menjadi alat

komunikasinya.

3. Tekstualitas al-Qur‘an

Teks dapat dipahami sebagai fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa

wacana lisan dalam bentuk tulisan.211

Toshihiko Izutsu memang tidak menyatakan

secara eksplisit bahwa al-Qur‘an yang ada sekarang atau yang tertulis di antara dua

sampul sebagai teks, tetapi dari pernyataannya di atas bahwa al-Qur‘an adalah sebuah

karya asli Arab dan pendekatan yang digunakannya dalam mengkaji Kitab Suci ini,

maka dapat disimpulkan bahwa ia memperlakukan al-Qur‘an sebagai teks.

Bagi kalangan tertentu dalam Islam, menggunakan istilah ―nashsh‖ untuk

menyebut al-Qur‘an akan dianggap aneh, meskipun bagi orang yang hidup di luar

tradisi Islam, pernyataan di atas justru biasa-biasa saja dan tidak ada yang istimewa.

Bagi mayoritas umat Islam, pernyataan tersebut bertentangan dengan keyakinan yang

208

Ibn Qudamah, al-Mughnî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyah, t.th.), Cet. I, h. 527. 209

Lihat Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân,

Juz I, h. 127. 210

Ayat-ayat yang lain lihat Q.S. Yûsuf (12): 2; Q.S. al-Zumar (39): 28; Q.S. Fushilat (41): 3;

Q.S. al-Syûra (42): 7; dan Q.S. al-Zukhruf (43): 3. 211

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, h. 131.

Page 92: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

78

selama ini dipegang yaitu bahwa al-Qur‘an adalah firman Tuhan (verbum Dei),212

bukan kreasi Jibril atau Nabi Muhammad, apalagi para Sahabat. Meskipun dalam

proses penyampaiannya kepada Nabi Muhammad, Allah melibatkan Jibril sebagai

perantara,213

namun Jibril adalah jenis makhluk yang memang dirancang Tuhan

untuk mematuhi semua perintah-Nya. Ia tidak diberi kemampuan untuk menolak dan

berpikir. Sehingga merupakan suatu kemustahilan baginya memberikan interpretasi

atas kalam Tuhan, apalagi melakukan penyimpangan dalam tugasnya. Dengan

demikian kalam Allah tersebut sampai kepada Nabi Muhammad secara verbatim.

Dengan kata lain, tidak ada dimensi profan dalam al-Qur‘an, karena seluruh

rangkaian huruf dan maknanya bersifat transenden.214

Untuk memahami teorisasi al-Qur‘an sebagai teks, perlu dielaborasi

pandangan Nashr Hâmid Abû Zaid yang merupakan sarjana Muslim yang secara

tegas menyatakan bahwa al-Qur‘an adalah teks bahasa (nashsh lughawî),215

sebagaimana teks-teks yang lain yang disusun oleh manusia.216

Menurut Nashr

Hâmid Abû Zaid bahwa penyebutan al-Qur‘an sebagai teks berkaitan dengan tiga hal:

Pertama, kata ―wahy‖ dalam al-Qur‘an secara semantik setara dengan perkataan

Allah (kalâm Allah) dan al-Qur‘an sebagai sebagai sebuah pesan (al-risâlah). Sebagai

212

Definisi-definisi al-Qur‘an secara umum menggambarkan hal ini. Di antaranya adalah

definisi yang diberikan oleh Muẖammad ʻAlî al-Shâbunî, al-Tibyân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Beirut: ʻÂlam

al-Kutûb, 1985), h. 8. 213

Mengenai proses umum penyampaian kalam Tuhan kepada para Nabi-Nya dijelaskan

dalam Q.S. al-Syûrâ: 51, yaitu dengan cara: 1) pemberitahuan secara langsung ke dalam hati Nabi; 2)

pemberitahuan dari balik tabir; dan 3) melalui perantaraan Jibril. Hal ini didiskusikan lebih lanjut oleh

Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi dalam al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, h. 45-46.. 214

Keyakinan tersebut mendapatkan pembenaran dari al-Qur‘an. Lihat Q.S. al-Anʻam (6):

114; Hûd (11): 1; dan Fushshilat (41): 1-2. 215

Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, h. 27-28. 216

Lagi-lagi harus ditegaskan bahwa hal ini secara serta merta menjadikan orang yang

berpendapat demikian menafikan asal-usul al-Qur‘an yang bersumber dari Allah. Nashr Hâmid Abû

Zaid menegskan hal tersebut dengan mengatakan, “… anna al-nushûsh al-dinîyah nushûsh lughawîyah

sya‟nuhâ sya‟n ayyah nushûsh ukhrâ fî al-tsaqâfah ….” Nashr Hâmid Abû Zaid, Naqd Khitâb al-Dînî,

(Kairo: Sînâ li al-Nahsr, 1992), h. 197. Pernyataan tersebut muncul karena kalam Allah kemudian

mewujud dalam bahasa manusia, supaya dapat dipahami oleh manusia yang menjadi sasaran kalam itu.

Nashr Hâmid Abû Zaid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections On Islam, (London:

Westport, Connectitut, 2004), h. 97.

Page 93: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

79

perkataan dan pesan, al-Qur‘an meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai sebuah

―teks‖. Kedua, urutan tekstual surat dan ayat dalam teks al-Qur‘an tidak sama dengan

urutan kronologis pewahyuan. Urutan kronologis pewahyuan (tanjîm) al-Qur‘an

merefleksikan historisitas teks, sementara struktur dan urutan yang sekarang

merefleksikan tekstualitasnya. Ketiga, al-Qur‘an terdiri dari ayat-ayat yang sangat

jelas (âyât muẖkamât) yang merupakan induk (backbone) teks dan ayat-ayat yang

masih samar (âyât mutasyâbihât) yang harus dipahami berdasarkan ayat-ayat

muẖkamât. Keberadaan dua macam ayat ini merangsang pembaca bukan hanya untuk

mengidentifikasi ayat-ayat mutasyâbihât, namun juga membuatnya menentukan

bahwa ayat-ayat muẖkamât adalah kunci untuk melakukan penjelasan dan klarifikasi

terhadap ayat-ayat mutasyâbihât.217

Argumen lain yang dapat dikemukakan untuk menunjukkan sifat teks al-

Qur‘an adalah dengan menganalisis kata-kata yang merujuk kepada al-Qur‘an, seperti

―qur‟ân”, ―kalâm‖, ―lisân‖, dan ―kitâb‖. Kata ―qur‟ân” dalam al-Qur‘an, menurut

Muẖammad Muẖammad Abû Lailah, disebut sebanyak enam puluh delapan kali:

lima puluh kali dengan menggunakan artikel (al-qur‟ân), dan delapan belas kali tidak

menggunakan artikel. Kemudian dari total enam puluh delapan kali tersebut, tiga

puluh delapan kali terdapat dalam surat-surat Makkiyah dan sisanya, tiga puluh kali,

terdapat dalam surat-surat Madaniyah.218

Namun, berdasarkan penelusuran terhadap

al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-Karîm, penulis menemukan bahwa

kata ―qur‟ân” disebut sebanyak tujuh puluh kali: lima puluh satu kali dengan

menggunakan artikel (al-qur‟ân), tujuh belas kali tanpa artikel (qur‟ân), dan dua kali

dikaitkan dengan kata ganti (qur‟ânah).219

217

Nashr Hâmid Abû Zaid, Al-Qur‟an, Hermeneutika, dan Kekuasaan: Kontroversi dan

Penggugatan Hermeneutika Al-Qur‟an, terj. Dede Iswadi, dkk., (Bandung: RQiS, 2003)., h. 91. 218

Muẖammad Muẖammad Abû Lailah, al-Qur‟ân al-Karîm min Manzhûr al-Istisyrâqî,

(Kairo: Dâr al-Nasyr li al-Jâmiʻât, 2002), Cet. I, h. 34. 219

Lihat, Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-

Karîm, (Kairo: Mathbaʻah Dâr al-Kutûb al-Mishriyyah, 1363 H.), h. 539-540.

Page 94: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

80

Selanjutnya, dari tujuh puluh kali penyebutan itu, beberapa di antaranya

menunjukkan bahwa kata ―qur‟ân” dapat dimaknai sebagai sebuah teks. Hal ini

terdapat dalam: Pertama, Q.S. Yâsîn (36): 69; Q.S. Qâf (50): 1; Q.S. al-Raẖmân (55):

2; Q.S. al-Jinn (72): 1-2; Q.S. al-Wâqiʻah (56): 77; Q.S. al-Muzammil (73): 4; dan

Q.S. al-Burûj (85): 21. Kedua, kata ―qur‟ân” sebanyak enam belas kali didahului oleh

kata tunjuk ―hâdzâ” (hâdzâ al-qur‟ân).220

Ketiga, dalam enam ayat, yaitu: Q.S. al-

Araf (7): 204; Q.S. al-Naẖl (16): 98; Q.S. al-Isrâ‘ (17): 45 dan 106; Q.S. al-

Muzammil (73): 20; Q.S. al-Insyiqâq (84): 21, kata ―qur‟ân” merupakan obyek

langsung dari kata kerja ―qara‟a”, sedang di sebuah ayat, yakni Q.S. al-Naml (27):

92, merupakan obyek kata kerja ―talâ”, dan di sebuah ayat, yakni Q.S. al-Muzammil

(73): 4, sebagai obyek dari kata kerja ―rattalâ”, baik qara‟a, talâ, maupun rattala

mengandung arti ―membaca‖. Pengertian yang dapat diperoleh dari ayat-ayat ini

secara jelas menunjukkan bahwa al-Qur‘an adalah teks definitif yang dapat dibaca

dan bisa dipahami. Hal ini menunjukkan teksutalitas al-Qur‘an.

Selain itu kata ―qur‟ân‖ juga dirangkai dengan ―ʻarabî”, sehingga menjadi

―qur‟ân ʻarabî”. Ungkapan ini bisa ditemukan dalam al-Qur‘an sebanyak enam kali

adalah Q.S. Yûsuf (12): 2; Q.S. Thâhâ (20): 30; Q.S. al-Zumar (39): 28; Q.S. Fushilat

(41): 3; Q.S. al-Syûra (42): 7; dan Q.S. al-Zukhruf (43): 3. Ayat-ayat tersebut

menekankan bahwa al-Qur‘an diturunkan Tuhan dalam bahasa Arab. Suatu kenyataan

yang turut memperkokoh keberadaan al-Qur‘an sebagai teks, meskipun status

kearaban al-Qur‘an itu sendiri menimbulkan perdebatan di antara para sarjana

Muslim klasik, lantaran di dalam al-Qur‘an terdapat kosakata ―asing‖ (gharîb).221

Bukti lain yang menunjukan tektualitas al-Qur‘an adalah ungkapan “kalâm‖

dan ―lisân‖. Kata ―kalâm‖ yang berasal dari akar kata k-l-m dalam al-Qur‘an

220

Lihat Q.S. al-Anʻam (6): 19; Q.S. Yûnus (10): 37; Q.S. Yûsuf (12): 3; Q.S. al-Isrâ‘ (17): 9

41, 88, dan 89 ; Q.S. al-Kahfi (18): 54; Q.S. al-Furqân (25): 30; Q.S. al-Naml (27): 76; Q.S. al-Rûm

(30): 58; Q.S. al-Sabâ‘ (34): 31; Q.S. al-Zumar (39): 27; Q.S. Fushshilat (41): 26; Q.S. al-Zukhruf

(43): 31; dan Q.S. al-Hasyr (59): 21. 221

Perdebatan mengenai hal ini direkam dengan sangat baik oleh Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân

ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 136.

Page 95: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

81

dirangkaikan dengan kata ―Allah‖, yaitu dalam Q.S. al-Baqarah (2): 75, Q.S. al-

Taubah (9): 6, dan Q.S. al-Fatẖ (48): 15.222

Dalam Q.S. al-Taubah (9): 6 dan Q.S. al-

Baqarah (2): 75, kata "kalâm‖ berarti wahyu Tuhan. Hal ini berdasarkan interpretasi

para penafsir yang menggunakan analisis filologis gramatikal, seperti al-Zamakhsyarî

(w. 538 H./1143 M.)223

dan Abû Hayyân al-Andalusî (w. 745 H./1353 M.).224

Dari

paparan tentang ungkapan ―kalâm Allah‖ ini, terlihat dengan jelas bahwa ungkapan

tersebut sangat mendukung identifikasi status al-Qur‘an. Kitab al-Qur‘an yang

semula merupakan ungkapan dan sapaan Tuhan kepada umat manusia menjelma

menjadi teks bacaan yang memiliki banyak dimensi, di antaranya estetika, susastra

atau puitik. Dimensi-dimensi ini mengantarkan penetapan dan upaya untuk

memperlakukan al-Qur‘an sebagai teks.

Sedangkan kata ―lisân‖ yang tersambung langsung dengan kata ―arabî‖

menjadi ―lisân arabî‖, disebut dalam al-Qur‘an sebanyak tiga kali dalam tiga

kelompok ayat.225

Ketiga kelompok ayat tersebut adalah Q.S. al-Naẖl (16): 103; Q.S.

al-Syuʻarâ‘ (26): 192-195; dan Q.S. al-Ahqâf (46): 12. Ketiga kelompok ayat tersebut

menunjukkan dengan jelas bahwa bahasa al-Qur‘an adalah bahasa Arab yang dipilih

Tuhan untuk menyampaikan pesan-pesan Ilahiyah kepada umat manusia. Kelompok

ayat ini juga memiliki relasi yang erat, secara substansial, dengan Q.S. Thâhâ (20):

30, Q.S. Yûsuf (12): 2; Q.S. al-Zumar (39): 28; Q.S. Fushilat (41): 3; Q.S. al-Syûra

222

Lihat Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-

Karîm, h. 620. 223

Al-Zamakhsyarî mengartikan frase ―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Taubah (9): 6 dengan al-

Qur‘an. Lihat al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ʻan Haqâ‟iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ʻUyûn al-Aqâwîl fî

Wujûh al-Ta‟wîl, Jilid III, h. 14-15. 224

Muẖammad ibn Yûsuf al-Syahîd bi Abî Hayyân al-Andalusî dalam menafsirkan frase

―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Baqarah (2): 75, terlebih dahulu ia memberikan definisi ―kalâm‖.

Menurutnya, ―kalâm‖ adalah ungkapan yang memberikan petunjuk akan adanya relasi terhadap

sesuatu yang dimaui atau dimaksud oleh si pengujar (al-kalâm huwa al-qaul al-dâll ʻalâ nisbah

isnâdîyah maqshûdah li dzâtihâ). Kemudian ia menegaskan bahwa kata ini berarti wahyu Tuhan yang

diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Lihat Abû Hayyân al-

Andalusî, Tafsîr al-Baẖr al-Muhîth, Juz I, h. 435-439. 225

Lihat Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-

Karîm, h. 647.

Page 96: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

82

(42): 7; dan Q.S. al-Zukhruf (43): 3, yang menyinggung dan mengokohkan bahasa

yang dipakai oleh al-Qur‘an.

Kata ―al-kitâb‖, yang merupakan salah satu nama lain dari al-Qur‘an,226

dalam leksikografi Arab berarti buku atau nama sesuatu yang ditulis.227

Kata ini

disebut dua ratus dua puluh kali dalam al-Qur‘an.228

Meskipun tidak seluruhnya,

penggunaan kata al-kitâb untuk merujuk kepada al-Qur‘an juga menunjukkan

tekstualitas al-Qur‘an.

Bukti lain adalah adanya ayat-ayat tantangan (taẖaddî) kepada manusia untuk

membuat karya yang sebanding dengan al-Qur‘an.229

Hal ini, menurut M. Quraish

Shihab,230

menunjukkan bahwa al-Qur‘an menginginkan dirinya diposisikan sejajar

dengan karya manusia dan siap diposisikan menang atau kalah. Sebab, agar dapat

dimungkinkan penilaian yang obyektif, maka obyek yang dinilai harus diletakkan

dalam posisi sejajar. Dengan demikian, pernyataan bahwa al-Qur‘an sebagai teks

bacaan berbahasa Arab menemukan fondasi yang qur‘anik.

Pandangannya yang tidak mengingkari keyakinan umat Muslim terhadap

transendensi al-Qur‘an mengantarkan kepada simpulan bahwa Toshihiko Izutsu

merupakan sarjana non-Muslim yang dapat dikategorikan menggunakan pendekatan

fenomenologi dalam kajian al-Qur‘an, utamanya dalam memandang sumber al-

Qur‘an.

226

Salah seorang sarjana Muslim kontemporer, Muẖammad Syaẖrûr, berpendapat bahwa al-

Qur‟ân berbeda dengan al-Kitâb, atau al-Qur‟ân merupakan bagian dari al-Kitâb. Lihat Muẖammad

Syaẖrûr, al-Kitâb wa al-Qur‟ân: Qirâ‟ah Muʻâshirah, (Beirut: Syarikah al-Mathbûʻah li al-Tauzîʻ wa

al-Nasyr, 2000), Cet. VI, h. 57. 227

Lihat Abû al-Fadhl al-Dîn Muẖammad ibn Makram ibn Mandzûr, Lisân al-„Arab, (Kairo:

Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), h. 3816. Daniel A. Madigan menolak jika kata kitâb dalam al-Qur‘an dipahami

sebagai buku, tetapi lebih tepat diartikan sebagai tulisan. Daniel A. Madigan, The Qur‟an Self-Image:

Writing and Authority in Islamic‟s Scripture, (New Jersey: Princeton University Press, 2001), h. 82. 228

Lihat Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-

Karîm, h. 592-595. 229

Baca Q.S. al-Baqarah (2): 23; Q.S. Yûnus (10): 38; Q.S. Hûd (11): 13; Q.S. al-Isrâ‘ (17):

88; dan Q.S. al-Thûr (52): 33-34. 230

M. Quraish Shihab, ―Orientalisme‖ dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h.

44.

Page 97: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

83

C. Kecenderungan dan Pendekatan Toshihiko Izutsu dalam Kajian al-Qur‘an

Kajian sarjana-sarjana non Muslim terhadap al-Qur‘an pada umumnya banyak

menyoroti sisi pengaruh tradisi Yahudi dan Kristen terhadap al-Qur‘an serta sejarah

dan kronologi turunnya al-Qur‘an. Sementara kajian mengenai kandungan al-Qur‘an

dapat dikatakan sangat minim. Karya-karya dalam bidang ini, menurut Parvez

Manzoor, menempati posisi pinggiran dalam khazanah karya-karya mereka tentang

kajian al-Qur‘an yang sangat melimpah.231

Hal ini mungkin karena, sebagaimana

disinyalir oleh Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun, umat Muslim sendirilah

dalam pandangan kaum intelek non-Muslim tersebut yang harus menggali kandungan

al-Qur‘an untuk dapat menerangi hidup mereka.232

Adapun Toshihiko Izutsu dengan karyanya God and Man in the Koran:

Semantics of the Koran Weltanschauung dan Ethico-Religious Concepts in the Al-

Qur‟an berusaha untuk memahami kandungan al-Qur‘an. Usaha semacam ini dalam

tradisi umat Islam disebut dengan tafsir,233

yang dapat dipahami sebagai aktivitas

untuk memahami al-Qur‘an.234

231

Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dan Studi al-Qur‘an‖, terj. Eva F.

Amrullah dan Faried F. Saenong, dalam Jurnal Studi al-Qur‘an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 59. 232

Fazlur Rahman, Tema Pokok the Qur‟an, h. xi. 233

Istilah ini merujuk kepada Q.S. al-Furqân (25): 33. Secara etimologis, tafsir berarti bayân

syai‟ wa îdhâẖihih (menjelaskan) dan kasyf al-mughaththâ (membuka sesuatu yang tertutup). Lihat

Musâ‗id ibn Sulaiman ibn Nâshir al-Thayyâr, al-Tafsîr al-Lughawî li al-Qur‟ân al-Karîm, (t.tp.: Dâr

Ibn Jauzî, 1422 H.), h. 19. Lihat juga Abû al-Fadhl al-Dîn Muẖammad ibn Makram ibn Mandzûr,

Lisân al-„Arab, h. 3412. 234

Para sarjana Muslim mengemukakan beragam pendapat mengenai definisi tafsir. Di

antaranya Muẖammad Husain al-Dzahabî yang mendefinisikan tafsir sebagai penjelasan tentang arti

atau maksud firman Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia (sebagai penafsir). Muẖammad Husain

al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 14. al-Zarkasyî

mendefinisikannya suatu ilmu yang mengantarkan pada pemahaman terhadap Kitab Allah yang

diturunkan kepada Nabi Muẖammad saw., penjelasan makna-maknanya, dan penggalian hukum-

hukum dan hikmahnya. Lihat Badr al-Dîn Muẖammad ibn ‗Abd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm

al-Qur‟ân, Juz. I, h. 13. Sementaraal-Zarqânî mengemukakan tiga buah definisi tafsir, yaitu: pertama,

tafsir adalah suatu ilmu yang mengkaji al-Qur‘an dari segi indikasi-indikasi yang mengantarkan

kepada yang dimaksud Allah sesuai dengan batas kemampuan manusia; kedua, tafsir adalah suatu ilmu

yang mengkaji tentang hal ikhwal al-Qur‘an dari segi sebab turunnya, sanad, tajwîd, lafadz-lafadz, dan

makna-makna yang berkaitan dengan lafadz dan hukum-hukumnya; ketiga, tafsir adalah suatu ilmu

yang mengkaji tentang cara penuturan lafadz-lafadz al-Qur‘an, petunjuk-petunjuknya, hukum-

Page 98: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

84

Sejak awal, umat Muslim memiliki antusiasme yang besar untuk memahami

al-Qur‘an. Hal ini karena bagi kaum Muslim, al-Qur‘an di samping sebagai Kitab

Suci juga sekaligus sebagai petunjuk. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau

disiplin ini menempati urutan teratas dalam sejarah kajian al-Qur‘an.

Penafsiran Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an bertujuan untuk menemukan

pandangan dunia (weltanschauung) kitab suci ini. Suatu usaha yang menurut Fazlur

Rahman belum pernah dilakukan secara sistematis oleh sarjana-sarjana Muslim

sendiri sebelumnya. Kegagalan memahami al-Qur‘an sebagai kesatupaduan yang

berjalin berkelindan yang menghasilkan suatu weltanschauung yang pasti, telah

mengakibatkan terjadinya bencana besar dalam lapangan pemikiran teologi. Paling

tidak, hal ini pernah dialami oleh aliran Asy‗ariyah, sebuah aliran teologi Sunni yang

dominan selama abad pertengahan, ketika berlangsungnya pengadopsian gagasan-

gagasan asing dalam aspek teologi dengan ketiadaan wawasan yang padu tentang

pandangan dunia al-Qur‘an.235

Untuk memenuhi tujuan tersebut, Toshihiko Izutsu menggunakan pendekatan

strukturalisme linguistik. Pemilihannya terhadap pendekatan ini dapat dilihat dari

keyakinannya, bahasa itu tidak hanya sebagai alat untuk berbicara dan berpikir,

namun lebih penting lagi sebagai alat untuk menangkap dan menerjemahkan dunia

yang mengelilinginya.236

Berdasarkan paparan ini, Toshihiko Izutsu mengikuti

hukumnya - baik ketika berdiri sendiri maupun ketika dirangkai dengan yang lainnya, makna-makna

yang mungkin dicakupnya, dan hal-hal lain yang menyangkut pengetahuan tentang nasakh, sabâb al-

nuzûl, dan aspek-aspek yang jelas seperti cerita dan perumpamaan. Dari ketiga definisi tersebut, al-

Zarqânî cenderung memilih definisi yang pertama karena dianggap lebih sederhana dan semua rincian

yang ada pada kedua definisi terakhir memerlukan kemampuan manusia untuk meyerapnya. Lihat

Muẖammad ‗Abd al-‗Adzîm al-Zarqânî, Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, taẖqîq: Badî al-Sayyid

al-Laẖẖâm, Jilid II, (t.tp.: Dâr al-Qutaibah, 1998), Cet. II, h. 7-9. 235

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,

(Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 3-4. 236

Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic

Weltanschauung, h. 3. Toshihiko Izutsu mengatakan: ―Semantics as I understand it is an analytic study

of the key-terms of a language with a view to arriving eventually at a conceptual grasp of the

„weltanschauung‟ or world-view of the people who use that language as a tool not only of speaking

and thinking, but, more important still, of contextualizing and interpreting the word that surrounds

them.‖

Page 99: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

85

hipotesis Edward Sapir (1884-1939), salah seorang tokoh Strukturalisme,237

yang

menyatakan bahwa bahasa, budaya, dan kepribadian adalah satu kesatuan utuh.

Bahasa adalah sarana apresiasi perilaku dan pengalaman manusia, karena pengalaman

dapat diinterpretasikan oleh adat kebiasaan bahasa.238

Dengan demikian, maka bahasa

– menurut Edward Sapir – merupakan alat untuk mengungkapkan ide atau gagasan.

Hipotesis ini kemudian diperkuat oleh Hans Georg Gadamer (1900-1960) yang

menyatakan bahwa bahasa adalah produk kekuatan mental manusia, dan setiap

bahasa dengan kekuatan linguistiknya merupakan wadah akal-budi manusia.239

Pendekatan linguistik ala Saussurian ini tampak lebih nyata apabila

diperhatikan penjelasannya mengenai al-Qur‘an sebagaimana telah diuraikan di atas.

Al-Qur‘an menurutnya adalah kalâm Tuhan yang termanifestaikan dalam lisân Arab.

Ia menyamakan kalâm dengan parole, sementara lisân dengan langue.240

Istilah-

istilah ini pertama kali digagas oleh Ferdinad de Saussure (1857-1913),241

salah

seorang tokoh pendiri Strukturalisme yang melakukan diferensiasi terhadap istilah

bahasa. Menurut Ferdinand de Saussure, bahasa pada dasarnya memiliki dua aspek,

yaitu: parole dan langue. Parole atau tuturan adalah apa yang diwujudkan seseorang

ketika menggunakan bahasa dalam percakapan atau ketika menyampaikan pesan

237

Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai sebuah

struktur berikut unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun struktur tersebut dipandang

lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis daripada sekadar susunan benda-benda. Oleh karena itu,

masing-masing unsur hanya akan bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur

yang lain di dalam struktur. Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e-

Library, 2004), h. 6-7. 238

Lihat Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech, (New York:

Harcourt Brace, 1921), h. 13. 239

Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Continuum, 1989), 2nd

Revision, h.

439. 240

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 164. 241

Seorang sarjana berkebangsaan Swiss yang beberapa waktu pernah mengajar di Paris

(Perancis) dan akhirnya menjadi Guru Besar di Jenewa. Selama hidupnya ia sedikit sekali

mempublikasikan karyanya. Buku yang membuat namanya terkenal dalam bidang linguistik pada

mulanya merupakan tiga seri kuliah tentang linguistik umum yang dikumpulkan dan diterbitkan pada

tahun 1916 atau tiga tahun setelah kematiannya oleh tiga orang muridnya, yaitu C.H. Bally, A.

Sechehaye, dan A. Riedlinger dan diberi judul Cours de Linguistique Generale. Lihat Ferdinand de

Saussure, Cours de Linguistique Generale, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Perss, 1996), h. 374.

Page 100: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

86

tertentu lewat suara-suara simbolik yang keluar dari mulut. Tuturan ini bersifat

individual, sehingga mencerminkan atau menunjukkan kebebasan pribadi seseorang.

Dengan demikian, parole atau tuturan merupakan sisi empirik, sisi konkrit dari

bahasa.242

Langue diartikan sebagai keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara

pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa yang memungkinkan para penutur saling

memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam masyarakat,

sehingga memenuhi syarat sebagai fakta sosial.243

Jadi langue adalah suatu sistem

kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai suatu bahasa, seolah-

olah kode-kode tersebut telah disepakati bersama di masa lalu di antara para penutur

bahasa tersebut. Langue dan parole memang meskipun berbeda, akan tetapi keduanya

tidak dapat dipisahkan. Keduanya dapat diibaratkan bagai dua sisi mata uang. Oleh

karena itu, agar informasi yang ingin disampaikan seseorang mencapai sasarannya

atau dimengerti pihak lain maka parole harus diwujudkan dalam sistem langue

tertentu. Diabaikannya langue akan membuat pesan yang ingin disampaikan tidak

dapat dimengerti atau disalahmengertikan. Dengan kata lain, tanpa adanya langue,

tidak aka nada parole. Sebaliknya, tanpa ada parole, langue juga tidak akan diketahui

keberadaannya.

Strukturalisme linguistik Toshihiko Izutsu semakin tampak nyata ketika ia

juga sangat menekankan pembahasan semantik secara sinkronis terhadap data-data

kebahasaan yang disediakan oleh al-Qur‘an. Meskipun demikian ia juga tidak

mengabaikan pembahasan semantik secara diakronis.244

Menurut Toshihiko Izutsu,

ada tiga alasan diperlukannya kajian historis terhadap istilah-istilah kunci al-Qur‘an,

yaitu: pertama, pada umumnya kajian terhadap persoalan tersebut berdasarkan atas

242

Ferdinand de Saussure, Cours de Linguistique Generale, h. 80. 243

Martin Krampen, ―Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi‖, terj. Lucia

Hilman, dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (ed.), Serba-serbi Semiotika, (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 1996), h. 57. 244

Pembahasan mengenai studi sinkronis dan diakronis terhadap bahasa dapat dilihat, Heddy

Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Lévi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Kepel Press,

2006), h. 46-47.

Page 101: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

87

dua sudut pandang yang berbeda atau lebih, namun sangat berkaitan erat, dan

biasanya berakhir dengan pandangan yang lebih dalam dan lebih komprehensif;

kedua, dengan mengikuti mengikuti perkembangan semantik istilah-istilah kunci

dalam al-Qur‘an melalui sistem non-al-Qur‘an yang muncul dalam Islam karena

perkembangan jaman, maka dapat diketahui keistimewaan makna kata-kata yang ada

dalam al-Qur‘an dengan sudut pandang yang baru; terakhir, analisis secara cermat

terhadap persoalan kemungkinan dan signifikansi semantik historis, memperlihatkan

secara jelas kelebihan dan kekurangan metode dan prinsip-prinsip khas semantik

statis, sehingga memungkinkan penggabungan kedua semantik tersebut dengan cara

yang sangat menguntungkan dalam menganalisis struktur kosakata al-Qur‘an.245

Berdasarkan sudut pandang diakronis, kosakata merupakan sekumpulan kata

yang mengalami pertumbuhan dan perubahan semantik. Beberapa kata dalam

kelompok tersebut berhenti tumbuh dalam pengertian tidak dipergunakan lagi oleh

masyarakat penuturnya dalam jangka waktu tertentu; sedang kata-kata yang lain

dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang lama. Demikian pula pada masa

tertentu muncul kata-kata baru, dan mulai dipergunakan sejak waktu itu. Kemudian

apabila arus sejarah kosakata ini dipotong pada suatu periode tertentu, maka akan

diperoleh sebuah lintas cross-section, yang dapat digambarkan sebagai permukaan

datar yang dibentuk oleh sejumlah kata yang telah mampu bertahan hidup sampai ke

titik waktu tertentu. Pada permukaan demikian kata-kata tersebut muncul dalam

bentuk jaringan konsep yang rumit, yang memungkinkan untuk diteliti secara

sinkronis.246

Dan bila untuk keperluan tertentu dibuat potongan-potongan sebanyak

yang diinginkan, lalu dibandingkan antara suatu permukaan dengan permukaan yang

245

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 32-33. 246

Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa kosakata pada permukaan datar pada dasarnya

merupakan sesuatu yang artifisial. Kosakata tersebut merupakan kondisi statis yang dihasilkan secara

artifisial oleh suatu pukulan dalam arus sejarah terhadap semua kata dalam sebuah bahasa pada suatu

titik waktu tertentu. Lintas bagian yang dihasilkan memberikan kesan sebagai sesuatu yang statis.

Kondisi statis ini hanya bila dilihat dari aspek makroskopik, sementara dari aspek mikroskopik

permukaan tersebut menggelegakkan kehidupan dan gerakan. Toshihiko Izutsu, God and Man in the

Qur‟an, h. 33-34.

Page 102: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

88

lain, maka sesungguhnya hal itu disebut dengan semantik historis atau semantik

diakronis.247

Dengan demikian, semantik diakronis yang dimaksud Toshihiko Izutsu

bukanlah analisis historis terhadap kata-kata individual untuk melihat bagaimana

kata-kata tersebut berubah maknanya karena perjalanan sejarah, tetapi analisis

komparatif terhadap dua atau lebih permukaan statis suatu bahasa. Berkenaan dengan

al-Qur‘an, Toshihiko Izutsu membagi permukaan semantik bahasa Arab, yaitu: (1)

sebelum turunnya al-Qur‘an; (2) masa turunnya al-Qur‘an; dan (3) setelah turunnya

al-Qur‘an, terutama pada periode Abbasyiah.248

Masing-masing permukaan atau

sistem memiliki keunikan yang membedakan dengan sistem-sistem lainnya. Yang

dimaksud dengan sistem sebelum al-Qur‘an tentu saja adalah pandangan dunia orang-

orang Arab sebelum turunnya al-Qur‘an yang secara linguistik termanifestasikan

dalam syair-syair jahiliyah. Sementara sistem sesudah al-Qur‘an merupakan sistem

pemikiran yang timbul sebagai usaha untuk memahami al-Qur‘an. Sistem ini

beragam, antara lain adalah teologi, hukum, filsafat, dan tasawuf.

Perbedaan sistem al-Qur‘an dengan sistem pra-al-Qur‘an adalah bahwa

kosakata al-Qur‘an memiliki kata fokus tertinggi yaitu Allah, sementara sistem pra-al-

Qur‘an tidak memiliki kata fokus demikian. Konsep ―Allah‖ dalam sistem jahiliyah

berdiri sejajar dengan konsep ―âlihah‖ (bentuk jamak dari ilâh), yaitu konsep tentang

politeisme.249

Dengan demikian, kata ―Allah‖ tidak menempati kedudukan sebagai

kata fokus tertinggi, justru ia menempati tempat pinggiran (peripheral) dalam seluruh

sistem konseptual jahiliyah. Demikian pula medan semantik konsep âlihah, terutama

247

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 34-35. 248

Pembagian ini memiliki kemiripan dengan pembagian yang dilakukan oleh Aẖmad al-

Iskandârî dan Mushthafâ ‗Ananî. Keduanya membagi perkembangan bahasa dan sastra Arab ke dalam

lima fase perkembangan, yaitu: (1) bahasa Arab pada masa Jahiliyah; (2) bahasa Arab pada masa

permulaan Islam; (3) bahasa Arab pada masa dinasti Abbasiyah; (4) bahasa Arab pada masa kekuasaan

Turki; dan (5) bahasa Arab pada masa kebangkitan akhir. Lihat Aẖmad al-Iskandârî dan Mushthafâ

‗Ananî, al-Wasîth fî al-Adâb al-ʻArab wa Târîkhihi, (Kairo: Dâr al-Maʻârîf, t.t.), h. 10. 249

Agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Arab pra-al-Qur‘an atau pra-Islam adalah

politeisme. Lihat Bernard Lewis, The Arab in History, (New York: Oxford University Press Inc.,

2002), h. 20.

Page 103: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

89

bila dibandingkan dengan medan penting lainnya yang lebih memiliki kaitan

langsung dengan kehidupan kesukuan orang Arab, seperti perasaan mulia, kebajikan

sosial dan individual, dan lain sebagainya yang tidak memiliki kaitan langsung

dengan Tuhan dan agama.250

Berkenaan dengan konsep kata fokus tertinggi tersebut, Toshihiko Izutsu

menyatakan bahwa menurut sistem al-Qur‘an, tidak terdapat satu medan semantik

pun yang tidak secara langsung berkaitan dengan dan diatur oleh konsep sentral

Allah. Karena sistem bahasa mencerminkan pandangan dunia pemakainya, maka

konsekuensi logis dari adanya konsep kata fokus tertinggi tersebut adalah bahwa di

dalam pandangan dunia al-Qur‘an terdapat suatu koherensi konseptual yang tidak

ditemukan di dalam sistem jahiliyah. Dengan kata lain, pandangan dunia al-Qur‘an

dapat disebut sebagai ‗teosentrik‘, sementara pandangan dunia pra-al-Qur‘an bersifat

‗antroposentrik‘.251

Dalam sistem al-Qur‘an, semua medan semantik – termasuk di dalamnya

semua istilah kunci – berada di bawah pengaruh kata fokus sentral dan tertinggi

tersebut. Pengaruhnya tidak saja terhadap konsep-konsep yang secara langsung

berhubungan dengan agama dan keimanan, tetapi juga semua gagasan moral, bahkan

juga konsep-konsep yang mewakili aspek-aspek keduniaan, seperti perkawinan dan

perceraian, warisan, perdagangan, dan lain sebagainya.252

Sementara itu, perbedaan antara sistem al-Qur‘an dengan sistem sesudahnya

sangat halus. Hal ini, menurut Toshihiko Izutsu, dikarenakan secara linguistik sistem

pasca al-Qur‘an sangat tergantung dan berdasarkan pada kosakata al-Qur‘an. Sebagai

ilustrasi perbedaan antara kedua sistem ini, dapat diambil pasangan konseptual yang

dibentuk oleh kata muslim, mu„min, dan kâfir. Dalam sistem al-Qur‘an, kata muslim

merupakan konsep yang terlihat jelas sebagai kata yang berlawanan dengan kata

250

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 38. 251

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 37. 252

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 37-38.

Page 104: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

90

kâfir. Sementara kata mu„min merupakan konsep yang melengkapi kata muslim,

kecuali hanya dalam kasus tertentu saja kata islâm (bentuk nominal dari muslim)

berada dalam keadaan yang berlawanan dengan kata îman (bentuk nominal dari

mu„min).253

Perlawanan konseptual yang fundamental antara muslim dan kâfir berlanjut

dalam sistem teologi yang muncul pada periode pasca al-Qur‘an. Hal ini disebabkan,

secara semantik, teologi Islam merupakan sistem konseptual yang pada hakikatnya

didasarkan pada kosakata al-Qur‘an, maka ia mewarisi seluruh kesatuan kata dan

konsep dari al-Qur‘an. Oleh karena itu, secara lahiriah tidak ada perobahan berkenaan

dengan pasangan dasar muslim dan kâfir, namun jka ditelisik secara mendalam, telah

terjadi pergeseran struktur batin pasangan tersebut dalam sistem yang baru ini.

Pergeseran struktur makna batin ini terjadi dengan munculnya Khârijiyah

(sekte Khawârij) di tengah-tengah dunia Islam.254

Pada dasarnya persoalan tersbut

tidak lagi menyangkut hubungan antara orang-orang Islam dengan orang-orang di

luar Islam, tetapi menyangkut perbedaan di dalam batas-batas orang-orang Islam itu

sendiri. Menurut pandangan orang-orang Khawârij, seorang Muslim bila telah

melakukan dosa besar, maka dia bukan lagi sebagai orang Muslim, tetapi dia harus

dianggap sebagai seorang Kâfir yang akan masuk ke dalam neraka, sehingga

dibenarkan untuk dibunuh. Konsep dosa besar sendiri merupakan konsep yang

fleksibel. Dikatakan demikian karena sangat mudah diarahkan kemana saja, sehingga

bisa mencakup apa saja yang tidak disukai seseorang.

253

Lihat Q.S. al-Hujurât (49): 14-15. 254

Nama Khawârij berasal dari kata kharaja artinya keluar. Nama ini diberikan kepada

pengikut-pengikut ‗Alî ibn Abî Thâlib yang pergi meninggalkan barisannya karena tidak setuju dengan

sikap ‗Alî ibn Abi Thâlib yang menerima taẖkîm (arbritase) sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan

persengketaan tentang khâlifah dengan Muawwiyah ibn Abî Shufyân. Pendapat lain mengatakan

bahwa nama demikian berdasarkan Q.S. al-Nisâ‘ (4): 100 yang di dalamnya disebutkan: ―keluar dari

rumah lari menuju kepada Allah dan rasul-Nya.‖ Dengan demikian kaum Khawârij memandang

dirinya sebagai orang yang keluar dari rumah demi mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.

Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan, (Jakarta:

Yayasan penerbit Universitas Indonesia, 1972), Cet. II, h. 11.

Page 105: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

91

D. Kritik terhadap Toshihiko Izutsu

Tafsîr merupakan salah satu ilmu yang dikembangkan di dalam kajian

keislaman (dirāsat al-islamiyyah) selain fiqh, ushul al-fiqh, ushul al-dîn, dan hadîts.

Dibandingkan dengan kajian-kajian lain, tafsîr memiliki nilai yang sangat strategis

karena memberi jalan pada ilmu lain untuk menemukan rujukan yang sah. Karena

demikian pentingnya, maka dalam khazanah pustaka Islam, termuat berbagai

kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur‘an.

Dalam Ushûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduhu, Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk menyatakan

ada lima belas kriteria yang harus dimiliki seorang penafsir al-Qur‘an, yaitu: pertama,

memahami hadis dengan baik; kedua, mengetahui bahasa Arab; ketiga, menguasai

gramatika bahasa Arab (naẖw); keempat, menguasai sistem konjugasi bahasa Arab

(tashrîf); kelima, menguasai etimologi bahasa Arab (isytiqâq); keenam, ketujuh dan

kedelapan, mempunyai kemahiran di dalam ilmu balâghah dan bagian-bagiannya

seperti ma‗ânî, bayân, badî‗; kesembilan, menguasai ragam bacaan (qirâ‟ât) al-

Qur‘an; kesepuluh, mengerti ilmu tauhîd; kesebelas, mengetahui ushûl al-fiqh;

keduabelas, mengerti sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur‘an (asbâb al-nuzûl);

ketigabelas, memahami kisah-kisah yang ada di dalam al-Qur‘an; keempatbelas,

memahami nâsikh dan mansûkh; dan terakhir, mengamalkan apa yang telah

diketahui.255

Senada dengan hal tersebut, ʻAbd al-Hay al-Farmâwî menyatakan bahwa

seorang penafsir harus memenuhi empat syarat:256

Syarat pertama dan utama adalah

harus benar aqidahnya dan menjalankan sunah Nabi, kemudian benar tujuannya, yaitu

untuk mendekatkan diri kepada Allah, menggunakan jalur naql (metode tafsîr bi al-

ma‟tsûr), dan menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan dalam penafsiran.257

Ini

255

Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduhu, (Beirut: Dâr al-Nafâis,

1986), h. 186-187. 256

ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhûʻî: Dirâsah Manhajîyah

Maudhuʻîyah, (Kairo: Mathb‗ah al-Hadhârah al-‗Arabiyah, 1997), h. 17-19. 257

Ada lima belas ilmu, yang meliputi linguistik, teologi, ushûl al-fiqh, asbâb al-nuzûl wa al-

qashash, al-nâsikh wa l-mansûkh, hukum Islam, hadits, dan ʻilm al-mauhibah. Untuk lebih jelasnya,

lihat ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî, h. 19-20.

Page 106: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

92

menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur‘an harus dilakukan oleh orang-orang Muslim

yang memiliki keahlian-keahlian khusus. Dengan demikian, muslim biasa (ʻawâm)

tidak diperkenankan melakukan pengkajian terhadap kandungan al-Qur‘an, apalagi

non-Muslim.

Pendapat-pendapat di atas diperkuat pula oleh Abdullah Saeed.258

Ia secara

tegas menyatakan bahwa non-Muslim tidak memiliki otoritas dalam menafsirkan al-

Qur‘an. Baginya, penafsiran al-Qur‘an merupakan kerja kesalehan yang memerlukan

persyaratan-persyaratan khusus. Di antara persyaratan tersebut yang paling utama

adalah seorang penafsir harus Muslim dan menjalankan ajaran-ajaran Islam.259

Jadi,

jika ada non-Muslim yang menafsirkan al-Qur‘an, maka penafsirannya dianggap

tidak sah. Meskipun dipandang tidak memiliki otoritas, menurut Abdullah Saeed,

non-Muslim dapat menyumbangkan usaha penafsirannya terhadap al-Qur‘an dalam

kerangka akademis.260

Dalam artian penafsiran mereka secara ilmiah dapat diterima,

hanya saja tidak dapat dijadikan landasan dan pegangan amalan bagi umat Islam.

Apa yang dikemukakan oleh Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk, ʻAbd al-Hay al-

Farmâwî, dan Abdullah Saeed di atas merupakan pandangan mainstream kaum

Muslim. Pendapat serupa telah digagas oleh para pendahulu dalam kajian al-Qur‘an,

misalnya Ibn Jarîr al-Thabarî,261

yang secara ekplisit juga menyatakan keyakinan

yang benar (Muslim) sebagai syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang pengkaji

al-Qur‘an.

Berdasarkan hal tersebut, maka Toshihiko Izutsu tidak memiliki otoritas untuk

menafsirkan al-Qur‘an, karena sampai akhir hayatnya ia adalah seorang pemeluk Zen

258

Abdullah Saeed adalah profesor Kajian Arab dan Islam Sultan Oman dan direktur Pusat

Kajian Islam Kontemporer Universitas Melbourne, Australia. Dia telah banyak menulis tentang Islam

dan dia juga mengarang dan menjadi editor sejumlah buku, di antaranya Approaches to Qur‟an in

Contemporary Indonesia (2005), Freedom of Religion, Aposty and Islam (co-author, 2004), Islam and

Political Legimacy (2003), Islam in Australia (2003), dan Islamic Bank and Interest, (1996). 259

Abdullah Saeed, Interpreting the Qur‟an, h. 114. 260

Abdullah Saeed, Interpreting the Qur‟an, h. 114. 261

Al-Thabarî menyatakan, min shartihi shiẖẖah al-iʻtiqâd wa luzûm sunnah al-dîn, fa inna

man kâna maghmûsh ʻalaihi fî dînihi lâ yu‟tamanu ʻalâ al-dunyâ fa kaifa ʻala al-dîn. Lihat, Jalâl al-Dîn

ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, Juz 2, h. 176.

Page 107: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

93

Budhism. Namun dengan mencermati seruan Muẖammad Amîn al-Khûli (1895-

1966) yang menggemakan bahwa al-Qur‘an merupakan ―kitab berbahasa Arab yang

terhebat dan karya sastra yang terpenting‖ (kitâb al-„arabiyyah al-akbar wa atsaruhâ

al-adabî al-a„zham),262

dan Nashr Hâmid Abû Zaid (l. 1943) dengan pernyataannya

bahwa al-Qur‘an adalah ―teks bahasa‖ (nashsh lughawî) sebagaimana teks-teks yang

lain yang disusun oleh manusia,263

dan perintah al-Qur‘an yang ditujukan kepada

kaum Muslim untuk memberi kesempatan kepada non-Muslim untuk mendengarkan

al-Qur‘an, dengan harapan mereka dapat menangkap makna dan pesan-pesannya,264

maka apa yang dilakukan oleh Toshihiko Izutsu dapat dipandang sebagai sesuatu

yang sah-sah saja.

Selain dipandang tidak memiliki otoritas dalam menafsirkan al-Qur‘an

berdasarkan sudut pandang sarjana-sarjana „ulûm al-Qur‟ân, Toshihiko Izutsu juga

tidak sepi dari kritik yang dilontarkan oleh sarjana-sarjana kontemporer. Kritik

terhadap Toshihiko Izutsu datang dari Fazlur Rahman yang menulis sebuah ulasan

terhadap God and Man in the Qur‟an.265

Dalam beberapa bagian dari review tersebut,

Fazlur Rahman mengkritik Toshihiko Izutsu yang terlalu bercita-cita tinggi untuk

menjelaskan al-Qur‘an atas dasar pencarian ―struktur dasar‖ dan ―konsep-kunci‖ al-

262

Lihat Muẖammad Amîn al-Khûli, Manâhij al-Tajdîd fî al-Naẖwi wa al-Balâghah wa al-

Tafsîr wa al-Adâb, (Beirut: Dâr al-Maʻrifah, 1961), h. 303, dan Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-

Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Kairo: al-Haiʻah al-Mishriyah al-ʻÂmmah li al-Kitâb, 1993), h.

12-13. 263

Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh, h. 27-28. Pernyataan Nashr Hâmid Abû Zaid

yang kontradiktif dengan keyakinan mayoritas umat Isam ini tentu saja mendapat protes dari kalangan

Ulama, di antaranya adalah seorang guru besar Universitas al-Azhar, Mohammed Abu Musa, yang

mengecam pendapatnya dengan mengatakan bahwa dalam sejarah Islam, tidak ada seorang pun yang

menggunakan istilah ―teks‖ ketika merujuk kepada al-Qur‘an selain sebagaimana yang digunakan

Tuhan sendiri, seperti âyat dan sûrah. Hanya orientalis yang mengatakan al-Qur‘an adalah teks. Hal ini

sebagaimana diakui oleh Nashr Hâmid Abû Zaid dalam, Al-Qur‟an, Hermeneutika, dan Kekuasaan:

Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutika Al-Qur‟an, h. 86. 264

Baca Q.S. al-Taubah (9): 6. 265

Ulasannya dimuat dalam Jurnal Islamic Studies, Juni 1966, Vol. V, No. 2, Islamic

Research Institute, Rawalpindi. Dan cantumkan dalam Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an,

h. vii-xiv.

Page 108: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

94

Qur‘an. Bagi Fazlur Rahman, tanpa pendekatan sejarah, kita tidak akan dapat berlaku

adil terhadap evolusi konsep, khususnya konsep Allah.266

Kritik lain datang dari Harry Partin. Menurutnya, analisis Toshihiko Izutsu

tidak memadai secara historis. Hal ini berdasarkan, pertama, mengabaikan peranan

sejarah di dalam mempengaruhi perubahan makna, dan kedua Toshihiko Izutsu tidak

menegaskan fakta bahwa surat-surat dalam al-Qur‘ān diturunkan selama masa lebih

daripada dua puluh tahun dan beberapa kata yang terdapat di dalam surat-surat awal

sangat berbeda maknanya dengan surat-surat terakhir. Dengan kata lain, ada sebuah

sejarah semantik di dalam al-Qur‘an itu sendiri. Jelas, pendapat Harry Partin ini

makin mengukuhkan kritik Fazlur Rahman terhadap Toshihiko Izutsu.267

Daniel A. Madigan juga mengkritik Toshihiko Izutsu. Ia keberatan dengan

teori makna dasar dan makna relasional yang dikemukakan oleh Toshihiko Izutsu.

Premis dari teori tersebut adalah makna yang tepat dari suatu kata ditentukan oleh

posisinya dalam suatu sistem.268

Pendekatan Toshihiko Izutsu didasarkan atas

keyakinan bahwa orang dalam situasi budaya yang berbeda akan menggunakan kata-

kata untuk mengelompokkan dan membagi realitas dengan cara yang beragam.

Dengan demikian kebutuhan akan pemetaan bidang semantik masing-masing kata

harus benar-benar dieksplorasi. Karena berdasarkan pemetaan dan hubungan dalam

bidang semantik, makna berubah seiring waktu. Menurut Daniel A. Madigan, istilah

―makna yang tepat‖ dapat membahayakan. Tidak ada satupun makna yang dapat

diklaim sebagai makna al-Quran. Mengutip Wilfred Cantwell Smith, makna Quran

adalah ―sejarah makna-maknanya‖.269

Meskipun demikian, beberapa sarjana Muslim memberikan apresiasi yang

positif. Parvez Manzoor, misalnya, sebagai seorang yang sangat keras menentang

266

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. x. 267

http://www.ahmadsyahidah.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 268

Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 13. 269

Daniel A. Madigan, The Qur‟an Self-Image: Writing and Authority in Islamic‟s Scripture,,

h. 80.

Page 109: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

95

kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat dengan mengatakan bahwa apapun

manfaat dan gunanya, studi al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat merupakan proyek

yang lahir dari kedengkian yang dipelihara dalam kefrustasian dan disusui dalam

kedendaman,270

merekomendasikan karya-karya Toshihiko Izutsu bagi sarjana-

sarjana Muslim. Dalam pandangannya, sarjana Jepang ini – sebagai orang luar

orientalisme – tidak mewarisi prasangka sejarah atau ketakutan emosional. Oleh

karena itu, meskipun karyanya ditopengi oleh metode orientalisme, namun bersinar

dengan kilauan yang mempesona. Karya-karyanya sekaligus menyajikan argumentasi

yang sangat meyakinkan dalam melawan klaim bahwa kebenaran sebuah kitab suci

hanya dapat dicapai oleh mereka yang menjadi insider tradisi suci tersebut. Parvez

Manzoor bahkan menganggap metode yang dipergunakan oleh Toshihiko Izutsu,

yaitu membiarkan al-Qur‘an berbicara sendiri, sebagai metode terbaik untuk

mengkaji al-Qur‘an.271

Demikian juga dengan Seyyed Hossein Nasr. Sebagaimana telah

dikemukakan di muka, dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu

adalah seorang sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan

seorang tokoh yang mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat. Selain itu, ia

menambahkan bahwa Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama pertama pada masa kini

yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak hanya dari perspektif non-Muslim

tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya melakukan perbandingan filsafat, utamanya

dalam menciptakan persinggungan serius pertama antara arus intelektual yang lebih

dalam dan utama antara pemikiran Islam dan Timur Jauh di dalam konteks

kesarjanaan modern.272

270

Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dalam Studi al-Qur‘an‖ (terj.),

dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006, h. 45. 271

Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dalam Studi al-Qur‘an‖ (terj.),

dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006, h. 59-60. 272

http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

Page 110: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

96

Terlepas dari polemik otoritatif tidaknya Toshihiko Izutsu dalam penafsiran

al-Quran dan kritik-kritik yang dilontarkan oleh kalangan akedemisi, pendekatan dan

metode yang dipakai oleh Toshihiko Izutsu dapat membuka cakrawala baru dalam

studi al-Qur‘an.

Page 111: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

97

BAB IV

METODE TOSHIHIKO IZUTSU DALAM PENAFSIRAN AL-QUR‘AN

DAN MEKANISME PENERAPANNYA

Metode merupakan sarana yang terpenting untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Dalam hal ini Norman Calder menulis,273

bahwa metode yang digunakan

seorang penafsir dapat dianggap lebih penting daripada produk penafsiran yang dia

hasilkan, bahwa perbedaan interpretasi lahir terutama akibat perbedaan metode yang

digunakan oleh masing-masing penafsir.274

Dalam tradisi penafsiran al-Qur‘an,

setidaknya ada empat metode yang biasa digunakan oleh penafsir, yaitu: pertama,

metode global (tharîqah ijmâlî); kedua, metode analitis (tharîqah taẖlilî); ketiga,

metode tematik (tharîqah maudhû„î); dan kempat, metode perbandingan (tharîqah

muqârin). Pada bab ini, penulis akan menguraikan metode yang digunakan oleh

Toshihiko Izutsu, yaitu metode semantik dan mekanisme penerapannya dalam

penafsiran al-Qur‘an. Selanjutnya, untuk melihat distingsi metode semantik

Toshihiko Izutsu tersebut, akan dikomparasikan terutama dengan metode tematik. Hal

ini karena terdapat kemiripan antara keduanya, terlebih apabila dilihat dari judul

karya-karya Toshihiko Izutsu tentang kajian al-Qur‘an, dan oleh sebagian orang

metode semantik Toshihiko Izutsu dianggap sebagai metode tematik.275

273

Lihat Norman Calder, ―Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a

genre, illustrated with reference to the story of Abraham‖, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A.

Shareef [eds.], Approaches to the Qur‟an, (London dan New York: Routledge, 1993), h. 106. 274

Yusuf Rahman, ―The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: The Analytical

Study of His Method of Interpreting the Qur‟an‖, (Disertasi pada Institute of Islamic Studies, McGill

University, 2001), h. 105-106; juga dalam ―The Qur‘ān in Egypt III: Naṣr Abū Zayd‘s Literary

Approach‖, dalam Khaleel Mohammad dan Andrew Rippin (ed.), Coming Terms with the Qur‟an: A

Volume in Honor of Professor Issa Boullata, McGill University, (North Haledon: Islamic Publication

International, t.th.,), h. 228. 275

Lihat misalnya disertasi Ahmad Sahidah, ―Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-

Qur‘ān Menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu‖, di Universiti Sains Malaysia. Dalam Bab I, ia

mengatakan bahwa ―penafsiran Izutsu, iaitu kaedah semantik, dikategorikan sebagai tafsir maudu‗i

yang berusaha untuk menangkap konsep al-Qur‘ān tentang sesuatu yang bersifat khusus seperti

111

Page 112: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

98

D. Konsep-konsep Metodologis Penafsiran

1. Semantik sebagai Metode Analisis Pandangan Dunia al-Qur‘an

Semantik merupakan salah satu cabang dari linguistik yang dipandang sebagai

puncak dari studi bahasa. Terma semantik atau dalam bahasa Inggrisnya semantics

secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu sema dalam bentuk nominanya

yang berarti ‗tanda‘ atau dalam bentuk verba semaino yang artinya ‗menandai‘ atau

‗melambangkan‘.276

Kata ini disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang

linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda dengan hal yang ditandainya.

Jadi, semantik merupakan bidang studi linguistik yang obyek penelitiannya adalah

makna bahasa.277

Dalam bahasa Arab kajian ini disebut „Ilm al-Dalâlah. Selain

semantik, ada istilah lain yang digunakan untuk merujuk pada bidang studi yang

mempelajari makna atau arti dari tanda atau lambang seperti semiotika, semiologi,

semasiologi, sememik, maupun semik. Namun, istilah semantik lebih sering

digunakan dalam studi linguistik karena istilah-istilah lainnya itu mempunyai

cakupan obyek yang lebih luas, yakni mencakup makna tanda atau lambang pada

umumnya seperti rambu-rambu lalu-lintas, tanda dalam ilmu matematika, kode

morse, dan lain-lain. Sedangkan semantik hanya mencakup makna atau arti yang

berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal.278

keadilan, kebahagian dan kepimpinan.‖ Selanjutnya dalam Bab III, ia menegaskan kembali

pernyataannya dengan menulis ―Model pentafsiran lain adalah tematik, sebuah cara yang digunakan

Toshihiko Izutsu dalam mengkaji al-Qur‘ān.‖ http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal

7 Juli 2009. 276

Istilah ini sendiri muncul pada tahun 1894 yang diprakarsai dan dipopulerkan pertama kali

oleh ‗American Philologial Association‘ Yang kemudian dipakai untuk ilmu bahasa yang mempelajari

makna. Lihat, Muhammad Ali al-Khûlḭ, A Dictionary Of Theoretical Linguistics: English - Arabic,

(Beirut: Library Du Liban, 1982), Cet. I, h. 250 dan 367, Harimuti Kridalaksana, Kamus Linguistik,

(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), Edisi III, Cet. V, h. 193. 277

Lihat, Aẖmad Mukhtâr ‗Umar, „Ilm al-Dilâlah, (Kuwait: Maktabah Dâr al-‗Arûbah li

Nasyr wa al-Tauzî‗, 1982), h. 11. J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 1999), Cet. II, h. 13. Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta,

1994), h. 284. 278

Lihat, Abdul Chaer, Pengantar Linguistik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,

2002), Cet. III, h. 3.

Page 113: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

99

Kajian semantik secara sistematis baru mulai marak ketika Chomsky dengan

buku keduanya Aspect of the Theory of Syntax, terbit pertama kali pada tahun 1965,

memberi perhatian terhadap kajian semantik.279

Namun pada dasarnya kajian

terhadap makna ini sudah ada sejak dahulu sebagaimana yang dilakukan oleh para

filosof Yunani. Aristoteles (384 – 322 SM.),280

misalnya, sudah menggunakan istilah

makna untuk mendefinisikan kata, menurutnya kata adalah satuan terkecil yang

mengandung makna, yaitu makna referensial yang hadir dalam kata itu sendiri secara

otonom dan makna yang hadir sebagai akibat dari proses gramatika.

Di dunia Arab, studi mengenai makna ini sudah dimulai sejak abad kedua

hijriyah dengan disusunnya kamus oleh al-Khalîl ibn Aẖmad al-Farahidî (w. 175 H.)

yang diberi nama kitab al-„Ain.281

Abû ‗Ubaidah (110-203 H.) menyusun kitab

Gharîb al-Qur`ân pertama.282

Aktivitas ini pada periode berikutnya diikuti dengan

279

Lihat, Noam Chomsky, Aspects of Theory of Syntax, (Cambridge: The MIT Press, 1972),

h. 1 – 2. 280

Aristoteles (384 – 322 SM.) ahli bahasa dan filosof Yunani, karyanya antara lain Peri

Hermeias mengandung pembahasan tentang asal-usul bahasa; tentang peradaban antara anoma

‗subjek atau kata benda‘ dan rhema ‗predikat atau kata kerja‘ juga syndesmos ‗predikat‘ dan lain lain.

Lihat, Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 17. 281

Diberi nama demikian karana sesuai dengan kata pertama dari urutan entrinya yang

disusun berdasarkan urutan makhraj bunyi dari halq (tenggorokan) sampai kebibir, dengan urutan

sebagai berikut:

Pada sistematika penyusunan entri kamus ini, terdapat beberapa pengecualian dari prinsip

awalnya (di atas); seperti peletakan entri (kitab) al-waw, al-alif, al-ya` dan al-hamzah di bagian akhir.

Sebenarnya, apabila al-Khalîl mengikuti prinsip pertamanya saja, maka mu‘jam tersebut akan dimulai

dengan kitab al-Hamz, baru al-Hâ`, namun pada identifikaasi awal ia menemukan karakter Hamzah

sebagai, lambang bunyi yang seringkali berubah, seperti pada proses al-tashîl (mempermudah

pengucapan) dan al-hadzf (pembuangan). Sedangkan al-Hâ`memiliki karakter bunyi hembusan yang

tidak bersuara, oleh karena itu maka ia beralih pada posisi ke-3 yakni al-„Ain. Nama lengkap al-

Khalil, Abû ‗Abd al-Raẖmân al-Khalîl ibn Aẖmad al-Farahidî al-Azdî. al-Khalîl adalah orang pertama

menulis kamus dalam bahasa Arab dengan bukunya ―al-„Ain‖, yang dicetak pertama tahun 1985 di

Bagdad. Ia juga peletak ilm ‗Arûḍ dan Qawâfî, ia wafat di Baṣraḥ 175 H. Lihat,

http://www.mawsoah.net, http://[email protected], diakses, 13 Maret 2008. Al-Khalîl ibn

Aẖmad al-Farâḥidî, Kitâb al-„Ain, Taẖqîq: Mahdî al-Maẖzumî dan Ibrâhîm al-Samirrâî, pengantar

oleh Aẖmad ‗Abd al-Gafûr ‗Aththâr, (Baghdad: Dâr Mauqi‘al-Warrâq, 1985), h. 5-11 dan Aẖmad

Mukhtâr ‗Umar, al-Bahs al-Lughawi „ind al-Arab, (Kairo: Dâr al-Miṣhr li al-Thabâʻah, 1985), h. 131-

132. 282

Nama lengkapnya Hafiz Abû ‗Ubaidah Ma‘mar ibn al-Matsnâ al-Tamîmî al-Bashrî.

Banyak linguis dan mufassir Arab yang mengikuti langkah Abû ʻUbaidah menyusun Garîb al-Qur`ân;

sebagaimana yang dilakukan al-Sudusî, Ibn Qutaibah, Abû ʻAbd al-Raẖmân al-Yazidî, Muẖammad ibn

Page 114: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

100

penyusunan kitab tatabahasa Arab yang dipelopori oleh Sîbawaiḥ (148-188 H.)

dengan menyusun al-Kitâb, yang tidak hanya memuat materi morfologi dan sintaksis,

namun juga fonologi dan sastra.283

Setelah itu munculah para linguis yang menekuni kajian makna bahasa Arab

dengan berbagai sistematika penyusunan entri, sumber, metode dan objek

bahasannya. Usaha para linguis Arab itu mengambil berbagai teknik dan bentuk

kajian bahasa, antara lain: Pertama, membedakan makna kata-kata kepada makna

hakiki dan majâzî. Ini dilakukan al-Zamakhsyarî (467-538 H.)284

dalam kamusnya

Asâs al-Balâghah. Usaha al-Zamakhsyarî ini tercatat sebagai pola baru yang belum

dilakukan ahli bahasa sebelumnya;285

Kedua, teknik rolling huruf asal yang mungkin

dan makna dasar yang dimiliki bentuk kata yang tersusun dari huruf-huruf tersebut.

Umpamanya dari huruf

akan terbentuk enam kata yaitu: /

/

/

/

/ dan bagaimana urutannya dalam kata, maka

kata-kata itu mengandung arti dasar ―kuat‖ dan ―keras‖;286

Ketiga, menghubungkan

Salâm al-Jumahî, Abî Ja‘far al-Thabarî, Abî ‗Ubaid al-Qâsim, Muẖammad ibn Dinâr, Abû Bakr ibn al-

Anbari dan Abû Hayyan. Lihat, Mauqi‘ Ya‘sûb, Mu‟jam al-Mathbû‟ât, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî,

1982), Jilid 1, h. 322, Shiddîq ibn Hasan al-Qunûjî, Abjad al-„Ulûm li Wasyi al-Marqûm Fi Bayân

Aẖwâl al-„Ulûm, Jilid 2, (Beirut: Dâr al-Kutûb al-‗Ilmîyyah, 1978), h. 502, dan Mauqi‘ Ya‘sûb, al-

Fihrasat, Jilid 1, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî, 1979), h. 37. 283

Muẖammad ‗Ali Sulthânî, ketika men-taẖqîq Syarẖ al-Kitâb Sîbawaih mengklasifikasikan

materi al-Kitâb dalam empat kelompok ilmu tersebut. Lihat, Abî Muẖammad Yûsuf ibn Abî Sa‘îd al-

Sairafî, Syarẖ Abyât Sibawaih, Taẖqîq: Muẖammad ʻAli Sulthâniî (Suriah: Dâr al-‗Ashâma, 2001), h.

445 – 464. 284

Tentang deskripsi dan gambaran sistematika yang ditempuh al-Zamakhsyarî dalam

pembahasan bukunya itu. Lihat, al-Babanî, Hidâyat al-„Ûrifîn, (Mesir: Dâr Mauqi‘ al-Warrâq, 1979),

Jilid 2, h. 160 dan Edward Phandek, Iktifâ al-Qunû‟ Bimâ Hua Mathbû‟, (Mesir: Dâr Mauqi‘ al-

Warrâq, 1979), h. 114. 285

Sebagai contoh dari rangkaian huruf dirangkaikan makna hakiki dan majâz sebagai

berikut:

Lihat, Abû al-Qâsim Maẖmûd ibn ‗Umar ibn Aẖmad al-Zamakhsyarî, Asâs al-Balâgah, Jilid 2, (Kairo:

Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1973), Cet. II, h. 138. 286

Dikalangan linguis dan leksikolog yang mengakui teknik rolling sendiri menyatakan,

bahwa tidak semua kata yang diperoleh dari teknik rolling terpakai dalam keseharian ataupun karya

Page 115: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

101

makna lafzhîyah dengan tuntutan siyâq atau ẖâl lughawî kalimat, upaya ini dilakukan

oleh ‗Abd al-Qâḥir al-Jurjânî (wafat 476 H) sebagai bentuk ketidakpuasan dengan

makna nahwî yang terkesan kaku dan terbatas, ia menyusun bukunya Asrâr al-

Balâgah yang memperkenalkan „ilm al-Ma‟ânî dan al-Bayân. Oleh karena itu, para

linguis menyebutnya sebagai pelopor madrasah al-Ma‟nâ dalam bahasa Arab.287

Di

samping ketiga jenis kajian ini, banyak kajian-kajian lain yang disumbangkan para

linguis Arab untuk memahami al-Qur`an, hadis dan buku-buku berbahasa Arab, yang

kemudian dikembangkan dan diinovasi oleh generasi berikunya.

Adanya perhatian terhadap studi mengenai makna muncul seiring dengan

adanya kesadaran para ahli bahasa dalam memahami ayat-ayat al-Qur`an disamping

juga dalam rangka menjaga kemurnian bahasa Arab. Berbagai kajian tentang bahasa

Arab, baik kajian tentang sistem bunyi, kajian bentuk kata, struktur kalimat, kajian

sistem makna (dalâlah), ataupun kajian tentang uslûb dan ragam kalimat atas dasar

kontekstual, pada mulanya hanya dimaksudkan untuk pengabdian kepada agama,

yaitu untuk menggali isi kandungan al-Qur`an, mencegah kesalahan membacanya dan

memahami hadis Rasul yang menjadi sumber hukum Islam dan konstitusi dasar bagi

kaum muslimin.288

tulis komunitas Arab; oleh karena itu setelah kata dikembangkan dengan teknik tersebut, kemudian

diidentifikasi kata yang muḥmal, agar ada kejelasan mengenai kata yang terpakai. Lihat materi

tentang Isytiqâq al-Akbar, Ibn Jinnî, al-Khashâish, Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1983),

h. 136. 287

‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî (wafat 471) dikenal sebagai ahli gramatikal Arab, dia belajar dari

‗Ali al-Fârisî pemegang riwayat al-Kitâb (karya Sibawaih), ia juga dikenal sebagai pelatak ‗ilm al-

Bayân disebabkan ketidakpuasannya pada konsep makna nahwî khususnya ketika ia memberikan

makna pada ayat al-Qur‘an, sebagaimana ketidakpuasan Chomsky pada konsep strukturalis De

Sausure dan al-Ma‘ânî yang kemudian dikembangkan oleh al-Sakâkî. Lihat, Mauqi‘ Ya‘sûb, Mu‟jam

al-Mathbû‟ât, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî, 1982), Jilid 1, h. 681, ‗Abd al-Qâhir al-Jurjanî, Asrâr al-

Balâghah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1982), h. 1, dan http://www.ArabicEncyclopedia.com. Diakses, 13

Maret 2008. 288

Hal ini dirasakan urgen dilaksanakan karena tuntutan masyarakat muslim yang mulai

banyak bergaul dengan non-Arab yang berpengaruh pada pergeseran kemurnian bahasa Arab dan

mulai adanya problem dalam pemahaman terhadap al-Qur‘an. Bahkan ada banyak kasus lahn pada

masa sahabat dan tabi‟în awal yang menuntut para ahli bahasa Arab mereka meletakkan dasar-dasar

kaidah bahasa Arab. Seperti kasus juru tulis Abû Mûsâ al-Asy‘arî jaman ‗Umar ra., kasus yang

dijumpai Abû al-Aswâd al-Dualî, kasus yang ‗Amr ibn al-‗Alâ dan kasus-kasus lainnya, Lihat, ‗Abd

al-Karîm Muẖammad al-As‘ad, al-Wasîth Fi Târîkh al-Nahw al-„Arabî, (Riyaḍ: Dâr al-Syawq, 1992),

Page 116: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

102

Oleh karena itu kajian agama Islam erat sekali hubungannya dengan bahasa

Arab, dan agama menjadi motivasi para pakar bahasa Arab untuk memberikan

perhatian besar terhadap usaha penghimpunan bukti-bukti kebahasaan dan membuat

kaidah-kaidah bahasa, sehingga kebanyakan pakar linguistik Arab adalah juga orang-

orang yang ahli dalam bidang agama, seperti dalam bidang tafsir, hadis, teologi dan

fiqh. Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa di antara bentuk praktis usaha para

linguis Arab menghimpun ungkapan Arab serta analisis makna yang terkandung

dalam kata atau ungkapan suatu ayat, untuk memahami dan menggali hukum-hukum

dari al-Qur`an, agar dapat membantu orang-orang yang ingin memahami al-Qur`an

dan hadis Nabi serta buku-buku lainnya.289

Kajian semantik, sebagai satu disiplin dalam linguistik, dalam penafsiran al-

Qur‘an telah mulai dilakukan oleh Muqâtil ibn Sulaimân (w. 150 H./767 M.) dengan

karyanya yang berjudul al-Asybâh wa al-Nadzâir fi al-Qur‟ân al-Karîm dan Tafsîr

Muqâtil ibn Sulaimân.290

Muqâtil ibn Sulaimân menegaskan bahwa setiap kata dalam

al-Qur‘an di samping memiliki makna yang definite, juga memiliki beberapa

h. 23-25; al-Qifthî, Inbâh al-Ruwât „âlâ Anbaâh al-Nuhât, Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah,

1979), Cet. 2, h. 319. 289

Untuk mendapatkan arti yang tepat dan menetapkan suatu kaidah kebahasaan terhadap

kata dalam ayat al-Qur`an umpamanya, mereka tidak segan-segan untuk mengadakan perjalanan jauh

pergi ke daerah pedalaman jazîrah Arab yang bahasa Arabnya dinggap masih murni, terhindar dari

pengaruh bahasa lain. Lihat, Hadzr Mûsa ‗Ali Maẖmûd, al-Nahw wa al-Nuhhât: al-Madâris wa al-

Khashâish, (Kairo: Dâr ‗Alam al-Kutûb, t.t.), h. 46-55, dan Tammâm Hassan, al-Ushûl: Dirâsah

Istimûlojiah li al-Fikr al-Lughwi „inda al-„Arab, (Kairo: Dâr ‗Âlam al-Kutub, 2000), h. 31-37. Tokoh

linguis aliran Kûfî, al-Kisâî (wafat 198 H.) pernah bertanya kepada al-Khalîl ibn Aẖmad: ―Dari mana

anda memperoleh ilmu bahasa ini? al-Khalîl menjawab, pedalaman Hijâz, Najd dan Tihâmah.

Kemudian al-Kissâî keluar menuju pedalaman jazîrah Arab, dan baru kembali setelah menghabiskan

kurang lebih lima belas botol tinta untuk mencatat tentang bahasa, selain yang telah dihafalnya. Lihat,

Ramadhân ‗Abd al-Tawwâb, Fushûl fi Fiqh al-„Arabîyyah, (Kairo: Maktabah al-Kanji, 1979), h. 230.

Muṣṭafȃ ‗Abd al-‘Azȋz al-Sanjarjȋ, al-Madzȃḥib al-Nahwiyah, (Jeddah: al-Fashȋliyah, 1988), h. 38.

Nama lengkap al-Kisâî adalah Abu al-Hasan ‗Ali ibn al-Hamzah al-Kissâî, lahir di Kufah, belajar

gramatikal Arab dengan Mu‘az al-Harra‘, penulis pertama buku-buku gramatikal Arab dari aliran Kûfî,

namun karya-karyanya tidak bertahan sampai sekarang. Lihat, Muẖammad al-Tanthawî, Nasy`ah al-

Naẖw wa al-Tarîkh Asyhuri al-Nuhât, (Kairo: Dâr al-Manâr, 1991), h. 70. 290

M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press,

2005), h. 169-170. Dan penulis yang sama, Pemikiran Progressif dalam Kajian Al-Qur‟an, (Jakarta:

Kencana, 2008),h. 120.

Page 117: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

103

alternatif makna lainnya.291

Berkenaan dengan adanya kemungkinan makna ini,

Muqâtil menyatakan bahwa ―seseorang belum bisa dikatakan menguasai al-Qur‘an

sebelum ia menyadari dan mengenal pelbagai dimensi yang dimiliki al-Qur‘an

tersebut.‖292

Selain Muqâtil, sarjana yang melakukan hal senada adalah Hârun ibn Mûsa

(w. 170 H./786 M.) dalam karyanya al-Wujûh wa al-Nadzâir fi al-Qur‟ân al-

Karîm.293

Demikian juga al-Jâhiz dapat dikategorikan kelompok ini dengan pelbagai

karya yang ditulisnya seperti al-Bayân wa al-Tabyîn, al-Hayawân, al-Bukhalâ‟, al-

Utsmâniyyah, Rasâil al-Jâhiz, dan lain-lainnya.294

Tokoh lain yang juga

mendiskusikan aspek makna adalah Ibn Qutaibah (w. 276 H./898 M.) dengan

291

Salah satu contohnya adalah kata ―yad‖ yang memiliki makna dasar atau leksikal ―tangan‖.

Menurut Muqâtil, dalam konteks pembicaraan ayat, kata tersebut bisa memiliki tiga alternatif makna,

yaitu: i) tangan secara fisik sebagai anggota tubuh, seperti dalam al-A‘râf (7): 108, wa nazaʻa yadahû

fa idza hiya baydhâu li al-nâzhirîn; ii) kedermawanan, seperti dalam al-Isra (17): 29, wa lâ tajʻal

yadaka maghlûlatan ilâ ʻunuqika wa lâ tabsuthha kulla al-basthi fa taqʻuda maluman mahsûran, juga

dalam al-Mâidah (5): 64, wa qâlat al-yahûdu yad Allah maghlûlatan; iii) aktifitas atau perbuatan,

seperti dalam Yâsîn (36): 35, li ya‟kulû min tsamarihî wa mâ „amilathu aidîhim afalâ yasykurûn, serta

al-Hajj (22): 10, dzâlika bi mâ qaddamat yadâk. Muqâtil, al-Asybâh wa al-Nadzâir fi al-Qur‟ân al-

Karîm, (ed.), ʻAbd Allah Maẖmûd Syihata, (Kairo: al-Hay‘ah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitâb,

1975), h. 321-322, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra

Terbesar, h. 170-171. Dan penulis yang sama, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 121. 292

Nashr Hâmid Abû Zaid, al-Ittijâh al-„Aqli fi al-Tafsîr: Dirâsah fi Qadiyah al-Majâz inda

al-Mu‟tazilah, (Kairo: al-Markaz al-Thaqafî al-‗Arabî, 1997), h. 98. 293

M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 172. Dan penulis yang

sama, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 122. 294

Dalam Rasâil, Jilid III, h. 347-349, al-Jâẖizh, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis

Setiawan, mendiskuskan beberapa contoh atau representasi ―nuansa makna‖ yang berbilang dari

kosakata. Salah satunya yang menonjol adalah nafkh al-rûh dalam al-Nisâ‘ (4):171; al-Sajdah (32):9;

Shâd (38):72; al-Taẖrîm (66):12. Al-Qur‘an meyebutkan kata ini dalam konteks yang berbeda-beda,

yang oleh al-Jâẖizh diistilahkan dengan ―ruang semantis‖ yang bisa mempengaruhi makna tersebut.

Pertama, al-Qur‘an menyebutkan kata ini dalam al-Nisâ‘ (4): 171; Kedua, dalam al-Sajdah (32):9;

Shâd (38):72; al-Taẖrîm (66):12. Menurut al-Jâẖizh, kata al-rûh ketika dirangkai dengan kata ―Tuhan‖

berarti jiwa dan dzat Tuhan. Kata ini juga berarti al-Qur‘an itu sendiri, khususnya dalam konteks al-

Syura (42):52, wa kadzâlika auẖainâ ilaika rûẖan min amrinâ, dan al-Qadr (97):4, tanazzal al-

malâikatu wa al-rûẖ fî hâ. Meskipun kata tersebut oleh para mufassir dipahami sebagai jiwa dan ruh,

bagi al-Jâhiz kata dalam konteks dua ayat tersebut tetap diartikan sebagai al-Qur‘an. Karena jiwa

dalam kedua ayat tersebut bukan sembarang jiwa, melainkan memiliki aspek yang dalam dari wahyu

yakni ruh Tuhan. Lihat, M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 173. Juga

tulisannya dalam, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 123-124.

Page 118: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

104

karyanya yang berjudul Ta‟wîl Musykil al-Qur‟ân.295

Ia tidak saja mengulas kosakata,

akan tetapi juga sintaksis. Hal ini menunjukkan bahwa ia menekankan peranan

penting konteks dalam pemaknaan.296

Kesibukan para ahli dan pengkaji al-Qur‘an dalam kurun waktu paruh

pertama abad kedua hijrah ini menandakan pengembangan yang berarti dalam

stadium embrional penafsiran al-Qur‘an, terutama dengan metode analisis semantik.

Pada satu sisi, perhatian demikian pada masa awal, menjadi salah satu pelecut

perhatian beberapa sarjana di era modern dan kontemporer untuk mengkaji al-Qur‘an

dengan metode analisis yang sama.

Salah satu sarjana yang menggunakan metode analisis semantik dalam kajian

al-Qur‘an adalah Toshihiko Izutsu. Namun ia memandang bahwa semantik bukanlah

analisis sederhana terhadap struktur bentuk kata maupun kajian terhadap makna asli

(makna denotatif) yang melekat pada bentuk kata tersebut atau analisis etimologis,

tetapi sebagai suatu kajian analitis terhadap istilah-istilah kunci dari suatu bahasa

dengan maksud untuk akhirnya menangkap pandangan dunia (weltanschauung) dari

orang-orang yang menggunakan bahasa itu tidak hanya sebagai alat untuk berbicara

dan berpikir, namun lebih penting lagi sebagai alat untuk menangkap dan

menerjemahkan dunia yang mengelilinginya.297

Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa

semantik dalam pengertian seperti itu adalah sejenis weltanschauunglehre, sebuah

kajian terhadap sifat dan struktur pandangan dunia suatu bangsa saat sekarang atau

pada periode sejarahnya yang signifikan, dengan menggunakan alat analisis

metodologis terhadap konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya

sendiri dan telah mengkristal ke dalam kata-kata kunci bahasa itu.298

295

M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 174. Juga tulisannya dalam,

Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 124. 296

Lihat M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 174. Juga tulisannya

dalam, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 124. 297

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic

Weltanschauung, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), h. 3. 298

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 3.

Page 119: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

105

Dari paparan ini Toshihiko Izutsu tampaknya setuju dengan hipotesis Edward

Sapir (1884-1939), salah seorang tokoh Strukturalisme,299

yang menyatakan bahwa

bahasa, budaya, dan kepribadian adalah satu kesatuan utuh. Bahasa adalah sarana

apresiasi perilaku dan pengalaman manusia, karena pengalaman dapat

diinterpretasikan oleh adat kebiasaan bahasa.300

Dengan demikian, maka bahasa –

menurut Edward Sapir – merupakan alat untuk mengungkapkan ide atau gagasan.

Hipotesis ini kemudian diperkuat oleh Hans Georg Gadamer (1900-1960) yang

menyatakan bahwa bahasa adalah produk kekuatan mental manusia, dan setiap

bahasa dengan kekuatan linguistiknya merupakan wadah akal-budi manusia.301

Bahasa memiliki hubungan dua arah dengan realitas sosial. Di satu pihak

bahasa dapat menjadi cermin bagi keadaan di sekelilingnya, namun di lain pihak ia

juga dapat membentuk realitas sosial itu sendiri. Kemampuan bahasa untuk

membentuk realitas sosial, juga diungkapkan bahwa semua bahasa memiliki power

untuk mengkonstruksi. Oleh karena itu, bahasa bukan semata-mata alat komunikasi

atau sebuah sistem kode atau nilai yang sewenang-wenang menunjuk pada satu

realitas yang monolitik. Secara sosial, ia lebih dikonstruksi dan direkonstruksi dalam

setting sosial tertentu, daripada tertata menurut hukum dan kaedah secara ilmiah

universal. Martin Heidegger (1889-1976) pernah mengungkapkan bahwa dalam

bahasalah bersemayam ―sang ada‖.302

Oleh karena itu, sebagai representasi dari

hubungan-hubungan sosial tertentu, simbol-simbol bahasa senantiasa membentuk

subjek-subjek, strategi-strategi, dan tema-tema wacana tertentu.

299

Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai sebuah

struktur berikut unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun struktur tersebut dipandang

lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis daripada sekadar susunan benda-benda. Oleh karena itu,

masing-masing unsur hanya akan bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur

yang lain di dalam struktur. Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e-

Library, 2004), h. 6-7. 300

Lihat Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech, (New York:

Harcourt Brace, 1921), h. 13. 301

Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Continuum, 1989), 2nd

Revision, h.

439. 302

W.J. Richardson, Martin Heidegger: Through Phenomenology to Thought. (The Hague:

Nijhoff, 1964), h. 320-330.

Page 120: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

106

Dari uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa semantik merupakan

sebuah bidang kajian yang luas dan berkembang secara terus-menerus. Kalau dalam

perkembangan awal semantik hanya berkaitan dengan makna sebuah teks, maka

semantik modern juga menaruh perhatian pada hubungan bahasa dan pikiran.

2. Istilah-istilah Kunci dan Weltanschauung

Toshihiko Izutsu mengaitkan metode semantik dengan weltanschauung.303

Secara sederhana, term ini sering diartikan sebagai filsafat hidup atau prinsip hidup.

Setiap agama (kepercayaan), bangsa, dan kebudayaan, bahkan setiap orang

mempunyai weltanscahuung masing-masing. Pada tataran wacana ilmiah, term ini

dimaknai secara lebih kompleks. Menurut Ninian Smart, weltanschauung adalah

kepercayaan, perasaan, dan apa saja yang terdapat dalam pikiran orang yang

berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.304

Sementara Thomas F. Wall memaknai weltanschauung sebagai sistem kepercayaan

asasi manusia yang integral mengenai hakikat dirinya sendiri, realitas yang

mengelilinginya, dan makna eksistensi.305

Pengertian-pengertian ini menunjukkan

bahwa weltanschauung merupakan sumber kekuatan bagi keberlangsungan atau

perubahan sosial dan moral, sekaligus merupakan landasan bagi pemahaman realitas

dan aktifitas ilmiah.

Dalam khazanah keilmuan Islam klasik, term khusus untuk pengertian

weltanscahauung, yang merupakan kata lain dari woldview, belum ada. Hal ini,

menurut Fazlur Rahman, karena permasalahan ini belum pernah dirumuskan secara

303

Merupakan istilah Jerman untuk menyebut pandangan dunia. Term ini sinonim dengan

worlview dalam bahasa Inggris. Edwin Hung menyamakannya dengan paradigma. Lihat Edwin Hung,

The Nature of Science: Problem and Perspectives, (Belmont: Wardsworth Publishing Company,

1997), h. 368. 304

Ninian Smart, Worldview; Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York:

Charles Sibner‘s Son, t.th.), h.1-2. 305

Thomas F. Wall, Thinking Critically about Philosophical Problem: A Modern

Introduction, (Belmont: Wadsworth Thompson Learning, 2001), h. 532.

Page 121: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

107

sistematis dalam sejarah Islam.306

Para sarjana Muslim abad ke-20 menggunakan

istilah yang berbeda untuk menunjuk kepada pengertian weltanschauung ini. Maulana

al-Maududi mengistilahkannya dengan Islâmi Nazariat (Islamic Vision),307

Sayyid

Quthb menggunakan istilah al-Tasawwur al-Islâmî (Islamic Vision),308

Muẖammad

Athif al-Zain menyebutnya dengan al-Mabda‟ al-Islami (Islamic Principle),309

sementara Naquib al-Attas menamakannya Ru‟yât al-Islâm li al-Wujûd (Islamic

Vision).310

Meskipun istilah yang dipakai berbeda-beda, pada dasarnya para sarjana

tersebut memiliki semangat yang sama, yaitu untuk menunjukkan bahwa Islam

mempunyai cara pandang sendiri terhadap segala sesuatu. Penggunaan kata sifat

―Islam‖ menunjukkan bahwa istilah ini sejatinya umum dan netral.

Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, dari perspektif Islam, sebuah

―pandangan dunia‖ tidak hanya pandangan akal terhadap dunia fisik dan keterlibatan

manusia secara historis, sosial, politik, dan budaya di dalamnya. Ia tidak berdasarkan

pada spekulasi filsafat yang dirumuskan terutama dari penyelidikan terhadap data

pengalaman dan penginderaan semata, karena semua itu terbatas dalam dunia materi

saja. Pandangan dunia menurut Islam berhubungan dengan aspek alam akhirat.

Segala sesuatu dalam Islam pada akhirnya difokuskan pada aspek akhirat, tanpa

mengabaikan aspek dunia.311

Pandangan Syed Naquib al-Attas ini sejalan dengan

Toshihiko Izutsu. Weltanschauung al-Qur‘an yang ingin diungkap Toshihiko Izutsu

306

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,

(Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 3-4. 307

Maulana al-Maududi, The Process of Islamic Revolution, (Lahore: t.p., 1967), h. 14 dan

41. 308

Sayyid Quthb, Muqawwamât al-Tasawwur al-Islâmî, (t.tp: Dâr al-Syurûq, t.th.), h. 41. 309

Muẖammad Athif al-Zain, al-Insân, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnân, 1989), h. 13. 310

Syed Naquib al-Attas, ―Islamic Philosophy: An Intoduction‖ dalam Journal of Islamic

Philosophy 1 (2005), h. 12. Diakses dari http;//www.pdcnet.org/pdf/jip1-Naquib%20al-Attas.pdf pada

tanggal 10 Agustus 2009. Tulisannya yang lebih lengkap terdapat dalam, Prolegomena to the

Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, (Kuala

Lumpur: ISTAC, 1995), h. 2. 311

Syed Naquib al-Attas, ―Islamic Philosophy: An Intoduction‖, h. 11; Prolegomena to the

Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, h. 1.

Page 122: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

108

tidak hanya berkisar pada realitas yang tampak saja, namun juga realitas yang tidak

tampak.

Uraian di atas, selain menunjukkan keterpengaruhan Toshihiko Izutsu oleh

hipotesis Edward Sapir, juga semakin memperjelas pengertian semantik yang

digunakan oleh Toshihiko Izutsu. Semantik dimaksud adalah sejenis ontologi yang

konkrit, hidup, dan dinamis, bukan semacam ontologi yang sistematis-statis yang

merupakan hasil pemikiran seorang filosof. Menurut Toshihiko Izutsu, analisis

semantik akan membentuk sebuah ontologi wujud (being) dan eksistensi pada tingkat

konkrit sebagaimana tercermin dalam ayat-ayat al-Qur‘an. Tujuannya adalah untuk

memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari al-Qur‘an dengan penelaahan

analitis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang

tampaknya memainkan peran yang menentukan dalam pembentukan weltanschauung

al-Qur‘an.312

Jadi, semantik yang digunakan oleh Toshihiko Izutsu tidak hanya untuk

memahami makna, tetapi sekaligus budaya yang terkandung dalam bahasa itu.

Menurut Toshihiko Izutsu, hal ini merupakan bukan pekerjaan yang mudah.

Kata-kata atau konsep-konsep dalam al-Qur‘an tidak sederhana. Kedudukannya

masing-masing saling terpisah, tetapi memiliki ketergantungan yang sangat kuat

antara satu dengan yang lain, dan makna konkret dihasilkan dari seluruh sistem yang

saling berhubungan tersebut.313

Sebenarnya, menurut Toshihiko Izutsu, ada cara yang lebih mudah untuk

memahami makna sebuah kata asing, yaitu dengan menerjemahkan kata tersebut ke

dalam bahasa orang itu sendiri.314

Dengan cara ini, kata Arab ―kâfir‖ dapat dijelaskan

312

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 3. 313

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 4. 314

Kata terjemah secara etimologis berasal dari bahasa Arab (tarjamah), yang artinya: (a)

menerangkan dan menjelaskan (bayyanahu wa wadhdhaẖahu); (2) memindahkan makna kalimat dari

suatu bahasa ke bahasa lain (naql al-kalâm min lughah ilâ ukhrâ); (3) biografi seseorang (sîratuhu wa

ẖayâtuhu). Majma‗ al-Lughah al-‗Arabiyah Mesir, al-Mu„jam al-Wasîth, (Istambul: al-Maktabah al-

Islâmiyah, t.th), h. 83. Hans Wehr, Mu„jam al-Lughah al-„Arabiyah al-Mu„âshirah: „Arabiy – Inkliziy,

(Beirut: Maktabah Lubnân, 1980), Cet. III, h. 93. Muẖammad ibn Abî Bakr al-Râzî menambahkan

bahwa kata ini juga berarti menerangkan kalimat dengan bahasa lain (fassara al-kalâm bi lisân âkhar).

Muẖammad ibn Abî Bakr al-Râzî, Mukhtâr al-Shiẖâẖ, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001), h. 108. Sementara

Page 123: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

109

bahwa ia memiliki makna yang sama dengan kata Inggris ―misbeliever‖, ‖dzâlim‖

sama dengan ―evildoer‖, ―zhand‖ sama dengan ―sin‖, dan seterusnya. Namun dalam

penilaian Toshihiko Izutsu, cara ini kurang dapat diandalkan.315

Memang tidak ada

kata dari dua bahasa yang berbeda yang benar-benar memiliki muatan makna yang

sama (sinonim), karena – sebagaimana telah dikemukakan di depan – setiap bahasa

lahir dari pola pikir yang berbeda dalam memandang dunia. Dan ini merupakan salah

satu problem yang mendasar dalam penerjemahan.316

Penerjemahan kata-kata asing

ke dalam padanannya dalam bahasa sasaran, menurut Toshihiko Izutsu, hanyalah

merupakan sebuah langkah pertama untuk mempelajari bahasa asing.317

Supaya tidak terjadi eliminasi dalam memahami konsep weltanschauung al-

Qur‘an, Toshihiko Izutsu berusaha untuk membiarkan al-Qur‘an menjelaskan

konsepnya sendiri dan berbicara untuk dirinya sendiri.318

Caranya adalah dengan

mengumpulkan semua kata-kata penting yang mewakili konsep-konsep penting

menurut Muẖammad Enani, kata ini mencakup semua hal yang terkait dengan penerjemahan, seperti

proses penerjemahan („amaliyah al-tarjamah) dan teks yang diterjemahkan (al-nashsh al-mutarjam).

Muẖammad Enani, Nazhariyah al-Tarjamah al-Haditsah: Madkhal ilâ Dirâsât al-Tarjamah, (Kairo:

Longman, 2003), h. 5. Adapun secara terminologis, menerjemah berarti mengganti materi tekstual

dalam suatu bahasa dengan materi tekstual yang padan dalam bahasa lain. J.C. Catford, Linguistic

Theory of Translation, (Oxford: Oxford University Press, 1969), h. 20. Lihat juga Eugene A. Nida dan

Charles S. Taber, Theory and Practice of Translation, (Leiden: E.J. Brill, 1982), h. 12. 315

Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal: McGill-Queen‘s

University Press, 2002), h. 24. 316

Secara umum, problem penerjemahan dapat dibagi dua, yaitu: pertama, berkaitan dengan

kosakata, dan kedua, berkaitan dengan susunan kalimat. Lihat Muẖammad Enani, Fann al-Tarjamah,

(Beirut: Maktabah Lubnân Nasyirûn,), Cet. VII, h. 4. 317

Dalam pengajaran bahasa asing, terdapat banyak cara atau metode yang dikembangkan.

Salah satunya adalah metode terjemah. Metode ini dalam prakteknya dikombinasikan dengan

pengajaran tatabahasa, sehingga disebut dengan metode tatabahasa-terjemah (grammar-translation

method). Lihat Rusydi Aẖmad Thu‗aimah, Ta„lîm al-„Arabiyah li Ghair al-Nâthiqîna bi hâ:

Manâhijuhu wa Asâlibuhu, (Rabath: ISESCO, 1989), h. 127-129. Shalâh ‗Abd al-Majîd al-‗Arabî,

Ta„allum al-Lughât al-Hayyah wa Ta„lîmuhâ: Baina al-Nazharîyah wa al-Tathbîq, (Beirut: Maktabah

Lubnân, 1981), h. 40-41. Nâyif Kharmâ dan ‗Alî Hajjâj, al-Lughât al-Ajnabîyah: Ta„îmuhâ wa

Ta„allumhâ, (Kuwait: al-Majlis al-Wathanî li al-Tsaqâfah wa al-Funûn wa al-Âdâb, 1988), h. 169-172.

Jack C. Richards dan Theodore S. Rodgers, Approaches and Methods in Language Theaching, (New

York: Cambridge University Press, 1992), h. 3-5. Sri Utari Subyakto Nababan, Metodologi

Pengajaran Bahasa, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 11-14. Dan Bambang Kaswanti

Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 43-44. 318

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 4.

Page 124: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

110

seperti Allah, Islâm, nabî, îmân, kâfir, dan lain sebagainya, lalu menelaah makna

kata-kata itu dalam konteks al-Qur‘an. Kata-kata penting ini, oleh Toshihiko Izutsu,

disebut sebagai istilah-istilah kunci. Konsep ini menunjukkan bahwa tidak semua

kata-kata dalam suatu kosakata memiliki nilai yang sama dalam pembentukan

struktur dasar konsepsi ontologis yang didasari kosakata tersebut.

Istilah-istilah kunci merupakan pola umum kosakata yang mewakili kata-kata

yang menjadi anggotanya. Istilah-istilah kunci tersebut memiliki hubungan antara

satu dengan yang lain sebagai suatu hubungan yang sangat kompleks dan memiliki

arah yang beragam.319

Berdasarkan eksposisi ini, sekarang dapat diketahui bahwa

kosakata dalam pengertian ini bukanlah semata-mata jumlah totalitas kata dari suatu

bahasa, dan bukan pula sekedar kumpulan acak sejumlah besar kata tersebut yang

dikumpulkan tanpa aturan dan prinsip yang masing-masing berdiri sendiri tanpa ada

hubungan dengan kata-kata yang lain.320

Kosakata adalah struktur multi-strata yang

dibentuk secara linguistik oleh kelompok-kelompok istilah-istilah kunci.321

Istilah-istilah kunci al-Qur‘an yang memainkan peranan yang sangat

signifikan dalam penyusunan struktur konseptual dasar pandangan dunia kitab suci

ini, menurut Toshihiko Izutsu, tidak ada satu pun yang baru, termasuk kata Allah

yang sekaligus berfungsi sebagai kata fokus tertinggi sebagaimana akan dikemukakan

dalam bagian selanjutnya. Tidak hanya istilah-istilah kunci saja, bahkan semua

kosakata yang digunakan oleh al-Qur‘an berasal dari kosakata pra-al-Qur‘an.322

319

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 20. 320

Gambaran umum tentang kosakata pada umumnya adalah khazanah atau perbendaharaan

kata suatu bahasa yang tersusun secara alfabetis. David Grambs, misalnya, mengatakan: ―Vocabulary

is a list of words, usually defined and alphabetized, as in dictionary or specialized glossary; complete

word stock of language; sum corpus of words used in a sublanguage by group, class, or individual

scope of diction;command of words or range of expression.‖ David Grambs, Words About Words,

(New York: Mc. Graw Hill Book Company, 1979), h. 387. 321

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 20. 322

Toshihiko Izutsu menegaskan: ―Since, the Qur‟an is, linguistically, a work of genuine

Arabic, it will readily be seen that all the words used in this Scripture have a pre-Qur‟anic or Islamic

background. Many of them came from the rank and file of pre-Islamic Arabic.‖ Toshihiko Izutsu, God

and Man in the Qur‟an, h. 38-39.

Page 125: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

111

Hanya saja kata-kata tersebut berada dalam sistem konseptual yang berbeda. Al-

Qur‘an menggunakan kata-kata tersebut dan mengkombinasikannya dalam suatu

kerangka konseptual yang secara total baru, dan dengan demikian belum dikenal pada

masa pra-al-Qur‘an.

Kata-kata yang menempati status sebagai istilah-istilah kunci dalam sistem al-

Qur‘an, dilihat secara diakronis, memiliki dua tipe: Pertama, kata-kata tersebut

berasal dari kata-kata umum yang kedudukannya jauh di bawah tingkatan istilah

kunci. Kata taqwâ, misalnya, merupakan kata yang sangat penting dalam al-Qur‘an

dan salah satu istilah kuncinya yang paling khas, tempat seluruh bangunan kesalehan

dalam al-Qur‘an berpijak. Namun kata ini pada masa pra-al-Qur‘an merupakan kata

umum yang mengandung pengertian sebagai suatu bentuk perilaku binatang yang

sangat umum, yakni sikap membela diri disertai dengan rasa takut.323

Kedua, istilah-istilah kunci al-Qur‘an yang dalam sistem sebelumnya

merupakan istilah-istilah kunci juga. Hanya saja struktur semantiknya sudah jauh

berubah sebagai akibat dari perobahan sistem tersebut. Contohnya adalah kata karîm.

Kata ini merupakan istilah kunci yang sangat penting pada masa jahiliyah, yang

berarti kemuliaan garis keturunan, yakni seorang yang mulia semenjak lahir karena

silsilahnya yang masyhur dan tak memiliki cela sedikitpun. Kata karîm, dalam

konsepsi jahiliyah juga bermakna seseorang yang memiliki sifat dermawan yang luar

biasa, yang menurut konsep sekarang sifat tersebut dikategorikan sebagai

pemborosan. Dalam konsep al-Qur‘an, muatan makna kata ini harus mengalami

perubahan drastis karena harus diletakkan dalam hubungan yang dekat dengan

taqwâ.324

Untuk dapat menentukan kata-kata mana dari sekian banyak kata dalam al-

Qur‘an yang patut disebut sebagai istilah-istilah kunci, maka seorang penafsir harus

memiliki gambaran skematik umum terlebih dahulu terhadap seluruh obyek yang

323

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 39. 324

Q.S. al-Hujurât (49): 13

Page 126: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

112

akan ditafsirkan. Untuk mendapatkan gambaran skematik umum ini, seorang penafsir

disarankan untuk memahami al-Qur‘an secara langsung tanpa didahului oleh

pembacaan-pembacaan terhadap pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh

sarjana-sarjana Muslim dalam rangka memahami dan menafsirkan kitab suci ini.325

3. Makna Dasar dan Makna Relasional

Suatu tanda linguistik (dalam hal ini kata) memiliki dua sisi (two-sided sign)

yang tidak dapat dipisahkan, yaitu: signifie (signified: Inggris) yang merupakan

konsep, pikiran, atau gambaran mental; dan signifiant (signifier: Inggris) yang

merupakan citra akustik atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran

kita.326

Untuk kemudahan dalam tulisan ini, signifie disamakan dengan makna, dan

signifiant dengan kata. Hubungan antara kata dan makna ini bukan merupakan

hubungan yang kaku, dalam arti satu kata tidak hanya memiliki satu macam

makna.327

Di antara ragam makna yang dimiliki oleh satu kata adalah makna denotatif

dan makna konotatif.328

Menurut Toshihiko Izutsu, setiap kata memiliki makna dasar dan makna

relasional.329

Makna dasar merupakan kandungan unsur semantik yang tetap ada pada

bentuk kata tersebut di manapun ia diletakkan dan bagaimanapun ia digunakan.

Sementara makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan

ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi

khusus dan dalam bidang khusus pula.330

Dari pengertian ini, makna dasar dapat

325

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 75. 326

Menurut Ferdinand de Saussure, bahasa (dalam hal ini kata) merupakan signé linguistique

(tanda linguistik) yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifiant (penanda, citra akustis,

al-dâl) dan signifié (petanda, konsep, al-madlûl). Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum,

terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), 146-147. 327

Abdul Chaer menghimpun tiga belas ragam makna yang dikenal dalam semantik, yaitu:

(1) makna leksikal, (2) makna gramatikal, (3) makna kontekstual, (4) makna referensial, (5) makna

non-referensial, (6) makna denotatif, (7) makna konotatif, (8) makna konseptual, (9) makna asiosiatif,

(10) makna kata, (11) makna istilah, (12) makna idiom, dan (13) makna peribahasa. Lihat Abdul

Chaer, Linguistik Umum, h. 289-297. 328

Aẖmad Mukhtar ‗Umar, „Ilm al-Dilâlah, h. 37. 329

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 11-16. 330

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 12-13.

Page 127: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

113

disamakan dengan makna leksikal, sementara makna relasional hampir mendekati

makna kontekstual.

Toshihiko Izutsu menggambarkan distingsi kedua makna ini dengan

mengambil contoh kata ―kitâb‖. Kata ini memiliki makna dasar ―buku‖, namun dalam

konteks al-Qur‘an kata ―kitâb‖ memperoleh makna yang luar biasa pentingnya

sebagai isyarat konsep religius yang sangat khusus yang dilingkupi oleh cahaya

kesucian. Ini dilihat dari kenyataan bahwa kata ―kitâb‖ terletak dalam hubungan yang

sangat dekat dengan wahyu Ilahi, atau konsep-konsep yang cukup beragam yang

merujuk langsung pada wahyu.331

Jadi, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, suatu kata ketika digunakan dalam

kalimat atau suatu konsep tertentu maka ia memiliki makna baru yang diperoleh dari

posisi dan hubungannya dengan kata-kata lain dalam struktur kalimat atau konsep

tersebut. Kata ―kitâb‖ dalam konsep al-Qur‘an bermakna al-Qur‘an itu sendiri karena

ia berhubungan erat dengan kata-kata Allah, wahyu, tanzîl, dan nabî.332

Dan bisa juga

dimaknai sebagai Taurat atau Injil ketika ia, selain berhubungan erat dengan kata-kata

Allah, wahyu, tanzîl, dan nabî, berhubungan dengan kata ahl. Sehingga ahl al-kitâb

dapat dipahami sebagai masyarakat yang memiliki Taurat atau Injil.333

331

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 11. 332

Daniel A. Madigan menyatakan bahwa makna kitâb dalam al-Qur‘an bukan merujuk

kepada sebuah mushẖaf ataupun buku. Dalam pandangannya, al-Qur‘an bukanlah sebuah buku yang

umumnya diterima dengan makna mushẖaf tertutup (closed corpus). Ia lebih merupakan simbol dari

sebuah proses keterlibatan Tuhan dan manusia yang berkesinambungan, suatu keterlibatan yang kaya

dan beragam, namun langsung dan spesifik di dalam ucapannya yang hal tersebut tidak akan dapat

dipahami di dalam sebuah kanon yang tetap atau terbatas di antara dua sampul. Daniel A. Madigan,

The Qur‟an Self-Image: Writing and Authority in Islamic‟s Scripture, (New Jersey: Princeton

University Press, 2001), h. 165. 333

Menurut Fazlur Rahman, perkataan kitâb sering dipergunakan al-Qur‘an bukan dengan

pengertian kitab suci tertentu, tetapi sebagai istilah umum yang mempunyai pengertian keseluruhan

wahyu-wahyu Tuhan. Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung:

Penerbit Pustaka, 1996), h. 235. Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya, al-Manar, menegaskan

bahwa di luar kalangan Yahudi dan Kristen juga terdapat ahli kitab. Ia menyebutkan tidak hanya kaum

Majusi dan Sabiin saja sebagai ahli kitab, tetapi juga Hindu, Budha, dan Konfusius. Ini disebabkan

karena kaum Majusi dan Sabiin berada dekat dengan mereka di Irak dan Bahrain. Selain itu, orang

memang belum pernah melakukan perjalanan ke India, Jepang, dan Cina, sehingga mereka belum

mengetahui golongan-golongan yang lain. Dalam hal ini, tujuan ayat suci sebenarnya sudah tercapai

dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal oleh orang-orang Arab, sehingga tidak perlu

Page 128: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

114

Oleh karena itu, menurut Toshihiko Izutsu, kata-kata dalam al-Qur‘an harus

dipahami dalam kaitannya dengan kata-kata lain yang mengelilinginya. Dengan kata

lain, makna relasional memiliki kedudukan yang lebih penting dari pada makna

dasarnya. Bahkan makna yang dibangun dari relasi antar kata itu dapat

menghilangkan makna dasarnya. Peristiwa seperti ini menandai lahirnya sebuah kata

baru. Dalam hal ini, Toshihiko Izutsu mencontohkan transformasi semantik kata kerja

kafara dalam al-Qur‘an. Kafara memiliki makna dasar ―tidak berterima kasih‖ atas

pemberian orang lain, baik pemberian itu berupa jasa ataupun materi. Dengan

demikian, kafara merupakan lawan dari syakara yang berarti ―berterima kasih‖.

Namun dalam konteks teologi Islam, kata ini bermakna ―tidak percaya‖ kepada Allah.

Dengan demikian, kata ini merupakan lawan dari ―âmana‖ yang artinya ―percaya‖.

Kata kafara dalam pengertian dasarnya tetap digunakan oleh orang Arab Muslim

maupun non-Muslim, dan tetap begitu sejak masa pra-Islam hingga sekarang.334

Transformasi semantik kafara dari ―tidak berterima kasih‖ kepada ―tidak

percaya‖ tejadi secara gradual dan makna baru yang dimilikinya sesungguhnya

tidaklah lepas sama sekali dari makna dasarnya. Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa

kafara dalam konteks teologi pertama bermakna ―tidak berterima kasih‖, tapi tidak

dalam pengertian berterima kasih terhadap kebaikan orang lain. Tidak berterima kasih

di sini adalah kepada kebaikan-kebaikan Allah atau apa saja yang dianggap baik

menurut Allah. Dalam pandangan Islam, Allah-lah yang menciptakan manusia,

memeliharanya, dan mencukupi segala kebutuhannya. Oleh karena itu adalah wajar

jika Allah menyuruh manusia supaya berterima kasih kepada-Nya. Akan tetapi karena

Allah tidak mewujud dalam materi, dan oleh karenanya tidak dapat dilihat, maka ada

kelompok manusia yang tidak mematuhi perintah tersebut. Di sini kita dapat melihat

pergeseran makna kafara dari ―tidak berterima kasih‖ menjadi ―tidak percaya‖.335

keterangan asing. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Vol. VI, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h.

188. 334

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 14. 335

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 14-15.

Page 129: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

115

E. Mekanisme Penerapan Metode Semantik terhadap al-Qur‘an

Perumusan pandangan dunia al-Qur‘an, menurut Fazlur Rahman, sangat urgen

karena dimensi metafisis ini merupakan latar belakang bagi elaborasi yang koheren

atas pesan-pesan al-Qur‘an dalam berbagai bidang.336

Pada kesempatan lain Fazlur

Rahman mengatakan bahwa dalam merumuskan pandangan dunia al-Qur‘an, langkah

yang harus dilakukan adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an yang berkaitan dengan

Tuhan, hubungan Tuhan dengan alam dan manusia, dan peran-Nya dalam sejarah

manusia dan masyarakat.337 Dengan menggunakan pendekatan semantik, Toshihiko

Izutsu memperoleh kesan bahwa al-Qur‘an merupakan sebuah sistem multi-strata

besar yang berada pada sejumlah oposisi konseptual mendasar, di mana masing-

masing konsep tersebut merupakan sebuah medan semantik khusus. Dengan kata lain,

berdasarkan sudut pandang semantik, pandangan dunia al-Qur‘an dapat digambarkan

sebagai sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip pertentangan konseptual.

Pertentangan tersebut dibentuk oleh: Pertama, hubungan fundamental antara Tuhan

dan manusia; Kedua, pembagian tempat hidup manusia yang terdiri dari alam ghaib

(„âlam al-ghaib) dan alam nyata („âlam al-syahadah); dan Ketiga, konsep kehidupan

dunia (al-dunyâ) dan akhirat (al-âkhirah).338

1. Konsep Allah

Pandangan dunia atau weltanschauung al-Qur‘an, menurut Toshihiko Izutsu,

pada dasarnya bersifat teosentris. Gambaran tentang Tuhan meliputi seluruh sistem

al-Qur‘an. Dan dengan demikian, dalam sistem ini, konsep Tuhan menguasai dan

memaksakan pengaruhnya secara mendalam pada struktur semantik kata-kata kunci.

Atas pertimbangan inilah Toshihiko Izutsu membahas secara khusus konsep Allah ini

336

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, h. 143. 337

Fazlur Rahman, ―Islam: Challenges and Opporunities,‖ sebagaimana dikutip oleh Ahmad

Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi:

Sulthan Thaha Press, 2007), Cet. II, h. 137. 338

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 75-89.

Page 130: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

116

dalam God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung,339

sebelum membicarakan secara terperinci mengenai hubungan Tuhan dan manusia.

Toshihiko Izutsu menyatakan bahwa konsep Tuhan dalam weltanschauung al-

Qur‘an berbeda dengan konsep Tuhan dalam filsafat Yunani. Tuhan dalam filsafat

Yunani hidup dalam kemuliaan-Nya, mencukupi diri-Nya sendiri dengan kesunyian

dan jauh dari manusia. Sementara Tuhan dalam weltanschauung al-Qur‘an

melibatkan diri-Nya secara mendalam dalam urusan manusia, tidak hanya ketika

dalam kehidupan dunia ini, tapi juga dalam kehidupan akhirat kelak.340

Pernyataan ini

memiliki alur yang sejalan dengan pendapat Fazlur Rahman. Menurut Fazlur

Rahman, keberadaan Tuhan dalam pandangan al-Qur‘an sesungguhnya bersifat

fungsional. Artinya, Dia adalah Pencipta dan Pemelihara alam semesta dan manusia,

terutama Dia-lah yang memberi petunjuk kepada manusia dan yang akan mengadili

manusia kelak, baik secara individu maupun kolektif, dengan keadilan yang penuh

rahmat.341

Dengan kata lain, konsep Tuhan adalah fungsional. Yakni, Tuhan

dibutuhkan bukan karena siapa Dia atau bagaimana Dia, tetapi karena apa yang Dia

lakukan.342

Pengamatan yang cermat terhadap al-Qur‘an akan mengungkapkan bahwa al-

Qur‘an menghubungkan seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan: mulai dari

hujan sampai ke proses jatuh-bangunnya bangsa-bangsa, dari kemenangan dan

kekalahan dalam perang dan damai sampai ke revolusi yang teratur dari benda-benda

kosmos, semuanya dikembalikan kepada Tuhan. Salah satu fungsi utama dari adanya

gagasan tentang Tuhan, tandas Fazlur Rahman, adalah menjelaskan keteraturan alam

semesta. Keteraturan ini dapat dilihat dari tidak adanya pelanggaran hukum dalam

jagat raya dan seluruh kosmos merupakan kesatuan yang organis. Sementara alam

339

Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, Bab IV, h. 100-124. 340

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 100. 341

Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‘an, h. 1. 342

Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, peny. Taufik Adnan Amal,

(Bandung: Mizan, 1994), Cet. VI, h. 91.

Page 131: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

117

menurut al-Qur‘an merupakan sebuah tatanan (kosmos) yang berkembang dan

dinamis. Ia diciptakan bukan untuk suatu permainan yang sia-sia, tetapi harus

ditanggapi secara serius. Manusia harus mempelajari hukum-hukumnya, yang

merupakan bagian dari perilaku Tuhan, dan menjadikannya sebagai arena bagi

aktifitas manusia yang punya tujuan.343

Tuhan dalam al-Qur‘an dikenal dengan nama Allah.344

Kata ini, menurut

Toshihiko Izutsu, bukanlah nama yang asing dan aneh bagi orang-orang Arab pada

masa pra-al-Qur‘an, tapi sudah dikenal luas, bukan saja di lingkungan Yahudi-Kristen

yang monoteistik, tetapi juga di kalangan orang-orang nomaden murni.345

Sebagai

buktinya, kata tersebut sudah digunakan dalam puisi-puisi pra-Islam, gabungan nama-

nama orang, dan tulisan-tulisan kuno.346

Bahkan Toshihiko Izutsu menandaskan

bahwa tanpa bantuan literatur non-al-Qur‘an sekalipun, dalam arti hanya dengan

mengandalkan informasi dari al-Qur‘an semata, dapat diketahui bahwa konsep Allah

tidak hanya ada dalam pandangan religius orang-orang Arab pra-Islam, bahkan lebih

dari itu konsep tersebut sudah memiliki struktur makna batin tersendiri di kalangan

orang-orang Arab pra-Islam tersebut.347

Pandangan ini menegaskan apa yang telah

dikemukakannya di depan, bahwa dalam penyusunan struktur konseptual dasar

pandangan dunia al-Qur‘an tidak ada satu pun kata yang baru, termasuk kata Allah itu

sendiri.

343

Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, h. 69. 344

Kata Allah menurut al-Râghib al-Asfahânî, diderivasi dari kata ilâh. Kata ―ilâh‖ ini

dibuang huruf depannya, yaitu hamzah, lalu diberi artikel definitif (alif-lâm) menjadi ―Allah‖. Kata

bentukan baru ini menjadi istilah khusus untuk menyebut Tuhan yang Esa, yang menciptakan dan

memelihara alam semesta serta satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah. Lihat al-Râghib al-

Asfahâni, Muʻjam Mufradât Alfâdz al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-ʻIlmîyah, 2004), h. 28. 345

Perlu diketahui bahwa, menurut Ali Mufrodi, para sejarawan Muslim tidak memberi

prediket kepada orang-orang Arab pra-Islam itu dengan sebutan paganism, tetapi orang-orang musyrik,

yaitu orang-orang yang mengakui Allah sebagai Tuhan tetapi juga memuja berhala-berhala. Mereka

berkeyakinan bahwa menyembah berhala itu bukan menyembah wujudnya, tetapi hal tersebut

dimaksudkan sebagai perantara untuk menyembah Tuhan. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan

Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h. 9. 346

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 5. 347

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 106.

Page 132: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

118

Berdasarkan fakta tersebut, maka – menurut Toshihiko Izutsu – perlu

dielaborasi apakah konsep al-Qur‘an tentang Allah merupakan kelanjutan dari konsep

pra-al-Qur‘an, ataukah merepresentasikan konsep yang sama sekali terputus dari

konsep sebelumnya? Adakah kaitan esensial antara dua konsep tentang Tuhan yang

ditandai dengan satu nama yang sama? Atau apakah ia merupakan sebuah persoalan

tentang sebuah kata biasa yang digunakan untuk dua obyek yang berbeda?348

Untuk

dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Toshihiko Izutsu menelusuri secara

historis sikap orang-orang Arab ketika al-Qur‘an pertama kali menggunakan nama

Allah ini. Ketika al-Qur‘an menyebut kata Allah, timbul perdebatan hangat antara

orang-orang Muslim dan kafir tentang hakikat kata ini. Dari sudut pandang semantik,

peristiwa ini mengindikasikan bahwa ada dasar pemahaman yang sama antara kedua

belah pihak. Sebab kalau tidak ada kesamaan, tentu tidak akan ada perdebatan.

Kesamaan dasar pemahaman tersebut dibangun oleh adanya unsur-unsur umum yang

melekat pada kata Allah tersebut. Unsur-unsur umum itu dapat diketahui berdasarkan

pembedaan metodologis antara makna dasar dan makna relasional.

Makna dasar kata ―Allah‖ dapat dibandingkan dengan kata Yunani ho theos,

yang biasanya berarti ―Tuhan‖. Pada aras makna ini, kata tersebut dikenal oleh semua

suku Arab pada masa pra Islam sebagai dewa lokal, karena masing-masing suku pada

masa itu memiliki tuhan atau dewa lokal yang dikenali dengan nama diri. Orang Arab

utara (Hijaz dan sekitarnya) memiliki tiga dewi, yaitu: al-Lat, al-Uzzâ, dan Manât

yang dianggap sebagai anak-anak perempuan dewa agung (banât Allah). Kabilah

Kinanah yang mempunyai hubungan intim dengan kabilah Quraisy baik dalam

masalah politik maupun dalam soal pertalian darah, menyembah binatang aldoraban

dan dewi al-Uzzâ yang dilambangkan sebagai sebuah pohon di Nakhla. Kabilah

Hawazin yang berdiam di sebelah tenggara kota Mekah menyembah dewi al-Lat yang

bertempat di Thaif dan dewi Manat yang dilambangkan sebagai sebuah batu di jalan

348

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 101.

Page 133: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

119

kabilah antara Mekah dan Syiria.349

Sedangkan orang-orang Arab selatan percaya

kepada dewi bulan yang berpasangan dengan dewi matahari. Perkawinan antara

keduanya melahirkan Venus. Mereka menyembah sanam (adalah patung dalam

bentuk manusia yang terbuat dari logam dan kayu), watan (patung yang terbuat dari

batu), dan nusub (merupakan sesembahan dalam bentuk batu karang yang dianggap

berasal dari langit).350

Makna dasar ini merupakan salah satu garis penghubung antara

dua konsepsi tentang Tuhan dalam sistem Arab pra-Islam dengan sistem al-Qur‘an.

Hubungan lain didapat dari pengembangan makna relasional.

Pemahaman tentang makna relasional kata Allah di kalangan orang-orang

Arab pra-Islam perlu dibedakan ke dalam beberapa kasus yang berbeda, yaitu:

Pertama, konsep Allah menurut orang-orang Arab musyrik. Masyarakat Arab pra-al-

Qur‘an telah mengenal konsep Allah sebagai Pencipta dunia; Yang menurunkan

hujan, atau dalam pengertian yang lebih umum, Allah sebagai Pemberi hidup

terhadap segala sesuatu yang ada di bumi; Dalam keadaan tertentu, Allah diyakini

sebagai Yang wajib ditaati; Tuhan Maha Agung yang mengawasi kesucian sumpah;

Pendiri beberapa kebiasaan keagamaan lama; dan Penguasa Ka‘bah. Dalam al-Qur‘an

ditemukan terdapat banyak bagian yang menginformasikan hal tersebut.351

Fakta ini

tentunya cukup mengejutkan, karena konsep demikian memiliki kedekatan dengan

konsep al-Qur‘an. Akan tetapi kondisi ini tidak sampai membawa mereka kepada

monoteisme murni. Mereka tetap menyembah dewa-dewa yang mereka percayai

dapat menghubungkan mereka dengan Allah, dalam kapasitasnya sebagai Tuhan

Ka‘bah di Mekah. Jadi dalam konsep masyarakat Arab pra-Islam, hierarki politeisme

tertinggi tampaknya diberikan kepada Allah.352

Konsepsi ini tampak dengan sangat

349

Syed Ameer Ali, Api Islam, terj. H.B. Jassin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 83. 350

Muhammad Husein Haekaal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1984), h. 14. 351

Lihat Q.S. al-Nisâ‘ (4): 139; Q.S. al-Mu‘minûn (23): 86-89; Q.S. al-‗Ankabût (29): 61, 63,

dan 65; Q.S. Luqmân (31): 32; dan Q.S. al-Quraisy (106): 1-3. 352

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 5.

Page 134: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

120

jelas diungkap dalam al-Qur‘an.353

Al-Qur‘an juga merekam bahwa ide yang

mendasari adanya tuhan-tuhan lain di samping Tuhan yang maha tinggi adalah

qurbân, yang secara harfiah berarti sarana pendekatan, yaitu pengambil hati dan

perantara.354

Hal yang sama dilontarkan oleh W. Montgomery Watt. Ia menuturkan

bahwa kedudukan Allah dalam sistem kepercayaan masyarakat Arab pra-Islam

sebagai the High God, sementara dewi-dewi sebagai the lesser deities yang berfungsi

sebagai perantara dalam menyembah Allah.355

Kedua, konsep Allah menurut orang-orang Yahudi dan Kristen. Pada masa

itu, masyarakat Arab tinggal di lingkungan yang dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan

Kristen yang besar.356

Kerajaan Bizantium,357

kerajaan Abyssina,358

dinasti

Ghassaniyah,359

dan dinasti Lakhmid,360

semua merupakan kerajaan-kerajaan Kristen.

353

Dalam Q.S. al-Zumar (39): 3, sejumlah orang musyrik berkata: ―Kami hanya menyembah

mereka (tuhan-tuhan lain) karena mereka membuat kami lebih dekat kepada Allah.‖ 354

Q.S. al-Ahqâf (46): 28. 355

W. Montgomery Watt, ―The Qur‘an and the Belief in a High God‖, dalam Publications of

the Nederlands Institute of Archeology and Arabic Studies in Cairo, No. 4, (Leiden: E.J. Brill, 1981),

h. 329, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997), h. 172. 356

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 111-112. 357

Kerajaan Bizantium atau Kekaisaran Romawi Timur, dengan ibukota Konstantinopel,

merupakan bekas Imperium Romawi di masa klasik. Pada permulaan abad ke-7, wilayah imperium ini

telah meliputi Asia kecil, Syria, Mesir, dan bagian tenggara Eropa hingga Danube. Pulau-pulau di laut

Tengah dan sebagian daerah Italia serta sejumlah kecil wilayah di pesisir Afrika Utara juga berada di

bawah kekuasaannya. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet,

2005), h. 11. 358

Kerajaan yang beribukota di Aksum dan beragama Kristen mazhab Monofisit ini

merupakan agen Kerajaan Bizantium yang bertugas menghalau segala ancaman dari Kekaisaran

Persia. Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur‟an: Model Dialektika wahyu dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-

Ruzz Media, 2008), h. 36. Sekitar abad ke-6 sampai dengan abad ke-7 sedang terjadi persaingan

kekuasaan di Timur Tengah antara Kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Persia. Lihat Taufik Adnan

Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, h. 11. 359

Kerajaan ini berfungsi sebagai pos luar Kerajaan Romawi Timur di Arab untuk

membendung serangan orang-orang Arab Badui. Sebagaimana kerajaan Abyssina, kerajaan ini juga

menganut Kristen mazhab Monofisit. Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur‟an: Model Dialektika wahyu

dan Budaya, h. 36. Mazhab Monofisit memandang Yesus hanya memiliki satu hakikat, yaitu: manusia

– Tuhan. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, catatan punggung, h. 51. 360

Kerajaan ini merupakan wakil Kekaisaran Persia di Arab. Didirikan oleh ‗Amr ibn ‗Adi ib

Nashr ibn Rabi‘ah ibn Lakhm. Kerajaan ini disebut juga Nasrid, berdiri pada pertengahan abad ke-3

M. Aliran Kristen yang berkembang di wilayah ini adalah Nestorian, yaitu suatu aliran yang

memandang bahwa Yesus adalah benar-benar Tuhan tetapi dilahirkan sebagai manusia dari rahim

perawan Maria. Dengan demikian, pribadi Yesus menyatukan dalam dirinya dua hakikat: manusia dan

Page 135: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

121

Bahkan orang-orang Arab sendiri ada yang beragama Kristen. Di Hijaz ada dua

kabilah yang masuk Kristen, yaitu: kabilah Judham dan kabilah Udhra. Di kota

Mekah agama Kristen dianut secara individual, bukan dalam satu kabilah.361

Penganut Kristen di Mekah adalah orang-orang dari klan Banû Asad ibn ‗Abd al-

Uzzâ.362

Kristen masuk ke Arab utara melalui perantaraan kerajaan Nabatean yang

dimulai pada masa apostelik. Nabatean membawahi wilayah Damaskus, tempat St.

Paulus menerima Kristen. Kelompok-kelompok Kristen telah berada di Arab barat

laut pada abad ke-3 M. Ketika kaisar Konstantin menerima agama Kristen, penyiaran

Kristen semakin berkembang di daerah perbatasan imperium Romawi. Kaisar

Konstantin bahkan mengutus para pekabar Injil ke beberapa wilayah, antara lain

Theophillus – seorang pekabar Injil berkebangsaan India – untuk mengabarkan Injil

ke wilayah Himyar (Arab selatan).363

Mengenai Yahudi, sejumlah suku Yahudi telah menetap di Arab. Mereka

bertempat tinggal di Yatsrib (Madinah), Khaibar, Fadak, Taimâ‘, dan Wadî al-Qurra.

Meskipun di Mekah secara praktis tidak tampak orang-orang Yahudi, ide-ide dan

konsep Yahudi telah akrab dengan masyarakat Mekah.364

Tidak diketahui secara pasti

sejak kapan agama ini masuk ke jazirah Arab. Menurut Alfred Guillaume ada tiga

kemungkinan waktu agama Yahudi masuk ke jazirah Arab, yaitu: Pertama, abad ke-8

SM. Pada abad ini diketahui telah ada orang Yahudi di Arab, yaitu pada masa

kejatuhan Samaria tahun 721 SM. Tetapi dugaan ini tidak begitu kuat, karena hampir

dapat dipastikan bahwa koloni militer di Aswan, sebelah utara Mesir, didirikan

setelah kejatuhan Samaria. Kedua, abad ke-6 SM. Abad ini ditandai dengan

Tuhan. Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

168. 361

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

168. 362

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 112. 363

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

168. 364

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 112.

Page 136: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

122

penyebaran secara besar-besaran orang Yahudi di berbagai wilayah. Di abad ini

terdapat perkampungan Yahudi yang besar di Mesopotamia. Ketiga, abad ke-1 dan

ke-2 SM. Yaitu ketika kerajaan Romawi begitu keras menekan orang-orang Yahudi

di Palestina, kemudian orang-orang Yahudi ini diterima dengan baik oleh masyarakat

Arab. Kemungkinan yang ketiga ini oleh Alfred Guillaume dianggap lebih tepat.365

Orang-orang Kristen dan Yahudi juga mengenal kata Allah sebagai Tuhan

mereka.366

Kedua agama yang merupakan agama wahyu ini memiliki kepercayaan

monoteistik yang diwarisi dari Ibrahim, yaitu mengakui dan menyembah Allah

sebagai Tuhan yang Esa. Meskipun dalam doktrin Kristen,367

Allah menyatakan atau

memperkenalkan diri-Nya sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus,368

namun menurut

rumusan ajaran Kristen, keyakinan yang demikian tidak boleh disebut dengan

politeisme, tetapi harus dikatakan sebagai suatu model dari monoteisme. Sebab

oknum kedua (Putra) dan oknum ketiga (Roh Kudus) merupakan bagian dari Allah

sang Bapa. Atau dengan istilah lain, bahwa ketiganya adalah dalam keesaan atau

keesaan dalam ketigaan.369

Konsep tentang Allah yang berkembang di Arab pada waktu itu, menurut

Toshihiko Izutsu, mempengaruhi kedua belah pihak, yaitu pihak Arab Jahiliyah di

365

Alfred Guillaume, Islam, (1982), sebgaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud,

Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 166. Pendapat ini sama dengan

Philip K. Hitti. Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: MacMillan & Co., 1958), h. 61. 366

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 104. 367

Istilah Kristen diambil dari kata kristus, gelar kehormatan keagamaan untuk Yesus,

pembawa agama ini. Kata kristus berasal dari bahasa Yunani (khristos) yang berarti diurapi, yaitu

digosok dengan minyak suci sebagai suatu upacara konsekrasi atau pensucian. Jadi kata ―Kristen‖

mengandung arti orang yang telah dibaptis dengan perminyakan suci. Dengan pembabtisan tersebut,

seseorang telah diakui sah sebagai pengikut Kristus. Lihat C.J. Bleeker, Pertumbuhan Agama-agama

Dunia, terj. Barus Siregar, (Bandung: Sumur Bandung, 1964), h. 64. H.M. Arifin, Menguak Misteri

Ajaran Agama-agama Besar, (Jakarta: P.T. Golden Terayon Press, 1997), h. 134. 368

Keyakinan seperti ini disebut trinitas atau tritunggal, yang berarti ada tiga oknum kekal

dalam hakikat Allah yang Esa itu. Tiga oknum ini dapat dikatakan sebagai tiga kepribadian Allah.

Ketiga-tiganya tidak dapat dipisahkan, namun dapat dibedakan. Ketiganya adalah kesatuan yang

merupakan satu kebenaran yang Esa. Tujuan pembedaan tersebut adalah supaya hamba-Nya

mengenal-Nya dan merasakan kedekatan dengan-Nya. Lihat Henry C. Theiessen dan Vermon D.

Doerksen, Teologi Sistematika, (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Emas, 1997), Cet. IV, h. 138. 369

H.M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, h. 143.

Page 137: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

123

satu sisi dan pihak Yahudi dan Kristen di sisi lain.370

Pendapat ini berbeda dengan

Philip K. Hitti yang menolak adanya pengaruh Yahudi dan Kristen di Hijaz. Ia

memandang bahwa meskipun wilayah dikelilingi oleh berbagai kebudayaan,

peradaban, dan agama, tetapi tidak mampu mengubah peradaban dan agama

penduduk asli Hijaz.371

Ketiga, Konsep Allah menurut orang-orang hanif. Konsep Allah juga dikenal

dalam agama hanif. Dalam agama hanif ini, Allah adalah Tuhan alam semesta,

Pencipta segala sesuatu dan dengan demikian semua makhluk adalah hamba-Nya,

Raja langit dan bumi yang Mahabesar yang menguasai rakyat-Nya dengan kekuasaan

yang absolut. Konsep demikian dalam agama hanif ini, menurut Toshihiko Izutsu,

dapat ditelusuri dari syair-syair Umayyah ibn Abî Salt.372

Dengan demikian untuk sementara dapat disimpulkan bahwa beberapa konsep

tentang Allah yang dimiliki oleh orang-orang Arab pra-al-Qur‘an memiliki kedekatan

dengan konsep Islam.

370

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 112. 371

Philip K. Hitti menyatakan: ―… it may be safely stated that al-Hijaz in the century

preceding the mission of Muhammad was ringed about with influences intellectual, religious and

material, radiating from Byzantine, Syrian (Aremean), Persian, Ghassanid, Lakhmid and Yamanite

channels; but it cannot be asserted that al-Hijaz was in such vital contact with the higher civilization

of the north as to transform its native cultural aspect. Then too, although Christianity did find a

footing in Najran, and Judaism in Yaman and Hijaz, neither seems to have left much of an impresson

on the North Arabian mind.‖ Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 107. 372

Umayyah ibn Abî Salt merupakan tokoh sastra Jahiliyah yang luar biasa. Ia merupakan

salah seorang pemuka suku Tsaqif. Pada jaman Jahiliyah, ia dikabarkan mencari agama monoteistik

sejati, menjauh dari semua penyembahan berhala, tapi merupakan pembangkang yang terisolir, tanpa

menjadi Yahudi maupun Kristen, sekalipun atmosfir spiritual tempat ia tinggal hampir sepenuhnya

Yahudi dan Kristen. Ia dikabarkan mempelajari bahasa Yahudi dan Syiria secara serius dan membaca

bagian-bagian dari Kitab suci yang bisa diperoleh dalam kedua bahasa tersebut. Hal ini diperkuat

dengan keberadaan sejumlah besar kata-kata Yahudi dan Syiria dalam syair-syairnya yang sangat

mengganggu para filologis periode Abbasiyah karena sangat aneh, sehingga Ibn Qutaibah menyatakan

bahwa dia merupakan satu-satunya penyair Jahiliyah yang syair-syairnya tidak dapat digunakan

sebagai ẖujjah dalam menafsirkan al-Qur‘an lantaran banyaknya kata-kata Yahudi dan Syiria dalam

syair-syairnya tersebut. Pakaiannya, dalam salah satu hadis, dinyatakan sebagai sarung atau kain yang

terbuat dari bulu kasar, sebagai tanda orang yang seluruh waktunya digunakan untuk beribadah. Ia

menyatakan bahwa anggur itu haram dan menyebut agama yang dicarinya sebagai al-dîn al-ẖanîfah

(agama hanif) yang dikaitkan dengan Ibrahim dan Ismail. Toshihiko Izutsu, God and Man in the

Qur‟an, h. 118-119.

Page 138: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

124

2. Relasi Allah dan Manusia

Relasi antara Tuhan dan manusia, menurut Toshihiko Izutsu, terdiri dari

empat tipe, yaitu: relasi ontologis, relasi komunikatif, relasi tuan-hamba, dan relasi

etik.373

a. Relasi ontologis

Salah satu pertanyaan dasar dan selalu mengusik pikiran manusia dalam

weltanschauung religius dan filosofis adalah eksistensi manusia. Pertanyaan abadi

dan berulang-ulang adalah: ―Dari mana manusia berasal? Apa sumber wujudnya di

dunia ini?‖ Menurut konsepsi al-Qur‘an, Allah adalah pencipta manusia. Dialah

sumber wujud yang menganugerahkan eksistensi kepada manusia. Jadi secara

ontologis, relasi antara Allah dan manusia adalah relasi antara sang pencipta (khâliq)

dan yang diciptakan (makhlûq).374

Manusia bukanlah satu-satunya ciptaan Allah. Dalam al-Qur‘an juga

ditegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam semesta: mulai dari malaikat,375

jin,376

langit dan bumi,377

matahari, bulan, siang dan malam,378

gunung dan sungai,379

pohon-pohon, buah-buahan, biji-bijian, daun-daunan,380

hingga semua jenis

binatang,381

dan bahkan segala yang ada di alam semesta ini yang tak dapat

disebutkan satu persatu.382

Oleh karena itu kata khalq, khâlik, bâri‟, dan sebagainya

dalam al-Qur‘an selalu dikaitkan dengan ―Allah‖.

373

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 77-78. 374

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 127. 375

Q.S. al-Zukhrûf (40): 9. 376

Q.S. al-Raẖmân (55): 15. 377

Q.S. Ibrâhîm (14): 19. 378

Q.S. Fushilat (41): 37. 379

Q.S. al-Ra‗d (13): 3. 380

Q.S. al-Raẖmân (55): 11-12. 381

Q.S. al-Nûr (24): 45. 382

Q.S. al-An‗am (6): 102.

Page 139: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

125

Konsep Allah sebagai pencipta alam semesta secara umum sudah dikenal oleh

masyarakat Arab pra-Islam. Meskipun ada juga beberapa orang penyembah berhala,

sebagaimana yang dilansir oleh ayat al-Qur‘an, yang menghubungkan kekuatan

penciptaan dengan berhala-berhala,383

namun pada umumnya, orang-orang Arab

pagan itu menisbatkan segala bentuk aktivitas penciptaan kepada Allah, Tuhan yang

maha tinggi. Toshihiko Izutsu membuktikan hal ini dengan adanya syair-syair Arab

pra-Islam, misalnya karya Antarah yang menghubungan penciptaan burung dan

penciptaan segala sesuatu dengan Tuhan. Bahkan dalam karya penyair serdadu

terkenal, Baith ibn Suraim al-Yashkuri, konsepsi tentang Allah sebagai Dzat yang

telah meninggikan langit dan bulan di sana sudah dikenal.384

Meskipun masyarakat Arab pra-Islam sudah mengenal konsep penciptaan

Allah, akan tetapi konsep ini hampir-hampir tidak memiliki pengaruh terhadap pola

pikir mereka. Artinya, mereka dapat hidup dengan nyaman tanpa menaruh perhatian

sama sekali terhadap asal-usul eksistensinya sendiri. Dalam sistem jahiliyah, aktivitas

kreatif Allah adalah awal sekaligus akhir intevensi-Nya dalam urusan manusia. Dia

tidak menaruh perhatian terhadap makhluk ciptaan-Nya. Manusia, sesudah proses

penciptaannya selesai, dikuasai oleh wujud lain yang disebut dahr.385

Dahr ini

meskipun memiliki beberapa nama lain, yaitu: zamân, „ashr, ayyâm, dan „aud, namun

gagasan yang mendasari konsep dahr selalu sama, ia merupakan tiran yang tidak

memiliki belas kasihan dan berdarah dingin.386

Dahr ini, menurut Helmer Ringgren,

melahirkan sifat fatalism bagi orang Arab.387

Pandangan ini sejalan dengan W. Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa

menurut orang Arab, keuntungan dan kegagalan dalam usaha mereka sehari-hari

383

Lihat Q.S. al-Ra‗d (13): 16. 384

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 128-129. 385

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 131. 386

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 132. 387

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

173.

Page 140: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

126

semata-mata disebabkan oleh dahr tersebut.388

Dahr bagi orang Arab dipandang

sebagai penentu nasib mereka.389

Dalam hubungannya dengan Q.S. al-Jâtsiyah (45):

24 yang menyebutkan tentang dahr, W. Montgomery Watt berpendapat bahwa ayat

tersebut menunjukkan sikap sebagian orang Arab yang tidak percaya kepada

kekuasaan Tuhan yang menghidupkan dan mematikan, yang mematikan manusia

bukan Tuhan, tetapi dahr tersebut. Kehidupan, menurut mereka, hanya di dunia saja.

Mereka tidak percaya kepada adanya kehidupan akhirat. Kemungkinan akan

dibangkitkannya manusia dalam kehidupan mendatang sama sekali merupakan

konsep yang asing dan berada di luar benak orang Arab. Interpretasi ayat tersebut

menurut W. Montgomery Watt adalah bahwa bagi orang Arab, peristiwa-peristiwa

alam bukan ditentukan oleh kekuasaan Tuhan, tetapi oleh dahr. Oleh karena itu,

setelah kedatangan Islam banyak ayat al-Qur‘an yang membantah kepercayaan

tersebut dan menempatkan Tuhan yang berkuasa dan menentukan hidup dan

kematian manusia.390

Dengan demikian, orang Arab menerima fakta alami yang

terjadi tanpa mengaitkan dengan Allah ataupun kekuatan dewi-dewi.391

Sikap orang-orang Arab pra-al-Qur‘an yang tidak menaruh perhatian sama

sekali terhadap asal-usul eksistensinya sendiri bertentangan dengan ajaran al-Qur‘an.

Menurut al-Qur‘an, seorang Muslim harus selalu menyadari eksistensinya sebagai

makhluk. Tanpa adanya kesadaran tersebut, seseorang akan tidak dapat dikatakan

Muslim karena ia telah jatuh ke dalam dosa besar, yaitu kesombongan. Menurut

sistem Islam, penciptaan Allah menandai awal kekuasaan-Nya terhadap segala

388

Menurut W. Montgomery Watt, dahr ekuivalen dengan the course of events (jalannya

kejadian) atau the spatio-temporal process (proses ruang-waktu). W. Montgomery Watt, ―The Qur‘an

and the Belief in a High God‖, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-

Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 173. 389

W. Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, (Oxford: University Press, 1953), h. 26. 390

W. Montgomery Watt, ―The Qur‘an and the Belief in a High God‖, h. 330. 391

Hal ini berbeda dengan Philip K. Hitti yang mengemukakan bahwa nasib manusia

ditentukan oleh dewi manâh. Manâh dari kata maniyah (nasib yang ditentukan). Dengan demikian

dewi manât merupakan dewi nasib. Lihat Philip K. Hitti, History of Arabs, h. 99.

Page 141: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

127

sesuatu yang diciptakan. Urusan-urusan manusia semuanya dalam pengawasan ketat

Allah.

b. Relasi komunikatif

Dalam bagian relasi ontologis telah diketahui bahwa Allah adalah pencipta

dan manusia adalah yang diciptakan. Antara pencipta dan yang diciptakan terdapat

hubungan komunikatif yang bersifat langsung dan bertimbal balik. Komunikasi

antara Allah dan manusia terjadi melalui dua cara, yaitu: pertama, melalui

penggunaan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak; kedua, melalui

penggunaan ―tanda-tanda alam‖ oleh Tuhan dan isyarat-isyarat atau gerakan tubuh

oleh manusia. Dengan demikian komunikasi tipe pertama bersifat linguistik atau

verbal, sedang komunikasi tipe kedua bersifat non linguistik atau non verbal.392

Komunikasi linguistik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk

pengiriman wahyu dari Tuhan. Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa wahyu

merupakan perkataan (kalâm) Tuhan.393

Meskipun ia menyadari bahwa dalam

komunikasi model ini terdapat masalah karena keduanya, yaitu Tuhan dan manusia

sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi ini, berada dalam taraf

―eksistensi‘ yang berbeda. Tuhan berada dalam taraf ―eksistensi‖ supra-natural,

sementara manusia berada dalam taraf ―eksistensi‖ natural, sehingga tidak ada

keseimbangan ontologis antara keduanya. Oleh karena itu secara teoritik, tidak

mungkin terjadi pertukaran kata (al-taẖawwur), pengajaran (al-ta„lîm), dan juga

belajar (al-ta„llum).394

Problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada

sistem bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai dzat yang ghaib

392

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 142. 393

Hal tersebut didasarkan kepada Q.S. al-Taubah (9): 6 dan Q.S. al-Baqarah (2): 75, yang

secara kontekstual mengandung pengertian bahwa perkataan Tuhan mengacu kepada kata-kata yang

telah diucapkan atau diwahyukan kepada Nabi. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 165. 394

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 180.

Page 142: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

128

atau supra-natural tentunya menggunakan sistem bahasa non-alamiah atau non-

natural, sebaliknya manusia sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa

alamiah atau sistem bahasa natural. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika

dalam konteks ini Fazlur Rahman berpendapat bahwa proses pewahyuan bukan

merupakan komunikasi verbal, tetapi merupakan pemberian inspirasi ke dalam hati

Nabi Muhammad.395

Problem tersebut, menurut Toshihiko Izutsu, dapat diatasi dengan

mengemukakan teori perantara. Perantara inilah yang menjembatani kesenjangan

komunikasi antara Tuhan dan manusia tersebut. Ia menegaskan bahwa wahyu sebagai

suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep yang berhubungan dengan

tiga individu. Kondisi ini juga berlaku dalam pewahyuan al-Qur‘an. Dengan kata lain,

dalam kesadaran kenabian yang dimiliki Muhammad, selalu ada seseorang, suatu

makhluk misterius antara Tuhan dan dirinya yang membawa kata-kata Tuhan ke

dalam hatinya. Makhluk ghaib tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, tidak lain

adalah Malaikat Jibril, yang pada periode Mekah disebut sebagai rûh al-quds (roh

suci) dan rûh al-amîn (roh yang dapat dipercaya).396

Hal inilah yang secara membuat

wahyu secara struktural berbeda, bukan saja dengan perkataan manusia pada

umumnya, tapi juga dengan tipe inspirasi verbal lainnya yang bersumber dari jinn.397

Bila komunikasi linguistik dari Tuhan berupa wahyu, maka dari pihak

manusia berupa doa yang dipanjatkan ke hadirat-Nya. Sama seperti halnya wahyu,

problem eksistensi ontologis antara Tuhan dan manusia juga menjadi kendala dalam

komunikasi linguistik dari arah bawah ini. Menurut Toshihiko Izutsu, doa dapat

menjadi komunikasi dari manusia hanya terjadi dalam situasi yang sangat istimewa,

yakni ketika manusia mendapati dirinya berada dalam situasi yang tidak wajar.

395

Fazlur Rahman mengatakan: ―God speaks to no human (i.e. through “sound words”) exept

through wahy (i.e. through “idea-words” inspiration), or from behind the veil, or He may send a

messenger (an angel) who speak through wahy … even thus have We inspired you with a spirit of Our

command.‖ Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: Chicago University Press, 1979), h. 30-31. 396

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 191-192. 397

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 189.

Page 143: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

129

Ketika jiwa manusia sedang tidak dalam keadaan sebagaimana hari-harinya, maka ia

berada dalam posisi yang dapat mengucapkan kata-kata secara langsung kepada

Tuhan. Toshihiko Izutsu menegaskan bahwa hanya dalam situasi demikian saja hati

manusia dapat sepenuhnya murni dari semua pikiran keduniaan. Dengan demikian,

bahasa yang diucapkan manusia secara spiritual menjadi lebih tinggi, dan doa

merupakan percakapan personal yang paling intim antara hati dengan Tuhan. Situasi

luar biasa itu pada umumnya disebabkan oleh rasa patuh yang mendalam terhadap

Tuhan atau, yang lazim, karena bahaya kematian yang sudah mendekat.398

Dengan

mengutip al-Kirmani, Toshihiko Izutsu mengatakan bahwa dalam situasi seperti itu

manusia bukan lagi manusia dalam pengertian umum, ia sudah mentransformasikan

diri menjadi sesuatu yang berada di atas dirinya.399

Komunikasi non linguistik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk

pengiriman tanda-tanda alam dari Tuhan. Tanda-tanda ini, bagi orang-orang yang

mau memperhatikan dan merenungkannya, dapat dilihat setiap saat, karena memang

semua yang sering disebut sebagai peristiwa alam, seperti hujan, angin, susunan

langit dan bumi, pergantian siang dan malam, dan sebagainya pada dasarnya

merupakan tanda-tanda yang menunjukkan kepedulian Tuhan terhadap kehidupan

umat manusia di muka bumi, sekaligus merupakan bukti Ketuhanan-Nya.400

Sementara dari manusia berupa salat. Tentu saja di dalam salat di samping gerakan-

gerakan tubuh, terdapat unsur-unsur verbal yang berupa kata-kata.401

Akan tetapi

kata-kata di sini tidak sebagaimana dalam doa, yang digunakan untuk menyatakan

ungkapan khusus yang bersifat pribadi. Ungkapan-ungkapan verbal dalam salat

398

Lihat Q.S. Yunus (10): 12 dan 22; juga Q.S. al-An‗am (6): 40-41. 399

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 209. 400

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 143. 401

Menurut Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‗î, salat terdiri dari perkataan (qaul), perbuatan

(„amal), dan tindakan-tindakan yang dilarang (imsâk). Lihat, al-Syâfiʻî, Aẖmad Muẖammad ibn Idrîs,

al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad Syâkir

(ed.), (Kairo; Maktabah Dâr al-Turâts, 1979), h. 121.

Page 144: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

130

digunakan secara ritualistik, dalam arti kata-kata yang diucapkan tidak

menggambarkan gagasan pribadinya sendiri, tapi bersifat simbol.402

Komunikasi antara Tuhan dan manusia, baik yang bersifat verbal maupun

non-verbal, terjadi atas inisiatif dari Tuhan, sementara manusia pada dasarnya hanya

menanggapi apa yang dilakukan Tuhan. Kehendak Tuhan untuk membuka

komunikasi langsung antara Dia dan manusia termanifestasi dalam bentuk

pengiriman âyât (tanda-tanda).403

Âyât Ilahi yang dimaksud dalam al-Qur‘an

merupakan pengertian yang umum, yakni meliputi simbol-simbol verbal dan non-

verbal. Dari kedua jenis simbol ini, pesan-pesan Tuhan melalui simbol verbal (waẖy)

dapat dikatakan lebih jelas, karena pada dasarnya bersifat konseptual dan analitis.

Dengan demikian, waẖy dapat menyajikan kehendak Tuhan dalam yang mudah

dipahami oleh alam pikiran manusia. Sementara dalam simbol non-verbal, kehendak

Tuhan termanifestasikan secara global. Dan karena sifatnya yang tidak konseptual,

maka pesan-pesan yang dibawa sangat tidak jelas atau kabur. Akan tetapi simbol non-

verbal lebih terbuka, dapat diakses oleh siapa saja tanpa perantara, sedang simbol

verbal hanya mungkin diketahui oleh umat manuisa melalui seorang perantara, yaitu

Rasul.404

Respon yang dapat dilakukan manusia terhadap fakta adanya âyât Ilahi ini,

menurut al-Qur‘an, ada dua, yaitu: tashdîq dan takdzîb. Secara harfiah, tashdîq

bermakna ―menganggap dan menerima sebagai kebenaran,‖ sementara takdzîb

bermakna ―menganggap sebagai kepalsuan.‖ Tashdîq merupakan langkah pertama

menuju îmân, sementara takdzîb merupakan inti kekufuran. Di sini terlihat bahwa

tashdîq dan takdzîb berada dalam perlawanan konseptual yang tajam. Pertentangan

dasar ini lagi-lagi, menurut Toshihiko Izutsu, sebagai persoalan yang sangat penting

402

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 158. 403

Kata âyah (bentuk tunggal dari âyât), menurut Toshihiko Izutsu, pada masa pra-al-Qur‘an

tidak dikenal dalam kosakata Badui, namun dikenal dalam dalam kosakata pedagang, hanya saja tidak

pernah digunakan dalam pengertian religius; kata tersebut dipakai dalam pengertian alam, kecuali di

kalangan kelompok ẖanîf. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 144. 404

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 145.

Page 145: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

131

dalam memahami pandangan dunia al-Qur‘an.405

Berdasarkan hal ini, maka hubungan

antara tashdîq dan takdzîb harus dilihat sebagai sumbu yang dikelilingi oleh medan

semantik masing-masing, sehingga dengan demikian setiap istilah kunci dapat

ditempatkan pada posisi yang tepat.

Istilah kunci bagi timbulnya tashdîq adalah pemahaman terhadap âyât Ilahi.

Tanpa pemahaman terhadap âyât, maka manusia tidak akan dapat menganggap

bahwa âyât tersebut berasal dari Tuhan. Aktivitas memahami ini ditunjukan oleh al-

Qur‘an dengan kata-kata seperti „aqala, fahima, faqiha, tafakkara, tadzakkara, dan

tawassama. Perbuatan manusia untuk memahami tersebut sumbernya terletak pada

kemampuan psikologis yang disebut dengan lubb atau qalb (hati). Dengan kata lain,

hati bila berfungsi dengan baik merupakan sesuatu yang memungkinkan manusia

untuk memahami makna âyât Ilahi. Bagi hati yang semacam ini, maka âyât

merupakan simbol dari dua hal yang saling bertentangan. Beberapa âyât

melambangkan kebaikan Tuhan, sementara yang lainnya melambangkan kemurkaan

Tuhan. Bila manusia menerima karunia Ilahi yang disimbolkan oleh âyât yang

melambangkan kebaikan Tuhan sebagai kebenaran, maka hasilnya adalah syukr. Dan

jika ia juga menerima âyât yang melambangkan kemurkaan Tuhan, maka hasilnya

adalah taqwâ.

c. Relasi Tuan-hamba

Dalam sistem al-Qur‘an, Allah adalah penguasa mutlak; satu-satunya Tuhan

yang berkuasa di seluruh dunia, sementara manusia adalah hamba („abd). Sebagai

hamba („abd), manusia harus bersikap berserah diri sepenuhnya, merendah, dan

menghinakan diri di hadapan-Nya tanpa syarat.406

Inilah sebabnya, menurut

405

Di depan telah dikemukakan bahwa berdasarkan analisis semantik terhadap al-Qur‘an,

Toshihiko Izutsu memperoleh kesan bahwa al-Qur‘an merupakan sebuah sistem multi-strata besar

yang berada pada sejumlah oposisi konseptual mendasar, di mana masing-masing konsep tersebut

merupakan sebuah medan semantik khusus. Dengan kata lain, berdasarkan sudut pandang semantik,

pandangan dunia al-Qur‘an dapat digambarkan sebagai sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip

pertentangan konseptual. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 75. 406

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 216.

Page 146: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

132

Toshihiko Izutsu, al-Qur‘an sangat mementingkan kelompok istilah yang memiliki

makna kepatuhan mutlak, penyerahan dan kerendahan diri, seperti thâ„ah (patuh),407

qunût (setia, berserah diri),408

khusu„ (penyerahan),409

tadharru„ (menghinakan

diri).410

Akan tetapi, dari semua istilah-istilah tersebut, dalam pandangan Toshihiko

Izutsu, islâm merupakan istilah yang paling penting.411

Dengan menghubungkan kata

islâm dengan kata kerjanya, yaitu aslama,412

maka islâm dapat dipahami sebagai

tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan sukarela untuk menyerahkan diri

kepada kehendak Allah dan memercayakan diri secara penuh kepada-Nya. Pengertian

ini diperoleh berdasarkan penggunaannya dalam frase aslama wajhahu li Allâh.

Istilah islâm menjadi sangat penting karena fakta menunjukkan bahwa Tuhan

sendiri memilihnya menjadi nama agama baru yang dibawa oleh Muhammad di Arab

pada waktu itu.413

Pandangan ini senada dengan pandangan Wilfred Cantwel Smith

yang menyatakan bahwa dari semua nama agama di dunia, istilah islâm merupakan

satu-satunya nama agama yang built in (terpasang tetap). Kata islâm terdapat dalam

al-Qur‘an, dan orang-orang Muslim teguh menggunakan istilah tersebut untuk

mengenalkan sistem keimanannya. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada

masyarakat keagamaan lain.414

Pandangan kedua tokoh ini menunjukkan bahwa

agama Islam bukan Mohammedanism sebagaimana disebut oleh para orientalis.

Penamaan demikian karena dikaitkan dengan pembawanya, yaitu Muhammad,

407

Q.S. al-Ma‘idah (5): 92 408

Q.S. al-Baqarah (2): 110 409

Q.S. al-Hadîd (57): 16 410

Q.S. al-An‗am (6): 42 411

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 217. 412

Dalam pandangan Arthur Jeffery, kata aslama bukan asli bahasa Arab, tetapi merupakan

kata serapan. Pandangan ini tidak disertai dengan penjelasan yang memadai dari bahasa apa kata

tersebut diserap. Lihat Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟ân, (Leiden - Boston: Brill,

2007), h. 62. 413

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 218. 414

Wilfred Cantwel Smith, The Meaning and End of Religion, (New York: The New

American Library of the World Literature, 1964), h. 75.

Page 147: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

133

sebagaimana yang terjadi pada agama-agama lain. Nama Islam bukan nama yang

lahir berdasarkan tokoh pendirinya atau pada tempat kelahiran tokoh tersebut.415

Hal lain yang menunjukkan bahwa istilah islâm sangat penting adalah karena

ia sebagai pengalaman batin religius yang bersifat personal pada tiap-tiap orang,

merupakan peristiwa penting yang menandai titik awal dimulainya penyerahan dan

kerendahan diri yang sesungguhnya. Ia menandai titik balik yang menentukan dalam

kehidupan seorang manusia. Sementara semua istilah al-Qur‘an lainnya yang

bermakna kepatuhan dan penyerahan diri sangat samar dan ambigu. Istilah-istilah

tersebut dapat memberikan kesan yang salah tentang kepatuhan dan kerendahan diri

sebagai sifat alamiah seseorang. Dalam struktur semantiknya tidak terdapat

momentum keputusan eksistensial, momentum lompatan ke dalam bidang kehidupan

yang tidak diketahui. Hanya kata islâm yang berimplikasi demikian.

Seorang muslim, menurut pengertian asalnya, adalah orang yang memiliki

keberanian untuk melakukan lompatan semacam itu. Baru setelah melakukan

lompatan yang pasti, maka konsep semacam kepatuhan, penyerahan, dan kerendahan

mulai muncul dan mengandung makna religius yang sesungguhnya. Kata-kata seperti

khusu„, tadharru„, dan lain-lain, tidak memiliki makna kerendahan diri yang umum.

Tapi semacam kerendahan diri khusus yang muncul dari tindakan pasti dalam islâm.

Analisis semantik terhadap istilah islâm dalam al-Qur‘an oleh Tohihiko Izutsu

ini menimbulkan perbedaan dengan penafsiran yang dilakukan sarjana lain.

Muẖammad Syahrûr – misalnya, dengan mengelaborasi Q.S. al-Baqarah (2): 62, 111,

dan 126; Q.S. al-Nisâ‘ (4): 125; Q.S. al-Mâ‘idah (5): 44; Q.S. al-Anbiyâ‘ (21): 108;

dan Q.S. Fushshilat (41): 33, islâm menurutnya adalah mengakui adanya Allah,

beriman kepada hari Akhir, dan beramal saleh. Sehingga siapa pun yang memiliki

ketiga sifat itu disebut sebagai seorang muslim tanpa melihat apakah dia termasuk

pengikut Muhammad, pengikut Musa, pengikut Isa, atau umat-umat beragama lain.

415

Lihat Huston Smith, The Word‟s Religion, (San Fransisco: Harper Publishers, 1991), h.

221-222.

Page 148: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

134

Islâm dengan pengertian inilah yang dimaksud dalam al-Qur‘an sebagai dîn yang

diterima oleh Allah.416

Dalam pandangan Muẖammad Syahrûr, islâm bertentangan dengan ijrâm.

Kata ijrâm dan turunannya disebutkan dalam al-Qur‘an sebanyak 68 kali. Secara

etimologis, kata ijrâm berarti qath„ (memutus/memotong). Dalam kamus hukum,

pelaku kejahatan, seperti pencuri, pembunuh, dan perampok disebut sebagai mujrim,

karena dengan melakukan pencurian, pembunuhan, dan perampokan, pelakunya

berarti ―memutuskan hubungannya dengan masyarakat dan aturan-aturan sosial dan

bertindak sesuai dengan hawa nafsunya.‖ Dalam al-Qur‘an, kata tersebut berarti

kondisi yang bertolak belakang dengan islâm. Ayat-ayat, seperti Q.S. al-Qashshâsh

(28): 78; Q.S. Yâsîn (36): 59; Q.S. al-Rûm (30): 12; Q.S. al-Rahmân (55): 41-43;

Q.S. al-Naml (27): 69; dan Q.S. al-Mursalât (77): 18-19, mengaitkan secara

sintagmatis kata al-mujrimûn dengan sikap pengingkaran terhadap adanya Tuhan dan

hari Akhir. Sementara islâm dalam pandanganToshihiko Izutsu bertentangan dengan

jahiliyah.417

Namun pada masa pra-al-Qur‘an, term jahiliyah sama sekali tidak

mempunyai konotasi religius. Menurut konsepsi pra-Islam, jahl sama sekali tidak

mempunyai kaitan dengan tuhan-tuhan. Konsep ini semata-mata hanya meyangkut

hubungan manusia dengan sesamanya. Jahl merupakan sifat pribadi manusia yang

menjadi ciri khas masyarakat Arab pra-Islam.418

Konsep ini, bersama dengan

416

Muẖammad Syahrûr, al-Islâm wa al-Îmân: Mandhûmât al-Qiyam, (Damaskus: al-Ahâlî li

al-Thiba‗ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‗, 1996), h. 37-38. 417

Term jahiliyah ini dalam al-Qur‘an terulang sebanyak empat kali, yaitu dalam Q.S. Âli

‗Imrân (3): 154; Q.S. al-Mâ‘idah (5): 50; Q.S. al-Aẖzâb (33): 33; dan al-Fatẖ (48): 26.Lihat

Muẖammad Fu‘âd ‗Abd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-Karîm, h. 234. 418

Ada berbagai pandangan mengenai keadaan masyarakat Arab pada masa pra-Islam.

Aẖmad Amîn menyatakan bahwa keadaan mereka sebagai masyarakat yang diliputi oleh

kesombongan, kebanggaan, dan ketidaktahuan. Lihat Aẖmad Amîn, Fajr al-Islam, (Singapura:

Sulaiman Mar‘I, 1965 ), h. 76. Hasan Ibâhîm Hasan menyebut mereka sebagai komunitas yang

melecehkan fitrah manusia. Mereka adalah masyarakat yang suka berperang, gemar berjudi, mabuk-

mabukan, melakukan seks bebas, memandang hina terhadap wanita, dan lain sebagainya yang

merupakan perbuatan amoral. Hasan Ibâhîm Hasan mendasarkan pada informasi yang diklaim

merupakan perkataan Ja‗far ibn Abî Thâlib yang mewakili sekelompok sahabat Muhammad ketika

Raja Etiopia, Negus, menanyakan alasan mereka meminta perlindungan kepadanya. Hasan Ibâhîm

Hasan, Târîkh al-Islâm, Juz I, (Beirut: Dâr al-Jail, 1996), h. 164. Riwayat ini diragukan keasliannya

Page 149: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

135

pasangannya – hilm, begitu lekat dengan psikologi mayarakat Arab ketika itu,

sehingga wajar jika kata tersebut seringkali dijumpai dalam puisi-puisi jahiliyah.

Dalam al-Qur‘an, jahiliyah merupakan istilah religius dalam pengertian yang negatif,

karena merupakan landasan tempat kata kufr.419

Di sini Toshihiko Izutsu memandang

jahiliyah bukan sebagai fase sejarah yang mendahului Islam, tetapi merupakan sifat

yang dapat terjadi dalam diri seseorang yang berupa semangat kebebasan,

kesombongan, dan perasaan mulia yang menolak untuk tunduk di hadapan penguasa

manapun, baik manusia maupun Tuhan. Pandangan senada dikemukakan oleh sarjana

Muslim asal Mesir sekaligus seorang tokoh gerakan al-Ikhwân al-Muslimûn, yaitu

Sayyid Quthb (1906-1966).420

Jahiliyah, dalam pandangan Sayyid Quthb, bukan merupakan bagian tertentu

dalam suatu masa, tetapi ia adalah suatu kondisi yang bertentangan dengan Islam.421

Dengan demikian jahiliyah merupakan suatu keadaan yang boleh jadi dapat terjadi

kapan saja, baik pada masa lalu, masa sekarang, atau masa akan datang, di setiap

masyarakat apa saja, dan di mana saja. Meskipun Toshihiko Izutsu dan Sayyid Quthb

sama-sama memandang jahiliyah bukan merupakan suatu periode sejarah, namun

karena di dalamnya tercantum ucapan yang menyebutkan kewajiban untuk berpuasa. Padahal perintah

berpuasa baru diterima Muhammad dua tahun sesudah peristiwa hijrah. Lihat Muẖammad al-Khudhâri

Bîk, Târîkh al-Tasyrî„ al-Islâmî, (Kairo: Mathba‗ah al-Sa‗âdah, 1964), h. 48. Sementara itu Khalîl

‗Abd al-Karîm menolak predikat-predikat keji yang mengilustrasikan fase pra-Islam dan deskripsi

bangsa Arab di semenanjung Arabia ketika itu dengan gambaran-gambaran minor, sehingga

membentuk image yang kuat bahwa era tersebut merupakan era kegelapan, kebodohan dan kesesatan,

sehingga penduduknya tidak lebih dari kelompok orang-orang Barbar yang bengis, irasional, tak

berbudaya, dan bermoral bejat. Menurutnya predikat-predikat dan deskripsi semacam ini tidak justru

telah mendiskreditkan Islam itu sendiri, karena merupakan kekonyolan ketika al-Qur‘an mengajak

berdialog dan berdebat dengan suatu kaum yang berada dalam keadaan yang sedemikian bodoh. Khalîl

‗Abd al-Karîm, Syari‟ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, terj. Kamran As‘ad, (Yogyakarta: LKiS,

1990), h. ix. Pendapat senada dikemukaan oleh H. Lammens, ia mengatakan bahwa orang Arab

sebenarnya adalah bangsa yang unggul, bersikap terbuka, memiliki sifat yang tegas dan pemberani. H.

Lammens, Islam: Beliefs and Institutions, (New Delhi: Oriental Books Reprint Corporation, 1979), h.

6. 419

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 223. 420

Uraian selengkapnya mengenai biografi Sayyid Quthb dapat dilihat dalam Shalah ‗Abd al-

Fattaâẖ al-Khâlidî, ―Pengantar memahami Tafsir Fî Zhilâl al-Qur‟ân,‖ dalam Sayyid Quthb, Fî Zhilâl

al-Qur‟ân, terj. Salafuddin Abu Sayyid, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 23-69. 421

Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur‟ân, Vol. VI, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992), h. 904.

Page 150: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

136

terdapat perbedaan antara keduanya, Toshihiko Izutsu memandang jahiliyah sebagai

sifat personal yang menganggap dirinya mulia sehingga tidak mau tunduk kepada

siapa pun, sementara Sayyid Quthb memandangnya sebagai sifat suatu masyarakat,

bangsa, atau negara yang tidak melaksanakan hukum Islam.

Pandangan Toshihiko Izutsu maupun Sayyid Quthb tentang jahiliyah berbeda

dengan Marshall G.S. Hodgson, Aẖmad Amîn, dan Hasan Ibâhîm Hasan. Marshall

G.S. Hodgson memang mula-mula berpendapat bahwa jahiliyah merupakan sebutan

untuk orang yang mempunyai sifat keras hati, namun kemudian ia berpendapat bahwa

jahiliyah merupakan suatu masa kebodohan (the time of dark ignorance).422

Jahiliyah

di sini tentu mengacu kepada masa pra-Islam. Dan orang-orang Arab yang hidup pada

masa ini diasumsikan sebagai orang-orang yang jâhil (bodoh). Adapun Toshihiko

Izutsu menyebut mereka sebagai ummîyûn (orang-orang yang tidak diberi kitab).

Pandangan ini senada dengan Theodore Nöldeke dan Friedrich Schwally yang

menyatakan bahwa konsep ummî di dalam al-Qur‘an adalah konsep yang

bertentangan dengan ahl al-kitâb. Dengan demikian ummîyûn merupakan sebuah

masyarakat tanpa wahyu.423

Sementara Joseph Horovitz memandang ummîyûn

mempunyai dua pengertian: Pertama, berkenaan dengan Q.S. Âli ‗Imrân (3): 20,

ummîyûn merupakan masyarakat yang tidak diberi kitab (ummōt hā-ōlām). Kedua,

berkenaan dengan Q.S. al-Baqarah (2): 78, ummîyûn merupakan sekelompok Yahudi

yang tidak mengikuti Taurat dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan sesuai dengan

hawa nafsu mereka („am-ha-āreṣ).424

Lebih lanjut Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa jahl pada hakikatnya

merupakan sifat cepat marah dan tidak sabar, yang mudah kehilangan kontrol

422

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.

171. 423

Theodore Nöldeke dan Friedich Schwally, Gessichte des Qorāns, sebagaimana dikutip

oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani

Press, 2005), h. 150. 424

Joseph Horovitz, Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran, (Hildesheim: Georg

Olms Verlagbuchandlung, 1964), h. 46-47.

Page 151: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

137

meskipun dengan provokasi yang sangat kecil. Akibat yang ditimbulkan dari sifat ini

adalah tindakan gegabah yang didorong oleh nafsu membabi buta tanpa kendali,

tanpa memikirkan akibat buruk dari perbuatan yang dilakukan tersebut. Lawan dari

sifat ini adalah hilm, yaitu perilaku tertentu yang didasari oleh kesadaran yang nyata

terhadap keunggulan dan kekuatan diri sendiri. Di sini hilm merupakan bentuk

ketenangan yang sangat khas yang di dalamnya tersimpan kekuatan yang luar biasa

yang termanifestasikan dalam bentuk waqar. Sementara manifestasi dari jahl adalah

zulm. Sifat jahl yang sedemikian rupa, sehingga bila dia aktif, maka dapat

melemahkan kekuatan akal manusia. Sementara hilm mempunyai pengaruh yang

positif terhadap akal. Dalam hal ini, orang Arab mengembangkannya ke arah

kemampuan memimpin dan kebijaksanaan politik. W. Montgomery Watt melihat

bahwa hilm yang dikembangkan menjadi kebijaksaan politik dan teknik memimpin

inilah yang menjadi landasan kesuksesan usaha perdagangan orang-orang Quraisy.425

Pandangan Toshihiko Izutsu ini sejalan dengan Ignaz Goldziher yang menyatakan

bahwa dalam bahasa Arab sekarang, istilah jahiliyah memang berarti bodoh, akan

tetapi dalam syair-syair pra-Islam istilah tersebut memiliki makna berani, kasar, dan

keras.426

Namun demikian Toshihiko Izutsu tidak menampik makna jahl sebagai

bodoh. Dengan demikian lawan katanya bukan lagi hilm, tetapi „ilm (pengetahuan).

Bahkan ia mengatakan ini merupakan makna jahl yang paling umum menurut bahasa

Arab klasik. Hanya saja makna ini merupakan makna yang kalah penting

dibandingkan dengan makna di atas.427

d. Relasi etik

Etika berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh manusia terhadap

Tuhan berkaitan dengan perintah dan larangan Tuhan, maupun bagaimana Tuhan

425

W. Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, h. 10-11. 426

Ignaz Goldziher, Muslim Studies, Vol. I, (London: Allen & Unwin, 1967), h. 11. 427

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 234.

Page 152: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

138

berkehendak terhadap makhluk-Nya.428

Menurut Toshihiko Izutsu, terdapat tiga

kategori yang berbeda mengenai konsep etik di dalam al-Qur‘an, yaitu: pertama,

kategori yang menunjukkan dan menguraikan sifat Tuhan; kedua, kategori yang

menjelaskan berbagai macam aspek sifat fundamental manusia terhadap Tuhan; dan

ketiga, kategori yang menunjukkan tentang prinsip-prinsip dan aturan tingkah laku

yang menjadi milik dan hidup di dalam masyarakat Islam.429

Ketiga konsep etika ini

pada dasarnya tidak berdiri sendiri, namun memiliki hubungan yang sangat erat.

Kelompok pertama terdiri dari nama-nama Tuhan (al-asmâ‟ al-ẖusnâ), seperti Maha

Pemurah, Maha Baik, Maha Adil, atau Maha Agung. Nama-nama ini pada hakikatnya

menggambarkan bahwa sifat dan tindakan Tuhan terhadap manusia adalah etik, dan

oleh karena itu manusia harus bersikap seperti itu dalam merespon sifat dan tindakan

Tuhan tersebut. Implikasi dari sikap etik manusia terhadap Tuhan tercermin dalam

etika antar sesama manusia yang hidup dalam masyarakat yang sama.

Relasi etis ini didasarkan pada dua aspek yang bertentangan secara

fundamental mengenai konsepsi tentang Tuhan dalam al-Qur‘an. Allah di satu sisi

disebutkan sebagai Tuhan yang penuh keadilan dan kebaikan.430

Dengan kata lain,

Tuhan bertindak kepada manusia dengan tindakan-tindakan yang baik. Namun di sisi

lain, Dia disebutkan sebagai Tuhan yang keras, yang akan membalas di Hari

Pengadilan dengan balasan yang sangat pedih (shadîd al-„iqâb), Tuhan yang

membalas dendam (dhu intiqâm), Tuhan yang kemarahan-Nya (ghadab) akan

428

Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concept in the Qur‟an, (Montreal: McGill-Queen‘s

University Press, 2002), h. 3. Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syukri Saleh,

mensinyalir bahwa di dalam al-Qur‘an terdapat tiga konsep kunci yang secara simultan membentuk

fondasi etika al-Qur‘an dan memberinya etos yang khas. Ketiga konsep ini, kendati berasal dari akar

kata bahasa Arab yang berbeda, secara menakjubkan memiliki pengertian yang sama. Pertama, konsep

îmân berasal dari kata a-m-n memuat arti pokok aman, bebas dari bahaya dan damai. Kedua, konsep

islâm berasal dari kata s-l-m yang mengandung arti aman, integral, dan totalitas. Ketiga, konsep taqwâ

berasal dari kata w-q-y, merupakan konsep etika al-Qur‘an yang paling utama, yang berarti takut

kepada Allah atau kesalehan, melindungi (diri) dari bahaya, memelihara dari kemusnahan, tersia-

siakan, dan disintegrasi. Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer dalam

Pandangan Fazlur Rahman, h. 142-143. 429

Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concept in the Qur‟an, h. 18. 430

Lihat misalnya, Q.S. al-Aẖzâb (33): 1; dan Q.S. al-Fâthir (35): 2.

Page 153: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

139

melemparkan siapa saja ke dalam kebinasaan.431

Pandangan al-Qur‘an yang

menunjukkan dua aspek yang secara fundamental bertentangan satu sama lain –

menurut Toshihiko Izutsu – sangat sulit dipahami oleh logika orang-orang awam,

bahkan para pemikir pun menghadapi kesulitan untuk mempertemukan kedua aspek

tersebut satu sama lain, akan tetapi bagi orang-orang yang saleh dan beriman hal ini

tidak menjadi problem.432

Aspek Allah sebagai Tuhan yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha

Penyayang, dan Maha Pengampun kepada manusia ini disebutkan dalam al-Qur‘an

dengan kata kunci seperti ni„mah (kenikmatan), fadl (kemurahan hati), rahmah (kasih

sayang), maghfirah (ampunan), dan sebagainya. Menurut Toshihiko Izutsu, fakta

yang menunjukkan bahwa Tuhan bersifat demikian dan menunjukkan semua

kebaikan dalam bentuk âyât ini hendaknya menentukan respon yang benar di pihak

manusia. Respon tersebut adalah syukr atau rasa terima kasih atas karunia yang telah

dianugerahkan Tuhan. Rasa terima kasih ini hanya mungkin timbul bila manusia

sudah mengerti makna âyât tersebut.433

Konsep syukr sesungguhnya telah mengakar kuat pada masa jahiliyah. Hal ini

ditunjukkan oleh sajak karya seorang penyair dari suku Hudzail, syukr bermakna

sebagai ungkapan terima kasih terhadap pemberian (ni„mah) orang lain.434

Dan

konsep ini sangat mudah dipahami menggunakan logika sederhana, yakni bila

seseorang menunjukkan kemurahan, dalam pengertian menganugerahkan ni„mah

kepada anda, maka reaksi wajar yang harus anda tunjukkan adalah berterima kasih.

Ini dapat dikatakan sebagai aturan moral dasar dalam hubungan antar sesama

manusia. Akan tetapi, respon manusia terhadap ni„mah tidaklah tunggal. Manusia

kadang kala bahkan sering mengingkari (kufr) atau menyikapi ni„mah dengan tidak

431

Lihat misalnya, Q.S. al-Mâ‘idah (5): 2; dan Q.S. Thâhâ (20): 81. 432

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 254-255. 433

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 255. 434

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 256-257.

Page 154: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

140

berterima kasih.435

Tidak berterima kasih terhadap anugerah atau ni„mah yang telah

diterima tentu saja merupakan reaksi alternatif yang menyalahi aturan moral dasar.

Dengan demikian, makna dasar syukr adalah respon positif manusia terhadap

kebaikan yang diperlihatkan orang lain. Lawannya adalah kufr, yang makna dasarnya

adalah tidak berterima kasih.

Al-Qur‘an menaikkan struktur semantik respon manusia terhadap ni„mah ke

dalam tingkatan religius, yakni meletakkannya dalam hubungan antara Tuhan dan

manusia. Sehingga ni„mah di sini merupakan karunia Ilahi yang direspon oleh

manusia dengan sikap positif (syukr) maupun sikap negatif (kufr). Sehingga sangat

wajar bila konsep syukr ini kemudian berkembang ke arah ―percaya‖ (îman),

sementara kufr sebagai lawannya berkembang ke arah ―tidak percaya‖. Perlu dicatat

di sini bahwa, menurut Toshihiko Izutsu, transformasi semantik kufr dari ―tidak

berterima kasih‖ kepada ―tidak percaya‖ terjadi secara lebih menyeluruh apabila

dibandingkan dengan transformasi semantik syukr dari ―berterima kasih‖ kepada

―percaya‖. Hal ini karena pada kasus syukr, terdapat kata îman yang menghalangi

syukr ini menempati posisi semantik ―percaya‖. Sementara pada kasus kufr, tidak

terdapat pra-eksistensi kata seperti itu, sehingga kufr dapat dikatakan muncul dan

menempati posisi yang kosong. Dengan demikian, kufr dalam pengertian religius

berada pada posisi yang bertentangan secara diametral dengan îman.436

Aspek Tuhan yang keras, Tuhan yang akan membalas di Hari Pengadilan

dengan balasan yang sangat pedih (shadîd al-„iqâb), Tuhan yang membalas dendam

(dzû intiqâm), Tuhan yang kemarahan-Nya (ghadab) akan melemparkan siapa saja ke

dalam kebinasaan hendaknya menjadikan manusia tidak menolak untuk berserah diri

ke hadapan Tuhan dan tidak lalai dalam hidupnya. Penekanan mutlak terhadap

penyerahan diri dan kesungguhan dalam hidup yang berdasarkan kesadaran tentang

435

Lihat misalnya, Q.S. al-Zukhruf (43): 15; dan Q.S. al-‗Âdiyât (100): 6. 436

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 257-258.

Page 155: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

141

Hari Pengadilan yang akan datang ini, menurut Toshihiko Izutsu, merupakan makna

asli taqwâ.437

Sebagaimana kata syukr, kata taqwâ ini juga telah dikenal pada masa

jahiliyah. Hal ini ditunjukkan oleh kata kerja ittaqâ yang merupakan salah satu kata

favorit dalam syair-syair pra-Islam.438

Hanya saja pada masa jahiliyah, kata ini tidak

dipergunakan dalam pengertian religius, kecuali mungkin di lingkungan khusus,

yakni di lingkungan orang-orang ẖanîf dan orang-orang yang secara nyata telah

terpengaruh oleh ajaran Yahudi. Dalam konsepsi jahiliyah, kata kerja ittaqâ

bermakna menjaga diri dari bahaya yang mengancam keselamatan dengan sesuatu,

baik berupa benda ataupun makhluk hidup.439

Dengan demikian, kata kerja ittaqâ

dalam konsepsi jahiliyah digunakan dalam pengertian fisik atau material, atau paling

tinggi diterapkan dalam konteks moral. Sementara dalam kasus al-Qur‘an, istilah

ittaqâ hampir selalu muncul dalam konteks religius.

F. Perbandingan antara Metode Semantik Toshihiko Izutsu dengan Metode-metode

lain dalam Penafsiran al-Qur‘an

Dalam usahanya untuk memahami weltanschauung al-Qur‘an, Toshihiko

Izutsu tidak menafsirkan seluruh ayat al-Qur‘an, namun hanya konsep-konsep

tertentu dari al-Qur‘an yang menggambarkan pandangan dunia Kitab Suci ini. Hal ini

tercermin dari judul bukunya yang berkenaan dengan kajian al-Qur‘an. Yang pertama

yaitu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, yang terbit untuk pertama kalinya

pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the Ethical Terms in the Koran.440

437

Berdasarkan analisis terhadap Q.S. al-Mâ‘idah (5): 2, taqwâ merupakan konsep

eskatologis, yang maknanya adalah ―takut kepada siksaan Ilahi di akhirat.‖ Dari makna yang asli ini

kemudian muncul makna ―ketakutan yang patuh (kepada Allah),‖ kemudian akhirnya ―ketaatan‖ saja.

Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 259. 438

Di antaranya adalah syair karya Antarah dan Zuhair. Toshihiko Izutsu, God and Man in

the Qur‟an, h. 261-162. 439

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 260-261. 440

Menurut Toshihiko Izutsu, konsep pemikiran tentang etika dalam al-Qur‘an dapat

diklasifikasi menjadi tiga kelompok: Pertama, pembahasan yang menunjukkan dan menguraikan sifat-

sifat Tuhan. Kelompok konsep ini kemudian dikembangkan oleh ahli-ahli teologi menjadi teori tentang

Page 156: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

142

Dalam buku ini, Toshihiko Izutsu menjelaskan konsep al-Qur‘an menyangkut

hubungan etik dasar antara manusia dan Tuhan. Hubungan ini terdiri dari dua konsep

dasar yang antara keduanya memiliki perbedaan yang sangat nyata, yaitu: pertama,

keyakinan mutlak terhadap Tuhan; dan kedua, ketakutan yang sungguh-sungguh

kepadanya. Dua konsep ini merupakan refleksi dari keyakinan manusia terhadap

sifat-sifat Tuhan, yang menurut Toshihiko Izutsu terbagi dalam dua kelompok yang

juga saling berlawanan, yaitu: kebaikannya yang tak terbatas, Maha Pengasih, Maha

Memelihara, dan pada sisi lain: kemurkaan-Nya, sifat membalas Nya, dan menyiksa

mereka yang tidak patuh terhadap-Nya.441

Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur‘an adalah: God and

Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung. Pertama kali

diterbitkan pada tahun 1964 di Tokyo, Jepang, oleh Universitas Keio. Dari judul buku

ini, jelas Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‘an

tentang relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al-

Qur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan-

hamba, dan etik.442

Penafsiran yang hanya mengambil konsep atau tema tertentu dari al-Qur‘an,

dalam tradisi kesarjanaan Muslim dikenal dengan Tafsir Tematik (al-tafsîr al-

maudhûʻî).443 Menurut beberapa sarjana Muslim, seperti Mushthafâ Muslim, ʻAbd al-

sifat-sifat Tuhan; Kedua, pembahasan yang menjelaskan berbagai aspek sikap fundamental manusia

terhadap Tuhan. Kelompok konsep ini menyangkut hubungan etik dasar antara manusia dan Tuhan;

dan Ketiga, pembahasan yang menunjukkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan tingkah laku yang

menjadi milik dan hidup dalam masyarakat Islam. Konsep ini berhubungan dengan sikap etik antara

seorang manusia dengan sesamanya yang hidup dalam masyarakat yang sama.Lihat Toshihiko Izutsu,

Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 17. 441

Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 18. Juga dalam, God

and Man in the Qur‟an, h. 78. 442

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 127-268. 443

‗Abd Hayy al-Farmawî mengemukakan ada empat metode yang biasa digunakan dalam

penafsiran al-Qur‘an, yaitu: pertama, metode global (tharîqah ijmâlî); kedua, metode analitis (tharîqah

taẖlilî); ketiga, metode perbandingan (tharîqah muqârin); dan kempat, metode tematik (tharîqah

maudhû„î). Abd Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû„î: Dirâsah Manhajîyah

Maudhû„îyah, (Kairo: Mathb‗ah al-Hadhârah al-‗Arabiyah, 1997), h. 23. Metode global (tharîqah

ijmâlî) adalah penafsiran dengan mengemukakan arti dan maksud ayat secara singkat mengikuti urutan

Page 157: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

143

Sattâr, dan Shalaẖ ʻAbd al-Fattâẖ al-Khâlidî, praktek penafsiran al-Qur‘an secara

tematik telah dimulai sejak jaman Nabi Muhammad. Sementara Ziyad al-Daghâmîn

menyatakan tidak setuju terhadap pendapat yang dikemukakan oleh tiga sarjana

tersebut. Menurutnya tafsir yang ada pada jaman Nabi tidak mengindikasikan adanya

bentuk kesatuan tema dalam seluruh al-Qur‘an atau dalam satu surat. Namun hanya

mengumpulkan berbagai ayat yang mengandung satu tema tertentu. Ia berpendapat

bahwa sarjana pertama yang menggunakan tafsir tematik adalah ʻUmar ibn Baẖr al-

Jâhizh (w. 255 H.).444

Pemikiran dasar dari metode tematik diarahkan pada kajian pesan al-Qur‘an

secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat atau surat

al-Qur‘an menjadi kesatuan yang utuh dan saling berkaitan.445

Metode ini muncul

mushaf. Metode analitis (tharîqah taẖlilî) yaitu tafsir dengan mengurutkan ayat dari surat pertama

dalam al-Qur‘an sampai surat terakhir dari berbagai aspeknya, seperti aspek naẖwu, balâghah, i„jâz,

munâsabah dan sebagainya. Tafsir model ini akan dengan teliti merujuk riwayat Nabi, sahabat,

ataupun cerita-cerita pra-Islam bahkan israiliyat. Metode tafsir perbandingan (tharîqah muqârin)

adalah membandingkan beberapa penafsiran yang ada. Dengan metode ini diharapkan akan ditemukan

kecenderungan dari para penafsir dalam menafsirkan suatu ayat. Metode ini juga digunakan untuk

membahas ayat-ayat yang memiliki redaksi kata yang sama namun berbicara tentang topik yang

berbeda atau sebaliknya, dengan topik yang sama dengan redaksi yang berbeda. Metode tematik

(tharîqah maudhû„î) adalah tafsir secara tematik, artinya penafsir mengambil tema-tema tertentu yang

dihubungkan dengan ayat sebagai penjelas. 444

Ziyâd Khalîl Muẖammad al-Daghâmîn, Manhajîyah al-Baẖts fî Tafsîr al-Maudhûʻî li al-

Qur‟ân al-Karîm, (Amman: Dâr al-Basyir, 1995), h. 15. Sementara menurut Mannâʻ al-Qaththân,

penafsiran ayat al-Qur‘an secara tematis ini, meski berbeda dalam sistematika penyajian, sebenarnya

telah dirintis dalam sejarah, misalnya: Majâz al-Qur‟ân oleh Abû ‗Ubaidah (w. 210/824), Mufradât al-

Qur‟ân oleh Râghib al-Isfahânî (w.502/1108), Ibn Qayyîm al-Jauzîyah (w. 751 H.) menulis tentang

sumpah dalam al-Qur‘an dalam karyanya al-Tibyân fi Aqsâm al-Qur‟ân, dan sebagainya. Lihat Mannâʻ al-Qaththân, Mabâẖits fi ʻUlûm al-Qur‟ân, (Riyad: Mansyûrah al-ʻAshr al-Hadîts, 1973), h. 342.

445 Ide tentang keterpaduan ayat-ayat al-Qur‘an dan keserasiannya sebenarnya bukanlah hal

baru. Orang yang pertama kali memperkenalkan ide ini adalah Abû Bakr al-Naisâbûrî (w. 324 H.) dan

telah dibuktikan oleh banyak pakar, antara lain oleh al-Syâthibî melalui penafsirannya atas Q.S. al-

Mu‘minûn (23). Ia mengatakan bahwa ―tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian dari

suatu suatu pembicaraan kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu

kesatuan kata menurut etimologi, bukannya menurut maksud pembicaraannya. Kalau arti itu tidak

dipahami, maka ia harus segera kembali memperhatikan seluruh pembicaraan‖. Tokoh utama yang

mendiskusikan keserasian ayat-ayat al-Qur‘an adalah Ibrâhîm ibn ‗Umar al-Biqâʻî (w. 808 H.) dalam

karyanya Nazm al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa al-Suwâr yang dipublikasikan dalam 22 jilid. Ide ini

juga dibuktikan oleh Muẖammad ‗Abduh dalam Tafsîr al-Manâr. Dalam tafsirnya tersebut, ‗Abduh

meletakkan keserasian ayat sebagai satu faktor penting dalam menetapkan arti dan sebagai pijakan

dalam mengevaluasi pandangan yang berbea-beda. Selain itu, ide ini juga diterapkan dalam penafsiran

Page 158: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

144

dari konsep ―al-qur‟ân yufassiru baʻdhuhu baʻdha‖ (sebagian ayat al-Qur‘an

menafsirkan ayat yang lain).

Metode tematik mulai menemukan bentuknya yang jelas ketika pada akhir 60-

an, Ahmad Sayyid al-Kûmî, salah seorang guru besar dan ketua jurusan Tafsir pada

Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar sampai tahun 1981menggulirkan gagasan

untuk menampilkan penafsiran pesan al-Qur‘an secara menyeluruh dan menjadikan

bagian-bagian yang terpisah dari ayat atau surat al-Qur‘an menjadi kesatuan yang

utuh dan saling berkaitan. Ide tersebut tidak lain adalah kelanjutan dari metode

Mahmûd Syaltût (1893-1962),446

dalam karyanya Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm: al-Ajza„

al-„Asyarah al-Ûlâ (terbit pada tahun 1960).447

Rintisan Ahmad Sayyid al-Kûmî ini

mendapat sambutan hangat dari koleganya, terutama yang ditandai oleh kehadiran

beberapa karya ilmiah yang mengimplementasikan metode tersebut, di antaranya al-

Futûhât al-Rabbânîyah fî al-Tafsîr al-Maudhû‟î li al-Âyât al-Qur‟ânîyah (2 jilid)

karya al-Husaini Abû Farẖah, dan al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû‟î (1977) karya

‗Abd al-Hayy al-Farmâwî.448

Metode ini tidak hanya dipopulerkan di kalangan

penafsir Sunni, tetapi juga di kalangan penafsir Syi‘ah, di mana dalam pengembangan

ayat-ayat yang kurang mendapat perhatian para penafsir terdahulu. Lihat M. Quraish Shihab, Studi

Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 27. 446

Dalam bukunya, Min Hudâ al-Qur‟ân, Mahmûd Syaltût secara khusus mengangkat sebuah

sub judul tentang ―Metode yang ideal dalam menafsirkan al-Qur‘an‖. Dalam sub judul ini, ia

menyebutkan bahwa ada dua metode dalam menafsirkan al-Qur‘an, yaitu: Pertama, penafsiran al-

Qur‘an berdasarkan urutan surat dalam al-Qur‘an. Dalam hal ini penafsir menafsirkan kosakatanya,

menjalin kaitan ayat, dan menjelaskan makna-makna yang ditunjukkannya; Kedua, penafsiran ayat-

ayat yang berkenaan dengan topik tertentu. Dalam hal ini penafsir mengoleksi ayat-ayat yang dapat

diletakkan di bawah satu topik, kemudian menganalisa dan memahami makna-maknanya, menjelaskan

hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain sehingga dapat ditemukan suatu hikmah tertentu dan

menerangkan tujuan ayat-ayat yang ada dalam topik tersebut. menurut Syaltût, metode yang terakhir

ini merupakan metode yang ideal, terutama bagi penafsir yang ingin menginformasikan tentang

kandungan al-Qur‘an yang memiliki nuansa hidayah terhadap berbagai peristiwa yang dialami

manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Lihat, Mahmûd Syaltût, Min Hudâ al-

Qur‟ân, (Kairo: Dâr al-Kâtib al-‗Arabî li al-Thibâʻah wa al-Nasyr, t.t.), h. 322-324. 447

Mahmûd Syaltût dalam karyanya ini tidak mengomentari teks kata perkata, melainkan

memfokuskan perhatian pada kata-kata kunci. Lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in

Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974), h. 14. 448

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 74 dan 114.

Page 159: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

145

metode ini, tokoh sekaliber Muhammad Baqir al-Sadr (w. 1980 M), seorang ulama

Syi‘ah terkemuka asal Irak, tidak dapat diabaikan begitu saja.449

Secara umum, metode tematik ini memiliki dua bentuk kajian, yaitu: Pertama,

pembahasan mengenai satu surat al-Qur‘an secara utuh dan menyeluruh dengan

menjelaskan maksudnya yang umum dan spesifik, menerangkan kaitan antara

berbagai persoalan yang dimuatnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang

utuh dan cermat. Dalam hal ini, penafsir hanya menyampaikan pesan yang dikandung

dalam satu surat itu saja, dan biasanya kandungan pesan tersebut tersirat dari nama

surat yang ditafsirkan.450

Kedua, mengumpulkan sejumlah ayat dari berbagai surat yang membahas satu

persoalan tertentu yang sama, lalu ayat-ayat itu disusun berdasarkan urutan

kronologis pewahyuan dan diletakkan di bawah satu topik bahasan, dan selanjutnya

ditafsirkan secara tematik. Bentuk ini lahir atas kesadaran para pakar al-Qur‘an

bahwa menafsirkan pesan yang dimuat dalam satu ayat saja acapkali tidak

menyelesaikan persoalan. Bukan tidak mungkin pesan-pesan yang dikandung pada

surat tersebut juga diutarakan pada surat-surat al-Qur‘an lainnya, sehingga tidak ada

salahnya untuk menghimpun surat lain yang memuat pesan yang senada.451

Dari kedua bentuk kajian di atas, ulama kontemporer cenderung

mempopulerkan istilah ―tafsîr maudhû‟î" terhadap bentuk kedua dengan

449

Di antara tulisannya yang membahas tentang tafsir tematik adalah al-Madrasah al-

Qur‟ânîyah: al-Sunan al-Târîkhîyah fî al-Qur‟ân al-Karîm dan al-Tafsîr al-Maudhûʻî wa al-Tafsîr al-

Tajzi‟î fî al-Qur‟ân al-Karîm. 450

Contoh tafsir tematik bentuk ini adalah Nahw Tafsîr Maudhûʻî li Suwâr al-Qur‟ân al-

Karîm, karya Muẖammad al-Ghazalî yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh

Akhmad Syaikho dan Ervan Nurtawab dengan judul Menikmati Jamuan Allah: Inti Pesan Quran dari

Tema ke Tema, 3 Jilid, (Jakarta: P.T. Serambi Ilmu Semesta, 2007). 451

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, h. xii-xiii. Muhammad Quraish Shihab

mencontohkan bahwa mengkaji satu atau dua ayat tidak memberikan jawaban tuntas. Jika seseorang

hanya mengkaji ayat tentang larangan atas orang-orang yang mendirikan salat dalam keadaan mabuk

sampai menyadari apa yang mereka ucapkan (Q.S. al-Nisâ (4): 3), maka ia mungkin mengira bahwa

minuman keras hanya dilarang menjelang pelaksanaan salat. Namun, apabila disajikan kepadanya

seluruh ayat yang terkait (dalam surat yang berbeda-beda) dengan minuman keras, maka akan

tergambar proses pemahaman sampai pada putusan akhir tentang minuman keras tersebut.

Page 160: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

146

mendefinisikannya sebagai metode yang ―menghimpun ayat-ayat al-Qur‘an yang

mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik

masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat

tersebut. Kemudian si penafsir mulai memberikan keterangan dan mengambil

kesimpulan‖.452

Sementara bentuk pertama, oleh Shalâẖ ‗Abd al-Fattâẖ al-Khâlidî,

disebut sebagai ―al- tafsîr al-maudhi‟î‖.453

Prosedur penafsiran al-Qur‘an dengan metode tematik dapat dirinci sebagai

berikut: Pertama, menentukan bahasan al-Qur‘an yang akan diteliti secara tematik;

Kedua, melacak dan mengoleksi ayat-ayat sesuai topik yang diangkat; Ketiga, menata

ayat-ayat tersebut secara kronologis (sebab turunnya), mendahulukan ayat makkîyah

dari madanîyah, dan disertai dengan pengetahuan tentang latar belakang turunnya

ayat; Keempat, mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut; Kelima,

menyusun tema bahasan dalam kerangka yang sistematis; Keenam, melengkapi

bahasan dengan hadits-hadits terkait; Ketujuh, mempelajari ayat-ayat itu secara

tematik dan komprehensif dengan cara mengkoleksi ayat-ayat yang membuat makna

yang sama, mengkompromikan pengertian yang umum dan khusus, muthlaq dan

muqayyad, menyinkronkan ayat-ayat yang tampak kontradiktif, menjelaskan nâsikh

dan mansûkh, sehingga semuanya memadu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau

pemaksaan dalam penafsiran.454

452

ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî: Dirâsah Manhajîyah

Maudhuʻîyah, h. 52. 453

Shalâẖ ‗Abd al-Fattâẖ al-Khâlidî, al-Tafsîr al-Maudhû‟î Baina al-Nadzarîyah wa al-

Tathbîq: Dirâsah Nadzarîyah wa Tathbîqîyah Murfaqah bi Namâzhij wa Lathâ‟if al-Tafsîr al-

Maudhû‟î, (Oman: Dâr al-Nafâ‘is li al-Nasyr wa al-Tauzîʻ, 1997), h. 40. 454

ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî, h. 61-62. M. Quraish Shihab,

dkk., Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, ed. Azyumardi Azra, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 193-194.

Meskipun tidak semua prosedur ini diikuti, tetapi paling tidak ada kesepakatan untuk membahas

persoalan berdasarkan tema yang diangkat. Sebagai ilustrasi, dapat dikemukakan dua contoh prosedur

yang disajikan al-Farmâwî dengan analisis yang berbeda. Ketika mengkaji topik ―Memelihara Anak

Yatim Piatu Menurut al-Qur‘an al-Karim‖, terlebih dahulu ia mengutarakan pemeliharaan anak yatim

dan hartanya berdasarkan ayat-ayat periode Mekah, kemudian ia melanjutkan kajian tentang

pembinaan moral dan pendidikan anak-anak yatim, perihal harta mereka, dan perintah menyantuni dan

menyayangi mereka berdasarkan ayat-ayat periode Madinah. Sementara ketika mengkaji topik

―Ummiyah Bangsa Arab Menurut al-Qur‘an al-Karim‖, ia membahas konsep ummiyah dalam al-

Page 161: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

147

Di antara karya tafsir yag menjadi representasi metode ini adalah al-Mar‟ah fi

al-Quran dan al-Insân fi al-Qur‟an karya ‗Abbâs Mahmûd al-Aqqâd, al-Ribâ fî al-

Qur‟ân al-Karîm karya Abu al-‗Alâ al-Maudûdî (W. 1979 M), al-Washâyâ al-Asyar

karya Mahmûd Syaltût, Major Themes of the Qur‟an karya Fazlur Rahman (w.

1408/1988), Wawasan al-Qur‟an karya M. Qurash Shihab, al-‟Aqidah fi al-Qur‟ân

al-Karîm karya M. Abû Zahrah dan Washâyâ Sûrat al-Isrâ karya ‗Abd al-Hayy al-

Farmâwî. Perlu dicatat bahwa semua karya ini ada yang menerapkan sistematika

metode tematik secara utuh, ada yang hanya sebagian, dan ada pula yang tidak

memakainya sama sekali.

Di Indonesia, metode penafsiran ini semakin digemari oleh para peminat studi

Al-Qur‘an, utamanya pada dasawarsa 1990-an. Beberapa karya tafsir, umumnya lahir

dari kepentingan akademik, menunjukkan hal ini, di antaranya adalah: Pertama,

Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur‟an; Suatu Kajian Teologis dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),455

menelusuri terma-

terma yang secara langsung menunjuk pada konsep kekafiran dengan pelbagai variasi

makna dan konteknya: juhûd, inkâr, dan nakr, ilẖâd, syirk, serta terma-terma yang

secara tidak langsung menunjuk kepada kekafiran: fusûq, dzulm, ijrâm, ʻisyan, dzalal,

ghayy, isrâf, iʻtidâ‟, fasâd, ghaflat, kizhb, istikbâr, dan takabbur.

Qur‘an dengan menghimpun semua ayat-ayat yang terkait, kemudian memaparkan pengertian ummi

menurut bahasa, dilanjutkan dengan batasan pengertian ummiyah menurut bangsa Arab dan terakhir ia

mengemukakan pendapat ahli tentang konsep ummiyah bangsa Arab tersebut, dan mengritik pendapat

tersebut sejauh yang dipahaminya. Berdasarkan hal ini, pada satu sisi, al-Farmâwî menafsirkan satu

persoalan (pemeliharaan anak yatim) berdasarkan pada perkembangan konsep menyangkut

pemeliharaan dan pembinaan anak yatim serta hartanya pada ayat-ayat periode Mekah dan Madinah.

Dan pada sisi lain, ia menafsirkan persoalan ummiyah dengan mengacu pada pemahaman arti yang

berkembang dalam al-Qur‘an, bahasa, dan pemahaman bangsa Arab, serta pendapat ahli terkait. Lihat

ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî, h. 81-103. 455

Buku ini berasal dari disertasi Harifuddin Cawidu di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang diujikan pada tanggal 27 Maret 1989, dengan promotor M. Quraish Shihab dan Nurcholish

Madjid.

Page 162: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

148

Kedua, Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia menurut Al-Qur‟an;

Suatu Kajian Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),456

menelusuri terma-

terma yang dipakai Al-Qur‘an yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Ada enam

kata kunci yang dianalisis: al-fi‟l, al-ʻamal, al-saʻyu, al-shanʻu, al-iqtiraf, dan al-

jarah. Kata-kata tersebut, menurut Jalaluddin Rahman, merupakan kata-kata yang

searti dengan kata kasb. Ia juga mengungkap hubungan antara kata kasb dengan kata-

kata lain yang searti tersebut.

Ketiga, Muhammad Ghalib Mattalo, Ahl al-Kitâb, Makna dan Cakupannya,

(Jakarta: Paramadina, 1998),457

menganalisis pandangan Al-Qur‘an tentang Ahl al-

Kitâb. Ia menguraikan terma-terma yang mengarah kepada pemahaman tentang Ahl

al-Kitâb dengan merajut seluruh medan semantiknya, baik terma-terma yang sepadan

maupun yang tidak secara langsung menunjuk Ahl al-Kitâb.

Keempat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-

Qur‟an, (Jakarta: Paramadina, 1999),458

menganalisis kata-kata kunci yang

mengungkapkan makna tentang identitas jender yang dipakai Al-Qur‘an dan medan

semantiknya. Kata-kata kunci dimaksud adalah; al-rajul, al-nisâ‟, al-dzakar, dan al-

untsâ,459

dan juga al-zauj, al-zaujah, al-ab dan al-umm sebagai gelas status yang

berhubungan dengan jenis kelamin,460

untuk menemukan pandangan dunia Al-Qur‘an

tentang relasi laki-laki dan perempuan secara utuh.

Kelima, Delami, Analisis Semantik terhadap Ayat-ayat Jender, (Tesis: PPs

UIN Jakarta, 2007), membahas ayat-ayat jender dengan menggunakan pendekatan

semantik dan terfokus pada beberapa ayat yang banyak menjadi sorotan bagi para

456

Buku ini berasal dari disertasi Jalaluddin Rahman di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dipromotori oleh M. Quraish Shihab dan Agustiar. 457

Sama dengan tiga buku yang telah disebutkan sebelumnya, buku ini berasal dari disertasi

Muhammad Ghalib Mattalo di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1997). 458

Buku ini pada mulanya adalah disertasi Nasaruddin Umar di PPs IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dengan judul Perspektif Jender dalam al-Qur‟an, di bawah bimbingan M. Quraish Shihab dan

John Hendrik Meuleman. 459

Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta:

Paramadina, 1999), h. 159-160. 460

Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 173-191.

Page 163: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

149

mufassir kontemporer dan para pemerhati jender. Dalam penelitiannya, Delami

menemukan bahwa ayat-ayat tentang penciptaan manusia pertama, poligami,

kepemimpinan dalam rumah tangga, dan pakaian perempuan dalam penafsirannya

tidak terdapat bias jender. Bahkan, menurut pandangannya, yang menonjol dari ayat-

ayat tersebut adalah pembelaan terhadap hak-hak perempuan.

Berdasarkan uraian ini, sekarang dapat diketahui perbedaan antara metode

semantik Toshihiko Izutsu dengan metode tematik. Perbedaan tersebut tampak pada

prosedur kerja dan tujuan yang hendak dicapai. Akan tetapi baik metode Toshihiko

Izutsu maupun metode tematik merupakan proses penafsiran yang sama-sama

terfokus teks, dan tidak menekankan pada pembacaan realitas. Penafsiran yang

terfokus pada teks cenderung untuk memaksa realitas takluk kepada teks jika ada

kesenjangan antara keduanya. Untuk saat sekarang, produk penafsiran demikian

dirasa kurang menggairahkan, mengingat materi yang diajarkan tidak banyak

berorientasi pada kebutuhan, meminjam istilah Fazlur Rahman, tidak selaras dengan

tantangan modernitas. Dengan kata lain, penafsiran yang terfokus pada teks kurang

sejalan dengan kebutuhan modern akan tafsir yang dapat merespon problem-problem

baru yang muncul dari perubahan-perubahan politik, sosial, dan kultural dalam

masyarakat Muslim yang disebabkan oleh pengaruh peradaban Barat. Menurut

Rotraud Wielandt, problem krusial yang harus segera dicarikan jalan keluarnya

adalah kesesuaian pandangan dunia al-Qur‘an dengan temuan-temuan ilmu

pengetahuan modern dan permasalahan tatanan politik dan sosial yang didasarkan

atas prinsip-prinsip al-Qur‘an yang mungkin membuat umat Muslim dapat

menghilangkan beban dominasi Barat.461

Rumusan-rumusan metode tafsir yang lebih menekankan kepada realitas

datang dari sarjana-sarjana Muslim yang pada umumnya pernah mengecap

461

Rotraud Wielandt, ―Exegesis of the Qur‘ān: Early Modern and Contemporary‖, dalam Jane

Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur‟ān, Vol. 2, (Leiden-Boston-Köln: Brill, 2002), h.

124.

Page 164: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

150

pendidikan Barat, di antaranya adalah Fazlur Rahman (1919-1988)462

dengan double

movement-nya. Menurut Fazlur Rahman, dalam, Islam and Modernity, untuk dapat

menjawab berbagai problem kontemporer, seorang penafsir harus melakukan dua

langkah, yaitu: pertama, memahami makna suatu pernyataan (ayat) dengan mengkaji

situasi atau problem historis di mana pernyataan tersebut merupakan jawabannya;

kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik dan menyatakannya sebagai

pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum.463

Setelah

mengetahui apa yang menjadi ―ideal moral‖ dari ayat itulah seorang penafsir dapat

menyelesaikan problem kontemporer tersebut.

Selain Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun (lahir di Kabilia, Aljazair, pada

tanggal 2 Januari 1928)464

termasuk dalam jajaran sarjana yang lebih menekankan

462

Pada tahun 1946, Fazlur Rahman nekat berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya

pada program doktor di Universitas Oxford, karena pendidikan yang diperolehnya di Pakistan dirasa

sangat tidak memuaskan dirinya. Ia prihatin melihat realitas pendidikan di negaranya yang kurang

bermutu serta tidak mampu merangsang nalar kreatif-kritis. Keputusannya tersebut merupakan awal

sikap kontroversi dari Fazlur Rahman. Karena, merupakan suatu yang dipandang ganjil oleh ulama-

ulama Pakistan jika seseorang pelajar yang beragama Islam belajar Islam ke Barat. Bahkan lebih dari

itu apapun bentuk sikap cenderung ke Barat dinilai negatif oleh para Ulama Pakistan, sekalipun sikap

tertentu ditempuh demi kebaikan dan kemajuan umat Islam. Studinya rampung pada tahun 1950

dengan disertasi berjudul Avicenna‟s Psychology, yang merupakan sub bahasan yang dimuat dalam

Kitâb al-Najât, karya Ibn Sina (w. 428/1037) di bawah bimbingan S. Van den Berg dan H.A.R. Gibb.

Namun setelah menamatkan studinya, Fazlur Rahman tidak langsung kembali ke tanah airnya. Ia

menyempatkan diri untuk menyambut tawaran mengajar di Universitas Durham, Inggris, untuk

beberapa tahun (1950-1958). Setelah itu, tidak kurang dari tiga tahun (1958-1961), ia mengajar di

Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada. Fazlur Rahman, Islam and

Modernity, Transformation of an Intellectual, h. 81-82. 463

Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an

Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, h. 131-132. 464

Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Mohammed Arkoun

melanjukan studi tentang bahasa dansastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris. Ketika itu, dia sempat

bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee)

di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta member kuliah di Fakultas Sastra

Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Mohammed Arkoun diangkat sebagai dosen di

Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan doktor di

bidang sastra pada Universitas tersebut. Mohammed Arkoun menulis desertasi doktor mengenai

humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M), seorang pemikir Arab di Persia pada abad

X M yang menekuni kedokteran dan filsafat. Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai

berbagai bidang ilmu dan menekuni persamaan dan perbedaan antara Islam dengan tradisi pemikiran

Yunani. Semenjak menjadi dosen di Universitas Sorbonne tersebut, Mohammed Arkoun menetap di

Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang

islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi

Page 165: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

151

penafsiran yang berangkat dari realitas. Ia menawarkan metode penafsiran dengan

menggunakan ilmu-ilmu sosial. Muhammed Arkoun menilai bahwa perkembangan

mutakhir ilmu pengetahuan belum diterima sepenuhnya di kalangan kaum Muslim,

sehingga wacana ilmu-ilmu dalam Islam bernuansa kering dan terkesan melangit.

Penilaian ini mengantarkannya menggunakan pendekatan dan metodologi ilmu-ilmu

sosial, seperti: antropologi, sosiologi, sejarah, linguistik, dan filsafat untuk

menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an.465

Sarjana lain yang juga menganjurkan penafsiran yang memperhatikan realitas

adalah Nashr Hâmid Abû Zaid (lahir di Thantha, Mesir, pada 10 Juli 1943).466

Dengan meminjam hermeneutika E.D. Hirsch dalam merumuskan metode penafsiran

al-Qur‘an, Nashr Hâmid Abû Zaid membagi makna al-Qur‘an menjadi dua, yaitu:

makna obyektif dan makna signifikansi.467

Menurutnya, secara umum, kosakata al-

Qur‘an mengambil dua unsur makna, yaitu: pertama, makna obyektif atau makna

awal, yang terdiri dari dua bentuk: historis dan metaforik; dan kedua, unsur

signifikansi, yakni level kata yang maknanya dapat diperluas ke dalam kultur yang

berbeda dari kultur awal.468

Setelah makna obyektif atau makna awal kosakata al-

Qur‘an ditemukan, maka dilanjutkan pada upaya mengaitkan al-Qur‘an dengan

realitas kekinian supaya al-Qur‘an dapat memberikan jawaban atas persoalan yang

dihadapi. Inilah unsur kedua makna al-Qur‘an yang dalam pandangan Nashr Hâmid

Abû Zaid disebut dengan signifikansi.

keilmuan Perancis. Sulhani Hermawan, ―Mohammed Arkoun dan Kajian Ulang Pemikiran Islam‖,

dalam jurnal Dinika, Vol. 3 No. 1, January 2004, h. 103. 465

Contoh lebih jelasnya dapat dibaca, Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur‟an,

terj. Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), h. 35. 466

Pada tahun 1975-1977, Nashr Hâmid Abû Zaid mendapat beasiswa dari Ford Foundation

Fellowship untuk studi di Universitas Amerika, Kairo. Hal yang sama diraihnya pada tahun 1978

sampai 1980 di Center for Middle East Studies, Universitas Pennsylvania, Philadelphia, Amerika

Serikat. Di Universitas Pennsylvania, Philadelphia, inilah ia mulai mengenal teori-teori hermeneutika.

Lihat Nashr Hâmid Abû Zaid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam,

(Westport: Greenwood Publishing Group, 2004), h. 57. 467

Lihat Nashr Hâmid Abû Zaid, Naqd Khitâb al-Dînî, (Kairo: Sîna li al-Nasyr, 1994), Cet.

II, h. 220. 468

Nashr Hâmid Abû Zaid, Naqd Khitâb al-Dînî, h. 210.

Page 166: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

152

Akan tetapi apa yang telah dilakukan Toshihiko Izutsu tidak sepenuhnya

dapat dikatakan sia-sia sama sekali. Penafsirannya, meminjam klasifikasi ayat al-

Qur‘an Asghar Ali Engineer, memang tidak dalam domain ayat-ayat al-Qur‘an yang

mengandung statemen kontekstual.469

Studi Toshihiko Izutsu patut diapresiasi, ia

telah menunjukkan bahwa studi ilmiah terhadap kitab suci tidaklah mengurangi

kesuciannya atau melecehkannya, justru menjadikan pembaca bisa memahaminya

lebih baik.

469

Asghar Ali Engineer mengharuskan pemilahan antara ayat-ayat al-Qur‘an yang

mengandung statemen normatif dan statemen kontekstual dalam menawarkan suatu pendekatan

terhadap al-Qur‘an. Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan

Farah Ciciek Assegaf, (Yogyakarta: LSSPA, 1994), h. 16.

Page 167: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

153

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Keseluruhan pembahasan tesis ini paling tidak menunjukkan bahwa non-

Muslim juga dapat berkontribusi untuk menafsirkan atau mengungkap kandungan al-

Qur‘an.

Dengan menggunakan pendekatan linguistik struktural, yang mempola bahasa

menjadi dua bagian, yaitu: langue dan parole, Toshihiko Izutsu berhasil mengurai

problem pewahyuan al-Qur‘an dari sudut pandang ilmiah. Berdasarkan pendekatan

ini, wahyu adalah parole (kalâm/perkataan) Tuhan yang termanifestasi dalam bahasa

(lisân) Arab.

Wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep

yang berhubungan dengan tiga individu, yaitu Tuhan sebagai pengirim pesan,

Muhammad sebagai penerima pesan, dan Jibril sebagai perantara (channel) dalam

pengiriman pesan tersebut agar sampai kepada penerima, yaitu Muhammad.

Pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur‘an bukan karena superioritas bahasa ini

dibanding bahasa-bahasa lain tetapi lebih merupakan teknis penyampaian pesan.

Dengan demikian pendapat Toshihiko Izutsu terhadap proses pewahyuan sejalan

dengan mayoritas umat Muslim yang menyatakan bahwa al-Qur‘an diturunkan Tuhan

melalui perantara Malaikat Jibril dalam bahasa Arab.

Di sisi lain, Toshihiko Izutsu menyatakan bahwa pandangan dunia al-Qur‘an

bersifat teosentris. Hal ini dibuktikan bahwa tidak ada satupun istilah kunci dalam al-

Qur‘an yang tidak terkait dengan kata fokus tertinggi, yaitu Allah. Pembuktian ini

dilakukan dengan menggunakan metode analisis semantik yang dipahaminya

bukanlah analisis sederhana terhadap struktur bentuk kata maupun kajian terhadap

makna asli (makna denotatif) yang melekat pada bentuk kata tersebut atau analisis

167

Page 168: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

154

etimologis, tetapi sebagai suatu kajian analitis terhadap istilah-istilah kunci dari suatu

bahasa dengan maksud untuk akhirnya menangkap pandangan dunia

(weltanschauung) dari orang-orang yang menggunakan bahasa itu tidak hanya

sebagai alat untuk berbicara dan berpikir, namun lebih penting lagi sebagai alat untuk

menangkap dan menerjemahkan dunia yang mengelilinginya.

B. Saran-saran

Kajian terhadap pemikiran Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an, terutama

pandangan dan pendekatannya, merupakan manifestasi ketertarikan akademis-

intelektual sarjana-sarjana non-Muslim terhadap al-Qur‘an. Apa yang telah dilakukan

oleh Toshihiko Izutsu tersebut merupakan kontribusi yang dapat membuka cakrawala

baru dalam kajian al-Qur‘an, tentunya apabila diperhatikan dengan cara terbuka. Oleh

karena itu perlu kiranya untuk diapresiasi.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kajian dalam tesis ini masih jauh dari

bentuk yang diharapkan, apalagi ada semacam maksim bahwa suatu kajian pasti

meninggalkan ruang dan celah permasalahan yang menuntut pengkajian berikutnya

guna menutupi dan melengkapi cela dan kekurangan penelitian tersebut. Demikian

juga dengan penelitian ini, yang memfokuskan pada pandangan dan pendekatan

Toshihiko Izutsu, masih banyak hal yang perlu ditelaah, dielaborasi, dan dikritisi

lebih tajam, sehingga menghasilkan manfaat yang lebih baik lagi.

Page 169: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

155

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Abdullah, Amin, dkk., Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi

(Sebuah Antologi), (Yogyakarta: Penerbit SUKA Press, 2007).

Abdullah, Taufik, dkk. (eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 7, (Jakarta:

Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002).

Ahimsa-Putra, Heddy Shri, Strukturalisme Lévi Strauss: Mitos dan Karya Sastra,

(Yogyakarta: Kepel Press, 2006).

Ali, A. Mukti, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970).

Ali, Syed Ameer, Api Islam, terj. H.B. Jassin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978).

Alwasilah. A. Chaedar, Pokoknya Kualitatif, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002).

Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet,

2005).

‗Ammâr, Aẖmad Sayyid Muẖammad, Nazhariyyat al-I„Jâz al-Qur‟ânî wa Atsaruhâ

fî al-Naqd al-„Arabi al-Qadîm, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‗âshir, 1998).

Amîn, Aẖmad, Fajr al-Islam, (Singapura: Sulaiman Mar‘i, 1965).

Amîn, Utsman, Falsafah al-Lughah, (Mesir: Dâr al-Mishriyah li al-Ta‗lîf wa al-

Tarjamah, 1965).

al-‗Arabî, Shalâh ‗Abd al-Majîd, Ta„allum al-Lughât al-Hayyah wa Ta„lîmuhâ:

Baina al-Nazharîyah wa al-Tathbîq, (Beirut: Maktabah Lubnân, 1981).

Arif, Syamsuddin, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani,

2008).

Arifin, H.M., Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, (Jakarta: P.T. Golden

Terayon Press, 1997).

Arkoun, Mohammed, Berbagai Pembacaan Qur‟an, terj. Machasin, (Jakarta: INIS,

1997).

Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta:

Gema Insani Press, 2005).

al-ʻAkk, Khâlid ʻAbd al-Rahmân, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduhu, (Beirut: Dâr al-

Nafâis, 1986).

Page 170: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

156

al-Andalusî, Abû Hayyân, Tafsîr al-Baẖr al-Muhîth, Juz I, (Beirut: dâr al-Kutub al-

ʻIlmîyah, 2001).

al-As‘ad, ‗Abd al-Karîm Muẖammad, al-Wasîth Fi Târîkh al-Nahw al-„Arabî,

(Riyaḍ: Dâr al-Syawq, 1992).

al-Asfahâni, al-Râghib, Muʻjam Mufradât Alfâdz al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-

ʻIlmîyah, 2004).

al-Attas, Syed Naquib, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of

the Fundamental Element of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC,

1995).

al-A‗zami, Muẖammad Mushthafâ, The History of The Qur‟anic Text: from

Revelation to Compilation, a Comparative Study with the Old and New

Testaments, (terj.), (Jakarta: Gema Insani, 2005).

al-Babanî, Hidâyat al-„Ûrifîn, Jilid 2, (Mesir: Dâr Mauqi‘ al-Warrâq, 1979).

al-Bâqî, Muẖammad Fûad ʻAbd, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-

Karîm, (Kairo: Mathbaʻah Dâr al-Kutûb al-Mishriyyah, 1363 H.).

Bell, Richard, The Origin of Islam in Its Christian Environment, (London:

Macmillan, 1968).

Bîk, Muẖammad al-Khudhâri, Târîkh al-Tasyrî„ al-Islâmî, (Kairo: Mathba‗ah al-

Sa‗âdah, 1964).

Bleeker, C.J., Pertumbuhan Agama-agama Dunia, terj. Barus Siregar, (Bandung:

Sumur Bandung, 1964).

Boisard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan

Bucaille, Maurice, Bibel, al-Qur‟an, dan Sains Modern, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1979).

Catford, J.C., Linguistic Theory of Translation, (Oxford: Oxford University Press,

1969).

Chaer, Abdul, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994).

--------, Pengantar Linguistik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet.

III.

Chomsky, Noam, Aspects of Theory of Syntax, (Cambridge: The MIT Press, 1972).

al-Daghâmîn, Ziyâd Khalîl Muẖammad, Manhajîyah al-Baẖts fî Tafsîr al-Maudhûʻî li al-Qur‟ân al-Karîm, (Amman: Dâr al-Basyir, 1995).

al-Dzahabi Muẖammad Husain, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I-III, (Kairo:

Maktabah Wahbah, 2000).

Page 171: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

157

Eliade, Mircea (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 11-12, (New York: Simon &

Schuster Macmillan, 1995).

Enani, Muẖammad, Fann al-Tarjamah, (Beirut: Maktabah Lubnân Nasyirûn,), Cet.

VII.

--------, Nazhariyah al-Tarjamah al-Haditsah: Madkhal ilâ Dirâsât al-Tarjamah,

(Kairo: Longman, 2003).

Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Farah

Ciciek Assegaf, (Yogyakarta: LSSPA, 1994).

Fairclough, Norman, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language,

(London: Longman, Group Limited, 1995).

al-Faqî, Subhî Ibrâhîm, „Ilm al-Lughah al-Nashshî Baina al-Nazhariyyah wa al-

Tathbîq: Dirâsah Tathbîqiyyah „ala al-Suwar al-Makkiyah, (Kairo: Dâr

Qubâ‘, 2000).

al-Farâḥidî, al-Khalîl ibn Aẖmad, Kitâb al-„Ain, Taẖqîq: Mahdî al-Maẖzumî dan

Ibrâhîm al-Samirrâî, (Baghdad: Dâr Mauqi‘al-Warrâq, 1985).

al-Farmawî, ‗Abd Hayy, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû„î: Dirâsah Manhajîyah

Maudhû„îyah, (Kairo: Mathb‗ah al-Hadhârah al-‗Arabiyah, 1997).

Gadamer, Hans Georg, Truth and Method, (New York: Continuum, 1989), 2nd

Revision.

Gätje, Helmut, The Qur‟an and Its Exegesis: Selexted Texts with Classical and

Modern Muslim Tradition, terj. Alford T. Welch, (London: Routledge &

Kegal Paul, 1976).

al-Ghazalî, Muẖammad, Menikmati Jamuan Allah: Inti Pesan Quran dari Tema ke

Tema, terj. Akhmad Syaikho dan Ervan Nurtawab, Jilid 1-3, (Jakarta: P.T.

Serambi Ilmu Semesta, 2007).

Gibb, H.A.R., Mohammadanism: A Historical Survey, (London: Oxford Press, 1950).

Goldziher, Ignaz, Muslim Studies, Vol. I, (London: Allen & Unwin, 1967).

Grambs, David, Words About Words, (New York: Mc. Graw Hill Book Company,

1979).

Haekal, Muhammad Husein, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1984).

Hartoko, Dick dan Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra, (Yogyakarta: Kanisius,

1986).

Hasan, Hasan Ibâhîm, Târîkh al-Islâm, Juz I, (Beirut: Dâr al-Jail, 1996).

Page 172: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

158

Hassan, Tammâm, al-Ushûl: Dirâsah Istimûlojiah li al-Fikr al-Lughwi „inda al-

„Arab, (Kairo: Dâr ‗Âlam al-Kutub, 2000).

Hawkes, Terence, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e-Library, 2004).

Hawting, G.R. dan Abdul-Kader A. Shareef [eds.], Approaches to the Qur‟an,

(London dan New York: Routledge, 1993).

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,

(Jakarta: Paramadina, 1996).

Hitti, Philip K., History of the Arabs: From Earliest Times to the Present, (London:

Macmillan Co., 1958).

Horovitz, Joseph, Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran, (Hildesheim:

Georg Olms Verlagbuchandlung, 1964).

Hung, Edwin, The Nature of Science: Problem and Perspectives, (Belmont:

Wardsworth Publishing Company, 1997).

Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi

Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005).

Ibn Jinnî, al-Khashâish, Jilid 2 (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1983).

Ibn Katsîr, ‗Imâd al-Dîn Abî al-Fidâ‘ Ismâ‗îl, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Adhîm, Jilid XIV,

Taẖqîq: Mushthafâ al-Sayid Muẖammad, et. al., (Kairo: Muassasah al-

Qurthubah, 2000).

Ibn Mandzûr, Abû al-Fadhl al-Dîn Muẖammad ibn Makram, Lisân al-„Arab, (Kairo:

Dâr al-Ma‘ârif, t.th.).

Ibn Qudamah, al-Mughnî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyah, t.th.).

Ibn Warraq (ed.), The Origin of the Koran, (New York: Prometheus Books, 1998).

al-Iskandârî, Aẖmad dan Mushthafâ ‗Ananî, al-Wasîth fî al-Adâb al-ʻArab wa

Târîkhihi, (Kairo: Dâr al-Maʻârîf, t.t.).

Izutsu, Toshihiko, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal: McGill-

Queen‘s University Press, 2002).

--------, God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung,

(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002).

--------, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, terj.

Agus Fahri Husein, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).

al-Ja‗fî, Abî ‗Abd Allah Muẖammad ibn Ismâ‗îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah ibn

Bardizabah al-Bukhârî, Saẖîẖ al-Bukhârî, Juz I, (Semarang: Penerbit Toha

Putra, t.th.).

Page 173: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

159

Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân,

Juz I, (Kairo: Mathba‗ah Hijazî, t.th.).

Jansen, J.J.G., The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill,

1974).

Jeffery, Arthur, The Foreign Vocabulary of the Qur‟ân, (Leiden - Boston: Brill,

2007).

John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol.

2, (New York, Oxford: Oxford University Press, 1995).

al-Jurjanî, ‗Abd al-Qâhir, Asrâr al-Balâghah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1982).

al-Karîm, Khalîl ‗Abd, Syari‟ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, terj. Kamran

As‘ad, (Yogyakarta: LKiS, 1990).

Kharmâ, Nâyif dan ‗Alî Hajjâj, al-Lughât al-Ajnabîyah: Ta„lîmuhâ wa Ta„allumhâ,

(Kuwait: al-Majlis al-Wathanî li al-Tsaqâfah wa al-Funûn wa al-Âdâb, 1988).

al-Khâlidî, Shalâẖ ‗Abd al-Fattâẖ, al-Tafsîr al-Maudhû‟î Baina al-Nadzarîyah wa al-

Tathbîq: Dirâsah Nadzarîyah wa Tathbîqîyah Murfaqah bi Namâzhij wa

Lathâ‟if al-Tafsîr al-Maudhû‟î, (Oman: Dâr al-Nafâ‘is li al-Nasyr wa al-

Tauzîʻ, 1997).

al-Khûlî, Muhammad Ali, A Dictionary Of Theoretical Linguistics: English - Arabic,

(Beirut: Library Du Liban, 1982).

al-Khûlî, Muẖammad Amîn, Manâhij al-Tajdîd fî al-Naẖwi wa al-Balâghah wa al-

Tafsîr wa al-Adâb, (Beirut: Dâr al-Maʻrifah, 1961).

Krentz, Edgar, The Historical-Critical Method, (Philadelphia: Fortress Press, 1975).

Kridalaksana, Harimuti, Kamus Linguistik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

Edisi 3, 2001), Cet. V.

Lailah, Muẖammad Muẖammad Abû, al-Qur‟ân al-Karîm min Manzhûr al-

Istisyrâqî, (Kairo: Dâr al-Nasyr li al-Jâmiʻât, 2002).

Lammens, H., Islam: Beliefs and Institutions, (New Delhi: Oriental Books Reprint

Corporation, 1979).

Lewis, Bernard The Arab in History, (New York: Oxford University Press Inc.,

2002).

Madigan, Daniel A., The Qur‟an Self-Image: Writing and Authority in Islamic‟s

Scripture, (New Jersey: Princeton University Press, 2001).

Maẖmûd, Hadzr Mûsa ‗Ali, al-Nahw wa al-Nuhhât: al-Madâris wa al-Khashâish,

(Kairo: Dâr ‗Alam al-Kutûb, t.t.).

Page 174: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

160

Mahmud, Moh. Natsir, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi

Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997).

al-Maududi, Maulana, The Process of Islamic Revolution, (Lahore: t.p., 1967).

Majma‗ al-Lughah al-‗Arabiyah Mesir, al-Mu„jam al-Wasîth, (Istambul: al-Maktabah

al-Islâmiyah, t.th).

Martin, Richard C. (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson:

University of Arizona Press, 1985).

McAuliffe, Jane Dammen (ed.), Encyclopaedia of the Qur‟ān, Vol. 2, (Leiden-

Boston-Köln: Brill, 2002).

-------- (ed.), Encyclopaedia of the Qur‟ān, Vol. 4, (Leiden: E.J. Brill, 2004).

-------- (ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟an, (Cambridge: Cambridge

University Press, 2007).

Mohammad, Khaleel dan Andrew Rippin (ed.), Coming Terms with the Qur‟an: A

Volume in Honor of Professor Issa Boullata, McGill University, (North

Haledon: Islamic Publication International, t.th.,).

Mubarak, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur‟an

Kontemporer “ala” M. Syahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007).

Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997).

Nababan, Sri Utari Subyakto, Metodologi Pengajaran Bahasa, (Jakarta: P.T.

Gramedia Pustaka Utama, 1993).

al-Najdi, ʻAbd al-Raẖmân ibn Muẖammad ibn Qâsim al-ʻÂshim, Majmuʻ al-Fatawâ

Syaikh al-Islâm Aẖmad ibn Taimiyah, Juz XIII, (t.tp.: t,p., 1398 H.).

Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, (London: George Allen and

Unwin Ltd., 1984).

Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. II.

--------, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan, (Jakarta:

Yayasan penerbit Universitas Indonesia, 1972), Cet. II.

Nida, Eugene A. dan Charles S. Taber, Theory and Practice of Translation, (Leiden:

E.J. Brill, 1982).

Nunan, David, Research Methods in Language Learning, (New York: the Press

Syndicate of the University of Cambridge, 1992).

Parera, JOS. Daniel, Linguistik Edukasional, (Jakarta: Erlangga, 1987).

Phandek, Edward, Iktifâ al-Qunû‟ Bimâ Hua Mathbû‟, (Mesir: Dâr Mauqi‘ al-

Warrâq, 1979)).

Page 175: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

161

Poespoprodjo, Interpretasi, (Bandung: Remadja Karya, 1987).

Pradopo, Rahmad Djoko, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, cet. VII, 2000).

Purwo, Bambang Kaswanti, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, (Yogyakarta:

Kanisius, 1990).

al-Qaththân, Mannâʻ, Mabâẖits fi ʻUlûm al-Qur‟ân, (Riyad: Mansyûrah al-ʻAshr al-

Hadîts, 1973).

al-Qifthî, Inbâh al-Ruwât „âlâ Anbaâh al-Nuẖât, Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb al-

Mishrîyah, 1979).

al-Qunûjî, Shiddîq ibn Hasan, Abjad al-„Ulûm li Wasyi al-Marqûm Fi Bayân Aẖwâl

al-„Ulûm, Jilid 2, (Beirut: Dâr al-Kutûb al-‗Ilmîyyah, 1978).

Quthb, Sayyid, Fî Zhilâl al-Qur‟ân, terj. Salafuddin Abu Sayyid, (Solo: Era

Intermedia, 2001).

--------, Fî Zhilâl al-Qur‟ân, Vol. VI, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992).

--------, Muqawwamât al-Tasawwur al-Islâmî, (t.tp: Dâr al-Syurûq, t.th.).

al-Râzî, Muẖammad ibn Abî Bakr, Mukhtâr al-Shiẖâẖ, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001).

Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,

(Chicago: The University of Chicago Press, 1982).

--------, Islam, (Chicago: Chicago University Press, 1979).

--------, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, peny. Taufik Adnan Amal,

(Bandung: Mizan, 1994), Cet. VI.

--------, Tema Pokok al-Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka,

1996), Cet. II.

al-Rûmî, Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân, Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm,

(Riyad: t.p., 1409 H.), Cet. III.

Richards, Jack C. dan Theodore S. Rodgers, Approaches and Methods in Language

Theaching, (New York: Cambridge University Press, 1992).

Richardson, W.J., Martin Heidegger: Through Phenomenology to Thought, (The

Hague: Nijhoff, 1964).

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Vol. VI, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.).

Rippin, Andrew (ed.), Introduction to the Qur‟an: Style and Contents, (Hampshire:

Ashgate Publishing Limited, 2001), h. xi.

Rosenthal, Franz, Etika Kesarjanaan Muslim: dari al-Farabi hingga ke Ibn Khaldun,

terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Mizan, 1996).

Page 176: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

162

Rusmana, Dadan, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, (Bandung:

Pustaka Setia, 2006).

Sa‘îd Hasan Buhairî, ‗Ilm Lughat al-Nashsh, (Kairo: Muassasah al-Mukhtâr, 2003).

Said, Edward W., Orientalisme, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 2001), Cet.

IV.

al-Sairafî, Abî Muẖammad Yûsuf ibn Abî Sa‘îd, Syarẖ Abyât Sibawaih, Taẖqîq:

Muẖammad ʻAli Sulthâniî (Suriah: Dâr al-‗Ashâma, 2001).

Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan

Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), Cet. II.

al-Sanjarjȋ, Muṣṭafȃ ‗Abd al-‘Azȋz, al-Madzȃḥib al-Nahwiyah, (Jeddah: al-

Fashȋliyah, 1988).

Sapir, Edward, Language: An Introduction to the Study of Speech, (New York:

Harcourt Brace, 1921).

Saussure, Ferdinand de, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993).

Setiawan, M. Nur Kholis, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ

Press, 2005).

--------, Pemikiran Progressif dalam Kajian Al-Qur‟an, (Jakarta: Kencana, 2008).

-------- dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, (t.tp.: Nawasea

Press, 2007).

al-Shâbunî, Muẖammad ʻAlî, al-Tibyân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Beirut: ʻÂlam al-Kutûb,

1985).

al-Shaghîr, Muẖammad Husain ‗Alî, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-Qur‟âniyah,

(Beirut: Dâr al-Muarrikh al-‗Arabi, 1999).

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992).

--------, Studi Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994).

--------, dkk., Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, ed. Azyumardi Azra, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1999).

Smart, Ninian, Worldview; Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York:

Charles Sibner‘s Son, t.th.).

Smith, Huston, The Word‟s Religion: Islam, (San Fransisco: Harper Publishers,

1991).

Smith, Wilfred Cantwel, The Meaning and End of Religion, (New York: The New

American Library of the World Literature, 1964).

Page 177: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

163

Sodiqin, Ali, Antropologi al-Qur‟an: Model Dialektika wahyu dan Budaya,

(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).

Sou‘yb, Joesoef, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. III.

Steenbrink, Karel A., Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II,

(Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1988).

Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (ed.), Serba-serbi Semiotika, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 57.

Sumaryono, E., Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999).

al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‗Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr, al-Muzhhir fî „Ulûm al-

Lughah wa Anwâ„ihâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.).

--------, al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, Juz I, (Kairo: Mathba‗ah Hijazî, t.th.).

al-Syâfiʻî, Aẖmad Muẖammad ibn Idrîs, al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi

Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad Syâkir (ed.), (Kairo;

Maktabah Dâr al-Turâts, 1979).

Syahrûr, Muẖammad, al-Islâm wa al-Îmân: Mandhûmât al-Qiyam, (Damaskus: al-

Ahâlî li al-Thiba‗ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‗, 1996).

--------, al-Kitâb wa al-Qur‟ân: Qirâ‟ah Muʻâshirah, (Beirut: Syarikah al-Mathbûʻah

li al-Tauzîʻ wa al-Nasyr, 2000), Cet. VI, h. 57.

Syaltût, Mahmûd, Min Hudâ al-Qur‟ân, (Kairo: Dâr al-Kâtib al-‗Arabî li al-Thibâʻah

wa al-Nasyr, t.t.).

al-Tanthawî, Muẖammad, Nasy`ah al-Naẖw wa al-Tarîkh Asyhuri al-Nuhât, (Kairo:

Dâr al-Manâr, 1991).

al-Tawwâb, Ramadhân ‗Abd, Fushûl fi Fiqh al-„Arabîyyah, (Kairo: Maktabah al-

Kanji, 1979).

al-Thayyâr, Musâ‗id ibn Sulaiman ibn Nâshir, al-Tafsîr al-Lughawî li al-Qur‟ân al-

Karîm, (t.tp.: Dâr Ibn Jauzî, 1422 H.).

‗Umar, Aẖmad Mukhtâr, „Ilm al-Dilâlah, (Kuwait: Maktabah Dâr al-‗Arûbah li

Nasyr wa al-Tauzî‗, 1982).

--------, al-Bahs al-Lughawi „ind al-Arab, (Kairo: Dâr al-Miṣhr li al-Thabâʻah, 1985).

Teeuw, A., Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya,

1984).

Theiessen, Henry C. dan Vermon D. Doerksen, Teologi Sistematika, (Malang:

Yayasan Penerbit Gandum Emas, 1997), Cet. IV.

Page 178: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

164

Thu‗aimah, Rusydi Aẖmad, Ta„lîm al-„Arabiyah li Ghair al-Nâthiqîna bi hâ:

Manâhijuhu wa Asâlibuhu, (Rabath: ISESCO, 1989).

Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta:

Paramadina, 1999).

Verhaar, J.W.M., Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 1999), Cet. II.

Versteegh, C.H.M., Arabic Grammar and Qur‟anic Exgesis in Early Islam, (Leiden:

1993).

Wall, Thomas F., Thinking Critically about Philosophical Problem: A Modern

Introduction, (Belmont: Wadsworth Thompson Learning, 2001).

Wansbrough, John, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural

Interpretation, (New York: Prometheus Books, 2004).

Watt, W. Montgomery, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, (Edinburgh: Edinburgh

University Press, 1970).

--------, Islamic Fundamentalism and Modernity, (London & New York: Routledge,

1988).

--------, Muhammad‟s Mecca: History in the Qur‟an, (Edinburgh: Edinburgh

University Press, 1988).

Wehr, Hans, Mu„jam al-Lughah al-„Arabiyah al-Mu„âshirah: „Arabiy – Inkliziy,

(Beirut: Maktabah Lubnân, 1980), Cet. III.

Whaling, Frank (ed.), Contemporary Approaches to the Study of Religion, (Berlin,

New York, Amsterdam: Mouton Publishers, 1984).

Wild, Stefan (ed.), The Qur‟an as Text, (Leiden: E.J. Brill, 1996).

Ya‘sûb, Mauqi‘, Mu‟jam al-Mathbû‟ât, Jilid 1, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî,

1982).

Zaid, Nashr Hâmid Abû, al-Ittijâh al-„Aqli fi al-Tafsîr: Dirâsah fi Qadiyah al-Majâz

inda al-Mu‟tazilah, (Kairo: al-Markaz al-Thaqafî al-‗Arabî, 1997).

--------, Al-Qur‟an, Hermeneutika, dan Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan

Hermeneutika Al-Qur‟an, (terj.), (Bandung: RQiS, 2003).

--------, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Kairo: al-Haiʻah al-

Mishriyah al-ʻÂmmah li al-Kitâb, 1993).

--------, Naqd Khitâb al-Dînî, (Kairo: Sîna li al-Nasyr, 1994), Cet. II.

-------- dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam, (Westport:

Greenwood Publishing Group, 2004).

al-Zain, Muẖammad Athif, al-Insân, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnân, 1989).

Page 179: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

165

al-Zamakhsyarî, Abû al-Qâsim Maẖmûd ibn ‗Umar ibn Aẖmad, Asâs al-Balâgah,

Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1973), Cet. II.

--------, al-Kasysyâf ʻan Haqâ‟iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ʻUyûn al-Aqâwîl fî Wujûh

al-Ta‟wîl, Jilid III, (Riyad: Maktabah al-ʻAbîkân, 1998).

al-Zarkasyî, Badr al-Dîn Muẖammad ibn ‗Abd Allah, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân,

taẖqîq: Muẖammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm, Juz I, (Kairo: Maktabah Dâr al-

Turâts, t.th.).

al-Zarqânî, Muẖammad ‗Abd al-‗Adzîm, Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân,

taẖqîq: Badî al-Sayyid al-Laẖẖâm, Jilid II, (t.tp.: Dâr al-Qutaibah, 1998), Cet.

II.

II. Tesis/Disertasi

Rahman, Yusuf, ―The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: The

Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur‟an‖, (Disertasi pada

Institute of Islamic Studies, McGill University, 2001).

III. Majalah/Jurnal

Jurnal al-Jami‟ah, No. 53, 1997.

Esensia, Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 2, No. 2, Juli 2001.

Jurnal Mimbar Agama & Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002.

Jurnal Dinika, Vol. 3 No. 1, Januari 2004.

Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Tahun I, No. 1, Maret 2004.

Jurnal Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005.

Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 1, Januari 2006.

Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006.

IV. Internet

http://ahmadsahidah.blogspot.com.

http://www.ArabicEncyclopedia.com.

http://www.iiu.edu.my/irkhs/izutsu/?Who_is_Toshihiko_Izutsu%3F.

http://www.mawsoah.net.

http://www.worldwisdom.com/public/authors/Toshihiko-Izutsu.aspx.

Page 180: al-qur'an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

166

http://[email protected].

http;//www.pdcnet.org/pdf/jip1-Naquib%20al-Attas.pdf.