istighfar dan taubat dalam al-qur’an (studi penafsiran al

110
ISTIGHFAR DAN TAUBAT DALAM AL-QUR’AN (Studi Penafsiran Al-Alûsî) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Muhammad Irwan Fadli NIM 11140340000277 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2019 M

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

SKRIPSI
Oleh: Muhammad Irwan Fadli
FAKULTAS USHULUDDIN
ABSTRAK
Muhammad Irwan Fadli. Nim : 11140340000277. Istighfar Dan Taubat Dalam Al-Qur’an (Studi Penafsiran Al-Alûsî)
Di dalam al-Qur’an Allah SWT banyak menyebutkan lafaz istighfar dan taubat baik tersendiri maupun dalam satu ayat. Istighfar dan taubat yang disebutkan tersendiri memiliki makna yang sama. Adapun istighfar disebutkan bersamaan memiliki makna yang berbeda tetapi memiliki satu tujuan. Hal ini sama seperti lafaz mukmin dan muslim atau fakir dan miskin. Dengan ini, penulis akan mengkaji ayat lafaz istighfar yang bersamaan dengan lafaz taubat. Supaya dapat mengetahui makna masing- masing dan tujuan dari keduanya.
Terkait metode penelitian penulis ini termasuk dalam kategori kepustakaan (library research). Pendekatannya menggunakan pendekatan Tahlîlî (analisis) yakni dengan pengumpulan data dan mengadakan studi penelaahnya terhadap buku-buku dan literatur-literatur yang ada sehingga memperoleh data-data yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka diperoleh beberapa hasil yaitu Istighfar dan taubat dalam empat ayat yang telaah dikaji memiliki perbedaan makna satu dengan yang lainnya. Istighfar diartikan meminta ampun atas dosa-dosa yang telah dikerjakan, atau diartikan memohon ampun atas dasar keimanannya. Sedangkan taubat diartikan menyesal dan kembali agar tidak mengulangi dosa yang dilakukan, atau diartikan tawassul, yakni mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bentuk Isyari dari penafsiran ayat ini tidak terdapat dalam penafsirannya. Kata Kunci : Taubat, Istighfar, Tahlîlî, Al-Alûsî
i
mampu dihitung oleh hamba-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, rasul pilihan
yang membawa cahaya penerang dengan ilmu pengetahuan.
Semoga untaian doa tetap tercurahkan kepada keluarga, sahabat
serta seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.
Alhamdulillâh, penulis bersyukur dapat menyelesaikan
skripsi ini melalui upaya dan usaha selama menyusun skripsi ini.
Meskipun dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan
dan kelemahan, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT
semata.
terselesaikan skripsi ini tidaklah semata atas usaha sendiri, namun
berkat bantuan motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, MA,
selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh
studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Bapak Dr. Yusuf
Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr, Eva Nugraha, M.Ag selaku ketua jurusan dan
bapak Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH selaku sekretaris
jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis berterima kasih,
karena beliau telah membantu dan memberikan kesempatan
kepada penulis melanjutkan studi S1. Semoga Allah SWT
selalu memberikan kemudahan dari setiap langkah beliau.
3. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA, yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan
arahan untuk segera terselesaikannya skripsi ini. Semoga
bapak dan keluarga sehat selalu, panjang umur, dan murah
rejeki.
pembimbing akademik yang telah memberi saran dan
masukan penulis selama perkuliahan S1 di UIN Jakarta.
5. Segenap seluruh dosen program Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,
penulis mengucapkan banyak terima kasih karena telah
sabar dan ikhlas mendidik serta banyak memberikan
berbagai macam ilmu kepada penulis. Semoga ilmu yang
penulis dapatkan bermanfaat dunia dan akhirat.
6. Segenap kepala dan staff karyawan serta staff Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan karyawan Perpustakaan Umum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Serta staff perpustakaan
Iman Jama’, Perpustakaan Daerah Jakarta Selatan. Penulis
mengucapkan terima kasih banyak atas pelayanan pustaka
dalam penulisan skripsi ini.
Mardiyah yang selalu memberikan arahan dan dukungan
baik berupa moril maupun materil serta doa yang tiada
henti dari keduanya. Sehingga penulis dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang perkuliahan sampai lulus. Kepada
adik penulis yang bernama Pandji Mulawarman dan Imam
Bukhori, kepada kakak sebapak penulis yang bernama
Kakak Nur beserta suaminya, Kak Yani beserta suaminya,
Abang Yanto beserta istrinya yang selalu membantu
penulis. Semoga Allah SWT selalu meridhoi setiap
langkahnya dan selalu melimpahkan Ramn dan Ram-
Nya kepada mereka. mn Y Rabbal’lamn.
8. Ust Aan yang telah meluangkan waktu untuk membantu
penulis dalam menulis karya ilmiah ini. Semoga ust Aan
dan keluarga selalu diberikan kesehatan dan keberkahan.
9. Keluarga besar alm H. Abdul Karim dan Hj. Masnah. Saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
suport dan motivasinya. Terutama kepada Ibu Hj. Diana
Fitria dan alm Ust H. Ahmad Syarif S,Pdi. Serta kaka dari
Ibu Diana yaitu Ibu Lisma dan suami.
10. Kawan-kawan penulis Adib, Mae, Tantri, Achi, Riha, Dwi,
Eva dan kawan-kawan Th G 2014,
11. Kawan-kawan diskusi Azam, Chaidir, Rifqi, Imam
Hudhori, Arif, Asywar, Syafi’i dll
12. Keluarga besar MSPP (Majelis Silaturrahmi Pemuda-
Pemudi Pancoran)
14. Kawan-kawan ngopi (ngobrol pencari inspirasi) Syehu,
Raja, Apri, Faikar, Adan, Kanzul, Fikry, Ali, Burhan, Anas,
Amin, Mirza, Agung, Mbot, Iqbal, Elgi, Imam N, Roi, dll
15. Kawan-kawan jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan
2014 yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang rela
berbagi ilmu, tawa, canda serta support kepada penulis.
Peneliti menyadari bahwa keilmuan dan wawasan peneliti
masih sedikit, bilamana tulisan ini masih terdapat kekeliruan
mohon dimaafkan. Akan tetapi peneliti sudah berusaha
semaksimal mungkin dengan kemampuan yang ada untuk
menyelesaikan skripsi ini.
kontribusi yang signifikan bagi penelitian selanjutnya.
Wasalamu’alaikum Wr.Wb.
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh Tim
CeQDA (Center For Quality Development dan Assurance) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
A. Konsonan
jim j Je
bawah
dal d De
ra’ r Er
ad Es dengan titik di
bawah
bawah
bawah
bawah
kanan
fa f Ef
qaf q Ki
kaf k Ka
lam l El
mim m Em
terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
A Fatah
I Kasra
U ammah
ai a dan i
au a dan u
3. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas
î i dengan topi di atas
û u dengan topi di atas
4. Kata Sandang
/l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh:
al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf
x
yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata
,tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah ( )
demikian seterusnya.
dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal
yang sama juga berlaku jika tamarbûtah tersebut diikuti oleh kata
sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
1 Tarîqah
wahdat al-wujûd 3
7. Huruf Kapital
dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga
digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama
xi
diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû
Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan
Al-Kindi.
huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut
EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian
halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh
yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak
dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab.
Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad
al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun
huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa
contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab,
dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
xii
diri mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli
orang Arab tidak perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish
Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd; Mohamad Roem, bukan
Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................... i KATA PENGANTAR ......................................................... ii PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................... vi DAFTAR ISI ...................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................... 1 B. Identifikasi, Batasan Dan Rumusan Masalah .... 5 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ......................... 7 D. Tinjauan Pustaka ................................................. 8 E. Metode Penelitian .............................................. 12 F. Sistematika Penulisan ........................................ 14
BAB II AL-ALÛSI AL-BAGHDADÎ DAN KITAB TAFSIR RÛH AL-MA’ÂNÎ
A. Biografi al-Alûsi 1. Seputar Kehidupan al-Alûsi .............................. 16 2. Karya – Karya al-Alûsi ...................................... 19
B. Profil Kitab Tafsir Rûh Al-Ma’ânî 1. Historis Kitab Tafsir Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’an
al-‘Azîm wa Sab’u al-Matsânî .......................... 20 2. Sumber Dan Metode Penafsiran Kitab Rûh al-Ma’ânî
............................................................................ 23 3. Corak Dan Sistematika Penafsiran Kitab Rûh al-
Ma’ânî................................................................ 25
BAB III ISTIGHFAR DAN TAUBAT
A. Istighfar 1. Pengertian Istighfar .......................................... 32 2. Syarat – Syarat Dan Macam-Macam Istighfar
.......................................................................... 34 3. Tujuan Dan Manfaat Beristighfar ................... 38 4. Contoh Ayat Istighfar Dalam al-Qur’an ......... 43
xiii
xiv
B. Taubat 1. Pengertian Taubat ............................................ 47 2. Syarat – Syarat Dan Macam-Macam Taubat
.......................................................................... 51 3. Tujuan dan Manfaat Bertaubat ........................ 55 4. Contoh Ayat Taubat Dalam al-Qur’an ............ 58
BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN AL-ALÛSI TERHADAP LAFAZ ISTIGHFAR YANG DISEBUTKAN BERSAMAAN DENGAN LAFAZ TAUBAT DALAM SURAH HUD
A. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11]: 3 ......................................................... 64
B. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11]: 52 ....................................................... 72
C. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11]: 61 ........................................................ 76
D. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11]: 90 ........................................................ 82
E. Hikmah Istighfar dan Taubat .............................. 84
BAB V PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 87
diriwayatkan secara mutawatir, bagi yang membacanya termasuk
ibadah dan surat terpendeknya memiliki kemuliaan yang lebih
tinggi daripada seluruh isinya.1 Al-Qur’an di dalamnya memuat
ajaran moral, sosial, budaya, dan peradaban manusia secara
universal. Ia diyakini tidak akan pernah hilang seiring dengan
zaman. Perkembangan al-Qur’an selalu dinamis. Hal ini terbukti
munculnya karya-karya tafsir, dari klasik hingga kontemporer.
Dengan berbagai corak, metode dan pendekatan yang digunakan
oleh masing-masing mufassir.2
dirinya, tetapi menimbulkan kesengsaraan atau kecelakaan bagi
pelakunya.3 Manusia tidak dapat terlepas dari perbuatan dosa dan
kesalahan seperti halnya Malaikat. Tetapi manusia adalah insan
yang senantiasa terlibat dalam konflik antara baik dan buruk.
Baik kepada Allah SWT maupun kepada manusia lainnya.
1 Muhammad ‘Abdul ‘Aîm al-Zurqânî, Manâhilu al-‘Irfân fî ‘Ulûmul Qur’an, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), h. 300.
2 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis, 2010), h.1.
3 Abd Chafidz Farchun, Hidup Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1996), cet I, h.119.
1
2
kehinaan.
kesempatan kepada manusia untuk bertaubat. Misalnya, jika
seseorang terkena penyakit karena dosa-dosa yang diperbuatnya
dan ingin kembali sehat, maka ia harus bertaubat. Itulah cara
pengobatan yang Allah SWT berikan kepada mereka yang
mendapat penyakit secara metafisik. Karena jalan keluar bagi
orang yang berbuat dosa hanyalah bertaubat.4 Sebagaimana
dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

Artinya: “Kemudian, Sesungguhnya Tuhanmu terhadap orang-orang yang yang mengerjakan keburukan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaikinya. Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl [16]: 119).5
Manusia yang memohon ampun atas dosanya haruslah
diniatkan untuk mendapat ampunan dari Allah SWT. Tidak hanya
untuk dosa pada saat ini tetapi dosa masa lalu serta dosa masa
4 Maimunah Hasan, Al-Qur’an dan Pengobatan Jiwa, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2001), h. 41.
5 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid V, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990), h. 477-478.
3
karena dosa seberat debu ternyata telah menyebabkan orang tidak
masuk surga, terlebih bila dalam diri manusia masih banyak
berbagai macam dosa. Istighfar ibarat sabun pencuci dosa.
Dengan membiasakan mengucap lafaz istighfar, dosa itu dapat
segera terhapus sebelum terlanjur berkarat dalam hati dan jiwa
manusia serta menjadi noda yang sulit hilang.6
Bertaubat diwajibkan atas manusia kepada Allah SWT dari
perbuatan dosanya. Supaya manusia benar-benar taat kepada
Allah SWT dan dapat melakukan kebaikan apapun.7 Menurut
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, bersegera melakukan taubat adalah
kewajiban. Taubat harus dilakukan secepatnya. Jika seseorang
menunda-nunda taubat atas dosanya, ia harus segera bertaubat
atas penundaan taubat yang ia lakukan.8
Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menyebutkan lafaz
istighfar dan taubat. Baik disebutkan tersendiri maupun
bersamaan dalam satu ayat. Seperti lafaz muslim dan mukmin,
keduanya ada yang disebutkan tersendiri dan ada juga disebutkan
secara bersamaan.
lafaz taubat yang disebutkan tersendiri dalam satu ayat maknanya
mencakup makna dari lafaz istighfar. Sedangkan, jika keduanya
6 Majdi Muhammad Asy-Syahawi, The Secret Of Istighfar, (Jakarta : Gema Insani, 2009), h. 21-22.
7 Imam al-Ghazâlî, Minhâjul ‘Âbidîn, terj. Abul Hiya, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2009), h. 47
8 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, At-Taubah Wal Inâbah, terj Abdul Hayyie al–Kattani, (Jakarta: Gema insani, 2006), h. 163.
4
yang disebutkan di sini tidaklah sama dengan taubat. Istighfar
memiliki makna sendiri dan taubat memiliki makna sendiri.
Seperti dalam al-Qur’an,


Artinya; “Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Hûd [11] : 3).9
Menurut Ibnu al-Qayyim, tentang lafaz istighfar bersamaan
dengan lafaz taubat dari ayat di atas yakni, istighfar adalah
menghilangkan kejelekan, sedangkan taubat adalah meminta
adanya manfaat (kebaikan).10 Sedangkan menurut Yûsuf al-
Qardâwî, istighfar adalah memohon perlindungan dari dosa yang
lampau. Sedangkan makna taubat adalah kembali dan memohon
perlindungan dari akibat keburukan yang dikhawatirkan akan
muncul di masa yang akan datang.11
9 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 461.
10 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, Madârijus Sâlikîn, (Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 1998), h.307-309.
11 Yûsuf al-Qardâwî, Taubat, (al-Taubah ilâ Allah), terj. Kathur Suhardi, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 54.
5
masing-masing. Walaupun keduanya berbeda, tetapi saling
melengkapi satu sama lainnya. Selain itu, masih ada tiga ayat
dalam surah Hûd seperti ayat di atas.
Tidak sedikit orang memahami istighfar itu termasuk
taubat. Jika disebutkan tersendiri memang memiliki makna yang
sama. Akan tetapi, jika istighfar dan taubat bersamaan, keduanya
memiliki makna berbeda. Istighfar belum tentu taubat,
sebaliknya. Seperti mukmin dan muslim disebutkan bersamaan,
apakah mukmin sudah tentu muslim ?. Hal ini pasti ada rahasia
dibalik kedua kata baik istighfar dengan taubat atau muslim
dengan mukmin.
dalam mengenai lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan
dengan lafaz taubat menggunakan Penafsiran al-Alûsî.
Oleh karena itu, judul skripsi penulis yakni “Istighfar Dan
Taubat Dalam al-Qur’an (Studi Penafsiran al-Alûsî)”.
B. Identifikasi, Batasan, Dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
belakang di atas adalah:
c. Menjelaskan Semua Makna Ayat dari Lafaz Istighfar
d. Menjelaskan Semua Makna Ayat dari Lafaz Taubat
6
yang Disebutkan Bersamaan Dengan Lafaz Taubat
Menurut Para Mufassir
Lafaz Istighfar yang Disebutkan Bersamaan dengan
Lafaz Taubat Menurut Para Mufassir.
g. Menjelaskan Makna Ayat Dalam Surah Hûd Tentang
Lafaz Istighfar yang Disebutkan Bersamaan dengan
Lafaz Taubat Menurut Imam Al-Alûsî.
2. Batasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, penulis tertarik mengkaji
lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan dengan lafaz taubat
menurut Imam al-Alûsî dalam QS. Hûd [11] ayat 3, 52, 61, dan
90. Pembatasan ini bertujuan supaya pembahasan mengenai
makna lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan dengan lafaz
taubat lebih fokus dan tidak keluar dari latar belakang yang telah
dijelaskan.
masalah dari skripsi ini adalah “Bagaimana Analisis Lafaz
Istighfar yang disebutkan Bersamaan Dengan Lafaz Taubat
dalam Surat Hûd Ayat 3, 52, 61, dan 90 Menurut al-Alûsî
(Tafsir Rûh al-Ma’ânî)”
a. Tujuan Penelitian
dicapai melalui penelitian ini ialah;
1. Menjelaskan penyebutan lafaz istighfar yang disebutkan
bersamaan dengan lafaz taubat dalam al-Qur’an.
2. Mengetahui makna lafaz istighfar yang disebutkan
bersamaan dengan lafaz taubat dalam QS. Hûd ayat 3,
52, 61, dan 90 dalam tafsir al-Alûsî.
3. Menganalisa lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan
dengan lafaz taubat menggunakan tafsir al-Alûsî.
b. Manfaat Penelitian
Qur’an dan tafsir adalah:
1. Dalam konteks keilmuwan Islam, hasil penelitian ini
akan memberikan informasi penting terkait dengan
dinamika keilmuwan Islam di Indonesia, dapat
menambah wawasan dan khazanah khususnya di bidang
tafsir al-Qur’an.
Indonesia.
8
penelitian yang telah ada sebelumnya, maka peneliti mengadakan
penelusuran terhadap penelitian-penelitian yang telah ada
sebelumnya, maka peneliti mengadakan penelusuran terhadap
peneliti-peneliti yang telah ada. Berikut ini beberapa peneliti
skripsi yang relevan terhadap tema peneliti yang peneliti angkat,
diantaranya :
1. Skripsi yang ditulis oleh Aminah Rahmi Hati Hsb, yang
berjudul “Metode dan Corak Penafsiran Imam al-Alûsî
Terhadap al-Qur’an (Analisa Terhadap Tafsir Rûh al-
Ma’ânî)”.12 Skripsi ini membahas biografi dari Imam al-
Alûsî beserta metode dan corak serta sistematika dari kitab
tafsir Rûh al-Ma’ânî.
“Melacak Pemikiran al-Alûsî Dalam Tafsir Rûh al-
Ma’ânî”. 13 Artikel ini membahas biografi al-Alûsî dan latar
belakang dari tafsirannya. Ia juga menjelaskan metodologi
kitab tafsirnya serta implikasi penafsirannya dari kitab tafsir
Rûh al-Ma’ânî.
“Terapi Istighfar Untuk Mengatasi Seorang Remaja yang
Suka Marah Kepada Orangtua di Kelurahan
12 Aminah Rahmi Hati Hsb, Metode dan Corak Penafsiran Imam Al- Alusi Terhadap Al-Qur’an (Analisa Terhadap Tafsir Rûh Al-Ma’ânî), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2013).
13 Yeni Setianingsih, Melacak Pemikiran Al-Alûsî Dalam Tafsir Rûh Al- Ma’ânî. Kontemplasi. Vol. 5, 1, 2017.
9
remaja kepada orangtuanya.
“Keutamaan Istighfar Dalam Kitab al-Azkâr al-
Nawâwiyyah”.15 Skripsi ini mengkaji hadis-hadis tentang
keutamaan orang yang beristighfar, atas dosa-dosa yang
dilakukan oleh manusia.
berjudul “Konsep Taubat Dalam al-Qur’an Menurut Sayyid
Qutb”.16. Dalam skripsi ini umat Islam dapat mengetahui
dan mengamalkan ajaran taubat dengan benar sesuai
dengan sunnah Rasulullah SAW.
“Konsep Taubat Menurut Syaikh ‘Abdul Qâdir al-
Jailânî”.17 Skripsi ini membahas konsep taubat dalam
pandangan Syekh ‘Abdul Qâdir al-Jailânî menggunakan
corak tasawuf, yakni menutup pintu-pintu dosa yang
14 Nurul Faizah, Terapi Istighfar Untuk Mengatasi Seorang Remaja yang Suka Marah Kepada Orangtua di Kelurahan Morokrembangan Surabaya, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018).
15 Abdul Hadi, Keutamaan Istighfar Dalam Kitab al-Azkâr al- Nawâwiyyah, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2007).
16 Zaky Taofik Hidayat, Konsep Taubat Dalam al-Quran Menurut Sayyid Qutb, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2010).
17 Muhamad Nazeri, Konsep Taubat Menurut Syekh ‘Abdul Qâdir al- Jailânî, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry Darussalam, 2018).
10
masa yang akan datang.
“Taubat Dalam al-Qur’an dan Analisis Terhadap
Perspektif Quraish Shihab”.18 Dalam skripsi ini dijelaskan
penafsiran tentang ayat-ayat taubat dari kisah para Nabi
menggunakan penafsiran Quraish Shihab.
berjudul “Konsep Taubat dan Implementasinya Menurut
Perspektif Imam an-Nawawî”.19 Skripsi ini membahas
konsep taubat menurut Imam Nawawi. Menurutnya, ada
tiga macam syarat untuk bertaubat, Pertama, hendaklah
menghentikan seketika itu juga dari kemaksiatan yang
dilakukan. Kedua, supaya menyesali kesalahannya kerana
telah melakukan kemaksiatan, dan Ketiga, berniat tidak
akan mengulangi lagi perbuatan maksiat itu untuk selama-
lamanya. Jika salah satu dari tiga syarat di atas tidak
terpenuhi maka taubatnya menjadi tidak sah.
9. Jurnal yang ditulis oleh M. Sidik dengan judul “Tobat
Dalam Perspektif al-Qur’an”.20 Artikel ini mengkaji makna
dari sebagian ayat tentang taubat dalam perspektif al-
Qur’an. Salah satunya jika manusia berbuat dosa dan
18 Sayid Qutub, Taubat Dalam al-Qur’an dan Analisis Terhadap Perspektif Quraish Shihab, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2009).
19 Ahmad Arif Zunaidi, Konsep Taubat dan Implementasinya Menurut Perspektif Imam an-Nawawî, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo Semarang, 2018).
20 M. Sadik, Tobat Dalam Persektif al-Qur’an. Hunafa. Vol. 7, 10, 2010.
11
sungguh-sungguh.
terdapat ayat-ayat tentang taubat menurut kepada Sa‘îd
Hawâ pengarang tafsir al-Asâs fî at-Tafsîr. Poin inti dari
jurnal ini adalah taubat sangat berpengaruh nyata
membentuk pribadi yang tawadu’ dan menjaga perilaku
serta ucapan dari hal-hal yang mencemari kesucian jiwa.
11. Jurnal yang ditulis oleh Rakhmawati dengan judul “Urgensi
Taubat Dalam Kehidupan Manusia”.22 Artikel ini
membahas tentang taubat, yakni upaya menyucikan diri
dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di samping itu,
taubat berimplikasi positif pada kehidupan seorang muslim
pasca ia bertaubat. Hal ini akan nampak dalam
pergaulannya sehari-hari, ia tidak lagi melakukan hal-hal
yang dilarang oleh Allah SWT seperti menggibah,
memfitnah, atau menyakiti orang lain. Segala hal yang
dilakukan senantiasa menjadi rahmat bagi diri dan
lingkungannya. Perilaku orang-orang yang telah
memutuskan secara sadar untuk bertaubat kepada Allah
21 Septiawadi, Tafsir Sufistik Tentang Taubat Dalam al-Qur’an. Studi Agama dan Pemikiran Islam. Vol. 7, 2, 2013.
22 Rakhmawati, Urgensi Taubat Dalam Kehidupan Manusia. Madani. Vol. 4, 1, 2014.
12
masih sebatas ucapan saja.
berbeda dengan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu,
penulis mencoba untuk menjelaskan analisis lafaz istighfar yang
bersamaan dengan lafaz taubat dari tafsir al-Alûsî.
E. Metode Penelitian
dengan mengadakan studi penelaah terhadap buku-buku,
literatur-literatur, dan laporan-laporan yang ada sehingga
memperoleh data-data yang berhubungan dengan masalah yang
akan dipecahkan.23 Data diambil dari berbagai sumber tertulis,
yakni berupa buku-buku atau dokumentasi dan lain-lain.
2. Sumber Data
dua kategori, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber
data primer merupakan rujukan utama yang menjadi landasan
data yang akan dicari dan dianalisis. Sedangkan sumber data
sekunder adalah sumber data lain yang berkaitan dengan tema
penelitian guna memperoleh kelengkapan data penelitian.
Dalam penelitian ini, sumber data primer yang digunakan
adalah al-Qur’an dan terjemahannya, as-sunnah dan kitab Tafsir
23 Muhammad Nazir, Metode Penulisan, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h.24.
13
Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’an al-‘Azîm wa Sab’u al-Matsânî
(Karya Mahmûd al-Alûsî) yang menjadi inti dalam kajian
penulis.
yaitu Mu‘jâm Mufahrâs li al-Fâ al-Qur’an al-Karîm,24 dan
kamus al-Qur’an lainnya. Selain itu, penulis juga mengambil dari
kitab tafsir lain, kitab hadis, buku-buku, jurnal, artikel-artikel,
dan skripsi, dengan pokok permasalahan yang sama dengan tema
penelitian ini dan dianggap penting untuk dikutip dan dijadikan
informasi tambahan.
yang bermaksud untuk menggambarkan data-data dalam
menjelaskan sebuah hipotesa, untuk menjawab pertanyaan yang
menyangkut dari pokok permasalahan.25 Sedangkan analitis yaitu
sebuah tahapan, untuk menguraikan atau menafsirkan data-data
yang telah terkumpul dan tersusun secara sistematis.26 Jadi
metode deskriptif analitis adalah sebuah metode pembahasan
untuk memaparkan data yang tersusun dengan melakukan kajian
dan tafsiran terhadap data-data tersebut melalui interpretasi yang
tepat.
24 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Mu‘jâm Mufahrâs li al-Fâ al- Qur’an al-Karîm. (Bairut: Dar al-Fikr, 1980).
25 Jonathan Sarwono, Pintar Menulis Karya Ilmiah: Kunci Sukses dalam Menulis Karya Ilmiah, (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2010), h. 34.
26 M. Jamiluddin Ritonga, Riset Kehumasan, (Jakarta: Grasindo, 2004), h.64.
14
“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi)”, yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2017.
penulis menyusunnya sebagaimana berikut:
belakang masalah, identifikasi, batasan dan rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
kitab tafsir rûh al-ma’ânî, yang terdiri dari; Pertama, seputar
kehidupan al-Alûsi dan karya – karya al-Alûsi. Kedua, historis
kitab rûh al-ma’ânî fî tafsîr al-qur’an al-‘azîm wa sab’u al-
matsânî, sumber dan metode penafsiran, corak dan sistematika
penafsiran.
dan taubat, yang terdiri dari dua sub bab yaitu; Pertama,
penjelasan tentang istighfar terdiri dari pengertian, syarat-syarat
dan macam-macam, tujuan dan manfaat, dan contoh ayat istighfar
dalam al-Qur’an. Kedua, penjelasan tentang taubat terdiri dari
pengertian, syarat-syarat dan macam-macam, tujuan dan manfaat,
dan contoh ayat taubat dalam al-Qur’an.
15
terhadap lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan dengan lafaz
taubat dalam surah Hûd terdiri dari lima sub bab. Pertama,
penafsiran al-Alûsi dalam tafsir rûh al-ma’ânî QS. Hûd [11] ayat:
3. Kedua, penafsiran al-alûsi dalam tafsir rûh al-ma’ânî QS. Hûd
[11] Ayat: 52. Ketiga, penafsiran al-alûsi dalam tafsir rûh al-
ma’ânî QS. Hûd [11] Ayat: 61. Keempat, penafsiran al-alûsi
dalam tafsir rûh al-ma’ânî QS. Hûd [11] Ayat: 90. Dan kelima,
Hikmah istighfar dan taubat.
penelitian dan memberikan saran-saran agar peneliti selanjutnya
bisa dengan mudah mencari kekurangan dalam kajian ini.
BAB II
MA’ÂNÎ
Sayyid Mahmûd Afandi al-Alûsi al-Baghdadî1 yang merupakan
mufassir kondang asal Irak. Ia dilahirkan pada hari Jum‘at,
tanggal 15 Sya‘bân 1217 H/1802 M, di daerah dekat Kurkh,
Baghdâd, Irâk. Ia dikenal dengan nama al-Alûsi karena, nama
yang dinisbatkan kepada kampung yang bernama Alûsi, yaitu
suatu pulau yang terletak di tepi barat sungai Eufrât antara Syâm
(Syiria) dan Baghdâd.2
dan membaca kitab-kitab warisan ulama sebelumnya di bawah
bimbingan ayahnya. Ketika berumur sepuluh tahun ia telah
mempelajari beberapa cabang ilmu pengetahuan seperti, fiqh
syâfi‘iyah dan hanafiyah, mantiq, dan adîts.3 Selain itu, dia juga
belajar tasawuf dari seorang sufi bernama Syaikh Khalid al-
Naqshabandi.4 Ketika umurnya 20 tahun ia telah mendalami
kajian tafsir al-Qur’an. Kemudian ketika berumur 21 tahun, ia
1 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 130.
2 Mannâ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulum al-Qur’ân, terj. Drs. Mudzakkir AS, (Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 1992), h. 521.
3 Muhsin Abdul Hamîd, Al-Alûsi Mufassîrûn, (Baghdad: Matba’ah al- Ma’ârif, 1968), h.42.
4 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1 (Bairut, Dar al-Fikr, 1983), h. 3.
16
17
mengajar di madrasah al-Khotuniyah.5 Di samping itu, ia diminta
oleh Haji Nu‘mân al-Bahjah untuk mengajar di madrasah yang
dipimpinnya. Dan ia tidak bertahan lama mengajar, dikarenakan
banyak yang tidak setuju dengan dirinya.
Al-Alûsi merupakan salah seorang ulama di Irâk yang
pernah menjabat sebagai mufti Baghdâd, pemikir dan ahli
polemik. Pengetahuannya yang luas menjadikan dirinya diberikan
gelar, yang berarti ‘allamah yaitu seorang ulama besar baik
dalam ilmu naqlî (al-Qur’an dan al-Hadits) maupun dalam ilmu
‘aqli (berdasarkan akal) yang mengetahui setiap cabang dan dasar
dari kedua bidang ilmu tersebut.6
Dalam bidang aqidah al-Alûsi mengikuti aliran sunni
mâturîdiyya. Sedangkan dalam bidang fiqh pada mulanya ia
bermadzhab syâfi‘iyah,7 kemudian ia pindah ke mazhab
hanafiyah di tahun 1248 H. Ia menjabat sebagai ketua badan
perwakafan lembaga pendidikan al-Marjaniyah, yaitu sebuah
yayasan pendidikan yang mensyaratkan penanggung jawabnya
seorang tokoh ilmuan. Lalu dia berhenti pada bulan syawwâl
1263 H, karena ia fokus menyusun tafsir hingga selesai.8
Selama menuntut ilmu al-Alûsi memiliki beberapa guru dan
memiliki beberapa murid. Adapun guru-gurunya, antara lain:
5 Muhsin Abdul Hamîd, Al-Alûsi Mufassîrûn, h. 42. 6 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo:
Dar al-Kutub, 1976), juz I, h. 352. 7 Eva Amalia Megarestri, Study Tematik Terhadap Penafsiran al-
Qur’an Tentang Ayat Sajadah dan Munasabahnya Dalam Tafsir Rûh al- Ma’ânî, (Skripsi: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003), h. 44-46.
8 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz I, h. 302.
18
1291 H).
al-Barakât al-Alûsi.
c. Ismâ‘îl bin Musthafâ al-Mushili (lahir 1200 H – wafat
1270). Dia juga mempelajari ilmu tafsir dari Syaikh
Bahaulhaq al-Hindi, seorang ulama keturunan India yang
menetap di Baghdâd (lahir 1256 H - wafat 1300 H).
Adapun dalam cabang ilmu Mualah al-Hadîts, dia belajar
kepada Syaikh Abdussalâm bin Muhammad bin Said an-
Najd, yang lebih populer dengan nama asy-Syawwaf (lahir
1243 H – 1318 H). Salah satu guru Imam al-Alûsi yang lain
adalah Syaikh Muhammad Amîn al-Khurâsânî al-Fârisî,
dan lain-lain.
a. Muhammad Bahjah al-Atsary (lahir 1322 H – wafat 1416
H).
b. Ma‘rûf al-Rasâfî (lahir 1294 H – wafat 1364 H).
c. Nu‘mân bin Ahmad bin al-Haq Ismâ‘îl al-A’dhani al-
Ubeidi (lahir 1293).
e. Abdul Azîz al-Rasyîd al-Kuwaîtî (wafat 1357 H).
f. alah bin alih al-Dânî (lahir 1310 H – wafat 1365 H).
g. Abdul Laîf, ia seorang ahli bahasa (wafat 1363 H).
h. Abbâs al-Bazâwî, ia seorang ahli sejarah dari Irak yang
masyhur (wafat 1971 H).
19
j. Sulaîmân al-Dakhîl al-Najdî (lahir 1244 H, wafat 1364 H)9
Al-Alûsî wafat diusianya yang ke-53 tahun pada hari
Jum‘at tanggal 25 Dzulqa‘dah 1270 H/1854 M. Jasadnya
dimakamkan di dekat makam Syaikh Ma‘rûf al-Karakhi, salah
seorang tokoh sûfî yang sangat terkenal di kota Kurkh.10
2. Karya-karya al-Alûsi
di antaranya
bantahan atas kitab “Syawâhid al-Haq” karya al-Nabhani
yang berisikan kebodohan, nukilan-nukilan palsu, pendapat
yang lemah dan dalil-dalil yang dibalik dalam
permasalahan “ Bolehnya istighasah kepada selain Allah
SWT, dan celaan-celaan terhadap para ulama penolong
sunnah, semisal Ibnu Taimiyyah”.
b. Rûh al-Ma’ânî fi Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa as-Sab’u
al-Matsânî, atau yang lebih dikenal dengan tafsir Rûh al-
Ma’ânî. Tafsir ini merupakan karya yang populer dalam
bidang tafsir.
gramatika bahasa Arab.
d. Al-Ajwibah al-‘Irâqiyyah ‘alâ As’ilah al-Irâniyah. Kitab ini
membahas dalam bidang kenegaraan.
9 http://muhyi414.blogspot.com/2012/04/imam-al-Alûsî. html. Rabu, 15/ 5/ 2019.
10 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol. I, h. 4.
20
ini juga membahas dalam bidang kenegaraan.
f. Durrat al-Gawwâs fî Awhâm al-Khawwas. Kitab ini
membahas dalam bidang tasawuf.
Kitab ini juga membahas dalam bidang kenegaraan.
h. Syarh al-Sâlim fî al-Manthiq.
i. Nasywat al-Syamul fî al-dzahab il Istambul.
j. Nasywat al-Mudam fî al-‘Awd ila dâr al-Salam.
k. Gharaîb al-Ightirab wa nazhat al-Albab, dan lain-lain.11
Di antara karya-karya tersebut, karya yang paling populer
ialah yang dikenal dengan tafsir al-Alûsî atau disebut tafsir Rûh
al-Ma‘ânî.
B. Profil Kitab Tafsir al-Alûsi
1. Historis Kitab Tafsir Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azîm wa Sab’u al-Matsânî
Latar belakang penulisan kitab tafsir Rûh al-Ma’ânî
terkesan cukup mistis. Al-Alûsî menulis tafsirnya terdorong dari
sebuah mimpi, meskipun sebelumnya telah ada ide untuk menulis
tafsir tersebut. Ia memang ingin sekali menyusun sebuah kitab
tafsir yang dapat mencakup persoalan-persoalan yang dianggap
penting bagi masyarakat waktu itu. Namun ia senantiasa
dihinggapi keragu-raguan untuk merealisasikan ide tersebut.
Akhirnya, pada suatu malam, tepatnya pada malam Jum‘at bulan
11 Mani’ ‘Abdul Halim, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 205.
21
Rajab tahun 1252 H, dia bermimpi disuruh Allah SWT untuk
melipat langit dan bumi, kemudian disuruh untuk memperbaiki
kerusakan-kerusakan yang ada padanya. Dalam mimpinya, ia
seolah-olah mengangkat salah satu tangannya ke langit dan
tangan yang lainnya ke tempat air. Namun, kemudian ia
terbangun dari tidurnya. Mimpi tersebut lalu ditakwilkan dan
ternyata ia menemukan jawabannya dalam sebuah kitab bahwa
mimpi itu merupakan isyarat untuk menyusun kitab tafsir.12
Penulisan kitab tafsir dilakukan oleh al-Alûsî pada tanggal
16 Sya‘bân 1252 H saat ia berusia 34 tahun, pada masa
pemerintahan Sultan Mahmud Khan bin Sultan Abdul Hamîd
Khan. Ia menyelesaikan penyusunan kitab tersebut pada malam
selasa di bulan Rabî‘ul Âkhir tahun 1267 H, kurang lebih kurun
waktu 15 tahun. Setelah ia meninggal kitab tersebut
disempurnakan oleh putranya yaitu Sayyid Nu‘mân al-Alûsi.
Kitab ini kemudian diberi judul, Rûh al-Ma’ânî Fî Tafsîr
Al-Qur’ân al-‘Aîm wa al-Sab’ al-Masânî oleh Perdana Menteri
Ali Ridho Pasha. Karena nama tersebut sesuai dengan tujuan
awal penulisannya, yaitu “semangat makna dalam tafsir al-Qur’an
yang agung dan sab‘ul mastanî”. Lalu al-Alûsi pun
menyetujuinya dengan nama Rûh al-Ma’ânî Fî Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Aîm wa al-Sab’ al-Masânî yang di dalamnya terdiri dari 16
jilid. Jilid 1:635 halaman, 2:272 halaman, 3:416 halaman, 4:319
halaman, 5:270 halaman, 6:238 halaman, 7:399 halaman, 8:395
halaman, 9:431 halaman, 10:380 halaman, 11:251 halaman,
12 http://muhyi414.blogspot.com/2012/04/imam-al-alusi.html. Rabu, 15/ 5/ 2019.
22
penerbit: Dar al Kutub al-Ilmiyah.13
Setelah tafsirnya selesai, al-Alûsî melakukan perjalanan ke
Konstatinopel pada tahun 1267 H/1850 M, di mana menurut
sebagian riwayat ia tinggal selama dua tahun (1267 H-1269
H/1850 M-1852 M). Di sana ia menunjukkan tafsirnya kepada
Sultan yang berkuasa saat itu, yaitu Abdul Majid Khan untuk
mendapatkan pengakuan dan kritik. Dan mendapatkan apresiasi
yang luar biasa dari Sultan, kemudian ia dihadiahi emas seberat
timbangan kitab tersebut.14
salaf maupun khalaf dan mengandung kesimpulan dari kitab-
kitab tafsir sebelumnya seperti tafsir Ibnu Athiah, Ibnu Hibbân,
Abû Hayyân, az-Zamakhsyari, Abû al-Sa‘ûd, al-Baîawî dan al-
Razi,15 untuk menguatkan pendapat al-Alûsi. Ia berusaha
bersikap netral dan adil ketika menukil tafsir-tafsir tersebut dan
selanjutnya mengemukakan komentar serta pendapatnya sendiri
tanpa terpengaruh pada salah satu tafsir tersebut. Ketika menukil
tafsir-tafsir terdahulu, ia menggunakan beberapa istilah antara
lain “qâla syaikh al-Islâm” bila menukilkan dari tafsir Abu al-
13 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol I, h. 4. 14 Abdul Mustaqim, Rûh al-Ma’ânî karya al-Alûsî dalam Muhammad
Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir; Menyuarakan Teks Yang Bisu, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 154.
15 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 161.
23
Sa‘ûd, “qâla al-qadlî” bila dari tafsir al-Baîawî, dan “qâla al-
imâm” bila menukilkan dari tafsir al-Razi.16
2. Sumber Dan Metode Penafsiran Kitab Rûh al-Ma‘ânî
a. Sumber Penafsiran Kitab Rûh al-Ma‘ânî
Sumber-sumber penafsiran yang dipakai al-Alûsî adalah
memadukan sumber al-ma‘tsur (riwayat) dan al-ra‘yi (ijtihad).
Artinya dalam menafsirkan suatu ayat ia menggunakan sumber
riwayat dari Nabi SAW atau sahabat atau bahkan tabi’in tentang
penafsiran al-Qur’an dan terkadang menggunakan ijtihad dirinya
sehingga keduanya dapat digunakan secara bersama-sama,
sepanjang hal itu dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.
Keterlibatannya dalam mazhab Abu Hanifah ternyata banyak
mempengaruhi kajian rasionalisasi tafsirnya. Hal ini seperti
diakuinya bahwa dinamika pemikiran Abu Hanifah sarat dengan
sistem ijtihad.
tafsir bil ra‘yi, karena dalam tafsirnya lebih mendominasi
ijtihadnya. Hal ini juga bisa dilihat pada isi muqaddimah
kitabnya, ia menyebutkan beberapa penjelasan dan argumen
tentang bolehnya tafsir bil-Ra’yi, termasuk kitab tafsir bil-
Ra’yinya tersebut.17
Meskipun begitu, al-Alûsî mampu mensintesiskan makna
tersurat dan tersirat atau ahîr wa bâin baik ayat yang manqul
(naql, riwayat, normatifitas) dan ma’qul (aqli, dirayat,
16 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz. 1. h. 356.
17 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1, h. 6.
24
ijtihadnya semata. Namun, dia mampu memilah pendapat yang
shahih dengan merujuk riwayat-riwayat terdahulu, baik yang
diterima dari Nabi SAW, sahabat, tâbi‘în maupun kisah
isrâîliyât.18
atau lebih metode dalam menafsirkan al-Qur’an. Pilihan metode-
metode tersebut tergantung kepada kecenderungan dan sudut
pandang masing-masing mufasir, serta latar belakang keilmuan
dan aspek-aspek lain yang melingkupinya.19
Al-Alûsî memandang al-Qur’an merupakan kitab yang
sempurna dan harus digali sedalam-dalamnya, maka metode yang
dipakai oleh al-Alûsî dalam menafsirkan al-Qur’ân adalah
metode tahlîlî.20 Karena dengan metode tersebut, akan
menghasilkan suatu penafsiran yang komprehensif dan
menyeluruh baik dari berbagai aspek seperti bahasa, kosa kata,
dan pendapat ulama. Karena dengan begitu, al-Qur’an benar-
benar dapat dibaca dan mampu memberikan pencerahan dengan
sempurna oleh umat Islam.
18 Isrâîliyât adalah berita atau cerita-cerita yang bersumber dari Ahl Kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam. Namun dalam hal ini, cerita yang bersumber dari Yahudi jauh lebih banyak dari pada yang bersumber dari orang-orang Nasrani.
19 M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 37-38.
20 Salah satu yang menonjol dalam tafsir tahlîlî (analisis) adalah bahwa seorang mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan. Baik dari segi bahasa, asbâb al-nuzûl, nasikh- mansukhnya dan lain-lain. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al- Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 32.
25
al-Alûsî menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara runtut dari awal
hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan urutan
mushaf ‘Utsmânî. Untuk itu, dia menguraikan kosa kata dan
lafadz serta menginterpretasikan (al-bayân) ayat-ayat al-Qur’an
sesuai dengan makna yang dikehendaki dan merelevansikan
dengan surah sebelumnya.21
a. Corak Penafsiran Kitab Rûh al-Ma‘ânî
Muhammad Quraish Shihab menyebutkan corak tafsir yang
dikenal luas dewasa ini, yakni corak tafsîr fiqh, atau hukum,
corak tafsîr falsafi, corak tafsîr ‘Ilmi, corak bahasa, corak tafsîr
adabi al-ijtima‘i (sosial kemasyarakatan), dan corak tafsir sûfî.22
Setiap mufassir yang memiliki bidang keahlian tertentu dan
menafsirkan al-Qur’an berdasarkan latar belakang keahlian dan
ilmu-ilmu yang dimilikinya, kemudian munculah corak tafsir
yang bermacam-macam.
yaitu al-tafsîr sûfî nazari sebagai turunan dari tasawwuf nazari
(aliran yang berusaha menemukan wujud Tuhan dalam
makhluknya) dan al-tafsîr sûfî al-isyârî sebagai turunan dari
tasawwuf ‘amali (aliran yang berusaha lebih dekat dengan Allah
21 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i dan Cara Penerapannya, terj, Rosihon Anwar (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), h. 12.
22 Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Sayyid Qutb dalam Tafsir ilâl al-Qur’an, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 79.
26
sebagai berikut:
teori-teori mistis dari kalangan ahli sûfî. Ulama yang dianggap
ahli dalam bidang ini adalah Muhyîddîn bin ‘Arabî, karena ia
dianggap sering bergelut dengan kajian tafsir ini. Corak tafsir sûfî
Ibn ‘Arabî banyak diikuti oleh murid-muridnya. Selain itu,
pemikirannya banyak terpengaruh oleh teori-teori filsafat
sebagaimana bisa dilihat dalam kitab-kitabnya seperti al-Futûhât
al-Makkiyah dan Fusûs al-Hakîm. Dalam dua kitab ini kita akan
banyak melihat ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan berlandaskan
teori sûfî filosofis.23
Al-Tafsîr al-Sûfî al-Isyârî
al-Qur’an yang berbeda dengan maknanya yang nyata
berdasarkan isyarat (petunjuk) khusus yang diterima oleh para
ahli sûfî.24
isyarat rahasia yang ditangkap oleh para ahli ilmu dan maknanya
dapat disesuaikan dengan kehendak makna lahir dari ayat al-
23 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz II, h. 297-298.
24 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz II, h. 308.
27
sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an
khususnya dan melihat dunia umumnya. Pola sistem berpikir
mereka adalah berangkat dari yang dzahir menuju yang bathin.
Bagi mereka bathin adalah sumber pengetahuan sedangkan
dzahir teks adalah penyinar. Rujukan yang mereka pakai adalah
pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib,
bahwa setiap ayat al-Qur’an memiliki empat makna: dzahir,
bathin, had, dan matla’. Al-Ghazâlî sendiri menegaskan bahwa
selain yang dzahir, al-Qur’an memiliki makna bathin.
‘Abdullah (al-Muhasibi) dan Ibn al-‘Arâbî memberikan
penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan
zahir adalah bacaan dan yang batin adalah takwilnya. Sementara
Abû ‘Abdurrahmân mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
dzahir adalah bacaannya, sementara yang bathin adalah
pemahamannya.25
berdasarkan isyaratnya dalam dua bagian, yaitu: pertama, isyarat
khafiyah (indikasi yang tersembunyi) di mana yang
memperolehnya hanyalah ahli taqwa dan ulama di dalam
membaca al-Qur’an, kemudian mendapat intuisi-intuisi mistik
yang bermakna. Kedua, isyarat jaliyah (indikasi jelas) yang
dikandung ayat-ayat kauniyah di dalam al-Qur’an yang
25 Al-Jabiri. Bunyah al-‘Aql al-‘Arâbî, (Beirut: Markaz al-Dirasah, 1990), h. 277.
28
modern.26
isyârî, yaitu suatu tafsir yang mencoba menerapkan dimensi
makna bathin berdasarkan isyarat atau ilham dan ta’wîl sûfî.
Tafsir sûfî al-isyârî mengarahkan sasaran penafsirannya pada
pengungkapan makna ayat-ayat al-Qur’an yang tersirat dan juga
berusaha menelusuri daya cakup al-Qur’an yang tersusun dari
makna eksoterisnya secara transparan dan menjadikan
pendekatan tafsirnya sebagai dua koin mata uang yang tidak
dapat terpisahkan. Dalam usaha menelusuri maknan yang tersirat,
bukanlah satu-satunya yang dikehendaki oleh ayat, akan tetapi
lebih merupakan perluasan makna dari maknanya yang tersurat.27
Karena itu, al-Alûsî menitikberatkan pada penafsiran ayat secara
tersurat (eksotoris) kemudian diteruskan dengan menunjukkan
beberapa muatan makna yang samar dan tersembunyi atau tersirat
(esoteris) dibalik ayat secara kontekstual.
Kecenderungan al-Alûsî terhadap tasawwuf ini terlihat
dalam tafsir yang ditulisnya, dia mengatakan:
“ Tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa al-Qur’an mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah SWT Yang Maha Pencipta dan
26 Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sûfî, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, vol. 3, 2, 2003, h. 58.
27 Wahib, Perspektif Tafsir Sûfî-Isyârî: Studi Atas Pemikiran Al-Alûsî dalam Tafsir Ruh al Ma’ânî, (Tesis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1997), h. 51-52.
29
tidak diperbolehkan mengabaikan ilmu syari’atnya. Untuk
memahami makna esoteric (bathin) suatu ayat, telebih dahulu
harus dikupas dulu makna eksotoris (dzahir). Pendapat ini dapat
dilihat saat ia menafsirkan surat al-Kahf [18]: 65.

Artinya: “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami”. (QS. al- Kahf [18]: 65).29
Dalam menafsirkan kalimat wa’allamnâhu mil-ladunnâ
‘ilmân, al-Alûsî menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan
dasar yang dipakai oleh para ulama untuk menetapkan adanya
ilmu laduni (ilmu hakikat) atau ilmu bathin (esoteris), yaitu ilmu
yang diberikan langsung oleh Allah SWT yang tidak dapat
diperoleh tanpa taufiq-Nya, atau dapat dikatakan juga sebagai
ilmu gaib. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa untuk memperoleh
ilmu ini ada dua kemungkinan.
Pertama dengan perantara wahyu dari malaikat, seperti
yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Kedua melalui isyarat
28 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol I, h. 192. 29 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid V, h.
767-768.
30
selain nabi. Untuk memperoleh ilham tersebut diperlukan
pensucian batin (tathîr al-qalb). Untuk memperoleh tathîr al-
qalb, menurut al-Alûsî harus melalui ilmu syari’at.30 Itu artinya,
ia menentang keras seseorang yang meninggalkan syari’at dengan
dalih telah sampai kepada hakikat. Ini semakin menguatkan
pendapatnya bahwa dia tidak menafikkan makna eksotoris suatu
ayat.
Qur’an secara isyârî adalah: penafsiran isyârî tidak boleh
menafikan apa yang dimaksudkan makna dzahir, harus ada nas
lain yang menguatkannya, tidak bertentangan dengan syara’ dan
akal, serta harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir
dan makna lain yang selain zhahir.31 Dari syarat-syarat tersebut
jelas bahwa tafsir Rûh al-Ma’ânî karya al-Alûsî ini telah
memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai tafsir yang
bernuansa sûfî al-isyârî.
b. Sistematika Penafsiran
Sistematika penafsiran yang ditempuh oleh al-Alûsî
biasanya menggunakan langkah-langkah di bawah ini:32
Menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an dan langsung
menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat.
30 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol VIII, h. 330. 31 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn ssirun,
Juz II, h. 263. 32 http://islamiceducatione.blogspot.com/2014/06/kajian-tafsir-ruhul-
ma’ani-al-alusi/.10-04-2019.13.37 wib.
asbâb al-nuzûl terlebih dahulu, namun kadang ia
langsung mengupas dari segi gramatikanya, kemudian
mengutip riwayat hadits atau riwayat tabi’în.
Menerangkan kedudukan suatu kata atau kalimat yang
ada di dalam ayat tersebut dari segi kaidah bahasa (ilmu
nahwu).
Mengumpulkan pendapat para penafsir terdahulu.
Langkah-langkah ini digunakan dalam menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an dengan mengacu pada susunan surah yang ada di
dalam al-Qur’an.
ghafara-yaghfiru-ghufrân yang berarti mâlibâsu yaûnahu ‘ani
al-danasi (pakaian yang bersih dari kotoran)1. Kata yang
semakna dengan ghufrân adalah maghfiroh, yang artinya
penutupan atau pengampunan yang diberikan Allah SWT
terhadap kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Kata ghafara
jika ditambahkan tiga huruf alif, sin, dan ta akan menjadi
istaghfara-yastaghfIrû-istighfârân. Penambahan tiga kata
meminta ampun.2
memohon ampun. Ampunan bukan hanya untuk menghapuskan
dosa akan tetapi sebagai pemeliharaan dari kejahatan dan dosa.
Menurut al-Râghib al-Afahânî kata istighfar adalah meminta
ampunan dengan ucapan dan perbuatan, karena apabila istighfar
hanya sekedar ucapan saja tanpa diiringi perbuatan yang baik
maka hal tersebut termasuk pekerjaan pendusta.3
1 Al-Râghib al-Afahânî, Mufradât Alfâz al-Qur’an, (Beirut: Dar al- Fikr, 2002), h. 374.
2 Al-Râghib al-Afahânî, Mufradât Alfâz al-Qur’an, h. 470-474. 3 Ainul Haris, Kunci-Kunci Rizki Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah,
(Jakarta: Darul Haq, 2002), h. 10.
32
33
supaya manusia termotivasi ke jalan yang benar dan kembali
kepada-Nya. Istighfar juga dapat mendatangkan kebaikan dan
mencegah kejahatan di dunia maupun di akhirat bagi manusia.4
Memohon ampun sangatlah penting bagi manusia. Bukan
karena manusia mempunyai kesempatan untuk berbuat dosa,
tetapi karena Allah SWT berulangkali memerintahkan lewat
firman-firman-Nya baik dari al-Qur’an maupun lisan utusan-Nya
(Rasulullah SAW).5 Seperti dalam al-Qur’an,

Artinya: “Katakanlah : “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar [39] : 53).6
Dari definisi istighfar di atas baik menurut etimologi
maupun terminologi, penulis dapat mengambil kesimpulan.
Bahwa istighfar adalah permohonan ampun kepada Allah SWT
atas dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh manusia. Allah SWT
4 Abdul Hadi, Keutamaan Istighfar Dalam Kitab al-Azkâr al- Nawâwiyyah, h. 15-16.
5 Su’aib H. Muhammad, 5 pesan al-Qur’an, (Malang; UIN Maliki Press, 2011), h. 87.
6 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid VIII, h. 490..
34
ampun kepada-Nya.
a. Syarat – Syarat Istighfar
syarat-syaratnya. Menurut Yûsuf al-Qardâwî syarat-syarat
istighfar, antara lain:7
perbuatan manusia kecuali jika amal itu dilakukan
dengan ikhlas semata untuk-Nya. Allah SWT berfirman:

Artinya:“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).8
7 Yûsuf al-Qardâwî, Taubat, (al-Taubah ilâ Allah), terj. Abdul Hayyie al Kattani, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), Cet. I.
8 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid X, h. 766-767.
35
Dan sabda Rasulullah SAW,
Artinya: “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).
Hati dan lidah secara bersamaan melakukan istighfar.
Sehingga tidak hanya lidahnya yang berkata: aku
beristighfar kepada Allah SWT, sementara hatinya ingin
terus melakukan maksiat. Ibnu Abbas r.a berkata, “orang
yang beristighfar kepada Allah SWT dari suatu dosa
sementara ia masih terus menjalankan dosa itu maka ia
seperti orang yang sedang mengejek Rabbnya!”. Seorang
sufi besar Rabi’ah al-‘Adawiyah r.a berkata, “istighfar
kita butuh kepada istighfar lagi! Jika istighfar kita hanya
dengan lidah saja, tidak disertai dengan hati”.
Maksudnya istighfar yang dilakukan dengan kelalaian
hati, butuh kepada istighfar lagi dari kelalaian itu sendiri.
b. Macam – Macam Istighfar
diantaranya;9
Sayyidul Istighfar (penghulu istighfar), yaitu
mengucapkan:
Artinya: “Ya Allâh! Engkaulah Rabbku, tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain-Mu, Engkaulah Yang menciptakanku, dan aku adalah hamba-Mu, aku berada diatas ikatan dan janji-Mu selama aku mampu, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang aku buat, aku mengakui kepada-Mu atas nikmat-Mu kepadaku, dan aku juga mengakui kepada-Mu dosa-dosaku; maka ampunilah aku karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau” (HR. Bukhari no. 6306).
Lafaz: (Aku mohon ampun kepada Allah SWT yang Maha Agung).
Lafaz: (Tuhanku, ampuni aku).
Lafaz:
Artinya: “Ya Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705).
Lafaz: Artinya:“Tuhanku! Ampunilah aku dan berilah taubat kepadaku, sesungguhnya Engkaulah Maha Penerima
37
taubat lagi Maha Pengampun, (atau) Maha Penerima taubat lagi Maha Pengasih”.
Lafaz: Artinya: “Aku memohon ampun kepada Allah SWT Yang tidak ada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Dia Yang Maha Hidup Lagi Maha berdiri sendiri, dan aku bertaubat kepada-Nya”
Jika tidak hafal dengan kalimat itu, maka cukuplah dengan
ucapan astaghfirullâhal ‘adzim atau rabbighfirlî. Namun perlu
diketahui, sesuai mengerjakan istighfar di atas. Rasulullah SAW
berkata,

Artinya: “Barangsiapa membaca istighfar di siang hari dengan penuh keyakinan lalu yang bersangkutan meninggal sebelum petang datang, maka ia termasuk ahli surga. Dan barang siapa membacanya di malam hari dengan penuh keyakinan lalu yang bersangkutan meninggal sebelum subuh datang, maka dia termasuk ahli surga” (HR. Bukhari no. 6306).10 Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah istighfar terbagi
menjadi dua bagian. Pertama, istighfar mufrad ialah istighfar
yang diucapkan dengan lafaz sendiri. Seperti perkataan Nabi
Shaleh as dalam al-Qur’an,

10 Su’aib H. Muhammad, 5 pesan al-Qur’ân, Jilid II, h. 89-90.
38
Artinya: “Dia (Saleh) berkata, “Wahai kaumku! Mengapa kamu meminta disegerakan keburukan sebelum (kamu meminta) kebaikan? Mengapa kamu tidak memohon ampunan kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat?”. (QS. An-Naml [27]: 46)11
Kedua, istighfar maqrûn bi al-taubah ialah istighfar yang
disertai dengan taubah. Seperti perkataan Nabi Syu’aib as dalam
al-Qur’an,
3. Tujuan Dan Manfaat Beristighfar
a. Tujuan Beristighfar
Istighfar merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Hamba yang taat adalah hamba yang selalu mohon
ampun kepada Allah SWT. Banyak perintah Allah SWT
dalam al-Qur’an yang menyuruh hamba-Nya untuk
beristighfar.
Sebab turunnya hujan, mendapatkan harta dan anak serta
masuknya manusia ke dalam surga. Nabi Nuh berkata
11 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 240.
12 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 561-562.
39
SWT:
Artinya:“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nûh [71]: 10-12).13
Kekuatan menjadi bertambah dengan istighfar. Allah
SWT berfirman,

Artinya: “Dan (Hûd berkata): ”Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu lalu taubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa”. (QS. Hûd [11]: 52).14
13 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid. X, h. 390.
14 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 524.
40
SWT berfirman,

Artinya:“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. ika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Hûd [11]: 3).15 Terhindar dari azab Allah SWT. Allah SWT tidak akan
mengazab orang yang selalu beristighfar. Dia Allah
SWT berfirman,
Artinya:“Dan Allah SWT sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah SWT akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (QS. Al-Anfâl [8]: 33).16 Istighfar merupakan kebutuhan seorang hamba. Ia
dibutuhkan oleh hamba-hamba Allah SWT karena
mereka selalu berbuat kesalahan sepanjang malam dan
15 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 461.
16 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid III, h. 752-753.
41
pasti mengampuni mereka.

Artinya:“Dia berkata: "Hai kaumku mengapa kamu minta disegerakan keburukan sebelum (kamu minta) kebaikan? Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah SWT, agar kamu mendapat rahmat.” (QS. An-Naml [27]: 46).17 Istighfar merupakan kaffarat (Penghapus dosa) yang
dilakukan dalam suatu majlis.
sebab beliau beristighfar di dalam satu majlis sebanyak
70 kali. Dalam riwayat yang lain disebutkan, sebanyak
100 kali.
memiliki pengaruh yang luar biasa untuk menghilangkan
penderitaan, ketakutan, kesedihan, kesulitan, dan penyakit hati.
Orang-orang yang biasa melakukan dosa pada gilirannya akan
merasakan kebosanan, dan pada saat itulah ada keinginan untuk
melakukan dosa-dosa yang lain. Cara menghilangkannya adalah
17 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 240.
42
kepada-Nya.18
memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah SWT. Rasulullah
SAW menganjurkan untuk membaca istighfar setiap saat, agar
selalu didekatkan kepada Allah SWT. Apabila mengucapkan
istighfar dengan hati yang ikhlas, walaupun hanya satu kali.
Maka Allah SWT akan mengampuni pembacanya. Allah SWT
selalu mengampuni dosa-dosa hambanya betapapun besar dan
banyaknya selama hamba-Nya mau meminta ampunan kepada-
Nya.19 Rasulullah SAW menjelaskan fadhilah membaca istighfar,
diantaranya:
tidak terduga.
kesempitan.
tanda-tanda ancaman Allah SWT yang diciptakan-Nya
untuk menakut-nakuti hamba-hamba-Nya, seperti
kemiskinan.
18 Su’aib H. Muhammad, 5 pesan al-Qur’ân, Jilid II, h. 236. 19 Kaserun AS. Rahman, Kitab Istighfar, (Tangerang: Anggota IKAPI,
2015), h. 2.
Allah SWT.20
Istighfar termasuk satu dari dua hal yang dapat
membinasakan setan.
sebaik-baiknya manusia.
malam bagi orang yang beristighfar.
Istighfar anak akan mengangkat kedudukan orang tua.
Istighfar akan menghapuskan kenistaan-kenistaan lisan
dan menyelamatkan dari sifat riya.
Istighfar akan membantu dalam menghafalkan al-
Qur’an.21
tersendiri. Berikut ayat dan penafsirannya;
a. Terkadang Istighfar Juga Bisa Menjadi Haram. Misalnya,
istighfar untuk orang kafir. Allah SWT berfirman,

20 Ismail Al-Muqaddam, Fikih Istighfar, (Jakarta: Geramedia Pustaka Utama, 2016), h. 21-33.
21 Muhammad Arifin Ilham, Dahsyatnya Kekuatan Dzikir dan Sedekah, (Jakarta: Zikrul Hakim (Anggota IKAPI, 2017), h. 140-155.
44
Artinya: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah SWT) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwsannya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam.” (At- Taûbah [9]: 113).22
Imam al- Nawawî berkata,” Menshalatkan orang kafir dan
memohonkan ampun bagi mereka hukumnya haram, berdasarkan
nash-nash al-Qur’an dan ijma’ ulama.”23
Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menggambarkan
orang musyrik yang telah pasti kemusyrikannya baik dia kerabat
Nabi ataupun kerabat orang yang beriman, tidak patut Nabi dan
orang beriman untuk memohon ampun kepada Allah SWT
untuknya. Karena orang musyrik telah menyekutukan Allah
SWT.24
(istighfar) memohon ampun untuk orang musyrik itu tidak
diperbolehkan. Adapula istighfar di sini diartikan menshalatkan.
Sebagian ulama berkata, Aku tidak pernah meninggalkan shalat
jenazah atas seorang ahli kiblat, walaupun dia wanita Habasyi
yang hamil akibat zina. Karena tidak pernah mendengar Allah
SWT melarang kita menshalatkan jenazah kecuali orang-orang
musyrik.25
22 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 261.
23 Ismail Al-Muqaddam, Fikih Istighfar, h. 8-9. 24 M. Quraish Shihab, AL-LUBÂB Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari
Surah-Surah al-Qur’an, (Tanggerang: Lentera Hati, 2012), h. 595. 25 Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, ( Jakarta: Pustaka Azzam,
2008), h. 686-687.
Ajakannya Untuk Istighfar (Memohon Ampun) Kepada
Allah SWT.

Artinya: “Dia berkata: "Hai kaumku mengapa kamu minta disegerakan keburukan sebelum (kamu minta) kebaikan? Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat". (QS. An-Naml [27]: 46)26
Menurut Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan tentang
kaum Nabi Shaleh as. Ia menyuruh kaumnya untuk menyembah
Allah SWT. Ada yang mengikuti ajakannya dan ada yang
menolak ajakannya, ini menjadikan kaumnya menjadi dua
golongan. Nabi Shaleh mengajak dan menyuruh mereka
(golongan yang menolak) memohon ampun kepada Allah SWT
atas dosa-dosa selama mereka perbuat. Supaya mendapatkan
rahmat dan karunia dari Allah SWT.27
Menurut Abu Ja’far, hendaklah mereka (kaum yang
menolak ajakan Nabi Shaleh as) meminta ampun kepada Allah
SWT. Maksudnya adalah mengapa kamu tidak bertaubat kepada
Allah SWT atas kekafiran kalian dan tidak mendapat hukuman
atas kesalahan besar yang telah dilakukan. Tuhanmu akan
26 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 240.
27 M. Quraish Shihab, AL-LUBÂB Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an, h. 21-22.
46
Dalam kitab tafsir al-Qurthubi, orang musyrik hendaklah
bertaubat kepada Allah SWT dari kesyirikan kalian. Dikarenakan
mereka mengedepankan kekafirannya yang mengakibatkan siksa
dan mereka berkata dengan ingkarnya, siksalah kami.29
c. Memohon Ampun Dari Perbuatan Dosa Dan Bertaubat
Artinya: “Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun”. (QS. Nûh [71]: 10)30
Di dalam tafsir ath-Thabari, dijelaskan bahwa Nabi Nuh as
menyuruh mereka untuk memohon ampun kepada Allah SWT
atas dosa-dosamu dan bertaubatlah kepada-Nya atas kekufuran
dari syirik dan bersikap ikhlas dalam menyembah kepada Allah
SWT. Sesungguhnya Allah SWT Maha Pengampun bagi orang
yang kembali kepada-Nya dan bertaubat dari dosa-dosanya.31 Di
dalam kitab Tafsir Qurthubi, dijelaskan bahwa memohon ampun
di sini yakni memohon ampun dari dosa-dosamu yang terdahulu
dengan mengikhlaskan keimanan. Dan Allah SWT mendorong
mereka agar bertaubat.32
28 Abu Ja’far Muhammad, Tafsir Ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 896.
29 Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, h. 540-541. 30 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid X, h.
390. 31 Abu Ja’far Muhammad, Tafsir Ath-Thabari, h. 536. 32 Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, h. 278-279.
47
Secara etimologi taubat berasal dari bahasa arab yang
diambil dari huruf ta, wau dan ba. Dalam bentuk fi’il sulasi
mujarrad yakni tâba, yatûbu, taûbah artinya kembali (al-rujû’)33.
Misalnya dalam kalimat, rajâ’a ‘anil-ma’siah artinya kembali
dari perbuatan maksiat (telah kembali dari dosanya).34 Adapun
maksud taubat kepada Allah SWT adalah pulang kepada-Nya,
kembali keharibaan-Nya dan berdiri di depan pintu surga-Nya.35
Sedangkan secara terminologi taubat adalah kembali
kepada Allah SWT yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang
dengan penuh ketaatan dan ketundukan serta meninggalkan
larangan-Nya. Selain itu, taubat diartikan menyesali. Maksudnya
menyesali perbuatan yang telah dilakukan seseorang karena ia
menyadari bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan
kehendak dan keridhaan Allah SWT. Dengan demikian,
persyaratan penting bagi seseorang yang ingin diampuni dosa dan
kesalahannya yaitu melakukan amal kebaikan yang sebelumnya
ia tinggalkan dan menyesali perbuatan dosa yang pernah ia
lakukan.36 Ada beberapa pendapat tentang pengertian taubat,
diantaranya:
kembali dengan penyesalan dan keikhlasan yang semurni-
33 M. Sadik, Tobat Dalam Persektif al-Qur’an. h. 211. 34 Ibrahim Anis dkk, al-Mu‘ jâm al-Wasit (Kairo: Majma’ al-Lughah,
1972), h. 90. 35 Yusuf al-Qardhawi, Kitab Petunjuk Tobat Kembali Ke Cahaya Allah,
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2000), h. 62. 36 M. Sadik, Tobat Dalam Persektif al-Qur’an, Hunafa. h. 211.
48
membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang berkaitan
dengan lainnya. Kemudian menghiasi taubatnya dengan
ketakwaan yang murni kepada Allah SWT sebagai Tuhan.37
b. Menurut Imam al-Ghazâlî dalam kitabnya Ihya ‘ulumuddin,
taubat ialah kembali menempuh jalan yang benar dari jalan
yang salah yang telah dilaluinya.38
c. Menurut Quraish Shihab, taubat adalah kembali yaitu
kembali pada posisi semula. Kesadaran manusia akan
kesalahannya menjadi sebab Allah SWT
memperhatikannya dan hal itulah yang menyebabkan
manusia bertaubat.39
e. Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah hakikat taubat
adalah menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan di masa
lampau, membebaskan diri seketika itu pula dari dosa
tersebut dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di
masa mendatang. Tiga syarat ini harus berkumpul menjadi
37 Sisa Rahayu. Konsep Taubat Menurut Syaikh Abdul al-Qâdir Al- Jaîlânî Dalam Kitab Tafsir Al-Jaelani, (Skripsi S1 Ushuluddin, UIN WALISONGO, Semarang, 2014).
38 Imam al-Ghazâlî, Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mukmin, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1975), h. 851.
39 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, Tafsir Maudhu'î atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 216.
40 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 388.
49
satu pada saat bertaubat. Pada saat itulah dia akan kembali
kepada ubudiyah. Inilah yang disebut hakikat taubat.41
f. Menurut Ibnu Taîmiyyah taubat adalah menarik diri dari
sesuatu keburukan dan kembali kepada sesuatu tindakan
yang dapat membawa seseorang kepada Allah SWT.42
g. Menurut Harun Nasution, taubat yang dimaksud para sufi
ialah taubat yang sesungguhnya, taubat yang tidak akan
kembali kepada perbuatan dosa lagi. Selain itu Allah SWT
juga telah membuka pintu taubat dengan selebar-lebarnya.
Pintu itu akan senantiasa terbuka sampai tampaklah tanda-
tanda kiamat kubra (besar) yaitu dengan terbitnya matahari
dari sebelah barat.43
kembalinya manusia kepada Allah SWT dengan rasa menyesal
dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi dosa atau kesalahan
yang pernah dilakukan. Dan agar manusia yang benar-benar
mentaati perintah Allah SWT dan menjauhkan larangan-Nya.
Taubat sebuah tuntutan dan kewajiban dari Allah SWT
kepada semua umat manusia untuk ta’at dan patuh atas segala
perintah-Nya. Taubat dilihat dari kacamata sûfî merupakan
perhentian awal sebagai perjalanan menuju Allah SWT. Pada
tingkat paling dasar, taubat berhubungan dengan dosa yang
diperbuat oleh anggota badan. Sedangkan pada tingkat
41 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, Majaridus salikin, h.35. 42 Ibnu Taîmiyyah, Memuliakan Diri Dengan Taubat, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2003), h. 15. 43 Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi, Manusia Agung pun Menyesal,
(Jakarta: Penerbit Hikmah, 2004), h. 17.
50
badan, taubat lebih berkosentrasi pada pangkal-pangkal dosa dan
maksiat seperti sifat sombong, dengki, riya’, iri, ujub.
Selanjutnya pada tingkatan yang lebih tinggi taubat untuk
menghindar dari bujukan setan dan pada tingkatan yang paling
tinggi, taubat berarti penyesalan atas kelalaian jiwa dalam setiap
langkah selalu mengingat Allah SWT.44
Menurut al-Alûsi (1994:215), perintah bertaubat dalam
ayat-ayat al-Qur’an adalah perintah wajib bagi seluruh umat. Dan
dipertegas lagi oleh al-Zuhaili (1990:226) yang mengatakan
bahwa taubat itu wajib dan kewajibannya merupakan kewajiban
mutlak.
ketika musibah atau bencana telah datang kepadanya, saat ia tidak
berdaya lagi dan pada waktu yang sudah terlambat. Akan tetapi,
terkadang pula justru bencana sudah datang namun manusia tetap
belum kembali dan taat kepada Allah SWT. Bahkan tampak
semakin jauh dari-Nya, seperti keadaan jahiliyah moderen.
Jahiliyah moderen sering beranggapan penyebab bencana adalah
karena hukum alam. Semua kejadian di dunia hanya dihubungkan
dengan sebab, tidak dihubungkannya dengan rabbul asbab
(Tuhannya). Seperti, penggundulan hutan atau erosi tanah yang
menyebabkan pendangkalan sungai. Terjadi gempa, mereka
berkata karena pergeseran lempengan batu. Apabila terjadi
kebakaran, mereka berkata karena sambungan pendek listrik, dan
44 Rosihan Anwar dan Muhtar Sholihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h.71-72.
51
dan dihayati secara sungguh-sungguh, sebab-sebab itu untuk
menguji keimanan seseorang. Apakah yakin kepada kekuasaan
Allah SWT atau yakin kepada ciptaannya. Jahiliyah moderen
tidak menyadari, bahwa penyebab utama dari semua bencana
adalah disebabkan kemurkaan Allah SWT, akibat perbuatan dosa
yang dilakukan oleh manusia sendiri.45
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa taubat merupakan
kewajiban mutlak bagi semua orang yang beriman, baik laki-laki
maupun perempuan, karena manusia pada dasarnya secara
alamiyah, identik dengan kesalahan dan dosa. Sebagaimana kata
pepatah manusia dinamai manusia karena sifatnya yang lalai.46
2. Syarat - Syarat Dan Macam-Macam Taubat
a. Syarat – Syarat Taubat
Allah SWT, serta antara manusia dengan manusia maka
taubatnya harus memenuhi empat syarat, yaitu :
Harus menghentikan maksiat.
dilakukannya.
perbuatan itu kembali.
maka taubatnya, yakni menyelesaikan urusan dengan
orang yang berhak dengan minta maaf atas kesalahannya
45 M. Sadik, Tobat Dalam Persektif al-Qur’an. Hunafa. h. 215-216. 46 M. Sadik, Tobat Dalam Persektif al-Qur’an. Hunafa. h. 213.
52
Selain itu ada syarat lain yang berhubungan dengan
sesama manusia, yaitu pertama, kalau menuduh atau
memfitnah orang lain, segeralah meminta maaf. Kedua,
kalau dia diperguncingkan di belakangnya, akuilah
kesalahan itu terus terang dan minta maaflah.48
Menurut Imâm Nawâwî, sebagaimana yang ia sebutkan
dalam kitab al-Adzkâr, ada beberapa syarat yang harus kita
penuhi agar taubatnya diterima Allah SWT, diantaranya:49
Harus ada rasa penyesalan (Nadâmah) dalam hati atas
perbuatan dosa yang telah dilakukannya.
Berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi lagi
perbuatan dosa dan maksiat.
maaf kepada Allah SWT. Nabi SAW, setiap harinya
beristighfar tidak kurang dari 70 kali. Padahal beliau
sudah mendapat kepastian ampunan dari Allah SWT.
Berusaha menghindari atau meninggalkan lingkungan
yang memicu dan memacu berbuat maksiat dan dosa.
Sebab sebagaimana pun juga lingkungan pergaulan
sangat kuat pengaruhnya.
hak orang lain, maka kita wajib memohon kehalalan atau
47 Muhammad Fadholi, Keutamaan Budi Dalam Islam, (Surabaya : Al- Ikhlas, tt), h. 387.
48 Hamka, Tafsir al-Azhar, cet ke 1, Juz 28, h.315. 49 Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf Lelaku Suci Menuju Revolusi Hati,
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013), h. 53-56.
53
Allah SWT tidak menerima taubat seseorang yang
berbuat dzalim kepada saudaranya, hingga ia minta maaf
kepadanya.
berpendapat tiga, ada juga yang berpendapat dua. Menurut
Hasyim Muhammad dalam tradisi tasawwuf, taubat dikategorikan
dalam tiga tingkatan.50
yang melakukan taubat dituntut untuk memenuhi persyaratan
paling minimal, yaitu menyesali perilaku kesalahan yang telah
dilakukan dengan sepenuh hati, serta meninggalkan perilaku
kesalahan tersebut untuk selama-lamanya. Lebih dari itu juga
harus diikuti dengan keyakinan untuk tidak akan mengulangi
kesalahan yang sama.
kembali dari perbuatan yang baik menuju yang terbaik. Dalam
dirinya ada semangat untuk senantiasa meningkatkan kadar
kebaikan dan ketaatannya untuk menjadi lebih baik lagi dan lebih
taat lagi.
50 Hasyim Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi Telaah atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002), h. 30-31.
54
yang terbaik dengan tanpa motivasi apapun kecuali karena Allah
SWT dan untuk Allah SWT. Seseorang pada tingkatan ini secara
otomatis mencapai derajat wara’.
terbagi menjadi dua jenis, yaitu: 51
Taubat Bagi Kalangan Awwâm
dunia yang penuh dengan amal saleh melalui zikir kepada Allah
SWT, meninggalkan godaan hawa nafsu, dan beramal saleh. Ia
harus meninggalkan segala yang dilarang Allah SWT dan
melakukan segala yang diperintahkan-Nya.
tentang ketuhanan. Suatu peringkat yang lebih tinggi
kedudukannya daripada keadaan yang paling tinggi dalam
peringkat orang awwâm.
51 ‘Abd al-Qâdir al-Jaîlânî, Rahasia ufî Syaikh ‘Abd al-Qâdir al- Jaîlânî, terj. Khatib Abdul Majid, (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2010), h. 79.
55
a. Tujuan Bertaubat
melakukan penyimpangan dari jalan Allah SWT atau
mengembalikan diri ke jalan yang diridhai Allah SWT setelah
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tuntunan Allah
SWT. Perbuatan taubat pada umumnya selalu dikaitkan dengan
dosa yang dilakukan sebelumnya.
kesadaran agar selalu patuh terhadap perintah Allah SWT dan
meninggalkan larangan-Nya. Sebagai upaya untuk meningkatkan
kualitas iman, serta menjadi upaya meningkatkan kualitas ibadah
kepada Allah SWT, kesemuanya itu akan meningkatkan
perolehan pahala dari Allah SWT. Taubat sebuah perbuatan yang
sangat terpuji yang tidak hanya menjadi jalan untuk kembali ke
jalan yang benar, tetapi juga menjadi sarana peningkatan iman
dan kedekatan diri kepada Allah SWT. Taubat dasarnya harus
dilakukan kapan saja, baik berdosa ataupun tidak, merasa
menyimpang dari jalan yang benar atau tidak dan dalam keadaan
apa pun perbuatan taubat harus senantiasa dilakukan.52
Ada beberapa tujuan taubat, diantaranya:
Penghapusan Dosa Dan Untuk Mendapat Surga Allah
SWT
52 Ahmad Thib Raya, Hakikat Taubat, (Jakarta: 2007), h. 1-2.
56
ampunan dari Allah SWT dan mendapat anugerah yang telah
dijanjikan oleh Allah SWT kepada orang yang benar-benar
bertaubat kepadanya yaitu mendapat surga Allah SWT.
Menggantikan Keburukan Dengan Kebaikan
Mengalahkan Musuh Yang Abadi
setan. Ia telah disumpah di hadapan Allah SWT. Kata setan
“Aku benar-benar akan menyesatkan Bani Adam as dan
memperdayai mereka”.
Keburukan
adalah mengalahkan hawa nafsu yang bersemayam di hati nurani
dirinya dan yang selalu mendorongnya. Sebab sesuatu dengan
naluri yang sudah tersusun di dalam dirinya, akan kecenderungan
untuk mendekati keburukan, kedurhakaan, malas mengerjakan
kebaikan dan ketaatan. Di dalam al-Qur’an disebut dengan istilah
Ammarah bis-su’,53
b. Manfaat Taubat
akhirat, baik berupa rohani dan materi, akhlak dan amal,
individual dan sosial, diantaranya;
Manfaat yang paling penting ialah mendapatkan ampunan
dan menuju ke surga.
57
bertaubat dan memperbaiki dirinya setelah dia mengerjakan
kesalahan. Kesalahan yang dilakukan orang muslim telah
menodai imannya dan menciptakan luka baik besar maupun kecil
terhadap jiwanya.
Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa siapapun yang
ber-taubat dengan sebenar-benarnya kepada-Nya, niscaya Dia
akan mengampuni dosa-dosa orang tersebut.
Taubat Dapat Mengganti Keburukan Menjadi Kebaikan
Inilah salah satu kemurahan Allah SWT terhadap hamba-
Nya yang tidak pernah berputus asa dari mengharap rahmat dan
ampunan-Nya. Dia berkenan untuk menjadikan taubat sebagai
alat ganti keburukan menjadi kebaikan.
Taubat Dapat Mensucikan Hati
dosa maka di dalam hatinya akan terkumpul noda. Taubat itulah
yang mampu mensucikan. Orang yang bertaubat dengan sebenar-
benarnya niscaya hatinya akan menjadi suci.
Taubat Dapat Menjadikan Hidup Menjadi Tenang Dan
Damai
sebenar-benarnya, maka hatinya akan menjadi tenang. Itulah
salah satu alasan mengapa Allah SWT memerintahkan kita untuk
segera melakukan taubat ketika menyadari baru saja melakukan
kesalahan.
58
Kekuatan
dan kekuatan.
Akhirat
Sementara orang yang mau bertaubat, menyesali kesalahannya,
dan segera kembali kepada-Nya dengan banyak melakukan
perbuatan saleh. Maka dia, orang yang beruntung.54
4. Contoh Ayat Taubat dalam al-Qur’an
Penulis hanya mencantumkan tiga ayat saja yang berkaitan
dengan lafaz taubat saja di dalam al-Qur’an. Berikut ayat-ayat
dan penafsirannya;
Yang Bertaubat

Artinya: “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An- Nisâ’ [4]: 17).55
54 TM. Hasbi Ash-Shiddiqi, Al-Islâm, Jilid 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 465-475.
55 Bahrun Abubakar, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), h. 320.
59
sesungguhnya taubat disisi Allah SWT yakni penerimaan taubat
yang diwajibkan Allah SWT atas diri-Nya sebagai salah satu
bukti rahmat dan anugerah-Nya kepada manusia. Mereka yang
melakukan dosa, baik dosa kec