2. laporan farter 2 hemodialisis

Upload: desi-damayanti

Post on 14-Oct-2015

77 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jvyi

TRANSCRIPT

LAPORAN RESMIPRAKTIKKUM FARMAKOTERAPI 2HEMODIALISIS PADA GANGGUAN GINJAL KRONISDENGAN KOMPLIKASI HIPOTENSI

DISUSUN OLEH :Wigati NuraeniG1F011019Abner Edy SutdjiptoG1F011021Ade Rizki Nur AzharG1F011023Rifka HusniatiG1F011025Irma SetyawatiG1F011027Agung PrabowoG1F011029AlfianitaG1F011031Desy DamayantiG1F011033Rahmi Kania SorayaG1F011035

Kelompok / Kelas : 2 / AAsisten : Nasyiatul Aisyiah

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN FARMASI PURWOKERTO

2014

PENDAHULUAN

Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh manusia terutama dalam sistem urinaria. Pada manusia, ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam darah dan keseimbangan asam-basa darah, serta sekresi bahan buangan dan kelebihan garam (Pearce, 1999).Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah keadaan dimana fungsi ginjal mengalami penurunan yang progresif secara perlahan tapi pasti, yang dapat mencapai 60% dari kondisi normal menuju ketidakmampuan ginjal ditandai tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Pearce, 1999). Kondisi pasien dengan penyakit ginjal kronik masih dapat melakukan aktifitas hidup jika memperhatikan kualitas hidup yang cukup baik. Penyebab terjadinya penyakit ginjal kronik adalah disebabkan oleh beberapa penyakit serius yang diderita oleh tubuh yang mana berlahanlahan berdampak pada kerusakan organ ginjal, dan apabila penyakit ginjal kronik tidak segera mendapatkan perawatan yang intensif dapat menyebabkan kematian. Penyebab utama penyakit ginjal kronik adalah karena diabetes sebesar 50%, hipertensi 27%, dan glomerulonephritis 13% (Sidabutar, 1998).WHO memperkirakan setiap 1 juta jiwa terdapat 2330 orang yang mengalami ginjal kronik per tahun. Kasus penyakit ginjal di dunia per tahun meningkat lebih 50%. Di negara yang sangat maju tingkat gizinya seperti Amerika Serikat, setiap tahunnya sekitar 20 juta orang dewasa menderita penyakit ginjal kronik. Berdasarkan Profil KesehatanIndonesia Tahun 2008, bila dibandingkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, SKRT 2001, dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, terlihat proporsi kematian akibat penyakit tidak menular semakin meningkat, sedangkan penyakit proporsi penyakit menular telah menurun. Proporsional Mortality Ratio (PMR) akibat penyakit tidak menular telah meningkat dari 42% menjadi 60%. Sedangkan jumlah pasien penderita penyakit ginjal kronik di Indonesia diperkirakan 60.000 orang dengan pertambahan 4.400 pasien baru setiap tahunnya.Hampir semua kasus penyakit ginjal kronik stadium V di bawa ke ruang hemodialisa untuk mendapatkan tindakan pengobatan. Bagi penderita ginjal kronik diadakan hemodialisa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Namun demikian hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal kronik dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal namun hanya sebatas upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala uremia. (Brunner and Suddart, 2001).

Tujuan Hemodialisis1. Membuang produk sisa metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat.2. Membuang kelebihan air dengan mengetahui tekanan banding antara darahdan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dan negatif(penghisap) dalam kompartemen dialisat.3. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

ISI

A. Definisi HemodialisisHemodialisis merupakan sebuah terapi medis. Kata ini berasal dari kata haemo yang berarti darah dan dialisis sendiri merupakan proses pemurnian suatu sistem koloid dari partikel-partikel bermuatan yang menempel pada permukaan. Pada proses digunakan selaput Semipermeabel. Proses pemisahan ini didasarkan pada perbedaan laju transport partikel. Prinsip dialisis digunakan dalam alat cuci darah bagi penderita gagal ginjal, di mana fungsi ginjal digantikan oleh dialisator.Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).

Hemodialiser

B. Hal-hal yang harus diperhatikan pada pasien hemodialisis Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.Kemudian Thiser dan Wilcox (1997) menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar kreatinin serum 810 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selanjutnya Thiser dan Wilcox (1997) juga menyebutkan bahwa indikasi relatif dari hemodialisa adalah azotemia simtomatis berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi.Sebelum melakukan proses hemodialisis maka hal-hal yang harus diperhatikan atau diperiksa terkait bagaimana kondisi pasien yaitu :1. Mengukur tekanan darah2. Menimbang berat badan3. Mengatur posisi pasien4. Observasi KU5. Observasi TTV6. Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti dibawah ini :- Dengan interval A-V Shunt/fistula simino- Dengan eksternal A-V Shunt/schungula- Tanpa 1-2 (vena pulmonalis)

C. Mekanisme HemodialisisHemodialisa merupakan salah satu dari terapi pengganti ginjal, yang digunakan pada penderitadengan penurunan fungsi ginjal. Hemodialisis berfungsi menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan oleh ginjal, dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Indikasi dilakukannya hemodialisis adalah ketika kadar kreatinin serum pasien mencapai 810mg/dL, uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik (oedempulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi. Terdapat tiga prinsip dasar dalam melakukan hemodialisa yaitu proses difusi, ultrafiltrasi, dan proses osmosis. Alat-alat yang digunakan dalam proses hemodialisis meliputi dialyzer, watertreatment, larutan dialisat, system pemberian dialisat, mesin hemodialisis, dan tusukan vaskuler.Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2) kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et al., 2007).Mekanisme utama pada proses hemodialisis adalah darah dipompakan dari dalam tubuh masuk ke dalam suatu ginjal buatan yaitu dialiser yang terdiri dari 2 kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke dalam kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat yang kemudian akan dibersihkan pada dializer dan selanjutnya akan dipompakan kembali ke dalam tubuh pasien. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen atau berdifusi. Dengan menggunakan kompeterisasi, beberapa parameter penting dapat dimonitor seperti laju darah dan dialysat, tekanan darah, detak jantung, daya konduksi maupun pH (Brunner dan Suddarth, 2002).

Melalui Aretriovenous Fistula, aliran darah dari tubuh pasien dialihkan ke mesin hemodialisis yang terdiri dari selang Inlet/arterial (menuju ke mesin), dan selang Outlet/venous (dari mesin kembali ke tubuh). Jumlah darah yang menempati sirkulasi darah di mesin mencapai 200 mL. Darah akan dibersihkan dari sampah-sampah hasil metabolisme secara kontinu menembus membran dan menyebrang ke kompartemen dialisat. Di lain pihak, cairan dialisat mengalir dengan kecepatan 500 mL/menit ke dalam kompatemen dialisat. Selama proses hemodialisis, heparin diberikan untuk mencegah pembekuan darah ketika berada diluar vascular (Brunner dan Suddarth, 2002).Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel (dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al., 2007).Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan gerakan cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et al., 2007).

Waktuataulamanyahemodialisadisesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4-5 jam dengan frekuensi 2 kaliseminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10-15 jam/minggu dengan QB 200-300mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 3-5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2-3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam proses hemodialisa (PERNEFRI,2003).

Pasien Hemodialisis

D. Komplikasi Hipotensi pada Pasien HemodialisisHipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi selama berlangsungnya proses hemodialisis dan umumnya berhubungan dengan sejumlah besar dari pengilangan cairan. Hipotensi intradialisis umumnya terjadi pada orang tua dan pasien dengan diabetes. Gejala lain seperti mual dan kejang sering terjadi selama hipotensi akut. Penggantian asetat dengan bicarbonate sebagai buffer dialisat, penggunaan pengontrol ultrafiltrasi volumetric, dan penambahan kadar natrium dapat mengurangi kejadian hipotensi (Dipiro, 2008).Hipotensi saat hemodialisis terjadi 20% lebih besar pada pasien diabetes dibandingkan nondiabetes. Gambaran klinis biasanya ringan seperti lemah badan dan lemas pasca hemodialisis. Hipotensi pada pasien nefropati diabetik dan usia lanjut sering berbahaya karena dapat memicu penyakit jantung iskemik dan gangguan irama jantung. Mekanisme utama hipotensi saat hemodialisis berhubungan dengan ketidak-seimbangan antara cardiac output dan gangguan untuk meningkatkan peripheral vaskular resistance. Disfungsi diastolik berhubungan dengan kardiomiopati diabetik akan menyebabkan penurunan pengisian ventrikel kiri yang menyebabkan penurunan cardiac output dan hipotensi saat hemodialisis pada pasien diabetes. Definisi hipotensi saat hemodialisis adalah bila tekanan darah sistolik < 90 mmHg, bila tidak diterapi dapat menyebabkan hipotensi kronik dimana tekanan darah sistolik < 100 mmHg diantara hemodialisis Kepustakaan lain menyatakan bahwa anemi dapat menyebabkan hipotensi saat hemodialisis karena menurunnya viskositas darah dan resistensi pembuluh darah perifer. Anemi dapat menyebabkan angina pektoris saat hemodialisis dan penurunan hematokrit pada pasien diabetes dapat memperburuk angina (Miles, 2000).Suhu yang tinggi selama hemodialisis berhubungan dengan kehilangan panas yang disebabkan oleh vasokontriksi kutaneus sebagai respons atas hipovolemia pada awal hemodialisa, yang menyebabkan refleks vasodilatasi dari pembuluh darah kutaneus pada akhir hemodialisis dan dapat menyebabkan hipotensi. Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari hemodialysis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH masih merupakan masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti mual dan kram, memiliki pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialysis. Sebagai tambahan, IDH sering membutuhkan cairan, atau penghentian dialisi lebih awal, yang kedua hal tersebut dapat menyebabkan pembuangan cairan tidak adekuat. Pasien dengan IDH, sering mengalami keadaan kelebihan cairan (volume overload) dan dialysis sering tidak adekuat.Pathogenesis dari hipotensi intradialisis multifactor, namun secara umum disebabkan sebagai hasil dari gangguan tiga factor utama yang memainkan peran dalam stabilitas hemodinamik selama hemodialysis : pertama, refilling volume darah dari interstisial ke dalam kompartemen vascular, sehingga disebut preservasi volume darah: kedua, konstriksi dari resistance vessels seperti arteri yang kecil dan arteriol, dan ketiga, mempertahankan output jantung, melalui peningkatan kontraktilitas miokardium, heart rate, dan konstriksi dari capacitance vessel seperti venula dan vena.Banyak intervensi/cara untuk mencegah IDH seperti: penggunaan dialysis temperature dingin, pengaturan profil natrium, peningkatan kadar kalsium dialisat, dan beberapa penggunaan pressor agents seperti midodrine. Pada beberapa literatur, pengertian intradialytic hypotension (IDH) tidak memiliki standarisasi dan beberapa studi memiliki definisi yang berbeda. Namun kebanyakan mendefinisikan sebagai penurun tekanan darah dnegan disertai munculnya gejala spesifik. Penurunan tekanan darah bisa relative atau absolut. Sampai saat ini, belum ada evidence based yang merekomendasikan pengertian IDH. Manifestasi dari IDH bervariasi mulai dari asimptomatik sampai dengan syok. The EBPG working group menekankan bahwa menurunnya tekanan darah disertai dengan penurunan tekanan darah sistolik kurang dari samadengan 30 atau tekanan darah sistolik absolut dibawah 90mmHg. Hipotensi pada dialysis bisa muncul dengan berbagai gambaran klinis.Komplikasi kardiovaskulear dari IDH termasuk : kejadian iskemia (kardiak atau neurologis); thrombosis vascular; disritmia; dan infark vena mesenterika. Efek IDH jangka panjang termasuk; kelebihan cairan dikarenakan ultrafiltrasi yang suboptimal dan pemberian bolus cairan resusitasi, pembesaran ventrikel jantung kanan, yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas; serta hipertensi interdialisis.Beberapa subgroup pasien yang mempunyai kencenderungan terjadinya IDH antara lain pasien dengan diabetes CKD, penyakit kardiovaskular, status nutrisi yang jelek, dan hipoalbuminemia, uremic neurophaty atau disfungsi autonomic, anemia yang berat usia diatas 65 tahun dan tekanan darah sistolik predialisis kurang daro 100 mmHg. Namun demikian belum ada penelitian epidemiologis dalam jumlah skala besar untuk mendefinisikan factor factor resiko yang hubungan dengan kejadian ODH, walaupun IDH muncul lebih sering pada pasien dengan diabetes dan hipotensi predialisis. Walaupun pasien dialysis memiliki tensi yang normal (nomotensi) atau hipertensi, dapat mengalmai IDH. Derajat beratnya IDH pada satu pasien mungkin bisa bervariasi dari waktu ke waktu. Insiden IDH sangat bervariasi selama periode 24 bulan. Selain itu, ada variasi tekanan darah pada pasien hemodialysis.

E. Patofisiologi Komplikasi Hipotensi yang dikarenakan HemodialisisKooman, Gladziwa, dan Bocker (1999) menyebutkan faktor dasar penyebab intradialisis hipotensi adalah penurunan volume darah. Awal hemodialisis terjadi penurunan volume darah tiba-tiba akibat perpindahan darah dari intravaskuler ke dalam dialiser. Penurunan volume darah memicu aktivasi reflek cardiopressor menyebabkan peningkatan aktifitas saraf parasimpatis mengakibatkan penurunan curah jantung dan turunnya tekanan darah (Barnas, Boer & Kooman, 2002).Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan darah selama hemodialisis: umur, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia, large interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat antihipertensi. Pada sisi lain, faktor-faktor yang berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat berkontribusi terhadap instabilitas hemodinamik: sesi hemodialisis yang pendek, laju ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi sodium dialisat yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari membran dan lain-lain. Faktor yang kelihatannya paling dominan dari kejadian IDH ini adalah berkurangnya volume sirkulasi darah yang agresif, dikarenakan ultrafiltrasi,penurunan osmolalitas ekstraselular dengan cepat yang berhubungan dengan perpindahan sodium, dan ketidakseimbangan antara ultrafiltrasi dan plasma refilling. Dari segi pandangan fisiologi, IDH dapat dipandang sebagai suatu keadaan ketidakmampuan dari sistem kardiovaskular dalam merespon penurunan volume darah secara adequat. Respon adequat dari sistem kardiovaskular termasuk refleks aktivasi sitem saraf simpatetik, termasuk takikardia dan vasokonstriksi arteri dan vena yang merupakan respon dari cardiac underfilling dan hipovolemia. Mekanisme kompensasi ini dapat terganggu pada beberapa pasien, yang akan menyebabkan mereka mempunyai faktor resiko terjadinya IDH. Bagaimanapun, hal-hal seperti ini sulit untuk diukur dan untuk dimodifikasi. Suatu studi komprehensif mengenai regulasi volume darah selama HD, dapat menolong kita untuk mengerti tentang kemungkinan IDH pada individu pasien.Hipotensi selama dialisis mencerminkan besarnya jumlah cairan yang pindah dari intravaskuler ke jaringan sekitarnya. Volume darah selama hemodialisis dipertahankan tergantung pada cepatnya pengisian ulang kompartemen darah dari jaringan sekitar. Penurunan volume darah menyebabkan penurunan cardiac output yang pada akhirnya menyebabkan hipotensi. Kadar hematokrit dapat dipakai sebagai monitor terjadinya perpindahan cairan selama hemodialisis (Bregman dkk, 1994;Daugirdas, 2001). Fluktuasi rata-rata ultrafiltrasi Idealnya konstan selama dialisis, bila alat pengontrol rusakberakibat terjadinya fluktuasi perpindahan cairan akibat perubahan tekanan yang terjadi pada membran dialisis. Salah satu pencegahan apabila alat pengontrol ultrafiltrasi rusak adalah penggunaan membran dialisis yang sangat tidak permeabel terhadap air, sehingga fluktuasi tekanan transmembran akan digantikan perpindahan cairan yang lebih kecil (Bregman, 1994).Penurunan volume darah tergantung pada jumlah cairan yang berpindah dari pembuluh darah ke cairan dialisat. Bila kecepatan ultrafiltrasi rendah maka pengisian plasma oleh cairan ekstravaskuler lebih banyak sehingga cairan intravaskuler menjadi lebih banyak, sehingga risiko hipotensi berkurang (Bregman, 1994,Sherman, 2001).Kadar konsentrasi natrium yang lebih rendah dari plasma menyebabkan kejadian hipotensi saat hemodialisis, hal ini disebabkan darah yang kembali dari dializer menjadi hipotonis dan untuk mempertahankan keseimbangan osmosa, maka air akan meninggalkan kompartemen darah sehingga terjadi penurunan akut volume darah yang kembali ke jantung, terjadilah hipotensi. Pengguanaan dialisat konsentrasi rendah harus diimbangi denganpenurunan rata-rata ultrafiltrasi pada saat awal hemodialisis untuk mengkompensasi penurunan osmosis pada intravaskuler (Bregman, 1994; Sherman, 2001).Perubahan kapasitas vena dapat menyebakan penurunan pengisian jantung dan penurunan cardiac output. Lebih dari 80% volume darah total berada di vena. Kemampuan mengubah kapasitas vena dimiliki oleh aliran darah splanchnic dan kulit. Perubahan kapasitas vena dikarenakan proses pasif vena akibat pemindahan tekanan dari pembuluh darah arteriol. Jadi penurunan tekanan arteriol menyebabkan peningkatan transmisi tekanan arteri ke vena dan vena akan berdilatasi secara pasif sehingga darah akan berada di vena yang berakibat jumlah darah ke jantung berkurang (Cases dkk, 2002; Andrelli, 2002). Peningkatan heart rate dan kontraktilitas merupakan kompensasi karena penurunan tahanan pembuluh darah perifer. Pada pasien dengan mekanisme kompensasi jantung rusak, penurunan tahanan pembuluh darah perifer yang kecil mengakibatkan hipotensi. Pasiendengan gagal ginjal terminal mulai mengeluh berbagai gejala akibatpenumpukan uremia. Sedangkan uremia menyebabkan aktifasi kronispada endotel vaskuler dan mendepresi miokard secara langsung sehingga kontraktilitas miokard berkurang (Obrador dkk, 2002; Foley dan Parfrey, 1998).

F. Penatalaksanaan Komplikasi Hipotensi pada Pasien HemodialisisPenatalaksanaan komplikasi hipotensi intradialisisa. Pendekatan Lini Pertama. Konseling asupan makanan (restriksi garam) . Menghindari asupan makanan selama dialisis . Pengukuran berat badan kering . Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialisis . Penggunaan temperatur dialisat 36.5oC . Periksa dosis dan waktu pemberian obat antihipertensi (Kooman Jeroen et al,2007)b. Pendekatan Lini kedua. Evaluasi performa jantung . Penurunan temperatur dialisat secara berkala mulai dari 36.5oC sampai 35oC . Memperpanjang waktu dialisis dan/atau frekuensi dialisis . Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1.50 mmol/l (Kooman Jeroen et al,2007)c. Pendekatan Lini Ketiga. Pertimbangan pemberian midodrine . Pertimbangkan suplementasi L-carnitine (Kooman Jeroen et al,2007)d. Posisi TrendelenburgPosisi trendelenburg harus dipertimbangkan pada penatalaksanaan IDH. Namun efikasi masih terbatas. Posisi ini sering digunakan pada penatalaksanaan IDH, dengan penerapan manuver ini, volume aliran darah berkurang di perifer dan lebih tersentralisasi. Namun, hanya sedikit studi yang menilai efikasi posisi ini. Pada suatu studi, peningkatan volume darah hanya sekitar 0.4%. Tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan dalam perubahan tekanan darah selama dialisis setelah menerapkan posisi terndelenburg. Sebagai kesimpulan, efek dari posisi trendelenburg pada volume darah sangat kecil (Kooman Jeroen et al,2007; W Sulowicz et al,2006; Biff F. Palmer et al,2008).e. Stop UltrafiltrasiUltrafiltrasi harus dihentikan selama episode IDH. Menghentikan ultrafiltrasi, akan mencegah penurunan volume darah lebih jauh, dan akan memfasilitasi refill volume darah dari kompartemen intrestisial. Memperlambat laju aliran darah terkadang dapat digunakan dalam pengobatan IDH(Kooman Jeroen et al,2007; W Sulowicz et al,2006; Biff F. Palmer et al,2008). f. Pemberian CairanSalin isotonik harus diinfuskan, pada pasien yang tidak respon dengan penghentian ultrafiltrasi dan posisi trendelenburg selama episode IDH. Pemberian cairan ini paling sering diberikan untuk meningkatkan volume darah selama kejadian IDH. Baik kristaloid dan koloid telah dipelajari dalam pengobatan IDH. Beberapa studi telah menilai efek dari salin isotonik, glukosa hipertonik, manitol, dan larutan koloid. Pada studi tersebut membandingkan efek dari isovolumetrik infus glukosa 5 dan 20%, salin 0.9% dan 3.0% dan manitol 20% dalam volume darah selama ultrafiltrasi, peningkatan volume darah paling besar selama pemberian larutan glukosa hipertonik. Pada studi lain, peningkatan volume darah lebih besar setelah pemberian infus 100 ml plasma ekspander gelofusin dibandingkan dengan 100 cc salin isotonik. Pada studi lain, tidak ada perbedaan signifikan antara pemberian albumin dibandingkan salin isotonik untuk penatalaksanaan IDH. Sebagai kesimpulan baik salin isotonik dan larutan albumin sama-sama efektif pada pengobatan IDH. Salin hipertonik tidak lebih superior dari salin isotonik, dan albumin tidak lebih superior dari albumin atau HES pada penatalaksanaan IDH(Kooman Jeroen et al,2007; GrefA. Knoll et al, 2004). g. Intervensi farmakologisMidrodin merupakan suatu obat alpha-1 agonist oral. Metabolit dari midodrine,desglymidodrine, menyebabkan konstriksi dari resistance dan capacitance vessels. Midrodrine mencegah IDH dengan mempertahankan volume darah sentral dan cardiac output, dan peningkatan resistensi vaskular perifer. Midodrin efektif diekskresikan melalui hemodialisis, dan waktu paruh berkurang sampai 1.4 jam dengan hemodialisis. Midodrine memiliki efek jantung yang minimal, dan efek susunan saraf pusat, dikarenakan spesifisitas terhadap reseptor 1, dan tidak melewati BBB. Pemberian dosis tunggal midodrine (5 mg) 30 menit sebelum sesi dialisis berhubungan dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik dan MAP intradialisis dan pos dialisis, dibandingkan dengan sesi dialisis tanpa penggunaan midodrine. Penelitian lain menunjukkan efikasi dari penggunaan midodrine berketerusan (8 bulan) dan tidak ada tanda-tanda efek samping yang berkembang. Namun beberapa literatur pernah menemukan komplikasinya berupa supine systolic hypertension. Beberapa studi mengemukakan efek samping yang dijumpai antara lain scalp paresthesias, heartburn, flushing, nyeri kepala, nyeri leher, dan kelemahan tungkai, urinary urgency, dan gangguan tidur. Pasien juga harus dimonitor untuk kemungkinan bradikardia, oleh karena midodrine dapat menstimulasi refleks parasimpatis. Midodrin harus digunakan secara hatihati pada pasien CHF dan obat-obat kronotropik negatif seperti beta-bloker, digoksin, dan CCB nondihidropiridin. Penggunaan bersama-sama dengan obat -adrenergik yang lain seperti efedrin, pseudoefedrin, dan phenylpropanolamin harus dihindari, oleh karena akan mencetuskan supine hypertension. Suatu studi membandingkan efektivitas dari midodrine dan dialisis temperatur dingin. Baik dialisis temperatur dingin, dan midodrine sama-sama efektif dalam pencegahan IDH, dan tidak ada perbedaan respon tekanan darah dan insidensi IDH diantara kedua terapi tersebut. Efektivitas dari beberapa obat vasoaktif dalam pencegahan IDH telah dilaporkan. Data mengenai efektivitas dan keamanan dari lisin vasopresin, ergotamin, metilen blue, sertralin dan dobutamin sangat terbatas dan tidak bisa dijadikan rekomendasi. Pada beberapa literatur menyimpulkan bahwa dosis awal midodrine adalah 2.5 mg, dimakan 30 menit sebelum dialisis, dengan dosis maksimal 10 mg, efektif dan mungkin aman dalam pencegahan IDH, walaupun data tentang keamanan dalam penggunaan jangka panjang masih terbatas. Namun, superioritas dari midodrine dibandingkan dari intervensi lain belum dapat dibandingkan (KDOQI Guidelines,2005; Kooman Jeroen et al,2007; Paik Seong lim et al,1977).L-carnitine, suplementasi zat golongan ini harus dipertimbangkan dalam pencegahan IDH jika pengobatan standar lainnya gagal. Pada pasien hemodialisis, kadar L-carnitine menjadi rendah oleh karena berkurangnya biosintesis oleh ginjal, dan kehilangan dari cairan dialisat. Defisiensi l-carnitine dapat menyebabkan berkurangnya fungsi sistolik dari jantung. Pemberian l-carnitine juga meningkatkan fraksi ejeksi dari ventrikel kiri. Suatu penelitian dengan pemberian infus L-carnitin 20 mg/kg pada setiap sesi dialisis mengurangi frekuensi IDH dan kram otot (44% banding 18% dan 36% banding 13%) dibandingkan dengan plasebo. Mengenai alasan atas keuntungan ini belum jelas, namun kemungkinan dikarenakan peningkatan fungsi otot polos vaskular dan fungsi otot jantung. Namun, masih sedikit bukti mengenai suplementasi l-carnitine berguna dalam pencegahan IDH (KDOQI Guidelines,2005;Kooman Jeroen et al,2007; W Sulowicz et al,2006).Dopamin, merupakan katekolamin yang memproduksi efek ionotropik dan kronotropik pada miokardium, sehingga meningkatkan heart rate dan kontraktilitas jantung. Onset kerja dopamin adalah 5 menit setelah pemberian intravena, dan waktu paruh sekitar 2.5 menit. Efek predominan dopamin sangat tergantung dosis. Pada dosis infus rendah (0.5-2 g/kg/menit) dopamin menyebabkan vasodilatasi. Pada dosis infus sedang (2-10 g/kg/menit) dopamin bekerja merangsang 1-adrenoreseptor, menyebabkan peningkatan kontraktilitas miokardium. Pada dosis infus tinggi (10-20 g/kg/menit) menyebabkan efek pada -adrenoreseptor, dengan efek vasokonstriktor dan peningkatan tekanan darah. Suatu penelitian oleh Wen-Yuan Chiu et al, mengemukakan bahwa pemberian dopamin selama sesi dialisis dapat diterapi dan efektif untuk grup pasien IDH simptomatik. Pada penelitiannya, penggunaan infus dopamin pada dosis 20 g/kg/meenit, dan tidak melebihi dosis tersebut karena dosis tersebut tidak memberikan efek yang lebih baik untuk miokardium namun meningkatkan resiko vasokonstriksi dan iskemia(KDOQI Guidelines,2005;Kooman Jeroen et al,2007; Wen-Yuan Chiu et al,2007).

G. Pencegahan Komplikasi Hipotensi pada Pasien HemodialisisManagement dari hipotensi termasuk menempatkan pasien dalam posisi trendelenburg, mengurangi laju ultrafiltrasi, dan penggunaan normal atau hipertonis saline (NaCl). Intervensi nonfarmakologi dan farmakoterapi telah digunakan untuk mengurangi insidensi terjadinya gejala hipotensi dialisis. Jika pasien masih memiliki gejala hipotensi setelah intervensi nonfarmakologi maka dapat digunakan oral midodrine (prodrug dari agonis 1-adrenergik). Dosis penggunaan midodrine yaitu 2,5-25 mg sebelum dialisis. Penggunaan midodrine telah dilaporkan dapat menaikkan systole (dari 93-97 menjadi 107-114 mmHg) dan diastole (dari 52-53 menjadi 58-59 mmHg) selama berlangsungnya dialisis. Gejala dialisis seperti kejang, lelah, pusing, dan lemah berkurang dengan penggunaan midodrine. Sebuah study jangkan panjang menunjukkan bahwa midodrine 10 mg yang diberikan 30 menit sebelum dialisis menghasilkan perbaikan dari hipotensi lebih dari 8 bulan tanpa efek samping. Midodrine oral diberikan 5 mg dua kali sehari untuk menaikkan tekanan darah pada pasien hemodialisa yang mempunyai hipotensi kronis dan memiliki tekanan darah rendah walaupun tidak sedang menjalani dialisis (Dipiro, 2008, hal.857).Pemberian intravena dari levocamitine (20 mg/kg saat akhir dialysis) dapat mengurangi insidensi hipotensi. Namun levocamitine memilki harga yang mahal dan data yang terbatas sehingga menjadikannya alternative terapi ketiga atau keempat (Dipiro, 2008).

(Dipiro, 2008).Suatu penelitian Prakash tahun 2004 pada 117 pasien yang diberi Midodrine 2,5-10 mg,15-30 menit sebelum hemodialisis, dapat mencegah hipotensi saat hemodialisis

(Prakash, 2004)

PENUTUP

a. Kesimpulan Hemodialisa merupakan salah satu dari terapi pengganti ginjal, yang digunakan pada penderitadengan penurunan fungsi ginjal. Hemodialisis berfungsi menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan oleh ginjal, dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Indikasi dilakukannya hemodialisis adalah ketika kadar kreatinin serum pasien mencapai 810mg/dL, uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik (oedempulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi. Terdapat tiga prinsip dasar dalam melakukan hemodialisa yaitu proses difusi, ultrafiltrasi, dan proses osmosis. Alat-alat yang digunakan dalam proses hemodialisis meliputi dialyzer, watertreatment, larutan dialisat, system pemberian dialisat, mesin hemodialisis, dan tusukan vaskuler.

b. Saran Pasien Hemodialisa sangatlah tergantung dengan mesin semasa sisa umurnya. Dalam pelaksanaan Hemodialisa sangatlah banyak komplikasi dan kemungkinan yang terjadi sehingga diperlukan perawatan yang maksimal. Pengontrolan penggunaan obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien hemodialisis juga harus dikontrol dan di monitoring agar tidak timbul reaksi efek samping baru atau interaksi lain yang disebabkan karena penggunaan obat sehingga meminimalisir komplikasi lain.

DAFTAR PUSTAKA

Andrelli S, Colzani S, Mascia F, Lucchi L, et al. 2002. The Role of Blood Volumereduction in The Genesis of Intradialytic Hypotension. Am J. Kidney Dis. 2002: 1244-54Anonim. 2010. Hemodialisis . http://elektromedik.blogspot.com/2010/06/hemodialisis-cuci-darah.htmlAntonios H., Tzamaloukas H., Friedman E.A., 2007, Diabetes. Handbook of Dialysis, 3:453-465.Barnas, G.W., Boer, W.H., & Koomnas, H.A. (2002). Hemodynamic patterns and spectral analysis of heart rate variability during dialysis hypotension.http://jasn.asnjournals.org/cgi/content/abstract/10/12/2577 Diakses pada tanggal 4Juni2014 Biff F. Palmer et al, Recent Advances in the Prevention and Management of IntradialyticHypotension: J Am Soc Nephrol 19: 811, 2008. doi: 10.1681/ASN.2007091006Bregman H, Daugirdas JT, Ing TS. 1994. Complication During Hemodialysis. Handbook ofDialysis 2 nd ed Boston: Little Brown; 1994: 149-56Brunner, Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Cetakani 8 vol 2. Jakarta EGC.ChenJ., 2006, Dialyability of Antihypertension. Seminars in Dialysis;19:141-145.Brunner, L.S. dan Suddarth, D.S. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal BedahVol2.Jakarta: EGC.Corwin, Elizabeth J.2000.Buku Saku Patofisiologi.EGC: Jakarta.Daugridas, JT. 2000. Cronic Hemodyalisis Prescription : A Urea Kinetic Approach.Daugirdas JT. 2001. Pathophisiology of Dialysis Hypotension: An Update In: Am.J. KidneyDis. 2001; 38 : (4 supp 4): 11-7Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2007. Handbook of Dialysis, 4th ed. Phildelphia. Lipincott William & Wilkins.Dikow R., Ritz E., 2005, Hemodialysis and CAPD in Type 1 and Type 2 Diabetic Patients with Endstage Renal Failure. The Kidney and Hypertension in Diabetes Mellitus, 6:703-723.Dipiro J.T., Talbert R.L., Yee G.C., Matzke G.R., Wells B.G., Posey L.M., 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Edition, The McGraw-Hill Companies, Inc.,United States.Foley RN, Parfrey PS. 1998. Cardiovascular disease and mortality in ESRD. J Nephrol. 1998; 11 (5): 239-45 GrefA. Knoll et al, Randomized, Controlled Trial of Albumin versus Saline for the treatment of Intradialytic Hypotension: Journal of the American Society of Nephrology 15: 487-492, 2004Inrig J.K., 2007, Crit-Line Intradialytic Monitoring Benefit (CLIMB) Study, Am J. Kidney Dis, 50:108-118.KDOQI Clinical Practice Guidelines for Cardiovascular Disease in Dialysis patients: NKF KDOQI Guidelines, National Kidney Foundation Inc 2005Kooman, J.P., Gladziwa, U., & Bocker,. (1999). Roleof the venous system in hemodynamicsduring ultrafiltration and bicarbonate dialysis. Kidney International. 42.718726.Kooman Jeroen et al, European Best Practice Guidelines (EBPG) Guideline on haemodynamic instability: Nephrology Dialysis Transpant (2007); Oxford UniversityPress, pg ii22-ii44Mees D., 2006, Cause and prevalence of Intradialytic Hypertension, Artif Organs;19:569-570.Miles A.M., Friedman E.A., 2000, Complication of Dialysis Diabetic Patients, Complication Of Dialysis:697-704.Obrador GT, Pareira BJG. 2002. Systemic Complication of Chronic Kidney Disease:pinpointing clinical manifestation and best management. Postgrad Med 2002; 111(2):115-22Paik Seong lim et al, Midrodrine for the treatment of intradialytic hypotension, Division ofNephrology, Department of Medicine, Kuang Tien General Hispital, Shalu Chen, Taichung, Taiwan/ROC: Nephron 1977;77:279-283Pearce Evelyn. 1999. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT Gramedia PustakaUtamaPernefri. 2003. Konsensus Dialisis, Edisi I. Jakarta: Penerbit Perhimpunan Nefrologi Indonesia FK UI.Prakash S., 2004, Midodrine for Intradialytic Hypotension. Nephrol Dial Tranplant, 19:2553-2558.Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2.Jakarta : EGC.Rachmadi, D., Fina Meilyana., 2009, Hemodialisis pada Anak dengan Chronic Kidney Disease, Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009.Sherman RA. 2001. Modyfying the Dialysis Prescription to Reduce IntradialyticHypotensive. Clinical Dilemmas in Dialysis: Managing The Hypotensive Patient. Am.J. Kidney Dis. 2001; 38 (4 supp 4); 18-25 Cases A, Collie. Chronic Hypotension in the Dialysis Patient. Journal of Nephrology. 2002.; 15: 331-5Sidabutar, RP dan Suhardjono. (1998). Gizi pada Gagal Ginjal Kronik. Jakarta: PerhimpunanNefrologi Indonesia.Tisher, C. C. & Wilcox, C. S., 1997, Buku saku nefrologi. Edisi 3. EGC, Jakarta.Wen-Yuan Chiu et al, Intradialytic Dopamine Therapy in Maintenance Hemodialysis Patients with Persistent Hypotension: Acta Nephrologica Vol. 21, No 1, 2007.W Sulowicz et al, 2006, Pathogenesis and treatment of dialysis hypotension: InternationalSociety of Nephrology 2006, pg s36-s39.0