02 bab ii interim tinjauan kebijakan

Upload: cipta-riyana

Post on 10-Mar-2016

43 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kebijakan

TRANSCRIPT

LAPORAN INTERIM

LAPORAN INTERIM

Bab 2Tinjauan Kebijakan

.2.1 Landasan Hukum2.1.1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang PelayaranBerikut ini adalah beberapa hal yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang terkait dengan pemanduan, antara lain:

1. Pemanduan adalah kegiatan pandu dalam membantu, memberikan saran, dan informasi kepada Nakhoda tentang keadaan perairan setempat yang penting agar navigasi-pelayaran dapat dilaksanakan dengan selamat, tertib, dan lancar demi keselamatan kapal dan lingkungan.

2. Perairan Wajib Pandu adalah wilayah perairan yang karena kondisi perairannya mewajibkan dilakukan pemanduan kepada kapal yang melayarinya.

3. Pandu adalah pelaut yang mempunyai keahlian di bidang nautika yang telah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan pemanduan kapal.4. Untuk kepentingan keselamatan dan keamanan berlayar, serta kelancaran berlalu lintas di perairan dan pelabuhan, Pemerintah menetapkan perairan tertentu sebagai perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa.

5. Setiap kapal yang berlayar di perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa menggunakan jasa pemanduan.

6. Penyelenggaraan pemanduan dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan dan dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan yang memenuhi persyaratan.

7. Penyelenggaraan pemanduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipungut biaya.

8. Dalam hal Pemerintah belum menyediakan jasa pandu di perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa, pengelolaan dan pengoperasian pemanduan dapat dilimpahkan kepada pengelola terminal khusus yang memenuhi persyaratan dan memperoleh izin dari Pemerintah.9. Biaya pemanduan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebaskan bagia. kapal perang; dan

b. kapal negara yang digunakan untuk tugas pemerintahan10. Petugas Pandu wajib memenuhi persyaratan kesehatan, keterampilan, serta pendidikan dan pelatihan yang dibuktikan dengan sertifikat11. Petugas Pandu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan tugasnya berdasarkan pada standar keselamatan dan keamanan pelayaran.

12. Pemanduan terhadap kapal tidak mengurangi wewenang dan tanggung jawab Nakhoda13. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan perairan pandu, persyaratan dan kualifikasi petugas pandu, serta penyelenggaraan pemanduan diatur dengan Peraturan Menteri

2.1.2 Peraturan Menteri Perhubungan No 57 Tahun 2015Berikut ini adalah beberapa cuplikan penting dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 57 Tahun 2015 tentang pemanduan, yaitu:1. Pemanduan adalah kegiatan pandu dalam membantu, memberikan saran dan informasi kepada Nakhodatentang keadaan perairan setempat yang penting agar navigasi-pelayaran dapat dilaksanakan dengan selamat, tertib, dan lancar demi keselamatan kapal dan lingkungan.

2. Penundaan Kapal adalah bagian dari pemanduan yangmeliputi kegiatan mendorong, menarik, menggandeng, mengawal (escort), dan membantu (assist) kapal yang berolah-gerak di alur-pelayaran, daerah labuh jangkar maupun kolam pelabuhan, baik untuk bertambat ke atau untuk melepas dari dermaga, jetty, trestle, pier, pelampung, dolphin, kapal, dan fasilitas tambat lainnya dengan mempergunakankapal tunda sesum dengan ketentuan yang dipersyaratkan.

3. Sumber Daya Manusia (SDM) Pemanduan adalah personil yang memiliki kualifikasi dan kompetensi tertentu dalam kegiatan pelaksanaan pemanduan dan penundaan kapal.

4. Pandu adalah pelaut yang mempunyai keahlian di bidang nautika yang telah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan pemanduan kapal5. Sarana Bantu Pemanduan adalah peralatan atau sistem yang berada di luar kapal serta didesain dan dioperasikansecara langsung digunakan pandu dalam melakukan tugas-tugas pemanduan untuk meningkatkan keselamatan, efisiensi dalam berolah gerak kapal.

6. Prasarana Pemanduan adalah peralatan atau sistem yang didesain untuk meningkatan keselamatan dan efisiensisecara tidak langsung digunakan untuk membantu pandu dalam melakukan tugas-tugas pemanduan.

7. Kapal Tunda yang berfungsi sebagai Sarana Bantu Pemanduan adalah kapal dengan karakteristik tertentu digunakan untuk kegiatan mendorong, menarik,menggandeng, mengawal (escort), dan membantu (assist) kapal yang berolah-gerak di alur pelayaran, daerah labuh jangkar maupun kolam pelabuhan,baik untuk bertambat ke atau untuk melepas dari dermaga, jetty, trestle, pier, pelampung, dolphin, kapal, dan fasilitas tambat lainnya.

8. Kapal Pandu yang berfungsi sebagai Sarana Bantu Pemanduan adalah kapal dengan karakteristik tertentu digunakan untuk kegiatan mengangkut pandu dari atau ke kapal yang akan dipandu.

9. Kapal Kepil yang berfungsi sebagai Sarana Bantu Pemanduan adalah kapal dengan karakteristik tertentu digunakan untuk kegiatan mengambil atau membawa tali tambat kapal ke dermaga, bolder, dolphin, dan pelampung10. Perairan Pandu Luar Biasa adalah suatu wilayah perairan yang karena kondisi perairannya tidak wajib dilakukan pemanduan, namun apabila Nakhoda atau pemimpin kapal memerlukan pemanduan dapat mengajukanpermintaan untuk menggunakan fasilitas pemanduan11. Perairan pandu sebagaimana dimaksud meliputi:

a. perairan wajib pandu; dan

b. perairan pandu luar biasa

12. Perairan wajib pandu sebagaimana dimaksud, diklasifikasikan dalam:

a. perairan wajib pandu Kelas I;

b. perairan wajib pandu Kelas II; dan

c. perairan wajib pandu Kelas III2.2 Definisi PemanduanSetiap kapal berukuran tonase kotor GT 500 atau lebih yang berlayar dalam perairan pelabuhan waktu masuk, keluar, atau pindah tambatan wajib mempergunakan pandu. Penyelengaraan pemanduan di Indonesia ditentukan dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 57 Tahun 2015 dan berlaku untuk kapal-kapal yang lebih besar dari 500 GRT. Perairan wajib pandu dibagi dalam kelas I, II, dan III, dan pelayanannya hanya memberi bantuan kepada nakhoda.

Menurut Undang-undang Pelayaran No. 17 Tahun 2008 (Bab I Pasal 1) : Pemanduan adalah kegiatan pandu dalam membantu, memberikan saran, dan informasi kepada Nakhoda tentang keadaan perairan setempat yang penting agar navigasi-pelayaran dapat dilaksanakan dengan selamat, tertib, dan lancar demi keselamatan kapal dan lingkungan.Menurut Capt. Arso Martopo (2004 : 5), mempunyai definisi-definisi tentang :

1. Pemanduan adalah kegiatan pandu dalam bantu-membantu nahkoda kapal, agar navigasi dapat dilaksanakan dengan selamat, tertib dan lancar dengan memberikan informasi tentang keadaan perairan setempat yang penting demi keselamatan kapal dan lingkungan.

2. Penundaan kapal adalah bagian dari pemanduan yang meliputi kegiatan mendorong, menarik atau menggandeng kapal yang berolah gerak, untuk bertambat ke atau untuk melepas dari dermaga, JETTY, TRESTLE, PIER, Pelampung, DOLPHIN, kapal dan fasilitas tambat lainnya dengan menggunakan kapal tunda.

Mendefinisikan apa yang diartikan dengan pemanduan kapal tidaklah tepat apabila tidak diawali dengan pengertian kata dasarnya, yaitu pandu. Memulai subbab 2, berikut ini beberapa batasan pengertian yang dirumuskan Para ahli berkenaan dengan personel pandu. Francis Rose dalam bukunya Tentang hukum kepanduan mendefinisikan pandu (pilot) sebagai seseorang bahkan awak kapal yang bertugas menuntun kapal melintasi sungai, terusan, Atau ke/dari pelabuhan terutama karena memahami kondisi perairan setempat.

Pilot is a person other than the master or one of the crew of a vessel who is taken on board especially for the purpose of conducting it through a river, road or channel, or from or into a port, particularly with regard to his knowledge of local conditions.

Pertimbangan utama nakhoda kapal untuk memakai jasa pandu adalah karena pandu yang bersangkutan mengetahui bahkan sangat hafal akan keunikan dan liku-liku sungai, terusan, atau kolam pelabuhan yang dilintasi atau dikunjungi kapalnya.

Pengertian pandu yang diberikan Francis Rose tersebut di atas dikuatkan dengan pendapat Dr. AG. Corbet yang menyatakan bahwa setiap orang bukan awak kapal yang menuntun kapal adalah pandu. Pernyataan ini menunjukkan bahwa seseorang yang profesinya menuntun kapal namun bukan sebagai perwira atau awak di kapal yang dituntun tersebut, adalah pandu.

Pandu bertanggung jawab penuh dalam menjalankan tugas memberikan nasihat kepada nakhoda kapal. Pandu yang bersangkutan adalah person in charge, dan tidak hanya semata-mata membantu memberi nasihat dalam manuver atau olah gerak kapal.

Definisi lebih rinci dibuat oleh Nautical Institute dalam salah satu paper working group, antara lain dikatakan bahwa pandu terikat membantu navigasi pada alur pelayaran dan memfasilitasi penambatan serta pemberangkatan kapal. Alasannya adalah, bahwa pandu mampu mengantisipasi secara akurat pengaruh arus maupun perubahan pasang-surut, ahli menjalankan kapal pada jarak dekat daratan dan terusan sempit, mengerti kesibukan lalu lintas kapal, komunikasi akrab dengan stasiun dan sistem pengaturan lalu lintas kapal di pantai, kemahiran mengolah gerak kapal, kemampuan mengomandokan kapal-kapal tunda, mengurangi tingkat kelelahan nakhoda kapal, tambahan personel ahli menjalankan kapal. Kehadiran pandu di atas kapal menghindari kemungkinan nakhoda melakukan kesalahan fatal serta meningkatkan keselamatan maupun efisiensi operasi kapal.

Pada hampir semua negara termasuk Indonesia personel pandu diharuskan bersertifikat yang dikeluarkan pemerintah, mereka dikenal dengan state-licensed pilots. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, calon menempuh pendidikan dan latihan. Bagi yang sudah dipekerjakan sebagai pandu setiap 3 tahun diharuskan mengikuti pelatihan penyegaran, diuji, dan apabila lulus diberikan perpanjangan sertifikat.

Secara internasional juga telah menjadi kelaziman dibedakannya minimal 2 macam pandu, yaitu pandu yang melayani kapal untuk berlayar atau penyeberangan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain (sea pilot), dan pandu yang melayani kapal yang datang dan/atau pergi ke/dari satu pelabuhan (port pilot).

Sebagai contoh di Amerika, di sana pandu laut adalah pandu yang ditempatkan sebagai perwira kapal dalam satu rute pelayaran tertentu (being an officer serving on board a ship in the course of a voyage) sedangkan pandu bandar adalah seseorang yang naik ke kapal dengan maksud untuk menuntun kapal melintasi lingkungan perairan tertentu atau yang dinamakan perairan wajib pandu (pilotage grounds).

Di indonesia berdasarkan PM no 57 Tahun 2015 pandu dibedakan menjadi Pandu Tingkat II, Pandu Tingkat I dan pandu Laut Dalam. Pandu Laut Dalam dapat ditempatkan di atas sebuah kapal niaga yang berlayar menuju pelabuhan tujuan. Pandu Tingkat I dan Tingkat II menjalankan tugas hanya terbatas pada lingkungan kerja atau kolam pelabuhan saja. jadi, Pandu Tingkat I dan Tingkat II tidak memandu kapal dyang berlayar antar pelabuhan melainkan hanya di area perairan pelabuhan.

Tingkat presisi, risiko maupun tantangan bagi Pandu Tingkat I dan Tingkat II jauh lebih besar jika dibandingkan dengan risiko ataupun tantangan yang dihadapi pandu laut dalam. Bagi personel pandu, memandu kapal di kolam pelabuhan, faktor kesulitannya lebih berat atau lebih sulit daripada sekedar memandu kapal berlayar di laut lepas. Ini menjadi salah satu pertimbangan apa sebabnya seseorang untuk diangkat menjadi Pandu Tingkat I dan Tingkat II, harus melalui jenjang sebagai Nakhoda dulu.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran termasuk bagian Penjelasan, dinyatakan bahwa pandu adalah pelaut yang mempunyai keahlian di bidang nautika yang telah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan pemanduan kapal. Persyaratan tersebut mencakup kesehatan, kecakapan, pendidikan dan pelatihan.

Dengan uraian dan pendapat pakar di atas dapat dirangkum bahwa secara konseptual, pandu (sea/ harbour pilot) adalah personel perusahaan pelabuhan yang tidak hanya sekedar berpengalaman serta terlatih dengan baik akan tetapi memiliki keahlian dalam bidang navigasi maupun olah gerak kapal, mendapatkan sertifikat kelaikan sebagai pandu yang menjalankan tugas memberikan nasihat kepada nakhoda kapal yang berkunjung, berdasarkan

pengetahuan dan penguasaannya terhadap lingkungan kerja perairan wajib pandu setempat dengan menerima imbalan jasa pandu.

Kepanduan (pilotage) menunjukkan pengorganisasian aktivitas pandu menjalankan tugas pemanduan kapal, memberikan layanan menuntun kapal dalam area perairan wajib pandu, dan dengan mendapatkan imbalan jasa berupa uang jasa pemanduan. Alex L. Parks menyatakan bahwa" Pilotage is the act of a pilot in conducting a vessel over the pilotage grounds, and to imply the compensation for services performed by the pilot.

Ketika sedang menjalankan tugas memandu kapal, pandu berhadapan dengan kondisi yang unik (unique conditions). Pandu ditantang untuk berprestasi dalam arti mampu mengatasi rintangan alam dalam berbagai bentuk. Rintangan alam merupakan faktor kesulitan yang menentukan tingkat keberhasilan pandu mengatasinya. Kondisi unik tersebut akan menjadi faktor penentu prestasi pandu di lingkungan perairan wajib pandu setempat. Menghadapi tantangan alam yang setiap saat bisa berubah, pandu memerlukan tidak hanya pengetahuan navigasi akan tetapi mampu untuk membuat keputusan situasional berdasarkan keahlian.

Pemanduan kapal sebagai layanan universal senantiasa diintegrasikan dengan layanan penundaan kapal (towage) yaitu menarik dan/atau mendorong kapal dengan menggunakan kapal tunda atau kapal tarik. Parks memberikan pengertian yang lebih luas, yakni bahwa penundaan kapal adalah pengerahan kapal untuk menyeberangkan kendaraan air lainnya" towage is the employment of one vessel to expedite the voyage of another when nothing more is required than the accelerating of her progress".

Di negara-negara maritim Anglo Saxon umumnya dikenal dua jenis pemanduan kapal didasarkan pada pengenaan pungutan uang pandu (pilotage fee), yaitu: Compulsory Pilotage dan Voluntary Pilotage. Pemanduan wajib dilaksanakan apabila diatur dan ditetapkan dalam peraturan perundang undangan, dan pandu diberikan hak memungut uang jasa pandu.

Pada pemanduan sukarela, seorang nakhoda kapal tidak diwajibkan memakai jasa pandu dan peraturan tidak mengharuskan nakhoda yang bersangkutan untuk membayar uang jasa pemanduan.

Bagaimana penataan kegiatan serta pengusahaan pemanduan kapal di Indonesia? Seperti tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undanganyang antara lain menyatakan bahwa pemanduan (pilotage) adalah kegiatan pandu dalam membantu Nakhoda Kapal, agar navigasi dapat dilaksanakan dengan selamat, tertib dan lancar dengan memberikan informasi penting tentang keadaan perairan setempat demi keselamatan kapal dan lingkungan.

Dinyatakan lebih lanjut bahwa penyelenggaraan pemanduan dilakukan oleh pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada penyelenggara pelabuhan laut dalam hal ini PT (Persero) Pelabuhan Indonesia karena pelayanan pemanduan merupakan bagian dari pelayanan jasa kepelabuhanan.

Di Indonesia juga pemanduan dibedakan dua macam, didasarkan pada lingkungan kerja perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa. Setiap kapal yang berkunjung berukuran tonase kotor GT 500 atau lebih yang berlayar di perairan wajib pandu, diwajibkan memakai jasa pelayanan pandu dan untuk itu membayar uang jasa pandu. Kapal berukuran kurang dari 500 GT akan diberikan pelayanan jasa pemanduan atas permintaan nakhoda kapal. Demikian juga kapal yang berlayar pada perairan pandu luar biasa akan diberikan pelayanan jasa pemanduan atas permintaan nakhoda atau pemilik kapal yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian dan pendapat pakar di atas, kepanduan adalah: penataan dan pengorganisasian pelayanan jasa pemanduan terhadap kapal yang berlayar pada wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa yang didasarkan atas pertimbangan kondisi perairan yang dapat memengaruhi keselamatan pelayaran dan tingkat kepadatan lalu lintas kapal di lingkungan perairan setempat, termasuk pengaturan pengenaan pungutan jasa pandu.

2.3 Definisi Perairan Wajib PanduMengamati beberapa pengertian tentang pemanduan kapal pada subbab di atas, sepintas telah diungkapkan pengertian dari perairan wajib pandu yaitu dengan menggunakan istilah pilot waters, pilotage areas, dan pilotage grounds. Dinyatakan antara lain bahwa lingkungan kerja atau bagian wilayah laut di mana setiap olah gerakan atau manuver kapal harus dengan bantuan personel pandu, maka lingkungan itu adalah perairan pandu. Areas in which the movements of a vessel are conducted by piloting are often referred to as"pilot waters "

Perairan pandu dalam istilah lain dinamakan pilotage areas yaitu area dekat daratan di lokasi mana navigasi kapal berhadapan dengan lalu lintas kapal dan kondisi alam yang penuh risiko sesuai dengan situasi setempat, seperti angin, keadaan laut, arus laut serta pasang-surut, keterbatasan penglihatan dan sebagainya.

Pilotage areas are places close to land where navigation is carried out in the vicinity of dangers and regional traffic, subject to widely variable local conditions, such as: winds, state of the sea, tidal and marine currents, restricted visibility, among others.

Pengertian lebih spesifik dan regulatif dari pihak pemerintah selaku regulator, perairan wajib pandu adalah bagian perairan di tempat mana kapal yang melintasinya diharuskan menggunakan jasa pemanduan, dan biasanya lokasi tersebut ditentukan dengan peraturan perundang-undangan.

Pilotage grounds is that portion of the waters over which the pilot is required, usually by statute or regulations, to steer and direct the movements of a vessel.

Bagi pandu, lingkungan kerja pelabuhan adalah wilayah kerja di dalam mana ia harus mengolah gerak kapal dengan aman. Captain Jim Varney mengharapkan setiap pandu harus memerhatikan tidak hanya keselamatan kapal yang dipandunya, akan tetapi juga keselamatan serta perlindungan terhadap kapal maupun pengguna jasa pelabuhan lainnya, termasuk lingkungan kerja yang meliputi berbagai fasilitas pelabuhan itu."The pilot must take into account not only the safe conduct of the vessel he is piloting, but also the safety,protection and well-being of other vessels and users of the port, the port itself and the environment".

Terjaminnya alur-alur pelayaran yang bebas dari hambatan dan kerusakan lingkungan pantai akibat perbuatan tidak bertanggung jawab, juga termasuk bagian tugas pengawasan personel pandu. Bahwa pandu berperan tidak terbatas pada keselamatan kapal yang berkunjung, tetapi juga menegakkan hukum dalam pencegahan serta penanggulangan pencemaran lingkungan laut. "The certainty of free and unobstructed access channels and the guarantee against coastal environment damage originated by maritime disasters also depend upon the pilot"

Undang-undang Pelayaran Indonesia menetapkan dua macam perairan Pandu (pilot waters) yaitu perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa. Yang dimaksud dengan perairan wajib pandu adalah suatu wilayah perairan yang karena kondisi perairannya wajib dilakukan pemanduan bagi kapal berukuran 500 GT ke atas, untuk kepentingan keselamatan pelayaran.

Sedangkan yang dimaksud dengan perairan pandu luar biasa yaitu suatu wilayah perairan yang karena kondisi perairannya tidak wajib dilakukan pemanduan, dalam arti bahwa pemanduan dilakukan atas permintaan nakhoda atau pemilik kapal yang berkepentingan.

Dengan batasan pengertian tersebut di atas, kiranya jelas apa yang dimaksud perairan wajib pandu (pilotage grounds) atau (pilot waters) atau (pilotage areas) sebagai bagian dari lingkungan kerja pelabuhan secara khusus Atau wilayah kerja operasional. Perairan wajib pandu adalah wilayah perairan pelabuhan yang karena kondisi lingkungannya, setiap kapal yang berlayar keluar-masuk oleh pemerintah diwajibkan menggunakan jasa pemanduan untuk menjamin kelancaran lalu lintas kapal dan keselamatan pelayaran.

Pada literatur mancanegara sering digunakan terminologi compulsory pilot waters untuk menyatakan perairan wajib pandu dan non compulsory pilot waters untuk menyatakan perairan pandu luar biasa. Sedangkan untuk pelayanan penyelamatan seperti pertolongan dalam kecelakaan, penanggulangan pencemaran, dan pemadaman kebakaran dipakai istilah voluntary pilotage.

2.4 Fungsi Utama PanduSeorang nakhoda kapal memiliki pengetahuan dan keterampilan lengkap untuk bernavigasi di samudera luas (high seas), akan tetapi ada satu kelemahan dalam bernavigasi pada perairan mendekati pelabuhan yang sifatnya khusus (unique conditions) .Mengatasi keterbatasan itu, maka nakhoda didampingi pandu yang diorganisasikan perusahaan pelabuhan. Personel pandu kaya pengalaman dan pengetahuan tentang lingkungan perairan setempat, telah mengikuti berbagai pelatihan profesi pandu, dan disediakan untuk melayani permintaan nakhoda kapal. Kemahiran pandu menuntunal dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan pemerintah pusat atau pemerintah lokal (pilot is a person trained and licensed).

Dalam Bagian ini disajikan bahasan mengenai hubungan kerja antara nakhoda kapal berikut jajarannya di satu pihak dan pandu yang bertugas di lain pihak. Uraian hubungan kerja ini mencakup kedudukan hukum , aspek administratif, dan tanggung jawab antara nakhoda dengan pandu. Semua aspek tersebut menjadi bagian dari uraian tentang fungsi pandu sebagai penasihat nakhoda, pemberi layanan jasa, dan penegak hukum.

2.4.1 Penasihat Nakhoda Kapal

Fungsi pandu sebagai penasihat bagi kepentingan nakhoda kapal tidak secara eksplisit tercantum dalam Undang-Undang Pelayaran Republik indonesia. Dalam Pasal 199 ayat (2) dan (3) dikatakan bahwa petugas pandu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan tugasnya berdasarkan pada standar keselamatan dan keamanan pelayaran; pada ayat (3) pemanduan terhadap kapal tidak mengurangi wewenang dan tanggung jawab nakhoda" atau sebagaimana sering diringkas "under the master's command". Pasal 199 ini terdiri dari tiga unsur penting, yaitu: (l) merupakan bantuan kepada nakhoda, (2) dalam rangka menjamin keselamatan berlayar, dan (3) kepuru san akhir tetap berada di tangan nakhoda.

Unsur-unsur itu dapat dimaknai sebagai berikut: (l) pemanduan yang dilakukan dengan segala keahlian, keberanian mengambil risiko kerja, kemahiran mengatasi semua bentuk rintangan alam, kemampuan memberikan solusi atas berbagai kesulitan adalah merupakan bantuan atau asistensi memenuhi keterbatasan nakhoda; (2) perbantuan atau asistensi pemanduan bertujuan untuk memberikan kepastian akan keselamatan kapal beserta muatannya, terlepas dari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan kerugian berbagai pihak ; (3) selengkap dan seaman apa pun nasihat dari petugas pandu berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya, sama sekali tidak mengurangi wewenang nakhoda selaku pemimpin kapal untuk menentukan keputusan terakhir. Pandu tidak berwenang mengambil alih tanggung jawab nakhoda.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai penasihat nakhoda, pandu diwajibkan memberikan semua petunjuk yang diperlukan untuk berlayar dengan selamat dan untuk ketertiban lalu lintas yang teratur. Hal ini mengharuskan pandu untuk membantu nakhoda dengan segenap kemampuannya karena ia telah teruji lebih banyak mengetahui seluk-beluk lingkungan alur pelayaran setempat sehingga nakhoda mampu bernavigasi secara aman dan selamat dari kemungkinan terjadinya kecelakaan.

Meskipun kehadiran pandu di atas kapal tidak mengurangi tanggung jawab nakhoda , akan tetapi nasihat dan petunjuk pandu harus dapat dipertanggungjawabkan, dalam arti bahwa pandu tidak boleh semaunya memberi nasihat atau petunjuk. Penjelasan UU Pelayaran Tahun 1992 Pasal 16 ayat 3 paragraf b menyatakan petugas pandu bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pemanduan sehingga apabila melakukan kesalahan dalam pelaksanaan tugasnya dapat dikenakan tindakan administratif". Ketentuan ini dapat diartikan bahwa pandu mempunyai beban tanggung jawab administratif. Jikalau nasihat atau petunjuk yang diberikannya ternyata salah, maka pandu yang bersangkutan dikenakan tindakan administratif. Pernyataan ini masih menyisakan pertanyaan tentang siapa yang melakukan tindakan administratif terhadap pandu .

Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro , S.H dalam buku Hukum Laut Bagi indonesia menyatakan bahwa pandu yang menjalankan pekerjaannya di kapal seolah-olah merupakan salah seorang anak kapal. Pandangan ini menernpatkan seorang pandu sebagai seorang awak kapal yang tentunya bekerja di bawah komando nakhoda dan untuk itu pandu bertanggung jawab atas perbuatannya selama berdinas di kapal.

Pada kedudukannya sebagai penasihat atau asisten nakhoda maka antara keduanya berlangsung hubungan subordinatif di mana pandu berada pada kedudukan subordinat di bawah nakhoda. Sedangkan nakhoda tetap pada kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi di kapal, dalam hubungan ini pandu tidak bertanggung jawab . Walaupun karena alasan tertentu nakhoda meminta pandu mengambil alih pengolahan gerak kapal, dalam hal itu nakhoda tetap bertanggung jawab. Nakhoda kapal berwenang memberi teguran jika pandu dinilainya keliru dalam menjalankan tugasnya, bahkan dalam hal pandu tidak qualified atau tidak laik memandu kapal itu, nakhoda berhak menolak kehadiran pandu yang bersangkutan. Apabila nakhoda tidak merasa puas karena tidak mendapatkan pelayanan pemanduan yang layak, maka nakhoda selaku pemimpin kapal dapat melaporkan secara lisan dan/atau tertulis kepada pengawas pemanduan (superintendent).

Mahkamah Pelayaran Republik Indonesia berwenang menghukum nakhoda kapal dengan sanksi administratif kalau terjadi tubrukan kapal meskipun pandu bertugas di atas kapal. Kewenangan Mahkamah Pelayaran diatur dengan Peraturan Pemerintah Nom or 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal.

Sebuah sampel kecelakaan kapal yang masih dilayani pandu terjadi pada tangga l12 januari 2000 pukul 20.00 waktu setempat di perairan wajib pandu Sungai Musi, Palembang. Tubrukan terjadi antara KM Tunggal yang dilayani pandu di satu pihak dan TB Dewi I bersama BG Dewi II di pihak lain. KM Tunggal berangkat dari Pelabuhan Palembang dengan membawa 196 TEU's peti kemas menuju Surabaya. Dari arah berlawanan berlayar Kapal Tunda Dewi I dengan gandengan Tongkang Dewi II bermuatan kayu sebanyak 4.500 M3 log (kayu bulat) menuju Pelabuhan Palembang.

Ketika berkomunikasi melalui radio, KM Tunggal dan TB Dewi I setuju untuk berpapasan hijau-hijau. TB Dewi I segera kemudian mengubah haluan ke kiri diikuti tongkang gandengannya. Perubahan haluan TB Dewi I mengakibatkan BG Dewi II tepat berada pada posisi haluan KM Tunggal. Karena KM Tunggal tidak sempat mengurangi kecepatan, maka tubrukan tidak dapat dielakkan. KM Tunggal menubruk lambung kanan BG Dewi II sehingga tongkang tersebut miring dan sebagian muatan kayu tumpah ke laut, 4 orang awak kapal tongkang terlempar ke laut, dan TB Dewi I tenggelam . Korban hilang 3 orang yaitu 2 awak TB Dewi I dan 1 awak BG Dewi II.

2.4.2 Pemberi Layanan Jasa

Pelayanan pandu menuntun nakhoda dalam melakukan olah gerak kapal melayari perairan wajib pandu dalam rangka menyandarkan kapalnya sehingga aktivitas bongkar muat barang dapat berlangsung aman, pada prinsipnya didasarkan atas permintaan. Akan tetapi, untuk mengoperasionalkan ketentuan wajib pandu ditempuh langkah prosedur yang ditetapkan perusahaan penyedia jasa pandu yakni perusahaan pelabuhan. Perusahaan pelayaran atau agen menyampaikan dokumen permintaan yang dinamakan Permintaan Pelayanan kapal dan Barang (PPKB) kepada perusahaan pelabuhan . Setelah PPKB diteliti dan diberi nomor urut rencana kedatangan kapal, perusahaan pelabuhan memberi persetujuan dan menerbitkan PPKB-Disetujui (PPKB-D) untuk selajutnya diteruskan kepada pengguna jasa sebagai respons .

Proses persetujuan perusahaan pelabuhan atas permintaan dilayani penyedia jasa (service provider) untuk melayani pengguna jasa (customer). Ketika penyedia jasa menetapkan keputusan melayani konsumennya, sesungguhnya pada saat yang sama berlangsung penjualan (sales) atas jasa yang ditawarkan. Tidak jauh berbeda dengan penjualan tiket bioskop atau tiket pesawat terbang, maka PPKB-D pada prinsipnya merupakan tiket mendapatkan layanan jasa pemanduan . Bagi pelanggan , PPKB-D adalah tiket untuk dilayani. PPKB-D adalah dokumen penting, bahkan merupakan perikatan antara penyedia jasa dengan pengguna jasa di dalam mana penyedia jasa menyanggupi untuk menjalankan suatu prestasi bagi kepentingan pengguna jasa dan pengguna jasapun mengikatkan diri membalas prestasi .

Keputusan diambil oleh jajaran manajemen, eksekusi pelayanan di tangan pandu. Sebagai pelayan, pandu senantiasa memperhatikan mutu layanan. Tentu saja pandu mengutamakan kepuasan pelanggan dengan memberikan yang terbaik dari kemampuan yang dimilikinya dan dengan selalu menyadari bahwa pembeli adalah raja (The Customer as King). Jika pelanggan dikecewakan, jangan heran apabila pelanggan meninggalkan penyedia jasa seterusnya mencari yang lain . Ditinggalkan customer adalah harga yang mesti dibayar kalau layanan tidak bermutu standar. "...customer's response topoor service is similar-withdrawal of business and buying elsewhere".

Persetujuan atas permintaan layanan memiliki konsekuensi-konsekuensi baik moril maupun materil. Itulah sebabnya keputusan selalu diambil atas dasar kesiapan sumber daya pemanduan yang mencakup ketersediaan personel pandu, kapal-kapal tunda, dan waktu pelayanan sesuai dengan permintaan. Tidak terpenuhinya permintaan akan menimbulkan rasa kecewa atau poor service. Herbert A. Simon menyatakan bahwa konsekuensi suatu keputusan ditentukan oleh mereka yang membuat keputusan dan yang mengeksekusi pelayanan. Dikatakan bahwa "In making decisions their organizational loyalty leads them to evaluate alternative courses of action in term of the consequences ...".

Konsekuensi pada tingkat institusi yang tidak hanya sebatas perikatan atas diterbitkannya PPKB-D sesungguhnya adalah pada penetapan perairan wajib pandu itu sendiri. Menetapkan lajur laut berupa alur pelayaran, kanal, muara, dan perairan pedalaman sebagai pilotage grounds, konsekuensinya adalah semua kapal berukuran tertentu harus dipandu. Akan tetapi, apabila nakhoda membutuhkan pandu, namun pandu tidak tersedia atau berhalangan, maka konsekuensinya dapat menjadi materil.

Sebagai contoh kejadian di Inggris, ada satu putusan pengadilan yang mengharuskan pengelola pelabuhan membayar denda kepada kapal yang mestinya dilayani pandu, namun pandu absen menjalankan tugas . Kasus ini terkenal dengan kasus Anchor Line vs Dundee Harbour Trust. Inggris terkenal dengan Piloting Act yang mengatur penyelenggaraan pemanduan kapal. Berdasarkan peraturan yang telah berlaku efektif, pihak pelabuhan menyediakan pandu bagi kapal yang memerlukan ketika melintasi perairan wajib pandu. Setelah persetujuan atas permintaan dilakukan, kapal mulai bersiap -siap untuk bergerak, semua awak yang bertugas, perlengkapan, dan mesin kapal dalam posisi stand by. Karena sudah menunggu terlalu lama, pandu tidak juga datang, akhirnya nakhoda memutuskan untuk manuver sendiri menuju tempat bertambat. Dalam perjalanan mendekati perairan pelabuhan Tanpa pandu rersebut, dengan keterbatasan pengetahuan nakhoda terhadap Lingkungan setempat, sebuah buoy yang ditempatkan sebagai tanda batas alur Tertabrak oleh kapal yang bersangkutan sehingga rusak berat. Kemudian pihak kapal mengajukan claim kepada pengelola pelabuhan, dan pengadilan pendata di sana memutuskan untuk menghukum penguasa pelabuhan untuk membayar denda kepada pihak kapal dengan pertimbangan bahwa pandu telah lalai dalam menjalankan tugas dan fungsi pandu.

Captain jim Varney, FNI, FIMH, MCIT menulis pilotage Organization for Port Employed Pilots". Varney menyatakan:

...pilot's function, however, is an overall appreciation due to his local knowledge of the special regulations and unique conditions which exist in the port area.

Pernyataan Capt. Varney tersebut di atas membedakan layanan pandu dengan jenis layanan lain. Terdapat dua alasan utama Varney untuk menjelaskan tentang uniknya layanan pemanduan kapal. Pertama, pandu melayani jasa dengan berpedoman pada pengetahuan khususnya termasuk regulasi yang berlaku lokal atas lingkungan yang unik (unique conditions). Kondisi lingkungan setempat dikatakan unik karena kondisi khusus yang tidak ditemukan di tempat lain manapun di dunia ini. Kedua, pandu melayani permintaan nakhoda kapal untuk mengomando olah gerak kapal, bahkan memberikan aba-aba kepada seluruh awak kapal yang bertugas sesuai dengan pertimbangan (judgement) pandu membuat keputusan, bahkan disertai keberanian pandu mengambil risiko. Namun demikian, semua tindakan itu tidak mengurangi wewenang dan tanggung jawab nakhoda selaku pemimpin di kapal. Varney mengemukakan "When a pilot boards a vessel, he is given the conduct or the charge of ting the vessel while the master remains in command".

Satu lagi alasan yang mengemuka dapat ditambahkan tentang layanan unik pandu dalam fungsinya sebagai pemberi layanan jasa. Ditulis seorang pandu Liverpool bernama P.J.H. Tebay, FNI. Tebay mengemukakan pengalamannya semenjak dia bercita-cita menjadi pandu yang harus melalui berbagai program pelatihan untuk mendapatkan pengetahuan dan keahlian profesional (professional expertise) hingga menerima predikat sebagai pandu bersertifikat (icensed pilot) seraya bertekad menjadi pandu yang baik. Pandu harus memiliki kesabaran menunggu yang luar biasa.

A good pilot should have patience. You will need it waiting for your first licence, waiting for your ship, waiting for tide, lock, berth, and waiting (and waiting and waiting) for the ship to respond to your helm and engine orders. The impatient pilot is not only a pain to himself, he is often a considerable worry to others.

Pandu tidak sabar tidak hanya menyakiti dirinya sendiri tapi orang lain juga. mereka melayani dengan kesungguhan dan kesabaran. Khusus terhadap pandu yang berstatus partikelir di Inggris mereka disebut sebagai" ...the pilot is the servant of the ship owner who is responsible to third parties for any loss or damage arising from the pilot's negligence".

2.4.3 Penegak Hukum

Kedudukan dan fungsi pandu sebagai penegak hukum sesungguhnya bersumber dari peran historis pandu sebagai unsur pendukung kewenangan syahbandar dalam menegakkan hukum di bidang perkapalan dan pelayaran. Untuk menjalankan tugas-tugas kesyahbandaran , pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor. KM 109/HK.208/Phb-82 memberikan kewenangan kepada syahbandar melaksanakan penilikan tertib bandar, tertib berlayar, dan mengeluarkan surat izin berlayar, serta menegakkan hukum perkapalan dan pelayaran. Berkenaan dengan tugas pemanduan kapal, ketentuan itu juga mengatur bahwa di pelabuhan-pelabuhan wajib pandu, syahbandar bertindak sebagai pengawas operasional kepanduan, dan pandu berkewajiban membantu syahbandar dalam hal yang menyangkut tertib hukum perkapalan dan pelayaran.

Pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor. KM. 64 Tahun 2010 Organisasi dan Tata Kerja Kantor Syahbandar telah menetapkan fungsi dan tugas Seksi Kesyahbandaran, yaitu"melakukan pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan kelaiklautan kapal dan pemberian Surat Izin Berlayar, pengawasan kapal asing (Port State Control) dan bongkar muat barang berbahaya, serta pengusutan kecelakaan kapal" . Fungsi pengawasan yang dijalankan Kesya hbandaran antara lain terkait dengan pemanduan kapal adalah pemen uhan persyaratan kelaiklautan kapal dan Port State Control.

Kapal yang dilayani pandu adalah kapal yang sudah mendapat surat izin berlayar (SIB) dari Kesyahbandaran. Kapal yang diizinkan berlayar adalah kapal yang laik laut, yaitu kapal yang memenuhi persyaratan: (1) keselamatan kapal, (2) pencegahan pencemaran perairan dari kapal, (3) pengawakan, (4) pemuatan , (5) kesehatan dan kesejahteraan awak kapal serta penumpang, dan (6) status hukum kapal untuk berlayar di perairan tertentu. Yang dimaksud dengan (1) keselamatan kapal, adalah kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk radio, dan elektronika kapal , yang semuanya dibuktikan dengan sertifikat ; (2) pencegahan pencemaran perairan dari kapal, adalah peralatan di kapal guna mengolah limbah sampai nilai ambang batas yang serendah-rendahnya atau kurang dari 15 ppm; (3) pengawakan, adalah awak kapal berkeahlian, terampil , bersertifikat, berdisiplin, dan tercantum di dalam daftar sijil kapal; (4) pemuatan, adalah kapal tidak dibenarkan membawa muatan lebih dari yang diizinkan, secara visual dapat diamati pada garis skala sarat pada linggi haluan, linggi buritan dan terhadap merkah lambung timbul (plimsoll mark); (5) kesehatan dan kesejahteraan awak kapal serta penumpang, dimaksudkan bahwa kapal tidak terjangkit penyakit menular yang dibuktikan dengan sertifikat kesehatan (bill of health), termasuk bibit penyakit yang dapat ditularkan tikus, dibuktikan dengan sertifikat bebas tikus (deratting certificate) sesuai dengan Public Health (Ship) Regulations 1970. Pejabat kesehatan menyatakan bahwa kapal berada pada keadaan laik menaikkan dan menurunkan penumpang (freepratique) ; (6) status hukum kapal, dimaksudkan bahwa kapal mengibarkan bendera tanda kebangsaan kapal, memiliki dokumen kapal dan muatan secara lengkap, serta seluruh awak kapal memiliki dokumen keimigrasian yang sah

Terhadap kapal asing ketentuan konvensi IMO tentang Port State Control harus ditegakkan apabila pandu sebagai executor penyandaran , atau penambatan, dan pemberangkatan kapal menemukan sesuatu keadaan yang diyakini mengganggu atau merugikan keselamatan pelayaran, misalkan keadaan substandard, non-compliance, dan unsafe, maka pandu harus segera melaporkan kepada pejabat penilik (Port State Control Officer) dan membatalkan pelayanan pemanduan Kapal tanpa kelengkapan dan keabsahan dokumen dinyatakan sebagai non-comply sehingga pelayanan harus ditangguhkan . Dalam keadaan kapal ternyata substandard pelayanan juga harus ditangguhkan demi untuk keselamatan kapal, muatan , dan penumpang sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:

When a PSCO determines that a ship can be regarded a substandard ..., the port State should immediately ensure that corrective action is taken to safeguard the safety of the ship and its pass angers and/or crew and eliminate any threat of harm to the marine environment before permitting the ship to sail.

Pada keadaan yang lebih serius, antara lain unsafe condition, maka pandu wajib segera melaporkan kepada PSCO dan tindakan yang dilakukan tidak hanya menangguhkan pelayanan akan tetapi kapal ditahan untuk langkah corrective action tanpa mempedulikan kondisi pada saat di inspeksi pejabat sebelumnya. Untuk tindakan ini konvensi menyatakan :

...if the result of any of these assessments is negative, taking into account all defficiencies found, the ship should be strongly considered for detention... ships which are unsafe toproceed to sea should be detained upon thefirst inspection irrespective of the time the ship will stay in port.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum, pandu harus mampu menangkap tanda atau gejala dari keadaan non-compliance, sub standard, dan unsafe condition sebuah kapal sebelum membawanya masuk ke kolam atau lingkungan kerja pelabuhan atau sebelum memberangkatkannya untuk berlayar.

Fungsi pandu sebagai penegak hukum tidak dirumuskan secara eksplisit di dalam peraturan-peraturan pemanduan, namun dinyatakan secara tersirat sebagaimana diatur bahwa "apabila petugas pandu menjumpai adanya kekurangan di atas kapal yang menyangkut keselamatan dan/atau keamanan pelayaran, petugas pandu wajib segera melaporkan kepada pengawas pemanduan ...".32 Kekurangan menyangkut keamanan dan keselamatan pelayaran adalah keadaan non-compliance, substandard, dan unsafe tersebut di atas. Aturan pelaksanaan menyatakan"Petugas pandu dalam melaksanakan tugas pemanduan mempunyai kewajiban membantu nakhoda agar menaati dan memahami peraturan setempat yang berlaku serta perubahannya" dan "Pengawas pemanduan mempunyai tugas yang bersifat teknis meliputi menerima dan menindaklanjuti laporan petugas pandu mengenai nakhoda yang tidak menuruti peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau petunjuk pandu".

Pandu berwenang meminta nakhoda atau yang mewakilinya untuk menyatakan seluruh kondisi kapal yang terkait atau berpengaruh terhadap pelaksanaan penambatan atau pemberangkatan kapal oleh pandu yang bersangkutan. Nakhoda wajib mendeklarasikan draught, panjang, permesinan, stabilitas, alat komunikasi, dan muatan kapal. Pandu wajib secara visual memeriksa keadaan kapal dan meminta informasi lengkap serta benar dari nakhoda terutama hal-hal yang menyangkut keselamatan pelayaran. Dengan tidak menyembunyikan cacat, atau kelemahan dari karakteristik kapal, nakhoda wajib memenuhi permintaan pandu.

Apabila nakhoda tidak bersedia memenuhi permintaan pandu sebagaimana mestinya, maka pandu melaporkan kepada pengawas (superintendent) pemanduan. Pengawas operasi pemanduan dapat menindaklanjuti dengan menjatuhkan sanksi.

Jika ternyata situasi dan kondisi kapal dalam arti hukum dan fisik tidak laik laut, pandu dibenarkan membuat keputusan menolak untuk melayani pemanduan sesuai dengan rekomendasi IMO yang telah banyak dipraktikkan beberapa negara, di antaranya negeri Belanda. Rekomendasi IMO tersebut selengkapnya berbunyi: "The pilot should have the right to refuse pilotage when the ship to be piloted poses a danger to the safe navigation or the environment".

2.5 Operasi Pemanduan2.5.1 Pergerakan Kapal

Pada berbagai literatur, dikatakan bahwa mengendalikan gerakan kapal adalah seni Olah-gerak kapal mengombinasikan sejumlah variabel yang kompleks dan tidak dapat disebutkan secara rinci berapa kali dikeluarkan komando pandu untuk melayari sebuah terusan atau kolam. Setiap kapal bergerak perlakuan terhadapnya tidak dapat berulang, dalam arti bahwa gerakannya berbeda dengan gerakan pada waktu yang berbeda meskipun pada alur yang sama. Perbedaan komando maupun gerakan seperti itu diakibatkan oleh perbedaan situasi dan kondisi lingkungan laut yang dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu. Akan tetapi, kapal menurut saja kepada setiap komando maupun gerakan yang mengatur arah serta kecepatan dalam manouver.

Kapal dapat mengikuti setiap gerakan yang diperintahkan karena dilengkapi dengan mesin, baling-baling, kemudi, jangkar, tali tambat, alat alat komunikasi, dan awak (crew) yang keseluruhan memenuhi ketentuan kelaiklautan yang disyaratkan.

2.5.2 Profil Kapal Memengaruhi Keselamatan Pelayaran

Bangunan konstruksi, desain, dan perlengkapan kapal berikut dengan peralatan bantu keselamatan harus memenuhi peraturan perundang-undangan nasional maupun konvensi internasional (antara lain SOLAS '74 dengan perubahan- perubahannya).

A. Mesin dan Baling-baling.

Karakteristik mesin kapal ditentukan oleh jenis mesin pembangkit tenaga propulsi sebagai berikut:

1. Mesin Uap Torak

Response cepat

Tenaga mundur sama dengan tenaga maju

Jarang dipakai untuk kapal modern

2. Turbin Uap

Response lambat

Tenaga mundur sekitar 2/3 tenaga maju

Putaran bisa rendah sekali untuk maju dan mundur

3. Mesin Diesel

Mesin dari jenis yang sangat umum dipakai kapal besar

Cepat dihidupkan dan dimatikan

Tenaga minimum untuk olah gerak 30%

Pindahkan gerakan maju menjadi gerakan mundur larribat

Teknologi terus berkembang

4. Mesin Elektro Diesel

jenis yang mudah dikendalikan, cepat full power, putaran rendah dimungkinkan Tenaga mekanik mesin diteruskan menjadi tenaga propulsi melalui perputaran baling-baling.1. Baling-baling Tunggal (Single Screw)

Ketika melaju kedepan, haluan cenderung berat kekiri, jika bertambah maju pengaruh ini berkurang

Saat bergerak mundur, buritan cenderung berat kekiri , menyebabkan kapal agak melayang kekanan .

2. Baling-baling Kembar (Twin Screw)

Kedua baling-baling dapat maju atau mundur dengan RPM yang sama.

Kedua baling-baling berputar searah jarum jam, haluan berat ke kiri.

Kedua baling-baling berputar melawan arah jarum jam, haluan berat ke kanan.

B. Kemudi (Rudder)

Daun kemudi ditempatkan di belakang baling-baling dengan posisi tengah pada arah poros baling-baling untuk mendapatkan daya dorong air lebih efektif. Gaya melintang baling-baling menghasilkan efek gerakan sesuai dengan luasnya permukaan daun kemudi dan bentuk bawah buritan kapal. Tekanan terhadap bidang sisi kiri atau sisi kanan daun kemudi menghasilkan daya dorong ke arah kiri atau kanan, sehingga dengan demikian haluan kapal dapat dikemudikan sesuai kebutuhan. Sudut yang dibentuk daun kemudi menentukan besarnya distribusi tekanan air, tergantung pada posisi seimbang, berat ke kiri, atau berat ke kanan.

Kapal yang menggunakan baling-baling kembar dalam mengolah gerak kapal tidak terlalu mengandalkan peran daun kemudi, karena sebagian gerakan mengarahkan dapat dilakukan dengan putaran baling-baling, salah satu atau dua-duanya. Sedangkan kapal berbaling-baling tunggal sepenuhnya tergantung pada daun kemudi atau pada bantuan gerakan kapal tunda saat olah-gerak.

C. Jangkar (Anchor)

Jangkar merupakan perlengkapan kapal untuk menghentikan atau mengikat kapal. Membuang sauh dilakukan pada waktu, lokasi dan kecepatan yang tepat, dan ukuran panjang rantai yang tepat pula. Rantai dan jangkar harus mencapai tanah dasar perairan, ujung-ujung (flukes) jangkar tertanam di dasar perairan untuk dapat menahan kapal. Panjang rantai ditentukan oleh cepatan gerak kapal, kedalaman perairan, jenis tanah dasar perairan, total berat kapal, angin, dan arus. Terlampau panjang rantai yang diturunkan menyebabkan jangkar tidak tertanam dengan sempurna, sebaliknya rantai terlampau pendek juga tidak efektif. Meluncurnya rantai jangkar ketika keluar dari locker jangkar akan terhenti apabila sudah ada keseimbangan beban antara rantai terurai sepanjang jarak antara tanah ke kapal dengan rantai yang masih tertimbun di dalam locker. Untuk kapal yang besar dan sarat muatan seringkali tidak cukup hanya satu jangkar yang dilego, terlebih apabila angin dan arus sangat kuat menerpa kapal, maka keadaan seperti itu mengharuskan semua jangkar harus dilego. Perhatian khusus terhadap rantai-rantai jangkar ketika hendak menggerakkan baling-baling, sedapat mungkin menghindari gerakan maju atau gerakan lain yang menyebabkan rantai melilit pada badan kapal.

D. Tali tambat

Sebelum kapal berada di dermaga atau ternpat bertambat lainnya, jumlah dan ukuran tali tambat (mooring line) harus ditentukan. Mengikat kapal di dermaga dengan dua kelompok fungsi tali yaitu tali penahan supaya kapal tetap merapat di dermaga (breast line) dan tali pengunci supaya kapal tidak bergeser maju atau mundur (spring). Sedangkan breast lines maupun spring terpasang masing-masing menurut lokasinya di haluan dan di buritan. Jenis tali tambat berdasarkan bahannya terdiri dari kav. baja (steel), polypropyline , dan nylon. Untuk kapal besar seperti super tanker dan sejenisnya, agar dapat mengatasi beban kekuatan angin dan arus diperlukan tambahan tali yang memperkuat fungsi spring lines, yaitu di haluan (head line) dan di buritan (stern line).

Kekuatan tali-tali tamba memikul beban akan mencapai maksimal apabila tali spring, head lines, stern lines terpasang pada posisi mendekati sejajar dengan sumbu memanjang kapal, dan breast lines terpasang dengan posisi vertikal atau mendeka vertikal terhadap kapal. Selama kapal dalam keadaan tambat semua jenis tali tambat harus tetap di bawah pengawasan karena ketegangan tali-tali dipengaruhi tinggi rendahnya freeboard dan pasang surut

E. Tangga Pandu

Jalan masuk atau akses naik petugas pandu ke kapal adalah melalui tangga pandu yang disediakan kapal sesuai dengan ketentuan SOLAS 1974 Bab V article 17. Bahan dan konstruksi atau spesifikasi tangga pandu harus memenuhi persyaratan, antara lain:

1. Tangga harus efisien untuk memungkinkan pandu-pandu naik turun dengan selamat, selalu bersih dan terawat dengan baik.

2. Tangga ditempatkan pada bagian kapal tanpa garis lengkung supaya setiap anak tangga bersandar rapat-rapat pada lambung kapal.

3. Kalau jarak dari permukaan laut sampai ke tempat jalan masuk ke kapal lebih dari 9 meter, maka tangga pandu harus menggunakan tangga akomodasi atau sarana mekanik.

4. Pada malam hari tangga pandu harus diberi penerangan yang baik, dan sebuah pelampung penyelamat lengkap dengan lampu keadaan darurat harus tersedia dalam keadaan siap pakai.

5. Pemasangan tangga dapat dilakukan di kedua sisi lambung kapal, dan naik turunnya pandu harus diawasi oleh seorang perwira kapal yang bertanggung jawab.

6. Metode alternatif untuk menaikkan pandu ke atas kapal atau sebaliknya menurunkannya seusai menjalankan tugas pelayanan adalah menempatkan pandu ke dalam sebuah basket yang diangkat atau diturunkan dengan memakai boom kapal.

F. Awak kapal (crew)

Sertifikasi pengetahuan dan keterampilan awak kapal secara internasional telah diatur lengkap dan jelas dalam konvensi STCW-78/95 jo. konvensi ISM-1994. Konvensi-konvensi tersebut dilatarbelakangi oleh hasil evaluasi IMO terhadap laporan-laporan kecelakaan kapal. Ternyata bahwa sekitar 80% kecelakaan kapal disebabkan human performance yang rendah.

Faktor manusia sangat dominan dalam menjamin keselamatan pelayaran. Dengan pertimbangan itu, maka personil kapal bagian dek (nautika) dan bagian mesin (teknika) diharuskan memiliki keahlian (expertise) dalam bidangnya masing-masing. Keahlian di sini diartikan sebagai kombinasi harmonis antara teori yang diterima selama mengikuti pendidikan dan pelatihan dengan pengalaman praktik. Sumber daya manusia berkeahlian seperti itulah yang diharapkan oleh pembuat konvensi Standards of Training,

Certification and Watchkeepingfor Seafarers (STCW) dan International Safety Management (ISM) Code untuk menjamin keselamatan di laut. Keahlian yang dimaksud dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan pemerintah negara anggota IMO (contracting state) . Namun apabila kualifikasi SDM bersertifikat itu (certified person) dianggap belum memenuhi ketentuan dari negara bendera kapal, maka negara bendera kapal berhak menguji dan menyeleksi siapa-siapa yang layak ditempatkan di kapalnya.

Karena tidak jarang perusahaan pelayaran kurang mampu memotivasi atau kurang perhatian terhadap SDM yang ditempatkan di kapal, dalam hal ini ISM Code menetapkan suatu kerangka dan tata kerja yang harus dikerjakan perusahaan pelayaran. Sehingga kinerja (performance) dan keahlian (expertise) SDM tersebut senantiasa bertambah secara dinamis sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pelayaran

Konvensi STCW dan ISM Code bermaksud menghadirkan pelaut pelaut bertaraf internasional atau berkelas dunia sebagai tenaga-tenaga profesional. Tujuannya tidak lain adalah menekan jumlah kecelakaan yang dapat menghilangkan nyawa manusia, hilangnya harta benda, dan kerusakan lingkungan laut.

G. Komunikasi

Pentingnya komunikasi kadang-kadang tidak menarik perhatian apabila berlangsung dengan baik, efektif, dan semua beres. Akan tetapi, ketika terjadi mis-komunikasi, maka bencana atau malapetaka bisa terjadi segera setelah kesalahan komunikasi tersebut. Ambil contoh sebuah kapal berpapasan dengan sebuah kapallain disebuah terusan yang tidak terlalu lebar tidak jelas menerima permintaan dari kapallain yang minta untuk saling hijau-hijau atau merah-merah. Kesalahan yang terjadi berakibat sangat fatal. Di sinilah baru terasa betapa pentingnya suatu komunikasi.

Komunikasi dapat didefinisikan sebagai setiap proses penyampaian pesan-pesan penting dari seseorang kepada orang lain dalam ruang dan waktu tertentu. Dalam definisi ini terdapat unsur komunikator, pesan, komunikatee, dan dalam suatu kegiatan. Komunikasi berjalan baik apabila pesan diterima komunikatee sama dengan yang dikirimkan komunikator. Sebaliknya, apabila sebuah pesan tidak diterima dengan sempurna, melainkan berbeda atau bahkan berlawanan pengert ian adalah merupakan kesalahan. Karena kegiatan pemanduan kapal bersifat universal namun dengan bahasa komunikasi yang beraneka maca, IMO melalui Maritime Safety Committee pada tahun 1997 melangkah dengan inisiatif menyusun ungkapan-ungkapan standar guna mengurangi ketidakpastian dalam berkomunikasi.

Ungkapan-ungkapan penting itu tersusun dalam Standard Marine Communication Phrases (SMCPs) telah digunakan sejak tahun 1999. Bagi seorang petugas pandu, mempraktikkan SMCPs adalah cara terbaik dan efisien. SMCPs untuk pemanduan antara lain meliputi (a) external communication, dialog antara kapal dengan pilot station misalnya pilot request, embarking /disembarking pilot , tug assistance, vessel traffic information system, dan (b) on-board communication phrases misalnya komando untuk kapal tunda, perintah-perintah kemudi, dan perintah-perintah mesin

2.5.3 Pengaruh Faktor Eksternal Kapal Terhadap Keselamatan Pelayaran

A. Perambuan

Badan hukum pengelola pelabuhan berkewajiban menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) sebagai ramburambu bagi lalu lintas kapal di lingkungan kerja pelabuhan. SBNP yang dimaksud antara lain lampu-lampu suar, buoy pelampung dengan atau tanpa lampu , bangunan terapung. Buoy rambu menunjukkan arah yang harus ditempuh, juga menunjukkan arah arus dan angin. Sedangkan buoy rambu yang dilengkapi lampu, menyala pada malam hari atau di saat kabut . Titik koordinat dari setiap rambu navigasi harus tercetak pada peta navigasi dilengkapi dengan informasi yang berguna bagi keselamatan pelayaran.

B. Aksesibilitas dan pasang surut

Kedalaman perairan alur pelayaran dipengaruhi oleh keadaan pasang surut, yaitu perubahan atau gerakan vertikal air. Surutnya alur pelayaran m erupakan hambatan sementara. Menghadapi hambatan air surut, dan untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan kapal harus menunggu beberapa lama hingga tercapai ketinggian air yang memungkinkan bertambahnya under keel clearance. Aksesibilitas menentukan ukuran kapal yang dapat masuk ke suatu alur pelayaran atau ke kolam pelabuhan .

C. Panjang, lebar, dan bentuk alur sungai atau terusan

Ukuran-ukuran panjang dan lebar suatu alur termasuk bentuk belokanbelokan, misalnya dalam melayari sungai berpengaruh terhadap keselamatan pelayaran. Kelengkapan rambu-rambu navigasi pada alur sungai atau kanal seperti dikemukakan pada angka b. l) di atas juga menentukan terjaminnya keselamatan pelayaran di sana. Terminologi mengenai sisi kiri dan sisi kanan sungai perlu diketahui, yakni bahwa yang dimaksud dengan sisi kiri adalah tebing sungai di sebelah kiri kala menghadap ke arah muara dan sisi kanan sungai adalah tebing sunga. di sebelah kanan kalau menghadap kearah muara. Kalau berlayar searah dengan aliran sungai, maka tebing kiri berada di port dan tebing kanan berada di starboard. Akan tetapi, sewaktu berlayar melawan arah alirar sungai, maka tebing kiri berada di starboard dan tebing kanan berada port.

Meskipun pada dasarnya sungai adalah non-tidal waters namun bukan berarti bahwa tinggi permukaan air sungai tetap. Permukaan air di muara sungai secara langsung terpengaruh pasang-surut air laut. Menyiasati arus sungai, petugas pandu profesional memilih bergerak di tengah-tengah alur sungai jika berlayar menuju muara dan bertahan sedekat mungkin hingga batas kedalaman yang aman ke arah tebing kiri atau tebing kanan jika berlayar ke hulu sungai. Pilihan-pilihan tersebut adalah memanfaatkan arus sungai terkuat untuk menuju muara dan untuk menghindarinya ketika berlayar ke hulu. Sungai yang tidak begitu lebar dan banyak tikungan tidak dapat dilayari kapal tunda yang menggandeng kapal ata beberapa alat-alat apung kecuali apabila tali tunda (towing lines) dikurang atau disesuaikan panjangnya sehingga aman dari bahaya navigasi.

D. Angin, Arus, dan Gelombang

Akurasi arah maupun kecepatan kapal yang dilayani pandu sangat dipengaruhi oleh angin, arus, dan gelombang terlebih akibat kombinasi antara arus-angin, angin-gelombang, atau kombinasi ketiga-tiganya. Ketiga faktor lingkungan ini dapat searah dengan gerakan kapal (misalnya: breasting) dan bisa juga berlawanan arah atau arah diagonal dengan membentuk sudut tertentu.

Angin berhembus kencang menyebabkan gelombang permukaan laut, seterusnya tercipta arus yang tidak lain adalah aliran air laut dari satu lokasi ke lokasi lain.

Tipe atau jenis arus antara lain dapat dibedakan menjadi:

Tipe rotary, yaitu arus yang mengalir kearah satu titik, dan pada titik tertentu berbalik arah sehingga terbentuk semacam perputaran

Tipe hydraulic, yaitu arus yang menghubungkan dua badan perairan. Perbedaan ketinggian salah satu posisi menimbulkan aliran dari ternpat tinggi ke titik lain yang lebih rendah. Arus tipe ini bisa terjadi pada waktu air surut.

Tipe arus sungai (river currents), yaitu arus aliran sungai yang hanya searah dari hulu ke muara, tetapi dengan kecepatan yang berubahubah.

Tipe arus samudera (ocean currents), yaitu arus laut bebas yang terjadi karena tiupan angin yang relatif berlangsung lama dan disertai pola berkesinambungan. Tipe seperti ini disebut juga wind-driven currents.

Terminologi arah angin dan arah arus merupakan dua rumusan yang berbeda satu sama lain. Angin berhembus dari Barat ke Timur disebut angin Barat, tetapi arus mengalir dari Barat ke Timur disebut arus Timur.

E. Cuaca, Siang, dan Malam

Cuaca hujan, udara berkabut, dan udara berdebu menghalangi pemandangan dalam arti memperpendek jarak pandang, baik pada waktu siang dan terlebih pada malam hari.

Perairan Indonesia adalah perairan tropis yang tidak mengenal adanya musim salju dan laut beku menjadi es. Sehingga gangguan terhadap keselamatan navigasi meliputi hanya keterbatasan jarak pandangan karena hujan, kabut dan kegelapan malam.

F. Kapal tunda

Peberadaan kapal tunda sebagai sarana penunjang pemanduan pertamatama karena pertimbangan keselamatan kapal dan fasilitas pelabuhan. Perlindungan terhadap konstruksi dermaga dan tambatan antara lain diakukan dengan mewajibkan pemakaian kapal tunda untuk menarik mendorong. Kapal tunda mengurangi pemakaian daya propulsi kapal yang dipandu, dan bergerak lebih leluasa pada ruas perairan yang relatif sempit.

Manoeuverability kapal tunda ditentukan terutama oleh jenis serta desain propeller dan rudder. Berdasarkan Propeller dan Rudder, kapal tunda dapat dibedakan antara lain sebagai berikut:

1. Kapal tunda berbaling-baling konvensional (Conventional Propeller Tugs) terdiri dari:

Fixed bladed propeller

Controllable pitch propeller

Fixed bladed propeller with fixed nozzle

Fixed bladed propeller with swivelling nozzle

Fixed bladed propeller with backing nozzle and flanking rudders

Controllable pitch propeller with fixed nozzle

2. Kapal tunda tractor (Tractor type tugs) , terdiri dari :

Voith -Schneider Propeller

Rudder propeller (360 degree swinging propeller)

G. Sistem kendali lalu lintas kapal

Di pelabuhan-pelabuhan kelas dunia tersedia sistem pengaturan lalulintas kapal yang disebut Vessel Traffic Information System (VTIS). Sistem ini berfungsi sebagai alat bantu mengendalikan gerakan-gerakan kapal yang masuk dan/atau keluar lingkungan kerja pelabuhan.

Dengan tersedianya VTIS maka unit-unit kerja operasional , utamanya divisi kepanduan dapat dengan mudah memantau pergerakan kapal bahkan setiap kapal yang memiliki sistem dapat juga melakukan pemantauan dan berkomunikasi dengan stasiun pandu. Sistem ini bertujuan mengatur, mengendalikan kegiatan kapal-kapal untuk menjamin ekselamatan navigasi.

Sistem dilengkapi dengan radar yang mampu mendeteksi posisi serta gerakan kapal hingga radius 20-35 mil. Manfaatnya sangat terasa pada saat jarak pandang (visibility) terganggu misalnya cuaca kabut atau ketika kapall melayari sungai banyak tikungan. Begitu juga di perairan yang tidak dilengkapi dengan rambu-rambu navigasi secukupnya, sistem ini membantu untuk berlayar dengan aman. VTIS dapat juga difungsikan sebagai alat kontrol terhadap kapal yang melakukan pelanggaran, misalnya melakukan kegiatan bongkar muat ship to ship (STS) transfer yang tidak dilindungi dokumen resmi, atau mengawasi kapal penangkap ikan ilegal, atau pelanggaran terhadap konvensi Marine Pollution Prevention dan lain sebagainya.

Sistem Informasi Manajemen pelabuhan yang terhubung secara on line dengan VTIS akan mendapat masukan (input) yang direkam langsung oleh sistem, setelah diproses akan menghasilkan keluaran (output) yang dapat dijadikan bahan kendali operasional.

2.6 Indikator Kinerja Pelayanan PelabuhanWaiting Time (WT) adalah waktu tunggu yang dikeluarkan oleh Kapal untuk menjalani proses kegiatan di dalam area perairan Pelabuhan, bertujuan untuk mendapatkan pelayanan sandar di Pelabuhan atau Dermaga, guna melakukan kegiatan bongkar dan muat barang di suatu Pelabuhan. Misalnya, Kapal yang tengah mengantri di perairan Lampu I mengajukan permohonan sandar kepada PT Pelindo III Cabang Tanjung Perak Surabaya pada pukul 10.30 WIB. Kemudian petugas pandu datang menjemput Kapal pukul 11.30 WIB maka Waiting Time nya selama 1 jam. Jadi keterlambatan selama 1 jam dapat dikatakan sebagai waktu terbuang ( non produktif ) yang harus di emban oleh pihak Kapal, pihak pengusaha pelayaran atau pengirim barang (Shipper) yang telah menggunakan jasa fasilitas Pelabuhan, yang dikarenakan oleh faktor faktor tertentu di Pelabuhan. Adapun Indikator kinerja pelayanan yang terkait dengan jasa Pelabuhan terdiri dari :

1. Approach Time (AT) atau waktu pelayanan pemanduan adalah jumlah waktu terpakai untuk Kapal bergerak dari lokasi lego jangkar sampai ikat tali di tambatan.

2. Effective Time (ET) atau waktu efektif adalah jumlah waktu efektif yang digunakan untuk melakukan kegiatan bongkar muat selama Kapal di tambatan.

3. Idle Time (IT) adalah waktu tidak efektif atau tidak produktif atau terbuang selama Kapal berada di tambatan disebabkan pengaruh cuaca dan peralatan bongkar muat yang rusak)

4. Not Operation Time (NOT) adalah waktu jeda, waktu berhenti yang direncanakan selama Kapal di Pelabuhan. (persiapan b/m dan istirahat kerja)

5. Berth Time (BT) adalah waktu tambat sejak first line sampai dengan last line.

6. Berth Occupancy Ratio (BOR) atau tingkat penggunaan Dermaga adalah perbandingan antara waktu penggunaan Dermaga dengan waktu yang tersedia (Dermaga siap operasi) dalam periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam prosentase.

7. Turn around Time ( TRT) adalah waktu kedatangan Kapal berlabuh jangkar di Dermaga serta waktu keberangkatan Kapal setelah melakukan kegiatan bongkar muat barang ( TA s/d TD)

8. Postpone Time (PT) adalah waktu tunggu yang disebabkan oleh pengurusan administrasi di pelabuan (pengurusan dokumen)

9. Berth Working Time (BWT) adalah waktu untuk kegiatan bongkar muat selama kapal berada di tambatan / dermagaStudi Penyusunan Standar Pelayanan Minimum Jasa Pemanduan Kapal Perairan Wajib Pandu Kelas II 2-1Studi Penyusunan Standar Pelayanan Minimum Jasa Pemanduan Kapal Perairan Wajib Pandu Kelas II2-20