laporan akhir kajian kesesuaian kebijakan impor …
TRANSCRIPT
PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
REPUBLIK INDONESIA 2019
LAPORAN AKHIR
KAJIAN KESESUAIAN KEBIJAKAN IMPOR INDONESIA DENGAN KETENTUAN DAN ATURAN
WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan ii
PENGARAH
Nurlaila Nur Muhammad, S.E., M.A.
PENANGGUNGJAWAB Tarman, S.Kom., M.SE.
KOORDINATOR Yudi Fadilah, S.E., M.E
TIM PENYUSUN Yudi Fadilah, S.E., M.E
Hasni, S.E., M.T. Titis Kusuma Lestari, S.Si.
Nur Millah Yazthi, S.E., M.P.P. Farida Rahmawati, S.T.P.
Nova Aulia Bella Samidi
Ai Sursih Susilawati
NARASUMBER PENDAMPING KAJIAN Reslian Pardede, S.E., MBA., M.Hum Yu Un Oppusunggu, S.H, LL.M, Ph.D
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan iii
KATA PENGANTAR
Sesuai dengan tugas dan fungsi, Kementerian Perdagangan memiliki
kewenangan melakukan pengaturan dalam rangka pengendalian atau tataniaga baik
di bidang ekspor maupun impor. Kewenangan tersebut ini memiliki landasan atau
payung hukum yang semakin kuat ketika Undang-Undang Nomor 7 tentang
Perdagangan terbit pada tahun 2014. Namun, beberapa kebijakan impor yang
diterbitkan mendapatkan tantangan dan dipersengketakan dalam fora World Trade
Organisation (WTO). Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota WTO,
Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan-ketentuan perdagangan internasional
yang disepakati dalam perundingan General Ageement on Tariff of Trade (GATT
WTO) yaitu melalui ratifikasi terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization.
Dalam rangka melakukan evaluasi terhadap keberadaan Peraturan Menteri
Perdagangan terkait impor dan kesesuaiannya dengan aturan WTO, Pusat
Pengkajian Perdagangan Luar Negeri melakukan Kajian Kesesuaian Kebijakan
Impor Indonesia dengan Aturan dan Ketentuan World Trade Organization. Fokus
kajian ini adalah mengevaluasi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag)
mengenai Ketentuan Impor Produk Hasil Perikanan. Dasar pemilihan ketentuan
impor produk hasil Perikanan dikarenakan sektor perikanan merupakan salah satu
sektor yang berkembang pesat dan menjadi salah satu pendorong perekonomian
nasional.
Akhirnya, tiada kata yang pantas sebagai ungkapan rasa syukur kami atas
terselesaikannya laporan ini selain ucapan Alhamdulillah, karena atas rahmat dan
izin-Nya laporan akhir kajian Kesesuaian Kebijakan Impor Indonesia Dengan
Ketentuan dan Aturan World Trade Organization (WTO) dapat selesai tepat pada
waktunya. Semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Selamat membaca.
Jakarta, Oktober 2019
PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan iv
ABSTRAK
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian kebijakan impor produk
Hasil Perikanan di Kementerian Perdagangan dengan ketentuan dan aturan
WTO. Data yang digunakan terdiri data primer dan sekunder. Data primer dari
survey dan FGD dianalisis menggunakan metode Regulatory Impact
Assessment (RIA). Bidang/area yang dipertimbangkan untuk menilai manfaat
dan biaya dari Permendag 23/2019 adalah: 1) Pemberdayaan terhadap
nelayan; 2) Menjamin ketersediaan bahan baku atau bahan penolong industri;
3) Pertumbuhan sektor perikanan; 4) Kesehatan neraca perdagangan; 5)
Ketahanan pangan khususnya terkait konsumsi ikan; dan 6) kesesuaian
peraturan dengan aturan WTO. Perbandingan dampak manfaat dan biaya
atas 6 bidang menunjukkan bahwa Permendag 23/2019 menunjukkan 2
bidang yang manfaatnya lebih besar dibanding biayanya (ketersediaan bahan
baku/penolong dan pertumbuhan sektor perikanan), 2 bidang yang
dampaknya netral (perlindungan/pemberdayaan nelayan/pembudidaya ikan
dan ketahanan pangan) dan 2 bidang yang biaya atau risikonya lebih besar
daripada manfaatnya (neraca perdagangan dan risiko gugatan di WTO).
Pilihan kebijakan yaitu merevisi Peraturan Menteri Perdagangan mengenai
Ketentuan Impor Produk Hasil Perikanan dengan mengubah klausul rakortas
akan menentukan jumlah impor sebaiknya dihilangkan, diganti, atau setidak-
tidaknya diubah untuk meminimalkan kesan kuota.
Kata kunci: impor produk perikanan, Regulatory Impact Assessment
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan v
ABSTRACT
This study aims to analyze the suitability of import policies for Fishery Products in the Ministry of Trade with the WTO rules and regulations. The data used consist of primary and secondary data. Primary data from the survey and FGD were analyzed using the Regulatory Impact Assessment (RIA) method. Areas that considered to assess the benefits and costs of the Minister of Trade Regulation number 23/2019 are: 1) Empowerment of fishermen; 2) Ensuring the availability of raw materials or industrial auxiliary materials; 3) Growth of the fisheries sector; 4) The health of the trade balance; 5) Food security, especially related to fish consumption; and 6) compliance with regulations with WTO rules. Comparison of the benefits and costs of the 6 sectors shows that the Minister of Trade Regulation number 23/2019 shows 2 sectors that have greater benefits than costs (availability of raw / auxiliary materials and growth of the fisheries sector), 2 areas that have a neutral impact (protection / empowerment of fishermen / fish farmers and resilience food) and 2 sectors where costs or risks outweigh the benefits (trade balance and claim risk at the WTO). The policy choice is to revise the Regulation of the Minister of Trade regarding Provisions on the Import of Fishery Products by changing the National Coordination Meeting to determine the amount of imports should be eliminated, replaced, or at least amended to minimize the impression of quotas. Keywords: import of fishery products, Regulatory Impact Assessment
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
ABSTRACT ....................................................................................................v
DAFTAR ISI .....................................................................................................i
DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ...................................................................... 3
1.3 Tujuan Pengkajian ......................................................................... 3
1.4 Keluaran yang Diharapkan ............................................................ 3
1.5 Dampak Kajian .............................................................................. 3
1.6 Perkiraan Manfaat.......................................................................... 4
1.7 Ruang Lingkup ............................................................................... 4
1.8 Sistematika Laporan ...................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................5
2.1 Teori Perdagangan Internasional ................................................... 5
2.2 Definisi Impor ............................................................................... 10
2.3 Hambatan Perdagangan Internasional ........................................ 11
2.3.1 Hambatan Perdagangan Tarif ...................................................... 11
2.3.2 Hambatan Perdagangan Non-tarif ............................................... 14
2.4 Strategi Pengendalian Impor dan Substitusi Impor ...................... 17
2.5 Kebijakan Impor Indonesia .......................................................... 22
2.5.1 Hambatan Perdagangan Tarif ...................................................... 23
2.5.2 Hambatan perdagangan Non-tarif ............................................... 24
2.6 Tinjauan Hukum ........................................................................... 24
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan vii
2.7 Analisis Dampak Kebijakan (Regulatory Impact Analysis) ........... 34
2.8 Penelitian Sebelumnya ................................................................ 40
BAB III METODE PENGKAJIAN ................................................................. 41
3.1 Regulatory Impact Assessment sebagai Alat Analisis ................. 42
3.2 Pengelolaan Pengkajian .............................................................. 45
3.3 Alur Pikir Kajian ........................................................................... 47
BAB IV GAMBARAN UMUM IMPOR PRODUK PERIKANAN .................... 48
4.1 Perkembangan Impor Produk Perikanan ..................................... 48
4.2 Perkembangan Ekspor Hasil Olahan Ikan ................................... 51
4.3 Perkembangan Impor Produk Perikanan Menurut Negara Asal .. 52
4.4 Perkembangan Impor Produk Perikanan Menurut Propinsi ......... 54
4.5 Negara Eksportir Ikan ke Indonesia yang Berpotensi menggugat
Kebijakan Impor Indonesia .......................................................... 57
4.6. Temuan Lapangan .................................................... .................. 59
BAB V ANALISIS KESESUAIAN KEBIJAKAN IMPOR PERIKANAN
DENGAN ATURAN WTO ............................................................................. 63
5.1 Analisis Dampak Kebijakan (Regulatory Impact Assessment) ..... 65
5.1.1 Perumusan Masalah .................................................................... 66
5.1.1.1 Latar Belakang Terbitnya Permendag No. 66/2018 ..................... 67
5.1.1.2 Pembelajaran Kasus Sengketa WTO .......................................... 72
5.1.2 Identifikasi Tujuan ........................................................................ 74
5.1.3 Alternatif Tindakan ....................................................................... 75
5.1.4 Analisis Biaya dan Manfaat .......................................................... 76
5.1.4.1 Dampak terhadap Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan atau
Pembudidaya Ikan ....................................................................... 79
5.1.4.2 Dampak terhadap Ketersediaan Bahan Baku/Penolong untuk
Industri ......................................................................................... 82
5.1.4.3 Dampak terhadap Pertumbuhan Sektor Perikanan...................... 87
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan viii
5.1.4.4 Dampak terhadap Neraca Perdagangan ..................................... 90
5.1.4.5 Dampak terhadap Risiko Gugatan di WTO .................................. 93
5.1.4.6 Dampak terhadap Ketahanan Pangan ......................................... 95
5.1.5 Pemilihan Kebijakan .................................................................... 98
5.1.6 Strategi Implementasi ................................................................ 100
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........................................................ 101
6.1 Kesimpulan ............................................................................... 101
6.2 Rekomendasi ............................................................................. 101
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 103
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan ix
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Perkembangan Nilai Impor Produk Perikanan di Indonesia (USD Ribu) ........………………................................................................
47
Tabel 4.2 Perkembangan Impor Ikan dan Ikan Olahan Menurut Negara
Asal (USD Ribu).............................................................................
49
Tabel 4.3 Perkembangan Impor Ikan Beku Menurut Negara Asal............... 50
Tabel 4.4 Volume dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Menurut Propinsi…………………………………..........................................
51
Tabel 4.5 Volume dan Nilai Produksi Perikanan Budidaya Menurut Propinsi
Tahun 2017...…………
52
Tabel 4.6 Impor Produk Perikanan Menurut Propinsi.................................... 52
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kurva Perdagangan Internasional.................................... 6
Gambar 2.2 Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari
Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil .................. 12
Gambar 2.3 Dampak Kebijakan Pembatasan Impor Terhadap
Kesejahteraan .................................................................. 15
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sesuai dengan tugas dan fungsi, Kementerian Perdagangan memiliki
kewenangan melakukan pengaturan dalam rangka pengendalian atau
tataniaga baik di bidang ekspor maupun impor. Kewenangan tersebut ini
memiliki landasan atau payung hukum yang semakin kuat ketika Undang-
Undang Nomor 7 tentang Perdagangan terbit pada tahun 2014. Diantara
pasal-pasal yang terdapat dalam UU tersebut secara eksplisit menjelaskan
bahwa pemerintah berhak mengatur, melarang dan/atau membatasi ekspor
dan impor. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 50 dan Pasal 58 dinyatakan
Pemerintah melarang dan/atau membatasi Impor atau Ekspor Barang untuk
kepentingan nasional dengan alasan untuk melindungi keamanan nasional
atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat;
untuk melindungi hak kekayaan intelektual; dan/atau untuk melindungi
kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan
lingkungan hidup.
Pemerintah mendapat mandat dalam membuat kebijakan impor untuk
memagari kepentingan nasional dengan tujuan untuk menjaga dan
mengamankan dari aspek K3LM (Kesehatan Keselamatan, Keamanan,
Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa), melindungi dan meningkatkan
pendapatan petani, mendorong penggunaan dalam negeri, dan meningkatkan
ekspor non – migas.
Kebijakan impor adalah instrument kebijakan yang strategis dalam
mengamankan aspek K3LM dan menjaga kepentingan ekonomi dan sosial
yang lebih luas. Penerbitan kebijakan impor dipakai sebagai instrumen
menertibkan arus barang masuk memagari kepentingan nasional dari
pengaruh masuknya barang-barang negara lain. Namun demikian, dalam
pelaksanaannya banyak kebijakan impor Indonesia menghadapi kritik dan
kecaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sejumlah peraturan
impor masih dianggap bermasalah baik oleh negara mitra dagang maupun
dari pemangku kepentingan dalam negeri. Negara mitra dagang menganggap
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 2
bahwa kebijakan impor Indonesia sebagai proteksi terselubung dan
mendistorsi pasar.
Namun, beberapa kebijakan impor yang diterbitkan mendapatkan
tantangan dan dipersengketakan dalam fora World Trade Organisation
(WTO). Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota WTO,
Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan-ketentuan perdagangan
internasional yang disepakati dalam perundingan General Ageement on Tariff
of Trade (GATT WTO) yaitu melalui ratifikasi terhadap Undang-undang Nomor
7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing the World
Trade Organization. Kesepakan yang telah ditandatangani oleh Indonesia
mencakup seperangkat persetujuan mengenai hak-hak para anggotanya
untuk mengatur dan membuat sendiri peraturan pelaksana dalam rangka
memperluas, mempertahankan dan mengamankan hak-hak akses pasar
ekspornya di seluruh anggota WTO dan juga untuk pengamanan akses pasar
domestik.
Indonesia menyepakati ketentuan-ketentuan perdagangan
internasional dalam perundingan General Ageement on Tariff of Trade (GATT
WTO) saatdiratifikasikannyakedalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994
tentang Pengesahan Agreement on Establishing the World Trade
Organization. Kesepakan yang telah ditandatangani oleh Indonesia mencakup
seperangkat persetujuan mengenai hak-hak para anggotanya untuk mengatur
dan membuat sendiri peraturan pelaksana dalam rangka memperluas,
mempertahankan dan mengamankan hak-hak akses pasar ekspornya di
seluruh anggota WTO dan juga untuk pengamanan akses pasar domestik.
Tercatat beberapa kebijakan terkait impor pernah disengketakan oleh
negara anggota WTO lainnya. Diantara beberapa kebijakan terkait impor yang
disengketakan dan dinyatakan kalah antara lain kebijakan mobil nasional yang
digulirkan pada tahun 1996. Kebijakan tersebut digugat oleh Jepang yang
menganggap Indonesia menerapkan disriminasi atas impor mobil asal Korea
Selatan. Kebijakan terakhir yang disengketakan adalah kebijakan impor
Hortikultura dan kebijakan impor Hewan dan Produk Hewan. Kedua kebijakan
tersebut digugat oleh Amerika Serikat dan Selandia Baru. Indonesia
dinyatakan kalah oleh Dispute Settlement Body dan diwajibkan untuk
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 3
mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh adanya kebijakan impor tersebut
sebesar USD 350 juta.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan tersebut, maka
rumusan permasalahan dalam kajian ini adalah:
1. Bagaimana kesesuaian kebijakan impor produk Hasil Perikanan di
Kementerian Perdagangan dengan ketentuan dan aturan WTO;
2. Bagaimana rekomendasi kesesuaian kebijakan impor produk Hasil
Perikanan di Kementerian Perdagangan dengan ketentuan dan aturan
WTO.
1.3. Tujuan Pengkajian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
maka tujuan secara spesifik kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kesesuaian kebijakan impor produk Hasil Perikanan di
Kementerian Perdagangan dengan ketentuan dan aturan WTO;
2. Bagaimana rekomendasi kesesuaian kebijakan impor produk Hasil
Perikanan di Kementerian Perdagangan dengan ketentuan dan aturan
WTO.
1.4. Keluaran yang Diharapkan
1. Analisis dan identifikasi produk-produk impor yang mengalami
pertumbuhan tinggi.
2. Analisis dan identifikasi faktor-faktor penyebab produk-produk asal impor
mengalami lonjakan.
3. Strategi kebijakan pengendalian impor non migas dalam rangka
memperbaiki neraca perdagangan.
1.5. Dampak Kajian
Bahan masukan untuk kesesuaian kebijakan impor di Kementerian
Perdagangan dengan ketentuan dan aturan WTO.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 4
1.6. Perkiraan Manfaat
Melalui pengkajian ini diharapkan akan diperoleh gambaran mengenai
kesesuaian kebijakan impor di Kementerian Perdagangan khususnya
Peraturan Menteri Perdagangan mengenai Ketentuan Impor Produk Hasil
Perikanan dengan aturan dan ketentuan World Trade Organization.
1.7. Ruang Lingkup
Kajian ini difokuskan pada kebijakan impor dalam bentuk Peraturan
Menteri Perdagangan tentang Impor Hasil Perikanan di Kementerian
Perdagangan.
1.8. Sistematika Laporan
Bab I
Pendahuluan. Terdiri dari Lat ar Belakang yang menjelaskan
permasalahan dan alasan pelaksanaan kajian, Tujuan, Keluaran,
Manfaat, dan Ruang Lingkup kajian.
Bab II Tinjauan Pustaka.
Terdiri dari teori dan penelitian terdahulu tentang pemetaan produk
impor dan kebijakan pengendalian impor.
Bab III Metodologi. Menjelaskan metode analisis yang digunakan, sumber
data dan teknik pengumpulan data yang digunakan, dan sampel pada
daerah penelitian.
Bab IV Gambaran Umum Impor Produk Perikanan
Bab V Analisis Kesesuaian Kebijakan Impor Perikanan dengan Aturan
WTO
Bab VI Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan. Menyampaikan
kesimpulan dari kajian ini serta ulasan rekomendasi kebijakan.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional dapat didefinisikan sebagai transaksi
dagang barang dan jasa antara subjek ekonomi satu negara dengan subjek
ekonomi negara lain. Subjek ekonomi yang dimaksud adalah penduduk yang
terdiri dari warga negara biasa, perusahaan ekspor, perusahaan impor,
perusahaan industri ataupun perusahaan negara. Perdagangan internasional
terjadi akibat adanya perbedaan potensi sumber daya alam, sumber daya
modal, sumber daya manusia dan kemajuan teknologi antar negara (Halwani,
2005).
Secara teoritis, suatu negara misal negara 1 akan mengekspor
komoditi X ke negara lain, misal negara 2 apabila harga domestik negara 1
sebelum terjadinya perdagangan internasional relatif lebih rendah
dibandingkan dengan harga domestik negara 2 (Gambar 2.1). Struktur harga
yang terjadi di negara 1 lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar
dibandingkan dengan konsumsi domestiknya sehingga terjadi excess supply
di negara 1. Di sisi lain, di negara 2 terjadi excess demand karena konsumsi
domestiknya lebih besar dibandingkan dengan produksi domestiknya
sehingga harga di negara 2 lebih tinggi. Dengan demikian, negara 1 memiliki
kesempatan untuk menjual kelebihan produksinya ke negara lain, sementara
negara 2 berkeinginan untuk membeli komoditi X dari negara lain yang relatif
lebih murah. Jika terjadi komunikasi antara negara 1 dan negara 2, maka akan
terjadi perdagangan antar keduanya dengan harga yang sama di kedua
negara.
Gambar 2.1 memperlihatkan bahwa sebelum terjadi perdagangan
internasional, harga di negara 1 adalah sebesar P1, sedangkan harga di
negara 2 adalah sebesar P3. Penawaran di pasar internasional terjadi jika
harga internasional lebih tinggi dibandingkan dengan P1, sedangkan
permintaan di pasar internasional terjadi jika harga internasional lebih rendah
dibandingkan dengan P3. Dengan adanya perdagangan internasional, maka
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 6
negara 1 akan mengekspor komoditi X sebesar BE, sedangkan negara 2 akan
mengimpor komoditi X sebesar B’E’ pada tingkat harga internasional (P2). Dari
penjelasan teoritis inilah dikenal konsep impor komoditi antar negara.
Gambar 2.1 Kurva Perdagangan Internasional
Sumber: Salvatore (1997)
Teori-teori berkenaan dengan konsep-konsep perdagangan
internasional atau aktivitas ekspor dan impor antar wilayah/negara secara
historis dimulai dari teori keunggulan absolut dan keunggulan komparatif.
Teori keunggulan absolut yang diperkenalkan oleh Adam Smith dinyatakan
bahwa perdagangan didasarkan kepada keunggulan absolut (absolute
advantage), yaitu jika sebuah negara lebih efisien daripada negara lain dalam
memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding negara lain
dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat
memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi
dan memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan
menukarkan dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut (Salvatore,
1997). Menurut Adam Smith suatu negara akan mengekspor barang tertentu
karena negara tersebut bisa menghasilkan barang dengan biaya yang secara
mutlak lebih murah dari pada negara lain, yaitu karena memiliki keunggulan
mutlak dalam produksi barang tersebut. Adapun keunggulan mutlak menurut
Adam Smith merupakan kemampuan suatu negara untuk menghasilkan suatu
barang dan jasa per unit dengan menggunakan sumber daya yang lebih
sedikit dibanding kemampuan negara-negara lain. Melalui proses ini, sumber
0 X
Px
0 X
Px
Negara 2
0 X
Px
Negara 1
P1
P2
P3
A
Ekspor
Impor B E
E
S
D
A’
B’ E’
Sx
Dx
Dx
Sx
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 7
daya di kedua negara dapat digunakan dengan cara yang paling efisien.
Output yang diproduksi pun akan meningkat.
Teori perdagangan komparatif yang diperkenalkan David Ricardo
tahun 1817 (Salvatore, 1997), menyatakan bahwa meskipun suatu negara
kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut) dengan negara lain
dalam memproduksi dua komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk
dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Negara tersebut harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan
mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (ini adalah
komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang
memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditi ini memiliki kerugian
komparatif). Kelebihan untuk teori comparative advantage ini adalah dapat
menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran di
mana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori absolute advantage.
Teori perdagangan lainnya adalah konsep proporsi faktor produksi atau
dikenalkan dengan Teori Heckscher-Ohlin. Intisari Teorema Hecksher-Ohlin
(H-O) adalah: Sebuah negara akan mengekspor komoditi yang produksinya
lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di
negara itu, dan dalam waktu bersamaan ia akan mengimpor komoditi yang
produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di
negara itu. Intisari dari teori Hecksher-Ohlin adalah mengupas dan
memprediksikan pola perdagangan, dan teori penyamaan harga faktor (factor-
price equalization theorem) yang mengupas dampak-dampak yang
ditimbulkan oleh perdagangan internasional (ekspor-impor) terhadap harga
faktor produksi di negara yang terlibat.
Teorema penyamaan harga faktor (teorema Heckscher-Ohlin-
Samuelson) sebagai berikut: Perdagangan internasional akan mendorong
terjadinya penyamaan harga-harga faktor, baik secara relatif maupun secara
absolut, di antara negara-negara yang terlibat di dalamnya. Perdagangan
internasional dapat berfungsi sebagai pengganti atau substitusi bagi mobilitas
faktor internasional. Ada tiga asumsi penting dalam memprediksi penyamaan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 8
harga-harga faktor yang sama sekali tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Ketiga asumsi itu adalah :
1. Kedua negara memproduksi selalu kedua jenis barang sekaligus.
2. Adanya kesamaan dalam teknologi.
3. Hubungan perdagangan benar-benar menyamakan harga-harga barang di
kedua negara.
Perdagangan antar negara cenderung meningkatkan harga faktor
produksi yang relatif melimpah dan murah di suatu negara dan dalam waktu
yang bersamaan akan menurunkan harga faktor produksi yang relatif langka
dan mahal. Seluruh faktor produksi tenaga kerja dan modal diasumsikan telah
terdayaguna secara penuh (full employment) sebelum maupun sesudah
perdagangan,maka pendapatan rill tenaga kerja dan suku bunga rill bagi para
pemilik modal akan bergerak ke arah yang dituju oleh pergerakan harga-harga
faktor produksi itu sendiri. Teori Hecksher-Ohlin memberikan konklusi bahwa
perdagangan cenderung memperbesar tingkat pendapatan atau tingkat upah
para pekerja dan menurunkan suku bunga rill modal di negara yang kaya
tenaga kerja dan yang mengalami kelangkaan modal. Perdagangan (ekspor
dan impor) akan memberikan keuntungan bagi negara-negara yang
melakukannya.
Namun demikian, dalam perkembangannya teori Heckscher-Ohlin
(Teori H-O) mengalami pertentangan. Alasan utamanya adalah adanya
ketidaksesuaian antara teori Heckscher-Ohlin-Samuelson dengan kondisi
nyata, yaitu: asumsi-asumsi yang digunakan dalam teori tersebut terlampau
restriktif dan cenderung menyederhanakan kenyataan-kenyataan yang ada.
Sebagai contoh, tingkat teknologi setiap negara tidak sama, sedangkan biaya-
biaya dan hambatan perdagangan diabaikan yang dalam prakteknya
merupakan ganjalan utama bagi berlangsungnya perdagangan internasional
sehingga proses penyamaan harga-harga relatif komoditi tidak pernah
berjalan sempurna.
Keunggulan suatu negara di dalam persaingan global selain ditentukan
oleh keunggulan komparatif (teori-teori klasik dan H-O) yang dimilikinya juga
karena adanya produksi atau bantuan fasilitas dari pemerintah, juga sangat
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 9
ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya. Keunggulan ini sifatnya lebih
dinamis dengan perubahan-perubahan, misalnya teknologi dan SDM yang
sangat cepat. Hal ini mendorong suatu konsep baru mengenai perdagangan
internasional, yaitu teori keunggulan kompetitif.
Menurut Porter (1990), keunggulan persaingan suatu negara tidak
berkorelasi langsung antara dua faktor produksi (sumber daya alam yang
tinggi dan sumber daya manusia yang murah) yang dimiliki suatu negara untuk
dimanfaatkan menjadi daya saing dalam perdagangan. Banyak negara di
dunia ini yang jumlah tenaga kerjanya sangat besar secara proporsional
dengan luar negeri tetapi terbelakang dalam daya saing internasional. Begitu
juga tingkat upah yang relatif murah daripada negara lainnya, begitu pula
berkorelasi erat dengan rendahnya motivasi bekerja keras dan berprestasi.
Porter menyebutkan bahwa peranan pemerintah sangat mendukung selain
faktor produksi. Porter mengungkapkan ada empat atribut utama yang
menentukan mengapa industri tertentu dalam suatu negara dapat mencapai
sukses internasional, keempat atribut itu adalah kondisi faktor produksi,
kondisi permintaan dan tuntutan mutu dalam negeri, eksistensi industri
pendukung, dan kondisi persaingan strategi dan struktur perusahaan dalam
negeri.
Negara yang sukses dalam skala internasional pada umumnya
didukung oleh kondisi faktor yang baik, permintaan dan tuntutan mutu dalam
negeri yang tinggi, industri hulu atau hilir yang maju dan persaingan domestik
yang ketat. Keunggulan kompetitif yang hanya didukung oleh 1/2 atribut saja
biasanya tidak akan dapat bertahan, sebab keempat atribut saling berinteraksi
positif dalam negara yang sukses. Di samping keempat atribut di atas, peran
pemerintah juga merupakan variabel yang cukup signifikan.
Dari teori-teori perdagangan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
perdagangan internasional menawarkan suatu keuntungan bagi negara-
negara yang terlibat. Keuntungan-keuntungan dari perdagangan internasional
adalah: tercipta persaingan di pasar internasional yang mendorong efisiensi
dunia, spesialisasi dalam menghasilkan barang dan jasa secara murah, baik
dari segi bahan maupun cara berproduksi, kenaikan pendapatan, cadangan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 10
devisa, transfer modal, dan bertambahnya kesempatan kerja. Terdapat
beberapa faktor yang menjadi pendorong semua negara di dunia untuk
melakukan perdagangan luar negeri. Dari faktor-faktor tersebut yang
terpenting adalah (Sukirno, 2004): (1) Memperoleh barang yang tidak dapat
dihasilkan di dalam negeri; (2) Mengimpor teknologi yang lebih modern dari
negara lain; (3) Memperluas pasar produk-produk dalam negeri; dan (4)
Memperoleh keuntungan dari spesialisasi.
Di sisi lain, perdagangan internasional juga dapat menimbulkan
tantangan dan kendala yang banyak dihadapi oleh negara-negara
berkembang seperti Indonesia. Tantangan dan kendala tersebut antara lain
eksploitasi terhadap negara-negara berkembang, ambruknya industri lokal,
keamanan barang menjadi rendah, ancaman ketahanan pangan, dan
keamanan konsumen dan sebagainya. Untuk mengamankan kepentingan
nasionalnya, negara-negara di dunia berupaya untuk menciptakan hambatan
perdagangan terutama hambatan untuk impor.
2.2 Definisi Impor
Impor didefinisikan sebagai pembelian barang dan jasa dari luar negeri
ke dalam negeri dengan perjanjian kerjasama antara dua negara atau lebih.
Secara harfiah, impor adalah barang dan jasa yang diproduksi di luar negeri
dan dijual di dalam negeri (Mankiw, 2006). Impor terjadi jika ada kelebihan
permintaan internasional. Dengan adanya kegiatan impor, negara produsen
yang produksinya melimpah dan melebihi permintaan domestik dapat
melakukan memenuhi permintaan impor di suatu negara sehingga sehingga
produksinya tetap berlangsung. Saat ini impor dilakukan dengan memenuhi
ketentuan yang berlaku di negara pengimpor.
Impor yang akan dilakukan oleh suatu negara bergantung pada banyak
faktor. Permintaan impor sangat ditentukan faktor-faktor harga atau
keseimbangan harga baik yang terdapat di dalam negeri maupun
keseimbangan harga internasional. Selain itu, suatu negara dapat melakukan
impor atau pembelian dari negara lain apabila barang-barang yang diperlukan
di dalam negeri tidak dapat dipenuhi oleh pemilik faktor-faktor produksi di
dalam negeri. Kesanggupan atau kemampuan dalam menghasilkan barang-
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 11
barang yang bersaing dengan buatan luar negeri adalah faktor lainnya yang
memengaruhi impor yang berarti nilai impor tergantung dari nilai tingkat
pendapatan nasional negara tersebut. Makin tinggi pendapatan nasional,
semakin rendah menghasilkan barang-barang tersebut, maka impor pun
semakin tinggi sehingga pada akhirnya pendapatan nasional menjadi terkikis.
Perubahan nilai impor di Indonesia sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
sosial politik, pertahanan dan keamanan, inflasi, kurs valuta asing serta tingkat
pendapatan dalam negeri yang diperoleh dari sektor-sektor yang mampu
memberikan pemasukan selain perdagangan internasional. Besarnya nilai
impor Indonesia antara lain ditentukan oleh kemampuan Indonesia dalam
mengolah dan memanfaatkan sumber yang ada dan juga tingginya
permintaan impor dalam negeri.
2.3 Hambatan Perdagangan Internasional
Perbedaan komparatif dan kompetitif antar negara dan pengamanan
kepentingan nasional mendasari penerapan kebijakan perdagangan
internasional. Hampir seluruh negara di dunia memiliki hambatan
perdagangan untuk mengendalikan impor. Hambatan perdagangan tersebut
merupakan intervensi pemerintah dalam mengurangi kebebasan
perdagangan internasional. Pada umumnya hambatan perdagangan
internasional dibedakan menjadi 2 (dua), yakni:
2.3.1 Hambatan Perdagangan Tarif
Tarif adalah pembebanan pajak atau custom duties terhadap barang-
barang yang melewati batas suatu negara. Dilihat dari aspek asal
komoditi, tarif terbagi menjadi dua macam (Salvatore,1997) :
1. Tarif impor, adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang
diimpor dari negara lain.
2. Tarif ekspor, adalah pajak untuk suatu komoditi yang diekspor.
Sementara bila ditinjau dari mekanisme perhitungannya, tarif terbagi
menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka
persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 12
2. Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang
diimpor.
3. Tarif campuran adalah gabungan antara tarif ad valorem dengan tarif
spesifik.
Dampak-dampak pemberlakuan tarif terhadap tingkat produksi,
konsumsi, perdagangan, dan kesejahteraan di sebuah negara kecil
yang hubungan dagang atau kekuatan ekonominya terbatas sehingga
tidak mampu memengaruhi harga yang berlaku di pasaran
internasional dapat dijelaskan melalui analisis keseimbangan umum.
Ketika sebuah negara kecil memberlakukan tarif terhadap barang-
barang impornya, yang berubah hanya harga barang tersebut di pasar
domestiknya sendiri, sehingga pihak yang harus menghadapi segala
implikasi kenaikan harga itu adalah konsumen dan produsen di negara
kecil yang bersangkutan.
Gambar 2.2 Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari Pemberlakuan
Tarif di Sebuah Negara Kecil
Sumber: Nicholson (1994)
Walaupun setiap produsen dan konsumen menghadapi kenaikan harga
komoditi impor meningkat sebesar tarif yang dikenakan, namun
harganya bagi perekonomian negara kecil secara keseluruhan tetap
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 13
konstan, karena kenaikan harga akibat tarif itu diimbangi oleh
terciptanya pemasukan pajak bagi pemerintah.
Gambar 2.2 menggambarkan bagaimana dampak-dampak
keseimbangan umum yang dihasilkan dari pemberlakuan tarif di
sebuah negara kecil seperti Indonesia. Negara kecil dimaksudkan
sebagai negara yang tidak memiliki kekuatan untuk memengaruhi
harga di pasar dunia.
Pada Px/Py = 1 di pasar dunia, negara 2 akan berproduksi di titik B dan
berkonsumsi di titik E. Namun ketika pemerintah negara 2 mengenakan
tarif ad valorem (sekian persen dari nilai impor harus dibayarkan
pengimpor ke kas negara sebagai pajak) sebesar 100 persen terhadap
komoditi X, harga komoditi tersebut bagi para konsumen dan produsen
domestik langsung melonjak menjadi Px/Py = 2, sehingga para
produsen domestik di negara 2 akan terdorong untuk berproduksi di titik
F. Itu berarti negara 2 akan mengekspor 30Y, dan mengimpor 30X;
separuh diantaranya, yakni GH atau 15X, akan langsung terarah ke
konsumen domestik, sedangkan selebihnya, yakni HH’ yang juga
bernilai 15X, akan menjelma sebagai pendapatan pajak bagi
pemerintah yang bersumber dari pengenaan tarif ad valorem 100
persen terhadap komoditi X yang diimpor. Karena kita berasumsi
bahwa pemerintah negara 2 menggunakan kebijakan tarif tersebut
dalam rangka meredistribusikan pendapatan yang diperolehnya bagi
warganya (agar beban pajak mereka tidak terlalu besar), maka tingkat
konsumsi setelah tarif dikenakan akan bergeser ke kurva indiferen II’,
tepatnya di titik H’ (titik berpotongan antara dua garis putus-putus). Itu
berarti, tingkat konsumsi dan kesejahteraan (titik E) dalam
perdagangan bebas lebih tinggi ketimbang tingkat konsumsi dan
kesejahteraan (titik H’) yang ada setelah tarif tersebut diberlakukan.
Kesimpulan pokok dari penjelasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dengan adanya tarif, tingkat kesejahteraan negara yang
bersangkutan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 14
kondisinya di masa perdagangan bebas. Hal ini dibuktikan dengan
bergesernya konsumsi dari titik E ke titik H’ yang terletak pada kurva
indiferen yang lebih rendah daripada sebelumnya.
2. Penurunan kesejahteraan bersumber dari dua sebab: (a)
Perekonomian tidak lagi berproduksi pada titik yang
memaksimumkan nilai pendapatan dan harga dunia. (b) Konsumen
tidak dapat lagi berkonsumsi pada kurva indiferen tertinggi yang
memaksimumkan kesejahteraan. Baik (a) maupun (b) diakibatkan
oleh kenyataan bahwa konsumen dan produsen domestik
menghadapi harga yang berbeda dengan harga dunia. Penurunan
kesejahteraan (the loss in welfare) terjadi karena kegiatan produksi
yang tidak efisien. Hal ini merupakan kondisi (a) padanan
keseimbangan umum dari kerugian akibat produksi (production
distortion loss) yang telah dijelaskan dalam pendekatan
keseimbangan parsial. Penurunan kesejahteraan sebagai akibat dari
konsumsi yang tidak efisien juga merupakan (b) padanan dari
kerugian akibat konsumsi (consumption distortion loss).
3. Volume perdagangan mengalami kemerosotan dengan adanya tarif.
Volume serta nilai-nilai ekspor dan impor sama-sama turun segera
setelah dilaksanakannya pengenaan tarif itu dibandingkan dengan
sebelumnya ketika perdagangan masih berlangsung secara bebas.
Semakin tinggi tarif yang dikenakan, akan semakin besar kerugian
yang timbul. Pengenaan tarif yang terlalu besar akan mendorong
perekonomian yang bersangkutan menuju kondisi autarki (semua
komoditi dibuat sendiri, dan perdagangan internasional lenyap). Tarif
impor yang mematikan perdagangan internasional ini biasa disebut
dengan tarif prohibitif (prohibitive tariff).Tarif yang terlalu tinggi akan
memaksa suatu perekonomian terus-menerus berproduksi dan
berkonsumsi di titik A, dan jelas merugikan negara itu sendiri.
2.3.2 Hambatan Perdagangan Non-tarif
Salah satu bentuk hambatan perdagangan internasional non-tarif
adalah kuota impor. Kuota adalah pembatasan secara langsung jumlah
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 15
fisik terhadap barang yang masuk (kuota impor) dan keluar (kuota
ekspor). Pemberlakuan kuota impor memberikan dampak-dampak
terhadap konsumsi dan produksi seperti yang ditimbulkan oleh
penerapan tarif impor yang setara. Penyesuaian terhadap setiap
pergeseran dalam kurva permintaan atau kurva penawaran
sehubungan dengan adanya kuota impor akan terjadi pada harga-
harga domestik. Sedangkan jika yang diberlakukan adalah tarif impor,
maka penyesuaian tersebut akan terjadi pada kuantitas impor. Secara
umum, kuota impor itu lebih menghambat daripada tarif impor yang
setara. Kuota impor biasanya dikenakan terhadap bahan mentah
sebagai barang perdagangan penting serta di bawah suatu
pengawasan badan internasional.
Hambatan kuota sering dimanfaatkan untuk memperbaiki neraca
pembayaran pembayaran yang defisit. Pemberlakuan hambatan non-
tarif akan meningkatkan harga produk sehingga pada dasarnya
proteksi terhadap perdagangan tersebut akan menguntungkan bagi
produsen namun merugikan bagi konsumen dan pada akhirnya akan
merugikan perekonomian secara keseluruhan (Salvatore 1997).
Pembatasan impor dengan menerapkan kebijakan-kebijakan
perdagangan akan memengaruhi kesejahteraan (welfare). Wall (1999)
mendeskripsikan dampak pembatasan impor dalam analisis
keseimbangan parsial dengan mengilustrasikan supply dan demand
suatu negara seperti terlihat dalam Gambar 2.3.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 16
Gambar 2.3 Dampak Kebijakan Pembatasan Impor Terhadap
Kesejahteraan
Sumber: Wall (1999)
Jika terjadi perdagangan bebas, barang yang diimpor akan berada
pada harga dunia yaitu Pw. Negara akan mengkonsumsi sebesar QD0
dan produksi sebesar QS0. Jumlah yang akan diimpor dari negara lain
sebesar QD0-QS0. Ketika ada proteksi impor maka harga akan
meningkat menjadi PM?. Sehingga negara tersebut akan produksi
sebesar QS1 dan jumlah impor akan berkurang menjadi QD1-QS1.
Konsumen akan dirugikan karena menanggung harga yang lebih mahal
dan produsen diuntungkan dengan peningkatan produksi dengan
harga tinggi. Surplus kondumen akan berkurang sebesar area
A+B+C+D. Area A merupakan surplus konsumen yang ditransfer ke
produsen. Area B dan D adalah Dead Weight Loss (DWL) yang
merupakan kerugian perekonomian. Area C tidak merepresentasikan
penerimaan pemerintah dari tarif karena pembatasan impor bukan
berasal dari kebijakan tarif melainkan kebijakan non tarif. Area ini diukur
sebagai quota rent. Jika tidak ada peningkatan pemerintah yang
berasal dari quota rent ini maka quota rent akan didapat oleh produsen
negara lain. Sehingga C direpresentasikan sebagai net welfare loss to
economy. Penerimaan dapat meningkat melalui penjualan lisensi kuota
sehingga dengan menggunakan θ yang mencerminkan share dari
Pp
pp
Kuantitas
s
PW
QS0
A B C D
S
D
QS1 QD1 QD0
Harga
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 17
quota rent maka total net welfare loss dari pembatasan impor sebesar
B+D+(1- θ)C.
Berbagai macam restriksi atau hambatan non-tarif itu telah
menggantikan peranan tarif di masa sebelumnya, ini merupakan
ancaman bagi kelangsungan dan perkembangan perdagangan
internasional yang bebas. Penggunaan hambatan perdagangan ini
pada intinya bertentangan dengan semangat pasar bebas (liberalisasi)
yang diusung WTO. Indonesia sebagai salah satu anggota WTO harus
bisa melakukan pengelolaan hambatan impor agar dapat menjaga
kepentingan nasionalnya, terutama yang terkait dengan kesehatan,
keamanan, keselamatan lingkungan dan moral bangsa.
2.4 Strategi Pengendalian Impor dan Subtitusi Impor
Pada umumnya, terdapat dua strategi umum perdagangan
internasional yang diterapkan oleh negara berkembang, yaitu strategi industri
substitusi impor dan industri berorientasi ekspor (Krugman dan Obstfeld,
2003).
Studi-studi berkaitan dengan pengendalian impor telah dilakukan di
berbagai negara berkembang. Strategi substitusi impor ini paling banyak
direkomendasikan meskipun banyak perdebatan. Strategi substitusi impor
adalah kebijakan untuk memproduksi barang-barang yang diimpor. Tujuan
utamanya adalah penghematan devisa. Jika tahap substitusi impor
terlampaui, biasanya untuk tahap selanjutnya menempuh strategi promosi
ekspor.
Adapun keuntungan strategi industri substitusi impor, antara lain: (1)
menghemat penggunaan devisa impor, (2) menciptakan lapangan kerja yang
luas bagi masyarakat; (3) transfer technology (alih teknologi), (4) menjamin
stabilitas harga/menstabilkan harga jual, (5) menjamin ketersediaan barang-
barang hasil substitusi impor di pasar, (6) perluasan pasar, (7) membuka
pasar-pasar kecil, (8) dunia perbankan semakin berkembang, dan (9)
transportasi/pengangkutan berkembang.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 18
Syarat supaya industri substitusi bisa bertahan lama adalah hasil
produksi industri substitusi impor itu harus sama dengan barang serupa yang
datang dari luar negeri (bersaing harga dan mutu). Setelah industri substitusi
impor itu berkembang kemudian industri harus mencari pasar di luar negeri (di
dalam negeri sudah penuh). Industri substitusi impor lebih ditujukan untuk
memacu pertumbuhan ekonomi nasional yaitu membangun industri nasional
yang kuat. Karenanya, industri substitusi impor tegantung pada: (1) Pasar
dalam negeri, dan (2) Efektivitas dari proteksi terhadap barang impor (tariff,
quota, administration control).
Industri substitusi impor sebagai sebuah kebijakan perdagangan,
mengalami beberapa hambatan, antara lain: pertama, substitusi impor dimasa
kini mungkin menjadi bumerang ketika di masa depan industri tersebut
memiliki keunggulan komparatif; kedua, proteksi manufaktur baru berjalan
bagus apabila membuat industri tersebut lebih kompetitif; dan ketiga,
intervensi negara terhadap perdagangan pada dasarnya tidak efektif apabila
pasar masih berjalan sempurna (Krugman dan Obstfeld, 2003). Hambatan-
hambatan inilah yang kemudian menjadi bumerang bagi kebijakan ini. Industri
yang mulanya diproteksi dengan baik, ketika dilepas ke pasar luar negeri
justru tetap tidak bisa bersaing karena ketergantungan yang tinggi terhadap
subsidi dan proteksi, atau dalam kasus lain, pertumbuhan dan perkembangan
industri nyatanya tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan kebijakan
yang diterapkan oleh negara.
Negara-negara berkembang umumnya lebih memilih kebijakan industri
substitusi impor sebab hingga tahun 1970an, masih terdapat skeptisisme
mengenai kemungkinan untuk dapat mengekspor produk manufaktur
sehingga industrialisasi dikonsentrasikan pada industri domestik untuk
mengganti impor barang. Disamping itu, kebijakan ini umumnya berkembang
secara alami seperti di Amerika Latin sebagai konsekuensi dari trauma akan
depresi ekonomi yang sebelumnya terjadi karena ketergantungan terhadap
impor (Krugman dan Obstfeld, 2003). Kebijakan ini sangat marak diterapkan
pada era 1950 dan 1960an, tetapi kini kebijakan ini sudah banyak dihapuskan
karena liberalisasi perdagangan.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 19
Meskipun kebijakan perdagangan bebas sering digembar-gemborkan
sebagai pemacu pertumbuhan, nyatanya masih terdapat bukti-bukti bahwa
kebijakan tersebut hanya memiliki dampak yang rendah terhadap peningkatan
pertumbuhan ekonomi yang spektakuler di negara-negara tersebut. Salah
satu negara yang terhitung sukses dengan kebijakan perdagangannya adalah
India. India meliberalisasi perdagangannya sejak tahun 1984 yang
sebelumnya didominasi oleh industri substitusi impor yang kurang
menguntungkan. Pada tahun 1984, PM Rajiv Gandhi memberi perkecualian
substitusi impor kepada 25 jenis industri dan pada tahun 1991, Rarashima
Rao memperluas liberalisasi ke seluruh cabang industri dan membuka pintu
investasi asing. Di masa kini, India paling dikenal dengan proyek teknologi
informasinya yang telah menjadi rujukan dan rekan kerja bagi negara-negara
maju. Meski terdapat banyak fluktuasi dan naik turunnya GDP India, tetapi
perekonomian India kini menempati posisi yang unggul di dunia.
Hasil studi literatur lainnya berkenaan dengan strategi impor adalah
strategi-strategi yang direkomendasikan Peng (2011) untuk mengatasi
ketergantungan China terhadap bahan bakar minyak. Peng (2011)
memberikan empat strategi alternatif agar China terlepas dari ketergantungan
impor minyak yang tinggi, yaitu: (1) Strategi 1 adalah diversifikasi sumberdaya
energi dengan membangun alternatif sumberdaya energi yang bersih.
Diversifikasi supply energi ini di level global, dan diversifikasi rute impor
dengan mengurangi dependensi impor dari Timur Tengah; (2) Strategi 2
merupakan promosi konservasi energi dengan cara-cara baru, dengan
menggeser ‘kontrol intensitas’ menjadi ‘kontrol jumlah’ dalam periode 5 tahun
ke-12; (3) Strategi 3 adalah memperkuat eksplorasi energi dan produksi dari
ladang-ladang minyak domestik. Dalam strategi 3 berupaya mendorong
kerjasama internasional eksplorasi minyak lepas pantai dan produks; (4)
Strategi 4 merupakan strategi yang bertujuan meningkatkan jumlah lokasi-
lokasi strategis cadangan-cadangan petroleum. Strategi ini berupaya untuk
meningkatkan cadangan minyak kepada perusahaan-perusahaan minyak
besar di China.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 20
Pada dasarnya, kebijakan ekonomi suatu negara sangat terkait dengan
kebijakan ekonomi dalam negeri dan kebijakan ekonomi luar negeri. Pada
negara maju, campur tangan pemerintah terhadap proses perkembangan
ekonomi biasanya tidak terlalu aktif. Campur tangan pemerintah terbatas pada
hal-hal yang lebih menyangkut kepentingan umum (publik) dan nasional,
seperti pembuatan jalan kereta api, jalan raya, pelabuhan, melindungi
perusahaan dalam negeri dengan tarif proteksi dan subsidi. Sedangkan
peranan pemerintah di negara berkembang, karena keterbatasan warga
negaranya untuk mengelola sumberdaya, peranan pemerintah dituntut untuk
lebih aktif.
Strategi pembangunan dari kebijakan ekonomi dalam negeri dapat
dilakukan dengan dua prinsip. Pertama, menggunakan prinsip “Semua atau
tidak sama sekali”, dimana industrialisasi digenjot besar-besaran dan secara
cepat, serta rintangan pertumbuhan dihilangkan bertahap. Kedua, dengan
prinsip bahwa pembangunan lebih baik dengan pendekatan secara perlahan,
dimana industrialisasi dilaksanakan secara perlahan dan mementingkan
mekanisme pasar.
Seluruh kebijakan ekonomi dalam negeri bertujuan untuk memengaruhi
tingkah laku pelaku ekonomi dan mekanisme pasar domestik. Misalnya
kebijakan fiskal pengaruh pentingnya bagi perkembangan ekonomi adalah
dapat memengaruhi pendapatan nasional, memajukan akumulasi kapital dan
menahan inflasi ataupun deflasi. Kebijaksanaan moneter memengaruhi
tersedianya jumlah uang beredar dan perkreditan guna menanggulangi inflasi
serta mempertahankan keseimbangan neraca pembayaran internasional. Bila
perkembangan sudah mulai, perlu kebijaksanaan moneter yang efektif untuk
memberikan kredit yang sesuai dengan perkembangan dalam perdagangan
dan kegiatan produksi.
Sementara itu, untuk kebijakan ekonomi luar negeri di negara
berkembang dilaksanakan kebijaksanaan perdagangan internasional untuk
melindungi industri dalam negeri, misalnya dengan proteksi, tarif, subsidi dan
multiple exchange rates. Kebijakan juga dapat berupa bantuan teknis
misalnya pelatihan bagi para teknisi dan memberikan fasilitas untuk
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 21
membantu pemerintah dengan menyediakan tenaga ahli, perlengkapan dan
mengorganisir jasa tersebut untuk pembangunan ekonomi.
Kebijakan ekonomi luar negeri juga menyangkut kebijakan investasi
asing swasta dan investasi asing pemerintah. Investasi asing swasta lebih
menyangkut kebijakan yang menyentuh pelaku-pelaku investasi langsung
swasta dan portofolio (pembelian saham perusahaan) yang dilakukan oleh
warga negara asing. Sedangkan investasi asing pemerintah dapat berupa
pinjaman dan hadiah dari pemerintah asing atau badan internasional kepada
pemerintah.
Pemerintah pun dapat memengaruhi pelaku pasar melalui kebijakan
tata niaga. Kebijakan ini dapat berupa:
a. Pola umum pengembangan sektor industri. Pada umumnya negara yang
berusaha meningkatkan pendapatan nasional lewat pembentukan nilai
tambah di dalam negeri dan berusaha menciptakan lapangan kerja,
menempuh jalan pembangunan dan pengembangan sektor industri.
b. Pengaturan tata niaga dan permasalahannya. Penyusunan peraturan tata
niaga harus dapat mendorong perekonomian nasional untuk lebih
sempurna jangan sampai menurunkan surplus neraca pembayaran.
Pengaturan tata niaga yang menyentuh kebijakan ekonomi luar negeri ini
dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
Pola Ekspor (Outward Looking), bertujuan menyediakan bahan
mentah, bahan penolong ataupun keahlian (skill).
Pola Pasar Dalam Negeri, bertujuan menyiapkan bahan mentah cukup
dan murah, tersedianya tenaga kerja dan skill, pasaran mudah
terjangkau.
Pengenaan Tarif. Tarif dianggap sebagai alat yang cukup efektif untuk
menanggulangi impor atau membatasinya. Pembebanan tarif harus
selektif yaitu pada industri tertentu, dimana industri dalam negeri yang
bersangkutan memiliki potensi efisiensi yang tertinggi.
Kuota. Kebijakan ini efektif dalam membatasi jumlah barang yang
diimpor sehingga mengakibatkan tingginya harga barang dan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 22
terbatasnya jumlah barang. Namun demikian kuota diterapkan harus
hati-hati/dipertimbangkan dampak terhadap industri lain yang
berkaitan. Inefisiensi ekonomi karena kebijakan ini tidak memberikan
pendapatan bagi negara mengakibatkan kebijakan ini dianggap kurang
efektif dibanding kebijakan tarif.
Penunjukan Importir. Tujuannya untuk mengurangi/mengontrol jumlah
barang impor yang masuk tapi bukan karena kuota tetapi lebih pada
monopoli. Kebijakan ini rentan menimbulkan kolusi dan korupsi.
2.5 Kebijakan Impor Indonesia
Kementerian Perdagangan merupakan penerbit kebijakan impor di
Indonesia dimana kebijakan impor Indonesia diarahkan berorientasi pada
kepentingan nasional yang sesuai standar kesehatan, keamanan, dan
keselamatan lingkungan (K3L). Pengelolaan impor ini dimaksudkan untuk
menjaga ketersediaan kebutuhan barang modal, bahan baku, dan bahan
penolong untuk kebutuhan produsen dalam negeri termasuk yang mendukung
peningkatan ekspor komoditi nonmigas. Selain itu, juga diarahkan untuk
menciptakan iklim persaingan yang sehat dan transparan di dalam negeri, dan
impor yang memperoleh perlakuan preferensial dalam perjanjian
perdagangan bebas (FTA) yang dilakukan Indonesia dengan mitra dagang
yang memenuhi syarat. Tak kalah penting, kebijakan impor Indonesia
diarahkan untuk memberikan perlindungan hak atas kekayaan intelektual
(HKI), perlindungan sosial, budaya, dan moral masyarakat, dan perlindungan
kepentingan pembangunan ekonomi nasional lain.
Terkait dengan kebijakan pendengalian impor, Kementerian
Perdagangan telah menerbitkan Ketentuan Umum di Bidang Impor melalui
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia (Permendag) No. 54/M-
DAG/PER/10/2009 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor yang
memberikan arahan tentang ketentuan impor yang berlaku untuk seluruh
komoditi yang diatur Kementerian Perdagangan, dimana impor hanya dapat
dilakukan oleh Perusahaan yang telah memiliki Angka Pengenal Importir
(API). Barang impor harus dalam keadaan baru, kecuali Barang Pindahan,
Barang Impor Sementara, Barang Kiriman, Barang Contoh Tidak
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 23
Diperdagangkan, Hadiah, Barang Perwakilan Negara Asing dan Barang Untuk
Badan Internasional/Pejabatnya Bertugas di Indonesia; Kapal Pesiar dan
kapal Ikan, atau Ditetapkan Lain Oleh Menteri Perdagangan; dan Barang
Tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.
2.5.1 Hambatan Perdagangan Tarif
Semenjak Putaran Uruguay, Indonesia telah mengurangi besaran tarif
bea masuk Most Favored Nation (MFN) atas produk pertanian dan
industri. Indonesia telah memangkas 95 persen dari total tarif dengan
rata-rata tarif bea masuk 40 persen. Seiring dengan keterlibatan
Indonesia melakukan perdagangan bebas (FTA) dalam kerangka
kerjasama ASEAN Free Trade Area (AFTA); (2) ASEAN-China Free
Trade Area (ACFTA); (3) ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA); (4)
Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA); (5)
ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA); dan (6) ASEAN-Australia-New
Zealand Free Trade Area (AANZFTA), tarif bea masuk atas produk
impor dengan beberapa negara mitra dagang FTA mengalami
penurunan yang signifikan
Perkembangan perjanjian AFTA hingga pada tahun 2010, 99,11 persen
tarif ASEAN-6 telah diturunkan menjadi 0 persen, dan 98,86 persen tarif
ASEAN-4 berkisar antara 0-5 persen. Hingga Desember tahun 2015,
seluruh negara ASEAN harus melakukan liberalisasi perdagangan.
2.5.2 Hambatan Perdagangan Non-tarif
Berdasarkan data yang diperoleh dari LARTAS Kementerian
Perdagangan, saat ini terdapat sekitar 7.000 buah hambatan non tarif
yang didasarkan atas kode HS barang. Hambatan non tarif tersebut
tersebar di beberapa instansi pemerintah yaitu Kementerian
Perdagangan, Badan POM, Karantina Tumbuhan, Karantina Hewan,
Karantina Ikan Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Lingkungan Hidup dan sebagainya. Dari jumlah tersebut,
kebijakan non tarif terbanyak berada dibawah kewenangan Kementeria
Perdagangan yakni sebesar 4.463 buah kode HS barang atau sekitar
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 24
63,76 persen. Selanjutnya, Badan POM Kementerian Kesehatan
memiliki kebijakan non tarif sebanyak 968 buah kode HS atau
equivalen dengan 13,83 persen.
Sebaran hambatan non tarif Indonesia menunjukkan bahwa masing-
masing instansi pemerintah memiliki kewenangan untuk mengeluarkan
kebijakan non tarif. Keluarnya kebijakan tersebut ada yang berasal dari
proses yang bersumber dari usulan pelaku usaha. Namun,
pertimbangan utama kebijakan non tarif dikeluarkan oleh instansi
tersebut adalah keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan
(K3L). Aturan K3L merupakan komponen utama dari sebuah kebijakan
non tarif yang tujuannya adalah untuk melakukan perlindungan
terhadap konsumen.
2.6 Tinjauan Hukum
Negara Hukum.Negara Indonesia adalah negara hukum.1 Yang
dimaksud dengan hukum adalah aturan hidup bermasyarakat dalam kerangka
organisasi negara.2 Hukum dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis.
Hukum yang tertulis membentuk suatu pertingkatan atau hierarki. Yang
menjadi sumber segala sumber hukum negara Indonesia adalah Pancasila.3
Oleh karena itu, dapatlah kita sebut Negara Indonesia adalah Negara Hukum
Pancasila.
Hierarki Peraturan. Hierarki hukum pada hakikatnya merupakan
pertingkatan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diatur dalam UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan secara berturut-turut adalah Undang-Undang Dasar
1 Pasal 1:3 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Ketiga). 2 Bdk Padmo Wahyono, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila, pidato ilmiah pada peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia XXXIII, Jakarta 2 Februari 1983, hlm. 1. 3 Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, LNRI 2011-82, TLNRI 5234 (UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Perubahan undang-undang telah disahkan di masa sidang terakhir Dewan Perwakilan Rakyat, September 2019. Namun karena perubahan tersebut belum dimasukkan ke dalam Lembaran Negara, penyusun belum mengetahui secara pasti substansinya perubahannya. Sepanjang informasi yang penyusun dapat dari pemberitaan di media massa serta draf final RUU, perubahan substansi yang ada tidak jauh berbeda dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, untuk keperluan pengkajian ini, substansi perubahan tersebut tidak berdampak.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 25
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.4 Di luar tujuh jenis peraturan tersebut,
terdapat sejumlah peraturan lain yang ditetapkan oleh badan, lembaga,
komisi, atau kementerian.5 Peraturan-peraturan ini mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.6
Salah satu dari peraturan-peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri,
yakni “peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan”.7
Uji materiil. Hierarki peraturan tersebut menuntut keselarasan
peraturan yang lebih rendah kepada peraturan yang lebih tinggi. Undang-
undang tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945,
dan peraturan di bawah undang-undang tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang. Bila suatu undang-undang diduga bertentangan dengan
UUD NRI Tahun 1945, maka setiap warga negara Indonesia berhak memohon
Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian materiil.8 Bila yang diduga adalah
pertentangan aturan antara peraturan di bawah undang-undang dengan
undang-undang, maka kewenangan pengujian ada pada Mahkamah Agung.9
Baik Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung hanya akan melakukan
pengujian materiil bilamana ada permohonan dari warga negara Indonesia.
Dengan kata lain, bilamana tidak ada permohonan, sekalipun ada
pertentangan pengaturan antara suatu undang-undang dengan UUD NRI
Tahun 1945 atau peraturan di bawah undang-undang dengan undang-
4 Pasal 7:1-2 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 5 Pasal 8:1 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 6 Pasal 8:2 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 7Penjelasan Pasal 8:1 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 8 Pasal 24C:1 UUD NRI Tahun 1945 (Perubahan Ketiga), pasal 9:1 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 9 Pasal 24A:1 UUD NRI Tahun 1945 (Perubahan Ketiga), pasal 9:2 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 26
undang, maka secara hukum pertentangan tersebut belum dapat dianggap
inkonstitusional atau batal demi hukum.
UUD NRI Tahun 1945 dan Perdagangan. Perdagangan sebagai
tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi yang bertujuan untuk
mengalihkan hak atas barang dan/atau jasa untuk memperoleh imbalan atau
kompensasi10 tidaklah diatur secara spesifik dalam UUD NRI Tahun 1945.
Namun perdagangan sebagai kegiatan ekonomi harus dipahami dalam
kerangka perekonomian nasional sebagaimana diatur dalam pasal 33 UUD
NRI Tahun 1945. Pasal ini merupakan salah satu dasar dari UU
Perdagangan.11
Perekonomian nasional menurut pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 harus
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.12 Negara
menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup
orang banyak.13 Negara juga menguasai kekayaan alam dan
mempergunakannya untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.14 Di samping
prinsip kekeluargaan, perekonomian juga diselenggarakan dengan
memperhatikan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian serta perimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.15
Kebijakan perdagangan disusun dengan memperhatikan usaha
pengejewantahan perekonomian nasional sebagaimana digariskan oleh pasal
33 UUD NRI Tahun 1945.16 Sebagian dari asas dalam kebijakan perdagangan
adalah kepentingan nasional, kepastian hukum, adil dan sehat, keamanan
berusaha, akuntabel dan transparan, kebersamaan, dan berwawasan
10Bdk pasal 1 angka 1 UU Perdagangan. 11Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, LNRI 2014-45, TLNRI 5512. Lih. angka 1 dari Mengingat. 12Ayat 1. 13Ayat 2. 14Ayat 3. 15Ayat 4. 16Namun pasal 33 UUD NRI Tahun 1945, atau sebelumnya UUD 1945, dirujuk atau secara tegas dijadikan dasar pembuatan hukum tentang perdagangan. Misalnya, Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), LNRI 1994-57, TLNRI 3564, tidak merujuk kepada pasal 33 UUD 1945. Lih. bagian Mengingat.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 27
lingkungan.17 Salah satu bentuk dari perdagangan adalah perdagangan luar
negeri, yakni kegiatan ekspor dan/atau impor yang melampaui batas wilayah
negara.18
Perdagangan luar negeri membutuhkan kebijakan dan pengendalian di
bidang ekspor dan impor.19 Tujuan dari kebijakan dan pengendalian tersebut
adalah untuk peningkatan daya saing produk ekspor, perluasan pasar produk
Indonesia, dan menjadikan warga negara dan badan hukum Indonesia pelaku
usaha yang handal.20 Kebijakan perdagangan luar negeri meliputi a.l.
pelindungan dan pengamanan kepentingan nasional dari dampak negatif
perdagangan luar negeri.21 Sementara pengendalian perdagangan luar negeri
meliputi perizinan, standar, dan pelarangan dan pembatasan.22
Impor barang hanya dapat dilakukan oleh importir, yang berdasarkan
penetapan Menteri, memiliki pengenal.23 Importir harus bertanggung jawab
atas barang yang diimpor.24 Untuk melakukan impor, importir harus memiliki
perizinan.25
Semua barang dapat diimpor, kecuali yang dilarang, dibatasi atau
ditentukan lain oleh undang-undang.26 Pemerintah dapat melarang impor
untuk kepentingan nasional dengan alasan untuk melindungi:
a. keamanan nasional atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan
moral masyarakat;
b. hak kekayaan intelektual; dan/atau
c. kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan
lingkungan hidup.27
17 Pasal 2 UU Perdagangan. Asas-asas lainnya adalah kemandirian, kemitraan, kemanfaatan, dan kesederhaanaan. 18Pasal 1 angka 3 UU Perdagangan. 19Pasal 38:1 UU Perdagangan. 20Pasal 38:2 UU Perdagangan. 21Pasal 38:3 UU Perdagangan. 22Pasal 38:4 UU Perdagangan. 23Pasal 45:1 UU Perdagangan. 24Pasal 46:1 UU Perdagangan. 25Pasal 49:1 UU Perdagangan. 26Pasal 50:1 UU Perdagangan. 27Pasal 50 Perdagangan.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 28
Kepentingan nasional dengan alasan huruf a dan c di atas juga menjadi dasar
Pemerintah untuk membatasi impor barang.28
Permendag sebagai Peraturan Pelaksana. Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia No. 66 Tahun 2018 tentang Ketentuan
Impor Hasil Perikanan (Permendag No. 66/2018)29 diundangkan sebagai
pelaksana dari ketentuan pasal 8 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan
Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri
(PP Pengendalian Impor).30 Pasal 8 huruf b PP Pengendalian Impor31
tersebut mewajibkan penyesuaian peraturan pelaksana dalam waktu 30 (tiga
puluh) harus semenjak keberlakuannya.32
PP Pengendalian Impor adalah peraturan pelaksana untuk dua
undang-undang.33 Undang-Undang yang pertama adalah UU
Perindustrian.34 Di satu sisi undang-undang ini memberikan tentang
kewenangan Pemerintah mengatur, membina, dan mengembangkan
perindustrian.35 Di sisi lain undang-undang ini memberikan kewajiban kepada
Pemerintah untuk menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam
untuk industri dalam negeri.36 Untuk meningkatkan ketahanan industri dalam
negeri, Pemerintah melakukan tindakan pengamanan industri dalam negeri
dengan mempertimbangkan usulan Menteri.37 Undang-Undang yang kedua
28Pasal 54 Perdagangan. 29BNRI 2018-741. 30Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor
Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri,
LNRI 2018-31, TLNRI 6188. 31Lih. Menimbang, huruf a.. 32 “Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: …; dan (b) peraturan perundang-undangan
mengenai pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang telah ada harus
disesuaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.” Namun
dalam praktiknya, peraturan pelaksana baru berlaku hampir 3 (tiga) bulan kemudian.
33Lih. Menimbang, huruf a. 34Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, LNRI 2014-4, TLNRI 5492. 35Pasal 5:3 UU Perindustrian. 36Pasal 33:1-2 UU Perindustrian. 37Pasal 96 dan 97 Perindustrian.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 29
adalah UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.38 Sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk
mengendalikan impor komoditas perikanan dan pergaraman.39 Dengan
memperhatikan rekomendasi dari Menteri, Pemerintah menetapkan tempat
pemasukan, jenis, volume, waktu, pemenuhan syarat administratif, dan
standar mutu dari komoditas perikanan dan pergaraman yang diimpor.40
Menteri yang dimaksud dalam kedua undang-undang tersebut adalah menteri yang menyelenggarakan di bidang perindustrian,41 dan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.42
Permendag No. 66/2018 telah diubah oleh Permendag No. 23/2019.43
Sebagai ganti ketentuan tentang Verifikasi atau Penelusuran Teknis dan
Surveyor yang dihapuskan, Permendag No. 23/2019 mengatur tentang Nomor
Identitas Berusaha. Untuk kali kedua, Permendag No. 66/2018 diubah oleh
Permendag No. 64/2019.44 Perubahan kedua dilakukan untuk memperketat
penyampaian laporan Persetujuan Impor,45 dan akibat dari pelanggaran
kewajiban tersebut,46 serta perincian tentang jenis komiditas yang dibatasi
impornya.47 Permendag No. 66/2018, Permendag No. 23/2019, dan
Permendag No. 64/2019 sebagai satu-kesatuan merupakan Permendag
Impor Hasil Perikanan.
Sepertinya halnya PP Pengendalian Impor, Permendag Impor Hasil
Perikanan merupakan bagian dari hukum positif tentang perdagangan.
38Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. 39Pasal 37: 1 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. 40Pasal 37: 2-3 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. 41Pasal 1 angka 21 UU Perindustrian. 42Pasal 1 angka 34 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. 43Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 23 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 66 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Hasil Pertanian, BNRI 2019-302. 44Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 64 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 66 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Hasil Pertanian, BNRI 2019-943. 45Pasal 18 Permendag No. 64/2019. 46Pasal 19 Permendag No. 64/2019. 47Lampiran Permendag No. 64/2019.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 30
Permendag Impor Hasil Perikanan merupakan aturan pelaksana dari pasal
45-54 UU Perdagangan.48
Dasar Hukum Permendag Impor Hasil Perikanan. Permendag Impor
Hasil Perikanan diterbitkan dengan dasar undang-undang, peraturan
pemerintah, dan peraturan presiden. Ada sebelas undang-undang yang
menjadi dasar penerbitan Permendag Impor Hasil Perikanan. Selain tiga
undang-undang yang sudah disebutkan di atas, undang-undang tersebut
adalah UU Karantina,49 UU Pengesahan Persetujuan WTO,50 UU
Kepabeanan,51 UU Antimonopoli,52 UU Perikanan,53 UU Kementerian
Negara,54 UU Pangan,55 dan UU Protokol Perubahan Pengesahan
Persetujuan WTO.56 Dua peraturan pemerintah yang menjadi dasar adalah
PP Pengendalian Impor dan PP Pelayanan Perizinan Elektronik.57 Dua
peraturan presiden tersebut adalah Perpres Organisasi Kementerian
Negara,58 dan Perpres Kementerian Perdagangan.59 Di samping itu terdapat
48 Pasal 45-48 (Bagian Ketiga tentang Impor), pasal 49 (Bagian Keempat tentang Perizinan Ekspor dan Impor), dan pasal 50-54 (Bagian Kelima Larangan dan Pembatasan Ekspor dan Impor) merupakan bagian-bagian dari Bab V tentang Perdagangan Luar Negeri. 49Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, LNRI 1992-56. 50 Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), LNRI 1994-57, TLNRI 3564. 51Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LNRI 1995-5, TLNRI 3612, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2006, LNRI 2006-93, TLNRI 4661. 52Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, LNRI 1999-33, TLNRI 3817. 53Undang-Undang Republik Indoneisa No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, LNRI 2004-118, TLNRI 4433, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 LNRI 2009-154, TLNRI 5073. 54Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, LNRI 2008-166, TLNRI 4916. 55Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, LNRI 2012-227, TLNRI 5360. 56 Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2017 tentang Pengesahan Protocol Amending the Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization (Protokol Perubahan Persetujuan Marrakesh Mengenai Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), LNRI 2017-240, TLNRI 6140. 57 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik atau Online Single Submission di Bidang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6215); 58Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2015 tentangOrganisasi Kementerian Negara, LNRI 2015-8. 59Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 48 Tahun 2015 tentangKementerian Perdagangan,LNRI 2015-90.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 31
7 peraturan menteri terkait, yakni Permendag Ketentuan Umum Verifikasi,60
Permendag Ketentuan Umum Impor,61 Permendag Angka Pengenal
Importir,62 Permendag Organisasi Kementerian Perdagangan,63 dan
Permendag Pelayanan Perizinan Elektronik.64
[WTO dan Aturan WTO]
Organisasi Perdagangan Dunia. Putaran Uruguay (1986-1994)
berhasil menyepakati Persetujuan Marrakesh tentang Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (Marrakesh Agreement on the Establishing
the World Trade Organization/Persetujuan Marrakesh).65 Persetujuan
Marrakesh mendirikan organisasi internasional bernama Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).66 Organisasi ini berdiri
per 1 Januari 1995.67 Indonesia meratifikasi hasil kesepakatan Putaran
Uruguay melalui UU No. 7 Tahun 1994,68 dan menjadi salah satu Anggota
(Member) pendiri WTO. Berdasarkan perhitungan terakhir, WTO mempunyai
164 Anggota.69
60Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 46 / M-DAG/ PER/ 8 /2014 tentang Ketentuan Umum Verifikasi atau Penelusuran Teknis di Bidang Perdagangan, BNRI 2014-1104. 61Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 48/ M-DAG/ PER/ 7/2015 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor, BNRI 2015-1006); 62Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 75 Tahun 2018 tentang Angka Pengenal Importir, BNRI 2018-936. 63Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 08/M-DAG/PER/2/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perdagangan, BNRI 2016-202. 64 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 77 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik di Bidang Perdagangan, BNRI 2018-938. 65 1867 UNTS 3, 1868 UNTS 3, 1869 UNTS 3 berturut-turut tersedia di tautan https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/Volume%201867/v1867.pdf, https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/Volume%201868/v1868.pdf, dan https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/Volume%201869/v1869.pdf. 66 Artikel I Persetujuan Marrakesh. 67 Angka 3 Final Act Embodying the Results of the Uruguay Round of the Multilateral Trade Negotiations. 68 Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), LNRI 1994-57, TLNRI 3564. 69 Sebagaimana terpublikasi di laman resmi WTO. https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org6_e.htm.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 32
WTO dapat dipahami sebagai suatu kerangka lembaga bersama (the
common institutional framework),70 forum negosiasi para Anggota,71 dan
pembuat keputusan terkait dengan perdagangan dunia, yakni yang
melibatkan para Anggota.72
Sebagai kerangka lembaga bersama, WTO memberikan aturan main
terkait dengan perdagangan para Anggota. Aturan main terdiri dari Lampiran-
lampiran dari Persetujuan Marrakesh. Tiga lampiran pertama dari Persetujuan
Marrakesh disebut Persetujuan Perdagangan Multilateral (Multilateral Trade
Agreements/MTA).73 Annex 1 terdiri dari tiga bagian – Annex 1A Persetujuan
Multilateral tentang Perdagangan Barang (Multilateral Agreements on Trade
in Goods), Annex 1B Persetujuan Umum tentang Perdagangan Jasa (General
Agreement on Trade in Services), dan Annex 1C Persetujuan tentang Aspek-
aspek Hak Kekayaan Intelektual dalam Perdagangan (Agreement on Trade-
Related Aspects of Intellectual Property Rights). Dua lampiran lainnya adalah
Kesepahaman tentang Ketentuan dan Acara yang Mengatur Penyelesaian
Sengketa (Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement
of Disputes, Annex 2), dan Mekanisme Peninjauan Kebijakan Perdagangan
(Trade Policy Review Mechanism, Annex 3).
Lampiran terakhir atau Annex 4 disebut Persetujuan Perdagangan
Plurilateral (Plurilateral Trade Agreement).74 Berbeda dengan Persetujuan
Perdagangan Multilateral yang bersifat mengikat, Anggota dapat memilih
untuk tidak mengikatkan diri pada Persetujuan Perdagangan Plurilateral.
Annex 1A terdiri dari pelbagai persetujuan, antara lain Persetujuan
Umum tentang Tarif dan Perdagangan 1994 (General Agreement on Tariffs
and Trade 1994/GATT 1994), Persetujuan tentang Pertanian (Agreement on
Agriculture), Persetujuan tentang Tindakan-tindakan Sanitasi dan Fitosanitasi
(Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures), Persetujuan tentang
Batasan-batasan Teknis untuk Perdagangan (Agreement on Technical
70 Artikel II:1 Persetujuan Marrakesh. 71 Artikel III:2 Persetujuan Marrakesh. 72 Artikel IX:1 Persetujuan Marrakesh. 73 Artikel II:2 Persetujuan Marrakesh. 74 Artikel II:3 Persetujuan Marrakesh.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 33
Barriers to Trade), Persetujuan tentang Aturan Asal (Agreement on Rules of
Origin), Persetujuan tentang Perizinan Impor (Agreement on Import
Licensing), dan Persetujuan tentang Pengamanan Perdagangan (Agreement
on Safeguards).
Keselarasan Aturan.Setiap Anggota berkewajiban memastikan
undang-undang, peraturan, dan prosedur administrasinya selaras dengan
kewajiban-kewajiban yang diatur dalam MTA.75 Untuk memastikan efektivitas
pengaturan, Anggota tidak dapat membuat pensyaratan (reservation) atas
satu pun ketentuan yang ada dalam MTA.76
Persetujuan-persetujuan yang ada membentuk suatu hierarki.
Bilamana terjadi perbedaan pengaturan antara ketentuan yang ada dalam
Persetujuan Marrakesh dengan ketentuan dalam MTA, maka ketentuan
Persetujuan Marrakesh yang berlaku.77 Namun bila terjadi pengaturan antara
ketentuan dari GATT 1994 dengan persetujuan lain dari Annex 1A, maka yang
berlaku adalah ketentuan dari persetujuan lain tersebut.78
Prinsip-prinsip Perdagangan Barang. Ada lima aturan dasar (basic
rules) dari WTO. Pertama adalah aturan non-diskriminasi (rules of non-
discrimination). Aturan ini terdiri dari dua prinsip – kewajiban memperlakukan
bangsa-yang-diutamakan (most-favored-nation treatment obligation/MFN)
dan kewajiban perlakuan nasional (national treatment obligation/NT). Prinsip
MFN mewajibkan semua keuntungan (advantage), kemudahan (favor),
keistimewaan (privilege) atau imunitas (immunity) yang diberikan oleh
Anggota untuk barang apapun yang berasal atau dengan tujuan Anggota
manapun harus diberikan juga kepada barang sejenis (like products) seketika
dan tanpa syarat (immediately and unconditionally) untuk Anggota lainnya.79
Prinsip MFN adalah untuk memastikan pemertaan kesempatan (equality of
opportunity) untuk ekspor dan impor kepada semua Anggota. Prinsip NT
menuntut Anggota untuk menggunakan peraturan perundang-undangan
75 Artikel XVI:3 Persetujuan Marrakesh. 76 Artikel XVI:4 Persetujuan Marrakesh. 77 Artikel XVI:3 Persetujuan Marrakesh. 78 Catatan Penafsiran Umum untuk Annex 1A (General Interpretative note to Annex 1A). 79 Artile I:1 GATT 1994.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 34
nasional kepada barang impor, sehingga produksi domestik menikmatinya
sebagai suatu bentuk proteksi.80 Prinsip NT bertujuan menciptakan
pemerataan kondisi-kondisi persaingan (equality of competitive conditions).
Kedua adalah aturan akses pasar (rules on market access). Ada dua
kategori hambatan, atau batasan, untuk akses pasar – tarif dan non-tarif.
Batasan tarif terdiri dari antara lain bea masuk dan tarif. Batasan non-tarif
terdiri antara lain dari kuota,
2.7 Analisis Dampak Kebijakan (Regulatory Impact Analysis)
Peraturan merupakan salah satu instrument kebijakan yang dapat
digunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Namun peraturan
biasanya memiliki dampak yang luas yang dapat mempengaruhi berbagai
kelompok masyarakat yang berbeda dengan jenis dampak yang berbeda.
Banyak dari dampak ini yang mungkin tersembunyi atau sulit diidentifikasi
ketika suatu peraturan disusun. Analisis Dampak Peraturan yang
diterjemahkan dari Regulatory Impact Analysis atau ada juga yang
menyebutnya Regulatory Impact Assessment (selanjutnya disingkat RIA)
dapat membantu memahami apa saja dampak dari suatu peraturan dan siapa
saja yang akan terkena dampaknya. RIA membantu menilai efektivitas suatu
kebijakan dalam mencapai tujuannya dan efisiensi terkait dampak dari
kebijakan tersebut dalam bentuk manfaat dan biaya. Dengan kata lain,
menjadi alat untuk menilai atau menyusun regulasi yang berkualitas.
Prinsip regulasi yang berkualitas antara lain bahwa kebijakan atau
regulasi tersebut harus memiliki alasan. Kebijakan tersebut juga merupakan
alternatif terbaik yang telah memperhitungkan dampaknya baik itu manfaat
maupun biayanya. Selain itu, kebijakan harus diterima oleh public secara luas
atau dengan kata lain penyusunannya melibatkan para pemangku
kepentingan yang relevan. Dengan RIA, ada proses yang dilakukan untuk
memastikan kualitas dari suatu regulasi. Proses ini terdiri dari beberapa
tahapan logis yang didukung dengan data empiris dengan melibatkan para
pemangku kepentingan. Hasil dari proses tersebut selanjutnya
80 Artile III GATT 1994.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 35
dikomunikasikan kepada para pengambil keputusan tentang dampak, baik
dari sisi biaya maupun manfaat dari sebuah regulasi. RIA juga dapat
diterapkan pada kebijakan yang berbentuk peraturan maupun non peraturan.
Namun selain sebagai alat untuk menilai kebijakan, RIA sebenarnya
juga merupakan sebuah logika berfikir. Metode RIA dapat digunakan oleh
pengambil kebijakan untuk berfikir logis, mulai dari identifikasi masalah,
identifikasi pilihan untuk memecahkan masalah, serta memilih satu kebijakan
berdasarkan analisis terhadap semua pilihan.
Metode RIA mendorong pengambil kebijakan
untuk berfikir terbuka dengan menerima
masukan dari berbagai komponen yang
terkait dengan kebijakan yang hendak
diambil.
RIA dikembangkan oleh OECD sejak
sebelum tahun 2000 dan telah diadopsi oleh
banyak negara. Pemerintah Indonesia melalui
Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian
PPN/Bappenas) telah secara aktif mengembangkan dan mensosialisasikan
metode RIA sejak 2003. Pada tahun 2009, telah diluncurkan panduan
pelaksanaan metode RIA untuk instansi pemerintah pusat dan daerah.
Sebagai proses, RIA terdiri dari tahapan-tahapan yang sistematis dan
logis yang umumnya terdiri dari:
1. Perumusan Masalah
Tahapan pertama adalah pemetaan masalah yang relevan dengan
tujuan dan substansi peraturan atau regulasi. Tahapan ini diperlukan
agar semua pihak, khususnya pengambil kebijakan, dapat melihat
dengan jelas masalah apa sebenarnya yang dihadapi dan berusaha
diatasi dengan kebijakan melalui regulasi tersebut. Pada tahapan ini
penting untuk membedakan antara masalah (problem) dengan gejala
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 36
(symptom), karena yang hendak dipecahkan adalah masalah, bukan
gejalanya.
2. Identifikasi Tujuan
Setelah masalah teridentifikasi, selanjutnya perlu ditetapkan apa
sebenarnya tujuan dari peraturan. Tujuan ini menjadi satu komponen
yang sangat penting, karena ketika suatu saat dilakukan penilaian
terhadap efektivitas sebuah kebijakan, maka yang dimaksud dengan
“efektivitas” adalah apakah tujuan kebijakan tersebut tercapai ataukah
tidak. Pada tahapan ini perlu dilihat kerangka kebijakan yang lebih
luas yang membawahi peraturan atau kebijakan yang akan dianalisis.
Ada juga yang melihat bahwa tujuan peraturan merupakan bentuk
negasi dari rumusan masalah.
3. Alternatif Tindakan
Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi pilihan tindakan apa saja
yang ada atau bisa diambil untuk mengatasi masalah dan memenuhi
tujuan. Dalam pendekatan RIA, pilihan tindakan pertama adalah “do
nothing” atau “tidak melakukan apa-apa”, yang pada tahap berikutnya
akan dianggap sebagai kondisi awal (baseline) untuk dibandingkan
dengan berbagai pilihan lainnya. Pada tahap ini, penting untuk
melibatkan pemangku kepentingan dari berbagai latar belakang dan
kepentingan guna mendapatkan gambaran seluas-luasnya tentang
pilihan apa saja yang tersedia dan bisa diambil.
4. Analisis Biaya dan Manfaat
Setelah merumuskan beberapa pilihan tindakan, tahapan berikutnya
adalah melakukan penilaian terhadap dampak dari kebijakan atau
peraturan baik itu yang bersifat positif atau membawa manfaat
maupun yang bersifat negative atau menimbulkan biaya. Sebelum
melakukan analisis manfaat biaya perlu dilakukan penilaian dari sisi
legalitas, karena setiap pilihan tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundangundangan yang berlaku. Secara sederhana,
“manfaat” dapat didefinisikan sebagai hal-hal positif atau
menguntungkan yang akan diperoleh dan “biaya” adalah hal-hal
negatif, resiko, atau kerugian yang akan terjadi. Manfaat dan biaya
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 37
tidak selalu berupa uang. Dalam melakukan analisis manfaat biaya
perlu diidentifikasi siapa saja yang terkena dampaknya baik itu berupa
manfaat ataupun biayanya.
Sedapat mungkin biaya atau risiko dikuantifisir. Namun beberapa
risiko memang sulit untuk dikuantifisir. Dalam hal ini, penilaian
kualitatif dapat digunakan. Besarnya risiko dapat diukur berdasarkan
kemungkinan terjadinya suatu peristiwa dan konsekuensi dari
peristiwa tersebut. Kemungkinan terjadinya suatu peristiwa mungkin
bisa dilihat berdasarkan faktor-faktor yang memungkinan peristiwa itu
terjadi. Sementara konsekuensi bisa dilihat berdasarkan dampak dari
peristiwa serupa yang pernah terjadi.
5. Pemilihan Tindakan
Hasil Analisis Manfaat dan Biaya pada tahapan sebelumnya menjadi
dasar untuk mengambil keputusan atas pilihan tindakan yang sudah
diidentifikasi sebelumnya. Secara logis, pilihan tindakan terbaik
adalah yang memiliki manfaat terbesar dibanding dengan biayanya.
6. Strategi Implementasi
Setelah seluruh langkah diatas dilakukan, maka perlu disusun suatu
laporan atau pernyataan hasil (RIA statement). RIA statement ini akan
disampaikan kepada pengambil keputusan, dalam hal ini kepala
instansi pembuat kebijakan yang akan memberikan keputusan akhir
apakah menyetujui tindakan terbaik yang dipilih oleh tim perumus.
Bisa saja kepala daerah dengan pertimbangan tertentu lebih memilih
“do nothing”, karena ini juga merupakan kebijakan. Pemilihan
tindakan terbaik merupakan suatu bentuk kebijakan yang tidak bisa
berjalan secara otomatis setelah ditetapkan. Karena itu langkah
berikutnya adalah merumuskan bagaimana strategi untuk
melaksanakan kebijakan tersebut. Dengan adanya strategi maka
pemerintah dan pihak lain yang terkait tidak hanya tahu mengenai apa
yang akan dilakukan, tetapi juga mengerti bagaimana akan
melakukannya.
Seperti dibahas sebelumnya, RIA dapat diposisikan sebagai sebuah proses,
sebagai alat, atau sebagai logika berfikir. Terkait dengan hal tersebut, pada
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 38
dalam pelaksanaannya, metode RIA dapat dibedakan menjadi tiga sebagai
berikut:
1. Metode RIA Standar
Dalam metode ini, seluruh tahapan metode RIA dilaksanakan secara
lengkap dan intensif, termasuk Analisis Biaya-Manfaat terhadap
berbagai opsi/pilihan dan Konsultasi Publik.
2. Metode RIA Ringkas
Dalam metode ini, semua tahapan RIA dilakukan secara lengkap,
tetapi tidak seintensif RIA Standar. Dalam RIA Ringkas, beberapa
tahapan dapat digabungkan menjadi satu kegiatan. Analisis Biaya-
Manfaat terhadap berbagai opsi/pilihan dapat dilakukan, tetapi
sifatnya merupakan soft cost benefit analysis (tidak semua manfaat
atau biaya diterjemahkan ke dalam nilai uang). Konsultasi Publik juga
tetap dilakukan, tetapi tidak seintensif pada RIA Standar, baik dari sisi
cakupan pihak-pihak yang diajak berkonsultasi maupun pada tingkat
keterlibatannya.
3. Logika Berfikir
Kegiatan-kegiatan untuk tahapan metode RIA tidak dilakukan secara
lengkap, tetapi ada logika yang sangat jelas tentang masalah apa
yang hendak dipecahkan, apa saja pilihan yang ada untuk
memecahkan masalah tersebut, dan mengapa sebuah pilihan
diputuskan untuk diambil. Konsultasi publik tetap dilakukan, baik
secara langsung maupun melalui media.
Bappenas dalam kajiannya mengatakan ada dua kunci dalam penerapan
metode RIA yang efektif yaitu:
1. Proses yang partisipatif
Adanya partisipasi masyarakat dapat meningkatkan transparansi,
kepercayaan masyarakat dan mengurangi risiko sebuah kebijakan.
RIA sangat menekankan proses partisipatif, karena itu pada setiap
tahapan perlu melibatkan stakeholder melalui proses konsultasi
publik. Publik atau masyarakat adalah pihak yang harus didengar
suaranya karena mereka yang pada akhirnya akan menerima
dampak, baik dan buruk, dengan adanya kebijakan tersebut.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 39
Pemangku kepentingan kunci yang harus dilibatkan dalam proses
penyusunan peraturan atau kebijakan adalah mereka yang berpotensi
terkena dampak (baik positif maupun negatif) dari peraturan atau
kebijakan. Selanjutnya, pihak-pihak yang akan menjadi pelaksana
peraturan atau kebijakan juga harus diundang dan didengar
pendapatnya. Dalam banyak kasus, pelaksana kebijakan ini berbeda
dengan penyusunnya. Terakhir, konsultasi publik perlu melibatkan
pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan yang disusun.
2. Menemukan Pilihan yang Efektif dan Efisien
Menemukan opsi/pilihan yang paling efektif dan efesien sehingga
dapat mengurangi biaya implementasi bagi pemerintah dan biaya
transaksi bagi masyarakat. Dari semua tahapan RIA, Analisis
Manfaat dan Biaya merupakan bagian yang paling rumit. Ada
anggapan bahwa Analisa Biaya-Manfaat dianggap harus dapat dinilai
dengan uang atau bersifat moneter. Namun menurut kajian
Bappenas, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Analisis Manfaat
dan Biaya yang bersifat moneter, yang menghendaki semua biaya
dan manfaat dapat dinilai dalam uang, hanya merupakan salah satu
alternatif dalam melakukan analisis terhadap berbagai opsi/pilihan
kebijakan, yaitu jika pihak yang menerapkan metode RIA
menggunakan pendekatan ekonomi neoklasik yang bertujuan untuk
memaksimumkan social welfare. Metode analisis lain dapat
digunakan, atau tetap menggunakan Analisis Manfaat dan Biaya
tetapi dengan cara yang tidak seketat monetary cost-benefit analysis.
Sebagai contoh, dalam soft cost-benefit analysis yang terpenting
adalah semua biaya (dampak negatif) dan manfaat (dampak positif)
yang dirasakan oleh berbagai pihak dapat teridentifikasi tanpa ada
keharusan untuk menilainya dalam bentuk uang.
Biaya dapat juga terjadi dalam bentuk risiko atau ketidakpastian. Cara
lain untuk mengukur biaya atau risiko ini adalah dengan memperkirakan
kemungkinan terjadinya biaya tersebut (likelihood) dan besaran biaya tersebut
(impact) dari suatu risiko. Kalaupun cara ini juga tidak memungkinkan, cara
lain yang dapat digunakan antara lain menggunakan cara kualitatif yaitu
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 40
berdasarkan pendapat dari para ahli atau analisis perbandingan risiko yang
sama yang terjadi di lokasi lain.
2.8 Penelitian Sebelumnya
Menurut Sihabudin (2015), implementasi kebijakan tata niaga impor
bahan pangan yang kurang baik disebabkan karena ketidakselarasan antara
regulasi nasional dengan regulasi regional dan global. Implementasi yang
kurang baik salah satunya juga berasal dari berbagai praktik penyimpangan
seperti dalam hal perizinan impor. Oleh karena itu, diperlukan suatu
perombakan mekanisme perdagangan bahan pangan baik perdagangan
dalam negeri maupun luar negeri yang diiringi dengan tindakan tegas pada
praktik-praktik penyimpangan. Secara spesifik pada komoditas daging Sapi,
Masri (2016) menyebutkan adanya praktik kartel dalam impor daging Sapi,
sehingga menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada tingkatan
pelaku usaha yang mendorong situasi persaingan yang tidak sehat.
Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri (2017) melakukan Kajian
Evaluasi Tata Kelola Impor Komoditas Sapi dan Daging Sapi untuk melihat
pelaksanaan kebijakan tata kelola impor Sapi dan Daging Sapi yang
menimbulkan potensi kolutif/penyalahgunaan, inefektif, dan inefisien. Alat
analisis yang digunakan adalah metode Regulatory Impact Assessment (RIA)
melalui Analisis Biaya dan Manfaat.Pada komoditas Sapi, dari alternatif
tindakan ditetapkan pilihan yaitu “Merevisi kebijakan dengan perubahan
kewajiban impor 5:1 dengan rasio 80:20 sesuai kapasitas kandang, dengan
kewajiban bea masuk tetap 5%”. Sementara itu, untuk komoditas Daging Sapi
ditetapkan pilihan “Do Nothing” atau melanjutkan kebijakan saat ini.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 41
BAB 3
METODE PENGKAJIAN
Metode analisis yang digunakan dalam kajian ini untuk menjawab
pertanyaan penelitian pertama dan kedua digunakan alat analisis Regulatory
Impact Assessment (RIA). Dengan alat analisis RIA akan dilakukan analisis
kesesuaian kebijakan impor produk Hasil Perikanan dengan ketentuan dan
aturan World Trade Organisation. Analisis hukum juga akan dilakukan yaitu
dengan mengidentifikasi beberapa klausul pengaturan impor produk Hasil
Perikanan dengan beberapa measurement yang digugat oleh negara mitra
dagang seperti Amerika Serikat dan Selandia Baru dalam kasus gugatan
kebijakan impor produk Hortikultura dan kebijakan impor Hewan dan Produk
Hewan.
3.1. Regulatory Impact Assessment sebagai Alat Analisis
Regulasi merupakan intervensi dari pemerintah. Regulasi yang
berkualitas adalah regulasi yang menawarkan solusi yang efektif atas suatu
permasalahan dan merupakan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan
manfaat dan biaya. Salah satu metode yang banyak digunakan oleh negara-
negara lain untuk meningkatkan kualitas regulasi adalah Regulatory Impact
Assessment (RIA) yang dikembangkan oleh OECD (Organization for
Economic and Co-operation Development). Pengkajian ini akan
menggunakan RIA untuk mengevaluasi atau menilai Peraturan Menteri
Perdagangan No. 66 Tahun 2018 sebagai regulasi yang menjadi obyek
pengkajian. Selain itu, dalam prosesnya, pengkajian ini juga bertujuan menilai
kesesuaian regulasi terhadap prinsip dan aturan WTO.
RIA merupakan suatu pendekatan yang secara sistematis
mengidentifikasi dan mengevaluasi dampak dari suatu regulasi, baik yang
baru maupun yang telah ada, melalui metode yang analitis seperti cost-benefit
analysis dengan didukung oleh data empiris. Dalam prosesnya, RIA
membandingkan suatu regulasi dengan berbagai alternatif kebijakan agar
pembuat kebijakan memiliki gambaran yang lengkap dan riil mengenai
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 42
dampak dari suatu kebijakan sehingga dapat menilai efektivitas dan efisiensi
dari regulasi dibandingkan dengan alternatif kebijakan lainnya.
Secara umum, RIA dilaksanakan melalui 6 tahapan sebagai berikut:
1. Perumusan masalah
2. Identifikasi Tujuan
3. Penetapan Alternatif Tindakan
4. Analisis Biaya dan Manfaat
5. Pemilihan Tindakan
6. Strategi Implementasi
Setiap tahapan tersebut dilakukan secara partisipatif dengan
melibatkan para pemangku kepentingan untuk menjaring informasi dan
menetapkan opsi kebijakan dengan efektif.
Berikut adalah tahapan RIA dan output yang diharapkan dari setiap tahapan:
No. Tahapan Deskripsi Output
1. Perumusan masalah
Pemetaan masalah yang relevan dengan tujuan dan substansi regulasi yang akan dievaluasi
Rumusan permasalahan dan identifikasi akar masalah
2. Identifikasi
Tujuan
Identifikasi tujuan atau sasaran yang ingin dicapai pemerintah melalui penerbitan kebijakan
Pernyataan
tujuan
3. Penetapan Alternatif Tindakan
Pengembangan alternatif tindakan (opsi) yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah diidentifikasi
Daftar pilihan
tindakan
4. Analisis Biaya dan Manfaat
Assessment atas manfaat dan biaya untuk setiap opsi atau alternatif tindakan yang penting, dilihat dari sudut pandang pemerintah, masyarakat, konsumen, pelaku usaha, dan ekonomi secara
Perbandingan biaya dan manfaat atas setiap opsi
5. Pemilihan
Tindakan
Memilih opsi tindakan yang terbaik untuk mencapai tujuan dan menyelesaikan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya berdasarkan perbandingan manfaat dan biaya
Tindakan yang
dipilih
6. Strategi Implementasi
Merumuskan startegi untuk mengimplementasikan kebijakan di lapangan
Strategi dan rencana kerja
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 43
Secara lebih rinci, penjelasan dari setiap tahapan RIA:
1. Perumusan Masalah
Tahapan pertama adalah pemetaan masalah yang relevan dengan
tujuan dan substansi regulasi yang menjadi obyek evaluasi yaitu
Peraturan Menteri Perdagangan No. 66 Tahun 2018. Dalam tahap
ini, pembuat regulasi menjelaskan latar belakang dan pendasaran
penerbitan regulasi tersebut. Setelah itu diperlukan pendalaman
atas masalah untuk mengidentifkasi akar masalah dan menilai
apakah regulasi menjawab akar masalah atau hanya gejala
permukaan. Untuk mendapatkan pemahaman yang mencukupi
diperlukan masukan dari para pemangku kepentingan atas kondisi
riil permasalahan di lapangan. Mengingat tujuan dari pengkajian
adalah untuk menilai kesesuaian regulasi dengan aturan dan
kebijakan WTO, maka akan dilakukan tinjauan atas kasus yang
dihadapi Indonesia atas keluhan negara lain sebagai pembelajaran
atau lessons and learned.
2. Identifikasi Tujuan
Tahapan berikutnya dilakukan untuk mengetahui tujuan yang ingin
dicapai dari diterbitkannya regulasi yang menjadi obyek evaluasi
terkait dengan permasalahan yang telah dirumuskan dalam tahapan
sebelumnya. Perlu diidentifikasi ruang lingkup tujuan regulasi yang
diterbitkan apakah untuk menyelesaikan akar masalah dari
permasalahan tersebut secara keseluruhan atau hanya secara
parsial. Juga perlu diidentifikasi konsistensi regulasi ini dengan
regulasi lain yang relevan.
3. Penetapan Alternatif
Dalam tahapan ini dilakukan pengembangan alternatif tindakan (opsi
atau pilihan) yang dapat digunakan untuk memecahkan akar
masalah dan mencapai tujuan yang telah diidentiikasi. Hasil yang
diharapkan dari tahapan ini adalah daftar dari beberapa pilihan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 44
tindakan (alternatif tindakan) termasuk regulasi yang akan
dievaluasi. Pilihan di sini mencakup pilihan yang berbentuk regulasi
maupun bukan regulasi.
4. Analisis Biaya dan Manfaat
Pada tahapan ini dilakukan penilaian atas manfaat dan biaya
(keuntungan dan kerugian) dari setiap pilihan tindakan yang telah
diidentifikasi. Setiap opsi diukur manfaat dan biayanya untuk
diperbandingkan. Sedapat mungkin manfaat dan biaya dinyatakan
dalam skala yang bisa diperbandingkan. Manfaat dan biaya juga
dianalisis berdasarkan para pihak yang menikmati (manfaat) atau
menanggung (biaya) termasuk antara lain pemerintah, pemerintah
daerah, pelaku usaha dalam supply chain, konsumen, dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, dalam tahapan ini keterlibatan
pemangku kepentingan menjadi sangat penting untuk membantu
identifikasi dan pengukuran manfaat dan biaya secara riil.
5. Pemilihan Tindakan
Berdasarkan perbandingan manfaat dan biaya yang telah dilakukan
sebelumnya, maka dipilih tindakan yang terbaik: yang memecahkan
akar masalah (efektif) dan perbandingan manfaat dan biaya yang
paling baik (efisien).
6. Strategi Implementasi
Pemilihan tindakan terbaik merupakan suatu bentuk kebijakan yang
tidak bisa berjalan secara otomatis setelah ditetapkan. Karena itu
langkah berikutnya adalah merumuskan bagaimana strategi untuk
melaksanakan kebijakan tersebut. Dengan adanya strategi maka
pemerintah dan pihak lain yang terkait tidak hanya tahu mengenai
apa yang akan dilakukan, tetapi juga mengerti bagaimana akan
melakukannya.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 45
3.2. Pengelolaan Pengkajian
Pengkajian dilakukan melalui beberapa metode termasuk desk review,
focus group discussions dan interview mendalam sesuai dengan tahapan RIA
dan output yang diharapkan dari setiap tahapan.
No. Tahapan Output Metode Pemangku Kepentingan
1. Perumusan masalah
Rumusan permasalahan dan identifikasi akar masalah
Desk Review, 2 FGD (KL dan pemangku kepentingan lain)
Kemendag, KKP, Kemenperin, Pelaku Usaha, Nelayan, Akademisi
2. Identifikasi
Tujuan
Pernyataan tujuan
3. Penetapan Alternatif Tindakan
Daftar pilihan
tindakan
Cost & Benefit Analysis, 4 FGD (2 diskusi dan 2 case study)
Kemendag, KKP, Kemenperin, Pelaku Usaha, Nelayan
4. Analisis Biaya dan Manfaat
Perbandingan biaya dan manfaat atas setiap opsi
5. Pemilihan Tindakan
Tindakan yang
dipilih
Kemendag, KKP, Kemenperin
6. Strategi Implementasi
Strategi dan rencana kerja
Rapat Koordinasi Kemendag
Beberapa pertanyaan kunci yang akan diajukan dalam setiap tahapan
adalah sebagai berikut:
No. Tahapan Pertanyaan
1. Perumusan masalah
- Apa latar belakang diterbitkannya Permen No. 66/2018?
- Apa permasalahan yang ingin diatasi oleh Permen No. 66/2018?
- Apa sebenarnya akar masalah dari permasalahan tersebut?
- Apakah Permen No. 66/2018 mengatasi akar masalah atau hanya gejala dari permasalahan?
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 46
No. Tahapan Pertanyaan
- Bagaimana pandangan pemangku kepentingan lain terhadap penerbitan Permen No. 66/2018
- Pembelajaran apa yang diperoleh dari proses dispute dan sanksi yang dikenakan kepada Indonesia oleh WTO?
2. Identifikasi
Tujuan
- Apa tujuan yang ingin dicapai oleh Permen No. 66/2018?
- Apakah tujuan Permen No. 66/2018 untuk mengatasi sebagian atau seluruh akar masalah?
3. Penetapan Alternatif Tindakan
- Apa saja pilihan solusi yang mungkin dari akar masalah yang telah diidentifikasi termasuk Permen No. 66/2018 atau solusi non regulasi?
- Mana saja pilihan solusi yang layak untuk dianalisis lebih lanjut?
4. Analisis Biaya dan Manfaat
- Apa saja manfaat dan biaya (termasuk risiko) dari setiap pilihan solusi?
- Berapa besaran dari manfaat dan biaya tersebut dari setiap pilihan solusi?
- Apakah ada manfaat dan biaya yang tidak dapat atau sulit diukur? JIka ada, bagaiamana mengkuantifikasikannya?
- Siapa saja yang akan menerima manfaat dan menanggung biaya dari setiap pilihan solusi?
- Bagaimana perbandingan manfaat dan biaya dari pilihan solusi yang ada?
5. Pemilihan
Tindakan
- Bagaimana urutan prioritas pilihan tindakan berdasarkan perbandingan manfaat dan biaya?
- Mana tindakan yang akan dipilih?
- Kenapa tindakan tersebut dipilih?
6. Strategi Implementasi
- Bagaimana tindak lanjut untuk mengimplementasikan tindakan yang dipilih?
- Apa strateginya?
- Siapa yang akan melakukan?
- Persetujuan apa yang diperlukan
- Kapan akan dilakukan?
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 47
3.3. Alur Pikir Kajian
Sesuai dengan mandat Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan, Kementerian Perdagangan memiliki kewenangan untuk
mengatur kegiatan impor. Kebijakan impor tersebut diterbitkan dalam
kerangka kepentingan nasional. Namun, disisi lain keberadaan Indonesia
sebagai negara anggota WTO perlu memperhatikan aturan dan ketentuan
yang berlaku. Ketika kebijakan impor Indonesia dianggap tidak sesuai dengan
ketentuan WTO, maka negara anggota WTO lainnya dapat melakukan
gugatan dan mempersengketakan kebijakan impor Indonesia di Dispute
Settlement Body. Beberapa kali kebijakan impor Indonesia digugat, antara lain
kebijakan impor Hortikultura, dan Kebijakan impor Hewan dan Produk Hewan.
Guna mengantisipasi munculnya gugatan serupa di masa depan,
Kementerian Perdagangan melakukan evaluasi berupa kesesuaian kebijakan
impor Indonesia dengan aturan dan ketentuan WTO. Dengan menggunakan
metode Regulatory Impact Analysis (RIA), kebijakan impor Produk Hasil
Perikanan dinilai kesesuaiannya dengan aturan yang terdapat di WTO.
Gambar 3.1. Alur Pikir Kajian
Kebijakan Impor di Kementerian Perdagangan
Ketentuan dan Aturan WTO terkait impor
Kesesuaian KebijakanImpor Hasil Perikanandengan Ketentuan dan
Aturan WTO
Rekomendasi KebijakanImpor Hasil Perikanan yang Selaras dengan Ketentuan
dan Aturan WTO
Kebijakan Impor Indonesia menghadapi sengketa
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 48
BAB 4
GAMBARAN UMUM IMPOR PRODUK PERIKANAN
4.1. Perkembangan Impor Produk Perikanan
Sektor perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memiliki
potensi untuk dikembangkan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia
dianugerahi hasil perikanan yang sangat berlimpah. Nelayan besar dan kecil
mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat menangkap ikan. Perbedaan
hanya terletak pada jenis dan volume ikan yang ditangkap dan jangkauan
mencari ikan antara nelayan besar dan kecil. Diluar itu, faktor cuaca turut
mempengaruhi hasil tangkapan ikan para nelayan.
Dalam setahun, kurang lebih terdapat 4 bulan dimana angin kencang
mengakibatkan ombak tinggi sehingga banyak nelayan yang tidak dapat
melaut. Disaat itu, produksi hasil perikanan tangkap menurun secara drastis.
Turunnya hasil tangkapan nelayan berpengaruh terhadap industri pengolahan
ikan yang mengandalkan pasokan ikan dari nelayan. Untuk itu, disaat cuaca
buruk itulah industri pengolahan ikan melakukan importasi ikan untuk
digunakan sebagai bahan baku industrinya.
Saat ini, sektor industri perikanan menghadapi beberapa
permasalahan dan tantangan yaitu: Pertama, masih rendahnya kualitas,
kuantitas dan kontinuitas produksi. Kondisi ini sebagai akibat dari masih
dominannya skala usaha UMKM yang berkecimpung dalam industri
perikanan. Misalnya, menurut data KKP (2016) sebanyak 88% usaha
perikanan tangkap dioperasikan dengan perahu tanpa motor, motor tempel,
dan kapal motor dibawah 30 GT. Kedua adalah aksesibilitas serta
ketersediaan infrastruktur masih belum memadai. Permasalahan ini
disebabkan oleh lokasi produksi yang sebagian besar terletak di daerah
terpencil. Penyediaan kebutuhan listrik secara mencukupi untuk pemenuhan
sistem rantai dingin, seperti cold storage, air blast freezer, contact plate, ice
flake machine, dan lain-lain sebagai alat untuk menjaga mutu ikan.
Selanjutnya, ketiga adalah pada saat ini ekspor perikanan masih
didominasi oleh bahan baku walaupun data nilai ekspor menunjuk kan adanya
peningkatan. Permasalahan ekspor dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 49
adanya hambatan tarif dan non-tarif yang makin ketat, terutama untuk produk
olahan, terbatasnya jumlah industri dan diversifikasi produk olahan, serta
regulasi terkait hilirisasi produk perikanan masih terbatas. Sedangkan yang
keempat adalah kebijakan industri perikanan nasional belum mampu
berkembang sesuai harapan karena dipengaruhi oleh rendahnya kualitas tata
kelola kebijakan. Percepatan pembangunan industri perikanan nasional
memerlukan adanya sinergi dan koordinasi kebijakan antar kemente
rian/lembaga terkait.
Peran sentral dari industri pengolahan hasil perikanan dalam
pembangunan nasional adalah Penyedia lapangan kerja, Industri pengolahan
dan pemasaran hasil perikanan yang baru memanfaatkan 40 persen dari hasil
produksi perikanan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 6.205.189 orang
pada tahun 2013. Seandainya, tingkat pemanfaatan produksi perikanan untuk
pengolahan ditingkatkan menjadi 80 persen maka tenaga kerja yang diserap
akan meningkat menjadi 12 juta-an orang. Angka tersebut sangat signifikan
untuk menurunkan angka penggangguran di Indonesia.81
Industrialisasi pengolahan hasil perikanan harus menjadi objek
kegiatan utama di sektor perikanan dalam penanganan dan
pengembangannya. Penanganan industri pengolahan hasil perikanan
hendaknya dilakukan dengan baik dan benar, begitu pula dengan arah
pengembangannya. Hal ini karena industri pengolahan hasil perikanan di
Indonesia memiliki banyak peluang disamping tantangan yang ada. Peluang
industri pengolahan hasil perikanan adalah sebagai berikut: 1). pasar
domestik maupun ekspor produk olahan hasil perikanan yang masih terbuka
luas; 2) adanya dukungan pemerintah yang kuat terhadap keberlangsungan
industri pengolahan hasil perikanan di Indonesia; 3) adanya kecenderung
peningkatan permintaan olahan siap saji oleh konsumen; 4) adanya potensi
ketersediaan bahan baku yang besar, serta; 5) adanya ketersediaan tenaga
kerja yang melimpah.
81 Ahmad Talib, Peluang dan Tantangan Industri Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan dalam Mendukung Terwujudnya Lumbung Ikan Nasional (LIN) di Maluku Utara, Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan Volume 10 Nomor 1, Mei 2017.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 50
Guna mendukung perkembangan industri pengolahan ikan,
pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2016
tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional menjadi titik
tolak upaya pemerintah guna mewujudkan sektor kelautan dan perikanan
Indonesia yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional.
Kebijakan ini memiliki 3 (tiga) tujuan mendasar, yakni: (1) meningkatkan
kesejahteraan nelayan, pembudidaya, pengolah, dan pemasar hasil
perikanan; (2) menyerap tenaga kerja; dan (3) meningkatkan devisa negara.
Dengan peran industri pengolahan ikan tersebut, maka sangat penting
untuk menjamin kelangsungan pasokan bahan baku. Sebagian besar
kebutuhan bahan baku ikan untuk industri pengolahan dipasok dari produksi
dalam negeri, hanya sekitar kurang dari 5% yang dipasok oleh ikan asal impor.
Produksi ikan di Indonesia berdasarkan data Kementerian Kelautan dan
Perikanan pada tahun 2017 mencapai 23,3 juta ton, dimana 6,04 juta ton
diperoleh dari perikanan tangkap, sedangkan 17,22 juta ton dihasilkan dari
perikanan budidaya.82 Kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) Indonesia terus mengalami peningkatan. Bahkan pertumbuhan
sektor perikanan tahun 2017 sebesar 6,79%, melebihi pertumbuhan PDB
nasional di tahun yang sama yang sebesar 5,03%.
Tabel 4.1. Perkembangan Nilai Impor Produk Perikanan di Indonesia (USD Ribu)
Sumber: Badan Pusat Statistik
Walaupun proporsi ikan asal impor terhadap seluruh kebutuhan ikan
nasional sangat kecil, namun nilai impornya terus mengalami peningkatan.
Selama periode 2014-2018, impor produk perikanan tercatat mengalami
82 Produktivitas Perikanan Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Disampaikan pada Forum Merdeka Barat 9 Kementerian Komunikasi dan Informatika, 19 Januari 2018
Jenis Produk 2014 2015 2016 2017 2018 Jan-Mar
2018
Jan-Mar
2019
Trend
2014-
2018
Pangsa
2018
IKAN DAN IKAN OLAHAN 146.894 145.156 164.197 212.078 211.995 57.571 45.874 11,8
IKAN 140.419 140.540 155.386 202.570 203.181 55.792 44.529 11,7
Ikan beku 128.703 121.148 118.448 155.774 151.675 43.900 31.758 6,0 74,7
Ikan segar 3.196 11.505 29.177 35.177 39.055 9.363 9.902 84,5 19,2
Moluska 8.460 7.458 6.711 9.716 10.427 2.252 2.249 7,1 5,1
Ikan hias 60 405 816 1.734 1.843 272 608 129,4 0,9
Ikan hidup 0 24 234 168 181 5 12 0,1
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 51
pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 11,8%. Nilai impornya pada tahun
2018 mencapai USD 212 juta, turun 0,04% dibandingkan tahun 2017 yang
tercatat nilai impornya sebesar USD 212,1 juta. Adapun volume impor produk
perikanan pada tahun 2018 mencapai 142,8 ribu ton, turun 18,1%
dibandingkan volume impor tahun sebelumnya. Sedangkan perkembangan
volume impor selama tahun 2014-2018 tercatat naik rata-rata 5,3% per tahun.
4.2. Perkembangan Ekspor Hasil Olahan Ikan
Industrialisasi pengolahan hasil perikanan menjadi objek kegiatan
utama di sektor perikanan dalam penanganan dan pengembangannya.
Penanganan industri pengolahan hasil perikanan sebaiknya dilakukan dengan
baik dan benar, begitu pula dengan arah pengembangannya. Hal ini karena
industri pengolahan hasil perikanan di Indonesia memiliki banyak peluang
disamping tantangan yang ada. Industri pengolahan hasil perikanan
merupakan kegiatan yang mentransformasikan bahan-bahan hasil perikanan
sebagai input menjadi produk yang memiliki nilai tambah atau nilai ekonomi
lebih tinggi sebagai outputnya. Proses transformasi tersebut dapat dilakukan
baik secara fisik, kimia, biologis, maupun kombinasi diantara ketiganya.83
Grafik 4.1. Perkembangan Ekspor Produk Hasil Olahan Ikan
Sumber: Badan Pusat Statistik
83 Industri Pengolahan Hasil Perikanan Dapat Percepat Tercapainya Tujuan Pembangunan, Prof. Dr. Junianto, http://www.unpad.ac.id/2015/07/industri-pengolahan-hasil-perikanan-dapat-percepat-tercapainya-tujuan-pembangunan/
415,3 429,8
403,4
345,7 332,4
405,8
456,1
246,8 270,6
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 JAN-JUL 2018
JAN-JUL 2019
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 52
Kegiatan importasi bahan baku/penolong untuk kebutuhan industri
pengolahan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan
nilai tambah suatu produk. Walaupun pemerintah tetap mengupayakan
sumber bahan baku/penolong berasal dari dalam negeri. Kebijakan
peningkatan nilai tambah akan memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk
meningkatkan ekspor produk olahan (manufaktur) lebih besar. Sejatinya
ekspor produk primer sangat bergantung pada fluktuasi harga, sehingga nilai
ekspornya pun dapat terkoreksi akibat depresiasi harga komoditas.
Untuk itu, pemerintah berupaya terus mendorong ekspor produk olahan
dengan mendorong investasi dan peningkatan daya saing produk. Salah satu
produk olahan yang didorong peningkatan ekspornya adalah produk olahan
ikan. Statistik menunjukkan bahwa selama periode 2012-2018 ekspor produk
olahan ikan mengalami penurunan rata-rata sebesar 0,1% per tahun.
Sementara, pada periode Januari-Juli 2019 dibandingkan dengan periode
yang sama tahun sebelumnya, ekspor produk hasil perikanan meningkat
sebesar 9,7%. Melihat perkembangan tersebut, sesungguhnya Indonesia
masih memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat mengekspor produk
hasil olahan ikan.
4.3. Perkembangan Impor Produk Perikanan Menurut Negara Asal
Walau pun indonesia merupakan salah satu produsen hasil perikanan
terbesar di dunia, namun Indonesia tetap membutuhkan produk perikanan
asal impor. Beberapa negara menjadi sumber impor produk perikanan, antara
lain RRT dan Norwegia. Produk perikanan asal impor dibutuhkan guna
mengisi kekosongan pasokan akibat perubahan cuaca yang menyebabkan
produksi perikanan di dalam negeri menjadi berkurang.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 53
Tabel 4.2. Perkembangan Impor Ikan dan Ikan Olahan Menurut Negara Asal (USD Ribu)
Sumber: Badan Pusat Statistik
Berdasarkan data BPS, RRT adalah negara pemasok produk
perikanan terbesar ke Indonesia pada tahun 2018 dengan nilai USD 67 juta,
atau setara dengan pangsa sebesar 31,6%. Negara pemasok produk
perikanan terbesar berikutnya antara lain adalah Norwegia, Jepang dan
Pakistan dengan nilai impor masing-masing sebesar USD 38,9 juta dan USD
12,6 juta, dan USD 10,1 juta. Secara akumulatif, selama periode 2014-2018
telah terjadi kenaikan impor ikan beku yang signifikan dari beberapa negara
seperti Rusia, Australia, dan Spanyol dengan pertumbuhan masing-masing
sebesar 373,8%, 138,0%, dan 128,3%.
Dilihat lebih dalam, perkembangan impor menurut kelompok produk
ikan beku menunjukkan negara pemasok terbesar untuk ikan beku ke
Indonesia tahun 2018 adalah RRT dengan nilai impor mencapai USD 61,8
juta, atau setara dengan pangsa sebesar 40,8%. Negara pemasok ikan beku
terbesar berikutnya antara lain Norwegia, Pakistan, dan Seychelles dengan
nilai impor masing-masing sebesar USD 11,7 juta, USD 9,7 juta, dan USD 8,4
juta dengan pangsa masing-masing sebesar 7,7%, 6,4%, dan 5,6%. Untuk
negara dengan peningkatan ekspor ikan beku ke Indonesia selama 2014-
2018 adalah Spanyol dengan peningkatan rata-rata sebesar 174,7% disusul
2014 2015 2016 2017 2018Jan-Mar
2018
Jan-Mar
2019
IMPOR IKAN DAN IKAN OLAHAN 146.894,1 145.156,1 164.197,4 212.077,8 211.995,4 57.570,9 45.873,6 100,0 11,8 (20,3)
1 RRT 59.426,3 47.267,3 39.073,2 82.822,4 67.007,6 23.825,9 12.160,6 31,6 8,3 (49,0)
2 Norwegia 13.016,6 18.925,8 32.284,4 33.888,1 38.883,2 10.375,9 12.904,6 18,3 31,9 24,4
3 Jepang 11.959,7 18.677,4 19.032,5 14.604,8 12.631,4 3.595,7 1.989,0 6,0 (1,4) (44,7)
4 Pakistan 8.338,2 6.464,9 5.543,3 10.463,8 10.128,8 4.020,8 1.153,9 4,8 9,1 (71,3)
5 Taiwan 11.174,6 9.587,2 7.590,3 7.695,6 8.528,8 2.204,5 2.995,5 4,0 (7,3) 35,9
6 Seychelles 158,8 1.428,2 3.574,0 1.147,2 8.442,0 - 3.342,0 4,0 116,6 -
7 Australia 203,3 2.990,5 4.659,3 11.360,0 7.971,0 1.008,9 940,0 3,8 138,0 (6,8)
8 Oman 1.111,3 170,1 1.801,4 10.635,8 7.858,6 3.862,4 128,8 3,7 123,6 (96,7)
9 Pilipina 1.004,6 841,5 650,3 1.529,5 6.571,7 284,4 997,8 3,1 54,6 250,8
10 Malaysia 9.222,8 5.578,5 5.143,6 3.790,2 4.688,6 1.013,8 448,9 2,2 (16,0) (55,7)
11 Iceland 497,7 208,3 - 882,9 4.633,2 457,9 2.853,9 2,2 - 523,3
12 Batam 2.908,3 2.152,7 2.629,7 1.243,4 4.157,4 870,8 589,7 2,0 1,7 (32,3)
13 Amerika Serikat 2.983,3 2.210,7 5.585,1 3.479,4 4.050,0 596,6 211,2 1,9 11,2 (64,6)
14 Turki - - - 665,0 3.092,2 - - 1,5 - -
15 Chili 2.335,4 3.222,1 2.648,3 4.091,2 2.651,6 521,7 806,7 1,3 5,1 54,6
16 Federasi Rusia 7,9 25,7 430,1 1.617,0 2.385,8 - 458,9 1,1 373,8 -
17 Vietnam 3.333,5 2.571,8 3.752,6 3.460,3 2.370,6 161,9 0,1 1,1 (3,8) (100,0)
18 Spanyol 106,1 154,5 864,3 1.196,6 2.364,3 - 1.785,1 1,1 128,3 -
19 Selandia Baru 1.156,0 617,0 669,4 898,1 1.953,9 1.678,8 156,2 0,9 15,3 (90,7)
20 Kanada 497,8 321,2 211,6 47,2 1.871,3 417,0 47,4 0,9 7,6 (88,6)
Lainnya 17.451,73 21.740,57 28.054,00 16.559,42 9.753,53 2.673,89 1.903,38 4,6 (13,4) (28,8)
NEGARANo
USD RIBUShare (%)
2018
Trend (%)
2014-18
Growth
(%) Jan-
Mar
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 54
berikutnya adalah Oman dan Seychelles dengan pertumbuhan ekspor ikan
beku ke Indonesia sebesar 123,6% dan 116,6%.
Tabel 4.3. Perkembangan Impor Ikan Beku Menurut Negara Asal (USD Ribu)
Sumber: Badan Pusat Statistik
4.4. Perkembangan Impor Produk Perikanan Menurut Propinsi
Indonesia memiliki potensi menjadi industri pangan berbasis perikanan
karena didukung keunggulan. Utamanya, bahan baku tersedia dan hilirisasi
yang mengutamaan sustainability. Hampir di seluruh provinsi di Indonesia
merupakan sentra produksi ikan. Sebaran sentra produksi ikan tersebut
terlihat dari luasnya wilayah perairan Indonesia untuk perikanan tangkap dan
budidaya, yakni 672,7 juta hektar, dan ikan masih dipandang sebagai salah
satu sumber protein untuk dikonsumsi masyarakat.
Secara umum, produksi ikan tangkap pada tahun 2017 tercatat
mencapai 7,1 juta ton. Beberapa propinsi di Indonesia tercatat sebagai sentra
produksi perikanan. Untuk perikanan tangkap, pada tahun 2017 Propinsi
Sumatera Utara, Maluku, Jawa Timur, dan Papua Barat berhasil
menghasilkan perikanan tangkap terbesar dengan pangsa masing-masing
sebesar 11,3%, 8,5%, 8,0%, dan 6,0%.
No. NEGARA 2014 2015 2016 2017 2018Jan-Mar
2018
Jan-Mar
2019
Trend
2014-
2018
Pangsa
2018
DUNIA 128.703 121.148 118.448 155.774 151.675 43.900 31.758 6,0
1 RRT 55.576 44.546 36.335 77.315 61.850 22.925 10.564 8,0 40,8
2 Norwegia 9.900 11.135 10.002 12.380 11.672 3.019 4.323 4,4 7,7
3 Pakistan 8.307 6.429 5.394 10.464 9.663 4.021 947 8,2 6,4
4 Seychelles 159 1.428 3.574 1.147 8.442 0 3.342 116,6 5,6
5 Taiwan 10.093 7.855 6.745 7.202 8.390 2.203 2.991 (4,5) 5,5
6 Oman 1.111 170 1.801 10.636 7.859 3.862 129 123,6 5,2
7 Jepang 11.456 16.268 14.351 8.951 7.458 2.342 707 (13,5) 4,9
8 Pilipina 0 552 547 227 5.611 0 996 - 3,7
9 Iceland 498 208 0 883 4.633 458 2.854 - 3,1
10 Malaysia 8.481 5.114 4.855 3.067 4.074 727 370 (17,9) 2,7
11 Turki 0 0 0 662 3.092 0 0 - 2,0
12 Chili 2.274 3.071 2.554 3.580 2.462 512 553 3,2 1,6
13 Federasi Rusia 0 0 405 1.609 2.386 0 454 - 1,6
14 Spanyol 40 155 861 1.149 2.284 0 1.780 174,7 1,5
15 Amerika Serikat 1.732 1.313 3.129 1.781 1.910 184 88 5,1 1,3
16 Selandia Baru 996 256 560 787 1.775 1.563 156 25,6 1,2
17 Arab Saudi 903 1.116 645 1.683 1.315 424 0 12,3 0,9
18 Ghana 0 0 1.423 1.444 1.306 386 206 - 0,9
19 Batam 1.091 1.313 879 278 1.045 128 0 (15,1) 0,7
20 India 3.252 3.883 1.342 1.500 1.014 572 0 (28,0) 0,7
Lainnya 12.836 16.337 23.046 9.032 3.434 575 1.298 (27,6) 2,3
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 55
Tabel 4.4. Volume dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Menurut Propinsi Tahun 2017
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Sementara itu, produksi perikanan budidaya pada tahun 2017 tercatat
menghasilkan volume sebesar 16,1 juta ton. Dilihat lebih dalam, Propinsi
Sulawesi Selatan merupakan propinsi dengan penghasil ikan perikanan
budidaya terbesar dengan volume mencapai 3,9 juta ton (pangsa 24,2%).
Propinsi lainnya yang mencatatkan produksi terbesar berikutnya antara lain
Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, dan Jawa Barat dengan pangsa masing-
masing sebesar 12,1%, 7,4%, dan 7,2%.
Volume (Ton) Nilai (Rp. 1000)
1 Sumatera Utara 800.751 23.642.107.780 11,3
2 Maluku 602.970 13.267.631.998 8,5
3 Jawa Timur 564.399 13.385.645.420 8,0
4 Papua Barat 422.509 10.414.459.512 6,0
5 Sulawesi Utara 394.697 12.430.541.507 5,6
6 Sulawesi Selatan 362.038 10.052.800.876 5,1
7 Jawa Tengah 275.469 8.751.828.071 3,9
8 Jawa Barat 274.466 10.604.729.947 3,9
9 Aceh 236.205 7.299.703.182 3,3
10 Sulawesi Tenggara 232.861 5.682.470.476 3,3
Lainnya 2.905.088
Nasional 7.071.453 197.337.071.218
No ProvinsiPerikanan Tangkap Pangsa
(%)
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 56
Tabel 4.5. Volume dan Nilai Produksi Perikanan Budidaya Menurut Propinsi Tahun 2017
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Seiring berkembangnya sentra produksi produk perikanan, tumbuh
pula industri pengolahan hasil perikanan di beberapa provinsi diantaranya
adalah Provinsi Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kebutuhan bahan baku untuk industri
pengolahan ikan tidak dapat sepenuhnya dipenuhi oleh nelayan dalam negeri.
Untuk itu, guna mendukung kinerja industri pengolahan, dibutuhkan banyak
bahan baku/penolong, diantaranya diperoleh dari impor.
Tabel 4.6. Impor Produk Perikanan Menurut Propinsi
Sumber: Badan Pusat Statistik
Provinsi utama pengimpor ikan dan olahan ikan sepanjang tahun 2018
adalah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan
No. Provinsi Volume (Ton) Nilai (Rp. 1000) Pangsa (%)
1 Sulawesi Selatan 3.902.808,25 12.350.893.332 24,2
2 Nusa Tenggara Timur 1.953.261,38 3.120.184.773 12,1
3 Jawa Timur 1.189.442,76 19.891.627.549 7,4
4 Jawa Barat 1.160.747,99 30.296.924.880 7,2
5 Nusa Tenggara Barat 1.024.083,65 9.000.550.257 6,4
6 Sulawesi Tenggara 1.016.381,96 9.553.169.049 6,3
7 Sulawesi Tengah 971.924,48 9.840.716.210 6,0
8 Maluku 817.331,64 3.444.882.966 5,1
9 Sumatera Selatan 538.281,56 14.775.949.245 3,3
10 Jawa Tengah 485.689,98 10.315.744.249 3,0
Lainnya 3.055.037,05 64.558.332.432,33 19,0
Nasional 16.114.990,69 187.148.974.941,32
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 57
Bali. Impor ikan dan olahan ikan di provinsi-provinsi tersebut memiliki trend
pertumbuhan rata rata yang selalu meningkat dari tahun 2014 sampai 2018.
Sedangkan trend rata rata ekspor tahunan tertinggi pada periode tahun 2014
sampai 2018 adalah Provinsi Jawa Tengah (36,84%); Lampung (34,80%); dan
Sulawesi Selatan (25,51%). Pada periode Januari-Maret 2019 ekspor
sebagian besar Provinsi mengalami penurunan dibanding periode Januari-
Maret 2018, penurunan paling dalam terjadi di Provinsi Sumatera Utara yang
turun signifikan sebesar 60,84%. Provinsi yang mengalami pertumbuhan pada
periode tersebut di antaranya adalah Provinsi Sulawesi Selatan dan Riau.
Impor ikan dan olahan ikan terbesar berdasar provinsi berada di
Provinsi DKI Jakarta dengan total impor di tahun 2018 mencapai USD 157,92
Miliar dan share sebesar 45,22% dari total impor nasional dengan trend
pertumbuhan rata rata per tahun untuk periode tahun 2014 hingga 2018
sebesar 7,20%. Untuk periode Januari-Maret 2019 terjadi penurunan sebesar
3,85% jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya.
4.5. Negara Eksportir Ikan ke Indonesia yang Berpotensi Menggugat
Kebijakan Impor Indonesia
Pelaksanaan impor ikan Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri
Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 46/PERMEN-KP/2014
tentang Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Yang Masuk ke
Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Peraturan tersebut membatasi
impor untuk enam penggunaan akhir, yakni :
1. Bahan baku untuk industri pengalengan ikan;
2. Bahan baku untuk pengolahan ikan untuk diekspor kembali dan tidak untuk
diperdagangkan di Indonesia;
3. Bahan baku dalam bentuk diawetkan untuk pemrosesan tradisional;
4. Bahan baku fortifikasi / pengayaan makanan tertentu;
5. Katering hotel, restoran dan konsumsi pasar modern; dan
6. Umpan.
Untuk memastikan kepatuhan dengan persyaratan di atas, eksportir
didorong untuk bekerja dengan importir mereka dan memastikan izin impor
telah dikeluarkan oleh otoritas Indonesia sebelum mengekspor barang. Selain
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 58
sertifikasi ekspor, Permen KP Nomor 46/2014 juga menyatakan bahwa
pengiriman makanan laut yang diimpor ke Indonesia harus:
1. disertai dengan sertifikat asal dari instansi yang berwenang di negara asal;
2. berlabel (untuk produk dalam kemasan) atau disertai dengan dokumen
seperti faktur atau daftar pengepakan (untuk produk yang diimpor dalam
bentuk curah) ditulis atau dicetak dalam bahasa Indonesia dan Inggris; dan
3. untuk produk yang masuk ke Indonesia untuk diekspor kembali ke Uni
Eropa, sertifikat penangkapan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU)
sebagaimana disyaratkan dalam Peraturan Dewan Eropa (EC) 1005/2008.
Pemerintah juga mengatur tentang jenis-jenis ikan yang boleh dan
dilarang diimpor melalui Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 41/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pemasukan Jenis
Ikan Berbahaya dari Luar Negeri ke Dalam Wilayah Negara Republik
Indonesia dan Keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Perikanan Nomor 125/KEP-DJP2HP/2014 tentang Penetapan Jenis-Jenis
Hasil Perikanan yang Dapat Dimasukkan ke Dalam Wilayah Negara Republik
Indonesia. Keputusan nomor 125/2014 berisi daftar spesies laut yang
memenuhi syarat dan penggunaan akhir yang diizinkan untuk impor ke
Indonesia dan kriteria Indonesia untuk kelayakan impor ikan, sebagai berikut
:
Spesies untuk impor tidak boleh tersedia di perairan Indonesia atau
diproduksi di Indonesia;
Impor akan diizinkan berdasarkan persediaan lokal, yang dipengaruhi oleh
musim; dan
Impor akan diizinkan jika persediaan dalam negeri terbatas atau tidak
tersedia.
Peraturan 41/2014 mencantumkan 152 spesies yang dilarang untuk
ekspor hidup, dengan pengecualian dibuat hanya jika impor dimaksudkan
untuk penelitian ilmiah, demonstrasi atau pameran. Untuk memastikan
kepatuhan dengan Keputusan 125/2014 dan Peraturan 41/2014, para
eksportir didorong untuk bekerja dengan importir mereka dan memastikan izin
impor telah dikeluarkan oleh otoritas Indonesia sebelum mengekspor barang.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 59
Ekspor ikan dan produk perikanan dunia terus mengalami peningkatan
selama 2014-2018. Hal ini mengindikasikan permintaa dunia akan ikan dan
produk perikanan yang juga mengalami peningkatan. Ekspor tersebut
didominasi oleh RRT, Norwegia, dan Chili. Pangsa impor ketiga negara
tersebut masing-masing sebesar 12,6%, 12,2%, dan 6,1%. RRT dan
Norwegia juga merupakan negara utama asal impor ikan dan produk
perikanan di Indonesia, diikuti oleh Jepang, dan Pakistan. Berdasarkan
informasi kebijakan impor ikan Indonesia dan dominansi negara pemasok
impor ikan dan produk perikanan di dunia dan Indonesia, maka negara-negara
yang berpotensi menggugat kebijakan impor Indonesia antara lain adalah
RRT, Norwegia, Chili, Jepang, dan Pakistan.
4.6. Temuan Lapangan
Guna memperkuat analisis, Tim melakukan survei lapangan ke
beberapa daerah yang merupakan lokasi keberadaan industri pengolahan
Hasil Perikanan, dan wilayah produsen ikan yang potensial. Adapun wilayah
survei yang dituju meliputi Surabaya (Jawa Timur), Semarang (Jawa Tengah),
Lombok (Nusa Tenggara Barat), Cirebon (Jawa Barat), dan Denpasar (Bali).
Responden dari kegiatan suvei lapangan ini antara lain pelaku usaha industri
pengolahan Hasil Perikanan, nelayan, dan dinas kelautan dan perikanan di
daerah. Intisari kegiatan survei lapangan tersebut dapat kami sampaikan
sebagai berikut:
Tabel 4.7. Matriks Kegiatan Survei Lapangan Dalam Rangka
Pengumpulan Data
No. Lokasi Survei Temuan Lapangan
1. Surabaya, Jawa
Timur
Pengurusan perijinan saat ini lebih mudah
dengan sistem online, berbeda ketika
kebijakan masih berada di Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) yang masih
sistem manual.
Masih terdapat kode HS barang yang
bukan berasal dari hasil perikanan masuk
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 60
No. Lokasi Survei Temuan Lapangan
kedalam lampiran Permendag Ketentuan
Impor Hasil Perikanan.
Kementerian Perdagangan perlu
meningkatkan kegiatan sosialisasi
mengingat masih terdapat beberapa
pelaku usaha yang belum mengetahui
terjadinya perubahan kebijakan.
2. Semarang, Jawa
Tengah
Penghapusan Laporan Surveyor (LS)
berdampak pada kemudahan perijinan
Masa transisi dari pengaturan di KKP dan
Kemendag mengakibatkan barang impor
tertahan sehingga barang tidak sampai
tepat waktu
Perlu adanya layanan terpadu antar dinas
terkait terkait jenis ikan yag dilarang atau
tidak dilarang, uji ikan yang disyaratkan
dari negara asal, dan konsultasi wilayah
endemik yang sedang terkena wabah
penyakit.
3. Lombok, Nusa
Tenggara Barat
Pembangunan pelabuhan dapat
membantu para nelayan yang berada di
sekitar Kabupaten Lombok Timur agar
dapat dengan mudah mendaratkan hasil
tangkapannya dan dapat memenuhi
kebutuhan melaut.
Produksi ikan tangkap selama ini diekspor
ke negara Singapura, Vietnam, Thailand
dan Malaysia.
Sertifikat nelayan bisa diagunkan untuk
menambah modal usaha. Pemilik usaha
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 61
No. Lokasi Survei Temuan Lapangan
mengharapkan proses perizinan ekspor
yang lebih cepat.
4. Cirebon, Jawa Barat Nelayan di Kabupaten Cirebon sebagian
besar merupakan nelayan kecil yang
hanya memiliki kapal dibawah 7 GT.
Nelayan dengan kapal sebesar itu memiliki
keterbatasan dalam jangkauan melaut,
sehingga jenis ikan yang diperoleh pun
bukan termasuk jenis ikan yang memiliki
nilai ekonomis tinggi.
Selama masa paceklik, banyak nelayan
meminjam modal kepada Bakul (tengkulak)
dan menyebabkan banyak nelayan yang
menjual hasil tangkapannya kepada para
Bakul tersebut. Namun harga jual yang
diterima nelayan sangat rendah akibat
rendahnya posisi tawar nelayan.
Kehadiran Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
dirasakan oleh nelayan sangat membantu
dan memberikan nilai jual yang cukup
tinggi. TPI yang difasilitasi oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan ini
dikelola oleh pengurus yang tergabung
dalam koperasi.
5. Denpasar, Bali Impor cumi untuk dijadikan umpan sudah
tidak dilakukan setelah tahun 2017. Hal
tersebut dikarenakan sulitnya pengurusan
perizinan, terutama rekomendasi dari KKP
dengan alasan tersedia produk
substitusinya di dalam negeri, meskipun
dengan kualitas lebih rendah.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 62
No. Lokasi Survei Temuan Lapangan
Perizinan impor saat ini sudah cukup
efektif dan mudah. Hanya saja, pemerintah
diharapkan dapat melakukan sosialisasi
lebih sering dan lebih luas, terkait
peraturan yang berlaku dan juga
sosialisasi sistem perizinan online.
Terdapat pelaku usaha mengeluhkan
sulitnya perizinan pengadaan dan
pengoperasian kapal tangkap, sehingga
sulit untuk melakukan penambahan
kapasitas produksi
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 63
BAB 5
Analisis Kesesuaian Kebijakan Impor Perikanan dengan Aturan WTO
Belajar dari pengalaman sengketa perdagangan baru-baru ini,
Pemerintah perlu memperhatikan kesesuaian regulasi ini dengan aturan dan
prinsip WTO. Namun di lain pihak, ada kepentingan nasional yang harus
diperhatikan. Untuk sektor perikanan misalnya, secara spesifik, kepentingan
dan pemberdayaan nelayan dan pembudidaya ikan menjadi faktor yang harus
diprioritaskan. Selain itu, faktor lain seperti ketahanan pangan, neraca
perdagangan, nilai tukar rupiah, pertumbuhan sektor itu sendiri dan lain
sebagainya. Tabel di bawah ini memperlihatkan beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam sektor perikanan.
Terkait dengan kesesuaian aturan WTO tersebut, Pusat Pengkajian
Perdagangan Luar Negeri dari Badan Pengkajian dan Pengembangan
Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan melakukan kajian terhadap
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 64
Permendag No. 66/2018 tentang Ketentuan Impor Hasil Perikanan yang
kemudian direvisi menjadi Permendag No. 23/2019. Tujuan dari Kajian
adalah untuk menilai risiko munculnya gugatan dari negara anggota WTO
terhadap Permendag 23/2019. Hasil dari Kajian diharapkan dapat memberi
kesempatan kepada Pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi
kemungkinan gugatan tersebut.
Namun mengingat suatu kebijakan tidak diterbitkan hanya untuk sekedar
mematuhi aturan atau ketentuan WTO melainkan didasarkan atas tujuan dan
pertimbangan-pertimbangan tertentu, maka terhadap Kebijakan akan
dilakukan penilaian yang lebih menyeluruh. Kajian dilakukan dengan
menggunakan pendekatan Analisis Dampak Peraturan atau Regulatory
Impact Assessment atau Regulatory Impact Analysis (RIA) untuk menilai
efektifitas dari regulasi baik yang baru maupun yang sudah ada berdasarkan
analisis manfaat dan biaya termasuk di antaranya risiko gugatan dari negara-
negara anggota WTO.
Oleh karena itu, melalui analisis RIA, Kajian ini bermaksud menjawab
pertanyaan berikut:
1. Apakah Permendag 23/2019 telah secara efektif dan efisien
menjawab akar permasalahan dan mencapai tujuan penerbitan
Permendag?
Pertanyaan ini akan dijawab dalam seluruh proses RIA
2. Apakah Permendag 23/2019 telah sesuai dengan ketentuan dan
aturan WTO sehingga risiko gugatan dari anggota WTO kecil atau
hampir tidak ada?
Pertanyaan ini akan dijawab sebagai salah satu factor dalam
Tahapan Analisis Manfaat dan Biaya sebagai bagian dari proses
RIA
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 65
5.1. Analisis Dampak Kebijakan (Regulatory Impact Assessment)
Analisis Dampak Kebijakan atau dikenal dengan nama RIA (Regulatory
Impact Analysis atau Regulatory Impact Assessment) merupakan salah satu
alat atau pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas
kebijakan pemerintah. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang sistematis
untuk menilai biaya dan manfaat dari suatu
kebijakan. RIA melibatkan para pemangku
kepentingan yang secara langsung terlibat
dalam suatu kebijakan. Kementerian
Perdagangan, dalam hal ini BP3, melakukan
kajian terhadap kebijakan terkait tata kelola
impor hasil perikanan yang diatur dalam
Peraturan Menteri Perdagangan No. 23/2019.
Jika dilihat dari metodologinya, RIA
merupakan proses analisis dan
pengkomunikasian secara sistematis
terhadap kebijakan yang dimulai dari pemahaman dan perumusan masalah,
penentuan tujuan, identifikasi pilihan kebijakan, penghitungan biaya dan
manfaat setiap pilihan kebijakan sampai dengan pemilihan kebijakan dan
pengimplementasiannya. Dalam setiap langkah-langkah tersebut, pemangku
kepentingan harus terlibat. Untuk isu impor hasil perikanan, para pemangku
kepentingan antara lain termasuk pembuat kebijakan seperti Kementerian
Perdangangan (Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Biro Advokasi,
Biro Hukum, dan lain sebagainya), Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Perindustrian, pelaku usaha perikanan, asoasiasi importir,
nelayan dan pembudidaya ikan, akademisi dan lain sebagainya. RIA
memastikan bahwa kebijakan pemerintah memiliki alasan yang kuat untuk
dilakukan. Kebijakan tersebut merupakan langkah untuk mengatasi akar
masalah, bukan hanya gejala permukaan. Selain itu, melalui RIA, kebijakan
tersebut dapat dibuktikan sebagai alternatif terbaik dari pilihan kebijakan yang
ada berdasarkan pertimbangan manfaat dan biaya.
Dalam Kajian ini, setiap tahapan RIA merupakan proses untuk
mengeksplorasi pertanyaan terkait dengan Permendag 66/2018 yang
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 66
kemudian diganti dengan Permendag 23/2019. Rincian pertanyaan yang
dieksplorasi dalam setiap tahapan dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.
Bagian selanjutnya dalam bab ini akan menjelaskan setiap tahapan RIA.
Analisis Biaya dan Manfaat yang menjadi bagian dari tahapan RIA, akan
dijelaskan dengan lebih detail karena menjadi pendasaran rekomendasi
kebijakan dari proses RIA.
5.1.1. Perumusan Masalah
Tahapan pertama dalam RIA adalah mengidentifikasi pokok
permasalahan. Langkah ini dilakukan agar semua pihak, khususnya
pengambil kebijakan, dapat melihat dengan jelas masalah apa yang dihadapi
dan berupaya dipecahkan dengan kebijakan tersebut. Untuk Kajian ini,
tahapan ini berarti tahapan untuk memahami tujuan dari penerbitan kebijakan
yang tertuang dalam Permendag 23/2019 atau Permendag 66/2018. Dalam
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 67
rangka memahami akar permasalahan tersebut, diperlukan pemahaman dan
analisis mengenai latar belakang diterbitkannya Permendag No. 66/2018.
Selain itu, seperti telah dijelaskan di atas, karena Kajian ini erat terkait dengan
antisipasi terhadap risiko sengketa WTO maka pemahaman atas kasus
sengketa WTO yang pernah dihadapi oleh Indonesia menjadi bagian dari
perumusan masalah.
5.1.1.1. Latar Belakang Terbitnya Permendag No. 66/2018
Menurut The State of World Fisheries and Agriculture 2016 (FAO),
Indonesia merupakan
negara dengan
produksi hasil
perikanan tangkap
terbesar kedua setelah
Cina. Namun selama
beberapa tahun
terakhir, sektor
perikanan di Indonesia
banyak disoroti karena masih melakukan impor hasil perikanan dan
pergaraman. Kritikan ini terkait dengan luasan perairan Indonesia yang
mencakup 70% dan adanya kegiatan pemberantasan penangkapan ikan
ilegal yang gencar dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
yang dipandang telah mampu meningkatkan jumlah produksi dan
ketersediaan ikan. Jika produksi ikan telah meningkat, pertanyaannya kenapa
impor ikan masih terus dilakukan.
Namun Ketua Bidang Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia
(APINDO) Thomas Darmawan mengatakan bahwa meski Indonesia memiliki
lautan yang luas dan jenis tangkapan ikan yang lengkap, jumlah untuk setiap
jenisnya masih kurang untuk memenuhi kebutuhan industri. Jenis ikan di
Indonesia lengkap dan beragam namun jumlah per jenisnya terbilang sedikit.
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri ikan di dalam negeri,
Indonesia masih harus mengimpor berbagai jenis ikan dari beberapa negara.
Beberapa di antaranya yaitu dari Oman, Tiongkok, Jepang sampai
Pakistan. Salah satu impor hasil perikanan terbesar adalah tepung ikan yang
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 68
selain dibutuhkan industri perikanan juga dibutuhkan oleh industri pengolahan
pakan ternak sebagai sumber protein. Tepung ikan banyak diimpor dari Chili,
Peru dan Eropa.
Indonesia telah melakukan impor hasil perikanan sejak belasan tahun
lalu. Selama 15 tahun terakhir (2004-2018), berdasarkan data Kementerian
Perdagangan nilai impor ikan (hanya ikan segar/beku, tidak termasuk tepung
ikan) naik hampir 7 kali lipat atau rata-rata 45% per tahun sementara dari segi
volume, impor naik hampir 4 kali lipat atau rata-rata 25% per tahun. Kenaikan
terbesar terjadi pada tahun 2008. Jika dilihat selama kurun waktu 10 tahun
terakhir (2008 – 2018), kenaikan impor lebih kecil yaitu sebesar 130% atau
13% per tahun untuk nilai impor dan 26% atau 3% per tahun untuk volume
impor. Jika dilihat dari data tersebut, sebenarnya volume impor sebesar 147
ribu ton pada tahun 2018 hanya sekitar 2% dari total volume total produksi
ikan untuk konsumsi Indonesia sebesar 7,6 juta ton.
Dengan demikian terbitnya Permendag No. 66/2018 yang mengatur
soal impor perikanan tidak berarti bahwa Indonesia tidak pernah melakukan
impor hasil perikanan sebelum diterbitkannya Permendag ini. Sebelum
Permendag No. 66/2018, seluruh kegiatan impor hasil perikanan berada
dalam kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (selanjutnya
disebut KKP) yang
diatur dengan Permen
KP No. 74/2016 tentang
Pengendalian Mutu dan
Keamanan Hasil
Perikanan. Meskipun
tidak secara eksplisit
disebut kata “impor”,
secara substansial
Permen KP ini mengatur impor hasil perikanan atau yang disebut sebagai
“persyaratan dan tata cara pemasukan Hasil Perikanan”. Untuk itu KKP
mengeluarkan Izin Pemasukan Hasil Perikanan (IPHP). Kewenangan
pengaturan impor perikanan ini, seperti halnya impor komoditas lainnnya,
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 69
kemudian dipindahkan ke Kementerian Perdagangan melalui Permendag
66/2018. Ini menjadi salah satu alasan terbitnya Permendag No. 66/2018.
Untuk itu, untuk memahami tujuan penerbitan Permendag 66/2018 yang
kemudian diganti dengan Permendag 23/2019, peraturan ini harus
dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yang mengatur perihal impor
perikanan yaitu Permen KP 74/2016. Bagan di bawah ini menjelaskan
keterkaitan tersebut.
Jika dilihat dari hirarki peraturan, Permendag 66 Tahun 2018 adalah
peraturan tentang Ketentuan Impor Hasil Perikanan. Permendag ini
diterbitkan sebagai implementasi dari Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
2018 (PP No. 9/2018) tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas
Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan
Penolong Industri. Sebagai catatan, Permendag No. 66/2018 hanya
mengatur soal impor hasil perikanan, tidak termasuk pergaraman. Diagram di
bawah menunjukkan peraturan dan perundangan yang menjadi pendasaran
dan pertimbangan dari Permendag No. 66/2018 dan PP No. 9/2018.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 70
PP No. 9/2018 menyatakan bahwa Pemerintah Pusat mengendalikan
impor komoditas perikanan dan pergaraman. diterbitkan dengan 2 tujuan yaitu
1) menjamin perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya
ikan dan petambak garam dan 2) menjamin ketersediaan dan penyaluran
sumber daya alam untuk industri dalam negeri. PP ini juga mengatur
bahwa persetujuan impor perikanan dan pergaraman dikeluarkan oleh Menteri
Perdagangan berdasarkan rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan
dan Menteri Perindustrian. Sementara itu, Permendag No. 66/2018 mengatur
mengenai tata cara penentuan kuota impor yang dilakukan melalui rapat
koordinasi terbatas, persyaratan dan prosedur pengajuan ijin impor serta
daftar jenis ikan yang diatur importasinya. Berikut adalah ringkasan umum
dari PP No. 9/2018 dan Permendag No. 23/2019 (66/2018):
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 71
Selain terkait dengan pemindahan kewenangan pengaturan impor dari
KKP ke Kemendag, ada beberapa perubahan lain dalam Permendag No.
66/2018 dibandingkan dengan Permen KKP No. 74/2016 atau permen yang
mendahuluinya. Hal ini akan dijawab pada bagian lain bab ini.
Jika dilihat dari perubahan dari Permen KP No. 74/2016 menjadi
Permendag No. 66/2018 termasuk revisi dalam Permendag No. 23/2019,
penerbitan Permendag 66/2018 tampaknya sejalan dengan semangat Paket
Kebijakan Ekonomi (PKE) yang dikeluarkan pada tahun 2015 – 2016
meskipun Permendag No. 66/2018 baru diterbitkan pada tahun 2018. PKE ini
terdiri dari beberapa jilid di mana Jilid I merupakan paket deregulasi dan
debirokratisasi. Kementerian Perdagangan mendapat mandat untuk merevisi
32 aturan (30 Peraturan Menteri Perdagangan dan 2 Peraturan Dirjen) yang
akan memangkas 49 perizinan atau 28,9 persen. Jumlah total perizinan di
Kemendag sebanyak 169 perizinan. Sampai Februari 2016, menurut
Mendag, Kemendag telah memangkas 45 perizinan dari 169 yang ada di
Kemendag.
PKE terkait deregulasi dan debirokratisasi seperti disampaikan oleh Menteri
Perdagangan Enggar pada Februari, 2016 bertujuan untuk meningkatkan
kegiatan industri, kepercayaan masyarakat dan kemudahan berusaha
(ease of doing business) melalui rasionalisasi peraturan dan penyederhanaan
prosedur perijinan. PKE ini juga diharapkan mampu mengembalikan
kepercayaan dunia internasional terhadap iklim usaha di Indonesia. Enggar
juga mengatakan dalam keterangan resmi pada Februari, 2016, “Melalui
deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan, diharapkan pelaku
usaha tidak lagi memiliki stigma terhadap standar/norma wajib yang
dianggap sebagai perizinan,” dan “kebijakan deregulasi perdagangan dapat
menyelesaikan masalah regulasi dan birokrasi, lemahnya penegakan hukum,
dan ketidakpastian usaha yang menjadi beban daya saing industri.” Namun
demikian, terkait rasionalisasi impor, dikatakan bahwa pemerintah tetap
berupaya mengendalikan arus masuk barang impor ke dalam wilayah pabean
Indonesia dalam rangka mendukung aspek Keselamatan, Kesehatan Kerja,
dan Lingkungan (K3L).
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 72
Beberapa hal berikut terkait PKE di Kemendag pada tahun 2015 – 2016 untuk
komoditas lain yang bisa dianggap relevan bagi Permendag No. 66/2018:
1. Proses perizinan ekspor-impor akan dilakukan secara mandatory
online dengan tanda tangan elektronik pada Oktober 2015;
2. Penghilangan kewajiban verifikasi surveyor (LS) dalam beberapa
sektor lain (catatan lihat tabel: sedang dalam revisi): ekspor kayu,
ekspor beras, ekspor precursor nonfarmasi, produk kosmetika;
3. Pengawasan dalam pelaksanaan terhadap revisi kebijakan
Kementerian Perdagangan ini akan dilakukan dengan
mekanisme post-audit;
4. Terkait dengan telah dihapuskannya beberapa rekomendasi yang
diterbitkan oleh K/L teknis pada komoditas pangan yang bersifat
strategis seperti beras, gula, holtikultura, maka penentuan alokasi
impor akan ditetapkan melalui forum Rapat Koordinasi Terbatas
(Rakortas), dengan mempertimbangkan kapasitas volume impor yang
dibutuhkan dalam negeri dan mempertimbangkan neraca komoditas
tersebut, waktu importasi di luar masa panen, serta pendistribusian
komoditas impor di luar sentra produksi.
5.1.1.2. Pembelajaran Kasus Sengketa WTO
Pengajuan sengketa dilakukan ketika suatu negara anggota merasa
bahwa negara anggota lain melanggar kesepakatan atau komitmen yang telah
dibuat dalam
WTO. Sejak
1995, ada sekitar
500 kasus
sengketa yang
diajukan dan 300
di antaranya telah
diselesaikan.
Indonesia ternyata
menjadi salah satu
negara yang cukup banyak digugat oleh negara lain anggota WTO. Pada
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 73
tahun 2018, WTO menyatakan bahwa Amerika Serikat dan Selandia Baru
menang atas sengketa perdagangan terhadap Indonesia untuk impor sapi dan
hortikultura yang sudah berlangsung sejak 2013. Dari 18 measures impor
Indonesia yang dikeluhkan kedua negara, semua dinyatakan tidak konsisten
dengan aturan dan kewajiban WTO. Untuk itu Indonesia dinyatakan akan
didenda sebesar USD 350 juta. Agar tidak didenda, Indonesia harus
melakukan beberapa penyesuaian terhadap kebijakan impor sapi dan
hortikultura.
Apa saja hal-hal yang biasanya digugat? Untuk kasus sapi dan
holtikultura ini, beberapa hal yang dinyatakan tidak konsisten dengan aturan
dan prinsip WTO serta kewajiban sebagai anggota WTO, antara lain:
• Terkait ketentuan penetapan kuota dan skema perijinan impor yang
tidak otomatis (non-automatic) dan dikelola secara “tidak seragam,
tidak imparsial dan berlaku secara tidak konsisten dan tidak dapat
diprediksi”.
• Gagal mempublikasi informasi yang relevan termasuk detail
menyeluruh dari kuota agar pelaku pasar memahami dan terbiasa
dengan sistem kuota.
• Prosedur yang harus dilakukan sebelum melakukan impor dinyatakan
sebagai upaya pembatasan perdagangan dan mengakibatkan distorsi
serta menjadi beban administrasi yang tidak perlu yang diterapkan
secara tidak konsisten dan berubah-ubah (tidak dapat diprediksi).
• Penetapan harga minimum dan ketentuan bahwa impor boleh
dilakukan hanya pada bulan-bulan tertentu
Komplain utama kedua negara tersebut terkait ketentuan penetapan
kuota, pembatasan impor dan skema perijinan impor yang tidak otomatis (non-
automatic) dan dikelola secara “tidak seragam, tidak imparsial dan berlaku
secara tidak konsisten dan tidak dapat diprediksi”. Indonesia juga dinyatakan
gagal mempublikasi atau memberikan informasi yang relevan termasuk detail
menyeluruh dari kuota agar pelaku pasar memahami dan terbiasa dengan
sistem kuota. Prosedur yang harus dilakukan importir sapi sebelum
melakukan impor dinyatakan sebagai upaya pembatasan perdagangan dan
mengakibatkan distorsi serta menjadi beban administrasi yang tidak perlu
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 74
yang diterapkan secara tidak konsisten dan berubah-ubah (tidak dapat
diprediksi). Selain itu, penetapan harga minimum daging sapi serta impor yang
boleh dilakukan pada bulan-bulan tertentu juga menjadi bagian yang
dikomplain.
Argumen Indonesia bahwa aturan impor tersebut buat untuk
membatasi impor dari komoditas yang jumlah produksi domestiknya telah
mampu memenuhi permintaan domestik ternyata tidak cukup kuat. Juga,
argumen terkait kesehatan hewan dan kriteria halal tidak diterima oleh WTO.
Kekalahan Indonesia atas sengketa ini bisa menjadi pembelajaran untuk
menghindari potensi sengketa perdagangan lainnya dengan mengevaluasi
regulasi-regulasi yang terkait impor. Terkait dengan hal ini, salah satu regulasi
yang akan dievaluasi adalah Peraturan Menteri Perdagangan No. 66/2018
(selanjutnya disebut Permendag No. 66/2018) yang mengatur soal impor hasil
perikanan yang menggantikan Peraturan Menteri KKP No. 74/2016.
5.1.2. Identifikasi Tujuan
Setelah permasalahan dipahami, tahapan RIA selanjutnya adalah
mengidentifikasi tujuan dari kebijakan atau peraturan yang dikaji. Tahapan ini
menjadi penting karena penilaian terhadap efektivitas sebuah kebijakan
berarti penilaian terhadap apakah tujuan dari kebijakan tersebut tercapai atau
tidak.
Berdasarkan penjelasan dalam tahapan sebelumnya yaitu tahapan
Perumusan Masalah, tujuan penerbitan Permendag No. 66/2018 dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Implementasi dari PP No. 9/2018 yang bertujuan untuk mencapai:
- menjamin perlindungan dan pemberdayaan nelayan,
pembudidaya ikan dan petambak garam;
- menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk
industri dalam negeri.
2. Menempatkan tupoksi yang sesuai:
- Kemendag adalah kementerian yang bertanggungjawab atas
pengelolaan ekspor impor termasuk perikanan;
- KKP adalah kementerian teknis yang bertanggungjawab atas
pengelolaan sektor perikanan;
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 75
3. Mengimplementasikan kebijakan Pemerintah terkait Paket Kebijakan
Ekonomi yang secara umum bertujuan meningkatkan perekonomian
Indonesia melalui:
- meningkatkan kegiatan industri dan kemudahan berusaha melalui
rasionalisasi peraturan dan penyederhanaan perijinan;
- mengurangi atau menghilangkan ketidakpastian usaha;
- mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap iklim
usaha Indonesia
Tujuan dari Permendag 23/2019 (Permendag 66/2018) sebagaimana
disebutkan di atas tidak terkait secara langsung dengan upaya menghindari
gugatan dari negara-negara anggota WTO. Sebaliknya, upaya untuk
menghindari gugatan di WTO menjadi tujuan dari Kajian ini sebagaimana
telah dijelaskan di bagian awal. Untuk itu, analisis terhadap kemungkinan
terjadinya gugatan terhadap WTO menjadi salah satu faktor yang
dipertimbangkan dalam tahapan analisis manfaat dan biaya.
5.1.3. Alternatif Tindakan
Setelah mengidentifikasi tujuan dari Permendag 23/2019, maka
tahapan selanjutnya adalah mempertimbangkan beberapa alternatif atau
pilihan tindakan yang mungkin atau dapat dipilih sebagai rekomendasi dari
Kajian ini. Pilihan tindakan tersebut yang dinyatakan dalam bentuk
pernyataan singkat terdiri dari 2 pilihan yaitu:
1. Tidak melakukan apa-apa (Do nothing)
Pilihan ini berarti tidak melakukan perubahan terhadap Permendag
23/2019. Pada awal kajian, pilihan untuk tidak melakukan apa-apa
berarti tetap memberlakukan Permendag No. 66/2018. Namun
karena selama proses Kajian, Kementerian Perdagangan telah
melakukan revisi atas Permendag No. 66/2018 menjadi Permendag
No. 23/2019, maka pilihan untuk “tidak melakukan apa-apa” kini
berarti tidak melakukan perubahan terhadap Permendag No. 23/2019.
2. Merevisi Permendag 23/2019
Pilihan ini berarti melakukan revisi terhadap Permendag 23/2019.
Pilihan untuk merevisi Permendag No. 23/2019 berarti mengusulkan
perubahan sesuai dengan temuan dari Kajian:
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 76
Yang tidak sejalan dengan tujuan dari diterbitkannya Permendag
23/2019 sebagaimana telah diidentifikasi pada bagian lain Bab ini;
Yang bertentangan dengan prinsip dan aturan WTO.
Keputusan terhadap pilihan tindakan dilakukan berdasarkan analisis
manfaat dan biaya yang merupakan tahapan RIA selanjutnya. Jika
Permendag 23/2019 memberikan dampak yang manfaatnya lebih besar
daripada biayanya maka alternatif tindakan yang dipilih adalah pilihan pertama
atau tidak melakukan perubahan apa-apa (do nothing). Namun jika
Permendag 23/2019 mengakibatkan biaya yang lebih besar daripada
manfaatnya, maka alternatif tindakan yang dipilih adalah pilihan kedua yaitu
merevisi Permendag 23/2019.
5.1.4. Analisis Biaya dan Manfaat
Setelah mengidentifikasi pilihan tindakan yang mungkin dilakukan,
tahapan berikutnya adalah melakukan analisis manfaat dan biaya yang terjadi
akibat pemberlakuan Permendag 23/2019 agar dapat memilih alternatif
tindakan yang paling banyak memberi manfaat. Secara sederhana, “manfaat”
didefinisikan sebagai dampak yang bersifat positif atau menguntungkan
sedangkan “biaya” adalah dampak yang bersifat negatif atau merugikan jika
pilihan tersebut diambil. Hal-hal negatif dapat berupa meningkatnya risiko
atau munculnya ketidakpastian. Biaya atau manfaat bisa bersifat non-
moneter sehingga tidak selalu diartikan “uang”. Dampak berupa biaya atau
manfaat bisa ditanggung atau diterima oleh para pihak yang berbeda. Oleh
karena itu, perlu mengidentifikasi siapa saja pihak yang menerima manfaat
atau menanggung biaya.
Untuk memperhitungkan biaya dan manfaat sebuah kebijakan, perlu
diidentifikasi area yang terkena dampak tersebut baik itu berupa biaya atau
manfaat akibat dari berlakunya kebijakan tersebut, dalam hal ini adalah
Permendag 23/2019. Penghitungan biaya dan manfaat didasarkan pada
asumsi alternatif tindakan “do nothing” yaitu berlakunya Permendag 23/2019.
Jika dampak berupa manfaat lebih besar daripada biayanya maka alternatif
tindakan do nothing yang akan direkomendasikan. Sebaliknya, jika ternyata
dampak berupa biaya lebih besar daripada manfaatnya maka alternatif
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 77
tindakan kedua yaitu “merevisi” Permendag 23/2019 yang akan
direkomendasikan.
Identifikasi atas dampak memperhatikan beberapa pertimbangan
terkait berlakunya Permendag 23/2019 yang relevan dengan tujuan dari
Kajian ini yaitu:
1. Efektifitas peraturan dalam mencapai tujuan yang diamanatkan PP
No. 9/2018:
a. Pemberdayaan terhadap nelayan;
b. Menjamin ketersediaan bahan baku atau bahan penolong industri
2. Dampak peraturan terhadap pertumbuhan sektor perikanan dan
perekonomian secara umum untuk melihat dampak yang lebih luas
dari Permendag 23/2019:
a. Pertumbuhan sektor perikanan;
b. Kesehatan neraca perdagangan;
c. Ketahanan pangan khususnya terkait konsumsi ikan;
3. Kesesuaian peraturan dengan aturan WTO terkait kemungkinan
munculnya sengketa dari negara lain sesuai dengan tujuan Kajian dan
menghindarkan Indonesia dari potensi gugatan.
Dengan demikian, jika dilihat secara lebih rinci, ketiga pertimbangan tersebut
di atas dapat diuraikan lebih lanjut menjadi 6 area yaitu 1)
perlindungan/pemberdayaan nelayan/pembudidaya ikan, 2) ketersediaan
bahan baku/penolong untuk industri, 3) pertumbuhan sektor perikanan, 4)
neraca perdagangan, 5) risiko gugatan di WTO dan 6) ketahanan pangan
sebagaimana ditunjukkan oleh tabel di bawah ini. Pihak atau pelaku yang
terpapar dampak baik itu manfaat maupun biaya dari masing-masing faktor
juga perlu diidentifikasi.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 78
Matrix Analisis Manfaat dan Biaya
Terhadap masing-masing area dampak dilakukan analisis untuk
menimbang manfaat atau biaya yang terjadi akibat Permendag 23/2019
termasuk jika Permendag cenderung berdampak secara netral. Dalam Kajian
ini, dampak netral adalah jika dampak manfaat atau biaya teridentifikasi
namun sangat kecil atau insignifikan sehingga bisa diabaikan. Analisis
tersebut ditujukan untuk menjawab pertanyaan yang ada dalam setiap area
dari dampak (manfaat, biaya atau netral) – lihat diagram di atas. Mengingat
RIA adalah proses yang bersifat partisipatoris maka jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan ini terutama didasarkan pada masukan atau diskusi dari para
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 79
pemangku kepentingan dalam FGD, survey maupun wawancara mendalam
selama kunjungan lapangan. Data dan informasi yang diperoleh melalui desk
review menjadi bahan masukan untuk mempertajam diskusi dari para
pemangku kepentingan.
Terkait analisis manfaat dan biaya ini, ada 2 catatan:
Mengingat pemberlakuan Permendag masih relatif baru (Permendag
23/2019 baru diberlakukan pada Maret 2019 dan Permendang
66/2018 diberlakukan pada Juni 2018), dampak dari peraturan
menteri ini masih belum sepenuhnya tercermin dalam data yang
dikumpulkan. Ada “time lag” yang harus diperhitungkan. Oleh karena
itu, dari aspek kuantitas, analisis terhadap manfaat dan biaya menjadi
terbatas.
Mengingat, Permendag 23/2019 sebagai peraturan yang dikaji sudah
diterbitkan, manfaat dan biaya juga mempertimbangkan peraturan
menteri sebelumnya yaitu Permendag 66/2018 dan juga dengan
peraturan sebelumnya yaitu Permen KP No. 74/2016.
Bagian selanjutnya akan menjelaskan analisis manfaat dan biaya dari masing-
masing faktor.
5.1.4.1. Dampak terhadap Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan atau
Pembudidaya Ikan
Sebagaimana ditunjukkan oleh tabel Analisis Manfaat dan Biaya,
analisis terhadap area dampak difokuskan pada pertanyaan apakah
Permendag mempengaruhi penghasilan nelayan atau pembudidaya ikan
secara positif (memberi manfaat atau meningkatkan penghasilan) atau secara
negatif (menjadi biaya atau menurunkan penghasilan). Untuk itu, perlu
dipertimbangkan 2 hal berikut: 1) apakah impor hasil perikanan merupakan
faktor yang mempengaruhi penghasilan nelayan atau pembudidaya ikan dan
2) apakah ikan yang diimpor menjadi pesaing langsung bagi ikan yang
dihasilkan oleh nelayan/pembudidaya. Penghasilan nelayan atau
pembudidaya ikan akan terpengaruh jika ikan atau hasil perikanan yang
diimpor menjadi faktor penting yang mempengaruhi penghasilan nelayan
karena ikan tersebut menjadi kompetitor atau pesaing bagi ikan yang
ditangkap atau dibudidaya oleh nelayan/pembudidaya.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 80
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dilakukan wawancara terhadap
nelayan untuk perikanan tangkap di Cirebon. Hasil wawancara menyimpulkan
bahwa menurut nelayan, faktor-faktor utama yang mempengaruhi
penghasilan nelayan antara lain adalah jarak melaut yang terbatas karena
terbatasnya kapasitas kapal, cuaca, pendangkalan pantai, modal, infrastruktur
seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI), dan lain sebagainya. Sementara itu,
untuk perikanan budidaya, berdasarkan desk review diketahui bahwa faktor
utama yang mempengaruhi penghasilan nelayan antara lain cuaca,
ketersediaan dan harga pakan ikan, efisiensi supply chain perikanan, modal,
dan lain sebagainya. Dengan demikian, ada banyak faktor lain yang
sebenarnya mempengaruhi penghasilan nelayan/pembudidaya ikan. Bahkan
menurut nelayan di Cirebon, impor ikan bukan atau tidak menjadi ancaman
utama bagi penghasilan nelayan karena ikan yang diimpor berbeda dengan
ikan yang ditangkap oleh para nelayan yang umumnya memiliki kapal dengan
kapasitas kecil.
Untuk itu, kita dapat melihat jenis-jenis ikan yang diimpor dibandingkan
dengan jenis ikan yang ditangkap atau dibudidayakan oleh nelayan/
pembudidaya ikan. Data dari KKP menunjukkan bahwa hasil perikanan yang
paling banyak diimpor Indonesia adalah tepung ikan dan makarel yang
mencapai 50% dari total nilai impor diikuti tuna dan sarden. Makarel dan
sarden menjadi bahan baku pemindangan untuk diekspor. Di lain pihak, ikan
tangkap yang paling dicari nelayan adalah tongkol dan tuna. Meskipun
demikian untuk ikan tangkap, ada jenis ikan yang diimpor seperti tuna yang
juga menjadi tangkapan nelayan. Bahkan, hingga saat ini, kuota perikanan
tuna untuk Indonesia menurut Dirjen Perikanan Tangkap KKP masih
didominasi oleh pasokan kapal kecil berukuran 1-2 gross ton (GT) dengan alat
penangkapan ikan (API) sederhana seperti pancing (handline). Oleh
karenanya peran nelayan dengan kapasitas kapal kecil untuk penangkapan
ikan tuna sebenarnya cukup besar. Sayangnya, kapasitas para nelayan
tersebut terbatas oleh kapasitas kapal. Indonesia masih belum bisa
memanfaatkan kuota yang ada melalui kapal-kapal besar di tas 60 GT
penangkap tuna di perairan zona ekonomi eksklusif internasional (ZEEI) dan
lepas pantai.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 81
Jika dibandingkan dengan jumlah ikan impor yang hanya mencakup 2-
4% dari total produksi ikan di Indonesia, jumlah ikan impor tersebut tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap penghasilan nelayan yang pada
tahun 2013 adalah 868 ribu keluarga turun sebesar 44,9% dari 1,6 juta
keluarga pada 2003. Selain itu, dari para peserta FGD diketahui bahwa dari
ikan yang diimpor, 50-75% diekspor kembali sehingga impor ikan tidak
mempengaruhi pasar domestik secara signifikan yang menjadi pasar utama
dari nelayan atau pembudidaya ikan.
Sementara itu, untuk perikanan budidaya berdasarkan data dari KKP,
ikan hasil budidaya yang terbesar saat ini adalah nila, lele, udang, bandeng,
ikan mas dan patin. Ikan-ikan ini tidak termasuk dalam jenis ikan yang paling
banyak diimpor. Dengan demikian, kecuali ikan tuna, jenis ikan yang diimpor
tidak menjadi kompetitor langsung dari jenis ikan yang ditangkap atau
dibudidayakan oleh nelayan/pembudidaya.
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Kesimpulan atas Dampak terhadap Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan atau Pembudidaya Ikan:
Dampak dari Permendag 23/2019 terhadap perlindungan dan
pemberdayaan nelayan atau pembudidaya ikan untuk saat ini dapat dikatakan
netral karena alasan berikut:
1. Penghasilan nelayan tidak secara langsung berkompetisi dengan ikan
yang diimpor, kecuali tuna:
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 82
• Jenis ikan yang paling banyak ditangkap atau diproduksi adalah
tongkol dan tuna oleh nelayan.
• Sementara itu jenis hasil perikanan yang diimpor lebih banyak
didominasi oleh tepung ikan dan makarel (mencakup 50% nilai
impor) yang merupakan bahan baku/penolong industri perikanan.
• Bagi nelayan dengan kapal yang cukup besar sehingga bisa
melaut lebih jauh dan biasanya menangkap tuna, Permendag
23/2019 bisa berpengaruh. Namun mengingat jumlah impor yang
relatif kecil sekitar 2-4% dari total produksi perikanan, dampak
impor tidak signifikan.
2. Penghasilan pembudidaya ikan tidak secara langsung berkompetisi
dengan ikan yang diimpor:
• Jenis ikan yang paling banyak diproduksi oleh pembudidaya ikan
adalah nila, lele, udang, bandeng, ikan mas dan patin.
• Sebaliknya, sebagian besar dari impor adalah tepung ikan yang
juga menjadi bahan pokok dari pakan ikan maupun ternak.
5.1.4.2. Dampak terhadap Ketersediaan Bahan Baku/Penolong untuk
Industri
Analisis terhadap area dampak ini difokuskan pada analisis atas
perbedaan prosedur impor untuk bahan baku/penolong yang diatur oleh
Permendag 68/2018 dibandingkan dengan Permen KKP 74/2016 (aturan
sebelumnya) dan juga dibandingkan dengan Permendag 23/2019 untuk
melihat sejauh mana peraturan menteri ini mempermudah ketersediaan
bahan baku/penolong untuk industri. Menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia
(APINDO) meski Indonesia memiliki lautan yang luas dan jenis tangkapan ikan
yang lengkap, jumlah untuk setiap jenisnya masih kurang untuk memenuhi
kebutuhan industri. Oleh karena itu impor tetap diperlukan. KKP mengatakan
bahwa impor dilakukan untuk ikan yang tidak diproduksi di Indonesia seperti
salmon dan trout atau ikan yang ketersediannya sebagai bahan baku industri
tidak mencukupi. Indonesia juga mengimpor tepung ikan dan udang untuk
kebutuhan industri perikanan dan pakan ternak. Kebutuhan akan tepung ikan
dan udang merupakan salah satu bahan utama untuk memenuhi kebutuhan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 83
protein budidaya ikan dan budidaya ternak. Hal ini juga didukung oleh data
impor dari KKP di mana tepung ikan atau pellet merupakan impor dengan nilai
terbesar.
Selain analisis terhadap perbedaan ketentuan prosedur impor dari
peraturan-peraturan tersebut, masukan importir sebagai pemangku
kepentingan dalam FGD berdasarkan pengalaman mereka menjadi bagian
penting dari analisis. Tabel di bawah menunjukkan perbandingan antara
Permen KP 74/2016 dengan Permendag 66/2018. Ada beberapa hal yang
bisa menjadi catatan. Pertama, perbandingan ini menunjukkan berpindahnya
kewenangan pemberian persetujuan impor kepada Kementerian
Perdagangan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun keterlibatan
Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perindustrian tetap
ada dalam bentuk pemberian rekomendasi untuk persetujuan impor.
Penanganan impor kini sepenuhnya dipegang oleh Pemerintah Pusat dalam
hal ini Kementerian Perdagangan. Tidak lagi terlihat peran Pemerintah
Provinsi sebagaimana diatur oleh Permen KP 74/2016. Kedua, prosedur
pemeriksaan dokumen impor dalam Permendag 66/2018 menjadi lebih
sederhana karena dilakukan setelah melewati kawasan pabean. Ketiga,
adanya upaya untuk memberi “kepastian” berupa lampiran yang berisi daftar
ikan yang jika diimpor harus mengikuti ketentuan Permendag serta penentuan
kuota impor dalam rapat koordinasi terbatas yang dipimpin oleh Kementerian
Koordinator Perekonomian. Kedua hal tersebut tidak ada dalam Permen KP
74/2016. Ini bisa dilihat sebagai upaya untuk memberikan “kepastian” bagi
pelaku usaha yang melakukan impor. Namun juga bisa dipandang negatif bagi
aturan WTO terkait kuota. Hal ini akan dibahas dalam bagian lain.
Keempat, sayangnya, dalam Permendag 66/2018, ada beberapa
prosedur atau persyaratan tambahan yang sebelumnya tidak ada dalam
Permen KP 74/2016 seperti persyaratan adanya bukti penyimpanan dan alat
transportasi berpendingin dan perlunya verifikasi di negara asal oleh surveyor.
Para importir merasakan hal ini sebagai biaya tambahan yang memberatkan
sebagaimana diungkapkan dalam FGD. Juga, tidak semua hasil impor
perikanan memerlukan tempat penyimpanan atau alat transportasi
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 84
berpendingin. Pakan ternak ikan misalnya. Secara umum, berikut adalah
perbandingan antara Permen KP 74/2016 dengan Permendag 66/2018.
Perbandingan antara Permen KP 74/2016 dengan Permendag 66/2018
Hal-hal yang menjadi keberatan dari para importir ini ternyata kemudian
diakomodir oleh Kemendag dalam Permendag 23/2019 yang merevisi
Permendag 66/2018. Perbandingan antara kedua Permendag tersebut dapat
dilihat dalam diagram di bawah ini. Keharusan menyediakan tempat
penyimpanan berpendingin dan transportasi berpendingin serta kewajiban
melakukan survey oleh surveyor sudah dicabut dalam Permendag 23/2019.
Selain itu, dalam Permendag 23/2019 ada beberapa penyederhanaan terkait
dokumen dan prosedur. Berikut adalah perbandingan antara Permendag
66/2018 dengan Permendag 23/2019.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 85
Perbandingan antara Permendag 66/2018 dengan Permendag 23/2019
Namun demikian, lampiran daftar ikan serta penentuan kuota melalui
rapat koordinasi terbatas tetap berlaku. Lampiran ini masih menimbulkan
kebingungan dan ketidakpastian terkait ruang lingkup dari Permendag ini.
Apakah lampiran daftar ikan berlaku sebagai daftar positif atau berlaku
sebagai daftar negatif? Bagaimana dengan ikan yang tidak tercantum dalam
lampiran? Apakah boleh diimpor tanpa mengikuti ketentuan Permendag
23/2019 atau sama sekali tidak boleh diimpor? Hal ini berpotensi
menimbulkan kebingungan dari pelaku usaha maupun petugas bea cukai di
lapangan.
Berikut potensi terbukanya interpretasi yang dapat menimbulkan
ketidakpastian terhadap Lampiran “Jenis-jenis Komoditas Perikanan yang
Dibatasi Impornya” yang ada sejak Permendag 66/2018 dan belum direvisi
pada Permendag 23/2019:
• Lampiran dapat dilihat sebagai daftar positif yang berarti semua yang
tercantum dalam Lampiran adalah jenis ikan yang dapat diimpor.
Yang tidak tercantum berarti tidak dapat diimpor sesuai ketentuan
Permendag 23/2019.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 86
• Lampiran dapat dilihat sebagai daftar negative yang berarti semua
yang tercantum dalam Lampiran adalah jenis ikan yang dibatasi
impornya. Yang tidak tercantum, dapat diimpor tanpa harus mengikuti
ketentuan Permendag 23/2019.
• Untuk menghindarkan interpretasi yang berbeda tersebut,
rekomendasi pemangku kepentingan adalah memberikan kepastian
berupa penambahan penjelasan dalam Permendag 23/2019.
Terbukanya interpretasi terhadap Lampiran ini juga dikarenakan daftar
jenis ikan yang ada dalam lampiran Permendag tidak hanya mencakup ikan
yang diproduksi oleh nelayan di Indonesia yang karenanya cukup layak
dibatasi tetapi juga mencakup ikan berharga mahal yang tidak diproduksi di
Indonesia seperti salmon, trout, seabass, dan lain-lain. Salah seorang peserta
FGD mempertanyakan kenapa jenis-jenis ikan tersebut dibebaskan impornya.
Dalam FGD yang lain, Kemendag mengatakan bahwa daftar tersebut
merupakan usulan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tidak diperoleh
keterangan lebih jauh alasan masuknya ikan-ikan berharga mahal yang tidak
diproduksi di Indonesia.
Secara umum, para importir yang hadir dalam FGD sepakat bahwa
dibandingkan dengan peraturan menteri sebelumnya baik Permen KP
74/2016 maupun Permendag 66/2018, Permendag 23/2019 telah dirasakan
cukup akomodatif dalam mempermudah prosedur termasuk perijinan impor
hasil perikanan terutama untuk ketersediaan bahan baku atau bahan
penolong untuk industri. Hal ini terutama terkait dengan telah dicabutnya
laporan surveyor serta keharusan adanya tempat penyimpanan dan
transportasi berpendingin dalam Permendag 23/2019.
Kesimpulan atas Dampak terhadap Ketersediaan Bahan Baku/Penolong
untuk Industri:
Dampak dari Permendag 23/2019 terhadap ketersediaan bahan
baku/penolong untuk industri dapat dikatakan positif atau memberi manfaat
karena alasan berikut:
• Prosedur lebih jelas dan sederhana: misalnya sekarang cukup dengan
Nomor Identitas Berusaha, tidak lagi memerlukan kepemilikan cold
storage dan transportasi berpendingin
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 87
• Prosedur tidak lagi memerlukan biaya tambahan dengan
dihapuskannya Laporan Surveyor
• Catatan: ada ketidakpastian akibat terbukanya penafsiran terhadap
“Lampiran Jenis-jenis Komoditas Perikanan yang Dibatasi Impornya”.
Ini bisa berdampak bagi para importir itu sendiri dan juga bisa menjadi
persoalan bagi negara anggota WTO.
5.1.4.3. Dampak terhadap Pertumbuhan Sektor Perikanan
Analisis didasarkan pada dampak dari Permendag 23/2019 terhadap
pertumbuhan sektor perikanan. Untuk itu, kajian ini akan menggunakan
analisis SWOT dari BAPPENAS terhadap industrialisasi perikanan untuk
melihat faktor-faktor mana dari analisis SWOT tersebut yang akan terdampak
dengan berlakukan Permendag 23/2019.
Dari analisis tersebut ada beberapa faktor yang relevan dengan
analisis biaya dan manfaat atas Permendag 23/2019:
1. Memanfaatkan kekuatan (Strengths) pasar domestik yang besar
Melalui peraturan impor yang lebih mudah seperti dijelaskan
sebelumnya, Permendag 23/2019 membantu berkembangnya pasar
domestik sebagai salah satu kekuatan dari industrialiasi sektor
perikanan. Konsumsi ikan per kapita rata-rata dunia pada tahun 2016
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 88
menurut FAO adalah 20kg, lebih rendah daripada perkiraan KKP
untuk konsumsi ikan per kapita Indonesia sebesar 43kg. Tahun 2018,
konsumsi per kapita menurut KKP mencapai 50 kg dan 2019
mencapai 54,5kg. Bagaimana memenuhi kebutuhan ini?
Pertumbuhan Perikanan Tangkap
vs Budidaya
Sumber: KKP, Perikanan Budidaya
Termasuk Rumput Laut
Trend Perikanan Tangkap &
Budidaya Dunia
Sumber: FAO, 2018
Trend yang ada saat ini baik di Indonesia maupun di dunia,
menunjukkan bahwa perikanan budidaya akan semakin meningkat
dibanding
perikanan
tangkap.
Menurut FAO,
pada tingkat
dunia, hasil ikan
tangkap tidak
lagi mencukupi kebutuhan konsumsi ikan dunia. Bahkan diperkirakan,
proporsi ikan hasil budidaya terhadap total produksi ikan akan lebih
besar daripada ikan tangkap. Trend yang sama diperkirakan juga
terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, meskipun kebijakan
penangkapan ikan ilegal oleh kapal asing di perairan Indonesia
membantu dalam hal menjaga ketersediaan ikan, kebijakan ini belum
mencukupi untuk menjaga tercukupinya ketersediaan ikan.
Diperlukan kebijakan untuk membantu perikanan budidaya melalui
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 89
ketersediaan pakan ikan. Jika dilihat dari data KKP, impor terbesar
saat ini adalah pellet/pakan untuk perikanan budidaya. Peraturan
yang membantu pelaku untuk dapat dengan mudah mengimpor pellet
akan membantu memanfaatkan pasar domestik untuk perikanan dan
peternakan.
2. Memanfaatkan peluang (Opportunities) kebutuhan konsumsi dunia
yang meningkat
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
dunia, ekspor perlu ditingkatkan. Saat ini
Indonesia berada di urutan ke-11 negara
pengekspor ikan terbesar di dunia
menurut FAO (disusun kembali oleh
Statistia.com). Menurut pelaku impor
peserta FGD, sekitar 50-75% perikanan
yang mereka impor adalah untuk
diekspor kembali. Hal ini berarti peluang untuk memenuhi kebutuhan
pasar konsumsi dunia terbuka melalui ekspor hasil perikanan
meskipun untuk itu ada bahan baku/penolong yang harus diimpor.
Tata cara impor untuk keperluan bahan baku atau bahan penolong
harus semakin dipermudah. Salah satunya adalah melalui
Permendag 23/2019. Demikian juga jika dilihat dari kecenderungan
yang terjadi saat ini di mana konsumsi ikan akan semakin tergantung
pada perikanan hasil budidaya, tata cara impor seperti pelet ikan
seharusnya juga menjadi semakin mudah.
3. Mengatasi kelemahan (Weaknesses) keterbatasan sumber bahan
baku saat musim paceklik
Penjelasan yang sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
terkait pemanfaatan peluang yaitu terkait dengan semakin mudahnya
impor untuk bahan baku/bahan penolong. Selain itu, faktor lainnya
terkait keterbatasan sumber bahan baku adalah karakteristik
perikanan tangkap Indonesia yang memiliki jenis ikan yang beragam
namun jumlah per jenis tidak banyak. Wakil Ketua Umum Kamar
Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan Benny
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 90
Soetrisno menyebut terjadi gejala deindustrialisasi di industri
perikanan dengan matinya sejumlah industri perikanan akibat adanya
kekurangan pasokan ikan. Pemerintah dinilai punya andil terjadinya
hal tersebut. "Jadi Industrinya ada, ikannya ada tapi enggak boleh
ditangkap, impor juga enggak boleh, jadi industrinya mati," demikian
Benny. Kurangnya bahan baku untuk industri termasuk untuk
diekspor kembali juga dikeluhkan oleh daerah.
4. Mengatasi ancaman (Threats) persyaratan ekspor yang semakin
ketat
Persyaratan ekspor yang semakin ketat terutama terkait dengan
kualitas bahan baku ekspor. Ketersediaan bahan baku atau bahan
penolong yang sesuai dengan prasyarat ekspor menjadi semakin
penting. Salah satu cara adalah dengan melalui impor bahan
baku/penolong yang diatur oleh Permendag 23/2019.
Kesimpulan atas Dampak terhadap Pertumbuhan Sektor Perikanan:
• Permendag 23/2019 menjadi cukup relevan dengan pertumbuhan
sector perikanan secara keseluruhan melalui pemanfaatan kekuatan
(pasar domestik yang besar), pemanfaatan peluang (kebutuhan
konsumsi dunia yang meningkat), upaya mengatasi kelemahan
(keterbatasan sumber bahan baku saat musim paceklik) dan upaya
mengatasi ancaman (persyaratan ekspor yang semakin ketat).
5.1.4.4. Dampak terhadap Neraca Perdagangan
Analisis dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan impor
dengan pertumbuhan ekspor selama 2018 – 2019 yaitu periode sebelum dan
setelah Permendag 23/2019. Namun demikian, data yang ada cukup terbatas
(sampai dengan Semester 1 2019 sejak diberlakukan 2018 untuk Permendag
66/2018 atau awal 2019 untuk Permendag 23/2019) sementara dampak dari
peraturan ini mungkin harus diamati dalam periode yang lebih panjang
daripada 1 tahun.
Volume impor berdasarkan data Kemendag sebesar 147 ribu ton pada
tahun 2018 hanya sekitar 2% dari total volume total produksi ikan untuk
konsumsi Indonesia sebesar 7,6 juta ton. Data dari KKP mengenai impor
hasil perikanan dari 2012 – 2017, yang memasukkan tepung ikan – pellet dan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 91
lemak minyak, menunjukkan nilai impor pada tahun 2017 yang mencapai USD
433 juta yang juga masih
terbilang kecil. Direktur
Jenderal Penguatan Daya
Saing Produk Kelautan dan
Perikanan Rifky Effendi
Hardijanto menjelaskan nilai
impor ikan di Indonesia sangat
kecil dibandingkan neraca
perdagangan ikan di Indonesia sebesar USD 2 miliar. Komponen impor
terbesar berdasarkan data KKP adalah tepung ikan dan makarel yang
mencapai 50% dari total nilai impor.
Jika dilihat dari peruntukan impornya, hingga April 2016, IPHP (Ijin
Pemasukan Hasil Perikanan) telah diberikan kepada 167 perusahaan
importer, yaitu industri pengalengan (27,25 persen), re-ekspor (45,33 persen),
pemindangan (17,66 persen), fortifikasi (0,41 persen), horeka dan pasar
modern (6,46 persen), dan umpan (2,90 persen)84. Ini menunjukkan hampir
50% impor adalah untuk diekspor kembali. Menteri Kelautan dan Perikanan
Susi Pudjiastuti menyebutkan neraca perdagangan perikanan Indonesia
berada di posisi nomor satu di Asean. Untuk tahun 2018 – 2019, setelah
Permendag 23/2019 atau Permendag 66/2018 diberlakukan, ekspor
84 Tempo, 8 Juni, 2016, Ghoida Rahma https://bisnis.tempo.co/read/777714/10-jenis-ikan-yang-paling-banyak-diimpor-indonesia Diakses pada 20 Mei, 2019
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 92
perikanan masih tetap lebih tinggi dibandingkan impor perikanan. Terjadi
peningkatan nilai impor dari semester I 2018 sebesar 68% menjadi Rp 5,36
trilyun pada semester I 2019, walaupun secara jumlah menurun. Nilai export
juga meningkat sebesar 24% dari semester I 2018 menjadi Rp 40,57 trilyun
pada S1 2019. Komposisi impor terhadap ekspor meningkat dari 10% di
semester I 2018 menjadi 13% di semester I 2019. Namun demikian, terkait
dengan neraca perdagangan, dengan jumlah impor yang relatif kecil, neraca
perdagangan hasil perikanan tetap cukup positif di mana nilai ekspor lebih
tinggi daripada impor.
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Namun pelaku usaha memiliki pandangan yang berbeda. Kinerja
berdasarkan neraca perdagangan tersebut dinilai disebabkan oleh minimnya
impor dan juga minimnya penambahan nilai untuk ekspor. Menurut Thomas
Darmawan, Ketua Bidang Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo),
kinerja neraca perdagangan Indonesia memang lebih tinggi secara
presentase dibandingkan neraca dagang perikanan China yang memiliki
komposisi 33% impor berbanding ekspornya. Begitu juga dengan Thailand
yang 30% neraca dagang ikannya diisi impor. Tapi kinerja ekspor kedua
negara tersebut di atas Indonesia karena menggenjot sektor pengolahan
ikannya. Menurut Thomas, negara-negara tersebut mengimpor bahan baku
untuk diolah dan diekspor kembali. Sementara di Indonesia impor kecil tapi
pabriknya kurang bahan baku dan ekspor tidak dimaksimalkan. Ini sejalan
dengan data FAO, meskipun menjadi negara produsen ikan tangkap terbesar
Impor (2018, ton, KKP) diluar tepung ikan: • Makarel • Tuna • Sarden • Cakalang • Kembung
Ekspor (2018, USD milyar, KKP): • Udang ($1,7) • Tuna ($0,5) • Kepiting ($0,4) • Cumi-cumi ($0,39) • Rumput laut ($0,2)
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 93
kedua di dunia, Indonesia tidak masuk dalam 10 negara pengekspor ikan
terbesar.
Kesimpulan atas Dampak terhadap Neraca Perdagangan:
• Komponen impor terbesar adalah tepung pellet dan makarel yang
mencakup 50% nilai impor. Tepung pellet digunakan untuk industri
pakan. Kedua produk tersebut adalah untuk kebutuhan industri.
• Terjadi peningkatan impor selama semester I 2019. Salah satu
penyebabnya adalah terjadinya kemudahan impor dari Permen
23/2019. Menurut peserta FGD, banyak Persetujuan Impor yang tidak
terealisir di tahun 2018 yang salah satunya disebabkan oleh transisi
dari perubahan Permen KKP 74/2016 ke Permendag 66/2018 dan
Permendag 23/2019.
• Ada keterkaitan impor dengan ekspor perikanan. Menurut peserta
FGD, sekitar 50-75% impor bahan baku / penolong diolah untuk
diekspor kembali. Namun prosentase impor terhadap export
meningkat pada S1 2018 dibanding S1 2019 dari 10% menjadi 13%.
Diperlukan analisis lebih lanjut untuk melihat penuruan prosentase ini.
• Meskipun neraca perdagangan perikanan menjadi lebih kecil dibanding
tahun sebelumnya karena peningkatan impor yang lebih besar
daripada peningkatan ekspor, secara umum neraca perdagangan
perikanan masih positif.
5.1.4.5. Dampak terhadap Risiko Gugatan di WTO
Analisis didasarkan pada risiko terjadinya gugatan oleh negara-negara
yang menjadi asal impor hasil perikanan yang didasarkan pada analisis
terhadap kesesuaian ketentuan dalam Permendag 23/2019 dengan measures
WTO. Selain itu, pengalaman Indonesia sebagai anggota WTO dalam
menghadapi gugatan dari negara-negara lain dan pandangan dari peserta
FGD (Biro Advokasi Perdagangan - Kemendag) menjadi faktor yang
dipertimbangkan dalam analisis.
Apa saja hal-hal yang biasanya digugat? Salah satu contoh gugatan
baru-baru ini misalnya dalam sengketa impor sapi dan holtikultura dengan
Amerika Serikat dan Selandia Baru. Semua gugatan (18 measures)
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 94
dinyatakan tidak konsisten dengan aturan dan prinsip WTO serta kewajiban
sebagai anggota WTO, antara lain:
• Terkait ketentuan penetapan kuota dan skema perijinan impor yang
tidak otomatis (non-automatic) dan dikelola secara “tidak seragam,
tidak imparsial dan berlaku secara tidak konsisten dan tidak dapat
diprediksi”.
• Gagal mempublikasi informasi yang relevan termasuk detail
menyeluruh dari kuota agar pelaku pasar memahami dan terbiasa
dengan sistem kuota.
• Prosedur yang harus dilakukan sebelum melakukan impor dinyatakan
sebagai upaya pembatasan perdagangan dan mengakibatkan distorsi
serta menjadi beban administrasi yang tidak perlu yang diterapkan
secara tidak konsisten dan berubah-ubah (tidak dapat diprediksi).
• Penetapan harga minimum dan ketentuan bahwa impor boleh
dilakukan hanya pada bulan-bulan tertentu
Berdasarkan hal tersebut, dalam proses RIA yang dilakukan terhadap
Permendag 66/2018 atau Permendag 23/2019, ketentuan dalam Permendag
66/2018 yang dipandang berisiko untuk digugat tetapi sudah dicabut dalam
Permendag 23/2019:
• Perlunya Laporan Surveyor dipandang menimbulkan “beban
administrasi yang tidak perlu”
• Adanya kepemilikan cold storage (gudang) dan transportasi
berpendingin dipandang menimbulkan “beban administrasi yang
tidak perlu” karena tidak semua importer (misalnya tepung ikan)
memerlukan gudang dan transportasi berpendingin. Selain itu,
sebenarnya hal ini sudah diatur dalam peraturan lain.
Sementara itu, ketentuan dalam Permendag 23/2019 yang masih mungkin
berisiko untuk digugat, meskipun dirasakan risikonya cukup kecil:
• Penentuan kuota impor melalui Rapat Koordinasi Terbatas:
• “to discourage the use of quotas and other measures used to set
limits on quantities of imports”
• Lampiran “Jenis-jenis Komoditas Perikanan Yang Dibatasi Impornya”
yang dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda:
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 95
• “to make countries’ trade rules as clear and public (“transparent”)
as possible”
Untuk menilai risiko munculnya gugatan, perlu diperhatikan bahwa
umumnya gugatan dilakukan oleh negara yang memiliki volume dan nilai
ekspor cukup signifikan ke Indonesia. Untuk sektor perikanan, negara asal
impor utama adalah Oman, Cina, Jepang dan Pakistan. Kecil kemungkinan
gugatan berasal dari Cina karena sebagai negara pengekspor hasil perikanan
terbesar di dunia, nilai ekspor ke Indonesia terbilang sangat kecil dibanding
total ekspor Cina secara keseluruhan.
Kesimpulan atas Dampak terhadap Risiko Gugatan di WTO:
• Beberapa risiko gugatan dari Permendag 68/2018 yang sudah dicabut
oleh Permendag 23/2019:
• Laporan Surveyor
• Pemilikan gudang dan transportasi berpendingin
• Beberapa risiko gugatan dari Permendag 23/2019 yang mungkin
masih ada:
• Penentuan jumlah impor dalam Rapat Koordinasi Terbatas
“to discourage the use of quotas and other measures used to set
limits on quantities of imports”
• Lampiran “Jenis-jenis Komoditas Perikanan Yang Dibatasi
Impornya” dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda “to
make countries’ trade rules as clear and public (“transparent”) as
possible”
• Jika dilihat dari negara asal impor terbesar (Oman, Cina, Jepang dan
Pakistan) dan mempertimbangkan jumlah impor Indonesia yang masih
kecil, risiko gugatan dari negara-negara ini mungkin kecil.
• Risiko gugatan di WTO menjadi lebih kecil setelah Permendag 66/2018
diganti dengan Permendag 23/2019
5.1.4.6. Dampak terhadap Ketahanan Pangan
Ketahanan Pangan, berdasarkan definisi Badan Ketahanan Pangan
(BKP) Kementerian Pertanian, adalah suatu kondisi terpenuhinya pasokan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 96
pangan bagi negara sampai dengan perseorangan untuk dapat hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Untuk keperluan kajian ini, analisis
didasarkan pada hasil perikanan sebagai sumber pangan yang tersedia dan
terjangkau dengan melihat inflasi sebagai proxy dari ketersediaan dan
keterjangkauan.
Pada awal tahun 2014 untuk pertama kalinya, dua komoditas perikanan
yaitu ikan tongkol dan ikan bandeng justru memberikan andil terhadap inflasi
sebesar 0,05% (sumber : m.liputan6.com, 2014). Kedua komoditas ini
terutama komoditas bandeng menjadi salah satu produk pangan yang
dianggap penting dan strategis di kalangan masyarakat luas. Ikan bandeng
menjadi satu-satunya komoditas perikanan selain ikan tongkol/cakalang yang
masuk kategori barang pokok dan barang penting bersama beras, kedelai
bahan baku tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu,
daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras dalam Perpres Nomor 71
Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok
dan Barang Penting. Perpres ini mengisyaratkan tanggung jawab dalam
mendorong sub sektor perikanan budidaya untuk turut berperan dalam
menjamin suplai dan kestabilan pasokan bahan pangan bagi masyarakat.
Jika dilihat dari inflasi, harga ikan menjadi penyumbang inflasi yang
cukup signifikan di tahun 2019:
• Pada bulan Januari 2019 dengan inflasi 0,32%, ikan segar (0,06%)
menjadi penyumbang inflasi terbesar ke-2 setelah beras (0,04%).
• Pada bulan Juni 2019 dengan inflasi 0,55%, ikan segar (0,05%)
menjadi penyumbang inflasi terbesar ke-2 setelah cabai merah
(0,2%).
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 97
• Di daerah terpencil seperti misalnya di Sorong di Papua Barat dan
Kotawaringin Timur di Kalimantan Barat, ikan juga menjadi
penyumbang inflasi yang cukup besar, ke-2 dan ke-3 terbesar.
• Perlu dicatat bahwa harga ikan bersifat musiman karena dipengaruhi
cuaca.
Namun demikian, meskipun kontribusi perikanan terhadap inflasi
meningkat, secara keseluruhan tingkat inflasi Indonesia sendiri selama 3
tahun terakhir cukup rendah dan terkendali pada kisaran 3%.
Kesimpulan atas Dampak terhadap Ketahanan Pangan:
• Dengan konsumsi ikan yang semakin meningkat (50kg perkapita di
2018), ikan menjadi sumber protein yang semakin penting meskipun
belum menggantikan ayam sebagai sumber utama yang terjangkau
dan tersedia secara mudah.
• Kontribusi harga ikan terhadap inflasi juga meningkat. Namun
demikian, mengingat angka inflasi Indonesia selama 3 tahun terakhir
cukup terkendali pada kisaran 3%, kontribusi harga ikan terhadap
ketahanan pangan tidak terlalu signifikan.
• Impor perikanan yang didominasi oleh tepung ikan dan makarel,
bukan menjadi konsumsi utama masyarakat Indonesia.
• Dengan jumlah impor yang di bawah 5%, dampaknya terhadap
ketahanan pangan juga tidak terlalu besar.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 98
5.1.5. Pemilihan Kebijakan
Berdasarkan analisis atas manfaat dan biaya terhadap masing-masing
factor yang mempengaruhi, berikut adalah table yang merangkum kesimpulan
dari hasil analisis tersebut:
Oleh karena itu, berdasarkan analisis manfaat dan biaya tersebut,
alternative tindakan yang direkomendasikan adalah alternative tindakan ke-2
yaitu merevisi Permendag No. 23/2019 dengan pertimbangan bahwa:
1. Perbandingan dampak manfaat dan biaya:
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 99
a. Ada 2 dampak yang manfaatnya lebih besar dibanding biayanya
yaitu faktor ketersediaan bahan baku/penolong dan pertumbuhan
sector perikanan
b. Ada 2 dampak yang bersifat netral yaitu factor perlindungan atau
pemberdayaan nelayan/pembudidaya ikan dan ketahanan
pangan
c. Ada 2 dampak yang biaya atau risikonya lebih besar daripada
manfaatnya yaitu faktor neraca perdagangan dan risiko gugatan
di WTO.
2. Terkait dengan 2 dampak yang biaya atau risikonya lebih besar:
a. Kenaikan impor pada neraca perdagangan:
Meskipun laju impor lebih besar daripada laju ekspor selama
periode 2018 - 2019, neraca perdagangan dari sektor
perikanan masih tetap positif atau dengan kata lain ekspor
tetap lebih besar daripada impor ikan.
Selain itu, masih dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mengamati pengaruh atau dampak Permendag 23/2019
terhadap neraca perdagangan karena sebagian besar impor
adalah untuk diekspor kembali.
b. Risiko gugatan di WTO:
Temuan dari Kajian menunjukkan bahwa ada risiko gugatan
muncul karena adanya kebijakan pembatasan kuota melalui
rapat koordinasi terbatas (rakortas) dan unsur ketidakpastian
akibat interpretasi dari lampiran:
Penentuan jumlah impor dalam Rapat Koordinasi
Terbatas “to discourage the use of quotas and other
measures used to set limits on quantities of imports”
Lampiran “Jenis-jenis Komoditas Perikanan Yang
Dibatasi Impornya” dapat menimbulkan interpretasi yang
berbeda “to make countries’ trade rules as clear and
public (“transparent”) as possible”
Namun, kemungkinan gugatan diajukanakan bergantung
pada seberapa signifikan atau seberapa besar nilai ekspor
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 100
dari negara asal impor dibandingkan total impor negara
tersebut.
Sebagai catatan, berdasarkan focus group discussions dan pertemuan
yang dilakukan dengan para pemangku kepentingan, sebenarnya ada
beberapa masukan lainnya terhadap Permendag No. 66/2018. Namun usulan
ini sebagian besar ternyata telah diakomodir dalam Permendag 23/2019.
Revisi yang dilakukan terutama terkait mengenai Laporan Surveyor yang
dalam Permendag 66/2018 harus dipenuhi oleh pengimpor. Dalam
Permendag 23/2019, pengimpor tidak lagi perlu melakukan Laporan Surveyor.
Revisi ini berdasarkan masukan dari pelaku industri yang disampaikan kepada
Kemendag sebagaimana juga telah disampaikan kepada tim Kajian.
5.1.6. Strategi Implementasi
Untuk menindaklanjuti rekomendasi hasil kajian ini, BPPP Kementerian
Perdagangan akan melakukan hal-hal berikut:
a. Mengirimkan hasil kajian dan rekomendasi kepada pihak terkait dalam
Kementerian Perdanganan seperti Biro Perdagangan Luar Negeri, Biro
Hukum dan pihak-pihak terkait lainnya dalam Kementerian
Perdagangan.
b. Memonitor proses selanjutnya terkait rekomendasi.
Beberapa hal yang masih perlu dimitigasi adalah:
a. Ketersediaan data terkait estimasi biaya yang dikeluarkan dalam
menghadapi gugatan di WTO;
b. Data dari besarnya ekspor ikan ke Indonesia dari Negara-negara asal
impor untuk melihat seberapa signifikan ekspor ikan ke Indonesia
dibandingkan total ekspor mereka.
c. Monitoring terhadap dampak yang belum tercermin dalam kurun waktu
yang pendek seperti dampak terhadap neraca perdagangan karena
sebagian besar impor adalah untuk diekspor kembali.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 101
BAB 6
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1. Kesimpulan
Hasil Analisis Dampak Kebijakan atau Regulatory Impact Assessment
(RIA) terhadap Permendag 23/2019 menunjukkan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Efektivitas Permendag 23/2019 dalam menjawab akar permasalahan dan
mencapai tujuan penerbitan Permendag itu sendiri:
a. Permendag 23/2019 yang merevisi Permendag 66/2018 dan
sebelumnya Permen Kelauan dan Perikanan 74/2016 dipandang
telah memberikan kemudahan untuk melakukan impor untuk
menjamin ketersediaan bahan baku/penolong industri sesuai dengan
tujuan yang diamanatkan oleh PP 9/2018.
b. Permendag 23/2019 tidak menganggu perlindungan dan
pemberdayaan terhadap nelayan atau pembudidaya ikan sesuai
dengan tujuan yang diamanatkan oleh PP 9/2018.
c. Permendag meningkatkan kemudahan berusaha dan mengurangi
ketidakpastian berusaha sesuai Paket Kebijakan Ekonomi yang
mewarnai kebijakan impor dari sektor-sektor lain.
2. Potensi gugatan dari negara anggota WTO terkait dengan aturan dan
ketentuan WTO, Permendag 23/2019 telah mengurangi risiko gugatan
dari Negara lain dibandingkan aturan sebelumnya namun masih terdapat
beberapa risiko untuk digugat.
6.2. Rekomendasi
Oleh karena itu rekomendasi dari Kajian ini berdasarkan Analisis
Dampak Kebijakan (RIA) adalah merevisi Permendag 23/2019 karena
meskipun Permendag 23/2019 telah cukup efektif dan efisien dalam
menjawab akar permasalahan dan tujuan dari penerbitan Permendag
tersebut, dampak berupa biaya masih lebih besar daripada manfaatnya:
1. Neraca perdagangan:
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 102
a. Terjadi kenaikan impor pada neraca perdagangan perikanan selama
periode 2019 jika dibandingkan dengan 2018.
b. Namun demikian, meski laju impor lebih besar daripada laju ekspor
selama periode 2018 - 2019, neraca perdagangan dari sektor
perikanan masih tetap positif atau dengan kata lain ekspor tetap lebih
besar daripada impor ikan.
2. Risiko gugatan di WTO:
a. Temuan dari Kajian menunjukkan bahwa ada risiko gugatan muncul
karena adanya kebijakan pembatasan kuota melalui rapat koordinasi
terbatas (rakortas) dan unsur ketidakpastian akibat interpretasi dari
lampiran:
Penentuan jumlah impor dalam Rapat Koordinasi Terbatas “to
discourage the use of quotas and other measures used to set limits
on quantities of imports”
Lampiran “Jenis-jenis Komoditas Perikanan Yang Dibatasi
Impornya” dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda “to
make countries’ trade rules as clear and public (“transparent”) as
possible”
b. Namun, kemungkinan gugatan diajukan akan bergantung pada
seberapa signifikan atau seberapa besar nilai ekspor dari negara asal
impor dibandingkan total impor negara tersebut.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 103
DAFTAR PUSTAKA
Alvarez-Jimenez, Alberto. 2017. The International Law Gaze, Indonesia
Import Licenses Regimes (New Zealand). New Zealand Law Journal.
July 201. Diunduh dari https://hdl.handle.net/10289/11279 pada 13
Maret, 2019
Australian Government - Department of the Prime Minister and Cabinet
Office of Best Practice Regulation. 2016. Guidance Note - Risk Analysis
in Regulation Impact Statement.
Bappenas. 2011. Kajian Ringkas Pengembangan dan Implementasi Metode
Regulatory Impact Analysis (RIA) Untuk Menilai Kebijakan (Peraturan
dan Non Peraturan) di Kementerian PPN/Bappenas.
BAPPENAS. 2016. Kajian Strategis Industrialisasi Perikanan Untuk
Mendukung Pembangunan Ekonomi Wilayah
FAO. 2018. The State of World Fishery and Aquaculture. Roma.
http://ginsijateng.com/2015/12/28/paket-deregulasi-debirokratisasi-bidang-
perdagangan/ (21 Juli, 2019)
https://bisnis.tempo.co/read/777714/10-jenis-ikan-yang-paling-banyak-
diimpor-indonesia
https://ekonomi.bisnis.com/read/20160608/12/555815/impor-ikan-167-
peruswahaan-kantongi-izin (19 Juli, 2019)
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4229342/70-wilayahnya-
lautan-kok-indonesia-masih-impor-ikan/2
https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.php?jdl=Kemendag_Kesu
litan_Proses_32_Permendag_Dalam_Paket_Kebijakan_Ekonomi_I&ne
ws_id=56402&group_news=IPOTNEWS&news_date=&taging_subtype
=INDONESIA&name=&search=y_general&q=INDONESIA,&halaman=1
https://www.kiara.or.id/impor-ikan-dibuka-meluas-industri-kekurangan-
bahan-baku/ (13 Juli, 2019)
https://www.mongabay.co.id/2019/01/21/mengapa-penangkapan-tuna-
masih-didominasi-nelayan-skala-kecil/
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2018. Kinerja 4 Tahun Pemerintahan
Jokowi – JK Sektor Kelautan dan Perikanan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 104
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2018. Peraturan Menteri No. 74
Tahun 2016 tentang Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan yang Masuk ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2018. Produktivitas Perikanan
Indonesia pada Forum Merdeka Barat 9,
Kementerian Perdagangan. 2018. Peraturan Menteri No. 66 Tahun 2018
tentang Ketentuan Impor Hasil Perikanan
Kementerian Perdagangan. 2019. Peraturan Menteri No. 23 Tahun 2019
tentang Ketentuan Impor Hasil Perikanan
OECD. 2008. Introductory Handbook for Undertaking Regulatory Impact
Analysis.
Republik Indonesia. 2018. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2018 tentang
Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas
Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri
World Bank. 2019. Global Indicators of Regulatory Governance: Worldwide
Practices of Regulatory Impact Assessments. Diunduh dari
https://rulemaking.worldbank.org/ pada 10 Maret, 2019