zzzzzzzzzzstatus-asmatikus print ya
DESCRIPTION
okTRANSCRIPT
STATUS PENDERITA
I. ANAMNESIS
A. IdentitasPasien
Nama Pasien : Tn. B
Usia : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki laki
Status : Menikah
Pekerjaan : Pedagang Buah
Agama : Islam
Alamat : Tegal Rejo, Jebres, Surakarta
B. Keluhan Utama
Sesak Nafas
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan mengeluh sesak nafas yang dirasakan sejak
1 minggu SMRS. Sesak nafas dirasakan terutama pada malam hari, Namun
1 hari terakhir sesak dirasakan terus menerus dan semakin memberat.
Pasien hanya dapat berbicara terputus-putus/beberapa kata saja, pasien
lebih nyaman dengan posisi duduk membungkuk.
Jika terasa sesak pasien biasanya minum obat neo napasin dan obat
semprot. Keluhan sesaknya pun berkurang, namun 1 hari terakhir sesak
yang dirasakan tidak berespons dengan pemberian obat dan malah semakin
memberat.
Keluhan sesak sudah dirasakan sejak usia 5 tahun, hilang timbul dan
kambuh-kambuhan apabila terpapar debu dan cuaca dingin. Sesak saat ini
disertai batuk berdahak (+ )dahak warna kuning kental, darah (-), nyeri
dada (-), demam (+), penurunan berat badan (-), penurunan nafsu makan
(+) karenakesulitan makan dan minum, keringat malam (-), mual (+),
muntah (+), BAK dan BAB tidak ada keluhan. Riwayat pingsan saat
serangan sesak (+) satu kali.
1
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat TB : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat Alergi obat/makanan : (+) alergi debu dan cuaca dingin
Riwayat Asma : (+) sejak umur 5 tahun
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Hepatitis B : disangkal
Riwayat Mondok : (+) di RSDM 3 x di ICU dengan
keluhan sesak nafas
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Asma : (+) Ibu
Riwayat Alergi Obat/Makan : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi
Riwayat Merokok : disangkal
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat Olahraga : tidak teratur
Berat Badan = 56 kg; Tinggi Badan = 162 cm; BMI = 21,33
(normoweight)
Gizi : Sehari hari pasien makan 3 kali
dengan porsi nasi, sayur, dan lauk
(tahu, tempe, telur).
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Saat ini pasien tidak bekerja, pernah bekerja sebagai buruh tekstil
selama 10 tahun. Pasien menggunakan pelayanan Jamkesmas.
2
II. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum sakit berat, Letargis E3V4M5, gizi kesan cukup
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/75mmHg
Nadi : 128 x/ menit, isi dan tegangan kecil, irama cepat
Respirasi : 32 x/menit, irama tidak teratur
Suhu : 38,70C per aksiler
Pulse oxymetri : 85%
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venectasi (-),
spider naevi (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-), turgor kulit
jelek.
D. Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut tidak
beruban semua, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).
E. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan
tak langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3mm), oedem palpebra (-/-),
sekret (-/-).
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).
G. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).
H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah simetris, lidah tremor
(-), tonsil T1-T1, faring hiperemis (-), T1-T1, stomatitis (-), mukos pucat
(-), mukosa biru (+), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-).
I.Leher
Simetris, trakea ditengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-), kaku (-).
3
J. Thoraks
Retraksi (+) suprasternal, intercostal, subcostal, penggunaan otot-
otot abdomen
a. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-).
b. Paru (anterior )
Inspeksi statis : Simetris dinding dada kanan = kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Dada kanan : sonor
Dada kiri : sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler kanan dan kiri : normal
Suara tambahan kanan dan kiri : Wheezing
(+) saat ekspirasi seluruh lapang paru
Paru (posterior )
Inspeksi statis : Simetris dinding dada kanan = kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Dada kanan : sonor
Dada kiri : sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler kanan dan kiri : normal
Suara tambahan kanan dan kiri : Wheezing
(+) saat ekspirasi seluruh lapang paru
A. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada.
Auskultasi : peristaltik (+) normal.
Perkusi : tympani.
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
4
B. Ekstremitas
Sianosis : Ekstremitas superior : dextra (+) / sinistra (+)
Ekstremitas inferior : dextra (+) / sinistra (+)
Akral dingin : Ekstremitas superior : dextra (+) / sinistra (+)
Ekstremitas inferior : dextra (+) / sinistra (+)
Oedem : Ekstremitas superior : dextra (-) / sinistra (-)
Ekstremitas inferior : dextra (-) / sinistra (-)
III. RESUME
Pasien datang dengan mengeluh sesak nafas yang dirasakan sejak 1
minggu SMRS. Sesak nafas dirasakan terutama pada malam hari, Namun 1 hari
terakhir sesak dirasakan terus menerus dan semakin memberat. Pasien hanya
dapat berbicara terputus-putus/beberapa kata saja, pasien lebih nyaman dengan
posisi duduk membungkuk.
Jika terasa sesak pasien biasanya minum obat neo napasin dan obat
semprot. Keluhan sesaknya pun berkurang, namun 1 hari terakhir sesak yang
dirasakan tidak berespons dengan pemberian obat dan malah semakin memberat.
Keluhan sesak sudah dirasakan sejak usia 5 tahun, hilang timbul dan
kambuh-kambuhan apabila terpapar debu dan cuaca dingin. Sesak saat ini
disertai batuk berdahak (+ )dahak warna kuning kental, darah (-), nyeri dada (-),
demam (+), penurunan berat badan (-), penurunan nafsu makan (+)
karenakesulitan makan dan minum, keringat malam (-), mual (+), muntah (+),
BAK dan BAB tidak ada keluhan. Riwayat pingsan saat serangan sesak (+) satu
kali. Riwayat Alergi obat/makanan (+) alergi debu dan cuaca dingin. Riwayat
Asma (+) sejak umur 5 tahun. Riwayat Mondok (+) di RSDM 3 x di ICU dengan
keluhan sesak nafas. Riwayat asma keluarga (+) pada ibu.
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan kondisi umum berat, letargis,
E3V4M5, nadi 128 x/ menit, isi dan tegangan kecil, irama cepat, respirasi rate
32x/menit, irama tidak teratur. Suhu 38,70C per aksiler, pulse oxymetri 85%,
turgor kulit jelek, mukosa mulut biru (+), retraksi (+) suprasternal, intercostal,
subcostal, penggunaan otot-otot abdomen. Pada pemeriksaan paru terdengar
wheezing (+) saat ekspirasi seluruh kedua lapang paru. Keempat ekstremitas
sianosis dan akral dingin.
5
IV. INITIAL PLANNING DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap (Darah rutin, Ur, Cr, GDS,
elektrolit K, Na, Cl)
2. Analsis Gas Darah
3. Foto thoraks
4. EKG
5. Pemeriksaan Faal Paru (syarat kondisi stabil)
V. DIAGNOSIS BANDING
1. Status Asmatikus dengan dehidrasi derajat ringan-sedang
2. Bronkiektasis
3. PPOK (bronkitis kronik)
4. CHF
VI. DIAGNOSIS
Status Asmatikus dengan dehidrasi derajat ringan-sedang
VII. TUJUAN TERAPI
Tujuan Terapi Pilihan Terapi Jenis Obat BSO
1. Menghilangkan obstruksi dengan segera (sesak)
Bronkodilator :Agonis Beta 2 Adrenergik kerja singkat
Antikolinergik
Methylxantin
Kortikosteroid sistemik
a. Salbutamolb. Terbutalinc. Fenoterol
Ipratropium bromide
a. Aminofilinb. Teofilin
a. Metilprednisolonb. Prednison
Tablet, MDI, SolutioTablet, MDI, Solutio, Inj.MDI, Solutio
MDI, Solutio
Tablet, Inj.Tablet , Retard
Tablet, Inj.Tablet
2. Mengatasi dehidrasi
Rehidrasi
a. RLb. RAc. NaCl 0,9%d. D5e. Aseringf. Koloid
InfusInfusInfusInfusInfusInfus
3. Mengatasi Oksigenasi O2 Tabung oksigen
6
hipoksia
4. Mengatasi Infeksi dan Simptom muntah-demam-batuk berdahak
1. Antibiotik
2. Antivomitus
3. Antipiretik
4. Mukolitik
5. Ekspektoran
a. Ceftriaxonb. Cefotaximc. Cefixime
a. Ondancetronb. Metclopramidc. Domperidon
a. Paracetamolb. Ibuprofen
AmbroxolBromheksin
a. GGb. OBH
Inj.Inj.Tablet
Inj. TabletInj. TabletTablet, potio (syr)
Tablet, potio (syr, susp)Tablet, potio (syr, susp)
Tablet, potio (syr)Tablet, potio (syr, susp)
Tablet, potioPotio (syr)
5. Mencegah serangan berikutnya
Antiinflamasi :
1. Agonis Beta 2 Adrenergik kerja lama
2. Kortikosteroid sistemik
3. Steroid Inhaler
4. Sodium kromoglikat
FormoterolBambuterol
Prednison
BudesonideFlutikason propionate
Kromolin
MDITablet
Tablet
MDIMDI
MDI
VIII. TERAPI MEDIKAMENTOSA
Terapi IGD
1. O2 5 lpm monitoring SiO2
2. Nebulisasi Berotec : Atrovent = 0,8 mg : 0,2 mg bisa di ulang 3 x selang
20 menit
3. Inf RL grojog sesuai dengan FD (rehidrasi) lanjut inf. RL 1 fl
maintenance 20 tpm + Aminofilin 224 mg (9,33 cc) drips
4. Inj. Metilprednisolon 125 mg/24 jam i.v.
Terapi Bangsal
1. O2 2 lpm monitoring SiO2
2. Nebulisasi Berotec : Atrovent = 0,8 mg : 0,2 mg /8 jam
3. Inf RL 20 tpm
4. Inj Ceftriaxon 1 g/12 jam i.v. skin test dulu
7
5. Inj Ondancetron 4 mg/12 jam i.v.
6. Metilprednisolon 3 x 4 mg p.o
7. Paracetamol 3 x 500 mg p.o.
8. Ambroxol 3 x 30 mg p.o
9. Aminofilin 100 mg, GG 75 mg, Salbutamol 1 mg da in cap 3 x cap I p.o.
Penulisan Resep untuk Hari Pertama:
Resep IGD :
CITO
R/ Nasal canul No. IS u.c.
R/ Berotec solutio lag No. IAtrovent solutio lag No. INaCl 0,9 % inf. cc 100 fl No. Icum simple masker O2 nebu No. I kassa steril box No. I alcohol 70% fl No. IS i.m.m
R/ Inf. RL fl No. Vcum infuse set No. II abbocath no 18 No. IIS i.m.m
R/ Inf RL fl No. IAminofilin mg 240 amp No. ICum Disposable syringe cc 10 No. IS 3 dd tab I p.c.
R/ Inj Metilprednisolon mg 125 amp No. ICum Disposable syringe cc 5 No. IS i.m.m
Pro : Tn. B. (50 tahun, 56 kg)
8
Resep Bangsal:
R/ Inj Ceftriaxon g 1 vial No. IICum Disposable syringe cc 10 No. II Disposable syringe cc 5 No. II Disposable syringe cc 1 No. I Aquabidest cc 25 fl No. IIS i.m.m
R/ Inj Ondancetron mg 4 amp No. IICum Disposable syringe cc 3 No. IIS i.m.m
R/ Metilprednisolon tab mg 4 No. IIIS 3 dd tab I p.c.
R/ Paracetamol tab mg 500 No. IIIS 3 dd tab I p.c.
R/ Ambroxol tab mg 30 No. IIIS 3 dd tab I p.c.
R/ Aminofilin mg 100GG mg 75Salbutamol mg 1Mfla pulv da in cap dtd No XXXS 3 dd cap I p.c. Pro : Tn. B. (50 tahun, 56 kg)
IX. PROGNOSIS
Status Asmatikus dengan dehidrasi ringan-sedang, akan memberikan prognosis
baik jika segera mendapatkan pertolongan medis.
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
9
X. PEMBAHASAN
A. Dasar pemilihan terapi di IGD:
1. Karena pasien datang dengan keluhan sesak maka pasang oksigen dimulai
canul nasal (1 – 5 lpm) dipilih volume terbesar 5 lpm sambil memonitoring
SiO2 Jika SiO2 tidak ada perubahan atau < 90% melakukan analisis gas
darah (AGD) membaca hasil laboratorium AGD untuk menilai seberapa
besar lpm O2 yang dibutuhkan pasien beserta mengoreksi penyebabnya
apakah itu asidosis atau alkalosis jika kebutuhan O2 > 4 lpm pasang
masker O2.
Rumus yang digunakan:
PAO2 = (713 x O2 ambil) – (1,25 x PCO2)
= a – b
c =
FiO2 koreksi = dikonversi ke lpm
Udara kamar 0,21 ∞ 1 lpmCanul nasal 0,21 ∞ 1 lpm
0,24 ∞ 2 lpm0,28 ∞ 3 lpm0,32 ∞ 4 lpm0,36 ∞ 5 lpm
MNR 0,40 ∞ 4 lpm0,50 ∞ 5 lpm0,60 ∞ 6 lpm dst.
2. Sesak karena asma dengan pemasangan oksigen saja belum menyelesaikan
masalah, maka perlu dilakukan nebulisasi dengan berotec : atrovent (dosis
0,2 – 1 mg/x pemberian setara 4 – 20 tetes : 0,1 – 0,5 mg/x pemberian setara 8
– 40 tetes) untuk memudahkan ingatan digunakan dosis tetesan yang sama
yaitu dosis 0,8 mg : 0,2 mg ∞ 16 tts : 16 tts.
10
Saat menebulisasi oksigen yang sudah terpasang tidak boleh dilepas.
Nebulisasi bisa diulang 3 kali selang 20 menit jika tidak ada perbaikan. Ketika
menggunakan nebuliser encerkan dengan NaCl 0,9% sampai konsentrasi 2
atau 3 cc.
Isi Berotec Fenoterol
Isi Atrovent Ipratropium bromide
Kombinasi agonis beta 2 adrenergik dengan antikolinergik
memberikan efek bronkodilator yang lebih baik daripada diberikan sendiri-
sendiri. Obat ini diberikan sebelum mempertimbangkan pemberian
aminofilin.
3. Infus 2 jalur iv line, grojog secepatnya dengan cairan infuse RL sebanyak FD
(Fluid Deficit)
FD bisa di hitung dengan Rumus:
= ……. Liter
4. Jika perbaikan belum signifikan (pasien masih sesak) bisa direncanakan
pemberian Aminofilin iv drips (dosis maintenance 0,5 mg/kgBB/jam asma
tanpa kelainan jantung dan 0,3 mg/kgBB/jam asma dengan kelainan jantung)
1 ampul = 240 mg = 10 cc supaya recovery berlangsung cepat
Berat Badan Tn B.= 56 kg memilik asma tanpa kelainan jantung.
Dosis aminofilin iv = 0,5 mg/jam x 56 = 28 mg/jam
Setingan infuse 20 tpm artinya dalam 1 flabot infuse akan habis dalam waktu
± 8 jam Jadi dalam 1 flabot infuse RL akan dicampurkan aminofilin sejumlah
28 mg x 8 = 224 mg setara dengan
11
Pemberian aminofilin haruslah hati-hati dan konsentrasi dalam plasma
harus dipertahankan pada 10 sampai 20 ug/ml, toksikasi akan muncul bila
konsentrasi dalam plasma melebihi 20 ug/ml. Tanda toksikasi meliputi CNS
dan GI termasuk gelisah, nyeri kepala, mual dan muntah, diare. Pada
konsentrasi aminofilin yang sangat tinggi pada plasma dapat menyebabkan
aritmia, gangguan kesadaran dan akhirnya meninggal.
5. Ditambah injeksi metilprednisolon 2 mg/kgBB (1 ampul = 125 mg) karena
kortikosteroid sistemik dapat mempercepat penyembuhan
serangan/eksaserbasi yang refrakter terhadap obat bronkodilator.
Kortikosteroid saat ini digunakan secara luas pada asma bila beta agonis dan
methyl xanthin telah tak mampu. Mekanisme aksi melibatkan efek anti
inflamasi, inhibisi asam arakhidonat meningkatkan efek beta agonis dan
menurunkan permeabilitas endotel vaskular sehingga mencegah terjadinya
edema.
Dosis metilprednisolon inj. 2 mg x 56 kg = 112 ∞ 1 ampul
B. Dasar pemilihan terapi di Bangsal:
Setelah kegawatan penyakit pasien teratasi maka pasien siap diplanningkan
terapi di bangsal/ICU.
1. Oksigen masih diperlukan, dengan volume diturnkan menjadi O2 2 lpm
monitoring SiO2 masih dilakukan Aff O2 jika bebas sesak.
2. Nebulisasi berotec : atrovent = 0,8 mg : 0,2 mg menjadi program per 8 jam.
Nebulisasi akan dihentikan jika kondisi umum pasien sudah baik, sesak (-),
wheezing (-).
3. Infus RL dengan kecepatan maintenance yaitu 20 tpm, selain untuk
mencukupi kebutuhan cairan sehari-hari, pemasangan infuse juga bertujuan
untuk fasilitas memasukkan obat sediaan injeksi intra vena. Pemberian cairan
infus bisa diselang seling dengan infuse yang mengandung kalori seperti
D5%.
4. Karena pasien demam tinggi 38,70 C dan batuk berdahak warna kuning kental
artinya ada suatu proses infeksi, maka ada tempat untuk antibiotic. Dipilihkan
12
sediaan injeksi karena nyaman buat pasien dan lebih cepat terasa khasiatnya
bila dibandingkan per oral. Antibiotik bisa dipilihkan ceftriaxon dengan dosis
1 g/12 jam secara i.v, karena spektrumnya yang luas dan ini merupakan
antibiotic empiris sediaan injeksi. Jika kondisi/tanda-tanda infeksi sudah
mereda bisa diganti dengan antibiotic sediaan tablet. Jika tanda-tanda infeksi
tidak berkurang, perlu dilakukan kultur dahak atau darah beserta test
sensitivitas antibiotic untuk mengetahui kuman secara pasti dan antibiotik
yang tepat/sesuai kumannya.
5. Pasien merasa muntah maka diperlukan obat simptomatik yang berkhasiat
antivomitus. Bisa dipilih Inj Ondancetron dengan dosis 4 mg/12 jam i.v.
Sediaan obat lain seperti metoclopramid, domperidone, dimenhidramin dsb.
bisa digunakan namun sebagai dokter kita harus bisa menentukan lebih besar
mana manfaat ataukah resiko yang didapat. Sejauh ini ondancetron cukup
aman dan memiliki efek yang kuat untuk mengatasi vomitus.
6. Kortikosteroid seperti metilprednisolon tetap masih diberikan dengan dosis 3
x 4 mg p.o. Pemberian kortikosteroid disini yang diharapkan adalah efek
antiinflamasinya, yang mana proses inflamasi merupakan dasar patofisiologi
pencetus munculnya asma.
7. Paracetamol dosis 3 x 500 mg p.o. diharapkan efek antipiretiknya bisa
menurunkan suhu tubuh pasien. Suhu tubuh yang tinggi, bisa memicu
timbulnya dehidrasi dan hal terburuk adalah menyebabkan kerusakan sel-sel
terutama yang dikhawatirkan sel-sel otak.
8. Ambroxol 3 x 30 mg p.o sebagai mukolitik. Ambroxol dipilih karena kerjanya
yang lebih cepat bila dibandingkan mukolitik lain seperti bromheksin HCl.
9. Aminofilin 100 mg, GG 75 mg, Salbutamol 1 mg akan diracik sedemikian
rupa menjadi sediaan kapsul. Ketiga komponen obat ini dapat sebagai terapi
kuratif sekaligus preventif terhadap serangan asma berikutnya.
13
TINJAUAN PUSTAKA
STATUS ASMASTATIKUS
A. PENDAHULUAN
Status asmatikus adalah kegawatan medis dimana gejala asma tidak membaik
pada pemberian bronkodilator inisial di unit gawat darurat. Biasanya, gejala muncul
beberapa hari setelah infeksi virus di saluran napas, diikuti pajanan terhadap alergen
atau iritan, atau setelah beraktivitas saat udara dingin. Seringnya, pasien telah
menggunakan obat-obat antiinflamasi. Pasien biasanya mengeluh rasa berat di dada,
sesak napas yang semakin bertambah, batuk kering dan mengi dan penggunaan beta-
agonis yang meningkat (baik inhalasi maupun nebulisasi) sampai hitungan menit.
Prevalensi dan severity kasus asma semakin meningkat, sejalan dengan
peningkatan kasus asma yang membutuhkan perawatan rumah sakit dan kematian
akibat status asmatikus. Status asmatikus biasanya lebih sering terjadi pada kelompok
dengan sosial ekonomi yang rendah, karena mereka jarang kontrol ke dokter sehingga
meningkatkan resiko status asmatikus.
Pasien yang terlambat mendapatkan perawatan medis, khususnya perawatan
dengan steroid sistemik, memiliki resiko kematian yang besar. Pasien dengan kondisi
penyerta (misal: penyakit paru restriksi, CHF, deformitas dinding dada) memiliki
resiko kematian yang lebih besar karena status asmatikus, demikian juga perokok
yang biasanya terkena PPOK.
B. EPIDEMIOLOGI
Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan
penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di Asia
seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma
meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di
negara berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini semakin
14
meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas
yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko
perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia,
hal ini tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986
menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas)
bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma,
bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau
sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000,
dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak
usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of
Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala
asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya mempunyai
gejala klasik.
C. PATOFISIOLOGI
Terpaparnya seseorang yang beresiko terhadap alergen atau rangsangan
menyebabkan suatu reaksi inflamasi dari salur pernafasan,yaitu terjadinya degranulasi
sel mast, pelepasan mediator inflamasi, infiltrasi dari eosinofil dan limfosit T yang
teraktivasi. Berbagai mediator inflamasi bisa terlibat termasuklah interleukin (IL)-3,
IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-10, dan IL-13; leukotriene; dan granulocyte-macrofage
colony-stimulating factors (GM-CSFs). Ini semua akhirnya akan merangsang lagi sel
mast, netrofil dan eosinofil.
15
Gambar 1: Presentasi antigen oleh sel dendritik, dengan respons limfosit dan sitokin
yang akhirnya menyebabkan inflamasi salur pernafasan dan simptoms
asma.
Secara fisiologis, asma akut terdiri dari 2 komponen, yaitu respons
bronkospastik awal (early bronchospastic response) dan respons inflamasi akhir
(later inflammatory response).
1. Early bronchospastic response
Dalam beberapa menit setelah terpapar alergen, terjadi degranulasi sel
mast sambil terjadinya pelepasan mediator inflamasi, termasuk histamin,
prostaglandin D2, leukotriene C4. Semua bahan ini akan menyebabkan
kontraksi dari otot salur pernafasan, peningkatan permeabilitas kapiler,
sekresi mukus, dan aktivasi refleks neuronal. Fase ini ditandai dengan
16
terjadinya bronkokonstriksi yang biasanya bisa diobati dengan bronkodilator,
seperti agen beta-2-agonis.
2. Later inflammatory response
Terjadinya pelepasan mediator inflamasi akibat menempelnya
adhesion molecules di epitelium salur pernafasan dan endotel kapiler. Sel-sel
inflamasi seperti eosinofil, netrofil, dan basofil akan berhubungan dengan
epitelium dan endothelium dan akhirnya akan bermigrasi ke jaringan salur
pernafasan. Eosinofil akan melepaskan eosinophilic cationic protein (ECP)
dan major basic protein (MBP). Kedua ECP dan MBP akan menginduksi
deskuamasi dari epitelium saluran pernafasan dan akan menyebabkan
terpaparnya ujung-ujung saraf. Proses ini akan menginduksi lebih banyak
terjadinya hiperrespons pada asma.
Bronkospasme, sumbatan mukus, dan edema pada salur pernafasan
perifer menyebabkan peningkatan resistensi salur pernafasan dan obstruksi.
Udara yang terperangkap akan mengakibatkan hiperinflasi paru,
ventilation/perfusion mismatch (V/Q mismatch), dan meningkatnya dead
space ventilation. Paru akan mengembang pada saat hampir akhir inspirasi
pada akhir kurva compliance pulmonal, dengan compliance yang menurun
dan kerja untuk bernafas yang meningkat. Meningkatnya tekanan pleural dan
intra-alveolar akibat dari obstruksi dan hiperinflasi, bersama dengan tekanan
mekanis dari alveolus yang terdistensi, akan mengakibatkan penurunan
perfusi alveolus. Kombinasi dari atelektasis dan penurunan perfusi alveolus
menyebabkan V/Q mismatch dalam unit paru. V/Q mismatch dan hipoksemia
yang terjadi mengakibatkan peningkatan dalam minute ventilation.
Dalam fase awal asma akut, hiperventilasi bisa mengakibatkan
alkalosis repiratorik. Ini karena unit paru yang terobstruksi secara relative
jumlahnya lebih sedikit berbanding unit paru yang tidak terobstruksi.
Hiperventilasi mengakibatkan terjadinya pembuangan karbon dioksida
melalui unit paru tidak terobstruksi. Tapi, semakin lama jumlah unit paru
yang terobstruksi menjadi lebih banyak, dan ini akan mengakibatkan
17
penurunan kemampuan pembuangan karbon dioksida di paru, yang akhirnya
akan menyebabkan terjadinya hiperkarbia.
D. PENYEBAB
Asma terjadi akibat sejumlah faktor, termasuklah faktor predisposisi genetik, dan
faktor lingkungan.
1. Alergen inhalasi (biasanya pada pasien dengan riwayat atopi)
2. Infeksi virus
3. Polusi udara (debu, asap rokok, sisa industry)
4. Medikasi (beta-blocker, aspirin, NSAID)
5. Gastroesophageal reflux disease (dari suatu penelitian refluks dari isi lambung,
teraspirasi atau tidak, bisa menginduksi asma pada anak-anak dan dewasa yang
beresiko)
6. Suhu dingin
7. Latihan atau olahraga
E. DIAGNOSIS
1. Manifestasi Klinis
Riwayat penyakit
Untuk menentukan riwayat penyakit dari pasien terutama anak dengan tanda dan
gejala dari eksaserbasi akut asma, yang harus dipertanyakan atau diperhatikan
adalah seperti berikut:
a. Adakah terdapat penyakit yang diderita sekarang, seperti infeksi salur
penafasan atas atau pneumonia:
1) Riwayat penyakit respiratori kronis (contoh: dysplasia bronkopulmonal)
2) Riwayat penyakit akibat respiratory syncytial virus (RSV)
3) Riwayat atopi
4) Riwayat alergi
5) Riwayat asma dalam keluarga
6) Apakah ada hewan peliharaan atau perokok di rumah
7) Faktor pencetus yang diketahui
18
8) Obat-obat yang dikonsumsi
b. Faktor resiko untuk terjadinya asma berat atau status asmatikus persisten:
1) Riwayat peningkatan kekerapan penggunaan obat bronkodilator tanpa
perbaikan klinis
2) Riwayat dirawat di ICU, dengan atau tanpa intubasi
3) Eksaserbasi asma tetap terjadi walaupun menggunakan kortikosteroid
4) Riwayat sering mengunjungi IGD atau dirawat inap
5) Perbaikan kurang dari 10% dalam peak expiratory flow rate (PEFR) dari
baseline, walaupun dengan pengobatan
6) Riwayat pingsan atau kejang dalam eksaserbasi akut
7) Saturasi oksigen kurang dari 92% walaupun dengan bantuan oksigen
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan awal dilakukan untuk menentukan kondisi pasien dan
mencari resiko untuk terjadinya gagal nafas. Episode akut asma bisa bermula
dengan simptom yang ringan seperti dyspnea. Dengan obstruksi salur pernafasan
yang semakin memburuk, respiratory distress, termasuk retraksi, penggunaan
otot abdomen sewaktu ekspirasi, dan tidak bisa berbicara satu atau dua kata bisa
ditemukan. V/Q mismatch mengakibatkan penurunan saturasi oksigen dan
hipoksia. Tanda vital bisa menunjukkan takikardia dan hipertensi. Peak flow rate
haruslah diperiksa sebagai tanda vital pada pasien yang kooperatif. Jika tidak
diberi pengobatan, obstruksi salur nafas yang lama dan usaha untuk bernafas
yang meningkat bisa menyebabkan bradikardia, hipoventilasi, dan
cardiorespiratory arrest.
Dari pemeriksaan umum didapatkan:
a. Takikardia dan takipnea, tekanan darah mungkin meningkat. Pasien dengan
eksaserbasi ringan terjadi hipoksia dan penurunan saturasi oksigen. Fase
ekspirasi memanjang dengan wheezing bisa ditemukan.
19
b. Pasien dengan status asmatikus bisa dehidrasi karena asupan makanan atau
minuman buruk, muntah, dan usaha untuk bernafas yang meningkat.
c. Retraksi interkostal, subkostal, penggunaan otot abdomen bisa dilihat
d. Pasien dengan asma sedang sampai berat biasanya tidak bisa berbicara dengan
kalimat penuh.
e. Tingkat kesadaran bervariasi dari sadar penuh sampai koma. Jika hipoksemia
memburuk, pasien yang letargi menjadi agitasi. Dengan meningkatnya
obstruksi pada unit paru, hipoksemia memburuk lalu hiperkarbia terjadi.
Kedua hipoksemia dan hiperkarbia bisa mengakibatkan kejang dan koma, dan
merupakan tanda akhir dari respiratory compromise.
Dari pemeriksaan sistem respiratorik didapatkan:
a. Wheezing, terjadi akibat udara melalui salur pernafasan yang menyempit
akibat obstruksi. Terjadi sewaktu ekspirasi, karena turbulensi udara.
b. Pada auskultasi selalu ditemukan wheezing bilateral pada ekspirasi. Suara
nafas inspirasi bisa normal, berkurang atau tidak ada tergantung keparahan
penyakit. Silent chest bisa ditemukan pada pasien yang sudah terjadi
impending respiratory failure, di mana sudah terjadi obstruksi yang berat atau
terlalu lelah untuk menghasilkan wheezing.
c. Jika tension pneumothorax terjadi, tanda deviasi trakea ke arah berlawanan,
menghilang atau menurunnya suara nafas pada bagian yang abnormal,
pergeseran lokasi bunyi jantung dan hipotensi bisa ditemukan.
d. Pada pasien status asmatikus sedang sampai berat, penggunaan otot abdomen
bisa mengakibatkan sakit abdomen.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemilihan jenis pemeriksaan tergantung dari data riwayat penyakit dan
kondisi pasien.
Pulse oximetry memberikan evaluasi saturasi oksigen, yang sangat penting
karena penyebab kematian utama pada status asmatikus adalah hipoksia.
Keuntungan penggunaan pulse oximetry adalah ia mudah didapatkan, tidak
20
invasive, menunjukkan monitoring yang berterusan, dan merupakan indikator
yang baik untuk hipoksemia akibat V/Q mismatch.
Pengukuran elektrolit serum adalah sangat penting, terutama untuk
memonitor kadar kalium serum. Obatan yang digunakan untuk mengobati status
asmatikus bisa menyebabkan hipokalemia. Nilai pH yang rendah bisa
menyebabkan peningkatan transien dari kalium.
Kadar glukosa serum bisa meningkat akibat stress, penggunaan agen beta-
agonis, seperti epinefrin, dan penggunaan kortikosteroid. Namun, akibat
penyimpanan yang tidak baik, hipoglikemia bisa terjadi pada anak-anak yang
lebih muda.
Pemeriksaan hitung sel darah lengkap dan diferensial, bisa menunjang
kepada peningkatan jumlah sel darah putih, dengan atau tanpa pergeseran ke kiri.
Hitung sel darah lengkap juga bisa mengindikasikan ada infeksi bakteria; tapi
dengan penggunaan beta-agonis dan kortikosteroid bisa mengubah komposisi
dari sel darah putih dengan meningkatkan hitung sel darah putih perifer.
Memonitor peak flow merupakan suatu pengukuran objektif terhadap
obstruksi salur pernafasan pada anak yang cukup berusia dan kooperatif, dan bisa
mentolerir pemeriksaan ini tanpa memperparah penyakit yang dideritainya.
Pemeriksaan foto thoraks diindikasikan pada pasien dengan presentasi
yang atipikal atau yang tidak berespon terhadap terapi. Pada pasien yang sudah
diketahui menderitas asma, pemeriksaan foto thoraks dilakukan jika curiga
menderita pneumonia, pneumothoraks, pseudomediastinum atau atelektasis yang
signifikan.
4. Tindakan/Prosedur
Intubasi trakeal dan ventilasi mekanis diindikasikan pada gagal nafas.
Ventilasi non-invasif bisa dicoba terlebih dulu untuk mengurangi paksaan untuk
bernafas dan kelelahan, agar tidak dilakukan intubasi. Pemasangan chest tube
mungkin perlu untuk penanganan pneumothorax, jika terjadi.
5. Diagnosis Banding
21
a. Benda asing di salur
pernafasan
b. Sindrom aspiraasi
c. Bronkiektasis
d. Cystic fibrosis
e. Congestive Heart Failure
f. Cedera inhalasi
g. Limfadenopati
h. Infeksi RSV
i. Trakeomalasia
F. KLASIFIKASI DERAJAT BERATNYA ASMA
Tabel 1 : Klasifikasi Derajat Beratnya Asma
G. MERENCANAKAN PENGOBATAN ASMA EKSASERBASI AKUT
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak nafas, batuk, mengi, ataupun
kombinasi dari gejala diatas. Derajat serangan dapat ringan sampai dengan berat yang
mengancam nyawa. Serangan bersifat akut.
Tujuan pengobatan asma untuk :
1. Menghilangkan obstruksi dengan segera.
2. Mengatasi hipoksia
22
3. Mengembalikan fungsi paru ke normal secepat mungkin
4. Mencegah serangan berikutnya
5. Memberikan edukasi agar penderita dan keluarga dapat mengatasi pada awal
sebelum dibawa ke dokter.
Pasien asma harus dirujuk apabila didapatkan salah satu atau lebih criteria di bawah
ini:
1. Pasien dengan resiko tinggi untuk kematian karena asma
2. Serangan asma beratAPE <60% nilai prediksi
3. Respon bronkodilator tidak segera
4. Tidak ada perubahan dalam 2-6 jam penggunaan kortikodteroid
5. Gejala asma semakin memburuk
H. PENATALAKSANAAN STATUS ASMATIKUS
Penatalaksanaan status asmatikus setelah diagnosis ditegakkan segera diikuti
dengan langkah-langkah sebagai berikut
1. Menetapkan beratnya penyakit dan beratnya terapi dengan menggunakan
predictor index scoring system
Tabel 2 : Predictor Index Scoring System
Tanda-tanda fisik Score 0 Score 1
Nadi < 120 mmHg >120 mmHg
Pernapasan <30x/menit >30x/menit
Pulsus paradoxus <18 mmHg >18 mmHg
PEFR >120l/mnt <120l/mnt
Sesak napas Ringan Berat
Retraksi Tidak ada Ada
Wheezing Ringan berat
Catatan: bila score lebih dari 4 harus masuk rumah sakit
Bila ada silent chest merupakan tanda bahaya
2. Mengatasi Keadaan Gawat
a. Infus RL : D5 = 3: 1 dengan tetesan sesuai kebutuhan rehidrasi.
23
b. Oksigen 2 – 4 lpm melalui canul nasal.
c. Aminofilin bolus 5-6 mg/kgBB i.v pelan selama 20-30 menit dilanjutkan
maintenance 20 mg/kgBB/hari diberikan secara drip.
d. Terbutalin 0,25 mg/6 jam subcutan atau I.V. atau orciprenalin 0,25 mg/6 jam
subcutan atau I.V. pelan (penelitian terakhir tidak berbeda bermakna)
e. Hidrocortison sodium suksinat 4 mg/kgBB/4 jam I.V ( 200 mg/4 jam I.V. )
bisa juga memakai dexamethason 20 mg/6 jam I.V. selain itu dapat
digunakan 160 mg methilprednisolon dalam dosis terbagi 4 kali per hari,
kortikosteroid diberikan sampai membaik secara klinis dan laboratoris.
Disamping parenteral diberikan juga Prednison peroral 3 x 10 mg per hari
sampai keadaan membaik diberhentikan secara tappering off.
f. Antibiotik bila jelas ada infeksi
Oksitetrasiklin 2 x 100 mg I. M. atau Amoxillin/Ampicillin 2 x 1 g I.V. atau
golongan antibiotik yang sesuai dengan sumber infeksinya.
g. Menilai hasil tindakan dan terapi
h. Dengan keadaan klinis (scoring) dan secara laboratoris yaitu pemeriksaan
faal paru, analisa gas darah, elektrolit, leukosit dan eosinofil serta
monitoring EKG.
3. Pemeriksaan selama terapi
a. Pemeriksaan fisik lengkap
b. Pemeriksaan radiologi yaitu thoraks foto PA dan lateral
c. Pemeriksaan EKG
d. Pemeriksaan faal paru yaitu PEFR, FEV1, FVC jika kondisi stabil
e. Analisa gas darah
Pada keadaan dibawah ini analisis gas darah mutlak dilakukan:
1) Mengancam jiwa
2) Tidak respon terhadap pengobatan/memburuk
3) Gagal napas
4) Sianosis, kesadaran menurun dan gelisah
f. Pemeriksaan laboratorium darah
24
g. Pemeriksaan sputum dan biakan darah bila perlu
h. Kadar aminofillin dalam darah (12 jam setelah terapi bolus)
4. Algoritma penatalaksanaan asma di rumah sakit
25
Penilaian awalRiwayat dan pemeriksaan fisik (auskultasi, otot bantu napas,
denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1, saturasi O2). AGD dan pemeriksaan lain atas indikasi
Pengobatan awaloksigenasi dengan kanul nasalinhalasi agonis beta 2 kerja singkat (nebulisasi setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta2 injeksi ( terbutalin 0,5 cc subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 cc subkutan)kortikosteroid sistemik :serangan asma berattidak respon segera dengan bronkodilatordalam pengobatan kortikosteroid oral
Respon baikRespon baik dan
stabil dalam 60 menit
Pemeriksaan fisik normal
APE>70% predikdi/nila terbaik
Saturasi O2 >90% (95% pada anak)
Penilaian ulang setelah 1 jamPemeriksaan fisik, saturasi O2 dan pemeriksaan lain atas indikasi
Serangan asma ringan Serangan asma sedang/ berat
Serangan asma mengancm jiwa
Respon tidak sempurna Resiko tinggi distressPemeriksaan fisik :
gejala ringan – sedang
APE> 50% tetapi <70%
Saturasi O2 tidak perbaikan
Respon buruk dalam 1 jamResiko tinggi disstresPemeriksaan fisik :
berat, gelisah dan kesadaran menurun
APE<30%PaCO2 > 45%PaO2 < 60%
5. Bedah
Status asmatikus umumnya ditangani dengan terapi medikasi, tapi jika
terjadinya pneumothoraks maka dilakukan thorakostomi atau thorakosentesis.
6. Diet
Beberapa pasien terutama anak-anak dengan asma biasanya mempunyai
beberapa episode asma akibat alergi terhadap bahan makanan tertentu.
Konsultasi dengan ahli nutrisi mungkin akan membantu dalam menentukan
penanganan pasien secara diet.
26
Dirawat di ICUInhalasi agonis beta2 ±
anti-kolinergikKortikosteroid IVPertimbangkan agonis
beta 2 injeksi SC/IM/IVTerapi oksigen
menggunakan masker venturi
Aminofilin dripMungkin perlu intubasi
dan ventilasi mekanik
Dirawat di RSInhalasi agonis beta2
± anti-kolinergikKortikosteroid
sistemikAminofilin dripTerai oksigen
pertimbangkan kanul nasal atau masker venturi
Pantau APE, sat O2, nadi, kadar teofilin
Pulang Pengobatan
dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta2
Membutuhkan kortikosteroid oral
Edukasi penderitaMemakai obat yang
benarIkuti rencana
pengonatan sekanjutnya
Tidak perbaikanperbaikan
Pulang Bila APE > 60% prediksi/terbaik. Tetap berikan pengobatan oral/ inhalasi
Dirawat di ICUBila tidak perbaikan dalam 6-12 jam
I. PENANGANAN LANJUT
Pasien yang dirawat di rumah sakit
1. Indikasi dirawat di ICU
a. Kesadaran dan sensoris terganggu
b. Penggunaan terapi beta-agonis inhalasi
c. Pasien kelelahan
d. Kemasukan udara atau inspirasi yang menurun mendadak
e. Peningkatan PCO2 walaupun dengan pengobatan
f. Adanya faktor resiko
g. Kondisi pasien tidak membaik walaupun terapi mencukupi
2. Indikasi untuk intubasi dan ventilasi mekanis
a. Apnea atau respiratory arrest
b. Kesadaran menurun
c. Impending respiratory failure, ditandai dengan peningkatan PCO2 dan
kelelahan/capek, penurunan pergerakan udara, dan penurunan kesadaran
d. Hipoksemia signifikan, yang berespon buruk atau tidak berespon kepada
terapi oksigen tambahan
3. Kateter arteri yang menetap (indwelling arterial catheters): tindakan memasang
kateter arteri bisa digunakan untuk memonitor tekanan darah yang berterusan,
dan untuk mengambil sampel untuk analisa gas darah arteri pada pasien dengan
ventilasi mekanis. Gas darah dimonitor untuk menilai respon pasien terhadap
ventilasi mekanis.
Pasien yang dirawat jalan
1. Follow-up pasien yang dirawat jalan dan perawatan yang berterusan terhadap
pasien yang pernah dirawat di ICU pediatrik karena status asmatikus yang parah
adalah sangat penting untuk mengoptimalkan hasil jangka panjang dan kualitas
hidup dan meminimalkan episode eksaserbasi asma parah.
2. Antara yang penting dan harus diperhatikan adalan obat-obatan untuk diambil di
rumah, seperti anti-inflamasi. Kortikosteroid sekarang dianggap sebagai salah
satu terapi utama untuk pengobatan maintenance terhadap asma. Ada studi
mengatakan bahwa penggunaan anti-inflamasi yang kurang berhubungan dengan
27
asma yang lebih parah. Ini karena terjadinya remodeling dari salur pernafasan,
dan perubahan dari proses inflamasi pada tubuh yang persisten.
3. Untuk eksaserbasi akut disarankan untuk menggunakan bronkodilator.
4. Perubahan atau kontrol terhadap lingkungan juga perlu pada anak dengan asma
yang berhubungan dengan alergi yang berkaitan dengan lingkungan.
Pindah ruangan
Pasien yang dirawat di ICU karena status asmatikus yang parah bisa dipindah ke
ruangan yang biasa jika pasien telah memenuhi criteria berikut:
1. Pasien telah diekstubasi.
2. Pasien telah tidak bergantung kepada terapi beta-agonis berterusan secara
intravena (seperti terbutalin, aminofilin) dan kondisinya stabil dengan
penggunaan terapi beta-agonis inhalasi/aerosol secara intermiten.
3. Pasien bisa mentoleransi pengurangan penggunaan albuterol berterusan; dengan
menggunakan nebulisasi albuterol secara intermiten pada frekuensi yang bisa
dilakukan di ruangan biasa.
4. Status hemodinamiknya telah stabil.
J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa terjadi termasuklah:
1. Cardiac arrest
2. Gagal nafas atau respiratory arrest
3. Hipoksemia dengan cedera susunan saraf pusat yang hipoksik dan iskemik
4. Pneumothoraks atau pneumomediastinum
5. Toksisitas dari obat-obatan
K. EDUKASI PASIEN
Asma merupakan suatu penyakit kronis. Pasien dan keluarganya haruslah diberi
edukasi mengenai asma yang diderita pasien dan perawatan lanjutan atau follow-up.
Informasi mengenai perawatan atau pengobatan maintenance, monitoring dan kontrol
terhadap lingkungan pasien adalah sangat penting, terutama untuk mencegah
eksaserbasi dari asma.
28
L. FARMAKOLOGI
1. AGONIS BETA ADRENERGIK
Penggunaan obat reseptor beta 2 adrenergik pada otot polos bronkus
menstimulasi enzym adenylate cyclase compleks intracelluler, menghasilkan
peningkatan produksi cyclic adenosine monophosphates (cAMP), hal ini
menyebabkan relaksasi otot polos, menghambat degranulasi sel mast, dan
stimulasi mucociliary transport. Variasi dari beta 2 adrenergik menyebabkan
perbedaan action, duration of actions, dan efek samping.
Adrenalin dapat diberikan secara inhalasi dan injeksi 0.1-0,5 ml dari
pengenceran 1:1000 subkutan, telah digunakan sejak lama sebagai terapi awal
dari asma. Adrenalin merupakan non selektif simpatomimetik yang dapat
menstimulus reseptor alfa, beta-1, beta-2. Kerugiannya adalah stimulasi sistem
kardiovaskular, durasi aksi yang singkat, dan mempercepat terjadinya
takifilaksis. Adrenalin harus diberikan secara hati-hati pada pasien tua, pada
pasien tua, takikardia sebelum perawatan.
Isoproterenol menstimulasi baik beta-1 dan beta-2 reseptor. Menyebabkan
takikardi dan hipotensi dalam rangka bronkodilator. Isoproterenol biasanya
diberikan aerosol (3 s/d 7 kali inspirasi dalam, dalam bentuk solusio 1:1000 atau
1:200) bisa juga diberikan intravena pada pasien anak dan dewasa.
Pada pasien asma muda tanpa ada kelainan kardiovaskular terapi awal
adalah adrenalin 0,2 sampai 0,5 ml dari pengenceran 1:1000 sub kutan setiap 20
menit selama 3 kali pemberian, lanjutkan dengan 0,5 ml isoproterenol dari
pengenceran 1:200 nebuliser setiap 20 menit selama 3 kali pemberian. Ataupun
biasa menggunakan aerosol beta2 agonis (albuterol 2,5 mg, metaproterenol 15
mg, terbutalin 1,5-2,5 mg, isoetharine 2-5 mg) diberikan secara nebuliser setiap
15 sampai 30 menit. Ketika menggunakan nebuliser encerkan dengan normal
saline sampai konsentrasi 2 atau 3 cc.
29
Semua beta adrenergik mempunyai efek pada kardiovaskular (berupa
takikardi, palpitasi, aritmia dan hipertensi) dan cerebral (berupa gelisah, tremor,
nausea, dizziness, dan nervous).
2. METHYL XANTHIN
Theofilin dan ethylenediamine salt aminnophyline sangat berguna dalam
terapi asma akut. Mekanisme aksi dijelaskan dengan inhibitor cytoplasmic
enzyme phosphodiesterase yang mengkatalisis metabolisme cAMP. Efek utama
theofilin adalah relaksasi otot polos bronkhial. Efek lain memperbaiki kontraksi
diafragma, meningkatkan transport mucociliar, menghambat pelepasan mediator
hipersensitivitas dan menurunkan tekanan arteri pulmonal.
Theofilin ataupun aminofilin pada akut asma dapat diberikan bolus
intravena kemudian dilanjutkan dalam drip. Konsentrasi dalam plasma harus
dipertahankan pada 10 sampai 20 ug/ml, toksikasi akan muncul bila konsentrasi
dalam plasma melebihi 20 ug/ml. Tanda toksikasi meliputi CNS dan GI termasuk
gelisah, nyeri kepala, mual dan muntah, diare. Pada konsentrasi aminofilin yang
sangat tinggi pada plasma dapat menyebabkan aritmia, gangguan kesadaran dan
akhirnya meninggal.
Distribusi aminofilin sangat cepat melalui kompartemen extraceluler.
Dosis aminofilin 1 mg/kgBB menaikan konsentrasi dalam serum plasma sebesar
2 ug/ml. Sekitar 85% dari dosis theofilin di degradasi di hepar oleh Cytokrom
P450 dan selebihnya diekresikan melalui urine. Hal yang dapat menurunkan
metabolisme adalah usia tua, congestive heart failure, dan gangguan fungsi hepar
sedangkan obat-obatan yang dapat menurunkan metabolisme aminofilin adalah
propranolol, erytromisin dan cimetidin. Yang meningkatkan metabolisme adalah
kebiasaan merokok, dan barbiturat.
3. KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid saat ini digunakan secara luas pada asma bila beta agonis
dan methyl xanthin telah tak mampu. Mekanisme aksi melibatkan efek anti
inflamasi, inhibisi asam arakhidonat meningkatkan efek beta agonis dan
30
menurunkan permeabilitas endotel vaskular sehingga mencegah terjadinya
edema.
Dosis terapi kortikosteroid pada asma kontroversial dan sampai saat ini
belum ada kesepakatan. Fanta dkk. mendemonstrasikan bahwa kortikosteroid
infus (hydrocortison, bolus 2 mg/kg bb dilanjutkan drip 0,5 mg/kg jam infus)
bersama dengan penggunaan bolus aminofilin dan beta 2 agonis menghasilkan
perbaikan yang bermakna dengan pengukuran FEV1 dalam 12 jam perawatan.
Haskell dkk. melakukan penelitian bahwa penggunaan Methylprednisolone
15 mg setiap 6 jam tidak menunjukkan keefektifan tetapi pasien yang mendapat
40 mg menunjukkan perbaikan yang bermakna pada perawatan hari kedua dan
pada pasien yang mendapat 125 mg mendapat perbaikan sejak hari pertama.
Efek samping dari penggunaan kortikosteroid intravena dosis tinggi adalah
hiperglikemia dan akut psikosis sehingga dihindarkan penggunaan pada
penderita diabetes mellitus, perdarahan GI tract., presdisposisi untuk terjadinya
infeksi. Pada terapi jangka lama penggunaan kortikosteroid adalah meningkatkan
katabolisme, retensi garam dan air, cushing sindroma, osteoporosis dan pernah
dilaporkan adanya fraktur patologis vertebra dan necrosis kaput femur. Oleh
karena komplikasi sistemik yang begitu berat maka saat ini mulai dikembangkan
preparat inhaler ataupun nebuliser untuk menggantikan preparat kortikosteroid
sistemik.
4. ANTIKHOLINERGIK
Atropin dan preparat antikolinergik lain mempunyai efek bronkodilator
yang rendah. Mekanisme yang diduga kuat adalah inhibitor vagal
bronkoconstriction. Pak dan Rekan meneliti pada penderita kronik obstruksi
bahwa 0,025-0,05 mg/kg BB atropin inhalasi via nebuliser menghasilkan
perbaikan jalan nafas tetapi efek samping yang dihasilkan sangatlah besar
berupa: pengeringan membran mukosa, dysphoria, tachycardia, nyeri kepala dan
gangguan buang air kencing. Oleh karena efek samping yang begitu besar saat
ini dikembangkan Ipatropin bromida nebuliser menggantikan atropin karena
preparat Ipatropin bromida mempunyai efek samping yang lebih kecil.
31
5. CHROMOLIN
Cromolin adalah sel mast stabiliser yang berguna untuk profilaksis asma.
Biasanya digunakan pada asma dengan faktor pencetusnya olahraga. Cromolin
tidak efektif pada serangan asma yang bersifat akut karena pada penggunaan
inhaler pernah dilaporkan terjadi bronkhokontriksi.
6. ANTIBIOTIK
Antibiotik tidak rutin digunakan pada serangan asma akut, karena
antibiotik tidak dapat mengurangi efek bronkokonstriksi. Tetapi setelah serangan
asma apabila dijumpai sputum yang purulen haruslah diperiksa secara teliti
karena bisa jadi inducer dari serangan asma adalah adanya fokus infeksi saluran
nafas.
7. ALFA-ADRENERGIK ANTAGONIS
Walaupun alfa-adrenergik antagonis mempunyai efek bronkodilator tetapi
efek samping adanya hipotensi sangatlah besar sehingga jarang digunakan pada
serangan akut.
8. IMUNOTERAPI
Imunoterapi sangat membantu pada asma dengan trigger jelas atau asma
dengan causa alergi, terutama pada anak meskipun pada orang dewasa penelitian
yang dilakukan tidak menujukkan hasil yang signifikan. Imunoterapi tidak
mempunyai peranan dalam manajemen asma akut tetapi berperan untuk
mencegah reaksi anfilaksis.
32
DAFTAR PUSTAKA
Boushey H.A. et al. 2000. ‘Asthma’. In: Textbook of Respiratory Disease. Philadelphia: WB Saunders comp.
Chesnutt M.S. Prendergast T.J. 2003. ‘Lung’.In: Current Medical Diagnosis and Treatment. McGraw-Hill
Mangunegoro H., Widjaja A., Kusumo D., Sutoyo, Yunus F., Pradjaparamita, Suryanto E.et al. 2006. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Maranatha D., Kabat, Amin M. 2005. ‘Asma bronchial’ Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Paru. Ed. III. Surabaya: UNAIR Press
33
34
35
Gambaran klinis Status Asmatikus :
Penderita tampak sakit berat dan sianosis.
Sesak nafas, bicara terputus-putus.
Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab
penderita sudah jatuh dalam dehidrasi berat.
Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi
lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah
kemudian jatuh ke dalam koma.
36