wrap up ipt sk1.docx

30
Sasaran Belajar L.I.1 Memahami dan Menjelaskan Salmonella Typhi L.O.1.1 Definisi L.O.1.2 Morfologi L.O.1.3 Siklus Hidup L.O.1.4 Penularan L.I.2 Memahami dan Menjelaskan Demam L.O.2.1 Definisi L.O.2.2 Klasifikasi L.O.2.3 Etiologi L.O.2.4 Manifestasi L.O.2.5 Patofisiologi L.I.3 Memahami dan Menjelaskan Demam Typhoid L.O.3.1 Definisi L.O.3.2 Etiologi L.O.3.3 Epidemiologi L.O.3.4 Patofisiologi L.O.3.5 Manifestasi L.O.3.6 Diagnosis L.O.3.7 Komplikasi L.O.3.8. Penatalaksanaan L.I.4 Memahami dan Menjelaskan Pengobatan Demam Typhoid L.O.4.1 Quinolon L.O.4.2 Kloramfenikol L.O.4.3 Kotrimoksazol

Upload: edita

Post on 16-Jan-2016

272 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

vchjk

TRANSCRIPT

Page 1: wrap up IPT sk1.docx

Sasaran Belajar

L.I.1 Memahami dan Menjelaskan Salmonella Typhi

L.O.1.1 Definisi

L.O.1.2 Morfologi

L.O.1.3 Siklus Hidup

L.O.1.4 Penularan

L.I.2 Memahami dan Menjelaskan Demam

L.O.2.1 Definisi

L.O.2.2 Klasifikasi

L.O.2.3 Etiologi

L.O.2.4 Manifestasi

L.O.2.5 Patofisiologi

L.I.3 Memahami dan Menjelaskan Demam Typhoid

L.O.3.1 Definisi

L.O.3.2 Etiologi

L.O.3.3 Epidemiologi

L.O.3.4 Patofisiologi

L.O.3.5 Manifestasi

L.O.3.6 Diagnosis

L.O.3.7 Komplikasi

L.O.3.8. Penatalaksanaan

L.I.4 Memahami dan Menjelaskan Pengobatan Demam Typhoid

L.O.4.1 Quinolon

L.O.4.2 Kloramfenikol

L.O.4.3 Kotrimoksazol

L.O.4.5 Sefalosporin

Page 2: wrap up IPT sk1.docx

Skenario I

Demam sore hari

Seorang wanita 30 tahun, mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam dirasakan lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada pemeriksaan fisik kesadaran somnolen, nadi bradikardia, suhu tubuh hiperpireksia (pengukuran jam 20:00 WIB), lidah terlihat typhoid tounge. Pada pemeriksaan widal didapatkan titer anti-salmonella typhi O meningkat. Pasien tersebut bertanya kepada dokter apa diagnosis dan cara penanganannya.

Page 3: wrap up IPT sk1.docx

L.I.1 Memahami dan Menjelaskan Salmonella Typhi

L.O.1.1 Definisi

Salmonella enteric merupakan bakteri dari family Enterobacteriaceae atau sering disebut bakteri enteric gram negatif.

Salmonella enterica diberi nama seperti ini karena menghargai penemunya yaitu Dr.Daniel Salmon dan enterica yang berkaitan dengan penyebab penyakit di usus.

L.O.1.2 Morfologi

Berbentuk batang, tidak berspora, bersifat negatif pada pewarnaan Gram. Ukuran Salmonella bervariasi 1–3,5 µm x 0,5–0,8 µm. Besar koloni rata-rata 2–4 mm. optimal 37,5oC) dan pH pertumbuhan 6–8. Mudah tumbuh pada medium sederhana, misalnya garam empedu. Tidak dapat tumbuh dalam larutan KCN. Membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa. Menghasikan H2S. Antigen O: bagian terluar dari lipopolisakarida dinding sel dan terdiri dari unit

polisakarida yang berulang. Beberapa polisakarida O-spesifik mengandung gula yang unik. Antigan O resisten terhadap panas dan alkohol dan biasanya terdeteksi oleh aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap antigen O terutama adalah IgM.

Antigen Vi atau K: terletak di luar antigen O, merupakan polisakarida dan yang lainnya merupakan protein. Antigen K dapat mengganggu aglutinasi dengan antiserum O, dan dapat berhubungan dengan virulensi. Dapat diidentifikasi dengan uji pembengkakan kapsul dengan antiserum spesifik.

Antigen H: terdapat di flagel dan didenaturasi atau dirusak oleh panas dan alkohol. Antigen dipertahankan dengan memberikan formalin pada beberapa bakteri yang motil. Antigen H beraglutinasi dengan anti-H  dan IgG. Penentu dalam antigen H adalah fungsi sekuens asam amino pada protein flagel (flagelin). Antigen H pada permukaan bakteri dapat mengganggu aglutinasi dengan antibodi antigen O.

Organisme dapat kehilangan antigen H dan menjadi tidak motil. Kehilangan antigen O dapat menimbulkan perubahan bentuk koloni yang halus

menjadi kasar. Antigen Vi atau Sebagian besar isolat motil dengan flagel peritrik. Tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15–41oC (suhu

pertumbuhan K dapat hilang sebagian atau seluruhnya dalam proses transduksi.

L.O.1.3 Siklus Hidup

• Infeksi terjadi dari memakan makanan yang tercontaminasi dengan feses yangterdapat bakteri Sal. typhimurium dari organisme pembawa (hosts).

• Setelah masuk dalam saluran pencernaan maka Sal. typhimurium menyerang dinding usus yang menyebabkan kerusakan dan peradangan.

• Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena dapat menembus dinding usus tadi ke organ-organ lain seperti hati, paru-paru, limpa, tulang-tulang

Page 4: wrap up IPT sk1.docx

sendi, plasenta dan dapat menembusnya sehingga menyerang fetus pada wanita atau hewan betina yang hamil, dan ke membran yang menyelubungi otak.

• Subtansi racun diproduksi oleh bakteri ini dan dapat dilepaskan dan mempengaruhi keseimbangan tubuh.

• Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi Sal. typhimurium, pada fesesnya terdapat kumpulan Sal. typhimurium yang bisa bertahan sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan.

• Bakteri ini tahan terhadap range yang lebar dari temperature sehingga dapat bertahan hidup berbulan-bulan dalam tanah atau air.

Makanan yang mengandung Salmonella belum tentu menyebabkan infeksi Salmonella, tergantung dari jenis bakteri, jumlah dan tingkat virulensi (sifat racun dari suatu mikroorganisma, dalah hal ini bakteri Salmonella). Misalnya saja Salmonella enteriditis baru menyebabkan gejala bila sudah berkembang biak menjadi 100 000. Dalam jumlah ini keracunan yang terjadi bisa saja menyebabkan kematian penderita. Salmonella typhimurium dengan jumlah 11.000 sudah dapat menimbulkan gejala. Jenis Salmonella lain ada yang menyebabkan gejala hanya dengan jumlah 100 sampai 1000, bahkan dengan jumlah 50 sudah dapat menyebabkan gejala.  Perkembangan Salmonella pada tubuh manusia dapat dihambat oleh asam lambung yang ada pada tubuh kita. Disamping itu dapat dihambat pula oleh bakteri lain.  Gejala dapat terjadi dengan cepat pada anak-anak, bagaimanapun pada manusia dewasa gejala datang dengan perlahan. Pada umumnya gejala tampak setelah 1-3 minggu setelah bakteri ini tertelan. Gejala terinfeksi diawali dengan sakit perut dan diare yang disertai juga dengan panas badan yang tinggi, perasaan mual, muntah, pusing-pusing dan dehidrasi. Gejala yang timbul dapat berupa: tidak menunjukkan gejala (long-term carrier), adanya perlawanan tubuh dan mudah terserang penyakit denga gejala: inkubasi (7-14 hari setelah tertelan) tidak menunjukkan gejala, lalu terjadi diare.

L.O.1.4 Penularan

Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan / kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dimakan oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.

L.I.2 Memahami dan Menjelaskan Demam

Page 5: wrap up IPT sk1.docx

L.O.2.1 Definisi

Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus (Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C

Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat

L.O.2.2 Klasifikasi

Adapun tipe-tipe demam yang sering dijumpai antara lain:

Tabel 2.1. Tipe-tipe demam

Jenis demam Penjelasan Demam septik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke

tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari.

Demam hektik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat yang normal pada pagi hari

Demam remiten Pada demam ini, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu normal

Demam intermiten Pada demam ini, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari.

Demam Kontinyu Pada demam ini, terdapat variasi suhu sepanjang hari yang tidak berbeda lebih dari satu derajat.

Demam Siklik Pada demam ini, kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.

(Sumber: Nelwan, Demam: Tipe dan Pendekatan, 2009)

L.O.2.3 Etiologi

Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain

Page 6: wrap up IPT sk1.docx

viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1. Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis.

Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama ±1-10 hari. Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya.

L.O.2.4 Manifestasi

Menjelaskan manifestasi demamTergantung dari apa yang menyebabkan demam, gejala yang sering menyertai demam antara lain:

1. Berkeringat2. Menggigil3. Sakit kepala4. Nyeri otot5. Nafsu makan menurun6. Lemas7. Dehidrasi

Demam yang sangat tinggi, lebih dari 39 derajat celcius, dapat menyebabkan:1. Halusinasi2. Kejang

L.O.2.5 Patofisiologi

Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi.

Page 7: wrap up IPT sk1.docx

Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin. Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut.

Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan.

L.I.3 Memahami dan Menjelaskan Demam Typhoid

L.O.3.1 Definisi

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran .

L.O.3.2 Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain.

Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.

Page 8: wrap up IPT sk1.docx

Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas.

L.O.3.3 Epidemiologi

1. Distribusi dan Frekuensi a) Orang

Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun 10 – 20 %, usia > 40 tahun 5 – 10 %. Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita demam tifoid pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 – 3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.

b) Tempat dan Waktu Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan )

a. Faktor HostManusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.

Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control , mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7).

b. Faktor AgentDemam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.

Page 9: wrap up IPT sk1.docx

c. Faktor Environment Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.

Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case control , mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak tercemar berat coliform (OR=6,4) .

L.O.3.4 PatofisiologiSalmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia

melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.

Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.

L.O.3.5 Manifestasi

Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan tidak memerlukan perawatan khusus sampai gejala klinis berat dan memerlukan perawatan khusus.Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya.

Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39º C hingga 40º C, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi.Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor.Epistaksis dapat

Page 10: wrap up IPT sk1.docx

dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan meradang.Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna.Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam.

Pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam).Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung.Terjadi perlambatan relatif nadi penderita.Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak kering, nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi.

Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal kembali di akhir minggu.Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin.Tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut.Penderita kemudian mengalami kolaps.Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan.Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.

Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek.Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.

Manifestasi klinis demam tifoid tergantung dari virulensi dan daya tahan tubuh. Suatu percobaan pada manusia dewasa menunjukkan bahwa 107 mikroba dapat menyebabkan 50% sukarelawan menderita sakit, meskipun 1000 mikroba juga dapat menyebabkan penyakit. Masa inkubasinya adalah 10-20 hari , meskipun ada yang menyebut angka 8-14 hari. Adapun pada gejala gastroenteriti yang diakibatkan oleh pratifoid, masa inkubasinya berlangsungnya lebih cepat, yaitu 1-10hari

Page 11: wrap up IPT sk1.docx

L.O.3.6 Diagnosis

Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.

Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :

Diagnosis klinik Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.

Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kumanMetode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.

Diagnosis serologik 1. Uji Widal

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.

Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.

Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :

a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut

Page 12: wrap up IPT sk1.docx

b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi

c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita

a. Keadaan umum gizi penderita Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.

b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakitAglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.

c. Pengobatan dini dengan antibiotik pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi

d. Penyakit-penyakit tertentuPada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.

e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan antibodi.

f. VaksinasiPada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.

2. Faktor-faktor teknis

a. Aglutinasi silangKarena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.

Page 13: wrap up IPT sk1.docx

b. Konsentrasi suspensi antigen

Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya.

c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigenDaya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.

2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.

b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi

Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA.

Pencegahan sekunder dapat berupa :

a.Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans demam tifoid.

b. Perawatan umum dan nutrisiPenderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita.

Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.

Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi.

Page 14: wrap up IPT sk1.docx

Diet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.

c.Pemberian anti mikroba (antibiotik)

Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.

Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.

L.O.3.7 Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :

Komplikasi Intestinala. Perdarahan UsusSekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam. b. Perforasi UsusTerjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.

Komplikasi Ekstraintestinal

a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.

c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis

d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis

e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis

Page 15: wrap up IPT sk1.docx

f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis

g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

L.O.3.8. Penatalaksanaan

Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif melipu+ti istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien.

Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid perlu diberikan pada renjatan septik.

L.I.4 Memahami dan Menjelaskan Pengobatan Demam Typhoid

L.O.4.1 Quinolon

Golongan quinolon merupakan antimikrobial oral memberikan pengaruh yang dramatis dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu asam nalidiksat berkembang menjadi asam pipemidat, asam oksolinat, cinoksacin, norfloksacin. Generasi awal mempunyai peran dalam terapi gram-negatif infeksi saluran kencing. Generasi berikutnya yaitu generasi kedua terdiri dari pefloksasin, enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin, lomefloksasin, fleroksasin dengan spektrum aktivitas yang lebih luas untuk terapi infeksi community-acquired maupun infeksi nosokomial. Lebih jauh lagi ciprofloksasin, ofloksasin, peflokasin tersedia sebagai preparat parenteral yang memungkinkan penggunaannya secara luas baik tunggal maupun kombinasi dengan agen lain.

FarmakodinamikMekanisme kerja golongan quinolon secara umum adalah dengan menghambat

DNA-gyrase. Aktivitas antimikroba secara umum meliputi, Enterobacteriaceae, P. aeruginosa, srtaphylococci, enterococci, streptococci. Aktivitas terhadap bakteri anaerob pada generasi kedua tidak dimiliki. Demikian pula dengan generasi ketiga quinolon

Page 16: wrap up IPT sk1.docx

seperti evofloksasin,gatifloksasin, moksifloksasin. Aktivitas terhadap anaerob seperti B. fragilis, anaerob lain dan Gram-positif baru muncul pada generasi keempat yaitu trovafloksacin. Modifikasi struktur quinolon menghasilkan aktivitas terhadap mycobacteria sehingga digunakan untuk terapi TB yang resisten, lepra, prostatitis kronik, infeksi kutaneus kronik pada pasien diabetes.

Farmakokinetik

Quinolon sangat mengesankan terutama bioavailabilitas yang tinggi, waktu paruh eliminasi yang panjang. Sebagai contoh ciprofloksasin memiliki bioavailabilitas berkisar 50-70%, waktu paruh 3-4 jam, serta konsentrasi puncak sebesar 1,51-2,91 mg/L setelah pemberian dosis 500mg. Sedangkan Ofloksasin memiliki bioavailabilitas 95-100%, dengan waktu paruh 5-8 jam, serta konsentrasi puncak 2-3mg/L paska pemberian dosis 400mg. Perbedaan di antara quinolon di samping pada spektrum aktivitasnya, juga pada profil tolerabilitas, interaksinya dengan teofilin, antasida, H2-Bloker, antikolinergik, serta profil keamanan secara umum. Resistensi merupakan masalah yang menghadang golongan quinolon di seluruh dunia karena penggunaan yang luas. Spesies yang dilaporkan banyak yang resisten adalah P. aeruginosa, beberapa streptococci, Acinetobacter spp, Proteus vulgaris, Serratia spp.

L.O.4.2 Kloramfenikol

Di Indonesia merupakan obat pilihan utama. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg perhari dapat diberikan secara per oral atau intravena hingga 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan temapt tusukan terasa nyeri. Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari atau setelah 5 hari.

Farmakodinamik

Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom sub unit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.

Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu. Spektrum anti bakteri meliputi D.pneumoniae, S. Pyogenes, S.viridans, Neisseria, Haemophillus, Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella, P. Multocida, C.diphteria, Chlamidya, Mycoplasma, Rickettsia, Treponema, dan kebanyakan kuman anaerob.

Farmakokinetik

Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak dalam darah tercapai dalam 2 jam. Untuk anak biasanya diberikan bentuk ester kloramfenikol palmitat atau stearat yang rasanya tidak pahit dan akan mengalami hidrolisis dalam usus untuk membebaskan kloramfenikol. Untuk pemberian secara parenteral digunakan kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis dalam jaringan. Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam, kira-kira 50% kloramfenikol terikat dengan albumin dalam darah dan

Page 17: wrap up IPT sk1.docx

didistribusikan secara baik ke seluruh jaringan termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata.

Di dalam hati kloramfenikol mengalami konjugasi dengan asam glukoronat oleh enzim glukorinil transferase, waktu paruh akan memanjang pada pasien gangguan faal hati. Sebagian akan tereduksi menjadi senyawa aril-amin yang tidak aktif. Dalam waktu 24 jam, 80-90% kloramfenikol yang diberikan per oral akan diekskresikan melalui ginjal, dari keseluruhannya hanya 5-10% yang diekskresikan melalui urin filtrate glomerulus sedangkan metabolitnya dengan sekresi tubulus. Pada gagal ginjal tidak akan mempengaruhi masa paruh kloramfenikol, dosis perlu dikurangi bila terdapat gangguan fungsi hepar.

Interaksi: dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat biotransformasi tolbutamid, fenitoin, dikumarol, dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Toksisitas obat-obat ini lebih tinggi bila diberikan bersama-sama kloramfenikol. Interaksi dengan fenobarbital dan rifampisinakan memperpendek waktu paruh kloramfenikol sehingga obat ini dalam darah menjadi subterapeutik.

Efek samping Reaksi hematologik: terdapat dalam 2 bentuk. Yang pertama ialah reaksi toksik

dengan manifestasi depresi sumsum tulang. Kelainan ini berhubungan dengan dosis, progresif dan pulih bila pengobatan dihentikan. Kelainan darah yang terlihat ialah anemia, retikulositopenia, peningkatan serum iron dan iron binding capacity serta vakuolisasi seri eritrosit bentuk muda. Bentuk yang kedua adalah anemia aplastic dengan pansitopenia yang irreversible dan memiliki prognosis sangat buruk. Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis atau lamanya pengobatan.

Reaksi saluran cerna: bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare, dan enterokolitis.

Sindrom Gray: pada neonatus, terutama bayi premature yang mendapat dosis tinggi (200 mg/ kgBB) dapat timbul sindrom Gray, biasanya antara hari ke 2 sampai hari ke 9 masa terapi, rata-rata hari ke 4. Mula-mula bayi muntah, tidak mau menyusu, pernapasan cepat dan tidak teratur, perut kembung, sianosis dan diare dengan tinja berwarna hijau dan bayi tampak sakit berat. Pada hari berikutnya tubuh bayi menjadi lemas dan bewarna keabu-abuan; terjadi hipotermia. Angka kematian kira-kira40%, sedangkan sisanya sembuh sempurna.

Kontra indikasi Penderita yang hipersensitif atau mengalami reaksi toksik terhadap kloramfenikol Penderita gangguan fungsi hati yang berat Penderita gangguan fungsi ginjal yang berat. Penderita depresi sumsum tulang atau diskrasia darah. Wanita hamil dan menyusui

L.O.4.3 Kotrimoksazol

Page 18: wrap up IPT sk1.docx

Efektivitas sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetroprim) diberikan selama 2 minggu.

Farmakodinamik

Aktivitas antibakteri kotrimoksazol berdasarkan atas kerjanya pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam tetrahidrofolat.sulfonamid menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam folat dan trimetroprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dan dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat penting untuk reaksi-reaksi pemindahan satu atom C, seperti pembentukan basa purin (adenine, guanine, dan timidin) dan beberapa asam amino (metionin, glisin). Sel-sel mamalia menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan dan tidak mensintesis senyawa tersebut. Trimetropim menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut juga terdapat pada sel mamalia.

FarmakokinetikRasio kadar sulfametoktsazol dan trimetropim yang ingin dicapai dalam darah

ialah sekitar 20 : 1. Karena sifatnya yang lipofilik, trimetropim mempunyai volume distribusi yang lebih besar daripada sulfametoksazol. Dengan memberikan sulfametoksazol 800 mg dan trimetropim 160 mg per oral (rasio sulfametoksazol: trimetropim = 5 : 1) dapat diperoleh rasio kadar kedua obat tersebut dalam darah kurang lebih 20 : 1.

Trimetropim cepat didistribusikan ke dalam jaringan dan kira-kira 40% terikat pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol. Volume distribusi trimetropim hamper 9 kali lebih besar daripada sulfametoksazol. Obat masuk ke CSS dan saliva dengan mudah. Masing-masing komponen juga ditemukan dalam kadar tinggi di dalam empedu. Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat pada protein plasma. Sampai 60% trimetropim dan 25-50% sulfametoksazol diekskresik melalui urin dalam 24 jam setelah pemberian. Dia-pertiga dari sulfonamid tidak mengalami konjugasi. Metabolit trimetropim ditemukan juga di urin. Pada pasien uremia, kecepatan ekskresikan dan kadar urin kedua obat jelas menurun.

Efek sampingBatas antara toksisitas untuk bakteri dan untuk manusia relatif sempit bila sel

tubuh mengalami defisiensi folat. Dalam keadaan demiakian obat ini mungkin menimbulkan megaloblastosis, leukopenia, atau trombositopenia.kira-kira 75% efek samping terjadi pada kulit, berupa reaksi yang khas ditimbulkan oleh sulfonamide. Gejala-gejala saluran cerna terutama berupa mual dan muntah; diare jarang terjadi. Glositis dan stomatitis relatif sering. Icterus terutama terjadi pada pasien yang sebelumnya telah mengalami hepatitis kolestatik alergik. Reaksi susuna saraf pusat berupa sakit kepala, depresi dan halusinasi, disebabkan oleh sulfonamide. Rekasi hematologic lainnya ialah berbagai macam anemia (aplastic, hemolitik, dan makrositik), gangguan koagulasi, granulositopenia, agranulositosis, purpura, purpura Henoch-Schonlein dan sulfhemoglobinemia.

Page 19: wrap up IPT sk1.docx

Kontra indikasi Penderita yang diketahui sensitif terhadap golongan Sulfonamid atau Trimethoprim. Bayi berumur kurang dari 2 bulan Penderita anemia megaloblastik yang terjadi karena kekurangan folat. Wanita hamil dan menyusui, karena Sulfonamida melewati plasenta dan dieksresikan

pada susu dan dapat menyebabkan kernicterus.

L.O.4.5 Sefalosporin

Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama setengah jam per infus sekali sehari diberikan selama 3 hingga 5 hari.

FarmakokinetikDari sifat farmakokinetiknya sefalosporin dibedakan dalam 2 golongan.

Sefaleksin, sefradin, sefaklor, sefadroksil, lorakarbef, sefprozil, sefiksim, sefpodoksim proksetil, seftibuten dan sefuroksim aksetil yang dapat diberikan per oral karena diabsorbsi melalui saluran cerna. Sefatolin dan sefapirin umunya diberikan secara intravena karena menyebabkan iritasi local dan nyeri pada pemberian intramuscular.

Sefalosporin lain yang diberikan secara suntikan IM atau IV. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya aefuroksim, seftriakson, sefepim, sefotaksim dan seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di cairan serebospinal (CSS), sehingga dapat bermanfaat untuk pengobatan meningitis parulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan synovial dan cairan pericardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga di cairan mata relative tinggi, tetapi tidak mencapai viterus. Kadar sefalosporin dalam empedu umunya tinggi, terutama sefoperazon.

Kebanyakan sefalosporin diekskresikan dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses sekresi tubuli, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Karena itu dosis sefalosporin umumnya harus dikurangi pada pasien insufisiensi ginjal. Probenesid mengurangi ekskresi sefalosporin, kecuali moksalaktam dan beberapa lainnya. Sefalotin, sefapirin dan sefotaksim mengalami deadetilasi; metabolit yang aktivitas antimikrobanya lebih rendah juga diekskresi melalui ginjal.

Efek sampingReaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip

dengan reaksi alergi yang ditimbulkan oleh penisilin. Reaksi mendadak yaitu anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi.

Diare dapat timbul terutama pada pemberian sefoperazon, mungkin karena ekskresinya terutama melalui empedu, sehingga mengganggu flora normal usus. Pemberian sefamandol, moksalaktam dan sefoperazon bersama dengan minuman berakohol dapat menimbulkan reaksi seperti yang ditimbulkan oleh disulfiram. Selain itu dapat terjadi

Page 20: wrap up IPT sk1.docx

perdarahan hebat karena hipoprotrombinemia, dan/ atau disfungsi trombosit, khususnya pada pemberian moksalaktam.

Kontra indikasiPenderita yang hipersensitif terhadap antibiotik golongan sefalosporin, penisilin atau antibiotik golongan betalaktam lainnya.

SUMBER :

Setyabudi, Rianto. (2008). Farmakologi dan Terapi Edisi Revisi edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Widoyono. (2011). Penyakit Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga

FKUI. (2013). Parasitoloi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Badan Penerbit FKUI

http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam%20Tifoid.pdf

www.intranet.tdmu.edu.ua

www.pantirapih.or.id

www.ilmupenyakit.com