emg. sk1. sindrom metabolik et dgn dm tipe 2 dan gout

35
STUDI KASUS 1 MODUL EMG SEORANG LAKI-LAKI YANG MENGELUH SERING MERASA SEMUTAN KELOMPOK VI 0302009040 Ayunda Afdal 0302009041 Ayunda Shinta N. 0302009042 Azizah Chairiani 0302009043 Azmi Ikhsan Azhary 0302009044 B. Bonia Sari 0302009045 Bayu Permana 0302009046 Bellinda Paterasari 0302009048 Boy sandy Sunardhi 0302009051 Charisha Nadia 0302009052 Chaterine Grace Tauran 0302009053 Christopher R. P. Siagian 0302009054 Citra Indah Puspita Sari 0302009055 Claudia Marisca FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 19 JULI 2011

Upload: adelitayh

Post on 22-Nov-2015

79 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

EMG

TRANSCRIPT

  • 0

    STUDI KASUS 1 MODUL EMG

    SEORANG LAKI-LAKI YANG MENGELUH SERING

    MERASA SEMUTAN

    KELOMPOK VI

    0302009040 Ayunda Afdal

    0302009041 Ayunda Shinta N.

    0302009042 Azizah Chairiani

    0302009043 Azmi Ikhsan Azhary

    0302009044 B. Bonia Sari

    0302009045 Bayu Permana

    0302009046 Bellinda Paterasari

    0302009048 Boy sandy Sunardhi

    0302009051 Charisha Nadia

    0302009052 Chaterine Grace Tauran

    0302009053 Christopher R. P. Siagian

    0302009054 Citra Indah Puspita Sari

    0302009055 Claudia Marisca

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

    19 JULI 2011

  • 1

    B A B I

    P E N D A H U L U A N

    Topik diskusi

    Seorang laki-laki yang mengeluh sering merasa semutan

    Tutor diskusi I

    Dr. Hartoto

    Diskusi I sesi 1 Diskusi I sesi 2

    Tanggal : 19 September 2011 21 September 2011

    Waktu : 13:00 14:00 08:00 09:00

    Durasi : 1 jam 1 jam

    Ketua diskusi : B. Bonia Sari Charisha Nadia

    Sekertaris : Christopher R. P. Siagian Boy sandy Sunardhi

    Jumlah peserta : 13 orang 13 orang

    Perilaku peserta dan perjalanan diskusi:

    Peserta diskusi dapat mengikuti arahan tutor dengan baik. Tutor juga memberikan

    learning issue kepada peserta untuk dibahas pada hari diskusi selanjutnya. Tutorial berjalan

    dengan baik.

  • 2

    B A B I I

    L A P O R A N K A S U S

    A. REKAM MEDIS TN. HADI

    IDENTITAS PASIEN

    Nama : Tn. Hadi

    Umur : 42 tahun

    Alamat : -

    Pekerjaan : -

    Status nikah : -

    ANAMNESIS

    Keluhan utama : sering merasa kesemutan

    Selain keluhan utama pasien mengeluh badannya semakin gemuk akibat kurang

    berolahraga. Pasien cepat merasa lelah dan sering sakit kepala terutama pagi hari saat bangun

    tidur. Tn. Hadi tampak gemuk dengan perut membuncit. Pada kelopak mata sebelah kiri

    tampak benjolan kekuningan sebesar kacang hijau.

    Pada anamnesis tambahan, nyeri dipangkal ibu jari kaki kirinya sejak 3 hari yang lalu,

    tetapi sekarang sudah membaik.

    MASALAH HIPOTESIS ALASAN

    1. Kesemutan a. Defisiensi vit. B12 b. Tanda stoke ringan

    c. DM d. Alkoholisme

    Pada seluruh hipotesis dapat

    menyebabkan kesemutan

    2. Sakit kepala a. Hipoglikemi b. Tumor otak

    3. BB meningkat Obesitas

    4. Gula darah 120/dl DM

    5. TD 140/100 mmHg Hipertensi stage 1

    6. Perut buncit Obesitas Pada pria yg obesitas

  • 3

    PEMERIKSAAN FISIK

    Status Generalis

    I. Keadaan Umum

    1. Tingkat kesadaran : Kesadaran pasien masih baik (compos mentis).

    2. Kesan Sakit : Pasien tidak menunjukkan kesan tanda sakit. Pasien

    tampak gemuk dengan perut membuncit.

    3. Status Antropometri : Diketahui pasien dengan Berat Badan 85 Kg dan

    dengan Tinggi Badan 160 Cm, BMI (Body Mass Index) pada pasien ini adalah

    33,2 yang berarti lebih dari 30, pasien ini dikategorikan termasuk ke dalam

    obesitas. Untuk perhitungan BMI, dengan menggunakan rumus berikut,

    Rumus BMI = berat badan (kilo gram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (meter)

    = satuannya kg/ m2.

    Kriteria BMI menurut World Health Organization (WHO)1:

    Indeks BMI KATEGORI

    < 18,5 Under weight (berat badan kurang)

    18,5 24,9 Normal

    25 29,9 Overweight (berat badan berlebih)

    > 30 Obese (gemuk)

    penumpukan lemak terjadi di

    perut, jika pada wanita terjadi

    di bokonng

    7. Kelopak mata bengkak (xanthelasma)

    Dislipidemia Jaringan pada kelopak mata

    adalah jaringan ikat longgar

    sehingga lebih mudah terjadi

    penumpukan lipid

    8. Nyeri pankal ibu jari

    kaki

    Gout Gout menyerang sendi-sendi

    kecil terutama MCP1

  • 4

    II. Tanda Vital

    Status Lokalis

    Kepala : Pada kelopak mata atas sebelah kiri tampak benjolan

    kekuningan sebesar kacang hijau.

    Mata : Tidak diketahui

    Telinga : Tidak diketahui

    Hidung : Tidak diketahui

    Mulut : Tidak diketahui

    Tenggorokan : Tidak diketahui

    Leher : Tidak ada pembesaran Tiroid dan kelainan getah bening leher.

    Thorax

    Paru-paru:

    - Inspeksi : Normal

    - Palpasi : Normal

    - Perkusi : Normal

    - Auskultasi : Normal

    Jantung:

    - Inspeksi : Normal

    - Palpasi : Normal

    - Perkusi : Normal

    - Auskultasi : Normal

    Hasil Normal

    Suhu C 36,5 - 37,2 C

    Denyut nadi 88x/menit 60-100 X/mnt

    Irama denyut Regular teratur(reguler)

    Tekanan darah 145/100mmHg 120/80 mmHg(optimal)

    Pernafasan 24x/menit 14-18 x/mnt

  • 5

    Abdomen

    - Inspeksi : Abdomen tampak membuncit, lingkar perut 114 cm

    - Palpasi : Nyeri tekan (-), shifting dullness (-)

    a. Hepar : Teraba 1 jari dibawah arcus costae, kenyal, tepi tajam,

    permukaan licin, nyeri tekan (-)

    b. Lien : Tidak teraba.

    - Perkusi : Tidak diketahui

    - Auskultasi : Tidak diketahui

    Punggung : Tidak diketahui

    Genitalia eksterna : Tidak diketahui

    Ekstremitas : Terdapat pembengkakan pada sendi pangkal ibu jari kaki

    kiri dan masih tampak sedikit kemerahan, tidak ada

    pembengkakan pada sendi-sendi lain, edema -/-.

    Hipotesis

    Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pasien yang obesitas, ditunjang pula dengan

    pengukuran lingkar perutnya yang besar. Selain itu terdapat hipertensi dan hiperpnoe pada

    pemeriksaan tanda vital. Pada inspeksi didapatkan benjolan pada kelopak mata. Hal ini

    mengarah kepada diagnosis dislipidemia. Pada ekstremitas, didapatkan adanya

    pembengkakakan pada sendi pangkal ibu jari kaki. Hal ini mengarah kepada diagnosis gout

    akut yang disebabkan oleh hiperurisemia. Hipotesis lainnya ialah adanya sindroma metabolik

    pada pasien. Hal tersebut ditunjang oleh adanya dislipidemia, hipertensi, dan hiperurisemia.

    Juga, ditunjang oleh pemeriksaan lalu, tingginya kadar gula darah sewaktu.

  • 6

    PEMERIKSAAN LABORATORIUM2

    Hitung Darah Lengkap : Parameter Nilai pasien Nilai normal

    Hemoglobin 11,5 g%* 13,5-18

    Leukosit 6200/mm3 5000-10000/mm

    3

    Trombosit 212.000 150-350(ribu)

    LED 45 mm/jam* 0-15 mm/jam

    Nilai Normal Serum : SGOT 78 u/L* 5-40 u/L

    SGPT 86 u/L* 0-40 u/L

    GD Sewaktu 210 mg/dl 110 mg/dl

    GD Puasa 145 mg/dl* 70-110 mg/dl

    HBA1C 8%*

  • 7

    sebelumnya. Hal ini terkait pula dengan adanya eritrosit dan leukosit dalam urin yang

    menandakan adanya penurunan fungsi ginjal. Penurunan fungsi ginjal bisa menjadi

    komplikasi kronis diabetes melitus.

    B. PENGKAJIAN

    Pasien datang dengan keluhan sering merasa kesemutan. Kesemutan (paresthesia)

    adalah sensasi sentuh abnormal, seperti rasa terbakar, tertusuk, sering kali tanpa adanya

    rangsangan luar. Kesemutan merupakan sebuah gejala gangguan pada fungsi saraf atau aliran

    darah seseorang. Pada kasus ini, kelompok kami mengambil beberapa hipotesa yang dapat

    menyebabkan gejala kesemutan tersebut, yaitu:

    Neuropati diabetika

    Alkoholisme

    Defisiensi vit. B12

    Tanda stroke ringan

    Hipotesa stroke ringan dihapus karena pada anamnesa lanjutan tidak disebutkan bahwa pasien

    juga mengalami rasa baal. Untuk hipotesa alkoholisme dan defisiensi vit. B12 perlu

    ditanyakan kepada pasien dalam anamnesis tambahan bagaimana kebiasaan/gaya hidup pasien

    ini. Kesemutan pada hipotesa neuropati diabetika dapat dijelaskan lewat teori Polyol

    Pathway.3

    Hipotesa neuropati diabetika pada kasus didukung oleh anamnesis lanjutan dimana

    pasien mengatakan bahwa BB-nya semakin bertambah. Dari perhitungan hasil pemeriksaan

    fisik didapatkan BMI pasien adalah 33,2 (Obesitas kelas II) dan TD pasien yang termasuk

    dalam hipertensi stage II. Obesitas dan hipertensi merupakan 2 faktor resiko terjadinya DM

    tipe 2. Adanya neuropati dicetuskan oleh keluhan pasien yang sering merasa semutan.

    Kaitannya ialah hiperglikemia menyebabkan peningkatan glukosa pada sel saraf (neuron)

  • 8

    sehingga terjadi konversi glukosa menjadi sorbitol oleh enzim aldose reductase. Sorbitol

    kemudian akan menurunkan kadar myoinositol dan fosfoinositol yang akan menurunkan

    kadar diasilgliserol, protein kinase C, dan Na+ K+ ATP-ase sehingga menyebabkan

    demyelinisasi sel saraf. Demyelinisasi sel saraf menyebabkan perlambatan konduksi saraf

    sehingga terjadi paraesthesia pada pasien. Selain itu peningkatan enzim aldose reductase

    menjadi inhibitor kompetitif nitrit oksida. Penurunan kadar nitrit oksida kemudian akan

    menurunkan aliran darah vasa nervorum.

    Selain itu, telah terjadi nefropati diabetikum ditandai dengan adanya peningkatan

    kadar ureum dan kreatinin darah, hematuria, dan piuria. Nefropati diabetikum disebabkan

    oleh karena keadaan hiperglikemia persisten yang kemudian menyebabkan

    glomerulosklerosis. Mekanisme yang bertanggung jawab akan terjadinya glomerulosklerosis

    ialah glikosilasi protein struktur glomerulus. Glikosilasi membran basalis dan protein

    mesangial dapat menjadi faktor utama yang bertanggung jawab dalam peningkatan matriks

    mesangial dan perubahan permeabilitas membran yang kemudian akan menyebabkan

    proteinuria.3,4

    Pasien mengeluh sering merasa cepat lelah. Hal ini dapat dikaitkan dengan resistensi

    insulin pada DM tipe 2, dimana karena terjadi penurunan kepekaan sel-sel sasaran terhadap

    insulin maka fungsi insulin untuk meningkatkan pengambilan glukosa oleh sel-sel tubuh

    menjadi menurun sehingga sel kurang mendapatkan energi dan pasien menjadi mudah lelah.

    Karena sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin,

    maka kadar glukosa dalam plasma darah akan meningkat sehingga terjadi hiperglikemia,

    dimana pada kasus ini ditunjukkan melalui GD sewaktu pasien yang mencapai 210 mg/dl

    (yang juga dapat menjadi Kriteria diagnostic DM yaitu kadar glukosa darah sewaktu 200

    mg/dl).

  • 9

    Untuk keluhan sakit kepala terutama ketika bangun tidur, kelompok kami mempunyai

    2 hipotesis yaitu sleep apnea dan akibat perubahan postur yang diperburuk adanya

    aterosklerosis. Pasien yang mengalami obesitas dapat mengalami sleep apnea yaitu masa

    dimana pernapasan berhenti sebentar selama tidur. Akibat lemak yang menekan jalan napas,

    supply oksigen ke otak menurun sehingga otak mengalami hipoksia. Untuk kompensasi

    tubuh, terjadi vasodilatasi pembuluh darah otak untuk meningkatkan supply oksigen dan

    mengatasi hipoksia, vasodilatasi arteri inilah yang menyebabkan timbulnya sakit kepala.

    Hipoperfusi jaringan otak juga dapat terjadi karena perubahan posisi dari berbaring ke posisi

    bangun. Ini diperparah bila terdapat aterosklerosis pada pembuluh darah (berdasarkan faktor

    resiko obesitas dan DM) yang dapat mengurangi suplai darah ke otak sehingga otak

    mengalami hipoksia dan menimbulkan gejala sakit kepala.3

    Perut pasien yang membuncit menunjukkan tempat simpanan cadangan lemak yang

    berada di perut. Akibat intake karbohidrat (KH) yang banyak membuat lipogenesis

    meningkat. Hal ini menyebabkan lemak yang tidak digunakan sebagai energi disimpan

    sebagai cadangan, pada pria terutama di bagian abdomen.

    Benjolan kuning di kelopak mata pasien disebut xanthelasma yang merupakan

    timbunan kolesterol (akibat hipertrigliseridimia, LDL yang tinggi) pada jaringan dibawah

    kulit. Infiltrasi dan deposit lipoprotein pada jaringan, tidak terbatas pada pembuluh darah,

    lipoprotein dapat masuk ke kulit, jaringan subkutan dan tendon, akumulasi tersebut dapat

    mengakibatkan xanthomata. Xanthelasma palpebrarum merupakan bentuk tersering dari

    xanthoma. Dislipidemia selain dari asupan dan gaya hidup, juga dipengaruhi oleh resistensi

    insulin yang akan dibicarakan nanti. Resistensi insulin meningkatkan lipolisis di jaringan

    adiposa yang menghasilkan free fatty acid (FFA). FFA akan diuptake ke hati dan

    menyebabkan pembentukan VLDL yang akan berisi banyak trigliserida. Selain itu, banyaknya

  • 10

    FFA di hati menyebabkan terjadinya fatty liver yang ditandai dengan adanya peningkatan

    SGOT/SGPT.5

    Pada anamnesa lanjutan dimana pasien mengeluh terdapat nyeri dipangkal Ibu jari

    kaki kiri sejak 3 hari yang lalu, ditambah hasil pemeriksaan asam urat: 8,5 mg/dl, maka kami

    menyimpulkan pada kasus ini Tn. Hadi juga mengalami serangan gout akut. Gout ini dapat

    diakibatkan dari kebiasaan makan pasien yang buruk (jeroan, kacang-kacangan, dll) yang

    dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah dan mengendap di sendi. Selain karena

    kebiasaan makan, pada kasus ini, gout tersebut dapat kita kaitkan pula dengan DM yang

    diderita karena pada DM tipe 2 dimana terjadi peningkatan reabsorbsi asam urat di ginjal

    yang dapat menyebabkan hiperuricemia.

    Patofisiologi Gout

    Asam urat diketahui berfungsi sebagai antioksidan dan mungkin antioksidan yang

    paling penting dalam plasma dengan kontribusi sampai 60% dari seluruh aktivitas

    pembersihan radikal bebas dalam serum manusia. Namun demikian asam urat juga bersifat

    prooksidatif pada kondisi tertentu, khususnya bila antioksidan lain berada dalam level yang

    rendah. Asam urat merangsang produksi sitokin dari leukosit dan kemokin dari otot polos

    pembuluh darah, merangsang perlekatan granulosit pada endotelium, adesi platelet dan

    pelepasan radikal bebas peroksida dan superoksida serta memicu stres oksidatif.

    Dari sini diduga terdapat peranan potensial asam urat atau xantin oksidase bagi

    terjadinya disfungsi endotel dan dalam memediasi respon inflamasi sistemik yang akhirnya

    bermuara pada terjadinya resistensi insulin dan cardiovascular events. Efek ensimatik xantin

    oksidase adalah produksi reactive oxygen species (ROS) dan asam urat. Hal ini akan

    menimbulkan stres oksidatif dan memicu terjadinya resistensi insulin baik secara langsung

    maupun akibat peningkatan aktivitas Protein Kinase C (PKC).5

  • 11

    Studi pada tikus percobaan yang diberi makanan fruktosa, memperlihatkan perbaikan

    sebagian besar gambaran sindroma metabolik seperti hiperinsulinemia, hipertensi,

    hipertrigliseridamia dan berat badan, setelah konsentrasi asam urat diturunkan.

    Studi pada manusia juga mendapatkan asam urat sebagai predictor poten adanya

    hiperinsulinemia dan obesitas, hal ini diduga akibat kemampuan asam urat dalam

    menghambat fungsi endotel melalui gangguan dalam produksi nitric oxide.

    Hubungan yang positif antar asam urat dengan resistensi insulin sebagian disebabkan

    karena hiperinsulinemia meningkatkan reabsorpsi sodium di tubulus ginjal, sebagai akibatnya

    kemampuan ginjal mengekresikan sodium dan asam urat menurun dan hasil akhirnya

    konsentrasi asam urat serum meningkat.

    Peningkatan produksi atau hambatan ekskresi akan meningkatkan kadar asam urat

    dalam tubuh. Asam urat ini merupakan suatu zat yang kelarutannya sangat rendah sehingga

    cenderung membentuk kristal. Penimbunan asam urat paling banyak terdapat di sendi dalam

    bentuk kristal mononatrium urat. Mekanismenya hingga saat ini masih belum diketahui.

  • 12

    Pada pemeriksaan tanda vital pernafasan didapatkan pasien mengalami tachypnoe, hal

    ini dapat disebabkan oleh obesitas yang membuat lemak pada bagian abdomen pasien

    menekan diafragma sehingga ketika expirasi maupun inspirasi, diafragma tidak dapat

    mengembang sempurna. Hal ini mengakibatkan kompensasi berupa nafas yang cepat sebagai

    usaha untuk mengambil cukup oksigen dan untuk mengeluarkan CO2.

    Hasil pemeriksaan lab dimana menunjukkan SGOT dan SGPT yang meningkat 2x

    normal membuat kelompok kami menduga bahwa pada pasien ini terjadi fatty liver. Untuk

    menegakkan diagnosa, kami mengajukan pemeriksaan penunjang tambahan berupa USG

    hepar.3

    Resistensi insulin pada pasien dibuktikan dengan peningkatan gula darah sewaktu dan

    gula darah puasa. Selain itu juga dapat dilihat dari adanya peningkatan trigliserida, hipertensi,

    dan hiperurisemia. Mekanisme penyebab molekular dari resistensi insulin masih belum terlalu

    jelas. Penyebab yang paling mungkin ialah adanya defek pada fosforilasi/defosforilasi

    regulasi insulin. Contohnya ialah defek pada PI-3 menyebakan penurunan daya translokasi

    dari GLUT4 menuju ke membran plasma. Selain itu, teori lain menyatakan adanya

    abnormalitas dari akumulasi lipid di miosit yang kemudian menyebabkan terganggunya

    fosforilasi oksidatif di mitokondria dan menurunkan produksi ATP untuk stimulasi insulin di

    mitokondria.

  • 13

    Resistensi insulin pada kasus menyebabkan pasien mengidap diabetes melitus tipe 2. Diabetes

    melitus tipe 2 ialah keadaan hiperglikemia dimana sel tidak bisa menggunakan glukosa secara

    normal yang disebabkan oleh resistensi insulin. Pasien didiagnosis sebagai diabetes melitus

    tipe 2 karena telah memenuhi kriteria diagnosis dari American Diabetes Association (ADA),

    2007 yaitu :7

    Gejala diabetes dan gula darah sewaktu > 200 mgdl atau

    Gula darah puasa > 126 mg/dl atau

    Gula darah post-prandial > 200 mg/dl

    Selain itu, gejala-gejala lain yang menunjang diagnosis ialah keluhan pasien cepat lelah,

    peningkatan LED (biasanya pada penyakit kronis), dan peningkatan kadar HbA1C.

    HBA1C merupakan hemoglobin yang telah mengalami glikosilasi. Molekul ini

    terbentuk secara lambat oleh tubuh akibat tinggi nya kadar glukosa dalam darah. Tingi nya

    molekul ini menunjukan level gula pasien yang tinggi telah berlakungsung minimal 3 bulan

    sebelumnya. HBA1C pasien yang meningkat menandakan pasien ini menuju diabetes melitus

    (pra diabetes).2

    LED bukan merupakan alat bantu diagnostik, tetapi nilainya dapat menunjukan

    adanya perjalanan penyakit yang kronis (pada pasien ini). Selain itu, nilai LED dipengaruhi

    oleh viskositas darah. Dimana pada pasien ini ditemukan tingginya kadar glukosa darah yang

    menyebabkan viskositas darah meningkat yang diikiti meningkatnya LED pasien ini.

    Hiperurisemia juga merupakan akibat dari adanya resistensi insulin. Resistensi insulin

    berakibat di sekresikannya banyak insulin oleh sel b pankreas yang kemudian menyebabkan

    hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia menyebabkan menurunnya pengeluaran asam urat di

    ginjal, sehingga kelebihannya tidak bisa dibuang. Kemudian terjadi hiperurisemia. Pada

    kasus, pasien menyebutkan keluhannya yaitu nyeri dipangkal ibu jari, dan pada pemeriksaan

  • 14

    fisik ditemukan pembengkakan dan kemerahan pada ibu jari tersebut. Diduga hiperurisemia

    pada pasien telah menyebabkan penyakit Gout, yaitu adanya deposit urat pada sendi-sendi

    yang dimulai dari ibu jari kaki. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan gout, yaitu

    dengan aspirasi dari deposit tophi, yang kemudian dilihat adanya kristal urat.

    Untuk pemeriksaan urinalisis dimana didapatkan eritrosit dan leukosit yang

    meningkat, hipotesa kami ini berhubungan dengan laju perkembangan penyakit DM yang

    dialami pasien, yaitu menuju ke arah adanya nefropati diabetikum, namun belum sampai pada

    stadium lanjut jika dilihat dari GFR dan faal ginjal yang belum terganggu. Hipotesa kami

    yang lain, eritrosit dan leukosit tersebut adalah akibat dari inflamasi yang disebabkan oleh

    batu asam urat di t. urinarius yang berkaitan dengan gout yang dialami pasien. Dan hipotesa

    kami yang terakhir mengenai hasil pemeriksaan sedimen urin ini adalah adanya Infeksi

    Saluran Kemih yang biasa diderita oleh pasien DM. Untuk mengetahui penyebab pasti, kami

    mengajukan pemeriksaan penunjang tambahan berupa pemeriksaan BNO atau USG ginjal

    untuk melihat adanya urolithiasis, dan kultur urin untuk memastikan adanya ISK.

    C. DIAGNOSIS

    Sindroma Metabolik dengan Diabetes Mellitus tipe 2 dan Gout artritis

  • 15

    Sindroma metabolik didiagnosis berdasarkan kriteria diagnosis dari National

    Cholesterol Education Program (NCEP) : Adult Treatment Panel (ATP) III 2001 yaitu :

    3 atau lebih dari :

    Obesitas sentral : lingkar pinggang >102 cm untuk pria.

    Hipertrigliseridemia : Trigliserida > 150 mg/dl

    Rendahnya kadar kolesterol HDL : 130/85 mm/Hg

    Yang mana pasien pada kasus memiliki keempat point tersebut.

    Selain itu, pasien juga telah memenuhi kriteria diagnosis dari Internation Diabetes

    Foundation yaitu :

    Lingkar pinggang > 90 cm

    Dan 2 atau lebih dari :

    Trigliserida > 150 mg/dl

    Kolesterol HDL < 40 mg/dl

    Tekanan darah > 130/85

    Gula darah puasa >100 mg/dl atau sebelumnya didiagnosis diabetes melitus tipe 2

    Sindroma metabolik pada pasien mencakup resistensi insulin, dislipidemia, hipertensi, dan

    hiperurisemia.

    D. PEMERIKSAAN TAMBAHAN

    Pemeriksaan fisik tambahan:

    Pemeriksaan retina

    Pemeriksaan tekanan darah orthostatik

    Pemeriksaan kaki

    o Neuropati perifer

  • 16

    o Kalus

    o Infeksi jamur

    o Kuku

    o Refleks ankle

    o Deformitas kaki (potensial terjadi ulkus), misal : Hammer/claw toes,

    Charcot foot, dll.

    Tekanan nadi perifer

    Pemeriksaan saraf sensoris

    o Getar

    o Sentuh

    o Pin-prick test

    Pemeriksaan gigi dan gusi

    Pemeriksaan penunjang

    1. Sedimen Urin Kristal Asam Urat.

    Kami menyarankan pemeriksaan ini atas indikasi kecurigaan adanya nefopati

    akibat hiperurecemia. Pemeriksaan ini juga dapat mendukung adanya Kristal

    asam urat yang bertanggung jawab atas penemuan eritrisit dan leukosit.

    2. OGTT

    Pemeriksaan ini merupakan alternatif dari pemeriksaan kadar insulin dalam

    darah.

    3. Kadar Insulin dalam darah.

    Pemeriksaan ini kami sarankan untuk indikasi pengobatan Diabetes Melitus

    (Tipe 1 atau 2). Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk membantu kita

    menyusun penatalaksanaan yang tepat untuk seorang pasien.

  • 17

    4. Glukosa darah post prandial

    Pemeriksaan ini kami anjurkan untuk menguji respons penderita terhadap

    asupan tinggi karbohidrat 2 jam setelah makan.

    5. USG

    Pemeriksaan ini digunakan untuk memeriksa ginjal dan hati. Seperti dijelaskan

    sebelumnya, kita akan mencari tanda-tanda dari fatty liver pada hati dan

    urolithiasis pada ginjal.

    6. Kultur urin

    Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan kecurigaan kita terhadap

    infeksi saluran kemih (ISK) yang bertanggung jawab ditemukannya eritrosit

    dan leukosit. Kelompok kami berharap tidak ditemukan infeksi ISK Karena

    melihat tanda vital pasien yang tidak memperlihatkan gejala infeksi.

    7. EKG

    Untuk memantau keadaan kardiovaskuler pasien. Kadar gula darah yang tinggi,

    terlebih bila disertai dengan faktor risiko lain seperti dislipidemia (gangguan

    kadar lipid/lemak), hipertensi dan kegemukan, dapat menyebabkan

    penyempitan pembuluh darah koroner jantung hingga aliran darah yang

    memberikan suplai darah pada otot jantung menjadi tertutup. Akibatnya, dapat

    terjadi serangan jantung akut yang dapat menyebabkan kematian mendadak.

    8. Screening: microalbuminuria. Jika ada resiko PJK dilakukan cardiac stress

    test.

    9. Pemeriksaan C-peptide untuk mengetahui diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2.

    E. RENCANA PENATALAKSANAAN

    Tindakan awal

  • 18

    Pasien yang datang dengan berbagai keluhan, harus kita lakukan tindakan awal untuk

    meringankan penderitaan pasien dengan memberikan penatalaksanaan berupa terapi

    simtomatik sebagai berikut :

    1. Analgesik seperti asam mefenamat atau paracetamol dapat diberikan untuk meringankan

    sakit kepala yang diderita oleh pasien sewaktu bangun tidur pada pagi hari.

    2. Untuk nyeri di pangkal ibu jari kaki kiri yang diduga pasien ini menderita gout akut

    diberikan NSAID untuk mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi.

    3. Untuk kesemutan bisa diberikan rubonsia berupa vitamin B kompleks jika frekuensi

    kesemutan yang diderita pasien bertambah sering dan parah. Vitamin B kompleks

    diberikan guna membantu demyelinisasi pada saraf.

    Tindakan terapeutik definitif

    Tindakan ini dilakukan guna memberikan pengobatan terhadap penyakit utama yang

    diderita pasien. Tindakan yang dilakukan berupa terapi kausatif sebagai berikut :

    1. Edukasi kepada pasien kondisi tubuh serta komplikasi yang akan terjadi jika pasien tidak

    menuruti program terapi dengan baik.

    2. Diet dan perubahan lifestyle

    Untuk dislipidemia : diet rendah kolesterol

  • 19

    Sore / Malam hari 25%

    Selingan 10%

    Untuk Hipertensi : restriksi sodium yang berlebih, makan banyak sayur dan buah-

    buahan.

    Untuk Gout akut : hindari makanan yang mengandung purin seperti bayam, brokoli,

    jeroan, serta kacang-kacangan dan perbanyak minum air putih karna kristal asam urat

    dapat larut dalam air dan diekskresikan melalui ginjal.

    3. Aktivitas fisik dilakukan dengan metode CRIPE (Continuously, Rhythmical, Interval,

    Progressive, Endurance). Aktivitas yang paling baik untuk dilakukan adalah berjalan

    (jogging atau treadmill). Pentingnya aktivitas guna untuk menurunkan berat badan

    (deposit lemak di tubuh) serta memaksimalkan penggunaan karbohidrat sehingga insulin

    dapat dirangsang dengan baik. Aktivitas fisik dilakukan setiap hari dengan interval yang

    tetap sampai tubuh mencapai badan yang ideal.

    4. Medikamentosa diberikan jika dengan diet dan aktivitas fisik pasien tidak mengalami

    perubahan kea rah yang lebih baik.

    Untuk DM tipe 2 : metformin merupakan obat pilihan untuk merangsang reseptor

    terhadap insulin di jaringan.

    Untuk Gout : diberikan alopurinol setelah melewati masa akut untuk mengatasi

    hiperuricemia yang diderita pasien.

    Untuk Dislipidemia : menggunakan obat golongan statin untuk menurunkan kadar

    LDL dan trigliserida dalam darah serta mencegah terjadinya aterosklerosis pada

    pembuluh darah pasien. Selain itu dapat mengurangi pertumbuhan xantelasma yang

    diderita pasien. Xanthelasma dapat dihilangkan dengan bedah, tetapi bianya akan

    timbul kembali.

    Untuk Hipertensi : dengan obat golongan ACE I atau ARB

  • 20

    Dari penjelasan penatalaksanaan diatas, bisa di dilihat secara khusus:

    Penatalaksanaan sindroma metabolik :

    1. Diet

    a. Diet rendah lemak jenuh : < 7% kalori, sedikit mungkin lemak trans, dan

    kolesterol harian < 200 mg tujuan : menurunkan kolesterol LDL

    b. Restriksi sodium, asupan sayur dan buah, serta produk susu rendah lemak.

    tujuan : menurunkan tekanan darah

    2. Aktivitas fisik

    3. Obat-obatan

    a. Golongan statin. Tujuan : menurunkan kolesterol LDL dan meningkatkan

    kolesterol HDL jika tidak berhasil dengan diet.

    b. Golongan asam fibrat. Tujuan : menurunkan trigliserida dan meningkatkan

    kolesterol HDL.

    c. Metformin. Tujuan : mengurangi resistensi insulin.

    d. Antihipertensi (ACE inhibitor). Tujuan : menurunkan tekanan darah.

    Penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 :

    Tujuan :

    Mengurangi gejala akibat hiperglikemia

    Mengurangi resiko komplikasi mikro dan makrovaskular

    Meningkatkan kualitas hidup pasien senormal mungkin

  • 21

    1. Edukasi

    a. Bagaimana monitor gula darah

    sendiri

    b. Bagaimana aplikasi dan

    penggunaan insulin

    c. Panduan manajemen diabetes

    selama sakit

    d. Manajemen hipoglikemia

    e. Perawatan kaki dan kulit

    2. Diet

    a. Buah-buahan, sayur-sayuran, dan susu rendah lemak

    3. Aktivitas fisik

    Manfaat : mengurangi resiko penyakit jantung, menurunkan tekanan darah,

    pengaturan massa tubuh, menurunkan lemak tubuh, menurunkan berat badan,

    menurunkan gula darah, dan meningkatkan sensitivitas insulin.

    Menurut rekomendasi American Diabetes Association, lakukan olahraga aerobik 150

    menit/minggu distribusikan dalam 3 hari.

  • 22

    4. Obat-obatan

  • 23

    F. KOMPLIKASI DIABETES MELITUS

    Komplikasi bagi diabetes mellitus dibagi menjadi 2 kategori mayor: 1. Komplikasi

    metabolik akut, 2. Komplikasi vascular jangka panjang.10

    Komplikasi metabolik akut:

    1. DKA

    Diakibatkan oleh perubahan yang relative akut dari konsentrasi glukosa plasma. Pada

    DM tipe 1 komplikasi paling serius adalah ketoasidosis diabetic (DKA). DKA terjadi karena

    terjadi peningkatan lipolisis, peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan

    benda keton. Peningkatan keton dalam plasma menyebabkan ketosis. Hal ini mengakibatkan

    asidosis metabolic. Selain itu terjadi pula ketonuria. Pada keadaan lanjut, ketoasidosis ini bisa

    mengganggu sel-sel otak dan menyebabkan kematian.

    2. Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK)

    Sering terjadi pada diabetes tipe 2 dengan usia yang lebih tua. Hiperglikemia muncul

    tanpa ketosis dan menyebabkan hiperosmolalitas, dieresis osmotic dan dehidrasi berat. Pasien

    dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani

    Komplikasi kronik jangka panjang:

    1. Mikroangiopati

    Merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina

    (retinopati diabetic), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati

    diabetik), otot-otot serta kulit. Dari sudut histologi lesi-lesi ini ditandai dengan penimbunan

    glikoprotein. Contoh, manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma dari arteriola retina.

    Akibatnya perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina dapat mengakibatkan

    kebutaan. Manifestasi dini nefropati berupa proteinuria dan hipertensi. Jika hilangnya fungsi

    neuron terus berlanjut, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia. Neuropati

    disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa sorbitol fruktosa) akibat kekurangan

    insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dan fruktosa serta kadar mioinositol menurun yang

  • 24

    menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan

    metabolic sel-sel Schwann dan menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik

    akan berkurang pada tahap dini neuropati.

    2. Makroangiopati

    Gambaran histopatologis terdapat aterosklerosis. Akibat penumpukan plak-plak

    karena gangguan biokimia oleh insufisiensi insulin maka terjadi penyumbatan vaskuler. Jika

    mengenai arteri perifer dapat terjadi klaidikasio intermitten, gangrene pada extremitas,

    insufisiensi serebral serta stroke. Jika yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka

    dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium.

    G. PROGNOSIS

    Ad Vitam : ad Bonam

    Kelompok kami menyimpulkan prognosis ini dikarenakan pada pasien ini belum

    terjadi kerusakan organ-organ vital yang serius terlihat dari tanda-tanda vital yang masih

    dalam parameter normal.

    Ad functionam : dubia ad Bonam

    Pada pasien ini belum terjadi organ damage sehingga apabila dapat diberi terapi yang

    baik serta control yang ketat terhadap makanan baik kualitas dan kuantitas akan terjadi

    perbaikan pada organ yang secara akut mungkin terjadi penurunan fungsi seperti ginjal dan

    hepar pada pasien ini.

    Ad sanationam : ad Malam

    Dikarenakan sudah terjadi defek baik itu pada pancreas (DM tipe 1) ataupun reseptor insulin

    (DM tipe 2) maka kekambuhan penyakit ini resikonya akan tinggi sekali jika pasien tidak

    mengupayakan untuk mengatur kadar glukosa dalam darahnya melalui berbagai usaha seperti

    diet ketat dan olahraga.

  • 25

    B A B I I I

    P E M B A H A S A N

    Berikut kami sajikan tinjauan pustaka mengenai sindrom metabolik yang kami

    tegakan sebagai diagnosis pada kasus ini:

    SINDROM METABOLIK

    PENDAHULUAN

    Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan konstelasi faktor risiko pada pasien-pasien

    dengan resistansi insulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular

    yang disebutnya sebagai sindrom X. Selanjutnya, sindrom X ini dikenal sebagai sindrom

    resistensi insulin dan akhirnya sindrom metabolik.

    Resistansi insulin adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan sensitivitas jaringan

    terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi

    sel beta pankreas. Resistensi insulin terjadi beberapa dekade sebelum timbulnya penyakit

    diabetes mellitus dan kardiovaskular lainnya. Sedangkan sindrom resistensi insulin atau

    sindrom metabolik adalah kumpulan gejala yang menunjukkan risiko kejadian kardiovaskular

    lebih tinggi pada individu tersebut. Resistensi insulin juga berhubungan dengan beberapa

    keadaan seperti hiperurisemia, sindrom ovarium polikistik dan perlemakan hati non alkoholik.

    Dibandingkan dengan komponen-komponen pada sindrom metabolik, obesitas sentral

    paling dekat untuk memprediksi ada tidaknya sindrom metabolik. Meski mendapat sebutan

    sindrom, namun secara umum penatalaksanaan sindrom metabolik sejauh ini masih

    merupakan penatalaksanaan masing-masing komponennya.

  • 26

    KRITERIA

    Perlu diketahui bahwa untuk menegakkan diagnosis sindroma metabolik dapat

    dilakukan berdasarkan beberapa kriteria rujukan seperti kriteria NCEP-ATP III (National

    Cholesterol Education ProgramThe Adult Treatment Panel III), kriteria WHO (World

    Health Organozation), AHA (American Heart Association), dan juga IDF (International

    Diabetes Federation). kriteria terkini yaitu berdasarkan kriteria dari IDF tahun 2005 sebagai

    berikut:7

    PATOFISIOLOGI

    Pengetahuan mengenai patofisiologi masing-masing komponen sindrom metabolik

    penting untuk diketahui agar dapat menentukan rencana terapi.

    Obesitas sentral

    Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh tidak begitu sensitif dalam

    menggambarkan risiko kardiovaskular dan gangguan metabolik yang terjadi. Studi

    menunjukkan bahwa obesitas senralk yang digambarkanm oleh lingkar perut lebih sensitif

    dalam memprediksi gangguan metabolik dan risiko kardiovaskular. Lingkar perut

  • 27

    menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan viseral. Meski dikatakan bahwa lemak

    sentral lebih berhubungan dengan komplikasi metabolik dan kardiovaskular, hal ini masih

    kontroversial. Peningkatan obesitas berisiko pada peningkatan kejadian kardiovaskular.

    Variasi faktor genetik membuat perbedaan dampak metabolik maupun kardiovaskular

    dari suatu obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak berkembang menjadi resistensi

    insulin, dan sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada individu tanpa obes.

    Jaringan adiposa merupakan sebuah organ endokrin yang aktif mensekresi berbagai

    faktor pro dan anti inflamasi seperti leptin, adinopektin, TNF , IL-6 dan resistin.

    Resistensi Insulin

    Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Sejauh ini

    belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp

    merupakan teknik yang ideal namun tidak praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan

    glukosa plasma puasa juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya

    dijumpai pada 10% sindrom metabolik. Pengukuran HOMA (Homeostasis Model Assesment)

    dan QUICKI (Quantitative Insulin Sensitivity Check Index) dibuktikan berkolerasi erat

    dengan pemeriksaan standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin.

    Bila melihat patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan jaringan adiposa dan sistem

    kekebalan tubuh, maka pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan

    insulin perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, penggunaan rumus ini secara rutin di klinis

    belum disarankan maupun disepakati.

    Dislipidemia

    Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai dengan peningkatan

    trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun

    mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense LDL. Peningkatan konsentrasi

  • 28

    trigliserida plasma dipikirkan akibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati sehingga

    terjadi peningkatan produksi trigliserida. Peningkatan trigliserida juga bersifat multifaktorial

    dan tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati.

    Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan trigliserida sehingga terjadi

    transfer trigliserida ke HDL. Namun, pada subyek dengan resistensi insulin dan konsentrasi

    trigliserida normal dapat ditemukan penurunan kolesterol HDL. Sehingga dipikirkan terdapat

    mekanisme lain yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL disamping peningkatan

    trigliserida. Mekanisme yang dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukan lipid post

    prandial pada kondisi resistensi insulin sehingga terjadi gangguan produksi Apolipoprotein A-

    1 (Apo A-1) oleh hati yang selanjutnya mengakibatkan penurunan kolsereol HDL. Peran

    sistem imunitas pada resistensi insulin juga berpengaruh pada perubahan profil lipid pada

    subyek dengan resistensi insulin.

    Peran sistem imunitas pada resistensi insulin

    Inflamasi subklinis kronik juga merupakan bagian dari sindrom metabolik. Marker

    inflamasi berperan pada progresifitas DM dan komplikasi kardiovaskular. C reactive protein

    (CRP) dilaporkan menjadi data prognosis tambahan tentang keparahan inflamasi pada subyek

    wanita sehat dengan sindrom metabolik. Namun, belum didapatkan kesepakatan alur

    diagnosis yang mampu menggabungkan peningkatan CRP, koagulasi, dan gangguan

    fibrinolisis dalam memprediksi risiko kardiovaskular.

    Hipertensi

    Resistensi insulin juga berperan pada patogenesis hipertensi. Insulin merangsang

    sistem saraf simpatis meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal, mempengaruhi transport kation

    dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akut

  • 29

    dapat menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi. Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi

    akibat resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek presor dan depresor.

    TERAPI

    Untuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada individu yang telah memiliki

    sindrom metabolik, diperlukan pemantauan yang terus menerus dengan modifikasi komponen

    sindrom metabolik yang ada. Penatalaksanaan sindrom metabolik masih merupakan

    penatalaksanaan dari masing-masing komponennya.

    Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan untuk menurunkan risiko

    penyakit kardiovaskular aterosklerosis dan risiko DM tipe 2 pada pasien yang belum diabetes.

    Penatalaksanaan sindrom metabolik terdiri atas 2 pilar, yaitu tatalaksana penyebab (berat

    badan lebih/obesitas dan inaktifitas fisik) serta tatalaksana faktor risiko lipid dan non lipid.

    Obesitas dan Obesitas Sentral

    Pemahaman tentang hubungan antara obesitas dan sindrom metabolik serta peranan

    otak dalam pengaturan energi, merupakan titik tolak yang penting dalam penatalaksanaan

    klinik. Pengaturan berat badan merupakan dasar tidak hanya bagi obesitas tapi juga sindrom

    metabolik. Mempertahankan berat badan yang lebih rendah dikombinasi dengan pengurangan

    asupan kalori dan peningkatan aktifitas fisik merupakan prioritas utama pada penyandang

    sindrom metabolik. Target penurunan berat badan 5-10% dalam tempo 6-12 bulan, dapat

    dicapai dengan mengurangi asupan kalori sebesar 500-1000 kalori per hari ditunjang dengan

    aktifitas fisik yang sesuai. Aktifitas fisik yang disarankan adalah selama 30 menit atau lebih

    setiap hari. Untuk subyek dengan komorbid penyakit jantung koroner, perlu dilakukan

    evaluasi kebugaran sebelum diberikan anjuran jenis-jenis olahraga yang sesuai.

    Pemakaian obat-obatan dapat berguna sehingga dipertimbangkan pada beberapa

    pasien. Dua obat yang dapat digunakan dalam menurunkan berat badan adalah sibutramin dan

  • 30

    orlistat. Dengan mempertimbangkan peranan otak sebagai regulator berat badan, sibutramin

    dapat menjadi pertimbangan walaupun tanpa mengesampingkan kemungkinan efek samping

    yang mungkin timbul. Cara kerjanya di sentral memberikan efek mengurangi asupan energi

    melalui efek mempercepat rasa kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi setelah

    berat badan turun dapat memberikan efek tidak hanya untuk penurunan berat badan namun

    juga mempertahankan berat badan yang sudah turun. Demikian pula dengan efek metabolik,

    sebagai efek dari penurunan berat badan pemberian sibutramin setelah 24 minggu yang

    disertai dengan diet dan aktifitas fisik, memperbaiki konsentrasi trigliserida dan kolesterol

    HDL. Terapi pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien yang berisiko serius

    akibat obesitasnya.

    Hipertensi

    Hipertensi merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Hipertensi juga

    mengakibatkan mikroalbuminuria yang dipakai sebagai indikator independen morbiditas

    kardiovaskular pada pasien tanpa diabetes atau hipertensi. Target tekanan darah berbeda

    antara subyek dengan DM dan tanpa DM. pada subyek dengan DM dan penyakit ginjal, target

    tekanan darah adalah < 130/80 mmHg, sedangkan pada bukan, targetnya < 140/90 mmHg.

    Untuk mencapai target tekanan darah, penatalaksanaan tetap diawali dengan pengaturan diet

    dan aktifitas fisik. Peningkatan tekanan darah ringan dapat diatasi dulu dengan upaya

    penurunan berat badan, berolahraga, menghentikan rokok dan konsumsi alkohol serta banyak

    mengkonsumsi serat. Namun apabila modifikasi gaya hidup sendiri tidak mampu

    mengendalikan tekanan darah maka dibutuhkan pendekatan medikamentosa untuk mencegah

    komplikasi seperti infark miokard, gagal ginjal kronik dan stroke.

    Beberapa studi menyarankan pemakaian ACE inhibitor sebagai lini pertama pada

    penyandang hipertensi dengan sindrom metabolik terutama bila ada DM. Angiotensis

    Receptor Blocker (ARB) dapat digunakan apabila tidak toleran terhadap ACE inhibitor.

  • 31

    Meski pemakaian diuretik tidak dianjurkan pada subyek dengan gangguan toleransi glukosa,

    namun pemakaian diuretik dosis rendah yang dikombinasi dengan regimen lain dapat lebih

    bermanfaat dibandingkan efek sampingnya.

    Gangguan Toleransi Glukosa

    Intoleransi glukosa merupakan salah satu manifestasi sindrom metabolik yang dapat

    menjadi awal suatu DM. Penelitian-penelitian yang ada menunjukkan adanya hubungan yang

    kuat antara toleransi glukosa terganggu (TGT) dan risiko kardiovaskular pada sindrom

    metabolik dan diabetes. Perubahan gaya hidup dan aktifitas fisik yang teratur terbukti efektif

    dapat menurunkan berat badan dan TGT. Modifikasi diet secara bermakna memperbaiki

    glukosa 2 jam post prandial dan konsentrasi insulin.

    Tiazolidindion memiliki pengaruh yang ringan tetapi persisten dalam menurunkan

    tekanan darah sistolik dan diastolik. Tiazolidindion dan metformin juga dapat menurunkan

    konsentrasi asam lemaj bebas. Pada Diabetes Prevention Program, penggunaan metformin

    dapat mengurangi progresi diabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda dengan

    obesitas.

    Dislipidemia

    Pilihan terapi untuk dislipidemia adalah perubahan gaya hidup yang diikuti dengan

    medikamentosa. Namun demikian, perubahan diet dan latihan jasmani saja tidak cukup

    berhasil mencapai target. Oleh karena itu disarankan untuk memberikan obat bersama dengan

    perubahan gaya hidup. Menurut ATP III, setelah kolesterol LDL sudah mencapai target,

    sasaran berikutnya adalah dislipidemia aterogenik. Pada konsentrasi trigliserida 200mg/dl,

    maka target terapi adalah non kolesterol HDL setelah kolesterol LDL terkoreksi. Terapi

    dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid tetapi juga secara bermakna dapat

    menurunkan risiko kardiovaskular. Fenofibrat secara khusus digunakan untuk menurunkan

  • 32

    trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL, telah menunjukkan perbaikan profil lipid yang

    sangat efektif dan mengurangi risiko kardiovaskular. Fenofibrat juga dapat menurunkan

    konsentrasi fibrinogen. Kombinasi fenofibrat dan statin memperbaiki konsentrasi trigliserida,

    kolesterol HDL dan LDL.

    Target terapi berikutnya adalah peningkatan apoB. Beberapa studi menunjukkan apoB

    lebih baik dalam menggambarkan dislipidemia aterogenik yang terjadi dibandingkan dengan

    kolesterol non HDL sehingga menyarankan apoB sebagai target terapi. Meskipun demikian,

    ATP III tetap menyarankan pemakaian kolesterol non HDL sebagai target terapi mengingat di

    beberapa tempat, sarana pemeriksaan apoB belum tersedia.

    Apabila konsentrasi trigliserida 500 mg/dl, maka target terapi pertama adalah

    menurunkan trigliserida untuk mencegah timbulnya pankreatitis akut. Pada konsentrasi

    trigliseria < 500 mg/dl, terapi kombinasi untuk menurunkan trigliserida dan kolesterol LDL

    dapat digunakan. Berbeda dengan trigliserida dan kolesterol LDL, untuk kolesterol HDL tidak

    ada target terapi tertentu, hanya dinaikkan saja.

    Dapat disimpulkan, sindrom metabolik merupakan kumpulan gejala yang

    keberadaannya menunjukkan peningkatan risiko kejadian penyakit kardiovaskular dan DM.

    Obesitas sentral memiliki korelasi paling erat dengan sindrom metabolik dibandingkan

    dengan komponen yang lain. Penatalaksanaan sindrom metabolik masih mengacu pada tiap

    komponen, sejauh ini belum ada penatalaksanaan yang berbeda bila dibandingkan dengan

    komponen secara individual.

  • 33

    B A B I V

    D A F T A R P U S T A K A

    1. World Health Organization. Global database on body mass index: BMI classification.

    [http://apps.who.int/bmi/index.jsp?introPage=intro_3.html, accessed on April 2,

    2011].

    2. Fischbach FT, Dunning MB. A manual of laboratory and diagnostic tests. 8th ed.

    Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.

    3. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran pathologic basis of disease. 7th

    ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004.

    4. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisons

    principles of internal medicine. 16th

    ed. New York: McGraw-Hill; 2005.

    5. Emedicine. Xanthelasma. [http://emedicine.medscape.com/article/1213423-overview,

    Eccessed on September 22, 2011].

    6. Wisesa IBN, Suastik K. Hubungan antara konsentrasi asam urat serum dengan

    resistensi insulin pada pendudul Bali asli di Dusun Tenganan Pegringsingan

    Karangasem. J Peny Dalam. Vol 10.

    7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit

    dalam. 5th

    ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p.1741-66.

    8. Prodia. Occupational Health Institute. Sindroma metabolik.

    [http://prodiaohi.co.id/en/articles/9-sindroma-metabolik.html, accessed on Sept 21, 2011].

    9. Medicastore. Obesitas. [http://medicastore.com/penyakit/42/Obesitas.html, Accessed

    on September 11, 2011].

    10. Price SA.. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed 6.th Jakarta: EGC;

    2005. p.1259-69.

  • 34

    B A B V

    P E N U T U P D A N U C A P A N T E R I M A K A S I H

    Sekian penjelasan kami menganai hasil diskusi kasus pertama. Akhir kata kami

    ucapkan terima kasih kepada tutor pembimbing dan para narasumber yang kemudian akan

    menilai makalah dan presentasi kami. Kritik dan saran akan kami jadikan pembelajaran untuk

    diskusi, pembuatan makalah, ataupun seminar selanjutnya. Semoga ilmu yang dipelajari dapat

    berguna.