trauma kepala
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah suatu trauma
yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar
karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di
kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan
masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar-benar, serta rujukan
yang terlambat.
Di Indonesia kejadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera
kepala ringan, 10% termasuk cedera sedang dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada
penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan
darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak
sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan
kesembuhan penderita.Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary
survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan,
dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara
konservatif. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI KEPALA
Kepala merupakan bagian superior tubuh yang menempel dengan batang tubuh
melalui leher. Kepala terdiri dari :
a. KULIT KEPALA (SCALP)
Kulit kepala menutupi cranium, dan meluas dari linea nuchalis superior pada os
occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit kepala
meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri dari lima
lapis jaringan; tiga lapis pertama saling berhubungan secara erat satu dengan yang
lain dan bergerak sebagai satu kesatuan.
1. Skin (kulit). Merupakan kulit yang tipis, mengandung banyak kelenjar
keringat dan kelenjar minyak (kecuali daerah occipital), serta folikel rambut.
2. Connective tissue (jaringan ikat). Merupakan lapisan subkutan, memiliki
banyak pembuluh darah dan saraf.
3. Aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica). Selembar jaringan ikat yang
kuat dan merupakan lembar tendo bagi m. occipitalis dan m. frontalis.
- M. frontalis: menarik kulit kepala ke depan, mengerutkan dahi, dan
mengangkat kedua alis.
- M. occipitalis: menarik kulit kepala ke belakang dan mengerutkan kulit
tengkuk.
4. Loose connective tissue (jaringan ikat longgar). Bentuknya menyerupai
spon karena berisi banyak ruang potensial yang dapat mengembang karena
menyerap cairan yang terbentuk akibat cedera atau infeksi; lapis ini
memungkinkan ketiga lapis di atasnya bergerak secara bebas terhadap lapis
terdalam.
5. Pericranium. Selapis jaringan ikat padat, melekat erat pada ossa cranii
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium
dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgleal ( hematoma
subgalea). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi
perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah
terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap
sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.
b. TULANG TENGKORAK (CRANIUM / SKULL)
Cranium (skull) adalah bagian superior tengkorak yang bulat dan besar,
yangmenutupi otak dan terbuat dari tulang-tulang cranial.
Terdiri dari :
Neurocranium (cranial bone)
Merupakan bagian cranium yang melapisi otak dan pelapis membranousnya,
cranial meninges. Juga mengandung bagianproximal cranial nerve dan perdarahan
otak.
Neurocranium terdiri dari :
- calvaria (skull cup) : bagiap atap tengkorak
- floor (cranial base) : basis cranii
Viscerocranium (facial bone)
Merupakan bagian tengkorak yang berasal dari arkus brakhialis dan terdiri dari
tulang wajah yang berkembang dari mesenkim embrionik pharyngeal arches.
Anterior Aspect of the Skull
Frontal Bone
Frontal bone membentuk dahi (bagian anterior cranium), lubang mata (orbit), dan
sebagian besar bagian anterior cranial floor.
Glabela tonjolan kecil di frontal superior nasal
Nasion pertemuan antara sutura internasal dengan frontonasal
Squama frontalis melekuk ke inferior dari coronal suture
Zygomatic Bones
Maxilla (upper jaws)
Mandible (lower jaws)
Lateral Aspect of the Skull
Pterion pertemuan antara tulang sphenoid, temporal, frontal dan parietal bones
(H shape)
External acoustic opening
Parietal Bone
Parietal Bone membentuk bagian besar pada sisi dan atap dari cranial cavity.
Permukaan internal parietal bone mengandungtonjolan dan penekanan yang
memuat pembuluh darah yang menyuplay dura matter.
Temporal Bone
Temporal Bone membentuk aspek inferior lateral cranium dan bagian cranial
floor.
Squama temporal tipis, datar, yang membentuk bagian anterior dan superior
Proyeksi dari bagian squama temporal adalah zygomatic process, yang
berartikulasi dengan temporal process pada tulang zygomatic.
Zygomatic process pada tulang temporal dan temporal process pada tulang
zygomatic membentuk zygomatic arch.
Sphenoid Bone
Sphenoid Bone memanjang pada bagian midline basis cranii.
Bergabung dengan tulang frontal anteriorly, dengan tulang temporal laterally,
dengan occipital posteriorly.
Ethmoid Bone
Ethmoid Bone seperti spons dan terletak pada midline pada anterior cranial floor
medial terhadap orbit.
Anterior terhadap sphenoid dan posterior terhadap nasal bone.
Merupakan struktur pendukungnasal cavity.
Posterior Aspect of the Skull
Occipital Bone
Occipital Bone membentuk bagian posterior dan sebagian besar basis cranii.
Lambda pertemuan antara sutura sagittal dengan sutura lambdoid
Bregma pertemuan sutura coronal dengan sagittal.
Vertex superior point dari neurocranium di midline skull
Foramen magnum bagian inferior occipital Bone
External occipital protuberance proyeksi penonjolan midline pada
permukaan posterior tulang di atas foramen magnum
Persarafan
- Depan auricula: melalui cabang-cabang ketiga divisi nervus cranialis V.
- Belakang auricula: berasal dari saraf-saraf kulit spinal (C2 dan C3).
Vaskularisasi
arcus aorta a.brachiocephalic a.carotid communis:
- a. carotis externa a. occipitalis: bagian belakang kepala
a. auricularis posterior: bagian belakang telinga
a. temporalis superficialis: bagian depan auricular
- a.carotis interna a. supratrochlearis: bagian depan/dahi kepala
a. supraorbitalis: bagian depan/dahi kepala
v. supraorbitalis v. occipitalis v. temporalis superficialis
v. supratrochlearis (dari daerah v. auricularis posterior
occipitalis) (dari depan dan belakang
Auricular)
v. facialis
(dari depan)
v. retromandibularis anterior v. retromandibularis posterior
v. jugularis interna v. jugularis eksterna
v. subclavia
Limfe
Penyaluran limfe kulit kepala adalah ke lingkaran kelenjar-kelenjar superficial:
- Nodi lymphoidei submentalis
- Nodi lymphoidei submandibularis
- Nodi lymphoidei parotidei
- Nodi lymphoidei mastoidei
- Nodi lymphoidei occipitals
Limfe dari kelenjar-kelenjar ini disalurkan ke nodi lymphoidei cervicales profundi di
sepanjang v.jugularis interna.
Vaskularisasi Otak
Vaskularisasi otak terjadi melalui cabang a.carotis interna dan a.vertebralis:
carotis communis di leher dipercabangkan a. carotis interna cabang
terminal a. cerebri anterior dan a. cerebri media.
a. subclavia di pangkal leher, dipercabangkan a. vertebralis bersatu di
tepi kaudal pons a. basilaris melintas lewat cisterna pontis ke tepi superior
pons a. cerebri posterior dextra dan a. cerebri posterior sinistra.
Circulus arteriosus cerebri (Willis), terdapat di dasar otak, dibentuk oleh a. cerebri
posterior, a. communicans posterior, a. carotis interna, a. cerebri anterior dan a.
communicans anterior.
Arteri Asal Distribusi
a. vertebralis
a. inferior posterior
cerebelli
a. basilaris
a. inferior anterior
cerebelli
a. superior cerebelli
a. carotis interna
a. cerebri anterior
a. cerebri media
a. cerebri posterior
a. communicans ant.
a. communicans post.
a. subclavia
a. vertebralis
Dibentuk melalui
persatuan kedua a.
vertebralis
a. basilaris
a. basilaris
a. carotis communis pada
tepi atas cartilage
thyroidea
a. carotis interna
Lanjutan a. carotis interna
di sebelah distal dari a.
cerebri anterior
cabang terminal a.
basilaris
a. cerebri anterior
a. cerebri posterior
Meninges dan cerebellum
Aspek postero-inferior cerebellum
Truncus encephali, cerebellum, dan cerebrum
Aspek inferior cerebellum
Aspek superior cerebellum
Melepaskan cabang-cabang dalam sinus
cavernosus dan merupakan pemasok darah
utama untuk otak
Hemisfer-hemisfer serebrum, kecuali lobus
occipitalis
Bagian terbesar permukaan lateral hemisfer-
hemisfer serebrum
Aspek inferior hemisfer-hemisfer serebrum
dan lobus occipitalis
Circulus arteriosus cerebri (Willis)
Circulus arteriosus cerebri (Willis)
c. MENINGEN
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan
ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak
melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Laserasi pada arteri ini dapat menyebabkan laserasi dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.
d. OTAK
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak
belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Serebrum terdiri dari
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falk serebri yaitu lipatan dura mater
yang berada di inferior sinus sagitalis superior.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Batang otak
terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan medulla oblongata. Mesensefalon dan
pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
e. CAIRAN SEREBROSPINAL
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 30 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
f. TENTORIUM
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi
fosa kranii posterior). Nervus okulomotorius (saraf otak ke 3) berjalan di sepanjang
tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada keadaan herniasi otak yang umumnya
diakibatkan oleh adanya masa supratentorial atau edema otak.
Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi melakukan konstriksi pupil mata
berada pada permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut ini yang disebabkan
oleh penekanan akan mengakibatkan dilatsi pupil karena aktivitas serabut simpatik
tidak dihambat. Bila penekanan ini terus berlanjut akan menimbulkan paralisis total
okulomotorik yang menimbulkan gejala deviasi bola mata ke lateral dan bawah.
Bagian otak besar yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial adalah
sisi medial lobus temporalis yang disebut girus unkus. Herniasi unkus juga
menyebabkan penekanan traktur piramidalis yang berjalan pada otak tengah. Traktus
piramidalis atau trunkus motorik menyilang garis tengah menuju sisi berlawanan
pada level foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini menyebabkan
paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia
kontralateral dikenal sebagai sindrom kalsik herniasi. Jadi, umumnya perdarahan
intracranial terdapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi, walaupun
tidak selalu.
2.2 FISIOLOGI
A. Tekanan intracranial (TIK)
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan
perubahan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi
otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan
intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan gangguan fungsi otak dan
mempengaruhi kesembuhan penderita. Jadi kenaikan tekanan intrakranial
(TTIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak,
tetapi justru merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat
kira-kira 10 mmHg (136mmH2O). TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap
tidak normal dan TIK lebih dari 40mmHg termasuk ke dalam kenaikan TIK
berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala semakin buruk prognosisnya.
B. Doktrin Monro-Kellie
Merupakan suatu konsep sederhana yang dapat menjelaskan pengertian
dinamika TIK. Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume
intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan
rongga yang tidak mungkin terekspansi/mekar. TIK yang normal tidak berarti
tidak adanya lesi massa intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas
normal sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki
fase ekspansional kurva tekanan-volume.(Gambar 1) .
Gambar 1. Kompensasi intracranial terhadap massa yang ekspansi
C. Tekanan Perfusi Otak (TPO)
Mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita cedera
kepala adalah sangat penting. Tekanan perfusi otak (TPO) merupakan
indikator yang sama penting dengan TIK. TPO mempunyai formula sebagai
berikut:
TPO = MAP – TIK
TPO kurang dari 70mmHg umunya berkaitan dengan prognosis yang
buruk pada penderita cedera kepala. Maka dari itu, mempertahankan tekanan
darah yang adekuat pada penderita cedera kepala adalah sangat penting,
terutama pada keadaan TIK yang tinggi.
D. Aliran Darah ke Otak (ADO)
Aliran darah ke otak normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak/menit.
Bila ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit, aktivitas EEG akan hilang
dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit, sel-sel otak mengalami kematian dan
terjadi kerusakan menetap. Pada penderita trauma, fenomena autoregulasi
akan mempertahankan ADO pada tingkat konstan apabila MAP 50-160
mmHg. Bila MAP < 50mmHg ADO menurun curam, dan bila MAP
>160mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat.
Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera
kepala. Akibatnya penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak
sekunder karena iskemi sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba.
Bila mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan
eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita
yang mengalami hipotensi. Maka dari itu, bila terdapat TTIK, harus
dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus
dipertahankan.
2.3 CEDERA KEPALA
2.3.1 Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun
permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik
2.3.2 Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan.kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan
daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) .
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patol-
ogis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdara-
han, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan in-
trakranial dan perubahan neurokimiawi.
2.3.3 Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan secara praktis dikenal tiga deskripsi klasifikasi
yaitu berdasarkan:
1. Mekanisme
Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-
motor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau tusukan.
Adanya penetrasi selaput dura menentukan cedera apakah cedera
tembus atau tumpul.
2. Beratnya cedera
GCS digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan
dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
Penderita dengan GCS 14-15 diklasifikasikan ke dalam cedera kepala
ringan, GCS 9-13 termasuk cedera kepala sedang, dan GCS 3-8 termasuk
cedera kepala berat. Koma didefinisikan bila penderita tidak mampu
melaksanakan perintah, tidak dapat mengeluarkan suara dan tidak dapat
membuka mata. Penderita yang mampu membuka kedua mata secara
spontan, mematuhi perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS total
sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstremitasnya
flaksid dan tidak dapat membuka mata sama sekali nilai GCSnya inimal
atau sama dengan 3.
Glasgow Coma Scale nilai aiRespon membuka mata (E) Buka mata spontan 4Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3Buka mata bila dirangsang nyeri 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4Kata-kata tidak teratur 3Suara tidak jelas 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M) Mengikuti perintah 6Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1
3. Morfologi
I. fraktur kranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar
tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone
window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign),
ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan
paresis nervus fasialis. Sebagai patokan umum bila terdapat fragmen tulang yang
menekan ke dalam, lebih dari tebal tulang kalvaria, biasanya memerlukan tindakan
pembedahan.
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan
antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater.
Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak
merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga
mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi,
lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih
banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada
pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang
tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk
dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.
Fraktur dasar tengkorak sering disertai dengan kebocoran CSS baik melalui
hidung (rhinorrhea) atau melalui telinga (otorrhea). Fraktur ini juga sering
menyebabkan paresis nervus fasialis yang dapat terjadi segera setelah cedera atau
timbul beberapa hari kemudian. Umunnya prognosis pemulihan paresis nervus
fasialis lebih baik pada keadaan paresis yang terjadi beberapa waktu kemudian.
II. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,
hematoma subdural dan kontusio (atau hematoma intraserebral). Pasien pada
kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun
keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma.
Maka cedera difus dikelompokan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan
cedera aksonal difus.
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau
menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau
temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan
biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena
pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus
vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau
9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis
dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan
gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita
pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum
pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid
interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba
meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah
dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu
homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan
mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion). Batas dengan
corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan
injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali, 2007).
b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan
sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat
robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus venosus. Namun ia juga
dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak
mungkin ada atau tidak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan
hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh
lebih buruk daripada perdarahan epidural.
Mortalitas yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat diturunkan dengan
tindakan pembedahan yang cepat dan penatalaksanaan medikamentosa yang agresif.
Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
1. SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat
tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial
hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan
tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural.
2. SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang
disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola
tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens,
berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya,
gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini
semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens .
c. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi
terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk
serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral
traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan
kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa
hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak
yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak
tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya
(countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung
pada lokasi dan luas perdarahan.
d. Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera
kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak
terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai
derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan.
Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi
tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera
komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia
retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau
hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita
dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu
misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain.
Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana
pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam
keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering
menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam
keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala
disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga
akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak
mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan.
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan
cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski
bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu
menjadi pertimbangan.
Cedera Maxiilofacial
Faktur maxilaris
Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh:
- Mobilitas palatum
- Mobilitas hidung yang menyertai palatum
- Epistaksis
- Mobilitas 1/3 wajah bag tengah.
Kalsifikasi menurut lefort
1. Lefort 1
Fraktur nelintang rendah pada maxila
yang hanya melibatkan palatum, dicirikan
oleh pergeseran arcus dentalis maxila dan
palatum, maloklusi gigi biasanya bisa
terjadi.
2. Lefort II
Fraktur ini dicirikan mabilitas palatum dan
hidung end-block, juga epistaksis yang
jelas. Biasanya maloklusi gigi dan
pergeseran pllatum kebelakang. Fraktur
end-block pada palatum dan sepertiga tngah
wajah tremasuk hidung
3. Lefort III
Merupakan cedera paling berat,
dimana perlekatan seluruh rangka
wajah terputus.seluruh komplek
zigomatikus menjadi mobile dan
tergeser.
Fraktur Mandibula
Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah
akibat kerusakan pada nervus mandibularis. Fraktur pada umumnya akan disertai
dislokasi fragmen tulang sesuai dengan tonus otot yang berinsersi di tempat tersebut.
Pada fraktur daerah dagu, otot akan menarik fragmen tulang kearah dorsokaudal,
sedangkan pada fraktur bagian lateral tulang akan tertarik kearah cranial .
Fraktur Gigi
Merupakan fraktur tersendiri atau bersama- sama dengan fraktur maksila
maupun mandibula, dimana gigi yang hancur perlu dicabut, sementara yang patah
dibiarkan.
Fraktur Os Nasal
Biasanya disebabkan oleh trauma langsung, dimana pada pemeriksaan
didapatkan pembengkakan, epistaksis nyeri tekan dan teraba garis fraktur. Foto
radiologi diperlukan dalam membantu diagnosis yakni, proyeksi foto PA dan lateral,
sedangkan tindakan yang perlu dilakukan adalah reposisi atau septoplasty.
Fraktur Orbita
Biasanya didapatkan gejala klinis berupa hematom monokel yang dapat
disertai diplopia, hemomaksila dan mati rasa pipi karena cedera nervus infraorbitalis
atau mati rasa dahi karena kerusakan nervus supraorbitalis. Fraktur juga dapat
menyebabkan enoftalmus dan sering disertai terjepitnya muskulus rectus inferior di
dalam patahan sehingga gerakan bola mata sangat terganggu dan penderita
mengalami diplopia.
Fraktur Os Zygoma
Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai
hematom orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcus
zygomaticus. Diagnosis ditegakan secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi
waters, yaitu temporooksipital.
II.3.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala tidak semua penderita dengan cedera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka
tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan
palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran.
Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal
jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi
maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1. Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah pem-
berian obat–obatan analgesia/anti muntah.
2. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakra-
nial dicebandingkan dengan kejang general.
3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah dis-
ingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris,
dll).
4. Adanya lateralisasi.
5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
Tujuan CT scan yaitu mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan
ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya
infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, Lumbal Pungsi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarach-
noid.
j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat pen-
ingkatan tekanan intrkranial
l. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penu-
runan Kesadaran
II.3.5 Penatalaksanaan
A. Cedera Otak Ringan (GCS 14-15)
- Kira – kira sebanyak 80% penderita yang dibawa ke UGD adalah cedera
kepala ringan. Penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan cedera yang dialaminya. Dapat
disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk
dibuktikan terutama bila disertai minum alcohol atau dibawah pengaruh
obat-obatan.
- Sebagian besar penderita cedera otak ringan pulih sempurna, walaupun
mungkin ada gejala sisa yang sangat ringan. Namun sebanyak 3%
mengalami perburukan yang tidak terduga, dengan akibat disfungsi
neurologis yang berat, yang seharusnya dapat dicegah dengan penemuan
perubahan kesadaran yang lebih awal.
- Pemeriksaan CT-Scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak yang
disertai dengan kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau
sakit kepala, GCS <15, serta defisit neurologis fokal. Namun bila
pemeriksaan CT scan tidak dapat dilakukan segera dan kondisi penderita
tanpa gejala neurologis dan sadar penuh maka penderita dapat diobservasi
selama 12-24 jam di RS. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk
pemerinsaan penunjang, tetapi bila tidak memungkinkan rontgen kepala
dapat dilakukan untuk membedakan trauma tumpul atau tembus.
- Pada foto polos kepala harus dicari : fraktur linear atau depresi, posisi
glandula pineal di garis tengah, batas air udara pada sinus, pneumosefal,
fraktur tulang wajah, serta benda asing.
- Fraktur dasar tengkorak sering tidak tampak pada foto rontgen kepala,
namun adanya gejala klinis seperti ekimosis periorbital, rhinorea, otorea,
hemotimpani atau battle’s sign merupakan indikasi adanya fraktur dasar
tengkorak dan penderita harus dirawat dengan observasi khusus.
- Foto servikal dilakukan bila terdapat nyeri pada palpasi leher.
- Bila diperlukan dapat diberikan obat anti nyeri non narkotik seperti
acetaminophen, kodein bisa diberikan pada keadaan yang sangat nyeri.
Suntikan toksoid tetanus rutin diberikan pada setiap luka terbuka.
- Bila penderita asimtomatis, sadar, neurologis normal observasi dilakukan
dalam beberapa jam dan diperiksa ulang. Bila kondisi tetap normal, pasien
dikatakan aman.
- Bila dalam perjalanan dijumpai sakit kepala, peurunan kesadarn, atau defisit
neurologis fokal, maka penderita dibawa kembali ke UGD.