trauma kepala

57
BAB I PENDAHULUAN Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah suatu trauma yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping

Upload: indra405037239

Post on 29-May-2017

229 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Trauma Kepala

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah suatu trauma

yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan

atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of

America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat

kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik

dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan

kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Merupakan salah satu penyebab

kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar

karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di

kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan

masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar-benar, serta rujukan

yang terlambat.

Di Indonesia kejadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai

500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah

sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera

kepala ringan, 10% termasuk cedera sedang dan 10 % termasuk cedera kepala berat.

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para

dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada

Page 2: Trauma Kepala

penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan

darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak

sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan

kesembuhan penderita.Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary

survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan,

dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.

  Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang

memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara

konservatif. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik  bila penatalaksanaan

dilakukan secara tepat dan cepat.

Page 3: Trauma Kepala

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI KEPALA

Kepala merupakan bagian superior tubuh yang menempel dengan batang tubuh

melalui leher. Kepala terdiri dari :

a. KULIT KEPALA (SCALP)

Kulit kepala menutupi cranium, dan meluas dari linea nuchalis superior pada os

occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit kepala

meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri dari lima

lapis jaringan; tiga lapis pertama saling berhubungan secara erat satu dengan yang

lain dan bergerak sebagai satu kesatuan.

1. Skin (kulit). Merupakan kulit yang tipis, mengandung banyak kelenjar

keringat dan kelenjar minyak (kecuali daerah occipital), serta folikel rambut.

2. Connective tissue (jaringan ikat). Merupakan lapisan subkutan, memiliki

banyak pembuluh darah dan saraf.

3. Aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica). Selembar jaringan ikat yang

kuat dan merupakan lembar tendo bagi m. occipitalis dan m. frontalis.

- M. frontalis: menarik kulit kepala ke depan, mengerutkan dahi, dan

mengangkat kedua alis.

- M. occipitalis: menarik kulit kepala ke belakang dan mengerutkan kulit

tengkuk.

Page 4: Trauma Kepala

4. Loose connective tissue (jaringan ikat longgar). Bentuknya menyerupai

spon karena berisi banyak ruang potensial yang dapat mengembang karena

menyerap cairan yang terbentuk akibat cedera atau infeksi; lapis ini

memungkinkan ketiga lapis di atasnya bergerak secara bebas terhadap lapis

terdalam.

5. Pericranium. Selapis jaringan ikat padat, melekat erat pada ossa cranii

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium

dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgleal ( hematoma

subgalea). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi

perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah

terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap

sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.

Page 5: Trauma Kepala
Page 6: Trauma Kepala

b. TULANG TENGKORAK (CRANIUM / SKULL)

Cranium (skull) adalah bagian superior tengkorak yang bulat dan besar,

yangmenutupi otak dan terbuat dari tulang-tulang cranial.

Page 7: Trauma Kepala

Terdiri dari :

Neurocranium (cranial bone)

Merupakan bagian cranium yang melapisi otak dan pelapis membranousnya,

cranial meninges. Juga mengandung bagianproximal cranial nerve dan perdarahan

otak.

Neurocranium terdiri dari :

- calvaria (skull cup) : bagiap atap tengkorak

- floor (cranial base) : basis cranii

Viscerocranium (facial bone)

Page 8: Trauma Kepala

Merupakan bagian tengkorak yang berasal dari arkus brakhialis dan terdiri dari

tulang wajah yang berkembang dari mesenkim embrionik pharyngeal arches.

Anterior Aspect of the Skull

Frontal Bone

Frontal bone membentuk dahi (bagian anterior cranium), lubang mata (orbit), dan

sebagian besar bagian anterior cranial floor.

Glabela tonjolan kecil di frontal superior nasal

Nasion pertemuan antara sutura internasal dengan frontonasal

Squama frontalis melekuk ke inferior dari coronal suture

Zygomatic Bones

Maxilla (upper jaws)

Mandible (lower jaws)

Lateral Aspect of the Skull

Pterion pertemuan antara tulang sphenoid, temporal, frontal dan parietal bones

(H shape)

External acoustic opening

Parietal Bone

Parietal Bone membentuk bagian besar pada sisi dan atap dari cranial cavity.

Permukaan internal parietal bone mengandungtonjolan dan penekanan yang

memuat pembuluh darah yang menyuplay dura matter.

Page 9: Trauma Kepala

Temporal Bone

Temporal Bone membentuk aspek inferior lateral cranium dan bagian cranial

floor.

Squama temporal tipis, datar, yang membentuk bagian anterior dan superior

Proyeksi dari bagian squama temporal adalah zygomatic process, yang

berartikulasi dengan temporal process pada tulang zygomatic.

Zygomatic process pada tulang temporal dan temporal process pada tulang

zygomatic membentuk zygomatic arch.

Sphenoid Bone

Sphenoid Bone memanjang pada bagian midline basis cranii.

Bergabung dengan tulang frontal anteriorly, dengan tulang temporal laterally,

dengan occipital posteriorly.

Ethmoid Bone

Ethmoid Bone seperti spons dan terletak pada midline pada anterior cranial floor

medial terhadap orbit.

Anterior terhadap sphenoid dan posterior terhadap nasal bone.

Merupakan struktur pendukungnasal cavity.

Posterior Aspect of the Skull

Occipital Bone

Occipital Bone membentuk bagian posterior dan sebagian besar basis cranii.

Page 10: Trauma Kepala

Lambda pertemuan antara sutura sagittal dengan sutura lambdoid

Bregma pertemuan sutura coronal dengan sagittal.

Vertex superior point dari neurocranium di midline skull

Foramen magnum bagian inferior occipital Bone

External occipital protuberance proyeksi penonjolan midline pada

permukaan posterior tulang di atas foramen magnum

Persarafan

- Depan auricula: melalui cabang-cabang ketiga divisi nervus cranialis V.

- Belakang auricula: berasal dari saraf-saraf kulit spinal (C2 dan C3).

Vaskularisasi

arcus aorta a.brachiocephalic a.carotid communis:

- a. carotis externa a. occipitalis: bagian belakang kepala

a. auricularis posterior: bagian belakang telinga

a. temporalis superficialis: bagian depan auricular

- a.carotis interna a. supratrochlearis: bagian depan/dahi kepala

a. supraorbitalis: bagian depan/dahi kepala

v. supraorbitalis v. occipitalis v. temporalis superficialis

v. supratrochlearis (dari daerah v. auricularis posterior

occipitalis) (dari depan dan belakang

Auricular)

Page 11: Trauma Kepala

v. facialis

(dari depan)

v. retromandibularis anterior v. retromandibularis posterior

v. jugularis interna v. jugularis eksterna

v. subclavia

Limfe

Penyaluran limfe kulit kepala adalah ke lingkaran kelenjar-kelenjar superficial:

- Nodi lymphoidei submentalis

- Nodi lymphoidei submandibularis

- Nodi lymphoidei parotidei

- Nodi lymphoidei mastoidei

- Nodi lymphoidei occipitals

Limfe dari kelenjar-kelenjar ini disalurkan ke nodi lymphoidei cervicales profundi di

sepanjang v.jugularis interna.

Vaskularisasi Otak

Vaskularisasi otak terjadi melalui cabang a.carotis interna dan a.vertebralis:

carotis communis di leher dipercabangkan a. carotis interna cabang

terminal a. cerebri anterior dan a. cerebri media.

Page 12: Trauma Kepala

a. subclavia di pangkal leher, dipercabangkan a. vertebralis bersatu di

tepi kaudal pons a. basilaris melintas lewat cisterna pontis ke tepi superior

pons a. cerebri posterior dextra dan a. cerebri posterior sinistra.

Circulus arteriosus cerebri (Willis), terdapat di dasar otak, dibentuk oleh a. cerebri

posterior, a. communicans posterior, a. carotis interna, a. cerebri anterior dan a.

communicans anterior.

Arteri Asal Distribusi

a. vertebralis

a. inferior posterior

cerebelli

a. basilaris

a. inferior anterior

cerebelli

a. superior cerebelli

a. carotis interna

a. cerebri anterior

a. cerebri media

a. cerebri posterior

a. communicans ant.

a. communicans post.

a. subclavia

a. vertebralis

Dibentuk melalui

persatuan kedua a.

vertebralis

a. basilaris

a. basilaris

a. carotis communis pada

tepi atas cartilage

thyroidea

a. carotis interna

Lanjutan a. carotis interna

di sebelah distal dari a.

cerebri anterior

cabang terminal a.

basilaris

a. cerebri anterior

a. cerebri posterior

Meninges dan cerebellum

Aspek postero-inferior cerebellum

Truncus encephali, cerebellum, dan cerebrum

Aspek inferior cerebellum

Aspek superior cerebellum

Melepaskan cabang-cabang dalam sinus

cavernosus dan merupakan pemasok darah

utama untuk otak

Hemisfer-hemisfer serebrum, kecuali lobus

occipitalis

Bagian terbesar permukaan lateral hemisfer-

hemisfer serebrum

Aspek inferior hemisfer-hemisfer serebrum

dan lobus occipitalis

Circulus arteriosus cerebri (Willis)

Circulus arteriosus cerebri (Willis)

Page 13: Trauma Kepala

c. MENINGEN

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan

yaitu :

1. Duramater

Page 14: Trauma Kepala

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal

dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan

ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak

melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial

(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering

dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang

berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau

disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan

subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan

sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan

hebat.

Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium

(ruang epidural). Laserasi pada arteri ini dapat menyebabkan laserasi dan

menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah

arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

2. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput

arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang

meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut

Page 15: Trauma Kepala

spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh

liquor serebrospinalis. Perdarahan umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

3. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah

membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk

kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan

menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak

juga diliputi oleh pia mater.

Page 16: Trauma Kepala

d. OTAK

Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari

serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak

belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Serebrum terdiri dari

hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falk serebri yaitu lipatan dura mater

yang berada di inferior sinus sagitalis superior.

Page 17: Trauma Kepala

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan

fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan

dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori

tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Batang otak

terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan medulla oblongata. Mesensefalon dan

pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan

kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum

bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

e. CAIRAN SEREBROSPINAL

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 30 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui

foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV.

CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang

terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat

granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan

kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa

volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.

f. TENTORIUM

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial

(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi

fosa kranii posterior). Nervus okulomotorius (saraf otak ke 3) berjalan di sepanjang

Page 18: Trauma Kepala

tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada keadaan herniasi otak yang umumnya

diakibatkan oleh adanya masa supratentorial atau edema otak.

Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi melakukan konstriksi pupil mata

berada pada permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut ini yang disebabkan

oleh penekanan akan mengakibatkan dilatsi pupil karena aktivitas serabut simpatik

tidak dihambat. Bila penekanan ini terus berlanjut akan menimbulkan paralisis total

okulomotorik yang menimbulkan gejala deviasi bola mata ke lateral dan bawah.

Bagian otak besar yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial adalah

sisi medial lobus temporalis yang disebut girus unkus. Herniasi unkus juga

menyebabkan penekanan traktur piramidalis yang berjalan pada otak tengah. Traktus

piramidalis atau trunkus motorik menyilang garis tengah menuju sisi berlawanan

pada level foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini menyebabkan

paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia

kontralateral dikenal sebagai sindrom kalsik herniasi. Jadi, umumnya perdarahan

intracranial terdapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi, walaupun

tidak selalu.

2.2 FISIOLOGI

A. Tekanan intracranial (TIK)

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan

perubahan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi

otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan

Page 19: Trauma Kepala

intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan gangguan fungsi otak dan

mempengaruhi kesembuhan penderita. Jadi kenaikan tekanan intrakranial

(TTIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak,

tetapi justru merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat

kira-kira 10 mmHg (136mmH2O). TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap

tidak normal dan TIK lebih dari 40mmHg termasuk ke dalam kenaikan TIK

berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala semakin buruk prognosisnya.

B. Doktrin Monro-Kellie

Merupakan suatu konsep sederhana yang dapat menjelaskan pengertian

dinamika TIK. Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume

intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan

rongga yang tidak mungkin terekspansi/mekar. TIK yang normal tidak berarti

tidak adanya lesi massa intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas

normal sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki

fase ekspansional kurva tekanan-volume.(Gambar 1) .

Page 20: Trauma Kepala

Gambar 1. Kompensasi intracranial terhadap massa yang ekspansi

C. Tekanan Perfusi Otak (TPO)

Mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita cedera

kepala adalah sangat penting. Tekanan perfusi otak (TPO) merupakan

indikator yang sama penting dengan TIK. TPO mempunyai formula sebagai

berikut:

TPO = MAP – TIK

TPO kurang dari 70mmHg umunya berkaitan dengan prognosis yang

buruk pada penderita cedera kepala. Maka dari itu, mempertahankan tekanan

darah yang adekuat pada penderita cedera kepala adalah sangat penting,

terutama pada keadaan TIK yang tinggi.

D. Aliran Darah ke Otak (ADO)

Aliran darah ke otak normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak/menit.

Bila ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit, aktivitas EEG akan hilang

dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit, sel-sel otak mengalami kematian dan

terjadi kerusakan menetap. Pada penderita trauma, fenomena autoregulasi

akan mempertahankan ADO pada tingkat konstan apabila MAP 50-160

mmHg. Bila MAP < 50mmHg ADO menurun curam, dan bila MAP

Page 21: Trauma Kepala

>160mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat.

Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera

kepala. Akibatnya penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak

sekunder karena iskemi sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba.

Bila mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan

eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita

yang mengalami hipotensi. Maka dari itu, bila terdapat TTIK, harus

dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus

dipertahankan.

2.3 CEDERA KEPALA

2.3.1 Definisi

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara

langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi

neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun

permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu

kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi

disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan

fungsi fisik

Page 22: Trauma Kepala

2.3.2 Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera

primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai

akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala

dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan.kepala.

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.

Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan

daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat

benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi

karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.

Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi

semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.

Page 23: Trauma Kepala

Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam

tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) .

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patol-

ogis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdara-

han, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan in-

trakranial dan perubahan neurokimiawi.

2.3.3 Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan secara praktis dikenal tiga deskripsi klasifikasi

yaitu berdasarkan:

1. Mekanisme

Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-

motor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.

Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau tusukan.

Adanya penetrasi selaput dura menentukan cedera apakah cedera

tembus atau tumpul.

2. Beratnya cedera

GCS digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan

dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.

Penderita dengan GCS 14-15 diklasifikasikan ke dalam cedera kepala

ringan, GCS 9-13 termasuk cedera kepala sedang, dan GCS 3-8 termasuk

cedera kepala berat. Koma didefinisikan bila penderita tidak mampu

Page 24: Trauma Kepala

melaksanakan perintah, tidak dapat mengeluarkan suara dan tidak dapat

membuka mata. Penderita yang mampu membuka kedua mata secara

spontan, mematuhi perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS total

sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstremitasnya

flaksid dan tidak dapat membuka mata sama sekali nilai GCSnya inimal

atau sama dengan 3.

Glasgow Coma Scale nilai aiRespon membuka mata (E) Buka mata spontan 4Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3Buka mata bila dirangsang nyeri 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4Kata-kata tidak teratur 3Suara tidak jelas 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Page 25: Trauma Kepala

Respon motorik (M) Mengikuti perintah 6Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

3. Morfologi

I. fraktur kranium

Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak dan dapat

berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar

tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone

window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar

tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih

rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign),

ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan

paresis nervus fasialis. Sebagai patokan umum bila terdapat fragmen tulang yang

menekan ke dalam, lebih dari tebal tulang kalvaria, biasanya memerlukan tindakan

pembedahan.

Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan

antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater.

Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak

merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga

mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi,

Page 26: Trauma Kepala

lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih

banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko

hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada

pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma

intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang

tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk

dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.

Fraktur dasar tengkorak sering disertai dengan kebocoran CSS baik melalui

hidung (rhinorrhea) atau melalui telinga (otorrhea). Fraktur ini juga sering

menyebabkan paresis nervus fasialis yang dapat terjadi segera setelah cedera atau

timbul beberapa hari kemudian. Umunnya prognosis pemulihan paresis nervus

fasialis lebih baik pada keadaan paresis yang terjadi beberapa waktu kemudian.

II. Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua

bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,

hematoma subdural dan kontusio (atau hematoma intraserebral). Pasien pada

kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun

keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma.

Maka cedera difus dikelompokan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan

cedera aksonal difus.

Page 27: Trauma Kepala

a. Hematoma Epidural

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang

potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau

menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau

temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan

biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena

pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus

vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.

Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau

9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis

dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan

gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita

pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum

pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid

interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba

meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah

dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.

Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu

homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan

mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion). Batas dengan

Page 28: Trauma Kepala

corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan

injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali, 2007).

b. Hematom Subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara

duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan

sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat

robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus venosus. Namun ia juga

dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak

mungkin ada atau tidak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan

hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh

lebih buruk daripada perdarahan epidural.

Mortalitas yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat diturunkan dengan

tindakan pembedahan yang cepat dan penatalaksanaan medikamentosa yang agresif.

Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.

Page 29: Trauma Kepala

1. SDH Akut

Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat

tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial

hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan

tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural.

2. SDH Kronis

Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang

disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola

tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens,

berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya,

gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini

semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens .

c. Kontusi dan hematoma intraserebral.

Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak

hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi

terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk

serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral

traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan

Page 30: Trauma Kepala

kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa

hari.

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan

(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak

yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak

tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi

perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya

(countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung

pada lokasi dan luas perdarahan.

d. Cedera difus

Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera

akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera

kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak

terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai

Page 31: Trauma Kepala

derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan.

Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi

tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera

komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia

retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).

Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau

hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan

lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita

dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu

misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain.

Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.

Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana

pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak

diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam

keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering

menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam

keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala

disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga

akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak

mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan.

Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan

cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski

Page 32: Trauma Kepala

bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu

menjadi pertimbangan.

Cedera Maxiilofacial

Faktur maxilaris

Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh:

- Mobilitas palatum

- Mobilitas hidung yang menyertai palatum

- Epistaksis

- Mobilitas 1/3 wajah bag tengah.

Kalsifikasi menurut lefort

1. Lefort 1

Fraktur nelintang rendah pada maxila

yang hanya melibatkan palatum, dicirikan

oleh pergeseran arcus dentalis maxila dan

palatum, maloklusi gigi biasanya bisa

terjadi.

2. Lefort II

Page 33: Trauma Kepala

Fraktur ini dicirikan mabilitas palatum dan

hidung end-block, juga epistaksis yang

jelas. Biasanya maloklusi gigi dan

pergeseran pllatum kebelakang. Fraktur

end-block pada palatum dan sepertiga tngah

wajah tremasuk hidung

3. Lefort III

Merupakan cedera paling berat,

dimana perlekatan seluruh rangka

wajah terputus.seluruh komplek

zigomatikus menjadi mobile dan

tergeser.

Fraktur Mandibula

Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah

akibat kerusakan pada nervus mandibularis. Fraktur pada umumnya akan disertai

dislokasi fragmen tulang sesuai dengan tonus otot yang berinsersi di tempat tersebut.

Pada fraktur daerah dagu, otot akan menarik fragmen tulang kearah dorsokaudal,

sedangkan pada fraktur bagian lateral tulang akan tertarik kearah cranial .

Fraktur Gigi

Merupakan fraktur tersendiri atau bersama- sama dengan fraktur maksila

maupun mandibula, dimana gigi yang hancur perlu dicabut, sementara yang patah

dibiarkan.

Page 34: Trauma Kepala

Fraktur Os Nasal

Biasanya disebabkan oleh trauma langsung, dimana pada pemeriksaan

didapatkan pembengkakan, epistaksis nyeri tekan dan teraba garis fraktur. Foto

radiologi diperlukan dalam membantu diagnosis yakni, proyeksi foto PA dan lateral,

sedangkan tindakan yang perlu dilakukan adalah reposisi atau septoplasty.

Fraktur Orbita

Biasanya didapatkan gejala klinis berupa hematom monokel yang dapat

disertai diplopia, hemomaksila dan mati rasa pipi karena cedera nervus infraorbitalis

atau mati rasa dahi karena kerusakan nervus supraorbitalis. Fraktur juga dapat

menyebabkan enoftalmus dan sering disertai terjepitnya muskulus rectus inferior di

dalam patahan sehingga gerakan bola mata sangat terganggu dan penderita

mengalami diplopia.

Fraktur Os Zygoma

Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai

hematom orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcus

zygomaticus. Diagnosis ditegakan secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi

waters, yaitu temporooksipital.

II.3.4 Pemeriksaan Penunjang

Page 35: Trauma Kepala

a. Foto polos kepala

Indikasi foto polos kepala tidak semua penderita dengan cedera kepala

diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang

sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka

tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan

palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran.

Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal

jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi

maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.

b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)

Indikasi CT Scan adalah :

1. Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah pem-

berian obat–obatan analgesia/anti muntah.

2. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakra-

nial dicebandingkan dengan kejang general.

3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah dis-

ingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris,

dll).

4. Adanya lateralisasi.

Page 36: Trauma Kepala

5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi

temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.

6. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru

7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.

8. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).

Tujuan CT scan yaitu mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan

ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya

infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.

c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan

jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

i. CSF, Lumbal Pungsi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarach-

noid.

j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)

jika terjadi peningkatan tekanan intracranial

Page 37: Trauma Kepala

k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat pen-

ingkatan tekanan intrkranial

l. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penu-

runan Kesadaran

Page 38: Trauma Kepala

II.3.5 Penatalaksanaan

A. Cedera Otak Ringan (GCS 14-15)

- Kira – kira sebanyak 80% penderita yang dibawa ke UGD adalah cedera

kepala ringan. Penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia

terhadap hal-hal yang berkaitan dengan cedera yang dialaminya. Dapat

disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk

dibuktikan terutama bila disertai minum alcohol atau dibawah pengaruh

obat-obatan.

- Sebagian besar penderita cedera otak ringan pulih sempurna, walaupun

mungkin ada gejala sisa yang sangat ringan. Namun sebanyak 3%

mengalami perburukan yang tidak terduga, dengan akibat disfungsi

neurologis yang berat, yang seharusnya dapat dicegah dengan penemuan

perubahan kesadaran yang lebih awal.

- Pemeriksaan CT-Scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak yang

disertai dengan kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau

sakit kepala, GCS <15, serta defisit neurologis fokal. Namun bila

pemeriksaan CT scan tidak dapat dilakukan segera dan kondisi penderita

tanpa gejala neurologis dan sadar penuh maka penderita dapat diobservasi

selama 12-24 jam di RS. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk

pemerinsaan penunjang, tetapi bila tidak memungkinkan rontgen kepala

dapat dilakukan untuk membedakan trauma tumpul atau tembus.

Page 39: Trauma Kepala

- Pada foto polos kepala harus dicari : fraktur linear atau depresi, posisi

glandula pineal di garis tengah, batas air udara pada sinus, pneumosefal,

fraktur tulang wajah, serta benda asing.

- Fraktur dasar tengkorak sering tidak tampak pada foto rontgen kepala,

namun adanya gejala klinis seperti ekimosis periorbital, rhinorea, otorea,

hemotimpani atau battle’s sign merupakan indikasi adanya fraktur dasar

tengkorak dan penderita harus dirawat dengan observasi khusus.

- Foto servikal dilakukan bila terdapat nyeri pada palpasi leher.

- Bila diperlukan dapat diberikan obat anti nyeri non narkotik seperti

acetaminophen, kodein bisa diberikan pada keadaan yang sangat nyeri.

Suntikan toksoid tetanus rutin diberikan pada setiap luka terbuka.

- Bila penderita asimtomatis, sadar, neurologis normal observasi dilakukan

dalam beberapa jam dan diperiksa ulang. Bila kondisi tetap normal, pasien

dikatakan aman.

- Bila dalam perjalanan dijumpai sakit kepala, peurunan kesadarn, atau defisit

neurologis fokal, maka penderita dibawa kembali ke UGD.

Page 40: Trauma Kepala
Page 41: Trauma Kepala