tinjauan yuridis dan kepastian hukum terhadap perkawinan campuran di indonesia

30
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan Campuran Yuoky Surinda, SH 15 September 2010 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk sosial selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antar manusia, antara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok - kelompok masyarakat yang berbeda. Interaksi manusia dalam masyarakat melahirkan berbagai hubungan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif. Salah satu hubungan manusia yang individual adalah hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam ikatan perkawinan. Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 1

Upload: yuoky-surinda

Post on 03-Jul-2015

1.117 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Meninjau Dari Segala Aspek Yuridis Formil dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran Di Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai mahluk sosial selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam

suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antar manusia, antara lain untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan

beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka

Tunggal Ika. Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di

antara kelompok - kelompok masyarakat yang berbeda.

Interaksi manusia dalam masyarakat melahirkan berbagai hubungan, baik yang

bersifat individual maupun yang bersifat kolektif. Salah satu hubungan manusia yang

individual adalah hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam ikatan

perkawinan.

Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin

kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai

media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebagai contoh, perkawinan campuran1, perkawinan sejenis2, kawin kontrak, dan

perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun

perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama sama sekali berbeda, bukan tidak

mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-

agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas

agama3

Pada saat sekarang ini masyarakat pada umumnya sudah tidak memperhatikan kaidah

– kaidah yang berlaku serta norma – norma yang ada dan berlaku di masyarakat maupun

negara. Kebanyakan yang sering menjadi korban dari perkawinan Siri maupun perkawinan

Campuran adalah anak yang tidak mengerti sama sekali atas apa yang terjadi dan menimpa 1 Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran adalah

perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang dimaksudkan di sini.

2 Sebagai contoh, lihat http://aruspelangi.pbwiki.com/Profil. Komunitas ini didirikan oleh Arus Pelangi untuk yang mempromosikan dan membela hak-hak dasar kaum lesbian, gay, biseksual, transseksual/transgender

3 http://hukumonline.com/detail.asp?id=15656&cl=Berita.

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 1

Page 2: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

mereka. Dan juga status perkawinan serta status dari anak dari hasil perkawinan tersebut

masih sukar untuk ditentukan.

Dalam hal ini masih banyak terdapat masalah tehadap perkawinan baik itu dari

perkawinan campuran maupun siri tidak sedikit anak yang harus menanggung akibat dari

perkawinan ini dan negara mempunyai peran penting untuk melegalkan hubungan hukum

antara pria dan wanita melalui hubungan perkawinan. Dengan adanya perkawinan dan

melahirkan keturunan merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa.

Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte

perkawinannya. Namun sayangnya, realitas ini tidak cukup disadari oleh negara, bahkan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun KHI tidak memberi

tempat bagi perkawinan beda agama. Sebagai sebuah instrumen hukum, Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 maupun KHI di samping merupakan sandaran atau ukuran tingkah laku

atau kesamaan sikap (standard of conduct), juga berfungsi sebagai suatu perekayasaan

untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih sempurna (as a tool of social engineering)

dan sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya suatu tingkah laku (as a tool of

justification). Fungsi tersebut ditegakkan dalam rangka memelihara hukum menuju kepada

kepastian hukum dalam masyarakat.4

Dalam hal ini berarti negara memiliki kewajiban untuk melindungi serta melayani

hajat hidup warga negaranya secara adil tanpa ada diskriminasi dan intervensi terhadap

warganya berkaitan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum atas dasar ini negara

harus memenuhi hak – hak sipil warga negaranya tanpe melihat agama, ras, suku bangsa

dan kepercayaan yang dianut oleh orang tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam paper ini

adalah “

A. Bagaimana Tinjuan Yuridis Dalam Perkawinan Campuran?

B. Bagaimana Kepastian Hukum Dalam Perkawinan Campuran?

BAB II

4 http://bangdenjambi.wordpress.com/perkawinan-beda-agama-dan-hak-asasi-manusia-di-indonesia/ diunduh tanggal 05 September 2010

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 2

Page 3: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

ISI

A. Ruang Lingkup Hukum Perkawinan

Dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma, bahwa di Indonesia aturan tata tertib

perkawinan itu sudah ada sejak zaman kuno, sejak zaman Sriwidjaya, Majapahit sampai masa

kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu sudah

tidak saja menyangkut warga negara Indonesia, tetapi juga menyangkut warga negara asing,

karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia (Hilman Hadikusuma, 1990:1). Akan

tetapi baru pada tahun 1974, bangsa Indonesia memiliki Undang-Undang Perkawinan

nasional yang berdasarkan Pancasila, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 yang berlaku bagi

seluruh warga negara Indonesia. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan

berbagai daerah. Berbagai hukum perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah

sebagaimana dimuat pada penjelasan umum butir 2 adalah sebagai berikut :

a. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama

yang telah diresipir dalam Hukum Adat;

b. Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;

c. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huweliks

Ordonantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);

d. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina

berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan

sedikit perubahan;

e. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainya dan Warga Negara Indonesia

keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka;

f. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan

yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 3

Page 4: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka bangsa

Indonesia telah memiliki Hukum Perkawinan yang bersifat nasional, yang tetap berpijak pada

keanekaragaman suku, bangsa dan adat istiadat.5

I. Ditinjau dari Undang – Undang Hukum Perdata

Dalam konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan hanya dipandang sebagai

hubungan keperdataan saja6. Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang - Undang

terhadap upacara - upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan. Undang - Undang

hanya  mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan

seorang pegawai catatan sipil.

Demikian juga dengan Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

yang berlaku di Indonesia. Untuk melangsungkan sebuah perkawinan, hanya dibutuhkan dua

macam syarat7, yaitu:

1. Syarat materil, yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada

umumnya. Syarat ini meliputi:

A. Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi

seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada

umumnya. Syarat itu meliputi:

1. Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri,

dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27

KUHPerdata).

2. Persetujuan dari calon suami dan istri (Pasal 28 KUHPerdata).

3. Interval 300 hari bagi seorang wanita yang pernah kawin dan ingin

kawin kembali (Pasal 34 KUHPerdata).

4. Harus ada izin dari orangtua atau wali  bagi anak-anak yang belum

dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 – Pasal 49 KUHPerdata).

B. Syarat materil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi

seseorang  untuk kawin dengan orang tertentu, yang terdiri atas 2 macam:

1. Larangan kawin dengan keluarga sedarah.

2. Larangan kawin karena zinah

5 http://etd.eprints.ums.ac.id/6985/1/R100030064.pdf diunduh tanggal 05 September 20106 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, rev. ed. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 3.7 Ibid., hlm. 63.

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 4

Page 5: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

3. Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya

perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun.

2. Syarat formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan

mencakup pemberitahuan ke pegawai Catatan Sipil (Pasal 50 – 51 KUHperdata).

I. Ditinjau dari Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (UU

Perkawinan) maka semua perundang-undangan perkawinan Hindia Belanda dinyatakan tidak

berlaku lagi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 66 UU Perkawinan.

Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir bathin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pasal

ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan antara seorang

pria dan wanita saja. Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa

perkawinan dianggap  sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus

dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil.

Pasal 6 UU Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan

perkawinan, yaitu:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat

izin kedua orangtua atau salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal

dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan  kehendaknya. Apabila

keduanya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk

menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara

atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke

atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan

kehendaknya.

3. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut di atas atau

salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka

Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan

perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin melakukan

perkawinan.

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 5

Page 6: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

4. Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasing-

masing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan.

Sementara, untuk larangan kawin, UU Perkawinan (Pasal 8) prinsipnya hanya

melarang terjadinya perkawinan yang keduanya memiliki hubungan tertentu, baik hubungan

sedarah, semenda, susuan atau hubungan - hubungan yang dilarang oleh agamanya atau

peraturan lain.8

II. Ditinjau Dari Hak Asasi Manusia

a. Dalam Instrumen Hukum Internasional

Dasar  pemikiran filsafat John Locke terkait di kemudian hari dijadikan sebagai

landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Lock berpendapat bahwa terkait dengan

kehidupan bernegara yang merupakan hasil dari teori perjanjian masyarakat, ada dua instansi 9 yang mempengaruhinya, yaitu pactum unionis yang merupakan anggapan bahwa manusia

semuanya terlahir merdeka dan sama serta pactum subjectionis yang menunjukkan adanya

hak-hak yang tidak tertanggalkan pada setiap individu, termasuk hak untuk hidup dan hak

kebebasan.

Mengenai perkawinan disinggung dalam Pasal 16 DUHAM. Menurut Pasal ini,  pria

dan wanita yang sudah dewasa, tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau

agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Keduanya mempunyai hak

yang sama atas perkawinan, selama masa perkawinan dan pada saat perceraian.  Syarat

perkawinan hanya dilihat dari faktor persetujuan saja. Perkawinan hanya dapat dilakukan bila

keduanya setuju tanpa syarat.

Menurut DUHAM, keluarga merupakan sebuah kesatuan alamiah dan fundamental

dari masyarakat. Oleh sebab itu, hak ini harus mendapat perlindungan dari masyarakat dan

negara.

DUHAM menegaskan bahwa pelaksanaan hak tersebut harus dilakukan tanpa

pengecualian apapun, termasuk berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,

agama, politik atau pendapat yang berlainan, kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik,

kelahiran ataupun kedudukan lain. Demikian juga, pembedaan tidak boleh didasarkan atas

dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari

8 http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/18 diunduh tanggal 05 September 20109 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Pusat

Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988), hlm. 309.

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 6

Page 7: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah

perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.

Demikian juga dengan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan

Politik) dan ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya). Dalam Pasal 23 ICCPR, disebutkan bahwa keluarga merupakan kesatuan

masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat

dan negara. Setiap laki-laki dan wanita yang sudah dalam usia perkawinan berhak untuk

melakukan perkawinan dan hak untuk membentuk keluarga harus diakui. Syarat mendasar

bagi perkawinan adalah adanya persetujuan yang bebas dari para pihak yang menikah (jo.

Pasal 10 ICESCR).

b. Dalam Hukum Instrumen hukum Nasional

Salah satu hal yang sangat penting dicatat adalah adanya kesadaran bahwa selama

lebih 50 tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau

pengakuan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan (Penjelasan Umum UU HAM). 

Dalam Pasal 1 angka 1 UU HAM, disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang

Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi

oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat

dan martabat manusia. Walaupun disebutkan bahwa pengaturan HAM dalam UU HAM

berpedoman pada Deklarasi HAM PBB, namun materinya disesuaikan dengan kebutuhan

hukum masyarakat dan pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945.

Terkait dengan perkawinan, Pasal 28B UUD 1945 Amandemen (Perubahan kedua

tahun 2000) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Jaminan atas hak ini sebelumnya telah

dipertegas oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya, yaitu Pasal 10 ayat (1) UU

HAM.  Sementara, ayat (2) dari pasal ini mengatur tentang syarat sahnya suatu perkawinan,

yaitu kehendak bebas calon suami atau istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. 10

B. Perwujudan Negara Dalam Memberikan Kepastian Hukum

10 http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/18 diunduh tanggal 05 September 2010

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 7

Page 8: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum sedang mengalami amasa

transisi, yaitu sedang terjadi perubahan nilai – nilai dalan masyarakat dari nilai – nilai yang

bersifat tradisional ke nilai – nilai yang modern.11 Namun, masih terjadi persoalan nilai – nilai

manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai – nilai beru yang akan menggantikannya. Sudah

barang tentu dalam proses perubahan ini akan banyak dihadapi hambatan – hambatan yang

kadang – kadang akan meninmbulkan keresahan – keresahan maupun kegoncangan di dalam

masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja misalnya, mengemukakan beberapa hambatan utama

seperti jika yang akan diubah itu identik dengan kepribadian nasional, sikap golongan

intelektual dan pimpinan masyarakat yang tidak mempraktekkan nilai – nilai yang dianjurkan

di samping sifat heterogenitas bangsa Indonesia, yang baik tingkat kemajuannya, agama serta

bahasanya berbeda satu dengan yg lainnya.12

Namun keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan

sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.Tujuan hukum tidak hanya keadilan, tetapi juga

kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Menurut Roscoe Pound salah seorang pendukung Socialogical Jurisprudence

mengatakan, hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool of

social engineering), tidak hanya sekedar melestarikan status quo.13

Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Pengertian negara hukum

(rechtstaat) merupakan kebalikan dari pengertian negara kekuasaan (machstaat). Dasar

yang mendukung keberadaan negara hukum adalah kebebasan rakyat, bukan

kebebasan negara. Tujuan negara hukum adalah memelihara ketertiban umum dan

menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.

Pemikiran negara hukum dapat ditelusuri dengan mengacu pada teori Trias

Politika dari Montesquieu. Berdasarkan teori tersebut, ada yang berpendapat bahwa negara

hukum adalah negara yang mengurangi hak - hak dasar warga negaranya berdasarkan

ketentuan peraturan perundang - undangan. Di lain pihak, ada yang berpendapat bahwa

11 Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjid, DASAR-DASAR FILASAFAT DAN TEORI HUKUM, Citra Aditya, hlm 80 -81 dalam Tentang bagaimanakah hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat indonesia, Soejarno Soekanto menjelaskannya pada pengantar Sosiologi Hukum, op cit, hlm 20 dst.

12 Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjid, DASAR-DASAR FILASAFAT DAN TEORI HUKUM, Citra Aditya, hlm 80 -81 dalam Lihat Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,op cit, hlm 9. Untuk pembacaana yang lebih mendalam perhatikan Prof. Dr. Kuntjaraningrat : Pergeseran Nilai-nilai Budaya dalam Masa Transisi termuat dalam Simposium Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta hlm 25 dst.

13 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, POKOK-POKOK FILSAFAT HUKUM Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, jakarta 2004, hlm 197.

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 8

Page 9: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

negara hukum adalah negara yang menjamin kebebasan pengadilan, yaitu kebebasan untuk

melakukan kontrol sosial terhadap segala tindakan dari alat - alat kekuasaan negara.

Negara hukum adalah negara yang membatasi kekuasaan negara terhadap warganya

dengan berlandaskan hukum. Tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum

(rule of law), sebagaimana dikemukakan Paul Scholten bahwa elemen utama suatu

negara hukum adalah, adanya pembatasan kekuasaan yang berlandaskan hukum.

Dengan demikian, pembatasan terhadap hak-hak individu hanya dapat dilakukan

apabila diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan dan setiap tindakan negara

harus selalu berdasarkan hukum.

Ciri negara hukum, antara lain dikemukakan dalam “Simposium tentang

Indonesia adalah Negara Hukum” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas

Indonesia pada tanggal 8 Mei 1966, yaitu :

1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung

persamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, dan kebudayaan.

2. Peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan

lain dan tidak memihak.

3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

Hukum mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Berkaitan

dengan keberadaan hukum tersebut, Bagir Manan menyatakan bahwa tujuan hukum

dapat sekaligus tampak dalam fungsi hukum, yaitu :

1. Menjamin keadilan.

2. Menjamin ketertiban dan ketenteraman (kedamaian).

3. Memudahkan hubungan antar anggota masyarakat.

4. Mendorong kemajuan atau perubahan.

Di lain pihak, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa salah satu fungsi

hukum yang terpenting adalah tercapainya keteraturan dalam kehidupan manusia di dalam

masyarakat. Selanjutnya dikatakan, tujuan hukum tidak dapat dipisahkan dari tujuan akhir

hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang

menjadi dasar hidup masyarakat tersebut, yang pada akhirnya bermuara pada keadilan.

Undang-Undang Perkawinan diharapkan dapat mengakomodir tujuan-tujuan hukum

sebagaimana dikemukakan di atas. Selain itu juga diharapkan dapat menjamin kepastian

hukum dalam konteks perkawinan dan akibat-akibatnya.

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 9

Page 10: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan mengatur pengertian perkawinan sebagai

berikut: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Selain pengertian perkawinan, dalam Undang-Undang Perkawinan juga diatur

mengenai keabsahan perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan,

pembatalan perkawinan, dan sebagainya.

Berkaitan dengan hal tersebut, diatur pula mengenai Asas-asas hukum perkawinan,

yaitu :

1. Asas Kesukarelaan

Merupakan asas terpenting Perkawinan Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya harus

terdapat antara kedua calon suami istri, tapi juga antara orang tua kedua belah pihak.

2. Asas Persetujuan

Kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas pertama tadi, ini berarti

bahwa tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.

3. Asas Kebebasan Memilih Pasangan

4. Asas Kemitraan

Suami istri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat

asal, pembawaan). Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami istri dalam

beberapa hal sama, dalam hal lain berbeda, suami menjadi kepala keluarga, istri

menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga.

5. Asas untuk selama-lamanya

Menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan

dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (Q.S. Al-Rum (30):(21)).14

Undang-Undang No. 39 tahun 1999 yang merupakan instrumen hukum yang mengatur

HAM secara khusus di Indonesia, dengan tegas menjelaskan pada pasal 22 ayat (1) bahwa “

Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaanya itu”. Pasal 10 ayat (1) lebih menegaskan lagi bahwa “Setiap

orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

yang sah”. Pelarangan kawin beda agama juga melanggar prinsip kebebasan dasar seseorang

14 http://intanghina.wordpress.com/2009/02/23/perkawinan-campuran-perlindungan-hukum-perempuan-wni-yang-melangsunkan-perkawinan-campuran/ diunduh tanggal 05 September 2010

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 10

Page 11: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

dalam beragama dan merupakan tindakan diskriminatif. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No.

39 Tahun 1999 secara jelas menyatakan bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan,

pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung di dasarkan pada

pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,

status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,

penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi

manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam

bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sepek kehidupan lainnya”.

Oleh karena itu, tindakan diskriminasi terhadap kebebasan seseorang dalam beragama

mesti dihentikan karena beragama merupakan salah satu hak asasi manusia dan merupakan

kebebasan dasar manusia yang diatur dan dijamin perlindungannya dalam Undang-Undang

No. 39 Tahun 1999. Hal ini tampak pada pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap

orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa

diskriminasi”. Dalam Pasal 8 juga ditegaskan bahwa negara (dalam hal ini pemerintah)

memiliki tanggungjawab menjamin prinsip kebebasan tersebut yang menjadi hak asasi

manusia, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi

tanggung jawab negara, terutama Pemerintah“. Oleh karena itu, jika terjadi pelanggaran,

pembatasan, bahkan penolakan terhadap kebebasan beragama dan kebebasan untuk

berkeluarga (menikah) di Indonesia, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap

HAM dan konstitusi itu sendiri.15

C. Pandangan Hukum Agama

Perkawinan beda agama termasuk masalah rumah tangga yang banyak mengandung

persoalan-persoalan sosial dan yuridis, baik ditinjau dari segi kaca mata hukum Islam

maupun menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini memang

menimbulkan berbagai persoalan, masalah yang dapat saja ditimbulkan dari perkawinan beda

agama tersebut. Sebab dalam aturan hukum (Undang-undang) yang berlaku, tidak mengatur

secara jelas tentang prosedur pelaksanaan perkawinan antar agama. Sedang negara kita

adalah negara hukum, yang secara formalistis berpegang pada aturan hukum yang ada

(positif) dalam melihat suatu permasalahan. Namun dalam kenyataan yang berkembang

dalam masyarakat, hal ini (perkawinan beda agama) banyak terjadi.

15 http://bangdenjambi.wordpress.com/perkawinan-beda-agama-dan-hak-asasi-manusia-di-indonesia/ diunduh tanggal 05 September 2010

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 11

Page 12: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata,

menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar

pernikahannya dapat dilangsungkan. Empat cara tersebut adalah

1. meminta penetapan pengadilan, Meminta penetapan pengadilan terakhir kali

dilakukan oleh Andi Vonny Gani pada 1989. Jika RUU Adminduk yang saat ini

sedang dibahas DPR disahkan, akan lebih banyak lagi penetapan pengadilan

dimohonkan. Ketua Konsorsium Catatan Sipil Lies Sugondo menyatakan bahwa

solusi penetapan pengadilan yang disarankannya turut dimasukkan dalam RUU

Adminduk.

2. perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, Menurut Prof Wahyono

Perkawinan menurut masing-masing agama merupakan interpretasi lain dari pasal 2

ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pagi menikah sesuai agama laki-

laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan. Masalahnya adalah

perkawinan mana yang sah?

3. penundukan sementara pada salah satu hukum agama, Penundukan diri terhadap salah

satu hukum agama mempelai mungkin lebih sering digunakan. Dalam agama Islam,

diperbolehkan laki-laki Islam menikahi wanita non-Islam, yang termasuk ahlul kitab.

Ayat Al-Quran inilah yang dipraktekkan sungguh oleh lembaga-lembaga seperti

Paramadina, Wahid Institute, dan Indonesian Conference on Religion and Peace

(ICRP), bahkan diperluas jadi memperbolehkan kawin beda agama bagi wanita

muslim. Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan

Kalina, pada awal 2005 lalu. Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh

penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan Paramadina. dan

4. menikah di luar negeri. Solusi terakhir adalah menikah di luar negeri. Lies melihat

banyak artis yang lari ke luar negeri seperti Singapura dan Australia untuk melakukan

perkawinan beda agama. Ia menjelaskan jika melakukan perkawinan di luar negeri,

berarti tunduk pada hukum di luar negeri. Pasangan tersebut mendapat akte dari

negara itu, kemudian akte di bawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya tidak

memperoleh akte lagi dari negara. Farida menilai Pemerintah tidak tegas. Meskipun

UU tidak memperbolehkan kawin beda agama, tetapi Kantor Catatan Sipil bisa

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 12

Page 13: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

menerima pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal,

Kantor Catatan Sipil merupakan produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang

dicatat KCS adalah sesuai dengan hukum Indonesia. “Secara hukum tidak sah. Kalau

kita melakukan perbuatan hukum di luar negeri, baru sah sesuai dengan hukum kita

dan sesuai dengan hukum di negara tempat kita berada. Harusnya kantor catatan sipil

tidak boleh melakukan pencatatan.”

Untuk perkawinan beda agama, mantan Menteri Agama Quraish Shihab berpendapat

agar dikembalikan kepada agama masing-masing. Yang jelas dalam jalinan pernikahan antara

suami dan istri, pertama harus didasari atas persamaan agama dan keyakinan hidup. Namun

pada kasus pernikahan beda agama, harus ada jaminan dari agama yang dipeluk masing-

masing suami dan istri agar tetap menghormati agama pasangannya. “Jadi jangan ada sikap

saling menghalangi untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya”. Romo Andang Binawan

SJ., dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya, juga menerangkan hukum gereja Katholik

memperbolehkan perkawinan beda agama selama calon mempelai non-Katholik bersedia

berjanji tunduk pada hukum perkawinan Katholik, monogami dan tidak bercerai seumur

hidup, serta membiarkan pasangannya tetap memeluk Katholik.

Sudhar Indopa, pegawai Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta, Mei lalu di depan seminar

tentang perkawinan beda agama yang diselenggarakan Lembaga Kajian Hukum Perdata

Fakultas Hukum Universitas Indonesia terang-terangan menyatakan negara bukannya tidak

mau mengakomodir perkawinan beda agama. Larangan tersebut tidak datang dari negara

melainkan dari agama. “Sepanjang tidak ada pengesahan agama, adalah tidak mungkin

catatan sipil mencatat sebuah perkawinan”.

Pendapat berbeda disampaikan pengajar hukum Islam di UI Farida Prihatini. Farida

menegaskan bahwa MUI melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, agama-agama

lain juga tidak membolehkan, bukan hanya agama Islam. “Semua agama tidak

memperbolehkan kawin beda agama. Umatnya saja yang mencari peluang-peluang.

Perkawinannya dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkawinan, tidak ada waris, anaknya

juga ikut hubungan hukum dengan ibunya. Itu zina”. Ia menilai hukum tidak akan tegak

dengan baik jika masih ada penyelundupan hukum. Jika peraturannya sudah tegas, cukup

ditegakkan saja.

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 13

Page 14: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

Seperti juga yang dikatakan Prof. Dr. Muhammad Daud Ali (alm.), dalam bukunya

yang berjudul ”Perkawinan Antar Pemeluk Agama Yang Berbeda”. Dia menguraikan

pandangannya berdasarkan hukum Islam dan sejumlah peraturan hukum di Indonesia, yang

bisa disimpulkan, diantaranya :

1. Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama dengan berbagai cara

pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah menurut agama yang diakui

keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia. Dan, karena sahnya perkawinan

didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum

agama, tidak sah pula menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia.

2. Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola

umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang

Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini, kendatipun

merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri, tidak

perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan hukum pada warga negara yang

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa

dan kaidah fundamental negara serta hukum agama yang berlaku di Indonesia.

D. Pandangan Sosiologi Hukum

Sebab dari timbulnya hal seperti ini di masyarakat, maka kita akan menemukan

berbagai macam faktor penyebab yang mereka jadikan landasan dalam melakukan

perkawinan tersebut. Dalam hal ini, hal yang mendasar bukan karena mereka tidak

mengetahui aturan yang ada dan yang berlaku (UU ataupun hukum dari agamanya masing-

masing), namun kebanyakan disebabkan oleh rasa cinta dari keduanya dan tidak ingin

dipisahkan lagi oleh siapun, apakah itu keluarga dari kedua belah pihak, bahkan oleh aturan

sekalipun, yang mereka inginkan hanyalah bagaimana agar tali kasih yang telah mereka

pupuk, bina dapat dilanjutkan pada jenjang perkawinan, yang mungkin telah menjadi

komitmen bersama dari kedua pasangan tersebut.

Inilah salah satu kendala yang dihadapi bagi mereka yang ingin melakukan

perkawinan, namun terbentur (pada aturan yang ada) yaitu oleh persoalan pada perbedaan

agama yang dianut dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan tersebut. Di mana

dalam perkembangan terakhir, jalan bagi pemeluk agama Islam dalam melaksanakan

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 14

Page 15: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

perkawinan semacam ini telah ditutup sama sekali, namun kita juga tidak dapat menutup

mata bahwa hal-hal seperti ini masih saja dapat kita temui di masyarakat.

Soerjono Soekanto mengatakan dalam peranan hukum untuk mengubah masyarakat,

akan dijumpai suatu perbedaan antara pola-pola perilaku yang hidup dalam masyarakat

dengan pola-pola yang dikehendaki oleh kaidah-kaidah hukum. Adalah suatu keadaan yang

lazim, bahwa kaidah-kaidah hukum disusun dan direncanakan oleh sebagian kecil dari

masyarakat yang menamakan dirinya sebagai elit masyarakat tersebut, yang mungkin berbeda

kepentingan dan pola-pola perilakunya dengan yang diatur. Lagipula suatu kaidah hukum

berisikan patokan perilaku yang kelak diharapkan. Namun hal demikian akan menyebabkan

tertinggalnya hukum di belakang perubahan sosial masyarakat.

Peranan hukum dalam mengatur tentang perkawinan atau membatasi perkawinan

beda agama atau antar agama melalui Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,

dan terdapat dalam pasal 2 ayat 1 yaitu : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Dalam kasus diatas bisa disebut suatu penyimpangan, yang sering dideskrispsikan

secara sederhana sebagai pelanggaran atas aturan sosial, norma, dan ekspektasi sosial yang

dapat dikenai hukuman. Seperti yang dikatakan Hargreave adalah problem ketaatan pada

aturan dan penegakan aturan di satu tempat, tampaknya setiap aturan punya aturan sekunder

dan tersier yang mengatur aplikasi aturan primer, dan setiap aturan bisa diabaikan dalam

situasi tertentu, dan hampir setiap aturan mungkin bertentangan dengan aturan lain. Menurut

Matza, orang yang menyimpang dapat melakukan tipu daya. Menurut Leslie Wilkins, sebagai

prilaku yang secara statistic jarang dilakukan tapi jelas ada aktivitas yang sering dilakukan

yang dianggap sebagai penyimpangan. dan Douglas menyatakan penyimpangan sebagai

tindakan orang-orang yang dikalahkan dalam kompetisi politik moral.

Menurut ajaran aliran Sociological Jurisprudence, hukum harus dilihat atau dipandang

sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang

mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. Sociological

jurisprudence mengkaji bagaimana norma disesuaikan dengan rasa keadilan masyarakat

sehingga ditekankan pada kesebandingan hukum. Disamping itu dalam menetapkan hukum

juga harus diperhatikan pola perilaku yang sesuai, artinya dalam pembuatan hukum

seharusnya terdapat pengkajian terlebih dahulu mengenai hal-hal yang terkait dengan

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 15

Page 16: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

keberlakuan dan efektifitas aturan tersebut sehingga hukum tidak tertinggal karena tidak

dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu.

Dalam konteks sosiologi hukum, ketidakpatuhan hukum ini terkait dengan budaya

hukum yang menggambarkan kegagalan internalisasi norma dan nilai sosial dari hukum ke

dalam sikap dan perilaku masyarakat. Kegagalan internalisasi norma dapat disebabkan karena

penggunaan hukum yang hanya berpatokan pada kaidah-kaidah agama.

Menurut Satjipto Rahardjo Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti,

bahwa kehadirannya untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh

masyarakatnya. Terjadinya konflik antara nilai-nilai hukum berasal dari interaksi antara nilai-

nilai tertentu dengan struktur sosial dimana nilai-nilai itu dijalankan.

Dalam kondisi masyarakat majemuk, seperti Indonesia, hukum modern lebih

dikedepankan, sehingga yang akan tersingkir adalah masyarakat tradisional. Namun tentunya

demi memenuhi rasa keadilan masyarakat, hukum harus mengadopsi nilai-nilai sosial dari

semua kelompok masyarakat yang ada. Hukum sebagai tool of social engineering (Roscou

Pound), mendorong lembaga-lembaga tertentu dalam membangun kondisi sosial ekonomi

(proses rekayasa sosial), sehingga hukum bisa berfungsi sebagai pendorong terciptanya

perilaku-perilaku tertentu. Penggunaan paradigma rekayasa sosial menekankan pada

efektivitas hukum yang hanya dapat dilakukan dengan pendekatan sosiologis, yaitu

mengamati interaksi antara hukum dengan lingkungan sosialnya.

Dengan demikian dalam penciptaan hukum, berbagai aspek sosial harus diperhatikan

demi berlakunya hukum secara efektif., karena pada dasarnya hukum merupakan kaidah-

kaidah yang ditetapkan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup,

sehingga sesuai dengan tujuannya. Dari sudut pandang sosiologis, menyangkut

ketidakpatuhan sebagian masyarakat terhadap ketentuan perkawinan, terjadi kegagalan

internalisasi norma dari hukum ke dalam sikap dan perilaku masyarakat, sehingga hukum

seharusnya dapat memenuhi nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.16

Dalam hal ini menurut penulis bahwa negara yang berdasarkan hukum adalah negara

yang dapat menjamin terwujudnya hak asasi manusia yang diwujudkan dengan terjaminnya

hak – hak dasar dari setiap warga negaranya baik harkat maupun martabatnya termasuk

perkawinan dan penguasa dalam negara tidak dapat dan tidak dibenarkan melakukan tindakan

16 http://sonny-tobelo.blogspot.com/2009/02/fenomena-hukum-perkawinan-beda-agama.html diunduh tanggal 05 September 2010

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 16

Page 17: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

sewenang – wenang kepada warga negaranya dengan mengatasnamakan demi kepentingan

negara.

KESIMPULAN

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 17

Page 18: Tinjauan Yuridis Dan Kepastian Hukum Terhadap Perkawinan Campuran di Indonesia

Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010

Dari penjabaran diatas menjelaskan dan menerangkan bahwa perkawinan campuran

terjadi akibat adanya perkembangan peradaban yang begitu cepat dari pola pikir manusia yg

secara lahiriah tidak bisa di intervensi oleh siapapun. Seiring dengan perkembangan ini

Negara sebagai wadah hukum yang dijalankan melalui penegak hukumnya seharusnya dapat

memberikan suatu jaminan dan kepastian hukum yang berlaku bagi warga negaranya serta

melindungi harkat dan martabat warga negaranya yang dalam hal ini negara tidak serta merta

memaksa warga negaranya untuk mentaati dan menjalankan peraturan atau kontistusi yang

berlaku tanpa memikirkan aspek sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Negara membentuk

serta membuat suatu ketentuan hukum yang akan diberlakukan kepada masyarakat

seharusnya mempertimbangkan banyak hal dan melihat dari seluruh aspek yang ada karena

tujuan hukum itu dibentuk harus dapat mengakomodir aspek keadilan, kepastian dan

kemanfaatan yang akhirnya harus diselenggarakan berdasarkan pernghormatan terhadap

harakat dan martabat manusia yang dapat diwujudkan dalam suatu peraturan perundang –

undangan yang mendasar pada HAM. Perkawinan campuran setidaknya dapat dicarikan jalan

keluar secara yuridis legal meskipun religius tidak legal, karena religius merupakan urusan

orang itu sendiri dan negara tidak berhak mencampurinya namun negara hanya dapat

memberikan suatu kepastian hukum atas perkawinan tersebut melalui peraturan perundang –

undangan yang diberlakukan nantinya.

Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 18