tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggorengan Penggorengan merupakan pengolahan pangan yang umum dilakukan untuk mempersiapkan makanan dengan jalan memanaskan makanan dalam pan yang berisi minyak. Proses ini bertujuan untuk menghasilkan produk yang mengembang dan renyah, selain itu untuk meningkatkan citarasa, warna, gizi dan daya awet produk akhir. Penggorengan dapat mengubah eating quality suatu makanan dan memberikan efek preservasi akibat dekstruksi termal mikroorganisme dan enzim serta mengurangi kadar air sehingga daya simpan menjadi lebih baik (Ketaren, 1986). Weiss (1983) melaporkan bahwa sebagian air akan menguap dan ruang kosong yang semula diisi air akan diisi minyak. Menurut Fellows (1990) penggorengan adalah suatu operasi mengubah eating quality suatu makanan, memberikan efek preservasi akibat destruksi termal pada mikroorganisme dan enzim, serta mengurangi aktivitas air (aw). Shelf life makanan goreng hampir semuanya ditentukan oleh kadar air setelah penggorengan. Proses utama yang terjadi selama penggorengan adalah perpindahan panas dan masa, dengan minyak yang berfungsi sebagai media penghantar panas. Panas yang diterima bahan dipergunakan untuk berbagi

Upload: fia-noviyanti

Post on 29-May-2015

7.836 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penggorengan

Penggorengan merupakan pengolahan pangan yang umum dilakukan

untuk mempersiapkan makanan dengan jalan memanaskan makanan dalam pan

yang berisi minyak. Proses ini bertujuan untuk menghasilkan produk yang

mengembang dan renyah, selain itu untuk meningkatkan citarasa, warna, gizi dan

daya awet produk akhir. Penggorengan dapat mengubah eating quality suatu

makanan dan memberikan efek preservasi akibat dekstruksi termal

mikroorganisme dan enzim serta mengurangi kadar air sehingga daya simpan

menjadi lebih baik (Ketaren, 1986). Weiss (1983) melaporkan bahwa sebagian air

akan menguap dan ruang kosong yang semula diisi air akan diisi minyak.

Menurut Fellows (1990) penggorengan adalah suatu operasi mengubah

eating quality suatu makanan, memberikan efek preservasi akibat destruksi termal

pada mikroorganisme dan enzim, serta mengurangi aktivitas air (aw). Shelf life

makanan goreng hampir semuanya ditentukan oleh kadar air setelah

penggorengan. Proses utama yang terjadi selama penggorengan adalah

perpindahan panas dan masa, dengan minyak yang berfungsi sebagai media

penghantar panas. Panas yang diterima bahan dipergunakan untuk berbagi proses

dalam bahan, antara lain untuk penguapan air, gelatinisasi pati, denaturasi protein,

reaksi pencoklatan dan karamelisasi. Proses yang beragam ini harus dikendalikan

sedemikian rupa sehingga tidak merusak mutu produk. Salah satu

pengendaliannya adalah dengan mengatur waktu dan suhu penggorengan

(Suyitno, 1991).

Proses penggorengan suatu produk pada umumnya terdiri dari empat

tahap, yaitu:

1. Tahap pemanasan awal (initial heating)

Selama tahap ini bahan terendam dalam minyak panas hingga suhunya

sama dengan titik didih minyak. Perpindahan panas yang terjadi antara minyak

dengan bahan selama penggorengan ini merupakan perpindahan panas konveksi

dan tidak terjadi penguapan air dalam bahan.

Page 2: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

2. Tahap pendidihan permukaan (surface boilling)

Tahap ini dimulai dengan proses penguapan air permukaan. Perpindahan

panas konveksi alami berubah menjadi konveksi paksa karena adanya turbulensi

minyak di sekitar bahan. Selama proses ini mulai terbentuk lapisancrustdi

permukaan.

3. Tahap laju menurun (falling rate)

Tahap laju menurun ditandai dengan adanya penguapan lebih lanjut dan

kenaikan suhu pusat sehingga mendekati titik didih minyak. Pada tahap ini terjadi

perubahan fisika kimia seperti gelatinisasi pati dan pemasakan. Lapisan crust yang

terbentuk menjadi lebih tebal dan penguapan air permukaan semakin menurun.

4. Titik akhir gelembung (bubble end point)

Apabila bahan digoreng dalam waktu yang relatif lama, maka laju

pengurangan kadar air akan semakin menurun dan tidak ada lagi gelembung udara

di permukaan bahan.

Menurut Ketaren (1986), metode penggorengan yang umum digunakan

adalah penggorengan gangsa (pan frying) dan penggorengan rendam (deep

frying). Sistem menggoreng deep fat frying adalah yaitu bahan terendam

seluruhnya dalam minyak sehingga penetrasi panas dari minyak dapat masuk

secara bersamaan pada seluruh permukaan bahan yang digoreng sehingga

kematangan bahan yang digoreng dapat merata. Deep fat frying merupakan

metode penggorengan yang penting karena prosesnya cepat, tepat dan

menghasilkan makanan dengan tekstur dan flavor yang disukai. Deep fat frying

juga hanya memerlukan unit peralatan yang sederhana serta menghasilkan limbah

gas yang jumlahnya kecil (Lawson, 1994).

Morreira (1999), metode penggorengan deep fat frying merupakan proses

pemasakan makanan dengan menggunakan kontak langsung dengan minyak

panas, dalam cara ini terjadi perpindahan panas dan massa. Perpindahan panas

selama penggorengan berjalan cepat karena seluruh permukaan bahan berinteraksi

langsung dengan minyak goreng sehingga akan menghasilkan warna dan

penampakan produk yang seragam. Menurut Fellows (1990), metode

penggorengan ini cocok untuk semua bentuk makanan, tetapi bahan makanan

Page 3: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

dengan bentuk yang tidak teratur cenderung mengangkat minyak dalam volume

besar ketika diangkat dari alat penggoreng.

Makanan gorengan hendaknya memiliki warna coklat yang baik dan

absorbsi minyak yang minimal. Faktor paling penting yang mempengaruhi sifat-

sifat ini adalah temperatur minyak goreng. Penggunaan temperatur minyak yang

terlalu tinggi menyebabkan pembentukan warna coklat dan crustpada permukaan

bahan makanan tidak sempurna. Apabila temperatur yang digunakan terlalu

rendah, bahan makanan perlu waktu lebih lama untuk mencapai warna coklat

yang dikehendaki dan semakin lama bahan dalam minyak goreng maka semakin

banyak minyak yang terabsorbsi. Kisaran suhu yang dianggap secara ekonomis

masih layak adalah antara 163-199 °C (Djatmiko dan Erni, 1985 dalam

Tursilawati, 1999).

2.2 Proses Penggorengan

Proses menggoreng adalah salah satu cara memasak bahan makanan

mentah (raw food) menjadi makanan matang menggunakan minyak goreng

(Sartika, 2009). Sedangkan menurut Muchtadi (2008) penggorengan adalah

suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng

sebagai penghantar panas. Minyak berfungsi sebagai medium penghantar

panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan

pangan (Ketaren, 1986). Sedangkan menggoreng hampa adalah menggoreng

berbagai macam produk dengan kondisi hampa udara.

Pada umumnya proses penggorengan dibedakan menjadi dua macam

yaitu pan frying dan deep frying. Ciri dari pan frying adalah bahan pangan

yang digoreng tidak sampai terendam di dalam minyak, sedangkan pada sistem

deep frying dibutuhkan banyak minyak karena bahan pangan yang digoreng

harus terendam seluruhnya. Deep fat frying didefinisikan sebagai proses

dimana makanan dimasak dengan cara direndam dalam minyak nabati atau

lemak dipanaskan di atas titik didih air. Proses ini dilakukan secara

tradisional dalam kondisi atmosfer dan suhu penggorengan biasanya

mendekati 180˚C. (Dobraszczyk, Ainsworth, Ibanoglu, & Bouchon, 2006 dalam

Mariscal M 2008).

Page 4: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

Menurut Djatmiko (1985) penggorengan adalah proses untuk

mempersiapkan makanan dengan jalan memanaskan makanan dalam ketel

yang berisi minyak. Selama proses penggorengan minyak akan mengalami

pemanasan pada suhu tinggi. Pemanasan akan mengakibatkan terjadinya

perubahan-perubahan alam sifat fisiko kimia minyak sehingga akan berpengaruh

terhadap mutu bahan makanan yang digoreng. Prinsip penggorengan menurut

Robertson (1967) dalam Djatmiko (1985) dapat dilihat pada Gambar 1. Di sini

yang menjadi input dari ketel penggorengan adalah minyak, bahan makanan yang

digoreng dan panas, sedangkan yang menjadi output adalah makan yang

telah digoreng, uap panas, minyak “by-products” berminyak dan potongan-

potongan bahan makanan yang dapat disaring.

Gambar 1. Proses penggorengan secara “deep-fat frying” (Robertson, 1967)

Selama penggorengan bahan pangan dapat terjadi perubahan-perubahan

fisikokimiawi baik pada bahan pangan yang digoreng, maupun minyak

gorengnya. Apabila suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168-

196˚C) maka akan menyebabkan degradasi minyak goreng berlangsung

dengan cepat (antara lain titik asap menurun). Titik asap minyak goreng

tergantung pada kadar gliserol bebas. Titik asap adalah saat terbentuknya

akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada

tenggorokan.

Penggorengan dengan suhu tinggi sehingga makanan menjadi sangat

matang memicu terjadinya reaksi browning (pencoklatan) dan akhirnya

muncul senyawa amina-amina heterosiklis penyebab kanker. Selain itu

Page 5: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

penggorengan juga mengakibatkan penurunan kandungan zat-zat gizi karena

rusak. Kesalahan teknik menggoreng juga bisa berdampak buruk lainnya. Apabila

minyak belum siap untuk menggoreng, kadang-kadang bahan makanan akan

menyerap minyak lebih banyak. Penting diketahui bahwa meski sebagian zat

gizi akan rusak selama penggorengan, makanan yang digoreng rasanya lebih

gurih dan mengandung kalori lebih banyak. Cita rasa makanan gorengan ini

sering lebih enak dibandingkan dengan makanan rebusan.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penggorengan adalah

ketel penggorengan dan minyak goreng. Syarat ketel penggorengan ialah

maempunyai konstruksi yang baik, “coeficient of oil renewal” besar, peralatan

ketel harus terbuat dari metal yang tahan oksidasi dan ketel harus sering

dibersihkan. Sedangkan minyak yang dipakai harus baik mutunya dimana

kandungan asam lemak bebasnya rendah, ketidak jenuhannya tinggi, smoke

point tinggi dan titik cair rendah. Dalam proses penggorengan suhu tidak

boleh terlalu tinggi, kontak minyak dengan udara harus kecil dan minyak

harus sering dibersihkan dari kotoran-kotoran. Minyak yang telah dipakai dapat

dimurnikan kembali, akan tetapi kemurniannya tidak akan seperti semula.

Pemakaian minyak ini harus dicampur dengan minyak segar (Djatmiko 1985).

Menurut Muchtadi (2008), Pada penggorengan deep frying (Gambar

2) saat bahan makanan dimasukkan ke dalam minyak suhu permukaan bahan

akan segera meningkat dan air menguap, permukaan bahan pangan akan

mengering, terjadi penguapan lebih lanjut dan berbentuk kerak (crust). Suhu

permukaan bahan akan meningkat hingga suhu minyak panas, sedangkan

suhu bagian dalam bahan pangan akan meningkat secara perlahan hingga

suhu 100˚C. Suhu proses penggorengan pada tekanan atmosfer terjadi pada

suhu titik didih minyak sekitar 180˚C-200˚C.

Pada saat bahan pangan digoreng, akan terjadi pindah panas dari

sumber panas penggoreng ke bahan pangan, melalui media pindah panas

minyak goreng. Akibat proses pemanasan tersebut, bahan pangan akan

melepaskan uap air yang dikandungnya. Permukaan bahan pangan memiliki

struktur yang porous, yang memiliki kapiler-kapiler dengan berbagai ukuran.

Selama penggorengan, air dan uap air akan dikeluarkan melalui kapiler-

Page 6: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

kapiler yang lebih besar dahulu, dan digantikan oleh minyak panas. Uap air

yang keluar dari bahan pangan pada saat penggorengan akan dilepaskan ke

udara bebas.

Penguapan air menyebabkan kadar air pada permukaan bahan pangan

yang digoreng menjadi rendah, yang menyebabkan tekstur yang renyah.

Minyak juga akan melepaskan hasil degradasi minyak yang bersifat volatil ke

udara. Bahan pangan sendiri akan melepaskan remah-remah hasil penggorengan

ke dalam minyak, demikian juga berbagai komponen yang terlarut minyak

akan berada pada minyak goreng. Suhu tinggi akan menyebabkan waktu

penggorengan lebih singkat. Namun suhu tinggi juga dapat mempercepat

terjadinya kerusakan minyak akibat pembentukan asam lemak bebas, yang

mengakibatkan perubahan kekentalan, flavor, dan warna minyak goreng.

Pemanasan yang berlebihan pada bahan pangan mengakibatkan minyak

lebih banyak terperangkap dalam produk gorengan. Produk yang diibginkan

memiliki kerak yang kering dengan bagian dalam basah , harus digoreng pada

suhu tinggi. Terbentuknya kerak pada permukaan bahan pangan akan

menghambat laju pindah panas ke bagian dalam bahan pangan. Pemanasan pada

tekanan atmosfer memungkinkan terjadinya kontak antara minyak goreng dengan

udara yang memungkinkan terjadinya oksidasi pada minyak.

Gambar 2. Skema penggorengan deep frying pada tekanan atmosfer

Menurut Muchtadi (2008) berdasarkan kondisi prosesnya,

penggorengan juga dapat dilakukan pada kondisi tekanan atmosferik,

bertekanan lebih tingggi dari tekanan atmosfer, dan pada kondisi vakum.

Penggorengan pada kondisi tekanan atmosfer terjadi pada penggorengan

Page 7: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

konvensional dimana proses penggorengan dilakukan secara terbuka pada

tekanan normal atmosfer. Suhu proses penggorengan pada tekanan atmosfer

terjadi pada suhu titik didih minyak yaitu sekitar 180-200˚C.

Uap air yang keluar dari bahan pangan akan dilepaskan ke udara

bebas. Proses penggorengan pada kondisi bertekanan, dilakukan pada tekanan

yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan

peralatan penggorengan khusus dengan sistem tertutup yang mampu

menahan tekanan tinggi. Wajan penggorengan berupa wadah tertutup yang

diberi tekanan tinggi yang akan mengakibatkan proses penggorengan terjadi

pada suhu yang juga lebih tinggi.

Proses penggorengan pada kondisi vakum adalah proses yang terjadi

pada tekanan lebih rendah dari tekanan atmosfer, hingga tekanan lebih kecil

dari 0 atau kondisi hampa udara. Proses penggorengan pada tekanan yang lebih

rendah akan menyebabkan titik didih minyak goreng juga lebih rendah,

misalnya dapat mencapai 90˚C. Proses penggorengan yang terjadi pada suhu

yang rendah ini menyebabkan proses ini sangat sesuai digunakan untuk

menggoreng bahan pangan yang tidak tahan suhu tinggi.

Bahan pangan seperti sayuran dan buah segar, apabila digoreng pada

tekanan atmosfer akan segera mengalami kecoklatan dan gosong, teksturnya

juga lembek dan liat karena tidak banyak melepaskan air yang

dikandungnya. Sedangkan bila digoreng dengan kondisi vakum, suhu

penggorengan akan lebih rendah sehingga dapat dihasilkan warna hasil gorengan

yang baik, serta tekstur yang renyah.

2.3 Teknik Penggorengan Bahan Pangan

Penggorengan adalah proses perpindahan panas dan uap air secara

simultan yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air bahan

yang dipindahkan dari permukaan bahan yang digoreng dengan minyak sebagai

media panghantar panas. Tujuan penggorengan adalah mengurangi kadar air

bahan akibat dari penguapan karena pemanasan.

Sedangkan menurut Azkenazi et al (1984), menyatakan bahwa

penggorengan adalah suatu teknik pemasakan dan pengeringan melalui kontak

Page 8: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

dengan minyak atau lemak panas yang melibatkan pindah panas dan massa secara

simultan. Pada proses penggorengan pemanasan bahan berlangsung secara cepat

dengan penetrasi jauh kedalam, sehingga penurunan nilai gizi dan kualitas

sensorisnya lebih kecil.

Menurut Lawson (1995), proses penggorengan dapat dibedakan menjadi 3

metode yaitu: griddling, pan frying, dan deep fat frying. Metode griddling dan

pan frying banyak digunakan dalam pengolahan pangan skala rumah tangga.

Metoda griddling adalah proses penggorengan dengan menggunakan griddle

(alat penggoreng dengan permukaan datar) dan minyak goreng yang sangat

sedikit, sehingga membentuk lapisan film minyak pada permukaan griddle.

Sedangkan goreng gangsa (pan frying/contact frying) adalah teknik

menggoreng dimana bahan bersentuhan langsung dengan pemanas dan hanya

dibatasi oleh selapis tipis minyak/lemak. Secara tradisional umumnya proses ini

hanya berlangsung pada satu permukaan dari bahan yang digoreng, sehingga

bahan perlu dibolak- balik agar matang secara merata. Sedangkan metode deep

fat frying yaitu proses menggoreng dengan menggunakan pindah panas yang

langsung dari minyak yang panas kemakanan yang dingin (Lawson, 1995).

Dimana metode ini biasa digunakan dalam industri-industri makanan.

Pengertian menggoreng cenderung mengarah ke pengertian “deep fat

frying”, dimana seluruh bagian bahan pangan terendam dalam banyak minyak dan

seluruh bagian permukaannya mendapat perlakuan panas yang sama sehingga

berwarna seragam. Proses penggorengan ini terdiri dari 4 tahap. Tahap pertama

disebut tahap pemanasan awal. Pada tahap ini pindah panas yang terjadi antara

minyak dan bahan adalah konveksi dan belum terjadi penguapan air dari bahan.

Sedangkan pada tahap kedua lapisan luar bahan pangan mulai mendidih, dan

penguapan air bahan mulai terjadi sehingga terbentuk renyahan.

Tahap ketiga (falling rate) ditandai dengan banyaknya keluar air dari

bahan pangan dengan suhu permukaan bahan diatas 100˚C, temperatur lapisan

core mulai mencapai titik didih dan lapisan renyahan terus terbentuk. Sedangkan

pada tahap keempat yang disebut dengan bubble end point, proses yang terjadi

yaitu laju penguapan air berkurang dan tidak ada gelembung terlihat dilapisan

permukaan bahan.

Page 9: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

Perpindahan massa yang terjadi dalam proses penggorengan ada dua, yaitu

penguapan air dan penyerapan minyak. Bahan makanan mengalami penurunan

kadar air selama proses penggorengan dalam dua cara, pertama transfer massa air

terjadi dari dalam ke permukaan bahan kemudian menguap kelingkungan, dan

kedua perubahan massa air menjadi uap terjadi di dalam bahan.

2.4 Struktur Produk Gorengan

Struktur dasar pangan gorengan terdiri dari “inerzone” atau inti,

“outerzone” atau kerak dan “outerzone surface” atau permukaan kerak

(Robertson, 1967). Inti adalah bagian yang masih mengandung air. Pada pangan

tipis seperti keripik, bagian inti ini hampir tidak ada yang tertinggal hanya

bagian kerak saja.

Gambar 3. Struktur bahan pangan yang digoreng

Kerak “outerzone” adalah bagian luar pangan gorengan yang mengalami

dehidrasi, semakin tebal bagian ini maka makin banyak minyak yang terserap.

“Outerzone surface” adalah bagian paling luar dari bahan pangan gorengan yang

berwarna coklat kekuningan. Warna coklat umumnya me rupakan hasil reaksi

“Maillard” yang dipengaruhi oleh komposisi makanan, suhu dan lama

penggorengan.

Ada dua cara untuk menggolongkan produk hasil gorengan. Yang pertama

dikemukakan oleh Azkenazi, et al (1984) serta Blumenthal (1991) dimana

mereka membagi produk gorengan menjadi (a) produk gorengan tanpa kerak

contohnya ayam goreng, (b) produk dengan kerak contohnya “French fries” dan

(c) produk yang keseluruhannya berupa kerak seperti keripik kentang.

2.5 Transfer Panas

Page 10: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

Penggorengan merupakan fenomena transfer yang terjadi secara simultan

yaitu transfer panas, transfer massa air dan transfer minyak. Panas yang ditransfer

dari minyak ke bahan, massa air diuapkan dari bahan dan minyak diserap oleh

bahan (Whitaker 1977a; Sahin et al. 1999). Faktor- faktor yang memp engaruhi

proses transfer panas dan massa tersebut adalah sifat-sifat thermal dan

physicochemical bahan dan minyak, suhu minyak dan perlakuan bahan sebelum

digoreng (Krokida et al . 2001).

Kecepatan transfer panas dari minyak ke bahan sangat dipengaruhi oleh

suhu minyak, koefisien transfer panas, konduksi bahan dan bentuk dimensi serta

ukuran bahan. Kecepatan transfer massa air dari bahan ke lingkungan (minyak)

dipengaruhi oleh kadar air awal produk yang akan digoreng, difusifitas bahan dan

bentuk dimensi serta ukuran bahan. Kecepatan transfer minyak oleh bahan

dipengaruhi oleh suhu minyak, viskositas minyak, porositas bahan, dan perbedaan

tekanan kapiler. Panas merupakan dasar dari proses pemasakan, yang diakibatkan

dari meningkatnya temperatur berakibat terhadap energi input.

2.6 Suhu Penggorengan

Suhu penggorengan harus lebih tinggi dari titik didih air, tetapi tidak boleh

tinggi karena akan mempercepat kerusakan minyak. Biasanya suhu penggorengan

yang dipakai adalah 177 - 221˚C (Winarno, 1997), atau 163-196˚C (Block, 1964),

tergantung bahan pangan yang akan digoreng.

Penggorengan pada suhu 165- 178˚C baik untuk menggoreng kacang dan

berbagai jenis keripik, sedangkan pada suhu 190˚C baik untuk menggoreng donat

(Robertson, 1967). Pedoman umum dalam menggoreng telah dirumuskan oleh

Weiss (1985) yakni untuk makanan yang berbentuk irisan kecil penggorengan

dilakukan secara cepat menggunakan suhu tinggi. Sedangkan untuk irisan besar

yang membutuhkan waktu yang lama untuk penetrasi panas, sebaiknya digoreng

pada suhu yang rendah. Tindakan ini untuk mencegah pemasakan yang berlebihan

atau gosongnya permukaan bahan pangan.

Temperatur penggorengan yang tinggi menyebabkan air dalam bahan

makanan menjadi panas dan terpompa keluar kedalam minyak disekitarnya dalam

Page 11: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

bentuk uap air. (Varela, dkk, 1988). Sebagian air akan menguap dari ruang kosong

yang semula diisi air kemudian diisi oleh minyak.

2.7 Perubahan Kandungan Air Bahan

Pindah massa selama proses penggorengan terutama ditandai dengan

hilangnya sejumlah kandungan air bahan yang terjadi karena menguapnya air dari

bagian kerak dan menurunnya kapasitas pengikatan air (water holding capacity)

bahan pada saat kenaikan suhu (Hallstrom, 1980). Kadar air merupakan parameter

penting untuk diterima oleh konsumen karena akan menentukan sifat keripik.

Menurut Prashad dan Mathur (1956) kehilangan air paling banyak terjadi

pada menit pertama dan jumlahnya semakin bertambah dengan meningkatnya

suhu penggorengan (Irawan, 1992). Pada awal terbentuknya kerak, air yang

diuapkan pada lapisan tersebut ditransfer keluar permukaan bahan melalui media

pemanas cair yang terlihat dalam bentuk gelembung kecil. Pada saat itu terjadi

penurunan kadar air yang paling besar. Dengan meningkatnya waktu

penggorengan, kerak makin tebal dan menghalangi jalannya uap air, akibatnya

laju penurunan kadar air semakin berkurang. Pembentukan lapisan kerak yang

kering pada bagian luar bahan menyebabkan adanya gradient difusi uap air pada

bagian tersebut dan gradient tekanan uap air dibawah lapisan kerak (Irawan,

1992).

2.8 Pengaruh Penggorengan Terhadap Kerusakan Nutrisi

Oksidasi pada lemak dapat menyebabkan terjadinya ketengikan

(Autooksidasi). Menurut Ketaren (1986) faktor-faktor yang mempercepat oksidasi

adalah (1) radiasi oleh panas dan cahaya; (2) bahan pengoksidasi (oxidizing

agent); (3) katalis metal khususnya garam dari logam berat; (4) system oksidasi

yang diakibatkan adanya katalis organik yang labil terhadap panas. Kerusakan

akibat oksidasi pada bahan pangan yang berlemak terdiri atas dua tahap, tahapan

pertama disebabkan oleh reaksi lemak dengan oksigen, tahapan kedua yang

merupakan kelanjutan dari tahapan pertama, yang prosesnya dapat merupakan

proses oksidasi maupun non oksidasi. Pada oksidasi ini umumnya terjadi pada

setiap jenis lemak seperti minyak goreng.

Page 12: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

Oksidasi lemak akan bereaksi dengan komponen bukan berasal dari lemak

yaitu dengan protein. Perubahan oksidatif dari fraksi lemak adalah kecil

tergantung dari kadar asam lemak tidak jenuh pada makanan yang digoreng.

Senyawa peroksida yang mengalami dekomposisi oleh panas dalam waktu yang

lama akan mengakibatkan destruksi beberapa vitamin dalam bahan pangan yang

berlemak. Peroksida ini juga dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan

flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlahnya lebih besar

daro 100 maka dia bersifat racun dan tidak dapat dimakan (Ketaren, 1986).

Menurut Ketaren (1986), autooksidasi acyl -lipid ini dapat dihambat

dengan tiga cara yaitu (1) dengan meminimalkan kontak dengan oksigen, (2)

penyimpanan pada suhu rendah bebas cahaya, dan (3) dengan penggunaan

kemasan vakum atau dengan pemberian oksidasi glukosa.

2.9 Jenis-Jenis Penggoreng (Fryer)

Jenis-jenis penggoreng menurut FSTC (2002) antara lain :

1. Open Deep-Fat Fryer adalah jenis penggoreng yang paling umum

digunakan.

2. Pressure Dee-Fat Fryer adalah penggorengan yang berlangsung pada

tekanan lebih dari 1atm. Penggunaan tekanan dimaksudkan untuk

mengurangi resapan minyak ke dalam produk dan mengurangi kehilangan

air dari produk.

3. Vacuum Deep-Fat Fryer adalah penggorengan yang berlangsung pada

tekanan di bawah 1atm. Jenis ini digunakan untuk produk yang tidak tahan

pada suhu tinggi.

Teknologi pemanasan minyak goreng khususnya pada penggoreng

komersial pada dasarnya menggunakan pipa panas (heat pipe). Sumber panas

yang digunakan untuk memanaskan pipa pemanas antara lain :

1. Panas listrik melalui kawat pemanas

2. Panas uap yang dibangkitan lewat boiler

3. Panas gas lewat pembakaran bahan bakar gas atau minyak.

Posisi atau letak pipa panas dalam wada h penggoreng pada umumnya

terletak di dasar sehingga minyak goreng menerima panas dari bawah.

Page 13: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

Perpindahan panas dari pipa panas ke minyak goreng berlangsung secara konveksi

natural akibat bouyancy force. Kapasitas wadah penggorengan berkisar antara 7

kg sampai 90 kg minyak goreng dengan daya listrik berkisar antara (2 – 27) kVA

untuk penggorengan komersial (FSTC, 2002).

2.10 Deep fat frying

Prinsip penggorengan “ deep fat frying”, minyak, bahan pangan dan panas

adalah input proses sedangkan out putnya berupa makanan gorengan, uap air, uap

minyak, minyak jelantah dan remah- remah bahan pangan (Robertson, 1967).

Metode ini sangat penting karena prosesnya cepat, mudah dan produknya

mempunyai tekstur dan aroma yang lebih disukai.

Gambar 4. Kesetimbangan masa dan panas pada proses penggorengan secara deep

fat frying (modifikasi Robertson, 1967)

Akibat proses penggorengan terjadi perubahan- perubahan fisik yang

bersifat spesifik yaitu (1) kenaikan suhu produk ke level yang dikehendaki, (2)

evaporasi air, (3) kenaikan suhu permukaan hingga terjadi pencoklatan dan

terbentuknya kerak, (4) perubahan di mensional bahan pangan, (5) terserapnya

minyak kedalam bahan, dan (6) perubahan densitas produk gorengan yang

menyebabkan produk timbul tenggelam selama proses berjalan (Block, 1955).

2.11 Mesin Penggoreng Vakum

Menurut Lastriyanto (2006), penggorengan hampa dilakukan dalam

ruang tertutup dengan kondisi tekanan rendah sekitar 70 cmHg. Dengan

penurunan tekanan maka suhu penggorengan bisa dilakukan relatif lebih

Page 14: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

rendah dibandingkan suhu penggorengan dengan tekanan atmosfir. Prinsip

utama cara kerja alat ini adalah melakukan penggorengan pada kondisi vakum,

7.52 cmHg-7.6 cmHg. Kondisi vakum ini dapat menyebabkan penurunan titik

didih minyak dari 110º C-200º C menjadi 80ºC-100ºC sehingga dapat mencegah

terjadinya perubahan rasa, aroma, dan warna bahan seperti mangga dan buah

lainnya.

Menurut Muchtadi (2008) proses penggorengan pada kondisi vakum

adalah proses yang terjadi pada tekanan lebih rendah dari tekanan atmosfer,

hingga tekanan lebih kecil dari 0 atau kondisi hampa udara. Proses penggorengan

pada tekanan yang lebih rendah akan menyebabkan titik didih minyak

goreng juga lebih rendah, misalnya dapat mencapai 90˚C. Proses

penggorengan yang terjadi pada suhu yang rendah ini menyebabkan proses

ini sangat sesuai digunakan untuk menggoreng bahan pangan yang tidak tahan

suhu tinggi.

Gambar 5. Mesin Vacuum Frying

Deskripsi Mesin Penggoreng Vakum

1. Pompa vakum water jet, berfungsi untuk menghisap udara di dalam

ruang penggoreng sehingga tekanan menjadi rendah, serta untuk

menghisap uap air bahan.

2. Tabung penggoreng, berfungsi untuk mengkondisikan bahan sesuai

tekanan yang diinginkan. Di dalam tabung dilengkapi keranjang buah

setengah lingkaran.

3. Kondensor, berfungsi untuk mengembunkan uap air yang dikeluarkan

selama penggorengan. Kondensor ini menggunakan air sebagai pendingin.

Page 15: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

4. Unit Pemanas, menggunakan kompor gas LPG.

5. Unit Pengendali Operasi (Boks Kontrol), berfungsi untuk

mengaktifkan alat vakum dan unit pemanas.

6. Bagian Pengaduk Penggorengan, berfungsi untuk mengaduk buah

yang berada dalam tabung penggorengan. Bagian ini perlu sil yang kuat

untuk menjaga kevakuman tabung.

7. Mesin pengering (spinner), berfungsi untuk meniriskan kripik.

Gambar 6. Bagan skema sistem mesin penggoreng hampa sistem jet air

1. Sumber pemanas

2. Tabung penggoreng

3. Tuas pengaduk

4. Pengendali suhu

5. Penampung kondensat

6. Pengukur vakum

7. Keranjang Penampung bahan

8. Kondensor

9. Saluran hisap uap air

10. Water Jet

11. Pompa sirkulasi

12. Saluran air pendingin

13. Bak air sirkulasi

14. Kerangka

Page 16: Tinjauan pustaka penggorengan (kuliah mp3)

DAFTAR PUSTAKA

Apriyanto, Mulono. 2003. Chemistry of Frying Oils. Tesis. Program Studi Teknik Pertanian. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada: Jogjakarta

Ayu Dewi Sartika, Ratu. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep Frying) Terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Makara, Sains, Vol. 13, No. 1, April 2009: 23-28

Blumenthal, M.M. and Stier, R.F. 1991. Optimization of deep fat frying operations. Trend Food Sci.

Krokida, M.K., Oreopoulou,V., Maroulis, Z.B., and Marinos-Kouris, D. 2001. Colour changes during deep fat frying. Journal of Food Engineering, 48, 219-225.

Lastriyanto, A. 1998. Sistem peng-gorengan hampa dengan water – jet. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.

Perkins, E.G. Lipid oxidation of deep fat frying, in Food Lipids and Health,McDonald, R.E. andMin, D.B.,Eds., Dekker, New York, 1996, p. 139.

Rossell, J. B. 2001. Frying. Woodhead Publishing Limited, Abington Hall, Abington, Cambridge, England.