tinea corporis

18
RESPONSI ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN Pembimbing : dr.Nugrohoaji Dharmawan, Sp.KK, M.Kes Nama Mahasiswa : Meinar Rahma NIM : G 0007104 TINEA KORPORIS A. Definisi Penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial golongan dermatofita, menyerang daerah kulit tak berambut pada wajah, badan, lengan dan tungkai. 1 B. Sinonim 2 Tinea sirsinata Tinea glabrosa Scherende flechte Kurap Herpes sircine trichophytique C. Epidemiologi Penyakit ini menyerang semua umur, namun lebih sering pada orang dewasa. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah tropis dengan kelembapan udara yang tinggi. Jamur ini sering terjadi pada orang 1

Upload: meinar-rahma

Post on 24-Jul-2015

1.476 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tinea Corporis

RESPONSI

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : dr.Nugrohoaji Dharmawan, Sp.KK, M.Kes

Nama Mahasiswa : Meinar Rahma

NIM : G 0007104

TINEA KORPORIS

A. Definisi

Penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial golongan dermatofita,

menyerang daerah kulit tak berambut pada wajah, badan, lengan dan tungkai.1

B. Sinonim2

Tinea sirsinata

Tinea glabrosa

Scherende flechte

Kurap

Herpes sircine trichophytique

C. Epidemiologi

Penyakit ini menyerang semua umur, namun lebih sering pada orang dewasa.

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah tropis dengan

kelembapan udara yang tinggi. Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang

memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.1

D. Etiologi

Jenis yang predominan menyebabkan dermatofitosis adalah genus Tricophyton,

diikuti Epidermophyton dan Microsporum.3 Walaupun semua dermatofita dapat

menyebabkan tinea korporis, penyebab yang paling banyak adalah T. rubrum.4

1

Page 2: Tinea Corporis

E. Patogenesis

Jalan masuk yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang luka,

jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya

artrospora atau konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu

pada stratum korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi reaksi

inflamasi pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan patogen

dari tempat infeksi sehingga patogen akan mecari tempat yang baru di bagian

tubuh. Perpindahan organisme inilah yang menyebabkan gambaran klinis yang khas

berupa central healing.3

Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena

stratum korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita dan

untuk pertumbuhan miselia jamur.4 Infeksi dermatofita terjadi melalui tiga tahap:

adhesi pada keratinosit, penetrasi, dan perkembangan respon host.4,5

1. Adhesi pada keratinosit

Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia

sebagai elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme ini

harus dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan kelembaban,

kompetisi dengan flora normal, dan zat yang dihasilkan oleh keratinosit. Asam

lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea bersifat fungistatik.

2. Penetrasi

Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi pada

stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase, dan enzim

musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini. Trauma dan maserasi

juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor yang penting juga pada

patogenesis tinea. Mannan yang terdapat pada dinding sel jamur menyebabkan

penurunan proliferasi keratinosit. Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit

yang lebih dalam, termasuk kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi

dan dapat menghambat pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron.

3. Perkembangan respon host

Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun penderita

dan organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel yang

mengalami inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Beberapa jamur

2

Page 3: Tinea Corporis

menghasilkan kemotaktik faktor seperti yang dihasilkan juga oleh bakteri. Jamur

juga bisa mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, yang kemudian

menghasilkan faktor kemotaktik berasal dari komplemen.

Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi

dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi

dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat namun

tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi

hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan dermatofita.

Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon-γ yang diatur oleh sel

Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan paparan dermatofita

sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan inflamasi yang ringan dan tes

trikopitin biasanya menunjukkan hasil yang negatif. Infeksi akan tampak sebagai

eritema dan skuama ringan, sebagai hasil dari percepatan tumbuhnya keratinosit.

Ada yang mengungkapkan hipothesis bahwa antigen dari dermatofita lalu

diproses oleh sel Langerhans dan dipresentasikan di nodus limfatikus kepada sel

limfosit T. Sel limfosit T berproliferasi klonal dan bermigrasi ke tempat infeksi

untuk melawan jamur. Saat itu lesi kulit menunjukkan reaksi inflamasi dan

barier epidermal menjadi permeable untuk migrasi dan perindahan sel. Sebagai

akibat dari reaksi ini jamur dieliminasi dan lesi menjadi sembuh spontan. Dalam

hal ini tes trikopitin menunjukkan hasil yang positif dan penyembuhan terhadap

infeksi yang kedua kalinya menjadi lebih cepat.4

Selain reaksi hipersensitivitas tipe lambat, infeksi jamur juga dapat

menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1).3 Mekanisme imun yang

terlibat di dalam patogenesis infeksi jamur masih perlu diteliti lebih jauh lagi.

Penelitian yang baru menunjukkan bahwa munculnya respon imun berupa reaksi

hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) atau tipe lambat (tipe IV) terjadi pada

individu yang berbeda. Antigen dari dermatofita menstimulasi produksi IgE,

yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat, terutama pada penderita

dermatofitosis kronik. Dalam prosesnya, antigen dermatofita melekat pada

antibodi IgE pada permukaan sel mast kemudian menyebabkan cross-linking

dari IgE. Hal ini dapat menyebabkan terpicunya degranulasi sel mast dan

melepaskan histamin serta mediator proinflamasi lainnya.6

3

Page 4: Tinea Corporis

F. Gejala Klinis

Lokalisasi lesi tinea korporis adalah wajah, anggota gerak atas dan bawah,

dada, punggung. Gejala subjektif yaitu keluhan gatal, terutama jika berkeringat.

Karena gatal dan digaruk, lesi akan makin meluas, terutama pada daerah kulit yang

lembap. Efloresensi/sifat-sifatnya lesi adalah berbentuk makula / plak yang merah /

hiperpigmentasi dengan tepi aktif dan penyembuhan sentral. Pada tepi lesi dijumpai

papula-papula eritematosa atau vesikel. Pada perjalanan penyakit yang kronik dapat

dijumpai likenifikasi. Gambaran lesi dapat polisiklis, anular atau geografis.1

G. Pemeriksaan Penunjang

Gejala klinis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas

pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain seperti

pemeriksaan histopatologik dan imunologik tidak diperlukan. Pada pemeriksaan

mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis yang berupa kerokan

kulit. Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan kemudian

ditambah 1-2 tetes larutan KOH lalu diperiksa langsung dengan mikroskop.

Pemeriksaan kerokan kulit dengan ditambahkan KOH akan dijumpai adanya hifa.

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan

langsung dengan sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pembiakan

dilakukan pada medium agar Sabouraud karena dianggap merupakan media yang

paling baik untuk pertumbuhan jamur.2

Pemeriksaan lainnya dengan lampu wood (sinar ultraviolet), pada tinea kapitis

akan memunculkan fluoresensi berwarna kehijauan.7

H. Diagnosis Banding

Diagnosis banding tinea korporis dimana terdapat plak berbatas tegas dengan

skuama, yaitu dermatitis kontak alergi, dermatitis atopi, eritema anular, psoriasis,

dermatitis seboroik, pitriasis rosea, pitiriasis alba, pitiriasis versikolor, lupus

eritematosus subakut, mikosis fungoides,8 dermatitis numularis.4

4

Page 5: Tinea Corporis

Diagnosis banding yang lain, diantaranya:

1. Kandidosis

a. Pasien mengeluh rasa gatal yang hebat disertai rasa panas seperti terbakar,

terkadang juga nyeri jika ada infeksi sekunder

b. Lokasi biasanya terdapat di bokong sekitar anus, lipat ketiak lipat paha,

lipat bawah payudara, sekitar umbilikus, garis-garis kaki dan tangan, kuku.

c. Efloresensi berupa daerah yang eritematosa, erosif, kadang dengan papul

dan skuama. Pada keadaan yang kronik dapat terjadi likenifikasi,

hiperpigmentasi, hyperkeratosis, dan kadang berfisura.

d. Pada tes KOH ditemukan pseudohifa

e. Pada media Sabouroud terlihat koloni berwarna coklat mengkilat,

permukaannya basah.

2. Psoriasis

a. Dimulai dengan makula dan papula eritematosa dengan ukuran lentikular

sampai nummular, menyebar secara sentrifugal

b. Lokasi biasanya pada siku, lutut, kulit kepala, telapak kaki dan tangan,

punggung, tungkai atas dan bawah, serta kuku.

c. Efloresensi berupa macula eritematosa yang besarnya bervariasi dari miliar

sampai nummular, dengan gambaran yang beraneka ragam, dapat arsinar,

sirsinar, polisiklis, dan geografis. Macula ini berbatas tegas, ditutupi oleh

skuama yang kasar berwarna putih mengkilat. Jika skuama digores dengan

benda tajam menunjukkan tanda tetesan lilin. Jika penggoresan diteruskan

maka akan timbul titik-titik perdarahan yang disebut sebagai Auspitz sign.

Dapat pula menunjukkan fenomena Koebner atau reaksi isomorfik, yaitu

timbul lesi-lesi psoriasis pada bekas trauma atau garukan.9

Lesi tinea tampak tenang di tengahnya atau disebut central healing. Bila tinea

salah didiagnosis sebagai dermatitis kemudian digunakan steroid sebagai terapi,

maka inflamasi akan mereda dan karakteristik central healing tidak terlihat jelas.

Hal ini akan mempersulit diagnosis. Manifestasi tersebut disebut sebagai tinea

incognito.10

5

Page 6: Tinea Corporis

I. Terapi

Tinea korporis dengan lesi yang tidak luas dapat digunakan terapi topikal,

untuk lesi yang luas dan dengan inflamasi yang berat diindikasikan terapi oral. Obat

topikal harus bisa penetrasi ke dalam kulit dan bertahan di dalamnya untuk

menekan jamur. Pemilihan terapi didasarkan pada tempat dan luasnya infeksi, juga

efikasi dan keamanan obat.

Agen antifungi oral untuk pengobatan dermatofitosis:11

Golongan Obat Dosis 4

Miscellaneous Griseofulvin Dewasa:Azoles Ketoconazole Fluconazole, 150 mg/mggTriazoles Itraconazole

Fluconazole Voriconazole

Itraconazole, 100 mg/hariTerbinafine, 250 mg/hariGriseofulvin, 500 mg/hari

Allylamines Terbinafine Anak-anak:Griseofulvin, 10-20 mg/kg/hariItraconazole, 5 mg/kg/hariTerbinafine, 3-6 mg/kg/hari

Agen antifungi topikal untuk pengobatan dermatofitosis: 11

Golongan Obat Morpholine derivatives AmorolfineAllylamines and benzylamine derivatives

Naftifine, Terbinafine, Butenafine

Azole derivatives Bifonazole, butoconazole, clotrimazole, croconazole, eberconazole, econazole, fenticonazole, flutrimazole, isoconazole, ketoconazole, miconazole, omoconazole, oxiconazole, sertaconazole, sulconazole,terconazole, tioconazole.

Miscellaneous compounds Ciclopiroxolamine, griseofulvin, haloprogin, tolnaftate, Whitfield´s ointment, undecilenic acid.

6

Page 7: Tinea Corporis

DAFTAR PUSTAKA

1. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 2005.

2. Budimulja U. Mikosis. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, penyunting.

Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2000.h.92-7.

3. Laksmipathy DT, Kannabiran K. Review on dermatomycosis: pathogenesis and

treatment. Journal of Natural Science. 2010; 7; 726 – 31.

4. Verma S, Heffernan, MP. Fungal disease. Dalam : Wolff K, Goledsmith LA,

Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s

dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc.Graw Hill

Companies; 2008.h.1807-20.

5. Hay RJ, Moore MK. Mycology. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N,

Griffiths C. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-7. Oxford: Blackwell

Publishing; 2004.

6. Ismail N, McGinnis, MR. Fungal infection. Dalam: Gaspari AA, Tyring SK,

penyunting. Clinical and Basic Immunodermatology. London: Spinger;

2008.h.385-8.

7. Weller R, Hunter JA, Savin JA, Dahl MV. Clinical Dermatology. Edisi ke-4.

Massachusetts: Blackwell Publishing; 2008.h.251.

8. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical

dermatology. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill; 2009.

9. Bramono, K. Dermatofitosis. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan

Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM; 2010.

10. Shimizu H. Shimizu's textbook of dermatology. Hokkaido: Nakayama Shoten

Publisher; 2007.h.468-73.

11. Palacio A, Garau M, Escalada AG, Calvo MT. Trends in the treatment of

dermatophytosis. Revista Iberoamericana de Micologia. 2000; 148-56.

7

Page 8: Tinea Corporis

LAPORAN KASUS

A. Anamnesis

1. Identitas

Nama : Ny.S

Umur : 42 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Gedong, Karanganyar

Pekerjaan : Pegawai swasta

Tanggal Periksa : 19 September 2011

No. RM : 01086602

2. Keluhan Utama

Gatal di tubuhnya

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan gatal dirasakan pertama kali di daerah perut sejak ±1 tahun yang

lalu. Pasien mengatakan terdapat bercak merah yang gatal. Pasien sudah

memeriksakan diri ke dokter kemudian diberi obat minum. Obat yang

diberikan oleh dokter tersebut adalah siproheptadin, dexametason dan CTM.

Selama ini pasien meminum obat-obat tersebut, keluhan gatal berkurang

namun bercak merah tidak menghilang.

Kemudian keluhan juga dirasakan semakin meluas dan sejak 1 bulan

yang lalu gatal juga dirasakan di daerah tangan kanan berupa bercak

kemerahan berbentuk lingkaran. Pasien juga mengeluh gatalnya bertambah

parah saat berkeringat. Berobat ke dokter umum dan diberi obat yang sama.

Pasien tidak mengeluhkan adanya demam sebelum timbulnya penyakit gatal

ini. Lalu pasien berobat ke RSDM.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

R. penyakit serupa : disangkal

R. alergi obat dan makanan : disangkal

8

Page 9: Tinea Corporis

R. mengkonsumsi obat : (+) siproheptadin, dexametason, CTM

R. sakit gula : disangkal

R. darah tinggi : disangkal

R. atopik : disangkal

5. Riwayat Keluarga

R. sakit serupa : disangkal

R. Alergi obat dan makanan : disangkal

R. sakit gula : disangkal

R. darah tinggi : disangkal

R. atopik : disangkal

6. Riwayat Kebiasaan

Penderita mandi dua kali sehari dengan sabun padat, handuk sendiri dan

dengan air sumur. Penderita biasa ganti pakaian dua kali sehari.

B. Pemeriksaan Fisik

1. Status Generalis

a. Keadaan Umum : baik, compos mentis, gizi kesan cukup

b. Vital Sign : tidak dilakukan

c. Kepala : Mesocephal

d. Mata : Dalam batas normal

e. Hidung : Dalam batas normal

f. Mulut : Dalam batas normal

g. Wajah : Dalam batas normal

h. Leher : Dalam batas normal

i. Punggung : Lihat status dermatologis

j. Dada : Dalam batas normal

k. Gluteus dan anogenital : Dalam batas normal

l. Abdomen : Lihat status dermatologis

m. Ekstremitas atas : Lihat status dermatologis

n. Ekstremitas bawah : Dalam batas normal

9

Page 10: Tinea Corporis

2. Status Dermatologis

Regio antebrachii dextra : terdapat patch eritem, batas tegas, central

healing dan tepi aktif

Regio mediana cubiti dextra et sinistra : terdapat patch hiperpigmentasi,

batas tegas, central healing dan tepi aktif dengan skuama

halus

Regio abdominalis : tampak patch eritem, terdapat central healing dengan

skuama di atasnya

Regio thorax posterior : terdapat patch eritema dengan skuama halus di

atasnya

Foto Klinis :

10

Page 11: Tinea Corporis

C. Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan pengambilan specimen dari lesi dan dilakukan pemeriksaan KOH

pada kerokan daerah pergelangan tangan dan perutnya. Dari hasil pemeriksaan

ditemukan adanya hifa.

11

Page 12: Tinea Corporis

D. Diagnosis Banding

Tinea korporis

Psoriasis

E. Diagnosis Kerja

Tinea korporis

F. Terapi

1. Medikamentosa

a. Sistemik: Cetirizine 1x10 mg

Griseofulvin 1x500 mg

b. Topikal : Miconazole cream, dioles 2 kali sehari

2. Non medikamentosa

a. Menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan

b. Mandi minimal 2x/hari dengan air bersih

c. Menjaga daerah lesi dari keringat atau keadaan yang lembab, misalnya

memakai pakaian dari bahan yang dapat menyerap keringat dan longgar.

d. Pakaian yang basah karena keringat, segera diganti dengan yang bersih

dan kering.

e. Meminum dan menggunakan obat dengan teratur dan sesuai petunjuk,

jika keluhan hilang tetap kontrol ke dokter hingga dinyatakan sembuh.

f. Mengganti pakaian dalam dengan teratur minimal 2 kali sehari.

g. Menghindari pemakaian handuk dan pakaian bersama-sama.

h. Menjaga agar kuku tetap pendek.

G. Prognosis

Ad vitam : baik

Ad sanam : baik

Ad fungsionam : baik

Ad kosmetikam : baik

12