bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/69681/3/bab 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis...

19
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketumbar (Coriandrum sativum) 2.1.1 Taksonomi Coriandrum sativum memiliki taksonomi sebagai berikut Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Superfilum : Spermatophyta Filum : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Rosidae Ordo : Apiales Famili : Apiaceae Genus : Coriandrum L. Species : Coriandrum sativum L. (Mahendra & Bisht, 2011) Gambar 2.1 Biji Ketumbar (Stuart Jr., 2019)

Upload: others

Post on 20-Jan-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketumbar (Coriandrum sativum)

2.1.1 Taksonomi

Coriandrum sativum memiliki taksonomi sebagai berikut

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Superfilum : Spermatophyta

Filum : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Rosidae

Ordo : Apiales

Famili : Apiaceae

Genus : Coriandrum L.

Species : Coriandrum sativum L.

(Mahendra & Bisht, 2011)

Gambar 2.1 Biji Ketumbar (Stuart Jr., 2019)

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

6

2.1.2 Nama Lain

Arab (kuzbara, kuzbura); Chinese (yuan sui, hu sui); German

(koriander); Japanese (koendoro); English (coriander fruits); Hindic

(Dhaniya); Indonesia (ketumbar) (Nimish L., et al., 2011).

2.1.3 Morfologi

Tanaman ketumbar memiliki daun yang berukuran kecil, memiliki

banyak cabang, dan sub unit. Daun mudanya berbentuk oval dan daun yang

lebih tua lebih memanjang. Bunga yang berwarna putih, memiliki buah

yang bergerombol dan berbentuk bulat. Buah yang berbentuk mericarps

umumnya disatukan oleh margin yang membentuk sebuah cremocarp

dengan ukuran diameter sekitar 2-4 mm, berwarna kuning, coklat atau

kuning-kecoklatan, dengan bau aromatik. Ketumbar memiliki rasa yang

berkarakteristik dan cenderung pedas (Shivanand, 2010).

Berdasarkan De Guzman dan Siemonsma (1999) ketumbar

dibedakan ke dalam tiga kelompok berdasarkan bentuknya, yaitu C. sativum

var. Sativum dengan ukuran buah besar, C. sativum var. Micocarpum

dengan ukuran buah lebih kecil, dan C. sativum var. Indicum yang

mempunyai bentuk buah lonjong. Dapat dibedakan juga ke dalam Sembilan

kelompok berdasarkan ekogeografi, yaitu Eropa, Afrika Utara, Kaukasia,

Asia Tengah, Siria, Ethiopia, India, Bhutanic, dan Omanic (Hadipoentyanti

& Wahyuni, 2004).

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

7

2.1.4 Habitat dan Distribusi Geofrafi

Ketumbar didistribusikan di Italia, tetapi lebih banyak

dibudidayakan di Belanda, Eropa tengah dan timur, Mediterania, Cina,

India, dan Bangladesh. Ukraina merupakan sumber utama penghasil minyak

ini dan mengontrol permintaan dunia, serta penawaran harga dasar dalam

satu pabrik besar yang terus menerus memproses penyulingan (Sahib, et al.,

2012).

Tanaman menyebar ke Asia Tenggara melalui India (tipe buah bulat

telur), Cina (tipe ukuran buah kecil, bentuk bulat), Mediteranean dan Eropa

(tipe bentuk buah bulat dengan ukuran lebih besar) (Rajeshwari & Andallu,

2010). Ketumbar di Indonesia umumnya dibudidayakan di dataran tinggi

seperti di daerah Boyolali, Salatiga, Temanggung, Sumatera Barat, dan

lainnya (Hadipoentyanti & Wahyuni, 2004).

2.1.5 Kandungan Kimia

Ketumbar memiliki kandungan komponen aktif yaitu vitamin, rasa,

peptida, mineral, asam lemak, polyunsaturated fatty acids, antioksidan,

enzim dan sel hidup (Gitina, et al., 2013). Kandungan kimia terbesar pada

ketumbar yaitu minyak atsiri dengan prosentasi 1,8%. Penyulingan minyak

mengandung linalool (coriandrol) sekitar 65-70%, yang tergantung pada

sumbernya. Kandungan lainnya seperti Monoterpene hidrokarbonα-pinene,

β-pinene, limonene, γ-terpinene, ρ-lymene, borneol, citron wllol, Xmphoe,

Geraniol dan Geranylacetate; Hetero-cyclic compounds –pyrazine,

pyridine, thiazole, furan, tetrahydrofuran derivatives; Isocoumacin

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

8

(coriandrin), dihyrocoriandrin, coriandrones A-E, glazonoids; Phthalides-

neochidilide, Z-digustilide; Phenolic acids, sterols, dan flavonoid (Bhat, et

al., 2014).

2.1 Tabel Kandungan Minya Atsiri pada Tumbuhan Ketumbar (Coriandrum

Sativum) (Shahwar, et al., 2012; Bhuiyan, et al., 2009)

Parameter Daun Biji

Minyak Atsiri 0,1 % 0,42%

Linalool 13,97% 55,49%

Alpha-pinene 1.90% 7,14%

1. Minyak atsiri

Minyak atsiri disebut juga dengan minyak eteris atau essential oil

yang dihasilkan oleh tanaman, minyak tersebut mudah menguap pada suhu

kamar, berbau wangi sesuai dengan bau tanaman penghasilnya, umumnya

larut dalam pelarut organik, dan tidak larut dalam air (Ariyani, et al., 2008).

Minyak ketumbar merupakan komoditas penghasil minyak atsiri

yang diperkirakan berpotensi dan ber nilai komersial tinggi yang juga belum

diusahakan di Indonesia serta belum diketahui layak tidaknya diusahakan

dan daya saingnya. Kandungan terbesar dalam minyak ketumbar ada lah

senyawa linalool yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku parfum,

farmasi, aroma makanan dan mi numan, sabun mandi, bahan dasar lilin,

sabun cuci, sintesis vitamin E dan pestisida maupun insektida. Ketumbar

mempunyai aroma yang khas, aromanya disebabkan oleh komponen kimia

yang terdapat dalam minyak atsiri (Handayani & Juniarti, 2012).

Komponen terbesar dalam minyak atsiri adalah linalool. minyak

ketumbar memiliki kandungan linalool sekitar 60-70%. Linalool termasuk

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

9

senyawa terpenoid alkohol, berbentuk cair, tidak berwarna, beraroma wangi

khas, dengan rumus empiris C10H18O, serta rumus struktur 3,7 dimetil-1,6

oktadien-3-ol. Linalool adalah senyawa alkohol rantai lurus. Senyawa

linalool adalah komponen yang dapat menentukan intensitas aroma harum,

sehingga minyak ketumbar dapat dipergunakan sebagai parfum, memiliki

aroma seperti minyak lavender (Handayani & Juniarti, 2012). Linalool

sendiri dapat menjadi antioksidan, antianxietas, antibakteri (terutama

bakteri gram positif), dan efek antijamur. Efek antijamur tersebut pernah

diujicobakan pada penyebab dermatomikosis (trichophyton sp.) dengan

hasil dapat membunuh jamur tersebut sampai 99.5% (Soković, et al., 2012)..

2.1.6 Manfaat ekstrak

Beberapa penelitian menyatakan, bahwa ketumbar memiliki efek

farmakologi, seperti diuretik, antioksidan, antikonvulsan, sedatif,

antibakteri, antivirus, antijamur, antidiabetik, antimutagen, dan

antihelmintes (Maurya, et al., 2011).

Minyak atsiri pada biji ketumbar telah digunakan dalam makanan,

wewangian, minuman keras industri farmasi sebagai penamba rasa dan

karminatif. Dalam pengobatan dapat juga digunakan sebagai antiseptik,

aromatik kuat, stimulan, karminatif, anti-spasmodik, ekspektoran, anti-

spasmodik dan diuretik (Şimonaţia & Mihuţab, 2009).

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

10

2.2 Pityrosporum ovale

2.2.1 Taksonomi

Pityrosporum ovale memiliki taksonomi sebagai berikut

Kingdom : Fungi

Filum : Basidiomycota

Subfilum : Ustilaginomycotina

Kelas : Exobasidiomycetes

Ordo : Malasseziales

Famili : Malasseziaceae

Genus : Malassezia

Species : Pityrosporum ovale

(Gaitanis, et al., 2012)

Gambar 2.2 P. ovale menggunakan pewarnaan methylene blue pembesarann

1000x (Rudramurthy, et al., 2014)

2.2.2 Sinonim

Nama lain dari Pityrosporum ovale adalah Malassezia furfur

(Sharma, et al., 2012).

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

11

2.2.3 Morfologi dan Indentitas

Pityrosporum ovale adalah jamur lipofilik anggota genus

Mallasezia. Morfologi Pytirosporum ovale berkarakteristik oval seperti

botol, berukuran sekitar 1-2 x 2-4 mm, memiliki dinding sel yang tebal , dan

berkembang biak dengan cara blastospora atau tunas (Cafarchia, et al.,

2011). Blastospora dibentuk dari proses pertunasan sederhana dengan tunas

tidak melepaskan diri dari induknya tetapi membentuk kumpulan tunas yang

menempel pada sel yang memanjang atau pseudomiselium, sehingga tunas-

tunas sel tersebut tetap berbentuk oval sehingga membentuk cabang baru

(Rahayu, 2011).

Pityrosporum ovale merupakan normal flora yang umumnya pada

kulit manusia. Kondisi normal, kecepatan pertumbuhan jamur P. ovale

kurang dari 47%. Tetapi, jika adanya faktor pemicu yang dapat mengganggu

keseimbangan P. ovale, maka akan terjadi peningkatan kecepatan

pertumbuhan jamur P. ovale yang dapat meningkat dengan prosentase

mencapai 74% (Cafarchia, et al., 2011; Rahayu, 2011). P. ovale banyak

ditemukan pada daerah kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea, hal

tersebut dikarenakan sifat lipofiliknya membutuhkan lipid untuk

pertumbuhannya (Ningrum, et al., 2017).

P. ovale yang merupakan normal flora kulit dapat menjadi patogen

apabila dipicu oleh beberapa faktor diantaranya seperti suhu dan

kelembapan yang tinggi, kulit yang berminyak, dan terapi yang menekan

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

12

sistim imun atau immunosppressive seperti terapi kortikosteroid (Ljubojevic

S, et al., 2002).

2.3 Pitiriasis versikolor

2.3.1 Definisi

Pitiriasis versicolor (PV) merupakan infeksi jamur superfisial

kronik, yang disebabkan oleh jamur Malassezia dengan karakteristik

hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan lesi berbentuk bulat hingga

oval, berskuama halus dan sering ditemukan pada daerah kulit yang

memiliki banyak kelenjar sebasea seperti leher dan lengan bagian atas

(Harada, et al., 2015).

2.3.2 Etiologi

Pitiriasis versikolor disebabkan oleh Malassezia furfur yang dikenal

dengan nama lain P. ovale, ragi yang bersifat lipofilik yang merupakan flora

normal pada kulit (Karray & McKinney, 2019)

2.3.3 Epidemiologi

Pitiriasis versikolor merupakan penyakit universal, terutama

ditemukan didaerah tropis dengan prevalensi mencapai 50% pada populasi

di daerah tropis. Tidak dapat perbedaan berdasarkan jenis kelamin, tetapi

terdapat perbedaan kerentanan berdasarkan usia, lebih banyak ditemukan

pada remaja dan dewasa muda. Kelainan penyakit ini terbanyak ditemukan

berbagai penyakit kulit akibat jamur (Yahya, 2017; Bramono & Budimulja,

2016).

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

13

2.3.4 Patogenesis

Malassezia sp. yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah

menjadi bentuk miselia yang dapat menyebabkan kelainan kulit Pitiriasis

versikolor. Faktor predisposisi yang diduga dapat menyebabkan perubahan

tersebut berupa suhu, kelembapan lingkungan yang tinggi, faktor genetik,

hiperhidrosis, kondisi imunosupresif, dan malnutrisi. Malassezia sp.

memproduksi asam dikarboksilat yang mengganggu pembentukan pigmen

melanin, dan memproduksi metabolit pityriacitrin yang mempunyai

kemampuan absorbsi sinar UV (ultraviolet) sehingga dapat menyebabkan

lesi hipopigmentasi. Namun, mekanisme terjadinya lesi hiperpigmentasi

belum jelas, tetapi satu studi menunjukkan pada pemeriksaan mikroskop

elektron didapati ukuran melanosom yang lebih besar dari normal (Bramono

& Budimulja, 2016).

2.3.5 Manifestasi Klinis

Lesi Pitiriasis versikolor terutama terdapat pada daerah kulit yang

memiliki banyak kelenjar sebasea, seperti badan bagian atas, leher, dan

perut. Terkadang ditemukan pada wajah dan scalp, dapat juga ditemukan

pada genitalia, aksila, dan lipat paha (Bramono & Budimulja, 2016;

Ningrum, et al., 2017).

Lesi berupa makula berbatas tegas, dapat hipopigmentasi,

hiperpigmentasi, dan kadang eritematosa. Terdiri atas berbagai ukuran dan

berskuama halus. Warna pada lesi bervariasi hampir putih, kemerahan, dan

berwarna kecoklatan. Umumnya tidak disertai gejala subjektif, hanya

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

14

berupa keluhan kosmetik meskipun terkadang ada pruritus tingan (Bramono

& Budimulja, 2016).

2.3.6 Diagnosis

Dugaan diagnosis Pitiriasis versikolor jika ditemukan gambaran

klinis adanya lesi di daerah predileksi berupa makula berbatas tegas

berwarna putih, kemerahan, hingga hitam, yang berskuama halus.

Pemeriksaan dengan Wood Lamp untuk melihat fluorosensi kuning

keemasan akan membantu diagnosis klinis. Fluoresensi lesi kulit pada

pemeriksaan Wood Lamp berwarna kuning keemasan dan pada pemeriksaan

KOH 20% tampak gambaran spora dan miselium yang sering dilukiskan

sebagai spaghetti and meatball appearance (Tan ST & Reginata G, 2015;

Bramono & Budimulja, 2016).

2.3.6.1 Evoked Scale Sign

Terjadi adanya perubahan struktural lapisan kulit akibat

peningkatan kerapuhan stratum korneum, mungkin disebabkan oleh

gangguan parsial fungsi sawar kulit dan peningkatan transepidermal

waterloss. Keratinase yang diproduksi fase hifa dari spesies ini

mampu menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan

jamur di stratum korneum. Jika diregang, stratum korneum akan

mengendur, skuama akan terlihat. Tanda evoked scale sign hanya

ditemukan pada infeksi pitiriasis versikolor. Uji provokasi skuama

dapat dilakukan dengan cara pemeriksa menggunakan ibu jari dan

telunjuk atau kedua jari tangan meregangkan kulit searah 180 derajat

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

15

lesi kering dapat digores dengan ujung kuku untuk memunculkan

skuama yang melapisi daerah lesi. Sel-sel abnormal akan terangsang

untuk membentuk lapisan deskuamasi yang patognomonik untuk

infeksi pitiriasis versikolor, dalam hal ini evoked scale sign dinilai

positif. (Tan ST & Reginata G, 2015)

2.3.6.2 Sukma’s PV Sign

Pasien dengan Pitiriasis versikolor datang dengan keluhan

makula berbatas tegas, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan

kadang eritematosa. Terdiri atas berbagai ukuran dan berskuama

halus. Umumnya tidak disertai gejala subjektif, hanya berupa

keluhan kosmetik meskipun terkadang ada pruritus tingan. Sukma’s

PV Sign yaitu apabila lesi diregang, akan muncul sisik putih berbatas

jelas. Skuama hanya sebatas lesi dengan susunan rapi, teratur, sejajar

dengan garis kulit (Tan ST & Reginata G, 2015; Bramono &

Budimulja, 2016). Perbedaan Sukma’s PV sign dengan penemuan

evoked scale sign adalah hanya menggambarkan skuama akibat

regangan tanpa memperhatikan sisik yang tersusun rapi, sejajar

dengan kulit, dan berbatas pada lesi karena skuama halus juga

kadang dapat ditemukan pada pitiriasis alba dan kulit kering (Tan

ST & Reginata G, 2015).

2.3.7 Diagnosis Banding

Beberapa kelainan yang memiliki klinis yang mirip dan perlu

dibedakan dari pitiriasis versikolor, antara lain pitiriasis alba, eriytrasma

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

16

vitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe

tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu dicermati, dan

pemeriksaan penunjang yang sesuai dapat membantu untuk menyingkirkan

diagnosis (Bramono & Budimulja, 2016).

Pitiriasis alba memiliki lesi hipopigmentasi, asimtomatik dan belum

diketahui etiologinya. Pitiriasis alba lebih sering dijumpai pada anak

hingga dewasa muda sekitar usia 3 – 16 tahun. Lesi berupa makula

berbentuk bulat, oval, irreguler, awalnya berwarna merah muda tertutup

skuama halus. Lalu, akan menjadi lesi hipopigmentasi dalam beberapa

minggu dan skuama akan berangsur menghilang seiring perjalanan

penyakitnya. Pada Pitiriasis alba, biasanya sukma’s PV sign dan evoked

scale sign negatif. Hal ini dapat dikonfirmasi ulang dengan pemeriksaan

Wood Lamp lesi tidak berwarna kuning keemasan seperti pada Pitiriasis

versikolor dan pada pemeriksaan KOH tidak ditemukan hifa dan spora (Tan

ST & Reginata G, 2015).

2.3.8 Tatalaksana

Sebagai obat topikal dapat digunakan antara lain ketokonazol 2%

bentuk sampo, selenium sulfide bentuk sampo 1,8% atau bentuk losion

2,5% yang dioleskan setiap hari selama 15-30 menit kemudian dibilas.

Pengolesan dianjurkan di seluruh badan selain kepala dan genitalia.

Alternatif lain, dapat menggunakan solusio natrium hiposulfit 20%, solusio

propilen glikol 50%. Selain itu, dapat menggunakan losion selenium sulfida

2,5 % yang diberikan pada daerah lesi selama 7-10 menit, untuk penggunaan

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

17

harian pada kasus yang lebih berat dapat digunakan 3-4 kali selama 1

minggu (Bramono & Budimulja, 2016).

Untuk lesi terbatas berbagai krim derivat azol misalnya mikonazol,

klotrimazol, dan isokonazol dapat digunakan. Obat topikal sebaiknya

diteruskan 2 minggu setelah hasil pemeriksaan dengan Wood Lamp dan

pemeriksaan mikologis langsung kerokan kulit negatif. Obat sistemik juga

dipertimbangkan pada lesi luas, kambuhan, dan gagal dengan terpai topikal.

Antara lain dengan penggunaan ketokonazol 200 mg/hari selama 5-10 hari

atau itrakonazol 200 mg hari selama 5-7 hari (Bramono & Budimulja, 2016).

2.3.9 Prognosis

Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekan, konsisten,

dan faktor predisposisi dapat dihindari. Lesi hipopigmentasi dapat bertahan

sampai beberapa bulan setelah jamur negatif, hal ini perlu dijelaskan kepada

pasien (Bramono & Budimulja, 2016).

2.4 Uji Kepekaan Terhadap Antimikroba secara In Vitro

Uji kepekaan antimikroba merupakan penentuan terhadap mikroba

penyebab penyakit yang kemungkinan menunjukkan resistensi terhadap suatu anti

mikroba atau kemampuan suatu anti mikroba dalam menghambat pertumbuhan

mikroba secara in vitro dengan tujuan dapat digunakan sebagai antimikroba yang

memiliki potensi untuk pengobatan (Soleha, 2015)

Pengujian dilakukan dibawah kondisi standar, yang berpedoman pada

Clinical and Laboratory Standards Instute (CLSI). Standar yang harus dipenuhi

merupakan konsentrasi inokulum mikroba, media perbenihan dengan

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

18

memperhatikan pH, suhu inkubasi, lamanya inkubasi, dan konsentrasi antimikroba

(Soleha, 2015).

Metode yang biasa dilakukan untuk mengukur kemampuan suatu

antimikrooba dalam menghambat pertumbuhan mikroba yaitu metode dilusi dan

dilusi agar (Soleha, 2015).

2.4.1 Metode Dilusi

Metode dilusi terdiri atas dua teknik dalam pengerjaannya, yaitu

dilusi perbenihan cair dan dilusi agar bertujan untuk menentukan aktivitas

antimikroba secara kuantitatif, antimikroba dilarutkan kedalam agar atau

kaldu yang kemudian ditambahkan dengan mikroba baik bakteri atau jamur

yang akan diuji. Setelah diinkubasi selama 24 jam, hasil pengamatan yang

akan diperoleh berupa tumbuh atau tidak tumbuhnya mikroba dalam media.

Aktivitas zat antimikroba ditentukan dengan melihat konsentrasi hambat

minimum yang merupakan konsentrasi terkecil dari zat anti mikroba uji

yang masih memberikan efek dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji

(Soleha, 2015).

a. Dilusi Perbenihan Cair

Dilusi perbenihan cair dilakukan dengan menggunakan

sederetan tabung reaksi yang diisi dengan inokulum kuman dan

larutan antibakteri dalam berbagai konsentrasi. Terdiri dari

mikrodilusi dan makrodilusi. Pada dasarnya pengerjaannya sama

hanya berbeda pada volumenya. Untuk makrodilusi volume yang

digunakan lebih dari 1 ml, sedangkan mikrodilusi volume digunakan

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

19

antara 0,05 - 0,1 ml. Antimikroba yang digunakan disediakan dalam

berbagai pengenceran biasanya dalam satuan µg/ml. Konsentrasi

bervariasi bergantung dengan sifat dan jenis antimikroba. Secara

umum untuk penentuan kadar hambat minimum, pengenceran

antimikroba dilakukan penurunan konsentrasi setengahnya misalnya

dari 16, 8, 4, 2, 1 µg/ml dst. Lalu konsentrasi terendah yang

menunjukkan hambatan pertumbuhan mikroba dengan jelas dilihat

secara visual disebut juga dengan Kadar Hambat Minimum (KHM)

(Soleha, 2015).

b. Dilusi Agar

Pada teknik dilusi agar, konsentrasi sesuai pengenceran akan

ditambahkan ke dalam agar, sehingga akan memerlukan perbenihan

agar sesuai dengan jumlah pengenceran ditambah satu perbenihan

agar untuk kontrol tanpa penambahan antimikroba. Konsentrasi

terendah antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan

mikroba merupakan KHM antimikroba yang diuji. Salah satu

kelebihan metode agar dilusi yaitu untuk penentuan KHM dari

mikroba yang tidak dapat tumbuh pada metode dilusi perbenihan

cair seperti Neisseria gonorrohoeae.

Dasar penentuan antimikroba secara in vitro adalah KHM

dan Kadar Bunuh Minimal (KBM). KHM merupakan konsentrasi

terendah antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan

mikroba dengan hasil yang dilihat dari pertumbuhan mikroba yaitu

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

20

jamur atau bakteri dengan hasil yang dilihat dari pertumbuhan

koloni pada agar atau kejernihan pembiakan cair. KBM merupakan

konsentrasi terendah antimikroba yang dapat membunuh 99,9%

pada biakan selama waktu yang ditentukan (Soleha, 2015).

Penentuan konsentrasi minimum antimikroba yang dapat

membunuh mikroba uji dilakukan dengan menanam mikroba uji

pada perbenihan cair yang digunakan untuk uji KHM ke dalam agar

yang kemudian diinkubasi semalam pada suhu tertentu sesuai suhu

mikroba yang diujikan. KBM adalah ketika tidak terjadi

pertumbuhan mikroba lagi pada agar (Soleha, 2015).

Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM)

merupakan dasar dari penentuan antimikroba secara in vitro. KHM merupakan

konsentrasi antimikroba terendah yang mampu menghambat >90% suatu mikroba

dengan mengamati pertumbuhan koloni mikroba bisa jamur atau bakteri pada

media agar dan mengamati kejernihan pada pembiakan cair. KBM merupakan

konsentrasi antimikroba terendah yang mampu membunuh biakan 99,9% dalam

waktu yang ditentukan (Silvério & Lopes, 2012; Soleha, 2015)

Keuntungan metode dilusi memungkinkan penentuan kualitatif dan

kuantitatif dilakukan bersama-sama. KHM dapat membantu dalam menentukan

tingkat resistensi dan dapat menjadi petunjuk penggunaan antimikroba.

Kerugiannya metode ini tidak menguntungkan karena pengerjaannya memerlukan

banyak alat-alat dan bahan serta memerlukan ketelitian dalam proses pengerjaannya

termasuk persiapan konsentrasi antimikroba yang bervariasi (Soleha, 2015)

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

21

2.4.2 Metode Difusi

Pada metode ini, penentuan aktivitas didasarkan oleh kemampuan

difusi dari zat antimikroba dalam lempeng agar yang telah diinokulasikan

dengan mikroba uji. Hasil pengamatan yang akan diperoleh berupa ada atau

tidaknya zona hambatan yang akan terbentuk disekelilingi zat antimikroba

pada waktu tertentu masa inkubasi. Pada metode ini, dapat dilakukan

dengan cara cakram. Cakram kertas yang telah dibubuhkan sejumlah

tertentu antimikroba, lalu ditempatkan pada media yang telah ditanami

organisme yang akan diuji secara merata. Tingginya konsentrasi dari

antimikroba ditentukan oleh difusi dari cakram dan pertumbuhan organisme

uji dihambat penyebarannya sepanjang difusi antimikroba (terbentuk zona

jernih disekitar cakram), sehingga mikroba tersebut menjadi mikroba yang

sensitif terhadap antimikroba.

Hasil dari tes kepekaan, mikroorganisme terbagi dengan klasiifikasi

ke dalam dua atau lebih kategori. Sistem yang sederhana dapat menentukan

dua kategori, yaitu sensitif dan resisten. Meskipun klasifikasi tersebut,

memberikan banyak keuntungan untuk kepentingan statistik dan

epidemiologi, bagi klinisi merupakan ukuran yang terlalu kasar untuk

digunakan. Dengan demikian, hasil dengan tiga klasifikasi yang biasa

digunakan yaitu sensitif, intermediet, dan resisten. Ukuran zona jernih

tergantung pada kecepatan difusi antimikroba, derajat sensitifitas

mikroorganisme, dan keceptan pertumbuhan mikroba. Zona hambat cakram

antimikroba pada metode difusi berbanding terbalik dengan KHM. Semakin

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

22

luas zona hambat, maka semakin kecil konsentrasi daya hambat minimum.

Untuk derajat kategori mikroba dibandingkan terhadap diameter zona

hambat yang berbeda-beda setiap antimikroba, sehingga dapat ditentukan

kategori resisten, intermediet atau sensitif terhadap antimikroba.

Alasan dilakukan uji kepekaan antimikroba bertujuan untuk

mendapatkan agen antimikroba yang tepat bertujuan untuk pengobatan

penyakit infeksi tertentu. Uji sensitifitas antimikroba tidak dilakukan pada

setiap spesimen, melainkan hanya dilakukan pada spesimen dengan jenis

mikroba tertentu yang belum diketahui secara umum sensitiftasnya terhadap

beberapa jenis antimikroba yang umum digunakan (Soleha, 2015).

2.6 Hubungan Antara Minyak Atsiri Terhadap P. ovale

Linalool sebagai antijamur memiliki mekanisme kerja dengan cara

mengganggu siklus sel pada fase G1 yang dapat menyebabkan apoptosis pada sel

C.albicans. Linalool menyebabkan penghambatan lebih dari 50% kuman yang

dibiakkan dalam tabung percobaan (Zore, et al., 2011)

Selain itu, kandungan minyak Atsiri Senyawa monoterpen seperti α - pinen

dan β - pinen menggangu membran sel dengan menghambat sintesis ergosterol,

meningkatkan permeabilitas membran, merusak struktur protein membran, dan

menggangu rantai respirasi dari sel jamur (Paduch, et al., 2007) dan mengubah

fungsi membran dalam proses pengangkutan senyawa-senyawa essensial, sehingga

dapat menyebabkan ketidakseimbangan metabolik dan menghambat pertumbuhan

atau menimbulkan kematian sel jamur (Sari & Nugraheni, 2013). Dalam penelitian

yang sudah dilakukan oleh Rahman, 2016 bahwa minyak atsiri Biji Ketumbar

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/69681/3/BAB 2.pdfvitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu

23

(Coriandum Sativum) memiliki efek menurunkan pertumbuhan jamur C. albicans

secara in vitro.