tinjauan pustaka tinea 2003

21
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinea Cruris 1. Definisi Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan inidapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsun seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja atau bahkan meluas ke daerahsekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea crurismempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin, dhobie itch . 1 2. Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) dan Epidermophythonfluccosum Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichopyhton tonsurans (6%) 1 3. Epidemiologi Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan tinea cruris.Jamur ini sering terjadi pada 14

Upload: mahasih-ariani

Post on 05-Sep-2015

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ilmu kesehatan kulit

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinea Cruris

1. Definisi

Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan inidapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsun seumurhidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja atau bahkan meluas ke daerahsekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea crurismempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin, dhobie itch.1

2. Penyebab utama dari tinea cruris

Trichopyhton rubrum (90%) dan Epidermophythonfluccosum Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichopyhton tonsurans (6%)1

3. Epidemiologi

Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan tinea cruris.Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.3

4. Patofisiologi

Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan tinea manum. Jamur ini menghasilkan keratinase yang mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum korneum. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya didalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi kulit semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.5

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah5:

a. Faktor virulensi dari dermatofita.

Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik, zoofilik, geofilik.Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula satu dengan yang lain dalam halafinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh misalnya: Trichopyhton rubrumjarang menyerang rambut, Epidermophython fluccosum paling sering menyerang liapt pahabagian dalam.

b. Faktor trauma

Kulit yang utuh tanpalesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.

c. Faktor suhu dan kelembapan

Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamut, tampak pada lokalisasi ataulokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela jari paling sering terserangpenyakit jamur.

d. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan.

Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat insiden penyakitjamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering ditemukan daripadagolongan ekonomi yang baik.

e. Faktor umur dan jenis kelamin

5. Manifestasi Klinis6

a. Anamnesis

Berdasarkan anamnesis yang dilakukan, ditemukan gatal di selangkangan kanan dan kiri. Awal mula hanya berupa bintik kemerahan yang kemudian semakin meluas. Keluhan gatal dirasakan semakin memberat terutama malam hari dan saat berkeringat. Selain itu pasien mengeluh kesemutan di daerah tungkai atas dan nyeri pada sendi jari tangan.

b. Pemeriksaan Fisik

Dari pemeriksaan status dermatologis

1) Inspeksi

a) Lokasi : regio inguinalis bilateral

b) Morfologi

Regio inguinalis bilateral

UKK primer : makula hiperpigmentasi batas tegas

UKK sekunder : skuama halus di bagian tepi.

2) Palpasi : teraba kasar dan berbatas tegas

c. Manifestasi tinea cruris :

1) Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal lipat paha, dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis

2) Daerah bersisik

3) Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif

4) Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai likenifikasi

5) Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematus yang tersebar dan sedikit skuama

6) Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena

7) Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi mungkin muncul karena garukan

8) Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga tampak kulit eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapatpustula folikuler

9) Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea pedis

TINEA KRURIS

6. Diagnosis6

Diagnosis Untuk menegakkan Tinea kruris, dibutuhkan penilaian asosiasi gambaran klinis dengan uji diagnostik untuk mengisolasi dan mengidentifikasi jamur. Bahan yang diperiksa berupa kerokan kulit. Bahan harus diperoleh sesteril mungkin untuk menghindari pencemaran jamur lain. Kemudian bahan dapat dilakukan pemeriksaan secara langsung maupun secara biakan. Menurut Goedadi (2001) dan Nasution M.A. (2005), untuk mengetahui suatu ruam yang disebabkan oleh infeksi jamur, biasanya kita lakukan pemeriksaan kerokan dari tepi lesi yang meninggi atau aktif tersebut. Spesimen dari hasil kerokan tersebut kita letakkan di atas deck glass dan ditetesi dengan larutan KOH 10-20 %. Kemudian kita tutup dengan object glass kemudian dipanaskan dengan lampu Bunsen sebentar untuk memfiksasi, kemudian dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 kali. Pemeriksaan mikroskopik secara langsung menunjukkan hifa yang bercabang atau artospora yang khas pada infeksi dermatofita. Sedangkan untuk mengetahui golongan ataupun spesies daripada jamur dilakukan pembiakan dengan media yang standar yaitu Sabouraud Dextrose Agar (SDA). Kadang-kadang kita perlukan juga mikobiotik. Setelah kurang lebih dua minggu koloni daripada jamur mulai dapat kita baca secara makroskopis.

7. Penatalaksanaan5

Terdapat banyak obat antijamur topikal untuk pengobatan infeksi dermatofit. Lokasi ini sangat peka nyeri, jadi konsentrasi obat harus lebih rendah dibandingkan lokasi lain, misalnya asam salisilat, asam benzoat, sulfur, dan sebagainya. Obat-obat topikal ini bisa digunakan bila daerah yang terkena sedikit, tetapi bila infeksi jamur meluas maka lebih baik menggunakan obat oral sistemik (Graham-Brown, 2002). Menurut Bagian Farmakologi FK UI (1995), Bagian Kesehatan Anak FK UI (2002), dan Nasution M.A. (2005), obat-obat pada infeksi jamur pada kulit ada 2 macam yaitu :

a. Obat topikal, misalnya :

1) Golongan Mikonazole,\

2) Golongan Bifonazole

3) Golongan Ketokonazole

Pengobatan umumnya 2x/hari minimal selama 3 minggu atau 2 minggu sesudah tes KOH negatif dan klinis membaik.

b. Obat per oral, misalnya :

1) Golongan Griseofulvin, dosis : Anak : 10 mg/kgBB/hari (microsize). 5,5 mg/kgBB/hari (ultra-microsize). Dewasa : 500-1000 mg/hari/

2) Golongan Ketokonazole, dosis : Anak : 3-6 mg/kgBB/hari. Dewasa : 1 tablet (200 mg)/hari.

3) Golongan Itrakonazole, dosis : Anak : 3-5 mg/kgBB/hari. Dewasa : 1 kapsul (100 mg)/hari.

4) Golongan Terbinafin, dosis : Anak : 3-6 mg/kgBB/hari. 10-20 kg : 62,5 mg ( tablet)/hari. 20-40 kg : 125 mg ( tablet)/hari. Dewasa : 1 tablet (250 mg)/hari.

B. Tinea Corporis

1. Definisi

Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak berambut (glabrous skin) kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha.1

2. Etiologi

Penyebab tersering Tinea Korporis adalah Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes.1

3. Epidemiologi

Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan menyerang 20-25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi kulit tersering. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang dapat menyerang semua ras dan kelompok umur sehingga infeksi jamur superfisial ini relatif sering terkena pada negara tropis (iklim panas dan kelembaban yang tinggi) dan sering terjadi eksaserbasi. Penyebab tinea korporis berbeda-beda di setiap negara, seperti di Amerika Serikat penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, Trycophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Trycophyton tonsurans. Di Afrika penyebab tersering tinea korporis adalah Tricophyton rubrum dan Tricophyton mentagrophytes, sedangkan di Eropa penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, sementara di Asia penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, Tricophyton mentagropytes dan Tricophyton violaceum.3

4. Patogenesis5

Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filament terdiri dari sel-sel yang mempunyai dinding. Dinding sel jamur merupakan karakteristik utama yang membedakan jamur, karena banyak mengandung substrat nitrogen disebut dengan chitin. Struktur bagian dalam (organela) terdiri dari nukleus, mitokondria, ribosom, retikulum endoplasma, lisosom, apparatus golgi dan sentriol dengan fungsi dan peranannya masing-masing. Benang-benang hifa bila bercabang dan membentuk anyaman disebut miselium. Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk spora, baik seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat reproduksi yang dibentuk hifa, besarnya antara 1-3, biasanya bentuknya bulat, segi empat, kerucut atau lonjong. Spora dalam pertumbuhannya makin lama makin besar dan memanjang membentuk hifa. terdapat 2 macam spora yaitu spora seksual (gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual (dibentuk oleh hifa tanpa penggabungan). Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen jamur yang dapat tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada saat perlekatan, jamur dermatofita harus tahan terhadap rintangan seperti sinar ultraviolet, variasi temperatur dan kelembaban, kompetensi dengan flora normal, spingosin dan asam lemak. Kerusakan stratum korneum, tempat yang tertutup dan maserasi memudahkan masuknya jamur ke epidermis. Masuknya dermatofita ke epidermis menyebabkan respon imun pejamu baik respon imun nonspesifik maupun respon imun spesifik. Respon imun nonspesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi, keadaan hormonal, usia, dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa, sekresi permukaan dan respons radang. Respons radang merupakan mekanisme pertahanan nonspesifik terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen jamur. Terdapat 2 unsur reaksi radang, yaitu pertama produksi sejumlah komponen kimia yang larut dan bersifat toksik terhadap invasi organisme. Komponen kimia ini antara lain ialah lisozim, sitokin, interferon, komplemen, dan protein fase akut. Unsur kedua merupakan elemen seluler,seperti netrofil, dan makrofag, dengan fungsi utama fagositosis, mencerna, dan merusak partikel asing. Makrofag juga terlibat dalam respons imun yang spesifik. Selsel lain yang termasuk respons radang nonspesifik ialah basophil, sel mast, eosinophil, trombosit dan sel NK (natural killer). Neutrofil mempunyai peranan utama dalam pertahanan melawan infeksi jamur. Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur setelah jamur mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan limfosit B merupakan sel yang berperan penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel ini mempunyai mekanisme termasuk pengenalan dan mengingat organism asing, sehingga terjadi amplifikasi dari kerja dan kemampuannya untuk merspons secara cepat terhadap adanya presentasi dengan memproduksi antibodi, sedangkan limfosit T berperan dalam respons seluler terhadap infeksi. Imunitas seluler sangat penting pada infeksi jamur. Kedua mekanisme ini dicetuskan oleh adanya kontak antara limfosit dengan antigen.

5. Manifestasi klinis6

a. Anamnesis

Berdasarkan anamnesis yang dilakukan, ditemukan gatal di regio abdomen.

b. Pemeriksaan Fisik

Dari pemeriksaan status dermatologis ditemukan :

1) Inspeksi

Lokasi : regio abdomen

Morfologi

Regio abdomen

a) UKK primer : papul dasar eritem

b) UKK sekunder : skuama halus

Distribusi : lokalisata di abdomen

Konfigurasi : geografika

2) Palpasi : teraba kasar dan berbatas tegas

c. Gambaran klinis dimulai dengan

1) Lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif dengan perkembangan kearah luar,

2) Bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya memberi gambaran yang polisiklik, arsinar dan sirsinar.

3) Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai dengan eritema, adanya papul atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang.

4) Tinea korporis yang menahun, tandatanda aktif menjadi hilang dan selanjutnya hanya meninggalkan daerah hiperpigmentasi saja.

5) Gejala subyektif yaitu gatal, dan terutama jika berkeringat dan kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.

6) Tinea korporis biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau dengan binatang piaraan yang terinfeksi, tetapi kadang terjadi karena kontak dengan mamalia liar atau tanah yang terkontaminasi.

7) Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian, perabot dan sebagainya

Tinea Korporis

6. Pemeriksaan Penunjang1

Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis harus dibantu dengan pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan mikroskopis, kultur, pemeriksaan lampu wood, biopsi dan histopatologi, pemeriksaan serologi, dan pemeriksaan dengan menggunakan PCR. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat langsung dari kerokan kulit, kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%. Sesudah 15 menit atau sesudah dipanaskan dengan api kecil, dilihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan ini memberikan hasil positif hifa ditemukan hifa (benang-benang) yang bersepta atau bercabang, selain itu tampak juga spora berupa bola kecil sebesar 1-3. Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud pada suhu kamar (25- 30C), kemudian satu minggu dilihat dan dinilai apakah ada pertumbuhan jamur. Spesies jamur dapat ditentukan melalui bentuk koloni, bentuk hifa dan bentuk spora. Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 365 nm. Sinar ini tidak dapat dilihat. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat dengan memberi warna (fluoresensi). Beberapa jamur yang memberikan fluoresensi yaitu M.canis, M.audouini, M.ferrugineum dan T.schoenleinii.

7. Diagnosa6

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium yaitu mikroskopis langsung dan kultur.

8. Pengobatan5

Pengobatan infeksi jamur dibedakan menjadi pengobatan non medikamentosa dan pengobatan medikamentosa.

a. Non Medikamentosa

Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan non medikamentosa adalah sebagai berikut:

1) Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.

2) Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian dengan orang yang terinfeksi.

3) Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk mencegah penyebaran jamur tersebut.

4) Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.

5) Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis yang dapat menghambat sirkulasi udara.

6) Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.

7) Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur. Gunakan sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet

b. Medikamentosa5

Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan pengobatan sistemik. Pada tinea korporis dengan lesi terbatas,cukup diberikan obat topikal. Lama pengobatan bervariasi antara 1-4 minggu bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal diperlukan pada lesi yang luas atau kronik rekurens. Anti jamur topikal yang dapat diberikan yaitu derivate imidazole, toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur pada lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu dilakukan dengan kompres basah secara terbuka. Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat, kombinasi antijamur dengan kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat perbaikan klinis dan mengurangi keluhan pasien.

1) Pengobatan Topikal Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat topikal dipengaruhi oleh mekanisme kerja,viskositas, hidrofobisitas dan asiditas formulasi obat tersebut. Selain obat-obat klasik, obatobat derivate imidazole dan alilamin dapat digunakan untuk mengatasi masalah tinea korporis ini. Efektivitas obat yang termasuk golongan imidaol kurang lebih sama. Pemberian obat dianjurkan selama 3-4 minggu atau sampai hasil kultur negative. Selanjutnya dianjurkan juga untuk meneruskan pengobatan selama 7-10 hari setelah penyembuhan klinis dan mikologis dengan maksud mengurangi kekambuhan.

2) Pengobatan Sistemik Menurut Verma dan Heffernan (2008), pengobatan sistemik yang dapat diberikan pada tinea korporis adalah:

a) Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Dosis untuk anak-anak 15-20 mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500-1000 mg/hari

b) Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis yang resisten terhadap griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah 200 mg/hari selama 3 minggu.

c) Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin dikatakan cukuo memuaskan untuk pengobatan tinea korporis.

14