tim redaksi · strategi pengelolaan kegiatan pkk dalam ... pengembangan usaha industri tahu...

127

Upload: vankien

Post on 22-Mar-2019

247 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TIM REDAKSI

Penanggung Jawab : Ir. Edy Muhammad

Ketua : Drs. H. A.Charris Zubair, M.A.

RM. Donny S. Megananda, S.Si, M.B.A.

Pemimpin Redaksi : Ir. Eka Arnawati, M.T., M.T.P.

Sekretaris : Teguh Setiawan, S.T., M.Eng., M.Sc.

Redaktur Pelaksana : Ike Janita Dewi, S.E., M.B.A., Ph.D.

Ir. Suparwoko, MURP, Ph.D.

Dra. Sri Adiyanti

Affrio Sunarno, S.Sos.

Pamungkas, S.T., M.T.

Maria Herdwi Widyaningsih, S.T.

Tataletak dan Perwajahan : Budhi Santoso, S.T.

Purwanta

PEMERINTAH KOTA

YOGYAKARTA

KANTOR BAPPEDA

Kompleks Balaikota Timoho

Jl. Kenari No. 56 Yogyakarta 55156

Tlp. (0274) 515 207

Fax. (0274) 55 44 32

Email:

[email protected]

[email protected]

Website:

www.jogjakota.go.id

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

2

DAFTAR ISI

BUDIDAYA JAMUR MENGGUNAKAN KUMBUNG OTOMATIS UNTUK INDUSTRI RUMAH TANGGA

SEBAGAI KETAHANAN EKONOMI WILAYAH DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN

MASYARAKAT

Oleh: Cyrilla Indri Parwati & Maulana Subhan .......................................................................................................... 4

MODEL PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEMANDIRIAN USAHA

(SURVEY PADA USAHA JAJANAN KOTA YOGYAKARTA)

Oleh: Mudasetia & Evi Rosalina Widyayanti ............................................................................................................. 13

E-MUSEUM SEBAGAI MEDIA MEMPERKENALKAN CAGAR BUDAYA DI KALANGAN MASYARAKAT

Oleh: Suraya & Muhammad Sholeh ........................................................................................................................... 24

STRATEGI PENGELOLAAN KEGIATAN PKK DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT SEJAHTERA

BERBASIS MASYARAKAT WILAYAH RW DI KECAMATAN KRATON DAN GONDOMANAN KOTA

YOGYAKARTA

Oleh: Ir. Rini Dorojati, M.S., Rr. Leslie Retno Angeningsih M.Sc., Ph.D., Dra. Nuraini Dwi Astuti, M.P. ............... 33

RANCANG BANGUN DAPUR PELEBUR ALUMINIUM BERBAHAN BAKAR PADAT YANG LEBIH

HEMAT ENERGI DAN LEBIH RAMAH LINGKUNGAN

Oleh: Joko Winarno .................................................................................................................................................... 41

MODEL PENGEMBANGAN SOCIO-PERFORMANCE LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) KELOMPOK

USAHA BERSAMA (KUBE) SEBAGAI USAHA PENINGKATAN KUALITAS EKONOMI DAN SOSIAL

MASYARAKAT DI KOTA YOGYAKARTA

Oleh: Dewi Kusuma Wardani, Sri Hermuningsih ..................................................................................................... 49

OPTIMALISASI DAN PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN ENERGI LISTRIK DALAM INDUSTRI

RUMAH TANGGA

Oleh: Ir. Wiwik Handajadi, M.Eng. & Beny Firman, S.T., M.Eng. ........................................................................... 58

MODEL MANAJEMEN STRATEGIK BERBASIS BALANCED SCORECARD SEKOLAH MENENGAH

KEJURUAN (SMK) KOTA YOGYAKARTA

Oleh: Dra. Suci Utami Wikaningtyas, MM, Dra. Sulastiningsih, MSi., Drs. Achmad Tjahjono, MM, Ak. ................ 67

PENINGKATAN NILAI EKONOMIS LIMBAH KULIT UDANG MENJADI KITOSAN DENGAN

GELOMBANG ULTRASONIK UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT

Oleh: Ani Purwanti, S.T., M.Eng. & Sri Rahayu Gusmarwani, S.T., M.T. ................................................................. 77

KAMPUNG WISATA ONLINE BERBASIS SIG SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PARTISIPASI

WARGA DALAM MENGELOLA DAN MEMPROMOSIKAN PARIWISATA KOTA YOGYAKARTA

Oleh: Drs. Tedy Setiadi, M.T. & Herman Yuliansyah, S.T.,M.Eng ............................................................................. 85

PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI TAHU BERBASIS KOMUNITAS DI BANTARAN SUNGAI

WINONGO KELURAHAN WIROBRAJAN KECAMATAN WIROBRAJAN YOGYAKARTA

Oleh: Suharyanto, Hastowiyono, Muhammad Barori ................................................................................................. 92

PERAN ASRAMA MAHASISWA DALAM MEMBANGUN INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT DALAM

RANGKA TERWUJUDNYA KUALITAS MASYARAKAT YOGYAKARTA YANG HARMONIS

Oleh: Fadjarini Sulistyowati & Tri Agus Susanto .................................................................................................... 100

TATA KELOLA PROSES DAN PENGELOLAAN LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK JUMPUTAN

KAMPUNG CELEBAN YOGYAKARTA SEBAGAI UPAYA EFISIENSI DAN PENINGKATAN DAYA SAING

PRODUK

Oleh: Purnawan ........................................................................................................................................................ 108

ANALISIS PENDAPATAN USAHA PERDAGANGAN INFORMAL (STUDI PADA USAHA PEDAGANG

ANGKRINGAN DI KOTA YOGYAKARTA)

Oleh: Dra. Salamatun Asakdiyah, M.Si., Tina Sulistiyani, SE, M.M., Deny Ismanto, SE, M.M. .............................. 117

SALAM REDAKSI

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Tema penelitian dalam Jurnal Penelitian Volume 11 kali ini adalah “Peningkatan daya saing dan ketahanan

ekonomi wilayah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat”. Hasil penelitian diharapkan dapat

memberikan manfaat dan tambahan wawasan baik bagi pemerintah maupun masyarakat yang tertarik akan hasil

penelitian ini.

Jurnal Penelitian ini merupakan sarana pemberian informasi dan komunikasi yang dibentuk oleh Bappeda Kota

Yogyakarta dalam wadah jaringan penelitian di Kota Yogyakarta.

Dengan terbitnya Jurnal Penelitian ini diharapkan para pembaca dapat ikut serta dalam penelitian-penelitian

selanjutnya yang diselenggarakan setiap tahunnya oleh Jaringan Penelitian (Jarlit) Kota Yogyakarta, akhirnya

semoga hasil penelitian ini dapat lebih bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Redaksi

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

4

BUDIDAYA JAMUR MENGGUNAKAN KUMBUNG OTOMATIS UNTUK INDUSTRI RUMAH TANGGA SEBAGAI KETAHANAN EKONOMI WILAYAH DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Oleh: Cyrilla Indri Parwati & Maulana Subhan

ABSTRACT

Improving the welfare of society, especially among households is very important. One way of improving the welfare

is by mushroom cultivation. Mushroom cultivation does not require a large space and is not costly. This research

uses the “kumbung” that can work automatically in controlling the temperature and humidity needed by the fungus

to keep blooming and growing. Based on the research, the mushroom’s growing environment is about 30.34ºC

temperatures and 81.49% humidity. Mushroom yields obtained from the automatic kumbung with dimensions

120cm200cm50cm (highlongwide) with 3 shelves of growing media can reach about 10-12 kg of mushroom for

each harvest period ( 10-12 days), and for 3 times of harvest period in a month, then 1 automatic kumbung with a

size above is able to provide results from Rp 750.000 to Rp 900.000 per month if the price of the edible mushroom in

Yogyakarta is around Rp 25.000/kg and the value of BEP (Break Even Point) is Rp. 10.343.574,13 or 11.5 months

of pay-back period.

Keywords: cultivation, mushroom, automatic kumbung, BEP.

A. Pendahuluan

Peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya di kalangan rumah tangga sangat penting dilakukan.

Salah satu cara peningkatan kesejahteraan tersebut dengan berbudidaya jamur salah satunya jamur merang.

Budidaya jamur merang dapat memberikan lebih banyak kesempatan usaha dalam upaya peningkatan ekonomi

masyarakat, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat secara umum (Hagutami,

2001).

Selain dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, budidaya jamur merang juga

mempunyai nilai gizi yang tinggi, mineral yang terkandung dalam jamur merang lebih tinggi dibandingkan dengan

yang terkandung dalam daging sapi dan domba. Kandungan protein jamur merang lebih tinggi dibandingkan dengan

kandungan protein pada tumbuhan lain secara umum (Gengers, 1982).

Selama ini sistem budidaya jamur dilakukan dengan memanfaatkan kumbung yang kapasitasnya besar,

sehingga tidak efektif bila dilakukan di lingkungan perkotaan yang lahannya sempit. Konsep pemakaian

kumbungpun kurang sesuai jika tanpa memperhatikan suhu dan kelembabannya karena adanya pengaruh lingkungan

luar kumbung yang nilai adiabatisnya sangat kurang, sehingga akan mengakibatkan kegagalan dalam panen.

Untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam budidaya jamur merang ini dilakukan penelitian untuk

membuat suatu pengkondisian suhu dan kelembaban kumbung jamur secara otomatis, sehingga dapat meningkatkan

produksi. Pada penelitian ini digunakan jamur merang, dengan sistem pembuatan kumbung jamur merang secara

otomatis yang memperhatikan kondisi suhu (temperatur) dan kelembaban relatif (relative humidity) akan menunjang

tumbuhnya jamur merang dengan baik sehingga akan memperoleh hasil yang optimal.

Selain itu dengan adanya kumbung otomatis budidaya jamur merang tidak membutuhkan lahan yang luas

serta tidak membutuhkan modal yang besar dan jika memahami prosedur pemeliharaan maka tingkat kegagalannya

relatif kecil. Dengan usia panen rata–rata 2 minggu semenjak tanam dan pemeliharaan yang optimal akan cepat

menghasilkan keuntungan.

B. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang dan membuat teknologi kumbung otomatis dengan

mempertimbangkan perubahan suhu dan kelembaban sehingga dapat digunakan dalam lingkungan yang tidak

memerlukan lahan yang luas. Mengetahui unjuk kerja kumbung otomatis budidaya jamur merang dan kelayakan alat

kumbung otomatis berdasarkan BEP (Break Even Point).

Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan bagi masyarakat awam mengenal adanya rekayasa teknologi

berupa kumbung jamur merang otomatis yang dapat memberikan solusi untuk kesejahteraan masyarakat dan

memberikan gambaran secara nyata tentang budidaya jamur merang menggunakan kumbung otomatis untuk lahan

yang terbatas serta mengetahui nilai kelayakan kumbung otomatis berdasarkan nilai BEP (Break Even Point).

C. Tinjauan Pustaka

1. Budidaya Jamur Merang

Kebutuhan dan kesadaran masyarakat terhadap bahan makanan bergizi semakin meningkat, yang

disebabkan oleh membaiknya pemahaman masyarakat tentang makanan bergizi bagi kesehatan. Kondisi ini

ditunjang pula dengan meningkatnya daya beli masyarakat terhadap suatu produk pertanian seperti jamur merang

(Volvariella volvaceae), selain itu ditambahkan bahwa mineral yang terkandung dalam jamur merang lebih tinggi

dibandingkan dengan yang terkandung dalam daging sapi dan domba. Kandungan protein jamur merang lebih tinggi

dibandingkan dengan kandungan protein pada tumbuh–tumbuhan lain secara umum (Gengers,1982).

Masa panen budidaya jamur merang relatif singkat, yaitu sekitar satu bulan sampai dengan tiga bulan

sehingga perputaran modal yang ditanam pada usaha ini berlangsung cukup cepat. Selain itu, bahan baku untuk

produksi jamur merang relatif mudah didapat, dan pengusahaannya tidak membutuhkan lahan yang luas. Oleh sebab

itu, komoditas jamur merang ini dapat memberikan lebih banyak kesempatan kerja dalam upaya peningkatkan

ekonomi masyarakat petani, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan petani secara umum

(Hagutami, 2001).

Kebutuhan jamur merang di pasaran luar negeri yang semakin meningkat menyebabkan budidaya jamur

merang mempunyai prospek yang cukup cerah. Singapura misalnya, membutuhkan 100 ton jamur merang setiap

bulan dan Malaysia membutuhkan jamur merang sekitar 15 ton tiap minggunya (Sinaga, 2001).

Di Indonesia jamur merang mempunyai prospek sangat baik untuk dikembangkan, baik untuk ekspor

maupun konsumsi dalam negeri. Kebutuhan jamur merang di pasaran dalam negeri mempunyai prospek yang sangat

cerah. Kebutuhan di Bandung, dan sekitarnya rata-rata 15 ton setiap harinya (Sinaga, 2001). Kebutuhan jamur

merang untuk kota Denpasar berkisar 500 kg tiap hari, sedangkan produksi jamur merang yang dihasilkan di

Denpasar dan Bandung hanya 300 kg tiap hari (Hagutami, 2001).

Setiap jenis jamur memerlukan syarat tumbuh yang berbeda-beda. Jamur merang merupakan jamur yang

tumbuh di daerah tropika dan membutuhkan suhu dan kelembaban yang cukup tinggi berkisar antara 30ºC sampai

dengan 38ºC dalam krudung atau kumbung (Agus, 2002).

Kelembaban relatif yang diperlukan adalah berkisar antara 80% sampai dengan 85% serta kebutuhan akan

pH media tumbuh berkisar antara pH 5,0 sampai dengan pH 8,0 (Sinaga, 2001). Kebanyakan jenis jamur lebih

toleran pada keadaan pH masam daripada pH basa (Wirakusuma, 1989).

Budidaya jamur merang terbagi menjadi dua tahapan, yaitu tahap sterilisasi media tanam dari segala

macam bakteri dan parasit yang dikenal dengan tahap pasteurisasi dan tahap pemeliharaan atau pembudidayaan

jamur pada media tanam. Proses pasteurisasi adalah proses pemanasan kompos atau media untuk tempat tumbuhnya

jamur, media kompos dipanaskan dengan keadaan ruang kumbung jamur tertutup rapat. Proses pemeliharaan adalah

proses dimana jamur mulai tumbuh dan berkembangbiak, artinya pada masa ini jamur harus benar–benar dirawat

dan dijaga (Hagutami, 2001).

Manfaat yang diperoleh dari budidaya jamur ditinjau dari sisi kesehatan terkait pada nilai kandungan

gizinya. Walaupun tidak setinggi protein hewani seperti ikan atau telur, tetapi kandungannya hampir sebanding

dengan protein susu, jagung atau kacang–kacangan dan lebih tinggi dari protein sayur daun, sayuran berumbi atau

wortel dan buah–buahan. Selain mengandung protein, pada jamur seperti jamur merang juga mengandung beberapa

vitamin penting untuk kesehatan. Walaupun tidak mengandung vitamin A, tetapi kandungan ribovlamin, tiamin dan

asam nikotinnya cukup tinggi, juga kandungan kalsium dan fosfornya tinggi, sedangkan kalori dan kolesterolnya

rendah sehingga seringkali jamur dikatakan sebagai makanan pelangsing (Agus, 2002).

2. Sistem Kumbung Otomatis

Supaya kumbung bisa dikendalikan kondisi lingkungannya, dibutuhkan perangkat elektronis yang akan

mengatur kerja dari sistem pengkondisi yang digunakan, misalnya pemanasan–pendinginan–pengembunan. Piranti

elektronis pada kumbung tersusun menjadi beberapa bagian, yaitu sensor yang terdiri dari sensor suhu dan sensor

kelembaban. Sensor suhu akan mengukur suhu ruang dalam kumbung dan data hasil pengukuran oleh sensor akan

dikirim menuju unit pengendali utama untuk diolah lebih lanjut dalam menentukan aksi berikutnya. Sensor

kelembaban akan mengukur tingkat kandungan air dalam udara baik nilai absolutnya maupun nilai relatifnya.

Aktuator berfungsi sebagai media pengkondisi ruang kumbung. Unit ini terdiri dari perangkat pemanas

yang berguna untuk menaikkan suhu media tanam kompos jika suhu pada media tanam kompos jatuh pada nilai

kritis. Unit pendingin atau pengering berfungsi untuk mendinginkan atau mengeringkan udara pada ruang kumbung

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

6

jika suhunya melebihi nilai kritis dan atau kelembabannya melebihi nilai kritis. Unit pengembunan berfungsi untuk

menaikkan nilai kelembaban relatif (RH) dari ruang kumbung jika terjadi penurunan nilai kandungan air di udara

akibat pengaruh suhu. Pengendali utama menggunakan Mikrokontroler ATMega 8535L sebagai (otak) pengendali

utama, mikrokontroler AVR ini menggunakan teknologi RISC semua instruksi berukuran 16 bit sebagian besar

dieksekusi dalam 1 siklus clock (Wardhana, 2006). Penampil berfungsi untuk menampilkan nilai dari hasil

pengukuran sensor terkini, baik suhu maupun kelembaban. Adapun penampil yang digunakan adalah LCD Display.

Karena LCD Display merupakan salah satu media yang digunakan sebagai penampil pada sistem berbasis

mikrokontroler (Wasito, 2004).

3. Analisa Kelayakan Usaha

Suatu usaha yang akan dijalankan diharapkan dapat memberikan penghasilan sesuai dengan target yang

telah ditetapkan. Pencapaian tujuan usaha harus memenuhi beberapa kriteria kelayakan usaha. Artinya, jika diihat

dari segi bisnis, suatu usaha sebelum dijalankan harus dinilai pantas atau tidak untuk dijalankan. Pantas artinya

layak atau akan memberikan keuntungan dan manfaat yang maksimal (Virjilius, 2007). Salah satu penilainya adalah

dengan mencari nilai Break Even Point (BEP). BEP merupakan suatu analisis yang bertujuan untuk menemukan

satu titik yang menunjukkan biaya atau satuan lain yang dikeluarkan suatu perusahaan sama dengan pendapatan

perusahaan (Subagyo, 2007). Analisis ini mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan dan

volume. BEP akan muncul dalam suatu perusahaan jika perusahaan mempunyai biaya variabel dan biaya tetap. BEP

menyatakan volume penjualan dimana total penghasilan tepat sama besarnya dengan total biaya, sehingga

perusahaan tidak memperoleh keuntungan dan juga tidak menderita kerugian (Kasmir, 2009).

D. Metodologi Penelitian

Rancangan sistem dalam penelitian ini merupakan disain low cost yang berorientasi pada disain sederhana

namun memiliki tingkat keakurasian tinggi yang dapat mengukur dan mengendalikan suhu dan kelembaban secara

otomatis.

Pengendali

Utama

(mikroprosesor)

SENSOR

SUHU

&

KELEMBABAN

DISPLAY

PEMANTAU

VISUAL

Kipas

Pengembun

DI DALAM KUMBUNG

Pengkondisi Udara

Gambar 1. Blok Diagram Elektronik Pengendali Sistem Kumbung

Langkah–langkah penelitian yang dilakukan melalui tahap–tahap sebagai berikut:

1. Survei Lokasi, dilakukan untuk mencari data awal yang dilakukan pada proses pembuatan

kumbung otomatis budidaya jamur dengan mengambil data suhu dan kelembaban yang terjadi

pada model kumbung jamur tradisional milik para petani yang sudah terbukti mampu

menghasilkan panen jamur dengan hasil maksimal. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan

perubahan suhu dan kelembaban tersebut akan digunakan sebagai acuan dalam pengaturan alat,

baik waktu, suhu, dan kelembaban untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Data pengamatan

dilakukan pada 3 waktu yang berbeda yaitu pagi, sore dan malam.

2. Riset Perangkat, dilakukan setelah ide dasar penelitian diperoleh, kemudian dengan menganalisis

karakteristik kerja dan kesesuaian dari tiap–tiap komponen pendukung ide perancangan sehingga

diperoleh rancangan awal yang mantap dan optimal baik dari segi mekanis, elektronis maupun

ergonomisnya.

3. Desain dan Simulasi Sistem, berdasarkan hasil dari riset perangkat yang telah dievaluasi,

dilanjutkan dengan desain sistem yang mencakup desain mekanis, elektronis dan perangkat

lunaknya. Desain mekanis dilakukan dengan target optimalisasi dimensi fisik (panjang, lebar,

tinggi) dari alat yang dirancang menggunakan piranti perangkat lunak AUTOCAD®, disain

elektronis dilakukan dengan target pemilihan komponen yang tepat ditinjau dari penggunaan daya

yang rendah dan reliabilitas terhadap kondisi lingkungan yang baik serta penerapan komponen

pada papan tercetak (PCB) menggunakan piranti perangkat lunak DIPTRACE®, dan disain

perangkat lunak dengan target pemilihan algoritma pengendalian yang tepat menggunakan piranti

perangkat lunak BASCOM®. Tahapan simulasi hanya bisa dilakukan pada hasil disain elektronis

dan pada hasil disain perangkat lunak. Untuk simulasi elektronis menggunakan piranti perangkat

lunak MULTISIM® yang menganalisa konsumsi daya dan karakteristik elektronisnya. Untuk

menguji algoritma pengendalian oleh mikrokontroler digunakan piranti perangkat lunak

BASCOM® SIMULATOR.

4. Uji Parsial Sistem, pengujian secara parsial pada sistem yang telah direalisasikan secara utuh akan

membantu untuk melokalisasi kesalahan saat terjadi kesalahan pada waktu realisasi karya,

sehingga dari pengujian–pengujian parsial pada bagian–bagian sistemnya akan bisa diketahui

secara detail letak kesalahan yang terjadi.

5. Pengujian Terakhir, dipastikan secara uji parsial tidak terdapat kesalahan maka selanjutnya

dilakukan pengujian menyeluruh terhadap sistem sebagai tahap terakhir untuk mengetahui kerja

dari alat penelitian apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan. Kombinasi pola kerja dari alat

bisa dicari dengan mengubah perangkat lunak mikrokontroler hingga diperoleh hasil yang terbaik.

6. Tahap Budidaya Jamur, pada proses budidaya jamur terbagi menjadi dua tahapan, yaitu tahap

sterilisasi media tanam dari segala macam bakteri dan parasit yang dikenal dengan tahap

pasteurisasi dan tahap pemeliharaan atau pembudidayaan jamur pada media tanam. Proses

pasteurisasi adalah proses pemanasan kompos atau media untuk tempat tumbuhnya jamur, media

kompos dipanaskan dengan keadaan ruang kumbung jamur tertutup rapat. Proses pemeliharaan

adalah proses dimana jamur mulai tumbuh dan berkembangbiak, artinya pada masa ini jamur

harus benar–benar dirawat dan dijaga.

7. Analisis Kelayakan Usaha, dilakukan dengan menghitung nilai BEP (Break Even Point) apakah

usaha tersebut layak dilakukan atau tidak.

E. Hasil Penelitian

Pengambilan data suhu dan kelembaban kumbung petani yang sudah terbukti mampu menghasilkan panen

jamur dengan hasil maksimal pada 3 waktu yang berbeda, yaitu pagi, sore dan malam digunakan untuk menganalisa

data suhu dan kelembaban yang akan digunakan pada pengendali elektronis, sehingga suhu dan kelembaban pada

kumbung hasil perancangan bekerja secara otomatis atau adaptif. Hasil pengumpulan suhu pada kumbung petani

pada pagi, siang, sore dan malam hari rata–rata suhunya antara 29ºC sampai 34ºC. Sedangkan kelembaban yang

terjadi antara 67% sampai 79%.

Sistem elektronis sebagai pengendali utama dari kumbung akan melakukan 2 tahapan dalam setiap kali

siklus budidaya jamur, yaitu tahap pasteurisasi dan tahap pemeliharaan.

Proses pasteurisasi adalah proses pemanasan kompos atau media untuk tempat tumbuhnya jamur dan

proses pemeliharaan adalah proses dimana jamur mulai tumbuh dan berkembangbiak. Proses ini menggunakan

pemanas air. Penggunaan pemanas air bertujuan untuk memperoleh uap panas hasil dari pemanasan air yang

dilakukan oleh pemanas air. Proses ini berlangsung selama 5 jam. Media kompos dipanaskan dengan keadaan ruang

kumbung jamur tertutup rapat. Suhu pada proses ini dikondisikan antara 50ºC sampai 60ºC, dengan kelembaban

mencapai 100%. Apabila suhu naik mencapai 60ºC maka pemanas air akan dipadamkan, dan apabila suhu turun

mencapai 50ºC maka pemanas air dihidupkan lagi.

Tahap selanjutnya adalah proses pemeliharaan, artinya pada masa ini jamur harus benar–benar dirawat dan

dijaga. Pada masa ini suhu dan kelembaban jamur harus dikondisikan, yaitu suhu dalam kumbung jamur dijaga

antara 28ºC sampai 32ºC dan kelembabannya antara 80% sampai 90%. Proses ini akan berlangsung selama 12 hari

atau 288 jam. Apabila proses telah mencapai waktu sekian, maka semua aktuator akan dipadamkan.

Kumbung dalam penelitian ini terbuat dari bahan adiabatis dari kayu jati, harapannya dengan bahan

adiabatis kondisi di luar kumbung tidak bisa mempengaruhi kondisi di dalam kumbung sehingga iklim yang

dibutuhkan jamur untuk tumbuh secara optimal bisa dikendalikan sepenuhnya oleh sistem kumbung. Dimensi dari

kumbung adalah (tinggipanjanglebar adalah 120cm200cm50cm).

Dari kumbung otomatis ini diperoleh suhu rata–rata 28ºC sampai 32ºC sehingga kumbung ini layak untuk

tumbuh kembang jamur merang. Sedangkan kelembaban yang diperoleh sebesar 80% sampai 82.7% sehingga

dalam hal kelembabanpun layak untuk budidaya jamur merang.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

8

Hasil perhitungan kelayakan usaha budidaya jamur merang menggunakan kumbung otomatis dengan

dimensi kumbung seperti di atas adalah:

Investasi (biaya tetap) : Rp. 4.200.000,00

Biaya operasional per bulan : Rp. 534.555,56

Penjualan jamur per periode : Rp. 900.000,00

Keuntungan : Rp. 365.444,44

Pay Back Period (titik balik modal/titik impas) : 11,5 bulan

𝐵𝐸𝑃 (𝑄) = 𝐹𝑖𝑥𝑒𝑑 𝐶𝑜𝑠𝑡

𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 − 𝑉𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝐶𝑜𝑠𝑡=

4.200.000

25.000 − 14.848,77= 413,7 𝐾𝑔

𝐵𝐸𝑃 (𝑅𝑝) =𝐹𝑖𝑥𝑒𝑑 𝐶𝑜𝑠𝑡

1 − 𝑉𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝐶𝑜𝑠𝑡

𝑃𝑟𝑖𝑐𝑒

=4.200.000

1 − 14.848,77

25.000

= 𝑅𝑝 10.343.574,13

Heater Mati

Tampilkan Suhu

Heater Hidup

Jika suhu <= 50oC

?

ya

tidak

ya

tidak

ya

tidak

yatidak

Cek Jam

START

Tampilkan Suhu

END

Cek Jam

Cek Jam

Jika waktu>= 5 jam

?

Jika waktu>= 5 jam

?

Jika suhu >= 60oC

?

Int

Gambar 2. Diagram Alir Pengendalian Proses Pasteurisasi

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

10

SP offEX on

Cek Jam

ya

tidak

ya

tidak

ya

tidakya

tidak

Cek Jam

Int

START

Jika waktu>= 288 jam

?

END

ya

tidak

SP onEX on

Tampilkan Suhu (T) dan Kelembaban (RH)

JikaT > 32 oCRH < 80%

?

JikaT > 32 oCRH >80%

?

SP offEX off

JikaT < 32 oCRH < 80%

?

SP onEX off

JikaT = 32 oCRH < 80%

?

SP onEX off

JikaT = 32 oCRH > 80%

?

SP offEX on

JikaT > 32 oCRH = 80%

?

SP offEX on

tidak

tidak

ya

ya

Gambar 3. Diagram Alir Pengendalian Proses Pemeliharaan

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Kesimpulan

Pada penelitian ini terdapat berbagai pengetahuan yang muncul selama proses. Pengetahuan tersebut

bersifat baru atau memperbaiki yang sudah ada berdasarkan pelaksanaan perancangan selama proses penelitian.

Pengetahuan yang bersifat baru tertuang berupa kesimpulan, dan pengetahuan yang bersifat memperbaiki tertuang

dalam bentuk rekomendasi.

Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah:

a. Terciptanya teknologi tepat guna berupa kumbung otomatis untuk budidaya jamur merang dengan pengukur

suhu dan kelembaban udara menggunakan sistem elektronik berbasis mikrokontroler.

b. Suhu rata–rata dari alat ini di waktu pagi, siang, sore, dan malam adalah 30.34ºC dan kelembaban rata–ratanya

adalah 81.49% sehingga alat ini sesuai dengan jangkauan kelayakan dikarenakan sudah sesuai dengan suhu dan

kelembaban yang terjadi pada model kumbung jamur tradisional milik para petani jamur.

c. Jamur merang hasil panenan dari kumbung otomatis hasil penelitian dengan dimensi (tinggipanjanglebar

adalah 120cm200cm50cm) dengan 3 buah rak media tanam mencapai sekitar 10-12 kg jamur merang untuk

setiap periode panen ( setiap 10 hari), dan dalam satu bulan bisa terjadi 3 kali periode panen, maka untuk 1

kumbung otomatis mampu memberikan hasil senilai Rp 750.000 hingga Rp 900.000 setiap bulan jika harga

jamur merang dari petani di Yogyakarta sekitar Rp 25.000/kg dan nilai BEP (Break Even Point) nya Rp.

10.343.574,13 atau 11.5 bulan.

2. Rekomendasi

Konsep penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang adanya suatu teknologi rekayasa

dalam berbudidaya jamur, yaitu adanya suatu alat berupa kumbung otomatis untuk budidaya jamur pada industri

rumah tangga dengan pengukur suhu dan kelembaban udara menggunakan sistem elektronik berbasis

mikrokontroler.

Adapun rekomendasi kebijakan yang bisa dibuat adalah sebagai berikut:

a. Bagi Dinas Perindagkoptan penelitian ini bisa sebagai masukkan kepada masyarakat khususnya di wilayah

Yogyakarta, kelompok PKK, rumah tangga bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

dan juga peningkatan kesejahteraan masyarakat, yaitu dengan berbudidaya jamur merang menggunakan

kumbung otomatis, sehingga nantinya akan tercipta suatu usaha rumah tangga di bidang agribisnis.

b. Bagi stakeholder budidaya jamur merang ini tidak memerlukan lahan yang luas akan tetapi dapat dilaksanakan

di lingkungan rumah karena kumbung ini telah diatur suhu dan temperaturnya sesuai dengan suhu dan

temperatur pada kumbung petani jamur tradisional yang masih menggunakan lahan pertanian dan telah terbukti

mampu menghasilkan panen jamur dengan hasil maksimal.

c. Berdasarkan hasil analisa kelayakan usaha pada perhitungan nilai BEP (Break Even Point) sangat baik untuk

dilakukan budidaya jamur dalam skala rumah tangga selain itu juga dapat meningkatkan gizi bagi masyarakat

itu sendiri, karena dengan kumbung dimensi (tinggipanjanglebar adalah 120cm200cm50cm) dengan 3

buah rak media tanam mencapai sekitar 10-12 kg jamur merang untuk setiap periode panen ( setiap 10 hari),

dan dalam satu bulan bisa terjadi 3 kali periode panen, maka untuk 1 kumbung otomatis mampu memberikan

hasil senilai Rp 750.000 hingga Rp 900.000 setiap bulan jika harga jamur merang dari petani di Yogyakarta

sekitar Rp 25.000/kg.

d. Budidaya jamur merang ini sangat tepat bila dibudidayakan di wilayah Yogyakarta mengingat suhu yang

dibutuhkan jamur merang untuk tumbuh berkisar antara 30.34oC dan kelembaban rata-ratanya adalah 81.49%.

Daftar Pustaka

Agus, G.T.K., A. Dianawati, E.S. Irawan, & K. Miharja. (2002). Budidaya Jamur Konsumsi. Jakarta: Agromedia

Pustaka.

Gengers, R. (1982). Pedoman Berwiraswasta Bercocok Tanam Jamur. Bandung: Pionir Jaya.

Hagutami. (2001). Budidaya Jamur Merang. Cianjur: Yapentra Hagutani.

Kasmir. (2009). Studi Kelayakan Bisnis, Ed ke-2. Jakarta. Kencana Renada Media Group.

Sinaga. (2001). Jamur Merang dan Budidayanya. Jakarta: Penebar Suadaya.

S, Wasito. (2004). Vademekum Elektronika. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.

Subagyo. Ahmad. (2007). Studi Kelayakan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Wardhana. (2006). Belajar Sendiri Mikrokontroler Atmel AVR Seri ATMega8535 Simulasi, Hardware dan Aplikasi.

Yogyakarta: Penerbit ANDI.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

12

Wirakusuma, I P.G.A. (1989). Pengaruh Jenis Media dan Studi Benih Terhadap Pertumbuhan Miselia dan Produksi

Jamur Merang. Denpasar: Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Udayana.

Virjilius. (2007). Studi Kelayakan Pabrik Bubuk Coklat di Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat. Kementerian

Perindustrian Sekolah Tinggi Manajemen Industri. Jakarta.

MODEL PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEMANDIRIAN USAHA (SURVEY PADA USAHA JAJANAN KOTA YOGYAKARTA) Oleh: Mudasetia & Evi Rosalina Widyayanti1

ABTRACT

As a city of tourism, culture, and education, Yogyakarta has many visitors who come for various purposes, One of

their purposes is for trading and being a trader especially a traditional snack trader. Yogyakarta becomes a place

for living, since it is considered as a potential place for trading, such as traditional snack trading. The great

numbers of students and tourists are treir potential customers. Although it has admitted that some of those

traditional snack are not good fot health, but this small business (small and medium enterprises SMEs) has an

important role in Indonesian economic growth. Therefore, we should develop the empowermant of SMEs for

decreasing the poverty in Indonesia. But the main problem is their paradigm for being satisfy easily on what they

have reached, and it become an obstacle in their progress. Other obstacles are minimum qualified human resources

and capital. Those obstacles should be solved by comprehensive micro business empowerment strategy, increasing

the quality of human resources, and capitals, maximize the government roles, and creating partnership in order to

compete and to be autonomous as a final result. Their progress will be a huge contribution in investment and

economic growth in Indonesia. As the final goal it is expected to increase their responsible to their product and

customers, and finally increase their ethical as businessman.

Keyword: micro business, human resources, government roles, capital, partnership, autonomous

A. Pendahuluan

Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II lainnya, yaitu

32,5 km2 yang berarti 1,025% dari luas wilayah propinsi DIY (BPS, 2013). Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai

kota pelajar dan kota wisata dipenuhi oleh banyak pendatang dimana kota ini menjadi tujuan masyarakat dari

berbagai daerah baik Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri maupun daerah lain di Indonesia. Sebagai tujuan

perdagangan kota Yogyakarta sangat menjanjikan keuntungan bagi siapa saja yang berbisnis di kota ini. Tidak

terlepas mereka para pelaku usaha mikro yang datang dari berbagai daerah asal. Untuk para pelaku usaha kecil

memiliki target market yang cukup besar yaitu kepada mereka para wisatawan dan para pelajar dari tingkat dasar

hingga menengah atas bahkan para mahasiswa di Yogyakarta.

Melihat fakta dilapangan dengan tersedianya pasar yang menarik, kota Yogyakarta menjadi lahan yang

cukup mengiurkan untuk mencari nafkah bagi para pendatang khususnya para pelaku usaha jajanan, mereka datang

dari sekitar wilayah DIY maupun luar DIY yang notabennya adalah masyarakat menengah kebawah bahkan

tergolong miskin. Dari permasalahan diatas dapat dirumuskan bahwa dalam penelitian ini akan diangkat mengenai

bagaimana pelaku usaha mikro dapat menjadi pelaku usaha yang mandiri, faktor apa sajakah yang mempengaruhi?

Faktor-faktor tersebut diharapkan akan dapat memberikan pengaruh terhadap upaya kemandirian usaha melalui

pemberdayaan. Namun upaya membangun usaha bukan pekerjaan yang mudah. Faktor-faktor pengaruh harus

dikembangkan agar usaha mikro dapat tetap eksis di pasar sasaran. Strategi pemberdayaan yang komprehensif

dengan cara menumbuhkan iklim usaha yang kondusif, pembinaan dan pengembangan, pembiayaan dan penjaminan

serta kemitraan perlu dilakukan secara simultan dalam upaya memperkuat lingkungan internal dan membentuk

keunggulan bersaing. Banyak teori yang menekankan betapa pentingnya kualitas lingkungan internal dalam

mengatasi persaingan dan menjamin kemandirian usaha mikro. Berdasarkan semua itu, penelitian ini dilakukan

dalam rangka mengupayakan kemandirian para pelaku usaha mikro, sehingga penelitian ini diangkat dengan judul

“Model Pemberdayaan Usaha Mikro dan Pengaruhnya Terhadap Kemandirian Usaha (survey pada Usaha Jajanan

Kota Yogyakarta)”

Melalui beberapa faktor yang menjadi variabel penelitian dapat dirumuskan permasalahan penelitian adalah

sebagai berikut:

1 Peneliti pada STIE Widya Wiwaha Yogyakarta

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

14

1. Apakah pemberdayaan melalui Faktor Sumber Daya Manusia akan mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi

pelaku usaha mikro di kota Yogyakarta?

2. Apakah pemberdayaan melalui Faktor Peran Pemerintah akan mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi pelaku

usaha mikro di kota Yogyakarta?

3. Apakah pemberdayaan melalui Faktor Modal Usaha akan mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha

mikro di kota Yogyakarta?

4. Apakah pemberdayaan melalui Faktor Kemitraan akan mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha

mikro di kota Yogyakarta?

5. Apakah keempat faktor (Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan) saling

berpengaruh dan secara bersama-sama mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha mikro di kota

Yogyakarta?

B. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan Penelitian

a. Melaksanakan salah satu unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Penelitian

b. Mengetahui Variabel-variabel pemberdayaan yang diduga menjadi pengaruh terhadap Kemandirian

Usaha Mikro di Kota Yogyakarta

c. Membangun model Pemberdayaan usaha mikro yang lebih tepat dan baik pada penjual jajanan di Kota

Yogyakarta. Model yang dihasilkan diharapkan mampu menjadi acuan dalam pemberdayaan bagi

kemandirian usaha kecil sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan, khususnya di Kota

Yogyakarta.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memperluas literature tentang variabel-

variabel pengaruh terhadap kemandirian usaha kecil, dan peningkatan kualitas bagi pelaku usaha mikro

di Kota Yogyakarta

b. Secara aplikatif dalam penelitian ini dapat bermanfaat:

c. Bagi pelaku usaha mikro yang tentu saja dapat langsung merasakan manfaatnya,

d. Bagi pemilik modal baik itu individu maupun perbankan

e. Bagi peneliti dapat membantu pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka Peningkatan Daya Saing dan

Ketahanan Ekonomi Wlayah dalam rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.

C. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan Undang-undang RI no 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM)

dinyatakan dalam latar belakang bahwa pertama, Masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan undang-

undang dasar negara RI Tahun 1945 harus diwujudkan melalui pembangunan perekonomian nasional berdasarkan

demokrasi ekonomi. Kedua, Amanat ketetapan MPR RI No. XVI Tahun 1998 tentang politik ekonomi dalam rangka

demokrasi ekonomi, usaha mikro, kecil dan menengah perlu diberdayakan sebagai bagian integral dari sistem

ekonomi kerakyatan dan ketiga, Pemberdayaan UMKM diselenggarakan secara mnyeluruh, optimal dan

berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif, kesempatan berusaha, dukungan dan perlindungan

serta pengembangan usaha seluas-luasnya. Dalam Penelitian ini pemberdayaan akan sangat efektif melalui empat

faktor utama yaitu Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan. Melalui keempat faktor

tersebut diduga akan mewujudkan pemberdayaan usaha mikro sehingga diduga akan mampu menjadikan usaha

mikro dapat lebih mandiri.

1. Sumber Daya Manusia

Sumber Daya Manusia atau Human Resources mengandung dua pengertian. Pertama adalah usaha kerja

atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Dalam hal lain SDM mencerminkan kualitas usaha yang

diberikan oleh seseorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa. Pengertian kedua SDM

menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut. Mampu bekerja berarti

mampu melakukan kegiatan yang mempunyai kegiatan ekonomis yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan

barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. (Sonny Sumarsono, 2003). Sumber Daya Manusia sangat

tepat diterapkan dalam pemberdayaan usaha untuk penguatan internal dalam rangka penguatan ekonomi nasional

Perhatian utama harus ditekankan pada penciptaan nilai tambah untuk meraih keunggulan kompetitif melalui

pengembangan kapabilitas khusus (kewirausahaan), sehinggan usaha mikro tidak lagi mengandalkan strategi

kekuatan pasar melalui monopoli dan fasilitas pemerintah.

2. Peran Pemerintah

Peranan pemerintah dalam meningkatkan kualitas sarana produksi sangat diperlukan terutama untuk

menciptkan iklim usaha yang kompetitif. Hill (1995) menyatakan bahwa kunci untuk membuat usaha kecil menjadi

efisien dan dinamik adalah menciptkan iklim usaha yang kondusif tanpa membuat pelaku usaha terus bergantung

pada bantuan- bantuan khusus pemerintah. Iklim usaha yang kondusif meliputi tersedianya saran transportasi dan

komunikasi, fasilitas usaha yang menunjang, persaingan yang jujur, peraturan persaingan yang fair dan peraturan-

peraturan yang adil merupakan faktor yang sangat penting bagi pengembangan usaha kecil (Chew, 1996).

3. Modal Usaha

Masalah keterbatasan modal, baik modal kerja maupun untuk investasi bagi pengembangan usaha mikro

tetap merupakan hambatan. Keterbatasan modal, terutama disebabkan oleh tidak adanya akses langsung para pelaku

usaha mikro terhadap layanan dan fasilitas keuangan yang disediakan oleh lembaga keuangan formal (bank) mapun

non bank. Hal ini berarti bahwa sebagian besar atau seluruh dana yang diperlukan untuk investasi perluasan usaha

atau peningkatan volume produksi dan investasi untuk penambahan modal kerja berasal dari sumber pendanaan

informal (Yusi dan Zakaria, 2005).

4. Kemitraan

Pengertian kemitraan secara konseptual adalah adanya kerjasama antara usaha kecil dengan usaha

menengah atau dengan usaha besar disertai oleh pembinaan dan pengembangan berkelanjutan oleh usaha menengah

atau besar dengan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, memperkuat,dan menguntungkan

(Soemardjo, 2004). Saling memerlukan berarti bahwa pengusaha memerlukan pasokan bahan baku dan pemasaran

sarana produksi dan bimbingan. Saling memperkuat berarti pelaku usaha bersama-sama melaksanakan etika bisnis

sama-sama mempunyai hak dan kewajiban masing-masing dan saling membutuhkan sehingga memperkuat

kesinambungan dalam bermitra (Martodireso dan Widada, 2002).

5. Pemberdayaan

Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari Negara berkembang memandang penting pemberdayaan

usah kecil dan menengah (Berry, 2001). Pertama, karena kinerja usaha kecil dan menengah cenderung lebih baik

dalam hal menghasilkan tenaga kerja produktif. Kedua, sebagai bagian dari dinamika, usaha kecil dan menengah

sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan teknologi. Ketiga, karena sering diyakini bahwa

usaha kecil dan menengah memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas daripada usaha besar. Tentu saja usaha mikro

tidaklah jauh dari itu juga.

6. Kemandirian Usaha

Kemandirian usaha, termasuk para pelaku UKM, sudah merupakan suatu keharusan terlebih menghadapi

tantangan global saat ini dan nanti. Menghadapi persaingan yang ketat, pelaku usaha harus mampu menentukan

strategi yang jitu dalam memenangkan persaingan. Para pelaku usaha harus bisa berhadaptasi dengan

kecenderungan yang terjadi, yakni:

1. karakteristik pasar yang dinamis, kompetisi global, dan bentuk organisasi yang cenderung membentuk

jejaring (network);

2. tingkat industri yang pengorganisasian produksinya fleksibel dengan pertumbuhan yang didorong oleh

inovasi/pengetahuan; didukung teknologi digital; sumber kompetisi pada inovasi, kualitas, waktu, dan

biaya; mengutamakan research and development; serta mengembangkan aliansi dan kolaborasi dengan

bisnis lainnya.

Disamping itu, posisi tenaga kerja juga cenderung dengan kebijakan upah dan pendapatan yang tinggi,

keterampilan yang luas dengan berbagai disiplin, pembelajaran tanpa kenal waktu, dan dengan pengelolaan buruh

yang kolaboratif.

D. Metodologi Penelitian

1. Populasi dalam penelitian ini adalah pelaku usaha mikro di beberapa lokasi yang ada di wilayah kota

Yogyakarta yang menjual produk jajanan, khususnya wilayah Wirobrajan, Kauman dan Pakuncen.

Para penjual ada yang mangkal dilokasi tertentu ada yang berkeliling menetap.

2. Dari populasi yang ada tersebut maka dalam penelitian ini akan diambil sampel dengan didasarkan

cluster sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada kelompok. Yaitu kelompok

pelaku usaha mikro yang menjual jajanan pada beberapa lokasi yang ada di kota Yogyakarta, Sampel

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

16

dalam penelitian ini berjumlah 10 kelompok pelaku usaha dan masing-masing kelompok terdiri dari 20

penjual jajanan, jadi jumlah sampel yang diambil adalah 200 responden pengujian keseluruhan

hipotesis.

3. Kelompok tersebut adalah: Bakso dan Mie Ayam, Batagor, Cilok dan Cireng, Tempura,. Angkrigan,

Jajan Pasar,Pecel Lele dan Ayam bakar,Es Kelapa Muda, es campur dan Jus,. Siomay, Warung makan/

lesehan, Sate.

Dalam penelitian ini menggunakan model persamaan regresi dengan bantuan software SPSS. Dengan alat

analisis ini diharapkan diperoleh estimator yang baik. Terdapat 5 variabel laten dalam penelitian ini, yaitu Sumber Daya

Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha, Kemitraan, dan Kemandirian Usaha.

1. Analisis Regresi Berganda

Untuk menganalisis hipotesis pengaruh masing-masing faktor Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah,

Modal Usaha, Kemitraan, karena adanya Pemberdayaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi Kemandirian

Usaha bagi pelaku usaha mikro jajanan baik secara serentak maupun parsial digunakan analisis Model regresi

Linier Berganda. Menurut Gujarati (1997 : 28) model regresi untuk menganalisis data memakai rumus sebagai

berikut :

Yi = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4

Dalam penelitian ini variabel bebas (X) dana variabel terikat (Y) ditentukan sebagai berikut :

Yi = Kemandirian Usaha X1 = Sumber Daya Manusia X2 = Peran Pemerintah

X3 = Modal Usaha X4 = Kemitraan

Β0 = Intersep. Konstanta yang merupakan rata-rata nilai Yi pada saat X1, X2, X3 dan X4 sama

dengan nol

Β1 = Koefisien regresi parsial, mengukur nilai rata-rata Yi untuk tiap unit perubahan dalam X1

dengan menganggap X2, X3 dan X4 konstan

Β2 = Koefisien regresi parsial, mengukur nilai rata-rata Yi untuk tiap unit perubahan dalam X2

dengan menganggap X1, X3 dan X4 konstan

Β3 = Koefisien regresi parsial, mengukur nilai rata-rata Yi untuk tiap unit perubahan dalam X3

dengan menganggap X1, X2 dan X4 konstan

Β4 = Koefisien regresi parsial, mengukur nilai rata-rata Yi untuk tiap unit perubahan dalam X4

dengan menganggap X1, X2 dan X3 konstan

2. Uji Hipotesis

a. Uji Validitas dan Realibilitas

1. Instrumen penelitian yang selesai disusun harus di yakinkan bahwa instrument tersebut harus

benar-benar dapat mengukur senyatanya (actually) dan akuratnya (accurately) terhadap konsep

yang diukur. Pengukuran konsep senyatanya berhubungan dengan validitas dan pengukuran

seakuratnya berhubungan dengan realibilitas.

2. Instrumen yang valid artinya instrument yang dapat digunakan untuk mengukur apa yang

seharusnya diukur. Instrumen yang reabel artinya instrument yang bila digunakan untuk mengukur

obyek yang sama meskipun waktu dan tempatnya berbeda akan memperoleh hasil yang sama

b. Uji F

Uji F dikenal dengan Uji serentak atau uji Model/Uji Anova, yaitu uji untuk melihat bagaimanakah

pengaruh semua variabel bebasnya secara bersama-sama terhadap variabel terikatnya. Atau untuk menguji apakah

model regresi yang kita buat baik/signifikan atau tidak baik/non signifikan. Jika model signifikan maka model bisa

digunakan untuk prediksi/peramalan, sebaliknya jika non/tidak signifikan maka model regresi tidak bisa digunakan

untuk peramalan. Uji F dapat dilakukan dengan membandingkan F hitung dengan F tabel, jika F hitung > dari F

tabel, (Ho di tolak Ha diterima) maka model signifikan atau bisa dilihat dalam kolom signifikansi pada Anova

(Olahan dengan SPSS, Gunakan Uji Regresi dengan Metode Enter/Full Model). Uji F digunakan untuk mengetahui

apakah secara simultan koefisien regresi variabel bebas mempunyai pengaruh nyata atau tidak terhadap variabel

tergantung

c. Uji t

Independent Sample t-Test atau Uji t sample independen digunakan untuk menguji signifikansi beda rata-

rata dua kelompok. Uji ini biasanya digunakan untuk menguji pengaruh satu atau lebih variabel independen terhadap

satu variabel dependen (Gendro Wiyono,2011)

E. Hasil Penelitian

Hasil survey terhadap sampel penelitian yaitu 200 pelaku usaha jajanan di wilayah kota yogyakarta

khususnya di wilayah Wirobrajan, Pakuncen dan Kauman dan memperoleh data sebagai berikut:

Tabel 1:Data Berdasarkan Kependudukan

No KTP Domisili Jumlah Prosentase

1 Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta 20 10%

2 DIY Kota Yogyakarta 120 60%

3 Luar DIY Kota Yogyakarta 60 30%

TOTAL 200 100%

Tabel 2:Data Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan

No Pendidikan Jumlah Prosentase

1 SD 70 35%

2 SMP 80 40%

3 SMA 40 20%

4 D3 8 4%

5 S1 2 1%

200 100%

Tabel 3:Data Berdasarkan Lokasi Jualan

No Lokasi Jumlah Prosentase

1 Sekolah 85 42,5%

2 Tempat Wisata 79 39,5%

3 Umum 22 11%

4 Rumah sendiri 14 7%

TOTAL 200 100%

Melihat kenyataan tersebut sangat perlu upaya pemberdayaan dari berbagai faktor yang penting yaitu

Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan agar tercipta Kemandirian Usaha bagi para

pelaku usaha jajanan tersebut. Melalui analisa yang dilakukan menggunakan model persamaan regresi dengan

bantuan software SPSS.

1. Analisis Regresi Berganda

Hasil Analisa Regresi yang dilakukan dengan menggunakan SPSS adalah sebagai berikut:

Tabel 4:Cooefficient Regresi

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

18

Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4

Diketahui:

α= 1,483

β1 = 0,129 β2 = 0,331 β3 = 0,160 β4 = 0,165

Maka Persamaan Regresi Berganda yang dihasilkan dari analisis ini adalah:

Y = 1,483 + 0,129X1 + 0,331X2 + 0,160X3 + 0,165X4

Hipotesis yang dihasilkan adalah sebagai berikut:

1. B0 = Constant yang merupakan rata-rata nilai Y pada saat X1, X2, X3, , dan X4 = 0 artinya Meskipun

tanpa adanya variable-variabel Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha, dan

Kemitraan, vzriabel Kemandirian Usaha para pelaku Usaha Mikro sudah ada dan terbukti positif

sebesar 1,483

2. B1 = koefisien Regresi Parsial mengukur nilai rata-rata Y untuk tiap unit perubahan dalam X1

(Sumber Daya Manusia) dengan menganggap X2, X3, dan X4, konstan artinya jika variabel Sumber

Daya Manusia positif (0,129) maka akan berpengaruh positif terhadap Kemandirian Usaha.

3. B2 = koefisien Regresi Parsial mengukur nilai rata-rata Y untuk tiap unit perubahan dalam X2

(Peran Pemerintah ) dengan menganggap X2, X3, , dan X4 konstan artinya jika Peran Pemerintah

positif (0,331) maka akan berpengaruh positif terhadap Kemandirian Usaha

4. B3 = koefisien Regresi Parsial mengukur nilai rata-rata Y untuk tiap unit perubahan dalam X3

(Modal Usaha) dengan menganggap X1, X2, dan X4, konstan artinya jika Modal Usaha positif

(0,160) maka akan berpengaruh terhadap positif terhadap Kemandirian Usaha

5. B4 = koefisien Regresi Parsial mengukur nilai rata-rata Y untuk tiap unit perubahan dalam X4

(Kemitraan) dengan menganggap X1, X2, dan X3, konstan artinya jika Kemitraan positif (0,165)

maka akan berpengaruh terhadap positif terhadap Kemandirian Usaha

Jadi berdasarkan Analisis Regresi Berganda dihasilkan H1: B0 ≠ 0 maka H1 dinyatakan diterima dan

menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat pengaruh dari keempat variable yaitu Sumber Daya Manusia, Peran

Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan terhadap Kemandirian Usaha.

2. Analisis Uji Hipotesis

a. Uji Validitas

1. Uji validitas dilakukan untuk menguji validitas isi (content validity) yang menunjukkan seberapa

besar item-item instrument mewakili indicator yang diukur. Melalui analisa olah data yang

dilakukan menggunakan SPSS dihasilkan Nilai Output pada Total Correlation adalah r hitung,

selanjutnya dibandingkan dengan r tabel dicari pada signifikansi 0,05 dengan uji 2 sisi dan jumlah

data n = 30 maka diperoleh r tabel adalah sebesar 0,361

2. Kesimpulannya data korelasi yang dihasilkan valid jika berada diatas r tabel (semua variabel

menghasilkan corrected item-total correlation > dari 0,361) dan data korelasi tidak valid jika

dibawah dari r tabel ( tidak di temukan). Dengan demikian dapat digaris bawahi bahwa data yang

digunakan dalam analisa adalah data yang valid. Validitas ang dihasilkan dapat dibuktikan melalui

Coefficientsa

1.483 1.729 .858 .392

.129 .034 .187 3.761 .000

.331 .035 .492 9.565 .000

.160 .030 .267 5.320 .000

.165 .031 .267 5.289 .000

(Constant)

Sumber Daya Manusia

Peran Pemerintah

Modal Usaha

Kemitraan

Model

1

B Std. Error

Unstandardized

Coefficients

Beta

Standardized

Coefficients

t Sig.

Dependent Variable: Kemandirian Usahaa.

uji Korelasi dan dihasilkan hubungan yang kuat antara masing-masing variabel independent

dengan variabel dependent yang masing-masing menghasilkan parseon correlation 1.

b. Uji Reabilitas

Untuk melakukan Uji Reabilitas Instrumen menggunakan output yang telah diuji validitasnya dan diambil

30 sampel kuisioner sehingga menghasilkan nilai alpha pada masing-masing item yaitu pada kolom Cronbach’s if

item delete. Sedangkan untuk koefisien Cronbach’s Alpha secara simultan atas 4 item ditunjukkan pada tabel

reliability coefficients yang berada dibawahnya (Gendro Wiyono, 2011)

Tabel 5: Output Cronbach’s Alpha semua Variabel

No Variabel Cronbach’s Alpha N of Item

1 Sumber Daya Manusia .840 6

2 Peran Pemerintah .820 6

3 Modal Usaha .794 6

4 Kemitraan .876 6

5 Kemandirian Usaha .859 6

Output dari Reability Analysis tidak lain adalah Item-Total Statistics, yang menghasilkan nilai- nilai Alpha

pada kolom Cronbach/s Alpha If Item deleted, untuk masing-masing Item dan menghasilkan nilai Alpha Simultan/

komposit pada tabel Reability Statistik yang berada dibawahnya. Nilai Alpha ini dibandingkan dengan r tabel yang

dicari dengan signifikancy 0,05 dengan uji 2 sisi dan jumlah data (n) = 30 diperoleh nilai r tabel 0,361.Tampak

bahwa Alpha yang dihasilkan lebih besar dari pada r tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai item secara

parsial maupun secara komposit dinyatakan reliabel.

c. Uji F

Uji F digunakan untuk mengetahui apakah varian populasi sama atau tidak. Hasil Keluaran untuk Uji F

menggunakan Alat Analisis Independen ANOVAa

Tabel 6: Uji F dengan ANOVA

Hasil keluaran ANOVA menunjukkan bahwa Degree of Freedom yang digunakan adalah 4 dengan

Probabilitas 0,05 dan n = 200 maka dalam F tabel diperoleh nilai sebesar 2,26 sedangkan F hitung yang dihasilkan

sebesar 55,058 sehingga F Hitung lebih besar dari pada F tabel (F hitung > F tabel)

Dengan demikian sehingga dapat disimpulkan bahwa;

Ha diterima karena terdapat hubungan saling memberikan pengaruh antara variable independent (bebas)

dengan variable dependent (terikat). Dalam hal ini semakin besar F Hitung maka semakin sama populasi yang

digunakan.

d. Uji T

Uji T dapat juga dikatakan sebagai Uji Heterokedastisitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya

penyimpangan.

Tabel 7: Uji T

ANOVAb

630.097 4 157.524 55.058 .000a

557.903 195 2.861

1188.000 199

Regression

Residual

Total

Model

1

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors : (Constant), Kemitraan, Sumber Daya Manusia, Modal Usaha, Peran

Pemerintah

a.

Dependent Variable: Kemandirian Usahab.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

20

Bentuk pengujiannya adalah sebagai berikut :

Ha = B1, B2, B3, B4, B5 ≠ 0 artinya ada pengaruh bermakna antara X dengan Y dengan menggunakan

tingkat keyakinan 172,9% (lebih dari 100%) kemudian dibandingkan t hitung dengan t tabel. Besarnya tingkat

keyakinan akan berpengaruh terhadap nilai Z (nilai t). Semakin besar tingkat keyakinan maka akan semakin besar

pula nilai t (Gendro Wiyono, 2011).

Karena t tabel yang dihasilkan pada probabilitas 0,05 uji 2 sisi dan N 200 adalah 1,6525 sedangkan pada

probabilitas 0,025 uji satu sisi adalah 1,9719, maka dengan demikian dapat dinyatakan bahwa: T hitung > t tabel

Sehingga hipotesa yang menjadi kesimpulannya adalah

Ha diterima bahwa keempat variable independent (bebas) memberikan pengaruh terhadap variable

dependent (terikat).

Analisis Regresi menghasilkan Hipotesa sebagai berikut:

1. Variabel Sumber Daya Manusia memberikan pengaruh positif terhadap Variabel Kemandirian Usaha, B1

positif dan t serta F hitung > t dan F tabel.

2. Variabel Peran Pemerintah memberikan pengaruh positif terhadap Variabel Kemandirian Usaha, B2

positif dan t serta F hitung > t dan F tabel.

3. Variabel Modal Usaha memberikan pengaruh positif terhadap Variabel Kemandirian Usaha, B3 positif

dan t serta F hitung > t dan F tabel.

4. Variabel Kemitraan memberikan pengaruh positif terhadap Variabel Kemandirian Usaha B4 positif dan t

serta F hitung > t dan F tabel

Keempat Variabel Independen (Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan)

secara bersama-sama memberikan pengaruh terhadap Kemandirian Usaha terbukti bahwa correlasi yang dihasilkan

adalah 1 dengan kata lain hubungannya sangat kuat. Dengan demikian dihasilkan Model yang dapat diterapkan

sebagai berikut:

Coefficientsa

1.483 1.729 .858 .392

.129 .034 .187 3.761 .000

.331 .035 .492 9.565 .000

.160 .030 .267 5.320 .000

.165 .031 .267 5.289 .000

(Constant)

Sumber Daya Manusia

Peran Pemerintah

Modal Usaha

Kemitraan

Model

1

B Std. Error

Unstandardized

Coefficients

Beta

Standardized

Coefficients

t Sig.

Dependent Variable: Kemandirian Usahaa.

Gambar 1: Model Pemberdayaan Usaha Mikro

Pemberdayaan usaha mikro yang dapat diterapkan melalui keempat variabel (Sumber Daya Manusia, Peran

Pemerintah, Modal Usaha, dan Kemitraan) harus benar-benar dimaksimalkan terbukti bahwa β yang dihasilkan

positif artinya variabel-variabel pengaruh kuat mempengaruhi variabel independent (Kemandirian Usaha). Pertama,

Variabel Sumber Daya Manusia dengan β1 = 0,129 jika pemberdayaan yang dilakukan semakin baik dan tepat pada

sasaran maka Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha mikro akan semakin baik. Kedua, Variabel Peran pemerintah

menunjukkan pengaruh yang positif kuat dengan β2 = 0,331 mempengaruhi Kemandirian Usaha, jika upaya

pemberdayaan yang dilakukan pemerintah tepat guna dan tepat sasaran pada pelaku usaha mikro terutama pelaku

usaha jajanan maka akan sangat berperan dalam mempengaruhi Kemandirian usaha. Ketiga, Variabel Modal Usaha

dengan β3= 0,160 memberikan pengaruh positif terhadap Kemandirian Usaha dengan demikian peran

pemberdayaan melalui Variabel ini harus benar-benar di maksimalkan fungsinya sehingga benar-benar berpengaruh

langsung terhadap para pelaku usaha mikro jajanan sehingga mereka akan mampu memiliki Kemandirian Usaha

secara finansial. Variabel keempat, adalah Variabel Kemitraan dimana β4 = 0,165 memberikan pengaruh positif

terhadap Kemandirian Usaha maka jika peran kemitraan ini di maksimalkan akan banyak memberikan sumbangan

terhadap Kemandirian Usaha bagi para pelaku usaha mikro khususnya kemitraan yang dibangun para pelaku usaha

jajanan.

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Kesimpulan

Dengan melihat hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

A. Pemberdayaan dari sisi Sumber Daya Manusia masih harus ditingkatkan karena SDM yang dimiliki para

pelaku usaha mikro (penjual jajanan) memang relative rendah, data dari hasil kuisioner berdasarkan

tingkat pendidikan menunjukkan hasil tingkat pendidikan SD sebesar 35%, SMP 40%, SMA 20% dan D3

4%, dan S1 1% kondisi ini berpengaruh terhadap Kemandirian Usaha dalam artian latar belakang

pendidikan yang rendah mengakibatkan berbagai persoalan seperti:

a. Kekurangmampuan akses dan perluasan pangsa pasar;

b. Kekurangmampuan akses pada sumber-sumber pendanaan, khususnya bank;

c. Keterbatasan akses pada informasi;

d. Kurang mampu memanfaatkan teknologi dan melakukan alih teknologi;

e. Kelemahan dalam pengelolaan organisasi dan manajemen.dan

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

22

f. Kurang peduli terhadap lingkungan termasuk masalah kesehatan yang ditimbulkan dari praktek

penjualan yang salah.

B. Pemberdayaan melalui Peran Pemerintah sangat berpengaruh terhadap Kemandirian Usaha Karena itu

Peran Pemerintah itu perlu dimaksimalkan seperti melalui :

a. Campur tangan pemerintah dalam membangkitkan semangat wirausaha yang benar;

b. Peran Pemerintah dalam memberikan banyak kemudahan dari berbagai peraturan ataupun

birokrasi yang ada;

c. Peran Pemerintah memberikan kemudahan pelaku usaha mikro menikmati fasilitas umum yang

mempu menunjang berlangsungnya usaha

d. Peran Pemerintah dalam pendidikan yang dapat menambah banyak pengetahuan tentang

lingkungan eksternal seperti lingkungan ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan perlindungan

keamanan dari pemerintah.

e. Peran pemerintah melalui dinas kesehatan semakin memantau kesehatan dan kondisi barang jualan

apakah layak jual atau tidak termasuk bagaimana mereka mengelola dagangan kadaluarsa.

C. Pelaku Usaha Mikro (penjual jajanan) kurang memiliki Modal Usaha yang cukup untuk mengembangkan

usahanya karena iu Pemberdayaan melalui Modal Usaha akan mempengaruhi Kemandirian usaha, kondisi

ini bisa terjadi karena:

a. Tidak adanya akses langsung para pelaku usaha mikro terhadap layanan dan fasilitas keuangan

yang disediakan oleh lembaga keuangan formal (bank) mapun non bank;

b. Kurangnya dukungan modal berupa pembiayaan dan penjaminan pinjaman modal usaha terkadang

mengakibatkan kurangnya kepedulian terhadap mutu dan produktivitas usaha sehingga menjadi

terhambat, mutu produk yang kadang seadanya karena konsep berpikir asal mendapat untung saja.

D. Pemberdayaan melalui Kemitraan yang dilakukan para pelaku usaha mikro (penjual jajanan) memberikan

pengaruh positif terhadap Kemandirian Usaha, namun hal ini masih banyak hambatan karena:

a. Keinginan yang rendah dari pelaku usaha mikro untuk menjalin hubungan kerjasama dengan

pelaku usaha lain baik seformat maupun dengan format diatasnya;

b. Memiliki pola pikir bahwa dengan berorganisasi mereka beranggapan akan membuang-buang

waktu saja

c. Sudah merasa cukup dengan apa yang dijalaninya selama ini.

2. Saran

Dengan melihat hasil kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini maka penulis memberikan saran kepada

Pemerintah Kota Yogyakarta khususnya bagi Dinas yang terkait untuk:

1. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta harus melakukan pengecekan langsung dan rutin ke penjaja jajanan

berkitan dengan masalah kesehatan makanan yang dijual belikan, termasuk makanan kadaluarsa dan lokasi

tempat jualan yang tidak mengganggu kepentingan umum.

2. Dinas Perindagkoptan Kota Yogyakarta harus meningkatkan pelatihan tentang berbagai hal yang mereka

perlukan untuk semakin meningkatkan kualitas SDM dengan sedikit paksaan agar mereka mau hadir.

3. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta harus melarang dengan tegas penjualan makanan jika terbukti tidak sehat

4. Dinas Perindagkoptan Kota Yogyakarta harus semakin memberikan banyak jalur kemudahan dalam pemberian

pinjaman dana dengan jaminan dari pemerintah kota Yogyakarta

5. Dinas Perindagkoptan Kota Yogyakarta harus membantu memberikan wadah jika memungkinkan membentik

Asosiasi bagi kelompok usaha jajanan agar semua saran diatas dapat tersampaikan dengan lebih mudah

sehingga Kemandirian Usaha semakin dapat dirasakan.

6. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta harus mengeluarkan Sertifikasi Layak atau minimal terdaftar dan diberikan

bukti kelayakan jual dari dinas kesehatan terhadap para Penjaja Jajanan yang beroperasi di wilayah Kota

Yogyakarta, salah satu contoh secara teknis dengan penampilan gerobak yang bersih dan menarik, penampilan

penjual yang bersih dengan menggunakan celemek dan sarung tangan

7. Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta harus menghimbau kepada pihak-pihak sekolah secara lebih luas agar

lebih memprioritaskan adanya kantin sehat

8. Dinas Pendidikan dan Kesehatan Kota Yogyakarta secara bersama-sama harus dapat menghimbau kepada

pihak sekolah untuk benar-benar memantau dan mentertibkan para penjaja jajanan di depan sekolah dan akan

lebih baik lagi jika hanya kepada para penjual jajanan yang memperoleh surat ijin resmi dari sekolah yang

bisa berjualan di depan sekolah yang bersangkutan, karena berdasarkan survey sebanyak 42,5% penjual berada

dilingkungan sekolah.

9. Pihak Sekolah baik tingkat SD, SMP dan SMU harus berani mengikuti jejak sekolah-sekolah sebelumnya

dalam upaya tegas membuat kantin sehat dengan mengajak partisipasi orang tua mengisi kantin dengan buatan

mereka dengan tanggung jawab penuh bahwa makanan yg dibuat adalah makanan sehat.

10. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta bersama BPOM secara simultan melakukan tes kesehatan makanan

terhadap makanan yg dijual oleh usaha jajanan sehingga akan tercipta rasa takut jika menjual makanan tidak

sehat/ berbahaya, karena accaman sangsi akan diberikan jika pelanggaran ini dilakukan.

Daftar Pustaka

Berry, A.E. Rodriquez and H. Sandeem (2001), Small and Medium Enterprises Dynamic in Indonesia, Bulletin of

Indonesian Economic Studies 37 (3) : 363-384

BPS, 2013, Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Kota Yogyakarta

Chew, Rosalind (1996), Safety Nets for Entrepreneuship in Singapore, dalam Low Aik Meng dan Tan Wee Liang

(ed) Entrepreneurs, Entrepreneurshp and Enterprising Culture, Addison-Wesley Publishing Co.,

Singapore

Gujarati, Damodar (1995), Basic Econometrics, Mc Graw-Hill

Hafsah, M. Jafar (2000), Kemitraan Usaha: Konsepsi dan Strategi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Hill, Hal (2000), Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia since 1970, Oxford University

Press, Singapore

Porter, Michael E. (1997), Competitive Strategy, The Pree Press, New York

Satrio, Awal Nugroho (2006), Kewirausahaan Berbasis Spiritual, Penerbit Kayon, Yogyakarta

Sumarsono, Sonny (2003) Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan, Penerbit Graha Ilmu,

Yogyakarta

Undang-undang no 20 th 2008, tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah

Wiyono, Gendro (2011), Merancang Penelitian dengan Alat Analisis SPSS 17.0 dan SmartPLS 2.0

Yusi, Syahirman M. dan Rini Zakaria (2005), Faktor-Faktor yang Mempengaruhi UpayaPemberdayaan Industri

kecil Perkotaan di Kotamadia Palembang, Laporan Penelitian atas biaya P5D Depdiknas, Politeknik

Negeri Sriwijaya

_____________, http//jogjakota.go.id

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

24

E-MUSEUM SEBAGAI MEDIA MEMPERKENALKAN CAGAR BUDAYA DI KALANGAN MASYARAKAT Oleh: Suraya & Muhammad Sholeh1

ABSTRACT

Basically the museum is a place of conservation, not only physically but in a system of moral values and norms. The

purpose of conservation is to prevent people from forgetting their culture. An effort of providing museum learning

system for the youth has to be done in order to conserve our cultural heritage. The system should be able to give

information regarding museum’s collections. The information will attract visitors to come to the museum.

One effort named integral system integrates information from many museums in Yogyakarta into a portal website.

The information is presented in text, picture as well as video format.

The system application is built with a web-based programming using CodeIgniter frame, and MySQL as the

database. In this study, map feature utilizing Google Map API is used to present information in the form of

particular museum location and other museums nearby.

Keywords: museum, integration, Yogyakarta

A. Pendahuluan

Museum pada mulanya muncul di Eropa, yaitu merupakan suatu ruang / tempat khusus untuk menyimpan

barang – barang eksotik milik raja. Namun dalam perkembangan dunia selanjutnya, museum merupakan tempat

bukan yang sekedar memamerkan tetapi berfungsi sebagai tempat mengumpulkan, melestarikan, merawat,

dokumentasi, menyajikan dan mengkomunikasikan benda-benda alam dan budaya untuk kepentingan pengkajian,

pembelajaran dan rekreasi. Peninggalan-peninggalan kebudayaan primitif yang dipamerkan di museum pada masa

modern sekarang merupakan suatu media yang menginformasikan masa lampau kepada kita, terutama generasi

muda sekarang yang tidak bersamaan hidup dengan generasi tua pada masa lampau. (Rumansara, 2013)

Perkembangan museum di Indonesia tidak lepas dari adanya masa kolonial. Sebelum kemerdekaan, tujuan

pendirian museum yang berkenaan dengan kebudayaan adalah untuk mengenal kebudayaan rakyat jajahan.

Sementara pendirian museum yang berkenaan dengan sains adalah untuk mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan

alam di negara jajahan. Barulah tujuan pendirian museum setelah kemerdekaan adalah untuk kepentingan

pelestarian dan pengembangan warisan budaya. Perhatian pemerintah kepada museum mulai diberikan pada 1948

lewat Jawatan Kebudayaan dalam Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Perhatian yang lebih

serius diberikan pada 1957 ketika dalam Jawatan Kebudayaan dibentuk Bagian Urusan Museum Pendirian dan

pengembangan museum di Indonesia semakin meningkat dari masa sebelum kemerdekaan. Tujuan pendirian

museum setelah kemerdekaan adalah untuk kepentingan pelestarian dan pengembangan warisan budaya dalam

rangka persatuan dan peradaban bangsa, juga sebagai sarana pendidikan nonformal. Jumlah koleksi pada masa

kolonial cukup besar, namun disajikan dengan konsep tata pameran di Eropa. Sementara jumlah koleksi setelah

kemerdekaan memang masih terbatas, namun koleksi tersebut dipamerkan untuk kepentingan bangsa dalam rangka

penanaman rasa kebangsaaan dan jati diri. (Aris Munandar, 2011)

Permasalahan yang dialami oleh museum adalah permasalahan klasik yang sebenarnya dialami pula oleh

sebagian besar museum di Indonesia. Museum milik negara pada umumnya, cenderung bersikap ‘pasif’ dengan

mengandalkan anggaran pemerintah yang tentu saja terbatas pada kewajiban terhadap perawatan dan penyimpanan

koleksi berupa tinggalan materi yang memiliki nilai budaya atau identitas bangsa sesuai dengan UU no. 11 tahun

2010 tentang Cagar Budaya. Sehingga memunculkan kesan membosankan bagi pengunjung, dan museum selalu

tampak sepi pengunjung.

1 Peneliti pada Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta

Pada dasarnya museum merupakan tempat pelestarian, bukan hanya secara fisik, tetapi dalam sistem nilai

dan norma. Tujuan pelestarian adalah agar masyarakat tidak melupakan kekayaan budaya atau tidak mengenal lagi

akan kebudayaan mereka. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah memberikan pembelajaran tentang museum

kepada generasi muda. Upaya yang dapat ditempuh adalah membangun system informasi museum yang dapat

memberikan gambaran dan isi dari museum. Dengan adanya informasi ini, tentunya akan didapat gambaran apa isi

dari museum sehingga diharapkan akan mendorong untuk melakukan kunjungan ke museum.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Menciptakan suatu sistem informasi yang menginformasikan museum di Yogyakarta yang dapat diakses di

mana saja dan kapan saja;

b. Menyajikan informasi lokasi museum dengan teks dan gambar, sehingga pengguna mendapatkan gambaran dari

suatu lokasi museum.

C. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian E-Museum mempunyai berbagai manfaat yaitu sebagai berikut: (1) Mengumpulkan dan

pengamanan warisan alam dan budaya, (2) Dokumentasi dan penelitian ilmiah, (3) Konservasi dan preparasi, (4)

Penyebaran dan pemerataan ilmu untuk umum, (5) Pengenalan dan penghayatan kesenian, (6) Pengenalan

kebudayaan antar daerah dan bangsa, (7) Visualisasi warisan alam dan budaya, (8) Cermin pertumbuhan peradaban

umat manusia, (9) Pembangkit rasa bertakwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam melaksanakan penelitian ini menggunakan beberapa referensi yang berhubungan dengan obyek

penelitian terutama dari penelitian-penelitian atau makalah dalam jurnal, diantaranya :

1. (Patias, 2008), dalam paper ini penulis menuangkan gagasan dan mengimplementasikan, bagaimana membuat

virtual dari suatu museum. Kelebihan system tentunya gambaran dari museum dapat divisualkan sedangkan

kelemahannya adalah system dikemas dalam bentuk CD sehingga pendistribusian nya mengalami kendala,

kecuali kalau CD ini menjadi souvenir dan tidak disajikan berbasis website.

2. (Michael, 2010) dalam paper berjudul Comparative study of interactive systems in a Museum., penulis

menawarkan penggunaan TIK, khususnya multimedia untuk memberikan gambaran museum secara virtual.

3. (Satrya, 2012), dalam makalah yang ditulis di jurnal ilmiah Pariwisata, STP Trisakti Jakarta lebih banyak

menulis bagaimana strategi untuk meningkatkan kunjungan ke museum. Strategi tersebut diantaranya

mengoptimalkan peran Corporate Social Responsibility (CSR) dari suatu perusahaan dalam mendukung

program-program dari suatu museum. Pendekatan yang dilakukan dalam makalah ini lebih cenderung

menggugah aspek sosial dari suatu perusahaan tetapi tidak mengulas penggunaan teknologi informasi dan

komunikasi (TIK) dalam meningkatkan peranan museum.

1. Pengertian dan Sejarah Museum

Museum merupakan sarana untuk mengembangkan budaya dan peradaban manusia. Dengan kata lain,

museum tidak hanya bergerak di sektor budaya, melainkan dapat bergerak di sektor ekonomi, politik, sosial, dll. Di

samping itu, museum merupakan wahana yang memiliki peranan strategis terhadap penguatan identitas masyarakat

termasuk masyarakat sekitarnya. Para ahli kebudayaan meletakkan museum sebagai bagian dari pranata sosial dan

sebagai wahana untuk memberikan gambaran dan mendidik perkembangan alam dan budaya manusia kepada

komunitas dan publik.

Dalam era pembangunan teknologi yang cepat berkembang dewasa ini, peranan museum sangat diharapkan

untuk mengumpulkan, merawat, dan mengkomunikasikan berdasarkan penelitian dari benda-benda yang merupakan

bukti konkret dari proses pengembangan kebudayaan. Di museum, masyarakat dapat memperoleh tempat berekreasi

sambil mendapatkan informasi mengenai ilmu dan kejadian-kejadian yang terdapat dalam kehidupan manusia dan

lingkungan.

Pada umumnya masyarakat masih memandang museum sebagai suatu tempat atau lembaga yang

bersuasana statis, berpandangan konservatif atau kuno, mengurusi benda-benda kuno kalangan elite untuk

kebanggaan dan kekaguman semata. Bangunan museum memang terkesan menyeramkan karena identik dengan

barang-barang kuno, sunyi, kemegahan, dan kadang agak kurang terurus. Namun seharusnya hal ini tidak menjadi

suatu halangan bagi masyarakat untuk tidak mengunjungi museum. Karena dibalik kekakuannya, museum juga

memperkenalkan proses perkembangan sosial budaya dari suatu lingkungan kepada masyarakat. Masyarakat juga

bisa menggunakan museum sebagai sarana belajar, selain sebagai tempat

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

26

Benda-benda koleksi yang dipamerkan harus dirancang sedemikian rupa termasuk menunjukkan adanya

isu-isu masa kini yang berjalan dengan fakta sejarah. Kegiatan yang dilakukan di museum tidak sekedar melihat

benda koleksi yang indah, tetapi bagaimana agar yang datang ke museum pulang tetapi ingin kembali datang ke

museum karena museum dianggap mempunyai daya tarik tersendiri. Ada yang mem buat saya cukup bangga saat

ini, sudah cukup banyak pengelola museum yang membolehkan museumnya digunakan untuk acara-acara kegiatan

kemasyarakatan, melakukan seminar untuk mengasah intelektual, dan yang terpenting museum tidak digunakan

untuk sebagian kecil orang saja. (Khoirnafiya, 2012)

2. Fungsi Museum

Kata “Museum” berasal dari kata Muze, oleh orang Yunani Klasik diartikan sebagai kumpulan sembilan

Dewi, perlambang ilmu kesenian. Kesenian itu sendiri merupakan budaya manusia bersifat universal, selain

beberapa sistem yang ada yakni: religi, teknologi, organisasi kemasyarakatan, bahasa, pengetahuan dan mata

pencaharian. Kesemuanya itu , juga merupakan materi koleksi museum secara umum. (Antara, 2013)

Sebagai lembaga ilmiah, tentu Museum mempunyai berbagai fungsi. Berdasarkan kebijaksanaan

pengembangan permuseuman Indonesia berpegang pada rumusan ICOM (International Council Of Museum)

(ICOM, 2013). Museum mempunyai sembilan fungsi, yakni (1) Mengumpulkan dan pengamanan warisan alam dan

budaya, (2) Dokumentasi dan penelitian ilmiah, (3) Konservasi dan preparasi, (4) Penyebaran dan pemerataan ilmu

untuk umum, (5) Pengenalan dan penghayatan kesenian, (6) Pengenalan kebudayaan antardaerah dan bangsa, (7)

Visualisasi warisan alam dan budaya, (8) Cermin pertumbuhan peradaban umat manusia, (9) Pembangkit rasa

bertakwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Museum dinilai masih kurang maksimal. Masih banyak yang perlu dibenahi oleh museum. Antara lain

aspek fisik seperti storage, keamanan museum, dan fasilitas public serta aspek non fisik yang meliputi kualitas SDM

dan Manajemen Museum. Disamping kedua komponen tersebut terdapat hal lain yang harus diperhatikan juga oleh

museum dan tidak kalah pentingnya dengan kedua hal tersebut. hal itu adalah masalah publikasi dari museum itu

sendiri. Hampir sebagian besar museum di Indonesia masih belum memiliki sarana publikasi yang luas dan menarik.

Padahal dari publikasi yang menarik dapat menarik pula minat dari masyarakat itu sendiri untuk mengunjungi

museum. Seharusnya pihak museum dapat memanfaatkan sarana komunikasi massa seperti televisi, radio, surat

kabar, dan internet sebagai saranan promosi yang strategis untuk mempublikasikan museum pada masyarakat

luas. (Sukma, 2013)

E. Hasil Penelitian

1. Hasil Perancangan Basis Data

a. Tabel Museum

Tabel 1 merupakan tabel museum yang berisi data-data museum.

Tabel 1. Struktur tabel Museum Nama Field Type

Id_museum* Int

Nama_museum Varchar(10)

Alamat Varchar(40)

Lat_museum Decimal(10)

Long_museum Decimal(10)

Folder_gallery Varchar(100)

Link_youtube Varchar(100)

Keterangan Text

Image Varchar(100)

url Varchar(100)

Hit Int

b. Tabel Artikel

Tabel 2 merupakan tabel artikel yang berisi artikel-artikel yang berkaitan tentang

museum yang ada di sistem.

Tabel 2. Struktur tabel Tabel artikel

Nama Field Type

Id_artikel* Int

Judul Varchar(100)

Id_user** Int

Id_museum** Int

url Varchar(100)

Image Varchar(100)

Tanggal Date

Isi Text

c. Tabel Home Slide

Tabel 3 merupakan tabel home slide, yaitu tabel yang berisi data-data yang nantinya akan

di tampilkan pada slide pada halaman pengunjung.

Tabel 3. Struktur tabel Tabel home slide

Nama Field Type

Id * Int

Judul Varchar(50)

Deskripsi Varchar(100)

Gambar Varchar(30)

Alt Varchar(30)

d. Tabel Menu Admin

Tabel 4 merupakan tabel menu_admin yang berisi daftar menu yang dimiliki oleh admin.

Tabel 4. Struktur tabel Menu_admin

Nama Field Type

Id * Int

Nama Varchar(30)

url Varchar(50)

Icon Varchar(30)

e. Tabel Users

Tabel 5 merupakan tabel users yang berisi data-data user admin.

Tabel 5. Struktur tabel Tabel users

Nama Field Type

Id_user* Int

Username Varchar(10)

Password Varchar(33)

f. Tabel Artikel

Tabel 6 di bawah ini merupakan tabel artikel yang berisi artikel-artikel yang berkaitan

tentang museum yang ada di sistem.

Tabel 6. Struktur tabel Tabel artikel

Nama Field Type

Id_artikel* Int

Judul Varchar(100)

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

28

Id_user** int

Id_museum** int

url Varchar(100)

Image Varchar(100)

Tanggal Date

Isi Text

Hit int

g. Tampilan Aplikasi

1) Halaman Login

Halaman Login adalah halaman yang digunakan oleh administrator untuk masuk dalam sistem untuk

mengolah data agar dapat ditampilkan kepada masyarakat. Untuk dapat masuk ke halaman tersebut terlebih dahulu

harus memasukkan nama dan password. Berikut ini tampilan login admin.

Gambar 1. Tampilan dialog login

Tugas admin diantaranya memasukkan data museum, artikel, galery serta mengatur hak akses user lainnya.

2) Halaman tambah museum

Halaman ini digunakan admin untuk memasukkan data-data museum yang ada Tampilan untuk

memasukkan data museum ada di gambar 2

Gambar 2. Menu tambah data Museum

3) Halaman Home

Merupakan halaman utama atau halaman pertama kali muncul ketika seseorang mengakses website portal

museum Yogyakarta. Melalui halaman depan ini pengaksesan bisa dilakukan ke halaman lain melalui link-link yang

ada. Tampilan depan akan menampilkan objek singkat dari lokasi wisata Gambar 3 merupakan tampilan utama

dari sistem, untuk melihat informasi detail dari suatu lokasi wisata, pengguna dapat melakukan klik pada nama

lokasi yang diinginkan.

Informasi yang ditampilkan dalam menu utama adalah :

1. Slide bergerak yang menampilkan foto sejarah di Kota Yogyakarta

2. Link menuju museum

3. Berita yang terkait dengan suatu museum

Gambar 3. Tampilan menu utama pengguna

4) Lokasi Museum

Di samping menginformasikan lokasi museum dalam bentuk teks dan gambar (gambar 4), aplikasi juga

menampilkan peta dimana lokasi museum berada serta lokasi museum yang ada di daerah disekitar lokasi museum.

Dengan adanya peta ini, tentunya informasi lebih menarik dan mempermudah pengunjung untuk menuju lokasi

museum.

Gambar 4. Data museum yang dapat diakses

5) Link ke Museum tertentu

Agar mempermudah pengguna menuju lokasi museum, dalam penelitian ini, aplikasi yang dikembangkan

dilengkapi dengan fasilitas untuk peta yang menggambarkan lokasi dari suatu museum serta lokasi museum lain

yang terdekat (radius 3 km) . Gambar 5 dan gambar 6 menampilkan informasi dari suatu museum serta posisi

museum dalam bentuk peta.

Li

nk

k

e

mu

seum

Slide berisi

gambar sejarah

Berita terkait

dengan suatu museum

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

30

Gambar 5. Informasi suatu museum.

Gambar 6. Peta lokasi museum dan lokasi museum terdekat

6) Informasi Museum

Tampilan museum disajikan baik dalam bentuk teks, gambar maupun foto. Dengan adanya tampilan ini

diharapkan pengunjung mempunyai gambaran isi dari suatu museum. Gambar 7 menampilkan informasi museum

dalam bentuk foto.

Gambar 7. Tampilan Suatu museum dalam bentuk foto

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan, uraian pada bab-bab sebelumnya dan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut :

1. Dengan adanya portal museum ini dapat menampilkan informasi mengenai museum yang ada di

kota Yogyakarta, sehingga dapat mempermudah pengunjung untuk mengetahui informasi

sebelum melakukan kunjungan ke suatu museum;

2. Informasi disajikan secara interaktif dengan dilengkapi dengan data berupa teks, gambar serta peta

lokasi;

3. Sistem informasi dibangun berbasis website, sehingga dapat diakses dimana saja dan kapan saja

dengan menggunakan fasilitas internet.

2. Rekomendasi

Hasil akhir dari penelitian ini adalah website yang menginformasikan museum di kota Yogyakarta.

Informasi yang ditampilkan berbasis peta, sehingga pengunjung dapat mengetahui tempat museum dengan informasi

peta serta lokasi museum lain yang terdekat dari suatu lokasi museum

Pengembangan website berbasis GIS sangat diperlukan terutama bagi pengunjung museum yang tidak

berasal dari Jogjakarta, website semacama ini bisa dikembangkan atau dikelola oleh Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Kota Yogyakarta.

Dalam website Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta,

http://pariwisata.jogjakota.go.id/index/extra.arsip/2 (Gambar 8), informasi yang ditampilkan hanya berisi informasi

teks sehingga bisa dikembangkan atau ditambah dengan informasi berbasis geografis.

Gambar 8. http://pariwisata.jogjakota.go.id/index/extra.arsip/2

Daftar Pustaka

Anonim. (2008). Here. Retrieved 8 25, 2013, from www.here.com: http://here.com/-

7.8082266,110.3623643,15,0,0,normal.day

Anonim. (2013). Kebijakan Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman di Indonesia. Jakarta: Direktorat

Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.

Aris Munandar, A. d. (2011). Sejarah Permuseuman di Indonesia. Direktorat Permuseuman,

http://museumku.wordpress.com/2012/02/09/sejarah-permuseuman-indonesia-bagian-3/.

Davis, B. G. (2004). Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen (edisi Revisi). Jakarta: Pustaka Bina Presindo.

ICOM. (2013). ICOM Code of Ethics for Museums. Paris: International Council of Museums .

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

32

Jogiyanto. (2001). Analisa dan Desain Sistem Informasi. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Kadir,Abdul (2013) Mudah Mempelajari Database MySql Yogyakarta : Penerbit Andi

Khoirnafiya, S. (2012, Januari 12). Peranan Museum Bagi Masyarakat Masa Kini. Retrieved April 2014, 17, from

http://museumku.wordpress.com: http://museumku.wordpress.com/2012/01/16/peranan-museum-bagi-

masyarakat-masa-kini/

Michael, D. a. (2010). Comparative study of interactive systems in a Museum. Proceedings of the Third

international conference on Digital heritage ISBN 3-642-16872-8,978-3-642-16872-7,

http://portal.acm.org/citation.cfm?id=1939603.1939626.

Murdick, R. G. (1999). Sistem Informasi Untuk Manajemen Modern Edisi 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Patias, P. C. (2008). THE DEVELOPMENT OF AN E-MUSEUM FOR CONTEMPORARY ARTS. Proceedings of

the 14th International Conference on Virtual Systems and Multimedia Project Papers,ISSN 0167-7055 ,

http://despinamichael.net/website/data/papers/VSMM2008_emuseum.pdf.

Rumansara, E. H. (2013). Peran Sanggar Seni Dalam Menunjang Kegiatan Bimbingan Edukatif Pada Pameran

Benda Budaya Bimbingan Edukatif Pada Pameran Benda Budaya Koleksi Museum - Museum Di Papua.

JURNAL ANTROPOLOGI PAPUA ISSN: 1693-2099 , 79-87.

Satrya, D. G. (2012). Strategi Pengembangan Museum. Jurnal Imial pariwisata Volume 17 No 1, Maret 2012 ISSN

1411-1527 STP Trisaksi Jakarta , 15-28.

Sukma, G. S. (2013, Pebruari 11). Museum Di Indonesia, Menyongsong Program Gerakan Nasional Cinta Museum.

Retrieved April 2014, 18, from http://gilangswarasukma.blogspot.com:

http://gilangswarasukma.blogspot.com/2013/02/museum-di-indonesia-menyongsong-program.html

33

STRATEGI PENGELOLAAN KEGIATAN PKK DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT SEJAHTERA BERBASIS MASYARAKAT WILAYAH RW DI KECAMATAN KRATON DAN GONDOMANAN KOTA YOGYAKARTA Oleh: Ir. Rini Dorojati, M.S., Rr. Leslie Retno Angeningsih M.Sc., Ph.D., Dra. Nuraini Dwi Astuti, M.P.

ABSTRACT

This research aims to reveal the strategy from each PKK's cadres in managing their activity in the scope of RW

(neighborhood). The results of this research are expected to be the City Government's input to improve PKK's self-

reliance in addressing the issues an effort to encourage women's role in realizing the PKK cadres prosperous

society.This research was designed using qualitative methods phenomenology. The location research are sub-

district Gondomanan an sub-district Kraton (palace). Method of collecting data with in-depth

interviews, documentation, Focus Group Discussion, observation of the PKK's cadre, team, and community leader.

Data analysis is done by qualitative methods. To formulate the strategy, we used SWOT analysis.

The result shows that 39 strategies can be used in managing the activities of PKK. But a new analysis shown that

only 30% of strategies had been used to managing activities. Taking advantage of local culture potential have not

been considered seriously as an citizen economic development strategy.The strategy decreasing weakness of PKK to

achieve opportunity, most of all strategies never been used. The most major weak condition is in avoiding threats,

strategy that PKK can do as a community is do coordination activity with community leader such as district head,

sub-district head, PKK district, and youth groups to jointly seeking efforts to reach PKK's goal out. To manage PKK

activities especially on sub-district PKK that oriented on self- reliance, it needs Yogyakarta government support

through agencies and , public figures, citizen, college university, work unit area and the team of PKK sub-district

Keywords: strategy, PKK, welfare

A. Pendahuluan

Latar Belakang

PKK atau Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga adalah gerakan pemberdayaan perempuan yang

telah nyata perannya dalam mendukung kesejahteraan masyarakat khususnya di kota Yogyakarta. Dengan

ditetapkannya peraturan melalui Keputusan Mendagri dan otonomi Daerah No 53 Tahun 2000, maka PKK telah

memiliki landasan yang kuat melaksanakan kegiatannya. Berdasar hal tersebut, posisi gerakan PKK dalam

peraturan daerah dan dana yang dianggarkan oleh pemerintah daerah dalam APBD kepada lembaga ini menjadi

pendukung semangat para pengabdi masyarakat melalui organisasi PKK. Perjuangan dan pengabdiannya sudah

sering dibicarakan, namun sepak terjang para wanita dan utamanya para ibu-ibu sebagai pengabdi dan pelayan

masyarakat dalam melaksanakan kegiatannya serta dukungan dan kendala yang dihadapi dalam mengelola

kegiatannya belum banyak diungkap.

Dari segi pembiayaan kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan PKK berkonsekuensi pada pembiayaan. Oleh

karena itu, pontensi lokal mereka diolah agar suatu kegiatan dapat dilaksanakan. Beberapa yang dilakukan untuk

terlaksananya suatu kegiatan antara lain dari sumber dana warga di tingkat PKK, juga telah dibentuk

akumulasi dana anggota secara sukarela. Namun, dana yang terkumpul masih sangat terbatas . Oleh karena

jumlah anggota PKK merupakan kaum ibu, maka potensi mengatasi masalah secara mandiri menjadi tumpuan

dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat. Adanya berbagai kendala, maka pengurus PKK dalam

melaksanakan kegiatan PKK di Tingkat RW menggunakan strategi antara lain pembagian tugas kepada pengurus

PKK RT atau dasawisma, Membagi tugas dilaksanakan karena untuk memperoleh sumber-sumber dana maupun

tenaga pelaksana kegiatan. Strategi yang dilakukan adalah pendekatan kelompok dan individual.

Dalam mendukung keistimewaan DIY dengan mengungkapkan peran wanita dalam aktivitas berorganisasi

khususnya PKK untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di tingkat basis yaitu lingkup Rukun Warga

merupakan kajian yang sangat penting sehingga dapat dijadikan strategi peningkatan kualitas sosial kemasyaratan

di kota Yogyakarta.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

34

Masalah Penelitian

1. Bagaimanakah strategi pengelolaan kegiatan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) dalam

mewujudkan kesejahateraan masyarakat di lingkup wilayah RW.

2. Bagaimanakah sinergi lembaga PKK tingkat RW dengan lembaga-lembaga lain dalam mendukung

pelaksanaan program dan kegiatan nya.

3. Dukungan dan kendala apa sajakah yang dihadapi PKK RW dalam melaksanakan aktivitasnya.

B. Tujuan Penelitian

1. Mengungkapkan strategi para kader PKK dalam mengelola kegiatannya di lingkup wilayah RW.

2. Mengetahui aktivitas para kader PKK RW dalam bersinergi dengan lembaga lain guna mewujudkan

masyarakat sejahtera.

3. Menyusun rencana tindak lanjut dalam meningkatkan kemandirian PKK dalam mengatasi

persoalan dan upaya mendorong peningkatkan peran perempuan para kader PKK dalam mewujudkan

masyarakat yang sejahtera.

C. Tinjauan Pustaka

Strategi

Menurut Chandler yang dikutip oleh Rangkuti (2002) mendefinisikan strategi sebagai alat untuk

mencapai tujuan instansi maupun perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak

lanjut, serta prioritas alokasi sumber daya dengan keuangan. David J Hunger dan Thomas L. Wheelen yang

dikutip oleh Joesron (2005: 18) dalam Hayyuna dkk menyatakan bahwa strategi manajemen memiliki dasar pokok

meliputi: a). Mengamati lingkungan (enviromental scan-ning). adalah kegiatan memonitoring faktor internal

organisasi dan eksternal organisasi melalui konsep kekuatan (strength), kelemahan (weakness), kesempatan

(opportunity) dan ancaman(threaths);

Pengelolaan Kegiatan PKK

PKK adalah suatu gerakan pembangunan yang tumbuh dari bawah, dikelola oleh, dari dan untuk

masyarakat menuju terwujudnya keluarga yang sejahtera. PKK adalah lembaga sosial kemasyarakatan yang

independen non profit dan tidak berafiliasi kepada suatu partai politik tertentu. PKK mempunyai tugas memahami

dan mengatasi masalah dalam kehidupannya, mengembangkan fasilitas dan teknologi sebagai langkah

meningkatkan daya inisiatif, pelayanan masyarakat dan sebagainya.(Anonim,2007) .Kader PKK terdiri kader umum

dan kader khusus. (TP PKK Pusat, 2010).

Keputusan Ketua Umum TP PKK tentang Hasil Rakernas VII PKK Bidang Rencana Kerja PKK

tahun 2010-2015 telah menetapkan beberapa prinsip dasar dalam analisis rencana kerja atau kegiatan harus

memperhatikan 4 aspek yaitu kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (TP PKK Pusat, 2010). Kekuatan ,

adalah yang mendukung dan berpengaruh terhadap upaya-upaya atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Kelemahan

adalah permasalahan yang dihadapi yang secara nyata berpengaruh terhadap proses kegiatan. Peluang, suatu kondisi

yang memungkinkan atau dapat didayagunakan untuk memperlancar tujuan yang akan dicapai. Ancaman, hal-hal

yang diperkirakan dapat berpengaruh secara langsung pencapaian tujuan kegiatan.

Pengembangan Komunitas

Menurut definisi yang dirumuskan Christerison dan Robinson (1989) dalam Soetomo (2006) bahwa

pengembangan komunitas adalah suatu proses dimana masyarakat yang tinggal pada lokasi tertentu

mengembangkan prakarsa untuk melaksanakan suatu tindakan social (dengan atau tanpa intervensi) untuk

mengubah situasi ekonomi , social, cultural dan atau lingkungan mereka. Prinsip-prinsip umum dari definisi

tersebut adalah (1) focus perhatian ditujuan pada satu kebulatan (2) berorientasi pada kebutuhan dan permasalahan

komunitas (3) mengutamakan prakarsa, partisipasi dan swadaya masyarakat. Sebagaimana gerakan PKK di

Indonesia, jika mengacu tentang konsep pengembangan komunitas (community development), maka PKK juga

berdiri dalam rangka mewujudkan perubahan pada individu atau komunitas karena dalam strktur kelembagaan

dan sasaran gerakan PKK dibentuk secara berjenjang menurut wilayah dari Pusat sampai menjangkau

Dusun/lingkungan, RW, RT dan dasawisma (TP PKK Pusat, 2010). Keberhasilan PKK ini terwujud karena

gerakan ini dimunculkan dari kebutuhan masyarakat yang pengelolaannya juga dilaksanakan oleh masyarakat dan

hasil yang didapat juga dinikmati langsung atau ditujuan untuk masyarakat itu sendiri . Dalam konteks penelitian

ini, PKK di wilayah RW terdiri para kader yang berasal dari perwakilan anggota PK RT, mereka secara kolektif

35

melakukan tindakan sosial dalam menghadapi persoalan di lingkungannya. Oleh karena itu dalam lokalitas RW

memungkinkan timbulnya kesadaran kolektif dan solidaritas sosial. Kedua hal tersebut merupakan modal sosial

dan energy sosial bagi tindakan bersama bagi peningkatan kehidupan bersama.

Kesejahteraan

Kesejahteraan, secara umum selalu dihubungkan dengan standar kemampuan untuk memenuhi berbagai

kebutuhan hidup. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu - individu. Menurut UU No. 11

tahun 2009, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material spiritual dan social warga agar

dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Adapun

menurut Nasikun, kesejahteraan adalah padanan makna dari martabat manusia dengan indicator (1) rasa aman

(security); (2) Kesejahteraan (walfare); (3) Kebebasan (freedom); (4) Jati Diri (identity). Menurut PKK,

keluarga adalah kondisi tentang terpenuhinya kebutuhan dasar manusia dari setiap anggota keluarga secara

material, sosial, mental, dan spiritual sehingga dapat hidup layak sebagai manusia yang bermartabat. Program PKK

yang dimaksud dalam Kep.Men tersebut adalah program dalam memenuhi kebutuhan dasar untuk terwujudnya

kesejahteraan keluarga.

D. Metode Penelitian

1. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode kualitatif phenomenology (Black and dean

J.Champion, 1992).

2 . Lokasi Penelitian di Kecamatan Kraton dan Kecamatan Gondomanan .Masing masing kecamatan diambil

sampel 1 kelurahan yaitu Kelurahan Panembahan dan Kelurahan Prawirodirjan di Kecamatan

Gondomanan. Masing- masing kelurahan diambil sampel 3 Rukun Warga (RW).

3. Subyek Penelitian: Kader PKK dalam lingkup Rukun Warga .

4. Metode pengumpulan data: wawancara mendalam, dokumentasi, FGD, observasi partisipasi.

5. Analisis Data, Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif melalui tahapan sebagai berikut:

Reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan, Untuk mengetahui pengelolaan kegiatan PKK

dilakukan dengan analisis SWOT yaitu identifikasi berbagai faktor untuk merumuskan staretgi. SWOT

adalah Strengths, Weaknesen, yang terdapat di lingkungan internal, dan Opportunities dan

Threats dari lingkungan eksternal. Rangkuti, 2002).

E. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Wilayah Kecamatan Kraton Dan Kecamatan Gondomanan Kota Yogyakarta, Derah Istimewa Yogyakarta

Secara geografis Kecamatan Kraton dan Kecamatan Gondomanan merupakan dua wilayah yang terleyak di

pusat Kota Yogyakarta. Dan jaraknya saling berdekatan. Ditinjau dari jumlah penduduk, Kecamatan Kraton

jumlah penduduknya lebih banyak dari pada Kecamatan Gondomanan yaitu sebanyak 22.154 jiwa dibanding

15.190 jiwa. kepadatan penduduk ternyata Kecamatan Kraton relatif lebih padat 15.824 jiwa/km2

dibandingkan

Kecamatan Gondomanan 13.526 jiwa/km2.

Dari segi demografi , Kelurahan Prawurodirjan memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi daripada

Kelurahan Panembahan masing-masing 20.647 jiwa/Km2 dan 14.150 jiwa/ Km2. Sex Ratio di kelurahan

Prawirodirjan lebih tinggi dibandingkan di kelurahan Panembahan yaitu 102,64 dibanding 94,36. Dari segi

mata pencaharian , sebagian besar/ penduduk di Kelurahan Panembahan dan Kelurahan Prawirodirjan bekerja di

sektor swasta masing-masing 44,94 persen dan 49,65 persen. Kondisi pendidikan , Kelurahan Panembahan

mapun Kelurahan Prawirodirjan sebagian besar penduduknya berpendidikan menengah keatas dengan total masing -

masing 71,86 persen dan 51 96 persen. Ditinjau dari tingkat kesejahteraannya diketahui bahwa kondisi

rumahtanggai wilayah Kelurahan Panembahan Pra KS sebanyak 9,45%. Adapun Kelurahan Prawirodirjan dengan

kategori kemiskinan yang jumlahnya cukup besar, perbandingan proporsi hampir sama antara rumahtangga

kategori miskin dengan hampir miskin masing - masing sebanyak 50%.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

36

2. Profil PKK Di Kelurahan Panembahan Kecamatan Kraton dan Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan

Kegiatan kelompok Kerja TP PKK, dapat diketahui bahwa Pokja I bidang penghayatan dan pengamalan

nilai-nilai luhur telah melaksanakan kegiatannya dengan sasaran keluarga baik ibu, bapak, dan lansia maupun anak-

anak berupa santapan rohani atau mengisi jiwa dengan pengajian, penyuluhan ,mendampingi dalam penyelesaian

masalah keluarga melalui mitra keluarga, jumat bersih.Pokja II telah melakukan beberapa kegiatan yang mencakup

kegiatan pendidikan ketrampilan baik di bidang ekonomi seperti Wabin Usep, UP2K, membuat payet pita,

kegiatan prakoperasi dan kegiatan pendidikan dengan sasaran anak seperti melaksanakan kegiatan PAUD di

Kelurahan Prawirodirjan, studi banding BKB, juga mengembangkan kegiatan masyarakat melaui informasi

yang diperoleh dari koordinasi TP PKK.Kegiatan Pokja III di bidang pangan terutama berkaitan dengan teknik

mengolah bahan pangan atau praktek memasak dan pengetahuan kualitas air minum. Kemudian kegiatan sandang

berupa kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian budaya dan menampilkan prestasi berbusana muslim, dan

kebersihan papan dengan memanfaatkan sampah menjadi barang berharga.Untuk Pokja IV lebih banyak

dibidang kesehatan terutama kesehatan anak, ibu dan lansia.

3. Strategi Pengelolaan Kegiatan PKK Dalam Mewujudkan Masyatakat Sejahtera Berbasis Wilayah RW

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa beberapa potensi PKK di Kelurahan Panembahan dan

Kelurahan Prawirodirjan dapat dirinci dan dipetakan menurut kekukatan, kelemahan, peluang dan tantangan

/ancman PKK dalam melakukan kegiatan guna mewujudkan masyarakat dan keluarga sejahtera. Melalui

metode SWOT hasil pemetaan potensi kelembagaan PKK di kedua wilayah penelitian adalah sebagai berikut:

Kekuatan:

1. Kader PKK jumlahnya banyak dan berkualitas

2. Kader sudah lama aktif di PKK

Kelemahan:

1. Usia kader sebagian besar menjelang lansia

2. Kemampuan pendanaan untuk melaksanakan kegiatan terbatas

Peluang:

1. Program dan kegiatan di berbagai instansi pemerintah jumlahnya banyak

2. Kepedulian warga terhadap PKK tinggi

3. Banyak potensi budaya lokal yang belum dimanfaatkan

4. Jumlah penduduk dan keluarga meningkat

Ancaman:

1. Lapangan kerja bagi calon kader menuntut jam kerja panjang

2. Kebutuhan hidup meningkat , kurang peduli lingkungan

4. Analisis

Dari SWOT selanjutnya disusun strategi yang dapat digunakan PKK untuk pengelolaan kegiatan dalam

mewujudkan masyarakat dan keluarga sejahtera. Dengan memperhatikan setiap peluang dihubungkan dengan

kekuatan yang dimiliki PKK, maka beberapa strategi baik yang sudah dilaksanakan maupun yang berpotensi

dapat dilaksanakan para kader PKK dapat diikuti melalui Tabel 1.

Tabel 1. Strategi Meraih Peluang dengan memanfaat kekuatan PKK

SWOT – STRATEGI (Strength - Opportunity)

No. Peluang

Kekuatan Program Pemerintah jumlah banyak

1. Jumlah Kader banyak dan

berkualitas Strategi 1. Meraih program/kegiatan pemerintah dengan

menggerakkan semua kader

2. Kader sudah lama aktiv di PKK Strategi 2. Meraih programprogram pemerintah dengan

memaksimalkan kemampuan dan pengalaman kader

Kepedulian warga terhadap PKK tinggi

Strategi 3. Mensosialisasikan dan Mengajak warga terlibat pada

37

berbagai kegiatan PKK

Strategi 4. Melakukan kegiatan bersama masyarakat dengan

berbagai inovasi

Strategi 5. Menjalin kerjasama dengan para donatur agar kegiatan

PKK berkelanjutan

Banyak potensi budaya local yang belum dimanfaatkan

Strategi 6. Mengidentifikasi budaya lokal untuk rencana

pengembangan kegiatan PKK di wilayah masing-masing kader

Strategi 7. Mengikutkan kader dalam berbagai forum untuk

menambah pengetahuan dan skill tentang pengembangan budaya

lokal

Strategi 8. Mebambah kegiatan yang lebih kreatif untuk

pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya lokal . Strategi 9. Menjalin kerjasama dengan pemerintah untuk

pelestarian budaya lokal sekaligus meningkatkan ekonomi warga Jumlah penduduk dan keluarga meningkat

Strategi 10a. Mengajak warga dewasa baik laki-laki dan

perempuan untuk mengikuti kegiatan PKK

Strategi 10b. Sosialisasi peraturan tentang kader PKK tidak harus

perempuan Strategi 11. Melakukan kaderisasi yang sistematis

Sumber: Data Primer, 2014

Tabel 2. Strategi Meraih Peluang dengan Meminimalkan Kelemahan PKK

SWOT – STRATEGI (WO)

No Peluang

Kelemahan

Program dan kegiatan di berbagai instansi pemerintah jumlahnya

banyak

1. Jumlah Kader banyak

berusia lanjut Strategi 12. Meraih program/kegiatan pemerintah dengan seleksi untuk

menyesuaikan kemampuan kader 2. Dana kegiatan PKK

terbatas Strategi 13. Meraih program/kegiatan dari pemerintah dengan seleksi

menyesuaikan dengan potensi pendanaan yang disediakan kader dan dana

dari pemerintah Strategi 14. Meraih program-program pemerintah dengan permintaan

pendampingan dari SKPD dinas terkait

Kepedulian warga terhadap PKK tinggi

Strategi 15. Membuat kesepakatan bersama kepala wilayah untuk terlibat

dalam kepengurusan dan kegiatan PKK

Strategi 16. Memberikan penghargaan kepada warga yang aktif dan peduli

terhadap PKK

Strategi 17. Membuat sistem untuk memberikan peluang kepada semua

warga sebagai pimpinan kelompok PKK

Strategi 18. Meminta warga yang muda untuk bersedia untuk membantu

PKK dalam membuat laporan

. Banyak potensi budaya lokal yang belum dimanfaatkan

Strategi19. Memanfaatkan potensi budaya lokal untuk meningkatkan

ekonomi kader berusia lansia

Strategi 20. Memanfaatkan potensi budaya lokal untuk mendukung

pendanaan kegiatan PKK

Strategi 21. Mengembangkan potensi budaya lokal dengan bekerjasama

dengan organisasi setempat seperti: LPMK, Karang Taruna

Strategi 22. Mengembangkan potensi budaya lokal dengan

dikomunikasikan dan informasikan secara sederhana

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

38

Jumlah penduduk dan keluarga meningkat

Strategi 23. Membuat kesepakatan bersama kepala wilayah untuk terlibat

dalam kepengurusan dan kegiatan PKK

Strategi 24. Mengajak warga untuk terlibat kegiatan PKK sebagai

donatur dana kegiatan

Strategi 25. Membuat sistem untuk memberikan peluang kepada semua

warga sebagai pimpinan kelompok PKK

Strategi 26. Meminta warga yang muda untuk bersedia untuk membantu

PKK dalam membuat laporan

Sumber : Data Primer, 2014

Tabel 3. Strategi Menahan Ancaman/tantangan dengan Meminimalkan Kelemahan PKK

SWOT – STRATEGI (S-T)

No.

Ancaman

Kekuatan

Lapangan kerja bagi calon kader dan kader yang bekerja

menuntut jam kerja panjang

1. Jumlah Kader banyak Strategi 27. melakukan pendekatan kpd calon kader agar bersedia

terlibat dalam kegiatan PKK dengan memperhatikan jadwal kerjanya

2. Kader aktif PKK sudah lama Strategi 28. Kegiatan yang dilaksanakan agar menarik calon kader

Strategi 29. Para kader bersedia membimbing calon kaderdalam

berkegiatan

Strategi 30. Calon kader diberikan kebebasan memilihkegitan dan

tanggungjawabnya

Kebutuhan hidup meningkat, warga kurang peduli lingkungan

Strategi 31. Membuat kegiatan yang menarik perhatian dan memberi

manfaat ekonomi warga

Strategi 32. Melakukan diskusi di forum warga untuk

mengetahui masalah dan pemecahan maslah secara bersama-sama

Strategi 33. Membuat sinergi kegiatan PKK dan dengan kebutuhan

warga untk meningkatkan kepedulian kepada PKK.

Sumber: Data Primer, 2014

Tabel 4. SWOT : Memperhatikan Kelemahan Untuk Menghadapi Ancaman

SWOT – STRATEGI (W-T)

No.

Ancaman

Kelemahan

Lapangan kerja bagi calon kader dan kader yang bekerja

menuntut jam kerja panjang

1. Jumlah Kader banyak berusia

lanjut

Strategi 34. Melakukan kerjasama dengan kelompok karang taruna

atau TP PKK dalam melaksanakan kegiatannya.

2. Dana Terbatas Strategi 35. Melakukan seleksi kegiatan PKK dan melakukan

kerjasama dengan lembaga lokal maupun di luar wilayah

Strategi 36. Berkoordinasi dengan TP PKK untuk membuat sistem

pengkaderan

Strategi 37. Melakukan kerjasama dengan kelompok pemuda atau

SKPD dalam melaksanakan pelaporan dan administrasi

Kebutuhan hidup meningkat, warga kurang peduli

lingkungan

Strategi 38. Berkoordinasi dengan kepala wilayah, dan lembaga

masyarakat lainnya

39

Strategi 39. Melakukan kerjasama dengan pemerintah setempat untuk

mencari peluang peningkatan pendapatan keluarga

Sumber: data primer, 2014

5. Hasil Analisis

Dalam mengelola kegiatan, kader PKK mempunyai kesempatan menggunakan statergi yang

mempertimbangkan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Hasil analisis ditemukan sebayak 39 strategi yang

dapat dipergunakan dalam mengelola kegiatan PKK sekaligus dapat menjadi alternatif dalam melaksanakan

kegiatan PKK secara berkelanjutan. Dengan memperimbangkan segi demografi, sosial, ekonomi kader, maka adanya

strategi tersebut dapat dipergunakan perencanaan program jangka menengah sekitar 3-5 tahun. Namun

demikian belum semua strategi dipergunakan dalam mengelola kegiatan, karena belum semua kader memahami

pentingnya melakukan identifikasi potensi kelembagaan PKK.

Strategi memaksimalkan kekuatan untuk meraih peluang, menunjukkan bahwa sebagai mitra pemerintah ,

PKK telah bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan berbagai kegiatan.Namun

memanfaatkan potensi budaya lokal, belum diperhatikan secara serius sebagai potensi penegmbangan ekonomi,

sehingga peluang tersebut masih perlu didorong dengan modal sosial yang sudah ada dan dikomunikan ke berbagai

pihak agar tumbuh solidaritas yang akhirnya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Stategi

meminimalisasikan kelemahan PKK untuk meraih peluang, dari hasil penelitian menunjukkan sebanyak 15 strategi

yang dapat dilaksanakan, namun hampir semua strategi belum dipergunakan.

Dalam menghindari ancaman atau menghadapi ancaman dengan memaksimalkan kekuatan PKK, sebnayak

6 strategi ditemukan dalam penelitian ini yang menunjukkan bahwa mengadakan kegiatan-kegiatan yang

berorientasi ekonomi untuk mengangkat perekonomian warga perlu dilakukan . Hal tersebut mengingat bahwa

sebagai kader adalah juga sebagai relawan, maka apabila kegiatan PKK tidak dapat meningkatkan kesejahteraan

ekonomi warga akan ditinggalkan oleh calon-calon kader karena harus memenuhi kebutuhan keluarga yang

semakin meningkat.Strategi untuk mencegah terjadi ancaman dengan meminimalisasi kelemahan, hasil

menunjukkan sebanyak 6 strategi dapat dilakukan PKK dalam mengelola kegiatan. Paling utama pada kondisi ini ,

PKK melakukan kegiatan koordinasi dengan kepala wilayah dalam hal ini RW, RT dan TP PKK Kelurahan serta

kelompok pemuda-pemudi untuk bersama sama mencari upaya agar tujuan PKK dapat tercapay yaitu

mensejahterakan keluarga dan masyarakat. Mengelola kegiatan PKK secara partisipatif dengan pengurus wilayah

maupun warga menjadikan PKK tetap dinanti keberadaan dan perannya dalam pembangunan.

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Kesimpulan

Dari hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa:

1) Dalam mengelola kegiatan PKK di lingkup wilayah RW, para kader menggunakan berbagai strategi.

Terdapat 39 strategi yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini berdasarkan hasil analisis SWOT.

Sebagian strategi yang teridenfikasi telah dilaksanakan oleh kader kader PKK RW, namun sebagian

besar strategi belum dilaksanakan. Kurangnya komunikasi dan informasi dari PKK, akibatnya

sebagian besar warga belum tumbuh rasa solidaritasnya sebagai warga di luar PKK secara agregat.

terutama dalam kaderisasi, dan pendanaan.

2) Bersinergi dengan beberapa lembaga lain terutama instansi pemerintah melalui SKPD merupakan

strategi yang digunakan dalam mengelola kegiatan. Adanya sinergi dan evaluasi, maka kegiatan PKK

semakin baik. Disisi lain banyaknya kegiatan PKK yang bersinergi dengan program-program

pemerintah dari berbagai instansi, menuntut dana dan pelaporan yang banyak, sehingga kegiatan atas

inisiatif PKK sendiri jarang dilaksanakan karena keterbatasan dana.

3) Strategi kader yang sudah terlaksana dan belum terlaksana apabila ada kendala , maka kegiatan perlu

ditindak lanjuti dengan beberapa rekomendasi kepada pihak-pihak terkait.

2. Rekomendasi

Secara umum program dan kegiatan PKK tingkat basis lebih menyenangkan keluarga muda khususnya

kaum ibu, dan remaja dan hasilnya dirasakan segenap warga. Dukungan berbagai pihak baik pemerintah dan swasta

sangat diperlukan untuk rekomensasi ini yaitu:

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

40

1) Mengurangi beban administrasi kegiatan Pos Yandu Balita kepada kader PKK dengan cara

membuat pelaporan yang lebih sederhana. Pelaporan yang lebih rinci sebaiknya dibebankan kepada

petugas kesehatan setempat.

2) Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan memberikan pelatihan kepada seksi

pemberdayaan di kantor kelurahan setempat, sehingga mendukung partisipasi warga atas

terlaksananya program-program pemerintah.

3) Dinas Sosial melalui SKPD bekerjasama dengan perguruan tinggi khususnya dengan STPMD

“APMD” memberikan sosialisasi dan pelatihan tentang “Pengasuhan Anak” kepada kader PKK RW .

4) Dinas tenaga kerja melalui SKPD agar membantu percepatan pengurangan kemiskinan dengan cara

memberikan brosus atau informasi tentang pelatihan-pelatihan ketrampilan yang diberikan kepada

PKK RW dan memberikan pelatihan ekonomi kreatif berbasis budaya lokal.

5) Pihak swasta seperti CSR perusahaan membuka diri bagi akses PKK tingkat basis (PKK RW)

sehingga program-programnya dapat langsung dirasakan masyarakat. Pemerintah kota menjalin

kerjasama dengan pengusaha untuk memberikan beberapa persen keuntungan untuk gerakan PKK di

tingkat basis.

6) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan melakukan kerjasama dengan PKK guna memberi kesempatan

kepada kader PKK RW di lokasi penelitian untuk mengembangkan potensi budaya local supaya

ekonomi warga meningkat . Adapun bentuk kegiatannya yaitu menyediakan nasi langgi untuk acara

Car free Day , atau acara acara lainnya menggunakan nasi langgi sebagai menu utama .

7) PKK Tingkat RW menjalin komunikasi intensip dengan berbagai pihak seperti kelompok pemuda,

kelompok bapak-bapak dan pemimpin wilayah setempat sehingga permasalahan kaderisasi PKK dan

pendanaan kegiatan dapat diketahui oleh stakeholders dan dipecahkan bersama.

Daftar Pustaka

Anonim. Konsep Pemberdayaan, Membantu Masyarakat Agar Bisa Menolong Diri Sendiri

http://www.pemberdayaan.com/pembangunan/pemberdayaan-masyarakat-dan-pembangunan-

berkelanjutan.html

Anonim. 2004, Pedoman Umum Gerakan Pemberdayaan Dan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Tim Penggerak PKK

Jakarta.

Black A.james and Dean J.Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. PT Eresco: Bandung.

Guha, Sriparna, and Goswami, Samrat. (2007). Impact of Gender Budgeting on Women Empowerment.

http://www.inc.com/resources/leadership/articles/20070801

Priharsanti, Amelia. 2008. Peran Dan Potensi Gerakan PKK Serta Model Pemberdayaan Bagi Perempuan

Dalam Rangka membantu Ekonomi Keluarga (Di Malang Raya). Tesis. Malang

Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan Masyarakat. Rineka Cipta. Jakarta.

Rangkuti, Freddy.2002. Analisis SWOT. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rianse, Usman dan Abdi. 2008. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi: Teori dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta.

Soetomo, 2006. Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tim Penggerak PKK Pusat. 2010. Hasil Rapat Kerja Nasional VII PKK Tahun 2010. Jakarta: TP PKK Pusat

Periode 2010-2015.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

41

RANCANG BANGUN DAPUR PELEBUR ALUMINIUM BERBAHAN BAKAR PADAT YANG LEBIH HEMAT ENERGI DAN LEBIH RAMAH LINGKUNGAN Oleh: Joko Winarno1

ABSTRACT

In this work the performance of solid fueled furnace designed for aluminium melting with forced air flow was

studied. The raw materials used in this experiment were aluminum scrap, wood charcoal and coal briquette as solid

fuel. The performance evaluation of such furnace was carried out in order to determine efficiency and operation

cost of the furnace. Towards this objective, measurement was taken for quantity of solid fuel used for different

aluminum scrap melted and their corresponding melting time and temperature. The result showed that the efficiency

of the designed furnace was 10,35% and the operation cost of this furnace was Rp. 1,560/ kg aluminum scrap for

coal briquette fuel and Rp.2,880 / kg aluminum scrap for wood charcoal fuel.

Keywords: furnace, solid fuel, aluminum, efficiency, operation cost

A. Pendahuluan

Aluminium merupakan salah satu material logam non-ferro yang banyak digunakan baik dalam kehidupan

sehari-hari maupun dalam berbagai industri. Untuk menghemat biaya pengolahan aluminium, saat ini banyak

dilakukan proses remelting atau peleburan ulang aluminium bekas (aluminium scrap) terutama pada industri rumah

tangga hingga industri kecil. Adanya kebijakan program konversi energi dari minyak tanah ke gas elpiji dari

Pemerintah, saat ini banyak industri pengecoran aluminium skala rumah tangga hingga industri kecil menggunakan

oli bekas karena harganya lebih murah dan ketersediaannya cukup banyak.

Dalam prakteknya, pembakaran oli bekas banyak menimbulkan permasalahan baik dari sisi kesehatan

maupun dari sisi lingkungan. Oli bekas ini termasuk golongan limbah yang berbahaya (B3), apabila oli bekas ini

langsung dibuang akan mencemari lingkungan karena dalam minyak pelumas bekas terkandung kotoran-kotoran

logam, aditif, sisa bahan bakar dan kotoran lainnya dan jika minyak oli bekas dibakar begitu saja tanpa ada

perlakuan awal juga akan menimbulkan pencemaran lingkungan dan mengganggu kesehatan.

Berbagai upaya pengembangan tungku atau dapur untuk peleburan aluminium saat ini telah banyak

dilakukan untuk meningkatkan unjuk kerja tungku sehingga efisiensi pembakarannya dapat ditingkatkan. Di

samping itu, pengembangan tungku ini juga dimaksudkan untuk menurunkan dampak lingkungan yang ditimbulkan

dari proses pembakaran bahan bakar di dalam tungku peleburan yang selama ini juga menjadi permasalahan yang

dihadapi oleh para pengusaha industri pengecoran logam non-ferro, khususnya aluminium.

Beberapa tungku peleburan aluminium yang telah dikembangkan di antaranya tungku berbahan bakar padat

dengan sistem aliran udara paksa (Winarno, 2012). Tungku yang dirancang berbentuk kubus dengan ukuran 600 x

600 x 600 mm dengan kapasitas peleburan 5 kg aluminium scrap. Hasil pengujian dengan menggunakan briket batu

bara menunjukkan bahwa besarnya kebutuhan bahan bakar adalah 2,3 kg baban bakar per kg aluminium scra

dengan efisiensi sebesar 5,45 % karena rugi-rugi kalor yang terjadi masih cukup besar.

Sundari (2011) telah mengembangkan tungku atau dapur yang dirancang adalah dapur crucible berbahan

bakar gas LPG berbentuk silinder dengan diameter 220 mm dan tinggi 300 mm dengan kapasitas 30 kg. Dari hasil

uji coba yang dilakukan diketahui bahwa untuk melebur aluminium scrap seberat 30 kg diperlukan waktu 1 jam 37

menit dan bahan bakar yang digunakan adalah 3,60 kg.

Magga (2010) mengembangkan analisis perancangan tungku peleburan logam non-ferro jenis portable

berbahan bakar arang sebagai sarana pembelajaran. Tungku peleburan yang direncanakan berbentuk kotak dengan

diameter dalam berbentuk selinder dan cawang pelebur berbentuk selinder, dimensi tungku adalah 50 cm x 50 cm,

diameter dalam selinder 30 cm. Dari hasil analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa besarnya kalor yang

1 Dosen Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Janabadra Yogyakarta, Jl. Tentara Rakyat Mataram 55-57

Yogyakarta 55231, Telp/Fax: (0274) 543676. Email: [email protected]

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

42

digunakan untuk melebur 5 kg aluminium diperlukan kalor sebesar 3,030,600 J. Volume dari cawan pelebur yang

diperlukan adalah 1,5 liter.

Ashgi (2009) juga telah melakukan rancang bangun tungku peleburan aluminium berbahan bakar minyak

dengan sistem aliran udara paksa. Dapur peleburan yang dirancang dibuat dari tatanan bata tahan api yang

dilekatkan dengan campuran semen dan pasir tahan api. Dapur lebur mempunyai tinggi 62 cm, diameter luar 57 cm

dan, diameter dalam 31 cm. Dari hasil pengujiannya diketahui peleburan 4 kg alumunium menggunakan bahan

bakar solar diperlukan 5,8 liter dengan waktu peleburan 50-55 menit, sedangkan dengan menggunakan oli bekas

diperlukan 6 liter, dan memerlukan waktu peleburan 60-65 menit.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dilakukan rancang bangun sebuah tungku peleburan aluminium

berbahan bakar padat dengan sistem udara paksa yang dilengkapi dengan katup pengatur aliran udara. Tungku

(dapur) pelebur didesain sedemikian sehingga proses pembakaran berlangsung secara lebih sempurna dengan rugi-

rugi kalor yang seminimal mungkin. Dengan desain seperti ini, diharapkan bahan bakar yang diperlukan untuk

proses peleburan dapat dihemat dan dampak lingkungan yang ditimbulkan juga dapat diminimalkan. Dalam

penelitian ini juga akan dilakukan uji performa dari tungku yang dirancang dengan menggunakan dua jenis bahan

bakar padat, yakni briket batu bara dan arang kayu.

B. Dasar Teori

Aluminium merupakan logam ringan yang mempunyai ketahanan korosi yang baik. Berat jenis alumunium

adalah 2,643 kg/m3 cukup ringan dibandingkan logam lain. Kekuatan alumunium yang berkisar 83 – 310 Mpa dapat

melalui pengerjaan dingin atau pengerjaan panas (Surdia dkk, 1994). Di pasaran Alumunium ditemukan dalam

bentuk kawat foil, lembaran, pelat dan profil. Semua paduan alumunium ini dapat mampu dibentuk, dimesin, dilas

atau dipatri.

Proses peleburan adalah proses pencairan bahan (besi cor) dengan jalan dipanaskan di dalam sebuah dapur

peleburan, setelah bahan mencair kemudian dituang ke dalam cetakan (Arifin, 1976). Pada proses peleburan

alumunium digunakan dapur jenis crucible. Dapur crucible adalah dapur yang paling tua digunakan. Dapur ini

kontruksinya paling sederhana dan menggunakan kedudukan tetap dimana pengambilan logam cair dilakukan

dengan menggunakan ladle atau gayung. Dapur ini sangat fleksibel dan serbaguna untuk peleburan dengan skala

kecil dan sedang. Dapur Crucible yang ada berbentuk pot yang terbuat dari lempung dicampur dengan pasir.

Terdapat tiga macam crucible menurut jenis bahan bakar: gas, minyak dan kokas. Dapur Crucible dengan bahan

bakar kokas jarang digunakan karena kurang efisien.

Jumlah panas/kalor yang diperlukan dalam peleburan aluminium dapat digambarkan sebagai berikut

(Zemansky, 1994):

Gambar 1. Tahapan Peleburan Alumiium

Kalor yang diperlukan dalam peleburan aluminium adalah :

Qlebur = Q1 + Q2 + Q3

= m.(Cp.ΔT1 + KL + Cp ΔT2) (1)

Dengan,

Suhu, oC

Kalor yang diberikan, Joule

Q1 Q2

Q3

27

660

750

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

43

Q1 = kalor untuk menaikkan suhu kamar menjadi suhu cair aluminium

Q2 = kalor untuk mencairkan aluminium

Q3 = kalor untuk menaikkan suhu (aluminium dari 660 0C sampai 750 0C)

m = massa benda (Kg)

Cp = kalor jenis bahan (aluminium 8,8 x 102 J/Kg.K)

KL = kalor lebur aluminium

ΔT1 = perubahan suhu dari T1 ke T2

ΔT2 = perubahan suhu dari T2 ke T3

T1 = suhu awal (0C)

T2 = suhu akhir (0C)

Waktu yang diperlukan untuk melebur aluminium dapat dihitung dengan persamaan :

cawan

lebur

q

Qt (2)

Dengan,

Qlebur = kalor yang diperlukan untuk melebur aluminium

qcawan = laju aliran kalor yang diserap oleh cawan/kowi pelebur

Jumlah bahan bakar yang dibutuhkan dapat ditentukan dengan persamaan (Culp dan Sitompul, 1976) :

bb

rugirugilebur

bbHHV

QQm

(3)

Dengan,

Qrugi-rugi = rugi-rugi kalor

HHVbb = nilai pembakaran tinggi bahan bakar

C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode perancangan tungku peleburan aluminium berbahan

bakar padat. Perancangan tungku peleburan aluminium yang dilakukan meliputi perancangan konsep, perancangan

bentuk dan perancangan detail. Perancangan konsep dilakukan dengan membuat rancangan struktur tungku

kemudian dilakukan analisis apakah sudah memenuhi kriteria perancangan yang telah ditetapkan. Setelah tahap

perancangan selesai dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah fabrikasi tungku dengan menggunakan acuan hasil

perancangan detail dari tungku ayang akan dibuat yang dilanjutkan dengan pengujian tungku dan analisis hasil. Jika

hasil pengujian belum memenuhi kriteri yang telah ditetapkan, kemudian dilakukan perbaikan dan penyempurnaan

tungku, dan kemudian dilakukan pengujian ulang. Diagram alir dari metode penelitian ini dapat dilihat pada gambar

1 berikut ini.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

44

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

Setelah hasil dari pengujian tungku telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan, kemudian dilakukan

analisis yang mendalam untuk mendapatkan kesimpulan terhadap hasil rancangan tungku. Selanjutnya kesimpulan

ini digunakan untuk membuat rekomendasi ke pihak-pihak terkait.

D. Hasil dan Pembahasan

Hasil rancangan tungku yang telah dibuat dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2. Tungku Hasil Rancangan

Proses pengujian tungku yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

45

Gambar 3. Pengujian Tungku Hasil Rancangan

Distribusi temperatur pada berbagai waktu peleburan pada pengujian yang pertama, yakni dengan

menggunakan bahan bakar briket batubara dan pengujian yang kedua, yakni dengan menggunakan bahan bakar

arang kayu dapat dilihat pada gambar 4 dan 5..

Gambar 3. Distribusi Temperatur Pada Pengujian yang Pertama

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

46

Gambar 5. Distribusi Temperatur Pada Pengujian yang Kedua

Dari hasil pengujian tungku peleburan aluminium yang pertama diketahui bahwa tungku yang dirancang

mampu untuk meleburkan aluminium scrap rata-rata 2,5 kg per jam. Waktu yang diperlukan hingga titik lebur

adalah 1 jam, dan waktu yang diperlukan hingga mencapai temperatur 810 oC adalah 1,25 jam. Jumlah bahan

bakar yang digunakan hingga mencapai temperatur 810 oC adalah 3,25 kg. Hal ini berarti kebutuhan bahan bakar

untuk melebur aluminium adalah sebesar 1,3 kg baban bakar per kg aluminium scrap. Besarnya laju pembakaran

bahan bakar ini lebih kecil jika dibandingkan dengan tungku peleburan berbahan bakar solar yang mencapai 1,4 liter

per kg aluminium scrap, tungku peleburan berbahan bakar oli bekas yang mencapai 1,5 liter per kg aluminium scrap

dan tungku peleburan berbahan bakar minyak tanah yang mencapai 1,6 liter per kg aluminium scrap.

Dari hasil perhitungan diketahui bahwa besarnya kalor rata-rata yang digunakan untuk melebur aluminium

scrap hingga mencapai temperatur akhir 796 oC adalah 1095 kJ per kg aluminium scrap. Jika briket batu bara yang

digunakan memiliki nilai kalor permbakaran tinggi (HHV) sebesar 20092 KJ/kg, maka besarnya kalor rata-rata yang

dilepas bahan bakar batu bara di ruang bakar untuk dapat melebur aluminium scrap hingga mencapai temperatur

akhir 796 oC adalah 26120,6 kJ per kg aluminium scrap. Berdasarkan hasil analisis kalor ini dapat diketahui bahwa

bersarnya efisiensi tungku peleburan aluminium yang dengan bahan bakar briket arang adalah 10,5%. Dengan cara

yang sama dapat diketahui bahwa bersarnya efisiensi tungku peleburan aluminium yang dengan bahan bakar arang

kayu adalah 10,1%, sehingga besarnya efisiensi rata-rata dari tungku yang dirancang adalah 10,3 %. Efisiensi

tungku ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil evaluasi efisiensi tungku peleburan aluminum scrap berbahan

bakar gas LPG yang mencapai 19,5% (Sundari, 2011) dan juga masih lebih rendah jika dinadingkan dengan

besarnya efisiensi Tungku Rumah Tangga (TRT) yakni berkisar 14% - 26% (Supriyatno dkk, 1994).

Hasil analisis kinerja tungku dan biaya operasi peleburan aluminium yang dirancang dan beberapa tungku

lainnya dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan hasil analisis biaya operasi peleburan seperti ditunjukkan oleh tabel

di atas, maka ini dapat diketahui bahwa bersarnya biaya operasi tungku peleburan aluminium dengan bahan bakar

briket batu bara yang dirancang adalah Rp. 1560 per kg aluminium. Besarnya biaya operasi ini masih lebih tinggi

dibandingkan biaya operasi tungku peleburan aluminum berbahan bakar gas LPG yang hanya Rp. 1.200 per kg

(Sundari, 2011), akan tetapi lebih rendah dari jenis tungku lainnya.

Tabel 1. Perbandingan Kinerja Berbagai Tungku Peleburan Aluminium

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

47

E. Kesimpulan

Dari serangkaian hasil pengujian dan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa

hal sebagai berikut :

1. Tungku yang dirancang dapat digunakan untuk melebur aluminium dengan laju peleburan 2,5 kg

aluminium acrap per jam dan laju konsumsi bahan bakar sebesar 1,3 kg bahan bakar per jam.

2. Besarnya laju pembakaran bahan bakar ini lebih kecil jika dibandingkan dengan tungku peleburan

berbahan bakar solar, berbahan bakar oli bekas dan tungku peleburan berbahan bakar minyak

tanah.

3. Besarnya efisiensi rata-rata tungku peleburan aluminium yang dirancang adalah sebesar 10,3 %

karena rugi-rugi kalor masih terjadi.

4. Besarnya biaya operasi dari tungku peleburan aluminium yang dirancang adalah Rp. 1.560 per kg

untuk bahan bakar briket batu bara dan Rp. 2.880 per kg untuk bahan bakar arang kayu.

F. Rekomendasi

Oleh karena itu kami dapat memberikan saran dan rekomendasi kebijakan (policy brief) sebagai berikut :

1. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertanian melalui UPT Logam perlu melakukan upaya lebih

jauh untuk mengembangkan tungku peleburan aluminium skala industri berbahan bakar padat untuk

menggantikan tungku peleburan aluminium berbahan bakar oli bekas.

2. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertanian melalui UPT Logam perlu melakukan sosialisasi

kepada para pengusaha peleburan aluminium untuk tidak menggunakan oli bekas sebagai bahan bakar di dalam

peleburan aluminium dan beralih menggunakan bahan bakar gas LPG karena dengan desain tungku yang baik

dapat tungku dengan bahan bakar gas LPG ini dapat memberikan efisiensi dan biaya operasi yang lebih rendah

dibandingkan dengan tungku berbahan bakar oli bekas.

3. Dinas Lingkungna Hidup perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pembakaran oli bekas secara

langsung tanpa melalu proses pre-treatmnt terlebih dahulu sehingga dapat meminimalkan dampak lingkungan

yang lebih serius akibat maraknya penggunaan oli bekas sebagai bahan bakar.

Daftar Pustaka

Anonim, 2012, Dapur Peleburan Logam, http://hapli.wordpress.com, diakses pada 19 April 2013.

Anonim, 2012, Peleburan Dengan Tanur Induksi, http://hapli.wordpress.com, diakses pada 19 April 2013.

Anonim, 2011, Pengolahan Logam dengan Dapur Kupola, http://www.gudangmateri.com. diakses pada 19 April

2013.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

48

Archie W. Culp, Jr., Darwin Sitompul, 1976, Prinsip-Prinsip Konversi Energi, Mc Graw Hill, New York.

Arifin, Syamsul, 1976, Ilmu Logam, Jilid I, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Ashgi, 2009, Rancang Bangun Dapur Kowi Pelebur Aluminium Berbahan Bakar Minyak, Digital Library,

Universitas Sebelas Maret, Surakarta, http://digilib.uns.ac.id., diakses pada 18/02/2013, 12:46.

Chengel, Yunus and Michael Boles, 1998. Thermodynamics: An Engineering Approach. Highstown: McGraw-Hill.

Ighodalo, O.A., Akue, G., Enaboifo, E., Oyedoh, J., 2011, Performance Evaluation Of The Local Charcoal-Fired

Furnace For Recycling Aluminium, Journal Of Emerging Trends in Engineering and Applied Sciences

(JETEAS) 2 (3) 448 – 450, Scholarlink Research Institute Journals (ISSN : 2141 – 7016).

Magga, R., 2010, Analisis Perancangan Tungku Pengecoran Logam (non-Ferro) Sebagai Sarana Pembelajaran

Teknik Pengecoran, JIMT Vol. 7, No. 1, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Tadulako.

Sundari, E., 2011, Rancang Bangun Dapur Peleburan Aluminium Bahan Bakar Gas, Jurnal Austenit, Volume 3

Nomor 1, April 2011, Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Siwijaya.

Surdia, Tata dan Saito Sinkoru, 2000, Pengetahuan Bahan Teknik, Pradnya Paramita, Jakarta.

Supriyatno, Nazif dan Mamat, 1994, Pengujian Efisiensi Energi Tungku Rumah Tangga, Porsiding Seminar Ilmiah,

P3FT, LIPI, Jakarta.

Tata Surdia, 2000, Teknik Pengecoran Logam, Pradya Pramita, Jakarta

Winarno, 2012, Rancang Bangun Tungku Peleburan Aluminium Sistem Aliran Udara Paksa,. Jurnal Teknik,

Periode Oktober 2012, Fakultas Teknbik Univ. Janabadra Yogyakarta.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

49

MODEL PENGEMBANGAN SOCIO-PERFORMANCE LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) SEBAGAI USAHA PENINGKATAN KUALITAS EKONOMI DAN SOSIAL MASYARAKAT DI KOTA YOGYAKARTA Oleh: Dewi Kusuma Wardani1, Sri Hermuningsih2

ABSTRACT

The number of poor people in Yogyakarta rose to 21 299 households or 68 188 inhabitants in 2013 from 17 018

households or 54 530 inhabitants in 2012 (SK Gubernur Yogyakarta 451 / Kep / 2012). Rising poverty in

Yogyakarta should receive special attention because poverty is a problem of development of social welfare due to

impact on the success of development in other areas. KUBE Micro Finance Institution (MFI) program is an effort to

alleviate poverty. According to data from the Ministry of Social Affairs can be said that the MFI program KUBE

successful in empowering the poor. However, according to research results Mujiyadi (2007) and Andariani (2011)

found that the MFI KUBE not perceived benefits economically and yet can increase the family income. Differences

KUBE MFI performance evaluation results by the government with the benefits perceived by society raises some

questions "how the actual socio-performance KUBE MFIs in the city of Yogyakarta and how the model of

development?" It is important for the city government as a basis for policy making quality improvement program of

economic development and social community.

This study used qualitative method. Qualitative method was conducted with in-depth interviews and observation. To

complement the qualitative method, quantitative performed using descriptive statistics, like percentage diagram.

The results show that the MFI KUBE Yogyakarta city has a good social performance, however, there needs to be

development in order to alleviate poverty. Therefore, some people need to join hands, such as governments,

universities, businesses, and communities.

Keywords: KUBE Micro Finance Institution (MFI), poverty, socio-performance

A. Pendahuluan

Jumlah penduduk miskin di Kota Yogyakarta tahun 2013 naik menjadi 21.299 KK atau 68.188 jiwa dari

17.018 KK atau 54.530 jiwa di tahun 2012 (SK Walikota Yogyakarta No.451/Kep/2012). Naiknya angka

kemiskinan di Kota Yogyakarta perlu mendapat perhartian khusus karena kemiskinan menjadi masalah

pembangunan kesejahteraan sosial karena berdampak pada keberhasilan pembangunan di bidang lain.

Pemengentasan kemiskinan telah menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional. Kota Yogyakarta

menegaskannya dalam RPJMD 2012-2016, yaitu misi ketiga yang berbunyi “Mewujudkan pemberdayaan

masyarakat dengan gerakan Segoro Amarto”.

Program LKM KUBE merupakan salah satu upaya pengentasan kemiskinan dengan mengorganisir

masyarakat miskin dalam sebuah kelompok usaha bersama dan menyediakan bantuan modal pinjaman melalui LKM

KUBE. Outcome yang diharapkan dari program ini adalah peningkatan kerjasama kelompok, peningkatan

pengetahuan dan kepedulian social antar anggota kelompok, serta mendekatkan keluarga miskin, yang pada

akhirnya bermuara pada meningkatnya kualitas ekonomi dan sosial mereka (Andariani, 2011).

Menurut data dari Kementrian Sosial dapat dikatakan bahwa program LKM KUBE berhasil dalam

memberdayakan masyarakat miskin. Hal ini terbukti dari meningkatnya jumlah asset LKM KUBE dari Rp 30,25

milyar di tahun 2003 menjadi Rp 52,79 milyar, meningkatnya jumlah sasaran dari 17.321 kepala keluarga (KK) atau

695 KUBE menjadi 26.727 KK atau 2.797 KUBE. Namun demikian, menurut hasil penelitian Mujiyadi (2007) dan

Andariani (2011) ditemukan fakta bahwa LKM KUBE belum dirasakan manfaatnya secara ekonomi serta belum

dapat meningkatkan pendapatan keluarga.

1 Peneliti pada Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, Email: [email protected]

2 Peneliti pada Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, Email: [email protected]

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

50

Perbedaan hasil penilaian kinerja LKM KUBE oleh pemerintah dengan manfaat yang dirasakan oleh

masyarakat ini menimbulkan beberapa pertanyaan “bagaimana sebenarnya socio-performance LKM KUBE di Kota

Yogyakarta” Hal ini penting bagi pemerintah kota sebagai bahan pengambilan kebijakan pengembangan program

peningkatan kualitas ekonomi dan social masyarakat.

B. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui socio performance LKM KUBE di Kota Yogyakarta, dengan

melihat dampak multiplier LKM KUBE terhadap (1) peningkatan kesempatan kerja, (2) pengurangan kemiskinan,

(3) peningkatan pendapatan keluarga, (4) peningkatan akses dan kualitas pendidikan, (5) peningkatan akses dan

kualitas kesehatan, (6) peningkatan kepemilikan aset dan faktor produksi, (7) peningkatan kemampuan

berorganisasi, (8) pemberdayaan perempuan, (9) perubahan pola konsumsi dan menabung, (10) peningkatan

keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat

antara lain bagi pemerintah, masyarakat, dan akademisi.

C. Tinjauan Pustaka

1. Definisi Lembaga Keuangan Mikro

Program keuangan mikro memfokuskan pada perluasan aktifitas ekonomi dan meningkatkan standar hidup

klien dengan menyediakan jasa keuangan yang diperlukan. Keuangan mikro juga memfasilitasi berkembangnya

usaha kecil. Keuangan mikro dapat didefinisikan sebagai penawaran jasa keuangan seperti tabungan, kredit dan

transfer dana kepada masyarakat ekonomi golongan bawah yang tidak dapat mengakses jasa bank reguler (Wilson,

2003). Meskipun tujuan utama Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah meningkatkan status ekonomi masyarakat

miskin, sebagian besar LKM memperluas tujuannya untuk memberikan dampak bagi masyarakat secara lebih luas.

Karena rumah tangga yang menjadi sasaran LKM adalah bagian dari masyarakat dan ekonomi yang lebih luas,

dampak yang dirasakan oleh rumah tangga juga akan berimbas terhadap masyarakat secara luas. Keuangan mikro

dipandang sebagai salah satu pendekatan yang paling logis untuk mengentaskan kemiskinan karena langsung

menyentuh akar rumput masyarakat paling bawah, bersifat berkelanjutan, mampu melibatkan segmen yang luas, dan

membangun kapasitas ekononomi klien.

2. Paradigma Keuangan Mikro

Munculnya kredit mikro pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an dilatarbelakangi oleh meningkatnya

perhatian terhadap keuangan di perdesaan. Indonesia yang dipelopori oleh BRI, termasuk salah satu negara yang

memperkenalkan keuangan mikro disamping Greemen di Bangladesh dan PRODEM di Bolivia. Meskipun terdapat

beberapa perbedaan diantara ketiga negara tersebut, kesamaan utama kredit mikro ini adalah lebih menekankan pada

prinsip karakter klien dan dorongan kemitraan (peer pressure) dibandingkan kredit komersial yang lebih

mementingkan jaminan untuk mengamankan dana pinjaman, bunga untuk menutupi kerugian dan biaya

transaksi,dan insentif bagi yang mengembalikan kredit lebih awal (Meyer dan Nagarajan, 1999).

3. Proses Keuangan Mikro

Sebagian besar LKM membawa misi sosial yang beragam, misalnya memperluas akses ke jasa keuangan,

pengentasan kemiskinan, pemberdayaan perempuan, membangun solidaritas masyarakat atau meningkatkan

pengembangan ekonomi. Kinerja sosial menunjukkan sejauh mana LKM mampu mencapai tujuan-tujuan yang

ditetapkan ini. Konsep kinerja sosial tidak hanya memfokuskan pada dampak akhir.

4. Tujuan Evaluasi Kinerja Lembaga Keuangan Mikro

Penilaian kinerja sosial (social performance) merupakan suatu proses dimana suatu organisasi melakukan

benchmark antara kinerja sosial aktual dengan misi sosial yang telah ditetapkan sebelumnya (Copestake, 2005). Misi

dan tujuan kinerja sosial ini tidak hanya sekedar ditujukan kepada kelompok target tetapi juga kepada stakeholder

yang terkait. Karena obyek penilaian kinerja sosial merupakan suatu proses, maka pengukuran ini dapat diterapkan

pada berbagai tahapan social-impact causal chain, yaitu suatu model yang mendeskripsikan bagaimana suatu

dampak dapat tercipta dari suatu program. Berdasar model ini, dampak suatu program diawali dari input organisasi

yang kemudian ditransformasikan melalui proses internal dan kemudian menjadi output. Output menghasilkan

outcome, sedangkan outcome memberikan dampak. Secara grafis, social-impact causal chain.

Penilaian terhadap kinerja sosial digunakan untuk mengevaluasi seberapa besar manfaat yang dirasakan

oleh penerima kredit untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan. Penilaian ini termasuk diantaranya adalah

menganalisis apakah sistem yang dibangun dan instrumen yang digunakan telah benar-benar sesuai dengan tujuan

sosial. Penilaian kinerja sosial juga mengevaluasi outcome yang dihasilkan oleh program tersebut.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

51

Penilaian kinerja sosial dapat dilakukan hanya pada satu titik waktu tertentu (one time assesment) atau

dapat pula dilakukan secara berkelanjutan (on-going process). Kinerja sosial merupakan penterjemahan dari misi

social organisasi ke dalam praktek. Nilai sosial keuangan mikro berkaitan dengan bagaimana jasa keuangan

meningkatkan kehidupan kaum miskin, kaum miskin, dan keluargannya untuk dapat mengakses kesempatan yang

lebih luas dalam bermasyarakat. Untuk menciptakan nilai-nilai ini, tujuan sosial LKM termasuk diantaranya adalah

(Misra, 2006):

1. Meningkatkan jumlah pelayanan terhadap masyarakat miskin, tidak termasuk orang yang sedang menerima

kredit, secara berkelanjutan

2. Meningkatkan kualitas dan ketepatan jasa keuangan yang tersedia untuk klien targe melalui penilaian

sistematis kebutuhan yang spesifik

3. Menciptakan manfaat bagi klien keuangan mikro, termasuk diantaranya adalah keluarga dan komunitas

yang terkait dengan klien. Manfaat ini juga termasuk diantaranya adalah memperluas jaringan sosial klien,

mengurangi ketidakpastian, meningkatkan pendapatan, dan pemenuhan kebutuhan pokok.

4. Meningkatkan tanggung jawab sosial LKM terhadap karyawan, klien dan masyarakat yang dilayaninya.

Kinerja sosial tidak hanya mencakup pengukuran tujan dan outcome tetapi juga bagaiman tindakan dan

ukuran-ukuran koreksi diambil oleh LMM untuk mencapai outcome yang ditetapkan. Penilaian kinerja sosial tidak

hanya memfokuskan pada dampak akhir. Tujuan dari penilaian adalah menentukan apakah LKM memberikan

fasilitas bagi dirinya untuk mencapai tujuan sosial yang ditetapkan, dengan memantau sejauh mana tujuan tercapai,

dan mengevaluasi sejauh mana informasi yang diperolehnya untuk memperbaiki kegiatan operasinya.

Untuk menilai kinerja social dana bergulir, Economic and Social Commission for Asia and Pacific

(ESCAP), Integra-Clients Monitoring System, dan CERISE-Social Performance Initiative mengarahkan bahwa

peneliti sebaiknya memperhatikan tiga dampak, yaitu dampak individual, dampak rumah tangga, dan dampak

masyarakat (UNESCAP, 2000).

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif (qualitative study). Pendekatan ini akan

menganalis dan memperjelas sebab-sebab perubahan sosial-ekonomi yang dipersepsikan sebagai dampak LKM

KUBE serta faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan socio performance LKM KUBE.

Objek penelitian ini adalah kinerja social Lembaga Keuangan Mikro KUBE dalam meningkatkan kualitas

ekonomi dan sosial masyarakat. Penelitian ini menggunakan pengambilan sampel bertujuan. Kriteria yang pertama

adalah pihak yang terlibat langsung dengan LKM KUBE, baik dari pemerintah, pengelola, dan anggota. Dari enam

LKM KUBE yang ada di Kota Yogyakarta, peneliti mengambil empat LKM KUBE dengan alasan (1) salah satu

LKM KUBE sudah tidak aktif dan (2) salah satu LKM KUBE bukan berbasis kecamatan sehingga kedua LKM

tersebut tidak diambil.

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data kualitatif. Data yang dihimpun dalam

penelitian ini adalah data tentang socio-performance program LKM KUBE, baik data sekunder maupun data

primer. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh dari data

monografi.

Untuk menganalisis kinerja social LKM KUBE, peneliti metode reduksi, analisis dari pernyataan-

pernyataan khusus dan tema-tema, dan semua kemungkinan pemaknaan. Untuk mempermudah dalam menggali

data, peneliti membuat instrumen wawancara semi tertutup. Cara ini dilakukan karena hasil wawancara dengan

pengelola menyampaikan bahwa nasabah tidak terbiasa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terbuka.

Peneliti tidak melakukan focus group discussion (FGD) karena dalam FGD tidak dapat mendapatkan data

dari seluruh peserta. Diskusi biasanya didominasi oleh beberapa orang. Agar dapat memperoleh data dari seluruh

responden, peneliti menggunakan wawancara mendalam dan dibantu instrument wawancara tertutup.

Guna menguji keabsahan data, peneliti menggunakan teknik trianggulasi, dengan cara multi subjek dan

multi metoda. Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data dari berbagai sumber data, yaitu staf

Dinsosnakertrans Pemkot Yogyakarta, serta pengurus, dan anggota LKM KUBE. Metoda yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metoda kajian data sekunder, wawancara mendalam, dan observasi.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

52

E. Hasil Penelitian

1. Pendapat Socio-Performance Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) menurut Pengelola

a. Dampak terhadap Peningkatan Kesempatan Kerja

Salah satu sasaran LKM KUBE adalah ibu rumah tangga yang sebelumnya tidak bekerja dapat

membuat usaha, seperti membuat batik jumputan, warung makan, dan lain-lain). Hal ini dapat dilakukan

karena persyaratan meminjam di LKM KUBE pada awalnya adalah mereka yang memiliki usaha dan

tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Oleh sebab itu, seluruh pengelola berpendapat bahwa

LKM KUBE dapat meningkatkan kesempatan kerja, yaitu dengan membuat usaha mandiri.

b. Dampak terhadap Pengurangan Kemiskinan

Seluruh pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE dapat mengurangi kemiskinan. LKM KUBE

menjadi salah satu sumber pendanaan non bank yang tidak memberatkan masyarakat. Dengan adanya LKM

KUBE maka masyarakat yang membutuhkan dana, tidak perlu kebingungan mencari dana segar melalui

rentenir.

c. Dampak terhadap Peningkatan Pendapatan Keluarga

Pengelola menilai bahwa LKM KUBE dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Hal ini dapat

terjadi karena sebagian besar nasabah meminjam untuk keperluan usaha sehingga dapat meningkatkan

pendapatan keluarga. Kebanyakan nasabah akan kesulitan membayar (nunggak) ketika dagangan sepi.

Pengelolapun memberikan kemudahan dengan mengijinkan penundaan pembayaran angsuran maksimal

selama 2 bulan dengan harapan pada bulan ketiga usaha nasabah sudah ramai kembali.

d. Dampak terhadap Peningkatan Akses dan Kualitas Pendidikan

Dari hasil pengamatan pengelola, pinjaman mengalami lonjakan pada bulan Mei dan Juni. Pada

umumnya, nasabah melakukan pinjaman pada bulan-bulan ini dengan tujuan memperoleh bantuan dana

untuk membayar uang sekolah anaknya. Hal ini dilakukan agar uang yang sebenarnta mereka miliki bisa

tetap digunakan untuk modal usaha dan tidak digunakan untuk membayar uang sekolah sehingga usaha

mereka tetap bisa berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, seluruh pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE

dapat meningkatkan akses dan kualitas pendidikan.

100% Betul Sekali

100%

Betul Sekali

100%

Betul Sekali

100%

Betul Sekali

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

53

e. Dampak terhadap Peningkatan Akses dan Kualitas Kesehatan

Sebagian besar pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE tidak berdampak pada peningkatan

akses dan kualitas kesehatan. Hanya sedikit nasabah yang pinjam untuk berobat karena sudah ada

mekanisme Jamkesmas dan BPJS.

a. Dampak terhadap Peningkatan Kemampuan Berorganisasi

Sebagian besar pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE berdampak pada peningkatan

kemampuan berorganisasi. Hal ini dikarenakan nasabah dapat meminjam ketika bergabung dalam KUBE

dan mengikuti pertemuan rutin setiap bulan. Namun demikian, seiring dengan waktu, proporsi nasabah

yang meminjam sebagai anggota KUBE mengalami penurunan bila dibandingkan dengan nasabah umum.

Hal ini terjadi di LKM KUBE Kotagede dan LKM KUBE Umbulharjo.

f. Dampak terhadap Pemberdayaan Perempuan

Meskipun sasaran LKM KUBE adalah kepala keluarga yang memiliki usaha, namun LKM KUBE

berdampak pada pemberdayaan perempuan karena sebagian besar yang meminjam adalah perempuan.

Proporsinya rata-rata 70%. Selain itu, perempuan dapat bergabung karena mereka menggantikan suaminya

untuk ikut dalam pertemuan rutin dan akhirnya keanggotaan dialihkan pada nama mereka sendiri. Dalam

pertemuan itu, sering diadakan pelatihan.Misalnya, pada LKM KUBE Wirobrajan pernah diadakan

pelatihan pembuatan fillet ikan sehingga dapat menjadi alternatif usaha baru bagi mereka.

g. Dampak terhadap Perubahan Pola Konsumsi dan Menabung

Seluruh pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE tidak dapat mengubah pola konsumsi

nasabahnya. Peminjam tidak seluruhnya meminjam untuk usaha, melainkan juga meminjam demi

memenuhi kebutuhan konsumtif, seperti membeli peralatan elektronik.

Menurut pengelola, apabila digunakan untuk usaha saja, rata-rata pinjaman yang dibutuhkan

hanyalah sebesar Rp 500.000,-,namun sebagian besar meminjam hingga Rp 2.000.000,- dikarenakan

memenuhi kebutuhan konsumsi. Hal ini tidak dapat dicegah karena gaya hidup yang ikut berubah seiring

perkembangan jaman.

29%

71% Betul SekaliTidak Setuju

86%

14% Betul SekaliTidak Setuju

100%

Betul Sekali

100% Tidak Setuju

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

54

Di sisi lain, LKM KUBE dapat mengubah pola menabung. LKM KUBE tidak hanya melayani

peminjaman uang, namun juga melayani tabungan masyarakat. Ada juga saham yangmirip seperti

simpanan pokok di koperasi. Namun memang belum ada kewajiban untuk menyimpan uang sebagai

agunan pinjaman karena LKM KUBE tidak menggunakan agunan bagi nasabah KUBE.

Perubahan pola menabung ini diamati oleh pengelola dengan member contoh bahwa ada penjual

soto keliling yang setiap hari mampir ke LKM KUBE untuk menabung pendapatannya. Batas minimal

tabungan yang tidak tinggi ini memudahkan masyarakat kecil untuk terbiasa menabung dari penghasilan

hariannya.

2. Socio-Performance Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) menurut Nasabah

a. Dampak terhadap Peningkatan Kesempatan Kerja, Pengurangan Kemiskinan, dan Peningkatan Pendapatan Keluarga

Mayoritas nasabah berpendapat bahwa LKM KUBE meningkatkan modal usaha mereka. Hal ini

dikarenakan mayoritas pengajuan kredit bertujuan untuk modal usaha. Meskipun demikian, tidak menutup

kemungkinan mengajukan kredit untuk tujuan lain, seperti untuk membayar uang sekolah.

Mayoritas nasabah merasa bahwa pendapatan keluarga mereka dapat meningkat berkat pinjaman

dari LKM KUBE. Hal ini dikarenakan dengan adanya pinjaman maka modal usaha mereka bertambah dan

dapat digunakan untuk pengembangan usaha.

Hanya sebagian kecil yang merasa bahwa pendapatan keluarga tidak meningkat. Nasabah ini

biasanya meminjam untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak atau untuk membeli barang konsumtif.

b. Dampak terhadap Peningkatan Akses dan Kualitas Pendidikan

100%

Betul Sekali

9%

61%

30% 0% Sangat Setuju

Setuju

Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

17%

60%

17% 6% Sangat Setuju

Setuju

Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

24%

42% 16%

18% Sangat Setuju

Setuju

Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

55

Sebanyak 66% nasabah merasa bahwa LKM KUBE dapat meningkatan akses dan kualitas

pendidikan. Hal ini dikarenakan sebagian besar mereka menggantungkan pinjaman di LKM KUBE ketika

kesulitan membayar uang sekolah di awal tahun ajaran.

Di sisi lain, 34% nasabah tidak merasakan manfaat yang sama. Sebagian dari mereka sudah lanjut

usia sehingga anak-anak sudah lulus sekolah. Selain itu ada beberapa yang memang tidak menggunakan

pinjaman di LKM KUBE untuk membayar uang sekolah, namun digunakan untuk usaha.

c. Dampak terhadap Peningkatan Akses dan Kualitas Kesehatan

Meskipun sudah ada Jamkesda dan BPJS, namun nasabah merasakan dampak positif LKM pada

peningkatan akses dan kualitas kesehatan. Hal ini dikarenakan seringkali mereka tidak memanfaatkan

fasilitas Jamkesda dan BPJS karena keadaan sehingga pinjaman dari LKM KUBE dapat digunakan sebagai

sumber dana untuk mengakses fasilitas kesehatan.

d. Dampak terhadap Peningkatan Kepemilikan Aset dan Faktor Produksi

Tujuh puluh enam persen nasabah merasa bahwa dengan adanya LKM KUBE, mereka tidak lagi

kebingungan dalam membeli sarana produksi, seperti alat dan bahan baku.

e. Dampak terhadap Peningkatan Kemampuan Berorganisasi

Delapan puluh tiga persen nasabah berpendapat bahwa mereka aktif mengikuti organisasi

masyarakat sejak bergabung dengan LKM KUBE. Hal ini dikarenakan adanya kewajiban mengikuti

pertemuan rutin bulanan KUBE. Mereka hanya diberi kesempatan 2 kali tidak hadir. Bahkan di KUBE ini,

mereka tidak boleh menitipkan angsuran pada yang lain untuk mencegah terjadinya penyelewengan uang

pembayaran angsuran.

29%

37%

16%

18% Sangat Setuju

Setuju

Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

29%

37% 16%

18% Sangat Setuju

Setuju

Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

50%

33%

16% 1%

Sangat Setuju

Setuju

Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

56

f. Dampak terhadap Perubahan Pola Konsumsi dan Menabung

Lima puluh empat persen nasabah merasa bahwa terjadi perubahan pola konsumsi sejak menjadi

nasabah di LKM KUBE. Hal ini dikarenakan mereka menggunakan pinjamannya untuk membeli sarana

transportasi (sepeda, motor, mobil) dan juga alat komunikasi (telepon seluler). Sedangkan 46% lainnya

merasa tidak ada perubahan konsumsi karena mereka sudah memiliki alat transportasi & komunikasi

sehingga tidak perlu pinjam LKM untuk membeli lagi.

g. Dampak terhadap Peningkatan Keterlibatan dalam Pengambilan Keputusan

Delapan puluh tujuh persen nasabah merasa bahwa mereka dapat terlibat dengan pengambilan

keputusan dengan aktif memberikan saran pada pengurus organisasi, termasuk LKM KUBE.

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kinerja social LKM KUBE di Kota Yogyakarta dapat

dikatakan baik, namun perlu beberapa pembenahan dalam aspek SDM, pemasaran, operasional, dan

keuangan/modal.Upaya peningkatan kinerja social LKM KUBE tidak hanya dapat dilakukan oleh Dinsosnakertrans

sebagai pemrakarsa atau inisiator, melainkan perlu adanya sinergi dari berbagai pihak, seperti masyarakat,

perguruan tinggi, dan perusahaan.

Penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi bagi pemerintah Kota Yogyakarta, antara lain:

1. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sebaiknya memperbaiki

mekanisme pengelolaan nasabah LKM KUBE dengan cara:

a. Kewajiban melakukan pendampingan pertemuan rutin. Hal ini perlu didukung dengan

penambahan jumlah pendamping/pengelola

b. Sinergisitas program pendampingan LKM KUBE & KUBE. Maksudnya adalah

pendampingan secara terus menerus KUBE yang baru dan lama dengan mengajak

pengelola LKM KUBE.

2. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sebaiknya membuat program

pelatihan pengelola LKM KUBE untuk memperbaiki kinerja pengelola, terutama dalam hal

pendampingan pertemuan LKM KUBE

3. Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) sebaiknya membuat program RT/RW

anti bank plecit atau anti rentenir. Hal ini dapat menjadi salah satu cara agar kemiskinan yang

diakibatkan jeratan rentenir dapat dikurangi. Beberapa cara agar program ini dapat berjalan adalah

dengan:

a. Menggandeng LKM dan lembaga perbankan untuk menggalakkan budaya menabung dan

meminjam pada institusi keuangan yang sah.

b. Sosialisasi bahaya rentenir ke sekolah-sekolah, kantor-kantor, dan pertemuan-pertemuan

warga

4. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sebaiknya membuat sistem

pendataan bantuan dan/atau pelatihan guna pengentasan kemiskinan agar tidak terjadi duplikasi

program.

37%

17%

16%

30% Sangat Setuju

Setuju

Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

52% 35%

6% 7%

Sangat Setuju

Setuju

Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

57

5. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sebaiknya membuat sistem

penilaian kinerja social program pengentasan kemiskinan berbasis android sehingga dapat diisi

dan dibawa dengan mudah oleh petugas.

6. Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) sebaiknya membuat program:

a. Pelatihan perencanaan keuangan rumah tangga agar para ibu-ibu dapat menata keuangan

rumah tangga. Ibu-ibu sebaiknya dibekali pengetahuan tersebut agar dapat mensiasati

pendapatan yang kecil agar tetap dapat memenuhi pengeluaran dan juga dapat

berinvestasi sehingga dapat lepas dari jerat rentenir.

b. Sosialisasi bahaya rentenir pada ibu-ibu PKK atau dasawisma. Dengan terbukanya

pemahaman ibu-ibu mengenai bahaya rentenir maka ibu-ibu dapat mencegah dirinya

sendiri maupun suaminya untuk meminjam pada rentenir.

Daftar Pustaka

Andariani, Dwi Astuti.2011.”Implementasi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Kelompok Usaha Bersama (KUBE)

di Yogyakarta”. Tesis S-2 Program Studi Sosiologi, Konsentrasi Kebijakan dan Kesejahteraan Sosial,

Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

Copestake, J., Dawson, P., Fanning, JP, McKay, A. dan Wright-Revolledo, K.Wright.2005. “Monitoring the

Diversity of the Poverty Outreach and Impact of Microfinance: A Comparison of Methods Using Data from

Peru”. Development Policy Review, Vol. 23, No. 6.

IFAD.2006. Assesing and Managing Social Performance in Microfinance, International Fund for Agricultural

Development. Roma

Misra, Alok.2006. “Micro Finance in India and Millenium Development Goals: Maximizing Impact on Poverty”.

Discussion Paper for Workshop on World Bank, Singapore 18 September 2006.

Mujiyadi.2007. ”Implementasi Program Pemberdayaan Fakir Miskin: Studi Evaluasi di Delapan Daerah

Indonesia”. Laporan Penelitian Puslitbang Kesejahteraan Sosial Kementrian Sosial.

Suartana, Wayan dan Ariyanto, Dodik.2012. ”Analisis Kinerja Internal, Balance Scorecard, dan Pengembangan

Keuangan Mikro Berkelanjutan: Studi pada Lembaga Perkreditan Desa di Provinsi Bali”. Jurnal Akuntansi

dan Auditing, Vol. 9, No. 1, November 2012, 1-69

Sugiyono.2011. Metoda Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta

Susila.2007.”Analisis Efisiensi Lembaga Keuangan Mikro”. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.*, No. 2,

Desember 2007, hal. 223-242

UNESCAP.2000. A Manual for Evaluating Targeted Poverty Alleviation Program. New York: UNESCAP

Wilson, T.2003. “Lessons from a Microfinance Pilot Project in Rwanda”. Field Exchange.

OPTIMALISASI DAN PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN ENERGI LISTRIK DALAM INDUSTRI RUMAH TANGGA Oleh: Ir. Wiwik Handajadi, M.Eng.1 & Beny Firman, S.T., M.Eng. 2

ABSTRAK

Mengingat persediaan energi yang bersumber pada energi fosil di Indonesia saat ini tinggal sedikit sekitar 0,06 %

dari cadangan dunia, maka perlu adanya pemanfaatan energi listrik yang sudah ada dioptimalkan dan digunakan

seefisien mungkin.Untuk itu perlu adanya pemahaman managemen energi listrik yang ada pada tingkat rumah

tangga sampai tingkatan industri secara baik dan perlu adanya peralatan yang dapat membantu dalam

mengoptimalkan dan meningkatkan efisiensi penggunaan energi listrik.

Dalam penelitian ini dilakukan upaya peninggkatan pemahaman managemen energi listrik, yang berujung pada

masyarakat ditingkat rumah tangga yang dapat meunjang peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Upaya disini

diawali melihat kondisi dan merumuskan karakteristik dari mesyarakat, khususnya yang menggunakan energi listrik

dalam industri rumah tangga. Dengan demikian dilakukan upaya tercapainya tujuan dari penelitian, yaitu

peningkatan pemahaman dan perilaku dalam optimalisasi dan peningkatan efisiensi penggunaan listrik yang sudah

tersedia. Dari langkah-langkah awal penelitian dilakukan pemahaman dalam pengadaan intslasi listrik yang baru,

penggunaannya serta perawatan dan perbaikannya dengan berdasarkan pada standar PUIL tahun 2000.Disisi

teknologi tepat guna telah dibuatnya peralatan dapat di pergunakan dalam pengoptimalan dan peningkatan

efisiensi penggunaan energi listrik secara otomatis.

Alat yang dihasilkan dalam penelitian mempunyai tenggang waktu bekerja dan besarnya arus yang dideteksi

dengan kesalahan 1,16%, sehingga layak dipergunakan.

Kata kunci: optimalisasi, managemen energi, industri rumah tangga

A. Pendahuluan

Cadangan energi yang bersumber pada energi fosil saat ini sudah mulai menipis, sedangkan untuk

pembangkitan energi listrik masih banyak yang bertumpu pada energi tersebut. Walaupun upaya pembangkitan

energi listrik sedang diupayakan banyak cara yang menggunakan energi selain energi fosil dan merupakan proses

yang ramah lingkungan.

Pada sisi lain perlu adanya upaya penghematan energi untuk memenuhi kebutuhan energi, baik keperluan

industri dan rumah tangga. Dalam penghematan energi listrik maka dapat diupayakan peningkatan kualitas daya

listrik (Electric power quality = EPQ) atau adanya managemen daya listrik.

Untuk penghematan penggunaan energi listrik, khususnya kebutuhan bidang usaha/ bisnis baik pada skala

kecil atau besar perlu adanya berkesinambungan pelayanan energi listrik.Adanya kesinambungan layanan energi

listrik memiliki banyak dampak positifnya, antara lain:

a. Dari sisi produksi

Proses produksi dapat lancar sehingga target produksi dapat dicapai, terlebih bila dipergunakan dalam

proses produksi terkait dengan proses kimiawi yang memerlukan adanya proses yang kontinyu energi listriknya.

b. Dari sisi mesin listrik/ alat produksi dan instalasi

Adanya kesinambungan energi listrik akan mengakibatkan tidak adanya restart dari mesin listrik, hal ini

akan berdampak pada pembatasan jumlah daya listrik terpasang yang ada. .

c. Dari sisi pemilihan kapasitas yang dipilih

Untuk memenuhi keperluan daya listrik yang diperlukan harus dipilih kapasitas yang optimal dan hemat,

hal ini untuk meningkatkan efisiensi usaha serta kesinambungan akan pemenuhan daya listrik.

1 Electrical Engineering Dept. of Institut Sains & Tecnology AKPRIND, Yogyakarta

2 Electrical Engineering Dept. of Institut Sains & Tecnology AKPRIND, Yogyakarta

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

59

B. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan penelitian ini adalah merancang sebuah alat aplikasi yang dapat bekerja dengan membaca

kapasitas daya listrik yang digunakan oleh konsumen melalui pembacaan parameter arus dan tegangan listrik

menggunakan sensor dan menginformasikan kapasitas beban yang digunakan sehingga dapat memberikan informasi

adanya indikasi kelebihan daya yang digunakan saat itu.

C. Tinjauan Pustaka

Sebagai dasar yang mendukung dan mempermudah serta mempercepat dalam pembuatan alat ataupun

dasar analisis, maka penemuan yang lalu dipergunakan untuk tinjauan pustaka yang lalu.

Aan Setyo Budi, 2012, melakukan penelitian tentang peralatan pembatas arus beban lebih dengan

menggunakan sensor arus ACS712ELC-20A dan mikrokontriler ATMega16. Penelitian tersebut dengan judul : Proteksi Arus Berlebih Menggunakan Sensor ACS712ELC-20A.

Dhandhy Arisaktiwardhana, 2012, melakukan penelitian dengan judul : Peningkatan Faktor Daya lampu

Swaballast untuk mengurangi Energi dan Emisi CO2 pada sektor rumah tangga di Indonesia, yang menyampaikan

bahwa:

Tabel 1. Jumlah Pelanggan Rumah Tangga di Indonesia.

Golongan Pelanggan Rumah Tangga Jumlah Pelanggan

450 s/d 2.200 VA 38.672.726

3500 s/d 5.500 VA 523.180

6.600 VA keatas 126.970

Sumber : Juli 2012/ Statistik PLN 2010; ISSN 0852- 8179.

Sudirman Palaloi, 2014, melakukan riset Penggunaan Energi Listrik pada Pelanggan Rumah Tangga

Kapasitas Kontrak Daya 450 VA. Dari resetnya dapat diperoleh bahwa berbagai sifatnya beban listrik rumah tangga.

Serta menggunakan dasar standar yang baku yang dikeleuarkan oleh PLN, sebagai pihak penyedia daya listrik dan

peraturan yang terkait dengan penggunaan vasilitas energy listrik.

1. Teori yang mendasari

Perkembangan teknologi yang pesat memacu banyak penelitian yang berkaitan dijadikan objek penelitian

sebelumnya. Berikut uraian singkat penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas.

Automatic Circuit Breaker adalah saklar mekanis yang mampu menghubungkan, mengalirkan dan memutuskan arus

pada kondisi sirkit normal dan juga mampu menghubungkan, mengalirkan untuk jangka waktu tertentu dan

memutuskan secara otomatis arus pada kondisi sirkit tidak normal, seperti pada kondisi hubung pendek. Kelebihan

dari alat ini adalah mampu memproteksi beban berlebih dengan menggunakan rangkaian elektronika terprogram.

Dalam aksi kendali integral, output dari kontroler ini selalu berubah selama terjadi penyimpangan dan kecepatan

perubahan output tersebut sebanding dengan penyimpangan. Konstantanya dinyatakan dengan Kendali Integral.

Kendali Integral ini mempunyai sensitivitas yang tinggi, yaitu dengan cara mereduksi error yang dihasilkan dari

sinyal feedback. Kendali Integral memiliki karakteristik seperti halnya sebuah integral. Keluaran kontroler sangat

dipengaruhi oleh perubahan yang sebanding dengan nilai sinyal kesalahan (Rusli, 2008).

Penelitian ini memiliki beberapa kelebihan dari pada sistem pengaman konvensional misalnya Mini Circuit

Braker (MCB) karena dapat menampilkan daya yang sedang terpasang dan sangat cepat dalam melakukan tindakan

proteksi rangkaian terhadap gangguan arus beban lebih.

Alat yang akan dirancang akan mampu mengendalikan dan memberitahukan terlebih dahulu bila terjadi

beban lebih, sehingga dapat diperoleh layanan energi listrik secara kontinyu. Untuk itu dipergunakan perangkat

keras (mikrokontroler) yang dapat diprogram sesuai dengan program yang diberikan dalam mikrokontroler tersebut.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

60

D. Metode Penelitian

Untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan judul penelitian "OPTIMALISASI DAN

PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN ENERGI LISTRIK DALAM INDUSTRI RUMAH TANGGA"

maka subyek yang dipakai adalah:

a. Daya listrik yang disewa dari PLN.

b. Tarif Dasar Listrik (TDL).

c. Sifat beban listrik yang dipakai dalam industri rumah tangga.

d. Managemen daya listrik dan karakteristik masyarakat kota Yogyakarta dan pemahaman peraturan

penggunaan energi listrik.

Dari subyek yang diambil dan data- data yang akan dicari dari penyedia energi listrik (PLN) dan pengguna

energi listrik sebagai bahan analisis, maka diharapkan akan mendapatkan penyelesaian permasalahan. Selain itu

perlu adanya definisi yang diambil agar ada persamaan presepsi, sehingga akan diperoleh manfaat dari pihak terkait.

Pihak terkait dalam hal ini adalah masyarakat kota Yogyakarta, khususnya pemilik industri rumah tangga dan

Pemerintah. Optimalisasi energi listrik diartikan penggunaan daya listrik terpasang pada rumah tangga yang disewa

dari PLN, contohnya yang termasuk golongan tarif S-2/TR (450 VA, 900 VA, 1300 VA, 2200VA dan 3500 VA)

dapat dipakai dengan lancar tanpa adanya pemutusan aliran lirtrik dari MCB (Magnetig Ciccuit Braker). Efisiensi

penggunaan energi listrik yang dimaksudkan adalah uang yang dipergunakan membayar rekening listrik dangan

adanya kegiatan industri rumah tangga, masih memadai adanya tambahan pendapatannya.

E. Hasil Penelitian

Dalam penelitian ini dipergunakan data- data primer maupun data sekunder, untuk data primer khususnya

untuk memahami karakteristik dari rumah tangga tentang penggunaak listrik untuk usaha rumah tangga. Selain juga

untuk pembuatan alat dan analisis dari alat yang dibuat.

1. Validasi Instrumen

Untuk mengetahui karakteristik masyarakat dalam penggunaan energy listrik dilakukan dengan

menggunakan kuisioner pada rumah yang meggunakan listrik dari PLN untuk usaha. Sedangkan untuk sifat beban

listrik yang ada dalam rumah tangga dilakukan pengamatan secara umum, dengan pengukuran beberapa sampel

rumah yang dipilih dengan menggunakan alat Power Quality Analiser. Untuk pengukuran dilakukan dalam satu

minggu/tujuh hari (Senin s/d Minggu) dan dalam rekaman data untuk kurun waktu tertentu. Hal ini diharapkan agar

memperoleh data akurat walaupun data sekunder.

2. Pengumpulan dan penyajian data

Rumah tangga yang dipilih sebagai sampel adalah dengan batas sewa listrik 450VA, ini mempunyai tujuan

batas daya listrik terbanyak (Dhandhy Arisaktiwardhana, 2012) dengan jumlah peralatan yang dipakai sedikit..

Dengan rangkaian pengukuran yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Rangkaian pengukuran listrik

Tabel 2. Profil Tegangan Sumber

U INPUT I INPUT

HIOKI 3169

CHANNEL 1 CHANNEL 2

CHANNEL 3( 1P2W X 3 )

SOURCE

T VREFRIGERATOR

OTHERS

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

61

Dari hasil pengukuran yang ditunjukan pada Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa:

Besarnya tegangan pada beban memenuhi standar yang ada.

MCB secara umum bekerja diatas arus pembatasan, hal ini akan dipergunakan dalam merancang

peralatan dibuat.

Tabel 3. Daftar kenaikan Tarif Listrik

Tabel 4. Daftar kenaikan Tarif Listrik

No Rumah

Kontra

k daya

[VA]

Tegangan

min.

Tegangan

rata2

Tegangan

maks.

Standar

deviasi [%]

[Volt] [Volt] [Volt]

1 Ismail 450 217,0 228,2 243,2 3,93

2 Sardian 450 210,3 228,2 247,0 6,10

3 Asmin 450 210,3 224,3 240,5 4,46

4 Narman 450 196,5 217,5 234,3 7,12

5 Suwarno 450 217,7 228,7 243,4 3,83

6 Dahlan 450 211,0 228,4 247,1 6,41

7 Nurhafi 450 210,9 228,4 247,2 6,10

8 Niung 450 198,7 221,5 237,7 6,59

9 Soleh 450 220,2 234,9 251,8 5,61

10 Marpuah 450 199,5 221,0 237,2 6,62

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

62

Sumber : Juli 2014/ PLN 2014.

Tabel 5. Tarif Pemasangan Daya Listrik Baru

Sumber : Juli 2014/ PLN 2014

Tabel 6. Tarif Kenaikan Tenaga Listrik

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

63

Sumber : Juli 2014/ PLN 2014

Dari Tabel 3 dan 4 menunjukan bahwa penetapan besarnya kapasitas daya listrik yang dipilih untuk

memenuhi kebutuan daya listrik beban agar dapat diperoleh:

Efisiensi penggunaan daya listrik yang dibutuhkan dapat meningkat.

Optimalisasi daya listrik agar tidak terdapat kelebihan besarnya daya listrik yang dipasngkan pada

pelanggan, untuk dapat membantu Pemerintah dalam memenuhi daya listrik yang ada.

Tabel 7. Jenis peralatan listrik sample diukur

Dari dapat diketahui macam-macam peralatan atau mesin listrik di rumah tangga yang mempunyai usaha

dan akhirnya dipakai dalam perancangan alat.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

64

Gambar 2. Profil daya rata–rata harian selama seminggu.

Dari profil daya rata-rata beban dan besarnya arus starting dari peralatan yang ditunjukan pada Gambar 2

dan Gambar 3 dapat dipergunakan memilih sensor arus listrik pada alat dan pembuatan program pada

mikrokontroler yang akan dibuat.

3. Peralatan bantu Management Energi Listrik

Didasarkan dari hasil analisis yang diperoleh dan dari studi literatur yang ada, maka dapat dikukan

pembuatan alat yang terdiri dari dua tahap, yaitu:

Perancangan alat.

Pengujian alat.

Gambar 3. Grafik besarnya Arus Starting

Untuk perancangan alat Manajemen Energi Listrik dapat dilakukan tahapan-tahapan dalam

pemprograman pada mikrokontroler dan pembuatan unit- unit rangkaian. Adapun bagian-bagian dari sistem alat

tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

0

100

200

300

400

500

600

Ism

ail

Asm

in

Sole

h

Suw

arno

Dah

lan

Sard

ian

Nur

hafi

Mar

puah

Nar

man

Niu

ng

Kons

umsi

day

a ra

ta-ra

ta (

Wat

t)

Senin

Selasa

Rabu

Kamis

Jumat

Sabtu

Minggu

Rata2

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

65

Gambar 4. Bagian – bagian dari Sistem Alat

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Kesimpulan

Hasil yang didapatkan sementara pada penelitian ini adalah proses bekerjanya sensor arus dan tegangan

dengan baik dalam mendeteksi konsumsi arus dan tegangan pada beban sehingga dapat langsung dibaca oleh sensor.

Dengan demikian optimasi penggunaan daya terpasang dapat dicapai secara maksimal dan dapat dioperasikan beban

untuk proses usaha dengan baik.

2. Rekomendasi

Untuk hasil optimasi penggunaan konsumsi energi listrik untuk industri rumah tangga, perlu adanya

tindakan – tindakan yang harus dilakukan oleh Pemkot Yogyakarta. Hal ini agar diperoleh keuntungan pada kedua

sisi, yaitu dari sisi pemerintah dan masyarakat yang mempunyai industri rumah tangga.

Tindak lanjut tersebut dari hasil penelitian ini dan pengalaman peneliti antara lain:

1. Perlu adanya penyebar luasan pemahaman yang terkait dengan managemen energy listrik, hal ini

dapat dilakukan melalui:

a. Masyarakat langsung dengan media PKK, di tingkat RT.,RW., Padukuhan.

b. Kerja sama dengan Perguruan Tinggi, melalui program KKN.

2. Perlu adanya alat bantu dalam optimalisasi penggunaan energy listrik terpasang dalam rumah

tangga yang bekerjanya secara otomatis. Hal ini dengan pertimbangan bahwa;

a. Adanya alat tersebut mempunyai dampak langsung peningkatan kesejahteraan keluarga dari

adanya pengurangan pembayaran penggunaan energi listrik.

b. Harga alat yang dibutuhkan tersebut cukup mampu terbeli oleh pemilik industry rumah

tangga. Harga tersebut relative terjangkau, karena harga yang dilakukan saat penelitian ini

dalam skala riset. Bila diproduksi secara sckala layanan konsumen/produksi massal akan jauh

lebih kecil dapat mencapai 30 % dari harga riset.

Daftar Pustaka

Allegro, 2006. CS706ELC-20A, Bidirectional 1.5 mΩ Hall Effect Based Linear Current Sensor with Voltage

Isolation and 20 A Dynamic Range. Allegro MicroSystems Inc. Amerika Serikat.

Arisaktiwardhana, Dhandhy, 2014, Peningkatan Faktor Daya lampu Swaballast untuk mengurangi Energi dan

Emisi CO2 pada sektor rumah tangga di Indonesia,Tesis prodi Teknik Elektro, Universitas Indonesia,

Jakarta.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

66

Barmawi, Malvino. 1985. Prinsip – prinsip Elektronika. Edisi III. Erlangga. Jakarta

Budi, Aan Setyo, 2012. Proteksi beban berlebih menggunakan sensor ACS712EL C-20A, Skripsi Jurusann Teknik

Elektro, IST AKPRIND, Yogyakarta.

Ibrahim, K.F. 2007. Teknik Digital Elektronika. Andi. Yogyakarta.

Intersil. 2007. 3½ Digit, LCD/LED Display, A/D Converters. Intersil Americas Inc, America

Palaloi, Sudirman, 2014. Analisis Penggunaan Energi Listrik pada Pelanggan Rumah Tangga Kapasitas Kontrak

Daya 450 VA, SNAST IST AKPRIND Yogyakarta.

Rusli. 2008. Kendali Integral dan Feedback. Gramedia. Jakarta.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

67

MODEL MANAJEMEN STRATEGIK BERBASIS BALANCED SCORECARD SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) KOTA YOGYAKARTA Oleh: Dra. Suci Utami Wikaningtyas, MM, Dra. Sulastiningsih, MSi., Drs. Achmad Tjahjono, MM, Ak.

ABSTRACT

Data from Dinsosnakertrans (Office for Social, Employment and Transmigration Affairs of Yogyakarta City) say

that the highest quantity of unemployment in Yogyakarta City is the graduates of SMA/SMK. According to J.

Schumpeter, one of the solutions for decreasing unemployment is increasing the number of entrepreneurs. To solve

the problem, many obstacles must be handled for instance low quality of learning system, job seekers do not have

capability to be entrepreneurs and the majority of people prefer being corporate or government employees to being

entrepreneurs.

Based on the information, the research has two purposes. The first, to determine a learning model based on

entrepreneurship effectively for SMK. The second, to determine a strategic management model based on balanced

scorecard, especially in learning process.

Keywords: entrepreneurship, strategic management, balanced scorecard, learning

A. Pendahuluan

Berdasarkan data Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Yogyakarta,

jumlah pengangguran terbanyak lulusan SMA/SMK sebanyak 8.949 orang. Salah satu alternatif memecahkan

permasalahan tingginya pengangguran adalah memberikan dukungan dan pengarahan agar mental generasi muda

Indonesia bukan mental pegawai tetapi menjadi seseorang yang mengembangkan kreativitas sebagai ladang usaha

(wirausahawan).

Salah satu Penyebab permasalahan pengangguran adalah sistem pendidikan yang hanya menghasilkan

tenaga technical skill, yang belum banyak memberikan manfaat bagi Negara (Danuhadimejo: 1998). Atau faktor

ketidakmampuan dan ketidakberanian pencari kerja untuk berwiraswasta/ wirausaha (Mardikanto:1997). Mereka

yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan formal, pada umumnya hanya ingin menjadi pegawai negeri atau

karyawan, jarang yang mau dan mampu menciptakan dan mengembangkan pekerjaan, baik untuk diri sendiri

maupun untuk orang lain atau wirausaha (Gimin: 2000).

Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagian besar lulusan SMK belum mampu menciptakan

lapangan kerja (berwirausaha), maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana model pembelajaran

berbasis kewirausahaan yang efektif bagi SMK di Kota Yogyakarta? (2) Bagaimana manajemen strategik berbasis

balanced scorecard bagi SMK di Kota Yogyakarta?

B. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk menentukan model pembelajaran berbasis kewirausahaan yang

efektif bagi SMKN 1 di Kota Yogyakarta, dan (2) Untuk menentukan manajemen strategik berbasis balanced

scorecard bagi SMKN 1 di Kota Yogyakarta.

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik bagi SMK maupun pemerintah kota Yogyakarta.

Manfaat bagi Pemerintah adalah; (1) Menemukan model pembelajaran berbasis kewirausahaan yang efektif bagi

SMK di Kota Yogyakarta, (2) Menemukan manajemen pembelajaran berbasis balanced scorecard bagi SMK di

Kota Yogyakarta, dan (3) Meningkatkan kompetensi lulusan SMK sehingga dapat mengurangi tingkat

pengangguran. Sedangkan manfaat bagi SMKN 1adalah: (1) Menemukan model pembelajaran berbasis

kewirausahaan yang efektif bagi SMKN 1 di Kota Yogyakarta, (2) Menemukan manajemen pembelajaran berbasis

balanced scorecard bagi SMKN 1 di Kota Yogyakarta, dan (3) Menciptakan lulusan yang mampu menciptakan

lapangan kerja.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

68

C. Tinjauan Pustaka

Review PenelitianTerdahulu

Dalam penelitian berjudul Pengembangan Model Pembelajaran oleh Endang Mulyatiningsih dipaparkan

dua model penelitian dan pengembangan system pembelajaran yaitu model 4D dan model ADDIE. Model 4D

merupakansingkatandariDefine, Design, Development and Dissemination dikembangkan oleh Thiagarajan (1974).

Model ADDIE merupakan singkatandari Analysis, Design, Development or Production, Implementation or Delivery

and Evaluationsdikembangkanoleh Dick and Carry (1996).

Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup

sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi

pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara,dan peradaban dunia.Pengembangan kurikulum

didasarkanpada:

a. Didasarkan pada standar kompentensi lulusan yang ditetapkan untuk satu satuan pendidikan,

jenjang pendidikan dan program pendidikan.

b. Kurikulum didasarkan pada model kurikulum berbasis kompetensi

Model Pembelajaran

Model pembelajaran terdiri dari: (1) pendekatan pembelajaran; 2) strategi pembelajaran; (3) metode

pembelajaran; (4) teknik pembelajaran; (5) taktik pembelajaran; dan (6) model pembelajaran. Joyce & Weil

(Sudrajat, S., 2008) menyatakan bahwa terdapat empat kategori yang penting diperhatikan dalam model

pembelajaran yaitu model pemrosesan informasi, model personal, model interaksi dan model tingkah laku.

Prinsip Utama Dalam Proses Pembelajaran Kewirausahaan

Terdapat empat prinsip utama dalam proses pembelajaran berbasis kewirausahaan yaitu learning to

knowyakni belajar pengetahuan tentang kewirausahaan baik hard skill (teori) dan softskill (spirit kewirausahaan),

learning to do yakni belajar dalam melaksanakan kegiatan berwirausaha, learning to be yakni belajar menjadi

wirausahawan dan learning to live together belajar beinteraksi sosial(Haryanto, 2011).

Manajemen Strategik Berbasis Balance Scorecard

Ada empat perbedaan mendasar antara manajemen strategic tradisional dengan manajemen strategik

berbasis balanced scorecard : 1) orientasi, 2) tahapan, 3) lingkup dan 4) koherensi (Mulyadi, 2005) :

Dalam manajemen strategik berbasis balanced scorecard, ada enam koherensi yang dibangun: 1) Hasil

trendwatching dan SWOT analysis dengan visi, misi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi; 2) visi, misi,

tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi dengan sasaran strategik dan inisiatif strategik; 3) inisiatif strategik

dengan sasaran strategik; 4) inisiatif strategik dengan program; 5) program dengan anggaran; dan 6) sasaran

strategik di empat perspektif dalam balanced scorecard.

Balanced Scorecard Model ini pada awalnya memang ditujukan untuk memperluas area pengukuran

kinerja organisasi swasta yang profit-oriented.Pendekatan ini mengukur kinerja berdasarkan aspek financial dan non

finansial yang dibagi dalam empat persp ektif, yaitu perspektif finansial, perspektif pelanggan, perspektif proses

internal, dan perspektif inovasi&pembelajaran (Quinlivan, 2000 dalam Mahsun 2012).

D. Metode Penelitian

SubjekPenelitian

Subjek penelitian ini adalah SMKN-1 kota Yogyakarta. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa

data primer dan data sekunder. Sumber data adalah para pengelola SMK dan guru. Data dan informasi diperoleh dari

wawancara dan observasi. Data yang dikumpulkan meliputi: (1) Kondisi siswa: latar belakang siswa, intelektual

siswa, kebiasaan siswa; (2) Pendekatan pembelajaran: teacher learning centre atau student learning center; (3)

Strategi pembelajaran: terintegrasi atau tidak terintegrasi antar mata pelajaran; (4) Metode pembelajaran: ceramah,

diskusi; (5) Teknik pembelajaran: dibentuk kelompok atau tidak; (6) Taktik pembelajaran: gunakan teknologi seperti

LCD, power point.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

69

Desain dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat

deskriptif dan cenderung menggunakan analisiss dengan pendekatan induktif. Landasan teori digunakan sebagai

pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk

memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Dalam

penelitian kualitatif peneliti bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas dan berakhir

dengan suatu teori (Bina, 2012).

E. Hasil Penelitian

Pendekatan pembelajaran yang diterapkan di SMKN 1 adalah kombinasi antara teacher- student learning

centre. Namun partisipasi siswa kurang aktif karena tidak semua siswa mempunyai komputer dan siswa tidak

terbiasa memanfaatkan teknologi informasi. Strategi pembelajaran yang diterapkan di SMKN 1 ini belum

terintegrasi. Efektifitas pembelajaran disesuaikan dengan tujuan mata pelajaran masing-masing, seperti tercantum

dalam silabus dan RPP masing-masing mata pelajaran.

Model Pembelajaran Berbasis Kewirausahaan

Berdasarkan kondisi pembelajaran di SMKN 1 di atas, maka perlu adanya model pembelajaran yang

efektif, sehingga lulusan yang lebih berkualitas, dengan tolok ukur yaitu lulusan siap atau mampu menciptakan

lapangan kerja.Untuk itu diperlukan model pembelajaran berbasis kewirausahaan yang terintegrasi pada tiap mata

pelajaran bagi SMK.

Model pembelajaran merupakan rangkaian yang terpadu antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan

taktik pembelajaran. Pendekatan pembelajaran sebaiknya adalah kombinasi antara teacher learning centre dan

student learning centre. Hal ini dikarenakan kualitas input siswa yang belum terbiasa dengan mandiri dan kelas

menengah bawah, sehingga dimungkinkan kurang mampu membeli peralatan guna mendukung efektifitas

pelaksanaan student learning centre.

Strategi pembelajaran yang dilakukan adalah internalisasi spirit kewirausahaan pada semua mata pelajaran

atau dengan kata lain semua mata pelajaran terintegrasi untuk mencapai tujuan pembelajaran yakni siswa memiliki

spirit kewirausahaan.Metode pembelajaran yang dilaksanakan adalah ceramah, diskusi, magang dll disesuaikan

dengan tujuan mata pelajaran masing-masing.

Teknik dan Taktik Pembelajaran, lebih ditekankan pembentukan kelompok, agar jiwa sosial siswa

terbangun. Taktik pembelajaran lebih ditekankan pada penggunaan teknologi baik di dalam kelas maupun di luar

kelas. Tabel 1. di bawah ini adalah model pembelajaran berbasis kewirausahaan yang terintegrasi (Integrated

Entrepreneurship Learning Model/ IELM) bagi SMK.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

70

Tabel 1. Model Pembelajaran Berbasis Kewirausahaan

Program Studi: Akuntansi

Mata Pelajaran (MAPEL) Spirit

Kewirausahaan

Metode

Pembelajaran

Kemampuan

Akhir yang

Diharapkan

Indikator

Penilaian

A Kelompok A (Wajib)

1 Agama dan Budi

Pekerti

Contoh-contoh

Pengusaha Sukses

yang Religius

Ceramah

Audio Visual

Spirit

Kewirausahaan

Religius

Kognitif

Afektif

2 Pancasila dan

Kewarganegaraa

n

Wirausaha yang

nasionalis (Cintai

produk Indonesia)

Ceramah

Audio Visual

Spirit

Kewirausahaan

Nasionalisme

NKRI

Kognitif

Afektif

3 Bahasa Indonesia Semua Produk

yang Dipasarkan di

Indonesia

berbahasa

Indonesia

(Kandungan

produk, dll)

Ceramah

Audio Visual

Diskusi

Spirit

Kewirausahaan

Nasionalis Bisnis

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

4 Matematika Aplikasi

Matematika dalam

Bisnis

Ceramah

Diskusi

Menguasai Alat

Bisnis

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

5 Sejarah

Indonesia

Penyebaran Agama

dan Perdagangan

Indonesia

Ceramah

Kajian Literatur

Diskusi

Spirit

Kewirausahaan,

Nasionalisme

Religi

Kognitif

Afektif

6 Bahasa Inggris Bahasa Inggris

Bisnis

Contoh Kasus

Bisnis dalam

Bahasa Inggris

Ceramah

Diskusi

Spirit

Kewirausahaan

Alat Komunikasi

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

B Kelompok B (Wajib)

7 Seni & Budaya Contoh-contoh

Seniman

Budayawan

Pebisnis

Ceramah

Audio Visual

Diskusi

Berjiwa Seni

Spirit

Kewirausahaan

Kognitif

Afektif

8 Prakarya &

Kewirausahaan

Prinsip-prinsip

Kewirausahaan.

Mindset

Kewirausahaan

Teknik

Kewirausahaan

Studi Kelayakan

Bisnis

Expo Bisnis

Ceramah

Audio Visual

Diskusi

Analisis Kasus

Expo Bisnis

Lab Kewirausahaan

Spirit

Kewirausahan

Proposal Studi

Kelayakan Bisnis

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

9 Pendidikan

Jasmani & OR

Kesehatan

Kesehatan sebagai

Modal Awal

Kesuksesan

Praktikum OR &

Kesehatan

Sirit

Kewirausahaan

Mindset

“Kesehatan Modal

Awal Sukses”

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

C Kelompok C (Peminatan Akuntansi)

C1 Dasar Bidang Keahlian 10 Pengantar

Ekonomi dan

Bisnis

Mental

Memenangkan

Persaingan

Performance

Pengusaha

Ceramah

Diskusi

Game

Lab Bisnis

Spirit

Kewirausahaan

Performance

Pengusaha

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

11 Pengantar

Adeministrasi

Administrasi

sebagai Alat Bisnis

Ceramah

Praktikum

Ketrampilan

Administrasi Surat-

Kognitif

Afektif

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

71

Perkantoran Administrasi

Profesional

Menyurat Psikomotorik

12 Pengantar

Keuangan dan

Akuntansi

Akuntabilitas

Keuangan

Ceramah

Analisis Kasus

Diskusi

Spirit

Kewirausahaan

Kompetensi

Akuntansi

Keuangan

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

C2 Dasar Program Keahlian

13 Simulasi Digital Penggunaan IT

dalam Keunggulan

Daya Saing

Praktikum Ahli EDP Kognitif

Afektif

Psikomotorik

14 Etika Profesi Peran Penting

Akuntan Dalam

Bisnis

Spirit

Kewirausahaan

yang Etis

Ceramah

Diskusi

Keterikatan

Terhadap Kode

Etik Profesi

Kognitif

Afektif

15 Dasar Perbankan Bankir Sukses

yang Religius

Ceramah

Audio Visual

Diskusi

Spirit

Kewirausahaan

Religius

Kognitif

Afektif

16 Paket Program

Pengerlolaan

Anggaran

Alat Bisnis

Anggaran yang

Usefull

Ceramah

Praktikum

Skill Penyusun

Anggaran

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

C3 Praktik Keahlian Akuntansi

17 Akuntansi

Perusahaan

Dagang

Contoh Laporan

Keuangan

Perusahaan

Dagang

Analisis

Ceramah

Praktikum

Menyusun Laporan

Keuangan

Perusahaan Dagang

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

18 Akuntansi

Keuangan

Standar Akuntansi

(PSAK-IFRS)

Ceramah

Diskusi

Mampu Menyusun

Laporan Keuangan

Berdasar PSAK

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

19 Komputer

Akuntansi

EDP Dalam

Akuntansi

Penerapan

Komputer

Akuntansi

Ceramah

Praktikum

Mampu Menyusun

Laporan Keuangan

Computerized

System

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

20 Akuntansi

Perusahaan

Manufaktur

Contoh Laporan

Keuangan

Perusahaan

Manufaktur

Analisis

Ceramah

Praktikum

Mampu Menyusun

Laporan Keuangan

Perusahaan

Manufaktur

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

21 Administrasi

Perpajakan

Contoh Mengisi

SPT

Ceramah

Praktikum

Mampu

menghitung dan

melaporkan

kewajiban

perpajakan

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

Manajemen Strategik Berbasis Balanced Scorecard

The Balanced Scorecard sebagai model manajemen strategik yang akan menterjemahkan misi dan strategi

organisasi menjadi berbagai tujuan dan ukuran-ukuran dalam empat perspekstif yaitu finansial, pelanggan, proses

bisnis serta pembelajaran dan pertumbuhan.Gambar 1. di bawah ini menjelaskan kerangka berpikir penelitian ini,

sedangkan manajemen strategik berbasis balanced scorecard, khususnya pada proses pembelajaran pada SMKN 1

disajikan dalam tabel 2.

Gambar 1. ManajemenStrategikBerbasis Balanced Scorecard Pada SMKN-1 Kota Yogyakarta

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

72

Rencana

Pembelajaran

Proses

Pembelajaran

Output Outcome Dampak/

Impact

Financial

Return

Customer

Velue

Proses BM

Guru

Visi, Misi, Tujuan

SMKN 1

Kurikulum

Berbasis Kewirausahaan

MODEL Prakarya &

Kewirausahaan(Link & Match antara

Teori dan Praktik)

Mapel lainnya

mengandung spirit Kewirausahaan

Lulusan yang

berjiwa

Kewirausahaan

Lulusan yang

Ciptakan

Lapangan Kerja

Mengurangi

Pengangguran

Jumlah Pendaftar

Kepuasan Siswa & mindset kewirausahaan

Kualitas PBM

Kompetensi Guru

Mindset Kewirausahaan

MODEL PEMBELAJARAN

BERBASIS KEWIRAUSAHAAN

Prinsip : 4 PrinsipPendekatan : Kombinasi Student

& Teacher Learning Center

Strategi : Internalisasi Spirit

Kewirausahaan ke Proses BM

Metode : Situasional(Modifikasi berbagai metode)

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS BALANCED SCORECARD

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

73

Tabel 2. Manajemen Strategik Berbasis Balanced Scorecard pada Proses Pembelajaran

Sasaran Strategis Lag Indikator

(Ukuran Hasil)

Lead Indikator

(Ukuran Pemacu

Kinerja)

Target Inisiatif Strategis

(Cara) Program PIC

A Pertumbuhan Pembelajaran

1 Peningkatan 4

Kompetensi Guru

Kualitas

Mengajar

Kepuasan Siswa

Survey Kualitas

Mengajar

Skala Likert

4,0

Diklat Guru Kewirausahaan

PBM

IT & Pendidikan Karakter

Kepala Sekolah

& SDM

2 Penjelasan Spirit

Kewirausahaan

Mindset

Kewirausahaan

Survey Skala Likert

4,0

Diklat Guru Midset Kewirausahaan dan Motivator Kepala Sekolah

& SDM

3 Peningkatan Komitmen

Guru

Kepuasan Guru Survey Skala Likert

4,5

Empowerment Guru Melibatkan Guru dalam PDCA Kepala Sekolah

& SDM

B Proses Belajar Mengajar

1 Peningkatan Kualitas

Proses Belajar Mengajar

(PBM)

Kepuasan Siswa Survey per Mapel Skala Likert

4,0

Perbaikan PBM Kurikulum Periodik

RPP Periodik

Rumpun Guru Mapel

Kunjungan Lapangan

Wakasek

Akademik

2 Optimalisasi TI sebagai

Media Pembelajaran

Penggunaan

Media Sesuai

dengan Rencana

Pembelajaran

Investasi Sarana 80% dari

Rencana

Peningkatan

Kuantitas &

Kualitas TI

Pengadaan Sarana TI Wakasek

Akadmik &

SarPras

3 Kualitas Layanan Tingkat

Kesalahan Kerja

Menurun 80% Diklat Karyawan

Partnership

Diklat Ekstra Kurikuler

Kerja dengan Dr, Psikologi, Dinas dan Praktisi

Bisnis

Wakasek &

SDM

C Customer

1 Meningkatkan

Kepercayaan Siswa dan

Orang Tua

Jumlah

Pendaftar

Bertambah 25% Marketing Jangka

Panjang

Mengikuti Olimpiade/ Karya Ilmiah

Expo / Pemeran Product

Wakasek

&Kaprodi

2 Meningkatkan Kualitas

Hubungan dengan Siswa

dan Orang Tua

Loyalitas Siswa

& Orang Tua

Hubungan Semakin

Erat

50% Relatif

Tetap

Membangun

Komitmen dengan

Pelanggan

Komite Sekolah

Family Gathering Guru & Orang Tua

Wakasek &

Kaprodi

D Keuangan (Shareholder Value)

1 Pertumbuhan Jumlah

Pendaftar

Jumlah

Pendaftar

Meningkat

Pendaftar Naik 40% - - Wakasek &

Kaprodi

2 Peningkatan Pendapatan Jumlah

Pendapatan

Meningkat

Pendapatan Naik 40% - - Wakasek,

Kaprodi, &

Keuangan

3 Efisiensi Pengeluaran Penurunan

Biaya

Kesesuaikan dengan

Anggaran

90% Cost Reduction

Strategy

Perencanaan Keuangan Terpadu Wakasek,

Kaprodi, &

Keuangan

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

74

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat diambil kesimpulan:

1. Model pembelajaran yang efektif bagi SMK Kota Yogyakarta adalah model pembelajaranberbasis

kewirausahaan yang terintegrasi pada setiap mata pelajaran (Integrated Entrepreneurship

Learning Model/ IELM). Rincian dari model pembelajaran ini adalah: (a) Pendekatan

pembelajaran: kombinasi antara teacher learning centre dengan student learning centre,(b)

Strategi pembelajaranspirit of entrepreneurship terintegrasi pada semua mata pelajaran.(c) Metode

pembelajaran situasional, disesuaikan dengan isi/ materi (content) mata pelajaran, latar belakang

siswa, kebiasaan siswa dan psikhologis siswa. (d) Teknik dan taktik pembelajaran: situasional,

terutama penggunaan teknologi disesuaikan dengan mata pelajaran.

2. Proses manajemen strategik berbasis balanced scorecard pada pembelajaran SMKN1 Kota

Yogyakarta adalah 1) Menentukan hasil trendwatching dan SWOT Analysis, 2) Menentukan visi,

misi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi (strategi pembelajaran), 3) Menentukan

sasaran strategik, lag indicator (ukuran hasil), lead indicator (ukuran pemacu kinerja), target,

inisiatif strategik, program dan pemilik program.

3. Manajemen strategik berbasis balanced scorecard khususnya pada pembelajaran bagiSMKN 1

Kota Yogyakarta dimulai dari visi dan misi SMKN1 yang mengandung spirit kewirausahaan

(spirit of entrepreneurship). Keempat perspektif balanced scorecard dijabarkan sebagai berikut:

a. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (Learning & Growth Perspective) yang paling

berperan penting adalah guru. Pada perspektif ini bertujuan terciptanya kemampuan

mengajar guru yang semakin berkualitas,kepuasan siswa, mindset kewirausahaan pada

guru dan kepuasan guru.

b. Perspektif Proses Internal (Internal Process Perspective) bertujuan terciptanya kepuasan

siswa, pemanfaatan teknologi yang semakin efektif dan tingkat kesalahan kerja yang

semakin menurun.

c. Perpektif Pelanggan (Customer Perspective) bertujuan meningkatnya jumlah pendaftar

dan meningkatnya loyalitas siswa dan orang tua siswa.

d. Perspektif Keuangan (Financial Perspective) merupakan konsekuensi dari keberhasilan

aktivitas dari ketiga perspektif non keuangan sebelumnya. Ukuran hasil pada perspektif

ini adalah peningkatan jumlah pendaftar, jumlah pendapatan dan penurunan biaya.

Rekomendasi

Bagi SMKN1 Kota Yogyakarta

SMKN1 sebaiknya menerapkan strategi agresif, yakni strategi pengembangan produk (product

development strategy) dan strategi perluasan pasar (market development strategy).

1. Strategi pengembangan produk antara lain:

a. SMKN1 perlu memperhatikan guru, karena guru merupakan sumber daya yang paling

utama bagi keberadaan SMKN1 khususnya dalam pembelajaran. Guna menghasilkan

lulusan yang mampu menciptakan lapangan kerja, maka SMKN1 perlu

menyelenggarakan berbagai kegiatan, dalam upaya peningkatan kompetensi guru,

peningkatan komitmen guru dan mewujudkan guru memiliki mindset kewirausahaan.

Kegiatan yang dilakukan antara lain diklat mindset kewirausahaan, diklat proses belajar

mengajar, menghadirkan motivator dll. Untuk itu SMKN1 perlu menjalin kerja sama

dengan perguruan tinggi.

b. SMKN1 sebaiknya senantiasa meningkatkan kualitas proses internalnya melalui

peningkatan kualitas proses belajar mengajar, optimalisasi teknologi informasi sebagai

media pembelajaran dan kualitas layanan. Dengan ini diharapkan tingkat kesalahan kerja

semakin kecil bahkan tidak terjadi kesalahan sama sekali. Upaya yang dapat dilakukan

antara lain pelatihan (training) bagi karyawan berkaitan dengan layanan prima (customer

service), menghadirkan motivator untuk membangun budaya pelayanan prima dll.

c. SMKN1 sebaiknya senantiasa meningkatkan tingkat kepercayaan siswa dan orang tua

siswa serta meningkatnya kualitas hubungan siswa dan orang tua siswa. Hal ini dapat

dilakukan dengan menyelenggarakan pertemuan dengan orang tua siswa secara rutin,

sosialisasi berbagai kegiatan pengembangan yang dilakukan SMK secara rutin, perhatian

terhadap siswa bagi siswa berprestasi, siswa yang kurang berprestasi dll.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

75

d. SMKN1 sebaiknya menerapkan model pembelajaran berbasis kewirausahaan (Integrated

Entrepreneurship Learning Model/ IELM). Dengan menerapkan model pembelajaran

dimana spirit kewirausahaan terintegrasi pada setiap mata pelajaran, diharapkan guru

mampu memberikan mindset kewirausahaan bagi siswa.

e. SMKN1 perlu menyatakan secara eksplisit spirit kewirausahaan (spirit of

entrepreneurship) pada visi, misi, tujuan dan strategi, kemudian dikomunikasikan kepada

masyarakat melalui slogan.

Apabila model pembelajaran dan manajemen strategik berbasis balanced scorecard ini

dilaksanakan, SMKN1 mampu memiliki keunggulan (unique selling) yang kuat, dikenal sebagai sekolah

yang mampu menghasilkan lulusan unggul khususnya menciptakan lapangan kerja. Akhirnya SMKN1

mampu memenangkan persaingan sekolah yang semakin ketat.

2. Strategi Perluasan Pasar

SMKN1 Kota Yogyakarta dapat menambah prodi baru yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki,

yakni yang berkaitan dengan ilmu sosial, seperti pariwisata atau ilmu sosial lainnya.

Bagi Pemerintahan Kota Yogyakarta

Berdasarkan hal-hal di atas, Pemerintah Kota Yogyakarta sebaiknya:

1. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebaiknya mensosialisasikan model pembelajaran berbasis

kewirausahaan dan manajemen strategic berbasis balanced\scorecard kepada seluruh SMK, dalam

upaya peningkatan kualitas pembelajaran berbasis kewirausahaan di SMK Kota Yogyakarta.

2. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan perlu menyediakan sarana dan prasarana, khususnya

laboratorium kewirausahaan, dalam upaya .menjamin terlaksananya program peningkatan kualitas

pembelajaran berbasis kewirausahaan ini.

3. Disnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi) perlu mengadakan bursa tenaga kerja yang

memerlukan lulusan dari SMK.

4. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan berbagai kegiatan yang mendukung

terwujudnya mindset kewirausahaan kepada para guru, seperti kegiatan diklat, training, dll.

Daftar Pustaka

Alma, Buchori. 2000. Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta

Astuti D., dkk. (2013), “Pengangguran Makin Hari Makin Meningkat : Jika Tak Kerja, Bisa Gelap Mata”,

Kedaulatan Rakyat, 6 April.

Astuti D., dkk. (2013), “Kesempatan Terbatas, Tapi Pilih-Pilih Kerja”, Kedaulatan Rakyat, 6 April.

Azizah, Nur (2013), Pengaruh Metode Pembelajaran Jigsaw terhadap Hasil Belajar Mata Pelajaran Dasar

Kompetensi Kejuruan di SMK Wongsorejo Gombong, UNY: Fakultas Teknik Program Studi Pendidikan

Teknik Mesin.

Badan Pusat Statistik (2012), “Berita Resmi Statistik”, 7 Mei

Bina, Dina M (2012), “Deskriptif Kualitatif”, dani.blog.fisip.uns.ac.id, diakses 10 November 2014

Danuhadimedjo (1998), Kewiraswastaan dan Pembangunan, Bandung: Alfabeta

Efendi, B. (2012), “Fenomena Calon Wirausahawan Muda di Indonesia”, http://www.bachtiarefendi.com. Diakses 5

April 2013

Goetsch, David and Davis, Stanley, (2000), Quality Management Introduction to TQM or Production, Processing

and Services, Third Edition, Prentice Hall International

Gimin (2000),“Sikap Mahasiswa Pendidikan Ekonomi IKIP UNRI terhadap Kewiraswastaan”, Jurnal IPS dan

Pengajarannya, Tahun 34 (1) : 133 – 145

Kaplan, Robert S & David P. Norton (1996), The Balanced Scorecard : Translating Strategy into Action, Boston :

Harvard Business School Press

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

76

Kaplan, Robert S. & David P. Norton (1995), The Balanced Scorecard : Measures That Drive Performance,

Englewood Cliff : Prentica Hall, Inc

Laras, Bambang K, “Prakarya & Kewirausahaan SMK”, http://larasbeka.blogspot.com

Longenecker J.G., dkk (2001), Kewirausahaan : Manajemen Usaha Kecil, Jakarta : PT Salemba Empat

Mardikanto, Totok (1997),Link and Match Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta. Balai Pustaka

Maryatmo (2012), ”Kebijakan dan Strategi Pembangunan Ekonomi DIY”, Yogyakarta :

Economic Discuss Forum, Atmajaya University

Mettyambarsari (2012), “Analisis Mengenai Perusahaan yang Tidak Beretika”,

http://mettyambarsari.wordpress.com

Mulyadi (2005), Sistem Manajemen Strategik Berbasis Balance Scorecard, Yogyakarta : UPP AMP YKPN

Mulyatiningsih, Endang (2013), Pengembangan Model Pembelajaran, http://www.ilerning.com

Niven Paul R. (2002), Balanced Scorecard Step By Step : Maximazing Performance and Maintaining Result, New

York : John Wiley & Sons, Inc.

Niven Paul R. (2003), Balanced Scorecard Step By Step for Government and Nonprofit Agencies, New Jersey :

John Wiley & Sons, Inc

Nurhadi, Senduk, G.A. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan penerapannya dalam KBK. Malang : Penerbit

Universitas Negeri Malang.

Pasolong, H. (2012), Metode Penelitian Administrasi Publik, Bandung : Alfabeta

Puspitarini, M. (2012), “Tanoto Entrepreneurship Series, Tingkatkan Jumlah Wirausahawan Muda,

http://kampus.okezone.com

Purnomo, Bambang Hari. 2005. Membangun semangat Kewirausahaan. Yogyakarta. LaksBang PRESSindo

Ramdhania (2012), “BPS : Jumlah Pengangguran di Indonesia 7,61%, Turun 6%”, finance.detik.com

Sallis, Edward (2008), Total Quality Management In Education, IRCiSoD: Yogyakarta

Solihin, Ismail (2012), Manajemen Strategik, Jakarta : Erlangga

Suprapto, H. (2012), “Menkop : Jumlah Wirausahawan RI Kalah Jauh”, http://bisnis.news.viva.co.id

Soemanto, W.(1999),Sekuncup Ide Operasional Pendidikan Wiraswasta, Jakarta : Bumi Aksara.

Wardhani, D.M. (2012), “Pembangunan Perekonomian Nasional melalui Peningkatan Kewirausahaan”,

http://www.ilerning.com

Wibowo, Singgih (2007),Petunjuk Mendirikan Perusahaan Kecil, Jakarta : Penebar Swadaya

Yuswantania, Biwara (2012), “Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi DIY”,Yogyakarta : Economic

Discuss Forum, Atmajaya University.

Zimmerrer, T.M. & Scarborough, N.M (2005), Essential of Entrepreneurship and Small Business Management,

Ed.4, New Jersey : Prentice Hall Inc

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

77

PENINGKATAN NILAI EKONOMIS LIMBAH KULIT UDANG MENJADI KITOSAN DENGAN GELOMBANG ULTRASONIK UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT Oleh: Ani Purwanti, S.T., M.Eng. & Sri Rahayu Gusmarwani, S.T., M.T.

ABSTRACT

There are some shrimp stalls in Yogyakarta today. These stalls produce shells, head and tail of shrimp

as waste that is rarely utilized into usefull materials. In the other hand, foods are preserved with

synthetic preservatives containing dangerous substances. Today, chitosan is an alternative natural

food preservative. This material can be obtained from shrimp shells. Chitosan price is still expensive

and chitosan manufacturing process produces a lot of waste water. Therefore, this problem needs

alternative processes to produce chitosan with minimal waste, for example the use of ultrasonic waves.

Processing stages of shrimp shells into chitosan ie. boil the shrimp shells with water, deproteination

process, demineralization process, and deacetilation process with ultrasonic waves. Deacetilation

process was performed by immersing chitin in a solution of NaOH with concentration of 40 – 50%

(weight/volume). The comparison of the amount of chitin and volume of NaOH solution was varied

from 1:10 – 1:20 (gram/ mL solution). The extraction process was carried out using ultrasonic waves

for 30 – 90 minutes at a temperature of 800C. The results of deacetylation process was separated

from the solvent, then washed with water until neutral. Then wet chitosan was dried in the oven. The

quality of chitosan was determined by analyzing the deacetilation degree, ash content, solubility in

acetic acid solution, and the viscosity of chitosan solution.

The results of the experiment show that the deacetilation process with ultrasonic waves can improve

the deacetilation degree of chitosan. The optimum condition of deacetilation process is the process

using temperature of 900C, time of process 60 minutes, and the concentration of NaOH solution is

40%. The characteristics of chitosan that obtained from this process are ie. deacetilation degree

78.64%, ash content 1.96%, viscosity of the solution 5.8 cP, and this chitosan is soluble in 1% acetic

acid solution.

Keywords: shrimp shell, deacetilation, ultrasonics wave, chitosan

A. Pendahuluan

Di Yogyakarta, sekarang ini makanan dengan bahan dasar hasil laut antara lain udang semakin

digemari masyarakat. Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein tinggi, namun

sekitar 40% dari total berat udang keseluruhan merupakan kulit, kepala, dan ekor udang yang dibuang

sebagai limbah (Swastawati, dkk., 2008). Pemanfaatan limbah tersebut masih sangat jarang, sehingga

jumlah yang terbuang menjadi sampah yang sangat berbau masih cukup tinggi. Menurut data dari

Dinas Perikanan dan Kelautan DIY (2013), produksi perikanan budidaya udang tambak pada tahun

2013 sebanyak 811.836 kg. Di lain pihak, banyak bahan pengawet pada makanan yang tidak layak

untuk dikonsumsi dan mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan sehingga diperlukan bahan

pengawet makanan yang tidak berbahaya untuk dikonsumsi.

Selama ini limbah udang sudah termanfaatkan untuk pembuatan petis, terasi, kerupuk udang,

dan bahan pencampur pakan ternak yang bernilai ekonomis rendah. Limbah kulit udang sebenarnya

dapat diproses menjadi bahan yang lebih bermanfaat. Limbah kulit udang mengandung bahan

penyusun utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, kitin, pigmen, abu, dan lain-lain. Dengan

perkembangan ilmu pengetahuan, ternyata limbah udang juga dapat digunakan sebagai bahan dasar

pembuatan kitin dan kitosan dengan cara deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Pembuatan

kitosan dari limbah udang pada umumnya menggunakan bahan NaOH dan HCl dengan konsentrasi

tertentu. Kitin dan kitosan menjadi salah satu bahan kimia dan bahan baku industri yang menjadi

unggulan khususnya bagi industri. Kitin dan kitosan dapat digunakan di berbagai aplikasi industri

diantaranya; sebagai bahan tambahan di bidang farmasi, kesehatan dan kosmetik, makanan, pengolah

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

78

limbah dan air (seperti : penyerap logam berat, minyak dan lemak) dan lain-lain. Hal ini dimungkinkan

karena senyawa kitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan penyerap dan penggumpal yang baik

(Haryani, 2007).

Salah satu manfaat lain dari kitosan adalah dapat digunakan sebagai bahan pengawet

makanan. Bahan pengawet pada umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai

sifat mudah rusak. Bahan pengawet ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi,

pengasaman, atau peruraian yang disebabkan oleh mikroba. Penggunaan bahan pengawet dari satu sisi

menguntungkan, tetapi di sisi lain bahan pengawet merupakan senyawa kimia yang dimasukkan

bersama bahan pangan yang dikonsumsi, sehingga apabila pemakaiannya tidak diatur maka dapat

merugikan pemakainya. Sehingga penggunaan senyawa antimikroba harus tepat sehingga dapat

memperpanjang umur simpan suatu produk dan menjamin keamanan produk tersebut. Untuk itu

diperlukan bahan alternatif lain sebagai antimikroba alami sehingga tidak membahayakan bagi

kesehatan yaitu penggunaan kitosan untuk menghambat aktivitas mikroba. Kitosan mempunyai gugus

aktif yang akan berikatan dengan mikroba sehingga kitosan juga mampu menghambat pertumbuhan

mikroba tanpa memberikan efek buruk. Saat ini, kitosan telah diproduksi secara industri di negara-

negara maju misalnya Jepang dan Amerika Serikat. Kitosan ini merupakan bahan yang sumbernya

melimpah dan dapat diperbaharui, maka dalam situasi perkembangan bioteknologi yang demikian pesat

menjadikan pemanfaatan sumber daya alam alternatif seperti limbah kulit udang merupakan hal yang

sangat diperlukan (Mahatmanti, dkk., 2010). Kitosan merupakan polimer alami yang mempunyai sifat

non toksis, ramah lingkungan, dan mudah terdegradasi (Haryani, 2007).

Dan akhirnya, diharapkan peneliti mencoba melakukan penelitian mengenai pembuatan

kitosan dari limbah udang dengan penggunaan bahan kimia (NaOH dan HCl) yang minimal. Dari

penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan baku industri khususnya di bidang pangan,

dan juga layak dikonsumsi sebagai pengawet bahan makanan yang tidak berbahaya bagi tubuh.

Dewasa ini penelitian pembuatan kitosan dilakukan dengan pemanfaatan gelombang

ultrasonik. Penggunaan gelombang ultrasonik mempunyai keuntungan proses lebih cepat dan mudah,

tidak membutuhkan banyak penambahan bahan kimia, tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan

pada struktur partikel dan senyawa bahan baku yang digunakan (Dolatowski dkk., 2007 dalam Dono

dan Arifin, 2012). Dengan penggunaan teknik ultrasonik diharapkan proses pembuatan kitosan dari

limbah udang dapat lebih efisien.

Penelitian ini memfokuskan terhadap limbah udang yang banyak dihasilkan oleh restoran

makanan olahan udang di daerah kota Yogyakarta. Penelitian dilakukan untuk meminimalkan

penggunakan bahan kimia dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan melakukan evaluasi

mutu kitosan yang dihasilkan berdasarkan kualitas standar kitosan dalam dunia perdagangan dengan

melihat parameter yang digunakan adalah derajat deasetilasi, kadar abu, kelarutan, dan viskositas dari

hasil pembuatan kitosan.

B. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengolah limbah kulit udang menjadi kitosan yang bermanfaat

sebagai pengganti bahan pengawet makanan yang tidak berbahaya bagi tubuh dan kesehatan dengan

memanfaatkan gelombang ultrasonik. Mutu kitosan yang dihasilkan diharapkan mempunyai kualitas

yang sesuai dengan kualitas standar kitosan dalam dunia perdagangan. Variabel yang diamati adalah

lama pemasakan limbah kitosan dalam air dan variabel dalam proses deasetilasi yang meliputi

perbandingan antara volume pelarut dengan berat bahan, waktu proses, dan konsentrasi NaOH dengan

menggunakan gelombang ultrasonik. Penggunaan ultrasonik dalam proses deasetilasi dapat mengurangi

penggunaan bahan kimia yaitu natrium hidroksida (NaOH) yang digunakan dalam proses deasetilasi

kitin menjadi kitosan. Selain itu dengan proses deasetilasi yang dipengaruhi gelombang ultrasonik,

maka waktu proses menjadi lebih singkat.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

79

C. Tinjauan Pustaka

Arifin (2012) melakukan proses inovasi teknologi proses produksi kitosan untuk mendapatkan

proses yang lebih efisien dengan hasil optimal menggunakan teknologi ultrasonikasi-kimia. Proses ini

merupakan proses produksi berbasis limbah udang dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik 42

kHz. Sejumlah kitin direndam dalam larutan NaOH dengan konsentrasi antara 55%-70% menggunakan

ultrasonic bath bersuhu 700C. Proses dilaksanakan dengan variasi waktu antara 10-30 menit.

Penggunaan gelombang ultrasonik dalam proses deasetilasi dapat mengurangi waktu proses deasetilasi

sehingga dapat dikatakan lebih efisien. Kitosan yang dihasilkan dapat larut sempurna dalam larutan

asam asetat 1% dan mempunyai kualitas dengan parameter kadar air, kadar abu, viskositas, dan derajat

deasetilasi masing-masing 9,94%; 0,34%; 3,2 cP; dan 85,02%.

Udang merupakan anggota kelas Crustacea. Seluruh tubuh terdiri dari ruas-ruas yang

terbungkus oleh kerangka luar dari zat tanduk atau kitin dan diperkuat oleh bahan kapur kalsium

karbonat (Widodo, 2005). Limbah udang yang berupa kulit, kepala dan ekor mengandung senyawa

kimia yang berupa kitin dan kitosan. Senyawa ini dapat diolah karena hal ini dimungkinkan karena

kitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifikasi kimia yang tinggi

dan elektron nitrogen pada gugus amino pada kitosan dapat mengikat ion-ion logam dan membentuk

senyawa kompleks koordinasi yang stabil sehingga dapat digunakan untuk mengadsorbsi logam berat

hasil buangan industri (Haryani, 2007). Menurut Wardaniati dan Setyaningsih (2009), khasiat kitosan

sebagai bahan antibakteri dan kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri menjadikan kitosan dapat

digunakan sebagai pengawet makanan.

Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai

pelindung. Menurut Widodo (2005), sebagian besar limbah udang yang dihasilkan oleh usaha

pengolahan udang berasal dari kepala, kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25%-40%),

kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%-50%). Tetapi besarnya kandungan komponen tersebut

tergantung pada jenis udangnya. Kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit dibandingkan dengan

kulit atau cangkang kepiting. Kandungan kitin pada limbah kepiting mencapai 50%-60%, sementara

limbah udang menghasilkan 42%-57%, sedangkan cumi-cumi dan kerang, masing-masing 40% dan

14%-35%. Namun karena bahan baku yang mudah diperoleh adalah udang, maka proses kitin dan

kitosan biasanya lebih memanfaatkan limbah udang (Widodo, dkk., 2005).

Kitin merupakan molekul polimer berantai lurus dengan nama lain β-(1-4)-2-asetamida-2-

dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin). Kitin umumnya tidak berbentuk murni melainkan

merupakan suatu kombinasi bersama dengan senyawa yang lain seperti protein, kalsium karbonat, dan

zat warna. Salah satu cara mengidentifikasi adanya senyawa kitin adalah melalui tes warna Van

Wisselingh. Pada tes warna ini kalium iodida akan merubah warna kitin menjadi coklat dan dengan

penambahan asam sulfat warnanya akan berubah menjadi merah violet. Struktur kitin sama dengan

selulosa dimana ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi

β-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon yang

kedua pada kitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH2) sehingga kitin menjadi sebuah polimer

dengan unit N-asetilglukosamin. Kitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 merupakan zat padat

yang tak terbentuk (amorphus), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat,

alkohol, dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Kitin kurang

larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit,

sedangkan chitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin (Hirano, 1998).

Kadar kitin dalam berat udang berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi kitosan

menghasilkan yield antara 15-20%. Kitosan mempunyai bentuk mirip selulosa dan bedanya pada gugus

rantai C-2. Senyawa kitin pada umumnya tidak digunakan secara murni tetapi diturunkan menjadi

senyawa lain yang luas penggunaannya, misalnya kitosan. Namun untuk memperoleh kitosan kulit

udang harus diolah untuk mendapatkan kitin terlebih dahulu. Kitosan merupakan turunan dari polimer

kitin, yakni produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan

rajungan. Kitosan disebut juga dengan β-1,4-2-amino-2-dioksi-D-glokosa merupakan turunan dari kitin

melalui proses deasetilasi. Senyawa ini merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dengan

menggunakan basa pekat). Kitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga

gugus yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan sekunder, sehingga menyebabkan kitosan

mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi (Widodo, 2005).

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

80

Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam

HCl dan HNO3. Kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik.

Disamping itu kitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein.

Oleh karena itu, kitosan dapat digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan industri kesehatan

(Hirano, 1986). Menurut Widodo (2005) perbedaan antara kitin dan kitosan didasarkan pada

kandungan nitrogennya. Jika nitrogen kurang dari 7%, maka polimer disebut kitin dan apabila

kandungan total nitrogennya lebih dari 7% maka disebut kitosan.

Gambar 1. Struktur Molekul Kitosan

Dalam pembuatan kitosan dari limbah udang dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu proses

deproteinasi, proses demineralisasi dan proses deasetilasi. Penghilangan protein melalui proses kimia

(deproteinasi) dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 5%. Penghilangan kandungan mineral

melalui proses kimiawi (demineralisasi) dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 1N, sedangkan

deasetilasi dilakukan dengan cara pemanasan dengan menggunakan NaOH 50%. Teknik ultrasonik

telah digunakan pada ekstraksi kitin Pandalus borealis (Kjartansson dkk., 2006 dalam Dono dan

Arifin, 2012).

Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan kitosan memiliki polikation

bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri sehingga baik digunakan sebagai

bahan pengawet makanan. Banyak produk pangan yang menggunakan pengawet sintesis yang

berbahaya bagi kesehatan, tetapi tidak semua bahan pengawet berbahaya. Beberapa zat pengawet yang

tidak berbahaya untuk digunakan dalam produk makanan tetapi akan menimbulkan efek negatif,

misalnya alergi jika digunakan secara berlebihan antara lain kalsium benzoat, sulfur dioksida, dan

kalium nitrit (Cahyadi, 2009).

Mutu kitosan terdiri beberapa parameter yaitu kadar air, kadar abu, kelarutan, warna dan

derajat deasetilasi. Kualitas standar kitosan yang dikeluarkan oleh Protan Laboratories (Prayudi dan

Susanto, 2010) antara lain mempunyai ukuran serbuk sampai serpihan, kadar air dibawah 10%, kadar

abu di bawah 2%, derajat deasetilasi di atas 70%, viskositas dengan tingkatan tingkat tinggi bernilai di

atas 2.000 cps. Pada uji aplikasi kitosan yang telah dilakukan pada beberapa produk misalnya bakso

(Wardaniati dan Setyaningsih, 2009), dalam penelitian yang dilakukan, kitosan dilarutkan dalam asam

asetat 1% dengan beberapa konsentrasi, kemudian bakso yang akan diawetkan dicelupkan beberapa

saat dan ditiriskan. Jumlah kitosan yang dibutuhkan untuk pengawetan makanan konsentrasinya

sekitar 1,5 persen. Artinya, dalam satu liter pelarut, dibutuhkan kitosan sekitar 15 gram.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian teknologi terapan dalam proses pembuatan kitosan dari

limbah kulit udang dengan variasi waktu, suhu, konsentrasi NaOH, dan volume pelarut NaOH dengan

memanfaatkan gelombang ultrasonik. Variabel penelitian yang dianalisis adalah waktu yang digunakan

pada saat deasetilasi, suhu yang digunakan pada saat deasetilasi, konsentrasi NaOH yang digunakan

pada saat deasetilasi, dan volume pelarut NaOH yang digunakan pada saat deasetilasi dengan

menggunakan gelombang ultrasonik. Penelitian dilakukan dengan studi pustaka dan percobaan di

laboratorium. Adapun tahapan penelitian adalah sebagai berikut:

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

81

1. Tahap Persiapan Bahan dan Alat Penelitian

a. Bahan penelitian

Bahan yang digunakan adalah limbah udang yang berupa kulit udang, setelah dikeringkan dan

dihaluskan, kemudian dianalisis kadar air dan kadar abu. Selain itu air sebagai cairan pelarut,

larutan NaOH 5%, yang digunakan sebagai pelarut dalam proses deproteinasi bubuk kulit

udang, laruan Larutan HCl 1N, digunakan sebagai pelarut dalam proses demineralisasi, dan

larutan NaOH x%, yang digunakan sebagai pelarut dalam proses deasetilasi kitin, dan larutan

asam asetat 1 %, digunakan sebagai pelarut dalam analisa dan pengujian kitosan pada bahan

makanan.

b. Alat penelitian

Rangkaian alat penelitian yang digunakan terdiri dari kompor listrik, penangas minyak,

pembangkit gelombang ultrasonik, labu leher tiga, pendingin balik, motor pengaduk,

termometer.

2. Tahap Proses Pengolahan

Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu persiapan bahan baku yaitu limbah kulit

udang, proses pembuatan kitosan, dan proses analisa. Penyiapan bahan, bahan baku kulit udang dicuci

sampai bersih, kemudian dikeringkan dengan sinar matahari. Selanjutnya kulit udang dihaluskan/

digiling dan diayak dengan ukuran mesh tertentu, hasil yang berupa tepung kulit udang kemudian

dianalisa untuk mengetahui kandungan air dan abu.

Proses penelitian, yaitu proses perebusan kulit udang, proses deproteinasi, demineralisasi dan

deasetilasi dalam labu leher tiga dengan perbandingan bahan dengan pelarut, konsentrasi NaOH, waktu

dan suhu reaksi yang tertentu. Campuran kemudian disaring yang bertujuan untuk memisahkan residu

dari filtratnya. Residu tersebut diambil sebagai hasil setelah itu di oven pada suhu tertentu sampai

kering maka berat hasil akan didapat. Sebelum dilakukan ketiga proses tersebut, dilakukan proses

perebusan kulit udang dalam air dengan waktu proses tertentu.

Proses deproteinasi dilakukan dengan cara tepung limbah udang dengan berat tertentu,

dimasukkan dalam labu leher tiga dengan penambahan NaOH 5% dengan volume tertentu.

Perbandingan antara berat limbah udang dengan volume NaOH 5% adalah 1:15 (weight/volume).

Ekstraksi dilakukan selama 2 jam pada suhu 100ºC untuk menghilangkan kandungan proteinnya. Hasil

deproteinasi lalu disaring untuk diambil residunya dan dicuci menggunakan air sampai pH netral,

kemudian residu dikeringkan dalam oven dengan suhu 600C.

Proses demineralisasi, residu hasil deproteinasi yang telah dicuci sampai pH netral dan

dikeringkan dimasukkan ke dalam labu leher tiga dengan penambahan HCl 1N dengan volume

tertentu. Ekstraksi dilakukan selama 1 jam pada suhu 80ºC untuk menghilangkan kandungan

mineralnya. Hasil demineralisasi lalu disaring untuk diambil residunya dan dicuci menggunakan air

sampai pH netral, kemudian residu dikeringkan dalam oven. Residu hasil demineralisasi yang telah

dikeringkan disebut kitin.

Proses deasetilasi yaitu mengubah kitin menjadi kitosan, kitin dimasukkan ke dalam labu leher

tiga dengan penambahan NaOH 40%-50% dengan volume tertentu. Ekstraksi dilakukan selama 30 – 90

menit pada suhu 90ºC dengan menggunakan gelombang ultrasonik. Hasil deasetilasi lalu disaring untuk

diambil residunya dan dicuci menggunakan air sampai pH netral, kemudian residu dikeringkan dalam

oven. Residu dari hasil deasetilasi inilah yang disebut kitosan. Kemudian hasil dianalisis derajat

deasetilasi, kadar abu, kelarutan, dan viskositasnya untuk mengetahui mutu kitosan.

3. Tahap Pengujian

Pada penelitian ini, analisis yang dilakukan meliputi analisis bahan baku dan hasil. Analisis

bahan baku meliputi analisis kadar air dan kadar abu, sedangkan analisis hasil meliputi analisis derajat

deasetilasi, kadar abu, kelarutan, dan vikositas. Dari evaluasi produk kitosan yaitu nilai kadar air, kadar

abu, nilai kelarutan/ viskositas, dan derajat deasetilasinya sehingga dapat diketahui proses yang paling

optimal untuk hasil kitin dan kitosan yang berasal dari kulit udang.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

82

E. Hasil Penelitian

Proses pengambilan kitin dimulai dengan tahap perebusan menggunakan air selama 2 jam

pada suhu 1000C, dengan perbandingan kulit udang kering dan air yang digunakan adalah 1:15

(gram/mL). Proses ini bertujuan untuk melunakkan kulit udang sehingga proses deproteinasi,

demineralisasi, dan deasetilasi dapat berlangsung lebih sempurna. Kulit udang yang akan diproses

dievaluasi kadar airnya dan kadar abu, dari hasil analisa diperoleh kandungan air kulit udang sebesar

6,26% (berat basah) dan kadar abu sebesar 42,6%. Dari proses perebusan 50 gram kulit udang kering

diperoleh kulit udang hasil perebusan sebanyak 40,546 gram. Merita, dkk. (2013) telah melaksanakan

proses pembuatan kitosan dengan melakukan variasi waktu perebusan kulit udang dengan hasil kitosan

dengan derajat deasetilasi tertinggi dihasilkan pada proses perebusan 2 jam dimana menghasilkan

kitosan dengan derajat deasetilasi sebesar 85,34% dengan nilai randemen yang diperoleh sebesar

11,62%.

Proses ekstraksi kitin dari kulit udang yang sudah direbus melalui dua tahapan proses, yaitu

proses deproteinasi dan proses demineralisasi. Proses deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan

protein dalam kulit udang, sedangkan proses demineralisasi merupakan proses yang bertujuan untuk

menghilangkan mineral dalam kulit udang. Bahan yang diperoleh setelah melalui dua tahapan ini

disebut dengan kitin. Kitin ini selanjutnya dijadikan bahan baku proses deasetilasi untuk mendapatkan

kitosan. Pada penelitian ini, dari proses deproteinasi dan demineralisasi yang dilakukan tanpa pengaruh

gelombang ultrasonik diperoleh rendemen kitin sebesar 21,26%. Banyaknya kitin yang dapat diperoleh

dari kulit udang sangat bervariasi. Misalnya penelitian Dono dan Arifin (2012), dari dua proses tahapan

proses yaitu penghilangan mineral dan diikuti dengan proses penghilangan protein, dapat menghasilkan

kitin dengan rendemen sebesar 23,30%.

Untuk mendapatkan kitosan, maka kitin kemudian dideasetilasi menggunakan larutan NaOH

40% dan dipengaruhi dengan gelombang ultrasonik sebesar 60Hz. Dari hasil percobaan dengan variasi

volume NaOH 40% yang digunakan dengan berat kitin yang diproses diperoleh hasil seperti yang

tercantum dalam Tabel 2. Dari data penelitian menggunakan variasi jumlah larutan NaOH yang

digunakan, maka diperoleh nilai viskositas larutan, derajat deasetilasi kitosan, serta kelarutan kitosan

yang optimal pada proses menggunakan perbandingan jumlah kitin yang diproses dengan pelarut yang

digunakan sebesar 1:15. Dengan menggunakan perbandingan ini diperoleh nilai viskositas larutan

sebesar 5,8 cP, rendemen 22,65%, kitosan yang dihasilkan larut dalam asam asetat 1%, dan nilai derajat

deasetilasi kitosan sebesar 78,64%.

Tabel 2. Data Hasil Penelitian Deasetilasi Kitin dengan Variasi Perbandingan Kitin dengan Volume

NaOH 40%

Volume

NaOH 40%,

mL

Rendemen

Kitosan, %

Viskositas

Larutan

Kitosan, cP

Kadar

Abu, %

Derajat

Deasetilasi Kelarutan

100 22,15 3,9 2,34 74,01 LS

150 22,65 5,8 1,96 78,64 L

200 22,87 5,4 1,87 78,84 L

Keterangan: LS (Larut Sebagian); L (Larut)

Percobaan menggunakan variasi waktu proses deasetilasi menggunakan perbandingan bahan

(kitin) dan pelarut NaOH 40% sebesar 1:15. Proses deasetilasi dilaksanakan dengan empat variasi

waktu, yaitu 30 menit, 45 menit, 60 menit, dan 90 menit. Dari hasil penelitian, diperoleh hasil

sebagaimana tercantum dalam Tabel 3 sebagai berikut:

Tabel 3. Data Hasil Penelitian Deasetilasi Kitin dengan Variasi Waktu Proses Deasetilasi

(Perbandingan Jumlah Kitin yang diproses dengan Volume Larutan NaOH 40% adalah 1:15

(gram/mL))

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

83

Waktu

Proses,

menit

Rendemen

Kitosan, %

Viskositas

Larutan

Kitosan, cP

Kadar

Abu, %

Derajat

Deasetilasi

Kelarutan,

%

30 22,675 3,2 4,34 71, 15 TL

45 22,75 4,1 2,43 73,33 LS

60 22,65 5,8 1,96 78,64 L

90 22,55 5,9 1,91 79,23 L

Keterangan: TL (Tidak Larut); LS (Larut Sebagian); L (Larut)

Dengan melihat data yang dihasilkan, maka hasil optimal dilihat dari kelarutan kitosan/

viskositas larutan, rendemen kitosan, serta derajat deasetilasi maka waktu proses yang optimal

dilakukan selama 60 menit dengan rendemen hasil kitosan 22,65%, viskositas larutan 5,8 cP, dan

derajat deasetilasi sebesar 78,64%. Untuk proses deasetilasi dengan variasi konsentrasi larutan NaOH

yang digunakan diperoleh seperti tercantum dalam Tabel 4 di bawah ini. Proses deasetilasi pada tahap

ini dilakukan selama 60 menit dengan menggunakan perbandingan massa kitin (gram) dan larutan

NaOH (mL) sebesar 1:15.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa penggunaan konsentrasi NaOH yang berbeda dapat

menghasilkan kitosan yang dapat larut dalam larutan asam asetat 1%, sedangkan kenaikan konsentrasi

NaOH menjadi 45% dan 50% mempunyai pengaruh terhadap derajat deasetilasi kitosan yang

dihasilkan tetapi tidak begitu signifikan. Sebagai perbandingan, dilakukan pembuatan kitosan dengan

kondisi proses deasetilasi menggunakan larutan NaOH 40%, dengan perbandingan berat kitin dengan

larutan NaOH yang digunakan sebesar 1:15, suhu proses deasetilasi 900C selama 60 menit tanpa

pengaruh gelombang ultrasonik. Dari percobaan yang dilakukan diperoleh kitosan yang larut dalam

asam asetat dengan derajat deasetilasi sebesar 73,55%. Penggunaan gelombang ultrasonik pada 60Hz

dapat digunakan dalam proses deasetilasi kitin tetapi peningkatan derajat deasetilasi kitosan yang

dihasilkan dalam penelitian ini belum begitu besar.

Tabel 4. Data Hasil Penelitian Deasetilasi Kitin dengan Variasi Konsentrasi NaOH

Konsentrasi

Larutan

NaOH, %

Rendemen

Kitosan, %

Viskositas

Larutan

Kitosan, cP

Kadar

Abu, %

Derajat

Deasetilasi

Kelarutan,

%

40 22,65 5,8 1,96 78,64 L

45 21,23 5,9 1,85 78,87 L

50 21,01 6,3 1,77 79,25 L

Keterangan: L (Larut)

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Kesimpulan

Dari data percobaan yang dilakukan, diperoleh data kondisi proses deasetilasi menggunakan

gelombang ultrasonik dapat menaikkan derajat deasetilasi kitosan yang diperoleh. Data kitosan yang

diperoleh dengan proses deasetilasi menggunakan larutan NaOH 40%, pada suhu 900C selama 60 menit

mempunyai derajat deasetilasi sebesar 78,64%, kadar abu 1,96%, viskositas 5,8 cP, dan kitosan dapat

larut dalam larutan asam asetat 1%.

2. Saran dan Rekomendasi

a. Dinas Kesehatan perlunya melakukan pengenalan adanya pengawet bahan makanan yang

lebih aman dari sisi kesehatan, yaitu kitosan. Pengenalan ini dapat dilakukan dengan

mensosialisasikan kerugian bahan tambahan makanan sintetik, yang merupakan bahan

tambahan yang berasal dari zat kimia.

b. Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian (Disperindagkoptan) Kota

Yogyakarta dapat mengenalkan masyarakat tentang prospek usaha pengolahan limbah kulit

udang untuk diolah menjadi kitosan dengan melakukan scale up proses dan alat yaitu untuk

kapasitas produksi 15 kg kitosan setiap bulannya, karena usaha ini dimungkinkan untuk dapat

menghasilkan keuntungan dari sisi ekonomi.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

84

c. Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian (Disperindagkoptan) Kota

Yogyakarta perlu mengadakan program bank sampah limbah kulit udang, sebagai upaya untuk

dapat mengumpulkan limbah kulit udang dari pada pedagang makanan hasil olahan udang

atau dari rumah tangga untuk dapat memasok industri pembuatan kitosan dari limbah kulit

udang. .

Daftar Pustaka

Arifin, Z., 2012, “Pemanfaatan Teknologi Sonikasi tak Langsung dalam Rangka Produksi Kitosan”,

Konversi, Volume 1 No.1.

Bozdemir, O.A., dan Tutas, M., 2003, “Plasticiser Effect on Water Vapour Permeability Properties of

Locust bean gum-Based Edible Film”, Turk Journal Chemistry.

Cahyadi, W., 2009, “Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan”, ed.2, Bumi Aksara,

Jakarta.

Casariego, A., Souza, B.W.S., Vicente, A.A., Teixeira, J.A., Cruz, L., and Diaz, R., 2007, “Chitosan

Coating Surface and Permeation Properties as Affected by Plasticizer, Surfactant, Polimer

Concentration-Application to Vegetables”, Proceeding of The 3rd CIGR Sction VI

International Symposium on Food and Agricultural Products: Processing and Innovations.

Dono, A. dan Arifin, Z., 2012, “Pemanfaatan GElombang Ultrasonik pada Proses Deasetilasi dalam

Rangka Produksi Kitosan Berbasis Limbah Udang”, Prosiding Seminar Nasional Teknik

Kimia Soebardjo Brotohardjono, UPN “Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

Fernandez, K., Sun, O., 2004, “Physicochemical and Functional Properties of Crawfish Chitosan as

Affected by Different Procesing Protocols”, A Thesis in Department of Food Science, Seoul

University.

Haryani, K., Hargono, dan Budiyati, C.S., 2007, “Pembuatan Khitosan dari Kulit Udang untuk

Mengadsorpsi Logam Krom (Cr6+) dan Tembaga (Cu)”, Reaktor, Vol. 11 No.2, Hal. 86-90.

Hartati, F., Tri, S., Rakhmadioni, dan Loekito, A., 2002, “Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap

Deproteinasi dalam Pembuatan Kitin dari Cangkang Rajungan”, Biosain, Vol. 2(1).

Hirano, S., 1986, “Kitin and Kitosan”, Ulmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry Republicka of

Germany, 5th. ed., A 6: 231 – 232.

Mahatmanti, F.W., Sugiyo, W., dan Sunarno, W., 2010, “Sintesis Kitosan dan Pemanfaatannya sebagai

Anti Mikrobia Ikan Segar”, Sainteknol 8, no. 2.

Meyers, S.P., No, H.K., Prinyawiwatkui, W., dan Xu, Z., 2007, “Applications of Chitosan for

Improvement of Quality and Shelf Life of Foods: A Review”, Journal Food Science.

Nadarajah, K., 2005, ”Development and Characterization of Antimicrobial Edible Film from Crawfish

Chitosan”, Dessertation in Department of Food Science, University of Peradeniya.

Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi, 1984, “ Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan

Pertanian”, ed.3, hal. 53, 61, 64, 77, 78, Liberty, Yogyakarta.

Swastawati, F., Wijayanti, I., Susanto, E., 2008, Pemanfaatan Limbah Kulit Udang menjadi Edible

Coating untuk mengurangi Pencemaran Lingkungan, Jurnal Teknologi Lingkungan

Universitas Trisakti, 4(4), 101 – 106.

Wardaniati, R.A. dan Setyaningsih, S., 2009, “Pembuatan Chitosan dari Kulit Udang dan Aplikasinya

untuk Pengawetan Bakso”, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro, Semarang.

Widodo, A., Mardiah, dan Prasetyo, A., 2005, “Potensi Kitosan dari Sisa Udang Sebagai Koagulan

Logam Berat Limbah Cair Industri Tekstil”, Teknik Kimia, ITS, Surabaya.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

85

KAMPUNG WISATA ONLINE BERBASIS SIG SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PARTISIPASI WARGA DALAM MENGELOLA DAN MEMPROMOSIKAN PARIWISATA KOTA YOGYAKARTA Oleh: Drs. Tedy Setiadi, M.T. & Herman Yuliansyah, S.T.,M.Eng

ABSTRAK

Yogyakarta is a city that has a diversity of art and culture which is still alive in the midst of society.

These advantages make the Yogyakarta city visited by many tourists. The development of tourism in the

city of Yogyakarta will play a major role in determining income (PAD) received by the City of

Yogyakarta because 31% of the revenue derived from the city of Yogyakarta comes from tourism

sector. One form of activities to improve the tourist attraction is the exploration and innovation to

realize the diversity of the objects and tourist attractions. Tourist village is a new variant of attraction

of special interest-based potentials in a village area and has a strategic role in the welfare of society

and one of the programs to increase tourist arrivals. Based on these issues it is necessary to build a

tourist village information system based on web. The hope with this information system can increase

citizen participation in managing and promoting the tourism potential of the region as a new object or

improvement of existing ones.

The method used in this study is the waterfall method in the development of the system / software. This

method includes the phases of the system needs analysis, system design, system implementation and

system testing.

The results of this study is to produce a system of web-based information tourist village in an effort to

increase the participation of citizens in managing and promoting tourism Yogyakarta that can pinpoint

the location of the tourist village in accordance with the kind of potential that is desired by the user,

determines the route based on the location of origin and destination you want to visit the tourist village

which then the system will generate information about the distance to be traveled, time taken, and the

roads that will be passed by the user to the point of destination.

Keywords: tourist village, information system, SIG,online

A. Pendahuluan

Kota Yogyakarta memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang tetap terjaga hingga saat.

Keunggulan tersebut menjadikan Kota Yogyakarta banyak dikunjungi wisatawan. Pengembangan

kepariwisataan di Kota Yogyakarta mengedepankan konsep pariwisata yang berbudaya. Selain itu,

potensi obyek wisata, sarana prasarana yang memadai, serta letak geografis yang strategis merupakan

aset yang jika dikelola secara baik dapat mendukung keberadaan Kota Yogyakarta sebagai kota tujuan

wisata yang terkemuka [1].

Salah satu bentuk kegiatan untuk meningkatkan daya tarik wisata adalah melakukan eksplorasi

dan inovasi untuk mewujudkan keanekaragaman obyek dan daya tarik wisata, diantaranya wisata minat

khusus, wisata bangunan dan kawasan heritage (pusaka/bersejarah), wisata pendidikan, wisata MICE

(Meeting, Incentive, Conference/Convention dan Exhibition), wisata kuliner dan wisata belanja.

Menurut Kepala Seksi Pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Kota Yogyakarta Bysry Romley mengingat luas wilayah Kota Yogyakarta yang terbatas

kemungkinannya untuk menambah obyek wisata baru, sehingga salah satu inovasi yang bisa dilakukan

adalah dengan mengembangkan kampung sebagai tujuan wisata[2].

Merujuk hal tersebut keberadaan Kampung Wisata merupakan solusi yang sangat tepat karena

keberadaan kampung wisata dengan berbagai format yang ada, seperti Kampung Wisata atau Urban

Tourism yang didukung dengan aneka macam pertunjukan atraksi budaya serta atraksi kerajinan dan

kuliner kini banyak diminati oleh wisatawan.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

86

Kampung wisata merupakan sebuah varian baru Objek Daya Tarik Wisata minat khusus yang

berbasis potensi wilayah kampung dan memiliki peranan strategis dalam kesejahteraan masyarakat dan

salah satu program untuk meningkatkan kunjungan wisatawan. Selain sebagai pengembangan

pariwisata, kampung wisata juga mengajak masyarakat sekitar untuk melestarikan kebudayaan Jawa

dan menjaga alam sekitar. Setiap kampung wisata memiliki produk unggulan yang dapat menambah

keunikan budaya Yogyakarta. Dan juga tak kalah penting tentunya dapat meningkatkan ekonomi warga

masyarakat.

Ada banyak kampung yang akan menjadi tujuan wisata. Beberapa yang sudah dikenal dan

sering dikunjungi adalah Dipowinatan, Cokrodirjan, Pandeyan, Basen, dan Sosromenduran. Namun

demikian kampung wisata tersebut belum banyak dipromosikan, masih sebatas promosi melalui brosur

maupun pamflet. Ini terlihat dalam website kota Yogyakarta[3] yang belum mengulas tentang kampung

wisata. Beberapa situs juga mempromosikan wisata desa di Yogyakarta seperti [4] namun mengingat

pengelolanya merupakan web personal maka sifatnya masih statis (tidak uptodate) dan fiturnya sebatas

deskripsi singkat dan beberapa foto pendukung untuk menjelaskan lokasi wisatanya, belum

menjelaskan lebih dalam tentang potensi dan ciri khas dari lokasi.

Berdasarkan persoalan di atas maka kami mengusulkan penelitian untuk membangun

kampung wisata online berbasis SIG berbasis web. Harapannya dengan sistem informasi ini dapat

meningkatkan partisipasi warga dalam mengelola dan mempromosikan berbagai potensi wilayahnya

sebagai objek pariwisata baru atau peningkatan dari yang sudah ada. Kampung wisata online

diharapkan dapat memberikan informasi secara lengkap dan cepat dan uptodate tentang lokasi

kampung wisata berupa nama, alamat, potensi, fasilitas, keunggulan, dan informasi lainnya yang

merupakan ciri khas masing-masing kampung.

B. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menghasilkan kebutuhan data dan informasi yang diperlukan untuk pembangunan

kampung wisata online Yogyakarta.

2. Menghasilkan rancangan proses, basis data dan antarmuka kampung wisata online

kota Yogyakarta

3. Menghasilkan kampung wisata online berbasis SIG berbasis Web yang dapat

dimanfaatkan oleh pemerintah kota atau warga kampung wisata yang mencakup

berbagai informasi tentang kampung yang ada di kota Yogyakarta.

4. Menghasilkan uji sistem yang telah dibangun yang memenuhi kebutuhan dari setiap

user.

C. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini antara lain mengacu pada penelitian Tedy[5]. Pada penelitian ini dihasilkan

sistem informasi untuk menentukan daerah pencemaran limbah berbasis SIG yang dapat membantu

dalam proses penentuan daerah pencemaran seperti dalam proses menentukan daerah yang

mengandung limbah B3, daerah yang tercemar limbah. Selain itu juga sistem ini mampu memberikan

informasi besarnya kandungan zat pencemar yang ada dalam limbah. Keterbatasan penelitian ini sistem

informasinya berbasis dekstop belum berbasis WEB sehingga masih terbatas penggunaannya.

Kemudian mengacu juga penelitian Misbakhul[6]. Pada penelitian ini telah dikembangkan

objek wisata di kabupaten Tulung Agung berbasis SIG dengan fungsi utama sebatas pengganti buku

panduan wisata. Penelitian ini keterbatasannya juga tidak berbasis WEB sehingga tidak dapat diakses

oleh semua pengguna.

D. Metode Penelitian

1. Analisis Kebutuhan Sistem

Kegiatan awal yang dilakukan pada tahap ini adalah mengumpulkan data dan informasi yang

diperlukan nanti oleh sistem. Calon pengguna sistem mencakup pengelola pariwisata di dinas pariwista

kotamadya Yogyakarta, pengelola kampung wisata (lokasi). Dan masyarakat umumKegiatan awal

yang dilakukan pada tahap ini adalah mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan nanti oleh

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

87

sistem. Calon pengguna sistem mencakup pengelola pariwisata di dinas pariwista kotamadya

Yogyakarta, pengelola kampung wisata (lokasi) dan masyarakat umum.

2. Perancangan Sistem

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah merancang DFD (Data Flow Diagram),

merancang basis data, proses digitasi dan merancang antarmuka (user interface).

3. Perancangan Sistem

Sistem ini diimplementasikan (dikoding) dengan bahasa pemrograman PHP yang berbasis

Framework CodeIgniter

4. Pengujian Sistem

Black Box Test adalah metode pengujian yang dilakukan untuk memperoleh gambaran

kesesuaian antara input dan output. Pengujian ini dilakukan oleh Pengelola Dinas Pariwisata dan

kebudayaan kota Yogyakarta maupun pengelola di kampung wisata.

Pengujian Alfa Test yaitu pengujian sistem yang dilakukan oleh pemakai sistem. Pengujian ini

dilakukan oleh administrator dinas pariwisata maupun administrator kampung serta beberapa

wisawatan (masyarakat) sebagai pengguna umumPengujian Alfa Test yaitu pengujian sistem yang

dilakukan oleh pemakai sistem. Pengujian ini dilakukan oleh administrator dinas pariwisata maupun

administrator kampung serta beberapa wisawatan (masyarakat) sebagai pengguna umum.

E. Hasil Penelitian

1. Analisis Kebutuhan

Berdasarkan hasil analisis kebutuhan dapat ditentukan terdapat 3 stakeholder yang terlibat

pada sistem informasi ini yaitu visitor, Admin Dinas dan Admin Kampung. Berikut beberapa

kebutuhan berdasarkan jenis stakeholder:

a. Kebutuhan Visitor

Informasi peta digital lokasi kampung wisata di kota Yogyakarta, informasi kampung wisata

dan potensi-potensi wisatanya, informasi rute jarak dan arah antar kampung wisata, informasi rute jarak

dan arah kampung wisata dengan lokasi fasilitas umum, galeri tentang foto-foto kampung wisata,

informasi tentang event di kampung wisata, informasi berita mengenai kampung wisata, form

pemesanan untuk memesan paket wisata dan form buku tamu untuk memberikan saran dan masukkan

terhadap sistem maupun kampung wisata.

b. Kebutuhan Admin Dinas

Proses login terhadap sistem, mengolah data kampung wisata, mengolah data potensi wisata,

mengolah data kecamatan, mengolah data kategori potensi, mengolah data lokasi fasilitas umum,

mengolah galeri, mengolah event, mengolah berita, mengolah buku tamu, mengolah pemesanan,

melihat laporan pengunjung dan mengolah user admin kampung.

c. Kebutuhan Admin Kampung

Proses login terhadap sistem, mengolah data kampung wisata, mengolah data potensi wisata,

mengolah berita, mengolah pemesanan dan mengolah laporan pengunjung.

2. Perancangan Sistem

Perancangan sistem dilakukan dengan merancang Data Flow Diagram dan Entitas

Relationship Diagram (ERD). Berikut hasil rancangan Data Flow Diagram (DFD):

a. Diagram Konteks

Diagram konteks merupakan gambaran umum aliran informasi dan data yang terjadi di dalam

sistem.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

88

Gambar 1. Diagram Konteks

b. DFD Level 1

Proses yang terjadi pada sistem adalah input data, penyimpanan data, dan pembuatan tampilan

data.

Gambar 2. DFD Level 1

c. Entitas Relationship Diagram

ERD merepresentasikan susunan data entitas dengan relasi antar entitas yang diproses pada

sistem.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

89

milik

Kecamatan

id nama

Kategori Potensi

nama id

tulis

milik

punya

N 1

1

N

User

password

id

username

namaGaleri

deskripsi gambar

id

Beritatgl_post

gambar

deskripsi

judul

id

1

1

1

N

Potensi

id

deskripsi

Id_kampung

id

Kampung

longitude

latitude

gambar

deskripsi

nama

punya1 N

hit

Id_kampung

Event

waktu

nama

id

tgl

gambar

deskripsiN

Buku Tamu

emailnama

id

isisubject

Lokasi

id

longitude

latitude

nama

jenis

1 punya

Pemesanan

Pengunjung

id tanggal jumlahdeskriipsi

N

1

id

nama

email

No telp isi status

Gambar 3. Entity Relation Diagram (ERD)

3. Implementasi Sistem

a. Halaman Peta

Pada halaman ini visitor dapat mencari lokasi kampung wisata berdasarkan potensi dan

melihat rute serta jarak waktu yang ditempuh antar kampung wisata.

Gambar 4 Halaman Peta

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

90

b. Halaman Input Kampung

Halaman ini berisi form untuk memasukkan data kampung wisata yang akan ditampilkan di

website.

Gambar 5 Halaman Input Kampung

c. Halaman Daftar Potensi

Halaman ini berisi daftar potensi wisata yang dimiliki oleh kampung wisata.

Gambar 6 Halaman Daftar Potensi

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penelitian ini telah menghasilkan Sistem Informasi Geografis Pemetaan Potensi

Kampung Wisata Di Wilayah Kota Yogyakarta Berbasis Web.

2. Adapun kelebihan dari sistem ini adalah dapat menentukan titik lokasi kampung

wisata sesuai dengan jenis potensi yang diinginkan oleh pengguna, menentukan rute

perjalanan berdasarkan lokasi asal dan tujuan kampung wisata yang ingin dikunjungi

yang selanjutnya sistem ini akan menghasilkan informasi tentang jarak yang akan

ditempuh, waktu yang ditempuh, dan jalan-jalan yang akan dilewati oleh pengguna

menuju titik lokasi tujuan.

3. Sistem Informasi Geografis Pemetaan Potensi Kampung Wisata Di Wilayah Kota

Yogyakarta Berbasis Web ini dapat membantu Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan

Kota Yogyakarta dalam mempromosikan dan memberikan informasi tentang lokasi

beserta potensi-potensi kampung wisata kepada masyarakat khususnya calon

wisatawan yang ingin berlibur ke Kota Yogyakarta.

Beberapa rekomendasi bagi Pemerintah Kota agar mendukung kampung wisata online

berbasis SIG:

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

91

1. Bagi Dinas Pariwisata

a. Perlu menambahkan sub-domain aplikasi kampung wisata ini ke web Dinas

Pariwisata Kotamadya Yogyakarta sehingga mampu meningkatan informasi

wisata yang ada di Yogyakarta

b. Perlu meningkatkan sosialisasi pentingnya konsep kampung wisata ke

bawah yakni ke setiap kecamatan, kelurahan, RW dan RT yang ada di

wilayah yogyakarta sehingga tumbuhnya kesadaran warga bagaimana

menggali inovasi dan potensi pariwisata wilayahnya

c. Perlu meningkatkan kemampuan penguasaan Teknologi Informasi bagi

admin pengelola web Dinas Pariwisata akan mengelola sistem ini dengan

melakukan pelatihan dan pendampingan.

d. Perlu menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi untuk meyediakan dosen

atau mahasiswa yang melakukan pelatihan dan pendampingan bagi

pengelola kampung wisata dan memfasilitasi untuk mengembangkan

aplikasi ini dengan berbasis mobile sehingga bisa diakses lebih luas dan

familier melalui gadget.

2. Bagi Kampung Wisata

a. Perlu mensosialisasikan aplikasi ini ke setiap pengurus RW dan RT

sehingga tumbuh kesadaran warga bagaimana menggali inovasi dan potensi

pariwisata wilayahnya

b. Perlu meningkatkan kemampuan penguasaan Teknologi Informasi bagi

admin pengelola web kampung wisata di kampungnya yang akan mengelola

sistem ini dengan melakukan pelatihan dan pendampingan.

3. Bagi Perguruan Tinggi Mitra

a. Perlu menyediakan bantuan dosen dan mahasiswa yang kompeten dalam

aplikasi ini untuk melakukan pelatihan dan pendampingan bagi Dinas

Pariwisata maupun pihak kampung melalui program pengabdian masyarakat

baik dosen maupun mahasiswa KKN.

b. Perlu menyediakan kepakaran dosen untuk melakukan penelitian dan

pengembangan aplikasi ini yang mengikuti kebutuhan user yang dinamis.

Daftar Pustaka

Pemerintah Kota Yogyakarta, 2007, “Keputusan Walikota Walikota Yogyakarta No. 557/KEP/2007

Tentang Rencana Aksi Daerah Pengembangan Pariwisata Berbasis Budaya Kota Yogyakarta

Tahun 2007-2011”, Walikota Yogyakarta, Yogyakarta.

Republika.co.id, 2011, Inilah Lima Kampung di Yogyakarta yang Jadi Tujuan Wisata Mancanegara,

[Online], http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/travelling/11/07/08/lo06qt-inilah-lima-

kampung-di-yogyakarta-yang-jadi-tujuan-wisata-mancanegara”, Diakses pada tanggal 10

September 2014.

Jogjakarta.go.id, 2014, Dinas Pariwisata dan Keudayaan Kota Yogyakarta, [Online],

“http://pariwisata.jogjakota.go.id/”, Diakses pada tanggal 10 September 2014

Jogjatrip.com, Wisata Desa, [Online], http://jogjatrip.com/id/category/wisata-desa, Diakses pada

tanggal 10 September 2014.

Setiadi, Tedy, 2010, Pengembangan Sistem informasi Untuk Menentukan Daerah Pencemaran Limbah

Home Industri Berbasis SIG , Jurnal Informatika Program Studi Teknik Informatika

Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Vol. 4 No 2 Juli 2010

Zain, Misbakhul Munir & Taufik, Muhammad, 2012, Pengembangan Potensi Wisata Alam Kabupaten

Tulungagung dengan Sistem Informasi Geografis, [Online], http://digilib.its.ac.id/public/ITS-

Undergraduate-12512-Paper.pdf, Diakses pada tanggal 10 September 2014.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

92

PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI TAHU BERBASIS KOMUNITAS DI BANTARAN SUNGAI WINONGO KELURAHAN WIROBRAJAN KECAMATAN WIROBRAJAN YOGYAKARTA Oleh: Suharyanto, Hastowiyono, Muhammad Barori

ABSTRACT

Home industry has a strategic role in national and regional economic development, because it has a

role in reducing poverty, encouraging economic growth and employment. In fact, home industries

have many obstacles to develop. To develop home industry enterprises, including "tahu" (tofu)

industry, it needs to get the attention of the Government and the community in order to develop more

competitiveness with other economic actors. Although the home industries are the micro-scale, but

there are relatively many of them, then people's economy unit needs to be viewed as asset of the

relevant area to be developed.

This study aims to know the characteristics of tofu business, profile of business management, social

capital which constructed the tahu craftsmanship and among the obstacles that people experienced,

and the involvement of regional government to promote industry enterprises. Research was conducted

in RT 35/RW 07 Kelurahan Wirobrajan. The methods of this research use quantitative and qualitative

approaches. The respondents are 18 business owners who are determined at random. Descriptive

data analysis uses statistics and reinforced by qualitative analysis.

This research result indicates: 1) the tofu craftsmen have diverse age characteristics, low education,

low working mobility, background as a migrants, and generally constituting the small family; 2) the

business is characterized by family business, business skills obtained from parents or others, there is

no distribution of work between the owner and workers, small capitals, number of employees is 1-2

people, traditional production technology, small production capacity, do not have business legality,

and local marketing scale; 3) the craftsmen manage their business in traditional ways, there is no

bookkeeping, business finance mingled with household finance, products marketed without packaging

and marketed to the direct consumer (end user); 4) having strong social capital, no competition

between craftsmen, each tofu maker has their own market domain, and having good social relations

between the craftsmen and the residents.

Keywords: development, tofu industry

A. Pendahuluan

Usaha industri rumahtangga mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi

nasional, karena selain berperan dalam mengurangi jumlah kemiskinan, mendorong pertumbuhan

ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan.

Pada saat negara kita dilanda krisis ekonomi beberapa waktu yang lalu, dimana banyak usaha berskala

besar yang mengalami stagnasi bahkan berhenti aktifitasnya, sektor usaha industri rumahtangga

terbukti lebih tangguh. Mengingat pengalaman tersebut, pengembangan usaha industri rumahtangga,

termasuk usaha industri kerajinan tahu, menjadi relevan untuk mendapatkan perhatian yang besar baik

dari pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam

memberdayakan industri rumahtangga melalui kebijakan yang mendorong terjalinnya kemitraan usaha

yang saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil/mikro.

Secara kuantitas industri rumahtangga memang jumlahnya lebih banyak, tetapi apabila

keseluruhan omset dan aset industri rumahtangga di Indonesia digabungkan, belum tentu jumlahnya

dapat menyaingi satu perusahaan berskala nasional. Lebih jauh, pengembangan usaha industri

rumahtangga, mendesak dilakukan mengingat sektor ini memiliki potensi untuk menjaga kestabilan

perekonomian, peningkatan tenaga kerja, meningkatkan PDB, mengembangkan dunia usaha, dan

penambahan APBN dan APBD melalui perpajakan.

(http://www.blogsiffahartas.blogspot.com/2011/05/pengembangan-usaha-mikro-kecil)

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

93

Hasil penelitian kerjasama Kementerian Negara KUKM dengan BPS tahun 2003 (dalam Sri

Winarni, 2006) menginformasikan bahwa 72,47 % UKM mengalami kesulitan usaha. Bagi UKM

yang mengalami kesulitan usaha tersebut, diidentifikasi kesulitan yang muncul adalah (1) Permodalan

51,09 %, (2) Pemasaran 34,72 %, (3) Bahan baku 8,59 %, (4) Ketenagakerjaan 1,09 %, (5) Distribusi

transportasi 0,22% dan (6) Lainnya 3,93 %. Persentase kesulitan yang dominan dihadapi UMKM

terutama meliputi kesulitan permodal-an (51.09%).

Menyimak problematika yang dialami UMKM tersebut, menjadi menarik untuk meneliti

usaha industri tahu yang ada di bantaran sungai Winongo Kelurahan Wirobrajan Kecamatan

Wirobrajan Yogyakarta. Di wilayah Kelurahan Wirobrajan terdapat cukup banyak warga masyarakat

yang menekuni industri tahu. Usaha industri tahu tersebut termasuk skala usaha mikro. Meski skala

usahanya mikro, tetapi karena jumlahnya relatif banyak, maka unit ekonomi kerakyatan ini perlu

dipandang sebagai aset daerah yang relevan untuk dikembangkan.

Pengembangan usaha industri rumahtangga sangat relevan dilakukan, karena industri

rumahtangga diharapkan menjadi cikal bakal dari tumbuhnya usaha besar. Namun demikian perlu

disadari, industri rumahtangga berada dalam suatu lingkungan yang kompleks dan dinamis. Jadi,

upaya mengembangkan industri rumahtangga tidak banyak berarti bila tidak mempertimbangkan

pembangunan yang lebih luas. Konsep pembangunan yang dilaksanakan harus terintegrasi dengan

pembangunan daerah yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Dengan demikian, pengembangan

industri rumahtangga diperlukan strategi yang tepat melalui suatu kebijakan dari Pemerintah Kota

Yogyakarta dan peran serta dari semua pihak. Untuk mendukung ketepatan strategi kebijakan

pengembangan usaha kerajinan tahu tentu diperlukan data dan informasi yang dapat menggambarkan

keadaan yang terjadi pada usaha kerajinan tahu itu. Atas dasar argumen tersebut, penelitian ini

menjadi relevan untuk dilakukan.

B. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini untuk:

1. Mendeskripsikan karakteristik pemilik usaha dan profil usaha industri tahu.

2. Mendeskripsikan pola produksi, perilaku pemasaran produk, dan dukungan

permodalannya?

3. Mengetahui interakasi antar pemilik usaha industri tahu; antara pemilik usaha

dengan tenagakerja/karyawan, tengkulak/pedagang, lembaga kemasyarakatan

setempat, dan pemerintah daerah?

4. Mengetahui bentuk-bentuk dan kekuatan modal sosial yang dibangun oleh pelaku

usaha dalam menjalankan usaha industri tahu maupun dalam merawat hubungan

sosial dengan warga masyarakat setempat.

5. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi pengusaha (pengrajin) dalam mengelola

dan mengembangkan usaha industri tahu.

6. Mengetahui efektifitas bantuan-bantuan yang pernah diberikan oleh pihak eksternal,

khususnya Pemerintah Kota Yogyakarta.

Manfaat penelitian:

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota

Yogyakarta dalam penentuan kebijakan pengembangan ekonomi lokal, khususnya

usaha industri kerajinan tahu di bantaran Sungai Winongo.

2. Hasil penelitian ini sekaligus dapat bermanfaat untuk mempromosikan kepada

kalangan luas tentang keunikan usaha ekonomi kerakyatan sebagai kekayaan daerah

yang dimiliki Kota Yogyakarta. Lebih lanjut diharapkan dapat mendorong

munculnya ”kampung wisata tahu” yang berimplikasi luas bagi kesemarakan

gerakan pembangunan daerah Kota Yogyakarta.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

94

C. Tinjauan Pustaka

Industri tahu yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini merupakan bidang usaha

ekonomi produktif yang dikelola masyarakat lokal dalam skala usaha rumahtangga. Skala usaha

industri tahu ini lebih tepat dikategorikan sebagai usaha mikro. Oleh karenanya pengembangan

industri tahu lebih cocok menggunakan pendekatan kebijakan pengembangan UMKM yang sekaligus

dapat bermakna sebagai pengembangan ekonomi lokal. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya

UKMK mendefinisikan pengembangan ekonomi lokal adalah merupakan suatu konsep pengembangan

ekonomi yang mendasarkan pada pendayagunaan sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan

sumberdaya kelembagaan lokal yang ada pada suatu masyarakat, oleh masayarakat itu sendiri melalui

pemerintah lokal maupun kelembagaan berbasis masyarakat yang ada (Tambunan dan Nasution. eds,

2006).

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tertanggal 29 Januari 2003,

usaha mikro yaitu usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan

memiliki hasil penjualan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per tahun.

Konsekuensi dari batasan ini, usaha mikro dapat mengajukan kredit kepada bank dibatasi paling

banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

UMKM merupakan sumber penghidupan sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk rakyat

Kota Yogyakarta. Dengan demikian, pengembangan UMKM merupakan langkah bijak untuk

menghadirkan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat. Dalam kenyataan UMKM mengalami banyak

kelemahan yang menghambat untuk berkembang. Meskipun UMKM masih memiliki banyak

kelemahan seperti tersebut di atas, namun disisi lain memiliki kekuatan yang membuat usaha ekonomi

tetap dapat berjalan. Kekuatan itu adalah modal sosial. Putnam menyatakan, “dimana kepercayaan dan

jaringan kerja sosial tumbuh dengan subur, individu, perusahaan, lingkungan tempat tinggal dan

bahkan bangsa menjadi makmur” (Putnam, 2000). Demikianlah pengertian modal sosial ini yang

merupakan basis sentral bagi pembangunan ekonomi masyarakat, daerah dan bangsa. Dengan

demikian penguatan modal sosial merupakan strategi efektif dalam pengembangan ekonomi lokal

(UMKM), terutama untuk menghindari persaingan yang saling merugikan atau bahkan saling

mematikan.

Menurut Hidayatullah (2011), berdasarkan konsep pengembangan ekonomi lokal dan

pemberdayaan ekonomi masyarakat, bagian-bagian yang harus menjadi perhatian penting dan selalu

menjadi pijakan dalam melaksanakan kegiatan antara lain: 1) Masukan, dalam rangka pengembangan

ekonomi lokal, masukannya adalah potensi dan kelemahan yang dimiliki masing-masing wilayah; 2)

Perencanaan, dalam rangka pengembangan ekonomi lokal dibutuhkan institusi yang diharapkan

menjadi perencana program; 3) Program Intervensi, dalam rangka percepatan pengembangan

ekonomi lokal, maka diperlukan program intervensi yang diharapkan dapat memacu tumbuh dan

berkembangnya aktivitas ekonomi berbasis lokal (UMKM); 4) Metode Kegiatan, dibutuhkan strategi

intervensi dalam rangka pengembangan ekonomi lokal (UMKM); 5) Keluaran, yang diharapkan

menjadi keluaran, antara lain: a) Produk unggulan wilayah bernilai ekonomi tinggi; b) Jaringan

pemasaran produk; c) Tumbuhnya usaha mikro yang handal; d) Manajemen pengelolaan usaha yang

baik; dan e) Pertumbuhan ekonomi wilayah. Langkah konkrit yang nampaknya perlu dilakukan antara

lain dengan: pelatihan dan pendampingan masyarakat dalam menciptakan atau mengelola usaha

ekonomi lokal, memikirkan bentuk-bentuk kemitraan usaha bagi usaha ekonomi, memfasilitasi akses

permodalan usaha, penggunaan teknologi tepat guna dan peningkatan kualitas produk dan pelayanan.

Dalam konteks pembangunan daerah, Undang-undang no. 20/2008 mengamanatkan kepada

pemerintah maupun pemerintah daerah untuk mendorong, memfasilitasi, dan menciptakan iklim usaha

yang kondusif bagi perkembangan UMKM melalui kebijakan-kebijakan pembangunan daerah. Selain

memenuhi amanat undang-undang, kebijakan pengembangan ekonomi lokal melalui program-

program pemberdayaan UMKM sangat relevan dari sisi moralitas pembangunan. Dengan semakin

berkembangnya UMKM berarti pula terjadi pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.

Dari berbagai pilihan kebijakan pembangunan ekonomi yang dapat ditempuh oleh

pemerintah, Dillon (1999) mengajukan alternatif pembangunan ekonomi berparadigma people driven.

Paradigma ini menghendaki suatu proses pembangunan dimana semua kebijakan, kelembagaan dan

teknologi yang kita rakit didorong oleh realitas kebutuhan dan kemampuan rakyat. Melalui people

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

95

driven proses pertumbuhan yang dicapai bersifat growth through equity, secara prinsip akan

menyebarkan distribusi pendapatan dan sumberdaya nasional secara lebih baik dan adil, dan akan

mengurangi kemiskinan secara berkesinambungan. Hal ini dapat terwujud karena proses pertumbuhan

ini menginginkan pencapaian pertumbuhan yang melibatkan kehidupan ekonomi sebagian besar

rakyat terutama pada kelompok marjinal. Meskipun pemikiran Dillon tersebut dalam kerangka

pembangunan pertanian, namun secara substansial sangat relevan diterapkan untuk pengembangan

ekonomi lokal di daerah perkotaan seperti Kota Yogyakarta.

Tujuan utama pembangunan daerah adalah untuk menyejahterakan rakyat. Dalam konteks

ini, Badrudin (2012:17-18) menyitir pendapat Matsui (2005), bahwa pertumbuhan ekonomi adalah

salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu

wilayah. Suatu wilayah mengalami pertumbuhan secara ekonomi apabila terjadi peningkatan produksi

dari semua kegiatan ekonomi di dalam wilayahnya secara terukur. Selama beberapa dekade,

pembangunan daerah selalu berupaya memperoleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa melihat

apakah pertumbuhan tersebut bermanfaat bagi kesejahteraan penduduk secara merata atau tidak.

Perkembangan selanjutnya, para pengambil kebijakan pembangunan daerah mulai memperhitungkan

manfaat pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat, sehingga tingkat pemerataan mulai menjadi suatu

indikator bagi kesejahteraan.

Berkaitan dengan spirit pembangunan daerah, hendaknya lebih mengedepan-kan

kesejahteraan rakyat, bukan mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pembangunan daerah harus

diarahkan untuk memperkokoh fondasi ekonomi rakyat, sehingga semangat penarikan retribusi dari

rakyat demi PAD harus dikendorkan. Pemerintah daerah harus mampu menghadirkan iklim usaha

yang kondusif. Meningkatnya PAD harus ditempatkan sebagai akibat dari meningkatnya ekonomi

rakyat. Oleh karena itu, mindset lama dari penyelenggara pemerintah daerah harus diubah agar

memiliki wawasan kewirausahaan. Meskipun investasi yang masuk ke daerah tetap penting untuk

digairahkan, namun semua itu harus memperkokoh ekonomi rakyat (Muhammad, 2008: 241-253).

D. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian sosial yang didisain dengan menggunakan pendekatan

metode campuran (mixed methode), yaitu mengombinasikan strategi penelitian kuantitatif dan metode

kualitatif. Disain penelitian dengan pendekatan campuran ini merupakan strategi penelitian untuk

menghilangkan bias-bias yang muncul apabila hanya menggunakan metode tunggal, yaitu metode

kuantitatif atau metode kualitatif saja (Creswell, 2012). Penggunaan metode campuran ini

dimaksudkan agar dapat memperoleh data kuantitatif yang lengkap (luas) sebagai evident based dan

selanjutnya dilakukan pemahaman makna terhadap fenomena yang menjadi fokus penelitian ini.

Dengan demikian, kedua metode ini berfungsi saling melengkapi.

Pendekatan penelitian kuantitatif dilakukan dengan metode survei. Metode ini digunakan

untuk memperoleh data agregat yang dapat digeneralisasi untuk menggambarkan karakteristik usaha

dan pengusaha industri tahu yang ada di lokasi penelitian. Sedangkan pendekatan penelitian kualitatif

dilakukan dengan teknik wawancara dan focus group discussion untuk memperoleh pemahaman

makna atas ide-ide, harapan, keinginan, dan cerita-cerita lokal yang biasanya sulit diungkap melalui

survei.

Dilihat dari skala usaha menampakan gejala yang seragam, yaitu sebagai usaha keluarga

sehingga sifat populasinya dapat dikategorikan cukup homogin. Dari 21 unit usaha kerajinan yang ada

di lokasi penelitian, diambil secara random 18 unit rumahtangga sebagai sampelnya. Dengan

demikian proporsi sampel penelitian ini sebesar 85,71 % dari populasinya.

Data primer yang diperoleh dari pengisian kuesioner setelah terkumpul kemudian dilakukan

pengolahan data menggunakan piranti lunak SPSS (Statistical Package for the Social Sciences).

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik statistik deskriptif. Hasil

pengolahan data disajikan dalam bentuk tabel frekuensi sehingga memudahkan dalam

menginterpretasi makna data. Analisis data survei tersebut kemudian dilengkapi dengan data hasil

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

96

wawancara dan FGD yang dipaparkan secara naratif. Dengan demikian, fenomena yang tidak terakses

melalui kuesioner tetap dapat dimanfaatkan untuk memperkaya temuan penelitian.

E. Hasil Penelitian

1. Karakteritik Pengrajin.

Usia pengrajin bervariasi, mulai dari usia produktif sampai dengan usia yang tergolong tidak

produktif (22 - 80 tahun), dan yang paling dominan adalah usia 45 - 64 tahun.

Apabila dilihat dari proporsi pengrajin berdasarkan jenis kelamin, pengrajin laki-laki

jumlahnya berimbang dengan jumlah pengrajin perempuan, sehingga tidak terjadi diskriminasi

berdasarkan jenis kelamin dalam mengelola usaha kerajinan tahu.

Tingkat pendidikan pengrajin pada umumnya berpendidikan rendah, tingkat pendidikan yang

paling dominan adalah tidak tamat SD sampai dengan tamatan SLTP, dan pendidikan paling tinggi

adalah tamatan SLTA.

Mobilitas pekerjaan (pergantian jenis pekerjaan) bagi pengrajin tahu rendah, karena usaha

kerajinan tahu merupakan pilihan pekerjaan terakhir bagi pengrajin (bukan pekerjaan sementara atau

sebagai batu loncatan).

Pengrajin tahu memiliki latar belakang sebagai kaum migran yang kemudian menetap dan

beranak pinak di Kota Yogyakarta, sebagian terbesar berasal dari daerah Kabupaten Kulon Progo.

Pengrajin pada umumnya telah memiliki rumah sendiri di RT 35/ RW 07 Kelurahan

Wirobrajan, dan kondisi bangunan rumahnya baik (rumah permanen). Ini menandakan bahwa hasil

usaha kerajinan tahu mampu menopang kebutuhan hidup rumahtangga. Rumahtangga pengrajin pada

umumnya merupakan keluarga kecil dengan rata-rata jumlah anggota rumahtangga 4 orang. Jumlah

angota rumahtangga yang kecil ini tentu meringankan beban ekonomi bagi rumahtangga sehinga

dapat hidup lebih sejahtera.

2. Profil Usaha Kerajinan Tahu

Keterampilan usaha kerajinan tahu diperoleh melalui belajar dari orang tua atau menjadi

buruh tahu pada orang lain, sehingga usaha kerajinan tahu berkembang melalui efek

penularan/peniruan atau turun-temurun.

Pada umumnya pengrajin tahu belum menerapkan manajemen usaha dengan baik, terutama

tidak melakukan pembukuan usaha dan tidak memisahkan antara keuangan usaha dengan keuangan

rumahtangga. Ini menandakan bahwa usaha kerajinan tahu dikelola secara tradisional dan belum

menerapkan manajemen usaha yang baik.

Modal awal sebagian besar pengrajin adalah dari modal sendiri, karena kuantitas tahu yang

diproduksi relatif sedikit sehingga tidak memerlukan modal kerja yang besar. Selain itu, teknologi

yang digunakan untuk memproduksi tahu masih tradisional, hanya alat penggiling kedelai saja yang

menggunakan teknologi lebih maju berupa mesin diesel.

Secara umum tenaga kerja yang terlibat dalam setiap unit usaha jumlahnya tidak berubah,

mulai dari saat awal membuka usaha hingga saat ini jumlah tenaga kerjanya relatif tetap, yaitu

berkisar 1 - 2 orang. Ini membuktikan bahwa usaha kerajinan tahu belum mengalami perubahan.

Kalaupun ada perubahan, tetapi perubahannya lebih bersifat kuantitatif, artinya, yang berkembang

atau bertambah adalah jumlah rumahtangga yang membuka usaha kerajinan tahu, tetapi secara

kualitatif belum melakukan pengembangan usaha, baik kapasitas produksi maupun variasi jenis

produk. Keadaan ini dipertegas dengan kapasitas produksi yang dimiliki pengrajin tahu yang

tergolong kecil, yaitu setiap pengrajin rata-rata memproduksi tahu sekitar 700 buah/ hari.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

97

Strategi pemasaran tahu yang dilakukan pengrajin belum optimal sehingga rentan kalah

bersaing dengan produk sejenis. Para pengrajin pada umumnya menjual tahu kepada pelanggan

langsung dan tanpa kemasan maupun label sehat/halal. Pengrajin tahu enggan memasarkan produknya

melalui pasar modern (super market) dengan sistem konsinyiasi, karena keterbatasan modal yang

mereka miliki. Temuan ini menggambarkan bahwa kapasitas pengrajin dalam pemasaran masih

terbatas/lemah.

3. Modal Sosial

Modal sosial yang dibangun oleh komunitas pengrajin tahu merupakan kekuatan penting

untuk menjaga keberlangsungan dalam menjalankan usaha bisnis tahu. Bentuk modal sosial tersebut

meliputi:

a. Kerja sama antar pengrajin dalam penggunaan peralatan dan rumah produksi. Dalam hal

ini peralatan dan rumah produksi tidak hanya digunakan sendiri oleh pemiliknya, tetapi

boleh digunakan oleh pengrajin-pengrajin lain yang tidak memilikinya.

b. Aturan main atau kode etik bisnis yang disepakati bersama oleh komunitas pengrajin

untuk saling menjaga keberlangsungan usaha, antara lain: tidak bersaing harga, tidak

merambah pasar yang telah dimasuki pengrajin lain, dan menjaga kepercayaan

konsumen terhadap kualitas produk setempat (misal: tidak menggunakan bahan

pengawet).

c. Keharmonisan hubungan sosial antara komunitas pengrajin dengan warga sekitar. Ini

tercipta melalui pertemuan rutin antara komunitas pengrajin tahu bersama warga

masyarakat lainnya, keterlibatan komunitas pengrajin dalam kegiatan kemasyarakatan

(kerja bakti, melayat, menengok orang sakit, dll), dan komunitas pengrajin memberi

sumbangan dana untuk kegiatan kampung.

4. Kendala yang Dialami Komunitas Pengrajin Tahu

Dalam menjalankan usaha komunitas pengrajin megalami kendala internal maupun

eksternal. Kendala internalnya adalah keterbatasan kemampuan memperluas pasar sehingga tidak

termotivasi untuk meningkatkan kapasitas produksi. Sedangkan kendala eksternalnya meliputi:

a. Sering mengalami kesulitan mengakses BBM (solar) untuk mengoperasikan diesel

penggiling kedelai, karena mereka tidak memiliki surat rekomendasi dari pemerintah

maka mereka sering dicurigai sebagai penimbun BBM. Akibatnya, mereka sering

dipersulit oleh pihak SPBU untuk membeli solar menggunakan jerigen.

b. Para pengrajin merasa mengalami kendala psikologis (perasaan tidak enak) terhadap

tetangga yang tidak berprofesi sebagai pengrajin tahu. Ini disebabkan karena IPAL

mengalami kebocoran dan posisinya kurang rendah sehingga menimbulkan bau busuk,

bio gas tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, dan air limbah sering meluap

mencemari sungai.

5. Efektifitas Bantuan untuk Pengembangan Usaha Kerajinan Tahu

Sebenarnya bantuan dari berbagai pihak akan dimanfaatkan secara optimal oleh komunitas

pengrajin tahu sepanjang bantuan tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai bukti: seluruh

pengrajin tahu membuang air limbah ke IPAL yang dibangun Pemerintah Kota Yogyakarta; bantuan

dana hibah dari Pemerintah Daerah DIY telah dikelola untuk simpan-pinjam dan dimanfaatkan oleh

warga setempat (termasuk komunitas pengrajin). Sedangkan bantuan ketel uap dari UGM sampai saat

ini belum dimanfaatkan oleh komunitas pengrajin tahu, karena ketel uap yang mereka miliki masih

berfungsi dengan baik dan mereka masih meragukan kualitas barang bantuan tersebut. Dengan

demikian temuan ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa keterlibatan pemerintah, terutama

Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam pengembangan usaha kerajinan tahu belum optimal. Ini ditandai

antara lain: bantuan dari Pemerintah Kota Yogyakarta baru sebatas pembangunan Instalasi

Pembuangan Air Limbah (IPAL) dan sekarang mengalami kebocoran, dan Dinas Kesehatan pernah

memeriksa kualitas air dan kualitas tahu tetapi belum ditindaklanjuti sampai terbitnya sertifikat.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

98

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan:

1. Pengrajin tahu memiliki karakteristik sebagai berikut: umur beragam, pendidikan

rendah, mobilitas pekerjaan rendah, berlatar belakang sebagai kaum migran, dan

umumnya merupakan keluarga kecil.

2. Profil usaha kerajinan tahu bercirikan usaha keluarga, ketrampilan usaha diperoleh dari

orang tua atau orang lain (proses magang), tidak ada pembagian kerja yang jelas antara

pemilik dan pekerja, modal kecil, jumlah pekerja 1-2 orang, teknologi produksi

tradisional, kapasitas produksi kecil, tidak memiliki legalitas usaha (PIRT), dan wilayah

pemasaran berskala lokal.

3. Usaha kerajinan tahu dikelola secara tradisional, tidak ada pembukuan, keuangan usaha

bercampur dengan keuangan rumahtangga, produk dipasarkan tanpa kemasan dan

dipasarkan ke konsumen langsung (end user);

4. Modal sosial terbangun cukup kuat, antar pengrajin tidak terjadi persaingan harga, setiap

pengrajin memiliki domain pasar sendiri, dan hubungan sosial antara pengrajin dengan

warga masyarakat terjalin harmonis.

5. Pengrajin mengalami kendala dalam mengakses BBM untuk proses produksi, dan

kendala psikologis karena kebocoran IPAL yang mengeluarkan bau busuk yang

mengganggu warga masyarakat.

6. Keterlibatan pemerintah daerah dalam pengembangan usaha kerajinan tahu belum

optimal, dan bantuan yang diberikan oleh pemerintah (terutama IPAL dan dana hibah)

telah dimanfaatkan dengan baik oleh komunitas pengrajin tahu.

Rekomendasi

1. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Yogyakarta:

a. Menyelenggarakan program-program kegiatan pelatihan dan pendampingan

untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan usaha bagi komunitas pengrajin

tahu bagi komunitas pengrajin tahu.

b. Memfasilitasi surat rekomendasi bagi komunitas pengrajin tahu untuk

mengakses bahan bakar mesin diesel (solar) untuk keperluan proses produksi

tahu.

c. Menyelenggarakan workshop penganekaragaman jenis produksi tahu dan

pengolahan limbah produksi tahu agar menghasilkan nilai ekonomi lebih.

d. Memfasilitasi promosi produk tahu buatan komunitas lokal Kota Yogyakarta.

Misalnya melalui penyelenggaraan event festival kuliner makanan berbahan

dasar tahu.

2. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta:

a. Menyelenggarakan penyuluhan kepada komunitas pengrajin tahu untuk

menghindari penggunaan bahan-bahan berbahaya dalam memproduksi bahan

makanan.

b. Melakukan pemeriksaan (kontrol) secara periodik terhadap kualitas tahu, dan

memfasilitasi komunitas pengrajin untuk memperoleh sertifikat PIRT.

3. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta:

a. Memfasilitas renovasi rumah produksi agar lebih sehat dan bersih melalui

pemberian bantuan pemasangan keramik untuk lantai dan dinding rumah

produksi.

b. Segera memperbaiki IPAL yang saat ini mengalami kebocoran, dan jika perlu

membangun IPAL baru yang lebih sempurna.

4. Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta:

a. Menyelenggarakan program pengembangan kawasan bantaran Sungai Winongo

sebagai kampung wisata tahu.

b. Bekerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan memfasilitasi dalam

memperluas pemasaran tahu. Misalnya, memfasilitasi komunitas pengrajin

untuk membangun networking atau channeling dengan hotel-hotel yang

semakin marak di Kota Yogyakarta.

5. Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) Kota Yogyakarta:

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

99

a. Menyelenggarakan pelatihan peningkatan kapasitas komunitas pengrajin dalam

mengorganisasi kegiatan usaha kerajinan tahu.

b. Memfasilitasi pembentukan dan pembinaan kelompok pengrajin tahu.

Daftar Pustaka

Badrudin, Rudy. 2012. Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta Menggunakan Tipologi Klasen Dan Location Quotient. Jurnal Riset

Manajemen dan Bisnis, Volume 7, No.1, Juni 2012. ISSN : 1907-7343, Fakultas Bisnis

Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta: 17-18.

Creswell, John W. 2012. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuntaitatif, dan Mixed. Pustaka

Pelajar. Yogyakarta. (Terjemahan dalam bahasa Indonesia)

Dillon, H.S. 1999. Pertanian: Membangun Bangsa. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Hamidah, Siti, dan Komariah, Kokom. 2008. Pembudayaan Manajemen Berbasis Mutu Produk Dan

Layanan Pedagang Lesehan Di Malioboro Yogyakarta. Jurnal Penelitian Vol. 3, Bappeda

Kota Yogyakarta: 1-12.

Hidayatullah, Syarif, dan Djaka SBW, Thomas. 2011. Model Pemberdayaan Masyarakat Melalui

Pengembangan Ekonomi Lokal (Studi pada UKM Pengrajin di Kota Malang).

EKONOMIKA. Jurnal Ekonomi, Vol. 4, No. 1, Juni 2011, ISSN 1978-9998. Airlangga

University Press. Surabaya: 33-37.

Idris, Indra, dan Sijabat, Saudin. 2011. Model Peningkatan Peran KUMKM Dalam Pengembangan

Komoditas Unggulan Di Kawasan Perbatasan. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Vol.

6 – September 2011, ISSN : 1978 - 2896: 89-123.

Lee, Everett, S. 2000. Teori Migrasi. Pusat Penelitian Kependudukan-Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Matsui, K. 2005. “Post-Decentralization Regional Economies and Actors: Putting The Capacity of

Local Governments To The Test”. The Developing Economies, 43(1): 171–189.

Muhammad, Fadel. 2008. Reinventing Local Government: Pengalaman Dari Daerah. Pt. Elex

Media Komputindo. Jakarta.

Putnam, Robert. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New

York: Simon and Schuster.

Sri Winarni. 2006. Strategi Pengembangan Usaha Kecil Melalui Peningkatan Aksesibilitas Kredit

Perbankan. Infokop Nomor 29 Tahun XXII

Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. CV. Alfabeta. Bandung.

Sutanto, Agus. 1996. Keusahaan dan Usaha Kecil di Pedesaan, dalam Buletin Populasi, Volume 7

Nomor 2 Tahun 1996, ISSN: 0853-0262. Pusat Penelitian Kependudukan UGM Yogyakarta:

79-90.

Tambunan, Togap, dan Nasution, Paruhuman. eds. 2006. Pengkajian Peningkatan Daya Saing Usaha

Kecil Menengah Yang Berbasis Pengembangan Ekonomi Lokal. Jurnal Pengkajian

Koperasi Dan UKM Nomor 2 Tahun I - 2006: 26-40.

Majalah Prisma Volume 6 1997 – LP3ES Jakarta, hlm 6

http://www.blogsiffahartas.blogspot.com/2011/05/pengembangan-usaha-mikro-kecil.

jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/sosant/article/download

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

100

PERAN ASRAMA MAHASISWA DALAM MEMBANGUN INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT DALAM RANGKA TERWUJUDNYA KUALITAS MASYARAKAT YOGYAKARTA YANG HARMONIS Oleh: Fadjarini Sulistyowati & Tri Agus Susanto

ABSTRACT

Yogyakarta is a miniature of Indonesia. The citizens of Yogyakarta consist of various religions, ethnics and

languages. The most important for the society of Yogyakarta is to be able to coexist with them regardless of the

differences. The city has a huge appeal for migrants from various regions, especially who want to continue their

education in Yogyakarta. The existence of various cultures is not always able to represent the good communication

and interaction. This study was to determine the role of the student dormitories as regional representatives in

establishing cross-cultural communication with the community and to develop its role to interact with Yogyakarta

society harmoniously. A method of qualitative descriptive study was conducted with the interactive analysis. A

technique of data collection is done on interviews, focus group discussion (FGD) and observation. Research results

assert that the role of a student dormitory in establishing cross-cultural communication can occur when both parties

respect to each other as human beings. Efforts to develop the role of dormitory in establishing interaction with the

community of Yogyakarta can be done by: 1) Require student dormitory to have a space program as an interaction

between students and the community; 2) Government establishes communication with the origin government student

and the accomplishment of cooperation programs related to its interaction with the local community and give

sanction to the troubled student dormitories; 3) Conducting joint activities to introduce art and culture of

Yogyakarta to them, and provide cultural artistic activities from various regions to be displayed together in the

community.

Keywords: student dormitory, cross-cultural community, interaction

A. Pendahuluan

Citra Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan cukup kondang di berbagai wilayah Indonesia. Kota ini

dikenal cukup nyaman dan menjadi impian anak muda untuk meneruskan pendidikannya. Citra ini diperkuat realitas

sosial yang ada dengan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan dan maraknya kegiatan mahasiswa

(Kurniawan, 2012: 139).

Seiring dengan makin banyaknya mahasiswa dari luar daerah, bermunculan pula asrama mahasiswa dari

berbagai provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Menurut catatan pemerintah, saat ini ada 30 provinsi

se-Indonesia yang memiliki asrama mahasiswa di DIY. Jumlah asrama daerah bahkan lebih dari angka itu, sebab

beberapa kabupaten dari provinsi tertentu juga ikut mendirikan asrama sendiri. Di Kota Yogyakarta sendiri ada 73

asrama mahasiswa dari sejumlah daerah, (Republika.com: 2013).

Pada awalnya kehadirannya, asrama-asrama daerah di Yogyakarta dimaksudkan sebagai sarana pemerintah

daerahnya untuk membantu para mahasiswa daerah masing-masing yang belajar di Yogyakarta. Tujuannya agar

mereka, mendapatkan tempat tinggal yang jelas dan pantas selama masa belajar, (Zudianto, 2008: 82). Asrama

mahasiswa ini memang sangat membantu mahasiswa. Calon pemimpin dan intelektual itu bisa tinggal tanpa

membayar sewa di asrama. Mereka hanya diwajibkan memelihara fasilitas, menjaga ketertiban, lama tinggal dan

syarat ringan lainnya. Mahasiswa dikondisikan untuk belajar lebih tekun dan diharapkan lulus tepat waktu, sehingga

putra-putri daerah yang berikutnya bisa memanfaatkan fasilitas yang ditinggalkan.

Menyusul kejadian tindak kekerasan yang berbau atau dikaitkan etnis beberapa waktu, lalu memunculkan

wacana untuk membatasi izin pendirian asrama daerah di Yogyakarta. Pernyataan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X

agar pemerintah daerah memperketat penambahan asrama mahasiswa, (Kedaulatan Rakyat. com). Salah satu

alasannya, keberadaan asrama tersebut menghambat pembauran mahasiswa penghuninya dengan masyarakat.

Mahasiswa yang datang ke Yogyakarta seharusnya tidak sekadar menuntut ilmu, tetapi juga belajar mengenal dan

berbaur dengan masyarakat dan budaya lokal. Sesuai dengan pernyataan yang disampaikan Herry Zudianto,

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

101

kehadiran asrama daerah semakin lama semakin menimbulkan kesan eksklusif dan dalam konteks tertentu terkesan

angker, orang luar tidak berani masuk ke dalam asrama tersebut, (2008:82).

Asrama daerah sebenarnya bisa berperan lebih dari sekadar tempat pondokan bagi mahasiswa perantau.

Asrama bisa menjadi etalase dalam mengenalkan budaya daerah asal, sekaligus tempat mahasiswa beradaptasi

dengan budaya lokal, bahkan lebih jauh bisa menjadi pusat informasi bisnis dan wisata daerah. Kecenderungan

terjerumusnya asrama daerah ke dalam eksklusivisme etnik karena berjarak dengan warga sekitar harus dihindari.

Eksklusivisme menjadikan para mahasiswa secara tidak sadar memagari diri dengan identitas daerah dan

etnik. Di asrama, mereka setiap hari bertemu dengan teman sedaerah, kemudian berkomunikasi menggunakan

bahasa daerah. Topik perbincangan tidak lepas dari isu yang berkembang di daerah asal. Bisa dimaklumi apabila

ego-daerah atau etnik terus mengental, ementara ketertarikan pada budaya lokal tak juga menebal.

Wacana pengetatan pemberian izin dari Pemerintah Kota Yogyakarta untuk pendirian asrama daerah perlu

dicermati oleh seluruh penghuni asrama daerah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota se Indonesia, juga warga

Kota Yogyakarta. Wacana itu tak akan menjadi realita jika terjalin komunikasi lintas budaya yang baik antara warga

kota dan mahasiswa penghuni asrama.

Pada hakikatnya Pemerinta kota Yogyakarta sejak jamannya Hery Zudianto telah menggulirkan kebijakan

Menyapa Anak Kos dan kebijakan ini menurut Haryadi, saat ini program sambang kos masih berjalan. Instansi

pemerintah yang ada di wilayah atau kecamatan diminta menjalin koordinasi dengan perangkat RT dan RW.

Sambang kos tersebut, ungkapnya, sudah menjadi program rutin untuk menjalin hubungan persuasif antara penghuni

kos, warga sekitar dan tokoh masyarakat, (Kedaulatan Rakayat.Com).

Untuk itu, saat ini perlu ditingkatkan peran asrama mahasiswa dalam menjalin interaksi dengan

masyarakat. Asrama-asrama mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah (IKMD)

secara rutin mendapat dana bantuan dari KesBangPor (Kesatuan Bangsa Pemuda dan Olahraga Kota Yogyakarta).

Namun, program ini tampaknya belum memberikan dampak interaksi yang harmonis antara masyarakat dan asrama

mahasiswa. Seharusnya, interaksi antara asrama mahasiswa dan masyarakat dapat terjalin efektif secara formal dan

informal sehingga tidak ada kesenjangan antara pendatang dengan masyarakat Yogyakarta.

Berkaitan dengan ini penting perlu adanya penelitian tentang peran dan fungsi asrama mahasiswa dalam

upaya untuk menjalin interaksi dengan masyarakat kota Yogyakarta. Interaksi yang positif akan mendukung

harmonisasi antara masyarakat dengan asrama mahasiswa. Persepsi dan stereotyp negatif dari masyarakat terhadap

budaya tertentu tentunya akan semakin berkurang bila asrama mahasiswa membuka diri. Image masyarakat yang

baik terhadap asrama mahasiswa juga menjadikan pendatang dari luar daerah akan membuat betah sehingga

akhirnya citra kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang nyaman juga akan semakin meningkat. Hal ini

tentunya akan berimbas pada kehidupan ekonomi masyarakat kota Yogyakarta.

B. Tujuan dan Manfaat

1. Untuk mengetahui peranan asrama mahasiswa sebagai ruang perwakilan daerah dalam menjalin

komunikasi lintas budaya dengan masyarakat Yogyakarta

2. Untuk mengembangkan peranan asrama mahasiswa dalam menjalin interaksi dengan masyarakat

Yogyakarta menuju terwujudnya kualitas kehidupan masyarakat Kota Yogyakarta yang harmonis.

3. Untuk memberikan rekomendasi terhadap pihak terkait yakni: Kesbang dan Dinas Pariwisata

dalam upaya menjalin interaksi antara mahasiswa dengan berbagai daerah dan warga masyarakat

Kota Yogyakarta

C. Tinjauan Pustaka

Asrama adalah bangunan tempat tinggal bagi kelompok orang yang bersifat homogen (Kamus Besar

Bahasa Indonesia Jilid II). Asrama adalah suatu penginapan yang ditujukan untuk anggota suatu kelompok yang

umumnya pelajar (anak sekolah). Asrama biasanya berupa bangunan yang terdiri kamar-kamar yang dapat

ditempati oleh beberapa penghuni untuk setiap kamarnya. Para penghuni asrama menginap dalam jangka waktu

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

102

relatif lebih lama daripada di hotel. Alasan untuk memilih asrama karena tempat tinggal si penghuni lebih jauh atau

biaya yang terbilang lebih murah, (http://id.wikipedia.org/ wiki/asrama).

Asrama mahasiswa dalam penelitian ini adalah asrama mahasiswa daerah, sehingga asrama ini didirikan

oleh Pemerintah daerah untuk putera-putera daerah yang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta. Walaupun,

terkadang pendiriannya bukan diinisiasi pemerintah daerah secara langsung.

Pertumbuhan asrama daerah semakin banyak di Kota Yogyakarta. Hal ini dimungkinkan karena jumlah

putera daerah yang melanjutkan studi di Kota Yogyakarta semakin banyak dan keberadaan asrama lebih

mengefektifkan komunikasi mahasiswa dengan pemerintah daerah yang mendanai perkuliahan mereka.

Namun, pendirian asrama mahasiswa daerah juga memunculkan sikap eksklusifisme asrama mahasiswa di

hadapan masyarakat sekitar. Kelompok yang se-daerah akan memunculkan arogansi masing-masing daerah padahal

untuk menciptakan kehdiupan yang harmonis diperlukan komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya

dapat dilakukan bila masing-masing budaya mau memahami dan saling berempati dengan budaya lain. Perbedaan

antarbudaya memang mudah memunculkan prasangka dan stereotip yang melekat sehingga menghambat kefektivan

komunikasi dan akan berakibat konflik berkepanjangan. Untuk itu, agar terjadi komunikasi lintas budaya yang baik

semua pihak dapat memahami budaya dan menghilangkan sikap prasangka dan stereotip yang buruk.

Jika suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; dalam budaya hal tersebut dapat dikatakan

pluralism budaya (cultural pluralism). Teori Pluralisme budaya pertama kali dikembangkan oleh Horace Kallen

yang menggambarkan pluralism sebagai upaya menghargai berbagai tingkat perbedaan dalam rangka menjaga

persatuan nasional, (http://pjjgsd.dikti.go.id). Yogyakarta adalah kota yang multikulturalisme seperti yang

dikatakan Herry Zudianto, struktur masyarakat Yogyakarta yang sebelumnya secara kultural homogen secara

bertahap semakin multikultural, (2008: 5).

Untuk menumbuhkan pluralisme dalam masyarakat tentunya dibutuhkan komunikasi yang efektif antara

berbagai kelompok dalam masyarakat. Asrama mahasiswa merupakan suatu kelompok yang dianggap pendatang

dalam masyarakat Yogyakarta, untuk dapat terjalin interaksi maka diawali dengan komunikasi yang efektif.

Komunikasi dari kelompok masyarakat yang berbeda budaya bukanlah hal yang mudah seperti yang dikatakan oleh

Gudykunst dan Kim (dalam Mulyana, 1996: Viii), ketika berkomunikasi dengan orang lain maka dihadapkan

dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan dan nilai-nilai yang berbeda. Sehingga kelompok budaya pendatang tentunya

bukan hal yang mudah untuk dapat menjalin komunikasi dengan kelompok budaya yang didatangi. Seperti yang

dikatakan oleh Edward T. Hall ( dalam Mulyana, 1996: vi) culture is communication dan communication is culture.

Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya akan menentukan tujuan

hidup yang berbeda. Artinya, cara berkomunikasi akan ditentukan oleh budaya kita; bahasa, aturan dan norma

masing-masing

Perbedaan dalam berbahasa, norma bahkan perilaku dengan orang lain yang dipengaruhi oleh budaya.

Budaya secara pasti mempengaruhi seseorang sejak di ada dalam kandungan hingga mati bahkan setelah mati pun

penguburan seseorang ditentukan cara-cara dalam budayanya. Seperti yang disampaikan oleh Porter dan Samovar

(dalam Mulyana, 1996: 19), budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana

orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan

menafsirkan pesan. Budaya menjadi landasan dalam berkomunikasi.

Untuk dapat menjalin komunikasi efektif dengan orang lain , maka seseorang harus dapat mengembangkan

beberapa hal sebagai berikut, (DeVito, 1999): 1) keterbukaan; 2) empati; 3) sikap mendukung; 4) sikap kepositivan

dan 5) kesamaan. Salah satu hambatan dalam komunikasi antarbudaya adalah sikap etnosentrisme, sikap yang

memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu dan hal-hal lainnya diukur dan

dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya, (Gudykunst dan Kim dalam Mulyana, 1996:5). Sedangkan persyaratan

seseorang untuk dapat berkomunikasi lintasbudaya, (Wilbur Schramm dalam Mulyana, 1996: 6):

1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia. Komunikasi akan berhasil, jika komunikasi

yang terjadi di antara mereka haruslah komunikasi pribadi pada pribadi bukanlah dilihat dari

perbedaan budayanya.

2. Menghormati budaya lain apa adanya bukan sebagaimana yang kita kehendaki, tidak ada budaya

yang tidak baik, semuanya harus dihormati.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

103

3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak.

Penafsiran seseorang tentang budaya bersifat relatif artinya kita tidak boleh menilai budaya

berbeda berdasarkan budaya kita yang terbatas.

D. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu suatu metode untuk

memaparkan serta menjelaskan kegiatan atau objek yang diteliti yang berkaitan dengan pengkajian fenomena secara

lebih rinci atau membedakannya dengan fenomena yang lain (Denzin dan Lincoln, 2009 :223).

Dalam pendekatan kualitatif yang menjadi sasaran penelitian adalah kehidupan sosial atau masyarakat

sebagai satu kesatuan atau sebuah kesatuan yang menyeluruh. Dalam penelitian ini tidak dikenal adanya sampel

namun penelitian dilakukan secara mendalam dan menyeluruh untuk mendapatkan gambaran mengenai prinsip-

prinsip umum atau pola-pola yang berlaku umum berkenaan dengan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sosial

dari suatu komunitas yang diteliti sebagai kasus, (Rudito dan Famiola, 2008:79)

Teknik pemilihan dilakukan secara purposif, yakni dipilih beberapa asrama dengan pertimbangan asrama

tersebut dapat mewakili asrama-asrama dari seluruh wilayah Indonesia dan tergabung dalam Ikatan Pemuda

Mahasiswa Daerah Yogyakarta. Pemilihan anggota asrama yang dipilih berdasarkan keragaman subjek penelitian.

Di dalam organisasi IKPMDY ada sekitar 73 asrama mahasiswa. Dari sekitar 73 diambil 10 asrama mahasiswa

yakni: asrama mahasiswa Kepulauan Riau kabupaten Natuna, asrama mahasiswa Papua (Jl. Kusumanegara), asrama

mahasiswa Sulawesi Selatan, asrama mahasiswa Todilaling (Polewali Mandar), asrama mahasiswa Maluku, asrama

mahasiswa Kalimantan Timur, asrama mahasiswa Timur Tengah Selatan NTT,asrama mahasiswa Bundo Kanduang

Sumatera Barat dan asrama mahasiswa Ciamis. Selain itu wawancara juga dilakukan dengan staf Kesbang dan

Ketua Ikatan keluarga Pelajar Mahasiswa Yogyakarta dan beberapa warga masyarakat yang tinggal berdekatan

dengan asrama di atas.

Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisa interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan

Hubermann (dalam Sutopo: 2006), 1) Pengumpulan data; 2) Reduksi data; 3)Penyajian data; 4) Penarikan simpulan

dan verifikasi.

E. Hasil Penelitian

1. Peranan asrama mahasiswa sebagai ruang perwakilan daerah dalam menjalin komunikasi lintas budaya dengan masyarakat Yogyakarta.

Asrama mahasiswa daerah merupakan asrama yang didirikan dalam rangka menghimpun mahasiswa yang

berasal dari daerah yang sama di kota ini dalam rangka untuk memudahkan mereka mendapat tempat tinggal. Di

asrama mahasiswa daerah, komunikasi yang dilakukan tentunya lebih banyak dengan bahasa daerah setempat

sehingga terkadang mahasiswa yang di daerahnya tidak bisa dan tidak menyukai seni dan budaya daerahnya tetapi

karena tinggal dengan orang sedaerah maka muncul perasaan memiliki budaya tersebut sehingga mereka terpacu

untuk belajar bahasa, seni dan budaya daerahnya.

Untuk itu, dibutuhkan komunikasi lintas budaya, komunikasi ini akan terjadi apabila seseorang dari

budaya yang berbeda saling berkomunikasi. Menurut Dood (1991), komunikasi lintas budaya bukan hanya

antarpribadi tetapi juga kelompok, sehingga ketika mahasiswa dari luar daerah di asrama berinteraksi dengan

masyarakat Kota Yogyakarta yang berlatarbelakang budaya Jawa maka terjadilah komunikasi.

Kegiatan komunikasi yang dilakukan mahasiswa dari berbagai daerah dengan masyarakat tidak selamanya

berlangsung efektif. Ada beberapa mahasiswa dari daerah tertentu merasa mudah untuk berinteraksi dengan

masyarakat namun di sisi lain ada mahasiswa yang mengalami hambatan dalam berinteraksi. Sesuai dengan teori De

Vito (DeVito, 1999): 1) keterbukaan; 2) empati; 3) sikap mendukung; 4) sikap kepositivan dan 5) kesamaan.

Untuk terwujudnya komunikasi efektif maka pertama, penghuni asrama mahasiswa daerah perlu untuk

memiliki sikap terbuka terhadap setiap warga sekitar, keterbukaan akan tampak bila asrama mahasiswa juga selalu

mengundang warga sekitar untuk mengikuti kegiatan yang ada dalam asrama misalnya pengajian. Kedua, memiliki

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

104

sikap empati dapat dimunculkan bila penghuni asrama juga peka dengan situasi dan kondisi masyarakat sekitar.

Ketiga, sikap mendukung dan kepositivan yang akan muncul bila penghuni asrama mahasiswa juga selalu

berpartisipasi dalam kegiatan warga misalnya dalam perayaan 17 Agustus, pengajian bersama, perayaan keagamaan

dan lain-lain. Keempat, kesamaan akan dapat diperlihatkan bila penghuni asrama tidak menonjolkan perbedaan

budaya yang ada.

Masyarakat Yogyakarta sebagai warga yang didatangi seringkali menganggap bahwa penghuni asramalah

yang seharusnya aktif dalam menjalin komunikasi dan interaksi dengan masyarakat sekitar. Hal inilah tentunya

akan mempersulit dalam menjalin komunikasi lintas budaya, sesuai dengan teori dari Wilbur Shcramm (dalam

Mulyana, 1996: 6), komunikasi lintas budaya akan mudah terwujud bila; 1) Menghormati anggota budaya lain

sebagai manusia. Komunikasi akan berhasil, jika komunikasi yang terjadi di antara mereka haruslah komunikasi

pribadi pada pribadi bukanlah dilihat dari perbedaan budayanya;2). Menghormati budaya lain apa adanya bukan

sebagaimana yang kita kehendaki, tidak ada budaya yang tidak baik, semuanya harus dihormati; 3). Menghormati

hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Penafsiran seseorang tentang

budaya bersifat relatif artinya kita tidak boleh menilai budaya berbeda berdasarkan budaya kita yang terbatas.

Masyarakat haruslah memahami bahwa budaya dari daerah lain memang berbeda dan tidaklah perbedaan

ini menjadi suatu hambatan dalam berkomunikasi. Tetapi perbedaan itu harus dimaknai sebagai upaya untuk

menghormati budaya yang berbeda tersebut, sama halnya dengan perbedaan agama tidaklah berarti itu menjadi

hambatan dalam berkomunikasi tetapi kita dapat menghargai perbedaan agama tersebut

Beberapa kelompok mahasiswa masih ada yang mengalami hambatan dalam berinteraksi dan

berkomunikasi sehingga mereka merasa masyarakat Kota Yogyakarta sebagai masyarakat yang kaku dan feodal.

Bahkan beberapa masyarakat dari daerah Timur merasa masyarakat Kota Yogyakarta sebagai masyarakat yang tidak

hangat karena mereka mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga

seringkali mereka merasa dilecehkan.

Hal ini mungkin akan terus terjadi karena seringkali masyarakat dapat mudah menerima pendatang dari

daerah tertentu namun kadangkala mereka juga dengan mudah menolak kehadiran pendatang dari daerah lain.

Perbedaan ini muncul sesuai dengan konsep Gudykunst dan Kim, seseorang berkomunikasi dengan orang lain maka

dihadapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan dan nilai-nilai yang berbeda. Perbedaan yang terlampau besar dan

upaya dari pihak pendatang untuk tidak mengurangi perbedaan dengan lebih bersikap memahami budaya setempat

akan mengakibatkan hambatan komunikasi semakin besar.

Upaya untuk mengurangi perbedaan dapat dilakukan bila seseorang tidak bersikap etnosentrisme.

Kemauan seseorang untuk membuka diri dan mempelajari budaya orang lain akan mengurangi sikap etnosentrisme.

Hambatan komunikasi juga seringkali terjadi ketika muncul stereotype dari masyarakat. Sterotype ini mucul karena

adanya tindakan dari rekan se-daerah yang buruk pada lingkungan sehingga masyarakat memberikan persepsi yang

buruk terhadap semua mahasiswa yang berasal dari daerah mereka. Stereotype dalam komunikasi antarmanusia akan

menghambat keefektivan komunikasi bahkan pada gilirannnya akan menghambat integrasi bangsa, (Mulyana:

1996). Masyarakat menjadi curiga akan kehadiran mereka, dan mahasiswa sendiri menjadi takut untuk memulai

berkomunikasi. Upaya untuk menghilangkan stereotype akan dapat dilakukan oleh dua pihak yakni dengan

menciptakan iklim komunikasi yang positif.

2. Mengembangkan peranan asrama mahasiswa daerah dalam menjalin interaksi dengan masyarakat Yogyakarta menuju terwujudnya kualitas kehidupan masyarakat Kota Yogyakarta yang harmonis

Asrama mahasiswa memiliki peranan yang cukup besar karena pada hakikatnya asrama mahasiswa sering

menjadi rujukan baik dari pemerintah atau masyarakat apabila ada kasus-kasus yang berkaitan dengan mahasiswa

dari daerah tertentu. Namun, peranan asrama ini sulit dilakukan tanpa dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu.

perlu adanya upaya yang dilakukan dalam mendorong asrama mahasiswa agar tidak menjadi ruang yang eksklusif.

Beberapa mahasiswa dari daerah yang ditemui dalam penelitian mengakui bahwa sebetulnya mereka juga

ingin tahu tentang budaya dan tradisi masyarakat Kota Yogyakarta. Untuk itu pemerintah kota dapat mendorong

agar komunikasi lintas budaya ini tercipta dengan baik. Hambatan-hambatan dalam berkomunikasi dan berinteraksi

dengan masyarakat yang akhirnya membuat mereka memilih untuk menutup dan menarik diri dari masyarakat

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

105

perlu dihilangkan. Penghuni asrama diwajibkan untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Untuk itu, pihak

pemerintah kota dalam hal harus selalu melakukan sambang asrama. Program yang sudah rutin dijalankan ini

ditingkatkan dengan memilih asrama-asrama yang memiliki kesan tertutup dan tidak ada kegiatan berkomunikasi

dengan masyarakat. Kesbang perlu juga untuk mempersuasi asrama-asrama yang selama ini dianggap penghuninya

bermasalah dengan masyarakat untuk mengadakan kegiatan bersama dengan masyarakat baik yang berupa kegiatan

seni budaya atau kegiatan sosial bersama.

Asrama adalah suatu kelompok yang homogen ketika kelompok ini cenderung memilih menutup diri di

asrama maka kesan eksklusif asrama akan semakin menguat. Sikap menutup diri dan mencoba tidak memahami

budaya masyarakat setempat akan semakin membuat hambatan berkomunikasi. Sikap individu untuk tidak belajar

memahami budaya setempat sehingga menutup informasi dirinya dari masyarakat setempat akan memperkuat

stereotype yang melekat dalam masyarakat. Masyarakat akan tetap curiga dan berprasangka buruk terhadap

kelompok yang menutup diri.

Yogyakarta sebagai salah satu kota yang memiliki kondisi multikulturalisme sangat penting untuk

mewujudkan kota pluralis, yakni kota yang dapat menghargai berbagai budaya. Asrama mahasiswa memiliki peran

yang strategis dalam membuka ruang komunikasi dengan masyarakat setempat. Untuk itu salah yang harus

dilakukan adalah meningkatkan peran asrama mahasiswa sebagai ruang perwakilan daerah untuk menjalin

komunikasi antarbudaya.

Dorongan pemerintah kepada asrama mahasiswa daerah akan semakin efektif apabila pemerintah juga

mengikutsertakan para tetua yang dihormati oleh penghuni asrama. Seperti yang kita ketahui masyarakat luar Jawa

berkecenderungan lebih menghormati para senior mereka, mereka dianggap sebagai bagian dari keluarga. Selain

juga perlu untuk berkomunikasi dengan pihak pemerintah daerahnya agar asrama yang dibantu oleh pendanaan

Pemda bukan hanya berupa bangunan fisik, tetapi pihak pemerintah daerah setempat juga perlu bertanggung jawab

dalam membina karakter penghuni asramanya.

Beberapa upaya yang harus dilakukan: 1) Asrama mahasiswa memiliki program kegiatan yang merupakan

ruang untuk berkomunikasi dengan masyarakat misalnya, mengadakan pengajian bersama dengan masyarakat,

panggung kesenian terbuka dengan mengundang masyarakat untuk hadir; 2) Perlu adanya aturan yang berupa tata

tertib untuk semua penghuni asrama, yang salah satunya mengharuskan anggota untuk menghormati budaya dan

norma yang ada dalam masyarakat; 3) Asrama mahasiswa memiliki kegiatan bersama dengan asrama lain yang

terprogram untuk mengenal lebih jauh tentang budaya masyarakat Yogyakarta.

Dengan beberapa upaya yang harus dilakukan asrama mahasiswa maka instansi pemerintah Kota

Yogyakarta juga wajib memantau keberadaan asrama di wilayahnya. Kegiatan pemantauan ini dapat dilakukan

dengan mengadakan kunjungan rutin ke beberapa asrama atau mengundang asrama-asrama dalam waktu tertentu.

Pemerintah Kota Yogyakarta perlu mengeluarkan kebijakan yang berupa aturan atau tata tertib yang wajib ditaati

asrama-asrama. Apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh penghuni asrama maka pemerintah kota wajib untuk

memberikan sanksi bahkan bila perlu memberikan tembusan ke daerahnya.

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

Peranan asrama mahasiswa dalam menjalin komunikasi lintas budaya akan muncul apabila kedua pihak

dapat saling menghormati anggota budaya lain sebagai manusia, komunikasi akan berhasil, jika komunikasi yang

terjadi di antara mereka haruslah komunikasi pribadi pada pribadi bukanlah dilihat dari perbedaan budayanya.

Penghuni asrama perlu untuk menghormati budaya lain apa adanya demikian pula dengan masyarakat sehingga kita

tidak menilai mereka sebagaiman yang kita kehendaki. Pada prinsipnya tidak ada budaya yang tidak baik, semuanya

harus dihormati. Kedua pihak perlu untuk menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari

cara kita bertindak.

Asrama mahasiswa harus memiliki kepengurusan yang jelas dan aturan yang wajib ditaati penghuni.

Dengan adanya aturan dan pengorganisasi yang jelas maka pihak masyarakat dapat dengan mudah menegur

penghuni asrama. Pada prinsipnya putera daerah ini adalah saudara kita sebagai satu bangsa sehingga pembentukan

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

106

karakter mahasiswa dengan adanya komunikasi dan dialog bersama akan lebih memungkinkan terjadi komunikasi

lintas budaya.

Upaya-upaya dalam mengembangkan peranan asrama mahasiswa dalam menjalin interaksi dengan

masyarakat Yogyakarta akan dapat dilakukan dengan:

1. Mewajibkan asrama mahasiswa untuk memiliki program yang merupakan ruang interaksi antar

mahasiswa dengan masyarakat

2. Menjalin komunikasi dengan pihak pemerintah daerah asrama mahasiswa tersebut agar diwujudkan

program kegiatan yang berkaitan dengan interaksi dengan masyarakat setempat.

3. Pihak pemerintah perlu tegas dalam memberikan sanksi bila ada asrama mahasiswa dianggap tidak

memiliki organisasi dan mengganggu kenyamanan masyarakat.

4. Mengadakan kegiatan bersama yang juga dilakukan dalam rangka lebih memperkenalkan seni dan

budaya Yogyakarta kepada mereka, serta mewadahi kegiatan seni budaya dari berbagai daerah untuk

ditampilkan bersama ke masyarakat.

Rekomendasi

1. Bagi asrama mahasiswa :

a. Setiap asrama mahasiswa wajib memiliki program kegiatan yang mengharuskan penghuninya untuk

menjalin kegiatan bersama warga masyarakat sekitar dan ini menjadi perjanjian yang mengikat antara

pemerintah daerah yang memberikan dana pembangunan asrama dengan warga masyarakat

b. Setiap asrama mahasiswa wajib memiliki organisasi dan aturan yang jelas serta wajib memberikan sanksi

kepada penghuni asrama yang dianggap melanggar.

c. Asrama mahasiswa juga perlu menggandeng mahasiswa asal daerah yang sama untuk melakukan kegiatan

dalam program bersama walaupun mereka tidak menjadi penghuni asrama.

2. Bagi pihak pemerintah daerah

a. Setiap pemerintah daerah yang membangun asrama mahasiswa di Kota Yogyakarta wajib untuk mengutus

salah satu pihak perwakilan pemkab/pemda yang bertugas untuk menjadi wali bagi para mahasiswa di

asrama tersebut. Wali mahasiswa ini bisa jadi tidak harus tinggal di asrama namun ia akan selalu

berkomunikasi dengan masyarakat sekitar asrama mahasiswa dan pemerintah Kota Yogyakarta mengenai

kondisi para mahasiswa di asrama.

b. Wali mahasiswa juga bertindak sebagai induk semang para mahasiswa sehingga kontrol terhadap asrama

mahasiswa bisa lebih dikoordinasikan.

3. Bagi Kesatuan Bangsa

a. Perlu adanya “sapaan dari pemerintah Yogyakarta” melalui kegiatan bersama dengan menggandeng

asrama-asrama di Yogyakarta

b. Kesbang bukan hanya memberikan wawasan kebangsaan namun mengadakan kegiatan yang mencoba

mengenalkan lebih jauh tentang kebudayaan dan keistimewaan Yogyakarta

c. Perlu adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran aturan di asrama sehingga tiap asrama juga

mewajibkan penghuninya mematuhi tata tertib

4. Bagi Dinas Pariwisata:

a. Perlu untuk selalu menggandeng asrama-asrama mahasiswa dalam setiap event budaya

b. Mewajibkan setiap asrama untuk mengenalkan budaya daerah mereka ke masyarakat kota Yogyakarta

Daftar Pustaka

A., Joseph, DeVito. 1999. Komunikasi Antarmanusia Kuliah dasar.Jakarta: Proffesional Books

Denzin, K, Norman. & Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Penerjemah: Dariyatno,

Badrus Samsul dkk. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Kurniawati, Asti. 2012. Membangun (?) Narasi Menghadirkan Pesona Akar dan Perjalanan Citra “Kota

Pendidikan. Penerbit Ombak: Yogyakarta

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

107

Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin (Editor). 1996. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan

Orang-Orang Berbeda Budaya. Rosda Karya: Bandung.

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). PT Remadja Rosdakarya: Bandung.

Rudito, Bambang dan Famiola. 2009. Social Mapping. Metode Pemetaan Sosial. Bandung: Rekayasa Sains.

Sutopo, H. B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. UNS Press: Solo.

Zudianto, Herry. 2008. Kekuasaan sebagai Wakaf Politik: Manajemen Yogyakarta Kota Multikultur. Kanisius:

Yogyakarta.

http://pjjgsd.dikti.go.id. Sutarno. Modul Multikultur

Republika.com. Asrama Mahasiswa Yogyakarta Didata Ulang. 26 Maret 2013

Kedaulatan Rakyat.com. Walikota Galakkan Sambang Kos.1 April 2013

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

108

TATA KELOLA PROSES DAN PENGELOLAAN LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK JUMPUTAN KAMPUNG CELEBAN YOGYAKARTA SEBAGAI UPAYA EFISIENSI DAN PENINGKATAN DAYA SAING PRODUK Oleh: Purnawan

ABSTRACT

Jumputan cloth handicraft industry grows a number of impacts on economic growth and environmental pollution.

The economic value generated from Jumputan cloth industry can give contribution to improving the local economy,

income and can also give income for country exchange. However, the potential for environmental pollution which is

generated by industrial waste of jumputan cloth is quite worrying because the volume of waste is big and waste

management requirements are not satisfied. The industrial waste generated from jumputan cloth is still not

considered as a problem, because it does not have direct impact or short term effect felt by the society and the

environment.

Better internal performing management is expected to achieve: efficient use of energy and water to reduce the cost

of production, technology planning process for ergonomic and good process control, equipment modification to

improve the optimization process, wastewater treatment design with simple technology and low cost waste

processing, also make the effort to allow the waste product which can be reused as diversified products.

The results of the application design process tool show the average time efficiency of 57.135% and water use

efficiency of 16.175%, result in the efficient use of energy and effectiveness from craftsmen’s performance, with the

water use efficiency will reduce the waste product. It can reduce the cost of wastewater treatment, with recycling of

solid waste as product diversification will provide a significant benefit and it can cover the cost of wastewater

treatment with a profit of Rp 4,528, - each time of the process.

The results of wastewater treatment applications that have been designed show that the results of waste treatment

have met the quality standard in accordance with DIY Governor Regulations No.7 Year 2010.

Keywords: Cloth Jumputan, Governance Process, Efficiency.

A. Pendahuluan

Potensi Industri batik secara ekonomi cukup memberikan pendapatan yang besar kepada negara, baik dari

segi penyerapan tenaga kerja maupun pemasukan devisa dan pajak. Permintaan pasar untuk konsumsi lokal dan luar

negeri terbuka luas sehingga memberikan peluang yang besar untuk perkembangan industri ini.Saat ini pemasaran

batik selain untuk konsumsi lokal juga telah menembus pasar luar negeri antara lain pasar Eropa dan Amerika.

Dalam perkembangannya, masyarakat melakukan modifikasi dan kreasi untuk menghasilkan berbagai

ragam industri batik, salah satunya adalah industri batik jumputan namun demikian penamaan batik jumputan

sesungguhnya tidak sesuai dengan kaidah karena Batik merupakan seni pewarnaan kain dengan teknik perintang

pewarnaan menggunakan malam ( bahasa inggris : wax) atau dalam istilah sehari-hari orang menamakannya "lilin",

sedangkan Jumputan pada dasarnya suatu proses pencelupan, dengan sebagian kain diikat rapat menurut

pola tertentu sebelum dilakukan pencelupan atau dyeing dengan zat warna, dengan demikian bagian-bagian

yang diikat tidak terkena celupan dan pada bagian tersebut terbentuklah motif hias sesuai yang dikehendaki,

dengan demikian penamaan yang lebih tepat adalah kain motif jumputan”.

Industri kain jumputan pada umumnya dilaksanakan dalam skala rumah tangga dengan penggunaan

teknologi yang masih sederhana sehingga ditengarai terjadi In-efisiensi yang dapat menimbulkan pemborosan baik

dalam penggunaan bahan baku, proses produksi maupun dalam penggunaan energi. In-efisiensi pada proses

produksi ini dapat menyebabkan besarnya volume limbah yang dihasilkan yang berasal dari bahan baku, bahan

tambahan (aditif) dan waktu proses produksi. Hal ini akan menimbulkan kerugian baik secara ekonomi maupun

lingkungan yang disebabkan oleh biaya produksi dan pencemaran lingkungan

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

109

Sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi produksi dan meminimalisasi limbah yang dihasilkan pada

proses industri kain jumputan, maka diperlukan Tata Kelola Proses dan Pengelolaan Limbah agar dapat

menghasilkan produk dan jasa secara lebih efisien. Dengan strategi Tata Kelola Proses dan Pengelolaan Limbah

diharapkan akan menghasilkan produk yang kompetitif dan memberi perhatian terhadap aspek lingkungan menuju

ecoefisiensi serta bertujuan menyediakan produk dan jasa dengan harga kompetitif, memberikan kepuasan terhadap

kebutuhan manusia dan meningkatkan kualitas kehidupan dengan mengurangi dampak lingkungan dan pemakaian

sumberdaya melalui daur hidup (life cycle), serta memperhatikan daya dukung lingkungan.

Peluang-peluang Tata Kelola Proses dan Pengelolaan Limbah yang dapat diterapkan pada proses industri

kain jumputan antara lain dalam hal pengaturan dalam perencanaan, perubahan dalam input bahan, perubahan dalam

proses produksi, penggunaan tata kerumah tanggaan, dan pengolahan limbah yang efisien. Tata Kelola Proses dan

Pengelolaan Limbah dapat dicermati mulai dari awal proses pembuatan hingga menjadi barang jadi (produk).

Aplikasi Tata Kelola Proses dapat dilakukan melalui perencanaan dan penggunaan metode yang tepat dalam proses

produksi, memodifikasi peralatan yang ergonomis dan Pengelolaan Limbah ini dalam lokasi proses produksi.

B. Tujuan dan Manfaat

Dengan mempertimbangkan efisiensi dengan melakukan pengelolaan internal yang lebih baik diharapkan

dapat tercapainya:

1. Efisiensi penggunaan energi dan air sehingga dapat menekan biaya produksi

2. Tersusunnya tata laksana rumah tangga yang baik (good housekeeping) yaitu perubahan manajemen tata

laksana rumah tangga industri dengan tujuan untuk mencegah timbulan limbah dan efisiensi biaya produksi.

3. Merencanakan teknologi proses yang ergonomis dan pengendalian proses dengan memodifikasi peralatan guna

peningkatan optimisasi proses

4. Melakukan perancangan pengolahan limbah cair dengan teknologi sederhana serta biaya investasi pengolahan

limbah yang rendah, sehingga tidak menimbulkan biaya operasional yang tinggi akan tetapi dapat

meminimalisir dampak terhadap pencemaran lingkungan.

5. Melakukan upaya yang memungkinkan limbah padat yang dihasilkan dapat digunakan digunakan kembali atau

sebagai diversifikasi produk

C. Tinjauan Pustaka

Teknik jumputan pada dasarnya adalah suatu proses pencelupan, yaitu sebagian kain diikat rapat

menurut pola tertentu sebelum dilakukan pencelupan atau dyeing dengan zat warna. Dengan demikian bagian-

bagian yang diikat tidak terkena celupan dan pada bagian tersebut terbentuklah motif hias jumputan yang sangat

khas.

Jumputan dapat dilakukan dengan cara mengisi kain, mengikat dan melipat kain dengan cara

tertentu, kemudian mencelup dalam larutan zat warna yang akan membentuk ikatan reaksi antara serat tekstil

dan zat warnanya, sehingga terciptalah suatu motif pada kain tersebut. Perbedaan cara mengisi, melipat, dan

mengikat kain akan menghasilkan warna dan motif yang berbeda. Dalam pembuatan kain jumputan terdapat

berbagai motif teknik ikat dasar diantaranya: teknik ikatan tunggal, teknik ikatan silang, teknik ikatan

konsentris, teknik ikatangar is , teknik pengerutan (marbing), teknik ikatan ganda, teknik mengikat benda

dan teknik jelujur

Tata kelola proses atau Good housekeeping merupakan tata kelola internal yang baik yang meliputi

rasionalisasi pemakaian bahan baku, air, energi, mengurangi jumlah atau toksisitas limbah serta

memperbaiki kondisi kerja dan keselamatan kerja. Implementasi teknik good housekeeping ini serta dapat

mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan.

Tata kelola proses yang ergonomis mempertimbangkan unsur manusia dalam perancangan objek, prosedur

kerja dan lingkungan kerja dengan mempelajari hubungan manusia, pekerjaan dan fasilitas pendukungnya, dengan

harapan dapat sedini mungkin mencegah kelelahan yang terjadi akibat sikap atau posisi kerja yang tidak sesuai

guna meningkatkan produktivitas kerja manusia untuk mencapai tujuan yang efektif, sehat, aman dan nyaman

(Cormick dan Sanders, 1992).

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

110

Tata kelola internal dapat dilakukan dengan menerapkan produksi bersih yang merupakan bagian dari

konsep produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Dengan menggunakan metodologi dan tekhnologi

bersih diharapkan suatu kegiatan operasional dapat menghasilkan produk akhir yang lebih berkualitas, dapat

mendaur ulang sumber daya bahan baku dan dapat memanfaatkan produk samping ((Kementrian

Lingkungan Hidup, 2003)

Setiap jenis industri mempunyai karakteristik limbah cair yang spesifik, yang berbeda dengan jenis industri

lainnya, walaupun mungkin suatu jenis industri mempunyai beberapa parameter pencemar yang sama dengan

industri lainnya. Berdasarkan karakteristik limbah cair industri kain jumputan alternatif pengolahan dapat dilakukan

dengan cara:

1. Ekualisasi: penampungan limbah guna meredam fluktuasi karakteristik air limbahsehingga karakteristik air

limbah relatif konstan.

2. Pengolahan fisik-kimia: obyek yang akan dibuang dibuat lebih besar ukurannya dengan menambahkan

koagulan dan flokulan polymer.

3. Aerasi: air limbah setelah melalui proses koagulasi dan flokulasi dan sebelum dibuang ke lingkungan

ditambahkan udara menggunakan aerator agar oksigen terlarut dalam air limbah semakin besar

D. Metode Penelitian

Dalam perancangan yang dilakukan merupakan desain low cost yang berorientasi pada desain teknologi

tepat guna namun memiliki kemampuan untuk pengolahan limbah yang optimal dan memenuhi baku mutu serta

peralatan proses produksi dengan efisiensi penggunaan energi, air sehingga mengurangi limbah cair yang dihasilkan.

Adapun blok diagram penelitian seperti terlihat pada Gambar 1

Gambar 1 : Blok diagram penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian untuk dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan air sehingga

dapat menekan biaya produksi serta upaya pengolahan limbah cair maka dilakukan perancangan disain sebagai

berikut:

Pengamatan proses produksi

Pencatatan Penggunaan air, bahan baku dan bahan tambahan

Permasalahan Inefisiensi

Limbah Cair

Kajian Penyempurnaan/

Perbaikan Proses Produksi

Kajian Pengolahan limbah

Produksi Batik Jumputan

Ekonomis dan Ramah

Lingkungan

Efisien

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

111

1. Disain peralatan proses

Merancang peralatan kerja atau proses guna meningkatkan produktivitas kerja yang efektif, sehat, aman

dan nyaman dengan memperhatikan gerakan tubuh manusia dilihat dari aspek biomechanics dengan tujuan untuk

menghindarkan manusia melakukan gerakan kerja yang tidak sesuai, tidak beraturan dan tidak memenuhi

persyaratan efektivitas efisiensi gerakan.

Gambar 2: Disain peralatan kerja/proses

2. Disain Pengolahan Air Limbah

Melakukan perancangan unit pengolahan limbah cair dengan teknologi sederhana serta biaya investasi

rendah, sehingga tidak menimbulkan biaya operasional yang tinggi akan tetapi dapat meminimalisir dampak

terhadap pencemaran lingkungan.

Gambar 3: Disain Pengolahan Air Limbah

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

112

E. Hasil Penelitian

1. Hasil Survey dan Evaluasi Tata Kelola Internal

Dampak Rekomendasi

Lokasi Tersebar dibeberapa tempat

sesuai tempat tinggal

Berpotensi timbulnya

pencemaran di beberapa

tempat

Kegiatan yang

dilakukan bukan

merupakan kegiatan

poko, lokasi sudah baik

Safety proses Pengrajin sudah

menggunakan APD

Dampak telah

terminimalisir

Perlu ditingkatkan

pemahamannya

Manajemen

bahan proses Penyimpanan

bahan kimia belum

sesuai

Belum dilakukan

manajemen bahan

Belum dilakukan

pencatatan bahan kimia

yang dipergunakan

Untuk bahan

kimia yang higroskopis

akan berpengaruh

terhadap konsentrasinya

Untuk bahan

pewarna yang mudah

teroksidasi akan

berpengaruh terhadap

kualitas warna

Bahan kimia

kedaluwarsa akan

menjadi limbah

Penyimpanan

bahan kimia

menggunakan tempat

yang sesuai (botol

coklat)

Dilakukan

pencatatan bahan

untuk mengetahui

batas kedaluwarsanya

Sistem proses Belum adanya alat

proses yang memenuhi

standard ergonomis

Penggunaan air

belum efisien

Waktu proses

belum efisien

Timbulnya

dampak kelelahan

terhadap pekerja

Kuantitas limbah

menjadi lebih besar

Dirancang

peralatan proses yang

ergonomis

Dirancang

peralatan proses

dengan hemat

penggunaan air

Pengolahan

limbah Limbah padat

belum dimanfaatkan

Limbah cair sudah

dilakukan pengolahan

namun belum optimal

Pencemaran

akibat limbah padat

Masih

terbentuknya limbah

cair dan berpotensi

terhadap pencemaran

lingkungan

Pemanfaatan

limbah padat sebagai

diversifikasi produk

Dirancang

peralatan pengolahan

limbah portable yang

lebih optimal

Tabel 1: Hasil Survey dan Evaluasi Tata Kelola Internal (sumber : data primer)

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

113

2. Data Hasil Kinerja Proses

Jenis Proses Total waktu proses Total limbah padat Total limbah cair

Pewarnaan Naphtol 35 menit 12, 3 gram 18,95 liter

Pewarnaan Indigosol 25 menit 12,3 gram 14,101 liter

Tabel 2: Hasil Kinerja Proses (sumber: data primer)

3. Data Analisa Limbah Awal

Analisa air limbah awal bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan kualitas air limbah yang belum

dilakukan pengolahan dan dibandingkan dengan standar baku mutu

Parameter Pewarnaan

Naphtol

Pewarnaan

Indigosol

Cucian

Naphtol

Cucian

Indogosol

Gabungan Baku Mutu Per Gub

DIY No.7 Th. 2010

pH 6,5 4,5 6,5 6,5 5,5 6 – 9

Warna 477 127 477 108 342 -

COD 251,0 753,0 216 653 520 100

BOD 122,99 377 240,5 314 254,8 50

TDS 139 237 139 218 215 1000

TSS 488 424 324 376 488 50

Suhu 19 19 19 19 19 ± 3o C thd suhu

udara

Tabel 3. Hasil Analisa Limbah Awal (sumber: data primer)

Dari hasil analisa limbah hasil proses menunjukkan bahwa hamper seluruh parameter uji tidak memenuhi

persyaratan sesuai baku mutu peraturan Gubernur DIY No. 7 Tahun 2010 dan berpotensi terjadinya pencemaran

terhadap tanah maupun air tanah.

4. Efisiensi Penggunaan Peralatan Proses Ergonomis

Hasil perancangan alat proses setelah diaplikasikan menunjukkan data sebagai berikut :

Jenis Proses Total waktu proses

Sebelum aplikasi

Total waktu proses

Sesudah aplikasi

Efisiensi Waktu

(%)

Pewarnaan Naphtol 35 menit 15,2 menit 56,57

Pewarnaan Indigosol 25 menit 10,575 menit 57,70

Tabel 4: Efisiensi Waktu Proses (data primer)

Jenis Proses Total Limbah Cair

Sebelum aplikasi

Total Limbah Cair

Sesudah aplikasi

Efisiensi Air (%)

Pewarnaan Naphtol 18,95 liter 15,83 16,46

Pewarnaan Indigosol 14,101 liter 11,86 15,89

Tabel 5: Efisiensi Penggunaan Air (data primer)

Hasil aplikasi rancangan alat proses yang ergonomis menunjukkan bahwa terjadi efisiensi waktu rata-rata

sebesar 57,135% dan efisiensi penggunaan air sebesar 16,175%, sehingga terjadi efisiensi penggunaan energi dan

efektifitas kinerja pengrajin, dengan adanya efisiensi penggunaan air akan mengurangi limbah yang dihasilkan

sehingga mengurangi biaya pengolahan air limbah.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

114

5. Data Hasil Aplikasi Pengolahan Limbah

Hasil uji jar tes diaplikasikan menggunakan peralatan hasil rancangan menggunakan limbah pewarnaan dan

pencucian Naphtol

Kondisi proses:

Volume limbah: 15 liter, Pengadukan Cepat: 500 rpm, waktu: 1 menit, Pengadukan Lambat: 75 rpm,

waktu: 5 menit, Volume penambahan NaOH: 180 ml, Konsentrasi NaOH: 20 %, Volume penambahan Tawas: 300

ml, Konsentrasi Tawas: 5 %, Jumlah penambahan Superflok Kation 0,1 %: 120 ml

Tabel 6: hasil uji aplikasi pengolahan limbah

Parameter

Satuan Limbah Awal Limbah

Akhir

Efisiensi

(%)

Keterangan

pH - 6,5 7,0 - memenuhi baku mutu

Warna PtCo 477 34 92,87 -

COD mg/L 251,0 81,74 67,43 memenuhi baku mutu

BOD mg/L 122,99 30,37 75,31 memenuhi baku mutu

TSS mg/L 139 34 75,54 memenuhi baku mutu

TDS mg/L 488 172 64,75 memenuhi baku mutu

Suhu oC 19 18 - memenuhi baku mutu

Dari tabel 6 hasil uji aplikasi pengolahan limbah pewarnaan dan pencucian Naphtol menggunakan

peralatan hasil perancangan menunjukkan bahwa hasil seluruh parameter uji telah memenuhi baku mutu sesuai

peraturan Gubernur DIY No. 7 Tahun 2010.

6. Analisis Biaya Operasional IPAL

Analisis biaya operasional merupakan biaya yang dimbulkan dari biaya penggunaan bahan-bahan kimia

sedangkan biaya tenaga tidak diperhitungkan mengingat tidak memerlukan energi listrik.

Biaya penggunaan bahan kimia untuk setiap kali proses (15 liter limbah) sebagai berikut :

1. Soda api(NaOH) : 180 ml x 20 gram/100 ml x Rp 10.000,-/1000 gram = Rp 360,-

2. Koagulan (Al2(SO

4)

3) : 300 ml x 5 gram/100 ml x Rp 18.000/1000 gr am = Rp 270,-

3. Super flox kation : 120 ml x 0,1 gram/100 ml x Rp 80.000,-/1000 gram = Rp 9,6,-

----------------------------

Jumlah = Rp 639,6,-

7. Analisis Keuntungan Pemanfaatan Limbah Padat

Analisis keuntungan didasarkan asumsi bahwa limbah padat berupa tali pengikat dimanfaatkan untuk

diversifikasi produk, komponen biaya didasarkan atas komponen tenaga dan bahan pembantu.

1. Jumlah limbah padat setiap kali proses = 12,3 gram

2. Kebutuhan limbah padat per produk = 44,29 gram (3,6 proses)

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

115

3. Harga jual produk = Rp 35.000,-

4. Biaya = Rp 18.700,-

5. Keutungan setiap proses = (Rp 35.000,- - Rp 18.700,-) : 3,6

= Rp 4.528,-

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

1. Belum dilakukan manajemen bahan/pencatatan bahan kimia yang dipergunakan guna meminimalisir

bahan-bahan kadaluwarsa

2. Pengrajin telah menggunakan APD guna meminimalisir dampak bahan kimia terhadap pekerja

3. Belum tersedianya alat proses yang memenuhi standard ergonomis serta penggunaan air belum efisien

4. Belum termanfaatkannya limbah padat yang terbentuk untuk diversifikasi produk, untuk limbah cair

telah dilakukan pengolahan namun belum optimal

5. Hasil aplikasi rancangan alat proses yang ergonomis menunjukkan bahwa terjadi efisiensi waktu rata-

rata sebesar 57,135% dan efisiensi penggunaan air sebesar 16,175%, sehingga terjadi efisiensi

penggunaan energi dan efektifitas kinerja pengrajin, dengan adanya efisiensi penggunaan air akan

mengurangi limbah yang dihasilkan sehingga mengurangi biaya pengolahan air limbah.

6. Daur ulang limbah padat sebagai diversifikasi produk akan memberikan keuntungan signifikan dan

dapat menutup biaya pengolahan air limbah dengan keuntungan sebesar Rp 4.528,- setiap kali proses.

Rekomendasi

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam rangka meningkatkan daya saing produk, meminimalisir

dampak pencemaran serta meningkatkan ekonomi masyarakat perlu dukungan berbagai pihak.

Adapun rekomendasi kebijakan yang bisa dibuat adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah kota melalui Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta untuk melakukan pemantauan

secara rutin terhadap aktivitas pengrajin kain jumputan yang tersebar diberbagai wilayah mengingat

limbah yang dihasilkan berpotensi menimbulkan pencemaran dan melakukan pembinaan untuk

melakukan pengolahan limbah cair dan pemanfaatan limbah padat yang dihasilkan.

2. Balai Besar Batik dan Kerajinan untuk melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada pengrajin

berkaitan dengan pelurusan penggunaan nama Batik Jumputan yang lebih tepat atau sesuai

3. Pemerintah kota melalui Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) untuk melakukan

pembinaan, pendampingan serta pengembangan pemberdayaan perempuan

4. Dinas Kesehatan kota Yogyakarta untuk melakukan monitoring dan sosialisasi pentingnya melakukan

pencegahan dampak penggunaan bahan pewarna sintetik terhadap kesehatan, mengingat pengrajin

merupakan kaum perempuan yang rentan terhadap bahan-bahan karsinogenik.

Daftar Pustaka

Anonim. 1997. Perencanaan Teknik Pengelolaan Pencemaran Industri Sekala Kecil Sentra Batik DIY. Balai Besar

Penelitian dan Perkembangan Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta

Cheremisinoff N.Paul, 1995. Handbook of Water and Wastewater Treatment Technology, Marcel Dekker Inc, New

Jersey, 1995 Inc, New Jersey.

Droste, Ronald L., 1997. Theory and Practice of Water and WastewaterTreatment, John Wiley & Sons, Inc.

Freeman, H.M. Hazardous Waste Minimization. Mc. Graw Hill Publishing Co., Singapore, 1990.

Parker W. Homer, 1975. Wastewater System Engineering, Prentice-Hall Inc, New Jersey.

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

116

Pheasant, S. T., 1988. Anthropometry Ergonomics and Design. London: Taylor and Farncis.

Potter, C. et al Limbah Cair Berbagai Industri di Indonesia, Sumber, Pengendalian dan Baku Mutu EMDI-

BAPEDAL, Project of The Ministry of State for Environment, Republic of Indonesia and Dalhousie

University, Canada, Jakarta, 1994.

Prasetyo W., Bagas, 2000. Evaluasi Ergonomi dalam Desain. Surabaya: Proceeding Seminar Nasional Ergonomi,

Jurusan TI – ITS.

Riyanto, Pamungkas, W., dan Muhammad Amin Ja’far. 1997. Katalog Batik Indonesia. Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Proyek Pengembangan dan Pelayanan Teknologi Industri

Kerajinan dan Batik. Yogyakarta.

Sanders, Ms. and Mc. Cormick, Ernest J., 1992. Human Factors in Engineering and Design. New York: Mc. Graw-

Hill Book Co.

Sulaeman. 2004. Manfaat Penerapan Produksi bersih pada Industri Batik. Majalah Mitra Lingkungan. Jakarta. Edisi

September 2004.

Sulaeman. 2006. Kebutuhan Air, Enerji, Zat Warna Dan Zat Pembantu Untuk Pembuatan 1 Meter Kain Batik Dari

Mori. Balai Kerajinan dan Batik Yogyakarta.

Susanto, S.K. Sewan. 1981. Teknologi Batik Seri Soga Batik. Departemen Perindustrian R.I. Badan Penelitian Dan

Pengembangan Industri. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik.

Yogyakarta.

Sutalaksana, et al., 1979. Teknik Tata Cara Kerja. Bandung: Jurusan TI – ITB.

Sutalaksana, Iftikar Z., 2000. Duduk, Berdiri dan Ketenagakerjaan Indonesia. Surabaya: Proceedings Seminar

Nasional Ergonomi, Jurusan TI – ITS.

Tchobanoglous, George, 1991. Wastewater Engineering, Treatment, Disposal,and Reuse, 3rd edition, Metcalf &

Eddy, Inc. McGraw-Hill, Inc. New York.

Tjokrokusumo, KRT. 1995. Pengantar Konsep Teknologi Bersih. Yogyakarta: Sekolah Tinggi teknik Lingkungan

YLH.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

117

ANALISIS PENDAPATAN USAHA PERDAGANGAN INFORMAL (STUDI PADA USAHA PEDAGANG ANGKRINGAN DI KOTA YOGYAKARTA) Oleh: Dra. Salamatun Asakdiyah, M.Si., Tina Sulistiyani, SE, M.M., Deny Ismanto, SE, M.M.

ABSTRACT

This research aimed to analyze the income level of “angkringan” vendors in Danurejan, Yogyakarta. The

instrument of analysis used was Multiple Regression Analysis. Hypothesis was tested by using T test and F test. T

test was used to test the partial regression coefficients and F test was used to test the simultaneously regression

coefficients.

The result of the research showed the amount of capital, the number of working hours and the amount of labor

partially influenced the operating income of angkringan merchants in Danurejan. This result of the regression

coefficient simultaneously indicated the variable of capital, the working hours and the amount labor simultaneously

affected the income level of angkringan merchants in Danurejan, Yogyakarta. The variable from business capital,

the working hours and the amount labor used could explain 19% about the income level. The rest of the percentage

is not included in the study.

Keywords: Capital, Working hours, labor and operating income

A. Pendahuluan

Kegiatan ekonomi informal, atau yang pada umumnya lebih dikenal dengan sebutan sector informal,

mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Perkembangan dari tahun ke tahun terus mengalami

peningkatan, baik dari segi kuantitas unit usaha maupun pelakunya. Mengutip data yang berasal dari Biro Pusat

Statistik, pada tahun 1980 saja sudah terdapat 36 juta pekerja sektor informal di Indonesia. Sepuluh tahun kemudian

jumlahnya meningkat menjadi 43 juta orang atau prosentasenya 69% dari keseluruhan pekerja. Sebagai pembanding,

jumlah orang yang bekerja di sektor formal sebesar 19,5% juta orang atau hanya 31% dari total keseluruhan pekerja

di Indonesia (Santayani, 1996:6).

Menonjolnya peranan perdaganagn informal terutama ditunjang oleh kontribusi kegiatan usaha

perdagangan eceran. Diantara bermacam-macam bentuk usaha perdagangan eceran berskala kecil, usaha pedagang

angkringan merupakan jenis usaha yang memiliki posisi dan fungsi yang penting dalam melayani kebutuhan

makanan dan minuman sehari-hari masyarakat sekitar. Hasil studi Soeratno (2000) menunjukan bahwa usaha

pedagang angkringan termasuk golongan pedagang kaki lima dan sebagaian besar pedagang angkringan di kota

Yogyakarta berusia produktif. Selain itu, hasil studi Marfai (2005) menunjukan bahwa usaha pedagang angkringan

merupakan salah satu usaha yang tidak memerlukan modal yang besar tetapi mampu berkembang dengan baik,

sehingga masyarakat kelas bawah dapat membuka usaha angkringan tersebut (Santoso, 2006). Oleh karena itu,

usaha pedagang angkringan memiliki urgensi untuk diteliti lebih dalam, karena usaha pedagang angkringan

merupakan salah satu alternative yang rasional dapat diandalkan sebagai sarana usaha untuk betahan hidup.

Masalahnya adalah bagaimana agar para pelaku ekonomi informal khususnya usaha pedagang angkringan dapat

memperoleh pendapatan yang dapat menopang kehidupan social ekonominya. Oleh karena itu diperlukan informasi

mengenai faktor-faktor yang menentukan tingkat pendapatan pelaku usaha ekonomi informal khususnya usaha

pedagang angkringan di Kota Yogyakarta.

B. Tinjauan Pustaka

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Perdagangan Informal

Tingkat pendapatan usaha perdagangan informal dipengaruhi oleh banyak faktor. Identifikasi faktor-faktor

dimaksud dapat diketahui melalui wacana hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Dari

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

118

beberapa temuan lapangan menunjukkan bahwa ternyata tidak terdapat keseragaman tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat pendapatan usaha perdagangan informal. Masing-masing hasil penelitian menunjukkan

adanya nuansa perbedaan. Hal ini dimungkinkan akibat sangat bervariasinya unit-unit usaha perdagangan informal

dengan spesifikasi yang berbeda-beda.

Beberapa faktor yang secara akademik melalui kajian riset terbukti berpengaruh terhadap tingkat

pendapatan usaha perdagangan informal dapat dipaparkan sebagai berikut:

a. Modal

Modal merupakan motor penggerak dari suatu usaha kegiatan ekonomi. Faktor ini berkaitan

langsung dengan tingkat pendapatan. Modal yang relatif lebih besar akan memungkinkan suatu unit

kegiatan ekonomi menambah variasi mata dagangan. Dengan cara ini berarti pula makin memungkinkan

diraihnya pendapatan yang lebih besar. Faktor ini berhasil ditemukan antara lain melalui penelitian-

penelitian dari Tjiptoroso (1993). M. Ilham Jafar (1994), dan Santayani (1996). Penelitian Tjiptoroso

dilakukan terhadap pedagang kaki lima di Jakarta Selatan. Sedangkan Jafar meneliti wanita pelaku usaha

informal di Kotamadya Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Responden penelitian Santayani adalah pedagang kaki

lima yang menjajakan makanan dan minuman di Kotamadya Yogyakarta.

b. Jam Kerja

Lamanya waktu operasi usaha perdagangan informal memiliki hubungan langsung dengan tingkat

pendapatan. Jam kerja yang panjang akan memberi kesempatan meraih omzet yang relatif lebih besar. Hal

ini juga berarti makin meningkatkan pendapatan usaha. Penelitian Jafar (1994) dan Tjiptoroso (1996) telah

membuktikan hal tersebut.

c. Jumlah Tenaga Kerja

Hidyat (1978:426) mengemukakan bahwa pada umumnya unit kegiatan ekonomi informal

merupakanuni tusaha yang bentuknya “one man enterprses” dan kalaupun menggunakan tenaga kerja

biasanya berasal drai keluarga. Hasil studi Santayani (1996) dan Syahruddin (1987) membuktikan bahwa

penggunaan tenaga kerja oleh usaha perdagangan infomral mempengaruhi tingkat pendapatannya. Dengan

tambahan jumlah tenaga kerja memungkinkan adanya pelayanan yagn lebih baik dalam arti kualitas

maupun kuantitas layanan.

C. Metode Penelitian

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah usaha perdagangan informal yang berbentuk usaha pedagang

angkringan di Kota Yogyakarta. Responden penelitian ditentukan dengan metode purposive sampling.

Sampel diambil berdasarkan pertimbangan tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu (Cooper dan

Emory, 1995 ; Babbie, 1995). Penentuan sampel didasarkan kriteria sebagai berikut:

a. Usaha pedagang angkringan yang beroperasi dipinggir jalan raya.

b. Metode operasinya menetap atau tidak berpindah-pindah

c. Jenis mata perdagangannya, yaitu makanan dan minuman.

Jumlah responden ditetapkan minimal berjumlah 100 orang. Penelitian ini direncanakan dilaksanakan di

Kecamatan Danurejan di Kota Yogyakarta. Lokasi ini dipilih karena merupakan salah satu wilayah Kota Yogyakarta

yang cukup menonjol fenomena unit kegiatan ekonomi informalnya terutama usaha pedagang angkringan yang

mendukung kegiatan formal masyarakat sekitarnya.

Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer maupun data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui

wawancara langsung dengan pelaku usaha dan kuisioner. Data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

119

dengan menggali informasi dari buku, jurnal ilmiah, maupun publikasi hasil-hasil penelitian. Data sekunder ini

digunakan untuk menyususn rumusan masalah, hipotesis, landasan teoritik, dan pemilahan alat analisis.

Metode Analisis

Metode analisis statistik digunakan untuk melakukan pembuktian hipotesis penelitian. Pengujian hipotesis

dilakukan guna membuktikan adanya pengaruh dari modal, jumlah tenaga kerja, dan jam kerja terhadap tingkat

pendapatan usaha pedagang angkringan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan model Regresi Berganda.

Untuk menguji hipotesis yang dikemukakan, maka digunakan uji t dan uji F. Uji t dimaksudkan untuk

mengetahui variabel bebas yang berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas (terikat) secara

individual. Sedangkan uji F digunakan untuk mengetahui apakah secara bersama-sama variabel-variabel bebas

tersebut dapat menjelaskan variabel terikat. (Sumodiningrat, 1995)

D. Hasil Penelitian

Karakteristik Responden

1. Umur Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan dengan kelompok

umur di bawah 29 tahun sebanyak 5%, kelompok umur diatas 29 – 39 tahun sebanyak 32%, kelompok umur diatas

39 – 49 tahun sebanyak 44%, kelompok umur diatas 49 tahun – 59 tahun sebanyak 10% dan kelompok umur diatas

59 tahun sebanyak 9%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan paling

besar persentasenya pada kelompok umur di atas 39 – 49 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar

responden termasuk usia produktif.

2. Asal Daerah

Hasil penelitian mengatakan bahwa pedagang angkringan yang dijadikan sebanyak penelitian di Kecamatan

Danurejan 30% berasal dari Kota Yogyakarta, 25% berasal dari Gunung Kidul, 20% berasal dari luar Daerah

Istimewa Yogyakarta, 12% berasal dari Bantul, 8% berasal dari Sleman dan 5% berasal dari Kulonprogo. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa hanya 30% berasal dari Kota Yogyakarta dan 70% berasal dari luar Kota

Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta merupakan entitas ekonomi untuk menghasilkan

pendapatan bagi masyarakat yang berasal dari luar Kota Yogyakarta.

Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 70% pedagang angkringan yang berasal dari luar kota

Yogyakarta maka 60% nya sudah menetap di Kota Yogyakarta, sehingga sudahmempunyai Kartu Tanda Pendukuk

(KTP) di Kota Yogyakarta. Dengan demikian 40% dari pedagang angkringan yang berasal dari luar Kota

Yogyakarta belum memiliki KTP di Kota Yogyakarta. Hal ini disebabkan antara lain : belum mempunyai tempat

tinggal sendiri di Kota Yogyakarta sehingga saat ini masih menyewa tempat tinggal atau menyewa kamar kontrakan.

Selain itu, sebagian pedagang angkringan masih bertempat tinggal di rumah saudara yang berada di Kota

Yogyakarta serta hidup terpisah dengan keluarga yang masih berada di luar Kota Yogyakarta.

3. Perolehan Barang Dagangan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara perolehan barang daangan yang berbentuk makanan 95% berasal

dari titipan pedagang lain dan 5% memasak sendiri (olahan sendiri).

Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa cara perolehan barang dagangan yang berbentuk minuman

65% berasal dari olahan sendiri dan 35% berasal dari minuman instant seperti milo, coffe mix, nutri sari dan lain-

lain.

4. Kebersihan Alat Makan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pedagang angkringan dalam membersihkan alat-alat makan

seperti piring, gelas dan sendok makan di warung angkringan Kecamatan Danurejan sebagian besar hanya

menggunakan air yang ditempatkan di dalam ember dan belum menggunakan air yang mengalir. Dengan demikian,

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

120

dari faktor kesehatan belum memenuhi syarat, sehingga penggunaan alat-alat makan diwarung angkringan belum

terjamin kebersihannya.

5. Tampilan Angkringan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tampilan angkringan di Kecamatan Danurejan sebagian besar masih

bersifat sederhana, sehingga perlu diupayakan unutk mengembangkan tampilan angkringan yang lebih modern dan

menarik. Hal ini membutuhkan pemikiran yang lebih kreatif guna meningkatkan kenyamanan pelanggan dalam

membeli makanan dan minuman di warung angkringan.

6. Lokasi Usaha

Dalam memasarkan barang dan jasa lokasi usaha mempunyai peran penting dalam rangka meningaktkan

penjualan, sehingga lokasi usaha yagn strategis akan meningkatkan pendapatan usaha pedagang. Berman dan Evans

(2002) mengemukakan bahwa keunggulan daya saing sebuah ritel ditentukan oleh lokasi, bahkan apabila strategi

yang digunakan oleh ritel tersebut biasa saja, asalkan lokasinya berada di daerah yang tepat maka ritel itu akan

mendapatkan keuntungan yang maksimal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan berada di lokasi yang

tepat dan strategis karena berada di pusat perkotaan dan berada di lingkungan Malioboro. Selain itu, pedagang

angkringan di Kecamatan Danurejan berada di pusat pertokoan dan pusat bisnis di Kota Yogyakarta, sehingga

mempunyai peluang untuk mengembangkan usahanya serta meningkatkan pendapatan usahanya. Namun demikian,

pedagang angkringan yang berada di Kecamatan Danurejan perlu penataan dan pengaturan lokasi yang lebih

terencana dari Pemerintah Kota Yogyakarta, sehingga tidak menggangu fasilits umum dan dapat dikelola serta

dioperasikan secara mandiri.

7. Analisis Variabel

Pendapatan usaha pedagang angkringan dapat dianalisis melalu beberapa variabel analisis yang terdiri dari

variabel bebas dan variabel terikat. Penelitian ini menggunakan pendapatan usaha angkringan sebagai variabel

terikat. Sedangkan jumlah modal usaha, jumlah jam kerja dan jumlah tenaga kerja sebagai variabel bebas.

Hasil perhitungan variabel analisis dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Tingkat Pendapatan Pedagang Angkringan

Hasil penelitian dari 100 responden pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan menghasilkan

pendapatan rata-rata perbulan sebesar Rp. 2.989.000,- atau sebesar Rp. 747.250,- per-minggu. Hal in

iberarti rata-rata pendapatan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan rata-rata sebesar Rp.

99.633,33 per-hari.

2. Jumlah Modal Usaha

Jumlah modal usaha yang digunakan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan merupakan

jumlah uang yang digunakan untuk mengusahakan warung angkringan. Hasil penelitian menunjukkan

rata-rata modal usaha yang digunakan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan sebesar Rp.

726.750,-. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata jumlah uang yang digunakan untuk mengusahakan

warung angkirngan di Kecamatan Danurejan rata-rata sebesar Rp. 726.750,-

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber modal usaha pedagang angkringan di Kecamatan

Danurejan berasal dari tabungan pribadi, suplier barang dagangan, pinjaman keluarga, Kredit Usaha

Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia, bantuan hibah modal usaha dan bantuan modal usaha KUBE

(Kelompok Usaha Bersama) dari Pemerintah Kota Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini

Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai komitmen dan dukungna terhadap pedagang angkringan di

Kecamatan Danurejan dalam bentuk pemberitan bantuan modal usaha guna meningkatkan pendapatan

usaha pedagang angkringan sehingga akan meningkatkan kesejahteraan pedagang angkringan di

Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

121

Namun demikian, bentuk komitmen dan dukungan bantuan modal uaha Pemerintah Kota Yogyakarta

perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitas bantuan. Kualitas bantuan modal usaha dapat

dilakukan dengan cara melakukan monitoring dan evaluasi secara kontinue kepada pedagang

angkringan yang mendapat bantuan sehingga efektifitas bantuan modal akan tercapai.

3. Jumlah Jam Kerja

Jumlah jam kerja dihitung berdasarkan lamanya waktu yang digunakan untuk menjalankan usaha. Jam

kerja dimulai segala persiapan sampai warung angkringan ditutup. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa rata-rata jam kerja yang dijalankan oleh pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan rata-rata

selama 62 jam per-minggu. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata jam kerja pedagang angkringan di

Kecamatan Danurejan rata-rata selama 8,86 jam per-hari.

4. Jumlah Tenaga Kerja

Jumlah tenaga kerja yang digunakan warung angkringan merupakan banyaknya tenaga kerja yang

dipekerjakan untuk mengoperasikan usaha warung angkringan. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata

jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh warung pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan

rata-rata berjumlah 2 orang. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya tenaga kerja yang digunakan

untuk mengoperasikan usaha warung angkringan di Kecamatan Danurejan rata-rata berjumlah 2 orang.

Dalam penelitian ini tidak dibedakan antara pekerja upahan dengan pekerja keluarga.

8. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Warung Angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta

Fakto-faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha warung angkringan di Kecamatan Danureja dapat

dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Dalam analisis regresi berganda jumlah modal

usaha (𝑥1), jumlah jam kerja (𝑥2), dan jumlah tenaga kerja (𝑥3). Sedangkan tingkat pendapatan usaha warung

angkringan (pedagang angkringan) sebagai variabel terikat (y).

Hasil analisis regresi linier berganda dapat disajikan melalui tabel sebagai berikut :

Tabel Hasil Analisis Regresi Berganda

Variabel Koefisien Nilai t Probabilitas

Konstanta Jumlah modal usaha Jumlah jam kerja Jumlah tenaga kerja

1.041.363,44 0,47

16.537,14 331.540,97

2,023 2,102 2,409 2,690

0,046 0,038 0,018 0,008

R = 0,436 ; R2 = 19 % ; Fhitung = 7,510 ; Sig.F = 0,000

Sumber: Data Primer, Diolah

Berdasarkan tabel tersebut diatas, model regresi linier berganda dapat dirumuskan sebagai berikut :

𝑦 = 1.041.363,44 + 0,47 𝑥1 + 16.537,14 𝑥2 + 331.540,97 𝑥3

Berdasarkan model regresi linier berganda tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa besarnya konstanta

(intersep) menunjukkan angka 1.041.363,44. Hal ini berarti rata-rata tingkat pendapata pedagang angkringan akan

mengalami kenaikan sebesar Rp. 1.041.363,44. Apabila variabel jumlah modal usaha, jumlah jam kerja dan jumlah

tenaga kerja sama dengan nol (jika variabel-variabel tersebut tidak dimasukkan dalam model persamaan regresi ini).

Koefisien regresi variabel modal usaha sebesar 0,47 menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan variabel

modal usaha sebesar Rp. 1,00 ceteris paribus, maka akan menaikkan tingkat pendapatan pedagang angkringan

sebesar Rp. 0,47. Koefisien regresi variabel jumlah jam kerja sebesar 16.537,14 menunjukkan apabila terjadi

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

122

kenaikan variabel jam kerja selama 1 jam ceteris paribus, maka akan menaikan tingkat pendapatan pedagang

angkringan sebesar Rp. 16.537,14.

Koefisien regresi variabel jumlah tenaga kerja sebesar 331.540,97 menunjukkan bahwa apabila terjadi

kenaikan variabel jumlah tenaga kerja 1 orang ceteris paribus, maka akan menaikkan tingkat pendapatan pedagang

angkringan sebesar Rp. 331.540,97.

Hasil pengujian koefisien regresi dengan 𝛼 = 5% dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Hasil Pengujian Koefisien Regresi secara Parsial

Hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa variabel jumlah modal usaha, jumlah jam kerja

dan jumlah tenaga kerja berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pendapat usaha pedagang warung

angkringan.

2. Hasil Pengujian Koefisien Regresi secara serempak

Hasil perhitungan uji F dengan 𝛼 = 5% menunjukkan signifikansi F = 0,000 dengan p < 0,05. Hal ini

berarti variabel-vraiabel bebas secara serempak signifikan mempengaruhi variabel terikat. Dengan

demikian variabel jumlah modal usaha, variabel jumlah jam kerja dan variabel jumlah tenaga kerja

secara serempak signifikan mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang angkringan. Hasil pengujian

mendukung hipotesis yang dikemukakan.

3. Koefisien Determinasi (R2)

Nilai R2 sebesar 19 % menunjukkan bahwa variabel jumlah modal usaha, variabel jumlah jam kerja,

dan variabel jumlah tenaga kerja dapat menjelaskan variabel tingkat pendapatan pedagang angkringan

sebesar 19%. Sedangkan sisanya sebesar 81% dapat dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak

dimasukkan dalam model penelitian.

E. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta

sebagian besar termasuk usia produktif.

2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta merupakan entitas ekonomi untuk menghasilkan

pendapatan usaha pedagang angkringan bagi masyarakat yang berasal dari luar Kota Yogyakarta.

3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara perolehan barang dagangan pedagang angkringan di Kecamatan

Danurejan Kota Yogyakarta sebagian besar berasal dari titipan suplier.

4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan dalam membersihkan

alat-alat makan belum menggunakan air yang mengalir, sehingga penggunaan alat-alat makan di Warung

Angkringan belum terjamin kebersihannya.

5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tampilan angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta

sebagian besar masih bersifat sederhana

6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta

berada di lokasi yang tepat dan strategis karena berada di pusat perkotaan dan pertokoan yang berada dekat

dengan lingkungan bisnis Malioboro.

7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendapatan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan

dipengaruhi oleh faktor jumlah modal usaha, jumlah yang kerja dan jumlah tenaga kerja. Masing-maisng

dari faktor tersebut memiliki derajat pengaruh yang berbeda. Faktor-faktor tenaga kerja mempunyai

pengaruh yang paling besar terhadap tingkat pendapatan pedagang angkringan.

8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa kendala yang dihadapi pedagang angkringan di Kecamatan

Danurejan antara lain keterbatasan jumlah modal usaha, ketidakteraturan jam kerja, keterbatasan jumlah

tenaga kerja dan masih kurangnya kemampuan manajerial dalam berwirausaha.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

123

9. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendapatan yang diperoleh pedagang angkringan di

Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta sebesar Rp. 2.989.000,00 per-bulan.

10. Hasil pengujian koefisien regresi secara parsial menunjukkan bahwa variabel jumlah modal usaha, jumlah

jam kerja dan jumlah tenaga kerja signifikan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan pedagang

angkringan di Kecamatan Danurejan.

11. Hasil pengujian koefisien regresi secara serempak menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas yang

meliputi jumlah modal usaha, jumlah jam kerja dan jumlah tenaga kerja secara serempak berpengaruh

terhadap tingkat pendapatan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.

12. Hasil pengujian koefisien determinasi (R2) menunjukkan bahwa variabel jumlah modal usaha, jumlahjam

kerja, dan jumlah tenaga kerja mampu menjelaskan tingkat pendapatan pedagang angkringan sebesar 19%.

Sedangkan sisanya sebesar 81% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak timasukkan dalam modal

penelitian.

Rekomendasi

1. Saat ini Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta telah memberikan

bantuan modal usaha kepada pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta. Namun

demikian, komitmen dan dukungan bantuan modal usaha Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan

Pertanian Kota Yogyakarta perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitas bantuannya. Kualitas

bantuan modal usaha dapat dilakukan dengan cara melakukan monitoring dan evaluasi secara kontinue

kepada pedagang angkringan yang mendapat bantuan, sehingga efektifitas bantuan modal usaha akan

tercapai guna meningkatkan kesejahteraan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan.

2. Besarnya jumlah tenaga kerja mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap tingkat pendapatan

pedagang angkringan sehingga perlu diupayakan untuk menambah tenaga kerja. Penambahan jumlah

tenaga kerja akan meningkatkan kualitas pelayanan. Peningkatan kualitas pelayanan akan meningkatkan

kepuasan pelanggan. Dengan demikian, peningkatan kepuasan pelanggan akan meningkatkan pendapatan

pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.

3. Kemampuan manajerial dalam berwirausaha pedagang angkringan perlu ditingkatkan. Oleh karena itu,

perlu adanya pendampingan dan pelatihan kemampuan manajerial dari Dinas Perindustrian Perdagangan

Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta. Peningkatan kemampuan manajerial pedagang angkringan akan

meningkatkan kompetensi dan profesionalisme dalam berwirausaha sehingga akan meningkatkan

peningkatan pendapatan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.

4. Untuk menjaga kebersihan barang dagangan dan fasilitas di warung angkringan perlu dilakukan sosialisasi,

pendampingan serta penyuluhan kesehatan dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, sehingga pelanggan

yang membeli makanan dan minuman di warung angkringan akan terjamin tingkat kebersihan dan

kesehatannya.

5. Pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta perlu mengembangkan tampilan

angkringan yang lebih modern dan menarik. Oleh karena itu, perlu pendampingan dari Dinas Perindustrian

Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta guna pengembangan kreatifitas dan inovatif

tampilan angkringan sehingga meningkatkan kenyamanan pelanggan dalam membeli makanan dan

minuman di warung angkringan.

6. Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta bekerjasama dengan pemerintah

Kecamatan Danurejan untuk menataulang lokasi pedagang angkringan yang terencana di Jl. Suryatmajan

dan Jl. Perwakilan. Kedua jalan ini merupakan lokasi strategis yang berada di pusat perkotaan dan

pertokoan. Disarankan kepada pedagang angkringan yang berada di trotoar sebaiknya memberikan space

untuk pengguna jalan sehingga tidak menggangu fasilitas umum.

7. Untuk penelitian lanjutan perlu digali lebih mendalam faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap

pendapatan usaha pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta seperti faktor lokasi

usaha dan lama usaha yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha (setyawan, 2007: Setyawan dan

Fatchurrohman, 2005).

JURNAL PENELITIAN VOL. 11

124

Daftar Pustaka

Arjana, IG.B. (1997), Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga. Disertasi

Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta (tidak dipublikasikan).

Asakdiyah, S. (1992), Peranan Sektor Informal dalam Sistem Distribusi Produk, Yogyakarta : kantor Kopertis

Wilayah V.

__________ , et al (1995) Analisis Hubungan antar Sektor Formal dengan Sektor Informal. Yogyakarta : kantor

Kopertis Wilayah V.

Babbie, E. (1995) The Practice of Social Research, 7 th. Ed. Belmonth: Wadsworth Publishing Company.

Bromley, R. (1985) “Organisasi, Peraturan, dan Pengusahaan Sektor Informal di Kota: pedagang Kaki Lima di Cali,

Colombia”, dalam C. Manning dan T.N. Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor di Kota.

Jakarta : Gramedia.

Cooper, D.R. dan C.W. Emory (1995) Business Research Methodes, 5 th. ed. Chicago: Irwin.

Effendi, T.N. (1995) Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja, dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Evers, H.D. (1991) “Ekonomi Bayangan, Produksi Subsistens dan Sektor Informal”, Prisma, No. 5, Mei, h.21-30.

Forbes, D. (1985) “Penjaja di Ujung Pandang”, dalam C. Manning dan T.N. Effendi (ed.), Urbanisasi,

Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Gramedia.

Gujarati, D. (1995) Ekonometrika Dasar, a.b. Sumarno Zain, Jakarta: Erlangga.

Hidayat (1978) “ Peranan Sektor Informal dalam Perekonomian Indonesia”, Ekonomi dan Keuangan Indonesia,

No. 4, desember, h. 415-445.

__________ (1998), “Peranan dan Fungsi Pedagang Pengusaha Kecil dalam Perekonomian Kota”, Widya Pura,

No. 6, Th. III, h.11-17.

__________ (1987), “Peranan dan Profil serta Prospek Perdagangan Eceran”, Prisma, No. 7, Th. XVI, Juli, h. 3-18.

__________ (1998), “Pembinaan Sektor Informal dan Keterkaitannya dengan Sektor Formal: Sub Sektor

Perdagangan Eceran”, Makalah Diskusi Pembinaan Sektor Informal, Yogyakarta, 23 Desember.

Hugo, G.J. (1985), “Partisipasi Kaum Migran dalam Ekonomi Kota di Jawa Barat”, dalam C. Manning dan T.N.

effendi (ed), Urbanisasi Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Gramedia.

Rachbini, D. dan A. Hamid (1994), Ekonomi Informal Perkotaan, Jakarta: LP3ES.

Robert, B.R. (1989), “Employment Structure, Life Circle, and Life Chanches: Formal and Informal Sectors in

Guadalajara”, dalam A. Portes, et al, (eds.), The Informal Economy: Studies In Advanced and Less

Developed Countries. Baltimore : The John Hopkins University Press.

Santayani, (1996), Peranan Pendidikan dan Pengalaman Berusaha Pada Sektor Informal: Studi Kasus PKL

Makanan dan Minuman di Kotamadya Yogyakarta. Skripsi Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta (tidak

dipublikasikan).

Santoso, S. (2006), Kemampuan Bertahan Pedagang Warung HIK di Kota Ponorogo, Jurnal Penelitian

Humaniora, Vol. 7, No. 2, hal. 188-201.

Sethuraman, S.V. (1981), The Urban Informal Sector in Developing Countries, Geneva : ILO.

Sigit, H. (1989), “Transformasi Tenaga Kerja di Indonesia Selama Pelita”, Prisma, No. 5, Th. XVIII, h.3-14.

JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015

125

Sinungan, J.A. (1987), “Kelemahan dan Kekuatan Retail Business”, Prisma, No. 7, Th. XVI, Juli, h. 19-22.

Soeratno (2000), Analisis Sektor Informal: Studi Kasus Pedagang Angkringan di Gondokusuman Yogyakarta,

Jurnal Optimum, Vol. 1, No. 1, September.

Sumodiningrat, G. (19950, Ekonometrika Pengantar, Yogyakarta: Erlangga.

Swasono, S.E., et al. (1987), Pengembangan Sektor Informal, Padang: PSK Universitas Andalas.