tim redaksi · strategi pengelolaan kegiatan pkk dalam ... pengembangan usaha industri tahu...
TRANSCRIPT
TIM REDAKSI
Penanggung Jawab : Ir. Edy Muhammad
Ketua : Drs. H. A.Charris Zubair, M.A.
RM. Donny S. Megananda, S.Si, M.B.A.
Pemimpin Redaksi : Ir. Eka Arnawati, M.T., M.T.P.
Sekretaris : Teguh Setiawan, S.T., M.Eng., M.Sc.
Redaktur Pelaksana : Ike Janita Dewi, S.E., M.B.A., Ph.D.
Ir. Suparwoko, MURP, Ph.D.
Dra. Sri Adiyanti
Affrio Sunarno, S.Sos.
Pamungkas, S.T., M.T.
Maria Herdwi Widyaningsih, S.T.
Tataletak dan Perwajahan : Budhi Santoso, S.T.
Purwanta
PEMERINTAH KOTA
YOGYAKARTA
KANTOR BAPPEDA
Kompleks Balaikota Timoho
Jl. Kenari No. 56 Yogyakarta 55156
Tlp. (0274) 515 207
Fax. (0274) 55 44 32
Email:
Website:
www.jogjakota.go.id
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
2
DAFTAR ISI
BUDIDAYA JAMUR MENGGUNAKAN KUMBUNG OTOMATIS UNTUK INDUSTRI RUMAH TANGGA
SEBAGAI KETAHANAN EKONOMI WILAYAH DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT
Oleh: Cyrilla Indri Parwati & Maulana Subhan .......................................................................................................... 4
MODEL PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEMANDIRIAN USAHA
(SURVEY PADA USAHA JAJANAN KOTA YOGYAKARTA)
Oleh: Mudasetia & Evi Rosalina Widyayanti ............................................................................................................. 13
E-MUSEUM SEBAGAI MEDIA MEMPERKENALKAN CAGAR BUDAYA DI KALANGAN MASYARAKAT
Oleh: Suraya & Muhammad Sholeh ........................................................................................................................... 24
STRATEGI PENGELOLAAN KEGIATAN PKK DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT SEJAHTERA
BERBASIS MASYARAKAT WILAYAH RW DI KECAMATAN KRATON DAN GONDOMANAN KOTA
YOGYAKARTA
Oleh: Ir. Rini Dorojati, M.S., Rr. Leslie Retno Angeningsih M.Sc., Ph.D., Dra. Nuraini Dwi Astuti, M.P. ............... 33
RANCANG BANGUN DAPUR PELEBUR ALUMINIUM BERBAHAN BAKAR PADAT YANG LEBIH
HEMAT ENERGI DAN LEBIH RAMAH LINGKUNGAN
Oleh: Joko Winarno .................................................................................................................................................... 41
MODEL PENGEMBANGAN SOCIO-PERFORMANCE LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) KELOMPOK
USAHA BERSAMA (KUBE) SEBAGAI USAHA PENINGKATAN KUALITAS EKONOMI DAN SOSIAL
MASYARAKAT DI KOTA YOGYAKARTA
Oleh: Dewi Kusuma Wardani, Sri Hermuningsih ..................................................................................................... 49
OPTIMALISASI DAN PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN ENERGI LISTRIK DALAM INDUSTRI
RUMAH TANGGA
Oleh: Ir. Wiwik Handajadi, M.Eng. & Beny Firman, S.T., M.Eng. ........................................................................... 58
MODEL MANAJEMEN STRATEGIK BERBASIS BALANCED SCORECARD SEKOLAH MENENGAH
KEJURUAN (SMK) KOTA YOGYAKARTA
Oleh: Dra. Suci Utami Wikaningtyas, MM, Dra. Sulastiningsih, MSi., Drs. Achmad Tjahjono, MM, Ak. ................ 67
PENINGKATAN NILAI EKONOMIS LIMBAH KULIT UDANG MENJADI KITOSAN DENGAN
GELOMBANG ULTRASONIK UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT
Oleh: Ani Purwanti, S.T., M.Eng. & Sri Rahayu Gusmarwani, S.T., M.T. ................................................................. 77
KAMPUNG WISATA ONLINE BERBASIS SIG SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PARTISIPASI
WARGA DALAM MENGELOLA DAN MEMPROMOSIKAN PARIWISATA KOTA YOGYAKARTA
Oleh: Drs. Tedy Setiadi, M.T. & Herman Yuliansyah, S.T.,M.Eng ............................................................................. 85
PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI TAHU BERBASIS KOMUNITAS DI BANTARAN SUNGAI
WINONGO KELURAHAN WIROBRAJAN KECAMATAN WIROBRAJAN YOGYAKARTA
Oleh: Suharyanto, Hastowiyono, Muhammad Barori ................................................................................................. 92
PERAN ASRAMA MAHASISWA DALAM MEMBANGUN INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT DALAM
RANGKA TERWUJUDNYA KUALITAS MASYARAKAT YOGYAKARTA YANG HARMONIS
Oleh: Fadjarini Sulistyowati & Tri Agus Susanto .................................................................................................... 100
TATA KELOLA PROSES DAN PENGELOLAAN LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK JUMPUTAN
KAMPUNG CELEBAN YOGYAKARTA SEBAGAI UPAYA EFISIENSI DAN PENINGKATAN DAYA SAING
PRODUK
Oleh: Purnawan ........................................................................................................................................................ 108
ANALISIS PENDAPATAN USAHA PERDAGANGAN INFORMAL (STUDI PADA USAHA PEDAGANG
ANGKRINGAN DI KOTA YOGYAKARTA)
Oleh: Dra. Salamatun Asakdiyah, M.Si., Tina Sulistiyani, SE, M.M., Deny Ismanto, SE, M.M. .............................. 117
SALAM REDAKSI
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Tema penelitian dalam Jurnal Penelitian Volume 11 kali ini adalah “Peningkatan daya saing dan ketahanan
ekonomi wilayah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat”. Hasil penelitian diharapkan dapat
memberikan manfaat dan tambahan wawasan baik bagi pemerintah maupun masyarakat yang tertarik akan hasil
penelitian ini.
Jurnal Penelitian ini merupakan sarana pemberian informasi dan komunikasi yang dibentuk oleh Bappeda Kota
Yogyakarta dalam wadah jaringan penelitian di Kota Yogyakarta.
Dengan terbitnya Jurnal Penelitian ini diharapkan para pembaca dapat ikut serta dalam penelitian-penelitian
selanjutnya yang diselenggarakan setiap tahunnya oleh Jaringan Penelitian (Jarlit) Kota Yogyakarta, akhirnya
semoga hasil penelitian ini dapat lebih bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Redaksi
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
4
BUDIDAYA JAMUR MENGGUNAKAN KUMBUNG OTOMATIS UNTUK INDUSTRI RUMAH TANGGA SEBAGAI KETAHANAN EKONOMI WILAYAH DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Oleh: Cyrilla Indri Parwati & Maulana Subhan
ABSTRACT
Improving the welfare of society, especially among households is very important. One way of improving the welfare
is by mushroom cultivation. Mushroom cultivation does not require a large space and is not costly. This research
uses the “kumbung” that can work automatically in controlling the temperature and humidity needed by the fungus
to keep blooming and growing. Based on the research, the mushroom’s growing environment is about 30.34ºC
temperatures and 81.49% humidity. Mushroom yields obtained from the automatic kumbung with dimensions
120cm200cm50cm (highlongwide) with 3 shelves of growing media can reach about 10-12 kg of mushroom for
each harvest period ( 10-12 days), and for 3 times of harvest period in a month, then 1 automatic kumbung with a
size above is able to provide results from Rp 750.000 to Rp 900.000 per month if the price of the edible mushroom in
Yogyakarta is around Rp 25.000/kg and the value of BEP (Break Even Point) is Rp. 10.343.574,13 or 11.5 months
of pay-back period.
Keywords: cultivation, mushroom, automatic kumbung, BEP.
A. Pendahuluan
Peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya di kalangan rumah tangga sangat penting dilakukan.
Salah satu cara peningkatan kesejahteraan tersebut dengan berbudidaya jamur salah satunya jamur merang.
Budidaya jamur merang dapat memberikan lebih banyak kesempatan usaha dalam upaya peningkatan ekonomi
masyarakat, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat secara umum (Hagutami,
2001).
Selain dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, budidaya jamur merang juga
mempunyai nilai gizi yang tinggi, mineral yang terkandung dalam jamur merang lebih tinggi dibandingkan dengan
yang terkandung dalam daging sapi dan domba. Kandungan protein jamur merang lebih tinggi dibandingkan dengan
kandungan protein pada tumbuhan lain secara umum (Gengers, 1982).
Selama ini sistem budidaya jamur dilakukan dengan memanfaatkan kumbung yang kapasitasnya besar,
sehingga tidak efektif bila dilakukan di lingkungan perkotaan yang lahannya sempit. Konsep pemakaian
kumbungpun kurang sesuai jika tanpa memperhatikan suhu dan kelembabannya karena adanya pengaruh lingkungan
luar kumbung yang nilai adiabatisnya sangat kurang, sehingga akan mengakibatkan kegagalan dalam panen.
Untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam budidaya jamur merang ini dilakukan penelitian untuk
membuat suatu pengkondisian suhu dan kelembaban kumbung jamur secara otomatis, sehingga dapat meningkatkan
produksi. Pada penelitian ini digunakan jamur merang, dengan sistem pembuatan kumbung jamur merang secara
otomatis yang memperhatikan kondisi suhu (temperatur) dan kelembaban relatif (relative humidity) akan menunjang
tumbuhnya jamur merang dengan baik sehingga akan memperoleh hasil yang optimal.
Selain itu dengan adanya kumbung otomatis budidaya jamur merang tidak membutuhkan lahan yang luas
serta tidak membutuhkan modal yang besar dan jika memahami prosedur pemeliharaan maka tingkat kegagalannya
relatif kecil. Dengan usia panen rata–rata 2 minggu semenjak tanam dan pemeliharaan yang optimal akan cepat
menghasilkan keuntungan.
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang dan membuat teknologi kumbung otomatis dengan
mempertimbangkan perubahan suhu dan kelembaban sehingga dapat digunakan dalam lingkungan yang tidak
memerlukan lahan yang luas. Mengetahui unjuk kerja kumbung otomatis budidaya jamur merang dan kelayakan alat
kumbung otomatis berdasarkan BEP (Break Even Point).
Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan bagi masyarakat awam mengenal adanya rekayasa teknologi
berupa kumbung jamur merang otomatis yang dapat memberikan solusi untuk kesejahteraan masyarakat dan
memberikan gambaran secara nyata tentang budidaya jamur merang menggunakan kumbung otomatis untuk lahan
yang terbatas serta mengetahui nilai kelayakan kumbung otomatis berdasarkan nilai BEP (Break Even Point).
C. Tinjauan Pustaka
1. Budidaya Jamur Merang
Kebutuhan dan kesadaran masyarakat terhadap bahan makanan bergizi semakin meningkat, yang
disebabkan oleh membaiknya pemahaman masyarakat tentang makanan bergizi bagi kesehatan. Kondisi ini
ditunjang pula dengan meningkatnya daya beli masyarakat terhadap suatu produk pertanian seperti jamur merang
(Volvariella volvaceae), selain itu ditambahkan bahwa mineral yang terkandung dalam jamur merang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang terkandung dalam daging sapi dan domba. Kandungan protein jamur merang lebih tinggi
dibandingkan dengan kandungan protein pada tumbuh–tumbuhan lain secara umum (Gengers,1982).
Masa panen budidaya jamur merang relatif singkat, yaitu sekitar satu bulan sampai dengan tiga bulan
sehingga perputaran modal yang ditanam pada usaha ini berlangsung cukup cepat. Selain itu, bahan baku untuk
produksi jamur merang relatif mudah didapat, dan pengusahaannya tidak membutuhkan lahan yang luas. Oleh sebab
itu, komoditas jamur merang ini dapat memberikan lebih banyak kesempatan kerja dalam upaya peningkatkan
ekonomi masyarakat petani, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan petani secara umum
(Hagutami, 2001).
Kebutuhan jamur merang di pasaran luar negeri yang semakin meningkat menyebabkan budidaya jamur
merang mempunyai prospek yang cukup cerah. Singapura misalnya, membutuhkan 100 ton jamur merang setiap
bulan dan Malaysia membutuhkan jamur merang sekitar 15 ton tiap minggunya (Sinaga, 2001).
Di Indonesia jamur merang mempunyai prospek sangat baik untuk dikembangkan, baik untuk ekspor
maupun konsumsi dalam negeri. Kebutuhan jamur merang di pasaran dalam negeri mempunyai prospek yang sangat
cerah. Kebutuhan di Bandung, dan sekitarnya rata-rata 15 ton setiap harinya (Sinaga, 2001). Kebutuhan jamur
merang untuk kota Denpasar berkisar 500 kg tiap hari, sedangkan produksi jamur merang yang dihasilkan di
Denpasar dan Bandung hanya 300 kg tiap hari (Hagutami, 2001).
Setiap jenis jamur memerlukan syarat tumbuh yang berbeda-beda. Jamur merang merupakan jamur yang
tumbuh di daerah tropika dan membutuhkan suhu dan kelembaban yang cukup tinggi berkisar antara 30ºC sampai
dengan 38ºC dalam krudung atau kumbung (Agus, 2002).
Kelembaban relatif yang diperlukan adalah berkisar antara 80% sampai dengan 85% serta kebutuhan akan
pH media tumbuh berkisar antara pH 5,0 sampai dengan pH 8,0 (Sinaga, 2001). Kebanyakan jenis jamur lebih
toleran pada keadaan pH masam daripada pH basa (Wirakusuma, 1989).
Budidaya jamur merang terbagi menjadi dua tahapan, yaitu tahap sterilisasi media tanam dari segala
macam bakteri dan parasit yang dikenal dengan tahap pasteurisasi dan tahap pemeliharaan atau pembudidayaan
jamur pada media tanam. Proses pasteurisasi adalah proses pemanasan kompos atau media untuk tempat tumbuhnya
jamur, media kompos dipanaskan dengan keadaan ruang kumbung jamur tertutup rapat. Proses pemeliharaan adalah
proses dimana jamur mulai tumbuh dan berkembangbiak, artinya pada masa ini jamur harus benar–benar dirawat
dan dijaga (Hagutami, 2001).
Manfaat yang diperoleh dari budidaya jamur ditinjau dari sisi kesehatan terkait pada nilai kandungan
gizinya. Walaupun tidak setinggi protein hewani seperti ikan atau telur, tetapi kandungannya hampir sebanding
dengan protein susu, jagung atau kacang–kacangan dan lebih tinggi dari protein sayur daun, sayuran berumbi atau
wortel dan buah–buahan. Selain mengandung protein, pada jamur seperti jamur merang juga mengandung beberapa
vitamin penting untuk kesehatan. Walaupun tidak mengandung vitamin A, tetapi kandungan ribovlamin, tiamin dan
asam nikotinnya cukup tinggi, juga kandungan kalsium dan fosfornya tinggi, sedangkan kalori dan kolesterolnya
rendah sehingga seringkali jamur dikatakan sebagai makanan pelangsing (Agus, 2002).
2. Sistem Kumbung Otomatis
Supaya kumbung bisa dikendalikan kondisi lingkungannya, dibutuhkan perangkat elektronis yang akan
mengatur kerja dari sistem pengkondisi yang digunakan, misalnya pemanasan–pendinginan–pengembunan. Piranti
elektronis pada kumbung tersusun menjadi beberapa bagian, yaitu sensor yang terdiri dari sensor suhu dan sensor
kelembaban. Sensor suhu akan mengukur suhu ruang dalam kumbung dan data hasil pengukuran oleh sensor akan
dikirim menuju unit pengendali utama untuk diolah lebih lanjut dalam menentukan aksi berikutnya. Sensor
kelembaban akan mengukur tingkat kandungan air dalam udara baik nilai absolutnya maupun nilai relatifnya.
Aktuator berfungsi sebagai media pengkondisi ruang kumbung. Unit ini terdiri dari perangkat pemanas
yang berguna untuk menaikkan suhu media tanam kompos jika suhu pada media tanam kompos jatuh pada nilai
kritis. Unit pendingin atau pengering berfungsi untuk mendinginkan atau mengeringkan udara pada ruang kumbung
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
6
jika suhunya melebihi nilai kritis dan atau kelembabannya melebihi nilai kritis. Unit pengembunan berfungsi untuk
menaikkan nilai kelembaban relatif (RH) dari ruang kumbung jika terjadi penurunan nilai kandungan air di udara
akibat pengaruh suhu. Pengendali utama menggunakan Mikrokontroler ATMega 8535L sebagai (otak) pengendali
utama, mikrokontroler AVR ini menggunakan teknologi RISC semua instruksi berukuran 16 bit sebagian besar
dieksekusi dalam 1 siklus clock (Wardhana, 2006). Penampil berfungsi untuk menampilkan nilai dari hasil
pengukuran sensor terkini, baik suhu maupun kelembaban. Adapun penampil yang digunakan adalah LCD Display.
Karena LCD Display merupakan salah satu media yang digunakan sebagai penampil pada sistem berbasis
mikrokontroler (Wasito, 2004).
3. Analisa Kelayakan Usaha
Suatu usaha yang akan dijalankan diharapkan dapat memberikan penghasilan sesuai dengan target yang
telah ditetapkan. Pencapaian tujuan usaha harus memenuhi beberapa kriteria kelayakan usaha. Artinya, jika diihat
dari segi bisnis, suatu usaha sebelum dijalankan harus dinilai pantas atau tidak untuk dijalankan. Pantas artinya
layak atau akan memberikan keuntungan dan manfaat yang maksimal (Virjilius, 2007). Salah satu penilainya adalah
dengan mencari nilai Break Even Point (BEP). BEP merupakan suatu analisis yang bertujuan untuk menemukan
satu titik yang menunjukkan biaya atau satuan lain yang dikeluarkan suatu perusahaan sama dengan pendapatan
perusahaan (Subagyo, 2007). Analisis ini mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan dan
volume. BEP akan muncul dalam suatu perusahaan jika perusahaan mempunyai biaya variabel dan biaya tetap. BEP
menyatakan volume penjualan dimana total penghasilan tepat sama besarnya dengan total biaya, sehingga
perusahaan tidak memperoleh keuntungan dan juga tidak menderita kerugian (Kasmir, 2009).
D. Metodologi Penelitian
Rancangan sistem dalam penelitian ini merupakan disain low cost yang berorientasi pada disain sederhana
namun memiliki tingkat keakurasian tinggi yang dapat mengukur dan mengendalikan suhu dan kelembaban secara
otomatis.
Pengendali
Utama
(mikroprosesor)
SENSOR
SUHU
&
KELEMBABAN
DISPLAY
PEMANTAU
VISUAL
Kipas
Pengembun
DI DALAM KUMBUNG
Pengkondisi Udara
Gambar 1. Blok Diagram Elektronik Pengendali Sistem Kumbung
Langkah–langkah penelitian yang dilakukan melalui tahap–tahap sebagai berikut:
1. Survei Lokasi, dilakukan untuk mencari data awal yang dilakukan pada proses pembuatan
kumbung otomatis budidaya jamur dengan mengambil data suhu dan kelembaban yang terjadi
pada model kumbung jamur tradisional milik para petani yang sudah terbukti mampu
menghasilkan panen jamur dengan hasil maksimal. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan
perubahan suhu dan kelembaban tersebut akan digunakan sebagai acuan dalam pengaturan alat,
baik waktu, suhu, dan kelembaban untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Data pengamatan
dilakukan pada 3 waktu yang berbeda yaitu pagi, sore dan malam.
2. Riset Perangkat, dilakukan setelah ide dasar penelitian diperoleh, kemudian dengan menganalisis
karakteristik kerja dan kesesuaian dari tiap–tiap komponen pendukung ide perancangan sehingga
diperoleh rancangan awal yang mantap dan optimal baik dari segi mekanis, elektronis maupun
ergonomisnya.
3. Desain dan Simulasi Sistem, berdasarkan hasil dari riset perangkat yang telah dievaluasi,
dilanjutkan dengan desain sistem yang mencakup desain mekanis, elektronis dan perangkat
lunaknya. Desain mekanis dilakukan dengan target optimalisasi dimensi fisik (panjang, lebar,
tinggi) dari alat yang dirancang menggunakan piranti perangkat lunak AUTOCAD®, disain
elektronis dilakukan dengan target pemilihan komponen yang tepat ditinjau dari penggunaan daya
yang rendah dan reliabilitas terhadap kondisi lingkungan yang baik serta penerapan komponen
pada papan tercetak (PCB) menggunakan piranti perangkat lunak DIPTRACE®, dan disain
perangkat lunak dengan target pemilihan algoritma pengendalian yang tepat menggunakan piranti
perangkat lunak BASCOM®. Tahapan simulasi hanya bisa dilakukan pada hasil disain elektronis
dan pada hasil disain perangkat lunak. Untuk simulasi elektronis menggunakan piranti perangkat
lunak MULTISIM® yang menganalisa konsumsi daya dan karakteristik elektronisnya. Untuk
menguji algoritma pengendalian oleh mikrokontroler digunakan piranti perangkat lunak
BASCOM® SIMULATOR.
4. Uji Parsial Sistem, pengujian secara parsial pada sistem yang telah direalisasikan secara utuh akan
membantu untuk melokalisasi kesalahan saat terjadi kesalahan pada waktu realisasi karya,
sehingga dari pengujian–pengujian parsial pada bagian–bagian sistemnya akan bisa diketahui
secara detail letak kesalahan yang terjadi.
5. Pengujian Terakhir, dipastikan secara uji parsial tidak terdapat kesalahan maka selanjutnya
dilakukan pengujian menyeluruh terhadap sistem sebagai tahap terakhir untuk mengetahui kerja
dari alat penelitian apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan. Kombinasi pola kerja dari alat
bisa dicari dengan mengubah perangkat lunak mikrokontroler hingga diperoleh hasil yang terbaik.
6. Tahap Budidaya Jamur, pada proses budidaya jamur terbagi menjadi dua tahapan, yaitu tahap
sterilisasi media tanam dari segala macam bakteri dan parasit yang dikenal dengan tahap
pasteurisasi dan tahap pemeliharaan atau pembudidayaan jamur pada media tanam. Proses
pasteurisasi adalah proses pemanasan kompos atau media untuk tempat tumbuhnya jamur, media
kompos dipanaskan dengan keadaan ruang kumbung jamur tertutup rapat. Proses pemeliharaan
adalah proses dimana jamur mulai tumbuh dan berkembangbiak, artinya pada masa ini jamur
harus benar–benar dirawat dan dijaga.
7. Analisis Kelayakan Usaha, dilakukan dengan menghitung nilai BEP (Break Even Point) apakah
usaha tersebut layak dilakukan atau tidak.
E. Hasil Penelitian
Pengambilan data suhu dan kelembaban kumbung petani yang sudah terbukti mampu menghasilkan panen
jamur dengan hasil maksimal pada 3 waktu yang berbeda, yaitu pagi, sore dan malam digunakan untuk menganalisa
data suhu dan kelembaban yang akan digunakan pada pengendali elektronis, sehingga suhu dan kelembaban pada
kumbung hasil perancangan bekerja secara otomatis atau adaptif. Hasil pengumpulan suhu pada kumbung petani
pada pagi, siang, sore dan malam hari rata–rata suhunya antara 29ºC sampai 34ºC. Sedangkan kelembaban yang
terjadi antara 67% sampai 79%.
Sistem elektronis sebagai pengendali utama dari kumbung akan melakukan 2 tahapan dalam setiap kali
siklus budidaya jamur, yaitu tahap pasteurisasi dan tahap pemeliharaan.
Proses pasteurisasi adalah proses pemanasan kompos atau media untuk tempat tumbuhnya jamur dan
proses pemeliharaan adalah proses dimana jamur mulai tumbuh dan berkembangbiak. Proses ini menggunakan
pemanas air. Penggunaan pemanas air bertujuan untuk memperoleh uap panas hasil dari pemanasan air yang
dilakukan oleh pemanas air. Proses ini berlangsung selama 5 jam. Media kompos dipanaskan dengan keadaan ruang
kumbung jamur tertutup rapat. Suhu pada proses ini dikondisikan antara 50ºC sampai 60ºC, dengan kelembaban
mencapai 100%. Apabila suhu naik mencapai 60ºC maka pemanas air akan dipadamkan, dan apabila suhu turun
mencapai 50ºC maka pemanas air dihidupkan lagi.
Tahap selanjutnya adalah proses pemeliharaan, artinya pada masa ini jamur harus benar–benar dirawat dan
dijaga. Pada masa ini suhu dan kelembaban jamur harus dikondisikan, yaitu suhu dalam kumbung jamur dijaga
antara 28ºC sampai 32ºC dan kelembabannya antara 80% sampai 90%. Proses ini akan berlangsung selama 12 hari
atau 288 jam. Apabila proses telah mencapai waktu sekian, maka semua aktuator akan dipadamkan.
Kumbung dalam penelitian ini terbuat dari bahan adiabatis dari kayu jati, harapannya dengan bahan
adiabatis kondisi di luar kumbung tidak bisa mempengaruhi kondisi di dalam kumbung sehingga iklim yang
dibutuhkan jamur untuk tumbuh secara optimal bisa dikendalikan sepenuhnya oleh sistem kumbung. Dimensi dari
kumbung adalah (tinggipanjanglebar adalah 120cm200cm50cm).
Dari kumbung otomatis ini diperoleh suhu rata–rata 28ºC sampai 32ºC sehingga kumbung ini layak untuk
tumbuh kembang jamur merang. Sedangkan kelembaban yang diperoleh sebesar 80% sampai 82.7% sehingga
dalam hal kelembabanpun layak untuk budidaya jamur merang.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
8
Hasil perhitungan kelayakan usaha budidaya jamur merang menggunakan kumbung otomatis dengan
dimensi kumbung seperti di atas adalah:
Investasi (biaya tetap) : Rp. 4.200.000,00
Biaya operasional per bulan : Rp. 534.555,56
Penjualan jamur per periode : Rp. 900.000,00
Keuntungan : Rp. 365.444,44
Pay Back Period (titik balik modal/titik impas) : 11,5 bulan
𝐵𝐸𝑃 (𝑄) = 𝐹𝑖𝑥𝑒𝑑 𝐶𝑜𝑠𝑡
𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 − 𝑉𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝐶𝑜𝑠𝑡=
4.200.000
25.000 − 14.848,77= 413,7 𝐾𝑔
𝐵𝐸𝑃 (𝑅𝑝) =𝐹𝑖𝑥𝑒𝑑 𝐶𝑜𝑠𝑡
1 − 𝑉𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝐶𝑜𝑠𝑡
𝑃𝑟𝑖𝑐𝑒
=4.200.000
1 − 14.848,77
25.000
= 𝑅𝑝 10.343.574,13
Heater Mati
Tampilkan Suhu
Heater Hidup
Jika suhu <= 50oC
?
ya
tidak
ya
tidak
ya
tidak
yatidak
Cek Jam
START
Tampilkan Suhu
END
Cek Jam
Cek Jam
Jika waktu>= 5 jam
?
Jika waktu>= 5 jam
?
Jika suhu >= 60oC
?
Int
Gambar 2. Diagram Alir Pengendalian Proses Pasteurisasi
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
10
SP offEX on
Cek Jam
ya
tidak
ya
tidak
ya
tidakya
tidak
Cek Jam
Int
START
Jika waktu>= 288 jam
?
END
ya
tidak
SP onEX on
Tampilkan Suhu (T) dan Kelembaban (RH)
JikaT > 32 oCRH < 80%
?
JikaT > 32 oCRH >80%
?
SP offEX off
JikaT < 32 oCRH < 80%
?
SP onEX off
JikaT = 32 oCRH < 80%
?
SP onEX off
JikaT = 32 oCRH > 80%
?
SP offEX on
JikaT > 32 oCRH = 80%
?
SP offEX on
tidak
tidak
ya
ya
Gambar 3. Diagram Alir Pengendalian Proses Pemeliharaan
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Pada penelitian ini terdapat berbagai pengetahuan yang muncul selama proses. Pengetahuan tersebut
bersifat baru atau memperbaiki yang sudah ada berdasarkan pelaksanaan perancangan selama proses penelitian.
Pengetahuan yang bersifat baru tertuang berupa kesimpulan, dan pengetahuan yang bersifat memperbaiki tertuang
dalam bentuk rekomendasi.
Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah:
a. Terciptanya teknologi tepat guna berupa kumbung otomatis untuk budidaya jamur merang dengan pengukur
suhu dan kelembaban udara menggunakan sistem elektronik berbasis mikrokontroler.
b. Suhu rata–rata dari alat ini di waktu pagi, siang, sore, dan malam adalah 30.34ºC dan kelembaban rata–ratanya
adalah 81.49% sehingga alat ini sesuai dengan jangkauan kelayakan dikarenakan sudah sesuai dengan suhu dan
kelembaban yang terjadi pada model kumbung jamur tradisional milik para petani jamur.
c. Jamur merang hasil panenan dari kumbung otomatis hasil penelitian dengan dimensi (tinggipanjanglebar
adalah 120cm200cm50cm) dengan 3 buah rak media tanam mencapai sekitar 10-12 kg jamur merang untuk
setiap periode panen ( setiap 10 hari), dan dalam satu bulan bisa terjadi 3 kali periode panen, maka untuk 1
kumbung otomatis mampu memberikan hasil senilai Rp 750.000 hingga Rp 900.000 setiap bulan jika harga
jamur merang dari petani di Yogyakarta sekitar Rp 25.000/kg dan nilai BEP (Break Even Point) nya Rp.
10.343.574,13 atau 11.5 bulan.
2. Rekomendasi
Konsep penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang adanya suatu teknologi rekayasa
dalam berbudidaya jamur, yaitu adanya suatu alat berupa kumbung otomatis untuk budidaya jamur pada industri
rumah tangga dengan pengukur suhu dan kelembaban udara menggunakan sistem elektronik berbasis
mikrokontroler.
Adapun rekomendasi kebijakan yang bisa dibuat adalah sebagai berikut:
a. Bagi Dinas Perindagkoptan penelitian ini bisa sebagai masukkan kepada masyarakat khususnya di wilayah
Yogyakarta, kelompok PKK, rumah tangga bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
dan juga peningkatan kesejahteraan masyarakat, yaitu dengan berbudidaya jamur merang menggunakan
kumbung otomatis, sehingga nantinya akan tercipta suatu usaha rumah tangga di bidang agribisnis.
b. Bagi stakeholder budidaya jamur merang ini tidak memerlukan lahan yang luas akan tetapi dapat dilaksanakan
di lingkungan rumah karena kumbung ini telah diatur suhu dan temperaturnya sesuai dengan suhu dan
temperatur pada kumbung petani jamur tradisional yang masih menggunakan lahan pertanian dan telah terbukti
mampu menghasilkan panen jamur dengan hasil maksimal.
c. Berdasarkan hasil analisa kelayakan usaha pada perhitungan nilai BEP (Break Even Point) sangat baik untuk
dilakukan budidaya jamur dalam skala rumah tangga selain itu juga dapat meningkatkan gizi bagi masyarakat
itu sendiri, karena dengan kumbung dimensi (tinggipanjanglebar adalah 120cm200cm50cm) dengan 3
buah rak media tanam mencapai sekitar 10-12 kg jamur merang untuk setiap periode panen ( setiap 10 hari),
dan dalam satu bulan bisa terjadi 3 kali periode panen, maka untuk 1 kumbung otomatis mampu memberikan
hasil senilai Rp 750.000 hingga Rp 900.000 setiap bulan jika harga jamur merang dari petani di Yogyakarta
sekitar Rp 25.000/kg.
d. Budidaya jamur merang ini sangat tepat bila dibudidayakan di wilayah Yogyakarta mengingat suhu yang
dibutuhkan jamur merang untuk tumbuh berkisar antara 30.34oC dan kelembaban rata-ratanya adalah 81.49%.
Daftar Pustaka
Agus, G.T.K., A. Dianawati, E.S. Irawan, & K. Miharja. (2002). Budidaya Jamur Konsumsi. Jakarta: Agromedia
Pustaka.
Gengers, R. (1982). Pedoman Berwiraswasta Bercocok Tanam Jamur. Bandung: Pionir Jaya.
Hagutami. (2001). Budidaya Jamur Merang. Cianjur: Yapentra Hagutani.
Kasmir. (2009). Studi Kelayakan Bisnis, Ed ke-2. Jakarta. Kencana Renada Media Group.
Sinaga. (2001). Jamur Merang dan Budidayanya. Jakarta: Penebar Suadaya.
S, Wasito. (2004). Vademekum Elektronika. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Subagyo. Ahmad. (2007). Studi Kelayakan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Wardhana. (2006). Belajar Sendiri Mikrokontroler Atmel AVR Seri ATMega8535 Simulasi, Hardware dan Aplikasi.
Yogyakarta: Penerbit ANDI.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
12
Wirakusuma, I P.G.A. (1989). Pengaruh Jenis Media dan Studi Benih Terhadap Pertumbuhan Miselia dan Produksi
Jamur Merang. Denpasar: Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Virjilius. (2007). Studi Kelayakan Pabrik Bubuk Coklat di Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat. Kementerian
Perindustrian Sekolah Tinggi Manajemen Industri. Jakarta.
MODEL PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEMANDIRIAN USAHA (SURVEY PADA USAHA JAJANAN KOTA YOGYAKARTA) Oleh: Mudasetia & Evi Rosalina Widyayanti1
ABTRACT
As a city of tourism, culture, and education, Yogyakarta has many visitors who come for various purposes, One of
their purposes is for trading and being a trader especially a traditional snack trader. Yogyakarta becomes a place
for living, since it is considered as a potential place for trading, such as traditional snack trading. The great
numbers of students and tourists are treir potential customers. Although it has admitted that some of those
traditional snack are not good fot health, but this small business (small and medium enterprises SMEs) has an
important role in Indonesian economic growth. Therefore, we should develop the empowermant of SMEs for
decreasing the poverty in Indonesia. But the main problem is their paradigm for being satisfy easily on what they
have reached, and it become an obstacle in their progress. Other obstacles are minimum qualified human resources
and capital. Those obstacles should be solved by comprehensive micro business empowerment strategy, increasing
the quality of human resources, and capitals, maximize the government roles, and creating partnership in order to
compete and to be autonomous as a final result. Their progress will be a huge contribution in investment and
economic growth in Indonesia. As the final goal it is expected to increase their responsible to their product and
customers, and finally increase their ethical as businessman.
Keyword: micro business, human resources, government roles, capital, partnership, autonomous
A. Pendahuluan
Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II lainnya, yaitu
32,5 km2 yang berarti 1,025% dari luas wilayah propinsi DIY (BPS, 2013). Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai
kota pelajar dan kota wisata dipenuhi oleh banyak pendatang dimana kota ini menjadi tujuan masyarakat dari
berbagai daerah baik Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri maupun daerah lain di Indonesia. Sebagai tujuan
perdagangan kota Yogyakarta sangat menjanjikan keuntungan bagi siapa saja yang berbisnis di kota ini. Tidak
terlepas mereka para pelaku usaha mikro yang datang dari berbagai daerah asal. Untuk para pelaku usaha kecil
memiliki target market yang cukup besar yaitu kepada mereka para wisatawan dan para pelajar dari tingkat dasar
hingga menengah atas bahkan para mahasiswa di Yogyakarta.
Melihat fakta dilapangan dengan tersedianya pasar yang menarik, kota Yogyakarta menjadi lahan yang
cukup mengiurkan untuk mencari nafkah bagi para pendatang khususnya para pelaku usaha jajanan, mereka datang
dari sekitar wilayah DIY maupun luar DIY yang notabennya adalah masyarakat menengah kebawah bahkan
tergolong miskin. Dari permasalahan diatas dapat dirumuskan bahwa dalam penelitian ini akan diangkat mengenai
bagaimana pelaku usaha mikro dapat menjadi pelaku usaha yang mandiri, faktor apa sajakah yang mempengaruhi?
Faktor-faktor tersebut diharapkan akan dapat memberikan pengaruh terhadap upaya kemandirian usaha melalui
pemberdayaan. Namun upaya membangun usaha bukan pekerjaan yang mudah. Faktor-faktor pengaruh harus
dikembangkan agar usaha mikro dapat tetap eksis di pasar sasaran. Strategi pemberdayaan yang komprehensif
dengan cara menumbuhkan iklim usaha yang kondusif, pembinaan dan pengembangan, pembiayaan dan penjaminan
serta kemitraan perlu dilakukan secara simultan dalam upaya memperkuat lingkungan internal dan membentuk
keunggulan bersaing. Banyak teori yang menekankan betapa pentingnya kualitas lingkungan internal dalam
mengatasi persaingan dan menjamin kemandirian usaha mikro. Berdasarkan semua itu, penelitian ini dilakukan
dalam rangka mengupayakan kemandirian para pelaku usaha mikro, sehingga penelitian ini diangkat dengan judul
“Model Pemberdayaan Usaha Mikro dan Pengaruhnya Terhadap Kemandirian Usaha (survey pada Usaha Jajanan
Kota Yogyakarta)”
Melalui beberapa faktor yang menjadi variabel penelitian dapat dirumuskan permasalahan penelitian adalah
sebagai berikut:
1 Peneliti pada STIE Widya Wiwaha Yogyakarta
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
14
1. Apakah pemberdayaan melalui Faktor Sumber Daya Manusia akan mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi
pelaku usaha mikro di kota Yogyakarta?
2. Apakah pemberdayaan melalui Faktor Peran Pemerintah akan mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi pelaku
usaha mikro di kota Yogyakarta?
3. Apakah pemberdayaan melalui Faktor Modal Usaha akan mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha
mikro di kota Yogyakarta?
4. Apakah pemberdayaan melalui Faktor Kemitraan akan mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha
mikro di kota Yogyakarta?
5. Apakah keempat faktor (Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan) saling
berpengaruh dan secara bersama-sama mempengaruhi Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha mikro di kota
Yogyakarta?
B. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
a. Melaksanakan salah satu unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Penelitian
b. Mengetahui Variabel-variabel pemberdayaan yang diduga menjadi pengaruh terhadap Kemandirian
Usaha Mikro di Kota Yogyakarta
c. Membangun model Pemberdayaan usaha mikro yang lebih tepat dan baik pada penjual jajanan di Kota
Yogyakarta. Model yang dihasilkan diharapkan mampu menjadi acuan dalam pemberdayaan bagi
kemandirian usaha kecil sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan, khususnya di Kota
Yogyakarta.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memperluas literature tentang variabel-
variabel pengaruh terhadap kemandirian usaha kecil, dan peningkatan kualitas bagi pelaku usaha mikro
di Kota Yogyakarta
b. Secara aplikatif dalam penelitian ini dapat bermanfaat:
c. Bagi pelaku usaha mikro yang tentu saja dapat langsung merasakan manfaatnya,
d. Bagi pemilik modal baik itu individu maupun perbankan
e. Bagi peneliti dapat membantu pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka Peningkatan Daya Saing dan
Ketahanan Ekonomi Wlayah dalam rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.
C. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan Undang-undang RI no 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM)
dinyatakan dalam latar belakang bahwa pertama, Masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan undang-
undang dasar negara RI Tahun 1945 harus diwujudkan melalui pembangunan perekonomian nasional berdasarkan
demokrasi ekonomi. Kedua, Amanat ketetapan MPR RI No. XVI Tahun 1998 tentang politik ekonomi dalam rangka
demokrasi ekonomi, usaha mikro, kecil dan menengah perlu diberdayakan sebagai bagian integral dari sistem
ekonomi kerakyatan dan ketiga, Pemberdayaan UMKM diselenggarakan secara mnyeluruh, optimal dan
berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif, kesempatan berusaha, dukungan dan perlindungan
serta pengembangan usaha seluas-luasnya. Dalam Penelitian ini pemberdayaan akan sangat efektif melalui empat
faktor utama yaitu Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan. Melalui keempat faktor
tersebut diduga akan mewujudkan pemberdayaan usaha mikro sehingga diduga akan mampu menjadikan usaha
mikro dapat lebih mandiri.
1. Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia atau Human Resources mengandung dua pengertian. Pertama adalah usaha kerja
atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Dalam hal lain SDM mencerminkan kualitas usaha yang
diberikan oleh seseorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa. Pengertian kedua SDM
menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut. Mampu bekerja berarti
mampu melakukan kegiatan yang mempunyai kegiatan ekonomis yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan
barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. (Sonny Sumarsono, 2003). Sumber Daya Manusia sangat
tepat diterapkan dalam pemberdayaan usaha untuk penguatan internal dalam rangka penguatan ekonomi nasional
Perhatian utama harus ditekankan pada penciptaan nilai tambah untuk meraih keunggulan kompetitif melalui
pengembangan kapabilitas khusus (kewirausahaan), sehinggan usaha mikro tidak lagi mengandalkan strategi
kekuatan pasar melalui monopoli dan fasilitas pemerintah.
2. Peran Pemerintah
Peranan pemerintah dalam meningkatkan kualitas sarana produksi sangat diperlukan terutama untuk
menciptkan iklim usaha yang kompetitif. Hill (1995) menyatakan bahwa kunci untuk membuat usaha kecil menjadi
efisien dan dinamik adalah menciptkan iklim usaha yang kondusif tanpa membuat pelaku usaha terus bergantung
pada bantuan- bantuan khusus pemerintah. Iklim usaha yang kondusif meliputi tersedianya saran transportasi dan
komunikasi, fasilitas usaha yang menunjang, persaingan yang jujur, peraturan persaingan yang fair dan peraturan-
peraturan yang adil merupakan faktor yang sangat penting bagi pengembangan usaha kecil (Chew, 1996).
3. Modal Usaha
Masalah keterbatasan modal, baik modal kerja maupun untuk investasi bagi pengembangan usaha mikro
tetap merupakan hambatan. Keterbatasan modal, terutama disebabkan oleh tidak adanya akses langsung para pelaku
usaha mikro terhadap layanan dan fasilitas keuangan yang disediakan oleh lembaga keuangan formal (bank) mapun
non bank. Hal ini berarti bahwa sebagian besar atau seluruh dana yang diperlukan untuk investasi perluasan usaha
atau peningkatan volume produksi dan investasi untuk penambahan modal kerja berasal dari sumber pendanaan
informal (Yusi dan Zakaria, 2005).
4. Kemitraan
Pengertian kemitraan secara konseptual adalah adanya kerjasama antara usaha kecil dengan usaha
menengah atau dengan usaha besar disertai oleh pembinaan dan pengembangan berkelanjutan oleh usaha menengah
atau besar dengan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, memperkuat,dan menguntungkan
(Soemardjo, 2004). Saling memerlukan berarti bahwa pengusaha memerlukan pasokan bahan baku dan pemasaran
sarana produksi dan bimbingan. Saling memperkuat berarti pelaku usaha bersama-sama melaksanakan etika bisnis
sama-sama mempunyai hak dan kewajiban masing-masing dan saling membutuhkan sehingga memperkuat
kesinambungan dalam bermitra (Martodireso dan Widada, 2002).
5. Pemberdayaan
Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari Negara berkembang memandang penting pemberdayaan
usah kecil dan menengah (Berry, 2001). Pertama, karena kinerja usaha kecil dan menengah cenderung lebih baik
dalam hal menghasilkan tenaga kerja produktif. Kedua, sebagai bagian dari dinamika, usaha kecil dan menengah
sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan teknologi. Ketiga, karena sering diyakini bahwa
usaha kecil dan menengah memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas daripada usaha besar. Tentu saja usaha mikro
tidaklah jauh dari itu juga.
6. Kemandirian Usaha
Kemandirian usaha, termasuk para pelaku UKM, sudah merupakan suatu keharusan terlebih menghadapi
tantangan global saat ini dan nanti. Menghadapi persaingan yang ketat, pelaku usaha harus mampu menentukan
strategi yang jitu dalam memenangkan persaingan. Para pelaku usaha harus bisa berhadaptasi dengan
kecenderungan yang terjadi, yakni:
1. karakteristik pasar yang dinamis, kompetisi global, dan bentuk organisasi yang cenderung membentuk
jejaring (network);
2. tingkat industri yang pengorganisasian produksinya fleksibel dengan pertumbuhan yang didorong oleh
inovasi/pengetahuan; didukung teknologi digital; sumber kompetisi pada inovasi, kualitas, waktu, dan
biaya; mengutamakan research and development; serta mengembangkan aliansi dan kolaborasi dengan
bisnis lainnya.
Disamping itu, posisi tenaga kerja juga cenderung dengan kebijakan upah dan pendapatan yang tinggi,
keterampilan yang luas dengan berbagai disiplin, pembelajaran tanpa kenal waktu, dan dengan pengelolaan buruh
yang kolaboratif.
D. Metodologi Penelitian
1. Populasi dalam penelitian ini adalah pelaku usaha mikro di beberapa lokasi yang ada di wilayah kota
Yogyakarta yang menjual produk jajanan, khususnya wilayah Wirobrajan, Kauman dan Pakuncen.
Para penjual ada yang mangkal dilokasi tertentu ada yang berkeliling menetap.
2. Dari populasi yang ada tersebut maka dalam penelitian ini akan diambil sampel dengan didasarkan
cluster sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada kelompok. Yaitu kelompok
pelaku usaha mikro yang menjual jajanan pada beberapa lokasi yang ada di kota Yogyakarta, Sampel
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
16
dalam penelitian ini berjumlah 10 kelompok pelaku usaha dan masing-masing kelompok terdiri dari 20
penjual jajanan, jadi jumlah sampel yang diambil adalah 200 responden pengujian keseluruhan
hipotesis.
3. Kelompok tersebut adalah: Bakso dan Mie Ayam, Batagor, Cilok dan Cireng, Tempura,. Angkrigan,
Jajan Pasar,Pecel Lele dan Ayam bakar,Es Kelapa Muda, es campur dan Jus,. Siomay, Warung makan/
lesehan, Sate.
Dalam penelitian ini menggunakan model persamaan regresi dengan bantuan software SPSS. Dengan alat
analisis ini diharapkan diperoleh estimator yang baik. Terdapat 5 variabel laten dalam penelitian ini, yaitu Sumber Daya
Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha, Kemitraan, dan Kemandirian Usaha.
1. Analisis Regresi Berganda
Untuk menganalisis hipotesis pengaruh masing-masing faktor Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah,
Modal Usaha, Kemitraan, karena adanya Pemberdayaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi Kemandirian
Usaha bagi pelaku usaha mikro jajanan baik secara serentak maupun parsial digunakan analisis Model regresi
Linier Berganda. Menurut Gujarati (1997 : 28) model regresi untuk menganalisis data memakai rumus sebagai
berikut :
Yi = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4
Dalam penelitian ini variabel bebas (X) dana variabel terikat (Y) ditentukan sebagai berikut :
Yi = Kemandirian Usaha X1 = Sumber Daya Manusia X2 = Peran Pemerintah
X3 = Modal Usaha X4 = Kemitraan
Β0 = Intersep. Konstanta yang merupakan rata-rata nilai Yi pada saat X1, X2, X3 dan X4 sama
dengan nol
Β1 = Koefisien regresi parsial, mengukur nilai rata-rata Yi untuk tiap unit perubahan dalam X1
dengan menganggap X2, X3 dan X4 konstan
Β2 = Koefisien regresi parsial, mengukur nilai rata-rata Yi untuk tiap unit perubahan dalam X2
dengan menganggap X1, X3 dan X4 konstan
Β3 = Koefisien regresi parsial, mengukur nilai rata-rata Yi untuk tiap unit perubahan dalam X3
dengan menganggap X1, X2 dan X4 konstan
Β4 = Koefisien regresi parsial, mengukur nilai rata-rata Yi untuk tiap unit perubahan dalam X4
dengan menganggap X1, X2 dan X3 konstan
2. Uji Hipotesis
a. Uji Validitas dan Realibilitas
1. Instrumen penelitian yang selesai disusun harus di yakinkan bahwa instrument tersebut harus
benar-benar dapat mengukur senyatanya (actually) dan akuratnya (accurately) terhadap konsep
yang diukur. Pengukuran konsep senyatanya berhubungan dengan validitas dan pengukuran
seakuratnya berhubungan dengan realibilitas.
2. Instrumen yang valid artinya instrument yang dapat digunakan untuk mengukur apa yang
seharusnya diukur. Instrumen yang reabel artinya instrument yang bila digunakan untuk mengukur
obyek yang sama meskipun waktu dan tempatnya berbeda akan memperoleh hasil yang sama
b. Uji F
Uji F dikenal dengan Uji serentak atau uji Model/Uji Anova, yaitu uji untuk melihat bagaimanakah
pengaruh semua variabel bebasnya secara bersama-sama terhadap variabel terikatnya. Atau untuk menguji apakah
model regresi yang kita buat baik/signifikan atau tidak baik/non signifikan. Jika model signifikan maka model bisa
digunakan untuk prediksi/peramalan, sebaliknya jika non/tidak signifikan maka model regresi tidak bisa digunakan
untuk peramalan. Uji F dapat dilakukan dengan membandingkan F hitung dengan F tabel, jika F hitung > dari F
tabel, (Ho di tolak Ha diterima) maka model signifikan atau bisa dilihat dalam kolom signifikansi pada Anova
(Olahan dengan SPSS, Gunakan Uji Regresi dengan Metode Enter/Full Model). Uji F digunakan untuk mengetahui
apakah secara simultan koefisien regresi variabel bebas mempunyai pengaruh nyata atau tidak terhadap variabel
tergantung
c. Uji t
Independent Sample t-Test atau Uji t sample independen digunakan untuk menguji signifikansi beda rata-
rata dua kelompok. Uji ini biasanya digunakan untuk menguji pengaruh satu atau lebih variabel independen terhadap
satu variabel dependen (Gendro Wiyono,2011)
E. Hasil Penelitian
Hasil survey terhadap sampel penelitian yaitu 200 pelaku usaha jajanan di wilayah kota yogyakarta
khususnya di wilayah Wirobrajan, Pakuncen dan Kauman dan memperoleh data sebagai berikut:
Tabel 1:Data Berdasarkan Kependudukan
No KTP Domisili Jumlah Prosentase
1 Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta 20 10%
2 DIY Kota Yogyakarta 120 60%
3 Luar DIY Kota Yogyakarta 60 30%
TOTAL 200 100%
Tabel 2:Data Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
No Pendidikan Jumlah Prosentase
1 SD 70 35%
2 SMP 80 40%
3 SMA 40 20%
4 D3 8 4%
5 S1 2 1%
200 100%
Tabel 3:Data Berdasarkan Lokasi Jualan
No Lokasi Jumlah Prosentase
1 Sekolah 85 42,5%
2 Tempat Wisata 79 39,5%
3 Umum 22 11%
4 Rumah sendiri 14 7%
TOTAL 200 100%
Melihat kenyataan tersebut sangat perlu upaya pemberdayaan dari berbagai faktor yang penting yaitu
Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan agar tercipta Kemandirian Usaha bagi para
pelaku usaha jajanan tersebut. Melalui analisa yang dilakukan menggunakan model persamaan regresi dengan
bantuan software SPSS.
1. Analisis Regresi Berganda
Hasil Analisa Regresi yang dilakukan dengan menggunakan SPSS adalah sebagai berikut:
Tabel 4:Cooefficient Regresi
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
18
Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4
Diketahui:
α= 1,483
β1 = 0,129 β2 = 0,331 β3 = 0,160 β4 = 0,165
Maka Persamaan Regresi Berganda yang dihasilkan dari analisis ini adalah:
Y = 1,483 + 0,129X1 + 0,331X2 + 0,160X3 + 0,165X4
Hipotesis yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
1. B0 = Constant yang merupakan rata-rata nilai Y pada saat X1, X2, X3, , dan X4 = 0 artinya Meskipun
tanpa adanya variable-variabel Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha, dan
Kemitraan, vzriabel Kemandirian Usaha para pelaku Usaha Mikro sudah ada dan terbukti positif
sebesar 1,483
2. B1 = koefisien Regresi Parsial mengukur nilai rata-rata Y untuk tiap unit perubahan dalam X1
(Sumber Daya Manusia) dengan menganggap X2, X3, dan X4, konstan artinya jika variabel Sumber
Daya Manusia positif (0,129) maka akan berpengaruh positif terhadap Kemandirian Usaha.
3. B2 = koefisien Regresi Parsial mengukur nilai rata-rata Y untuk tiap unit perubahan dalam X2
(Peran Pemerintah ) dengan menganggap X2, X3, , dan X4 konstan artinya jika Peran Pemerintah
positif (0,331) maka akan berpengaruh positif terhadap Kemandirian Usaha
4. B3 = koefisien Regresi Parsial mengukur nilai rata-rata Y untuk tiap unit perubahan dalam X3
(Modal Usaha) dengan menganggap X1, X2, dan X4, konstan artinya jika Modal Usaha positif
(0,160) maka akan berpengaruh terhadap positif terhadap Kemandirian Usaha
5. B4 = koefisien Regresi Parsial mengukur nilai rata-rata Y untuk tiap unit perubahan dalam X4
(Kemitraan) dengan menganggap X1, X2, dan X3, konstan artinya jika Kemitraan positif (0,165)
maka akan berpengaruh terhadap positif terhadap Kemandirian Usaha
Jadi berdasarkan Analisis Regresi Berganda dihasilkan H1: B0 ≠ 0 maka H1 dinyatakan diterima dan
menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat pengaruh dari keempat variable yaitu Sumber Daya Manusia, Peran
Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan terhadap Kemandirian Usaha.
2. Analisis Uji Hipotesis
a. Uji Validitas
1. Uji validitas dilakukan untuk menguji validitas isi (content validity) yang menunjukkan seberapa
besar item-item instrument mewakili indicator yang diukur. Melalui analisa olah data yang
dilakukan menggunakan SPSS dihasilkan Nilai Output pada Total Correlation adalah r hitung,
selanjutnya dibandingkan dengan r tabel dicari pada signifikansi 0,05 dengan uji 2 sisi dan jumlah
data n = 30 maka diperoleh r tabel adalah sebesar 0,361
2. Kesimpulannya data korelasi yang dihasilkan valid jika berada diatas r tabel (semua variabel
menghasilkan corrected item-total correlation > dari 0,361) dan data korelasi tidak valid jika
dibawah dari r tabel ( tidak di temukan). Dengan demikian dapat digaris bawahi bahwa data yang
digunakan dalam analisa adalah data yang valid. Validitas ang dihasilkan dapat dibuktikan melalui
Coefficientsa
1.483 1.729 .858 .392
.129 .034 .187 3.761 .000
.331 .035 .492 9.565 .000
.160 .030 .267 5.320 .000
.165 .031 .267 5.289 .000
(Constant)
Sumber Daya Manusia
Peran Pemerintah
Modal Usaha
Kemitraan
Model
1
B Std. Error
Unstandardized
Coefficients
Beta
Standardized
Coefficients
t Sig.
Dependent Variable: Kemandirian Usahaa.
uji Korelasi dan dihasilkan hubungan yang kuat antara masing-masing variabel independent
dengan variabel dependent yang masing-masing menghasilkan parseon correlation 1.
b. Uji Reabilitas
Untuk melakukan Uji Reabilitas Instrumen menggunakan output yang telah diuji validitasnya dan diambil
30 sampel kuisioner sehingga menghasilkan nilai alpha pada masing-masing item yaitu pada kolom Cronbach’s if
item delete. Sedangkan untuk koefisien Cronbach’s Alpha secara simultan atas 4 item ditunjukkan pada tabel
reliability coefficients yang berada dibawahnya (Gendro Wiyono, 2011)
Tabel 5: Output Cronbach’s Alpha semua Variabel
No Variabel Cronbach’s Alpha N of Item
1 Sumber Daya Manusia .840 6
2 Peran Pemerintah .820 6
3 Modal Usaha .794 6
4 Kemitraan .876 6
5 Kemandirian Usaha .859 6
Output dari Reability Analysis tidak lain adalah Item-Total Statistics, yang menghasilkan nilai- nilai Alpha
pada kolom Cronbach/s Alpha If Item deleted, untuk masing-masing Item dan menghasilkan nilai Alpha Simultan/
komposit pada tabel Reability Statistik yang berada dibawahnya. Nilai Alpha ini dibandingkan dengan r tabel yang
dicari dengan signifikancy 0,05 dengan uji 2 sisi dan jumlah data (n) = 30 diperoleh nilai r tabel 0,361.Tampak
bahwa Alpha yang dihasilkan lebih besar dari pada r tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai item secara
parsial maupun secara komposit dinyatakan reliabel.
c. Uji F
Uji F digunakan untuk mengetahui apakah varian populasi sama atau tidak. Hasil Keluaran untuk Uji F
menggunakan Alat Analisis Independen ANOVAa
Tabel 6: Uji F dengan ANOVA
Hasil keluaran ANOVA menunjukkan bahwa Degree of Freedom yang digunakan adalah 4 dengan
Probabilitas 0,05 dan n = 200 maka dalam F tabel diperoleh nilai sebesar 2,26 sedangkan F hitung yang dihasilkan
sebesar 55,058 sehingga F Hitung lebih besar dari pada F tabel (F hitung > F tabel)
Dengan demikian sehingga dapat disimpulkan bahwa;
Ha diterima karena terdapat hubungan saling memberikan pengaruh antara variable independent (bebas)
dengan variable dependent (terikat). Dalam hal ini semakin besar F Hitung maka semakin sama populasi yang
digunakan.
d. Uji T
Uji T dapat juga dikatakan sebagai Uji Heterokedastisitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
penyimpangan.
Tabel 7: Uji T
ANOVAb
630.097 4 157.524 55.058 .000a
557.903 195 2.861
1188.000 199
Regression
Residual
Total
Model
1
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Predictors : (Constant), Kemitraan, Sumber Daya Manusia, Modal Usaha, Peran
Pemerintah
a.
Dependent Variable: Kemandirian Usahab.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
20
Bentuk pengujiannya adalah sebagai berikut :
Ha = B1, B2, B3, B4, B5 ≠ 0 artinya ada pengaruh bermakna antara X dengan Y dengan menggunakan
tingkat keyakinan 172,9% (lebih dari 100%) kemudian dibandingkan t hitung dengan t tabel. Besarnya tingkat
keyakinan akan berpengaruh terhadap nilai Z (nilai t). Semakin besar tingkat keyakinan maka akan semakin besar
pula nilai t (Gendro Wiyono, 2011).
Karena t tabel yang dihasilkan pada probabilitas 0,05 uji 2 sisi dan N 200 adalah 1,6525 sedangkan pada
probabilitas 0,025 uji satu sisi adalah 1,9719, maka dengan demikian dapat dinyatakan bahwa: T hitung > t tabel
Sehingga hipotesa yang menjadi kesimpulannya adalah
Ha diterima bahwa keempat variable independent (bebas) memberikan pengaruh terhadap variable
dependent (terikat).
Analisis Regresi menghasilkan Hipotesa sebagai berikut:
1. Variabel Sumber Daya Manusia memberikan pengaruh positif terhadap Variabel Kemandirian Usaha, B1
positif dan t serta F hitung > t dan F tabel.
2. Variabel Peran Pemerintah memberikan pengaruh positif terhadap Variabel Kemandirian Usaha, B2
positif dan t serta F hitung > t dan F tabel.
3. Variabel Modal Usaha memberikan pengaruh positif terhadap Variabel Kemandirian Usaha, B3 positif
dan t serta F hitung > t dan F tabel.
4. Variabel Kemitraan memberikan pengaruh positif terhadap Variabel Kemandirian Usaha B4 positif dan t
serta F hitung > t dan F tabel
Keempat Variabel Independen (Sumber Daya Manusia, Peran Pemerintah, Modal Usaha dan Kemitraan)
secara bersama-sama memberikan pengaruh terhadap Kemandirian Usaha terbukti bahwa correlasi yang dihasilkan
adalah 1 dengan kata lain hubungannya sangat kuat. Dengan demikian dihasilkan Model yang dapat diterapkan
sebagai berikut:
Coefficientsa
1.483 1.729 .858 .392
.129 .034 .187 3.761 .000
.331 .035 .492 9.565 .000
.160 .030 .267 5.320 .000
.165 .031 .267 5.289 .000
(Constant)
Sumber Daya Manusia
Peran Pemerintah
Modal Usaha
Kemitraan
Model
1
B Std. Error
Unstandardized
Coefficients
Beta
Standardized
Coefficients
t Sig.
Dependent Variable: Kemandirian Usahaa.
Gambar 1: Model Pemberdayaan Usaha Mikro
Pemberdayaan usaha mikro yang dapat diterapkan melalui keempat variabel (Sumber Daya Manusia, Peran
Pemerintah, Modal Usaha, dan Kemitraan) harus benar-benar dimaksimalkan terbukti bahwa β yang dihasilkan
positif artinya variabel-variabel pengaruh kuat mempengaruhi variabel independent (Kemandirian Usaha). Pertama,
Variabel Sumber Daya Manusia dengan β1 = 0,129 jika pemberdayaan yang dilakukan semakin baik dan tepat pada
sasaran maka Kemandirian Usaha bagi pelaku usaha mikro akan semakin baik. Kedua, Variabel Peran pemerintah
menunjukkan pengaruh yang positif kuat dengan β2 = 0,331 mempengaruhi Kemandirian Usaha, jika upaya
pemberdayaan yang dilakukan pemerintah tepat guna dan tepat sasaran pada pelaku usaha mikro terutama pelaku
usaha jajanan maka akan sangat berperan dalam mempengaruhi Kemandirian usaha. Ketiga, Variabel Modal Usaha
dengan β3= 0,160 memberikan pengaruh positif terhadap Kemandirian Usaha dengan demikian peran
pemberdayaan melalui Variabel ini harus benar-benar di maksimalkan fungsinya sehingga benar-benar berpengaruh
langsung terhadap para pelaku usaha mikro jajanan sehingga mereka akan mampu memiliki Kemandirian Usaha
secara finansial. Variabel keempat, adalah Variabel Kemitraan dimana β4 = 0,165 memberikan pengaruh positif
terhadap Kemandirian Usaha maka jika peran kemitraan ini di maksimalkan akan banyak memberikan sumbangan
terhadap Kemandirian Usaha bagi para pelaku usaha mikro khususnya kemitraan yang dibangun para pelaku usaha
jajanan.
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Dengan melihat hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
A. Pemberdayaan dari sisi Sumber Daya Manusia masih harus ditingkatkan karena SDM yang dimiliki para
pelaku usaha mikro (penjual jajanan) memang relative rendah, data dari hasil kuisioner berdasarkan
tingkat pendidikan menunjukkan hasil tingkat pendidikan SD sebesar 35%, SMP 40%, SMA 20% dan D3
4%, dan S1 1% kondisi ini berpengaruh terhadap Kemandirian Usaha dalam artian latar belakang
pendidikan yang rendah mengakibatkan berbagai persoalan seperti:
a. Kekurangmampuan akses dan perluasan pangsa pasar;
b. Kekurangmampuan akses pada sumber-sumber pendanaan, khususnya bank;
c. Keterbatasan akses pada informasi;
d. Kurang mampu memanfaatkan teknologi dan melakukan alih teknologi;
e. Kelemahan dalam pengelolaan organisasi dan manajemen.dan
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
22
f. Kurang peduli terhadap lingkungan termasuk masalah kesehatan yang ditimbulkan dari praktek
penjualan yang salah.
B. Pemberdayaan melalui Peran Pemerintah sangat berpengaruh terhadap Kemandirian Usaha Karena itu
Peran Pemerintah itu perlu dimaksimalkan seperti melalui :
a. Campur tangan pemerintah dalam membangkitkan semangat wirausaha yang benar;
b. Peran Pemerintah dalam memberikan banyak kemudahan dari berbagai peraturan ataupun
birokrasi yang ada;
c. Peran Pemerintah memberikan kemudahan pelaku usaha mikro menikmati fasilitas umum yang
mempu menunjang berlangsungnya usaha
d. Peran Pemerintah dalam pendidikan yang dapat menambah banyak pengetahuan tentang
lingkungan eksternal seperti lingkungan ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan perlindungan
keamanan dari pemerintah.
e. Peran pemerintah melalui dinas kesehatan semakin memantau kesehatan dan kondisi barang jualan
apakah layak jual atau tidak termasuk bagaimana mereka mengelola dagangan kadaluarsa.
C. Pelaku Usaha Mikro (penjual jajanan) kurang memiliki Modal Usaha yang cukup untuk mengembangkan
usahanya karena iu Pemberdayaan melalui Modal Usaha akan mempengaruhi Kemandirian usaha, kondisi
ini bisa terjadi karena:
a. Tidak adanya akses langsung para pelaku usaha mikro terhadap layanan dan fasilitas keuangan
yang disediakan oleh lembaga keuangan formal (bank) mapun non bank;
b. Kurangnya dukungan modal berupa pembiayaan dan penjaminan pinjaman modal usaha terkadang
mengakibatkan kurangnya kepedulian terhadap mutu dan produktivitas usaha sehingga menjadi
terhambat, mutu produk yang kadang seadanya karena konsep berpikir asal mendapat untung saja.
D. Pemberdayaan melalui Kemitraan yang dilakukan para pelaku usaha mikro (penjual jajanan) memberikan
pengaruh positif terhadap Kemandirian Usaha, namun hal ini masih banyak hambatan karena:
a. Keinginan yang rendah dari pelaku usaha mikro untuk menjalin hubungan kerjasama dengan
pelaku usaha lain baik seformat maupun dengan format diatasnya;
b. Memiliki pola pikir bahwa dengan berorganisasi mereka beranggapan akan membuang-buang
waktu saja
c. Sudah merasa cukup dengan apa yang dijalaninya selama ini.
2. Saran
Dengan melihat hasil kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini maka penulis memberikan saran kepada
Pemerintah Kota Yogyakarta khususnya bagi Dinas yang terkait untuk:
1. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta harus melakukan pengecekan langsung dan rutin ke penjaja jajanan
berkitan dengan masalah kesehatan makanan yang dijual belikan, termasuk makanan kadaluarsa dan lokasi
tempat jualan yang tidak mengganggu kepentingan umum.
2. Dinas Perindagkoptan Kota Yogyakarta harus meningkatkan pelatihan tentang berbagai hal yang mereka
perlukan untuk semakin meningkatkan kualitas SDM dengan sedikit paksaan agar mereka mau hadir.
3. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta harus melarang dengan tegas penjualan makanan jika terbukti tidak sehat
4. Dinas Perindagkoptan Kota Yogyakarta harus semakin memberikan banyak jalur kemudahan dalam pemberian
pinjaman dana dengan jaminan dari pemerintah kota Yogyakarta
5. Dinas Perindagkoptan Kota Yogyakarta harus membantu memberikan wadah jika memungkinkan membentik
Asosiasi bagi kelompok usaha jajanan agar semua saran diatas dapat tersampaikan dengan lebih mudah
sehingga Kemandirian Usaha semakin dapat dirasakan.
6. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta harus mengeluarkan Sertifikasi Layak atau minimal terdaftar dan diberikan
bukti kelayakan jual dari dinas kesehatan terhadap para Penjaja Jajanan yang beroperasi di wilayah Kota
Yogyakarta, salah satu contoh secara teknis dengan penampilan gerobak yang bersih dan menarik, penampilan
penjual yang bersih dengan menggunakan celemek dan sarung tangan
7. Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta harus menghimbau kepada pihak-pihak sekolah secara lebih luas agar
lebih memprioritaskan adanya kantin sehat
8. Dinas Pendidikan dan Kesehatan Kota Yogyakarta secara bersama-sama harus dapat menghimbau kepada
pihak sekolah untuk benar-benar memantau dan mentertibkan para penjaja jajanan di depan sekolah dan akan
lebih baik lagi jika hanya kepada para penjual jajanan yang memperoleh surat ijin resmi dari sekolah yang
bisa berjualan di depan sekolah yang bersangkutan, karena berdasarkan survey sebanyak 42,5% penjual berada
dilingkungan sekolah.
9. Pihak Sekolah baik tingkat SD, SMP dan SMU harus berani mengikuti jejak sekolah-sekolah sebelumnya
dalam upaya tegas membuat kantin sehat dengan mengajak partisipasi orang tua mengisi kantin dengan buatan
mereka dengan tanggung jawab penuh bahwa makanan yg dibuat adalah makanan sehat.
10. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta bersama BPOM secara simultan melakukan tes kesehatan makanan
terhadap makanan yg dijual oleh usaha jajanan sehingga akan tercipta rasa takut jika menjual makanan tidak
sehat/ berbahaya, karena accaman sangsi akan diberikan jika pelanggaran ini dilakukan.
Daftar Pustaka
Berry, A.E. Rodriquez and H. Sandeem (2001), Small and Medium Enterprises Dynamic in Indonesia, Bulletin of
Indonesian Economic Studies 37 (3) : 363-384
BPS, 2013, Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Kota Yogyakarta
Chew, Rosalind (1996), Safety Nets for Entrepreneuship in Singapore, dalam Low Aik Meng dan Tan Wee Liang
(ed) Entrepreneurs, Entrepreneurshp and Enterprising Culture, Addison-Wesley Publishing Co.,
Singapore
Gujarati, Damodar (1995), Basic Econometrics, Mc Graw-Hill
Hafsah, M. Jafar (2000), Kemitraan Usaha: Konsepsi dan Strategi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Hill, Hal (2000), Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia since 1970, Oxford University
Press, Singapore
Porter, Michael E. (1997), Competitive Strategy, The Pree Press, New York
Satrio, Awal Nugroho (2006), Kewirausahaan Berbasis Spiritual, Penerbit Kayon, Yogyakarta
Sumarsono, Sonny (2003) Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan, Penerbit Graha Ilmu,
Yogyakarta
Undang-undang no 20 th 2008, tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah
Wiyono, Gendro (2011), Merancang Penelitian dengan Alat Analisis SPSS 17.0 dan SmartPLS 2.0
Yusi, Syahirman M. dan Rini Zakaria (2005), Faktor-Faktor yang Mempengaruhi UpayaPemberdayaan Industri
kecil Perkotaan di Kotamadia Palembang, Laporan Penelitian atas biaya P5D Depdiknas, Politeknik
Negeri Sriwijaya
_____________, http//jogjakota.go.id
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
24
E-MUSEUM SEBAGAI MEDIA MEMPERKENALKAN CAGAR BUDAYA DI KALANGAN MASYARAKAT Oleh: Suraya & Muhammad Sholeh1
ABSTRACT
Basically the museum is a place of conservation, not only physically but in a system of moral values and norms. The
purpose of conservation is to prevent people from forgetting their culture. An effort of providing museum learning
system for the youth has to be done in order to conserve our cultural heritage. The system should be able to give
information regarding museum’s collections. The information will attract visitors to come to the museum.
One effort named integral system integrates information from many museums in Yogyakarta into a portal website.
The information is presented in text, picture as well as video format.
The system application is built with a web-based programming using CodeIgniter frame, and MySQL as the
database. In this study, map feature utilizing Google Map API is used to present information in the form of
particular museum location and other museums nearby.
Keywords: museum, integration, Yogyakarta
A. Pendahuluan
Museum pada mulanya muncul di Eropa, yaitu merupakan suatu ruang / tempat khusus untuk menyimpan
barang – barang eksotik milik raja. Namun dalam perkembangan dunia selanjutnya, museum merupakan tempat
bukan yang sekedar memamerkan tetapi berfungsi sebagai tempat mengumpulkan, melestarikan, merawat,
dokumentasi, menyajikan dan mengkomunikasikan benda-benda alam dan budaya untuk kepentingan pengkajian,
pembelajaran dan rekreasi. Peninggalan-peninggalan kebudayaan primitif yang dipamerkan di museum pada masa
modern sekarang merupakan suatu media yang menginformasikan masa lampau kepada kita, terutama generasi
muda sekarang yang tidak bersamaan hidup dengan generasi tua pada masa lampau. (Rumansara, 2013)
Perkembangan museum di Indonesia tidak lepas dari adanya masa kolonial. Sebelum kemerdekaan, tujuan
pendirian museum yang berkenaan dengan kebudayaan adalah untuk mengenal kebudayaan rakyat jajahan.
Sementara pendirian museum yang berkenaan dengan sains adalah untuk mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan
alam di negara jajahan. Barulah tujuan pendirian museum setelah kemerdekaan adalah untuk kepentingan
pelestarian dan pengembangan warisan budaya. Perhatian pemerintah kepada museum mulai diberikan pada 1948
lewat Jawatan Kebudayaan dalam Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Perhatian yang lebih
serius diberikan pada 1957 ketika dalam Jawatan Kebudayaan dibentuk Bagian Urusan Museum Pendirian dan
pengembangan museum di Indonesia semakin meningkat dari masa sebelum kemerdekaan. Tujuan pendirian
museum setelah kemerdekaan adalah untuk kepentingan pelestarian dan pengembangan warisan budaya dalam
rangka persatuan dan peradaban bangsa, juga sebagai sarana pendidikan nonformal. Jumlah koleksi pada masa
kolonial cukup besar, namun disajikan dengan konsep tata pameran di Eropa. Sementara jumlah koleksi setelah
kemerdekaan memang masih terbatas, namun koleksi tersebut dipamerkan untuk kepentingan bangsa dalam rangka
penanaman rasa kebangsaaan dan jati diri. (Aris Munandar, 2011)
Permasalahan yang dialami oleh museum adalah permasalahan klasik yang sebenarnya dialami pula oleh
sebagian besar museum di Indonesia. Museum milik negara pada umumnya, cenderung bersikap ‘pasif’ dengan
mengandalkan anggaran pemerintah yang tentu saja terbatas pada kewajiban terhadap perawatan dan penyimpanan
koleksi berupa tinggalan materi yang memiliki nilai budaya atau identitas bangsa sesuai dengan UU no. 11 tahun
2010 tentang Cagar Budaya. Sehingga memunculkan kesan membosankan bagi pengunjung, dan museum selalu
tampak sepi pengunjung.
1 Peneliti pada Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta
Pada dasarnya museum merupakan tempat pelestarian, bukan hanya secara fisik, tetapi dalam sistem nilai
dan norma. Tujuan pelestarian adalah agar masyarakat tidak melupakan kekayaan budaya atau tidak mengenal lagi
akan kebudayaan mereka. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah memberikan pembelajaran tentang museum
kepada generasi muda. Upaya yang dapat ditempuh adalah membangun system informasi museum yang dapat
memberikan gambaran dan isi dari museum. Dengan adanya informasi ini, tentunya akan didapat gambaran apa isi
dari museum sehingga diharapkan akan mendorong untuk melakukan kunjungan ke museum.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Menciptakan suatu sistem informasi yang menginformasikan museum di Yogyakarta yang dapat diakses di
mana saja dan kapan saja;
b. Menyajikan informasi lokasi museum dengan teks dan gambar, sehingga pengguna mendapatkan gambaran dari
suatu lokasi museum.
C. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian E-Museum mempunyai berbagai manfaat yaitu sebagai berikut: (1) Mengumpulkan dan
pengamanan warisan alam dan budaya, (2) Dokumentasi dan penelitian ilmiah, (3) Konservasi dan preparasi, (4)
Penyebaran dan pemerataan ilmu untuk umum, (5) Pengenalan dan penghayatan kesenian, (6) Pengenalan
kebudayaan antar daerah dan bangsa, (7) Visualisasi warisan alam dan budaya, (8) Cermin pertumbuhan peradaban
umat manusia, (9) Pembangkit rasa bertakwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam melaksanakan penelitian ini menggunakan beberapa referensi yang berhubungan dengan obyek
penelitian terutama dari penelitian-penelitian atau makalah dalam jurnal, diantaranya :
1. (Patias, 2008), dalam paper ini penulis menuangkan gagasan dan mengimplementasikan, bagaimana membuat
virtual dari suatu museum. Kelebihan system tentunya gambaran dari museum dapat divisualkan sedangkan
kelemahannya adalah system dikemas dalam bentuk CD sehingga pendistribusian nya mengalami kendala,
kecuali kalau CD ini menjadi souvenir dan tidak disajikan berbasis website.
2. (Michael, 2010) dalam paper berjudul Comparative study of interactive systems in a Museum., penulis
menawarkan penggunaan TIK, khususnya multimedia untuk memberikan gambaran museum secara virtual.
3. (Satrya, 2012), dalam makalah yang ditulis di jurnal ilmiah Pariwisata, STP Trisakti Jakarta lebih banyak
menulis bagaimana strategi untuk meningkatkan kunjungan ke museum. Strategi tersebut diantaranya
mengoptimalkan peran Corporate Social Responsibility (CSR) dari suatu perusahaan dalam mendukung
program-program dari suatu museum. Pendekatan yang dilakukan dalam makalah ini lebih cenderung
menggugah aspek sosial dari suatu perusahaan tetapi tidak mengulas penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) dalam meningkatkan peranan museum.
1. Pengertian dan Sejarah Museum
Museum merupakan sarana untuk mengembangkan budaya dan peradaban manusia. Dengan kata lain,
museum tidak hanya bergerak di sektor budaya, melainkan dapat bergerak di sektor ekonomi, politik, sosial, dll. Di
samping itu, museum merupakan wahana yang memiliki peranan strategis terhadap penguatan identitas masyarakat
termasuk masyarakat sekitarnya. Para ahli kebudayaan meletakkan museum sebagai bagian dari pranata sosial dan
sebagai wahana untuk memberikan gambaran dan mendidik perkembangan alam dan budaya manusia kepada
komunitas dan publik.
Dalam era pembangunan teknologi yang cepat berkembang dewasa ini, peranan museum sangat diharapkan
untuk mengumpulkan, merawat, dan mengkomunikasikan berdasarkan penelitian dari benda-benda yang merupakan
bukti konkret dari proses pengembangan kebudayaan. Di museum, masyarakat dapat memperoleh tempat berekreasi
sambil mendapatkan informasi mengenai ilmu dan kejadian-kejadian yang terdapat dalam kehidupan manusia dan
lingkungan.
Pada umumnya masyarakat masih memandang museum sebagai suatu tempat atau lembaga yang
bersuasana statis, berpandangan konservatif atau kuno, mengurusi benda-benda kuno kalangan elite untuk
kebanggaan dan kekaguman semata. Bangunan museum memang terkesan menyeramkan karena identik dengan
barang-barang kuno, sunyi, kemegahan, dan kadang agak kurang terurus. Namun seharusnya hal ini tidak menjadi
suatu halangan bagi masyarakat untuk tidak mengunjungi museum. Karena dibalik kekakuannya, museum juga
memperkenalkan proses perkembangan sosial budaya dari suatu lingkungan kepada masyarakat. Masyarakat juga
bisa menggunakan museum sebagai sarana belajar, selain sebagai tempat
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
26
Benda-benda koleksi yang dipamerkan harus dirancang sedemikian rupa termasuk menunjukkan adanya
isu-isu masa kini yang berjalan dengan fakta sejarah. Kegiatan yang dilakukan di museum tidak sekedar melihat
benda koleksi yang indah, tetapi bagaimana agar yang datang ke museum pulang tetapi ingin kembali datang ke
museum karena museum dianggap mempunyai daya tarik tersendiri. Ada yang mem buat saya cukup bangga saat
ini, sudah cukup banyak pengelola museum yang membolehkan museumnya digunakan untuk acara-acara kegiatan
kemasyarakatan, melakukan seminar untuk mengasah intelektual, dan yang terpenting museum tidak digunakan
untuk sebagian kecil orang saja. (Khoirnafiya, 2012)
2. Fungsi Museum
Kata “Museum” berasal dari kata Muze, oleh orang Yunani Klasik diartikan sebagai kumpulan sembilan
Dewi, perlambang ilmu kesenian. Kesenian itu sendiri merupakan budaya manusia bersifat universal, selain
beberapa sistem yang ada yakni: religi, teknologi, organisasi kemasyarakatan, bahasa, pengetahuan dan mata
pencaharian. Kesemuanya itu , juga merupakan materi koleksi museum secara umum. (Antara, 2013)
Sebagai lembaga ilmiah, tentu Museum mempunyai berbagai fungsi. Berdasarkan kebijaksanaan
pengembangan permuseuman Indonesia berpegang pada rumusan ICOM (International Council Of Museum)
(ICOM, 2013). Museum mempunyai sembilan fungsi, yakni (1) Mengumpulkan dan pengamanan warisan alam dan
budaya, (2) Dokumentasi dan penelitian ilmiah, (3) Konservasi dan preparasi, (4) Penyebaran dan pemerataan ilmu
untuk umum, (5) Pengenalan dan penghayatan kesenian, (6) Pengenalan kebudayaan antardaerah dan bangsa, (7)
Visualisasi warisan alam dan budaya, (8) Cermin pertumbuhan peradaban umat manusia, (9) Pembangkit rasa
bertakwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Museum dinilai masih kurang maksimal. Masih banyak yang perlu dibenahi oleh museum. Antara lain
aspek fisik seperti storage, keamanan museum, dan fasilitas public serta aspek non fisik yang meliputi kualitas SDM
dan Manajemen Museum. Disamping kedua komponen tersebut terdapat hal lain yang harus diperhatikan juga oleh
museum dan tidak kalah pentingnya dengan kedua hal tersebut. hal itu adalah masalah publikasi dari museum itu
sendiri. Hampir sebagian besar museum di Indonesia masih belum memiliki sarana publikasi yang luas dan menarik.
Padahal dari publikasi yang menarik dapat menarik pula minat dari masyarakat itu sendiri untuk mengunjungi
museum. Seharusnya pihak museum dapat memanfaatkan sarana komunikasi massa seperti televisi, radio, surat
kabar, dan internet sebagai saranan promosi yang strategis untuk mempublikasikan museum pada masyarakat
luas. (Sukma, 2013)
E. Hasil Penelitian
1. Hasil Perancangan Basis Data
a. Tabel Museum
Tabel 1 merupakan tabel museum yang berisi data-data museum.
Tabel 1. Struktur tabel Museum Nama Field Type
Id_museum* Int
Nama_museum Varchar(10)
Alamat Varchar(40)
Lat_museum Decimal(10)
Long_museum Decimal(10)
Folder_gallery Varchar(100)
Link_youtube Varchar(100)
Keterangan Text
Image Varchar(100)
url Varchar(100)
Hit Int
b. Tabel Artikel
Tabel 2 merupakan tabel artikel yang berisi artikel-artikel yang berkaitan tentang
museum yang ada di sistem.
Tabel 2. Struktur tabel Tabel artikel
Nama Field Type
Id_artikel* Int
Judul Varchar(100)
Id_user** Int
Id_museum** Int
url Varchar(100)
Image Varchar(100)
Tanggal Date
Isi Text
c. Tabel Home Slide
Tabel 3 merupakan tabel home slide, yaitu tabel yang berisi data-data yang nantinya akan
di tampilkan pada slide pada halaman pengunjung.
Tabel 3. Struktur tabel Tabel home slide
Nama Field Type
Id * Int
Judul Varchar(50)
Deskripsi Varchar(100)
Gambar Varchar(30)
Alt Varchar(30)
d. Tabel Menu Admin
Tabel 4 merupakan tabel menu_admin yang berisi daftar menu yang dimiliki oleh admin.
Tabel 4. Struktur tabel Menu_admin
Nama Field Type
Id * Int
Nama Varchar(30)
url Varchar(50)
Icon Varchar(30)
e. Tabel Users
Tabel 5 merupakan tabel users yang berisi data-data user admin.
Tabel 5. Struktur tabel Tabel users
Nama Field Type
Id_user* Int
Username Varchar(10)
Password Varchar(33)
f. Tabel Artikel
Tabel 6 di bawah ini merupakan tabel artikel yang berisi artikel-artikel yang berkaitan
tentang museum yang ada di sistem.
Tabel 6. Struktur tabel Tabel artikel
Nama Field Type
Id_artikel* Int
Judul Varchar(100)
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
28
Id_user** int
Id_museum** int
url Varchar(100)
Image Varchar(100)
Tanggal Date
Isi Text
Hit int
g. Tampilan Aplikasi
1) Halaman Login
Halaman Login adalah halaman yang digunakan oleh administrator untuk masuk dalam sistem untuk
mengolah data agar dapat ditampilkan kepada masyarakat. Untuk dapat masuk ke halaman tersebut terlebih dahulu
harus memasukkan nama dan password. Berikut ini tampilan login admin.
Gambar 1. Tampilan dialog login
Tugas admin diantaranya memasukkan data museum, artikel, galery serta mengatur hak akses user lainnya.
2) Halaman tambah museum
Halaman ini digunakan admin untuk memasukkan data-data museum yang ada Tampilan untuk
memasukkan data museum ada di gambar 2
Gambar 2. Menu tambah data Museum
3) Halaman Home
Merupakan halaman utama atau halaman pertama kali muncul ketika seseorang mengakses website portal
museum Yogyakarta. Melalui halaman depan ini pengaksesan bisa dilakukan ke halaman lain melalui link-link yang
ada. Tampilan depan akan menampilkan objek singkat dari lokasi wisata Gambar 3 merupakan tampilan utama
dari sistem, untuk melihat informasi detail dari suatu lokasi wisata, pengguna dapat melakukan klik pada nama
lokasi yang diinginkan.
Informasi yang ditampilkan dalam menu utama adalah :
1. Slide bergerak yang menampilkan foto sejarah di Kota Yogyakarta
2. Link menuju museum
3. Berita yang terkait dengan suatu museum
Gambar 3. Tampilan menu utama pengguna
4) Lokasi Museum
Di samping menginformasikan lokasi museum dalam bentuk teks dan gambar (gambar 4), aplikasi juga
menampilkan peta dimana lokasi museum berada serta lokasi museum yang ada di daerah disekitar lokasi museum.
Dengan adanya peta ini, tentunya informasi lebih menarik dan mempermudah pengunjung untuk menuju lokasi
museum.
Gambar 4. Data museum yang dapat diakses
5) Link ke Museum tertentu
Agar mempermudah pengguna menuju lokasi museum, dalam penelitian ini, aplikasi yang dikembangkan
dilengkapi dengan fasilitas untuk peta yang menggambarkan lokasi dari suatu museum serta lokasi museum lain
yang terdekat (radius 3 km) . Gambar 5 dan gambar 6 menampilkan informasi dari suatu museum serta posisi
museum dalam bentuk peta.
Li
nk
k
e
mu
seum
Slide berisi
gambar sejarah
Berita terkait
dengan suatu museum
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
30
Gambar 5. Informasi suatu museum.
Gambar 6. Peta lokasi museum dan lokasi museum terdekat
6) Informasi Museum
Tampilan museum disajikan baik dalam bentuk teks, gambar maupun foto. Dengan adanya tampilan ini
diharapkan pengunjung mempunyai gambaran isi dari suatu museum. Gambar 7 menampilkan informasi museum
dalam bentuk foto.
Gambar 7. Tampilan Suatu museum dalam bentuk foto
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan, uraian pada bab-bab sebelumnya dan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Dengan adanya portal museum ini dapat menampilkan informasi mengenai museum yang ada di
kota Yogyakarta, sehingga dapat mempermudah pengunjung untuk mengetahui informasi
sebelum melakukan kunjungan ke suatu museum;
2. Informasi disajikan secara interaktif dengan dilengkapi dengan data berupa teks, gambar serta peta
lokasi;
3. Sistem informasi dibangun berbasis website, sehingga dapat diakses dimana saja dan kapan saja
dengan menggunakan fasilitas internet.
2. Rekomendasi
Hasil akhir dari penelitian ini adalah website yang menginformasikan museum di kota Yogyakarta.
Informasi yang ditampilkan berbasis peta, sehingga pengunjung dapat mengetahui tempat museum dengan informasi
peta serta lokasi museum lain yang terdekat dari suatu lokasi museum
Pengembangan website berbasis GIS sangat diperlukan terutama bagi pengunjung museum yang tidak
berasal dari Jogjakarta, website semacama ini bisa dikembangkan atau dikelola oleh Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kota Yogyakarta.
Dalam website Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta,
http://pariwisata.jogjakota.go.id/index/extra.arsip/2 (Gambar 8), informasi yang ditampilkan hanya berisi informasi
teks sehingga bisa dikembangkan atau ditambah dengan informasi berbasis geografis.
Gambar 8. http://pariwisata.jogjakota.go.id/index/extra.arsip/2
Daftar Pustaka
Anonim. (2008). Here. Retrieved 8 25, 2013, from www.here.com: http://here.com/-
7.8082266,110.3623643,15,0,0,normal.day
Anonim. (2013). Kebijakan Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.
Aris Munandar, A. d. (2011). Sejarah Permuseuman di Indonesia. Direktorat Permuseuman,
http://museumku.wordpress.com/2012/02/09/sejarah-permuseuman-indonesia-bagian-3/.
Davis, B. G. (2004). Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen (edisi Revisi). Jakarta: Pustaka Bina Presindo.
ICOM. (2013). ICOM Code of Ethics for Museums. Paris: International Council of Museums .
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
32
Jogiyanto. (2001). Analisa dan Desain Sistem Informasi. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Kadir,Abdul (2013) Mudah Mempelajari Database MySql Yogyakarta : Penerbit Andi
Khoirnafiya, S. (2012, Januari 12). Peranan Museum Bagi Masyarakat Masa Kini. Retrieved April 2014, 17, from
http://museumku.wordpress.com: http://museumku.wordpress.com/2012/01/16/peranan-museum-bagi-
masyarakat-masa-kini/
Michael, D. a. (2010). Comparative study of interactive systems in a Museum. Proceedings of the Third
international conference on Digital heritage ISBN 3-642-16872-8,978-3-642-16872-7,
http://portal.acm.org/citation.cfm?id=1939603.1939626.
Murdick, R. G. (1999). Sistem Informasi Untuk Manajemen Modern Edisi 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Patias, P. C. (2008). THE DEVELOPMENT OF AN E-MUSEUM FOR CONTEMPORARY ARTS. Proceedings of
the 14th International Conference on Virtual Systems and Multimedia Project Papers,ISSN 0167-7055 ,
http://despinamichael.net/website/data/papers/VSMM2008_emuseum.pdf.
Rumansara, E. H. (2013). Peran Sanggar Seni Dalam Menunjang Kegiatan Bimbingan Edukatif Pada Pameran
Benda Budaya Bimbingan Edukatif Pada Pameran Benda Budaya Koleksi Museum - Museum Di Papua.
JURNAL ANTROPOLOGI PAPUA ISSN: 1693-2099 , 79-87.
Satrya, D. G. (2012). Strategi Pengembangan Museum. Jurnal Imial pariwisata Volume 17 No 1, Maret 2012 ISSN
1411-1527 STP Trisaksi Jakarta , 15-28.
Sukma, G. S. (2013, Pebruari 11). Museum Di Indonesia, Menyongsong Program Gerakan Nasional Cinta Museum.
Retrieved April 2014, 18, from http://gilangswarasukma.blogspot.com:
http://gilangswarasukma.blogspot.com/2013/02/museum-di-indonesia-menyongsong-program.html
33
STRATEGI PENGELOLAAN KEGIATAN PKK DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT SEJAHTERA BERBASIS MASYARAKAT WILAYAH RW DI KECAMATAN KRATON DAN GONDOMANAN KOTA YOGYAKARTA Oleh: Ir. Rini Dorojati, M.S., Rr. Leslie Retno Angeningsih M.Sc., Ph.D., Dra. Nuraini Dwi Astuti, M.P.
ABSTRACT
This research aims to reveal the strategy from each PKK's cadres in managing their activity in the scope of RW
(neighborhood). The results of this research are expected to be the City Government's input to improve PKK's self-
reliance in addressing the issues an effort to encourage women's role in realizing the PKK cadres prosperous
society.This research was designed using qualitative methods phenomenology. The location research are sub-
district Gondomanan an sub-district Kraton (palace). Method of collecting data with in-depth
interviews, documentation, Focus Group Discussion, observation of the PKK's cadre, team, and community leader.
Data analysis is done by qualitative methods. To formulate the strategy, we used SWOT analysis.
The result shows that 39 strategies can be used in managing the activities of PKK. But a new analysis shown that
only 30% of strategies had been used to managing activities. Taking advantage of local culture potential have not
been considered seriously as an citizen economic development strategy.The strategy decreasing weakness of PKK to
achieve opportunity, most of all strategies never been used. The most major weak condition is in avoiding threats,
strategy that PKK can do as a community is do coordination activity with community leader such as district head,
sub-district head, PKK district, and youth groups to jointly seeking efforts to reach PKK's goal out. To manage PKK
activities especially on sub-district PKK that oriented on self- reliance, it needs Yogyakarta government support
through agencies and , public figures, citizen, college university, work unit area and the team of PKK sub-district
Keywords: strategy, PKK, welfare
A. Pendahuluan
Latar Belakang
PKK atau Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga adalah gerakan pemberdayaan perempuan yang
telah nyata perannya dalam mendukung kesejahteraan masyarakat khususnya di kota Yogyakarta. Dengan
ditetapkannya peraturan melalui Keputusan Mendagri dan otonomi Daerah No 53 Tahun 2000, maka PKK telah
memiliki landasan yang kuat melaksanakan kegiatannya. Berdasar hal tersebut, posisi gerakan PKK dalam
peraturan daerah dan dana yang dianggarkan oleh pemerintah daerah dalam APBD kepada lembaga ini menjadi
pendukung semangat para pengabdi masyarakat melalui organisasi PKK. Perjuangan dan pengabdiannya sudah
sering dibicarakan, namun sepak terjang para wanita dan utamanya para ibu-ibu sebagai pengabdi dan pelayan
masyarakat dalam melaksanakan kegiatannya serta dukungan dan kendala yang dihadapi dalam mengelola
kegiatannya belum banyak diungkap.
Dari segi pembiayaan kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan PKK berkonsekuensi pada pembiayaan. Oleh
karena itu, pontensi lokal mereka diolah agar suatu kegiatan dapat dilaksanakan. Beberapa yang dilakukan untuk
terlaksananya suatu kegiatan antara lain dari sumber dana warga di tingkat PKK, juga telah dibentuk
akumulasi dana anggota secara sukarela. Namun, dana yang terkumpul masih sangat terbatas . Oleh karena
jumlah anggota PKK merupakan kaum ibu, maka potensi mengatasi masalah secara mandiri menjadi tumpuan
dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat. Adanya berbagai kendala, maka pengurus PKK dalam
melaksanakan kegiatan PKK di Tingkat RW menggunakan strategi antara lain pembagian tugas kepada pengurus
PKK RT atau dasawisma, Membagi tugas dilaksanakan karena untuk memperoleh sumber-sumber dana maupun
tenaga pelaksana kegiatan. Strategi yang dilakukan adalah pendekatan kelompok dan individual.
Dalam mendukung keistimewaan DIY dengan mengungkapkan peran wanita dalam aktivitas berorganisasi
khususnya PKK untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di tingkat basis yaitu lingkup Rukun Warga
merupakan kajian yang sangat penting sehingga dapat dijadikan strategi peningkatan kualitas sosial kemasyaratan
di kota Yogyakarta.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
34
Masalah Penelitian
1. Bagaimanakah strategi pengelolaan kegiatan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) dalam
mewujudkan kesejahateraan masyarakat di lingkup wilayah RW.
2. Bagaimanakah sinergi lembaga PKK tingkat RW dengan lembaga-lembaga lain dalam mendukung
pelaksanaan program dan kegiatan nya.
3. Dukungan dan kendala apa sajakah yang dihadapi PKK RW dalam melaksanakan aktivitasnya.
B. Tujuan Penelitian
1. Mengungkapkan strategi para kader PKK dalam mengelola kegiatannya di lingkup wilayah RW.
2. Mengetahui aktivitas para kader PKK RW dalam bersinergi dengan lembaga lain guna mewujudkan
masyarakat sejahtera.
3. Menyusun rencana tindak lanjut dalam meningkatkan kemandirian PKK dalam mengatasi
persoalan dan upaya mendorong peningkatkan peran perempuan para kader PKK dalam mewujudkan
masyarakat yang sejahtera.
C. Tinjauan Pustaka
Strategi
Menurut Chandler yang dikutip oleh Rangkuti (2002) mendefinisikan strategi sebagai alat untuk
mencapai tujuan instansi maupun perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak
lanjut, serta prioritas alokasi sumber daya dengan keuangan. David J Hunger dan Thomas L. Wheelen yang
dikutip oleh Joesron (2005: 18) dalam Hayyuna dkk menyatakan bahwa strategi manajemen memiliki dasar pokok
meliputi: a). Mengamati lingkungan (enviromental scan-ning). adalah kegiatan memonitoring faktor internal
organisasi dan eksternal organisasi melalui konsep kekuatan (strength), kelemahan (weakness), kesempatan
(opportunity) dan ancaman(threaths);
Pengelolaan Kegiatan PKK
PKK adalah suatu gerakan pembangunan yang tumbuh dari bawah, dikelola oleh, dari dan untuk
masyarakat menuju terwujudnya keluarga yang sejahtera. PKK adalah lembaga sosial kemasyarakatan yang
independen non profit dan tidak berafiliasi kepada suatu partai politik tertentu. PKK mempunyai tugas memahami
dan mengatasi masalah dalam kehidupannya, mengembangkan fasilitas dan teknologi sebagai langkah
meningkatkan daya inisiatif, pelayanan masyarakat dan sebagainya.(Anonim,2007) .Kader PKK terdiri kader umum
dan kader khusus. (TP PKK Pusat, 2010).
Keputusan Ketua Umum TP PKK tentang Hasil Rakernas VII PKK Bidang Rencana Kerja PKK
tahun 2010-2015 telah menetapkan beberapa prinsip dasar dalam analisis rencana kerja atau kegiatan harus
memperhatikan 4 aspek yaitu kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (TP PKK Pusat, 2010). Kekuatan ,
adalah yang mendukung dan berpengaruh terhadap upaya-upaya atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Kelemahan
adalah permasalahan yang dihadapi yang secara nyata berpengaruh terhadap proses kegiatan. Peluang, suatu kondisi
yang memungkinkan atau dapat didayagunakan untuk memperlancar tujuan yang akan dicapai. Ancaman, hal-hal
yang diperkirakan dapat berpengaruh secara langsung pencapaian tujuan kegiatan.
Pengembangan Komunitas
Menurut definisi yang dirumuskan Christerison dan Robinson (1989) dalam Soetomo (2006) bahwa
pengembangan komunitas adalah suatu proses dimana masyarakat yang tinggal pada lokasi tertentu
mengembangkan prakarsa untuk melaksanakan suatu tindakan social (dengan atau tanpa intervensi) untuk
mengubah situasi ekonomi , social, cultural dan atau lingkungan mereka. Prinsip-prinsip umum dari definisi
tersebut adalah (1) focus perhatian ditujuan pada satu kebulatan (2) berorientasi pada kebutuhan dan permasalahan
komunitas (3) mengutamakan prakarsa, partisipasi dan swadaya masyarakat. Sebagaimana gerakan PKK di
Indonesia, jika mengacu tentang konsep pengembangan komunitas (community development), maka PKK juga
berdiri dalam rangka mewujudkan perubahan pada individu atau komunitas karena dalam strktur kelembagaan
dan sasaran gerakan PKK dibentuk secara berjenjang menurut wilayah dari Pusat sampai menjangkau
Dusun/lingkungan, RW, RT dan dasawisma (TP PKK Pusat, 2010). Keberhasilan PKK ini terwujud karena
gerakan ini dimunculkan dari kebutuhan masyarakat yang pengelolaannya juga dilaksanakan oleh masyarakat dan
hasil yang didapat juga dinikmati langsung atau ditujuan untuk masyarakat itu sendiri . Dalam konteks penelitian
ini, PKK di wilayah RW terdiri para kader yang berasal dari perwakilan anggota PK RT, mereka secara kolektif
35
melakukan tindakan sosial dalam menghadapi persoalan di lingkungannya. Oleh karena itu dalam lokalitas RW
memungkinkan timbulnya kesadaran kolektif dan solidaritas sosial. Kedua hal tersebut merupakan modal sosial
dan energy sosial bagi tindakan bersama bagi peningkatan kehidupan bersama.
Kesejahteraan
Kesejahteraan, secara umum selalu dihubungkan dengan standar kemampuan untuk memenuhi berbagai
kebutuhan hidup. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu - individu. Menurut UU No. 11
tahun 2009, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material spiritual dan social warga agar
dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Adapun
menurut Nasikun, kesejahteraan adalah padanan makna dari martabat manusia dengan indicator (1) rasa aman
(security); (2) Kesejahteraan (walfare); (3) Kebebasan (freedom); (4) Jati Diri (identity). Menurut PKK,
keluarga adalah kondisi tentang terpenuhinya kebutuhan dasar manusia dari setiap anggota keluarga secara
material, sosial, mental, dan spiritual sehingga dapat hidup layak sebagai manusia yang bermartabat. Program PKK
yang dimaksud dalam Kep.Men tersebut adalah program dalam memenuhi kebutuhan dasar untuk terwujudnya
kesejahteraan keluarga.
D. Metode Penelitian
1. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode kualitatif phenomenology (Black and dean
J.Champion, 1992).
2 . Lokasi Penelitian di Kecamatan Kraton dan Kecamatan Gondomanan .Masing masing kecamatan diambil
sampel 1 kelurahan yaitu Kelurahan Panembahan dan Kelurahan Prawirodirjan di Kecamatan
Gondomanan. Masing- masing kelurahan diambil sampel 3 Rukun Warga (RW).
3. Subyek Penelitian: Kader PKK dalam lingkup Rukun Warga .
4. Metode pengumpulan data: wawancara mendalam, dokumentasi, FGD, observasi partisipasi.
5. Analisis Data, Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif melalui tahapan sebagai berikut:
Reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan, Untuk mengetahui pengelolaan kegiatan PKK
dilakukan dengan analisis SWOT yaitu identifikasi berbagai faktor untuk merumuskan staretgi. SWOT
adalah Strengths, Weaknesen, yang terdapat di lingkungan internal, dan Opportunities dan
Threats dari lingkungan eksternal. Rangkuti, 2002).
E. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Wilayah Kecamatan Kraton Dan Kecamatan Gondomanan Kota Yogyakarta, Derah Istimewa Yogyakarta
Secara geografis Kecamatan Kraton dan Kecamatan Gondomanan merupakan dua wilayah yang terleyak di
pusat Kota Yogyakarta. Dan jaraknya saling berdekatan. Ditinjau dari jumlah penduduk, Kecamatan Kraton
jumlah penduduknya lebih banyak dari pada Kecamatan Gondomanan yaitu sebanyak 22.154 jiwa dibanding
15.190 jiwa. kepadatan penduduk ternyata Kecamatan Kraton relatif lebih padat 15.824 jiwa/km2
dibandingkan
Kecamatan Gondomanan 13.526 jiwa/km2.
Dari segi demografi , Kelurahan Prawurodirjan memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi daripada
Kelurahan Panembahan masing-masing 20.647 jiwa/Km2 dan 14.150 jiwa/ Km2. Sex Ratio di kelurahan
Prawirodirjan lebih tinggi dibandingkan di kelurahan Panembahan yaitu 102,64 dibanding 94,36. Dari segi
mata pencaharian , sebagian besar/ penduduk di Kelurahan Panembahan dan Kelurahan Prawirodirjan bekerja di
sektor swasta masing-masing 44,94 persen dan 49,65 persen. Kondisi pendidikan , Kelurahan Panembahan
mapun Kelurahan Prawirodirjan sebagian besar penduduknya berpendidikan menengah keatas dengan total masing -
masing 71,86 persen dan 51 96 persen. Ditinjau dari tingkat kesejahteraannya diketahui bahwa kondisi
rumahtanggai wilayah Kelurahan Panembahan Pra KS sebanyak 9,45%. Adapun Kelurahan Prawirodirjan dengan
kategori kemiskinan yang jumlahnya cukup besar, perbandingan proporsi hampir sama antara rumahtangga
kategori miskin dengan hampir miskin masing - masing sebanyak 50%.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
36
2. Profil PKK Di Kelurahan Panembahan Kecamatan Kraton dan Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan
Kegiatan kelompok Kerja TP PKK, dapat diketahui bahwa Pokja I bidang penghayatan dan pengamalan
nilai-nilai luhur telah melaksanakan kegiatannya dengan sasaran keluarga baik ibu, bapak, dan lansia maupun anak-
anak berupa santapan rohani atau mengisi jiwa dengan pengajian, penyuluhan ,mendampingi dalam penyelesaian
masalah keluarga melalui mitra keluarga, jumat bersih.Pokja II telah melakukan beberapa kegiatan yang mencakup
kegiatan pendidikan ketrampilan baik di bidang ekonomi seperti Wabin Usep, UP2K, membuat payet pita,
kegiatan prakoperasi dan kegiatan pendidikan dengan sasaran anak seperti melaksanakan kegiatan PAUD di
Kelurahan Prawirodirjan, studi banding BKB, juga mengembangkan kegiatan masyarakat melaui informasi
yang diperoleh dari koordinasi TP PKK.Kegiatan Pokja III di bidang pangan terutama berkaitan dengan teknik
mengolah bahan pangan atau praktek memasak dan pengetahuan kualitas air minum. Kemudian kegiatan sandang
berupa kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian budaya dan menampilkan prestasi berbusana muslim, dan
kebersihan papan dengan memanfaatkan sampah menjadi barang berharga.Untuk Pokja IV lebih banyak
dibidang kesehatan terutama kesehatan anak, ibu dan lansia.
3. Strategi Pengelolaan Kegiatan PKK Dalam Mewujudkan Masyatakat Sejahtera Berbasis Wilayah RW
Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa beberapa potensi PKK di Kelurahan Panembahan dan
Kelurahan Prawirodirjan dapat dirinci dan dipetakan menurut kekukatan, kelemahan, peluang dan tantangan
/ancman PKK dalam melakukan kegiatan guna mewujudkan masyarakat dan keluarga sejahtera. Melalui
metode SWOT hasil pemetaan potensi kelembagaan PKK di kedua wilayah penelitian adalah sebagai berikut:
Kekuatan:
1. Kader PKK jumlahnya banyak dan berkualitas
2. Kader sudah lama aktif di PKK
Kelemahan:
1. Usia kader sebagian besar menjelang lansia
2. Kemampuan pendanaan untuk melaksanakan kegiatan terbatas
Peluang:
1. Program dan kegiatan di berbagai instansi pemerintah jumlahnya banyak
2. Kepedulian warga terhadap PKK tinggi
3. Banyak potensi budaya lokal yang belum dimanfaatkan
4. Jumlah penduduk dan keluarga meningkat
Ancaman:
1. Lapangan kerja bagi calon kader menuntut jam kerja panjang
2. Kebutuhan hidup meningkat , kurang peduli lingkungan
4. Analisis
Dari SWOT selanjutnya disusun strategi yang dapat digunakan PKK untuk pengelolaan kegiatan dalam
mewujudkan masyarakat dan keluarga sejahtera. Dengan memperhatikan setiap peluang dihubungkan dengan
kekuatan yang dimiliki PKK, maka beberapa strategi baik yang sudah dilaksanakan maupun yang berpotensi
dapat dilaksanakan para kader PKK dapat diikuti melalui Tabel 1.
Tabel 1. Strategi Meraih Peluang dengan memanfaat kekuatan PKK
SWOT – STRATEGI (Strength - Opportunity)
No. Peluang
Kekuatan Program Pemerintah jumlah banyak
1. Jumlah Kader banyak dan
berkualitas Strategi 1. Meraih program/kegiatan pemerintah dengan
menggerakkan semua kader
2. Kader sudah lama aktiv di PKK Strategi 2. Meraih programprogram pemerintah dengan
memaksimalkan kemampuan dan pengalaman kader
Kepedulian warga terhadap PKK tinggi
Strategi 3. Mensosialisasikan dan Mengajak warga terlibat pada
37
berbagai kegiatan PKK
Strategi 4. Melakukan kegiatan bersama masyarakat dengan
berbagai inovasi
Strategi 5. Menjalin kerjasama dengan para donatur agar kegiatan
PKK berkelanjutan
Banyak potensi budaya local yang belum dimanfaatkan
Strategi 6. Mengidentifikasi budaya lokal untuk rencana
pengembangan kegiatan PKK di wilayah masing-masing kader
Strategi 7. Mengikutkan kader dalam berbagai forum untuk
menambah pengetahuan dan skill tentang pengembangan budaya
lokal
Strategi 8. Mebambah kegiatan yang lebih kreatif untuk
pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya lokal . Strategi 9. Menjalin kerjasama dengan pemerintah untuk
pelestarian budaya lokal sekaligus meningkatkan ekonomi warga Jumlah penduduk dan keluarga meningkat
Strategi 10a. Mengajak warga dewasa baik laki-laki dan
perempuan untuk mengikuti kegiatan PKK
Strategi 10b. Sosialisasi peraturan tentang kader PKK tidak harus
perempuan Strategi 11. Melakukan kaderisasi yang sistematis
Sumber: Data Primer, 2014
Tabel 2. Strategi Meraih Peluang dengan Meminimalkan Kelemahan PKK
SWOT – STRATEGI (WO)
No Peluang
Kelemahan
Program dan kegiatan di berbagai instansi pemerintah jumlahnya
banyak
1. Jumlah Kader banyak
berusia lanjut Strategi 12. Meraih program/kegiatan pemerintah dengan seleksi untuk
menyesuaikan kemampuan kader 2. Dana kegiatan PKK
terbatas Strategi 13. Meraih program/kegiatan dari pemerintah dengan seleksi
menyesuaikan dengan potensi pendanaan yang disediakan kader dan dana
dari pemerintah Strategi 14. Meraih program-program pemerintah dengan permintaan
pendampingan dari SKPD dinas terkait
Kepedulian warga terhadap PKK tinggi
Strategi 15. Membuat kesepakatan bersama kepala wilayah untuk terlibat
dalam kepengurusan dan kegiatan PKK
Strategi 16. Memberikan penghargaan kepada warga yang aktif dan peduli
terhadap PKK
Strategi 17. Membuat sistem untuk memberikan peluang kepada semua
warga sebagai pimpinan kelompok PKK
Strategi 18. Meminta warga yang muda untuk bersedia untuk membantu
PKK dalam membuat laporan
. Banyak potensi budaya lokal yang belum dimanfaatkan
Strategi19. Memanfaatkan potensi budaya lokal untuk meningkatkan
ekonomi kader berusia lansia
Strategi 20. Memanfaatkan potensi budaya lokal untuk mendukung
pendanaan kegiatan PKK
Strategi 21. Mengembangkan potensi budaya lokal dengan bekerjasama
dengan organisasi setempat seperti: LPMK, Karang Taruna
Strategi 22. Mengembangkan potensi budaya lokal dengan
dikomunikasikan dan informasikan secara sederhana
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
38
Jumlah penduduk dan keluarga meningkat
Strategi 23. Membuat kesepakatan bersama kepala wilayah untuk terlibat
dalam kepengurusan dan kegiatan PKK
Strategi 24. Mengajak warga untuk terlibat kegiatan PKK sebagai
donatur dana kegiatan
Strategi 25. Membuat sistem untuk memberikan peluang kepada semua
warga sebagai pimpinan kelompok PKK
Strategi 26. Meminta warga yang muda untuk bersedia untuk membantu
PKK dalam membuat laporan
Sumber : Data Primer, 2014
Tabel 3. Strategi Menahan Ancaman/tantangan dengan Meminimalkan Kelemahan PKK
SWOT – STRATEGI (S-T)
No.
Ancaman
Kekuatan
Lapangan kerja bagi calon kader dan kader yang bekerja
menuntut jam kerja panjang
1. Jumlah Kader banyak Strategi 27. melakukan pendekatan kpd calon kader agar bersedia
terlibat dalam kegiatan PKK dengan memperhatikan jadwal kerjanya
2. Kader aktif PKK sudah lama Strategi 28. Kegiatan yang dilaksanakan agar menarik calon kader
Strategi 29. Para kader bersedia membimbing calon kaderdalam
berkegiatan
Strategi 30. Calon kader diberikan kebebasan memilihkegitan dan
tanggungjawabnya
Kebutuhan hidup meningkat, warga kurang peduli lingkungan
Strategi 31. Membuat kegiatan yang menarik perhatian dan memberi
manfaat ekonomi warga
Strategi 32. Melakukan diskusi di forum warga untuk
mengetahui masalah dan pemecahan maslah secara bersama-sama
Strategi 33. Membuat sinergi kegiatan PKK dan dengan kebutuhan
warga untk meningkatkan kepedulian kepada PKK.
Sumber: Data Primer, 2014
Tabel 4. SWOT : Memperhatikan Kelemahan Untuk Menghadapi Ancaman
SWOT – STRATEGI (W-T)
No.
Ancaman
Kelemahan
Lapangan kerja bagi calon kader dan kader yang bekerja
menuntut jam kerja panjang
1. Jumlah Kader banyak berusia
lanjut
Strategi 34. Melakukan kerjasama dengan kelompok karang taruna
atau TP PKK dalam melaksanakan kegiatannya.
2. Dana Terbatas Strategi 35. Melakukan seleksi kegiatan PKK dan melakukan
kerjasama dengan lembaga lokal maupun di luar wilayah
Strategi 36. Berkoordinasi dengan TP PKK untuk membuat sistem
pengkaderan
Strategi 37. Melakukan kerjasama dengan kelompok pemuda atau
SKPD dalam melaksanakan pelaporan dan administrasi
Kebutuhan hidup meningkat, warga kurang peduli
lingkungan
Strategi 38. Berkoordinasi dengan kepala wilayah, dan lembaga
masyarakat lainnya
39
Strategi 39. Melakukan kerjasama dengan pemerintah setempat untuk
mencari peluang peningkatan pendapatan keluarga
Sumber: data primer, 2014
5. Hasil Analisis
Dalam mengelola kegiatan, kader PKK mempunyai kesempatan menggunakan statergi yang
mempertimbangkan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Hasil analisis ditemukan sebayak 39 strategi yang
dapat dipergunakan dalam mengelola kegiatan PKK sekaligus dapat menjadi alternatif dalam melaksanakan
kegiatan PKK secara berkelanjutan. Dengan memperimbangkan segi demografi, sosial, ekonomi kader, maka adanya
strategi tersebut dapat dipergunakan perencanaan program jangka menengah sekitar 3-5 tahun. Namun
demikian belum semua strategi dipergunakan dalam mengelola kegiatan, karena belum semua kader memahami
pentingnya melakukan identifikasi potensi kelembagaan PKK.
Strategi memaksimalkan kekuatan untuk meraih peluang, menunjukkan bahwa sebagai mitra pemerintah ,
PKK telah bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan berbagai kegiatan.Namun
memanfaatkan potensi budaya lokal, belum diperhatikan secara serius sebagai potensi penegmbangan ekonomi,
sehingga peluang tersebut masih perlu didorong dengan modal sosial yang sudah ada dan dikomunikan ke berbagai
pihak agar tumbuh solidaritas yang akhirnya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Stategi
meminimalisasikan kelemahan PKK untuk meraih peluang, dari hasil penelitian menunjukkan sebanyak 15 strategi
yang dapat dilaksanakan, namun hampir semua strategi belum dipergunakan.
Dalam menghindari ancaman atau menghadapi ancaman dengan memaksimalkan kekuatan PKK, sebnayak
6 strategi ditemukan dalam penelitian ini yang menunjukkan bahwa mengadakan kegiatan-kegiatan yang
berorientasi ekonomi untuk mengangkat perekonomian warga perlu dilakukan . Hal tersebut mengingat bahwa
sebagai kader adalah juga sebagai relawan, maka apabila kegiatan PKK tidak dapat meningkatkan kesejahteraan
ekonomi warga akan ditinggalkan oleh calon-calon kader karena harus memenuhi kebutuhan keluarga yang
semakin meningkat.Strategi untuk mencegah terjadi ancaman dengan meminimalisasi kelemahan, hasil
menunjukkan sebanyak 6 strategi dapat dilakukan PKK dalam mengelola kegiatan. Paling utama pada kondisi ini ,
PKK melakukan kegiatan koordinasi dengan kepala wilayah dalam hal ini RW, RT dan TP PKK Kelurahan serta
kelompok pemuda-pemudi untuk bersama sama mencari upaya agar tujuan PKK dapat tercapay yaitu
mensejahterakan keluarga dan masyarakat. Mengelola kegiatan PKK secara partisipatif dengan pengurus wilayah
maupun warga menjadikan PKK tetap dinanti keberadaan dan perannya dalam pembangunan.
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Dari hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa:
1) Dalam mengelola kegiatan PKK di lingkup wilayah RW, para kader menggunakan berbagai strategi.
Terdapat 39 strategi yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini berdasarkan hasil analisis SWOT.
Sebagian strategi yang teridenfikasi telah dilaksanakan oleh kader kader PKK RW, namun sebagian
besar strategi belum dilaksanakan. Kurangnya komunikasi dan informasi dari PKK, akibatnya
sebagian besar warga belum tumbuh rasa solidaritasnya sebagai warga di luar PKK secara agregat.
terutama dalam kaderisasi, dan pendanaan.
2) Bersinergi dengan beberapa lembaga lain terutama instansi pemerintah melalui SKPD merupakan
strategi yang digunakan dalam mengelola kegiatan. Adanya sinergi dan evaluasi, maka kegiatan PKK
semakin baik. Disisi lain banyaknya kegiatan PKK yang bersinergi dengan program-program
pemerintah dari berbagai instansi, menuntut dana dan pelaporan yang banyak, sehingga kegiatan atas
inisiatif PKK sendiri jarang dilaksanakan karena keterbatasan dana.
3) Strategi kader yang sudah terlaksana dan belum terlaksana apabila ada kendala , maka kegiatan perlu
ditindak lanjuti dengan beberapa rekomendasi kepada pihak-pihak terkait.
2. Rekomendasi
Secara umum program dan kegiatan PKK tingkat basis lebih menyenangkan keluarga muda khususnya
kaum ibu, dan remaja dan hasilnya dirasakan segenap warga. Dukungan berbagai pihak baik pemerintah dan swasta
sangat diperlukan untuk rekomensasi ini yaitu:
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
40
1) Mengurangi beban administrasi kegiatan Pos Yandu Balita kepada kader PKK dengan cara
membuat pelaporan yang lebih sederhana. Pelaporan yang lebih rinci sebaiknya dibebankan kepada
petugas kesehatan setempat.
2) Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan memberikan pelatihan kepada seksi
pemberdayaan di kantor kelurahan setempat, sehingga mendukung partisipasi warga atas
terlaksananya program-program pemerintah.
3) Dinas Sosial melalui SKPD bekerjasama dengan perguruan tinggi khususnya dengan STPMD
“APMD” memberikan sosialisasi dan pelatihan tentang “Pengasuhan Anak” kepada kader PKK RW .
4) Dinas tenaga kerja melalui SKPD agar membantu percepatan pengurangan kemiskinan dengan cara
memberikan brosus atau informasi tentang pelatihan-pelatihan ketrampilan yang diberikan kepada
PKK RW dan memberikan pelatihan ekonomi kreatif berbasis budaya lokal.
5) Pihak swasta seperti CSR perusahaan membuka diri bagi akses PKK tingkat basis (PKK RW)
sehingga program-programnya dapat langsung dirasakan masyarakat. Pemerintah kota menjalin
kerjasama dengan pengusaha untuk memberikan beberapa persen keuntungan untuk gerakan PKK di
tingkat basis.
6) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan melakukan kerjasama dengan PKK guna memberi kesempatan
kepada kader PKK RW di lokasi penelitian untuk mengembangkan potensi budaya local supaya
ekonomi warga meningkat . Adapun bentuk kegiatannya yaitu menyediakan nasi langgi untuk acara
Car free Day , atau acara acara lainnya menggunakan nasi langgi sebagai menu utama .
7) PKK Tingkat RW menjalin komunikasi intensip dengan berbagai pihak seperti kelompok pemuda,
kelompok bapak-bapak dan pemimpin wilayah setempat sehingga permasalahan kaderisasi PKK dan
pendanaan kegiatan dapat diketahui oleh stakeholders dan dipecahkan bersama.
Daftar Pustaka
Anonim. Konsep Pemberdayaan, Membantu Masyarakat Agar Bisa Menolong Diri Sendiri
http://www.pemberdayaan.com/pembangunan/pemberdayaan-masyarakat-dan-pembangunan-
berkelanjutan.html
Anonim. 2004, Pedoman Umum Gerakan Pemberdayaan Dan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Tim Penggerak PKK
Jakarta.
Black A.james and Dean J.Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. PT Eresco: Bandung.
Guha, Sriparna, and Goswami, Samrat. (2007). Impact of Gender Budgeting on Women Empowerment.
http://www.inc.com/resources/leadership/articles/20070801
Priharsanti, Amelia. 2008. Peran Dan Potensi Gerakan PKK Serta Model Pemberdayaan Bagi Perempuan
Dalam Rangka membantu Ekonomi Keluarga (Di Malang Raya). Tesis. Malang
Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan Masyarakat. Rineka Cipta. Jakarta.
Rangkuti, Freddy.2002. Analisis SWOT. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rianse, Usman dan Abdi. 2008. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi: Teori dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta.
Soetomo, 2006. Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tim Penggerak PKK Pusat. 2010. Hasil Rapat Kerja Nasional VII PKK Tahun 2010. Jakarta: TP PKK Pusat
Periode 2010-2015.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
41
RANCANG BANGUN DAPUR PELEBUR ALUMINIUM BERBAHAN BAKAR PADAT YANG LEBIH HEMAT ENERGI DAN LEBIH RAMAH LINGKUNGAN Oleh: Joko Winarno1
ABSTRACT
In this work the performance of solid fueled furnace designed for aluminium melting with forced air flow was
studied. The raw materials used in this experiment were aluminum scrap, wood charcoal and coal briquette as solid
fuel. The performance evaluation of such furnace was carried out in order to determine efficiency and operation
cost of the furnace. Towards this objective, measurement was taken for quantity of solid fuel used for different
aluminum scrap melted and their corresponding melting time and temperature. The result showed that the efficiency
of the designed furnace was 10,35% and the operation cost of this furnace was Rp. 1,560/ kg aluminum scrap for
coal briquette fuel and Rp.2,880 / kg aluminum scrap for wood charcoal fuel.
Keywords: furnace, solid fuel, aluminum, efficiency, operation cost
A. Pendahuluan
Aluminium merupakan salah satu material logam non-ferro yang banyak digunakan baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam berbagai industri. Untuk menghemat biaya pengolahan aluminium, saat ini banyak
dilakukan proses remelting atau peleburan ulang aluminium bekas (aluminium scrap) terutama pada industri rumah
tangga hingga industri kecil. Adanya kebijakan program konversi energi dari minyak tanah ke gas elpiji dari
Pemerintah, saat ini banyak industri pengecoran aluminium skala rumah tangga hingga industri kecil menggunakan
oli bekas karena harganya lebih murah dan ketersediaannya cukup banyak.
Dalam prakteknya, pembakaran oli bekas banyak menimbulkan permasalahan baik dari sisi kesehatan
maupun dari sisi lingkungan. Oli bekas ini termasuk golongan limbah yang berbahaya (B3), apabila oli bekas ini
langsung dibuang akan mencemari lingkungan karena dalam minyak pelumas bekas terkandung kotoran-kotoran
logam, aditif, sisa bahan bakar dan kotoran lainnya dan jika minyak oli bekas dibakar begitu saja tanpa ada
perlakuan awal juga akan menimbulkan pencemaran lingkungan dan mengganggu kesehatan.
Berbagai upaya pengembangan tungku atau dapur untuk peleburan aluminium saat ini telah banyak
dilakukan untuk meningkatkan unjuk kerja tungku sehingga efisiensi pembakarannya dapat ditingkatkan. Di
samping itu, pengembangan tungku ini juga dimaksudkan untuk menurunkan dampak lingkungan yang ditimbulkan
dari proses pembakaran bahan bakar di dalam tungku peleburan yang selama ini juga menjadi permasalahan yang
dihadapi oleh para pengusaha industri pengecoran logam non-ferro, khususnya aluminium.
Beberapa tungku peleburan aluminium yang telah dikembangkan di antaranya tungku berbahan bakar padat
dengan sistem aliran udara paksa (Winarno, 2012). Tungku yang dirancang berbentuk kubus dengan ukuran 600 x
600 x 600 mm dengan kapasitas peleburan 5 kg aluminium scrap. Hasil pengujian dengan menggunakan briket batu
bara menunjukkan bahwa besarnya kebutuhan bahan bakar adalah 2,3 kg baban bakar per kg aluminium scra
dengan efisiensi sebesar 5,45 % karena rugi-rugi kalor yang terjadi masih cukup besar.
Sundari (2011) telah mengembangkan tungku atau dapur yang dirancang adalah dapur crucible berbahan
bakar gas LPG berbentuk silinder dengan diameter 220 mm dan tinggi 300 mm dengan kapasitas 30 kg. Dari hasil
uji coba yang dilakukan diketahui bahwa untuk melebur aluminium scrap seberat 30 kg diperlukan waktu 1 jam 37
menit dan bahan bakar yang digunakan adalah 3,60 kg.
Magga (2010) mengembangkan analisis perancangan tungku peleburan logam non-ferro jenis portable
berbahan bakar arang sebagai sarana pembelajaran. Tungku peleburan yang direncanakan berbentuk kotak dengan
diameter dalam berbentuk selinder dan cawang pelebur berbentuk selinder, dimensi tungku adalah 50 cm x 50 cm,
diameter dalam selinder 30 cm. Dari hasil analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa besarnya kalor yang
1 Dosen Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Janabadra Yogyakarta, Jl. Tentara Rakyat Mataram 55-57
Yogyakarta 55231, Telp/Fax: (0274) 543676. Email: [email protected]
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
42
digunakan untuk melebur 5 kg aluminium diperlukan kalor sebesar 3,030,600 J. Volume dari cawan pelebur yang
diperlukan adalah 1,5 liter.
Ashgi (2009) juga telah melakukan rancang bangun tungku peleburan aluminium berbahan bakar minyak
dengan sistem aliran udara paksa. Dapur peleburan yang dirancang dibuat dari tatanan bata tahan api yang
dilekatkan dengan campuran semen dan pasir tahan api. Dapur lebur mempunyai tinggi 62 cm, diameter luar 57 cm
dan, diameter dalam 31 cm. Dari hasil pengujiannya diketahui peleburan 4 kg alumunium menggunakan bahan
bakar solar diperlukan 5,8 liter dengan waktu peleburan 50-55 menit, sedangkan dengan menggunakan oli bekas
diperlukan 6 liter, dan memerlukan waktu peleburan 60-65 menit.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dilakukan rancang bangun sebuah tungku peleburan aluminium
berbahan bakar padat dengan sistem udara paksa yang dilengkapi dengan katup pengatur aliran udara. Tungku
(dapur) pelebur didesain sedemikian sehingga proses pembakaran berlangsung secara lebih sempurna dengan rugi-
rugi kalor yang seminimal mungkin. Dengan desain seperti ini, diharapkan bahan bakar yang diperlukan untuk
proses peleburan dapat dihemat dan dampak lingkungan yang ditimbulkan juga dapat diminimalkan. Dalam
penelitian ini juga akan dilakukan uji performa dari tungku yang dirancang dengan menggunakan dua jenis bahan
bakar padat, yakni briket batu bara dan arang kayu.
B. Dasar Teori
Aluminium merupakan logam ringan yang mempunyai ketahanan korosi yang baik. Berat jenis alumunium
adalah 2,643 kg/m3 cukup ringan dibandingkan logam lain. Kekuatan alumunium yang berkisar 83 – 310 Mpa dapat
melalui pengerjaan dingin atau pengerjaan panas (Surdia dkk, 1994). Di pasaran Alumunium ditemukan dalam
bentuk kawat foil, lembaran, pelat dan profil. Semua paduan alumunium ini dapat mampu dibentuk, dimesin, dilas
atau dipatri.
Proses peleburan adalah proses pencairan bahan (besi cor) dengan jalan dipanaskan di dalam sebuah dapur
peleburan, setelah bahan mencair kemudian dituang ke dalam cetakan (Arifin, 1976). Pada proses peleburan
alumunium digunakan dapur jenis crucible. Dapur crucible adalah dapur yang paling tua digunakan. Dapur ini
kontruksinya paling sederhana dan menggunakan kedudukan tetap dimana pengambilan logam cair dilakukan
dengan menggunakan ladle atau gayung. Dapur ini sangat fleksibel dan serbaguna untuk peleburan dengan skala
kecil dan sedang. Dapur Crucible yang ada berbentuk pot yang terbuat dari lempung dicampur dengan pasir.
Terdapat tiga macam crucible menurut jenis bahan bakar: gas, minyak dan kokas. Dapur Crucible dengan bahan
bakar kokas jarang digunakan karena kurang efisien.
Jumlah panas/kalor yang diperlukan dalam peleburan aluminium dapat digambarkan sebagai berikut
(Zemansky, 1994):
Gambar 1. Tahapan Peleburan Alumiium
Kalor yang diperlukan dalam peleburan aluminium adalah :
Qlebur = Q1 + Q2 + Q3
= m.(Cp.ΔT1 + KL + Cp ΔT2) (1)
Dengan,
Suhu, oC
Kalor yang diberikan, Joule
Q1 Q2
Q3
27
660
750
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
43
Q1 = kalor untuk menaikkan suhu kamar menjadi suhu cair aluminium
Q2 = kalor untuk mencairkan aluminium
Q3 = kalor untuk menaikkan suhu (aluminium dari 660 0C sampai 750 0C)
m = massa benda (Kg)
Cp = kalor jenis bahan (aluminium 8,8 x 102 J/Kg.K)
KL = kalor lebur aluminium
ΔT1 = perubahan suhu dari T1 ke T2
ΔT2 = perubahan suhu dari T2 ke T3
T1 = suhu awal (0C)
T2 = suhu akhir (0C)
Waktu yang diperlukan untuk melebur aluminium dapat dihitung dengan persamaan :
cawan
lebur
q
Qt (2)
Dengan,
Qlebur = kalor yang diperlukan untuk melebur aluminium
qcawan = laju aliran kalor yang diserap oleh cawan/kowi pelebur
Jumlah bahan bakar yang dibutuhkan dapat ditentukan dengan persamaan (Culp dan Sitompul, 1976) :
bb
rugirugilebur
bbHHV
QQm
(3)
Dengan,
Qrugi-rugi = rugi-rugi kalor
HHVbb = nilai pembakaran tinggi bahan bakar
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode perancangan tungku peleburan aluminium berbahan
bakar padat. Perancangan tungku peleburan aluminium yang dilakukan meliputi perancangan konsep, perancangan
bentuk dan perancangan detail. Perancangan konsep dilakukan dengan membuat rancangan struktur tungku
kemudian dilakukan analisis apakah sudah memenuhi kriteria perancangan yang telah ditetapkan. Setelah tahap
perancangan selesai dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah fabrikasi tungku dengan menggunakan acuan hasil
perancangan detail dari tungku ayang akan dibuat yang dilanjutkan dengan pengujian tungku dan analisis hasil. Jika
hasil pengujian belum memenuhi kriteri yang telah ditetapkan, kemudian dilakukan perbaikan dan penyempurnaan
tungku, dan kemudian dilakukan pengujian ulang. Diagram alir dari metode penelitian ini dapat dilihat pada gambar
1 berikut ini.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
44
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
Setelah hasil dari pengujian tungku telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan, kemudian dilakukan
analisis yang mendalam untuk mendapatkan kesimpulan terhadap hasil rancangan tungku. Selanjutnya kesimpulan
ini digunakan untuk membuat rekomendasi ke pihak-pihak terkait.
D. Hasil dan Pembahasan
Hasil rancangan tungku yang telah dibuat dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2. Tungku Hasil Rancangan
Proses pengujian tungku yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
45
Gambar 3. Pengujian Tungku Hasil Rancangan
Distribusi temperatur pada berbagai waktu peleburan pada pengujian yang pertama, yakni dengan
menggunakan bahan bakar briket batubara dan pengujian yang kedua, yakni dengan menggunakan bahan bakar
arang kayu dapat dilihat pada gambar 4 dan 5..
Gambar 3. Distribusi Temperatur Pada Pengujian yang Pertama
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
46
Gambar 5. Distribusi Temperatur Pada Pengujian yang Kedua
Dari hasil pengujian tungku peleburan aluminium yang pertama diketahui bahwa tungku yang dirancang
mampu untuk meleburkan aluminium scrap rata-rata 2,5 kg per jam. Waktu yang diperlukan hingga titik lebur
adalah 1 jam, dan waktu yang diperlukan hingga mencapai temperatur 810 oC adalah 1,25 jam. Jumlah bahan
bakar yang digunakan hingga mencapai temperatur 810 oC adalah 3,25 kg. Hal ini berarti kebutuhan bahan bakar
untuk melebur aluminium adalah sebesar 1,3 kg baban bakar per kg aluminium scrap. Besarnya laju pembakaran
bahan bakar ini lebih kecil jika dibandingkan dengan tungku peleburan berbahan bakar solar yang mencapai 1,4 liter
per kg aluminium scrap, tungku peleburan berbahan bakar oli bekas yang mencapai 1,5 liter per kg aluminium scrap
dan tungku peleburan berbahan bakar minyak tanah yang mencapai 1,6 liter per kg aluminium scrap.
Dari hasil perhitungan diketahui bahwa besarnya kalor rata-rata yang digunakan untuk melebur aluminium
scrap hingga mencapai temperatur akhir 796 oC adalah 1095 kJ per kg aluminium scrap. Jika briket batu bara yang
digunakan memiliki nilai kalor permbakaran tinggi (HHV) sebesar 20092 KJ/kg, maka besarnya kalor rata-rata yang
dilepas bahan bakar batu bara di ruang bakar untuk dapat melebur aluminium scrap hingga mencapai temperatur
akhir 796 oC adalah 26120,6 kJ per kg aluminium scrap. Berdasarkan hasil analisis kalor ini dapat diketahui bahwa
bersarnya efisiensi tungku peleburan aluminium yang dengan bahan bakar briket arang adalah 10,5%. Dengan cara
yang sama dapat diketahui bahwa bersarnya efisiensi tungku peleburan aluminium yang dengan bahan bakar arang
kayu adalah 10,1%, sehingga besarnya efisiensi rata-rata dari tungku yang dirancang adalah 10,3 %. Efisiensi
tungku ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil evaluasi efisiensi tungku peleburan aluminum scrap berbahan
bakar gas LPG yang mencapai 19,5% (Sundari, 2011) dan juga masih lebih rendah jika dinadingkan dengan
besarnya efisiensi Tungku Rumah Tangga (TRT) yakni berkisar 14% - 26% (Supriyatno dkk, 1994).
Hasil analisis kinerja tungku dan biaya operasi peleburan aluminium yang dirancang dan beberapa tungku
lainnya dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan hasil analisis biaya operasi peleburan seperti ditunjukkan oleh tabel
di atas, maka ini dapat diketahui bahwa bersarnya biaya operasi tungku peleburan aluminium dengan bahan bakar
briket batu bara yang dirancang adalah Rp. 1560 per kg aluminium. Besarnya biaya operasi ini masih lebih tinggi
dibandingkan biaya operasi tungku peleburan aluminum berbahan bakar gas LPG yang hanya Rp. 1.200 per kg
(Sundari, 2011), akan tetapi lebih rendah dari jenis tungku lainnya.
Tabel 1. Perbandingan Kinerja Berbagai Tungku Peleburan Aluminium
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
47
E. Kesimpulan
Dari serangkaian hasil pengujian dan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut :
1. Tungku yang dirancang dapat digunakan untuk melebur aluminium dengan laju peleburan 2,5 kg
aluminium acrap per jam dan laju konsumsi bahan bakar sebesar 1,3 kg bahan bakar per jam.
2. Besarnya laju pembakaran bahan bakar ini lebih kecil jika dibandingkan dengan tungku peleburan
berbahan bakar solar, berbahan bakar oli bekas dan tungku peleburan berbahan bakar minyak
tanah.
3. Besarnya efisiensi rata-rata tungku peleburan aluminium yang dirancang adalah sebesar 10,3 %
karena rugi-rugi kalor masih terjadi.
4. Besarnya biaya operasi dari tungku peleburan aluminium yang dirancang adalah Rp. 1.560 per kg
untuk bahan bakar briket batu bara dan Rp. 2.880 per kg untuk bahan bakar arang kayu.
F. Rekomendasi
Oleh karena itu kami dapat memberikan saran dan rekomendasi kebijakan (policy brief) sebagai berikut :
1. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertanian melalui UPT Logam perlu melakukan upaya lebih
jauh untuk mengembangkan tungku peleburan aluminium skala industri berbahan bakar padat untuk
menggantikan tungku peleburan aluminium berbahan bakar oli bekas.
2. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertanian melalui UPT Logam perlu melakukan sosialisasi
kepada para pengusaha peleburan aluminium untuk tidak menggunakan oli bekas sebagai bahan bakar di dalam
peleburan aluminium dan beralih menggunakan bahan bakar gas LPG karena dengan desain tungku yang baik
dapat tungku dengan bahan bakar gas LPG ini dapat memberikan efisiensi dan biaya operasi yang lebih rendah
dibandingkan dengan tungku berbahan bakar oli bekas.
3. Dinas Lingkungna Hidup perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pembakaran oli bekas secara
langsung tanpa melalu proses pre-treatmnt terlebih dahulu sehingga dapat meminimalkan dampak lingkungan
yang lebih serius akibat maraknya penggunaan oli bekas sebagai bahan bakar.
Daftar Pustaka
Anonim, 2012, Dapur Peleburan Logam, http://hapli.wordpress.com, diakses pada 19 April 2013.
Anonim, 2012, Peleburan Dengan Tanur Induksi, http://hapli.wordpress.com, diakses pada 19 April 2013.
Anonim, 2011, Pengolahan Logam dengan Dapur Kupola, http://www.gudangmateri.com. diakses pada 19 April
2013.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
48
Archie W. Culp, Jr., Darwin Sitompul, 1976, Prinsip-Prinsip Konversi Energi, Mc Graw Hill, New York.
Arifin, Syamsul, 1976, Ilmu Logam, Jilid I, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Ashgi, 2009, Rancang Bangun Dapur Kowi Pelebur Aluminium Berbahan Bakar Minyak, Digital Library,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, http://digilib.uns.ac.id., diakses pada 18/02/2013, 12:46.
Chengel, Yunus and Michael Boles, 1998. Thermodynamics: An Engineering Approach. Highstown: McGraw-Hill.
Ighodalo, O.A., Akue, G., Enaboifo, E., Oyedoh, J., 2011, Performance Evaluation Of The Local Charcoal-Fired
Furnace For Recycling Aluminium, Journal Of Emerging Trends in Engineering and Applied Sciences
(JETEAS) 2 (3) 448 – 450, Scholarlink Research Institute Journals (ISSN : 2141 – 7016).
Magga, R., 2010, Analisis Perancangan Tungku Pengecoran Logam (non-Ferro) Sebagai Sarana Pembelajaran
Teknik Pengecoran, JIMT Vol. 7, No. 1, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Tadulako.
Sundari, E., 2011, Rancang Bangun Dapur Peleburan Aluminium Bahan Bakar Gas, Jurnal Austenit, Volume 3
Nomor 1, April 2011, Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Siwijaya.
Surdia, Tata dan Saito Sinkoru, 2000, Pengetahuan Bahan Teknik, Pradnya Paramita, Jakarta.
Supriyatno, Nazif dan Mamat, 1994, Pengujian Efisiensi Energi Tungku Rumah Tangga, Porsiding Seminar Ilmiah,
P3FT, LIPI, Jakarta.
Tata Surdia, 2000, Teknik Pengecoran Logam, Pradya Pramita, Jakarta
Winarno, 2012, Rancang Bangun Tungku Peleburan Aluminium Sistem Aliran Udara Paksa,. Jurnal Teknik,
Periode Oktober 2012, Fakultas Teknbik Univ. Janabadra Yogyakarta.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
49
MODEL PENGEMBANGAN SOCIO-PERFORMANCE LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) SEBAGAI USAHA PENINGKATAN KUALITAS EKONOMI DAN SOSIAL MASYARAKAT DI KOTA YOGYAKARTA Oleh: Dewi Kusuma Wardani1, Sri Hermuningsih2
ABSTRACT
The number of poor people in Yogyakarta rose to 21 299 households or 68 188 inhabitants in 2013 from 17 018
households or 54 530 inhabitants in 2012 (SK Gubernur Yogyakarta 451 / Kep / 2012). Rising poverty in
Yogyakarta should receive special attention because poverty is a problem of development of social welfare due to
impact on the success of development in other areas. KUBE Micro Finance Institution (MFI) program is an effort to
alleviate poverty. According to data from the Ministry of Social Affairs can be said that the MFI program KUBE
successful in empowering the poor. However, according to research results Mujiyadi (2007) and Andariani (2011)
found that the MFI KUBE not perceived benefits economically and yet can increase the family income. Differences
KUBE MFI performance evaluation results by the government with the benefits perceived by society raises some
questions "how the actual socio-performance KUBE MFIs in the city of Yogyakarta and how the model of
development?" It is important for the city government as a basis for policy making quality improvement program of
economic development and social community.
This study used qualitative method. Qualitative method was conducted with in-depth interviews and observation. To
complement the qualitative method, quantitative performed using descriptive statistics, like percentage diagram.
The results show that the MFI KUBE Yogyakarta city has a good social performance, however, there needs to be
development in order to alleviate poverty. Therefore, some people need to join hands, such as governments,
universities, businesses, and communities.
Keywords: KUBE Micro Finance Institution (MFI), poverty, socio-performance
A. Pendahuluan
Jumlah penduduk miskin di Kota Yogyakarta tahun 2013 naik menjadi 21.299 KK atau 68.188 jiwa dari
17.018 KK atau 54.530 jiwa di tahun 2012 (SK Walikota Yogyakarta No.451/Kep/2012). Naiknya angka
kemiskinan di Kota Yogyakarta perlu mendapat perhartian khusus karena kemiskinan menjadi masalah
pembangunan kesejahteraan sosial karena berdampak pada keberhasilan pembangunan di bidang lain.
Pemengentasan kemiskinan telah menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional. Kota Yogyakarta
menegaskannya dalam RPJMD 2012-2016, yaitu misi ketiga yang berbunyi “Mewujudkan pemberdayaan
masyarakat dengan gerakan Segoro Amarto”.
Program LKM KUBE merupakan salah satu upaya pengentasan kemiskinan dengan mengorganisir
masyarakat miskin dalam sebuah kelompok usaha bersama dan menyediakan bantuan modal pinjaman melalui LKM
KUBE. Outcome yang diharapkan dari program ini adalah peningkatan kerjasama kelompok, peningkatan
pengetahuan dan kepedulian social antar anggota kelompok, serta mendekatkan keluarga miskin, yang pada
akhirnya bermuara pada meningkatnya kualitas ekonomi dan sosial mereka (Andariani, 2011).
Menurut data dari Kementrian Sosial dapat dikatakan bahwa program LKM KUBE berhasil dalam
memberdayakan masyarakat miskin. Hal ini terbukti dari meningkatnya jumlah asset LKM KUBE dari Rp 30,25
milyar di tahun 2003 menjadi Rp 52,79 milyar, meningkatnya jumlah sasaran dari 17.321 kepala keluarga (KK) atau
695 KUBE menjadi 26.727 KK atau 2.797 KUBE. Namun demikian, menurut hasil penelitian Mujiyadi (2007) dan
Andariani (2011) ditemukan fakta bahwa LKM KUBE belum dirasakan manfaatnya secara ekonomi serta belum
dapat meningkatkan pendapatan keluarga.
1 Peneliti pada Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, Email: [email protected]
2 Peneliti pada Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, Email: [email protected]
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
50
Perbedaan hasil penilaian kinerja LKM KUBE oleh pemerintah dengan manfaat yang dirasakan oleh
masyarakat ini menimbulkan beberapa pertanyaan “bagaimana sebenarnya socio-performance LKM KUBE di Kota
Yogyakarta” Hal ini penting bagi pemerintah kota sebagai bahan pengambilan kebijakan pengembangan program
peningkatan kualitas ekonomi dan social masyarakat.
B. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui socio performance LKM KUBE di Kota Yogyakarta, dengan
melihat dampak multiplier LKM KUBE terhadap (1) peningkatan kesempatan kerja, (2) pengurangan kemiskinan,
(3) peningkatan pendapatan keluarga, (4) peningkatan akses dan kualitas pendidikan, (5) peningkatan akses dan
kualitas kesehatan, (6) peningkatan kepemilikan aset dan faktor produksi, (7) peningkatan kemampuan
berorganisasi, (8) pemberdayaan perempuan, (9) perubahan pola konsumsi dan menabung, (10) peningkatan
keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat
antara lain bagi pemerintah, masyarakat, dan akademisi.
C. Tinjauan Pustaka
1. Definisi Lembaga Keuangan Mikro
Program keuangan mikro memfokuskan pada perluasan aktifitas ekonomi dan meningkatkan standar hidup
klien dengan menyediakan jasa keuangan yang diperlukan. Keuangan mikro juga memfasilitasi berkembangnya
usaha kecil. Keuangan mikro dapat didefinisikan sebagai penawaran jasa keuangan seperti tabungan, kredit dan
transfer dana kepada masyarakat ekonomi golongan bawah yang tidak dapat mengakses jasa bank reguler (Wilson,
2003). Meskipun tujuan utama Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah meningkatkan status ekonomi masyarakat
miskin, sebagian besar LKM memperluas tujuannya untuk memberikan dampak bagi masyarakat secara lebih luas.
Karena rumah tangga yang menjadi sasaran LKM adalah bagian dari masyarakat dan ekonomi yang lebih luas,
dampak yang dirasakan oleh rumah tangga juga akan berimbas terhadap masyarakat secara luas. Keuangan mikro
dipandang sebagai salah satu pendekatan yang paling logis untuk mengentaskan kemiskinan karena langsung
menyentuh akar rumput masyarakat paling bawah, bersifat berkelanjutan, mampu melibatkan segmen yang luas, dan
membangun kapasitas ekononomi klien.
2. Paradigma Keuangan Mikro
Munculnya kredit mikro pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an dilatarbelakangi oleh meningkatnya
perhatian terhadap keuangan di perdesaan. Indonesia yang dipelopori oleh BRI, termasuk salah satu negara yang
memperkenalkan keuangan mikro disamping Greemen di Bangladesh dan PRODEM di Bolivia. Meskipun terdapat
beberapa perbedaan diantara ketiga negara tersebut, kesamaan utama kredit mikro ini adalah lebih menekankan pada
prinsip karakter klien dan dorongan kemitraan (peer pressure) dibandingkan kredit komersial yang lebih
mementingkan jaminan untuk mengamankan dana pinjaman, bunga untuk menutupi kerugian dan biaya
transaksi,dan insentif bagi yang mengembalikan kredit lebih awal (Meyer dan Nagarajan, 1999).
3. Proses Keuangan Mikro
Sebagian besar LKM membawa misi sosial yang beragam, misalnya memperluas akses ke jasa keuangan,
pengentasan kemiskinan, pemberdayaan perempuan, membangun solidaritas masyarakat atau meningkatkan
pengembangan ekonomi. Kinerja sosial menunjukkan sejauh mana LKM mampu mencapai tujuan-tujuan yang
ditetapkan ini. Konsep kinerja sosial tidak hanya memfokuskan pada dampak akhir.
4. Tujuan Evaluasi Kinerja Lembaga Keuangan Mikro
Penilaian kinerja sosial (social performance) merupakan suatu proses dimana suatu organisasi melakukan
benchmark antara kinerja sosial aktual dengan misi sosial yang telah ditetapkan sebelumnya (Copestake, 2005). Misi
dan tujuan kinerja sosial ini tidak hanya sekedar ditujukan kepada kelompok target tetapi juga kepada stakeholder
yang terkait. Karena obyek penilaian kinerja sosial merupakan suatu proses, maka pengukuran ini dapat diterapkan
pada berbagai tahapan social-impact causal chain, yaitu suatu model yang mendeskripsikan bagaimana suatu
dampak dapat tercipta dari suatu program. Berdasar model ini, dampak suatu program diawali dari input organisasi
yang kemudian ditransformasikan melalui proses internal dan kemudian menjadi output. Output menghasilkan
outcome, sedangkan outcome memberikan dampak. Secara grafis, social-impact causal chain.
Penilaian terhadap kinerja sosial digunakan untuk mengevaluasi seberapa besar manfaat yang dirasakan
oleh penerima kredit untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan. Penilaian ini termasuk diantaranya adalah
menganalisis apakah sistem yang dibangun dan instrumen yang digunakan telah benar-benar sesuai dengan tujuan
sosial. Penilaian kinerja sosial juga mengevaluasi outcome yang dihasilkan oleh program tersebut.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
51
Penilaian kinerja sosial dapat dilakukan hanya pada satu titik waktu tertentu (one time assesment) atau
dapat pula dilakukan secara berkelanjutan (on-going process). Kinerja sosial merupakan penterjemahan dari misi
social organisasi ke dalam praktek. Nilai sosial keuangan mikro berkaitan dengan bagaimana jasa keuangan
meningkatkan kehidupan kaum miskin, kaum miskin, dan keluargannya untuk dapat mengakses kesempatan yang
lebih luas dalam bermasyarakat. Untuk menciptakan nilai-nilai ini, tujuan sosial LKM termasuk diantaranya adalah
(Misra, 2006):
1. Meningkatkan jumlah pelayanan terhadap masyarakat miskin, tidak termasuk orang yang sedang menerima
kredit, secara berkelanjutan
2. Meningkatkan kualitas dan ketepatan jasa keuangan yang tersedia untuk klien targe melalui penilaian
sistematis kebutuhan yang spesifik
3. Menciptakan manfaat bagi klien keuangan mikro, termasuk diantaranya adalah keluarga dan komunitas
yang terkait dengan klien. Manfaat ini juga termasuk diantaranya adalah memperluas jaringan sosial klien,
mengurangi ketidakpastian, meningkatkan pendapatan, dan pemenuhan kebutuhan pokok.
4. Meningkatkan tanggung jawab sosial LKM terhadap karyawan, klien dan masyarakat yang dilayaninya.
Kinerja sosial tidak hanya mencakup pengukuran tujan dan outcome tetapi juga bagaiman tindakan dan
ukuran-ukuran koreksi diambil oleh LMM untuk mencapai outcome yang ditetapkan. Penilaian kinerja sosial tidak
hanya memfokuskan pada dampak akhir. Tujuan dari penilaian adalah menentukan apakah LKM memberikan
fasilitas bagi dirinya untuk mencapai tujuan sosial yang ditetapkan, dengan memantau sejauh mana tujuan tercapai,
dan mengevaluasi sejauh mana informasi yang diperolehnya untuk memperbaiki kegiatan operasinya.
Untuk menilai kinerja social dana bergulir, Economic and Social Commission for Asia and Pacific
(ESCAP), Integra-Clients Monitoring System, dan CERISE-Social Performance Initiative mengarahkan bahwa
peneliti sebaiknya memperhatikan tiga dampak, yaitu dampak individual, dampak rumah tangga, dan dampak
masyarakat (UNESCAP, 2000).
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif (qualitative study). Pendekatan ini akan
menganalis dan memperjelas sebab-sebab perubahan sosial-ekonomi yang dipersepsikan sebagai dampak LKM
KUBE serta faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan socio performance LKM KUBE.
Objek penelitian ini adalah kinerja social Lembaga Keuangan Mikro KUBE dalam meningkatkan kualitas
ekonomi dan sosial masyarakat. Penelitian ini menggunakan pengambilan sampel bertujuan. Kriteria yang pertama
adalah pihak yang terlibat langsung dengan LKM KUBE, baik dari pemerintah, pengelola, dan anggota. Dari enam
LKM KUBE yang ada di Kota Yogyakarta, peneliti mengambil empat LKM KUBE dengan alasan (1) salah satu
LKM KUBE sudah tidak aktif dan (2) salah satu LKM KUBE bukan berbasis kecamatan sehingga kedua LKM
tersebut tidak diambil.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data kualitatif. Data yang dihimpun dalam
penelitian ini adalah data tentang socio-performance program LKM KUBE, baik data sekunder maupun data
primer. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh dari data
monografi.
Untuk menganalisis kinerja social LKM KUBE, peneliti metode reduksi, analisis dari pernyataan-
pernyataan khusus dan tema-tema, dan semua kemungkinan pemaknaan. Untuk mempermudah dalam menggali
data, peneliti membuat instrumen wawancara semi tertutup. Cara ini dilakukan karena hasil wawancara dengan
pengelola menyampaikan bahwa nasabah tidak terbiasa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terbuka.
Peneliti tidak melakukan focus group discussion (FGD) karena dalam FGD tidak dapat mendapatkan data
dari seluruh peserta. Diskusi biasanya didominasi oleh beberapa orang. Agar dapat memperoleh data dari seluruh
responden, peneliti menggunakan wawancara mendalam dan dibantu instrument wawancara tertutup.
Guna menguji keabsahan data, peneliti menggunakan teknik trianggulasi, dengan cara multi subjek dan
multi metoda. Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data dari berbagai sumber data, yaitu staf
Dinsosnakertrans Pemkot Yogyakarta, serta pengurus, dan anggota LKM KUBE. Metoda yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metoda kajian data sekunder, wawancara mendalam, dan observasi.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
52
E. Hasil Penelitian
1. Pendapat Socio-Performance Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) menurut Pengelola
a. Dampak terhadap Peningkatan Kesempatan Kerja
Salah satu sasaran LKM KUBE adalah ibu rumah tangga yang sebelumnya tidak bekerja dapat
membuat usaha, seperti membuat batik jumputan, warung makan, dan lain-lain). Hal ini dapat dilakukan
karena persyaratan meminjam di LKM KUBE pada awalnya adalah mereka yang memiliki usaha dan
tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Oleh sebab itu, seluruh pengelola berpendapat bahwa
LKM KUBE dapat meningkatkan kesempatan kerja, yaitu dengan membuat usaha mandiri.
b. Dampak terhadap Pengurangan Kemiskinan
Seluruh pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE dapat mengurangi kemiskinan. LKM KUBE
menjadi salah satu sumber pendanaan non bank yang tidak memberatkan masyarakat. Dengan adanya LKM
KUBE maka masyarakat yang membutuhkan dana, tidak perlu kebingungan mencari dana segar melalui
rentenir.
c. Dampak terhadap Peningkatan Pendapatan Keluarga
Pengelola menilai bahwa LKM KUBE dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Hal ini dapat
terjadi karena sebagian besar nasabah meminjam untuk keperluan usaha sehingga dapat meningkatkan
pendapatan keluarga. Kebanyakan nasabah akan kesulitan membayar (nunggak) ketika dagangan sepi.
Pengelolapun memberikan kemudahan dengan mengijinkan penundaan pembayaran angsuran maksimal
selama 2 bulan dengan harapan pada bulan ketiga usaha nasabah sudah ramai kembali.
d. Dampak terhadap Peningkatan Akses dan Kualitas Pendidikan
Dari hasil pengamatan pengelola, pinjaman mengalami lonjakan pada bulan Mei dan Juni. Pada
umumnya, nasabah melakukan pinjaman pada bulan-bulan ini dengan tujuan memperoleh bantuan dana
untuk membayar uang sekolah anaknya. Hal ini dilakukan agar uang yang sebenarnta mereka miliki bisa
tetap digunakan untuk modal usaha dan tidak digunakan untuk membayar uang sekolah sehingga usaha
mereka tetap bisa berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, seluruh pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE
dapat meningkatkan akses dan kualitas pendidikan.
100% Betul Sekali
100%
Betul Sekali
100%
Betul Sekali
100%
Betul Sekali
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
53
e. Dampak terhadap Peningkatan Akses dan Kualitas Kesehatan
Sebagian besar pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE tidak berdampak pada peningkatan
akses dan kualitas kesehatan. Hanya sedikit nasabah yang pinjam untuk berobat karena sudah ada
mekanisme Jamkesmas dan BPJS.
a. Dampak terhadap Peningkatan Kemampuan Berorganisasi
Sebagian besar pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE berdampak pada peningkatan
kemampuan berorganisasi. Hal ini dikarenakan nasabah dapat meminjam ketika bergabung dalam KUBE
dan mengikuti pertemuan rutin setiap bulan. Namun demikian, seiring dengan waktu, proporsi nasabah
yang meminjam sebagai anggota KUBE mengalami penurunan bila dibandingkan dengan nasabah umum.
Hal ini terjadi di LKM KUBE Kotagede dan LKM KUBE Umbulharjo.
f. Dampak terhadap Pemberdayaan Perempuan
Meskipun sasaran LKM KUBE adalah kepala keluarga yang memiliki usaha, namun LKM KUBE
berdampak pada pemberdayaan perempuan karena sebagian besar yang meminjam adalah perempuan.
Proporsinya rata-rata 70%. Selain itu, perempuan dapat bergabung karena mereka menggantikan suaminya
untuk ikut dalam pertemuan rutin dan akhirnya keanggotaan dialihkan pada nama mereka sendiri. Dalam
pertemuan itu, sering diadakan pelatihan.Misalnya, pada LKM KUBE Wirobrajan pernah diadakan
pelatihan pembuatan fillet ikan sehingga dapat menjadi alternatif usaha baru bagi mereka.
g. Dampak terhadap Perubahan Pola Konsumsi dan Menabung
Seluruh pengelola berpendapat bahwa LKM KUBE tidak dapat mengubah pola konsumsi
nasabahnya. Peminjam tidak seluruhnya meminjam untuk usaha, melainkan juga meminjam demi
memenuhi kebutuhan konsumtif, seperti membeli peralatan elektronik.
Menurut pengelola, apabila digunakan untuk usaha saja, rata-rata pinjaman yang dibutuhkan
hanyalah sebesar Rp 500.000,-,namun sebagian besar meminjam hingga Rp 2.000.000,- dikarenakan
memenuhi kebutuhan konsumsi. Hal ini tidak dapat dicegah karena gaya hidup yang ikut berubah seiring
perkembangan jaman.
29%
71% Betul SekaliTidak Setuju
86%
14% Betul SekaliTidak Setuju
100%
Betul Sekali
100% Tidak Setuju
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
54
Di sisi lain, LKM KUBE dapat mengubah pola menabung. LKM KUBE tidak hanya melayani
peminjaman uang, namun juga melayani tabungan masyarakat. Ada juga saham yangmirip seperti
simpanan pokok di koperasi. Namun memang belum ada kewajiban untuk menyimpan uang sebagai
agunan pinjaman karena LKM KUBE tidak menggunakan agunan bagi nasabah KUBE.
Perubahan pola menabung ini diamati oleh pengelola dengan member contoh bahwa ada penjual
soto keliling yang setiap hari mampir ke LKM KUBE untuk menabung pendapatannya. Batas minimal
tabungan yang tidak tinggi ini memudahkan masyarakat kecil untuk terbiasa menabung dari penghasilan
hariannya.
2. Socio-Performance Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) menurut Nasabah
a. Dampak terhadap Peningkatan Kesempatan Kerja, Pengurangan Kemiskinan, dan Peningkatan Pendapatan Keluarga
Mayoritas nasabah berpendapat bahwa LKM KUBE meningkatkan modal usaha mereka. Hal ini
dikarenakan mayoritas pengajuan kredit bertujuan untuk modal usaha. Meskipun demikian, tidak menutup
kemungkinan mengajukan kredit untuk tujuan lain, seperti untuk membayar uang sekolah.
Mayoritas nasabah merasa bahwa pendapatan keluarga mereka dapat meningkat berkat pinjaman
dari LKM KUBE. Hal ini dikarenakan dengan adanya pinjaman maka modal usaha mereka bertambah dan
dapat digunakan untuk pengembangan usaha.
Hanya sebagian kecil yang merasa bahwa pendapatan keluarga tidak meningkat. Nasabah ini
biasanya meminjam untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak atau untuk membeli barang konsumtif.
b. Dampak terhadap Peningkatan Akses dan Kualitas Pendidikan
100%
Betul Sekali
9%
61%
30% 0% Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
17%
60%
17% 6% Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
24%
42% 16%
18% Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
55
Sebanyak 66% nasabah merasa bahwa LKM KUBE dapat meningkatan akses dan kualitas
pendidikan. Hal ini dikarenakan sebagian besar mereka menggantungkan pinjaman di LKM KUBE ketika
kesulitan membayar uang sekolah di awal tahun ajaran.
Di sisi lain, 34% nasabah tidak merasakan manfaat yang sama. Sebagian dari mereka sudah lanjut
usia sehingga anak-anak sudah lulus sekolah. Selain itu ada beberapa yang memang tidak menggunakan
pinjaman di LKM KUBE untuk membayar uang sekolah, namun digunakan untuk usaha.
c. Dampak terhadap Peningkatan Akses dan Kualitas Kesehatan
Meskipun sudah ada Jamkesda dan BPJS, namun nasabah merasakan dampak positif LKM pada
peningkatan akses dan kualitas kesehatan. Hal ini dikarenakan seringkali mereka tidak memanfaatkan
fasilitas Jamkesda dan BPJS karena keadaan sehingga pinjaman dari LKM KUBE dapat digunakan sebagai
sumber dana untuk mengakses fasilitas kesehatan.
d. Dampak terhadap Peningkatan Kepemilikan Aset dan Faktor Produksi
Tujuh puluh enam persen nasabah merasa bahwa dengan adanya LKM KUBE, mereka tidak lagi
kebingungan dalam membeli sarana produksi, seperti alat dan bahan baku.
e. Dampak terhadap Peningkatan Kemampuan Berorganisasi
Delapan puluh tiga persen nasabah berpendapat bahwa mereka aktif mengikuti organisasi
masyarakat sejak bergabung dengan LKM KUBE. Hal ini dikarenakan adanya kewajiban mengikuti
pertemuan rutin bulanan KUBE. Mereka hanya diberi kesempatan 2 kali tidak hadir. Bahkan di KUBE ini,
mereka tidak boleh menitipkan angsuran pada yang lain untuk mencegah terjadinya penyelewengan uang
pembayaran angsuran.
29%
37%
16%
18% Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
29%
37% 16%
18% Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
50%
33%
16% 1%
Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
56
f. Dampak terhadap Perubahan Pola Konsumsi dan Menabung
Lima puluh empat persen nasabah merasa bahwa terjadi perubahan pola konsumsi sejak menjadi
nasabah di LKM KUBE. Hal ini dikarenakan mereka menggunakan pinjamannya untuk membeli sarana
transportasi (sepeda, motor, mobil) dan juga alat komunikasi (telepon seluler). Sedangkan 46% lainnya
merasa tidak ada perubahan konsumsi karena mereka sudah memiliki alat transportasi & komunikasi
sehingga tidak perlu pinjam LKM untuk membeli lagi.
g. Dampak terhadap Peningkatan Keterlibatan dalam Pengambilan Keputusan
Delapan puluh tujuh persen nasabah merasa bahwa mereka dapat terlibat dengan pengambilan
keputusan dengan aktif memberikan saran pada pengurus organisasi, termasuk LKM KUBE.
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kinerja social LKM KUBE di Kota Yogyakarta dapat
dikatakan baik, namun perlu beberapa pembenahan dalam aspek SDM, pemasaran, operasional, dan
keuangan/modal.Upaya peningkatan kinerja social LKM KUBE tidak hanya dapat dilakukan oleh Dinsosnakertrans
sebagai pemrakarsa atau inisiator, melainkan perlu adanya sinergi dari berbagai pihak, seperti masyarakat,
perguruan tinggi, dan perusahaan.
Penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi bagi pemerintah Kota Yogyakarta, antara lain:
1. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sebaiknya memperbaiki
mekanisme pengelolaan nasabah LKM KUBE dengan cara:
a. Kewajiban melakukan pendampingan pertemuan rutin. Hal ini perlu didukung dengan
penambahan jumlah pendamping/pengelola
b. Sinergisitas program pendampingan LKM KUBE & KUBE. Maksudnya adalah
pendampingan secara terus menerus KUBE yang baru dan lama dengan mengajak
pengelola LKM KUBE.
2. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sebaiknya membuat program
pelatihan pengelola LKM KUBE untuk memperbaiki kinerja pengelola, terutama dalam hal
pendampingan pertemuan LKM KUBE
3. Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) sebaiknya membuat program RT/RW
anti bank plecit atau anti rentenir. Hal ini dapat menjadi salah satu cara agar kemiskinan yang
diakibatkan jeratan rentenir dapat dikurangi. Beberapa cara agar program ini dapat berjalan adalah
dengan:
a. Menggandeng LKM dan lembaga perbankan untuk menggalakkan budaya menabung dan
meminjam pada institusi keuangan yang sah.
b. Sosialisasi bahaya rentenir ke sekolah-sekolah, kantor-kantor, dan pertemuan-pertemuan
warga
4. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sebaiknya membuat sistem
pendataan bantuan dan/atau pelatihan guna pengentasan kemiskinan agar tidak terjadi duplikasi
program.
37%
17%
16%
30% Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
52% 35%
6% 7%
Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
57
5. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sebaiknya membuat sistem
penilaian kinerja social program pengentasan kemiskinan berbasis android sehingga dapat diisi
dan dibawa dengan mudah oleh petugas.
6. Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) sebaiknya membuat program:
a. Pelatihan perencanaan keuangan rumah tangga agar para ibu-ibu dapat menata keuangan
rumah tangga. Ibu-ibu sebaiknya dibekali pengetahuan tersebut agar dapat mensiasati
pendapatan yang kecil agar tetap dapat memenuhi pengeluaran dan juga dapat
berinvestasi sehingga dapat lepas dari jerat rentenir.
b. Sosialisasi bahaya rentenir pada ibu-ibu PKK atau dasawisma. Dengan terbukanya
pemahaman ibu-ibu mengenai bahaya rentenir maka ibu-ibu dapat mencegah dirinya
sendiri maupun suaminya untuk meminjam pada rentenir.
Daftar Pustaka
Andariani, Dwi Astuti.2011.”Implementasi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
di Yogyakarta”. Tesis S-2 Program Studi Sosiologi, Konsentrasi Kebijakan dan Kesejahteraan Sosial,
Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Copestake, J., Dawson, P., Fanning, JP, McKay, A. dan Wright-Revolledo, K.Wright.2005. “Monitoring the
Diversity of the Poverty Outreach and Impact of Microfinance: A Comparison of Methods Using Data from
Peru”. Development Policy Review, Vol. 23, No. 6.
IFAD.2006. Assesing and Managing Social Performance in Microfinance, International Fund for Agricultural
Development. Roma
Misra, Alok.2006. “Micro Finance in India and Millenium Development Goals: Maximizing Impact on Poverty”.
Discussion Paper for Workshop on World Bank, Singapore 18 September 2006.
Mujiyadi.2007. ”Implementasi Program Pemberdayaan Fakir Miskin: Studi Evaluasi di Delapan Daerah
Indonesia”. Laporan Penelitian Puslitbang Kesejahteraan Sosial Kementrian Sosial.
Suartana, Wayan dan Ariyanto, Dodik.2012. ”Analisis Kinerja Internal, Balance Scorecard, dan Pengembangan
Keuangan Mikro Berkelanjutan: Studi pada Lembaga Perkreditan Desa di Provinsi Bali”. Jurnal Akuntansi
dan Auditing, Vol. 9, No. 1, November 2012, 1-69
Sugiyono.2011. Metoda Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta
Susila.2007.”Analisis Efisiensi Lembaga Keuangan Mikro”. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.*, No. 2,
Desember 2007, hal. 223-242
UNESCAP.2000. A Manual for Evaluating Targeted Poverty Alleviation Program. New York: UNESCAP
Wilson, T.2003. “Lessons from a Microfinance Pilot Project in Rwanda”. Field Exchange.
OPTIMALISASI DAN PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN ENERGI LISTRIK DALAM INDUSTRI RUMAH TANGGA Oleh: Ir. Wiwik Handajadi, M.Eng.1 & Beny Firman, S.T., M.Eng. 2
ABSTRAK
Mengingat persediaan energi yang bersumber pada energi fosil di Indonesia saat ini tinggal sedikit sekitar 0,06 %
dari cadangan dunia, maka perlu adanya pemanfaatan energi listrik yang sudah ada dioptimalkan dan digunakan
seefisien mungkin.Untuk itu perlu adanya pemahaman managemen energi listrik yang ada pada tingkat rumah
tangga sampai tingkatan industri secara baik dan perlu adanya peralatan yang dapat membantu dalam
mengoptimalkan dan meningkatkan efisiensi penggunaan energi listrik.
Dalam penelitian ini dilakukan upaya peninggkatan pemahaman managemen energi listrik, yang berujung pada
masyarakat ditingkat rumah tangga yang dapat meunjang peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Upaya disini
diawali melihat kondisi dan merumuskan karakteristik dari mesyarakat, khususnya yang menggunakan energi listrik
dalam industri rumah tangga. Dengan demikian dilakukan upaya tercapainya tujuan dari penelitian, yaitu
peningkatan pemahaman dan perilaku dalam optimalisasi dan peningkatan efisiensi penggunaan listrik yang sudah
tersedia. Dari langkah-langkah awal penelitian dilakukan pemahaman dalam pengadaan intslasi listrik yang baru,
penggunaannya serta perawatan dan perbaikannya dengan berdasarkan pada standar PUIL tahun 2000.Disisi
teknologi tepat guna telah dibuatnya peralatan dapat di pergunakan dalam pengoptimalan dan peningkatan
efisiensi penggunaan energi listrik secara otomatis.
Alat yang dihasilkan dalam penelitian mempunyai tenggang waktu bekerja dan besarnya arus yang dideteksi
dengan kesalahan 1,16%, sehingga layak dipergunakan.
Kata kunci: optimalisasi, managemen energi, industri rumah tangga
A. Pendahuluan
Cadangan energi yang bersumber pada energi fosil saat ini sudah mulai menipis, sedangkan untuk
pembangkitan energi listrik masih banyak yang bertumpu pada energi tersebut. Walaupun upaya pembangkitan
energi listrik sedang diupayakan banyak cara yang menggunakan energi selain energi fosil dan merupakan proses
yang ramah lingkungan.
Pada sisi lain perlu adanya upaya penghematan energi untuk memenuhi kebutuhan energi, baik keperluan
industri dan rumah tangga. Dalam penghematan energi listrik maka dapat diupayakan peningkatan kualitas daya
listrik (Electric power quality = EPQ) atau adanya managemen daya listrik.
Untuk penghematan penggunaan energi listrik, khususnya kebutuhan bidang usaha/ bisnis baik pada skala
kecil atau besar perlu adanya berkesinambungan pelayanan energi listrik.Adanya kesinambungan layanan energi
listrik memiliki banyak dampak positifnya, antara lain:
a. Dari sisi produksi
Proses produksi dapat lancar sehingga target produksi dapat dicapai, terlebih bila dipergunakan dalam
proses produksi terkait dengan proses kimiawi yang memerlukan adanya proses yang kontinyu energi listriknya.
b. Dari sisi mesin listrik/ alat produksi dan instalasi
Adanya kesinambungan energi listrik akan mengakibatkan tidak adanya restart dari mesin listrik, hal ini
akan berdampak pada pembatasan jumlah daya listrik terpasang yang ada. .
c. Dari sisi pemilihan kapasitas yang dipilih
Untuk memenuhi keperluan daya listrik yang diperlukan harus dipilih kapasitas yang optimal dan hemat,
hal ini untuk meningkatkan efisiensi usaha serta kesinambungan akan pemenuhan daya listrik.
1 Electrical Engineering Dept. of Institut Sains & Tecnology AKPRIND, Yogyakarta
2 Electrical Engineering Dept. of Institut Sains & Tecnology AKPRIND, Yogyakarta
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
59
B. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan penelitian ini adalah merancang sebuah alat aplikasi yang dapat bekerja dengan membaca
kapasitas daya listrik yang digunakan oleh konsumen melalui pembacaan parameter arus dan tegangan listrik
menggunakan sensor dan menginformasikan kapasitas beban yang digunakan sehingga dapat memberikan informasi
adanya indikasi kelebihan daya yang digunakan saat itu.
C. Tinjauan Pustaka
Sebagai dasar yang mendukung dan mempermudah serta mempercepat dalam pembuatan alat ataupun
dasar analisis, maka penemuan yang lalu dipergunakan untuk tinjauan pustaka yang lalu.
Aan Setyo Budi, 2012, melakukan penelitian tentang peralatan pembatas arus beban lebih dengan
menggunakan sensor arus ACS712ELC-20A dan mikrokontriler ATMega16. Penelitian tersebut dengan judul : Proteksi Arus Berlebih Menggunakan Sensor ACS712ELC-20A.
Dhandhy Arisaktiwardhana, 2012, melakukan penelitian dengan judul : Peningkatan Faktor Daya lampu
Swaballast untuk mengurangi Energi dan Emisi CO2 pada sektor rumah tangga di Indonesia, yang menyampaikan
bahwa:
Tabel 1. Jumlah Pelanggan Rumah Tangga di Indonesia.
Golongan Pelanggan Rumah Tangga Jumlah Pelanggan
450 s/d 2.200 VA 38.672.726
3500 s/d 5.500 VA 523.180
6.600 VA keatas 126.970
Sumber : Juli 2012/ Statistik PLN 2010; ISSN 0852- 8179.
Sudirman Palaloi, 2014, melakukan riset Penggunaan Energi Listrik pada Pelanggan Rumah Tangga
Kapasitas Kontrak Daya 450 VA. Dari resetnya dapat diperoleh bahwa berbagai sifatnya beban listrik rumah tangga.
Serta menggunakan dasar standar yang baku yang dikeleuarkan oleh PLN, sebagai pihak penyedia daya listrik dan
peraturan yang terkait dengan penggunaan vasilitas energy listrik.
1. Teori yang mendasari
Perkembangan teknologi yang pesat memacu banyak penelitian yang berkaitan dijadikan objek penelitian
sebelumnya. Berikut uraian singkat penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas.
Automatic Circuit Breaker adalah saklar mekanis yang mampu menghubungkan, mengalirkan dan memutuskan arus
pada kondisi sirkit normal dan juga mampu menghubungkan, mengalirkan untuk jangka waktu tertentu dan
memutuskan secara otomatis arus pada kondisi sirkit tidak normal, seperti pada kondisi hubung pendek. Kelebihan
dari alat ini adalah mampu memproteksi beban berlebih dengan menggunakan rangkaian elektronika terprogram.
Dalam aksi kendali integral, output dari kontroler ini selalu berubah selama terjadi penyimpangan dan kecepatan
perubahan output tersebut sebanding dengan penyimpangan. Konstantanya dinyatakan dengan Kendali Integral.
Kendali Integral ini mempunyai sensitivitas yang tinggi, yaitu dengan cara mereduksi error yang dihasilkan dari
sinyal feedback. Kendali Integral memiliki karakteristik seperti halnya sebuah integral. Keluaran kontroler sangat
dipengaruhi oleh perubahan yang sebanding dengan nilai sinyal kesalahan (Rusli, 2008).
Penelitian ini memiliki beberapa kelebihan dari pada sistem pengaman konvensional misalnya Mini Circuit
Braker (MCB) karena dapat menampilkan daya yang sedang terpasang dan sangat cepat dalam melakukan tindakan
proteksi rangkaian terhadap gangguan arus beban lebih.
Alat yang akan dirancang akan mampu mengendalikan dan memberitahukan terlebih dahulu bila terjadi
beban lebih, sehingga dapat diperoleh layanan energi listrik secara kontinyu. Untuk itu dipergunakan perangkat
keras (mikrokontroler) yang dapat diprogram sesuai dengan program yang diberikan dalam mikrokontroler tersebut.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
60
D. Metode Penelitian
Untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan judul penelitian "OPTIMALISASI DAN
PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN ENERGI LISTRIK DALAM INDUSTRI RUMAH TANGGA"
maka subyek yang dipakai adalah:
a. Daya listrik yang disewa dari PLN.
b. Tarif Dasar Listrik (TDL).
c. Sifat beban listrik yang dipakai dalam industri rumah tangga.
d. Managemen daya listrik dan karakteristik masyarakat kota Yogyakarta dan pemahaman peraturan
penggunaan energi listrik.
Dari subyek yang diambil dan data- data yang akan dicari dari penyedia energi listrik (PLN) dan pengguna
energi listrik sebagai bahan analisis, maka diharapkan akan mendapatkan penyelesaian permasalahan. Selain itu
perlu adanya definisi yang diambil agar ada persamaan presepsi, sehingga akan diperoleh manfaat dari pihak terkait.
Pihak terkait dalam hal ini adalah masyarakat kota Yogyakarta, khususnya pemilik industri rumah tangga dan
Pemerintah. Optimalisasi energi listrik diartikan penggunaan daya listrik terpasang pada rumah tangga yang disewa
dari PLN, contohnya yang termasuk golongan tarif S-2/TR (450 VA, 900 VA, 1300 VA, 2200VA dan 3500 VA)
dapat dipakai dengan lancar tanpa adanya pemutusan aliran lirtrik dari MCB (Magnetig Ciccuit Braker). Efisiensi
penggunaan energi listrik yang dimaksudkan adalah uang yang dipergunakan membayar rekening listrik dangan
adanya kegiatan industri rumah tangga, masih memadai adanya tambahan pendapatannya.
E. Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini dipergunakan data- data primer maupun data sekunder, untuk data primer khususnya
untuk memahami karakteristik dari rumah tangga tentang penggunaak listrik untuk usaha rumah tangga. Selain juga
untuk pembuatan alat dan analisis dari alat yang dibuat.
1. Validasi Instrumen
Untuk mengetahui karakteristik masyarakat dalam penggunaan energy listrik dilakukan dengan
menggunakan kuisioner pada rumah yang meggunakan listrik dari PLN untuk usaha. Sedangkan untuk sifat beban
listrik yang ada dalam rumah tangga dilakukan pengamatan secara umum, dengan pengukuran beberapa sampel
rumah yang dipilih dengan menggunakan alat Power Quality Analiser. Untuk pengukuran dilakukan dalam satu
minggu/tujuh hari (Senin s/d Minggu) dan dalam rekaman data untuk kurun waktu tertentu. Hal ini diharapkan agar
memperoleh data akurat walaupun data sekunder.
2. Pengumpulan dan penyajian data
Rumah tangga yang dipilih sebagai sampel adalah dengan batas sewa listrik 450VA, ini mempunyai tujuan
batas daya listrik terbanyak (Dhandhy Arisaktiwardhana, 2012) dengan jumlah peralatan yang dipakai sedikit..
Dengan rangkaian pengukuran yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Rangkaian pengukuran listrik
Tabel 2. Profil Tegangan Sumber
U INPUT I INPUT
HIOKI 3169
CHANNEL 1 CHANNEL 2
CHANNEL 3( 1P2W X 3 )
SOURCE
T VREFRIGERATOR
OTHERS
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
61
Dari hasil pengukuran yang ditunjukan pada Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa:
Besarnya tegangan pada beban memenuhi standar yang ada.
MCB secara umum bekerja diatas arus pembatasan, hal ini akan dipergunakan dalam merancang
peralatan dibuat.
Tabel 3. Daftar kenaikan Tarif Listrik
Tabel 4. Daftar kenaikan Tarif Listrik
No Rumah
Kontra
k daya
[VA]
Tegangan
min.
Tegangan
rata2
Tegangan
maks.
Standar
deviasi [%]
[Volt] [Volt] [Volt]
1 Ismail 450 217,0 228,2 243,2 3,93
2 Sardian 450 210,3 228,2 247,0 6,10
3 Asmin 450 210,3 224,3 240,5 4,46
4 Narman 450 196,5 217,5 234,3 7,12
5 Suwarno 450 217,7 228,7 243,4 3,83
6 Dahlan 450 211,0 228,4 247,1 6,41
7 Nurhafi 450 210,9 228,4 247,2 6,10
8 Niung 450 198,7 221,5 237,7 6,59
9 Soleh 450 220,2 234,9 251,8 5,61
10 Marpuah 450 199,5 221,0 237,2 6,62
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
62
Sumber : Juli 2014/ PLN 2014.
Tabel 5. Tarif Pemasangan Daya Listrik Baru
Sumber : Juli 2014/ PLN 2014
Tabel 6. Tarif Kenaikan Tenaga Listrik
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
63
Sumber : Juli 2014/ PLN 2014
Dari Tabel 3 dan 4 menunjukan bahwa penetapan besarnya kapasitas daya listrik yang dipilih untuk
memenuhi kebutuan daya listrik beban agar dapat diperoleh:
Efisiensi penggunaan daya listrik yang dibutuhkan dapat meningkat.
Optimalisasi daya listrik agar tidak terdapat kelebihan besarnya daya listrik yang dipasngkan pada
pelanggan, untuk dapat membantu Pemerintah dalam memenuhi daya listrik yang ada.
Tabel 7. Jenis peralatan listrik sample diukur
Dari dapat diketahui macam-macam peralatan atau mesin listrik di rumah tangga yang mempunyai usaha
dan akhirnya dipakai dalam perancangan alat.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
64
Gambar 2. Profil daya rata–rata harian selama seminggu.
Dari profil daya rata-rata beban dan besarnya arus starting dari peralatan yang ditunjukan pada Gambar 2
dan Gambar 3 dapat dipergunakan memilih sensor arus listrik pada alat dan pembuatan program pada
mikrokontroler yang akan dibuat.
3. Peralatan bantu Management Energi Listrik
Didasarkan dari hasil analisis yang diperoleh dan dari studi literatur yang ada, maka dapat dikukan
pembuatan alat yang terdiri dari dua tahap, yaitu:
Perancangan alat.
Pengujian alat.
Gambar 3. Grafik besarnya Arus Starting
Untuk perancangan alat Manajemen Energi Listrik dapat dilakukan tahapan-tahapan dalam
pemprograman pada mikrokontroler dan pembuatan unit- unit rangkaian. Adapun bagian-bagian dari sistem alat
tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
0
100
200
300
400
500
600
Ism
ail
Asm
in
Sole
h
Suw
arno
Dah
lan
Sard
ian
Nur
hafi
Mar
puah
Nar
man
Niu
ng
Kons
umsi
day
a ra
ta-ra
ta (
Wat
t)
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
Rata2
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
65
Gambar 4. Bagian – bagian dari Sistem Alat
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Hasil yang didapatkan sementara pada penelitian ini adalah proses bekerjanya sensor arus dan tegangan
dengan baik dalam mendeteksi konsumsi arus dan tegangan pada beban sehingga dapat langsung dibaca oleh sensor.
Dengan demikian optimasi penggunaan daya terpasang dapat dicapai secara maksimal dan dapat dioperasikan beban
untuk proses usaha dengan baik.
2. Rekomendasi
Untuk hasil optimasi penggunaan konsumsi energi listrik untuk industri rumah tangga, perlu adanya
tindakan – tindakan yang harus dilakukan oleh Pemkot Yogyakarta. Hal ini agar diperoleh keuntungan pada kedua
sisi, yaitu dari sisi pemerintah dan masyarakat yang mempunyai industri rumah tangga.
Tindak lanjut tersebut dari hasil penelitian ini dan pengalaman peneliti antara lain:
1. Perlu adanya penyebar luasan pemahaman yang terkait dengan managemen energy listrik, hal ini
dapat dilakukan melalui:
a. Masyarakat langsung dengan media PKK, di tingkat RT.,RW., Padukuhan.
b. Kerja sama dengan Perguruan Tinggi, melalui program KKN.
2. Perlu adanya alat bantu dalam optimalisasi penggunaan energy listrik terpasang dalam rumah
tangga yang bekerjanya secara otomatis. Hal ini dengan pertimbangan bahwa;
a. Adanya alat tersebut mempunyai dampak langsung peningkatan kesejahteraan keluarga dari
adanya pengurangan pembayaran penggunaan energi listrik.
b. Harga alat yang dibutuhkan tersebut cukup mampu terbeli oleh pemilik industry rumah
tangga. Harga tersebut relative terjangkau, karena harga yang dilakukan saat penelitian ini
dalam skala riset. Bila diproduksi secara sckala layanan konsumen/produksi massal akan jauh
lebih kecil dapat mencapai 30 % dari harga riset.
Daftar Pustaka
Allegro, 2006. CS706ELC-20A, Bidirectional 1.5 mΩ Hall Effect Based Linear Current Sensor with Voltage
Isolation and 20 A Dynamic Range. Allegro MicroSystems Inc. Amerika Serikat.
Arisaktiwardhana, Dhandhy, 2014, Peningkatan Faktor Daya lampu Swaballast untuk mengurangi Energi dan
Emisi CO2 pada sektor rumah tangga di Indonesia,Tesis prodi Teknik Elektro, Universitas Indonesia,
Jakarta.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
66
Barmawi, Malvino. 1985. Prinsip – prinsip Elektronika. Edisi III. Erlangga. Jakarta
Budi, Aan Setyo, 2012. Proteksi beban berlebih menggunakan sensor ACS712EL C-20A, Skripsi Jurusann Teknik
Elektro, IST AKPRIND, Yogyakarta.
Ibrahim, K.F. 2007. Teknik Digital Elektronika. Andi. Yogyakarta.
Intersil. 2007. 3½ Digit, LCD/LED Display, A/D Converters. Intersil Americas Inc, America
Palaloi, Sudirman, 2014. Analisis Penggunaan Energi Listrik pada Pelanggan Rumah Tangga Kapasitas Kontrak
Daya 450 VA, SNAST IST AKPRIND Yogyakarta.
Rusli. 2008. Kendali Integral dan Feedback. Gramedia. Jakarta.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
67
MODEL MANAJEMEN STRATEGIK BERBASIS BALANCED SCORECARD SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) KOTA YOGYAKARTA Oleh: Dra. Suci Utami Wikaningtyas, MM, Dra. Sulastiningsih, MSi., Drs. Achmad Tjahjono, MM, Ak.
ABSTRACT
Data from Dinsosnakertrans (Office for Social, Employment and Transmigration Affairs of Yogyakarta City) say
that the highest quantity of unemployment in Yogyakarta City is the graduates of SMA/SMK. According to J.
Schumpeter, one of the solutions for decreasing unemployment is increasing the number of entrepreneurs. To solve
the problem, many obstacles must be handled for instance low quality of learning system, job seekers do not have
capability to be entrepreneurs and the majority of people prefer being corporate or government employees to being
entrepreneurs.
Based on the information, the research has two purposes. The first, to determine a learning model based on
entrepreneurship effectively for SMK. The second, to determine a strategic management model based on balanced
scorecard, especially in learning process.
Keywords: entrepreneurship, strategic management, balanced scorecard, learning
A. Pendahuluan
Berdasarkan data Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Yogyakarta,
jumlah pengangguran terbanyak lulusan SMA/SMK sebanyak 8.949 orang. Salah satu alternatif memecahkan
permasalahan tingginya pengangguran adalah memberikan dukungan dan pengarahan agar mental generasi muda
Indonesia bukan mental pegawai tetapi menjadi seseorang yang mengembangkan kreativitas sebagai ladang usaha
(wirausahawan).
Salah satu Penyebab permasalahan pengangguran adalah sistem pendidikan yang hanya menghasilkan
tenaga technical skill, yang belum banyak memberikan manfaat bagi Negara (Danuhadimejo: 1998). Atau faktor
ketidakmampuan dan ketidakberanian pencari kerja untuk berwiraswasta/ wirausaha (Mardikanto:1997). Mereka
yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan formal, pada umumnya hanya ingin menjadi pegawai negeri atau
karyawan, jarang yang mau dan mampu menciptakan dan mengembangkan pekerjaan, baik untuk diri sendiri
maupun untuk orang lain atau wirausaha (Gimin: 2000).
Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagian besar lulusan SMK belum mampu menciptakan
lapangan kerja (berwirausaha), maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana model pembelajaran
berbasis kewirausahaan yang efektif bagi SMK di Kota Yogyakarta? (2) Bagaimana manajemen strategik berbasis
balanced scorecard bagi SMK di Kota Yogyakarta?
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk menentukan model pembelajaran berbasis kewirausahaan yang
efektif bagi SMKN 1 di Kota Yogyakarta, dan (2) Untuk menentukan manajemen strategik berbasis balanced
scorecard bagi SMKN 1 di Kota Yogyakarta.
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik bagi SMK maupun pemerintah kota Yogyakarta.
Manfaat bagi Pemerintah adalah; (1) Menemukan model pembelajaran berbasis kewirausahaan yang efektif bagi
SMK di Kota Yogyakarta, (2) Menemukan manajemen pembelajaran berbasis balanced scorecard bagi SMK di
Kota Yogyakarta, dan (3) Meningkatkan kompetensi lulusan SMK sehingga dapat mengurangi tingkat
pengangguran. Sedangkan manfaat bagi SMKN 1adalah: (1) Menemukan model pembelajaran berbasis
kewirausahaan yang efektif bagi SMKN 1 di Kota Yogyakarta, (2) Menemukan manajemen pembelajaran berbasis
balanced scorecard bagi SMKN 1 di Kota Yogyakarta, dan (3) Menciptakan lulusan yang mampu menciptakan
lapangan kerja.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
68
C. Tinjauan Pustaka
Review PenelitianTerdahulu
Dalam penelitian berjudul Pengembangan Model Pembelajaran oleh Endang Mulyatiningsih dipaparkan
dua model penelitian dan pengembangan system pembelajaran yaitu model 4D dan model ADDIE. Model 4D
merupakansingkatandariDefine, Design, Development and Dissemination dikembangkan oleh Thiagarajan (1974).
Model ADDIE merupakan singkatandari Analysis, Design, Development or Production, Implementation or Delivery
and Evaluationsdikembangkanoleh Dick and Carry (1996).
Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup
sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi
pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara,dan peradaban dunia.Pengembangan kurikulum
didasarkanpada:
a. Didasarkan pada standar kompentensi lulusan yang ditetapkan untuk satu satuan pendidikan,
jenjang pendidikan dan program pendidikan.
b. Kurikulum didasarkan pada model kurikulum berbasis kompetensi
Model Pembelajaran
Model pembelajaran terdiri dari: (1) pendekatan pembelajaran; 2) strategi pembelajaran; (3) metode
pembelajaran; (4) teknik pembelajaran; (5) taktik pembelajaran; dan (6) model pembelajaran. Joyce & Weil
(Sudrajat, S., 2008) menyatakan bahwa terdapat empat kategori yang penting diperhatikan dalam model
pembelajaran yaitu model pemrosesan informasi, model personal, model interaksi dan model tingkah laku.
Prinsip Utama Dalam Proses Pembelajaran Kewirausahaan
Terdapat empat prinsip utama dalam proses pembelajaran berbasis kewirausahaan yaitu learning to
knowyakni belajar pengetahuan tentang kewirausahaan baik hard skill (teori) dan softskill (spirit kewirausahaan),
learning to do yakni belajar dalam melaksanakan kegiatan berwirausaha, learning to be yakni belajar menjadi
wirausahawan dan learning to live together belajar beinteraksi sosial(Haryanto, 2011).
Manajemen Strategik Berbasis Balance Scorecard
Ada empat perbedaan mendasar antara manajemen strategic tradisional dengan manajemen strategik
berbasis balanced scorecard : 1) orientasi, 2) tahapan, 3) lingkup dan 4) koherensi (Mulyadi, 2005) :
Dalam manajemen strategik berbasis balanced scorecard, ada enam koherensi yang dibangun: 1) Hasil
trendwatching dan SWOT analysis dengan visi, misi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi; 2) visi, misi,
tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi dengan sasaran strategik dan inisiatif strategik; 3) inisiatif strategik
dengan sasaran strategik; 4) inisiatif strategik dengan program; 5) program dengan anggaran; dan 6) sasaran
strategik di empat perspektif dalam balanced scorecard.
Balanced Scorecard Model ini pada awalnya memang ditujukan untuk memperluas area pengukuran
kinerja organisasi swasta yang profit-oriented.Pendekatan ini mengukur kinerja berdasarkan aspek financial dan non
finansial yang dibagi dalam empat persp ektif, yaitu perspektif finansial, perspektif pelanggan, perspektif proses
internal, dan perspektif inovasi&pembelajaran (Quinlivan, 2000 dalam Mahsun 2012).
D. Metode Penelitian
SubjekPenelitian
Subjek penelitian ini adalah SMKN-1 kota Yogyakarta. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa
data primer dan data sekunder. Sumber data adalah para pengelola SMK dan guru. Data dan informasi diperoleh dari
wawancara dan observasi. Data yang dikumpulkan meliputi: (1) Kondisi siswa: latar belakang siswa, intelektual
siswa, kebiasaan siswa; (2) Pendekatan pembelajaran: teacher learning centre atau student learning center; (3)
Strategi pembelajaran: terintegrasi atau tidak terintegrasi antar mata pelajaran; (4) Metode pembelajaran: ceramah,
diskusi; (5) Teknik pembelajaran: dibentuk kelompok atau tidak; (6) Taktik pembelajaran: gunakan teknologi seperti
LCD, power point.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
69
Desain dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisiss dengan pendekatan induktif. Landasan teori digunakan sebagai
pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk
memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Dalam
penelitian kualitatif peneliti bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas dan berakhir
dengan suatu teori (Bina, 2012).
E. Hasil Penelitian
Pendekatan pembelajaran yang diterapkan di SMKN 1 adalah kombinasi antara teacher- student learning
centre. Namun partisipasi siswa kurang aktif karena tidak semua siswa mempunyai komputer dan siswa tidak
terbiasa memanfaatkan teknologi informasi. Strategi pembelajaran yang diterapkan di SMKN 1 ini belum
terintegrasi. Efektifitas pembelajaran disesuaikan dengan tujuan mata pelajaran masing-masing, seperti tercantum
dalam silabus dan RPP masing-masing mata pelajaran.
Model Pembelajaran Berbasis Kewirausahaan
Berdasarkan kondisi pembelajaran di SMKN 1 di atas, maka perlu adanya model pembelajaran yang
efektif, sehingga lulusan yang lebih berkualitas, dengan tolok ukur yaitu lulusan siap atau mampu menciptakan
lapangan kerja.Untuk itu diperlukan model pembelajaran berbasis kewirausahaan yang terintegrasi pada tiap mata
pelajaran bagi SMK.
Model pembelajaran merupakan rangkaian yang terpadu antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan
taktik pembelajaran. Pendekatan pembelajaran sebaiknya adalah kombinasi antara teacher learning centre dan
student learning centre. Hal ini dikarenakan kualitas input siswa yang belum terbiasa dengan mandiri dan kelas
menengah bawah, sehingga dimungkinkan kurang mampu membeli peralatan guna mendukung efektifitas
pelaksanaan student learning centre.
Strategi pembelajaran yang dilakukan adalah internalisasi spirit kewirausahaan pada semua mata pelajaran
atau dengan kata lain semua mata pelajaran terintegrasi untuk mencapai tujuan pembelajaran yakni siswa memiliki
spirit kewirausahaan.Metode pembelajaran yang dilaksanakan adalah ceramah, diskusi, magang dll disesuaikan
dengan tujuan mata pelajaran masing-masing.
Teknik dan Taktik Pembelajaran, lebih ditekankan pembentukan kelompok, agar jiwa sosial siswa
terbangun. Taktik pembelajaran lebih ditekankan pada penggunaan teknologi baik di dalam kelas maupun di luar
kelas. Tabel 1. di bawah ini adalah model pembelajaran berbasis kewirausahaan yang terintegrasi (Integrated
Entrepreneurship Learning Model/ IELM) bagi SMK.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
70
Tabel 1. Model Pembelajaran Berbasis Kewirausahaan
Program Studi: Akuntansi
Mata Pelajaran (MAPEL) Spirit
Kewirausahaan
Metode
Pembelajaran
Kemampuan
Akhir yang
Diharapkan
Indikator
Penilaian
A Kelompok A (Wajib)
1 Agama dan Budi
Pekerti
Contoh-contoh
Pengusaha Sukses
yang Religius
Ceramah
Audio Visual
Spirit
Kewirausahaan
Religius
Kognitif
Afektif
2 Pancasila dan
Kewarganegaraa
n
Wirausaha yang
nasionalis (Cintai
produk Indonesia)
Ceramah
Audio Visual
Spirit
Kewirausahaan
Nasionalisme
NKRI
Kognitif
Afektif
3 Bahasa Indonesia Semua Produk
yang Dipasarkan di
Indonesia
berbahasa
Indonesia
(Kandungan
produk, dll)
Ceramah
Audio Visual
Diskusi
Spirit
Kewirausahaan
Nasionalis Bisnis
Kognitif
Afektif
Psikomotorik
4 Matematika Aplikasi
Matematika dalam
Bisnis
Ceramah
Diskusi
Menguasai Alat
Bisnis
Kognitif
Afektif
Psikomotorik
5 Sejarah
Indonesia
Penyebaran Agama
dan Perdagangan
Indonesia
Ceramah
Kajian Literatur
Diskusi
Spirit
Kewirausahaan,
Nasionalisme
Religi
Kognitif
Afektif
6 Bahasa Inggris Bahasa Inggris
Bisnis
Contoh Kasus
Bisnis dalam
Bahasa Inggris
Ceramah
Diskusi
Spirit
Kewirausahaan
Alat Komunikasi
Kognitif
Afektif
Psikomotorik
B Kelompok B (Wajib)
7 Seni & Budaya Contoh-contoh
Seniman
Budayawan
Pebisnis
Ceramah
Audio Visual
Diskusi
Berjiwa Seni
Spirit
Kewirausahaan
Kognitif
Afektif
8 Prakarya &
Kewirausahaan
Prinsip-prinsip
Kewirausahaan.
Mindset
Kewirausahaan
Teknik
Kewirausahaan
Studi Kelayakan
Bisnis
Expo Bisnis
Ceramah
Audio Visual
Diskusi
Analisis Kasus
Expo Bisnis
Lab Kewirausahaan
Spirit
Kewirausahan
Proposal Studi
Kelayakan Bisnis
Kognitif
Afektif
Psikomotorik
9 Pendidikan
Jasmani & OR
Kesehatan
Kesehatan sebagai
Modal Awal
Kesuksesan
Praktikum OR &
Kesehatan
Sirit
Kewirausahaan
Mindset
“Kesehatan Modal
Awal Sukses”
Kognitif
Afektif
Psikomotorik
C Kelompok C (Peminatan Akuntansi)
C1 Dasar Bidang Keahlian 10 Pengantar
Ekonomi dan
Bisnis
Mental
Memenangkan
Persaingan
Performance
Pengusaha
Ceramah
Diskusi
Game
Lab Bisnis
Spirit
Kewirausahaan
Performance
Pengusaha
Kognitif
Afektif
Psikomotorik
11 Pengantar
Adeministrasi
Administrasi
sebagai Alat Bisnis
Ceramah
Praktikum
Ketrampilan
Administrasi Surat-
Kognitif
Afektif
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
71
Perkantoran Administrasi
Profesional
Menyurat Psikomotorik
12 Pengantar
Keuangan dan
Akuntansi
Akuntabilitas
Keuangan
Ceramah
Analisis Kasus
Diskusi
Spirit
Kewirausahaan
Kompetensi
Akuntansi
Keuangan
Kognitif
Afektif
Psikomotorik
C2 Dasar Program Keahlian
13 Simulasi Digital Penggunaan IT
dalam Keunggulan
Daya Saing
Praktikum Ahli EDP Kognitif
Afektif
Psikomotorik
14 Etika Profesi Peran Penting
Akuntan Dalam
Bisnis
Spirit
Kewirausahaan
yang Etis
Ceramah
Diskusi
Keterikatan
Terhadap Kode
Etik Profesi
Kognitif
Afektif
15 Dasar Perbankan Bankir Sukses
yang Religius
Ceramah
Audio Visual
Diskusi
Spirit
Kewirausahaan
Religius
Kognitif
Afektif
16 Paket Program
Pengerlolaan
Anggaran
Alat Bisnis
Anggaran yang
Usefull
Ceramah
Praktikum
Skill Penyusun
Anggaran
Kognitif
Afektif
Psikomotorik
C3 Praktik Keahlian Akuntansi
17 Akuntansi
Perusahaan
Dagang
Contoh Laporan
Keuangan
Perusahaan
Dagang
Analisis
Ceramah
Praktikum
Menyusun Laporan
Keuangan
Perusahaan Dagang
Kognitif
Afektif
Psikomotorik
18 Akuntansi
Keuangan
Standar Akuntansi
(PSAK-IFRS)
Ceramah
Diskusi
Mampu Menyusun
Laporan Keuangan
Berdasar PSAK
Kognitif
Afektif
Psikomotorik
19 Komputer
Akuntansi
EDP Dalam
Akuntansi
Penerapan
Komputer
Akuntansi
Ceramah
Praktikum
Mampu Menyusun
Laporan Keuangan
Computerized
System
Kognitif
Afektif
Psikomotorik
20 Akuntansi
Perusahaan
Manufaktur
Contoh Laporan
Keuangan
Perusahaan
Manufaktur
Analisis
Ceramah
Praktikum
Mampu Menyusun
Laporan Keuangan
Perusahaan
Manufaktur
Kognitif
Afektif
Psikomotorik
21 Administrasi
Perpajakan
Contoh Mengisi
SPT
Ceramah
Praktikum
Mampu
menghitung dan
melaporkan
kewajiban
perpajakan
Kognitif
Afektif
Psikomotorik
Manajemen Strategik Berbasis Balanced Scorecard
The Balanced Scorecard sebagai model manajemen strategik yang akan menterjemahkan misi dan strategi
organisasi menjadi berbagai tujuan dan ukuran-ukuran dalam empat perspekstif yaitu finansial, pelanggan, proses
bisnis serta pembelajaran dan pertumbuhan.Gambar 1. di bawah ini menjelaskan kerangka berpikir penelitian ini,
sedangkan manajemen strategik berbasis balanced scorecard, khususnya pada proses pembelajaran pada SMKN 1
disajikan dalam tabel 2.
Gambar 1. ManajemenStrategikBerbasis Balanced Scorecard Pada SMKN-1 Kota Yogyakarta
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
72
Rencana
Pembelajaran
Proses
Pembelajaran
Output Outcome Dampak/
Impact
Financial
Return
Customer
Velue
Proses BM
Guru
Visi, Misi, Tujuan
SMKN 1
Kurikulum
Berbasis Kewirausahaan
MODEL Prakarya &
Kewirausahaan(Link & Match antara
Teori dan Praktik)
Mapel lainnya
mengandung spirit Kewirausahaan
Lulusan yang
berjiwa
Kewirausahaan
Lulusan yang
Ciptakan
Lapangan Kerja
Mengurangi
Pengangguran
Jumlah Pendaftar
Kepuasan Siswa & mindset kewirausahaan
Kualitas PBM
Kompetensi Guru
Mindset Kewirausahaan
MODEL PEMBELAJARAN
BERBASIS KEWIRAUSAHAAN
Prinsip : 4 PrinsipPendekatan : Kombinasi Student
& Teacher Learning Center
Strategi : Internalisasi Spirit
Kewirausahaan ke Proses BM
Metode : Situasional(Modifikasi berbagai metode)
MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS BALANCED SCORECARD
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
73
Tabel 2. Manajemen Strategik Berbasis Balanced Scorecard pada Proses Pembelajaran
Sasaran Strategis Lag Indikator
(Ukuran Hasil)
Lead Indikator
(Ukuran Pemacu
Kinerja)
Target Inisiatif Strategis
(Cara) Program PIC
A Pertumbuhan Pembelajaran
1 Peningkatan 4
Kompetensi Guru
Kualitas
Mengajar
Kepuasan Siswa
Survey Kualitas
Mengajar
Skala Likert
4,0
Diklat Guru Kewirausahaan
PBM
IT & Pendidikan Karakter
Kepala Sekolah
& SDM
2 Penjelasan Spirit
Kewirausahaan
Mindset
Kewirausahaan
Survey Skala Likert
4,0
Diklat Guru Midset Kewirausahaan dan Motivator Kepala Sekolah
& SDM
3 Peningkatan Komitmen
Guru
Kepuasan Guru Survey Skala Likert
4,5
Empowerment Guru Melibatkan Guru dalam PDCA Kepala Sekolah
& SDM
B Proses Belajar Mengajar
1 Peningkatan Kualitas
Proses Belajar Mengajar
(PBM)
Kepuasan Siswa Survey per Mapel Skala Likert
4,0
Perbaikan PBM Kurikulum Periodik
RPP Periodik
Rumpun Guru Mapel
Kunjungan Lapangan
Wakasek
Akademik
2 Optimalisasi TI sebagai
Media Pembelajaran
Penggunaan
Media Sesuai
dengan Rencana
Pembelajaran
Investasi Sarana 80% dari
Rencana
Peningkatan
Kuantitas &
Kualitas TI
Pengadaan Sarana TI Wakasek
Akadmik &
SarPras
3 Kualitas Layanan Tingkat
Kesalahan Kerja
Menurun 80% Diklat Karyawan
Partnership
Diklat Ekstra Kurikuler
Kerja dengan Dr, Psikologi, Dinas dan Praktisi
Bisnis
Wakasek &
SDM
C Customer
1 Meningkatkan
Kepercayaan Siswa dan
Orang Tua
Jumlah
Pendaftar
Bertambah 25% Marketing Jangka
Panjang
Mengikuti Olimpiade/ Karya Ilmiah
Expo / Pemeran Product
Wakasek
&Kaprodi
2 Meningkatkan Kualitas
Hubungan dengan Siswa
dan Orang Tua
Loyalitas Siswa
& Orang Tua
Hubungan Semakin
Erat
50% Relatif
Tetap
Membangun
Komitmen dengan
Pelanggan
Komite Sekolah
Family Gathering Guru & Orang Tua
Wakasek &
Kaprodi
D Keuangan (Shareholder Value)
1 Pertumbuhan Jumlah
Pendaftar
Jumlah
Pendaftar
Meningkat
Pendaftar Naik 40% - - Wakasek &
Kaprodi
2 Peningkatan Pendapatan Jumlah
Pendapatan
Meningkat
Pendapatan Naik 40% - - Wakasek,
Kaprodi, &
Keuangan
3 Efisiensi Pengeluaran Penurunan
Biaya
Kesesuaikan dengan
Anggaran
90% Cost Reduction
Strategy
Perencanaan Keuangan Terpadu Wakasek,
Kaprodi, &
Keuangan
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
74
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat diambil kesimpulan:
1. Model pembelajaran yang efektif bagi SMK Kota Yogyakarta adalah model pembelajaranberbasis
kewirausahaan yang terintegrasi pada setiap mata pelajaran (Integrated Entrepreneurship
Learning Model/ IELM). Rincian dari model pembelajaran ini adalah: (a) Pendekatan
pembelajaran: kombinasi antara teacher learning centre dengan student learning centre,(b)
Strategi pembelajaranspirit of entrepreneurship terintegrasi pada semua mata pelajaran.(c) Metode
pembelajaran situasional, disesuaikan dengan isi/ materi (content) mata pelajaran, latar belakang
siswa, kebiasaan siswa dan psikhologis siswa. (d) Teknik dan taktik pembelajaran: situasional,
terutama penggunaan teknologi disesuaikan dengan mata pelajaran.
2. Proses manajemen strategik berbasis balanced scorecard pada pembelajaran SMKN1 Kota
Yogyakarta adalah 1) Menentukan hasil trendwatching dan SWOT Analysis, 2) Menentukan visi,
misi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi (strategi pembelajaran), 3) Menentukan
sasaran strategik, lag indicator (ukuran hasil), lead indicator (ukuran pemacu kinerja), target,
inisiatif strategik, program dan pemilik program.
3. Manajemen strategik berbasis balanced scorecard khususnya pada pembelajaran bagiSMKN 1
Kota Yogyakarta dimulai dari visi dan misi SMKN1 yang mengandung spirit kewirausahaan
(spirit of entrepreneurship). Keempat perspektif balanced scorecard dijabarkan sebagai berikut:
a. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (Learning & Growth Perspective) yang paling
berperan penting adalah guru. Pada perspektif ini bertujuan terciptanya kemampuan
mengajar guru yang semakin berkualitas,kepuasan siswa, mindset kewirausahaan pada
guru dan kepuasan guru.
b. Perspektif Proses Internal (Internal Process Perspective) bertujuan terciptanya kepuasan
siswa, pemanfaatan teknologi yang semakin efektif dan tingkat kesalahan kerja yang
semakin menurun.
c. Perpektif Pelanggan (Customer Perspective) bertujuan meningkatnya jumlah pendaftar
dan meningkatnya loyalitas siswa dan orang tua siswa.
d. Perspektif Keuangan (Financial Perspective) merupakan konsekuensi dari keberhasilan
aktivitas dari ketiga perspektif non keuangan sebelumnya. Ukuran hasil pada perspektif
ini adalah peningkatan jumlah pendaftar, jumlah pendapatan dan penurunan biaya.
Rekomendasi
Bagi SMKN1 Kota Yogyakarta
SMKN1 sebaiknya menerapkan strategi agresif, yakni strategi pengembangan produk (product
development strategy) dan strategi perluasan pasar (market development strategy).
1. Strategi pengembangan produk antara lain:
a. SMKN1 perlu memperhatikan guru, karena guru merupakan sumber daya yang paling
utama bagi keberadaan SMKN1 khususnya dalam pembelajaran. Guna menghasilkan
lulusan yang mampu menciptakan lapangan kerja, maka SMKN1 perlu
menyelenggarakan berbagai kegiatan, dalam upaya peningkatan kompetensi guru,
peningkatan komitmen guru dan mewujudkan guru memiliki mindset kewirausahaan.
Kegiatan yang dilakukan antara lain diklat mindset kewirausahaan, diklat proses belajar
mengajar, menghadirkan motivator dll. Untuk itu SMKN1 perlu menjalin kerja sama
dengan perguruan tinggi.
b. SMKN1 sebaiknya senantiasa meningkatkan kualitas proses internalnya melalui
peningkatan kualitas proses belajar mengajar, optimalisasi teknologi informasi sebagai
media pembelajaran dan kualitas layanan. Dengan ini diharapkan tingkat kesalahan kerja
semakin kecil bahkan tidak terjadi kesalahan sama sekali. Upaya yang dapat dilakukan
antara lain pelatihan (training) bagi karyawan berkaitan dengan layanan prima (customer
service), menghadirkan motivator untuk membangun budaya pelayanan prima dll.
c. SMKN1 sebaiknya senantiasa meningkatkan tingkat kepercayaan siswa dan orang tua
siswa serta meningkatnya kualitas hubungan siswa dan orang tua siswa. Hal ini dapat
dilakukan dengan menyelenggarakan pertemuan dengan orang tua siswa secara rutin,
sosialisasi berbagai kegiatan pengembangan yang dilakukan SMK secara rutin, perhatian
terhadap siswa bagi siswa berprestasi, siswa yang kurang berprestasi dll.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
75
d. SMKN1 sebaiknya menerapkan model pembelajaran berbasis kewirausahaan (Integrated
Entrepreneurship Learning Model/ IELM). Dengan menerapkan model pembelajaran
dimana spirit kewirausahaan terintegrasi pada setiap mata pelajaran, diharapkan guru
mampu memberikan mindset kewirausahaan bagi siswa.
e. SMKN1 perlu menyatakan secara eksplisit spirit kewirausahaan (spirit of
entrepreneurship) pada visi, misi, tujuan dan strategi, kemudian dikomunikasikan kepada
masyarakat melalui slogan.
Apabila model pembelajaran dan manajemen strategik berbasis balanced scorecard ini
dilaksanakan, SMKN1 mampu memiliki keunggulan (unique selling) yang kuat, dikenal sebagai sekolah
yang mampu menghasilkan lulusan unggul khususnya menciptakan lapangan kerja. Akhirnya SMKN1
mampu memenangkan persaingan sekolah yang semakin ketat.
2. Strategi Perluasan Pasar
SMKN1 Kota Yogyakarta dapat menambah prodi baru yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki,
yakni yang berkaitan dengan ilmu sosial, seperti pariwisata atau ilmu sosial lainnya.
Bagi Pemerintahan Kota Yogyakarta
Berdasarkan hal-hal di atas, Pemerintah Kota Yogyakarta sebaiknya:
1. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebaiknya mensosialisasikan model pembelajaran berbasis
kewirausahaan dan manajemen strategic berbasis balanced\scorecard kepada seluruh SMK, dalam
upaya peningkatan kualitas pembelajaran berbasis kewirausahaan di SMK Kota Yogyakarta.
2. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan perlu menyediakan sarana dan prasarana, khususnya
laboratorium kewirausahaan, dalam upaya .menjamin terlaksananya program peningkatan kualitas
pembelajaran berbasis kewirausahaan ini.
3. Disnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi) perlu mengadakan bursa tenaga kerja yang
memerlukan lulusan dari SMK.
4. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan berbagai kegiatan yang mendukung
terwujudnya mindset kewirausahaan kepada para guru, seperti kegiatan diklat, training, dll.
Daftar Pustaka
Alma, Buchori. 2000. Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta
Astuti D., dkk. (2013), “Pengangguran Makin Hari Makin Meningkat : Jika Tak Kerja, Bisa Gelap Mata”,
Kedaulatan Rakyat, 6 April.
Astuti D., dkk. (2013), “Kesempatan Terbatas, Tapi Pilih-Pilih Kerja”, Kedaulatan Rakyat, 6 April.
Azizah, Nur (2013), Pengaruh Metode Pembelajaran Jigsaw terhadap Hasil Belajar Mata Pelajaran Dasar
Kompetensi Kejuruan di SMK Wongsorejo Gombong, UNY: Fakultas Teknik Program Studi Pendidikan
Teknik Mesin.
Badan Pusat Statistik (2012), “Berita Resmi Statistik”, 7 Mei
Bina, Dina M (2012), “Deskriptif Kualitatif”, dani.blog.fisip.uns.ac.id, diakses 10 November 2014
Danuhadimedjo (1998), Kewiraswastaan dan Pembangunan, Bandung: Alfabeta
Efendi, B. (2012), “Fenomena Calon Wirausahawan Muda di Indonesia”, http://www.bachtiarefendi.com. Diakses 5
April 2013
Goetsch, David and Davis, Stanley, (2000), Quality Management Introduction to TQM or Production, Processing
and Services, Third Edition, Prentice Hall International
Gimin (2000),“Sikap Mahasiswa Pendidikan Ekonomi IKIP UNRI terhadap Kewiraswastaan”, Jurnal IPS dan
Pengajarannya, Tahun 34 (1) : 133 – 145
Kaplan, Robert S & David P. Norton (1996), The Balanced Scorecard : Translating Strategy into Action, Boston :
Harvard Business School Press
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
76
Kaplan, Robert S. & David P. Norton (1995), The Balanced Scorecard : Measures That Drive Performance,
Englewood Cliff : Prentica Hall, Inc
Laras, Bambang K, “Prakarya & Kewirausahaan SMK”, http://larasbeka.blogspot.com
Longenecker J.G., dkk (2001), Kewirausahaan : Manajemen Usaha Kecil, Jakarta : PT Salemba Empat
Mardikanto, Totok (1997),Link and Match Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta. Balai Pustaka
Maryatmo (2012), ”Kebijakan dan Strategi Pembangunan Ekonomi DIY”, Yogyakarta :
Economic Discuss Forum, Atmajaya University
Mettyambarsari (2012), “Analisis Mengenai Perusahaan yang Tidak Beretika”,
http://mettyambarsari.wordpress.com
Mulyadi (2005), Sistem Manajemen Strategik Berbasis Balance Scorecard, Yogyakarta : UPP AMP YKPN
Mulyatiningsih, Endang (2013), Pengembangan Model Pembelajaran, http://www.ilerning.com
Niven Paul R. (2002), Balanced Scorecard Step By Step : Maximazing Performance and Maintaining Result, New
York : John Wiley & Sons, Inc.
Niven Paul R. (2003), Balanced Scorecard Step By Step for Government and Nonprofit Agencies, New Jersey :
John Wiley & Sons, Inc
Nurhadi, Senduk, G.A. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan penerapannya dalam KBK. Malang : Penerbit
Universitas Negeri Malang.
Pasolong, H. (2012), Metode Penelitian Administrasi Publik, Bandung : Alfabeta
Puspitarini, M. (2012), “Tanoto Entrepreneurship Series, Tingkatkan Jumlah Wirausahawan Muda,
http://kampus.okezone.com
Purnomo, Bambang Hari. 2005. Membangun semangat Kewirausahaan. Yogyakarta. LaksBang PRESSindo
Ramdhania (2012), “BPS : Jumlah Pengangguran di Indonesia 7,61%, Turun 6%”, finance.detik.com
Sallis, Edward (2008), Total Quality Management In Education, IRCiSoD: Yogyakarta
Solihin, Ismail (2012), Manajemen Strategik, Jakarta : Erlangga
Suprapto, H. (2012), “Menkop : Jumlah Wirausahawan RI Kalah Jauh”, http://bisnis.news.viva.co.id
Soemanto, W.(1999),Sekuncup Ide Operasional Pendidikan Wiraswasta, Jakarta : Bumi Aksara.
Wardhani, D.M. (2012), “Pembangunan Perekonomian Nasional melalui Peningkatan Kewirausahaan”,
http://www.ilerning.com
Wibowo, Singgih (2007),Petunjuk Mendirikan Perusahaan Kecil, Jakarta : Penebar Swadaya
Yuswantania, Biwara (2012), “Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi DIY”,Yogyakarta : Economic
Discuss Forum, Atmajaya University.
Zimmerrer, T.M. & Scarborough, N.M (2005), Essential of Entrepreneurship and Small Business Management,
Ed.4, New Jersey : Prentice Hall Inc
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
77
PENINGKATAN NILAI EKONOMIS LIMBAH KULIT UDANG MENJADI KITOSAN DENGAN GELOMBANG ULTRASONIK UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT Oleh: Ani Purwanti, S.T., M.Eng. & Sri Rahayu Gusmarwani, S.T., M.T.
ABSTRACT
There are some shrimp stalls in Yogyakarta today. These stalls produce shells, head and tail of shrimp
as waste that is rarely utilized into usefull materials. In the other hand, foods are preserved with
synthetic preservatives containing dangerous substances. Today, chitosan is an alternative natural
food preservative. This material can be obtained from shrimp shells. Chitosan price is still expensive
and chitosan manufacturing process produces a lot of waste water. Therefore, this problem needs
alternative processes to produce chitosan with minimal waste, for example the use of ultrasonic waves.
Processing stages of shrimp shells into chitosan ie. boil the shrimp shells with water, deproteination
process, demineralization process, and deacetilation process with ultrasonic waves. Deacetilation
process was performed by immersing chitin in a solution of NaOH with concentration of 40 – 50%
(weight/volume). The comparison of the amount of chitin and volume of NaOH solution was varied
from 1:10 – 1:20 (gram/ mL solution). The extraction process was carried out using ultrasonic waves
for 30 – 90 minutes at a temperature of 800C. The results of deacetylation process was separated
from the solvent, then washed with water until neutral. Then wet chitosan was dried in the oven. The
quality of chitosan was determined by analyzing the deacetilation degree, ash content, solubility in
acetic acid solution, and the viscosity of chitosan solution.
The results of the experiment show that the deacetilation process with ultrasonic waves can improve
the deacetilation degree of chitosan. The optimum condition of deacetilation process is the process
using temperature of 900C, time of process 60 minutes, and the concentration of NaOH solution is
40%. The characteristics of chitosan that obtained from this process are ie. deacetilation degree
78.64%, ash content 1.96%, viscosity of the solution 5.8 cP, and this chitosan is soluble in 1% acetic
acid solution.
Keywords: shrimp shell, deacetilation, ultrasonics wave, chitosan
A. Pendahuluan
Di Yogyakarta, sekarang ini makanan dengan bahan dasar hasil laut antara lain udang semakin
digemari masyarakat. Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein tinggi, namun
sekitar 40% dari total berat udang keseluruhan merupakan kulit, kepala, dan ekor udang yang dibuang
sebagai limbah (Swastawati, dkk., 2008). Pemanfaatan limbah tersebut masih sangat jarang, sehingga
jumlah yang terbuang menjadi sampah yang sangat berbau masih cukup tinggi. Menurut data dari
Dinas Perikanan dan Kelautan DIY (2013), produksi perikanan budidaya udang tambak pada tahun
2013 sebanyak 811.836 kg. Di lain pihak, banyak bahan pengawet pada makanan yang tidak layak
untuk dikonsumsi dan mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan sehingga diperlukan bahan
pengawet makanan yang tidak berbahaya untuk dikonsumsi.
Selama ini limbah udang sudah termanfaatkan untuk pembuatan petis, terasi, kerupuk udang,
dan bahan pencampur pakan ternak yang bernilai ekonomis rendah. Limbah kulit udang sebenarnya
dapat diproses menjadi bahan yang lebih bermanfaat. Limbah kulit udang mengandung bahan
penyusun utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, kitin, pigmen, abu, dan lain-lain. Dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, ternyata limbah udang juga dapat digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan kitin dan kitosan dengan cara deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Pembuatan
kitosan dari limbah udang pada umumnya menggunakan bahan NaOH dan HCl dengan konsentrasi
tertentu. Kitin dan kitosan menjadi salah satu bahan kimia dan bahan baku industri yang menjadi
unggulan khususnya bagi industri. Kitin dan kitosan dapat digunakan di berbagai aplikasi industri
diantaranya; sebagai bahan tambahan di bidang farmasi, kesehatan dan kosmetik, makanan, pengolah
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
78
limbah dan air (seperti : penyerap logam berat, minyak dan lemak) dan lain-lain. Hal ini dimungkinkan
karena senyawa kitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan penyerap dan penggumpal yang baik
(Haryani, 2007).
Salah satu manfaat lain dari kitosan adalah dapat digunakan sebagai bahan pengawet
makanan. Bahan pengawet pada umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai
sifat mudah rusak. Bahan pengawet ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi,
pengasaman, atau peruraian yang disebabkan oleh mikroba. Penggunaan bahan pengawet dari satu sisi
menguntungkan, tetapi di sisi lain bahan pengawet merupakan senyawa kimia yang dimasukkan
bersama bahan pangan yang dikonsumsi, sehingga apabila pemakaiannya tidak diatur maka dapat
merugikan pemakainya. Sehingga penggunaan senyawa antimikroba harus tepat sehingga dapat
memperpanjang umur simpan suatu produk dan menjamin keamanan produk tersebut. Untuk itu
diperlukan bahan alternatif lain sebagai antimikroba alami sehingga tidak membahayakan bagi
kesehatan yaitu penggunaan kitosan untuk menghambat aktivitas mikroba. Kitosan mempunyai gugus
aktif yang akan berikatan dengan mikroba sehingga kitosan juga mampu menghambat pertumbuhan
mikroba tanpa memberikan efek buruk. Saat ini, kitosan telah diproduksi secara industri di negara-
negara maju misalnya Jepang dan Amerika Serikat. Kitosan ini merupakan bahan yang sumbernya
melimpah dan dapat diperbaharui, maka dalam situasi perkembangan bioteknologi yang demikian pesat
menjadikan pemanfaatan sumber daya alam alternatif seperti limbah kulit udang merupakan hal yang
sangat diperlukan (Mahatmanti, dkk., 2010). Kitosan merupakan polimer alami yang mempunyai sifat
non toksis, ramah lingkungan, dan mudah terdegradasi (Haryani, 2007).
Dan akhirnya, diharapkan peneliti mencoba melakukan penelitian mengenai pembuatan
kitosan dari limbah udang dengan penggunaan bahan kimia (NaOH dan HCl) yang minimal. Dari
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan baku industri khususnya di bidang pangan,
dan juga layak dikonsumsi sebagai pengawet bahan makanan yang tidak berbahaya bagi tubuh.
Dewasa ini penelitian pembuatan kitosan dilakukan dengan pemanfaatan gelombang
ultrasonik. Penggunaan gelombang ultrasonik mempunyai keuntungan proses lebih cepat dan mudah,
tidak membutuhkan banyak penambahan bahan kimia, tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan
pada struktur partikel dan senyawa bahan baku yang digunakan (Dolatowski dkk., 2007 dalam Dono
dan Arifin, 2012). Dengan penggunaan teknik ultrasonik diharapkan proses pembuatan kitosan dari
limbah udang dapat lebih efisien.
Penelitian ini memfokuskan terhadap limbah udang yang banyak dihasilkan oleh restoran
makanan olahan udang di daerah kota Yogyakarta. Penelitian dilakukan untuk meminimalkan
penggunakan bahan kimia dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan melakukan evaluasi
mutu kitosan yang dihasilkan berdasarkan kualitas standar kitosan dalam dunia perdagangan dengan
melihat parameter yang digunakan adalah derajat deasetilasi, kadar abu, kelarutan, dan viskositas dari
hasil pembuatan kitosan.
B. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengolah limbah kulit udang menjadi kitosan yang bermanfaat
sebagai pengganti bahan pengawet makanan yang tidak berbahaya bagi tubuh dan kesehatan dengan
memanfaatkan gelombang ultrasonik. Mutu kitosan yang dihasilkan diharapkan mempunyai kualitas
yang sesuai dengan kualitas standar kitosan dalam dunia perdagangan. Variabel yang diamati adalah
lama pemasakan limbah kitosan dalam air dan variabel dalam proses deasetilasi yang meliputi
perbandingan antara volume pelarut dengan berat bahan, waktu proses, dan konsentrasi NaOH dengan
menggunakan gelombang ultrasonik. Penggunaan ultrasonik dalam proses deasetilasi dapat mengurangi
penggunaan bahan kimia yaitu natrium hidroksida (NaOH) yang digunakan dalam proses deasetilasi
kitin menjadi kitosan. Selain itu dengan proses deasetilasi yang dipengaruhi gelombang ultrasonik,
maka waktu proses menjadi lebih singkat.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
79
C. Tinjauan Pustaka
Arifin (2012) melakukan proses inovasi teknologi proses produksi kitosan untuk mendapatkan
proses yang lebih efisien dengan hasil optimal menggunakan teknologi ultrasonikasi-kimia. Proses ini
merupakan proses produksi berbasis limbah udang dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik 42
kHz. Sejumlah kitin direndam dalam larutan NaOH dengan konsentrasi antara 55%-70% menggunakan
ultrasonic bath bersuhu 700C. Proses dilaksanakan dengan variasi waktu antara 10-30 menit.
Penggunaan gelombang ultrasonik dalam proses deasetilasi dapat mengurangi waktu proses deasetilasi
sehingga dapat dikatakan lebih efisien. Kitosan yang dihasilkan dapat larut sempurna dalam larutan
asam asetat 1% dan mempunyai kualitas dengan parameter kadar air, kadar abu, viskositas, dan derajat
deasetilasi masing-masing 9,94%; 0,34%; 3,2 cP; dan 85,02%.
Udang merupakan anggota kelas Crustacea. Seluruh tubuh terdiri dari ruas-ruas yang
terbungkus oleh kerangka luar dari zat tanduk atau kitin dan diperkuat oleh bahan kapur kalsium
karbonat (Widodo, 2005). Limbah udang yang berupa kulit, kepala dan ekor mengandung senyawa
kimia yang berupa kitin dan kitosan. Senyawa ini dapat diolah karena hal ini dimungkinkan karena
kitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifikasi kimia yang tinggi
dan elektron nitrogen pada gugus amino pada kitosan dapat mengikat ion-ion logam dan membentuk
senyawa kompleks koordinasi yang stabil sehingga dapat digunakan untuk mengadsorbsi logam berat
hasil buangan industri (Haryani, 2007). Menurut Wardaniati dan Setyaningsih (2009), khasiat kitosan
sebagai bahan antibakteri dan kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri menjadikan kitosan dapat
digunakan sebagai pengawet makanan.
Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai
pelindung. Menurut Widodo (2005), sebagian besar limbah udang yang dihasilkan oleh usaha
pengolahan udang berasal dari kepala, kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25%-40%),
kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%-50%). Tetapi besarnya kandungan komponen tersebut
tergantung pada jenis udangnya. Kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit dibandingkan dengan
kulit atau cangkang kepiting. Kandungan kitin pada limbah kepiting mencapai 50%-60%, sementara
limbah udang menghasilkan 42%-57%, sedangkan cumi-cumi dan kerang, masing-masing 40% dan
14%-35%. Namun karena bahan baku yang mudah diperoleh adalah udang, maka proses kitin dan
kitosan biasanya lebih memanfaatkan limbah udang (Widodo, dkk., 2005).
Kitin merupakan molekul polimer berantai lurus dengan nama lain β-(1-4)-2-asetamida-2-
dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin). Kitin umumnya tidak berbentuk murni melainkan
merupakan suatu kombinasi bersama dengan senyawa yang lain seperti protein, kalsium karbonat, dan
zat warna. Salah satu cara mengidentifikasi adanya senyawa kitin adalah melalui tes warna Van
Wisselingh. Pada tes warna ini kalium iodida akan merubah warna kitin menjadi coklat dan dengan
penambahan asam sulfat warnanya akan berubah menjadi merah violet. Struktur kitin sama dengan
selulosa dimana ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi
β-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon yang
kedua pada kitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH2) sehingga kitin menjadi sebuah polimer
dengan unit N-asetilglukosamin. Kitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 merupakan zat padat
yang tak terbentuk (amorphus), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat,
alkohol, dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Kitin kurang
larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit,
sedangkan chitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin (Hirano, 1998).
Kadar kitin dalam berat udang berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi kitosan
menghasilkan yield antara 15-20%. Kitosan mempunyai bentuk mirip selulosa dan bedanya pada gugus
rantai C-2. Senyawa kitin pada umumnya tidak digunakan secara murni tetapi diturunkan menjadi
senyawa lain yang luas penggunaannya, misalnya kitosan. Namun untuk memperoleh kitosan kulit
udang harus diolah untuk mendapatkan kitin terlebih dahulu. Kitosan merupakan turunan dari polimer
kitin, yakni produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan
rajungan. Kitosan disebut juga dengan β-1,4-2-amino-2-dioksi-D-glokosa merupakan turunan dari kitin
melalui proses deasetilasi. Senyawa ini merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dengan
menggunakan basa pekat). Kitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga
gugus yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan sekunder, sehingga menyebabkan kitosan
mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi (Widodo, 2005).
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
80
Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam
HCl dan HNO3. Kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik.
Disamping itu kitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein.
Oleh karena itu, kitosan dapat digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan industri kesehatan
(Hirano, 1986). Menurut Widodo (2005) perbedaan antara kitin dan kitosan didasarkan pada
kandungan nitrogennya. Jika nitrogen kurang dari 7%, maka polimer disebut kitin dan apabila
kandungan total nitrogennya lebih dari 7% maka disebut kitosan.
Gambar 1. Struktur Molekul Kitosan
Dalam pembuatan kitosan dari limbah udang dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu proses
deproteinasi, proses demineralisasi dan proses deasetilasi. Penghilangan protein melalui proses kimia
(deproteinasi) dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 5%. Penghilangan kandungan mineral
melalui proses kimiawi (demineralisasi) dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 1N, sedangkan
deasetilasi dilakukan dengan cara pemanasan dengan menggunakan NaOH 50%. Teknik ultrasonik
telah digunakan pada ekstraksi kitin Pandalus borealis (Kjartansson dkk., 2006 dalam Dono dan
Arifin, 2012).
Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan kitosan memiliki polikation
bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri sehingga baik digunakan sebagai
bahan pengawet makanan. Banyak produk pangan yang menggunakan pengawet sintesis yang
berbahaya bagi kesehatan, tetapi tidak semua bahan pengawet berbahaya. Beberapa zat pengawet yang
tidak berbahaya untuk digunakan dalam produk makanan tetapi akan menimbulkan efek negatif,
misalnya alergi jika digunakan secara berlebihan antara lain kalsium benzoat, sulfur dioksida, dan
kalium nitrit (Cahyadi, 2009).
Mutu kitosan terdiri beberapa parameter yaitu kadar air, kadar abu, kelarutan, warna dan
derajat deasetilasi. Kualitas standar kitosan yang dikeluarkan oleh Protan Laboratories (Prayudi dan
Susanto, 2010) antara lain mempunyai ukuran serbuk sampai serpihan, kadar air dibawah 10%, kadar
abu di bawah 2%, derajat deasetilasi di atas 70%, viskositas dengan tingkatan tingkat tinggi bernilai di
atas 2.000 cps. Pada uji aplikasi kitosan yang telah dilakukan pada beberapa produk misalnya bakso
(Wardaniati dan Setyaningsih, 2009), dalam penelitian yang dilakukan, kitosan dilarutkan dalam asam
asetat 1% dengan beberapa konsentrasi, kemudian bakso yang akan diawetkan dicelupkan beberapa
saat dan ditiriskan. Jumlah kitosan yang dibutuhkan untuk pengawetan makanan konsentrasinya
sekitar 1,5 persen. Artinya, dalam satu liter pelarut, dibutuhkan kitosan sekitar 15 gram.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian teknologi terapan dalam proses pembuatan kitosan dari
limbah kulit udang dengan variasi waktu, suhu, konsentrasi NaOH, dan volume pelarut NaOH dengan
memanfaatkan gelombang ultrasonik. Variabel penelitian yang dianalisis adalah waktu yang digunakan
pada saat deasetilasi, suhu yang digunakan pada saat deasetilasi, konsentrasi NaOH yang digunakan
pada saat deasetilasi, dan volume pelarut NaOH yang digunakan pada saat deasetilasi dengan
menggunakan gelombang ultrasonik. Penelitian dilakukan dengan studi pustaka dan percobaan di
laboratorium. Adapun tahapan penelitian adalah sebagai berikut:
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
81
1. Tahap Persiapan Bahan dan Alat Penelitian
a. Bahan penelitian
Bahan yang digunakan adalah limbah udang yang berupa kulit udang, setelah dikeringkan dan
dihaluskan, kemudian dianalisis kadar air dan kadar abu. Selain itu air sebagai cairan pelarut,
larutan NaOH 5%, yang digunakan sebagai pelarut dalam proses deproteinasi bubuk kulit
udang, laruan Larutan HCl 1N, digunakan sebagai pelarut dalam proses demineralisasi, dan
larutan NaOH x%, yang digunakan sebagai pelarut dalam proses deasetilasi kitin, dan larutan
asam asetat 1 %, digunakan sebagai pelarut dalam analisa dan pengujian kitosan pada bahan
makanan.
b. Alat penelitian
Rangkaian alat penelitian yang digunakan terdiri dari kompor listrik, penangas minyak,
pembangkit gelombang ultrasonik, labu leher tiga, pendingin balik, motor pengaduk,
termometer.
2. Tahap Proses Pengolahan
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu persiapan bahan baku yaitu limbah kulit
udang, proses pembuatan kitosan, dan proses analisa. Penyiapan bahan, bahan baku kulit udang dicuci
sampai bersih, kemudian dikeringkan dengan sinar matahari. Selanjutnya kulit udang dihaluskan/
digiling dan diayak dengan ukuran mesh tertentu, hasil yang berupa tepung kulit udang kemudian
dianalisa untuk mengetahui kandungan air dan abu.
Proses penelitian, yaitu proses perebusan kulit udang, proses deproteinasi, demineralisasi dan
deasetilasi dalam labu leher tiga dengan perbandingan bahan dengan pelarut, konsentrasi NaOH, waktu
dan suhu reaksi yang tertentu. Campuran kemudian disaring yang bertujuan untuk memisahkan residu
dari filtratnya. Residu tersebut diambil sebagai hasil setelah itu di oven pada suhu tertentu sampai
kering maka berat hasil akan didapat. Sebelum dilakukan ketiga proses tersebut, dilakukan proses
perebusan kulit udang dalam air dengan waktu proses tertentu.
Proses deproteinasi dilakukan dengan cara tepung limbah udang dengan berat tertentu,
dimasukkan dalam labu leher tiga dengan penambahan NaOH 5% dengan volume tertentu.
Perbandingan antara berat limbah udang dengan volume NaOH 5% adalah 1:15 (weight/volume).
Ekstraksi dilakukan selama 2 jam pada suhu 100ºC untuk menghilangkan kandungan proteinnya. Hasil
deproteinasi lalu disaring untuk diambil residunya dan dicuci menggunakan air sampai pH netral,
kemudian residu dikeringkan dalam oven dengan suhu 600C.
Proses demineralisasi, residu hasil deproteinasi yang telah dicuci sampai pH netral dan
dikeringkan dimasukkan ke dalam labu leher tiga dengan penambahan HCl 1N dengan volume
tertentu. Ekstraksi dilakukan selama 1 jam pada suhu 80ºC untuk menghilangkan kandungan
mineralnya. Hasil demineralisasi lalu disaring untuk diambil residunya dan dicuci menggunakan air
sampai pH netral, kemudian residu dikeringkan dalam oven. Residu hasil demineralisasi yang telah
dikeringkan disebut kitin.
Proses deasetilasi yaitu mengubah kitin menjadi kitosan, kitin dimasukkan ke dalam labu leher
tiga dengan penambahan NaOH 40%-50% dengan volume tertentu. Ekstraksi dilakukan selama 30 – 90
menit pada suhu 90ºC dengan menggunakan gelombang ultrasonik. Hasil deasetilasi lalu disaring untuk
diambil residunya dan dicuci menggunakan air sampai pH netral, kemudian residu dikeringkan dalam
oven. Residu dari hasil deasetilasi inilah yang disebut kitosan. Kemudian hasil dianalisis derajat
deasetilasi, kadar abu, kelarutan, dan viskositasnya untuk mengetahui mutu kitosan.
3. Tahap Pengujian
Pada penelitian ini, analisis yang dilakukan meliputi analisis bahan baku dan hasil. Analisis
bahan baku meliputi analisis kadar air dan kadar abu, sedangkan analisis hasil meliputi analisis derajat
deasetilasi, kadar abu, kelarutan, dan vikositas. Dari evaluasi produk kitosan yaitu nilai kadar air, kadar
abu, nilai kelarutan/ viskositas, dan derajat deasetilasinya sehingga dapat diketahui proses yang paling
optimal untuk hasil kitin dan kitosan yang berasal dari kulit udang.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
82
E. Hasil Penelitian
Proses pengambilan kitin dimulai dengan tahap perebusan menggunakan air selama 2 jam
pada suhu 1000C, dengan perbandingan kulit udang kering dan air yang digunakan adalah 1:15
(gram/mL). Proses ini bertujuan untuk melunakkan kulit udang sehingga proses deproteinasi,
demineralisasi, dan deasetilasi dapat berlangsung lebih sempurna. Kulit udang yang akan diproses
dievaluasi kadar airnya dan kadar abu, dari hasil analisa diperoleh kandungan air kulit udang sebesar
6,26% (berat basah) dan kadar abu sebesar 42,6%. Dari proses perebusan 50 gram kulit udang kering
diperoleh kulit udang hasil perebusan sebanyak 40,546 gram. Merita, dkk. (2013) telah melaksanakan
proses pembuatan kitosan dengan melakukan variasi waktu perebusan kulit udang dengan hasil kitosan
dengan derajat deasetilasi tertinggi dihasilkan pada proses perebusan 2 jam dimana menghasilkan
kitosan dengan derajat deasetilasi sebesar 85,34% dengan nilai randemen yang diperoleh sebesar
11,62%.
Proses ekstraksi kitin dari kulit udang yang sudah direbus melalui dua tahapan proses, yaitu
proses deproteinasi dan proses demineralisasi. Proses deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan
protein dalam kulit udang, sedangkan proses demineralisasi merupakan proses yang bertujuan untuk
menghilangkan mineral dalam kulit udang. Bahan yang diperoleh setelah melalui dua tahapan ini
disebut dengan kitin. Kitin ini selanjutnya dijadikan bahan baku proses deasetilasi untuk mendapatkan
kitosan. Pada penelitian ini, dari proses deproteinasi dan demineralisasi yang dilakukan tanpa pengaruh
gelombang ultrasonik diperoleh rendemen kitin sebesar 21,26%. Banyaknya kitin yang dapat diperoleh
dari kulit udang sangat bervariasi. Misalnya penelitian Dono dan Arifin (2012), dari dua proses tahapan
proses yaitu penghilangan mineral dan diikuti dengan proses penghilangan protein, dapat menghasilkan
kitin dengan rendemen sebesar 23,30%.
Untuk mendapatkan kitosan, maka kitin kemudian dideasetilasi menggunakan larutan NaOH
40% dan dipengaruhi dengan gelombang ultrasonik sebesar 60Hz. Dari hasil percobaan dengan variasi
volume NaOH 40% yang digunakan dengan berat kitin yang diproses diperoleh hasil seperti yang
tercantum dalam Tabel 2. Dari data penelitian menggunakan variasi jumlah larutan NaOH yang
digunakan, maka diperoleh nilai viskositas larutan, derajat deasetilasi kitosan, serta kelarutan kitosan
yang optimal pada proses menggunakan perbandingan jumlah kitin yang diproses dengan pelarut yang
digunakan sebesar 1:15. Dengan menggunakan perbandingan ini diperoleh nilai viskositas larutan
sebesar 5,8 cP, rendemen 22,65%, kitosan yang dihasilkan larut dalam asam asetat 1%, dan nilai derajat
deasetilasi kitosan sebesar 78,64%.
Tabel 2. Data Hasil Penelitian Deasetilasi Kitin dengan Variasi Perbandingan Kitin dengan Volume
NaOH 40%
Volume
NaOH 40%,
mL
Rendemen
Kitosan, %
Viskositas
Larutan
Kitosan, cP
Kadar
Abu, %
Derajat
Deasetilasi Kelarutan
100 22,15 3,9 2,34 74,01 LS
150 22,65 5,8 1,96 78,64 L
200 22,87 5,4 1,87 78,84 L
Keterangan: LS (Larut Sebagian); L (Larut)
Percobaan menggunakan variasi waktu proses deasetilasi menggunakan perbandingan bahan
(kitin) dan pelarut NaOH 40% sebesar 1:15. Proses deasetilasi dilaksanakan dengan empat variasi
waktu, yaitu 30 menit, 45 menit, 60 menit, dan 90 menit. Dari hasil penelitian, diperoleh hasil
sebagaimana tercantum dalam Tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3. Data Hasil Penelitian Deasetilasi Kitin dengan Variasi Waktu Proses Deasetilasi
(Perbandingan Jumlah Kitin yang diproses dengan Volume Larutan NaOH 40% adalah 1:15
(gram/mL))
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
83
Waktu
Proses,
menit
Rendemen
Kitosan, %
Viskositas
Larutan
Kitosan, cP
Kadar
Abu, %
Derajat
Deasetilasi
Kelarutan,
%
30 22,675 3,2 4,34 71, 15 TL
45 22,75 4,1 2,43 73,33 LS
60 22,65 5,8 1,96 78,64 L
90 22,55 5,9 1,91 79,23 L
Keterangan: TL (Tidak Larut); LS (Larut Sebagian); L (Larut)
Dengan melihat data yang dihasilkan, maka hasil optimal dilihat dari kelarutan kitosan/
viskositas larutan, rendemen kitosan, serta derajat deasetilasi maka waktu proses yang optimal
dilakukan selama 60 menit dengan rendemen hasil kitosan 22,65%, viskositas larutan 5,8 cP, dan
derajat deasetilasi sebesar 78,64%. Untuk proses deasetilasi dengan variasi konsentrasi larutan NaOH
yang digunakan diperoleh seperti tercantum dalam Tabel 4 di bawah ini. Proses deasetilasi pada tahap
ini dilakukan selama 60 menit dengan menggunakan perbandingan massa kitin (gram) dan larutan
NaOH (mL) sebesar 1:15.
Dari hasil penelitian terlihat bahwa penggunaan konsentrasi NaOH yang berbeda dapat
menghasilkan kitosan yang dapat larut dalam larutan asam asetat 1%, sedangkan kenaikan konsentrasi
NaOH menjadi 45% dan 50% mempunyai pengaruh terhadap derajat deasetilasi kitosan yang
dihasilkan tetapi tidak begitu signifikan. Sebagai perbandingan, dilakukan pembuatan kitosan dengan
kondisi proses deasetilasi menggunakan larutan NaOH 40%, dengan perbandingan berat kitin dengan
larutan NaOH yang digunakan sebesar 1:15, suhu proses deasetilasi 900C selama 60 menit tanpa
pengaruh gelombang ultrasonik. Dari percobaan yang dilakukan diperoleh kitosan yang larut dalam
asam asetat dengan derajat deasetilasi sebesar 73,55%. Penggunaan gelombang ultrasonik pada 60Hz
dapat digunakan dalam proses deasetilasi kitin tetapi peningkatan derajat deasetilasi kitosan yang
dihasilkan dalam penelitian ini belum begitu besar.
Tabel 4. Data Hasil Penelitian Deasetilasi Kitin dengan Variasi Konsentrasi NaOH
Konsentrasi
Larutan
NaOH, %
Rendemen
Kitosan, %
Viskositas
Larutan
Kitosan, cP
Kadar
Abu, %
Derajat
Deasetilasi
Kelarutan,
%
40 22,65 5,8 1,96 78,64 L
45 21,23 5,9 1,85 78,87 L
50 21,01 6,3 1,77 79,25 L
Keterangan: L (Larut)
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Dari data percobaan yang dilakukan, diperoleh data kondisi proses deasetilasi menggunakan
gelombang ultrasonik dapat menaikkan derajat deasetilasi kitosan yang diperoleh. Data kitosan yang
diperoleh dengan proses deasetilasi menggunakan larutan NaOH 40%, pada suhu 900C selama 60 menit
mempunyai derajat deasetilasi sebesar 78,64%, kadar abu 1,96%, viskositas 5,8 cP, dan kitosan dapat
larut dalam larutan asam asetat 1%.
2. Saran dan Rekomendasi
a. Dinas Kesehatan perlunya melakukan pengenalan adanya pengawet bahan makanan yang
lebih aman dari sisi kesehatan, yaitu kitosan. Pengenalan ini dapat dilakukan dengan
mensosialisasikan kerugian bahan tambahan makanan sintetik, yang merupakan bahan
tambahan yang berasal dari zat kimia.
b. Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian (Disperindagkoptan) Kota
Yogyakarta dapat mengenalkan masyarakat tentang prospek usaha pengolahan limbah kulit
udang untuk diolah menjadi kitosan dengan melakukan scale up proses dan alat yaitu untuk
kapasitas produksi 15 kg kitosan setiap bulannya, karena usaha ini dimungkinkan untuk dapat
menghasilkan keuntungan dari sisi ekonomi.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
84
c. Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian (Disperindagkoptan) Kota
Yogyakarta perlu mengadakan program bank sampah limbah kulit udang, sebagai upaya untuk
dapat mengumpulkan limbah kulit udang dari pada pedagang makanan hasil olahan udang
atau dari rumah tangga untuk dapat memasok industri pembuatan kitosan dari limbah kulit
udang. .
Daftar Pustaka
Arifin, Z., 2012, “Pemanfaatan Teknologi Sonikasi tak Langsung dalam Rangka Produksi Kitosan”,
Konversi, Volume 1 No.1.
Bozdemir, O.A., dan Tutas, M., 2003, “Plasticiser Effect on Water Vapour Permeability Properties of
Locust bean gum-Based Edible Film”, Turk Journal Chemistry.
Cahyadi, W., 2009, “Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan”, ed.2, Bumi Aksara,
Jakarta.
Casariego, A., Souza, B.W.S., Vicente, A.A., Teixeira, J.A., Cruz, L., and Diaz, R., 2007, “Chitosan
Coating Surface and Permeation Properties as Affected by Plasticizer, Surfactant, Polimer
Concentration-Application to Vegetables”, Proceeding of The 3rd CIGR Sction VI
International Symposium on Food and Agricultural Products: Processing and Innovations.
Dono, A. dan Arifin, Z., 2012, “Pemanfaatan GElombang Ultrasonik pada Proses Deasetilasi dalam
Rangka Produksi Kitosan Berbasis Limbah Udang”, Prosiding Seminar Nasional Teknik
Kimia Soebardjo Brotohardjono, UPN “Veteran” Jawa Timur, Surabaya.
Fernandez, K., Sun, O., 2004, “Physicochemical and Functional Properties of Crawfish Chitosan as
Affected by Different Procesing Protocols”, A Thesis in Department of Food Science, Seoul
University.
Haryani, K., Hargono, dan Budiyati, C.S., 2007, “Pembuatan Khitosan dari Kulit Udang untuk
Mengadsorpsi Logam Krom (Cr6+) dan Tembaga (Cu)”, Reaktor, Vol. 11 No.2, Hal. 86-90.
Hartati, F., Tri, S., Rakhmadioni, dan Loekito, A., 2002, “Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap
Deproteinasi dalam Pembuatan Kitin dari Cangkang Rajungan”, Biosain, Vol. 2(1).
Hirano, S., 1986, “Kitin and Kitosan”, Ulmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry Republicka of
Germany, 5th. ed., A 6: 231 – 232.
Mahatmanti, F.W., Sugiyo, W., dan Sunarno, W., 2010, “Sintesis Kitosan dan Pemanfaatannya sebagai
Anti Mikrobia Ikan Segar”, Sainteknol 8, no. 2.
Meyers, S.P., No, H.K., Prinyawiwatkui, W., dan Xu, Z., 2007, “Applications of Chitosan for
Improvement of Quality and Shelf Life of Foods: A Review”, Journal Food Science.
Nadarajah, K., 2005, ”Development and Characterization of Antimicrobial Edible Film from Crawfish
Chitosan”, Dessertation in Department of Food Science, University of Peradeniya.
Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi, 1984, “ Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan
Pertanian”, ed.3, hal. 53, 61, 64, 77, 78, Liberty, Yogyakarta.
Swastawati, F., Wijayanti, I., Susanto, E., 2008, Pemanfaatan Limbah Kulit Udang menjadi Edible
Coating untuk mengurangi Pencemaran Lingkungan, Jurnal Teknologi Lingkungan
Universitas Trisakti, 4(4), 101 – 106.
Wardaniati, R.A. dan Setyaningsih, S., 2009, “Pembuatan Chitosan dari Kulit Udang dan Aplikasinya
untuk Pengawetan Bakso”, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro, Semarang.
Widodo, A., Mardiah, dan Prasetyo, A., 2005, “Potensi Kitosan dari Sisa Udang Sebagai Koagulan
Logam Berat Limbah Cair Industri Tekstil”, Teknik Kimia, ITS, Surabaya.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
85
KAMPUNG WISATA ONLINE BERBASIS SIG SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PARTISIPASI WARGA DALAM MENGELOLA DAN MEMPROMOSIKAN PARIWISATA KOTA YOGYAKARTA Oleh: Drs. Tedy Setiadi, M.T. & Herman Yuliansyah, S.T.,M.Eng
ABSTRAK
Yogyakarta is a city that has a diversity of art and culture which is still alive in the midst of society.
These advantages make the Yogyakarta city visited by many tourists. The development of tourism in the
city of Yogyakarta will play a major role in determining income (PAD) received by the City of
Yogyakarta because 31% of the revenue derived from the city of Yogyakarta comes from tourism
sector. One form of activities to improve the tourist attraction is the exploration and innovation to
realize the diversity of the objects and tourist attractions. Tourist village is a new variant of attraction
of special interest-based potentials in a village area and has a strategic role in the welfare of society
and one of the programs to increase tourist arrivals. Based on these issues it is necessary to build a
tourist village information system based on web. The hope with this information system can increase
citizen participation in managing and promoting the tourism potential of the region as a new object or
improvement of existing ones.
The method used in this study is the waterfall method in the development of the system / software. This
method includes the phases of the system needs analysis, system design, system implementation and
system testing.
The results of this study is to produce a system of web-based information tourist village in an effort to
increase the participation of citizens in managing and promoting tourism Yogyakarta that can pinpoint
the location of the tourist village in accordance with the kind of potential that is desired by the user,
determines the route based on the location of origin and destination you want to visit the tourist village
which then the system will generate information about the distance to be traveled, time taken, and the
roads that will be passed by the user to the point of destination.
Keywords: tourist village, information system, SIG,online
A. Pendahuluan
Kota Yogyakarta memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang tetap terjaga hingga saat.
Keunggulan tersebut menjadikan Kota Yogyakarta banyak dikunjungi wisatawan. Pengembangan
kepariwisataan di Kota Yogyakarta mengedepankan konsep pariwisata yang berbudaya. Selain itu,
potensi obyek wisata, sarana prasarana yang memadai, serta letak geografis yang strategis merupakan
aset yang jika dikelola secara baik dapat mendukung keberadaan Kota Yogyakarta sebagai kota tujuan
wisata yang terkemuka [1].
Salah satu bentuk kegiatan untuk meningkatkan daya tarik wisata adalah melakukan eksplorasi
dan inovasi untuk mewujudkan keanekaragaman obyek dan daya tarik wisata, diantaranya wisata minat
khusus, wisata bangunan dan kawasan heritage (pusaka/bersejarah), wisata pendidikan, wisata MICE
(Meeting, Incentive, Conference/Convention dan Exhibition), wisata kuliner dan wisata belanja.
Menurut Kepala Seksi Pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kota Yogyakarta Bysry Romley mengingat luas wilayah Kota Yogyakarta yang terbatas
kemungkinannya untuk menambah obyek wisata baru, sehingga salah satu inovasi yang bisa dilakukan
adalah dengan mengembangkan kampung sebagai tujuan wisata[2].
Merujuk hal tersebut keberadaan Kampung Wisata merupakan solusi yang sangat tepat karena
keberadaan kampung wisata dengan berbagai format yang ada, seperti Kampung Wisata atau Urban
Tourism yang didukung dengan aneka macam pertunjukan atraksi budaya serta atraksi kerajinan dan
kuliner kini banyak diminati oleh wisatawan.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
86
Kampung wisata merupakan sebuah varian baru Objek Daya Tarik Wisata minat khusus yang
berbasis potensi wilayah kampung dan memiliki peranan strategis dalam kesejahteraan masyarakat dan
salah satu program untuk meningkatkan kunjungan wisatawan. Selain sebagai pengembangan
pariwisata, kampung wisata juga mengajak masyarakat sekitar untuk melestarikan kebudayaan Jawa
dan menjaga alam sekitar. Setiap kampung wisata memiliki produk unggulan yang dapat menambah
keunikan budaya Yogyakarta. Dan juga tak kalah penting tentunya dapat meningkatkan ekonomi warga
masyarakat.
Ada banyak kampung yang akan menjadi tujuan wisata. Beberapa yang sudah dikenal dan
sering dikunjungi adalah Dipowinatan, Cokrodirjan, Pandeyan, Basen, dan Sosromenduran. Namun
demikian kampung wisata tersebut belum banyak dipromosikan, masih sebatas promosi melalui brosur
maupun pamflet. Ini terlihat dalam website kota Yogyakarta[3] yang belum mengulas tentang kampung
wisata. Beberapa situs juga mempromosikan wisata desa di Yogyakarta seperti [4] namun mengingat
pengelolanya merupakan web personal maka sifatnya masih statis (tidak uptodate) dan fiturnya sebatas
deskripsi singkat dan beberapa foto pendukung untuk menjelaskan lokasi wisatanya, belum
menjelaskan lebih dalam tentang potensi dan ciri khas dari lokasi.
Berdasarkan persoalan di atas maka kami mengusulkan penelitian untuk membangun
kampung wisata online berbasis SIG berbasis web. Harapannya dengan sistem informasi ini dapat
meningkatkan partisipasi warga dalam mengelola dan mempromosikan berbagai potensi wilayahnya
sebagai objek pariwisata baru atau peningkatan dari yang sudah ada. Kampung wisata online
diharapkan dapat memberikan informasi secara lengkap dan cepat dan uptodate tentang lokasi
kampung wisata berupa nama, alamat, potensi, fasilitas, keunggulan, dan informasi lainnya yang
merupakan ciri khas masing-masing kampung.
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menghasilkan kebutuhan data dan informasi yang diperlukan untuk pembangunan
kampung wisata online Yogyakarta.
2. Menghasilkan rancangan proses, basis data dan antarmuka kampung wisata online
kota Yogyakarta
3. Menghasilkan kampung wisata online berbasis SIG berbasis Web yang dapat
dimanfaatkan oleh pemerintah kota atau warga kampung wisata yang mencakup
berbagai informasi tentang kampung yang ada di kota Yogyakarta.
4. Menghasilkan uji sistem yang telah dibangun yang memenuhi kebutuhan dari setiap
user.
C. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini antara lain mengacu pada penelitian Tedy[5]. Pada penelitian ini dihasilkan
sistem informasi untuk menentukan daerah pencemaran limbah berbasis SIG yang dapat membantu
dalam proses penentuan daerah pencemaran seperti dalam proses menentukan daerah yang
mengandung limbah B3, daerah yang tercemar limbah. Selain itu juga sistem ini mampu memberikan
informasi besarnya kandungan zat pencemar yang ada dalam limbah. Keterbatasan penelitian ini sistem
informasinya berbasis dekstop belum berbasis WEB sehingga masih terbatas penggunaannya.
Kemudian mengacu juga penelitian Misbakhul[6]. Pada penelitian ini telah dikembangkan
objek wisata di kabupaten Tulung Agung berbasis SIG dengan fungsi utama sebatas pengganti buku
panduan wisata. Penelitian ini keterbatasannya juga tidak berbasis WEB sehingga tidak dapat diakses
oleh semua pengguna.
D. Metode Penelitian
1. Analisis Kebutuhan Sistem
Kegiatan awal yang dilakukan pada tahap ini adalah mengumpulkan data dan informasi yang
diperlukan nanti oleh sistem. Calon pengguna sistem mencakup pengelola pariwisata di dinas pariwista
kotamadya Yogyakarta, pengelola kampung wisata (lokasi). Dan masyarakat umumKegiatan awal
yang dilakukan pada tahap ini adalah mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan nanti oleh
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
87
sistem. Calon pengguna sistem mencakup pengelola pariwisata di dinas pariwista kotamadya
Yogyakarta, pengelola kampung wisata (lokasi) dan masyarakat umum.
2. Perancangan Sistem
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah merancang DFD (Data Flow Diagram),
merancang basis data, proses digitasi dan merancang antarmuka (user interface).
3. Perancangan Sistem
Sistem ini diimplementasikan (dikoding) dengan bahasa pemrograman PHP yang berbasis
Framework CodeIgniter
4. Pengujian Sistem
Black Box Test adalah metode pengujian yang dilakukan untuk memperoleh gambaran
kesesuaian antara input dan output. Pengujian ini dilakukan oleh Pengelola Dinas Pariwisata dan
kebudayaan kota Yogyakarta maupun pengelola di kampung wisata.
Pengujian Alfa Test yaitu pengujian sistem yang dilakukan oleh pemakai sistem. Pengujian ini
dilakukan oleh administrator dinas pariwisata maupun administrator kampung serta beberapa
wisawatan (masyarakat) sebagai pengguna umumPengujian Alfa Test yaitu pengujian sistem yang
dilakukan oleh pemakai sistem. Pengujian ini dilakukan oleh administrator dinas pariwisata maupun
administrator kampung serta beberapa wisawatan (masyarakat) sebagai pengguna umum.
E. Hasil Penelitian
1. Analisis Kebutuhan
Berdasarkan hasil analisis kebutuhan dapat ditentukan terdapat 3 stakeholder yang terlibat
pada sistem informasi ini yaitu visitor, Admin Dinas dan Admin Kampung. Berikut beberapa
kebutuhan berdasarkan jenis stakeholder:
a. Kebutuhan Visitor
Informasi peta digital lokasi kampung wisata di kota Yogyakarta, informasi kampung wisata
dan potensi-potensi wisatanya, informasi rute jarak dan arah antar kampung wisata, informasi rute jarak
dan arah kampung wisata dengan lokasi fasilitas umum, galeri tentang foto-foto kampung wisata,
informasi tentang event di kampung wisata, informasi berita mengenai kampung wisata, form
pemesanan untuk memesan paket wisata dan form buku tamu untuk memberikan saran dan masukkan
terhadap sistem maupun kampung wisata.
b. Kebutuhan Admin Dinas
Proses login terhadap sistem, mengolah data kampung wisata, mengolah data potensi wisata,
mengolah data kecamatan, mengolah data kategori potensi, mengolah data lokasi fasilitas umum,
mengolah galeri, mengolah event, mengolah berita, mengolah buku tamu, mengolah pemesanan,
melihat laporan pengunjung dan mengolah user admin kampung.
c. Kebutuhan Admin Kampung
Proses login terhadap sistem, mengolah data kampung wisata, mengolah data potensi wisata,
mengolah berita, mengolah pemesanan dan mengolah laporan pengunjung.
2. Perancangan Sistem
Perancangan sistem dilakukan dengan merancang Data Flow Diagram dan Entitas
Relationship Diagram (ERD). Berikut hasil rancangan Data Flow Diagram (DFD):
a. Diagram Konteks
Diagram konteks merupakan gambaran umum aliran informasi dan data yang terjadi di dalam
sistem.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
88
Gambar 1. Diagram Konteks
b. DFD Level 1
Proses yang terjadi pada sistem adalah input data, penyimpanan data, dan pembuatan tampilan
data.
Gambar 2. DFD Level 1
c. Entitas Relationship Diagram
ERD merepresentasikan susunan data entitas dengan relasi antar entitas yang diproses pada
sistem.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
89
milik
Kecamatan
id nama
Kategori Potensi
nama id
tulis
milik
punya
N 1
1
N
User
password
id
username
namaGaleri
deskripsi gambar
id
Beritatgl_post
gambar
deskripsi
judul
id
1
1
1
N
Potensi
id
deskripsi
Id_kampung
id
Kampung
longitude
latitude
gambar
deskripsi
nama
punya1 N
hit
Id_kampung
Event
waktu
nama
id
tgl
gambar
deskripsiN
Buku Tamu
emailnama
id
isisubject
Lokasi
id
longitude
latitude
nama
jenis
1 punya
Pemesanan
Pengunjung
id tanggal jumlahdeskriipsi
N
1
id
nama
No telp isi status
Gambar 3. Entity Relation Diagram (ERD)
3. Implementasi Sistem
a. Halaman Peta
Pada halaman ini visitor dapat mencari lokasi kampung wisata berdasarkan potensi dan
melihat rute serta jarak waktu yang ditempuh antar kampung wisata.
Gambar 4 Halaman Peta
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
90
b. Halaman Input Kampung
Halaman ini berisi form untuk memasukkan data kampung wisata yang akan ditampilkan di
website.
Gambar 5 Halaman Input Kampung
c. Halaman Daftar Potensi
Halaman ini berisi daftar potensi wisata yang dimiliki oleh kampung wisata.
Gambar 6 Halaman Daftar Potensi
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Penelitian ini telah menghasilkan Sistem Informasi Geografis Pemetaan Potensi
Kampung Wisata Di Wilayah Kota Yogyakarta Berbasis Web.
2. Adapun kelebihan dari sistem ini adalah dapat menentukan titik lokasi kampung
wisata sesuai dengan jenis potensi yang diinginkan oleh pengguna, menentukan rute
perjalanan berdasarkan lokasi asal dan tujuan kampung wisata yang ingin dikunjungi
yang selanjutnya sistem ini akan menghasilkan informasi tentang jarak yang akan
ditempuh, waktu yang ditempuh, dan jalan-jalan yang akan dilewati oleh pengguna
menuju titik lokasi tujuan.
3. Sistem Informasi Geografis Pemetaan Potensi Kampung Wisata Di Wilayah Kota
Yogyakarta Berbasis Web ini dapat membantu Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan
Kota Yogyakarta dalam mempromosikan dan memberikan informasi tentang lokasi
beserta potensi-potensi kampung wisata kepada masyarakat khususnya calon
wisatawan yang ingin berlibur ke Kota Yogyakarta.
Beberapa rekomendasi bagi Pemerintah Kota agar mendukung kampung wisata online
berbasis SIG:
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
91
1. Bagi Dinas Pariwisata
a. Perlu menambahkan sub-domain aplikasi kampung wisata ini ke web Dinas
Pariwisata Kotamadya Yogyakarta sehingga mampu meningkatan informasi
wisata yang ada di Yogyakarta
b. Perlu meningkatkan sosialisasi pentingnya konsep kampung wisata ke
bawah yakni ke setiap kecamatan, kelurahan, RW dan RT yang ada di
wilayah yogyakarta sehingga tumbuhnya kesadaran warga bagaimana
menggali inovasi dan potensi pariwisata wilayahnya
c. Perlu meningkatkan kemampuan penguasaan Teknologi Informasi bagi
admin pengelola web Dinas Pariwisata akan mengelola sistem ini dengan
melakukan pelatihan dan pendampingan.
d. Perlu menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi untuk meyediakan dosen
atau mahasiswa yang melakukan pelatihan dan pendampingan bagi
pengelola kampung wisata dan memfasilitasi untuk mengembangkan
aplikasi ini dengan berbasis mobile sehingga bisa diakses lebih luas dan
familier melalui gadget.
2. Bagi Kampung Wisata
a. Perlu mensosialisasikan aplikasi ini ke setiap pengurus RW dan RT
sehingga tumbuh kesadaran warga bagaimana menggali inovasi dan potensi
pariwisata wilayahnya
b. Perlu meningkatkan kemampuan penguasaan Teknologi Informasi bagi
admin pengelola web kampung wisata di kampungnya yang akan mengelola
sistem ini dengan melakukan pelatihan dan pendampingan.
3. Bagi Perguruan Tinggi Mitra
a. Perlu menyediakan bantuan dosen dan mahasiswa yang kompeten dalam
aplikasi ini untuk melakukan pelatihan dan pendampingan bagi Dinas
Pariwisata maupun pihak kampung melalui program pengabdian masyarakat
baik dosen maupun mahasiswa KKN.
b. Perlu menyediakan kepakaran dosen untuk melakukan penelitian dan
pengembangan aplikasi ini yang mengikuti kebutuhan user yang dinamis.
Daftar Pustaka
Pemerintah Kota Yogyakarta, 2007, “Keputusan Walikota Walikota Yogyakarta No. 557/KEP/2007
Tentang Rencana Aksi Daerah Pengembangan Pariwisata Berbasis Budaya Kota Yogyakarta
Tahun 2007-2011”, Walikota Yogyakarta, Yogyakarta.
Republika.co.id, 2011, Inilah Lima Kampung di Yogyakarta yang Jadi Tujuan Wisata Mancanegara,
[Online], http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/travelling/11/07/08/lo06qt-inilah-lima-
kampung-di-yogyakarta-yang-jadi-tujuan-wisata-mancanegara”, Diakses pada tanggal 10
September 2014.
Jogjakarta.go.id, 2014, Dinas Pariwisata dan Keudayaan Kota Yogyakarta, [Online],
“http://pariwisata.jogjakota.go.id/”, Diakses pada tanggal 10 September 2014
Jogjatrip.com, Wisata Desa, [Online], http://jogjatrip.com/id/category/wisata-desa, Diakses pada
tanggal 10 September 2014.
Setiadi, Tedy, 2010, Pengembangan Sistem informasi Untuk Menentukan Daerah Pencemaran Limbah
Home Industri Berbasis SIG , Jurnal Informatika Program Studi Teknik Informatika
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Vol. 4 No 2 Juli 2010
Zain, Misbakhul Munir & Taufik, Muhammad, 2012, Pengembangan Potensi Wisata Alam Kabupaten
Tulungagung dengan Sistem Informasi Geografis, [Online], http://digilib.its.ac.id/public/ITS-
Undergraduate-12512-Paper.pdf, Diakses pada tanggal 10 September 2014.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
92
PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI TAHU BERBASIS KOMUNITAS DI BANTARAN SUNGAI WINONGO KELURAHAN WIROBRAJAN KECAMATAN WIROBRAJAN YOGYAKARTA Oleh: Suharyanto, Hastowiyono, Muhammad Barori
ABSTRACT
Home industry has a strategic role in national and regional economic development, because it has a
role in reducing poverty, encouraging economic growth and employment. In fact, home industries
have many obstacles to develop. To develop home industry enterprises, including "tahu" (tofu)
industry, it needs to get the attention of the Government and the community in order to develop more
competitiveness with other economic actors. Although the home industries are the micro-scale, but
there are relatively many of them, then people's economy unit needs to be viewed as asset of the
relevant area to be developed.
This study aims to know the characteristics of tofu business, profile of business management, social
capital which constructed the tahu craftsmanship and among the obstacles that people experienced,
and the involvement of regional government to promote industry enterprises. Research was conducted
in RT 35/RW 07 Kelurahan Wirobrajan. The methods of this research use quantitative and qualitative
approaches. The respondents are 18 business owners who are determined at random. Descriptive
data analysis uses statistics and reinforced by qualitative analysis.
This research result indicates: 1) the tofu craftsmen have diverse age characteristics, low education,
low working mobility, background as a migrants, and generally constituting the small family; 2) the
business is characterized by family business, business skills obtained from parents or others, there is
no distribution of work between the owner and workers, small capitals, number of employees is 1-2
people, traditional production technology, small production capacity, do not have business legality,
and local marketing scale; 3) the craftsmen manage their business in traditional ways, there is no
bookkeeping, business finance mingled with household finance, products marketed without packaging
and marketed to the direct consumer (end user); 4) having strong social capital, no competition
between craftsmen, each tofu maker has their own market domain, and having good social relations
between the craftsmen and the residents.
Keywords: development, tofu industry
A. Pendahuluan
Usaha industri rumahtangga mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi
nasional, karena selain berperan dalam mengurangi jumlah kemiskinan, mendorong pertumbuhan
ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan.
Pada saat negara kita dilanda krisis ekonomi beberapa waktu yang lalu, dimana banyak usaha berskala
besar yang mengalami stagnasi bahkan berhenti aktifitasnya, sektor usaha industri rumahtangga
terbukti lebih tangguh. Mengingat pengalaman tersebut, pengembangan usaha industri rumahtangga,
termasuk usaha industri kerajinan tahu, menjadi relevan untuk mendapatkan perhatian yang besar baik
dari pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam
memberdayakan industri rumahtangga melalui kebijakan yang mendorong terjalinnya kemitraan usaha
yang saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil/mikro.
Secara kuantitas industri rumahtangga memang jumlahnya lebih banyak, tetapi apabila
keseluruhan omset dan aset industri rumahtangga di Indonesia digabungkan, belum tentu jumlahnya
dapat menyaingi satu perusahaan berskala nasional. Lebih jauh, pengembangan usaha industri
rumahtangga, mendesak dilakukan mengingat sektor ini memiliki potensi untuk menjaga kestabilan
perekonomian, peningkatan tenaga kerja, meningkatkan PDB, mengembangkan dunia usaha, dan
penambahan APBN dan APBD melalui perpajakan.
(http://www.blogsiffahartas.blogspot.com/2011/05/pengembangan-usaha-mikro-kecil)
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
93
Hasil penelitian kerjasama Kementerian Negara KUKM dengan BPS tahun 2003 (dalam Sri
Winarni, 2006) menginformasikan bahwa 72,47 % UKM mengalami kesulitan usaha. Bagi UKM
yang mengalami kesulitan usaha tersebut, diidentifikasi kesulitan yang muncul adalah (1) Permodalan
51,09 %, (2) Pemasaran 34,72 %, (3) Bahan baku 8,59 %, (4) Ketenagakerjaan 1,09 %, (5) Distribusi
transportasi 0,22% dan (6) Lainnya 3,93 %. Persentase kesulitan yang dominan dihadapi UMKM
terutama meliputi kesulitan permodal-an (51.09%).
Menyimak problematika yang dialami UMKM tersebut, menjadi menarik untuk meneliti
usaha industri tahu yang ada di bantaran sungai Winongo Kelurahan Wirobrajan Kecamatan
Wirobrajan Yogyakarta. Di wilayah Kelurahan Wirobrajan terdapat cukup banyak warga masyarakat
yang menekuni industri tahu. Usaha industri tahu tersebut termasuk skala usaha mikro. Meski skala
usahanya mikro, tetapi karena jumlahnya relatif banyak, maka unit ekonomi kerakyatan ini perlu
dipandang sebagai aset daerah yang relevan untuk dikembangkan.
Pengembangan usaha industri rumahtangga sangat relevan dilakukan, karena industri
rumahtangga diharapkan menjadi cikal bakal dari tumbuhnya usaha besar. Namun demikian perlu
disadari, industri rumahtangga berada dalam suatu lingkungan yang kompleks dan dinamis. Jadi,
upaya mengembangkan industri rumahtangga tidak banyak berarti bila tidak mempertimbangkan
pembangunan yang lebih luas. Konsep pembangunan yang dilaksanakan harus terintegrasi dengan
pembangunan daerah yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Dengan demikian, pengembangan
industri rumahtangga diperlukan strategi yang tepat melalui suatu kebijakan dari Pemerintah Kota
Yogyakarta dan peran serta dari semua pihak. Untuk mendukung ketepatan strategi kebijakan
pengembangan usaha kerajinan tahu tentu diperlukan data dan informasi yang dapat menggambarkan
keadaan yang terjadi pada usaha kerajinan tahu itu. Atas dasar argumen tersebut, penelitian ini
menjadi relevan untuk dilakukan.
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini untuk:
1. Mendeskripsikan karakteristik pemilik usaha dan profil usaha industri tahu.
2. Mendeskripsikan pola produksi, perilaku pemasaran produk, dan dukungan
permodalannya?
3. Mengetahui interakasi antar pemilik usaha industri tahu; antara pemilik usaha
dengan tenagakerja/karyawan, tengkulak/pedagang, lembaga kemasyarakatan
setempat, dan pemerintah daerah?
4. Mengetahui bentuk-bentuk dan kekuatan modal sosial yang dibangun oleh pelaku
usaha dalam menjalankan usaha industri tahu maupun dalam merawat hubungan
sosial dengan warga masyarakat setempat.
5. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi pengusaha (pengrajin) dalam mengelola
dan mengembangkan usaha industri tahu.
6. Mengetahui efektifitas bantuan-bantuan yang pernah diberikan oleh pihak eksternal,
khususnya Pemerintah Kota Yogyakarta.
Manfaat penelitian:
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota
Yogyakarta dalam penentuan kebijakan pengembangan ekonomi lokal, khususnya
usaha industri kerajinan tahu di bantaran Sungai Winongo.
2. Hasil penelitian ini sekaligus dapat bermanfaat untuk mempromosikan kepada
kalangan luas tentang keunikan usaha ekonomi kerakyatan sebagai kekayaan daerah
yang dimiliki Kota Yogyakarta. Lebih lanjut diharapkan dapat mendorong
munculnya ”kampung wisata tahu” yang berimplikasi luas bagi kesemarakan
gerakan pembangunan daerah Kota Yogyakarta.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
94
C. Tinjauan Pustaka
Industri tahu yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini merupakan bidang usaha
ekonomi produktif yang dikelola masyarakat lokal dalam skala usaha rumahtangga. Skala usaha
industri tahu ini lebih tepat dikategorikan sebagai usaha mikro. Oleh karenanya pengembangan
industri tahu lebih cocok menggunakan pendekatan kebijakan pengembangan UMKM yang sekaligus
dapat bermakna sebagai pengembangan ekonomi lokal. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya
UKMK mendefinisikan pengembangan ekonomi lokal adalah merupakan suatu konsep pengembangan
ekonomi yang mendasarkan pada pendayagunaan sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan
sumberdaya kelembagaan lokal yang ada pada suatu masyarakat, oleh masayarakat itu sendiri melalui
pemerintah lokal maupun kelembagaan berbasis masyarakat yang ada (Tambunan dan Nasution. eds,
2006).
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tertanggal 29 Januari 2003,
usaha mikro yaitu usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan
memiliki hasil penjualan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per tahun.
Konsekuensi dari batasan ini, usaha mikro dapat mengajukan kredit kepada bank dibatasi paling
banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
UMKM merupakan sumber penghidupan sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk rakyat
Kota Yogyakarta. Dengan demikian, pengembangan UMKM merupakan langkah bijak untuk
menghadirkan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat. Dalam kenyataan UMKM mengalami banyak
kelemahan yang menghambat untuk berkembang. Meskipun UMKM masih memiliki banyak
kelemahan seperti tersebut di atas, namun disisi lain memiliki kekuatan yang membuat usaha ekonomi
tetap dapat berjalan. Kekuatan itu adalah modal sosial. Putnam menyatakan, “dimana kepercayaan dan
jaringan kerja sosial tumbuh dengan subur, individu, perusahaan, lingkungan tempat tinggal dan
bahkan bangsa menjadi makmur” (Putnam, 2000). Demikianlah pengertian modal sosial ini yang
merupakan basis sentral bagi pembangunan ekonomi masyarakat, daerah dan bangsa. Dengan
demikian penguatan modal sosial merupakan strategi efektif dalam pengembangan ekonomi lokal
(UMKM), terutama untuk menghindari persaingan yang saling merugikan atau bahkan saling
mematikan.
Menurut Hidayatullah (2011), berdasarkan konsep pengembangan ekonomi lokal dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat, bagian-bagian yang harus menjadi perhatian penting dan selalu
menjadi pijakan dalam melaksanakan kegiatan antara lain: 1) Masukan, dalam rangka pengembangan
ekonomi lokal, masukannya adalah potensi dan kelemahan yang dimiliki masing-masing wilayah; 2)
Perencanaan, dalam rangka pengembangan ekonomi lokal dibutuhkan institusi yang diharapkan
menjadi perencana program; 3) Program Intervensi, dalam rangka percepatan pengembangan
ekonomi lokal, maka diperlukan program intervensi yang diharapkan dapat memacu tumbuh dan
berkembangnya aktivitas ekonomi berbasis lokal (UMKM); 4) Metode Kegiatan, dibutuhkan strategi
intervensi dalam rangka pengembangan ekonomi lokal (UMKM); 5) Keluaran, yang diharapkan
menjadi keluaran, antara lain: a) Produk unggulan wilayah bernilai ekonomi tinggi; b) Jaringan
pemasaran produk; c) Tumbuhnya usaha mikro yang handal; d) Manajemen pengelolaan usaha yang
baik; dan e) Pertumbuhan ekonomi wilayah. Langkah konkrit yang nampaknya perlu dilakukan antara
lain dengan: pelatihan dan pendampingan masyarakat dalam menciptakan atau mengelola usaha
ekonomi lokal, memikirkan bentuk-bentuk kemitraan usaha bagi usaha ekonomi, memfasilitasi akses
permodalan usaha, penggunaan teknologi tepat guna dan peningkatan kualitas produk dan pelayanan.
Dalam konteks pembangunan daerah, Undang-undang no. 20/2008 mengamanatkan kepada
pemerintah maupun pemerintah daerah untuk mendorong, memfasilitasi, dan menciptakan iklim usaha
yang kondusif bagi perkembangan UMKM melalui kebijakan-kebijakan pembangunan daerah. Selain
memenuhi amanat undang-undang, kebijakan pengembangan ekonomi lokal melalui program-
program pemberdayaan UMKM sangat relevan dari sisi moralitas pembangunan. Dengan semakin
berkembangnya UMKM berarti pula terjadi pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.
Dari berbagai pilihan kebijakan pembangunan ekonomi yang dapat ditempuh oleh
pemerintah, Dillon (1999) mengajukan alternatif pembangunan ekonomi berparadigma people driven.
Paradigma ini menghendaki suatu proses pembangunan dimana semua kebijakan, kelembagaan dan
teknologi yang kita rakit didorong oleh realitas kebutuhan dan kemampuan rakyat. Melalui people
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
95
driven proses pertumbuhan yang dicapai bersifat growth through equity, secara prinsip akan
menyebarkan distribusi pendapatan dan sumberdaya nasional secara lebih baik dan adil, dan akan
mengurangi kemiskinan secara berkesinambungan. Hal ini dapat terwujud karena proses pertumbuhan
ini menginginkan pencapaian pertumbuhan yang melibatkan kehidupan ekonomi sebagian besar
rakyat terutama pada kelompok marjinal. Meskipun pemikiran Dillon tersebut dalam kerangka
pembangunan pertanian, namun secara substansial sangat relevan diterapkan untuk pengembangan
ekonomi lokal di daerah perkotaan seperti Kota Yogyakarta.
Tujuan utama pembangunan daerah adalah untuk menyejahterakan rakyat. Dalam konteks
ini, Badrudin (2012:17-18) menyitir pendapat Matsui (2005), bahwa pertumbuhan ekonomi adalah
salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu
wilayah. Suatu wilayah mengalami pertumbuhan secara ekonomi apabila terjadi peningkatan produksi
dari semua kegiatan ekonomi di dalam wilayahnya secara terukur. Selama beberapa dekade,
pembangunan daerah selalu berupaya memperoleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa melihat
apakah pertumbuhan tersebut bermanfaat bagi kesejahteraan penduduk secara merata atau tidak.
Perkembangan selanjutnya, para pengambil kebijakan pembangunan daerah mulai memperhitungkan
manfaat pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat, sehingga tingkat pemerataan mulai menjadi suatu
indikator bagi kesejahteraan.
Berkaitan dengan spirit pembangunan daerah, hendaknya lebih mengedepan-kan
kesejahteraan rakyat, bukan mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pembangunan daerah harus
diarahkan untuk memperkokoh fondasi ekonomi rakyat, sehingga semangat penarikan retribusi dari
rakyat demi PAD harus dikendorkan. Pemerintah daerah harus mampu menghadirkan iklim usaha
yang kondusif. Meningkatnya PAD harus ditempatkan sebagai akibat dari meningkatnya ekonomi
rakyat. Oleh karena itu, mindset lama dari penyelenggara pemerintah daerah harus diubah agar
memiliki wawasan kewirausahaan. Meskipun investasi yang masuk ke daerah tetap penting untuk
digairahkan, namun semua itu harus memperkokoh ekonomi rakyat (Muhammad, 2008: 241-253).
D. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian sosial yang didisain dengan menggunakan pendekatan
metode campuran (mixed methode), yaitu mengombinasikan strategi penelitian kuantitatif dan metode
kualitatif. Disain penelitian dengan pendekatan campuran ini merupakan strategi penelitian untuk
menghilangkan bias-bias yang muncul apabila hanya menggunakan metode tunggal, yaitu metode
kuantitatif atau metode kualitatif saja (Creswell, 2012). Penggunaan metode campuran ini
dimaksudkan agar dapat memperoleh data kuantitatif yang lengkap (luas) sebagai evident based dan
selanjutnya dilakukan pemahaman makna terhadap fenomena yang menjadi fokus penelitian ini.
Dengan demikian, kedua metode ini berfungsi saling melengkapi.
Pendekatan penelitian kuantitatif dilakukan dengan metode survei. Metode ini digunakan
untuk memperoleh data agregat yang dapat digeneralisasi untuk menggambarkan karakteristik usaha
dan pengusaha industri tahu yang ada di lokasi penelitian. Sedangkan pendekatan penelitian kualitatif
dilakukan dengan teknik wawancara dan focus group discussion untuk memperoleh pemahaman
makna atas ide-ide, harapan, keinginan, dan cerita-cerita lokal yang biasanya sulit diungkap melalui
survei.
Dilihat dari skala usaha menampakan gejala yang seragam, yaitu sebagai usaha keluarga
sehingga sifat populasinya dapat dikategorikan cukup homogin. Dari 21 unit usaha kerajinan yang ada
di lokasi penelitian, diambil secara random 18 unit rumahtangga sebagai sampelnya. Dengan
demikian proporsi sampel penelitian ini sebesar 85,71 % dari populasinya.
Data primer yang diperoleh dari pengisian kuesioner setelah terkumpul kemudian dilakukan
pengolahan data menggunakan piranti lunak SPSS (Statistical Package for the Social Sciences).
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik statistik deskriptif. Hasil
pengolahan data disajikan dalam bentuk tabel frekuensi sehingga memudahkan dalam
menginterpretasi makna data. Analisis data survei tersebut kemudian dilengkapi dengan data hasil
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
96
wawancara dan FGD yang dipaparkan secara naratif. Dengan demikian, fenomena yang tidak terakses
melalui kuesioner tetap dapat dimanfaatkan untuk memperkaya temuan penelitian.
E. Hasil Penelitian
1. Karakteritik Pengrajin.
Usia pengrajin bervariasi, mulai dari usia produktif sampai dengan usia yang tergolong tidak
produktif (22 - 80 tahun), dan yang paling dominan adalah usia 45 - 64 tahun.
Apabila dilihat dari proporsi pengrajin berdasarkan jenis kelamin, pengrajin laki-laki
jumlahnya berimbang dengan jumlah pengrajin perempuan, sehingga tidak terjadi diskriminasi
berdasarkan jenis kelamin dalam mengelola usaha kerajinan tahu.
Tingkat pendidikan pengrajin pada umumnya berpendidikan rendah, tingkat pendidikan yang
paling dominan adalah tidak tamat SD sampai dengan tamatan SLTP, dan pendidikan paling tinggi
adalah tamatan SLTA.
Mobilitas pekerjaan (pergantian jenis pekerjaan) bagi pengrajin tahu rendah, karena usaha
kerajinan tahu merupakan pilihan pekerjaan terakhir bagi pengrajin (bukan pekerjaan sementara atau
sebagai batu loncatan).
Pengrajin tahu memiliki latar belakang sebagai kaum migran yang kemudian menetap dan
beranak pinak di Kota Yogyakarta, sebagian terbesar berasal dari daerah Kabupaten Kulon Progo.
Pengrajin pada umumnya telah memiliki rumah sendiri di RT 35/ RW 07 Kelurahan
Wirobrajan, dan kondisi bangunan rumahnya baik (rumah permanen). Ini menandakan bahwa hasil
usaha kerajinan tahu mampu menopang kebutuhan hidup rumahtangga. Rumahtangga pengrajin pada
umumnya merupakan keluarga kecil dengan rata-rata jumlah anggota rumahtangga 4 orang. Jumlah
angota rumahtangga yang kecil ini tentu meringankan beban ekonomi bagi rumahtangga sehinga
dapat hidup lebih sejahtera.
2. Profil Usaha Kerajinan Tahu
Keterampilan usaha kerajinan tahu diperoleh melalui belajar dari orang tua atau menjadi
buruh tahu pada orang lain, sehingga usaha kerajinan tahu berkembang melalui efek
penularan/peniruan atau turun-temurun.
Pada umumnya pengrajin tahu belum menerapkan manajemen usaha dengan baik, terutama
tidak melakukan pembukuan usaha dan tidak memisahkan antara keuangan usaha dengan keuangan
rumahtangga. Ini menandakan bahwa usaha kerajinan tahu dikelola secara tradisional dan belum
menerapkan manajemen usaha yang baik.
Modal awal sebagian besar pengrajin adalah dari modal sendiri, karena kuantitas tahu yang
diproduksi relatif sedikit sehingga tidak memerlukan modal kerja yang besar. Selain itu, teknologi
yang digunakan untuk memproduksi tahu masih tradisional, hanya alat penggiling kedelai saja yang
menggunakan teknologi lebih maju berupa mesin diesel.
Secara umum tenaga kerja yang terlibat dalam setiap unit usaha jumlahnya tidak berubah,
mulai dari saat awal membuka usaha hingga saat ini jumlah tenaga kerjanya relatif tetap, yaitu
berkisar 1 - 2 orang. Ini membuktikan bahwa usaha kerajinan tahu belum mengalami perubahan.
Kalaupun ada perubahan, tetapi perubahannya lebih bersifat kuantitatif, artinya, yang berkembang
atau bertambah adalah jumlah rumahtangga yang membuka usaha kerajinan tahu, tetapi secara
kualitatif belum melakukan pengembangan usaha, baik kapasitas produksi maupun variasi jenis
produk. Keadaan ini dipertegas dengan kapasitas produksi yang dimiliki pengrajin tahu yang
tergolong kecil, yaitu setiap pengrajin rata-rata memproduksi tahu sekitar 700 buah/ hari.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
97
Strategi pemasaran tahu yang dilakukan pengrajin belum optimal sehingga rentan kalah
bersaing dengan produk sejenis. Para pengrajin pada umumnya menjual tahu kepada pelanggan
langsung dan tanpa kemasan maupun label sehat/halal. Pengrajin tahu enggan memasarkan produknya
melalui pasar modern (super market) dengan sistem konsinyiasi, karena keterbatasan modal yang
mereka miliki. Temuan ini menggambarkan bahwa kapasitas pengrajin dalam pemasaran masih
terbatas/lemah.
3. Modal Sosial
Modal sosial yang dibangun oleh komunitas pengrajin tahu merupakan kekuatan penting
untuk menjaga keberlangsungan dalam menjalankan usaha bisnis tahu. Bentuk modal sosial tersebut
meliputi:
a. Kerja sama antar pengrajin dalam penggunaan peralatan dan rumah produksi. Dalam hal
ini peralatan dan rumah produksi tidak hanya digunakan sendiri oleh pemiliknya, tetapi
boleh digunakan oleh pengrajin-pengrajin lain yang tidak memilikinya.
b. Aturan main atau kode etik bisnis yang disepakati bersama oleh komunitas pengrajin
untuk saling menjaga keberlangsungan usaha, antara lain: tidak bersaing harga, tidak
merambah pasar yang telah dimasuki pengrajin lain, dan menjaga kepercayaan
konsumen terhadap kualitas produk setempat (misal: tidak menggunakan bahan
pengawet).
c. Keharmonisan hubungan sosial antara komunitas pengrajin dengan warga sekitar. Ini
tercipta melalui pertemuan rutin antara komunitas pengrajin tahu bersama warga
masyarakat lainnya, keterlibatan komunitas pengrajin dalam kegiatan kemasyarakatan
(kerja bakti, melayat, menengok orang sakit, dll), dan komunitas pengrajin memberi
sumbangan dana untuk kegiatan kampung.
4. Kendala yang Dialami Komunitas Pengrajin Tahu
Dalam menjalankan usaha komunitas pengrajin megalami kendala internal maupun
eksternal. Kendala internalnya adalah keterbatasan kemampuan memperluas pasar sehingga tidak
termotivasi untuk meningkatkan kapasitas produksi. Sedangkan kendala eksternalnya meliputi:
a. Sering mengalami kesulitan mengakses BBM (solar) untuk mengoperasikan diesel
penggiling kedelai, karena mereka tidak memiliki surat rekomendasi dari pemerintah
maka mereka sering dicurigai sebagai penimbun BBM. Akibatnya, mereka sering
dipersulit oleh pihak SPBU untuk membeli solar menggunakan jerigen.
b. Para pengrajin merasa mengalami kendala psikologis (perasaan tidak enak) terhadap
tetangga yang tidak berprofesi sebagai pengrajin tahu. Ini disebabkan karena IPAL
mengalami kebocoran dan posisinya kurang rendah sehingga menimbulkan bau busuk,
bio gas tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, dan air limbah sering meluap
mencemari sungai.
5. Efektifitas Bantuan untuk Pengembangan Usaha Kerajinan Tahu
Sebenarnya bantuan dari berbagai pihak akan dimanfaatkan secara optimal oleh komunitas
pengrajin tahu sepanjang bantuan tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai bukti: seluruh
pengrajin tahu membuang air limbah ke IPAL yang dibangun Pemerintah Kota Yogyakarta; bantuan
dana hibah dari Pemerintah Daerah DIY telah dikelola untuk simpan-pinjam dan dimanfaatkan oleh
warga setempat (termasuk komunitas pengrajin). Sedangkan bantuan ketel uap dari UGM sampai saat
ini belum dimanfaatkan oleh komunitas pengrajin tahu, karena ketel uap yang mereka miliki masih
berfungsi dengan baik dan mereka masih meragukan kualitas barang bantuan tersebut. Dengan
demikian temuan ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa keterlibatan pemerintah, terutama
Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam pengembangan usaha kerajinan tahu belum optimal. Ini ditandai
antara lain: bantuan dari Pemerintah Kota Yogyakarta baru sebatas pembangunan Instalasi
Pembuangan Air Limbah (IPAL) dan sekarang mengalami kebocoran, dan Dinas Kesehatan pernah
memeriksa kualitas air dan kualitas tahu tetapi belum ditindaklanjuti sampai terbitnya sertifikat.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
98
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan:
1. Pengrajin tahu memiliki karakteristik sebagai berikut: umur beragam, pendidikan
rendah, mobilitas pekerjaan rendah, berlatar belakang sebagai kaum migran, dan
umumnya merupakan keluarga kecil.
2. Profil usaha kerajinan tahu bercirikan usaha keluarga, ketrampilan usaha diperoleh dari
orang tua atau orang lain (proses magang), tidak ada pembagian kerja yang jelas antara
pemilik dan pekerja, modal kecil, jumlah pekerja 1-2 orang, teknologi produksi
tradisional, kapasitas produksi kecil, tidak memiliki legalitas usaha (PIRT), dan wilayah
pemasaran berskala lokal.
3. Usaha kerajinan tahu dikelola secara tradisional, tidak ada pembukuan, keuangan usaha
bercampur dengan keuangan rumahtangga, produk dipasarkan tanpa kemasan dan
dipasarkan ke konsumen langsung (end user);
4. Modal sosial terbangun cukup kuat, antar pengrajin tidak terjadi persaingan harga, setiap
pengrajin memiliki domain pasar sendiri, dan hubungan sosial antara pengrajin dengan
warga masyarakat terjalin harmonis.
5. Pengrajin mengalami kendala dalam mengakses BBM untuk proses produksi, dan
kendala psikologis karena kebocoran IPAL yang mengeluarkan bau busuk yang
mengganggu warga masyarakat.
6. Keterlibatan pemerintah daerah dalam pengembangan usaha kerajinan tahu belum
optimal, dan bantuan yang diberikan oleh pemerintah (terutama IPAL dan dana hibah)
telah dimanfaatkan dengan baik oleh komunitas pengrajin tahu.
Rekomendasi
1. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Yogyakarta:
a. Menyelenggarakan program-program kegiatan pelatihan dan pendampingan
untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan usaha bagi komunitas pengrajin
tahu bagi komunitas pengrajin tahu.
b. Memfasilitasi surat rekomendasi bagi komunitas pengrajin tahu untuk
mengakses bahan bakar mesin diesel (solar) untuk keperluan proses produksi
tahu.
c. Menyelenggarakan workshop penganekaragaman jenis produksi tahu dan
pengolahan limbah produksi tahu agar menghasilkan nilai ekonomi lebih.
d. Memfasilitasi promosi produk tahu buatan komunitas lokal Kota Yogyakarta.
Misalnya melalui penyelenggaraan event festival kuliner makanan berbahan
dasar tahu.
2. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta:
a. Menyelenggarakan penyuluhan kepada komunitas pengrajin tahu untuk
menghindari penggunaan bahan-bahan berbahaya dalam memproduksi bahan
makanan.
b. Melakukan pemeriksaan (kontrol) secara periodik terhadap kualitas tahu, dan
memfasilitasi komunitas pengrajin untuk memperoleh sertifikat PIRT.
3. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta:
a. Memfasilitas renovasi rumah produksi agar lebih sehat dan bersih melalui
pemberian bantuan pemasangan keramik untuk lantai dan dinding rumah
produksi.
b. Segera memperbaiki IPAL yang saat ini mengalami kebocoran, dan jika perlu
membangun IPAL baru yang lebih sempurna.
4. Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta:
a. Menyelenggarakan program pengembangan kawasan bantaran Sungai Winongo
sebagai kampung wisata tahu.
b. Bekerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan memfasilitasi dalam
memperluas pemasaran tahu. Misalnya, memfasilitasi komunitas pengrajin
untuk membangun networking atau channeling dengan hotel-hotel yang
semakin marak di Kota Yogyakarta.
5. Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) Kota Yogyakarta:
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
99
a. Menyelenggarakan pelatihan peningkatan kapasitas komunitas pengrajin dalam
mengorganisasi kegiatan usaha kerajinan tahu.
b. Memfasilitasi pembentukan dan pembinaan kelompok pengrajin tahu.
Daftar Pustaka
Badrudin, Rudy. 2012. Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Menggunakan Tipologi Klasen Dan Location Quotient. Jurnal Riset
Manajemen dan Bisnis, Volume 7, No.1, Juni 2012. ISSN : 1907-7343, Fakultas Bisnis
Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta: 17-18.
Creswell, John W. 2012. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuntaitatif, dan Mixed. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta. (Terjemahan dalam bahasa Indonesia)
Dillon, H.S. 1999. Pertanian: Membangun Bangsa. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Hamidah, Siti, dan Komariah, Kokom. 2008. Pembudayaan Manajemen Berbasis Mutu Produk Dan
Layanan Pedagang Lesehan Di Malioboro Yogyakarta. Jurnal Penelitian Vol. 3, Bappeda
Kota Yogyakarta: 1-12.
Hidayatullah, Syarif, dan Djaka SBW, Thomas. 2011. Model Pemberdayaan Masyarakat Melalui
Pengembangan Ekonomi Lokal (Studi pada UKM Pengrajin di Kota Malang).
EKONOMIKA. Jurnal Ekonomi, Vol. 4, No. 1, Juni 2011, ISSN 1978-9998. Airlangga
University Press. Surabaya: 33-37.
Idris, Indra, dan Sijabat, Saudin. 2011. Model Peningkatan Peran KUMKM Dalam Pengembangan
Komoditas Unggulan Di Kawasan Perbatasan. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Vol.
6 – September 2011, ISSN : 1978 - 2896: 89-123.
Lee, Everett, S. 2000. Teori Migrasi. Pusat Penelitian Kependudukan-Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Matsui, K. 2005. “Post-Decentralization Regional Economies and Actors: Putting The Capacity of
Local Governments To The Test”. The Developing Economies, 43(1): 171–189.
Muhammad, Fadel. 2008. Reinventing Local Government: Pengalaman Dari Daerah. Pt. Elex
Media Komputindo. Jakarta.
Putnam, Robert. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New
York: Simon and Schuster.
Sri Winarni. 2006. Strategi Pengembangan Usaha Kecil Melalui Peningkatan Aksesibilitas Kredit
Perbankan. Infokop Nomor 29 Tahun XXII
Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. CV. Alfabeta. Bandung.
Sutanto, Agus. 1996. Keusahaan dan Usaha Kecil di Pedesaan, dalam Buletin Populasi, Volume 7
Nomor 2 Tahun 1996, ISSN: 0853-0262. Pusat Penelitian Kependudukan UGM Yogyakarta:
79-90.
Tambunan, Togap, dan Nasution, Paruhuman. eds. 2006. Pengkajian Peningkatan Daya Saing Usaha
Kecil Menengah Yang Berbasis Pengembangan Ekonomi Lokal. Jurnal Pengkajian
Koperasi Dan UKM Nomor 2 Tahun I - 2006: 26-40.
Majalah Prisma Volume 6 1997 – LP3ES Jakarta, hlm 6
http://www.blogsiffahartas.blogspot.com/2011/05/pengembangan-usaha-mikro-kecil.
jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/sosant/article/download
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
100
PERAN ASRAMA MAHASISWA DALAM MEMBANGUN INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT DALAM RANGKA TERWUJUDNYA KUALITAS MASYARAKAT YOGYAKARTA YANG HARMONIS Oleh: Fadjarini Sulistyowati & Tri Agus Susanto
ABSTRACT
Yogyakarta is a miniature of Indonesia. The citizens of Yogyakarta consist of various religions, ethnics and
languages. The most important for the society of Yogyakarta is to be able to coexist with them regardless of the
differences. The city has a huge appeal for migrants from various regions, especially who want to continue their
education in Yogyakarta. The existence of various cultures is not always able to represent the good communication
and interaction. This study was to determine the role of the student dormitories as regional representatives in
establishing cross-cultural communication with the community and to develop its role to interact with Yogyakarta
society harmoniously. A method of qualitative descriptive study was conducted with the interactive analysis. A
technique of data collection is done on interviews, focus group discussion (FGD) and observation. Research results
assert that the role of a student dormitory in establishing cross-cultural communication can occur when both parties
respect to each other as human beings. Efforts to develop the role of dormitory in establishing interaction with the
community of Yogyakarta can be done by: 1) Require student dormitory to have a space program as an interaction
between students and the community; 2) Government establishes communication with the origin government student
and the accomplishment of cooperation programs related to its interaction with the local community and give
sanction to the troubled student dormitories; 3) Conducting joint activities to introduce art and culture of
Yogyakarta to them, and provide cultural artistic activities from various regions to be displayed together in the
community.
Keywords: student dormitory, cross-cultural community, interaction
A. Pendahuluan
Citra Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan cukup kondang di berbagai wilayah Indonesia. Kota ini
dikenal cukup nyaman dan menjadi impian anak muda untuk meneruskan pendidikannya. Citra ini diperkuat realitas
sosial yang ada dengan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan dan maraknya kegiatan mahasiswa
(Kurniawan, 2012: 139).
Seiring dengan makin banyaknya mahasiswa dari luar daerah, bermunculan pula asrama mahasiswa dari
berbagai provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Menurut catatan pemerintah, saat ini ada 30 provinsi
se-Indonesia yang memiliki asrama mahasiswa di DIY. Jumlah asrama daerah bahkan lebih dari angka itu, sebab
beberapa kabupaten dari provinsi tertentu juga ikut mendirikan asrama sendiri. Di Kota Yogyakarta sendiri ada 73
asrama mahasiswa dari sejumlah daerah, (Republika.com: 2013).
Pada awalnya kehadirannya, asrama-asrama daerah di Yogyakarta dimaksudkan sebagai sarana pemerintah
daerahnya untuk membantu para mahasiswa daerah masing-masing yang belajar di Yogyakarta. Tujuannya agar
mereka, mendapatkan tempat tinggal yang jelas dan pantas selama masa belajar, (Zudianto, 2008: 82). Asrama
mahasiswa ini memang sangat membantu mahasiswa. Calon pemimpin dan intelektual itu bisa tinggal tanpa
membayar sewa di asrama. Mereka hanya diwajibkan memelihara fasilitas, menjaga ketertiban, lama tinggal dan
syarat ringan lainnya. Mahasiswa dikondisikan untuk belajar lebih tekun dan diharapkan lulus tepat waktu, sehingga
putra-putri daerah yang berikutnya bisa memanfaatkan fasilitas yang ditinggalkan.
Menyusul kejadian tindak kekerasan yang berbau atau dikaitkan etnis beberapa waktu, lalu memunculkan
wacana untuk membatasi izin pendirian asrama daerah di Yogyakarta. Pernyataan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X
agar pemerintah daerah memperketat penambahan asrama mahasiswa, (Kedaulatan Rakyat. com). Salah satu
alasannya, keberadaan asrama tersebut menghambat pembauran mahasiswa penghuninya dengan masyarakat.
Mahasiswa yang datang ke Yogyakarta seharusnya tidak sekadar menuntut ilmu, tetapi juga belajar mengenal dan
berbaur dengan masyarakat dan budaya lokal. Sesuai dengan pernyataan yang disampaikan Herry Zudianto,
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
101
kehadiran asrama daerah semakin lama semakin menimbulkan kesan eksklusif dan dalam konteks tertentu terkesan
angker, orang luar tidak berani masuk ke dalam asrama tersebut, (2008:82).
Asrama daerah sebenarnya bisa berperan lebih dari sekadar tempat pondokan bagi mahasiswa perantau.
Asrama bisa menjadi etalase dalam mengenalkan budaya daerah asal, sekaligus tempat mahasiswa beradaptasi
dengan budaya lokal, bahkan lebih jauh bisa menjadi pusat informasi bisnis dan wisata daerah. Kecenderungan
terjerumusnya asrama daerah ke dalam eksklusivisme etnik karena berjarak dengan warga sekitar harus dihindari.
Eksklusivisme menjadikan para mahasiswa secara tidak sadar memagari diri dengan identitas daerah dan
etnik. Di asrama, mereka setiap hari bertemu dengan teman sedaerah, kemudian berkomunikasi menggunakan
bahasa daerah. Topik perbincangan tidak lepas dari isu yang berkembang di daerah asal. Bisa dimaklumi apabila
ego-daerah atau etnik terus mengental, ementara ketertarikan pada budaya lokal tak juga menebal.
Wacana pengetatan pemberian izin dari Pemerintah Kota Yogyakarta untuk pendirian asrama daerah perlu
dicermati oleh seluruh penghuni asrama daerah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota se Indonesia, juga warga
Kota Yogyakarta. Wacana itu tak akan menjadi realita jika terjalin komunikasi lintas budaya yang baik antara warga
kota dan mahasiswa penghuni asrama.
Pada hakikatnya Pemerinta kota Yogyakarta sejak jamannya Hery Zudianto telah menggulirkan kebijakan
Menyapa Anak Kos dan kebijakan ini menurut Haryadi, saat ini program sambang kos masih berjalan. Instansi
pemerintah yang ada di wilayah atau kecamatan diminta menjalin koordinasi dengan perangkat RT dan RW.
Sambang kos tersebut, ungkapnya, sudah menjadi program rutin untuk menjalin hubungan persuasif antara penghuni
kos, warga sekitar dan tokoh masyarakat, (Kedaulatan Rakayat.Com).
Untuk itu, saat ini perlu ditingkatkan peran asrama mahasiswa dalam menjalin interaksi dengan
masyarakat. Asrama-asrama mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah (IKMD)
secara rutin mendapat dana bantuan dari KesBangPor (Kesatuan Bangsa Pemuda dan Olahraga Kota Yogyakarta).
Namun, program ini tampaknya belum memberikan dampak interaksi yang harmonis antara masyarakat dan asrama
mahasiswa. Seharusnya, interaksi antara asrama mahasiswa dan masyarakat dapat terjalin efektif secara formal dan
informal sehingga tidak ada kesenjangan antara pendatang dengan masyarakat Yogyakarta.
Berkaitan dengan ini penting perlu adanya penelitian tentang peran dan fungsi asrama mahasiswa dalam
upaya untuk menjalin interaksi dengan masyarakat kota Yogyakarta. Interaksi yang positif akan mendukung
harmonisasi antara masyarakat dengan asrama mahasiswa. Persepsi dan stereotyp negatif dari masyarakat terhadap
budaya tertentu tentunya akan semakin berkurang bila asrama mahasiswa membuka diri. Image masyarakat yang
baik terhadap asrama mahasiswa juga menjadikan pendatang dari luar daerah akan membuat betah sehingga
akhirnya citra kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang nyaman juga akan semakin meningkat. Hal ini
tentunya akan berimbas pada kehidupan ekonomi masyarakat kota Yogyakarta.
B. Tujuan dan Manfaat
1. Untuk mengetahui peranan asrama mahasiswa sebagai ruang perwakilan daerah dalam menjalin
komunikasi lintas budaya dengan masyarakat Yogyakarta
2. Untuk mengembangkan peranan asrama mahasiswa dalam menjalin interaksi dengan masyarakat
Yogyakarta menuju terwujudnya kualitas kehidupan masyarakat Kota Yogyakarta yang harmonis.
3. Untuk memberikan rekomendasi terhadap pihak terkait yakni: Kesbang dan Dinas Pariwisata
dalam upaya menjalin interaksi antara mahasiswa dengan berbagai daerah dan warga masyarakat
Kota Yogyakarta
C. Tinjauan Pustaka
Asrama adalah bangunan tempat tinggal bagi kelompok orang yang bersifat homogen (Kamus Besar
Bahasa Indonesia Jilid II). Asrama adalah suatu penginapan yang ditujukan untuk anggota suatu kelompok yang
umumnya pelajar (anak sekolah). Asrama biasanya berupa bangunan yang terdiri kamar-kamar yang dapat
ditempati oleh beberapa penghuni untuk setiap kamarnya. Para penghuni asrama menginap dalam jangka waktu
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
102
relatif lebih lama daripada di hotel. Alasan untuk memilih asrama karena tempat tinggal si penghuni lebih jauh atau
biaya yang terbilang lebih murah, (http://id.wikipedia.org/ wiki/asrama).
Asrama mahasiswa dalam penelitian ini adalah asrama mahasiswa daerah, sehingga asrama ini didirikan
oleh Pemerintah daerah untuk putera-putera daerah yang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta. Walaupun,
terkadang pendiriannya bukan diinisiasi pemerintah daerah secara langsung.
Pertumbuhan asrama daerah semakin banyak di Kota Yogyakarta. Hal ini dimungkinkan karena jumlah
putera daerah yang melanjutkan studi di Kota Yogyakarta semakin banyak dan keberadaan asrama lebih
mengefektifkan komunikasi mahasiswa dengan pemerintah daerah yang mendanai perkuliahan mereka.
Namun, pendirian asrama mahasiswa daerah juga memunculkan sikap eksklusifisme asrama mahasiswa di
hadapan masyarakat sekitar. Kelompok yang se-daerah akan memunculkan arogansi masing-masing daerah padahal
untuk menciptakan kehdiupan yang harmonis diperlukan komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya
dapat dilakukan bila masing-masing budaya mau memahami dan saling berempati dengan budaya lain. Perbedaan
antarbudaya memang mudah memunculkan prasangka dan stereotip yang melekat sehingga menghambat kefektivan
komunikasi dan akan berakibat konflik berkepanjangan. Untuk itu, agar terjadi komunikasi lintas budaya yang baik
semua pihak dapat memahami budaya dan menghilangkan sikap prasangka dan stereotip yang buruk.
Jika suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; dalam budaya hal tersebut dapat dikatakan
pluralism budaya (cultural pluralism). Teori Pluralisme budaya pertama kali dikembangkan oleh Horace Kallen
yang menggambarkan pluralism sebagai upaya menghargai berbagai tingkat perbedaan dalam rangka menjaga
persatuan nasional, (http://pjjgsd.dikti.go.id). Yogyakarta adalah kota yang multikulturalisme seperti yang
dikatakan Herry Zudianto, struktur masyarakat Yogyakarta yang sebelumnya secara kultural homogen secara
bertahap semakin multikultural, (2008: 5).
Untuk menumbuhkan pluralisme dalam masyarakat tentunya dibutuhkan komunikasi yang efektif antara
berbagai kelompok dalam masyarakat. Asrama mahasiswa merupakan suatu kelompok yang dianggap pendatang
dalam masyarakat Yogyakarta, untuk dapat terjalin interaksi maka diawali dengan komunikasi yang efektif.
Komunikasi dari kelompok masyarakat yang berbeda budaya bukanlah hal yang mudah seperti yang dikatakan oleh
Gudykunst dan Kim (dalam Mulyana, 1996: Viii), ketika berkomunikasi dengan orang lain maka dihadapkan
dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan dan nilai-nilai yang berbeda. Sehingga kelompok budaya pendatang tentunya
bukan hal yang mudah untuk dapat menjalin komunikasi dengan kelompok budaya yang didatangi. Seperti yang
dikatakan oleh Edward T. Hall ( dalam Mulyana, 1996: vi) culture is communication dan communication is culture.
Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya akan menentukan tujuan
hidup yang berbeda. Artinya, cara berkomunikasi akan ditentukan oleh budaya kita; bahasa, aturan dan norma
masing-masing
Perbedaan dalam berbahasa, norma bahkan perilaku dengan orang lain yang dipengaruhi oleh budaya.
Budaya secara pasti mempengaruhi seseorang sejak di ada dalam kandungan hingga mati bahkan setelah mati pun
penguburan seseorang ditentukan cara-cara dalam budayanya. Seperti yang disampaikan oleh Porter dan Samovar
(dalam Mulyana, 1996: 19), budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana
orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan
menafsirkan pesan. Budaya menjadi landasan dalam berkomunikasi.
Untuk dapat menjalin komunikasi efektif dengan orang lain , maka seseorang harus dapat mengembangkan
beberapa hal sebagai berikut, (DeVito, 1999): 1) keterbukaan; 2) empati; 3) sikap mendukung; 4) sikap kepositivan
dan 5) kesamaan. Salah satu hambatan dalam komunikasi antarbudaya adalah sikap etnosentrisme, sikap yang
memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu dan hal-hal lainnya diukur dan
dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya, (Gudykunst dan Kim dalam Mulyana, 1996:5). Sedangkan persyaratan
seseorang untuk dapat berkomunikasi lintasbudaya, (Wilbur Schramm dalam Mulyana, 1996: 6):
1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia. Komunikasi akan berhasil, jika komunikasi
yang terjadi di antara mereka haruslah komunikasi pribadi pada pribadi bukanlah dilihat dari
perbedaan budayanya.
2. Menghormati budaya lain apa adanya bukan sebagaimana yang kita kehendaki, tidak ada budaya
yang tidak baik, semuanya harus dihormati.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
103
3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak.
Penafsiran seseorang tentang budaya bersifat relatif artinya kita tidak boleh menilai budaya
berbeda berdasarkan budaya kita yang terbatas.
D. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu suatu metode untuk
memaparkan serta menjelaskan kegiatan atau objek yang diteliti yang berkaitan dengan pengkajian fenomena secara
lebih rinci atau membedakannya dengan fenomena yang lain (Denzin dan Lincoln, 2009 :223).
Dalam pendekatan kualitatif yang menjadi sasaran penelitian adalah kehidupan sosial atau masyarakat
sebagai satu kesatuan atau sebuah kesatuan yang menyeluruh. Dalam penelitian ini tidak dikenal adanya sampel
namun penelitian dilakukan secara mendalam dan menyeluruh untuk mendapatkan gambaran mengenai prinsip-
prinsip umum atau pola-pola yang berlaku umum berkenaan dengan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sosial
dari suatu komunitas yang diteliti sebagai kasus, (Rudito dan Famiola, 2008:79)
Teknik pemilihan dilakukan secara purposif, yakni dipilih beberapa asrama dengan pertimbangan asrama
tersebut dapat mewakili asrama-asrama dari seluruh wilayah Indonesia dan tergabung dalam Ikatan Pemuda
Mahasiswa Daerah Yogyakarta. Pemilihan anggota asrama yang dipilih berdasarkan keragaman subjek penelitian.
Di dalam organisasi IKPMDY ada sekitar 73 asrama mahasiswa. Dari sekitar 73 diambil 10 asrama mahasiswa
yakni: asrama mahasiswa Kepulauan Riau kabupaten Natuna, asrama mahasiswa Papua (Jl. Kusumanegara), asrama
mahasiswa Sulawesi Selatan, asrama mahasiswa Todilaling (Polewali Mandar), asrama mahasiswa Maluku, asrama
mahasiswa Kalimantan Timur, asrama mahasiswa Timur Tengah Selatan NTT,asrama mahasiswa Bundo Kanduang
Sumatera Barat dan asrama mahasiswa Ciamis. Selain itu wawancara juga dilakukan dengan staf Kesbang dan
Ketua Ikatan keluarga Pelajar Mahasiswa Yogyakarta dan beberapa warga masyarakat yang tinggal berdekatan
dengan asrama di atas.
Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisa interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan
Hubermann (dalam Sutopo: 2006), 1) Pengumpulan data; 2) Reduksi data; 3)Penyajian data; 4) Penarikan simpulan
dan verifikasi.
E. Hasil Penelitian
1. Peranan asrama mahasiswa sebagai ruang perwakilan daerah dalam menjalin komunikasi lintas budaya dengan masyarakat Yogyakarta.
Asrama mahasiswa daerah merupakan asrama yang didirikan dalam rangka menghimpun mahasiswa yang
berasal dari daerah yang sama di kota ini dalam rangka untuk memudahkan mereka mendapat tempat tinggal. Di
asrama mahasiswa daerah, komunikasi yang dilakukan tentunya lebih banyak dengan bahasa daerah setempat
sehingga terkadang mahasiswa yang di daerahnya tidak bisa dan tidak menyukai seni dan budaya daerahnya tetapi
karena tinggal dengan orang sedaerah maka muncul perasaan memiliki budaya tersebut sehingga mereka terpacu
untuk belajar bahasa, seni dan budaya daerahnya.
Untuk itu, dibutuhkan komunikasi lintas budaya, komunikasi ini akan terjadi apabila seseorang dari
budaya yang berbeda saling berkomunikasi. Menurut Dood (1991), komunikasi lintas budaya bukan hanya
antarpribadi tetapi juga kelompok, sehingga ketika mahasiswa dari luar daerah di asrama berinteraksi dengan
masyarakat Kota Yogyakarta yang berlatarbelakang budaya Jawa maka terjadilah komunikasi.
Kegiatan komunikasi yang dilakukan mahasiswa dari berbagai daerah dengan masyarakat tidak selamanya
berlangsung efektif. Ada beberapa mahasiswa dari daerah tertentu merasa mudah untuk berinteraksi dengan
masyarakat namun di sisi lain ada mahasiswa yang mengalami hambatan dalam berinteraksi. Sesuai dengan teori De
Vito (DeVito, 1999): 1) keterbukaan; 2) empati; 3) sikap mendukung; 4) sikap kepositivan dan 5) kesamaan.
Untuk terwujudnya komunikasi efektif maka pertama, penghuni asrama mahasiswa daerah perlu untuk
memiliki sikap terbuka terhadap setiap warga sekitar, keterbukaan akan tampak bila asrama mahasiswa juga selalu
mengundang warga sekitar untuk mengikuti kegiatan yang ada dalam asrama misalnya pengajian. Kedua, memiliki
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
104
sikap empati dapat dimunculkan bila penghuni asrama juga peka dengan situasi dan kondisi masyarakat sekitar.
Ketiga, sikap mendukung dan kepositivan yang akan muncul bila penghuni asrama mahasiswa juga selalu
berpartisipasi dalam kegiatan warga misalnya dalam perayaan 17 Agustus, pengajian bersama, perayaan keagamaan
dan lain-lain. Keempat, kesamaan akan dapat diperlihatkan bila penghuni asrama tidak menonjolkan perbedaan
budaya yang ada.
Masyarakat Yogyakarta sebagai warga yang didatangi seringkali menganggap bahwa penghuni asramalah
yang seharusnya aktif dalam menjalin komunikasi dan interaksi dengan masyarakat sekitar. Hal inilah tentunya
akan mempersulit dalam menjalin komunikasi lintas budaya, sesuai dengan teori dari Wilbur Shcramm (dalam
Mulyana, 1996: 6), komunikasi lintas budaya akan mudah terwujud bila; 1) Menghormati anggota budaya lain
sebagai manusia. Komunikasi akan berhasil, jika komunikasi yang terjadi di antara mereka haruslah komunikasi
pribadi pada pribadi bukanlah dilihat dari perbedaan budayanya;2). Menghormati budaya lain apa adanya bukan
sebagaimana yang kita kehendaki, tidak ada budaya yang tidak baik, semuanya harus dihormati; 3). Menghormati
hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Penafsiran seseorang tentang
budaya bersifat relatif artinya kita tidak boleh menilai budaya berbeda berdasarkan budaya kita yang terbatas.
Masyarakat haruslah memahami bahwa budaya dari daerah lain memang berbeda dan tidaklah perbedaan
ini menjadi suatu hambatan dalam berkomunikasi. Tetapi perbedaan itu harus dimaknai sebagai upaya untuk
menghormati budaya yang berbeda tersebut, sama halnya dengan perbedaan agama tidaklah berarti itu menjadi
hambatan dalam berkomunikasi tetapi kita dapat menghargai perbedaan agama tersebut
Beberapa kelompok mahasiswa masih ada yang mengalami hambatan dalam berinteraksi dan
berkomunikasi sehingga mereka merasa masyarakat Kota Yogyakarta sebagai masyarakat yang kaku dan feodal.
Bahkan beberapa masyarakat dari daerah Timur merasa masyarakat Kota Yogyakarta sebagai masyarakat yang tidak
hangat karena mereka mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
seringkali mereka merasa dilecehkan.
Hal ini mungkin akan terus terjadi karena seringkali masyarakat dapat mudah menerima pendatang dari
daerah tertentu namun kadangkala mereka juga dengan mudah menolak kehadiran pendatang dari daerah lain.
Perbedaan ini muncul sesuai dengan konsep Gudykunst dan Kim, seseorang berkomunikasi dengan orang lain maka
dihadapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan dan nilai-nilai yang berbeda. Perbedaan yang terlampau besar dan
upaya dari pihak pendatang untuk tidak mengurangi perbedaan dengan lebih bersikap memahami budaya setempat
akan mengakibatkan hambatan komunikasi semakin besar.
Upaya untuk mengurangi perbedaan dapat dilakukan bila seseorang tidak bersikap etnosentrisme.
Kemauan seseorang untuk membuka diri dan mempelajari budaya orang lain akan mengurangi sikap etnosentrisme.
Hambatan komunikasi juga seringkali terjadi ketika muncul stereotype dari masyarakat. Sterotype ini mucul karena
adanya tindakan dari rekan se-daerah yang buruk pada lingkungan sehingga masyarakat memberikan persepsi yang
buruk terhadap semua mahasiswa yang berasal dari daerah mereka. Stereotype dalam komunikasi antarmanusia akan
menghambat keefektivan komunikasi bahkan pada gilirannnya akan menghambat integrasi bangsa, (Mulyana:
1996). Masyarakat menjadi curiga akan kehadiran mereka, dan mahasiswa sendiri menjadi takut untuk memulai
berkomunikasi. Upaya untuk menghilangkan stereotype akan dapat dilakukan oleh dua pihak yakni dengan
menciptakan iklim komunikasi yang positif.
2. Mengembangkan peranan asrama mahasiswa daerah dalam menjalin interaksi dengan masyarakat Yogyakarta menuju terwujudnya kualitas kehidupan masyarakat Kota Yogyakarta yang harmonis
Asrama mahasiswa memiliki peranan yang cukup besar karena pada hakikatnya asrama mahasiswa sering
menjadi rujukan baik dari pemerintah atau masyarakat apabila ada kasus-kasus yang berkaitan dengan mahasiswa
dari daerah tertentu. Namun, peranan asrama ini sulit dilakukan tanpa dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu.
perlu adanya upaya yang dilakukan dalam mendorong asrama mahasiswa agar tidak menjadi ruang yang eksklusif.
Beberapa mahasiswa dari daerah yang ditemui dalam penelitian mengakui bahwa sebetulnya mereka juga
ingin tahu tentang budaya dan tradisi masyarakat Kota Yogyakarta. Untuk itu pemerintah kota dapat mendorong
agar komunikasi lintas budaya ini tercipta dengan baik. Hambatan-hambatan dalam berkomunikasi dan berinteraksi
dengan masyarakat yang akhirnya membuat mereka memilih untuk menutup dan menarik diri dari masyarakat
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
105
perlu dihilangkan. Penghuni asrama diwajibkan untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Untuk itu, pihak
pemerintah kota dalam hal harus selalu melakukan sambang asrama. Program yang sudah rutin dijalankan ini
ditingkatkan dengan memilih asrama-asrama yang memiliki kesan tertutup dan tidak ada kegiatan berkomunikasi
dengan masyarakat. Kesbang perlu juga untuk mempersuasi asrama-asrama yang selama ini dianggap penghuninya
bermasalah dengan masyarakat untuk mengadakan kegiatan bersama dengan masyarakat baik yang berupa kegiatan
seni budaya atau kegiatan sosial bersama.
Asrama adalah suatu kelompok yang homogen ketika kelompok ini cenderung memilih menutup diri di
asrama maka kesan eksklusif asrama akan semakin menguat. Sikap menutup diri dan mencoba tidak memahami
budaya masyarakat setempat akan semakin membuat hambatan berkomunikasi. Sikap individu untuk tidak belajar
memahami budaya setempat sehingga menutup informasi dirinya dari masyarakat setempat akan memperkuat
stereotype yang melekat dalam masyarakat. Masyarakat akan tetap curiga dan berprasangka buruk terhadap
kelompok yang menutup diri.
Yogyakarta sebagai salah satu kota yang memiliki kondisi multikulturalisme sangat penting untuk
mewujudkan kota pluralis, yakni kota yang dapat menghargai berbagai budaya. Asrama mahasiswa memiliki peran
yang strategis dalam membuka ruang komunikasi dengan masyarakat setempat. Untuk itu salah yang harus
dilakukan adalah meningkatkan peran asrama mahasiswa sebagai ruang perwakilan daerah untuk menjalin
komunikasi antarbudaya.
Dorongan pemerintah kepada asrama mahasiswa daerah akan semakin efektif apabila pemerintah juga
mengikutsertakan para tetua yang dihormati oleh penghuni asrama. Seperti yang kita ketahui masyarakat luar Jawa
berkecenderungan lebih menghormati para senior mereka, mereka dianggap sebagai bagian dari keluarga. Selain
juga perlu untuk berkomunikasi dengan pihak pemerintah daerahnya agar asrama yang dibantu oleh pendanaan
Pemda bukan hanya berupa bangunan fisik, tetapi pihak pemerintah daerah setempat juga perlu bertanggung jawab
dalam membina karakter penghuni asramanya.
Beberapa upaya yang harus dilakukan: 1) Asrama mahasiswa memiliki program kegiatan yang merupakan
ruang untuk berkomunikasi dengan masyarakat misalnya, mengadakan pengajian bersama dengan masyarakat,
panggung kesenian terbuka dengan mengundang masyarakat untuk hadir; 2) Perlu adanya aturan yang berupa tata
tertib untuk semua penghuni asrama, yang salah satunya mengharuskan anggota untuk menghormati budaya dan
norma yang ada dalam masyarakat; 3) Asrama mahasiswa memiliki kegiatan bersama dengan asrama lain yang
terprogram untuk mengenal lebih jauh tentang budaya masyarakat Yogyakarta.
Dengan beberapa upaya yang harus dilakukan asrama mahasiswa maka instansi pemerintah Kota
Yogyakarta juga wajib memantau keberadaan asrama di wilayahnya. Kegiatan pemantauan ini dapat dilakukan
dengan mengadakan kunjungan rutin ke beberapa asrama atau mengundang asrama-asrama dalam waktu tertentu.
Pemerintah Kota Yogyakarta perlu mengeluarkan kebijakan yang berupa aturan atau tata tertib yang wajib ditaati
asrama-asrama. Apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh penghuni asrama maka pemerintah kota wajib untuk
memberikan sanksi bahkan bila perlu memberikan tembusan ke daerahnya.
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
Peranan asrama mahasiswa dalam menjalin komunikasi lintas budaya akan muncul apabila kedua pihak
dapat saling menghormati anggota budaya lain sebagai manusia, komunikasi akan berhasil, jika komunikasi yang
terjadi di antara mereka haruslah komunikasi pribadi pada pribadi bukanlah dilihat dari perbedaan budayanya.
Penghuni asrama perlu untuk menghormati budaya lain apa adanya demikian pula dengan masyarakat sehingga kita
tidak menilai mereka sebagaiman yang kita kehendaki. Pada prinsipnya tidak ada budaya yang tidak baik, semuanya
harus dihormati. Kedua pihak perlu untuk menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari
cara kita bertindak.
Asrama mahasiswa harus memiliki kepengurusan yang jelas dan aturan yang wajib ditaati penghuni.
Dengan adanya aturan dan pengorganisasi yang jelas maka pihak masyarakat dapat dengan mudah menegur
penghuni asrama. Pada prinsipnya putera daerah ini adalah saudara kita sebagai satu bangsa sehingga pembentukan
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
106
karakter mahasiswa dengan adanya komunikasi dan dialog bersama akan lebih memungkinkan terjadi komunikasi
lintas budaya.
Upaya-upaya dalam mengembangkan peranan asrama mahasiswa dalam menjalin interaksi dengan
masyarakat Yogyakarta akan dapat dilakukan dengan:
1. Mewajibkan asrama mahasiswa untuk memiliki program yang merupakan ruang interaksi antar
mahasiswa dengan masyarakat
2. Menjalin komunikasi dengan pihak pemerintah daerah asrama mahasiswa tersebut agar diwujudkan
program kegiatan yang berkaitan dengan interaksi dengan masyarakat setempat.
3. Pihak pemerintah perlu tegas dalam memberikan sanksi bila ada asrama mahasiswa dianggap tidak
memiliki organisasi dan mengganggu kenyamanan masyarakat.
4. Mengadakan kegiatan bersama yang juga dilakukan dalam rangka lebih memperkenalkan seni dan
budaya Yogyakarta kepada mereka, serta mewadahi kegiatan seni budaya dari berbagai daerah untuk
ditampilkan bersama ke masyarakat.
Rekomendasi
1. Bagi asrama mahasiswa :
a. Setiap asrama mahasiswa wajib memiliki program kegiatan yang mengharuskan penghuninya untuk
menjalin kegiatan bersama warga masyarakat sekitar dan ini menjadi perjanjian yang mengikat antara
pemerintah daerah yang memberikan dana pembangunan asrama dengan warga masyarakat
b. Setiap asrama mahasiswa wajib memiliki organisasi dan aturan yang jelas serta wajib memberikan sanksi
kepada penghuni asrama yang dianggap melanggar.
c. Asrama mahasiswa juga perlu menggandeng mahasiswa asal daerah yang sama untuk melakukan kegiatan
dalam program bersama walaupun mereka tidak menjadi penghuni asrama.
2. Bagi pihak pemerintah daerah
a. Setiap pemerintah daerah yang membangun asrama mahasiswa di Kota Yogyakarta wajib untuk mengutus
salah satu pihak perwakilan pemkab/pemda yang bertugas untuk menjadi wali bagi para mahasiswa di
asrama tersebut. Wali mahasiswa ini bisa jadi tidak harus tinggal di asrama namun ia akan selalu
berkomunikasi dengan masyarakat sekitar asrama mahasiswa dan pemerintah Kota Yogyakarta mengenai
kondisi para mahasiswa di asrama.
b. Wali mahasiswa juga bertindak sebagai induk semang para mahasiswa sehingga kontrol terhadap asrama
mahasiswa bisa lebih dikoordinasikan.
3. Bagi Kesatuan Bangsa
a. Perlu adanya “sapaan dari pemerintah Yogyakarta” melalui kegiatan bersama dengan menggandeng
asrama-asrama di Yogyakarta
b. Kesbang bukan hanya memberikan wawasan kebangsaan namun mengadakan kegiatan yang mencoba
mengenalkan lebih jauh tentang kebudayaan dan keistimewaan Yogyakarta
c. Perlu adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran aturan di asrama sehingga tiap asrama juga
mewajibkan penghuninya mematuhi tata tertib
4. Bagi Dinas Pariwisata:
a. Perlu untuk selalu menggandeng asrama-asrama mahasiswa dalam setiap event budaya
b. Mewajibkan setiap asrama untuk mengenalkan budaya daerah mereka ke masyarakat kota Yogyakarta
Daftar Pustaka
A., Joseph, DeVito. 1999. Komunikasi Antarmanusia Kuliah dasar.Jakarta: Proffesional Books
Denzin, K, Norman. & Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Penerjemah: Dariyatno,
Badrus Samsul dkk. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Kurniawati, Asti. 2012. Membangun (?) Narasi Menghadirkan Pesona Akar dan Perjalanan Citra “Kota
Pendidikan. Penerbit Ombak: Yogyakarta
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
107
Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin (Editor). 1996. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan
Orang-Orang Berbeda Budaya. Rosda Karya: Bandung.
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). PT Remadja Rosdakarya: Bandung.
Rudito, Bambang dan Famiola. 2009. Social Mapping. Metode Pemetaan Sosial. Bandung: Rekayasa Sains.
Sutopo, H. B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. UNS Press: Solo.
Zudianto, Herry. 2008. Kekuasaan sebagai Wakaf Politik: Manajemen Yogyakarta Kota Multikultur. Kanisius:
Yogyakarta.
http://pjjgsd.dikti.go.id. Sutarno. Modul Multikultur
Republika.com. Asrama Mahasiswa Yogyakarta Didata Ulang. 26 Maret 2013
Kedaulatan Rakyat.com. Walikota Galakkan Sambang Kos.1 April 2013
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
108
TATA KELOLA PROSES DAN PENGELOLAAN LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK JUMPUTAN KAMPUNG CELEBAN YOGYAKARTA SEBAGAI UPAYA EFISIENSI DAN PENINGKATAN DAYA SAING PRODUK Oleh: Purnawan
ABSTRACT
Jumputan cloth handicraft industry grows a number of impacts on economic growth and environmental pollution.
The economic value generated from Jumputan cloth industry can give contribution to improving the local economy,
income and can also give income for country exchange. However, the potential for environmental pollution which is
generated by industrial waste of jumputan cloth is quite worrying because the volume of waste is big and waste
management requirements are not satisfied. The industrial waste generated from jumputan cloth is still not
considered as a problem, because it does not have direct impact or short term effect felt by the society and the
environment.
Better internal performing management is expected to achieve: efficient use of energy and water to reduce the cost
of production, technology planning process for ergonomic and good process control, equipment modification to
improve the optimization process, wastewater treatment design with simple technology and low cost waste
processing, also make the effort to allow the waste product which can be reused as diversified products.
The results of the application design process tool show the average time efficiency of 57.135% and water use
efficiency of 16.175%, result in the efficient use of energy and effectiveness from craftsmen’s performance, with the
water use efficiency will reduce the waste product. It can reduce the cost of wastewater treatment, with recycling of
solid waste as product diversification will provide a significant benefit and it can cover the cost of wastewater
treatment with a profit of Rp 4,528, - each time of the process.
The results of wastewater treatment applications that have been designed show that the results of waste treatment
have met the quality standard in accordance with DIY Governor Regulations No.7 Year 2010.
Keywords: Cloth Jumputan, Governance Process, Efficiency.
A. Pendahuluan
Potensi Industri batik secara ekonomi cukup memberikan pendapatan yang besar kepada negara, baik dari
segi penyerapan tenaga kerja maupun pemasukan devisa dan pajak. Permintaan pasar untuk konsumsi lokal dan luar
negeri terbuka luas sehingga memberikan peluang yang besar untuk perkembangan industri ini.Saat ini pemasaran
batik selain untuk konsumsi lokal juga telah menembus pasar luar negeri antara lain pasar Eropa dan Amerika.
Dalam perkembangannya, masyarakat melakukan modifikasi dan kreasi untuk menghasilkan berbagai
ragam industri batik, salah satunya adalah industri batik jumputan namun demikian penamaan batik jumputan
sesungguhnya tidak sesuai dengan kaidah karena Batik merupakan seni pewarnaan kain dengan teknik perintang
pewarnaan menggunakan malam ( bahasa inggris : wax) atau dalam istilah sehari-hari orang menamakannya "lilin",
sedangkan Jumputan pada dasarnya suatu proses pencelupan, dengan sebagian kain diikat rapat menurut
pola tertentu sebelum dilakukan pencelupan atau dyeing dengan zat warna, dengan demikian bagian-bagian
yang diikat tidak terkena celupan dan pada bagian tersebut terbentuklah motif hias sesuai yang dikehendaki,
dengan demikian penamaan yang lebih tepat adalah kain motif jumputan”.
Industri kain jumputan pada umumnya dilaksanakan dalam skala rumah tangga dengan penggunaan
teknologi yang masih sederhana sehingga ditengarai terjadi In-efisiensi yang dapat menimbulkan pemborosan baik
dalam penggunaan bahan baku, proses produksi maupun dalam penggunaan energi. In-efisiensi pada proses
produksi ini dapat menyebabkan besarnya volume limbah yang dihasilkan yang berasal dari bahan baku, bahan
tambahan (aditif) dan waktu proses produksi. Hal ini akan menimbulkan kerugian baik secara ekonomi maupun
lingkungan yang disebabkan oleh biaya produksi dan pencemaran lingkungan
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
109
Sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi produksi dan meminimalisasi limbah yang dihasilkan pada
proses industri kain jumputan, maka diperlukan Tata Kelola Proses dan Pengelolaan Limbah agar dapat
menghasilkan produk dan jasa secara lebih efisien. Dengan strategi Tata Kelola Proses dan Pengelolaan Limbah
diharapkan akan menghasilkan produk yang kompetitif dan memberi perhatian terhadap aspek lingkungan menuju
ecoefisiensi serta bertujuan menyediakan produk dan jasa dengan harga kompetitif, memberikan kepuasan terhadap
kebutuhan manusia dan meningkatkan kualitas kehidupan dengan mengurangi dampak lingkungan dan pemakaian
sumberdaya melalui daur hidup (life cycle), serta memperhatikan daya dukung lingkungan.
Peluang-peluang Tata Kelola Proses dan Pengelolaan Limbah yang dapat diterapkan pada proses industri
kain jumputan antara lain dalam hal pengaturan dalam perencanaan, perubahan dalam input bahan, perubahan dalam
proses produksi, penggunaan tata kerumah tanggaan, dan pengolahan limbah yang efisien. Tata Kelola Proses dan
Pengelolaan Limbah dapat dicermati mulai dari awal proses pembuatan hingga menjadi barang jadi (produk).
Aplikasi Tata Kelola Proses dapat dilakukan melalui perencanaan dan penggunaan metode yang tepat dalam proses
produksi, memodifikasi peralatan yang ergonomis dan Pengelolaan Limbah ini dalam lokasi proses produksi.
B. Tujuan dan Manfaat
Dengan mempertimbangkan efisiensi dengan melakukan pengelolaan internal yang lebih baik diharapkan
dapat tercapainya:
1. Efisiensi penggunaan energi dan air sehingga dapat menekan biaya produksi
2. Tersusunnya tata laksana rumah tangga yang baik (good housekeeping) yaitu perubahan manajemen tata
laksana rumah tangga industri dengan tujuan untuk mencegah timbulan limbah dan efisiensi biaya produksi.
3. Merencanakan teknologi proses yang ergonomis dan pengendalian proses dengan memodifikasi peralatan guna
peningkatan optimisasi proses
4. Melakukan perancangan pengolahan limbah cair dengan teknologi sederhana serta biaya investasi pengolahan
limbah yang rendah, sehingga tidak menimbulkan biaya operasional yang tinggi akan tetapi dapat
meminimalisir dampak terhadap pencemaran lingkungan.
5. Melakukan upaya yang memungkinkan limbah padat yang dihasilkan dapat digunakan digunakan kembali atau
sebagai diversifikasi produk
C. Tinjauan Pustaka
Teknik jumputan pada dasarnya adalah suatu proses pencelupan, yaitu sebagian kain diikat rapat
menurut pola tertentu sebelum dilakukan pencelupan atau dyeing dengan zat warna. Dengan demikian bagian-
bagian yang diikat tidak terkena celupan dan pada bagian tersebut terbentuklah motif hias jumputan yang sangat
khas.
Jumputan dapat dilakukan dengan cara mengisi kain, mengikat dan melipat kain dengan cara
tertentu, kemudian mencelup dalam larutan zat warna yang akan membentuk ikatan reaksi antara serat tekstil
dan zat warnanya, sehingga terciptalah suatu motif pada kain tersebut. Perbedaan cara mengisi, melipat, dan
mengikat kain akan menghasilkan warna dan motif yang berbeda. Dalam pembuatan kain jumputan terdapat
berbagai motif teknik ikat dasar diantaranya: teknik ikatan tunggal, teknik ikatan silang, teknik ikatan
konsentris, teknik ikatangar is , teknik pengerutan (marbing), teknik ikatan ganda, teknik mengikat benda
dan teknik jelujur
Tata kelola proses atau Good housekeeping merupakan tata kelola internal yang baik yang meliputi
rasionalisasi pemakaian bahan baku, air, energi, mengurangi jumlah atau toksisitas limbah serta
memperbaiki kondisi kerja dan keselamatan kerja. Implementasi teknik good housekeeping ini serta dapat
mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan.
Tata kelola proses yang ergonomis mempertimbangkan unsur manusia dalam perancangan objek, prosedur
kerja dan lingkungan kerja dengan mempelajari hubungan manusia, pekerjaan dan fasilitas pendukungnya, dengan
harapan dapat sedini mungkin mencegah kelelahan yang terjadi akibat sikap atau posisi kerja yang tidak sesuai
guna meningkatkan produktivitas kerja manusia untuk mencapai tujuan yang efektif, sehat, aman dan nyaman
(Cormick dan Sanders, 1992).
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
110
Tata kelola internal dapat dilakukan dengan menerapkan produksi bersih yang merupakan bagian dari
konsep produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Dengan menggunakan metodologi dan tekhnologi
bersih diharapkan suatu kegiatan operasional dapat menghasilkan produk akhir yang lebih berkualitas, dapat
mendaur ulang sumber daya bahan baku dan dapat memanfaatkan produk samping ((Kementrian
Lingkungan Hidup, 2003)
Setiap jenis industri mempunyai karakteristik limbah cair yang spesifik, yang berbeda dengan jenis industri
lainnya, walaupun mungkin suatu jenis industri mempunyai beberapa parameter pencemar yang sama dengan
industri lainnya. Berdasarkan karakteristik limbah cair industri kain jumputan alternatif pengolahan dapat dilakukan
dengan cara:
1. Ekualisasi: penampungan limbah guna meredam fluktuasi karakteristik air limbahsehingga karakteristik air
limbah relatif konstan.
2. Pengolahan fisik-kimia: obyek yang akan dibuang dibuat lebih besar ukurannya dengan menambahkan
koagulan dan flokulan polymer.
3. Aerasi: air limbah setelah melalui proses koagulasi dan flokulasi dan sebelum dibuang ke lingkungan
ditambahkan udara menggunakan aerator agar oksigen terlarut dalam air limbah semakin besar
D. Metode Penelitian
Dalam perancangan yang dilakukan merupakan desain low cost yang berorientasi pada desain teknologi
tepat guna namun memiliki kemampuan untuk pengolahan limbah yang optimal dan memenuhi baku mutu serta
peralatan proses produksi dengan efisiensi penggunaan energi, air sehingga mengurangi limbah cair yang dihasilkan.
Adapun blok diagram penelitian seperti terlihat pada Gambar 1
Gambar 1 : Blok diagram penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian untuk dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan air sehingga
dapat menekan biaya produksi serta upaya pengolahan limbah cair maka dilakukan perancangan disain sebagai
berikut:
Pengamatan proses produksi
Pencatatan Penggunaan air, bahan baku dan bahan tambahan
Permasalahan Inefisiensi
Limbah Cair
Kajian Penyempurnaan/
Perbaikan Proses Produksi
Kajian Pengolahan limbah
Produksi Batik Jumputan
Ekonomis dan Ramah
Lingkungan
Efisien
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
111
1. Disain peralatan proses
Merancang peralatan kerja atau proses guna meningkatkan produktivitas kerja yang efektif, sehat, aman
dan nyaman dengan memperhatikan gerakan tubuh manusia dilihat dari aspek biomechanics dengan tujuan untuk
menghindarkan manusia melakukan gerakan kerja yang tidak sesuai, tidak beraturan dan tidak memenuhi
persyaratan efektivitas efisiensi gerakan.
Gambar 2: Disain peralatan kerja/proses
2. Disain Pengolahan Air Limbah
Melakukan perancangan unit pengolahan limbah cair dengan teknologi sederhana serta biaya investasi
rendah, sehingga tidak menimbulkan biaya operasional yang tinggi akan tetapi dapat meminimalisir dampak
terhadap pencemaran lingkungan.
Gambar 3: Disain Pengolahan Air Limbah
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
112
E. Hasil Penelitian
1. Hasil Survey dan Evaluasi Tata Kelola Internal
Dampak Rekomendasi
Lokasi Tersebar dibeberapa tempat
sesuai tempat tinggal
Berpotensi timbulnya
pencemaran di beberapa
tempat
Kegiatan yang
dilakukan bukan
merupakan kegiatan
poko, lokasi sudah baik
Safety proses Pengrajin sudah
menggunakan APD
Dampak telah
terminimalisir
Perlu ditingkatkan
pemahamannya
Manajemen
bahan proses Penyimpanan
bahan kimia belum
sesuai
Belum dilakukan
manajemen bahan
Belum dilakukan
pencatatan bahan kimia
yang dipergunakan
Untuk bahan
kimia yang higroskopis
akan berpengaruh
terhadap konsentrasinya
Untuk bahan
pewarna yang mudah
teroksidasi akan
berpengaruh terhadap
kualitas warna
Bahan kimia
kedaluwarsa akan
menjadi limbah
Penyimpanan
bahan kimia
menggunakan tempat
yang sesuai (botol
coklat)
Dilakukan
pencatatan bahan
untuk mengetahui
batas kedaluwarsanya
Sistem proses Belum adanya alat
proses yang memenuhi
standard ergonomis
Penggunaan air
belum efisien
Waktu proses
belum efisien
Timbulnya
dampak kelelahan
terhadap pekerja
Kuantitas limbah
menjadi lebih besar
Dirancang
peralatan proses yang
ergonomis
Dirancang
peralatan proses
dengan hemat
penggunaan air
Pengolahan
limbah Limbah padat
belum dimanfaatkan
Limbah cair sudah
dilakukan pengolahan
namun belum optimal
Pencemaran
akibat limbah padat
Masih
terbentuknya limbah
cair dan berpotensi
terhadap pencemaran
lingkungan
Pemanfaatan
limbah padat sebagai
diversifikasi produk
Dirancang
peralatan pengolahan
limbah portable yang
lebih optimal
Tabel 1: Hasil Survey dan Evaluasi Tata Kelola Internal (sumber : data primer)
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
113
2. Data Hasil Kinerja Proses
Jenis Proses Total waktu proses Total limbah padat Total limbah cair
Pewarnaan Naphtol 35 menit 12, 3 gram 18,95 liter
Pewarnaan Indigosol 25 menit 12,3 gram 14,101 liter
Tabel 2: Hasil Kinerja Proses (sumber: data primer)
3. Data Analisa Limbah Awal
Analisa air limbah awal bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan kualitas air limbah yang belum
dilakukan pengolahan dan dibandingkan dengan standar baku mutu
Parameter Pewarnaan
Naphtol
Pewarnaan
Indigosol
Cucian
Naphtol
Cucian
Indogosol
Gabungan Baku Mutu Per Gub
DIY No.7 Th. 2010
pH 6,5 4,5 6,5 6,5 5,5 6 – 9
Warna 477 127 477 108 342 -
COD 251,0 753,0 216 653 520 100
BOD 122,99 377 240,5 314 254,8 50
TDS 139 237 139 218 215 1000
TSS 488 424 324 376 488 50
Suhu 19 19 19 19 19 ± 3o C thd suhu
udara
Tabel 3. Hasil Analisa Limbah Awal (sumber: data primer)
Dari hasil analisa limbah hasil proses menunjukkan bahwa hamper seluruh parameter uji tidak memenuhi
persyaratan sesuai baku mutu peraturan Gubernur DIY No. 7 Tahun 2010 dan berpotensi terjadinya pencemaran
terhadap tanah maupun air tanah.
4. Efisiensi Penggunaan Peralatan Proses Ergonomis
Hasil perancangan alat proses setelah diaplikasikan menunjukkan data sebagai berikut :
Jenis Proses Total waktu proses
Sebelum aplikasi
Total waktu proses
Sesudah aplikasi
Efisiensi Waktu
(%)
Pewarnaan Naphtol 35 menit 15,2 menit 56,57
Pewarnaan Indigosol 25 menit 10,575 menit 57,70
Tabel 4: Efisiensi Waktu Proses (data primer)
Jenis Proses Total Limbah Cair
Sebelum aplikasi
Total Limbah Cair
Sesudah aplikasi
Efisiensi Air (%)
Pewarnaan Naphtol 18,95 liter 15,83 16,46
Pewarnaan Indigosol 14,101 liter 11,86 15,89
Tabel 5: Efisiensi Penggunaan Air (data primer)
Hasil aplikasi rancangan alat proses yang ergonomis menunjukkan bahwa terjadi efisiensi waktu rata-rata
sebesar 57,135% dan efisiensi penggunaan air sebesar 16,175%, sehingga terjadi efisiensi penggunaan energi dan
efektifitas kinerja pengrajin, dengan adanya efisiensi penggunaan air akan mengurangi limbah yang dihasilkan
sehingga mengurangi biaya pengolahan air limbah.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
114
5. Data Hasil Aplikasi Pengolahan Limbah
Hasil uji jar tes diaplikasikan menggunakan peralatan hasil rancangan menggunakan limbah pewarnaan dan
pencucian Naphtol
Kondisi proses:
Volume limbah: 15 liter, Pengadukan Cepat: 500 rpm, waktu: 1 menit, Pengadukan Lambat: 75 rpm,
waktu: 5 menit, Volume penambahan NaOH: 180 ml, Konsentrasi NaOH: 20 %, Volume penambahan Tawas: 300
ml, Konsentrasi Tawas: 5 %, Jumlah penambahan Superflok Kation 0,1 %: 120 ml
Tabel 6: hasil uji aplikasi pengolahan limbah
Parameter
Satuan Limbah Awal Limbah
Akhir
Efisiensi
(%)
Keterangan
pH - 6,5 7,0 - memenuhi baku mutu
Warna PtCo 477 34 92,87 -
COD mg/L 251,0 81,74 67,43 memenuhi baku mutu
BOD mg/L 122,99 30,37 75,31 memenuhi baku mutu
TSS mg/L 139 34 75,54 memenuhi baku mutu
TDS mg/L 488 172 64,75 memenuhi baku mutu
Suhu oC 19 18 - memenuhi baku mutu
Dari tabel 6 hasil uji aplikasi pengolahan limbah pewarnaan dan pencucian Naphtol menggunakan
peralatan hasil perancangan menunjukkan bahwa hasil seluruh parameter uji telah memenuhi baku mutu sesuai
peraturan Gubernur DIY No. 7 Tahun 2010.
6. Analisis Biaya Operasional IPAL
Analisis biaya operasional merupakan biaya yang dimbulkan dari biaya penggunaan bahan-bahan kimia
sedangkan biaya tenaga tidak diperhitungkan mengingat tidak memerlukan energi listrik.
Biaya penggunaan bahan kimia untuk setiap kali proses (15 liter limbah) sebagai berikut :
1. Soda api(NaOH) : 180 ml x 20 gram/100 ml x Rp 10.000,-/1000 gram = Rp 360,-
2. Koagulan (Al2(SO
4)
3) : 300 ml x 5 gram/100 ml x Rp 18.000/1000 gr am = Rp 270,-
3. Super flox kation : 120 ml x 0,1 gram/100 ml x Rp 80.000,-/1000 gram = Rp 9,6,-
----------------------------
Jumlah = Rp 639,6,-
7. Analisis Keuntungan Pemanfaatan Limbah Padat
Analisis keuntungan didasarkan asumsi bahwa limbah padat berupa tali pengikat dimanfaatkan untuk
diversifikasi produk, komponen biaya didasarkan atas komponen tenaga dan bahan pembantu.
1. Jumlah limbah padat setiap kali proses = 12,3 gram
2. Kebutuhan limbah padat per produk = 44,29 gram (3,6 proses)
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
115
3. Harga jual produk = Rp 35.000,-
4. Biaya = Rp 18.700,-
5. Keutungan setiap proses = (Rp 35.000,- - Rp 18.700,-) : 3,6
= Rp 4.528,-
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
1. Belum dilakukan manajemen bahan/pencatatan bahan kimia yang dipergunakan guna meminimalisir
bahan-bahan kadaluwarsa
2. Pengrajin telah menggunakan APD guna meminimalisir dampak bahan kimia terhadap pekerja
3. Belum tersedianya alat proses yang memenuhi standard ergonomis serta penggunaan air belum efisien
4. Belum termanfaatkannya limbah padat yang terbentuk untuk diversifikasi produk, untuk limbah cair
telah dilakukan pengolahan namun belum optimal
5. Hasil aplikasi rancangan alat proses yang ergonomis menunjukkan bahwa terjadi efisiensi waktu rata-
rata sebesar 57,135% dan efisiensi penggunaan air sebesar 16,175%, sehingga terjadi efisiensi
penggunaan energi dan efektifitas kinerja pengrajin, dengan adanya efisiensi penggunaan air akan
mengurangi limbah yang dihasilkan sehingga mengurangi biaya pengolahan air limbah.
6. Daur ulang limbah padat sebagai diversifikasi produk akan memberikan keuntungan signifikan dan
dapat menutup biaya pengolahan air limbah dengan keuntungan sebesar Rp 4.528,- setiap kali proses.
Rekomendasi
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam rangka meningkatkan daya saing produk, meminimalisir
dampak pencemaran serta meningkatkan ekonomi masyarakat perlu dukungan berbagai pihak.
Adapun rekomendasi kebijakan yang bisa dibuat adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah kota melalui Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta untuk melakukan pemantauan
secara rutin terhadap aktivitas pengrajin kain jumputan yang tersebar diberbagai wilayah mengingat
limbah yang dihasilkan berpotensi menimbulkan pencemaran dan melakukan pembinaan untuk
melakukan pengolahan limbah cair dan pemanfaatan limbah padat yang dihasilkan.
2. Balai Besar Batik dan Kerajinan untuk melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada pengrajin
berkaitan dengan pelurusan penggunaan nama Batik Jumputan yang lebih tepat atau sesuai
3. Pemerintah kota melalui Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) untuk melakukan
pembinaan, pendampingan serta pengembangan pemberdayaan perempuan
4. Dinas Kesehatan kota Yogyakarta untuk melakukan monitoring dan sosialisasi pentingnya melakukan
pencegahan dampak penggunaan bahan pewarna sintetik terhadap kesehatan, mengingat pengrajin
merupakan kaum perempuan yang rentan terhadap bahan-bahan karsinogenik.
Daftar Pustaka
Anonim. 1997. Perencanaan Teknik Pengelolaan Pencemaran Industri Sekala Kecil Sentra Batik DIY. Balai Besar
Penelitian dan Perkembangan Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta
Cheremisinoff N.Paul, 1995. Handbook of Water and Wastewater Treatment Technology, Marcel Dekker Inc, New
Jersey, 1995 Inc, New Jersey.
Droste, Ronald L., 1997. Theory and Practice of Water and WastewaterTreatment, John Wiley & Sons, Inc.
Freeman, H.M. Hazardous Waste Minimization. Mc. Graw Hill Publishing Co., Singapore, 1990.
Parker W. Homer, 1975. Wastewater System Engineering, Prentice-Hall Inc, New Jersey.
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
116
Pheasant, S. T., 1988. Anthropometry Ergonomics and Design. London: Taylor and Farncis.
Potter, C. et al Limbah Cair Berbagai Industri di Indonesia, Sumber, Pengendalian dan Baku Mutu EMDI-
BAPEDAL, Project of The Ministry of State for Environment, Republic of Indonesia and Dalhousie
University, Canada, Jakarta, 1994.
Prasetyo W., Bagas, 2000. Evaluasi Ergonomi dalam Desain. Surabaya: Proceeding Seminar Nasional Ergonomi,
Jurusan TI – ITS.
Riyanto, Pamungkas, W., dan Muhammad Amin Ja’far. 1997. Katalog Batik Indonesia. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Proyek Pengembangan dan Pelayanan Teknologi Industri
Kerajinan dan Batik. Yogyakarta.
Sanders, Ms. and Mc. Cormick, Ernest J., 1992. Human Factors in Engineering and Design. New York: Mc. Graw-
Hill Book Co.
Sulaeman. 2004. Manfaat Penerapan Produksi bersih pada Industri Batik. Majalah Mitra Lingkungan. Jakarta. Edisi
September 2004.
Sulaeman. 2006. Kebutuhan Air, Enerji, Zat Warna Dan Zat Pembantu Untuk Pembuatan 1 Meter Kain Batik Dari
Mori. Balai Kerajinan dan Batik Yogyakarta.
Susanto, S.K. Sewan. 1981. Teknologi Batik Seri Soga Batik. Departemen Perindustrian R.I. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Industri. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik.
Yogyakarta.
Sutalaksana, et al., 1979. Teknik Tata Cara Kerja. Bandung: Jurusan TI – ITB.
Sutalaksana, Iftikar Z., 2000. Duduk, Berdiri dan Ketenagakerjaan Indonesia. Surabaya: Proceedings Seminar
Nasional Ergonomi, Jurusan TI – ITS.
Tchobanoglous, George, 1991. Wastewater Engineering, Treatment, Disposal,and Reuse, 3rd edition, Metcalf &
Eddy, Inc. McGraw-Hill, Inc. New York.
Tjokrokusumo, KRT. 1995. Pengantar Konsep Teknologi Bersih. Yogyakarta: Sekolah Tinggi teknik Lingkungan
YLH.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
117
ANALISIS PENDAPATAN USAHA PERDAGANGAN INFORMAL (STUDI PADA USAHA PEDAGANG ANGKRINGAN DI KOTA YOGYAKARTA) Oleh: Dra. Salamatun Asakdiyah, M.Si., Tina Sulistiyani, SE, M.M., Deny Ismanto, SE, M.M.
ABSTRACT
This research aimed to analyze the income level of “angkringan” vendors in Danurejan, Yogyakarta. The
instrument of analysis used was Multiple Regression Analysis. Hypothesis was tested by using T test and F test. T
test was used to test the partial regression coefficients and F test was used to test the simultaneously regression
coefficients.
The result of the research showed the amount of capital, the number of working hours and the amount of labor
partially influenced the operating income of angkringan merchants in Danurejan. This result of the regression
coefficient simultaneously indicated the variable of capital, the working hours and the amount labor simultaneously
affected the income level of angkringan merchants in Danurejan, Yogyakarta. The variable from business capital,
the working hours and the amount labor used could explain 19% about the income level. The rest of the percentage
is not included in the study.
Keywords: Capital, Working hours, labor and operating income
A. Pendahuluan
Kegiatan ekonomi informal, atau yang pada umumnya lebih dikenal dengan sebutan sector informal,
mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Perkembangan dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan, baik dari segi kuantitas unit usaha maupun pelakunya. Mengutip data yang berasal dari Biro Pusat
Statistik, pada tahun 1980 saja sudah terdapat 36 juta pekerja sektor informal di Indonesia. Sepuluh tahun kemudian
jumlahnya meningkat menjadi 43 juta orang atau prosentasenya 69% dari keseluruhan pekerja. Sebagai pembanding,
jumlah orang yang bekerja di sektor formal sebesar 19,5% juta orang atau hanya 31% dari total keseluruhan pekerja
di Indonesia (Santayani, 1996:6).
Menonjolnya peranan perdaganagn informal terutama ditunjang oleh kontribusi kegiatan usaha
perdagangan eceran. Diantara bermacam-macam bentuk usaha perdagangan eceran berskala kecil, usaha pedagang
angkringan merupakan jenis usaha yang memiliki posisi dan fungsi yang penting dalam melayani kebutuhan
makanan dan minuman sehari-hari masyarakat sekitar. Hasil studi Soeratno (2000) menunjukan bahwa usaha
pedagang angkringan termasuk golongan pedagang kaki lima dan sebagaian besar pedagang angkringan di kota
Yogyakarta berusia produktif. Selain itu, hasil studi Marfai (2005) menunjukan bahwa usaha pedagang angkringan
merupakan salah satu usaha yang tidak memerlukan modal yang besar tetapi mampu berkembang dengan baik,
sehingga masyarakat kelas bawah dapat membuka usaha angkringan tersebut (Santoso, 2006). Oleh karena itu,
usaha pedagang angkringan memiliki urgensi untuk diteliti lebih dalam, karena usaha pedagang angkringan
merupakan salah satu alternative yang rasional dapat diandalkan sebagai sarana usaha untuk betahan hidup.
Masalahnya adalah bagaimana agar para pelaku ekonomi informal khususnya usaha pedagang angkringan dapat
memperoleh pendapatan yang dapat menopang kehidupan social ekonominya. Oleh karena itu diperlukan informasi
mengenai faktor-faktor yang menentukan tingkat pendapatan pelaku usaha ekonomi informal khususnya usaha
pedagang angkringan di Kota Yogyakarta.
B. Tinjauan Pustaka
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Perdagangan Informal
Tingkat pendapatan usaha perdagangan informal dipengaruhi oleh banyak faktor. Identifikasi faktor-faktor
dimaksud dapat diketahui melalui wacana hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Dari
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
118
beberapa temuan lapangan menunjukkan bahwa ternyata tidak terdapat keseragaman tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pendapatan usaha perdagangan informal. Masing-masing hasil penelitian menunjukkan
adanya nuansa perbedaan. Hal ini dimungkinkan akibat sangat bervariasinya unit-unit usaha perdagangan informal
dengan spesifikasi yang berbeda-beda.
Beberapa faktor yang secara akademik melalui kajian riset terbukti berpengaruh terhadap tingkat
pendapatan usaha perdagangan informal dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Modal
Modal merupakan motor penggerak dari suatu usaha kegiatan ekonomi. Faktor ini berkaitan
langsung dengan tingkat pendapatan. Modal yang relatif lebih besar akan memungkinkan suatu unit
kegiatan ekonomi menambah variasi mata dagangan. Dengan cara ini berarti pula makin memungkinkan
diraihnya pendapatan yang lebih besar. Faktor ini berhasil ditemukan antara lain melalui penelitian-
penelitian dari Tjiptoroso (1993). M. Ilham Jafar (1994), dan Santayani (1996). Penelitian Tjiptoroso
dilakukan terhadap pedagang kaki lima di Jakarta Selatan. Sedangkan Jafar meneliti wanita pelaku usaha
informal di Kotamadya Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Responden penelitian Santayani adalah pedagang kaki
lima yang menjajakan makanan dan minuman di Kotamadya Yogyakarta.
b. Jam Kerja
Lamanya waktu operasi usaha perdagangan informal memiliki hubungan langsung dengan tingkat
pendapatan. Jam kerja yang panjang akan memberi kesempatan meraih omzet yang relatif lebih besar. Hal
ini juga berarti makin meningkatkan pendapatan usaha. Penelitian Jafar (1994) dan Tjiptoroso (1996) telah
membuktikan hal tersebut.
c. Jumlah Tenaga Kerja
Hidyat (1978:426) mengemukakan bahwa pada umumnya unit kegiatan ekonomi informal
merupakanuni tusaha yang bentuknya “one man enterprses” dan kalaupun menggunakan tenaga kerja
biasanya berasal drai keluarga. Hasil studi Santayani (1996) dan Syahruddin (1987) membuktikan bahwa
penggunaan tenaga kerja oleh usaha perdagangan infomral mempengaruhi tingkat pendapatannya. Dengan
tambahan jumlah tenaga kerja memungkinkan adanya pelayanan yagn lebih baik dalam arti kualitas
maupun kuantitas layanan.
C. Metode Penelitian
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah usaha perdagangan informal yang berbentuk usaha pedagang
angkringan di Kota Yogyakarta. Responden penelitian ditentukan dengan metode purposive sampling.
Sampel diambil berdasarkan pertimbangan tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu (Cooper dan
Emory, 1995 ; Babbie, 1995). Penentuan sampel didasarkan kriteria sebagai berikut:
a. Usaha pedagang angkringan yang beroperasi dipinggir jalan raya.
b. Metode operasinya menetap atau tidak berpindah-pindah
c. Jenis mata perdagangannya, yaitu makanan dan minuman.
Jumlah responden ditetapkan minimal berjumlah 100 orang. Penelitian ini direncanakan dilaksanakan di
Kecamatan Danurejan di Kota Yogyakarta. Lokasi ini dipilih karena merupakan salah satu wilayah Kota Yogyakarta
yang cukup menonjol fenomena unit kegiatan ekonomi informalnya terutama usaha pedagang angkringan yang
mendukung kegiatan formal masyarakat sekitarnya.
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer maupun data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui
wawancara langsung dengan pelaku usaha dan kuisioner. Data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
119
dengan menggali informasi dari buku, jurnal ilmiah, maupun publikasi hasil-hasil penelitian. Data sekunder ini
digunakan untuk menyususn rumusan masalah, hipotesis, landasan teoritik, dan pemilahan alat analisis.
Metode Analisis
Metode analisis statistik digunakan untuk melakukan pembuktian hipotesis penelitian. Pengujian hipotesis
dilakukan guna membuktikan adanya pengaruh dari modal, jumlah tenaga kerja, dan jam kerja terhadap tingkat
pendapatan usaha pedagang angkringan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan model Regresi Berganda.
Untuk menguji hipotesis yang dikemukakan, maka digunakan uji t dan uji F. Uji t dimaksudkan untuk
mengetahui variabel bebas yang berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas (terikat) secara
individual. Sedangkan uji F digunakan untuk mengetahui apakah secara bersama-sama variabel-variabel bebas
tersebut dapat menjelaskan variabel terikat. (Sumodiningrat, 1995)
D. Hasil Penelitian
Karakteristik Responden
1. Umur Responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan dengan kelompok
umur di bawah 29 tahun sebanyak 5%, kelompok umur diatas 29 – 39 tahun sebanyak 32%, kelompok umur diatas
39 – 49 tahun sebanyak 44%, kelompok umur diatas 49 tahun – 59 tahun sebanyak 10% dan kelompok umur diatas
59 tahun sebanyak 9%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan paling
besar persentasenya pada kelompok umur di atas 39 – 49 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
responden termasuk usia produktif.
2. Asal Daerah
Hasil penelitian mengatakan bahwa pedagang angkringan yang dijadikan sebanyak penelitian di Kecamatan
Danurejan 30% berasal dari Kota Yogyakarta, 25% berasal dari Gunung Kidul, 20% berasal dari luar Daerah
Istimewa Yogyakarta, 12% berasal dari Bantul, 8% berasal dari Sleman dan 5% berasal dari Kulonprogo. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hanya 30% berasal dari Kota Yogyakarta dan 70% berasal dari luar Kota
Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta merupakan entitas ekonomi untuk menghasilkan
pendapatan bagi masyarakat yang berasal dari luar Kota Yogyakarta.
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 70% pedagang angkringan yang berasal dari luar kota
Yogyakarta maka 60% nya sudah menetap di Kota Yogyakarta, sehingga sudahmempunyai Kartu Tanda Pendukuk
(KTP) di Kota Yogyakarta. Dengan demikian 40% dari pedagang angkringan yang berasal dari luar Kota
Yogyakarta belum memiliki KTP di Kota Yogyakarta. Hal ini disebabkan antara lain : belum mempunyai tempat
tinggal sendiri di Kota Yogyakarta sehingga saat ini masih menyewa tempat tinggal atau menyewa kamar kontrakan.
Selain itu, sebagian pedagang angkringan masih bertempat tinggal di rumah saudara yang berada di Kota
Yogyakarta serta hidup terpisah dengan keluarga yang masih berada di luar Kota Yogyakarta.
3. Perolehan Barang Dagangan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara perolehan barang daangan yang berbentuk makanan 95% berasal
dari titipan pedagang lain dan 5% memasak sendiri (olahan sendiri).
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa cara perolehan barang dagangan yang berbentuk minuman
65% berasal dari olahan sendiri dan 35% berasal dari minuman instant seperti milo, coffe mix, nutri sari dan lain-
lain.
4. Kebersihan Alat Makan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pedagang angkringan dalam membersihkan alat-alat makan
seperti piring, gelas dan sendok makan di warung angkringan Kecamatan Danurejan sebagian besar hanya
menggunakan air yang ditempatkan di dalam ember dan belum menggunakan air yang mengalir. Dengan demikian,
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
120
dari faktor kesehatan belum memenuhi syarat, sehingga penggunaan alat-alat makan diwarung angkringan belum
terjamin kebersihannya.
5. Tampilan Angkringan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tampilan angkringan di Kecamatan Danurejan sebagian besar masih
bersifat sederhana, sehingga perlu diupayakan unutk mengembangkan tampilan angkringan yang lebih modern dan
menarik. Hal ini membutuhkan pemikiran yang lebih kreatif guna meningkatkan kenyamanan pelanggan dalam
membeli makanan dan minuman di warung angkringan.
6. Lokasi Usaha
Dalam memasarkan barang dan jasa lokasi usaha mempunyai peran penting dalam rangka meningaktkan
penjualan, sehingga lokasi usaha yagn strategis akan meningkatkan pendapatan usaha pedagang. Berman dan Evans
(2002) mengemukakan bahwa keunggulan daya saing sebuah ritel ditentukan oleh lokasi, bahkan apabila strategi
yang digunakan oleh ritel tersebut biasa saja, asalkan lokasinya berada di daerah yang tepat maka ritel itu akan
mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan berada di lokasi yang
tepat dan strategis karena berada di pusat perkotaan dan berada di lingkungan Malioboro. Selain itu, pedagang
angkringan di Kecamatan Danurejan berada di pusat pertokoan dan pusat bisnis di Kota Yogyakarta, sehingga
mempunyai peluang untuk mengembangkan usahanya serta meningkatkan pendapatan usahanya. Namun demikian,
pedagang angkringan yang berada di Kecamatan Danurejan perlu penataan dan pengaturan lokasi yang lebih
terencana dari Pemerintah Kota Yogyakarta, sehingga tidak menggangu fasilits umum dan dapat dikelola serta
dioperasikan secara mandiri.
7. Analisis Variabel
Pendapatan usaha pedagang angkringan dapat dianalisis melalu beberapa variabel analisis yang terdiri dari
variabel bebas dan variabel terikat. Penelitian ini menggunakan pendapatan usaha angkringan sebagai variabel
terikat. Sedangkan jumlah modal usaha, jumlah jam kerja dan jumlah tenaga kerja sebagai variabel bebas.
Hasil perhitungan variabel analisis dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tingkat Pendapatan Pedagang Angkringan
Hasil penelitian dari 100 responden pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan menghasilkan
pendapatan rata-rata perbulan sebesar Rp. 2.989.000,- atau sebesar Rp. 747.250,- per-minggu. Hal in
iberarti rata-rata pendapatan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan rata-rata sebesar Rp.
99.633,33 per-hari.
2. Jumlah Modal Usaha
Jumlah modal usaha yang digunakan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan merupakan
jumlah uang yang digunakan untuk mengusahakan warung angkringan. Hasil penelitian menunjukkan
rata-rata modal usaha yang digunakan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan sebesar Rp.
726.750,-. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata jumlah uang yang digunakan untuk mengusahakan
warung angkirngan di Kecamatan Danurejan rata-rata sebesar Rp. 726.750,-
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber modal usaha pedagang angkringan di Kecamatan
Danurejan berasal dari tabungan pribadi, suplier barang dagangan, pinjaman keluarga, Kredit Usaha
Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia, bantuan hibah modal usaha dan bantuan modal usaha KUBE
(Kelompok Usaha Bersama) dari Pemerintah Kota Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini
Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai komitmen dan dukungna terhadap pedagang angkringan di
Kecamatan Danurejan dalam bentuk pemberitan bantuan modal usaha guna meningkatkan pendapatan
usaha pedagang angkringan sehingga akan meningkatkan kesejahteraan pedagang angkringan di
Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
121
Namun demikian, bentuk komitmen dan dukungan bantuan modal uaha Pemerintah Kota Yogyakarta
perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitas bantuan. Kualitas bantuan modal usaha dapat
dilakukan dengan cara melakukan monitoring dan evaluasi secara kontinue kepada pedagang
angkringan yang mendapat bantuan sehingga efektifitas bantuan modal akan tercapai.
3. Jumlah Jam Kerja
Jumlah jam kerja dihitung berdasarkan lamanya waktu yang digunakan untuk menjalankan usaha. Jam
kerja dimulai segala persiapan sampai warung angkringan ditutup. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata jam kerja yang dijalankan oleh pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan rata-rata
selama 62 jam per-minggu. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata jam kerja pedagang angkringan di
Kecamatan Danurejan rata-rata selama 8,86 jam per-hari.
4. Jumlah Tenaga Kerja
Jumlah tenaga kerja yang digunakan warung angkringan merupakan banyaknya tenaga kerja yang
dipekerjakan untuk mengoperasikan usaha warung angkringan. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata
jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh warung pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan
rata-rata berjumlah 2 orang. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya tenaga kerja yang digunakan
untuk mengoperasikan usaha warung angkringan di Kecamatan Danurejan rata-rata berjumlah 2 orang.
Dalam penelitian ini tidak dibedakan antara pekerja upahan dengan pekerja keluarga.
8. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Warung Angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta
Fakto-faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha warung angkringan di Kecamatan Danureja dapat
dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Dalam analisis regresi berganda jumlah modal
usaha (𝑥1), jumlah jam kerja (𝑥2), dan jumlah tenaga kerja (𝑥3). Sedangkan tingkat pendapatan usaha warung
angkringan (pedagang angkringan) sebagai variabel terikat (y).
Hasil analisis regresi linier berganda dapat disajikan melalui tabel sebagai berikut :
Tabel Hasil Analisis Regresi Berganda
Variabel Koefisien Nilai t Probabilitas
Konstanta Jumlah modal usaha Jumlah jam kerja Jumlah tenaga kerja
1.041.363,44 0,47
16.537,14 331.540,97
2,023 2,102 2,409 2,690
0,046 0,038 0,018 0,008
R = 0,436 ; R2 = 19 % ; Fhitung = 7,510 ; Sig.F = 0,000
Sumber: Data Primer, Diolah
Berdasarkan tabel tersebut diatas, model regresi linier berganda dapat dirumuskan sebagai berikut :
𝑦 = 1.041.363,44 + 0,47 𝑥1 + 16.537,14 𝑥2 + 331.540,97 𝑥3
Berdasarkan model regresi linier berganda tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa besarnya konstanta
(intersep) menunjukkan angka 1.041.363,44. Hal ini berarti rata-rata tingkat pendapata pedagang angkringan akan
mengalami kenaikan sebesar Rp. 1.041.363,44. Apabila variabel jumlah modal usaha, jumlah jam kerja dan jumlah
tenaga kerja sama dengan nol (jika variabel-variabel tersebut tidak dimasukkan dalam model persamaan regresi ini).
Koefisien regresi variabel modal usaha sebesar 0,47 menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan variabel
modal usaha sebesar Rp. 1,00 ceteris paribus, maka akan menaikkan tingkat pendapatan pedagang angkringan
sebesar Rp. 0,47. Koefisien regresi variabel jumlah jam kerja sebesar 16.537,14 menunjukkan apabila terjadi
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
122
kenaikan variabel jam kerja selama 1 jam ceteris paribus, maka akan menaikan tingkat pendapatan pedagang
angkringan sebesar Rp. 16.537,14.
Koefisien regresi variabel jumlah tenaga kerja sebesar 331.540,97 menunjukkan bahwa apabila terjadi
kenaikan variabel jumlah tenaga kerja 1 orang ceteris paribus, maka akan menaikkan tingkat pendapatan pedagang
angkringan sebesar Rp. 331.540,97.
Hasil pengujian koefisien regresi dengan 𝛼 = 5% dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Hasil Pengujian Koefisien Regresi secara Parsial
Hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa variabel jumlah modal usaha, jumlah jam kerja
dan jumlah tenaga kerja berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pendapat usaha pedagang warung
angkringan.
2. Hasil Pengujian Koefisien Regresi secara serempak
Hasil perhitungan uji F dengan 𝛼 = 5% menunjukkan signifikansi F = 0,000 dengan p < 0,05. Hal ini
berarti variabel-vraiabel bebas secara serempak signifikan mempengaruhi variabel terikat. Dengan
demikian variabel jumlah modal usaha, variabel jumlah jam kerja dan variabel jumlah tenaga kerja
secara serempak signifikan mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang angkringan. Hasil pengujian
mendukung hipotesis yang dikemukakan.
3. Koefisien Determinasi (R2)
Nilai R2 sebesar 19 % menunjukkan bahwa variabel jumlah modal usaha, variabel jumlah jam kerja,
dan variabel jumlah tenaga kerja dapat menjelaskan variabel tingkat pendapatan pedagang angkringan
sebesar 19%. Sedangkan sisanya sebesar 81% dapat dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak
dimasukkan dalam model penelitian.
E. Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta
sebagian besar termasuk usia produktif.
2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta merupakan entitas ekonomi untuk menghasilkan
pendapatan usaha pedagang angkringan bagi masyarakat yang berasal dari luar Kota Yogyakarta.
3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara perolehan barang dagangan pedagang angkringan di Kecamatan
Danurejan Kota Yogyakarta sebagian besar berasal dari titipan suplier.
4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan dalam membersihkan
alat-alat makan belum menggunakan air yang mengalir, sehingga penggunaan alat-alat makan di Warung
Angkringan belum terjamin kebersihannya.
5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tampilan angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta
sebagian besar masih bersifat sederhana
6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta
berada di lokasi yang tepat dan strategis karena berada di pusat perkotaan dan pertokoan yang berada dekat
dengan lingkungan bisnis Malioboro.
7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendapatan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan
dipengaruhi oleh faktor jumlah modal usaha, jumlah yang kerja dan jumlah tenaga kerja. Masing-maisng
dari faktor tersebut memiliki derajat pengaruh yang berbeda. Faktor-faktor tenaga kerja mempunyai
pengaruh yang paling besar terhadap tingkat pendapatan pedagang angkringan.
8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa kendala yang dihadapi pedagang angkringan di Kecamatan
Danurejan antara lain keterbatasan jumlah modal usaha, ketidakteraturan jam kerja, keterbatasan jumlah
tenaga kerja dan masih kurangnya kemampuan manajerial dalam berwirausaha.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
123
9. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendapatan yang diperoleh pedagang angkringan di
Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta sebesar Rp. 2.989.000,00 per-bulan.
10. Hasil pengujian koefisien regresi secara parsial menunjukkan bahwa variabel jumlah modal usaha, jumlah
jam kerja dan jumlah tenaga kerja signifikan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan pedagang
angkringan di Kecamatan Danurejan.
11. Hasil pengujian koefisien regresi secara serempak menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas yang
meliputi jumlah modal usaha, jumlah jam kerja dan jumlah tenaga kerja secara serempak berpengaruh
terhadap tingkat pendapatan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.
12. Hasil pengujian koefisien determinasi (R2) menunjukkan bahwa variabel jumlah modal usaha, jumlahjam
kerja, dan jumlah tenaga kerja mampu menjelaskan tingkat pendapatan pedagang angkringan sebesar 19%.
Sedangkan sisanya sebesar 81% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak timasukkan dalam modal
penelitian.
Rekomendasi
1. Saat ini Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta telah memberikan
bantuan modal usaha kepada pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta. Namun
demikian, komitmen dan dukungan bantuan modal usaha Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan
Pertanian Kota Yogyakarta perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitas bantuannya. Kualitas
bantuan modal usaha dapat dilakukan dengan cara melakukan monitoring dan evaluasi secara kontinue
kepada pedagang angkringan yang mendapat bantuan, sehingga efektifitas bantuan modal usaha akan
tercapai guna meningkatkan kesejahteraan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan.
2. Besarnya jumlah tenaga kerja mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap tingkat pendapatan
pedagang angkringan sehingga perlu diupayakan untuk menambah tenaga kerja. Penambahan jumlah
tenaga kerja akan meningkatkan kualitas pelayanan. Peningkatan kualitas pelayanan akan meningkatkan
kepuasan pelanggan. Dengan demikian, peningkatan kepuasan pelanggan akan meningkatkan pendapatan
pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.
3. Kemampuan manajerial dalam berwirausaha pedagang angkringan perlu ditingkatkan. Oleh karena itu,
perlu adanya pendampingan dan pelatihan kemampuan manajerial dari Dinas Perindustrian Perdagangan
Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta. Peningkatan kemampuan manajerial pedagang angkringan akan
meningkatkan kompetensi dan profesionalisme dalam berwirausaha sehingga akan meningkatkan
peningkatan pendapatan pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.
4. Untuk menjaga kebersihan barang dagangan dan fasilitas di warung angkringan perlu dilakukan sosialisasi,
pendampingan serta penyuluhan kesehatan dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, sehingga pelanggan
yang membeli makanan dan minuman di warung angkringan akan terjamin tingkat kebersihan dan
kesehatannya.
5. Pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta perlu mengembangkan tampilan
angkringan yang lebih modern dan menarik. Oleh karena itu, perlu pendampingan dari Dinas Perindustrian
Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta guna pengembangan kreatifitas dan inovatif
tampilan angkringan sehingga meningkatkan kenyamanan pelanggan dalam membeli makanan dan
minuman di warung angkringan.
6. Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta bekerjasama dengan pemerintah
Kecamatan Danurejan untuk menataulang lokasi pedagang angkringan yang terencana di Jl. Suryatmajan
dan Jl. Perwakilan. Kedua jalan ini merupakan lokasi strategis yang berada di pusat perkotaan dan
pertokoan. Disarankan kepada pedagang angkringan yang berada di trotoar sebaiknya memberikan space
untuk pengguna jalan sehingga tidak menggangu fasilitas umum.
7. Untuk penelitian lanjutan perlu digali lebih mendalam faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap
pendapatan usaha pedagang angkringan di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta seperti faktor lokasi
usaha dan lama usaha yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha (setyawan, 2007: Setyawan dan
Fatchurrohman, 2005).
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
124
Daftar Pustaka
Arjana, IG.B. (1997), Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga. Disertasi
Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta (tidak dipublikasikan).
Asakdiyah, S. (1992), Peranan Sektor Informal dalam Sistem Distribusi Produk, Yogyakarta : kantor Kopertis
Wilayah V.
__________ , et al (1995) Analisis Hubungan antar Sektor Formal dengan Sektor Informal. Yogyakarta : kantor
Kopertis Wilayah V.
Babbie, E. (1995) The Practice of Social Research, 7 th. Ed. Belmonth: Wadsworth Publishing Company.
Bromley, R. (1985) “Organisasi, Peraturan, dan Pengusahaan Sektor Informal di Kota: pedagang Kaki Lima di Cali,
Colombia”, dalam C. Manning dan T.N. Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor di Kota.
Jakarta : Gramedia.
Cooper, D.R. dan C.W. Emory (1995) Business Research Methodes, 5 th. ed. Chicago: Irwin.
Effendi, T.N. (1995) Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja, dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Evers, H.D. (1991) “Ekonomi Bayangan, Produksi Subsistens dan Sektor Informal”, Prisma, No. 5, Mei, h.21-30.
Forbes, D. (1985) “Penjaja di Ujung Pandang”, dalam C. Manning dan T.N. Effendi (ed.), Urbanisasi,
Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Gramedia.
Gujarati, D. (1995) Ekonometrika Dasar, a.b. Sumarno Zain, Jakarta: Erlangga.
Hidayat (1978) “ Peranan Sektor Informal dalam Perekonomian Indonesia”, Ekonomi dan Keuangan Indonesia,
No. 4, desember, h. 415-445.
__________ (1998), “Peranan dan Fungsi Pedagang Pengusaha Kecil dalam Perekonomian Kota”, Widya Pura,
No. 6, Th. III, h.11-17.
__________ (1987), “Peranan dan Profil serta Prospek Perdagangan Eceran”, Prisma, No. 7, Th. XVI, Juli, h. 3-18.
__________ (1998), “Pembinaan Sektor Informal dan Keterkaitannya dengan Sektor Formal: Sub Sektor
Perdagangan Eceran”, Makalah Diskusi Pembinaan Sektor Informal, Yogyakarta, 23 Desember.
Hugo, G.J. (1985), “Partisipasi Kaum Migran dalam Ekonomi Kota di Jawa Barat”, dalam C. Manning dan T.N.
effendi (ed), Urbanisasi Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Gramedia.
Rachbini, D. dan A. Hamid (1994), Ekonomi Informal Perkotaan, Jakarta: LP3ES.
Robert, B.R. (1989), “Employment Structure, Life Circle, and Life Chanches: Formal and Informal Sectors in
Guadalajara”, dalam A. Portes, et al, (eds.), The Informal Economy: Studies In Advanced and Less
Developed Countries. Baltimore : The John Hopkins University Press.
Santayani, (1996), Peranan Pendidikan dan Pengalaman Berusaha Pada Sektor Informal: Studi Kasus PKL
Makanan dan Minuman di Kotamadya Yogyakarta. Skripsi Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta (tidak
dipublikasikan).
Santoso, S. (2006), Kemampuan Bertahan Pedagang Warung HIK di Kota Ponorogo, Jurnal Penelitian
Humaniora, Vol. 7, No. 2, hal. 188-201.
Sethuraman, S.V. (1981), The Urban Informal Sector in Developing Countries, Geneva : ILO.
Sigit, H. (1989), “Transformasi Tenaga Kerja di Indonesia Selama Pelita”, Prisma, No. 5, Th. XVIII, h.3-14.
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
125
Sinungan, J.A. (1987), “Kelemahan dan Kekuatan Retail Business”, Prisma, No. 7, Th. XVI, Juli, h. 19-22.
Soeratno (2000), Analisis Sektor Informal: Studi Kasus Pedagang Angkringan di Gondokusuman Yogyakarta,
Jurnal Optimum, Vol. 1, No. 1, September.
Sumodiningrat, G. (19950, Ekonometrika Pengantar, Yogyakarta: Erlangga.
Swasono, S.E., et al. (1987), Pengembangan Sektor Informal, Padang: PSK Universitas Andalas.