tiga tesis tentang posmodernisme

9
Tiga Tesis tentang Posmodernisme Martin Suryajaya Kita akan mengajukan tiga tesis tentang posmodernisme: 1. Posmodernisme adalah tendensi imanen dari modernisme 2. Posmodernisme bermula dari common sense dan selamanya berada di sana 3. Posmodernisme, pada dasarnya, bersifat religius Ketiga tesis inilah yang akan kita elaborasi dan problematisir dalam kesempatan diskusi kita kali ini, untuk kemudian mensketsakan kemungkinan yang tersisa bagi kita sesudah posmodernisme. Posmodernisme adalah tendensi imanen dari modernisme. Dikatakan bahwa ciri distingsif posmodernisme adalah primasi pada fiksi, atau konsep kebenaran sebagai sejenis fiksi. Namun orang modern juga sadar bahwa modernitas bertumpu pada sejenis fiksi, yakni mitos tentang kehidupan sehari-hari. Seperti dikatakan Balzac, mitos modern lebih kuat ketimbang mitos zaman antik sejauh mitos ini muncul sebagai imajinasi sehari-hari (dari seorang borjuis, Raja maupun para partisan komune) ketimbang sebagai legenda ajaib tentang para dewa. 1 Mitos-mitos ini tampil memberi arah baru pada umat manusia, yaitu sebagai Ide Besar yang mereka yakini dan sadari bahwa sesungguhnya Ide ini tak lain ketimbang fiksi. Itulah sebabnya, bagi Baudelaire, modernitas mesti dipahami sebagai ikhwal yang selintas, kontingen, dan bukannya sebagai ikhwal yang abadi. 2 Dalam kaitan dengan ini, kita dapat melihat pula apa yang dikatakan Walter Benjamin tentang arsitektur arkade di Paris. Pada masa kejayaan 1 Lih. David Harvey, Paris, Capital of Modernity (New York: Routledge), 2003, hlm. 23. 2 Ibid., hlm. 16. 54

Upload: galoeh-natra

Post on 24-Oct-2015

6 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Postmodernism on philosophy.. Three thesis of Postmodernism

TRANSCRIPT

Page 1: Tiga Tesis Tentang Posmodernisme

Tiga Tesis tentang Posmodernisme

Martin Suryajaya

Kita akan mengajukan tiga tesis tentang posmodernisme:1. Posmodernisme adalah tendensi imanen dari modernisme2. Posmodernisme bermula dari common sense dan selamanya berada di

sana3. Posmodernisme, pada dasarnya, bersifat religius

Ketiga tesis inilah yang akan kita elaborasi dan problematisir dalam kesempatan diskusi kita kali ini, untuk kemudian mensketsakan kemungkinan yang tersisa bagi kita sesudah posmodernisme.

Posmodernisme adalah tendensi imanen dari modernisme. Dikatakan bahwa ciri distingsif posmodernisme adalah primasi pada fiksi, atau konsep kebenaran sebagai sejenis fiksi. Namun orang modern juga sadar bahwa modernitas bertumpu pada sejenis fiksi, yakni mitos tentang kehidupan sehari-hari. Seperti dikatakan Balzac, mitos modern lebih kuat ketimbang mitos zaman antik sejauh mitos ini muncul sebagai imajinasi sehari-hari (dari seorang borjuis, Raja maupun para partisan komune) ketimbang sebagai legenda ajaib tentang para dewa.1 Mitos-mitos ini tampil memberi arah baru pada umat manusia, yaitu sebagai Ide Besar yang mereka yakini dan sadari bahwa sesungguhnya Ide ini tak lain ketimbang fiksi. Itulah sebabnya, bagi Baudelaire, modernitas mesti dipahami sebagai ikhwal yang selintas, kontingen, dan bukannya sebagai ikhwal yang abadi.2 Dalam kaitan dengan ini, kita dapat melihat pula apa yang dikatakan Walter Benjamin tentang arsitektur arkade di Paris. Pada masa kejayaan Kekaisaran Kedua (Second Empire), Kaisar Louis Philippe memberikan wewenang pada Georges Eugène Haussmann untuk mengatur ulang tata kota Paris. Haussmann inilah yang bertanggung jawab bagi menjamurnya arkade-arkade di Paris, yaitu koridor raksasa beratapkan kaca dan pelat baja di mana di sepanjang jalan itu berderetan segala jenis toko barang mewah. Benjamin melihat arkade pada jantung modernitas Paris ini sebagai “residu dunia mimpi”3, yakni mimpi tentang transubstansiasi segala hal-ikhwal menjadi benda, menjadi komoditi.4 Di sepanjang lorong arkade di mana setiap ikhwal adalah komoditi, Benjamin menemukan bahwa salah satu ciri mendasar dari modernisme itu sendiri tak lain adalah mimpi, mitos, dengan kata lain, fiksi.

Dikatakan pula bahwa ciri distingtif posmodernisme adalah penekanan pada fakultas di luar rasio, entah itu perasaan, ketaksadaraan maupun imajinasi tentang yang-sublim. Demikianlah Lyotard menekankan pengalaman akan yang-

1 Lih. David Harvey, Paris, Capital of Modernity (New York: Routledge), 2003, hlm. 23. 2 Ibid., hlm. 16.3 Walter Benjamin, The Arcades Project diterjemahkan oleh Howard Eiland dan Kevin McLaughlin (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press), 2004, hlm. 8984 Ibid., 944.

54

Page 2: Tiga Tesis Tentang Posmodernisme

sublim yang meletak di batas-batas rasionalitas dan para anarkhis kontemporer berbicara mengenai pembebasan hasrat/ketaksadaran secara total. Namun adakah ini suatu hal yang sama sekali baru? Kita tahu bahwa para pemikir kontemporer dari Prancis yang memungkinkan lahirnya posmodernisme, seperti Bataille, Klossowski dan Lacan, pada mulanya merupakan figur yang dekat dengan wacana Surealisme. Dan Surealisme sendiri, sebagai aliran lukisan dan gaya pemikiran yang menentang hegemoni rasionalitas, walaupun baru digagas oleh Tristan Tzara di tahun 1918 dalam Manifesto Dada-nya, sebetulnya memiliki sejarah yang merentang hingga ke awal era Modern, yakni dalam lukisan-lukisan Hieronymus Bosch dan Giuseppe Archimboldo pada masa Renaissance.5 Penekanan pada yang-sublim juga bukanlah sesuatu yang baru pada posmodernisme. Jauh sebelumnya, Kant telah mengelaborasi persoalan ini panjang lebar dalam Kritik Ketiga-nya—teks yang secara eksplisit menjadi sumber Lyotard. Bagaimana dengan primasi pada peran perasaan (feeling) yang dipandang lebih lincah ketimbang rasio? Romantisisme dari abad ke-18 sudah mengekplorasinya. Dan jauh sebelumnya, pada permulaan masa Modern, Miguel de Cervantes dalam novel seminalnya, Don Quixotte. Perasaan, ketaksadaran dan imajinasi adalah kategori dari modernitas itu sendiri.

Posmodernisme, dengan demikian, tidak mengkonstitusikan secara efektif suatu patahan radikal (radical break) dengan modernisme. Ia hanyalah aksentuasi dari kelanjutan terhadap modernisme. Artinya, ada tendensi posmodernis di dalam jantung modernitas itu sendiri. Ia eksis sebagai tendensi imanen dari modernisme. Apa artinya? Dalam Imanensi dan Transendensi, saya menulis bahwa posmodernisme adalah fenomena kultural.6 Posmodernisme adalah sebuah gejala kultural yang timbul di zaman modern. Ia tumbuh, pertama-tama, sebagai pesimisme terhadap ideal-ideal modernitas sendiri. Dalam arti inilah kita dapat memahami mengapa Nietzsche berbicara tentang “nihilisme pasif” sebagai ekspresi subyektif pertama di era kematian Tuhan—sejauh Nietzsche tidak membedakan ide, atau Idea, dari Tuhan. Pesimisme posmodern ini, walau bagaimanapun, tidak pernah membuktikan kegagalan teoretik ide-ide modernitas. Ia hanyalah simtom atau gejala dari daya-daya yang lemah, yang lebih memilih untuk menyerah pada kefanaan hal-ikhwal ketimbang mencari, di dalam kefanaan itu, suatu inti pejal yang tak lekang oleh waktu—sesuatu yang Platon kenali sebagai Idea. Modernitas, sedari mula, berpegang pada Idea ini: bahwa ada kepastian di tengah dunia yang lalu-lalang, bahwa ada kebenaran yang berbeda secara kualitatif dari opini kebanyakan orang, bahwa ada prinsip yang mesti dipegang teguh dalam laku kehidupan.

Lantas bagaimana posmodernisme bisa berakhir pada kesimpulan penumbangan segala “Narasi Besar” ini? Ada sebuah kekeliruan yang sudah terjadi sejak dari sumber posmodernisme, yakni dalam filsafat Nietzsche. Modernisme tumbuh dengan semangat yang khas, yakni sekularisasi. Semangat dasar inilah yang menjadi alasan mengapa dikotomi filsafat x teologi adalah dikotomi modern. Semangat dasar ini jugalah yang membimbing proyek kritik

5 Bdk. Sarane Alexandrian, Surrealist Art diterjemahkan oleh Gordon Clough (London: Thames and Hudson), 1991, hlm. 10-14.6 Lih. Martin Suryajaya, Imanensi dan Transendensi (Jakarta: AksiSepihak), 2009, hlm. 127.

55

Page 3: Tiga Tesis Tentang Posmodernisme

atas metafisika yang telah bermula sejak Kant. Apa yang implisit di sini ialah gestur distansiasi terhadap agama berikut dengan kategori sentralnya, Tuhan. Inilah yang termaterialisasikan secara konkret dalam Revolusi Prancis 1789—konfrontasi terhadap kaum klerus atau rohaniawan karena mereka ini menjadi “golongan kedua” (deuxième etat) yang mendukung golongan pertama atau Raja dan kaum bangsawan menindas golongan ketiga atau rakyat—berikut juga zaman Pencerahan yang melingkupinya—pembangunan patung Dewi Rasio di atas puing-puing gereja dan pengusiran pater-pater Jesuit dari Eropa. Semangat sekuler ini sudah menampak di fajar zaman modern, yakni dalam adegan dramatis pemenggalan raja Charles oleh Oliver Cromwell. Pada momen itulah rakyat menyaksikan bahwa apa yang tertumpah dari kepala terpenggal Sang Raja tak lain adalah darah manusia biasa, bukan darah figur semi-supranatural, bukan darah sesosok imago Dei yang konon ditakdirkan oleh Tuhan untuk memimpin Britania Raya. Modernisme, dengan demikian, telah sedari mula bergerak dalam semangat penolakan atas transendensi dan afirmasi atas imanensi. Modernitas selalu dilandasi oleh Idea imanensi. Dan persis inilah locus kekeliruan Nietzsche. Ia tidak pernah mampu membedakan Tuhan dari Idea. Baginya, segala yang memberikan pegangan untuk orientasi hidup, entah apapun nama bagi pegangan itu (Idea kesetaraan, emansipasi, militansi), adalah sama saja dengan Tuhan. Oleh karena itu, tatkala Nietzsche memproklamirkan kematian Tuhan dalam Also Sprach Zarathoustra, Idea-Idea Besar ini mesti ikut mati bersama Tuhan. Dan dalam penyamaan antara Tuhan dan Idea inilah posmodernisme berangkat. Jadi, di satu sisi, posmodernisme seolah meneruskan proyek sekularisasi modern namun, di sisi lain, ia ikut membuang pula Narasi atau Idea Besar yang telah mereka persamakan terlebih dahulu dengan Tuhan.

Lantas apa yang mesti kita jadikan pijakan jika Idea dihapuskan? Tak pelak lagi: common sense. Dan inilah tesis kedua kita: posmodernisme bermula dari common sense dan selamanya berada di sana. Kita telah sering mendengar tentang bagaimana posmodernisme memprimasikan partikularitas di atas universalitas, kesementaraan di atas keabadian, kelabilan di atas kestabilan, fragmentasi di atas totalisasi. Begitu juga dengan pengertian bahwa ide tentang totalitas, keabadian dan universalitas itu totaliter dan bahwa apa yang mesti kita upayakan hanyalah afirmasi atas kefanaan, kerapuhan manusia. Pengertian-pengertian macam ini sebetulnya merupakan pengertian yang “alamiah”. Tanpa berpikir berat-berat pun kita tahu bahwa di dunia ini segalanya fana, bahwa kebenaran sejati, kalaupun ada, mestilah di luar dunia ini, dan bahwa kita apa yang kita ketahui hanyalah fragmen partikular saja. Dalam konfigurasi ini, pengetahuan manusia dipandang tidak lebih dari pencerapan inderawi, yakni pengetahuan dasariah tentang hal-hal yang partikular: kopi itu pahit, pagi ini hujan, rokok ini nikmat. Semua ini tidak lebih dari akal sehat (common sense).

Di mana peran filsafat? Peran itu justru terletak pada semangat ilmiah yang berjuang mencari tahu apa itu yang-benar, apa itu yang-universal, dan apa itu Idea yang tetap namun sekaligus menyatukan segala ikhwal yang berbeda. Filsafat eksis sejauh manusia tak mau berhenti pada common sense, pada opini, atau pada takhayul-takhayul sosial tentang mana yang pantas dan tidak pantas, mana yang dosa dan mana yang berpahala. Semangat menolak tunduk pada opini

56

Page 4: Tiga Tesis Tentang Posmodernisme

(doxa) inilah yang telah mendasari sikap filsafat sejak Platon. Adalah jauh lebih mudah mengatakan kita tidak tahu kebenaran ketimbang mengerahkan segala upaya untuk menjawab apa itu kebenaran. Dan jalan yang sulit inilah jalan filsafat. Inilah juga jalan yang, lebih dari dua milenia yang lampau, ditempuh oleh Parmenides ketika ia membedakan jalan pemikiran tentang yang tetap dan tak terubahkan (Ada) dari jalan dugaan tentang yang berubah-ubah (ikhwal sensibel). Parmenides memilih jalan pertama dan inilah momen fondasional dari filsafat: filsafat memilih untuk berpikir tentang yang benar ketimbang berdiam dalam pengenalan inderawi tentang realitas yang senantiasa berubah dan partikular. Itulah sebabnya Alain Badiou dapat menyatakan bahwa kaum filsuf selalu berangkat dari tesis Parmenides.7 Separasi dari opini tentang partikularitas—itulah momen fondasional dari filsafat. Tanpa separasi ini, tanpa pengakuan pada kekuatan pemikiran, tak akan ada filsafat apapun. Saya rasa Badiou benar ketika ia memberikan label “anti-filsafat” kepada setiap orientasi pemikiran (di antaranya, Wittgenstein awal, Lacan, Nietzsche, Kierkegaard) yang, pada analisis terakhir, mengebawahkan fakultas rasio pada sesuatu yang lain.8

Optimalisasi peran rasio sebagai tulang punggung filsafat inilah yang diperjuangkan di era modern. Dalam penegasan pada kekuatan pemikiran dan gagasan inilah Pencerahan terlahir. Inilah juga yang ditegaskan oleh Kant dalam esainya, “Menjawab Pertanyaan: Apa itu Pencerahan?” (Beantwortung der Frage: Was ist Aufklärung?): Pencerahan adalah keberanian untuk berpikir sendiri (sapare aude) lepas dari dogma dan takhayul sosio-religius. Keberanian untuk berpikir tanpa minta restu dari guru agama dan norma sosial—inilah semangat subversif modernisme. Posmodernisme tampil sebagai subversi atas otonomi rasio ini. Jika demikian, maka apakah hasil dari subversi atas subversi? Jawabnya tak lain adalah konservasi.

Maka, tesis ketiga kita: posmodernisme, atau subversi atas subversi, pada hakikatnya bersifat religius. Lepas dari retorika pembebasannya, posmodernisme merupakan sebuah ideologi konservatif. Ketika kebenaran rasional ditampik, Idea emansipasi dan kesetaraan universal dicurigai, dan militansi dalam memperjuangkan Idea-Idea besar dianggap totaliter, maka apakah yang tersisa bagi posmodernisme sendiri? Jawabnya: afirmasi atas kerapuhan manusia, kefanaan segala sesuatu dan sikap resignatif pada tatanan hal-ikhwal. Posmodernisme berakhir pada afirmasi akan ke-dhaif-an manusia, pada “kesadaran” tentang betapa kecilnya manusia di hadapan alam ciptaan Tuhan. Badiou kembali benar ketika ia menulis bahwa selama “keterhinggaan” (finitude) tetap dipandang sebagai faktor hakiki dari eksistensi manusia, maka kita sebetulnya tengah menjalankan konsolidasi agama.9 Dengan membuang kategori kebenaran rasional dan proyek emansipasi militan, posmodernisme tak pelak lagi menjadi benteng terakhir dari transendensi di mana rasio dikebawahkan pada iman akan yang-Maha Lain (Levinas dan Derrida) dan manusia dikonstitusikan 7 Lih. misalnya Alain Badiou, Logics of Worlds diterjemahkan oleh Alberto Toscano (London: Continuum), 2009, hlm. 99.8 Lih. rangkuman Peter Hallward dalam karyanya, Badiou: A Subject to Truth (Minneapolis: University of Minnesota Press), 2003, hlm. 20.9 Lih. Alain Badiou, Theoretical Writings diterjemahkan oleh Ray Brassier dan Alberto Toscano (London: Continuum), 2006, hlm. 28.

57

Page 5: Tiga Tesis Tentang Posmodernisme

secara hakiki oleh kekurangan dan kerapuhan, finitude of Dasein (Heiddeger). Dalam posmodernisme, filsafat berakhir pada agama dan mistisisme. Posmodernisme dipimpin oleh pathos untuk mengkonservasi yang-Transenden, entah dalam nama “yang-Tak Terkatakan” (L’ineffable) ataupun “yang-Maha Lain” (Tout Autre).

Menyadari konfigurasi ini, pertanyaan sentral filsafat zaman kita, karenanya, adalah: Bagaimana menyudahi posmodernisme? Itu artinya: mengembalikan takhta bagi pemikiran, rasionalitas dan Idea serta mengusir keluar “Akademia” semua “yang tidak mengerti matematika”, sebagaimana inskripsi di pintu gerbang Akademia Platon. Semua yang tidak mengerti “matematika”—itu artinya, bagi kita di zaman sekarang, semua yang mengesampingkan peran dianoia atau pikiran dan mengebawahkannya pada yang di luar pikiran, mulai dari gugon tuhon religius hingga jual-beli intelektualitas untuk kepentingan pasar. Apa yang pertama-tama mesti diupayakan oleh filsafat zaman kita, sejauh filsafat mau tetap eksis, adalah memikirkan ulang proyek modernitas: menegaskan otonomi rasio manusia dalam pertempuran melawan tirani politik dari agama dan modal. Namun ini memang bukan upaya yang mudah. Jauh lebih mudah mengakui keterbatasan rasio dan mencari ketenangan dan keamanan melalui opini banyak orang untuk lantas takluk pada rezim status quo, ketimbang mendorong rasio untuk mematerialisasikan kebenaran-kebenaran baru yang merombak situasi secara radikal. Dan justru dalam tugas yang nyaris mustahil inilah filsafat menjadi ikhwal yang layak dijalani. Memang kita, sekarang, tidak mengetahui segala sesuatu. Namun, seperti pernyataan Mao yang optimis namun tetap sederhana (frase yang juga kerap dikutip Badiou): “kita akan mengetahui segala yang sebelumnya tak kita ketahui.”10 Inilah semangat kita semua, orang modern—semangat yang terekam dalam lagu mahasiswa Jerman dari abad ke-19:

Die Gedanken sind frei! Pikiran itu Bebas!

Die Gedanken sind frei Pikiran itu bebaswer kann sie erraten? siapa gerangan dapat menerkanya?Sie fliehen vorbei Dia lewat berlariwie nächtliche Schatten ibarat bayang-bayang malamKein Mensch kann sie wissen Tak seorang pun bisa mengetahuinyakein Jäger erschießen Tak ada pemburu sanggup menembaknyaEs bleibet dabei: Karena memang benar:Die Gedanken sind frei! Pikiran itu bebas!

Und sperrt man mich ein Dan orang lantas mengunci akuin finsteren Kerker di dalam bui yang gelapDas alle sind rein Tapi semua itu hanyalahvergebliche Werke tindakan sia-sia belakadenn meine Gedanken sebab pikiranku sanggupzerreißen die Schranken menjebol batas-batasund Mauer entzwei: dan memecah tembok:

10 Alain Badiou, Metaphysics and the Critique of Metaphysics diterjemahkan oleh Alberto Toscano dalam jurnal Pli 10 (2000), hlm. 189.

58

Page 6: Tiga Tesis Tentang Posmodernisme

Die Gedanken sind frei! Pikiran itu bebas!

Ketimbang membuang begitu saja visi radikal tentang rasionalitas yang otonom, kita, kini, lebih dari kapanpun, memerlukan otonomi pikiran—dan membuktikan bahwa kebebasan, kesetaraan, bukanlah privilese bagi para malaikat dan jurubicara kapitalisme melainkan milik para pemikir otonom yang adalah kita semua, rakyat itu sendiri.

---o 0 o---

59