terjemah, tafsir dan ta'wil
TRANSCRIPT
TERJEMAH, TAFSIR DAN TA’WIL
AL-QUR’AN
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
STUDI AL-QUR’AN
Dosen Pengampu H. MISBAHUL MUNIR, LC, M.EI
Disusun oleh :
MOHAMAD BASTOMI (11510131)
FATMA ZULFANA (11510108)
ASTI KHUMAIROH (11510008)
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
NOVEMBER 2012
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena berkat
rahmat, taufik serta hidayahnya kami masih diberi kesempatan dan kemampuan
untuk menyusun makalah dengan judul “TERJEMAH, TAFSIR DAN TA’WIL
AL-QUR’AN” guna memenuhi tugas Semester tiga.
Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan banyak-banyak terimakasih
kepada:
1. Bapak H. MISBAHUL MUNIR, LC, M.EI., selaku dosen pengampu mata
kuliah STUDI AL-QUR’AN yang memberikan arahan dan masukan dalam
makalah ini.
2. Serta semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah
ini yang tidak mingkin kami sebutkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempuran. Demi
tercapainya suatu kesempurnaan kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan.
Demikaian hal yang dapat kami sampaikan, kami berharap makalah ini
dapat berguna bagi pembaca.
Malang, 25 November 2012
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Terjemah, Tafsir dan Ta’wil..........................................................................2
2.1.1 Definisi Terjemah....................................................................................2
2.1.2 Definisi Tafsir.........................................................................................3
2.1.3 Definisi Ta’wil........................................................................................6
2.2 Hukum Terjemah.........................................................................................11
2.2..1 Hukum Terjemah Harfiyah..................................................................11
2.2.2 Hukum Terjemah Maknawiyah............................................................12
2.3 Persamaan dan Perbedaan antara terjemah, Tafsir dan Ta’wil...................13
2.3.1 Perbedaan dan persamaan tafsir dan terjemah.......................................13
2.3.2 Persamaan dan Perbedaan antara Tafsir dengan Ta’wil.......................14
2.4. Keutamaan dan Fungsi Tafsir serta Kebutuhan terhadapnya......................16
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.........................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an Al-Karim adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, menerangkan hal-hal secara terperinci, seperti yang
berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan dan sebagainya, dan ada
pula yang dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja. Yang diterangkan
secara umum dan dan garis-garis besarnya ini, ada yang diperinci dan dijelaskan
hadits-hadits Nabi Muhammad SAW dan ada yang di arahkan pada kaum
muslimin sendiri yang disebut ijtihad.
Allah menurunkan al-Qur’an untuk dibaca dengan penuh penghayatan
(Tadabbur), meyakini kebenarannya dan berusaha untuk mengamalkannya. Allah
berfirman,” Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya
Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.
Oleh karena itu, agar kita bisa mewujudkan perintah Allah tersebut,
seorang harus bisa memahami makna dan kandungannya. Ada beberapa langkah
yang mampu mengantarkan kita untuk memahami makna dan kandungan isi al-
Qur’an secara benar dan tepat, yang antara lain ialah melalui terjemah, tafsir dan
ta’wil. Dalam terjemah, tafsir dan ta’wil sendiri, mempunyai persamaan dan
kesamaan, di dalam makalah ini akan dibahas untuk mendapatkan kejelasan
secara benar.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan terjemah, tafsir dan ta’wil ?
2. Bagaimanakah hukum terjemah ?
3. Apa perbedaan dan persamaan dari terjemah, tafsir dan ta’wil ?
4. Apa fungsi dan keutamaan dari tafsir ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari terjemah, tafsir dan ta’wil dengan jelas.
2. Mengetahui hukum terjemah dengan benar.
3. Mampu membedakan antara terjemah, tafsir dan ta’wil secara benar.
4. Mengetahui fungsi dan keutamaan dari tafsir al-Qur’an dalam kehidupan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Terjemah, Tafsir dan Ta’wil
2.1.1 Definisi Terjemah
Al-Qur’an yang berbahasa arab adalah wahyu Islam, dan Islam adalah
agama Allah yang telah ditetapkan. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan
dasar-dasar Islam ini tidak akan tercapai dengan baik kecuali jika Al-Qur’an itu
dipahami dengan bahasanya sendiri. Karenanya adalah suatu kewajiban bagi
setiap orang yang masuk ke dalam naungan islam, untuk mengerti bahasa
kitabnya secara lahir dan batin, sehingga ia dapat menjalankan kewajiban-
kewajibannya. Dan terjemahan Al-Qur’an pada dasarnya tidak diperlukan lagi
selama Al-Qur’an itu telah menjadi bahasa keimanan dan keislaman umat.(1)
Pengertian Terjemah, Kata “terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
1. Terjemah harfiah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa ke
dalam lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga
susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
2. Terjemah tafsiriah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna
pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal
atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Terjemah Harfiah
Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu
mengetahui bahwa terjemah harfiah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak
mungkin dapat dicapai dengan baik jika konteks karakteristik setiap bahasa
berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertib bagian-bagian kalimatnya. Sebagai
contoh, jumlah fi’liyah (kalimat verbal) dalam bahasa arab dimulai dengan “fi’il”
(kata kerja yang berfungsi sebagai predikat) kemudian “fa’il” (subyek), baik
dalam kalimat Tanya (istifham) maupun lainnya; mudhof didahulukan atas
mudhof ilaih dan mausuf atas sifat, kecuali dalam idhofah tasybih (susunan
mudhof dan mudhof ilaih yang mengandung arti menyerupakan), seperti �م�اء� ال
�ن ي ج� dan dalam kalimat yang (perak air, maksudnya air yang bagaikan perak) ل
1Al-Qaththan, Syaikh manna’, Pengantar studi llmu Al-Qur’an, hlmn. 395
2
disusun dengan meng-idhofah-kan kata sifat kepada ma’mulnya, seperti �م ع�ظ�ي
�م�ل� .Sedang dalam bahasa lain tidak demikian halnya .(besar cita-cita) اال
Selain itu, bahasa Arab banyak menyelipkan rahasia-rahasia bahasa yang tidak
mungkin dapat digantikan oleh ungkapan lain dalam bahasa non Arab. Sebab,
lafadz-lafadz dalam terjemahan itu tidak akan sama maknanya dalam segala
aspeknya, terlebih lagi dalam susunannya.
Kondisi Al-Qur’an berada pada puncak fashahah dan balagah bahasa Arab. Ia
mempunyai karakteristik susunan, rahasia uslub, makna-makna yang unik dan
kemukjizatan ayat-ayat nya lainnya yang semua itu tidak dapat diberikan oleh
bahasa apa dan makna apapun juga.
Terjemah Maknawiyah
Al-Qur’an Al-karim, demikian juga semua kalam Arab yang baligh,
mempunyai makna-makna asli (primer) dan makna-makna tsanawi (sekunder).
Yang dimaksud dengan makna asli ialah makna yang dipahami secara sama oleh
setiap orang yang mengetahui pengertian secara mufrad, dan mengetahui pula
segi-segi susunannya secara global. Sedang yang dimaksud dengan makna
sekunder ialah karakteristik susunan kalimat yang menyebabkan suatu perkataan
berkualitas tinggi. Dan dengan makna inilah Al-Qur’an dinilai sebagai mukjizat.
Makna asli sebagian ayat terkadang sejalan dengan prosa dan puisi kalam
arab. Tetapi kesejalanan ini tidak menyentuh, memengaruhi kemukjizatan Al-
Qur’an, karena kemukjizatannya terletak pada keindahan susunan dan
penjelasannya yang sangat memesona, yaitu dengan makna sekunder. Itulah yang
dimaksud dengan pernyataan AZ-Zamakhasyari dalam Tafsir Al-Kasysyaf-nya, “
sesungguhnya di dalam Arab, terutama Al-Qur’an terdapat kepelikan dan
kedalaman makna yang tidak dapat diberikan oleh bahasa mana pun juga.”
2.1.2 Definisi Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim adalah sumber hukum pertama bagi umat Muhammad.
Kebahagiaan mereka bergantung kepada kemampuan memahami maknanya,
pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di
dalamnya. Maka tidaklah mengherankan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian
besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka
menafsirkan kata-kata yang gharib atau mena’wilkan suatu redaksi kalimat.
3
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr
yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan
makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba-yadribu” dan
“nasara-yansuru”. Dikatakan: “fasara (asy-syai’a) yafsiru” dan “yafsuru, fasran”,
dan “fassarahu”, artinya “abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr
mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul Arab
dinyatakan: Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata
“at-tafsir” berarti menyingkap maksud sesuatu lafadz yang musykil, pelik. Dalam
Qur’an dinyatakan:
33. tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu
yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya[1067]. Al-Furqan : 33
[1067] Maksudnya: Setiap kali mereka datang kepada Nabi Muhammad
s.a.w membawa suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya
dengan suatu yang benar dan nyata.
Maksudnya “palik baik penjelasan dan perinciannya”. Diantara kedua bentuk
kata itu, al-fasr dan at-tafsir, kata at-tafsirlah yang paling banyak digunakan.
Berkata Ibnu Abbas tentang firman Allah: � �را ي �ف�س� ت �حس�ن artinya lebih baik : و�ا
perinciannya. Sebagian ulama berpendapat, kata “tafsir” (fasara) adalah kata kerja
yang terbaik, berasal dari kata “safara” yang juga berarti menyingkap (al-kasyf).
Kata-kata ا فو�ر� س �ة أ الم�ر� ت� ف�ر� berarti, perempuan itu menanggalkan kerudung س�
dari mukanya. Ia adalah “safirah” (perempuan yang membuka muka). Kata-kata
�ح الص!ب ف�ر� �س� ,ا artinya waktu subuh telah terang. Pembentukan kata “al-fasr”
menjadi bentuk “tafil” yakni (tafsir) untuk menunjukkan arti taksir (banyak,
sering berbuat). Misalnya firman Allah:
..............
“mereka banyak menyembelih anak-anak yang laki-laki.” (Al-Baqoroh : 49)
Dan,
........... ............
4
23. “Dia sering menutup pintu-pintu”. (Yusuf: 23)
Jadi seakan-akan “tafsir” terus mengikuti dan berjalan surah demi surah dan
ayat demi ayat.
Menurut ar-Raghib, kata “al-fasr” dan “as-safr” adalah dua kata yang
berdekatan makna dan lafadznya. Tetapi yang pertama untuk menunjukkan arti
menampakkan (menzahirkan) makna yang ma’qul (abstrak), sedangkan yang
kedua untuk menampakkan benda kepada pengelihatan mata. Maka dikatakanlah:
و�ج�ه�ه�ا �ة أ الم�ر� ت� ف�ر� perempuan itu) س� menampakkan mukanya) dan �ح الص!ب ف�ر� �س� ا
(waktu subuh telah terang).
Menurut istilah, Al Kilby dalam At Tas-hiel menyatakan bahwa : tafsir
ialah mensyarahkan Al-Qur’an, menerangkan ma’nanya dan menjelaskan apa
yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, ataupun dengan
najuanya.
Tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan oleh Abu Hayyan ialah:
“ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Qur’an, tentang
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun
ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun
serta hal-hal lain yang melengkapinya”.
Kemudian Abu Hayyan menjelaskan secara rinci unsur-unsur definisi tersebut
sebagai berikut:
Kata-kata “ilmu” adalah kata jenis yang meliputi segala macam ilmu. “Yang
membahas cara mengucapkan lafadz-lafadz Qur’an”, mengacu pada ilmu qiroat.
Petunjuk-petunjuknya adalah pengertian-pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz-
lafadz itu. Ini mengacu kepada ilmu bahasa yang diperlukan dalam ilmu tafsir ini.
Kata-kata “hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun”,
seperti ilmu shorof, ilmu I’rab, ilmu bayan dan ilmu badi’. Kata-kata “makna-
makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun”, meliputi pengertiannya yang
hakiki dan majazi, sebab suatu susunan kalimat (tarkib) terkadang menurut
lahirnya menghendaki suatu makna tetapi untuk membawa ke makna lahir itu
terdapat penghalang sehingga tarkib tersebut mesti dibawa ke makna yang bukan
makna lahir, yaitu majaz. Dan kata-kata “hal-hal yang melengkapinya”, mencakup
5
pengetahuan tentang naskh, sebab nuzul, kisah-kisah yang dapat menjelaskan
sesuatu yang kurang jelas dalam Qur’an, dan lain sebagainya.
Menurut az-Zakarsyi: “Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang
diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta
mengeluarkan hokum dan hikmahnya.(2)
2.1.3 Definisi Ta’wil
Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata Ta’wil diambil dari dua akar kata ;
Pertama, awl (alif, wawu, dan lam). Kedua, iyalah (alif, ya’, lam, dan ha’). Kata
awl dalam bahasa Indonesianya berarti kembali, seakan-akan orang mentakwil
adalah orang yang ingin mengembalikan teks kepada makna-makna yang
dikandungnya. Sedangkan kata iyalah dalam bahasa Indonesia menunjukkan arti
siyasah (mensiasati atau menage).
Sedangkan menurut Dr. Ibrahim bahwa definisi ta’wil adalah sebuah
penafsiran terhadap Al-Qur’an yang membutuhkan perenungan mendalam dan
kedalaman analisa atau penafsiran terhadap sesuatu yang tidak dapat kita pahami
kecuali dengan pancaran cahaya (al-faidh) dan ilham dari Allah.(3)
Sebagian ulama berpendapat bahwa ta’wil ialah mengembalikan sesuatu
kepada ghayahnya, yakni menerangkan apa yang dimaksud dari padanya. Selain
itu, ta’wil menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafadh. Kata
As Said Al Jurjany, ta’wil adalah memailingkan lafadh dari makna yang dhahir
kepada makna yang muhtamil, apabila makan yang muhtamil itu tidak berlawanan
dengan Al-Qur’an dan As Sunnah.
Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali ke asal.
Dikatakan "أوألومأأل إليه تاويأل .artinya, kembali kepadanya "ال �ألم و.ل�الك� أ artinya,
memikirkan, memperkirakan dan menafsirkannya. Atas dasar ini makna ta’wil
kalam (penakwilan terhadap suatu kalimat) dalam istilah memiliki dua makna:
Pertama, ta’wil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang menjadi tempat
kembali perkataan pembicara, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu kalam
dikembalikan. Dan kalam itu kembali dan merujuk pada makna hakikinya yang
2 Al-Itqan, 2/1743 Lebih jelasnya lihat Dirasat Fi Manahij Al-Mufassirin
6
merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud. Kalam ada dua macam, insya’ dan
ikhbar. Salah satu yang termasuk insya’ adalah amr (kalimat perintah).
Maka ta’wilul amr ialah esensi perbuatan yang diperintahkan. Misalnya hadits
yang diriwayatkan oleh aisyah r.a, ia berkata “adalah Rasulullah membaca
didalam ruku’ dan sujudnya subhanallah wabihamdihi Allahummaghfir li. Beliau
menta’wilkan (menjelaskan perintah) Qur’an. Maksudnya firman Allah: Maka
bertasbihlah dengan memuji tuhanmu dan mohonlah ampun kepadaNya.
Sesungguhnya dia maha penerima taubat. (an-Nasr (110):3).
Sedang ta’wilul ikhbar ialah esensi dari apa yang diberitakan itu sendiri
yang benar-benar terjadi. Misalnya firman Allah:
52. dan Sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah kitab (Al Quran) kepada
mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami[546];
menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
53. Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al
Quran itu. pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu, berkatalah
orang-orang yang melupakannya[547] sebelum itu: "Sesungguhnya telah datang
Rasul-rasul Tuhan Kami membawa yang hak, Maka Adakah bagi Kami pemberi
syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi Kami, atau dapatkah Kami dikembalikan
(ke dunia) sehingga Kami dapat beramal yang lain dari yang pernah Kami
amalkan?". sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah
lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan. (Al-A’raf: 52-53)
[546] Maksudnya: atas dasar pengetahuan Kami tentang apa yang menjadi
kemashlahatan bagi hamba-hamba Kami di dunia dan akhirat.
[547] Maksudnya: orang-orang yang tidak beramal sebagaimana yang digariskan
oleh Al Quran.
7
Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa Dia telah menjelaskan kitab, dan
mereka tidak menunggu-nunggu kecuali ta’wil-nya yaitu datangnya apa yang
diberitakan Qur’an akan terjadi, seperti hari kiamat dan tanda-tandanya serta
segala apa yang ada di akhirat berupa buku catatan amal (suhuf), neraca amal
(mizan), surga, neraka dan lain sebagainya. Maka pada saat itulah mereka
mengatakan: “sungguh telah datang rosul-rosul Tuhan kami membawa yang hak,
maka adakah bagi kami pemberi syafa’at yang akan memberikan syafa’at kepada
kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal
yang lain dari yang pernah kami amalkan?”.
Kedua, ta’wilul kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya.
Pengertian inilah yang dimaksud Ibnu Jarir at-Tabari dalam tafsirnya dengan kata-
kata: “Pendapat tentang ‘ta’wil’ firman Allah ini….begini dan begitu…”dan kata-
kata: “ahli ‘ta’wil’ berbeda pendapat tentang ayat ini.” Jadi yang dimaksud
dengan kata ta’wil di sini adalah tafsir.
Demikianlah makna ta’wil menurut golongan salaf. Ta’wil dalam tradisi
muta’akhirin adalah: “Memalingkan makna lafadz yang kuat (rajih) kepada makna
yang lemah (marjuh) karena ada dalil yang menyertainya.”
Definisi ini tidak sesuai dengan apa yang dimaksud lafadz “ta’wil” dalam
Qur’an menurut fersi salaf. Di antara para ulama ada yang membedakan antara
makna, tafsir dan ta’wil mengingat ketiga kata ini, dari segi bahasa, mempunyai
perbedan arti, sekalipun agak berdekatan. Mengenai hal ini Zakasyi telah menukil
sebagai berikut:
Ibnu Faris menjelaskan, makna-makna ungkapan, yang menggambarkan
sesuatu itu kembali kepada tiga kata; makna, tafsir dan ta’wil. Ketiga kata ini,
sekalipun berbeda tetapi maksudnya berdekatan. “Makna” adalah apa yang
dimaksud dan dituju. Misalnya perkataan: �ت �ي أغ�ن �ذ� ك � الكألم �هذ�أ , ب maksudnya “
yang aku maksud dan aku tuju perkataan ini adalah begini.” Kata ini terambil dari
kata izhar (menampakkan). Seperti kata-kata: ت�� ع�ن �ة ب artinya wadah itu tidak ,الق�ر�
dapat menampung air tetapi malah menampakkannya. Dan dari sinilah asalnya
unwanul kitab (judul kitab).
“Tafsir” menurut bahasa mengacu pada arti “menampakkan dan
menyingkap”. Ibnu al-Anbari menjelaskan, orang arab berkata : 7ة� الد7أب ه�أ ت ر� و�ف�س7
8
ت ر� maksudnya, aku memacu binatang itu dalam keadaan terikat agar lepas ,ف�س�
ikatannya. Kata “tafsir” ini mengacu juga kepada arti menyingkap (al-kasyf).
Dengan demikian, tafsir berarti menyingkap apa yang dimaksud oleh lafadz dan
melepaskan apa yang tertahan dari pemahaman.
Adapun “ta’wil” maka menurut bahasa berasal dari kata “aul”. Perkataan
mereka, “apa ta’wil perkataan ini?” artinya ialah “sampai kemanakah akibat yang
dimaksud oleh perkataan itu?” Misalnya firman Allah:
(al-A’raf (7) : 53), maksudnya ialah “di saat akibat (kesudahan)-nya
tersingkap.” Dan dikatakan �ل�ى إ �ذ�اآل� ك �ألم�ر� ,maksudnya ا urusannya menjadi
begini. Firman-Nya:
......
(al-Kahfi (18) : 82). “ta’wil” berasal dari maal, yaitu akibat dan kesudahan.
Kata-kata و ه �ت و7ل� أ maksudnya: aku palingkan ia maka ia pun berpaling. Dengan ,ق�د�
demikian, ta’wil seakan-akan memalingkan ayat kepada makna-makna yang dapat
diterimanya. Kata “ta’wil” dibentuk dengan pola “taf’il” adalah untuk
menunjukkan arti banyak.
Sasaran ta’wil pada umumnya adalah menyangkut ayat-ayat mutasyabihat
atau ayat-ayat yang mempunyai sejumlah kemungkinan makna yang terkandung
di dalamnya. Dalam hal ini, ayat-ayat mutasyabihat ialah ayat-ayat yang tidak
terang maknanya. Menurut para ulama’ dari kalangan Mutakallimin, ayat-ayat
mutasyabihat itu biasanya menyangkut tentang Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya.
Kebalikannya adalah ayat-ayat mukhamat, yaitu ayat-ayat yang tegas dan terang
maknanya.(4)
Aturan dalam Ta’wil
Sebagian pendapat mengatakan bahwa jika dalam penafsiran harus melalui
perangkat tertentu, maka tidak demikian dengan takwil, karena takwil tidak
selamanya harus melalui piranti-piranti tafsir yang cukup ketat. Dalam tafsir harus
ada media yang menjadi titik tolak seorang mufassir untuk sampai pada
penyingkapan makna yang diinginkan. Sedang takwil adalah proses yang tidak
selamanya membutuhkan media ini, tetapi kadang-kadang berlandaskan pada
4 Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal.319
9
gerakan akal budi dalam menyingkap asal fenomena atau dalam mengikuti
konsekuensinya. Dengan kata lain, takwil mencerminkan hubungan langsung
antara “subyek” dan “obyek”. Hubungan ini dalam tafsir bukanlah hubungan
langsung, tetapi hubungan yang melalui perantara yang dapat berupa teks bahasa,a
atau sesuatu yang lain yang bermakna. Dalam kedua situasi ini, maka harus ada
perantara yang menjadi “tanda” (‘alamah), sehingga proses pemahaman terhadap
obyek tersebut dapat tercapai.
Dalam tafsir, seorang mufassir tidak memiliki nash. Dia akan memahami
nash berdasarkan perangkat tafsir; baik itu hadits, perkataan sahabat atau tabi’in
yang dianggap dapat mempresentasikan makna kandungan nash. Sehingga dapat
dikatakan bahwa tafsir adalah pintu menuju takwil.
Dalam perbedaan tersebut, terdapat dimensi pokok penakwilan, yaitu
peranan pembaca (orang yang mentakwil) dalam menghadapi nash dan
menyingkap maknanya. Namun peranan pentakwil tidaklah peran mutlak yang
memungkinkannya dalam menundukkan nash sesuai dengan hawa nafsunya.
Bahkan, takwil harus berlandaskan pada beberapa ilmu pokok yang berhubungan
dengan nash sebagaimana dalam tafsir. Seoarang “muawwil” (pentakwil) harus
mengetahui tafsir, sehingga dia dapat menghasilkan takwil yang dapat diterima
( at-takwil al-maqbul), yaitu takwil yang tidak menundukkan nash menurut hawa
nafsu dan kecenderungan pribadi-ideologis muawwil. Karena takwil yang
demikian oleh ulama terdahulu disebut takwil yang terlarang yang bertentangan
dengan makna eksplisit (mantuq) maupun implisit (mafhum) nash.(5) Jadi, takwil
yang tidak berlandaskan pada tafsir adalah takwil yang tidak diterima.
Selain itu, takwil sebagai metode interpretasi teks tentunya memiliki
kaidah-kaidah yang harus terpenuhi sebelum melakukannya, di samping juga
berfungsi memblokade pentakwilan-pentakwilan liar terhadap kitab suci Al-
Qur’an:
1. Takwil tidak bisa dilakukan kecuali ada qarinah yang mengharuskan kita
berpaling dari makna zhahir kata ke makna yang marjuh. Sebagaimana
kita ketahui dalam kaidah penafsiran bahwa seorang penafsir sebisa
5 Nasr hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash; Dirasat fi ulum al-Qur’an, Al- Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, Beirut, 1998, hlm. 234
10
mungkin mengarahkan teks ke makna zhahir sebelum ada qarinah atau
dari makna majazi.
2. Kalimat teks harus mengandung makna yang dijadikan sebagai takwilnya
baik secar haqiqi ataupun majazi.
3. Harus sesuai dengan siyaq al-kalam (konteks pembicaraan) dan siyaq al-
hal (kondisi pengujaran).
4. Harus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar agama islam, seperti yang
dilakukan para ulama khalaf pada ayat-ayat mutasyabihat.
5. Seorang pentakwil harus kapabel, akseptabel artinya memenuhi syarat-
syarat seorang mufassir dan terpercaya.
2.2 Hukum Terjemah
2.2..1 Hukum Terjemah Harfiyah
Atas dasar pertimbangan di atas maka tidak seorang pun merasa ragu tentang
haramnya menerjemahkan Qur’an dengan terjemah harfiyah. Sebab Qur’an adalah
kalamullah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, merupakan mukjizat dengan
lafadz dan maknanya, serta membacanya dipandang sebagai suatu ibadah. Di
samping itu, tidak seorang manusiapun berpendapat, kalimat-kalimat Qur’an itu
jika diterjemahkan, dinamakan pula kalamullah. Sebab Allah tidak berfirman
kecuali dengan qur’an yang kita baca dengan bahasa Arab, dan kemukjizatan pun
tidak akan terjadi dengan terjemahan, karena kemukjizatan hanya khusus bagi
Qur’an Yng diturunkan dalam bahasa Arab. Kemudian yang dipandang sebagai
ibadah dengan membacanya ialah Qur’an berbahasa Arab yang jelas, berikut
lafadz-lafadz, huruf-huruf dan tertib kata-katanya.
Dengan demikian, penerjemahan Qur’an dengan terjemah harfiyah, betapa pun
penerjemah memahami betul bahasa, uslub-uslub dan susunan kalimatnya,
dipandang telah mengeluarkan Qur’an dari keadaanya sebagai Qur’an.
2.2.2 Hukum Terjemah Maknawiyah
Menerjemahkan makna-makna sanawi Qur’an bukanlah hal mudah, sebab
tidak terdapat satu bahasa pun yang sesuai dengan bahasa Arab dalam dalalah
(petunjuk) lafadz-lafadznya terhadap makna-makna yang oleh ahli ilmu bayan
11
dinamakan khawassut-tarkib (karakteristik-karakteristik susunan). Hal demikian
tidak mudah didakwakan seseorang. Dan itulah yang dimaksud Zamakhsyari
dalam pernyataan di atas. Segi-segi balagah Qur’an dalam lafadz atau susunan,
baik nakirah dan ma’rifah-nya, disebutkan dan dihilangkannya maupun hal-hal
lainnya adalah yang menjadi keunggulan bahasa Qur’an, dan ini mempunyai
pengaruh tersendiri terhadap jiwa. Segi-segi kebalagahan Qur’an ini tidak
mungkin terpenuhi jika makna-makna tersebut dituangkan dalam bahasa lain,
karena bahasa mana pun tidak mempunyai khawas tersebut.
Adapun makna-makna asli, dapat dipindahkan ke dalam bahasa lain. Dalam
al-muwaffaqat, Syatibi menyebutkan makna-makna asli dan makna-makna
sanawi. Kemudian ia menjelaskan, menerjemahkan Qur’an dengan cara pertama,
yakni dengan memperhatikan makna asli adalah mungkin. Dari segi inilah
dibenarkan menafsirkan Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya kepada
kalangan awam dan mereka yang tidak mempunyai pemahaman kuat untuk
mengetahui makna-maknanya. Cara demikian diperbolehkan berdasarkan
consensus ulama Islam. Dan consensus ini menjadi hujjah bagi dibenarkannya
penerjemahan makna asli Qur’an.
Namun demikian, terjemahan makna-makna asli itu tidak terlepas dari
kerusakan karena satu buah lafadz dalam Qur’an terkadang mempunyai dua
makna atau lebih yang diberikan oleh ayat. Maka dalam keadaan demikian
biasanya penerjemah hanya meletakkan satu lafadz yang hanya menunjukkan satu
makna, karena ia tidak mendapatkan satu lafadz yang hanya menunjukkan satu
makna, karena ia tidak mendapatkan lafadz serupa dengan lafadz Arab yang dapat
memberikan lebih dari satu makna itu.
Terkadang Qur’an menggunakan sebuah lafadz dalam pengertian majaz
(kiasan), makna dalam hal demikian penerjemahnya hanya mendatangkan satu
lafadz yang sama dengan lafadz Arab dimaksud dalam pengertiannya yang hakiki.
Karena hal ini dan hal lain maka terjadilah banyak kesalahan dalam penerjemahan
makna-makna Qur’an.
Pendapat yang dipilih oleh syatibi diatas yang dianggapnya sebagai hujjah tentang
kebolehan menerjemahkan makna asli Qur’an tidaklah mutlak. Sebab sebagaian
ulama membatasi kebolehan penerjemahan seperti itu dengan kadar darurat dalam
12
menyampaikan dakwah. Yaitu yang berkenaan dengan tauhid dan rukun-rukun
ibadah, tidak lebih dari itu. Sedangkan bagi mereka yang ingin menambah
pengetahuannya, diperintahkan untuk mempelajari bahasa Arab.
2.3 Persamaan dan Perbedaan antara terjemah, Tafsir dan Ta’wil
2.3.1 Perbedaan dan persamaan tafsir dan terjemah
Tarjamah, baik harfiah maupun tafsiriyah bukanlah atau tidaklah sama
dengan tafsir. Atau dengan kata lain, tarjamah tidaklah identik dengan tafsir.12
Oleh karena perlu diketahui inti-inti perbedaan yang prinsip antara kedua istilah
tersebut dalam penjabarannya. Perbedaan-perbedaan dimaksud antara lain:
a) Bahasa tafsir dalam prakteknya selalu terdapat keterkaitan dengan bahasa
aslinya. Selain itu, dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagaimana
lazimnya dalam terjemah. Pada terjemah yang terjadi atau dilakukan adalah
peralihan bahasa, yakni dari bahasa pertama atau yang asli ke bahasa kedua atau
terjemah.
b) Dalam tafsir yang diutamakan adalah menyampaikan penjelasan dan pesan
dari bahasa aslinya yang pertama. Sedangkan pada terjemah tidak terdapat
istithrad, yakni memperluas uraian melebihi kadar mencari padanan kata. Dalam
terjemah terutama harfiah, makna yang diungkap tidak lebih dari sekedar
mengganti bahasa.
c) Dalam bahasa tafsir yang menjadi pokok perhatian adalah tercapainya
penjelasan tepat sasaran baik secara global maupun secara terinci. Tidak demikian
halnya dengan terjemah. Ia pada lazimnya mengandung tuntutan terpenuhinya
semua makna yang dikehendaki oleh bahasa pertama.
Dengan memperhatikan pernyataan-pernyataan di atas, maka dapat
dikatakan bahwa antara tafsir dengan terjemah (baik tafsiriyah maupun harfiyah)
tersdapat perbedaan yang cukup jelas. Khusus dalam hubungannya dengan upaya
pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an, keterangan melalui terjemahnya tentu
tidak akan dapat memberikan kejelasan yang memadai.
Antara tafsir dan terjemah (tafsiriyah) terdapat unsur persamaan.
Persamaannya adalah, bahwa baik tafsir maupun terjemah tafsiriyah bertujuan
untuk menjelaskan. Tafsir menjelaskan sesuatu maksud yang semula sulit
13
dipahami, sedangkan terjemah adalah menjelaskan makna dari bahasa yang tidak
dipahami melalui bahasa lain yang dapat dipahami
2.3.2 Persamaan dan Perbedaan antara Tafsir dengan Ta’wil
Menurut sebagian ulama, di antaranya Abu Ubaidah dan yang sependirian
dengannya, tafsir dan ta’wil memiliki satu arti. Keduanya merupakan sinonim
(muraddif) sehingga yang satu dan lain digunakan untuk pengertian yang sama.
Maksudnya, jika disebut kata tafsir maka juga termasuk di dalamnya adalah
ta’wil; dan sebaliknya, jika disebut kata ta’wil, maka yang dimaksud adalah juga
kata tafsir. Sedangkan disisi lain, para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan
antara kedua kata tersebut. Berdasarkan pada pembahasan di atas tentang makna
tafsir dan ta’wil, kita dapat menyimpulkan pendapat terpenting di antaranya
sebagai berikut:
1. Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah menafsirkan perkataan dan
menjelaskan maknanya, kata ta’wil dan tafsir adalah dua kata yang berdekatan
atau sama maknanya. Termasuk pengertian ini ialah doa Rosulullah untuk Ibnu
Abbas: “Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama
dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.
2. Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah esensi yang dimaksud dari suatu
perkataan, maka ta’wil dari talab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang
dituntut itu sendiri dan ta’wil dari khabar adalah esensi sesuatu yang
diberitakan. Atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dengan ta’wil cukup
besar, sebab tafsir merupakan syarah dan penjelas bagi suatu perkataan dan
penjelas ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya dam dalam lisan
dengan ungkapan yang menunjukkannya. Sedangkan ta’wil ialah esensi
sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam pikiran).
3. Dikatakan, tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam kitabullah atau tertentu
(pasti) dalam sunnah yang sahih karena maknanya telah jelas dan gamblang.
Sedangkan ta’wil adalah apa yang disimpulkan para ulama. Karena itu
sebagian ulama mengatakan, “Tafsir adalah apa yang berhubungan dengan
riwayat sedang ta’wil adalah apa yang berhubungan dengan dirayah”.
4. Dikatakan pula, tafsir lebih banyak digunakan dalam (menerangkan) lafadz
dan mufradat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak dipakai dalam
14
(menjelaskan) makna dan susunan kalimat. Dan masih banyak lagi pendapat-
pendapat yang lain.
5. Tafsir menerangkan makna lafadh yang tak menerima selain dari satu arti.
Ta’wil menetapkan makna yang dikehendaki oleh suatu lafadh yang dapat
menerima banyak makna, lantaran ada dalil-dalil yang menghendaki.
6. Kata Abu Thalib Ats Tsa’laby : Taafsir ialah menerangkan makna lafadh,
baik makna hakikatnya maupun makna majaznya, seperti mentafsirkan makna
Ash Shirath dengan jalan dan Ash Shaiyib dengan hujan. Ta’wil adalah
mentafsirkan bathin lafadh. Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang
dikehendaki, sedang ta’wil menerangkan hakikat yang dikehedaki
Berkenaan dengan persamaan dan perbedaan antara tafsir dan ta’wil,
Muhammad al-Naquib al-Attas mengilustrasikan bahwa “jika Tuhan yang
Maha Tinggi berfirman bahwa Ia mengeluarkan yang hidup dari yang mati (
الميت من الحي (يخرج dan kita menafsirkannya sebagai berarti bahwa Ia
mengelurakan burung dari telur, maka ini disebut tafsir. Tetapi, jika kita
menafsirkan kalimat yang sama sebagai berarti bahwa Tuhan mengeluarkan
seorang mukmin (المؤمن) dari seorang kafir (الكافر) atau bahwa Ia
mengeluarkan orang yang berilmu (العالم) dari seorang yang bodoh (الجاهل)
maka ini disebut sebagai ta’wil.
Tampak jelas dari uraian di atas bahwa ta’wil tidak lain adalah bentuk
lebih intensif dari tafsir,karena tafsir mengacu pada penemuan dan
pengungkapan apa-apa yang dimaksudkan oleh ekspresi-ekspresi yang
mengandung lebih dari satu makna, sedangkan ta’wil mengacu pada makna
puncak ungkapan-ungkapan itu.
Lepas dari perbedaan persepsi para ahli tafsir tentang persamaan dan
perbedaan antara tafsir dan ta’wil, yang pasti dari sisi sasaran atau tujuan ada
persamaan antara keduanya, yaitu sama-sama bertujuan untuk menjelaskan
maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an.
2.4. Keutamaan dan Fungsi Tafsir serta Kebutuhan terhadapnya
Pada dasarnya, tidak ada satu pun cabang/ranting ilmu pengetahuan
(termasuk atau bahkan terutama ilmu-ilmu keislaman) yang tidak memiliki fungsi
15
dan nilai guna.(6) Juga tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak dibutuhkan oleh
umat manusia. Lebih-lebih ilmu tafsir yang dengan ilmu ini seseorang atau
tepatnya masyarakat luas dapat memahami dan mengaalkan al-Qur’an.
Ilmu tafsir berfungsi sebagai kunci utama untuk memahami al-Qur’an dari
berbagai aspeknya. Tanpa ilmu tafsir, tentu dalam konteksnya yang luas, mustahil
al-Qur’an bisa dipahami dengan benar dan baik. Tanpa ilmu tafsir pula
pemahaman terhadap al-Qur’an tidak mungkin bisa dikembangkan; dan tanpa
ilmu tafsir juga tidak akan terjadi sosialisasi pengamalan al-Qur’an. Pendeknya,
ilmu tafsir memiliki fungsi yang sangat penting dan strategis dalam memahami al-
Qur’an.
Terkait erat dengan fungsi ilmu tafsir, yakni sebagai alat atau sarana untuk
memahami al-Qur’an, ilmu tafsir juga memiliki manfaat yang sangat besar bagi
masyarakat luas. Ilmu tafsir sangat berguna bagi kaum muslimin untuk
melahirkan mereka dari kemungkinan terjebak dengan penafsiran-penafsiran al-
Qur’an yang salah dan buruk. Manfaat dari ilmu tafsir ialah untuk
mempertahankan originalitas dan kelestarian al-Qur’an dari kemungkinan usaha-
usaha banyak pihak yang berusaha mengaburkan atau bahkan menghilangkan al-
Qur’an. Sekalipun kita yakin bahwa usaha untuk mendiskreditkan al-Qur’an oleh
siapa pun apalagi menghalang-halangi pengamalannya pasti akan mengalami
kegagalan. Bukan semata-mata karena Allah berjanji akan memelihara kesucian
dan kemurnian al-Qur’an seperti terdapat dalam surat al-Hijr (15) ayat 9; tetapi
dikarenakan paa mufassir selalu meluruskan faham-faham yang bengkok tentang
al-Qur’an, dan membantah faham-faham yang keliru sert salah terhadap al-
Qur’an.
Di sinilah letak arti penting dari kebutuhan umat islam terhadap keberadaan
ilmu tafsir. Dan itulah sebabnya menngapa status hukum mempelajari ilmu tafsir
oleh para ulama dinyatakan wajib, paling sedikit wajib kifaah (kewajiban
kolektif). Atau bahkan wajib ‘ain bagi yang memiliki kemampuan dan
kesempatan untuk melakukannya. Berkenaaan dengan keistimewaan ilmu tafsir
dan kebutuhan terhadapnya, Muhammad Abd al-‘Azhim al-Zarqani, antara lain
berkomentar : “kemajuan masayarakat muslim dalam konteks perorangan maupun
6 Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, hal. 27
16
keutamaan mustahil bisa terbebaskan dari ikhtiar untuk mewujudkannya dari
kemudahan yang tidak ada gangguan dan dari hal-hal yang membingungkan
kecuali harus melibatkan berbagai petunjuk dari Allah dengan mempelajari al-
Qur’an berikut rangkaian susunan kata-katanya yang sangat bijaksana dan
mengindahkan semua unsur kebahagiaan untuk umat manusia. Dan yang sangat
penting lagi bahwa semua itu tidak mungkin diperoleh kecuali setelah memahami
al-Qur’an dan merenungkan maknanya. Dengan demikian, maka tafsi merupakan
kunci perbendaharaan dan warisan yang termuat dalam al-Qur’an yang diturunkan
untuk kemaslahatan manusia. Tanpa ilmu tafsir yang menjadi sarananya, mustahil
kita sampai kepada perbendaharaan dan simpanan (kekayaan) yang terdapat dalam
al-Qur’an.
Kewajiban mempelajari ilmu tafsir bisa didukung dengan kaidah ushul yang
menyatakan + perintah terhadap sesuatu, perintah pula terhadap
wasilah/sarananya.
Dihubungkan dengan tafsir al-Qur’an dan ilmu tafsir, jika memahami al-Qur’an
itu diperintahkan (wajib), maka mempelajari ilu tafsirnya juga menjadi wajib.
Sebab, mustahil bisa memahami al-Qur’an yang wajib itu tanpa ilmu tafsir.
17
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk
memahami kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup
sehari-hari memerlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil,
dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga
kehendak tujuan ayat al-Qur`an tersebut tepat sasarannya.
Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan
ayat-ayat al-Qur`an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas
karena hanya merubah arti dari bahasa yg satu ke bahasa yg lainnya. Sedangkan
istilah tafsir lebih luas dari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yg
berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas
dalam tafsir yg bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat
tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT
tersebut.
Tafsir, ta’wil dan terjemah ketiganya mempunyai persamaan dan juga
mempunyai perbedaan. Persamaannya adalah ketiganya merupakan sarana untuk
memahami al-Qur’an. Sedangkan perbedaannya sangat banyak yang
menjelaskannya.
18
DAFTAR PUSTAKA
Al Qaththan, Manna’ Khalil. 2006. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an (terjemahan
Mabaahits fii ‘Uluumil Qur`an). Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir.
Jakarta: Bulan Bintang.
Suma, Muhammad Amin. 2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Faizin, Nur. 2011. 10 Tema Kontroversial ‘Ulumul Qur’an. Jawa Timur: CV
Azhar Risalah.
LAMPIRAN
Pengertian Tafsir dalam Skema
Penegrtian Ta’wil dalam Sketsa
Pengertian Tafsir
Secara harfiah tafsir berarti
Secara Istilah
Ilmu tafsir ialah
menjelaskan
memerinci
menampakkan
menyingkap
Menerangkan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya
Ilmu yang membahas tentang teknik atau
cara menafsirkan al-Qur’an berikut hal-hal yang berkaitan
dengannya
Pengertian Ta’wil
Secara Etimologis Tempat kembali
Mutaqaddimin/klasik: menafsirkan pembicaraan
dan menerangkan maknanya atau menjelaskan substans yang dimaksud dari suatu
pembicaraan
Mutaakhirin mengalihkan makna lafal dari yang kuat (rajih) kepada makna yang dikuatkan (majruh) karena ada dalil yang mendukung
Secara Terminologi
kembali
Mengatur
Persamaan dan Perbedaan Ta’wil dan Tafsir dalam Sketsa
Tafsir dan
Ta’wil
persamaan
Sama-sama sebagai sarana untuk memahami al-Qur’an
Memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menjelaskan al-Quran
Tafsir lebih berorientasi pada riwayat dan makna lahir ayat
T’wil lebih mengacu kepada makna tersirat (isyarat) dan pemahaman
Perbedaan