tafsir fi zhilalil qur’an dan tafsir al-mishbah

85
Peran Perempuan Dalam Surah Al-Ahzab: 33 (Studi Muqarran Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah) SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1) dalam (Ilmu Al-Quran dan Tafsir) Fakultas Ushuluddin Oleh MELA ANGGRAINI NIM: UT160088 PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2020/2021

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

26 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

1

Peran Perempuan Dalam Surah Al-Ahzab: 33 (Studi Muqarran

Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata

Satu (S.1) dalam (Ilmu Al-Quran dan Tafsir)

Fakultas Ushuluddin

Oleh

MELA ANGGRAINI

NIM: UT160088

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

JAMBI

2020/2021

Page 2: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

2

Page 3: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

3

Page 4: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

4

Page 5: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

iii

MOTTO

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan

bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat,

tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud

hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu

sebersih-bersihnya”

Page 6: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

iv

PERSEMBAHAN

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT,

yang telah memberikan nikmat dan karunianya berupa kesehatan, kesempatan dan

kekuatan lahir batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna

memperoleh gelar strata satu (S1). Shalawat beriringan salam tak lupa pula

kukirimkan kepada baginda Rasulullah Saw.

karya ini ku persembahkan kepada orang-orang terkasih dan tersayang yang

telah banyak membantu, meluangkan waktu, dan memberikan motivasi kepada saya

sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dan juga merupakan rasa ucapan

terimakasih saya pada mereka. Mereka adalah:

Ayahku tercinta Siamad,

Ibundaku termulia Salama,

Suamiku tercinta Edo Laksamana

Kakandaku tersayang:

Eli,

Herawati S.Pd

Rita Astuti,

Hairul maknun,

Dan Riki Juanda.

Dosen Pembimbingku terhormat

Dr. H. Abd.Ghaffar, M.Ag

Dr. Masiyan, M.Ag

Dan semua Dosen fakultas Ushuluddin serta teman-teman dan rekan-rekan

seperjuangan.

Page 7: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

v

ABSTRAK

Penelitian ini menyatakan ayat yang memerintahkan hendaklah perempuan

tetap tinggal di rumah mereka, bukan berarti mereka harus tinggal dan menetap

selamanya dirumah sehingga tidak keluar sama sekali. Tetapi, yang dimaksud adalah

isyarat bahwa rumah mereka adalah fondasi pokok dan utama bagi kehidupan

mereka, Islam tidak melarang secara mutlak untuk perempuan keluar rumah. Akan

tetapi, saat perempuan keluar rumah harus memperhatikan beberapa syarat yang telah

ditetapkan oleh ajaran Islam, yaitu : 1) menutup aurat, 2) tidak bertabarruj, 3)

meminta isin suami (bagi yang sudah bersuami), 4) menundukkan pandangan, 5)

menghiasi diri dengan rasa malu. Selain itu, adanya peran perempuan di luar rumah,

seperti bekerja atau berkarir tidak boleh membuatnya mengabaikan rumah tangganya.

Penulis ingin menelisik lebih jauh mengenai penafsiran Sayyid Quthb dan M.

Quraish Shihab terhadap konsep wanita keluar rumah yang terkandung dalam surah

al-Ahzab ayat 33. keduanya memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda, berasal

dari negara yang berbeda, dan terdapat jarak yang cukup jauh antara masa hidup

keduanya. Maka penulis mengajukan penelitian secara mendalam dalam bentuk

skripsi yang berjudul “Peran Perempuan Dalam Surah Al-Ahzab: 33 (Studi Muqarran

Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah)”.

Pendekatan Penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan

(library research) dengan pendekatan fenomenologis, metode penelitian ini yaitu

metode muqarran, di mana penulis berupaya memaparkan data-data yang berkaitan

dengan biografi Sayyid Quthb dan M. Quraish serta menganalisis penafsiran

keduanya secara objektif.

Page 8: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT,

yang telah memberikan nikmat dan karunianya berupa kesehatan, kesempatan dan

kekuatan lahir batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul,

“Peran Perempuan Dalam Surah Al-Ahzab: 33 (Studi Muqarran Tafsir fi Zhilalil

Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah)”.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi

Muhammad Saw, seluruh keluarga beserta para sahabat beliau, yang senantiasa

istiqomah dalam memperjuangkan agama Islamn, semoga kita menjadi hamba-hamba

pilihan seperti mereka Amiin ya Rabbal ‘aalamin.

Selanjutnya penulis menyadari dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis

telah dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima

kasih yang tak terhingga kepada beberapa pihak yang telah membantu penulisan

skripsi ini sampai selesai. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada orang tua dan keluarga yang telah menjaga, mendidik,

menyayangi dan senantiasa mengsupport serta mendoakan penulis sehingga karya ini

dapat disesaikan.

Dan pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang

sebesar-besar kepada:

1. Bapak Dr. H. Abd.Ghaffar, M.Ag selaku pembimbing I yang telah banyak

memberikan kontribusi dan waktu demi terselesaikannya Penulisan Skripsi ini.

2. Bapak Dr. Masiyan, M.Ag selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan

saran dan waktu demi terselesaikannya Penulisan Skripsi ini.

3. Bapak Bambang Husni Nugroho, S.Th.I.,M.H.I selaku ketua jurusan Ilmu Al-

Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi.

Page 9: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

vii

4. Bapak Dr. Pirhat Abbas M,Ag selaku pembimbing akademik yang senantiasa

selalu memberi saran, semangat dan waktunya demi terselesaikannya Skripsi ini.

5. Bapak Dr. Halim, S.Ag.,M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi

Agama UIN STS Jambi.

6. Bapak Dr. Masiyan M.Ag selaku Wakil dekan bidang Akademik Fakultas

Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi.

7. Bapak Dr. Edy Kusnaidi, M. Fil.I. selaku Wakil dekan bidang Administrasi Umum

Perencanaan dan Keuangan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS

Jambi.

8. Bapak Dr. M.Led Al-Munir, M.Ag selaku Wakil dekan bidang Kemahasiswaan

dan bidang Kerjasama luar Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS

Jambi.

9. Prof. Dr. H. Suaidi Asy’ary, M.Ag. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sultan

Thaha Saifuddin Jambi.

10. Ibu Dr. Rofiqoh Ferawati, SE.M.EI, Bapak Dr. As’ad Isma, M.Pd, Bapak Bahrul

Ulum, S.Ag.,MA, selaku Wakil Rektor I, II, dan III Universitas Islam Negeri

Sultan Thaha Saifuddin Jambi.

11. Para Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN

STS Jambi.

12. Bapak Ibuk Karyawan dan Karyawati Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN

STS Jambi.

13. Ayah, Ibu, Suami, Kakak, Keluarga Besar, Sahabat-sahabat seperjuangan dan

teman-teman mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, yang senantiasa

memberikan dukungan dan semangat demi kelancaran penulisan Skripsi ini.

14. Kepada Sahabat KHAFS Muhammad, Lili Maria Asmi, Mesi Auliani, Zhuraida,

yang selalu menyelipkan doa-doa terbaik kalian untukku.

15. Sahabat Pleiades, Kurniasih Mufidayati, Lili, Ahfaz, Andria Bakti Mahendra dan

Zainal Abidin, Kalian luar biasa. Terimakasih untuk motivasi dan canda tawa yang

selalu menghiasi hari-hari perkuliahan.

Page 10: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

viii

16. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu baik

secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis demi kelancaran penulisan

Skripsi ini.

Semoga Allah SWT., membalas segala kebaikan dan bantuannya kepada penulis

selama ini. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna untuk

itu penulis mengharapkan masukan serta saran dari pembaca. Semoga karya tulis ini

dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan pada umumnya kepada seluruh pembaca.

Jambi, 15 September 2020

Penulis

Mela Anggraini

UT.160088

Page 11: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................

NOTA DINAS ..................................................................................................... i

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ................................... ii

MOTTO ............................................................................................................ iii

PERSEMBAHAN ............................................................................................. iv

ABSTRAK ......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi

DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................1

B. Permasalahan .....................................................................................5

C. Batasan Masalah ................................................................................5

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................6

E. Tinjauan Pustaka ................................................................................6

F. Metodologi Penelitian .........................................................................8

G. Sistematika Penulisan ........................................................................10

BAB II PERAN PEREMPUAN MENURUT ISLAM

A.Peran Perempuan Di Dalam Rumah.................................................. 12

B.Peran Perempuan Diluar Rumah .......................................................21

BAB III PENAFSIRAN SAYYID QUTHB DAN M. QURAISH SHIHAB

TERHADAP SURAH Al-AHZAB: 33

A.Biografi Sayyid Quthb ...................................................................... 26

1.Riwayat hidup ............................................................................ 26

2.Karya-karya Sayyid Quthb .......................................................... 29

3.Metode, Pendekatan, dan Corak Penafsiran ................................ 31

Page 12: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

x

B. Biografi M.Quraish Shihab .............................................................. 32

1.Riwayat hidup M.Quraish Shihab ............................................... 32

2.Karya-karya M.Quraish Shihab................................................... 33

3.Metode dan Corak Penafsiran .................................................... 36

C. Penafsiran Terhadap Surah Al-Ahzab Ayat 33 ............................... 37

1. Penafsiran Sayyid Qutbh Terhadap Surah Al-Ahzab Ayat 33 ... 37

2. Penafsiran M.Quraish Shihab Terhadap Surah Al-Ahzab : 33 .. 46

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENAFSIRAN SAYYID QUTTHB

DAN QURAISH SHIHAB TERHADAP Q.S. AL-AHZAB : 33

A.Perbandingan Penafsiran Sayyid Qutthb dan Quraish Shihab Terhadap

Q.S. Al-Ahzab : 33 ........................................................................... 54

1. Segi Metodologi .......................................................................... 54

2. Segi Substansi Penafsiran terhadap peran perempuan dalam Q.S

Al-Ahzab : 33 ................................................................................... 56

B. Konseptualisasi Pemikiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab tentang

Peran Perempuan Masa Kini ............................................................ 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................................65

B. Rekomendasi ....................................................................................66

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 67

CURRICULUM VITAE ................................................................................... 68

Page 13: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Alfabet

Arab Indonesia Arab Indonesia

ṭ ط ’ ا

ẓ ظ B ب

‘ ع T ت

Gh غ Th ث

F ف J ج

Q ق ḥ ح

K ك Kh خ

L ل D د

M م Dz ذ

N ن R ر

H ه Z ز

W و S س

’ ء Sh ش

Y ي ṣ ص

Page 14: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

xii

ḍ ض

B. Vokal dan Harkat

Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia

ȋ اي Ā آ A ا

Aw ا و ȋ اي I ا

Ai ا ي Ū ا و U ا

C.Syaddah atau Tasydid

Syaddah dilambangkan dengan tanda (-), dalam alih aksara ini dilambangkan

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi hal itu tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah huruf

syamsiyyah.

Page 15: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an membawa revolusi terbesar dalam memberikan martabat paling

terhormat kepada perempuan, karena perempuan di dalam Islam merupakan sosok

terhormat dengan hak-hak yang sangat istimewa. Ketika kitab-kitab suci selain al-

Qur’an tidak memberikan porsi secara benar mengenai hak-hak wanita, al-Qur’an

memberikan ruang yang sedemikian lebar dalam membincangkan hak-hak mereka.

Sebagai kitab suci, al-Qur’an sangat peduli dalam memberikan arahan hidup, baik

kepada kaum pria, maupun kaum wanita.

Al-Qur’an sama sekali tidak menjadikan wanita sebagai makhluk nomor

dua, wanita adalah makhluk yang setara dengan laki-laki. Dalam pandangan al-

Qur’an:

٩٧ ... وة طيبة حي ى وهو مؤمن فلنحيينه من عمل صالحا من ذكر او انث

“Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun wanita

dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya

kehidupan yang baik...”. (QS. Al-Nahl: 97).1

Ini adalah suatu deklarasi kepada dunia bahwa wanita dalam Islam memiliki

kesempatan yang sama pula dalam menggapai kebaikan hidup di dunia melalui

amal saleh, kerja produktif, aksi positif dan gerakan yang dinamis dalam

membangun dunia sebagai khalifah Allah.

Kehadiran Islam telah membalikkan pandangan negatif manusia terhadap

wanita kepada pandangan positif dan dari pandangan pelecehan kepada pandangan

penghormatan. Islam menganggap bahwa pria dan wanita adalah partner/mitra

dalam hidup ini, di mana Allah berfirman:

٧١ ...ء بعض ت بعضهم اوليا والمؤمنون والمؤمن

1Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang:

Karya Toha Putra Semarang, 2002), 378-379.

1

Page 16: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

2

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka

adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain...”. (QS. Al-Taubah: 71).2

Kendati Islam tidak mendiskriminasi kedudukan antara perempuan dan laki-

laki, namun dalam realitanya, kedudukan keduanya dianggap sebagai dua roda

yang semuanya harus bergerak secara serentak dengan tugas dan posisi mereka

masing-masing. Perhatian Islam yang demikian tinggi pada wanita agar tidak

keluar rumahnya secara bebas terbukti dengan tidak diwajibkannya mereka

melakukan salat Jumat dan shalat berjamaah.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa di antara teks-teks al-Qur’an yang

berbicara tentang perempuan sering dipahami orang-orang dengan cara yang

keliru, sehingga menghasilkan kesimpulan yang keliru pula. Di antaranya adalah

tentang peran sosial perempuan dalam aktivitas muamalah dalam masyarakat. Ada

asumsi yang berkembang dalam masyarakat bahwa perempuan, menurut agama,

tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan sosial, peran perempuan hanya

sebatas dalam wilayah domestik.3

Sehingga masalah yang timbul saat ini berkaitan dengan keterlibatan wanita

dalam dunia profesi (karier) yang ruang geraknya berada pada sektor publik,

sedangkan di sisi lain wanita memiliki peran sebagai ra’iyyah fi bait zaujiha

(penanggung jawab dalam masalah-masalah internal rumah tangga), cukup

menimbulkan pendapat yang kontroversial di kalangan cendekiawan muslim.

Berdasarkan hal tersebut, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama-.

Ada yang menyatakan pandangan bahwa wanita harus menetap di dalam rumah,

sementara pandangan lain menyatakan bahwa wanita mempunyai kebebasan untuk

berperan, baik di dalam maupun di luar rumah. Perbedaan pendapat ini terjadi

karena belum dipahaminya teks ayat al-Qur’an yang menurut sebagian orang yang

masih bias gender.

2Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang:

Karya Toha Putra Semarang, 2002), 266. 3Tim Penyusun, Kedudukan dan Peran Perempuan: Tafsir Al-Qur’an Tematik (Jakarta: Lajnah

Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2009), 126-127.

Page 17: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

3

Adapun di antara ayat yang dapat mengantarkan kepada kesimpulan bahwa

seorang perempuan, atau lebih khususnya adalah istri, harus tetap tinggal di rumah

adalah surah al-Ahzab ayat 33. Allah berfirman:

ه وة واطعن الل تين الزك وة وا ى واقمن الصل وقرن في بيوتكن ولا تبرجن تبرج الجاهلية الاول

٣٣ راه ليذهب عنكم الرجس اهل البيت ويطهركم تطهي انما يريد الل ورسوله

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan

(bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah

salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya

Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait

dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS. Al-Aḥzāb: 33).4

Dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Adzhim, Ibnu Katsir berpendapat bahwa

sebagai wanita harus istiqamah berada di rumah kecuali ada hajat syar’i seperti

sholat dan lain-lain yang mana diperbolehkannya wanita keluar rumah dengan

berbagai ketentuan. Ada ketentuan syariat seperti saat shalat yang dibolehkan utuk

keluar bagi para perempuan.

Sayyid Quṭb menyatakan bahwa ayat tersebut bukan larangan atas wanita

untuk meninggalkan rumah, ayat tersebut memberikan isyarat bahwa rumah

tangga adalah tugas pokok para istri, sedangkan tempat selainnya adalah tempat

untuk ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.5

Allah berfirman: tetaplah kamu tinggal di rumah kamu kecuali jika ada

keperluan untuk keluar yang dapat dibenarkan oleh adat atau agama dan berilah

perhatian yang besar terhadap rumah tangga kamu dan janganlah kamu

bertabarruj, yakni berhias, dan bertingkah laku seperti tabarruj jahiliah yang lalu

dan laksanakanlah secara bersinambung serta dengan baik dan benar ibadah shalat,

baik yang wajib maupun yang sunnah, dan tunaikanlah secara sempurna kewajiban

zakat serta taatilah Allah dan Rasul-Nya dalam semua perintah dan larangan-Nya.

4Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 597. 5Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an (Kairo: Dar al-Syuruq, 2003) V, 2859.

Page 18: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

4

Sesungguhnya Allah dengan tuntunan-tuntunan-Nya ini sama sekali tidak

berkepentingan tetapi tidak lain tujuannya hanya bermaksud hendak

menghilangkan dari kamu dosa dan kekotoran serta kebejatan moral, hai Ahl al-

Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.6

Disisi lain, longgarnya aturan yang membolehkan perempuan untuk keluar

rumah seringkali dimanfaatkan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.

Mereka mengabaikan aturan-aturan atau syariat yang telah ditetapkan oleh agama.

Seperti keluar rumah tanpa menutup aurat, atau mereka yang berjilbab namun

tidak sesuai syariat, pergi tanpa disertai mahram, bahkan dengan sengaja pergi

dengan lawan jenis yang bukan mahram. Oleh karena itu penting sekali bagi

perempuan untuk mengetahui hal-hal yang terkait tentang bagaimana seharusnya

adab perempuan keluar rumah.

Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin menelisik lebih jauh mengenai

penafsiran Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab terhadap peran perempuan yang

terkandung dalam surah al-Ahzab ayat 33, yang mana dewasa ini adanya

keterlibatan perempuan dalam aktivitas muamalah dalam masyarakat. Salah satu

diantaranya yaitu terlibatnya perempuan dalam dunia profesi. Sedangkan dalam

Al-Qur’an surah Al-Ahzab yang penulis teliti ini terdapat teks yang

memerintahkan perempuan untuk tetap tinggal dirumahnya. Berdasarkan hal

tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama, ada yang

menyatakan pandangan bahwa perempuan harus menetap dan berdiam diri di

rumah, sementara pandangan lain menyatakan bahwa perempuan memiliki

kebebasan untuk berperan di luar rumah. Adapun alasan penulis mengambil

penafsiraan Sayyid Quthb dan Quraish Shihab karena keduanya menafsirkan Al-

Qur’an dengan corak Adabi Ijtima;i, dimana corak ini adalah corak yang lahir

sebagai akibat dari perkembangan dan fenomena yang muncul pada zaman

modern. Salah satunya adalah menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan

6 M.Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbah (Tangerang: Pt.Lantera Hati,2016) 446

Page 19: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

5

realitas sosial untuk memecahkan berbagai problematika yang dihadapi oleh umat

Islam, yang dalam hal ini maraknya yang terjadi pada perempuan dalam kehidupan

bermasyarakat, dimana perempuan terlibat dalam dunia profesi atau yang biasa

disebut dengan wanita karir. Adapun kedua mufassir ini memiliki latar belakang

keilmuan yang berbeda, berasal dari negara yang berbeda, dan terdapat jarak yang

cukup jauh antara masa hidup keduanya sehingga penulis tertarik untuk

membandingkan pendapat diantara keduany.. Maka penulis mengajukan penelitian

secara mendalam dalam bentuk skripsi yang berjudul “Peran Perempuan Dalam

Surah Al-Ahzab: 33 (Studi Muqarran Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-

Mishbah)”.

B. Rumusan Masalah

Pokok permasalahan yang penulis angkat dari latar belakang di atas adalah:

“Bagaimana penafsiran Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab terhadap peran

perempuan dalam surah al-Ahzab ayat 33?”. Adapun rumusan masalah dalam

penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana peran perempuan menurut Islam ?

2. Bagaimana penafsiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab dalam menafsirkan

Q.S Al-Ahzab : 33 ?

3. Bagaimanan analisis perbandingan terhadap Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir

Al-Mishbah mengenai peran perempuan dalam Q.S Al-Ahzab : 33 ?

C. Batasan Masalah

Penulis merasa perlu untuk membatasi masalah dalam penelitian ini guna

menghindari melebarnya fokus penelitian yang akan penulis bahas. Karenanya

dalam penelitian ini, penulis hanya akan membahas peran perempuan dari ayat 33

surah al-Ahzab.

Page 20: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

6

D. Tujuan & Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin penulis capai dari

penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui peran perempuan menurut Islam.

b. Untuk mengetahui penafsiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab dalam

menafsirkan Q.S Al-Ahzab : 33.

c. Untuk mengetahui perbandingan Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-

Mishbah mengenai peran perempuan dalam Q.S Al-Ahzab : 33.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang penulis harapkan dari penelitian ini di antaranya

adalah:

a. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap khazanah keilmuan,

khususnya yang berkaitan dengan kajian ilmu al-Qur’an dan Tafsir.

b. Memberikan pemahaman tentang bagaimana Islam dan para mufasir

memandang konsep keluar rumah bagi perempuan.

c. Sebagai pelengkap persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu

(S.I) pada jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin dan

Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

E. Tinjauan Pustaka

Penulis telah menelusuri beberapa karya ilmiah yang sekiranya berkaitan

dengan konsep keluar rumah bagi perempuan yang terdapat pada surah al-Ahzab

ayat 33, di antaranya adalah:

1. Skripsi berjudul Hak Keluar Rumah bagi Wanita Menurut Surat Al-Ahzab Ayat

33 (Studi Istinbath Hukum Ibnu Katsir dan At-Thabathaba’i) yang ditulis oleh

Nur Hanafi pada tahun 2010. Skripsi ini berusaha menguraikan metodologi

istinbath hukum Ibnu Katsir dan At-Thabathaba’i tentang hak keluar rumah

bagi wanita dalam sruah al-Ahzab ayat 33 serta hasil istinbath keduanya.

Page 21: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

7

Sedangkan penelitian yang saya buat hanya membandingkan penafsiran antara

dua mufassir tanpa melakukan istinbath hukum.7

2. Skripsi berjudul Wanita Karier Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-

Mishbāh karya Evi Lathifatun Nisa’ yang ditulis pada tahun 2017. Skripsi ini

berusaha mengetahui cakupan pemaknaan terhadap term wanita karier apabila

di tarik ke dalam konteks masyarakat Indonesia melalui pandangan M. Quraish

Shihab dalam Tafsir al-Mishbah.8 Skripsi ini tidak membatasi ayat yang hendak

dibahasnya terkhusus pada surah al-Ahzab ayat 33, melainkan hanya pada ayat-

ayat yang memiliki term wanita karier. Adapun pada penelitian saya membatasi

ayat yang akan dibahas, yaitu hanya surah Al-Ahzab : 33, sedangkan

pandangan mufassir yang akan dibahas yaitu Sayyid Quthb dan Quraish Shihab.

3. Jurnal karya Naili Fauziah Luthfiani berjudul Hak-hak Perempuan dalam Surat

Al-Ahzab Ayat 33: Sebuah Pendekatan Hermeneutik, jurnal ini membahas

tentang hak kiprah sosial perempuan di luar urusan domestik rumah tangga

dengan metodologi hermeneutika.9 Penelitian ini membahas tentang hak-hak

diluar kewajibannya terhadap rumah tangga. Sedangkan penelitian yang akan

saya tulis layaknya memberi tambahan tentang bagaimana baiknya konsep

perempuan dalam berkegiatan di luar rumah.

Berdasarkan tiga penelitian yang telah dilakukan di atas, penelitian yang

hendak penulis lakukan berbeda daripada ketiganya. Penelitian yang hendak

penulis lakukan adalah menelisik lebih dalam penafsiran Sayyid Quthb dan M.

Quraish Shihab, tanpa membahas istinbath hukum, serta tidak menggunakan

metode tematik ataupun metodologi hermeneutika. Selain itu, penulis hanya

7 Nur Hanafi, “Hak Keluar Rumah bagi Wanita Menurut Surat Al-Ahzab Ayat 33 (Studi

Instinbath Hukum Ibnu Katsir dan At-Thabathaba’i)”, Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,

2010), ii. 8 Elvi Lathifatun Nisa’, “Wanita Karier Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-

Mishbāh”, Skripsi (Tulungagung: IAIN Tulungagung, 2017), xiii. 9 Naili Fauziah Lutfiani, “Hak-hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33: Sebuah

Pendekatan Hermeneutik”, Jurnal eL-Tarbawi, X, No.2 (2017), 64.

Page 22: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

8

menekankan pada konsep keluar rumah bagi perempuan dalam surah al-Ahzab

ayat 33.

F. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Adapun

metode penelitian ini yaitu metode muqarran, di mana penulis berupaya

memaparkan data-data yang berkaitan dengan biografi Sayyid Quthb dan M.

Quraish serta menganalisis penafsiran keduanya secara objektif.

Adapun metode muqarran dilihat dari aspek sasaran (objek) bahasa terdapat

tiga aspek yang dikaji, yaitu :

a. Perbandingan ayat dengan ayat.

b. Perbandingan ayat dengan hadits.

c. Perbandingan pendapat para mufassir.

Dalam penelitian ini, penulis berupaya memaparkan pendapat Sayyid Quthb

dan Quraish Shihab dalam menafsirkan Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 33. Artinya,

aspek yang penulis gunakan adalah aspek perbandingan pendapat para mufassir.

Adapun langkah-langkah dalam pembahasan perbandingan penafsiran para

mufassir ini adalah :

a. Menghimpun atau menentukan ayat yang hendak dijadikan objek studi.

b. Melacak berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat

tersebut.

c. Membandingkan pendapat-pendapat para mufassir untuk mendapatkan

informasi berkenaan dengan identitas dan pola berfikir dari masing-masing

mufassir serta kecenderungan-kecenderungan dan aliran-aliran yang mereka

anut.

Page 23: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

9

2. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data-data berupa berbagai sumber

tertulis seperti buku, kitab, jurnal dan sebagainya. Data-data yang digunakan

dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu:

a. Data primernya adalah kitab Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb dan

Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.

b. Data sekunder adalah sumber data yang merupakan referensi penunjang

maupun pelengkap terhadap data primer. Dalam penelitian ini yang menjadi

sumber data pendukung antara lain, seperti internet, jurnal, artikel dan buku-

buku yang berkaitan dengan penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah

teknik dokumen, yang dilakukan dengan:

a. Menghimpun data-data yang berkaitan dengan pokok persoalan penelitian.

b. Menelaah data-data yang terkumpul secara literal.

c. Memilah dan mengklasifikasikan data-data yang telah ditelaah sesuai dengan

sub bahasan masing-masing.

4. Metode Analisis Data

Data-data dokumen yang telah diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis

dengan dua metode analisis, yaitu:

a. Analisis historis, untuk mengungkap biografi Sayyid Quthb dan M. Quraish

Shihab serta latar belakang keilmuan dan sosial keduanya.

b. Analisis isi, untuk menganalisis penafsiran Sayyid Quthb dalam kitab tafsir

keduanya.

Page 24: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

10

G. Sistematika Penulisan

Agar penelitian ini tersusun secara sistematis, peneliti merumuskan

sistematika penulisan kedalam beberapa bab, antara lain sebagai berikut:

Bab satu membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,

batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode

penelitian serta sistematika penulisan.

Bab dua berisi tentang Peran Perempuan Menurut syari’at Islam. Dimana

pada bab ini akan menguraikan bagaimana peran perempuan di dalam dan di luar

rumah.

Bab tiga membahas tentang biografi Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab,

yang meliputi latar belakang, karya-karyanya, metode dan corak penafsiran. Serta

membahas tentang penafsiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab terhadap Q.S Al-

Ahzab : 33.

Bab empat berisi tentang analisis penulis terhadap perbandingan penafsiran

Sayyid Quthb dan Quraish Shihab mengenai Q.S. Al-Ahzab : 33, serta membahas

tentang konseptualiasasi Pemikiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab tentang

Peran Perempuan Masa Kini

Bab lima berisi penutup penelitian yang terdiri dari dua sub-bab yaitu

kesimpulan dan rekomedasi penelitian.

Page 25: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

11

BAB II

PERAN PEREMPUAN MENURUT ISLAM

Sehubungan dengan perbedaan laki-laki dan perempuan yang memilki

perbedaan kodrati dan nonkodrati, maka perempuan mempunyai beberapa peran

dalam hidupnya, terutama dalam lingkungan keluarga (peran domestik). Yaitu

perempuan sebagai istri (pendamping suami), penggelola rumah tangga, sebagai ibu

(penerus keturunan dan pendidikan anak), pencari nafkah tambahan, dan sebagai

warga masyarakat.10

Pada umumnya budaya di Indonesia, perempuan mempunyai peran ganda.

Beberapa peran dalam keluarga yang sifatnya nonkodrati, hampir seluruhnya

dibebankan kepada perempuan. Berbeda dengan laki-laki, dibalik kodrat yang

diembannya, perempuan tetap tidak dapat meninggalkan peran domestiknya.

Sehingga kuatnya peran perempuan dengan tugas utama dan pertama disektor

domestik, membuat orang percaya sepenuhnya bahwa semua peran domestik itu

memang garis takdir perempuan atau kodrat yang telah diciptakan dan ditentukan

Tuhan.11

hubungan suami dan istri adalah hubungan yang berdasarkan cinta dan kasih

sayang, bukan hubungan menindas, tidak ada yang mendominasi dan didominasi

yang dapat menciptakan kesenjangan diantara keduanya. Lebih ditekankan pada

kebersamaan antar anggota-anggotanya, hierarki dan kewenangan yang jelas antar

anggota-anggota, hak dan kewajiban yang seimbang sesuai dengan norma-norma

10 Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik Dan Kontemporer,

Dalam Nurul Ilmah Nafi’ah, Peranan Perempuan Dalam Rumah Tangga Menurut Al-Qur’an Surat

Al-Nisa’ Ayat 34 (Studi Komparasi Tafsir Al-Sya’rawi Karya Muhammad Mutawalli Al-Sya’rawi Dan

Tafsir Ibn Kathir Karya Ibn Kathir), (Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya, 2018), 61. 11 Mariatul Qibtiyah Harun, “Rethinking Peran Perempuan, Feminisme Dalam Kajian

Tafsir Al-Qur’an Klasik Dan Kontemporer, Dalam Nurul Ilmah Nafi’ah, Peranan Perempuan Dalam

Rumah Tangga Menurut Al-Qur’an Surat Al-Nisa’ Ayat 34 (Studi Komparasi Tafsir Al-Sya’rawi

Karya Muhammad Mutawalli Al-Sya’rawi Dan Tafsir Ibn Kathir Karya Ibn Kathir), (Tesis

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018), 4.

11

Page 26: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

12

agama dan kepatutan budaya. Istri juga memiliki hak bermasyarakat dan melakukan

aktifitas lain di luar kehidupan rumah tangganya. Hak untuk bermasyarakat dan

beraktifitas di ruang publik ini tidak serta merta istri lalai terhadap kebutuhan

keluarganya. Oleh karenanya perempuan haruslah mengetahui secara betul peran-

perannnya baik peran yang di dalam rumah terhadap tugas rumah tangganya, maupun

peran di luar rumah terhadap tugas dalam berkarir maupun bermasyarakat. Sehingga

adanya keseimbangan terhadap kodrat perempuan dan tidak mengabaikan tugas yang

utama dimana rumah tangga adalah kewajiban utama bagi perempuan.

A. Peran Perempuan Di Dalam Rumah

Islam sebagai sebuah ajaran memposisikan perempuan pada tempat yang

mulia. Tidak ada dikotomi dan diskriminasi. Namun adanya kesetaraan gender saat

ini, bukan semerta-merta untuk mendukung perempuan untuk fokus pada tugas di

luar rumah dan mengabaikan perannya dalam rumah tangga. Peran dan tugas

perempuan dalam keluarga secara garis besar dapat dibagi menjadi peran

perempuan sebagai istri, sebagai ibu, sebagai anak (jika belum menikah), dan

anggota masyarakat.12 Agar dapat melakukan peran atau tugasnya dengan baik,

maka perlu dihayati benar mengenai sasaran dan tujuan dari peran itu dan harus

menguasai cara atau teknik memainkan perannya.

Islam merupakan agama yang sangat menghormati dan menghargai

perempuan dan laki-laki di hadapan Allah secara mutlak. Islam menghapus tradisi

Jahiliyah yang begitu diskriminatif terhadap perempuan, dalam Islam laki-laki dan

perempuan dianggap sebagai makhluk Allah yang setara, bebas bertasarruf,

bahkan satu sama lain saling melengkapi dan membutuhkan. Beberapa ayat Al-

Qur’an menjelaskan bagaimana kedekatan hubungan laki-laki dan perempuan

12 Sofia Retnowati Noor, Tinjauan Psikologis Peran Perempuan dalam Keluarga Islami,

dalam Andi Bahri S, Perempuan Dalam Islam (Mensinerjikan Antara Peran Sosial Dan Peran Rumah

Tangga), (Jurnal Al-Maiyyah, Volume 8 No. 2, 2015), 189.

Page 27: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

13

(atau perempuan dengan laki-laki), misalnya dalam ikatan perkawinan.

Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Rum : 21.

[D]an di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu

isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa

tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

kaum yang berfikir.

ayat di atas, menginformasikan betapa dekatnya hubungan antara laki-laki

dan perempuan berdasarkan asal kejadian, bahwa perempuan dan laki-laki berasal

dari asal yang sama, bahkan diri yang sama. Karena itu adanya rasa saling

membutuhkan antara laki-laki dan perempuan dan adanya kecenderungan untuk

hidup bersama, hal ini merupakan fitrah yang telah ada sejak awal penciptaan

manusia. Ayat ini juga mengisyaratkan kesetaraan dalam hak mendapatkan kasih

sayang dan kedamaian dengan jalan saling menerima. Tuhan tidak menciptakan

yang satu untuk mengeksploitasi yang lain, dan kebahagiaan yang satu di atas

penderitaan yang lain, tetapi justeru dengan saling mengasihi dan menyayangi,

mereka akan mendapatkan kedamaian.13

Sedangkan pekerjaan yang dikerjakan oleh perempuan dalam rumah tangga

atau keluarga begitu banyak ragamnya, mulai mengatur keuangan, memasak,

kepiawaian belanja yang kadang-kadang harus menyiapkan beberapa menu sesuai

dengan masing-masing selera jumlah anggota keluarga, merawat dan menjaga

kebersihan dan keasrihan lingkungan rumah, merawat, menjaga dan merawat serta

mendidik anak, serta memenuhi keperluan keluarga yang lain.14

Sebagai seorang istri, perempuan hendaknya menaati dan berbakti kepada

suami, berusaha untuk mencari keridhaan serta memberikan kebahagiaan pada

suami meskipun berada dalam kemiskinan maupun kesulitan. Istri sebagai teman

hidup artinya adanya kedudukan yang sama. Istri dapat menjadi teman yang dapat

13 Agustin Hanapi, Peran Perempuan Dalam Islam, (Gender Equality: Internasional Journal

of Child and Gender Studies Vol. 1, No. 1, 2015), 17. 14 Ibid.

Page 28: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

14

diajak berdiskusi tentang masalah yang dihadapi suami. Sehingga apabila suami

mempunyai masalah yang cukup berat, tapi istri mampu memberikan suatu

sumbangan pemecahannya maka beban yang dirasakan suami berkurang. sebagai

teman mengandung pengertian jadi pendengar yang baik. dalam lingkungan

keluarga, beberapa ayat al-Qur’an menjelaskan bahwa perempuan mempunyai

peran penting dalam mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah, baik

peran sebagai isteri maupun sebagai ibu bagi anak-anaknya.

Dalam pandangan Islam perempuan adalah partner atau mitra bagi laki-laki

dalam membangun dan mendayung bahtera kehidupan, sebagaimana firman Allah

swt dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 187; “…perempuan adalah pakaian bagimu dan

kamu adalah pakaian bagi mereka...”. Pada ayat tersebut tergambar dengan jelas

bahwa perempuan berperan sebagai istri pendamping suami bukan pembantu

rumah tangga. Kedudukan perempuan pada ayat tersebut sejajar dengan kaum

laki-laki.

Menurut pandangan Islam laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan

kedudukan yang sama, kecuali beberapa hal yang khas bagi perempuan atau laki-

laki karena adanya dalil syar’i dan untuk kepentingan mereka semua. Antara laki-

laki dan perempuan keduanya saling melengkapi dan tidak bertentangan. Laki-laki

bertugas untuk mencari nafkah, memelihara istri dan anak-anaknya serta

menyediakan kebutuhan hidupnya, sedangkan perempuan bertugas untuk

memelihara rumah tangga, hamil, melahirkan, mendidik anak dan menjadi tempat

berteduhnya suami guna mendapatkan sakinah dan ketenangan. Ketika suami

datang dari kerja dan kelelahan setelah bersusah-payah mencari nafkah, disambut

oleh sang istri dengan senyuman dan kasih-sayang yang menghapus kepenatan

kerjanya, masing-masing mendapatkan apa yang dibutuhkannya.15

Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami, bahwa suami isteri merupakan

pasangan yang saling melengkapi antara satu sama lain. Secara naluri

15 Retoliah, Perempuan Dalam Manajemen Keluarga Sakinah, MUSAWA, Vol. 7 No.1,

2015, 7.

Page 29: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

15

kemanusiaan keduanya saling membutuhkan terutama dalam melakukan aktivitas

reproduksi (pasangan secara biologis) demikian pula dalam hal-hal yang bersifat

psikologis (pasangan secara psikologis).16

1. Menjadi pasangan suaminya secara biologis. Tidak dapat diingkari bahwa salah

satu kebutuhan biologis manusia adalah melakukan aktivitas reproduksi. Pada

aktivitas ini Allah swt meletakkan kenikmatan agar manusia senang

melakukannya. Dengan begitu generasi manusia tidak punah dan tetap

berkelanjutan dalam rangka memakmurkan bumi. Istri harus menerima peran

ini dan menjadi wadah dalam rangka melanjutkan dan memelihara keturunan

2. Menjadi pasangan suaminya secara psikologis. Peran lain perempuan sebagai

istri adalah menjadi pasangan suaminya dalam hal-hal yang bersifat psikologis.

Istri yang baik (shalihah) adalah istri yang mampu mengaktualisasikan dirinya

dengan baik, sehingga suaminya senantiasa memperoleh kesenangan secara

psikologis. Istri yang menjalankan perannya dengan baik sehingga menjadi istri

shalehah bagi suaminya diumpamakan seperti mahkota emas di atas kepala raja,

sementara istri yang tidak menjalankan perannya laksana beban berat di atas

punggung kakek tua.

Dengan demikian peran perempuan sebagai istri harus mampu

memposisikan diri sebagai isteri yang dapat menjadi pasangan secara biologis

maupun psikologis bagi suaminya, dapat bertindak sebagai teman yang dapat

diajak berdiskusi tentang masalah yang dihadapi, menjadi pendengar yang baik,

mengingatkan suami jika melakukan kekhilafan, memberikan motivasi dalam

berbagai situasi. Yang paling utama adalah menjadi istri yang shalehah yang

senantiasa memelihara dirinya, mentaati dan menghormati suaminya, mampu

bersikap, bertutur kata dan bertindak sesuai dengan syariat Islam.17

Keluarga merupakan suatu lembaga sosial yang paling besar perannya bagi

kesejahteraan sosial dan kelestarian anggota-anggotanya terutama anak-anaknya.

16 Ibid., 8. 17 Ibid., 10.

Page 30: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

16

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang terpenting bagi perkembangan dan

pembentukan pribadi anak dan merupakan wadah tempat bimbingan dan latihan

anak sejak kehidupan mereka yang sangat muda sehingga dapat menempuh

kehidupannya dengan baik kelak.18

Tugas perempuan sebagai ibu bukanlah hal yang gampang, sebab ada sederet

peran yang harus dimainkan oleh seorang ibu dalam rumah tangga. Dalam sebuah

artikel dijelaskan bahwa terdapat tujuh peran penting ibu dalam keluarga, yakni :

sebagai manajer, sebagai teacher, sebagai chef/coock, sebagai nurse, sebagai

accountant, sebagai design interior, sebagai dokter.19

1. Peran ibu sebagai manajer, dalam hal ini ibu disibukkan dengan urusan

memanej keluarga mulai dari menyusun perencanaan tentang berbagai hal,

antara lain; penggunaan anggaran rumah tangga, pendidikan, membagi-bagi

tugas, mengkordinir, mengawasi, mengevaluasi

2. Peran ibu sebagai teacher : ibu bertanggung jawab mendidik, membimbing,

melatih putra putrinya agar menjadi manusia berbudi pekerti memiliki akhlaqul

karimah.

3. Peran ibu sebagai chef : ibu sebagai chef/cook menuntut seorang ibu memiliki

keterampilan dalam mengolah makanan dengan menu yang bervariasi sesuai

dengan selera masing-masing anggota keluarga dengan mempertimbangkan

ketersediaan fasilitas (alat-alat masak) serta ketersediaan bahan-bahan baku

yang akan diolah.

4. Peran ibu sebagai accountant : ibu harus memiliki kemampuan dalam

mengelola anggaran pendapat dan belanja keluarga dengan sebaik-baiknya.

Merencanakan dengan matang penggunaan anggaran pendapatan keluarga

seefisien mungkin, sehingga semuanya dapat terpenuhi kebutuhan selama satu

bulan dari mulai belanja rutin, kebutuhan pokok, biaya listrik, PDAM, telephon,

18 Andi Bahri S, Perempuan Dalam Islam (Mensinerjikan Antara Peran Sosial Dan Peran

Rumah Tangga), (Jurnal Al-Maiyyah, Volume 8 No. 2, 2015, 190. 19 Retoliah, Perempuan Dalam Manajemen Keluarga Sakinah…, 11.

Page 31: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

17

biaya pendidikan, biaya tak terduga. Biaya-biaya tersebut harus dipisahkan

supaya tidak terjadi overlapping dalam penggunaannya. Dalam penggunaan

anggaran harus sesuai dengan posnya dan diupayakan tetap terkendali melalui

pengawasan yang ketat (pengendalian diri ) sehingga tidak terjadi besar pasak

dari tiang.

5. Peran ibu sebagai nurse : ibu sebagai perawat harus mencurahkan kasih

sayangnya dengan setulus hati dalam merawat buah hatinya, memandikan,

menyuapi makanan, menyiapkan pakaian, menidurkannya, dll.

6. Peran ibu sebagai design interior : seorang ibu harus trampil dalam menata

ruang keluarganya, seindah dan senyaman mungkin sehingga anggota keluarga

betah tinggal dalam rumahnya. Penempatan fasilitas rumah sesuai dengan

fungsinya masing-masing, ibu harus mengupayakan sedemikian rupa agar tidak

terjadi penumpukan barang di satu tempat.

7. Peran ibu sebagai Dokter : ibu sebagai dokter harus berupaya menjaga putra

putrinya memelihara kesehatan, menjaga dari hal-hal yang bisa mengancam

kesehatan misalnya menemani anak bermain, sehingga terkontrol makanan

yang masuk dalam tubuhnya, lingkungannya steril atau tidak.

Berdasarkan hasil pengamatan tentang peran ibu tersebut dapat dipahami

bahwa di antara sekian peran tersebut, yang paling utama adalah peran dan

tanggung jawab mendidik anak-anaknya, sebab pertama kali anak-anak

memperoleh pendidikan adalah dalam lingkungan keluarga. Dengan demikian ibu

dituntut untuk memberikan perhatian sepenuhnya dalam merawat dan mendidik

anaknya, terutama di awal kelahirannya.20 Mendidik anak merupakan tugas yang

mulia yang diamatkan Allah SWT pada orangtua agar anak-anaknya tidak

terjerumus dalam lembah kesesatan, seperti yang difirmankan Allah SWT dalam

QS At-Tahrim ayat 6:

20 Ibid., 12-13.

Page 32: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

18

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api

neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-

malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang

diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang

diperintahkan”. (At-Tahrim: 6).

M. Quraisy Shihab menafsirkan ayat tersebut bahwa dakwah dan pendidikan

harus bermula dari rumah. Ayat tersebut walaupun secara redaksional tertuju

kepada kaum pria (ayah), tetapi bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat

ini tertuju kepada perempuan dan lelaki (ibu dan ayah), ini berarti bahwa kedua

orang tua bertanggung jawab terhadap anak dan juga pasangan masing-masing

sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas perbuatannya.21

Adapun peran seorang anak perempuan terhadap orang tuanya dalam rumah

yaitu berbuat baik dan berbakti kepada kedua orangtua, membantu mereka dalam

mengurus rumah seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci dan

sebagainya. Para Ulama’ Islam sepakat bahwa hukum berbuat baik (berbakti) pada

kedua orangtua hukumnya adalah wajib, hanya saja mereka berselisih tentang

ibarat-ibarat (contoh pengamalan) nya.22 Sebenarnya berbakti kepada kedua orang

tua tidak hanya saat di rumah, namun juga ketika sedang tidak berada dekat

denganyya. Hal ini karena Kedua orang tua adalah manusia yang paling berjasa

dan utama bagi diri seseorang. Allah telah memerintahkan dalam berbagai tempat

di dalam Al-Qur'an agar berbakti kepada kedua orang tua. Allah menyebutkannya

21 Ibid., 13. 22 'Abdul 'Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Birrul Walidain (Berbakti Kepada Kedua Orang

Tua), Islamhouse.com, 3.

Page 33: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

19

berbarengan dengan pentauhidan-Nya dan memerintahkan para hamba-Nya untuk

melaksanakannya sebagaimana akan disebutkan kemudian.23

Karena Islam telah memerintahkan supaya manusia senantiasa berbakti dan

berbuat baik kepada kedua orangtua. Hal itu disampaikannya melalui beberapa

nash qath’i baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah Saw. Setiap

perempuan muslim yang membaca dan menelaah nash-nash tersebut tidak dapat

berbuat sesuatu melainkan berkomitmen untuk berpegang teguh pada petunjuknya,

dan segera berbuat baik kepada kedua orangtua, bagaimana pun keadaan dan

hubungan yang terjadi antara dirinya dengan orangtuanya. Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda,

[A]pakah kalian mau kuberitahu mengenai dosa yang paling besar?” Para

sahabat menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda, “(Dosa

terbesar adalah) mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.”

Beliau mengucapkan hal itu sambil duduk bertelekan [pada tangannya]. (Tiba-tiba

beliau menegakkan duduknya dan berkata), “Dan juga ucapan (sumpah) palsu.”

Beliau mengulang-ulang perkataan itu sampai saya berkata (dalam hati), “Duhai,

seandainya beliau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menempatkan keridhaan orang tua setelah

keridhaan Allah Swt , dan menjadikan berbuat baik kepada keduanya sebagai

keutamaan tertinggi setelah iman kepada Allah:

“sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan

sesuatu apapun. Dan, berbuat baiklah kepada kedua orang tua.”(An-

Nisa’:36)

Di antara bakti terhadap kedua orang tua adalah menjauhkan ucapan dan

perbuatan yang dapat menyakiti kedua orang tua, walaupun dengan isyarat atau

dengan ucapan 'ah'. Termasuk berbakti kepada keduanya ialah senantiasa membuat

mereka ridha dengan melakukan apa yang mereka inginkan, selama hal itu tidak

mendurhakai Allah.

23 Ibid., 7.

Page 34: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

20

mantan presiden Islamic Society of North America, Muzammil H. Siddiqi

dilansir dari About Islam, beliau mengatakan, Islam tidak pernah menghentikan

hubungan orang tua dan anak meskipun berbeda agama. Islam sangat

menganjurkan anak selalu berbakti kepada orang tua mereka selama tidak

mengajak mengingkari Allah.24

Sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad, manusia yang

paling mulia akhlaknya, dimana beliau berpesan agar umatnya selalu berbakti dan

berbuat baik kepada kedua orang tuanya, meskipun keduanya bukan beragama

Islam, seperti yang dikisahkan dalam hadits berikut ini:

[A]sma’ binti Abi Bakar ra. Berkata, “Ibuku pernah mendatangiku, sedang

dia seorang musyrik pada masa Rasulullah Saw. Lalu ku meminta petunjuk

kepada seraya berucap. ‘ibuku telah datang kepadaku dengan penuh harapan

kepadaku, apakah aku harus menyambung hubungan dengan ibuku itu?”

Beliau menjawab, “Benar, sambunglah hubungan dengan ibumu!” (Muttafaq

Alaih).

Sebagai seorang perempuan muslim, akan segera berbakti dan berbuat baik

kepada orangtuanya karena takut durhaka kepada keduanya. Yang demikian itu

karena dia mengetahui besarnya kejahatan tersebut yang dikategorikan sebagai

dosa besar. Selain dia juga mengetahui gambaran menakutkan yang dilukiskan

oleh nash-nash shahih tentang orang-orang yang berbuat durhaka kepada kedua

orangtuanya, yang dapat mengetuk hatinya yang beku dan menyentuh nuraninya

yang tertutup serta menghidupkan perasaannya yang telah membantu.25

Sebagaimana sabda Rasululah :

[S]esungguhnya dosa yang paling besar di sisi Allah adalah dosa seseorang

yang melaknat kedua orang tuanya ”para sahabat bertanya, ”bagaimanakan

bentuknya seseorang itu melaknat kedua orang tuanya? ’’Rasullullah

menjawab, seseorang mengeluarkan kata-kata yang isinya mencela dan

menghina keduanya.” (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr).

24https://republika.co.id/berita/qjdixq366/cara-bersikap-kepada-orang-tua-nonmuslim.

Diakses pada tanggal 20 November 2020. 25 Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Wanita Muslimah, (Pustaka Al-Kautsar : Jakarta,

197), 129.

Page 35: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

21

Durhaka kepada orangtua merupakan kejahatan yang paling buruk, yang

dapat menggoncang jiwa perempuan muslim yang jujur dan menghilangkan rasa

kebenaran dan dalam dirinya. Dan kedurhakaan ini termasuk perbuatan dosa besar.

B. Peran Perempuan di Luar Rumah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “wanita” berarti perempuan dewasa.

Sedangkan ‘karier” berarti wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi

(usaha, perkantoran dsb).26 Karier adalah pekerjaan yang memberikan harapan

untuk maju. Oleh karena itu, karier selalu dikaitkan dengan uang dan kuasa.

Namun bagi sebagian yang lain, karier tidak hanya seperti itu, tapi juga merupakan

karya yang tidak dapat dipisahkan dengan panggilan hidup bahagia.27

Meski ajaran Islam sangat menganjurkan perempuan untuk menjaga

keluarga dan rumah tangganya, namun hal tersebut tidak menghalanginya untuk

berperan aktif dalam membangun dan memberdayakan masyarakat bersama-sama

dengan lelaki dalam kehidupan nyata tanpa melalaikan tugas dan menjaga rumah

tangga.

Secara garis besar, para ulama sesunguhnya sepakat untuk membolehkan

seorang wanita untuk bekerja di luar rumah, tetapi mereka memberikan batasan-

batasan yang jelas yang harus dipatuhi jika seorang wanita ingin bekerja atau

berkarir terutama harus didasari dengan izin dari suami. Di mana istri yang bekerja

dengan ridho sang suami, dia tetap berhak mendapatkan hak nafkahnya,

sebaliknya istri yang tetap bekerja (berkarir) sementara suaminya melarangnya,

maka istri dianggap telah durhaka terhadap suami, dan mengakibatkan gugurnya

hak nafkah istri.28

26 Depdikbud,Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008). 27 Dwi Runjani Juwita, Pandangan Hukum Islam Terhadap Wanita Karir, (El-Wasathiya:

Jurnal Studi Agama Vol. 6, No. 2, 2018), 176. 28 Ibid., 187.

Page 36: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

22

Sesungguhnya Islam membuka pintu lebar-lebar untuk memanfaatkan

sumber daya manusia secara ideal dalam sebuah masyarakat dengan bertumpuh

kepada setiap jenis laki-laki atau perempuan, masyarakat Islam mampu bekerja

dan berproduksi bukan berbuat gaduh atau hanyut dalam ranah debat omong

kosong atau menciptakan gagasan semu. Perempuan pun mampu hidup dengan

layak dan terhormat dengan memainkan peran aktif dan signifikan dalam

kehidupan ekonomi dan sosial berdiri sejajar di hadapan lelaki. Perempuan di era

masa kini seharusnya bisa lebih meneladani jejak leluhurnya, sehingga mampu

menjadi perempuan karier yang aktif menjalankan peran ekonomi dengan segala

bentuk warna-warninya mulai dari peran sebagai pengelola rumah tangga dengan

pelayanan yang di persembahkan bagi anggota keluarga, kemudian dengan

memproduksi beberapa hasil keterampilan yang layak di perjual belikan atau

dengan berkecimpung dalam lembaga kerja professional yang sesuai dengan

kodrat dan fitrah perempuan atau dengan memiliki manage beberapa lembaga

kerja tersebut. Namun semua aktivitas positif di atas harus di lakukan dalam

koridor norma-norma keIslaman melalui kriteria-kriteria keimanan sehingga

kegiatan perempuan di luar rumah berjalan sesuai syariat Islam yang kelak di

akhirat akan mendapatkan pahala dan imbalan dari Allah SWT beserta imbalan

yang telah di berikan di dunia.29

Peran perempuan di luar rumah tak melulu tentang perempuan dalam

karirnya. Perempuan yang cerdas tentunya mengetahui bahwa kerabatnya

memiliki hak atas dirinya, dan dia di tuntut untuk mempererat hubungan dan

berbuat baik terhadap mereka. Yang dimaksud dengan kerabat adalah semua orang

yang memiliki hubungan nasab, baik dari ahli waris maupun non ahli waris.

29 Titin Fatimah, Wanita Karir dalam Islam, (MUSAWA, Vol. 7, No.1 2015), 42.

Page 37: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

23

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan

sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat,

anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga

yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan

membangga-banggakan diri.” (An-Nisa’:36)

pada ayat di atas, berbuat baik kepada kerabat menduduki peringkat setelah

berbuat baik kepada orang tua, di mana bimbingan Al-Qur’an mengunakan urutan

dari peringkat tertinggi ke peringkat terendah, dengan menerangkan urutan

hubungan kemanusiaan. Di mulai dari orang tua, kerabat, anak yatim, orang

miskin, ibnu sabil, dan tetangga.30 Dalam berbuat baik kepada kaum kerabatnya

dan bersilaturahmi kepada mereka mendapatkan dua pahala, pahala kekerabatan

dan pahala sedekah. Apabila dia dari kalangan orang kaya, dia akan memberikan

sebagian kekayaan jika mereka membutukannya.

Begitu juga dalam bertetangga, tetangga merupakan orang yang terdekat

kepada kita di samping keluarga. Dalam pergaulan sehari-hari kedudukan tetangga

sangat terasa penting. Syekh Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab At-Tafsir Al-

Munir menerangkan bahwa yang dimaksud dengan tetangga dekat adalah orang

yang dekat dengan kita baik secara tempat, nasab, atau agama. Sedangkan tetangga

30 Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Wanita Muslimah, (Pustaka Al-Kautsar : Jakarta,

1997), 217.

Page 38: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

24

jauh adalah orang yang jauh tempat tinggalnya dengan kita atau orang yang tidak

memiliki nasab dengan kita (bukan keluarga).31

“Apabila engkau memasak sayur, maka perbanyaklah airnya, kemudian

perhatikanlah anggota keluarga tetanggamu, lalu berilah mereka dengan cara

yang baik.” (HR. Muslim)

Adapun adab-adab dalam bertetangga, yaiu :

1. Membantu tetangga apabila membutuhkan bantuan

2. Apabila berjanji, maka wajib ditepati

3. Menjaga anak-anak dan barang-barang milik tetangga

4. Mengundang tetangga ketika mengadakan syukuran

5. Tidak menyebar luaskan kejelekan-kejelekan tetangga

6. Menjenguk tetangga yang sakit

Kemudian perempuan juga mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-

laki, yaitu pembawa risalah dalam kehidupan. oleh karena itu dia harus memiliki

sifat sosial, dinamis dan dapat memberikan pengaruh, selama keadaan hidup dan

keluarganya mengizinkan untuk itu, mau bergaul dengan wanita-wanita yang lain

sesuai dengan kemampuannya serta mempergauli mereka dengan akhlak luhur

yang diajarkan islam yang menjadikannya berbeda dari wanita-wanita yang lain.

Salah satu peran perempuan dalam bermasyarakat, di samping berperan

sebagai ibu rumah tangga yang mengurus keluarga, yaitu seorang wanita juga

dapat berperan mendidik generasi agar menjadi pemuda-pemudi Islami yang

berakhlak mulia dan berpendidikan serta taat kepada ajaran agama. Seorang

peempuan boleh bekerja atau berkegiatan di luar rumah untuk mengisi peran dan

tugasnya tersebut dalam masyarakat. Ia dapat menjadi guru bagi anak-anak di

lingkungannya maupun memberikan pelajaran pada perempuan-perempuan lain di

sekelilingnya.32

31https://bincangsyariah.com/kalam/dalil-berbuat-baik-kepada-tetangga-dalam-al-quran-dan-

hadis/ 32 https://dalamislam.com/info-islami/peran-wanita-dalam-islam

Page 39: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

25

[D]an orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian

mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka

menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar. (Q.S.

At-Taubah:71).

Perempuan muslim tentunya mengetahui bahwa berbuat kebaikan bagi

manusia merupakan ibadah, selama hal itu dilandasi karena mencari keridhaan

Allah Ta’ala. Pintu-pintu kebaikan itu senantiasa terbuka bagi kaum Muslimin

secara keseluruhan dan mereka dapat memasukinya sekehendak hatinya sehingga

mereka mendapatkan kemenangan yang berhadiahkan rahmat dan keridhaan Allah

Swt.33

33 Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Wanita Muslimah, (Pustaka Al-Kautsar : Jakarta,

1997), 283.

Page 40: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

26

BAB III

PENAFSIRAN SAYYID QUTHB DAN M. QURAISH SHIHAB TERHADAP

SURAH Al-AHZAB: 33

A. Biografi Sayyid Quthb

1. Riwayat Hidup Sayyid Quthb

Nama lengkapnya adalah Sayyid Quthb Ibrahim Husain asy-Syadzilly. Pria

ini di lahirkan pada tanggal 9 oktober 1906 di desa Musya, sebuah desa yang

terletak di provinsi Asyuth. Sebagaimana halnya ia menjalani masa kecil hingga

kanak-kanak di desa ini, Sayyid Quthb kecil juga menempuh pendidikan dasar di

desa ini, Sayyid Quthb kecil juga menempuh pendidikan dasar di desa yang

sama.34

Keluarga Quthb merupakan keluarga terpandang dan dianggap lebih maju

dari pada yang lain. Sang ayah cukup disegani dan dihormati oleh warga desa yang

lain karena dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi. Ayah beliau bernama Haji

Quthb Ibrahim, sebuah nama yang bisa kita kenal melalui buku tulis Quthb adik-

beradik dengan judul “Empat Spektrum” (Al-Athyaf al-Arba’ah)”.35

Sayyid Quthb adalah sosok laki-laki dengan kulit cokelat karena sering

terpapar panasnya matahari. Beliau memiliki tubuh bertinggi sedang, dengan

ukuran tubuh yang juga sedang. Tidak gemuk dan tidak kurus. Selain itu, tubuh

beliau juga tidak tegap bahkan cenderung kurus.36

Sayyid menjalani masa kecil nya di Desa Musyah sampai menjelang remaja.

Kampung kecil itu tak pernah ia tinggalkan hingga berangkat ke Kairo pada saat

berusia lima belas tahun. Kedua orangtua Sayyid Quthb juga telah menanamkan

nilai-nilai keimanan, nilai-nilai luhur, dan kewibawaan diri kedalam kejiwaan

beliau.

34 Sayyid Quthb, Biografi Sayyid Quthb (Yogyakarta: Pro-U Media, 2016), 23 35 Ibid., 45 36 Ibid., 59.

26

Page 41: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

27

Pada tahun 1920, Sayyid Quthb remaja berangkat ke Kairo dan menumpang

di rumah pamannya, Ahmad Husain Ustman. Melalui sang paman, ia kemudian

mengenal Partai Al-Wafd dan tokoh terkenal yang bernama Abbas Mahmud al-

Aqqad. Setelah lulus dari sekolah Pendidikan Guru tingkat pertama dan berhasil

mendapatkan Ijazah Kecakapan (Al-kafa’ah) untuk pendidikan dasar, beliau

mengikuti kelas persiapan untuk masuk ke Dar al-Ulum (Tajhiziyyah). Namun, ia

baru benar-benar masuk ke kulliyyah Dar al-‘Ulum pada tahun 1929 dan berhasil

lulus pda tahun 1933, dengan gelar Bachelor.37

Setelah itu, beliau bekerja selama 6 tahun sebagai guru di beberapa sekolah

negeri di bawah Kementerian Pendidikan, untuk selanjutnya ditarik ke

Kementerian Pendidikan dan menempati beberapa posisi, pada bagian pengawas

pendidikan dan inspektorat. Kementrian Pendidikan kemudian mengirimkan ke

Amerika, dalam sebuah delegrasi bidang pendidikan, untuk melakukan studi

tentang metodologi pendidikan dan pengajaran disana. Beliau pulang ke Mesir

tahun 1950 setelah tinggal di Amerika selama 2 tahun. Namun, karena berbeda

pendapat dengan para pejabat di Kementerian, beliau akhirnya mengajukan

pengunduran diri selang beberapa bulan saja pascarevolusi Juli. Waktu

mengajukan pengunduran diri, beliau sudah bekerja di Kementerian selama hampir

19 tahun.

Sewaktu masih muda, Sayyid Quthb bergabung dengan Partai Al-Wafd dan

tetap menjadi loyalis partai itu sampai tahun 1942. Ia sering menulis di sejumlah

media (surat kabar dan majalah) yang di kelola oleh partai tersebut, di samping

menulis kajian dan kumpulan puisi. Akan tetapi, untuk kuurun waktu selama lebih

dari 20 tahun setelahnya, beliau tidak berminat untuk bergabung dengan partai,

kelompok, atau organisasi manapun. Sampai akhirnya menemukan tempat

37 Ibid..

Page 42: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

28

berlabuh hatinya, pergerakan Ikhwanul Muslimin. Beliau secara resmi bergabung

pada tahun 1953 dan menghabiskan seluruh sisa hidupnya untuk organisasi ini.38

Di usianya yang masih belia, beliau berkecimpung dalam bidang sastra dan

kritik sastra. Ia menjadi kritikus dengan menulis sejumlah artikel dan buku kritik

sastra selama beberapa tahun. Beliau juga mengarang beberapa puisi yang nuansa

sastranya sangat kental, bahkan telah menerbitkan sebuah kumpulan puisi yang

memuat sejumlah sajak beliau pada masa itu.

Tahun 40-an, perhatian beliau mulai beralih pada Al-Qur’an. Beliau

mempelajari Al-Qur’an dari sudut pandang sastra dan kritiknya karena ingin

menulis sebuah buku yang berjudul “Perpustakaan Baru Al-Qur’an” (Maktabah

Al-Qur’an al-Jadidah). Hal ini membuat beliau berusaha keras untuk mempelajari

pemikiran Islam hingga berhasil menulis beberapa buku dalam bidang ini.

Bagi Sayyid Quthb, kala itu, perhatiannya kepada Al-Qur’an merupakan hal

baru, yang justru berhasil menyeretnya lebih jauh: masuk kedalam arus dakwah,

pergerakan, dan dunia aktivis. Ia kemudian menempuh jalan itu dan meneranginya

dengan “rambu-rambu” (ma’alim) sebagai pedoman bagi para dai setelah beliau.

Selama menempuh perjalanan ini, beliau menekuni Aal-Qur’an yang hasilnya

beliau paparkan dalam buku tafsirnya “Di Bawah Naungan Al-Qur’an” (fi Zhilal

al-Qur’an).39

Sewaktu Mesir masih berbentuk kerajaan, Sayyid Quthb sangat antusias

terhadap revolusi dan menyerukan agar revolusi segera di laksanakan. Tidak

berhenti sampai disitu, beliau bahkan ikut merintis dan menyusun strategi revolusi.

Setelah revolusi berhasil, beliau awalnya bergerak aktif bersama para tokoh

revolusi yang lain. Namun, karena visi revolusi itu kemudian tidak sejalan dengan

visi baru yang kental warna Islamnya, beliau memilih untuk meninggalkan dan

menghindar. Namun akibatnya, beliau justru menjadi sasaran utama dari

38 Ibid., 24 39 Ibid., 25

Page 43: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

29

kebrutalan dan kebiadaban para tokoh revolusi itu terhadap para aktivis IM, yang

membuat beliau sangat menderita.

Pengadilan revolusi kemudian memvonis beliau dengan hukuman 15 tahun

penjara. Namun, karena menderita beragam penyakit, mulai dari radang paru-paru,

nyeri dada, ginjal, usus, sebagian besar dari masa hukuman 15 tahun itu beliau

habiskan di Rumah Sakit Penjara Laiman Thurrah. Hingga akhirnya beliau

dibebaskan pada tahun 1964 atas alasan kesehatan, itu pun setelah ada campur

tangan dari Presiden Irak, Abdussalam Arif. Sayangnya, kebebasan itu hanya

berlangsung beberapa bulan karena beliau kembali dijebloskan ke dalam penjara

pada musim panas tahun 1965 bersama puluhan anggota IM lain mereka di tuduh

terlibat konspirasi untuk menggulingkan rezim berkuasa.

Bagaimanapun juga, sudah dalam garis Allah bahwa pemikiran tentang

pergerakan Islam yang dicetuskan Sayyid Quthb, justru mendapat sambutan yang

luar biasa setelah ia meninggal. Di mata para ulama, pendakwah dan aktivis Islam,

tokoh ini memiliki tempat tersendiri dan mulia karena mewariskan 26 judul buku

yang tersebar dalam bidang sastra, kritik sastra, dan pemikiran Islam. Mahakarya

(masterpiece) beliau adalah tafsir “Di Bawah Naungan Al-Qur’an” (Fi Zhilal al-

Qur’an) yang membuatnya di laut menjadi seorang ahli tafsir pembaru, pelopor

pemikiran Islam yang sejati. 40

.

2. Karya-karya Sayyid Quthb

Karya-karya Sayyid Quthb sangat banyak yang beredar di kalangan Negara

Islam. Bahkan beredar di kawasan Eropa, Afrika, Asia dan Amerika. Dimana

terdapat pengikut Ikhwanul Muslimin, dan hampir dipastikan disana ada buku-

bukunya, karena ia merupakan tokoh Ikhwan terkemuka. Adapun karyakarya buku

hasil torehan Sayyid Quthb adalah sebagai berikut:

• Muhimmatus Sya’ir fil Hayah wa Syi’ir Al-Jail Al-Hadhir, tahun terbit 1933.

40 Ibid., 27

Page 44: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

30

• As-Sathi’ Al-Majhul, kumpulan sajak Quthb satu-satunya, terbit Februari

1935.

• Naqd Kitab “Mustaqbal Ats-Tsaqafah di Mishr” li Ad-Duktur Thaha Husain,

terbit tahun 1939.

• At-Tashwir Al-Fanni fi Al-Qur’an, buku Islamnya yang pertama, terbit April

1954.

• Al-Athyaf Al-Arba’ah, ditulis bersama-sama saudaranya yaitu Aminah,

Muhammad dan Hamidah, terbit tahun 1945.

• Thilf min Al-Qaryah, berisi tentang gambaran desanya, serta catatan masa

kecilnya di desa, terbitan 1946.

• Al-Madinah Al-Manshurah, sebuah kisah khayalan semisal kisah Seribu Satu

Malam, terbit tahun 1946.

• Kutub wa Syakhsyiat, sebuah studinya terhadap karya- karya pengarang lain,

terbit tahun 1946.

• Ashwak, terbit tahun 1947.

• Mashahid Al-Qiyamah fi Al-Qur’an, bagian kedua dari serial Pustaka Baru

Al-Qur’an, terbit pada bulan April 1947.

• Raudhatul Thifl, ditulis bersama Aminah As’said dan Yusuf Murad, terbit dua

episode.

• Al-Qashash Ad-Diniy, ditulis bersama Abdul Hamid Jaudah As-Sahar.

• m.Al-Jadid Al-Lughah Al-Arabiyyah, bersama penulis lain.

• Al-Adalah Al-Ijtima’iyah fil Al-Islam. Buku pertamanya dalam pemikiran

Islam, terbit April 1949.

• Ma’rakah Al-Islam wa Ar-Ra’simaliyah, terbit Februari 1951.

• As-Salam Al-Islami wa Al-Islam, terbit Oktober 1951.

• Tafsir Fi-Zhilal Al-Qur’an, diterbit dalam tiga masa yang berlainan.

• Dirasat Islamiah, kumpulan bermacam artikel yang dihimpun oleh

Muhibbudin al-Khatib, terbit 1953.

Page 45: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

31

• Al-Mustaqbal li Hadza Ad-Din, buku penyempurna dari buku Hadza Ad-Din.

• Khashaish At-Tashawwur Al-Islami wa Muqawwimatahu, buku dia yang

mendalam yang dikhususkan untuk membicarakan karakteristik akidah dan

unsur-unsurnya.

• Al-Islami wa Musykilat Al-Hadharah.

Sedangkan studinya yang bersifat keislaman harakah yang matang, yang

menyebabkan ia dieksekusi (dihukum penjara) adalah sebagai berikut:

• Ma’alim fith-Thariq

• Fi-Zhilal As-Sirah.

• Muqawwimat At-Tashawwur Al-Islami.

• Fi Maukib Al-Iman.

• Nahwu Mujtama’ Islami.

• Hadza Al-Qur’an.

• Awwaliyat li Hadza Ad-Din.

• Tashwibat fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir.

3. Metodologi, Pendekatan, dan Corak Penafsiran Sayyid Quthb pada Kitab Tafsir

fii Zhilalil Qur’an

Metode dalam menafsirkan kitab Fii Zhilalil Qur’an Sayyid Quthb

menggunakan metode tahlili. Adapun pendekatan yang digunakan oleh Sayyid

Quthb dalam menafsirkan Al-Qur’an menggunakan pendekatan Qur’ani serta

pemahaman dan ijtihad. Sayyid Quthb menggunakan berbagai corak dalam

menafsirkan surah Al-Qur’an berdasarkan metode dan pendekatannya yang

menggunakan sistematika mushaf. Beberapa corak tafsir yang digunakannya

adalah corak ‘ilmi, corak fiqhi, corak ‘adaby, dan lain-lain. Namun, dari berbagai

corak itu, Sayyid Quthb selalu fokus pada hikmah, kandungan, dan pelajaran yang

dapat diambil dari setiap potongan ayat yang ditafsirkan. Dapat disimpulkan

bahwa yang difokuskan pada tiap corak itu adalah ‘adaby ijtima’i, karena beliau

Page 46: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

32

selalu mengambil hikmah dan pelajaran dan kemudian dikorelasikan untuk

diambil pengarahannya pada umat zaman sekarang.

Bisa dikatakan bahwa tafsir Fi Zhilal al-Qur’an dapat digolongkan ke dalam

tafsir al-Adabi al-Ijtima’I (satra, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat

backgroundnya yang merupakan seorang sastrawan hingga ia bisa merasakan

keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-Qur’an yang memang kaya

dengan gaya bahasa yang sangat tinggi.41

B. Biografi M.Quraish Shihab

1. Riwayat Hidup M.Quraish Shihab

M. Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 februari

1944. Ayahnya, Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang Ulama dan guru

besar di bidang tafsir. Abdurrahman Shihab di pandang sebagai salah seorang

tokoh pendidikan yang memiliki reputasi baik di kalangan masayarakat Sulawesi

Selatan.42

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia

melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil “nyantri” di Pondok

Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir

dan di terima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc

(S-1) pada fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar.

Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969

meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul

Al-I’jaz Al-Tasyri’iy li Al-Quran Al-Karim.43

Setelah kembali ke Indonesia, sejak 1984, M. Quraish Shihab ditugaskan di

Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

41 Mahdi Fadullah, Titik Temu Agama dan Politik (Analisa Pemikiran Sayyid Quthb), CV.

Ramadhani, Solo, 1991, 42. 42 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994),, 6. 43 Ibid., xx.

Page 47: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

33

Selang 3 tahun kemudian yaitu pada tahun 1993, ia diangkat menjadi Rektor IAIN

Syarif Hidayatullah menggantikan Ahmad Syadall. Selain itu, di luar kampus ia

juga dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan, antara lain; Ketua Majelis

Ulama Indonesia (MUI) pusat (sejak 1984), Anggota Lajnah Pentashihan Al-

Quran Depag (sejak 1984), Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional

(1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan.44

Tidak hanya itu, pada masa pemerintahan B.J. Habibie, M. Quraish Shihab

mendapat kepercayaan sebagai duta besar RI di Mesir, merangkap untuk Negara

Jiboutidan Somalia. Ketika menjadi duta besar inilah M. Quraish Shihab menulis

karyanya Tafsir Al-Misbah, lengkap 30 juz sebanyak 15 Jilid. Tafsir Al-Misbah

merupakan karya lengkap yang ditulis oleh putra Indonesia.45

Beliau juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Lebih dari 40 buku yang

telah lahir di tangannya, dan ada sekitar 5 karya yang sudah diterbitkan. Dua di

antara karyanya yang mencatat sukses adalah “Membumikan” Al-Quran: Fungsi

dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Mizan Mei 1992) dan Lentera

Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Mizan, Februari 1994). Selain itu, ada juga

yang paling legendaris adalah “Membumikan Al-Quran” (Mizan 1966), dan

“Tafsir Al-Misbah” ( 15 Jilid, Lentera Hati, 2003). Sosok M. Quraish Shihab juga

sering tampil di berbagai media untuk memberikan siraman rohani dan intelektual.

Aktivitas utamanya sekarang beliau adalah seorang dosen (guru besar) Pasca

Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan direktur Pusat Studi Al-Quran

(PSQ) Jakarta.46

2. Karya-karya M. Quraish Shihab

M. Quraish Shihab tidak hanya merupakan seorang tokoh pakar di bidang

Tafsir yang berasal dari Indonesia. namun, disisi lain ia juga di kenal sebagai

44 Ibid. 45 Muhammad Iqbal, Metode Penafsiran A-Qur’an M. Quraish Shihab, (Jurnal Tsaqafah,

Vol. 6, No. 2, 2010), 249. 46 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Pustaka, 1996), xx.

Page 48: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

34

seorang tokoh yang mampu melahirkan karya-karya tulis yang telah banyak di

terbitkan. Hingga saat ini, karyanya masih banyak sekali di minati oleh

masyarakat, maka tidak heran jika karyanya ada di seluruh Indonesia.47 Antara lain

karya M. Quraish Shihab ialah;

• Tafsir Al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahnnya

• Filsafat Hukum Islam

• Mahkota tuntunan Illahi: Tafsir Surat Al-Fatihah

• Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peranan Wahyu Dalam Kehidupan

Masyarakat

• Studi kritik Tafsir al-Mannar

• Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan

• Untaian Permata Buat Anakku: Pesan Al-Quran untuk Mempelai

• Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudu’i Atas Berbagai Persoalan Umat

• Hidangan Ayat-ayat Tahlil

• Tafsir Al-Quran Al-Karim: Tafsir Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan

Turunnya Wahyu

• Mukjizat Al-Quran ditinjau dari Berbagai Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah

dan Pemberitaan Ghaib

• Sahur Bersama M. Quraish Shihab

• Menyikap Ta’bir Illahi: al-Asma’ al-Husna dalam Perspektif Al-Quran

• Haji Bersama Quraish Shihab: Panduan Praktis Untuk Menuju Haji Mabrur

• Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mahdhah

• Yang Tersembunyi Jin Syetan dan Masyarakat: dalam Al-Quran dan as-

Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini

• Fatwa-Fatwa Seputar Al-Quran dan Hadits

• Panduan Puasa Bersama Quraish Shihab

47 Atik Wartini, Tafsir Feminim M. Quraish Shihab, Telaah Ayat-Ayat Gender dalam Tafsir

Al-Misbah, (Jurnal Palastren, 2013), 478-482.

Page 49: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

35

• Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume I, II, III

• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume IV

• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume V,

• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume VI

• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume VII

• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume VIII

• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume IX

• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume X

• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XI

• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XII

• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XIII

• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XIV

• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XV

• Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Syurga dan Ayat-ayat Tahlil

• Panduan Shalat Bersama Quraish Shihab

• Kumpulan Tanya Jawab Bersama Quraish Shihab

• Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam

• Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer Pakaian

Perempuan Muslimah

• Dia di Mana-mana “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena

• Perempuan, dari Cinta Sampai Sexs, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah

Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru

• Menjemput Maut Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT

• Pengantin Al-Quran Kalung Permata Buat Anakku

• Secercah Cahaya Illahi, Hidup Bersama Al-Quran

• Ensiklopedia Al-Quran Kajian Kosa Kata, Jilid I, II, III

• Al-Lubab: Makna dan Tujuan Pelajaran dari Al-Fatihah dan Juz Amma

Page 50: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

36

3. Metodologi dan Corak Penafsiran M. Quraish Shihab

Dalam menulis tafsir, metode tulisan M. Quraish Shihab menggunakan

metode semi tematik (tahlilī dan maudhû‟ī), yaitu mengelompokkan ayat yang

memiliki tema yang sama dengan mengikuti urutan mushaf. Awal metode yang

digunakan M. Quraish Shihab adalah metode tahlilī, kemudian M. Quraish Shihab

mengemukakan bahwa metode tahlilī memiliki berbagai kelemahan, maka dari itu

M. Quraish Shihab juga menggunakan metode maudhû‟ī atau tematik, yang

menurutnya metode ini memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya adalah

metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan Al-Qur‟an secara

mendalam menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakan. Maka dari itu M.

Quraish Shihab di samping menggunakan metode tahlilī juga menggunakan

metode maudhû‟ī Metode tahlili ialah metode yang berusaha menjelaskan

kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan,

kecendrungan, dan keinginann mufassirnya yang dihidangkannya secara runtut

sesuai dengan perurutan ayat-ayat di dalam Mushaf.48

Adapun corak pada tafsir Al-Misbah ini sama dengan Tafsir Fii Zhilalil

Qur’an karya Sayyid Quthb, yaitu lebih menekankan dan memfokuskan pada

corak ‘adabiy ijtima’i. M. Quraish Shihab lebih banyak menekankan sangat

perlunya memahami wahyu Allah secara kontekstual, maka pesan-pesan yang

terkandung di dalamnya dan dapat difungsikan dengan baik dalam dunia nyata.

Corak-corak tafsir yang berorientasi pada kemasyarakatan akan cenderung

mengarahkan pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi dimasyarakat.

Penjelasan-penjelasan yang diberikan dalam banyak hal selalu dikaitkan dengan

persoalan-persoalan yang sedang diamati ummat, dan uraiannya diupayakan untuk

memberikan solusi atau jalan keluar dari masalah-masalah tersebut. Dengan

demikian, diharapkan bahwa tafsir yang telah dituliskan mampu memberi jawaban

48 Syaeful Rokim, Mengenal Metode Tafsir Tahlili, 43.

Page 51: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

37

terhadap segala sesuatu yang bahwa Al-Quran memang sangat tepat untuk

dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk.

C. Penafsiran Terhadap Surah Al-Ahzab Ayat 33

Islam adalah agama terakhir yang sempurna, agama yang selalu menyerukan

kepada hal kebajikan. Agama yang sangat menjunjung tinggi kehormatan

perempuan, sehingga dalam hal sekecil apapun misalnya tentang wanita yang

keluar rumah dengan berhias diri, semua diatur dalam Al-Qur’an dan hadits

sebagai pedoman kedua yang kemudian dilengkapi dengan ijma’ dan qiyas para

ulama. Sebagai umat muslim yang berpedoman kepada Alquran dan hadits sebagai

tuntunan dalam hidup mereka. Tidak sempurna apabila manusia tidak berpedoman

pada Alquran dan Hadits.49

Islam adalah agama yang banyak malahirkan para ulama, para ilmuwan, para

cendekiawan muslim yang sesuai dengan bidangnya masing-masing, baik ilmu

alam, ilmu alat, ilmu sastra, maupun ilmu tafsir. Diantara sekian banyak ribuan

tokoh ulama tafsir dalam Islam, tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing

masing dalam setiap surat yang ditafsirkannya. Dalam karya ini penulis

mengambil ulama tafsir Sayyid Qutb dan Quraish Shihab dalam menafsirkan QS.

Al-Ahzab (33):

1. Penafsiran Sayyid Quthb Terhadap Surah Al-Ahzab Ayat 33

49 1M. Rifqy Zulkarnaen, Mukjizat Alquran (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 3-4.

Page 52: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

38

”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan

bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah

shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya

Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan

membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab: 33)

Islam datang kepada masyarakat Arab disaat Sebagian bahkan hampir

seluruh masyarakatnya memandang wanita sebagai objek hawa nafsu dan

kenikmatan serta pemuas syahwat. Sehingga pandangan masyarakat jahiliah

terhadap wanita sebagai manusia begitu sangat rendah.50 Demikian pula terdapat

kekacauan dalam pandangan masyarakatnya tentang perempuan, seperti

pandangan tehadap seks, penonjolan bentuk-benuk fisik, estetika kecantikan, dan

sebagainya. Gambaran tentang ini banyak terdapat dalam syair-syair jahiliah yang

banyak berkisar tentang kecantikan jasad wanita, sentuhan anggota yang paling

sensitif di dalamnya, dan maknanya yang paling keji.51

Setelah islam datang, mulailah ia mengoreksi pandangan dan mengangkat

apresiasi persepsi masyarakat terhadap wanita. Islam mementingkan segi

kemanusiaan dalam hubungan antara dua jenis manusia. Jadi, ia bukan sekedar

pemuas bagi dahaga jasmani dan pemadam dari gejolak daging dan darah. Namun,

hubungan itu adalah hubungan antara dua jenis manusia dari jiwa yang sama,

antara keduanya terjalin cinta dan kasih sayang, dan dalam hubungan keduanya

terdapat kedamaian dan ketenangan.52

Syari’at tentang keluarga memenuhi bagian yang sangat besar dari bahasan

syari’at Islam dan porsi bahasannya dalam ayat-ayat Al-Qur’an sangat tampak.

Disamping syari’at, ada pengarahan yang terus-menerus untuk menguatkan

pondasi pokok dan utama ini yang diatasnya terbangun masyarakat. Pengarahan

itu khususnya menyangkut penyucian jiwa, kesucian dalam hubungan antara dua

50 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran (Jakarta: Anggota IKAPI. 2004), 260. 51 Ibid. 52 Ibid.

Page 53: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

39

jenis manusia, pemeliharaannya dari kebejatan, pembersihannya dari keliaran

syahwat hingga dalam hubungan-hubungan jasmani semata-mata.

Dalam surah ini, porsi bahasan tentang masalah keluarga dan system

masyarakat memenuhi bagian yang besar. Terdapat seruan kepada istri Rasulullah

dan pengarahan kepada mereka dalam hal berhubungan dengan manusia,

berhubungan dengan diri mereka sendiri secara khusus, dan berhubungan dengan

Allah suatu pengarahan di mana Allah berfirman,

“… sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,

hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)

Sarana penghilangan dosa itu dan sarana-sarana penyucian diri yang

diserukan oleh Allah kepada mereka dan akan dimintai pertanggungjawaban

tentangnya. Padahal mereka adalah anggota keluarga Nabi saw. Dan istri-istri

Rasulullah serta mereka dikenal sebagai wanita yang paling suci di dunia. Maka,

wanita selain mereka lebih membutuhkan sarana-sarana itu, bagi siapa yang ingin

hidup dibawah naungan Rasulullah dan rumah tangganya yang tinggi.

Sesungguhnya sarana itu diawali dengan penyadaran terhadap ketinggian

derajat dan kemuliaan kedudukan mereka, keutamaan mereka atas seluruh wanita

lain, dan kekhususan mereka menempati kedudukan yang mulia itu diantara

seluruh wanita dunia. Maka, sepantasnyalah mereka memenuhi hak-hak dari

kedudukan yang mulia itu dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang

ditentukan olehnya.

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu….”

Secara bahasa, makna dari kata waqara-yaqaru adalah bermakna berat dan

menetap. Namun, bukanlah makna dari pernyataan itu bahwa mereka harus tinggal

Page 54: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

40

dan menetap selamanya dirumah sehingga tidak keluar sama sekali. Tetapi, yang

dimaksud adalah isyarat bahwa rumah mereka adalah fondasi pokok dan utama

bagi kehidupan mereka. Rumah merekalah yang menjadi tempat utama dan primer

dari kehidupan mereka. Sedangkan, yang selain daripada itu adalah sekunder,

dimana mereka seharusnya tidak merasa berat berpisah dan harus menetap di

dalamnya. Tempat-tempat sekunder itu hanyalah tempat memenuhi kebutuhan

sesuai dengan kadarnya dan waktu dibutuhkannya.53

Rumah merupakan tempat yang disediakan Allah bagi wanita-wanita yang

menemukan hakikat dirinya sesuai dengan kehendak Allah. Wanita-wanita yang

tidak terkontaminasi, menyimpang, dan dikotori oleh syahwat, tidak diperbudak

oleh tugas-tugas yang sebetulnya bukan tugasnya yang telah disediakan oleh Allah

dalam fitrahnya Guna mempersiapkan lingkungan yang baik dan melindungi

generasi yang tumbuh di dalamnya, Islam mewajibkan pemberian nafkah atas laki-

laki sebagai suatu yang fardhu. Sehingga memberikan kesempatan kepada ibu-ibu

rumah tangga untuk mempersembahkan segala tenaga, waktu, dan limpahan kasih

sayang dan hati dalam mengawasi dan membimbing generasi yang mulai

merangkak dan tumbuh.54.

Hakikat rumah tangga tidak akan terwujud bila tidak diciptakan oleh seorang

wanita. Keharuman rumah tangga tidak akan semerbak bila tidak diembuskan oleh

seorang istri. Kasih sayang dalam rumah tangga tidak akan tersebar melainkan di

tangan seorang ibu. Jadi wanita, istri, dan ibu yang menghabiskan waktunya,

tenaganya, kekuatan ruhnya dalam bekerja dan berkarir tidak menyebarkan apa-

apa dalam kehidupan rumah tangga, melainkan tekanan, kelelahan, dan

kebosanan.55

Sesungguhnya keluarnya wanita dari rumah untuk bekerja merupakan

bencana yang hanya di perbolehkan bila kondisi darurat terjadi. Sedangkan bila

53 Ibid., 262. 54 Ibid., 263 55 Ibid.,

Page 55: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

41

manusia menganjurkannya pada mereka mampu menghindari hal itu, maka itu

telah berubah menjadi laknat yang menimpa ruh-ruh, nurani, dan akal dalam

zaman yang berbalik keji dan sesat.56

Sedangkan, keluarnya wanita bukan karena mengejar karir dan berkerja,

yaitu keluar untuk bercampur baur dengan lelaki, bersenang-senang, bersenda

gurau, dan beranjangsana dalam klub-klub dan perkumpulan-perkumpulan, itulah

kubangan dalam lumpur hitam yang menjerumuskan kedalam kehidupan

binatang.57

Wanita di zaman Rasulullah telah biasa keluar untuk shalat tanpa ada

larangan secara syariat dalam hal ini. Namun, pada saat itu, zaman dimana

kehormatan dijunjung tinggi dan ketakwaan menjadi pegangan. Wanita keluar

untuk shalat dalam keadaan terbungkus tidak menampakkan anggota tubuh yang

membawa fitnah sedikit pun.

“…Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang jahiliah

yang dahulu…”

Yaitu, janganlah kalian berhias pada saat harus menunaikan kebutuhan dan

terpaksa harus keluar dari rumah setelah Allah memerintahkan kalian untuk

tinggal di rumah. Wanita pada zaman jahiliah memang bertabarruj atau berhias

agar menor. Namun, semua riwayat yang menyebutkan tabarruj jahiliah yang

dahulu sebetulnya sederhana dan masih punya rasa malu bila dibandingkan dengan

tabarruj yang terjadi pada zaman jahiliah abad kita ini.58

Mujahid berkata, ”Wanita keluar dan berjalan di antara laki-laki itulah

gambaran tabarruj jahiliah dahulu.”

56 Ibid. 57 Ibid. 58 Ibid., 263.

Page 56: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

42

Qatadah berkata,”Mereka berjalan dengan lengak-lengok dan genit. Maka,

Allah pun melarang perilaku demikian.”

Muqotil bin Hayyan berkata,”Tabarruj adalah meletakkan jilbab (khimar) di

atas kepala, namun tanpa diikat. Sehingga melingkari kalung-kalung mereka,

anting-anting mereka, dan leher mereka. Semua itu tampak dari wanita, itulah

yang dinamakan tabarruj.”

Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, “Sebagian wanita di antara wanita-

wanita jahiliah berjalan di tengah-tengah laki-laki dengan membuka dadanya

(bukan payudara) tanpa ditutup oleh apapun. Kadangkala lehernya, punuk-punuk

rambutnya dan anting-antingnya juga ikut ditampakkan. Maka, Allah pun

memerintahkan kepada wanita-wanita mukminat untuk menutupnya dalam

kondisi-kondisi dan keadaan-keadaan mereka.59

Itulah beberapa gambaran tentang tabarruj dalam masa jahiliah, yang ingin

dikoreksi oleh Al-Qur’an yang mulai, agar membersihkan masyarakat islami dari

segala pengaruhnya dan menjauhkan mereka dari faktor-faktor fitnah, serta

godaan-godaan penyimpangan. Juga agar meninggikan adab-adab, persepsi-

persepsi mereka, perasaan-perasaan mereka, dan cita rasa mereka.

Kami mengatakan “cita rasa”, karena cita rasa manusia memang terpana

dengan kecantikan dan lekuk-lekuk tubuh yang telanjang. Ia merupakan cita rasa

yang mendasar dan keras. Dan, cita rasa itu tanpa diragukan lebih rendah dari cita

rasa yang terpana dengan kecantikan dengan malu-malu dan sederhana, serta apa

yang dibangkitkan olehnya dengan kecantikan ruh, kecantikan menjaga diri, dan

kecantikan perasaan-perasaan.60

Standar dan barometer ini tidak pernah salah dalam mengenal ketinggian

derajat manusia dan kemajuannya. Sesungguhnya sifat malu adalah kecantikan

yang hakiki dan tinggi. Namun, kecantikan yang demikian tidak akan dapat

dirasakan oleh orang-orang jahiliah, yang memandang bahwa kecantikan itu

59 Ibid., 264. 60 Ibid., 264

Page 57: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

43

hanyalah tubuh dan daging yang telanjang. Dan mereka tidak tertarik melainkan

hanya dengan daya tarik fisik yang nyata.61

Nash Al-Qur’an mengisyaratkan tabarruj jahiliah bahwa ia merupakan

peninggalan abad jahiliah, dimana orang-orang telah melampai abad jahiliah itu

harus menanggalkannya. Seyogianya mereka telah mencapai persepsi, idola, dan

cita rasa yang lebih tinggi dan membebaskan diri dari persepsi, idola, dan cita rasa

jahiliah.

Jahiliah itu bukanlah periode sejarah tertentu dalam waktu yang terbatas.

Namun, sesungguhnya ia adalah kondisi dan situasi masyarakat dalam bentuk

tertentu yang memiliki persepsi tertentu tentang kehidupan. Kemungkinan adanya

kondisi ini dan persepsi ini adalah sangat mungkin pada zaman manapun dan

tempat manapun. Jadi, kondisi dan persepsi itulah yang menjadi tolak ukur ada

tidaknya jahiliah di suatu tempat dan di suatu zaman.

Dengan standar ini, kita menemukan diri kita, sedang berada di alam jahiliah

yang membabi buta, perasaan yang membantu, persepsi binatang, yang jatuh

hingga ke derajat yang paling hina dan rendah dari seluruh manusia. Kita

menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada kebersihan, kesucian, dan keberkahan

menjalani kehidupan dalam masyarakat seperti ini, yang tidak menjalani, dan

menjadikan pegangan sarana-sarana penyucian dan kebersihan yang ditentukan

oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk menyucikan diri dari kotoran dan

membebaskan diri dari jahiliah yang pertama.

Orang yang pertama yang menjalani dan memegang prinsip itu adalah para

Ahlul Bait istri dan keluarga Rasulullah, meskipun tidak diragukan bahwa mereka

adalah orang-orang yang suci, bersinar, dan bersih.

61 Ibid., 264

Page 58: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

44

“…Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-

Nya…”

Ibadah kepada Allah bukanlah mengasingkan diri dari perilaku sosial dan

akhlak dalam kehidupan. Namun, ibadah itu merupakan jalan menuju tingkat yang

tinggi dan merupakan bekal yang dengannya para pejalan kaki dan pelancong

membekali diri untuk menempuh perjalanan yang panjang itu. Oleh karena itu,

mau tidak mau harus ada jalinan hubungan dengan Allah sehingga dari nya turun

bantuan dan perbekalan. Dan mau tidak mau harus ada jalinan hubungan dengan

Allah sehingga hati menjadi bersih dan suci. Mau tidak mau harus ada jalinan

hubungan dengan Allah sehingga seseorang dapat menanggalkan dan

membebaskan diri dari segala kebiasaan manusia, adat istiadat suatu masyarakat

dan tekanan lingkungan.62

Dengan demikian, dia akan merasakan bahwa dia lebih tinggi dan lebih

terarah dengan hidayah dari pada orang-orang dan manusia lain, masyarakat dan

lingkungannya. Pada kondisi demikian, pantaslah dia memimpin orang-orang yang

lain kepada cahaya yang telah dilihatnya. Bukan sebaliknya, orang-orang lain yang

akan menuntunnya kepada kegelapan dan kejahiliahan yang menenggelamkan

kehidupannya ketika ia berpaling dan menyimpang dari jalan Allah.

Islam merupakan suatu kesatuan yang menghimpun syiar-syiar, adab-adab,

akhlak, syariat, dan sistem-sistem. semua itu berada dalam kesatuan logika akidah.

Masing-masing dari unsur itu memiliki peran sendiri-sendiri dalam merealisasikan

akidah tersebut dan semua unsur itu berjalan seiring dalam arah yang sama. Dari

perhimpunan dan keserasian itulah keberadaan dan eksistensi umum dari agama

ini berdiri. Dan tanpa kedua hal itu eksistensi tersebut tidak akan pernah berdiri.

Oleh karena itu, perintah mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat

kepada Allah dan Rasul nya merupakan penutup pengarahan terhadap cita rasa dan

akhlak perilaku ahlul bait yang mulia. Karena, pengarahan-pengarahan itu tidak

62 Ibid., 265.

Page 59: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

45

mungkin terlaksana tanpa ibadah dan ketaatan. Dan semua memiliki tujuan,

hikmah, dan target,

“…Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,

hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”(Al-Ahzab: 33)

Dalam ungkapan ayat ini terdapat isyarat yang sangat banyak, dan semua

isyarat itu sangat lembut, tipis, dan penuh kasih sayang. Mereka dinamakan ahlul

bait dengan tanpa keterangan tambahan untuk kata bait ‘rumah’. Seolah-olah bait

itu adalah bait satu-satunya di alam ini, yang memilki sifat keistimewaan dan

kekhususan. Sehingga, bila dikatakan bait, maka orang akan mengenalnya

langsung dengan sejelas-jelasnya dan dapat membayangkan dalam pikirannya

tentang gambaran sifat-sifatnya dengan jelas dan terang. Demikianlah halnya bila

orang mengatakan ka’bah, maka ka’bah akan tergambar dengan jelas karena orang

telah mengenal sifat-sifatnya dan ia adalah satu-satunya di alam ini. Ka’bah itu

juga dinamakan dengan Baitullah, kemudian bait saja dan dinamakan juga dengan

al-Bait al-Haram jadi ungkapan tentang “bait Rasulullah” merupakan

penghormatan, kemuliaan, karakteristik, keutamaan, dan kekhususan yang sangat

agung.

Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan

dosa dari kamu, hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Dalam ungkapan ini, terdapat kelembutan tentang penjelasan sebab pembebanan

taklif syari’at dan tujuannya. Kelembutan yang mengisyaratkan bahwa Allah ingin

menjadikan manusia merasakan bahwa Dia Yang Mahatinggi dengan Zat-Nya

yang menyucikan mereka dan menghilangkan kotoran dari mereka. Itu merupakan

Page 60: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

46

pengawasan yang tinggi dan langsung kepada keluarga (bait) Rasulullah. Kita

membayangkan siapa yang mengatakan itu yaitu Allah.63

2. Penafsiran M.Quraish Shihab Pada Surah Al-Ahzab : 33

Pada Ayat 32 menyangkut siksa dan ancaman yang melebihi wanita-wanita

lain disebabkan istri seorang nabi memang berbeda dari segi tanggung jawabnya

dengan wanita-wanita lain, dan memberi tuntunan kepada istri-istri Nabi saw.

menyangkut ucapan, kini dilanjutkan dengan bimbingan menyangkut perbuatan

dan tingkah laku.

”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan

bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah

shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya

Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan

membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab: 33)

Allah berfirman: dan disamping itu, tetaplah kamu tinggal di rumah kamu

kecuali jika ada keperluan untuk keluar yang dapat dibenarkan oleh adat atau

agama dan berilah perhatian yang besar terhadap rumah tangga kamu dan

janganlah kamu bertabarruj, yakni berhias, dan bertingkah laku seperti tabarruj

jahiliah yang lalu dan laksanakanlah secara bersinambung serta dengan baik dan

benar ibadah shalat, baik yang wajib maupun yang sunnah, dan tunaikanlah secara

63 Ibid., 266.

Page 61: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

47

sempurna kewajiban zakat serta taatilah Allah dan Rasul-Nya dalam semua

perintah dan larangan-Nya. Sesungguhnya Allah dengan tuntunan-tuntunan-Nya

ini sama sekali tidak berkepentingan tetapi tidak lain tujuannya hanya bermaksud

hendak menghilangkan dari kamu dosa dan kekotoran serta kebejatan moral, hai

Ahl al-Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.64

Kata (قرن) qarna, begitu dibaca oleh ‘Ashim dan Abu Ja’far terambil dari

kata (اقررن) iqrarna dalam arti tinggallah dan beradalah di tempat secara menetap.

Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata (عين قرة) qurrat

‘ain dan yang ini berarti sesuatu yang menyenangkan hati. Dengan demikian.

Perintah ayat ini berarti : biarlah rumah kamu menjadi tempat yang menyenangkan

hati kamu. Ini dapat juga mengandung tuntunan untuk berada di rumah dan tidak

keluar rumah kecuali ada kepentingan.

Banyak ulama membaca ayat di atas dengan kasrah pada huruf qaf yakni

qirna. Ini terambil dari kata (قرار) qarar, yakni berada di tempat. Dengan

demikian, ayat ini memerintahkan istri-istri Nabi saw. itu untuk berada ditempat

yang dalam hal ini adalah rumah-rumah mereka. Ibn ‘Athiyyah membuka

kemungkinan memahami kata qirna terambil dari kata (وقار) waqar, yakni wibawa

dan hormat. Ini berarti perintah untuk berada di rumah karena itu mengundang

wibawa dan kehormatan buat kamu.

Kata (تبرجن) tabarrajna dan (تبرج) tabarruj terambil dari kata (برج) baraja,

yaitu tampak dan meninggi. Dari sini kemudian ia dipahami juga dalam arti

kejelasan dan keterbukaan karena demikian itulah keadaan sesuatu yang tampak

dan tinggi. Larangan ber-tabarruj berarti larangan menampakkan “perhiasan”

dalam pengertiannya yang umum yang biasanya tidak di tampakkan oleh wanita

baik-baik, atau memakai sesuatu yang tidak wajar dipakai, seperti berdandan

secara berlebihan, atau berdandan dengan berlenggak-lenggok, dan sebagainya.

Menampakkan sesuatu yang biasanya tidak di tampakkan kecuali kepada suami

64 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Tangerang: Pt.Lantera Hati.2016) 465.

Page 62: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

48

dapat mengandung decak kagum pria lain yang pada gilirannya dapat

menimbulkan rangsangan atau mengakibatkan gangguan dari yang usil.

Kata ( الجاهليه ) al-jahiliyyah terambil dari kata (جهل) jahl yang digunakan

Al-Qur’an untuk menggambarkan suatu kondisi di mana masyarakatnya

mengabaikan nilai-nilai ajaran ilahi, melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas

dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun kepicikan pandangan. Karena itu,

istilah ini secara berdiri sendiri tidak menunjuk ke masa sebelum islam, tetapi

menunjuk masa yang ciri-ciri masyarakatnya bertentangan dengan ajaran islam,

kapan dan dimanapun.

Ayat di atas menyifati jahiliyyah tersebut dengan al-ula. Yakni, masa lalu.

Bermacam-macam penafsiran tentang masa lalu itu. Ada yang menunjuk masa

Nabi Nuh as. Atau sebelum Nabi Ibrahim as. Agaknya yang lebih tepat adalah

menyatakan masa sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad

selama pada masa itu masyarakatnya mengabaikan tuntunan Ilahi. Disisi lain,

adanya apa yang dinamai “jahiliah yang lalu” mengisyaratkan akan adanya

“Jahilliah kemudian”. Itu tentu setelah masa Nabi Muhammad saw. Masa kini

dinilai oleh Sayyid Qutbh dan banyak ulama lain sebagai Jahiliah modern.65

Kata ( الرجس ) ar-rijs pada mulanya berarti kotoran. Ini dapat mencakup

empat hal. Kekotoran berdasar pandangan agama, akal, atau tabi’at manusia, atau

ketiga hal tersebut. Khamr dan perjudian adalah kotoran menurut pandangan

agama dan akal. Khamr yang melekat pada badan adalah kotoran dari segi syara’,

meminumnya adalah kotoran dalam pandangan agama dan akal. Debu di baju dan

keringat yang melekat adalah kotoran dalam pandanga dalam tabiat manusia.

Sedang, bangkai adalah kotoran dalam pandangan agama, akal, dan juga tabiat

manusia.

Kata ( البيث ) al-bait secara harfiah berarti rumah. Yang di maksud di sini

adalah rumah tempat tinggal istri-istri nabi Muhamad saw. Rumah itu beliau

65 Ibid., 466.

Page 63: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

49

bangun berdampingan atau menyatu dengan masjid. Ia terdiri dari sembilan kamar

yang sagat sederhana.

Berbeda pendapat ulama tentang siapa saja yang di cakup oleh Ahl al-Bait

pada ayat ini. Melihat konteks ayat, istri-istri Nabi Muhamad saw. termasuk

didalamnya, bahkan merekalah yang pertama dituju oleh konteks ayat ini.

Sementara ulama memperluas dengan memahami kata al-Bait dalam arti Baitullah

al-Haram sehingga Ahl al-Bait adalah penduduk Mekkah yang bertakwa. Namun,

pendapat ini jelas keluar dari konteks pembicaraan ayat. Namun dari sisi lain, tidak

dapat juga dikatakan bahwa Ahl al-Bait hanya istri-istri Nabi saw. ini karena

redaksi ayat yang digunakan sebagai mitra bicara dalam konteks uraian Ahl al-Bait

bukannya bentuk yang digunakan khusus buat perempuan (muannats/feminin)

tetapi justru (mudzakkar/maskulin) yang dapat juga digunakan utuk pria bersama

wanita. Anda lihat ayat tersebut tidak menggunakan istilah (ليدهب عنكن ) li

yudzhiba ‘ankunna yang digunakan terhadap mitra bicara perempuan, tetapi

redaksi yang digunakan adalah (ليدهب عنكم) li yudzhiba ‘ankum dalam bentuk

Mudzakkar itu. Ini berarti bahwa Ahl al Bait bukan hanya istri Nabi tetapi

mencakup pula sekian banyak pria. Pandangan ini didukung oleh riwayat yang

menyatakan bahwa ayat ini turun di rumah istri Nabi saw., Ummu salamah. Ketika

itu, Nabi saw. memanggil Fatimah, putri beliau, bersama suaminya, yakni ‘Ali Ibn

Abi Thalib, dan kedua putra mereka (cucu Nabi saw.), yakni al-Hasan dan al-

Husain. Nabi saw. menyelubungi mereka dengan kerudung sambil berdo’a: “Ya

Allah mereka itulah Ahl Bait-ku, bersihkanlah mereka dari dosa, dan sucikanlah

mereka sesuci-sucinya.” Ummu Salamah yang melihat peristiwa ini berkata: “Aku

ingin bergabung ke dalam kerudung itu, tetapi Nabi saw. mencegahku sambil

bersabda: Engkau dalam kebajikan ... engkau dalam kebajikan.” (HR.ath-

Thabarani dan Ibn Katsir melalui Ummu Salamah ra.).66

66 Ibid., 467.

Page 64: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

50

Agaknya, Nabi saw. menolak memasukkan Ummu Salamah kedalam

kerudung itu bukan karena beliau bukan Ahl al-Bait, tetapi karena yang masuk di

kerudung itu adalah yang didoa kan Nabi saw. secara khusus, sedang Ummu

Salamah sudah termasuk sejak awal dalam kelompok Ahl al-Bait melalui konteks

ayat ini. Atas dasar ini, ulama-ulama salaf berpendapat bahwa Ahl al-Bait adalah

seluru istri Nabi saw. bersama Fatimah, ‘Ali Ibnu Abi Thalib, serta al-Hasan dan

al-Husain. Ulama Syi’ah kenamaan, Thabathaba’i, membatasi pengertian Ahl al-

Bait pada ayat ini hanya terbatas pada lima orang yang masuk dalam kerudung itu,

yaitu Nabi Muhamad saw., ‘Ali Ibnu Abi Thalib, Fathimah az-Zahra’, serta al-

Hasan al-Husain. Sadang, pembersian mereka dari dosa dan penyucian mereka

dipahminya dalam arti ‘ishmat yakni keterpeliharan mereka dari perbuatan dosa.

Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa Ahl al-Bait adalah semua

anggota keluarga Nabi Muhammad saw. yang bergaris keturunan sampai kepada

Hasyim, yaitu ayah kake Nabi Muhamad saw., putra Abdullah, putra Abdul

Muthalib, putra Hasyim.

Kini, penulis kembali kepada aspek hukum yang dikandung oleh perintah

waqarna atau waqirna fi buyutikum. Perintah di atas sebagaimana terbaca

ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad saw. persoalan yang di bicarakan

ulama adalah apakah wanita-wanita muslimah selain istri-istri Nabi dicakup juga

oleh perintah tersebut? Al-Qurthubi (w 671 H) yang dikenal sebagai salah seorang

pakar tafsir khususnya dalam bidang hukum menulis antara lain: “Makna ayat

diatas adalah perintah utuk menetap di rumah. Walaupun redaksi ayat ini ditujukan

kepada istri-istri Nabi Muhammad saw., selain dari mereka juga tercakup dalam

perintah tersebut.” Selanjutnya, Al-Qurthubi menegaskan bahwa agama dipenuhi

oleh tuntunan agar wanita-wanita tinggal di rumah dan tidak keluar rumah kecuali

karena darurat. Pendapat yang sama di kemukakan juga oleh Ibnu al-‘Arabi (1076-

1148 M) dalam tafsir Ayat-ayat Al-Ahkam-nya. Sementara itu, penafsiran Ibn

Katsir sedikit lebih longar. Menurutnya, ayat tersebut merupakan larangan bagi

Page 65: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

51

wanita untuk keluar rumah jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama,

seperti shalat, misalnya.67

Al-Maududi, pemikir Muslim Pakistan kontemporer, menganut paham yang

mirip dengan pendapat di atas. Dalam bukunya, al-Hijab, Ulama ini antara lain

menulis bahwa “tempat wanita adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari

pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah dengan tenang

dan hormat sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga.

Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, boleh saja mereka keluar

rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu.

“Terbaca bahwa al-Maududi tidak menggunakan kata “darurat” tetapi” kebutuhan

atau keperluan”. Hal serupa dikemukakan oleh tim yang menyusun tafsir yang

diterbitkan oleh Departemen Agama RI.

Thahir Ibn Asyur menggaris bawahi bahwa perintah ayat ini ditujukan

kepada istri-istri Nabi sebagai kewajiban, sebagai bagi wanita-wanita muslimah

selain mereka sifatnya adalah kesempurnaan. Yakni, tidak wajib, tetapi sangat baik

dan menjadikan wanita-wanita yang mengindahkannya menjadi lebih sempurna.

Persoalannya adalah dalam batas-batas apa saja izin tersebut? Misalnya,

“bolehkah mereka bekerja? Muhammad Quthub, salah seorang pemikir Ikhwan al-

Muslimin menulis dalam bukunya Ma’rakah at-Taqalid, bahwa: “Ayat itu bukan

berarti bahwa wanita boleh bekerja karena islam tidak melarang wanita bekerja.

Hanya saja, Islam tidak senang dan tidak mendorong hal tersebut. Islam

membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai

dasar.”

Dalam bukunnya, Syubuhat Haula al-Islam, Muhammad Quthub lebih

menjelaskan bahwa: Perempuan pada awal zaman Islam pun bekerja ketika

kondisi menuntut mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau

tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa islam tidak

67 Ibid., 468.

Page 66: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

52

cenderung mendorong wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan

yang sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan

wanita tertentu. Misalnya, kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada yang

membiayai hidupnya atau karena yang menanggung hidupnya tidak mampu

mencukupi kebutuhannya.

Sayyid Quthub menulis bahwa arti waqarna dalam firman Allah: Waqarna fi

buyutikunna berarti “Berat, mantap, menetap”. Tetapi, tulisnya lebih jauh, “ini

bukan berarti bahwa mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Ini mengisyaratkan

bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu adalah tempat ia

tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.”

Sa’id Hawa salah seorang ulama Mesir kontemporer memberikan contoh

tentang apa yang dimaksud dengan kebutuhan, seperti mengunjungi orangtua dan

belajar yang sifatnya fardhu ‘ain atau kifayah, dan bekerja untuk memenuhi

kebutuhan hidup karena tidak ada orang yang dapat menanggungnya.68

Dalam surat al-Ahzāb ayat 33 ini mencakup dua kandungan hukum, yaitu

perintah untuk tetap berada di dalam rumah dan larangan tabarruj (berhias yang

berlebihan) bagi perempuan. M. Quraish Shihab berpendapat bahwa pada

prinsipnya Islam tidak melarang wanita bekerja di dalam atau di luar rumahnya,

secara mandiri atau bersama-sama, dengan swasta atau pemerintah, siang atau

malam, selama pekerjaan itu dilakukannya dalam suasana terhormat, serta selama

mereka dapat memelihara tuntunan agama serta dapat menghindarkan dampak-

dampak negatif dari pekerjaan yang dilakukannya itu terhadap diri dan

lingkungannya. Bekerja dapat menjadi wajib bagi wanita jika keadaan

membutuhkannya, seperti jika ada seorang yang melahirkan dan tidak ada bidan

yang membantunya kecuali dia, ataukah yang dia selaku pekerja

membutuhkannya, demi memelihara kelangsungan hidupnya atau menghidupi

anak-anaknya. Sekian banyak wanita pada zaman Nabi saw. dan sahabat-sahabat

68 Ibid.,469.,

Page 67: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

53

beliau yang bekerja, baik mandiri maupun tidak, guna membantu suami yang tidak

mampu memenuhi kewajibannya untuk memberi nafkah keluarga. Pada zaman

Nabi dan sahabat beliau dikenal antara lain Ummu Salim binti Malhan sebagai

perias pengantin, Qilat Ummi Bany Ammar sebagai pedagang. Zainab Ibn Jahsy

yang dikenal terlibat dalam pekerjaan menyamak kulit binatang, Asy-Syaffa yang

mendapat tugas dari Khalifah Umar Ibn Khaththab menangani pasar Madinah, dan

masih banyak lagi yang lain.69

Khusus untuk wanita yang berstatus istri, sebelum bekerja ia harus

mendapatkan izin dari suaminya, dan seandainya tanpa izinnya, maka kewajiban

suami untuk memberi nafkah kepadanya dapat gugur.70

69 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 10, hlm. 332. 70 Ibid.

Page 68: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

54

BAB 1V

ANALISIS PERBANDINGAN PENAFSIRAN SAYYID QUTTHB DAN

QURAISH SHIHAB TERHADAP Q.S. AL-AHZAB : 33

A. Perbandingan Penafsiran Sayyid Qutthb dan Quraish Shihab Terhadap Q.S.

Al-Ahzab : 33

1. Segi Metodologi Penafsiran

Sayyid Quthb Quraish Shihab

Metodologi ➔ Dalam menafsirkan

kitab Fii Zhilalil Qur’an Sayyid Quthb

menggunakan metode tahlili.

Metodologi ➔ Begitu juga dengan

Quraish Shihab dalam

menafsirakan Kitab Al-Misbah, ia

menggunaakan metode tahlili.

Namun Quraish Shihab

menggunakan metode semi tematik

(tahlili dan maudhui), yaitu

mengelompokkan ayat yang

memiliki tema yang sama dengan

mengikuti urutan mushaf. Awal

metode yang digunakan M. Quraish

Shihab adalah metode tahlili,

kemudian M. Quraish Shihab

mengemukakan bahwa metode

tahlili memiliki berbagai

kelemahan, maka dari itu M.

Quraish Shihab juga menggunakan

metode maudhu’i atau tematik,

yang menurutnya metode ini

memiliki beberapa keistimewaan,

54

Page 69: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

55

diantaranya adalah metode ini

dinilai dapat menghidangkan

pandangan dan pesan Al-Qur‟an

secara mendalam menyeluruh

menyangkut tema-tema yang

dibicarakan. Maka dari itu M.

Quraish Shihab di samping

menggunakan metode tahlili juga

menggunakan metode maudhu’i.

Corak ➔ oleh Sayyid Quthb dalam

Tafsir Fii Zhilalil Qur’an adalah

corak ‘ilmi, corak fiqhi, corak

‘adaby, dan lain-lain. Namun, dari

berbagai corak itu, Sayyid Quthb

selalu fokus pada hikmah,

kandungan, dan pelajaran yang

dapat diambil dari setiap potongan

ayat yang ditafsirkan. Dapat

disimpulkan bahwa yang

difokuskan pada tiap corak itu

adalah ‘adaby ijtima’i, karena

beliau selalu mengambil hikmah

dan pelajaran dan kemudian

dikorelasikan untuk diambil

pengarahannya pada umat zaman

sekarang.

Bisa dikatakan bahwa tafsir

Corak ➔ Corak pada tafsir Al-

Misbah yaitu lebih menekankan

dan memfokuskan pada corak

‘adabiy ijtima’i. M. Quraish Shihab

lebih banyak menekankan sangat

perlunya memahami wahyu Allah

secara kontekstual, maka pesan-

pesan yang terkandung di dalamnya

dan dapat difungsikan dengan baik

dalam dunia nyata. Corak-corak

tafsir yang berorientasi pada

kemasyarakatan akan cenderung

mengarahkan pada masalah-

masalah yang berlaku atau terjadi

dimasyarakat.

Page 70: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

56

Fi Zhilal al-Qur’an dapat

digolongkan ke dalam tafsir al-

Adabi al-Ijtima’I (satra, budaya,

dan kemasyarakatan). Hal ini

mengingat backgroundnya yang

merupakan seorang sastrawan

hingga ia bisa merasakan

keindahan bahasa serta nilai-nilai

yang dibawa al-Qur’an yang

memang kaya dengan gaya bahasa

yang sangat tinggi.71 Begitu juga

dengan kepeduliannya terhadap

sosial. Oleh karenanya dalam

menafsirkan Al-Qur’an banyak

dipenaruhi oleh fenomena-

fenomena sosial yang terjadi pada

zamannya.

2. Segi Substansi Penafsiran terhadap peran perempuan dalam Q.S Al-Ahzab : 33

Sayyid Quthb Quraish Shihab

Dalam menafsirkan kalimat “Dan

hendaklah kamu tetap di

rumahmu….”, Sayyid Quthb

mengartikan kata waqara-yaqaru

adalah bermakna berat dan

Quraish Shihab berpendapat bahwa

“Dan hendaklah kamu tetap di

rumahmu….”, pada prinsipnya

Islam tidak melarang perempuan

bekerja di dalam atau di luar rumah.

71 Mahdi Fadullah, Titik Temu Agama dan Politik (Analisa Pemikiran Sayyid Quthb), CV.

Ramadhani, Solo, 1991, 42.

Page 71: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

57

menetap. Namun, bukanlah makna

dari pernyataan itu bahwa

perempuan harus tinggal dan

menetap selamanya dirumah

sehingga tidak keluar sama sekali.

Tetapi, yang dimaksud adalah

isyarat bahwa rumah mereka

adalah fondasi pokok dan utama

bagi kehidupan mereka. Rumah

merekalah yang menjadi tempat

utama dan primer dari kehidupan

mereka. Sedangkan, yang selain

daripada itu adalah sekunder,

dimana mereka seharusnya tidak

merasa berat berpisah dan harus

menetap di dalamnya. Tempat-

tempat sekunder itu hanyalah

tempat memenuhi kebutuhan sesuai

dengan kadarnya dan waktu

dibutuhkannya.

Bagi Sayyid Quthb perempuan

diperbolehkan keluar rumah hanya

dalam keadaan yang mendesak dan

sangat penting. menurutnya

keluarnya perempuam dari rumah

untuk bekerja merupakan bencana

yang hanya di perbolehkan bila

selama pekerjaan itu dilakukannya

dalam suasana terhormat, serta

selama mereka dapat memelihara

tuntunan agama serta dapat

menghindarkan dampak-dampak

negatif dari pekerjaan yang

dilakukannya itu terhadap diri dan

lingkungannya. Bekerja dapat

menjadi wajib bagi wanita jika

keadaan membutuhkannya, seperti

jika ada seorang yang melahirkan

dan tidak ada bidan yang

membantunya kecuali dia, ataukah

yang dia selaku pekerja

membutuhkannya, demi

memelihara kelangsungan hidupnya

atau menghidupi anak-anaknya.

Page 72: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

58

kondisi darurat terjadi. Sedangkan,

keluarnya perempuan bukan karena

mengejar karir dan berkerja, yaitu

keluar untuk bercampur baur

dengan lelaki, bersenang-senang,

bersenda gurau, dan beranjangsana

dalam klub-klub dan perkumpulan-

perkumpulan, itulah kubangan

dalam lumpur hitam yang

menjerumuskan kedalam

kehidupan binatang.

Hemat penulis, bahwa penafsiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab

terhadap peran perempuan ayat waqarna fii buyuutikum terdapat sedikit

perbedaan. Meskipun Quraish Shihab dalam tulisannya banyak menyadur

pandangan-pandangan mufassir terdahulu, termasuk pandangan Sayyid Quthb

yang paling banyak ia sadur, namun Quraish Shihab tetap memberikan analisis dan

pandangannya sendiri. Yaitu bahwa Islam memperbolehkan perempuan keluar

rumah selama masih berada pada koridor-koridor yang telah di atur oleh agama.

Bahkan ada keadaan yang mewajibkan perempuan untuk keluar rumah. Sedangkan

Sayyid Quthb berpendapat bahwa perempuan jauh lebih baik berada di rumah.

Meskipun menurutnya bukan berarti mengasingkan diri dari perilaku sosial dan

kehidupan, akan tetapi jika tidak ada hal-hal yang mendesak untuk peempuan

bekeja, maka sebaiknya perempuan tidak bekerja. Apalagi jika keluar rumah hanya

untuk untuk bercampur baur dengan lelaki, bersenang-senang, dan bersenda gurau,

maka hal itu sangat dilarang.

Kemudian setelah adanya rukhsah diperbolehkannya perempuan keluar

rumah, muncul syariat yang menyusun konsep bagaimana etika atau adab

Page 73: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

59

perempuan jika keluar rumah. Sebagaimana dalam kata “…Dan janganlah kamu

berhias dan bertingkah laku seperti orang jahiliah yang dahulu…”

Sayyid Quthb Quraish Shihab

janganlah kalian berhias pada saat harus

menunaikan kebutuhan dan terpaksa

harus keluar dari rumah setelah Allah

memerintahkan kalian untuk tinggal di

rumah. Wanita pada zaman jahiliah

memang bertabarruj atau berhias agar

menor. Namun, semua riwayat yang

menyebutkan tabarruj jahiliah yang

dahulu sebetulnya sederhana dan masih

punya rasa malu bila dibandingkan

dengan tabarruj yang terjadi pada

zaman jahiliah abad kita ini.72

Quraish Shihab mengartikan

Larangan bertabarruj berarti larangan

menampakkan “perhiasan” dalam

pengertiannya yang umum yang

biasanya tidak di tampakkan oleh

wanita baik-baik, atau memakai

sesuatu yang tidak wajar dipakai,

seperti berdandan secara berlebihan,

atau berdandan dengan berlenggak-

lenggok, dan sebagainya.

Menampakkan sesuatu yang

biasanya tidak di tampakkan kecuali

kepada suami dapat mengandung

decak kagum pria lain yang pada

gilirannya dapat menimbulkan

rangsangan atau mengakibatkan

gangguan dari yang usil.

Menurut penulis keduanya sama dalam mengartikan tebarruj. Hanya saja

tedapat pebedaan pada pandangan Batasan tabaruj. Sayyid Quthb menambahkan

bahwa tabarrujnya perempuan dahulu sebetulnya lebih sederhana daripada tabarruj

pada zaman sekarang.

72 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran (Jakarta: Anggota IKAPI. 2004), 263.

Page 74: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

60

Adapun dalam memaknai kata jahiliah yang terdapat dalam kalimat larangan

betabarruj, Sayyid Quthb memandang bahwa Jahiliah itu bukanlah periode sejarah

tertentu dalam waktu yang terbatas. Namun, sesungguhnya ia adalah adanya

kondisi dan persepsi yang sangat mungkin pada zaman manapun dan tempat

manapun. Jadi, kondisi dan persepsi itulah yang menjadi tolak ukur ada tidaknya

jahiliah di suatu tempatss dan di suatu zaman, termasuk zaman sekarang.

Sedangkan Quraish Shihab menggambarkan suatu kondisi di mana masyarakatnya

mengabaikan nilai-nilai ajaran ilahi, melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas

dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun kepicikan pandangan. Karena itu,

istilah ini secara berdiri sendiri tidak menunjuk ke masa sebelum islam, tetapi

menunjuk masa yang ciri-ciri masyarakatnya bertentangan dengan ajaran islam,

kapan dan dimanapun.

Artinya kedua mufassir ini sama dalam menafsirkan kata jahiliah. Yaitu

bukan hanya periode sejarah tertentu atau sebelum datangnya Islam, akan tetapi

dapat diartikan menggambarkan suatu kondisi masyarakat yang dalam

kehidupannya bertentangan dengan ajaran Islam.

B. Konseptualisasi Pemikiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab tentang Peran

Perempuan Masa Kini

Islam sudah menetapkan ketentuan-ketentuan yang perlu diperhatikan.

Semuanya tercantum dalam kitab suci Alquran, hadis, maupun fatwa ulama, agar

menjadi tuntunan. Ada tiga pendapat dari para ulama serta cendekiawan yang

mewarnai pembahasan seputar wanita karier. Pertama, mereka yang membolehkan

wanita bekerja tanpa syarat apapun. Kedua, tidak membolehkan sama sekali, dan

ketiga, membolehkan tapi dengan syarat-syarat tertentu.73

Seperti dikutip dari Kitab al-Mawsu'at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,

menurut ulama dan cendekiawan asal Mesir, Sayid Qutb, ajaran Islam lebih dekat

73https://www.republika.co.id/berita/humaira/samara/13/09/30/mtxb47-wanita-karier-dalam-

pandangan-islam, diakses pada tanggal 11 Desembe 2020.

Page 75: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

61

dengan pandangan yang terakhir. "Sebab, tidak ada larangan dalam Islam,

membolehkan wanita bekerja di bidang kemampuannya asal disesuaikan dengan

kodrat kewanitaannya. Yakni kodrat biologis dan mentalnya."

Dengan memperhatikan uraian itu, jelaslah bahwa Islam sama sekali tidak

pernah menganggap wanita hanya sebagai penganggur, atau harus di rumah saja,

seperti yang dituduhkan sejumlah kalangan. "Sebaik-baik canda seorang Muslimah

di rumahnya adalah bertenun," demikian sabda Nabi Muhammad SAW yang

menekankan agar wanita juga harus tekun berkarya.

Berdasarkan budaya hidup masyarakat Indonesia, keterlibatan kaum wanita

dalam tugas-tugas di luar rumah adalah hal biasa namun menjadi kebiasaan bagi

wanita bekerja membantu keluarga, ada sebagai petani, peternak dan pedagang.

Keterlibatan mereka dalam kerja seperti ini tidak menimbulkan banyak masalah

karena pekerjaan tersebut tidak terikat dengan berbagai peraturan. Namun

permasalahan yang dihadapi pada zaman sekarang ini adalah bagi wanita yang

sudah berkeluarga dan memiliki anak harus terus bekerja untuk memenuhi

kebutuhan keluarganya sehingga mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk

keluarga mereka.74

Namun demikian, bukan tidak mungkin perempuan dapat menyesuaikan

diantara keduanya. Oleh karenanya sebelum memutuskan untuk bekerja di luar

rumah, perempuan seharusnya memahami secara betul keberadaanannya sebagai

ibu rumah tangga dan keberadaanya sebagai perempuan bekerja. Begitu juga,

perempuan juga hendaknya hendaknya mengetahui etika dan adab-adab ketika

mereka keluar rumah agar mereka tidak melewati koridor yang dibatasi oleh ajaran

Islam. Adapun adab dan etika perempuan ketika keluar rumah yaitu :

1. Menutup Aurat, tentang Batasan aurat perempuan terdapat perbedaan di

kalangan ulama. Salah satunya M. Quraish Shihab batasan aura yang boleh

tampak adalah seluruh tubuh kecuali wajah, telapak tangan, rambut, dan kaki.

74 Nurliana, Wanita Karir Menurut Hukum Islam, 74.

Page 76: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

62

Tentu saja pakaian yang digunakan tidak boleh ketat sehingga menampakkan

lekuk-lekuk tubuh, tidak juga dengan menggunakan bahan yang transparan.75

Adapula ulama yang mengatakan seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak

tangan, dan ada yang mengatakan wajah seorang wanita juga merupakan aurat,

maka dari itu harus ditutup dengan jilbab dan hanya menampakkan satu mata

saja untuk melihat. Hemat penulis semua pendapat baik untuk diterapkan.

Meskipun demikian, ada baiknya menjadi perempuan yang salehah, sebaiknya

memakai pakaian yang lebih panjang dan lebar, supaya terhindar dari perbuatan

fitnah dan dari binatangbinatang kecil pengganggu, seperti nyamuk dan lalat,

yang kadang membawa berbagai macam penyakit. Selain itu, dengan memakai

busana panjang dan lebar, gerakan akan lebih bebas, hati menjadi tenang, tidak

khawatir kalau organ tubuh tampak dari luar.

2. Tidak Bertabaruj, Pada dasarnya Islam telah melarang wanita melakukan

Tabarruj. walaupun seorang wanita telah menutup aurat dan berbusana Syar’i, 76

namun tidak menutup kemungkinan ia melakukan tabarruj, yaitu ia berhias

wajah secara berlebihan, atau memakai pakaian yang membuatnya terlihat

indah di dpan laki-laki ajnabi. Tabarruj juga berarti keluarnya wanita yang telah

berhias dari rumahnya yang dengan sengaja tidak memakai hijab serta

berpakaian tipis lagi ketat padahal dia mengetahui hukumnya kalau memakai

hijab itu wajib. Sedangkan dia keluar rumah lalu berjalan dengan

memperlihatkan kecantikan wajah dengan behias yang berlebih-lebihan

melenggak-lenggokkan jalanya sehingga terlihat perhiasan yang ada padanya

dihadapan orang lain.

3. Meminta Izin Suami (Bagi Yang Sudah Bersuami), Syarat dan adab keluar rumah

bagi perempuan pertama yaitu izin. Terlebih lagi jika perempuan tersebut sudah memiliki

keluarga. Meminta izin kepada suami merupakan hal yang wajib bagi perempuan untuk keluar

75 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi (Hidup Bersama AlQur‟an), PT. Mizan

Pustaka, Bandung, 2007, h. 314 76 Abdul Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Wanita, (Jakarta Timur : Gria

Ilmu, 2010), 427.

Page 77: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

63

rumah. Izin kepada suami pun bertujuan untuk menghindari fitnah, dan agar suami kita

mengetahui apa tujuan yang akan kita lakukan sekaligus agar lebih mudah mencari tahu jika

hal-hal yang tidak diinginkan terjadi

4. Menundukkan pandangan, Istilah menundukkan pandangan disebut dengan

ghadul bashar. Ghadul bhasar terdiri dari dua kata yaitu berasal kata ghadda

dan bashara. ghadda menunjukkan berarti menahan, menundukkan,

mengurangi, atau memejamkan. Sedangkan bashara berarti melihat atau

memandang. Menahan pandangan adalah menahan pandangan dari hal-hal yang

haram dilihat. Perintah menahan pandangan ini ditujukan kepada orang yang

beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan menahan pandangan,

menurut Quraish Shihab adalah mengalihkan arah pandangan, serta tidak

memantapkan pandangan dalam waktu yang lama kepada sesuatu yang

terlarang atau kurang baik.77 menjaga pandangan merupakan sesuatu yang

sangat diperhatikan dan ditekankan dalam Islam, karena pandangan inilah yang

menjadi pemicu utama munculnya tindakan-tindakan asusila dan kriminalitas di

masyarakat. Agama Islam menegaskan bahwa yang pertama kali dijaga adalah

pandangan, sebelum menjaga kemaluan karena semua yang terjadi itu bermula

dari pandangan mata, laksana api besar bermula dari lilitan kecil. Pada awalnya

dimulai dari pandangan, kemudian terlintas dalam pikiran, lalu menjadi

langkah, dan selanjutnya terjadi dosa ataupun kesalahan. Maka dari itu,

dikatakan bahwa barang siapa yang mampu menjaga pandangan, pikiran,

ucapan, dan tindakan, berarti dia telah menjaga agamanya.

5. Menghiasi diri dengan rasa malu, Diantara kandungan as-Sunnah terdapat hal-

hal yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, yang hal ini sangat

mendapatkan sorotan. Dalam masa transisi ke agama Islam banyak pula sikap-

sikap yang harus dirubah untuk sesuai dalam syari’at Islam, salah satunya

adalah sikap malu. Pada masa Jahiliyah, masyarakat kurang memiliki rasa malu

77 Akbar HS, Gadd Al-Bashar (Menahan Pandangan) Dalam Perspektif Al-Qur’an (Kajian

Tahlili Terhadap QS Al-Nuur / 24: 30 dan 31), (Skripsi UIN Alauddin Makassar, 2016), 15.

Page 78: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

64

sehingga kesombongan dominan adanya, dan kurang adanya sikap rendah diri

setiap individu.78 Dalam hal ini, perempuan yang ingin keluar rumah

diwajibkan untuk menghiasi diri dengan rasa malu. Hal ini bertujuan tak lain

untuk menjaga dirinya sendiri. Perempuan dintuntut untuk menghiasi diri

dengan rasa malu akan pakaian yang tidak sesuai syari’at, malu kepada laki-laki

yang bukan mahram sehingga ia senantiasa menjaga sikapnya. Dan malu

terhadap hal-hal buruk lainnya.

6. Menjaga kehormatan suaminya serta mendukung dan mendorong pekerjaan

suaminya, tidak berniat menghianti suami dan hartanya.

7. Senantiasa memperbaiki dirinya dan mengatur rumah tangganya dengan baik,

tidak melupakan kewajibannya sebagai hamba Allah dan sebagai seorang istri.

8. Senantiasa merasa cukup dengan pemberian suaminya dari rezki yang diberikan

Allah.

9. Istri tidak membangga-banggakan kecantikannya dan melecehkan keburukan

suaminya

Siapa di antara perempuan muslimah yang menginginkan kedudukan

terhormat, mulia disisi Allah serta tidak diganggu oleh laki-laki, maka

tanamkanlah ketaqwaan, keimanan, mendekatlah diri kepada Allah dengan

menjalankan apa yang diperintahkan dan pakailah pakaian yang menutupi aurat

ketika berada di luar rumah, serta mengerti dan menjalankan etika dan adab-adab

dalam Islam. Selanjutnya Islam melihat hukum wanita karir adalah mubah, selama

ia masih menjaga kodratnya sebagai wanita, sebagai ibu dan sebagai istri dan apa

yang diperolehnya merupakan suatu ibadah sedekah terhadap rumah tangganya.

Namun hukum tersebut bisa berubah menjadi haram, bila para wanita melalaikan

tugasnya dan bekerja tanpa izin suaminya.

78 Maratus Solichah, Malu Tidak Akan Mendatangkan Sesuatu Kecuali Kebaikan (Hadis

Kitab Musnad Ahmad No. Indeks 19328), (Skripsi: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2018), 2.

Page 79: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

65

BAB V

KESIMPULAN

a. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data, maka diperoleh beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

1. Sayyid Quthb dan Quraish Shihab merupakan ulama yang lahir dari zaman yang

terpaut tidak terlalu jauh. Sayyid Quthb lahir pada tahun 1906 sedangkan M.

Quraish Shihab lahir pada tahun 1944. Oleh karena mereka hidup di zaman

yang tidak terpaut jauh menjadikan pemikirannya tidak banyak perbedaan.

Sayyid Quthb dan Quraish Shihab hampir memiliki pola penafsiran yang sama

baik dari segi metode dan corak, yaitu metode. Mereka sama-sama

menggunakan pendekatan sosial atau ‘adabiy ‘ijtimai. M.Quraish Shihab pun

dalam tafsirnya banyak menyadu pendapat Sayyid Quthb.

b. Berdasarkan research dari berbagai literatur yang penulis dapatkan, dapat

disimpulkan bahwa syari’at Islam tidak melarang secara mutlak untuk

perempuan keluar rumah. Akan tetapi, saat perempuan keluar rumah harus

memperhatikan beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam, yaitu :

1) menutup aurat, 2) tidak bertabarruj, 3) meminta isin suami (bagi yang sudah

bersuami), 4) menundukkan pandangan, 5) menghiasi diri dengan rasa malu.

Selain itu, adanya peran perempuan di luar rumah, seperti bekerja atau berkarir

tidak boleh membuatnya mengabaikan rumah tangganya. Rumah tangga dan

pekerjaan-pekerjaan yang ada di dalam rumah adalah kewajiban dan prioritas

utama bagi perempuan.

c. Pada penafsiran Sayyid Quthb mengenai perempuan keluar rumah adalah hal

yang mubah. Pernyataan ayat yang memerintahkan hendaklah perempuan tetap

tinggal di rumah mereka, bukan berarti mereka harus tinggal dan menetap

selamanya dirumah sehingga tidak keluar sama sekali. Tetapi, yang dimaksud

adalah isyarat bahwa rumah mereka adalah fondasi pokok dan utama bagi

65

Page 80: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

66

kehidupan mereka. Rumah merekalah yang menjadi tempat utama dan primer

dari kehidupan mereka. Sedangkan, yang selain daripada itu adalah sekunder,

dimana mereka seharusnya tidak merasa berat berpisah dan harus menetap di

dalamnya. Tempat-tempat sekunder itu hanyalah tempat memenuhi kebutuhan

sesuai dengan kadarnya dan waktu dibutuhkannya. Menurutnya keluarnya

wanita dari rumah untuk bekerja merupakan bencana yang hanya di

perbolehkan bila kondisi darurat terjadi. Sedangkan, keluarnya wanita bukan

karena mengejar karir dan berkerja, yaitu keluar untuk bercampur baur dengan

lelaki, bersenang-senang, bersenda gurau, dan beranjangsana dalam klub-klub

dan perkumpulan-perkumpulan, itulah kubangan dalam lumpur hitam yang

menjerumuskan kedalam kehidupan binatang. Sedangkan pada Tafsir Al-

Misbah, Quraish Shihab tidak menyebut atau menjelaskan secara gamblang

mengenai hukum perempuan keluar rumah atau bekerja di luar rumah, akan

tetapi Quraish Shihab banyak menyadur pendapat para mufassir dari berbagai

generasi. Mayoritas pendapat mufassir yang ia kutip adalah bahwa Islam tidak

melarang perempuan keluar rumah. Akan tetapi jangan sampai pekerjaan di luar

rumah membuatnya mengabaikan kewajiban-kewajiban yang ada di dalam

rumah, karena rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu

adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.

B. Rekomendasi Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti merekomendasikan

hendaklah perempuan-perempuan muslimah yang ingin keluar rumah

memperhatikan adab-adab yang telah ditentukan oleh syari’at Islam. Jangan

sampai sebagai perempuan muslimah kehilangan jati diri dan identitas sebagai

muslimah. Selain itu jika ada hajat keperluannya untuk keluar, boleh saja mereka

keluar rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara

rasa malu.

Page 81: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

67

adapun bagi perempuan yang telah berumah tangga, hendaklah

mendahulukan kewajiban terhadap rumah tangga dibanding kegiatan di luar

rumah. Karena rumah tangga merupakan prioritas utama dan tugas pokok,

sedangkan yang di luar itu adalah tugas sekunder. Selain itu Masalahnya bukan

terletak pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah

bahwa islam tidak cenderung mendorong perempuan keluar rumah kecuali untuk

pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau

atas dasar kebutuhan perempuan tertentu. Misalnya, kebutuhan untuk bekerja

karena tidak ada yang membiayai hidupnya atau karena yang menanggung

hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.

Page 82: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

68

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bashar, Akbar HS. 2016. Gadd (Menahan Pandangan) Dalam Perspektif Al-

Qur’an (Kajian Tahlili Terhadap QS Al-Nuur / 24: 30 dan 31). Skripsi. UIN

Alauddin. Makassar

Al-Hasyimi, Muhammad Ali. 1997. Jati Diri Wanita Muslimah. Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar

Depdikbud. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama

Fadullah, Mahdi. 1991. Titik Temu Agama dan Politik (Analisa Pemikiran Sayyid

Quthb). Solo: CV. Ramadhani

Fatimah, Titin. 2015. Wanita Karir dalam Islam. MUSAWA. 7(1), 42

Ghafir, Abd. 2016. Sekilas Mengenal At-Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i, Al-Aḥkām, I,

No.1, 27.

Hanafi, Nur. 2010. Hak Keluar Rumah bagi Wanita Menurut Surat Al-Ahzab Ayat 33

(Studi Instinbath Hukum Ibnu Katsir dan At-Thabathaba’i), Skripsi. Yogyakarta: UIN

Sunan Kalijaga

Hanapi, Agustin. 2015. Peran Perempuan Dalam Islam. Gender Equality:

Internasional Journal of Child and Gender Studies 1(1), 17

Harun, Mariatul Qibtiyah. 2018. Rethinking Peran Perempuan, Feminisme Dalam

Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik Dan Kontemporer, Dalam Nurul Ilmah Nafi’ah,

Peranan Perempuan Dalam Rumah Tangga Menurut Al-Qur’an Surat Al-Nisa’ Ayat

34 (Studi Komparasi Tafsir Al-Sya’rawi Karya Muhammad Mutawalli Al-Sya’rawi

Dan Tafsir Ibn Kathir Karya Ibn Kathir). Tesis. Pascasarjana Universitas Islam

Negeri Sunan Ampel. Surabaya

https://bincangsyariah.com/kalam/dalil-berbuat-baik-kepada-tetangga-dalam-al-

quran-dan-hadis/

https://dalamislam.com/info-islami/peran-wanita-dalam-islam

https://www.republika.co.id/berita/humaira/samara/13/09/30/mtxb47-wanita-karier-

dalam-pandangan-islam, diakses pada tanggal 11 Desember 2020

Page 83: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

69

Ilyas, Yunahar Feminisme. 2018. Dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik Dan

Kontemporer, Dalam Nurul Ilmah Nafi’ah, Peranan Perempuan Dalam Rumah

Tangga Menurut Al-Qur’an Surat Al-Nisa’ Ayat 34 (Studi Komparasi Tafsir Al-

Sya’rawi Karya Muhammad Mutawalli Al-Sya’rawi Dan Tafsir Ibn Kathir Karya Ibn

Kathir). Tesis. Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Surabaya

Iqbal, Muhammad. 2010. Metode Penafsiran A-Qur’an M. Quraish Shihab. Jurnal

Tsaqafah. 6(2), 249

Juwita, Dwi Runjani. 2018. Pandangan Hukum Islam Terhadap Wanita Karir, (El-

Wasathiya. Jurnal Studi Agama. 6(2), 176

Lutfiani, Naili Fauziah. 2017. Hak-hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33:

Sebuah Pendekatan Hermeneutik. Jurnal eL-Tarbawi. X, 2 (64)

Nisa, Elvi Lathifatun. 2017. Wanita Karier Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir

Al-Mishbāh. Skripsi. IAIN Tulungagung.

Noor, Sofia Retnowati. 2015. Tinjauan Psikologis Peran Perempuan dalam Keluarga

Islami, dalam Andi Bahri S, Perempuan Dalam Islam (Mensinerjikan Antara Peran

Sosial Dan Peran Rumah Tangga). Jurnal Al-Maiyyah. 8(2), 189

Nurliana. Wanita Karir Menurut Hukum Islam

Quthb, Sayyid Quthb. 2016. Biografi Sayyid Quthb. Yogyakarta: Pro-U Media

Quthb, Sayyid. 2003. Fi Zhilalil Qur’an. Kairo: Dar al-Syuruq

Quthb, Sayyid. 2004. Tafsir Fi Zhilalil Quran. Jakarta: Anggota IKAPI

Quthb, Sayyid. 2016. Biografi Sayyid Quthb.Yogyakarta: Pro-U Media

Retoliah. 2015. Perempuan Dalam Manajemen Keluarga Sakinah. MUSAWA. 7(1),

7

Rokim, Syaeful, Mengenal Metode Tafsir Tahlili.

S, Andi Bahri. 2015. Perempuan Dalam Islam (Mensinerjikan Antara Peran Sosial

Dan Peran Rumah Tangga). Jurnal Al-Maiyyah. 8(2), 190

Salim, Abdul Malik Kamal Bin As-Sayyid. 2010. Fiqih Sunnah Wanita. Jakarta

Timur: Gria Ilmu

Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan

Page 84: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

70

Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka

Shihab, M. Quraish. 2007. Secercah Cahaya Ilahi (Hidup Bersama AlQur‟an).

Bandung: PT. Mizan Pustaka

Shihab, M.Quraish. 2016. Tafsir Al-Mishbah. Tangerang: Pt.Lantera Hati

Solichah, Maratus. 2018. Malu Tidak Akan Mendatangkan Sesuatu Kecuali Kebaikan

(Hadis Kitab Musnad Ahmad No. Indeks 19328) Skripsi. Universitas Islam Negeri

Sunan Ampel

Tim Penyusun. 2009. Kedudukan dan Peran Perempuan: Tafsir Al-Qur’an Tematik.

Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an

Walidain, Abdul 'Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Birrul. (Berbakti Kepada Kedua

Orang Tua). https://republika.co.id/berita/qjdixq366/cara-bersikap-kepada-orang-tua-

nonmuslim. Diakses pada tanggal 20 November 2020.

Wartini, Atik. 2013. Tafsir Feminim M. Quraish Shihab, Telaah Ayat-Ayat Gender

dalam Tafsir Al-Misbah. Jurnal Palastren. 478-482

Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya.

Semarang: Karya Toha

Zulkarnaen, M. Rifqy. 2006. Mukjizat Alquran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Page 85: Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah

71

CURICULUM VITAE

Informasi Diri

Mela Anggraini dilahirkan di desa Berembang Kecamatan Sekernan,

Kabupaten Muaro Jambi, pada 02 Sepetembar 1998 Putri dari Siamad (Alm) dan

Salama.

Riwayat Pendidikan

Mela Anggraini memperoleh Sarjana Agama dari Universitas Islam Negeri

Sultan Thaha Saifuddin Jambi pada 2020, ijazah Madrasah Aliyah Swasta (MAS)

diperolehnya pada 2016, Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada 2013 dan dia

memperoleh ijazah Sekolah Dasar (SD) pada 2010.

Riwayat Organisasi

Mela mempunyai pengalaman organisasi baik di kampus maupun di luar

kampus. LDK Al-Uswah merupakan organisasi yang di pilih selama berada di

kampus. Sedangkan organisasi di luar yaitu Badan Komunikasi Pemuda Remaja

Masjid Indonesia (BKPRMI) Muaro Jambi.