tafsir albaqarah 1-10
DESCRIPTION
Makalah ringkas tentang Tafsir Al-Baqarah dari berbagai mufassir klasik dan kontemporer.TRANSCRIPT
TAFSIR AL-BAQARAH AYAT 1-10
A. TEKS AYAT
B. TERJEMAH
1. Alif laam miin.
2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; sebagai
petunjuk bagi mereka yang bertakwa,
3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib,
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang
Kami anugerahkan kepada mereka.
4. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang
telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat.
5. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan
mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
6. Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka,
kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan,
mereka tidak juga akan beriman.
1
7. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka,
dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa
yang amat berat.
8. Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman
kepada Allah dan hari kemudian,” padahal mereka itu
sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
9. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang
beriman, namun mereka hanya menipu diri sendiri sedang
mereka tidak sadar.
10. Dalam hati mereka terdapat penyakit, lalu Allah
menambah penyakit mereka. Bagi mereka siksa yang
menyakitkan, disebabkan mereka berdusta.
C. PENDAHULUAN
Surah ini diturunkan di Madinah dan seluruhnya terdiri dari 286
ayat. Nama al-Baqarah (sapi betina) sendiri diambil dari cerita yang terdapat
dalam surat tersebut tentang sapi betina pada masa Nabi Musa. Surah Al-
Baqarah merupakan surah yang terpanjang di antara berbagai surat dalam
Alquran. Di samping itu, Surah al-Baqarah juga mengandung macam-macam
hukum yang tidak terdapat di dalam surat yang lain. Karena itulah, Khalid bin
Ma’adan menamakannya dengan Fusthath al-Quran (Tenda Besar Al-
Qur’an).Di dalam riwayat lain, Al-Baqarah juga disebut dengan nama Sanam
al-Qur’an (Punuknya Al-Qur’an).1
Surah ini juga memiliki beberapa keutamaan. Dalam salah satu
hadis, Nabi SAW bersabda, “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti
kuburan. Sungguh, setan akan lari dari suatu rumah yang di dalamnya
1 Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974), juz 1, hal. 191.
2
dibaca Surah Al-Baqarah.”2 Di samping itu, di dalam surah al-Baqarah, juga
terdapat ayat al-Kursi yang memiliki banyak keutamaan. Tentang ayat al-
Kursi ini, Nabi Muhammad bersabda dalam salah satu hadisnya, “Pemimpin
ayat Al-Qur’an adalah ayat Kursi.”3 Selain ayat Kursi, kedua ayat terakhir di
dalam al-Baqarah juga memiliki banyak keutamaan. Dalam hal ini, Nabi
SAW bersabda, “Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari Surah
al-Baqarah di dalam hari, maka kedua ayat itu akan mencukupkan dirinya.”4
D. TAFSIR
1. Alif laam miin.
Ayat ini terdiri dari tiga huruf, yaitu alif, lam, dan mim
yang dibaca secara terpisah meski tertulis dalam bentuk satu
kata. Ayat yang terletak di awal surah seperti ini disebut pula
dengan huruf at-tahajji (huruf abjad). Model ayat seperti ini
terdapat di terdapat 19 surah,5 seperti, alif laam raa, alif
laam miim shaad dan sebagainya. Para ahli tafsir berbeda
pendapat tentang ayat-ayat seperti ini. Menurut as-Suyuthi,
pendapat yang tepat adalah bahwa ia termasuk ayat
mutasyabih (samar) yang mengandung rahasia Allah yang
hanya diketahui oleh-Nya.6 Sebagian ulama seperti Ibnu
2 Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ ash-Shahih (Shahih Muslim), (Beirut: Dar al-Aufaq al-Jadidah, tt),hadis no 1860, juz, hal. 188. 3 Muhammad bin Abdullah Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), hadis 3030, juz 1, hal. 286. 4 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fi al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H), juz 12, hal. 498.5 Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H), juz 1, hal. 165.6 Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974), juz 1, hal. 190
3
Abbas berpendapat bahwa ayat (الم) dan ayat lain yang
sejenis merupakan singkatan dari kalimat tertentu. Ayat (
(الم misalnya dimaknai sebagai singkatan dari أعلم الله أنا
(Akulah Allah yang Maha Mengetahui). 7
Menurut Qatadah, huruf-huruf tersebut merupakan
nama-nama Al-Qur’an. Sedangkan menurut Mujahid dan Ibnu
Zaid, huruf-huruf itu adalah nama-nama surah. Dikatakan
nama surah karena jika Fulan membaca, misalnya , المص
maka pendengar pun mengetahui bahwa Fulan sedang
membaca sebuah surat yang dibuka dengan .المص Dalam
kesempatan lain, Ibnu Abbas mengatakan bahwa huruf-huruf
itu adalah sumpah. Lebih lanjut al-Akhfasy menjelaskan
bahwa Allah bersumpah dengan huruf-huruf tersebut.8
Sedangkan at-Tustari berpendapat bahwa ayat-ayat
tersebut adalah nama Allah yang mengandung berbagai
makna dan sifat-Nya. Jika ayat tersebut dipisah-pisahkan,
maka huruf alif berarti susunan yang diciptakan Allah. Dia
menyusun segala sesuatu sesuai dengan yang Ia kehendaki.
Sedangkan huruf lam berarti ميدلقا هفطل (kelembutan-Nya
yang abadi). Huruf mim berarti ميظعال هدجSSSم
(kedermawanan-Nya yang agung). Ayat-ayat demikian juga
jika digabungkan dengan satu sama lain akan menjadi kata
yang bermakna nama Allah, seperti ayat حم, الر , dan ن,
7 Ibid.8 Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997), juz 1, hal. 59.
4
akan menjadi (ar-Rahman) الSSرحمن yang berarti Maha
Pengasih.9
Masih banyak pandangan ulama yang berupaya
untuk menafsirkan tentang ayat-ayat demikian. Namun
seperti pandangan Ibnu Katsir, pandangan-pandangan
tersebut mungkin untuk dikompromikan, yaitu bahwa ayat-
ayat tersebut merupakan nama-nama surah dan nama-nama
Allah yang dipergunakan untuk mengawali suatu surah.
Setiap huruf dalam ayat-ayat tersebut menunjuk kepada
salah satu nama dari nama-nama Allah serta menunjuk
kepada suatu sifat dari berbagai sifat-Nya. Hal itu sesuai
dengan kebiasaan Alquran yang membuka awal surat dengan
ungkapan pujian (tahmid), pensucian (tasbih), dan
pengagungan (ta’zhim) kepada Allah. 10
Ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa
huruf-huruf itu gunanya untuk menarik perhatian para
pendengar supaya memperhatikan Al-Quran itu, dan untuk
mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah
dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf. Jika
mereka tidak percaya bahwa Al-Quran diturunkan dari Allah
dan hanya buatan Muhammad s.a.w. semata-mata, maka
cobalah mereka buat semacam Al-Quran itu.11
9 At-Tustari, Tafsir at-Tustari, Juz 1, hal. 5. 10 Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), juz 1, hal. 158. 11 Ibid., juz 1, hal. 160.
5
2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,
Dalam at-Tafsir al-Muyassar, ayat di atas ditafsirkan
bahwa inilah Alquran yang merupakan kitab yang agung. Tak
ada keraguan bahwa ia berasal dari Allah. Tak satu pun dari
orang bertakwa yang boleh meragukan penjelasannya.
Orang-orang yang bertakwa bisa mengambil manfaat
darinya, baik berupa ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.
Mereka itulah orang-orang yang merasa takut kepada Allah
dan rela mengikuti hukum-hukum-Nya.12
Bagi orang-orang yang bertakwa, Alquran memang kitab suci yang
tak diragukan otentisitas dan kebenaran pesan yang dikandungnya. Ia menjadi
petunjuk (huda) bagi orang-orang yang bertakwa dalam menjalani hidup ini.
Namun bagi orang-orang yang tidak bertakwa, Alquran bisa jadi
diragukan kebenaran dan keasliannya. Hal inilah yang terjadi
pada sebagian orang Islam yang tergoda dengan para
orientalis. Mereka teracuni pemikiran-pemikiran para
orientalis yang meragukan kebenaran Alquran. Keraguan-
keraguan tersebut akhirnya menggerogoti keimanan. Pada
gilirannya, mereka pun tak lagi meyakini Alquran sebagai
kitab suci dari Allah yang pasti benar. Mereka bahkan
menganggap Alquran hanya sebagai naskah kitab suci
biasanya yang bisa dikritik dan diragukan kebenarannya.
12 Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, et.al, at-Tafsir al-Muyassar, hal. 16.
6
3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Ayat ini merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya
tentang siapa yang dimaksud dengan orang yang bertakwa.
Ayat ini lantas menjelaskan bahwa orang-orang yang
bertakwa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) beriman
kepada yang gaib; 2) mendirikan shalat; dan 3) dan
menyumbangkan sebagian rezekinya kepada orang-orang
yang berhak.
Dari ciri-ciri tersebut, bisa ditanyakan kembali apa
yang dimaksud dengan iman? Iman ialah kepercayaan yang
teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa.
Tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang
dikehendaki oleh iman itu.
Yang ghaib ialah sesuatu yang tak dapat ditangkap
oleh pancaindra. Percaya kepada yang gaib yaitu, meyakini
adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap
oleh pancaindra, karena ada dalil yang menunjukkan kepada
adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat
dan sebagainya.
Shalat menurut bahasa Arab berarti doa. Menurut
istilah syara', shalat adalah ibadat yang sudah dikenal, yang
dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang
dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan
diri kepada Allah. Mendirikan shalat ialah menunaikannya
dengan teratur, dengan melengkapi syarat-syarat, rukun-
7
rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin,
seperti khusyuk, memperhatikan apa yang dibaca dan
sebagainya.
Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat diambil
manfaatnya. Menafkahkan sebagian rezeki berarti
memberikan sebagian dari harta yang telah diberikan oleh
Tuhan kepada orang-orang yang ditentukan oleh agama,
seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat,
anak-anak yatim, dan lain-lain.13
4. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Setelah ayat sebelumnya menyebutkan tiga ciri
orang yang bertakwa, ayat ini menyebutkan dua ciri
berikutnya, yaitu (4) meyakini Alquran yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW dan kitab-kitab yang
diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya, seperti Taurat, Injil,
dan semua kitab lainnya; (5) dan meyakini kehidupan akhirat
yang mengakhiri kehidupan dunia atau mengakhiri
penciptaan.14
Dalam ayat ini, terdapat persoalan bagaimana
Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Imam ar-
13 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran, Alquran dan Terjemahnya, (Semarang, Tanjung Mas Inti, tt), hal. 8-9.14 Ibnu Abd as-Salam, Tafsir Ibnu Abd as-Salam, juz 1, hal. 11.
8
Razi menjelaskan bagaimana proses pewahyuan itu terjadi.
Menurutnya, sebelum diturunkan kepada Nabi Muhammad,
Jibril mendengar langsung Kalam Allah di langit. Jika
ditanyakan, bagaimana cara Jibril mendengar Kalam Allah?
Padahal Kalam Allah tidak terdiri dari huruf dan suara seperti
yang dikenal manusia. Dalam hal ini, terdapat beberapa
kemungkinan.15
Pertama, Allah bisa saja menciptakan pendengaran
bagi Jibril guna mendengar Kalam-Nya langsung, lantas Allah
memberikan kemampuan kepada Jibril untuk
mengungkapkannya dalam bentuk ungkapan tertentu dari
Kalam-Nya yang qadim tersebut. Kedua, Allah menciptakan
tulisan dalam susunan tertentu di Lauh Mahfuz lantas Jibril
membaca dan menghafalkannya. Ketiga, Allah menciptakan
suara-suara terpisah yang menggambarkan susunan kalimat
tertentu yang muncul pada jasad tertentu, lantas Jibril
menangkap suara-suara tersebut. Selanjutnya, Allah
memberikan pengetahuan kepada Jibril bahwa ungkapan-
ungkapan tersebut sesuai dengan makna yang dikandung
dari Kalam-Nya yang qadim itu.
Dalam ayat di atas juga disebutkan tentang
keyakinan terhadap kehidupan akhirat sebagai salah satu ciri
orang-orang bertakwa. Adanya kehidupan akhirat adalah
sebuah konsekuensi logis dari prinsip keadilan Tuhan
sebagaimana yang diuraikan oleh kalangan Mu’tazilah. Allah
telah menjanjikan kebahagiaan di akhirat bagi orang-orang
15 Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 2, hal. 30.
9
yang mengikuti aturan-aturan-Nya. Sebaliknya, Allah juga
mengancam kesengsaraan di akhirat bagi orang-orang yang
tidak sudi mengikuti aturan dan larangan-Nya.
Dengan demikian, jika hari akhirat yang dijanjikan
Tuhan itu tidak ada, maka berarti Tuhan tidak adil, padahal
Allah tidak mungkin berbuat tidak adil. Hal itu karena orang-
orang yang membangkang terhadap aturan dan larangan
Allah telah menikmati berbagai kenikmatan di dunia.
Sementara orang-orang yang taat kepada-Nya justru tidak
menikmati sebagian kenikmatan dunia karena mengikuti
perintah-Nya. 16
5. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
Ayat-ayat sebelumnya telah menyebutkan lima ciri-
ciri orang bertakwa. Selanjutnya pada ayat ini, orang-orang
yang bertakwa disebut sebagai orang-orang yang mendapat
petunjuk dari Tuhan mereka dan sebagai orang-orang yang
beruntung. Dengan kata lain, ayat ini merupakan penegasan
tentang ganjaran yang akan diperoleh orang-orang bertakwa,
yaitu petunjuk dari Allah dan keberuntungan.
Keberuntungan yang diperoleh orang-orang bertakwa
itu tidaklah didapat dengan mudah. Ia bukanlah seperti
keberuntungan orang yang mendapat hadiah tanpa usaha
dan kerja keras. Namun keberuntungan itu harus diperoleh
16 Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, hal. 8.
10
dengan kerja keras. Karena itulah kata dasar yang digunakan
dalam ayat di atas adalah al-falh (الفلح), yang berarti
membelah dan memotong. Dalam bahasa Arab, petani
disebut fallaah (حf ,(فال karena seorang petani harus bekerja
keras dengan membelah atau membajak tanah.17
6. Sesungguhnya orang-orang kafir itu sama saja bagi mereka. Kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.
Setelah diuraikan tentang golongan orang beriman,
ayat ini menyebutkan golongan orang kafir. Sekilas ayat di
atas menunjukkan bahwa seolah tidak ada gunanya
berdakwah terhadap orang-orang kafir. Toh, hasilnya tetap
sama saja. Diberi dakwah atau tidak, mereka tetap tidak
beriman. Namun, sebenarnya hal itu karena kekafiran yang
begitu mendalamlah sehingga membuat mereka tidak jua
sudi beriman. Di samping itu, Allah memang memberikan
hidayah kepadanya.
Tentang golongan kafir ini, Rasyid Ridha dalam Tafsir
al-Manar mengklasifikasikan menjadi tiga macam. Pertama,
orang yang mengetahui kebenaran namun ia dengan sengaja
mengingkarinya. Jumlah orang kafir inilah yang paling sedikit.
Kedua, orang yang tidak mengetahui kebenaran, namun tidak
ingin mengetahuinya dan tidak suka untuk mengetahuinya.
17 Ahmad Mushthfa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Syirkah Maktabah al-Babi al-Halabi, tt.), juz 1, hal. 45.
11
Mereka bersikap masa bodoh dan tidak peduli dengan
kebenaran. Ketiga, orang yang telah sakit jiwa dan hatinya. Ia
tidak merasakan nikmatnya kebenaran. Tak ada ketertarikan
di dalam hati mereka untuk menemukan kebenaran. Hati dan
jiwa mereka telah dipenuhi dengan keinginan-keinginan
duniawi dan kenikmatan jasmaniah semata. Akal dan pikiran
mereka dicurahkan untuk memperoleh keuntungan material
saja. Ketiga macam orang kafir seperti itulah yang hasilnya
sama saja. Diberi dakwah atau tidak, mereka tetap tak
beriman. 18
7. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Bagi mereka siksa yang amat berat.
Ayat ini merupakan penjelasan lanjutan mengapa
orang-orang kafir sama hasilnya: diberi peringatan atau tidak,
mereka tetap tak jua beriman. Hal itu karena kekafiran
mereka sudah betul-betul kuat dan kokoh. Saking kuat dan
kokohnya sehingga seolah Allah menutup hati mereka.
Karena itulah, hidayah pun tak jua sampai ke dalam hati
sanubari mereka. Allah seolah meletakkan suatu penutup di
pendengaran mereka sehingga tidak bisa mendengar ayat-
ayat Allah, serta janji dan ancaman-Nya. Petunjuk-petunjuk
kebenaran tidak berpengaruh ke dalam hati mereka.
18 Muhammad bin Rasyid bin Ali Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manaar), (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990), juz 1, hal. 119.
12
Allah seolah melemparkan penutup mata bagi
mereka, lantas mencopot kemampuan mereka untuk melihat
dengan gamblang dan jelas. Karena itulah mereka pun terus
saja berada dalam kekafiran. Dengan kekafiran itu pula,
mereka diganjar dengan siksaan yang dahsyat dari Allah.19
Menurut Ibnu Abbas, orang-orang kafir yang telah
tertutup hati, telinga, dan mata mereka itu adalah orang-
orang Yahudi, seperti Ka’ab bin al-Asyraf, Huyay bin Akhthab,
dan Juday bin Akhthab. Namun ada juga yang berpendapat,
mereka adalah orang-orang musyrik Mekkah, seperti Utbah,
Syaibah, dan al-Walid. 20
Dalam realitas di masyarakat, kita bisa menemukan
orang yang telah tertutup mata hati, telinga, dan matanya.
Apapun nasihat dan anjuran kebenaran yang diberikan
kepadanya, tak jua mempan untuk membuatnya sadar dan
kembali ke jalan yang benar. Hal itu terjadi saat seseorang
melakukan keburukan dan kemaksiatan secara berulang-
ulang dan terus-menerus. Karena begitu seringnya keburukan
dan kemaksiatan ia lakukan, hati nuraninya jadi tertutup. Ia
tak lagi merasa berdosa dan gundah saat melakukan
kejahatan dan keburukan.
8. Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian.” Namun mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
19 As’ad Humaid, Aysar at-Tafasir, juz 1, hal. 14.20 Ibnu Abbas, Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas, juz 1, hal 3.
13
Setelah sebelumnya disebutkan penjelasan tentang
golongan beriman dan kafir, ayat ini menyebutkan tentang
golongan ketiga manusia, yaitu golongan orang munafik. Hal
itu selaras dengan penjelasan Imam al-Khazin, bahwa ayat ini
memang diturunkan untuk orang-orang munafik, seperti
Abdullah bin Ubay bin Salul, Ma’tab bin Qusyair, Jad bin Qais,
dan lain-lain. Secara verbal, mereka menyatakan keislaman
mereka agar mereka selamat dari Nabi Muhammad dan para
sahabat. Namun sebenarnya mereka merahasiakan kekafiran
mereka. Kebanyakan mereka berasal dari kalangan Yahudi.
Sifat orang munafik bisa dikenali dari sikap mereka yang
tidak konsisten. Mereka menyatakan Islam, namun hati
mereka mengingkari Islam. Pagi hari mereka menyatakan
suatu sikap tertentu, tapi di sore hari mereka menyatakan
sikap yang berbeda.21
Sikap munafik tidak terjadi sebelum peristiwa hijrah
kaum muslim dari Mekkah ke Madinah. Setelah hijrah dan
kemenangan umat Islam dalam Perang Badar, barulah
muncul sikap munafik. Kemenangan itu membuat pamor
kaum muslim di Madinah menjadi meningkat. Saat itulah,
orang-orang non Muslim di Madinah menjadi merasa gentar.
Mereka pun memilih untuk menampakkan keislaman karena
merasa takut dan sekedar pura-pura. Hal itu mereka lakukan
agar keselamatan nyawa dan harta mereka tetap terjamin. 22
21 ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), juz 1, hal. 32.22 Abdurrahman bin Nashir bin as-Sa’di, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam ar-Mannan, (tk: Muassasah ar-Risalah, 2000), hal. 10.
14
9. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri namun mereka tidak menyadarinya.
Dari aspek qiraat, kata ادعوني SSه خSSالل bisa dibaca
dengan cara lain. Qiraat yang paling banyak digunakan
memang demikian. Namun Abdullah dan Abu Hayat
membacanya dengan اللSSه يخدعون , tanpa diberi huruf alif
pada huruf kha.23 Sedangkan kata هم إال يخدعون وماSأنفس juga
memiliki dua cara membaca. Penduduk Kufah, Hamzah,
‘Ashim, dan al-Kisa’i membacanya dengan دعون SSيخ tanpa
huruf alif pada huruf kha. Sementara yang lain membacanya
dengan خادعوني tambahan huruf alif pada huruf kha. Meski
terdapat sedikit perbedaan cara membaca, kata tersebut
relatif memiliki makna yang sama.24
Ayat ini merupakan lanjutan penjelasan tentang jati
diri orang-orang munafik. Ungkapan “mereka hendak menipu
Allah” tentu saja bukan makna yang sebenarnya, karena
Allah pasti Maha Mengetahui dan Kuasa. Allah tidak akan bisa
ditipu oleh siapapun. Di dalam tafsir al-Qurthubi, ungkapan
tersebut ditafsirkan, bahwa “mereka menipu Allah menurut
pandangan atau dugaan mereka saja.”25 Karena itulah,
23 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), juz 1 , hal. 51. 24 Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), juz 1, hal. 52.25 Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 2003), juz 1, hal. 195.
15
ungkapan tersebut dilanjutkan dengan ungkapan berikutnya:
“mereka hanyalah menipu diri sendiri.”
10. Dalam hati mereka, terdapat penyakit, lantas Allah menambah penyakit mereka. Bagi mereka siksa yang menyakitkan, disebabkan mereka berdusta.
Ayat ini menjelaskan penyebab orang-orang
termasuk golongan munafik. Hal itu karena di dalam hati
mereka terdapat penyakit, syak wasangka dan iri hati. Sakit
terbagi dua macam, sakit fisik dan sakit psikis. Secara
denotatif (hakiki), sakit fisik terdapat di anggota badan yang
mengakibatkan seseorang tidak mampu melakukan berbagai
perbuatan sebagaimana biasanya. Sedangkan secara
konotatif (majazi), sakit psikis terdapat di dalam hati
seseorang sehingga mengurangi kesempurnaan
perbuatannya, seperti kebodohan, jeleknya akidah, dengki,
pemarah, suka maksiat, dan lain-lain. Penyakit-penyakit hati
ini bisa mencegah seseorang untuk bisa meraih keutamaan
hidup, atau menghalanginya dalam mencapai kehidupan
hakiki yang abadi. Ayat di atas mengandung pengertian sakit,
baik secara fisik maupun psikis sekaligus. Namun mayoritas
ulama menafsirkannya sebagai sakit secara psikis. 26
Ungkapan “Allah menambah sakit mereka” adalah
dikaitkan dengan turunnya Alquran. Bagi orang-orang
26 Muhammad bin Ahmad asy-Syarbini, Tafsir as-Siraj al-Munir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), juz 1, hal. 26.
16
munafik, setiap kali ayat Alquran diturunkan kepada Nabi
Muhammad, mereka pun mengingkari kebenaran ayat
tersebut. Pada saat itu, semakin bertambah pula rasa syak
wasangka dan kedengkian dalam diri mereka. Dengan
demikian, rasa sakit dalam hati mereka juga kian bertambah.
27
Meski bertambahnya penyakit dalam hati mereka
adalah karena ulah orang munafik itu sendiri, namun ayat
tersebut menggunakan ungkapan “Allah menambah sakit
mereka.” Hal itu karena memang Allah yang menciptakan
segala sesuatu di alam semesta ini. Allah pula yang
menciptakan dan mewujudkan terjadinya sakit mereka yang
semakin bertambah. 28
27 Ibid.28 Ibid.
17
BIBLIOGRAFI
‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979).
Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, et.al, at-Tafsir al-Muyassar.
Abdurrahman bin Nashir bin as-Sa’di, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam ar-Mannan, (tk: Muassasah ar-Risalah, 2000).
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fi al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H).
Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr, tt).
Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Fikr, tt).
Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997).
Ahmad Mushthfa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Syirkah Maktabah al-Babi al-Halabi, tt.).
As’ad Humaid, Aysar at-Tafasir.
At-Tustari, Tafsir at-Tustari.
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000).
Ibnu Abbas, Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas.
Ibnu Abd as-Salam, Tafsir Ibnu Abd as-Salam.
Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994).
Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974).
Muhammad bin Abdullah Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990).
Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 2003).
18
Muhammad bin Ahmad asy-Syarbini, Tafsir as-Siraj al-Munir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt).
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H).
Muhammad bin Rasyid bin Ali Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manaar), (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990).
Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi.
Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ ash-Shahih (Shahih Muslim), (Beirut: Dar al-Aufaq al-Jadidah, tt).
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran, Alquran dan Terjemahnya, (Semarang, Tanjung Mas Inti, tt).
19