supervisi akademik

49

Click here to load reader

Upload: nailzakawali

Post on 14-Dec-2014

7.287 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: SUPERVISI AKADEMIK

30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Mutu Mengajar Guru

2.1.1 Pengertian Mutu

Banyak ahli yang mengemukakan tentang mutu, seperti yang

dikemukakan oleh Edward Sallis (dalam Riyadi 2006 : 33) mutu adalah sebuah

filsosofis dan metodologis yang membantu institusi untuk merencanakan

perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal

yang berlebihan. Sudarwan Danim (2007 : 53) mutu mengandung makna derajat

keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik berupa barang dan jasa. Sedangkan

dalam dunia pendidikan barang dan jasa itu bermakna dapat dilihat dan tidak

dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia

(1991 : 677) menyatakan mutu adalah (ukuran), baik buruk suatu benda; taraf

atau derajat (kepandaian, kecerdasan, dsb) kualitas. Selanjutnya Lalu Sumayang

(2003 : 322) menyatakan quality (mutu) adalah tingkat dimana rancangan

spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan fungsi dan

penggunaannya, disamping itu quality adalah tingkat di mana sebuah produk

barang dan jasa sesuai dengan rancangan spesifikasinya.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa mutu

(quality ) adalah sebuah filsosofis dan metodologis, tentang (ukuran) dan tingkat

baik buruk suatu benda, yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan

dan mengatur agenda rancangan spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai

Page 2: SUPERVISI AKADEMIK

31

dengan fungsi dan penggunaannya agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan

eksternal yang berlebihan

Dalam pandangan Zamroni (2007 : 2) dikatakan bahwa :

Peningkatan mutu sekolah adalah suatu proses yang sistematis yang terus menerus meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan itu, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien.

Sedangkan sifat mutu pendidikan menurut Nurdin (dalam Jurnal

Admistrasi Pendidikan ; 102) dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 2.1

Sifat Mutu Pendidikan

Kepercayaan (Reliability)

Keterjaminan (Assurance)

Penampilan (Tangibility)

Kepemerhatian (Emapthy)

Ketanggapan (Responsiveness)

Jujur Aman Tepat waktu Tersedia

Kompeten Percaya diri Meyakinkan Objektif

Bersih Sehat Buatan baik Teratur dan rapih Berpakaian rapih dan harmonis Cantin (indah)

Penuh perhatian terhadap pelanggan Melayani dengan ramah dan menarik Memahami aspirasi pelanggan Berkomunikasi dengan baik dan benar Bersikap penuh simpati

Tanggap terhadap kebutuhan pelanggan Cepat memberi responsi terhadap permitaan pelanggan Cepat memperhatikan dan mengatasi keluhan pelanggan

Peningkatan mutu berkaitan dengan target yang harus dicapai, proses

untuk mencapai dan faktor-faktor yang terkait. Dalam peningkatan mutu ada dua

aspek yang perlu mendapat perhatian, yakni aspek kualitas hasil dan aspek proses

mencapai hasil tersebut.

Aspek pertama menguraikan apa TQM. TQM didefinisikan sebagai sebuah

pendekatan dalam menjalankan usaha yang berupaya memaksimumkan daya

saing melalui penyempurnaan secara terus-menerus atas produk, jasa, manusia,

proses, dan lingkungan organisasi.

Page 3: SUPERVISI AKADEMIK

32

Aspek kedua menyangkut cara mencapainya dan berkaitan dengan sepuluh

karakteristik. Menurut Ety Rochaety, dkk, (2005 :97) TQM terdiri atas :

(a) focus pada pelanggan (internal & eksternal), (b) berorientasi pada kualitas, (c) menggunakan pendekatan ilmiah, (d) memiliki komitmen jangka panjang, (e) kerja sama tim, (f) menyempurnakan kualitas secara berkesinambungan, (g) pendidikan dan pelatihan, (h) menerapkan kebebasan yang terkendali, (i) memiliki kesatuan tujuan, (j) melibatkan dan memberdayakan karyawan.

Edward Sallis ( 2006 :73 ) menyatakan bahwa :

Total Quality Management (TQM) Pendidikan adalah sebuah filsosofis tentang perbaikan secara terus- menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan para pelanggannya saat ini dan untuk masa yang akan datang.

Di sisi lain, Zamroni memandang bahwa peningkatan mutu dengan model

TQM, dimana sekolah menekankan pada peran kultur sekolah dalam kerangka

model The Total Quality Management (TQM). Teori ini menjelaskan bahwa mutu

sekolah mencakup tiga kemampuan, yaitu : kemampuan akademik, sosial, dan

moral. (Zamroni , 2007 : 6)

Menurut teori ini, mutu sekolah ditentukan oleh tiga variabel, yakni kultur

sekolah, proses belajar mengajar, dan realitas sekolah. Kultur sekolah merupakan

nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, upacara-upacara, slogan-slogan, dan berbagai

perilaku yang telah lama terbentuk di sekolah dan diteruskan dari satu angkatan ke

angkatan berikutnya, baik secara sadar maupun tidak. Kultur ini diyakini

mempengaruhi perilaku seluruh komponen sekolah, yaitu : guru, kepala sekolah,

staf administrasi, siswa, dan juga orang tua siswa. Kultur yang kondusif bagi

peningkatan mutu akan mendorong perilaku warga kearah peningkatan mutu

Page 4: SUPERVISI AKADEMIK

33

sekolah, sebaliknya kultur yang tidak kondusif akan menghambat upaya menuju

peningkatan mutu sekolah.

2.1.2 Pengertian Mengajar

Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab

moral yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat bergantung

pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Zamroni

(2000:74) mengatakan “guru adalah kreator proses belajar mengajar”. Ia adalah

orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa

yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas-

batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Dengan demikian dapat

dikemukakan bahwa orientasi pengajaran dalam konteks belajar mengajar

diarahkan untuk pengembangan aktivitas siswa dalam belajar.

Gambaran aktivitas itu tercermin dari adanya usaha yang dilakukan

guru dalam kegiatan proses belajar mengajar yang memungkinkan siswa aktif

belajar. Oleh karena itu mengajar tidak hanya sekedar menyampaikan informasi

yang sudah jadi dengan menuntut jawaban verbal melainkan suatu upaya

integratif ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Dalam konteks ini guru tidak

hanya sebagai penyampai informasi tetapi juga bertindak sebagai director and

facilitator of learning.

Nasution (1982:8) mengemukakan kegiatan mengajar diartikan sebagai

segenap aktivitas kompleks yang dilakukan guru dalam mengorganisasi atau

mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak

sehingga terjadi proses belajar. Dengan demikian proses dan keberhasilan belajar

Page 5: SUPERVISI AKADEMIK

34

siswa turut ditentukan oleh peran yang dibawakan guru selama interaksi proses

belajar mengajar berlangsung.

Usman (1994:3) mengemukakan bahwa :

Mengajar pada prinsipnya adalah membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan terjadinya proses belajar.

Pengertian ini mengandung makna bahwa guru dituntut untuk dapat

berperan sebagai organisator kegiatan belajar siswa dan juga hendaknya mampu

memanfaatkan lingkungan, baik ada di kelas maupun yang ada di luar kelas, yang

menunjang terhadap kegiatan belajar mengajar.Burton (dalam Usman, 1994:3)

menegaskan “teaching is the guidance of learning activities”.

Hamalik (2001:44-53) mengemukakan bahwa :

Mengajar dapat diartikan sebagai (1) menyampaikan pengetahuan kepada siswa, (2) mewariskan kebudayaan kepada generasi muda, (3) usaha mengorganisasi lingkungan sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa, (4) memberikan bimbingan belajar kepada murid, (5) kegiatan mempersiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang baik, (6) suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari.

Tardif (dalam Adrian, 2004) mendefinisikan, bahwa :

Mengajar adalah any action performed by an individual (the teacher) with the intention of facilitating learning in another individual (the learner), yang berarti mengajar adalah perbuatan yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pendidik) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (dalam hal ini peserta didik) melakukan kegiatan belajar.

Biggs (dalam Adrian, 2004) seorang pakar psikologi membagi konsep

mengajar menjadi tiga macam pengertian yaitu :

(1) Pengertian Kuantitatif. Mengajar diartikan sebagai the transmission of knowledge, yakni penularan pengetahuan. Dalam hal ini guru hanya perlu menguasai pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan kepada siswa

Page 6: SUPERVISI AKADEMIK

35

dengan sebaik-baiknya. Masalah berhasil atau tidaknya siswa bukan tanggung jawab pengajar.

(2) Pengertian institusional. Mengajar berarti the efficient orchestration of teaching skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Dalam hal ini guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar terhadap siswa yang memiliki berbagai macam tipe belajar serta berbeda bakat, kemampuan dan kebutuhannya.

(3) Pengertian kualitatif. Mengajar diartikan sebagai the facilitation of learning, yaitu upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa mencari makna dan pemahamannya sendiri. Burton (dalam Sagala, 2003:61) mengemukakan mengajar adalah upaya

memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar

terjadi proses belajar.

Berdasarkan definisi-definisi mengajar dari para pakar di atas dapat ditarik

kesimpulan bahwa mengajar adalah aktivitas kompleks yang dilakukan guru

dalam menyampaikan pengetahuan kepada siswa, sehingga terjadi proses belajar.

Aktivitas kompleks yang dimaksud antara lain adalah (1) mengatur kegiatan

belajar siswa, (2) memanfaatkan lingkungan, baik ada di kelas maupun yang ada

di luar kelas, dan (3) memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan

kepada siswa.

2.1.3. Pengertian Guru

Di abad sekarang ini, yaitu era globalisasi dimana semuanya serba digital,

akses informasi sangat cepat dan persaingan hidup semakin ketat, semua bangsa

berusaha untuk meningkatkan sumber daya manusia. Hanya manusia yang

mempunyai sumber daya unggul yang dapat bersaing dan mempertahankan diri

dari dampak persaingan global. Termasuk juga didalam dunia pendidikan, yang

juga memerlukan sosok seorang pendidik yang mempunyai sumber daya unggul,

Page 7: SUPERVISI AKADEMIK

36

dapat bersaing dan mempertahankan diri dari dampak persaingan global yang

ketat saat ini sehingga mempunyai peranan utama dalam pembentukan harkat dan

martabat manusia. Dalam hal ini sosok seorang pendidik yang dimaksud adalah

Guru. Menurut Makmun, S.A (2003) :

Guru ialah orang dewasa (yang karena jabatannya secara formal) selalu mengusahakan terciptanya situasi yang tepat (mengajar) sehingga memungkinkan terjadinya proses pengalaman belajar (learning experiences) pada diri siswa, dengan mengerahkan segala sumber (learning resources) dan menggunakan strategi belajar mengajar (teaching learning strategy) yang tepat (appropriate).

Sedangkan menurut Nurokhman (2008) bahwa:

Guru adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Sekaligus, guru akan berperan sebagai model bagi anak didik. Kebesaran jiwa, wawasan, dan pengetahuan guru atas perkembangan masyarakatnya akan mengantarkan para siswa untuk dapat berpikir melewati batas-batas kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada

tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu

pendidikan harus dimulai dari aspek guru dan tenaga kependidikan lainnya yang

menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu

manajemen pendidikan yang professional.

Dalam hal ini, profesionalisme seorang guru sangat dibutuhkan dan

menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan yang dilakukannya. Pekerjaaan sebagai

guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak

didiknya, sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnasi. Guru yang

profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan professional.

Page 8: SUPERVISI AKADEMIK

37

Guru yang bermutu dapat diukur dengan lima indikator, yaitu: pertama,

kemampuan profesional (professional capacity), sebagaimana terukur dari ijazah,

jenjang pendidikan, jabatan dan golongan, serta pelatihan. Kedua, upaya

profesional (professional efforts), sebagaimana terukur dari kegiatan mengajar,

pengabdian dan penelitian. Ketiga, waktu yang dicurahkan untuk kegiatan

profesional (teacher’s time), sebagaimana terukur dari masa jabatan, pengalaman

mengajar serta lainnya. Keempat, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya

(link and match), sebagaimana terukur dari mata pelajaran yang diampu, apakah

telah sesuai dengan spesialisasinya atau tidak, serta kelima, tingkat kesejahteraan

(prosperiousity) sebagaimana terukur dari upah, honor atau penghasilan rutinnya.

Tingkat kesejahteraan yang rendah bisa mendorong seorang pendidik untuk

melakukan kerja sambilan, dan bilamana kerja sambilan ini sukses, bisa jadi

profesi mengajarnya berubah menjadi sambilan.

Guru yang profesional amat berarti bagi pembentukan sekolah unggulan.

Guru profesional memiliki pengalaman mengajar, kapasitas intelektual, moral,

keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab, wawasan kependidikan yang luas,

kemampuan manajerial, trampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam

memahami potensi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik,

mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki

kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum.

Implementasi kemampuan profesional guru mutlak diperlukan sejalan

diberlakukannya otonomi daerah, khsususnya bidang pendidikan. Kemampuan

profesional guru akan terwujud apabila guru memiliki kesadaran dan komitmen

Page 9: SUPERVISI AKADEMIK

38

yang tinggi dalam mengelola interaksi belajar-mengajar pada tataran mikro, dan

memiliki kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan pada tataran

makro.

Paradigma metodologi pendidikan saat ini disadari atau tidak telah

mengalami suatu pergeseran dari behaviourisme ke konstruktivisme yang

menuntut guru dilapangan harus mempunyai syarat dan kompetensi untuk dapat

melakukan suatu perubahan dalam melaksanakan proses pembelajaran dikelas.

Guru dituntut lebih kreatif, inovatif, tidak merasa sebagai teacher center,

menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga sebagai subjek

belajar dan pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran yang

menyenangkan, bergembira, dan demokratis yang menghargai setiap pendapat

sehingga pada akhirnya substansi pembelajaran benar-benar dihayati.

Sejalan dengan hal tersebut diatas, pembelajaran menurut pandangan

konstruktivisme adalah:

Pembelajaran dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pembelajaran bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi Pembelajaran itu dan membentuk makna melalui pengalaman nyata. (Depdiknas,2003:11)

Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran

diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student

Center). Guru dituntut untuk menciptakan suasana belajar sedemikian rupa,

sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong (cooperative learning)

Page 10: SUPERVISI AKADEMIK

39

2.1.4. Mutu Mengajar Guru

Untuk menciptakan situasi pembelajaran yang diharapkan seoarang guru

harus mempunyai syarat-syarat apa yang diperlukan dalam mengajar dan

membangun pembelajaran siswa agar efektif dikelas, saling bekerjasama dalam

belajar sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dan saling menghargai

(demokratis) , diantaranya :

1. Guru harus lebih banyak menggunakan metode pada waktu mengajar, variasi metode mengakibatkan penyajian bahan lebih menarik perhatian siswa, mudah diterima siswa, sehingga kelas menjadi hidup, metode pelajaran yang selalu sama (monoton) akan membosankan siswa.

2. Menumbuhkan motivasi, hal ini sangat berperan pada kemajuan, perkembangan siswa. Selanjutnya melalui proses belajar, bila motivasi guru tepat dan mengenai sasaran akan meningkatkan kegiatan belajar, dengan tujuan yang jelas maka siswa akan belajar lebih tekun, giat dan lebih bersemangat. (Slamet ,1987 :92)

Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, kegiatan belajar-mengajar

merupakan fungsi pokok dan usaha yang paling strategis guna mewujudkan tujuan

institusional yang diemban oleh lembaga tersebut.

Dalam rangka pelaksanaan fungsi dan tugas institusional itu, guru

mempunyai kedudukan sebagai figur sentral. Di tangan para gurulah terletak

kemungkinan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan di sekolah,

serta di tangan mereka pulalah bergantungnya masa depan karier para siswa yang

menjadi tumpuan harapan para orangtuanya. Dalam menunaikan perannya yang

maha penting itu, para guru mempunyai tugas-tugas pokok antara lain bahwa ia

harus mampu dan cakap dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi

kegiatan belajar-mengajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Majid, A (2005:91)

bahwa ada tiga komponen dalam melakukan pembelajaran, yaitu :

Page 11: SUPERVISI AKADEMIK

40

a. Merencanakan Pembelajaran (input). Proses belajar mengajar perlu direncanakan agar dalam pelaksanaannya pembelajaran berlangsung dengan baik dan dapat mencapai hasil yang diharapkan. Setiap perencanaan selalu berkenaan dengan pemikiran tentang apa yang akan dilakukan. Perencanaan program belajar mengajar memperkirakan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan pada waktu melaksanakan pembelajaran. Unsur-unsur utama yang harus ada dalam perencanaan pengajaran, yaitu: (1) tujuan yang hendak dicapai, berupa bentuk-bentuk tingkah laku apa yang diinginkan untuk dimiliki siswa setelah terjadinya proses belajar mengajar, (2) bahan pelajaran atau isi pelajaran yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan, (3) metode dan teknik yang digunakan, yaitu bagaimana proses belajar mengajar yang akan diciptakan guru agar siswa mencapai tujuan, dan (4) penilaian, yakni bagaimana menciptakan dan menggunakan alat untuk mengetahui tujuan tercapai atau tidak.

b. Melaksanakan Pembelajaran (Proses). Pembelajaran atau proses belajar mengajar adalah proses yang diatur dengan tahapan-tahapan tertentu, agar pelaksanaannya mencapai hasil yang diharapkan. Tahapan-tahapan kegiatan pembelajaran mengikuti prosedur memulai pelajaran, mengelola kegiatan belajar mengajar, mengorganisasikan waktu, siswa, dan fasilitas belajar, melaksanakan penilaian proses dan hasil pelajaran, dan mengakhiri pelajaran.

c. Mengevaluasi Pembelajaran (Output). Penilaian merupakan usaha untuk memperoleh informasi tentang perolehan belajar siswa secara menyeluruh, baik pengetahuan, konsep, sikap, nilai, maupun proses. Hal ini dapat digunakan oleh guru sebagai balikan maupun keputusan yang sangat diperlukan dalam menentukan strategi mengajar yang tepat maupun dalam memperbaiki proses belajar mengajar. Untuk maksud tersebut guru perlu mengadakan penilaian, baik terhadap proses maupun terhadap hasil belajar. Secara skematik interrelasi antara ke tiga komponen dasar tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut :

Gambar : 2.1 Interrelasi prosen belajar mengajar

GURU

Mengajar

SISWA Belajar TUJUAN

RENCANA/ EVALUASI

Page 12: SUPERVISI AKADEMIK

41

Terjadinyaperilaku belajar pada pihak siswa dan perilaku mengajar pada

pada pihak guru tidak berlangsung dari satu arah, melainkan terjadi secara timbal

balik, dimana kedua pihak berperan dan berbuat secara aktif di dalam suatu

kerangka kerja dan dengan menggunakan cara dan kerangka berpikir yang

seyogyanya dipahami dan disepakati bersama. Tujuan interaksi belajar pada pihak

siswa, mengajar pada pihak guru, merupakan titik temu dan bersifat mengikat

serta mengarahkan aktifitas dari kedua belah pihak. Dengan demikian, criteria

keberhasilan dari rangkaian keseluruhan (proses) interaksi belajar mengajar

tersebut hendaknya ditimbang atau dievaluasikan pada tercpai atau tidaknya

tujuan tersebut. Tujuan dapat tercapai dari setiap proses belajar mengajar dapat

dilihat pada ada tidaknya perubahan-perubahan yang diharapkan terjadi pada

perilaku dan pribadi siswa. Guru dapat dikatakan mengajarnya berhasil kalau

perubahan yang diharapkannya, terjadi pada perilaku dan pribadi siswanya. Begitu

pula dengan siswa dapat dikatakan belajarnya berhasil kalau ia telah mengalami

perubahan-perubahan setelah menjalani proses belajar tersebut pada perilaku dan

probadinya seperti yang diharapkan gurunya dan siswa sendiri.

Apabila memperhatikan hal tersebut, maka dalam konteks proses belajar

mengajar, terutama dalam kaitannya dengan ketiga komponen yang utama itu,

minimal ada tiga hal yang hendaknya dipahami oleh guru yaitu tentang ;

a) Hakikat atau konsep dasar serta terjadinya perilaku belajar pada diri siswa;

b) Kriteria dan cara merumuskan tujuan belajar mengajar dalam bentuk yang

operasional yang dapat dipandang sebagai manifestasi hasil perilaku

Page 13: SUPERVISI AKADEMIK

42

belajar siswa yang secara langsung dapat diamati dan dapat dievaluasi atau

diukur;

c) Karakteristik utama, termasuk segi-segi kebaikan dan kelemahannya, dari

beberapa model strategi belajar mengajar yang umum, serta kriteria yang

dapat digunakan untuk memilihnya bagi keperluan penggunanannya.

Apabila ketiga komponen pembelajaran tersebut dilakukan dengan baik

oleh guru, maka bisa dikatakan seorang guru memiliki mutu yang baik dalam

melakukan pembelajarannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mutu mengajar

guru adalah seperangkat perilaku yang ditunjukkan oleh guru pada saat menjalankan

tugas dan kewajibannya dalam bidang pengajaran yang dapat memuaskan kebutuhan

siswa sehingga menghasilkan pendidikan yang baik.

Menurut Supriadi (1999:98), untuk menjadi professional, seorang guru

dituntut memiliki lima hal, yakni:

a. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.

b. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

c. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.

d. Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.

e. Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98).

Dalam konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru dapat

diwujudkan dalam penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi:

Page 14: SUPERVISI AKADEMIK

43

1. Menguasai bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b) menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.

2. Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan program belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.

3. Mengelola kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.

4. Penggunaan media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b) membuat alat bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan.

5. Menguasai landasan-landasan pendidikan. 6. Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar. 7 .Menilai prestasi siswa untukkepentingan pelajaran. 8. Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a)

mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling, b) menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling.

9. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah. 10. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna

keperluan pengajaran (Suryasubrata 1997:4-5). 2.1.5. Faktor-Faktor Dominan dalam Peningkatan Mutu Mengajar Guru di

Sekolah

Selanjutnya untuk meningkatkan mutu sekolah seperti yang disarankan

oleh Sudarwan Danim (2007 : 56), yaitu dengan melibatkan lima faktor yang

dominan :

1. Kepemimpinan Kepala sekolah; kepala sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara jelas, mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun dan tabah dalam bekerja, memberikan layanan yang optimal, dan disiplin kerja yang kuat.

2. Siswa; pendekatan yang harus dilakukan adalah “anak sebagai pusat “ sehingga kompetensi dan kemampuan siswa dapat digali sehingga sekolah dapat menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa

3. Guru; pelibatan guru secara maksimal, dengan meningkatkan kompetensi dan profesi kerja guru dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya serta pelatihan sehingga hasil dari kegiatan tersebut diterapkan disekolah.

4. Kurikulum; adanya kurikulum yang ajeg/tetap tetapi dinamis, dapat memungkinkan dan memudahkan standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan) dapat dicapai secara maksimal;

Page 15: SUPERVISI AKADEMIK

44

5. Jaringan Kerjasama; jaringan kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan masyarakat semata (orang tua dan masyarakat) tetapi dengan organisasi lain, seperti perusahaan/instansi sehingga output dari sekolah dapat terserap didalam dunia kerja

Berdasarkan pendapat diatas, perubahan paradigma harus dilakukan secara

bersama-sama antara pimpinan dan karyawan sehingga mereka mempunyai

langkah dan strategi yang sama yaitu menciptakan mutu di lingkungan kerja

khususnya lingkungan kerja pendidikan. Pimpinan dan karyawan harus menjadi

satu tim yang utuh (teamwork) yang saling membutuhkan dan saling mengisi

kekurangan yang ada sehingga target (goals) akan tercipta dengan baik.

2.1.6. Strategi Meningkatkan Kualitas Guru dalam Proses Belajar Mengajar

Setiap kali berada pada masa akhir tahun pelajaran pada tiap-tiap lembaga

pendidikan (sekolah) perhatian masyarakat akan tertuju kepada betapa masih

rendahnya kualitas pendidikan sekolah baik pada tingkat SD, SMP, maupun SMA.

Ini ditunjukkan dengan rendahnya hasil nilai ujian akhir nasional (NUAN).

Rendahnya nilai akan selalu dikaitkan dengan rendahnya mutu guru dan

rendahnya kualitas pendidikan guru. Oleh karena itu, dalam rangka untuk

meningkatkan kualitas pendidikan sasaran sentral yang harus dibenahi adalah

kualitas guru dan kualitas pendidikan guru. Berbagai usaha untuk meningkatkan

kualitas guru dan pendidikan guru telah dilaksanakan dengan berbagai bentuk.

Misalnya, dengan dikembangkannya tiga bentuk sekolah, yaitu sekolah formal

mandiri dengan istilah sekolah bertaraf internasional (SBI), sekolah formal

standar dengan istilah sekolah standar nasional (SSN), dan sekolah formal reguler.

Pengajaran dengan sistem contextual teaching learning (CTL), pemanfaatan

Page 16: SUPERVISI AKADEMIK

45

laboratorium baik IPA maupun bahasa, program sertifikasi guru dalam jabatan,

serta pelatihan guru melalui program Corporate Social Responsibility (CSR)

Telkom-Republika. Yaitu, guru tak saja harus pandai tetapi juga kreatif. Usaha-

usaha tersebut adalah untuk mencapai hasil yang maksimal dan memuaskan.

Dalam hal ini guru harus terampil melakukan usaha-usaha untuk perbaikan

mengajar selanjutnya berdasarkan pengalaman yang diperoleh. Guru harus mau

mencari model-model mengajar yang lebih produktif, lebih sesuai dengan kondisi

siswa, mau berusaha untuk menguasai bahan pelajaran. Guru juga harus terampil

mengajar, diskusi dengan rekan guru lain, memahami perilaku anak didiknya,

menyediakan dan mengupayakan sumber dan alat bantu mengajar dan mau

melakukan analisis hasil proses belajar agar ditemukan kelemahan siswa dalam

proses belajarnya.

Atas dasar itu, maka profesionalisasi guru memegang peranan yang sangat

penting. Kemampuan dasar atau kompetensi guru mutlak diperlukan, sebagaimana

profesi lainnya. Secara umum kemampuan guru yang paling utama adalah sebagai

berikut:

1. Menguasai bidang keilmuan yang diajarkannya.

2. Terampil melaksanakan proses pengajaran sehingga mampu mendidik dan

mengajar siswa.

3. Sikap positif terhadap profesi guru serta senantiasa mau meningkatkan

kemampuan yang berkenaan dengan tugas profesinya.

Di sinilah pentingnya kompetensi profesional guru dalam mewujudkan

dan melaksanakan kurikulum, sehingga niat dan harapan dalam kurikulum dapat

Page 17: SUPERVISI AKADEMIK

46

dikuasai dan dimiliki oleh anak didik. Kompetensi profesional guru pada

hakikatnya menggambarkan kemampuan yang dituntut dari tugas dan tanggung

jawabnya.

2.1.7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Belajar Mengajar

Secara fundamental Loree (dalam Makmun, S.A ; 2003) menegaskan

bahwa keefektivan perilaku belajar itu dipengaruhi oleh empat hal, yaitu :

a) Adanya motivasi (drives), siswa harus menghendaki sesuatu (the learner must want something)

b) Adanya perhatian dan mengetahui sasaran (cue), siswa harus memperhatikan sesuatu (the learner must notice something)

c) Adanya usaha (response), siswa harus melakukan sesuatu (the learner must do something)

d) Adanya evaluasi dan pemantapan hasil (reinforcement), siswa harus memperoleh sesuatu (the learner must get something)

Dari keempat hal tersebut Loree mengembalikan kepada tiga komponen

utama dari proses belajar mengajar (yang harus diperhatikan oleh setiap guru yang

bertugas merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi PBM) ialah komponen-

komponen stimulus, organismic, dan response.

2.2. Supervisi Akademik Kepala Sekolah.

2.2.1. Pengertian Supervisi Akademik

Komariah, A (2009 ; 61) mengemukakan bahwa :

Supervisi akademik adalah bantuan supervisor kepada supervisie/guruuntuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga diperoleh penampilan mengajar yang prima yang dilandasi kompetensi, komitmen, dan motivasi yang kuat untuk menjadikan pendidikan lebih berkualitas.

Tujuan utama supervisi akademik adalah untuk meningkatkan kemampuan

profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui pengajaran

yang baik. Supervisi akademik diantaranya dilakukan oleh kepala sekolah, karena

Page 18: SUPERVISI AKADEMIK

47

hal ini merupakan salah satu tugas kepala sekolah sebagai supervisor yaitu

mensupervisi pekerjaan yang dilakukan oleh staf. Salah satu bagian pokok dalam

supervisi tersebut adalah mensupervisi guru dalam melaksanakan kegiatan

pembelajaran. Dan memang kegiatan utama sekolah adalah menyelenggarakan

pembelajaran. Jadi wajar jika tugas kepala sekolah dalam mensupervisi guru

mengajar sangat penting.

2.2.2. Tahapan Yang Perlu Ditempuh Kepala Sekolah Dalam Melaksanakan

Supervisi Akademik

Terdapat tiga tahap dalam melakukan supervisi akademik :

a. Tahap pertemuan awal.

Langkah yanag perlu dilakukan dalam tahap ini adalah :

1) Kepala sekolah menciptakan suasana yang akrab dengan guru, sehingga

terjadi suasana kolegial. Dengan kondisi itu diharapkan guru dapat

mengutarakan pendapatnya secara terbuka.

2) Kepala sekolah dengan guru membahas rencana pembelajaran yang dibuat

guru untuk menyepakati aspek mana yang menjadi fokus perhatian

supervisi, serta menyempurnakan rencan pembelajaran tersebut.

3) Kepala sekolah bersama guru menyusun instrumen observasi yang akan

digunakan, atau memakai instrumen yang telah ada, termasuk bagaimana

cara menggunakan dan menyimpulkannya.

b. Tahap observasi kelas.

Pada tahap ini guru mengajar di kelas, di laboratorium atau di lapangan, dengan

menerapkan keterampilan yang disepakati bersama. Kepala sekolah melakukan

Page 19: SUPERVISI AKADEMIK

48

observasi dengan menggunakan instrumen yang telah disepakati. Beberapa hal

yang perlu diperhatikan dalam observasi, yaitu :

1) Kepala sekolah menempati tempat yang telah disepakati bersama.

2) Catatan observasi harus rinci dan lengkap.

3) Observasi harus terfokus pada aspek yang telah disepakati.

4) Dalam hal tertentu, kepala sekolah perlu membuat komentar yang sifatnya

tepisah dengan hasil observasi.

5) Jika ada chupan atau perilaku guru yang dirasa mengganggu proses

pembelajaran, kepala sekolah perlu mencatatnya.

c. Tahap pertemuan umpan bailk.

Pada tahap ini hasil observasi didiskusikan secara terbuka antara kepala

sekolah dengan guru. Beberapa hal yang perlu dilakukan kepala sekolah dalam

pertemuan balikan, antara lain :

1) Kepala sekolah memberikan penguatan terhadap penampilan guru, agar

tercipta suasana yang akrab dan terbuka.

2) Kepala sekolah mengajak guru menelaah tujuan pembelajaran kemudian

aspek pembelajaran yang menjadi fokus perhatian dlam supervisi.

3) Menanyakan perasaan guru tentang jalannya pelajaran. Sebaiknya

pertanyaan diawali dari aspek yang dianggap berhasil, baru dilanjutkan

dengan aspek yang dianggap kurang berhasil. Kepala sekolah jangan

memberikan penilaian dan biarkan guru menyampaikan pendapatnya.

Page 20: SUPERVISI AKADEMIK

49

4) Kepala sekolah menunjukkan data hasil observasi yang telah dianalisis dan

diinterprestasikan. Beri kesempatan guru untuk mencermati data tersebut,

kemudian menganalisisnya.

5) Kepala sekolah menanyakan kepada guru bagaimana pendapatnya terhadap

data hasil observasi dan analisisnya. Dilanjutkan dengan mendiskusikan

secara trebuka tentang hasil observasi tersebut. Dalam diskusi harus

dihindari kesan menyalahkan. Usahakan agar guru menemukan sendiri

kekurangtannya.

6) Secara bersama menentukan rencana pembelajaran berikutnya, termasuk

kepala sekolah memberikan dorongan moral bahwa guru mampu

memperbaiki kekurangannya.

2.2.3. Konsep Ideal Supervisi

2.2.3.1. Peranan Supervisor Pengajaran

Supervisor pengajaran, tentu memiliki peran berbeda dengan “pengawas”.

Supervisor, lebih berperan sebagai “gurunya guru” yang siap membantu kesulitan

guru dalam mengajar. Supervisor pengajaran bukanlah seorang pengawas yang

hanya mencari-cari kesalahan guru.

Oliva (1984) mengemukakan peran supervisor yang utama, ada empat hal,

yaitu:

(a) sebagai koordinator, berperan mengkoordinasikan program-program dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja guru dalam pembelajaran dan harus membuat laporan mengenai pelaksanaan programnya;

(b) sebagai konsultan, supervisor harus memiliki kemampuan sebagai spesialis dalam masalah kurikulum, metodologi pembelajaran, dan pengembangan staf, sehingga supervisor dapat membantu guru baik secara individual maupun kelompok;

Page 21: SUPERVISI AKADEMIK

50

(c) sebagai pemimpin kelompok (group leader), supervisor harus memiliki kemampuan me-mimpin, memahami dinamika kelompok, dan menciptakan berbagai ben-tuk kegiatan kelompok; dan

(d) sebagai evaluator, supervisor harus dapat memberikan bantuan pada guru untuk dapat mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran dan kurikulum, serta harus mampu membantu mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi guru, membantu melakukan penelitian dan pengembangan dalam pembelajaran dan sebagainya.

2.2.3.2. Kompetensi Supervisor

Untuk dapat melaksanakan peran-peran di atas, supervisor harus

memiliki beberapa kompetensi dan kemampuan pokok, yaitu :

Berkaitan dengan substantive aspects of professional development, meliputi pemahaman dan pemilikan guru terhadap tujuan pengajaran, persepsi guru terhadap peserta didik, pengetahuan guru tentang materi, dan penguasaan guru terhadap teknik mengajar. Kedua berkaitan dengan professional development competency areas, yaitu agar para guru mengetahui bagaimana mengerja-kan tugas (know how to do), dapat mengerjakan (can do), mau mengerja-kan (will do) serta mau mengembangkan profesionalnya (will grow). (Ba-fadal, 1992: 10-11).

Berkaitan dengan hakikat pengajaran, supervisor harus memahami

keterkaitan berbagai variabel yang berpengaruh. Pertama, adalah faktor-faktor

organisasional, terutama budaya organisasi dan keberadaan tenaga profesional

lainnya dalam lembaga pendidikan. Kedua, berkaitan dengan pribadi guru,

menyangkut pengetahuan guru, kemampuan membuat perencanaan dan mengambil

keputusan, motivasi kerja, tahapan perkembangan atau kematangan, dan

keterampilan guru. Ketiga, berkaitan dengan support system dalam pengajaran,

yaitu kurikulum, berbagai buku teks, serta ujian-ujian. Terakhir, adalah siswa

sendiri yang keberadaannya di dalam kelas sangat bervariasi.

Dalam hal adult development, supervisor harus mengetahui tahapan

perkembangan dan kematangan kerja seorang guru, tahapan perkembangan moral,

Page 22: SUPERVISI AKADEMIK

51

tahapan pengembangan profesional, serta berbagai prinsip dan teknik

pembelajaran orang dewasa.

Supervisor harus mengetahui ukuran kemajuan dan keefektifan sebuah

sekolah. Hal ini merupakan muara dari kegiatan yang dilakukan bersama para guru

dan kepala sekolah. Selain berkaitan dengan pembelajaran di dalam kelas,

supervisor juga harus siap membantu kepala sekolah dalam bidang manajerial

secara umum.

2.2.3.3. Teknik-teknik Supervisi

Dengan bekal kompetensi di atas, supervisor diharapkan dapat

melaksanakan tugasnya dengan baik. Dalam pelaksanaan supervisi terdapat

berbagai teknik dan pendekatan yang dapat diterapkan oleh supervisor.

Teknik supervisi, dapat dilakukan secara individual maupun kelompok.

Neagley, Ross, Evans dan Dean (1980) mengidentifikasi berbagai teknik

supervisi individual meliputi kegiatan di dalam dan di luar kelas. Aktivitas

supervisi individual yang dilakukan di dalam ruang kelas, antara lain:

(a) kunjungan dan observasi kelas,

(b) supervisi dengan tujuan untuk mengetahui kompetensi,

(c) supervisi klinis, dan

(d) perbincangan supervisor dengan guru.

Secara individual, program supervisi di luar ruang kelas dalam arti

pengembangan profesional guru secara umum, antara lain berupa:

(a) mengambil matakuliah di perguruan tinggi,

(b) keterlibatan dalam evaluasi,

Page 23: SUPERVISI AKADEMIK

52

(c) konferensi dan kegiatan profesi lainnya,

(d) pemilihan buku teks dan bahan-bahan pembelajaran lainnya,

(e) membaca jurnal/bacaan profesi,

(f) menulis artikel mengenai profesi,

(g) pemilihan guru/staf profesional,

(h) pertemuan informal supervisor dengan guru, dan

(i) berbagai bentuk pengalaman lain yang memungkinkan peningkatan profesional

guru.

Berbagai kegiatan supervisi yang dilakukan secara kelompok, antara lain :

(a) orientasi bagi guru baru,

(b) ujicoba di kelas atau penelitian tindakan kelas,

(c) pelatihan sensitivitas,

(d) pertemuan guru yang efektif,

(e) melakukan teknik Delphi untuk mengambil keputusan mengenai perbaikan

pengajaran/sekolah,

(f) mengunjungi guru lain yang profesional,

(g) pengembangan instrument ujian secara bersama, dan

(h) pusat kegiatan guru.

Dalam kegiatan supervisi kelompok tersebut, tentu saja peran supervisor

yang menonjol adalah sebagai koordinator dan group leader. Sementara itu dalam

kegiatan supervisi individual, supervisor lebih berperan sebagai konsultan.

Berbagai bentuk kegiatan atau taknik supervisi tersebut tentunya sangat

tergantung pada inisiatif supervisor.

Page 24: SUPERVISI AKADEMIK

53

2.2.3.4. Dialog Profesional Dalam Supervisi

Salah satu upaya peningkatan profesional guru adalah melalui supervisi

pengajaran. Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib

dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan Dalam melaksanakan supervisi

akademik, kepala sekolah melakukan dialog antara kepala sekolah dengan guru.

Menurut Komariah, A (2008 ; 2) bahwa :

Dialog supervisi adalah suatu metode utama untuk menggugah dan meningkatkan profesionalisme guru. Essensinya adalah komunikasi yang efektif antara supervisor dngan supervisee. Menemukan aspek pekerjaan seorang pengawas tdak mlibatkan komunikasi akan menjadi kesulitan yang tinggi. Bagaimana mungkin seorang supervisor dapat menyampaikan pesan-pesan inovainya tanpa ada dialog-dialog yang efektif.

2.2.3.5 Tujuan Supervisi Akademik

Pelaksanaan supervisi pengajaran perlu dilakukan secara sistematis oleh

kepala sekolah bertujuan memberikan pembinaan kepada guru-guru agar dapat

melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien. Hal tersebut karena proses

belajar-mengajar yang dilaksanakan guru merupakan inti dari proses pendidikan

secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar

mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru

dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi

edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu kegiatan supervisi ini

dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.

Secara umum tujuan supervisi akademik adalah :

(1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi belajar-mengajar, (2) mengendalikan penyelenggaraan bidang teknis edukatif di sekolah sesuai

dengan ketentuan-ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan,

Page 25: SUPERVISI AKADEMIK

54

(3) menjamin agar kegiatan sekolalah berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga segala sesuatunya berjalan lancar dan diperoleh hasilyangoptimal,

(4) menilai keberhasilan sekolah dalam pelaksanaan tugasnya, dan (5) memberikan bimbingan langsung untuk memperbaiki kesalahan,

kekurangan dan kekilafan serta membantu memecahkan masalah yang dihadapi sekolah sehingga dapat dicegah kesalahan dan penyimpangan yang lebih jauh (Suprihatin,1989:305).

Tujuan supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk

meningkatkan kualitas mengajar guru di kelas yang pada gilirannya untuk

meningkatkan kualitas belajar siswa. Bukan saja memperbaiki kemampuan

mengajar tetapi juga mengembangkan potensi kualitas guru (Sahertian, 2000:19).

Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan

pendidikan dasar adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat

otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang

menciptakan situasi dan relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima

sebagai subjek yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus

dilaksanakan berdasarkan data, fakta yang objektif (Sahertian, 2000:20).

Supandi (1986:252), menyatakan bahwa ada dua hal yang mendasari

pentingnya supervisi dalam proses pendidikan :

a. kurikulum merupakan gejala kemajuan pendidikan. Perkembangan tersebut sering menimbulkan perubahan struktur maupun fungsi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum tersebut memerlukan penyesuaian yang terus-menerus dengan keadaan nyata di lapangan. Hal ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus berusaha mengembangkan kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan kurikulum dapat terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak selamanya berjalan mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya informasi yang diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum, masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode yang masih harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum terkuasai. Dengan demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan pendidikan di tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus

Page 26: SUPERVISI AKADEMIK

55

dalam memenuhi tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum.

b.Pengembangan personel, pegawai atau karyawan senantiasa merupakan upaya yang terus-menerus dalam suatu organisasi. Pengembangan personal dapat dilaksanakan secara formal dan informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan melalui penataran, tugas belajar, loka karya dan sejenisnya. Sedangkan pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan dilaksanakan secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui berbagai kegiatan seperti kegiatan ilmiah, percobaan suatu metode mengajar, dan lain sebagainya.

Kegiatan supervisi akademik merupakan kegiatan yang wajib

dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi

dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan

pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang

dilaksakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan

guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu

proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar

hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai

tujuan tertentu. Oleh karena kegiatan supervisi dipandang perlu untuk

memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.

Secara umum ada 2 (dua) kegiatan yang termasuk dalam kategori supevisi

akademik, yakni:

a. Supervisi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru.

Secara rutin dan terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan

supervisi akademik kepada guru-guru dengan harapan agar guru mampu

memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala

sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain

kegiatan pembelajaran dalam bentuk Rencana Pembelajaran kemudian kepala

Page 27: SUPERVISI AKADEMIK

56

sekolah mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru. Saat kegiatan

supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan lembar observasi yang sudah

dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri atas

APKG 1 (untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2

(untuk menilai pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru.

Contoh Format Supervisi Akademik Kepala Sekolah. (Terlampir)

Setiap pelaksanaan program pendidikan memerlukan adanya pengawasan

atau supervisi. Supervisi sebagai fungsi administrasi penddidikan berarti aktivitas-

aktivitas untuk menentukan kondisi-kondisi atau syarat-syarat esensial yang akan

menjamin tercapainya tujuan-tujuan pendidikan (Purwanto, 2002 : 20). Supervisi

sebagai salah satu fungsi pokok dalam administrasi pendidikan menuntut

keterlibatan berbagai pihak. Selain pengawas baik tingkat kabupaten maupun

tingkat kecamatan juga kepala sekolah di tingkat sekolah.

Pada tingkat sekolah, kepala sekolah dalam menjalankan fungsinya

sebagai supervisor dituntut dari dirinya suatu kompetensi dan atau kemampuan

yang memungkinkannya dapat atau mampu meneliti, mencari dan menentukan

syarat-syarat yang diperlukan bagi upaya mencapai kemajuan sekolahnya. Dengan

demikian diharapkan berbagai tujuan pendidikan pada tingkat sekolah tersebut

dapat dicapai secara maksimal.

Untuk mencapai tujuan pendidikan di tingkat sekolah (hasil) secara

maksimal tergantung pada kemampuan atau mutu mengajar guru dalam proses

belajar mengajarnya (teaching learning process) dan kompetensi atau kemampuan

kepala sekolah dalam melakukan supervisi. Suhardan, D (2006) terdapat hubungan

Page 28: SUPERVISI AKADEMIK

57

yang signifikan antara supervisi yang dilakukan kepala sekolah, kemampuan

mengajar guru dalam proses belajar mengajar dan hasil belajar yang maksimal,

sebagaimana gambar model di bawah ini :

Gambar 2.1. Hubungan supervisi dengan kemampuan mengajar guru.

Suatu pengajaran sangat tergantung pada kemampuan mengajar guru,

maka kegiatan supervisi menaruh perhatian utama pada peningkatan kemampuan

profesional guru, yang pada gilirannya akan meningkatkan mutu proses mengajar

guru.

Kepala sekolah sebagai supervisor diharapkan dapat membina guru dalam

mengidentifikasi atau merumuskan masalah yang dihadapi guru dan mampu

menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi, bahkan kepala sekolah

hendaknya menjadi partner guru dan memiliki tempat untuk mengemukakan

masalahnya. Dirjen Dikdasmen (1996 : 6) dalam buku petunjuk administrasi

sekolah menengah umum, yang menjadi garapan kepala sekolah selaku supervisor

adalah sebagai berikut :

Hasil belajar

Perilaku

superevisi/Pembinaan

Profesional

Perilaku mengajar

Perlaku belajar

Page 29: SUPERVISI AKADEMIK

58

1. Menyusun program supervisi, 2. Melaksanakan supervisi PBM, 3. Melaksanakan supervisi TU, 4. Melaksanakan supervisi terhadap petugas BK, 5. Melaksanakan supervisi pada petugas perpustakaan, 6. Melaksanakan supervisi terhadap OSIS, 7. Melaksanakan supervisi terhadap K 6 (Keamanan, Kebersihan, Ketertiban,

Keindahan, Kekeluargaan, Kerindangan, dan Kesehatan), 8. Melaksanakan supervisi pada kegiatan ekstrakurikuler.

Dengan demikian supervisi yang dilakukan kepala sekolah akan lebih

bermakna jika dapat mewujudkan hubungan yang harmonis/akrab antara kepala

sekolah, guru dan pegawai lainnya bukanlah sebaliknya sikap kepala sekolah

dalam melakukan supervisi hanya memaksakan kehendak, menakut-nakuti guru,

sehingga dapat melumpuhkan kreativitas guru dan pegawai lainnya. Oleh karena

itu perlu dicari alternative bentuk-bentuk tindakan supervisi yang ideal.

b. Supervisi yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan

guru-guru untuk meningkatkan kinerja.

Kegiatan supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah. Hal-hal yang

diamati pengawas sekolah ketika melakukan kegiatan supervisi untuk memantau

kinerja kepala sekolah, di antaranya administrasi sekolah, meliputi:

1) Bidang Akademik, mencakup kegiatan:

(1) menyusun program tahunan dan semester,

(2) mengatur jadwal pelajaran,

(3) mengatur pelaksanaan penyusunan model satuan pembelajaran,

(4) menentkannormakenaikankelas,

(5) menentukannorma penilaian,

(6) mengaturpelaksanaanevaluasibelajar,

Page 30: SUPERVISI AKADEMIK

59

(7) meningkatkan perbaikan mengajar,

(8) mengaturkegiatankelasapabilagurutidakhadir,dan

(9) mengaturdisiplindantatatertibkelas.

2) Bidang Kesiswaan, mencakup kegiatan:

(1) mengatur pelaksanaanpenerimaansiswabaru berdasarkan peraturan

penerimaan siswa baru,

(2) mengelola layanan bimbingan dan konseling,

(3) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran siswa, dan

(4) mengatur dan mengelola kegiatan ekstrakurikuler.

3) Bidang Personalia, mencakup kegiatan:

(1) mengatur pembagian tugas guru,

(2) mengajukan kenaikan pangkat, gaji, dan mutasi guru,

(3) mengatur program kesejahteraan guru,

(4) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran guru, dan

(5) mencatat masalah atau keluhan-keluhan guru.

4) Bidang Keuangan, mencakup kegiatan:

(1) menyiapkan rencana anggaran dan belanja sekolah,

(2) mencari sumber dana untuk kegiatan sekolah,

(3) mengalokasikan dana untuk kegiatan sekolah, dan

(4) mempertanggungjawab-kan keuangan sesuai dengan peraturan yang

berlaku.

5) Bidang Sarana dan Prasarana, mencakup kegiatan:

(1) penyediaan dan seleksi buku pegangan guru,

Page 31: SUPERVISI AKADEMIK

60

(2) layanan perpustakaan dan laboratorium,

(3) penggunaan alat peraga,

(4) kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah,

(5) keindahan dan kebersihan kelas, dan

(6) perbaikan kelengkapan kelas.

6) Bidang Hubungan Masyarakat, mencakup kegiatan:

(1) kerjasama sekolah dengan orangtua siswa,

(2) kerjasama sekolah dengan Komite Sekolah,

(3) kerjasama sekolah dengan lembaga-lembaga terkait, dan

(4) kerjasama sekolah dengan masyarakat sekitar. (Depdiknas 1997).

Sedangkan ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga

terkait dengan administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya:

a. Penggunaan program semester

b. Penggunaan rencana pembelajaran

c. Penyusunan rencana harian

d. Program dan pelaksanaan evaluasi

e. Kumpulan soal

f. Buku pekerjaan siswa

g. Buku daftar nilai

h. Buku analisis hasil evaluasi

i. Buku program perbaikan dan pengayaan

j. Buku program Bimbingan dan Konseling

k. Buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler

Page 32: SUPERVISI AKADEMIK

61

2.2.4. Faktor-Faktor Keberhasilan Supervisi Akademik

Menurut Suhardan, D (2006) salah satu faktor pendukung keberhasilan

dalam melaksanakan supervisi adalah perilaku supervisor sendiri. Supervisi yang

berhasil adalah mereka yang dapat melaksanakan tugasnya berkenaan dengan diri

“supervisee” (orang yang disupervisi). Ia memiliki sifat-sifat kepribadian yang

diterima dalam pergaulan sesama kerabat kerja. Ia memiliki sifat-sifat yang sesuai

dengan profesi supervisor dan ia dapat menjaga kode etik pekerjaannya.

Purwanto (dalam Sam, 2005 : 84) faktor keberhasilan supervisi sangat

dipengaruhi oleh :

(1) lingkungan masyarakat tempat sekolah itu berada, (2) besar kecilnya sekolah, (3) tingkatan dan jenis sekolah, (4) keadaan guru-guru dan pegawai yang ada, dan (5) kecakapan dan keahlian supervisor.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kunci

keberhasilan kepala sekolah selaku supervisor di sekolahnya adalah

mengusahakan peningkatan kemampuan para guru dan stafnya untuk secara

bersama-sama mengembangkan situasi belajar mengajar yang kondusif.

Peningkatan ini hanya akan dapat dicapai melalui peran komunikasi yang lebih

efektif antara supervisor dengan yang disupervisi.

2.2.5. Prinsip-Prinsip Supervisi.

Kepala sekolah dalam melaksanakan supervisi harus memperhatikan

prinsip-prinsip supervisi. Menurut Suhardan, D (2006) prinsip-prinsip supervisi

yang perlu diterapkan kepala sekolah adalah sebagai berikut :

1. Ilmiah (scientific) berarti :

Page 33: SUPERVISI AKADEMIK

62

a.Sistematis, berarti dilaksanakan secara teratur, berencana dan berkesinambungan.

b. Objektif, artinya data yang didapat berdasarkan hasil observasi nyata. Kegiatan-kegiatan perbaikan atau pengembangan berdasarkan hasil kajian kebutuhan-kebutuhan guru atau kekurangan-kekurangan guru, bukan berdasarkan tafsiran pribadi.

c. Menggunakan alat (instrument) yang dapat memberikan informasi sebagai umpan balik untuk mengadakan penilaian terhadap proses belajar mengajar.

2. Demokratis. Menjunjung tinggi azas musyawarah, memiliki jiwa kekeluargaan yang kuat

serta sanggup menerima pendapat orang lain. 3. Kooperatif.

Maksudnya kerja sama seluruh staf dalam kegiatan pengumpulan data, analisa data dan perbaikan serta pengembangan proses belajar mengajar hendaknya dilakukan dengan cara kerjasama seluruh staf sekolah.

4. Konstruksi dan kreatif. Membina inisiatif guru dan mendorong guru untuk aktif menciptakan suasana dimana tiap orang merasa aman dan bebas mengembangkan potensi-potensinya. Supervisor perlu menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip di atas. Sikap supervisor yang memaksakan kehendak, menakut-nakuti guru, yang melumpuhkan kreativitas anggota staf perlu diubah. Sikap korektif yang mencari-cari kesalahan harus diganti dengan sikap kreatif dimana setiap orang mau dan mampu menumbuhkan dan mengembangkan kreativitasnya untuk perbaikan pengajaran.

2.2.6. Supervisi Klinis

2.2.6.1. Pengertian supervisi klinis.

Supervisi klinis adalah supervisi yang difokuskan pada perbaikan

pembelajaran melalui siklus yang sistematis mulai dari tahap perencanaan,

pengamatan dan analisis yang intesif terhadap penampilan pembelajarannya

dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran.

2.2.6.2 Perlunya supervisi klinis.

Beberapa alasan mengapa supervisi klinis diperlukan, diantaranya:

Page 34: SUPERVISI AKADEMIK

63

1. Tidak ada balikan dari orang yang kompeten sejauhmana praktik

profesional telah memenuhi standar kompetensi dan kode etik

2. Ketinggalan iptek dalam proses pembelajaran

3. Kehilangan identitas profesi

4. Kejenuhan profesional (bornout)

5. Pelanggaran kode etik yang akut

6. Mengulang kekeliruan secara masif

7. Erosi pengetahuan yang sudah didapat dari pendidikan prajabatan (PT)

8. Siswa dirugikan, tidak mendapatkan layanan sebagaimana mestinya

9. Rendahnya apresiasi dan kepercayaan masyarakat dan pemberi pekerjaan

2.2.6.3. Tujuan supervisi klinis.

Secara umum tujuan supervisi klinis untuk :

1. Menciptakan kesadaran guru tentang tanggung jawabnya terhadap

pelaksanaan kualitas proses pembelajaran.

2. Membantu guru untuk senantiasa memperbaiki dan meningkatkan kualitas

proses pembelajaran.

3. Membantu guru untuk mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang

muncul dalam proses pembelajaran

4. Membantu guru untuk dapat menemukan cara pemecahan maslah yang

ditemukan dalam proses pembelajaran

5. Membantu guru untuk mengembangkan sikap positif dalam

mengembangkan diri secara berkelanjutan.

2.2.6.4. Karakteristik supervisi klinis,

Page 35: SUPERVISI AKADEMIK

64

Supervisi klinis memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Perbaikan dalam pembelajaran mengharuskan guru mempelajari

keterampilan intelektual dan bertingkah laku berdasarkan keterampilan

tersebut.

2. Fungsi utama supervisor adalah menginformasikan beberapa keterampilan,

seperti: (1) keterampilan menganalisis proses pembelajaran berdasarkan

hasil pengamatan, (2) keterampilan mengembangkan kurikulum, terutama

bahan pembelajaran, (3) keterampilan dalam proses pembelajaran.

3. Fokus supervisi klinis adalah: (1) perbaikan proses pembelajaran, (2)

keterampilan penampilan pembelajaran yang memiliki arti bagi

keberhasilan mencapai tujuan pembelajaran dan memungkinkan untuk

dilaksanakan, dan (3) didasarkan atas kesepakatan bersama dan

pengalaman masa lampau.

2.2.6.5. Prinsip-prinsip dalam supervisi klinis.

Beberapa prinsip yang menjadi landasan bagi pelaksanaan supervisi klinis,

adalah:

1. Hubungan antara supervisor dengan guru, kepala sekolah dengan guru,

guru dengan mahasiswa PPL adalah mitra kerja yang bersahabat dan

pebuh tanggung jawab.

2. Diskusi atau pengkajian balikan bersifat demokratis dan didasarkan pada

data hasil pengamatan.

3. Bersifat interaktif, terbuka, obyektif dan tiidak bersifat menyalahkan.

4. Pelaksanaan keputusan ditetapkan atas kesepakatan bersama.

Page 36: SUPERVISI AKADEMIK

65

5. Hasil tidak untuk disebarluaskan

6. Sasaran supervisi terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru, dan tetap

berada di ruang lingkup pembelajaran.

7. Prosedur pelaksanaan berupa siklus, mulai dari tahap perencanaan, tahap

pelaksanaan (pengamatan) dan tahap siklus balikan.

2.2.6.6. Prosedur supervisi klinis.

Pelaksanaan supervisi klinis berlangsung dalam suatu siklus yang terdiri

dari tiga tahap berikut :

1. Tahap perencanaan awal. Pada tahap ini beberapa hal yang harus

diperhatikan adalah: (1) menciptakan suasana yang intim dan terbuka, (2)

mengkaji rencana pembelajaran yang meliputi tujuan, metode, waktu,

media, evaluasi hasil belajar, dan lain-lain yang terkait dengan

pembelajaran, (3) menentukan fokus obsevasi, (4) menentukan alat bantu

(instrumen) observasi, dan (5) menentukan teknik pelaksanaan obeservasi.

2. Tahap pelaksanaan observasi. Pada tahap ini beberapa hal yang harus

diperhatikan, antara lain: (1) harus luwes, (2) tidak mengganggu proses

pembelajaran, (3) tidak bersifat menilai, (4) mencatat dan merekam hal-hal

yang terjadi dalam proses pembelajaran sesuai kesepakatan bersama, dan

(5) menentukan teknik pelaksanaan observasi.

3. Tahap akhir (diskusi balikan). Pada tahap ini beberapa hal yang harus

diperhatikan antara lain: (1) memberi penguatan; (2) mengulas kembali

tujuan pembelajaran; (3) mengulas kembali hal-hal yang telah disepakati

bersama, (4) mengkaji data hasil pengamatan, (5) tidak bersifat

Page 37: SUPERVISI AKADEMIK

66

menyalahkan, (6) data hasil pengamatan tidak disebarluaskan, (7)

penyimpulan, (8) hindari saran secara langsung, dan (9) merumuskan

kembali kesepakatan-kesepakatan sebagai tindak lanjut proses perbaikan

2.3. Budaya Sekolah

2.3.1 Pengertian Budaya Organisasi

William Ouchi (1981: 41) mendefinisikan budaya organisasi sebagai

“simbol, upacara, dan mitos yang mengkomunikasikan nilai-nilai dan keyakinan

mendasar dari organisasi tersebut kepada pegawainya.” Jay Lorsk (1954:84),

sebaliknya, menggunakan budaya sebagai “keyakinan manajemen puncak yang

disebarkan di suatu perusahaan mengenai cara mereka mengelola dirinya sendiri

dan pegawai lain dan cara mereka seharusnya melakukan bisnis.” Henry

Mintzberg (1989: 98) mengacu budaya sebagai ideologi organisasi, atau “tradisi

dan keyakinan organisasi yang membedakannya dari organisasi lain dan

menanamkan kehidupan tertentu ke dalam kerangka strukturnya.” Alan Wilkins

dan Kerry Patterson (1985: 265) menyatakan bahwa “budaya merupakan suatu

ungkapan kebutuhan terdalam manusia, sebagai cara memperkaya pengalaman

mereka dengan makna.” Stephen Robbins (1998: 595) mendefinisikan budaya

organisasi sebagai “sistem yang makna bersamanya dianut oleh semua anggota

yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. Jerald

Greenberg dan Robert Baron (1997: 471) menggambarkan budaya organisasi

sebagai “kerangka kognitif yang terdiri dari sikap, nilai, norma perilaku, dan

harapan bersama antara anggota organisasi. Namun, Edgar Schein (1992, 1999)

menyatakan bahwa budaya hendaknya dipertahankan untuk suatu “tingkat yang

Page 38: SUPERVISI AKADEMIK

67

lebih dalam mengenai asumsi dasar, nilai, dan keyakinan” sehingga menjadi milik

bersama dan dianggap sebagai modal organisasi untuk terus berhasil.

Dengan demikian, budaya organisasi umumnya didefinisikan sebagai

orientasi bersama yang dianut unit dan memberinya identitas tertentu. Tapi

muncul ketidak-sepakatan mengenai apa yang di-share-kan norma, nilai, filsafat,

perspektif, keyakinan, harapan, sikap, mitos, atau upacara. Masalah lain dalam

menentukan intensitas orientasi bersama dari anggota organisasi. Apakah

organisasi memiliki satu budaya dasar atau banyak budaya ? Lebih lanjut orang

masih tidak sepakat mengenai masalah apakah budaya organisasi itu bersifat sadar

dan jelas atau tidak-sadar dan samar.

2.3.2. Tataran Budaya Organisasi

Salah satu cara memulai menguraikan beberapa masalah definisi adalah

dengan memandang budaya pada tataran yang berlainan. Budaya diwujudkan

dalam norma, nilai-bersama, asumsi dasar, yang masing-masing muncul pada

tataran yang berbeda kedalaman dan abstraksinya.

2.3.2.1. Budaya sebagai Norma Bersama

Perspektif yang cukup konkret, sebagian palsu, mengenai budaya itu

muncul saat norma perilaku digunakan sebagai elemen dasar budaya. Norma

umumnya merupakan harapan tak-tertulis atau informal yang muncul di bawah

permukaan pengalaman. Norma secara langsung mempengaruhi perilaku. Norma

lebih tampak ketimbang nilai dan asumsi yang tak-diucapkan (tacit); akibatnya

norma memberikan cara yang jelas dalam membantu kita memahami aspek-aspek

budaya kehidupan organisasi.

Page 39: SUPERVISI AKADEMIK

68

2.3.2.2. Budaya sebagai Nilai Bersama

Pada tataran abstraksi menengah, budaya didefinisikan sebagai nilai

bersama. Nilai merupakan konsep mengenai apa yang diinginkan. Nilai

merupakan refleksi dari asumsi budaya yang paling dasar, dan terletak pada level

analisis selanjutnya. Bila kita meminta orang untuk menjelaskan mengapa mereka

berperilaku seperti itu, kita mungkin bisa mulai menemukan nilai-nilai utama dari

organisasi.

2.3.2.3. Budaya sebagai Asumsi Tacit

Pada level yang terdalam, budaya merupakan perwujudan kolektif dari

asumsi tacit. Bila anggota organisasi berbagi pandangan mengenai dunia

sekitarnya dan tempat mereka dalam dunia tersebut, maka budaya muncul.

Artinya, pola asumsi dasar telah ditemukan, diketemukan, atau dikembangkan

oleh organisasi saat organisasi itu belajar mengatasi masalah adaptasi eksternal

dan integrasi internal. Dengan demikian, asumsi tacit merupakan premis-premis

abstrak mengenai hakikat hubungan manusia, sifat manusia, kebenaran,

kenyataan, dan lingkungan.

Definisi yang paling meresap dari budaya itu menekankan pada tataran

yang paling dalam dari hakikat manusia atau setidaknya mengacu pada ideologi,

keyakinan, dan nilai bersama. Di sini, pengembangan konsep budaya organisasi

berharga dalam memandang dan mempelajari budaya pada semua (ketiga) level di

atas tersebut.

Page 40: SUPERVISI AKADEMIK

69

2.3.3. Fungsi Budaya

Robbins (1991) meringkas sejumlah fungsi penting yang dilakukan oleh

budaya organisasi:

1. Budaya memiliki fungsi menentukan-batas; budaya menciptakan perbedaan antara organisasi.

2. Budaya memberikan identitas bagi organisasi 3. Budaya memudahkan pengembangan komitmen pada kelompok 4. Budaya meningkatkan stabilitas dalam sistem sosial. 5. Budaya merupakan perekat sosial yang mengikat organisasi; budaya

memberikan standar perilaku yang sesuai.

2.3.4. Jenis Budaya

Cameron dan Quinn (1999) menyebutkan beberapa jenis budaya:

1. Budaya hierarki didefinisikan dengan penekanan pada stabilitas, kontrol, integrasi, dan fokus internal. tujuan organisasi ini adalah menghasilkan barang dan jasa secara efisien sesuai dengan tradisi model birokrasi klasik dari Weber (lihat Bab 3). Efisiensi, stabilitas, prediktabilitas dan harmoni adalah nilai inti.

2. Budaya pasar didefinisikan dengan penekanan pada stabilitas, perbedaan, dan fokus eksternal. Tujuan jenis organisasi ini adalah merespon dengan cepat terhadap perubahan dalam lingkungan sehingga tidak kehilangan keunggulan kompetitif. Kompetisi, efektivitas, pencapaian tujuan, dan kemenangan merupakan nilai inti.

3. Budaya kaum (clan) didefinisikan dengan penekanan pada fleksibilitas, keleluasaan, integrasi, dan fokus internal. jenis organisasi ini merupakan suatu team atau organisasi kekeluargaan. Kerjasama, kohesi, partisipasi, dan loyalitas merupakan nilai utama.

4. Budaya adhocracy didefinisikan dengan penekanan pada fleksibilitas, keleluasaan, perbedaan, dan fokus eksternal. tujuan jenis organisasi ini adalah untuk mengembangkan produk dan layanan baru dan inovatif. Kreativitas, pengambilan risiko, perubahan, dan pertumbuhan merupakan nilai itu. Kepemimpinannya bersifat visioner dan inovatif.

2.3.5. Elemen-Elemen dalam Budaya

Pada intinya setiap budaya organisasi merupakan sejumlah nilai bersama.

Ada tujuh elemen utama yang membentuk budaya organisasi pada umumnya.

Page 41: SUPERVISI AKADEMIK

70

1. Inovasi: tingkat pegawai diharapkan untuk kreatif dan bisa mengambil risiko

2. Stabilitas: tingkat fokus aktivitas pada status quo ketimbang pada perubahan

3. Perhatian pada detail: tingkat perhatian pada ketepatan dan detail

4. Orientasi outcome: tingkat penekanan manajemen pada hasil

5. Orientasi orang: tingkat putusan manajemen yang berkaitan dengan individu

6. Orientasi team: tingkat penekanan pada kerjasama dan kerjateam.

7. Keagresifan: tingkat pegawai diharapkan untuk berkompetensi

2.3.6. Budaya Sekolah

Sekolah yang efektif memiliki budaya yang kuat dengan karakteristik

sebagai berikut:

1. Nilai bersama dan konsensus pada kekeluargaan.

2. Kepala sekolah sebagai tokoh yang mewujudkan nilai inti.

3. Ritual tertentu yang mewujudkan keyakinan bersama secara luas.

4. Pegawai sebagai tokoh situasional

5. Ritual alkulturasi dan pembaharuan budaya.

6. Ritual penting untuk merayakan dan mengubah nilai inti.

7. Keseimbangan antara inovasi dan tradisi dan antara otonomi dan kontrol

8. Partisipasi yang luas dalam ritual budaya.

Budaya dalam konteks organisasi disebut dengan budaya organisasi

(organizational culture). Dalam konteks perusahaan, diistilahkan dengan budaya

perusahaan (corporate culture), dan pada lembaga pendidikan/sekolah disebut

dengan budaya sekolah (school culture). Tentu saja berbeda dengan kajian budaya

antropologi sosial atau organisasi perusahaan, dalam organisasi sekolah fokusnya

Page 42: SUPERVISI AKADEMIK

71

pada perilaku, sehingga memunculkan kajian perilaku organisasi (organizational

behavior).

Sebagaimana diketahui, dalam suatu organisasi di samping terdapat hal-hal

yang bersifat hard juga ada yang sifatnya soft.

Aspek-aspek termasuk hard antara lain adalah: struktur organisasi, aturan-aturan, kebijakan, teknologi, dan keuangan. Hal- hal tersebut dapat diukur, dikuantifikasikan serta dikontrol dengan relatif mudah. Sedangkan hal-hal yang soft adalah yang terkait dengan the human side of organizational (aspek manusiawi dalam organisasi), meliputi nilai-nilai, keyakinan, budaya, serta norma-norma perilaku. (Owens, 1995: 81).

Pada latar sekolah, budaya organisasi sebagai pola nilai-nilai, norma-

norma, sikap, persepsi, pikiran-pikiran atau ide-ide, perilaku yang dibentuk dalam

perjalanan panjang sekolah dan diyakini oleh warga sekolah serta berfungsi

sebagai suatu pedoman dalam memecahkan masalah-masalah di sekolah

(Zamroni, 2003; Nasution, 1987). Karena dipengaruhi oleh visi dan misi serta

tujuan, maka budaya sekolah bersifat unik. Walaupun sekolah itu sejenis, namun

budayanya akan berbeda. Karena itu budaya sekolah disebut juga dengan sifat-

sifat internal sekolah yang dapat membedakannya antara satu sekolah dengan

lainnya.

Asumsi semula, kultur suatu bangsa diduga sebagai faktor penentu kualitas

sekolah, namun berbagai penelitian menemukan bahwa pengaruh kultur bangsa

terhadap prestasi pendidikan tidak sebesar yang diduga selama ini. Bukti terakhir

dari hasil The Third International Math and Science Study (TIMSS) menunjukkan

bahwa siswa dari Jepang dan Belgia sama-sama menempati ranking atas untuk

mata pelajaran Matematika, padahal kultur kedua negara tersebut berbeda.

Saatnyalah sekarang pengelola pendidikan lebih memfokuskan kultur sekolah

Page 43: SUPERVISI AKADEMIK

72

sebagai faktor penentu prestasi sekolah. Ajakan Sergiovanni (1995) terhadap

sekolah-sekolah Amerika pada waktu itu dengan statement: "Building The

Charakter of Your School Culture”.

Perlu kita sambut. Pendekatan konvensional peningkatan mutu pendidikan

melalui penataran guru, penyediaan buku, pengadaan alat laboratorium, dan

perbaikan gedung, tidak secara meyakinkan dapat meningkatkan prestasi belajar

siswa. Bahkan beberapa penelitian yang berhasil di-review oleh Suryadi (1994)

menyimpulkan bahwa penataran guru yang dilakukan selama ini sangat kecil,

bahkan hampir tidak signifikan dampaknya terhadap prestasi belajar murid,

apalagi jika diukur dari perbandingan biaya dan manfaat (efisiensi). Yang lebih

penting sebenarnya jangan terlalu banyak membebani guru pada tugas-tugas

administratif seperti kegiatan pembuatan laporan tahunan/tengah tahunan, rapat

koperasi, mewakili sekolah dalam rapat panitia porseni, membuat isian blanko

data guru dll, sehingga menyita waktu produktif guru, sedangkan persiapan

mengajar, membaca buku dan sumber-sumber bacaan terabaikan.

Studi-studi tentang budaya sekolah yang di lansir oleh Zamroni (2003)

menemukan bahwa :

Kultur yang "sehat" memiliki korelasi yang tinggi terhadap (a) prestasi dan motivasi siswa untuk berprestasi, (b) sikap dan motivasi kerja guru, dan (c) produktivitas dan kepuasan kerja guru. Analisis kultur sekolah sebaiknya dilihat sebagai bagian suatu kesatuan sekolah yang utuh. Artinya, budaya sekolah dapat dijelaskan melalui pola nilai-nilai, sikap, pikiran-pikiran, dan perilaku warga sekolah yang tercermin pada (a) motivasi berprestasi, (b) penghargaan yang tinggi terhadap prestasi warga sekolah, (c) pemahaman terhadap tujuan sekolah, (d) visi organisasi yang kuat, (e) partisipasi orang tua siswa, (f) kerjasama yang padu diantara warga sekolah.

Page 44: SUPERVISI AKADEMIK

73

Budaya sekolah adalah satu elemen sekolah yang teramat penting dan

nyata, tetapi sangat sulit untuk mendefinisikannya. Pemahaman terhadap budaya

sekolah merupakan salah satu faktor penting dalam struktur reformasi dan

kebijakan pendidikan di mana pun. Karena, apa pun jenis perubahan yang

diinginkan dalam suatu sistem pendidikan pasti akan mengalami resistensi.

Karena itu perlu dilakukan pendefinisian yang bijak tentang budaya sekolah,

sehingga mudah memahami makna budaya sekolah dalam konteks peningkatan

mutu pendidikan di Indonesia. Deal dan Peterson (1999), mengemukakan bahwa :

Budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas.

Budaya sekolah (school culture) dan proses belajar-mengajar, seperti air

dan ikan, adalah sebuah keniscayaan dan takdir yang tidak bisa dipisahkan karena

keduanya merupakan entitas yang berbeda. Keduanya memberi arti banyak dalam

menentukan perspektif dan ragam tindakan pengajaran. Guru dalam konteks

budaya dapat memengaruhi setiap aspek dari proses belajar-mengajar. Karena itu,

penting dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan budaya sekolah, seperti

definisi, efek budaya sekolah terhadap keseluruhan performansi guru dan siswa,

dan implikasinya terhadap kebijakan UN dalam konteks budaya sekolah.

Menemukan budaya sekolah bayangkan anda memasuki sebuah sekolah,

hal apa kira-kira yang akan anda lihat dan dengar? Sulit atau mudah memasuki

lingkungan sekolah tersebut. Bagaimana cara guru dan siswa menyapa Anda.

Bagaimana dengan pengaturan ruang administrasi dan papan demo keterampilan

Page 45: SUPERVISI AKADEMIK

74

siswa ditata dan ditampilkan, serta ruang kelas dibentuk. Bagaimana suasana

belajar-mengajar berlangsung, dan yang tidak kalah pentingnya, bagaimana

kondisi kamar kecil (toilet) sekolah. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan

pertanyaan budaya. Sebab, sekolah sedang berusaha memberikan impresi terhadap

tamu dan pengunjung lainnya bahwa inilah kami, inilah budaya sekolah kami.

Jika budaya kita definisikan sebagai seperangkat norma, nilai,

kepercayaan, dan tradisi yang berlangsung dari waktu ke waktu, budaya sekolah

adalah satu set ekspektasi dan asumsi dari norma, nilai, dan tradisi yang secara

diam-diam mengarahkan seluruh aktivitas personel sekolah (Peterson, 1998).

Karena budaya sekolah bukan suatu entitas statis, maka proses pembentukan

norma, nilai, dan tradisi sekolah akan terus berlangsung melalui interaksi dan

refleksi terhadap kehidupan dan dunia secara umum (Finnan, 2000). Dalam

bahasa Hollins (1996), sebagai agen perubahan, 'sekolah dibentuk oleh praktik

dan nilai budaya serta merefleksikan norma-norma dari masyarakat saat mereka

masih sedang dikembangkan'. Atau, seperti hidrogen yang merupakan elemen

utama air, maka nilai-nilai dalam masyarakat juga merupakan bagian utama dari

budaya sekolah. Tata kelola dan kepemimpinan (leadership) dari pengelola

pendidikan dan sekolah juga dapat membentuk budaya sekolah. Dalam konteks

ini, kebijakan yang dibuat oleh otoritas pendidikan secara langsung juga dapat

memengaruhi budaya sekolah yang sedang dan akan berlangsung. Birokrasi,

dengan demikian, dapat menjadi penghambat dan sekaligus stimulus yang

konstruktif terhadap keberlangsungan sebuah budaya sekolah yang ingin dan akan

dikembangkan oleh komunitas sekolah (Goodlad, 1984; Donahoe, 1997;

Page 46: SUPERVISI AKADEMIK

75

McLaren, 1999). Efek budaya sekolah Budaya dari setiap sekolah bisa jadi

memiliki efek positif terhadap proses belajar-mengajar atau sebaliknya memiliki

efek negatif serta menghalangi berfungsinya sebuah sekolah. Hanson dan Childs

(1998) menggambarkan sekolah dengan suatu iklim sekolah yang positif sebagai

'suatu wadah tempat siswa dan guru saling berbagi dan mereka menggunakan

ketulusan hati dalam proses belajar. Jika norma-norma dasar pembelajaran seperti

pertemanan, kegembiraan dalam proses belajar yang menyenangkan (fun and

enjoy learning), manajemen yang terbuka, aturan yang ditegakkan, serta visi-misi

sekolah yang terdistribusi dengan baik dalam segenap benak komunitas sekolah,

maka sekolah tersebut dapat dikatakan memiliki ciri-ciri budaya sekolah yang

positif. Sebaliknya, sebuah sekolah dapat dicirikan memiliki budaya sekolah yang

negatif jika tidak memiliki indikator tadi serta adanya penolakan dari guru dan

manajemen sekolah untuk melakukan praktik pembelajaran yang berpusat pada

kebutuhan dasar siswa; diayomi dan dilayani sesuai bakat dan minatnya (Peterson

dan Deal, 1998). Terlepas dari apakah positif atau negatif sebuah budaya sekolah,

pengenalan terhadap 'perubahan budaya belajar' guru dan siswa harus terus

menjadi perhatian seluruh komunitas sekolah. Menurut Sarason (1996), adalah

sulit untuk menentukan sifat alami suatu budaya karena kita sendiri memiliki nilai

dan tradisi serta kebiasaan yang selalu terbawa ke dalam budaya sekolah. Karena

itu, cara pandang kita terhadap nilai-nilai keagamaan, tradisi, kebijakan otoritas

pendidikan, kurikulum, dan metodologi pengajaran akan menempati setiap ruang

dan relung pikiran siswa dalam proses belajar. Bentuk perubahan apa pun yang

akan datang dan ditawarkan kepada komunitas sekolah akan selalu mendapatkan

Page 47: SUPERVISI AKADEMIK

76

perlawanan dari guru dan siswa, secara tersembunyi maupun terang-terangan.

Contoh paling gamblang bagaimana budaya sekolah berlaku dan diterapkan si

sekolah-sekolah kita dapat dilihat dari bagaimana sekolah memposisikan diri

mereka terhadap kebijakan ujian nasional yang sedang diselenggarakan

pemerintah saat ini. Garis dasar untuk perubahan sekolah adalah bahwa supaya

perubahan apa pun yang akan datang dan diusulkan otoritas pendidikan harus

disesuaikan dengan budaya sekolah.

2.4. Hasil Penelitian Sebelumnya yang Relevan

Untuk memberikan gambaran yang lebih tegas dalam pembahasan

mengenai pengaruh supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah

terhadap mutu mengajar guru, maka pada bagian ini penulis kemukakan beberapa

hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan topik yang dibahas, yaitu :

2.4.1 Djailani A. R. Dalam penelitiannya yang berjudul : ”Pengaruh supervisi

kepala sekolah terhadap kemampuan mengajar guru SMA Negeri di

Kotamadya Banda Aceh” menyimpulkan bahwa :

a. Menurut persepsi guru, supervisi yang diberikan Kepala Sekolah kepada

mereka berada pada kategori sedang.

b. Secara kualitatif kemampuan mengajar guru dapat dikategorikan pada

tingkat sedang.

c. Hubungan fungsional antara supervisi Kepala Sekolah dengan

kemampuan mengajar guru mempunyai arah positif dan signifikan.

Page 48: SUPERVISI AKADEMIK

77

d. Terdapat korelasi positif antara supervisi Kepala Sekolah dengan

kemampuan mengajar guru pada seluruh SMA Negeri di Kotamadya

Banda Aceh.

2.4.2 Penelitian yang dilakukan oleh Aas Hasanah (2008) tentang “Produktivitas

Manajemen Sekolah (Studi Kontribusi Perilaku Kepemimpinan Kepala

Sekolah, Budaya Sekolah, dan kinerja Guru terhadap Produktivitas

Sekolah Menengah Pertama di Kota Bandung)” ditemukan bahwa : ada

pengaruh yang signifikan antara perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah,

budaya sekolah dan kinerja guru secara simultan berkontribusi signifikan

terhadap produktivitas sekolah sebesar 58,3% dan sisanya 41,7%

ditentukan oleh variabel lain.

2.4.3 Hasil Penelitian Arif Rahman tentang ”Hubungan Pengaruh Antara

Budaya Organisasi dengan Kualitas Kinerja Dosen” :

a. Hasil analisis ditemukan bahwa terdapat hubungan yang berarti dan

positif antara budaya organisasi dengan kualitas kinerja dosen FPTK

IKIP Bandung sebesar 0,4316 dengan faktor penentu sebesar 18,63%,

artinya kualitas kinerja dosen FPTK IKIP Bandung ditentukan sebesar

18,63% oleh budaya organisasinya atau sebaliknya. Gambaran

karakteristik budaya organisasi FPTK IKIP Bandung menunjukkan

bahwa budaya organisasi FPTK IKIP Bandung ada dalam kategori

tinggi.

b. Penciptaan Budaya organisasi yang baik memberikan implikasi pada

bagaimana kepemimpinan fakultas mampu mengelola potensi-potensi

Page 49: SUPERVISI AKADEMIK

78

dari berbagai kelompok informal agar tidak dipandang sebagai

penghambat birokrasi, tetapi sumber daya yang dapat dimanfaatkan

untuk kepentingan organisasi.

2.4.4 Moh. Uzer Usman (1989) mendeskripsikan hasil kajiannya bahwa

keterampilan guru dalam mengajar menimbulkan serangkaian kegiatan

antara guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung

dalam situasi edukatif, sehingga meningkatkan mutu pembelajaran.

2.4.5 Sururi (2008) dalam penelitiannya tentang ; Pengaruh Akreditasi Sekolah

Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan di SMK se-Kota Bandung

menyimpulkan bahwa secara umum peningkatan mutu pendidikan pada

Sekolah Menengah Kejuruan dari hasil uji kecenderungan dengan

menggunakan WMS (Weighted Means Score), menunjukkan kategori

sangat baik yaitu sebesar 4.48. Hal ini diidentifikasi melalui indikator

mutu pembelajaran, mutu lulusan, mutu guru, mutu fasilitas belajar, serta

perubahan citra/image. Oleh karena itu pihak sekolah bila ingin

meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari peningkatan

pembelajaran, kualitas lulusan, kualitas guru, fasilitas pembelajaran dan

meningkatkan citra/image terhadap sekolah.