stroke non hemoragik
DESCRIPTION
strokeTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Stroke atau serangan otak adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak,
progresif, cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global, yang berlangsung 24
jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata di sebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik.9
Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang
berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada
umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat
atau kematian.10
Stroke non hemoragik sekitar 85%, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di
satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh
bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau
organ distal. Trombus yang terlepas dapat menjadi embolus.11
B. Etiologi
Stroke non hemoragik bisa terjadi akibat suatu dari dua mekanisme patogenik
yaitu trombosis serebri atau emboli serebri.12
Trombosis serebri menunjukkan oklusi trombotik arteri karotis atau cabangnya,
biasanya karena arterosklerosis yang mendasari. Proses ini sering timbul selama tidur
dan bisa menyebabkan stroke mendadak dan lengkap. Defisit neurologi bisa timbul
progresif dalam beberapa jam atau intermiten dalam beberapa jam atau hari.12
Emboli serebri terjadi akibat oklusi arteria karotis atau vetebralis atau cabangnya
oleh trombus atau embolisasi materi lain dari sumber proksimal, seperti bifurkasio
arteri karotis atau jantung. Emboli dari bifurkasio karotis biasanya akibat perdarahan
ke dalam plak atau ulserasi di atasnya di sertai trombus yang tumpang tindih atau
pelepasan materi ateromatosa dari plak sendiri. Embolisme serebri sering di mulai
mendadak, tanpa tanda-tanda disertai nyeri kepala berdenyut.12
C. Klasifikasi
Stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi vaskular serebral,
dapat di bagi dalam :
1. Stroke non hemoragik yang mencakup13
a. TIA (Transient Ischemic Attack)
b. Stroke in-evolution
c. Stroke trombotik
d. Stroke embolik
e. Stroke akibat komperesi terhadap arteri oleh proses di luar arteri seperti tumor,
abses, granuloma.
2. Berdasarkan subtipe penyebab11
a. Stroke lakunar
b. Stroke trombotik pembuluh besar
c. Stroke embolik
d. Stroke kriptogenik
D. Faktor risiko
Ada beberapa faktor risiko stroke yang sering teridentifikasi pada stroke non
hemoragik, diantaranya yaitu faktor risiko yang tidak dapat di modifikasi dan yang
dapat di modifikasi. Penelitian yang dilakukan Rismanto (2006) di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto mengenai gambaran faktor-faktor risiko penderita
stroke menunjukan faktor risiko terbesar adalah hipertensi 57,24%, diikuti dengan
diabetes melitus 19,31% dan hiperkolesterol 8,97%.15,16
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :15,16
1. Usia
Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan akan meningkat dua
kali dalam dekade berikutnya. 40% berumur 65 tahun dan hampir 13% berumur di
bawah 45 tahun. Menurut Kiking Ritarwan (2002), dari penelitianya terhadap 45
kasus stroke didapatkan yang mengalami stroke non hemoragik lebih banyak pada
tentan umur 45-65 tahun.16,17
2. Jenis kelamin
Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata bahwa kaum pria lebih
banyak menderita stroke di banding kaum wanita, sedangkan perbedaan angka
kematianya masih belum jelas. Penelitian yang di lakukan oleh Indah Manutsih Utami
(2002) di RSUD Kabupaten Kudus mengenai gambaran faktor-faktor risiko yang
terdapat pada penderita stroke menunjukan bahwa jumlah kasus terbanyak jenis
kelamin laki-laki 58,4% dari penelitianya terhadap 197 pasien stroke non
hemoragik.16,18
3. Heriditer
Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya hipertensi, penyakit
jantung, diabetes melitus dan kelainan pembuluh darah, dan riwayat stroke dalam
keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga pernah mengalami stroke
pada usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko terkena stroke. Menurut
penelitian Tsong Hai Lee di Taiwan pada tahun 1997-2001 riwayat stroke pada
keluarga meningkatkan risiko terkena stroke sebesar 29,3%.5
4. Ras atau etnik
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada kulit putih. Data sementara
di Indonesia, suku Padang lebih banyak menderita dari pada suku Jawa (khususnya
Yogyakarta).16
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :
1. Riwayat stroke
Seseorang yang pernah memiliki riwayat stoke sebelumnya dalam waktu lima tahun
kemungkinan akan terserang stroke kembali sebanyak 35% sampai 42%.16
2. Hipertensi
Hipertensi meningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak empat sampai enam kali
ini sering di sebut the silent killer dan merupakan risiko utama terjadinya stroke non
hemoragik dan stroke hemoragik. Berdasarkan Klasifikasi menurut JNC 7 yang
dimaksud dengan tekanan darah tinggai apabila tekanan darah lebih tinggi dari
140/90 mmHg, makin tinggi tekanan darah kemungkinan stroke makin besar karena
mempermudah terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh darah, sehingga
mempermudah terjadinya penyumbatan atau perdarahan otak.16,19
3. Penyakit jantung
Penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung, paska oprasi
jantung juga memperbesar risiko stroke, yang paling sering menyebabkan stroke
adalah fibrilasi atrium, karena memudahkan terjadinya pengumpulan darah di jantung
dan dapat lepas hingga menyumbat pembuluh darah otak.16
4. (DM) Diabetes melitus
Kadar gulakosa dalam darah tinggi dapat mengakibatkan kerusakan endotel
pembuluh darah yang berlangsung secara progresif. Menurut penelitian Siregar F
(2002) di RSUD Haji Adam Malik Medan dengan desain case control, penderita
diabetes melitus mempunyai risiko terkena stroke 3,39 kali dibandingkan dengan
yang tidak menderita diabetes mellitus.16,5
5. TIA
Merupakan serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak dan singkat akibat
iskemik otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan dan tingkat
penyembuhan berfariasi tapi biasanya 24 jam. Satu dari seratus orang dewasa di
perkirakan akan mengalami paling sedikit satu kali TIA seumur hidup mereka, jika
diobati dengan benar, sekitar 1/10 dari para pasien ini akan mengalami stroke dalam
3,5 bulan setelah serangan pertama, dan sekitar 1/3 akan terkena stroke dalam lima
tahun setelah serangan pertama.11,20
6. Hiperkolesterol
Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas.
Kolesterol dan trigliserida adalah jenis lipid yang relatif mempunyai makna klinis
penting sehubungan dengan aterogenesis. Lipid tidak larut dalam plasma sehingga
lipid terikat dengan protein sebagai mekanisme transpor dalam serum, ikatan ini
menghasilkan empat kelas utama lipuprotein yaitu kilomikron, lipoprotein densitas
sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas rendah (LDL), dan lipoprotein densitas
tinggi (HDL). Dari keempat lipo protein LDL yang paling tinggi kadar kolesterolnya,
VLDL paling tinggi kadar trigliseridanya, kadar protein tertinggi terdapat pada HDL.
Hiperlipidemia menyatakan peningkatan kolesterol dan atau trigliserida serum di atas
batas normal, kondisi ini secara langsung atau tidak langsung meningkatkan risiko
stroke, merusak dinding pembuluh darah dan juga menyebabkan penyakit jantung
koroner. Kadar kolesterol total >200mg/dl, LDL >100mg/dl, HDL <40mg/dl,
trigliserida >150mg/dl dan trigliserida >150mg/dl akan membentuk plak di dalam
pembuluh darah baik di jantung maupun di otak. Menurut Dedy Kristofer (2010), dari
penelitianya 43 pasien, di dapatkan hiperkolesterolemia 34,9%, hipertrigliserida
4,7%, HDL yang rendah 53,5%, dan LDL yang tinggi 69,8%.21,16,22
7. Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan diabetes melitus.
Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur. Obesitas merupakan
predisposisi penyakit jantung koroner dan stroke. Mengukur adanya obesitas dengan
cara mencari body mass index (BMI) yaitu berat badan dalam kilogram dibagi tinggi
badan dalam meter dikuadratkan. Normal BMI antara 18,50-24,99 kg/m2, overweight
BMI antara 25-29,99 kg/m2 selebihnya adalah obesitas.16,23
8. Merokok
Merokok meningkatkan risiko terjadinya stroke hampir dua kali lipat, dan perokok
pasif berisiko terkena stroke 1,2 kali lebih besar. Nikotin dan karbondioksida yang
ada pada rokok menyebabkan kelainan pada dinding pembuluh darah, di samping itu
juga mempengaruhi komposisi darah sehingga mempermudah terjadinya proses
gumpalan darah. Berdasarkan penelitian Siregar F (2002) di RSUD Haji Adam Malik
Medan kebiasaan merokok meningkatkan risiko terkena stroke sebesar empat kali.16,5
E. Patofisiologi
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal
sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki
jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron
berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (1200-1400
gram) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50%
glukosa yang ada di dalam darah arterial. Dalam jumlah normal darah yang mengalir
ke otak sebanyak 50-60ml per 100 gram jaringan otak per menit. Jumlah darah yang
diperlukan untuk seluruh otak adalah 700-840 ml/menit, dari jumlah darah itu di
salurkan melalui arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis (dekstra dan
sinistra), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi
arteri serebrum anterior, yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke
bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior, selanjutnya
sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior
membentuk suatu sirkulus Willisi.5,13
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-arteri
yang membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum, apabila
aliran darah ke jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau
kematian jaringan. Perlu di ingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu
menyebabkan infark di daerah otak yang di perdarahi oleh arteri tersebut dikarenakan
masih terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses patologik
yang sering mendasari dari berbagi proses yang terjadi di dalam pembuluh darah
yang memperdarhai otak diantaranya dapat berupa :11
1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan
thrombosis.
2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah.
3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari
jantung atau pembuluh ekstrakranium.
Gambar 2.1. Sirkulus Willisi. 11
Dari gangguan pasokan darah yang ada di otak tersebut dapat menjadikan
terjadinya kelainian-kelainan neurologi tergantung bagian otak mana yang tidak
mendapat suplai darah, yang diantaranya dapat terjani kelainan di system motorik,
sensorik, fungsi luhur, yang lebih jelasnya tergantung saraf bagian mana yang
terkena.
F. Gejala klinis
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di
otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat
gangguan peredaran darah terjadi, kesadaran biasanya tidak mengalami penurunan,
menurut penelitian Rusdi Lamsudi pada tahun 1989-1991 stroke non hemoragik tidak
terdapat hubungan dengan terjadinya penurunan kesadaran, kesadaran seseorang
dapat di nilai dengan menggunakan skala koma Glasgow yaitu :5,9,24
Tabel 2.1. Skala koma Glasgow.9
Buka mata (E) Respon motorik (M) Respon verbal (V)
1. Tidak ada respons 1. Tidak ada gerakan 1. Tidak ada suara
2. Respons
dengan
rangsangan
nyeri
2. Ekstensi abnormal 2. Mengerang
3. Buka mata
dengan
perintah
4. Fleksi abnormal3. Bicara kacau
5. Buka mata
spontan
5. Menghindari
nyeri
4. Disorientasi tempat
dan waktu
6. Melokalisir
nyeri
5. Orientasi baik dan
sesuai
7. Mengikuti
perintah
Penilaian skor skala koma Glasgow :
a. Koma (GCS = 3-8)
b. Konfusi, lateragi atau stupor (GCS = 9-14)
c. Sadar penuh, atentif dan orientatif (GCS = 15)
Gangguan yang biasanya terjadi yaitu gangguan mototik (hemiparese), sensorik
(anestesia, hiperestesia, parastesia/geringgingan, gerakan yang canggung serta
simpang siur, gangguan nervus kranial, saraf otonom (gangguan miksi, defeksi,
salvias), fungsi luhur (bahasa, orientasi, memori, emosi) yang merupakan sifat khas
manusia, dan gangguan koordinasi (sidrom serebelar) :5,13
1. Disekuilibrium yaitu keseimbangan tubuh yang terganggu yang terlihat seseorang
akan jatuh ke depan, samping atau belakang sewaktu berdiri
2. Diskoordinasi muskular yang diantaranya, asinergia, dismetria dan seterusnya.
Asinergia ialah kesimpangsiuran kontraksi otot-otot dalam mewujudkan suatu corak
gerakan. Dekomposisi gerakan atau gangguan lokomotorik dimana dalam suatu
gerakan urutan kontraksi otot-otot baik secara volunter atau reflektorik tidak
dilaksanakan lagi. Disdiadokokinesis tidak biasa gerak cepat yang arahnya
berlawanan contohnya pronasi dan supinasi. Dismetria, terganggunya memulai dan
menghentikan gerakan.
3. Tremor (gemetar), bisa diawal gerakan dan bisa juga di akhir gerakan
4. Ataksia berjalan dimana kedua tungkai melangkah secara simpangsiur dan kedua
kaki ditelapakkanya secara acak-acakan. Ataksia seluruh badan dalam hal ini badan
yang tidak bersandar tidak dapat memelihara sikap yang mantap sehingga bergoyang-
goyang.
Tabel 2.2. Gangguan nervus kranial.25
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis
dengan lesi
I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya
penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis
III:
Okulomotorius
Gerak mata; kontriksi
pupil; akomodasi
Diplopia (penglihatan
kembar), ptosis;
midriasis; hilangnya
akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit
kepala, dan gigi; gerak
mengunyah
”mati rasa” pada wajah;
kelemahan otot rahang
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi
umum pada platum dan
telinga luar; sekresi
kelenjar lakrimalis,
submandibula dan
sublingual; ekspresi wajah
Hilangnya kemampuan
mengecap pada dua
pertiga anterior lidah;
mulut kering; hilangnya
lakrimasi; paralisis otot
wajah
VIII:
Vestibulokoklearis
Pendengaran;
keseimbangan
Tuli; tinitus(berdenging
terus menerus); vertigo;
nitagmus
IX:
Glosofaringeus
Pengecapan; sensasi
umum pada faring dan
telinga; mengangkat
palatum; sekresi kelenjar
Hilangnya daya
pengecapan pada
sepertiga posterior lidah;
anestesi pada farings;
parotis mulut kering sebagian
X: Vagus Pengecapan; sensasi
umum pada farings, laring
dan telinga; menelan;
fonasi; parasimpatis untuk
jantung dan visera
abdomen
Disfagia (gangguan
menelan) suara parau;
paralisis palatum
XI: Asesorius
Spinal
Fonasi; gerakan kepala;
leher dan bahu
Suara parau; kelemahan
otot kepala, leher dan
bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan
lidah
Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana Pendeita stroke
non hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak kiri akan
mengakibatkan terjadinya kelumpuhan pada sebalah kanan, dan begitu pula
sebaliknya dan sebagian juga terjadi Hemiparese dupleks, pendeita stroke non
hemoragik yang mengalami hemiparesesi dupleks akan mengakibatkan terjadinya
kelemahan pada kedua bagian tubuh sekaligus bahkan dapat sampai mengakibatkan
kelumpuhan.26
Penelitian yang dilakukan Sri Andriani Sinaga (2008) terhadap 281 pasien stroke
di Rumah Sakit Haji Medan di dapatkan hemiparese sinistra yaitu 46,3%, diikuti
oleh hemiparese dekstra 31,7%, tidak tercatat sebanyak 14,2% dan hemiparesese
dupleks 7,8%. Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke
otak mungkin berkaitan dengan pengelompokan gejala dan tanda berikut yang
tercantum dan disebut sindrom neurovaskular :5,11
1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral)
a. Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena, akibat
insufisiensi arteri retinalis
b. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi arteria
serebri media
c. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau arteria
serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan mungkin mengenai
wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi afasia ekspresif karena
keterlibatan daerah bicara motorik Broca.
2. Arteri serebri media (tersering)
a. Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai lengan)
b. Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral
c. Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi yang
berkaitan dengan bicara dan komunikasi
d. Disfasia
3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)
a. Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai
b. Defisit sensorik kontralateral
c. Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis
4. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya bilateral)
a. Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas
b. Meningkatnya reflek tendon
c. Ataksia
d. Tanda Babinski bilateral
e. Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo
f. Disfagia
g. Disartria
h. Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah
i. Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
j. Gangguan penglihatan dan pendengaran
5. Arteri serebri posterior
a. Koma
b. Hemiparese kontralateral
c. Afasia visual atau buta kata (aleksia)
d. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis.
G. Pemeriksaan fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan
beratnya defisit neurologi yang dialami, pemeriksaan neurologik terdiri dari penilaian
hal-hal berikut ini :25
1. Status mental
a. Tingkat kesadaran
b. Bicara
c. Orientasi
d. Pengetahuan kejadian-kejadian mutakhir
e. Pertimbangan
f. Abstraksi
g. Kosakata
h. Respons emosional
i. Daya ingat
j. Berhitung
k. Pengenalan benda
l. Praksis (integrasi aktivitas motorik).
2. Nervus kranial
a. Nervus olfaktorius diperiksa tajamnya penciuman dengan satu lubang hidung
pasien ditutup, sementara bahan penciuman diletakan pada lubang hidung kemudian
di suruh membedakan bau.
b. Nervus optikus yang diperikasa adalah ketajaman penglihatan dan pemeriksaan
oftalmoskopi.
c. Nervus okulomotorius yang diperiksa adalah reflek pupil dan akomodasi.
d. Nervus troklearis dengan cara melihat pergerakan bola mata keatas, bawah, kiri,
kanan, lateral, diagonal.
e. Nervus trigeminus dengan cara melakukan pemeriksaan reflek kornea dengan
menempelkan benang tipis ke kornea yang normalnya pasien akan menutup mata,
Pemeriksaan cabang sensoris pasa bagian pipi, pemeriksaan cabang motorik pada
pipi.
f. Nervus abdusen dengan cara pasien di suruh menggerakan sisi mata ke samping
kiri dan kanan.
g. Nervus fasialis di dapatkan hilangnya kemampuan mengecap pada dua pertiga
anterior lidah, mulut kering, paralisis otot wajah.
h. Nervus vestibulokoklearis yang di periksa adalah pendengaran, keseimbangan, dan
pengetahuan tentang posisi tubuh.
i. Nervus glosofaringeus di periksa daya pengecapan pada sepertiga posterior lidah
anestesi pada farings mulut kering sebagian.
j. Nervus vagus dengan cara memeriksa cara menelan.
k. Nervus asesorius dengan cara memeriksa kekuatan pada muskulus
sternokleudomastoideus, pasien di suruh memutar kepala sesuai tahanan yang di
berikan si pemeriksa.
l. Nervus hipoglosus bisa dengan melihat kekuatan lidah, lidah di julurkan ke luar
jika ada kelainan maka lidah akan membelok ke sisi lesi.
3. Fungsi motorik
a. Masa otot bisa dengan inspeksi.
b. Kekuatan otot, dengan menyuruh pasien bergerak secara aktif melawan tahanan,
bandingkan dengan sisi yang lain. Sekala yang lazim digunakan yaitu 0: tidak ada
kontraksi, 1: hanya ada sedikit kontraksi, 2: gerakan yang dibatasi oleh gravitasi, 3:
gerakan melawan gravitasi, 4: gerakan melawan gravitasi dengan sedikit tahanan, 5:
gerakan melawan gravitasi dengan tahanan penuh (normal).
c. Tonus otot dengan membandingkan gerakan pasif pada otot itu bandingkan dengan
sisi yang lain, lesi neuron motorik atas terjadi peningkatan tonus tetapi sebaliknya lesi
pada neuron motorik bawah menyebabkan penurunan tonus otot.
4. Reflek
Ada dua jenis reflek yang di periksa yaitu reflek renggang, atau tendo profunda, dan
reflek superfisial. Reflek renggang diantaranya yaitu reflek biseps, brakioradialis,
triseps, patela dan achiles bisa dinilai berdasarkan sekala 0-4+ yaitu 0: tak ada
respon, 1+: berkurang, 2+: normal, 3+: meningkat, 4+: hiperaktif. Jika reflek
hiperaktif merupakan ciri penyakit traktus ekstrapiramidalis, kelainan elektrolit,
hipertiroidisme dan kelainan metabolik, sedangkan jika reflek berkurangnya reflek
merupakan ciri kelainan sel kornu anterior dan miopati. Reflek superfisial yang
abnormal yaitu reflek babinski, reflek chaddock, reflek openheim. Reflek babinski
untuk menguji radiks saraf pada lumbal lima sampai sacrum dua, dengan menggores
bagian telapak kaki bagian lateral dari tumit ke arah pangkal jari-jari kaki
melengkung ke medial, maka akan terjadi dorsifleksi ibu jari kakai dengan
penyebaran jari-jari lainya. Reflek chaddock akan terjadi dorsofleksi ketika sisi lateral
kaki di gores. Reflek openheim dengan penekanan tulang kering yang akan
menyebabkan dorsofeksi ibu jari kaki.
5. Fungsi sensorik
a. Sentuhan ringan
b. Sensasi nyeri
c. Sensasi getar
d. Propriosepsis (sensasi posisi)
e. Lokalisasi taktil.
6. Fungsi serebelar
a. Tes jari ke hidung jika terjadi gangguan di serebelum maka akan melewati sasaran
secara terus menerus dan kadang di sertai tremor.
b. Tes tumit kelutut, pasien di suruh menggeserkan tumit suatu ekstremitas bawah
menuruni tulang kering ekstremitas bawah lainya dengan dimulai dari lutut, dalam
keadaan penyakit serebelum tumitnya bergoyang-goyang dari sisi ke sisi.
c. Gerakan yang berganti-ganti dengan cepat.
d. Tes Romberg dengan cara menyuruh pasien berdiri di depan pemeriksa, dengan
kaki di rapatkan sehingga kedua tumit dan jari-jari kaki saling bersentuhan tes ini
positif jika pasien mulai bergoyang-goyang dan harus memindahkan kakinya untuk
keseimbangan.
e. Gaya berjalan. Hemiplegi cenderung menyeret kakinya. parkinson cenderung
berjalan dengan langkah pendek, diseret, kepala membungkuk dengan punggung
membungkuk dan tergesa-gesa. Ataksia serebelum berjalan dengan langkah kaki
berdasar lebar, kedua kakinya sangat jauh terpisah ketika berjalan. Foot drop dengan
gaya berjalan seperti menampar yang khas. Ataksia sensoris yaitu berjalan dengan
langkah-langkah yang tinggi.
H. Pemeriksaan laboratorium dan teknik pencitraan
Pemeriksaan laboratorium standar biasanya di gunakan untuk menentukan
etiologi yang mencakup urinalisis, darah lengkap, kimia darah, dan serologi.
Pemeriksaan yang sering dilakukan untuk menentukan etiologi yaitu pemeriksaan
kadar gula darah, dan pemeriksaan lipid untuk melihat faktor risiko dislipidemia :
1. Gula darah
Tabel 2.3. Kadar glukosa darah.9
Kriteria diagnostik DM
Bukan
DM
(mg/dl)
Belum pasti
DM (mg/dl)
DM
(mg/dl)
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma Vena <110 110 – 199 >200
Darah kapiler <90 90 – 199 >200
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena <110 110 – 125 >126
Darah <90 90 – 109 >110
Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun tidak sekuat
hipertensi. Gatler menyatakan bahwa penderita stroke aterotrombotik di jumpai 30%
dengan diabetes mellitus. Diabetes melitus mampu menebalkan pembuluh darah otak
yang besar, menebalnya pembuluh darah otak akan mempersempit diameter
pembuluh darah otak dan akan mengganggu kelancaran aliran darah otak di samping
itu, diabetes melitus dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis (pengerasan
pembuluh darah) yang lebih berat sehingga berpengaruh terhadap terjadinya stroke.5,26
2. Profil lipid
Tabel 2.4. Kadar Lipid Serum Normal.22
Kolesterol Total (mg/dl)
Optimal < 200
Diinginkan 200 –239
Tinggi ≥240
LDL
Optimal < 100
Mendekati optimal 100 –129
Diinginkan 130 –159
Tinggi 160 –189
Sangat tinggi ≥190
HDL
Rendah < 40
Tinggi ≥ 60
Trigliserida
Optimal < 150
Diinginkan 150 –199
Tinggi 200 –449
Sangat tinggi ≥500
LDL adalah lipoprotein yang paling banyak mengandung kolesterol. LDL
merupakan komponen utama kolesterol serum yang menyebabkan peningkatan risiko
aterosklerosis, HDL berperan memobilisasi kolesterol dari ateroma yang sudah ada
dan memindahkannya ke hati untuk diekskresikan ke empedu , oleh karena itu kadar
HDL yang tinggi mempunyai efek protektif dan dengan cara inilah kolesterol dapat di
turunkan, namun penurunan kadar HDL merupakan faktor yang meningkatkan
terjadinya aterosklerosis dan stroke.22
Pemeriksaan lain yang dapat di lakukan adalah dengan menggunakan teknik
pencitraan diantaranya yaitu :27,11
1. CT scan
Untuk mendeteksi perdarahan intra kranium, tapi kurang peka untuk mendeteksi
stroke non hemoragik ringan, terutama pada tahap paling awal. CT scan dapat
memberi hasil tidak memperlihatkan adanya kerusakan hingga separuh dari semua
kasus stroke non hemoragik.20
2. MRI (magnetic resonance imaging)
Lebih sensitif dibandingkan dg CT scan dalam mendeteksi stroke non hemoragik
rigan, bahkan pada stadium dini, meskipun tidak pada setiap kasus. Alat ini kurang
peka dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi perdarahan intrakranium
ringan.20
3. Ultrasonografi dan MRA (magnetic resonance angiography)
Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan ultrasonografi (menggunakan gelombang
suara untuk menciptakan citra), MRA digunakan untuk mencari kemungkinan
penyempitan arteri atau bekuan di arteri utama, MRA khususnya bermanfaat untuk
mengidentifikasi aneurisma intrakranium dan malformasi pembuluh darah otak.20
4. Angiografi otak
Merupakan penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam citra sinar-X ke dalam
arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X kemudian dapat memperlihatkan
pembuluh-pembuluh darah di leher dan kepala.20
I. Penatalaksanaan
Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke non hemoragik
yang di perlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda terapi dari stroke hanya 3-6
jam. Penatalaksanaan yang cepat, tepat dan cermat memegang peranan besar dalam
menentukan hasil akhir pengobatan.9
1. Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik
a. Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama)
menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-plasminogen activator).
Ini hanya boleh di berikan dengan waktu onset <3 jam dan hasil CT scan normal,
tetapi obat ini sangat mahal dan hanya dapat di lakukan di rumah sakit yang
fasilitasnya lengkap.
b. Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam yang
diantaranya yaitu :
1) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi dengan manitol dan
hindari cairan hipotonik.
2) Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat mencegah trombosis
yang progresif dan optimalisasi volume dan tekanan darah yang dapat menyerupai
kegagalan perfusi.
3) Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga faktor utama
adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut, ini tak boleh di beri
antikoagulan selama 43-72 jam pertama, bila ada hipertensi beri obat antihipertensi.
c. Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala stroke terapi
dengan heparin.
2. Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut
a. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90 mg) 10% di
berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam wakti 1 jam jika onset di
pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak memperlihatkan infrak yang luas.
b. Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia
miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan digoksin
0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau amiodaron 200 mg
drips dalam 12 jam.
c. Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat memperluas infrak
dan perburukan neurologis. Pedoman penatalaksanaan hipertensi bila terdapat salah
satu hal berikut :
1) Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi neurologis seperti,
iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik, hipertensi maligna (retinopati),
nefropati hipertensif, diseksi aorta.
2) Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali pengukuran selang
15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik >120 mmHg, tekanan arteri rata-rata
>140 mmHg.
3) Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana tekanan darah
sistolik >180 mmHg dan diastolik >110 mmHg.
Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin. Nifedifin sublingual harus
dipantau ketat setiap 15 menit karena penurunan darahnya sangat drastis. Pengobatan
lain jika tekanan darah masih sulit di turunkan maka harus diberikan nitroprusid
intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5% dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan 3
ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang di inginkan. Alternatif
lain dapat diberikan nitrogliserin drip 10-20 mg/menit, bila di jumpai tekanan darah
yang rendah pada stroke maka harus di naikkan dengan dopamin atau debutamin
drips.
d. Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda klinis atau
radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran menurun, gangguan pernafasan atau
stroke dalam evolusi.
e. Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.
f. Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke vetebrobasiler
atau sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata pada CT scan.
g. Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800 unit/jam, 20.000
unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai masa
tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi :
1) Kemungkinan besar stroke kardioemboli
2) TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis
3) Stroke dalam evolusi
4) Diseksi arteri
5) Trombosis sinus dura
Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada infrak yang luas. Pasien stroke non
hemoragik dengan infrak miokard baru, fibrilasi atrium, penyakit katup jantung atau
trombus intrakardiak harus diberikan antikoagulan oral (warfarin) sampai minimal
satu tahun.
Perawatan umum untuk mempertahankan kenyamanan dan jalan nafas yang
adekuat sangatlah penting. Pastikan pasien bisa menelan dengan aman dan jaga
pasien agar tetap mendapat hidrasi dan nutrisi. Menelan harus di nilai (perhatikan saat
pasien mencoba untuk minum, dan jika terdapat kesulitan cairan harus di berikan
melalui selang lambung atau intravena. Beberapa obat telah terbukti bermanfaat
untuk pengobatan penyakit serebrovaskular, obat-obatan ini dapat dikelompokkan
atas tiga kelompok yaitu obat antikoagulansia, penghambat trombosit dan
trombolitika :27
1. Antikoagulansia adalah zat yang dapat mencegah pembekuan darah dan di gunakan
pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk membeku. Obat yang
termasuk golongan ini yaitu heparin dan kumarin.28
2. Penghambat trombosit adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering
ditemukan pada sistem arteri. Obat yang termasuk golongan ini adalah aspirin,
dipiridamol, tiklopidin, idobufen, epoprostenol, clopidogrel.28
3. Trombolitika juga disebut fimbrinolitika berkhasiat melarutkan trombus diberikan 3
jam setelah infark otak, jika lebih dari itu dapat menyebabkan perdarahan otak, obat
yang termasuk golongan ini adalah streptokinase, alteplase, urokinase, dan
reteplase.28
Pengobatan juga di tujukan untuk pencegahan dan pengobatan komplikasi yang
muncul sesuai kebutuhan. Sebagian besar pasien stroke perlu melakukan
pengontrolan perkembangn kesehatan di rumah sakit kembali, di samping melakukan
pemulihan dan rehabilitasi sendiri di rumah dengan bantuan anggota keluarga dan
ahli terapi. Penelitian yang dilakukan Sri Andriani (2008) terhadap 281 pasien stroke
di Rumah Sakit Haji Medan di dapatkan 60% berobat jalan, 23,8% meninggal dan
sisanya pulang atas permintaan sendiri. 28,5
J. Komplikasi
Kebanyakan morbiditas dan mortilitas stroke berkaitan dengan komplikasi non
neurologis yang dapat di minimalkan dengan perawatan umum, komplikasi-
komplikasi tersebut yaitu :9
1. Demam, yang dapat mengeksaserbasi cedera otak iskemik dan harus di obati secara
agresif dengan antipiretik atau kompres dingin. Penyebab demam biasanya adalah
pneumonia aspirasi, kultur darah dan urin kemudian beri antibiotik intravena sesuai
hasil kultur.
2. Kekurangan nutrisi, bila pasien sadar dan tidak memiliki risiko aspirasi maka dapat
dilakukan pemberian makanan secara oral, tetapi jika pasien tidak sadar atau
memiliki risiko aspirasi beri makanan secara enteral melalui pipa nasoduodenal
ukuran kecil dalam 24 jam pertama setelah onset stroke.
3. Hipovolemia, dapat di koreksi dengan kristaloid isotonis. Cairan hipotonis
(dekstrosa 5% dalam air, larutan NaCl 0,45 %) dapat memperberat edema serebri dan
harus di hindari.
4. Hiperglikemi dan hipoglikemi, ini dapat lakukan terapi setiap 6 jam selama 3-5 hari
sejak onset stoke :
a. < 50 mg/dl : dekstrosa 40% 50 ml bolus intravena
b. 50-100 mg/dl : dekstrosa 5 % dalam NaCl 0,9 %, 500 ml dalam 6 jam
c. 100-200 mg/dl : pengobatan (-), NaCl 0,9 % atau Ringer laktat
d. 200-250 mg/dl : insulin 4 unit intravena
e. 250-300 mg/dl : insulin 8 unit intravena
f. 300-350 mg/dl : insulin 12 unit intravena
g. 350-400 mg/dl : insulin 16 unit intravena
h. > 400 mg/dl : insulin 20 unit intravena
5. Atelektasis paru, dapat di cegah dengan fisioterapi dada setiap 4 jam
6. Dekubitus, dicegah dengan perubahan posisi tubuh setiap 2 jam, kontraktur
dilakukan latihan gerakan sendi anggota badan secara pasif 4 kali sehari, pemendekan
tendo achiles di lakukan splin tumit untuk mempertahankan pergelangan kaki dalam
posisi dorsofleksi.
7. Defisit sensorik, kognitif, memori, bahasa, emosi serta visuospasial harus di
lakukan neurorestorasi dini.
8. Trombosis vena dalam, di cegah dengan pemberian heparin 5000 unit atau
fraksiparin 0,3 cc setiap 12 jam selama 5-10 hari.
9. Infeksi vesika, pembentukan batu, gangguan sfingter vesika biasanya di karenakan
pemasangan kateter urin menetap, latihan vesika harus segera di lakukan sedini
mungkin bila pasien sudah sadar.
K. Pencegahan
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan menghindari rokok, stres mental,
alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebih, obat-obat golongan amfetamin,
kokain dan sejenisnya. Mengurangi kolesterol dan lemak dalam makanan.
Menggendaliakan hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit vaskular
aterosklerotik lainya. Perbanyak konsumsi gizi seimbang dan olahraga teratur.9
Pencegahan skunder dengan cara memodifikasi gaya hidup yang berisiko seperti
hipertensi dengan diet dan obat antihipertensi, diabetes melitus dengan diet dan obat
hipoglikemik oral atau insulin, penyakit jantung dengan antikoagulan oral,
dislipidemia dengan diet rendah lemak dan obat antidislipidemia, berhenti merokok,
hindari kegemukan dan kurang gerak.9
Pencegahan Stroke
Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke (1999) di Indonesia, upaya yang
dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke yaitu:
1. Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko stroke bagi
individu yang belum mempunyai faktor risiko. Pencegahan primordial dapat
dilakukan dengan cara melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye tentang
bahaya rokok terhadap stroke dengan membuat selebaran atau poster yang dapat
menarik perhatian masyarakat. Selain itu, promosi kesehatan lain yang dapat
dilakukan adalah program pendidikan kesehatan masyarakat, dengan memberikan
informasi tentang penyakit stroke melalui ceramah, media cetak, media elektronik
dan billboard.
2. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko stroke bagi
individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan gaya hidup sehat
bebas stroke, antara lain:
a. Menghindari: rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan, obat-
obatan golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya.
b. Mengurangi: kolesterol dan lemak dalam makanan.
c. Mengendalikan: Hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya fibrilasi atrium, infark
miokard akut, penyakit jantung reumatik), dan penyakit vascular aterosklerotik
lainnya.
d. Menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang seperti, makan banyak sayuran, buah-
buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna, minimalkan junk food dan beralih pada
makanan tradisional yang rendah lemak dan gula, serealia dan susu rendah lemak
serta dianjurkan berolah raga secara teratur.
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke. Pada
tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke tidak
berlanjut menjadi kronis. Tindakan yang dilakukan adalah:
a. Obat-obatan, yang digunakan: asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai
obat antiagregasi trombosit pilihan pertama dengan dosis berkisar antara 80-320
mg/hari, antikoagulan oral diberikan pada penderita dengan faktor resiko penyakit
jantung (fibrilasi atrium, infark miokard akut, kelainan katup) dan kondisi
koagulopati yang lain.
b. Clopidogrel dengan dosis 1x75 mg. Merupakan pilihan obat antiagregasi trombosit
kedua, diberikan bila pasien tidak tahan atau mempunyai kontra indikasi terhadap
asetosal (aspirin).
c. Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko stroke, misalnya mengkonsumsi obat
antihipertensi yang sesuai pada penderita hipertensi, mengkonsumsi obat
hipoglikemik pada penderita diabetes, diet rendah lemak dan mengkonsumsi obat
antidislipidemia pada penderita dislipidemia, berhenti merokok, berhenti
mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan dan kurang gerak.
4. Pencegahan Tertier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita stroke agar
kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi ketergantungan
pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan tersier
dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan sosial. Rehabilitasi akan
diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi wicara
dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan peran serta keluarga.
a. Rehabilitasi Fisik
Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat membantu proses
pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang diberikan yaitu yang pertama adalah
fisioterapi, diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita seperti
masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan keseimbangan serta
mobilitas di tempat tidur. Terapi yang kedua adalah terapi okupasional (Occupational
Therapist atau OT), diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam melakukan
aktivitas sehari-hari seperti mandi, memakai baju, makan dan buang air. Terapi yang
ketiga adalah terapi wicara dan bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan
penderita dalam menelan makanan dan minuman dengan aman serta dapat
berkomunikasi dengan orang lain.
b. Rehabilitasi Mental
Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional yang dapat
mempengaruhi mental mereka, misalnya reaksi sedih, mudah tersinggung, tidak
bahagia, murung dan depresi. Masalah emosional yang mereka alami akan
mengakibatkan penderita kehilangan motivasi untuk menjalani proses rehabilitasi.
Oleh sebab itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan melakukan
konsultasi dengan psikiater atau ahki psikologi klinis.
c. Rehabilitasi Sosial
Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu penderita stroke
menghadapi masalah sosial seperti, mengatasi perubahan gaya hidup, hubungan
perorangan, pekerjaan, dan aktivitas senggang. Selain itu, petugas sosial akan
memberikan informasi mengenai layanan komunitas lokal dan badan-badan bantuan
sosial.
L. Prognosis
Prognosis stroke dipengaruhi oleh sifat dan tingkat keparahan defisit neurologis
yang dihasilkan. usia pasien, penyebab stroke, gangguan medis yang terjadi
bersamaan juga mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan, kurang dari 80%
pasien dengan stroke bertahan selama paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan tingkat
kelangsungan hidup dalam 10 tahun sekitar 35%. pasien yang selamat dari periode
akut, sekitar satu setengah samapai dua pertiga kembali fungsi independen, sementara
sekitar 15% memerlukan perawatan institusional. Di Indonesia, diperkirakan setiap
tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, dan sekitar 25% atau
125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat. Sebanyak
28,5% penderita stroke meninggal dunia, sisanya menderita kelumpuhan sebagian
maupun total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke dan
kecacatan.29,30,31,32
DAFTAR PUSTAKA
Irdawati. Perbedaan Pengaruh Latihan Gerak Terhadap Kekuatan Otot Pada Pasien
Stroke Non-Hemoragik Hemiparese Kanan Dibandingkan Dengan Hemiparese Kiri.
Media Medika Indonesia. Surakarta, 2008.
Rambe AS. Sekilas Tentang Definisi, Penyebab, Efek, Dan Faktor Risiko.
Departemen Neurologi FK-USU. Medan .2009.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/18925. (4 januari 2012)
Situmorang MH. Karakteristik Penderita Stroke Rawat Inap Yang Meninggal di RSU
Dr. Pirngadi Medan.FKM USU. Medan. 2009.
Utami DN. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Stroke Pada Penderita
Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Seputih Banyak Lampung Tengah Tahun
2009. PSIK-UNIMAL. Bandar Lampung, 2009.
Sinaga SA. Karakteristik Penderita Stroke Rawat Inap Di Rumah Sakit Haji Medan
Tahun 2002-2006. FKM USU. Medan. 2008.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16617. (3 januari 2012).
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.Riset kesehatan dasar 2007.Jakarta.2008.
Hudak, Gallo. Modified National Institute of Health Stroke Scale for Use in Stroke
Clinical Trials. USU Digital Library. 2006.
RSUD Abdul Moloek. Rekam Medik RSUD Abdul Moeloek 2010. Lampung, 2010.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran
FKUI Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta. 2000: 17-8.
Widjaja AC. Uji Diagnostik Pemeriksaan Kadar D-dimer Plasma Pada Diagnosis
Stroke Iskemik. UNDIP. Semarang. 2010.
http://eprints.undip.ac.id/24037/1/Andreas_Christian_Widjaja.pdf (1 januari 2012)
Price SA & Wilson LM. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit jilid 2.
EGC. Jakarta. 2006: 1110-19.
Sabiston. Buku Ajar Bedah Bagian 2. EGC. Jakarta. 1994.hal:579-80.
Mardjono M & Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta.
2010: 290-91.
Noeryanto M. Masalah-masalah Dalam Stroke Akut, Temu Regional Neurologi,
Universitas Diponegoro. Semarang, 2002.dalam Standard Pelayanan Minimal
Tatalaksana Stroke Non Hemoragik Fase Akut Dan Pfevensi Skunder.2011.
http://standar-pelayanan-minimal-tatalaksana.html (1 januari 2012).
Rismanto. Gambaran Faktor-Faktor Risiko Penderita Stroke Di Instalasi Rawat
Jalan Rsud Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2006.FKM
UNDIP.Semarang.2006.http://www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?
action=4&idx=3745. (1 februari 2012).
Madiyono B & Suherman SK. Pencegahan Stroke & Serangan Jantung Pada Usia
Muda. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2003.hal:3-11.
Ritarwan K.Pengaruh Suhu Tubuh Terhadap Outcome Penderita Stroke Yang
Dirawat Di Rsup H. Adam Malik Medan.FK USU.medan.2003.
Utami IM.Gambaran Faktor - Faktor Risiko Yang Terdapat Pada Penderita Stroke
Di Rsud Kabupaten Kudus.FK UNDIP.Semarang.2002.
http://eprints.undip.ac.id/4021/1/2042.pdf (3 februari 2012)
Sudoyo AW. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2006.
Feigin V. Panduan bergambar tentang pencegahan dan pemulihan stroke. PT
Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. 2011: 29-30.
Price SA & Wilson LM. Patofisiologi , Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit jilid 1.
EGC. Jakarta. 2006: 580-81.
Kristofer D. Gambaran Profil Lipid Pada Penderita Stroke Di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2009.FK USU.medan.2010.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21421 (1 januari 2012)
Andaka D. Normalkah Body Mass Index (BMI) Anda?.2008.
http://www.andaka.com/normalkah-body-mass-index-bmi-anda.php.(1 januari 2012)
Lamsudin R. Algoritma Stroke Gajah Mada Penyusunan Dan Validasi Untuk
Membedakan Stroke Perdarahan Intraserebral Dengan Stroke Iskemik Akut Atau
Stroke Infark. FKUGM. Yogyakarta. 1996.
Swartz MH, Buku Ajar Diagnostic Fisik, EGC, Jakarta,2002: 359-98.
Januar R. Karakteristik Penderita Stroke Non Hemorage Yang Di Rawat Inap Di
RSU Herna Medan Tahun 200.FKM USU.Medan.2002.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14569 (1 januari 2012)
Rubenstein D, Waine D & Bradley J. Kedokteran Klinis Edisi Ke 6,Penerbit
Erlangga. Jakarta. 2005: 98-99.
Rambe AS. Obat Obat Penyakit Serebrovaskular. FK USU. Medan. 2002.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/3458. (3 januari 2012).
Giraldo, elias. Stoke ischemic.2010. http://www.merck.com/mmpe/sec16/
ch211/ch211b.html. (23 januari 2012)
Goldstein LB. Stroke Ischemic.2010. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/
ency/article/000726.htm. (23 januari 2012)
Yayasan Stroke Indonesia. Stroke Non Hemoragik. Jakarta. 2011.
http://www.yastroki.or.id/read.php?id=250 (23 januari 2012)
Artikel Kedokteran. Stroke Non Hemoragik.2011.http://stroke-non hemoragik.html.
(25 desember 2011)
Notoatmodjo, Soekidjo, Metodologi Penelitian Kesehatan Rineka Cipta, Jakarta,
2005.
Arikunto, S, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta,
2006.
Pujarini LA. Dislipidemia pada Penderita Stroke dengan Demensia di RS Dr.
Sardjito Jogjakarta. Yogyakarta. 2007
Soebroto L. Hubungan Antara Kadar LDL Kolesterol Pada Penderita Stroke di
Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta. USM. Surakarta. 2010
Darmawan A. Hiperglikemia dan Aterosklerosis Arteri Karotis Interna pada
Penderita Pasca Stroke Iskemik. UNDIP. Semarang. 2010.
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/4511117_0126-1762.pdf
(2 februari 2012)