siddiq referrat asma edited

34
BAB I PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. World Health Organization (WHO) memperkirakan 100- 150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. ( Depkes, 2009 ) Kasus asma ini meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari dua puluh tahun, Beban global dari dampak buruk penyakit asma juga semakin meningkat yang meliputi, penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan bias menyebabkan kematian. (Eric et al,2010)). Data Departemen Kesehatan menunjukkan, pada 2005 prevalensi asma 2,1%. Pada 2007, prevalensinya meningkat menjadi 5,2%. Sedangkan hasil survei pada 1

Upload: fika-rizki

Post on 24-Jul-2015

78 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Siddiq Referrat Asma Edited

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai

adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran

nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. World

Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia

menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga

mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien

asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama

20 tahun belakangan ini. ( Depkes, 2009 )

Kasus asma ini meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari

dua puluh tahun, Beban global dari dampak buruk penyakit asma juga semakin

meningkat yang meliputi, penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun,

ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di

rumah sakit dan bahkan bias menyebabkan kematian. (Eric et al,2010)).

Data Departemen Kesehatan menunjukkan, pada 2005 prevalensi asma

2,1%. Pada 2007, prevalensinya meningkat menjadi 5,2%. Sedangkan hasil survei

pada anak sekolah di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,

Yogyakarta, Malang dan Denpasar pada 2008, menunjukkan prevalensi asma

anak berusia 6-12 sebesar 3,7-16,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta 5,8%.

Saat ini diprediksi 2,5 % penduduk Indonesia menderita asma. (Triono,2007)

Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan

tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk

menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan

frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah

menghindari faktor penyebab. (Kartasasmita,2008)

1

Page 2: Siddiq Referrat Asma Edited

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang

melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan

dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menyebabkan episode

wheezing, apneu, sesak nafas dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau

awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan

yang bersifat reversibel baik secara spontan ataupun dengan terapi. (Eric et al,

2010)

Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK)

Respirologi IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi

berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul

secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah

aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau

keluarganya. (Rahajo,2009)

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko

Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

(depkes,2008)

1. Faktor Pejamu

- Genetik

- Obesitas

- Sex

2. Faktor lingkungan

- Alergen

- Infeksi

- Bahan di Lingkungan Kerja

2

Page 3: Siddiq Referrat Asma Edited

- Asap Rokok

- Makanan

- Exercise-Induced Asthma

- Perubahan Cuaca

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma:

Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang

berbulu (anjing, kucing, tikus), jamur, kapang, ragi, asap rokok.

Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.

Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang,

alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen

seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di

tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa,

hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal

refluks). (Nelson,2003)

Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai

teori sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya

gangguan parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan

Simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor

alfa adrenergik). (Mangunnegoro,2006)

2.3 Epidemiologi

WHO memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia adalah penyandang

asma dan diperkirakan akan terus bertambah sekitar 180.000 orang setiap tahun.

Asma termasuk kedalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di

Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT) tahun 2000 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab

kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada

SKRT 2002, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-

4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. (Triono,2007).

3

Page 4: Siddiq Referrat Asma Edited

Data Departemen Kesehatan menunjukkan, pada 2005 prevalensi asma

2,1%. Pada 2007, prevalensinya meningkat menjadi 5,2%. Sedangkan hasil survei

pada anak sekolah di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,

Yogyakarta, Malang dan Denpasar pada 2008, menunjukkan prevalensi asma

anak berusia 6-12 sebesar 3,7-16,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta 5,8%.

Saat ini diprediksi 2,5 % penduduk Indonesia menderita asma. (Triono,2007)

2.4. Patogenesis

Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf

otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi

hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi

alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah

antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma

alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstitial

paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang

menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat.

Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan

menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai mediator( histamin,

leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin). Hal itu akan menimbulkan

efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam

lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan

inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas

terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang

terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang

bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah

6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang

sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan

antigen presenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.

(Iris,2008)

4

Page 5: Siddiq Referrat Asma Edited

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast

intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran

napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator

inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan

napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,

sehingga meningkatkan rekasi yang terjadi. Pada keadaaan tersebut reaksi asma

terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang

menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan

Calcitonin gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan

terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir,

(Iris,2008)

Gambar 1. Patogenesis Asma

Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas

saluran respiratori yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam

waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi

inhalasi kortikosteroid. (Supriyatno,2008)

5

Page 6: Siddiq Referrat Asma Edited

2.5 Patofisiologi Asma

2.5.1 Obstruksi saluran respiratori

Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi

mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase,

prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast,

neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan asetilkolin yang

berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi

otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh

darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul

pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan

lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial

dan debris seluler. (Makmuri,2008)

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

2.5.2 Hiperaktivitas saluran respiratori

Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada

pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan

penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik

asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic

6

Page 7: Siddiq Referrat Asma Edited

Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.

Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki

pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan

metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel

lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya.

(Makmuri,2008)

2.5.3 Otot polos saluran respiratori

Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.

Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian

elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan

kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan

pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur

filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi

hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik. (Makmuri,2008)

2.5.4 Hipersekresi mukus

Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada

saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan

karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran

nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab

ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak

mengalami perbaikan dengan bronkodilator. (Makmuri,2008)

Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa

peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan

dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja

tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal

datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel

inflamasi yang mengalami lisis. (Makmuri,2008)

7

Page 8: Siddiq Referrat Asma Edited

Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu

mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan

mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel

Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena

adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik.

Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh

mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase,

kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.

(Makmuri,2008)

2.6 Klasifikasi

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan serangan dan berat penyakit

sebelum dan saat terapi.. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi

pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat

asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan

berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai (tabel 2).

Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan  dan pengobatan yang

telah berlangsung seringkali tidak adekuat (Tabel 3).  Dipahami bahwa

pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu

penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus

mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Klasifikasi derajat serangan asma

dijelaskan pada tabel 1.

Tabel 1. Penetuan Derajat Serangan Asma

Parameter klinis,

Fungsi paru,

Laboraturium

Ringan Sedang Berat Ancaman

henti napas

Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat

8

Page 9: Siddiq Referrat Asma Edited

Posisi Bisa berbaring Lebih suka

Duduk

Duduk

bertopang

lengan

Berbaring

Bicara Kalimat Penggal

kalimat

Kata-kata

Kesadaran Mungkin

irritable

Biasanya

irritable

Biasanya

Irritable

Kebingungan

Frekuensi napas < 20 x /menit 20-30 x/

menit

>30 x/menit

Penggunaan otot

Bantu Napas &

retraksi suprasternal

Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan

paradox

Torakobdominal

Wheezing Sedang, sering

hanya pada

akhir

ekspirasi

Nyaring,

Sepanjang

ekspirasi

± inspirasi

Sangat

nyaring,

Terdengar

tanpa

stateskop

Sulit /

Tidak terdengar

Frekuensi nadi <100x/menit 100-120x/

menit

>120x/menit Bradikardi

Pulsus paradoksus Tidak ada

<10 mmHg

Ada

10-25 mmHg

Ada

>25 mmHg

Tidak ada,

Tanda kelelahan

Otot respiratorik

PEFR atau FEV1

Prabronkodilator

Pascabronkodilator

>80% 60-80%

<60%

Respon < 2

jam

SaO2 % >95% 91-95% ≤90%

PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHg

PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

( Dewan Asma Indonesia.2011)

9

Page 10: Siddiq Referrat Asma Edited

Tabel 2. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gejala klinis sebelum terapi

(Sumber :mangunnegoro,2006)

10

Page 11: Siddiq Referrat Asma Edited

.Tabel 3. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan

(Sumber :mangunnegoro,2006)

2.7. Diagnosis

Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa

batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan

dengan cuaca.  Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis,

ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama

reversibiliti  kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan  nilai diagnostik

2.7.1 Anamnesis

- Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan

- Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak

11

Page 12: Siddiq Referrat Asma Edited

- Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari

- Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

- Respons terhadap pemberian bronkodilator (PDPI,2003)

2.7.1 Anamnesis

- Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan

- Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak

- Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari

- Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

- Respons terhadap pemberian bronkodilator (PDPI,2003)

Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat

membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total

umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan

pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi

positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan.

(Pusponegoro. 2008)

2.7.2 Pemeriksaan fisik

Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi

pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal

walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan

napas.. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis

berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah

analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada

AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2

(hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru

bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya

penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal. (Pusponegoro, 2005)

12

Page 13: Siddiq Referrat Asma Edited

2.8.Tatalaksana Asma

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan

mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa

hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.

Tujuan penatalaksanaan asma: (mangunnegoro,2006)

1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

2. Mencegah eksaserbasi akut

3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise

5. Menghindari efek samping obat

6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel

7. Mencegah kematian karena asma

2.8.1. Tatalaksana Medikamentosa

Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda

(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk

meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Kelompok kedua adalah

obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis yang

digunakan pada pasien dengan asma terkontrol (Tabel 4). Obat ini digunakan

untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas.

Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah

tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu

25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu.

( Rahajoe, 2007 )

13

Page 14: Siddiq Referrat Asma Edited

Tabel 4. Asma terkontrol

Karakteristik Terkontrol Terkontrol sebagian Tidak Terkontrol

Gejala Harian Tidak ada

( < 2x/minggu)

> 2x / minggu

Didapatkan 3 atau lebih dari gambaran pada asma terkontrol sebagian yang ter jadi tiap minggu

Keterbatasan

Aktivitas

Tidak ada sedikit

Gejala malam hari Tidak ada sedikit

Kebutuhan

terhadap obat

pelega

Tidak ada

( < 2x/minggu)

> 2x / minggu

Lung function(PEF or FEV1)

Normal < 80% prediksi

Obat – obat Pereda (Reliever)

1. Bronkodilator

a. Short-acting β2 agonist

Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada

anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus,

sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pancreas

Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP

menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang

menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens

mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan

mediator sel mast. (Supriatno, 2008).

Epinefrin/adrenalin

Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2

agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α

sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi,

takiaritmia, tremor, dan hipertensi. (Supriatno, 2008).

14

Page 15: Siddiq Referrat Asma Edited

Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek

bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama

pada jantung dan CNS.

β2 agonis selektif (Supriatno, 2008).

Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.

Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum

5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5

mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).

Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek

puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.

Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak

dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.

Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.

Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.

Serangan berat: MDI 10 semprotan.

Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada

keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek

samping takikardi lebih sering terjadi.

Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB

setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.

Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan

dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.

Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,

palpitasi, dan takikardi.

15

Page 16: Siddiq Referrat Asma Edited

b. Methyl xanthine

Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi,

tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini

diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan

anticholinergick(12).

Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap

reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat

diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM

harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya

adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin

tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan

keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya

terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.

(Suherman, 2008)

Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :

1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam

6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam

1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam

> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi

yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia. (Supriatno, 2008).

2. Anticholinergics

Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan

nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis

anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam. (Supriatno, 2008).

Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk

usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya

adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak

direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak. (Supriatno, 2008).

16

Page 17: Siddiq Referrat Asma Edited

3. Kortikosteroid

Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan (Supriatno, 2008) :

Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan

yang cukup lama.

Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan

kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.

Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk

mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam.

Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon

dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali

sehari. ( Supriyatno, 2008 )

Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini

bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat

sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain

di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular. (Suherman, 2008)

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi

kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek

mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1

mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6

jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari

setiap 6 – 8 jam. ( Supriyatno, 2008 )

Obat – obat Pengontrol

Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik

glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin,

cromones, dan long acting oral β2-agonist. (Rahajoe,2008)

1. Inhalasi glukokortikosteroid

Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling

efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Terapi

17

Page 18: Siddiq Referrat Asma Edited

pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-

gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di

rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif

bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.

Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek

samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat,

dan gangguan pada gigi dan mulut.

2. Long acting β2 Agonist (LABA)

Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.

Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi

serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya

hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada

dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide),

budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan

Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan

meningkatkan kepatuhan memakai obat.

3. Teofilin lepas lambat

Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid

yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan

glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada

glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.

Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi

ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan

lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh

karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap

diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

Terapi Suportif ( Supriyatno, 2009 )

a. Terapi oksigen

18

Page 19: Siddiq Referrat Asma Edited

Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula

hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,

sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).

b. Campuran Helium dan oksigen

Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit

sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama

dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna

menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi

sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena

helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi

laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.

c. Terapi cairan

Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang

adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta

efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma

berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan

memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada

puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan

yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

2.9. PROGNOSIS.

Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir

menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang

berjumlah kira-kira 10 juta. Namun, angka kematian cenderung meningkat di

pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.

Informasi mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis

baik ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang

penyakitnya ringan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita

19

Page 20: Siddiq Referrat Asma Edited

asma 7 sampai 10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26 sampai 78

persen, dengan nilai rata-rata 46 persen; akan tetapi persentase anak yang

menderita penyakit yang berat relative rendah (6 sampai 19 persen).

(Mc.Graw,2000)

BAB III

PENUTUP

20

Page 21: Siddiq Referrat Asma Edited

3.1 Kesimpulan

Asma merupakan penyakit yang cukup banyak dijumpai di seluruh dunia.

Asma didefenisikan sebagai wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai

berikut : timbul secara episodik dan/atau kronis, cenderung pada malam hari

(nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktifitas fisik, dan

bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya

riwayat asma atau atopi pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain

sudah disingkirkan. Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan dan

berat penyakit sebelum dan saat terapi. Serangan asma yang tidak terkontrol dapat

menyebabkan terjadinya apnea. Oleh karena itu, penatalaksanaan serangan asma

tergantung kepada derajat serangannya. Serangan asma ditanggulangi dengan

pemberian bronkodilator, baik secara oral, parenteral, maupun inhalasi.

Tujuan pengobatan asma mencapai asma terkontrol. Langkah pertama

pengobatan asma adalah menghindari faktor pencetus. Terapi steroid inhalasi obat

pilihan untuk mengontrol asma

Tatalaksana asma diluar serangan dapat dilakukan dengan menghindari

faktor pencetus asma serta penggunaan obat pengendali (controller). Diharapkan

dengan dilakukannya tatalaksana asma jangka panjang dapat mengurangi

terjadinya serangan asma, sehingga dapat meningkatkan quality of life dari

penderita asma.

3.2 Saran

1. Perlunya pemahaman mengenai gejala klinis dan kriteria diagnosis agar

tidak terjadi kesalahan dalam penegakan diagnosis sehingga penangannya

menjadi lebih tepat dan adekuat.

2. Perlunya pemahaman mengenai penatalaksanaan asma pada saat serangan

dan tidak serangan sehingga dapat meningkatkan quality of life pasien.

3. Perlunya informasi mengenai asma kepada masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

21

Page 22: Siddiq Referrat Asma Edited

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan

RI ;2009; 5-11.

2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.

3. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.

4. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science

(USA);2003.

5. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak.

dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar

Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.

h.85-96.

6. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno

B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.

Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.

7. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam :

Manajemen Kasus Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi

pertama. Jakarta : Yapnas Suddharprana; 2007.h. 97-106.

8. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk.

Global Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ;

2006.

9. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.

Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.

10. Eric D. Bateman et al. Global Stategry for Management and Asthma

Prevention.Global Initiative for Asthma.University of Cape

Town.Australia.2010

22

Page 23: Siddiq Referrat Asma Edited

11. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS,

Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.

Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005.

12. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.

13. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.

14. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid,

Analog Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting.

Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h.

496-500.

15. Mangunnegoro H et al,Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Asma di

Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2004.Jakarta

23