tugas asma
DESCRIPTION
tugas asma farmasiTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia.
Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat
bersifat menetap dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti
menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat
menimbulkan disability(kecacatan), sehingga menambah penurunan produktiviti
serta menurunkan kualiti hidup.
Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti
dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara
yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap,
kesakitan dan bahkan kematian karena asma. Berbagai argumentasi diketengahkan
seperti perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan
sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak permasalahan akibat
keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun dokter (medis).
Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan
oleh National Institute of Heallth National Heart, Lung and Blood Institute
(NHLBI) bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) bertujuan
memberikan petunjuk bagi para dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan
penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan
kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat dianjurkan dipakai di
seluruh dunia disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan negara masing-
masing. Merujuk kepada pedoman tersebut, disusun pedoman penanggulangan
asma di Indonesia. Diharapkan dengan mengikuti petunjuk ini dokter dapat
menatalaksana asma dengan tepat dan benar, baik yang bekerja di
layanan kesehatan dengan fasiliti minimal di daerah perifer, maupun di rumah
sakit dengan fasiliti lengkap di pusat-pusat kota (PDPI, 2003).
Asma diperkirakan diserita oleh lebih dari 300 juta jiwa diseluruh dunia.
Hal ini merupakan hal yang serius untuk dihadapi di seluruh dunia (GINA, 2014).
1
Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari
sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik
dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai
penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu
pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per
1.000 penduduk (PDPI, 2006).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di
seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan
peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang
(wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness),
dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari. (PDPI, 2006;
GINA, 2009).
B. Epidemiologi
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada
SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian
(mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di
seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan
obstruksi paru 2/ 1000.
Berbagai penelitian menunjukkan bervariasinya prevalensi asma,
bergantung kepada populasi target studi, kondisi wilayah, metodologi yang
digunakan dan sebagainya.
Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi
asma pada anak dengan hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti bronkus
serta gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang
dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang kembali dengan
rata-rata umur 13,8 ± 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan
terakhir/ recent asthma) 6,2% yang 64% di antaranya mempunyai gejala klasik.
3
Bagian Anak FKUI/ RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak
usia SLTP di Jakarta Pusat pada 1995-1996 dengan menggunakan kuesioner
modifikasi dari ATS 1978, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji provokasi
bronkus secara acak. Seluruhnya 1296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18
tahun 4 bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent
asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa
SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun melalui kuesioner
ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood), dan
pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang
dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent
asthma) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%.
Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan
penelitian di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan
kuesioner modifikasi ATS yaitu Proyek Pneumobile Indonesia dan Respiratory
symptoms questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales, dan
pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow meter dan
uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13-70 tahun (rata-rata 35,6
tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7%, dengan rincian laki-kali 9,2%
dan perempuan 6,6% (PDPI, 2003).
C. Patofisiologi
Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast
dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen
dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator)
seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang
bereaksi lambat. Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot
polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme, pembengkakakan membran
mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
4
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh
impuls saraf vegal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non
alergi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi,
latihan, dingin, merokok, emosi polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan
meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan
bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas
diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon
parasimpatis (Price, 2006).
Gambar 1. Skema Terjadinya Asma (Kemenkes, 2008)
Setelah pasien terpajan alergen penyebab atau faktor pencetus, segera
akan timbul dispnea. Pasien merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk
dan berusaha penuh mengerahkan tenaga untuk bernafas. Kesulitan utama terletak
pada saat ekspirasi. Percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama
inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan udara keluar dari bronkiolus yang sempit,
mengalami edema dan terisi mukus, yang dalam keadaan normal akan
berkontraksi sampai tingkatan tertentu pada saat ekspirasi.
Udara terperangkap pada bagian distal tempat penyumbatan, sehingga
terjadi hiperinflasi progresif paru. Akan timbul mengi ekspirasi memanjang yang
merupakan ciri khas asma sewaktu pasien berusaha memaksakan udara keluar.
Serangan asma seperti ini dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa
jam, diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan (Rab,
2010).
5
D. Klasifikasi Asma
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan
pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit
penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang,
semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma
diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan dan pengobatan yang
telah berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah
gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada
penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu
sendiri. Menunjukkan bagaimana melakukan penilaian berat asma pada penderita
yang sudah dalam pengobatan. Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai
dengan gambaran klinis yang ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat.
Contoh seorang penderita dalam pengobatan asma persisten sedang dan gambaran
klinis sesuai asma persisten sedang, maka sebenarnya berat asma penderita
tersebut adalah asma persisten berat. Demikian pula dengan asma persisten
ringan. Akan tetapi berbeda dengan asma persisten berat dan asma intemiten.
Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma persisten berat maka jenis
pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi penilaian berat
asma, dengan kata lain penderita tersebut tetap asma persisten berat. Demikian
pula penderita dengan gambaran klinis asma intermiten yang mendapat
pengobatan sesuai dengan asma intermiten, maka derajat asma adalah intermiten.
6
Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Sebelum
Pengobatan)
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal paru
I. Intermiten
Bulanan APE 80%
* Gejala < 1x/minggu
* Tanpa gejala di luar
serangan
* Serangan singkat
* 2 kali
sebulan
* VEP1 80% nilai prediksi
APE 80% nilai terbaik
* Variabiliti APE < 20%
II. Persisten
Ringan Mingguan APE > 80%
* Gejala > 1x/minggu,
tetapi < 1x/ hari
* Serangan dapat
mengganggu aktiviti
dan tidur
* > 2 kali sebulan * VEP1 80% nilai prediksi
APE 80% nilai terbaik
* Variabiliti APE 20-30%
III. Persisten
Sedang Harian APE 60 – 80%
* Gejala setiap hari
* Serangan mengganggu
aktiviti dan tidur
*Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
* > 1x /
seminggu
* VEP1 60-80% nilai
prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
* Variabiliti APE > 30%
IV. Persisten
Berat Kontinyu APE 60%
* Gejala terus menerus * Sering * VEP1 60% nilai prediksi
7
10
Tahapan Pengobatan yang digunakan saat penilaian
Gejala dan Faal paru dalam
Pengobatan
Tahap I
Intermiten
Tahap 2
Persisten
Ringan
Tahap 3
Persisten sedang
Tahap I : Intermiten
Gejala < 1x/ mgg
Serangan singkat
Gejala malam < 2x/ bln
Faal paru normal di luar serangan
Intermiten Persisten
Ringan
Persisten Sedang
Tahap II : Persisten Ringan
Gejala >1x/ mgg, tetapi <1x/ hari
Gejala malam >2x/bln, tetapi
<1x/mgg
Faal paru normal di luar serangan
Persisten
Ringan
Persisten
Sedang
Persisten Berat
Tahap III: Persisten Sedang
Gejala setiap hari
Serangan mempengaruhi aktiviti dan
tidur
Gejala malam > 1x/mgg
60%<VEP1<80% nilai prediksi
60%<APE<80% nilai terbaik
Persisten
Sedang
Persisten Berat Persisten Berat
Tahap IV: Persisten Berat
Gejala terus menerus
Serangan sering
Gejala malam sering
VEP1 ≤ 60% nilai prediksi, atau
APE ≤ 60% nilai terbaik
Persisten Berat Persisten Berat Persisten Berat
(PDPI, 2003)
Selain pembagian di atas, asma juga dibagi berdasarkan pada saat
serangan. Rinciannya dijelaskan pada gambar di bawah. Pengklasifikasian ini
berfungsi untuk menentukan penatalaksanaan saat serangan.
Gambar 2. Klasifikasi Asma Ketika Serangan (Kemenkes, 2008)
E. Diagnosis
11
Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan
dengan anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan
lebih meningkatkan nilai diagnostik.
1. Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:
a. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan
b. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen,
gejala musiman, riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap
asma
c. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa
berat di dada dan berdahak yang berulang
d. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari
e. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
f. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator
(USU, 2014)
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat
normal (GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum
ditemukan pada auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi
dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah
terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan
sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala
obstruksi saluran pernapasan (USU, 2014). Sewaktu mengalami serangan,
jalan napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran
napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran
napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru yang
lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini
akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan
mengi (GINA, 2009).
12
Gambar 3. Pemeriksaan Fisik pada Pasien Asma
3. Faal Paru
Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai
diagnostik. Ini disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal
gejala dan kadar keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak
selalu akurat. Faal paru menilai derajat keparahan hambatan aliran udara,
reversibilitasnya, dan membantu kita menegakkan diagnosis asma. Akan
tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat dengan gejala, hanya
sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap asma (Pellegrino
dkk, 2005). Banyak metode untuk Universitas Sumatera Utaramenilai faal
paru, tetapi yang telah dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah
pemeriksaan spirometri dan Arus Puncak Ekspirasi meter (APE).
Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas
dan reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA (2009). Pengukuran
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP)
dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui spirometri. Untuk
mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai tertinggi dari tiga ekspirasi.
Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka VEP1. Maka dari
itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
rasio VEP1/KVP (%). Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang
tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian
pagi dan sore (tidak lebih dari 20%). Untuk mendapatkan variabiliti APE
yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari sebelum mengkonsumsi
bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari gunakan nilai APE
tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI, 2006).
F. Penatalaksanaan
Tatalaksana pasien asma adalam manajemn kasus untuk meningkatkan
dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol).
Tujuan:
13
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara
7. Mencegah kematian karena asma (PDPI, 2006)
8. Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai
potensi genetiknya (Kemenkes, 2008).
Pada prinsipnya, penatalaksanaan asma yaitu penatalaksanaan asma
akut/ serangan dan penatalaksanaan asma jangka panjang.
1. Penatalaksanaan Asma Akut (saat serangan)
Pada serangan akut harus dilakukan cepat dan disesuaikan dengan
derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat
serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebiknya pemeriksaan
faal paru.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah:
a. Bronkodilatator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium
bromida)
b. Kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan, obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja
cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak
memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat
diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.Pada waktu tertentu
(seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral
dapat diberikan dalam waktu singkat 3-5 hari.
Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan
kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium
bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip). Pada anak belum
14
diberikan ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila
perlu diberikan oksigen dan pemberian cairan IV.
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan
IV, β2 agonis kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid
IV dan aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila β2 agonis kerja cepat
tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada
serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.
Gambar 4. Obat yang Digunakan (Kemenkes, 2008)
15
2. Penatalaksanaan Asma Jangka Panjang
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk
mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka
panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip
pengobatan jangka panjang meliputi edukasi, obat asma (pengontrol
dan pelega) dan menjaga kebugaran.
Edukasi yang diberikan mencakup:
a. Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan
b. Mengenali gejala serangan asma secara dini
c. Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara
dan waktu penggunaannya
d. Mengenali dan menghindari faktor pencetus
e. Kontrol teratur
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega
diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol
ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dala jangka
panjang. Untuk mengontrol asma digunakan antiinflamasi
(kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak
dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkn apabila
dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol.
Obat asma yang digunakan antara lain:
a. Inhalasi kortikosteroid
b. β2 agonis kerja panjang
c. antileukotrien
d. teofilin lepas lambat
(Kemenkes, 2008)
16
BAB III
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. W
Umur : 24 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Banjarsari, Surakarta
No. CM : 00698358
Tanggal Masuk : 29 Januari 2015
Tanggal Pemeriksaan : 29 Januari 2015
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Sesak napas
2. Keluhan Penyerta : -
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak napas. Sesak napas
dirasakan sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit dan tidak hilang
dengan perubahan posisi. Sesak napas dirasakan tiba-tiba saat tidur
malam. Sesak juga dirasakan ketika pasien merasa kelelahan atau
sehabis membersihkan rumah yang didahului dengan bersin-bersin dan
hidung meler. Sebelumnya di siang hari tidak mengeluhkan sesak,
hanya mengeluh kelelahan.
Pasien datang dalam kondisi berbaring dan masih bisa
menceritakan kronologis kejadian dalam bentuk kalimat. Pasien juga
tidak terlihat kebiruan.
17
Pasien mengaku bila memakan udang ataupun makanan laut
lainnya pasien akan muncul biduren, sehingga pasien menghindari
memakan makanan laut. Hingga saat ini pasien belum meminum obat.
Bila pasien merasa meler ataupun bersin-bersin, pasien akan
beristirahat dan keluhan hilang.
Pasien memiliki ayah dan ibu yang memiliki riwayat asma.
Pasien tidak suka berolahraga. Pasien makan 3 kali sehari. Pasien tidak
ada riwayat merokok ataupun meminum minuman alkohol.
4. Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat sakit serupa : 1 minggu yang lalu
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat diabetes melitus : disangkal
d. Riwayat alergi obat dan makanan : makanan laut
e. Riwayat mondok : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
a. Riwayat sakit serupa : ayah dan ibu
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat diabetes melitus : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
1 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis
(GCS= E4M6V5), gizi cukup
2 Tanda Vital : Tensi : 150/90 mmHg
Nadi : 84 kali/ menit
Frekuensi Respirasi : 32 kali/menit
Suhu : 36,5 0C
3 Kepala : Bentuk kepala normal , konjungtiva tidak anemis
, sklera tidak ikterik, reflek cahaya positif
4 Leher : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada
peningkatan tekanan vena jugularis
18
5 Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak, pulsasi tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, tunggal, bising (-)
6 Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada simetris kanan dan kiri
Sama
Palpasi : Fremitus raba kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor/ sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara mengi
(+/+)
7 Abdomen
Inspeksi : Distended (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen, pekak alih (-), pekak
sisi (-), undulasi (-)
Palpasi : Supel, hepar lien tak teraba
8. Ekstremitas : Tidak terdapat oedema, akral dingin (+)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Saturasi O2 95%
2. PaCO2 40mmHg
3. PEFR Pra bronkodilatator 63%
4. PEFR Pasca bronkodilatator 85%
E. DIAGNOSA
1. Asma serangan ringan
F. PENGOBATAN
Perawatan dan monitor di ruang intensit pada 24 jam pertama kedatangan
19
1. Non Medikamentosa
a. Istirahat tidak total
b. Kontrol 5 hari kemudian
c. Bila pasien sudah merasa sesak dan suara nafas terdengar “ngik-
ngik” maka minum obat untuk pelega
d. Namun bila tidak membaik maka ke rumah sakit
e. Saran melakukan skin prick test
f. Kontrol teratur
2. Medikamentosa
R/ Salbutamol nebules mg 2,5 No. I
∫ imm
R/ Salbutamol tab mg 4 No. XV
∫ 3 dd tab I
R/ metil prednisolon tab mg 4 No XV
∫ 3 dd tab I
Pro: Tn. W. (27 tahun)
20
BAB IV
PEMBAHASAN OBAT
A. Salbutamol
1. Obat Generik :
Salbutamol
2. Obat Bermerek :
Asmacare, azmacon, brondisal 2, brondisal 4, combivent, fartolin, fartolin
expectorant, hivent, lasal, lasal expectorant, pritasma, salbron/ salbron
expectorant, salbuven, salbuven expectorant, suprasma, teosal, venasma,
ventolin.
3. KOMPOSISI
Salbutamol nebulez (2,5 mg X 20)
Salbutamol 2 mg : Tiap tablet Salbutamol 2 mg mengandung Salbutamol
sulfate 2 mg yang setara dengan salbutamol 2 mg.
Salbutamol 4 mg : Tiap tablet Salbutamol 4 mg mengandung salbutamol
sulfate 4 mg yang setara dengan salbutamol 4 mg.
Salbutamol inhaler 100mcg/puff
4. FARMAKOLOGI
Onset of action: peak effect: sediaan dalam bentuk nebulization/oral
inhalation: 0.5-2 jam, sediaan oral: 2-3 jam. Duration of Action: sediaan
dalam bentuk nebulization/oral inhalation: 3-4 jam, sediaan oral: 4-6 jam.
Salbutamol mengalami metabolisme di hati menjadi bentuk sulfat yang tidak
aktif. ;T1/2 eliminasi: sediaan dalam bentuk inhalasi: 3-8 jam, sediaan oral:
3.7-5 jam. Ekskresi melalui urin (30% dalam bentuk yang tidak berubah).
5. INDIKASI
21
Salbutamol adalah obat golongan beta-adrenergik yang berfungsi
melebarkan saluran napas, sehingga diindikasikan untuk asma dan penyakit
paru obstruktif kronik (bronkitis kronik dan emfisema). Obat ini dapat
meredakan gejala asma ringan, sedang atau berat dan digunakan untuk
pencegahan serangan asma.
6. KONTRAINDIKASI
Penderita yang hipersensitif terhadap Salbutamol.
7. DOSIS DAN ATURAN PAKAI
a. Sediaan oral
1) Anak < 2 tahun : 200 mcg/kg BB diminum 4 kali sehari
2) Anak 2-6 tahun : 1-2 mg 3-4 kali sehari
3) Anak 6-12 tahun : 2 mg diminum 3-4 kali sehari
4) Dewasa : 4 mg diminum 3-4 kali sehari, dosis maksimal 1 kali
minum sebesar 8 mg
Catatan : dosis awal untuk usia lanjut dan penderita yang sensitif
sebesar 2 mg
b. Inhalasi aerosol
1) Anak : 100 mcg (1 hisapan) dan dapat dinaikkan menjadi 200 mcg (2
hisapan) bila perlu.
2) Dewasa : 100-200 mcg (1-2 hisapan), 3-4 kali sehari
c. Inhalasi cair
1) Dewasa dan anak >18 bulan : 2,5 mg diberikan sampai 4 kali sehari
atau 5 kali bila perlu.
2) Catatan : manfaat terapi ini pada anak < 18 bulan masih diragukan.
d. Injeksi subkutan atau intramuscular
Dosis : 500 mcg diulang tiap 4 jam bila perlu
e. Injeksi intravena lambat
Dosis : 250 mcg, diulang bila perlu
Sediaan inhalasi cair banyak digunakan di rumah sakit untuk
mengatasi asma akut yang berat, sedangkan injeksi digunakan untuk
mengatasi penyempitan saluran nafas yang berat. Bentuk sediaan lain, seperti
22
tablet, sirup dan kapsul digunakan untuk penderita asma yang tidak dapat
menggunakan cara inhalasi. Dari berbagai bentuk sediaan yang ada,
pemberian salbutamol dalam bentuk inhalasi aerosol cenderung lebih disukai
karena selain efeknya yang cepat, efek samping yang ditimbulkan lebih kecil
jika dibandingkan sediaan oral seperti tablet. Bentuk sediaan ini cukup efektif
untuk mengatasi serangan asma ringan sampai sedang, dan pada dosis yang
dianjurkan, efeknya mampu bertahan selama 3-5 jam.
8. EFEK SAMPING
Berupa nausea, sakit kepala, palpitasi, tremor, vasodilatasi periferal,
takikardi dan hipokalemi yang kadang-kadang timbul sesudah pemberian
dosis tinggi.
9. PERINGATAN DAN PERHATIAN
Agar diberikan secara hati-hati pada pasien tirotoksikosis.
Karena data-data penggunaan pada triwulan pertama dari kehamilan masih
terbatas, maka sebaiknya penggunaannya dihindari. Hindari penggunaan pada
penderita dengan hipertensi, penyakit jantung iskemik dan pasien yang sudah
tua.
10. INTERAKSI OBAT
Peningkatan efek / toksisitas :Peningkatan durasi efek bronkodilasi
mungkin terjadi jika salbutamol digunakan bersama Ipratropium
inhalasi. ;Peningkatan efek pada kardiovaskular dengan penggunaan MAO
Inhibitor, Antidepresan Trisiklik, serta obat-obat sympathomimetic
(misalnya: Amfetamin, Dopamin, Dobutamin) secara
bersamaan. ;Peningkatkan risiko terjadinya malignant arrhythmia jika
salbutamol digunakan bersamaan dengan inhaled anesthetic (contohnya:
enflurane, halothane).;Penurunan efek: ;Penggunaan bersama dengan Beta-
Adrenergic Blocker (contohnya: Propranolol) dapat menurunkan efek
Salbutamol. ;Level/efek Salbutamol dapat turun bersama dengan penggunaan:
Aminoglutethimide, Carbamazepine, Nafcillin, Nevirapine, Phenobarbital,
Phenytoin, Rifamycins dan obat lain yang dapat menginduksi CYP3A4.4
23
B. Metil Prednisolon
1. OBAT GENERIK :
Metil prednisolone
2. OBAT BERMEREK :
Depo-medrol, flason, glomeson, hexilon, intidrol, lameson, lexcomet,
medixon, medrol, meprilon, mesol, metcor, methylon,
methylprednisolone, methylprednisolone OGB dexa, metisol,
metrisone, nichomedson, phadilon, prednicort, pretilon, prolon 8,
rhemafar, sanexon, solu-medrol, somerol, sonicor, thimelon, tisolon 4,
tison, toras, tropidrol, urbason, xilon, yalone
3. KOMPOSISI
Methylprednisolone 4 mg : Tiap tablet mengandung metilprednisolon
4 mg.
Metilprednisolon vial mengandung 125 mg metilprednisolon dan 500
mg prednisolon.
4. FARMAKOLOGI
Metilprednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja
intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi dan
imunosupresan.
Adrenokortikoid:Sebagai adrenokortikoid, metilprednisolon
berdifusi melewati membran dan membentuk komplek dengan reseptor
sitoplasmik spesifik. Komplek tersebut kemudian memasuki inti sel,
berikatan dengan DNA, dan menstimulasi rekaman messenger RNA
(mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari berbagai enzim akan
bertanggung jawab pada efek sistemik adrenokortikoid. Bagaimanapun,
obat ini dapat menekan perekaman mRNA di beberapa sel (contohnya:
limfosit).
Efek Glukokortikoid:
24
Anti-inflamasi (steroidal )Glukokortikoid menurunkan atau
mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi, karena itu
menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya.
Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag
dan leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon juga menghambat
fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan
beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti
belum diketahui secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade
faktor penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag:
reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan
mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler, menghambat
pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan meningkatkan sintesis
lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2-mediasi
pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan
selanjutnya terhadap sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat
(prostaglandin, tromboksan dan leukotrien). Kerja immunosupresan juga
dapat mempengaruhi efek antiinflamasi.
Immunosupresan Mekanisme kerja immunosupresan belum
dimengerti secara lengkap tetapi kemungkinan dengan pencegahan atau
penekanan sel mediasi (hipersensitivitas tertunda) reaksi imun seperti
halnya tindakan yang lebih spesifik yang mempengaruhi respon imun,
Glukokortikoid mengurangi konsentrasi limfosit timus (T-limfosit),
monosit, dan eosinofil. Metilprednisolon juga menurunkan ikatan
immunoglobulin ke reseptor permukaan sel dan menghambat sintesis dan
atau pelepasan interleukin, sehingga T-limfosit blastogenesis menurun dan
mengurangi perluasan respon immun primer. Glukokortikoid juga dapat
menurunkan lintasan kompleks immun melalui dasar membran,
konsentrasi komponen pelengkap dan immunoglobulin.
5. CARA KERJA
Methylprednisolon adalah suatu glukokortikoid sintetik dan
diabsorpsi secara cepat melalui saluran pencernaan. Methylprednisolone
25
bekerja dengan menduduki reseptor spesifik dalam sitoplasma sel yang
responsif. Ikatan steroid-reseptor ini lalu berikatan dengan DNA yang
kemudian mempengaruhi sintesis berbagai protein. Beberapa efek penting
yang timbul akibat ini yaitu berkurangnya produksi prostaglandin dan
leukotrien, berkurangnya degranulasi mast cell, berkurangnya sintesis
kolagen dan lain-lain.
6. INDIKASI
a. Penyakit yang mengenai kelenjar anak ginjal, misalnya
penyakit insufisiensi adrenal dan hiperplasia adrenal kongenital.
Pada penyakit tersebut, kelenjar anak ginjal tidak atau kurang
memproduksi zat glukokortikoid, sehingga harus disuplai dari luar
tubuh.
b. Penyakit yang ditandai dengan peradangan, misalnya artritis
reumatoid (peradangan sendi) dan ankilosis spondilitis (peradangan
tulang belakang).
c. Penyakit kolagen seperti systemic lupus
eritomatosus dan arteritis (peradangan pembuluh arteri);
d. Penyakit kulit seperti pemfigus (bentol berisi cairan pada kulit) dan
eksim;
e. Penyakit alergi seperti asma atau rhinitis alergi
f. Penyakit paru-paru seperti sarcoidosis paru-paru;
g. Penyakit usus seperti penyakit Crohn’s dan kolitis ulseratif;
h. Penyakit darah seperti trombositpenik purpura, anemia hemolitik, dan
leukemia.
7. KONTRAINDIKASI
a. Riwayat alergi terhadap metilprednisolon;
b. Wanita hamil dan menyusui;
c. Penyakit kelenjar tiroid, lambung, jantung, ginjal, hati, tekanan darah
tinggi, gangguan suasana hati (mood), epilepsi, diabetes, glaukoma,
osteoporosis
d. Penyakit infeksi berat, baik oleh bakteri, virus, maupun jamur;
26
e. Baru saja menjalani vaksinasi, terutama vaksin yang berisi virus
hidup seperti vaksin polio;
f. Mengkonsumsi obat lain yang dapat berinteraksi dengan
metilprednisolon misalnya ibuprofen, aspirin, fenitoin, warfarin, dll.
g. Mengkonsumsi diuretik misalnya tiazid atau furosemid.
8. DOSIS DAN ATURAN PAKAi
Dewasa
Secara intramuskular atau intravena, 10-40 mg (base), diulangi
sesuai keperluan.
a. Untuk dosis tinggi (pulse terapi): intravena, 30 mg (base) per kg
berat badan diberikan sekurang-kurangnya 30 menit. Dosis dapat
diulangi setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.
b. Untuk eksaserbasi akut pada sklerosis ganda: intramuskular atau
intravena, 160 mg (base) perhari selama satu minggu, diikuti dengan
64 mg setiap hari selama satu bulan.
c. Untuk pengobatan luka tulang punggung akut: intravena, 30 mg
(base) per kg berat badan diberikan selama 15 menit, diikuti dengan
45 menit infus, 5,4 mg per kg berat badan per jam, selama 23 jam.
d. Untuk pengobatan tambahan pada AIDS yang berhubungan dengan
pneumosistis carinii: intravena, 30 mg (base) dua kali sehari pada
hari pertama sampai kelima, 30 mg sekali sehari pada hari keenam
sampai kesepuluh, 15 mg sekali sehari pada hari ke sebelas sampai
dua puluh satu.
Bayi dan anak:
a. Insufisiensi adrenokortikal: intramuskular, 117 mikrogram (0,117
mg) (base) per kg berat badan atau 3,33 mg (base) permeter persegi
permukaan tubuh sehari (dalam dosis terbagi tiga) setiap hari ke tiga;
atau 39 sampai 58,5 mikrogram (0,039 sampai 0,0585 mg) (base) per
kg berat badan atau 1,11 sampai 1,66 mg (base) permeter persegi
permukaan tubuh sekali sehari.
27
b. Untuk pengobatan luka tulang punggung akut: intravena, 30 mg
(base) per kg berat badan diberikan selama 15 menit, diikuti selama
45 menit dengan infus 5,4 mg per kg berat badan per jam, selama 23
jam.
c. Indikasi lain: intramuskular, 139-835 mikrogram (0,139-0,835 mg)
(base) per kg berat badan atau 4,16-25 mg (base) permeter persegi
permukaan tubuh setiap 12 sampai 24 jam.
d. Untuk pengobatan tambahan pada AIDS yang berhubungan dengan
pneumosistis carinii: Anak-anak berusia 13 tahun atau kurang: dosis
belum ditentukan secara pasti. Anak-anak berusia lebih dari 13
tahun: sama dengan dosis dewasa.
9. EFEK SAMPING
a. Insufisiensi adrenokortikal:Dosis tinggi untuk periode lama dapat
terjadi penurunan sekresi endogeneous kortikosteroid dengan
menekan pelepasan kortikotropin pituitary insufisiensi
adrenokortikal sekunder.
b. Efek muskuloskeletal:Nyeri atau lemah otot, penyembuhan luka
yang tertunda, dan atropi matriks protein tulang yang menyebabkan
osteoporosis, retak tulang belakang karena tekanan, nekrosis aseptik
pangkal humerat atau femorat, atau retak patologi tulang panjang.
c. Gangguan cairan dan elektrolit: Retensi sodium yang menimbulkan
edema, kekurangan kalium, hipokalemik alkalosis, hipertensi,
serangan jantung kongestif.
d. Efek pada mata: Katarak subkapsular posterior, peningkatan tekanan
intra okular, glaukoma, eksoftalmus.
e. Efek endokrin: Menstruasi yang tidak teratur, timbulnya
keadaan cushingoid, hambatan pertumbuhan pada anak, toleransi
glukosa menurun, hiperglikemia, bahaya diabetes mellitus.
f. Efek pada saluran cerna:Mual, muntah, anoreksia yang berakibat
turunnya berat badan, peningkatan selera makan yang berakibat
naiknya berat badan, diare atau konstipasi, distensi abdominal,
28
pankreatitis, iritasi lambung, ulceratif esofagitis. Juga menimbulkan
reaktivasi, perforasi, perdarahan dan penyembuhan peptik ulcer yang
tertunda.
g. Efek sistem syaraf: Sakit kepala, vertigo, insomnia, peningkatan
aktivitas motor, iskemik neuropati, abnormalitas EEG, konvulsi.
h. Efek dermatologi: Atropi kulit, jerawat, peningkatan keringat,
hirsutisme, eritema fasial, striae, alergi dermatitis, urtikaria,
angiodema.
i. Efek samping lain: Penghentian pemakaian glukokortikoid secara
tiba-tiba akan menimbulkan efek mual, muntah, kehilangan nafsu
makan, letargi, sakit kepala, demam, nyeri sendi, deskuamasi,
mialgia, kehilangan berat badan, dan atau hipotensi.
10. PERINGATAN DAN PERHATIAN
a. Wanita hamil dan ibu menyusui.
Dapat menyebabkan kerusakan fetus bila diberikan pada wanita
hamil. Kortikosteroid dapat berdifusi ke air susu dan dapat menekan
pertumbuhan atau efek samping lainnya pada bayi yang disusui.
b. Anak-anak
Pemberian dosis farmakologi glukokortikoid pada anak-anak
bila mungkin sebaiknya dihindari, karena obat dapat menghambat
pertumbuhan tulang. Jika terapi diperlukan harus diamati pertumbuhan
bayi dan anak secara seksama. Alternate-day therapy, yaitu pemberian
dosis tunggal setiap pagi hari, meminimalkan hambatan pertumbuhan
dan sebaiknya diganti bila terjadi hambatan pertumbuhan. Dosis tinggi
glukokortikoid pada anak dapat menyebabkan pankreatitis akut yang
kemudian menyebabkan kerusakan pankreas.
c. Pasien lanjut usia.
Dapat terjadi hipertensi selama terapi adrenokortikoid. Pasien
lanjut usia, terutama wanita postmenopausal, akan lebih mudah terkena
osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid.
29
d. Sementara pasien menerima terapi kortikosteroid, dianjurkan tidak
divaksinasi terhadap Smalpox juga imunisasi lain terutama yang
mendapat dosis tinggi, untuk mencegah kemungkinan bahaya
komplikasi neurologi.
e. Jika kortikosteroid digunakan pada pasien dengan TBC laten
atau tuberculin reactivity perlu dilakukan pengawasan yang teliti
sebagai pengaktifan kembali penyakit yang dapat terjadi.
f. Tidak dianjurkan pada pasien dengan ocular herpes simplex karena
kemungkinan terjadi perforasi korneal.
g. Pemakaian obat ini dapat menekan gejala-gejala klinik dari suatu
penyakit infeksi.
h. Pemakaian jangka panjang dapat menurunkan daya tahan tubuh
terhadap penyakit infeksi.
11. INTERAKSI OBAT
a. Enzim penginduksi mikrosom hepatik.
Obat seperti barbiturat, fenitoin dan rifampin yang menginduksi
enzim hepatik dapat meningkatkan metabolisme glukokortikoid,
sehingga mungkin diperlukan dosis tambahan atau obat tersebut tidak
diberikan bersamaan.
b. Anti inflamasi nonsteroidal.
Pemberian bersamaan dengan obat ulcerogenik seperti
indometasin dapat meningkatkan resiko ulcerasi saluran pencernaan.
Aspirin harus diberikan secara hati-hati pada pasien hipotrombinernia.
Meskipun pemberian bersamaan dengan salisilat tidak tampak
meningkatkan terjadinya ulcerasi saluran pencernaan, kemungkinan
efek ini harus dipertimbangkan.
c. Obat yang mengurangi kalium.
Diuretik yang mengurangi kadar kalium (contoh: thiazida,
furosemida, asam etakrinat) dan obat lainnya yang mengurangi kalium
oleh glukokortikoid. Serum kalium harus dimonitor secara seksama bila
pasien diberikan obat bersamaan dengan obat yang mengurangi kalium.
30
d. Bahan antikolinesterase.
Interaksi antara glukokortikoid dan antikolinesterase seperti
ambenonium, neostigmin, atau pyridostigmin dapat menimbulkan
kelemahan pada pasien dengan myasthenia gravis. Jika mungkin,
pengobatan antikolinesterase harus dihentikan 24 jam sebelum
pemberian awal terapi glukokortikoid.
e. Vaksin dan toksoid.
Karena kortikosteroid menghambat respon antibodi, obat dapat
menyebabkan pengurangan respon toksoid dan vaksin inaktivasi atau
hidup.
31