tugas asma

44
BAB I PENDAHULUAN Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability(kecacatan), sehingga menambah penurunan produktiviti serta menurunkan kualiti hidup. Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap, kesakitan dan bahkan kematian karena asma. Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak permasalahan akibat keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun dokter (medis). Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan oleh National Institute of Heallth National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World Health Organization 1

Upload: ichadithyana

Post on 09-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tugas asma farmasi

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan  merupakan

masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia.

Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat

bersifat menetap dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti

menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat

menimbulkan disability(kecacatan), sehingga menambah penurunan produktiviti

serta menurunkan kualiti hidup.

          Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti

dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari  data berbagai negara

yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap,

kesakitan dan bahkan kematian karena asma. Berbagai argumentasi diketengahkan

seperti perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan

sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak permasalahan akibat

keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun dokter (medis).

Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan

oleh National Institute of Heallth National Heart, Lung and Blood Institute

(NHLBI) bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) bertujuan

memberikan petunjuk bagi para dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan

penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan

kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat dianjurkan dipakai di

seluruh dunia disesuaikan  dengan kondisi  dan permasalahan negara masing-

masing. Merujuk kepada pedoman tersebut, disusun pedoman penanggulangan

asma di Indonesia. Diharapkan dengan mengikuti petunjuk ini dokter dapat

menatalaksana asma dengan tepat dan benar, baik yang bekerja di

layanan  kesehatan  dengan fasiliti minimal di daerah perifer, maupun di rumah

sakit dengan fasiliti lengkap di pusat-pusat  kota (PDPI, 2003).

Asma diperkirakan diserita oleh lebih dari 300 juta jiwa diseluruh dunia.

Hal ini merupakan hal yang serius untuk dihadapi di seluruh dunia (GINA, 2014).

1

Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai

propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari

sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik

dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai

penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu

pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per

1.000 penduduk (PDPI, 2006).

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di

seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan

peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang

(wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness),

dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari. (PDPI, 2006;

GINA, 2009).

B. Epidemiologi

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di

Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga

(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga

(SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab

kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada

SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian

(mortaliti) ke-4  di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di

seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan

obstruksi paru 2/ 1000.

Berbagai penelitian menunjukkan bervariasinya prevalensi asma,

bergantung kepada populasi target studi, kondisi wilayah, metodologi yang

digunakan dan sebagainya.

Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi

asma pada anak dengan hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti bronkus

serta gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang

dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in

Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang kembali dengan

rata-rata umur 13,8 ± 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan

terakhir/ recent asthma) 6,2% yang 64% di antaranya mempunyai gejala klasik.

3

Bagian Anak FKUI/ RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak

usia SLTP di Jakarta Pusat pada 1995-1996 dengan menggunakan kuesioner

modifikasi dari ATS 1978, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji provokasi

bronkus secara acak. Seluruhnya 1296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18

tahun 4 bulan,  didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent

asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa

SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun melalui kuesioner

ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood), dan

pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang

dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent

asthma)  8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%.

Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan

penelitian di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan

kuesioner modifikasi ATS yaitu Proyek Pneumobile Indonesia dan Respiratory

symptoms questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales, dan

pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow meter dan

uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13-70 tahun (rata-rata 35,6

tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7%, dengan rincian laki-kali 9,2%

dan perempuan 6,6% (PDPI, 2003).

C. Patofisiologi

Individu dengan  asma mengalami respon imun yang buruk terhadap

lingkungan. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast

dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen

dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator)

seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang

bereaksi lambat. Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot

polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme, pembengkakakan membran

mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.

4

Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh

impuls saraf vegal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non

alergi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi,

latihan, dingin, merokok, emosi polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan

meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan

bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi  yang dibahas

diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon

parasimpatis (Price, 2006).

Gambar 1. Skema Terjadinya Asma (Kemenkes, 2008)

Setelah pasien terpajan alergen penyebab atau faktor pencetus, segera

akan timbul dispnea. Pasien merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk

dan berusaha penuh mengerahkan tenaga untuk bernafas. Kesulitan utama terletak

pada saat ekspirasi. Percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama

inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan udara keluar dari bronkiolus yang sempit,

mengalami edema dan terisi mukus, yang dalam keadaan normal akan

berkontraksi sampai tingkatan tertentu pada saat ekspirasi.

Udara terperangkap pada bagian distal tempat penyumbatan, sehingga

terjadi hiperinflasi progresif paru. Akan timbul mengi ekspirasi memanjang yang

merupakan ciri khas asma sewaktu pasien berusaha memaksakan udara keluar.

Serangan asma seperti ini dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa

jam, diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan (Rab,

2010).

5

D. Klasifikasi Asma

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan

pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit

penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang,

semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma

diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.

Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan  dan pengobatan yang

telah berlangsung seringkali tidak adekuat.  Dipahami pengobatan akan mengubah

gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada

penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu

sendiri. Menunjukkan bagaimana melakukan penilaian berat asma pada penderita

yang sudah dalam pengobatan. Bila pengobatan  yang sedang dijalani sesuai

dengan gambaran klinis yang ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat.

Contoh seorang penderita dalam pengobatan asma persisten sedang dan gambaran

klinis sesuai asma persisten sedang, maka sebenarnya berat asma penderita

tersebut adalah asma persisten berat. Demikian pula dengan asma persisten

ringan. Akan tetapi berbeda dengan asma persisten berat dan asma intemiten.

Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma persisten berat maka jenis

pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi penilaian berat

asma, dengan kata lain penderita tersebut tetap asma persisten berat. Demikian

pula penderita dengan gambaran klinis asma intermiten yang mendapat

pengobatan sesuai dengan asma intermiten, maka derajat asma adalah intermiten.

6

Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis  (Sebelum

Pengobatan)          

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal paru

I. Intermiten

Bulanan APE   80%

* Gejala < 1x/minggu

* Tanpa gejala di luar

    serangan

* Serangan singkat

*  2 kali

sebulan

* VEP1  80% nilai prediksi

   APE  80% nilai    terbaik

*  Variabiliti APE < 20%

II. Persisten

Ringan Mingguan APE > 80%

* Gejala > 1x/minggu,

    tetapi < 1x/ hari

* Serangan dapat

   mengganggu aktiviti

   dan tidur

* > 2 kali sebulan * VEP1  80% nilai prediksi

     APE  80% nilai terbaik

* Variabiliti APE 20-30%

III. Persisten

Sedang Harian APE 60 – 80%

* Gejala setiap hari

* Serangan mengganggu

   aktiviti dan tidur

*Membutuhkan

   bronkodilator

   setiap hari

* > 1x /

seminggu

* VEP1  60-80% nilai

prediksi

   APE 60-80% nilai terbaik

* Variabiliti APE  > 30%

IV. Persisten

Berat Kontinyu APE  60%

* Gejala terus menerus * Sering * VEP1  60% nilai prediksi

7

* Sering kambuh

* Aktiviti  fisik terbatas

    APE  60% nilai terbaik

* Variabiliti APE > 30%

8

Tabel 2. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan

9

10

                      Tahapan Pengobatan  yang digunakan saat penilaian

Gejala dan Faal paru dalam

Pengobatan

Tahap I

Intermiten

Tahap 2

Persisten

Ringan

Tahap 3

Persisten sedang

Tahap I : Intermiten

Gejala < 1x/ mgg

Serangan singkat

Gejala malam < 2x/ bln

Faal paru normal di luar serangan

Intermiten Persisten

Ringan

Persisten Sedang

Tahap II : Persisten Ringan

Gejala >1x/ mgg, tetapi <1x/ hari

Gejala malam >2x/bln, tetapi

<1x/mgg

Faal paru normal di luar serangan

Persisten

Ringan

Persisten

Sedang

Persisten Berat

Tahap III: Persisten Sedang

Gejala setiap hari

Serangan mempengaruhi aktiviti dan

tidur

Gejala malam > 1x/mgg

60%<VEP1<80% nilai prediksi

60%<APE<80% nilai terbaik

Persisten

Sedang

Persisten Berat Persisten Berat

Tahap IV: Persisten Berat

Gejala terus menerus

Serangan sering

Gejala malam sering

VEP1 ≤ 60% nilai prediksi, atau

APE ≤ 60% nilai terbaik

Persisten Berat Persisten Berat Persisten Berat

(PDPI, 2003)

Selain pembagian di atas, asma juga dibagi berdasarkan pada saat

serangan. Rinciannya dijelaskan pada gambar di bawah. Pengklasifikasian ini

berfungsi untuk menentukan penatalaksanaan saat serangan.

Gambar 2. Klasifikasi Asma Ketika Serangan (Kemenkes, 2008)

E. Diagnosis

11

Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan

dengan anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan

lebih meningkatkan nilai diagnostik.

1. Anamnesis

Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:

a. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa

pengobatan

b. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen,

gejala musiman, riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap

asma

c. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa

berat di dada dan berdahak yang berulang

d. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari

e. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik

f. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator

(USU, 2014)

2. Pemeriksaan Fisik

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat

normal (GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum

ditemukan pada auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi

dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah

terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan

sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala

obstruksi saluran pernapasan (USU, 2014). Sewaktu mengalami serangan,

jalan napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran

napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran

napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru yang

lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini

akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan

mengi (GINA, 2009).

12

Gambar 3. Pemeriksaan Fisik pada Pasien Asma

3. Faal Paru

Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai

diagnostik. Ini disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal

gejala dan kadar keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak

selalu akurat. Faal paru menilai derajat keparahan hambatan aliran udara,

reversibilitasnya, dan membantu kita menegakkan diagnosis asma. Akan

tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat dengan gejala, hanya

sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap asma (Pellegrino

dkk, 2005). Banyak metode untuk Universitas Sumatera Utaramenilai faal

paru, tetapi yang telah dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah

pemeriksaan spirometri dan Arus Puncak Ekspirasi meter (APE).

Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas

dan reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA (2009). Pengukuran

volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP)

dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui spirometri. Untuk

mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai tertinggi dari tiga ekspirasi.

Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka VEP1. Maka dari

itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan atau

rasio VEP1/KVP (%). Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang

tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian

pagi dan sore (tidak lebih dari 20%). Untuk mendapatkan variabiliti APE

yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari sebelum mengkonsumsi

bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari gunakan nilai APE

tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI, 2006).

F. Penatalaksanaan

Tatalaksana pasien asma adalam manajemn kasus untuk meningkatkan

dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa

hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol).

Tujuan:

13

1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

2. Mencegah eksaserbasi akut

3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise

5. Menghindari efek samping obat

6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara

7. Mencegah kematian karena asma (PDPI, 2006)

8. Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai

potensi genetiknya (Kemenkes, 2008).

Pada prinsipnya, penatalaksanaan asma yaitu penatalaksanaan asma

akut/ serangan dan penatalaksanaan asma jangka panjang.

1. Penatalaksanaan Asma Akut (saat serangan)

Pada serangan akut harus dilakukan cepat dan disesuaikan dengan

derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat

serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebiknya pemeriksaan

faal paru.

Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah:

a. Bronkodilatator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium

bromida)

b. Kortikosteroid sistemik

Pada serangan ringan, obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja

cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak

memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat

diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.Pada waktu tertentu

(seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral

dapat diberikan dalam waktu singkat 3-5 hari.

Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan

kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium

bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip). Pada anak belum

14

diberikan ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila

perlu diberikan oksigen dan pemberian cairan IV.

Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan

IV, β2 agonis kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid

IV dan aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila β2 agonis kerja cepat

tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada

serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.

Gambar 4. Obat yang Digunakan (Kemenkes, 2008)

15

2. Penatalaksanaan Asma Jangka Panjang

Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk

mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka

panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip

pengobatan jangka panjang meliputi edukasi, obat asma (pengontrol

dan pelega) dan menjaga kebugaran.

Edukasi yang diberikan mencakup:

a. Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan

b. Mengenali gejala serangan asma secara dini

c. Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara

dan waktu penggunaannya

d. Mengenali dan menghindari faktor pencetus

e. Kontrol teratur

Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega

diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol

ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dala jangka

panjang. Untuk mengontrol asma digunakan antiinflamasi

(kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak

dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkn apabila

dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol.

Obat asma yang digunakan antara lain:

a. Inhalasi kortikosteroid

b. β2 agonis kerja panjang

c. antileukotrien

d. teofilin lepas lambat

(Kemenkes, 2008)

16

BAB III

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. W

Umur : 24 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Alamat : Banjarsari, Surakarta

No. CM : 00698358

Tanggal Masuk : 29 Januari 2015

Tanggal Pemeriksaan : 29 Januari 2015

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama : Sesak napas

2. Keluhan Penyerta : -

3. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan sesak napas. Sesak napas

dirasakan sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit dan tidak hilang

dengan perubahan posisi. Sesak napas dirasakan tiba-tiba saat tidur

malam. Sesak juga dirasakan ketika pasien merasa kelelahan atau

sehabis membersihkan rumah yang didahului dengan bersin-bersin dan

hidung meler. Sebelumnya di siang hari tidak mengeluhkan sesak,

hanya mengeluh kelelahan.

Pasien datang dalam kondisi berbaring dan masih bisa

menceritakan kronologis kejadian dalam bentuk kalimat. Pasien juga

tidak terlihat kebiruan.

17

Pasien mengaku bila memakan udang ataupun makanan laut

lainnya pasien akan muncul biduren, sehingga pasien menghindari

memakan makanan laut. Hingga saat ini pasien belum meminum obat.

Bila pasien merasa meler ataupun bersin-bersin, pasien akan

beristirahat dan keluhan hilang.

Pasien memiliki ayah dan ibu yang memiliki riwayat asma.

Pasien tidak suka berolahraga. Pasien makan 3 kali sehari. Pasien tidak

ada riwayat merokok ataupun meminum minuman alkohol.

4. Riwayat Penyakit Dahulu :

a. Riwayat sakit serupa : 1 minggu yang lalu

b. Riwayat hipertensi : disangkal

c. Riwayat diabetes melitus : disangkal

d. Riwayat alergi obat dan makanan : makanan laut

e. Riwayat mondok : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga :

a. Riwayat sakit serupa : ayah dan ibu

b. Riwayat hipertensi : disangkal

c. Riwayat diabetes melitus : disangkal

d. Riwayat penyakit jantung : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK

1 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis

(GCS= E4M6V5), gizi cukup

2 Tanda Vital : Tensi : 150/90 mmHg

Nadi : 84 kali/ menit

Frekuensi Respirasi : 32 kali/menit

Suhu : 36,5 0C

3 Kepala : Bentuk kepala normal , konjungtiva tidak anemis

, sklera tidak ikterik, reflek cahaya positif

4 Leher : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada

peningkatan tekanan vena jugularis

18

5 Jantung :

Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak, pulsasi tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat

Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, tunggal, bising (-)

6 Pulmo :

Inspeksi : Pengembangan dada simetris kanan dan kiri

Sama

Palpasi : Fremitus raba kanan dan kiri sama

Perkusi : Sonor/ sonor

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara mengi

(+/+)

7 Abdomen

Inspeksi : Distended (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen, pekak alih (-), pekak

sisi (-), undulasi (-)

Palpasi : Supel, hepar lien tak teraba

8. Ekstremitas : Tidak terdapat oedema, akral dingin (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Saturasi O2 95%

2. PaCO2 40mmHg

3. PEFR Pra bronkodilatator 63%

4. PEFR Pasca bronkodilatator 85%

E. DIAGNOSA

1. Asma serangan ringan

F. PENGOBATAN

Perawatan dan monitor di ruang intensit pada 24 jam pertama kedatangan

19

1. Non Medikamentosa

a. Istirahat tidak total

b. Kontrol 5 hari kemudian

c. Bila pasien sudah merasa sesak dan suara nafas terdengar “ngik-

ngik” maka minum obat untuk pelega

d. Namun bila tidak membaik maka ke rumah sakit

e. Saran melakukan skin prick test

f. Kontrol teratur

2. Medikamentosa

R/ Salbutamol nebules mg 2,5 No. I

∫ imm

R/ Salbutamol tab mg 4 No. XV

∫ 3 dd tab I

R/ metil prednisolon tab mg 4 No XV

∫ 3 dd tab I

Pro: Tn. W. (27 tahun)

20

BAB IV

PEMBAHASAN OBAT

A. Salbutamol

1. Obat Generik : 

Salbutamol

2. Obat Bermerek :

Asmacare, azmacon, brondisal 2, brondisal 4, combivent, fartolin, fartolin

expectorant, hivent, lasal, lasal expectorant, pritasma, salbron/ salbron

expectorant, salbuven, salbuven expectorant, suprasma, teosal, venasma,

ventolin.

3. KOMPOSISI

Salbutamol nebulez (2,5 mg X 20)

Salbutamol 2 mg : Tiap tablet Salbutamol 2 mg mengandung Salbutamol

sulfate 2 mg yang setara dengan salbutamol 2 mg.

Salbutamol 4 mg : Tiap tablet Salbutamol 4 mg mengandung salbutamol

sulfate 4 mg yang setara dengan salbutamol 4 mg.

Salbutamol inhaler 100mcg/puff

4. FARMAKOLOGI

Onset of action: peak effect: sediaan dalam bentuk nebulization/oral

inhalation: 0.5-2 jam, sediaan oral: 2-3 jam. Duration of Action: sediaan

dalam bentuk nebulization/oral inhalation: 3-4 jam, sediaan oral: 4-6 jam.

Salbutamol mengalami metabolisme di hati menjadi bentuk sulfat yang tidak

aktif. ;T1/2 eliminasi: sediaan dalam bentuk inhalasi: 3-8 jam, sediaan oral:

3.7-5 jam. Ekskresi melalui urin (30% dalam bentuk yang tidak berubah).

5. INDIKASI

21

Salbutamol  adalah obat golongan beta-adrenergik yang berfungsi

melebarkan saluran napas, sehingga diindikasikan untuk asma dan penyakit

paru obstruktif kronik (bronkitis kronik dan emfisema). Obat ini dapat

meredakan gejala asma ringan, sedang atau berat dan digunakan untuk

pencegahan serangan asma.

6. KONTRAINDIKASI

Penderita yang hipersensitif terhadap Salbutamol.

7. DOSIS DAN ATURAN PAKAI

a. Sediaan oral

1) Anak < 2 tahun : 200 mcg/kg BB diminum 4 kali sehari

2) Anak 2-6 tahun : 1-2 mg 3-4 kali sehari

3) Anak 6-12 tahun : 2 mg diminum 3-4 kali sehari

4) Dewasa            : 4 mg diminum 3-4 kali sehari, dosis maksimal 1 kali

minum sebesar 8 mg

      Catatan : dosis awal untuk usia lanjut dan penderita yang sensitif

sebesar 2 mg

b. Inhalasi aerosol

1) Anak    : 100 mcg (1 hisapan) dan dapat dinaikkan menjadi 200 mcg (2

hisapan) bila perlu.

2) Dewasa : 100-200 mcg (1-2 hisapan), 3-4 kali sehari

c. Inhalasi cair

1) Dewasa dan anak >18 bulan : 2,5 mg diberikan sampai 4 kali sehari

atau 5 kali bila perlu.

2) Catatan : manfaat terapi ini pada anak < 18 bulan masih diragukan.

d. Injeksi subkutan atau intramuscular

Dosis : 500 mcg diulang tiap 4 jam bila perlu

e. Injeksi intravena lambat

Dosis : 250 mcg, diulang bila perlu

Sediaan inhalasi cair banyak digunakan di rumah sakit untuk

mengatasi asma akut yang berat, sedangkan injeksi digunakan untuk

mengatasi penyempitan saluran nafas yang berat. Bentuk sediaan lain, seperti

22

tablet, sirup dan kapsul digunakan untuk penderita asma yang tidak dapat

menggunakan cara inhalasi. Dari berbagai bentuk sediaan yang ada,

pemberian salbutamol dalam bentuk inhalasi aerosol cenderung lebih disukai

karena selain efeknya yang cepat, efek samping yang ditimbulkan lebih kecil

jika dibandingkan sediaan oral seperti tablet. Bentuk sediaan ini cukup efektif

untuk mengatasi serangan asma ringan sampai sedang, dan pada dosis yang

dianjurkan, efeknya  mampu bertahan selama 3-5 jam.

8. EFEK SAMPING

Berupa nausea, sakit kepala, palpitasi, tremor, vasodilatasi periferal,

takikardi dan hipokalemi yang kadang-kadang timbul sesudah pemberian

dosis tinggi.

9. PERINGATAN DAN PERHATIAN

Agar diberikan secara hati-hati pada pasien tirotoksikosis.

Karena data-data penggunaan pada triwulan pertama dari kehamilan masih

terbatas, maka sebaiknya penggunaannya dihindari. Hindari penggunaan pada

penderita dengan hipertensi, penyakit jantung iskemik dan pasien yang sudah

tua.

10. INTERAKSI OBAT

Peningkatan efek / toksisitas :Peningkatan durasi efek bronkodilasi

mungkin terjadi jika salbutamol digunakan bersama Ipratropium

inhalasi. ;Peningkatan efek pada kardiovaskular dengan penggunaan MAO

Inhibitor, Antidepresan Trisiklik, serta obat-obat sympathomimetic

(misalnya: Amfetamin, Dopamin, Dobutamin) secara

bersamaan. ;Peningkatkan risiko terjadinya malignant arrhythmia jika

salbutamol digunakan bersamaan dengan inhaled anesthetic (contohnya:

enflurane, halothane).;Penurunan efek: ;Penggunaan bersama dengan Beta-

Adrenergic Blocker (contohnya: Propranolol) dapat menurunkan efek

Salbutamol. ;Level/efek Salbutamol dapat turun bersama dengan penggunaan:

Aminoglutethimide, Carbamazepine, Nafcillin, Nevirapine, Phenobarbital,

Phenytoin, Rifamycins dan obat lain yang dapat menginduksi CYP3A4.4

23

B. Metil Prednisolon

1. OBAT GENERIK : 

Metil prednisolone

2. OBAT BERMEREK :

Depo-medrol, flason, glomeson, hexilon, intidrol, lameson, lexcomet,

medixon, medrol, meprilon, mesol, metcor, methylon,

methylprednisolone, methylprednisolone OGB dexa, metisol,

metrisone, nichomedson, phadilon, prednicort, pretilon, prolon 8,

rhemafar, sanexon, solu-medrol, somerol, sonicor, thimelon, tisolon 4,

tison, toras, tropidrol, urbason, xilon, yalone

3. KOMPOSISI

Methylprednisolone 4 mg : Tiap tablet mengandung  metilprednisolon

4 mg.

Metilprednisolon vial mengandung 125 mg metilprednisolon dan 500

mg prednisolon.

4. FARMAKOLOGI

Metilprednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja

intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi dan

imunosupresan.

Adrenokortikoid:Sebagai adrenokortikoid, metilprednisolon

berdifusi melewati membran dan membentuk komplek dengan reseptor

sitoplasmik spesifik. Komplek tersebut kemudian memasuki inti sel,

berikatan dengan DNA, dan menstimulasi rekaman messenger RNA

(mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari berbagai enzim akan

bertanggung jawab pada efek sistemik adrenokortikoid. Bagaimanapun,

obat ini dapat menekan perekaman mRNA di beberapa sel (contohnya:

limfosit).

Efek Glukokortikoid:

24

Anti-inflamasi (steroidal )Glukokortikoid menurunkan atau

mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi, karena itu

menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya.

Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag

dan leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon juga menghambat

fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan

beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti

belum diketahui secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade

faktor penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag:

reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan

mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler, menghambat

pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan meningkatkan sintesis

lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2-mediasi

pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan

selanjutnya terhadap sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat

(prostaglandin, tromboksan dan leukotrien). Kerja immunosupresan juga

dapat mempengaruhi efek antiinflamasi.

Immunosupresan Mekanisme kerja immunosupresan belum

dimengerti secara lengkap tetapi kemungkinan dengan pencegahan atau

penekanan sel mediasi (hipersensitivitas tertunda) reaksi imun seperti

halnya tindakan yang lebih spesifik yang mempengaruhi respon imun,

Glukokortikoid mengurangi konsentrasi limfosit timus (T-limfosit),

monosit, dan eosinofil. Metilprednisolon juga menurunkan ikatan

immunoglobulin ke reseptor permukaan sel dan menghambat sintesis dan

atau pelepasan interleukin, sehingga T-limfosit blastogenesis menurun dan

mengurangi perluasan respon immun primer. Glukokortikoid juga dapat

menurunkan lintasan kompleks immun melalui dasar membran,

konsentrasi komponen pelengkap dan immunoglobulin.

5. CARA KERJA

Methylprednisolon adalah suatu glukokortikoid sintetik dan

diabsorpsi secara cepat melalui saluran pencernaan. Methylprednisolone

25

bekerja dengan menduduki reseptor spesifik dalam sitoplasma sel yang

responsif. Ikatan steroid-reseptor ini lalu berikatan dengan DNA yang

kemudian mempengaruhi sintesis berbagai protein. Beberapa efek penting

yang timbul akibat ini yaitu berkurangnya produksi prostaglandin dan

leukotrien, berkurangnya degranulasi mast cell, berkurangnya sintesis

kolagen dan lain-lain.

6. INDIKASI

a. Penyakit yang mengenai kelenjar anak ginjal, misalnya

penyakit insufisiensi adrenal dan hiperplasia adrenal kongenital.

Pada penyakit tersebut, kelenjar anak ginjal tidak atau kurang

memproduksi zat glukokortikoid, sehingga harus disuplai dari luar

tubuh.

b. Penyakit yang ditandai dengan peradangan, misalnya artritis

reumatoid (peradangan sendi) dan ankilosis spondilitis (peradangan

tulang belakang).

c. Penyakit kolagen seperti systemic lupus

eritomatosus dan arteritis (peradangan pembuluh arteri);

d. Penyakit kulit seperti pemfigus (bentol berisi cairan pada kulit) dan

eksim;

e. Penyakit alergi seperti asma atau rhinitis alergi

f. Penyakit paru-paru seperti sarcoidosis paru-paru;

g. Penyakit usus seperti penyakit Crohn’s dan kolitis ulseratif;

h. Penyakit darah seperti trombositpenik purpura, anemia hemolitik, dan

leukemia.

7. KONTRAINDIKASI

a. Riwayat alergi terhadap metilprednisolon;

b. Wanita hamil dan menyusui;

c. Penyakit kelenjar tiroid, lambung, jantung, ginjal, hati, tekanan darah

tinggi, gangguan suasana hati (mood), epilepsi, diabetes, glaukoma,

osteoporosis

d. Penyakit infeksi berat, baik oleh  bakteri, virus, maupun jamur;

26

e. Baru saja menjalani vaksinasi, terutama vaksin yang berisi virus

hidup seperti vaksin polio;

f. Mengkonsumsi obat lain yang dapat berinteraksi dengan

metilprednisolon misalnya ibuprofen, aspirin, fenitoin, warfarin, dll.

g. Mengkonsumsi diuretik misalnya tiazid atau furosemid.

8. DOSIS DAN ATURAN PAKAi

Dewasa

Secara intramuskular atau intravena, 10-40 mg (base), diulangi

sesuai keperluan.

a. Untuk dosis tinggi (pulse terapi): intravena, 30 mg (base) per kg

berat badan diberikan sekurang-kurangnya 30 menit. Dosis dapat

diulangi setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.

b. Untuk eksaserbasi akut pada sklerosis ganda: intramuskular atau

intravena, 160 mg (base) perhari selama satu minggu, diikuti dengan

64 mg setiap hari selama satu bulan.

c. Untuk pengobatan luka tulang punggung akut: intravena, 30 mg

(base) per kg berat badan diberikan selama 15 menit, diikuti dengan

45 menit infus, 5,4 mg per kg berat badan per jam, selama 23 jam.

d. Untuk pengobatan tambahan pada AIDS yang berhubungan dengan

pneumosistis carinii: intravena, 30 mg (base) dua kali sehari pada

hari pertama sampai kelima, 30 mg sekali sehari pada hari keenam

sampai kesepuluh, 15 mg sekali sehari pada hari ke sebelas sampai

dua puluh satu.

Bayi dan anak:

a. Insufisiensi adrenokortikal: intramuskular, 117 mikrogram (0,117

mg) (base) per kg berat badan atau 3,33 mg (base) permeter persegi

permukaan tubuh sehari (dalam dosis terbagi tiga) setiap hari ke tiga;

atau 39 sampai 58,5 mikrogram (0,039 sampai 0,0585 mg) (base) per

kg berat badan atau 1,11 sampai 1,66 mg (base) permeter persegi

permukaan tubuh sekali sehari.

27

b. Untuk pengobatan luka tulang punggung akut: intravena, 30 mg

(base) per kg berat badan diberikan selama 15 menit, diikuti selama

45 menit dengan infus 5,4 mg per kg berat badan per jam, selama 23

jam.

c. Indikasi lain: intramuskular, 139-835 mikrogram (0,139-0,835 mg)

(base) per kg berat badan atau 4,16-25 mg (base) permeter persegi

permukaan tubuh setiap 12 sampai 24 jam.

d. Untuk pengobatan tambahan pada AIDS yang berhubungan dengan

pneumosistis carinii: Anak-anak berusia 13 tahun atau kurang: dosis

belum ditentukan secara pasti. Anak-anak berusia lebih dari 13

tahun: sama dengan dosis dewasa.

9. EFEK SAMPING

a. Insufisiensi adrenokortikal:Dosis tinggi untuk periode lama dapat

terjadi penurunan sekresi endogeneous kortikosteroid dengan

menekan pelepasan kortikotropin pituitary insufisiensi

adrenokortikal sekunder.

b. Efek muskuloskeletal:Nyeri atau lemah otot, penyembuhan luka

yang tertunda, dan atropi matriks protein tulang yang menyebabkan

osteoporosis, retak tulang belakang karena tekanan, nekrosis aseptik

pangkal humerat atau femorat, atau retak patologi tulang panjang.

c. Gangguan cairan dan elektrolit: Retensi sodium yang menimbulkan

edema, kekurangan kalium, hipokalemik alkalosis, hipertensi,

serangan jantung kongestif.

d. Efek pada mata: Katarak subkapsular posterior, peningkatan tekanan

intra okular, glaukoma, eksoftalmus.

e. Efek endokrin: Menstruasi yang tidak teratur, timbulnya

keadaan cushingoid, hambatan pertumbuhan pada anak, toleransi

glukosa menurun, hiperglikemia, bahaya diabetes mellitus.

f. Efek pada saluran cerna:Mual, muntah, anoreksia yang berakibat

turunnya berat badan, peningkatan selera makan yang berakibat

naiknya berat badan, diare atau konstipasi, distensi abdominal,

28

pankreatitis, iritasi lambung, ulceratif esofagitis. Juga menimbulkan

reaktivasi, perforasi, perdarahan dan penyembuhan peptik ulcer yang

tertunda.

g. Efek sistem syaraf: Sakit kepala, vertigo, insomnia, peningkatan

aktivitas motor, iskemik neuropati, abnormalitas EEG, konvulsi.

h. Efek dermatologi: Atropi kulit, jerawat, peningkatan keringat,

hirsutisme, eritema fasial, striae, alergi dermatitis, urtikaria,

angiodema.

i. Efek samping lain: Penghentian pemakaian glukokortikoid secara

tiba-tiba akan menimbulkan efek mual, muntah, kehilangan nafsu

makan, letargi, sakit kepala, demam, nyeri sendi, deskuamasi,

mialgia, kehilangan berat badan, dan atau hipotensi.

10. PERINGATAN DAN PERHATIAN

a. Wanita hamil dan ibu menyusui.

Dapat menyebabkan kerusakan fetus bila diberikan pada wanita

hamil. Kortikosteroid dapat berdifusi ke air susu dan dapat menekan

pertumbuhan atau efek samping lainnya pada bayi yang disusui.

b. Anak-anak

Pemberian dosis farmakologi glukokortikoid pada anak-anak

bila mungkin sebaiknya dihindari, karena obat dapat menghambat

pertumbuhan tulang. Jika terapi diperlukan harus diamati pertumbuhan

bayi dan anak secara seksama. Alternate-day therapy, yaitu pemberian

dosis tunggal setiap pagi hari, meminimalkan hambatan pertumbuhan

dan sebaiknya diganti bila terjadi hambatan pertumbuhan. Dosis tinggi

glukokortikoid pada anak dapat menyebabkan pankreatitis akut yang

kemudian menyebabkan kerusakan pankreas.

c. Pasien lanjut usia.

Dapat terjadi hipertensi selama terapi adrenokortikoid. Pasien

lanjut usia, terutama wanita postmenopausal, akan lebih mudah terkena

osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid.

29

d. Sementara pasien menerima terapi kortikosteroid, dianjurkan tidak

divaksinasi terhadap Smalpox juga imunisasi lain terutama yang

mendapat dosis tinggi, untuk mencegah kemungkinan bahaya

komplikasi neurologi.

e. Jika kortikosteroid digunakan pada pasien dengan TBC laten

atau tuberculin reactivity perlu dilakukan pengawasan yang teliti

sebagai pengaktifan kembali penyakit yang dapat terjadi.

f. Tidak dianjurkan pada pasien dengan ocular herpes simplex karena

kemungkinan terjadi perforasi korneal.

g. Pemakaian obat ini dapat menekan gejala-gejala klinik dari suatu

penyakit infeksi.

h. Pemakaian jangka panjang dapat menurunkan daya tahan tubuh

terhadap penyakit infeksi.

11. INTERAKSI OBAT

a. Enzim penginduksi mikrosom hepatik.

Obat seperti barbiturat, fenitoin dan rifampin yang menginduksi

enzim hepatik dapat meningkatkan metabolisme glukokortikoid,

sehingga mungkin diperlukan dosis tambahan atau obat tersebut tidak

diberikan bersamaan.

b. Anti inflamasi nonsteroidal.

Pemberian bersamaan dengan obat ulcerogenik seperti

indometasin dapat meningkatkan resiko ulcerasi saluran pencernaan.

Aspirin harus diberikan secara hati-hati pada pasien hipotrombinernia.

Meskipun pemberian bersamaan dengan salisilat tidak tampak

meningkatkan terjadinya ulcerasi saluran pencernaan, kemungkinan

efek ini harus dipertimbangkan.

c. Obat yang mengurangi kalium.

Diuretik yang mengurangi kadar kalium (contoh: thiazida,

furosemida, asam etakrinat) dan obat lainnya yang mengurangi kalium

oleh glukokortikoid. Serum kalium harus dimonitor secara seksama bila

pasien diberikan obat bersamaan dengan obat yang mengurangi kalium.

30

d. Bahan antikolinesterase.

Interaksi antara glukokortikoid dan antikolinesterase seperti

ambenonium, neostigmin, atau pyridostigmin dapat menimbulkan

kelemahan pada pasien dengan myasthenia gravis. Jika mungkin,

pengobatan antikolinesterase harus dihentikan 24 jam sebelum

pemberian awal terapi glukokortikoid.

e. Vaksin dan toksoid.

Karena kortikosteroid menghambat respon antibodi, obat dapat

menyebabkan pengurangan respon toksoid dan vaksin inaktivasi atau

hidup.

31