sejarah kerajaan sunggal.pdf

Upload: jennifer-larson

Post on 02-Mar-2016

236 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 1

    SEJARAH KERAJAAN SUNGGAL

    Disusun oleh:

    Datuk Khairil Anwar, S.E., M.H. Keturunan Kerajaan Sunggal

    Medan, 2008

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 2

    Datuk Badiuzzaman Sri Indra Pahlawan Surbakti Pejuang Penentang Penjajahan Belanda

    1872 1895

    I. Datuk Baduzzaman Seorang Tokoh Sejarah

    Data Pribadi Datuk Baduzzaman

    Tempat/ Tgl Lahir : Sunggal (Kecamatan Medan Sunggal Propinsi) tahun 1845

    Nama Ayah : Datuk Abdullah Ahmad Surbakti Sri Indera Pahlawan

    Nama Ibu : Tengku Kemala Inasun Bahorok

    Istri : Aja Uncu Besar

    Nama Anak-Anak :

    1. Datuk Mohd. Munai Surbakti

    2. Datuk Mohd. Inggot Surbakti

    3. Datuk Ralit Surbakti

    4. Datuk Kinu Surbakti

    5. Aja Itam Buruk Br. Surbakti

    6. Aja Itam Merah Br. Surbakti

    7. Aja Loyah Br. Surbakti

    Nama Saudara :

    1. Datuk Mohd.Mahir Surbakti,

    2. Datuk Mohd. Lazim Surbakti,

    3. Datuk Mohd Darus Surbakti,

    4. Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti,

    5. Datuk Mohd. Alif,

    6. Aja Amah/Olong Br. Surbakti, dan

    7. Aja Ngah Haji Surbakti

    Pendidikan

    1. Belajar Bahasa Melayu di Sunggal dengan guru kerajaan di bawah bimbingan

    pamannya Datuk Mohd. Abdul Jalil Surbakti dan Datuk Mohd. Dini Surbakti.

    2. Mendalami ilmu agama Islam di berbagai tempat, seperti di daerah Sunggal, Kota

    Bangun, dan Aceh. Ia menguasai Bahasa Arab dan Ilmu Tauhid, serta hukum

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 3

    syariat Islam, belajar pada beberapa guru dan ulama, salah satunya bernama Syekh

    Maulana Muchtar penasihat spiritual kerajaan Sunggal zaman Datuk Abdullah Ahmad Sri

    Indra Pahlawan Surbakti.

    3. Menguasai Bahasa Melayu dengan baik dan Bahasa Karo sebagai bahasa leluhurnya.

    Datuk Badiuzzazman Sri Indra Pahlawan Surbakti sebagai putra seorang Penguasa

    Sunggal sangat tekun mempelajari adat istiadat Karo/Melayu di daerah Sunggal, Jejabi,

    Kinangkung, dan Desa Gajah di bawah bimbingan tokoh-tokoh adat Melayu dan Karo

    yang sebagian merupakan keturunan dari Ator Surbakti dan Adir Surbakti.

    5. Prinsip dasar seorang pemimpin rakyat dan jiwa seorang kesatria/pahlawan oleh

    ayahnya. Datuk Ahmad Sri Indra Pahlawan Surbakti Raja Urung Sunggal Serbanyaman

    VIII selalu mengajarinya tentang sifat-sifat seorang pahlawan yang harus dimilikinya,

    yakni

    Bila ia bersungut maka ia bersungut dawai

    Bila ia memandang maka ia bermata kucing

    Bila ia memegang, maka ia bertangan besi

    Bila ia merasa maka ia berhati waja

    Bila ia berkarib setia ia tiada bertukar

    Bila ia berjuang maka pantang surut ia biar selangkah

    Bila ia menjumpai maut, mati ia berkapan cindai 1

    Pesan itu hendak mengatakan bahwa seorang pahlawan harus bersikap pantang menyerah,

    pantang surut biar selangkah pun, tetap setia sikap dan prinsip hidupnya. Bila ia mati

    maka namanya akan tetap harum, karena hidupnya ditaburi dengan semangat

    pengorbanan, rela berkorban, sikap tanpa pamrih pribadi yang diwujudkan dalam

    perjuangannya.

    II. Keteladanan Datuk Badiuzzaman

    Sebagai sosok tokoh masyarakat, Datuk Budiuzzaman yang berjiwa besar dan rela

    berkorban memberi keteladanan:

    1 Menurut T. Luckman Sinar dalam bukunya Perang Sunggal (1996: 3), sifat kepahlawanan itu dipesankan Datuk Kecil kepada Datuk Badiuzzaman. Tapi versi keluarga besar Puak Sunggal menyatakan ajaran itu langsung disampaikan oleh ayahnya kepada anak-anaknya, termasuk Datuk Badiuzzaman. Terlepas dari perbedaan ini, yang pasti adalah Datuk Badiuzzaman telah mengenal sejak kecil dan mendalami bagaimana sebenarnya sifat pahlawan itu.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 4

    1. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, seperti keadilan, keselamatan, dan

    kesejahteraan rakyat Sunggal;

    2. Selalu membina persatuan dan kesatuan lintas etnik, yakni Karo, Melayu, Aceh, Gayo,

    dan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah Sunggal dari penjajahan Belanda;

    3. Menerapkan prinsip musyawarah dan mufakat dalam mencapai suatu tujuan;

    4. Konsisten dalam perjuangan untuk mencapai kebebasan;

    5. Menjaga persatuan bangsa atau kaumnya;

    6. Pantang menyerah dalam perjuangan;

    7. Rela mengorbankan hidupnya dalam perjuangan membela kebebasan dan

    kesejahteraan rakyat dan masyarakatnya hingga mengalami pembuangan dan terpisah

    dari keluarganya sampai wafatnya.

    III. Kerajaan Sunggal Serbanyaman

    Kerajaan Sunggal Serbanyaman yang didirikan oleh keluarga besar Puak Sunggal

    diawali dengan tokoh Jolol Karo-Karo Surbakti yang mempunyai anak bernama Sirukati

    Surbakti. Sirukati Surbakti mempunyai dua orang anak, yakni Kebal Surbakti dan

    Sirsir/Serser Surbakti. Sirsir/Serser Surbakti mempunyai saudara empat orang, salah

    satunya bernama Kebal Surbakti yang berasal dari Pak Pak (Dairi). Keduanya melakukan

    perjalanan dari daerah Pak Pak/Dairi turun gunung ke daerah Tanah Karo dan Gayo Alas.

    Kebal Surbakti kemudian membuat perkampungan di Lingga dan Sirsir mengembara

    sampai ke Tanah Alas di Lingga Raja, terus ke Torong dan membuat perkampungan di

    sana. Sirsir kemudian menikah dengan seorang Putri yang dipercayai sebagai penjelmaan

    dari seekor gajah maka anaknya kemudian dinamai Gadjah Surbakti.

    Gadjah Surbakti kemudian membuat kampung di Sitelu Kuru dan dinamakan

    Kampung Gadjah. Dengan demikian, tidak heran apabila terjadi hubungan yang erat

    antara masyarakat di Sitelu Kuru, Penghulu Gadjah, Penghulu Lingga, dan marga

    Surbakti. Gadjah Surbakti mempunyai tiga orang anak, yakni Ator Surbakti, Nangmelias

    Br Surbakti, dan Adir Surbakti.

    Adir Surbakti kemudian mendirikan kampung di Sembuaikan di kaki Gunung

    Sibayak dan menamakan Songgal. Atas pengaruh Datuk Kota Bangun, ia kemudian

    memeluk Agama Islam tahun 1632. Adir mempunyai anak sepuluh orang anak, yaitu

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 5

    sembilan laki-laki dan seorang wanita bernama Nang Baluan. Di antara anak laki-lakinya

    bernama Mahbub dan Borang. Adir adalah pendiri Kerajaan Sunggal yang ketika itu

    kekuasaanya cukup kuat meliputi bekas wilayah kerajaan Aru II di Deli Tua. Ia

    memerintah dari 1629-1651. Ketika Aceh menaklukkan Deli tahun 1612, Sultan Aceh

    menempatkan seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan. Melihat Sunggal begitu

    kuat pengaruhnya di daerah Deli Tua dan orang-orang Karo di Pegunungan, maka ia

    mengawini Nang Baluan sebagai akses untuk dapat memengaruhi Raja Raja Urung di

    Tanah Karo. Dari perkawinannya itu kemudian lahir raja-raja Deli dan Serdang. Pada

    masa itu dibuatlah kesepakatan yang dinamakan Konfederasi Deli. Deli menjadi Anak

    Beru Sunggal dan Sunggal berperan sebagai Ulon Janji.

    Di antara anak laki-laki Adir adalah Mahbub Surbakti yang menggantikannya sebagai

    raja. Pusat kekuasaan Kerajaan Sunggal dipindahkan ke Kinangkung. Ia mempunyai dua

    orang anak, yakni Bubud Surbakti dan Tobo Surbakti. Mahbub Surbakti memerintah dari

    tahun 1651-1667 yang kemudian digantikan oleh anaknya Bubud Surbakti. Bubud

    Surbakti memerintah Sunggal dari tahun 1667 sampai 1792. Ia memindahkan pusat

    kekuasaannya di Tanjung Selamat. Bubud Surbakti mempunyai dua orang anak

    yaitu Andan/Undan Surbakti dan Nang/Dayan Sermaini Br. Surbakti. Nang Sermaini

    menikah dengan Panglima Magedar Alam dari Deli. Pada 1723 terjadi perebutan takhta

    di Kesultanan Deli, setelah Panglima Paderap meninggal dunia. Seorang putranya

    bernama Umar terusir dari Deli dan kemudian menemui Raja Sunggal yang merupakan

    Kalimbubu untuk melaporkan situasi di Deli. Raja Sunggal kemudian memanggil Raja

    Urung Sinembah, Tanjung Morawa, dan Utusan Aceh. Dari musyawarah itu ditetapkan

    bahwa Umar menjadi Raja Serdang dengan Gelar Tuanku Umar. Oleh karena itu, baik

    bangsawan Deli maupun Serdang adalah anak cucu Raja Urung Sunggal Marga Surbakti.

    Andan/Undan Surbakti menggantikan ayahnya Bubud Surbakti yang memerintah

    antara tahun 1792 1891, dan memindahkan pemerintahannya ke Tanjung Selamat. Ia

    mempunyai enam orang anak laki-laki, yaitu Datuk Amar laut, Datuk Jalaluddin, Datuk

    Keteng, Datuk Kojat, Datuk Bajing, Datuk Nahu, dan dua orang perempuan, yaitu Aja

    Manyak dan Aja Gadih.

    Datuk Amar Laut Surbakti adalah penerus takhta Sunggal yang memindahkan pusat

    pemerintahannya ke Jejabi. Ia memerintah dari tahun 1821-1845,

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 6

    mempunyai empat orang anak, 3 laki-laki dan seorang perempuan. Mereka adalah Datuk

    Abdullah Ahmad Surbakti, Datuk Abdul Jalil Surbakti, dan Datuk Muhammad Dini

    Surbakti. Datuk Abdul Jalil mempunyai sembilan orang anak, yaitu Datuk Sulung Barat,

    Datuk Riaw, Datuk Lintang Siak, Datuk Lingga, Datuk Segel, Datuk Long Putra,

    Aja Dembam, Aja Noor, Aja Intan Lara. Datuk Abdullah Ahmad mempunyai delapan

    orang anak. Datuk Mohammad Dini gelar Datuk Kecil mempunyai anak Olong Hasym,

    Datuk Ali Syafar, Datuk Ali Usman (Datuk Torong), Aja Iting. Pada masa

    pemerintahannya, Sunggal melepaskan semua ikatan yang pernah dibuat dengan Deli dan

    Aceh. Sunggal mempunyai bendera sendiri, yaitu merah dan kuning, dengan

    cap berlambang gajah. Datuk Amar Laut meresmikan Sunggal merdeka. Pada masa ini

    Panglima Magedar Alam berusaha menaklukkan Sunggal tetapi gagal.

    Datuk Abdullah Ahmad Surbakti naik takhta pada 1845

    1857 menggantikan ayahnya dan memindahkan pusat pemerintahan ke Sunggal

    yang letaknya sekarang adalah di sekitar Jalan PAM Tirtanadi, Kecamatan Medan

    Sunggal, Medan. Ia diberi gelar Datuk Indera Pahlawan. Beliau mempunyai delapan

    orang anak, 6 laki-laki dan 2 perempuan, yakni Datuk Mohd. Mahir, Datuk Mohd. Lazim,

    Datuk Mohd. Darus, Datuk Badiuzzaman, Datuk Mohd. Alang Bahar, Datuk Mohd. Alif,

    Aja Amah/Olong, dan Aja Ngah Haji. Pada masa pemerintahan Datuk Mohammad Bahar

    Sunggal diresmikan dengan nama lain, yaitu Serbanyaman. Ikatan dengan Deli dan Aceh

    dibangun kembali, termasuk institut Ulon Janji. Datuk Mohd. Lazim mempunyai anak

    delapan orang, yaitu Aja Itam (Olong), Aja Cermin, Datuk Mohd. Gazali, Aja Tipah,

    Datuk H. Mustafa, Aja Totop, Aja Ramsiah, Aja Nambok. Datuk Mohamad Mahir

    mempunyai empat orang anak, yaitu Aja Sukma, Aja Saerah, Datuk Man, dan Datuk

    Yusuf. Ketika Datuk Akhmad meninggal dunia pada 1857, Datuk Badiuzzazman masih

    berusia 12 tahun, maka atas musyawarah keluarga, Datuk Kecil ditugaskan untuk

    memangku Kerajaan Sunggal sampai Datuk Badiuzzazman dewasa. Datuk Kecil

    memimpin Sunggal sampai tahun 1866. Datuk Badiuzzazman Surbakti diangkat menjadi

    raja Sunggal/Serbanyaman tahun 1866 dengan Gelar Datuk Sri Diraja Indra Pahlawan

    sampai tahun 1895.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 7

    IV. Perjuangan Datuk Badiuzzaman Melawan Belanda

    Masyarakat di Indonesia sebelum kedatangan kolonialisme Belanda adalah

    masyarakat agro-maritim. Masyarakat tidak hanya hidup dari usaha pertanian untuk

    memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi juga perdagangan antarpulau, bahkan dengan

    negara-negara tetangga. Pedagang-pedagang dari pantai utara

    Jawa, seperti Jepara, Demak, Rembang, atau Tuban berlayar ke arah timur menuju

    Maluku, Nusa Tenggara, untuk menukar berasnya dengan kayu cendana, damar, pala,

    merica untuk dijual ke Tumasik (Singapura) atau ke pasar internasional di Malakka.

    Kesultanan Aceh sudah membina hubungan diplomatik yang rapat dengan Kerajaan

    Turki Ottoman, Inggris, maupun Cina. Sementara itu, pedagang-pedagang dari Sumatera

    Barat juga sangat akrab dengan Malakka yang waktu itu menjadi pusat perdagangan.

    Struktur masyarakat adalah struktur feodal atau kerajaan dengan raja, panembahan, atau

    datuk beserta keluarga berperan sebagai elite yang memimpin

    masyarakatnya. Ketika kekuatan kolonialisme Belanda datang, golongan atau kelas

    pedagang belum sempat mengalami transformasi menjadi kelas menengah yang

    membawa perubahan masyarakat yang lebih egaliter dan modern dengan

    budaya industri. Masyarakat pesisir yang hidup dari perdagangan sedikit demi

    sedikit tersisih, karena kedaulatan daerah pesisir diserahkan kepada kekuasaan Kompeni

    Belanda. Penyerahan itu dilakukan sebagai kompensasi atas bantuan militer dalam perang

    suksesi raja-raja maupun sebagai ganti rugi atas kekalahan perang terhadap kekuasaan

    kolonial. Sementara itu, masyarakat pedalaman yang umumnya agraris dengan pola

    ekonomi swasembada dan elite kerajaan yang memerintah harus menghadapi perubahan-

    perubahan radikal, karena penguasaan kolonialisme Belanda atas sumberdaya alam

    maupun sumberdaya manusia demi keuntungan negara induknya, dengan liberalisasi dan

    swastanisasi hampir di semua aspek kehidupan. Struktur pemerintah tradisional

    dengan raja atau bupati tetap dipertahankan tetapi hanya sekadar perpanjangan

    tangan kebijakan kolonial. Di daerah yang tradisinya kuat, seperti di Jawa maka sistem

    pemerintahan tidak langsung (indirect rule) dijalankan oleh Belanda. Sementara untuk

    lingkungan masyarakat yang lebih egaliter, seperti di daerah Sumatera Timur dan

    Utara, Belanda menerapkan pemerintahan langsung (direct rule).

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 8

    Menghadapi kekuatan modal dan kekuasaan politik asing yang luar biasa, reaksi

    masyarakat itu bermacam-macam, ada yang takluk menyesuaikan diri, bergabung dengan

    penguasa baru yang datang, atau menolak dengan cara melawan kekuatan kolonial itu.

    Sikap, usaha, dan perjuangan mereka yang menolak kekuatan asing untuk mengatur dan

    mengeksploitasi penduduk dan sumberdaya alam serta lingkungannya itu merupakan

    embrio bagi semangat nasionalisme yang menjadi dasar bagi pembentukan suatu

    bangsa. Perjuangan dan jerih payah serta pengorbanan mereka yang luar biasa

    memiliki nilai simbolis sebagai bagian dari tahapan kelahiran bangsa Indonesia. Dalam

    cita-cita, jerih payah, dan pengorbanan harta serta jiwa raga merekalah, bangsa ini

    dilahirkan dan dibesarkan hingga saat sekarang.

    A. Politik Kolonial Belanda di Sumatera Abad XIX

    Liberalisme sebagai ideologi yang melanda Eropa Barat ternyata juga sangat

    memengaruhi politik kolonial terhadap tanah jajahan. Sistem Tanam Paksa (Cultuur

    Stelsel) yang ditetapkan dalam Regering Reglement (Peraturan Pemerintah)

    tahun 1836 oleh Gubernur Jenderal van den Bosch telah membuat Negeri Belanda yang

    semula defisit bisa menikmati surplus yang besar (batig slot). Pada waktu itu belum ada

    pemisahan antara kas Belanda dan kas Hindia Belanda, sehingga uang dari Hindia

    Belanda terus masuk kas di negeri Belanda. Antara 1836 -

    1887 mencapai jumlah besar, yaitu f. 823 juta. Perlu diketahui pada tahun 1920-an, buruh

    atau kuli dapat hidup (makan dan minum) dengan uang sebenggol (0,5 sen) sehari.

    Untuk mempertahankan keuntungan yang besar dari tanah jajahan, pemerintah kolonial

    mengundang sektor swasta untuk menanamkan modalnya. Lewat usaha para penanam

    modal itu, ekspor dari sektor swasta yang besarannya hanya sepertiga dari keseluruhan

    ekspor pada 1856 dapat ditingkatkan menjadi separo pada 1865. Tanah dapat disewakan

    dalam jangka panjang mulai dari 20 tahun hingga 75 tahun atau lebih. Sayangnya pada

    masa itu harga-harga komoditas mengalami fluktuasi yang sukar diprediksi. Fluktuasi

    atau naik turunnya harga itu dipicu oleh kemajuan komunikasi dengan dibukanya

    Terusan Suez pada 1869 dan penggunaan kapal uap yang kemampuan jelajahnya lebih

    cepat dari kapal layar biasa. Harga gula dan kopi jatuh. Ekspor kopi mengalami

    kemerosotan, sementara pabrik gula menjadi sulit karena penyakit sereh yang melanda

    tanahaman tebu tahun 1882.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 9

    Harga gula juga turun drastis karena persaingan ketat dengan gula biet dan gula dari

    Amerika. Meskipun sempat mengalami booming ekspor, tanaman kopi juga diserang

    habis oleh hama tanaman sehingga perlu mendatangkan jenis kopi lain, yaitu

    coffea Arabica dengan coffea Liberea dan kemudian dengan coffea Robusta. Tanaman

    lain yang mulai dicoba adalah tanaman karet yang tidak menarik bagi rakyat jajahan

    karena di samping memerlukan modal besar juga bersifat jangka panjang. Seperti

    diketahui, karet bisa dipanen atau disandap setelah berusia 8 tahun ke atas. Untuk

    mengatasi keadaan itu, pemerintah mengadakan proses diversifikasi ekspor, tidak

    mengherankan bila pada 1885 ada 115 jenis barang ekspor, dan pada 1905 terdapat 229

    jenis. Di antara jenis baru yang menonjol, seperti Kina sejak 1880, Karet sejak 1890;

    Kopra sejak 1885.

    Arus liberalisasi itu mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk

    mencari peluang industri pertambangan, seperti batubara, timah (1865), minyak tanah

    (1890), dan batu pualam sebagai alternatif dari sektor pertanian atau agribisnis

    yang sudah mendapat saingan berat di pasaran dunia. Pemerintah kolonial melihat

    keuntungan yang bisa ditangguk bukan hanya di produksi komoditas ekspor (planter),

    tetapi juga dari monopoli sektor perkapalan dan perdagangan yang semula hanya

    dipandang sebagai usaha sampingan. Dalam perkembangan kenaikan barang ekspor

    terlihat bahwa semakin besar hasil-hasil yang dieksploitasi dari daerah luar Jawa.

    Tanaman pangan (food crops) makin tersisih dengan pertumbuhan tanaman untuk ekspor

    yang dijual (cash crops). Pemerintah Kolonial memang lebih berpaling ke daerah luar

    Jawa, karena mobilisasi tenaga di daerah pedesaan Jawa akan menghadapi

    banyak kesulitan yang muncul akibat ikatan desa dan ikatan feodal masih mengekang

    tenaga rakyat, Heeren-diensten (kewajiban untuk raja), pancen diensten (kewajiban untuk

    menyerahkan sebagian hasil bumi kepada pejabat pemerintah), dan desa diensten

    (kewajiban gotong royong desa) sudah sangat melembaga. Ikatan-ikatan itu hanya dapat

    dikurangi atau dihapuskan dalam waktu lama. Di Jawa Tengah, misalnya, wajib kerja

    dikaitkan dengan hak menguasai tanah, di Jawa Timur, Madura, dan Jawa Barat, wajib

    kerja lebih dihubungkan dengan keluarga (cacah).

    Penanaman modal dalam industri yang gencar dijalankan itu dibarengi dengan

    kapitalisasi finansial dengan munculnya perusahaan-perusahaan swasta. Usaha

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 10

    perusahaan itu diperlancar lewat kemudahan pembebasan tanah dengan UU

    Agraria tahun 1870 dan murahnya upah buruh lewat Koeli Ordonantie tahun 1880 (tepat

    10 tahun setelah perdagangan budak resmi dihapus atau dilarang) yang

    mengatur hubungan antara buruh atau kuli dengan majikan, khususnya untuk daerah

    perkebunan di Sumatera Timur dan daerah luar Jawa pada umumnya. Pada tahun-tahun

    itu juga dibuka banyak bank yang dapat memberi kredit bagi perusahaan-perusahaan

    swasta. Gubernemen juga mengeluarkan modal untuk membangun infrastruktur

    seperti kereta api, irigasi, dan pelabuhan. Pada tahun 1878 UU Gula menghapus tanam

    paksa gula sehingga gula menjadi komoditas yang secara bebas diperdagangkan. Pola dan

    sistem pertanian yang pada masa sebelumnya lebih bersifat swadaya (self

    suffieciency) diubah total menjadi pertanian yang melulu mengabdi pada komoditas

    ekspor. Tanah jajahan hanya menjadi sumber tenaga buruh yang murah dan wahana

    eksploitasi sumberdaya alam untuk memperoleh keuntungan dalam pasaran dunia.

    Perdagangan hanya menguntungkan negara industri yang menjajah dan cikal bakal

    industri pribumi di pedesaan terdesak bahkan mati. Dalam tahap ini pemiskinan negara

    jajahan dimulai. Tanaman pangan yang menjadi andalan swasembada desa atau daerah

    terdesak dan bahkan tidak mendapat tempat, karena merajalelanya tanaman ekspor yang

    digalakkan dan bila perlu dipaksakan oleh pemerintah. Pemerintah kolonial mendapat

    peluang untuk mendukung eksploitasi tanah jajahan dengan proses swastanisasi itu dalam

    banyak sektor kehidupan, diiringi dengan pemantapan administrasi birokrasinya. Dalam

    kaitan itu, pada 1855 didirikan departemen keuangan, pertambangan dan

    perkebunan, departemen hasil-hasil tanaman dan pergudangan, departemen

    kultur gubernemen, dan pekerjaan umum. Disusul juga dengan pendirian

    beberapa departemen lain pada 1866 dan 1870, seperti departemen administrasi,

    pendidikan, agama, industri, departemen kehakiman.

    Perluasan Wilayah Kolonial Belanda

    Perjanjian antara Kerajaan Inggris dan Belanda yang disebut Traktat London tahun 1824

    menyepakati bahwa Belanda dapat mengambil alih kembali tanah jajahannya di Hindia

    Belanda dengan tetap menghormati kedaulatan politik Aceh, Bali, dan kerajaan-kerajaan

    lain, seperti Siak, Deli, Sunggal, dan Serdang. Dengan kerjaan Aceh pun Belanda

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 11

    mengikat perjanjian damai pada tahun 1857. Langkah Belanda itu juga dibarengi dengan

    diplomasi ke kerajaan Siak, sehingga tahun 1858 dicapai Traktat Siak. Dalam perjanjian

    itu Sultan Siak meletakkan kerajaannya di bawah pemerintahan Hidnia Belanda. Sebagai

    imbalannya Belanda mengakui (pasal 2 ayat 2) kekuasaan Siak berlaku atas kesultanan

    Deli, Serdang dan Asahan. Traktak Siak dipakai Belanda untuk menarik sultan-

    sultan Deli, Serdang, dan Asahan secafra terus terang mengakui Sultan Siak sebagai raja

    mereka. Dengan pengakuan atas Sultan Siak itu secara tidak langsung mereka mengakui

    kekuasaan Belanda. Tindakan Belanda itu oleh Sultan Aceh Alauddin Ibrahim Mansur

    Syah dianggap melanggar kedaulatan kerajaan Aceh, karena Aceh mempunyai hak-hak

    (meskipun tidak di seluruh Siak) di perbataasan bagian Utara, yaitu Deli, Serdang,d an

    Asahan yang merupakan daerah pengaruh kesultanan Aceh. Gubernur Jenderal di Batavia

    juga mengirim surat perintah kepada Residen Riau, Schiff yang isinya untuk perintah

    untuk mengusahakan agar kekuasaan Belanda berlaku di daerah-daerah pesisir Sumatera

    Timur yang oleh Sultan Aceh masih dianggap sebagai wilayahnya secara tidak

    langsung. Untuk melaksanakan perintah itu , Residen datang ke Deli, Serdang, dan

    Asahan guna membujuk kepala-kepala derah tersebut. Hanya Sultan Deli yang langsung

    menerima mau tunduk di bawah kekuasaan Belanda. Oleh karena itu,

    sejak pertengahan tahun 1862 Belanda menempatkan pasukannya di Deli, Langkat,d an

    Batu Bara.

    Abad 19 dalam sejarah Indonesia merupakan abad terjadinya penetrasi birokrasi dan

    kekuasaan kolonial Belanda yang dibarengi dengan semangat kapitalisme di beberapa

    wilayah Hindia Belanda. Setelah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)

    dibubarkan 31 Desember 1799, peran VOC diambil alih Pemerintah Hindia Belanda.

    Kerajaan Belanda menempatkan Gubernur Jenderal di Batavia sebagai perpanjangan

    tangannya. Melalui Gubernur Jenderallah intensifikasi perdagangan dan

    eksploitasidigiatkan demi mengisi kas kerajaan Belanda yang defisit 2 , termasuk

    pengiriman ekspedisi militer dan sipil ke luar Pulau Jawa. Pada pertengahan abad 19,

    sejumlah pengusaha Belanda dan Eropa lainnya telah membuka perkebunan tembakau

    2 T. Ibrahim Alfian. Kiras Bangun (Garamata) Pejuang Dari Tanah Karo. Makalah Seminar

    Garamata, 2003, hlm 3-4

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 12

    yang besar di daerah Sumatera Timur, tepatnya di tanah Deli.3 Melalui perkebunan,

    masyarakat Sumatera Timur (Deli) diperkenalkan dengan nilai-nilai kapitalisme modern

    dan terjadilah interaksi antara masyarakat yang daerahnya dipergunakan sebagai areal

    tanaman tembakau dengan berbagai kehidupan perkebunan yang didiami bangsa Eroipa.

    Interaksi ini sebenarnya berlangsung dalam suasana yang tidak seimbang, yakni antara

    dua sisitem social yang sama sekali berbeda. Interaksi ini pada gilirannya menimbulkan

    benturan antara masyarakat Sumatera Timur (Deli) dengan para pendatang/pengusaha

    perkebunan orang-orang Eropa, khususnya Belanda. Benturan itu sering terjadi karena

    pihak perkebunan membutuhkan banyak tanah-tanah konsesi yang secara tradisional

    adalah milik para datuk/raja Urung mereka.

    Keberhasilan perusahaan perkebunan mencari tanah karena adanya dukungan politik dari

    Sultan Deli dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Belanda dan Sultan Deli

    memiliki kepentingan tersendiri. Pemerintah Belanda berusaha menciptakan kawasan

    Sumatera Timur/Deli menjadi daerah penghasil komoditi perdagangan untuk pasar Eropa.

    Tujuan ini sesuai dengan politik pintu terbuka (opendoor politiek) yang sedang

    dijalankan pemerintah Belanda mulai 1870. Opendoor Politiek dijalankan dengan maksud

    mencari investor asing agar mau menanamkan modalnya dalam industri perkebunan di

    Indonesia. Untuk mencapai ambisi besar itu ada dua kebijakan penting yang diambil

    pemerintah kolonial yakni pertama, menerapkan Undang-Undang Agraria 1870

    perangkat hukum untuk memperoleh akses tanah konsesi - dan menjaga rust en orde

    (stabilitas keamanan dan ketertiban) di wilayah Hindia Belanda, termasuk Deli. Sultan

    Deli juga memiliki kepentingan ekonomi dan politik atas upaya-upaya pembangunan

    perkebunan di Sumatera Timur. Secara ekonomi besarnya uang sewa yang didapatkan

    sangat menaikkan gengsi dan martabatnya dan sekaligus secara juridis-politis wilayah

    kekuasaanya diakui pemerintah Belanda. Sebuah usaha yang sebelum masuknya Belanda

    sudah dilakukan oleh Kesultanan Deli baik secara damai (kawin politik) maupun secara

    kekerasan (perang 1822) untuk menguasai wilayah Sunggal.

    Sebaliknya adanya skenario besar dari dua kekuasaan itu menimbulkan

    malapetaka bagi rakyat Sunggal. Datuk Sunggal tidak dilibatkan dalam urusan sewa

    3 Jan Bremen, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada awal abad ke20. Jakarta: Pustaka

    Grafiti, 1977, hlm. 48-53.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 13

    tanah dan inilah yang menimbulkan konflik terbuka dengan pemerintah Belanda. Konflik

    ini sesungguhnya juga merupakan ekses terjadinya kontak langsung antara masyarakat

    dengan tatanan tradisional dengan sistem ekonomi modern/kapitalisme. Konflik terbuka

    antara rakyat Sunggal dibawah Datuk Badiuzzaman dengan Belanda dikenal dengan

    Perang Sunggal terjadi 15 Mei 1872, tepat dua tahun setelah undang-undang Agraria

    diterapkan di Hindia Belanda. Ini membuktikan bahwa konflik itu (latar belakang

    perjuangan Datuk Badiuzzaman) erat sekali kaitannya dengan masalah tanah. Menurut

    para tuan kebon yang pertama, pada dasarnya para penguasa pribumi itu sebetulnya

    adalah orang-orang biasa yang tidak jauh berbeda dengan para kawulanya. Semula

    kekuasaanya mereka terbatas, tetapi kemudian kekuasaannya mereka menjadi besar

    setelah menyerahkan lahan kepada para pengusaha Eropah untuk digunakan dalam

    jangka panjang, mereka menyerobot hak kepemilikan tanah atas tanah yang sebelumnya

    tidak mereka punyai.4

    Dengan Traktat Siak, pemerintah kolonial Belanda menemukan jalan pintas

    untuk menuju daerah Aceh. Lewat bujukan Belanda dapat masuk ke Deli, dan

    dengan kekerasan (Sunggal, Serdang,d an Asahan) kerajaan-kerajaan itu hendak

    ditaklukkan. Penaklukan itu untuk mengepun kesultanan Aceh, dari sebelah

    Barat infiltrasi militer bermarkas di Padang (Gubernur Sumatra Barat) dan dari sebelah

    timur penyerangan dipusatkan di Riau di bawah pimpinan Residen Riau, Schiff. Guna

    mengamankan diri dalam kancah diplomasi inetrnasional, Belanda mengadakan

    perjanjian dengan Kerajaan Inggris, sehingga disepakati Traktat Sumatera yang dibuat

    bersama Inggris tahun 1874 pemerintah Belanda mendapat keleluasaan untuk

    memperluas kekuasaannya di Pulau Sumatera, yaitu Dengan traktat

    itu pemerintahan kolonial Belanda dibenarkan untuk melakukanmenurut istilah

    mereka--pasifikasi (usaha memperdamaikan dari kekacauan, baik karena ada pihak-

    pihak yang bertikai dan berseteru maupun pembudayaan karena penduduk pribumi

    dipandang masih terbelakang) di seluruh kerajaan-kerajaan di Sumatera. Konflik itu

    menyangkut masalah tanah. Para pemimpin bumiputera, baik para raja, bupati, pemimpin

    tradisonal, atau elite lokal sebetulnya menghadapi masalah yang sama seperti rakyatnya.

    Semula kekuasaanya mereka terbatas atas tanah mereka, tetapi kemudian kekuasaan

    4Ibid.., hlm. 22.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 14

    mereka menjadi besar setelah menyerahkan lahan kepada para pengusaha Eropa untuk

    digunakan dalam jangka panjang, berkat uang sewa yang mereka peroleh. Seturut UU

    Agraria tahun 1870, semua tanah yang bukan milik masyarakat pribumi (kerajaan

    tradisonal) adalah ranah pemerintah Hindia Belanda (domein van de staat). Jadi, tanah-

    tanah yang ada bisa disebut tanah bebas yang bisa disewa oleh baik warga negara

    Belanda di Nederland maupun yang berada di Hindia Belanda atau kepada perusahaan

    yang terdaftar di Hindia Belanda. Areal maksimal yang disewa sebesar 500 bau dengan

    sewa antara f.1 sampai f.6. Tanah pribumi yang dikuasai berdasarkan hukum adat hanya

    dapat disewa selama 5 tahun, sedangkan tanah milik mereka untuk 20 tahun.

    Selanjutnya perjanjian harus terdaftar. Suatu akibat dari peraturan itu adalah adanya

    kecenderungan menjadikan status tanah yang disewakan diubah menjadi milik yang

    menyewa, sehingga para pengusaha atau oknum aparat pemerintah, baik pihak

    bumiputera maupun orang Belanda, dapat menekan biaya sewa tanah atau memperoleh

    kekayaan lewat pencaplokan tanah-tanah rakyat itu. Keadaan itu dengan aneka permainan

    dan trik khusus untuk menguasai tanah menjadi sumber konflik sosial yang besar.

    Konflik atau pergolakan di daerah, seperti daerah Deli dan Sunggal merupakan akibat

    langsung dari proliferasi masyarakat di Indonesia. Artinya, interaksi masyarakat

    Indonesia demikian majemuk dari suku, kepentingan, budaya, maupun agama dalam

    dirinya sendiri mudah atau rentan terhadap konflik yang sebetulnya internal. Sultan Deli

    dan Datuk Sunggal karena berbeda kepentingan dan pandangan politik menjadi

    berseberangan dalam menghadapi kekuasaan Belanda. Oleh karena itu, dalam setiap

    konflik selalu ada peluang bagi Belanda untuk mempasifikasikan dan menanamkan

    kekuasaan serta mengatur pemerintahannya. Dapat dikatakan, tanpa politik divide et

    impera (membagi dan menguasai) pun, masyarakat di Indonesia yang terdiri dari aneka

    suku, agama, kebudayaan, adat-istiadat, dan kebudayaan rawan akan konflik sosial.

    Apalagi dengan kehadiran kekuatan asing yang memang memanfaatkan secara optimal

    konflik-konflik itu agar lebih mudah mengadakan eksploitasi tanah jajahan bagi

    kepentingan negera induknya. Di Sumatera Utara pada 1850 timbul pergolakan maka

    Belanda bertindak cepat dengan menyusun pemerintahan secara langsung. Setelah

    membuka perkebunan di Besuki, Jawa Timur sejak 1861 Nienhuys pada bulan

    Juli tahun 1863 pergi ke Sumatera untuk memperluas usahanya di daerah itu. Dengan

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 15

    percobaan sederhana dia membuka 75 ha perkebunan tembakau di Deli. Daerah

    Deli terletak di Sumatera Timur antara Aceh dan Asahan; atau tepatnya daerah antara

    Serdang, Tanah Karo, dan Langkat. Daerah itu merupakan dataran rendah

    (aluvium) yang meninggi sampai 700 m di atas permukaan laut sehingga ada sebagain

    daerah itu yang merupakan dataran tinggi. Sungai-sungai daerah itu bermuara di Selat

    Malakka. Di daerah itu tidak dikenal musim kering, karena sepanjang tahun tetap bisa

    turun hujan. Dengan suhu udara sedang sekitar 26,7 derajat Celcius maka daerah ini

    cocok untuk daerah pertanian. Hasil kerja Nienhuys di tanah Deli mewujudkan satu

    muatan tembakau pertama sampai di Rotterdam pada bulan Maret 1864,

    setelah mengalami dan mengatasi berbagai kesulitan dan kegagalan. Usaha itu berhasil

    berkat dukungan perusahaan, seperti van den Arend dan Mathieu & Co pada 1865 dapat

    dikirim 189 bal tembakau. Untuk produksi itu Nienhuys telah mengerahkan tenaga kerja

    Cina dari Singapura sebanyak 120 orang. Ia mengusulkan investasi pembukaan

    perkebunan kopi, cokelat, dan kelapa. Sayangnya, usulan tersebut waktu itu belum

    dipandang memiliki prospek yang baik sehingga tidak ada yang mau menerima. De

    Munnick sebagai pengganti Nienhuys sebagai pimpinan usaha perkebunan pada 1887

    mulai membuat kontrak untuk 99 tahun tanah perkebunan sebesar 2.000 bau. Sementara

    itu, datang juga pengusaha perkebunan baru Moss dan Baker dari Swiss dan von Mach

    dari Jerman. Kecuali perkebunan tembakau mereka juga tertarik mengusahakan pala dan

    kelapa. Tanah untuk kedua tanaman itu disewa langsung dari rakyat. Rupanya usaha

    pengusaha kebun itu berhasil. Dari hasil ekspor dari Kesultanan Deli antara tahun 1863-

    1867 diketahui bahwa ekspor tembakau dan lada mengalami peningkatan yang signifikan,

    sementara untuk lada hitam dan buah pinang yang dalam lima tahun terakhir mengalami

    penurunan. Setelah berhasil mengumpulkan modal kembali, Nienhuys kembali ke

    Sumatera Utara dan membuka perkebunan yang terletak antara Sungai Deli dan Sungai

    Percut. Hasil ekspornya pada 1868 memberi keuntungan 100% lebih besar, maka

    dibentuk N.V. Deli Maatschappij dengan separo modalnya dari Nederlandsch Handels

    Maatschapij. Kisah sukses Nienhuys itu mengudang banyak pemodal Eropa datang,

    seperti perkebunan Carlsruhe, Vesuvius, Catsburg, dan Hospitality. Deli Maatschapij

    memperluas usahanya dengan membuka perkebunan kopi pada 1880 dan karet pada 1901.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 16

    Daerah operasinya meliputi Deli, Serdang, dan Langkat dengan luas arealnya bertambah

    dari 7000 ha menjadi 180.000 ha.

    Kisah sukses Deli Maatschapij itu tidak lepas dari dukungan Sultan Deli yang

    memiliki kepentingan ekonomi dan politik atas upaya-upaya pembangunan perkebunan

    di kawasan itu. Secara ekonomi besarnya uang sewa yang didapatkan sangat menaikkan

    pendapatan, kekayaan, dan juga martabatnya sebagai seorang sultan. Secara juridis-politis,

    wilayah kekuasaanya diakui pemerintah Belanda dan dengan kesamaan

    kepentingan ekonomi itu, lebih mudah beraliansi politik dan militer dalam menghadapi

    kerajaan tetangganya, yaitu Sunggal. Usaha untuk menguasai Kerajaan Sunggal sudah

    dijalankan oleh para sultan Deli sebelum Belanda masuk ke wilayah itu, baik usaha

    secara damai lewat politik perkawinan keluarga kedua kerajaan itu, maupun secara

    kekerasan lewat perang pada 1822 agar dapat menguasai wilayah Sunggal.

    Sebaliknya, kekuasaan Belanda dan Deli yang berkolaborasi menimbulkan masalah bagi

    rakyat Sunggal. Datuk Sunggal dengan sengaja tidak dilibatkan dalam urusan sewa tanah

    dan inilah yang menimbulkan konflik terbuka dengan pemerintah Belanda. Konflik ini

    sesungguhnya juga merupakan akibat dari kontak langsung antara masyarakat dengan

    tatanan tradisional dan sistem ekonomi kapitalistik yang datang dengan modal besar dan

    didukung oleh kekuatan hukum dan politik yang kuat. Konflik terbuka antara rakyat

    Sunggal di bawah Datuk Badiuzzaman dengan Belanda dikenal dengan Perang Sunggal,

    dimulai pada tanggal 15 Mei 1872, tepat dua tahun setelah undang-undang Agraria

    diterapkan di Hindia Belanda. Pada awalnya prosesnya begitu gampang. Residen Riau

    yang ketika itu membawahi Sumatera Timur secara terbuka menawarkan Deli sebagai

    daerah untuk perkebunan swasta. Sejalan dengan itu, maka pada 1866 Sultan Mahmud

    dari Deli menyerahkan tanah yang sangat luas memanjang dari Mabar sampai ke hulu

    Deli Tua, antara Sungai Deli dan Percut (sekitar 12.000 bau) untuk masa sewa selama 99

    tahun tanpa pajak kepada Nienhuys dan dua orang Swiss dan seorang Jerman untuk

    ditanami tembakau.

    Pada masa awalnya proses budidaya tembakau masih tetap menggunakan cara

    tradisional, yakni memberikan uang muka (voorscot) pada orang Batak Karo untuk

    mau menanami lebih banyak tembakau di lahan konsesi untuk mereka. Akan tetapi,

    upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan. Nienhuys akhirnya memutuskan untuk

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 17

    membuka perkebunan sendiri dengan menggunakan tenaga kuli, namun orang Melayu

    dan Batak tidak bersedia menjadi tenaga kuli. Kesulitan akan tenaga kerja kemudian

    dapat diatasi dengan merekrut tenaga kuli Cina dari luar. Awalnya para kuli ini menerima

    uang muka dari sejumlah uang yang akan diberikan oleh Nienhuys pada waktu musim

    tanam berakhir, yang besarnya sangat tergantung pada jumlah dan mutu tembakau yang

    dipanen. Pada waktu itu, sistem kerja upahan belum berlaku. Yang ada adalah sistem

    kerja borongan. Para mandor dari kelompok kuli Cina bertindak sebagai pemborong.

    Kepadanya diberikan sebidang tanah dan bibit yang pada akhir musim tanam harus dijual

    kepada pemberi borongan.

    Sejak 1870 mulailah dibuat kontrak langsung dengan masing-masing kuli dan para

    mandor diangkat sebagai pengawas. Adanya campur tangan langsung pengusaha dalam

    pengorganisasian produksi menandai terjadinya peralihan ke kapitalisme industri yang

    sesungguhnya di Sumatera Timur. Tidak lama kemudian terbukti bahwa tembakau Deli

    merupakan produk yang paling menguntungkan di pasar Eropa. Untuk usaha budidaya

    tembakau dalam skala besar dibutuhkan modal yang banyak. Atas keberhasilan Nienhuys

    maka para pemodal Eropa berlomba menanam investasi di industri perkebunan tembakau

    di Deli. Jumlah perkebunan meningkat dari 13 pada 1873 menjadi 23 pada 1874 dan

    hingga 1876 sudah ada 40 perkebunan yang beroperasi di Deli, Sumatera Timur. Sejalan

    dengan itu, berbagai bangsa berada di kawasan ini, seperti Belanda, Swiss, Jerman,

    Polandia, Inggris, Denmark, Cina, Keling, dan Jawa.5 Orang Cina bahkan telah mencapai

    7.600 orang atau rata-rata kurang dari 200 orang di tiap perkebunan. Keberhasilan para

    pemodal Eropa di industri perkebunan tembakau ternyata membawa konflik bagi

    masyarakat Sunggal. Hubungan Sunggal dengan Deli memang sudah tidak harmonis

    sejak Deli menyerang Sunggal pada 1822. Kini, dengan kehadiran usaha perkebunan itu,

    hubungan kedua kerajaan itu semakin buruk. Permasalahannya adalah karena, sebagian

    besar tanah yang diserahkan Sultan Deli kepada para perusahaan perkebunan adalah

    wilayah kekuasaan Sunggal dan bahkan jauh masuk ke wilayah Datuk Sepuluh Dua Kuta

    dan Datuk Sukapiring. Tindakan Sultan Deli ini telah menimbulkan kegelisahan dan

    tantangan rakyat. Berbagai keberatan yang diajukan tidak digubris oleh Sultan Deli.

    Bahkan pada 1870, kembali Sultan Deli memberikan konsesi tanah kepada perusahaan

    5 Ibid., hlm. 26

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 18

    De Rotterdam. Rakyat dilarang menanam tembakau atau tanaman lainnya, padahal tanah

    itu adalah tanah adat yang sudah mereka miliki selama berabad-abad secara turun

    temurun. Akhirnya hubungan Deli dan Sunggal memanas.

    Datuk Sunggal juga tidak begitu senang dengan kehadiran orang-orang Cina di

    perkebunan-perkebunan yang masuk wilayah kekuasaan Sunggal, karena kehadiran

    mereka sangat mengancam kelangsungan perekonomian rakyat Sunggal dan secara tidak

    langsung merusak moral masyarakat. Sebagaimana dikatakan Datuk Kecil ketika ia

    diinterogasi di penjara Tanjung Pinang Riau bahwa, Mereka tidak setuju tanah rakyat

    yang subur dibagi-bagi begitu saja seenaknya oleh Sultan Deli kepada perkebunan-

    perkebunan Belanda. Dengan datangnya orang Belanda kebon (pengusaha Belanda

    yang bergerak dalam usaha perkebunan), juga berduyun-duyun masuk orang Cina yang

    kemudian diberi monopoli pachter berdagang garam, candu, dan membuka tempat-

    tempat perjudian di mana-mana. Sebagai contoh dikemukakan bahwa penjualan candu

    diborongkan di Sunggal saja naik dari $50,- menjadi $600.-dalam dua tahun saja.6

    Kehadiran pengusaha perkebunan yang kapitalistik dan orang-orang Cina sangat

    mengancam jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) orang-orang Batak Karo yang

    memang sudah tertanam sejak lama. Semangat kewirausahaan itu kini mendapat

    tantangan dari pendatang baru yang didukung secara tidak fair oleh kekuatan kolonial

    Belanda yang memanfaatkan orang-orang Cina itu untuk kepentingan mereka. Konversi

    tanah yang dikuasai perseorangan menjadi tanah yang dikuasai tuan

    perkebunan, berarti tanah masuk dalam objek komersialisasi. Campur tangan orang-orang

    pemerintahan atau gubernemen ke desa-desa mencakup pernyataan domein (domein

    verklaring) yang sering mengabaikan hak-hak rakyat menurut hukum adat, sehingga

    rakyat tidak dapat lagi memperluas tanah garapannya lagi. Dengan Aturan Pembukaan

    (Ontginning Ordonantie) yang diberlakukan pada 1874, setiap pembukaan tanah baru

    memerlukan izin pemerintah, sedangkan berdasarkan UU Agraria banyak tanah

    yang belum terbuka tersedia seluas-luasnya bagi perusahaan asing dengan kapitalismenya.

    Perlawanan masyarakat Karo segera terjadi secara sporadis sehingga mempersulit para

    pengusaha untuk begitu saja membuka dan menguasai lahan baru. Kesulitan pengusaha

    6 Tengku Luckman Sinar, Perang Sunggal 1872-1895. Cet. Kedua Medan: Tanpa Penerbit, 1996,

    hlm. 32.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 19

    Nienhuys mengelola budi daya tembakau pada masa-masa awal kehadirannya di Deli

    tidak bisa dilepas dari faktor kuatnya usaha orang-orang Karo tersebut. Sudah sejak awal

    abad XIX orang-orang Batak Karo sudah membuka kebon lada dan menanam tembakau.

    Bakat mereka sebagai pengusaha sangat tampak, menyebabkan mereka sejak awal tidak

    bersedia menjadi kuli di perkebunan tembakau. Karl J. Pelzer menyatakan bahwa [...]

    Bakat orang Batak Karo sebagai pengusaha memang menonjol. Dengan kecerdasan yang

    patut dipuji, beberapa pemimpin mereka mampu menemukan jalan dan cara untuk

    mengorganisasikan industri yang baru disertai sistematisasi produksi dan pemasarannya. 7 Kehadiran orang Cina di Sunggal selalu dicurigai dan bahkan ada yang ditangkap oleh

    Datuk Badiuzzaman dan dipenjara atas tuduhan melakukan kegiatan mata-mata dan

    menjual candu. 8 Penangkapan inilah yang kemudian menjadi argumentasi kuat

    Pemerintah Belanda untuk menggempur Sunggal. Karena melalui penjelasan Orang Cina

    (bernama Anton) inilah diketahui bahwa ada mobilisasi kekuatan bersenjata yang tiap

    hari dilakukan oleh Datuk Sunggal. Namun sebetulnya, penyebab konflik itu secara

    kultural dapat dijelaskan karena terjadinya perubahan yang demikian cepat di Deli.

    Hanya dalam tempo delapan tahun sejak 1864, hubungan-hubungan sosial tradisional

    terganggu oleh hadirnya kapitalisasi perkebunan. Perubahan itu bahkan lebih cepat dari

    yang apa yang dapat diperhitungkan orang-orang pribumi. Akibatnya, bila di daerah lain,

    kemajuan secara bertahap dapat diterima oleh masyarakatnya secara bertahap pula, maka

    di Deli perubahan itu demikian cepat sehingga mengganggu orde tradisional.9 Dengan

    demikian, semakin dalam penetrasi birokrasi kolonial memengaruhi struktur sosial

    ekonomi-politik komunitas bumiputra, semakin mendasar pula konflik kepentingan yang

    diakibatkan.

    Antara Sunggal dan Deli

    Sunggal dan Deli sebetulnya bukanlah dua kerajaan yang terpisah sama sekali. Hubungan

    kedua kerajaan itu dapat dirunut mulai dari Adir Surbakti si pendiri kerajaan Sunggal.

    Adir mempunyai anak sepuluh orang, yaitu sembilan laki-laki dan seorang wanita

    7 Karl Pelzer. Planter and Peasent: Colonial policy and The agrarian struggle in East- Sumatra 1863-1947, s`Gravenhage, 1978. Terj. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur1863-1947, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm. 57. 8 Politiek Verslag Residen Riau, 1872, hlm. 4.

    9 Ibid., hlm. 61.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 20

    bernama Nang Baluan. Kekuasaan Kerajaan Sunggal ketika itu cukup kuat, meliputi

    bekas wilayah kerajaan Aru II di Deli Tua. Ia memerintah dari 1629-1651. Ketika Aceh

    menaklukkan Deli tahun 1612, Sultan Aceh menempatkan seorang wakilnya di Deli,

    yaitu Gotjah Pahlawan. Sebenarnya, sebelum Aceh menempatkan Gotjah Pahlawan di

    Deli, di daerah Deli ada kekuasaan empat wilayah hukum Suku Karo yang dikenal

    dengan Urung (federasi beberapa kampung). Keempat Urung itu adalah Sunggal,

    Sinembah, XII kota, dan Sukapiring. 10 Melihat Sunggal begitu kuat pengaruhnya di

    daerah Deli Tua dan orang-orang Karo di Pegunungan, maka ia mengawini Nang Baluan

    sebagai akses untuk dapat memengaruhi Raja Raja Urung di Tanah Karo. Dari

    perkawinannya ini kemudian lahir raja-raja Deli dan Serdang. Sesuai dengan adat Karo,

    maka Deli adalah anak beru dari Sunggal dan sebagai hadiah perkawinan diserahkan

    Raja Urung Sunggal jalur wilayah yang terletak di tepi pantai antara Kuala Belawan dan

    Kuala Percut sebagai daerah yang diperintah langsung oleh Deli. Secara ketatanegaraan

    Deli setaraf dengan wilayah-wilayah Urung, tetapi karena Deli menguasai pantai dan

    muara-muara Sungai yang vital bagi impor dan ekspor hasil bumi, ditambah posisi

    Gotjah Pahlawan sebagai wakil Aceh di Deli, maka posisi Deli akhirnya menjadi lebih

    menonjol. Pada masa itu dibuatlah kesepakatan semacam konfederasi antarkerajaan itu.

    Pertama, Sri Paduka Gotjah Pahlawan dan kemudian keturunan-keturunannya raja-raja

    Deli bertindak sebagai Yang Dipertuan Agung dan Arbiter (hakim tertinggi) yang

    memutus semua sengketa keluar dan ke dalam. Kedua, diberi posisi sebagai Ulon Janji

    (De Voornaamste Onderhandelaar) sekaligus mertua dan Mahapatih. Oleh karena ia

    yang paling utama di antara raja-raja Urung di Deli, maka ia berhak membacakan

    penabalan/pengesahan raja-raja Deli. Ketiga, masing-masing raja Urung (Datuk ber-

    Empat) merdeka dalam wilayah masing-masing.11

    Dalam perjalanannya, hubungan Deli dan Sunggal mengalami pasang surut. Pada

    1822, Deli di bawah Sultan Panglima Magedar Alam merasa kuat dan berusaha

    menaklukkan Sunggal dengan cara melakukan perkawinan politik, yakni menyunting

    Dajan Sermaidi (Sermaini) anak Datuk Undan raja Sunggal saat itu. Akan tetapi, cara

    seperti ini tidak membuat Sunggal menjadi bawahan Deli hingga akhirnya pada 1822

    10 Ratna. Aveh, Deli dan Perang Sunggal. Makalah Seminar Perang Sunggal, Medan, 2004,

    hlm.1 11 Tengku Luckman Sinar, op. cit,., hlm. 5.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 21

    Deli menyerang Sunggal. Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat

    menjengkelkan Datuk Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal

    masa itu. Serangan ini bukan membuat Sunggal menjadi lemah, tapi malah berakibat

    buruk bagi Deli, yakni Deli kehilangan pengaruh atas keempat raja-raja Urung di Deli

    dan pedalaman Karo. Akibatnya, hubungan menjadi semakin buruk dan Sunggal di

    bawah Datuk Amar Laut (1823)

    memutuskan menonaktifkan konfederasi Deli (ketika itu pun Deli takluk pada Kerajaan

    Siak). Datuk Amar Laut kemudian memproklamasikan Sunggal merdeka dengan

    mengeluarkan bendera sendiri berwarna merah dan kuning, dengan cap/lambang gajah.

    Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk Amar Laut

    Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal masa itu. Dalam pertemuannya dengan John

    Anderson12 di Sunggal, Datuk Amar Laut yang telah berusia 45 tahun ditemani ketiga

    putranya, masing-masing Abdul Hamid, Abdul Jalil, dan Mahini, menjelaskan bahwa ia

    baru saja selesai berperang melawan Sultan Deli dan ia menyalahkan tindakan Sultan

    Deli. Ia merasa tidak senang dengan Sultan Deli. Oleh karena itu, meski telah ada

    perdamaian, menurut Anderson, konflik akan kembali terjadi antara Sunggal dan Deli.

    Ketika itu Sunggal merupakan pusat aktivitas perdagangan yang ramai dikunjungi orang-

    orang Batak Karo dari gunung yang menjual hasil-hasil buminya. Datuk Amar Laut

    mengusulkan pada Anderson, bila Inggris hendak membuka perdagangan dengan

    Sunggal, maka perlu dibuat Pos Pengamanan di Pulau Pangkor untuk mencegah aksi

    bajak laut yang selalu merampok perahu-perahu dagang dari Sunggal menuju Penang.13

    Dengan begitu, Sunggal memang sebuah negeri yang merdeka dan menjadi tempat transit

    hasil-hasil pertanian yang akan diekspor ke Pulau Penang di Semenanjung Malaysia.

    Posisi Sunggal yang strategis ini menarik perhatian utusan Inggris itu sehingga perlu

    dibangun hubungan perdagangan dan politik. Namun, ketika Sunggal di bawah

    kepemimpinan Datuk Akhmad (1845-1857) dan Deli di bawah Sultan Mahmud,

    hubungan Deli-Sunggal berubah lagi. Konfederasi Deli diaktifkan kembali. Sejalan

    dengan semakin kuatnya pengaruh Belanda di daerah Sumatera Timur (Deli), ambisi Deli

    12 Jhon Anderson adalah seorang utusan Gubernur Inggris di Penang yang dikirim ke Pantai Timur Sumatera pada tahun 1823 untuk menjalin hubungan perdagangan dan politik dengan para penguasa di Sumatera Timur.

    13 Jhon Anderson, Mission to East Cast of Sumatra in 1823, London: Oxford University Press, 1971.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 22

    untuk menaklukkan Sunggal terbuka lebar. Datuk Akhmad bahkan diberi gelar Datuk

    Indra Pahlawan Wazir Serbanyaman Ulon Janji. Pada masa inilah diresmikan nama

    Serbanyaman sebagai pengganti Sunggal. Ketika Sultan Deli menyewakan tanah-tanah

    subur di daerah Sunggal bagi kepentingan industri perkebunan/pemerintah kolonial

    Belanda, maka hubungan Deli-Sunggal kembali memburuk, hingga meletuslah

    perlawanan rakyat Sunggal tahun 1872-1875. Perang itu, bagi Deli adalah upaya klasik

    untuk melemahkan kekuasaan Datuk Sunggal. Sebaliknya, bagi Sunggal adalah upaya

    mempertahankan hak dan kedaulatannya atas wilayah dan kemerdekaan rakyat Sunggal

    yang sudah dimiliki sejak lama, bahkan sebelum adanya Kerajaan Deli.

    Datuk Ahmad Surbakti menggantikan ayahnya sebagai raja Sunggal pada 1845-1857.

    Ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sunggal (sekarang terletak di Jalan PAM

    Tirtanadi, Kecamatan Medan Sunggal, Medan.) Ia mempunyai delapan orang anak: 6

    laki-laki dan 2 perempuan, yakni Datuk Mohd. Mahir, Datuk Mohd. Lazim, Datuk Mohd.

    Darus, Datuk Badiuzzaman, Datuk Mohd. Alang Bahar, Datuk Mohd. Alif, Aja

    Amah/Olong, dan Aja Ngah Haji. Datuk Akhmad mempunyai saudara Datuk Jalil, Datuk

    Muhammad Dini (Datuk Kecil) dan seorang perempuan. Datuk Jalilb kawin dengan

    puteri Kejeruan Selesai dari Langkat dan mempunyai anak bernama Sulong Barat, Sulong

    Putra, dan seorang perempuan. Sementara, Datuk Muhammad Dini (Kecil) kawin dengan

    puteri Selesai dan mempunyai dua orang anak Suman dan seorang perempuan. Ketika

    Datuk Akhmad meninggal dunia pada 1857, Datuk Badiuzzaman masih berusia 12 tahun,

    maka atas musyawarah keluarga, Datuk Kecil ditugaskan untuk memangku kerajaan

    Sunggal sampai Datuk Badiuzzaman dewasa. Datuk Kecil memimpin Sunggal sampai

    tahun 1866. Dia adalah seorang yang sangat anti Belanda dan sekaligus anti Deli. Karena

    bertindak sebagai pemangku Sunggal selama 9 tahun, tidak heran bila ia mempunyai

    pengaruh yang kuat di Sunggal, termasuk kepada kemenakannya Datuk Badiuzzazman.

    (Ketika perlawanan meletus kontak antara Datuk Badiuzzaman di Sunggal dengan Datuk

    Djalil dan Datuk Kecil di desa Gajah dilakukan dengan melalui kurir). 14

    Sebagaimana sudah dijelaskan, perluasan penanaman tembakau demikian cepat dan

    membutuhkan begitu banyak lahan subur di wilayah kekuasaan Urung Sunggal. Dengan

    dukungan perangkat hukum Undang-Udang Agraria, pihak perusahaan perkebunan

    14 Politiek Verslag, 1872, hlm. 1

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 23

    secara sah menurut hukum bisa meyewa tanah dengan jangka waktu yang sangat lama,

    yakni 99 tahun (kemudian diubah 75 tahun). Undang-undang ini memang sengaja

    diciptakan untuk mengantisipasi perkembangan cepat penanaman tembakau di Deli yang

    sudah mulai terkenal di pasaran Eropa. Daun tembakau Deli merupakan yang terbaik

    mutunya di dunia saat itu sebagai pembalut cerutu. Budidaya tembakau memang

    membutuhkan lahan yang luas dan subur dengan masa rotasi tanam yang lama. Sebuah

    lahan yang habis dipanen harus dihutankan kembali agar menjadi subur untuk kemudian

    ditanami kembali. Oleh karena itu, dalam masa rotasi ini diperlukan lahan yang lain agar

    produksi perkebunan tembakau tidak berhenti. Bila berhenti, maka pasokan untuk ekspor

    akan kekurangan dan itu pada gilirannya akan mengurangi arus pemasukan dalam kas

    keuangan pemerintah Hindia Belanda.

    Pihak pemerintah kolonial Belanda karena kekurangan dana, ketika melakukan

    gerakan fasifikasi ke Deli, sangat membutuhkan bantuan para inverstor asing untuk

    membangun daerah yang baru dikuasainya itu. 15 Akibatnya, perusahaan perkebunan

    menjadi bertindak semena-mena karena didukung oleh kebijakan politik kolonial dan

    tradisonal (Sultan Deli). Perubahan cepat yang terjadi di Deli akibatnya mencemaskan

    para penguasa Sunggal. Oleh karena itu, pada bulan Desember 1871 Datuk Badiuzzaman

    Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal Serbanyaman beserta seluruh kerabat dan orang-

    orang dekatnya, termasuk orang-orang Batak Karo dari pegunungan mengadakan rapat di

    sebuah kebun lada.16 Rapat itu dihadiri oleh Datuk Kecil (Mahini), Datuk Jalil, Datuk

    Sulong Barat, Nabung Surbakti sebagai komandan pasukan Karo dari pegunungan, dan

    Tuanku Hasyim mewakili Panglima Nyak Makam sebagai komandan Lasykar Aceh, Alas,

    Gayo.

    Hasil rapat itu memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Sultan Deli dan

    Pemerintah Belanda. Datuk Sunggal Badiuzzaman mengatakan bahwa perselisihan

    sesama kita selama ini lenyapkan dari pikiran dan marilah kita bersama-sama melawan

    Belanda yang hendak merampas tanah kita. Sementara Datuk Kecil berkata, kalau

    15 Ann Laura Stoler. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979.

    Yogyakarta: Karsa, 2005, Hlmn. 25.

    16 Dalam Politik Verslag, 1872, disebutkan bahwa Datuk Djalil mempunyai sebuah kebun lada di dekat Timbang Langkat yang dikawal oleh beberapa orang Batak Karo. Kemungkinan besar rapat itu dilakukan di kebon lada milik Datuk Djalil

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 24

    kita tak turut kita akan diusir Belanda. Lalu putranya Sulong Barat menimpalinya bahwa

    Belanda dan Sultan Deli setali tiga uang belaka, merampas tanah rakyat demi

    kepentingannya sendiri. Rapat itu memutuskan (a) Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas,

    Gayo) sepakat membina persatuan dan kesatuan dan segala perselihan yang dilakukan

    Belanda dengan politik pecah belahnya harus dilenyapkan; (b) Sunggal, Karo, dan Aceh

    (Alas, Gayo) sepakat menentang Belanda serta mempertahankan setiap jengkal tanah

    warisan leluhur untuk masyarakat; (c) Sunggal. Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) secara

    bersama-sama mengusir setiap penjajah yang menjajah daerahnya. 17 Untuk merealisasi

    hasil pertemuan itu, dibentuklah sebuah Badan yang dipusatkan di Kampung

    Gadjah/Sitelu Kuru Tanah Karo. Badan ini berfungsi untuk memobilisasi pasukan perang

    yang terdiri dari orang yang kuat dan mempunyai ilmu dengan kebatinan yang tinggi dan

    mempersiapkan logistik lainnya. Badan ini dipimpin oleh Datuk Mahini (Kecil) dengan

    mendudukkan wakilnya di Tanah Karo. Badan ini bertanggung jawab langsung kepada

    Datuk Badiuzzaman. Orang-orang Sunggal yang ditugaskan mengurusi badan ini di

    Kampung Gadjah adalah beragama Islam. Selama bertugas di Kampung Gadjah, mereka

    bertemu dengan saudara-saudaranya marga Surbakti. Hingga sekarang masih ada tempat

    pemandian mereka yang dikenal dengan tapian jawi (pemandian orang Islam).

    Datuk Badiuzzaman dan Perang Sunggal Mei - Oktober 1872

    Dukungan masyarakat Sunggal terhadap rencana perlawanan Datuk Badiuzzaman

    terhadap Belanda demikian besar. Dukungan itu tampak dengan banyaknya sumbangan

    uang dari setiap rumah tangga di Sunggal sebesar 2 sampai 10 dollar yang digunakan

    untuk mempersiapkan basis pertahanan perang. 18 Para pejuang Sunggal kemudian

    menempelkan pernyataan perang yang menurut kebiasaan orang Karo dinamakan musuh

    beringin pada tempat-tempat tertentu yang menyatakan bahwa kepada mereka yang

    berpihak kepada Sultan Deli dan Belanda akan dibakar. Melalui Datuk Kecil, Datuk Jalil

    dan Sulong Barat sebagai komandan yang langsung menggerakkan perlawanan rakyat di

    lapangan terus dilakukan persiapan. Timbang Langkat dijadikan basis pertahanan dengan

    17 H. Biak Ersada Ginting, Sejarah Perjuangan Suku Karo Dan Dari Perang Medan Area Hingga

    Sipirok Area, Cetakan I, Medan: Ravi Bina, 2002, hlm 36-37 18 Surat Residen Riau, Schiff kepada Gouverneur General, Batavia, No 1184/1 tanggal 7 Mei 1872.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 25

    diperkuat oleh 1500 pasukan. Bukan hanya itu, koordinasi dengan Kejeruan Selesai dan

    Bahorok di Langkat terus digalakkan. Koordinasi ini relatif mudah karena ada hubungan

    kekeluargaan antara para pembesar Sunggal dan kedua Kejeruan tersebut, yakni istri

    Datuk Kecil dan Datuk Jalil adalah putri dari Kejeruan Selesai. Kekuatan para pejuang

    Sunggal sudah mencapai 1000 orang Karo dan 500 orang Melayu. Sebagian besar mereka

    dipersenjatai dengan senapan pemburas (senapan locok). Dukungan masyarakat Karo

    sebenarnya bukannya hanya dari Sunggal, tetapi juga dari Tanah Tinggi Karo.

    Sebagaimana dijelaskan di bagian depan, bahwa sebagai Raja-Raja Urung Sunggal

    adalah bermarga Surbakti dari Kampung Gadjah di Tanah Karo, maka tidak

    mengherankan jika kecintaan orang-orang Karo terhadap Datuk Badiuzzaman demikian

    tinggi. Bagi orang Karo, marga Surbakti memiliki nilai lebih daripada orang Karo lainnya.

    Terutama sejak Datuk Badiuzzaman Sri Indra Pahlawan Surbakti mengambil sikap

    menentang penjajahan Belanda. Masyarakat Karo di Tanah Tinggi Karo memiliki strategi

    dan cara tersendiri dalam memberikan bantuan kepada perjuangan Datuk Badiuzzaman.

    Dalam memberikan bantuan tersebut, menurut Tampak Sebayang, 19 ada enam jalur

    perjuangan yang secara tradisional dipergunakan masyarakat Karo. Jalur perjuangan ini

    sebenarnya juga adalah jalur budaya dan perdagangan yang secara tradisional digunakan

    orang-orang Karo sejak dahulu untuk berdagang dan bersilaturahmi dengan saudara-

    saudaranya di daerah Deli, Langkat, Serdang, dan Aceh.

    Jalur dagang itu secara rinci adalah sebagai berikut. Dari Desa Gadjah (Kampung

    Surbakti) -Kawar-Pamah Sembilir-Telagah-ke Langkat/Binjai. Dari Lau Sigedang-

    mengikuti aliran Sungai Bingai- terus ke Subekan-Tanduk Benua-ke Binjai. Dari

    Sibolangit-ke Tanduk Benua. Dari Sembahe-ke Tanduk Benua. Dari Talun Kenas- Deli

    Tua-Rumah Bacang- Pancur Batu- Sungai Belawan- Tanjung Selamat - ke Sunggal. Dari

    Tamiang (Aceh)- Berandan-Tajung Pura-Binjai-Namu Ukur- Tanjung Gunung-Sawit-

    Subeikan- Tanduk Benua. Jalur-jalur inilah yang dipakai para pejuang Sunggal dalam

    membantu perjuangan; melawan Belanda. Melalui jalur inilah mengalir bantuan berupa

    lasykar/pasukan dan logistik perang lainnya.

    19 Wawancara dengan Bapak Kol. Purn. Tampak Sebayang, Mantan Bupati Tanah Karo 1978-

    1989, Padang Bulan, 5 Juni 2006. Tampak Sebayang adalah ketrurunan langsung dari Pangaring Sebayang seorang asisten Nabung Surbakti,. Ia mendapatkan keterangan tentang perjuangan Datuk Badiuzzaman melalui cerita turun temurun dari nenek-neneknya.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 26

    Sebagaimana disebut sebelumnya bahwa salah satu pasukan dari Tanah Karo adalah

    Nabung Surbakti (Pulu Jumaraja), dan ada lagi bernama Pa Blegah dan Pa Tolong.

    Nabung Surbakti mempunyai seorang asisten bernama Pangaring (Rasyid) Sebayang.

    Dengan demikian, salah satu yang berperan sebagai kurir dalam menyampaikan pesan-

    pesan perjuangan dan koordinasi perlawanan adalah Pangaring Sebayang. Di samping itu,

    ada juga kurir-kurir yang berperan sebagai pedagang garam. Kurir-kurir itulah orang-

    orangnya Datuk Badiuzzaman yang sekaligus sebagai penyampai pesan (musuh beringin),

    logistik, dan juga pasukan. Peranan kurir dalam perang Sunggal demikian penting, karena

    bagi orang Karo pesan yang disampaikan melalui seorang kurir itu lebih berharga

    daripada melalui surat saja. Dengan cara itu Datuk Badiuzzaman melakukan kontak

    dengan semua pasukan pejuang Sunggal yang berada di Aceh, Tanah Karo, Langkat, dan

    Serdang 20 sehingga ia mendapat bantuan logistik dan pasukan. Persiapan untuk

    melakukan perlawanan sudah matang. Setiap hari sebagaimana dikatakan orang Cina

    yang bernama Anton (pedagang Candu) yang ditangkap oleh Datuk Sunggal dan

    kemudian dilepaskan, rakyat sudah dipersenjatai secara besar-besaran di Sunggal,

    di bawah pimpinan Panglima Dalam Sunggal. Ia juga menjelaskan bahwa Datuk

    Badiuzzaman terus berhubungan dengan Datuk Jalil dan Datuk Kecil melalui surat atau

    kurir. 21 Sebagaimana disebutkan kontrolir Deems dalam laporannya tangal 12 Juni 1872,

    selain putra-putra Datuk Jalil, Sulong Barat, Sulong Putra, Bintang Siak, juga turut Wan

    Musa dari Sinembah dan Tengku Sulong Hebar, putra Kejeruan Selesai. Di samping itu,

    Kejuruan Bahorok, Kejeruan Stabat Tan Mahidin, dan orang-orang Batak dari hulu

    Langkat mendukung para pejuang Sunggal setelah mereka mengadakan rapat di

    Tanjung Jati. 22 Setelah rapat itu, para pejuang Sunggal mulai membakari bangsal-

    bangsal tembakau dan rumah-rumah tuan kebon Belanda. Akibatnya, produksi tembakau

    berhenti. Para Tuan Kebon itu berlarian membawa anak dan istrinya mengungsi ke

    Labuhan Deli. Sunggal benar-benar dalam keadaan kacau balau. Residen Riau Schifft

    melaporkan kepada Gubernur Jenderal di Batavia bahwa ia telah menerima surat dari

    20 Ibid 21 Politiek Verslag, 1872, hlm. 1. 22 Tengku Luckman Sinar, op. cit, hlm. 12.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 27

    seorang Tuan Kebon di Deli bernama Hagge Lies, yang menyatakan para pejuang

    Sunggal sudah memasuki Langkat dan Deli dan sebanyak 40 keluarga Tuan Kebon dari

    Deli dan Langkat telah diungsikan ke pelabuhan. 23

    Sementara pada April 1872 Tuan Munnick melaporkan bahwa kuli Tuan H.H.

    Schlatte dan Peijer yang sedang membangun jalan menuju Langkat harus menghentikan

    pekerjaan mereka karena diancam oleh 40 orang Batak Karo atas perintah dari Datuk

    Sunggal. 24 Dalam sebuah pertemuan antara Sultan Deli, Komandan Kapal Bangka, dan

    Kontrolir Deems diketahui bahwa sejak Agustus 1871 di wilayah Sunggal sebenarnya

    sudah terjadi oposisi terhadap kekuasaan Sultan Deli dan perusahaan perkebunan.

    Oposisi itu sebenarnya dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman yang mendapat pengaruh dan

    dukungan kuat dari Datuk Kecil dan saudaranya Datuk Djalil, yang walaupun sudah

    berusia lanjut masih berusaha memerdekakan Sunggal dari Deli dan Langkat. 25

    Sebenarnya usaha Sultan Deli untuk membujuk Datuk Sunggal, Datuk Jalil, dan Datuk

    Kecil sudah dilakukan, tetapi selama ini mengalami kegagalan. Para Datuk dari Sunggal

    tetap tidak mau menghadiri undangan Sultan Deli untuk berunding. Datuk Kecil menolak

    datang ke Deli dengan alasan bahwa Sunggal adalah tanah airnya dan bahwa ia tidak ada

    urusan apa-apa dengan Sultan Deli dan memprotes tindakan kontrolir Deems yang

    melarang masuknya mesiu dan timah. 26 Menanggapi situasi yang membahayakan bagi

    kepentingan perkembangan perkebunan tembakau dan mengancam keamanan dan

    ketertiban (rust en orde) di Deli maka Kontrolir Deli, Deems, memanggil Datuk

    Badiuzzaman sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap keamanan dan

    ketertiban di Sunggal ke Labuhan Deli. Datuk Badiuzzaman memenuhi panggilan itu dan

    ia ditanyai seputar berita-berita yang sedang terjadi di Sunggal. Datuk Badiuzzaman

    menjelaskan bahwa Sultan telah bertindak kasar dan telah menahannya, tetapi tentang

    mempersenjatai para pengikutnya ia tidak memberikan komentar sedikit pun. Pemerintah

    Belanda akhirnya mengambil keputusan untuk melakukan operasi menghancurkan

    kekuatan pejuang Sunggal. Dengan agak tergesa-gesa, sebuah ekspedisi militer gabungan

    23 Ibid, hlm. 11. 24 Politiek Verslag 1872, hlm. 4. 25 Ibid, hlm. 6-7 26 Tengku Luckman Sinar, op. cit., hlm. 11.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 28

    dari kesatuan Angkatan Darat (Infantri, Artileri dari Garnizun Tanjung Pinan) dan Korp

    Marinir Angkatan Laut dari Kapal perang Bangka, dan Den Briel di bawah pimpinan

    Kapten W. Koops tiba di Labuhan Deli dan langsung menuju Sunggal pada 15 Mei 1872.

    Pasukan Belanda dibantu oleh 200 orang prajurit Sultan Deli di bawah pimpinan Raja

    Muda Sulaiman dan beberapa ratus prajurit Pangeran Langkat di bawah pimpinan

    Tengku Hamzah dan Datuk Laksemana, dibantu oleh beberapa ratus buruh perkebunan

    tembakau untuk mengangkut logistik dan persenjataan. 27 Pasukan Belanda ini langsung

    menuju perkebunan Arendsburg (Klumpang) dan Rotterdam. Sementara itu, pasukan

    pejuang Datuk Sunggal sudah menempati kawasan Timbang Langkat memanjang ke

    Hamparan Perak-Tanduk Benua-Sapo Uruk-Sunggal. Mereka juga didukung oleh

    pasukan Aceh yang berkedudukan di sepanjang pesisir Langkat hingga ke Pulau Kampai.

    Pasukan Karo menempati daerah dari Bukum- Buluhawar-Pariama-Tuntungan-Padang

    Bulan-Sunggal. Dalam kontak tembak tanggal 17 Mei 1872 para pejuang Sunggal

    berhasil menewaskan dua orang serdadu Belanda bernama Angelink dan Schoon dan

    melukai beberapa orang, termasuk Letnan Lange Komandan Marinir Belanda. Pada

    tanggal 24 Juni 1872, pasukan Datuk Sulong Barat berhasil menghancurkan pasukan

    Belanda di Sapo Uruk dan Tanduk Benua. Tiga hari kemudian pasukan Infantri Belanda

    di bawah pimpinan Kapten Koops dan Altileri di bawah pimpinan Van de Meurs diserang

    para pejuang Sunggal. Pasukan Belanda mengundurkan diri menuju kebon Enterprise

    (Kampung Lalang), di seberang Sungai Sunggal dengan meninggalkan beberapa orang

    korban. 28

    Mengingat perlawanan demikian hebat dari pejuang Sunggal maka Pemerintah

    Belanda melalui Assisten Residen Riau, Locker de Bruijne, berusaha memutuskan

    hubungan koordinasi antara Datuk Badiuzzaman dengan para komandan pasukan di

    daerah Timbang Langkat dan hutan pegunungan. Beberapa Kepala Kampung Karo

    dikumpulkan dan Datuk Badiuzzaman dipaksa untuk menyerahkan para pejuang Sunggal

    dan memerintahkan agar orang-orang Melayu yang ikut bertempur di hutan-hutan agar

    kembali ke rumah masing-masing. Oleh karena Datuk Badiuzzaman tidak bersedia

    bekerja sama maka ia dikenakan tahanan kota di Labuhan Deli. Sultan Deli tanggal 8 Juni

    27 Ibid., hlm. 12-13, Politiek Verslag 1872, hlm. 4-10 28 T. Luckman Sinar, op. cit., hlm. 15.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 29

    1872 juga mengumpulkan para penghulu kampung Karo dan memerintahkan kepada

    mereka agar dalam tempo paling lama 9 hari menangkap para pemimpin pejuang Sunggal,

    yaitu Datuk Kecil dan kawan-kawannya di lapangan. Bahkan Sultan menjanjikan hadiah

    sebesar $400 bila berhasil menangkap semuanya dan $120 untuk seorang. Tapi usaha ini

    juga tidak berhasil. Bahkan para pejuang Sunggal malah menyerang Belanda di Kebon

    Enterprise dan Perkebunan Padang Bulan. Pasukan Belanda kemudian mengungsikan

    semua keluarga orang kulit putih (Eropa) ke Labuhan. 29. Pada 10 Juli 1872 Kebon

    Kampung Lalang diserang lagi, meskipun Letkol van Hombracht sudah mengambil alih

    pimpinan pasukan Belanda di perkebunan itu. Letkol van Hombracht luka parah. Pada 20

    Agustus 1872, pasukan Belanda dipukul mundur di Rimbun. Mayor van Stuwe yang

    membawahi 350 pasukan infantri dan artileri termasuk 14 orang perwira mendapat

    serangan dahsyat di sepanjang Lau Margo. 30 Oleh karena upaya membujuk Datuk

    Badiuzzaman, Penghulu Gadjah, beberapa penghulu kampung Karo lainnya tidak

    berhasil maka Belanda menggempur markas pejuang Sunggal di Lau Margo. Kuatnya

    perlawanan rakyat Sunggal terbukti dalam tahun 1872 sudah 3 kali ekspedisi militer

    Belanda31 dengan bantuan langsung dari Batavia untuk mematahkan perlawanan rakyat

    Sunggal. Belanda sebenarnya tidak mampu secara militer menangkap para pimpinan

    pejuang Sunggal. Datuk Badiuzzaman sebenarnya adalah sosok penguasa Urung/Sunggal

    yang secara sembunyi-sembunyi terus melakukan kontak rahasia dengan para komandan

    lapangan (Datuk Kecil dkk). Sebagaimana dikatakan Sultan Deli, Hampir setiap malam

    melalui para kurir orang Karo Datuk Sunggal menerima pesan-pesan dari Datuk Kecil

    dkk. Semua kerabat Datuk Sunggal secara terang-terangan telah membenci Belanda.

    29 F.A.W. Jeeger, De Expeditie naar Deli, hlm. 348. 30 Laporan lengkap tentang serangan-serangan pejuang Sunggal dan ekspedisi militer Belanda di

    Sunggal, dijelaskan dalam Politiek Verslag, 1872 dan 1873. 31Ekspedisi Militer I dibawah pimpinan Kapten W. Koops sampai di Deli tanggal 15 Mei 1872

    dengan 111 pasukan infantry, 19 pasukan altileri, dan 82 orang mariner angkatan laut. Ekspedisi Militer II dibawah pimpinan Letnan Kolonel Van Hombeacht datang tanggal 5 Juli 1872 dengan kekuatan 3 kompi infantry, 40 pasukan altileri dan dibantu 120 kuli-kuli perkebunan. Ekspedisi Militer III dibawah pimpinan Mayor H.W.C. van Huwe masuk tanggal 23 September 1872 dengan kekuatan 14 orang Opsir, 339 bintara dari Bataliaon IX Infantri dan altileri dan dibantu 105 kuli beserta para mandornya. W. Hogemboom, Kridjsbedrijven van het Rechter half 11 de Batalion Infantrie in het Rijk van den Sultan van Deli van den 11 den July tot den 6 November 1872, Militaire Spectator, 3e serie 19e deel 1874 ; Surat Residen Riau (Schriff) kepada Panglima Komando Militer Perarian Riau di Tanjung Pinang, No. 1182/1 tanggal 6 Mei 1872.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 30

    Perjuangan lewat Perang dan Perundingan

    Medan perang yang sangat luas dan keterbatasan personel, membuat Belanda

    berusaha menawarkan perdamaian. Residen Riau Schiff juga melalui kurir sering

    menawarkan perdamaian dengan Datuk Kecil dan rekan-rekannya dan juga kepada Datuk

    Badiuzzaman. Dengan menggunakan Sultan Deli, Belanda menawarkan gencatan senjata

    dan bersedia menarik pasukannya. Mengingat Sultan Deli merupakan anak beru Sunggal

    maka untuk kedua kalinya Datuk Badiuzzaman mau berunding dengan Sultan Deli.

    Datuk Sunggal rupanya masih menaruh harapan akan penyelesaian konflik yang

    tidak serta merta harus diakhiri dengan kekerasan atau perang. Lewat perundingan dapat

    dicapai penyelesaian yang baik dari sisi rakyat bumiputera Sunggal maupun bagi Belanda

    dan Sultan Deli.

    Perundingan ini harus dilakukan di tempat netral, yakni di sekitar Kampung Lalang

    dan Belanda harus melucuti pasukannya. 32 Berdasarkan kesepakatan itu maka Datuk

    Badiuzzaman dengan rombongan diiringi musik serdadu Belanda (tanpa senjata) daan

    diantar Datuk Sulong Barat, menyampaikan kesepakatan tersebut kepada Datuk Mohd.

    Jalil dan Datuk Kecil yang saat itu sedang sakit di Kampung Gadjah. Pada 20 Oktober

    tibalah rombongan Datuk Kecil dengan diiringi pasukan pengawalnya di Sunggal.

    Kemudian, dengan dikawal pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Ponstein

    rombongan Datuk Badiuzzaman dan Datuk Kecil menuju tempat perundingan di

    perkebunan Arensburg (Klumpang) tempat tinggal sementara Schifft, Residen Riau.

    Rupanya harapan Datuk Badiuzzaman yang masih menaruh harapan akan niat baik

    Belanda dalam perundingan antara pihak yang bertikai sebagai pihak yang berdiri sama

    tinggi dan duduk sama rendah tidak terjadi. Ketika perundingan sedang berlangsung, 25

    Oktober 1872, tiba-tiba Residen Riau memerintahkan kepada para Datuk Sunggal itu

    untuk minta ampun pada Gubernur Jenderal di Batavia.

    Datuk Kecil kemudian menjawab bahwa mereka tidak melakukan kesalahan apa-apa

    dan tidak perlu minta ampun. Namun, Residen Riau kemudian menyatakan bahwa

    mereka sekarang telah menjadi tawanan dan memerintahkan kepada Letnan Kolonel van

    Stuwe untuk melucuti semua pasukan pejuang Sunggal. Para pengawalnya orang-orang

    Batak Karo disuruh kembali ke Sunggal, yang lainnya dibawa ke Labuhan Deli. Datuk

    32 Surat Residen Riau (Schifft) kepada Goueverneur Generaal, Batavia, 20-10-1872

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 31

    Kecil, Datuk Mohd. Jalil, Sulong Barat, dan empat pengawalnya selanjutnya dibawa naik

    kapal Den Briel ke Tanjung Pinang dan kemudian ke Batavia tanggal 4 November

    1872. Sementara Datuk Badiuzzaman, Datuk Alang Muhammad Bahar, dan beberapa

    pejuang lainnya diinterogasi dan kemudian dilepas. 33 Datuk Badiuzzaman tetap

    melanjutkan perlawanan dengan jalan memerintahkan berbagai aksi sabotase di

    Perkebunan Tembakau 1874-1895. Berdasarkan laporan resmi Departemen Pertahanan

    Hindia Belanda pada 4 Nopember 1872, korban tewas dari militer Belanda sebanyak 31

    orang dan luka-luka sebanyak 592 orang. Ini tidak termasuk korban dari pasukan Sultan

    Deli dan Langkat dan para kuli kebon. 34 Setelah Datuk Kecil, Datuk Mod. Jalil, dan

    Sulong Barat dibuang ke Jawa, kondisi keamanan di Deli pada tahun 1873 realtif aman.

    Kontrak-kontrak tanah untuk perusahaan perkebunan mulai ditata kembali dengan

    lebih memperhatikan kesejahteraan para penduduk pribumi. Sewa tanah dalam kontrak-

    kontrak yang dilakukan oleh para pengusaha bangsa Eropa, seluruhnya diperuntukkan

    bagi Datuk empat suku di Deli, sepanjang tanah-tanah itu masih masuk wilayahnya. Pada

    14 Juni 1873, peraturan ini diperkuat dengan akte baru. Para penghulu Batak Karo yang

    terlibat dalam perang telah diberi amnesti, tapi mereka tetap menunggu dilakukannya

    pesta perdamaian sesuai dengan adat Karo sebagai tanda adanya perdamaian. 35

    Meskipun demikian, kondisi keamanan di Deli kembali tidak aman bagi para

    pengusaha perkebunan Eropa dan para pejabat Belanda. Masih dalam bulan Mei 1873,

    ada informasi bahwa sejumlah orang Alas dari orang-orang Aceh yang berdiam di

    Perbatasan Langkat Hulu (Atas) telah menerima surat dari Sultan Aceh yang isinya

    mengajak untuk berperang melawan Belanda. Surat seperti itu pun beredar di Kampung

    Sitelu Kuru, tempat asal-usul raja-raja Urung Sunggal Serbanyaman. Berita-berita itu

    malah sampai ke para pengusaha perkebunan dan sangat mencemaskan dengan adanya

    10.000 pasukan dari Deli Atas dan Langkat akan turun ke Deli Bawah menyerang orang-

    33 Tengku Luckman Sinar, op. cit., hlm. 30-31; Surat Letkol Van Stuwe kepada Gouverneur

    Generaal te Batavia, ddo, 19 Januari 1874 34W. Hogemboom, Kridjsbedrijven van het Rechter half 11 de Batalion Infantrie in het Rijk van

    den Sultan van Deli van den 11 den July tot den 6 November 1872, Militaire Spectator, 3e serie 19e deel 1874, hlm. 265-266.

    35Politiek Verslag 1873, hlm. 8-10.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 32

    orang Eropa. 36 Ternyata berita ini memang sangat dibesar-besarkan, sehingga Belanda

    tidak jadi mengirim bantuan pasukan dari Tanjung Pinang. Tetapi kontrolir Kroesen

    dibuat sibuk dengan melakukan kunjungan ke daerah-daerah Langkat Atas. Memang

    berita itu bisa saja dibesar-besarkan, tapi ketenteraman di Deli, khususnya keselamatan

    para tuan kebon Eropa dan perkebunannya belum sepenuhnya aman.

    Datuk Badiuzzaman, setelah Datuk Kecil dan rekan-rekannya, ditangkap kemudian

    mengubah pola perjuangan dari perang frontal menjadi serangan sporadis ke bangsal-

    bangsal tembakau milik perusahaan perkebunan Eropa dengan tujuan memberikan rasa

    tidak aman bagi Tuan Kebon Eropa bersama keluarganya dan menghentikan produksi

    perkebunan dan ekspansi areal perkebunan. Tembakau yang disimpan di bangsal-bangsal

    dan siap untuk diekspor dibakar sebagai tindakan balasan terhadap aksi penyerobotan

    tanah-tanah rakyat Sunggal oleh perusahaan perkebunan tembakau dan dilindungi

    pasukan Belanda yang ditempatkan di setiap emplasmen perkebunan. Setiap bangsal

    tembakau yang akan diserang/dibakar ditempelkan terlebih dahulu tanda adat musuh

    beringin. Dalam sebuah pertemuan antara Assisten Residen Siak, Locker de Bruijne,

    Sultan Deli, dan Datuk-Datuk Empat Suku, bulan April 1873, Locker de Bruijne secara

    tegas memperingatkan Datuk Badiuzzaman apabila masih ada gangguan keamanan dan

    ketertiban di wilayahnya, maka yang harus bertanggung jawab adalah Datuk

    Badiuzzaman. 37 Rapat ini dilakukan karena keamanan mulai terganggu lagi, apalagi

    setelah utusan dagang Sultan Deli hilang tidak diketahui rimbanya. Kejadian itu

    membuktikan bahwa perlawanan rakyat Sunggal tidak berhenti, bahkan semangat

    perlawanan itu terus membara dan ditebarkan oleh Datuk Badiuzzazman.

    Tetap Menolak Tunduk

    Di bawah pimpinan Datuk Badiuzzaman dan adiknya Datuk Alang Muhammad

    Bahar, rapat-rapat rahasia sering dilakukan dengan pemuka masyarakat di beberapa

    tempat, termasuk di Kampung Pagar Batu atau Pancur Batu. Dalam rapat itu mereka tetap

    tidak mau mengakui kekuasaan Sultan Deli atas Sunggal dan membahas cara melakukan

    serangan terhadap perkebunan. Pimpinan penyerangan dan pembakaran bangsal-bangsal

    36 Ibid 37Tengku Luckman Sinar, op. cit., hlm. 34.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 33

    tersebut diserahkan kepada adik kandungnya, Datuk Alang Muhammad Bahar. Keadaan

    di Deli semakin gawat dengan munculnya bahaya kelaparan. Keadaan ini terjadi karena

    adanya aksi pemboikotan rakyat petani yang turut bersimpati dengan perjuangan Datuk

    Sunggal tidak dan mau menjual berasnya kepada Belanda. Akibatnya, Belanda

    mengimpor beras dari Rangon (Birma).

    Hingga tahun 1866, gerakan pengacauan di perkebunan tembakau terus berlangsung.

    Schadee melaporkan bahwa para pemilik perkebunan beserta keluarganya di beberapa

    tempat mati terbunuh. Mereka yang selamat menjadi panik dan melarikan diri ke Medan.

    Gerakan pengacauan ini semakin meluas sehingga hampir semua bangsal perkebunan

    milik orang Eropa tidak dapat diselamatkan. Setahun kemudian, tepatnya bulan Agustus

    1876, Tuan Van Der Sluis dkk pemilik perkebunan Sungai Tawar yang terletak di

    Babalan Langkat, diserang oleh orang-orang Gayo. Administratur Perkebunan terluka

    dan rumahnya dibakar. Sebulan kemudian, September 1876, Perkebunan Tandem dekat

    Sungai Bingei milik Tuan Peyer en Van Gulich juga diserang orang-orang Gayo. Dalam

    serangan itu seorang Eropa meninggal dan beberapa orang kuli terluka. Pada Bulan

    Oktober 1876, sebuah perkebunan Sungai Diski giliran mendapat serangan dari orang-

    orang Gayo dan Melayu dari Kampung Sialang Moeda. Istri pemilik perkebunan J.

    Lohmann dan dua putranya mati dibunuh dan beberapa orang yang tinggal serumah

    mengalami luka-luka. Pemerintah Belanda segera mengambil tindakan untuk melindungi

    perkebunan.

    Polisi segera berhasil menangkap para pelaku penyerangan, yakni empat orang Batak

    Karo dan dua orang Melayu ditembak mati, enam orang lainnya dihukum kerja paksa.

    Pemimpin utamanya bernama Razal dipenjara. Setelah dilakukan aksi pembersihan oleh

    Belanda, ternyata diketahui bahwa serangan-serangan itu diperintahkan oleh Panglima

    Selan, seorang Batak Karo yang memiliki pengaruh di kalangan orang-orang Gayo yang

    bermarkas di Si Umpih-Umpih (kira-kira 10 jam perjalanan dari Timbang Langkat). Ia

    memang sudah sering membuat keonaran dan setelah itu ia menghimpun sejumlah orang

    sekampungnya untuk menyerang perkebunan Ajer Tawar. Pada bulan November 1887

    markasnya digempur pasukan militer Belanda, tetapi Selan dan pengikutnya sudah

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 34

    meninggalkan tempat itu. 38 Namun demikian, semua barang yang menurut Belanda

    merupakan hasil rampasan dalam tiap aksi penyerangannya berhasil ditemukan Militer

    Belanda di Sungai Diski. Berbagai penyerangan yang dilakukan Panglima Sekalian

    sebenarnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjuangan Datuk Badiuzzaman

    menentang kolonialisme Belanda, sebagai startegi meneruskan perjuangan setelah

    paman-pamannya Datuk Kecil, Datuk Jalil, dan Sulong Barat dibuang Belanda ke Jawa.

    Panglima Selian sebenarnya adalah anak buah Datuk Alang Bahar. Dengan demikian,

    dapat dikatakan bahwa semua aksi pembakaran perkebunan di Tandem, Sungai Mencirim,

    Diski, Gedong Johor, dan penghadangan pasukan militer Belanda adalah atas perintah

    Datuk Badiuzzaman dan adiknya, Datuk Alang Bahar. 39

    Mengingat semakin seringnya aksi-aksi pembakaran terhadap perkebunan maka

    Belanda mulai merencanakan strategi Kristenisasi melalui lambaga Alkitab Belanda

    (Zending) untuk memecah belah persatuan antara orang Melayu dan Karo Sunggal.

    Mereka mendukung kegiatan zending untuk membendung pengaruh Melayu/Islam di

    kalangan orang Batak Karo yang non-Islam. Wujud tindakan memecah kesatuan antara

    orang Melayu dan Karo juga tampak dalam berbagai laporan pemerintah kolonial

    Belanda yang selalu menyebut aksi-aksi pembakaran perkebunan dilakukan oleh orang

    Batak, tidak disebutkan oleh orang Karo.

    Politik pecah belah itu tidak berhasil dan bahkan persatuan antara orang Karo/Melayu

    Sunggal dengan Batak Karo di Pegunungan makin kuat untuk membebaskan daerahnya

    dari penjajahan Belanda. Bagaimanapun, aksi pembakaran bangsal-bangsal tembakau

    membuat produksi perkebunan menurun dan pada gilirannya mempengaruhi

    perekonomian Hindia-Belanda. Belanda akhirnya berusaha keras untuk mengatasi aksi-

    aksi sabotase tersebut, termasuk dengan mempergunakan mata-mata yang disusupkan ke

    Sunggal. Upaya ini berhasil. Berdasarkan seorang mata-mata wanita bernama Lelau,

    didapat sebuah dokumen yang menjelaskan bahwa sebenarnya otak dari segala aksi-aksi

    pembakaran bangsal-bangsal tembakau itu adalah Datuk Badiuzzaman. Oleh karena itu,

    dalam sebuah pertemuan pada 1894, yang digagas untuk mencari jalan keluar atas

    38 W.H.M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra`s Oostkust deel I. Amsterdam: Ooskust van

    Sumatra Instituut, 1919, hlm. 16-17 dan 108. 39Datuk Muhammad Hitam, Tarombo Raja-Raja Urung Sunggal, Medan, 29 april 1983.

  • www.datukkhairil.com

    Dilarang mengutip sebahaagian maupun seluruh isi tulisan ini tanpa seijin penulis 35

    kemelut yang terjadi di Deli, Assisten Residen Siak mengusulkan agar Datuk

    Badiuzzaman s