sabtu pahing, 18 april 1992 bernas cengkeh:. apa yang …...lam industri rokok yang seta hunnya...

1
BERNAS 4 . SABTU PAHING, 18 APRIL 1992 Cengkeh:. Apa yang Salah? Ariel Heryanto JlKA kita jujur, kita akan se- pendapat paling tidak dalam sa- tu hal sehubungan dengan ke- melut tata niaga cengkeh. Kita akan sepakat mengakui bahwa akar kemelut itu sebenamya ti- dak rumit, biarpun buah dan kembang-kembang kemelut ter- sebut sudah sangat lebat menu- tupi batang utama dan akar per- soalan. Pada akar persoalannya, ke- melut itu bersumber dari perso- alan politik. Tegasnya pada tata pembagian, penyelenggaraan, dan pengendalian kekuasaan. Bukan ekonomi. Karena itu, tak akan ada pemecahan yang men- dasar terhadapnya, selama pe- mecahan itu lebih bersifat eko- nomis dan bukan politis. Tapi kejujuran bisa menjadi sebuah beban dengan bobot politis yang bera!. Bila ini yang terjadi, perlu dimaklumi bila ki- ta tak pernah bersungguh-sung- guh mencari jalan keluar dari kemelut itu. Kita akan terus ber- pura-pura seakan-akan kita sungguh-sungguh tak mema- hami pokok persoalan. Melcpas kambing-hitam Pada tanggal 9 April 1992, di Salatiga diselenggarakan diskusi ten tang tata niaga cengkeh ini oleh Yayasan GENI, Fakultas Ekonomi dan Program Pascasar- jana UKSW. Banyak masukan dalam diskusi itu yang sangat penting dan beltlm mendapat- kan perhatian selayaknya dalam berbagai pembahasan di media massa. Catatan berikut ini seba- gian besar diilhami oleh diskusi terse but, terutama masukan dari Ir Budi Darmawan. Di atas permukaan atau di te- ngah panggung drama kemelut tata niaga cengkeh, kita sak- sikan adegan spektakuler. Kita saksikan ribuan petani cengkeh yang memiliki hasil bumi secara berlimpah. Mereka membutuhkan uang untuk ke- langsungan hidupnya. Di sebe- rang lain, pabrik rokok membu- tuhkan cengk'eh dari para petani ilU, dan mereka berdaya beli. Tapi jual-beli di antara mereka telah dinyatakan terlarang de- ngan ancaman pidana. Di tengah dua pihak tersebut, ada pihak ketiga, Badan Pe- nyangga dan Pemasaran Ceng- keh (BPPC). Dengan dukungan penuh aparatur negara yang berwenang, BPPC menuntut ju- al-beli di anlara petani cengkeh dan pabrik rokok melewati per- antaraan BPPC. Petani dipaksa menjual hasilnya hanya kepada BPPC dengan harga Rp 7.000 (kemudian merosot menjadi Rp 4.000). Pabrik rokok dipaksa membeli cengkeh hanya dari BPPC dengan harga Rp 14.000. Orang tak perlu belajar i1mu ekonomi secara mendalam un- tuk memahami bahwa jual-beli semacam ini tidak mungkin akan berjalan. Kalaupun beria- Ian tidak akan lancar dan beru- sia lama. Sementara ini, BPPC menanggung timbunan 170.0C,) ton cengkeh yang menganggur, di samping beban utang bermil- yar. Mereka tak berhasil menjual kepada pabrik rokok. Mereka tak mampu membeli lebih ba- nyak cengkeh dari petani. Da- lam panen raya yang berikut, banjir cengkeh masih akan s<,- makin menggunung. Dengan mudah orang bisa menyalahkan BPPC. Di depan publik, BPPC telah dipermalu- kan Sebagai lembaga yang tidak saja monopolistik, tapi juga parasitis. Kesalahan BPPC sudah sering disorot berbagai pihak dan tak perlu diulang lagi di sini. Tapi seandainya kisah dra- matik tata niaga cengkeh ini diakhiri dengan pembubaran atau bahkan menghukum BPPC, apakah yang akan kita capai? Kita belum menyentuh pokok persoalan yang utama. Membubarkan BP1'<'; atau menghukunmya seperti me- nangkap penjudi dan pelacur jalanan dengan harapan menyu- cikan moralitas masyarakat luas. Bukan mempersoalkan tata so- sial apa yang membentuk pra- nata sosial yang bemama pela- curan atau pencurian. Juga yang mendorong/membujuk, jika bu- kan memaksa, individu-individu tertentu menjadi pelacur atau pencuri. BPPC tidak jatuh dari langit. Ia lahir sebagai anak kandung dari rahim masyarakat kita. Bah- kan pada awal kehadirannya, tak semua'pihak menolak. Arti- nya, masih ada pihak yang se- mula percaya bahwa petani cengkeh yang sedang sek(lrat dicekik tiga raksasa pabrik ro- kok akan tertolong oleh BPPC. Bahkan setelah ternyata perto- longan itu berubah menjadi ce- kikan fatal, masih ban yak ko- mentator yang memilih menu- tupi pokok persoalan dasamya, dan mencoba menggeluti perso- alan itu pada tingkat teknis- ekonomis. Takakanada yang mendasar terhadap kemeJut cengkeh, seJama pemecahan itu lebih bersifat ekonomis, bukan politis. Melacak kaitan struktural BPPC mungkin bersalah. Tapi ada yang lebih penting dan mendasar dipertanyakan. Ma- syarakat apakah yang melahir- kannya? Mengapa lahirnya pada tata niaga cengkeh? Mengapa pada masa ini? Salah satu jawaban paling siap ialah karena pada tahun 1988an, para juragan pabrik rokok menikmati puncak kelim- pahan' laba. Mereka berkesem- patan mengumbar nafsu kapital- istiknya untuk mencekik petani cengkeh ke titik nadir. Inilah pula masa keemasan bagi ma- syarakat kota yang gemar kese- nian, khususnya musik rock. Pa- da masa ini, pabrik rokok ber- lomba mengobral dana sponsor untuk penlas dan tour kesenian besar-besaran di atas tangis pe- tani. Menyalahkan pabrik rokok juga tidak sulit. Mungkin juga perlu. Tapi menghukum para pabrik rokok yang pernah me- nyengsarakan petani tanpa mempertanyakan apa yang me- mungkinkan mereka berbuat demikian, juga ibarat menang- kap pelacur jal",nan. Pada ujungnya, pokok perso- alannya terletak pada pertanya- an: Mengapa petani begitu le- mah kedudukannya? Mengapa petani cengkeh yang berjasa da- lam industri rokok yang seta- hunnya membuahkan 6 trilyun kepada para juragan pabrik rokok dan 3 trilyun kepada pemerintah bernasib malang dari zaman ke zaman' Bagi para petani ini, perubahan masa ha- nya berarti perubahan. badan yang menyengsarakan. Juga, tentunya, para buruh pabrik rokok. Mengapa pabrik rokok begitu kuat, sampai-sampai BPPC tergi- ur ambil bagian? Tidak sepe- nuhnya salah jika dikatakan bahwa illdustri rokok merupa- kan salah satu dari sedikit in- dustri yang bertumbuh dari ba- wah tanpa dukungan koneksi politis. Tapi ucapan itu tidak sepenuhnya benar. Mungkin benar, pengusaha rokok tidak mempunyai koneksi kekeluargaan dengan politikus tertentu atau suntikan dana dari pemerintah karena pertimbang- an politis. Tidak seperti BPPC. Tapi juga keliru, jika keberhasil- an para raksasa industri rokok dilepaskan dari berbagai kepu- tusan makro pemerintah dalam bidang dunia usaha, juga poli- tik, yang menguntungkan mere- ka serta memperlemah kelom- pok-kelompok seperti petani cengkeh dan buruh. Bukan hanya BPPC, bukan hanya pabrik rokok, para petani itu pun b'agian yang tak terle- paskan dari keseluruhan masya- rakat ini. Semuanya merupakan anak kandung dari tata sosial yang pincang. Warga masyarakat lain juga. Para wartawan, akadernikus, ah- Ii hukum, birokrat, pimpinan agama, militer, seniman dan se- bagainya merupakan bagian da- ri kepincangan sosial itu. Dan sekaligus ambil peranan dalam melestarikan kepincangan itu. Memperluas peta persoalan . Kemelut tata niaga cengkeh memang serius. Para petani, se- bagai korban utama, layak men- dapat perhatian dan bantuan praktis. Tapi uraian di atas menun- jukkan bahwa sebaiknya kita ti- dak terburu silau dan kewalah- an menguras seluruh tenaga un- tuk kemelut itu. Apalagi berha- rap soal seperti ini bisa dipe- cahkan secara naif dan eksklusif sebagai persoalan harga ceng- keh, pinjaman bank, UU anti- monopoli, penyimpanan ceng- keh, pajak cukai atau impor cengkeh. Dengan kata lain, le- pas dari induknya: dinamika po- litik pusat di Jakarta yang me- lembaga secara nasional. Kemelut BPPC hanyalah se- buah dari banyak bunga-bunga yang mekar dari politik-ekono- mi-budaya masyarakat mutakhir kita. Bunga-bunga yang lain tampil pada monopoli jeruk, monopoli dalam industri per- filman, monopoli dalam perjudi- an, monopoli dalam berpenda- pat dan berorganisasi, dan sete- rusnya. Hari ini BPPC tampil se- bagai sekuntum bunga yang se- dang mekar sebesar-besarnya. Besok giliran bunga yang lain. Dalam kemelut industrifilm, hanya orang-orang di bidang perfilman yang merasa berke- pentingan bicara. Dalam keme- lut pendidikan atau hukum, ha- nya kaum profesional dari bi- dang spesialisasi itu yang sibuk. Kita belum cukup terlatih meli- hat kaitan-kaitan persoalan da- lam masyarakat yang sarna ini. Setiap hari kita mengejar orang-orang yang kita persalah- kan. Sebagian dad kita bersibuk diri menyembunyikan kesalahan orang-orang itu. Tapi kita ku- rang mempertanyakan mengapa dan dari mana datangnya orang- orang seperti itu di sepanjang sejarah kita .••• 0) Ariel Jleryanlo, dosen Pro- ", gram Pascasatjana UK Satya Wacana, Sa/atiRa. Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Upload: others

Post on 25-Mar-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SABTU PAHING, 18 APRIL 1992 BERNAS Cengkeh:. Apa yang …...lam industri rokok yang seta hunnya membuahkan 6 trilyun kepada para juragan pabrik rokok dan 3 trilyun kepada pemerintah

BERNAS 4 . SABTU PAHING, 18 APRIL 1992

Cengkeh:. Apa yang Salah? Ariel Heryanto

JlKA kita jujur, kita akan se­pendapat paling tidak dalam sa­tu hal sehubungan dengan ke­melut tata niaga cengkeh. Kita akan sepakat mengakui bahwa akar kemelut itu sebenamya ti­dak rumit, biarpun buah dan kembang-kembang kemelut ter­sebut sudah sangat lebat menu­tupi batang utama dan akar per­soalan.

Pada akar persoalannya, ke­melut itu bersumber dari perso­alan politik. Tegasnya pada tata pembagian, penyelenggaraan, dan pengendalian kekuasaan. Bukan ekonomi. Karena itu, tak akan ada pemecahan yang men­dasar terhadapnya, selama pe­mecahan itu lebih bersifat eko­nomis dan bukan politis.

Tapi kejujuran bisa menjadi sebuah beban dengan bobot politis yang bera!. Bila ini yang terjadi, perlu dimaklumi bila ki­ta tak pernah bersungguh-sung­guh mencari jalan keluar dari kemelut itu. Kita akan terus ber­pura-pura seakan-akan kita sungguh-sungguh tak mema­hami pokok persoalan.

Melcpas kambing-hitam Pada tanggal 9 April 1992, di

Salatiga diselenggarakan diskusi ten tang tata niaga cengkeh ini oleh Yayasan GENI, Fakultas Ekonomi dan Program Pascasar­jana UKSW. Banyak masukan dalam diskusi itu yang sangat penting dan beltlm mendapat-

kan perhatian selayaknya dalam berbagai pembahasan di media massa. Catatan berikut ini seba­gian besar diilhami oleh diskusi terse but, terutama masukan dari Ir Budi Darmawan.

Di atas permukaan atau di te­ngah panggung drama kemelut tata niaga cengkeh, kita sak­sikan adegan spektakuler.

Kita saksikan ribuan petani cengkeh yang memiliki hasil bumi secara berlimpah. Mereka membutuhkan uang untuk ke­langsungan hidupnya. Di sebe­rang lain, pabrik rokok membu­tuhkan cengk'eh dari para petani ilU, dan mereka berdaya beli. Tapi jual-beli di antara mereka telah dinyatakan terlarang de­ngan ancaman pidana.

Di tengah dua pihak tersebut, ada pihak ketiga, Badan Pe­nyangga dan Pemasaran Ceng­keh (BPPC). Dengan dukungan penuh aparatur negara yang berwenang, BPPC menuntut ju­al-beli di anlara petani cengkeh dan pabrik rokok melewati per­antaraan BPPC. Petani dipaksa menjual hasilnya hanya kepada BPPC dengan harga Rp 7.000 (kemudian merosot menjadi Rp 4.000). Pabrik rokok dipaksa membeli cengkeh hanya dari BPPC dengan harga Rp 14.000.

Orang tak perlu belajar i1mu ekonomi secara mendalam un­tuk memahami bahwa jual-beli semacam ini tidak mungkin akan berjalan. Kalaupun beria-

Ian tidak akan lancar dan beru­sia lama. Sementara ini, BPPC menanggung timbunan 170.0C,) ton cengkeh yang menganggur, di samping beban utang bermil­yar. Mereka tak berhasil menjual kepada pabrik rokok. Mereka tak mampu membeli lebih ba­nyak cengkeh dari petani. Da­lam panen raya yang berikut, banjir cengkeh masih akan s<,­makin menggunung.

Dengan mudah orang bisa menyalahkan BPPC. Di depan publik, BPPC telah dipermalu­kan Sebagai lembaga yang tidak saja monopolistik, tapi juga parasitis. Kesalahan BPPC sudah sering disorot berbagai pihak dan tak perlu diulang lagi di sini. Tapi seandainya kisah dra­matik tata niaga cengkeh ini diakhiri dengan pembubaran atau bahkan menghukum BPPC, apakah yang akan kita capai? Kita belum menyentuh pokok persoalan yang utama.

Membubarkan BP1'<'; atau menghukunmya seperti me­nangkap penjudi dan pelacur jalanan dengan harapan menyu­cikan moralitas masyarakat luas. Bukan mempersoalkan tata so­sial apa yang membentuk pra­nata sosial yang bemama pela­curan atau pencurian. Juga yang mendorong/membujuk, jika bu­kan memaksa, individu-individu tertentu menjadi pelacur atau pencuri.

BPPC tidak jatuh dari langit. Ia lahir sebagai anak kandung dari rahim masyarakat kita. Bah­kan pada awal kehadirannya,

tak semua'pihak menolak. Arti­nya, masih ada pihak yang se­mula percaya bahwa petani cengkeh yang sedang sek(lrat dicekik tiga raksasa pabrik ro­kok akan tertolong oleh BPPC. Bahkan setelah ternyata perto­longan itu berubah menjadi ce­kikan fatal, masih ban yak ko­mentator yang memilih menu­tupi pokok persoalan dasamya, dan mencoba menggeluti perso­alan itu pada tingkat teknis­ekonomis.

Takakanada ~mecahan yang

mendasar terhadap kemeJut cengkeh,

seJama pemecahan itu lebih bersifat ekonomis,

bukan politis. Melacak kaitan struktural

BPPC mungkin bersalah. Tapi ada yang lebih penting dan mendasar dipertanyakan. Ma­syarakat apakah yang melahir­kannya? Mengapa lahirnya pada tata niaga cengkeh? Mengapa pada masa ini?

Salah satu jawaban paling siap ialah karena pada tahun 1988an, para juragan pabrik rokok menikmati puncak kelim­pahan' laba. Mereka berkesem­patan mengumbar nafsu kapital­istiknya untuk mencekik petani cengkeh ke titik nadir. Inilah

pula masa keemasan bagi ma­syarakat kota yang gemar kese­nian, khususnya musik rock. Pa­da masa ini, pabrik rokok ber­lomba mengobral dana sponsor untuk penlas dan tour kesenian besar-besaran di atas tangis pe­tani.

Menyalahkan pabrik rokok juga tidak sulit. Mungkin juga perlu. Tapi menghukum para pabrik rokok yang pernah me­nyengsarakan petani tanpa mempertanyakan apa yang me­mungkinkan mereka berbuat demikian, juga ibarat menang­kap pelacur jal",nan.

Pada ujungnya, pokok perso­alannya terletak pada pertanya­an: Mengapa petani begitu le­mah kedudukannya? Mengapa petani cengkeh yang berjasa da­lam industri rokok yang seta­hunnya membuahkan 6 trilyun kepada para juragan pabrik rokok dan 3 trilyun kepada pemerintah bernasib malang dari zaman ke zaman' Bagi para petani ini, perubahan masa ha­nya berarti perubahan. badan yang menyengsarakan. Juga, tentunya, para buruh pabrik rokok.

Mengapa pabrik rokok begitu kuat, sampai-sampai BPPC tergi­ur ambil bagian? Tidak sepe­nuhnya salah jika dikatakan bahwa illdustri rokok merupa­kan salah satu dari sedikit in­dustri yang bertumbuh dari ba­wah tanpa dukungan koneksi politis. Tapi ucapan itu tidak

• sepenuhnya benar. Mungkin benar, pengusaha

rokok tidak mempunyai koneksi kekeluargaan dengan politikus tertentu atau suntikan dana dari pemerintah karena pertimbang­an politis. Tidak seperti BPPC. Tapi juga keliru, jika keberhasil­an para raksasa industri rokok dilepaskan dari berbagai kepu­tusan makro pemerintah dalam bidang dunia usaha, juga poli­tik, yang menguntungkan mere­ka serta memperlemah kelom­pok-kelompok seperti petani cengkeh dan buruh.

Bukan hanya BPPC, bukan hanya pabrik rokok, para petani itu pun b'agian yang tak terle­paskan dari keseluruhan masya­rakat ini. Semuanya merupakan anak kandung dari tata sosial yang pincang.

Warga masyarakat lain juga. Para wartawan, akadernikus, ah­Ii hukum, birokrat, pimpinan agama, militer, seniman dan se­bagainya merupakan bagian da­ri kepincangan sosial itu. Dan sekaligus ambil peranan dalam melestarikan kepincangan itu.

Memperluas peta persoalan . Kemelut tata niaga cengkeh memang serius. Para petani, se­bagai korban utama, layak men­dapat perhatian dan bantuan praktis.

Tapi uraian di atas menun­jukkan bahwa sebaiknya kita ti­dak terburu silau dan kewalah­an menguras seluruh tenaga un­tuk kemelut itu. Apalagi berha­rap soal seperti ini bisa dipe­cahkan secara naif dan eksklusif sebagai persoalan harga ceng-

keh, pinjaman bank, UU anti­monopoli, penyimpanan ceng­keh, pajak cukai atau impor cengkeh. Dengan kata lain, le­pas dari induknya: dinamika po­litik pusat di Jakarta yang me­lembaga secara nasional.

Kemelut BPPC hanyalah se­buah dari banyak bunga-bunga yang mekar dari politik-ekono­mi-budaya masyarakat mutakhir kita. Bunga-bunga yang lain tampil pada monopoli jeruk, monopoli dalam industri per­filman, monopoli dalam perjudi­an, monopoli dalam berpenda­pat dan berorganisasi, dan sete­rusnya. Hari ini BPPC tampil se­bagai sekuntum bunga yang se­dang mekar sebesar-besarnya. Besok giliran bunga yang lain.

Dalam kemelut industrifilm, hanya orang-orang di bidang perfilman yang merasa berke­pentingan bicara. Dalam keme­lut pendidikan atau hukum, ha­nya kaum profesional dari bi­dang spesialisasi itu yang sibuk. Kita belum cukup terlatih meli­hat kaitan-kaitan persoalan da­lam masyarakat yang sarna ini.

Setiap hari kita mengejar orang-orang yang kita persalah­kan. Sebagian dad kita bersibuk diri menyembunyikan kesalahan orang-orang itu. Tapi kita ku­rang mempertanyakan mengapa dan dari mana datangnya orang­orang seperti itu di sepanjang sejarah kita .•••

0) Ariel Jleryanlo, dosen Pro- ", gram Pascasatjana UK Satya Wacana, Sa/atiRa.

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>