saad b musayyab

47
Tokoh Tabi’in: Said bin Musayyab November 8, 2012 // Kisah Nyata , Kisah Tabi'in // 2 Comments Suatu tahun, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan berhasrat untuk menunaikan haji ke Baitullah al-Haram dan berziarah ke Haramain yang mulia dan mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampailah bulan Dzulqa’dah, beliau berangkat menuju ke bumi Hijaz disertai tokoh-tokoh Bani Umayah, para gubernurnya, pejabat pemerintah, dan sebagian anaknya. Rombongan bertolak dari Damaskus ke Madinah al-Munawarah tanpa tergesa-gesa. Setiap kali singgah di suatu tempat atau wilayah, mereka beristirahat sambil mengadakan majelis ilmu dan saling memberikan peringatan agar bertambah pengetahuannya tentang agama dan mengisi jiwa dengan mutiara hikmah dan nasihat yang baik. Sampailah rombongan tersebut di Madinah al-Munawarah, Amirul Mukminin menuju tempat suci untuk memberi salam kepada penghuninya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau melakukan shalat di Raadhah asy-Syarifah. Beliau merasakan kesejukan, ketenangan, dan ketentraman jiwa yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Ingin rasanya beliau memperpanjang waktu

Upload: siti-najwa

Post on 08-Feb-2016

53 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Saad b Musayyab

Tokoh Tabi’in: Said bin MusayyabNovember 8, 2012  //  Kisah Nyata, Kisah Tabi'in  //  2 Comments

Suatu tahun, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan berhasrat untuk menunaikan haji ke Baitullah al-Haram dan berziarah ke Haramain yang mulia dan mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sampailah bulan Dzulqa’dah, beliau berangkat menuju ke bumi Hijaz disertai tokoh-tokoh Bani Umayah, para gubernurnya, pejabat pemerintah, dan sebagian anaknya. Rombongan bertolak dari Damaskus ke Madinah al-Munawarah tanpa tergesa-gesa. Setiap kali singgah di suatu tempat atau wilayah, mereka beristirahat sambil mengadakan majelis ilmu dan saling memberikan peringatan agar bertambah pengetahuannya tentang agama dan mengisi jiwa dengan mutiara hikmah dan nasihat yang baik.

Sampailah rombongan tersebut di Madinah al-Munawarah, Amirul Mukminin menuju tempat suci untuk memberi salam kepada penghuninya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau melakukan shalat di Raadhah asy-Syarifah. Beliau merasakan kesejukan, ketenangan, dan ketentraman jiwa yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Ingin rasanya beliau memperpanjang waktu kunjungannya di kota Rasulullah itu seandainya ada waktu luang.Pemandangan yang paling mengesankan dan menarik perhatiannya di Madinah al-Munawarah itu adalah banyaknya halaqah ilmu yang memakmurkan masjid Nabawi. Di sana berkumpul para ulama besar dan tokoh-tokoh tabi’in bagaikan bintang-bintang bercahaya di ufuk langit. Ada halaqah Urwah bin Zubair, ada halaqah Sa’id bin Musayyab, dan ada halaqah Abdullah bin Utbah.

Page 2: Saad b Musayyab

Suatu hari Amirul Mukminin terbangun dari tidur siangnya dengan tiba-tiba, tidak seperti biasanya. Lalu dipanggilnya penjaga, “Wahai Maisarah!” Maisarah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin.” Beliau berkata, “Pergilah ke Masjid Nabawi dan undanglah salah satu ulama yang berada di sana untuk memberikan peringatan kepada kita.”

Maisarah bersegera menuju Masjid. Dia melihat seluruh sudut-sudut masjid namun tidak melihat kecuali satu halaqah yang dipimpin oleh seorang syaikh yang telah tua. Usianya tampak sudah lebih dari 60 tahun, wajahnya kelihatan memancarkan kewibawaan seorang ulama. Orang-orang nampak menaruh hormat dan takjub kepadanya.

Maisarah menghampirinya hingga dekat dengan halaqah tersebut lalu menunjukkan jarinya kepada syaikh tersebut. Akan tetapi orang itu menghiraukannya, sehingga akhirnya Maisarah mendekat dan berkata, “Tidakkah Anda melihat bahwa saya menunjuk Anda?”

Sa’id: “Anda menunjuk saya?”

Maisarah: “Benar.”

Sa’id: “Apa keperluan Anda?”

Maisarah: “Amirul Mukminin terbangun dari tidur lalu berkata kepadaku. ‘Pergilah ke Masjid Nawabi dan lihatlah kalau-kalau ada seseorang yang bisa menyampaikan hadis untukku, bawalah kemari’.”

Sa’id: “Aku bukanlah orang yang beliau maksud.”

Maisarah: “Tetapi beliau menginginkan seseorang untuk diajak bicara.”

Sa’id: “Barangsiapa menghendaki sesuatu, seharusnya dialah yang datang. Di masjid ini ada ruangan yang luas jika dia menginginkan hal itu. Lagipula hadis lebih layak untuk didatangi, akan tetapi dia tidak mau mendatangi.”

Utusan itu kembali dan melapor kepada amirul mukminin, “Saya tidak menemukan kecuali seorang syaikh tua. Saya menunjuk kepadanya,

Page 3: Saad b Musayyab

tapi dia tak mau berdiri. Saya mendekatinya dan berkata, “Amirul Mukminin terbangun dan lihatlah kalau-kalau ada seseorang yang bisa menyampaikan hadis untukku, bawalah kemari.” Tetapi dia menjawab dengan tenang dan tegas, “Aku bukan yang dia maksud dan masjid ini cukup luas kalau dia menginginkan hadis.”

Abdul Malik menghela nafas panjang. Dia bangkit lalu masuk ke rumah sambil bergumam, “Pasti dia adalah Sa’id bin Musayyab. Kalau saja engkau tadi tidak menghampiri dan mengajaknya bicara…”Ketika Abdul Malik telah meninggalkan majlis dan masuk kamar, putranya yang bungsu bertanya kepada kakaknya, “Siapakah orang yang berani menentang Amirul Mukminin dan menolak untuk menghadap itu, sedangkan dunia tunduk kepadanya dan raja-raja Romawi gentar oleh wibawanya?”

Maka berkatalah saudaranya yang paling besar, “Dia adalah orang yang putrinya pernah dipinang oleh ayah untuk saudara kita, al-Walid, tetapi dia menolak menikahkannya.”

Adiknya berkata heran, “Benarkah ia tidak mau menikahkan putrinya dengan al-Walid bin Abdul Malik? Apakah dia mendapatkan pasangan untuk putrinya yang lebih layak dari calon pengganti Amirul mukminin dan khalifah? Atau dia seperti orang-orang yang menghalangi putrinya untuk menikah dan tinggal menganggur di dalam rumah?”

Berkatalah sang kakak, “Sebenarnya aku tidak mengetahui berita tentang mereka.” Seorang dari pengasuh mereka, yang berasal dari Madinah berkata, “Sekiranya diizinkan, saya akan menceritakan seluruh kisah itu.”

“Gadis itu telah menikah dengan seorang pemuda di kampung saya bernama Abu Wada’ah. Kebetulan dia adalah tetangga dekat kami.  Pernikahannya menjadi suatu kisah yang sangat romantis seperti yang diceritakan Abu Wada’ah sendiri kepada saya.” Orang-oarng berkata, “Ceritakanlah kepada kami.”

Said bin Musayyab Menikahkan Putrinya dengan Abu Wada’ah

Diapun berkata, “Abu Wada’ah bercerita kepada saya, ‘Sebagaimana Anda ketahui, aku adalah seorang yang tekun hadir di Masjid Nawabi

Page 4: Saad b Musayyab

untuk menuntut ilmu. Aku paling sering menghadiri halaqah Sa’id bin Musayyab dan suka mendesak orang-orang dengan siku bila mereka saling berdesakan dalam majelis itu. Namun pernah berhari-hari saya tidak menghadiri majelis tersebut. Beliau menduga saya sedang sakit atau ada yang menghalangiku untuk hadir. Beliau bertanya kepada beberapa orang di sekitarnya namun tidak pula mendapat berita tentang diriku.

Beberapa hari kemudian aku menghadiri majelis beliau kembali. Beliau segera memberi salam lalu bertanya,

Sa’id: “Kemana saja engkau, wahai Abu Wada’ah?”

Aku: “Istriku meninggal sehingga aku sibuk mengurusnya.”

Sa’id: “Kalau saja engkau memberi tahu aku wahai Abu Wada’ah, tentulah aku akan takziyah, menghadiri jenazahnya dan membantu segala kesulitanmu.

Aku: “Jazakallahu khairan, semoga Allah membalas kebaikan Anda.”Aku bermaksud pulang, namun beliau memintaku untuk menunggu sampai semua orang di majelis itu pulang, lalu beliau berkata,

Sa’id: “Apakah engkau saudah berfikir untuk menikah lagi wahai Abu Wada’ah?”

Aku: “Semoga Allah merahmati Anda, siapa gerangan yang mau menikahkan putrinya dengan aku, sedang aku hanyalah seorang pemuda yang lahir dalam keadaan yatim dan hidup dalam keadaan fakir. Harta yang kumiliki tak lebih dari dua atau tiga dirham saja.

Sa’id: “Aku akan menikahkan engkau dengan putriku.”

Aku: (terkejut dan terheran-heran) “Anda wahai Syaikh? Anda akan menikahkan putri Anda denganku padahal Anda telah mengetahui keadaanku seperti ini?”

Page 5: Saad b Musayyab

Sa’id: “Ya, benar. Bila seseorang datang kepada kami dan kami suka kepada agama serta akhlaknya, maka akan kami nikahkan. Sedangkan engkau di mata kami termasuk orang yang kami sukai agama dan akhlaknya.

Lalu beliau menoleh kepada orang yang berdekatan dengan kami berdua, dan beliau memanggilnya. Begitu mereka datang dan berkumpul di sekeliling kami, beliau bertahmid dan bershalawat, lalu menikahkan aku dengan putrinya, maharnya uang dua dirham saja.

Aku berdiri dan tak mampu berkata-kata lantaran heran bercampur gembira, lalu akupun bergegas untuk pulang. Saat itu aku sedang shaum hingga aku lupa akan shaumku. Kukatakan pada diriku sendiri: “Celaka wahai Abu Wada’ah, apa yang telah kau perbuat atas dirimu? Kepada siapa engkau akan meminjam uang untuk keperluanmua? Kepada siapa engkau akan meminta uang itu?”

Aku sibuk memikirkan hal itu hingga Maghrib tiba. Setelah ku tunaikan kewajibanku, aku duduk untuk menyantap makanan berbuka berupa roti dan zaitun. Selagi saya mendapatkan satu atau dua suapan, mendadak terdengar olehku ketukan pintu. Aku bertanya dari dalam, “Siapa?” Dia menjawab, “Sa’id.”

Demi Allah, ketika itu terlintas di benakku setiap nama Sa’id yang kukenal kecuali Sa’id bin Musayyab, sebab selama 20 tahun beliau tidak pernah terlihat kecuali di tempat antara rumahnya sampai dengan Masjid Nabawi.

Aku membuka pintu, ternyata yang berdiri di depanku adalah Imam asy-Syaikh Ibnu Musayyab. Aku menduga bahwa beliau mungkin menyesal karena tergesa-gesa dalam menikahkan purtinya lalu datang untuk membicarakannya denganku. Oleh sebab itu aku segera berkata:

Aku, “Wahai Abu Muhammad, mengapa Anda tidak menyuruh seseorang untuk memanggilku agar aku menghadap Anda?”

Sa’id: “Bahkan, engkaulah yang lebih layak didatangi.”

Aku: “Silakan masuk!”

Page 6: Saad b Musayyab

Sa’id: “Tidak perlu, karena aku datang untuk suatu keperluan.”

Aku: “Apa keperluan Anda wahai Syaikh? Semoga Allah merahmati Anda?”

Sa’id: “Sesungguhnya putriku sudah menjadi istrimu berdasarkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’alasejak tadi pagi. Maka aku tidak ingin membiarkanmu berada di tempatmu sedangkan istrimu di tempat yang lain. Oleh sebab itu kubawa dia sekarang.”Aku: “Aduh, Anda sudah membawanya kemari?”

Sa’id: “Benar.”

Aku melihat ternyata istriku berdiri di belakangnya. Syaikh menoleh kepadanya lalu berkata, “Masuklah ke rumah suamimu dengan nama Allah dan berkah-Nya!”

Pada saat istriku hendak melangkah, tersangkut gaunnya sehingga nyaris terjatuh. Mungkin karena dia malu. Sedangkan aku hanya bisa terpaku di depannya dan tidak tahu harus berkata apa. Setelah tersadar, segera akan aku ambil piring berisi roti dan zaitun, kugeser ke belakang lampu agar dia tidak melihatnya.

Selanjutnya aku naik jendela atas rumah untuk memanggil para tetangga. Mereka datang dengan kebingungan sambil bertanya, “Ada apa wahai Abu Wada’ah?” Aku bertanya, “Hari ini aku dinikahkan oleh Syaikh Sa’id bin Musayyab, sekarang putrinya itu telah dibawa kemari. Kuminta kalian agar menghibur dia sementara aku hendak memanggil ibuku sebab rumahnya jauh dari sini.”

Ada seseorang wanita tua di antara mereka berkata, “Sadarkah engkau dengan apa yang engkau ucapkan? Mana mungkin Sa’id bin Musayyab menikahkan engkau dengan putrinya, sedangkan pinangan al-Walid bin Abdul Malik putra Amirul Mukminin telah ditolak.”

Aku katakan, “Benar, Engkau akan melihatnya di rumahku. Datanglah dan buktikan.”

Page 7: Saad b Musayyab

Beberapa tetanggaku berdatangan dengan rasa penasaran hampir tak percaya, kemudian mereka menyambut dan menghibur istriku itu. Tak lama kemudian ibuku datang. Setelah melihat istriku, dia berpaling kepadaku seraya berkata, “Haram wajahku bagimu kalau engkau tidak membiarkan aku memboyongnya sebagai pengantin yang terhormat.”

Aku katakan, “Terserah ibu.”

Istriku dibawa oleh ibuku. Tiga hari kemudian dia diantarkan kembali kepadaku. Ternyata istriku adalah wanita yang paling cantik di Madinah, paling hafal Kitabullah, dan paling mengerti soal-soal hadis Rasulullah, juga paham akan hak-hak suami.

Sejak saat itu dia tinggal bersamaku. Selama beberapa hari ayah maupun keluarganya tidak ada yang datang. Kemudian aku datang lagi ke halaqah Syaikh di masjid. Aku memberi salam kepadanya. Beliau menjawab, lalu diam. Setelah majelis sepi, tinggal kami berdua, beliau bertanya,

Sa’id: “Bagaimana keadaan istrimu, wahai Abu Wada’ah?”

Aku: “Dia dalam keadaan disukai oleh kawan dan dibenci oleh musuh.”

Sa’id: “Alhamdulillah.”

Sesudah kembali ke rumah, kudapati beliau telah mengirim banyak uang untuk membantu kehidupan kami…”

Mendengar kisah itu, putra-putra Abdul Malik berkomentar, “Sungguh mengherankan orang itu.” Orang yang bercerita itu berkata, “Apa yang mengherankan wahai tuan? Dia memang manusia yang menjadikan dunianya sebagai kendaraan dan perbekalan untuk akhiratnya. Dia membeli untuk diri dan keluarganya, akhirat dengan dunianya. Demi Allah, bukan karena beliau bakhil terhadap putra Amirul Mukminin dan bukannya beliau memandang bahwa al-Walid tidak sebanding dengan putrinya itu. Hanya saja beliau khawatir putrinya akan terpengaruh oleh fitnah dunia ini.

Page 8: Saad b Musayyab

Beliau pernah ditanya oleh seorang kawannya, “Mengapakah Anda menolak pinangan Amirul Mukminin lalu kau nikahkan putrimu dengan orang awam?” Syaikh yang teguh itu menjawab, “Putriku adalah amanat di leherku, maka kupilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan keselamatan dirinya.”

Beliau ditanya, “Apa maksud Anda wahai Syaikh?”

Beliau berkata, “Bagaimana pandangan kalian bila misalnya dia pindah ke istana Bani Umayah lalu bergelimang di antara ranjang dan perabotnya? Para pembantu dan dayang mengelilingi di sisi kanan dan kirinya dan dia mendapati dirinya sebagai istri khalifah. Bagaimana kira-kira keteguhan agamanya nanti?”

Ketika itu ada seseorang dari Syam berkomentar, “Tampaknya kawan kalian itu benar-benar lain dari yang lain.” Lalu laki-laki itu berkata, “Sungguh aku mengatakan yang sebenarnya. Beliau suka shaum di siang hari dan shalat di malam hari. Sudah hampir 40 kali beliau melaksanakan haji dan tak pernah ketinggalan melakukan takbir pertama di masjid Nabawi sejak 40 tahun yang silam. Juga tak pernah melihat punggung orang dalam shalatnya selama itu, karena selalu menjaga shaf pertama.

Kendati ada peluang bagi beliau untuk memilih istri dari golongan Quraisy, tetapi beliau lebih mengutamakan putri Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu daripada wanita lain. Karena kedudukannya di sisi Rasulullah dan memiliki kekayaan mengenai riwayat hadis, yang beliau ingin juga mengambilnya. Sejak kecil beliau telah bernadzar untuk mencari ilmu.Beliau mendatangi rumah istri-istri Rasulullah untuk memperolah ilmu dan berguru pada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar serta Abdullah bin Abbas. Beliau mendengar hadis dari Utsman, Ali, Suhaib dan para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang lain. Beliau berakhlak dengan akhlak mereka dan berperilaku seperti mereka. Beliau selalu mengucapkan suatu kalimat yang menjadi slogannya setiap hari: “Tiada yang lebih menjadikan hamba berwibawa selain taat kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala dan tiada yang lebih membuat hina seorang hamba dari bermaksiat kepada-Nya.”

Page 9: Saad b Musayyab

Nama lengkapnya Sa’id bin al-Musayyab bin Hazn al-Quraisy al-Makhzumi, ayany dan kakeknya adalah sahabat Nabi Shallallahu alaihi wassalam, ia dilahirkan sebelum Umar menjadi khalifah, sejak muda telah melakukan perjalanan siang dan malam untuk mendapatkan hadist Nabi,.

Mengenai dia sebagaimana dituturkan oleh Ahmad bin Hambal adalah:” Ia tabi’in paling utama”. Sedangkan Makhul berkata:” Aku telah menjelajahi bumi untuk menuntut ilmu, teryata aku tidak bertemu seorangpun yang lebih pandai daripada Sa’id bin al-Musayyab”. Sementara itu Ali bin al-Madini menyatakan :” Aku tidak tahu di kalangan tabi’in ada orang yang luas ilmunya daripada dia, menurutku ia tabi’in terbesar”.

Para ulama meriwayatkan bahwa ia mengawinkan putrinya kepada Kutsayyir bin Abi Wada’ah hanya dengan mas kawin dua dirham. Padahal sebelumnya ia menolak lamaran Abdul Malik yang ingin menjodohkan putrinya dengan al-Walid bin Abdul Malik. Dan ketika Abdul Malik hendak melaksanakan bai’at bagi putranya al-Walid, Hisyam bin Ismail selaku pengganti Abdul Malik di Medinah memukul Sa’id bi al-Musayyab dan menghadapnya dengan pedang, untuk memaksanya melakukan bai’at namun Sa’id tetap tidak mau.

Ibnu Musayyab meriwayatkan hadist dari Abu Bakar secara Mursal, dan ia mendengar dari Umar, Utsman, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, Sayyidah Aisyah dan beberapa yang lainnya.

Yang meriwayatkan dari dia antara lain Salim bin Abdullah, Az-Zuhri, Qatadah, Syuraik, Abu az-Zanad.

Ia wafat pada tahun 94 H.

Said bin al-Musayyib

Page 10: Saad b Musayyab

Tokoh kita kali ini adalah salah seorang yang berpengetahuan luas dan biografinya pantas kami ketengahkan. Memang dia tidak begitu terkenal di kalangan khalayak umum, akan tetapi karena kepakaran ilmunya dia terkenal di kalangan intelektual dan para cendekia.Nama LengkapnyaNama beliau adalah Said bin Al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahab bin Amru bin A’id bin Imran bin Makhzum Al-Qurasy Al-Mahzumi Al-Madani, panggilannya adalah abu muhammad al-madani beliau adalah salah satu pembesar para tabi’in.

Lahir dan wafatnyaSaid bin Al-Musayyib dilahirkan dua tahun setelah berjalannya khilafah umar bin khattab. Sedangkan wafatnya, dari Abdul Hakim bin Abdullah bin Abi Farwah, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib meninggal dunia di madinah pada tahun 94 Hijriah pada masa pemerintahan khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Pada saat meninggal dunia, dia berumur 75 tahun. Tahun dimasa said meninggal dunia disebut sebagai sanah al-fuqaha’(tahun bagi ulama’ fikih) kerena pada saat itu banyak ahli fikih yang meninggal dunia.”

Ilmu PengetahuannyaSaid bin Musayyib adalah tokoh yang terkemuka di madinah pada masanya dan yang sangat dihormati dalam bidang fatwa. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah imam para ulama’ fiqih.Abu Tholib berkata, “Aku penah bertanya kepada imam ahmad bin hanbal, “Siapakah said bin Al-Musayyib? “Dia menjawab, “Siapa yang menandingi said bin Al-Musayyib? Dia adalah orang yang dapat dipercaya dan termasuk orang yang sholeh.

Page 11: Saad b Musayyab

Aku bertanya lagi, “Apakah riwayat Said dari Umar bin Khattab dapat dijadikan hujjah? “Dia menjawab, “Dia adalah hujjah bagi kita, dia pernah melihat Umar bin Al-Khattab dan banyak mendengar hadits darinya. Kalaulah riwayat Said dari Umar tidak diterima, siapa lagi yang dapat diterima?”

Dari malik dia berkata, “sesungguhnya Al-Qosim bin Muhammad pernah ditanya seseorang tentang suatu permasalahan, lalu dia berkata, “Apakah anda telah bertanya pada orang selainku? “Orang itu menjawab, “Ya, sudah, aku bertanya kepada Urwah dan Said bin Al-Musayyib, “Lalu dia berkata, “Ikutilah pendapat Said bin Al-Musayyib karena dialah guru dan pembesar kami.”

Dari Abu Ali bin Al-Husain, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib adalah orang yang paling luas wawasan keilmuannya tentang hadits-hadits dan perkataan para sahabat disamping itu dia juga orang yang paling mumpuni pendapatnya.”

IbadahnyaDari Utsman bin Hukaim,dia berkata, “Aku pernah mendengar Said bin Musayyib berkata, “Selama 30 tahun, setiap kali para muadzin mengumandangkan adzan, pasti aku sudah berada di dalam masjid.Dari Abdul Mu’in bin Idris dari ayahnya, ia berkata,”Selama 50 tahun Said bin Musayyib melaksanakan sholat subuh dengan wudhu’ sholat isya’. Said bin Al-Musayyib berkata, “Aku tidak pernah ketinggalan takbir pertama dalam sholat selama lima tahun (sholat diawal waktu). Aku juga tidak pernah melihat punggung para jama’ah, karena aku selalu berada di barisan terdepan selama lima tahun itu.

Ia menunaikan haji sekitar 40 tahun ia tidak pernah terlambat dari takbir pertama di masjid Rasul. Tak pernah diketahui darinya bahwa ia melihat tengkuk seseorang dalam sholat sejak itu selamanya, karena ia selalu berada di shof pertama. Ia dalam kelapangan rizki, sehingga bisa menikah dengan wanita quraisy manapun yang ia kehendaki. Namun, ia lebih memilih putri Abu Hurairah, karena kedudukannya di sisi Rasulullah, keluasan riwayatnya dan keinginannya begitu besar dalam mengambil hadits.

Page 12: Saad b Musayyab

Sanjungan ulama’ mengenai beliauSaid bin Al-Musayyib adalah ulama’ yang sudah terkenal dengan kefaqihannya, maka banyak komentar-komentar para ulama’ menganai beliau diantaranya:Adalah Sa’id bin Musayyib  termasuk salah satu Al-Fuqahaa’u Sab’ah di Madinah (sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qoyyim), mereka itu adalah:

1. Sa’id bin Al-Musayyab,2. ‘Urwah bin Az-Zubair,3. Al-Qasim bin Muhammad,4. Kharijah bin Zaid,5. Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hasyim,6. Sulaiman bin Yasaar,7. ‘Ubaidllah bin Abdullash bin ‘Utbah bin Mas’ud[1]

Qotadah berkata: Saya tidak menemukan seseorang yang lebih pandai dalam masalah halal dan haram dari sa’id bin musayyib.Sulaiman bin Musa berkata: Said bin musayyib adalah salah satu tabi’in yang terfaqih.Ali bin Al-Madani berkata: “Aku tidak menemukan para tabi’in yang lebih luas wawasannya dari Said bin Al-Musayyib. Menurutku, dia adalah tabi’in yang paling terhormat dan mulia.Berkata Utsman Al-Harits: Saya mendengan Ahmad bin hanbal berkata: seutama-utama tabi;in adalah Said bin Al-Musayyib, kemudian salah seseorang berkata bagaimana dengan alqomah dan aswad? Kemudian dijawab: Said bin Al-Musayyib dan Alqomah dan Aswad.Abu zur’ah berkata: “Dia termasuk orang pandai bergaul, bersal dari suku quraisy dan dapat dipercaya. Selain itu, said juga seorang imam.Berkata Abi ibnu al-madini: saya tidak mengetahui diantara para tabi’in yang lebih luas ilmunya dari pada Said bin Al-Musayyib.Ahmad bin abdullah al-’ajali berkata: “Said bin Al-Musayyib adalah seorang yang sholeh, ahli fiqh dan tidak mau mengambil begitu saja suatu pemberian (hadiah). Dia pernah mempunyai barang perniagaan senilai 400 dinar, dengan jumlah itu ia berdagang minyak. Dia adalah seorang yang buta sebelah matanya.[2]Kewibawaan dan perjuangannya membela kebenaran

Page 13: Saad b Musayyab

Dari Imran bin Abdullah, dia berkata, “Said mempunyai hak atas harta yang ada di baitul mal sebanyak tiga puluhan ribu. Dia diundang untuk mengambilnya, akan tetapi dia menolaknya. Dia berkata, “Aku tidak membutuhkannya, hingga Allah berkenan memberikan keputusan yang adil antara aku dan bani marwan.

Dari Ali bin Zaid berkata, “seseorang pernah berkata kepada said bin al-musayyib, “apa pendapat anda tentang Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi yang tidak pernah mengutus seseorang kepada anda dan tidak pula menyakiti anda? “Said menjawab , “Demi Allah, hanya saja dia pernah masuk masjid dengan ayahnya, kemudian melakukan sholat yang tidak sempurna ruku’ dan sujudnya. Lalu, aku segera mengambil segenggam kerikil dan aku lemparkan kepadanya dan Al-Hajjaj pun berkata, “Aku merasa telah melakukan sholat dengan baik.

Ibnu saat dalam kitab ath-thabaqot dari malik bin anas mengtakan, “pada saat Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai kholifah, dia tidak pernah memutuskan suatu perkara kecuali setelah meminta pendapat dan bermusyawarah dengan Said bin Al-Musayyib.

Pada suatu ketika, khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengutus pengawalnya untuk menanyakan suatu permasalahan. Kemudian, penglawal tersebut mengundangnya dan mengjaknya datang ke istana, setelah said datang, umar bin abdul aziz buru-buru berkata. “utusanku telah melakukan kesalahan, aku hanya ingin menanyakan kepadamu tentang suatu permasalahan di majelismu,”

Dari Salamah bin Miskin, dia berkata, “Imran bin Abdullah telah memberitahukan kepada kami, dia berkata, “Aku melihat Said bin Al-Musayyib adalah seorang yang lebih ringan untuk berjuang di jalan allah dari seekor lalat.”

Guru-gurunyaUbai bin Ka’ab, Anas bin Malik, Barra’ bin ‘Azib, Bashrah bin Aktsam Al-Anshori, Bilal budaknya Abu Bakar Ash-Shiddiq, Jabir bin Abdillah, Jubair bin Muth’im, Hasan bin Tsabit, Hakim bin Hazam, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Kholid Al-Juhni, Sarakah bin Malik Binji’syim, Saat bin Ubadah, Saat bin Abi Waqqas,

Page 14: Saad b Musayyab

Shofwan bin Umayah, Suhaib bin Sinan, Dhohhak bin Sufyan, Amir bin Abi Umayah, Amir bin Saad bin Abi Waqqos, Abdullah bin Zaid bin Ashim Al-Mazini, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Amru bin ‘Ash, Abdurrahman bin Utsman At-Taimi, Utab bin Usaid, Utsman bin Abi Ash, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Umar bin Khattab, Musayyib bin Hazn(Bapaknya), Muawiyyah bin Abi Shofyan,Makmar bin Abdullah bin Nadhlah, Nafi’, Abu Bakar As-Shidiq, Abi Tsa’labah Al-Husni, Abu Darda’, Abu Dzar Al-Gifari, Abu Said Al-Hudri, Abu Qotadah Al-Anshori, Abi Musa Al-Asy’ari, Abi Hurairah,Disamping itu juga beliau berguru kepada istri nabi. Seperti Aisyah, dan Ummu Salamah, dan lain-lain.

Murid-muridnyaSedangkan murid-muridnya adalah Idris bin Shobih Al-Auda, Usamah bin Zaid Al-Laisi, Ismail bin Umayah, Basir bin Muharrar, Bakir bin Abdullah bin Asyja’, Al-Harits bin Abdurrahman bin Abi Dabab, Hasan bin ‘Athiah, Al-Hudrami bin Lahiq, Kholad bin Abdirrahman Ash-Shn’ani, Dawud bin ‘Asim bin Urwah bin Mas’ud Asy-Syaqofi, Dawud bin Abi Hind, Zaid bin Aslam, Zaid Al-Bashari, Abdulwahid bin Zaid, Salim bin Abdullah bin Umar, Saad bin Ibrahim, Said bin Khalid bin Abdullah bin Qorid Al-Qoridho, Said bin Yazid Al-Bashori, Syarik bin Abdullah bin Damar, Sholeh bin Abi Hasan Al-Madani, Shofwan bin Salim, Thoriq bin Abdurrahman, Thalak bin Habib, Abu Zanad Abdullah bin Dakwan, Abdullah bin Qosim At-Taimi, Abdullah bin Muhammad Bin Uqail, Abdullah bin Qoyyis At-Tajibi. Dan masih banyak lagi murid-muridnya yang lain yang tidak disebutkan disini.Beberapa Hadits yang Diriwayatkan Sai’d bin MusayyibSa’id bin Musayyib meriwayatkan hadits-hadits secara mursal dari Rasulullah, diantaranya;- Dari Sa’id bin Musayyib, dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw besarbda:(( أنه وزعم صلى وإن صام وإن منافق فهو فيه كن من ثالث

خان ائتمن إذا و أخلف وعد إذا و كذب حدث إذا من: مسلم ))“Tiga perkara, jika tedapat dalam diri seseorang maka dia layak disebut sebagai seorang munafik (meskipun melaksanakan siyam dan shalat dan mengklauim dirinya Muslim); Jika berkata

Page 15: Saad b Musayyab

berdusta, jika berjanji mengingkari dan jika dipercaya berkhianat.”[3]- Dari Sa’id bin Musayyib bin Hazn, bahwa kakeknya (Hazn) mendatangi NabiShallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu Nabi bertanya kepadanya, “Siapa namamu?”, dia menjawab, “Hazn (sedih).” Nabi berkata, “Bagaimana jika namamu diubah dengan Sahl (mudah)?”. Hazn berkata, “Saya tidak mengganti nama yang telah diberikan oleh kedua orang tua saya, sehingga akupun dikenal di kalangan masyarakat dengan sebutan nama tersebut.” Sa’id bin Musayyib berkata, “Karenanya sampai masa kami, keluarga kami dikenal oleh Ahlul Bait dengan sebutan al-Hazunah (keturunan Hazn).”[4]Said bin Musayab rah. (tabieen)Seorang Tabiin merdeka, bertipe sangat langka. Puasa di siang hari, salat tahajud di waktu malam. Dia sempat menunaikan ibadah haji sebanyak empat puluh kali. Tidak pernah ketinggalan takbiratul Ihram dalam salat jemaah selama empat puluh tahun dan tidak pernah ditemukan melihat tengkuk seseorang pada waktu salat, selama itu juga, karena selalu berada di baris pertama.

Lebih memilih kawin dengan putri Abu Hurairah ra., meski mampu mengawini wanita Quraisy yang dia kehendaki.

Sejak kecil telah bernazar untuk mengabdikan dirinya kepada ilmu pengetahuan.

Banyak menimba ilmu dari istri-istri Nabi dan dari para Sahabat seperti Abdullah bin Abbas, Zaid bin Sabit, Abdullah bin Umar, Usman, Ali, dan Shuhaib r.ahum.

Mempunyai etika dan tingkah laku seperti yang dicontohkan oleh para sahabat.

Orang yang paling zuhud terhadap kehidupan. Pernah suatu ketika dia menolak lamaran putra mahkota, Walid bin Abdul Malik, putra khalifah, Abdul Malik bin Marwan untuk mengawini putrinya. Dia malah mengawinkan putrinya itu dengan seorang

Page 16: Saad b Musayyab

penuntut ilmu bernama Abu Wada‘ah.

Ketika banyak yang menyayangkan hal itu dia malah mengatakan, “Putriku adalah amanat di atas pundakku dan aku mengambil tindakan ini demi kemaslahatannya.”

Seorang penduduk Madinah mengatakan tentang dirinya, “Dia adalah seorang yang menjadikan dunia sebagai kendaraan menuju akhirat dan membeli yang abadi dengan yang fana untuk diri dan keluarganya. Demi Allah, dia bukan tidak mau mengawinkan putrinya dengan putra khalifah, atau memandangnya tidak berimbang, tetapi hanya khawatir putrinya akan tertimpa fitnah keduniaan. Suatu ketika pernah ditanya oleh seorang sahabat, ‘Apakah engkau menolak lamaran khalifah, lalu mengawinkan putrimu dengan warga muslim biasa?’ Dia menjawab, ‘Putriku adalah amanat di atas pundakku dan aku mengambil tindakan ini demi kemaslahatannya.’ Dia ditanya lagi, ‘Apa maksudmu?’ Dia menjawab, ‘Coba pikirkan jika dia berpindah ke istana Bani Umaiyah, kemudian dikelilingi oleh perabot mewah, para pembantu dan dayang-dayang, lalu suatu saat nanti dia akan menjadi istri khalifah, bagaimana kira-kira nasib agamanya?’”

BIOGRAFI ULAMA TABI”INSa’id Bin Musayyib

Tokoh kita kali ini adalah salah seorang yang berpengetahuan luas dan yang biografinya pantas kami ketengahkan. Memang dia tidak begitu terkenal di kalangan khalayak umum, akan tetapi karena kepakaran ilmunya, dia bisa dikenal di kalangan intelektual dan para cendikia.Dialah pembesar para tabi’in Said bin Al-Musayyib. Dia sezaman dengan para sahabat senior Rasulullah yang di antaranya; Umar bin Al-Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Sayyidah Aisyah dan Ummu Salamah Ridhwanullah Alaihim Ajma’in. Dia sangat kuat dalam menghafal, selain juga cerdas, wira’i dan berani untuk memperjuangkan kebenaran yang diyakininya.Said adalah seorang yang bersabar atas segala cobaan dan musibah yang dialaminya dalam rangka membela agama Allah subhanahu wa ta’ala.Ketika Ibnu Umar melihatnya, maka ia berkata, “Kalaulah Rasulullah melihatnya, maka niscaya beliau akan merasa senang.”

Page 17: Saad b Musayyab

Dalam buku biografinya, Abu Nu’aim mengatakan tentang diri Said, “Adapun Abu Muhammad Said bin Al-Musayyib bin Hazan Al-Makhzumi adalah termasuk orang yang diuji kesabaranya oleh Allah. Walau seberat apapun ujian yang diberikan kepadanya, dia tetap tidak mau mencela ataupun mengumpat-Nya. Dia termasuk orang yang rajin beribadah dan shalat berjamaah; mampu menjaga diri dan martabatnya, kewara’annya dan bersikap menerima apa adanya (qana’ah).Sikap dan perilakunya memang sesuai dengan namanya (Said berarti bahagia). Dia merasa bahagia dengan tetap tunduk dan taat kepada Allah ta’ala, dan menjauhi kedurhakaan serta kebodohan.”[1]Untuk menjelaskan luasnya wawasan dan ilmu pengetahuannya, cukuplah dengan sebuah kisah tentang Ibnu Umar yang pernah bertanya kepada Said tentang satu keputusan yang telah dikeluarkan ayahnya Umar bin Al-Khathab karena Said adalah orang yang paling tahu tentang keputusan-keputusan yang telah diambil Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khathab dan Utsman bin Affan Ridhwanullah Alaihim Ajma’in.Dia juga seorang perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah sehingga Abu Hurairah pun menikahkan Said dengan puterinya.Dia tidak pernah ketinggalan shalat berjamaah selama 40 atau 50 tahun, juga tidak pernah melihat punggung orang-orang yang sedang shalat karena dia selalu di barisan terdepan.Dari Amr bin Dinar, dia berkata, “Ketika Zaid bin Tsabit meninggal dunia, Ibnu Abbas berkata, “Beginilah hilangnya ilmu pengetahuan.” Mendengar itu, Said berkata, “Begitu juga dengan meninggalnya Ibnu Abbas.” Mendengar itu, Ibnu Abbas mengatakan, “Begitu juga dengan meninggalnya Said bin Al-Musayyib.”[2]Dalam kitab, Ats-Tsiqat-nya, Ibnu Hibban mengatakan, “Dia termasuk pembesar tabi’in karena kefakihan, kewara’an, ibadah dan kemuliaannya. Dia merupakan ulama fikih paling terkenal di negeri Hijaz dan yang paling bisa diterima pendapatnya oleh khalayak umum. Selama 40 tahun, dia selalu menunggu datangnya panggilan adzan di masjid untuk melakukan shalat berjamaah.”[3]Disamping terkenal tegas dan tidak mudah tunduk pada kemauan para penguasa, dia adalah seorang yang lembut dan mengedepankan rasa persaudaraan dalam pergaulan dengan sesama, apalagi dengan orang-orang yang saleh dan bertakwa.Dia tidak mau keluar dari masjid jika hanya untuk memenuhi panggilan Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang ingin berbincang dengannya, begitu juga kepada puteranya, Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Bahkan, Said menolak lamaran Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk puteranya Al Walid, sehingga Said pun menerima hukuman dan siksaan.

Page 18: Saad b Musayyab

Dia menikahkan putrinya dengan salah satu muridnya yang bernama Ibnu Wada’ah dengan maskawin uang dua atau tiga dirham.Selain itu dia juga menolak untuk membaiat (menyatakan ketaatan dan kesetiaannya) kepada kedua putera Abdul Malik yaitu Al-Walid dan Sulaiman bin Abdul Malik menjadi putera mahkota untuk menggantikannya kelak. Semoga Allah ta’ala memberikan rahmat yang luas kepadanya dan memberikan tempat di surga-Nya yang paling tinggi.1. Nama, Panggilan, Kelahiran dan SifatnyaNamanya: Said bin Al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb Ibnu Amr bin A’id bin Imran bin Makhzum Al-Qurasy Al-Makhzumi Al-Madani. Dia adalah pembesar para tabi’in.Kunyah atau Panggilannya: Abu Muhammad.Ibnu Sa’ad pernah meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali bin Zaid dari Said bin Al-Musayyib bin Hazn, dia berkata, “Sesungguhnya kakeknya yang bernama Hazn datang menghadap Rasulullah dan beliau pun menanyai sang kakek, “Siapa namamu?” Hazn menjawab, “Aku Hazn.” Beliau berkata, “Tidak! Kamu adalah Sahl!” Dia berkata, “Wahai Rasulullah, memang itulah nama yang diberikan oleh kedua orangtuaku kepadaku, sehingga aku pun dikenal di kalangan masyarakat dengan sebutan nama itu.” Said selanjutnya berkata, “Rasulullah pun lalu terdiam.”Said berkata, “Hingga saat ini kami masih dikenal oleh Ahlul-bait dengan nama atau sebutan Al-Hazunah (keturunan Hazn).”[1]Aku katakan, “Biografinya merupakan bukti kongkret atas kebenaran cerita di atas, Wallahu A’lam.”Kelahirannya: Adz-Dzahabi berkata, “Dia dilahirkan pada saat pemerintahan Khalifah Umar bin Al-Khathab berjalan dua atau empat tahun.”[2]Ada juga yang mengatakan bahwa dia dilahirkan dua tahun sebelum  pemerintahan Khalifah Umar bin Al-Khathab    berlangsung.Ibnu Sa’ad berkata, “Muhammad bin Umar mengatakan bahwa Muhammad bin Umar pernah berkata, “Demi Allah, apa yang aku tahu dan disaksikan juga oleh banyak orang adalah dia –Said bin Al-Musayyib- dilahirkan setelah pemerintahan Umar bin Al-Khathab berjalan selama dua tahun.”Ada yang mengatakan bahwa dia telah mendengar hadits darinya. Akan tetapi aku (penulis) tidak melihat para ulama (para perawi) mendukung pernyataan ini walaupun mereka banyak meriwayatkan hadits darinya.”[3]Sifat-sifatnya: Dari Imran bin Abdul Malik, dia berkata, “Said bin AlMusayyib berkata, “Aku tidak pernah merasa takut kepada sesuatu pun seperti ketakutanku pada wanita.” Perawi selanjutnya berkata,

Page 19: Saad b Musayyab

“Orang-orang yang mendengarnya selanjutnya mengatakan, “Sesungguhnya orang seperti Anda tidak pernah menginginkan wanita (untuk dinikahi) dan tidak ada wanita yang mau mengawini Anda.” Dia berkata, “Memang itulah yang aku katakan kepada kalian.”Selanjutnya perawi berkata, “Dia adalah seorang yang tua renta dan kabur penglihatannya.” [4]Dari Abu Al-Ghushn, dia berkata bahwa dia melihat Said bin AlMusayyib dengan rambut beruban dan jenggotnya yang memutih.”[5]Dari Muhammad bin Hilal, dia berkata bahwa dia pernah melihat Said bin Al-Musayyib dengan penglihatannya yang rabun, dia memakai kopiah halus dan surban berwarna putih, dan terdapat pula bendera warna merah yang membentang sejengkal di belakangnya.”[6]2. Sanjungan Para Ulama TerhadapnyaDari Makhul, dia berkata, “Aku telah menjelajahi seluruh pelosok negeri di bumi ini dalam mencari ilmu, dan aku belum pernah menjumpai seorang pun yang lebih lugs wawasannya dari Said bin Al-Musayyib.” [7]Ali bin al-Madini berkata, “Aku belum menemukan para tabi’in yang lebih luas wawasannya dari Said bin Al-Musayyib. Menurutku, dia adalah Tabi’in yang paling terhormat dan mulia.”[8]Ahmad bin Abdullah Al-’Ajali berkata, “Said bin Al-Musayyib adalah seorang yang saleh, ahli fikih dan tidak mau mengambil begitu saja suatu pemberian (hadiah). Dia pernah mempunyai barang perniagaan senilai 400 dinar, dengan jumlah itu ia berdagang minyak. Dia adalah seorang yang buta sebelah matanya.”[9]Abu Zur’ah berkata, “Dia termasuk orang yang mudah bergaul, berasal dari suku Quraisy dan dapat dipercaya. Selain itu, Said juga seorang imam.”[10]Abu Hatim berkata, “Tidak ada orang yang lebih mulia di kalangan tabi’in dari Said bin Al-Musayyib. Dia adalah orang yang paling shahih meriwayatkan hadits-hadits yang berasal dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.” [11]Dari Maimun bin Mihran, dia berkata, “Aku pernah datang ke kota Madinah, lalu aku bertanya mengenai orang yang paling luas wawasan fikihnya di antara mereka, kemudian aku pergi menemui Said bin Al Musayyib dan bertanya kepadanya.”[12]Dari Makhul, dia berkata, “Ketika Said bin Al-Musayyib meninggal dunia, banyak orang yang melayatnya, tidak seorang pun dari masyarakat yang enggan datang ke pengajiannya. Aku melihat dia sebagai seorang pejuang. Makhul juga mengatakan, “Selama Said berada di antara mereka, maka mereka akan selalu dalam kebaikan.”Al-Qasim bin Muhammad pernah bertanya tentang suatu permasalahan, lalu dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya Said bin Al-Musayyib pernah mengatakan tentang masalah ini dengan jawaban begini, dia

Page 20: Saad b Musayyab

mengatakan maksud dari masalah tersebut.” Kemudian Al-Qasim berkata, “Dia adalah orang yang terbaik di antara kami dan merupakan tuan kami.”Muhammad bin Umar berkata, “Dia adalah pembesar kami dan guru kami.”[13]3.IbadahnyaDari Harmalah bin Said bin Al-Musayyib, dia berkata bahwa Said pernah mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah selama 40 tahun.”Dari Utsman bin Hukaim, dia berkata, “Aku pernah mendengar Said bin Al-Musayyib berkata, “Selama 30 tahun, setiap kali para Muadzin mengumandangkan adzan, pasti aku sudah berada di dalam masjid.”[1]Dari Abdul Mu’in bin Idris dari ayahnya, dia berkata, “Selama 50 tahun Said bin Al-Musayyib melakukan shalat Shubuh dengan wudhu shalat Isya’.” Said bin Al-Musayyib berkata, “Aku tidak pernah ketinggalan takbir pertama dalam shalat selama 50 tahun (shalat di awal waktu). Aku juga tidak pernah melihat punggung para jamaah, karena aku selalu berada di barisan terdepan selama 50 tahun itu” [2]Dari Ibnu Harmalah dari Said bin Al-Musayyib, dia berkata, “Dia pernah mengeluhkan penglihatannya kepada orang-orang. Kemudian mereka berkata kepadanya, “Wahai Abu Muhammad, kalaulah Anda mau berjalan-jalan keluar, memandang tebing-tebing yang menghijau, niscaya Anda akan merasakan lebih segar.” Dia berkata, “Bagaimana aku dapat melakukan hal itu, kalau penglihatanku kabur bagaikan tertutup kabut pagi.”[3]Dari Yazid bin Hazim, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib melakukan puasa terus menerus. jika matahari telah terbenam, dia datang ke masjid dengan membawa minuman dari rumahnya dan meminumnya.”[4]Dari Imran bin Abdullah, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib berkata, “Tidak ada satu rumah pun yang menjadi tempatku berteduh di kota ini selain rumahku, itu pun kadang-kadang untuk sekadar menengok puteriku dan memberinya salam (dia selalu di masjid).”[5]Dari Ibnu Harmalah, dia berkata, “Aku berkata kepada Barad budak Ibnu Al-Musayyib, “Bagaimana shalat Ibnu Al-Musayyib di rumahnya?” Barad menjawab, “Aku tidak tahu, hanya saja dia banyak melakukan shalat dan membaca Surat Shad,“Shad, demi Al-Qur’an yang mempunyai keagungan.” (Shad: 1) [6]

Page 21: Saad b Musayyab

Dari Ashim bin Al-Abbas Al-Asadi, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib sering berdzikir dan merasa takut kepada Allah. Aku juga mendengar dia banyak membaca ayat-ayat Al-Qur’an di atas kendaraannya, dia sering membaca dengan suara nyaring “Bismilllahirrahmanirrahim”, dia senang mendengarkan syair akan tetapi tidak mau melantunkannya. Aku pernah melihatnya berjalan dengan tanpa alas kaki, mencukur kumisnya, berjabat tangan dengan setiap orang yang dijumpainya dan tidak senang banyak tertawa.”[7]4. Ilmu PengetahuannyaDari Yahya bin Hibban, dia berkata, “Tokoh terkemuka di Madinah pada masanya dan yang sangat dihormati dalam bidang fatwa adalah Said bin AlMusayyib. Ada yang menyebutkan bahwa dia adalah imam para ulama fikih.”Qatadah berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih tahu tentang hukum halal dan haram dari Said bin Al-Musayyib.”[8]Dari Hisyam bin Sa’ad, dia berkata, “Aku pernah mendengar Az-Zuhri berkata ketika ada seseorang bertanya kepadanya, “Dari mana Said bin Al Musayyib menimba ilmu?”Az-Zuhri menjawab, “Dari Zaid bin Tsabit, dia juga pernah berguru pada Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Disamping itu, dia juga berguru pada isteri-isteri Rasulullah, seperti Sayyidah Aisyah dan Ummu Salamah Radhiyallahu Anhuma. Selain itu, dia juga pernah berguru pada Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Shuhaib, Muhammad bin Maslamah Ridwanullahi Alaihim. Dan, banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah yang merupakan mertuanya.Said juga mendengar hadits dari para sahabat Umar bin Al-Khathab dan juga para sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhuma Dia pernah disebut sebagai orang yang paling tahu tentang apa yang pernah diputuskan Umar bin Al-Khathab dan Utsman bin Affan radhiyallahu anhuma dalam pengadilan .”[9]Abbas Ad-Duri berkata, “Aku pernah mendengar Yahya bin Ma’qil berkata, “Hadits-hadits Mursal dari Said bin Al-Musayyib lebih aku senangi daripada hadits-hadits mursal dari Al-Hasan. Dan, hadits-hadits mursal Ibrahim banyak yang shahih kecuali sebuah hadits tentang perniagaan dan tertawa dalam shalat.”[10]Abu Thalib berkata, “Aku pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Siapakah Said bin Al-Musayib?” Dia menjawab, “Siapa yang

Page 22: Saad b Musayyab

menandingi Said bin Al-Musayyib? dia adalah orang yang dapat dipercaya dan termasuk orang yang saleh.”Aku bertanya lagi, “Apakah riwayat Said dari Umar bin Al-Khathab dapat dijadikan hujjah?” Dia menjawab, “Dia adalah hujjah bagi kita, dia pernah melihat Umar bin Al-Khathab dan banyak mendengar hadits darinya. Kalaulah riwayat Said dari Umar bin Al-Khathab tidak diterima, siapa lagi yang dapat diterima? [11]Dari Malik, dia berkata, “Sesungguhnya Al-Qasim bin Muhammad pernah ditanya seseorang tentang suatu permasalahan, lalu dia berkata, “Apakah Anda telah bertanya kepada seseorang selain aku?” Orang itu menjawab, “Ya, sudah, aku bertanya kepada Urwah dan Said bin Al Musayyib.” Lalu dia berkata, “Ikutilah pendapat Said bin Al-Musayyib karena dialah guru dan pembesar kami.”Malik berkata, “Said bin Al-Musayyib pernah ditanya tentang riwayat Umar bin Al-Khathab, karena dia adalah orang yang sering menyimak keputusan-keputusan Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu dan mempelajarinya. Jika IbnuUmar datang kepadanya tentu akan bertanya tentang keputusan-keputusan bapaknya Umar bin Al-Khathab.”[12]Dari Abu Ali bin Husain, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib adalah orang yang paling luas wawasan kelimuannya tentang hadits-hadits dan perkataan para sahabat disamping dia juga orang yang paling mumpuni pendapatnya.” [13]Dari Abdurrahman bin Abi Zinad dari ayahnya, dia berkata, “Ada tujuh orang di Madinah yang merupakan sandaran fatwa bagi khalayak umum, mereka adalah; Said bin Al-Musayyib, Abu Bakar bin Abdirrahman bin Al Harits bin Hisya, Urwah bin Az-Zubair, Abdullah bin Abdullah bin Utbah, Al-Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Zaid dan Sulaiman bin Yasar.[14]Ada di antara kaum cendikia yang membuatkan bait syairnya tentang mereka,“Ingatlah semua yang tidak mengikuti para imam,mereka akan tersesat dan keluar dari kebenaran.Mintalah pendapat dan fatwa kepada mereka; Ubaidillah, Urwah (bin Az-Zubair), Al-Qasim (bin Muhammad),Said (bin Al-Musayyib), Sulaiman (bin Yasar) dan Abu Bakar (bin Abdirrahman) serta Kharijah (bin Zaid).”

Page 23: Saad b Musayyab

5. Keahliannya dalam Menafsirkan MimpiAdz-Dzahabi berkata, “Al-Waqidi mengatakan bahwa Said bin Al Musayyib adalah orang yang paling berkompeten dalam menafsirkan mimpi di kalangan masyarakat. Said mempelajarinya dari Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anha sedangkan Asma’ sendiri mempelajarinya dari ayahnya.”Dalam kitab Ath-Thabaqat, Ibnu Sa’ad meriwayatkan beberapa mimpi dan penafsiran Said bin Al-Musayyib terhadap mimpi-mimpi tersebut, yang kemudian dikutip oleh Adz-Dzahabi dalam kitabSair-nya, yang di antaranya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan Amr bin Hubaib bin Qulai’, dia berkata, “Pada suatu saat aku berbincang-bincang dengan Said bin Al Musayyib, kemudian aku merasa ada sesuatu yang membebani pikiran dan menggoyahkan agamaku, kemudian seorang lelaki datang kepadaku dan berkata, “Aku pernah bermimpi bertemu dengan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, lalu aku mendorongnya hingga jatuh ke tanah dan melukainya, lalu aku mengikat punggungnya dengan empat tali.”Said bin Al-Musayyib bertanya, “Apakah mimpi kamu memang benar begitu?” dia menjawab, “Ya, benar!” Said berkata, “Aku tidak akan memberitahukan kepadamu walaupun kamu telah memberitahukan kepadaku.” Amr selanjutnya berkata, “Ibnu Zubair juga bermimpi serupa, sehingga dia pun menyuruhku untuk datang kepadamu.”Said bin Al-Musayyib berkata, “Jika memang mimpinya benar seperti apa yang kamu utarakan, maka Ibnu Zubair akan dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwam. Sedangkan, Abdul Malik sendiri akan melahirkan empat putera yang kesemuanya akan menjadi khalifah.”[1]Amr selanjutnya berkata, “Kemudian aku bergegas menemui Khalifah Abdul Malik bin Marwan di Syam dan menceritakan mimpi dan penafsiran (Said bin Al-Musayyib) itu dan dia pun sangat senang.Kemudian, sang khalifah bertanya kepadaku tentang Said dan keadaannya. Lalu aku beritahukan tentangnya, kemudian dia memerintahkan kepada pengawalnya untuk membayar hutang-hutangku dan aku pun mendapat banyak keberuntungan darinya.”Dari Ismail bin Abi Al-Hakam, dia berkata, “Ada seorang lelaki berkata, “Aku bermimpi melihat Khalifah Abdul Malik bin Marwan mengelilingi shallallahu ‘alaihi wa sallam Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak empat kali.

Page 24: Saad b Musayyab

Kemudian, aku menceritakan mimpi ini kepada Said bin Al-Musayyib dan dia berkata, “Jika memang mimpimu benar seperti itu, maka Khalifah Abdul Malik bin Marwan akan mempunyai empat keturunan yang semuanya akan menjadi khalifah.”[2]Ada juga yang bertanya, “Wahai Abu Muhammad, aku bermimpi seolah-olah aku berada di balik bayangan matahari, kemudian aku berdiri menatap matahari.” Said menjawab, “Jika mimpimu benar seperti itu, maka kamu akan keluar dari Islam.”Laki-laki itu bertanya lagi, “Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya aku melihat diriku dikeluarkan dengan paksa, sehingga aku berada di bawah terik matahari lalu aku duduk.” Dia berkata, “Kamu akan dipaksa untuk kufur (keluar dari Islam).” Perawi selanjutnya mengatakan, “Kemudian laki-laki itu benar ditawan dan dipaksa untuk keluar dari Islam, lalu dia dilepaskan. Dan, di Madinah dia menceritakan kejadian yang menimpanya itu.”[3]Dari Imran bin Abdullah, dia berkata, “Hasan bin Ali bin Abi Thalib pernah bermimpi seolah-olah di kedua matanya terdapat tulisan “Qul Huwallahu Ahad (katakanlah bahwa Tuhan itu satu).” Kemudian, dia menceritakan mimpinya itu dan meminta penafsiran atau pendapat dari keluarganya. Lalu, mereka menceritakan hal itu kepada Said bin Al-Musayyib. Said lantas berkata, “Jika memang mimpinya benar seperti yang diceritakannya, maka katakanlah bahwa dia tidak akan hidup lebih lama lagi.” Akhirnya, dia pun meninggal dunia setelah beberapa hari.”[4]Dari Syarik bin Abi Numair, dia berkata, “Aku berkata kepada Ibnu Al Musayyib, “Aku pernah bermimpi melihat gigiku banyak yang tanggal dan jatuh di telapak tanganku, kemudian aku menguburnya,” lalu Said bin AlMusayyib berkata, “Jika memang mimpimu itu benar seperti yang kamu ceritakan, maka keluargamu akan mengubur beberapa gigimu (yang tanggal).”[5]Dari Syarik bin Abi Namr dari Ibnul Musayyib, dia berkata, “Korma yang terlihat dalam mimpi adalah rezeki yang akan ada setiap saat dan kesempatan, karena korma merupakan rezeki bagi pemiliknya.”[6]6. Kewibawaan dan Perjuangannya Membela KebenaranDari Imran bin Abdullah, dia berkata, “Said mempunyai hak atas harta yang ada di Baitul Mal sebanyak 30-an ribu. Dia diundang untuk mengambilnya, akan tetapi dia menolaknya. Dia berkata, “Aku tidak membutuhkannya, hingga Allah berkenan memberikan keputusan yang

Page 25: Saad b Musayyab

adil antara aku dan Bani Marwan.”[7]Dari Ali bin Zaid, dia berkata, “Seseorang pernah berkata kepada Said bin Al-Musayyib, “Apa pendapat Anda tentang Al-Hajjaj bin Yusuf AtsTsaqafi yang tidak pernah mengutus seseorang kepada Anda dan tidak pula menyakiti Anda?” Said menjawab, “Demi Allah, hanya saja dia pernah masuk masjid dengan ayahnya, kemudian melakukan shalat yang tidak sempurna ruku’ dan sujudnya. Lalu, aku segera mengambil segenggam kerikil dan aku lemparkan kepadanya dan Al-Hajjaj pun berkata, “Aku merasa telah melakukan shalat dengan baik.”[8]Dari Imran bin Thalhah Al-Khuza’i, dia berkata, “Pada suatu ketika, Abdul Malik bin Marwan menunaikan ibadah haji. Ketika sampai di Madinah dan berdiri di pintu Masjid Nabawi, dia mengutus seorang pengawalnya kepada Said bin Al-Musayyib untuk memanggilnya. Akan tetapi, Said bin Al Musayyib tidak memperdulikannya.Kemudian, utusan khalifah itu mendatanginya dan mengatakan, “Penuhilah panggilan Amirul Mukminin yang sedang berdiri di pintu Masjid, dia ingin berbincang-bincang denganmu!” Dia menjawab, “Amirul Mukminin tidak mempunyai urusan apapun denganku, dan aku pun tidak mempunyai urusan sedikitpun dengannya. Kalau memang dia mempunyai keperluan denganku, pastinya itu salah alamat.”Kemudian, utusan khalifah itu kembali dan melapor. Khalifah berkata, “Kembalilah dan katakan kepadanya bahwa aku hanya ingin berbicara dengannya dan tidak ingin apa-apa.” Lalu utusan itu berkata kepadanya, “Penuhilah undangan Amirul Mukminin!” Said pun menjawabnya seperti semula.Akhirnya, pengawal itu pun berkata dengan berangnya, “Kalaulah dia tidak memerintahkanku untuk memanggilmu, maka aku tidak akan kembali menghadap kepadanya kecuali dengan membawa kepalamu. Amirul Mukminin hanya ingin berbincang-bincang denganmu dan kamu bersikap seperti ini!?” Said menjawab, “Jika memang Amirul Mukminin ingin berbuat baik kepadaku, maka Anda akan mendapat keuntungannya. Dan, jika dia menginginkan selain itu, maka aku tidak akan berdiri hingga harus ada seorang penengah di antara kami.”Pengawal itu pun kembali dan melaporkan apa yang di dengarnya. Kemudian Amirul Mukminin berkata, “Semoga Allah memberikan rahmat kepada Abu Muhammad, dia memang bandel dan keras hati.”[9]Dari Amr bin Ashim dari Salam bin Miskin dari Imran bin Abdullah bin

Page 26: Saad b Musayyab

Thalhah Al-Khuza’i, dia berkata, “Ketika Al-Walid resmi diangkat sebagai khalifah, dia datang ke Madinah. Setelah berada di Madinah, dia lalu masuk ke sebuah masjid dan melihat seseorang yang sudah tua dikelilingi banyak orang.Al-Walid bertanya, “Siapa orang itu?” Orang-orang di situ menjawab, “Dia adalah Said bin Al-Musayyib.” Ketika sang khalifah duduk, dia mengutus pengawalnya untuk memanggil Said bin Al-Musayyib. Lalu, utusan khalifah itu pun mendatanginya dan mengatakan, “Penuhilah panggilan Amirul Mukminin!”Dia menjawab, “Mungkin Anda salah menyebut namaku atau mungkin dia mengutus Anda kepada orang selain aku.”Kemudian utusan khalifah itu kembali dan melaporkan sikap Said itu, sehingga membuat sang khalifah marah dan berniat untuk menghampirinya sendiri.Pada saat itu, orang-orang masih ramai di dalam masjid, sehingga mereka menyambut sang khalifah dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, dia adalah ulama fikih di Madinah, pembesar kaum Quraisy dan juga teman dari ayahmu. Tidak ada seorang pun dari para khalifah yang bisa membuatnya memenuhi panggilan mereka.” Mereka mengatakan begitu berulang-ulang, hingga akhirnya sang khalifah pun pergi darinya.”[10]Mungkin saja dia tidak mau memenuhi panggilan para khalifah tersebut karena melihat kezhaliman yang mereka lakukan dalam menjalankan pemerintahan. Buktinya, dia pernah memenuhi panggilan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang pada saat itu sedang menjabat sebagai walikota Madinah.”Ibnu Sa’ad dalam kitab Ath-Thabaqat dari Malik bin Anas mengatakan, “Pada saat Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah, dia tidak pernah memutuskan suatu perkara kecuali setelah meminta pendapat dan bermusyawarah dengan Said bin Al-Musayyib.Pada suatu ketika, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengutus pengawalnya untuk menanyakan suatu permasalahan. Kemudian, pengawal tersebut mengundangnya dan mengajaknya datang ke istana. Setelah Said datang, Umar bin Abdul Aziz buru-buru berkata, “Utusanku telah melakukan kesalahan, aku hanya ingin menanyakan kepadamu tentang suatu permasalahan di majelismu.”[11]Dari Salamah bin Miskin, dia berkata, “Imran bin Abdullah telah memberitahukan kepada kami, dia berkata, “Aku melihat sosok Said bin

Page 27: Saad b Musayyab

Al-Musayyib adalah seorang yang lebih ringan untuk berjuang di jalan Allah dari seekor lalat.” [12]7. Sa’id bin al Musayyab Rahimahullah Menikahkan PuterinyaDari Abu Bakar bin Abi Dawud, dia mengatakan, “Puteri Said bin Al-Musayyib telah dipinang oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk dinikahkan dengan puteranya yang bernama Al-Walid. Tapi Sa’id menolaknya. Dia terus membuat dalih alasan kepada Abdul Malik hingga Abdul Malik mencambuknya seratus kali pada hari yang dingin, menuangkan air guci kepadanya, dan memakaikan jubah wol kepadanya. Kemudian Abu Bakar bin Abu Dawud mengatakan, Ahmad putra saudaranya, Abdurrahman bin Wahb, bahwa Umar bin Wahb menceritakan kepada kami dari Aththaf bin Khalid, Dari Ibnu Harmalah, dari Ibnu Abi Wada’ah -yakni Katsir-, dia mengatakan, “Aku biasa duduk di majelis Sa’id bin al-Musayyab, lalu dia kehilanganku selama beberapa hari. Ketika aku datang kepadanya, dia bertanya, ‘Di mana kamu berada? Aku menjawab, ‘Istriku meninggal sehingga aku sibuk dengannya.’ Dia mengatakan, ‘Mengapa engkau tidak memberitahu kami sehingga kami bisa melayatnya.’ Kemudian dia bertanya, ‘Apakah engkau sudah mendapatkan istri lagi?’ Aku menjawab, ‘Semoga Allah merahmatimu. Siapakah yang akan menikahkan putrinya denganku, sedangkan aku tidak memiliki kecuali dua atau tiga dirham?’ Dia menjawab, ‘Aku yang akan menikahkanmu.’ Aku bertanya, ‘Engkau akan melakukannya?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Kemudian setelah dia memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi, dia menikahkan aku dengan mahar dua dirham -atau tiga dirham-. Aku pun berdiri dan aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat karena sedemikian gembiranya.Aku pulang ke rumah, dan mulai berpikir kepada siapa aku akan berhutang. Aku shalat Maghrib, dan setelah itu kembali ke rumah, sedangkan aku sendirian dalam keadaan berpuasa. Aku pun mengambil makan malamku untuk berbuka, yaitu berupa roti dan minyak. Tiba-tiba di pintu rumahku ada yang mengetuk, maka aku bertanya, ‘Siapa ini?’ Dia menjawab, ‘Sa’id.’ Aku berpikir tentang setiap orang yang bernama Sa’id selain Sa’id bin al-Musayyab, karena dia tidak pernah terlihat selama 40 tahun kecuali pasti berada antara rumahnya dan masjid. Aku pun keluar, ternyata dia adalah Sa’id bin al-Musayyab. Aku menyangka bahwa dia telah berubah pikiran. Aku katakan, ‘Wahai Abu Muhammad, mengapa engkau tidak mengutus seseorang kepadaku sehingga akulah

Page 28: Saad b Musayyab

yang datang kepadamu.’ Dia mengatakan, ‘Tidak, engkau lebih berhak untuk didatangi. Engkau adalah laki-laki yang membujang lalu engkau menikah, maka aku tidak suka bila engkau melewati malam sendirian. Inilah istrimu.’ Ternyata putrinya berdiri di belakang tubuhnya yang tinggi. Kemudian dia memegang tangan putrinya lalu mendorongnya ke pintu, dan menutup pintu. Wanita itu pun jatuh karena malu, lalu aku mengunci pintu.Aku meletakkan piring di bawah lampu agar dia tidak melihatnya. Kemudian aku naik loteng lalu aku berteriak kepada orang-orang (tetanggaku), maka mereka datang kepadaku seraya bertanya, ‘Ada apa denganmu?’ Aku pun memberitahu mereka, dan mereka datang kepadanya. Ketika hal itu sampai pada ibuku, maka dia datang seraya mengatakan, ‘Wajahku haram terhadap wajahmu, jika engkau menyentuhnya sebelum aku mendandaninya hingga tiga hari.’Dia pun tinggal selama tiga hari, kemudian aku menemuinya, ternyata dia adalah wanita yang paling cantik, paling hafal Kitabullah, paling mengerti Sunnah Rasulullah, dan paling tahu tentang hak suami. Aku pun berdiam selama sebulan tanpa pernah mendatangi Said bin al-Musayyab. Kemudian aku mendatanginya saat berada dalam halaqah, lalu aku mengucapkan salam dan dia menjawab salamku. Dia tidak mengajakku bercakap-cakap hingga majelis selesai. Ketika tidak tersisa lagi kecuali aku, maka dia mengatakan, ‘Bagaimana keadaan orang itu?’ Aku menjawab, ‘Baik, wahai Abu Muhammad, (keadaannya baik) sesuai dengan yang disukai oleh teman (pasangan) dan tidak disukai oleh musuh.’ Dia mengatakan, jika ada sesuatu yang mencurigakanmu, maka selesaikan dengan tongkat.’ Aku pun pulang ke rumahku, lalu dia memberikan kepadaku 20.000 dinar. ‘[1]Abu Bakar bin Abi Dawud mengatakan, “Ibnu Abi Wada’ah adalah Katsir bin Abdul Muththalib bin Abu Wada’ah.”Adz-Dzahabi mengatakan, “la adalah Sahmi, Makki, meriwayatkan dari ayahnya, al-Muththalib, salah seorang yang masuk Islam dalam penaklukan Makkah, sedangkan yang meriwayatkan darinya adalah putranya, Ja’far bin Katsir dan Ibnu Harmalah.8. Ujian Yang di Hadapi Sa’id bin al-Musayyab RahimahullahDari Abdullah bin Ja’far dan selainnya, mereka berkata, Ibnu az-Zubair mengangkat Jabir bin al-Aswad bin Auf az-Zuhri sebagai gubernur Madinah, lalu dia menyeru khalayak untuk membai’at Ibnu az-Zubair,

Page 29: Saad b Musayyab

maka Sa’id bin al-Musayyab mengatakan, “Tidak, hingga manusia berkumpul.” Maka dia memukulnya enam puluh kali cambukan. Ketika hal itu sampai kepada Ibnu az-Zubair, maka dia menulis surat kepada Jabir yang berisikan celaan terhadapnya, dan mengatakan, “Tidak ada urusan kami dengan Sa’id, biarkanlah ia.” [94]Dari mereka bahwa Abdul Aziz bin Marwan meninggal di Mesir pada tahun 84, maka Abdul Malik mengangkat kedua putranya, al-Walid dan Sulaiman sebagai putra mahkota, dan dia menulis surat pembai’atan untuk mereka ke berbagai negeri, serta kepada gubernurnya atas Madinah saat itu. Namun Sa’id bin al-Musayyab menolak untuk membai’at keduanya seraya mengatakan, “Hingga aku lihat lebih dulu.” Maka, Hisyam pun mencambuknya dengan 60 kali cambukan. Kemudian, membawanya keliling dengan memakai celana terbuat dari bulu hingga sampai di puncak Tsaniyyah. Ketika mereka memutarnya, maka Sa’id bertanya, “Ke mana engkau akan memutarkan aku.” Mereka menjawab, “Ke penjara.” Dia mengatakan, “Demi Allah, sekiranya aku tidak menduganya (ajaran) salib, niscaya aku tidak memakai celana ini selamanya.” Mereka pun mengembalikannya ke penjara dan mendekam di sana. Hisyam berkirim surat kepada Abdul Malik untuk mengabarkan kepadanya dengan (berita) yang menyelisihinya. Abdul Malik pun menulis surat kepadanya untuk mengecamnya atas tindakannya terhadap Sa’id seraya mengatakan, “Sa’id, demi Allah, lebih butuh untuk engkau hubungi kaum kerabatnya daripada engkau pukul. Aku benar-benar tahu bahwa dia memiliki tindakan menyelisihi. “[95]Dari Sufyan, dari seorang laki-laki, dari keluarga Imran, dia mengatakan, Aku berkata kepada Sa’id bin al-Musayyab, “Doakanlah kejelekan untuk Bani Umayyah.” Maka Sa’id bin al-Musayyab berdoa, “Ya Allah, muliakanlah agamaMu, menangkanlah para kekasihMu, dan hinakanlah para musuhMu, dalam afiyat (keselamatan) untuk umat Muhammad. ‘[96]

Sa’id bin Musayyab (Seorang tokoh tabi’in besar yang perikehidupannya penuh dengan tauladan yang baik)Filed under: Tokoh — 3 Comments

5 December 2011

Page 30: Saad b Musayyab

Para ulama Salaf memahami standar kufu dalam menikahkan putri mereka adalah agama. Mereka tidak melihat harta dalam menikahkan putra-putrinya tetapi melihat kualitas iman, takwa dan akhlak. Tak heran jika mereka lebih memilih yang miskin namun baik agamanya dari pada yang kaya namun kurang agamanya.Kisah Sa’id bin Musayyab dalam menikahkan putrinya adalah kisah keteladanan yang sangat indah penuh hikmah. Beliau memiliki putri yang sangat terkenal kecantikan, kecerdasan, dan kesalehannya. Kabar itu sampai ke telinga Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan putra mahkotanya yaitu Walid bin Abdul Malik di Damaskus. Khalifah datang ke tempat Sa’id bin Musayyab untuk meminang putinya itu untuk putra mahkotanya. Namun tanpa keraguan sedikitpun Sa’id menolak pinangan itu, meskipun dia harus menghadapi resiko yang tidak ringan. Karena menolak pinangan khalifah dia sampai dicambuk sebanyak seratus kali. Dan dia tetap pada pendiriannya tidak mau menikahkan putrinya dengan putra mahkota khalifah.Tak lama setelah kejadian itu, dia kembali mengajar di masjid Nabawi. Ia adalah seorang ulama dan mahaguru yang sangat perhatian dan menyayangi murid-muridnya. Banyak para pemuda dari berbagai daerah yang hadir pada halaqah Sa’id bin Musayyab. Ia selalu menanyakan keadaan mereka, dan jika ada yag berhalangan hadir ia selalu menanyakan, kenapa. Namun suatu hari, Abu Wada’ah, salah seorang murid halaqah, tak hadir dalam majlis. Sejak hari pertama, ketidakhadiran Abu Wada’ah selalu dipertanyakan oleh Sa’id bin Musayyab. Beliau bertanya kepada beberapa orang muridnya yang hadir prihal Abu Wada’ah, namun tak satupun yang tahu tentang beritanya secara pasti. Mereka hanya menduga barangkali Abu Wada’ah menderita sakit atau ada halangan lain hingga tak dapat hadir

Page 31: Saad b Musayyab

di majlis. Ketidakhadiran Abu Wada’ah, bahkan berlanjut hingga beberapa hari setelah itu.Selang beberapa hari, barulah Abu Wada’ah tampak kembali di antara murid-murid halaqah Sa’id bin Musayyab. “Ke mana saja engkau wahai Abu Wada’ah?” sapa Sa’id bin Musayyab. Air muka Abu Wada’ah mendadak menggambarkan kesedihan, ia lalu menerangkan perihal istrinya yang meninggal beberapa hari lalu, sehingga ia sibuk mengurus masalah-masalah istrinya beberapa hari dan tak sempat hadir ke halaqah. “Mengapa tak kau beritakan hal itu kepada kami wahai Abu Wada’ah? Sehingga kami bisa menyaksikan jenazah istrimu dan membantu kesulitanmu,” tanya Sa’id bin Musayyab.“Jazakumulullah khairan…” ucap Abu Wada’ah sambil hendak beranjak pergi, namun syaikh menahannya. Sampai ketika semua murid yang lainnya telah pulang, syaikh berkata dengan sedikit berbisik: “Tidakkah engkau berfikir untuk menikah kembali, wahai Abu Wada’ah.” Abu Wada’ah cukup tersentak mendengar pertanyaan yang diajukan gurunya, ia segera menjawab: “Yarhamukallahu wahai guruku. Siapakah yang ingin menikahkan aku dengan putrinya? Saya hanya seorang yatim yang miskin,” ucap Abu Wada’ah polos. “Bahkan saya tak memiliki harta kecuali uang senilai dua atau tiga dirham saja…” lanjutnya.Beberapa saat keduanya terdiam, Syaikh sendiri tampak arif dan demikian memahami perasaan Abu Wada’ah. Tak lama kemudian, syaikh mengucapkan sebuah perkataan yang sama sekali tak diduga oleh Abu Wada’ah: “Saya yang akan menikahkan putriku denganmu, wahai Abu Wada’ah,” bisik syaikh pelan.“Syaikh… ” lidah Abu Wada’ah seolah kelu mengungkapkan ketakjuban dan ketidakmengertiannya. “Anda akan menikahkan putri anda dengan saya, setelah mengetahui kondisi yang saya alami…?” kata Abu Wada’ah.Sa’id bin Musayyab dengan tenang berkata: “Ya…, bila datang kepada kami seorang pemuda yang baik agama dan akhlaqnya, kami akan nikahkan dia dengan putriku. Dan engkau, bagi kami telah memenuhi kriteria itu…”Tak berapa lama kemudian, Sa’id bin Musayyab memanggil beberapa orang muridnya yang Kebetulan masih berada di dalam masjid. Ketika mereka ada di dekatnya, saat itu juga Sa’id bin Musayyab mengucapkan lafadz hamdalah dan shalawat atas Rasulullah SAW… lalu disebutlah lafadz akad

Page 32: Saad b Musayyab

nikah antara putrinya dan Abu Wada’ah. Maharnya adalah uang seharga dua dirham.Dan jadilah saat itu juga Imam Sa’id bin Musayyab menikahkan putrinya yang terkenal cantiknya itu dengan Abdullah bin Wada’ah, salah seorang muridnya yang miskin, dengan mahar hanya dua dirham.Berbagai perasaan gembira, haru, bingung bercampur dalam hati Abu Wada’ah. Setelah selesai acara ‘aqad nikah yang sangat sederhana itu, ia segera pamit pulang ke rumahnya.“Siang itu sebenarnya saya tengah puasa, tapi peristiwa itu menjadikan aku hampir lupa dengan puasaku…” ungkap Abu Wada’ah. Dalam perjalanan hingga sampai di rumahnya, hatinya selalu dipenuhi tanda tanya. Apa sebenarnya yang telah saya lakukan? Kepada siapa saya akan meminjam uang? Dari mana saya akan memperoleh harta…? Dan sebagainya.Dari pertanyaan-pertanyaan sejenis terlintas terus menerus dalam hati Abu Wada’ah hingga tiba saatnya waktu shalat maghrib dan ia harus berbuka puasa. Selesai melakukan shalat maghrib, ia bersiap untuk berbuka dengan sepotong roti dan minyak.Akan tetapi, baru ia telan satu atau dua potong roti, tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu rumahnya. “Siapa di luar…?” tanya Abu Wada’ah. Suara yang terdengar kemudian segera dikenalnya, ia adalah Sa’id bin Musayyib. Datang bersama putrinya yang telah sah menjadi isteri Abu Wada’ah. Mulanya, Abu Wada’ah mengira, bahwa Sa’id bin Musayyab datang untuk memperbincangkan masalah lebih lanjut dari pernikahan antara dirinya dan putrinya.Namun Sa’id bin Musayyab berkata: “Sesungguhnya puteriku kini telah menjadi isterimu, sejak senja hari tadi. Dan, aku paham bahwa tak ada seoangpun yang akan menemanimu di sini. Aku tak ingin bila engkau berpisah dengan isterimu. Sekarang, saya datang bersamanya…Dan putri Sa’id bin Musayyab itu ternyata berdiri di belakang Said bin Musayyab. Sejenak kemudian, ia panggil putrinya dan berkata: “Dengan nama dan barakah Allah, masuklah ke rumah suamimu wahai puteriku…” ucap Sa’id bin Musayyib. Sa’id lalu memegang tangannya dan mendorongnya ke pintu. Putri Sa’id bin Musayyab terlihat sangat malu. Ia hanya berdiri mematung di pintu.lalu cepat-cepat Abu Wada’ah menuju nampan, di mana ada roti dan minyak. Meletakkan pada bayangan lentera agar tidak

Page 33: Saad b Musayyab

terlihat. Lalu naik ke loteng dan memanggil para tetangga. Mereka pun berdatangan. Mereka bertanya,‘Ada apa?”“Aduh bagaimana ini? Siang tadi Sa’id bin Musayyab menikahkan aku dengan putrinya. Dan malam ini mendadak dia datang membawa putrinya itu.”Para tetangga bertanya heran, “Said menikahkan kamu?”“Ya”“Dia sekarang di rumahmu?”Para tetangga lalu mendatangi rumah Abu Wada’ah. Hal itu di beritahukan kepada ibunya. Ibunya pun datang dan berkata, “Aku haram melihat wajahmu jika kau sampai menyentuhnya sebelum aku dandani sampai tiga hari.” Abu Wada’ah lalu menenangkan diri selama tiga hari, barulah menemui istrinya. Beberapa hari selanjutnya, kehidupan Abu Wada’ah penuh dengan kebahagiaan, apalagi setelah mengetahui bahwa ternyata isterinya adalah seorang wanita yang paling cantik di kotanya. Yang paling hafal al Qur’an dan paling menguasai tentang hadits-hadits Rasulullah. Selain wanita yang paling memahami hak-hak suaminya.Selama sebulan Sa’id tidak mendatangi Abu Wada’ah dan ia pun tidak mendatangi Said bin Musayyab. Setelah sebulan Abu Wada’ah mendatanginya saat itu dia ada di tengah-tengah halaqah pengajiannya. Abu Wada’ah ucapkan salam padanya. Said bin Musayyab menjawab salam. Ia tidak mengajak Abu Wada’ah bicara sampai orang-orang pergi semua.Ia bertanya, “Bagaimana kabar isterimu wahai Abu Wada’ah?”“Alhamdulillah, keadaannya sebagaimana yang disukai dengan orang yang benar dan tidak disukai oleh musuh..?” ucap Abu Wada’ah puitis.“Alhamdulillah, kalau demikian,” jawab Sa’id bin Musayyab.Setelah kembali ke rumahnya, Abu Wada’ah terkejut karena teryata Sa’id bin Musayyab telah mengirimkan sejumlah uang untuk awal kebutuhan rumah tangganya.Betapa besarnya rasa percaya Imam Tabi’in agung itu. Ia bahkan tidak bertanya secara mendetil keadaan putrinya. Sebab ia sangat percaya putrinya akan baik dan aman di bawah lindungan lelaki yang bertaqwa, takut kepada Allah, tahu hak dan kedudukannya.Setelah melalui beberapa malam bersama istrinya, Abu Wada’ah mengatakan kepada istrinya bahwa dia akan pergi untuk menghadiri salah satu taklim ayahnya (Sa’id) karena dia

Page 34: Saad b Musayyab

tidak ingin absen satupun dari perputaran ilmu yang diberikan ayah dari istrinya itu. Istrinya berkata kepadanya, “Duduklah di sini dan aku akan mengajarimu pengetahuan dari ayahku.” Kemudian dia duduk bersamanya dan mengajarkannya beberapa ilmu yang telah disampaikan oleh ayahnya. Bukan hanya mendapatkan istri yang baik bagi Abu Wada’ah, akan tetapi dia juga mendapatkan guru yang besar. Jika dia absen dari taklim ilmu yang diberikan Sa’id dia dapat belajar dari istrinya.Begitulah Tabi’in besar ini yaitu Sa’id bin Musayyab, lebih memilih lelaki yang miskin namun ia tahu persis ketaqwaan dan kedalaman ilmu agamanya. Ia tidak memilih putra raja yang kaya raya dan memiliki kedudukan yang tinggi. Ia sangat percaya bahwa putrinya akan selamat di dunia dan akhirat jika berada dalam bimbingan suami yang bertaqwa. Betapa mantapnya hati Said bin Musayyab tatkala menikahkan putrinya itu dapat dilihat dari cerita Abdullah bin Wada’ah.Firman Allah :“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (An Nuur 32)Sabda Rasulullah SAW :“Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu dibarakahi-Nya, Siapa yang menikahi seorang wanita karena kedudukannya, Allah akan menambahkan kehinaan kepadanya, Siapa yang menikahinya karena kekayaan, Allah hanya akan memberinya kemiskinan, Siapa yang menikahi wanita karena bagus nasabnya, Allah akan menambahkan kerendahan padanya, Namun siapa yang menikah hanya karena ingin menjaga pandangan dan nafsunya atau karena ingin mempererat kasih sayang, Allah senantiasa memberi barakah dan menambah kebarakahan itu padanya” (HR. Thabrani)