review artikel kel. 1
DESCRIPTION
artikelTRANSCRIPT
Masalah yang umum terjadi pada sedian parenteral khususnya intravena adalah solubilisasi zat aktif yang sukar larut atau tidak larut dalam air.
Solubilisasi adalah proses dengan cara sedemikian rupa sehingga tingkat kelarutan obat yang sulit larut dalam air dapat ditingkatkan.
Soubilisasi bukan masalah yang mudah untuk di pecahkan. Karena proses solubilisasi yang sangat kompleks dan membutuhkan keahlian khusus dalam bidang fisika dan kimia untuk menafsirkan teori yang ada.
1. Teori ideal kelarutandimana teori ini menunjukan interaksi antara pelarut dengan pelarut, zat terlarut dengan zat terlatrut dan antara zat terlarut dengan pelarut yang sama kekuatan kepolarannya.contohnya : zat terlarut non-polar akan larut dengan pelarut yang non-polar.
2. Teori regular kelarutanDimana teori ini menjelaskan adanya ketidak seimbangan yang terjadi antara zat terlarut dan pelarut. Teori ini terfokus pada senyawa yang memiliki keporan yang rendah seperti steroid didalam pelarut hidrokarbon
3. Perluasan teori regular kelarutanDimana dilakukan penambahan paramter seperti dispersi, polar dan ikatan hidrogen kedalam teori reguler larutan.
Dalam obat parenteral co solven dapat membentuk ikatan hidrogen yang dapat mempengaruhi struktur pelarut dan mempengaruhi kelarutan secara tak terduga.
Dalam ilmu biologi, banyak zat terlarut yang bertindak sebagai asam atau basa. Dalam air zat terlarut akan berubah menjadi ion karena punya kelarutan yang tinggi dalam air.
Suatu molekul dapat membentuk ion sangat di pengaruhi oleh pKa dan nilai pH yang mana tertulis dalam rumus Handerson Hasselbalch.
Jumlah obat yang tidak terionisasi dalam suatu larutan sangat membantu dalam menghindari terjadinya presipitasi. Perubahan pH dapat meningkatkan jumlah asam dan basa bebas sehingga melebihi batas kelarutan.
Cara untuk meningkatkan kelarutan:1.Penggaraman2.Pengaturan pH3.Penggunaan kosolven4.Penggunaan zat aktif permukaan5.Penggunaan agen pengompleks6.Pembentukan sistem dispersi
pH sediaan parenteral yang isetujui FDA yaitu: 2-11. sedangkan pH sediaan yang banyak digunakan antara 4-8 untuk alasan biokompetibelitas.
pH sediaan ditentukan oleh pH larutan dan pH dari obat itu sendiri.
Yang perlu dipertimbangkan dalam pengaturan pH:
-penambahan buffer-kapasitas buffer-konsentrasi obat
Kosolven yang sering digunakan dalam sediaan steril yaitu:
•Gliserin•Etanol•Propilen glikol•Polietilen glikol•N,N,-dimetilasetamid
Sistem kosolven biner:Log Cx = log Cw + αxfx
sistem kosolven terner:Log Cx = log Cw + αxfx + αafa
Sistem kosolven kuarterner:Log Cx = log Cw + αxfx + αafa + αbfb
Cw = kelarutan obat di air
Cx = kelarutan obat
a,b,x = penanda kosolven A,B dan X
Tujuan penggunaan surfaktan:•Meningkatkan kelarutan obat melalui
proses miselisasi•Mencegah presipitat obat selama proses
pengenceran•Meningkatkan stabilitas obat di larutan•Pada formulasi protein, untuk mencegah
agregasi saat interaksi dengan antar permukaan cairan/udara atau cairan/padat
Pembentukan komplek terhadap obat-obat yang sukar larut biasanya terjadi pada bagian lobang bagian inti dari agen pengompleks, jadi bagian luarnya yang bersifat hidrofil akan bereaksi dengan air hingga dapat meningkatkan kelarutan dari kompleks tersebut.
Contoh sediaan yanng berhasil menggunakan pembentukan kompleks ini adalah Amphocil ®, sebuah kompleks berupa penggabungan dari amphotericin B dengan sodium cholesteryl sulfate, salah satu metabolit dari kolesterol.
• Agen pengomplek lain adalah siklodekstrin,
lebih khususnya β-siklodekstrin yang
digunakan dalam bentuk kompleks dengan
obat-obat yang sukar larut, namun
pengunaannya dalam sediaan parenteral
dapat menimbulkan toksisitas pada ginjal.
• Untuk penggunaan parenteral digunakan
siklodekstrin yang telah dimodifikasi yaitu
2-hidroksipropil-β-siklodekstrin.
• Apabila molekul memiliki kelarutan yang
cukup baik di dalam lemak, pembuatan
emulsi dapat dilaksanakan.
• Emulsi biasanya terdiri dari minyak sayur
yang banyak mengandung trigliserida dan
lesitin serta surfaktan nonionik sebagai
emulsifying agent.
• Beberapa tantangan yang dihadapi saat memformulasi
obat lipofilik menggunakan sistem emulsi antara lain:
– Efisiensi ketercampuran obat dalam fase dispersi
– Validasi terhadap konsistensi selama penyiapan dan proses
srterilisasi
– Evaluasi biologi yang dapat dipercaya, keamanan dan khasiat
obat yang diberikan dalam bentuk emulsi.
• Beberapa sediaan parenteral yang dibuat dalam sistem
emulsi berupa emulsi air dalam minyak antara lain
analog LH-RH, anti-HIV thiocharbamate.
• Sistem mikroemulsi stabil secara
termodinamika dalam dispersi koloidal yang
transparan serta produksinya yang lebih
mudah.
• Ukuran droplet bisa samapai 10 x lebih kecil
dibandingkan makroemulsi yang biasanya
berukuran 10-100 nm.
• Sistem mixed micelles biasanya digunakan untuk
menggabungkan dua komponen dengan sifat ampifilik
yang berbeda, biasanya fosfolipid dan garam empedu.
• Pemberian tunggal dari garam empedu dapat
menyebabkan hemolitik serta meniritasi pembuluh
darah. Namun setelah digabungkan dengan fospolipid
membentuk mixed micelles dapat mengurangi
hemolisis.
• Kemampuan melarutkan dari mixed micelles
tergantung pada sifat fisikokimia, seperti :
– pH
– kekuatan ion
– temperatur
– karakteristik fospolipid
• Beberapa sediaan yang memiliki kelarutan
baik setelah dibuat dalam mixed micelles
antara lain diazepam (Valium®) dan vitamin
K (Konakion/120®)
Liposom adalah suatu vesikel berair yang dikelilingi oleh
membran lipid lapis ganda uni lamelar atau multilamelar,
terbentuk secara spontan ketika fosfolipid dihidrasi
dengan sejumlah air.
Sistem ini memberi keuntungan pada obat
secara terapetik pada keadaan tertentu
yaitu dengan cara :
◦ memperpanjang sirkulasi sistemik,
◦ mengubah distribusi sistemik, dan
◦ mengurangi efek samping dengan menggantikan
dengan pembawa yang kurang mengiritasi.
Klasifikasi obat yang dapat dimasukan dalam
liposom dilakukan berdasarkan koefisien partisi
minyak/dapar dan oktanol /dapar yaitu :
1) senyawa hidrofilik (larut air) dengan harga Kp
rendah untuk minyak/dapar dan oktanol/dapar,
2) senyawa ampifatik, yaitu Kp rendah untuk
minyak/dapar dan Kp medium sampai tinggi untuk
Kp oktanol/dapar,
3) senyawa lipofilik mempunyai Kp tinggi untuk
minyak/dapar.
Metode pemasukan obat ke liposom dapat
dilakukan dengan dua cara :
1) masuk ke membran liposom dan
2) fase air dalam liposom yaitu obat.
Dengan mengetahui koefisien partisi dapat
ditetapkan cara obat masuk ke dalam
liposom. Setelah itu dapat ditetapkan jenis
liposom yang digunakan.
Karakterisasi liposom meliputi :
1) kandungan total lipid liposom,
2) ukuran dan distribusi ukuran liposom,
3) muatan liposom,
4) kadar obat dalam liposom.
Pengembangan formulasi liposom menghasilkan
10 produk komersial berupa liposom dalam
bentuk sediaan parenteral dan bukan parenteral
telah berhasil dipasarkan.
• Contoh liposom yang telah disetujui untuk penggunan klinik yaitu : – ampoterisin B masuk ke membran liposom (AmBisome®), – daunorubisin dan doksorubisin masuk ke liposom secara
aktif ke dalam fasa air (DaunoXome® dan Doxil®).
• Contoh formulasi liposom yang gagal terjadi pada siprofloksasin yang dimasukkan dalam stealth liposomes.
• Penghantaran liposom obat melalui intravena dipengaruhi pelepasan obat dibanding eliminasi obat bebasnya maka liposom obat akan menentukan farmakokinetik dan biodistribusi obat. Bila proses eliminasi lebih cepat maka formulasi liposom gagal.
• Nanoteknologi merupakan ilmu yang mempelajari partikel dalam rentang ukuran 1 – 1000 nm.
• Nanopartikel diklasifikasikan menjadi lima macam, yaitu :– kuantum dot,– nanokristal,– lipopartikel,– nanopartikel magnetik, dan– nanopartikel polimer.
The significant issues associated with their
potential success are:
1.methods to effectively sterilize particulates,
2.reproducibility of manufactured, and
3. long term physical stability.
• Nanopartikel sangat penting dalam
penghantaran obat secara intravena
sehingga dapat melewati pembuluh darah
terkecil secara aman.
• Ukuran nanopartikel yang kecil menyebabkan
luas permukaan ekstrak atau bahan obat
meningkat hingga mudah larut dan memiliki
efisiensi penyerapan yang tinggi di usus
maupun melalui saluran pernapasan.
• Kelebihan lain penggunaan obat-obat skala nano antara lain dapat mengurangi dosis obat yang dapat mengakibatkan efek samping pada beberapa pasien.
• Penggunaan nanopartikel dalam mendeteksi dan mengobati sel target yang terkena kanker lebih efektif dibandingkan obat kanker biasa.
• Sebagai penyalut lemak misal nanoliposom, arkaeosom, dan nanokokleat yang mampu memberikan perlindungan yang signifikan terhadap senyawa antioksidan serta meningkatkan potensi pengiriman intraseluler.
• Nanoenkapsulasi memiliki banyak keuntungan
antara lain melindungi senyawa dari penguraian,
meningktakn akurasi obat pada target, dan
mengendalikan pelepasan senyawa aktif.
• Beberapa jenis partikel yang dapat digunakan
sebagai penghantar obat antara lain
nanopartikel kalsium fosfat, nanopartikel
siklodekstrin, dan nanopartikel kitosan.
Karakterisasi fisik nanopartikel dibagi
menjadi tiga macam yaitu :
1. metode kristolografi dengan menggunakan
sinar X untuk mengidentifikasi kristal isomorfik,
2. metode mikroskopi dengan menggunakan
mikroskop elektron transmisi, mikroskop
elektron payar, dan mikroskop medan ion, dan
3. metode spektroskopi dengan menggunakan
fotoemisi, spektroskopi resonansi magnetik,
spektroskopi infra merah, dan spektroskopi
sinar X.
Pendekatan “Heroic” menjelaskan tentang
usaha melarutkan obat untuk studi awal
secara klinis, terutama agen chemo-
therapeutics, penggunaan zat tambahan
yang mungkin tidak diterima untuk
formulasi komersial.
• Misal, penggunaan DMSO 70% untuk melarutkan obat
antiviral (9-β-D-arabino-furanosyl adenine). Sistem ternary
cosolvent yang mengandung 60% pluronic L64, 30% etanol,
dan 10% polysorbate 80 telah dikembangkan untuk
melarutkan berbagai obat antikanker termasuk taxol.
• Trimelamol, salah satu agen sitotoksik telah disolubilisasi
dalam PEG 3400 dan ditemukan sebagai pembawa terbaik
tidak hanya dari sisi solubilisasi juga dari stabilitas freeze
drying .
• Toksisitas sistemik dan lokal yang terkait dengan administrasi adalah kekhawatiran terbesar penggunaan sistem dilarutkan
• Cedera langsung pada sel-sel endotel kapiler di tempat suntikan dapat menyebabkan trauma injeksi, partikulat, interaksi agen berbahaya dengan membran, atau ketidakseimbangan dalam lingkungan selular berkaitan dengan pH, atau tonisitas
Tes definitif untuk iritasi pembuluh darah dilakukan in vivo menggunakan vena telinga kelinci atau untuk injeksi berulang vena ekor tikus Hasil umumnya visual, tetapi dapat diukur dengan mengukur suhu diferensial telinga kelinci
Pada tahap pengembangan formulasi, metode ini dapat berguna untuk membedakan tingkat keparahan flebitis yang disebabkan oleh formulasi yang berbeda dan antara komponen rumus seperti obat terhadap dan eksipien. Vena telinga kelinci telah ditunjukkan untuk meniru respon klinis pasien untuk agen terapeutik diberikan melalui infus lambat
Uji saat in vitro, seperti lisis sel yang mengisolasi langkah-langkah dalam proses cedera vaskular, tidak dapat diandalkan untuk memprediksi flebitis.
In vitro hemolisis telah memberikan informasi yang berguna mengenai skrining formulasi. Sebagai alat skrining selama pengembangan formulasi, ukuran lisis sel dapat memberikan informasi tentang
1. Formulasi isotonisitas dan panduan penyesuaian formulasi dengan tonicifiers, seperti natrium klorida atau dextrose
2. Urutan peringkat litik karakter forulas sebelum pengujian in vivo, dan
3. Komponen formulasi jika flebitis telah diamati sebelumnya. Menggunakan teknik hemolisis oleh Gupta dan rekan kerjanya. Obat dibedakan dari efek kendaraan, mempelajari bentuk garam yang berbeda dari obat dan menentukan buffer dan kekuatan penyangga
Metodhology untuk hemolisis assesment in vitro telah disempurnakan oleh buluh dan yalkowsky dan digunakan untuk mengkarakterisasi sifat heolytic berbagai cosolvents. similiarly, in vitro tikus L6 otot lisis sel telah dikembangkan dan berhasil diterapkan
• isotonisitas pengujian oleh pembekuan titik pengukuran depresi mungkin menjadi alternatif untuk penelitian in vitro. Dengan metode ini, ditentukan osmoticity formula relatif terhadap 0,9% NaCl. Rumus dapat menilai isotonik dengan darah jika diasumsikan bahwa baik obat maupun komponen rumus berinteraksi dengan membran sel. Seringkali dengan sistem khusus untuk melarutkan obat atau karena tes senyawa itu sendiri, asumsi ini tidak valid.
• Jika hemolisis formula parenteral adalah karena obat, penyesuaian isotonisitas akan melakukan sedikit untuk memperbaiki. Senyawa-senyawa tersebut membutuhkan infus sangat lambat untuk meminimalkan konsentrasi lokal yang tinggi. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa mengurangi konsentrasi air bebas dari obat juga dapat mengurangi iritasi pembuluh darah.
Untuk tujuan ini sebuah pengencer emulsi ditemukan lebih bermanfaat pada pasien dari pengencer dekstrosa. Dalam kasus lain modifikasi cheical. Contoh dari pendekatan ini adalah prodrug pembentukan antikanker obat bisantrene
Tingkat infus merupakan pertimbangan penting dalam penyampaian sistem kelarutan karena mempengaruhi konsentrasi dan durasi yang dinding pembuluh yang terkena agen menjengkelkan. Jika mungkin moderat tingkat curah hujan obat in vivo dan radang
Ward dan Yalkowsky mempelajari faktor ini menggunakan model telinga kelinci untuk flebitis, dengan memvariasikan laju aliran obat dari 0,02 - 3 mL / menit. Menariknya, flebitis minimal diamati pada 1,0 d 1,25 tarif injeksi mL / menit.
Berbagai tes in vitro telah dikembangkan untuk membantu pemilihan tingkat infus sebelum in vivo. The in vitro sistem aliran dinamis menggunakan deteksi spektrofotometrik precipitat, pada awalnya dikembangkan oleh Yalkowsky dan rekan kerjanya.
Model ini telah dimodifikasi untuk mempertimbangkan kapasitas buffer, seperti bisa diantisipasi dalam aliran darah dan protein yang mengikat melalui penggabungan albumin serum bovine ke dalam larutan infus. Sebuah sistem statis memanfaatkan dog plasma juga baru-baru dijelaskan. The renin inhibitor ditekren adalah contoh dari penerapan ini model in vitro untuk mempelajari pengendapan obat pada injeksi.