program pascasarjana institut agama islam...

128
KALALAH MENURUT IMAM SYAFI’I DAN HAZAIRIN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA TESIS Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mendapat Gelar Magister Hukum Islam dalam Bidang Hukum Keluarga Jurusan: Hukum Keluarga Oleh: M. GUNTUR AGENG PRAYOGI NPM. 1303162 PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO LAMPUNG 1439 H / 2018 M

Upload: others

Post on 09-Feb-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • KALALAH MENURUT IMAM SYAFI’I DAN HAZAIRIN

    SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM KEWARISAN ISLAM

    DI INDONESIA

    TESIS

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan

    Guna Mendapat Gelar Magister Hukum Islam

    dalam Bidang Hukum Keluarga

    Jurusan: Hukum Keluarga

    Oleh:

    M. GUNTUR AGENG PRAYOGI NPM. 1303162

    PROGRAM PASCASARJANA

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

    (IAIN) METRO LAMPUNG 1439 H / 2018 M

  • KALALAH MENURUT IMAM SYAFI’I DAN HAZAIRIN

    SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM KEWARISAN ISLAM

    DI INDONESIA

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mendapat Gelar Magister Syariah dalam

    Bidang Hukum Keluarga

    Program Studi: Hukum Keluarga

    Pembimbing I : Prof. DR. H. M. Damrah Khair, MA.

    Pembimbing II : Husnul Fatarib, MA., Ph.D.

    Oleh:

    M. GUNTUR AGENG PRAYOGI NPM. 1303162

    PROGRAM PASCASARJANA

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

    (IAIN) METRO LAMPUNG 1439 H / 2018 M

  • ABSTRAK

    Al-Qur’an merupakan acuan pertama hukum dan penentuan pembagian waris.

    Hanya sedikit saja dari hukum-hukum waris yang ditetapkan oleh Sunnah Nabi atau dengan

    ijtihad para ulama. Namun perbedaan pemahaman dan aplikasi mengantarkan hukum waris

    bersifat legal formalis dan menyebabkan fragmentasi aliran pemikiran yang berujung

    dengan kelahiran mazhab-mazhab. Penyebab utama timbulnya beragam interpretasi hukum

    kewarisan adalah: Pertama, metode dan pendekatan yang digunakan oleh para ulama dalam

    melakukan ijtihad berbeda. Kedua, perbedaan kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama

    melakukan ijtihad.

    Kalalah merupakan kasus yang terjadi polemik tersendiri di samping kasus

    pembagian waris 2:1 karena Nabi SAW pun belum menjelaskannya secara detail kepada

    para sahabat. Kasus kalalah ini memang cukup rumit sehingga mengakibatkan terjadinya

    perbedaan penafsiran para ulama terhadap ayat kalalah tersebut. Berawal dari

    permasalahan ini, penulis ingin mengangkat judul tesis untuk membahas mengenai kalalah

    menurut ulama salaf (Imam Syafi’i) dan ulama khalaf (khalaf) serta imlikasinya terhadap

    hukum kewarisan Islam di Indonesia.

    Penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder sebagai bahan pokok, maka

    penelitian penulis ini merupakan penelitian pustaka (library research). Yang mana, data ini

    terbagi menjadi 3, yaitu bahan hukum primer (al-Qur’an dan Tafsirnya, Kitab-kitab Hadis,

    buku-buku karya Imam Syafi’i dan Hazairin, dan atau buku-buku yang memuat pendapat

    Imam Syafi’i dan Hazairin tentang kewarisan/kalalah), sekunder (buku fiqh penunjang

    tentang ilmu waris) dan tersier (Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Arab, dan

    Ensiklopedi Hukum Islam).

    Hasil penelitian bahwa kalalah menunjuk kepada ahli waris, selain kedua ibu bapak

    dan anak. Dalam hal ini, dapat dipahami, ahli waris terdekat selain ibu bapak (orang tua)

    dan anak, adalah garis ke atas dan ke samping, yaitu kakek dan saudara. Oleh karena ini,

    mengenai kalalah ini merupakan pembahasan mengenai kemungkinan ahli waris,

    kedudukan dan bagian ahli waris antara saudara, kakek, dan atau saudara bersama kakek.

    Dan berikut merupakan salah satu bagian kemungkinan dalam kalalah, yaitu Imam Syafi'i

    berpendapat bahwa ayah menghalangi kakek, dan kakek menggantikan ayah, sehingga ayah

    dan kakek menghalangi saudara. Sedangkan menurut Hazairin kakek hanya diperbolehkan

    tampil (mewaris) jika tidak ada lagi keturunan, orang tua, dan tidak ada lagi saudara. Begitu

    pula jika terdapat keturunan yang lebih jauh dari anak, keturunan saudara (mawali bagi

    mendiang saudara yang bersangkutan, yaitu yang menjadi penghubung bagi mereka) kakek

    ataupun nenek tidak bisa mewaris, sebab berbenturan dengan perumusan surat al-Nisa': 33,

    yaitu tidak boleh menjadi mawali bagi orang tua (ayah atau ibu).

    Permasalahan kalalah tidak tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),

    namun penyelesaiannya mempunyai tempat dalam KHI pada pasal 229, yaitu “Hakim

    dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan

    dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga

    putusannya sesuai dengan rasa keadilan”, sehingga dapat diterapkan penyelesaiannya pada

    pendapat imam Syafi'i.

  • THE KALALAH ACCORDING TO IMAM SHAFI'I AND HAZAIRIN

    AS WELL AS THEIR IMPLICATIONS FOR ISLAMIC HEREDITARY LAW IN

    INDONESIA

    By M. Guntur Ageng Prayogi

    ABSTRACT

    The holy Qur'an is the first reference of the law and the determination of the

    distribution of inheritance. Little of the hereditary laws is established by the Sunnah of the

    Prophet or with the ijtihad of the ulamas. However, the differences in understanding and

    application lead the hereditary law to be legal formalists and to cause fragmentation of

    schools of thought which culminate in the birth of Islamic schools of thought. The main

    causes of the emergence of various interpretations of heredity law are: First, the methods

    and approaches employed by the ulama in conducting ijtihad are different. Secondly, the

    differences of community conditions and the timing in conducting of ijtihad.

    Kalalah constitutes a case of a polemic occurring in addition to the case of 2: 1

    inheritance distribution because the Prophet Saw did not explain it thoroughly to the

    friends. The case of Kalalah is indeed quite complicated so that resulting the differences in

    interpreting against the verse of kalalah. Arising from this problem, the author intended to

    raise a thesis to discuss the kalalah according to salaf ulama (Imam Shafi'i) and khalaf

    ulama (Hazairin) as well as their implications for Islamic hereditary law in Indonesia.

    In this study, the authors use secondary data as the main ingredient. Therefore, this

    research is called a library research in which, the data is divided into three parts, namely the

    primary law (Qur'an and the interpretation, Books of Hadith, books of Imam Syafi'i and

    Hazairin, and/or books that contain the opinion of Imam Shafi'i and Hazairin about

    inheritance / kalalah), secondary (books of fiqh supporting the hereditary science) and

    tertiary (Indonesian Dictionary, Arabic Dictionary, and Encyclopedia of Islamic Law).

    The results of the research shows that kalalah refers to the heir, in addition to both

    child's father and mother. In this case, it can be understood that the closest heirs besides the

    father and mother (parents) and children, are the line upward and to the side, namely

    grandfather and brothers. Therefore, kalalah is a discussion about the possibility of heirs,

    the position and the part of the heirs between brothers, grandfather, and or brother with

    grandfather. And here is one of the possibilities in kalalah, that is, Imam Shafi'i argues that

    father prevents grandfather, and grandfather succeeds father, so father and grandfather

    prevents brothers. Whereas, according to Hazairin grandfather is only allowed to appear

    (inherit) if there are no more descendants, parents, and no more brothers. Likewise, if there

    is a further descendant from the child, offspring brothers (mawali in the case of the

    deceased relative), grandfather or grandmother can not inherit, because it collides with the

    formulation of al-Nisa ': 33, i.e. it is forbidden to become a mawali for parents (father or

    mother).

    The problem is not contained in the Compilation of Islamic Law (KHI).

    Nevertheless, the settlement has a place in the KHI in article 229, that is "Judge in settling

    the cases submitted to him, must pay serious attention to the legal values that live in

    society, so that its verdict is in accordance with the sense of justice ", so that its solution

    can be applied to the opinion of Imam Shafi'i.

  • HALAMAN PERSETUJUAN

    Judul : Kalalah Menurut Imam Syafi’i dan Hazairin serta Implikasinya dalam

    Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

    Nama : M. Guntur Ageng Prayogi

    NPM : 1303162

    Program Studi : Hukum Keluarga

    MENYETUJUI:

    Untuk diujikan dalam sidang munaqosyah Program Studi Hukum Keluarga Program

    Pascasarjana IAIN Metro.

    Prof. Dr. H. M. Damrah Khair, MA.

    NIP. 19440825 197106 1 001

    Husnul Fatarib, Lc., Ph.D.

    NIP. 19740104 199903 1 004

  • HALAMAN PENGESAHAN

    Tesis dengan judul: “Kalalah Menurut Imam Syafi’i dan Hazairin serta Implikasinya

    dalam Hukum Kewarisan Islam di Indonesia” yang ditulis oleh M. Guntur Ageng

    Prayogi dengan NIM 1303162 Program Studi Hukum Keluarga telah diujikan dalam

    sidang munaqosah Program Pascasarjana IAIN Metro Lampung pada Jum’at, 14 Juli 2018.

    TIM PENGUJI:

    Pengujin Utama Dr. Tobibatussaadah, M.Ag.

    Pembimbing 1 / Prof. Dr. H. M. Damrah Khair, MA.

    Penguji 1

    Pembimbing 2 / Husnul Fatarib, Lc., Ph.D.

    Penguji 2

    KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

    PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO

    PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA Jl. Ki Hajar Dewantara 15A Kel. Iring Mulyo Kota Metro | Telp. (0725) 41507

  • ORISINILITAS PENELITIAN

    Yang bertanda tangan di bawah ini:

    Nama : M. GUNTUR AGENG PRAYOGI

    NPM : 1303162

    Program Studi : Hukum Keluarga (HK)

    Menyatakan bahwa tesis ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian saya kecuali bagian-

    bagian tertentu yang dirujuk dari sumbernya dan disebutkan dalam daftar pustaka.

    Metro, 17 Desember 2017

    Yang menyatakan,

    M. Guntur Ageng Prayogi

    NPM. 1303162

  • PERSEMBAHAN

    Tesis ini penulis persembahkan untuk:

    Bunda Siti Maesaroh dan Ayahnda Ahmad Mujiono, yang telah banyak

    membantu dan mendoakan penulis ‘disetiap doanya’ dalam menuntut ilmu,

    Istriku Latifah, yang kucintai karena Allah,

    dan anak-anakku Zaid Ramadhan ar-Royyan dan

    Zahran Zhahirul Haq yang sholih. Aamiin...

    Adik-adikku; Rosyadi Ahmad, Mas ‘Ulatusy Syari,

    M. Muhith Asy’ari, dan Zerina Amalia Zuhro yang ku sayangi,

    Bapak Thoriq, mamak Sriyatun, dan saudara-saudara di Kalirejo

    Yang turut membantu dan mendoakan penulis

    Saudara seperjuangan SDIT Wahdatul Ummah Metro

    Kepala Sekolah, Dewan Guru, dan Orangtua (Yayasan) WU

    Rekan-rekan Alumni Program Studi Hukum Keluarga

    Serta kepada almamater IAIN Metro Lampung.

  • MOTTO

    تَ َعلَُّمْوا اْلَفَرا ِئَض َو َعلَُّمْوهُ

    “Belajarlah ilmu faraidh, dan ajarkanlah”

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Swt., yang telah

    melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis

    dengan judul “Kalalah Menurut Imam Syafi’i dan Hazairin serta Implikasinya dalam

    Hukum Kewarisan Islam di Indonesia”.

    Penulisan tesis ini adalah sebagai salah satu bagian dari persyaratan untuk

    menyusun Tesis guna menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana (PPs) Program

    Studi Hukum Keluarga IAIN Metro Lampung guna memperoleh gelar M.H.

    Dalam upaya penyusunan tesis ini, penulis telah menerima banyak bantuan dan

    bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karenanya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Ibu Prof. DR. Enizar, MA. Selaku pimpinan/rektor IAIN Metro Lampung

    2. Ibu DR. Thobibatussadah, MA. Selaku direktur Pascasarjana dan sekaligus penguji

    yang telah memberikan bimbingan dalam perbaikan tesis yang penulis buat.

    3. Bapak DR. Edi Susilo, SH., MH. Selaku Plt. Ketua Prodi Hukum Keluarga yang telah

    membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

    4. Bapak Prof. DR. H. M. Damrah Khair, MA. selaku pembimbing I dan Bapak Husnul

    Fatarib, Lc., Ph.D. selaku pembimbing II yang telah memberi bimbingan yang sangat

    berharga dalam mengarahkan dan memberi motivasi dalam penyelesaian tesis ini.

    5. Bunda dan Yanda yang tak pernah lelah memberi nasehat, memotifasi, dan mendoakan

    penulis agar dapat menyelesaikan tesis ini.

    6. Istri yang setia mendampingi dan sabar mensupport penulis agar dapat menyelesaikan

    tesis ini

  • 7. Rekan-rekan HK angkatan 2013 dan Sahabat Perjuangan (Kepala Sekolah dan Dewan

    Guru) di SDIT Wahdatul Ummah Metro yang selalu mengingatkan dan membantu atas

    terselesaikannya tesis ini.

    Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan tesis ini.

    Oleh karena itu, penulis sangat memerlukan masukan dan bantuan dari seluruh pihak demi

    perbaikan tesis ini. Dan mudah-mudahan tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua

    khususnya bagi penulis.

    Metro, Juli 2018 M.

    Syawal 1439 H.

    Penulis,

    M. Guntur Ageng Prayogi

    NPM. 1303162

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN SAMPUL ................................................................................................. i

    HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... ii

    ABSTRAK ................................................................................................................. iii

    LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................... v

    ORISINILITAS PENELITIAN ................................................................................... vi

    PERSEMBAHAN ......................................................................................................... vii

    MOTTO ................................................................................................................. viii

    KATA PENGANTAR .................................................................................................. ix

    DAFTAR ISI .................................................................................................................. xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

    B. Permasalahan ..................................................................................... 9

    C. Rumusan Masalah ............................................................................. 10

    D. Tujuan Penelitian ............................................................................... 10

    E. Telaah Pustaka ................................................................................... 11

    F. Metode Penelitian .............................................................................. 13

    1. Jenis Penelitian ............................................................................ 13

    2. Sumber Data ................................................................................ 13

    3. Metode Pengumulan Data ......................................................... 15

    4. Analisis Data ................................................................................ 15

    G. Sistematika Penelitian ....................................................................... 17

    BAB II KALALAH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM

    DAN PAYUNG HUKUMNYA

    A. Pengertian Kalalah ............................................................................ 19

    B. Dasar Hukum Kalalah ...................................................................... 21

    1. Al-Qur’an ...................................................................................... 21

    2. Hadis .............................................................................................. 23

    C. Konsep Kewarisan Menurut Imam Syafi’i dan Hazairin ............. 24

  • 1. Konsep Kewarisan Menurut Imam Syafi’i ................................ 24

    a. Dzu al-Faraid ........................................................................... 25

    b. Ashabah .................................................................................... 26

    2. Konsep Kewarisan Menurut Hazairin ....................................... 36

    a. Dzu al-Faraid ........................................................................... 36

    b. Dzu al-Qarabah ....................................................................... 42

    c. Mawali ...................................................................................... 44

    D. Payung Hukum Kewarisan Islam di Indonesia ............................. 48

    BAB III KALALAH MENURUT IMAM SYAFI’I DAN HAZAIRIN

    A. Biografi Imam Syafi’i dan Hazairin ................................................ 52

    1. Biografi Imam Syafi’i ................................................................... 52

    2. Biografi Hazairin .......................................................................... 55

    B. Pembagian Warisan Kalalah ............................................................ 58

    1. Pembagian Warisan Kalalah Menurut Imam Syafi’i ............... 58

    a. Bagian Waris Kakek ................................................................ 58

    b. Bagian Waris Saudara ............................................................. 60

    c. Bagian Waris Kakek Bersama Saudara .................................. 65

    2. Pembagian Warisan Kalalah Menurut Hazairin ....................... 72

    a. Bagian Waris Kakek ................................................................ 72

    b. Bagian Waris Saudara ............................................................. 74

    c. Bagian Waris Kakek Bersama Saudara .................................. 81

    BAB IV ANALISIS

    A. Analisis Pola Pikir Imam Syafi’i dan Hazairin .............................. 90

    1. Faktor Perbedaan antara Pendapat Imam Syafi’i dan Hazairin 90

    2. Persamaan Pendapat antara Imam Syafi’i dan Hazairin 96

    3. Perbedaan Pendapat antara Imam Syafi’i dan Hazairin . 96

    B. Analisis Kedudukan Kalalah dalam Hukum Kewarisan

    Islam di Indonesia .......................................................................... 103

    BAB V KESIMPULAN ........................................................................................ 106

  • DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Ketika ada seseorang meninggal dunia, maka perhatian orang-orang (ahli

    waris) akan tertuju kepada harta warisan yang ditinggalkan. Masalah harta

    pusaka biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga, terutama apabila

    menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak. Setelah itu, apabila

    berhak, seberapa banyak hak itu. Hal ini menimbulkan perselisihan dan akhirnya

    menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-adilnya, oleh

    yang lain dianggap tidak adil.1

    Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci agar tidak

    terjadi perselisihan antara sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya

    diwarisi. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia,

    baik laki-laki maupun perempuan. Islam menghendaki prinsip keadilan sebagai

    salah satu sendi pembinaan masyarakat dapat ditegakkan.2

    Hukum kewarisan menempati tempat yang sangat penting dalam

    perkembangan sejarah hukum Islam . Karenanya, para fuqaha’ dan mufassir

    banyak memperbincangkan masalah tersebut, mulai dari masa klasik sampai

    1 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, Jilid 3, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.4. 2 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h.4

  • 2

    sekarang. Bahkan para fuqaha’ menjadikan hukum tersebut sebagai salah satu

    cabang ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu ”waris” atau ilmu fara’id.3

    Hukum Kewarisan dalam Islam (fiqh mawaris) mendapat perhatian yang

    besar karena dalam pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang

    tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Naluriah

    manusia yang menyukai harta benda (QS. Ali Imron, 3: 14) tidak jarang

    memotivasi seseorang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta

    tersebut, termasuk di dalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri.

    Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat manusia hingga sekarang ini.4

    Ilmu fara’id dianggap penting, karena disandarkan pada sabda Rasulullah

    Saw., yang berbunyi:

    ةا ْيرا َُّمْوُه , َيا َأَبا ُهرا ا ئِضا وا عال َُّمْوا الْفارا ل َُّه ِنْصُف الِْعْْلِ , تاعا ن ُِهوا يُنُُْس , فاإ ٍء , وا ْ ُل َشا ُهوا َأوَّ وا

    ِت 5 يُْْناُع ِمْن ُأمَّArtinya: “Hai Abu Hurairah belajarlah ilmu fara’id dan ajarkanlah ilmu itu.

    Karena ilmu tersebut merupakan separuh dari ilmu-ilmu yang ada. Ilmu

    ini merupakan ilmu yang pertama dilupakan orang”.

    3 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 14, Alih Bahasa oleh Mudzakir, (Bandung: Al-Ma’arif),

    Cet. 1, 1997, h.252.

    4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), Cet

    Ke-3, h.356

    5 Abi Abdilah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, Juz II, (Semarang: Toha

    Putra), tt, h.908.

  • 3

    Berdasarkan hadis tersebut Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa

    mempelajari dan mengajarkan ilmu fara’id bagi seluruh umat Islam adalah

    hukumnya fardu kifayah (kewajiban kolektif).6

    Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang

    berkaitan dengan hak kewarisan, tanpa mengabaikan hak seorangpun. Bagian

    yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap

    pewaris, apakah ia sebagai anak, ayah, ibu, istri, suami, kakek, nenek, cucu, atau

    bahkan hanya sebatas saudara seayah, seibu ataupun sekandung.

    Oleh karena itu, al-Qur’an merupakan acuan pertama hukum dan

    penentuan pembagian waris. Hanya sedikit saja dari hukum-hukum waris yang

    ditetapkan oleh Sunnah Nabi atau dengan ijtihad para ulama. Bahkan tidak ada

    dalam al-Qur’an seperti hukum waris. Ini adalah karena pewarisan merupakan

    suatu wasilah yang besar pengaruhnya dalam pemilikan harta dan

    memindahkannya dari seseorang kepada orang lain.7

    Syari’at Islam telah menjelaskan hak-hak yang berhubungan dengan harta

    peninggalan, tertib hak-hak, rukun-rukun, syarat dan sebab-sebab perpindahan

    harta waris, hal-hal yang menjadi penghalang mewarisi, bagian masing-masing

    ahli waris dan hukum-hukum yang berpautan dengan harta warisan.

    6

    Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam),

    (Jakarta: Gaya Media Pratama), Cet. 2, 2002, h. 23.

    7 Muhammad Hasbi Asy-Syidiqie, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997),

    h.7.

  • 4

    Namun perbedaan pemahaman dan aplikasi mengantarkan hukum waris

    bersifat legal formalis dan menyebabkan fragmentasi aliran pemikiran yang

    berujung dengan kelahiran mazhab-mazhab. Penyebab utama timbulnya beragam

    interpretasi hukum kewarisan adalah: Pertama, metode dan pendekatan yang

    digunakan oleh para ulama dalam melakukan ijtihad berbeda. Kedua, perbedaan

    kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad.8

    Di sisi yang lain, masalah kewarisan tidak jarang menimbulkan sengketa

    di antara ahli waris. Masalah kewarisan ini menyangkut tiga unsur atau

    menyangkut rukun dan syarat yakni:

    Pertama, harta warisan (maurus), bagaimana wujud harta benda yang

    beralih dipengaruhi oleh sifat kekeluargaan di mana pewaris dan ahli

    waris berada.

    Kedua, pewaris (muwarris), bagaimana hubungan pewaris dengan harta

    bendanya dipengaruhi oleh sistem, sifat dan lingkungan kekeluargaan di

    mana pewaris berada.

    Ketiga, ahli waris, bagaimana dan sejauh mana ada ikatan kekerabatan

    antara pewaris dan ahli waris.9

    Ketika dilihat dari nash-nash kewarisan yang ada, maka masalah

    kewarisan dianggap telah jelas (qath’i) dalam beberapa hal, sebagai contoh

    bahwa ayat tersebut qath’i adanya adalah surat an-Nisa’ [4]: 12, yaitu tentang

    bagian suami.10

    8 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jilid I, (Jakarta: CV. Haji Masagung), Cet. 7, 1994, h.197.

    9 Abdul Azis Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, (Jakarta: Ichtiar Baru van

    Hoeve), Cet. ke-1, h. 308-309.

    10

    Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang, Dina Utama - Toha Putra Group), Cet.

    Ke-1, 1994, h. 38.

  • 5

    Terkait dengan ketentuan bagian masing-masing ahli waris telah diatur

    dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 11, 12 dan 176. Di mana al-Qur’an surat an-

    Nisa’ ayat 11 Allah telah menggambarkan pembagian warisan untuk anak-anak,

    baik anak laki-laki, anak perempuan, maupun cucu, baik cucu laki-laki maupun

    cucu perempuan dan bagi orang tua (abawaini), baik bapak/ibu maupun

    kakek/nenek. Pada ayat 12 surat an-Nisa’, Allah menggambarkan pembagian

    warisan untuk suami maupun isteri. Pada ayat itu juga (an-Nisa’; 12), Allah

    menggambarkan pembagian warisan saudara-saudara (kasus kalalah) dan ayat

    176 juga menjelaskan tentang kasus kalalah.

    Kalalah QS. An-Nisa’ ayat 12

  • 6

    Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-

    isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari

    harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka

    buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh

    seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai

    anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh

    seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi

    wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.

    jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak

    meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai

    seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara

    perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis

    saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu

    lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,

    sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar

    hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).

    (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-

    benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha

    Penyantun”.11

    Kalalah QS. an-Nisa’ ayat 176

    11

    Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung: CV Diponegoro), 2010, h.79

  • 7

    Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah12

    ). Katakanlah:

    "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang

    meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai

    saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu

    seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-

    laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak

    mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka

    bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang

    meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-

    saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-

    laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah

    menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan

    Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.13

    Dari kedua ayat di atas, yang menjadi perhatian penulis adalah terkait

    persoalan kalalah. Kalalah merupakan kasus yang terjadi polemik tersendiri di

    samping kasus pembagian waris 2:1 karena Nabi SAW pun belum

    menjelaskannya secara detail kepada para sahabat. Ketika Sahabat Umar

    membahas masalah kalalah dengan Rasulullah, Rasulullah malah mencubit

    perutnya dengan jari-jari beliau sambil bersabda, “Cukuplah kamu dengan ayat

    terakhir surat an-Nisa’. Dan selama hidupmu, jika kamu dihadapkan masalah ini,

    maka putuskanlah masalah ini sesuai dengan ayat itu, baik kepada orang yang

    membacanya ataupun kepada orang yang tidak membacanya.” Dan saat Umar

    12 Kalalah Ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak. 13

    Departemen Agama RI, al-Qur’an dan ..., h.106

  • 8

    ditikam juga berkata, “Ketahuilah, bahwa aku tidak berkomentar apapun dalam

    masalah kalalah”.14

    Adanya ketidakjelasan Rasulullah Saw. dalam mendefinisikan

    menyebabkan para ulama’ melakukan ijtihad dalam menjawab permasalahan

    kalalah. Para ulama’ salaf mendefinisikan kalalah adalah seseorang yang

    meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah. Ada juga yang mendefinisikan

    bahwa kalalah itu seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak laki-laki

    dan ayah.

    Penggunaan istilah kalâlah bisa untuk pewaris dan ahli waris. Ada pendapat

    beberapa ahli bahasa tentang pewaris yang kalâlah, yaitu: (1) Orang yang tidak

    mempunyai anak dan orang tua. (2) Orang yang tidak mempunyai keluarga dan

    kerabat. (3) Orang yang meninggal. (4) Orang yang tidak mempunyai anak, orang

    tua dan saudara. Ahli waris yang kalâlah adalah saudara seibu dan saudara seayah.

    Saudara seibu disebut dengan kalâlah ibu dan saudara seayah disebut dengan

    kalâlah ayah.15

    Para ulama’ salaf, termasuk Imam Syafi’i, membedakan bagian warisan

    untuk saudara-saudara, yaitu saudara seibu yang tercantum dalam An-Nisa’; 12

    sedangkan saudara sekandung ataupun saudara seayah pada an-Nisa’; 176.

    Adapun mengenai bagian-bagian harta waris yang akan diterima saudara,

    para ulama’ klasik (ulama salaf) menafsirkannya tidak jauh berbeda dengan apa

    14 Muhammad Baltaji, Manhaj ’Umar bin Khatab fi at-Tasyri’ Dirasah Mastu’ibah li fiqhi

    ’Umar wa Tandhimatihi, Terj. Metodologi Ijtihad Umar bin Al-Khatab oleh Masturi Irham, (Jakarta:

    Khalifa, 2005), Cet. Ke-1, h.342. 15 Ibn al-´Arabî, Ahkâm al-Qur’ân, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1998), Jilid II, h. 448.

  • 9

    yang tercantum dalam kedua ayat tersebut. Bagian untuk seorang saudara laki-

    laki atau perempuan seibu mendapat 1/6 sedangkan kalau untuk kumpulan

    saudara seibu mendapat 1/3 bagian. Bagian untuk seorang saudara perempuan

    sekandung atau seayah mendapat ½ bagian, dan apabila dua orang atau lebih

    mendapat 2/3 bagian. Sedangkan untuk saudara laki-laki sekandung atau seayah

    mendapat ashabah (sisa).

    Sedang menurut Hazairin, dengan menunjuk pada berbagai sistem

    hubungan persaudaraan dalam hukum adat, kemudian menyatakan bahwa dalam

    sistem kekeluargaan yang bilateral, maka saudara kandung itu mungkin artinya

    saudara seayah atau mungkin pula saudara seibu, atau saudara seayah dan seibu,

    sehingga termasuk di dalamnya semua jenis hubungan persaudaraan. Dalam

    sistem ini orang hanya mungkin bersaudara atau tidak bersaudara. Pengertian

    saudara tiri memang ada dalam masyarakat bilateral, namun yang disebut saudara

    tiri itu sama sekali bukan saudara, melainkan orang lain yang benar-benar tidak

    ada sangkut paut kedarahan apa-apa dengan orang yang menyebutnya.16

    Kasus kalalah ini memang cukup rumit sehingga mengakibatkan

    terjadinya perbedaan penafsiran para ulama terhadap ayat kalalah tersebut.

    Berawal dari permasalahan ini, penulis ingin mengangkat judul tesis untuk

    membahas mengenai kalalah menurut ulama salaf (klasik) dan ulama khalaf

    16

    Wahidah, Pemikiran Hukum Hazairin; Jurnal Ilmu Hukum, Volume 15 Nomor 1, Juni

    2015, h.37-50

  • 10

    (kontemporer). Pendapat ulama yang penulis ambil adalah Imam Syafi’i dari

    ulama salaf, dan Hazairin dari ulama khalaf.

    B. Permasalahan

    Dari latar belakang yang penulis paparkan, terdapat beberapa

    permasalahan yang timbul, antara lain:

    1. Pokok pembahasan kalalah,

    a. Definisi

    b. Sebab menjadi kalalah

    c. Pewaris dan ahli waris

    2. Ahli waris kalalah yang berhak memperoleh bagian waris.

    3. Bagian harta waris bagi ahli waris kalalah.

    C. Rumusan Masalah

    Dari permasalahan yang ada, penulis merumuskan masalah dalam bentuk

    pertanyaan, untuk dibahas dalam tesis ini, yaitu;

    “Bagaimana status dan bagian ahli waris dalam kalalah menurut Imam

    Syafi’i dan Hazairin, serta imlikasinya terhadap Hukum Kewarisan Islam di

    Indonesia?”

    D. Tujuan Penelitian

    Tujuan dari penelitian yang penulis lakukan ini, memiliki beberapa tujuan

    yang ingin dicapai, antara lain:

  • 11

    1. Dapat menambah wawasan mengenai permasalahan kewarisan, spesifik

    mengenai kalalah.

    2. Mengetahui bagaimana masalah kewarisan tersebut menjadi kalalah

    3. Dapat mengetahui secara spesifik mengenai status dan bagian ahli waris

    dalam kalalah

    4. Mengetahui keberpengaruhan pendapat ulama, baik ulama salaf maupun

    ulama khalaf, dalam penetapan mengenai kalalah

    E. Telaah Pustaka

    Penulis mengetahui, bahwa penelitian tentang kalalah sudah banyak

    dikupas, terlebih mengenai status dan bagian saudara dalam kalalah ketika

    bertemu dengan ahli waris lainnya, seperti kakek.

    Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN

    Walisongo Semarang contohnya, Nur Aliyah NIM 289061 tahun 1994 yang

    mengangkat judul penelitian akhirnya tentang “Studi Perbandingan Pendapat

    Imam Syafi’i dan Prof. Dr. Hazairin tentang Kedudukan Kakek bersama saudara

    dalam kewarisan”.

    Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa, menurut Imam Syafi’i kakek

    yang dapat mewarisi adalah kakek yang sahih (ayah dari ayah). Sedangkan dari

    garis ibu bukanlah sebagai ahli waris, dan kakek dapat sama-sama menjadi ahli

    waris jika bersama dengan saudara laki-laki atau perempuan sekandung atau

  • 12

    seayah, sementara saudara laki-laki atau perempuan seibu terhalang karena

    adanya kakek. Sedangkan Prof. Dr. Hazairin berpendapat kakek baik dari ayah

    atau ibu dapat sama-sama menjadi ahli waris hanya ketika kalalah, yaitu sebagai

    pengganti dari ayah atau ibu.

    Ini merupakan salah satu bagian dari pembahasan kalalah, sebagaimana

    Hazairin mengatakan bahwa tidak membedakan kakek dan atau saudara, baik

    yang sekandung, seayah, maupun seibu.

    Dalam penelitian lain, oleh Badrut Tammam NIM. 062111008 Fakultas

    Syariah IAIN Walisongo Semarang tahun 2011 yang berjudul “Studi Analisis

    Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Kewarisan Kakek Bersama Saudara”,

    menjelaskan Imam Abu Hanifah mengemukakan pendapat Abu Bakar bahwa

    kakek dari jalur laki-laki disamakan kedudukannya seperti ayah kandung (bila

    ayah sudah meninggal terlebih dahulu). Jadi, kakek menghijab saudara.

    Sehingganya saudara tidak mendapat bagian waris dari pewaris.

    Selanjutnya penelitian Putri Ajeng Fatimah, mahasiswa UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta Program Studi Tafsir – Hadis Fakultas Ushuluddin tahun

    2011 yang membahas mengenai “Waris Kalalah dalam Pandangan Wahbah Az-

    Zuhaily”. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa kalalah adalah seseorang yang

    meninggal tanpa meninggalkan orangtua dan keturunannya, mksdnya tidak

    meninggalkan ayah dan atau ibu, dan anak. Yang menjadi ahli waris adalah

    saudara laki-laki maupun perempuan, baik saudara kandung, seayah mauun

  • 13

    seibu. Ini berarti bahwa ada ketidakmungkinan saudara memperoleh bagian

    waris, jika pewaris meninggalkan ayah dan atau anak.

    Dari beberapa penelitian tersebut, penulis ingin membahas mengenai

    pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin tentang Kalalah, serta implikasinya

    terhadap Hukum Kewarisan Islam di Indonesia yang tercantum dalam Kompilasi

    Hukum Islam.

    F. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni jenis

    penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik

    atau bentuk hitungan lainnya.17

    Mengutip Bogdan dan Taylor, Lexy J. Moloeng mengatakan bahwa

    metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data

    17 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Basics Of Qualitative Research; Grounded Theory

    Procedures and Techniques, Terj. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif; Tata Langkah dan Teknikteknik

    Teoritisasi Data oleh Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),

    h. 4

  • 14

    deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

    yang dapat diamati.18

    Penelitian ini juga mendasarkan pada studi literer atas karya Imam

    Syafi’i dan Hazairin. Oleh karenanya, penelitian ini boleh juga disebut

    sebagai library research. Studi literer (library research) atas naskah tertulis

    tentang pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin, baik karyanya sendiri (primer)

    atau hasil kajian peneliti sekarang atas tokoh tersebut.

    2. Sumber Data

    Dalam sebuah penelitian terdapat beberapa sumber yang digunakan

    guna kelancaran dalam meneliti. Dalam hal ini, penulis menggunakan data

    sekunder untuk menyusun tesis ini. Dimana data sekunder adalah “secondary

    data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil

    penelitian yang berwujud laporan, buku harian seterusnya”.19

    Dipahami bahwa data ini merupakan sumber data pada penelitian tidak

    langsung yaitu melalui buku-buku, laporan-laporan, dan lain sebagainya.

    Karena dalam penelitian ini penulis tidak melakukan penelitian secara

    langsung di lapangan dan menggunakan data sekunder sebagai bahan pokok,

    maka penelitian penulis ini merupakan penelitian pustaka (library research).

    Dikatakan bahwa tujuan penelitian kepustakaan adalah “untuk mengumpulkan

    18 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: PT Rosdakarya,

    2005), Cet. XXI, h. 4. 19

    Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press), 1986, h.12.

  • 15

    data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat

    di ruang perpustakaan; buku-buku, majalah, dokumentasi dan kisah-kisah

    sejarah”20

    .

    Penulis menggunakan data sekunder sebagai sumber data dalam

    penelitian ini. Yang mana, data ini terbagi menjadi 3, yaitu bahan hukum

    primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan pokok

    yang penulis gunakan, yaitu; al-Qur’an dan Tafsirnya, Kitab-kitab Hadis,

    buku-buku karya Imam Syafi’i dan Hazairin, dan atau buku-buku yang

    memuat pendapat Imam Syafi’i dan Hazairin tentang kewarisan (kalalah).

    Bahan hukum sekundernya, penulis menggunakan buku-buku

    mengenai materi pembahasan seperti Fiqh Mawaris. Kemudian bahan hukum

    tersiernya, penulis menggunakan Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa

    Arab, dan Ensiklopedi Hukum Islam.

    3. Metode Pengumpulan Data

    Dalam penelitian ini, metode pengumpulan datanya dilakukan melalui

    penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka yang menjadi sumber data.

    Sumber data tersebut berupa literatur yang berkaitan dengan substansi

    penelitian ini.

    Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, peneliti menggunakan

    metode library research atau studi kepustakaan yaitu usaha untuk

    20

    Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara, Jakarta, 2006,

    h.28.

  • 16

    memperoleh data dengan cara mendalami, mencermati, menelaah dan

    mengidentifikasi pengetahuan yang ada dalam kepustakaan (sumber bacaan,

    buku referensi atau hasil penelitian lain.21

    4. Analisis Data

    Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data

    dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema

    dan dapat dirumuskan ide yang disarankan oleh data.22

    Dalam memberikan interpretasi data yang diperoleh, penulis disini

    menggunakan metode sebagai berikut:

    a. Metode analisis deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dimaksud

    untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau

    kejadian-kejadian.23

    Metode ini digunakan untuk menggambarkan konsep sebagaimana

    adanya agar mendapatkan gambaran yang terkandung dalam konsep

    tersebut. Metode ini diterapkan pada BAB III yang berupa konsep-konsep

    pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin tentang kalalah.

    b. Metode content analisis merupakan metode analisis ilmiah dimana

    hasilnya harus menyajikan generalisasi, proses analisisnya

    21

    M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), h. 45.

    22 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian ..., h. 103. 23

    Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h.18

  • 17

    dilakukansecara sistematis, mengarah pada pemberian sumbangan

    teoritiknya.24

    Analisis ini bertumpu pada metode analisis deskriptif. Metode

    analisis ini diterapkan pada BAB IV

    c. Metode Analisis Komparatif adalah metode analisis yang digunakan untuk

    memperoleh kesimpulan dengan menilai faktor-faktor tertentu yang

    berhubungan dengan situasi yang diselidiki dan membandingkan dengan

    faktor-faktor lain.

    Metode analisis ini juga diterapkan pada BAB IV guna mengetahui

    perbedaan antara pemikiran Syahrur dengan para ulama’ klasik.

    G. Sistematika Penulisan

    Penelitian ini terdiri dari 5 bab, yakni: Sebagai media untuk memahami

    persoalan yang telah dikemukakan secara runut atau sistematis di atas, maka

    penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut:

    BAB I : Pendahuluan yang di dalamnya memuat Latar Belakang

    Masalah, Permasalahan dan Rumusan Masalah, Tujuan

    Penelitian, Telaah Pustaka terhadap penelitian terdahulu, Metode

    Penelitian, serta Sistematika Penulisan.

    BAB II : Menjelaskan tentang kerangka teoritik mengenai kalalah dan

    istinbath hukum. Di dalamnya akan penulis perjelas persoalan

    24

    Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1991), Cet III, hlm. 77.

  • 18

    tentang pengertian kalalah, landasan hukum, kalalah menurut

    para ulama’ klasik serta teori istinbath hukum yang berhubungan

    dengan kalalah.

    BAB III : menjelaskan mengenai Pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin

    tentang kalalah. Dalam bab ini akan dibahas Biografi, perjalanan

    intelektual dan karya-karya Imam Syafi’i dan Hazairin.

    Kemudian membahas pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin

    tentang kalalah dan metode istinbath hukum yang dipakai Imam

    Syafi’i dan Hazairin dalam kasus kalalah.

    BAB IV : Analisis terhadap Pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin tentang

    kalalah. Dan di dalamnya akan penulis muat implikasi pemikiran

    Imam Syafi’i dan Hazairin terhadap Hukum Kewarisan Islam di

    Indonesia.

    BAB V : Penutup merupakan akhir dari pembahasan penelitian ini yang

    meliputi Kesimpulan, Saran-saran dan Penutup.

  • 19

    BAB II

    KALALAH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM

    DAN PAYUNG HUKUM

    A. Pengertian Kalalah

    Kata “kalâlah” adalah bentuk masdar dari kata “kalla” yang secara

    etimologi berarti letih atau lemah. Kata kalâlah pada asalnya digunakan untuk

    menunjuk pada sesuatu yang melingkarinya serta tidak berujung ke atas dan ke

    bawah, seperti kata “iklil” yang berarti mahkota karena ia melingkari kepala.

    Seseorang dapat disebut kalâlah manakala ia tidak mempunyai keturunan dan

    leluhur (anak dan ayah). Kerabat garis sisi disebut kalâlah karena berada di

    sekelilingnya, bukan di atas atau di bawah.1 Kemudian kata kalâlah digunakan

    untuk seseorang yang tidak mempunyai ayah dan anak.2

    Penggunaan istilah kalâlah bisa untuk pewaris dan ahli waris. Ada pendapat

    beberapa ahli bahasa tentang pewaris yang kalâlah, yaitu: (1) Orang yang tidak

    mempunyai anak dan orang tua. (2) Orang yang tidak mempunyai keluarga dan

    kerabat. (3) Orang yang meninggal. (4) Orang yang tidak mempunyai anak, orang

    tua dan saudara.3

    1 Ibn Manzhûr, Lisân al-Arab, (Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid XV, h. 142; Muhammad

    Rawwâs Qal’ah Jî dan Hâmid Shâdiq Qunaybî, Mu’jâm Lughah al-Fuqahâ’, (Bayrût : Dâr al-Nafs,

    1998), h. 50; Muhammad Yûsuf Mûsâ, Al-Tirkah wa al-Mîrâts fî al-Islâm, (Mesir: Dâr al-Kitâb al-

    ´Arabî, 1959), h. 201.

    2 Al-Âlûsî al-Baghdâdî, Rûh al-Ma’ânî, (T.tp: Dâr al-Fikr, t.th), h. 358

    3 Ibn al-´Arabî, Ahkâm al-Qur’ân, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1998), Jilid II, h. 448.

  • 20

    Ahli waris yang kalâlah adalah saudara seibu dan saudara seayah. Saudara

    seibu disebut dengan kalâlah ibu dan saudara seayah disebut dengan kalâlah ayah.

    Kata “kalalah” dalam al-Qur'an merupakan salah satu ayat paling banyak

    diperselisihkan oleh para pakar tafsir, sampai-sampai diriwayatkan bahwa Umar

    bin Khatab r.a. berkata, “Tiga hal yang jika diperjelas keterangannya oleh Rasul,

    akan menjadi hal-hal yang lebih kusenangi dari kenikmatan duniawi: kalalah,

    riba dan kekhalifahan”.

    Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a., disebutkan bahwa Umar

    berkhutbah di atas mimbar Rasulullah SAW. setelah membaca hamdalah dan

    memuji Allah, ia berkata:

    رُِمهَا نَّ إخلَمَر نََزَل ََتْ َياَء , يَْوَم نََزَل , َوإ َسِة َأش ْ ِعْْيِ , ِمْن إلِْحْنَطِة : َوِهـَي ِمْن ََخْ , َوإلشَّ

    ِبيِْب , َوإلتَّْمرِ َياَء َوِدْدُت . َوإلَْخْمُر َما َخاَمَر إلَْعْقلَ . َوإلَْعَسلِ , َوإلزَّ َا إلنَّاُس , َوثَََلثَُة َأش ْ َأُّيه

    لَْينَا ِفْْيَا َأنَّ َرُسْوُل هللِا صىل هللا عليه وسمل ََِلُ , ََكَن َعهَِد إ َوَأبَْوإٌب ِمْن َأبَْوإِب , إْللََكَ

    بَ ِ إلر 4

    Artinya: “Sesungguhnya telah diturunkan ayat tentang pengharaman khamar

    (minuman keras) yang terbuat dari lima jenis; biji gandum, gandum,

    kurma, anggur dan madu. Khamar adalah sesuatu yang

    menghilangkan kesadaran akal. Dan ada tiga perkara, wahai hadirin

    sekalian, yang aku ingin sekali Rasulullah saw. mewasiatkan kepada

    kita yaitu mengenai warisan kakek, kalalah dan perkara-perkara yang

    masuk dalam kategori riba”.

    Dalam riwayat lain juga dinyatakan bahwa Umar seringkali bertanya

    dengan sungguh-sungguh kepada Rasulullah saw. tentang masalah kalalah ini,

    sampai-sampai beliau mendorong dada Umar sambil bersabda: “Cukup sudah

    4 Abi Al-Husain Muslim Bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburiy, Sahih Muslim, Juz 4,

    (Beirut Libanon, Dar Ihya’ At-turats Al-Arabi), 1991, h.2322.

    http://www.jadipintar.com/2013/05/al-quran-online-bisa-copy-paste.htmlhttp://www.jadipintar.com/2015/10/metode-jenis-dan-contoh-kitab-tafsir-populer-beserta-pengarangnya.htmlhttp://www.jadipintar.com/2014/05/Umar-Bin-Khattab-Khalifah-kedua-Cerdas-dan-Gagah-Berani.htmlhttp://www.jadipintar.com/2014/05/Umar-Bin-Khattab-Khalifah-kedua-Cerdas-dan-Gagah-Berani.htmlhttp://www.jadipintar.com/2015/05/biografi-ringkas-muhammad-saw-nabi-umat-islam-sedunia.html

  • 21

    bagimu ayat kalalah musim panas yang disebut pada akhir An-Nisa”. (Ayat ke-

    12 disebut ayat kalalah musim dingin, dan ayat 176 musim panas). Perbedaan

    pendapat dimulai dari akar katanya, selanjutnya makna kata itu sendiri dan

    terakhir, maksud penggalan ayat itu.

    Mayoritas pakar bahasa memahami kata kalalah dengan arti yang mati

    tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak; ada juga yang

    memahami dalam arti yang mati tanpa meninggalkan ayah saja, ada lagi yang

    berpendapat yang mati tanpa meninggalkan anak saja, dan masih banyak

    pendapat lain. Dan ada juga yang berpendapat bahwa kalalah menunjuk kepada

    ahli waris, selain kedua ibu bapak dan anak.

    B. Dasar Hukum Kalalah

    1. Al-Qur’an

    Qs. An-Nisa: 12

  • 22

    Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan

    oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-

    isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat

    dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang

    mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri

    memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu

    tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para

    isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan

    sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah

    dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki

    maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak

    meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki

    (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka

    bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.

    tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka

    mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi

    wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya

    dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)5

    . (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar

    dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.6

    An-Nisa’: 176

    5 Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih

    dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang

    dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.

    6 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung: CV Diponegoro), 2010, h.78-

    79

  • 23

    Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)7. Katakanlah:

    "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika

    seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan

    mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang

    perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan

    saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara

    perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara

    perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari

    harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka

    (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan,

    Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua

    orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)

    kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui

    segala sesuatu”.8

    2. Hadis

    ْبني ثَ َّنَّ َواللَّْفظح ِلي دح ْبنح اْلمح يُّ َوُمحَمَّ مي َقدَّ دح ْبنح َأِبي َبْكٍر اْلمح ثَ َنا ُمحَمَّ ثَ َّنَّ َحدَّ اْلمحثَ َنا قَ َتاَدةح َعْن َساِليي ْبني َأِبي َشاٌم َحدَّ ثَ َنا هي ثَ َنا ََيََْي ْبنح َسعييٍد َحدَّ قَاَِل َحدَّطَّابي َخَطَب يَ ْوَم ُجححَعٍة َفذََكَر اْلَْْعدي َعْن َمْعَداَن ْبني َأِبي طَْلَحَة َأنَّ عحَمَر ْبَن اْلَْ

    َّ اللَّهي َصلَّى اللَّهح َعلَ ي َشْيًئا َنِبي ْيهي َوَسلََّم َوذََكَر أَبَا َبْكٍر ُثحَّ قَاَل إيِّني َِل أَدَعح بَ ْعديوَل اللَّهي َصلَّى اللَّهح َعَلْيهي َوَسلََّم ِفي ْن اْلَكََلَلةي َما رَاَجْعتح َرسح ي مي أََهمَّ عيْندي

    7 Kalalah Ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak

    8 Departemen Agama RI, al-Qur’an ..., h.106

  • 24

    َما أَْغَلَظ ِلي فييهي َحَّتَّ َشْيٍء َما رَاَجْعتحهح ِفي اْلَكََلَلةي َوَما أَْغَلَظ ِلي ِفي َشْيٍء ري ْيفي الَِّتي ِفي آخي يَك آيَةح الصَّ َطَعَن بيإيْصَبعيهي ِفي َصْدريي َوقَاَل يَا عحَمرح َأَِل َتْكفيَا َمْن يَ ْقرَأح اْلقحْرآَن ي ِبي يٍَّة يَ ْقضي وَرةي النيَساءي َوإيِّني إيْن أَعيْش أَْقضي فييَها بيَقضي سح

    ثَ َنا إيْْسَعييلح اْبنح عحَليََّة َوَمْن َِل يَ ْقرَأح ثَ َنا أَبحو َبْكري ْبنح َأِبي َشْيَبَة َحدَّ اْلقحْرآَن و َحدَّيَم رح ْبنح َحْرٍب َوإيْسَحقح ْبنح إيبْ رَاهي ثَ َنا زحَهي ْ َعْن َسعييدي ْبني َأِبي َعرحوبََة ح و َحدَّ

    ْعَبَة كي ْسَنادي ََنَْوهح َواْبنح رَافيٍع َعْن َشَبابََة ْبني َسوَّاٍر َعْن شح ََذا اْْلي َا َعْن قَ َتاَدَة ِبي ََلُهح

    Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Bakar Al

    Muqaddami dan Muhammad bin Mutsanna dan ini adalah lafadz

    Ibnu Mutsanna, keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami

    Yahya bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Hisyam telah

    menceritakan kepada kami Qatadah dari Salim bin Abu Al Ja'd dari

    Ma'dan bin Abu Thalhah bahwa Umar bin Khatthab berkhutbah

    pada hari Jum'at, kemudian dia menyanjung Nabi Allah shallallahu

    'alaihi wasallam dan Abu Bakar, lalu dia berkata, "Sesungguhnya

    saya tidak akan meninggalkan sesuatu yang menurutku lebih

    penting daripada kalalah. Saya tidak pernah mengulang-ulang

    konsultasi kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang

    sesuatu yang melebihi konsultasiku kepadanya tentang kalalah,

    beliau juga tidak pernah bersikap keras terhadap suatu hal

    melebihi sikap kerasnya kepadaku dalam masalah kalalah, sampai-

    sampai beliau menekankan jari-jarinya ke dadaku sambil bersabda:

    "Wahai Umar, belum cukupkah bagimu ayat shaif yang terdapat

    pada akhir dari surat An Nisaa'? Seandainya saya masih hidup,

    maka saya akan menetapkan masalah kalalah dengan suatu

    ketetapan yang diputuskan oleh orang yang membaca Al Qur'an

    dan orang yang tidak membaca Al Qur'an." Dan telah

    menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah

    menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Ulayyah dari Sa'id bin Abu

    'Arubah. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada

    kami Zuhair bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim dan Ibnu Rafi' dari

  • 25

    Syababah bin Sawwar dari Syu'bah keduanya dari Qatadah dengan

    isnad ini, seperti hadits tersebut”.9

    C. Konsep Kewarisan Menurut Imam Syafi’i dan Hazairin

    1. Konsep Hukum Waris menurut Imam Syafi'i

    Konsep kewarisan menurut Imam Syafi'i sama dengan ulama Sunni,

    yang pembagiannya sebagai berikut:

    Jika dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima, dapat dibedakan

    kepada:10

    a. Dzu Al-Fara'id

    Dzu al-fara'id adalah ahli waris yang mendapatkan bagian waris

    yang telah ditentukan dan dalam keadaan ditentukan pula secara pasti

    oleh al-Qur'an, al-Sunnah, dan Ijma‘. Adapun bagiannya dalam al-Qur'an

    adalah: ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, 2/3.1111

    Kata "al-fara'id" adalah fail dari

    "farada" yang bermakna kewajiban, kemudian dikonotasikan pada

    faridatan surat al-Nisa' ayat 11. Menurut al-Qur'an surat al-Nisa' ayat 11,

    12, dan 176 adalah ahli waris yang mendapat saham tertentu berjumlah

    (9) sembilan orang, sedangkan yang lainnya menurut jumhur ulama'

    merupakan tambahan dari hasil ijtihad, seperti kata "walad" berkonotasi

    9 HR. Muslim No. 3032

    10 Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, h. 68

    11

    Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, h. 68-69.

    (Musa bin ‘Imran, al-Bayan fi Fiqh al-Imam al-Syafi'i, Juz IX., h. 33)

  • 26

    pada cucu, "abun" dan "ummun" kepada kakek dan nenek. Perinciannya

    sebagai berikut:

    1) Surat al-Nisa' ayat 11, adalah ahli waris itu adalah anak perempuan,

    ayah, dan ibu.

    2) Surat al-Nisa' ayat 12, ahli waris itu adalah suami, istri, saudara laki-

    laki seibu dan saudara perempuan seibu.

    3) Surah al-Nisa' ayat 176, ahli waris itu adalah saudara perempuan

    sekandung dan seayah.12

    Dzu al-fara'id secara keseluruhan terdiri dari sepuluh ahli waris,

    yang digolongkan dalam ashab al-nasabiyah (kelompok orang yang

    berdasarkan nasab), yaitu; ibu, nenek, anak perempuan, bintu al-ibni

    (cucu perempuan dari anak laki-laki), saudara perempuan (kandung dan

    seayah), walad al-umm (saudara laki-laki dan perempuan seibu), ayah

    bersama anak laki-laki atau ibnu al-ibni (cucu laki-laki dari anak laki-

    laki), kakek sahih (ayahnya ayah) dan ashab al-furud al-sababiyah

    (kelompok orang yang menjadi ahli waris sebab perkawinan), yaitu;

    suami dan istri.13

    b. Ashabah

    12

    Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir

    Tematik, h.104

    13

    Musa bin ‘Imran al-‘Imrani, al-Bayan fi Fiqh al-Imam al-Syafi'i, Juz IX., h. 33

  • 27

    Ashabah dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak

    bapak kerena menguatkan dan melindungi atau kelompok yang kuat,

    sebagaimana kata ‘usbatun dalam surat Yusuf ayat 14. Menurut istilah

    fuqoha' mengartikan ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian

    dalam al-Qur'an dan al-Sunnah dengan tegas. Kalangan ulama fara'id

    lebih masyhur dengan mengartikan orang yang menguasai harta waris

    kerena ia menjadi ahli waris tunggal. ‘Ashabah mewarisi harta secara

    ‘usubah (menghabiskan sisa bagian) tanpa ditentukan secara pasti

    bagiannya, tergantung pada sisa setelah dibagikan kepada dzu al-

    Fara’id.14

    Menurut Musa bin ‘Imran al-‘Imrani, ‘Ashabah dalam madzhab

    Syafi'i berdasarkan surat al-Nisa' ayat 33, yaitu

    … Artinya: “bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan

    ibu bapak dan karib kerabat, …”. (QS. An-Nisa [4]: 33)

    Dalam ayat tersebut, "wa likulli ja'alna mawaliya mimma taraka al-

    walidani wa al-aqrabuna", yang mana al-'aqrabuna diartikan ahli

    ‘ashabah.15

    14

    M. Ali al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al-

    Sunnah, alih bahasa M. Basalamah, h. 60-61.

    15

    Musa bin ‘Imran al-‘Imrani, al-Bayan fi Fiqh al-Imam al-Syafi'i, Juz IX, h.63.

  • 28

    Pengertian lain 'ahli ‘ashabah adalah mereka yang tali hubungan

    kerabatnya dengan yang meninggal tidak bersambung dengan jenis

    perempuan, baik itu bersambungan langsung tanpa kerabat sela ataupun

    disambungkan dengan kerabat seorang, dua orang, dan seterusnya.16

    ‘Ashabah menjadi tiga bagian:

    Pertama, ‘Ashabah bi al-Nafsi, yaitu semua orang laki-laki yang

    pertalian nasabnya kepada pewaris tidak terselingi oleh perempuan.

    Bagian mereka ditentukan oleh kedekatannya kepada pewaris, tanpa

    memerlukan orang lain agar dapat mewarisi secara ‘ushbah. Mereka

    adalah:

    1) Far’un waris muzakkar, yaitu anak turun dari garis laki-laki sampai ke

    bawah,

    2) Ayah, kakek dan seterusnya ke atas,

    3) Para saudara laki-laki pewaris sebagai keluarga dekat baik seayah dan

    sekandung termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki.

    Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk sebab mereka

    termasuk 'ashab al-furud,

    4) Arah paman, mencangkup paman (saudara laki-laki ayah) kandung

    maupun seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya

    16

    Achmad Kuzari, Sistem Asabah Dasar Pemindah dan Hak Milik atas Harta Tinggalan,

    h.91-92.

  • 29

    Kedua, ‘Ashabah bi al-ghairi; mereka adalah ahli waris zu al faraid

    perempuan yang tergandeng dengan laki-laki yang menjadi mu‘assib-nya.

    Mereka terdiri dari :

    1) Anak perempuan sahihah (kandung) sendirian atau berbilang apabila

    ada anak laki-laki sahih,

    2) Cucu perempuan dari anak laki-laki, satu atau lebih apabila ada cucu

    laki-laki satu atau lebih,

    3) Saudara perempuan sahihah satu atau lebih apabila ada saudara laki-

    lakinya yang sahih, atau anak laki-laki pamannya, juga kakek dalam

    situasi tertentu, dan

    4) Saudara perempuan seayah satu atau lebih bila bersamaan saudara

    laki-laki sebapak, atau kakek dalam situasi tertentu.

    Ketiga; ‘Ashabah ma‘al al-gair; mereka adalah seorang saudara

    perempuan sahihah atau lebih dan saudara perempuan sebapak, mereka

    mewarisi bersama sebab adanya anak perempuan atau cucu perempuan

    dari garis laki-laki. Kedua saudara perempuan tersebut mengambil sisa

    bagian setelah anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki

    mengambil bagiannya berdasarkan zu al-fara'id.17

    Berbeda dengan zu al-fara'id, ‘Ashabah bagiannya tidak ditentukan

    semula. Mereka mendapat waris dalam tiga keadaan sebagai berikut:

    17

    Sayid Sabiq, Fikih Sunnah. Jilid XIV , h. 283

  • 30

    1) Bila tidak ada zu al-fara'id dan yang ada hanyalah ‘Ashabah maka

    harta peninggalan si mayyit semuanya jatuh kepada ‘Ashabah.

    2) Bila ada zu al-fara'id dan juga ada ‘Ashabah, maka sisa kecil dari

    harta peninggalan jatuh kepada ‘Ashabah.

    3) Bila ada zu al-fara'id dan juga ada ‘Ashabah, sedangkan harta

    peninggalan si mayyit semuanya habis di bagikan kepada zu al-fara'id,

    maka ‘Ashabah tidak mendapat bagian lagi.18

    Dengan demikian ‘ashabah adalah sisa kecil dari harta peninggalan

    si mayyit dan ini berdasarkan pada sabda Nabi saw. yaitu dari Ibnu Abbas

    menurut riwayat Bukhari sebagaimana dalam bab dua, oleh Imam Syafi'i

    sendiri, istilah 'aula rajulin zakarin' tidak terbatas kepada lelaki saja tetapi

    juga meliputi perempuan, demikian juga pengertian ‘Ashabah tidak

    terbatas kepada laki-laki saja tetapi termasuk perempuan.19

    Al-Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, dalam bahasa

    Arab berarti 'tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'.

    Kemudian dikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak

    ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena

    adanyarahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafaz

    18

    Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, h. 110.

    19

    Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, h. 111.

  • 31

    rahim tersebut umum digunakan dengan makna 'kerabat', baik dalam

    bahasa Arab ataupu ndalam istilah syariat Islam.20

    Al-Arham memiliki arti luas yang diambil dari lafad 'arham dalam

    surat al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6.21

    Secara umum zu al-Arham

    mencangkup seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan

    orang yang meninggal, baik mereka golongan 'ashab al-furud, ‘Ashabah,

    maupun golongan yang lain. Tetapi ulama sunni termasuk imam Syafi‘i

    mengkhususkan kepada para ahli waris selain 'ashab al-Furud dan

    ‘Ashabah baik laki-laki maupun perempuan dan baik seorang maupun

    berbilang, selain suami dan istri.22

    Dalam menyelesaikan pembagian warisan kepada zu al-Arham,

    para imam mujtahid berbeda pendapat, sama halnya dengan perbedaan

    pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat. Dalam hal ini ada dua

    golongan, sementara Zaid bin Tsabit r.a., Ibnu Abbas r.a., imam Malik,

    dan imam Syafi'i termasuk golongan yang berpendapat bahwa zu al-

    Arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka

    mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashab al-furud atau

    ‘Ashabah yang mengambilnya, maka seketika itu dilimpahkan kepada bait

    al-mal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam

    20

    M. Ali al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al-

    Sunnah, h. 144 21

    Husain bin ‘ali al-Baihaqi, Ma'rifah al-Sunan wa al-asar 'an Imam Muhammad bin Idris al-

    Syafi‘i, Jilid V, h. 78-79. Al-Syafi'i, Ahkam al-Qur'an, 108.

    22

    Fathur Rahman, Ilmu Waris, h. 351.

  • 32

    pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut

    diberikan kepada zu al-Arham.23

    Mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat,

    terbagi menjadi tiga kelompok pendapat di kalangan fuqaha', yaitu:

    Menurut 'ahl al-Rahmi, ’ahl al-Qarabah, dan ’ahl al-Tanzil. Iman Syafi'i

    termasuk salah satu golongan 'ahl al-Tanzil, dan pengikut lainnya adalah

    mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama

    mutakhir dari kalangan Maliki. Golongan ini disebut ’ahl al-Tanzil

    dikarenakanmereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan

    pokok (induk) ahli warisnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris

    yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari

    ‘ashab al-Furud juga para ‘Ashabah-nya, dan dengan mengembalikan

    kepada pokoknya itu lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris dan

    jauh lebih utama bahkan lebih berhak.24

    Zu al-Arham terbagi empat kelompok:

    1) Keturunan dari si mayyit selain dari zu al-fara'id dan’Ashabah, yaitu:

    anak-anak dari anak perempuan dan keturunan mereka, anak-anak dari

    anak perempuan dari anak laki-laki,

    23

    M. Ali al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al-

    Sunnah, h. 145-146

    24

    M. Ali al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al-

    Sunnah, h. 151-152

  • 33

    2) Leluhur atau asal turunan si mayyit selain dari zu al-fara'id dan

    ‘Ashabah, yaitu: kakek yang tidak sahih (bapak dari ibu atau dari

    ibunya ibu) dan nenek yang tidak sahih (ibu dari dari ayahnya ibu).

    3) Keturunan dari ibu dan ayah selain dari zu al-fara'id dan ‘Ashabah,

    yaitu: anak-anak perempuan dari saudara laki-laki kandung dan

    keturunan mereka, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki seayah

    dan keturunan mereka, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki

    seibu dan keturunan mereka.

    4) Keturunan dari datuk dan nenek selain dari ‘Ashabah, yaitu: bibi

    kandung di garis bapak termasuk keturunannya, bibi sedarah di garis

    ayah, paman dan bibi seibu di garis ayah dan keturunannya, anak-anak

    perempuan dari paman kandung di garis bapak, anak-anak perempuan

    dari paman sehubungan darah di garis ayah dan keturunan mereka,

    anak-anak dari paman seibu di garis bapak dan keturunan mereka.25

    Dalam mazhab Syafi'i dikenal juga al-Hujub (penghalang waris)

    yang Hujub Hirman, yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak

    waris seseorang, yaitu ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin

    terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang akan tetap

    mendapatkan hak waris, yaitu: anak kandung laki-laki, anak kandung

    perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri. Bila orang yang mati

    25

    Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, h. 125-127

  • 34

    meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka semuanya harus

    mendapatkan warisan. Sederetan ahli waris yang dapat terkena hijab

    hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan lima dari wanita.

    Adapun ahli waris dari laki-laki sebagai berikut:

    1) Kakek (bapak dari ayah) akan terhalang oleh adanya ayah, dan juga

    oleh kakek yang lebih dekat dengan pewaris.

    2) Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah, dan

    keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).

    3) Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara

    kandung laki-laki, juga terhalang oleh saudara kandung perempuan

    yang menjadi ‘asabah ma‘al gair, dan terhalang dengan adanya ayah

    serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).

    4) Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh

    pokok (ayah, kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu,

    cicit, dan seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan.

    5) Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, akan terhalangi oleh adanya

    anak laki-laki. Demikian juga para cucu akan terhalangi oleh cucu

    yang paling dekat (lebih dekat).

    6) Keponakan laki-laki (anak saudara kandung laki-laki) akan terhalangi

    dengan adanya ayah dan kakek, anak laki-laki, cucu kandung laki-laki,

    sertaoleh saudara laki-laki seayah.

  • 35

    7) Keponakan laki-laki (anak dari saudara laki-laki seayah) akan

    terhalangi dengan adanya orang-orang yang menghalangi keponakan

    (dari anak saudara kandung laki-laki), ditambah dengan adanya

    keponakan (anak laki-laki dari keturunan saudara kandung laki-laki).

    8) Paman kandung (saudara laki-laki ayah) akan terhalangi oleh adanya

    anak laki-laki dari saudara laki-laki, juga terhalangi oleh adanya sosok

    yang menghalangi keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah.

    9) Paman seayah akan terhalangi dengan adanya sosok yang menghalangi

    paman kandung, dan juga dengan adanya paman kandung.

    10) Sepupu kandung laki-laki (anak paman kandung) akan terhalangi oleh

    adanya paman seayah, dan juga oleh sosok yang menghalangi paman

    seayah.

    11) Sepupu laki-laki (anak paman seayah) akan terhalangi dengan adanya

    sepupu laki-laki (anak paman kandung) dan dengan adanya sosok yang

    menghalangi sepupu laki-laki (anak paman kandung).26

    Sedangkan lima ahli waris dari kelompok wanita adalah:

    1) Nenek (ibu dari ibu ataupun dari bapak) akan terhalangi dengan

    adanya sang ibu.

    2) Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki) akan terhalang oleh

    adanya anak laki-laki, baik cucu itu hanya seorang ataupun lebih.

    26

    M. Ali Al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al-

    Sunnah, h. 77

  • 36

    Selain itu, juga akan terhalangi oleh adanya dua orang anak perempuan

    atau lebih, kecuali jika ada ‘ashabah.

    3) Saudara kandung perempuan akan terhalangi oleh adanya ayah, anak,

    cucu, cicit, dan seterusnya (semuanya laki-laki).

    4) Saudara perempuan seayah akan terhalangi dengan adanya saudara

    kandung perempuan jika ia menjadi ‘Ashabah ma‘a al-gair. Selain itu,

    juga terhalang oleh adanya ayah dan keturunan (anak, cucu, cicit, dan

    seterusnya, khusus kalangan laki-laki) serta terhalang oleh adanya dua

    orang saudara kandung perempuan bila keduanya menyempurnakan

    bagian dua per tiga (2/3), kecuali bila adanya ‘ashabah.

    5) Saudara perempuan seibu akan terhalangi oleh adanya seorang laki-

    laki (ayah, kakek, dan seterusnya) juga oleh adanya cabang (anak,

    cucu, cicit, dan seterusnya) baik laki-laki ataupun perempuan.27

    2. Konsep Hukum Waris Menurut Hazairin

    Menurut Hazairin hukum mencerminkan masyarakat, hukum

    kewarisan merupakan salah satu bagian dari sistem kekeluargaan, dan

    umumnya berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan yang

    berlaku dalam masyarakat. Pada pokoknya ada tiga macam sistem

    kekeluargaan: patrilineal (prinsip keturunan yang setiap orang selalu

    menghubungkan dirinya hanya kepada ayahnya dan seterusnya menurut garis

    27

    M. Ali Al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al-

    Sunnah, h.78, Al-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, Juz IV h. 19-21

  • 37

    laki-laki), matrilineal (seseorang selalu menghubungkan dirinya hanya

    kepada ibunya dan karena hanya menjadi anggota klen ibunya saja), dan

    bilateral atau parental (setiap orang menghubungkan dirinya baik kepada

    ibunya maupun ayahnya).28

    Dengan demikian, jika disebutkan kewarisan patrilineal adalah

    kewarisan dengan berpijak pada sistem kekeluargaan patrilineal, demikian

    juga matrilineal dan bilateral. Sedangkan sistem kewarisan menurutnya

    adalah: Sistem kewarisan individual dengan cirri bahwa harta peninggalan

    dapat dibagi-bagikan pemiliknya di antara ahli waris); Sistem kewarisan

    kolektif, yang bercirikan harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli

    waris dalam bentuk semacam badan hukum yang biasa disebut harta pusaka,

    harta tersebut tidak dapat dibagi-bagikan pemiliknya kepada ahli warisnya,

    dan hanya boleh dibagikan pemakaiannya kepada ahli warisnya; dan Sistem

    kewarisan mayorat, yaitu pola kewarisan mayorat mempunyai hukum cirri

    bahwa anak tertua berhak tunggal untuk mewarisi seluruh harta

    peninggalan).29

    Salah satu teorinya yang terkenal yaitu “teori hukum kewarisan

    bilateral”. Beliau menulis seperti:

    “Jika telah kita insafi bahwa Qur’an anti clan (unilateral),tidak

    menyukai sistim matrilineal dan patrilineal, karena sistim-sistim itu

    28

    Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an Dan Hadits, h. 11

    29

    Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an Dan Hadits, h. 11-15.

  • 38

    mengadakan syarat exogami bagi perkawinan, maka satu-satunya

    conclusi yang dapat ditarik ialah bahwa Qur’an via ayat 24 An-Nisa’

    itu menghendaki sebagai keridaan Tuhan suatu bentuk masyarakat

    yang bilateral dimana orang tidak dapat lagi mengadakan syarat

    exogami (Exogami ialah larangan untuk mengawini anggota seclan,

    atau dengan kata lain keharusan kawin dengan orang di luar clan).

    Dalam hubungan ini maka tidak sesuai lagi bunyinya, manakala

    Ahlusunnah Wa al-Jamaa’ah membedakan usbah dan yang bukan

    ‘usbah, umpamanya dalam lapangan kewarisan membedakan antara

    ‘asabat dengan pecahannya binafsihi, bi’ghairi dan ma’a ghairi di

    satu pihak dan dzawu’larham di lain pihak, dalam menyalurkan sistim

    kewarisan menurut Qur’an, yaitu kewarisan yang berpatok kepada

    fara’id dalam suatu sistim model bilateral dan bukan model

    patrilineal. Dzawu’l arham menurut Ahlussunnah Wa al-Jama’ah

    mungkin mengenai seorang perempuan dalam usbahnya di pewaris,

    tetapi umumnya mengenai orang-orang dari lain-lain ‘usbah yaitu

    ‘usbah pihak suami anak perempuannya atau ‘usbah pihak ayah dari

    ibunya, pihak-pihak mana dapat kita bandingkan dengan pihak anak

    boru dan pihak mora bagi orang Batak ditinjau dari kedudukan suatu

    kahanggi. ‘Usbah dan ‘asbat dalam semua perinciannya adalah

    bentuk-bentuk kekeluargaan patrilineal yang berlawanan dengan

    bentuk bilateral”.30

    Ketertarikan Hazairin melakukan untuk Istimbat adalah; pertama,

    hukum kekeluargaan manakah yang sesuai dengan hukum kewarisan menurut

    al-Qur’an. Kedua, kewarisan yang ada dalam al-Qur’an termasuk dalam jenis

    kewarisan yang mana. Ketiga; apakah dalam hukum kewarisan al-Qur’an

    dikenal garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti.31

    Hazairin dalam menangkap maksud ayat-ayat al-Qur’an jika

    dipelajari dengan beralatkan ilmu tentang berbagai bentuk kemasyarakatan

    30

    Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an Dan Hadits, h. 13-14

    31

    Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral

    Hazairin, h, 79. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al Qur’an, h. 4.

  • 39

    (sistem kekeluargaan), di lapangan perkawinan dan kewarisan mencerminkan

    suatu bentuk sistem kekeluargaan yang bilateral.32

    Hazairin berpendapat, pada hakikatnya sistem kewarisan yang

    terkandung dalam al-Qur’an adalah sistem kewarisan yang bercorak bilateral

    (orangtua), seperti zu al-fara’id, zu al-Qarabah, dan mawali. Berlainan

    dengan rumusan ahli fikih khusunya Mazhab Syafi’i yang menjelaskan

    sistem kewarisannya bersifat patrilinial yaitu zu al fara’id, ‘asabah dan zu al-

    arham. dan Syi’ah hanya menghimpun zu al fara’id dan zu qarabah yang

    mereka dasarkan pada hubungan darah dalam arti seluas-luasnya.33

    Kritikan Hazairin pada para mujtahid 'Ahlu al-Sunnah sebagai

    kelompok mayoritas yaitu belum memperoleh bahan perbandingan mengenai

    berbagai sistem kewarisan yang dapat dijumpai, sehingga fiqih 'Ahlu al-

    Sunnah terbentuk dalam masyarakat Arab yang bersendikan sistem

    kekeluargaan patrilineal dalam suatu masa sejarah, ketika ilmu pengetahuan

    tentang bentuk kemasyarakatan belum berkembang.34

    Keadaan ini, juga mempengaruhi para ulama ketika menafsirkan

    ayat-ayat al-Qur'an dan hadis-hadis Rasulullah saw, terutama tentang garis

    32

    Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al Qur’an, h. 13.

    33

    Abdulllah Siddik, Hukum Waris Islam dan Perkembangnnya di Seluruh Dunia Islam, h. 6.

    34

    Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Tinta Mas,

    1981), h. 2

  • 40

    hukum kekeluargaan, termasuk didalamnya garis hukum kewarisan.35

    Kenyataan ini berakibat beberapa konstruksi hukum waris Islam dalam hal-

    hal tertentu menurutnya harus dirombak dengan cara upaya interpretasi ulang

    agar sesuai dengan corak hukum waris bilateral sebagaimana yang

    sesungguhnya dipresentasikan al-Qur'an.36

    Tiga landasan teologis normatif yang dijadikan Hazairin yaitu sistem

    kekeluargaan yang diinginkan al-Qur’an adalah sistem bilateral yang

    individual, dengan keyakinan, bahkan disebutnya dengan istilah ‘ainul al-

    yaqin (seyakin-yakinnya) bahwa secara keseluruhan al-Qur’an menghendaki

    masyarakat yang bilateral dan keberagaman hukum kekeluargaan yang ada

    dalam masyarakat adalah ikhtilaf manusia dalam mengartikan al-Qur’an.37

    Pernyataan beliau antara lain: Pertama, apabila surat al-Nisa' ayat

    22, 23 dan 24 diperhatikan, akan ditemukan adanya keizinan untuk saling

    kawin antara orang-orang yang bersaudara sepupu. Fakta ini menunjukkan

    bahwa al-Qur’âncenderung kepada sistem kekeluargaan yang bilateral.38

    Kedua, surat al-Nisa’ ayat 11: fi auladikum (laki-laki dan

    perempuan) yang menjelaskan semua anak baik laki-laki maupun perempuan

    menjadi ahli waris bagi orang tuanya (ibu dan ayahnya). Ini merupakan

    35

    Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, h.75.

    36

    A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Tranformatif, h. 4.

    37

    Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, h. 1.

    38

    Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, h. 13.

  • 41

    sistem bilateral, karena dalam sistem patrilineal pada prinsipnya hanya anak

    laki-laki yang berhak mewarisi begitu juga pada sistem matrilineal, hanya

    anak perempuan yang berhak mewaris dari ibunya dan tidak dari ayahnya.

    Demikian pula wa liabawaihi dan wa warisahu abawahu (ayah dan ibu)

    dalam ayat tersebut menjadikan ibu dan ayah sebagai ahli waris bagi anaknya

    yang mati punah.39

    Ketiga, surat al-Nisa’ ayat 12 dan 176 menjadikan saudara bagi

    semua jenis saudara (seayah dan seibu) sebagai ahli waris dari saudaranya

    yang punah, tidak peduli apakah saudara yang mewaris itu laki-laki atau

    perempuan.40

    Hazairin mengkonsepkan kewarisan menjadi tiga bagian:

    a. Zu al-Fara'id

    Dalam pandangan Hazairin zu al-Fara'id terdiri dari:

    1) Anak perempuan yang tidak beserta dengan anak laki-laki atau

    menjadi mawali bagi anak laki-laki yang telah meninggal lebih dulu.

    2) Ayah jika ada anak laki-laki dan atau perempuan,

    3) Ibu,

    4) Seorang atau lebih saudara laki-laki dan perempuan,

    5) Suami, dan

    39

    Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, h. 14.

    40

    Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, h. 14.

  • 42

    6) Istri.41

    Istilah zu al-Fara'id dipakai oleh Syafi’i maupun Hazairin. Zu

    al-Fara'id secara bahasa berasal dari kata zu yang berarti mempunyai dan

    al-Fara'id adalah jamak dari kata fa-ri-da yang mempunyai arti bagian.

    Dengan demikian zu al-fara'id berarti orang yang mempunyai bagian-

    bagian tertentu, atau ahli waris yang memperoleh bagian warisan tertentu

    dan dalam keadaan tertentu.42

    Di antara zu al-Fara'id tersebut ada yang selalu menjadi zu al-

    Fara'id saja, dan ada pula yang sesekali menjadi ahli waris yang bukan zu

    alfarâ'id, mereka yang selalu menjadi zu al-fara'id saja adalah ibu, suami,

    dan istri. Sedangkan yang sesekali menjadi ahli waris yang bukan zu

    alfara'id adalah anak perempuan, ayah, saudara laki-laki, dan saudara

    perempuan. Baik Hazairin maupun Syafi’i dan golongan Syi’ah, mereka

    mengakui adanya konsep zu al-fara'id.43

    b. Zu al-Qarabah

    Hazairin menolak konsep ‘Ashabah sebagaimana diterapkan

    Syafi’i. Hazairin menyebut ‘asabah dengan istilah zu al-Qarabat. Zu al-

    41

    Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral

    Hazairin, h, 82.

    42

    Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral

    Hazairin, h, 82.

    43

    Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, h. 18.

  • 43

    Qarabah adalah orang yang menerima sisa harta dalam keadaan tertentu,

    mereka adalah:

    1) Anak laki-laki dari ahli waris laki-laki atau perempuan. Mereka

    mengambil bagian sebagai zu al-Fara'id sekaligus mengambil sisa

    harta (zu al-Qarabat),

    2) Saudara laki-laki atau perempuan baik dari pihak laki-laki atau

    perempuan. Bagian mereka adalah sebagai zu al-Faraid sekaligus zu

    al-Qarabat jika ada sisa harta,

    3) Mawali (pengganti) bagi mendiang saudara laki-laki atau perempuan

    dalam situasi kalalah (mati punah),

    4) Ayah dalam keadaan kalalah setelah ia mengambil bagiannya sebagai

    zu al-Fara’id,

    5) Apabila terjadi bertemunya dua zu al-Qarabat, maka dapat dipilih dua

    alternatif: Pertama; setelah harta dibagi kepada zu al-Qarabat, maka

    sisanya dibagikan kepada kedua atau lebih zu al-Qarabat secara

    merata, atau Kedua; sisa dari pembagian zu al-Fara'id kemudian

    dibagikan menurut kedekatannya hubungan kekeluargaannya dengan

    pewaris.44

    44

    Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral

    Hazairin, h, 82-83.

  • 44

    c. Mawali

    Mawali adalah mereka yang mewarisi harta sebab m