mentari vol 11 no 2 juli 2008

177

Upload: universitas-muhammadiyah-aceh

Post on 25-Jun-2015

1.247 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ISSN 1411-2620

MAJALAH ILMIAH ILMU-ILMU HUMANIORA MENTARI

DAFTAR ISI Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi Pertanian Terpadu di Aceh, 111-119 Ishak Hasan Analisis Kualitas Vegetasi Sepanjang Pantai Banda Aceh Pascatsunami, 120-136 Djufri Teori dalam Penelitian Sosial, 137-148 T.M. Jamil Keberadaan Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas di Desa Terutung Pedi Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara, 149-160 Ahadin Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah, 161-185 Nyak Arif Fadhillah Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) Berbasis Budaya Aceh pada Siswa Kelas II SD 54 Banda Aceh, 186-194 Usman Efektivitas Pelaksanaan Model Pembelajaran Berbasis Masalah pada Materi Persamaan Garis Lurus Kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh, 195-208 Syahjuzar Pembelajaran Konsep Geometri dengan Model Advance Organizer di SMP Negeri 3 Banda Aceh, 209-219 Suhartati

Kompetensi Profesional Guru Matematika SMP Se-Kota Banda Aceh yang sudah Lulus Sertifikasi dan yang belum Lulus Sertifikasi, 220-240 Budiman Ability Prediction of Earnings and Current Operational Cash Flow to Future Operational Cash Flow, 241-256 H. Aliamin dan Jen Surya The Functions of Fund Raising in The Development of Strategic Planning Process, 257-274 Sayed Mahdi Tahapan Belajar Motorik dan Implikasinya dalam Pembelajaran Pendidikan Jasmani, 275-288 Razali

Hasan, Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi

111

PROSPEK PEMBANGUNAN KAWASAN KOPERASI PERTANIAN TERPADU DI ACEH

(Integrasi Semangat Kooperatif dalam Meningkatkan Kemandirian Produksi dan Ekspor Komoditas Pertanian)

oleh

Ishak Hasan Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

email: [email protected]

ABSTRACT Secara nasional subsektor pertanian masih berjalan terpisah satu sama lain, termasuk juga dengan sektor-sektor lainnya. Kondisi ini juga terjadi di Provinsi Aceh, padahal sektor ini memiliki potensi yang cukup besar apabila dikelola secara terintegratif dan bersifat kooperatif. Sektor pertanian yang terdiri dari subsektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan jika disatukan mulai dari kegiatan di hulu sampai ke hilir dalam wadah koperasi akan memiliki kekuatan yang besar dalam memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Gagasan ini menjadi sangat penting di masa depan, mengingat persaingan global semakin ketat yang berakibat buruk pada kemampuan sektor pertanian berkompetisi dengan negara lain. Apabila semua subsektor pertanian ini berjalan secara terpadu maka nilai tambah menjadi meningkat. Di sisi lain ketidakmampuan sektor pertanian berorientasi ekspor juga menjadi masalah yang penting dalam menghadapi persaingan. Hal ini sangat penting karena sebagian besar rakyat kita bergantung hidup pada sektor ini. Koperasi memegang peranan penting dalam menyatukan kekuatan yang tercerai-berai tersebut sehingga memiliki bargaining positon yang kuat dalam menghadapi persaingan. Kawasan terpusat tersebut dapat direncanakan dalam bentuk pilot proyek sedemikian rupa agar sub sektor dimaksud terkait satu sama lain. Apabila gagasan ini dapat diwujudkan secara nyata di lapangan maka diperkirakan pendapatan masyarakat dapat meningkat dan dengan demikian kantong-kantong kemiskinan di Aceh dapat dientaskan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Kata kunci: koperasi pertanian terpadu, temanidirian sektor pertanian.

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 111-119

112

PENDAHULUAN Pada awal tahun 2004 sebelum gempa dan tsunami menerjang Aceh, saya dan beberapa teman di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh bersama-sama dengan jajaran Dinas Koperasi dan PKM Provinsi NAD saat itu telah bersepakat untuk merancang sebuah program dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat di wilayah Aceh. Program ini di samping diharapkan berdampak positif pada ekonomi Aceh juga diharapkan dapat berdampak positif bagi pembangunan ekonomi nasional. Program dimaksud diberi nama dengan “Pilot Proyek Pembangunan Koperasi Pertanian Terpusat (Farm Co-operative Center)” di Aceh. Program ini direncanakan berlangsung dalam jangka waktu 3 hingga 5 tahun. Dalam rangka mewujudkan program tersebut tim dari Universitas Syiah Kuala telah mencoba menyusun beberapa tahapan mulai dari desain program dan kegiatan sampai kepada monitoring dan evaluasi. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) saat itu melalui Dinas Koperasi dan PKM bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan didukung oleh Menteri Koordinator bidang Ekonomi Republik Indonesia saat itu Dorodjatun Kuntjorojakti serta Panitia Anggaran DPRD NAD hampir positif untuk dilaksanakan. Namun gagasan pemikiran tersebut menjadi terhenti akibat bencana gempa dan tsunami yang sangat dahsyat melanda Aceh. Sungguhpun gagasan ini dianggap sudah agak terlambat, karena ada beberapa negara seperti di kawasan Afrka, Asia Selatan dan beberapa tempat lainnya di dunia, telah mempraktikkan model pembangunan kawasan terpadu ini dalam bentuk “kawasan koperasi pertanian terpusat”, (Cobia, 1989) dan ternyata telah berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hendaknya patut direvitalisasi kembali dalam kegiatan aksi nyata di lapangan. Sejatinya, pilot proyek ini diperkirakan menelan biaya yang relatif besar untuk tahap awal yang bersumber dari uang rakyat. Menurut rencana anggaran bersumber dari APBA, APBK, APBN, Investor (swasta), dan bantuan luar negeri (negara donor) yang merupakan “paket rekonstruksi/recovery ekonomi Provinsi NAD saat itu, baik dalam bentuk dana bergulir, hibah ataupun kredit lunak.

Berdasarkan pokok-pokok pikiran yang dipaparkan oleh Dinas Koperasi dan PKM ketika itu kepada Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala, ada beberapa sasaran yang ingin dicapai oleh pilot proyek ini. Setidak-tidaknya ada empat sasaran yang ingin dicapai, yaitu; (1) Mampu mendayagunakan lahan tidur produktif/potensial dengan

Hasan, Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi

113

menggunakan teknologi tepat guna dan akan memberikan nilai tambah yang tinggi bagi pekebun, petani, peternak dan nelayan, (2) Mampu menampung dan memanfaatkan tenaga kerja yang mempunyai skill (tenaga terdidik) dan nonskill (pekebun, petani, peternak dan nelayan) secara terintegrasi yang akan membuka lapangan kerja tetap dalam kawan tersebut (secara permanen), (3) Terwujudnya pekebun, petani, peternak, dan nelayan terampil, professional, dan mandiri dalam wadah/lembaga ekonomi mereka (koperasi), serta mampu melaksanakan hak dan kewajibannya dalam organisasi, termasuk dalam hal mengembalikan kredit, dan (4) Meningkatkankan pendapatan dan kesejahteraan pekebun, petani, peternak, nelayan anggota koperasi, dan masyarakat sekitarnya (adanya multiplier effect). Dengan demikian dalam kondisi persaingan global yang semakin terasa denyutnya diharapkan mereka dapat bersaing dengan segenap potensi yang ada. Sebab dalam persaingan global semua pihak dituntut dapat eksis dengan keahlian dan kemampuannya sendiri dengan melihat potensi pasar yang ada (Kenichi Ohmae, 2005). PEMBAHASAN Peranan Koperasi dalam Memperkuat Posisi Tawar Sektor Pertanian Di berbagai negara koperasi memegang peranan yang teramat penting dalam memberdayakan ekonomi rakyat yang terkena imbas dari persaingan pasar, termasuk peranannya dalam memajukan sektor pertanian. Pemasaran hasil-hasil produksi seringkali merupakan hambatan yang dapat mematikan usaha seorang produsen. “Apalagi bagi produsen kecil yang tidak terorganisir. Mereka sangat tergantung pada pedagang perantara” (M. Umar Burhan & Munawar Ismail, 1988). Selain itu “hasil pertanian yang sering melimpah (over produksi) menjadikan tingkat harga di pasaran sangat rendah, terutama disebabkan kurang kuatnya persatuan para petani” (Ima Suwandi, 1986).

Ketergantungan para produsen kecil ini dapat dikurangi atau dihilangkan dengan cara menghimpun mereka ke dalam Koperasi pemasaran. Fungsi-fungsi seperti; pengumpulan (pooling), pergudangan (storage), pengolahan (manufacturing), dan fungsi lainnya yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup usaha dapat diatasi secara bersama-sama. Dengan demikian bargaining position mereka menjadi lebih kuat. Hal ini sesuai dengan tujuan-tujuan dasar terbentuknya Koperasi Pemasaran yaitu untuk mengatasi berbagai masalah dalam kegiatan

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 111-119

114

pemasaran, antara lain seperti yang dikemukakan oleh I.G. Raka (1986): (1) Sistem pemasaran yang tidak lancar dan terdapatnya praktek-praktek yang merugikan dari pedagang-pedagang (monopoli pedagang, tengkulak-tengkulak, dan lain-lain), (2) Diperlukan fasilitas-fasilitas pengolahan, pada umumnya dalam bentuk pabrik untuk memungkinkan penjualan langsung kepada konsumen, misalnya susu yang bermutu tinggi, daging yang sudah siap untuk dimakann dan sebagainya. (3) Keadaan pasar setempat tidak memuaskan, (4) Dibutuhkan barang-barang konsumsi yang bermutu.

Selanjutnya Umar Burhan & Munawar Ismail (1988), mengemukakan bahwa pelayanan Koperasi pemasaran terhadap anggotanya dapat meliputi; (1) Menampung hasil produksi anggota dan secara kolektif menjualnya ke pedagang besar, eksportir, maupun pabrik pengolahan. Dengan cara kolektif, syarat-syarat penjualan menjadi lebih menguntungkan, karena kekuatan tawar-menawar (bargaining power) menjadi lebih berimbang antara pembeli atau pedagang dan Koperasi. Syarat-syarat penjualan tersebut meliputi; harga, jangka waktu pembayaran, pengangkutan, dan syarat-syarat kontrak pembelian. (2) Memperpendek saluran pemasaran. Umumnya hasil-hasil produksi produsen kecil ini melalui mata rantai yang sangat panjang. Sehingga margin pemasaran cukup besar diterima oleh pedagang, sedangkan produsen kecil menerima tingkat harga yang sangat rendah. Karena biasanya semakin besar margin yang diterima oleh pedagang, semakin kuat tekanan terhadap harga di tingkat produsen kecil, (3) Memperluas daerah pemasaran hasil produksi, (4) Penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan, seperti; pengangkutan, pabrik pengolahan, pergudangan dan lain-lain yang diperlukan. Umumnya lokasi para produsen tidak terpusat pada satu tempat, melainkan terpencar-pencar pada lokasi yang cukup luas. Dengan demikian, alat angkut yang efisien akan sangat membantu para produsen. Biaya angkut-nya menjadi lebih rendah bila dikoordinir oleh Koperasi, jika dibandingkan dengan angkutan pribadi atau angkutan umum. Hal ini disebabkan “utilization rate” atau daya guna kendaraan yang dikelola Koperasi lebih tinggi dari daya guna kendaraan pribadi.

Banyak bidang usaha dalam masyarakat membutuhkan pemasaran secara kooperatif. Terutama bidang usaha yang bersifat agraris. Hasil produksi pertanian, termasuk hasil-hasil peternakan dan perikanan mempunyai ciri khusus yang mempunyai implikasi penting dalam pemasarannya. Hal ini disebabkan karena ciri-ciri produksi pertanian pada umumnya: “(1) diproduksi musiman, (2) selalu segar

Hasan, Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi

115

(freshable), (3) mudah rusak (perishable), (4) jumlahnya banyak tetapi nilainya relatif sedikit (bulky), dan (5) lokal dan spesifik” (Soekartawi (1995).

Lebih lanjut Soekartawi menambahkan, dalam pemasaran komoditas pertanian seringkali dijumpai adanya rantai pemasaran yang terlalu panjang. Akibatnya terlalu besar keuntungan pemasaran (marketing margin) yang diambil oleh pelaku pemasaran. Ada beberapa sebab mengapa terjadi rantai pemasaran hasil pertanian yang panjang yang menyebabkan produsen (petani) sering dirugikan, antara lain sebagai berikut: (1) pasar tidak bekerja secara sempurna, (2) lemahnya informasi pasar, (3) lemahnya produsen (petani) memanfaatkan peluang pasar, (4) lemahnya posisi produsen (petani) melakukan penawaran dan mendapatkan harga yang baik, dan (5) produsen (petani) melakukan usaha tani tidak didasarkan pada permintaan pasar. Peran Strategis Kawasan Koperasi Pertanian Terpusat

Sebagai bagian dari rencana rekonstruksi dan recovery ekonomi di Provinsi Aceh, pilot proyek ini dipandang sebagai rencana pembangunan yang strategis. Hal ini mengingat pembukaan suatu kawasan yang sifatnya terintegrasi dari semua sektor memiliki sinergi yang kuat untuk pemberdayaan ekonomi. Manfaat tersebut bukan saja diperoleh karena berkembangnya suatu kawasan, tetapi munculnya multiplier effect dari aktivitas yang ada di dalam kawasan itu. Misalnya terbukanya lapangan kerja baru yang dapat mengurangi jumlah pengangguran yang semakin hari semakin bertambah, terutama pengangguran kelas intelektual (berpendidikan). Pengangguran kelompok ini lebih berbahaya ketimbang penganggur yang tidak berpendidikan (Hans H. Munkner, 1997 ; Indra Ismawan, 2001). Relokasi tenaga terdidik yang belum memperoleh pekerjaan tetap ke kawasan koperasi pertanian terpusat ini dapat mengurangi beban yang ditanggung oleh masyarakat. Apalagi Aceh baru memasuki tahap baru yaitu era damai setelah tercabik-cabik oleh konflik bersenjata dan masifnya terjangan Tsunami. Kondisi tersebut masih menyisakan banyak persoalan, di antaranya banyaknya kantong kemiskinan yang tersebar di berbagai wilayah Aceh. Tentu pemikiran ini sangat tepat apabila dapat dikaitkan dengan gagasan pembangunan koperasi pertanian terpusat.

Harapan lain adalah munculnya budaya agro-industri dan agro-bisnis dengan didukung oleh organisasi koperasi milik bersama diperkirakan semakin kuat dalam mendorong terwujudnya kemakmuran

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 111-119

116

masyarakat adalah sisi strategis lain yang dapat dipetik dari manfaat koperasi pertanian terpusat ini. Budaya agro-industri dan agro-bisnis ini sangat perlu ditumbuh-kembangkan, karena masyarakat kita masih miskin semangat kewirausahaannya. Oleh karena itu dengan adanya kawasan koperasi pertanian terpusat ini warga masyarakat dapat mendidik dirinya sendiri untuk menjadi masyarakat yang mandiri yang kaya jiwa wirausahanya. Dalam kaitan ini J.A. Schumpeter (Yuyun Wirasasmita, 2000), seorang ahli kewirausahaan berkebangsaan Jerman penggagas jiwa wirausaha yang terkenal sangat menaruh harapan terciptanya wirausahawan yang banyak dalam suatu bangsa. Schumpeter meyakini bahwa “apabila suatu bangsa ingin meraih kemajuan dalam berbagai bidang, maka bangsa itu mutlak perlu melahirkan manusia wirausaha yang banyak”. Demikian juga dalam agama Islam yang mengandung doktrin paripurna, seperti doktrin tentang umatan wahidan (SDM nomor wahid), umatan wasatan (SDM penentu), umatan khairun atau thoyyiban (SDM terunggul) (Suparma Sumahamijaya, 2003). SDM yang berkualifikasi semacam ini tidak akan terwujud, tanpa melalui proses pendidikan, pembinaan dan pelatihan yang terus-menerus dalam berbagai bentuknya.

Salah satu contoh pembangunan kawasan terpadu dengan fokus satu komidi dalam rangka menumbuhkan jiwa wirausaha, agro-industri dan agro-bisnis sebenarnya telah dipraktekkan juga di Indonesia, khusus untuk kawasan agro-bisnis peternakan seperti yang pernah saya teliti dalam bentuk Disertasi di Provinsi Jawa Barat. Misalnya kawasan peternakan Pangalengan Bandung Selatan yang digerakkan oleh Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) dan Koperasi Peternakan Bandung Utara (KPSBU) Lembang yang saat ini memiliki jumlah anggota yang relatif besar 5.000 dan 15.000 orang. KPBS dan KPSBU telah memiliki sendiri sarana pendukung sebagai sebuah kawasan agro-industri dan agro-bisnis persusuan terkemuka di Indonesia. Mulai dari pemilikan pabrik makanan ternak, unit pengolahan susu (milk treatment), armada angkutan susu, kantor koperasi yang sangat representatif, jumlah sapi milik anggota yang mencapai ± 18 ribu ekor, lembaga keuangan mikro berupa BPR, unit usaha agro-wisata, hotel milik koperasi, beberapa buah klinik kesehatan untuk anggota, unit usaha waserda (swalayan koperasi), unit usaha saprodi, dokter hewan mandiri, semuanya milik bersama anggota. Demikian juga dengan kawasan peternakan di Lembang milik Koperasi Peternakan dan Sapi Perah Bandung Utara (KPSBU), juga memiliki sarana yang sama. Contoh-contoh kawasan ini dapat dijadikan sebagai salah satu model

Hasan, Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi

117

pembinaan untuk bidang peternakan di dalam kawasan koperasi pertanian terpusat ini. Strategi Implementasi

Dalam mewujudkan pelaksanaan gagasan tersebut maka diperlukan strategi dan tahapan yang dilakukan. Strategi yang ditempuh meliputi: (1) Perlu melakukan investigasi secara tepat di lapangan tentang kebutuhan ril masyarakat, (2) Melakukan koordinasi dengan berbagai elemen masyarakat tentang lokasi dan berbagai karakter sosial budaya yang ada di masyarakat, (3) Merencanakan secara matang kebutuhan pendanaan di lapangan, (4) Dukungan yang kuat dari berbagai pihak terutama lembaga pemerintah, swasta dan lembaga-lembaga sosial lainnya.

Dalam rangka mewujudkan strategi tersebut perlu dilakukan tahapan yang sesuai dengan skala prioritas. Setidak-tidaknya ada enam tahapan pembangunan Pilot Proyek Koperasi Pertanian Terpusat di Aceh. Tahap pertama didahului oleh survei tentang kelayakan pembangunan kawasan tersebut berdasarkan lokasi dan komoditi yang akan dikembangkan (locus dan focus). Tahap kedua mengadakan koordinasi dengan pemerintah Kabupaten/Kota, Camat, pemuka adat, tokoh masyarakat, dan sosialisasi pada sasaran binaan (pekebun, petani, peternak, dan nelayan), persiapan lahan, sarana dan prasarana, pelatihan SDM dan memulai kegiatan awal. Tahap ketiga merupakan tahap pelaksanaan kegiatan proyek secara penuh, Tahap kelima evaluasi dan monitoring untuk diadakan penyesuaian (review) di lapangan, dan Tahap keenam merupakan tahap pengembangan lanjutan serta pengembalian pinjaman. PENUTUP

Apabila gagasan ini dapat diwujudkan di Aceh maka sangat tepat apabila kita dapat berangkat dari ungkapan bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik. Hal ini mengingat banyak proyek yang selama ini di Aceh yang menggunakan uang rakyat kurang menuai hasil yang memuaskan. Ungkapan ini tidak terlalu berlebihan apabila dalam konteks ini dijadikan landasan pemikiran untuk kegiatan yang mengatasnamakan pembangunan untuk kepentingan rakyat. Sebab sudah terlalu panjang daftar penggunaan uang rakyat tapi sering menyimpang dari kepentingan rakyat. Banyak sudah proyek-proyek pembangunan yang sebelumnya dicita-citakan untuk menyejahterakan rakyat tetapi menguap di tengah jalan tidak tentu rimbanya. Contoh kasus sudah

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 111-119

118

banyak sebagai pedoman, yang semula bertujuan mulia untuk perbaikan ekonomi rakyat tetapi dalam perjalanannya tidak mencapai sasaran yang dicita-citakan. Alangkah baiknya apabila dari awal kita saling mengingatkan agar setiap kegiatan yang dilakukan dapat memiliki gunalaksana yang tinggi bagi upaya memperbaiki kehidupan rakyat.

Berdasarkan itu maka, gagasan yang dianggap tepat dan sesuai dengan kondisi ekonomi rakyat di Aceh saat ini yang sangat memerlukan pembinaan dan pembenahan secara mendasar dan terus menerus, baik strukturnya maupun infrastrukturnya pantas untuk dicermati oleh semua pihak. Mari kita berpikir secara jernih dan melangkah dengan niat yang tulus dan tindakan kita yang cerdas untuk kepentingan rakyat dan bangsa kita yang memang sudah lama bergelimang dengan krisis ke krisis. Mari kita bebaskan sebagian rakyat kita yang masih diselimuti oleh tirai-tirai kemiskinan yang semakin tebal, sementara sebagian kita ada yang hidup dalam keadaan kemewahan. Sekali lagi kalaupun krisis ekonomi telah menghimpit kita, tetapi janganlah kita dihinggapi pula oleh krisis moral. Semoga gagasan ini mendapat apresiasi yang layak dari pengambil kebijakan dan sebagai upaya kita bersama dalam memperbaiki ekonomi rakyat hendaknya mendapat prioritas utama.

DAFTAR PUSTAKA Cobia, David W. 1989. Cooperative In Agriculture, Prentice Hall, New

Jersey. Hans H. Munkner (1997). Masa Depan Koperasi, Dekopin, Jakarta. Indra Ismawan (2001). Sukses Di Era Ekonomi Liberal Bagi Koperasi

dan Perusahaan Kecil Menengah, Grasindo, Jakarta. I.G. Raka (1986). Dasar-Dasar Koperasi, Departemen Koperasi,

Jakarta. Ima Suwandi (1986). Koperasi: Organisasi Ekonomi yang Berwatak

Sosial, Bhratara, Jakarta. Ishak Hasan (2004). Gagasan Kawasan Terpusat di NAD, Opini Harian

Serambi Indonesia edisi Kamis 14 Juli 2004.

Hasan, Prospek Pembangunan Kawasan Koperasi

119

Ohmae, Kenichi (2005). The Next Global Stage: Tantangan dan Peluang Di Dunia yang Tidak Mengenal Batas Kewilayahan. PT. Indeks-Gramedia, Jakarta.

Soekartawi (1990). Teori Ekonomi Produksi, Rajawali Pers, Jakarta. Suparman Sumahamjaya (2003). Pendidikan Karakter Mandiri dan

Kewirausahaan, Angkasa, Bandung. Umar Burhan & Munawar Ismail (1988). Koperasi Produksi, Karunika,

Jakarta. Yuyun Wirasasmita (2000). Kewirausahaan di Perguruan Tinggi,

Makalah UNPAD, Bandung.

Djufri , Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

120

ANALISIS KUALITAS VEGETASI SEPANJANG PANTAI BANDA ACEH PASCATSUNAMI

(THE VEGETATION QUALITY ANALISYS IN BANDA ACEH BEACH AFTER TSUNAMI)

oleh

Djufri Dosen FKIP Unsyiah, Banda Aceh

ABSTRACT

The objectivees of this research were; to acquered of vegetation in Banda Aceh beach after tsunami, and else the research to find expression about of camposition, association, species diversity index (H’), similarity index (IS), and species distribution pattern. The stap of research were; observation and segmentation of study area. The size of study area is 420 ha, and sampel area is 10% of population. The station of sampling is (a). Ujung Batee Beach (UBB), (b). Lhoknga Beach (LB), and Ule Lee Beach (ULB). For each of sampling location a given ten of sampling quadrat with five replicatiion until of total sample is 50 quadrat. The observated variable is total species, absolute diversity, absolute frequency, and absolute dominance. The calculated of infortance value used formula is DR + FR + DMR., and calculated of species diversity index with Shannon-Wiener formula. The category of species diversity index is; if H’<1 very low category, H’>1-2 low category, H’>2-3 median category, and H’>3-4 high category. The result of this research; (a). The vegetation physiognomy in Ule Lee Beach was fundamental changed after tsunami, (b). The vegetation physiognomy in Ujung Batee Beach no significans changed after tsunami, (c). The planting of mangrove species in Ujung Batee Beach not yet optimal results, (d). Dominance of tree in Ujung Batee Beach and Loknga Beach is Casuarina equisetifolia, and Cocos nucifera, and dominance of underbrush is Calatropis gigantea, (5). For the moment effort necessary of serious reclamation in Banda Aceh Beach after tsunami specific. Key words: kualitas vegetasi, spesies

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

121

PENDAHULUAN Pantai Banda Aceh merupakan salah satu kawasan terparah

dilanda tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Akibat tsunami tersebut membuat keadaan pantai berubah, sehingga banyak sekali tumbuhan yang mati dan hanya beberapa jenis pohon yang masih bisa bertahan hidup pada kondisi tersebut. Keadaan yang demikian mempengaruhi vegetasi yang ada di sepanjang pantai Banda Aceh. Perubahan yang dimaksud baik dalam hal komposisi, jumlah, maupun keanekagaman jenisnya. Penelitian tentang Analisis kualitas vegetasi di kawasan sepanjang pantai Banda Aceh sangat penting dilakukan mengingat belum ada penelitian tentang perubahan vegetasi di sepanjang pantai Banda Aceh Pasca tsunami Desember 2004.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini diharapkan memberikan informasi yang mendasar tentang perubahan kualitas vegetasi di sepajang pantai Banda Aceh pasca tsunami yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan kawasan pantai ditinjau dari aspek vegetasi. Selanjutnya data tersebut dapat digunakan sebagai informasi awal untuk melakukan langkah-langkah yang kongkrit untuk melakukan upaya reboisasi di kawasan sepanjang pantai Banda Aceh, sehingga fungsi pantai dapat dipertahankan sebagaimana mestinya. Mengingat begitu besarnya dampak tsunami terhadap vegetasi di sepanjang pantai Banda Aceh maka dipandang perlu dilakukan riset yang serius dan mendalam untuk memperoleh informasi tentang kualitas vegetasi khususnya di daerah yang terkena tsunami baik ditinjau dari aspek komposisi vegetasi penyusun pantai maupun dari aspek kualitas vegetasi (Nilai Penting dan Indeks Keanekaragaman Spesies,). Pengungkapan data dasar tersebut berfungsi sebagai indikator tentang kualitas vegetasi di sepanjang pantai Banda Aceh yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu dasar (basic science) yang berperan sebagai fondasi atau pilar utama pengembangan ilmu terapan (applied science) bagi pihak-pihak yang membutuhkannya seperti Dinas Kehutanan dan BKSDA Provinsi Aceh. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang komposisi vegetasi di kawasan sepanjang pantai Banda Aceh pasca tsunami, sekaligus dilakukan analisis tentang kualitas vegetasi yang berfungsi untuk mempertahankan daerah sekitar, terutama pasca tsunami 2004. Selain itu penelitian ini diharapkan mengungkapkan tentang perubahan vegetasi sepanjang pantai Banda Aceh pasca tsunami. Penelitian ini mengungkapkan informasi dasar tentang kualitas vegetasi disepanjang pantai Banda Aceh mencakup komposisi, indeks

Djufri , Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

122

keanekaragaman spesies (H’), sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam rangka pengelolaan fungsi ekosistem pantai terutama pasca tsunami. METODE PENELITIAN Penelitian ini berlangsung mulai Juli 2009 sampai Nopemebr 2009. Pengambilan sampel dilakukan di Pantai Ulee Lee (PUL) dan Pantai Ujung Batee (PUB). Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesies tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian, alkhol 70%, kertas label, etiket gantung, herbarium press, kaleng penyimpan herbarium, dan buku identifikasi tumbuhan.

Sebelum dilakukan pengambilan sampel, terlebih dahulu dilakukan observasi dan pembuatan stasiun pengamatan (segmentasi). Luas seluruh kawasan mencapai 42 ha, dari luas keseluruhan tersebut diambil sampel 10%, penetapan ini berdasarkan pertimbangan bahwa masing-masing stasiun pengamatan adalah homogen. Dengan demikian, unit sampel penelitian ini adalah 4,2 ha. Dari 4,2 ha dibedakan atas 2 stasiun pengamatan berdasarkan karakter pantai yaitu (a). Pantai Ujung Bate selanjutnya disebut PUB, dan Pantai Ule Lee selanjutnya disebut PUL. Penelitian ini menggunakan metode kuadrat, pada unit sampel yang luasnya 4,2 ha ditetapkan sebanyak 10 stasiun pengamatan dengan luas setiap stasiun 0,42 ha. Selanjutnya pada setiap stasiun pengamatan dicuplik sampel sebanyak 5 kuadrat sampel dengan demikian diperoleh kuadrat sampel (ulangan) sebanyak 50 kuadrat. Penentuan jumlah kuadrat dengan teknik seri tiga (Syafei, 1994), dan penentuan luas kuadrat sampel berdasarkan teknik kurva minimum area (Barbour et al., 1987; Setiadi, 2001). Pelaksanan teknik sampling disajikan pada Gambar 1.

Variabel yang diamati mencakup jumlah spesies, nilai Kerapatan Mutlak (KM), Frekuensi Mutlak (FM), dan Dominansi Mutlak (DM). Pengenalan spesies di lapangan mengacu pada buku Backer & Bakhuizen (1963, 1965, 1968); Steenis (1978); dan Soerjani, dkk. (1987). Untuk menghitung Nilai Penting (NP) setiap spesies digunakan rumus menurut Cox (2001); Shukla & Chandell (1982) sebagai berikut : NP = Frekuensi Relatif (FR) + Kerapatan Relatif (KR) + Dominansi Relatif (DR). Hasil perhitungan nilai penting selanjutnya digunakan sebagai nilai untuk mengetahui besarnya Indeks Keanekaragaman Spesies (H’) pada suatu komunitas dengan menggunakan rumus berikut: (Barbour et al., 1987; Krebs, 2000).

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

123

∑=

−=s

i

pipiH'1

)(ln)(

dimana : pi = ni/N

ni = Jumlah nilai penting satu spesies N = Jumlah nilai penting seluruh spesies ln = Logaritme natural (bilangan alami)

20 100 m Gambar 1. Desain jalur pengamatan vegetasi dengan kombinasi metode

transek dan kuadrat Keterangan Gambar

� Jalur A (lebar 2 m) dengan petak-petak 2 m x 2 m (herba) � Jalur B (lebar 5 m) dengan petak-petak 5 m x 5 m (perdu) � Jalur C (lebar 10 m) dengan petak-petak 10 m x 10 m

(pohon) Agar nilai Indeks Keanekaragaman Spesies (H’) Shanon-Wieneer dapat ditafsirkan maknanya maka digunakan kriteria sebagai berikut : Nilai H’ biasanya berkisar dari 0-7. Jika H’ = < 1 kategori sangat rendah, Jika H’ = > 1-2 kategori rendah, Jika H’ = > 2-3 kategori sedang (medium), Jika H’ = > 3-4 kategori tinggi, dan jika H’ = > 4 kategori sangat tinggi (Barbour et al., 1987; Djufri, 2006).

5 m B 10 m A C

2m

20 m

Djufri , Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

124

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pantai Ule Lee pasca tsunami kondisi sangat parah, sebab sebagian besar spesies yang dulu hadir di pantai tersebut saat ini sudah hilang. Kondisi pantai ini pasca tsunami mengalami perubahan bentang alam yang sangat berbeda dengan kondisi sebelum tsunami. Sebelum tsunami, pantai ini menjadi salah satu pantai yang diminati warga masyarakat untuk berkreasi, karena disamping pantainya yang menarik dan terbentang luas, di tempat ini juga dijumpai beberapa spesies pantai berupa pohon, perdu, dan herba khususnya dijadikan sebagai tempat berteduh. Beberapa spesies yang dijumpai di tempat tersebut sebelum tsunami antara lain; waru laut (Hibiscus rosasinensis), kelapa (Cocos nucifera), cemara (Casuarina equisetifolia), kedondong laut (Polycias fruticosa), dan petai cina (Leucaena leucocepala) dari kelompok pohon, dan nyawon (Eupatorium odoratum), pandan laut (Pandanus tectorius), biduri (Calotropis gigantea), bulu babi (Theprosia candida), dan beluntas (Plucea indica) dari kelompok perdu, dan tapak kuda (Ipomoea prescaprae), rumput laut (Spinifex littoralis), jarong lelaki (Stachytarpeta indica), teki (Cyperus rotundus), sida gori (Sida rhombifolia), belulang (Eleusine indica), kacangan (Desmodium triflorum), dan meniran (Phyllantus debilis). Spesies tersebut di atas pernah diteliti oleh Djufri dalam penelitian sebelumnya pada saat belum terjadi bencana tsunami. Namun saat ini spesies yang disebutkan di atas sudah tidak ditemukan lagi, akibat peristiwa tsunami yang menyebabkan luas daratan di pantai ini jauh berkurang dari sebelumnya. Selain itu di kawasan pantai Ule Lee saat ini telah dibangun satu dermaga besar sebagai tempat bersandarnya beberapa kapal barang dan kapal penumpang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan transportasi laut, seperti masyarakat yang berdomisili di Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Simeuleu, Kabupaten Sinabang, dan Kota Madya Sabang. Akibat perubahan fungsi pantai tersebut maka secara otomatis fisiognomi pantai Ulee Lheue mengalami perubahan baik bentang alamnya maupun fungsinya. Kondisi umum pelabuhan yang ada di pantai Ujung Batee disajikan pada Gambar 2.

Sejalan dengan program Rehabilitasi wilayah pantai pasca tsunami di Provinsi Aceh, maka sebagian besar kawasan pantai Ule Lee telah dilakukan penanaman spesies bakau (Rhizopora mucronata). Penanaman tersebut dimaksudkan sebagai barier penahan abrasi pantai ke daerah pemukiman dan juga berguna sebagai wilayah tanggul hijau (belt green) sebagai upaya untuk memulihkan kembali kondisi pantai

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

125

Ule Lee, meskipun spesies yang ditanaman bersifat tegakan murni yang hanya terdiri dari satu spesies. Kondisi keberhasilan penanaman spesies bakau pada kawasan ini disajikan pada Gambar 3.

Berdasarakan data pada Gambar 2 di atas dapat dikemukakan bahwa tingkat keberhasilan penanaman bakau pada kawasan pantai Ule Lee ini belum menunjukkan tingkat keberhasilan yang memuaskan, karena sudah hampir 5 tahun kondisinya belum menggembirakan, baik ditinjau dari laju pertumbuhannya, maupun luas penutupan wilayahnya (covered). Hal ini kemungkinan disebabkan karena lemahnya pemiliharaan terhadap tanaman bakau tersebut atau bisa juga disebabkan karena salah dalam memilih spesies yang cocok hidup di tempat tersebut. Bila dikaitkan dengan kehadiran vegetasi di pantai yang peranannya sangat penting, maka perlu dilakukan upaya yang serius untuk melakukan rehabilitasii pantai Ujung Batee melalui penanaman beberapa spesies yang cocok secara kontiniu dengan pengawasan dan pemantauan yang kontiniu pula, baik oleh Dinas Konservasi Sumber Daya (KSDA) maupun oleh Dinas Kehutanan, sehingga secara perlahan kondisi pantai Ujung Batee dapat membaik terutama dikaitkan dengan komponen vegetasi, sebagai salah satu komponen penting suatu pantai, teruma ditinjau dari fungsi ekologis.

Gambar 2 Keadaan pelabuhan di pantai Ule Lee

Kondisi Pantai Ujung Batee (PUB) Pantai Ujung Batee tidak mengalami perubahan yang berarti akibat bencana tsunami, karena pada kawasan ini sebagian besar tidak terkena tsunami. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa spesies yang hadir saat ini relatif sama dengan spesies yang dijumpai

Djufri , Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

126

pada saat belum terjadi tsunami. Oleh karenanya, sampai saat ini pantai Ujung Batee masih diminati oleh masyarakat dan pada hari libur selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat luas. Berhubung karena kondisi vegetasinya tidak banyak mengalami perubahan pasca tsunami, maka secara ekologi fungsinya masih berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi pantai Ujung Batee secara umum dapat dibedakan atas beberapa tegakan pohon yang dominan yaitu : � Tegakan kelapa (Cocos nucifera) yang dijumpai pada lapisan paling

belakang dari tepi laut menuju badan jalan. Spesies ini memang merupakan spesies yang lazim dijumpai di pantai. Penutupan tegakan kelapa mencapai 50% dari luas kawasan pantai Ujung Batee yang diteliti, yaitu sekitar 10 Ha. Fisiognomi tegakan kelapa di wilayah studi disajikan pada Gambar 4.3. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kelapa yang tumbuh di pantai ini sudah berusia tua, sehingga produksi buahnya sudah sangat sedikit, dan tidak jarang kita melihat pohon kelapa yang tidak menghasilkan buah lagi. Kepadatan rata-rata tegakan kelapa mencapai 6-7 pohon per 10 m2. Berhubung karena kepadatan pohon kelapa relatif rendah persatuan luas tertentu, hal tersebut memungkinkan beberapa spesies herba dapat hidup di bawah pohon tersebut, terutama jenis rumput-rumputan (Poaceae). Hal ini tentunya menguntungkan karena kawasan tersebut dapat digunakan sebagai area pengembalaan (grazing) untuk hewan ternak milik masyarakat di sekitar pantai tersebut.

Gambar 3. Fisiognomi pantai Ujung Batee yang ditumbuhi tegakan bakau

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

127

� Tegakan nimba (Azadiracta indica) yang dijumpai pada lapisan kedua dari tepi laut setelah formasi tegakan cemara. Spesies ini memang merupakan spesies yang lazim dijumpai di pantai. Penutupan tegakan nimba mencapai 15% dari luas kawasan pantai Ujung Batee yang diteliti. Fisiognomi tegakan nimba di wilayah studi disajikan pada Gambar 5. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar nimba yang tumbuh di pantai ini sudah berusia tua, hal ini ditunjukkan dengan ukuran diameter batang rata-rata mencapai 0,75 cm. Kepadatan rata-rata tegakan nimba mencapai 4-5 pohon per 10 m2. Berhubung karena kepadatan pohon nimba relatif rendah persatuan luas tertentu, hal tersebut memungkinkan beberapa spesies herba dapat hidup di bawah pohon tersebut, terutama jenis rumput-rumputan (Poaceae). Hal ini tentunya menguntungkan karena kawasan tersebut dapat digunakan sebagai area pengembalaan (grazing) untuk hewan ternak milik masyarakat di sekitar pantai tersebut.

Gambar 4. Tegakan kelapa (Cocos nucifera) di pantai Ujung Batee

� Tegakan cemara (Casuarina equisetifolia) yang dijumpai pada

lapisan pertama dari tepi laut. Spesies ini memang merupakan spesies yang lazim dijumpai di pantai. Penutupan tegakan cemara mencapai 30% dari luas kawasan pantai Ujung Batee yang diteliti. Fisiognomi tegakan cemara di wilayah studi disajikan pada Gambar 6. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar cemara yang tumbuh di pantai ini sudah berusia tua, hal ini ditunjukkan dengan ukuran diameter batang rata-rata mencapai 0,75 cm. Kepadatan rata-rata tegakan nimba mencapai 10-12 pohon per 10 m2. Di bawah tegakan cemara tidak dijumpai adanya spesies herba yang hidup, hal ini kemungkinan disebabkan oleh salinitas yang cukup tinggi mengingat sangat dekat dengan laut, atau disebabkan karena adanya alelopati yang diproduksi pohon cemara

Djufri , Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

128

yang menyebabkan spesies lain tidak dapat hidup di tempat tersebut. Kemungkinan lain juga disebabkan karena tingginya kepadatan pohon cemara persatuan luas tertentu menyebabkan intensitas cahaya yang tembus ke lantai hutan menjadi terbatas, hal tersebut tentunya menjadi faktor penghambat utama bagi spesies lain untuk hadir di tempat tersebut.

Gambar 5. Tegakan nimba (Azadirachta indica) di pantai Ujung Batee

Gambar 6. Tegakan cemara (Casuarina equisetifolia) di pantai Ujung Batee

� Tegakan biduri (Calotropis gigantea) yang dijumpai pada lapisan

setelah formasi nimba, bahkan sebagian besar berasosiasi dengan tegakan nimba. Spesies ini memang merupakan spesies yang lazim dijumpai di pantai. Penutupan tegakan biduri mencapai 10% dari luas kawasan pantai Ujung Batee yang diteliti. Fisiognomi tegakan biduri di wilayah studi disajikan pada Gambar 7. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar biduri yang tumbuh di pantai ini sudah mencapai fase klimaks, hal ini ditunjukkan

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

129

dengan luasnya penyebaran di seluruh plot pengamatan. Spesies ini berasosiasi positif dengan tegakan kelapa dan cemara, serta terhadap spesies yang lainnya. Secara ekologi spesies ini merupakan spesies indikator kawasan pantai, karena mempunyai kemampuan adaptasi yang baik terhadap kadar garam yang tinggi, serta kondisi yang kering dan terdedah oleh sinar mataharari. Kepadatan spesies ini mencapai 4-6 individu per 5 m2.

Gambar 7. Tegakan biduri (Calotropis gigantea) di pantai Ujung Batee Komposisi Spesies Penyusun Pantai Ujung Batee (PUB) Strata Pohon Hasil pendataan pohon di pantai ujung batee dan nilai kuantitatif setiap spesies disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai Penting dan Indkes Keanekaragaman Spesies Pohon di Pantai Ujung Batee

NO. SPESIES NAMA DAERAH

FAMILIA NP (%)

H’

1. Casuarina equisetifolia

cemara laut Casuarinaceae 140 -0.35567

2. Cocos nucifera kelapa Arecaceae 60 -0.32189

3. Azadirachta indica

nimba Meliaceae 45 -0.28457

4. Hibiscus tilaceus

waru laut Malvaceae 30 -0.23026

5. Terminalia catappa

ketapang Combretaceae 10 -0.11337

Djufri , Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

130

6. Syzigium commune

jamblang Mirtaceae 15 -0.14979

JUMLAH 300 -1.45554

Berdasarkan data pata Tabel 1. dapat dikemukakan bahwa

spesies pohon yang mendominasi kawasan Pantai Ujung Batee (PUB) berdasarkan Nilai Penting (NP) adalah Casuarina equsetifolia (NP = 140 %), dan Cocos nucifera (NP = 60 %), sedangkan spesies lainnya memiliki nilai penting relatif rendah. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa secara ekologi kedua spesies tersebut di atas menguasai kawasan pantai tersebut dan menentukan klimaks vegetasi strata pohon dimasa yang akan datang. Jika tidak terjadi sesuatu yang dapat merubah bentang alam pada kawasan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa kecenderungan klimaks vegetasi strata pohon di pantai ujung batee adalah Casuarina-Arecaceae, sehingga pantai ini dapat diberi nama asosiasi tegakan pohon Casuarina-Arecaceae..

Bila ditinjau dari aspek nilai Indeks Keanekaragaman (H’), dapat dikemukakan bahwa nilai yang dihasilkan pada Tabel 1. tergolong dalam kategori rendah (1,45554). Hal tersebut bermakna bahwa keanekaragaman spesies pohon di kawasan pantai ujung batee tergolong rendah. Secara ekologi bila keanekaragaman spesies rendah pada suatu kawasan, maka tingkat kestabilan komunitas di tempat tersebut kurang baik, sehingga tidak akan dapat menjalankan fungsinya secara optimal, baik ditinjau dari aspek habitat bagi satwa maupun fungsi tegakan di pantai sebagai penahan abrasi pantai dimasa yang akan datang. Oleh karenanya, perlu dilakukan upaya pengelolaan keanekaragaman vegetasi pantai untuk strata pohon melalui program reboisasi, terutama pada kawasan yang terkena dampak tsunami. Strata Perdu

Hasil pendataan strata perdu di pantai ujung batee dan nilai kuantitatif setiap spesies disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai Penting dan Indkes Keanekaragaman Spesies Perdu di Pantai Ujung Batee

NO. SPESIES NAMA DAERAH

FAMILIA NP (%)

H’

1. Calotropis gigantea

biduri Asclepiadaceae 126 -0.36435

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

131

2. Eupatorium odoratum

nyawon Asteraceae 34 -0.24677

3. Plucea indica beluntas Asteraceae 45 -0.28457

4. Vernonia cinerea

selasih Asteraceae 24 -0.20206

5. Vitex trifolia viteks Verbenaceae 15 -0.14979

6. Gautheria punctata

anting-anting

Lyrtaceae 19 -0.17476

7. Jatropa curcas jarak pagar Euphorbiaceae 10 -0.11337

8. Theprosia candida

bulu babi Fabaceae 7 -0.08768

9. Lantana camara

Temblek ayam

Verbenaceae 20 -0.18054

JUMLAH 300 -1.80389

Berdasarkan data pata Tabel 2. dapat dikemukakan bahwa

spesies perdu yang mendominasi kawasan Pantai Ujung Batee (PUB) berdasarkan Nilai Penting (NP) adalah Calotropis gigantea (NP = 126 %), dan Plucea indica (NP = 45 %), sedangkan spesies lainnya memiliki nilai penting relatif rendah. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa secara ekologi kedua spesies tersebut di atas menguasai kawasan pantai tersebut dan menentukan klimaks vegetasi strata perdu dimasa yang akan datang. Jika tidak terjadi sesuatu yang dapat merubah bentang alam pada kawasan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa kecenderungan klimaks vegetasi strata perdu di pantai Ujung Batee adalah Calotropis-Asteraceae, sehingga pantai ini dapat diberi nama asosiasi tegakan perdu Calotropis-Asteraceae..

Bila ditinjau dari aspek nilai Indeks Keanekaragaman (H’), dapat dikemukakan bahwa nilai yang dihasilkan pada Tabel 2. tergolong dalam kategori rendah (1,80389). Hal tersebut bermakna bahwa keanekaragaman spesies perdu di kawasan panati Ujung Batee tergolong rendah. Secara ekologi bila keanekaragaman spesies rendah pada suatu kawasan, maka tingkat kestabilan komunitas di tempat tersebut kurang baik, sehingga tidak akan dapat menjalankan fungsinya secara optimal, baik ditinjau dari aspek habitat bagi satwa maupun fungsi tegakan di pantai sebagai penahan abrasi pantai dimasa yang akan datang. Oleh

Djufri , Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

132

karenanya, perlu dilakukan upaya pengelolaan keanekaragaman vegetasi pantai untuk strata perdu melalui program reboisasi, terutama pada kawasan yang terkena dampak tsunami. Strata Herba

Hasil pendataan strata herba di pantai ujung batee dan nilai kuantitatif setiap spesies disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai Penting dan Indkes Keanekaragaman Spesies Herba di Pantai Ujung Batee

NO. SPESIES NAMA DAERAH

FAMILIA NP (%)

H’

1. Ipomoea prescapre

tapak kuda Convolvulaceae 67.53 -0.33567

2. Chloris barbata

rumput angin

Poaceae 44.12 -0.28191

3. Sporobulus diander

cakar ayam Poaceae 12.87 -0.13509

4. Eragrostis amabilis

empritan Poaceae 13.43 -0.13906

5. Fimbristilis spathaceae

rumput sabit

Poaceae 15.01 -0.14985

6. Panicum repens

jajagoan Poaceae 3.12 -0.04749

7. Mimosa pudica

putri malu Mimosaceae 7.03 -0.08796

8. Tridax procumbens

cagak langit

Asteraceae 12.12 -0.12964

9. Eleusine indica

belulang Poaceae 22.14 -0.19235

10. Desmodium triflorum

kacangan Fabaceae 10.55 -0.11773

11. Cyperus pygmaeus

teki payung

Cyperaceae 18.03 -0.16899

12. Leucas lavandufolia

paci Lamiaceae 5.02 -0.06845

13. Stachytarpeta indica

jarong lelaki

Lamiaceae 6.12 -0.07940

14. Sida rhombifolia

pulutan Malvaceae 8.05 -0.09709

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

133

15. Borreria laevis kopian Rubiaceae 16.02 -0.15646

16. Brachiaria reptans

bayapan Poaceae 9.11 -0.10611

17. Achyrantes aspera

jarong Amaranthaceae 2.23 -0.03644

18. Euphorbia hirta

patikan kebo

Poaceae 8.12 -0.09770

19. Imperata cylindrica

alang-alang

Poaceae 9.03 -0.10545

20. Abotilon indicum

kapasan Malvaceae 7.18 -0.08933

21. Turnera alata kuningan Malvaceae 2.02 -0.03367

22. Urena lobata pulutan Malvaceae 1.15 -0.02133

JUMLAH 300 -2.67714

Berdasarkan data pata Tabel 3. dapat dikemukakan bahwa

spesies herba yang mendominasi kawasan Pantai Ujung Batee (PUB) berdasarkan Nilai Penting (NP) adalah Ipomoea prescapre (NP = 67,53 %), dan Chloris barbata (NP = 44,12 %), sedangkan spesies lainnya memiliki nilai penting relatif rendah. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa secara ekologi kedua spesies tersebut di atas menguasai kawasan pantai tersebut dan menentukan klimaks vegetasi strata herba dimasa yang akan datang. Jika tidak terjadi sesuatu yang dapat merubah bentang alam pada kawasan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa kecenderungan klimaks vegetasi strata herba di pantai Ujung Batee adalah Ipomoea-Poaceae, sehingga pantai ini dapat diberi nama asosiasi strata herba Ipomoea-Poaceae..

Bila ditinjau dari aspek nilai Indeks Keanekaragaman (H’), dapat dikemukakan bahwa nilai yang dihasilkan pada Tabel 3. tergolong dalam kategori sedang (2,67714). Hal tersebut bermakna bahwa keanekaragaman spesies herba di kawasan panati Ujung Batee tergolong sedang (baik). Secara ekologi bila keanekaragaman spesies tergolong kategori sedang pada suatu kawasan, maka tingkat kestabilan komunitas di tempat tersebut relatif baik, oleh karenanya perlu dipertahanakan, baik bagi kepentingan habitat satwa maupun fungsi spesies tersebut di pantai sebagai penahan abrasi pantai dimasa yang akan datang. Namun

Djufri , Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

134

kelompok herba tidak terlalu baik untuk menahan abrasi pantai, namun kelompok ini berfungsi baik untuk menahan pasir, sehingga tidak mudah diterbangkan angin, sehingga pergerakan pasir menuju daratan dapat dicegah. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa (a). Fisiognomi vegetasi pantai Ule Lee telah mengalamii perubahan mendasar pasca tsunami, (b). Fisiognomi vegetasi di pantai Ujung Batee secara umum tidak mengalami perubahan yang berarti pasca tsunami, (c). Upaya penanaman mangrove di wilayah pantai Ulee Lee dan Ujung Batee belum memberikan hasil yang optimal, (d). Berdasarkan nilai penting spesies maka kawasan pantai Ujung Batee untuk strata pohon didominasi oleh Casuarina equisetifolia, dan Cocos nucifera , strata perdu didominasi oleh Calotropis gigantea, dan Plucea indica, dan strata herba didominasi oleh Ipomoea prescaprae dan Chloris barbata, dan (e). Mengacu pada nilai indeks keanekaragaman baik untuk strata pohon, perdu, dan herba, maka kawasan pantai Ujung Batee perlu dilakukan upaya pengelolaan keanekaragaman melalui program reboisasi, terutama kawasan yang terkena dampak tsunami yang serius.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Setyo Leksono. 2007. Ekologi (Pendekatan Deskriptif dan

Kuantitatif). Bayumedia Publishing. Malang. Anwar, C. 1991. Pertumbuhan Anakan Shorea Pada media Beberapa

Tingkat Usia Tegakan Acasia Mangium Wilid. Buletin Penelitian Hutan, no. 554. Pusat Penelitian Hutan dan Pengembangan Hutan

Barbour , G.M., J.K. Burk and W.D. Pitts. Terrestrial Plant Ecology.

New York. : The Benyamin/Cummings Publishing Company. Cox, G.W. (2002). Laboratory Manual of General Ecology. USA :

WM.C. Brown Company Publisher. Djufri. 2002. Penentuan Pola Distribusi, Asosiasi, dan Interaksi Spesies

Tumbuhan Khususnya Padang Rumput di Taman Nasional

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:120-136

135

Baluran, Jawa Timur. Biodiversitas. Journal of Biological Diversity. 3 (1): 181-188.

______. 2006. Analisis Vegetasi di Savana Tanpa Tegakan Akasia

(Acacia nilotica) di Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Jurnal Forum Pasca. 29 (14): 261-275.

Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung: ITB. Heddy, S.K. Metty. 1994. Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. Jakarta: PT

Grafindo Pesada. Gold-Smith. (1986). Discription and Analysis of Vegetation. Dalam

Methods in Plant Ecology. (eds. Chapman, S.B. & P.D. Moore). Blacwell Scientific Publication, Oxford, London.

Greig-P. Smith. 1983. Quantitative Plant Ecology. Third Edition.

University Press. Iowa, USA. Krebs, C.J. 2002. Ecology : The Experimental Analysis of Distribution

and Abudance. Second Edition. Harper & Row, publisher. New York Hagerstown San Francisco, London.

Ludwig, J.A. and Reynolds, J.F. (1988). Statistical Ecology. United

States of America. Melati Ferianita Fachrul. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi

Aksara. Jakarta. Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan

Laboratorium. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Mueller-Dombois, D & H.H. Ellenberg. (1974). Aims and Methods of

Vegetation Ecol N.A.S. 1980. Firewood crops. Scrub and tree species for energy production. National Academy of Sciences. Washington, DC.

Reynolds, J.A. and Carter, J.O. 1990. Woody Weeds in Central Western

Queensland in : Proceedings 6 th Biennial Conference,

Djufri , Analisis kualitas vegetasi sepanjang pantai

136

Australian Rangelands Society. Carnarvon, Western Australia. Pp. 304-306.

Samingan, T. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press. Sastroutomo, S,S. 1990. Ekologi Gulma. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama. Suarni, T. 1995. Keragaman Tumbuhan di Pantai dalam wilayah Kota

Madya Banda Aceh Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Skripsi. Banda Aceh: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala.

Steenis. C G. G. J. 1992. Flora untuk Sekolah di Indonesia.

Diterjemahlan oleh Moesa Surjowinoto. Bandung: Pradya Paramita.

Shukla, R.S. & P.S. Chandel. (1982). Plant Ecology. New Delhi : S.

Chand & Company, Ltd. Ram Nagar. Steel, R.C.D. and J.M. Torrie. 1980. Principles and Procedures of

Statistic; A Biometric Approach. Mc-Graw-Hill, Tokyo. Syafei, E.S. (1994). Pengantar Ekologi Tumbuhan. ITB, Bandung. Tisdell, Clem. (1999). Biodiversity, Conservation and Sustainable

Development. Principles and Practices With Asian Examples. Edward Elgar Cheltenham, U.K. Northampton, MA, USA.

Tjitrosoepomo, G. 1981. Taksonomi Umum (Dasar-Dasar Taksonomi

Tumbuhan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wahab, H. 2002. Ekologi Tumbuhan. Diktat Kuliah. Banda Aceh:

Universitas Syiah Kuala. Wirakusuma, S. 2003. Pengetahuan Ilmu-Ilmu Lingkungan. Jakarta:

Universitas Indonesia Press.

Jamil, Teori dalam Penelitian Sosial

137

TEORI DALAM PENELITIAN SOSIAL

oleh T. M. Jamil T. A.

Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh PENDAHULUAN Manusia senantiasa berusaha mencari kesempurnaan dan kebenaran, di dorong oleh hasrat ingin tahunya yang selalu ada dan tidak pernah padam. Melalui berbagai penelitian, banyak rahasia tersingkap sudah. Pengetahuan orang semakin luas. Ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan kumpulan pengalaman dan pengetahuan sejumlah orang yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang teratur dan kebenarannya sudah teruji. Maka ilmu pengetahuan mempunyai nilai umum yang dapat dipergunakan menghadapi persoalan hidup sehari-hari. Namun, banyak masalah belum juga terpecahkan; disamping itu muncul masalah-masalah baru. Oleh karena itu, penelitian/ penyelidikan lahir dari masalah kehidupan manusia sendiri yang memerlukan pemecahan. Meskipun tidak ada cara yang sama sekali dapat dipergunakan untuk menghilangkan ketidaktentuan (uncertainty), namun unsur-unsur ketidak tentuan karena kurangnya informasi itu dapat diperkecil dengan mempergunakan metode ilmiah. Metode ini akan mengurangi bahaya berbuat salah atas pilihan dari bermacam-macam tindakan. Riset sebenarnya merupakan penerapan atau aplikasi dari metode ilmiah. Dengan kata lain riset sinonim dengan metode ilmiah. Sifat ilmiah atau tidak ilmiah erat hubungannya dengan metode penyimpulan. Suatu tulisan disebut ilmiah bila pokok pikiran yang dikemukakannya disimpulkan melalui suatu prosedur yang sistematis dengan mempergunakan pembuktian-pembuktian yang cukup meyakinkan. Bukti yang cukup meyakinkan ini biasanya merupakan fakta-fakta yang didapat secara objektif dan berhasil lolos dari berbagai proses pengujian. Kadar ilmiah dari suatu penelitian dapat bervariasi bergantung pada pengalaman dan keterampilan penelitian serta besarnya dana yang tersedia dan waktu penelitian.

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148

138

PEMBAHASAN Pengertian Teori

Seorang ahli ilmu pengetahuan tidak hanya bertujuan menemukan fakta atau kenyataan. Ia ingin mencari dalil, yaitu generalisasi atau kesimpulan yang berlaku umum. Dan dengan dalil ini ahli tersebut dapat meramalkan rangkaian peristiwa berikutnya. Sekumpulan data baru mempunyai arti dan guna kalau tersusun dalam satu sistem pemikiran yang disebut teori.1

Teori adalah prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta; mungkin juga berupa dugaan yang menerangkan sesuatu seperti teori atom, teori gravitasi, teori evolusi, dan sebagainya. Jadi teori merupakan suatu sudut pandangan. apakah teori itu spekulasi? Sebelum dibuktikan kebenarannya, teori memang dianggap sebagai spekulasi. Tetapi ia akan menjadi fakta setelah pembuktian dilakukan. Bagi seorang peneliti, teori menjadi alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Betapa teori ini sangat penting, untuk menuntun peneliti dan ilmuwan dalam upaya mengembangkan wawasan keilmuan, agar tak mengalami stagnasi. Oleh karena itu (1) teori bukan spekulasi (2) teori dan fakta saling berhubungan (3) peneliti sangat berkepentingan dengan keduanya - teori dan fakta.

Fakta dan teori bersifat saling mendorong. Teori memberi arah dalam proses ilmiah, sebaliknya fakta memegang peranan dalam mengembangkan teori. Pertumbuhan ilmu pengetahuan nampak dalam fakta-fakta baru dan teori baru. Fakta-fakta yang baru dan menyimpang akan menciptakan teori baru; dan teori yang ada mungkin menjadi tidak berguna lagi atau harus dirumuskan kembali. Melakukan suatu riset tanpa interprestasi teoritis atau membuat teori tanpa riset adalah melupakan pokok teori sebagai alat untuk mencapai suatu pemikiran yang ekonomi.2

Untuk menemukan sebuah teori yang terbukti kebenarannya, mula-mula dibuat teori sementara yang dipergunakannya sebagai pedoman atau petunjuk untuk memecahkan masalah. Peneliti kemudian mencari data untuk menguji kebenaran teori sementara yang dibuatnya itu. Teori ini disebut hipotesis, selaku pemecahan sementara terhadap

1 Dr. Winarno Surachmad, Dasar Teknik Research, CV. Tarsito, Bandung, 1972,

hal.53 2 J. Supranto MA, Metode Riset, Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas

Indonesia , Jakarta, 1974, hal. 15.

Jamil, Teori dalam Penelitian Sosial

139

masalah yang diteliti. Ia akan menjadi dalil atau teori setelah berulang kali diperiksa kebenarannya. Contoh:3 Teori : Manusia yang dibesarkan di dalam suasana yang bebas pada umumnya lebih berkesempatan untuk berhasil maju dengan usaha sendiri dari pada yang dididik di dalam suasana penuh tekanan dan larangan. Bertitik tolak pada teori ini dibuat hipotesa sebagai berikut : Anak yang berasal dari keluarga yang orang tuanya tidak membebaskan keluar rumah untuk mengunjungi berbagai peristiwa, tidak dapat melakukan tugas luar yang diberikan oleh guru.

Dalam survai "Kesejahteraan Anak dan Pemuda Tahun 1969”, dikemukakan anggapan dasar (postulate) sebagai titik tolak pemikiran.4 Bahwa anak-anak dan pemuda adalah tenaga yang potensial yang akan memberikan tenaganya di hari depan untuk pembangunan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu haruslah mereka diberi perlindungan terhadap penyakit kelaparan kekurangan makanan dan dislokasi-dislokasi sosial serta disiapkan untuk pekerjaan melalui pendidikan dan latihan. Maka dari itu tindakan-tindakan yang tepat perlu diambil untuk memenuhi kebutuhan anak. Dalam hubungan ini para petugas perencanaan yang menyusun pola pembangunan nasional harus memberi perhatian yang lebih memadai dalam memenuhi kebutuhan anak-anak dan pemuda. Hipotesa yang ditarik sejalan dengan anggapan dasar di atas:

Tingkat kemakmuran dan kesejahteraan penduduk pada umumnya (termasuk anak dan pemuda) masih sangat rendah.

Kondisi-kondisi sosial-ekonomi-budaya pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat yang memadai untuk perkembangan anak dan pemuda. Hipotesa tersebut diperoleh setelah penelitian pendahuluan

bahwa di Indonesia mayoritas penduduk berpenghasilan rendah yang sebagian besar habis untuk makan, sehingga mereka tidak mampu untuk menabung dan memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, rekreasi dan sebagainya.

Jadi tidak ada perbedaan pokok antara teori dan hipotesa dari segi pemecahan masalah. Hipotesa sebagai pemecahan sementara dan menjadi teori setelah terpecahkan. Perbedaan hipotesa, teori dan dalil terletak pada tingkat generalitas dan kepastiannya. Teori merupakan

3 Dr. Winarno Surachmad op.cit., hal.54 4 Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial Departemen Sosial RI, Metode Penelitian

Sosial dalam Praktek, Yogyakarta, 1970, hal. 12-14.

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148

140

anggapan dasar atau postulat yang menjadi sumber hipotesa ; sedangkan dalil adalah titik tolak yang lebih kuat tingkatannya. Manfaat Teori dalam Penelitian

Kita melakukan kegiatan penelitian sosial secara ilmiah karena kita ingin memahami dunia yang kompleks ini, baik demi memuaskan rasa ingin tahun maupun untuk mengantisipasi peristiwa yang akan terjadi ataupun untuk mengontrol peristiwa yang terjadi. Karena itu suatu penelitian ilmiah selalu dimulai dengan suatu yang ingin kita ketahui. Inilah yang disebut masalah penelitian.

Yang ingin kita ketahui itu dapat dibedakan menjadi dua tingkatan. Pertama suatu pernyataan yang belum diketahui jawabannya sama sekali. Misalnya, apakah betul remaja masa kini telah melakukan hubungan seks sebelum nikah (free sex)? Jawaban pertanyaan ini akan berupa diskripsi dan kesimpulan data dari satu variable. Yang ingin kita ketahui ini baru pada tingkatan gejala sosial saja, belum mencari jawaban atas kehadiran gejala tersebut. Misalnya, 42 % remaja Jawa Timur telah melakukan free sex (hasil penelitian T.M. Jamil di Jawa Timur).

Kedua, suatu pertanyaan telah diketahui jawabannya tetapi masih meragukan kebenarannya. Misalnya, betulkah control sosial yang lemah merupakan penyebab praktek free sex dikalangan remaja (penjelasan yang dikemukakan T.M. Jamil di Surabaya Post, 2 November 2007). Bentuk pertanyaan yang berangkat dari keraguan ini sudah mengandung kemungkinan penjelasan atas suatu gejala terjadi. Dalam pertanyaan ini telah terkandung suatu teori yang ingin diuji kebenarannya dalam dunia nyata.

Apabila free sex dilihat sebagai salah satu bentuk perilaku menyimpang, maka teori yang dikemukakan oleh Emile Durkheim tentang “integrasi sosial” mungkin dapat digunakan untuk menjelaskan gejala tersebut. “Makin tinggi derajat deferensiasi structural dan generalisasi nilai tanpa diikuti oleh spesifikasi norma yang sama derajatnya dalam suatu sistem sosial, maka makin besar pula derajatnya dalam suatu sistem sosial, maka makin besar pula derajat anomie sehingga makin tingggi pula tingkat penyimpangan dalam kelompok tersebut”.5 Yang hendak kita ketahui karena itu, ialah betulkah derajat integrasi sosial yang rendah akan melahirkan perilaku menyimpang.

5 Jonathan Turner dan Leonard Beghley, The Emergence of Sociological Theory,

(Homewood, II : The Dorsey Press, 1981).

Jamil, Teori dalam Penelitian Sosial

141

Konkretnya, betulkah intgrasi sosial yang rendah dikalangan remaja melahirkan perilaku free sex?

Cara yang paling efektif untuk mendapatkan jawaban yang berguna dan akurat bagi pertanyaan tipe kedua ialah menggunakan metode penelitian empiric untuk menyelidiki hubungan kedua variable tersebut (integrasi sosial dan perilaku menyimpang) dalam dunia nyata. Akan tetapi selain untuk tujuan penelitian, teori juga berguna untuk tujuan-tujuan ilmiah lainnya. Pertama, teori memberikan pola bagi intrepretasi data. Kedua, teori menghubungkan satu studi dengan studi lainnya.6 Ketiga, teori menyajikan kerangka sehingga konsep dan variable mendapatkan arti penting. Dan keempat, teori memungkinkan kita mengintepratasi makna yang lebih besar dari temuan yang kita peroleh dari suatu penelitian. Teori dan Penjelasan

Apabila konsep merupakan pertanyaan “what” sehingga yang dilakukan dalam konseptualisasi tiada lain merupakan diskripsi realitas baik secara denotative (keluasan) maupun secara konotatip (kedalaman), maka teori merupakan pertanyaan “why” sehingga yang dilakukan dalam teoritisasi ialah menjelaskan mengapa suatu gejala terjadi seperti itu.

Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan mengapa suatu gejala terjadi seperti itu. Proposi-proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Akan tetapi karena di dalam teori juga terkandung konsep teoritik, maka sebenarnya selain berfungsi menjelaskan suatu gejala yang timbul teori juga berfungsi menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat diobservasi.

Kalau teori diartikan sebagai hubungan kausal, logis dan sistematik antara dua atau lebih konsep, maka teori tiada lain merupakan penjelasan suatu gejala konsep atau variable pengaruh menjelaskan mengapa konsep atau variable terpengaruh terjadi. Karena itu penjelasan (explanation) dapat dibagi dua unsur, yaitu yang menjelaskan (explanan) dan yang dijelaskan (explanandum). Yang menjekaskan itu terdiri atas dua jenis pernyataan : generalisasi/ konsep, dan kondisi antesendent atau yang menyebabkan generalisasi/ konsep tersebut. Kedua pernyataan ini akan digunakan untuk menjelaskan eksplanandum. Mengikuti Durkheim tadi deferensiasi structural dan generalisasi nilai

6 Kenneth R. Hoover, The Elements of Sosial Scientific Thinking, (New York: St. Martin’s Press, 1980), halaman 39.

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148

142

merupakan suatu konsep ( generalisasi atas suatu fenomena yang kompleks), anomie merupakan kondisi antesedentnya, dan perilaku menyimpang (free sex) sebagai eksplanandumnya. Penjelasan sendiri terletak pada deferensiasi structural, generalisasi nilai dan anomie.

Penjelasan atas pertanyaan “mengapa” suatu gejala terjadi harus dapat menunjukkan bahwa gejala yang hendak dijelaskan itu secara logis sesuai dengan premisnya atau kemungkinan besar sesuai dengan premisnya. Dengan kata lain, penjelasan dapat pula dibedakan menjadi dua model, yaitu model deduktif, dan model induktif-statistika.

Model deduktif ditandai oleh hubungan logic antara premis dan konklusi, antara eksplanan dan eksplandum. Jika premis benar maka konklusi juga benar. Dalam model ini, kaharusan tidak terletak pada premis tetapi pada hubungan antara premis dan konklusi yang dikontrol oleh premis. Selain itu, suatu penjelasan dapat dikatakan benar-benar menjelaskan apabila generalisasinya didukung oleh fakta empiric. Jadi penjelasan ilmiah terhadap suatu kejadian diberikan dengan jalan menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan salah satu contoh dari tendensi umum.

Kenyataan bahwa Amerika Serikat menerapkan sistem dua partai dapat dijelaskan secara deduktif sebagai berikut : 1) semua sistem politik yang menerapkan sistem tunggal anggota per distrik (single member district) mempunyai sistem dua partai (generalisasi), 2) sistem politik Amerika menerapkan sistem tunggal anggota per distrik (kondisi antesendent). Dalam kenyataan generalisasi itu tidak dengan sendirinya benar. Karena itu generasi emperik harus diuji dan secara potensial dapat dibuktikan keliru.

Tidak seperti model penjelasan deduktif, penjelasan induktif statistika terhadap suatu kejadian individual tidak selalu sesuai dengan generalisasi kejadian itu. Premis (generalisasi) mungin saja benar, tetapi konklusi tentang suatu kejadian dapat saja salah. Penjelasan tidak terletak pada mengapa konduksi benar tetapi mengapa hal itu sangat mungkin (probable). Kalau data menunjukkan bahwa 80% pegawai negeri mengidentifikasi diri secara politik kepada GOLKAR, kita tidak dapat begitu saja menarik kesimpulan bahwa semua pegawai negeri adalah anggota GOLKAR. Akan tetapi kita dapat menarik kesimpulan bahwa apabila bertemu dengan seorang pegawai negeri kemungkinan besar dia adalah anggota GOLKAR.

Dalam literatur metodologi disebutkan berbagai macam penggolongan atas pola penjelasan. Akan tetapi dari berbagai

Jamil, Teori dalam Penelitian Sosial

143

penggolongan itu, lima pola penjelasan ini selalu disebutkan.7 Dalam praktek penelitian penjelasan yang ditawarkan tidak hanya satu jenis saja melainkan kombinasi dari dua atau lebih penjelasan. Pertama, penjelasan genetic atau historic memberi jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada serangkaian tahap peristiwa yang telah terjadi sebelum kemunculan gejala tersebut. Penjelasan yang diberikan oleh Marx mengenai kemunculan kapitalisme misalnya merupakan penjelasan historik.

Kedua, penjelasan fungsional memberi jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada letak dan kegunaan objek yang ditelaah itu dalam keseluruhan sistem tempat objek itu berada. Mengapa pemerintah melaksanakan penataran P4 secara menyeluruh? Jawaban yang diberikan secara fungsional ialah penataran P4 tidak hanya berfungsi bagi integrasi nasional tetapi juga memberikan legitimasi bagi pihak yang memerintah.

Ketiga, penjelasan disposisi memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada kecenderungan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu dalam situasi tertentu pula. Termasuk kedalam kecenderungan ini ialah sikap, pendapat, kepercayaan, nilai dan ciri-ciri kepribadian. “Seorang liberal memilih Partai Demokrat” (liberal menggambarkan disposisi) merupakan contoh penjelasan disposisi.

Keempat, penjelasan intensional memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada maksud atau tujuan tindakan. “X melakukan tindakan Y karena X ingin mendapatkan/ mencapai T” berdasarkan generalisasi bahwa “seseorang yang menginginkan T cenderung melakukan Y dalam situasi tertentu”. Mengapa kalangan masa cenderung mengikuti kegiatan suatu gerakan politik justru pada tahap akhir suatu gerakan mencapai tujuannya? Jawaban yang diberikan penjelasan intensional ialah massa mengikuti gerakan politik pada tahap akhir menjelang gerakan akan mencapai tujuannya karena massa ingin ikut mendapatkan keuntungan dari hasil gerakan tersebut.

7 Alan C. Isaak, Scope and Methods of Political Seience: An Introduction to the

Methodology of Political Ingguiry, (Homewood, II. : The Dorsey Press, 1981), halaman 147-165; Robert Brown, Explanation in Sosial Science, (Chicago, II.; Aldine Publishing Company, 1963), halaman 47-164; Wakter Walace, The Logic of Science in Sociology, (New York : Aldine Publishing Company 1971), halaman 90-101; dan Ernest Nagel, The Structure of Science. ( : Harcourt, Bracwe & World Inc., 1961). Halaman 20-26.

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148

144

Kelima, penjelasan rasional memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada cara pencapaian tujuan yang paling efisien. Suatu tindakan dianggap rasional apabila ia mencapai tujuannya secara paling efesien. Perbedaan penjelasan intensional dengan rasional terletak pada klaim bahwa tindakan rasional adalah tindakan yang paling efesien untuk mencapai tujuan. Tindakan yang intensional tidak mengajukan klaim seperti ini. Penjelasan rasional atas keterlibatan massa pada tahap akhir gerakan politik itu ialah massa mengikuti gerakan politik pada tahap akhir menjelang gerakan akan mencapai tujuannya karena massa ingin mendapatkan keuntungan dari hasil gerakan tersebut karena dinilai paling sedikit resikonya. Mengikuti kegiatan suatu gerakan sejak awal dianggap tidak rasional karena mengandung banyak resiko.

Selain menjelaskan, teori juga berfungsi untuk memperkirakan gejala yang bakal terjadi. Kedua fungsi ini berkaitan erat. Artinya, apabila seseorang ilmuan dapat memberikan penjelasan (generalisasi dan kondisi antesendent) terhadap suatu gejala (eksplandum) secara tepat, maka ilmuan dengan sendirinya juga dapat memperkirakan gejala yang akan terjadi. Kalau penjelasan yang diberikan Vilfredo Pareto benar, yaitu “makin tinggi derajat sentralisasi kekuasaan, maka paksaan atau ancaman paksaan makin sering digunakan sebagai alat pengendalian masyarakat.8 Maka dimana saja dan kapan saja terjadi sentralisasi kekuasaan yang tinggi akan banyak menggunakan paksaan atau ancaman paksaan sebagai alat pengendalian masyarakat. Hal yang Bukan Teori

Sebelum kita membahas bagaimana menggunakan teori, ada baiknya terlebih dahulu kita menjernihkan penggunaan kata teori yang tidak tepat. Pertama, perbedaan yang sering dibuat, antara teori dan praktek; “that is fine in theory, but it won’t work in practice”. Baik dalam teori tetapi tidak dalam prakteknya. Pandangan ini mencoba mengatakan bahwa teori itu tidak realistic. Penggunaan kata teori di sini tidak tepat karena setiap teori yang “baik” mestilah sesuai dengan kenyataan.

Apabila suatu teori tidak ingin sesuai dengan realitas empiric, maka teori itu tidak tepat lagi dikatagorikan sebagai teori karena telah kehilangan objektivitas. Suatu pernyataan dikatakan objektif kalau pernyataan itu sesuai dengan objeknya (kenyataan). Sebagaimana telah

8 Turner dan Beeghley, The Emergence…, halaman 534.

Jamil, Teori dalam Penelitian Sosial

145

diungkapkan di atas, teori merupakan abstraksi, sistimatisasi, dan generalisasi atas realitas atau fenomena yang kompleks. Hal ini berarti setiap ilmuan dituntut untuk mengkaji secara terus menerus teori yang dimilikinya dengan menghubungkannya dengan realitas yang membentuk teori tersebut, yaitu melalui kegiatan penelitian ilmiah. Kedua, kata teori digunakan baik untuk menggambarkan yang seharusnya (what ought to question) maupun untuk menggambarkan senyatanya (what is question). Pengertian teori yang dimaksudkan dalam ilmu sosial ialah yang menggambarkan kenyataan empirik.

Sementara itu, teori acapkali digambarkan dalam bentuk “procedural rule” dan sistem klasifikasi. Durkheim dalam buku “The Rules of Sociologial Method” mengemukakan bahwa sebab yang menentukan suatu fakta sosial hendaklah dicari diantara fakta sosial yang mendahuluinya dan tidak diantara keadaan kesadaran individual.9 Artinya, fungsi suatu fakta sosial harus selalu dicari dalam hubungan dengan beberapa tujuan sosial. Awal mula semua proses sosial yang penting seyogyanya dicari di dalam konstitusi internal suatu kelompok sosial, bukan pada psikologi ataupun pisiologi anggota kelompok tersebut. Ketika menganjurkan kita untuk mengkaji “konstitusi internal” suatu kelompok sosial sebagai sumber perilaku sosial, Durkheim sesungguhnya tidak menyodorkan penjelasan melainkan menyodorkan aturan prosedural. Tidak seperti teori yang sesungguhnya, aturan procedural ini tidak dapat diuji kebenarannya dalam dunia empiric. Namun aturan prosedural dapat dinilai dari segi kemanfaatanya.

Sistem klasifikasi pada dasarnya menggolongkan satu kasus tertentu pada salah satu dari beberapa klas atau tipe yang disusun berdasarkan kriteria tertentu. Kalau tempat tinggal di daerah pemukiman elit dijadikan sebagai salah satu kriteria bagi keanggotaan dalam strata sosial “upper-upper sosial class” maka seseorang yang termasuk strata “upper-upper sosial class” tidak mungkin tinggal di pemukiman kumuh. Fakta ini tidak menggambarkan dunia nyata tetapi menggambarkan konsekuensi logis dari kriteria yang diadopsi oleh orang menyusun klasifikasi. Akan tetapi klasifikasi ini berguna untuk menyederhanakan fenomena sosial yang kompleks. Strategi Menggunakan Teori

Untuk menjelaskan suatu gejala, kita dapat menggunakan salah satu dari tiga strategi berikut ini.10 Pertama, strategi kausal yaitu

9 Halaman 110-111 10 Wallace, The Logic…, halaman 101-106.

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148

146

mencari sebab-sebab dari suatu gejala. Sistem politik birokratik-otoriter (gejala) mungkin merupakan produk pembangunan ekonomi kapitalistik tergantung yang tertunda (independent and delayed capitalistic economic development) (sebab-sebab gejala); penggunaan kriteria universal yang semakin meluas dalam rekrutmen berbagai organisasi politik dan masyarakat dan hubungan-hubungan impersonal yang semakin berkembang dalam masyarakat, mungkin merupakan akibat yang ditimbulkan oleh birokrasi rasional.

Kedua, strategi komposisional yaitu mencari komponen-komponen yang membentuk suatu gejala, seperti organisasi jabatan yang hirarkis, pengangkatan hanya berdasarkan kualifikasi tehnis saja, dan setiap jabatan mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri merupakan komponen-komponen yang membentuk gejala birokrasi rasional. Atau, mencari konteks yang menjadi “induk” gejala yang diteliti (gejala yang diteliti merupakan bagian saja dari konteks yang lebih besar), seperti sistem politik, sistem budaya ataupun sistem ekonomi merupakan konteks gejala birokrasi tersebut.

Dan akhirnya, strategi klasifikasi yaitu menjelaskan suatu gejala dengan cara mencari dan menentukan posisi gejala tersebut dalam skema taksonomi (klasifikasi suatu fenomena kompleks berdasarkan kriteria tertentu). Hubungan birokrasi dengan politik misalnya, dapat diklasifikasi menjadi empat kategori berdasarkan prinsip atau nilai yang mengatur kedua konsep ini : birokrasi patrimonial, Negara birokrasi (bureaucratic polity), birokrasi otoriter, dan birokrasi politik (bureaucratic politics). Apabila hendak menjelaskan gejala birokrasi dan politik di Indonesia dengan strategi ini, maka yang harus dilakukan ialah menempatkan gejala birokrasi di Indonesia dalam empat kategori itu termasuk tipe birokrasi manakah gejala birokrasi dan politik tersebut.

Dimensi lain dari teori yang perlu diketahui ialah dimensi lingkup (scope) dan tingkat abstraksi suatu teori. Lingkup teori dapat dilihat dari segi substansinya, yaitu fokus gejala yang hendak dijalankan apakah unsur dari suatu sistem ataukah sistem itu sendiri. Selain itu, lingkup teori dapat pula dilihat dari segi tempat dan waktu, yaitu kapan dan dimana gejala yang akan dijelaskan itu terjadi. Gejala yang hendak dijelaskan itu mungkin hanya klas menengah suatu masyarakat, bukan sistem politiknya. Klas menengah yang hendak dijelaskan itu hanya yang terjadi di Eropa Barat pada abad ke sembilan belas, bukan diseluruh benua Eropa dan tidak pada abad keduapuluh.

Dimensi tingkat abstraksi suatu teori dapat dilihat dari segi kedekatan konsep-konsep yang terkandung dalam teori dengan observasi

Jamil, Teori dalam Penelitian Sosial

147

aktual. Hipotesis yang sudah siap diuji memiliki derajat abstraksi yang rendah, sedangkan nalar hubungan kausal antar konsep memiliki derajat abstraksi yang tinggi. Yang terakhir ini masih berupa general law, sedangkan yang pertama sudah mengalami proses deduksi. Kedua dimensi di atas berkaitan erat. Semakin tinggi tingkat abstraksi teori, semakin luas pula lingkup teori tersebut. Akan tetapi semakin luas lingkup teori belum tentu semakin tinggi tingkat abstraksinya.11 Perubahan pada tingkat abstraksi akan mempengaruhi luas sempit lingkup teori. Akan tetapi perubahan luas lingkup teori belum tentu mempengaruhi tingkat abstraksi. Karena persyaratan teori tersebut sukar dipenuhi oleh ilmu sosial, maka yang dianjurkan ialah prinsip parsimony, yaitu daya cakup teori yang bersyarat berikut sederhana bila dibandingkan dengan teori lain untuk gejala yang sama, tinggi tingkat abstraksinya, luas lingkupnya, dan dapat diuji dalam dunia nyata. PENUTUP

11 Ramlan Subakti, “Penyusunan Teori dalam Penelitian”, Bahan Kuliah Program Doktor, Universitas. Airlangga, 2008.

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008:137-148

148

DATAR PUSTAKA Ramlan Subakti, “Penyusunan Teori dalam Penelitian”, Bahan Kuliah Program Doktor, Universitas. Airlangga, 2008.

Alan C. Isaak, Scope and Methods of Political Seience: An Introduction to the Methodology of Political Ingguiry, (Homewood, II. : The Dorsey Press, 1981), halaman 147-165; Robert Brown, Explanation in Sosial Science, (Chicago, II.; Aldine Publishing Company, 1963), halaman 47-164; Wakter Walace, The Logic of Science in Sociology, (New York : Aldine Publishing Company 1971), halaman 90-101; dan Ernest Nagel, The Structure of Science. ( : Harcourt, Bracwe & World Inc., 1961). Halaman 20-26. Kenneth R. Hoover, The Elements of Sosial Scientific Thinking, (New York: St. Martin’s Press, 1980), halaman 39. Jonathan Turner dan Leonard Beghley, The Emergence of Sociological Theory, (Homewood, II : The Dorsey Press, 1981).

Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial Departemen Sosial RI, Metode Penelitian Sosial dalam Praktek, Yogyakarta, 1970, hal. 12-14.

Dr. Winarno Surachmad, Dasar Teknik Research, CV. Tarsito, Bandung, 1972, hal.53

1 J. Supranto MA, Metode Riset, Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas Indonesia , Jakarta, 1974, hal. 15. Hasrat Ingin Tahu Manusia dan Pengertian Metode Ilmiah

Ahadin, Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas

149

KEBERADAAN SERIKAT TOLONG MENOLONG MASYARAKAT ALAS DI DESA TERUTUNG PEDI

KECAMATAN BABUSSALAM KABUPATEN ACEH TENGGARA

oleh

Ahadin

ABSTRAK Serikat Tolong Menolong pada masyarakat alas yang ada di Desa Terutung Pedi adalah suatu organisasi atau perkumpulan yang memiliki fungsi untuk membantu sesama anggota dalam hal-hal seperti: pada upacara atau pesta perkawinan, pesta pemamanen, sunat rasul, dan pada saat terjadinya orang meninggal dunia atau kemalangan, organisasi ini dilaksanakan atau di dirikan didasari oleh ikatan atau adanya hubungan persaudaraan yang memiliki ikatan garis keturunan yang berasal dari orang tua yaitu bapak dan anak laki-laki. Keberadaan Serikat Tolong Menolong ini telah ada sejak pada zaman dahulu sampai dengan saat ini, dan sudah merupakan akar budaya atau tradisi bagi masyarakat alas pada umumnya dan masyarakat desa terutung pedi pada khususnya, tradisi ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan tetap hidup dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat dan terus bertahan hidup, hal ini karena selalu dapat menyesuaikan diri dengan segala bentuk perubahan dari zaman ke zaman, dengan segala keadaan yang ada dan perkembangan maupun perubahan dalam masyarakat, hal ini juga membuktikan bahwa ikatan persaudaraan dalam masyarakat alas sangatlah baik dan kuat dengan telah terujinya hubungan perkumpulan yang ada. Organisasi Serikat Tolong Menolong ini bukan hanya menjadi hal yang dapat membantu pada anggota dalam setiap event kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, organisasi ini akan membuat kehidupan dalam masyarakat menjadi lebih baik dan semua anggota masyarakat akan merasakan suatu perlindungan, persaudaraan, kebersamaan dalam tradisi budaya dan dalam kehidupan bermasyarakat, dengan tetap terjaganya organisasi yang dimaksud maka dengan demikian tradisi dan adat istiadat masyarakat alas pun diharapkan tetap terjaga kelangsungannya dalam masyarakat yang berkembang dengan dinamis dan harmonis. Kata kunci: Serikat tolong menolong, masyarakat, dan adat budaya.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160

150

PENDAHULUAN Penelitian ini akan difokuskan tentang keberadaan Serikat Tolong Menolong pada Masyarakat Alas yang ada pada desa Terutung Pedi Kecamatan Babussalam di Kabupaten Aceh Tenggara. Yang dimaksud dengan Serikat Tolong Menolong pada Masyarakat Alas adalah: suatu organisasi atau perkumpulan yang berfungsi untuk saling membantu sesama anggota dalam hal seperti: upacara perkawinan, sunat rasul, dan kemalangan yang terjadi di dalam suatu kelompok masyarakat yang di dasari oleh hubungan persaudaraan atau adanya pertalian hubungan darah. Pengertian Masyarakat dalam bahasa Inggris dipakai istilah Society yang berasal dari bahasa Latin Socius yang berarti: kawan. Sedangkan dalam bahasa Arab Syaraka yang memiliki arti: ikut berpartisipasi. Masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Definisi ini menyerupai suatu defenisi yang dikemukakan oleh J.L.Gillin dan J.P.Gillin dalam buku Cultural Society (1954; hal 139), yang menuliskan masyarakat adalah: ” The largest grouping in which common custom, tradition, attitudes and feelings of unity are operative”.

Jadi, yang dimaksud dengan masyarakat adalah: sekumpulan manusia yang saling bergaul, atau saling berinteraksi dalam suatu ikatan yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat harus memiliki pola tingkah-laku yang khas mengenai semua faktor kehidupan dalam suatu kesatuan, yang bersifat mantap dan kontiu, sudah menjadi adat istiadat yang khas dan memiliki rasa identitas diantara para warganya, bahwa mereka memang suatu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya. Penelitian tentang tolong menolong dalam masyarakat telah diteliti oleh (Damanhuri; 1996) di desa blok VI Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Selatan dengan nama buwuh, yang dimaksudkan dengan Buwuh adalah: tradisi saling memberikan bantuan antara anggota masyarakat. Bantuan itu baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk barang, yang diberikan oleh tamu kepada tuan rumah sebagai sumbangan dalam suatu upacara pesta perkawinan, syukuran atau khitanan. Kata buwuh ini sendiri berasal dari bahasa Jawa secara bebas dapat diartikan dengan pemberian. Dalam pengertian ini, buwuh berfungsi sebagai salah satu sumber biaya untuk suatu pesta. Menurut pendapat (Clifford Geertz;

Ahadin, Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas

151

1983) bahwa masyarakat Jawa dalam mengadakan suatu upacara pesta mempunyai beberapa sumber bantuan, yaitu: 1) menggunakan tenaga sanak famili dan terutama kalau ia kaya dan mempunyai kedudukan tinggi, juga teman-teman sejawat, 2) membelanjakan tabungan sendiri atau menjual harta benda, 3) menggunakan uang pinjaman dari teman-teman atau pemberian kredit dengan bunga, 4) menerima buwuh yakni pembayaran kontan dari orang-orang yang hadir dalam suatu pesta yang dilaksanakan. Penelitian terhadap keberadaan serikat tolong menolong pada masyarakat di Desa Terutung Pedi Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara ini memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan dengan Buwuh di mana pada buwuh bantuan berupa sumbangan yang bersifat sukarela dan tidak ditentukan jumlahnya, sedangkan pada serikat tolong menolong pada masyarakat Alas bantuan yang diberikan telah ditentukan jumlahnya dan akan berlaku tetap untuk semua anggota masyarakat. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penelitian etnografi merupakan suatu penelitian yang mengkaji prilaku manusia dalam setting alamiah dengan penekanan pada perspektif budaya. Etnografi adalah penelitian satu langkah di atas naturalistik. Menurut pendapat (Spradley; 1980) etnografi adalah hasil karya yang menggambarkan budaya atau aspek-aspek budaya, sebagai pengetahuan yang diperoleh manusia yang di gunakan untuk menginterpretasikan dan menimbulkan prilaku. Perilaku yang dimaksud adalah prilaku subjek yang diteliti yaitu tokoh masyarakat, dan seluruh masyarakat yang ada di desa Terutung Pedi. Dalam penelitian kualitatif terdapat lima karakteristik yaitu: 1) naturalistik adalah dijadikan sebagai sumber data langsung di mana peneliti sebagai instrumen, bahwa setiap tindakan yang dilakukan ketika di lakukan observasi, wawancara di mana kejadian itu berlangsung dapat dipahami dengan baik, 2) bersifat deskriptif adalah disebabkan semua data yang dikumpulkan cenderung berupa kata-kata atau gambar. Hasil penelitian yang ditulis berupa kutipan-kutipan data untuk mengilustrasikan penyajian. Seperti data yang berupa transkrip, wawancara, catatan lapangan, memo, dan catatan lainnya, 3) penekanan pada proses adalah seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160

152

penelitian kualitatif peneliti lebih menekankan proses dari pada hasil misalnya bagaimana sikap dan kepedulian setiap anggota masyarakat jika terjadi suatu kejadian seperti adanya pesta pernikahan dalam desa mereka, 4) penelitian kualitatif cenderung menganalisis data secara induktif, di mana jenis penelitian ini tidak untuk membuktikan hipotesis, dan 5) penelitian kualitatif menghasilkan makna yang merupakan tujuan utama dari penelitian kualitatif. Deskripsi Latar

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Terurtung Pedi Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara, dengan subjek penelitian adalah Tokoh-tokoh Masyarakat dan seluruh Masyarakat yang ada di Desa tersebut. Desa ini merupakan salah satu desa yang subur yang banyak di tanami tanaman kelapa, karet, cokelat, kopi di samping itu merupakan lahan persawahan yang dapat dijadikan dua fungsi yaitu: pada waktu musim tanam padi hampir semua sawah ditanami padi, pada waktu selesai panen sawah biasanya ditanami dengan ikan mas atau ikan mujair. Desa ini berbatasan dengan desa satu kecamatan dan desa yang bukan satu kecamatan tetapi masih dalam satu kabupaten yaitu: sebelah timur dengan Kampung Raja Kecamatan Babussalam, Sebelah barat dengan Gunung Lauser, Sebelah Selatan dengan Desa Batumbulan Kecamatan Babussalam, Sebelah Utara dengan Desa Lawe Bekung Kecamatan Badar. Peneliti memilih latar penelitian ini sesuai dengan pendapat Spradley yang menyatakan ada lima kriteria dalam memilih situasi sosial, yaitu: 1) simplicity atau kesederhanaan yang maksudnya hanya ada satu situasi seperti desa terutung pedi kecamatan babussalam yang berada di kabupaten Aceh Tenggara, 2) accessibility atau kemudahan dalam hal mengakses atau kemudahan dalam memasuki latar penelitian, 3) unobstrusiveness yang berarti ketidak kentaraan atau tidak ada halangan dalam pelaksanaan penelitian, 4) permissibleness yang maksudnya kemudahan dalam mendapatkan izin, 5) frequently recurring activity yang berarti kejadian tersebut berulang-ulang. Entry Sebelum melakukan penelitian di lapangan terlebih dahulu peneliti meminta surat izin penelitian kepada yang berwenang, yang ditujukan kepada kepala Desa Terutung Pedi Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara. Untuk memperoleh gambaran umum dan

Ahadin, Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas

153

mendapatkan hasil penelitian yang baik dan memuaskan serta untuk kelancaran proses penelitian, peneliti berusaha untuk menciptakan suasana akrab dengan objek yang diteliti. Kehadiran Peneliti Peneliti dalam penelitian ini lebih mengutamakan suasana keakraban dengan subjek yang penelitian dan dengan seluruh masyarakat yang ada di lokasi penelitian, hal ini sejalan dengan pendapat Moleong bahwa peneliti perlu membina hubungan dengan subjek yang sedang di teliti. Hubungan ini perlu dibina berupa rapport; yaitu hubungan antara peneliti dan subjek sudah melebur seolah-olah tidak ada dinding pemisah di antara keduanya. Sehingga dengan demikian, subjek tersebut dengan sukarela dapat menjawab pertanyaan atau informasi yang diperlukan. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Untuk mendapatkan informasi dan data yang sesuai tentang bagaimana keberadaan dari Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas yang ada di Desa Terutung Pedi, maka dilakukan penelitian lapangan dengan metode sebagai berikut:

1. Menjajaki dan menilai Lapangan Tahap ini belum sampai pada titik yang menyingkapkan bagaimana penelitian masuk kelapangan dalam arti mulai mengumpulkan data yang sebenarnya, jadi tahap ini barulah merupakan orientasi lapangan, namun dalam hal-hal tertentu telah menilai lapangan. Penjajakan dan penilaian lapangan akan terlaksana dengan baik apabila peneliti sudah membaca terlebih dahulu dari kepustakaan atau mengetahui melalui orang lain dalam tentang situasi dan kondisi daerah tempat penelitian yang akan dilakukan. Sebaiknya sebelum menjajaki lapangan, peneliti sudah memiliki gambaran umum tentang geografi, demografi, sejarah, tokoh-tokoh, adat istiadat, konteks kebudayaan, dan hal-hal lainnya tentang tempat penelitian, hal ini tentu akan sangat membantu pelaksanaan penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti , pengenalan dan penjajakan adalah usah untuk mengenal lingkungan tempat penelitian yang hendak dilaksanakan.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160

154

2. Observasi Langsung Dengan membuat kunjungan ke lapangan peneliti menciptakan kesempatan untuk melakukan observasi langsung. Dengan asumsi bahwa fenomena yang akan diteliti, dan beberapa pelaku atau kondisi lingkungan sosial yang relevan akan tersedia untuk di observasi. Observasi mutu lingkungan sosial atau unit organisasi akan menambah dimensi-dimensi baru untuk pemahaman konteks maupun fenomena yang akan di teliti. Observasi tersebut bisa begitu berharga sehingga penelitan akan membantu membuat karakteristik-karakteristik bagi para pengamat luar (Dabbs; 1982). 3. Wawancara Metode wawancara atau metode interview, dapat mencakup cara yang di gunakan kalau seseorang, untuk tujuan tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seseorang informan, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu. Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan masyarakat yang ada di desa tempat penelitian dan cara-cara mereka melaksanakan persatuan tolong menolong atau tata cara membantu sesama anggota masyarakat kelompok baik di dalam satu desa ataupun di luar desa, itulah sebabnya data yang tidak di peroleh dari hasil observasi dapat di peroleh dari wawancara (Paul; 1953). Dalam penelitian ini akan dilakukan dua macam wawancara yaitu: 1) wawancara untuk mendapatkan keterangan dan data dari individu tertentu untuk keperluan informasi, 2) wawancara untuk mendapatkan keterangan tentang diri pribadi, pendirian atau pandangan dari individu yang di wawancara terhadap sejumlah informan pokok, tidak hanya dipakai dalam hal mengumpulkan data tentang unsur-unsur kebudayaan tertentu dalam masyarakat kecil, akan tetapi dalam hal mengumpulkan data unsur-unsur kebudayaan kompleks dalam masyarakat yang besar (Trembley; 1957). Pencatatan data wawancara pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu: 1) pencatatan langsung, 2) pencatatan dari ingatan. Pencatatan langsung dilakukan pada saat wawancara agar data dari hasil wawancara yang dilakukan tetap dapat dipelihara keasliannya dan untuk memudahkan peneliti dalam pencatatan data, dalam penelitian ini wawancara dilakukan dalam bahasa setempat. Percatatan dari ingatan memiliki keuntungan bagi peneliti yaitu tidak usah membawa buku catatan pada waktu melakukan wawancara (Payue; 1949).

Ahadin, Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas

155

PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN Serikat Tolong Menolong adalah: suatu organisasi atau perkumpulan yang ada di Desa Terutung Pedi yang berfungsi untuk saling membantu sesama anggotanya dalam hal-hal seperti pada upacara atau pesta perkawinan, sunat rasul, kemalangan atau adanya yang meninggal dunia, dan pada pesta pemamanen, perkumpulan ini di dasari pada hubungan persaudaraan dan hubungan keturunan sedarah. Serikat Tolong Menolong ini sudah ada sejak pada zaman dahulu sampai pada saat sekarang ini tidak ada yang mengetahui dengan pasti kapan hal ini mulai dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat desa. Kebiasaan saling membantu dalam masyarakat alas dalam anggota keluarga dan pada masyarakat baik di dalam desa ataupun antara desa yang satu dengan desa yang lainnya telah ada sejak zaman dahulu, walaupun hal ini akan ada perubahan dari waktu ke waktu dan akan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya dengan perubahan dan sesuai dengan kemajuan pada masanya. Kebiasaan saling membantu sudah merupakan suatu tradisi budaya bahkan sudah menjadi adat kebiasaan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya, hubungan di dalam kelompok masyarakat atau antara desa yang satu dengan desa yang lainnya, yang memiliki marga yang sama telah terjalin lama dengan adat kebiasaan yang telah dijalankan. Tradisi saling membantu atau tolong menolong telah berakar pada kehidupan masyarakat alas bahkan pada zaman dahulu hampir semua pekerjaan di kerjakan dengan gotong ronyong atau saling membantu, seperti untuk mengerjakan sawah, mulai dari membersihkan sawah, memanen padi, memotong padi, menginjak padi, pada waktu masa dahulu cukup diundang dengan cara lisan oleh pemiliknya, semua muda-mudi yang ada di desa akan datang mengerjakan tanpa adanya imbalan yang harus diberikan. Dengan adanya perubahan zaman, dan perkembangan tradisi kebiasaan dalam masyarakat juga turut berubah, perkembangan selanjutnya di dalam masyarakat kebiasaan yang saling membantu dari hampir semua aspek kehidupan berubah menjadi bekerja bergiliran atau di sebut pelengari, hal ini pun tidak dapat bertahan lama, sesuai dengan arus perubahan pada saat ini saling membantu dengan tanpa pamrih

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160

156

hanya terjadi pada keluarga dekat saja, di mana pelengari pun sudah sangat jarang dikerjakan. Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan yang berlaku di desa Terutung Pedi adalah berdasarkan pada prinsip silsilah keturunan dari pihak bapak dam adanya hubungan darah. Dalam masyarakat adat dan budaya bersumber dari ajaran Agama Islam, mereka tidak boleh kawin dari satu desa yang memiliki marga yang sama walaupun hal ini dalam ajaran agama islam diperbolehkan. Sedangkan ada beberapa kepala keluarga yang memiliki marga yang berbeda hal ini secara adat dan kebiasaan para anak-anak mereka secara adat dan budaya diperbolehkan saling kawin dengan penduduk desa. Mengenai masalah penyelenggaraan upacara-upacara peresmian perkawinan memiliki serangkaian upacara adat, seorang pria yang mau kawin dengan seorang gadis pilihannya terlebih dahulu mengirimkan utusan untuk menanyakan pinangan atau lamaran terhadap sigadis apakah si gadis tersebut masih belum ada yang punya atau dengan kata lain masih sendiri. Ada juga perkawinan di mana dua orang hendak melaksanakan perkawinan sudah terlebih dahulu berkenalan dan telah berjanji untuk melangsungkan perkawinan. Bila si gadis belum ada yang punya dan telah mendapatkan persetujuan dari orang tua atau wali, maka akan ditetapkan hari untuk melakukan upacara peradatan tentang hal pinangan di mana dalam sistem adat yang berlaku kalau laki-laki berasal dari desa maka, petua adat akan pergi ke desa sang gadis untuk tujuan melaksanakan adat pinangan, yang dalam hal ini akan merundingkan masalah hal-hal seperti upah anak gadis yang dimaksud, uang adat, mas kawin, tanggal pelaksanaan pesta dan hal-hal lainnya yang dianggap perlu. Sedangkan apabila sang gadis yang dimaksudkan berasal dari desa yang bersangkutan, maka pihak keluarga sang gadis akan melaksanakan penerimaan adat pinangan, menerima uang adat, mas kawin, dan sesegera mungkin akan menetapkan hari pelaksanaan pesta perkawinan, di mana pesta perkawinan akan dilaksanakan dengan terlebih dahulu dengan adat meraleng artinya di mana keluarga dari pihak pengantin pria datang ke pihak pengantin perempuan untuk menjemput dengan upacara adat, dalam hal ini ada yang meminta sebelum tamu dipersilakan untuk naik atau masuk ke rumah pengantin perempuan terlebih dahulu melaksanakan pertandingan persahabatan

Ahadin, Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas

157

bola kaki atau bolavoli, konon pada zaman dahulu akan juga dilaksanakan persahabatan peulebat, artinya dilaksanakan perang tanding satu lawan satu dengan mempergunakan sebilah pedang yang pada perkembangan selanjutnya pertandingan ini digantikan dengan alat sebilah bambu, setelah selesai upacara ini baru tamu akan dipersilakan memasuki rumah pengantin wanita. Acara pernikahan pada umumnya dilaksanakan pada saat rombongan pengantin pria telah tiba dan biasanya acara pernikahan dilaksanakan di dalam rumah pengantin wanita, dalam hal ini ada yang melaksanakan tamu dan pengantin pria akan bermalam semalam di rumah pengantin wanita, ada pula yang melaksanakan pada hari itu juga pengantin wanita langsung di bawa ke rumah pengantin pria. Setelah acara di rumah pengantin wanita selesai maka acara berikutnya adalah upacara adat mengantarkan pengantin wanita atau naruhken pengantin wanita ke rumah pengantin pria selanjutnya akan dilaksanakan lagi beberapa kali antar antara pengantin wanita dan pengantin pria setelah satu tahun masa pernikahan maka pada tahun pertama dari pernikahan pengantin pria dan pengantin wanita akan ada di rumah pengantin wanita, dalam hal ini bertujuan untuk melaksanakan kegiatan menyambut satu Syawal, idul fitri, dan juga Idhul Adha, setelah hal ini dilalui barulah pengantin wanita akan tetap tinggal di rumah pengantin pria dan segala urusan adat tradisi yang akan dipakai adat tradisi yang berlaku pada kaum pengantin pria. Adat dan Upacara Perkawinan dalam Masyarakat Suku Bangsa Alas Di dalam hampir semua masyarakat manusia di seluruh dunia, hidup individu dibagi pada beberapa tingkatan sepanjang hidup, misalnya: masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pernikahan, masa tua, dan sebagainya. Pada waktu individu beralih dari satu tingkat ke tingkatan yang lainnya, pada saat itu biasanya akan diadakan suatu upacara atau pesta untuk merayakan masa peralihan tersebut (Koentjaraningrat; 1990). Peralihan yang terpenting dalam putaran hidup manusia adalah saat peralihan dari masa remaja ke masa berkeluarga atau perkawinan. Dengan demikian di dalam masyarakat akan menciptakan suatu peraturan-peraturan yang mengatur pelaksanaan perkawinan tersebut. Sama halnya dengan suku bangsa alas memiliki seperangkat aturan atau adat budaya yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang berlaku di dalam masyarakat alas.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160

158

Perkawinan yang ideal pada masyarakat alas adalah pekawinan dengan berimpal yaitu: suatu perkawinan yang dilakukan dengan anak saudara perempuan dari ayah atau anak saudara laki-laki dari keluarga ibu. Hal ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan kembali antara saudara yang namanya memperbaharui hubungan keluarga. Sedangkan perkawinan dengan satu marga merupakan perkawinan samih atau melanggar adat budaya dan kebiasaan, karena satu marga masih dianggap merupakan saudara, apabila ada yang melanggarnya maka akan diberikan sangsi adat atau disebut denda adat hal ini diatur sesuai dengan kebiasaan yang dijalankan, dan apabila kesalahan yang dilakukan tidak dapat dimaafkan maka si pelanggar adat akan dikeluarkan dari desa tidak boleh lagi tinggal di dalam desa yang bersangkutan. Untuk uang adat perkawinan yang diberi nama upah adalah benda yang diberikan kepada calon istri dan keluarganya akan disesuaikan atas permintaan perempuan dengan adanya kesepakatan dengan pihak pengantin laki-laki, upah biasanya tidak diketahui oleh pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan akan tetapi atas kesepakatan atau sesuai janji yang telah disepakati oleh pihak laki-laki dan pihak perempuan itu sendiri. Cara memilih jodoh pada masyarakat alas dilaksanakan melalui perkenalan yang dilakukan lewat cara mepahur yaitu perkenalan antara pemuda dan pemudi pada saat adanya pesta perkawinan atau adanya pesta sunatan yang dilakukan di malam hari, hal ini di zaman sekarang sudah sangat jarang dilakukan. Di mana pada malam pesta tersebut para pemuda dan pemudi dapat mencari jodoh atau dapat berkenalan mencari khamah atau kenalan, biasanya dari hal seperti ini akan berlanjut dan pada akhirnya akan menjalin suatu kesepakatan untuk menuju jenjang perkawinan. Pesta perkawinan pada masyarakat Alas dapat dibagi menjadi dua yaitu: pesta perkawinan anak laki-laki dan pesta perkawinan anak perempuan. Pesta perkawinan anak laki-laki di mana semua biaya bersumber dari orang tua seperti biaya adat yang akan diberikan kepada pihak perempuan, biaya pesta dan upah perkawinan yang akan diberikan kepada pengantin perempuan sesuai dengan janji kedua belah pihak antara pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan. Jika anak laki-laki dari suatu desa yang akan melaksanakan pesta pernikahan maka bantuan atau sumbangan yang akan diberikan oleh anggota masyarakat kepada yang akan melaksanakan pesta akan lebih besar, bantuan atau sumbangan biasanya diberikan dalam dua macam atau jenis yaitu; dalam

Ahadin, Serikat Tolong Menolong Masyarakat Alas

159

bentuk benda seperti beras, dan dalam bentuk uang yang jumlahnya akan ditetapkan atau disesuaikan dengan perubahan harga-harga dengan kesepakatan bantuan ini biasanya akan dikutip oleh orang yang telah ditetapkan. KESIMPULAN Keberadaan Serikat Tolong Menolong pada masyarakat Alas merupakan suatu tradisi budaya yang telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, walaupun secara pasti tidak ada yang mengetahuinya sejak kapan tradisi ini telah ada. Serikat Tolong Menolong yang ada di Desa Terurung Pedi Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara telah diketahui keberadaannya sejak pada zaman dahulu sampai pada dengan saat ini, yang telah merupakan suatu adat budaya atau tradisi dari pada masyarakat dengan adanya suatu perubahan-perubahan dalam pelaksanaannya, akan tetapi tetap dapat hidup terus di dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungan desa. Hal ini terbukti karena serikat tolong-menolong ini selalu dapat menyesuaikan diri dengan segala bentuk perkembangan dan perubahan zaman, dengan segala keadaan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian awal yang dilaksanakan tentang keberadaan serikat tolong-menolong dalam masyarakat Alas, di mana masih banyak aspek tradisi dan budaya yang belum diteliti tentang hal-hal yang berhubungan dengan penelitian tentang adat dan budaya masyarakat Alas, maka bagi peneliti yang memiliki keinginan untuk melestarikan adat budaya masyarakat Alas yang ada di Kabupaten Aceh Tenggara merupakan suatu hal yang menarik dan perlu untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan tradisi adat budaya masyarakat Alas, agar dapat di lestarikan sampai dengan waktu yang tanpa batas.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 149-160

160

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar, Pokoknya Kualitatif. Jakarta; Dunia Pustaka Jaya dan Pusat Studi Sunda, 2002.

Damanhuri, Buwuh dalam dalam Masyarakat Desa Blok VI Kecamatan

Simpang Kanan Aceh Selatan, 1977. Fernandes, Walter, Tandon. Rajesh, Riset Partisipatoris Riset

Pembebasan, P.T.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993. Jin, R.K, Studi Kasus Desain dan Metode, Grafindo Persada, Jakarta,

1996. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga

PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998. Koentjaraningrat, ”Pengamatan Terlihat oleh Seorang Peneliti Pribumi

dan Asing: Masalah masuk ke dalam dan Keluar dari Kebudayaan”, dalam Koentjaraningrat dan Donald K. Emmeron, Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1985.

Vredenbregt Jacob, Pengantar Metodologi untuk Ilmu-ilmu Empiris, PT

Gramedia, Jakarta, 2001. Matthew B. Miles, A. Michael Humberman, Analisis data Kualitatif.

Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2000. Miles,B. Mathew, Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New

Methods, Beverly Hills: Sage Publication, 1986. Tujin, Adat Tanah Alas, dalam Kenang-kenangan Musyawarah

Masyarakat Alas ke-1, Kuta Cane, Aceh Tenggara, 1960. Weber, Robert Philip, Basic Content Analysis, Baverly Hills: Sage

Publication, 1986.

Fadhillah, Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

161

ALQURAN SEBAGAI SUMBER HUKUM SYARIAH

oleh Nyak Arif Fadhillah Dosen Yayasan pada Unmuha, Banda Aceh PENDAHULUAN Beberapa komunitas dalam peradaban, terutama umat Islam, Alquran dianggap sebagai kitab suci yang lengkap dan sempurna. Alquran adalah sebuah “Teks” (dengan T besar) yang mengatasi dan melampaui “teks-teks” lain dalam sejarah. Mengapa? Sebab Alquran merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah (melalui malaikat-Nya) kepada umat manusia. Ruh keilahian Alquranlah yang membuatnya tahan dari pelbagai kritik dan gempuran. Sebagai sebuah teks,1 Alquran tidak pernah kering, apalagi habis. Teks Alquran bisa ditafsirkan secara kaya, tergantung konteks sosial-budaya dan “hermeneutik dalam” (struktur nilai dan kesadaran) pembacanya. Dengan demikian, persentuhan antara penafsir dengan Alquran merupakan pergulatan yang dinamis, bahkan sering tak terduga. Ibarat sebuah puisi dan tanda, Alquran tidak pernah berhenti dan membeku, tetapi selalu mengajak para penafsirnya untuk mencari dan menjelajah, suatu “peziarahan” hidup yang tak pernah usai. Alquran dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban Arab, bukan bermaksud menyederhanakan jika dikatakan bahwa peradaban Arab-Islam adalah “peradaban teks”. Artinya, bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan yang “teks” sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa yang membangun peradaban hanya teks semata. Teks apa pun tidak dapat membangun peradaban dan tidak pula mampu memancangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.2

1 Pemahaman yang lebih tepat dan berguna terhadap kitab suci adalah

pemahaman yang disertai kesadaran bahwasanya kitab suci itu tidak hanya sekadar teks, tetapi selalu merupakan satu teks yang berhubungan dengan satu tradisi yang sedang berjalan, yakni berhubungan dengan pribadi-pribadi atau masyarakat-masyarakat yang menganggapnya sakral dan normatif. William A. Graham, “Quran as Spoken Word: an Islamic Contribution to the Understanding of Scripture”, dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Arizona: The University of Arizona Press, 1985), hlm. 27.

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

162

Dalam peradaban Islam, Alquran memiliki peran budaya yang tak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan dalam menentukan sifat dan watak ilmu-ilmu yang berkembang di dalamnya. Kalau boleh disimpulkan bahwa peradaban dalam suatu dimensi saja dapat dikatakan bahwa peradaban Mesir Kuno adalah peradaban “pascakematian”, peradaban Yunani adalah peradaban “akal”, sementara peradaban Arab-Islam adalah peradaban “teks”.3 Alquran memang tergolong ke dalam sejumlah kecil kitab suci yang memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap jiwa manusia.4 Kaum Muslimin sendiri, dalam rangka memahami Alquran, telah menghasilkan sangat banyak kitab tafsir yang berupaya menjelaskan makna pesannya. Namun, sejumlah besar mufassir Muslim masih memandang kitab itu mengandung bagian-bagian mutasyabihat yang, menurut mereka, maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.5

2 Peradaban dan kebudayaan dibangun oleh dialektika manusia dengan realitas

di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain. Peradaban dibentuk oleh interaksi dan dialektika manusia dengan realitas – dengan segala struktur yang membentuknya: ekonomi, sosial, politik dan budaya.

3 Ketika teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan maka dapat

dipastikan tafsir dan interpretasi akan beragam, dan keragaman interpretasi ini terjadi karena berbagai faktor. Faktor terpenting, umpamanya, adalah sifat atau watak ilmu yang disentuh oleh teks, maksudnya, disiplin tertentu menentukan tujuan interpretasi dan pendekatannya. Faktor kedua, adalah horizon epistemologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuan dalam menangani teks. Melalui horizon tersebut ia berusaha memahami teks, atau mengusahakan teks mengungkapkan dirinya. Faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri, dalam pengertian satu faktor paling dominan dalam peroses interaksi. Faktor-faktor ini bergerak secara interaktif dan dinamik dalam proses interpretasi apa pun. Nasr Hamid Abu Zaid, terj. Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas Alquran Kritik terhadap Ulmul Quran, (Yogyakarta: LkiS, 2002), hlm. 1-2.

4 Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku,

menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memlihara berbagai harapan, dan memperkukuh identitas kolektif. Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Alquran, terj. Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), hlm. 9. Alquran juga digunakan dalam kebaktian-kebaktian publik dan pribadi kaum Muslimin, serta dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga. Pembacaannya dipandang sebagai tindak kesalehan dan pelaksanaan ajarannya merupakan kewajiban setiap Muslim. W.M. Watt, Bell’s Introduction to the Qurqan, (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1970), hlm. Xi.

5 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Alquran, (Jakarta: Pustaka

Alvabet, 2005), hlm 1-2.

Fadhillah, Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

163

Dalam makalah ini, penulis berusaha untuk mengkaji dan menganalisis kembali tentang Alquran sebagai sumber hukum syariah. Pertanyaannya yang perlu dirumuskan adalah: apa pentingnya dibahas Alquran sebagai sumber hukum syariah dan bagaimana kedudukan Alquran sebagai sumber hukum syariah itu? PEMBAHASAN Alquran dan Syariah

1) Alquran Kitab suci Islam–dalam bahasa Arab dikenal dengan berbagai sebutan dan yang paling populer adalah Alquran, yang artinya ‘bacaan’–disepakati oleh seluruh Muslim, tidak peduli dari golongan mazhab apa pun, sebagai wahyu berupa “Kata-Kata Literal Tuhan” yang diturunkan ke dalam hati, jiwa dan pikiran Nabi Muhammad melalui perantaraan malaikat penjaga wahyu; Jibril. Baik huruf maupun arti dari teks Alquran dipandang sakral, begitu juga segala sesuatu yang berhubungan dengannya, seperti melantunkan ayat-ayatnya atau menulis kalimat-kalimatnya.6 Umat Islam sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang disebut Alquran dan termuat dalam mushaf, adalah otentik (semuanya adalah betul-betul dari Allah swt.), dan semua wahyu yang diterima Nabi Muhammad saw. dari Allah melalui malaikat Jibril telah termuat dalam Alquran. Keotentikan Alquran ini dapat dibuktikan dari kehati-hatian sahabat Nabi memeliharanya sebelum dibukukan dan dikumpulkan, begitu pula kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara penggandaannya.

6 Alquran memiliki banyak nama, setiap nama tersebut menyampaikan aspek

Alquran dalam kenyataan. Pertama, Alquran, yang berarti bacaan, atau bisa juga bermakna kumpulan atau pemusatan pikiran. Ia juga disebut Alfurqan, yang artinya pembeda atau penjelas karena Alquran memberikan kriteria untuk menilai salah dan benar, kebaikan dan kejahatan, dan yang indah dan buruk. Disebut Umm Alkitab, maksudnya sebagai arketipe atau induk seluruh kitab, yang mengandung akar atau ide dari segala pengetahuan. Alquran juga disebut Alhuda karena merupakan petunjuk dalam perjalanan manusia, laki-laki dan perempuan, untuk menuju Tuhan. Bagi umat Islam, Alquran adalah sumber segala pengetahuan fisik maupun metafisik, dasar hukum, tuntunan tertinggi bagi perilaku etika, dan menjadi jaring, yaitu alat bagi seorang nelayan Tuhan dalam menjerat jiwa manusia dan membawanya kembali kepada Yang Tunggal. Seyyed Hossein Nasr, terj. Nur Asiah Fakih S. Harahap, the heart of islam Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 31.

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

164

Sebelum dibukukan, ayat-ayat Alquran berada dalam rekaman teliti para sahabat, baik melalui hapalan yang kuat dan setia atau melalui tulisan di tempat yang terpisah. Ia disampaikan dan disebarluaskan secara periwayatan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Bentuk periwayatan seperti ini dinamai periwayatan secara mutawatir yang menghasilkan suatu kebenaran yang tidak meragukan. Oleh karena itu, Alquran itu bersifat otentik.

Alquran dibukukan pada masa Abu Bakar. Pembukuannya dilakukan secara teliti dengan mencocokkan tulisan yang ada dengan hapalan para penghafal, sehingga kuat dugaan bahwa semua wahyu telah direkam dalam mushaf. Kemudian, hasil pembukuan itu disimpan secara aman di tangan Abu Bakar, lalu pindah ke tangan Umar Ibn Khattab dan setelah beliau wafat, pindah ke tangan Hafsah binti Umar (isteri Nabi). Terakhir, diadakan pentashihan pada masa khalifah Usman sehingga menghasilkan suatu naskah otentik yang disebut mushaf Imam. Salinan dari naskah (mushaf) itu dikirimkan ke kota-kota besar lain, sedangkan yang lain dari itu, dibakar. Mushaf Imam yang dijadikan standar itu dijadikan rujukan bagi perbanyakan dan pentashihan berikutnya sehingga berkembang dalam bentuk aslinya sampai sekarang ini.7

Alquran berisikan beberapa tema atau ajaran pokok. Pertama sekali, Alquran berbicara tentang hakikat realitas, yaitu realitas Tuhan dan hubungannya dengan alam dunia. Kedua, Alquran menjelaskan secara panjang lebar hakikat alam dan dapat disebut sebagai pembahasan area kosmos Islam yang terkait dalam proses pewahyuan Alquran. Selanjutnya, Alquran banyak bercerita tentang sejarah kehidupan para nabi. Akan tetapi, kisah sejarah ini dikemukakan dan diuraikan lebih karena kepentingannya sebagai pelajaran bagi kehidupan iman di dalam jiwa dan bukan sebagai suatu indeks atau kumpulan kejadian sejarah masa lalu. Sejarah kehidupan nabi di dalam Alquran mengandung pelajaran moral dan spiritual untuk kita yang hidup di dunia sekarang ini.8

7 Inilah yang dimaksud Allah Swt dalam firman-Nya surat al-Hijr/15: 9:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa seluruh ayat Alquran dari segi lafaz dan wurudnya adalah qathi (meyakinkan) serta tidak ada keraguan di dalamnya. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 48-49.

8 Alquran juga membahas aturan-aturan bagi individu dan masyarakat dan

merupakan sumber paling utama hukum Islam atau syariat. Selanjutnya, Alquran

Fadhillah, Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

165

Surah-surah dan ayat-ayat Alquranmerupakan jalan dan kompas dalam kehidupan umat Islam. Akar dari segala dalil atau argumentasi Islam, dari mulai filsafat dan teologi hingga hukum dan etika sampai pada sains dan seni dapat ditemukan di dalamnya. Semua pergerakan yang muncul dalam sejarah Islam, apakah itu bersifat keagamaan, intelektual, sosial, ataupun politik, mendapatkan legitimasi dari Alquran. Para ahli hukum berusaha menginterpretasikan ayat-ayat hukum dalam Alquran, sedangkan para ahli tasawuf bekerja mencari makna hakikinya. Para filosof menekuni ungkapan-ungkapan filosofis Alquran, sedangkan ahli teologi sibuk memperdebatkan uraian Alquran tentang hakikat sifat Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dunia. Hingga saat ini, sama dengan saat lahirnya, Alquran tetap merupakan realitas sentral dalam Islam dan jantung kehidupan umat Muslim baik dalam aspek kehidupan individu maupun sosial. b. Syariah9

Syariah secara umum dipakai dalam dua arti: arti luas dan arti sempit.10 Dalam arti luas syariah adalah keseluruhan ajaran Islam yang berupa norma-norma ilahiyah yang mengatur tingkah laku batin (sistem kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah laku konkrit pada taraf individual dan kolektif. Dalam arti ini syariah identik dengan din. Atas dasar itu ilmu syariah meliputi seluruh cabang pengetahuan keagamaan Islam seperti kalam, tasauf, tafsir, hadis, fiqih dan usulnya, dan seterusnya.

Dalam arti sempit, syariah dimaksudkan bagian dari ajaran Islam yang berupa norma-norma yang mengatur sistem tingkah laku konkret, baik tingkah laku individual maupun tingkah laku kolektif. Atas dasar

secara terus-menerus mengulang-ulang pesan-pesan etika, baik dan buruk, dan pentingnya menjalani kehidupan yang bermoral dan terhormat. Terakhir, Alquran juga berbicara–dengan memakai bahasa yang menyentuh dan dapat dilihat pada surah-surah terakhir–tentang peristiwa hari kiamat, tentang akhir alam dunia, tentang Hari Pembalasan, surga, kehidupan hari akhirat dan neraka. S. H. Nasr, , the heart of Islam… hlm. 31-32.

9 Syariah diartikan sebagai jalan menuju sumber air, dapat pula diartikan

sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), hlm. 140. Menurut istilah, Alyathibi menyatakan, “Sesungguhnya syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Alsyathibi, Almuwafaqat fi Ushul Alsyariah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th), jilid 2, hlm. 374.

10 Syamsul Anwar, Diktat Kuliah Metodologi Hukum Islam, hlm. 35.

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

166

itu ilmu syariah dibatasi hanya meliputi ilmu fiqih dan ushul fiqih. Arti sempit inilah yang umum dipakai oleh para pengkaji bila mereka menyebut kata syariah. Syariah dalam literatur hukum Islam mempunyai tiga pengertian,11 pertama, syariah dalam arti sumber hukum yang tidak dapat berubah sepanjang masa. Kedua, syariah dalam pengertian sumber hukum Islam, baik yang tidak berubah sepanjang masa maupun sumber hukum Islam yang dapat berubah. Ketiga, syariah dalam pengertian hukum-hukum yang digali (berdasarkan atas apa yang disebut al-Istinbath) dari Alquran dan syariah; hukum sebagaimana yang diinterpretasikan dan dilaksanakan oleh para Sahabat, ijtihad para mujtahid, dan hukum-hukum yang dihasilkan dengan metode qiyas dan metode-metode hukum lainnya. Tidak diragukan lagi bahwa syariah merupakan ruang ekspresi pengalaman agama yang paling penting bagi kaum Muslimin dan merupakan obyek refleksi utama mengenai Alquran dan teladan ideal Nabi saw. (syariah). Hal ini dapat dilacak akar-akarnya ke dalam sumber-sumber pokok ajaran Islam yang senantiasa menekankan kepatuhan kepada hukum Allah dan tidak melampaui hudud yang telah ditetapkan-Nya. Demikian syariah merepresentasikan sistem nilai keagamaan yang menjadi kerangka rujukan bagi tingkah laku dan perbuatan setiap orang Muslim.12

11 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Unisba, 1995), hlm. 10. 12 Syamsul Anwar, “Islamic Jurisprudence of Christian-Muslim Relations:

Toward a Reinterpretation,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, No. 60, Th. 1997, hlm. 131.

Fadhillah, Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

167

Alquran Sebagai Sumber Hukum Syariah13 Sumber paling utama bagi syariah adalah Alquran, yang oleh beberapa sarjana diklaim sebagai satu-satunya sumber dasar, dan semua sumber lainnya hanya untuk menjelaskan dan merinci aturan-aturan pokok dan prinsip-prinsip yang ada di dalam Kitab Suci. Terdapat sekitar 350 ayat hukum, atau yang dalam hukum Barat disebut juris corpus, dalam Alquran. Sebagian ayat tersebut berkenaan dengan masalah hukum secara spesifik dan sanksi-sanksi terhadap perbuatan yang diharamkan dan dilarang. Sebagian besar berkenaan dengan aturan-aturan umum dalam beribadah dan beberapa ayat merupakan perincian aturan-aturan umum dimaksud. Beberapa ayat yang lain menyinggung masalah perdagangan dan ekonomi. Selebihnya, banyak ayat yang membicarakan keadilan, persamaan, bukti dalam hukum, hak-hak dalam hukum, dan lain-lain. Jumlah ayat ini hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah keseluruhan ayat Alquran, tetapi ayat-ayat ini sangat esensial sebagai dasar hukum Islam.14 Para ulama dan semua umat sepakat menjadikan Alquran sebagai sumber pertama dan utama bagi syariah Islam, termasuk dalam hukum Islam. Atas dasar ini seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum harus terlebih dahulu mencari rujukan di dalam Alquran.15 Apabila tidak

13 Sumber hukum dalam Islam dapat disimplifikasi menjadi hanya tiga, yaitu:

Alquran, Al-Hadis dan Ijtihad. Sumber-sumber lain semisal al-Istihsan, al-Istishab, Maslahah al-Mursalah dan lain-lain sesungguhnya dapat diposisikan sebagai pengejewantahan dari ijtihad. Perdefinisi, ijtihad merupakan aktivitas istinbath hukum (penggalian hukum) dari sumber-sumbernya dengan menggunakan perangkat metodologi ‘aqliyah, ushul fiqih. Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Shawkani, Irshad al-Fuhul, (Mesir: Mathba’ah al-Madani, 1992), hlm. 250.

14 Perintah-perintah Alquran, bagaimanapun, tidak akan dapat dimengerti secara sempurna tanpa bantuan Sunnah dan Hadis Nabi, yang berfungsi sebagai penjelas (tafsir) pertama Alquran. Alquran memerintahkan shalat kepada setiap Muslim, tetapi bagaimana tata cara shalat dipelajari dari contoh yang dipraktikkan Nabi. Oleh karena itu, setelah Alquran, Sunnah dan Hadis adalah sumber paling penting kedua bagi syari’at. Semua mazhab hukum Islam, baik Sunni ataupun Syi’ah, menerima kedua sumber ini sebagai sumber yang mutlak bagi hukum Islam S.H. Nasr, the heart of islam……, hlm. 143-144.

15 Yusuf al-Qardhawi, pemikir Islam kontemporer asal Mesir, membuat postulat 1 banding 9. Artinya, hanya 10 persen teks ajaran suci (Alquran maupun al-Hadis) yang tidak dapat diganggu gugat karena berupa dictum-diktum aturan qath’i yang konstan dan immutable. Segmen ini harus diterima apa adanya tanpa harus adaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada di sekitar. Apa yang termasuk dalam

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

168

ditemukan di dalam Alquran, barulah ia dibenarkan menggunakan dalil-dalil lain. Penerimaan ulama dan semua umat Islam menjadikan Alquran sebagai sumber hukum pertama dilatarbelakangi sejumlah alasan, di antaranya:

1. Keberadaan Alquran yang diakui secara mutawatir berasal dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantaraan malaikat Jibril. Hal ini menimbulkan keyakinan kuat kepada umat akan kebenaran Alquran sebagai petunjuk yang diturunkan Allah kepada manusia sehingga pantas dijadikan sebagai sumber hukum syariah.

2. Informasi dari Alquran sendiri yang menjelaskan ia berasal dari Allah, di antaranya Q.S., al-Nisa’/4: 105: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang karena (membela) orang-orang yang khianat.

3. Kemukjizatan Alquran sebagai bukti bahwa ia bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari Allah. Mukjizat berarti sesuatu yang dapat melemahkan, sehingga manusia tidak dapat membuat yang sama atau melebihi. Alquran adalah mukjizat Nabi Muhammad saw. sebagai bukti kerasulannya yang diutus untuk menyampaikan risalah kepada umat manusia. Bukti kemukjizatan Alquran dapat dilihat dari ketidakmampuan bangsa Arab dan manusia secara keseluruhan membuat tandingan semisal Alquran meskipun satu ayat saja. Tantangan ini tidak dapat dijawab manusia termasuk bangsa Arab yang terkenal memiliki sastra yang tinggi, meskipun mereka mempunyai kesempatan menjawab tantangan itu.

segmen ini ialah persoalan-persoalan dasar menyangkut sendi-sendi ajaran agama yang mempunyai nilai strategis, seperti persoalan keimanan: tauhid, akhlak dan sejenisnya, bentuk-bentuk ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain. Sementara selebihnya (90 persen teks ajaran) berupa aturan-aturan operasional yang bersifat zhanni dan adaptable. Segmen kedua ini mempunyai nilai taktis-operasional yang langsung bersentuhan dengan fenomena sosial dan kemanusiaan. Karena wataknya yang taktis, segmen ini menerima akses perubahan pada tataran operasionalnya sepanjang tetap mengacu pada pesan dan tujuan moral yang terkandung dalam Alquran secara global dan tersirat. Yusuf al-Qarhawi, al-Ijtihad wa al-Tajdid bayn al-Dhawabith al-Alquran wa al-Hayah al-Mu’ashirah, terj. Muhammad Hussein dalam Dasar Pemikiran Hukum Islam: Taklid vs Ijtihad, (Jakarta: Pustaka Firdaus, t.t), hlm. 75.

Fadhillah, Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

169

Bentuk kemukjizatan Alquran ini dapat diamati dari keindahan bahasanya yang tidak mungkin dapat ditandingi ahli bahasa mana pun. Di samping itu terbukti dengan kebenaran Alquran dalam pemberitaan tentang kejadian masa lalu yang sesuai dengan pemberitaan dalam kitab suci sebelumnya, misalnya kisah Alquran tentang Ashabul Kahfi yang diakui kebenarannya oleh ahli sejarah dan ulama ahli kitab, padahal Nabi sendiri tidak pernah belajar dan bergaul dengan mereka.16

Realitas ini, didukung lagi dengan kebenaran Alquran dalam pemberitaan tentang hal-hal yang ghaib, seperti dalam surat Yunus ayat 92, yang menjelaskan bahwa badan Fir’aun yang ditenggelamkan Allah di laut merah diselamatkan Allah sebagai bukti dan pelajaran bagi generasi sesudahnya. Ini dibuktikan ahli purbakala Loret yang pada tahun 1896 menemukan sebuah mumi Firaun bernama Maniptah yang mengejar Musa dan ditenggelamkan Allah di laut merah.17

Selain itu, mukjizat Alquran dapat dilihat dari keseimbangan antara jumlah bilangan katanya. Di antara keseimbangan itu tergambar pada keseimbangan antara antonimnya, seperti kata alhayah (hidup) dan almaut (mati) yang terulang sebanyak 145 kali dan juga kesimbangan antara sinonimnya, seperti kata alharts dan alziraah (membajak/bertani), terulang sebanyak 14 kali.18 Sebagai sumber utama ajaran Islam, Alquran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Alquran dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlak, dan syariah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syariah), dalam sistematika hukum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habl min al-nas).19

16 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 63. 17 M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 1992), hlm.

31. 18 Shihab, Membumikan…., hlm. 29-30. 19 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kuwaitiyah, 1978),

hlm. 32.

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

170

a. Hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran Hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran secara garis besar dapat dikelompokkan kepada tiga macam, yaitu:20

1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keyakinan atau akidah, seperti keimanan kepada Allah, masalah kenabian, kitab suci, malaikat, hari kemudian dan takdir serta hal-hal yang berhubungan dengan doktrin akidah. Hukum-hukum ini menjadi lapangan kajian ilmu tauhid atau ushuluddin.

2. Hukum-hukum yang mengatur hubungan antara sesame manusia, mengenai berbagai sifat utama yang harus menjadi perhiasan diri seseorang dan menjauhkan diri dari berbagai sifat yang membawa kepada kehinaan. Hukum-hukum yang terkait dengan hal-hal ini merupakan ruang lingkup kajian ilmu akhlak.

3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan hukum tentang tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan Allah dan dalam hubungannya dengan sesama manusia. Hukum-hukum ini dikaji dan dikembangkan dalam disiplin ilmu syariah. Dari hukum-hukum amaliyah ini berkembanglah ilmu fiqih. Hukum-hukum amaliyah yang terdapat dalam Alquran dapat dibagi kepada dua macam, yaitu hukum-hukum ibadat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hukum-hukum muamalat yang mengatur hubungan dengan sesamanya. Abdul Wahab Khallaf memerinci hukum-hukum muamalat ke

dalam 7 macam, antara lain:21 1. Hukum keluarga (Ahkam al-Ahwal al-Syakhshiah), yaitu hukum-

hukum yang berkaitan dengan keluarga mulai saat berlangsung pernikahan sampai dengan aturan-aturan tentang hubungan suami isteri yang meliputi talak, rujuk, iddah, kewarisan dan sebagainya. Ayat-ayat Alquran yang menjelaskan masalah ini berjumlah sekitar 70 ayat.

2. Hukum muamalat/perdata (al-Ahkam al-Madaniah), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam masalah jual beli, sewa-menyewa, gadai, syirkah (kongsi dagang), utang-piutang dan hukum perjanjian. Hukum-hukum yang termasuk dalam kelompok ini mengatur

20 Khallaf, Ilmu Ushul….., hlm. 32 21 Khallaf, Ilmu Ushul…., hl, 32-33.

Fadhillah, Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

171

hubungan perorangan, masyarakat, segala hal yang berkaitan dengan harta kekayaan, memelihara hak dan kewajiban masing-masing. Ayat-ayat Alquran yang menjelaskan masalah ini sekitar 70 ayat.

3. Hukum Pidana (al-ahkam al-jinayat), yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan tindak kejahatan. Adanya hukum ini bertujuan untuk menjaga dan memelihara stabilitas dan keamanan masyarakat dalam kehidupan. Dalam hukum tersebut dibicarakan aturan, seperti larangan membunuh, berzina, mencuri, merampok dan dijelaskan pula sanksi bagi pelaku. Ayat-ayat Alquran yang mengatur masalah ini berjumlah sekitar 30 ayat.

4. Hukum Acara (al-ahkam al-murafaat), yaitu hukum-hukum yang mengatur masalah pengadilan, tatacara di pengadilan, kesaksian dan sumpah. Adanya hukum ini bertujuan agar putusan hakim di pengadilan objektif dan memuaskan pihak-pihak yang mencari keadilan. Untuk itu, di dalam hukum ini terdapat sejumlah aturan yang memberikan peluang kepada hakim untuk menyingkap mana pihak yang benar dan mana yang salah. Ayat-ayat Alquran yang menjelaskan masalah ini berkisar 13 ayat.

5. Hukum Ketatanegaraan (al-Ahkam al-Dusturiah), yaitu hukum-hukum yang mengatur tentang masalah kenegaraan dan pemerintahan. Hukum-hukum ini dimaksudkan untuk menata dan mengatur hubungan penguasa dan rakyat. Selain itu, hukum ini untuk mengatur secara jelas apa yang menjadi hak individu dan apa yang menjadi hak masyarakat. Ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan persoalan ini berjumlah sekitar 10 ayat.

6. Hukum Internasional ((al-Ahkam al-Dauliyah), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan negara non-Islam dan mengatur tata cara pergaulan dan hubungan antara warga negara Islam dengan non-muslim yang berada di negara Islam. Ayat-ayat Alquran tentang ini berjumlah sekitar 25 ayat.

7. Hukum Ekonomi dan Keuangan (al-Ahkam al-Iqtishadiyah wa al-Maliyah), yaitu hukum-hukum yang mengatur hak-hak fakir miskin yang terdapat pada harta orang kaya. Hukum-hukum ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan keuangan antara orang kaya dan fakir miskin, dan hubungan antara Negara dan perorangan. Ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan ini sekitar 10 ayat.

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

172

Sementara dari segi rinci dan tidak rincinya hukum yang terdapat dalam Alquran, Abu Zahrah membaginya kepada beberapa macam, sebagai berikut:22

1. Ibadah, yaitu ayat-ayat hukum yang berkaitan dengan ibadah, diungkapkan dalam Alquran secara mujmal (global) tanpa merinci tata cara pelaksanaannya (kaifiyatnya). Misalnya, perintah melaksanakan shalat, puasa, sedekah, zakat dan haji. Kewajiban Shalat dijelaskan dalam Alquran, tetapi tidak dijelaskan mengenai rukun, syarat, waktu dan tata cara pelaksanaannya. Untuk menjelaskan ibadah ini secara rinci Allah memberikan kewenangan kepada Nabi Muhammad saw. melalui sunnahnya.

2. Kaffarat (Denda), kaffarat merupakan bagian dari ibadah karena ia semacam denda terhadap perbuatan dosa (kesalahan) yang dilakukan seseorang.23

3. Hukum Muamalat. Alquran hanya menjelaskan hukum ini dalam bentuk prinsip-prinsip dasar. Di antara prinsip-prinsip itu, larangan memakan harta orang lain secara batil (salah) dan keharusan perolehan harta dengan suka sama suka (ridha). Di samping itu, larangan berlaku zalim dan memakan harta melalui cara yang mengandung unsur riba. Aturan-aturan yang bersifat umum ini kemudian dirinci Nabi saw. melalui sunnahnya. Sementara terhadap hal-hal yang tidak dirinci sunnah, para mujtahid mempunyai peluang untuk mengembangkan sejalan

22 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (t.k. : Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hlm.

94-95. 23 Dalam Alquran dijelaskan tiga macam kaffarat;1) Kaffarat Zihar, yaitu

suatu denda yang diberikan kepada suami karena perkataan yang diucapkan kepada isteri, semisal’ “engkau bagiku bagaikan punggung ibuku”. Semenjak terjadinya zihar suami tidak boleh menggali isterinya hingga ia membayar kaffarat zihar (Q.S. Almujadilah/58: 3-4) Berdasarkan ayat ini, kaffarat bagi suami yang menzihar isterinya adalah memerdekakan hamba sahaya, jika tidak mendapatinya ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut. Apabila ia masih tidak mampu melakukan, maka ia wajib memberi makan 60 orang miskin. 2) Kaffarat sumpah, yaitu suatu denda yang dikenakan kepada seseorang karena melanggar sumpah. Denda tersebut berupa pemberian makan 10 orang miskin atau pakaian mereka, atau memerdekakan hamba sahaya (QS. Al-Maidah/5: 89). 3) Kaffarat karena membunuh orang mukmin secara tersalah. Orang yang melakukan pembunuhan bentuk ini diwajibkan membayar diyat (denda) dan kaffarat dengan memerdekakan seorang hamba sahaya, dan jika tidak didapati, maka puasa dua bulan berturut-turut (QS. Al-Nisa’/4: 92).

Fadhillah, Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

173

dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat dengan menggunakan istinbath hukum yang terdapat di dalam ushul fiqih. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan-

ketentuan hukum dalam Alquran sebagian besarnya disampaikan dalam bentuk prinsip-prinsip umum dan bersifat global, kecuali dalam beberapa hal, seperti dalam masalah kaffarat dan hukum keluarga serta dan beberapa hal dalam hukum pidana. b. Dalalah Alquran tentang hukum-hukum

Semua umat Islam mengakui bahwa Alquran diturunkan secara mutawatir, sehingga dari sisi ini Alquran disebut qath’i al-tsubut. Namun, dari sisi dalalah Alquran tentang hukum tidak semuanya bersifat qath’i, tetapi ada yang bersifat zanni.

Cukup banyak ayat-ayat qathi dalam Alquran. Pengertian qathi ini pula yang banyak diuraikan dalam kitab-kitab ushul fiqh, seperti yang dijelaskan Wahbah al-Zuhaily berikut:24

�� ا ��� وا��ا �� �%��$ ا��#�� ا�� �" ه� ا� �� ا��ارد �� ا���ان ا��ى � ��� ���� و

Artinya: Nash qathi dalalah ialah lafal yang terdapat di dalam

Alquran yang dapat dipahami dengan jelas dan mengandung makna tunggal.

Definisi qathi ini menggambarkan suatu ayat disebut qathi

manakala dari lafal ayat tersebut hanya dapat dipahami makna tungal sehingga tidak mungkin dipahami darinya makna lain selain yang ditunjukkan lafal itu. Dalam hal ini, takwil tidak berlaku.

Di antara ayat-ayat Alquran yang termasuk dalam kategori qathi dalalah ialah ayat-ayat tentang ushul Alsyariah yang merupakan ajaran-ajaran pokok agama Islam seperti shalat, zakat, dan haji , perintah menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, menegakkan keadilan dan kewajiban mensucikan diri dari hadas. Di samping itu, termasuk kelompok qathi adalah ayat yang berbicara tentang akidah, akhlak dan sebagian masalah muamalat.25

24 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001),

Jilid 1, Cet. Ke-2, hal. 441

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

174

Penempatan ayat-ayat ini dalam kategori qathi dalalah dilatarbelakangi ajaran-ajaran yang dikandung ayat tersebut termasuk pokok-pokok agama (esensial) yang bersifat tsawabith (tetap) dan tidak bersifat mutaghaiyyirat (berubah) karena perubahan zaman. Andai kata ayat-ayat ini termasuk kategori zhanni yang menjadi objek ijtihad tentu akan muncul ketidakstabilan dalam agama dan sangat mungkin mengalami perubahan-perubahan. Dalam sejarah hukum Islam, tidak pernah muncul mazhab fikih karena ayat-ayat qathi, tetapi yang ada dalam ayat-ayat zanni.

Menurut Syatibi26 maqasid alsyari dalam menetapkan syariah yang meliputi dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat didasarkan kepada dalil-dalil qathi karena ketiganya merupakan ushul Alsyariah, Syariah ditetapkan dengan dalil qathi, maka ushul alsyariah lebih utama ditetapkan dengan dalil qathi.

Syatibi tidak mengemukakan ayat qathi mana yang berhubungan langsung dengan dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat tersebut. Namun, diasumsikan ayat-ayat yang mendukung terwujud ketiganya yang tersimpul dalam pemeliharaan lima hal pokok yaitu agama, diri, akal, keturunan dan harta merupakan ayat-ayat qathi. Misalnya, ushul al-ibadat yang meliputi iman, mengucapkan sahadatain, shalat, puasa, zakat dan haji yang ditunjukkan untuk pemeliharaan agama ditetapkan dengan ayat-ayat qathi.

Mengingat ayat-ayat qathi dalalah dari sisi lafaznya tidak mengandung kebolehjadian makna lain dari apa yang dikandung lafal ayat itu, maka jelas peluang ijtihad tidak dimungkinkan pada setiap ayat yang qathi dalalah. Mempertegas ketentuan ini para ulama merumuskan suatu kaidah:

(%غ �' & �%د �� �رد ا��$

Artinya: Tidak diperkenankan ijtihad ketika sudah ada ketetapan

nash Nash yang dimaksudkan dalam kaidah ini adalah nash yang qathi

dalalah. Dengan kata lain ayat-ayat yang qathi dalalah tidak menjadi majal (ruang lingkup) ijtihad bagi para mujtahid.

25 Abd al-Wahhab al-Salam Thowilah, Atsar al-Lughah fi Ikhtilaf al-

Mujtahidin, (Kairo: Dar al-Salam t.t.), hal. 42 26 Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-

Kutub al-‘Ilmiyyah, t,t), hlm. 3-23.

Fadhillah, Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

175

Meskipun dari sisi lafalnya suatu ayat qathi, dari sisi makna mungkin saja zhanni sehingga bisa dikembangkan maknanya, tetapi bukan dimaksudkan menggeser pengertian ayat tersebut. Adapun metode mengembangkannya melalui qias, seperti halnya mengqiyaskan keharaman khamar kepada segala jenis minuman atau narkoba yang sengaja dibuat untuk memabukkan.

Sementara ayat-ayat zhanni dalalah merupakan lapangan ijtihad. Ini dipahami dari definisi zhanni dalalah sebagaimana dirumuskan Abd al-Wahhab Khallaf:27

�%دل * � ��� و�.� �� �� ان ��ول و�,�ف *� ه�ا ا����� و��اد �� "�ا��$ ا�/�� ا��

0��1 ��� �� Artinya: Nash zhanni dalalah ialah suatu lafal yang

menunjukkan suatu makna, tetapi makna itu mengandung kebolehjadian sehingga dapat ditakwilkan dan dipalingkan dari makna itu kepada makna yang lain.

Dari definisi ini dipahami suatu ayat zhanni mengandung lebih

dari satu pengertian sehingga memungkinkan ditakwil, seperti firman Allah surat Albaqarah, 2: 228

...وا��# �%ت � �7,� 67ن�(�� 4'4" �3وءArtinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri

(menunggu) tiga kali quru. Kata quru dalam ayat ini merupakan lafal musytarak yang

mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh karena itu, apabila quru diartikan dengan suci sebagaimana yang dipahami ulama Syafiiyah logis dan benar karena sesuai dengan makna bahasanya. Impikasinya, wanita-wanita yang ditalak suaminya memiliki masa iddah (menunggu) selama tiga kali suci. Sementara apabila kata quru diartikan sebagai haid sebagaimana yang dipahami ulama Hanafiyah adalah benar dan tepat. Ini berimplikasi dalam menetapkan masa menunggu bagi wanita yang ditalak suaminya, yaitu tiga kali haid.

Dari penjelasan ini diketahui ayat-ayat musytarak termasuk ayat-ayat yang zhanni dalalah. Begitu juga dengan lafal am dan mutlak termasuk ayat-ayat zhanni yang dapat ditakwil dan menjadi lapangan ijtihad para ulama.

27 Khallaf, Ilmu Ushul…., hal. 35

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

176

Perbedaan Antara Ayat Makkiyah dan Madaniyyah Ayat-ayat Alquran tidak turun secara sekaligus, tetapi berangsunr-angsur selama 23 tahun masa kerasulan. Ada yang turun ketika Nabi masih di Makkah dan ada yang turun sesudah Nabi hijrah ke Madinah. Perbedaan waktu turun ini menyebabkan adanya klasifikasi ayat, menjadi; ayat makkiyah dan ayat madaniyyah; ke dalam yang terakhir dimasukkan semua ayat yang turun sesudah hijrah ke Madinah walaupun tidak turun di kota Madinah, seperti ayat-ayat yang turun di Makkah ketika futuh Makkah ataupun ketika Haji Wada, tetap digolongkan sebagai ayat madaniyyah. Dari segi lain, ayat-ayat makkiyyah kebanyakan berhubungan dengan masalah keimanan atau aqidah. Hampir tidak ada ayat-ayat yang berhubungan dengan fiqih. Ayat-ayat yang berhubungan dengan fiqih, hampir seluruhnya merupakan ayat madaniyyah. Penggolongan seperti ini menyebabkan sebagian ulama tidak mau menggunakan ayat-ayat makkiyah sebagai dalil untuk sesuatu ketentuan fiqih. Sebab Turunnya Ayat (Asbab al-Nuzul) Ayat-ayat Alquran yang turun secara bertahap tersebut, ada yang turun tanpa sebab. Dengan kata lain, Allah menurunkan ayat tersebut tanpa pendahuluan, atau peristiwa yang memerlukannya. Misalnya, Allah mewahyukan kewajiban shalat, mewahyukan hukuman potong tangan untuk pencurian, menetapkan mahar untuk perkawinan, adalah “murni” sebagai perintah yang tidak didahului oleh sesuatu peristiwa atau pertanyaan sahabat kepada Rasul. Akan tetapi, banyak juga ayat-ayat yang diwahyukan Allah guna menjawab persoalan konkret yang dihadapi Rasul atau umat. Misalnya, dalam peperangan Uhud (tahun ke-3 H), seorang sahabat (Sad Ibn al-Rabi’) syahid meninggalkan seorang isteri dan dua orang anak perempuan serta sejumlah harta. Beberapa waktu setelah itu saudara laki-laki Sad datang mengambil semua kekayaan Sad, sesuai dengan adat Arab Jahiliyah. Dia tidak menyisakan sedikit pun untuk anak perempuan Sad dan isterinya. Isteri Sad tidak puas dengan perlakuan ini. Dia datang memberitakan perlakuan paman anak-anaknya (saudara bekas suaminya) tersebut, serta kesulitan yang bakal dia hadapi karena ketiadaan harta. Rasul berkata, “tunggu Allah akan menurunkan wahyu untuk menyelesaikan persoalan Anda”. Setelah itu turun surat al-Nisa’ ayat 11 dan 12 yang menjelaskan hak anak, orang tua, suami dan isteri dalam masalah kewarisan.

Fadhillah, Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

177

Pengetahuan tengan Asbab al-Nuzul akan membantu sesorang memahami konteks diturunkannya sebuah ayat suci. Konteks itu akan memberi penjelasan tentang implikasi sebuah firman, dan selanjutnya memberi bahan melakukan penafsiran dan pemikiran tentang bagaimana memahami sebuat ayat itu dalam situasi yang berbeda. Ahmad von Denfffer memberi rincian arti penting tentang asbab al-nuzul, khususnya mengenai ayat-ayat hukum, sebagai berikut:

1. Makna dan implikasi langsung dan segera terpahami (muhabir; immediate)dari sebuah firman, sebagaimana hal tersebut dapat dilihat dari konteks aslinya.

2. Alasan mula pertama yang mendasari suatu kepentingan hukum. 3. Maksud asal sebuah ayat. 4. Menentukan apakah makna sebuah ayat mengandung terapan

yang bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau demikian, dalam keadaan bagaimana itu dapat dan harus diterapkan.

5. Situasi histories pada zaman Nabi dan perkembangan komunitas muslim. Sebagai contoh ialah firman allah, “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke manapun kamu menghadapkan wajahmu, di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Meliputi dan Maha Tahu”. (Q.S. Albaqarah/2: 115). Firman ini diturunkan kepada Nabi berkaitan dengan adanya peristiwa yang dialami sekelompok orang yang beriman yang mengadakan perjalanan di malam hari yang gelap gulita. Pagi harinya mereka baru menyadari bahwa semalam mereka shalat dengan menghadap ke arah yang salah, tidak ke kiblat. Kemudian mereka bertanya kepada Nabi berkenaan dengan apa yang mereka alami itu. Turunlah ayat suci itu, yang menegaskan bahwa ke mana pun sesorang menghadapkan wajahnya, ia sebenarnya juga menghadap Tuhan, karena Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu, sehingga “Tuhan pun ada di mana-mana, timur ataupun barat”. Akan tetapi, karena konteks turunnya firman itu bersangkutan dengan peristiwa tertentu di atas, tidaklah berarti seorang Muslim dapat menghadap kemana-mana pun ia suka. Ia harus menghadap ke kiblat yang sah, yaitu arah al-Masjid al-Haram di Makkah. Ia dibenarkan menghadap mana saja dalam salat jika ia tidak tahu arah yang benar, atau kalau karena kondisi tertentu tidak mungkin baginya menghadap ke arah yang benar.28

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

178

Adanya ayat-ayat yang turun guna menyelesaikan persoalan konkrit, menyebabkan para ulama perlu mengetahui situasi yang melatarbelakangi sesuatu ayat guna memperoleh tafsiran yang lebih tepat. Peristiwa yang berhubungan dengan pewahyuan sesuatu ayat ini di kalangan ulama popular dengan sebutan Asbab al-Nuzul. Lebih dari itu, sebagian ulama terutama yang kontemporer, ingin meletakkan Alquran dalam setting yang lebih luas, yaitu adat istiadat dan kehidupan sosial masyarakat Arab di zaman Nabi saw. Bahwa langsung atau tidak, ayat-ayat Alquran, pertama diturunkan tentu harus menghadapi kehidupan, jalan pikiran dan budaya konkret masyarakat pada waktu itu, yaitu masyarakat Arab Jahiliyah. Menurut jalan pikiran ini, dengan memperhatikan latar belakang sosial atau budaya masyarakat Arab tersebut, para ulama akan lebih mampu memperhatikan ‘illat (tambatan) atau hikmah yang tersirat atau yang harus diungkap dari sesuatu ayat, serta akan lebih berani merubah aturan “formal” (norma yang diperoleh dari sesuatu ayat) sekiranya dirasakan bahwa aturan tersebut tidak sesuai lagi dengan illat atau hikmah yang ingin dicapainya. F. Nasakh Mansukh Adanya perbedaan waktu turun, menyebabkan perlu mengetahui mana ayat yang pertama turun dan mana ayat yang turun lebih belakangan. Mana ayat yang diterangkan (yang pertama turun) dan mana ayat yang menerangkan (yang turun lebih belakangan). Lebih jauh dari itu sebagaian ulama berpendapat bahwa ayat yang turun belakangan ada yang membatalkan (me-nasakh) ayat yang turun lebih awal.29 Menurut

28 Ahmad Von Denffer, ‘Ulum Alquran, an Introduction to Sciences of the

Qur’an, (London: The Islamic Foundation, 1985), hlm. 92-93. 29 Ulama mutaqaddimin memberi batasan nasakh sebagai dalil syar’i yang

ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut dinyatakan tidak berlaku terus-menerus, tetapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid), bagi suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (mukhasshish) terhadap suatu pengertian umum. Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna). Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan mukhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian nasakh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang dating kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. KH. Ali Yafie, “Nasikh-Mansukh

Fadhillah, Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

179

sebagian ulama pengetahuan tentang pe-nasakh-kan (pembatalan) antara sesama ayat ini penting sekali, agar tidak keliru dalam mengidentifikasi persoalan. Contoh klasik yang biasa dikutip untuk hal ini adalah ayat-ayat yang mengatur minuman keras. Dalam ayat pertama yang menyinggung masalah ini dinyatakan bahwa dalam minuman keras ada manfaat, tetapi mudharat yang dikandungnya jauh lebih besar. Ayat yang kedua menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh melakukan shalat apabila sedang dalam keadaan mabuk. Lalu, dalam ayat ketiga, Allah menyatakan minuman keras dan beberapa jenis perbuatan lain sebagai perbuatan setan dan harus dijauhi. Menurut ulama, dua ayat sebelumnya, yang masih mengizinkan meminum minuman keras (sekurang-kurangnya dalam keadaan tertentu), sudah dianggap mansukh, dan karena itu tidak perlu digunakan sebagai dalil dalam mengistinbathkan hukum. Dengan kata lain, keberadaannya di dalam Alquran hanya sekedar merupakan data sejarah, bukan lagi sebagai dalil fiqih. Berbeda dengan pendapat umum ini, sebagian ulama terutama di zaman modern, cenderung berpendapat tidak ada ayat yang mansukh di dalam Alquran. Pengetahuan tentang tertib turun ayat ini diperlukan untuk mengetahui mana ayat yang diterangkan dan mana ayat yang menerangkan serta apa dan bagaimana situasi yang terjadi ketika ayat tersebut turun. G. Mengapresiasi Pembacaan Ulang Alquran

Pembacaan ulang Muhammad Syahrur terhadap Alquran – telah menghasilkan pemahaman dan kesan yang begitu mendalam tentang akurasi istilah-istilah yang digunakan dalam alkitab30 bila ditinjau dari segi ilmiah baik masa dulu, kini maupun masa yang akan datang. Isi al-Kitab secara garis besar dibedakan menjadi dua, yakni ayat-ayat kenabian (nubuwwah) dan ayat-ayat kerasulan (risalah). Keduanya, dengan sifatnya masing-masing sama-sama cocok untuk setiap waktu dan tempat. Muhammad saw adalah penutup para nabi dan rasul, dan Islam merupakan agama fitrah (al-tabi’ah natural) yang sejalan dengan hukum-hukum alam yang selalu bergerak dinamis, dan hal ini dalam Alquran”, dalam Budhy Munawwar-Rachman (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 44.

30 Istilah al-Kitab, menurut Syahrur, lebih tepat dipergunakan untuk sebuah

kitab suci yang selama ini dikenal dengan nama al-Quran. Berdasarkan hasil kajiannya, istilah al-Quran sesungguhnya menunjuk kepada sebagian isi dari al-Kitab. Lihat Muhammad Syahrur, al-Kitab Wa al-Quran: Qira’ah Mu’ahirah, Cetakan 2, (Damaskus: Dar al-Ahali, 1990), hal. 17.

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

180

merupakan konsekuensi logis dari kenyataan bahwa Allah yang mewahyukan agama ini juga merupakan pencipta alam semesta. Oleh karena itu, risalah Muhammad (Islam) bersfat rahmatan li al-‘alamin dan global (cocok untuk setiap penduduk bumi).

Metode yang diusulkan untuk mengkaji al-Kitab (Alquran) adalah metode ilmiah (science). Di samping itu, terungkap pula baginya perbedaan asasi antara al-Kitab, Alquran,31 al-zikr, al-furqan, dan al-imam al-masani, umm al-kitab, tafsil al-Kitab, al-lawh al-mahfuz, dan al-imam al-mubin.32 Anggapan selama berabad-abad terhadap lafaz-lafaz atau istilah-istilah tertentu sebagai sinonim (al-taraduf), menurut Syahrur, sesungguhnya tidaklah demikian. Jelas pula terungkap baginya perbedaan antara aspek kenabian (nubuwwah) dan kerasulan (risalah) Muhammad saw dan juga para rasul sebelumnya. Atas dasar pemahaman seperti ini ia pun membuat kaidah-kaidah ta’wil. Kajiannya terhadap tiga tema besar terangkum dalam kenabian dan kerasulan Muhammad saw yakni Allah, alam, dan manusia – telah menghasilkan beberapa pandangan (teori), yakni teori tentang ihwal keberadaan Tuhan dan alam semesta, teori tentang pengetahuan manusia, teori tentang tasyri’ (umm al-Kitab) yang terdapat di dalamnya teori batas (nazariyyah al-hudud), teori akhlak, teori ekonomi teori estetika (kendahan) dan teori (hukum) perjalanan sejarah.

Adapun kerangka teori yang menjadi acuan Syahrur dalam memformulasikan ide-idenya adalah penilaian ajaran Islam (Quran dan Sunnah) antara yang berdimensi nubuwwah dan yang berdimensi risalah. Dalam melontarkan ide-ide pembaharuannya ia banyak sekali mendasarkan pada pemilihan atas kedua hal tersebut. Oleh karena itu, menurutnya, al-Kitab (Quran) isinya secara garis besar dapat dibedakan atas nubuwwah dan risalah. Nubuwwah merupakan kumpulan informasi (pengetahuan) kealaman dan kesejarahan yang dengan itu dapat dibedakan antara benar dan salah yang terdapat di alam wujud (realitas

31 Perhatikan al-Quran dengan huruf kecil; ini untuk membedakannya dengan

al-Quran (dengan huruf besar) sebagaimana persepsi umumnya kaum muslimin. Karena al-Quran menurut Syahrur berbeda dengan al-Quran menurut mereka. Fazlur Rahman, Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1982, hal. 27

32 Istilah-istilah ini dapat dipandang sebagai istilah kunci yang diuraikan secara panjang lebar oleh Syarur dalam bukunya. Pendapat-pendapatnya yang controversial banyak didasari oleh pemahamannya yang baru sama sekali terhadap istilah-istilah tersebut dalam al-Quran. Untuk penjelasan istilah-istilah tersebut. Fazlur Rahman, Islam dan Modernity…, hal. 49-68

Fadhillah, Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

181

empiris). Sedangkan risalah adalah kumpulan ajaran yang wajib dipatuhi oleh manusia yang berupa ibadat, muamalat, akhlak, dan hukum halal dan haram, dan ini semua merupakan taklif yang dibebankan kepadanya. Jadi nubuwwah bersifat obyektif (mawdu’i) dalam arti ia berisi kumpulan aturan hukum yang berlaku di alam semesta dan berada di luar, kesadaran manusia, sedangkan risalah bersifat subyektif (al-zati) yang berarti kumpulan aturan hukum yang harus dijadikan sebagai bagian dari kesadaran dalam diri manusia di dalam berprilaku. Dalam al-Kitab, Alquran merupakan dimensi nubuwwah sedangkan umm al-Kitab merupakan dimensi risalah.33

Dengan demikian, risalah (umm al-Kitab) merupakan aspek dinamis dari ajaran Islam karena ia berhubungan dengan aturan perikehidupan manusia yang juga bersifat dinamis (selalu berubah menurut waktu dan tempat). Doktrin yang mengatakan bahwa Islam cocok untuk setiap zaman dan tempat juga menjadi landasan yang kuat bagi pemikiran Syahrur.34 Oleh karena itu ia menentang keras pemahaman hukum (ajaran) Islam yang kaku selama ini yang menganggap bahwa ketentuan-ketentuan Syar’i (dalam Quran maupun sunnah) yang berekenaan dengan hukum atau cara tertentu harus dijalankan sebagaimana apa adanya. Anggapan seperti itu, menurutnya bertentangan dengan sifat dasar manusia yang selalu berubah dari masa kemasa dan dari satu tempat ke tempat lain, juga bertentangan dengan hukum alam yang mana tidak ada benda (materi) di alam raya ini yang geraknya lurus terus. Dalam konteks seperti inilah kemudian dimunculkan teori batas (Nazariyyah al-Hudud).

Di samping itu, sesuai dengan spesial keilmuannya, ilmu eksakta-terutama matematika dan fisika35- juga sangat berpengaruh terhadap kerangka teori yang dibangun. Beberapa kali ia menyebut-nyebut nama Isaac Newton sebagai rujukan bagi model mathematical analysis yang digunakannya. Dalil-dalil fisika juga cukup banyak

33 Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Quran, hal. 54, 90, dan 103. Wael B.

Hallaq dalam hal ini kemudian menyimpulkan bahwa fungsi kenabian adalah untuk keagamaan (religions) sementara risalah merupakan hukum. Lihat Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni Ushul Fiqh, Cet. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 247

34 Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Quran, hal. 44; al-Munjid,

Munaqasyat, hal. 170 35 Hallaq, A History…, hal. 246

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

182

disebut. Ini semua dilakukannya untuk menunjukkan tidak adanya pertentangan antara wahyu dan realita (hukum alam) yang juga menjadi landasan berpikirnya yang cukup kuat.36 Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan oleh pandangan dan pemikiran Syahrur, yang jelas Syahrur cukup berani dan kritis melakukan pengkajian terhadap ayat-ayat Alquran. Sebenarnya, jargon “qira’ah mu’ashirah” yang dilontarkan Syahrur bertujuan melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat Alquran sesuai dengan perkembangan sejarah interaksi antargenerasi, sehingga diharapkan akan menegaskan eksistensi dan signifikansinya dalam kehidupan yang terus berubah. H. Penutup

Alquran adalah kitab suci umat Islam yang merupakan kumpulan firman-firman Allah (Kalam-Allah) yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. di antara tujuan utama diturunkannya Alquran adalah untuk menjadi pedoman manusia dalam menata kehidupan mereka supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia, maka Alquran datang dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan dan konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun yang terinci, yang tersurat maupun yang tersirat dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan.

Alquran sendiri menyatakan dirinya sebagai al-Kitab (kitab, buku), hudan (petunjuk) bagi manusia pada umumnya, dan orang-orang bertakwa pada khususnya, al-furqan (pembeda antara yang baik dan yang buruk, antara yang nyata dan yang khayal); rahmat (rahmat), syifa (obat penawar khususnya untuk hati yang resah dan gelisah), thibyan li kulli syai (penjelasan bagi sesuatu) dan beberapa atribut lainnya. Nama-nama dan berbagai julukan ini secara tersurat memberi bukti bahwa Alquran adalah kitab suci yang berdimensi banyak dan berwawasan luas.

Kendatipun Alquran mengandung berbagai ragam masalah ternyata pembicaraannya tentang suatu masalah tidak selalu tersusun secara sistematis seperti halnya buku ilmu pengetahuan yang dikarang oleh manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa Alquran kitab yang tidak sistematis bila dilihat dari sudut metodologi ilmiah. Di samping tidak sistematis, Alquran juga sangat jarang menyajikan sesuatu masalah secara terinci dan detail. Pembicaraan Alquran pada umumnya bersifat

36 Muhammad Syahrur, al-Kitab…., hal. 45

Fadhillah, Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

183

umum dan sering menampilkan suatu masalah dalam prinsip-prinsip pokoknya saja.

Keadaan Alquran sebagaimana disebut di atas pada dasarnya tidak mengurangi nilai Alquran. Sebaliknya, pada letak keunikan sekaligus keistimewaan Alquran. Sebab dengan keadaan seperti itu, Alquran akan menjadi objek kajian yang tidak kering-keringnya oleh para cendikiawan, sehingga ia akan tetap aktual sepanjang masa.

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin, H.M. at. al, Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma

Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002). Al-Qardhawi, Yusuf, al-Ijtihad wa al-Tajdid bayn al-Dhawabith al-

Syar’iyah wa al-Hayah al-Mu’ashirah, terj. Muhammad Hussein dalam Dasar Pemikiran Hukum Islam: Taklid vs Ijtihad, (Jakarta: Pustaka Firdaus, t.t)

Al-Shawkani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad, Irshad al-Fuhul,

(Mesir: Mathba’ah al-Madani, 1992) Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Kairo: Musthafa

Muhammad, t.th.) Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001) Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Alquran, (Jakarta: Pustaka

Alvabet, 2005) Anwar, Syamsul, “Islamic Jurisprudence of Christian-Muslim Relations:

Toward a Reinterpretation,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, No. 60, Th. 1997

Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta:

Cakrawala, 2006)

Mentari Vol. 11 No. 2, Julii 2008: 161-185

184

Anwar, Syamsul, Diktat Kuliah Metodologi Hukum Islam. Arkoun, Mohammed, Berbagai Pembacaan Alquran, terj. Machasin,

(Jakarta: INIS, 1997) Denver, Ahmad Von, ‘Ulum Alquran, an Introduction to Sciences of the

Qur’an, (London: The Islamic Foundation, 1985) Graham, William A., “Qur’an as Spoken Word: an Islamic Contribution

to the Understanding of Scripture”, dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Arizona: The University of Arizona Press, 1985).

Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to

Sunni Ushul Fiqh, Cet. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1997)

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kuwaitiyah,

1978) Martin, Richard C. (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies,

(Arizona: The University of Arizona Press, 1985) Nasr, Seyyed Hossein, terj. Nur Asiah Fakih S. Harahap, the heart of

islam Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2003)

Nurdin, Ali, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal

dalam Alquran, (Jakarta: Erlangga, 2006). Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Unisba, 1995) Rahman, Fazlur, Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual

Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982) Rahman, Fazlur, terj. Ahsin Mohammad, Islam, (Bandung: Penerbit

Pustaka, 1984) Shihab, Quraish, M, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 1992)

Fadhillah, Alquran sebagai Sumber Hukum Syariah

185

Syahrur, Muhammad, al-Kitab Wa Alquran: Qira’ah Mu’ahirah, Cetakan 2, (Damaskus: Dar al-Ahali, 1990)

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos, 1997) Thowilah, Abd al-Wahhab al-Salam, Atsar al-Lughah fi Ikhtilaf al-

Mujtahidin, (Kairo: Dar al-Salam t.t.) Watt, W.M., Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh

Univ. Press, 1970 Yafie, Ali, KH., “Nasikh-Mansukh dalam Alquran”, dalam Budhy

Munawwar-Rachman (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994)

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, (t.k. : Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.) Zaid, Nasr Hamid, terj. Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas Alquran Kritik

terhadap Ulmul Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2002)

Usman, Pembelajaran Matematika Realistik

186

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR) BERBASIS BUDAYA ACEH PADA SISWA KELAS II SD 54

BANDA ACEH

oleh Usman

Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh

Abstrak Penelitian ini maksudkan untuk mendeskripsikan keefektifan penerapan pembelajaran matematika realistik (PMR) berbasis budaya Aceh pada materi pengukuran di kelas II SD Negeri 54 Banda Aceh. Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen semu dengan pendekatan deskriptif. Subjek penelitian adalah siswa kelas IIA SD Negeri 54 Banda Aceh. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara: tes hasil belajar, lembar pengamatan aktivitas siswa (LPAS), lembar pengamatan kemampuan guru (LPKG), dan angket respon siswa. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis statistik deskriptif. Kriteria keefektifan PMR berbasis budaya Aceh yaitu hasil belajar siswa tuntas, aktivitas siswa selama pembelajaran efektif, kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif, dan respon siswa terhadap pembelajaran positif. Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian diperoleh pembelajaran matematika realistik (PMR) berbasis budaya Aceh efektif untuk mengajarkan materi pengukuran di kelas II SD Negeri 54 Banda Aceh. Kata Kunci: PMR Berbasis Budaya Aceh PENDAHULUAN Proses belajar dapat terjadi di mana dan kapan saja sepanjang hayat. Sekolah merupakan salah satu tempat proses belajar terjadi. Sekolah merupakan tempat kebudayaan, karena pada dasarnya proses belajar merupakan proses pembudayaan. Dalam hal ini, proses pembudayaan di sekolah adalah untuk pencapaian akademik siswa, untuk membudayakan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan tradisi yang ada dalam suatu komunitas budaya, serta untuk mengembangkan budaya dalam suatu komunitas melalui pencapaian akademik siswa. Misalnya siswa belajar matematika untuk mencapai akademik: kemampuan bernalar matematika.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 186-194

187

Menurut Tyler (dalam Suprayekti, 2004:4.5) budaya adalah pola utuh prilaku manusia dan produk yang dihasilkan membawa pola pikir, pola lisan, pola aksi, dan artifak dan sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk belajar, untuk menyampaikan pengetahuannya kepada generasi berikutnya melalui alat, bahasa, dan pola nalar. Pendidikan merupakan proses pembudayaan dan pendidikan juga dipandang sebagai alat untuk perubahan budaya. Proses pembelajaran di sekolah merupakan proses pembudayaan yang formal (proses akultulasi)

Namun, kenyataan sekarang, kurikulum di sekolah memisahkan siswa dari komunitas budayanya karena sekolah memiliki budaya dan mata pelajaran yang diajarkan juga mengajarkan budaya yang lain dengan budaya komunitas. Guru jarang mengintegrasikan tradisi budaya siswa dengan materi pelajaran yang diajarkannya. Akibatnya siswa atau lulusan sama sekali tidak dapat menghargai bentuk pengetahuan dan kekayaan tradisional dalam kemunitas budayanya Grant & Gomes (dalam Suprayekti, 2004)

Berkaitan dengan budaya masyarakat Aceh yang kental dengan Agama Islam, pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah belum mencerminkan pelaksanaan pendidikan yang islami. Beberapa program yang telah dilakukan oleh pemerintah antara lain: (1) menghimbau kepada guru/kepala sekolah untuk mengawali pembelajaran dengan membaca Ayat Suci Alquran dan doa belajar. Akan tetapi, hasil belum menunjukkan hal yang mengembirakan. Hal ini sesuai pendapat Banta (2005) nuansa islami dalam penerapan sistem pendidikan di Aceh belum menampakkan kesan yang kuat sehingga tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemberlakuan syariat islam.

Salah satu aternatif untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan mengembangkan pembelajaran matematika realistik berbasis budaya Aceh. Pembelajaran matematika realistik yang disingkat dengan PMR adalah pembelajaran matematikan dengan pendekatan realistik yang pertama kali dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970. RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana mengajarkan matematika (www.pmri.or.id/latarbelakang.html).

Salah satu prinsip pendekatan realistik adalah prinsip realitas, yaitu pembelajaran dimulai dengan dari dunia nyata dan kembali lagi ke dunia nyata. Berkaitan dengan budaya Aceh, pembelajaran matematika dengan memulai masalah nyata yang berkaitan budaya-budaya Aceh. Selain itu, dalam pembelajaran matematika juga disisipkan nilai-nilai agama islam yaitu disisipkan kata-kata bijak dalam kegiatan

Usman, Pembelajaran Matematika Realistik

188

pembelajaran. Dalam pembelajaran matematika realistik berbasis budaya Aceh, lingkungan belajar siswa akan berubah menjadi lingkungan belajar yang menyenangkan bagi guru dan siswa, yang memungkinkan guru dan siswa berpatisipasi aktif berdasarkan budaya yang sudah mereka kenal, sehingga hasil dapat diperoleh hasil belajar yang optimal. Pengukuran merupakan salah satu materi matematika yang diajarkan di kelas II sekolah dasar. Tujuan pembelajaran yang diharapkan adalah siswa dapat mengenal alat-alat ukur tidak baku dan baku dalam matematika. Misalnya dalam kehidupan sehari masyarakat Aceh menggunakan depa, jengkal, atau hah untuk mengukur suatu benda. Demikian juga ukuran volume (isi) dengan menggunakan ukuran ”Are”, atau ”Naleh. Dalam ukuran tanah sawah dengan ukuran ” gepang, atau mah”. Beberapa hasil penelitian antara lain: (1) Zubainur (2006:24) pengembangan assesment dalam pembelajaran matematika realistik berbasis budaya Aceh di SD Kota Banda Aceh diperoleh dalam pembelajaran matematika di SD dapat diintegrasikan nilai-nilai kerifan lokal dan keberagaman budaya yang ada dalam masyarakat Aceh. Mengintegrasikan budaya Aceh dalam permasalahan konstektual dan menanamkan aturan dalam kelompok, (2) Rahma (2006: 33) model pembelajaran matematika realistik bernuansa islami efektif untuk mengajarkan mata kuliah pendidikan matematika I di PGSD Unsyiah, (3) Usman (2007:25) kemampuan siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Banda Aceh dalam menyelesaikan masalah sistem persamaan linear dua variabel yang realistik pada umumnya pada level kemampuan superior. Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah penerapan pembelajaran matematika realistik (PMR) berbasis budaya Aceh efektif untuk mengajarkan materi pengukuran pada siswa SD Negeri 54 Banda Aceh? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan keefektifan penerapan pembelajaran matematika realitik (PMR) berbasis budaya Aceh pada materi pengukuran SD Negeri 54 Banda Aceh. METODE PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dibahas yaitu untuk mengetahui mendeskripsikan keefektifan penerapan pembelajaran matematika realistik berbasis budaya Aceh pada materi pengukuran di kelas II SD Negeri 54 Banda Aceh maka penelitian disebut penelitian deskriptif. Penelitian ini juga disebut penelitian eksperimen semu karena

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 186-194

189

ditandai ada perlakuan yaitu PMR berbasis budaya Aceh. Rancangan penelitian ini adalah” the one shot case study” yaitu

T1 X T2

Keterangan: X1 : Tes awal T : PMR Berbasis Budaya Aceh X2 : Tes akhir

Yang menjadi subjek penelitian ini adalah siswa kelas IIA SD Negeri 54 Banda Aceh. Pemilihan siswa kelas IIA sebagai subjek penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling. Waktu pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada semester ganjil tahun pelajaran 2007-2008.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1. Tes. Tes terbagi atas dua, yaitu tes awal dan tes akhir. Tes awal

digunakan untuk melihat kemampuan awal siswa sebelum penerapan PMR berbasis budaya Aceh. Data tes awal ini digunakan untuk mengelompokkan siswa dalam kelompok belajar. Tes akhir digunakan untuk melihat kemampuan akhir siswa setelah penerapan PMR berbasis budaya Aceh.

2. Lembar Pengamatan Aktivitas siswa (LPAS) Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung. Pengamat melakukan pengamatan terhadap 6 orang siswa, yang terdiri dari 2 siswa berkemampuan tinggi, 2 orang siswa berkemampuan sedang, dan 2 orang siswa berkemampuan rendah. Pada LPAS, pengamat menuliskan nomor-nomor kategori aktivitas siswa yang dominasi muncul dalam kegiatan pembelajaran dalam selang waktu 5 menit. Dalam selang waktu tersebut, setiap 4 menit pengamat melakukan pengamatan terhadap aktivitas siswa, kemudian 1 menit berikutnya pengamat menuliskan nomor-nomor kategori aktivitas siswa.

3. Lembar Pengamatan Kemampuan Guru (LPKG) Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang kemampuan guru menerapkan PMR berbasis budaya Aceh. Dalam pengamatan, pengamat menuliskan kategori-kategori skor yang muncul dengan menggunakan tanda cek (√ ) pada baris dan kolom yang tersedia. Penilaian terdiri dari 4 kriteria yaitu, tidak baik (nilai

Usman, Pembelajaran Matematika Realistik

190

1), kurang baik (nilai 2), cukup baik (nilai 3), baik (nilai 4), dan sangat baik (nilai 5). Aktivitas guru yang diamati dapat dilihat pada LPKG mengelola pembelajaran.

4. Angkat respon siswa Angket ini digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang respon siswa terhadap penerapan PMR berbasis budaya Aceh. Siswa mengisi angket dengan mencontreng (√ ) pada kolom yang tersedia untuk setiap pertanyaan yang diajukan. Angket tersebut diberikan kepada siswa pada akhir kegiatan pembelajaran. Teknik analisisi data dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1. Data Tes Hasil Belajar Data tes hasil belajar dianalisis dengan menentukan ketuntasan hasil belajar siswa. Siswa dikatakan tuntas secara individual (KKM) jika siswa memperoleh skor 65 % dari skor total. Siswa dikatakan tuntas secara klasikal jika 80 % siswa sudah mencapai KKM. Hasil belajar siswa dikatakan tuntas jika 80 % siswa sudah mencapai KKM.

2. Data aktivitas siswa Data tentang aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran dianalisis berdasarkan persentase. Persentase aktivitas siswa yaiotu frekuensi setiap aspek pengamatan dibagi dengan jumlah frekuensi semua aspek pengamatan dikali 100 % atau dengan rumus ditulis seperti berikut.

pengamtnaspeksemuaFrekJmlh

pengamatnaspeksetiapFrekSiswaAktivitasPersentase =

Aktivitas siswa dikatakan efektif jika minimal ada enam aspek dari tujuh aspek yang diamati pada setiap RPP barada dalam rentang waktu ideal (Hasratuddin, 2002). 3. Data Kemampuan Guru Data tentang kemampuan guru mengelola pembelajaran dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dengan mencari skor rata-rata. Adapun pendeskrepsikan skor rata-rata tingkat kemampuan guru (TKG) sebagai berikut. 1.00 ≤ TKG ≤ 1,50 : tidak baik

1.50 ≤ TKG ≤ 2,50 : kurang baik 2.50 ≤ TKG ≤ 3,50 : cukup baik 3.50 ≤ TKG ≤ 4,50 : baik 4.50 ≤ TKG ≤ 5.00 : sangat baik (Hasratuddin, 2002)

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 186-194

191

Kemampuan guru mengelola pembelajaran dikatakan efektif jika rata-rata skor dari semua aspek untuk tiap RPP berada pada kategori baik atau sangat baik. 4. Data Respon siswa Data respon siswa yang diperoleh melalui angket dianalisis menggunakan statistik seskripsi dengan persentase. Persentase dari setiap respon siswa dihitung dengan rumus:

%100xsiswaseluruhJunlah

munculyangaspektiapmhspositifresponJumlah

Data respon siswa yang diperoleh melalui angket dianalisis berdasarkan persentase. Respon siswa dikatakan positif jika 80 % atau lebih siswa siswa merespon dalam kategori senang/baru/berminat/jelas/tertarik, untuk setiap aspek yang direspon. 5. Kriteria Keefektivan PMR berbasis budaya Aceh Penerapan PMR berbasis budaya Aceh dikatakan efektif jika memenuhi syarat: (1) ketuntasan hasil belajar siswa tuntas, (2) aktivitas siswa efektif, (3) kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif, dan (4) respon siswa baik. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Deskripsi Hasil Tes Dari 25 orang siswa yang mengikuti tes setelah penerapan PMR berbasis budaya Aceh diperoleh skor terendah adalah 30 sedangkan skor tertinggi 95. Dari 25 orang siswa dari 25 orang siswa (80%) yang mencapai ketuntasan hasil belajar. Dengan demikian ketuntasan hasil belajar siswa termasuk kategori tuntas. Hal ini menunjukkan PMR berbasis budaya Aceh menyebabkan ketuntasan hasil belajar siswa pada materi pengukuran. Salah satu faktor penyebab adalah PMR berbasis budaya Aceh mengaitkan materi pengukuran dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa terlibat aktif dalam mengkontruksi pengetahuan. Selain itu dalam pembelajaran matematika disisipkan budaya-budaya Aceh sehingga siswa lebih termotivasi dalam belajar. 2. Deskipsi Hasil Aktivitas Siswa Aktivitas siswa diamati oleh seorang pengamat. Pengamat hanya mengamati 6 orang siswa yaitu 2 orang berkemampuan tinggi, 2 orang berkemampuan sedang, dan 2 orang berkemampuan rendah. Pengamatan dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung dan hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Usman, Pembelajaran Matematika Realistik

192

Tabel 3. Hasil Pengamatan Aktivitas siswa selama Pembelajaran

Persentase Aktivitas Siswa dalam

Pembelajaran RPP ke

No Kategori Pengamatan

RPP 1

RPP 2

RPP3

RPP4

Kriteria Batasan

Kefektifan (%)

1 Memperhatikan/mendengarkan penjelasan guru/siswa

28,9 20 15,6 19 12 – 22

2 Membaca/memahami masalah konstektual dalam LKS

13,3 10 11,1 5 5 – 15

3 Menyelesaiakan masalah atau menemukan cara menyelesaikan masalah

22 24,5 27,8 29 22 – 35

4 Membandingkan jawab dalam diskusi kelompok atau kelas

15,6 17 20 20 16 – 27

5 Bertanya/menyampaikan pendapat/ide kepada guru/siswa

7, 8 12 14,4 17 11 – 21

6 Menarik kesimpulan suatu prosedur/konsep

8, 9 11 11,1 10 4 - `14

7 Perilaku yang tidak relevan dengan KBM

2,5 0 0 0 0 – 5

Berdasarkan tabel 5 di atas, pada RPP1 aktivitas siswa dalam pembelajaran belum efektif karena ada beberapa aspek aktivitas yang berada di luar kriteria batasan keefektifan yaitu pada aspek memperhatikan/mendengarkan penjelasan guru/siswa. Pada RPP2, RPP3 dan RPP 4 aktivitas siswa dalam pembelajaran termasuk efektif. 3. Deskipsi Hasil Kemampuan Guru Hasil pengamatan terhadap guru dalam mengelola pembelajaran selama 4 (empat) pertemuan diperoleh: (1) rata-rata kemampuan guru pada pertemuan pertama (RPP1) adalah 3, 82, (2) rata-rata kemampuan guru pada pertemuan kedua (RPP2) adalah 4,38, (3) rata-rata kemampuan guru pada pertemuan ketiga (RPP3) adalah 4,44, (4) rata-rata kemampuan guru pada pertemuan keempat (RPP4) adalah 4,11. Dengan demikian, dapat disimpulkan kemampuan guru mengelola PMR berbasis budaya Aceh termasuk kategori “ baik”.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 186-194

193

4. Deskripsi Hasil Respon Siswa Dari angket respon siswa yang diisi oleh 25 orang siswa setelah mengikuti pembelajaran untuk materi pengukuran, maka diperoleh: (1) rata–rata 98% persentase siswa merasa terhadap komponen pembelajaran : materi pelajaran, LKS, budaya pada LKS, soal latihan, suasana pembelajaran di kelas, dan cara guru mengajar, (2) rata-rata 99% siswa berminat untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya seperti yang baru saja diikuti, (3) rata-rata 100 % siswa tertarik dengan penampiran (tulisan, ilustrasi/gambar dan letak gambar) yang terdapat dalam LKS dan soal latihan. Dengan demikian, secara keseluruhan disimpulkan bahwa respon siswa terhadap penerapan PMR berbasis budaya Aceh adalah positif. Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika realistic (PMR) berbasis budaya Aceh efektif untuk mengajarkan materi pengukuran di kelas II SD Negeri 54 Banda Aceh. Dalam hal ini, memenuhi empat indicator keefektifan dipenuhi yaitu: (1) hasil belajar siswa tuntas, (2) aktivitas siswa selama pembelajaran termasuk efektif, (3) kemampuan guru mengelola pembelajaran termasuk efektif, dan (4) respon siswa terhadap pembelajaran termasuk positif. Beberapa nampak pengiring penerapan pembelajaran matematika realistik (PMR) berbasis budaya Aceh adalah budaya belajar siswa meningkat, saling membantu dan menjelaskan sesama teman. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pembelajaran matematika realistik berbasis budaya Aceh efektif untuk mengajarkan materi pengukuran di kelas II SD Negeri 54 Badan Aceh, karena hasil belajar tuntas, aktivitas siswa selama pembelajaran efektif, kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif, dan respon siswa terhadap pembelajaran positif. Berdasarkan kesimpulan, penulis menyarankan kepada guru untuk menerapkan pembelajaran matematika realistic (PMR) berbasis budaya Aceh untuk meningkatkan ketuntasan hasil belajar siswa. Selanjutnya guru perlu menyisipkan nilai-nilai budaya lingkungan siswa dalam kegiatan pembelajaran, untuk menanamkan dan memperkenalkan budaya lingkungan siswa sehingga dapat mengenal dan mengetahui budayanya sendiri.

Usman, Pembelajaran Matematika Realistik

194

DAFTAR PUSTAKA Banta, Teuku Alamsyah. 2005. Efektivitas Pengelolaan Dana

Pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam. Makalah Disampaikan pada Diskusi Panel Nasional ”Recovery Pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam”. Forum Mahasiswa Pascasarjana Aceh Malang, di Malang pada Tanggal 18-19 Juni 2005.

Hasratuddin. 2002. Pembelajaran Matematika Realistik Unit Geometri

dengan Pendekatan Realistik di SLTP 6 Medan. Tesis Magister Pendidikan. Subabaya: PPs Universitas Negeri Surabaya

Johar, Rahmah, dkk. 2007. Penerapan Pendekatan Realistik Bernuansa

Islami Pada Mata Kuliah Pendidikan Matematika I Di PGSD FKIP Unsyiah. Laporan Penelitian Teaching Grand. Darussalam: FKIP Unsyiah

Suprayekti, dkk. 2004. Inovasi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka

Zubainur, Cut Morina, dkk. 2007. Pengembangan Assesmen dalam

Pembelajaran Matematika Realistik Berbasis Budaya Aceh. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Darussalam: Universitas Syiah Kuala

Usman & Suhartati. 2007. Penerapan Penilaian Authentik dalam

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Matematika Realitik di Kelas VIII SMP Negeri 3 Banda Aceh. Laporan Penelitian Dosen Muda. Darussalam: Jurusan Pendidikan Matematika FKIP Unsyiah.

Usman. 2008. Memperbaiki Kualitas Pembelajaran SD Melalui

Pendekatan Matematika Realistik. Makalah Disampaikan pada ”Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah PTK Bagi guru di Kecamatan Syamtalira Bayu Aceh Utara”. PGRI Kecamatan Syamtalira Bayu, di SMP Negeri 1 Syamtalira Bayu pada Tanggal 27-28 Maret 2008.

Syahjuzar, Efektifitas Pelaksanaan Model

195

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH PADA MATERI

PERSAMAAN GARIS LURUS KELAS VIII SMP NEGERI 2 BANDA ACEH

oleh

Syahjuzar Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk; (1) mendeskripsikan pelaksanaan

model pembelajaran berdasarkan masalah efektif untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh, (2) untuk mengetahui respon siswa terhadap pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah pada pembelajaran matematika di kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh. Penelitian ini disebut penelitian eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII.4 yang dipilih dari 6 kelas. Iinstrumen yang digunakan adalah: instrument tes, lembar observasi aktivitas siswa, kemampuan guru mengelola pemeblajaran, dan respon siswa.Data dianalisis dengan menggunakan analisis statisitik deskriptif. Hasil yang diperoleh adalah: (1) pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah belum efektif di kelas VIII.4 SMP Negeri 2 Banda Aceh, (2) respon siswa setelah pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah di kelas VIII.4 pada materi gradien termasuk kategori positif Kata Kunci: Model pembelajaran berdasarkan masalah, memecahkan

masalah

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208

196

PENDAHULUAN Dalam mempelajari matematika siswa sering menghadapi masalah, yaitu tidak berhasil menyelesaikannya soal-soal, padahal menyelesaikan masalah dalam matematika adalah cara yang terbaik untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah seseorang. Disadari bahwa karena situasi pemecahan masalah merupakan suatu tahapan saat individu dihadapkan kepada masalah ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya bahkan dalam proses penyelesaiannya ia masih kebuntuan. Oleh karena itu, sangat diperlukan kemampuan untuk individu dapat berpikir secara kritis dan kreatif untuk mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi. Pembelajaran matematika penting diberikan di sekolah sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan penalaran, supaya mampu berpikir logis, sistematis, kritis, cermat dan kreatif dalam mengkomunikasikan gagasan atau memecahkan masalah baik di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai harapan kurikulum satuan tingkat pendidikan (KTSP) 2006 matematika SMP menyebutkan tujuan pelajaran matematika diajarkan di SMP adalah agar peserta didik memiliki kemampuan: (1) memahami konsep matematika, (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, (3) memecahkan masalah, (4) mengkomunikasikan gagasan, (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Tujuan di atas menunjukkan bahwa siswa dituntut untuk memahami konsep dan memecahkan masalah matematika yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya pembelajaran matematika sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Hasil penelitian di beberapa sekolah menunjukkan pembelajaran matematika kurang melibatkan aktifitas siswa secara optimal, kemampuan memecahkan masalah siswa masih rendah, dan siswa kurang memahami konsep dasar matematika Sutiarso (2000). Keadaan tersebut tentunya kurang menguntungkan bagi dunia pendidikan, oleh karena itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran supaya segala kekurangan yang terjadi di sekolah dapat diminimalisasi sehingga tuntutan dan tujuan yang diharapkan dalam kurikulum bisa tercapai. Salah satu cara upaya yang dilakukan yaitu mengadakan pergeseran kondisi pembelajaran dari guru ke siswa (teacher centered ke student centered). Berbagai model pembelajaran yang dapat melibatkan aktivitas siswa, salah satunya adalah pembelajaran berdasarkan masalah. Pada pembelajaran berdasarkan masalah siswa memahami konsep atau

Syahjuzar, Efektifitas Pelaksanaan Model

197

mengkontruksi sendiri pengetahuan melalui situasi atau masalah yang tidak terstruktur dengan baik, sehingga memungkinkan siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematika seperti penalaran, komunikasi serta memecahkan masalah. Salah satu model pembelajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan memecahkan masalah adalah menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah. Model pembelajaran ini merupakan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga dapat menyusun pengetahuannya sendiri, dan menumbuhkembangkan keterampilan yang tinggi dan inkuairi, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan dirinya (Arends, 1997:288). Dengan demikian, model pembelajaran berdasarkan masalah selain mengembangkan berpikir tingkat rendah tetapi dapat berpikir tingkat tinggi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pemahaman matematika siswa SMU 1 Tasikmalaya melalui pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik daripada pemahaman matematika siswa melalui pembelajaran biasa, (2) siswa aktif selama proses pembelajaran, (3) secara umum, siswa bersikap positif terhadap pembelajaran berdasarkan masalah Nani R (2005: 154). Sedangkan hasil penelitian Usman (2007: 30) menunjukkan aktivitas siswa dan respon siswa kelas XI SMA Negeri 5 Banda Aceh baik setelah penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah.

Terdapat beberapa materi matematika SMP yang dapat diajarkan dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah, salah satunya adalah materi persamaan garis. Materi ini banyak penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya bidang ekonomi, ilmu fisika, kimia, biologi, dan bidang teknik. Pengetahuan siswa tentang materi persamaan garis lurus akan mendasari pemahaman siswa untuk mempelajari materi matematika selanjutnya. Berdasarkan pengalaman penulis mengajarkan mata kuliah matematika ekonomi didapatkan ada beberapa mahasiswa yang tidak bisa menggambarkan grafik persamaan garis dan tidak bisa menentukan kemiringan suatu garis. Rendahnya pemahaman mahasiswa salah satu disebabkan pemahaman mahasiswa tentang persamaan garis di SMP/SMA belum dikuasai.

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis berkeinginan melakukan penelitian yang berjudul ” Efektifitas pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh”.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208

198

Penelitian ini dimaksudkan: (1) untuk mendeskripsikan pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah efektif untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh, (2) untuk mendeskripsikan respon siswa terhadap pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah pada pembelajaran matematika di kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh

METODE PENELITIAN Jenis Dan Rancangan Penelitian Mengacu pada perumusan masalah pada Bab I, jenis penelitian ini termasuk penelitian eksperimen karena ditandai adanya perlakuan yang dirancang secara sengaja untuk mengubah kondisi yakni pelakasanaan model pembelajaran berdasarkan masalah. Penelitian ini disebut juga penelitian eksperimen semu (quasi exsperimen) jenis “ the one-shot case study”. Subyek Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Negeri 2 Banda Aceh. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh tahun ajaran 2008/2009 yang terdiri dari 6 kelas. Subyek penelitian adalah siswa kelas VIII.4 yang dipilih dari 6 kelas. Pemilihan siswa kelas VIII.4 karena atas hasil wawancara dengan guru bidang studi matematika kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh. Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Instrumen dan teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah sebagai berikut a. Instrumen Tes

Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan data hasil belajar siswa tentang kemampuan siswa memecahkan masalah tentang materi persamaan garis. Tes terbagi dua jenis yaitu tes awal dan tes akhir. Tes awal diberikan sebelum pembelajaran dilaksanakan. Tes awal ini bertujuan untuk mendapatkan data awal tentang kemampuan materi prasyarat dan untuk mengambil siswa yang kemampuan tinggi, sedang, dan rendah sebagai siswa yang diamati aktivitas pembelajaran. Tes akhir diberikan setelah pelaksanaan pembelajaran berlangsung. Instrumen tes akhir disusun oleh peneliti yang didasarkan pada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006

Syahjuzar, Efektifitas Pelaksanaan Model

199

yang berlaku di sekolah tersebut. Adapun kisi-kisi soal tes akhir dapat dilihat pada tabel berikut ini

Tabel 3.1 Kisi-kisi soal tes akhir

Indikator Kisi-kisi butir soal Nomor soal

RPP ke

1. Menentukan gradien garis bila diketahui dua titik

1

1

2. Menentukan gradien garis bila diketahui dua garis yang saling sejajar

2 2

Menentukan gradien garis

3. Menentukan gradient garis bila diketahui dua garis yang saling tegak lurus

3 2

b. Lembar observasi aktivitas siswa

Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan data tentang aktivitas siswa selama pelaksanaan model berdasarkan masalah berlangsung . Lembar observasi diberikan kepada seorang pengamat untuk diisi dengan cara menuliskan cek list (V) sesuai dengan keadaan yang diamati.

c. Lembar observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran

Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan data kemampuan guru model berdasarkan masalah. Lembar observasi diberikan kepada seorang pengamat untuk diisi dengan cara menuliskan cek list (V) sesuai dengan keadaan yang diamati.

d. Angket respon siswa Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan data tentang pendapat atau komentar siswa mengenai pembelajaran. Angket ini diberikan kepada siswa untuk di isi setelah pembelajaran berlangsung.

Teknik Analisis Data Untuk menjawab perumusana masalah pada Bab I, setelah data dikumpulkan dilakukan analisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Adapun gejala pertama yang diselidiki: apakah pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah efektif untuk meningkatkan

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208

200

kemampuan memecahkan masalah matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh?. Data yang digunakan untuk menjawab pertanyaan ini adalah: (1) menganalisis data hasil belajar siswa, (2) data aktivitas siswa, dan (3) kemampuan guru mengelola pembelajaran. Untuk pertanyaan yang kedua digunakan analisis deskriptif yaitu menganalisis data respon siswa setelah penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi limas dan prisma. Uraian teknik analasis data sebagai berikut. a. Ketuntasan hasil Belajar Siswa

Data hasil belajar siswa dianalisis secara deskriptif untuk menentukan ketuntasan hasil belajar. Seorang siswa dikatakan tuntas secara individual apabila secara klasikal diperoleh skor ≥ 60 dari skor total. Sedangkan ketuntasan secara klasikal diperoleh jika terdapat ≥ 80 siswa telah tuntas secara individual

b. Analisis data aktivitas siswa Setelah data aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung

diperoleh, selanjutnya dianalisis secara deskriptif, dengan skor rata-rata. Adapun pendeskripsian skor rata-rata tingkat aktivitas siswa sebagai berikut.

1.00 ≤ TAS < 1,50 : tidak baik 1.50 ≤ TAS < 2,50 : kurang baik

2.50 ≤ TAS < 3,50 : cukup baik 3.50 ≤ TAS < 4,50 : baik 4.50 ≤ TAS < 5,00 : sangat baik

Kriteria aktivitas siswa dalam pembelajaran dikatakan efektif jika rata-rata skor dari semua aspek dari tipa rencana pembelajaran (RP) berapa kategori baik atau sangat baik.

c. Analisis data kemampuan guru mengelola pembelajaran Data tentang kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dianalisis dengan cara deskriptif yaitu menghitung nilai rata-rata setiap aspek yang diamati dalam mengelola pembelajaran. Kriteria tingkat kemampuan guru (TKG) dalam mengelola pembelajaran sebagai berikut.

1,00 ≤ TKG < 1,50 : Kurang baik 1,50 ≤ TKG < 2,50 : Cukup 2,50 ≤ TKG < 3,50 : Baik 3,50 ≤ TKG ≤ 4,00 : Sangat Baik TKG : Tingkat kemampuan guru (Saur Nauli, 2002: 32)

Tingkat kemampuan guru mengelola pembelajaran dikatakan baik jika setiap aspek yang dinilai berada pada kategori minimal baik.

Syahjuzar, Efektifitas Pelaksanaan Model

201

Kriteria keefektifan pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh jika memenuhi tiga syarat yaitu: (1) ketuntasan hasil belajar siswa berada pada kategori tuntas, (2) aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran berada pada kategori efektif, (3) kemampuan guru mengelola pembelajaran berada pada kategori baik. Jika salah satu syarat di atas tidak memenuhi maka model pembelajaran berdasarkan masalah tidak efektif untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh

Selanjunya untuk menjawab perumusan masalah kedua yaitu bagaimanakan respon siswa terhadap pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah pada pembelajaran matematika di kelas VIII SMP Negeri 2 Banda Aceh, maka data repon siswa dianalisis secara deskriftif dengan prosentase. Prosentase setiap respon siswa dihitung dengan rumus:

%100xsiswaseluruhJumlah

munculyangaspektiapsiswaresponJumlah

Respon siswa dikatakan positif jika 80% atau lebih siswa merespon dalam kategori senang/baru/tidak senang untuk setiap aspek yang direspon.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Hasil Penelitian

Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan beberapa aspek dalam pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi persamaan garis di kelas VIII SMP yang meliputi: (1) ketuntasan hasil belajar siswa, (2) aktivitas siswa selama pembelajaran, (3) kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, dan (4) respon siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran matematika dengan strategi PBI. Hasil analisis deskriptif data penelitian diuraian sebagai berikut.. Ketuntasan hasil belajar siswa

Data hasil belajar siswa dikumpulkan melalui pelaksanaan tes tertulis yang diberikan pada siswa kelas VIII.4 yang berjumlah 34 orang setelah pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah. Hasil analisis jawaban tes diperoleh skor hasil tes dan ketuntasan hasil belajar siswa dapat dilihat pada tabel di bawah ini

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208

202

Tabel 5.1 Skor dan Ketuntasan Hasil Belajar

NIS Skor THB NIS Skor THB 12245 11 T 12153 13 T 12272 5 BT 12128 11 T 12273 11 T 12279 5 BT 12248 5 BT 12199 6 BT 12288 11 T 12201 8 BT 12290 13 T 12369 7 BT 12291 13 T 12231 10 BT 12216 11 T 12232 10 BT 12217 5 BT 12313 7 BT 12193 7 BT 12207 7 BT 12219 17 T 12236 13 T 12222 7 BT 12209 13 T 12223 7 BT 12238 15 T 12165 15 T 12180 15 T 12226 13 T 12240 13 T 12125 13 T 12242 5 BT 12227 11 T 12322 4 BT

Keterangan: T : Tuntas: BT : Belum tuntas Berdasarkan tabel 5.1 di atas, diperoleh skor minimal adalah 4, skor maksimal 17, dan skor rata-rata 9,91. Sedangkan ketuntasan hasil belajar siswa diperoleh 18 orang dari 34 orang siswa (52,94%) siswa tuntas secara individual, 16 orang dari 34 orang siswa (47 %) tidak tuntas secara individual. Dengan demikian ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal belum termasuk dalam kategori tuntas. Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran pada pertemuan pertaman dan kedua dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Syahjuzar, Efektifitas Pelaksanaan Model

203

Tabel 5.2 Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa

Persentase Pertemuan ke- Kategori Pengamatan

1 2 Rata- Rata

1. Mendengar atau memperhatikan penjelasan guru.

2. Membaca/mencermati masalah (soal) 3. Bekerja dalam memecahkan masalah yang

meliputi: mengumpulkan informasi yang sesuai, menemukan penjelasan, dan peme-cahan masalah dan bekerjasama menyele-saikan masalah dengan teman sebangku

4. Menyajikan hasil kerja 5. Berdiskusi/bertanya antar siswa/kelompok

/guru yaitu menyatakan pendapat/ide dan me-nanggapi pertanyaan guru/teman.

6. Mengkaji/mengecek ulang proses penye-lesaian masalah.

7. Menyimpulkan hasil pembelajaran. 8. Perilaku yang tidak relevan/sesuai dengan

KBM.

16,66 6,66 20,00 8,88 1,11 6,66 15,55 24,44

16,66 6,66 20,00 17,77 7,77 6,66 15,55 8,88

16,66 6,66

20,00

13,32 4,44

6,66

15,55

16,66

Aktivitas aktif (2, 3, 4, 5, 6 dan 7) 66,68 Aktivitas pasif (1 dan 7) 33,32

Berdasarkan tabel 5.2 di atas, hasil pengamatan aktivitas siswa

selama kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut. 1. Pertemuan pertama (RPP1) Berdasarkan tabel 5.2 di atas, terlihat analisis hasil pengamatan terhadap aspek-aspek aktivitas siswa pada pertemuan pertama dan mengacu pada kriteria yang telah ditetapkan, dapat disimpulkan aktivitas siswa pada pertemuan pertama (RPP1) belum mencapai efektif karena ada aspek yang tidak memenuhi kriteria efektif yaitu aspek menyajikan hasil kerja, berdiskusi/bertanya antar siswa/kelompok/guru yaitu menyatakan pendapat/ide, dan perilaku yang tidak relevan/sesuai dengan KBM. 2. Pertemuan kedua (RPP2) Berdasarkan tabel 5.2 di atas, terlihat analisis hasil pengamatan terhadap aspek-aspek aktivitas siswa pada pertemuan kedua dan mengacu pada kriteria yang telah ditetapkan, dapat disimpulkan aktivitas

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208

204

siswa pada pertemuan kedua (RPP2) belum mencapai efektif karena ada aspek yang tidak memenuhi kriteria efektif yaitu aspek perilaku yang tidak relevan/sesuai dengan KBM.

Berdasarkan tabel di atas, secara umum rata-rata persentase aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran belum mencapai efektif karena ada aspek yang tidak memenuhi kriteria yaitu aspek perilaku yang tidak relevan/sesuai dengan kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian aktifitas siswa selama pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah belum termasuk kategori efektif.

. c. Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran Berdasarkan hasil pengamatan dari pengamat mengenai kemampuan guru mengelola pembelajaran dapat dilihat pada tabel berikut ini Tabel 5.3 Kemampuan guru mengelola pembelajaran

Pert. ke No Aspek yang diamati 1 2

Rata-rata

Kate-gori

I Kegiatan Awal Tahap1: Mengorientasikan siswa pada masalah. 1. Membuka pembelajaran . dan berdoa 2. Memotivasikan siswa melalui tanya

jawab tentang materi sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari.

3. Menyampaikan tujuan dan kegiatan pem-belajaran

4. Mengajukan masalah (soal) kepada siswa dan membimbing siswa mengemukakan ide me-nyelesaikan masalah

3 2 3 3

3 3 3 3

3 2,5 3 3

Baik

Syahjuzar, Efektifitas Pelaksanaan Model

205

II Kegiatan Inti Tahap 2: Mengorganisasikan siswa untuk belajar. Membagi siswa menjadi beberapa

kelompok dan meminta siswa menyelesaikan masalah

Tahap 3: Membantu siswa memecakan masalah. 1. Membimbing siswa mengumpulkan

infomasi yang sesuai, menemukan penjelasan, dan memecahan masalah.

2. Memotivasi untuk bekerjasama/diskusi da-lam memecahkan masalah.

3. Membimbing/mengamati siswa dalam me-nyelesaikan masalah.

Tahap 4: mengembangkan dan menyajikan hasil pemecahan masalah. Membimbing siswa menyajikan hasil kerja Tahap 5: menganalis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah 1. Membantu siswa mengkaji ulang hasil

pe-mecahan masalah 2. Membimbing siswa yang belum tuntas

pe-mecahan masalahnya

3 3 2 2 2 3 2

3 3 3 3 3 3 3

3 3 2,5 2,5 2,5 3 2,5

Baik Baik Baik Baik

III Kegiatan Akhir 1. Membimbing siswa membuat kesimpulan 2. Memberikan soal- tugas.

3 3

3 3

3 3

Baik

IV Pengelolaan waktu 2 3 2,5 Baik Suasana Kelas

1. Antusias siswa 2. Antusian guru

2 2

3 3

2,5 2,5

Baik

Berdasarkan tabel 5.3 di atas, kemampuan guru mengelola

pembelajaran berdasarkan masalah memperoleh skor rata-rata setiap aspek yang diamati dalam mengelola pembelajaran dari 2 (dua) kali pertemuan termasuk kategori baik. Dengan demikian guru kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran berdasarkan masalah termasuk kategori baik.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208

206

Respon siswa terhadap pembelajaran Angket respon diisi oleh 34 orang siswa setelah pembelajaran

berlangsung diperoleh hasil berikut ini. 1) Pendapat siswa terhadap komponen mengajar Tabel 5.4.1: Pendapat siswa terhadap komponen mengajar

Respon siswa (%) Aspek yang dinilai Sangat senang

Senang Kurang Senang

Tidak senang

Baru Tidak Baru

1. Materi pelajaran 2. Soal di buku paket 3. Suasana kelas 4. Penampilan guru 5. Cara guru mengajar

5, 88 5, 88 14,70

26,47 23,52

82,35 58,88 58,82 64,70 64,70

8,82 5,88

8,82 8,82 11,76

2,74 5,88 5,88 0,0 0,0

88,46 0,00 47,05 55,29 47,05

11,54 100 55,29 47,05 55,29

Rata-rata 15,29 65,90 8,82 2,90 47,57 52,43

2) Minat siswa mengikuti pembelajaran Tabel 5.4.2 Minat siswa mengikuti pembelajaran

Respon siswa (%)

Aspek yang dinilai Sangat Berminat

Berminat Kurang Berminat

Tidak berminat

Minat siswa mengikuti pembelajaran

26,47 67,64 2,94 2,94

Rata-rata 26,47 67,64 2,94 2,94 3) Tanggapan siswa terhadap keterbacaan soal dalam buku paket Tabel 5.4.3. Komentar siswa terhadap keterbacaan soal

Respon siswa (%)

Aspek yang dinilai Sangat dimengerti

Mengerti Sulit dimengerti

Sangat sulit Dimengerti

Tanggapan siswa terhadap soal –soal di buku paket

38,23 47,05 8,82 5,88

Rata-rata 38,23 47,05 8,82 5,88

Syahjuzar, Efektifitas Pelaksanaan Model

207

Berdasarkan tabel 5.4.1, 5.4.2, dan 5.4.3 di atas, secara umum pendapat siswa dilihat dari hasil angket menunjukkan bahwa rata-rata 81,19 % menyatakan sangat senang dan senang terhadap komponen mengajar yang meliputi terhadap materi pelajaran, soal di buku paket, suasana kelas, penampilan guru, dan cara guru mengajar. Berdasarkan tabel di atas, juga diungkapkan bahwa rata-rata 47,57 % dan 52,43 % siswa menyatakan baru dan tidak baru terhadap komponen mengajar.

Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa 26, 47 % menyatakan sangat berminat dan 67,64 % menyatakan berminat untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar berikutnya. Pendapat terhadap keterbacaan soal-soal dalam buku paket menyatakan bahwa 38,23 % sangat mengerti dan 47,05 mengerti. Secara umum respon siswa terhadap pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah kategori positif. Dengan demikian pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah dapat membangkitkan minat siswa untuk belajar KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut. 1) Pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah untuk

meningkatkan kemampuan memecahkan masalah belum efektif di kelas VIII.4 SMP Negeri 2 Banda Aceh

2) Respon siswa terhadap pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah di kelas VIII.4 termasuk kategori positif.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan, penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut. 1) Model pembelajaran berdasarkan masalah dapat dilaksanakan untuk

materi lain pada pelajaran matematika dan sesuai sengan karakteristik pembelajaran.

2) Model pembelajaran berdasarkan masalah dapat dilaksanakan untuk mata pelajaran yang lain, untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah

3) Bagi dosen, dapat melaksanakan model pembelajaran ini dalam kegiatan perkuliahan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:195-208

208

DAFTAR PUSTAKA Arends, 1997. Clasroom Instruction and Management.McGraw-Hill

Companies. Inc. New York. Arends, 2001.Learning To Teach. McGraw-Companies, Inc. New York. Dahar, R.W, 1988. Teori-teori Belajar. Depdikbud P2LPTK. Jakarta. Dediknas, 2003. Kurikulum 2004. Balitbang Depdiknas. Jakarta. Depdiknas, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Matematika SMP. Balitbang Depdiknas. Jakarta. Hudoyo, H. 1998. Mengajar Belajar Matematika. Depdikbud P2LPTK.

Jakarta Nauli, S. 2002. Pengembangan Perangkap Pembelajaran Model

Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction) Pada Pokok Bahasan Statistik di Kelas II SMU. Makalah Komprehensif. Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana UNESA: Surabaya

Ratumanan, T.G. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Unesa. Universitas

Press. Ratnaningsih, Nani. 2005. Mengembangkan Kemampuan Berpikir

Matematika Siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) melalui Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Proseding Seminar Nasional Matematika. UPI. Bandung

Soedjadi, 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Dikti

Depdiknas. Jakarta

Suhartati, Pembelajaran Konsep Geometri

209

PEMBELAJARAN KONSEP GEOMETRI DENGAN MODEL ADVANCE ORGANIZER

PADA SMP NEGERI 3 BANDA ACEH

oleh Suhartati

Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh

ABSTRAK Geometri merupakan bagian dari matematika yang selama ini mendapat sorotan karena rendahnya prestasi yang diperoleh siswa mulai dari siswa Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Lanjutan. Demikian juga yang terjadi di SMP Negeri 3 Banda Aceh. Oleh karena itu, melalui penelitian ini dicoba menerapkan model pembelajaran advance organizer pada pembelajaran konsep segi empat dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan hal-hal berikut: (1) Aktifitas guru dan siswa dalam pembelajaran yang dilaksanakan dengan model advance organizer, (2) Tanggapan siswa terhadap kegiatan dengan model model advance organizer, (3) Tingkat pencapaian hasil belajar siswa tentang konsep geometri yang diperoleh melalui pembelajaran dengan model advance organizer, dan (4) Ketuntasan belajar siswa pada konsep geometri yang dicapai dengan model. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Penerapan model pembelajaran Advance Organizer melibatkan siswa aktif dalam kegiatan belajar dan guru kreatif dalam kegiatan mengajar, (2) Siswa umumnya merasa senang dan berminat untuk mengikuti pembelajaran berikutnya dengan model pembelajaran Advance Organizer, (3) Melalui penerapan model pembelajaran Advance Organizer, penguasaan materi Segi empat siswa mencapai tingkat sedang, dan (4) Penerapan model pembelajaran Advance Organizer pada materi Segiempat telah mewujudkan tercapainya ketuntasan belajar secara klasikal Kata kunci : Advance organizer, konsep Geometri

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219

210

PENDAHULUAN Upaya untuk memperbaiki mutu pembelajaran matematika di

Indonesia telah lama dilakukan, tetapi keluhan tentang kesulitan belajar matematika masih sering terdengar. Bukanlah rahasia bahwa cara pembalajaran matematika yang dilakukan guru selama ini cenderung hanya melahirkan hafalan dan bukan melatih olah pikir. Pembelajaran berkisar pada chalk and talk teacher centered. Zulhardi (2001:1) menyatakan bahwa umumnya pendekatan pembelajaran matematika di Indonesia masih menggunakan pendekatan mekanistik yang menekankan pada latihan mengerjakan soal dan prosedur sehingga siswa hanya dilatih mengerjakan soal seperti mesin. Soedjadi (2001:1) menambahkan bahwa pembelajaran matematika di sekolah selama ini terbiasa dengan aturan sajian sebagai berikut: (1) Diajarkan teori/definisi/teorema; (2) diberikan contoh-contoh; (3) diberikan latihan soal. Tidak heran jika kemudian pelajaran matematika menjadi sesuatu yang membosankan. Akibat lebih lanjut sudah dapat diprediksikan bahwa kemampuan matematika siswa menjadi rendah.

Menurut Herawati (1994:110) di antara bahan-bahan kajian matematika, geometri merupakan bagian dari matematika yang selama ini mendapat sorotan karena rendahnya prestasi yang diperoleh siswa mulai dari siswa Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Atas. Soedjadi (dalam Sukayati, 2000:2) menyatakan bahwa saat ini terdapat kelemahan penguasaan materi ajar pada siswa di antaranya adalah pada pemahaman geometri. Hasil penelitian Suhartati (2005,72) menunjukkan bahwa 73,5% dari 136 siswa SMA di Banda Aceh tidak dapat membedakan contoh dengan noncontoh konsep segi tiga dan segi empat. Dewi (2005,43) menemukan 56,67% dari 30 siswa SMP di Banda Aceh hanya mempunyai nama konsep dan gagal membedakan contoh dan non contoh segi empat. Collier (dalam Sunardi, 2000:413) menyatakan bahwa geometri merupakan isu abadi dalam pendidikan matematika dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Pada dasarnya geometri di sekolah terdiri dari geometri ruang dan geometri bidang. Karakteristik yang menonjol pada geometri adalah keterkaitan yang kuat antara satu konsep dengan konsep yang lain. Hirarki penyajian materi sangat mempengaruhi proses belajar geometri. Hal ini disebabkan adanya tingkatan-tingkatan konsep pada materi geometri, sehingga dalam belajar geometri materi prasyarat harus dipelajari terlebih dahulu.

Melihat karakteristik dari geometri, maka pembelajaran yang diperlukan adalah pembelajaran yang dapat membantu siswa

Suhartati, Pembelajaran Konsep Geometri

211

mengaitkan konsep yang ada dalam benaknya dengan konsep yang sedang dipelajarinya. Menurut Ausubel, kemampuan mengaitkan pengetahuan yang telah ada dalam benak siswa dengan pengetahuan yang sedang dipelajarinya adalah ciri belajar bermakna (Hudojo, 1990:54). Untuk itu, Ausubel merekomendasikan advance organizer untuk menjembatani pengetahuan yang sedang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa (Orton, 1991:156, Nur, 2000:13). Advance organizer adalah materi pengantar yang disampaikan di awal pembelajaran yang bertujuan untuk memperjelas, mengintegrasikan, dan mengaitkan materi baru dengan materi yang telah dipelajari (Ausubel, 1963:27). Dengan berpijak pada ide Ausubel ini, Joice dan Weil (Joyce, B. & Weil, M, 1980:75-93) berhasil mengembangkan model pembelajaran advance organizer yaitu model pembelajaran yang diawali dengan penyajian materi pengantar yang akan mengatur pengetahuan yang telah dimiliki siswa yang relevan dengan materi baru, sehingga siswa dapat mengaitkan pengetahuan yang ada dalam benaknya dengan pengetahuan yang sedang dipelajarinya, serta mempersiapkan struktur untuk pengetahuan berikutnya.

Adapun model pembelajaran advance organizer yang dikembangkan oleh Joice dan Weil adalah sebagai berikut: Fase Pertama: Penyajian Advance Organizer 1. Menentukan tujuan pembelajaran 2. Penyajian advance organizer

• Identifikasi batasan materi yang akan dibahas • Mempersiapkan konteks dengan mengulangi konsep-konsep,

prinsip-prinsip, dan aturan-aturan yang telah dipelajari • Memberi contoh-contoh materi yang lalu

3. Mendorong kesadaran pelajar akan pengetahuan yang relevan, sehingga siap menerima materi baru

Fase Kedua: Penyajian Materi Belajar 1. Menarik perhatian pelajar 2. Mengorganisasi materi belajar 3. Menyusun urutan logis materi belajar 4. Menyajikan materi belajar secara jelas Fase Ketiga: Memperkuat Struktur Kognitif 1. Memanfaatkan prinsip-prinsip rekonsiliasi integratif 2. Mengintensifkan pembelajaran dengan melibatkan siswa aktif

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219

212

3. Meningkatkan pendekatan kritis terhadap pengetahuan yang dipelajari (umpan balik)

4. Membuat rangkuman Mengingat pentingnya perbaikan kualitas pembelajaran geometri maka penulis ingin mengadakan suatu penelitian yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Advance Organizer dalam Upaya Membantu Siswa SMP Memahami Konsep Geometri”. Adapun tahapan pembelajaran yang dilaksanakan mengadaptasi model advance organizer yang dikembangkan joice dan Weil sebagai berikut: Fase Pertama : Penyajian Advance Organizer 1. Guru menjelaskan tujuan mempelajari topik segi empat 2. Penyajian advance organizer, yaitu dengan memberikan peta konsep

dari konsep-konsep yang sudah dipelajari dan menjadi prasyarat untuk konsep-konsep yang akan dipelajari

3. Mendorong siswa agar konsep-konsep ini terorganisasi dengan baik dalam benak siswa dengan mendiskusikan pesan yang disampaikan melalui peta konsep.

Fase Kedua : Penyajian Materi Belajar 1. Materi disampaikan secara terstruktur dan logis melalui Lembar

Kerja Siswa (LKS). 2. Siswa Bekerja dalam kelompok kooperatif sesuai dengan petunjuk

LKS dan menggunakan alat peraga sehingga materi yang dipelajari menjadi sesuatu yang logis dalam pikirannya.

Fase Ketiga : Memperkuat Struktur Kognitif 1. Meminta siswa secara berkelompok menyelesaikan masalah

matematika yang melibatkan konsep-konsep yang dipelajari, guru mengarahkan agar tidak diperoleh selesaian yang salah

2. Membuat suatu rangkuman mengenai keterkaitan konsep-konsep yang sedang dipelajari dengan konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dalam bentuk peta konsep.

Beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana aktifitas guru dan siswa dalam pembelajaran yang dilaksanakan dengan model advance organizer, (2) Bagaimana tanggapan siswa terhadap kegiatan dengan model model advance organizer, (3) Bagaimana tingkat pencapaian hasil belajar siswa tentang konsep geometri yang diperoleh melalui pembelajaran dengan model advance organizer, dan (4) Apakah pembelajaran konsep

Suhartati, Pembelajaran Konsep Geometri

213

geometri dengan model advance organizer dapat mewujudkan ketuntasan belajar?

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan jawaban atas pertanyaan penelitian tersebut. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk: (1) dijadikan informasi bagi lembaga pendidikan dan pihak yang terkait terutama guru matematika dalam menentukan strategi dan model pembelajaran matematika khususnya pada materi konsep geometri, (2) menjadi acuan dalam pengembangan sarana penunjang proses belajar matematika pada materi pokok yang lain dan (3) masukan bagi guru dalam upaya peningkatan penalaran dan kegiatan berpikir siswa yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas I SMP Negeri 3 Banda Aceh. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII-3 yang dipilih berdasarkan pertimbangan guru matematika yang mengajar di kelas yang dimaksud. Ada tiga jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu: (1) Aktifitas guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran, diperoleh melalui pengamatan selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan Lembar Observasi; (2) Respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang diperoleh melalui Angket Respon Siswa terhadap Kegiatan Pembelajaran; (3) Hasil belajar siswa setelah kegiatan pembelajaran, diperoleh melalui tes setelah kegiatan pembelajaran berlangsung.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian dilakukan analisis data sebagai berikut: (1) data hasil observasi dianalisis untuk mendeskripsikan kegiatan guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung, (2) data hasil angket dianalisis dengan mencari persentase jawaban siswa untuk setiap butir yang ditanyakan dalam angket, dan (3) tingkat penguasaan siswa ditentukan dengan menggunakan kriteria rata-rata tingkat penguasaan siswa yang dikemukakan oleh Suherman (1993:125) yaitu tingkat penguasaan 90% - 100% (sangat tinggi), 80% - 89% (tinggi), 65% - 79% (sedang), 55% - 64% (rendah), dan 0%-55% (sangat rendah), (4) untuk criteria ketuntasan belajar yaitu seorang siswa dikatakan telah tuntas belajar apabila telah memiliki daya serap 65% ke atas, dan ketuntasan klasikal tercapai jika paling sedikit 85% siswa di kelas tersebut telah tuntas belajar.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219

214

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Aktivitas guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran

Hasil observasi terhadap aktivitas guru dan siswa terdapat pada tabel berikut. Tabel 1. Aktivitas Guru Selama Kegiatan Pembelajaran No.

Kategori Pengamatan Rata-rata Persentase Aktivitas

dalam Pembelajaran (%) 1 menampilkan advance organizer

(materi prasyarat dalam bentuk peta konsep)

9,55

2 menjelaskan materi dengan ceramah secara terstruktur

10,12

3 menjelaskan materi dengan alat peraga

11,28

4 memberi petunjuk/membimbing kegiatan siswa dalam kelompok

28,08

5 Memberi kesempatan siswa menyampaikan pertanyaan atau pendapat

12,52

6 memotivasi siswa 10,09 7 Mambimbing siswa merangkum/

membahas hasil kerja kelompok 18,36

8 perilaku yang tidak relevan dengan KBM.

0

Tabel 2. Aktivitas Siswa Selama Kegiatan Pembelajaran No.

Kategori Pengamatan Rata-rata Persentase Aktivitas

dalam Pembelajaran (%) 1 mendengarkan/memperhatikan

penjelasan guru/teman 10,25

2 membaca (buku siswa dan LKS) 7,78 3 menulis (yang relevan dengan

kegiatan pembelajaran) 8,26

4 bekerja (berdiskusi antar siswa dalam kelompok) dengan menggunakan alat dan LKS

29,24

Suhartati, Pembelajaran Konsep Geometri

215

5 mengkomunikasikan hasil kelompok 12,29 6 berdiskusi (bertanya/menyampaikan

pendapat) antar siswa dan guru 16,35

7 merangkum hasil belajar 14,18 8 perilaku yang tidak relevan dengan

KBM 1,65

Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa aktivitas siswa selama

pembelajaran berlangsung menunjukkan siswa terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran, terutama pada kategori bekerja dengan menggunakan alat dan LKS, diskusi antara sesama siswa atau guru, dan mengomunikasikan hasil kerja kelompok (fase penguatan struktur kognitif). Keaktifan siswa pada fase penguatan struktur kognitif adalah gambaran keberhasilan guru dalam mengintensifkan pembelajaran yang melibatkan siswa aktif. Sedangkan aktivitas guru terutama berlangsung pada kategori memberi petunjuk/membimbing kegiatan siswa dalam kelompok (tabel 2). Penggunaan peta konsep pada fase Penyajian Advance Organizer dan fase penguatan struktur kognitif, serta penyajian materi menggunakan alat peraga menunjukkan kreativitas guru dalam mengajar untuk menciptakan materi yang logis pada benak siswa. Di samping itu penggunaan LKS dalam kegiatan pembelajaran merupakan wujud penyajian materi yang tersruktur dengan baik. Indikator-indikator yang muncul tersebut sesuai dengan ide dasar model pembelajaran Advance Organizer yang dikembangkan oleh Joyce and Weil (1980:84-88). 2. Tanggapan Siswa terhadap Kegiatan Pembelajaran Tabel 3. Respon Mahasiswa terhadap Kegiatan Pembelajaran

No Aspek yang Dinilai Respon Siswa (%) 1. Pendapat siswa terhadap komponen

kegiatan pembelajaranmu mengenai:

1. Materi Pelajaran 2. LKS (aktivitas) 3. Cara Belajar 4. Cara Guru Mengajar

Senang

96,55 89,66 100,00 96,55

Baru

86,21 93,10 100,00 100,00

Rata-rata (%) 95,69 94,83

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219

216

2.

Siswa yang berminat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran berikutnya seperti yang telah diikuti pada saat penelitian

96,55

Tabel di atas menunjukkan bahwa 95,69 % siswa menyatakan senang terhadap setiap komponen pembelajaran. Terungkap pula bahwa 94,83% siswa menyatakan komponen kegiatan pembelajaran ini adalah baru. Berdasarkan wawancara singkat dengan beberapa subjek penelitian diperoleh keterangan bahwa penggunaan peta konsep, alat peraga dan LKS yang menjadi dasar bagi siswa dalam memberikan tanggapan. Siswa merasa mereka lebih mudah mengorganisasi konsep yang telah dipelajari, dan memahami hubungan antar konsep tersebut. Selain komentar senang dan baru, diperoleh data bahwa 96,55% siswa menyatakan berminat untuk mengikuti pembelajaran berikutnya seperti yang telah diikuti sekarang. 3. Hasil Tes Akhir setelah Kegiatan Pembelajaran

Indikator yang digunakan untuk menilai hasil belajar siswa setelah penerapan model pembelajaran Advance Organizer adalah hasil tes akhir. Adapun hasil tes akhir yang diperoleh siswa dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.4. Hasil Belajar Siswa melalui Penerapan Model Pembelajaran

Advance Organizer

Siswa Nilai Ketuntasan

Siswa Nilai Ketuntasan

Siswa 1 77 Tuntas Siswa 16 72 Tuntas Siswa 2 82 Tuntas Siswa 17 80 Tuntas Siswa 3 80 Tuntas Siswa 18 76 Tuntas Siswa 4 68 Tuntas Siswa 19 84 Tuntas Siswa 5 75 Tuntas Siswa 20 82 Tuntas Siswa 6 90 Tuntas Siswa 21 50 Belum Siswa 7 46 Belum Siswa 22 65 Tuntas Siswa 8 80 Tuntas Siswa 23 68 Tuntas Siswa 9 75 Tuntas Siswa 24 66 Tuntas Siswa 10

68 Tuntas Siswa 25 58 Belum

Suhartati, Pembelajaran Konsep Geometri

217

Siswa 11

66 Tuntas Siswa 26 70 Tuntas

Siswa 12

60 Belum Siswa 27 74 Tuntas

Siswa 13

70 Tuntas Siswa 28 80 Tuntas

Siswa 14

87 Tuntas Siswa 29 68 Tuntas

Siswa 15

85 Tuntas

Rata-rata 72,48

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai terendah yang diperoleh siswa melalui penerapan model pembelajaran advance organizer pada materi segi empat adalah 46, dan nilai tertinggi adalah 90. Sedangkan nilai rata-rata adalah 72,48. Dengan demikian maka penguasaan materi oleh siswa berada pada tingkat sedang. Di samping itu terlihat bahwa 25 siswa (86,21%) dari 29 siswa memperoleh nilai tidak kurang dari 65. Oleh karena itu kriteria ketercapaian tingkat ketuntasan belajar secara klasikal juga tercapai.

Di samping hasil yang sudah dijelaskan di atas, ditemukan data bahwa di akhir kegiatan pembelajaran siswa belum mampu menyusun peta konsep di akhir kegiatan pembelajaran jika proses tersebut dilakukan tanpa memberikan istilah-istilah yang harus di susun dalam peta konsep yang sudah dibuat oleh guru. Siswa mampu menyusun peta konsep dengan cara diberikan peta konsep ”buta”, dan nama-nama konsep yang harus dimasukkan ke dalam jaringan peta konsep ”buta” tersebut. Peta konsep buta adalah peta konsep yang belum dilengkapi dengan konsep-konsep yang tersusun di dalamnya. Jadi prinsip kerja yang dilakukan siswa adalah menyusun konsep-konsep yang diberikan ke dalam peta konsep tersebut.

PENUTUP 1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Penerapan model pembelajaran Advance Organizer melibatkan

siswa aktif dalam kegiatan belajar dan guru kreatif dalam kegiatan mengajar.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 209-219

218

2. Siswa umumnya merasa senang dan berminat untuk mengikuti pembelajaran berikutnya dengan model pembelajaran Advance Organizer.

3. Melalui penerapan model pembelajaran Advance Organizer, penguasaan materi segi empat siswa mencapai tingkat sedang.

4. Penerapan model pembelajaran Advance Organizer pada materi Segiempat telah mewujudkan tercapainya ketuntasan belajar secara klasikal.

2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat

diajukan adalah sebagai berikut: 1. Bagi guru matematika disarankan untuk menggunakan model

pembelajaran ini dalam pembelajaran konsep segi empat, atau bila memungkinkan pada pembelajaran konsep geometri yang lain.

2. Bagi peneliti lain yang berminat, dapat mencoba model pembelajaran ini pada materi geometri yang lain, atau bila memungkinkan pada materi matematika secara umum.

Suhartati, Pembelajaran Konsep Geometri

219

DAFTAR RUJUKAN

Ausubel, D. P. 1963. The Psychology of Meaningfull Verbal Learning. New York: Grune & Stratton Inc

Dewi, S. 2005. Konsepsi siswa SMP Negeri 18 Banda Aceh tentang

Segiempat, Skripsi tidak diterbitkan. Manda Aceh: FKIP Unsyiah.

Herawati, S. 1994. Penelusuran Kemampuan Siswa SD dalam

Memahami Bangun-bangun Geometri. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS IKIP Malang.

Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud. Joyce, B. & Weil, M. 1980. Models of Teaching. Englewood, New

Jersey: Prentice-Hall Inc.

Orton, A. 1991. Learning Mathematics: Issues, Theory and Classroom Practice. (2nd Ed). London: Cassel.

Soedjadi, R. 2001. Pemanfaatan Realita dan Lingkungan dalam

Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Realistik Mathematics Education (RME), FMIPA UNESA Surabaya, 24 Januari.

Suhartati. 2006. Konsepsi Siswa Kelas I SMU Di Banda Aceh Tentang Bangun-Bangun Geometri. Mon Mata Jurnal llmu-ilmu Sosial Bidang Pendidikan. Volume 8 No1. 16-26.

Zulhardi. 2001. Realistic Mathematics Education (RME), Teori Contoh

Pembelajaran dan Teman Belajar di Internet. Makalah disajikan dalam Seminar Realistic Mathematics Education, UPI Bandung, 4 April.

Budiman, Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

220

KOMPETENSI PROFESIONAL GURU MATEMATIKA SMP SE-KOTA BANDA ACEH

oleh

Budiman Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompetensi profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi dan mereka yang belum lulus sertifikasi. Kompetensi profesional yang diteliti mencakup tiga aspek, yaitu kompetensi merancang RPP, kompetensi melaksanakan pembelajaran matematika, dan kompetensi merancang LKS. Populasi penelitian adalah guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh, dengan syarat SMP yang diambil adalah ada guru yang lulus sertifikasi, dan diambil 15 SMP, dan setiap SMP diambil dua orang guru, masing-masing 15 orang yang sudah lulus sertifikasi, dan 15 orang yang belum lulus sertifikasi. Data dikumpulkan dengan tiga macam instrumen, yaitu: instrumen kompetensi membuat perencanaan pembelajaran (RPP), instrumen kompetensi melaksanakan pembelajaran, dan instrumen kompetensi membuat LKS, semuanya dengan rentangan nilai 1 – 5. Data yang diperoleh diolah dengan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Data tersebut menunjukkan bahwa semua indikator yang dinilai umumnya pada skor 3 (cukup) dan 4 (baik). Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa (1) Kompetensi guru matematika yang sudah lulus sertifikasi dalam aspek membuat RPP, melaksanakan pembelajaran, dan membuat LKS semuanya berada pada tingkat baik dengan rata-rata masing-masing 3,6; 3,6 dan 3,5; (2) Kompetensi guru matematika yang belum lulus sertifikasi dalam aspek membuat RPP, dan melaksanakan pembelajaran, berada pada tingkat baik dengan rata-rata masing-masing 3,6 dan 3,5, sementara kompetensi mereka dalam membuat LKS berada pada tingkat kurang baik dengan rata-rata 3,4; (3) Secara keseluruhan, kompetensi profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi maupun yang belum lulus sertifikasi berada pada tingkat baik, dengan rata-rata skor masing-masing 3,6 dan 3,5; dan (4) Tidak ada perbedaan kompetensi profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi dengan mereka yang belum lulus sertifikasi Kata kunci: kompetensi, profesional, guru, sertifikasi, RPP, LKS

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

221

PENDAHULUAN Salah satu tugas utama guru sebelum melaksanakan pembelajaran di dalam kelas adalah membuat perangkat pembelajaran. Guru mempersiapkan secara rinci segala sesuatu yang akan dimanfaatkan dalam pembelajaran. Guru menyusun skenario pembelajaran yang dituangkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Skenario yang dirancang tersebut memberi petunjuk pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan siswa, memberikan kesempatan kepada siswa untuk kreatif, dan mampu mengembangkan kemampuan berpikirnya, baik kemampuan berpikir tingkat rendah maupun kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Kemampuan berpikir tingkat rendah antara lain: (1) Memberikan contoh dan non-contoh, dan (2) Melakukan, seperti menggunting, memotong, menjiplak, membalik, membuat bangun-bangun geometri, melakukan perhitungan sederhana atau secara algoritmik. Kemampuan berpikir tingkat tinggi antara lain mencakup: (1) Menghubungkan benda nyata, gambar ke dalam idea matematika, (2) Menjelaskan idea matematika secara lisan atau tulisan, (3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematis, (3) Menggunakan pola atau hubungan untuk menarik analogi dan generalisasi, dan (4) Menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah. Dalam skenario pembelajaran, juga harus jelas tercantum bahwa siswa diarahkan untuk aktif melakukan berbagai kegiatan fisik dan mental untuk mencapai tujuan pembelajaran, sebagaimana disarankan oleh Charles C. Bonwell yang dikutip oleh Depdiknas (2006:39) “Students must do more than just listen, they must read, write, discuss, or be engaged in solving problem. Most important, to be actively involved, students must engage in such higher-order thinking task analysis, synthesis, and evaluation.” Dengan demikian, dalam skenario pembelajaran, akan tercermin kegiatan guru-siswa yang bersifat PAKEM (pembelajaran, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan). Perlunya kegiatan pembelajaran yang bersifat PAKEM, menurut Johar (2007: 11-12) antara lain karena tuntutan hal-hal berikut: (1) Asumsi dasar belajar, yang mencakup (a) Belajar merupakan proses individual, yaitu walaupuin belajar dilaksanakan secara kooperatif dalam satu ruang atau satu kelompok, tetapi yang diperoleh dari hasil belajarnya tidak sama, (b) Belajar adalah membangun makna, hasil belajar seseorang sangat bergantung pada cara orang tersebut memaknai apa yang dihadapinya saat itu, (c) Belajar adalah proses sosial, yang menjelaskan bahwa belajar secara kelompok dapat mendorong

Budiman, Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

222

seseorang mencapai potensi idealnya lebih cepat daripada yang diperolehnya kalau belajar sendiri, (d) Belajar merupakan kegiatan menyenangkan, yakni belajar akan terjadi kalau suasananya menyenangkan, (e) Belajar tidak pernah berhenti, yakni belajar terjadi sepanjang hayat, mulai dari ayunan sampai menjelang masuk liang lahat; (2) Perubahan paradigma, yang menghendaki perubahan dari (a) Teaching � Learning, yakni guru bukanlah orang yang paling tahu, tetapi guru harus menempatkan dirinya sebagai fasilitator, penyedia pengalaman belajar kepada siswanya, (b) Judgement � Continous improvement, yang mengasumsikan bahwa asesmen yang dilakukan guru bukan semata-mata sebagai laporan kemajuan belajar siswanya, tetapi termasuk untuk kemajuan pengembangan belajar siswa secara berkelanjutan. Undang-Undang RI Nomer 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI Nomer 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomer 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, mengharuskan guru memiliki tiga hal, yaitu: (1) Memiliki kualifikasi akademik minimum S1/D4, (2) Memiliki kompetensi, dan (2) Memiliki sertifikat pendidik (lulus sertifikasi dalam jabatan melalui jalur Portofolio atau PLPG, maupun sertifikasi prajabatan melalui jalur PPG 1 tahun). Beberapa kompetensi yang dituntut agar dimiliki oleh guru antara lain (1) Kompetensi dalam bidang studi yang akan diajarkan, (2) Kompetensi profesional, (3) Kompetensi pedagogi, (4) Kompetensi kepribadian, dan (5) Kompetensi sosial. Berkaitan dengan undang-undang tersebut, Menteri Pendidikan Nasional menetapkan Peraturan Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan melalui penilaian portofolio, dan Peraturan Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan. Dalam Permendiknas tersebut, kompetensi guru yang akan dinilai tidak termasuk kompetensi dalam bidang studi yang akan diajarkan, tetapi hanya dinilai empat macam dan penilaiannya dilakukan melalui portofolio (Depdiknas, 2008: 2 – 3), yaitu (1) Kompetensi Pedagogik, (2) Kompetensi Kepribadian, (3) Kompetensi Sosial, dan (4) Kompetensi Profesional. Menurut Usman (2003), dalam kompetensi profesional mencakup antara lain (1) Penguasaan landasan kependidikan, (2) Kemampuan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), (3) Kemampuan melaksanakan program pengajaran, dan (4) Kemampuan menilai proses dan hasil mengajar yang dilaksanakan. Di samping itu, TIMNAS KTSP (2009:42-43) menyebutkan bahwa kedalam kompetensi

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

223

profesional mencakup (1) Merancang pembelajaran, (2) Melaksanakan pembelajaran, dan (3) Mengevaluasi hasil belajar. Salah satu komponen dari kompetensi profesional, yaitu komponen kompetensi melaksanakan pembelajaran, penilaiannya diserahkan kepada pengawas dan/atau kepala sekolah. Pengalaman penulis selama menjadi asesor, kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran yang dinilai oleh kepala sekolah dan/atau pengawas pada umumnya “baik” atau “sangat baik”. Agaknya hal tersebut kontradiksi dengan hasil tes yang dilaksanakan oleh Unsyiah pada tahun 2004 yang menunjukkan bahwa rata-rata nilai matematika guru SLTP Nanggroe Aceh Darussalam adalah 42,44, dan khusus untuk Kota Banda Aceh, rata-rata nilai matematikanya adalah 57,35 (Dokumen Dinas Pendidikan NAD).

Sebelum melaksanakan pembelajaran, guru terlebih dahulu mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari (1) Program Tahunan, (2) Program Semester, (3) Silabus, (4) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), (5) Lembar Kerja Siswa (LKS), dan (6) Alat peraga/media pembelajaran.

Silabus merupakan penjabaran kompetensi dan tujuan kedalam rincian kegiatan dan strategi pembelajaran, kegiatan dan strategi penilaian, dan alokasi waktu per mata pelajaran per satuan pendidikan dan per kelas (Siswono dkk., 2004:5). Definisi yang hampir sama dikemukan oleh Team Fasilitator DBE 2 (2009:1), yang menyebutkan bahwa silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Berdasarkan definisi ini, maka silabus yang dikembangkan harus mampu menjawab pertanyaan (1) Kompetensi apa yang harus dikuasai siswa? (2) Bagaimana cara mencapainya? (3) Bagaimana cara mengetahui pencapaiannya? Di samping itu, perlu juga diperhatikan bahwa silabus yang dikembangkan harus memenuhi prinsip (1) Ilmiah, (2) Relevan, (3) Sistematis, (4) Konsisten, (5) Memadai, (6) Aktual dan Kontekstual, (7) Fleksibel, dan (8) Menyeluruh.

Mekanisme pengembangan silabus dilakukan seperti skema berikut :

Budiman, Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

224

Sosialisasi KTSP

MEKANISME PENGEMBANGAN SILABUSMEKANISME PENGEMBANGAN SILABUS

AnalisisSI/SKL/SK-KD

KD-Indikator

Materi Pokok/Pembelajaran

KegiatanPembelajaran

Sumber BelajarPenilaian

Alokasi Waktu

Sumber : TIMNAS KTSP (2009)

Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) merupakan pegangan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran baik di kelas, laboratorium, dan/atau lapangan untuk setiap Kompetensi Dasar. Dengan demikian, apa saja yang tertuang di dalam RPP memuat hal-hal yang langsung berkait dengan aktivitas pembelajaran dalam upaya pencapaian penguasaan suatu Kompetensi Dasar. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun guru harus mencantumkan Standar Kompetensi yang memayungi Kompetensi Dasar yang akan disusun dalam RPP-nya. Secara rinci, menurut BNSP (2007: 8-11) RPP berisi komponen berikut (1) Identitas mata pelajaran, yang meliputi satuan pendidikan, kelas, semester, program/program keahlian, mata pelajaran atau tema, dan jumlah pertemuan, (2) Standar kompetensi, yang berisi kualifikasi standar kemampuan minimal siswa

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

225

yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester suatu mata pelajaran, (3) Kompetensi dasar, yaitu sejumlah kemampuan yang harus dikuasai siswa dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan pengembangan indikator, (4) Indikator pencapaian kompetensi, yang merupakan perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap, dan harus dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional, (5) Tujuan pembelajaran, yang menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa sesuai dengan kompetensi dasar, (6) Materi ajar, yang berisi fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi, (7) Alokasi waktu, yang menjelaskan berapa jam pelajaran dibutuhkan untuk pencapaian KD dan beban belajar, (8) Metode/model/strategi/ pendekatan pembelajaran, dimana penggunaannya dimaksudkan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang efektif dan menyenangkan agar siswa dapat mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan, (9) Langkah-langkah kegiatan (skenario) pembelajaran, (10) Penilaian hasil belajar, dan (11) Sumber belajar, yang pemilihannya didasarkan pada SK, KD, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran dan indikator.

Pada skenario pembelajaran berisi tiga kegiatan yang sinabung, yaitu (1) Prapembelajaran, merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, (2) Kegiatan inti, merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik, dan (3) Penutup, merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut.

Kegiatan inti dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Dalam ekplorasi, kegiatan guru adalah (1) Melibatkan siswa mencari informasi yang mendalam dan luas tentang topik/tema materi yang akan dipelajari melalui

Budiman, Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

226

bermacam sumber, (2) Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain, (3) Memfasilitasi terjadinya interaksi antar siswa serta antara siswa dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya, (4) Melibatkan siswa secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran, (5) Memfasilitasi siswa melakukan percobaan di laboratorium, studio atau lapangan, (6) Memfasilitasi siswa membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individu mapun kelompok, (7) Memfasilitasi siswa untuk menyajikan hasil kerja individual atau kelompok, (8) Memfasilitasi siswa melakukan pameran, turnamen, dan festival dari produk yang dihasilkan, (9) Memfasilitasi siswa melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri.

Elaborasi adalah serangkaian kegiatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri melalui berbagai kegiatan dan karya yang bermakna. Pada tahap konfirmasi, kegiatan guru adalah (1) Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan siswa, (2) Mengkonfirmasikan hasil eksplorasi dan elaborasi siswa melalui berbagai sumber; (3) Memfasilitasi siswa melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan, (3) Memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar. Selanjutnya, BNSP (2007:11-12) mengemukakan enam prinsip penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yaitu (1) Memperhatikan perbedaan individu siswa, dimana Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) disusun dengan memperhatikan kemampuan awal, tingkat kecerdasan, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, budaya, norma, nilai, lingkungan siswa, dan gender, (2) Mendorong partisipasi aktif siswa, yaitu proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada pembelajaran siswa untuk mendorong motivasi, minat, kreatifitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar, (3) Mengembangkan budaya membaca dan menulis, yaitu proses pembelajaran yang dirancang dapat mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk karya tulis, (4) Memberikan umpan balik dan tindak lanjut, yaitu dalam RPP terdapat rancangan untuk memberikan umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedial, (5) Keterkaitan dan keterpaduan, yaitu adanya keterkaitan dan keterpaduan antara SK, KD, materi pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian dan sumber belajar dalam satu keutuhan

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

227

pengalaman belajar. RPP juga mengakomodasikan keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, lintas keragaman budaya, dan untuk kelas awal SD/MI, juga mengakomodasikan pembelajaran tematik, dan (6) RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara sistematis, terintegrasi dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.

Di samping sumber belajar, guru juga mempersiapkan bahan ajar, yaitu bahan atau materi pembelajaran yang disusun secara sistematis yang digunakan guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Bahan ajar terdiri dari (1) Information sheet, (2) Operation sheet, (3) Jobsheet, (4) Worksheet, dan (5) Handout Lembar Kerja Siswa (worksheet) merupakan lembaran panduan yang digunakan oleh siswa baik secara individual maupun kelompok untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. LKS disiapkan agar siswa dapat mengerjakan tugasnya secara terarah tanpa supervisi langsung dari guru (DBE 2, 2009:3). Langkah-langkah penulisan LKS menurut TIMNAS KTSP (2009:26) adalah (1) Melakukan analisis kurikulum mencakup SK, KD, indikator dan materi pembelajaran, (2) Menyusun peta kebutuhan LKS, (3) Menentukan judul LKS, (4) Menulis LKS, dan (5) Menentukan alat penilaian. Lebih lanjut disebutkan bahwa struktur LKS secara umum memuat (1) Judul, mata pelajaran, semester, tempat, (2) Petunjuk belajar, (3) Kompetensi yang akan dicapai, (4) Indikator, (5) Informasi pendukung, (6) Tugas-tugas dan langkah-langkah kerja, dan (7) Penilaian. Menurut SEAMEO SEAMOLEC (2007:1), Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dibuat guru diharapkan mengandung enam komponen, yaitu (1) Tujuan, yang mendiskripsikan kompetensi yang harus dicapai siswa setelah mengerjakan tugas yang diberikan, (2) Materi/sumber, meliputi bahan-bahan yang diperlukan waktu mengerjakan tugas, misalnya koran, artikel, buku matematika, objek tertentu, lembar respon siswa, film, dan lain-lain, (3) Waktu, yaitu lamanya waktu yang disediakan untuk menyelesaikan tugas serta kapan tugas tersebut harus dikerjakan, (4) Cara kerja, yang menggambarkan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan, (5) Hasil yang diharapkan, mendiskripsikan hasil belajar yang harus ditunjukkan oleh siswa sebagai bukti bahwa siswa telah menyelesaikan tugas dan menguasai kompetensi yang diharapkan, misalnya laporan kelompok sebagai hasil penyelesaian suatu masalah matematika, gambar-gambar bangun ruang, atau membuat jaring-jaring bangun ruang, dan (6) Tindak lanjut, yaitu dalam LKS harus dicantumkan tindak lanjut dari hasil

Budiman, Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

228

tersebut, misalnya dipresentasikan di depan kelas, dikumpulkan untuk dinilai oleh guru, ditukar dengan siswa atau kelompok lain, atau dipajang di dinding kelas. Berdasarkan RPP yang telah disusun dan perangkat pembelajarannya, guru melaksanakan pembelajaran dengan mengimplementasikan strategi dan model pembelajaran aktif, mendiagnostik kesulitan belajar, serta melaksanakan program remedial (Entang, 1995; Reys, 1998). Salah satu strategi pembelajaran yang dianjurkan untuk diimplementasikan di SLTP dan SLTA adalah strategi pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Menurut Nurhadi (2002:5), pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Definisi di atas lebih menekankan pada peranan CTL sebagai filosofi pendidikan, yang mengasumsikan bahwa peranan pendidik adalah membantu siswa menemukan makna dalam pendidikan dengan cara membuat hubungan dengan apa yang mereka pelajari di sekolah dan cara-cara menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari (Lambas dkk., dalam MTK 23, 2004: 18-19). Peranan kedua dari CTL adalah sebagai rangkaian kesatuan dari strategi pendidikan, yaitu strategi pengajaran dengan CTL memadukan teknik-teknik yang membantu siswa menjadi lebih aktif sebagai pebelajar dan reflektif terhadap pengalamannya. Blanchard (2001) sebagaimana dikutip Lambas dkk. (Lambas dkk, dalam MTK 23, 2004: 19) memandang pembelajaran kontekstual sebagai suatu konsepsi yang membantu guru menghubungkan isi materi pelajaran dengan situasi dunia nyata yang berguna untuk memotivasi siswa dalam membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dengan kehidupannya sebagai anggota keluarga, masyarakat dan lingkungan kerja. Menurut Nurhadi (2002: 10-19), CTL memiliki tujuh komponen, yaitu (1) konstruktivis (constructivism), (2) penyelidikan (inquiry), (3) bertanya (questioning), (4) komunitas belajar (learning community), (5) pemodelan (modelling), (6) refleksi (reflection), dan (7) penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Cara penerapannya di ruang kelas, menurut Nurhadi (2002: 10) adalah (1) Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

229

keterampilan barunya (Students learn best by actively constructing their own understanding), sebagaimana dikutip dari CTL Academy Fellow (1999), (2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik, (3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya, (4) Ciptakan komunitas belajar (belajar dalam kelompok), (5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran, (6) Lakukan refleksi diakhir pertemuan, (7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. Komponen konstruktivis merupakan landasan filosofi pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Komponen ini memiliki lima elemen, dan penerapannya dalam pembelajaran menurut Nurhadi dkk., (2003: 39-40) muncul dalam lima langkah, yaitu (1) Pengaktifan pengetahun yang sudah ada (activating knowledge), karena pengetahuan awal yang dimiliki siswa akan menjadi dasar sentuhan untuk mempelajari informasi baru, (2) Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) yang dilakukan secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detilnya, (3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) melalui penyelidikan dan pengujian semua hal yang memungkinkan dari pengetahuan baru itu melalui tahap-tahap (a) Menyusun konsep sementara (hipotesis), (b) Melakukan sharing kepada temannya agar mendapat tanggapan (validasi), dan (c) Revisi, berdasarkan validasi tersebut, dan kemudian dikembangkan; (4) Penerapan pengetahuan (applying knowledge), yaitu memperluas dan memperhalus pengetahuannya dengan cara menerapkannya secara otentik melalui pemecahan masalah (problem solving), dan (5) Melakukan refleksi (reflecting on knowledge), yatu cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan. Johnson (2006: 65-66) menyebutkan bahwa sisten CTL memiliki delapan komponen yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan menghasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secara terpisah. Kedelapan komponen tersebut adalah (1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna (making meaningful connections), (2) Melakukan pekerjaan yang berarti (doing significant work), (3) Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri (self-regulated learning), (4) Bekerja sama (collaborating), (5) Berfiikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), (6) Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang (nurturing the individual), (7)

Budiman, Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

230

Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards), dan (8) Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment). Center of Occupational Research and Development (CORD) yang dikutip oleh Nurhadi dan kawan-kawannya (2003: 23) mengatakan bahwa ada lima strategi bagi pendidik dalam rangka menerapkan pembelajaran kontekstual dalam kelas yang disingkat dengan REACT, yaitu (1) Relating, yakni belajar dikaitkan dengan konteks pemanfaatan pengalaman kehidupan nyata, (2) Experiencing, yaitu belajar ditekankan pada penggalian (eksplorasi), penemuan (discovery), dan penciptaan (invention), (3) Applying, yaitu seseorang dikatakan belajar bila pengetahuan tersebut dipresentasikan dalam konteks pemanfaatannya, (4) Cooperating, yaitu belajar dalam konteks komunikasi interpersonal, pemanfaatan bersama dan sebagainya, dan (5) Transfering, yaitu belajar melalui pemanfaatan pengetahuan di dalam situasi atau konteks baru. Model pembelajaran merupakan suatu konsepsi untuk mengajar suatu topik pelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam model pembelajaran mencakup strategi, pendekatan, metode dan teknik pembelajaran (Lambas dkk, dalam MTK 26, 2004: 3-4). Pada setiap model pembelajaran terdapat struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur penghargaan (reward). Struktur tugas mengacu pada (1) cara pembelajaran itu diorganisasikan, dan (2) jenis kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam kelas. Struktur tujuan adalah jumlah saling ketergantungan yang dibutuhkan siswa ketika mereka mengerjakan tugas (Ibrahim dkk., 2000: 2-3). Pada model pembelajaran terdapat empat ciri yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode pembelajaran, yaitu (1) rasional teoritik yang logis yang disusun oleh penciptanya, (2) tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara optimal, dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat dicapai (Lambas dkk., dalam MTK 26, 2004: 4). Di samping itu, pada model pembelajaran juga terdapat syntax (pola urutan), yaitu pola yang menggambarkan urutan alur tahap-tahap keseluruhan yang pada umumnya disertai dengan serangkaian kegiatan pembelajaran atau kegiatan yang harus dilakukan oleh guru dan siswa. Beberapa model pembelajaran yang dapat diimplementasikan guru dalam proses pembelajaran antara lain adalah model pembelajaran langsung (Kardi dan Nur, 2000), model pembelajaran kooperatif (Ibrahim dkk, 2000), model pembelajaran berdasarkan masalah (Ibrahim

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

231

dan Nur, 2000), dan model dua tinggal dan dua tamu (model two stay two stray) (TIMNAS KTSP, 2009: 35) Pengimplementasian model-model pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan materi pelajaran, tujuan pembelajaran, lingkungan belajar dan kondisi siswa. Misalnya model pembelajaran langsung cocok digunakan untuk membantu siswa mempelajari keterampilan dasar atau topik-topik yang berkaitan dengan penggunaan alat, namun model ini tidak cocok digunakan untuk mengajarkan konsep-konsep matematika tingkat tinggi (Lambas dkk., dalam MTK 26, 2004: 4-5). Model pembelajaran kooperatif unggul digunakan untuk membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Di samping itu, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan kepada siswa kelompok tinggi maupun kelompok rendah yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik. Siswa kelompok atas akan menjadi tutor bagi siswa kelompok rendah, sehingga kelompok rendah ini akan memperoleh bantuan khusus dari teman sebaya yang mempunyai orientasi dan bahasa yang sama, sementara kelompok tinggi akan meningkat kemampuan akademiknya karena sebagai tutor membutuhkan pemahaman lebih mendalam tentang hubungan konsep-konsep yang terdapat dalam materi tertentu (Ibrahim dkk., 2000: 7). Model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Instruction) lebih cocok digunakan untuk (1) membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah dan ketrampilan intelektual, (2) belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan (3) menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Ibrahim, dan Nur, 2000:7). Model two stay two stray bertujuan memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain. Langkah-langkah kegiatan pada model ini menurut TIMNAS KTSP (2009: 35) adalah (1) Siswa bekerja sama dalam kelompok berempat seperti biasa, (2) Setelah selesai, dua orang dari masing-masing bertamu kedua kelompok yang lain, (3) Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu mereka, (4) Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain, (5) Kelompok mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka. Telah disebutkan bahwa dalam Standar Nasional Pendidikan, antara lain mengharuskan guru memiliki kompetensi, dan salah satu kompetensi tersebut adalah “kompetensi profesional”. Penelitian ini ingin mengkaji tentang tingkat kompetensi profesional guru matematika

Budiman, Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

232

SMP se-Kota banda Aceh baik yang sudah lulus maupun yang belum lulus sertifikasi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Tingkat kompetensi profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh yang mencakup kompetensi merancang rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), kompetensi melaksanakan pembelajaran matematika, dan kompetensi merancang Lembar Kerja Siswa (LKS), (2) Apakah kompetensi profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi lebih baik dari mereka yang belum lulus sertifikasi. Temuan penelitian ini daharapkan bermanfaat (1) untuk LPTK atau FKIP yang harus senantiasa mengetahui kompetensi lulusannya yang ada di sekolah, dan kalau ada bidang kompetensi yang masih lemah, misalnya kelemahan di bidang pelaksanan pembelajaran, maka UPT Micro Teaching harus segera memperbaiki program yang selama ini dilaksanakan, (2) untuk Dinas Pendidikan, yang sangat berkepentingan meningkatkan kualitas guru, tetapi sampai sekarang belum dilaksanakan secara fokus pada masalah yang sangat dibutuhkan guru, dan (3) untuk siswa, yang sangat mengharapkan kehadiran guru yang profesional di sekolah mereka.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini berbentuk expost facto yang melibatkan guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh sebagai populasi. Sampel penelitian diambil 15 SMP dengan syarat di SMP tersebut ada guru yang sudah lulus sertifikasi. Alasannya, ada harapan bahwa guru yang telah lulus sertifikasi tersebut akan terus memperbaiki dan menambah wawasannya untuk mengajar lebih baik dari sebelumnya. Setiap SMP sampel diambil dua orang guru matematika, masing-masing satu orang yang sudah lulus sertifikasi, dan satu orang guru yang belum lulus sertifikasi, sehingga jumlah sampel menjadi 30 orang guru.

Untuk mengumpulkan data tentang kompetensi profesional guru, digunakan tiga instrument, yaitu (1) Instrumen kompetensi membuat perencanaan pembelajaran (RPP), (2) Instrumen kompetensi melaksanakan pembelajaran, dan (3) Instrumen kompetensi membuat lembar kerja siswa (LKS). Instrumen-instrumen tersebut berbentuk uni dimensional checklist dengan rentangan nilai 1 – 5. Dua instrument yang pertama diambil dari instrument Sertifikasi Guru dalam Jabatan (Depdiknas, 2008: 30 -35), dengan modifikasi seperlunya, termasuk penambahan dua butir lainnya pada instrument pertama, dan empat butir pada instrument kedua. Instrumen kompetensi membuat LKS, terdiri

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

233

dari tiga aspek, yaitu aspek format, aspek bahasa, dan aspek isi (SEAMEO SEAMOLEC, 2007), juga dengan sedikit modifikasi. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data dokumen dan data hasil observasi. Data dokumen berbentuk RPP dan LKS yang diambil dari guru sampel. Data tentang kompetensi melaksanakan pembelajaran diperoleh malalui observasi langsung ketika guru sampel mengajar. Observasi ini dilaksanakan oleh peneliti sendiri dan melibatkan 10 mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika tingkat akhir, yaitu mahasiswa yang sedang mengikuti program Micro Teaching, dengan harapan dapat membandingkan pengetahuan yang sedang mereka praktekkan dengan yang dilaksanakan oleh guru di sekolah, disamping juga untuk menambah wawasan kependidikan lainnya bagi mahasiswa tersebut. Selama observasi, digunakan instrumen kompetensi melaksanakan pembelajaran.

Data yang diperoleh dianalisis dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif digunakan untuk menentukan tingkat kompetensi profesional (TKP) guru yang didasarkan pada kategori: 1 ≤ TKP < 1,5 Sangat tidak baik 1,5 ≤ TKP < 2,5 Tidak baik 2,5 ≤ TKP < 3,5 Kurang Baik 3,5 ≤ TKP < 4,5 Baik 4,5 ≤ TKP ≤ 5,0 Sangat baik (Dimodifikasi dari Depdiknas, 2008).

Statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis “Kompetensi profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi lebih baik dari pada mereka yang belum lulus sertifikasi”. Pengujian dilakukan dengan uji-t (jika statistik sampel berdistribusi normal dan homogen) pada taraf signifikansi 5% (Sudjana, 1999).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Telah disebutkan bahwa sampel penelitian ini terdiri dari 15 orang guru yang sudah lulus sertifikasi, dan 15 orang guru yang belum lulus sertifikasi. Guru yang lulus sertifikasi tersebut terdapat tutor/instruktur daerah, dan hasil observasi terhadap salah seorang diantara mereka menunjukkan kompetensi melaksanakan pembelajarannya mendekati sempurna. Demikian mengenai perangkat pembelajaran lainnya, juga mendekati sempurna. Karena sampel penelitian ini kecil, maka tutor tersebut dikeluarkan dari analisis data,

Budiman, Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

234

tetapi yang dianalisis tetap masing-masing 15 orang. Para guru tersebut ditunjuk oleh kepala/wakil kepala sekolah. Berikut disajikan data kompetensi guru matematika dalam aspek membuat RPP (Tabel 1dan 2).

Tabel 1. Kompetensi Guru Matematika yang Sudah Lulus Sertifikasi dalam Membuat RPP

Frekuensi No Interval Nilai Absolut Relatif

Kategori

1 1,0 ≤ RL1 < 1,5 0 0,00 Sangat tidak baik 2 1,5 ≤ RL1 < 2,5 0 0,00 Tidak baik 3 2,5 ≤ RL1 < 3,5 5 33,33 Kurang baik 4 3,5 ≤ RL1 < 4,5 10 66,67 Baik 5 4,5 ≤ RL1 ≤ 5,0 0 0,00 Sangat baik Jumlah 15 100 Rata-rata 3,6 Baik

Keterangan: RL1 = Skor kompetensi guru matematika yang sudah lulus sertifikasi dalam membuat RPP

Data di atas menunjukkan bahwa kompetensi guru matematika dalam membuat RPP berada pada kategori “kurang baik” dan “baik”. Masih ada 33,33 % guru yang RPP-nya masih kurang baik sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Secara keseluruhan, kompetensi mereka dalam membuat RPP berada pada kategori “baik”. Tabel 2. Kompetensi Guru Matematika yang Belum Lulus Sertifikasi

dalam Membuat RPP

Frekuensi No Interval Nilai Absolut Relatif

Kategori

1 1,0 ≤ RB1 < 1,5 0 0,00 Sangat tidak baik 2 1,5 ≤ RB1 < 2,5 0 0,00 Tidak baik 3 2,5 ≤ RB1 < 3,5 6 40,00 Kurang baik 4 3,5 ≤ RB1 < 4,5 9 60,00 Baik 5 4,5 ≤ RB1 ≤ 5,0 0 0,00 Sangat baik Jumlah 15 100 Rata-rata 3,6 Baik

Keterangan: RB1 = Skor kompetensi guru matematika yang belum lulus sertifikasi dalam membuat RPP

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

235

Penskoran terhadap RPP yang dibuat oleh guru matematika yang

belum lulus sertifikasi, menunjukkan bahwa 40% diantara mereka masih berada dalam kategori “kurang baik” dalam membuat RPP, dan 60% berada dalam kategori “baik”. Data juga menunjukkan bahwa tidak ada guru yang membuat RPP secara lengkap dan sempurna, namun secara keseluhan kompetensi mereka dalam membuat RPP berada dalam kategori “baik” (Tabel 2).

Tabel 3 di bawah ini disajikan data tentang kompetensi guru matematika yang sudah lulus sertifikasi dalam melaksanakan pembelajaran. Tabel 3. Kompetensi Guru Matematika yang Sudah Lulus Sertifikasi dalam Melaksanakan Pembelajaran

Frekuensi No Interval Nilai Absolut Relatif

Kategori

1 1,0 ≤ RL2 < 1,5 0 0,00 Sangat tidak baik 2 1,5 ≤ RL2 < 2,5 0 0,00 Tidak baik 3 2,5 ≤ RL2 < 3,5 5 33,33 Kurang baik 4 3,5 ≤ RL2 < 4,5 10 66,67 Baik 5 4,5 ≤ RL2 ≤ 5,0 0 0,00 Sangat baik Jumlah 15 100 Rata-rata 3,6 Baik

Keterangan: RL2 = Skor kompetensi guru matematika yang sudah lulus sertifikasi dalam melaksanakan Pembelajaran

Data tersebut menunjukkan bahwa kompetensi guru matematika yang sudah lulus sertifikasi dalam melaksanakan pembelajaran menunjukkan situasi yang sama dengan data kompetensi membuat RPP, walaupun orangnya berbeda. Terdapat 66,67 % di antara mereka yang mengajar dengan baik, dan 33,33 % mengajar kurang baik, dengan rata-rata 3,6 atau berada pada kategori “baik”

Pada Tabel 4, menunjukkan bahwa kompetensi guru matematika yang belum lulus sertifikasi dalam melaksanakan pembelajaran umumnya berada dalam kategori “baik” (80 %), dengan rata-rata 3,5 (baik).

Budiman, Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

236

Tabel 4. Kompetensi Guru Matematika yang Belum Lulus Sertifikasi dalam Melaksanakan Pembelajaran

Frekuensi No Interval Nilai

Absolut Relatif Kategori

1 1,0 ≤ RB2 < 1,5 0 0,00 Sangat tidak baik 2 1,5 ≤ RB2 < 2,5 0 0,00 Tidak baik 3 2,5 ≤ RB2 < 3,5 3 20,00 Kurang baik 4 3,5 ≤ RB2 < 4,5 12 80,00 Baik 5 4,5 ≤ RB2 ≤ 5,0 0 0,00 Sangat baik Jumlah 15 100 Rata-rata 3,6 Baik

Keterangan: RB2 = Skor kompetensi guru matematika yang belum lulus sertifikasi dalam membuat RPP

Kompetensi dalam membuat LKS guru matematika yang sudah lulus sertifikasi menunjukkan 26,67 % diantara mereka berada pada kategori “kurang baik”, dimana LKS yang diperuntukkan bagi siswa ditunjuk saja dari buku teks, sedangkan yang 73,33 % lagi sebelumnya telah mempersiapkan LKS yang akan diberikan kepada siswanya (Tabel 5). Tabel 5. Kompetensi Guru Matematika yang Sudah Lulus Sertifikasi dalam Membuat LKS

Frekuensi No Interval Nilai Absolut Relatif

Kategori

1 1,0 ≤ RL3 < 1,5 0 0,00 Sangat tidak baik 2 1,5 ≤ RL3 < 2,5 0 0,00 Tidak baik 3 2,5 ≤ RL3 < 3,5 4 26,67 Kurang baik 4 3,5 ≤ RL3 < 4,5 11 73,33 Baik 5 4,5 ≤ RL3 ≤ 5,0 0 0,00 Sangat baik Jumlah 15 100 Rata-rata 3,6 Baik

Keterangan: RL3 = Skor kompetensi guru matematika yang sudah lulus sertifikasi dalam membuat LKS Pada Tabel 6, data menunjukkan bahwa guru matematika yang belum lulus sertifikasi masih ada 40,00 % yang LKS-nya hanya menunjuk saja dari buku teks, dan secara keseluruhan, LKS mereka berada pada kategori “kurang baik” dengan skor 3,4.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

237

Tabel 6. Kompetensi Guru Matematika yang Belum Lulus Sertifikasi dalam Membuat LKS

Frekuensi No Interval Nilai Absolut Relatif

Kategori

1 1,0 ≤ RB3 < 1,5 0 0,00 Sangat tidak baik 2 1,5 ≤ RB3 < 2,5 0 0,00 Tidak baik 3 2,5 ≤ RB3 < 3,5 6 40,00 Kurang baik 4 3,5 ≤ RB3 < 4,5 9 60,00 Baik 5 4,5 ≤ RB3 < 5,0 0 0,00 Sangat baik Jumlah 15 100 Rata-rata 3,4 Kurang Baik

Keterangan: RB3 = Skor kompetensi guru matematika yang belum lulus sertifikasi dalam membuat LKS

Telah disebutkan juga bahwa kompetensi profesional guru yang

dikaji dalam penelitian ini mencakup kompetensi membuat RPP, kompetensi melaksanakan pembelajaran, dan kompetensi membuat LKS. Hasil pengolahan data setelah digabung ketiga aspek tersebut menunjukkan bahwa kompetensi profesional guru matematika yang sudah lulus sertifikasi diperoleh rata-rata 3,6 (kategori baik), sementara kompetensi guru matematika yang belum lulus sertifikasi berada pada kategori yang juga baik dengan rata-rata 3,5 (rentangan nilai 1 – 5). Kalau nilai ini dikonversi ke skor pada rentangan 1 – 100, diperoleh masing-masing 72 dan 70. Nilai ini masih belum memadai untuk sebutan guru yang profesional.

Analisis data dengan menggunakan uji-t menghasilkan nilai t sebesar 0,1330, sehingga dengan mengkonsultasikan ke table distribusi t, nilai tersebut tidak signifikan pada pada taraf signifikansi α= 5%. Dengan demikian data menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kompetensi profesional guru yang lulus sertifikasi dengan guru yang belum lulus sertifikasi.

Walaupun tidak dikaji keseluruhan kompetensi yang seharusnya dimiliki, tetapi telah diperoleh gambaran tentang sebagian kompetensi profesional guru matematika SMP, bahwa pembelajaran yang dilaksanakan selama ini masih kurang menantang siswa untuk berfikir. Hal ini sesuai dengan hasil kajian Tim Lesson Study Universitas Pendidikan Indonesia bahwa guru masih beranggapan tugasnya hanya mentrasfer pengetahuan kepada siswa dengan target tersampaikannya

Budiman, Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

238

topik-topik yang tertulis dalam dokumen kurikulum (Hendayana, dkk, 2006: 4).

Ketika dilakukan observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran, ternyata ada guru matematika yang salah menjelaskan matematika kepada siswanya. Salah satu diantaranya adalah pada topik “Gradien Garis” yang mungkin guru tersebut kurang memahami konsep atau algoritmanya. Contoh kesalahan tersebut adalah, ketika dijelaskan gradien garis yang melalui (5,0) dan (0,-5), guru mengatakan bahwa gradien garis tersebut adalah –1, karena diperoleh dari atau = - 1.

Yang benar, gradien garis tersebut adalah 1, karena berdasarkan rumus gradien garis (yang harus dibuktikan sebelumnya), diperoleh algoritma perhitungannya:

= 1

Walaupun kompetensi dalam bidang studi bukan tujuan utama penelitian ini, tetapi hal ini merupakan salah satu indikator yang diselidiki, yaitu tentang “Menunjukkan penguasaan materi pembelajaran” dari kompetensi “Pelaksanakan Pembelajaran”. Dampak negatif dari kesalahan tersebut tentu sangat besar, antara lain dari segi psikologis, akan membuat kebingungan siswa dalam mempelajari matematika. Dampak lain adalah, kompetensi lulusan tidak akan maksimal. SIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil pengolahan data profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh ternyata semua aspek yang dikaji, yaitu aspek kompetensi membuat RPP, kompetensi melaksanakan pembelajaran, dan aspek kompetensi membuat LKS, tidak mencapai pada tingkat sangat baik. Secara keseluruhan dapat diambil beberapa simpulan berikut (1) kompetensi profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi diperoleh skor rata-rata 3,6 (kategori baik), sementara kompetensi guru matematika yang belum lulus sertifikasi juga berada pada kategori baik dengan rata-rata 3,5 (rentangan nilai 1 – 5). Kalau nilai ini dikonversi ke skor pada rentangan 1 – 100, diperoleh masing-masing 72 dan 70, dan (2) Tidak ada perbedaan kompetensi profesional guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi dengan mereka yang belum lulus sertifikasi.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 220-240

239

Berdasarkan temuan penelitian ini, berikut diberikan beberapa saran baik untuk guru yang sudah lulus sertifikasi, maupun bagi guru yang belum lulus sertifikasi (1) Sebagian besar guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh masih perlu dilatih dalam kemampuan membuat perangkat pembelajaran, dan bidang pelaksanaan pembelajaran yang berbentuk peer teaching, termasuk cara menyajikan konsep, algoritma dan prosedur matematika kepada siswanya yang hierarkhis, (2) Diharapkan kepada para guru matematika SMP se-Kota Banda Aceh untuk mengkaji dan memperdalam kembali pemahaman mereka tentang konsep-konsep matematika yang akan diajarkan kepada siswanya, (2) Guru yang lulus sertifikasi tidak menjamin lebih profesional dari guru yang belum lulus sertifikasi, karena kelulusan tersebut sangat bergantung pada banyaknya sertifikat yang “dikumpulkan” guru. Mungkin lebih baik diberikan saja pelatihan model PLPG, dengan lama pelatihan dikategorikan berdasarkan pengalaman mengajar.

DAFTAR PUSTAKA BNSP. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik

Indognesia, Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

DBE 2, 2009. “Pengembangan Silabus” , dalam : Active Learning in Higher Education (ALIHE)”. Banda Aceh : Team Penyusun Bahan Pelatihan.

Depdiknas. 2006. Pedoman Pelatihan Guru Matematika-1. Jakarta: Dirjen Dikdasmen.

Depdiknas. 2008. Panduan Penyusunan Portofolio. Jakarta: Dirjen Dikti.

Dinas Pendidikan NAD. 2004. Dokumen Tes Guru Mata Pelajaran Se-Nanggroe Aceh Darussalam. (Tidak Diterbitkan).

Entang, M. 1995. Diagnosis kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial. Jakarta: Depdikbud.

Hendayana, Sumar, et.al. 2006. Lesson Study: Suatu Strategi untuk Meningkatkan keprofesionalan Pendidik. Bandung: UPI Press.

Ibrahim, H. Muslimin, et.al. 2000. Pembelajaran Kooperatif, Bandung: UNESA University Press.

Johar, Rahmah, et.al. 2007. Pembelajaran Matematika SD-1. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.

Budiman, Kompetensi ProfesionalGuru Matematika

240

Johnson, Elaine B. 2006. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: Mizan Learning Center (MLC).

Lambas, et.al. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika Jilid 3. Jakarta: Depdiknas.

Nurhadi. 2002. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)). Jakarta: Depdiknas.

Nurhadi, Burhanuddin Yasin, dan Agus Gerrad Senduk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas negeri Malang.

Reys, Robert E., et.al. 1998. Helping Children Learn Mathematics. Boston: Allyn and Bacon.

SEAMEO SEAMOLEC. 2007. Bahan Penataran pengembangan Kurikulum Integratif (Tidak Diterbitkan).

Siegel, Sydney. 1986. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia.

Sudjana. 1999. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. TIMNAS KTSP. 2009. Panduan Implementasi Standar Proses untuk

Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas. TIMNAS KTSP. 2009. Bimbingan Teknis KTSP Kabupaten Kota”.

Jakarta: Depdiknas. Usman, Uzer. 2003. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remadja

Rosdakarya. Wibowo, H. Mungin Eddy. 2009. Panduan Penyusunan KTSP. Jakarta:

BNSP.

Alimin dan Surya, Ability Prediction of Earning and Current OCF

241

KEMAMPUAN PREDIKSI TERHADAP PENDAPATAN DAN ARUS KAS OPERASIONAL LANCAR UNTUK ARUS KAS

OPERASIONAL MASA DEPAN

oleh H. Aliamin

Dosen FE Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh Jen Surya Dosen FE Unmuha, Banda Aceh

ABSTRACT The aim of this research is to investigate ability prediction of earnings and current operating cash flows to future operating cash flows, the profit report use are firms reporting positive profit and firms reporting negative profit. There are several prior study indicates a strengthening relationship between earnings and future operating cash flows for both firms profit reporting and losses reporting, while relationship between current and future operating cash flows are neither increasing nor decreasing. The result of research indicates that both earnings and cash flows have ability to predict future operating cash flow for positive profit reporting. On the other hand, negative profit reporting, earnings are not significant to predict future operating cash flows while current operating cash flows still have ability to predict future operating cash flows. Key words: earnings, current operating cash flows, future operating

cash flows, positive profit reporting, negative profit reporting

PENDAHULUAN

Sejauh ini laporan keuangan, khususnya neraca dan laporan

laba/rugi masih diyakini sebagai alat yang andal bagi para pemakainya untuk mengurangi risiko ketidakpastian dalam pengambilan keputusan-keputusan ekonomi. Laporan keuangan merupakan sumber informasi yang dijadikan salah satu penilaian terhadap kinerja perusahaan, baik manajemen, maupun keadaan perusahaan. Laba bersih dapat dijadikan

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

242

sebagai ukuran atau indikator kinerja perusahaan selama satu periode terterntu.

Dalam FASB’s Statement of Financial Accounting concept No.1: “Laporan keuangan seharusnya menyediakan informasi yang berguna untuk sekarang ini kepada investor, kreditor dan pengguna lainya dalam membuat keputusan investasi, keputusan kredit dan keputusan-keputusan rasional lainnya, serta menilai jumlah, waktu dan ketidakpastian dari prospektif kas yang merupakan penerimaan-penerimaan deviden atau bunga dan hasil penjualan, penebusan hutang dan surat-surat berharga” (FASB, 1978, paragraf 34,37)

Earnings yang dimaksud dalam judul di atas merupakan laba yang diperoleh perusahaan setelah dikurangi pajak atau earnings, adalah laba bersih sebelum akun-akun luar biasa (extra-ordinary accounts) selama satu tahun buku sebagaimana tercantum dalam “Laporan Laba Rugi”. Selain laba (earnings), investor juga menggunakan informasi arus kas sebagai ukuran kinerja perusahaan. Informasi pada arus kas memungkinkan pengguna laporan untuk melihat keadaan kemampuan perusahaan menghasilkan kas. Informasi tersebut juga dapat meningkatkan daya banding laporan kinerja operasi perusahaan karena laporan ini meniadakan perlakuan akutansi yang berbeda terhadap transaksi dan peristiwa yang sama (Gunawan dan Bandi, 2000).

Beberapa studi yang mengevaluasi pengaruh faktor lingkungan ekonomi dan sosial mendukung pernyataan tersebut. Mereka menemukan bahwa perbedaan kultural dan ekonomi menghasilkan perbedaan dalam hal bagaimana investor dan pengguna laporan keuangan lainnya menilai sejumlah informasi akuntansi yang sama. Jadi, adalah sangat mungkin bahwa tujuan pelaporan yang sama dapat diraih dengan menggunakan jenis informasi akuntansi yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan faktor ekonomi dan lingkungan. Saat ini hasil empiris yang ditemukan di USA yang mendukung pernyataan FASB bahwa laba menyediakan informasi yang lebih baik dalam menilai arus kas masa depan dibandingkan dengan dengan arus kas itu sendiri, namun hal ini mungkin tidak dapat diaplikasikan di Indonesia (Supriyadi, 1999).

Sejauh ini laporan keuangan, khususnya neraca dan laporan laba/rugi masih diyakini sebagai alat yang andal bagi para pemakainya untuk mengurangi risiko ketidakpastian dalam pengambilan keputusan-keputusan ekonomi. Namun, khusus mengenai laporan laba/rugi sampai saat ini masih terdapat kontradiksi atas simpulan yang dihasilkan

Alimin dan Surya, Ability Prediction of Earning and Current OCF

243

berkaitan dengan manfaat isi informasi yang dikandungnya (Syafriadi, 2000). Namun, terdapat beberapa hasil penelitian yang mendukung nilai relevansi. laba dalam memprediksi arus kas masa depan perusahaan. Barth et al. (2001) serta Kim dan Kross (2002) menyatakan bahwa laba memiliki kemampuan dalam memprediksi arus kas operasi mendatang perusahaan, dan memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan dengan dengan arus kas jika laba dipecah ke dalam beberapa komponen aktual. Bahkan, Kim dan Kross (2002) menegaskan bahwa kemampuan laba dalam memprediksi arus kas meningkat sepanjang waktu. Watson dan Wells (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa untuk perusahaan yang berlaba, ukuran berbasis laba lebih baik dalam menangkap kinerja perusahaan dibandingkan dengan dengan arus kas, sedangkan untuk perusahaan yang merugi baik laba maupun arus kas tidak dapat menangkap kinerja perusahaan dengan baik. Dalam hal ini Kim dan Kross (2002) juga membedakan antara perusahaan yang melaporkan laba positif dan laba negatif. Hasilnya menyatakan bahwa hubungan antara laba dan arus kas masa depan tetap menguat, sedangkan hubungan antara arus kas tahun berjalan dengan arus kas masa depan tidak meningkat maupun menurun.

Berdasarkan perbedaan-perbedaan hasil penelitian mengenai kemampuan laba dan arus kas dalam memprediksi arus kas masa depan, maka penelitian ini bermaksud menguji kembali kemampuan tersebut dengan mengelompokkan perusahaan yang melaporkan laba positif dan laba negatif untuk melihat apakah akan diperoleh simpulan hasil yang sama dengan Kim dan Kross (2002).

Tulisan ini meneliti apakah laba atau arus kas yang memiliki kemampuan lebih baik dalam memprediksi arus kas masa depan pada saat perusahaan melaporkan laba positif dan laba negatif. LANDASAN KEPUSTAKAAN Earnings Earnings dihasilkan oleh proses akuntansi dan disajikan dalam laporan laba rugi. Generally accepted accounting principle (GAAP) menyatakan bahwa pengakuan pendapatan terjadi pada saat transfer of title, tanpa memperdulikan apakah perusahaan sudah atau belum menerima pembayaran tunai (accrual basis). Biaya yang berkaitan langsung dengan pendapatan akan diakui pada periode yang sama dengan pengakuan pendapatan. Biaya lain yang tidak berkaitan langsung dengan pendapatan akan diakui pada periode terjadinya.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

244

Pandangan lain menyebutkan bahwa; earnings merupakan suatu ukuran berapa besar harta yang masuk (pendapatan dan keuntungan) melebihi harta yang keluar (beban dan kerugian) suatu perusahaan (Scroeder and Clarck, 1995:131). Wallace (1997:594) menyatakan net income merupakan pengurangan beban (kerugian) terhadap pendapatan (keuntungan) dari semua sumber.

Income memiliki beberapa konsep, menurut Hendriksen & Breda (1992:338) mengklasifikasikan konsep income berdasarkan penerima income yaitu konsep value added, konsep Enterprise Net Income, Net Income to Investor, Net Income to Shareholders, dan Net Income to Residual Equity Holders. Dari semua konsep tersebut yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Net Income to shareholders (laba bersih bagi pemegang saham). Konsep laba bersih kepada pemegang saham (Net Income to Shareholders) merupakan pandangan yang paling banyak dipakai. Konsep ini menyatakan bahwa Net Income merupakan pengembalian (return) kepada pemilik perusahaan sebagai hasil investasi mereka pada suatu perusahaan, baik pemilik perusahaan dalam artian sebagai pemilik saham preferen maupun pemilik saham biasa. Arus Kas Operasi Arus kas dapat dilihat dari laporan arus kas yang merupakan aliran dana masuk dan keluar dari suatu perusahaan (Fridson, 1995:104). Maksud utama dari penyajian laporan arus kas adalah untuk memberikan informasi yang relevan mengenai penerimaan, dan pengeluaran kas dalam suatu perusahaan selama satu periode (Keiso & Weygand, 1998 : 210). Umumnya Arus kas diklasifikasikan atas 3 aktivitas yaitu : operasi, investasi, dan keuangan, sebagaimana dinyatakan dalam PSAK No. 2 (2004 : 2.3.09) ”Laporan arus kas harus melaporakan arus kas selama periode tertentu dan diklasifikasi menurut aktivitas operasi, investasi dan pendanaan”. Arus kas dari kegiatan operasi secara umum adalah pengaruh kas dari transaksi yang termasuk dalam penentuan net income selain aktivitas investasi dan keuangan, antara lain : penerimaan (kas) dari penjualan barang dan jasa dan penerimaan piutang dari pelanggan, penerimaan kas dari bunga dan dividen, pembayaran bunga kepada pemberi pinjaman dan kreditor, dan semua pembayaran yang bukan hasil dari transaksi yang didefinisikan sebagai kegiatan investasi dan keuangan. Nyata bahwa arus kas operasi merupakan arus kas yang bersumber dari operasional perusahaan. Slaughter and Tracy (2007:5)

Alimin dan Surya, Ability Prediction of Earning and Current OCF

245

menyatakan “operating cash flow shows the true profitability picture of a firm’s core operation”. Ada dua metode yang dapat ditempuh untuk melaporkan arus kas operasi yaitu dengan cara metode langsung dan metode tidak langsung. Masing-masing metode tentunya memiliki keunggulan dan kelemahan dalam penyediaan informasi yang dibutuhkan dari laporan arus kas operasi itu sendiri. Metode langsung adalah metode yang melaporkan sumber kas operasi dan penggunaan kas operasi tersebut. Sedangkan metode tidak langsung merupakan laporan arus kas operasi yang dimulai dengan laba bersih dan disesuaikan dengan pendapatan dan beban diluar dari penerimaan dan pembayaran dari kas itu sendiri.

“The direct methode reports the sources of operating cash and uses of operating cash. The major source of operating cash is cash received from customers. The major uses of operating cash include cash paid to suppliers for merchandise and services and cash paid to employees for wages. The indirect methode reports the operating cash flow by beginning with the net income and adjusting it for revenues and expenses that do not involve the receipt or payment of cash” (Warren and Reeve, 2004:599).

Begitu juga menurut PSAK No. 2 (2004 : 2.5.17) perusahaan dapat melaporkan arus kas operasi dengan salah satu metode berikut : 1. Metode Langsung (Direct method), yaitu dengan metode ini

kelompok utama dari penerimaan kas bruto dan pengeluaran kas bruto diungkapkan.

2. Metode Tak Langsung (Indirect method,) yaitu dengan metode ini laba atau rugi bersih disesuaikan dengan mengkoreksi pengaruh dari transaksi bukan kas, penangguhan (deferral) atau aktual dari penerimaan atau pembayaran kas untuk operasi masa lalu dan masa depan, dan unsur pengahasilan atau beban yang berkaitan dengan arus kas investasi atau pendanaan.

Penelitian Terdahulu

Manfaat laporan arus kas telah dibuktikan oleh beberapa peneliti, salah satunya Bowen et al. (1986). Penelitian-penelitian kandungan informasi laba telah menunjukkan hasil yang relatif konsisten, namun penelitian kandungan informasi arus kas masih menunjukkan hasil yang belum konklusif (Ali, 1994). Beberapa peneliti melakukan pengujian untuk membandingkan manfaat informasi laba dan arus kas. Lee (1974) dalam Hodgson et al. (2000) menyatakan bahwa kebutuhan informasi investor dapat dipenuhi oleh arus kas, bukan laba akuntansi

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

246

karena laba sangat rentan terhadap praktik manipulasi dan perubahan metode akuntansi. Menurut Syafriadi (2000) dengan mengetahui sifat laba sebagai data seri waktu, maka perubahan laba tersebut bersifat acak dan ada korelasi yang serial. Hal ini menunjukkan bahwa laba memiliki potensi sebagai prediktor.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wilson (1986) dan Ali (1994), yang meneliti mengenai isi informasi inkremental laba dengan hasil penelitian bahwa komponen laba aktual (atau total aktual yang didefinisikan sebagai kas operasi dikurangi laba) dan komponen dana (kas operasi) memiliki informasi inkremental apabila dana didefinisikan sebagai kas operasi. Bowen et al. (1986) lebih menegaskan dalam hasil penelitiannya bahwa arus kas sebagai prediktor arus kas adalah lebih baik dibandingkan dengan dengan laba, khususnya untuk periode prediksi satu atau dua tahun. Finger (1994) juga menguji mengenai relevansi laba untuk kemampuannya memprediksi laba dan arus kas masa depan, dan menyimpulkan bahwa laba adalah signifikan sebagai prediktor laba di masa depan sampai dengan periode delapan tahun di muka dan laba baik digunakan secara parsial maupun bersama-sama dengan arus kas merupakan prediktor yang signifikan juga bagi arus kas.

Arus kas dalam periode jangka pendek adalah prediktor arus kas yang lebih baik dibandingkan dengan laba atas arus kas. Namun, hasil penelitian yang dilakukan oleh Parawiyati dan Baridwan (1998) yang juga meneliti kemampuan laba dan arus kas dalam memprediksi laba dan arus kas perusahaan manufaktur mempublik di Indonesia menemukan bahwa, baik dengan memasukkan faktor deflator (consumer price index) maupun tanpa faktor deflator tersebut, prediktor laba memberikan pengaruh yang lebih besar dalam memprediksi laba dan arus kas untuk periode satu tahun kedepan dibandingkan dengan prediktor arus kas. Syafriadi (2000) meneliti kemampuan laba dan arus kas dalam memprediksi laba dan arus kas untuk periode satu tahun ke depan dibandingkan dengan dengan prediktor arus kas. Syafriadi (2000) yang meneliti kemampuan laba dan arus kas dalam memprediksi laba dan arus kas menyatakan bahwa laba sebagai prediktor memang memiliki pengaruh yang lebih erat dengan laba dibandingkan dengan dengan prediktor arus kas dengan nilai t-hitung 3,913 yang signifikan pada alfa 0,05 untuk prediktor laba dan 3,715 untuk prediktor arus kas yang juga signifikan pada alfa 0,05. Sementara itu, ketika ia menguji kemampuan laba dibandingkan dengan dengan arus kas sebagai

Alimin dan Surya, Ability Prediction of Earning and Current OCF

247

prediktor arus kas, hasilnya menunjukkan bahwa prediktor laba tidak memiliki hubungan yang erat dengan arus kas dibandingkan dengan dengan hubungan prediktor arus kas dengan arus kas masa depan yang signifikan pada alfa 0,05. Hasil penelitian Syafriadi (2000) ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Finger (1994) dan Bowen et al. (1986). Kusuma (2003) dalam penelitiannya menguji nilai tambah kandungan informasi laba dan arus kas, khususnya arus kas pada saat laba bersifat permanen. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa laba tidak mempunyai nilai tambah kandungan informasi di luar informasi yang diberikan oleh arus kas operasi.

Arus kas operasi mempunyai nilai tambah kandungan informasi di luar informasi yang diberikan oleh laba serta memiliki nilai tambah kandungan informasi pada saat laba mengandung komponen transitori. Cheng et al. (1996) juga menguji nilai tambah informasi arus kas operasi ketika laba bersifat transitori. Secara umum hasilnya menunjukkan bahwa nilai tambah kandungan informasi arus kas operasi menunjukkan peningkatan ketika sifat permanen laba menurun. Nilai tambah kandungan informasi arus kas diduga akan meningkat ketika laba mempunyai kemungkinan besar tersentuh oleh praktik-praktik manipulasi yang menyebabkan munculnya komponen transitori dalam laba. Supriyadi (1999) dalam penelitiannya mengenai kemampuan laba versus arus kas dalam memprediksi arus kas masa depan menggunakan tiga model peramalan arus kas, yaitu cash flow model, earnings model, dan earnings-cash flow model. Berdasarkan pengujian hipotesisnya dinyatakan bahwa data arus kas memberikan informasi yang lebih baik untuk meramalkan arus kas masa depan dibandingkan dengan laba. Supriyadi juga menegaskan bahwa laba menambah sedikit terhadap kemampuan arus kas dalam memprediksi arus kas masa depan. Hasil yang senada juga diperoleh oleh DeFond dan Hung (2001) yang juga menguji arus kas dan laba untuk memprediksi arus kas masa depan antara perusahaan dengan atau tanpa ramalan arus kas. Hasil penelitiannya mengindikasikan bahwa laba secara signifikan memiliki sedikit kemampuan dan arus kas secara signifikan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk memprediksi arus kas masa depan di antara perusahaan-perusahaan dengan ramalan arus kas. Temuannya ini konsisten dengan permintaan partisipan pasar akan ramalan arus kas ketika laba secara relatif kurang informatif dan arus kas lebih informatif dalam memprediksi arus kas masa depan. Mereka mengekspektasi bahwa arus kas membantu partisipan pasar menginterpretasi

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

248

informasi yang terkandung dalam laba, dan menilai viabilitas perusahaan.

Partisipan pasar mungkin menggunakan arus kas untuk menginterpretasi informasi dalam laba, contohnya dengan membandingkan arus kas terhadap laba bersih karena arus kas kurang subjektif daripada aktual. Barth et al. (2001) dalam hasil penelitiannya yang menguji kemampuan prediksi laba agregat tahun berjalan dan masa lalu untuk arus kas periode selanjutnya mengungkapkan bahwa laba tahun berjalan adalah signifikan dalam memprediksi arus kas satu tahun ke depan. Hasilnya juga mengungkapkan bahwa lags of earnings adalah signifikan dalam memprediksi arus kas periode berikutnya. Namun, karena laba agregat tahun berjalan bukan merupakan prediktor arus kas masa depan yang tidak bias, maka digunakanlah peran aktual dalam memprediksi arus kas masa depan. Hasilnya menunjukkan bahwa laba disagregat tahun berjalan secara signifikan memiliki kemampuan prediksi yang lebih dibandingkan dengan laba agregat tujuh tahun.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Kross (2002), bahwa kemampuan laba untuk memprediksi arus kas operasi masa depan meningkat dan peningkatan kemampuan prediksi ini sepanjang waktu bertahan untuk beberapa horizon peramalan. Mereka menggunakan tiga model untuk memprediksi arus kas operasi masa depan, yaitu earnings model, lalu earnings tersebut di disagregasi ke dalam arus kas dan komponen aktual yang disebut dengan full model. Untuk menilai kekuatan penjelas arus kas operasi dan komponen aktual, full model tersebut dipecah menjadi CFO model dan acctual model.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kekuatan penjelas dari laba disagregat meningkat sepanjang waktu dan baik arus kas operasi maupun aktual tampak memiliki kontribusi dalam peningkatan ini. Rata-rata kekuatan penjelas dari laba disagregat meningkat dari 0.28 selama periode waktu 1981—1989 menjadi 0.36 dalam periode waktu 1990—1998. Akhirnya, hasilnya menunjukkan bahwa hubungan antara laba tahun berjalan dan arus kas masa depan menguat sepanjang waktu. Di samping itu, uji Theil’s U untuk full model mengindikasikan bahwa kemampuan CFO untuk memprediksi CFO satu tahun ke depan meningkat sepanjang periode sampelnya dan laba agregat memiliki peningkatan dalam kemampuannya untuk memprediksi arus kas operasi masa depan. Kim dan Kross (2002) dalam penelitiannya juga melakukan analisis sensitivitas, yaitu dengan mengelompokkan

Alimin dan Surya, Ability Prediction of Earning and Current OCF

249

perusahaan menjadi perusahaan yang melaporkan laba positif dan yang melaporkan laba negatif. Mereka ingin melihat apakah laba perusahaan yang menderita kerugian memiliki asosiasi yang rendah dengan arus kas masa depan dibandingkan dengan perusahaan yang melaporkan laba positif. Hal itu penting karena Hayn (1995), dalam Kim dan Kross (2002), menemukan bahwa perusahaan yang melaporkan kerugian memiliki tingkat asosiasi yang rendah antara laba dan return saham dibandingkan dengan perusahaan yang melaporkan laba positif. Penelitian lain dilakukan oleh Watson dan Wells (2005) yang juga menyatakan bahwa pada perusahaan yang berlaba ukuran kinerja yang berbasis laba memiliki keterkaitan yang tinggi dengan return saham dibandingkan dengan arus kas. Sebaliknya, pada saat perusahaan merugi, kekuatan penjelas dari model yang digunakannya berkurang dan terdapat koefisien negatif yang signifikan pada ukuran-ukuran kinerja sehingga disimpulkan bahwa baik ukuran berbasis laba maupun arus kas tidak ada yang dapat menangkap kinerja dengan baik.

Namun, hasil penelitian Kim dan Kross (2002) mengindikasikan bahwa adanya hubungan yang menguat antara laba dan arus kas masa depan meskipun diperoleh hasil yang lebih lemah untuk perusahaan yang melaporkan laba. Dengan demikian, adanya perusahaan yang berlaba ataupun merugi tidak mengubah simpulan hasilnya bahwa hubungan antara laba dengan arus kas masa depan meningkat sepanjang waktu. Sebaliknya, hubungan antara arus kas tahun berjalan dengan arus kas masa depan meningkat secara signifikan untuk perusahaan yang melaporkan rugi. Akan tetapi, signifikansi tersebut hilang untuk perusahaan yang berlaba yang artinya hubungan antara arus kas tahun berjalan dengan arus kas masa depan tidak meningkat maupun menurun.

Pengembangan Hipotesis Laba aktual didasarkan pada dua prinsip akuntansi, yakni pengakuan pendapatan dan prinsip penandingan. Prinsip pengakuan pendapatan meminta perusahaan untuk mengakui pendapatan ketika telah melaksanakan semua atau satu bagian substansial dari jasa-jasa yang harus diberikan dan penerimaan kas dari transaksi tersebut adalah pasti. Prinsip penandingan meminta perusahaan untuk mengakui semua biaya yang terkait dengan pendapatan dalam periode yang sama di mana pendapatan diakui. Karena proses aktual dianggap mengurangi masalah waktu dan masalah penandingan yang melekat di arus kas, maka diyakini bahwa laba lebih tepat menggambarkan kinerja

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

250

perusahaan (Dechow, 1995 dalam Supriyadi, 1999). Saat ini penelitian dalam kegunaan laba untuk keputusan investasi didasarkan pada hipotesis bahwa laba merupakan proksi arus kas masa depan perusahaan (Beaver, 1968; Ball dan Brown 1968; Easton 1985 dalam Supriyadi, 1999). Namun, karena manajemen biasanya memiliki beberapa kebijakan sepanjang pengakuan aktual, laba aktual mungkin merupakan ukuran yang mengganggu (noisy measure) atas kinerja perusahaan. Oleh karena itu, laba menjadi kurang andal sebagai ukuran kinerja perusahaan dibandingkan dengan data arus kas (Supriyadi, 1999). Perbedaan dalam faktor kultural dan ekonomi yang terjadi antara US dan Indonesia mungkin menyebabkan nilai yang berbeda untuk sejumlah informasi yang sama. Salah satu contoh faktor ekonomi yang mempengaruhi nilai informasi akuntansi adalah pengaruh dari tingkat inflasi atas informasi akuntansi yang berbasis biaya historis. Tingkat inflasi merupakan proksi dari kondisi ekonomi yang secara luas telah digunakan dalam studi ekonomi. Ndubizu (1992) dan Doupnik dan Salter (1995) menemukan bukti signifikan yang mendukung efek pengurang tingkat inflasi atas nilai informasi akuntansi di berbagai negara. Tingginya tingkat inflasi di Indonesia pada dekade tersebut dapat mengurangi manfaat sistem akuntansi berbasis biaya historis. Informasi akuntansi menjadi kurang relevan jika akuntansi berbasis historis. Tingkat inflasi yang tinggi akan menyebabkan laba berbasis biaya historis menjadi (overstated). Sebagai akibatnya, nilai prediktifnya menurun. Oleh karena itu, data arus kas yang bebas dari pengaruh inflasi seharusnya memberikan indikasi arus kas masa depan yang lebih baik daripada laba. Informasi arus kas berguna untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas dan setara kas serta memungkinkan para pemakai mengembangkan model untuk menilai dan membandingkan nilai sekarang dari arus kas masa depan dari berbagai perusahaan. Informasi tersebut juga meningkatkan daya banding pelaporan kinerja operasi berbagai perusahaan karena dapat meniadakan pengaruh penggunaan perlakuan akuntansi yang berbeda terhadap transaksi dan peristiwa yang sama. Informasi arus kas historis sering digunakan sebagai indikator dari jumlah, waktu, dan kepastian arus kas masa depan. Earnings umumnya mengandung komponen transitori. Komponen transitori mungkin muncul karena berbagai macam alasan. Salah satu di antaranya adalah karena adanya perjanjian kompensasi atau perjanjian utang yang didasarkan pada laba akuntansi yang

Alimin dan Surya, Ability Prediction of Earning and Current OCF

251

dilaporkan sehingga manajer terdorong untuk memanipulasi laba dengan cara-cara tertentu. Adanya komponen transitori dalam laba menyebabkan laba bersifat kurang permanen atau laba mempunyai persistensi yang rendah (Kusuma, 2003). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, maka penulis merumuskan hipotesis alternatif sebagai berikut:

H1 : Earnings memiliki kemampuan lebih baik untuk memprediksi arus kas operasi masa depan dibandingkan dengan arus kas operasi saat ini untuk perusahaan yang melaporkan laba positif. H2 : Earnings memiliki kemampuan lebih baik untuk memprediksi arus kas operasi masa depan dibandingkan dengan arus kas operasi saat ini untuk perusahaan yang melaporkan laba negatif.

METODE PENELITIAN Sampel dan Data Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan nonfinansial mempublik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dari tahun 2001 sampai tahun 2006. Selanjutnya sampel akan dipilih dengan teknik purposive sampling dengan kategori ketersediaan data yang lengkap dari sampel tersebut dan akan dikelompokkan menjadi perusahaan yang melaporkan laba positif dan laba negatif. Data yang digunakan merupakan data sekunder dan data laba sebelum pos-pos luar biasa dan arus kas operasi perusahaan yang diperoleh dari laporan keuangan yaitu laporan laba rugi dan laporan arus kas. Di samping itu, juga data total aset dari tiap-tiap perusahaan yang akan digunakan sebagai faktor pengurang. Pengukuran Variabel a. Variabel Dependen Variabel dependen dalam penelitian ini adalah arus kas dari aktivitas operasi perusahaan periode setelah tahun amatan. Arus kas dari aktivitas operasi ini merupakan ikhtisar penerimaan dan pembayaran kas yang menyangkut operasi perusahaan. Jumlah arus kas yang berasal dari aktivitas operasi merupakan indikator yang menentukan apakah dari operasinya perusahaan dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk melunasi pinjaman, memelihara kemampuan

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

252

operasi perusahaan, membayar dividen, dan melakukan investasi baru tanpa mengandalkan sumber pendanaan dari luar. Arus kas operasi ini dapat diukur dalam cara Dechow et al. (1998), yakni:

CFO = income before depreciation - interest expense + interest revenue - taxes - ∆WC di mana ∆WC = perubahan dalam piutang, persediaan, dan aktiva lancar lainnya dikurangi perubahan dalam utang, utang pajak, utang lancar lainnya, dan pajak ditangguhkan.

b. Variabel Independen Variabel independen yang digunakan adalah arus kas operasi tahun berjalan dan laba bersih sebelum pos-pos luar biasa tahun berjalan. Semua variabel akan dibagi dengan total aset dari perusahaan terkait pada periode amatan. 3.3. Model Penelitian Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan earnings model dan CFO model yang digunakan oleh Kim dan Kross (2002), yakni sebagai berikut: CFOit+1 = α0 + α1 Eit + α2 CFOit + et

Keterangan : CFOit+1 = arus kas operasi perusahaan i pada tahun t+1 α0 = koefisien konstanta α1, α2 = koefisien variabel independen Eit = laba sebelum pos-pos luar biasa perusahaan i pada tahun t CFOit = arus kas operasi perusahaan i pada tahun t et = variabel gangguan Metode Analisis Data

Untuk menganalisis model di atas digunakan teknik regresi linier berganda. Analisis regresi akan diujikan dua kali untuk kelompok perusahaan yang melaporkan laba positif dan yang

Alimin dan Surya, Ability Prediction of Earning and Current OCF

253

melaporkan laba negatif. Selanjutnya akan dihitung nilai F-test dan t-test tiap-tiap variabel independen untuk kedua kelompok perusahaan. Dari hasil uji t akan dapat dilihat variabel independen (laba bersih dan arus kas operasi tahun berjalan) manakah yang paling berkaitan erat dan signifikan terhadap variabel dependen (arus kas operasi periode setelah tahun amatan) pada perusahaan yang berlaba positif dan perusahaan yang berlaba negatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Hipotesis Pertama Statistik deskriptif untuk kelompok perusahaan berlaba positif terdapat dalam tabel 2. Hasil analisis regresi untuk pengujian hipotesis pertama dapat 2 dilihat pada tabel 3. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa nilai adjusted R adalah sebesar 0,231. Sebaliknya, nilai F hitung adalah sebesar 82,725 dan nilainya signifikan secara statistik pada alfa 0,05 sehingga model regresi dapat digunakan untuk memprediksi arus kas masa depan. Berdasarkan uji t, dapat dilihat bahwa variabel laba sebelum pos-pos luar biasa dan arus kas operasi tahun berjalan secara statistik signifikan pada alfa 0,05 dengan nilai t hitung 5,073 untuk laba sebelum pos-pos luar biasa dan 9,312 untuk arus kas operasi tahun berjalan. Jadi, disimpulkan bahwa laba dan arus kas operasi tahun berjalan memiliki kemampuan dalam memprediksi arus kas operasi masa depan. Hasil Pengujian Hipotesis Kedua

Statistik deskriptif untuk kelompok perusahaan berlaba negatif disajikan dalam tabel 4 dan hasil regresinya disajikan dalam tabel 5. Dari hasil regresi data regresi, diperoleh adjusted R 2 sebesar 0,084. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan adjusted R 2 untuk kelompok perusahaan berlaba positif. Namun, nilai tersebut signifikan secara statistik pada alfa 0,05. Dengan demikian, variasi arus kas operasi masa depan dapat dijelaskan oleh variabel laba sebelum pos-pos luar biasa dan arus kas operasi tahun berjalan sebesar 8,4%. Nilai F hitungnya adalah sebesar 8,907 yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kelompok perusahaan berlaba positif, namun nilai F hitung tersebut juga signifikan secara statistik pada alfa 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa kedua variabel independen signifikan secara statistik dalam mempengaruhi variabel dependen. Sebaliknya, dalam uji t untuk mengetahui sumbangan variabel bebas secara individu diperoleh t

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

254

hitung 1,189 untuk laba sebelum pos-pos luar biasa dan nilai t ini tidak signifikan secara statistik karena probabilitas signifikansi untuk laba ini jauh di atas 0,05. Untuk variabel arus kas operasi tahun berjalan diperoleh t hitung 4,019 dan nilai ini signifikan secara statistik pada alfa 0,05. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hipotesis alternatif kedua ditolak, yang artinya earnings tidak memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan arus kas operasi tahun berjalan dalam memprediksi arus kas operasi masa depan untuk kelompok perusahaan yang berlaba negatif.

SIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa arus kas operasi tahun berjalan memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan earnings dalam memprediksi arus kas operasi masa depan, baik untuk kelompok perusahaan berlaba positif maupun berlaba negatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan arus kas operasi tahun berjalan yang lebih baik dibandingkan dengan laba dalam memprediksi arus kas operasi masa depan. Hal ini senada dengan hasil yang diperoleh oleh Syafriadi(2000), Supriyadi (1999), DeFond dan Hung (2001). Penelitian ini memiliki keterbatasan, yakni tidak semua data perusahaan nonfinansial berhasil diperoleh sehingga untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan data yang lebih lengkap lagi. Selain itu, dalam melakukan penelitian berikutnya dapat menggunakan model yang lain, seperti memecah laba menjadi beberapa komponen aktual dan diujikan lagi apakah arus kas operasi tahun berjalan tetap memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan laba disagregat dalam memprediksi arus kas operasi masa depan. DAFTAR PUSTAKA Ali, Ashiq. 1994. “The Incremental Information Content of Earnings,

Working Capital from Operations and Cash Flows”. Journal of Accountimg Research. Vol. 32, No. 1, pp. 61—73.

Barth, Mary E, Donald P. Cram dan Karen K. Nelson. 2001. “Accruals and the Prediction of Future Cash Flows”. The Accounting Review. Vol. 76; pp. 27—58.

Bowen, Robert M., David Burgstahler, dan Lane A. Daley. 1986.

Alimin dan Surya, Ability Prediction of Earning and Current OCF

255

“Evidence on The Relationship Between Earnings and Various Measures of Cash Flows”. The Accounting Review. (LXI) No. 4. pp 713—725.

Cheng, C.S.A., Chao-Shin Liu, dan Thomas F.S. 1996. “Earnings Permanence and the Incremental Information Content of Cash Flows from Operations”. Journal of Accounting Research. Vol. 34, No.1, Spring, 173—181.

Dechow, P.M., S.P. Kothari dan R.L. Watts. 1998. “The Relation Between Earnings and Cash Flows”. Journal of Accounting and Economics 25. pp. 133—168.

DeFond, Mark dan Mingyi Hung. 2001. An Empirical Analysis of Analysts’ Cash Flow Forecast. http://papers.ssrn.com/sol3/-papers.cfm?abstract_id=265773

Doupnik, T.S., dan F.B. Salter. 1995. “External Environment, Culture, and Accounting Practice: a Preliminary Test of a General Model of International Accounting Development”. The International Journal of Accounting. (30). Pp. 189—207.

FASB. 1987. Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) No. 1. Finger, Catherine A. 1994. “The Ability of Earnings to Predict Future

Earnings and Cash Flow”. The Journal Accounting Research. Vol. 32, No.2. Autumn. Pp. 210—223.

Fridson, Martin S. (1995). Financial Statement Analysis. 2nded. New York : John Wiley and Sons, Inc.

Gunawan dan Bandi,.2000. Analisis Kandungan Informasi Laporan Arus Kas, Simposium Nasional Akuntansi III, 697-718

Hendriksen, Eldon S. dan Michael F, Van Breda (1992). Accounting Theory. Fifth Edition Boston : Richard D. Irwin, Inc.

Hodgson, A., Peta S., dan Clarke. 2000. “Earnings, Cashflows, and Returns: Functional Relations and the Impact of Firm Size”. Accounting and Finance. 40. pp. 51—73.

Ikatan Akuntan Indonesia (2002). Standard Akuntansi Keuangan. Jakarta : Penerbit Salemba Empat.

Kieso, Donald E dan Jerry J Weygandt (1998). IntermediaAccounting. Ninth Edition. New York : John & Sons, Inc

Kim, Myung-Sun dan William Kross. 2002. The Ability of Earnings to Predict Future Operating Cash Flows Has Been Increasing - Not Decreasing.http://papers.ssrn.com/sol3/Delivery.cfm/SSRN_ID303283_code0203 16500.pdf?abstractid=303283&mirid=1

Kusuma, Poppy Dian Indira. 2003. “Nilai Tambah Kandungan Informasi Laba dan Arus Kas Operasi”. SNA VI, h. 304—315.

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008: 241-256

256

Ndubizu, G.A. 1992. “Accounting Disclosure Methods and Economic Development: Criterion for Globalizing Capital Markets”. The International Journal of Accounting (27). pp. 151—163.

Parawiyati dan Zaki Baridwan. 1998. “Kemampuan Laba dan Arus Kas dalam Memprediksi Laba dan Arus Kas Perusahaan Go Publik di Indonesia”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 1 No. 1, h.1-11.

Scroeder, Richard G. dan Myrtle Clark (1998). Accounting Theory-Text and Reading. 6th Edition. Canada : John Willey & Sons, Inc.

Supriyadi. 1999. “The Predictive Ability of Earnings Versus Cash Flow Data to Predict Future Cash Flows: a Firm-Specific Analysis”. Gadjah Mada International Journal of Business. Vol. 1, September, h. 113—132.

Syafriadi, Hepi. 2000. “Kemampuan Earnings dan Arus Kas dalam Memprediksi Earnings dan Arus Kas Masa Depan: Studi di Bursa Efek Jakarta”. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. Vol. 2, No. 1, April, h. 76—88.

Wallace, Wanda A. (1997). Financial Accounting. 3rd ed. Cincinati : South Western Publishing.

Watson, Jodi dan Peter Wells. 2005. The Association Between Various Earnings and Cash Flow Measures of Firm Performance and Stock Returns: Some Australian Evidence. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=815365.

Wilson, P.G. (1986).” The Alternative Information Content of Accrual and Cash Flow: Combined Evidence at The Earnings Anouncement Annual Reports Release Date”. The Accounting research. Vol.24, Supplement, pp.165-200.

Mahdi, The Functions of Fund Raising

258

THE FUNCTIONS OF FUND RAISING IN THE DEVELOPMENT OF STRATEGIC PLANNING PROCESS

by

Sayed Mahdi Lecturer Faculty of Economics, Syiah Kuala University, Banda Aceh

ABSTRACT

Artikel ini mendeskripsikan peran pentingnya strategi penggalangan dana dalam dunia perguruan tinggi yang dominan di praktekkan di Universitas Amerika dalam menbackup strategi pengembangan kampus. Kesuksesan dalam penggalangan dana juga di kaitkan dengan ketepatan strategi perencanaan yang di terapkan. Penelitian ini juga mendeskripsikan penerapan penerapan strategi terkini dalam penggalangan dana yang di implementasikan di berbagai perguruan tinggi Amerika, yang diharapkan bisa di terapkan di dalam pengembangan perguruan tinggi di Aceh. Hasil dari artikel ini, menyarankan para perencana strategis dalam dunia perguruan tinggi untuk mempertimbangkan ketersediaan dana terutama ketika memutuskan membangun kampus baru, penyediaan bantuan keuangan untuk mahasiswa, perekrutan dan mempertahankan dosen, dan menjamin terciptanya kesehatan keuangan yang stabil untuk masa depan kampus melalui penggalangan dana abadi.

Keyword : strategic planning, fund raising, higher education. INTRODUCTION

The intentional Plan for the U.S. Department of Education for fiscal years 2007-12 has three goals, with the third specific to higher education. That goal is to, “Ensure the accessibility, affordability, and accountability of higher education, and better prepare students and adults for employment and future learning” (p.4). The underlying main denominator to pursue this goal is money, and how and where the money comes from, is a major driver when creating strategic plans in higher education.

University endowments enjoyed remarkable returns in the 1990’s. Economist Donald Frey (2002) revealed that the decade of the 1990s “returned an average 12.9% annual rate with an average inflation rate of only 2.9%” (p.109). Additionally, alumni gifts accounted for

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

259

27% of all voluntary support of higher education in the fiscal year of 1992-93 (Okunade, 1996). Colleges that claimed endowments over $1 billion enjoyed median rate of returns over one year of 21% (Schworm, 2008). However, these robust returns were celebrated before the stock market and housing crisis of fiscal year 2009. In October 2008 The University of Texas at Austin shockingly reported an endowment decline of $1 billion dollars and gives total responsibility for this to the worldwide economic meltdown (Associated Press, October 31, 2008). The landscape of giving could get worse, according to a study by Okunade; findings revealed that alumni giving increases when there is a strong confidence in the economy (1996).

College endowments were mainly built from the generous donations of alumni and friends of universities and from corporations and foundations. A study conducted by the Ford Foundation (1969) revealed that donors “were primarily concerned with program support regardless of the level of spending required and that many donors of large gifts have left no evidence of a desire that spending should be less than the total return on invested funds” (Frey, 202, p. 111). If donor intent is to invest in programs and support for the university, do strategic planners reflect this interest when planning for the future of the said university? The rationale for this paper is to investigate how fund raising and donations help dictate a university’s strategic plan and how fund raising is involved within the strategic planning process.

Fund raising in higher education has become the lifeblood of universities. In 2007 the University of Pittsburgh reported that only 23% of revenues came from student tuition, while 5% came from gifts and pledges and 3.6% of revenues came from endowment earnings with the bulk of spending from grants and contracts (University of Pittsburgh Factbook, 2008). The University of Pittsburgh is in the midst of a $2 billion campaign and recently completed its best fund raising year to date (Office of Institutional Advancement, University of Pittsburgh, 2008). Fund raising can help to decrease the burden of using tuition dollars to fund building projects and student programs and rely more on large donations and endowment returns. Fund raising has evolved from the responsibility of the university president to that of large staffs dedicated solely to raising money for the university (Cook & Lasher, 1996).

Mahdi, The Functions of Fund Raising

260

Planning Peterson (1997) explains that contextual planning is,

not seen as unrelated to or inconsistent with effective long-range or strategic planning approaches. It is seen as an extension to our understanding of planning necessitated by and related to the changing nature of our institutional environment and our system of industry. (Peterson, 1997, p.60)

Contextual planning typically takes place during periods of

change. Changes in higher education can range from demographic, socioeconomic, enrollment, and national and world economy issues. Such changes influence the type of strategic planning an institution engages in. Peterson (1997) discusses that 1975 through 1990 strategic planning was influenced by “economic constraints; new alternative plans for public funds; and real decline in the number of traditional college-aged students” (p.62). Each of these issues call for increased fund raising efforts and should be reflected and discussed at length in the strategic planning process. Contextual planning should be utilized through the current economic crisis to take both a proactive and reactive position. Higher education must first react to the economy on several fronts. Endowments have suffered large declines in the stock market, state funding is decreasing for many institutions, fewer students will be able to afford the high cost of education, and student loans will be harder to secure. However, planning can be proactive if institutions examine the environment and begin to plan for new fund raising opportunities to survive the current crisis and plan for a stable future. A certain threat to institutions during difficult economic times is the dependency on endowments. Liefner (2003) surmised that “University administrators should define the basic goals of their institutions and propose how they can fulfill their mission under the given, historically developed, and culturally accepted framework that revolves around the endowment, the reputation, the regional industrial potential, etc” (p.487). Heavy dependence on shrinking endowments is a potential disaster during a stock market crisis unless the funds are invested ultra conservatively. To appropriately prepare for the future, institutions must “identify major directions that will promote institutional health and viability” (Schmidtlein & Milton, 1988, p.109). These directions will likely be fueled by the funds that are currently available and how much

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

261

can be raised to fulfill these goals. According to Liefner (2003), sources of income and how funds are budgeted vary drastically from institution to institution. Higher education is not a one size fits all scenarios; there are both public and private institutions, for-profit and vocational schools - each with different funding needs and funding sources. These differences will be exemplified in this paper by investigating situations at Harvard University, Virginia Wesleyan College, Robert Morris University, Virginia Polytechnic Institute and State University (Virginia Tech) and The University of Pittsburgh. Harvard University

It is not surprising that collegiate fund raising began at Harvard University in 1640 with the college’s first president, Henry Dunster (Cook& Lasher, 1996). Today, Harvard boasts an unprecedented endowment of $34 billion (Chronicle of Higher Education Facts & Figures, 2008). This achievement did not come without its tolls. Harvard may boast financial strength and can look to the future without the same monetary concerns that smaller and less financially stable universities have. However, a reason cited for a leave of absence by past Harvard President Neil Rudenstine in 1994 was stress from fund raising (Cook, 1997).

With its massive endowment and a long history of prestige, Harvard University may appear to have endless opportunities to continue its success. In a speech to the strategic plan steering committee, Harvard President Faust charged the strategic planning steering committee “to guide a planning initiative that will lead to the transformation of certain physical spaces in Cambridge so that they support and enhance our sense of engagement and community” (“Harvard University Speeches and Publications,” 2008). The transformation on campus that President Faust is charging the strategic planning steering committee with will financially be significant. The Strategic Planning Committee must determine if existing monies are available for this initiative, or if a fund raising campaign is necessary to complete the task.

The Chronicle of Higher Education reported in December 2007 that Harvard planned to “raise its spending on student aid to $120 million from $98 million annually” (Hoover, p.4). According to Harvard’s web site, the university has a needs based policy for financial aid and that approximately 70% of enrolled students receive some type of financial aid (“Harvard University Admissions,” 2008). Additionally,

Mahdi, The Functions of Fund Raising

262

families with earnings under $60,000 per year are not responsible for contributing to their child’s tuition costs at Harvard. Moreover, the Harvard Strategic Advisory Group on Education (SAGE) placed the issue of student debt reduction for medical school students as one of their primary strategic directions. This strategic priority will be met by a $3 million increase in scholarships to Harvard Medical School students; an increase of 40% over the current funding levels (“Harvard Medicine Strategic Planning”, 2008). This is another example of how fund raising and the need for scholarships at Harvard University help to drive strategic priorities. Virginia Wesleyan College

Enhancing alumni loyalty was an objective resulting from the Strategic Planning Committee of Virginia Wesleyan College in the academic year of 1999-2000 (Ridley & Boone, 2001). To achieve this objective, an Alumni Loyalty Task Force was created. The task force defined alumni loyalty through the following ways:

a. understands and appreciates the value of a liberal education, b. valued the education received and believed it was of high quality

and an excellent investment, c. was satisfied with experience as a student, d. had a minimum of unresolved issues and efforts made on his/her

behalf, e. appreciates current benefits of being an alumnus/alumna and

takes advantage of them, f. believes his/her degree (if applicable) is highly regarded, g. maintains ties with VWC to extent of ability (distance and

opportunity), h. supports VWC in appropriate ways (Ridley & Boone, p. 2,

2001). For the purpose of this paper the focus will remain on point “H”,

supports VWC in appropriate ways. Ridley and Boone (2001) explained that loyalty comprised of “labors of love as well as sums written on bank drafts” (p.13). The appointed Task Force investigated the meaning of alumni loyalty, surveyed a population of alumni for feedback on their student and alumni experience, and finally submitted a report to the Strategic Planning Committee with recommendations and findings. The Strategic Planning Committee then included this information in their

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

263

final plan. The Alumni Loyalty Task Force was instrumental in developing a context for this area of the strategic plan.

The Alumni Loyalty Task Force is an illustration of how strategic plans include alumni giving as one factor for consideration. Focusing on alumni loyalty is important for many reasons; however, donation potential is a large area of focus. A study by Clotfelter (2003) revealed that student satisfaction with their university equated to larger charitable gifts to the institution as an alumnus (p.22). When the experience was positive, the donation was higher. In fact, the report concluded that those with a positive student experience donated 2.6 times more than those that reported a mediocre or unsatisfactory experience (Monks, 2003). The Task Force will not only look at the loyalty of their alumni, but how that loyalty translates to monetary gifts to the institution. Robert Morris University

Robert Morris University (RMU) is a small private college located in Western Pennsylvania that was founded in 1921. RMU operates on a slim financial budget with heavy dependence on student tuition (92% of the operating budget) and small earnings from a $21 million endowment. Due to their small endowment and annual financial dependence on student tuition, a strategic initiative that resulted from their strategic plan is to embark upon a $40 million capital campaign (Majka, 2008).

Increasing an endowment and decreasing dependence on student tuition are two very strong initiatives for a strategic plan. Endowments are built on alumni donations, corporations and foundations, annual and planned gifts. This RMU strategic initiative is an excellent case for how fund raising drives a strategic plan by placing monetary needs to offset dependence on student tuition as on of its highest priorities. Virginia Tech Virginia Tech is a public land grant university with an enrollment of over 25,000. The 2006-12 strategic plan for Virginia Tech is titled “Invent the Future: Quality, Innovation, Results.” Virginia Tech’s plan includes three scholarship domains: learning, discovery, and engagement, and three foundation strategies: development of the organization, investment in the campus infrastructure, and effective resource development, allocation and management (“Virginia Polytechnic Institute and State University web site”, strategic plan,

Mahdi, The Functions of Fund Raising

264

2008). Each foundation strategy includes action steps for achieving the goals. Examples of strategic goals that will require fund raising strategies are:

a. Enhance health, safety, and security operations b. Increase funding from private and other sources c. Maintain competitive tuition and fee package d. Practice effective debt management e. Utilize strategies to aggressively grow the endowment f. Utilize alternative fund sources g. Work with governor, legislators, General Assembly staff, and

SCHEV to increase state runding (http://www.president.vt.edu/strategicplan/.).

Each of the above goals will require thoughtful and substantive fund raising efforts to achieve. The goal to “practice effective debt management” can be achieved when costs are offset by major gifts that are designated to create or enhance campus buildings; the goal to “maintain competitive tuition and fee package” can be achieved when more scholarships are available, and finally, the goal of aggressively growing the endowment helps to support the university in perpetuity. The need for fund raising is evident throughout Virginia Tech’s strategic plan. In fact, Virginia Tech created a roadmap to accompany the strategic plan that shows how the strategies from the plan are linked to financial planning and outcomes. This flowchart connects each of the strategic initiatives to a six year financial plan cycle. The plan informs the annual budget process and outlines each initiative in a way that is linked back to the resource decisions. Each annual initiative will either “accelerate or decelerate planned initiatives to match available resources – dollars, space, or other infrastructure.” Additionally, each decision must “accomplish internal reallocations to support strategic plan goals” (“Virginia Polytechnic Institute and State University web site”, strategic plan roadmap, 2008). The Virginia Tech roadmap is an excellent way to illustrate the importance of budget allocations and resources necessary within a strategic plan. The University of Pittsburgh The University of Pittsburgh is in the midst of a $2 billion campaign. As of September 30, 2008, the campaign total is $1.295 billion raised partially from 75,073 alumni donors. World of Giving (Fall 2008) magazine reports that the number of faculty chairs available increased by 203% as a result of the campaign thus far. In the same

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

265

magazine, it is reported that 11 percent of university’s budget comes from the Commonwealth of Pennsylvania. However, the University Times (September 2008) has reported that a budget cut of 4.25 percent is likely in fiscal year 2009. This reduction must be recovered and fund raising efforts will have to increase to recoup the loss. A strategic long term goal of the University of Pittsburgh, as reported to the Middle States Commission on Higher Education 2007 reaffirmation of accreditation periodic review report, is to, “Offer truly superb undergraduate experiences in a research university of nationally recognized stature” (p.13). Additionally, in 1996, the Board of Trustees charged the University with improving undergraduate education at the University of Pittsburgh. Part of this charge included a goal of improving the quality of student life. This goal was accomplished through the hiring of a new Dean of Students in 2005, Dr. Kathy Humphrey. Under Dr. Humphrey’s leadership, a strategic plan was developed for the Office of Student Affairs, which:

supports the academic mission of the university by enhancing student learning, development of experiential learning opportunities, and working with members of the university community to develop programs and services that will add considerable value to the learning experiences that emanate from the classroom. (University of Pittsburgh, Periodic Review Report to the Middle States Commission on Higher Education, p.22) Changes that have resulted from this strategic goal have included

the addition of leadership development programs (Office of Cross Cultural and Leadership Development), an enhanced Student Union with study rooms, entertainment centers, eateries, living and learning communities in residence halls and a First Year Experience program (“University of Pittsburgh”, Office of Student Life, 2008). New programs and facility are outcomes of the strategic plan and support Schmidtlein and Milton’s (1988) belief that a crucial focus of strategic planning is “on enhancing institutional adaptation to the external environment” (p.109).

The University of Pittsburgh of Pittsburgh is a large, complex system with a structure that may be defined as loosely coupled, meaning that what affects one part of the University does not necessarily affect another. According to Peterson (1997), a loosely coupled organization must maintain flexibility to compete in changing environments (p.65).

Mahdi, The Functions of Fund Raising

266

Perhaps this is one reason why different parts of the university, ranging from student affairs to the individual schools and colleges, maintain separate strategic plans and have distinct fund raising goals apart from that of the University as a whole. Scanning the Environment Environmental scanning is one of the first and most important steps to a strategic planning process. One technique used in environmental scanning, cross-impact analysis, is similar to a method used in fund raising known as “feasibility studies”. The cross-impact analysis was created by Olaf Helmer in 1950 and it “builds on the convergence of opinions obtained through a Delphi process by considering interactions between trends and events” (Whiteley, Porter, Morrison, & Moore, 1989-90, p.346). One might compare a feasibility study to a cross-impact analysis because the main purpose of conducting a feasibility study is to interview potential donors to determine their intents on donating to a university and what other environmental and personal factors may inhibit their donations. The results of feasibility studies often are the determining factor for pursuing or not pursuing a capital campaign or major fund raising initiative. Whiteley et al. (1989-90) surmises that “only through interaction of trends and events does the richness of the scenario emerge” (p.346) when properly employing a cross-impact analysis. This is true of feasibility studies as well. If trends, such as how an economy recovers from a depression, were ignored during a feasibility study, an incorrect scenario would be presented to the planners. This is only one example of many factors that fund raisers must take into account in addition to the donor interview. Morrison and Wilson (1997) stated that there are three pieces of the external environment necessary for scanning – the market environment, the industry environment, and the macro-environment. Donors and potential donors to a university may be described as part of the market environment due to their commitment and affiliation to the specific institution. These donors are then divided into subgroups of major donors, restricted and unrestricted annual giving donors, corporations and foundations, and planned giving donors. Once the university’s strategic plan identifies areas that require budget needs necessary from outside revenue sources, scanning in each donor area must take place to determine the potential for raising funds specific to that area. This process must be included in the first stages of environmental scanning or in conjunction with all scanning efforts to

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

267

properly advise the planners of all funding possibilities. Ignoring donor scanning could upset or misadvise the entire planning process. While most environmental scanning focuses on journals, newspapers, television and radio, scanning potential donors involves tax and property records, tracing family roots and histories, public records, personal debts, number of school-aged children, and learning what other organizations the donor has supported. By examining each of these areas fund raising professionals can assess how much a donor might commit to a university and in what time frame the commitment can be made. Scanning donor potential is crucial for planning for a capital campaign. Capital Campaigns

Harvard is the epitome of financial stability in higher education and is used here only as an example of extreme success. According to Breneman (1994), most universities did not begin aggressively fund-raising until the 1980s. Research conducted by Cook (1997) revealed that “9% of the public and 37% of the private institutions initiated campaigns between 1974 and 1979” (p.59). According to the Chronicle of Higher Education in 2007 there were 28 universities across the country in the midst of a capital campaign with a goal of raising $1 billion or more (Strout, 2007). What role does capital campaigns play in strategic planning? Capital campaigns allow institutions to remain competitive by raising large funds designated for future endeavors such as new buildings, endowed chairs, scholarships, and athletic facilities to name a few. Planning for new facilities is typically the result of a strategic plan, and the funding is often included in a capital campaign allocation.

Over 40 years ago, Yale launched what at the time was the largest fund-raising campaign with a goal of $388 million. Instead of offering a time period for reaching this incredible goal, Yale decided to make their aggressive fund raising efforts permanent (Samuelson, 1967). This ideology has extended to fund raising practices nationwide – a never ending continuum of aggressive efforts to build billion dollar endowments.

Capital campaigns allow universities to not only enlarge and enhance campus buildings, but also enhance academic programs by providing supplementary funding for additional faculty, creating state-of-the-art laboratories and providing the newest technology, and endowing chairs ensuring support in perpetuity for the program.

Mahdi, The Functions of Fund Raising

268

Bradburd and Mann (1993) describe that a measure of wealth in higher education is viewed as “resources that allow an institution to set its level of tuition and fees below the operating cost of educating a student” (p.476). Capital campaigns create that sense of wealth by growing endowments that produce high rates of return through the interest and applying that wealth to programs that support academia and the university’s mission. The U.S. News & World Report Factor

Ronald Ehrenberg (2002) describes the U.S. News & World Report (USNWR) as the “gold standard of the ranking business” (p.146). Several factors are used in the ranking categories that determine the overall rank of an institution. One such category is “alumni giving”. This category accounts for 5% of the weight and is calculated by an average alumni giving rate (America’s Best Colleges, 2001). Although overall this weight is minor compared to the other categories, universities often use USNWR as a solicitation tool for attracting new donors. USNWR produces an annual survey to higher education institutions that has a category where it ranks institutions on alumni giving alone. Some institutions have been known to cloud their achievements in this category by asking alumni for gifts of only $1, for the sole purpose of increasing alumni participation (Golden, 2007). However, some institutions are scrambling to increase their overall USNWR ranking because it is a strategic priority of that institution.

A national liberal arts college (name disclosed by agreement) was charged with improving their USNWR rankings as part of its strategic planning process (Ehrenberg, 2002). To achieve this strategic goal, the university added to their strategic plan the goal to increase faculty salaries, a category which affects rankings. This is a key example of how improving USNWR rankings can become a strategic priority, driving decisions that will ultimately contribute to increased rankings. A decrease of alumni participation in the annual fund can ultimately lead to a decline in USNWR rankings.

To combat the strain of receiving participation gifts from young alumni who are just starting out in their careers and often strapped with student loans, some institutions have instituted creative accounting systems to count donor participation. For example, Albion College counted senior class gifts as multi-year donors (Golden, 2007). This system was unknown to research staff of USNWR and ultimately gave the school higher points in the alumni giving category. Albion’s

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

269

strategy was a result of a trustee directive to increase the participation of alumni giving. This pressure was compounded when one of Albion’s trustees challenged the college to increase the giving rate to 50%; a goal that if accomplished he would then donate $1.5 million to the school to institute a lecture series (Golden, 2007, p.5).

Improving an institution’s rankings may often appear in the strategic plan of colleges and universities nation wide. Regardless of the tactics and objectives needed to achieve increases, fund raising and increasing alumni giving participation can make or break the placement on the sometimes coveted USNWR list. In an interview with the Chronicle of Higher Education (2007), US News executive editor, Brian Kelly, alluded that a new category for the rankings might be added. This new component would award points for schools that “deliver a superior education at a low cost” (p.A14). Should this happen, perhaps strategic plans for some institutions will focus more on affordability and the cost of education?

William Massy (1994) wrote that “prestige has come to be viewed as a surrogate for higher education’s contribution to society” (p.379). Massy surmised that prestige in higher education opened doors to recruiting the best faculty, attracting the brightest and top students, and attracting financial support from donors and grants. Ranking, prestige and money too often become the focus when creating institutional goals. While money and prestige can attract top faculty that produce research and attract grants, it doesn’t always translate to excellent teaching and mentoring for students. Planning Approaches and Implementation An article on NetMBA.com, operated by the Internet Center for Management and Business Administration, Inc., explained a flowchart model of the strategic planning process as: mission →objectives → situation analysis →strategy formulation→ implementation → control. When considering fund raising in the overall depiction of a strategic plan for higher education one must pay close attention to the implementation stage. According to NetMBA.com, this stage includes marketing, research and development, procurement, production, human resources and information systems (http://www.netmba.com/-strategy/process/). Fund raising initiatives may be seen in the marketing, procurement and production stages. Fund raising and marketing are very closely related and complement one another. Money cannot be raised without a solid

Mahdi, The Functions of Fund Raising

270

marketing plan to tell the story of the institution. Some examples of how this can be done through campus signage, monuments, radio and television advertisements, the internet, and through personal stories and conversations. David R. Majka, Director of Institutional Research Robert Morris University (RMU), provided an excellent example of how marketing is used in a strategic plan when he discussed how RMU placed banners on the entrance to campus that listed the strategic directions of the university. A similar approach was employed at the University of Pittsburgh when the institution placed banners throughout the campus that read, “Building Our Future Together”. This slogan is also the name of the University’s $2 billion capital campaign. Consistency in university marketing and fund raising helps to tell a story and bring awareness of the impact of donating to a university. The functional stage of procurement during implementation is, in other words, the process of securing funds. This is where the financial commitment is made and the action of transferring or pledging funds is secured. The last stage, production, involves using the secured funds to implement the designated project. For example, the Swanson School of Engineering on the University of Pittsburgh campus is currently being constructed as a result of a multi-million dollar donation from a University of Pittsburgh alumnus. The strategic planning process noted by NetMBA is only one example of a strategic planning process. Another process developed by Robert Kaplan and David Norton (1999) is known as “The Balanced Scorecard Approach” (p.6). This approach involves both financial and non-financial issues that measure performance. While this approach is more related to a business model, and not higher education, fund raising would be placed under the financial category and the measures would most likely include total donors, amount of money raised, amount of money pledged, return on endowment, and overhead fund raising costs. A plan that is specific to higher education might look like the model proposed by the Center for Organizational Development and Leadership at Rutgers University. This approach involves leadership, communication and assessment. In each of these imperatives, the role fund raising can be applied. A capital campaign typically employs a chair, and in most cases, this position is given to a prestigious alumnus that has a long donor history with the institution. The capital campaign chair is used in all marketing materials for the campaign, is often the signatory for donor solicitation letters, and will often accompany gift officers on donor visits and when asking for major gifts. The role of the

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

271

chair is not only to serve as a leader for the campaign, but to assist in fund raising efforts and to make what is called a “leadership gift”, known also as the first large gift that “kicks off” a capital campaign. The communication imperative is also important in fund raising. The University is responsible for reporting all financials and sharing such information with its stakeholders – students, parents, government, faculty and staff, and the community. Communicating how donations are used and where the funds are allocated is important for reputation and accountability. Finally, fund raising should always be involved in assessment. It is important to evaluate the entire fund raising process – beginning with the feasibility study, to the prospect research stage, to the donor “ask”, and through to procurement and production. This information is vital for many reasons. One very important rationale is donors cannot be treated as mere sources of income and should not constantly be solicited for funds by various components of the university. Gift officers need to work together to coordinate solicitations. It is also important to assess how the funds were used and if the best return is produced. Different approaches will be used in different institutions; however, fund raising will remain a constant in each approach and should remain on the forefront of every plan and through the implementation. Conclusion It cannot be argued that fund raising isn’t one of the most important actions and drivers of a strategic plan. Without fund raising efforts a university would be hard pressed to survive in today’s environment. Strategic Planners must consider the availability of funds when deciding upon new campus buildings, providing financial support for students, recruiting and retaining faculty, and creating financial stability for the future of the university through endowments. University Advancement staff should be an active part of strategic planning process so they can best assist in the strategic directions dictated by the plan. New sources for support must constantly be researched and pursued in order to compete aggressively in the field. The current financial crisis will dramatically impact the landscape of fund raising but it cannot be a deterrent to providing the much needed support to provide quality higher education to the public. Strategic plans will have to accommodate for these new challenges, but it cannot settle for mediocrity. Large campaigns with equally large goals will

Mahdi, The Functions of Fund Raising

272

remain necessary to maintain quality higher education to students worldwide.

REFERENCES Associated Press (2008, October 31). UT Endowment fund takes $1

billion hit in financial crisis. Retrieved November 5, 2008 at http://www.chron.com/disp/story.mpl/front/6088139.html.

A summary of best practice approaches in strategic planning processes. Retrieved May 2007 from http://www.cfar.com/Documents/-BestPract.pdf.

Barlow, K. State money woes threaten cut in Pitt appropriation. University Times (41) 3.

Bradburd, R.M. & Mann, D.P. (1993). Wealth in Higher Education Institutions. The Journal of Higher Education, 64, (4), 472-493.

Breneman, D.W. Liberal arts colleges: thriving, surviving, or endangered? Washington, D.C.: The Brookings Institution, 1994.

Chronicle of Higher Education (2008). Facts & Figures. College and University

Endowments, 2007-2008. Retrieved November 5, 2008 at http://chronicle.com/premium/stats/endowments/results.php?year=2008&sort=market&stat

Clotfelter, C. (2003). Alumni giving to elite private colleges and universities. Economics of Education Review, 22 (3).

Cook, B. (1997). Fund raising and the college presidency in an era of uncertainty: from 1975 to the present. The Journal of Higher Education, 68 (1), 53-86.

Cook, B. & Lasher, W.F. (1996). Toward a theory of fund raising in higher education. The Review of Higher Education, 20, (1), 33-51.

Ehrenberg, R.G. (2002). Reaching for the bras ring: the U.S. News & World Report Rankings and competition. The Review of Higher Education, 26 (2), 145-162.

Frey, D. (2002). University endowment returns are underspent – Higher Education-Statistical Data Included. Challenge, 43 (4), 109-121.

Golden, D. (2007, March 2). Math lessons: to boost donor numbers, colleges adopt new tricks; sinking alumni stats, zeal for

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:257-274

273

rankings spur rate inflation. Retrieved November 11, 2008. The Wall Street Journal. pp. A1.

Harvard University web site. Retrieved November 8, 2008 at http://www.president.harvard.edu/speeches/faust/080424_openspaces.html

Harvard University web site. Retrieved November 8, 2008 at http://hms.harvard.edu/public/strategy/21Mar2008.shtml.

Liefner, I. (2003). Funding, resource allocation, and performance in higher education systems. Higher Education, 46 (4), 469-489.

Majka, D. Presentation to University of Pittsburgh graduate class: Strategic Planning in Higher Education. Presented on November 10, 2008.

Massy, W.F. (1994). Measuring Performance: How colleges and universities can set meaningful goals and be accountable. In ASHE Reader on Planning and Institutional Research. (pp.378-392): Peterson’s Guides: Princeton: New Jersey.

Morrison, J.L. & Wilson, I. Analyzing environments and developing scenarios in uncertain times. Retrieved May 2007 from http://horizon.unc.edu/courses/papers/JBChapter.html.

Office of Institutional Advancement, University of Pittsburgh. Campaign Update, Electronic Mail, received November 5, 2008 at http://ia-campaignupdate.createsend2.com/t/1/e/qlto/ilatryk/.

Okunade, A.A. (1996). Graduate school alumni donations to academic funds: Micro-data evidence. American Journal of Economics and Sociology, 55, 213-229.

Peterson, M. Using contextual planning to transform institutions. In M.W. Peterson, D.D.

Dill, and L.A. Mets (Ed.), (1997) Planning and Management for a Changing Environmnet, Jossey-Bass.

Ridley, D.R. & Boone, M.M. (2001). Alumni loyalty: A survey investigation. Reports-Research (143). Virginia Wesleyan College.

Samuelson, R.J. (1967). Yale launches marathon campaign. Science, New Series, 158 (3809), 1658-1659.

Schmidtlein, F. A., & Milton, T. H. (2000). College and university planning: Perspectives from a nation-wide study. In M. W. Peterson (Ed.), ASHE Reader on Planning and Institutional Research (pp. 107-119): Pearson Custom Publishing.

Schworm, P. Harvard’s endowment surpasses $34 billion. Stock market fuels investment

Mahdi, The Functions of Fund Raising

274

gains for elite colleges and universities. Retrieved November 5, 2008 at http://www.boston.com/news/local/articles/2008/01/24/harvards_endowment_surpasses_3 The Boston Globe.

Strategic Planning in Higher Education: A Guide for Leaders. The State University of New Jersey, Rutgers. Department of University Relations. RU-0304-0296/1M.

Strout, E. (2007) What’s the Big Idea? Chronicle of Higher Education (22), A21

The strategic planning process. Retrieved May 2007 from http://www.netmba.com/strategy/process/.

University of Pittsburgh 2008 Fact Book. Retrieved October 28, 2008 at www.ir.pitt.edu/factbook/fbweb08.pdf.

University of Pittsburgh Office of Student Life Retrieved November 11, 2008 at http://www.sorc.pitt.edu/

University of Pittsburgh Periodic Review Report. Retrieved October 8, 2008. Presented by

Chancellor Mark A. Nordenberg to Middle States Commission on Higher Education, June 1, 2007.

U.S. Department of Education, Strategic Plan for Fiscal Years 2007-12, Washington, D.C., 2007.

Van Der Werf, M. (2007, May). Rankings methodology hurts public institutions. The Chronicle of Higher Education (53) 38, A13.

Virginia Polytechnic Institute and State University web site. Accessed on September 1, 2008 at http://www.president.vt.edu/-strategicplan/.

Whitely, M. A., Porter, J. D., Morrison, J. L., & Moore, N. (2000). Developing Scenarios: linking environmental scanning and strategic planning. In M. W. Peterson (Ed.), ASHE Reader on Planning and Institutional Research (pp. 107-119): Pearson Custom Publishing.

World of Giving. (Fall, 2008). Campaign Update. Department of University Marketing Communications.

Razali, Tahapan Belajar Motorik

1

TAHAPAN BELAJAR MOTORIK DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI

oleh

Razali Dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh

ABSTRAK

Belajar motorik adalah belajar yang difokuskan pada penguasaan keterampilan gerak melalui respons-respons masculer sebagai hasil dari latihan .Dalam belajar motorik, materi yang dipelajari adalah pola-pola gerak keterampilan tubuh, misalnya gerakan-gerakan dalam olahraga Hal ini menunjukkan bahwa ranah kemampuan yang paling intensif keterlibatannya dalam belajar motorik adalah ranah psikomotor. Namun, bukan berarti ranah kognitif dan afektif tidak terlibat di dalam belajar motorik. Kedua ranah tersebut tetap terlibat meskipun tidak merupakan unsur sasaran sentral. Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam belajar motorik adalah tahapan belajar motorik. Tahapan belajar motorik terdiri atas tahap kognitif (cognitive stage), tahap asosiatif (associative stage), dan tahap otonom (autonomous stage). Ketiga tahap ini harus mendapat perhatian lebih serius dalam belajar motorik agar hasil yang dicapai sesuai dengan harapan dengan waktu yang lebih efisien. Kata kunci: tahap kognitif, tahap asosiatif, tahap otonom PENDAHULUAN Belajar motorik merupakan bagian dari belajar secara umum. Tujuan dari belajar motorik adalah untuk menguasai berbagai keterampilan motorik dan mengembangkan agar keterampilan yang dikuasai dapat dilakukan untuk menyelesaikan tugas-tugas gerak dalam rangka mencapai sasaran tertentu. Misalnya, dalam belajar suatu keterampilan, si pelaku harus berusaha untuk menguasai keterampilan motorik tersebut sesuai dengan cabang olahraga yang dipelajari, dan kemudian memanfaatkannya agar keterampilan motorik tersebut bisa diterapkan dalam bermain atau bertanding. Di dalam berusaha me1nguasai keterampilan motorik diperlukan suatu proses belajar, yaitu proses belajar motorik. Proses belajar motorik pada hakikatnya berbeda dengan proses belajar kognitif dan proses belajar afektif. Perbedaan tersebut terletak pada aspek dominan keterlibatannya di dalam proses belajar itu sendiri. Belajar motorik adalah belajar yang lebih menekankan pada aktivitas gerak tubuh, belajar kognitif adalah belajar yang lebih menekankan pada aktivitas berpikir, dan belajar afektif adalah belajar yang lebih menekankan pada aktivitas emosi dan perasaan. Terdapat tiga tahapan dalam belajar motorik, yaitu: (1) tahap kognitif, (2) tahap asosiatif, dan (3) tahap otonom. Pada tahapan kognitif, guru mempunyai tugas yang sangat berat yaitu memperkenalkan kepada peserta didik sesuatu hal yang baru dan berusaha untuk mengendalikan proses pembelajaran sehingga peserta didik dapat menguasai hal-hal yang baru dalam batas tertentu. Pada tahap asosiatif, guru memiliki tugas untuk menambah dan memperhalus keterampilan motorik peserta didik. Sedangkan pada tahap otonom, guru berusaha menstabilkan kemampuan-kemampuan motorik yang telah didapat oleh peserta didik serta mengembangkan kempuan tersebut dalam berbagai situasi yang bervariasi

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:275-288

2

HAKIKAT BELAJAR MOTORIK Pembahasan mengenai belajar motorik akan diawali dengan pembahasan tentang pengertian belajar, karena pengertian belajar motorik tidak terlepas dari pengertian belajar pada umumnya. Belajar adalah perubahan tingkah laku yang sifatnya relatif permanen sebagai hasil dari latihan atau pengalaman (Morgan and Robinson, 1989:112). Menurut Good and Brophy (1990:124) belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan yang sifatnya relatif permanen menyangkut tentang pengertian, kepribadian, pengetahuan, informasi, kecakapan, dan kemampuan melalui pengalaman. Secara lebih luas belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang kompleks, yang tidak hanya berkaitan dengan kegiatan berpikir dan mencari pengetahuan, tetapi juga berhubungan dengan gerak tubuh dan emosi, serta perasaan. Belajar dapat terdiri atas belajar kognitif apabila lebih menekankan pada aktivitas berpikir, belajar afektif apabila lebih menekankan pada aktivitas emosi dan perasaan, serta belajar gerak atau belajar motorik apabila lebih menekankan pada aktivitas gerak tubuh (Sugiyanto, 1998:268). Kegiatan belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam diri individu. Kegiatan ini pada hakikatnya memperlihatkan suatu perubahan tingkah laku. Perubahan tersebut diperoleh dari latihan dan pengalaman. Seseorang dikatakan telah berhasil belajar tentang sesuatu apabila pada dirinya terdapat perubahan tingkah laku yang lebih baik dari sebelumnya mengenai hal yang dipelajarinya, misalnya dari yang tidak dapat membaca menjadi dapat membaca, dari yang tidak dapat menulis menjadi dapat menulis. Berdasarkan pengertian belajar tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa belajar dapat membawa perubahan-perubahan pada individu yang belajar. Perubahan tersebut tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga berbentuk kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, dan penyesuaian diri. Jelasnya menyangkut segala aspek organisme dan tingkah laku pribadi seseorang. Belajar motorik adalah belajar dengan seperangkat proses yang dihubungkan dengan latihan atau pengalaman sehingga mengakibatkan perubahan-perubahan yang bersifat relatif permanen dalam memberikan respons (Schmid, 2002: 3). Siedentop (1994: 291) menyatakan bahwa belajar motorik adalah suatu proses perubahan yang sifatnya relatif permanen dalam unjuk kerja keterampilan motorik sebagai hasil dari pengalaman dan latihan. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Drowatzky (1981:17) bahwa belajar motorik merupakan belajar yang diwujudkan melalui respons-respons otot yang diekspresikan dalam gerakan tubuh atau bagian tubuh. Dalam belajar motorik, materi yang dipelajari adalah pola-pola gerak keterampilan tubuh, misalnya gerakan-gerakan dalam olahraga (Sugiyanto, 1998:268). Hal ini menunjukkan bahwa ranah kemampuan yang paling intensif keterlibatannya dalam belajar motorik adalah ranah psikomotor. Namun, bukan berarti ranah kognitif dan afektif tidak terlibat di dalam belajar motorik. Kedua ranah tersebut tetap terlibat meskipun tidak merupakan unsur sasaran sentral. Berdasarkan beberapa pendapat ahli tentang belajar motorik yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa hal yang harus dipahami bahwa: Pertama, belajar motorik merupakan suatu proses bukan hasil. Berdasarkan teori belajar information processing, belajar motorik terjadi karena adanya informasi yang masuk kemudian diolah dan diaktualisasikan dalam bentuk gerak. Kedua, hasil belajar merupakan kemampuan merespons yang diaktualisasikan dalam bentuk gerak. Proses belajar motorik melibatkan berbagai komponen baik yang

Razali, Tahapan Belajar Motorik

3

berasal dari dalam diri individu maupun dari luar. Hasil akhir yang diharapkan adalah kemampuan merespon yang diaktualisasikan dalam bentuk gerakan yang benar atau terampil. Seseorang dikatakan terampil apabila telah menguasai faktor-faktor internal dari suatu keterampilan dan dapat dilakukan secara teratur dan tepat waktu. Ketika seorang anak mempelajari suatu keterampilan gerak, perubahan nyata yang terjadi adalah meningkatnya mutu keterampilan. Hal tersebut dapat diukur dengan beberapa cara, misalnya dengan menetapkan kriteria dan kemudian melihat skor yang dihasilkan, sehingga keberhasilan melakukan gerakan yang semula belum dikuasai dapat diketahui. Dapat juga dikatakan bahwa seseorang telah berhasil dalam belajar motorik apabila orang tersebut telah memperlihatkan suatu perubahan tingkah laku gerak yang lebih baik dibanding dengan sebelumnya. Ketiga, kemampuan atau perubahan yang dihasilkan bersifat relatif permanen. Pada dasarnya manusia menyimpan informasi pengalaman gerak masa lampau dalam ingatannya. Simpanan elemen-elemen gerak serta kaitannya antara satu gerak dengan gerak lainnya disebut dengan skema gerak (movement scheme). Teori skema gerak menjelaskan bahwa program gerak yang disimpan dalam ingatan bukanlah rekaman khusus gerakan yang harus dilaksanakan, melainkan seperangkat skema umum yang dapat mengarahkan kinerja (performance). Tujuan belajar motorik selain untuk menguasai suatu keterampilan juga agar keterampilan yang telah dikuasai dapat melekat pada dirinya. Perlu diingat bahwa manusia memiliki kemampuan yang terbatas, baik dari segi fisik, psikologis maupun sosiologis sehingga seseorang tidak akan dapat menguasai suatu keterampilan motorik selamanya. Menguasai suatu keterampilan motorik dalam waktu tertentu berarti seseorang yang harus mampu mengingat proses gerakan yang dilakukan serta secara fisik mampu dilakukan. Teori tentang lupa (Theories of retention and forgetting) menjalaskan bahwa kemampuan manusia untuk mengingat sangat terbatas dan semakin lama semakin berkurang bahkan bisa hilang atau lupa sama sekali (Singer, 1980). Keempat, kemampuan gerak sebagai akibat dari latihan dan pengalaman. Keterampilan gerak yang dikuasai bukan karena pengaruh perkembangan, pertumbuhan ataupun kematangan, melainkan keterampilan tersebut dipelajari melalui suatu proses. Belajar motorik adalah suatu proses bukan hasil, proses bisa berupa latihan yang dikondisikan maupun tidak, dan pengalaman masa lalu. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahantoknam (1988: 22) yang menyatakan bahwa hasil belajar diperoleh dari kondisi latihan atau pengalaman, bukan karena proses kematangan dan fluktuasi fisiologis. Kelima, perubahan bisa ke arah negatif. Pada hakikatnya seseorang yang mempelajari keterampilan motorik ingin meningkatkan keterampilannya atau mempertahankan keterampilan yang telah dikuasainya, namun hasil belajar tidak selalu mengarah ke perbaikan. Singer (1980:33) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan motorik mengikuti empat bentuk kurva belajar seperti gambar berikut ini.

Bentuk kurva belajar gerak

Keterangan: A = Kurva peningkatan negatif B = Kurva linear

A B C D

Hasil Belajar

Percobaan

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:275-288

4

C = Kurva berbentuk S D = Kurva peningkatan positif Sumber: Robert N. Singer, Motor Learning and Human Performance: An Aplication

to Motor Skill and Movement Behavior (New York: Macmilland Publishing Co, Inc., 1980:33).

Kurva peningkatan negatif (A) menunjukkan peningkatan keberhasilan

negatif, yaitu latihan awal menghasilkan prestasi yang cepat, akan tetapi kenaikan prestasi makin berkurang dan akhirnya menjadi stabil. Kurva linear (B) menunjukan bahwa keberhasilan selalu berbanding lurus dengan jumlah percobaan, artinya perkembangan maju dengan mantap. Kurva berbentuk S (C) menunjukan bahwa keberhasilan awalnya berkurang, kemudian diikuti peningkatan prestasi yang menanjak dan diakhiri oleh peningkatan yang kurang. Kurva peningkatan positif (D) menunjukan peningkatan keberhasilan dari awal kurang menonjol akan tetapi lama kelamaan prestasi makin baik dan terus, hal ini berlawanan dengan gambar kurva A. Sasaran belajar motorik dalam pendidikan jasmani meliputi dua aspek; pertama untuk meningkatkan kemampuan fisik dan kedua untuk meningkatkan kualitas gerak tubuh. Untuk meningkatkan kemampuan fisik, kegiatan yang dilakukan mengacu pada prinsip-prinsip latihan fisik (physical training), untuk meningkatkan kualitas gerak kegiatan yang dilakukan mengacu pada prinsip-prinsip belajar motorik (motor learning). Dalam pelaksanaannya, antara kegiatan fisik yang bertujuan meningkatkan kemampuan fisik dan kegiatan fisik yang bertujuan meningkatkan kualitas gerak seringkali sukar dilihat perbedaannya, apalagi yang melihat adalah orang awam dibidang olahraga. Hal ini memang wajar karena untuk mencapai tujuan yang berbeda tersebut bisa dilakukan dalam bentuk kegiatan yang sepintas lalu tampak sama. Misalnya seseorang yang sedang bermain bolabasket, orang akan sulit untuk membedakan apakah orang tersebut sedang berlari dan melempar bola dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan fisik atau untuk meningkatkan kualitas gerak, atau tujuan meningkatkan kemampuan fisik dan kualitas gerak sekaligus. Untuk dapat membedakan tujuan apa yang hendak dicapai perlu memperhatikan intensitas kegiatannya serta tingkat konsentrasi perhatian terhadap bentuk gerakan tubuh yang dilakukan. Berbicara tentang belajar motorik, tidak terlepas dari sistem pengontrolan gerak, yaitu pengontrolan gerak tertutup (close-loop) dan pengontrolan gerak terbuka (open-loop). Dalam sistem gerak tertutup umpan balik dimanfaatkan untuk mengevaluasi salah atau benar suatu gerakan, artinya gerakan yang telah dilakukan dibandingkan dengan suatu patokan atau kriteria acuan. Dengan demikian pada tahap awal belajar mahasiswa menggunakan pengetahuan tentang hasil (knowledge of result). Sedangkan dalam sistem gerak terbuka umpan balik dimanfaatkan untuk mengevaluasi gerakan pada saat mempelajari gerakan, atau dengan kata lain proses pemberian umpan balik menggunakan pengetahuan proses pada saat melakukan kesalahan dalam mempelajarai gerak (knowledge of performance) atau disebut juga umpan balik intrinsik (Schmidt, 1991: 229).

Gambar berikut adalah sistem pengontrolan gerak terbuka (open loop) dan tertutup (close loop).

= Input

Pengolahan Informasi

(Executive)

Input

Pengolahan Informasi

Pembanding

Kesalahan

Razali, Tahapan Belajar Motorik

5

Sumber: Richardt A. Schmidt, Motor Learning & Performance (Illinois, Campaign: Human Kinetic Book, 1991:49).

Sehubungan dengan sistem kontrol gerak tersebut di atas, dinyatakan bahwa umpan balik atau feedback dalam belajar keterampilan dapat diberikan dalam bentuk pengetahuan tentang gerak atau kemampuan tentang hasil. Dalam belajar motorik, gerakan yang baik akan memberikan hasil yang baik, tetapi hasil yang baik belum tentu merupakan akibat dari gerakan yang baik. Pendapat lain menambahkan apabila teknik baik maka gerakan akan lebih efisien (Bompa, 1985:56). Maksudnya, apabila penguasaan teknik sudah baik maka di dalam melakukan gerakan akan lebih menghemat tenaga dan hasilnya akan baik dan benar sehingga gerakan tersebut dinamakan berhasil. Karena di dalam proses pembelajaran olahraga dapat saja terjadi bahwa teknik jelek hasilnya baik bila diukur dengan penilaian tentang hasil. Berdasar pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan belajar motorik adalah seperangkat proses latihan yang dapat menghasilkan perubahan-perubahan yang sifatnya relatif permanen sebagai akibat pengalaman dan latihan dalam bentuk keterampilan gerak. TAHAPAN BELAJAR MOTORIK DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI Pengertian gerak (movement) dan motorik (motor) sering dianggap sama, padahal menurut Burton dan Miller (1998:43) kedua istilah tersebut merupakan dua buah konsep yang berbeda. Namun demikian, kedua istilah tersebut saling terkait dan tak dapat dipisahkan karena terdapat hubungan sebab akibat. Istilah motor itu sendiri mengisyaratkan adanya gerak otot, yang seakan-akan hanya sedikit melibatkan aspek kognitif. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa keterampilan-keterampilan yang dilakukan biasanya merupakan sesuatu yang kompleks dan melibatkan pendeteksian terhadap rangsangan dan pengambilan suatu keputusan yang semuanya dilakukan dalam tingkat yang tinggi, dan respons nyata hanyalah berbentuk satu gerakan dari aktivitas secara keseluruhan. Motorik mengandung arti sebagai suatu peristiwa laten yang meliputi keseluruhan proses pengendalian dan pengaturan fungsi-fungsi organ tubuh, baik fisiologis maupun psikis, sehingga terjadinya gerakan (Kiram, 1992:49). Peristiwa-peristiwa laten yang tidak dapat diamati tersebut meliputi penerimaan informasi/stimulus, pemberian makna terhadap informasi, pengolahan informasi, proses pengambilan keputusan, dan dorongan untuk melakukan berbagai bentuk aksi-aksi motorik, yang keseluruhannya merupakan peristiwa psikis. Adapun kemudian dilanjutkan dengan peristiwa fisiologis, yang meliputi pemberian, pengaturan, dan pengendalian impuls kepada organ-organ tubuh yang terlibat dalam melaksanakan aksi-aksi motorik. Hasil dari kedua peristiwa laten tersebut adalah gerak yang dapat diamati dengan mata telanjang. Pengertian dapat diamati adalah perpindahan benda tersebut dapat diukur dalam satuan waktu dan ruang. Dalam pendidikan jasmani dan olahraga, gerak dapat diartikan sebagai perubahan tempat, posisi, dan kecepatan tubuh atau bagian tubuh manusia yang terjadi dalam suatu dimensi ruang dan waktu. Gerak dapat diamati secara objektif, misalnya perubahan tempat, posisi, dan kecepatan tubuh atau bagian tubuh pada saat melompat, berjalan, berlari, dan berenang. Belajar motorik menurut Kehoe (2002:1) terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:275-288

6

kognitif (cognitive stage), tahap asosiatif (associative stage), dan tahap otonom (autonomous stage). 1) Tahap Kognitif Tahap kognitif merupakan fase awal dalam belajar keterampilan gerak. Pada tahap ini si pelaku mulai berpikir tentang cara melakukan gerakan suatu keterampilan (pembentukan motor plan). Si pelaku lebih banyak memikirkan gerakan mana yang harus dilakukan daripada berpikir tentang bagaimana cara melakukannya. Oleh karena itu, penyampaian informasi tentang tugas yang dipelajari harus jelas. Instruksi, demontrasi, dan informasi lisan lainnya yang jelas akan sangat bermanfaat bagi siswa dalam melakukan aktivitas. Alat analisis yang sangat dominan dalam penerimaan informasi adalah mata. Oleh karena itu, dalam memberikan informasi tentang apa dan bagaimana gerakan yang akan dilakukan sebaiknya diiringi dengan contoh melalui demontrasi gerakan sehingga lebih konkret. Selain itu, keterlibatan pikiran masih cukup besar sehingga menuntut banyak perhatian. Untuk itu, guru harus menghindari pemberian informasi yang terlalu banyak dan secara bersamaan. Informasi yang ditangkap oleh indera kemudian diproses dalam mekanisme perseptual. Mekanisme perseptual berfungsi untuk menangkap makna informasi. Dari fungsi ini pelaku dapat memperoleh gambaran tentang gerakan yang dipelajari. Belajar motorik pada tahap ini adalah penguasaan keterampilan motorik dalam bentuk kasar. Seseorang yang berada pada tahap ini hanya mampu melakukan gerakan gerakan-gerakan yang dituntut apabila situasi dan kondisi sangat mendukung (Kiram, 1992:69). Misalnya, seorang yang belajar menangkap bola dalam permainan bola basket, si pelaku hanya dapat melakukan teknik menangkap bola dengan benar apabila bola yang diberikan secara perlahan-lahan serta tepat pada posisinya. Dengan demikian, situasi dan kondisi yang mendukung tersebut harus dibangun dan dipertahankan sedemikian rupa sampai suatu teknik atau keterampilan yang dipelajari dapat dikuasai. Apabila kondisi tersebut di atas tidak dibangun dan dipertahankan sedemikian rupa, individu yang belajar pada tahap ini akan kembali mengalami kesulitan dalam mempelajari bentuk keterampilan yang diajarkan. Jika dilihat dari segi koordinasi gerakan, individu yang belajar pada tahap ini baru mampu memperlihatkan struktur dasar gerakan dalam bentuk yang kasar. Misalnya, dalam melakukan gerakan lay up, bagian-bagian strukturnya belum benar sehingga pelaksanaan gerakan secara keseluruhan terlihat belum lancar. Misalnya, langkah ketiga dalam gerakan lay up belum dapat dilakukan secara lancar, sering terhenti pada langkah kedua, sehingga gerakan tiga langkah tersebut kadang-kadang menjadi empat langkah. Selain itu, penempatan kaki juga masih sering keliru, maksudnya kaki manakah yang lebih baik untuk menolak pada saat shooting pada langkah ketiga. Demikian juga dengan panjang langkah yang sering kurang tepat sebagai akibat dari keragu-raguan. Berikutnya, jika dilihat dari segi irama gerakan, individu yang belajar gerak pada tahap ini masih belum sempurna, bahkan kadang-kadang terlihat tidak beraturan. Hal demikian dapat mengakibatkan individu cepat lelah karena irama gerakan tidak terkoordinasi dengan baik. Kesalahan-kesalahan seperti dikemukakan di atas adalah wajar karena individu yang berada pada tahap ini belum memiliki pengalaman motorik untuk itu. Akibatnya, pelaksanaan gerakan sering dilakukan dengan penuh ragu-ragu. 2) Tahap Asosiatif

Razali, Tahapan Belajar Motorik

7

Tahap selanjutnya dalam belajar motorik adalah tahap asosiatif atau disebut juga dengan tahap menengah. Pada tahap ini sudah terjadi peningkatan penguasaan koordinasi gerakan secara halus, dalam arti kualitas gerakan yang dilakukan sudah meningkat apabila dibandingkan dengan tahap kognitif. Selanjutnya, efisiensi gerakan juga sudah mulai meningkat sehingga pengeluaran energi semakin berkurang. Kesalahan gerakan semakin jarang terjadi dan bahkan apabila situasi dan kondisi tempat pelaksanaan gerakan sama dengan situasi dan kondisi pada tahap pertama, tugas gerakan yang dituntut dapat dilakukan dengan mudah. Pada tahap ini masalah-masalah yang menyangkut dengan pemahaman telah terpecahkan. Fokus sekarang telah berpindah pada pengorganisasian pola gerakan yang lebih efektif agar dapat menghasilkan gerakan yang lebih baik. Oleh karena itu, tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap pendalaman terhadap materi yang diajarkan. Hal ini berarti bahwa pada tahap ini dituntut aktivitas belajar yang tinggi. Sebagai konsekuensinya, perlu perhatian yang penuh dari guru baik kepada peserta didik maupun kepada proses pembelajaran itu sendiri. Jika dilihat dari segi koordinasi gerakan, individu yang belajar pada tahap ini sudah mampu melakukan koordinasi gerakan secara halus dengan penuh kepastian walaupun belum konsisten. Demikian pula, jika dilihat dari segi irama gerakan, pada tahap ini telah terjadi perbaikan-perbaikan yang cukup berarti. Irama gerakan yang kaku dan tersendat seperti pada tahap kognitif sudah tidak terlihat lagi. Perbaikan irama gerakan merupakan salah pengaruh dari semakin meningkatnya peran dan fungsi alat penerimaan informasi kinestetik. Kemajuan lain yang dicapai pada tahap ini adalah semakin meningkatnya kecepatan individu dalam mengkonstruksi gerakan-gerakan yang akan dilakukan. Peningkatan tersebut tidak hanya terjadi pada peningkatan kecepatan dalam mengkonstruksi gerakan, tetapi juga pada semakin lengkapnya kontruksi gerakan yang dapat dibangun. Hal ini disebabkan oleh adanya bantuan yang diperoleh dari simpanan motorik yang telah dimilikinya. Pemeliharaan dan peningkatan motivasi belajar peserta didik perlu mendapat perhatian guru. Pada tahap ini terjadi suatu fase yang disebut dengan keadaan stagnasi, yang merupakan suatu fase yang memperlihatkan bahwa peserta didik mengalami kemajuan yang lambat dan bahkan kadang-kadang tidak memperlihatkan kemajuan belajar sama sekali. Ciri lain pada tahap ini adalah semakin meningkatnya peran dan fungsi alat penerima informasi kinestetik atau penerimaan informasi melalui otot. Untuk itu, pemberian bantuan dalam pelaksanaan gerakan serta koreksi-koreksi terhadap kesalahan gerakan sudah dapat dilayani melalui alat penerimaan informasi kinestetik, misalnya memberikan bantuan atau koreksi gerakan dengan memegang bagian-bagian yang dikoreksi. Pemberian bantuan atau koreksi gerakan melalui alat penerima informasi kinestetik dapat membantu peserta didik dalam meningkatkan peran kinestetik untuk perbaikan perasaan gerakan. 3) Tahap Otonom Tahap otonom adalah tahap terakhir dari belajar motorik. Rink (2002:25) menyebutkan tahap ini sebagai tahap otomatis (automatic stage). Tahap ini baru terjadi setelah si pelaku belajar berulang-ulang. Karena kemampuan otonom merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam penguasaan keterampilan motorik olahraga. Tahap otonom diberi nama demikian karena pada saat melakukan gerakan

Mentari Vol. 11 No. 2, Juli 2008:275-288

8

tidak ada lagi pengaruh dari kegiatan lain yang terjadi secara simultan. Beberapa ahli menilai gejala seperti ini dapat terjadi karena adanya program gerak yang telah terbentuk. Program gerak adalah suatu rangkaian mekanisme yang dapat mengontrol terbentuknya gerak. Program gerak inilah yang mengontrol aksi seseorang pada saat bergerak dalam waktu yang relatif lama. Dalam tahap otonom, seorang individu yang ingin melaksanakan serangkaian gerakan atau tindakan motorik tidak lagi melaluinya lewat proses penyusunan program gerakan. Program gerakan itu sendiri sudah siap pada pusat ingatan motorik. Apabila stimulus yang datang sesuai dengan program gerakan yang telah tersimpan sebagai ingatan motorik, individu tersebut hanya tinggal merealisasikannya. Contohnya dapat dilihat dalam gerakan kaki dan ayunan tangan pada saat seseorang berjalan. Yang terlihat adalah orang tersebut seolah-olah tidak memikirkan lagi kaki mana yang harus melangkah terlebih dahulu dan tangan mana yang harus mengiringinya. Gerakan tersebut terjadi dengan demikian serasi dan harmonis. Demikian pula dalam cabang olahraga bola basket, keterampilan lay up shooting yang diperagakan oleh pemain kelas dunia seolah-olah memperlihatkan bahwa gerakan yang mereka lakukan merupakan gerakan refleks. Sebenarnya gerakan tersebut bukan gerakan refleks, melainkan gerakan-gerakan yang telah mencapai tingkat otomatisasi. Mengingat sulitnya mengubah bentuk gerakan yang salah setelah gerakan menjadi otomatis, sejak awal individu sudah harus diarahkan melakukan gerakan-gerakan yang benar secara teknis dan mekanis agar setelah mencapai tahap otomatisasi, gerakannya benar-benar efisien. Perlu diingat bahwa gerakan yang otomatis tidak sama dengan gerakan yang efisien. Gerakan yang otomatis belum tentu efisien. Gerakan yang salah secara mekanis pun dapat menjadi otomatis apabila terus dilakukan berulang-ulang. Hanya gerakan yang benar dan dilakukan secara ototmatis baru dapat menjadi gerakan yang efisien. Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah setiap orang yang melakukan latihan akan memasuki tahap otomatisasi? Jawabannya adalah tidak selalu. Terbentuknya kemampuan otomatisasi hanya mungkin bila individu yang bersangkutan benar-benar telah menjiwai dan memiliki bermacam-macam bentuk gerakan dalam suatu cabang olahraga.

KESIMPULAN

Belajar motorik adalah: (1) suatu proses bukan hasil, belajar motorik terjadi karena adanya informasi yang masuk kemudian diolah dan diaktualisasikan dalam bentuk gerak, (2) hasil belajar merupakan kemampuan merespons yang diaktualisasikan dalam bentuk gerak, (3) kemampuan atau perubahan yang dihasilkan bersifat relatif permanen, (4) kemampuan gerak sebagai akibat dari latihan dan pengalaman. Keterampilan gerak yang dikuasai bukan karena pengaruh perkembangan, pertumbuhan ataupun kematangan, melainkan keterampilan tersebut dipelajari melalui suatu proses, dan (5) perubahan sebagai hasil belajar dapat ke arah negatif.

Terdapat tiga tahapan belajar motorik, yaitu: (1) tahap kognitif (cognitive stage), adalah tahap awal dalam belajar keterampilan gerak. Pada tahap ini si pelaku mulai berpikir tentang cara melakukan gerakan suatu keterampilan pembentukan

Razali, Tahapan Belajar Motorik

9

(motor plan). Belajar motorik pada tahap ini adalah penguasaan keterampilan motorik dalam bentuk kasar, (2) tahap asosiatif (associative stage) adalah tahap kedua dari belajar motorik. Pada tahap ini sudah terjadi peningkatan penguasaan koordinasi gerakan secara halus, dalam arti kualitas gerakan yang dilakukan sudah meningkat apabila dibandingkan dengan tahap kognitif, dan (3) tahap otonom adalah tahap terakhir dari belajar motorik. Tahap ini baru terjadi setelah si pelaku belajar berulang-ulang. Karena kemampuan otonom merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam penguasaan keterampilanmotorik olahraga.

DAFTAR PUSTAKA Bompa, O. Tudor. Power Training for Sport, Plyometrics for Maximum, Power

Development. Canada: York University, 1994 Burton, Allen W. and Daryl E. Miller. Movement Skill Assessment. USA: Human

Kinetics, 1998 Drowatzky, John N. Motor Learning Principles and Practice. Minneapolis,

Minnesota: Burgess Publishing Company, 1981 Good, Thomas L. and Jere E. Brophy. Educational Psychology, A Realistic

Approch. New York and London: Longman, 1990 Kehoe, Thomas David. Motor Learning Theory. 1997 (http://www.casafutura-

tech.com/ Book/Sciebce/motor.html) Kiram, Yanuar. Belajar Motorik. Jakarta: Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan

Ditjen Dikti Depdikbud, 1992. Rahantoknam, B Edward. Belajar Motorik Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Proyek

Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti Depdikbud, 1988.

Schimidt, Richard A. Motor Learning and Performance from Principles to Practice. Illionis: Human Kineticks Publishers Inc., 1991

Siedentop, Daryl. Introduction to Physical Education, Fitness, and Sport. Mountain View, California: Mayfield Publishing Company, 1994.

Singer, Robert N. Motor Learning and Human Performance an Aplication to Motor Skills and Movement Behaviors. New York: MaCmillan Publishing Co. Inc., 1980.

Sugiyanto, dkk. Perkembangan dan Belajar Motorik. Jakarta: Depdikbud, 1998.