penerapan informed consent .doc

152
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 tercantum tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi bangsa dan seluruh tumpah dara Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta kedilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana 1

Upload: wayan-sugita

Post on 14-Dec-2015

58 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: penerapan informed consent .doc

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 tercantum

tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah

melindungi bangsa dan seluruh tumpah dara Indonesia dan

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi serta kedilan sosial.

Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah

upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu

rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu

termasuk di antaranya pembangunan kesehatan.

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu

unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita

bangsa Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pancasila dan

pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Oleh karena itu setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan

berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan

berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber

daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing

bangsa, serta pembangunan nasional.

1

Page 2: penerapan informed consent .doc

Pembangunan kesehatan sebelum berlakunya Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; bahwa

masyarakat selalu memandang persoalan pembiayaan kesehatan

sebagai suatu yang bersifat konsumtif/ pemborosan. Di sisi lain para

pengambil kebijaksanaan juga masih belum menganggap kesehatan

sebagai kebutuhan utama dan investasi berharga. Namun setelah

berlakunya Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,

maka terjadi suatu perobahan karena kesehatan merupakan hak asasi

manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan

sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang

dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia.

Kesehatan adalah orang hidup produktif secara sosial dan

ekonomis. Istilah dan makna dari kesehatan bahwa siapapun berhak

untuk menerima dan mendapatkan hal tersebut maka ditetapkanlah

suatu defenisi tentang kesehatan yaitu, setiap tindakan atau

serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan

berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,

peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan

kesehatan oleh pemerintah dan atau masyarakat, diatur dalam UU

Nomor 36 tahun 2009.

2

Page 3: penerapan informed consent .doc

Salah satu tindakan di bidang kesehatan ada yang disebut

tindakan medis, tindakan ini biasanya dilakukan oleh seorang yang

berprofesi dokter. Ketika seorang dokter melakukan tindakan terhadap

sesorang pasien tak jarang melakukan tindakan yang disebut “Medikal

error”, meskipun istilah ini tidak dapat dimasukkan secara langsung ke

dalam konteks hukum. Seperti kesalahan, karena dapat saja di artikan

sebagai kelalaian (hukum). Sedangkan menurut J.Guwandi, (2005:2)

“medikal error” tidak selalu dikaitkan dengan sanksi, Medikal error

dapat dimaafkan, walaupun menurut ukuran hukum termasuk yang

berat. Dengan demikian, maka harus diakui bahwa ada saling

tumpang tindih antara.“medikal error dan medikal negligence.

Hukum medis mengenal dan memakai istilah

“malpraktek/kelalaian medis namun tidaklah sama dengan istilah

error, karena salah satu tolak ukurnya adalah akibat yang timbul dari

tindakan yang dilakukan seseorang. Dalam bidang medik dahulu

dianuti/anggapan bahwa akibat dari tindakan medik dapat dipisahkan

dari hubungan antara dokter-pasien hanya saja kini sudah

ditinggalkan. Dewasa ini sudah mulai ada pengertian bahwa terdapat

suatu kaitan tentang cara bagaimana pemberian pelayanan dan

perlakuan itu diberikan yang akan mempengaruhi penerimaan akibat

yang timbul.

Kewajiban bagi seorang dokter adalah akan bekerja secara

berdasarkan “Sumpah Hipocrates” tetapi pasien juga mempunyai hak

3

Page 4: penerapan informed consent .doc

dan kewajiban sama seperti seorang dokter. Terkait dengan hak dan

kewajiban baik bagi seorang dokter maupun seorang pasien itu harus

diketahui. Salah satu kewajiban dokter adalah bila akan melakukan

suatu tindakan harus melakukan persetujuan terlebih dahulu dengan

pasien walaupun dalam teori mengatakan bahwa Informed consent

bisa dilakukan bisa tidak, boleh secara tertulis boleh lisan dan itu

semua dianggap sah bila telah dilakukan secara prosedur dan aturan

yang berlaku.

Menurut Pasal 1 Butir (a) PERMENKES Nomor

585/MENKES/PER/IX/1989 yang kemudian dicabut dengan

PERMENKES 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan

Tindakan Kedokteran (Pasal 1 angka 1) dinyatakan bahwa

persetujuan tindakan kedokteran ialah persetujuan yang diberikan

oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan

secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi

yang akan dilakukan terhadap pasien. Pernyataan ini dapat diartikan

bahwa tanpa adanya persetujuan dari pasien, tindakan apapun tidak

sah dilakukan oleh dokter kecuali bila pasien dalam keadaan gawat

darurat. Menurut J. Guwandi dalam bukunya dikatakan bahwa

informend consent dibagi dalam dua bentuk yaitu dinyatakan

(expresed) yang dapat dilaksanakan secara lisan dan tertulis serta

tersirat atau dianggap diberikan. (inflaid or treat Consent) artinya

4

Page 5: penerapan informed consent .doc

dalam keadaan biasa (normal or conctutive consent) dan dalam

keadaan gawat darurat disebut emergensi .

Hal ini tersebut harus dapat dibedakan dengan malpraktek,

yang menurut Munir Fuady bahwa setiap tindakan medis yang

dilakukan dokter atau orang–orang di bawah pengawasan atau

penyedia jasa kesehatan yang dilakukan terhadap pasien, baik dalam

hal diagnosis, terapeutik dan managemen penyakit yang dilakukan

secara melanggar hukum kepatutan, kesusilaan dan prinsip–prinsip

profesional baik dilakukan dengan sengaja atau kurang hati–hati yang

menyebabkan salah tindak, rasa sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh,

kematian dan kerugian lainnya yang menyebabkan dokter atau

perawat harus bertanggung jawab baik secara administratif, perdata

maupun pidana. Hakekatnya malpraktek secara harafiah artinya

kegagalan dalam melakukan tugas. Informed consent dilakukan oleh

dokter atau Rumah Sakit sebelum terjadinya suatu tindakan medis

terhadap pasien.

Berkaitan dengan pelaksanaan Informed consent, menurut

penulis harus lebih jauh diselidiki bagaimana penerapan Informed

consent dan eksistensinya dalam pelayanan medis, itulah sebabnya

mengapa penulis tertarik untuk mengambil topik penerapan

persetujuan melakukan tindakan (Informed consent) dan malpraktek

dokter dalam pelayanan medis di Rumah Sakit. Hal ini tercantum pada

PERMENKES 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan

5

Page 6: penerapan informed consent .doc

Tindakan Kedokteran yaitu bahwa sebelum melakukan suatu tindakan

medis, harus didahului oleh penjelasan-penjelasan yang menyangkut

tindakan, resiko, yang akan dilakukan pada pasien. Apabila hal ini

tidak dilakukan oleh dokter tersebut maka dokter tersebut dianggap

lalai dalam menjalankan profesi dan hukumnya. Informed consent

tidak dapat meniadakan atau mencegah diadakannya suatu tuntutan

didepan pengadilan atau membebaskan dokter/rumah sakit dari

tanggung jawabnya apabila terdapat kelalaian. Pernyataan

persetujuan hanya dapat digunakan sebagai bukti tertulis akan

adanya izin persetujuan dari pasien terhadap tindakan yang akan

dilakukan, terlebih apabila dikemudian hari pasien menuduh dokter

melakukan penganiyayaan. Menurut Sumaryono, fungsi kode etik

profesi memiliki 3 makna (a) sebagai sarana kontrol sosial; (b)

sebagai pencegah campur tangan pihak lains dan (c) sebagai

pencegah kesalahpahaman dan konflik.

Hubungan terapeutik terjadi karena dua alasan: (1) karena

dokter (secara pribadi) setuju menjalin perjanjian terapetik dengan

pasien; (2) karena hukum/Undang-Undang, yaitu : bila dokter bekerja

di Rumah Sakit (sebagai sub-ordinat atau mitra) sehingga ia harus

melaksanakan kewajiban Rumah Sakit (mengelola pasien Rumah

Sakit) dan bila dokter melihat orang dalam keadaan emergensi

sehingga ia wajib melakukan Good Samaritan (Pasal 531 KUHP).

Hubungan hukum dokter dan pasien setidaknya mengandung dua

6

Page 7: penerapan informed consent .doc

aspek yaitu aspek hukum pidana dan perdata. Bila dilihat dari hukum

perdata maka hubungan dokter dan pasien adalah sebagai subjek

hukum yang diatur oleh kaidah-kaidah hukum perdata yang berisi

pedoman/ukuran bagaimana para pihak melakukan hubungan hukum.

Dilihat dari hubungan hukum antara dokter dan pasien yakni terdapat

suatu kata sepakat yang maknanya untuk mengikat diri dalam

melaksanakan pengobatan, maka disinilah terjadinya apa yang

disebut perikatan (verbintenis).

Tindakan atau prosedur invasif adalah tindakan atau prosedur

yang memasuki tubuh atau alat-alat tubuh atau liang-liang tubuh yang

dapat merobek keutuhan jaringan. Undang-Undang No. 29 tahun

2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 45 (1) menekankan bahwa

setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan

oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat

persetujuan; persetujuan dimaksud diberikan setelah pasien diberikan

penjelasan secara lengkap, (2) penjelasan sekurang-kurangnya

mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan

medis, alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi

yang mungkin terjadi, prognosis dari tindakan, (3) persetujuan dapat

diberikan secara tertulis atau lisan, (4) setiap tindakan kedokteran

atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi, harus diberikan

dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani yang berhak

memberikan persetujuan. Dalam penjelasan pasal 45 dikatakan yang

7

Page 8: penerapan informed consent .doc

dimaksud tindakan medis beresiko tinggi adalah seperti tindakan

bedah atau tindakan invasif lainnya.

Dalam Undang-Undang Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 pasal

37 menekankan bahwa setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di

rumah sakit harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya.

Dalam penjelasan dikatakan setiap tindakan kedokteran harus

memperoleh persetujuan dari pasien kecuali pasien tidak cakap atau

dalam keadaan darurat. Persetujuan tersebut diberikan secara lisan

atau tertulis. Persetujuan tertulis hanya diberikan pada tindakan

kedokteran beresiko tinggi. Tindakan atau prosedur invasif adalah

tindakan atau prosedur yang memasuki tubuh atau alat-alat tubuh

atau liang-liang tubuh yang dapat merobek keutuhan jaringan.

Meskipun secara normatif sudah ditegaskan pengaturan

mengenai informed consent, namun dalam prakteknya masih terdapat

permasalahan terkait hal tersebut, misalnya kasus malpraktik yang

terjadi di RSU Prof Dr. R. D. Kandou Manado Nomor

61/VER/IKF/FK/K/VI/2010 yang dituangkan dalam putusan MA No 365

K/Pid/2012 tanggal 22 September 2012. Menurut Artijo (2013), dalam

putusan tersebut ditemukan berbagai macam tuduhan terkait informed

consent di antaranya para terdakwa tidak menyampaikan penjelasan

kepada keluarga korban tentang kemungkinan resiko yang terjadi

terhadap diri korban akibat operasi dengan kondisi fisik lemah dan

tanpa adanya persetujuan sehingga dengan kealpaan/kelalaian

8

Page 9: penerapan informed consent .doc

tersebut berakibat fatal yakni kematian Siska Makatei. Para terdakwa

kemudian diputuskan bersalah berdasarkan Pasal 359 KUHP yang

berbunyi barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) orang lain

mati diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana

kurungan paling lama 1 tahun (Direktori Putusan MA RI, 2013). Selain

itu, terdapat kasus lain di mana diduga tidak adanya informed consent

dalam tindakan kedokteran yang beresiko besar seperti kasus Muhidin

di Sukabumi dan kasus Anna Marlina di Batam.

Informed consent adalah suatu bagian yang harus

dilaksanakan oleh setiap dokter dengan benar, jelas dan tepat.

Karena ini merupakan suatu alat perlindungan hukum baik bagi dokter

maupun pasien, sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan

pada saat tindakan dilakukan setidaknya pasien sudah mendapatkan

penjelasan dengan benar dan baik serta dia menyetujui dengan

membubuhkan tanda tangan pada informed consent. Pada

hakekatnya informed consent menurut Rozovsky adalah suatu proses

komunikasi, bukan suatu formulir. Demikian pula Appelbaum, et al.

Menekankan consent as a prosess non an event. Tercapainya

kesepakatan antara dokter dan pasien adalah pokok dari informed

consent. Formulir yang ditandatangi oleh pasien hanya sekedar

sebagai pembuktian bahwa telah terjadi kesepakatan. Secara yuridis

suatu informed consent yang ditandatangani seorang pasien dapat

dianggap sebagai surat pernyataan.

9

Page 10: penerapan informed consent .doc

Dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia tentang

pedoman penegakan disiplin profesi kedokteran tahun 2011

dinyatakan setiap dokter dalam melakukan tindakan medik harus

memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga terdekat atau wali

atau pengampunya. Landasan filosofis. Informed consent diperlukan

karena: (1) Tuntutan dari patient's autonomy; (2) Melindungi status

pasien sebagai human being; (3) Mencegah pemaksaan dan tipu

daya; (4) Mendorong self-criticism dokter; (5) Membantu proses

rasional dalam pembuatan keputusan (process rational decision-

making); (6) Mengedukasi masyarakat. Informed consent juga penting

: (1) Manakala tindakan medis tidak mencapai tujuan; (2) Merupakan

penghormatan terhadap hak asasi manusia (dignity and rights of each

human being).

Pada dasarnya semua tindakan invasif harus mendapat

persetujuan tertulis dari pasien setelah pasien mendapat penjelasan

atau informasi dengan kualitas yang cukup dan pasien dapat

mengambil keputusan. Landasan etis menghendaki agar setiap dokter

dalam menjalankan profesinya senantiasa memperhatikan empat

prinsip dasar moral: (1) Beneficence (to do good); (2) Non-

maleficence (to do no harm); (3) Justice (as a fairness or as

distributive justice); (4) Autonomy (the right to make decision about

one's health care). Jadi informed consent pada tindakan invasif bukan

hanya isu hukum terapi juga isu moral dan etik sebab menyangkut hak

10

Page 11: penerapan informed consent .doc

autonomy (hak pasien membuat keputusan).

Hubungan dokter, pasien dan rumah sakit selain merupakan

hubungan medik, tapi juga hubungan hukum. Sebagai hubungan

medik, makan hubungan tersebut diatur dalam kaidah-kaidah hukum

medik.

Dari sisi landasan hukum, berbeda dari negara common law, di

Indonesia informed consent diatur oleh Statute Law. (1) Undang-

Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; (2) Undang-Undang

No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran; (3) Undang-Undang

No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; (4) PP tentang Tenaga

Kesehatan; (5) Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

No. 290 Tahun 2008; (6) Permenkes No. 1419/Menkes/PER/2005

tentang Penyelenggaraan Praktek Dokter dan Dokter gigi.

Konsekuensi hukum yang dapat terjadi bila tindakan medik

invasif tidak disertai informed consent adalah : (1) merupakan bukti

adanya unsur pidana, yajtu perbuatan tercela (actus reus) dan sikap

batin yang salah (mens rea); (2) merupakan bukti adanya unsur

tindakan melawan hukum sehingga dokter bisa digugat; (3)

merupakan bukti adanya tindakan dokter yang tidak patuh terhadap

Hukum Disiplin, sehingga dokter dapat diadili oleh MKDKI.

Aspek perdata informed consent bila dikaitkan dengan hukum

perikatan terdapat dalam Pasal 1320 K.U.H. Perdata yang

11

Page 12: penerapan informed consent .doc

menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian atau persetujuan-

persetujuan diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama pada Pasal 1320 K.U.H.Perdata, mensyaratkan

adanya kata sepakat para pihak yang mengikatkan dirinya. Maksud

dari sepakat para pihak dalam pekerjaan jasa pelayanan kesehatan

adalah persetujuan (consent) dari dokter untuk melakukan tindakan

medik atas dirinya.

Persetujuan dari pasien sebelum dokter melakukan tindakan

medik, aspek hukum yang lain dapat dikaitkan dengan Pasal 351

K.U.H.Pidana tentang penganiyayaan, Bab XX, Pasal 351 K.U.H.

Pidana, menyatakan bahwa jika seseorang memasukkan pisau ke

badan orang lain yang menimbulkan luka, maka perbuatan tersebut

termasuk penganiyaan, jika seseorang membius orang lain maka hal

inipun termasuk penganiyayaan. Adapun dalam pelayanan jasa

kesehatan, hal tersebut tetap merupakan penganiyayaan, kecuali;

1. Orang yang di lukai tersebut memberikan persetujuan

2. Tindakan medik tersebut berdasarkan suatu indikasi medik dan

ditujukan pada suatu tujuan yang konkrit

3. Tindakan medik dilakukan sesuai ilmu kedokteran”.

12

Page 13: penerapan informed consent .doc

Berkaitan dengan pelaksanaan Informed consent perlu

diketahui juga bahwa dokter ahli yang berada di RSU Anutapura

berjumlah 21 orang dengan jumlah rata-rata operasi per bulan pada

tahun 2013 sebanyak 157 pasien; dan dokter ahli yang berada di RS

Undata berjumlah 33 orang dengan jumlah rata-rata operasi per bulan

pada tahun 2013 sebanyak 251 pasien. .

Berdasarkan pemikiran bahwa di satu sisi Informed consent

merupakan suatu standar dalam melakukan pelayanan kepada pasien

dengan fungsi memberikan perlindungan hukum bagi pasien dan

dokter, dan di sisi lain masih terdapat banyak kasus terkait tidak

dilakukannya prosedur informed consent, maka peneliti memilih topic

penerapan informed consent dalam pelayanan kesehatan Rumah

Sakit di Palu sesuai Permenkes 290/MENKES/PER/III/2008.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penerapan informed consent dalam pelayanan

kesehatan Rumah Sakit di kota Palu sesuai Permenkes

290/MENKES/PER/III/2008?

2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan

Informed consent pada pelayanan Rumah Sakit di Kota Palu?

13

Page 14: penerapan informed consent .doc

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui sejauh mana penerapan informed consent

dilaksanakan dalam pelayanan kesehatan Rumah Sakit di kota

Palu sesuai Permenkas 290/MENKES/PER/III/2008?

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam

penerapan Informed consent pada pelayanan Rumah Sakit di Kota

Palu.

D. Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan informed consent di

Palu.

2. Untuk mengetahui cara pemberian informasi (Informed) oleh

penerima persetujuan tindakan medik (dokter) kepada pemberi

persetujuan tindakan medik (pasien dan atau keluarganya yang

berkompeten).

14

Page 15: penerapan informed consent .doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Bentuk Informed consent

Persetujuan tindakan medik adalah terjemahan yang dipakai

untuk istilah informed consent. Informed artinya telah diberitahukan,

telah disampaikan atau telah diinformasikan. Consent artinya

persetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu.

Dengan demikian informed consent adalah persetujuan yang

diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan.

Istilah informed consent secara implisit telah tercakup tentang

informasi dan persetujuan. Persetujuan yang diberikan setelah orang

yang bersangkutan diberi informasi. Setelah diterbitkannya Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 589 Tahun 1989 tentang Persetujuan

Tindakan Medik, istilah inilah yang resmi dipakai. Selanjutnya,

Permenkes tersebut dicabut dengan Permenkes Nomor 290 Tahun

2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (PTM). Istilah PTM

tersebut dalam praktiknya masih disamakan dengan tindakan medis

atau informed consent. Maksud dari informed atau memberi

penjelasan di sini adalah semua keadaan yang berhubungan dengan

penyakit pasien dan tindakan medik apa yang akan dilakukan dokter

serta hal-hal yang perlu dijelaskan dokter atas pertanyaan pasien atau

keluarga.

15

Page 16: penerapan informed consent .doc

Dalam Permenkes Nomor 589 Tahun 1989 dijelaskan bahwa

yang dimaksud dengan persetujuan tindakan medik adalah

persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar

penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan oleh

pasien tersebut. Pengertian yang demikian persetujuan tindakan

medik bisa dilihat dari dua sudut yaitu, pertama membicarakan

persetujuan tindakan medis dari pengertian umum dan kedua

membicarakan persetujuan tindakan medis dari pengertian khusus.

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 Permenkes Nomor 290 Tahun

2008 disebutkan bahwa Persetujuan tindakan kedokteran adalah

persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah

mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau

kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Pengertian tersebut

memberi batasan yang lebih tegas, terutama mengenai pengertian keluarga,

yaitu keluarga terdekat.

Namun dalam pelayanan kesehatan sering kali pengertian kedua

dikenal yaitu persetujuan tindakan medik yang dikaitkan dengan

persetujuan atau izin tertulis dari pasien atau keluarga pada tindakan

operatif atau tindakan invasif lain yang beresiko. Oleh karena itu

dahulu persetujuan tindakan medik ini dikenal dengan Surat Ijin

Operasi atau Surat Persetujuan pasien dan lain-lain istilah yang dirasa

sesuai oleh rumah sakit atau dokter yang merancang surat tersebut.

Setelah diterbitkannya Permenkes Nomor 290 Tahun 2008

tentang persetujuan tindakan medis tersebut, sudah banyak

16

Page 17: penerapan informed consent .doc

perubahan tentang pengertian dan pemahaman kalangan kesehatan

mengenai Infoment Consent ini. Menurut Appelbaum (J. Guwandi,

2008 : 51), mengatakan bahwa infoment consent bukan sekedar

formulir persetujuan yang didapat dari pasien, tetapi merupakan suatu

proses komunikasi. Tercapainya kesepakatan terhadap dokter pasien

merupakan dasar seluruh proses tentang infoment consent. Formulir

itu hanya merupakan pengkukuhan atau pendokumentasian dari apa

yang telah disepakati (infomend consent is a proses, not an event)”.

Informasi yang harus diberikan adalah informasi yang selengkap-

lengkapnya yaitu informasi yang akurat tentang perlunya tindakan

medik yang bersangkutan dan resiko yang dapat ditimbulkan. Menurut

Munir Fuady (dalam buku Sumpah Hipocrates, 2005 : 54) menyatakan

sebaiknya isi minimal dari informasi dirinci, misalnya :

1. Prosedur dan hasil diagnosis;

2. Nama, maksud dan tujuan operasi;

3. Resiko, komplikasi, alternative operasi;

4. Prosedur, keterbatasan pengobatan, perasaan sehat;

5. Tingkat kesuksesan/ kegagalan operasi dan luasnya tindakan

B. Masalah atau Kendala Dalam Informed consent

Guru Besar di Bidang Kedokteran, Ratna Suprapti Samil

(2001:46) mengatakan ada 2 (dua) bentuk persetujuan tindakan medik

/ informed consent yaitu: Tersirat atau dianggap telah diberikan

17

Page 18: penerapan informed consent .doc

(implied Consent) adalah persetujuan yang diberikan pasien secara

tersirat, tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap

dokter dari sikap dan tindakan pasien. Umumnya tindakan dokter

disini adalah tindakan yang bisa dilakukan atau sudah diketahui

umum.

Misalnya, pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium,

melakukan suntikan pada pasien, melakukan penjahitan luka dan

sebagainya. Sebetulnya persetujuan jenis ini tidak termasuk informed

consent dalam arti murni karena tidak ada penjelasan sebelumnya.

Impliet consent bentuk lain adalah bila pasien dalam keadaan gawat

darurat (emergency) sedang dokter memerlukan tindakan segera,

sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan

dan keluarganya pun tidak ditempat, maka dokter dapat melakukan

tindakan medik terbaik menurut dokter. Jenis persetujuan ini disebut

sebagai Presumed consent, artinya bila pasien dalam keadaan sadar,

dianggap akan menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter.

Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara

lisan atau tertulis, bila akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan

dan tindakan yang biasa, dalam keadaan yang demikian kepada

pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan

supaya tidak terjadi salah pengertian.

Misalnya, pemeriksaan dalam vagina, mencabut kuku dan

tindakan lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan

18

Page 19: penerapan informed consent .doc

umum, persetujuan dilakukan secara lisan. Bila tindakan yang akan

dilakukan mengandung resiko seperti tindakan pembedahan atau

prosedur pemeriksaan dan pengobatan yang invasive, persetujuan

tindakan medik dilakukan secara tertulis.

C. Informed consent Sebagai Dasar Pembelaan Dokter

Aspek hukum tentang informed consent berkaitan dengan

syarat sahnya suatu perjanjian sangat relefan untuk dibahas.

Ketentuan perdata yang antara lain berlaku adalah perihal “perikatan”

dan yang sangat berhubungan dengan tanggung jawab professional

menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Dokter

adalah suatu profesi kedokteran yang mempunyai fungsi yang selalu

terikat dengan etika kedokteran.

Didalam menjalankan profesinya sebagai dokter tetap harus

memperhatikan dan taat pada peraturan-peraturan yang dibuat oleh

profesi dan hukum. Informed consend adalah suatu perjanjian yang

dibuat oleh dokter yang untuk mendapatkan persetujuan dari pasien

dan keluarga.Apabila seorang doketer telah memenuhi ketiga syarat

tersebut, maka ia tidak dapat dikenakan Pasal 351 K.U.H.P. tentang

penganiyaan. Ketiga syarat tersebut harus semuanya dipenuhi, satu

sama lain saling terkait dan saling berhubungan. Menurut Leden

Marpaung dalam (2001:45) mengatakan bahwa upaya tersebut

meniadakan de matrieele wederchtelykheid yaitu, menghilangkan sifat

yang bertentangan dengan hukum dan disebut buitenwettelyke

19

Page 20: penerapan informed consent .doc

schuld-iutsluitngsgrond (dasar penindasan culpa di luar undang-

undang). Selain itu juga di kenal prinsip AVAS yang berarti afwezighyd

van alle schuld, tidak terdapat suatu kelalaian sama sekali“.

Berdasarkan hal tersebut jelaslah bahwa persetujuan pasien itu

mutlak dibutuhkan dalam suatu tindakan medis agar dokter tidak

dipersalahkan melakukan penganiayaan. Pernyataan persetujuan ini

sah apabila sebelumnya diberikan dulu informasi yang cukup

(voldoende informative). Suatu persetujuan tidak sah jika sebelumnya

dokter tidak memberikan informasi, atau informasi yang diberikan itu

sangat minim atau tidak cukup.

D. Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter

UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran yang

didalamnya diatur tentang hak dan kewajiban dokter maupun pasien.

Adapun kewajiban dokter atau dokter gigi di atur dalam Pasal 45 Ayat

Ayat (1) : Mengatakan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran

gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi

terhadap pasien harus mendapat persetujuan;

Ayat (2) : Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (1)

diberikan setelah pasien mendapat persetujuan secara

lengkap;

Ayat (4): Persetujuan sebagai mana yang dimaksud dapat diberikan

secara tertulis atau lisan;

20

Page 21: penerapan informed consent .doc

Pasal 46 Ayat (8): Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan

praktek kedokteran wajib membuat rekam medik;

Pasal 48 Ayat (9): Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan

praktek kedokteran wajib menyimpan rahasia

kedokteran.

Hak Pasien dalam menerima pelayanan kedokteran :

Pasal 45 Ayat (3) menyatakan:

a) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

b) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lainnya,

c) Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis,

d) Menolak tindakan medis,

e) Mendapat isi rekam medis.

Kewajiban Pasien dalam menerima pelayanan kedokteran :

a) Memberikan yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatan.

b) Mematuhi nasehat dan petunjuk dari dokter dan dokter gigi

c) Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan

kesehatan

d) Imbalan jasa atau pelayanan yang diterimanya.

E. Malpraktik Dalam Pelayanan Medik

Malpraktek dalam bahasa asing ( Inggris ) disebut dengan

“malpractice menurut Peter Salim “The Contemporary English

Indonesia Dictionary” berarti perbuatan atau tindakan yang salah.

21

Page 22: penerapan informed consent .doc

“Malpractice” juga berarti praktik yang buruk(badpractise) yang

menunjukkan pada setiap sikap tindak yang keliru. Sedangkan menurut

John M. Echols dan Hasan Shadily dalam Kamus Bahasa Inggris

Indonesianya, “malpractice” berarti cara pengobatan yang salah. Ruang

lingkupnya yaitu, kurangnya kemampuan untuk melaksanakan

kewajiban-kewajiban professional atau didasarkan kepada

kepercayaan.

Bahasa Belanda malpraktik disebut “Kunstfout” (seni salah)

merupakan suatu tindakan medis yang dilakukan tidak dengan sengaja

akan tetapi di sini ada unsur lalai yang tidak patut dilakukan oleh

seorang ahli dalam dunia medis dan tindakan yang mengakibatkan

sesuatu hal yang fatal (misalnya mati, cacat karena lalai, lebih lanjut

Pasal 359, 360, dan 361 KUHP). Menurut J. Guwandi, batasan

pengertian malpraktek (2004 : 3-4)yaitu :

a. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan.

b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau

melalaikan kewajiban.

c. Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan

peraturan perundang- undangan”.

Beberapa pengertian tentang malpraktek di atas, kiranya dapat

diperjelas dengan pengertian malpraktik dalam buku “The Dentist and

the Law” (ditulis oleh Charles Wendell Carnahan), diterjemahkan yaitu :

22

Page 23: penerapan informed consent .doc

Arti umum, malpractice adalah praktek jahat atau buruk, yang tidak

memenuhi standar yang ditentukan oleh profesi. Dilihat dari sudut

pasien yang telah dirugikan itu, meliputi kesalahan pemberian

diagnosa, selama operasi, dan sesudah perawatan.

Lebih lanjut dikatakan, Malpraktik mempunyai pengertian yang

luas, yaitu:

a. Arti umum : suatu praktik (khususnya praktek dokter) yang buruk,

yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi.

b. Arti khusus (dilihat dari segi pasien) malpraktik dapat terjadi dalam :

1) Menentukan diagnosis, misalnya : diagnosisnya sakit maag

tetapi ternyata pasien sakit liver yang berbahaya.

2) Menjalankan operasi, misalnya : seharusnya yang dioperasi

adalah mata bagian kanan tetapi yang dilakukan pada mata

bagian kiri.

3) Selama menjalani perawatan.

4) Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah

ditentukan.

Malpraktek dapat terjadi tidak saja selama waktu menjalankan

operasi, tetapi dapat terjadi sejak dimulainya pemberian diagnosis

sampai sesudah dilakukannya perawatan sampai sembuhnya pasien.

Rumusan tentang kesalahan melakukan profesi seperti yang terdapat

dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga

Kesehatan, menyatakan bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan-

23

Page 24: penerapan informed consent .doc

ketentuan di dalam KUHP dan peraturan perundang- undangan yang

lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-

tindakan administratif dalam hal sebagai berikut :

1) Melalaikan kewajiban,

2) Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh

seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah atau

jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan.

3) Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga

kesehatan,

4) Melanggar sesuatu ketentuan menurut/ berdasarkan undang–

undang”.

Ketentuan mengenai malpraktek pada Pasal 11 Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 1963 tersebut hampir sama dengan pengerti

an malpraktik yang dikemukakan oleh J.Guwandi.

1. Bentuk Malpraktek

Malpraktek menurut kedokteran dapat dikategorikan dalam

beberapa bidang hukum Adami Chazawi, mengatakan :

a) Malpraktek dalam bidang hukum pidana, ditemukan antara lain

karena:

1) Membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 dan 267 KUHP)

2) Menipu penderita atau pasien (Pasal 378 KUHP)

3) Melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau

luka- luka (melanggar Pasal 351, 359, 360 dan 361 KUHP)

24

Page 25: penerapan informed consent .doc

4) Melakukan pelanggaran kesopanan (Pasal 290 -1, 294 – 2, 285

dan 286 KUHP);

5) Melakukan pengguguran tanpa indikasi medis (Pasal 299, 348,

349, dan 350 KUHP);

6) Membocorkan rahasia kedokteran yang diadukan oleh

penderita (Pasal 322 KUHP);

7) Kesengajaan membiarkan penderita tidak tertolong (Pasal 322

KUHP);

8) Tidak memberikan pertolongan kepada orang yang berada

dalam keadaan bahaya maut (Pasal 351 KUHP);

9) Euthanasia (Pasal 344 KUHP)”.

Khusus mengenai masalah mengakibatkan matinya

orang atau terluka karena kesalahan (Pasal 359, 360,361

KUHP), di dalam ilmu hukum pidana, kesalahan dapat

disebabkan karena kesengajaan tersebut adalah dalam arti

kelalaian atau kealpaan. Jadi tidak sengaja sebelumnya seperti

dalam hal penganiayaan. Ada beberapa jenis malpraktek yang

terdapat dalam bidang hukum perdata dan dalam bidang hukum

administratif.

2. Hubungan antara Malpraktek dan Informed Consent

Seperti yang kita ketahui bahwa informed consent

didalamnya memuat tentang perlunya pemberian informasi

terhadap tindakan medik serta resiko-resiko dari tindakan itu dan

25

Page 26: penerapan informed consent .doc

setelah pemberian informasi terhadap tindakan medik kepada

pasien. Setelah adanya informasi dan persetujuan baru dokter

tersebut dapat melakukan tindakan medik terhadap pasien .

Adanya informed consent tersebut merupakan bentuk

penghargaan dan penghormatan terhadap hak individu atas

kesehatan dan untuk menentukan pilihannya memilih tindakan

medik yang terbaik menurut dirinya sendiri. Sehingga jika dokter

tidak melakukan prosedur penerapan informed consent tentu saja

tindakan medik yang dilakukan dokter tersebut tidak dan dapat

dimintakan pertanggung jawaban. Pengertian di atas tentang

informed consent, maka dapat dipahami bahwa informed consent

terdiri dari hak atas informasi dan hak untuk memberikan

persetujuan. Meski kedua hak tersebut dapat berdiri sendiri,

namun dalam praktek, dan pengertian informed consent keduanya

mempunyai korelasi yang satu sama lain saling menunjang dan

saling berkaitan, yaitu:

a. Suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien tanpa dilandasi

oleh suatu informasi dari Dokter yang tidak memadai dan

adequate atau tanpa informasi sama sekali maka persetujuan

itu tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali. Hal ini

bahwa persetujuan yang diberikan oleh pasien tersebut pasien

dalam keadaan khilaf atau tidak memahami apa yang

26

Page 27: penerapan informed consent .doc

disetujuinya. Terlebih lagi bila hal yang tidak diinformasikan

justru merugikan pasien.

b. Selanjutnya informasi yang selengkapnya apapun dari dokter

kapada pasiennya bila tidak disertai dengan persetujuan atau

izin pasien untuk dilaksanakannya suatu tindakan medis, maka

dokter tidak dapat melakukan tindakan medis yang ia inginkan.

Hak pasien untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya

harus dihormati oleh siapapun termasuk termasuk oleh dokter

yang merawatnya sekalipun.

Apabila dokter tetap melakukan tindakan medis pada diri pasien,

sedang ia tidak mendapatkan persetujuan atau tidak memberi

informasi maka tindakan tersebut dapat digolongkan bentuk

pelanggaran terhadap informed consentnya.

F. Landasan Teori.

Sesuai dengan pembahasan pada awal latar belakang masalah

maka untuk menjawab permasalahan dibutuhkan suatu landasan teori

yang menjadi tumpuan sebagai pisau analisa yaitu grand theory (teori

Utama), yang mengacu pada teori Negara hukum kesejahteraan

(welfaarts–rechsstaat). Dimanfaatkannya teori negara hukum

kesejahteraan dilandasi oleh pertimbangan bahwa informed consent

adalah bagian dari proses pelayanan medik yang akuntabel dan

transparan dalam memperoleh masyarakat Indonesia yang sehat,

27

Page 28: penerapan informed consent .doc

sebagai investasi dalam pembangunan dapat hidup produktif secara

sosial dan ekonomi.

Selanjutnya digunakan teori perlindungan hukum sebagai

middle range theory, bahwa eksistensi hukum dalam masyarakat

merupakan sarana yang bertujuan untuk menciptakan ketentraman,

ketertiban dan keteraturan warga, sehingga atas kondisi itu,

diharapkan hubungan dan interaksi antar warga yang satu dengan

warga yang lainnya dapat terjaga kepentingannya. Sedang untuk

applied theory digunakan legal system theory dari Friedmann dan teori

penegakan hukum dari Soerjono Soekanto.

G.Kerangka Pikir

Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis

formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter

Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK PB-IDI No.

319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan

PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik

dan Permenkes 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan

Tindakan Kedokteran. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga

kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan informed

consent karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada

pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari

pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.

28

Page 29: penerapan informed consent .doc

Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi

para dokter untuk melaksanakan konsep informed consent, dalam

praktek sehari-hari yaki berupa fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88

tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir

sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang

persetujuan tindakan medik. Dengan adanya peraturan Permenkes

No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik, maka

peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan

medis yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian

informasi terhadap setiap tindakan medik. Peraturan tersebut

menyebutkan bahwa setiap tindakan medik harus ada persetujuan dari

pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes Nomor 290

Tahun 2008, yang berbunyi “semua tindakan kedokteran yang akan

dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.

Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam

Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 tersebut didasarkan pada adanya

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi: Pasal

45 ayat :

1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan

dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus

mendapat persetujuan.

29

Page 30: penerapan informed consent .doc

2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang

kurangnya mencakup:

a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. Alternatif tindakan lain dan resikonya;

d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

4) Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat

diberikan baik secara tertulis maupun lisan.

5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang

mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan

tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan

persetujuan.

6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran

atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat

(2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan

Menteri Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran tersebut terutama pada pasal 45 ayat

(6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara

persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh

peraturan menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.

30

Page 31: penerapan informed consent .doc

Kewajiban bagi seorang dokter tentu akan bekerja secara

profesional dengan berdasarkan “Sumpah Hipocrates” tetapi pasien

juga mempunyai hak dan kewajiban sama seperti seorang dokter.

Terkait dengan hak dan kewajiban baik bagi seorang dokter maupun

seorang pasien itu harus diketahui. Salah satu kewajiban dokter adalah

apabila akan melakukan suatu tindakan sebaiknya melakukan

persetujuan terlebih dahulu yang disebut “ Informed consent”

Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien

kepada seorang dokter untuk melakukan tindakan medis;

Gambar 2.1 : Ragaan prosedur Informed consent

31

Pasien Dokter

informasi

Keputusan(informed Decision)

Menolak (refusal)Setuju (concent)

Tandatanganmenolak

TandatanganMenyetujui

Page 32: penerapan informed consent .doc

Tindakan medis yang dapat dilakukan oleh dokter seperti

penyuntikan atau melakukan operasi tanpa persetujuan, seorang dokter

melakukan tindakan medik seperti mengoperasi pasien dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana ( Hukum Pidana ) berdasarkan

pasal 351 KUHP yaitu penganiayaan.

Bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis

(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk

melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :

a. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis

yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam

Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 3 Permenkes Nomo 290 Tahun 2008 dan

SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan

medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan

adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien

memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan

medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi

informed consent);

b. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang

bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang

diberikan oleh pihak pasien;

c. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat,

misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan

32

Page 33: penerapan informed consent .doc

darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda

menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

Tujuan Informed consent:

1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter

yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar

pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.

2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu

kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern

bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat

suatu resiko

Informed consent apabila dikaitkan dengan hukum perikatan

terdapat dalam Pasal 1320 K.U.H.Perdata yang menyatakan bahwa untuk

sahnya suatu perjanjian atau persetujuan-persetujuan diperlukan empat

syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama pada Pasal 1320 K.U.H.Perdata, mensyaratkan

adanya kata sepakat para pihak yang mengikatkan dirinya. Maksud dari

sepakat para pihak dalam pekerjaan jasa pelayanan kesehatan adalah

persetujuan (consent) dari dokter untuk melakukan tindakan medik atas

dirinya.

33

Page 34: penerapan informed consent .doc

Gambar 2.2 : Bagan Kerangka pikir

34

PERMENKES 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

SUBSTANSI HUKUM:- Harmonisasi Hukum- Sanksi Hukum

STRUKTUR HUKUM- Tingkat Pendidikan- Pengetahuan/Pemahaman

hukum- Profesionalisme

SARANA DAN FASILITAS- Alat-alat untuk operasi

Sectio caseria- Alat-alat untuk anastesi- Ruangan operasi yang

memadai

BUDAYA HUKUM- Kesadaran Hukum- Kebiasaan/Perilaku

Tenaga Medis

OUT PUT:Optimalnya Perlindungan Hukum dan Dokter dan Pasien

Page 35: penerapan informed consent .doc

H. Definisi Operasional

1. Informed consent adalah suatu persetujuan antara dokter dengan

pasien dalam melakukan suatu tindakan.

2. Pasien adalah seorang yang sakit baik secara fisik maupun

psikologi.

3. Tenaga Medik adalah seorang yang mempunyai keahlian khusus di

bidang kesehatan.

4. Malpraktek adalah suatu tindakan yang menyalahi suatu prosedur

tetap, dimana tenaga medik itu bekerja.

5. Pelayanan Medik adalah pelayanan yang diberikan kepada orang

sakit baik secara fisik maupun psikologi.

35

Page 36: penerapan informed consent .doc

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian Non Doktrinal, yang

memberi gambaran secara detail tentang variabel yang diteliti yaitu

penerapan Informed consent dan kendala dalam penerapan

Informed consent.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Rumah Sakit Umum (RSU)

Anutapura dan RSUD Undata yang telah menerapkan Informed

consent di Kota Palu. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan

Januari-Juli 2014.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek yang

mempunyai kualitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan

oleh peneliti untuk mempelajari dan kemudian menarik

kesimpulan. Populasi dapat berupa himpunan orang, benda,

kejadian, kasus-kasus, waktu atau tempat dengan ciri atau sifat

yang sama. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini

36

Page 37: penerapan informed consent .doc

adalah keseluruhan karakteristik yang berkaitan dengan variabel

penelitian, sedangkan unit populasi adalah tenaga dokter

sepesialis yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu

dan Rumah Sakit Umum Anutapura Palu yang berjumlah 54 orang

(21 dokter spesialis dari RSU Anutapura dan 33 dokter spesialis

dari RSUD Undata), perawat yang mendampingi dokter spesialis

yang berjumlah 20 orang dan pasien sebanyak 26 orang.

2. Teknik pengambilan sampel

Sampel adalah sebagai unit pengamatan/karakteristik yang

diperoleh dari populasi. Sugiyono (2008) menyatakan bahwa

sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi harus betul-

betul representatif (mewakili). Ada beberapa hal yang dapat

digunakan sebagai pertimbangan dalam memutuskan apakah

perlu mempergunakan sampel atau tidak, antara lain :

a. Besar populasi, semakin besar jumlah populasi semakin

perlu ada sampel.

b. Biaya yang diperlukan dalam pengumpulan data atau

penelitian.

c. Keuntungan dan kemudahan yang diperoleh dalam

memperoleh data.

d. Jumlah tenaga pengumpul data yang tersedia.

Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah

purposive sampling, pengambilan sampel didasarkan pada suatu

37

Page 38: penerapan informed consent .doc

pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri,

berdasarkan cirri atau sifat populasi yang sudah diketahui

sebelumnya. Sampel dalam penelitian ini adalah 20 orang dokter

spesialis dan 20 orang perawat asistensi, serta 24 orang pasien

yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu dan Rumah

Sakit Umum Anutapura Palu. Jumlah sampel ini sudah mewakili

jumlah dokter spesialis yang ada pada kedua RS tersebut.

D. Pengumpulan Data

1. Jenis Dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh

langsung dari sumber pertama di lapangan melalui penelitian.

Sedangkan data sekunder dalam penelitian hukum terdiri dari

Bahan hukum primer, berupa bahan-bahan hukum yang

mengikat berupa Undang-Undang dan peraturan pelaksana

yang lainnya yaitu peraturan dalam hukum perjanjian dan

peraturan di bidang kedokteran yang berkaitan dengan

persetujuan tindakan medis.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah yuridis empiris, yaitu cara atau prosedur yang

digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan

meneliti data sekunder terlebih dahulu, untuk kemudian

38

Page 39: penerapan informed consent .doc

dilanjutkan dengan mengadakan penelitian primer di lapangan.

Penelitian ini didukung metode pendekatan:

a. Pendekatan Perundang-Undangan

b. Pendekatan Konsep

c. Pendekatan Komparatif

Penelitian ini didukung dengan penelitian kepustakaan,

yaitu meneliti data-data sekunder. Faktor yuridisnya adalah

seperangkat aturan-aturan hukum perjanjian pada umumnya

dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hukum

kesehatan atau kedokteran, yang merupakan cabang dari ilmu

hukum dan sangat berkaitan erat dengan penelitian ini.

Sedangkan faktor empirisnya adalah dokter, perawat, bidan

dan pasien di Rumah Sakit serta sampel lain yang terkait dalam

pelaksanaan informed consent.

3. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan yang diambil, maka

spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Bersifat

deskriptif, karena penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan

gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai

segala sesuatu yang diteliti. Metode ini berusaha

menggambarkan peraturan yang berlaku yang kemudian

dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan

39

Page 40: penerapan informed consent .doc

hukum positif yang menyangkut pelaksanaan perjanjian antara

dokter dengan pasien.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara:

a. Observasi /pengamatan langsung di lapangan.

b. Wawancara pada responden

c. Pemberian kuesioner kepada responden.

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang

dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan

atau pernyataan tertulis kepada responden untuk

menjawabnya. Peneliti pada waktu yang telah dijadwalkan

akan meneliti beberapa hal yang telah ditentukan.

Pelaksanaan penelitian tersebut sebagai berikut :

1) Meneliti formulir informed consent di Rumah Sakit

Undata dan Rumah Sakit Anutapura, kemudian

menganalisanya berdasarkan perundangan yang berlaku

di Indonesia apakah sudah sesuai atau belum.

2) Meneliti pelaksanaan informed consent di Rumah

Rumah Sakit Undata dan Rumah Sakit Anutapura

kemudian menganalisanya berdasarkan perundangan

yang berlaku di Indonesia apakah sudah sesuai atau

belum.

40

Page 41: penerapan informed consent .doc

Pada kuesioner menggunakan skala Gutman dengan

alternatif jawaban dalam bentuk “YA” dan “TIDAK” yaitu

pertanyaan-pertanyaan positif 10 item pernyataan negatif 2

item dengan tehnik penentuan skor yaitu pernyataan + bila

responden menjawab YA maka diberi nilai 1 dan jika

jawaban responden TIDAK maka diberi nilai nol.

Penulis akan melakukan konfirmasi pertanyaan serupa

terhadap pihak pasien yang melakukan persetujuan tindakan

medis. Penulis akan membandingkan tingkat pemahaman

pihak pasien yang melakukan persetujuan tindakan medis

dengan pemahaman dokter terhadap tindakan medis yang

sudah dilakukan. Penulis akan mengamati satu persatu

pelaksanaan informed consent terhadap setiap kasus yang

akan dilakukan tindakan medis.

5. Pengolahan Data

Setelah semua data dikumpulkan dengan teknik

pemberian angket/kuesioner, maka dilakukan pengolahan data

dengan cara mengelompokkan data yang diperoleh dari

kuesioner yang telah diisi oleh responden menurut batas ruang

lingkup masalahnya sehingga mempermudah analisis data

yang akan disajikan sebagai hasil penelitian.

Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu

proses untuk atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok

41

Page 42: penerapan informed consent .doc

data mentah dengan menggunakan rumus tertentu sehingga

menghasilkan informasi yang diperlukan.

6. Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan cara deskriptif dengan

melihat presentase data yang terkumpul dan disajikan dalam

bentuk tabel distribusi frekuensi, kemudian dicari jumlah

presentase yang terbesar dari jumlah masing-masing

responden, selanjutnya dihubungkan dengan menggunakan

teori kepustakaan yang ada. Distribusi frekuensi menggunakan

rumus sebagai sebagai berikut:

Rumus:

P= f x 100% = .......% N

Keterangan:

P : Presentase

f : Jumlah subjek yang ada pada kategori tertentu

N : Jumlah atau keseluruhan responden

42

Page 43: penerapan informed consent .doc

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Informed Consent dalam Pelayanan Kesehatan Rumah

Sakit di Kota Palu

1. Penerapan Informed Consent

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, lokasi penelitian ini

adalah RSU Anutapura dan RSUD Undata di Kota Palu.

Rumah Sakit Umum (RSU) Anutapura Palu berlokasi di

Jalan Kangkung No. 1 Palu Kecamatan Palu Barat, menempati

lahan seluas 33.540 m2 dengan luas bangunan hingga saat ini 

seluas 13.639,93 m2, dengan lokasi yang strategis dan dikelilingi

oleh pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya

sehingga sangat potensial untuk pengembangan di masa

mendatang. RSU Anutapura Palu merupakan rumah sakit rujukan

bagi fasilitas kesehatan yang menjadi milik pemerintah Kota Palu,

sehingga keadaan geografis dan demografi RSU Anutapura Palu

digambarkan dari Keadaan geografis dan demografi Kota Palu.

Berdasarkan data dari situs resmi RSU Anutapura

(www.rsuanutapura.com), diperoleh beberapa hal penting yang

patut diketahui yaitu sebagai berikut:

43

Page 44: penerapan informed consent .doc

a. Visi RSU Anutapura: Terwujudnya Pelayanan Kesehatan Prima,

Terjangkau dan Menjadi Rumah Sakit Pendidikan di Kawasan

Indonesia Timur.

b. Misi RSU Anutapura:

1) Menyediakan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit sebagai

Rumah Sakit Rujukan yang Representatif

2) Memberikan Pelayanan Kesehatan secara profesional, ramah

dan beretika serta bertanggung jawab

3) Meningkatkan dan Mengembangkan Sumber Daya Manusia

4) Menjadikan Rumah Sakit sebagai tempat Penelitian dan

pengabdian Masyarakat.

c. Tujuan pelayanan kesehatan RSU Anutapura:

1) Meningkatkan pelayanan kesehatan melalui:

1) Mengembangkan, meningkatkan dan menyempurnakan

secara terus menerus dan sistimatis serta terencana sarana

dan prasarana pelayanan kesehatan.

2) Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan sumber

daya yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap

pelayanan kesehatan secara sistematis dan terencana.

3) Mengembangkan dan menyusun sistim pelayanan yang

cepat, efektif, efisien, nyaman dan terkendali serta terawasi

dengan baik.

2) Meningkatnya kemampuan pelayanan kesehatan melalui :

44

Page 45: penerapan informed consent .doc

1) Menambah peralatan medis dan penunjang medis sesuai

perkembangan   teknologi serta sistim pelayanan dan

penanganan serta pengelolaannya.

2) Menambah secara sistimatis Sumber Daya Manusia sesuai

dengan tuntutan perkembangan teknologi kedokteran.

3) Menyusun dan mengembangkan sistim Organisasi Badan

Rumah Sakit Umum Kota Palu yang ramping, efektif, efisien dan

mempunyai daya kerja yang optimal.

4) Mengembangkan sistim pembangunan dan pengembangan

Rumah Sakit yang ramah lingkungan serta nyaman dan aman

bagi semua.

5) Mengembangkan sistim kerja, budaya kerja yang teliti, terampil,

tepat dan tanpa cacat.

d. Sasaran

1) Tersedianya sarana dan prasarana rumah sakit

2) Meningkatnya mutu pelayanan medis

3) Meningkatnya mutu pelayanan keperawatan

4) Tersedianya tenaga yang cukup dan profesional

5) Meningkatnya pelayanan rujukan melalui pembinaan rujukan

antar Rumah Sakit.

6) Tercapainya sistem Administrasi pembangunan Rumah Sakit

yang lebih terarah.

45

Page 46: penerapan informed consent .doc

e. Nilai-Nilai Dasar: Customer Focus dengan keyakinan dasar yang

kuat yang ditanamkan pada seluruh personil/pegawai Rumah Sakit

Umum Anutapura Kota Palu agar memiliki komitmen/nilai

Profesional (Bekerja Sesuai Tugas dan Fungsi), Acountabel

(Bertanggung Jawab), Legitimate (Berlandaskan Hukum),

Understand (Pengertian). Artinya bahwa Seluruh pegawai RSU

Anutapura Palu bekerja secara Profesional dan Bertanggungjawab

sesuai dengan Hukum atau Peraturan yang berlaku sehinggga

tercipta rasa saling pengertian dan kasih sayang antara dokter,

perawat dan pasien yang dibangun berdasarkan f alsafah bahwa

setiap Pasien adalah pelanggan yang patut dihargai dan dilayani

dengan penuh kearifan; Pasien merupakan bagian dari masyarakat

umum sehingga menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan

mereka adalah tanggungjawab kita; Layanan yang diberikan adalah

pelayanan sosial, menyeluruh dilandasi iman, ikhlas dengan

menerapkan filosofi Rumah Sakit Umum.

f. Tenaga Medis

1) Dokter Ahli 21 orang, dengan keahlian sebagai berikut:

No Kualifikasi Dokter Ahli Jumlah Keterangan

1 Dokter Spesialis Bedah 3 orang PNS2 Dokter Spesialis Kandungan 3 orang PNS3 Dokter Spesialis Penyakit Dalam 2 orang PNS4 Dokter Spesialis Kes.Anak 2 orang PNS5 Dokter Spesialis Anesthesi 1 orang PNS6 Dokter Spesialis Mata 1 orang PNS7 Dokter Spesialis Saraf 2 orang PNS8 Dokter Spesialis Patologi Klinik 1 orang PNS

46

Page 47: penerapan informed consent .doc

9 Dokter Spesialis Kulit & Kelamin 1 orang PNS10 Dokter Spesialis Bedah Ortopedi 1 orang PNS11 Dokter Spesialis Radiologi 1 orang PNS12 Dokter Spesialis Jiwa 1 orang Part Time

13Dokter Spesialis Patologi Anatomi

1 orang PNS

14 Dokter Spesialis Gigi dan Mulut 1 orang Part Time

Tabel 4.1 Deskripsi Dokter Ahli RSU Anutapura

2) Dokter Gigi: 6 orang PNS

3) Tenaga Perawat. 201 orang PNS, 227 orang mengabdi.

4) Kefarmasian: 46 orang PNS, 5 Orang Tenaga Volunter

5) Gizi: 37 orang PNS, 12 Tenaga Volunter

g. Sarana Pelayanan:

1) Instalasi Gawat Darurat (IGD)

2) Poliklinik THT

3) Poliklinik Penyakit Dalam

4) Poliklinik Penyakit Anak

5) Poliklinik Penyakit Bedah

6) Poliklinik Kandungan

7) Poliklinik KB

8) Poliklinik Mata

9) Poliklinik Penyakit Saraf

10)Poliklinik Jiwa

11)Poliklinik Kulit dan Kelamin

12)Poliklinik Gigi dan Mulut

47

Page 48: penerapan informed consent .doc

13)Poliklinik Paru

14)Poliklinik Psikologi

h. Instalasi pelayanan  Penunjang Medik:

1) Instalasi Radiologi ( Rontgen )

2) Instalasi Laboratorium

3) Instalasi Farmasi ( Apotik )

4) Instalasi Gizi

5) Instalasi Rehabilitasi Medis ( Fisioterapi )

6) Instalasi Endoscopy

7) Instalasi Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit

(IPSRS)

8) Poliklinik Orthopedi.

Di lain pihak, RSUD Undata, berdasarkan data dari situs

resminya (www.rsundata.com), berdiri sejak tanggal 7 Agustus

1972, berlokasi di pesisir teluk Palu, berdasarkan Surat Keputusan

Gubernur Propinsi Sulawesi Tengah No. 59/DH.TAP/1972, dan

diberi nama UNDATA yang memiliki arti “Obat Kita”. Kata ini

sekaligus bermakna tentang layanan kesehatan dalam cakupan

bersifat prefentif, kuratif, dan rehabilitatif pada tatanan

kebersamaan “Mosangu Mosipakabelo”. Di awal kelahirannya,

RSUD Undata dikelola oleh 1 dokter spesialis, 4 dokter umum

dengan kapasitas tempat tidur 90 orang dan sejumlah tenaga

perawat, non perawat dan tenaga non medis. Sesuai SK. Menteri

48

Page 49: penerapan informed consent .doc

Kesehatan No. 93/Menkes/SK/1995, RDUD Undata berubah dari

kelas RS Type C menjadi kelas TS Type B Non Pendidikan,  dan

pada tahun berikutnya diakui sebagai pusat rujukan tertinggi di

Sulawesi Tengah dengan Peraturan Daerah Nomor. 6 Tahun 1996.

RSUD Undata berubah statusnya menjadi Rumah Sakit Kelas B

Pendidikan sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur No.

445/73.7/DinKes G-ST tanggal 29 Agustus 2003, Surat Keputusan

Menteri Percepatan Pembangunan Kawasan Indonesia Timur No.

046/KEP/-PPTKTI/VII/2003. Tanggal 7 Juli 2003, didukung oleh

Surat Keputusan Rektor Universitas Tadulako No. 4022 j 28

PG/2003 yang diperuntukkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan dan

sebagai lahan praktek bagi Fakultas Kedokteran Universitas

Tadulako ke depan.

Pada periode Agustus 2009, RSUD Undata pindah ke

banguna baru berlokasi di Jl. Trans Sulawesi- Tondo-Palu Timur,

sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur No. 445/400/RO/.ADM

KESRAMAS Tanggal 06 Agustus 2009 dan Surat Keputusan DPRD

Propinsi Sulawesi Tengah No. 13/P.JMP-DPRD/2009. Tanggal 24

Juni 2009. Dari awal perjalanannya hingga kini, RSUD Undata telah

dipimpin oleh 6 Direktur yang telah mewarnai sepanjang perjalanan

RSUD Undata sampai saat ini. 

Beberapa hal penting lain yang dapat diketahui mengenai

RSUD Undata ialah sebagai berikut:

49

Page 50: penerapan informed consent .doc

d. Visi: Menjadi Rumah Sakit yang Terdepan dan Terbaik di

Provinsi Sulawesi Tengah

e. Misi:

1) Meningkatkan Pelayanan Kesehatan yang profesional serta

menyiapkan dan megembangkan sumber daya manusia;

2) Meningkatkan Pendapatan Rumah sakit dan Kesejahteraan

karyawan; dan

3) Meningkatkan kerjasama dengan mitra rumah sakit.

f. Tugas Pokok: Menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan

secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan

upaya pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan yang

dilaksanakan secara serasi, terpadu, dan merencanakan

penanganan Limbah Rumah Sakit, serta melaksanakan upaya

rujukan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dalam

melaksanakan pelayanan kesehatan, RSUD Undata menganut

asas-asas:

1) Asas Kepastian Hukum;

2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;

3) Asas Kepentingan Umum;

4) Asas Keterbukaan;

5) Asas Proporsionalitas;

6) Asas Profesionalitas; dan

7) Asas Akuntabilitas.

50

Page 51: penerapan informed consent .doc

g. Fungsi:

1) Pelayanan Medis;

2) Pelayanan Penunjang Medis dan Non Medis;

3) Pelayanan Asuhan Keperawatan;

4) Pelayanan Rujukan;

5) Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan;

6) Pelaksanaan Penelitian dan Pengembangan;

7) Pengelolaan Administrasi dan Keuangan.

h. Ketenagaan:

1) Dokter Spesialis 33 orang dengan rincian sebagai berikut:

Spesialis Jumlah dan Nama

Anak 3 orang:dr. Kartin Akune Sp.Adr. Andi Amsar Praja Sp.Adr. Suldiah Sp.A

Obstetri & Ginekology

2 orang:1. dr. Juniati Caroline Simanjuntak, Sp.OG2. dr. Dewa Sp.OG

Penyakit Dalam 6 orang:1. dr. Nurdin Atjo Sp.PD2. dr. Rustam Amirudin Sp.PD3. dr. Abdullah Ammarie Sp.PD4. dr. Sarniwati Sp.PD5. dr. Komang Adi Sujendra Sp.PD6. dr. Nur Fitriani Nurdin Sp.PD

Bedah 3 orang:1. dr. Alfreth Langitan, Sp.B2. dr. Roberty David Maelissa, Sp.B3. dr. Engelberth A.I. Salim, Sp.B

Saraf 2 orang:1. dr. Isnaniah, Sp.S2. dr. Jenny Sampe,M, Kes Sp.S

THT 1 orang:

51

Page 52: penerapan informed consent .doc

1. dr. Christian Lopo, Sp.THT

M a t a 3 orang:1. dr. Kaharudin Asta, Sp.M2. dr. Frangky Baharutan,Sp.M3. dr. Saul Daniel Rapar,Sp.M

Jiwa 1 orang:1. dr. Dewi Suryani Angjaya, Sp.J

Kulit & Kelamin 2 orang:1. dr. Seniwati Ismail, Sp.KK2. dr. Nurhidayat, Sp.KK

Radiologi 1 orang:1. dr. Robert Mangiri, Sp.Rad. M.Sc

Anastesi 3 orang:1. dr. Faridnan, Sp.A2. dr. Ferry Lumintang, Sp.A3. dr. Sofyan Bulango, Sp.A

Patologi & Anatomi

1 orang:1. dr. Wardana M. Harun, SP.PK

Jantung 2 orang:1. dr. Ramang Napu, SpJP.(K) FIHA2. dr. Venice Chairiadi, Sp.JP.FIHA

Ortopedi 2 orang:1. dr. Muh. Ardi Munir, M.Kes, Sp.OT2. dr. Harris Tata, M.Kes, Sp.OT

Bedah Mulut 1 orang:1. drg. Muh. Gazali, Sp.BM

Tabel 4.2 Deskripsi Dokter Spesialis RSUD Undata

2) Dokter Gigi: 6 orang yaitu drg. Andi Rosadi Palaloi, drg.

Santi Agustini, drg. Peny Setyowati, drg. Esther Soyan, drg.

Cheriati Muin, drg. Herry Mulyadi, M.Kes

i. Sarana Pelayanan:

1) Poliklinik Penyakit Dalam: Poliklinik Penyakit Dalam Umum,

Poliklinik Geriatry, Poliklinik Konsul Penyakit Dalam

52

Page 53: penerapan informed consent .doc

2) Poliklinik Jantung

3) Poliklinik Penyakit Anak

4) Poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan

5) Poliklinik Bedah

6) Poliklinik Penyakit Mata

7) Poliklinik Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan

8) Poliklinik Konsultasi Jiwa

9) Poliklinik Syaraf

10)Poliklinik Penyakit kulit dan Kelamin

11)Poliklinik Konsultasi Gizi

12)Poliklinik Kesehatan Gigi dan Mulut

j. Pelayanan Penunjang: Instalasi Radiologi seluas 510 M 2 buka

24 jam setiap harinya di bawah tanggung jawab seorang Dokter

Spesialis Radiologi, Instalasi Laboratorium seluas 510 M 2 buka

24 jam setiap harinya di bawah tanggung jawab seorang Dokter

Spesialis Patologi Klinik dan Dokter Spesialis Patologi Anatomi,

Instalasi ICU/ICCU seluas 228 M 2 buka 24 jam setiap harinya

di bawah tanggung jawab seorang Dokter Spesialis Anesthesi

dan Dokter Spesialis jantung, Instalasi Bedah Sentral seluas

680 M 2 dengan 5 ( lima ) buah Kamar Operasi, Instalasi

Rehabilitasi Medik seluas 200 M 2 buka 24 jam setiap hari kerja

di bawah tanggung jawab Dokter Spesialis Syaraf dan dilayani

oleh 6 (enam) orang fisiotherapis, Instalasi Gizi seluas 212 M 2

53

Page 54: penerapan informed consent .doc

melayani pemberian makanan pasien Rawat Inap sesuai

standar gizi dan memberikan konsultasi gizi, baik pasien Rawat

Jalan maupun Rawat Inap.

Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner yang dibagikan

kepada 26 dokter spesialis dari kedua RS di atas (28 Januari-15

Juli 2014), dibuatlah tabulasi sebagai berikut:

PertanyaanJawaban Reponden

Dokter Pasien Perawat Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak

f % f % f % f % f % f %Apakah dokter selalu melakukan informed consent sebelum dilakukan tindakan medis

20 100 0 0 24 100 0 0 0 0 0 0

Apakah informed consent dilakukan secara sukarela atau terpaksa

20 100 0 0 24 100 0 0 0 0 0 0

Apakah informasi mengenai tindakan medis yang diberikan oleh dokter terkait dengan alternatif tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien

20 100 0 0 20 83,3 4 16,7

Apakah informasi tersebut diberikan secara langsung oleh dokter sendiri dan tidak melalui tenaga kesehatan lainnya seperti perawat

20 100 0 0 18 75 6 25 0 0 0 0

Apakah informasi yang diberikan tersebut lengkap terkait tindakan medis dan resikonya

14 70 6 (informasi yang pokok

30 19 79,2 5 (informasi

singkat saja

)

20,8 0 0 0 0

Apakah informasi yang diberikan dokter dapat dipahami oleh pasien/keluarganya

17 85 3 15 21 87,5 3 12,5 3 15 17 85

Apakah diperlukan adanya komunikasi secara intens dengan dokter sebelum

20 100 0 0 24 100 0 0 0 0 0 0

54

Page 55: penerapan informed consent .doc

dilakukan tindakan medis tertentu terutama yang berkaitan dengan tindakan medis berat (operasi/bedah)Apakah persetujuan tindakan medik harus dilakukan dalam bentuk tertulis dan/atau otentik

17 85 3 15 21 87,5 3 12,5 3 15 17 85

Apakah pernah terjadi penolakan karena informasi tentang tindakan kedokteran yang diberikan kurang dipahami

17 85 3 15 21 87,5 3 12,5 3 15 17 85

Apakah informed consent memberikan keyakinan kepada pasien supaya pasien mengetahui prosedur tindakan medis yang dilakukan dokter

0 0 0 0 24 100 0 0 0 0 0 0

Apakah informed consent membantu pasien mendapatkan informasi tentang penyakitnya

0 0 0 0 20 83,3 4 16,7 0 0 0 0

Apakah informed consent membuat pasien mengetahui hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum operasi

0 0 0 0 4 16,7 20 83,3 0 0 0 0

Tabel 4.3 Tabulasi Jawaban Responden

Tabulasi jawaban responden di atas dapat dianalisi lebih

jauh. Terhadap pertanyaan “apakah dokter selalu melakukan

informed consent sebelum dilakukan tindakan medis”, 26 orang

dokter spesialis dari kedua RS di atas memilih jawaban “ya” dan

sekaligus berpendapat bahwa pemberian informed consent

merupakan hal yang sangat penting. Dengan demikian di Kota

Palu, penerapan informed consent telah dilakukan sebagaimana

perintah Permenkes 290/MENKES/PER/III/2008 tentang

55

Page 56: penerapan informed consent .doc

Persetujuan Tindakan Kedokteran. Secara prosentase dapat

dikatakan bahwa 100% pelayan kesehatan di Palu (dalam hal ini

dokter yang melakukan pembedahan atau operasi) telah

melakukan informed consent dengan pemikiran bahwa tindakan

tersebut merupakan tindakan yang bukan memenuhi formalitas

peraturan perundang-undangan, melainkan tindakan yang didasari

pada penghormatan terhadap martabat manusia.

Pemikiran yang mendasari dilakukannya informed consent

tersebut diperoleh dari jawaban atas pertanyaan “apakah informed

consent dilakukan secara sukarela atau terpaksa”. Terhadap

pertanyaan tersebut, 100% dokter memilih jawaban melakukan

informed consent secara sukarela. Jawaban dokter di atas

diperkuat oleh jawaban para pasien (24 orang pasien, 100% dari

responden), yang menyatakan bahwa sebelum dilakukan tindakan

medis, para dokter lebih dulu memberikan informasi mengenai

tindakan medis apa yang dilakukan terhadap pasien.

Hal tersebut sesuai dengan pandangan Marcela Del Carmen

dan Steven Joffe (2005:637) yang menegaskan bahwa:

Informed consent can be seen through at least two lenses. The first relates to the concept of autonomous authorization of a medical intervention. This position is in direct contrast to the paternalistic conception of the physician as acting in the patient’s best interest, independently conceived. This notion of informed consent is exemplified in Mohr v. Williams. In this case, the physician obtained the patient’s consent to perform surgery on her right ear. During the procedure, the surgeon recognized that it was the patient’s left ear that needed the surgical procedure and proceeded to operate on that ear.

56

Page 57: penerapan informed consent .doc

The court determined that the surgeon had violated the terms of the informed consent, stating that the patient “enters into a contract authorizing the physician to operate to the extent of the consent given, but no further”. In this context, the patient consents if she intentionally authorizes a professional to perform a procedure, after expressing understanding and in the absence of control by others. An alternative conception mandates that a legally valid consent be obtained prior to a medical procedure, thereby locating informed consent in the realm of social rules and institutional contexts. This definition deals with the institutional rules of consents and does not necessarily insist on consent as an autonomous act. Rather, informed consent is defined as the patient’s institutionally or legally effective authorization. The consent is valid if it occurs within the rules that govern specific institutional practices.

Pernyataan di atas bermakna bahwa informed consent dapat

dilihat melalui setidaknya 2 (dua) aspek. Yang pertama berkaitan

dengan konsep otorisasi otonom dari intervensi medis. Konsep ini

kontras dengan konsep paternalistik dokter yang bertindak

berdasarkan kepentingan terbaik pasien. Gagasan informed

consent dicontohkan dalam kasus Mohr vs Williams. Dalam hal ini,

dokter memperoleh persetujuan pasien untuk melakukan operasi

pada telinga kanannya. Selama prosedur, dokter bedah mengakui

bahwa itu adalah telinga kiri pasien yang dibutuhkan juga dalam

prosedur pembedahan agar telinga kanan dapat terus beroperasi.

Pengadilan memutuskan bahwa ahli bedah telah melanggar

ketentuan informed consent, dan menyatakan bahwa pasien

"masuk ke dalam kontrak otorisasi dokter untuk beroperasi sejauh

persetujuan yang diberikan, tapi tidak lebih". Dalam konteks ini,

pasien setuju jika dia dengan sengaja memberikan kewenangan

57

Page 58: penerapan informed consent .doc

profesional untuk dilakukannya prosedur operasi, setelah

mengungkapkan pemahamannya dan tidak adanya kontrol atau

paksaan dari orang lain. Hal ini merupakan sebuah konsepsi

alternatif bahwa persetujuan yang sah diperoleh sebelum diadakan

tindakan medis. Sebaliknya, informed consent didefinisikan sebagai

otorisasi secara kelembagaan atau secara hukum efektif pasien.

Persetujuan ini berlaku jika terjadi dalam aturan yang mengatur

praktik institusional yang spesifik. Dengan kata lain, informed

consent berkaitan dengan persetujuan dari otonomi pasien, dan

persetujuan karena peraturan yang mengaturnya.

Adapun informasi mengenai tindakan medis yang diberikan

oleh dokter sangat berkaitan dengan alternatif tindakan medis yang

akan dilakukan terhadap pasien (100% dokter menjawabnya

demikian). Namun, sebanyak 20 pasien menjelaskan hal ini dengan

prosentase sebesar 83.3%; karena terdapat 4 orang pasien

(16.6%) yang menegaskan bahwa informasi tersebut biasanya

hanya terkait dengan pembiayaan terhadap alternatif tindakan

medis yang akan dilakukan terhadap pasien. Hal ini dapat

disimpulkan bahwa masih terdapat perbedaan penekanan infomrasi

medis yang disampaikan oleh dokter.

Informasi mengenai alternatif tindakan yang akan dilakukan

oleh dokter ini sesuai dengan Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 29

Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menegaskan bahwa

58

Page 59: penerapan informed consent .doc

informasi yang harus diberikan oleh dokter terhadap pasien

setidak-tidaknya mencakup:

4) Diagnosis dan tata cara tindakan medis;

5) Tujuan tindakan medis yang dilakukan;

6) Alternatif tindakan lain dan risikonya;

7) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;

8) Prognosis (kemungkinan hasil perawatan) terhadap

tindakan yang dilakukan.

Perbedaan penekanan informasi ini biasanya berkaitan

dengan subjek pemberi informasi mengenai tindakan medis yang

akan dilakukan. 100% dokter menegaskan bahwa dokter sendiri-lah

yang memberikan penjelasan mengenai tindakan medis yang akan

dilakukan terhadap pasien. Sesuai dengan hal tersebut 18 orang

pasient menyatakan bahwa informasi mengenai tindakan medis

biasanya dilakukan oleh seorang dokter tetapi pada hasil penelitian

masih ada 6 orang pasient mengatakan itu dilakukan oleh perawat

atau bidan. Perbedaan ini menunjukan belum maksimalnya

informasi mengenai tindakan medis menunjukkan belum

maksimalnya kualitas informasi mengenai tindakan medis karena

disampaikan oleh subjek yang tidak berkompeten. Peneliti

berpandangan bahwa kompetensi medis seorang dokter sangat

menentukan kualitas informasi medis yang disampaikan kepada

pasien. Oleh karena itu, seyogyanya informasi tersebut diberikan

59

Page 60: penerapan informed consent .doc

oleh dokter sendiri yang akan melakukan tindakan medis terhadap

pasien.

Selanjutnya, informasi medis yang disampaikan tersebut

harus diberikan secara lengkap dan terperinci sebagai suatu

kesatuan penyampaian. Sebagai suatu kesatuan penyampaian,

sejatinya hal-hal di atas mencegah terjadinya malpraktik yang

biasanya berpotensi muncul setelah dilakukan tindakan medis.

Pentingnya kesatuan penyampaian di atas dapat diketahui melalui

jawaban dari 19 orang pasien (79.1%) yang mengungkapkan

bahwa informasi yang diberikan harus lengkap terkait tindakan

medis dan resikonya; sedangkan 5 orang pasien (20.8%) masih

memperoleh informasi singkat saja, terutama jika dihadapkan pada

penanganan tindakan medis yang luar biasa.

Meskipun demikian, Peneliti berpandangan bahwa karakter

atau substansi informasi harus disesuaikan dengan penyakit yang

diderita pasien atau jenis tindakan medis yang sesuai dengan

penyakit pasien. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) Permenkes

Nomor 290 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa:

Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup:b. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;c. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;d. Altematif tindakan lain, dan risikonya;e. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; danf. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.g. Perkiraan pembiayaan.

60

Page 61: penerapan informed consent .doc

Berkaitan dengan informasi yang diberikan dalam

persetujuan tindakan kedokteran, Doyal (2000:17) menyatakan

bahwa:

Therefore, it may be true that some patients state that they wish little information about treatment, prognosis or risks, especially if they are interviewed in the immediate aftermath of a dramatic clinical intervention. Yet it does not follow from such findings that it is in the best interests of such patients not to be given the information they need to be capable of reasoned choice. Their refusal can itself only be valid if it is properly informed to some minimally accepted level encompassing basic core information about what their refusal will practically mean in the management of their illness. Suppose that an operation has serious risks and a patient does not want to know about them. For this refusal to be properly informed, that patient needs at least to understand that his/her proposed treatment does entail significant risks, whatever further details are not revealed. If they are not told this they can have no idea what they are refusing or how their refusal might compromise their best interests. Furthermore, before clinicians take the serious step of minimising disclosure of information to patients, they should ensure that this is what patients actually want, including multiple checks over time and self monitoring as regards the quality of their own communication with the patient. Frightened and anxious patients may well not wish to obtain further information from clinicians on whom they know they clinically depend and they find that they often cannot understand.

Hal di atas mengindikasikan bahwa beberapa pasien

menyatakan betapa mereka menginginkan sedikit informasi tentang

pengobatan, prognosis atau risiko, terutama jika mereka

diwawancarai segera setelah intervensi klinis yang dramatis.

Namun hal tersebut tidak dapat dilakukan apabila berdasarkan

diagnosa medis terdapat alasan tertentu demi kepentingan terbaik

dari pasien. Penolakan pasien dapat diterima jika benar bahwa

61

Page 62: penerapan informed consent .doc

informasi yang diperoleh hanya minimal mencakup informasi inti

mengenai penyakitnya. Misalkan operasi tersebut memiliki risiko

serius dan pasien tidak mengetahui hal itu, maka untuk penolakan

ini diinformasikan dengan baik, di mana pasien setidaknya

memahami bahwa pengobatan yang diusulkan tidak mengandung

resiko yang signifikan. JIka pasien tidak diberitahu mengenai hal

ini, pasien bisa saja tidak tahu apa yang mereka tolak atau

bagaimana penolakan mereka mungkin berkaitan dengan

kepentingan terbaik mereka. Selain itu, sebelum dokter mengambil

langkah serius untuk meminimalkan keterbukaan informasi kepada

pasien, mereka harus memastikan bahwa hal ini adalah apa yang

benar-benar diinginkan oleh pasien. Pasien yang takut dan cemas

mungkin tidak ingin mendapatkan informasi lebih lanjut dari dokter.

Peneliti berpendapat bahwa berdasarkan UU Nomor 29

Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, maka informasi medis

yang diberikan oleh dokter harus diberikan secara detail atau rinci

mengenai diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan

medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko

dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis (kemungkinan

hasil perawatan) terhadap tindakan yang dilakukan. Hal-hal yang

diamanatkan UU tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan, dan menjadi kewajiban bagi dokter untuk

menyampaikannya kepada pasien.

62

Page 63: penerapan informed consent .doc

Kelengkapan informasi medis yang disampaikan harus

didukung juga oleh kemampuan/kapasitas pasien/keluarga dalam

menerima informasi tersebut. Semakin berkualitas peneriman

informasi medis, semakin berkualitas pula isi informasi medis yang

diperoleh dan dipahami. Dalam penelitian ini, konfigurasi usia

pasien dan keluarga pasien yang menerima informasi medis dari

dokter terdiri dari 10% berusia 17-20 tahun, 25% berusia 20-30

tahun, dan sisanya 65% berusia di atas 30 tahun, yang dapat

ditabulasikan sebagai berikut.

Rentang Usia Pasien Prosentase17-20 tahun 10%20-30 tahun 25%≥ 30 tahun 65%

Tabel 4.4 Konfigurasi Usia Penerima Informasi Medis

Konfigurasi usia ini sangat penting mengingat pasien

maupun keluarga memiliki latar belakang kehidupan dan

pendidikan yang berbeda-beda. Berkaitan dengan hal ini, Marcela

Del Carmen dan Steven Joffe (2005:638) menegaskan bahwa hal

yang penting dalam penyampaian informasi medis ialah

kompetensi atau kapasitas dari penerima informasi medis, dalam

hal ini pasien dan/atau keluarga pasien. Marcela dan Steven

menyatakan bahwa:

What makes a patient’s authorization of a medical procedure valid? Valid informed consent incorporates five elements: voluntarism, capacity, disclosure, understanding, and decision. Voluntarism requires that the patient be free from

63

Page 64: penerapan informed consent .doc

“coercion and from unfair persuasions and inducements”. Coercion refers to morally inappropriate pressures from individuals or institutions that constrain patients’ exercises of choice; serious illness by itself does not compromise voluntarism. Also, physicians’ attempts to influence patients’ decisions need not undermine voluntarism. Rather, physicians should be encouraged to clarify patients’ goals, present the appropriate options in light of these goals, and make recommendations within the “deliberative model” of the doctor–patient relationship. Capacity can be defined as the patient’s ability to make health care decisions. In practice, we assume that adults are capable of making decisions unless there is strong evidence to the contrary. Several criteria can be used clinically to assess a person’s capacity, including the ability to make choices, to understand the relevant information, to appreciate the situation and its consequences, and to rationally process the information. The stringency of the standard varies according to the significance, complexity, and consequences of the decision. Competence, a related notion, refers to the patient’s legal standing to make health care decisions. For example, a 17 year old may have the capacity to make decisions for him- or herself, but not be competent from a legal point of view. Disclosure involves providing the patient with the information needed to understand a procedure. This information includes the nature and purpose of the treatment, as well as its risks, potential benefits, and available alternatives. Information should be disclosed using simple explanations. Common complications, irrespective of severity, should be described, as should less frequent but potentially serious or irreversible risks. Understanding requires that the patient comprehend the information given and appreciate its relevance to her individual situation. There is little consensus in either law or ethics about what constitutes sufficient understanding. The courts have not generally held that failure of understanding invalidates informed consent. Instead, they have relied on evidence of disclosure when determining if a patient was adequately informed. Decision refers to the patient’s authorization allowing a physician to execute the proposed treatment. Consent forms facilitate and document this authorization but should be seen as secondary to the process through which the patient and the physician discuss and negotiate the proposed treatment.

64

Page 65: penerapan informed consent .doc

Pandangan di atas menegaskan bahwa sebenarnya ada 5

(lima) hal yang membuat sebuah informed consent itu dikatakan

sah yaitu kerelaan, kapasitas, pengungkapan, pemahaman, dan

keputusan. Kerelaan bermakna bahwa pasien bebas dari

"pemaksaan dan persuasi/bujukan". Pemaksaan mengacu pada

tekanan moral yang tidak pantas dari individu atau lembaga

tertentu ataupun dokter. Sebaliknya, dokter harus didorong untuk

memperjelas tujuan pasien, menyajikan pilihan yang sesuai dalam

kaitan dengan tujuan tersebut, dan membuat rekomendasi dalam

secara bebas dari hubungan antara dokter dan pasien. Kapasitas

dapat didefinisikan sebagai kemampuan pasien untuk membuat

keputusan mengenai perawatan kesehatan. Dalam prakteknya,

diasumsikan bahwa orang dewasalah yang mampu membuat

keputusan kecuali ada bukti kuat untuk sebaliknya. Beberapa

kriteria yang dapat digunakan secara klinis untuk menilai

kemampuan seseorang ialah adanya kemampuan untuk membuat

pilihan, untuk memahami informasi yang relevan, untuk menghargai

situasi dan konsekuensinya, dan bersikap rasional memproses

informasi. Pengungkapan melibatkan ketersediaan informasi yang

diperlukan pasien untuk memahami suatu prosedur. Informasi ini

mencakup sifat dan tujuan pengobatan, resiko, potensi keuntungan,

dan alternatif medis yang tersedia. Informasi harus diungkapkan

dengan menggunakan penjelasan sederhana. Memahami

65

Page 66: penerapan informed consent .doc

mensyaratkan bahwa pasien memahami informasi yang diberikan

dan menghargai relevansinya dengan situasi individunya.

Keputusan mengacu pada otorisasi pasien yang memungkinkan

dokter untuk menjalankan pengobatan yang diusulkan. Formulir

persetujuan dan dokumen otorisasi memfasilitasi hal ini tetapi harus

dilihat sebagai hal sekunder untuk proses melalui mana pasien dan

dokter mendiskusikan dan menegosiasikan pengobatan yang

diusulkan.

Peneliti berpendapat bahwa kompetensi pasien sangat

dibutuhkan agar tidak terjadi salah pengertian terhadap istilah

kedokteran tertentu, termasuk juga menghindari salah kaprah

dalam perlakuan tindakan medis. Hal ini penting dilakukan karena

19 orang pasien (79.1%) menyatakan kurang paham atau kurang

mengerti mengenai informasi yang diberikan. Dasar

ketidakpahaman ini berpotensi memunculkan adanya sengketa

medis di kemudian hari apabila terbukti tindakan medis yang

dilakukan dokter tidak sesuai dengan harapan pasien dan

keluarganya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika berdasarkan

tabulasi jawaban responden di atas, semua pasien (100%) dan

semua dokter (100%) mengharapkan adanya komunikasi secara

intens antara dokter dan pasien sebelum dilakukan tindakan medis

tertentu terutama yang berkaitan dengan tindakan medis berat

(operasi/bedah).

66

Page 67: penerapan informed consent .doc

Secara yuridis, Pasal 1 angka 7 Permenkes Nomor 290

Tahun 2008 menegaskan bahwa pasien yang kompeten adalah

pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-

undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran

fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami

kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak

mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan

secara bebas. Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) Permenkes Nomor 290

Tahun 2008 memberikan batasan lain sebagai berikut: dalam hal

pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan

diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.

Terkait dengan kapasitas pasien pula, Peneliti

berpandangan bahwa yang berhak memberikan persetujuan atau

menyatakan menolak tindakan medis pada dasarnya, pasien

sendiri jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun, menurut

Penjelasan Pasal 45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas,

apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan

atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga

terdekat, antara lain suami/isteri ayah/ibu kandung, anak-anak

kandung atau saudara-saudara kandung. Dalam keadaan gawat

darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan

persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang

67

Page 68: penerapan informed consent .doc

sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat

persetujuan.

Berdasarkan wawancara dengan para nara sumber (dengan

inisial dr. A.L, Sp.B, dr. R. D. M, Sp.B, dan dr. E.A.S, Sp.B, tanggal

6 Juli 2014), terdapat batasan-batasan tertentu berkaitan dengan

kapasitas pasien dan atau keluarga pasien yang layak menerima

dan memberikan persetujuan tindakan medis. Tidak semua pasien

boleh memberikan pernyataan, baik setuju maupun tidak setuju.

Syarat seorang pasien yang boleh memberikan pernyataan, yaitu:

h. Pasien tersebut sudah dewasa: di sini masih terdapat

perbedaan pendapat pakar tentang batas usia dewasa,

namun secara umum bisa digunakan batas 21 tahun.

Pasien yang masih dibawah batas umur ini tapi sudah

menikah termasuk kriteria pasien sudah dewasa.

i. Pasien dalam keadaan sadar: Hal ini mengandung

pengertian bahwa pasien tidak sedang pingsan, koma,

atau terganggu kesadarannya karena pengaruh obat,

tekanan kejiwaan, atau hal lain. Berarti, pasien harus

bisa diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar.

j. Pasien dalam keadaan sehat akal: Jadi yang paling

berhak untuk menentukan dan memberikan pernyataan

persetujuan terhadap rencana tindakan medis adalah

pasien itu sendiri, apabila dia memenuhi 3 kriteria diatas,

68

Page 69: penerapan informed consent .doc

bukan orang tuanya, anaknya, suami/istrinya, atau orang

lainnya. Namun apabila pasien tersebut tidak memenuhi

3 kriteria tersebut diatas maka dia tidak berhak untuk

menentukan dan menyatakan persetujuannya terhadap

rencana tindakan medis yang akan dilakukan kepada

dirinya. Dalam hal seperti ini, maka hak pasien akan

diwakili oleh wali keluarga atau wali hukumnya. Misalnya

pasien masih anak-anak, maka yang berhak memberikan

persetujuan adalah orang tuanya, atau paman/bibinya,

atau urutan wali lainnya yang sah. Bila pasien sudah

menikah, tapi dalam keadaan tidak sadar atau

kehilangan akal sehat, maka suami/istrinya merupakan

yang paling berhak untuk menyatakan persetujuan bila

memang dia setuju.

k. Hak suami/istri pasien: Untuk beberapa jenis tindakan

medis yang berkaitan dengan kehidupan berpasangan

sebagai suami-istri, maka pernyataan persetujuan

terhadap rencana tindakan medisnya harus melibatkan

persetujuan suami/istri pasien tersebut apabila

suami/istrinya ada atau bisa dihubungi untuk keperluan

ini. Dalam hal ini, tentu saja suami/istrinya tersebut harus

juga memenuhi kriteria “dalam keadaan sadar dan sehat

akal”. Beberapa jenis tindakan medis tersebut misalnya

69

Page 70: penerapan informed consent .doc

tindakan terhadap organ reproduksi, KB, dan tindakan

medis yang bisa berpengaruh terhadap kemampuan

seksual atau reproduksi dari pasien tersebut.

l. Dalam keadaan gawat darurat: Proses pemberian

informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan

medis ini bisa saja tidak dilaksanakan oleh dokter apabila

situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat darurat.

Dalam kondisi ini, dokter akan mendahulukan tindakan

untuk penyelamatan nyawa pasien. Prosedur

penyelamatan nyawa ini tetap harus dilakukan sesuai

dengan standar pelayanan/prosedur medis yang berlaku

disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi.

Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa

berkomunikasi, maka pasien berhak untuk mendapat

informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah

dialaminya tersebut.

m. Tidak berarti kebal hukum: Pelaksanaan informed

consent ini semata-mata menyatakan bahwa pasien

(dan/atau walinya yang sah) telah menyetujui rencana

tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan

tindakan medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan

standar proferi kedokteran. Setiap kelalaian, kecelakaan,

atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam

70

Page 71: penerapan informed consent .doc

pelaksanaan tindakan medis itu tetap bisa menyebabkan

pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk

mengajukan tuntutan hukum. Informed consent memang

menyatakan bahwa pasien sudah paham dan siap

menerima resiko sesuai dengan yang telah

diinformasikan sebelumnya. Namun tidak berarti bahwa

pasien bersedia menerima apapun resiko dan kerugian

yang akan timbul, apalagi menyatakan bahwa pasien

tidak akan menuntut apapun kerugian yang timbul.

Informed consent tidak menjadikan dokter kebal terhadap

hukum atas kejadian yang disebabkan karena

kelalaiannya dalam melaksanakan tindakan medis.

n. Terkait tindakan invasif: dibutuhkan Wali (orang yang

menurut hukum menggantikan orang lain yang belum

dewasa untuk mewakili dalam melakukan perbuatan

hukum, atau orang yang menurut hukum menggantikan

kedudukan orang tua); induk semang (orang yang

berkewajiban untuk mengawasi serta ikut bertanggung

jawab terhadap pribadi orang lain, misalnya pimpinan

asrama dari anak perantau, kepala RT dari seorang

pembantu RT yang belum dewasa).

Berkaitan dengan hal di atas, pandangan dari Faden dan

Beauchamp (1986:224) di bawah ini dapat dijadikan referensi:

71

Page 72: penerapan informed consent .doc

It is a delicate matter to decide whether a patient has more than the minimum acceptable level of understanding, in order to claim that informed consent has been obtained. In my opinion, the threshold is that individuals should feel they are able to make a free decision about study participation. For patients to make choices that are as autonomous as possible, given the circumstances, in an emergency such as acute myocardial infarction, they should be given information that focuses on a few essential aspects of the study, including their right to decline participation. When patients have more severe symptoms, the following choices are faced: either no research is conducted on these kinds of patients; only a low level of understanding is considered sufficient for moral or legal consent in this situation; or patients are included in research without their immediate consent.

Pendapat di atas mengindikasikan bahwa betapa rumit untuk

memutuskan apakah pasien memiliki lebih dari tingkat yang dapat

diterima minimum pemahaman, untuk mengklaim bahwa informed

consent telah dipahami. Harus ada standar tertentu untuk

menentukan tingkat pemahaman pasien. Bagi pasien, untuk

membuat pilihan yang otonom sebaik mungkin, perlu diketahui

keadaannya sendiri, misalnya dalam keadaan darurat seperti

infarksi miokardiak akut, mereka harus diberi informasi yang

berfokus pada aspek-aspek penting hal tu, termasuk hak mereka

untuk menolak dilakukannya tindakan medis. Ketika pasien

memiliki gejala lebih parah, pilihan untuk dilakukannya tindakan

medis perlu didasarkan pada jenis-jenis pasien; pemahaman pada

tingkat rendah umumnya dianggap cukup untuk suatu persetujuan

moral atau hukum dalam situasi semacam ini.

72

Page 73: penerapan informed consent .doc

Level kompetensi atau kapasitas pasien dan keluarga dalam

pemberian informasi mengenai tindakan medis/kedokteran menjadi

sangat berharga karena dari sana dapat diambil persejuan

bersama sebagai langkah awal dilakukannya tindakan medis. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa semakin dewasa pasien dengan

tingkat pendidikan yang memadai (18 orang pasien, prosentase

75%), semakin pahamlah pasien tersebut mengenai karakter

tindakan medis apa yang akan diterimanya; sebaliknya semakin

muda usia seorang pasien dengan tingkat pendidikan yang kurang

memadai (6 orang pasien, prosentase 25%) menyebabkan

persetujuan tindakan kedokteran/medis sering menimbulkan

permasalahan tertentu. Di lain pihak, 100% para dokter pada

kedua RS di Kota Palu memberikan informasi kedokteran kepada

pasien dewasa dan/atau keluarganya yang dewasa dan yang

mampu memahami tindakan medis yang akan dilakukan.

2. Bentuk Informed Consent

Adapun bentuk Persetujuan Tindakan Medik (PTM) menurut

Hendrojono Soewono (2007:118) adalah:

a. Yang dinyatakan (Expressed), yakni secara lisan (oral) atau

tertulis (written)

Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan

secara lisan atau tulisan, bila yang ada akan dilakukan lebih dari

73

Page 74: penerapan informed consent .doc

prosedur pemeriksaan dan tindakan biasa. Dalam keadaan

demikian, sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih

dahulu informasi mengenai tindakan apa yang akan dilakukan

supaya tidak terjadi salah pengertian. Misalnya pemeriksaan

mencabut kuku atau colok vagina. Di sini belum diperlukan

pernyataan tertulis, persetujuan lisan sudah mencukupi. Namun

bila tindakan yang akan dilakukan mengandung resiko seperti

tindakan pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan

pengobatan yang invasif, sebaiknya diminta persetujuan

tindakan medik (PTM) secara tertulis.

b. Dianggap diberikan (implied or tacit consent) yakni dalam

keadaan biasa (normal) atau dalam keadaan darurat.

Implied consent adalah persetujuan yang diberikan

pasien secara tersirat, tanpa pernyataan tegas isyarat

persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan

pasien. Umumnya tindakan dokter disini adalah tindakan yang

biasa dilakukan atau sudah diketahui umum, misalnya

pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium,

melakukan suntikan pada pasien, menjahit luka dan

sebagainya.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, hal-hal yang harus

dijelaskan oleh dokter kepada pasien sebelum pasien memberikan

persetujuannya untuk dilakukan tindakan medis terhadapnya,

74

Page 75: penerapan informed consent .doc

menurut Pasal 45 ayat (3) UU No. 29 Tahun 2004, sekurang-

kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis,

tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan

resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan

prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden (12

Februari-15 Mei 2014), terdapat perbedaan pandangan antara

dokter dan pasien. Sebanyak 26 orang dokter (100%) menyatakan

bahwa persetujuan pasien harus dilakukan dalam bentuk tertulis

apalagi otentik. Namun kondisi tersebut diharapkan jangan terlalu

bersifat birokratis karena dapat memerlukan waktu yang panjang,

sedangkan pasien memerlukan waktu untuk perawatan. UU

menentukan persetujuan pasien dapat berupa secara tertulis

ataupun lisan (Pasal 45 ayat (4) UU Nomor 29 Tahun 2004). Hal ini

didasarkan pada pemikiran bahwa hubungan antara dokter dengan

pasien adalah hubungan atas dasar kepercayaan. Dengan

demikian dalam suatu keadaan darurat di mana pasien dalam

keadaan tidak sadar dan tidak ada pihak yang dapat dimintai

persetujuannya, sedangkan penundaan tindakan medik akan

berakibat fatal bagi pasien, maka informed consent tidak

dibutuhkan. Di lain pihak, terdapat 21 orang pasien (dari 24 pasien,

87.5%) yang menyatakan bahwa persetujuan tindakan kedokteran

harus dilakukan secara tertulis, sedangkan 3 orang pasien (12.5%)

75

Page 76: penerapan informed consent .doc

yang menyatakan bahwa persetujuan tindakan medik tersebut

dapat dilakukan secara lisan saja.

Peneliti berpandangan bahwa alternatif pilihan yang diajukan

undang-undang tanpa mencantumkan klausa imperatif/keharusan

menyebabkan penerapan informed consent disesuaikan

berdasarkan kondisi pasien dan penilaian dokter. Hal ini akan

berpotensi menimbulkan sengketa medis di kemudian hari apabila

hasil yang diperoleh dalam pengobatan tidak sesuai dengan yang

diharapkan. Dengan kata lain perlu ada ketegasan secara normatif

yang memberikan batasan-batasan terhadap tindakan informed

consent. Terkait ini, European Commission (2001:1) menegaskan

bahwa pada dasarnya,

Informed Consent is the decision, which must be written, dated and signed, to take part in a clinical trial, taken freely after being duly informed of its nature, significance, implications and risks and appropriately documented, by any person capable of giving consent or, where the person is not capable of giving consent, by his or her legal representative; if the person concerned is unable to write, oral consent in the presence of at least one witness may be given in exceptional cases, as provided for in national legislation.

European Commission mengungkapkan secara tegas bahwa

informed consent harus bersifat tertulis dengan tanggal yang jelas

serta penandatanganan para pihak, yang diambil secara bebas

setelah diberitahu tentang sifat, makna, implikasi dan risiko, dan

secara tepat didokumentasikan oleh setiap orang yang mampu

memberikan persetujuan (dalam hal ini pasien dan atau

76

Page 77: penerapan informed consent .doc

keluarganya); jika orang yang bersangkutan tidak dapat menulis,

persetujuan lisan di hadapan setidaknya satu saksi dapat diberikan

dalam kasus luar biasa, sebagaimana diatur dalam perundang-

undangan nasional. Terkait ini, UU Praktik Kedokteran memberikan

alternatif yaitu dapat berupa lisan maupun tertulis.

Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 2 Permenkes Nomor

290 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa:

(1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.

(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.

Dengan demikian, bentuk informed consent dalam hukum

Indonesia ialah dapat secara lisan dan dapat secara tertulis.

Mengenai kriteria tertulis dan lisan, Pasal 3 Permenkes Nomor 290

Tahun 2008 menegaskan bahwa:

(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.

(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.

77

Page 78: penerapan informed consent .doc

(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.

Jika ditelaah, syarat yang diajukan Permenkes di atas

mengenai bentuk informed consent bersifat sangat restriktif dan

limitatif dengan tujuan utama menyelamatkan nyawa pasien.

Peneliti berpandangan bahwa bentuk informed consent meskipun

dibberikan alternatif sesuai dengan keadaan pasien, namun perlu

diberikan penekanan terhadap karakter tertulis dari informed

consent agar memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat dokter

dan pasien.

Peneliti berpendapat pula bahwa pada hakikatnya informed

consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien

tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter

terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter),

sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup.

Untuk sementara waktu apabila dalam keadaan darurat.

Penandatanganan formulir informed consent secara tertulis hanya

merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati

sebelumnya. Tujuan penjelasan yang lengkap adalah agar pasien

menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri

(informed decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak

tindakan medis yang dianjurkan. Pasien juga berhak untuk meminta

78

Page 79: penerapan informed consent .doc

pendapat dokter lain (second opinion), dan dokter yang

merawatnya.

Walaupun dalam implementasinya informed consent telah

mendapatkan legitimasi tertulis, persetujuan semacam itu tidak

dapat dipakai sebagai alasan pembenaran perlakuan medik yang

menyimpang. Persetujuan (informed consent) pasien atau

keluarganya tidak membebaskan resiko hukum bagi timbulnya

akibat yang tidak dikehendaki dalam hal perlakuan medis yang

benar dan tidak menyimpang.

Walaupun ada persetujuan semacam itu apabila perlakuan

medis dilakukan secara salah hingga menimbulkan akibat yang

tidak dikehendaki, dokter juga tetap terbebani tanggung jawab

terhadap akibatnya. informed consent sesungguhnya memiliki

sebuah fungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat

membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada

pasien, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri

terhadap segala kemungkinan adanya tuntutan ataupun gugatan

dari pasien atau keluarganya terhadap resiko yang ditimbulkan.

Sedangkan bagi pasien, informed consent merupakan bentuk

penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat

digunakan sebagai dasar pembenar untuk menuntut ataupun

menggugat dokter sebagai akibat terjadinya penyimpangan praktik

79

Page 80: penerapan informed consent .doc

dokter dari maksud diberikannya surat persetujuan pelayanan

kesehatan.

Perlu diketahui bahwa pembahasan mengenai bentuk

informed consent ini berkaitan erat dengan perjanjian yang tercipta

antara dokter dan pasien. Sebagaimana diketahui sebelumnya,

dalam rangka usaha ingin sembuh, pasien akan mendatangi baik

dokter pribadi maupun rumah sakit. Dalam hal ini dapat dibedakan

antara pasien yang memang secara nyata mengadakan suatu

perjanjian, dan pasien yang tanpa mengadakan suatu perjanjian.

Pembedaan ini untuk memperjelas dalam membedakan dari

adanya perjanjian tersebut, yang membebankan hak dan kewajiban

terhadap para pihak yang mengadakan suatu perjanjian.

Dasar dari perikatan antara dokter dan pasien biasanya

dikenal dengan perjanjian/kontrak, dan dikenal pula dengan istilah

perjanjian terapeutik. Perjanjian terapeutik termasuk pada

perjanjian tentang “upaya” atau disebut (Inspaningsverbintenis)

bukan perjanjian tentang “hasil” atau disebut (Resultaatverbintenis).

Pada perjanjian tentang upaya maka prestasi yang harus diberikan

oleh dokter adalah upaya semaksimal mungkin, sedangkan pada

perjanjian tentang hasil, prestasi yang harus diberikan oleh dokter

berupa hasil tertentu.

Dalam hal perjanjian, maka para pihak yaitu dokter dan

pasien bebas untuk menentukan isi dari perjanjian yang mereka

80

Page 81: penerapan informed consent .doc

sepakati bersama, dengan syarat tidak bertentangan dengan

undang-undang, kepatutan, kepantasan dan ketertiban. Pada

perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien, dokter tidak

menjanjikan kesembuhan pasien, tetapi dokter berupaya

semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada

umumnya format dari informed consent ialah sebagai berikut (data

diolah dari Humas RSU Anutapura dan RSUD Undata, 5 Juli 2014):

SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :                       (L/P)

Umur/Tgl Lahir :

Alamat :

Telp :

Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai

orang tua/*suami/*istri/*anak/*wali dari :

Nama :                        (L/P)

Umur/Tgl Lahir :

Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk dilakukan

Tindakan Medis berupa …..………………………………………….....

Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal

yang berhubungan dengan penyakit tersebut, serta tindakan medis

yang akan dilakukan dan kemungkinana pasca tindakan yang

dapat terjadi sesuai penjelasan yang diberikan.

Nama Kota,……………20……

Dokter/Pelaksana,

Ttd

(…………………………..)

Yang membuat pernyataan,

Ttd

(………………………………)

81

Page 82: penerapan informed consent .doc

Pada umumnya baik RSU Anutapura maupun RSUD Undata

di Kota Palu, memiliki tahapan pemberian informed consent standar

sebagai berikut (wawancara terhadap Humas RSU Anutapura dan

RSUD Undata, 10 Juli 2014):

a. Tahap pendaftaran: Merupakan tahap paling awal yang

dimulai dengan pasien datang ke rumah sakit untuk

mendaftarkan diri di ruang pendaftaran. Pendaftaran ini

dilakukan untuk menyatakan bahwa pasien telah

bersedia melakukan pengobatan di RS. Hal ini

merupakan bentuk perjanjian terapeutik antara pihak

rumah sakit dengan pasien melahirkan. Kemudian pasien

dibawa ke IGD untuk mendapatkan pemeriksaan

terhadap segala sesuatu yang diderita.

b. Tahap pemeriksaan: pada tahap ini dilakukan

pemeriksaan terhadap pasien, khususnya mengenai

karakter penyakitnya. Pasien harus jujur menjelaskan

apa yang dideritanya agar diagnose dokter menjadi

semakin akurat.

c. Tahap pemberian informed consent: Hasil pemeriksaan

yang telah dilakukan selain diberikan kepada dokter

operator juga diberikan kepada pasien atau keluarganya

sekaligus mengenai hal atau tindakan yang akan dan

harus dilakukan untuk kesembuhan pasien. Dalam hal

82

Page 83: penerapan informed consent .doc

ini, pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi

mengenai keluhan atau gangguan yang dideritanya, yang

merupakan alasan dalam memberikan persetujuan untuk

dilakukannya tindakan kedokteran tersebut. Pelaksanaan

perjanjian antara pihak rumah sakit dan pasien tanpa

adanya pemberian informed consent menurut Pasal 1320

KUH Perdata dapat dinyatakan sebagai suatu perjanjian

yang tidak sah. Informed consent tersebut tersebut harus

diberikan secara benar, jujur serta tidak bermaksud untuk

menakut-nakuti atau bersifat memaksa. Pemberian

informed consent disamping merupakan kewajiban bagi

dokter, juga merupakan hak pasien.

Khusus untuk dokter ahli kandungan dari kedua RS tersebut

diketahui beberapa prosedur medis yang akan dilakukan terkait

pemberian informed consent yaitu (wawancara terhadap dr. J.C.S,

Sp.OG dan dr. D. Sp.OG, 12 April 2014):

a. Prosedur medik yang akan dilakukan:

Hal ini merupakan prosedur terapeutik atau prosedur

diagnosis. Dalam hal perjanjian tindakan kedokteran

pada pasien melahirkan, maka dijelaskan mengenai hasil

pemeriksaan dan tindakan kedokteran yang akan

dilakukan. Kemudian yang perlu dijelaskan lagi adalah

apakah tindakan diagnosis tersebut bersifat invasif atau

83

Page 84: penerapan informed consent .doc

tidak. Yang termasuk tindakan invasif menurut Pasal 1

angka 4 Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 adalah

suatu tindakan medis yang langsung dapat

mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.

Selanjutnya dijelaskan juga kapan tindakan tersebut akan

dilakukan, dalam waktu berapa lama, serta gambaran

singkat mengenai alat yang akan digunakan. Selain itu

dijelaskan juga mengenai bagian tubuh yang akan

mengalami tindakan dan untuk tindakan yang

memerlukan pembiusan, diberitahukan sebelumnya

kepada pasien.

b. Risiko dari tindakan kedokteran pada pasien:

Dokter harus menjelaskan mengenai risiko yang dihadapi

oleh pasien yang akan terjadi tanpa bermaksud menakut-

nakuti. Menurut Pasal 8 ayat (3) Permenkes Nomor 290

Tahun 2008, penjelasan tentang risiko dan komplikasi

tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi

yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang

dilakukan, kecuali (a) risiko dan komplikasi yang sudah

menjadi pengetahuan umum, (b) risiko dan komplikasi

yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat

ringan, (c) risiko dan komplikasi yang tidak dapat

dibayangkan sebelumnya (unforeseeable). Risiko

84

Page 85: penerapan informed consent .doc

tersebut harus dijelaskan secara lengkap dan jelas

kepada pasien. Adapun risiko yang harus dijelaskan

tersebut meliputi berat ringannya risiko, kemungkinan

risiko tersebut timbul, dan kapan risiko tersebut timbul

seandainya tindakan tersebut dilakukan.

c. Penjelasan tentang tujuan tindakan kedokteran pada

pasien melahirkan

Setiap pasien yang datang ke rumah sakit mempunyai

harapan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh

dokter akan mengurangi penderitaannya. Berkaitan

dengan pasien melahirkan, maka pasien datang ke

rumah sakit untuk mengeluarkan bayi yang

dikandungnya. Oleh karena itu dokter perlu menjelaskan

tujuan dari tindakan kedokteran yang akan diberikan

kepada pasien tersebut, disertai dengan kemungkinan

yang terjadi jika tindakan kedokteran tersebut tidak

dilakukan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf a

Permenkes Nomor 290 Tahun 2008, yang menegaskan

bahwa penjelasan tentang tindakan kedokteran yang

dilakukan meliputi tujuan tindakan kedokteran yang dapat

berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun

rehabilitatif.

d. Alternatif tindakan kedokteran lain yang tersedia

85

Page 86: penerapan informed consent .doc

Dalam memberikan informasi, dokter harus menjelaskan

mengenai alternatif tindakan kedokteran yang akan

dilakukannya tersebut. Alternatif pertama yang

ditawarkan kepada pasien merupakan pilihan yang

terbaik untuk pasien. Namun seperti telah dijelaskan

sebelumnya, bahwa segala tindakan kedokteran yang

dilakukan di kedua RS tersebut harus disesuaikan

dengan prosedur dan tahapan pendidikan. Jadi jika

pasien tidak bisa melahirkan secara normal, terlebih dulu

harus menempuh cara induksi, jika pasien tidak

menyetujui untuk dilakukannya induksi, maka dokter

memberikan alternatif lain yaitu dengan jalan operasi.

Adapun alternatif tindakan lain tersebut harus mencakup

kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan

tindakan yang direncanakan (Pasal 8 ayat 2 huruf c

Permenkes Nomor 290 Tahun 2008).

e. Penjelasan mengenai prognosis, diagnosis dan biaya:

Pasal 8 ayat (1) Permenkes Nomor 290 Tahun 2008

menegaskan bahwa penjelasan tentang diagnosis dan

keadaan kesehatan pasien dapat meliputi (a) Temuan

klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;

(b) Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat

ditegakkan, maka sekurang-kurangnya diagnosis kerja

86

Page 87: penerapan informed consent .doc

dan diagnosis banding; (c) Indikasi atau keadaan klinis

pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan

kedokteran; (d) Prognosis apabila dilakukan tindakan dan

apabila tidak dilakukan tindakan. Hal ini ditegaskan lagi

dalam Pasal 8 ayat (4) Permenkes Nomor 290 Tahun

2008 yang menyatakan bahwa penjelasan tentang

prognosis meliputi (a) Prognosis tentang hidup-matinya

(ad vitam); (b) Prognosis tentang fungsinya (ad

functionam); (c) Prognosis tentang kesembuhan (ad

sanationam). Terkait hal ini, Dalam pemberian informasi,

dokter harus menjelaskan mengenai jalannya penyakit,

hal ini bertujuan agar pasien benar-benar mengetahui

keadaan yang terjadi pada dirinya. Selain itu dijelaskan

juga mengenai biaya yang harus dibayar dari tindakan

kedokteran yang harus dilakukan terhadapnya, hal ini

bertujuan agar dapat memberikan pertimbangan bagi

pasien dalam mengambil keputusan.

f. Tahap persetujuan dan penandatanganan:

Setelah mendapatkan informasi yang cukup jelas,

kemudian pasien diberikan kesempatan untuk

mempertimbangkan. Setelah mempertimbangkan, pasien

akan memberikan keputusan yang terdiri dari dua

kemungkinan keputusan, yaitu menolak atau menerima.

87

Page 88: penerapan informed consent .doc

Jika dilakukan penolakan maka tindakan medis

selanjutnya tidak dilakukan; sedangkan jika dilakukan

penerimaan, maka dilanjutkan ke tindakan medis lainnya

(bisa berupa invasif). Bagi yang menerima, semua

identitas dalam formulir persetujuan informed consent

harus diisi selengkap-lengkapnya. Yang menjadi catatan

di sini ialah sesuai Pasal 6 Permenkes Nomor 290 Tahun

2008, maka pemberian persetujuan tindakan kedokteran

tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal

terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan

kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian

persetujuan tindakan kedokteran bukanlah melepaskan

tanggung jawab dokter secara yuridis apabila di

kemudian hari ditemukan adanya malpraktik.

Berkaitan dengan persetujuan terhadap informasi yang

diberikan, Pasal 13 Permenkes Nomor 290 Tahun 2008

menegaskan bahwa (1) Persetujuan diberikan oleh pasien yang

kompeten atau keluarga terdekat; (2) Penilaian terhadap kompetensi

pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter pada

saat diperlukan persetujuan. Meskipun demikian, pasien dan/atau

keluarga pasien dapat menolak untuk memberikan persetujuan

terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Hal ini sesuai

88

Page 89: penerapan informed consent .doc

dengan Pasal 16 Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 yang

menegaskan bahwa:

(1) Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.

(2) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis.

(3) Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab pasien.

(4) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 3

orang pasien (12.5%) pernah melakukan penolakan karena

informasi tentang tindakan kedokteran yang diberikan kurang

dipahami. Sedangkan dari sisi dokter, sebanyak 2 orang dokter

(7.69%) pernah mengalami penolakan untuk dilakukan tindakan

kedokteran.

Peneliti berpendapat bahwa persetujuan tindakan

kedokteran sangat didukung oleh kelengkapan informasi secara

detail mengenai semua hal yang diprasyaratkan dalam Pasal 8

Permenkes Nomor 290 Tahun 2008:

(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi:a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga

saat tersebut;b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat

ditegakkan, maka sekurangkurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding;

c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran;

89

Page 90: penerapan informed consent .doc

d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.

(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi:a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan

preventif, diagnostic, terapeutik, ataupun rehabilitatif.b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan

dialami pasien selama dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.

c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.

e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.

(3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali:a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi

pengetahuan umumb. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau

yang dampaknya sangat ringanc. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan

sebelumnya (unforeseeable)(4) Penjelasan tentang prognosis meliputi:

a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam).

3. Manfaat Informed Consent

Berdasarkan wawancara terhadap pasien dan dokter (10

Maret-16 Juni 2014), dapat disimpulkan bahwa informed consent

memiliki beberapa tujuan yaitu:

a. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien)

secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan

tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana

90

Page 91: penerapan informed consent .doc

jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan

malpraktik yang bertentangan dengan hak asasi pasien

dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat

canggih yang memerlukan biaya tinggi;

b. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana

tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang

tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga,

misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin

dihindarkan walaupun dokter telah bertindak sesuai

dengan standar profesi medik.

Selain tujuan di atas, terdapat beberapa manfaat lain dari

informed consent yaitu:

a. 100% pasien menyatakan bahwa informed consent

memberikan keyakinan kepada pasien supaya pasien

mengetahui prosedur tindakan medis yang dilakukan

dokter, apakah membahayakan atau tidak. Partisipan

mengemukakan bahwa manfaat.

b. 83.3% pasien menyatakan bahwa informed consent

membantunya mendapatkan informasi tentang

penyakitnya.

c. 16.7% pasien menyatakan bahwa informed consent

membuatnya mengetahui hal-hal yang perlu dipersiapkan

sebelum operasi.

91

Page 92: penerapan informed consent .doc

Peneliti berpendapat bahwa secara umum pemberian

informed consent memiliki manfaat ganda, baik terhadap pasien

maupun terhadap dokter.

a. Manfaat bagi pasien:

(1) Dapat membuat pasien lebih mengerti mengenai

penyakit yang dideritanya

(2) Pasien dapat merasa yakin dan lebih siap

menghadapi tindakan medis terhadap dirinya

(3) Pasien dapat semakin percaya pada dokter

(4) Pasien memiliki kekuatan secara hukum jika kelak

terjadi malpraktik

(5) Pasien dan keluarga dapat memperkirakan dan

mempersiapkan biaya yang cukup untuk dilakukannya

tindakan medis

(6) Pasien dapat terhindar dari kesalahan atau kekeliruan

penanganan medis

(7) Pasien memiliki waktu yang cukup untuk

mempertimbangkan tindakan medis yang akan

dilakukan terhadap dirinya

b. Manfaat bagi dokter:

(1) Dokter memiliki landasan yuridis yang kuat untuk

melakukan tindakan medis/kedokteran

92

Page 93: penerapan informed consent .doc

(2) Dokter dapat diyakinkan secara moril mengenai

tindakan kedokteran yang akan dilakukannya

(3) Memberikan peluang bagi dokter untuk mampu

menyelamatkan nyawa pasien

(4) Dokter dapat memfokuskan diri pada tindakan

kedokteran yang akan dilakukannya

(5) Dokter dapat menciptakan hubungan yang harmonis

dengan pasiennya

(6) Dokter dapat diberi keleluasaan untuk

mengembangkan keilmuannya secara professional

tanpa dibebani oleh kesalahan yang berpotensi terjadi

dalam pelaksanaan tindakan kedokteran.

B. Kendala-kendala yang Dihadapi dalam Penerapan Informed

Consent pada Pelayanan Rumah Sakit di Kota Palu

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa kendala dalam

penerapan informed consent di RS di Kota Palu, yaitu sebagai berikut:

1. Dari segi kompetensi pelayan kesehatan:

Dari segi ini, Pasal 10 Permenkes Nomor 290 Tahun 2008

mensyaratkan bahwa:

(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya.

(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung,

93

Page 94: penerapan informed consent .doc

maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain yang kompeten.

(3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan kewenangannya.

(4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien.

Secara kapasitas pelayan kesehatan, 100% dokter menyatakan

bahwa dokter-lah yang harus memberikan informasi. Dalam

kenyataannya, 6 orang pasien mengungkapkan bahwa ada pelayan

kesehatan lain seperti perawat yang memberikan informasi

mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Umumnya

pasien merasa kurang puas jika informasi tersebut tidak diberikan

langsung oleh dokter, meskipun Permenkes Nomor 290 Tahun

2008 mengizinkan tenaga kesehatan lainnya untuk ikut

memberikan informasi tersebut.

2. Dari segi kapasitas atau kemampuan pasien/keluarga pasien

Dari segi ini, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Permenkes Nomor 290

Tahun 2008 menegaskan bahwa:

(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.

(2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.

Terkait hal ini, kapasitas atau kemampuan pasien sangat

diperlukan, mengingat tidak semua pasien memahami informasi

yang diberikan. Kekurangpahaman pasien atau keluarga terhadap

informasi yang disampaikan dapat menimbulkan penolakan

94

Page 95: penerapan informed consent .doc

terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Terkait hal ini,

State of Queensland dalam Queensland Health (2011:55)

menyatakan bahwa:

When a patient has limited health literacy, low or no English proficiency, is visually or hearing impaired, or has an intellectual disability, health practitioners use communication methods appropriate to the situation and the patient’s level of communication. These might include simple, language free of medical jargon audio, diagrams and illustrations, and video or multimedia material. Psychologists, social workers, liaison officers, speech pathologists, teachers, carers or others who know the patient well may be able to offer advice, or support the communication process most appropriate for an individual patient.

Hal ini berarti bahwa apabila seorang pasien memiliki

pengetahuan tentang kesehatan yang terbatas, rendah atau tidak

ada kemampuan berbahasa yang baik, memiliki gangguan secara

visual ataupun gangguan pendengaran, atau memiliki cacat

intelektual, maka praktisi kesehatan (dokter) menggunakan metode

komunikasi yang tepat sesuai dengan situasi dan tingkat

kemampuan pasien dalam berkomunikasi. Hal ini mungkin

termasuk sederhana, misalnya dengan bahasa yang beba,s audio

medis tertentu, diagram dan ilustrasi, dan video atau materi

multimedia. Psikolog, pekerja sosial, petugas penghubung, ahli

patologi wicara, guru, pengasuh atau orang lain yang tahu pasien

juga mungkin dapat menawarkan nasihat, atau mendukung proses

komunikasi yang paling tepat untuk pasien.

95

Page 96: penerapan informed consent .doc

3. Dari segi kelengkapan informasi

Dekat dengan kapasitas pasien atau keluarga pasien ialah

kelengkapan informasi yang diberikan. Dalam Pasal 9 PErmenkes

Nomor 290 Tahun 2008 disebutkan bahwa:

(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman.

(2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan.

(3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi.

Terkait hal ini, sebanyak 19 orang pasien (79.1%) menungkapkan

bahwa informasi yang diperoleh kurang dipahami karena banyak

menggunakan bahasa kedokteran yang asing bagi pasien atau

keluarga pasien; sedangkan 100% dokter menyatakan bahwa

informasi yang diberikan telah jelas sepenuhnya. Hal ini

mengindikasikan bahwa perlu dibentuk suatu standarisasi

penyampaian informasi yang mampu dipahami oleh pasien secara

utuh. Crisol Escobedo dkk. (2007:3) menyatakan bahwa:

It is assumed that the individual who signs the consent form does so with full understanding of what is stated on the consent form. However, whether this is truly the case is very difficult to evaluate since there is no established method to measure the level of understanding that a participant has about the information given. Thus, it can be assumed that there is a degree of misunderstanding

96

Page 97: penerapan informed consent .doc

that occurs (USM Website). Many individuals sign the consent form without being fully aware of what they are signing.

Crisol Escobedo dkk mengistilahkan kendala ini sebagai language

barriers. Hal ini diasumsikan bahwa individu yang menandatangani

formulir persetujuan melakukannya dengan pemahaman penuh

tentang apa yang tertera pada formulir persetujuan. Namun, sangat

sulit untuk mengevaluasinya karena tidak ada metode yang

diciptakan untuk mengukur tingkat pemahaman bahwa pasien

memiliki sedikit pengetahuan mengenai informasi yang diberikan.

Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa ada tingkat

kesalahpahaman yang terjadi. Banyak orang menandatangani

formulir persetujuan tanpa sepenuhnya menyadari apa yang

mereka menandatangani. Peneliti berpendapat bahwa penjelasan

diberikan dengan bahasa dan kata-kata yang dapat dipahami oleh

pasien sesuai dengan tingkat pendidikan dan ‘kematangannya’,

serta situasi emosionalnya. Dokter harus berusaha mengecek

apakah penjelasannya memang dipahami dan diterima pasien. Jika

belum, dokter harus mengulangi lagi uraiannya sampai pasien

memahami benar. Dokter tidak boleh berusaha mempengaruhi atau

mengarahkan pasien untuk menerima dan menyetujui tindakan

medis yang sebenarnya diinginkan dokter.

4. Dari segi substansi hukum

Dari segi substansi hukum, para dokter sepakat menyatakan

bahwa Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 ini perlu dipertegas

97

Page 98: penerapan informed consent .doc

terutama mengenai bentuk informed consent yang diberikan dan

kompetensi pasien atau keluarga pasien yang menerima informasi.

5. Dari segi struktur hukum

Dari segi ini para pasien sepakat menyatakan bahwa setiap RS

yang akan melakukan informed consent perlu dilengkapi dengan

struktur yang memadai, terutama terkait pengawas dan

penanggungjawab hukum dilakukannya tindakan kedokteran.

6. Dari segi budaya hukum

Dari segi budaya hukum, para dokter dan pasien sepakat untuk

menuntut suatu sosialisasi yang kontinu dan holistik mengenai

informed consent, untuk menghilangkan pemikiran negatif

mengenai informed consent. Kadang-kadang hal ini seringkali

dikaitkan dengan aspek religiositas pasien, sebagaimana

dinyatakan Crisol Escobedo dkk (2007:5) sebagai berikut:

The informed consent process is designed to give every participant the liberty to decide whether to accept or refuse the recommended medical treatment. However, researchers designing such a form must consider the negative effects that participants might experience due to religious beliefs when participating in researcher projects. Having a full understanding of the methods involved in the experiment will enable a person to adequately judge if they want to participate in the experiment. Researchers must consider how the methodology of the experiment can come into conflict with the rules of behavior set by a participants religion.

Hal di atas menjelaskan bahwa pada prinsipnya proses persetujuan

dalam informed consent, dirancang sedemikian rupa untuk memberikan

kepada setiap pasien kebebasan untuk memutuskan apakah akan

menerima atau menolak perawatan medis yang dianjurkan. Namun,

98

Page 99: penerapan informed consent .doc

rancangan bentuk tersebut harus mempertimbangkan efek negatif yang

mungkin dialami pasien karena adanya keyakinan agama tertentu dalam

seluruh prosedur medis yang dijalani. Oleh karena itu, perlu

dipertimbangkan bagaimana metodologi persetujuan tindakan medis

dapat disesuaikan dengan aturan perilaku yang ditetapkan oleh agama

pasien.

Kendala-kendala di atas menjadi tugas pemerintah dan masyarakat

pada umumnya untuk mengatasinya sehingga dapat tercipta hubungan

yang harmonis antara dokter dan pasien.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

99

Page 100: penerapan informed consent .doc

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka diperoleh

beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Penerapan informed consent dalam pelayanan kesehatan

Rumah Sakit di Kota Palu telah sesuai dengan Permenkes

Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan

Praktik Kedokteran, namun masih terdapat kekurangan

tertentu dalam penerapannya baik dari pelayan kesehatan

maupun dari pasien.

2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan Informed

consent pada pelayanan Rumah Sakit di Kota Palu terdiri

dari segi kompetensi pelayan kesehatan di mana masih

terdapat perawat yang kurang berkompeten untuk

memberikan informasi mengenai tindakan medis yang akan

dilakukan; dari segi kapasitas atau kemampuan

pasien/keluarga pasien di mana masih terdapat

ketidakmampuan pasien atau keluarganya untuk memahami

informasi medis yang diberikan; dari segi kelengkapan

informasi medis di mana informasi medis yang diberikan

lebih berupa pembiayaan, dari segi substansi hukum di

mana Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 belum

memberikan penegasan mengenai bentuk informed consent

yang diberikan dan kompetensi pasien atau keluarga pasien

yang menerima informasi; dari segi struktur hukum di mana

100

Page 101: penerapan informed consent .doc

setiap RS yang akan melakukan informed consent belum

dilengkapi dengan struktur yang memadai, terutama terkait

pengawas dan penanggugjawab hukum dilakukannya

tindakan kedokteran; dari segi budaya hukum di mana belum

terdapat suatu sosialisasi yang kontinu dan holistik

mengenai informed consent, dan masih terdapat pemikiran

negatif mengenai informed consent karena seringkali

dikaitkan dengan aspek religiositas pasien.

B. Saran

Berkaitan dengan kesimpulan di atas, maka disampaikan

beberapa rekomendasi atau saran sebagai berikut:

1. Dibutuhkan peningkatan profesionalisme penerapan

informed consent di Rumah Sakit di Kota Palu di mana

implementasi yang sudah bagus harus terus ditingkatkan

sambil memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam

penerapannya.

2. Terkait kendala kompetensi pelayan kesehatan, dibutuhkan

dokter yang sangat berkompeten dengan tindakan

kedokteran yang dilakukan, terkait kendala kapasitas pasien

atau keluarga pasien diperlukan kesiapan intelek para

pasien atau keluarganya, terkait kelengkapan informasi

dibutuhkan suatu standarisasi penyampaian informasi

101

Page 102: penerapan informed consent .doc

mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan, terkait

substansi hukum dibutuhkan ketegasan Permenkes dan

peraturan lainnya mengenai pelaksanaan informed consent,

terkait struktur hukum dibutuhkan penanggung jawab dan

pengawas yang khusus di bidang kesehatan, terkait budaya

hukum dibutuhkan sosialisasi secara menyeluruh dan

kontinu mengenai penerapan informed consent.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adami Chazawi. 2007. Malpraktik Kedokteran, Ctk. Pertama, Bayumedia,Malang

102

Page 103: penerapan informed consent .doc

Adnan Buyung Nasution.Dkk.(ed). 2006. Instrument Internasional Pokok Hak asasi Manusia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Kelompok Kerja Ake Arief, Jakarta.

Ahmad Ali, 1996. Menguak Tabir Hukum (suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis) Candra Pratama, Jakarta.

________, 1998. Menjelajahi Kajian emperis terhadap hukum, Yasrif Watampone, Jakarta.

Alexandra Indriyanti Dewi, 2008. Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher,Jogyakarta.

Amir Ilyas dan Yuyun Widarningsi, 2010.Hukum Korporasi Rumah Sakit, Rangkang Education,, Jogyakarta.

Andi Zainal Abidin Farid, dan Andi Hamzah.2002. Bentuk-bentuk khusus perwujudan delik (percobaan,Penyertaan dan Gabungan Delik) dan Hukum Pinentensier, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta.

Andi Zainal Abidin Farid dan Rahmat Baro,1997.Perbandingan asas-asas hukumPidana Indonesia dengan asas Hukum Barat dan texas, Umitaka, Makassar.

Andi Zainal abiding Farid.1995. Hukum Pidana Bagian I, Sinar Grafika, Jakarta.

Andi Hamzah H.1994, Asas asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta.

Bangir Manan,2008. Retorative Justice (suatu Perkenalan) Dalam repleksi Dinamika Hukum rangkaian pemikiran dalam decade terahir. Perum Percetakan Negara RI, Jakarta.

Bernard L.Tanya. (dkk).2007.Teori Hukum Strategi tertib manusia lintas ruang dan generasi ,Kita.Surabaya.

Chaerul Huda, 2006. Dari Tiada Pidana tampa kesalahan, menuju kepada tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Fajar Interpratama offset, Jakarta.

Charles Wendell. Charnahan (t.t).The Dentis and The Law, Jakarta.

Crisol Escobedo dkk., 2007. Ethical Issues with Informed Consent, University of Texas, El Paso, Texas, USA.

103

Page 104: penerapan informed consent .doc

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2013. Putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/Pid/2012 Tahun 2012 http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan. Diakses Tanggal 11 Desember 2013.

.Doyal L. The “Moral importance of informed consent in Medical

Research: Concluding Reflections”. dalam Doyal L, Tobias J, eds. Informed consent in theory and practice. London: BMJ Books, 2000:309–17.

European Commission (Research Directorate-General Directorate L-Science, Economy and Society), Directive 2001/20/EC of the European Parliament and of the Council of 4 April 2001 on the approximation of the laws, regulations and administrative provisions of the Member States relating to the implementation of good clinical practice in the conduct of clinical trials on medicinal products for human use. OJ L 121, 1.5.2001.

Guwandi,J, 1994.Kelalaian Medik. Fak.Kedoteran Univ.Indonesia, Jakarta.

_________2006. Informed consent dan Informed Refusal, Fak.Kedokteran Univ.Indonesia, Jakarta.

_________ 2007,a. Medikal Error dan Hukum Medis, Fak.Kedokteran, Univ.Indonesia, Jakarta.

_________ 2007b. Merangkai Hospital By Laws,Rumah Sakit Anda denganHBL Versi Indonesia, Fak.Kedokteran Univ.Indonesia. Jakarta.

_________, 2009, Dugaan Malpraktek Medik dan draft RPP perjanjian terapatik antara dokter dan Pasien. Fak.Kedokteran.Univ.Indonesia.Jakarta.

__________2010.Hukum medik (Medikal Law). Fak.Kedokteran. Univ.Indonesia. Jakarta.

Heni Puji Wahyuningsi, 2008. Etika profesi kebidanan dilengkapi hukum kesehatan dalam kebidanan sebuah pengantar, Fitramaya, Jogyakarta.

104

Page 105: penerapan informed consent .doc

Hendrojono Soewono, 2007. Batas Pertanggungjawaban Malpraktek Dokter, Srikandi, Surabaya.

Indrianto Seno Adji, 2009. Humanisme dan Pembaharuan Penegakan Hukum ,Kompas Media Nusantara,Jakarta.

Irsan K. 1993. Kejahatan Dimensi Baru dan Penanganannya di Indonesia. Mabes Polri.Jakarta.

James A. Black dan Dean J. Champion, 2009. Metode dan masalah penelitian sosial ,Refika Aditama. Bandung.

Jimly Asshiddiqie, 2010. Konsitusi Ekonomi, Penerbit Buku Kompas,Jakarta.

Luthan.S.1997. Penegakan Hukum Dalamkonteks Sosiologis, DalamJurnal Hukum Ius QuiaIustum, No.7 Vol.4. Fakultas Hukum.Univ. Islam. UII.Jakarta.

Marcela Del Carmen dan Steven Joffe, 2005. “Informed Consent for Medical Treatment and Research: A Review”, Paperback, Gillette Center for Women’s Cancers, Boston, Massachusetts, USA.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992.a. Bunga Rampai HukumPidana, Alumni, Bandung.

___________________________________, 1992.b. Teori dan kebijakan Pidana, alumni, Bandung.

Mike Molan, dkk. 2003.Modern Criminal Law, Caven dish Publishing Limeted, London United Kindom.

Munir Fuadi .2005.Tuntutan Pidana dan perdata Malpraktek , Permata Aksara,Jakarta.

Nusye KI Jayanti, 2009. Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek kedokteran,Pustaka Justitisia,Jakarta.

Nasaruddin Andi Mappaware ; Agus Purwadianto dan Yuli Budiningsi, 2010. Pengantar Beoetika, HukumKedokteran, dan hak Asasi Manusia. Umiloka Ukhuwah Grafika, Makassar.

105

Page 106: penerapan informed consent .doc

Parlich.G. 2002. Toowards.an ethics of restorative justice. In L Wolgrave (ed) Restorative Justice and the Law. Willan publishing,oreson.

Pospisil.L.1971. Antropology of law, a comparative theory,New York

Harper & Row Publishier.

Pound.R. 1976. An Introduction to the Filosopy of Law, New Haven and London, Yale University Press.

Pathon G,W. 1953. A Text Book Yurisprudence, Secon Edition,Oxford University Press,London.

Rasyidi L. dan I.B.Wyasa Putra, 1993. Hukum Sebagai suatu Sistem, remaja, Rosdakarya, Bandung.

Ratna Supriati,S. 2001.Etika Kedoteran Indonesia.Jakarta.

Shils.E. and M.Rheistein (trans). 1967. Max Weber on Law Ekonomy and Society, New York. A.Clavion Book.

Sunaryati Hartono,1969. Apakah The Rule of Law itu, Alumni, Bandung.

Soesilo,R. 1981.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor.

Soejono Soekanto, 1982. Kesadara Hukum dan Kepatuhan Hukum, Radjawali, Jakarta.

_______________, 1983.a. Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung.

_______________1983b. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sudarto, 1986.Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia.

DalamSimposium Pembaharuan Hukum Pidana BPHN, Bina Cipta, Jogyakarta.

______, 1993. HukumPidana, Sinar Baru, Bandung.

Satjipto Rahardjo,1991.Ilmu Hukum, Cipta Aditiya Bakti, Bandung.

106

Page 107: penerapan informed consent .doc

Schaffmeister,D.(dkk) Ed.JE.Sahetapy, 1995. Hukum Pidana Liberty, Jogyakarta.

Sulistyowati Irianto (ed) 2009, HukumYang bergerak tinjauan antropologi hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Suryani Supardan,Hj. Dan Dadi Anwar Hadi, 2008. Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.

Sofyan Lubis,M. 2009. Mengenal Hak Konsumen dan pasien, Pustaka Yustitisia, Jogyakarta.

Solly Lubis, 2007. Ilmu Negara. Mandar Maju, Bandung.

Usman Rianse dan Abdi, 2009. Metodologi penelitian sosial dan ekonomi ( Teori dan Aplikasi ) Alfabeta, Bandung.

Otje Salman, dan Anton F.Susanto, 2004. Teori Hukum (Mengingat, Mengumpul dan Membuka Kembali) Refika Aditama, Bandung.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang- Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,

PERMENKES Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medis sebelum melakukan suatu tindakan yang didahului oleh penjelasan-penjelasan yang menyangkut tindakan,resiko,yang akan dilakukan pada pasien.

PERMENKES Nomor 290/MENKES/PER/III/2009 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

107