penerapan informed consent .doc
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 tercantum
tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah
melindungi bangsa dan seluruh tumpah dara Indonesia dan
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi serta kedilan sosial.
Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah
upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu
rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu
termasuk di antaranya pembangunan kesehatan.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu
unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita
bangsa Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pancasila dan
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Oleh karena itu setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan
berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan
berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber
daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing
bangsa, serta pembangunan nasional.
1
Pembangunan kesehatan sebelum berlakunya Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; bahwa
masyarakat selalu memandang persoalan pembiayaan kesehatan
sebagai suatu yang bersifat konsumtif/ pemborosan. Di sisi lain para
pengambil kebijaksanaan juga masih belum menganggap kesehatan
sebagai kebutuhan utama dan investasi berharga. Namun setelah
berlakunya Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,
maka terjadi suatu perobahan karena kesehatan merupakan hak asasi
manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan
sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang
dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
Kesehatan adalah orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomis. Istilah dan makna dari kesehatan bahwa siapapun berhak
untuk menerima dan mendapatkan hal tersebut maka ditetapkanlah
suatu defenisi tentang kesehatan yaitu, setiap tindakan atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan
berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan oleh pemerintah dan atau masyarakat, diatur dalam UU
Nomor 36 tahun 2009.
2
Salah satu tindakan di bidang kesehatan ada yang disebut
tindakan medis, tindakan ini biasanya dilakukan oleh seorang yang
berprofesi dokter. Ketika seorang dokter melakukan tindakan terhadap
sesorang pasien tak jarang melakukan tindakan yang disebut “Medikal
error”, meskipun istilah ini tidak dapat dimasukkan secara langsung ke
dalam konteks hukum. Seperti kesalahan, karena dapat saja di artikan
sebagai kelalaian (hukum). Sedangkan menurut J.Guwandi, (2005:2)
“medikal error” tidak selalu dikaitkan dengan sanksi, Medikal error
dapat dimaafkan, walaupun menurut ukuran hukum termasuk yang
berat. Dengan demikian, maka harus diakui bahwa ada saling
tumpang tindih antara.“medikal error dan medikal negligence.
Hukum medis mengenal dan memakai istilah
“malpraktek/kelalaian medis namun tidaklah sama dengan istilah
error, karena salah satu tolak ukurnya adalah akibat yang timbul dari
tindakan yang dilakukan seseorang. Dalam bidang medik dahulu
dianuti/anggapan bahwa akibat dari tindakan medik dapat dipisahkan
dari hubungan antara dokter-pasien hanya saja kini sudah
ditinggalkan. Dewasa ini sudah mulai ada pengertian bahwa terdapat
suatu kaitan tentang cara bagaimana pemberian pelayanan dan
perlakuan itu diberikan yang akan mempengaruhi penerimaan akibat
yang timbul.
Kewajiban bagi seorang dokter adalah akan bekerja secara
berdasarkan “Sumpah Hipocrates” tetapi pasien juga mempunyai hak
3
dan kewajiban sama seperti seorang dokter. Terkait dengan hak dan
kewajiban baik bagi seorang dokter maupun seorang pasien itu harus
diketahui. Salah satu kewajiban dokter adalah bila akan melakukan
suatu tindakan harus melakukan persetujuan terlebih dahulu dengan
pasien walaupun dalam teori mengatakan bahwa Informed consent
bisa dilakukan bisa tidak, boleh secara tertulis boleh lisan dan itu
semua dianggap sah bila telah dilakukan secara prosedur dan aturan
yang berlaku.
Menurut Pasal 1 Butir (a) PERMENKES Nomor
585/MENKES/PER/IX/1989 yang kemudian dicabut dengan
PERMENKES 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran (Pasal 1 angka 1) dinyatakan bahwa
persetujuan tindakan kedokteran ialah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan
secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan terhadap pasien. Pernyataan ini dapat diartikan
bahwa tanpa adanya persetujuan dari pasien, tindakan apapun tidak
sah dilakukan oleh dokter kecuali bila pasien dalam keadaan gawat
darurat. Menurut J. Guwandi dalam bukunya dikatakan bahwa
informend consent dibagi dalam dua bentuk yaitu dinyatakan
(expresed) yang dapat dilaksanakan secara lisan dan tertulis serta
tersirat atau dianggap diberikan. (inflaid or treat Consent) artinya
4
dalam keadaan biasa (normal or conctutive consent) dan dalam
keadaan gawat darurat disebut emergensi .
Hal ini tersebut harus dapat dibedakan dengan malpraktek,
yang menurut Munir Fuady bahwa setiap tindakan medis yang
dilakukan dokter atau orang–orang di bawah pengawasan atau
penyedia jasa kesehatan yang dilakukan terhadap pasien, baik dalam
hal diagnosis, terapeutik dan managemen penyakit yang dilakukan
secara melanggar hukum kepatutan, kesusilaan dan prinsip–prinsip
profesional baik dilakukan dengan sengaja atau kurang hati–hati yang
menyebabkan salah tindak, rasa sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh,
kematian dan kerugian lainnya yang menyebabkan dokter atau
perawat harus bertanggung jawab baik secara administratif, perdata
maupun pidana. Hakekatnya malpraktek secara harafiah artinya
kegagalan dalam melakukan tugas. Informed consent dilakukan oleh
dokter atau Rumah Sakit sebelum terjadinya suatu tindakan medis
terhadap pasien.
Berkaitan dengan pelaksanaan Informed consent, menurut
penulis harus lebih jauh diselidiki bagaimana penerapan Informed
consent dan eksistensinya dalam pelayanan medis, itulah sebabnya
mengapa penulis tertarik untuk mengambil topik penerapan
persetujuan melakukan tindakan (Informed consent) dan malpraktek
dokter dalam pelayanan medis di Rumah Sakit. Hal ini tercantum pada
PERMENKES 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan
5
Tindakan Kedokteran yaitu bahwa sebelum melakukan suatu tindakan
medis, harus didahului oleh penjelasan-penjelasan yang menyangkut
tindakan, resiko, yang akan dilakukan pada pasien. Apabila hal ini
tidak dilakukan oleh dokter tersebut maka dokter tersebut dianggap
lalai dalam menjalankan profesi dan hukumnya. Informed consent
tidak dapat meniadakan atau mencegah diadakannya suatu tuntutan
didepan pengadilan atau membebaskan dokter/rumah sakit dari
tanggung jawabnya apabila terdapat kelalaian. Pernyataan
persetujuan hanya dapat digunakan sebagai bukti tertulis akan
adanya izin persetujuan dari pasien terhadap tindakan yang akan
dilakukan, terlebih apabila dikemudian hari pasien menuduh dokter
melakukan penganiyayaan. Menurut Sumaryono, fungsi kode etik
profesi memiliki 3 makna (a) sebagai sarana kontrol sosial; (b)
sebagai pencegah campur tangan pihak lains dan (c) sebagai
pencegah kesalahpahaman dan konflik.
Hubungan terapeutik terjadi karena dua alasan: (1) karena
dokter (secara pribadi) setuju menjalin perjanjian terapetik dengan
pasien; (2) karena hukum/Undang-Undang, yaitu : bila dokter bekerja
di Rumah Sakit (sebagai sub-ordinat atau mitra) sehingga ia harus
melaksanakan kewajiban Rumah Sakit (mengelola pasien Rumah
Sakit) dan bila dokter melihat orang dalam keadaan emergensi
sehingga ia wajib melakukan Good Samaritan (Pasal 531 KUHP).
Hubungan hukum dokter dan pasien setidaknya mengandung dua
6
aspek yaitu aspek hukum pidana dan perdata. Bila dilihat dari hukum
perdata maka hubungan dokter dan pasien adalah sebagai subjek
hukum yang diatur oleh kaidah-kaidah hukum perdata yang berisi
pedoman/ukuran bagaimana para pihak melakukan hubungan hukum.
Dilihat dari hubungan hukum antara dokter dan pasien yakni terdapat
suatu kata sepakat yang maknanya untuk mengikat diri dalam
melaksanakan pengobatan, maka disinilah terjadinya apa yang
disebut perikatan (verbintenis).
Tindakan atau prosedur invasif adalah tindakan atau prosedur
yang memasuki tubuh atau alat-alat tubuh atau liang-liang tubuh yang
dapat merobek keutuhan jaringan. Undang-Undang No. 29 tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 45 (1) menekankan bahwa
setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan; persetujuan dimaksud diberikan setelah pasien diberikan
penjelasan secara lengkap, (2) penjelasan sekurang-kurangnya
mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan
medis, alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi
yang mungkin terjadi, prognosis dari tindakan, (3) persetujuan dapat
diberikan secara tertulis atau lisan, (4) setiap tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi, harus diberikan
dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani yang berhak
memberikan persetujuan. Dalam penjelasan pasal 45 dikatakan yang
7
dimaksud tindakan medis beresiko tinggi adalah seperti tindakan
bedah atau tindakan invasif lainnya.
Dalam Undang-Undang Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 pasal
37 menekankan bahwa setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di
rumah sakit harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya.
Dalam penjelasan dikatakan setiap tindakan kedokteran harus
memperoleh persetujuan dari pasien kecuali pasien tidak cakap atau
dalam keadaan darurat. Persetujuan tersebut diberikan secara lisan
atau tertulis. Persetujuan tertulis hanya diberikan pada tindakan
kedokteran beresiko tinggi. Tindakan atau prosedur invasif adalah
tindakan atau prosedur yang memasuki tubuh atau alat-alat tubuh
atau liang-liang tubuh yang dapat merobek keutuhan jaringan.
Meskipun secara normatif sudah ditegaskan pengaturan
mengenai informed consent, namun dalam prakteknya masih terdapat
permasalahan terkait hal tersebut, misalnya kasus malpraktik yang
terjadi di RSU Prof Dr. R. D. Kandou Manado Nomor
61/VER/IKF/FK/K/VI/2010 yang dituangkan dalam putusan MA No 365
K/Pid/2012 tanggal 22 September 2012. Menurut Artijo (2013), dalam
putusan tersebut ditemukan berbagai macam tuduhan terkait informed
consent di antaranya para terdakwa tidak menyampaikan penjelasan
kepada keluarga korban tentang kemungkinan resiko yang terjadi
terhadap diri korban akibat operasi dengan kondisi fisik lemah dan
tanpa adanya persetujuan sehingga dengan kealpaan/kelalaian
8
tersebut berakibat fatal yakni kematian Siska Makatei. Para terdakwa
kemudian diputuskan bersalah berdasarkan Pasal 359 KUHP yang
berbunyi barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) orang lain
mati diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana
kurungan paling lama 1 tahun (Direktori Putusan MA RI, 2013). Selain
itu, terdapat kasus lain di mana diduga tidak adanya informed consent
dalam tindakan kedokteran yang beresiko besar seperti kasus Muhidin
di Sukabumi dan kasus Anna Marlina di Batam.
Informed consent adalah suatu bagian yang harus
dilaksanakan oleh setiap dokter dengan benar, jelas dan tepat.
Karena ini merupakan suatu alat perlindungan hukum baik bagi dokter
maupun pasien, sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
pada saat tindakan dilakukan setidaknya pasien sudah mendapatkan
penjelasan dengan benar dan baik serta dia menyetujui dengan
membubuhkan tanda tangan pada informed consent. Pada
hakekatnya informed consent menurut Rozovsky adalah suatu proses
komunikasi, bukan suatu formulir. Demikian pula Appelbaum, et al.
Menekankan consent as a prosess non an event. Tercapainya
kesepakatan antara dokter dan pasien adalah pokok dari informed
consent. Formulir yang ditandatangi oleh pasien hanya sekedar
sebagai pembuktian bahwa telah terjadi kesepakatan. Secara yuridis
suatu informed consent yang ditandatangani seorang pasien dapat
dianggap sebagai surat pernyataan.
9
Dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia tentang
pedoman penegakan disiplin profesi kedokteran tahun 2011
dinyatakan setiap dokter dalam melakukan tindakan medik harus
memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga terdekat atau wali
atau pengampunya. Landasan filosofis. Informed consent diperlukan
karena: (1) Tuntutan dari patient's autonomy; (2) Melindungi status
pasien sebagai human being; (3) Mencegah pemaksaan dan tipu
daya; (4) Mendorong self-criticism dokter; (5) Membantu proses
rasional dalam pembuatan keputusan (process rational decision-
making); (6) Mengedukasi masyarakat. Informed consent juga penting
: (1) Manakala tindakan medis tidak mencapai tujuan; (2) Merupakan
penghormatan terhadap hak asasi manusia (dignity and rights of each
human being).
Pada dasarnya semua tindakan invasif harus mendapat
persetujuan tertulis dari pasien setelah pasien mendapat penjelasan
atau informasi dengan kualitas yang cukup dan pasien dapat
mengambil keputusan. Landasan etis menghendaki agar setiap dokter
dalam menjalankan profesinya senantiasa memperhatikan empat
prinsip dasar moral: (1) Beneficence (to do good); (2) Non-
maleficence (to do no harm); (3) Justice (as a fairness or as
distributive justice); (4) Autonomy (the right to make decision about
one's health care). Jadi informed consent pada tindakan invasif bukan
hanya isu hukum terapi juga isu moral dan etik sebab menyangkut hak
10
autonomy (hak pasien membuat keputusan).
Hubungan dokter, pasien dan rumah sakit selain merupakan
hubungan medik, tapi juga hubungan hukum. Sebagai hubungan
medik, makan hubungan tersebut diatur dalam kaidah-kaidah hukum
medik.
Dari sisi landasan hukum, berbeda dari negara common law, di
Indonesia informed consent diatur oleh Statute Law. (1) Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; (2) Undang-Undang
No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran; (3) Undang-Undang
No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; (4) PP tentang Tenaga
Kesehatan; (5) Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
No. 290 Tahun 2008; (6) Permenkes No. 1419/Menkes/PER/2005
tentang Penyelenggaraan Praktek Dokter dan Dokter gigi.
Konsekuensi hukum yang dapat terjadi bila tindakan medik
invasif tidak disertai informed consent adalah : (1) merupakan bukti
adanya unsur pidana, yajtu perbuatan tercela (actus reus) dan sikap
batin yang salah (mens rea); (2) merupakan bukti adanya unsur
tindakan melawan hukum sehingga dokter bisa digugat; (3)
merupakan bukti adanya tindakan dokter yang tidak patuh terhadap
Hukum Disiplin, sehingga dokter dapat diadili oleh MKDKI.
Aspek perdata informed consent bila dikaitkan dengan hukum
perikatan terdapat dalam Pasal 1320 K.U.H. Perdata yang
11
menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian atau persetujuan-
persetujuan diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama pada Pasal 1320 K.U.H.Perdata, mensyaratkan
adanya kata sepakat para pihak yang mengikatkan dirinya. Maksud
dari sepakat para pihak dalam pekerjaan jasa pelayanan kesehatan
adalah persetujuan (consent) dari dokter untuk melakukan tindakan
medik atas dirinya.
Persetujuan dari pasien sebelum dokter melakukan tindakan
medik, aspek hukum yang lain dapat dikaitkan dengan Pasal 351
K.U.H.Pidana tentang penganiyayaan, Bab XX, Pasal 351 K.U.H.
Pidana, menyatakan bahwa jika seseorang memasukkan pisau ke
badan orang lain yang menimbulkan luka, maka perbuatan tersebut
termasuk penganiyaan, jika seseorang membius orang lain maka hal
inipun termasuk penganiyayaan. Adapun dalam pelayanan jasa
kesehatan, hal tersebut tetap merupakan penganiyayaan, kecuali;
1. Orang yang di lukai tersebut memberikan persetujuan
2. Tindakan medik tersebut berdasarkan suatu indikasi medik dan
ditujukan pada suatu tujuan yang konkrit
3. Tindakan medik dilakukan sesuai ilmu kedokteran”.
12
Berkaitan dengan pelaksanaan Informed consent perlu
diketahui juga bahwa dokter ahli yang berada di RSU Anutapura
berjumlah 21 orang dengan jumlah rata-rata operasi per bulan pada
tahun 2013 sebanyak 157 pasien; dan dokter ahli yang berada di RS
Undata berjumlah 33 orang dengan jumlah rata-rata operasi per bulan
pada tahun 2013 sebanyak 251 pasien. .
Berdasarkan pemikiran bahwa di satu sisi Informed consent
merupakan suatu standar dalam melakukan pelayanan kepada pasien
dengan fungsi memberikan perlindungan hukum bagi pasien dan
dokter, dan di sisi lain masih terdapat banyak kasus terkait tidak
dilakukannya prosedur informed consent, maka peneliti memilih topic
penerapan informed consent dalam pelayanan kesehatan Rumah
Sakit di Palu sesuai Permenkes 290/MENKES/PER/III/2008.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan informed consent dalam pelayanan
kesehatan Rumah Sakit di kota Palu sesuai Permenkes
290/MENKES/PER/III/2008?
2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan
Informed consent pada pelayanan Rumah Sakit di Kota Palu?
13
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejauh mana penerapan informed consent
dilaksanakan dalam pelayanan kesehatan Rumah Sakit di kota
Palu sesuai Permenkas 290/MENKES/PER/III/2008?
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam
penerapan Informed consent pada pelayanan Rumah Sakit di Kota
Palu.
D. Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan informed consent di
Palu.
2. Untuk mengetahui cara pemberian informasi (Informed) oleh
penerima persetujuan tindakan medik (dokter) kepada pemberi
persetujuan tindakan medik (pasien dan atau keluarganya yang
berkompeten).
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Bentuk Informed consent
Persetujuan tindakan medik adalah terjemahan yang dipakai
untuk istilah informed consent. Informed artinya telah diberitahukan,
telah disampaikan atau telah diinformasikan. Consent artinya
persetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu.
Dengan demikian informed consent adalah persetujuan yang
diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan.
Istilah informed consent secara implisit telah tercakup tentang
informasi dan persetujuan. Persetujuan yang diberikan setelah orang
yang bersangkutan diberi informasi. Setelah diterbitkannya Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 589 Tahun 1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medik, istilah inilah yang resmi dipakai. Selanjutnya,
Permenkes tersebut dicabut dengan Permenkes Nomor 290 Tahun
2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (PTM). Istilah PTM
tersebut dalam praktiknya masih disamakan dengan tindakan medis
atau informed consent. Maksud dari informed atau memberi
penjelasan di sini adalah semua keadaan yang berhubungan dengan
penyakit pasien dan tindakan medik apa yang akan dilakukan dokter
serta hal-hal yang perlu dijelaskan dokter atas pertanyaan pasien atau
keluarga.
15
Dalam Permenkes Nomor 589 Tahun 1989 dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan persetujuan tindakan medik adalah
persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan oleh
pasien tersebut. Pengertian yang demikian persetujuan tindakan
medik bisa dilihat dari dua sudut yaitu, pertama membicarakan
persetujuan tindakan medis dari pengertian umum dan kedua
membicarakan persetujuan tindakan medis dari pengertian khusus.
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 Permenkes Nomor 290 Tahun
2008 disebutkan bahwa Persetujuan tindakan kedokteran adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah
mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Pengertian tersebut
memberi batasan yang lebih tegas, terutama mengenai pengertian keluarga,
yaitu keluarga terdekat.
Namun dalam pelayanan kesehatan sering kali pengertian kedua
dikenal yaitu persetujuan tindakan medik yang dikaitkan dengan
persetujuan atau izin tertulis dari pasien atau keluarga pada tindakan
operatif atau tindakan invasif lain yang beresiko. Oleh karena itu
dahulu persetujuan tindakan medik ini dikenal dengan Surat Ijin
Operasi atau Surat Persetujuan pasien dan lain-lain istilah yang dirasa
sesuai oleh rumah sakit atau dokter yang merancang surat tersebut.
Setelah diterbitkannya Permenkes Nomor 290 Tahun 2008
tentang persetujuan tindakan medis tersebut, sudah banyak
16
perubahan tentang pengertian dan pemahaman kalangan kesehatan
mengenai Infoment Consent ini. Menurut Appelbaum (J. Guwandi,
2008 : 51), mengatakan bahwa infoment consent bukan sekedar
formulir persetujuan yang didapat dari pasien, tetapi merupakan suatu
proses komunikasi. Tercapainya kesepakatan terhadap dokter pasien
merupakan dasar seluruh proses tentang infoment consent. Formulir
itu hanya merupakan pengkukuhan atau pendokumentasian dari apa
yang telah disepakati (infomend consent is a proses, not an event)”.
Informasi yang harus diberikan adalah informasi yang selengkap-
lengkapnya yaitu informasi yang akurat tentang perlunya tindakan
medik yang bersangkutan dan resiko yang dapat ditimbulkan. Menurut
Munir Fuady (dalam buku Sumpah Hipocrates, 2005 : 54) menyatakan
sebaiknya isi minimal dari informasi dirinci, misalnya :
1. Prosedur dan hasil diagnosis;
2. Nama, maksud dan tujuan operasi;
3. Resiko, komplikasi, alternative operasi;
4. Prosedur, keterbatasan pengobatan, perasaan sehat;
5. Tingkat kesuksesan/ kegagalan operasi dan luasnya tindakan
B. Masalah atau Kendala Dalam Informed consent
Guru Besar di Bidang Kedokteran, Ratna Suprapti Samil
(2001:46) mengatakan ada 2 (dua) bentuk persetujuan tindakan medik
/ informed consent yaitu: Tersirat atau dianggap telah diberikan
17
(implied Consent) adalah persetujuan yang diberikan pasien secara
tersirat, tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap
dokter dari sikap dan tindakan pasien. Umumnya tindakan dokter
disini adalah tindakan yang bisa dilakukan atau sudah diketahui
umum.
Misalnya, pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium,
melakukan suntikan pada pasien, melakukan penjahitan luka dan
sebagainya. Sebetulnya persetujuan jenis ini tidak termasuk informed
consent dalam arti murni karena tidak ada penjelasan sebelumnya.
Impliet consent bentuk lain adalah bila pasien dalam keadaan gawat
darurat (emergency) sedang dokter memerlukan tindakan segera,
sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan
dan keluarganya pun tidak ditempat, maka dokter dapat melakukan
tindakan medik terbaik menurut dokter. Jenis persetujuan ini disebut
sebagai Presumed consent, artinya bila pasien dalam keadaan sadar,
dianggap akan menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter.
Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara
lisan atau tertulis, bila akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan
dan tindakan yang biasa, dalam keadaan yang demikian kepada
pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan
supaya tidak terjadi salah pengertian.
Misalnya, pemeriksaan dalam vagina, mencabut kuku dan
tindakan lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan
18
umum, persetujuan dilakukan secara lisan. Bila tindakan yang akan
dilakukan mengandung resiko seperti tindakan pembedahan atau
prosedur pemeriksaan dan pengobatan yang invasive, persetujuan
tindakan medik dilakukan secara tertulis.
C. Informed consent Sebagai Dasar Pembelaan Dokter
Aspek hukum tentang informed consent berkaitan dengan
syarat sahnya suatu perjanjian sangat relefan untuk dibahas.
Ketentuan perdata yang antara lain berlaku adalah perihal “perikatan”
dan yang sangat berhubungan dengan tanggung jawab professional
menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Dokter
adalah suatu profesi kedokteran yang mempunyai fungsi yang selalu
terikat dengan etika kedokteran.
Didalam menjalankan profesinya sebagai dokter tetap harus
memperhatikan dan taat pada peraturan-peraturan yang dibuat oleh
profesi dan hukum. Informed consend adalah suatu perjanjian yang
dibuat oleh dokter yang untuk mendapatkan persetujuan dari pasien
dan keluarga.Apabila seorang doketer telah memenuhi ketiga syarat
tersebut, maka ia tidak dapat dikenakan Pasal 351 K.U.H.P. tentang
penganiyaan. Ketiga syarat tersebut harus semuanya dipenuhi, satu
sama lain saling terkait dan saling berhubungan. Menurut Leden
Marpaung dalam (2001:45) mengatakan bahwa upaya tersebut
meniadakan de matrieele wederchtelykheid yaitu, menghilangkan sifat
yang bertentangan dengan hukum dan disebut buitenwettelyke
19
schuld-iutsluitngsgrond (dasar penindasan culpa di luar undang-
undang). Selain itu juga di kenal prinsip AVAS yang berarti afwezighyd
van alle schuld, tidak terdapat suatu kelalaian sama sekali“.
Berdasarkan hal tersebut jelaslah bahwa persetujuan pasien itu
mutlak dibutuhkan dalam suatu tindakan medis agar dokter tidak
dipersalahkan melakukan penganiayaan. Pernyataan persetujuan ini
sah apabila sebelumnya diberikan dulu informasi yang cukup
(voldoende informative). Suatu persetujuan tidak sah jika sebelumnya
dokter tidak memberikan informasi, atau informasi yang diberikan itu
sangat minim atau tidak cukup.
D. Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter
UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran yang
didalamnya diatur tentang hak dan kewajiban dokter maupun pasien.
Adapun kewajiban dokter atau dokter gigi di atur dalam Pasal 45 Ayat
Ayat (1) : Mengatakan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan;
Ayat (2) : Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (1)
diberikan setelah pasien mendapat persetujuan secara
lengkap;
Ayat (4): Persetujuan sebagai mana yang dimaksud dapat diberikan
secara tertulis atau lisan;
20
Pasal 46 Ayat (8): Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan
praktek kedokteran wajib membuat rekam medik;
Pasal 48 Ayat (9): Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktek kedokteran wajib menyimpan rahasia
kedokteran.
Hak Pasien dalam menerima pelayanan kedokteran :
Pasal 45 Ayat (3) menyatakan:
a) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
b) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lainnya,
c) Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis,
d) Menolak tindakan medis,
e) Mendapat isi rekam medis.
Kewajiban Pasien dalam menerima pelayanan kedokteran :
a) Memberikan yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatan.
b) Mematuhi nasehat dan petunjuk dari dokter dan dokter gigi
c) Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan
kesehatan
d) Imbalan jasa atau pelayanan yang diterimanya.
E. Malpraktik Dalam Pelayanan Medik
Malpraktek dalam bahasa asing ( Inggris ) disebut dengan
“malpractice menurut Peter Salim “The Contemporary English
Indonesia Dictionary” berarti perbuatan atau tindakan yang salah.
21
“Malpractice” juga berarti praktik yang buruk(badpractise) yang
menunjukkan pada setiap sikap tindak yang keliru. Sedangkan menurut
John M. Echols dan Hasan Shadily dalam Kamus Bahasa Inggris
Indonesianya, “malpractice” berarti cara pengobatan yang salah. Ruang
lingkupnya yaitu, kurangnya kemampuan untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban professional atau didasarkan kepada
kepercayaan.
Bahasa Belanda malpraktik disebut “Kunstfout” (seni salah)
merupakan suatu tindakan medis yang dilakukan tidak dengan sengaja
akan tetapi di sini ada unsur lalai yang tidak patut dilakukan oleh
seorang ahli dalam dunia medis dan tindakan yang mengakibatkan
sesuatu hal yang fatal (misalnya mati, cacat karena lalai, lebih lanjut
Pasal 359, 360, dan 361 KUHP). Menurut J. Guwandi, batasan
pengertian malpraktek (2004 : 3-4)yaitu :
a. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan.
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau
melalaikan kewajiban.
c. Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan
peraturan perundang- undangan”.
Beberapa pengertian tentang malpraktek di atas, kiranya dapat
diperjelas dengan pengertian malpraktik dalam buku “The Dentist and
the Law” (ditulis oleh Charles Wendell Carnahan), diterjemahkan yaitu :
22
Arti umum, malpractice adalah praktek jahat atau buruk, yang tidak
memenuhi standar yang ditentukan oleh profesi. Dilihat dari sudut
pasien yang telah dirugikan itu, meliputi kesalahan pemberian
diagnosa, selama operasi, dan sesudah perawatan.
Lebih lanjut dikatakan, Malpraktik mempunyai pengertian yang
luas, yaitu:
a. Arti umum : suatu praktik (khususnya praktek dokter) yang buruk,
yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi.
b. Arti khusus (dilihat dari segi pasien) malpraktik dapat terjadi dalam :
1) Menentukan diagnosis, misalnya : diagnosisnya sakit maag
tetapi ternyata pasien sakit liver yang berbahaya.
2) Menjalankan operasi, misalnya : seharusnya yang dioperasi
adalah mata bagian kanan tetapi yang dilakukan pada mata
bagian kiri.
3) Selama menjalani perawatan.
4) Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah
ditentukan.
Malpraktek dapat terjadi tidak saja selama waktu menjalankan
operasi, tetapi dapat terjadi sejak dimulainya pemberian diagnosis
sampai sesudah dilakukannya perawatan sampai sembuhnya pasien.
Rumusan tentang kesalahan melakukan profesi seperti yang terdapat
dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga
Kesehatan, menyatakan bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan-
23
ketentuan di dalam KUHP dan peraturan perundang- undangan yang
lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-
tindakan administratif dalam hal sebagai berikut :
1) Melalaikan kewajiban,
2) Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh
seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah atau
jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan.
3) Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga
kesehatan,
4) Melanggar sesuatu ketentuan menurut/ berdasarkan undang–
undang”.
Ketentuan mengenai malpraktek pada Pasal 11 Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1963 tersebut hampir sama dengan pengerti
an malpraktik yang dikemukakan oleh J.Guwandi.
1. Bentuk Malpraktek
Malpraktek menurut kedokteran dapat dikategorikan dalam
beberapa bidang hukum Adami Chazawi, mengatakan :
a) Malpraktek dalam bidang hukum pidana, ditemukan antara lain
karena:
1) Membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 dan 267 KUHP)
2) Menipu penderita atau pasien (Pasal 378 KUHP)
3) Melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau
luka- luka (melanggar Pasal 351, 359, 360 dan 361 KUHP)
24
4) Melakukan pelanggaran kesopanan (Pasal 290 -1, 294 – 2, 285
dan 286 KUHP);
5) Melakukan pengguguran tanpa indikasi medis (Pasal 299, 348,
349, dan 350 KUHP);
6) Membocorkan rahasia kedokteran yang diadukan oleh
penderita (Pasal 322 KUHP);
7) Kesengajaan membiarkan penderita tidak tertolong (Pasal 322
KUHP);
8) Tidak memberikan pertolongan kepada orang yang berada
dalam keadaan bahaya maut (Pasal 351 KUHP);
9) Euthanasia (Pasal 344 KUHP)”.
Khusus mengenai masalah mengakibatkan matinya
orang atau terluka karena kesalahan (Pasal 359, 360,361
KUHP), di dalam ilmu hukum pidana, kesalahan dapat
disebabkan karena kesengajaan tersebut adalah dalam arti
kelalaian atau kealpaan. Jadi tidak sengaja sebelumnya seperti
dalam hal penganiayaan. Ada beberapa jenis malpraktek yang
terdapat dalam bidang hukum perdata dan dalam bidang hukum
administratif.
2. Hubungan antara Malpraktek dan Informed Consent
Seperti yang kita ketahui bahwa informed consent
didalamnya memuat tentang perlunya pemberian informasi
terhadap tindakan medik serta resiko-resiko dari tindakan itu dan
25
setelah pemberian informasi terhadap tindakan medik kepada
pasien. Setelah adanya informasi dan persetujuan baru dokter
tersebut dapat melakukan tindakan medik terhadap pasien .
Adanya informed consent tersebut merupakan bentuk
penghargaan dan penghormatan terhadap hak individu atas
kesehatan dan untuk menentukan pilihannya memilih tindakan
medik yang terbaik menurut dirinya sendiri. Sehingga jika dokter
tidak melakukan prosedur penerapan informed consent tentu saja
tindakan medik yang dilakukan dokter tersebut tidak dan dapat
dimintakan pertanggung jawaban. Pengertian di atas tentang
informed consent, maka dapat dipahami bahwa informed consent
terdiri dari hak atas informasi dan hak untuk memberikan
persetujuan. Meski kedua hak tersebut dapat berdiri sendiri,
namun dalam praktek, dan pengertian informed consent keduanya
mempunyai korelasi yang satu sama lain saling menunjang dan
saling berkaitan, yaitu:
a. Suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien tanpa dilandasi
oleh suatu informasi dari Dokter yang tidak memadai dan
adequate atau tanpa informasi sama sekali maka persetujuan
itu tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali. Hal ini
bahwa persetujuan yang diberikan oleh pasien tersebut pasien
dalam keadaan khilaf atau tidak memahami apa yang
26
disetujuinya. Terlebih lagi bila hal yang tidak diinformasikan
justru merugikan pasien.
b. Selanjutnya informasi yang selengkapnya apapun dari dokter
kapada pasiennya bila tidak disertai dengan persetujuan atau
izin pasien untuk dilaksanakannya suatu tindakan medis, maka
dokter tidak dapat melakukan tindakan medis yang ia inginkan.
Hak pasien untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya
harus dihormati oleh siapapun termasuk termasuk oleh dokter
yang merawatnya sekalipun.
Apabila dokter tetap melakukan tindakan medis pada diri pasien,
sedang ia tidak mendapatkan persetujuan atau tidak memberi
informasi maka tindakan tersebut dapat digolongkan bentuk
pelanggaran terhadap informed consentnya.
F. Landasan Teori.
Sesuai dengan pembahasan pada awal latar belakang masalah
maka untuk menjawab permasalahan dibutuhkan suatu landasan teori
yang menjadi tumpuan sebagai pisau analisa yaitu grand theory (teori
Utama), yang mengacu pada teori Negara hukum kesejahteraan
(welfaarts–rechsstaat). Dimanfaatkannya teori negara hukum
kesejahteraan dilandasi oleh pertimbangan bahwa informed consent
adalah bagian dari proses pelayanan medik yang akuntabel dan
transparan dalam memperoleh masyarakat Indonesia yang sehat,
27
sebagai investasi dalam pembangunan dapat hidup produktif secara
sosial dan ekonomi.
Selanjutnya digunakan teori perlindungan hukum sebagai
middle range theory, bahwa eksistensi hukum dalam masyarakat
merupakan sarana yang bertujuan untuk menciptakan ketentraman,
ketertiban dan keteraturan warga, sehingga atas kondisi itu,
diharapkan hubungan dan interaksi antar warga yang satu dengan
warga yang lainnya dapat terjaga kepentingannya. Sedang untuk
applied theory digunakan legal system theory dari Friedmann dan teori
penegakan hukum dari Soerjono Soekanto.
G.Kerangka Pikir
Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis
formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK PB-IDI No.
319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan
PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
dan Permenkes 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga
kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan informed
consent karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada
pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari
pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
28
Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi
para dokter untuk melaksanakan konsep informed consent, dalam
praktek sehari-hari yaki berupa fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88
tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir
sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang
persetujuan tindakan medik. Dengan adanya peraturan Permenkes
No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik, maka
peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan
medis yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian
informasi terhadap setiap tindakan medik. Peraturan tersebut
menyebutkan bahwa setiap tindakan medik harus ada persetujuan dari
pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes Nomor 290
Tahun 2008, yang berbunyi “semua tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.
Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam
Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 tersebut didasarkan pada adanya
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi: Pasal
45 ayat :
1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
29
2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang
kurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan resikonya;
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
4) Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat
diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan
Menteri Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran tersebut terutama pada pasal 45 ayat
(6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara
persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh
peraturan menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.
30
Kewajiban bagi seorang dokter tentu akan bekerja secara
profesional dengan berdasarkan “Sumpah Hipocrates” tetapi pasien
juga mempunyai hak dan kewajiban sama seperti seorang dokter.
Terkait dengan hak dan kewajiban baik bagi seorang dokter maupun
seorang pasien itu harus diketahui. Salah satu kewajiban dokter adalah
apabila akan melakukan suatu tindakan sebaiknya melakukan
persetujuan terlebih dahulu yang disebut “ Informed consent”
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
kepada seorang dokter untuk melakukan tindakan medis;
Gambar 2.1 : Ragaan prosedur Informed consent
31
Pasien Dokter
informasi
Keputusan(informed Decision)
Menolak (refusal)Setuju (concent)
Tandatanganmenolak
TandatanganMenyetujui
Tindakan medis yang dapat dilakukan oleh dokter seperti
penyuntikan atau melakukan operasi tanpa persetujuan, seorang dokter
melakukan tindakan medik seperti mengoperasi pasien dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana ( Hukum Pidana ) berdasarkan
pasal 351 KUHP yaitu penganiayaan.
Bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis
(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk
melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
a. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis
yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 3 Permenkes Nomo 290 Tahun 2008 dan
SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan
medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan
adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi
informed consent);
b. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang
bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang
diberikan oleh pihak pasien;
c. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat,
misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan
32
darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Tujuan Informed consent:
1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter
yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar
pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu
kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern
bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat
suatu resiko
Informed consent apabila dikaitkan dengan hukum perikatan
terdapat dalam Pasal 1320 K.U.H.Perdata yang menyatakan bahwa untuk
sahnya suatu perjanjian atau persetujuan-persetujuan diperlukan empat
syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama pada Pasal 1320 K.U.H.Perdata, mensyaratkan
adanya kata sepakat para pihak yang mengikatkan dirinya. Maksud dari
sepakat para pihak dalam pekerjaan jasa pelayanan kesehatan adalah
persetujuan (consent) dari dokter untuk melakukan tindakan medik atas
dirinya.
33
Gambar 2.2 : Bagan Kerangka pikir
34
PERMENKES 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
SUBSTANSI HUKUM:- Harmonisasi Hukum- Sanksi Hukum
STRUKTUR HUKUM- Tingkat Pendidikan- Pengetahuan/Pemahaman
hukum- Profesionalisme
SARANA DAN FASILITAS- Alat-alat untuk operasi
Sectio caseria- Alat-alat untuk anastesi- Ruangan operasi yang
memadai
BUDAYA HUKUM- Kesadaran Hukum- Kebiasaan/Perilaku
Tenaga Medis
OUT PUT:Optimalnya Perlindungan Hukum dan Dokter dan Pasien
H. Definisi Operasional
1. Informed consent adalah suatu persetujuan antara dokter dengan
pasien dalam melakukan suatu tindakan.
2. Pasien adalah seorang yang sakit baik secara fisik maupun
psikologi.
3. Tenaga Medik adalah seorang yang mempunyai keahlian khusus di
bidang kesehatan.
4. Malpraktek adalah suatu tindakan yang menyalahi suatu prosedur
tetap, dimana tenaga medik itu bekerja.
5. Pelayanan Medik adalah pelayanan yang diberikan kepada orang
sakit baik secara fisik maupun psikologi.
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian Non Doktrinal, yang
memberi gambaran secara detail tentang variabel yang diteliti yaitu
penerapan Informed consent dan kendala dalam penerapan
Informed consent.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Rumah Sakit Umum (RSU)
Anutapura dan RSUD Undata yang telah menerapkan Informed
consent di Kota Palu. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan
Januari-Juli 2014.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek yang
mempunyai kualitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk mempelajari dan kemudian menarik
kesimpulan. Populasi dapat berupa himpunan orang, benda,
kejadian, kasus-kasus, waktu atau tempat dengan ciri atau sifat
yang sama. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini
36
adalah keseluruhan karakteristik yang berkaitan dengan variabel
penelitian, sedangkan unit populasi adalah tenaga dokter
sepesialis yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu
dan Rumah Sakit Umum Anutapura Palu yang berjumlah 54 orang
(21 dokter spesialis dari RSU Anutapura dan 33 dokter spesialis
dari RSUD Undata), perawat yang mendampingi dokter spesialis
yang berjumlah 20 orang dan pasien sebanyak 26 orang.
2. Teknik pengambilan sampel
Sampel adalah sebagai unit pengamatan/karakteristik yang
diperoleh dari populasi. Sugiyono (2008) menyatakan bahwa
sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi harus betul-
betul representatif (mewakili). Ada beberapa hal yang dapat
digunakan sebagai pertimbangan dalam memutuskan apakah
perlu mempergunakan sampel atau tidak, antara lain :
a. Besar populasi, semakin besar jumlah populasi semakin
perlu ada sampel.
b. Biaya yang diperlukan dalam pengumpulan data atau
penelitian.
c. Keuntungan dan kemudahan yang diperoleh dalam
memperoleh data.
d. Jumlah tenaga pengumpul data yang tersedia.
Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah
purposive sampling, pengambilan sampel didasarkan pada suatu
37
pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri,
berdasarkan cirri atau sifat populasi yang sudah diketahui
sebelumnya. Sampel dalam penelitian ini adalah 20 orang dokter
spesialis dan 20 orang perawat asistensi, serta 24 orang pasien
yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu dan Rumah
Sakit Umum Anutapura Palu. Jumlah sampel ini sudah mewakili
jumlah dokter spesialis yang ada pada kedua RS tersebut.
D. Pengumpulan Data
1. Jenis Dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
langsung dari sumber pertama di lapangan melalui penelitian.
Sedangkan data sekunder dalam penelitian hukum terdiri dari
Bahan hukum primer, berupa bahan-bahan hukum yang
mengikat berupa Undang-Undang dan peraturan pelaksana
yang lainnya yaitu peraturan dalam hukum perjanjian dan
peraturan di bidang kedokteran yang berkaitan dengan
persetujuan tindakan medis.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah yuridis empiris, yaitu cara atau prosedur yang
digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan
meneliti data sekunder terlebih dahulu, untuk kemudian
38
dilanjutkan dengan mengadakan penelitian primer di lapangan.
Penelitian ini didukung metode pendekatan:
a. Pendekatan Perundang-Undangan
b. Pendekatan Konsep
c. Pendekatan Komparatif
Penelitian ini didukung dengan penelitian kepustakaan,
yaitu meneliti data-data sekunder. Faktor yuridisnya adalah
seperangkat aturan-aturan hukum perjanjian pada umumnya
dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hukum
kesehatan atau kedokteran, yang merupakan cabang dari ilmu
hukum dan sangat berkaitan erat dengan penelitian ini.
Sedangkan faktor empirisnya adalah dokter, perawat, bidan
dan pasien di Rumah Sakit serta sampel lain yang terkait dalam
pelaksanaan informed consent.
3. Spesifikasi Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan yang diambil, maka
spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Bersifat
deskriptif, karena penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan
gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai
segala sesuatu yang diteliti. Metode ini berusaha
menggambarkan peraturan yang berlaku yang kemudian
dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan
39
hukum positif yang menyangkut pelaksanaan perjanjian antara
dokter dengan pasien.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara:
a. Observasi /pengamatan langsung di lapangan.
b. Wawancara pada responden
c. Pemberian kuesioner kepada responden.
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan
atau pernyataan tertulis kepada responden untuk
menjawabnya. Peneliti pada waktu yang telah dijadwalkan
akan meneliti beberapa hal yang telah ditentukan.
Pelaksanaan penelitian tersebut sebagai berikut :
1) Meneliti formulir informed consent di Rumah Sakit
Undata dan Rumah Sakit Anutapura, kemudian
menganalisanya berdasarkan perundangan yang berlaku
di Indonesia apakah sudah sesuai atau belum.
2) Meneliti pelaksanaan informed consent di Rumah
Rumah Sakit Undata dan Rumah Sakit Anutapura
kemudian menganalisanya berdasarkan perundangan
yang berlaku di Indonesia apakah sudah sesuai atau
belum.
40
Pada kuesioner menggunakan skala Gutman dengan
alternatif jawaban dalam bentuk “YA” dan “TIDAK” yaitu
pertanyaan-pertanyaan positif 10 item pernyataan negatif 2
item dengan tehnik penentuan skor yaitu pernyataan + bila
responden menjawab YA maka diberi nilai 1 dan jika
jawaban responden TIDAK maka diberi nilai nol.
Penulis akan melakukan konfirmasi pertanyaan serupa
terhadap pihak pasien yang melakukan persetujuan tindakan
medis. Penulis akan membandingkan tingkat pemahaman
pihak pasien yang melakukan persetujuan tindakan medis
dengan pemahaman dokter terhadap tindakan medis yang
sudah dilakukan. Penulis akan mengamati satu persatu
pelaksanaan informed consent terhadap setiap kasus yang
akan dilakukan tindakan medis.
5. Pengolahan Data
Setelah semua data dikumpulkan dengan teknik
pemberian angket/kuesioner, maka dilakukan pengolahan data
dengan cara mengelompokkan data yang diperoleh dari
kuesioner yang telah diisi oleh responden menurut batas ruang
lingkup masalahnya sehingga mempermudah analisis data
yang akan disajikan sebagai hasil penelitian.
Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu
proses untuk atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok
41
data mentah dengan menggunakan rumus tertentu sehingga
menghasilkan informasi yang diperlukan.
6. Analisis Data
Analisa data dilakukan dengan cara deskriptif dengan
melihat presentase data yang terkumpul dan disajikan dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi, kemudian dicari jumlah
presentase yang terbesar dari jumlah masing-masing
responden, selanjutnya dihubungkan dengan menggunakan
teori kepustakaan yang ada. Distribusi frekuensi menggunakan
rumus sebagai sebagai berikut:
Rumus:
P= f x 100% = .......% N
Keterangan:
P : Presentase
f : Jumlah subjek yang ada pada kategori tertentu
N : Jumlah atau keseluruhan responden
42
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penerapan Informed Consent dalam Pelayanan Kesehatan Rumah
Sakit di Kota Palu
1. Penerapan Informed Consent
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, lokasi penelitian ini
adalah RSU Anutapura dan RSUD Undata di Kota Palu.
Rumah Sakit Umum (RSU) Anutapura Palu berlokasi di
Jalan Kangkung No. 1 Palu Kecamatan Palu Barat, menempati
lahan seluas 33.540 m2 dengan luas bangunan hingga saat ini
seluas 13.639,93 m2, dengan lokasi yang strategis dan dikelilingi
oleh pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya
sehingga sangat potensial untuk pengembangan di masa
mendatang. RSU Anutapura Palu merupakan rumah sakit rujukan
bagi fasilitas kesehatan yang menjadi milik pemerintah Kota Palu,
sehingga keadaan geografis dan demografi RSU Anutapura Palu
digambarkan dari Keadaan geografis dan demografi Kota Palu.
Berdasarkan data dari situs resmi RSU Anutapura
(www.rsuanutapura.com), diperoleh beberapa hal penting yang
patut diketahui yaitu sebagai berikut:
43
a. Visi RSU Anutapura: Terwujudnya Pelayanan Kesehatan Prima,
Terjangkau dan Menjadi Rumah Sakit Pendidikan di Kawasan
Indonesia Timur.
b. Misi RSU Anutapura:
1) Menyediakan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit sebagai
Rumah Sakit Rujukan yang Representatif
2) Memberikan Pelayanan Kesehatan secara profesional, ramah
dan beretika serta bertanggung jawab
3) Meningkatkan dan Mengembangkan Sumber Daya Manusia
4) Menjadikan Rumah Sakit sebagai tempat Penelitian dan
pengabdian Masyarakat.
c. Tujuan pelayanan kesehatan RSU Anutapura:
1) Meningkatkan pelayanan kesehatan melalui:
1) Mengembangkan, meningkatkan dan menyempurnakan
secara terus menerus dan sistimatis serta terencana sarana
dan prasarana pelayanan kesehatan.
2) Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan sumber
daya yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap
pelayanan kesehatan secara sistematis dan terencana.
3) Mengembangkan dan menyusun sistim pelayanan yang
cepat, efektif, efisien, nyaman dan terkendali serta terawasi
dengan baik.
2) Meningkatnya kemampuan pelayanan kesehatan melalui :
44
1) Menambah peralatan medis dan penunjang medis sesuai
perkembangan teknologi serta sistim pelayanan dan
penanganan serta pengelolaannya.
2) Menambah secara sistimatis Sumber Daya Manusia sesuai
dengan tuntutan perkembangan teknologi kedokteran.
3) Menyusun dan mengembangkan sistim Organisasi Badan
Rumah Sakit Umum Kota Palu yang ramping, efektif, efisien dan
mempunyai daya kerja yang optimal.
4) Mengembangkan sistim pembangunan dan pengembangan
Rumah Sakit yang ramah lingkungan serta nyaman dan aman
bagi semua.
5) Mengembangkan sistim kerja, budaya kerja yang teliti, terampil,
tepat dan tanpa cacat.
d. Sasaran
1) Tersedianya sarana dan prasarana rumah sakit
2) Meningkatnya mutu pelayanan medis
3) Meningkatnya mutu pelayanan keperawatan
4) Tersedianya tenaga yang cukup dan profesional
5) Meningkatnya pelayanan rujukan melalui pembinaan rujukan
antar Rumah Sakit.
6) Tercapainya sistem Administrasi pembangunan Rumah Sakit
yang lebih terarah.
45
e. Nilai-Nilai Dasar: Customer Focus dengan keyakinan dasar yang
kuat yang ditanamkan pada seluruh personil/pegawai Rumah Sakit
Umum Anutapura Kota Palu agar memiliki komitmen/nilai
Profesional (Bekerja Sesuai Tugas dan Fungsi), Acountabel
(Bertanggung Jawab), Legitimate (Berlandaskan Hukum),
Understand (Pengertian). Artinya bahwa Seluruh pegawai RSU
Anutapura Palu bekerja secara Profesional dan Bertanggungjawab
sesuai dengan Hukum atau Peraturan yang berlaku sehinggga
tercipta rasa saling pengertian dan kasih sayang antara dokter,
perawat dan pasien yang dibangun berdasarkan f alsafah bahwa
setiap Pasien adalah pelanggan yang patut dihargai dan dilayani
dengan penuh kearifan; Pasien merupakan bagian dari masyarakat
umum sehingga menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan
mereka adalah tanggungjawab kita; Layanan yang diberikan adalah
pelayanan sosial, menyeluruh dilandasi iman, ikhlas dengan
menerapkan filosofi Rumah Sakit Umum.
f. Tenaga Medis
1) Dokter Ahli 21 orang, dengan keahlian sebagai berikut:
No Kualifikasi Dokter Ahli Jumlah Keterangan
1 Dokter Spesialis Bedah 3 orang PNS2 Dokter Spesialis Kandungan 3 orang PNS3 Dokter Spesialis Penyakit Dalam 2 orang PNS4 Dokter Spesialis Kes.Anak 2 orang PNS5 Dokter Spesialis Anesthesi 1 orang PNS6 Dokter Spesialis Mata 1 orang PNS7 Dokter Spesialis Saraf 2 orang PNS8 Dokter Spesialis Patologi Klinik 1 orang PNS
46
9 Dokter Spesialis Kulit & Kelamin 1 orang PNS10 Dokter Spesialis Bedah Ortopedi 1 orang PNS11 Dokter Spesialis Radiologi 1 orang PNS12 Dokter Spesialis Jiwa 1 orang Part Time
13Dokter Spesialis Patologi Anatomi
1 orang PNS
14 Dokter Spesialis Gigi dan Mulut 1 orang Part Time
Tabel 4.1 Deskripsi Dokter Ahli RSU Anutapura
2) Dokter Gigi: 6 orang PNS
3) Tenaga Perawat. 201 orang PNS, 227 orang mengabdi.
4) Kefarmasian: 46 orang PNS, 5 Orang Tenaga Volunter
5) Gizi: 37 orang PNS, 12 Tenaga Volunter
g. Sarana Pelayanan:
1) Instalasi Gawat Darurat (IGD)
2) Poliklinik THT
3) Poliklinik Penyakit Dalam
4) Poliklinik Penyakit Anak
5) Poliklinik Penyakit Bedah
6) Poliklinik Kandungan
7) Poliklinik KB
8) Poliklinik Mata
9) Poliklinik Penyakit Saraf
10)Poliklinik Jiwa
11)Poliklinik Kulit dan Kelamin
12)Poliklinik Gigi dan Mulut
47
13)Poliklinik Paru
14)Poliklinik Psikologi
h. Instalasi pelayanan Penunjang Medik:
1) Instalasi Radiologi ( Rontgen )
2) Instalasi Laboratorium
3) Instalasi Farmasi ( Apotik )
4) Instalasi Gizi
5) Instalasi Rehabilitasi Medis ( Fisioterapi )
6) Instalasi Endoscopy
7) Instalasi Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit
(IPSRS)
8) Poliklinik Orthopedi.
Di lain pihak, RSUD Undata, berdasarkan data dari situs
resminya (www.rsundata.com), berdiri sejak tanggal 7 Agustus
1972, berlokasi di pesisir teluk Palu, berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Propinsi Sulawesi Tengah No. 59/DH.TAP/1972, dan
diberi nama UNDATA yang memiliki arti “Obat Kita”. Kata ini
sekaligus bermakna tentang layanan kesehatan dalam cakupan
bersifat prefentif, kuratif, dan rehabilitatif pada tatanan
kebersamaan “Mosangu Mosipakabelo”. Di awal kelahirannya,
RSUD Undata dikelola oleh 1 dokter spesialis, 4 dokter umum
dengan kapasitas tempat tidur 90 orang dan sejumlah tenaga
perawat, non perawat dan tenaga non medis. Sesuai SK. Menteri
48
Kesehatan No. 93/Menkes/SK/1995, RDUD Undata berubah dari
kelas RS Type C menjadi kelas TS Type B Non Pendidikan, dan
pada tahun berikutnya diakui sebagai pusat rujukan tertinggi di
Sulawesi Tengah dengan Peraturan Daerah Nomor. 6 Tahun 1996.
RSUD Undata berubah statusnya menjadi Rumah Sakit Kelas B
Pendidikan sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur No.
445/73.7/DinKes G-ST tanggal 29 Agustus 2003, Surat Keputusan
Menteri Percepatan Pembangunan Kawasan Indonesia Timur No.
046/KEP/-PPTKTI/VII/2003. Tanggal 7 Juli 2003, didukung oleh
Surat Keputusan Rektor Universitas Tadulako No. 4022 j 28
PG/2003 yang diperuntukkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan dan
sebagai lahan praktek bagi Fakultas Kedokteran Universitas
Tadulako ke depan.
Pada periode Agustus 2009, RSUD Undata pindah ke
banguna baru berlokasi di Jl. Trans Sulawesi- Tondo-Palu Timur,
sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur No. 445/400/RO/.ADM
KESRAMAS Tanggal 06 Agustus 2009 dan Surat Keputusan DPRD
Propinsi Sulawesi Tengah No. 13/P.JMP-DPRD/2009. Tanggal 24
Juni 2009. Dari awal perjalanannya hingga kini, RSUD Undata telah
dipimpin oleh 6 Direktur yang telah mewarnai sepanjang perjalanan
RSUD Undata sampai saat ini.
Beberapa hal penting lain yang dapat diketahui mengenai
RSUD Undata ialah sebagai berikut:
49
d. Visi: Menjadi Rumah Sakit yang Terdepan dan Terbaik di
Provinsi Sulawesi Tengah
e. Misi:
1) Meningkatkan Pelayanan Kesehatan yang profesional serta
menyiapkan dan megembangkan sumber daya manusia;
2) Meningkatkan Pendapatan Rumah sakit dan Kesejahteraan
karyawan; dan
3) Meningkatkan kerjasama dengan mitra rumah sakit.
f. Tugas Pokok: Menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan
secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan
upaya pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan yang
dilaksanakan secara serasi, terpadu, dan merencanakan
penanganan Limbah Rumah Sakit, serta melaksanakan upaya
rujukan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan, RSUD Undata menganut
asas-asas:
1) Asas Kepastian Hukum;
2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3) Asas Kepentingan Umum;
4) Asas Keterbukaan;
5) Asas Proporsionalitas;
6) Asas Profesionalitas; dan
7) Asas Akuntabilitas.
50
g. Fungsi:
1) Pelayanan Medis;
2) Pelayanan Penunjang Medis dan Non Medis;
3) Pelayanan Asuhan Keperawatan;
4) Pelayanan Rujukan;
5) Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan;
6) Pelaksanaan Penelitian dan Pengembangan;
7) Pengelolaan Administrasi dan Keuangan.
h. Ketenagaan:
1) Dokter Spesialis 33 orang dengan rincian sebagai berikut:
Spesialis Jumlah dan Nama
Anak 3 orang:dr. Kartin Akune Sp.Adr. Andi Amsar Praja Sp.Adr. Suldiah Sp.A
Obstetri & Ginekology
2 orang:1. dr. Juniati Caroline Simanjuntak, Sp.OG2. dr. Dewa Sp.OG
Penyakit Dalam 6 orang:1. dr. Nurdin Atjo Sp.PD2. dr. Rustam Amirudin Sp.PD3. dr. Abdullah Ammarie Sp.PD4. dr. Sarniwati Sp.PD5. dr. Komang Adi Sujendra Sp.PD6. dr. Nur Fitriani Nurdin Sp.PD
Bedah 3 orang:1. dr. Alfreth Langitan, Sp.B2. dr. Roberty David Maelissa, Sp.B3. dr. Engelberth A.I. Salim, Sp.B
Saraf 2 orang:1. dr. Isnaniah, Sp.S2. dr. Jenny Sampe,M, Kes Sp.S
THT 1 orang:
51
1. dr. Christian Lopo, Sp.THT
M a t a 3 orang:1. dr. Kaharudin Asta, Sp.M2. dr. Frangky Baharutan,Sp.M3. dr. Saul Daniel Rapar,Sp.M
Jiwa 1 orang:1. dr. Dewi Suryani Angjaya, Sp.J
Kulit & Kelamin 2 orang:1. dr. Seniwati Ismail, Sp.KK2. dr. Nurhidayat, Sp.KK
Radiologi 1 orang:1. dr. Robert Mangiri, Sp.Rad. M.Sc
Anastesi 3 orang:1. dr. Faridnan, Sp.A2. dr. Ferry Lumintang, Sp.A3. dr. Sofyan Bulango, Sp.A
Patologi & Anatomi
1 orang:1. dr. Wardana M. Harun, SP.PK
Jantung 2 orang:1. dr. Ramang Napu, SpJP.(K) FIHA2. dr. Venice Chairiadi, Sp.JP.FIHA
Ortopedi 2 orang:1. dr. Muh. Ardi Munir, M.Kes, Sp.OT2. dr. Harris Tata, M.Kes, Sp.OT
Bedah Mulut 1 orang:1. drg. Muh. Gazali, Sp.BM
Tabel 4.2 Deskripsi Dokter Spesialis RSUD Undata
2) Dokter Gigi: 6 orang yaitu drg. Andi Rosadi Palaloi, drg.
Santi Agustini, drg. Peny Setyowati, drg. Esther Soyan, drg.
Cheriati Muin, drg. Herry Mulyadi, M.Kes
i. Sarana Pelayanan:
1) Poliklinik Penyakit Dalam: Poliklinik Penyakit Dalam Umum,
Poliklinik Geriatry, Poliklinik Konsul Penyakit Dalam
52
2) Poliklinik Jantung
3) Poliklinik Penyakit Anak
4) Poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan
5) Poliklinik Bedah
6) Poliklinik Penyakit Mata
7) Poliklinik Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan
8) Poliklinik Konsultasi Jiwa
9) Poliklinik Syaraf
10)Poliklinik Penyakit kulit dan Kelamin
11)Poliklinik Konsultasi Gizi
12)Poliklinik Kesehatan Gigi dan Mulut
j. Pelayanan Penunjang: Instalasi Radiologi seluas 510 M 2 buka
24 jam setiap harinya di bawah tanggung jawab seorang Dokter
Spesialis Radiologi, Instalasi Laboratorium seluas 510 M 2 buka
24 jam setiap harinya di bawah tanggung jawab seorang Dokter
Spesialis Patologi Klinik dan Dokter Spesialis Patologi Anatomi,
Instalasi ICU/ICCU seluas 228 M 2 buka 24 jam setiap harinya
di bawah tanggung jawab seorang Dokter Spesialis Anesthesi
dan Dokter Spesialis jantung, Instalasi Bedah Sentral seluas
680 M 2 dengan 5 ( lima ) buah Kamar Operasi, Instalasi
Rehabilitasi Medik seluas 200 M 2 buka 24 jam setiap hari kerja
di bawah tanggung jawab Dokter Spesialis Syaraf dan dilayani
oleh 6 (enam) orang fisiotherapis, Instalasi Gizi seluas 212 M 2
53
melayani pemberian makanan pasien Rawat Inap sesuai
standar gizi dan memberikan konsultasi gizi, baik pasien Rawat
Jalan maupun Rawat Inap.
Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner yang dibagikan
kepada 26 dokter spesialis dari kedua RS di atas (28 Januari-15
Juli 2014), dibuatlah tabulasi sebagai berikut:
PertanyaanJawaban Reponden
Dokter Pasien Perawat Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
f % f % f % f % f % f %Apakah dokter selalu melakukan informed consent sebelum dilakukan tindakan medis
20 100 0 0 24 100 0 0 0 0 0 0
Apakah informed consent dilakukan secara sukarela atau terpaksa
20 100 0 0 24 100 0 0 0 0 0 0
Apakah informasi mengenai tindakan medis yang diberikan oleh dokter terkait dengan alternatif tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien
20 100 0 0 20 83,3 4 16,7
Apakah informasi tersebut diberikan secara langsung oleh dokter sendiri dan tidak melalui tenaga kesehatan lainnya seperti perawat
20 100 0 0 18 75 6 25 0 0 0 0
Apakah informasi yang diberikan tersebut lengkap terkait tindakan medis dan resikonya
14 70 6 (informasi yang pokok
30 19 79,2 5 (informasi
singkat saja
)
20,8 0 0 0 0
Apakah informasi yang diberikan dokter dapat dipahami oleh pasien/keluarganya
17 85 3 15 21 87,5 3 12,5 3 15 17 85
Apakah diperlukan adanya komunikasi secara intens dengan dokter sebelum
20 100 0 0 24 100 0 0 0 0 0 0
54
dilakukan tindakan medis tertentu terutama yang berkaitan dengan tindakan medis berat (operasi/bedah)Apakah persetujuan tindakan medik harus dilakukan dalam bentuk tertulis dan/atau otentik
17 85 3 15 21 87,5 3 12,5 3 15 17 85
Apakah pernah terjadi penolakan karena informasi tentang tindakan kedokteran yang diberikan kurang dipahami
17 85 3 15 21 87,5 3 12,5 3 15 17 85
Apakah informed consent memberikan keyakinan kepada pasien supaya pasien mengetahui prosedur tindakan medis yang dilakukan dokter
0 0 0 0 24 100 0 0 0 0 0 0
Apakah informed consent membantu pasien mendapatkan informasi tentang penyakitnya
0 0 0 0 20 83,3 4 16,7 0 0 0 0
Apakah informed consent membuat pasien mengetahui hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum operasi
0 0 0 0 4 16,7 20 83,3 0 0 0 0
Tabel 4.3 Tabulasi Jawaban Responden
Tabulasi jawaban responden di atas dapat dianalisi lebih
jauh. Terhadap pertanyaan “apakah dokter selalu melakukan
informed consent sebelum dilakukan tindakan medis”, 26 orang
dokter spesialis dari kedua RS di atas memilih jawaban “ya” dan
sekaligus berpendapat bahwa pemberian informed consent
merupakan hal yang sangat penting. Dengan demikian di Kota
Palu, penerapan informed consent telah dilakukan sebagaimana
perintah Permenkes 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
55
Persetujuan Tindakan Kedokteran. Secara prosentase dapat
dikatakan bahwa 100% pelayan kesehatan di Palu (dalam hal ini
dokter yang melakukan pembedahan atau operasi) telah
melakukan informed consent dengan pemikiran bahwa tindakan
tersebut merupakan tindakan yang bukan memenuhi formalitas
peraturan perundang-undangan, melainkan tindakan yang didasari
pada penghormatan terhadap martabat manusia.
Pemikiran yang mendasari dilakukannya informed consent
tersebut diperoleh dari jawaban atas pertanyaan “apakah informed
consent dilakukan secara sukarela atau terpaksa”. Terhadap
pertanyaan tersebut, 100% dokter memilih jawaban melakukan
informed consent secara sukarela. Jawaban dokter di atas
diperkuat oleh jawaban para pasien (24 orang pasien, 100% dari
responden), yang menyatakan bahwa sebelum dilakukan tindakan
medis, para dokter lebih dulu memberikan informasi mengenai
tindakan medis apa yang dilakukan terhadap pasien.
Hal tersebut sesuai dengan pandangan Marcela Del Carmen
dan Steven Joffe (2005:637) yang menegaskan bahwa:
Informed consent can be seen through at least two lenses. The first relates to the concept of autonomous authorization of a medical intervention. This position is in direct contrast to the paternalistic conception of the physician as acting in the patient’s best interest, independently conceived. This notion of informed consent is exemplified in Mohr v. Williams. In this case, the physician obtained the patient’s consent to perform surgery on her right ear. During the procedure, the surgeon recognized that it was the patient’s left ear that needed the surgical procedure and proceeded to operate on that ear.
56
The court determined that the surgeon had violated the terms of the informed consent, stating that the patient “enters into a contract authorizing the physician to operate to the extent of the consent given, but no further”. In this context, the patient consents if she intentionally authorizes a professional to perform a procedure, after expressing understanding and in the absence of control by others. An alternative conception mandates that a legally valid consent be obtained prior to a medical procedure, thereby locating informed consent in the realm of social rules and institutional contexts. This definition deals with the institutional rules of consents and does not necessarily insist on consent as an autonomous act. Rather, informed consent is defined as the patient’s institutionally or legally effective authorization. The consent is valid if it occurs within the rules that govern specific institutional practices.
Pernyataan di atas bermakna bahwa informed consent dapat
dilihat melalui setidaknya 2 (dua) aspek. Yang pertama berkaitan
dengan konsep otorisasi otonom dari intervensi medis. Konsep ini
kontras dengan konsep paternalistik dokter yang bertindak
berdasarkan kepentingan terbaik pasien. Gagasan informed
consent dicontohkan dalam kasus Mohr vs Williams. Dalam hal ini,
dokter memperoleh persetujuan pasien untuk melakukan operasi
pada telinga kanannya. Selama prosedur, dokter bedah mengakui
bahwa itu adalah telinga kiri pasien yang dibutuhkan juga dalam
prosedur pembedahan agar telinga kanan dapat terus beroperasi.
Pengadilan memutuskan bahwa ahli bedah telah melanggar
ketentuan informed consent, dan menyatakan bahwa pasien
"masuk ke dalam kontrak otorisasi dokter untuk beroperasi sejauh
persetujuan yang diberikan, tapi tidak lebih". Dalam konteks ini,
pasien setuju jika dia dengan sengaja memberikan kewenangan
57
profesional untuk dilakukannya prosedur operasi, setelah
mengungkapkan pemahamannya dan tidak adanya kontrol atau
paksaan dari orang lain. Hal ini merupakan sebuah konsepsi
alternatif bahwa persetujuan yang sah diperoleh sebelum diadakan
tindakan medis. Sebaliknya, informed consent didefinisikan sebagai
otorisasi secara kelembagaan atau secara hukum efektif pasien.
Persetujuan ini berlaku jika terjadi dalam aturan yang mengatur
praktik institusional yang spesifik. Dengan kata lain, informed
consent berkaitan dengan persetujuan dari otonomi pasien, dan
persetujuan karena peraturan yang mengaturnya.
Adapun informasi mengenai tindakan medis yang diberikan
oleh dokter sangat berkaitan dengan alternatif tindakan medis yang
akan dilakukan terhadap pasien (100% dokter menjawabnya
demikian). Namun, sebanyak 20 pasien menjelaskan hal ini dengan
prosentase sebesar 83.3%; karena terdapat 4 orang pasien
(16.6%) yang menegaskan bahwa informasi tersebut biasanya
hanya terkait dengan pembiayaan terhadap alternatif tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap pasien. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa masih terdapat perbedaan penekanan infomrasi
medis yang disampaikan oleh dokter.
Informasi mengenai alternatif tindakan yang akan dilakukan
oleh dokter ini sesuai dengan Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menegaskan bahwa
58
informasi yang harus diberikan oleh dokter terhadap pasien
setidak-tidaknya mencakup:
4) Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
5) Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
6) Alternatif tindakan lain dan risikonya;
7) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
8) Prognosis (kemungkinan hasil perawatan) terhadap
tindakan yang dilakukan.
Perbedaan penekanan informasi ini biasanya berkaitan
dengan subjek pemberi informasi mengenai tindakan medis yang
akan dilakukan. 100% dokter menegaskan bahwa dokter sendiri-lah
yang memberikan penjelasan mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap pasien. Sesuai dengan hal tersebut 18 orang
pasient menyatakan bahwa informasi mengenai tindakan medis
biasanya dilakukan oleh seorang dokter tetapi pada hasil penelitian
masih ada 6 orang pasient mengatakan itu dilakukan oleh perawat
atau bidan. Perbedaan ini menunjukan belum maksimalnya
informasi mengenai tindakan medis menunjukkan belum
maksimalnya kualitas informasi mengenai tindakan medis karena
disampaikan oleh subjek yang tidak berkompeten. Peneliti
berpandangan bahwa kompetensi medis seorang dokter sangat
menentukan kualitas informasi medis yang disampaikan kepada
pasien. Oleh karena itu, seyogyanya informasi tersebut diberikan
59
oleh dokter sendiri yang akan melakukan tindakan medis terhadap
pasien.
Selanjutnya, informasi medis yang disampaikan tersebut
harus diberikan secara lengkap dan terperinci sebagai suatu
kesatuan penyampaian. Sebagai suatu kesatuan penyampaian,
sejatinya hal-hal di atas mencegah terjadinya malpraktik yang
biasanya berpotensi muncul setelah dilakukan tindakan medis.
Pentingnya kesatuan penyampaian di atas dapat diketahui melalui
jawaban dari 19 orang pasien (79.1%) yang mengungkapkan
bahwa informasi yang diberikan harus lengkap terkait tindakan
medis dan resikonya; sedangkan 5 orang pasien (20.8%) masih
memperoleh informasi singkat saja, terutama jika dihadapkan pada
penanganan tindakan medis yang luar biasa.
Meskipun demikian, Peneliti berpandangan bahwa karakter
atau substansi informasi harus disesuaikan dengan penyakit yang
diderita pasien atau jenis tindakan medis yang sesuai dengan
penyakit pasien. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) Permenkes
Nomor 290 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa:
Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup:b. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;c. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;d. Altematif tindakan lain, dan risikonya;e. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; danf. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.g. Perkiraan pembiayaan.
60
Berkaitan dengan informasi yang diberikan dalam
persetujuan tindakan kedokteran, Doyal (2000:17) menyatakan
bahwa:
Therefore, it may be true that some patients state that they wish little information about treatment, prognosis or risks, especially if they are interviewed in the immediate aftermath of a dramatic clinical intervention. Yet it does not follow from such findings that it is in the best interests of such patients not to be given the information they need to be capable of reasoned choice. Their refusal can itself only be valid if it is properly informed to some minimally accepted level encompassing basic core information about what their refusal will practically mean in the management of their illness. Suppose that an operation has serious risks and a patient does not want to know about them. For this refusal to be properly informed, that patient needs at least to understand that his/her proposed treatment does entail significant risks, whatever further details are not revealed. If they are not told this they can have no idea what they are refusing or how their refusal might compromise their best interests. Furthermore, before clinicians take the serious step of minimising disclosure of information to patients, they should ensure that this is what patients actually want, including multiple checks over time and self monitoring as regards the quality of their own communication with the patient. Frightened and anxious patients may well not wish to obtain further information from clinicians on whom they know they clinically depend and they find that they often cannot understand.
Hal di atas mengindikasikan bahwa beberapa pasien
menyatakan betapa mereka menginginkan sedikit informasi tentang
pengobatan, prognosis atau risiko, terutama jika mereka
diwawancarai segera setelah intervensi klinis yang dramatis.
Namun hal tersebut tidak dapat dilakukan apabila berdasarkan
diagnosa medis terdapat alasan tertentu demi kepentingan terbaik
dari pasien. Penolakan pasien dapat diterima jika benar bahwa
61
informasi yang diperoleh hanya minimal mencakup informasi inti
mengenai penyakitnya. Misalkan operasi tersebut memiliki risiko
serius dan pasien tidak mengetahui hal itu, maka untuk penolakan
ini diinformasikan dengan baik, di mana pasien setidaknya
memahami bahwa pengobatan yang diusulkan tidak mengandung
resiko yang signifikan. JIka pasien tidak diberitahu mengenai hal
ini, pasien bisa saja tidak tahu apa yang mereka tolak atau
bagaimana penolakan mereka mungkin berkaitan dengan
kepentingan terbaik mereka. Selain itu, sebelum dokter mengambil
langkah serius untuk meminimalkan keterbukaan informasi kepada
pasien, mereka harus memastikan bahwa hal ini adalah apa yang
benar-benar diinginkan oleh pasien. Pasien yang takut dan cemas
mungkin tidak ingin mendapatkan informasi lebih lanjut dari dokter.
Peneliti berpendapat bahwa berdasarkan UU Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, maka informasi medis
yang diberikan oleh dokter harus diberikan secara detail atau rinci
mengenai diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan
medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis (kemungkinan
hasil perawatan) terhadap tindakan yang dilakukan. Hal-hal yang
diamanatkan UU tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, dan menjadi kewajiban bagi dokter untuk
menyampaikannya kepada pasien.
62
Kelengkapan informasi medis yang disampaikan harus
didukung juga oleh kemampuan/kapasitas pasien/keluarga dalam
menerima informasi tersebut. Semakin berkualitas peneriman
informasi medis, semakin berkualitas pula isi informasi medis yang
diperoleh dan dipahami. Dalam penelitian ini, konfigurasi usia
pasien dan keluarga pasien yang menerima informasi medis dari
dokter terdiri dari 10% berusia 17-20 tahun, 25% berusia 20-30
tahun, dan sisanya 65% berusia di atas 30 tahun, yang dapat
ditabulasikan sebagai berikut.
Rentang Usia Pasien Prosentase17-20 tahun 10%20-30 tahun 25%≥ 30 tahun 65%
Tabel 4.4 Konfigurasi Usia Penerima Informasi Medis
Konfigurasi usia ini sangat penting mengingat pasien
maupun keluarga memiliki latar belakang kehidupan dan
pendidikan yang berbeda-beda. Berkaitan dengan hal ini, Marcela
Del Carmen dan Steven Joffe (2005:638) menegaskan bahwa hal
yang penting dalam penyampaian informasi medis ialah
kompetensi atau kapasitas dari penerima informasi medis, dalam
hal ini pasien dan/atau keluarga pasien. Marcela dan Steven
menyatakan bahwa:
What makes a patient’s authorization of a medical procedure valid? Valid informed consent incorporates five elements: voluntarism, capacity, disclosure, understanding, and decision. Voluntarism requires that the patient be free from
63
“coercion and from unfair persuasions and inducements”. Coercion refers to morally inappropriate pressures from individuals or institutions that constrain patients’ exercises of choice; serious illness by itself does not compromise voluntarism. Also, physicians’ attempts to influence patients’ decisions need not undermine voluntarism. Rather, physicians should be encouraged to clarify patients’ goals, present the appropriate options in light of these goals, and make recommendations within the “deliberative model” of the doctor–patient relationship. Capacity can be defined as the patient’s ability to make health care decisions. In practice, we assume that adults are capable of making decisions unless there is strong evidence to the contrary. Several criteria can be used clinically to assess a person’s capacity, including the ability to make choices, to understand the relevant information, to appreciate the situation and its consequences, and to rationally process the information. The stringency of the standard varies according to the significance, complexity, and consequences of the decision. Competence, a related notion, refers to the patient’s legal standing to make health care decisions. For example, a 17 year old may have the capacity to make decisions for him- or herself, but not be competent from a legal point of view. Disclosure involves providing the patient with the information needed to understand a procedure. This information includes the nature and purpose of the treatment, as well as its risks, potential benefits, and available alternatives. Information should be disclosed using simple explanations. Common complications, irrespective of severity, should be described, as should less frequent but potentially serious or irreversible risks. Understanding requires that the patient comprehend the information given and appreciate its relevance to her individual situation. There is little consensus in either law or ethics about what constitutes sufficient understanding. The courts have not generally held that failure of understanding invalidates informed consent. Instead, they have relied on evidence of disclosure when determining if a patient was adequately informed. Decision refers to the patient’s authorization allowing a physician to execute the proposed treatment. Consent forms facilitate and document this authorization but should be seen as secondary to the process through which the patient and the physician discuss and negotiate the proposed treatment.
64
Pandangan di atas menegaskan bahwa sebenarnya ada 5
(lima) hal yang membuat sebuah informed consent itu dikatakan
sah yaitu kerelaan, kapasitas, pengungkapan, pemahaman, dan
keputusan. Kerelaan bermakna bahwa pasien bebas dari
"pemaksaan dan persuasi/bujukan". Pemaksaan mengacu pada
tekanan moral yang tidak pantas dari individu atau lembaga
tertentu ataupun dokter. Sebaliknya, dokter harus didorong untuk
memperjelas tujuan pasien, menyajikan pilihan yang sesuai dalam
kaitan dengan tujuan tersebut, dan membuat rekomendasi dalam
secara bebas dari hubungan antara dokter dan pasien. Kapasitas
dapat didefinisikan sebagai kemampuan pasien untuk membuat
keputusan mengenai perawatan kesehatan. Dalam prakteknya,
diasumsikan bahwa orang dewasalah yang mampu membuat
keputusan kecuali ada bukti kuat untuk sebaliknya. Beberapa
kriteria yang dapat digunakan secara klinis untuk menilai
kemampuan seseorang ialah adanya kemampuan untuk membuat
pilihan, untuk memahami informasi yang relevan, untuk menghargai
situasi dan konsekuensinya, dan bersikap rasional memproses
informasi. Pengungkapan melibatkan ketersediaan informasi yang
diperlukan pasien untuk memahami suatu prosedur. Informasi ini
mencakup sifat dan tujuan pengobatan, resiko, potensi keuntungan,
dan alternatif medis yang tersedia. Informasi harus diungkapkan
dengan menggunakan penjelasan sederhana. Memahami
65
mensyaratkan bahwa pasien memahami informasi yang diberikan
dan menghargai relevansinya dengan situasi individunya.
Keputusan mengacu pada otorisasi pasien yang memungkinkan
dokter untuk menjalankan pengobatan yang diusulkan. Formulir
persetujuan dan dokumen otorisasi memfasilitasi hal ini tetapi harus
dilihat sebagai hal sekunder untuk proses melalui mana pasien dan
dokter mendiskusikan dan menegosiasikan pengobatan yang
diusulkan.
Peneliti berpendapat bahwa kompetensi pasien sangat
dibutuhkan agar tidak terjadi salah pengertian terhadap istilah
kedokteran tertentu, termasuk juga menghindari salah kaprah
dalam perlakuan tindakan medis. Hal ini penting dilakukan karena
19 orang pasien (79.1%) menyatakan kurang paham atau kurang
mengerti mengenai informasi yang diberikan. Dasar
ketidakpahaman ini berpotensi memunculkan adanya sengketa
medis di kemudian hari apabila terbukti tindakan medis yang
dilakukan dokter tidak sesuai dengan harapan pasien dan
keluarganya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika berdasarkan
tabulasi jawaban responden di atas, semua pasien (100%) dan
semua dokter (100%) mengharapkan adanya komunikasi secara
intens antara dokter dan pasien sebelum dilakukan tindakan medis
tertentu terutama yang berkaitan dengan tindakan medis berat
(operasi/bedah).
66
Secara yuridis, Pasal 1 angka 7 Permenkes Nomor 290
Tahun 2008 menegaskan bahwa pasien yang kompeten adalah
pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-
undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran
fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami
kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak
mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan
secara bebas. Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) Permenkes Nomor 290
Tahun 2008 memberikan batasan lain sebagai berikut: dalam hal
pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan
diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.
Terkait dengan kapasitas pasien pula, Peneliti
berpandangan bahwa yang berhak memberikan persetujuan atau
menyatakan menolak tindakan medis pada dasarnya, pasien
sendiri jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun, menurut
Penjelasan Pasal 45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas,
apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan
atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga
terdekat, antara lain suami/isteri ayah/ibu kandung, anak-anak
kandung atau saudara-saudara kandung. Dalam keadaan gawat
darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan
persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang
67
sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat
persetujuan.
Berdasarkan wawancara dengan para nara sumber (dengan
inisial dr. A.L, Sp.B, dr. R. D. M, Sp.B, dan dr. E.A.S, Sp.B, tanggal
6 Juli 2014), terdapat batasan-batasan tertentu berkaitan dengan
kapasitas pasien dan atau keluarga pasien yang layak menerima
dan memberikan persetujuan tindakan medis. Tidak semua pasien
boleh memberikan pernyataan, baik setuju maupun tidak setuju.
Syarat seorang pasien yang boleh memberikan pernyataan, yaitu:
h. Pasien tersebut sudah dewasa: di sini masih terdapat
perbedaan pendapat pakar tentang batas usia dewasa,
namun secara umum bisa digunakan batas 21 tahun.
Pasien yang masih dibawah batas umur ini tapi sudah
menikah termasuk kriteria pasien sudah dewasa.
i. Pasien dalam keadaan sadar: Hal ini mengandung
pengertian bahwa pasien tidak sedang pingsan, koma,
atau terganggu kesadarannya karena pengaruh obat,
tekanan kejiwaan, atau hal lain. Berarti, pasien harus
bisa diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar.
j. Pasien dalam keadaan sehat akal: Jadi yang paling
berhak untuk menentukan dan memberikan pernyataan
persetujuan terhadap rencana tindakan medis adalah
pasien itu sendiri, apabila dia memenuhi 3 kriteria diatas,
68
bukan orang tuanya, anaknya, suami/istrinya, atau orang
lainnya. Namun apabila pasien tersebut tidak memenuhi
3 kriteria tersebut diatas maka dia tidak berhak untuk
menentukan dan menyatakan persetujuannya terhadap
rencana tindakan medis yang akan dilakukan kepada
dirinya. Dalam hal seperti ini, maka hak pasien akan
diwakili oleh wali keluarga atau wali hukumnya. Misalnya
pasien masih anak-anak, maka yang berhak memberikan
persetujuan adalah orang tuanya, atau paman/bibinya,
atau urutan wali lainnya yang sah. Bila pasien sudah
menikah, tapi dalam keadaan tidak sadar atau
kehilangan akal sehat, maka suami/istrinya merupakan
yang paling berhak untuk menyatakan persetujuan bila
memang dia setuju.
k. Hak suami/istri pasien: Untuk beberapa jenis tindakan
medis yang berkaitan dengan kehidupan berpasangan
sebagai suami-istri, maka pernyataan persetujuan
terhadap rencana tindakan medisnya harus melibatkan
persetujuan suami/istri pasien tersebut apabila
suami/istrinya ada atau bisa dihubungi untuk keperluan
ini. Dalam hal ini, tentu saja suami/istrinya tersebut harus
juga memenuhi kriteria “dalam keadaan sadar dan sehat
akal”. Beberapa jenis tindakan medis tersebut misalnya
69
tindakan terhadap organ reproduksi, KB, dan tindakan
medis yang bisa berpengaruh terhadap kemampuan
seksual atau reproduksi dari pasien tersebut.
l. Dalam keadaan gawat darurat: Proses pemberian
informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan
medis ini bisa saja tidak dilaksanakan oleh dokter apabila
situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat darurat.
Dalam kondisi ini, dokter akan mendahulukan tindakan
untuk penyelamatan nyawa pasien. Prosedur
penyelamatan nyawa ini tetap harus dilakukan sesuai
dengan standar pelayanan/prosedur medis yang berlaku
disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi.
Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa
berkomunikasi, maka pasien berhak untuk mendapat
informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah
dialaminya tersebut.
m. Tidak berarti kebal hukum: Pelaksanaan informed
consent ini semata-mata menyatakan bahwa pasien
(dan/atau walinya yang sah) telah menyetujui rencana
tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan
tindakan medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan
standar proferi kedokteran. Setiap kelalaian, kecelakaan,
atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam
70
pelaksanaan tindakan medis itu tetap bisa menyebabkan
pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk
mengajukan tuntutan hukum. Informed consent memang
menyatakan bahwa pasien sudah paham dan siap
menerima resiko sesuai dengan yang telah
diinformasikan sebelumnya. Namun tidak berarti bahwa
pasien bersedia menerima apapun resiko dan kerugian
yang akan timbul, apalagi menyatakan bahwa pasien
tidak akan menuntut apapun kerugian yang timbul.
Informed consent tidak menjadikan dokter kebal terhadap
hukum atas kejadian yang disebabkan karena
kelalaiannya dalam melaksanakan tindakan medis.
n. Terkait tindakan invasif: dibutuhkan Wali (orang yang
menurut hukum menggantikan orang lain yang belum
dewasa untuk mewakili dalam melakukan perbuatan
hukum, atau orang yang menurut hukum menggantikan
kedudukan orang tua); induk semang (orang yang
berkewajiban untuk mengawasi serta ikut bertanggung
jawab terhadap pribadi orang lain, misalnya pimpinan
asrama dari anak perantau, kepala RT dari seorang
pembantu RT yang belum dewasa).
Berkaitan dengan hal di atas, pandangan dari Faden dan
Beauchamp (1986:224) di bawah ini dapat dijadikan referensi:
71
It is a delicate matter to decide whether a patient has more than the minimum acceptable level of understanding, in order to claim that informed consent has been obtained. In my opinion, the threshold is that individuals should feel they are able to make a free decision about study participation. For patients to make choices that are as autonomous as possible, given the circumstances, in an emergency such as acute myocardial infarction, they should be given information that focuses on a few essential aspects of the study, including their right to decline participation. When patients have more severe symptoms, the following choices are faced: either no research is conducted on these kinds of patients; only a low level of understanding is considered sufficient for moral or legal consent in this situation; or patients are included in research without their immediate consent.
Pendapat di atas mengindikasikan bahwa betapa rumit untuk
memutuskan apakah pasien memiliki lebih dari tingkat yang dapat
diterima minimum pemahaman, untuk mengklaim bahwa informed
consent telah dipahami. Harus ada standar tertentu untuk
menentukan tingkat pemahaman pasien. Bagi pasien, untuk
membuat pilihan yang otonom sebaik mungkin, perlu diketahui
keadaannya sendiri, misalnya dalam keadaan darurat seperti
infarksi miokardiak akut, mereka harus diberi informasi yang
berfokus pada aspek-aspek penting hal tu, termasuk hak mereka
untuk menolak dilakukannya tindakan medis. Ketika pasien
memiliki gejala lebih parah, pilihan untuk dilakukannya tindakan
medis perlu didasarkan pada jenis-jenis pasien; pemahaman pada
tingkat rendah umumnya dianggap cukup untuk suatu persetujuan
moral atau hukum dalam situasi semacam ini.
72
Level kompetensi atau kapasitas pasien dan keluarga dalam
pemberian informasi mengenai tindakan medis/kedokteran menjadi
sangat berharga karena dari sana dapat diambil persejuan
bersama sebagai langkah awal dilakukannya tindakan medis. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa semakin dewasa pasien dengan
tingkat pendidikan yang memadai (18 orang pasien, prosentase
75%), semakin pahamlah pasien tersebut mengenai karakter
tindakan medis apa yang akan diterimanya; sebaliknya semakin
muda usia seorang pasien dengan tingkat pendidikan yang kurang
memadai (6 orang pasien, prosentase 25%) menyebabkan
persetujuan tindakan kedokteran/medis sering menimbulkan
permasalahan tertentu. Di lain pihak, 100% para dokter pada
kedua RS di Kota Palu memberikan informasi kedokteran kepada
pasien dewasa dan/atau keluarganya yang dewasa dan yang
mampu memahami tindakan medis yang akan dilakukan.
2. Bentuk Informed Consent
Adapun bentuk Persetujuan Tindakan Medik (PTM) menurut
Hendrojono Soewono (2007:118) adalah:
a. Yang dinyatakan (Expressed), yakni secara lisan (oral) atau
tertulis (written)
Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan
secara lisan atau tulisan, bila yang ada akan dilakukan lebih dari
73
prosedur pemeriksaan dan tindakan biasa. Dalam keadaan
demikian, sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih
dahulu informasi mengenai tindakan apa yang akan dilakukan
supaya tidak terjadi salah pengertian. Misalnya pemeriksaan
mencabut kuku atau colok vagina. Di sini belum diperlukan
pernyataan tertulis, persetujuan lisan sudah mencukupi. Namun
bila tindakan yang akan dilakukan mengandung resiko seperti
tindakan pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan
pengobatan yang invasif, sebaiknya diminta persetujuan
tindakan medik (PTM) secara tertulis.
b. Dianggap diberikan (implied or tacit consent) yakni dalam
keadaan biasa (normal) atau dalam keadaan darurat.
Implied consent adalah persetujuan yang diberikan
pasien secara tersirat, tanpa pernyataan tegas isyarat
persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan
pasien. Umumnya tindakan dokter disini adalah tindakan yang
biasa dilakukan atau sudah diketahui umum, misalnya
pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium,
melakukan suntikan pada pasien, menjahit luka dan
sebagainya.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, hal-hal yang harus
dijelaskan oleh dokter kepada pasien sebelum pasien memberikan
persetujuannya untuk dilakukan tindakan medis terhadapnya,
74
menurut Pasal 45 ayat (3) UU No. 29 Tahun 2004, sekurang-
kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan
resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden (12
Februari-15 Mei 2014), terdapat perbedaan pandangan antara
dokter dan pasien. Sebanyak 26 orang dokter (100%) menyatakan
bahwa persetujuan pasien harus dilakukan dalam bentuk tertulis
apalagi otentik. Namun kondisi tersebut diharapkan jangan terlalu
bersifat birokratis karena dapat memerlukan waktu yang panjang,
sedangkan pasien memerlukan waktu untuk perawatan. UU
menentukan persetujuan pasien dapat berupa secara tertulis
ataupun lisan (Pasal 45 ayat (4) UU Nomor 29 Tahun 2004). Hal ini
didasarkan pada pemikiran bahwa hubungan antara dokter dengan
pasien adalah hubungan atas dasar kepercayaan. Dengan
demikian dalam suatu keadaan darurat di mana pasien dalam
keadaan tidak sadar dan tidak ada pihak yang dapat dimintai
persetujuannya, sedangkan penundaan tindakan medik akan
berakibat fatal bagi pasien, maka informed consent tidak
dibutuhkan. Di lain pihak, terdapat 21 orang pasien (dari 24 pasien,
87.5%) yang menyatakan bahwa persetujuan tindakan kedokteran
harus dilakukan secara tertulis, sedangkan 3 orang pasien (12.5%)
75
yang menyatakan bahwa persetujuan tindakan medik tersebut
dapat dilakukan secara lisan saja.
Peneliti berpandangan bahwa alternatif pilihan yang diajukan
undang-undang tanpa mencantumkan klausa imperatif/keharusan
menyebabkan penerapan informed consent disesuaikan
berdasarkan kondisi pasien dan penilaian dokter. Hal ini akan
berpotensi menimbulkan sengketa medis di kemudian hari apabila
hasil yang diperoleh dalam pengobatan tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan kata lain perlu ada ketegasan secara normatif
yang memberikan batasan-batasan terhadap tindakan informed
consent. Terkait ini, European Commission (2001:1) menegaskan
bahwa pada dasarnya,
Informed Consent is the decision, which must be written, dated and signed, to take part in a clinical trial, taken freely after being duly informed of its nature, significance, implications and risks and appropriately documented, by any person capable of giving consent or, where the person is not capable of giving consent, by his or her legal representative; if the person concerned is unable to write, oral consent in the presence of at least one witness may be given in exceptional cases, as provided for in national legislation.
European Commission mengungkapkan secara tegas bahwa
informed consent harus bersifat tertulis dengan tanggal yang jelas
serta penandatanganan para pihak, yang diambil secara bebas
setelah diberitahu tentang sifat, makna, implikasi dan risiko, dan
secara tepat didokumentasikan oleh setiap orang yang mampu
memberikan persetujuan (dalam hal ini pasien dan atau
76
keluarganya); jika orang yang bersangkutan tidak dapat menulis,
persetujuan lisan di hadapan setidaknya satu saksi dapat diberikan
dalam kasus luar biasa, sebagaimana diatur dalam perundang-
undangan nasional. Terkait ini, UU Praktik Kedokteran memberikan
alternatif yaitu dapat berupa lisan maupun tertulis.
Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 2 Permenkes Nomor
290 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa:
(1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
Dengan demikian, bentuk informed consent dalam hukum
Indonesia ialah dapat secara lisan dan dapat secara tertulis.
Mengenai kriteria tertulis dan lisan, Pasal 3 Permenkes Nomor 290
Tahun 2008 menegaskan bahwa:
(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
77
(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Jika ditelaah, syarat yang diajukan Permenkes di atas
mengenai bentuk informed consent bersifat sangat restriktif dan
limitatif dengan tujuan utama menyelamatkan nyawa pasien.
Peneliti berpandangan bahwa bentuk informed consent meskipun
dibberikan alternatif sesuai dengan keadaan pasien, namun perlu
diberikan penekanan terhadap karakter tertulis dari informed
consent agar memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat dokter
dan pasien.
Peneliti berpendapat pula bahwa pada hakikatnya informed
consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien
tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter
terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter),
sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup.
Untuk sementara waktu apabila dalam keadaan darurat.
Penandatanganan formulir informed consent secara tertulis hanya
merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati
sebelumnya. Tujuan penjelasan yang lengkap adalah agar pasien
menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri
(informed decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak
tindakan medis yang dianjurkan. Pasien juga berhak untuk meminta
78
pendapat dokter lain (second opinion), dan dokter yang
merawatnya.
Walaupun dalam implementasinya informed consent telah
mendapatkan legitimasi tertulis, persetujuan semacam itu tidak
dapat dipakai sebagai alasan pembenaran perlakuan medik yang
menyimpang. Persetujuan (informed consent) pasien atau
keluarganya tidak membebaskan resiko hukum bagi timbulnya
akibat yang tidak dikehendaki dalam hal perlakuan medis yang
benar dan tidak menyimpang.
Walaupun ada persetujuan semacam itu apabila perlakuan
medis dilakukan secara salah hingga menimbulkan akibat yang
tidak dikehendaki, dokter juga tetap terbebani tanggung jawab
terhadap akibatnya. informed consent sesungguhnya memiliki
sebuah fungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat
membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada
pasien, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri
terhadap segala kemungkinan adanya tuntutan ataupun gugatan
dari pasien atau keluarganya terhadap resiko yang ditimbulkan.
Sedangkan bagi pasien, informed consent merupakan bentuk
penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat
digunakan sebagai dasar pembenar untuk menuntut ataupun
menggugat dokter sebagai akibat terjadinya penyimpangan praktik
79
dokter dari maksud diberikannya surat persetujuan pelayanan
kesehatan.
Perlu diketahui bahwa pembahasan mengenai bentuk
informed consent ini berkaitan erat dengan perjanjian yang tercipta
antara dokter dan pasien. Sebagaimana diketahui sebelumnya,
dalam rangka usaha ingin sembuh, pasien akan mendatangi baik
dokter pribadi maupun rumah sakit. Dalam hal ini dapat dibedakan
antara pasien yang memang secara nyata mengadakan suatu
perjanjian, dan pasien yang tanpa mengadakan suatu perjanjian.
Pembedaan ini untuk memperjelas dalam membedakan dari
adanya perjanjian tersebut, yang membebankan hak dan kewajiban
terhadap para pihak yang mengadakan suatu perjanjian.
Dasar dari perikatan antara dokter dan pasien biasanya
dikenal dengan perjanjian/kontrak, dan dikenal pula dengan istilah
perjanjian terapeutik. Perjanjian terapeutik termasuk pada
perjanjian tentang “upaya” atau disebut (Inspaningsverbintenis)
bukan perjanjian tentang “hasil” atau disebut (Resultaatverbintenis).
Pada perjanjian tentang upaya maka prestasi yang harus diberikan
oleh dokter adalah upaya semaksimal mungkin, sedangkan pada
perjanjian tentang hasil, prestasi yang harus diberikan oleh dokter
berupa hasil tertentu.
Dalam hal perjanjian, maka para pihak yaitu dokter dan
pasien bebas untuk menentukan isi dari perjanjian yang mereka
80
sepakati bersama, dengan syarat tidak bertentangan dengan
undang-undang, kepatutan, kepantasan dan ketertiban. Pada
perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien, dokter tidak
menjanjikan kesembuhan pasien, tetapi dokter berupaya
semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada
umumnya format dari informed consent ialah sebagai berikut (data
diolah dari Humas RSU Anutapura dan RSUD Undata, 5 Juli 2014):
SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : (L/P)
Umur/Tgl Lahir :
Alamat :
Telp :
Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai
orang tua/*suami/*istri/*anak/*wali dari :
Nama : (L/P)
Umur/Tgl Lahir :
Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk dilakukan
Tindakan Medis berupa …..………………………………………….....
Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal
yang berhubungan dengan penyakit tersebut, serta tindakan medis
yang akan dilakukan dan kemungkinana pasca tindakan yang
dapat terjadi sesuai penjelasan yang diberikan.
Nama Kota,……………20……
Dokter/Pelaksana,
Ttd
(…………………………..)
Yang membuat pernyataan,
Ttd
(………………………………)
81
Pada umumnya baik RSU Anutapura maupun RSUD Undata
di Kota Palu, memiliki tahapan pemberian informed consent standar
sebagai berikut (wawancara terhadap Humas RSU Anutapura dan
RSUD Undata, 10 Juli 2014):
a. Tahap pendaftaran: Merupakan tahap paling awal yang
dimulai dengan pasien datang ke rumah sakit untuk
mendaftarkan diri di ruang pendaftaran. Pendaftaran ini
dilakukan untuk menyatakan bahwa pasien telah
bersedia melakukan pengobatan di RS. Hal ini
merupakan bentuk perjanjian terapeutik antara pihak
rumah sakit dengan pasien melahirkan. Kemudian pasien
dibawa ke IGD untuk mendapatkan pemeriksaan
terhadap segala sesuatu yang diderita.
b. Tahap pemeriksaan: pada tahap ini dilakukan
pemeriksaan terhadap pasien, khususnya mengenai
karakter penyakitnya. Pasien harus jujur menjelaskan
apa yang dideritanya agar diagnose dokter menjadi
semakin akurat.
c. Tahap pemberian informed consent: Hasil pemeriksaan
yang telah dilakukan selain diberikan kepada dokter
operator juga diberikan kepada pasien atau keluarganya
sekaligus mengenai hal atau tindakan yang akan dan
harus dilakukan untuk kesembuhan pasien. Dalam hal
82
ini, pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi
mengenai keluhan atau gangguan yang dideritanya, yang
merupakan alasan dalam memberikan persetujuan untuk
dilakukannya tindakan kedokteran tersebut. Pelaksanaan
perjanjian antara pihak rumah sakit dan pasien tanpa
adanya pemberian informed consent menurut Pasal 1320
KUH Perdata dapat dinyatakan sebagai suatu perjanjian
yang tidak sah. Informed consent tersebut tersebut harus
diberikan secara benar, jujur serta tidak bermaksud untuk
menakut-nakuti atau bersifat memaksa. Pemberian
informed consent disamping merupakan kewajiban bagi
dokter, juga merupakan hak pasien.
Khusus untuk dokter ahli kandungan dari kedua RS tersebut
diketahui beberapa prosedur medis yang akan dilakukan terkait
pemberian informed consent yaitu (wawancara terhadap dr. J.C.S,
Sp.OG dan dr. D. Sp.OG, 12 April 2014):
a. Prosedur medik yang akan dilakukan:
Hal ini merupakan prosedur terapeutik atau prosedur
diagnosis. Dalam hal perjanjian tindakan kedokteran
pada pasien melahirkan, maka dijelaskan mengenai hasil
pemeriksaan dan tindakan kedokteran yang akan
dilakukan. Kemudian yang perlu dijelaskan lagi adalah
apakah tindakan diagnosis tersebut bersifat invasif atau
83
tidak. Yang termasuk tindakan invasif menurut Pasal 1
angka 4 Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 adalah
suatu tindakan medis yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
Selanjutnya dijelaskan juga kapan tindakan tersebut akan
dilakukan, dalam waktu berapa lama, serta gambaran
singkat mengenai alat yang akan digunakan. Selain itu
dijelaskan juga mengenai bagian tubuh yang akan
mengalami tindakan dan untuk tindakan yang
memerlukan pembiusan, diberitahukan sebelumnya
kepada pasien.
b. Risiko dari tindakan kedokteran pada pasien:
Dokter harus menjelaskan mengenai risiko yang dihadapi
oleh pasien yang akan terjadi tanpa bermaksud menakut-
nakuti. Menurut Pasal 8 ayat (3) Permenkes Nomor 290
Tahun 2008, penjelasan tentang risiko dan komplikasi
tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi
yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang
dilakukan, kecuali (a) risiko dan komplikasi yang sudah
menjadi pengetahuan umum, (b) risiko dan komplikasi
yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat
ringan, (c) risiko dan komplikasi yang tidak dapat
dibayangkan sebelumnya (unforeseeable). Risiko
84
tersebut harus dijelaskan secara lengkap dan jelas
kepada pasien. Adapun risiko yang harus dijelaskan
tersebut meliputi berat ringannya risiko, kemungkinan
risiko tersebut timbul, dan kapan risiko tersebut timbul
seandainya tindakan tersebut dilakukan.
c. Penjelasan tentang tujuan tindakan kedokteran pada
pasien melahirkan
Setiap pasien yang datang ke rumah sakit mempunyai
harapan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh
dokter akan mengurangi penderitaannya. Berkaitan
dengan pasien melahirkan, maka pasien datang ke
rumah sakit untuk mengeluarkan bayi yang
dikandungnya. Oleh karena itu dokter perlu menjelaskan
tujuan dari tindakan kedokteran yang akan diberikan
kepada pasien tersebut, disertai dengan kemungkinan
yang terjadi jika tindakan kedokteran tersebut tidak
dilakukan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf a
Permenkes Nomor 290 Tahun 2008, yang menegaskan
bahwa penjelasan tentang tindakan kedokteran yang
dilakukan meliputi tujuan tindakan kedokteran yang dapat
berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun
rehabilitatif.
d. Alternatif tindakan kedokteran lain yang tersedia
85
Dalam memberikan informasi, dokter harus menjelaskan
mengenai alternatif tindakan kedokteran yang akan
dilakukannya tersebut. Alternatif pertama yang
ditawarkan kepada pasien merupakan pilihan yang
terbaik untuk pasien. Namun seperti telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa segala tindakan kedokteran yang
dilakukan di kedua RS tersebut harus disesuaikan
dengan prosedur dan tahapan pendidikan. Jadi jika
pasien tidak bisa melahirkan secara normal, terlebih dulu
harus menempuh cara induksi, jika pasien tidak
menyetujui untuk dilakukannya induksi, maka dokter
memberikan alternatif lain yaitu dengan jalan operasi.
Adapun alternatif tindakan lain tersebut harus mencakup
kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan
tindakan yang direncanakan (Pasal 8 ayat 2 huruf c
Permenkes Nomor 290 Tahun 2008).
e. Penjelasan mengenai prognosis, diagnosis dan biaya:
Pasal 8 ayat (1) Permenkes Nomor 290 Tahun 2008
menegaskan bahwa penjelasan tentang diagnosis dan
keadaan kesehatan pasien dapat meliputi (a) Temuan
klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;
(b) Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat
ditegakkan, maka sekurang-kurangnya diagnosis kerja
86
dan diagnosis banding; (c) Indikasi atau keadaan klinis
pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan
kedokteran; (d) Prognosis apabila dilakukan tindakan dan
apabila tidak dilakukan tindakan. Hal ini ditegaskan lagi
dalam Pasal 8 ayat (4) Permenkes Nomor 290 Tahun
2008 yang menyatakan bahwa penjelasan tentang
prognosis meliputi (a) Prognosis tentang hidup-matinya
(ad vitam); (b) Prognosis tentang fungsinya (ad
functionam); (c) Prognosis tentang kesembuhan (ad
sanationam). Terkait hal ini, Dalam pemberian informasi,
dokter harus menjelaskan mengenai jalannya penyakit,
hal ini bertujuan agar pasien benar-benar mengetahui
keadaan yang terjadi pada dirinya. Selain itu dijelaskan
juga mengenai biaya yang harus dibayar dari tindakan
kedokteran yang harus dilakukan terhadapnya, hal ini
bertujuan agar dapat memberikan pertimbangan bagi
pasien dalam mengambil keputusan.
f. Tahap persetujuan dan penandatanganan:
Setelah mendapatkan informasi yang cukup jelas,
kemudian pasien diberikan kesempatan untuk
mempertimbangkan. Setelah mempertimbangkan, pasien
akan memberikan keputusan yang terdiri dari dua
kemungkinan keputusan, yaitu menolak atau menerima.
87
Jika dilakukan penolakan maka tindakan medis
selanjutnya tidak dilakukan; sedangkan jika dilakukan
penerimaan, maka dilanjutkan ke tindakan medis lainnya
(bisa berupa invasif). Bagi yang menerima, semua
identitas dalam formulir persetujuan informed consent
harus diisi selengkap-lengkapnya. Yang menjadi catatan
di sini ialah sesuai Pasal 6 Permenkes Nomor 290 Tahun
2008, maka pemberian persetujuan tindakan kedokteran
tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal
terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan
kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian
persetujuan tindakan kedokteran bukanlah melepaskan
tanggung jawab dokter secara yuridis apabila di
kemudian hari ditemukan adanya malpraktik.
Berkaitan dengan persetujuan terhadap informasi yang
diberikan, Pasal 13 Permenkes Nomor 290 Tahun 2008
menegaskan bahwa (1) Persetujuan diberikan oleh pasien yang
kompeten atau keluarga terdekat; (2) Penilaian terhadap kompetensi
pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter pada
saat diperlukan persetujuan. Meskipun demikian, pasien dan/atau
keluarga pasien dapat menolak untuk memberikan persetujuan
terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Hal ini sesuai
88
dengan Pasal 16 Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 yang
menegaskan bahwa:
(1) Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.
(2) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis.
(3) Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab pasien.
(4) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 3
orang pasien (12.5%) pernah melakukan penolakan karena
informasi tentang tindakan kedokteran yang diberikan kurang
dipahami. Sedangkan dari sisi dokter, sebanyak 2 orang dokter
(7.69%) pernah mengalami penolakan untuk dilakukan tindakan
kedokteran.
Peneliti berpendapat bahwa persetujuan tindakan
kedokteran sangat didukung oleh kelengkapan informasi secara
detail mengenai semua hal yang diprasyaratkan dalam Pasal 8
Permenkes Nomor 290 Tahun 2008:
(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi:a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga
saat tersebut;b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat
ditegakkan, maka sekurangkurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding;
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran;
89
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi:a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan
preventif, diagnostic, terapeutik, ataupun rehabilitatif.b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan
dialami pasien selama dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.
e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.
(3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali:a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi
pengetahuan umumb. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau
yang dampaknya sangat ringanc. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan
sebelumnya (unforeseeable)(4) Penjelasan tentang prognosis meliputi:
a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam).
3. Manfaat Informed Consent
Berdasarkan wawancara terhadap pasien dan dokter (10
Maret-16 Juni 2014), dapat disimpulkan bahwa informed consent
memiliki beberapa tujuan yaitu:
a. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien)
secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan
tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana
90
jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan
malpraktik yang bertentangan dengan hak asasi pasien
dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat
canggih yang memerlukan biaya tinggi;
b. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana
tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang
tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga,
misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin
dihindarkan walaupun dokter telah bertindak sesuai
dengan standar profesi medik.
Selain tujuan di atas, terdapat beberapa manfaat lain dari
informed consent yaitu:
a. 100% pasien menyatakan bahwa informed consent
memberikan keyakinan kepada pasien supaya pasien
mengetahui prosedur tindakan medis yang dilakukan
dokter, apakah membahayakan atau tidak. Partisipan
mengemukakan bahwa manfaat.
b. 83.3% pasien menyatakan bahwa informed consent
membantunya mendapatkan informasi tentang
penyakitnya.
c. 16.7% pasien menyatakan bahwa informed consent
membuatnya mengetahui hal-hal yang perlu dipersiapkan
sebelum operasi.
91
Peneliti berpendapat bahwa secara umum pemberian
informed consent memiliki manfaat ganda, baik terhadap pasien
maupun terhadap dokter.
a. Manfaat bagi pasien:
(1) Dapat membuat pasien lebih mengerti mengenai
penyakit yang dideritanya
(2) Pasien dapat merasa yakin dan lebih siap
menghadapi tindakan medis terhadap dirinya
(3) Pasien dapat semakin percaya pada dokter
(4) Pasien memiliki kekuatan secara hukum jika kelak
terjadi malpraktik
(5) Pasien dan keluarga dapat memperkirakan dan
mempersiapkan biaya yang cukup untuk dilakukannya
tindakan medis
(6) Pasien dapat terhindar dari kesalahan atau kekeliruan
penanganan medis
(7) Pasien memiliki waktu yang cukup untuk
mempertimbangkan tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap dirinya
b. Manfaat bagi dokter:
(1) Dokter memiliki landasan yuridis yang kuat untuk
melakukan tindakan medis/kedokteran
92
(2) Dokter dapat diyakinkan secara moril mengenai
tindakan kedokteran yang akan dilakukannya
(3) Memberikan peluang bagi dokter untuk mampu
menyelamatkan nyawa pasien
(4) Dokter dapat memfokuskan diri pada tindakan
kedokteran yang akan dilakukannya
(5) Dokter dapat menciptakan hubungan yang harmonis
dengan pasiennya
(6) Dokter dapat diberi keleluasaan untuk
mengembangkan keilmuannya secara professional
tanpa dibebani oleh kesalahan yang berpotensi terjadi
dalam pelaksanaan tindakan kedokteran.
B. Kendala-kendala yang Dihadapi dalam Penerapan Informed
Consent pada Pelayanan Rumah Sakit di Kota Palu
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa kendala dalam
penerapan informed consent di RS di Kota Palu, yaitu sebagai berikut:
1. Dari segi kompetensi pelayan kesehatan:
Dari segi ini, Pasal 10 Permenkes Nomor 290 Tahun 2008
mensyaratkan bahwa:
(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya.
(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung,
93
maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain yang kompeten.
(3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan kewenangannya.
(4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien.
Secara kapasitas pelayan kesehatan, 100% dokter menyatakan
bahwa dokter-lah yang harus memberikan informasi. Dalam
kenyataannya, 6 orang pasien mengungkapkan bahwa ada pelayan
kesehatan lain seperti perawat yang memberikan informasi
mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Umumnya
pasien merasa kurang puas jika informasi tersebut tidak diberikan
langsung oleh dokter, meskipun Permenkes Nomor 290 Tahun
2008 mengizinkan tenaga kesehatan lainnya untuk ikut
memberikan informasi tersebut.
2. Dari segi kapasitas atau kemampuan pasien/keluarga pasien
Dari segi ini, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Permenkes Nomor 290
Tahun 2008 menegaskan bahwa:
(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.
(2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.
Terkait hal ini, kapasitas atau kemampuan pasien sangat
diperlukan, mengingat tidak semua pasien memahami informasi
yang diberikan. Kekurangpahaman pasien atau keluarga terhadap
informasi yang disampaikan dapat menimbulkan penolakan
94
terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Terkait hal ini,
State of Queensland dalam Queensland Health (2011:55)
menyatakan bahwa:
When a patient has limited health literacy, low or no English proficiency, is visually or hearing impaired, or has an intellectual disability, health practitioners use communication methods appropriate to the situation and the patient’s level of communication. These might include simple, language free of medical jargon audio, diagrams and illustrations, and video or multimedia material. Psychologists, social workers, liaison officers, speech pathologists, teachers, carers or others who know the patient well may be able to offer advice, or support the communication process most appropriate for an individual patient.
Hal ini berarti bahwa apabila seorang pasien memiliki
pengetahuan tentang kesehatan yang terbatas, rendah atau tidak
ada kemampuan berbahasa yang baik, memiliki gangguan secara
visual ataupun gangguan pendengaran, atau memiliki cacat
intelektual, maka praktisi kesehatan (dokter) menggunakan metode
komunikasi yang tepat sesuai dengan situasi dan tingkat
kemampuan pasien dalam berkomunikasi. Hal ini mungkin
termasuk sederhana, misalnya dengan bahasa yang beba,s audio
medis tertentu, diagram dan ilustrasi, dan video atau materi
multimedia. Psikolog, pekerja sosial, petugas penghubung, ahli
patologi wicara, guru, pengasuh atau orang lain yang tahu pasien
juga mungkin dapat menawarkan nasihat, atau mendukung proses
komunikasi yang paling tepat untuk pasien.
95
3. Dari segi kelengkapan informasi
Dekat dengan kapasitas pasien atau keluarga pasien ialah
kelengkapan informasi yang diberikan. Dalam Pasal 9 PErmenkes
Nomor 290 Tahun 2008 disebutkan bahwa:
(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman.
(2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan.
(3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi.
Terkait hal ini, sebanyak 19 orang pasien (79.1%) menungkapkan
bahwa informasi yang diperoleh kurang dipahami karena banyak
menggunakan bahasa kedokteran yang asing bagi pasien atau
keluarga pasien; sedangkan 100% dokter menyatakan bahwa
informasi yang diberikan telah jelas sepenuhnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa perlu dibentuk suatu standarisasi
penyampaian informasi yang mampu dipahami oleh pasien secara
utuh. Crisol Escobedo dkk. (2007:3) menyatakan bahwa:
It is assumed that the individual who signs the consent form does so with full understanding of what is stated on the consent form. However, whether this is truly the case is very difficult to evaluate since there is no established method to measure the level of understanding that a participant has about the information given. Thus, it can be assumed that there is a degree of misunderstanding
96
that occurs (USM Website). Many individuals sign the consent form without being fully aware of what they are signing.
Crisol Escobedo dkk mengistilahkan kendala ini sebagai language
barriers. Hal ini diasumsikan bahwa individu yang menandatangani
formulir persetujuan melakukannya dengan pemahaman penuh
tentang apa yang tertera pada formulir persetujuan. Namun, sangat
sulit untuk mengevaluasinya karena tidak ada metode yang
diciptakan untuk mengukur tingkat pemahaman bahwa pasien
memiliki sedikit pengetahuan mengenai informasi yang diberikan.
Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa ada tingkat
kesalahpahaman yang terjadi. Banyak orang menandatangani
formulir persetujuan tanpa sepenuhnya menyadari apa yang
mereka menandatangani. Peneliti berpendapat bahwa penjelasan
diberikan dengan bahasa dan kata-kata yang dapat dipahami oleh
pasien sesuai dengan tingkat pendidikan dan ‘kematangannya’,
serta situasi emosionalnya. Dokter harus berusaha mengecek
apakah penjelasannya memang dipahami dan diterima pasien. Jika
belum, dokter harus mengulangi lagi uraiannya sampai pasien
memahami benar. Dokter tidak boleh berusaha mempengaruhi atau
mengarahkan pasien untuk menerima dan menyetujui tindakan
medis yang sebenarnya diinginkan dokter.
4. Dari segi substansi hukum
Dari segi substansi hukum, para dokter sepakat menyatakan
bahwa Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 ini perlu dipertegas
97
terutama mengenai bentuk informed consent yang diberikan dan
kompetensi pasien atau keluarga pasien yang menerima informasi.
5. Dari segi struktur hukum
Dari segi ini para pasien sepakat menyatakan bahwa setiap RS
yang akan melakukan informed consent perlu dilengkapi dengan
struktur yang memadai, terutama terkait pengawas dan
penanggungjawab hukum dilakukannya tindakan kedokteran.
6. Dari segi budaya hukum
Dari segi budaya hukum, para dokter dan pasien sepakat untuk
menuntut suatu sosialisasi yang kontinu dan holistik mengenai
informed consent, untuk menghilangkan pemikiran negatif
mengenai informed consent. Kadang-kadang hal ini seringkali
dikaitkan dengan aspek religiositas pasien, sebagaimana
dinyatakan Crisol Escobedo dkk (2007:5) sebagai berikut:
The informed consent process is designed to give every participant the liberty to decide whether to accept or refuse the recommended medical treatment. However, researchers designing such a form must consider the negative effects that participants might experience due to religious beliefs when participating in researcher projects. Having a full understanding of the methods involved in the experiment will enable a person to adequately judge if they want to participate in the experiment. Researchers must consider how the methodology of the experiment can come into conflict with the rules of behavior set by a participants religion.
Hal di atas menjelaskan bahwa pada prinsipnya proses persetujuan
dalam informed consent, dirancang sedemikian rupa untuk memberikan
kepada setiap pasien kebebasan untuk memutuskan apakah akan
menerima atau menolak perawatan medis yang dianjurkan. Namun,
98
rancangan bentuk tersebut harus mempertimbangkan efek negatif yang
mungkin dialami pasien karena adanya keyakinan agama tertentu dalam
seluruh prosedur medis yang dijalani. Oleh karena itu, perlu
dipertimbangkan bagaimana metodologi persetujuan tindakan medis
dapat disesuaikan dengan aturan perilaku yang ditetapkan oleh agama
pasien.
Kendala-kendala di atas menjadi tugas pemerintah dan masyarakat
pada umumnya untuk mengatasinya sehingga dapat tercipta hubungan
yang harmonis antara dokter dan pasien.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
99
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka diperoleh
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Penerapan informed consent dalam pelayanan kesehatan
Rumah Sakit di Kota Palu telah sesuai dengan Permenkes
Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan
Praktik Kedokteran, namun masih terdapat kekurangan
tertentu dalam penerapannya baik dari pelayan kesehatan
maupun dari pasien.
2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan Informed
consent pada pelayanan Rumah Sakit di Kota Palu terdiri
dari segi kompetensi pelayan kesehatan di mana masih
terdapat perawat yang kurang berkompeten untuk
memberikan informasi mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan; dari segi kapasitas atau kemampuan
pasien/keluarga pasien di mana masih terdapat
ketidakmampuan pasien atau keluarganya untuk memahami
informasi medis yang diberikan; dari segi kelengkapan
informasi medis di mana informasi medis yang diberikan
lebih berupa pembiayaan, dari segi substansi hukum di
mana Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 belum
memberikan penegasan mengenai bentuk informed consent
yang diberikan dan kompetensi pasien atau keluarga pasien
yang menerima informasi; dari segi struktur hukum di mana
100
setiap RS yang akan melakukan informed consent belum
dilengkapi dengan struktur yang memadai, terutama terkait
pengawas dan penanggugjawab hukum dilakukannya
tindakan kedokteran; dari segi budaya hukum di mana belum
terdapat suatu sosialisasi yang kontinu dan holistik
mengenai informed consent, dan masih terdapat pemikiran
negatif mengenai informed consent karena seringkali
dikaitkan dengan aspek religiositas pasien.
B. Saran
Berkaitan dengan kesimpulan di atas, maka disampaikan
beberapa rekomendasi atau saran sebagai berikut:
1. Dibutuhkan peningkatan profesionalisme penerapan
informed consent di Rumah Sakit di Kota Palu di mana
implementasi yang sudah bagus harus terus ditingkatkan
sambil memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam
penerapannya.
2. Terkait kendala kompetensi pelayan kesehatan, dibutuhkan
dokter yang sangat berkompeten dengan tindakan
kedokteran yang dilakukan, terkait kendala kapasitas pasien
atau keluarga pasien diperlukan kesiapan intelek para
pasien atau keluarganya, terkait kelengkapan informasi
dibutuhkan suatu standarisasi penyampaian informasi
101
mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan, terkait
substansi hukum dibutuhkan ketegasan Permenkes dan
peraturan lainnya mengenai pelaksanaan informed consent,
terkait struktur hukum dibutuhkan penanggung jawab dan
pengawas yang khusus di bidang kesehatan, terkait budaya
hukum dibutuhkan sosialisasi secara menyeluruh dan
kontinu mengenai penerapan informed consent.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adami Chazawi. 2007. Malpraktik Kedokteran, Ctk. Pertama, Bayumedia,Malang
102
Adnan Buyung Nasution.Dkk.(ed). 2006. Instrument Internasional Pokok Hak asasi Manusia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Kelompok Kerja Ake Arief, Jakarta.
Ahmad Ali, 1996. Menguak Tabir Hukum (suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis) Candra Pratama, Jakarta.
________, 1998. Menjelajahi Kajian emperis terhadap hukum, Yasrif Watampone, Jakarta.
Alexandra Indriyanti Dewi, 2008. Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher,Jogyakarta.
Amir Ilyas dan Yuyun Widarningsi, 2010.Hukum Korporasi Rumah Sakit, Rangkang Education,, Jogyakarta.
Andi Zainal Abidin Farid, dan Andi Hamzah.2002. Bentuk-bentuk khusus perwujudan delik (percobaan,Penyertaan dan Gabungan Delik) dan Hukum Pinentensier, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta.
Andi Zainal Abidin Farid dan Rahmat Baro,1997.Perbandingan asas-asas hukumPidana Indonesia dengan asas Hukum Barat dan texas, Umitaka, Makassar.
Andi Zainal abiding Farid.1995. Hukum Pidana Bagian I, Sinar Grafika, Jakarta.
Andi Hamzah H.1994, Asas asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta.
Bangir Manan,2008. Retorative Justice (suatu Perkenalan) Dalam repleksi Dinamika Hukum rangkaian pemikiran dalam decade terahir. Perum Percetakan Negara RI, Jakarta.
Bernard L.Tanya. (dkk).2007.Teori Hukum Strategi tertib manusia lintas ruang dan generasi ,Kita.Surabaya.
Chaerul Huda, 2006. Dari Tiada Pidana tampa kesalahan, menuju kepada tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Fajar Interpratama offset, Jakarta.
Charles Wendell. Charnahan (t.t).The Dentis and The Law, Jakarta.
Crisol Escobedo dkk., 2007. Ethical Issues with Informed Consent, University of Texas, El Paso, Texas, USA.
103
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2013. Putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/Pid/2012 Tahun 2012 http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan. Diakses Tanggal 11 Desember 2013.
.Doyal L. The “Moral importance of informed consent in Medical
Research: Concluding Reflections”. dalam Doyal L, Tobias J, eds. Informed consent in theory and practice. London: BMJ Books, 2000:309–17.
European Commission (Research Directorate-General Directorate L-Science, Economy and Society), Directive 2001/20/EC of the European Parliament and of the Council of 4 April 2001 on the approximation of the laws, regulations and administrative provisions of the Member States relating to the implementation of good clinical practice in the conduct of clinical trials on medicinal products for human use. OJ L 121, 1.5.2001.
Guwandi,J, 1994.Kelalaian Medik. Fak.Kedoteran Univ.Indonesia, Jakarta.
_________2006. Informed consent dan Informed Refusal, Fak.Kedokteran Univ.Indonesia, Jakarta.
_________ 2007,a. Medikal Error dan Hukum Medis, Fak.Kedokteran, Univ.Indonesia, Jakarta.
_________ 2007b. Merangkai Hospital By Laws,Rumah Sakit Anda denganHBL Versi Indonesia, Fak.Kedokteran Univ.Indonesia. Jakarta.
_________, 2009, Dugaan Malpraktek Medik dan draft RPP perjanjian terapatik antara dokter dan Pasien. Fak.Kedokteran.Univ.Indonesia.Jakarta.
__________2010.Hukum medik (Medikal Law). Fak.Kedokteran. Univ.Indonesia. Jakarta.
Heni Puji Wahyuningsi, 2008. Etika profesi kebidanan dilengkapi hukum kesehatan dalam kebidanan sebuah pengantar, Fitramaya, Jogyakarta.
104
Hendrojono Soewono, 2007. Batas Pertanggungjawaban Malpraktek Dokter, Srikandi, Surabaya.
Indrianto Seno Adji, 2009. Humanisme dan Pembaharuan Penegakan Hukum ,Kompas Media Nusantara,Jakarta.
Irsan K. 1993. Kejahatan Dimensi Baru dan Penanganannya di Indonesia. Mabes Polri.Jakarta.
James A. Black dan Dean J. Champion, 2009. Metode dan masalah penelitian sosial ,Refika Aditama. Bandung.
Jimly Asshiddiqie, 2010. Konsitusi Ekonomi, Penerbit Buku Kompas,Jakarta.
Luthan.S.1997. Penegakan Hukum Dalamkonteks Sosiologis, DalamJurnal Hukum Ius QuiaIustum, No.7 Vol.4. Fakultas Hukum.Univ. Islam. UII.Jakarta.
Marcela Del Carmen dan Steven Joffe, 2005. “Informed Consent for Medical Treatment and Research: A Review”, Paperback, Gillette Center for Women’s Cancers, Boston, Massachusetts, USA.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992.a. Bunga Rampai HukumPidana, Alumni, Bandung.
___________________________________, 1992.b. Teori dan kebijakan Pidana, alumni, Bandung.
Mike Molan, dkk. 2003.Modern Criminal Law, Caven dish Publishing Limeted, London United Kindom.
Munir Fuadi .2005.Tuntutan Pidana dan perdata Malpraktek , Permata Aksara,Jakarta.
Nusye KI Jayanti, 2009. Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek kedokteran,Pustaka Justitisia,Jakarta.
Nasaruddin Andi Mappaware ; Agus Purwadianto dan Yuli Budiningsi, 2010. Pengantar Beoetika, HukumKedokteran, dan hak Asasi Manusia. Umiloka Ukhuwah Grafika, Makassar.
105
Parlich.G. 2002. Toowards.an ethics of restorative justice. In L Wolgrave (ed) Restorative Justice and the Law. Willan publishing,oreson.
Pospisil.L.1971. Antropology of law, a comparative theory,New York
Harper & Row Publishier.
Pound.R. 1976. An Introduction to the Filosopy of Law, New Haven and London, Yale University Press.
Pathon G,W. 1953. A Text Book Yurisprudence, Secon Edition,Oxford University Press,London.
Rasyidi L. dan I.B.Wyasa Putra, 1993. Hukum Sebagai suatu Sistem, remaja, Rosdakarya, Bandung.
Ratna Supriati,S. 2001.Etika Kedoteran Indonesia.Jakarta.
Shils.E. and M.Rheistein (trans). 1967. Max Weber on Law Ekonomy and Society, New York. A.Clavion Book.
Sunaryati Hartono,1969. Apakah The Rule of Law itu, Alumni, Bandung.
Soesilo,R. 1981.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor.
Soejono Soekanto, 1982. Kesadara Hukum dan Kepatuhan Hukum, Radjawali, Jakarta.
_______________, 1983.a. Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung.
_______________1983b. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sudarto, 1986.Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia.
DalamSimposium Pembaharuan Hukum Pidana BPHN, Bina Cipta, Jogyakarta.
______, 1993. HukumPidana, Sinar Baru, Bandung.
Satjipto Rahardjo,1991.Ilmu Hukum, Cipta Aditiya Bakti, Bandung.
106
Schaffmeister,D.(dkk) Ed.JE.Sahetapy, 1995. Hukum Pidana Liberty, Jogyakarta.
Sulistyowati Irianto (ed) 2009, HukumYang bergerak tinjauan antropologi hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Suryani Supardan,Hj. Dan Dadi Anwar Hadi, 2008. Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.
Sofyan Lubis,M. 2009. Mengenal Hak Konsumen dan pasien, Pustaka Yustitisia, Jogyakarta.
Solly Lubis, 2007. Ilmu Negara. Mandar Maju, Bandung.
Usman Rianse dan Abdi, 2009. Metodologi penelitian sosial dan ekonomi ( Teori dan Aplikasi ) Alfabeta, Bandung.
Otje Salman, dan Anton F.Susanto, 2004. Teori Hukum (Mengingat, Mengumpul dan Membuka Kembali) Refika Aditama, Bandung.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang- Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
PERMENKES Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medis sebelum melakukan suatu tindakan yang didahului oleh penjelasan-penjelasan yang menyangkut tindakan,resiko,yang akan dilakukan pada pasien.
PERMENKES Nomor 290/MENKES/PER/III/2009 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
107